12 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Kajian Pustaka
2.1.1 Teori Kepatuhan
Kondisi perpajakan yang menuntut keikutsertaan aktif wajib pajak dalam
menyelenggarakan perpajakannya membutuhkan kepatuhan wajib pajak yang
tinggi, yaitu kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan yang sesuai
dengan kebenarannya. Kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan secara
sukarela (voluntary of complience) merupakan tulang punggung dari self
assesment system, dimana wajib pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri
kewajiban perpajakan kemudian secara akurat dan tepat waktu dalam membayar
dan melaporkan pajaknya. Pengertian kepatuhan Wajib Pajak menurut Rahayu
(2010:138), menyatakan bahwa Kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai
suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan
melaksanakan hak perpajakannya. Pengertian kepatuhan Wajib Pajak menurut
oleh Rahayu (2010:139), menyatakan bahwa kepatuhan Wajib Pajak dapat
didefinisikan dari:
1)
Kewajiban Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri.
2)
Kepatuhan untuk menyetorkan kembali Surat pemberitahuan.
3)
Kepatuhan dalam perhitungan dan pembayaran pajak terutang.
4)
Kepatuhan dalam pembayaran tunggakan.
Sedangkan menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 544/KMK.04/2000
menyatakan bahwa Kepatuhan perpajakan adalah tindakan Wajib Pajak dalam
12
pemenuhan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam
suatu negara.
Adapun jenis-jenis kepatuhan Wajib Pajak menurut Rahayu (2010) adalah:
1)
Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi
kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang
perpajakan.
2)
Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara
substantif/hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan
yaitu sesuai isi dan jiwa Undang-undang pajak kepatuhan material juga
dapat meliputi kepatuhan formal. Misalnya ketentuan batas waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak.
2.1.2 Pengertian Pajak
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang- undang
(yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang
langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum (Mardiasmo, 2013:1). Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan
bahwa pajak memiliki unsur- unsur :
1) Iuran dari rakyat kepada rakyat
Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang
(bukan barang/jasa).
2) Sifatnya dapat dipaksakan.
3) Berdasarkan undang- undang.
13
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang- undang serta
atuaran pelaksanaanya.
4) Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung
dapat ditunjukan. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya
kontraprestasi individual oleh pemerintah.
5) Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaranpengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
2.1.3 Fungsi Pajak
Menurut Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton (2008:12), pajak
mempunyai beberapa fungsi yaitu :
1) Fungsi Anggaran (budgetair) adalah fungsi yang letaknya di sektor publik
yaitu fungsi untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai
dengan undang-undang yang berlaku yang pada waktunya akan digunakan
untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara, yaitu pengeluaran rutin
dan pengeluaran pembangunan dan bila ada sisa (surplus) akan digunakan
sebagai tabungan pemerintah untuk investasi pemerintah.
2) Fungsi Mengatur (regulerend) adalah suatu fungsi bahwa pajak- pajak
tersebut akan digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan- tujuan
tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan.
3) Fungsi Demokrasi adalah suatu fungsi yang merupakan salah satu
penjelmaan atau wujud sistem gotong royong termasuk kegiatan
pemerintahan dan penggunaan demi kesejahteraan masyarakat.
14
4) Fungsi Redistribusi yaitu fungsi yang lebih menekankan pada unsur
pemerataan dan keadilan dalam masyarakat.
2.1.4 Sistem Pemungutan Pajak
Menurut Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton (2008:22), sistem
pemungutan pajak dapat dibagi menjadi empat yaitu :
1) Official assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang kepada pemungut pajak (fiskus) untuk menentukan
besarnya pajak yang harus dibayar (pajak yang terutang) oleh seseorang.
2) Semi self assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang pada fiskus dan wajib pajak untuk menentukan
besarnya pajak yang terutang seseorang.
3) Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberikan wewenang penuh kepada wajib pajak untuk menghitung,
memperhitungkan, menyetorkan dan melaporkan sendiri besarnya pajak
yang terutang.
4) Withholding system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberikan wewenang pada pihak ketiga untuk memotong/memungut
besarnya pajak yang terutang. Pihak ketiga yang telah ditentukan tersebut
selanjutnya menyetor dan melaporkan kepada fiskus.
