BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diperkosa, disetubuhi, direnggut kehormatannya, digagahi atau kata-kata lainnya sering tertulis di media massa untuk menggambarkan perbuatan keji berbentuk pemaksaan hubungan seksual. KUHP telah mengkualifikasikan perbuatan pemaksaan hubungan seksual ini sebagai kejahatan dengan sebutan sebagai pemerkosaan, dan kejahatan ini termuat dalam Buku II Bab XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Istilah yang digunakan dalam KUHP adalah “Kejahatan Terhadap Kesusilaan”, tidak menggunakan kejahatan seksual (sexual violence) yang diartikan sebagai perbuatan pidana berkaitan dengan seksualitas yang dapat dilakukan terhadap laki-laki maupun perempuan. Penggunaan istilah kesusilaan menyebabkan masyarakat terutama aparat hukum sering terjebak dalam menempatkan Pasal-Pasal kesusilaan semata-mata sebagai persoalan pelanggaran terhadap nilai-nilai budaya, agama, atau sopan santun yang berkaitan dengan nafsu perkelaminan (birahi) bukan kejahatan terhadap tubuh dan jiwa seseorang. Kualifikasi pemerkosaan menurut Pasal 285 KUHP adalah: Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Pasal 291 (2) KUHP selanjutnya mengatur tentang ancaman hukuman pidana terhadap tindak pidana berdasarkan dalam Pasal 285 yang berakibat kematian, yaitu: Jika salah satu kejahatan berdasarkan Pasal 285, 286, 287, 289 dan 290 mengakibatkan kematian dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. 2 Berdasarkan ketentuan Pasal 291 ayat (2) KUHP tersebut, maka ancaman hukumannya ditambah menjadi paling lama lima belas tahun jika pemerkosaan tersebut menyebabkan korbannya mati. Dengan demikian pemerkosaan mensyaratkan: 1. Dilakukan terhadap wanita, artinya pelakunya harus laki-laki, laki-laki yang bisa memperkosa wanita dan tidak sebaliknya. Yang diancam hukuman dalam Pasal ini adalah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia. Pembuat Undang-undang (KUHP) ternyata menganggap tidak perlu untuk menentukan hukuman bagi perempuan yang memaksa untuk bersetubuh, bukanlah semata-mata karena pemaksaan oleh seorang perempuan terhadap seorang laki-laki itu dipandang tidak mungkin, akan tetapi justru karena perbuatan itu bagi laki-laki dipandang tidak mengakibatkan sesuatu yang buruk atau yang merugikan. Bukanlah seorang perempuan ada bahaya untuk melahirkan anak oleh karena itu.1 2. Adanya persetubuhan Persetubuhan adalah perpaduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota kemaluan laki-laki harus masuk ke dalam anggota kemaluan perempuan, sehingga mengeluarkan mani, sesuai dengan Arrest HR 5 Februari 1912.2 Persetubuhan mana harus dilakukan di luar perkawinan, jadi tidak dimungkinkan adanya perkosaan terhadap istri oleh suami. Pasal tentang pemerkosaan (Pasal 285 KUHP) menerangkan bentuk pemerkosaan terbatas persetubuhan atau penetrasi penis ke dalam vagina perempuan secara paksa, belum termasuk benda-benda lain selain penis yang dimasukkan secara paksa ke dalam vagina, atau bagian tubuh wanita lainnya serta perlakuan menggesek-gesekkan penis ke bibir kelamin perempuan di luar kehendak perempuan.3 3. Persetubuhan dilakukan dengan memaksa baik dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Kejahatan pemerkosaan di atas mensyaratkan adanya pemaksaan dari pelaku terhadap korbannya, pemaksaan mana dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, artinya jika persetubuhan tersebut atas persetujuan dari si korban (suka sama suka) bukanlah suatu perkosaan.4 1 R. Soesilo. 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politea. Bogor. hal. 210 2 Ibid. hal. 209 3 Guse Prayudi. 2011. Kejahatan Persetubuhan Menurut Hukum Positif Indonesia. diakses melalui http://www.scribd.com/doc/34683241/Kejahatan-Persetubuhan-Menurut-Hukum-PositifIndonesia. pada tanggal 1 September 2012. 4 Ibid. tanpa halaman 3 KUHP juga mengenal kejahatan persetubuhan yang tidak mensyaratkan adanya pemaksaan dari pelaku terhadap korbannya, yaitu dalam bentuk: 1. Persetubuhan di luar perkawinan terhadap wanita dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun (vide Pasal 286 KUHP) Syarat mutlaknya adalah keadaan korban yang pingsan atau tidak berdaya ini bukan karena perbuatan pelaku, misalnya korban dalam keadaan tidak berdaya karena ulahnya sendiri. Contoh: karena minum minuman keras, dan pelaku kemudian menyetubuhi korban tersebut. Jikalau korban pingsan karena perbuatan pelaku maka masuk kejahatan pemerkosaan (Pasal 285 KUHP), karena menurut Pasal 89 KUHP, membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan (vide Pasal 89 KUHP). 2. Persetubuhan terhadap wanita yang umurnya belum 15 (lima belas) tahun, diancam dengan pidana paling lama 9 (sembilan) tahun (Pasal 287 ayat (1) KUHP) a. Jika persetubuhan mengakibatkan wanita mengalami luka berat dijatuhkan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun (Pasal 291 ayat (1) KUHP) Luka berat adalah yang luka terkualifikasikan dalam Pasal 90 KUHP yakni jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali atau yang menimbulkan bahaya maut. Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan. Kehilangan salah satu panca indera, mendapat cacat berat, menderita sakit lumpuh. Terganggunya daya pikir selama 4 (empat) minggu lebih dan gugur atau matinya kandungan seorang wanita. b. Jika persetubuhan mengakibatkan wanitanya mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun (Pasal 291 ayat (2) KUHP).5 Persetubuhan terhadap wanita pingsan atau tidak berdaya dan terhadap wanita belum cukup umur di atas disyaratkan dilakukan “di luar perkawinan” artinya pelaku dan korban tidak terikat dalam suatu perkawinan, pelaku dan korban bukanlah suami istri. Berlakunya UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka persetubuhan terhadap anak yakni seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun (Pasal 1 angka 1) mendapat pengaturan lebih khusus, yakni Pasal 81 yang merumuskan: 5 Ibid. tanpa halaman. 4 (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Berdasarkan ketentuan Pasal 81 tersebut di atas, Guse Prayudi memberikan analisisnya bahwa orang yang sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya disamakan dengan orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau memaksa anak melakukan persetubuhan. Pendapat selengkapnya adalah sebagai berikut: Berdasarkan Pasal 81 UU No. 23 Tahun 2002 terdapat kualifikasi “orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain “disamakan” dengan “orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan”. Dengan demikian, menurut UU No. 23 Tahun 2002, apabila korban adalah anak di bawah umur maka persetubuhan yang dilakukan dengan cara tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk, dikonstruksikan sama dengan persetubuhan yang dilakukan dengan memaksa. Apabila perbuatan pidana tersebut berlangsung secara teru-menerus atau berlanjut maka termasuk dalam klasifikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 64 ayat (1) KUHP yang merumuskan bahwa: Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. 5 Dalam memori penjelasan tentang pembentukan Pasal 64 KUHP dimuat antara lain: 1. Bahwa beberapa perbuatan itu harus merupakan pelaksanaan dari suatu keputusan yang terlarang, bahwa suatu kejahatan yang berlanjut itu hanya dapat terjadi dari sekumpulan tindak pidana yang sejenis. 2. Bahwa suatu pencurian dan suatu pembunuhan atau suatu pencurian dan suatu penganiayaan itu secara bersama-sama tidak akan pernah dapat menghasilkan suatu perbuatan berlanjut, oleh karena: a. Untuk melakukan kejahatan-kejahatan itu, pelakunya harus membuat lebih dari satu keputusan. b. Untuk membuat keputusan-keputusan seperti itu dan untuk melaksanakannya, pelakunya pasti memerlukan waktu yang berbeda.6 Berdasarkan memori penjelasan tersebut, Guse Prayudi memberikan penjelasan bahwa: Secara teoritis dikatakan ada perbuatan berlanjut apabila ada seseorang melakukan beberapa perbuatan, perbuatan tersebut masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran dan antara perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut dimana menurut Memorie van Toelichting “ada hubungan sedemikian rupa”, kriterianya adalah: 1. Harus ada satu keputusan kehendak 2. Masing-masing perbuatan harus sejenis 3. Tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama.7 Hal pertama yang harus dibuktikan adalah adanya beberapa perbuatan berupa kejahatan atau pelanggaran, dimana hukum mensyaratkan perbuatanperbuatan tersebut harus sejenis, seperti yang dinyatakan oleh R. Soesilo: Beberapa perbuatan yang satu sama lain ada hubungannya itu supaya dapat dipandang sebagai suatu perbuatan yang diteruskan menurut pengetahuan dan praktek harus memenuhi syarat: 1. Harus timbul dari satu niat, atau kehendak atau keputusan Misalnya seorang tukang berniat mempunyai (mencuri) radio, tetapi tidak ada kesempatan untuk mencuri pesawat radio yang komplit, ia hanya berkesempatan hari ini mencuri pengeras suara, lain minggu lagi mencuri kawat dan seterusnya. 6 Guse Prayudi. 2012. Perbuatan Berlanjut (Voortgezette Handeling) (Suatu Bentuk Khusus Tindak Pidana). Diakses melalui. http://www.scribd.com/doc/34963208/PerbuatanBerlanjut-Voortgezette-Handel-Ing pada tanggal 3 September 2012 7 Ibid. tanpa halaman 6 2. Perbuatan-perbuatannya itu harus sama macamnya Misalnya pencurian dengan pencurian ternasuk pula segala macam pencurian dari yang teringan sampai yang terberat, penggelapan dengan penggelapan mulai dari yang teringan sampai yang terberat, penganiayaan dengan penganiayaan meliputi semua bentuk penganiayaan, dan penganiayaan ringan sampai penganiayaan berat. 3. Waktu antaranya tidak boleh terlalu lama Penyelesaiannya mungkin makan tempo sampai tahunan, akan tetapi perbuatan berulang-ulang untuk menyelesaikan itu antaranya tidak boleh terlalu lama.8 Beberapa tindak pidana yang sejenis bisa disebut sebagai perbuatan yang berlanjut apabila dipenuhi syarat lanjutannya, yakni berasal dari satu keputusan kehendak dan dilakukan dalam tenggang waktu yang tidak terlalu lama. Guse Prayudi dalam hal ini mengatakan bahwa: Dalam Arrest HR 11 Juni 1894, dinyatakan bahwa untuk perbuatan berlanjut tidak saja diperlukan adanya perbuatan-perbuatan yang sama jenis yang telah dilakukan, di samping itu perbuatan-perbuatan tersebut harus mewujudkan keputusan perbuatan terlarang yang sama. Satu keputusan kehendak merupakan pengertian yuridis yang dikonstruksikan pelaku melakukan beberapa tindak pidana tersebut berasal dari satu niat, yakni tertuju pada satu objek tindak pidana tersebut. Mengenai syarat “suatu keputusan kehendak” dapat diartikan secara umum dan lebih luas, yaitu tidak berarti harus ada kehendak untuk tiap-tiap perbuatan. Berdasarkan pengetian ini, maka tidak perlu perbuatan-perbuatan ini sejenis, asal perbuatan itu dilakukan dalam rangka pelaksanaan satu tujuan, misalnya untuk melampiaskan balas dendamnya kepada B, maka A melakukan serangkaian perbuatan-perbuatan berupa meludahi, merobek bajunya, memukul dan akhirnya membunuh. 9 Megenai unsur adanya satu niat ini, dalam praktek cukup sulit membuktikannya, hal ini sebagaimana dikatakan oleh Guse Prayudi lebih lanjut, bahwa: Dalam tataran praktek, untuk membuktikan adanya satu niat ini cukup sulit, sebagai contoh dalam Putusan MA No. 162.K./KR/1962 tanggal 5 Maret 1963 dinyatakan bahwa penghinaan-penghinaan ringan yang dilakukan terhadap lima orang pada hari-hari yang berlainan tidak mungkin berdasarkan satu keputusan kehendak, maka tidak dapat dipandang lagi 8 9 R. Soesilo. 1995. Op. Cit. hal. 81-82 Guse Prayudi. 2012. Op. Cit. tanpa halaman 7 satu perbuatan dan tidak dapat atas kesemua perkara diberikan satu keputusan. Dengan demikian yang menjadikan pegangan untuk menentukan adanya satu keputusan kehendak adalah perbuatan tersebut ditujukan pada satu objek tindak pidana (object delict).10 Syarat selanjutnya adalah “dilakukan dalam tenggang waktu yang tidak lama”. Guse Prayudi berpendapat bahwa: Pengertian “waktu yang tidak lama” itu terlihat sangat mudah dibaca, akan tetapi sebenarnya sulit dalam penerapannya, oleh karena tidak ada aturan lebih lanjut mengenai batasan “waktu yang tidak lama”, apakah hal ini ukurannya hari, bulan atau tahun, hal ini tidak jelas diatur. Sebagai bahan pegangan, dalam Arrest HR 26 Juni 1905 dinyatakan bahwa adanya kesamaan jenis dari perbuatan-perbuatan tidaklah cukup. Apabila dua perbuatan terpisah oleh suatu waktu perantara selama 4 hari dan tidak terbukti, bahwa garis perbuatan tersangka pada perbuatan yang pertama adalah sama dengan perbuatan yang kedua, maka tidak ada perbuatan berlanjut. Contoh kasus yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan berlanjut adalah sebagai berikut: Seorang laki-laki A hendak berzina dengan perempuan B yang telah bersuami, A melakukan maksudnya itu dengan beberapa kali berzina dengan perempuan itu dalam selang waktu yang tidak terlalu lama. Dalam hal-hal tersebut, maka point yang menjadi pegangan untuk menyebut adanya suatu perbuatan berlanjut adalah: Terdakwa melakukan beberapa perbuatan (kejahatan atau pelanggaran) yang sejenis, berasal dari satu keputusan kehendak dan dilakukan dalam tenggang waktu yang tidak terlalu lama.11 Salah satu kasus perbuatan pidana berlanjut yang sering terjadi adalah membujuk anak melakukan persetubuhan. Tindak pidana ini juga dialami oleh korban GL yang berumur 14 tahun. GL menjadi korban tindak pidana dengan sengaja membujuk melakukan persetubuhan secara berlanjut yang dilakukan oleh MUHAJIR RASYID bin ROSIDI. Atas perbuatan tersebut, MUHAJIR RASYID bin ROSIDI didakwa melakukan tindak pidana dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan secara berlanjut dan melanggar ketentuan Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. 10 11 Ibid. tanpa halaman Ibid. tanpa halaman 8 B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah penerapan unsur-unsur Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT ? 2. Bagaimana pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Purwokerto dalam menjatuhkan pidana pada perkara Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1. Penerapan unsur-unsur Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT. 2. Pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Purwokerto dalam menjatuhkan pidana pada perkara Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT. D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pengembangan Ilmu Pengetahuan Hukum sebagai sumbangan pikiran dalam rangka pembinaan hukum nasional, khususnya Hukum Pidana. 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan yang bermanfaat bagi pemerintah serta instansi-instansi hukum yang terkait, dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak-anak korban tindak pidana perkosaan atau persetubuhan. 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana dimaksudkan sebagai terjemahan “Strafbaarfeit” yang berasal dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Belanda yang kemudian diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi pada masa penjajahan Belanda, yang masih digunakan di Indonesia sampai saat ini dengan beberapa perubahan. Mengenai istilah ini, para sarjana menggunakan istilah yang berlainan. Moeljatno menerjemahkan strafbaar feit dengan istilah perbuatan pidana dan merumuskan sebagai berikut: Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Di mana larangan tersebut ditujukan pada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena itu keduanya tidak dapat dipisahkan.12 Apabila seseorang melakukan perbuatan yang dilarang maka orang tersebut dapat diancam dengan pidana. Menurut Moeljatno: Untuk menyatakan hubungan yang erat itu ia menggunakan istilah “perbuatan pidana”, dan istilah ini mempunyai pengertian yang abstrak dan menunjuk pada dua konflik yaitu adanya kejadian atau perbuatan tertentu dan adanya orang yang melakukan perbuatan tersebut.13 12 Moeljatno. 1987. Azas-Azas Hukum Pidana Indonesia. Bina Aksara. Jakarta hal. 54. 13 ibid 10 Moeljatno lebih lanjut mengatakan bahwa: Apabila strafbaar feit menggunakan istilah peristiwa pidana atau tindak pidana adalah kurang tepat, sebab peristiwa itu adalah pengertian yang konkret yang hanya menunjuk kepada kejadian tertentu saja sedangkan perkataan tindak adalah menunjukan kepada kelakuan atau sikap jasmani seseorang, jadi menyatakan keadaan yang konkret pula.14 Pengertian strafbaar feit dikemukakan oleh Simons dan Van Hamel, sebagaimana dikutip oleh Sudarto sebagai berikut: Menurut Simons strafbaar feit diartikan sebagai berikut, strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Berbeda pula pendapat Van Hamel yang mengartikan strafbaar feit sebagai berikut, strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardich) dan dilakukan dengan kesalahan.15 Jika melihat pengertian-pengertian ini maka terdapat beberapa pokok mengenai pengertian tindak pidana, yaitu: a. Bahwa feit dalam strafbaar feit bearti handeling (kelakuan atau tingkah laku); b. Bahwa pengertian strafbaar feit dihubungkan dengan kesalahan orang yang mengadakan kelakuan tadi.16 Utrecht menerjemahkan strafbaar feit dengan peristiwa pidana, dengan penjelasan sebagai berikut: Strafbaar feit diterjemahkan sebagai peristiwa pidana, karena istilah itu meliputi suatu perbuatan (handeling atau doen positif) maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan oleh karena perbuatan atau melainkan itu). Lebih lanjut dijelaskan pula oleh Utrecht peristiwa pidana sebagai suatu peristiwa hukum yaitu suatu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum17. 14 15 Ibid . hal. 55 Sudarto. 1991. Hukum Pidana Jilid I A-B. Fakultas Hukum Unsoed. Purwokerto. hal..5. 16 17 Moeljatno. 1987. Op. Cit, hal..56. Utrecht. 1986. Hukum Pidana II. Pustaka Tinta Emas. Surakarta. hal..251. 11 Sudarto menggunakan istilah strafbaar feit dengan istilah tindak pidana, alasanya: Pemakaian istilah yang berlainan itu tidak menjadikan soal asal diketahui apa yang dimaksud dan dalam hal yang penting adalah isi dari pengertian itu, namun lebih condong untuk memakai tindak pidana seperti yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang, istilah ini sudah dapat diterima masyarakat, jadi mempunyai sosilogishie gelding.18 2. Unsur-unsur tindak pidana Seseorang dapat dijatuhi pidana adalah apabila orang itu telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang telah dirumuskan dalam KUHP, karena pada umumnya Pasal-Pasal dalam KUHP terdiri dari unsur-unsur tindak pidana. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lamintang, yaitu: Sungguhpun demikian setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana itu pada umumnya dapat kita jabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur subjektif dan unsur-unsur objektif.19 Lamintang juga menjelaskan tentang unsur-unsur subjektif dan unsurunsur objektif sebagai berikut: Unsur-unsur subjektif yaitu unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan dengan diri si pelaku, termasuk kedalamnya yaitu segala yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur objektif yaitu unsur-unsur yang ada hubunganya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.20 Mengenai pengertian starfbaar feit, Sudarto membagi menjadi dua pandangan: 18 Sudarto. 1991. Op. Cit, hal..35. P.A.F. Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung. hal. 193. 20 Ibid . hal. 193 19 12 a. Pandangan monistis yaitu melihat keseluruhan (tumpukan) syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan. b. Pandangan dualistis yaitu pandangan yang memisahkan “pengertian perbuatan pidana” (criminal act) dan ”pertanggungjawaban pidana” (criminal responbility).21 Unsur-unsur tindak pidana yang dikemukakan oleh ahli hukum dalam pandangan monistis, sebagaimana dikutip oleh Sudarto adalah sebagai berikut: Menurut Simons unsur-unsur strafbaar feit adalah: a. Perbuatan manusia (positif dan negatif; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan); b. Diancam dengan pidana (strafbaargesteld); c. Melawan unsur (onrechtmatig); d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand); e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (teorekeningsvatbaar persoon). Van Hamel menyebutkan unsur-unsur strafbaar feit adalah sebagai berikut: a. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang; b. Bersifat melawan hukum; c. Dilakukan dengan kesalahan; d. Patut dipidana E Mezger menyebutkan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut: a. Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan); b. Sifat melawan hukum (baik bersifat objektif maupun subjektif) ; c. Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang; d. Diancam dengan pidana. J. Baumman menyebutkan unsur-unsur tindak pidana yaitu adanya perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dilakukan dengan kesalahan Menurut Karni delik itu mengandung suatu perbuatan yang mengandung perlawanan hak, yang dilakukan dengan salah dosa, oleh orang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut dipertanggungkan. Menurut Wirjono Prodjodikoro, beliau mengemukakan definisi pendek, yaitu: Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana. Jelas sekali dilihat dari definisi-definisi di atas tidak adanya pemisahan antara criminal act (perbuatan pidana) dan criminal responsibility 22 (pertanggungjawaban pidana). 21 22 Sudarto. 1991. Op. Cit, hal..24. Ibid hal.. 24-25. 13 Beberapa sarjana yang mempunyai pandangan dualistis mengemukakan unsur-unsur tindak pidana, sebagaimana dikutip oleh Sudarto sebagai berikut: Menurut H.B Vos unsur-unsur Strafbaar feit yaitu: a. Kelakuan manusia, dan b. Diancam pidana dalam undang-undang Menurut W.P.J Pompe unsur-unsur yaitu: a. Perbuatan b. Bersifat melawan hukum c. Dilakukan dengan kesalahan, dan d. Diancam pidana. Menurut Moeljatno untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur: a. Perbuatan (manusia); b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil); c. Bersifat melawan hukum (syarat materil).23 Menurut Sudarto sendiri yaitu kedua pendirian tersebut di atas tidak ada perbedaan yang prinsipiil, dengan alasan: ... sebab jika seseorang menganut pendirian salah satu diantaranya hendaknya memegang pendirian tersebut dengan konsukuen, agar tidak ada kekacauan pengertian. Yang penting adalah bahwa kita harus menyadari bahwa untuk pengenaan pidana itu diperlukan syarat-syarat tertentu, dan semua syarat yang diperlukan untuk pengenaan pidana harus lengkap adanya.24 Berdasarkan Yurisprudensi MA No. 39K/Kr/1969, unsur mutlak suatu tindak pidana adalah: a. Memenuhi rumusan undang-undang b. Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar) c. Kesalahan 1) mampu bertanggung jawab; 2) tidak ada alasan pemaaf. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa perbuatan tindak pidana apabila perbuatan itu memenuhi syarat-syarat pemidanaan, yaitu: 23 24 Ibid hal.. 25-26. Ibid hal..26. 14 a. Memenuhi rumusan undang-undang; b. Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar) c. Terhadap pelakunya atau orangnya harus ada unsur kesalahan: d. Orang yang melakukan tindakan mampu bertanggungjawab e. Dolus atau Culpa (tidak ada alasan pemaaf) Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dijelaskan lebih lanjut mengenai unsur-unsur tindak pidana, yaitu sebagai berikut: a. Memenuhi rumusan undang-undang Mengenai penentuan perbuatan pidana yang memenuhi rumusan undang-undang di Indonesia menganut azas legalitas yang terdapat Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang merumuskan: Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Roeslan Saleh memberikan komentarnya mengenai ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut sebagai berikut: Hal ini sesuai dengan pernyataan pembentuk undang-undang yang menyatakan dalam suatu aturan perundang-undangan pidana, sebelum dinyatakan dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana maka perbuatan tersebut belum dapat dikatakan perbuatan pidana. Hal tersebut memenuhi ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.25 Dengan demikian bahwa dasar pokok dalam menjatuhkan pidana adalah norma yang tertulis. Azas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, lebih dikenal dalam bahasa latin yaitu nullum delictum poena sine previa lege poenela (tidak ada pidana tanpa ada peraturan lebih dulu). 25 Roeslan Saleh. 1980. Kitab Undang-undang Penjelasanya. Aksara Baru. Jakarta hal. 1. Hukum Pidana dengan 15 Azas ini bertujuan untuk terjaminya kepastian hukum di samping latar belakang bahwa tentu saja azas ini mencagah agar tidak terjadi kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyatnya. Azas ini mengandung tiga pengertian: 1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu belum dinyatakan dalam suatu peraturan perundang-undangan. 2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas). 3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.26 b. Bersifat melawan hukum Unsur pemidanaan yang kedua adalah bersifat melawan hukum, Roeslan Saleh mengatakan bahwa: Bersifat melawan hukum dalam Bahasa Belanda disebut dengan istilah “Onrechtmatigheid” atau bisa dinamakan juga “Wederrechtelijkheid”. Mengenai unsur sifat melawan hukum, dengan jalan menyatakan suatu perbuatan dapat dipidana maka pembentuk undang-undang memberitahukan bahwa ia memandang perbuatan itu sebagai bersifat melawan hukum, atau untuk selanjutnya dipandang seperti demikian27 Menurut Pompe, dikutip oleh Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah: Melawan hukum merupakan unsur mutlak perbuatan pidana bilamana melawan hukum secara tegas disebutkan dalam ketentuan pidana bersangkutan. Sesungguhnya demikian, walaupun melawan hukum bukan unsur mutlak perbuatan pidana, namun adanya hal-hal yang menghapuskan unsur melawan hukum akan menghapuskan pula adanya pidana.28 Menurut pendapat para ahli, sebagaimana dikutip oleh Teguh Prasetyo, mengenai pengertian melawan hukum antara lain adalah dari: 26 Ibid hal.. 40. Ibid hal. 1. 28 Ibid hal. 5. 27 16 1) Simon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum pada umumnya. 2) Noyon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hak subjektif orang lain. 3) Pompe: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum dengan pengertian yang lebih luas, bukan hanya bertentangan dengan undangundang tetapi juga dengan hukum yang tidak tertulis. 4) Van hannel: Melawan hukum adalah onrechmatig atau tanpa hak/ wewenang. 5) Hoge raad: Dari arrest-arrest-nya dapat disimpulkan, menurut HR melawan hukum adalah tanpa hak atau tanpa kewenangan.. 6) Lamintang: perbedaan diantara pakar tersebut antara lain disebabkan karena dalam bahasa Belanda recht dapat berarti hukum” dan dapat berarti “hak.” Ia mengatakan, dalam bahasa Indonesia kata wederrechtelijk itu berarti “secara tidak sah” yang dapat meliputi pengertian “bertentangan dengan hukum objektif” dan “bertentangan dengan hak orang lain atau hukum subjektif”.29 Melawan hukum artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan (melawan hukum formil) namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat (melawan hukum materil) maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Menentukan perbuatan itu dapat dipidana, pembentuk undangundang menjadikan sifat melawan hukum sebagai unsur yang tertulis. Tanpa unsur ini, rumusan undang-undang akan menjadi terlampau luas. Sifat ini juga dapat dicela kadang-kadang dimasukkan dalam rumusan delik culpa. Jika unsur melawan hukum itu dengan tegas terdapat di dalam rumusan delik, maka unsur juga harus dibuktikan, sedangkan jika dengan tegas dicantumkan maka tidak perlu dibuktikan. Penentuan apakah suatu perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum diperlukan unsur-unsur: 29 Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah. 2005. Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasai dan Deskriminalisasi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. hal. 31-32. 17 1) Perbuatan tersebut melawan hukum; 2) Harus ada kesalahan pada pelaku; 3) Harus ada kerugian.30 Suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum dalam suatu perkara, misalnya faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung. Ajaran sifat melawan hukum memiliki kedudukan yang penting dalam hukum pidana di samping asas Legalitas. Ajaran ini terdiri dari ajaran sifat melawan hukum yang formal dan materiil, sebagaimana dijelaskan oleh Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, sebagai berikut: 1) Ajaran sifat melawan hukum formal Sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik undang undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat dipidananya perbuatan. Ajaran sifat melawan hukum formal adalah apabila suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-alasan pembenar maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang. 2) Ajaran sifat melawan hukum materiil Sifat melawan hukum materiil merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang tidak hanya terdapat di dalam undang-undang (yang tertulis), tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis juga. Sifat melawan hukum itu dapat dihapuskan berdasar ketentuan undang-undang maupun aturan-aturan yang tidak tertulis.31 30 Theodorus M. Tuanakotta. 2009. Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi.Salemba Empat. Jakarta. hal. 73. 31 Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah. 2005. Op.,cit.hal. 34-35. 18 Ajaran sifat melawan hukum materiil adalah memenuhi semua unsur rumusan delik, perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. karena itu ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang, dengan kata lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis. Menurut D. Schaffmeister, et.al., terjemahan J. E. Sahetapy, pengertian melawan hukum itu ada 4 kelompok yaitu: 1) Sifat melawan hukum secara umum Semua delik tertulis atau tidak tertulis sebagai bagian inti delik dalam rumusan delik, harus melawan hukum baru dapat dipidana, jadi tidak perlu dicantumkan di dalam surat dakwaan adanya melawan hukum dan juga tidak perlu dibuktikan. Contoh: pembunuhan. 