Pelaksanaan official assessment system telah berakhir pada tahun 1967
yaitu dengan dikeluarkanya Undang- undang Nomor 8 Tahun 1967. Tahun 1967
sampai dengan 1983 masih menggunakan semi self assessment system dan
witholding system secara penuh dalam sistem pemungutan pajak Indonesia yaitu
15
dengan diundangkanya Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang mulai berjalan pada 1 Januari
1984.
2.1.5 Pajak Daerah
Pajak Daerah dipungut berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun
1997 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah. Undang-Undang Nomor 18
Tahun 1997 tersebut mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 34
Tahun 2000 dan kini telah diubah kedua kalinya menjadi Undang-Undang 28
Tahun 2009.
Berdasarkan Undang-Undang 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah iuran wajib
yang dilakukan oleh orang pribadi atau kepala daerah tanpa imbalan langsung
yang seimbang dan dapat dipaksakan berdasarkan peraturan Perundang-Undangan
yang berlaku, serta digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah
daerah dan pembangunan daerah. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tersebut, Pajak Daerah dapat digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu :
1) Pajak Daerah Tingkat I (Provinsi), meliputi :
a.
Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air
b.
Bea Balik Nama Kendaraan dan Kendaraan Diatas Air
c.
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
d.
Pajak Pengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan
Permukaan
16
2) Pajak Dearah Tingkat II (Kabupaten/Kota), meliputi :
a.
Pajak Hotel
b.
Pajak Restoran
c.
Pajak Reklame
d.
Pajak Penerangan Jalan
e.
Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C
f.
Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah (ABT)
g.
Pajak Bumi Dan Bangunan Perkotaan Dan Pedesaan
2.1.6 Pajak Hotel
Sistem penetapan pajak hotel yaitu suatu prosedur atau tata cara yang
digunakan untuk mentapkan besar kecilnya jumlah tarif pajak hotel yang
dikenakan pada wajib pajak berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Badung
No.15 Tahun 2011 yang mengatur tentang pajak hotel, dimana dalam Peraturan
Daerah tersebut terkandung pengertian sebagai berikut :
1) Pajak Hotel yang selanjutnya disebut Pajak adalah pajak atas pelayanan
yang disediakan oleh hotel.
2) Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/ peristirahatan termasuk
jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel,
losmen, gubuk
wisata,
wisma
pariwisata,
pesanggrahan
rumah
penginapan dan sejenisnya serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih
dari 10 (sepuluh).
3) Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan
pembayaran kepada orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Hotel.
17
4) Wajib
Pajak
Hotel
adalah
orang
pribadi
atau
Badan
yang
mengusahakan Hotel.
5) Dasar pengenaan Pajak adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya
dibayar kepada Hotel.
6) Tarif Pajak ditetapkan sebesar 10 % (sepuluh persen).
7) Dengan nama Pajak Hotel dipungut Pajak atas setiap jasa pelayanan hotel
(1)
Objek Pajak adalah pelayanan yang disediakan oleh Hotel
dengan pembayaran jasa pelayanan dan jasa penunjang sebagai
kelengkapan Hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan
kenyamanan, termasuk fasilitas olahraga dan hiburan.
(2)
Jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
fasilitas telepon, faksimile,
pelayanan
cuci,
seterika,
teleks,
internet,
fotokopi,
transportasi dan fasilitas sejenis
lainnya yang disediakan atau dikelola Hotel.
(3)
Tidak termasuk objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah:
a. jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
b. jasa sewa apartemen, kondominium dan sejenisnya.
c. jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan
keagamaan.
d. jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti
jompo, panti asuhan dan panti sosial lainnya yang sejenis;
dan
18
e. jasa
biro
perjalanan
atau
perjalanan
wisata
yang
diselenggarakan oleh Hotel yang dapat dimanfaatkan oleh
umum.
2.1.7 Pengertian Pelayanan
Pengertian pelayanan adalah suatu proses bantuan kepada orang lain
dengan cara- cara tertentu yang memerlukan
kepekaan dan hubungan
interpersonal agar tercipta kepuasan dan keberhasilan (Boediono,2003).