2) Sifat melawan hukum secara khusus Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 yang secara tegas mencantumkan “melawan hukum” dengan sendirinya “melawan hukum” harus dicantumkan di dalam surat dakwaan sehingga harus dibuktikan adanya “melawan hukum”. Jika tidak dapat dibuktikan putusan bebas. 3) Sifat melawan hukum secara materil Bukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang saja, tetapi juga perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan, kelaziman di dalam pergaulan masyarakat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum. 4) Sifat melawan hukum secara formil. Seluruh bagian inti delik apabila sudah dipenuhi atau dapat dibuktikan, dengan sendirinya dianggap perbuatan itu telah melawan hukum.32 Menurut Moeljatno ada perbedaan antara pandangan yang formal dengan pandangan yang materiil, yaitu: 1) Mengakui adanya pengecualiaan/penghapusan dari sifat melawan hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis, sedangkan pandangan yang formal hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja, misalnya Pasal 44 KUHP, mengenai kurang sempurnanya akal seseorang atau karena sakit berubah akal, Pasal 48 KUHP, mengenai over macht, 49 KUHP, mengenai pembelaan terpaksa (noodweer); 32 D. Schaffmeister, et.al., 2003. Hukum Pidana. Diterjemahkan oleh J. E. Sahetapy. Cet. Kedua. Liberty. Yogyakarta. hal. 39. 19 2) Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan pidana, juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsurunsur tersebut, sedang bagi pandangan yang formal, sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur daripada perbuatan pidana. Hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata-nyata, barulah menjadi unsur delik.33 Menurut Bambang Poernomo, sifat melawan hukumnya suatu perbuatan terdapat dua ukuran, yaitu: Sifat melawan hukum yang formal atau formele wederrechttelijkheidsbegrip dan sifat melawan hukum yang materiil atau materieele wederrechttelijkheidsbegrip. Melawan hukum formil apabila perbuatannya dilihat semata-mata sebagai perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, sesuai dengan rumus delik dan pengecualiaannya, seperti daya paksa, pembelaan terpaksa, itu pun karena ditentukan secara tertulis dalam undang-undang. Sebaliknya, melawan hukum materiil, melihat perbuatan melawan hukum itu tidak selalu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dan suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang dapat dikecualikan sebagai perbuatan yang tidak melawan hukum. Dengan demikian, dalam pandangan sifat melawan hukum materiil, melawan hukum dapat diartikan baik melawan peraturan perundangundangan, maupun hukum di luar peraturan perundang-undangan.34 c. Kesalahan Unsur pemidanaan yang ketiga adalah kesalahan yang terdiri dari kesengajaan (dolus dan culpa) dan kemampuan bertanggung jawab. Hal ini sesuai dengan penjelasan dari Sudarto bahwa: Untuk memungkinkan adanya pemidanaan secara wajar, maka tidak cukup apabila seseorang telah melakukan tindak pidana belaka. Di samping itu pada orang tersebut harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab.35 33 Moeljatno. 1987. Op. Cit. hal. 134. Bambang Poernomo. 1994. Asas-asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta. hal. 115. 35 Sudarto. 1991. Op. Cit, hal. 39. 34 20 Dipidananya seseorang tidaklah cukup orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatanya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana.Untuk itu pemidanaan masih perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Sudarto, bahwa: Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Azas kesalahan (culpabilitas) menyangkut orangnya atau pelakunya. Jadi untuk adanya pemidanaan harus ada kesalahan pada si pembuat tindak pidana. Dalam hal ini berlaku azas “nulla poena sine culpa” atau tidak ada pidana tanpa kesalahan36 Menurut Sudarto, kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat tindak pidana.37 Kemudian Sudarto membagi kesalahan menjadi tiga arti, yaitu: 1) Kesalahan dalam arti seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian “pertanggungan jawab dalam unsur pidana” di dalamnya terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatanya. 2) Kesalahan dalam bentuk kesalahan berupa: a) Kesengajaan (dolus). b) Kealpaan (culpa). 3) Kesalahan dala arti sempit yaitu kealpaan (culpa) seperti yang disebutkan pada kesalahan dalam arti bentuk kesalahan yang berupa kealpaan. 38 36 Ibid hal.39. Ibid hal..41. 38 Ibid hal..45. 37 21 Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dijelaskan bahwa dalam hal kesalahan berlaku apa yang disebut atas “tiada pidana tanpa kesalahan” (keine strafe ohne schhuld atau geen straf zonder schuld) atau nulla poena sine culpa (“culpa” di sini dalam arti luas meliputi kesengajaan). Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kesalahan terdiri atas beberapa unsur ialah: 1) Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat (Schuldfahigkeit atau Zurechnungsfahigkeit): artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal 2) Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatanya berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa): ini disebut bentuk-bentuk kesalahan. 3) Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf. Kalau ketiga unsur ada maka orang yang bersangkutan bisa dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga bisa di pidana.39 Unsur mampu bertanggung jawab dan tidak ada alasan pemaaf dan pembenar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Mampu bertanggung jawab Sebagai dasar pertanggungjawaban adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan perbuatannya yang dapat dipidana serta berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena perbuatannya itu. Dengan kata lain, hanya dengan hubungan batin inilah maka perbuatan yang dilarang itu dapat dipertanggungjawabkan pada si pelaku. Berkaitan dengan masalah bertanggung jawab Simons, sebagaimana dikutip oleh Sudarto, menyatakan pendapatnya sebagai berikut: 39 Ibid hal..91 22 Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psikis sedemikian yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari unsur sudut umum maupun dari orangnya. Seseorang mampu bertanggung jawab jika jiwanya sehat, yaitu apabila: a) Ia mampu untuk untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatanya bertentangan dengan hukum; b) Ia dapat menetukan kehendak sesuai dengan kesadaran tersebut.40 Menurut Djoko Prakoso, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pertanggungjawaban. Djoko Prakoso mengatakan: Orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak tertulis mengatakan, “tidak di ada pidana jika tidak ada kesalahan,” merupakan dasar dari pada di pidananya si pembuat.41 Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika pada waktu melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut dicela. Dengan demikan, menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu: a) Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain, harus ada unsur melawan hukum.jadi harus ada unsur Obejektif, dan b) Terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat di pertanggungjawabkan kepadanya.jadi ada unsur subjektif.42 Telah dimaklumi bahwa perbuatan pidana memiliki konsekuensi pertanggungjawaban serta penjatuhan pidana, maka setidaknya, menurut J.E. Sahetapy ada dua alasan mengenai hakikat kejahatan, yakni: 40 Ibid hal.39. Djoko Prakoso. 1987. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Edisi Pertama. Liberty Yogyakarta. Yogyakarta. hal.75 42 Martiman Prodjohamidjojo. 1997. Memahami dasar-dasar hukum Pidana Indoesia. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. hal. 31 41 23 a) Pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang tidak senonoh yang dilakukan manusia lainya. b) Pendekatan yang melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat.43 Kedua pendekatan ini berkembang sedemikian rupa bahkan diyakini mewakili pandangan-pandangan yang ada seputar pidana dan pemidanaan. Dari sinilah kemudian berbagai perbuatan pidana dapat dilihat sebagai perbuatan yang tidak muncul begitu saja, melainkan adalah hasil dari refleksi dan kesadaran manusia. Hanya saja perbuatan tersebut telah menimbulkan kegoncangan sosial di masyarakat. Kemampuan bertanggungjawab merupakan keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan pidana, hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Andi Hamzah bahwa: Didalam hal kemampuan bertanggungjawab bila dilihat dari keadaan batin orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal, sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran-ukuran yang dianggap baik oleh masyarakat.44 Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal, maka ukuran-ukuran tersebut tidak berlaku baginya tidak ada gunanya untuk diadakan pertanggungjawaban, sebagaimana di tegaskan dalam ketentuan Bab III Pasal 4 KUHP yang rumusannya sebagai berikut: 43 J.E. Sahetapy. 1987. Victimilogy Sebuah Bunga Rampai.Pustaka sinar Harapan. Jakarta. hal.41-42 44 Andi Hamzah. 1986. Bunga Rampai HUkum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta. hal. 78 24 a) Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum b) Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan menempatkan di di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk di periksa. c) Yang ditentukanya dalam ayat di atas ini, hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tingi dan pengadilan negeri.45 Mengenai kemampuan bertanggungjawab sebenarnya tidak secara terperinci ditegaskan oleh Pasal 44 KUHP. Hanya ditemukan beberapa pandangan para sarjana, misalnya Van Hammel, dikutip oleh Andi Hamzah, yang mengatakan, orang yang mampu bertanggungjawab harus memenuhi setidaknya 3 (tiga) syarat: a) Dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam kejahatan b) Dapat menginsafi bahwa perbuatanya di pandang tidak patut dalam pergaulan masyarakat c) Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap perbuatan tadi.46 Sementara itu secara lebih tegas Simons, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah, mengatakan bahwa mampu bertanggungjawab adalah mampu menginsafi sifat melawan hukumnya perbuatan dan sesuai dengan ke insafan itu menentukan kehendaknya. Untuk adanya kemampuan beranggungjawab maka harus ada dua unsur yaitu: a) Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum b) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. Dengan kata lain, bahwa kemampuan bertanggungjawab berkaitan dengan dua faktor terpenting, yakni pertama faktor akal untuk 45 R. Soesilo. 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia. Bogor. hal. 60-61 46 Andi Hamzah. 1986. Op.cit, hal.79 25 membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang dilarang atau melanggar hukum, dan kedua faktor perasaan atau kehendak yang menetukan kehendaknya dengan menyesuaikan tingkah lakunya dengan penuh kesadaran.47 Mengenai ketidakmampuan bertanggung jawab dengan alasan pelaku pidana masih muda usia, Roeslan Saleh mengatakan bahwa: Ketidakmampuan bertanggungjawab dengan alasan masih muda usia tidak bisa di dasarkan pada Pasal 44 KUHP. Yang disebutkan tidak mampu bertanggungjawab adalah alasan penghapusan pidana yang umum yang dapat di salurkan dari alasan-alasan khusus seperti tersebut dalam Pasal-Pasal 44, 48, 49, 50, dan 51. Jadi, bagi Jonkers orang yang tidak mampu bertanggungjawab itu bukan saja karena pertumbuhan jiwanya yang cacat atau karena gangguan penyakit, tetapi juga karena umurnya masih muda, terkena hipnotis dan sebagainya.48 Roeslan Saleh lebih lanjut mengatakan bahwa: Mengenai anak kecil yang umurnya masih relative muda, dalam keadaan-keadaan yang tertentu untuk dianggap tidak mampu bertanggungjawab haruslah didasarkan pada Pasal 44 KUHP, jadi sama dengan orang dewasa. Tidak mampu bertanggungjawab karena masih muda saja, hal itu tidak di benarkan. Dengan demikian, maka anak yang melakukan perbuatan pidana, tidak mempunyai kesalahan karena dia sesungguhnya belum mengerti atau belum menginsyafi makna perbuatan yang dilakukan. Anak memiliki ciri dan karakteristik kejiwaan yang khusus, yakni belum memiliki fungsi batin yang sempurna. Maka, dia tidak di idana karena tidak mempunyai kesengajaan atau kealpaan. sebab, satu unsur kesalahan tidak ada padanya, karenanya dia dipandang tidak bersalah, sesuai dengan asas tidak dipidana tidak ada kesalahan, maka anak belum cukup umur ini pun tidak dipidana.49 47 Ibid. hlm 83 Roeslan Saleh. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua Pengertian Dalam Hukum Pidana. Aksara Baru. Jakarta. hal. 83 49 Ibid. hal.84 48 26 2) Tidak ada alasan pemaaf dan pembenar Alasan pembenar atau alasan pemaaf ialah sesuatu hal yang dapat dianggap sebagai sesuatu alasan yang dianggap dapat menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan itu, sehingga hal itu bukan suatu peristiwa pidana meskipun perbuatan itu sesuai dengan yang dilarang oleh undang-undang. Dalam ketentuan Umum KUHPidana alasan penghapus pidana ini dirumuskan dalam buku kesatu, yaitu terdapat dalam Bab III Buku Kesatu KUHPidana yang terdiri dari Pasal 44, Pasal 48 sampai dengan Pasal 51. Sedangkan Pasal Pasal 45 sampai dengan Pasal 47 KUHPidana telah dicabut berdasarkan Pasal 67 Undang-undang No. 3Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. a) Pasal 44 (pelaku yang sakit/terganggu jiwanya) Pasal 44 KUHPidana merumuskan: 1. Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum. 2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalanya atau karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan dia di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk di perikasa. 3. Yang ditentukan dalam ayat yang di atas ini hanya berlaku bagi mahkamah Agung, pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri. Dalam Pasal 44 KUHPidana ini tampaknya pembentuk undang-undang membuat peraturan khusus bagi pelaku yang tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatanya, karena sakit jiwa atau kurang sempurna akalnya pada saat perbuatan itu dilakukan. R. Soesilo dalam hal ini menjelaskan: 27 Berdasarkan ayat (3) dari Pasal ini kewenangan untuk tidak menghukum pelaku berdasarkan sakit jiwa ini hanya pada hakim (kewenangan ini tidak ada pada polisi maupun jaksa penuntut umum). Akan tetapi dalam menentukan apakah pelaku menderita sakit jiwa atau sakit berubah akal, hakim harus menggunakan saksi ahli dalam bidang ilmu kejiwaan (psikiatri). Psikiatrilah yang menetukan apakah pelaku memang menderita sakit jiwa yang memang mempunyai hubungan kausal/keterkaitan dengan apa yang telah dilakukanya itu. Meskipun demikian hakim dalam memberikan putusanya tidaklah terkait dengan keterangan yang diberikan oleh psikiatri, hakim dapat menerima ataupun menolak keterangan yang diberikan psikiatri tersebut. Penerimaan maupun penolakan hakim ini tentunya harus di uji berdasarkan kapatutan atau kepantasan.50 b) Pasal 48 KUHPidana (perbuatan yang dilakukan dalam keadaan terpaksa) Pasal 48 KUHPidana merumuskan: Barangsiapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan, tidak boleh dihukum. Berdasarkan rumusan Pasal 48 KUHPidana tersebut di atas, Utrecht memberikan pendapatnya bahwa: Pasal 48 KUHPidana ini tidak merumuskan apa yang di maksudkan dengan “paksaan” tersebut. Akan tetapi menurut memorie van toelechting, maka yang di maksud dengan paksan itu adalah “ee kracht, een drang, een dwang waaraan men geen weerstand kan bieden” (suatu kekuatan, suatu dorongan, suatu paksaan yang tidak dapat dilawan tidak dapat ditahan).51 Dengan demikian tidak setiap paksaan itu dapat dijadikan alasan penghapus pidana, akan tetapi hanya paksaan yang benarbenar tidak dapat dilawan atau dielakkan lagi oleh pelaku, sehingga oleh sebab adanya paksaan itulah ia melakuakan tindak 50 51 R. Soesilo. 1995. Op.cit, hal 61 Utrecht. 1986. Op. Cit. hal. 350 28 pidana. Paksaan mana biasa dikenal dengan istilah paksaan yang absolute, misalnya seseorang yang di paksa untuk menandatangani suatu pernyataan yang tidak benar, dalam keadaan tangannya yang di pegang oleh orang lain yang lebih kuat. c) Pasal 49 ayat (1) KUHPidana (perbuatan yang dilakukan untuk membela diri) Pasal 49 ayat (1) KUHPidana merumuskan: Barangsiapa melakukan perbuatan yang terpaksa di lakakuanya untuk mempertahankan dirinya, atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari pada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum. Berdasarkan rumusan Pasal 49 ayat (1) tersebut, maka penghapusan pidana dapat dijadikan alasan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Perbuatan itu dilakukan karena untuk membela/tubuh, kehormatan atau harta benda sendiri atau pun orang lain. 2. Perbuatan itu dilakukan atas serangan yang melawan hukum yang terjadi pada saat itu juga. Dengan kata lain perbuatan itu dilakukan setelah adanya serangan mengacam, bukan perbuatan yang di ujukan untuk mempersiapkan sebelum adanya atau terjadinya serangan dan bukan pula terhadap serangan yang telah berakhir. 3. Perbuatan sebagai perlawanan yang dilakukan itu harus benarbenar terpaksa atau dalam kedaan darurat; tidak ada pilihan lain (perlawanan itu memang suatu keharusan) untuk menghindari dari serangan yang melawan hukum terebut. Dengan kata lain perbuatan pelaku dalam hal ini di perlukan adalah untuk membela hak terhadap keadilan, namun harus pula dilakukan secara proporsional/seimbang. Dengan demikian tidaklah dapat di benarkan untuk melakukan perlawanan dengan menggunakan pistol terhadap serangan melawan hukum yang hanya menggunakan tangan kosong.52 52 R. Soesilo. 1995. Op.cit. hlm 64-65 29 Pasal 49 ayat (2) KUHPidana (pembelaan diri yang melampaui batas) merumuskan: Melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, jika perbutan dengan sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan tergoncang dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum. Berkenaan dengan tindakan pembelaan yang melampaui batas, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP, R. Soesilo memberikan penjelasan bahwa: Dalam hal ini hakimlah yang berperan dalam menentukan apakah benar terdapat hubungan kausal antara suatu peristiwa yang mengakibatkan kegoncangan jiwa pelaku sehingga ia melakukan suatu pembelaan yang melampaui batas, sedangkan perbuatan itu sesungguhnya merupakan tindak pidana. Jadi sebenarnya perbuatan itu tetap merupakan perbuatan yang melawan hukum, akan tetapi pelakunya di nyatakan tidak bersalah, kesalahannya dihapuskan.53 d) Pasal 50 KUHPidana (melaksankan peraturan perundangundangan) Pasal 50 KUHPidana merumuskan: Barang siapa yang melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang tidak boleh dihukum. Pasal 50 KUHPidana mengindikasikan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang karena menjalankan perintah undang-undang, meskipun merupakan tindak pidana, maka atas orang terebut tidak boleh dihukum. R. Soesilo dalam hal ini menjelaskan bahwa: Dalam penjelasan Pasal ini menentukan pada prinsipnya orang yang melakukan suatu perbuatan meskipun itu merupakan tindak pidana, akan tetapi karena dilakukan berdasarkan perintah undang-undang maka si pelaku tidak 53 Ibid. hal. 64-65 30 boleh dihukum. Asalkan perbuatanya itu memang dilakukan untuk kepentingan umum, bukan untuk kekpentingan pribadi pelaku. Masalahnya adalah apakah yang di maksud dengan undang-undang tersebut, dan apakah juga termasuk perturan perundang-undangan yang sebenarnya tidak sah karena bertentangan dengan undang-undang yang diatasnya (secara hirarkhis). Demikian pula, dalam hal menjalankan perintah undang-udnag ini harus dilakukan secara proporsional/seimbang misalnya seorang Polisi yang menembak seorang penjahat (kambuhan) dapat di benarkan dari pada ia menembak seorang yang hanya untuk mengehentikan orang yang melanggar rambu-rambu lalu lintas yang melarikan diri.54 e) Pasal 51 ayat (1) KUHPidana (melakukan perintah jabatan yang syah) Pasal 51 ayat (1) KUHPidana merumuskan: Barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak tidak boleh dihukum. Pasal 51 ayat (1) KUHPidana berarti bahwa seseorang yang karena kedudukannya menjalankan tugas sesuai dengan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak, maka orang tersebut tidak boleh dipirana, hal ini sebagaimana dijelaskan oleh R. Soesilo yang mengatakan bahwa: Dengan kata lain yang memberikan perintah adalah orang yang berwenang/berhak (perintah yang sah dari yang berwenang) dan yang diperintah melaksanakanya karena sesuai dengan atau berhubungan dengan pekerjaanya. Suatu hal yang tidak boleh dilupakan bahwa dalam hal melaksanakan perintah jabatan ini, juga harus di perhatikan asas keseimbangan, kepatutan, kelayakan dan tidak boleh melampaui dari batas keputusan dari orang yang memerintah.55 54 55 Ibid. hal. 66 Ibid. hal. 66-67 31 Pasal 51 ayat (2) KUHPidana (melakukan perintah jabatan yang tidak syah di anggap syah) merumuskan: Perintah jabatan yang di berikan oleh kuasa yang tidak berhak tidak membebaskan dari hukuman, kecuali jika pegawai yang di bawahnya atas kepercayaan memandang bahwa perintah itu seakan-akan di berikan oleh kuasa yang berhak dengan sah dan menjalankan perintah itu menjadi kewajiban pegawai yang di bawah pemerintah tadi. Dalam hal ini ada alasan pemaaf dapat menghapuskan kesalahnnya (kesalahan yang di bebankan kepada orang yang memberi perintah). Dengan kata lain pelaku yang melaksanakan perintah yang tidak sah, dapat di hapuskan pidananya apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (1) Perintah itu dipandangnya sebagai perintah yang syah (2) Dilakukan dengan itikad baik (3) Pelaksanaanya dalam ruang lingkup tugas-tugasnya (yang biasanya ia lakukan). Sebaliknya jika perintah itu tidak meliputi ruang lingkup tugastugasnya yang biasa ia lakukan ,maka itikad baiknya dalam melakukan perintah itu di ragukan . jadi dalam hal ini (pembuat) undang-undang menjaga “kepatutan buta” dari orang yang mendapatkan tugas atau yang menerima perintah yang dapat membawa akibat pemidanaan terhadap dirinya sendiri. dengan kata lain seseorang menerima perintah atau tugas dari seorang atasan haruslah waspada dan teliti.56 Dalam bagian kedua KUHPidana, terdapat juga bagian khusus yang terdapat dalam buku kedua (Tentang Pengaturan Khusus) secara keseluruhan membahas tentang adanya alasan penghapusan pidana yaitu alasan pembenar, yaitu sebagai berikut: 56 Ibid. hal. 67 32 a) Pasal 166 KUHPidana Pasal 166 KUHPidana KUHPidana merumuskan: Ketentuan Pasal 164 dan 165 tidak berlaku bagi orang jika pemberitahuan itu akan mendatangkan bahaya jika pemberitahuan itu akan medatangkan bahaya penuntutan bagi dirinya, bagi salah seorang kaum keluarganya sedarah atau keluarganya karena perkawinan dalam keturunan yang lurus atau derajat kedua atau ketiga dari keturunan menyimpang bagi suaminya (isterinya) atau bekas suaminya (isterinya) atau bagi orang lain, yang kalau di tuntut, boleh ia meminta supaya tidak usah memberi keterangan sebagai saksi, berhubung dengan jabatan atau pekerjaanya. Pasal 166 ini berkaitan dengan Pasal 164 dan Pasal 165 yang memberikan ancaman pidana kepada seseorang yang meskipun mengetahui akan terjadinya beberapa kejahatan tertentu yang sangat sifatnya, tidak melaporkan hal itu kepada pihak yang berwajib pada waktu tindak-tindak pidana itu masih dapat dihindarkan atau dicegah. Sanksi pidana ini baru dapat di jatuhkan apabila kemudian ternyata tidak pidana yang bersangkutan benarbenar terjadi. Wirjono Prodjodikoro menjelaskan: Jadi menurut Pasal 166, kedua Pasal tersebut (Pasal 164 dan 165) tidak berlaku apabila si pelaku melakukan tindak-tindak pidana itu untuk menghindarkan dari penuntutan pidana terhadap dirinya sendiri, atau terhadap sanak keluarga dalam keturunan lurus dan kesamping samai derajat ketiga, atau terhadap suami atau isteri, atau terhadap seseorang yang dalam perkaranya ia dapat di bebaskan dari kewajiban memberi kesaksian di muka sidang pengadilan.57 b) Pasal 186 ayat (1) KUHPidana Pasal 186 ayat (1) KUHPidana merumuskan: Saksi dan tabib yang menghadiri perkelahian satu lawan satu tidak dapat dihukum. 57 Wirjono Prodjodikoro. 1986. Tindak-tindak Piadana Tertentu di Indonesia. Eresco. Bandung. Hal. 224-225 33 Berkaitan dengan rumusan Pasal Pasal 186 ayat (1) KUHPidana mengenai saksi dan tabib yang tidak boleh dihukum karena kehadirannya dalam suatu perkelahian satu lawan satu, Wirjono Prodjodikoro memberikan penjelasan bahwa: Di Negara Indonesia perbuatan seperti ini di atur dalam Bab VI KUHPidana kita, yaitu tentang “ perkelahian satu lawan satu,” yang terdapat dalam Pasal 182 sampai dengan Pasal 186. Akan tetapi saksi-saksi atau medis yang menghadiri atau yang menyaksikan perang tanding ini (misalnya dalam olah raga tinju, karate, dan lain sebagainya) tidak boleh dihukum berdasarkan Pasal 186 ayat (1) ini.58 c) Pasal 314 ayat (1) KUHPidana Pasal 314 ayat (1) KUHPidana merumuskan: Kalau orang yang dihinakan, dengan keputusan hakim yang sudah tetap, telah dipersalahkan melakukan perbuatan yang dituduhkan itu, maka tidak boleh dijatuhkan hukuman karena memfitnah. Seseorang yang dituduh melakukan pencemaran nama baik kepada orang lain, namun berdasarkan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terbukti kebenarnnya, maka sifat melawan hukum atas tuduhan pencemaran nama baik tersebut dihapuskan (hilang). M. Hamdan menjelaskan bahwa: Dalam hal ini ada satu hal yang dapat menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan itu, yaitu apabila ternyata apa yang dilakukan (yang dituduhkan/dihinakan) kepada orang itu, terbukti benar sesuai dengan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan kata lain orang yang dihinakan/dicemarkan nama baiknya ini telah dijatuhi pidana terhadap perbuatan yang dihinakan/dituduhkan kepadanya. Oleh karena itu sifat melawan hukum yang dilakukan oleh si penghina atu pencemar nama baik tersebut dihapuskan (hilang).59 58 Ibid. hal.168-169 M. Hamdan. 2008. Pembaharuan Hukum Tentang Alasan Penghapusan Pidana. Jurnal Hukum Fakultas Hukum USU. Medan Desember. 2008. hal. 56-57 59 34 d) Pasal 352 ayat (2) KUHPidana Pasal 352 ayat (2) KUHPidana merumuskan: Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum. Pasal 352 ayat (2) KUHPidana yang merumuskan tentang kejahatan yang baru sebatas percobaan tidak dapat dihukum. Kejahatan ini berkaitan dengan tindak pidana penganiayaan ringan, sebagaimana dijelaskan oleh M. Hamdan sebagai berikut: Pasal ini berkaitan dengan tindak pidana “penganiayaan ringan” (Pasal 352 ayat (1)), yang pelaku diancam dengan pidana. Akan tetapi dengan adanya ayat (2) Pasal ini, maka percobaan melakukan penganiayaan ringan tidak dapat dipidana; merupakan alasan penghapus pidana. seharusnya sesuai dengan peraturan umum, yaitu Pasal 53 tentang percobaan melakukan kejahatan, perbuatan penganiayaan ringan ini juga harus di pidana. Akan tetapi sanyangnya pembuat undang-undang tidak merumuskan atas dasar apa percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dipidana.60 Apabila ketiga syarat pemidanaan tersebut di atas, yaitu memenuhi rumusan undang-undang, bersifat melawan hukum, serta unsur kesalahan dipenuhi oleh si pelaku tindak pidana maka pidana dapat dijatuhkan berdasarkan ketentuan dalam KUHP. Jika ada perbuatan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya, maka aturan dalam KUHP dapat dikesampingkan. Dalam hal hakim menjatuhkan pidana setelah semua unsurunsur tindak pidana terpenuhi, maka penjatuhan pidana tersebut harus memenuhi sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP yang menegaskan bahwa: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. 60 Ibid, hlm.57 35 Adapun alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP adalah sebagai berikut: (1) Alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa. (2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Surat putusan pemidanaan yang dijatuhkan oleh Hakim berdasarkan Pasal 197 KUHAP adalah memuat hal-hal sebagai berikut: (1) Surat putusan pemidanaan memuat: a. kepala putusan yang dituliskan merumuskan: "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA"; b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa; c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa; e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa; g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal; h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan; i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkanjumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti; j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu; k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera; (2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, k dan l Pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum. (3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undang-undang ini. 36 3. Jenis-jenis Tindak Pidana Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Adami Chazawi yaitu sebagai berikut: a. Kejahatan dan pelanggaran Perbedaan kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen) seringkali dilihat secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif, kejahatan dipandang sebagai tindak pidana yang sifat tercelanya tidak semata-mata pada dimuatnya dalam undang-undang, melainkan memang pada dasarnya telah melekat sifat terlarang sebelum memuatnya dalam rumusan tindak pidana dalam undang-undang. Sebaliknya, dalam pelanggaran sifat tercelanya suatu perbuatan itu terletak pada setelah dimuatnya sebagai demikian dalam undang-undang, atau dengan kata lain sumber tercelanya adalah undang-undang. Secara kuantitatif, perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran hanya didasarkan pada berat-ringannya tindak pidana yang kemudian akan mengarah pada berat-ringannya ancaman pidana. Dalam hal ini kejahatan merupakan bentuk tindak pidana yang lebih berat dibandingkan dengan pelanggaran. b. Tindak pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materiel delicten) Tindak pidana formil (formeel delicten) adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan sesuatu perbuatan tertentu. Terjadinya tindak pidana tidak tergantung pada timbulnya suatu akibat, melainkan semata-mata pada perbuatannya. Sedangkan dalam rumusan tindak pidana materiil (materiele delicten), inti larangan adalah pada timbulnya akibat yang dilarang. c. Tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana kelalaian (culpose delicten) Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan. Sementara tindak pidana culpa adalah tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung unsure culpa. d. Tindak pidana aktif/positif (delicta commissionis) dan tindak pidana pasif/negatif (delicta omissionis) Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif (positif), artinya bahwa untuk mewujudkan tindak pidana tersebut disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat. Sedangkan tindak pidana pasif, ada suatu kondisi dan atau keadaan tertentu yang mewajibkan seseorang dibebani hukum untuk berbuat tertentu, yang apabila ia tidak melakukan (aktif) perbuatan itu, ia telah melanggar kewajiban hukumnya. 