Sedangkan yang dimaksud hakikat pelayanaan umum adalah:
1) Meningkatkan mutu dan produktifitas pelaksanaan tugas dari instansi
pemerintah di bidang pelayanan umum.
2) Mendorong upaya pengefektifan sistem dan tata laksana pelayanan
sehingga pelayanan umum dapat diselenggarakan secara lebih berguna.
3) Mendorong tumbuhnya kreativitas, prakarsa, dan peran serta masyarakat
dalam pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas.
2.1.8 Kualitas Pelayanan
Menurut Supadmi (2009), secara sederhana kualitas adalah suatu kondisi
dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa manusia, proses, dan lingkungan
yang memenuhi atau melebihi harapan pihak yang menginginkannya. Menurut
the Amerika Society of Quality Control dalam Sumadi (2005), kualitas adalah
keseluruhan ciri- ciri dan karakteristik dari suatu produk atau jasa menyangkut
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang telah ditentukan atau
yang telah bersifat laten. Tjiptono (dalam Hadiati, 2003) mendefinisikan kualitas
19
sebagai derajat sejauh mana produk memenuhi spesifikasi- spesifikasinya.
Dengan demikian, yang dikatakan kualitas adalah kondisi dinamis yang
menghasilkan :
1) Produk yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan.
2) Jasa yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan.
3) Suatu proses yang memenuhi atau melebihi haparan pelanggan.
4) Lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan.
Kualitas pelayanan merupakan suatu sikap atau pertimbangan global
tentang keuangan dari suatu pelayanan (Burhanudin, 2009). Menurut gap theory
yang diusulkan oleh Parasuraman et al. (1985) bahwa kualitas pelayanan
merupakan perbandingan antara harapan yang diinginkan oleh pelanggan dengan
penilaian mereka terhadap kinerja aktual dari suatu penyediaan layanan. Menururt
Parasuraman (dalam Tjiptono 2002) ada lima dimensi yang dapat digunakan
untuk mengevaluasi kualitas jasa pelayanan, yaitu :
1) Bukti Langsung, yaitu meliputi fasilitas fisik, pegawai, perlengkapan, dan
komunikasi.
2) Keandalan (reliability) merupakan kemampuan para petugas pajak dalam
memberikan pelayanan yang menjanjikan dengan segera dan memuaskan.
3) Daya Tanggap (responsiveness) merupakan karakteristik kecocokan dalam
pelayanan manusia yaitu keinginan para petugas pajak untuk membantu
wajib pajak dan memberikan pelayanan dengan tanggap.
4) Jaminan (assurance), yaitu mencangkup kemampuan, kesopanan, dan sifat
dapat dipercaya yang dimiliki oleh petugas pajak bebas dari risiko, bahaya
atau keragu-raguan.
20
5) Empati (emphaty), yaitu meliputi kemudahan petugas dalam melakukan
hubungan komunikasi yang baik dan memahami para wajib pajak.
2.1.9 Kewajiban Moral
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia moral adalah integritas dan
martabat pribadi yang dimiliki manusia. Kewajiban moral adalah moral individu
yang dimiliki dalam diri seseorang, namun kemungkinan tidak dimiliki oleh orang
lain (Ajzen, 2002). Seperti misalnya etika, prinsip hidup, perasaan bersalah yang
nantinya dikaitkan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan dalam hal ini untuk
kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak hotel. Menurut Wenzel (2005)
moral wajib pajak, etika dan norma sosialnya sangat berpengaruh terhadap
perilaku dari wajib pajak.
2.1.10 Sanksi Perpajakan
Menurut (Mardiasmo, 2013:59) sanksi adalah tanggungan (tindakan dan
hukuman) untuk memaksa orang menepati perjanjian atau menaati ketentuan
perundang-undangan. Sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan
peraturan perundang-undangan dalam perpajakan (norma perpajakan) akan
dituruti/ditaati/dipatuhi. Dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat
pencegah (preventif) agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan.
Persepsi wajib pajak tentang sanksi perpajakan merupakan interpretasi dan
pandangan wajib pajak dengan adanya sanksi perpajakan.