37 e. Tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana berlangsung terus Tindak pidana terjadi seketika adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikina rupa sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu singkat, disebut dengan aflopende delicten. Sedangkan tindak pidana berlangung terus adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga terjadinya tindak pidana itu berlangsung lama, yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung terus, yang disebut juga dengan voortdurende delicten. f. Tindak pidana umum dan tindak pidana khusus Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil. Sementara tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat di luar kodifikasi tersebut. g. Tindak pidana communia (delicta communia) dan tindak pidana propia (delicta propia) Tindak pidana communia adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang, sedangkan tindak pidana propia adalah tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu. h. Tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht delicten) Penggolongan tindak pidana ini didasarkan pada proses penuntutannya. Dalam tindak pidana biasa, untuk dilakukannya penuntutan pidana terhadap pembuatnya tidak disyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak. Sementara dalam tindak pidana aduan, untuk dapat dilakukannya penuntutan pidana disyaratkan untuk terlebih dahulu adanya pengaduan oleh yang berhak. i. Tindak pidana dalam bentuk pokok, yang diperberat dan diperingan Dilihat dari berat ringannya, ada tindak pidana tertentu yang dibentuk menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu: 1) bentuk pokok, sederhana atau bentuk standar (eenvoudige delicten), yaitu tindak pidana dirumuskan secara lengkap dimana semua unsurnya dicantumkan dalam rumusan; 2) dalam bentuk yang diperberat (gequalificeerde delicten), yaitu tindak pidana yang dalam rumusannya tidak menyebutkan kembali unsurunsur bentuk pokok, namun menyebut kualifikasi bentuk pokonya atau Pasal bentuk pokonya disertai unsur yang bersifat memberatkan; 3) dalam bentuk ringan (gepriviligieerde delicten), yaitu tindak pidana yang dalam rumusannya tidak menyebutkan kembali unsur-unsur bentuk pokok, namun menyebut kualifikasi bentuk pokonya atau Pasal bentuk pokonya disertai unsur yang bersifat meringankan. j. Tindak pidana berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi Kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh hukum pidana terdiri dari 3 (tiga) kelompok besar, yaitu kepentingan hukum individu (individuale belangen), kepentingan hukum masyarakat (sociale belangen) dan kepentingan hukum negara (staatsbelangen). Sistematika 38 pengelompokkan indak pidana bab per bab dalam KUHP didasarka pada kepentingan hukum yang dilindungi tersebut. k. Tindak pidana tunggal dan tindak pidana berangkai (samegestelde delicten) Tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang selesainya tindak pidana dan dapat dipidananya pelaku, cukup dilakukan satu kali perbuatan saja. Sementara yang dimaksud dengan tindak pidana berangkai adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang sebagai selesai dan dapat dipidananya pembuat, disyaratkan dilakukan berulang-ulang.61 Berdasarkan pendapat Adami Chazawi tersebut di atas, maka dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa pembagian jenis-jenis tindak pidana dalam sistem perundang-undangan hukum dibagi menjadi dua bagian yaitu kejahatan dan pelanggaran. Ilmu pengetahuan mencari secara intensif ukuran atau kriterium untuk membedakan kedua jenis delik itu. Menurut Sudarto ada dua pendapat mengenai hal tersebut, yaitu: a. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kualitatif. Dengan ukuran ini lalu didapati dua jenis delik yaitu: 1) Rechtsdelicten Rechtsdelicten ialah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undangundang atau tidak, jadi yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan. Misal: pembunuhan, pencurian. Delik-delik semacam ini disebut ”kejahatan” (Male perse). 2) Wetsdelicten Wetsdelicten ialah perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai suatu tindak pidana, karena undang-undang menyebutnya sebagai delik, karena tercantum dalam undang-undang mengancamnya dengan pidana. Misal: memparkir mobil di sebelah kanan jalan. Delik-delik semacam ini disebut ”pelanggaran” (Mala quia prohibita). Perbedaan secara kualitatif ini tidak dapat diterima, sebab ada kejahatan yang baru disadari sebagai delik, karena tercantum dalam undang-undang pidana, jadi sebenarnya tidak segera dirasakan sebagai bertentangan dengan rasa keadilan. 61 Adami Chazawi, Tindak Pidana Pornografi (Penyerangan terhadap Kepentingan Hukum Mengenai Tegaknya Tatanan Kehidupan Akhlak dan Moral Kesusilaan yang Menjunjung Tinggi Nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab), PMN, Surabaya, 2009, hal. 4. 39 Dan sebaliknya ”pelanggaran ”, yang memang benar-benar dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan. Oleh karena perbedaan secara demikian itu tidak memuaskan, maka dicari ukuran lain. b. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kualitatif. Pendirian ini hanya meletakkan kriterium pada perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, ialah ”pelanggaran” itu lebih ringan daripada ”kejahatan”.62 Selain pembagian tindak pidana menjadi kejahatan dan pelanggaran, menurut Sudarto tindak pidana dapat dibedakan jenis-jenisnya sebagai berikut: a. Delik formil dan delik materiil 1) Delik Formil adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik. Misal: penghasutan (Pasal 160 KUHP), pencurian (Pasal 362 KUHP). 2) Delik Materiil adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum, maka paling banyak hanya ada percobaan. Misal : pembakaran (Pasal 187 KUHP), pembunuhan (Pasal KUHP). b. Delik commisionis, delik ommissionis dan delik commissionis per commissionis commissa 1) Delik commissionis adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan yaitu berbuat sesuatu yang dilarang. Misalnya: pencurian, penggelapan, penipuan. 2) Delik ommissionis adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah. Misal: tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan (Pasal 522 KUHP), tidak menolong orang memerlukan pertolongan (Pasal 531 KUHP). 3) Delik commissionis per ommissionis commissa adalah delik yang berupa pelanggaran larangan (dua delik commissionis), akan tetapi dapat dilakukan dengan tidak berbuat. Misal: seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi air susu (Pasal 338 KUHP, Pasal 340 KUHP), seorang penjaga wissel yang menyebabkan kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak memindahkan wissel (Pasal 194 KUHP). c. Delik dolus dan delik culpa (doluise en culpose delicten) 1) Delik dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan. 2) Delik culpa adalah delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur. 62 Sudarto. 1991. Op. Cit. hal. 33. 40 d. Delik tunggal dan delik berganda (enkevoudige en samengestelde delicten) 1) Delik tunggal adalah delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali. 2) Delik berganda adalah delik yang baru merupakan delik, apabila dilakukan beberapa kali perbuatan. Misal: Pasal 481 (penahanan sebagai kebiasaan). e. Delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak berlangsung terus (voortdurende en niet voortdurende (aflopende delicten)) Delik yang berlangsung terus adalah delik yang mempunyai bahwa keadaan terlarang itu berlangsung terus. Misal: merampas kemerdekaan seseorang (Pasal 333 KUHP). f. Delik aduan dan bukan delik aduan (kalchtdelicten en en niet klacht delicten) Delik aduan adalah delik yang penuntutnya hanya dapat dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena (gelaedeerde partij). Misal: perzinahan (Pasal 284 KUHP). g. Delik sederhana dan delik yang ada pembenarannya (eenvoudige dan gedualificeerde delictgen) 1) Delik sederhana misalnya penganiayaan (Pasal 351 KUHP), pencurian (Pasal 362 KUHP). 2) Delik yang ada pembenarannya misalnya penganiayaan yang menyebabkan luka berat atau matinya orang (Pasal 351 Ayat 2, 3 KUHP), pencurian pada waktu malam hari (Pasal 363 KUHP). h. Delik ekonomi (biasanya disebut dengan tindak pidana ekonomi dan bukan delik ekonomi) Delik Ekonomi (Tindak Pidana Ekonomi) dan bukan delik ekonomi. Terdapat dalam Pasal Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Ekonomi. i. Kejahatan ringan Kejahatan Ringan adalah delik yang menimbulkan kerugian bagi yang terkena, kejahatan-kejahatan ringan yang ada dalam KUHP.63 4. Pidana dan Pemidanaan a. Pidana 1) Pengertian pidana Pidana adalah suatu istilah yuridis sebagai terjemahan dari bahasa Belanda straf, dan dalam bahasa Inggris disebut sentence. Digunakan istilah pidana disini (bukan digunakan istilah “hukuman”) 63 Ibid. hal. 34-35 41 adalah ditujukan untuk memfokuskan makna yang terkandung dari istilah pidana tersebut. Sudarto mengemukakan ketidaksetujuannya dalam penggunaan kata hukuman untuk kata straf, karena: Kata strafrecht bila menggunakan hukuman sebagai terjemahan dari straf maka akan terjadi kerancuan dimana strafrecht akan diterjemahkan menjadihukum hukuman. Pidana adalah suatu penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.64 Selain pendapat yang dikemukakan diatas ada beberapa pendapat yang diberikan oleh para pemikir hukum lain tentang pengertian dari pidana itu sendiri, antara lain dikemukakan oleh Roeslan Saleh, yang berpendapat bahwa: Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa atau penderitaan yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik tersebut.65 Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut: a) Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; b) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang memiliki kekuasaan (oleh yang berwenang); c) Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang melakukan tindak pidana menurut Undang-undang. 64 Sudarto, 1983. Hukum Pidana dan Pembangunan Masyarakat. Sinar Baru. Bandung. hal. 7. 65 Roeslan Saleh. 1980. Op. Cit. hal. 41. 42 2) Jenis-jenis pidana Berdasarkan rumusan yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai hukum pidana positif di Indonesia, jenis-jenis pidana yang berlaku di Indonesia sesuai dengan rumusan Pasal 10 KUHP adalah: Pidana terdiri atas: a. pidana pokok: 1. pidana mati; 2. pidana penjara; 3 pidana kurungan; 4. pidana denda; 5. pidana tutupan; b. pidana tambahan: 1. pencabutan hak-hak tertentu; 2. perampasan barang-barang tertentu; 3 pengumuman putusan hakim. Jenis-jenis pidana seperti yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP, dijelaskan lebih lanjut oleh P.A.F. Lamintang sebagai berikut: Hukuman pidana mati selalu dicantumkan secara alternatif dengan pidana-pidana pokok lain, yakni pada umumnya dengan pidana seumur hidup atau selama-lamanya dua puluh tahun penjara. Urutan kedua dari pidana pokok adalah pidana penjara. Pengertian pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam Lembaga Pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang melanggar peraturan tersebut. Sama halnya dengan penjara pidana kurungan juga berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana. Pidana kurungan hanya dapat dijatuhkan oleh hakim bagi orang-orang dewasa yang telah melakukan pelanggaran. Pidana kurungan dapat dijatuhkan oleh hakim sebagai pidana pokok atau juga sebagai ganti pidana denda. Pidana denda telah diatur dalam KUHP sebagai pidana pokok maupun alternatif baik dengan pidana penjara atau kurungan atau keduanya secara bersama-sama. Pidana tutupan merupakan jenis pidana pokok baru yang dimasukan kedalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tanggal 31 Oktober 1964 Nomor 20, Berita Republik Indonesia II 43 nomor 24 halaman 287 dan 288. Pidana tutupan dijatuhkan untuk menggantikan pidana penjara yang sebenarnya dapat dijatuhkan oleh hakim bagi pelaku kejahatan, atas dasar bahwa kejahatan tersebut oleh pelakunya telah dilakukan karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati. KUHP tidak mengenal adanya komulasi dari pidana pokok yang diancamkan bagi suatu tindak pidana tertentu, khususnya pidana penjara dengan pidana denda, atau pidana kurungan dengan pidana denda. Ada beberapa ketentuan pidana yang mengandung ancaman pidana yang terdiri dari lebih satu pidana pokok. Dimana dalam ketentuan tersebut hakim dapat menjatuhkan pidana penjara atau kurungan bersama-sama pidana denda atau ia dapat menjatuhkan pidana penjara atau kurungan tanpa menjatuhkan pidana denda. Pidana tambahan selalu dijatuhkan bersama-sama dengan penjatuhan pidana pokok. Menurut hukum pemidanaan kita, penjatuhan pidana tambahan bersifat fakultatif. Artinya, hakim tidak selalu menjatuhkan suatu pidana tambahan, yaitu pada waktu ia menjatuhkan suatu pidana pokok bagi seorang terdakwa. Dapat disimpulkan bahwa dalam menjatuhkan pidana tambahan diserahkan sepenuhnya pada pertimbangan hakim apakah dirasa perlu atau tidak.66 b. Pemidanaan 1) Pengertian pemidanaan Istilah pidana dan pemidanaan pada awalnya merupakan dua istilah yang sama, namun dalam perkembangannya disepakati bahwa kedua istilah tersebut dibedakan. Hal ini sejalan dengan pendapat P.A.F. Lamintang yang mengatakan bahwa: Awalnya istilah pidana dan pemidanaan merupakan dua istilah yang mempunyai arti sama, namun sekarang para ahli hukum sepakat memisahkan arti pidana dan pemidanaan. Permasalahan tentang pengertian pemidanaan di kalangan para sarjana hukum Indonesia masih ada beberapa kesalahpahaman. Untuk pengertian pemidanaan itu sendiri menurut pendapat Lamintang adalah sinonim dengan perkataan penghukuman.67 66 67 hal. 48 P.A.F. Lamintang. 1997. Op. Cit. hal. 69. P.A.F Lamintang. 1994. Hukum Penitensier Indonesia. Armico. Bandung. 44 Berdasarkan pengertian bahwa pemidanaan merupakan sinonim dari kata penghukuman, maka P.A.F. Lamintang lebih lanjut mengemukakan pendapatnya bahwa: Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechsten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Oleh karena itu harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerapkali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna sama dengan sentence atau veroordeling.68 Berkaitan dengan pengertian pemidanaan, Roeslan Saleh berpendapat bahwa: Walaupun harus diakui bahwa pemidanaan merupakan alat pertahanan terakhir. Dia merupakan akhir dan puncak keseluruhan sistem upaya-upaya yang dapat menggerakkan manusia melakukan tingkah laku tertentu seperti yang diharapkan masyarakat.69 Menurut Utrecht, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah dan Siti Rahayu: Hak memidana merupakan atribut pemerintah, hanya yang mempunyai hak memerintah yang dapat memaksakan atau memberlakukan kehendaknya yang mempunyai hak memidana. Pemidanaan merupakan pemberian suatu nestapa bagi yang melanggar hukum. 70 Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan para sarjana hukum tersebut dapat disimpulkan bahwa pemidanaan itu merupakan sinonim dari penghukuman atau penjatuhan pidana, dan mempunyai 68 Ibid. hal. 49. Roeslan Saleh. 1987. Stelsel Pidana Indonesia. Aksara Baru. Jakarta. hal. 1. 70 Andi Hamzah dan Siti Rahayu. 1985. Suatu Tinjauan Ringkas tentang Sistem Pemidanaan di Indonesia. Gramedia. Jakarta. hal.22. 69 45 suatu pengertian yaitu penjatuhan pidana bagi seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan hukum pidana. Selain itu pemidanaan juga dapat diartikan sebagai akhir atau puncak dari keseluruhan sistem upaya-upaya agar manusia melakukan tingkah laku seperti yang diharapkan masyarakat. Alasan dijatuhkannya pidana terhadap orang yang melanggar hukum sangat bermacam-macam, oleh karena itu muncul teori-teori yang menyatakan alasan memidana seseorang, yaitu: a) Teori absolut (mutlak) Menurut teori ini, seseorang mendapat pidana oleh karena melakukan kejahatan. Merupakan pembalasan terhadap perbuatan seseorang yang telah dilakukan. Pembalasan merupakan alasan memidana suatu kejahatan. b) Teori relatif (nisbi) Menurut teori ini, suatu kejahatan tidaklah harus diikuti dengan suatu pidana. Untuk itu tidaklah cukup adanya suatu kejahatan melainkan harus dipersoalkan pula manfaat dari pemidanaan baik bagi penjahat itu sendiri maupun masyarakat. Teori ini disebut juga sebagai teori tujuan, karena dalam penjatuhan pidana diperlukan adanya suatu tujuan. Tujuan adanya pemidanaan menurut teori tujuan adalah sebagai prevensi yaitu pencegahan agar kejahatan yang telah dilakukan tidak terulang kembali dan mempunyai tujuan agar si penjahat dapat menjadi orang yang baik sehingga tidak melakukan kejahatan lagi. c) Teori gabungan Penjatuhan pidana menurut teori gabungan adalah merupakan suatu pembalasan terhadap perbuatan seseorang yang melanggar hukum. Akan tetapi dalam memidana harus diperhatikan unsur kemanfaatannya.71 2) Tujuan pemidanaan Terhadap permasalahan tentang apa yang menjadi tujuan dari pemidanaan, telah banyak pendapat yang dikemukakan dan dari para pendapat tersebut ternyata tidak terdapat satu kesamaan pendapat 71 Ibid., hal. 25-28. 46 diantara para pemikir dan ahli hukum. Roeslan Saleh membedakan tujuan pemidanaan menjadi tiga tipe tujuan pemidanaan, yaitu tujuan instrumental, tujuan intrinsik, dan tujuan menurut organisasi. Berdasarkan tiga tipe tersebut, Roeslan Saleh memberikan pengertian sebagai berikut: a) Tujuan instrumental Yang dimaksud dengan perkataan instrumental disini adalah bahwa tujuan ini bagi hukum pidana merupakan instrumen (alat) untuk tujuan yang bersifat umum, yaitu pengaturan kehidupan bersama di dalam sektor tertentu dan reduksi atau regulasi kriminalitas. b) Tujuan intrinsik Alat-alat hukum pidana sebenarnya bukan pula tidak dapat dihindarkan pada waktu atau dalam mencapai tujuan-tujuan instrumentalnya harus memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan dan kode etik dalam masyarakat. Hal ini berarti seorang tersangka dan terdakwa tidak boleh dipidana bilamana belum ditetapkan dengan teliti sekali mengenai kesalahan terdakwa sendiri (intrinsik). Dengan kata lain tujuan intrinsik bisa juga dikatakan perlindungan atas justisiabel. c) Tujuan menurut organisasi Tujuan-tujuan instrumental dan intrinsik yang telah ditetapkan terwujud dalam suatu konteks organisasi, yang mendapat bentuk nyata didalam dan dengan organisasi. 72 Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tetang tujuan yang ingin dicapai dalam suatu pemidanaan, sebagaimana dikatakan oleh P.A.F. Lamintang, yaitu sebagai berikut: a) untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri; b) untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatankejahatan; c) untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mempu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahatpenjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.”73 72 73 Roeslan Saleh. 1987. Op. Cit., hal. 39. P.A.F Lamintang. 1994. Op. Cit., hal. 23. 47 Selain pendapat tersebut, ada beberapa pandangan tentang tujuan pemidanaan yang disampaikan oleh beberapa pemikir atau ahli hukum, yaitu: a) Stahl Ia berpendapat bahwa dengan suatu pemidanaan itu orang dapat mencapai tiga tujuan, yakni untuk melindungi tertib hukum, untuk mencegah orang melakukan kejahatan, dan untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan. b) Simons Hingga abad ke 18 (delapan belas), praktek pemidanaan itu berada di bawah pengaruh dari paham pembalasan atau vergeldingsidee dan paham membuat jera atau afschrikkingsidee.74 B. Persetubuhan/Perkosaan Salah satu perbuatan yang diancam dengan hukum pidana adalah perkosaan atau memaksa untuk melakukan persetubuhan. Suryono Ekotama, Harum Pudjiarta dan Widiartana mengatakan bahwa perkosaan, menurut konstruksi yuridis perundang-undangan di Indonesia (KUHP) adalah: Perbuatan memaksa seorang wanita yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Kata-kata “memaksa” dan “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan” di sini sudah menunjukkan betapa mengerikannya pemerkosaan tersebut. “Pemaksaan hubungan kelamin pada wanita yang tidak menghendakinya akan menyebabkan kesakitan hebat pada wanita tersebut, apalagi disertai kekerasan fisik. Kesakitan hebat dapat terjadi tidak hanya sebatas fisik saja, tetapi juga dari segi psikis.75 Dalam kasus kriminologi juga disebutkan: Rape (perkosaan) adalah hubungan seks dengan wanita bukan istri orang tersebut dengan paksa dan bertentangan dengan kehendak wanita itu. Aspek penting dalam kejahatan ini adalah bukti bahwa di bawah usia tertentu wanita dilindungi hukum sebagai tidak mampu untuk memberikan pertimbangan.76 74 Ibid. hal. 23 Suryono Ekotama, Harum Pudjiarta dan Widiartana. 2001. Abortus Provocatus, Bagi Korban Perkosaan Perspektif: Viktimologi dan Widiartana. Universitas Atmajaya Yogyakarta. Yogyakarta. hal. 96. 76 Ibid. hal. 104. 75 48 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa: Kata perkosaan berasal dari kata dasar perkosa yang berarti paksa, kekerasan, gagah, kuat, perkasa. Memperkosa berarti menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi.77 W.J.S. Poerwodarminta mengartikan sebagai berikut: Kata perkosa diartikan dengan gagah, kuat, paksa, kekerasan, dengan paksa, dengan kekerasan, menggagahi, memaksa dengan kekerasan. Sedang kata perkosaan berarti perbuatan memperkosa, penggagahan, paksaan, pelanggaran dengan kekerasan.78 Perkosaan merupakan suatu tindak kejahatan yang sangat keji, amoral, tercela dan melanggar norma dimana yang menjadi korban adalah perempuan baik dewasa maupun anak di bawah umur. Hal tersebut sangat merugikan bagi kaum perempuan dimana harga diri dan kehormatan menjadi taruhan. Achie Sudiarti Luhulima menyatakan: Perkosaan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya bagi kaum perempuan, padahal kita tahu bahwa kehormatan harus dilindungi sebagaimana telah diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM 1948) dalam artikel 2 bila ditinjau berdasarkan pengalaman perempuan, pelanggaran hak perempuan dan perkosaan diinterprestasikan sebagai tindakan terlarang.79 Perkosaan merupakan tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja dan pelakunya memaksa perempuan yang tidak ada ikatan pernikahan dengan pelaku untuk melakukan hubungan badan dengannya. Perkosaan bisa dilakukan oleh orang dewasa maupun anak-anak dan korbannya pun bisa wanita dewasa maupun juga yang masih anak-anak. 77 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Bahasa. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka. Jakarta. hal. 673. 78 W.J.S. Poerwodarminta. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia Balai Pustaka. Jakarta. hal.74. 79 Achie Sudiarti Luhulima. 2000. Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya. Alumni. Bandung. hal.1. 49 Secara ideal, anak adalah pewaris dan penerus masa depan bangsa. Menurut Abu Huraerah: Secara real, situasi anak Indonesia masih dan terus memburuk. Dunia anak yang seharusnya diwarnai oleh kegiatan bermain, belajar, dan mengembangkan minat serta bakatnya untuk masa depan, namun pada realitasnya banyak terjadi tindakan kekerasan baik itu fisik maupun seksual.80 Pemahaman tentang kekerasan fisik maupun seksual dijelaskan lebih lanjut oleh Iin S. sebagai berikut: Kekerasan fisik adalah tindakan yang menyebabkan rasa sakit atau potensi menyebabkan sakit yang dilakukan oleh orang lain, dapat terjadi sekali atau berulang kali. Kekerasan fisik misalnya; dipukul, ditendang. Sementara itu, yang disebut kekerasan seksual anak adalah keterlibatan anak dalam kegiatan seksual yang tidak dipahaminya. Kekerasan seksual dapat berupa perlakuan tidak senonoh dari orang lain, kegiatan yang menjurus pada pornografi, perkataan-perkataan porno, dan melibatkan anak dalam bisnis prostitusi.81 Masalah kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk kejahatan yang melecehkan dan menodai harkat kemanusiaan, serta patut dikategorikan sebagai jenis kejahatan melawan kemanusiaan atau kesusilaan. Abdul Wahid dan Muhammad Irvan menyatakan bahwa: Kejahatan kesusilaan secara umum merupakan perbuatan atau tindakan melanggar kesusilaan atau immoral yang sengaja merusak kesopanan dan tidak atas kemauan si korban yaitu dengan paksaan dan melalui ancaman kekerasan. Tindakan yang dapat dikatagorikan sebagai tindakan yang dapat melanggar kesusilaan ialah persetubuhan.82 Definisi persetubuhan dikemukakan oleh E.Y. Kanter dan S. R. Sianturi yang mengatakan sebagai berikut: 80 Abu Huraerah. 2006. Child Abuse (Kekerasan Terhadap Anak). Nuansa. Bandung. hal. 21. 81 Iin S. 2010. Definisi Kekerasan Terhadap Anak. Diakses melalui http://iin.green.web.id. Pada tanggal 4 September 2012. 82 Abdul Wahid dan Muhammad Irvan. 2001. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan). Refika Aditama. Bandung. hal. 25. 50 Persetubuhan ialah jika kemaluan si pria masuk ke kemaluan perempuan. Berapa dalam atau berapa persen yang harus masuk tidaklah terlalu dipersoalkan, yang penting ialah dengan masuknya kemaluan si pria itu dapat terjadi kenikmatan bagi keduanya atau salah seorang dari mereka. Kejadian ini dapat disebut sebagai perzinahan jika mereka lakukan tanpa ada paksaan atau dengan perkataan lain mau sama mau.83 Sam Ardi memberikan penjelasan mengenai perngertian persetubuhan sebagai berikut: Di dalam Arrest tertanggal 5 Februari 1912 yang dikeluarkan oleh Hooge Raad, yang dimaksud persetubuhan adalah peraduan antara anggota kelamin laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, di mana alat kelamin laki-laki masuk kedalam alat kelamin perempuan yang kemudian mengeluarkan air mani. Kalau menurut definisi kedokteran forensik yang dimaksud persetubuhan adalah perpaduan alat kelamin lakilaki dengan alat kelamin perempuan dengan penetrasi yang seringanringannya dengan atau tanpa mengeluarkan mani yang mengandung sel mani.84 Perbedaan antara definisi hukum dengan definisi kedokteran forensik terletak di dalam apakah alat kelamin tersebut mengeluarkan mani atau tidak. Sam Ardi menyatakan: Apabila dilihat dari perspektif hukum, sesuai dengan Arrest dari Hooge Raad itu, apabila alat penis tidak sampai masuk kedalam vagina walaupun mengeluarkan air mani, atau masuk tetapi tidak sampai keluar menurut pengertian bersetubuh di atas belum terjadi persetubuhan, tetapi telah terjadi percobaan persetubuhan, hal ini dapat dipidana sesuai dengan ketentuan Pasal 53 KUHP.85 Persetubuhan dapat terjadi pada orang dewasa, namun juga dapat menimpa pada anak di bawah umur. Pemilihan anak sebagai korban persetubuhan dapat disebabkan karena anak mudah untuk dirayu dan dibujuk dengan iming-iming tertentu. Inilah mengapa anak sering menjadi korban persetubuhan seorang 83 E.Y. Kanter dan S R Sianturi. 1982. Azas-azas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya. Rineka Cipta. Jakarta. hal. 1 84 Sam Ardi. 2011. Zina: Kejahatan Tanpa Korban. diakses melalui http://www.foxitsoftware.com pada tanggal 2 September 2012. 85 Ibid. tanpa halaman 51 pelaku dewasa. Perlindungan terhadap anak atas tindakan persetubuhan diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP selengkapnya merumuskan: Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum 15 tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Berdasarkan KUHP, untuk mempermudah pemahaman, dapat dibuat bagan kejahatan seksual berkaitan dengan persetubuhan dan pemerkosaan menurut usia yang dapat dikenakan hukuman, yaitu sebagai berikut: Bagan 1. Kejahatan seksual berkaitan dengan persetubuhan yang dapat dikenakan hukuman86 Umur Perempuan lebih dari 15 th (Pasal 284 KUHP) Dalam Perkawinan Dengan Persetujuan Perempuan Umur Perempuan Belum cukup 15 th (Pasal 287 KUHP) Persetubuhan Di Luar Perkawinan Dengan kekerasan/ancaman kekerasan (Pasal 285) Tanpa Persetujuan Perempuan Perempuan dalam keadaan pingsan/tidak berdaya (Pasal 286) 86 Tri Bowo Hersandy Febrianto. 2010. Skripsi: Tindak Pidana Perkosaan Terhadap Anak Di Bawah Umur. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”. Jakarta. hal. 11 52 Bagan 2. Pemerkosaan menurut usia dan perlakuan pelaku terhadap korban berdasarkan KUHP87 Pemerkosaan Usia Perlakuan KUHP Pasal 287: KUHP Pasal 285: (1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umumya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bawa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. (2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan Pasal 291 dan Pasal 294. Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Kekerasan Fisik Kekerasan Psikis KUHP Pasal 89: Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. KUHP Pasal 286: Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. KUHP Pasal 291: (1) Jika salah satu kejahatan berdasarkan Pasal 286, 2 87, 289, dan 290 mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun; (2) Jika salah satu kejahatan berdasarkan Pasal 285, 2 86, 287, 289 dan 290 mengakibatkan kematisn dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. 