Sanksi
terhadap
wajib
pajak
yang
tidak
memenuhi
kewajiban
perpajakannya di atur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Bunga
21
sebesar 2% (dua persen) dikenakan pada sanksi administratif berupa sebulan dari
pajak yang tidak atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua
puluh empat) bulan atas pajak yang tidak atau terlambat dibayar (Sri,2011).
Ada dua macam sanksi yang di kenal dalam perpajakan yaitu sanksi
administrasi dan sanksi pidana. Sanksi administrasi merupakan pembayaran
kerugian kepada negara, khususnya yang berupa bunga dan kenaikan, sedangkan
sanksi pidana merupakan suatu alat terakhir atau benteng hukum yang digunakan
fiskus agar norma perpajakan dipatuhi. Sanksi pidana dapat berupa siksaan atau
penderitaan. Sanksi administrasi terdiri dari tiga jenis, yaitu denda, bunga dan
kenaikan. Sanksi pidana terdiri dari denda, pidana, kurungan, dan penjara.
2.1.11 Kepatuhan Perpajakan
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Sony Devano, 2006:110),
kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan. Sistem pemungutan
pajak yang berlaku di Indonesia saat ini adalah self assessment system, dimana
segala pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan sepenuhnya oleh wajib pajak.
Fiskus hanya melakukan pengawasan melalui prosedur pemeriksaan.Dalam sistem
self assessment system, kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pajak
secara sukarela (voluntary of compliance) merupakan tulang punggung dari sistem
ini, dimana wajib pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban
perpajakan dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar dan
melaporkan pajaknya tersebut. Kepatuhan dalam perpajakan merupakan ketaatan,
tunduk, dan patuh serta melaksanakan ketentuan perpajakan. Jadi, wajib pajak
22
yang patuh adalah wajib pajak yang taat dan memenuhi serta melaksanakan
kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan.
Menurut Chaizi Nasucha (dalam Sony Devano 200:111), kepatuhan wajib
pajak dapat didefinisikan dari :
1) Kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan diri.
2) Kepatuhan wajib pajak dalam pembayaran pajak terutang.
3) Kepatuhan wajib pajak dalam pembayaran tunggakan.
Safri Nurmantu mengatahan bahwa
kepatuhan perpajakan
dapat
didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua
kewajiban perpajakan dan melaksanakan semua hak perpajakannya (Sony Devano
2006:110).
Norman D. Nowak (2007) mengemukakan kepatuhan perpajakan sebagai
suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan (Sony
Devano, 2006:110), tercermin dalam situasi dimana :
1) Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan
peraturan perundang- undangan perpajakan.
2) Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas.
3) Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.
Ada dua macam kepatuhan (Supadmi, 2009) yaitu sebagai berikut :
1) Kepatuhan formal, yaitu suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi
kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang- undang
perpajakan.
23
2) Kepatuhan Material, yaitu suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi
semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai dengan isi dan jiwa
undang-undang perpajakan. Kepatuhan material dapat juga meliputi
kepatuhan formal.
2.2
Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Kualitas Pelayanan pada Kepatuhan Wajib Pajak Hotel
Meningkatkan kepatuhan wajib pajak dapat dilakukan melalui peningkatan
kualitas pelayanan (Handayani, 2009). Pelayanan yang baik menyebabkan
kepatuhan wajib pajak meningkat. Pelayanan adalah suatu proses bantuan kepada
orang lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan
interpersonal agar terciptanya kepuasan dan keberhasilan (Boediono, 2003:60).
Kualitas pelayanan merupakan perbandingan antara apa yang di harapkan dengan
apa yang diperolehnya. Kepuasan yang diperoleh oleh pelanggan akan berdampak
pada kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakanya.
Pelayanan kepada pelanggan dikatakan bermutu apabila memenuhi atau
melebihi harapan pelanggan atau semakin kecil kesenjangan antara pemenuhan
janji dengan harapan pelanggan adalah semakin mendekati ukuran bermutu.
Menyediakan jasa secara konsisten kepada pelanggan adalah pelayanan bermutu.
Pelayanan yang berkualitas harus dapat memberikan keamanan, kenyamanan,
kelancaran, dan kepastian hukum kepada pelanggan (Supadmi, 2009). Jika
kualitas pelayanan meningkat maka akan berdampak pada kepatuhan wajib pajak
dalam memenuhi kewajiban perpajakan.
24
Supadmi (2009) mengatakan bahwa secara sederhana kualitas pelayanan
adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa manusia,
proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pihak yang
menginginkannya. Meningkatkan kepatuhan wajib pajak dapat dilakukan melalui
peningkatan kualitas pelayanan. Jika kualitas pelayanan meningkat maka akan
berdampak pada kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan.
Menurut Agustini (2011) kualitas pelayanan berpengaruh positif terhadap
kepatuhan pelaporan wajib pajak kendaraan bermotor. Berdasarkan hal tersebut,
maka hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah :
H1 : Kualitas pelayanan berpengaruh positif pada kepatuhan wajib pajak hotel
di Dinas Pendapatan Kabupaten Badung.
2.2.2 Pengaruh Kewajiban Moral pada Kepatuhan Wajib Pajak Hotel
Dalam kaitannya dengan kewajiban moral, tidak terlepas dengan integritas.
Integritas berarti bahwa prilaku seseorang konsisten dengan nilai yang
menyertainya dan orang tersebut bersifat jujur, etis dan dapat dipercaya. Integritas
dapat diartikan sebagai kesehatan moral, kejujuran yang terbebas dari pengaruh
atau motif korupsi, dapat dipercaya dan disukai, serta memiliki ketulusan.
Menurut Ajzen (2002) Kewajiban moral merupakan moral individu yang dimiliki
oleh seseorang, namun tidak dimiliki oleh orang lain. Dalam hal ini, yang
dimaksud adalah wajib pajak hotel. Dengan moral yang sehat dan kejujuran yang
terbebas dari pengaruh negatif, wajib pajak dapat memenuhi kewajiban dalam
perpajakan (Handayani, 2009). Tingkat kepatuhan pajak akan menjadi lebih tinggi
ketika wajib pajak memiliki kewajiban moral yang lebih kuat (Ho, 2009).
25
Menurut Handayani (2009) kewajiban moral berpengaruh positif signifikan
terhadap pelaporan wajib pajak dalam membayar pajak kendaraan bermotor.
Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah:
H2 : Kewajiban moral berpengaruh positif pada kepatuhan wajib hotel di
Dinas Pendapatan Kabupaten Badung.
2.2.3 Pengaruh Sanksi Perpajakan pada Kepatuhan Wajib Pajak Hotel
Undang-undang Perpajakan tidak memuat jenis penghargaan bagi wajib
pajak yang patuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Sanksi
perpajakan merupakan alat pencegah (preventif) agar wajib pajak tidak melanggar
norma perpajakan (Mardiasmo, 2013:59). Walaupun tidak mendapatkan
penghargaan atas kepatuhannya dalam melaksanakan kewajiban perpajakan, wajib
pajak akan dikenakan sanksi jika sengaja tidak memenuhi kewajiban
perpajakannya. Jika sanksi yang dikenakan bagi wajib pajak yang tidak memenuhi
kewajibannya semakin tinggi maka akan berpengaruh terhadap peningkatan
kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya.
Sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan (norma perpajakan) akan dituruti/ ditaati/
dipatuhi (Mardiasmo, 2013:59). Sanksi perpajakan bertujuan untuk meningkatkan
ketaatan wajib pajak sesuai dengan self assessment system perpajakan di
Indonesia. Wajib pajak akan memenuhi kewajiban perpajaknnya bila memandang
sanksi perpajakan dapat merugikannya. Wajib pajak yang sengaja tidak memenuhi
kewajibannya akan di kenakan sanksi perpajakan yang berlaku. Semakin banyak
pelanggaran yang dilakukan oleh wajib pajak maka semakin berat sanksi
26
perpajakan yang akan diterima. Septian dan Edy (2011) menunjukkan bahwa
sanksi perpajakan berpengaruh positif pada kepatuhan pelaporan wajib pajak
badan koperasi. Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang diajukan pada
penelitian ini adalah:
H3 : Sanksi perpajakan berpengaruh positif pada kepatuhan wajib pajak hotel di
Dinas Pendapatan Kabupaten Badung.
27
Download