87 Ibid. hal. 12 53 Pasal 81 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga merumuskan tentang tindak pidana persetubuhan dengan korban anak-anak. Ketentuan Pasal 81 UU No. 23 Tahun 2002 tersebut selengkapnya merumuskan: (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Persetubuhan merupakan kejahatan kesusilaan (kemanusiaan). Dalam Kamus Istilah Fiqh menyebutkan pengertian persetubuhan sebagai berikut: Hubungan kelamin/seks antara laki-laki dan perempuan tanpa ada ikatan perkawinan yang sah, yaitu memasukkan dzakar/kelamin laki-laki ke dalam farji/kelamin perempuan, minimal sampai batas qulfah (kepala dzakar).88 Persetubuhan dapat melibatkan dua pihak yang sudah sama-sama dewasa, ataupun keduanya anak-anak, atau salah satu pihak masih di bawah umur. Persetubuhan terhadap anak di bawah umur artinya persetubuhan yang dilakukan terhadap seseorang yang mana seseorang itu belum genap berusia 15 (lima belas) tahun. Wirjono Prodjodikoro dalam hal ini berpendapat bahwa: Tindak pidana bersetubuh dengan orang di bawah umur tertentu, didasarkan pada ketentuan Pasal 287 ayat (1) KUHP bahwa barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umumya belum 15 (lima belas) tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Tindak pidana dari ketentuan Pasal 287 ayat (1) KUHP ini merupakan tindak pidana aduan (klachtdelict), kecuali jika umur wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan Pasal 291 dan Pasal 294 (Pasal 287 ayat (2) KUHP).89 88 Sudaryono dan Natangsa Surbakti. 2005. Buku Pegangan Kuliah Hukum Pidana. UNS. Surakarta. hal. 123. 89 Wirjono Prodjodikoro. 1986. Op. Cit. hal. 119 54 Tindak pidana perkosaan atau pemaksaan untuk melakukan persetubuhan sangat mencemaskan terlebih kalau korbannya adalah anak-anak yang masih di bawah umur, sebab hal ini akan mempengaruhi psikologis perkembangan anak dan menimbulkan trauma seumur hidup. Selain itu masa depan mereka menjadi suram dan mereka tidak mempunyai masa depan lagi. Para pelaku dari tindak perkosaan seringkali adalah orang-orang yang dikenal oleh korban bahkan ada juga yang masih mempunyai hubungan keluarga dan yang paling memprihatinkan adalah seorang ayah yang tega memperkosa anak kandungnya sendiri (incest). Tapi tidak menutup kemungkinan pelaku tindak pidana pemerkosaan adalah orang luar. Tindak pidana perkosaan yang pelakunya adalah keluarga sendiri diperkirakan masih relatif sedikit yang dilaporkan bila dibandingkan dengan jumlah kejadian sesungguhnya yang tidak dilaporkan oleh korban karena secara psikis dan sosial mereka mengalami masalah yang sangat kompleks. Di antaranya adalah rasa takut, rasa malu apabila diketahui orang lain, serta rasa kasihan pada pelaku. Korban perkosaan seringkali mengalami trauma yang hebat, terutama apabila pelaku perkosaan adalah orang tua mereka sendiri, karena secara psikis anak tetap terikat dan tergantung pada orang tua, khususnya ayah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. 55 C. Perbuatan Berlanjut (Voortgezette Handeling) 1. Pengertian Perbuatan Berlanjut (Voortgezette Handeling) Perbuatan berlanjut merupakan gabungan daripada beberapa perbuatan yang dilakukan seseorang, dimana antara perbuatan yang satu dengan perbuatan yang lain belum pernah ada putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sehingga terhadap pelaku dikenakan cara penghukuman tertentu, sebagaimana ditentukan pada Pasal 64 KUHP. Bentuk gabungan ini dalam bahasa Belanda dikenal dengan sebutan “Voortgezette Handeling”, yang dalam KUHP diatur dalam Pasal 64 ayat (1) yang merumuskan: Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. Sesungguhnya, apa yang dimaksudkan dengan perbuatan berlanjut atau voortgezette handeling tidak begitu jelas maksudnya dari perumusan atau pengaturan dalam undang-undang. C. Djisman Samosir mengemukakan pendapatnya bahwa: Undang-undang tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai perkataan beberapa perbuatan itu harus mempunyai hubungan yang demikian rupa. Hubungan mi dapat ditafsirkan secara macam-macam, misalnya, karena adanya persamaan waktu, persamaan tempat dari terjadinya beberapa perbuatan itu dan sebagainya. Hoge Raad dalam arrestnya tanggal 19 Oktober 1932, N.J. 1932 mengartikan voortgezette handeling atau tindakan yang dilanjutkan itu sebagai perbuatan-perbuatan yang sejenis dan sekaligus merupakan pelaksanaan dari satu maksud yang sama.90 90 49. C. Djisman Samosir. 1983. Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru. Bandung. hal. 48- 56 Hans C. Tangkau juga memberikan pendapatnya mengenai ketidakjelasan rumusan Pasal 64 KUHP tersebut sebagai berikut: Ketidakjelasan dari pengertian perbuatan berlanjut adalah karena menurut rumusan Pasal 64 KUHP bahwa perbuatan berlanjut adalah beberapa perbuatan yang mempunyai hubungan sedemikian rupa tanpa penjelasan dan penegasan mengenai hubungan bagaimana yang dimaksud. Dengan demikian, hubungan itu dapat ditafsirkan macammacam, karena keterhubungan itu dapat dilihat dari banyak kemungkinan, antara lain dapat dikatakan ada hubungan karena waktu, karena tempat dan karena lain-lain hal.91 Hans C. Tangkau lebih lanjut berpendapat bahwa: Menurut rumusan Pasal 64 ayat (1) KUHP karena adanya keterhubungan antara satu perbuatan dengan lain perbuatan, maka perbuatan-perbuatan itu harus dianggap satu perbuatan Jadi, beberapa perbuatan yang dilakukan dan tetapi haruslah dianggap satu perbuatan. Jadi beberapa perbuatan tersebut biarpun merupakan perbuatan atau pelanggaran yang masing-masing berdiri sendiri.92 Sehubungan dengan beberapa perbuatan yang harus dianggap satu perbuatan ini, P.A.F. Lamintang, mengutip pendapat Simons, mengatakan bahwa: Pemberlakuan Pasal 64 ayat (1) KUHP itu hanya berkenaan dengan masalah penjatuhan hukuman dan bukan dengan masalah pembentukan satu tindak pidana, dengan segala akibatnya yakni berkenaan dengan tempat terjadinya tindak pidana, dengan keturutsertaan dengan masalah kadaluarsa dan lain-lain.93 Berdasarkan pandangan Simons terhadap rumusan Pasal 64 ayat (1) KUHP di atas, terutama mengenai beberapa perbuatan yang harus dianggap satu perbuatan, dikemukakan bahwa Pasal 64 ayat (1) KUHP bukanlah mengatur dalam hal bagaimana beberapa perbuatan pidana, tetapi hanya dapat dikenakan satu hukuman saja, jadi bukan menjumlahkan ancaman hukuman dari masing-masing perbuatan. 91 Hans C. Tangkau. 2007. Karya Tulis Ilmiah. Gabungan Beberapa Perbuatan Pidana Dan Masalah Penghukumannya. Fakultas Hukum. Universitas Sam Ratulangi Manado. hal. 4 92 Ibid. hal. 5 93 P.A.F. Lamintang. 1997. Op. Cit. hal. 697 57 Pendapat serupa dengan Simons, juga dikemukakan van Hattum, dikutip oleh P.A.F. Lamintang, bahwa: Bahwa Pasal 64 ayat (1) KUHP hanya memuat suatu peraturan mengenai penjatuhan hukuman dan bukan mengatur tentang masalah pembentukan sejumlah tindak pidana menjadi satu keseluruhan menurut undang-undang, dan hal mana mempunyai arti yang sangat penting bagi lembaga-lembaga locus delicti, kadaluarsa dan keturutsertaan.94 Dengan demikian, bagaimana atau ukuran-ukuran apa yang digunakan untuk menentukan beberapa perbuatan itu hanya diancam satu hukuman saja, karena haruslah dipandang sebagai satu perbuatan tidaklah dijelaskan dalam rumusan undang-undang. Hal ini merupakan kelemahan pengaturan daripada perbuatan berlanjut dalam KUHP, sehingga nampaknya pembuat undangundang cenderung menyerahkan pemecahannya pada praktek. Hans C. Tangkau dalam hal ini mengatakan sedikitnya terdapat gambaran dalam Memorie Penjelasan atau MvT, bahwa: Di dalam memorie penjelasan mengenai pembentukan Pasal 64 KUHP itu, pembentuk undang-undang hanya mensyaratkan bahwa berbagai perilaku itu haruslah merupakan pelaksanaan satu keputusan terlarang, dan bahwa suatu kejahatan berlanjut itu hanya dapat terjadi dari sekumpulan tindak pidana sejenis. Di dalam memorie penjelasan itu juga telah dijelaskan bahwa suatu pencurian atau suatu penganiayaan itu secara bersama-sama tidak akan pernah dapat menghasilkan suatu tindak pidana berlanjut, karena: a. Untuk melaksanakan kejahatan itu, pelakunya barns membuat dari suatu keputusan; b. Untuk membuat keputusan-keputusan seperti itu dan untuk melaksanakannya, pelakunya memerlukan waktu yang berbeda". Demikianlah gambaran dalam memorie penjelasan mengenai perbuatan berlanjut. Namun, apakah gambaran dalam memorie penjelasan tersebut sudah dapat memberikan penegasan mengenai ukuran-ukuran dari perbuatan berlanjut yaitu beberapa perbuatan yang harus dianggap satu perbuatan dan karena itu hanya diancam satu hukuman?95 94 95 Ibid Hans C. Tangkau. 2007. Op. Cit. hal. 5 58 2. Ciri-ciri Perbuatan Berlanjut Para sarjana pada umumnya berkesimpulan bahwa guna menentukan beberapa perbuatan berlanjut, diperlukan 3 (tiga) ukuran atau ciri, sebagaimana dikemukakan oleh E.Y. Kanter, dan S.R. Sianturi, yaitu: a. Tindakan-tindakan yang terjadi adalah sebagai perwujudan dari satu kehendak jahat (one criminal intention); b. Delik-delik yang terjadi itu sejenis; c. Tenggang waktu antara terjadinya tindakan-tindakan tersebut tidak terlampau lama.96 R. Soesilo, di pihak lain mengemukakan pendapatnya mengenai perbuatan berlanjut tersebut sebagai berikut: Beberapa perbuatan yang satu sama lain ada hubungannya itu supaya dapat dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan menurut pengetahuan dan praktek harus memenuhi syarat-syarat : a. Harus timbul dari satu niat, atau kehendak atau keputusan. b. Perbuatan-perbuatannya itu harus sama macamnya. c. Waktu antaranya tidak boleh terlalu lama".97 Jadi, ukuran-ukuran yang dikemukakan di atas adalah sesungguhnya tidak memberikan pemecahan masalah dari suatu perbuatan berlanjut, sebab masalah ini dapat tersimpul dari masing-masing ukuran itu sendiri, dan terlebih dahulu dapat dilihat pada ukuran kesatu ialah tindakan-tindakan yang terjadi adalah perwujudan dari suatu kehendak jahat. Hans C. Tangkau dalam hal ini berpendapat bahwa Dalam hubungan dengan ukuran perbuatan berlanjut, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana menentukan bahwa beberapa perbuatan dilakukan sebagai perwujudan satu kejahatan jahat. Hal ini jelas tidak selamanya, bahkan pada umumnya sukar ditentukan. Apa dan bagaimana yang dimaksud dengan satu kehendak jahat dan bagaimana yang dikatakan lebih dari satu kehendak jahat ? Hal ini sangatlah sukar untuk menentukannya. Apakah maksudnya bahwa beberapa perbuatan yang dilakukan itu, sebelum dilakukan oleh pelaku memang sudah ditentukan untuk dilakukan atau apakah yang dimaksudkan itu termasuk pula bila pelaku pada mulanya hanya bermaksud untuk melakukan satu 96 97 E.Y. Kanter dan S R Sianturi. 1982. Op. Cit. hal. 396. R. Soesilo. 1995. Op. Cit. hal. 81-82 59 perbuatan saja, tetapi kemudian setelah melakukan yang satu, lalu menentukan untuk melakukan yang lainnya. Diantara dua kemungkinan ini, tidaklah jelas yang mana dapat disebut satu kehendak, apakah salah satunya atau kedua-duanya dapat merupakan satu perwujudan kehendak. Hal ini lebih sukar lagi bila dihubungkan dengan pelbagai kemungkinan variasi kejadian nyata dalam masyarakat. Misalnya, seseorang sebenamya hanya bermaksud membunuh A, tetapi setelah selesai melakukan, B secara tiba-tiba muncul dan sehingga mengetahui apa yang terjadi dan karena pelaku merasa takut, lalu ia memutuskan pula untuk membunuh B. Dengan demikian pembunuhan terhadap A dan B, biarpun dilakukan berturut-turut, tetapi didasarkan pada dua keputusan kehendak dan bukan satu kehendak. Jadi, dapatkah pembunuhan terhadap A dan B tersebut dikatakan perbuatan berlanjut ? Demikian pula, misalnya pada mulanya A hanya bermaksud sekali saja mencuri uang di tempat dimana ia bekerja, karena kebetulan ia ada kebutuhan yang sangat mendesak, sedangkan waktu itu ia tidak mempunyai uang. Dan setelah beberapa waktu lewat, ia mengetahui apa yang dilakukannya tidak ada yang mengetahui, maka timbul lagi keinginannya untuk mencuri uang. Dari dua pencurian itu, sebenarnya tidak didasarkan pada satu keputusan kehendak, melainkan didasarkan pada dua kepentingan kehendak yang terpisah. Jadi, apakah perbuatan tersebut adalah perbuatan berlanjut atau tidak ?98 Berdasarkan contoh-contoh tersebut di atas, dapatlah kiranya disimpulkan bahwa betapa sukarnya menentukan apakah beberapa perbuatan telah dilakukan berdasarkan satu keputusan kehendak atau tidak. Demikianlah kesulitan besar yang harus dihadapi dalam menilai dan menentukan apakah beberapa perbuatan yang dilakukan dapat dipandang sebagai perbuatan berlanjut atau tidak, dengan menggunakan ukuran-ukuran dan atau syarat yang dilakukannya berdasarkan satu keputusan kehendak. Kesulitan-kesulitan dalam praktek demikian itu terlihat dalam putusan pengadilan, seperti Putusan Hoge Raad Belanda tanggal 26 Juni 1905 NJ. 8255, sebagaimana dikemukakan oleh Hans C. Tangkau sebagai berikut: Dari pertimbangan Hoge Raad, dapat dilihat bahwa dua perbuatan yang dilakukan berturut-turut dalam jangka waktu 4 (empat) hari bukanlah merupakan perbuatan berlanjut menurut Hoge Raad, karena tidak 98 Hans C. Tangkau. 2007. Op. Cit. hal. 6-7 60 ternyata pelaku itu memang sebelumnya telah memutuskan atau menentukan kedua perbuatan tersebut secara berturut-turut atau dengan kata lain tidak ternyata adanya satu keputusan kehendak dalam melakukan perbuatan dimaksud dapat berarti kedua perbuatan tersebut, bukanlah perbuatan berlanjut.99 Kemudian, dalam Putusan tanggal 5 Maret 1963 Noting : 162 K/Kr/1962, MA-RI dalam pertimbangan hukumnya menunjukkan bahwa: Tidak mungkin perbuatan-perbuatan yang dilakukan pada 5 (lima) orang yang berlainan pada hari-hari yang berlainan didasarkan pada satu keputusan kehendak, biarpun mungkin pelaku menyatakan perbuatanperbuatan itu dilakukan atas dasar satu keputusan kehendak. Atau dengan kata lain, ada tidaknya perbuatan berlanjut itu, penilaiannya bukan pada apa yang dikatakan pelaku, melainkan pada penilaian hakim atas cara perbuatan dilakukan dan keadaan-keadaan lainnya, dan olehnya penggunaan ukuran adanya satu kehendak ini tidak ada manfaatnya digunakan untuk menentukan ada atau tidaknya perbuatan berlanjut.100 Ukuran lainnya dari adanya perbuatan berlanjut adalah bahwa perbuatan tersebut haruslah yang sejenis. Hans C. Tangkau memberikan penjelasan mengenai perbuatan sejenis tersebut sebagai berikut: Beberapa perbuatan dimaksud seperti halnya pencurian dan pencurian, penganiayaan dan penganiayaan, pembunuhan dan pembunuhan. Dengan demikian, biarpun beberapa perbuatan telah dilakukan atas dasar satu keputusan kehendak, tetapi karena penganiayaan dan pembunuhan adalah berlainan, maka tidak mungkin ada perbuatan berlanjut.101 Syarat yang terakhir untuk perbuatan berlanjut adalah jangka waktu tidak boleh terlalu lama, oleh J.F. Jonkers, dijelaskan : Syarat yang ketiga dan terakhir yang ditentukan untuk perbuatan yang dilanjutkan, ialah bahwa jangka waktu yang ada antara berbagai bagian tidak boleh terlalu lama. Perbuatan-perbuatan itu sendiri boleh dilakukan dalam jangka waktu itu harus diulangi secara teratur dalam waktu yang tidak terlalu lama.102 99 Ibid. hal. 7 Ibid. hal. 7-8 101 Ibid. hal. 8 102 J,E. Jonkers. 1987. Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda. Bina Aksara. Jakarta. hal, 219 -220. 100 61 Syarat jangka waktu tidak boleh terlalu lama untuk dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dilanjutkan, dikritisi oleh Hans C. Tangkau yang berpendapat bahwa: Dapatlah dikatakan bahwa dalam perbuatan yang berlanjut terdapat pengulangan perbuatan secara teratur, yang jarak antara satu sama lainnya tidaklah terlampau lama, biarpun pengulangan itu berlangsung bertahun-tahun. Mengenai batas waktu ini adalah antara satu dengan perbuatan lain tidak terlampau lama, tetapi dapat saja berlangsung bertahun-tahun jelas adalah sangat membingungkan, karena tidak ada batasan berapa lama antara satu perbuatan dengan perbuatan lain untuk dapat dikatakan tidak terlampau lama. Dalam suatu yurisprudensi dikemukakan bahwa yang menyatakan penghinaan ringan terhadap beberapa orang yang berjarak 4 (empat) hari tidak mungkin didasarkan pada satu keputusan kehendak, sehingga tidak mungkin merupakan perbuatan berlanjut. Dengan demikian dalam hal-hal tertentu jarak waktu 4 (empat) hari antara satu perbuatan dengan perbuatan lain sudah terlampau lama untuk dapat dikatakan adanya perbuatan berlanjut. Karena tidak ada batasan tegas dari syarat atau ukuran yang digunakan untuk menentukan adanya perbuatan berlanjut, maka undang-undang sudah harus memberikan pengaturan dengan batasan yang tegas bilamana beberapa perbuatan dapat dikatakan perbuatan berlanjut atau tidak.103 D. Pengertian Anak dan Batas Usia Anak Pembahasan terhadap anak, maka diperlukan suatu perumusan yang dimaksud dengan anak, termasuk mengenai batasan umur. Sampai saat ini ternyata masih terdapat perbedaan dan pendapat mengenai pengertian anak. Di Indonesia sendiri pengertian anak beserta umurnya diatur menurut bidang hukum masing-masing dan juga terdapat dalam penggunaan berdasarkan kebutuhan. Dalam hal ini dapat dilihat pengertian anak beserta batasan umur menurut ketentuan hukum terdapat perbedaan tolok ukur. Batasan usia dewasa merupakan 103 Hans C. Tangkau. 2007. Op. Cit. hal. 9 62 hal penting untuk menentukan ada tidaknya tanggung jawab seseorang. Dalam melakukan suatu perbuatan. Kenyataannya, dewasa ini batasan usia masih merupakan permasalahan yang belum mendapat pemecahan final. Definisi mengenai pengertian anak dapat dilihat dari beberapa peraturan perundang-undangan sebagai berikut: 1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Menurut KUHPerdata batas kedewasaan anak diatur dalam Buku I Bab Kelima Belas Bagaian Ke Satu yang terdapat dalam Pasal 330 yang menyatakan bahwa: Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu kawin. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas dapat ditarik penjelasan bahwa anak menurut KUH Perdata yaitu seseorang yang usianya belum mencapai dua pulu satu tahun atau belum pernah kawin sebelum mencapai usia dua puluh satu tahun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seseorang yang telah kawin meskipun belum berusia dua puluh satu tahun dan kemudian perkawinannya itu bubar sebelum usianya mencapai satu tahun pula, maka ia tidak dapat kembali pada satu “anak”. 2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Berdasarkan KUHP, batasan usia anak adalah sebelum berumur enam belas tahun, hal ini dapat ditemukan pada Pasal 45 KUHP yang merumuskan: Jika seorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya belum enam belas tahun, hakim boleh: memerintahkan, supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman, atau memerintahkan supaya si tersalah diserahkan kepada Pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman, yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam Pasal 489, 490, 492, 496, 497,503 – 505, 514, 519, 63 526, 531, 532,536, dan 540 dan perbuatan itu dilakukannya sebelum lalu dua tahun sesudah keputusan dahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran ini atau sesuatu kejahatan atau menghukum anak yang bersalah itu. Memberikan batasan umur anak dalam Pasal 45 pokok isinya adalah sebagai berikut: a. Memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apapun. b. Memerintahkan supaya si pelaku pidana diserahkan kepada pemerintah. c. Menghukum si pelaku pidana. Sedangkan di dalam Pasal-Pasal lain dirumuskan sebagai berikut: a. Pasal 283 angka 1 KUHP Diancam dengan pidana paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah, barangsiapa menawarkan, memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan hamil, kepada seorang yang belum cukup umur, dan yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum tujuh belas tahun, jika isi tulisan, gambaran, alat itu telah diketahuinya. b. Pasal 287 angka 1 KUHP Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinannya, padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sebilan tahun. c. Pasal 290 angka 2 KUHP Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas disimpulkan bahwa seseorang yang melakukan tindak pidana dapat dikatakan sebagai “anak” apabila ia belum berumur enam belas tahun, atau seseorang dikatakan melakukan tindak pidana anak apabila saat melakukan tindak pidana ia belum berumur enam belas tahun. 64 3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memberikan definisi yang tegas mengenai anak. Setidaknya terdapat dua Pasal yang dapat dianalisis untuk mencari batasan mengenai anak yaitu Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1). Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengemukakan: Untuk melangsungkan perkawinan, seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orangtua. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menegaskan: Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Berdasarkan kedua ketentuan Pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum seseorang yang belum mencapai umur dua puluh satu tahun masih dikatakan sebagai anak karena masih membutuhkan izin orangtua ketika akan melaksanakan perkawinan (Pasal 6 ayat 2). Secara lebih khusus lagi terdapat perbedaan antara batasan anak antara pria dan wanita, yaitu untuk pria batasan anak adalah seseorang yang berumur kurang dari sembilan belas tahun sedangkan untuk. Wanita batasan anak adalah seseorang yang belum kurang dari enam belas tahun (Pasal 7 ayat (1)). Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan akhir bahwa menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat batasan yang berbeda mengenai anak untuk pria dan wanita. Batasan “anak” untuk pria yaitu seseorang yang berumur kurang dari sembilan belas tahun. Sedangkan batasan “anak” untuk wanita yaitu seseorang yang berumur kurang dari enam belas tahun. 65 4. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979, merumuskan batasan usia anak sebagai berikut: Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa batasan usia untuk anak adalah belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun atau belum pernah menikah. 5. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pengertian anak menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yaitu: Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Masalah umur tentunya harus dikaitkan dengan saat melakukan tindak pidana. Sehubungan masalah umur, dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 ditegaskan sebagai berikut: (1) Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. (2) Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak. Berdasarkan rumusan Pasal 4 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tersebut di atas, jelas bahwa batas umur minimum anak nakal untuk dapat diajukan ke Sidang Anak adalah 8 (delapan) tahun dengan batas maksimum 18 (delapan belas) tahun. Dalam hal anak melakukan tindak pidana, maka 66 tetap diajukan ke Sidang Anak, meskipun usianya telah melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahu, jika pada saat melakukan perbuatan tindak pidana tersebut masih di bawah umur dan belum pernah menikah. 6. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia Batasan usia ”anak” berdasarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia diatur pada Pasal 1 angka 5: Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka jelaslah bahwa batasan untuk dapat disebut anak adalah berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. 7. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. menyatakan bahwa: Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Berdasarkan batasan tersebut, kewajiban orang tua mengasuh dan mendidik anak-anaknya sampai dengan mereka berusia 18 tahun. Setelah usia tersebut diasumsikan bahwa anak sudah menjadi dewasa, sehingga tidak lagi menjadi tanggungan orangtua, meskipun secara ekonomi dan psikis seringkali masih bergantung pada orangtuanya karena kedewasaaannya belum matang. 67 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Ronny Hanitijo Soemitro memberikan pengertian mengenai pendekatan yuridis normatif sebagai berikut: Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legistis positivis. Konsep ini memandang hukum identik dengan normanorma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Konsepsi ini memandang hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat mandiri, tertutup dan terlepas dari sistem sosial lainnya.104 B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif, yaitu suatu penelitian yang hanya melukiskan, memaparkan, menuliskan dan melaporkan suatu keadaan, suatu objek atau suatu peristiwa tanpa menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum,105 khususnya untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT C. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini data sekunder berupa Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT digunakan pula data sekunder dalam penelitian ini meliputi peraturan perundangundangan, buku-buku literatur, dokumen, yurisprudensi. 104 Ronny Hanitijo Soemitro. 1990. Metode Penelitian Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta. hal. 13 105 Kartini Kartono. 1990. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Mandar Maju. Bandung. hal. 29 68 D. Metode Pengumpulan Data Data sekunder ini diperoleh dengan cara mempelajari peraturan perundangundangan, buku-buku literatur, dokumen dan putusan pengadilan atau yurisprudensi yang berkaitan dengan obyek atau materi penelitian. E. Metode Penyajian Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini akan disajikan dalam bentuk uraian secara sistematis. F. Analisis Data Seluruh data yang telah terkumpul secara lengkap dari hasil penelitian kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis normatif kualitatif. Normatif, karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan kualitatif yaitu menghubungkan paparan hasil penelitian yang tersistematis tersebut dengan yang didapat dari teori hukum, postulat hukum, serta hukum positif, untuk dapat menjelaskan permasalahan secara ilmiah dan bukan dalam bentuk angkaangka.106 106 96-97 Peter Mahmud Marjuki. 2006. Penelitian Hukum. Prenada Media Group. Jakarta. hal. 69 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini data sekunder berupa Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT digunakan pula data sekunder dalam penelitian ini meliputi peraturan perundangundangan, buku-buku literatur, dokumen, yurisprudensi. 1. Duduk Perkara Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI pada hari Senin, tanggal 01 Agustus 2011 sekitar pukul 04.00 WIB, tanggal 15 Agustus 2011, tanggal 19 Agustus 2011, tanggal 20 Agustus 2011, tanggal 22 Agustus 2011, tanggal 23 Agustus 2011 atau setidak-tidaknya pada waktu lain di bulan Agustus 2011, bertempat di rumah Terdakwa Desa Dawuhan Wetan RT 05/03 Kecamatan Kedunganteng, Kabupaten Banyumas atau setidak-tidaknya di tempat lain yang masih termasuk daerah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini, melakukan beberapa perbuatan perhubungan, sehingga dengan demikian harus dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan, dengan sengaja tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, perbuatan tersebut dilakukan oleh Terdakwa dengan cara: a. Saksi korban GL lahir tanggal 13 Mei 1997, umur 14 tahun, Sekolah di Ponpes AL Asyriah Nurul Iman Bogor, saat libur menjelang puasa sekitar bulan Agustus 2011 pulang ke rumah orang tuanya di Desa Dawuhan Wetan RT 05/03 Kecamatan Kedunganteng, Kabupaten Banyumas, karena ibunya sedang bekerja sebagai TKW di Hongkong, sehingga saksi korban GL hanya tinggal bersama Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI selaku ayah tiri. 70 b. Pada tanggal 1 Agustus 2011 sekitar jam 04.00 WIB sehabis makan sahur, Terdakwa tidur di kamar Terdakwa, kemudian saksi korban GL masuk ke kamar Terdakwa dan tidur di sebelah Terdakwa sambil menumpangkan kakinya ke paha Terdakwa, karena Terdakwa sudah lama tidak pernah berhubungan dengan istrinya, sehingga Terdakwa menciumi bibir dan leher korban, karena alat kelamin Terdakwa sudah tegang, lalu membuka pakaian korban, selanjutnya Terdakwa melepas pakaiannya sendiri, lalu Terdakwa membujuk korban “kalau mau disetubuhi nanti akan dibelikan baju baru, akan dituruti setiap apa yang diminta GL dan kalau sampai hamil bapak siap tanggung jawab”, kemudian Terdakwa memasukkan alat kelaminnya yang sudah dalam keadaan tegang ke dalam kemaluan GL dengan posisi GL di bawah dan Terdakwa di atas, sambil menggoyang-goyangkan kemaluannya sekitar 5 menit hingga Terdakwa puas dan mengeluarkan sperma. c. Selanjutnya Terdakwa menyetubuhi lagi saksi GL tanggal 15 Agustus 2011 di kamar Terdakwa dengan cara menciumi bibir dan leher korban, lalu meraba-raba payudara korban, selanjutnya Terdakwa melepas pakaiannya sendiri, lalu memasukkan alat kelaminnya yang sudah tegang ke dalam kemaluan saksi korban GL sambil digoyang-goyangkan dengan posisi korban di bawah dan Terdakwa di atas hingga Terdakwa mengeluarkan sperma. d. Kemudian pada tanggal 19 Agustus 2011 Terdakwa menyetubuhi lagi saksi korban GL di kamar Terdakwa dengan cara menciumi pipi, bibir dan leher korban, lalu meraba-raba payudara korban, selanjutnya Terdakwa melepas pakaian saksi korban, kemudian Terdakwa melepas pakaiannya sendiri, lalu memasukkan alat kelaminnya yang sudah tegang ke dalam kemaluan saksi korban GL sambil digoyang-goyangkan dengan posisi korban di bawah dan Terdakwa di atas hingga Terdakwa mengeluarkan sperma. e. Pada tanggal 20 Agustus 2011 Terdakwa menyetubuhi lagi saksi korban GL di kamar Terdakwa, dengan cara menciumi pipi korban, selanjutnya Terdakwa melepas pakaian saksi korban, lalu meraba-raba payudara korban, kemudian Terdakwa melepas pakaiannya sendiri, lalu memasukkan alat kelaminnya yang sudah tegang ke dalam kemaluan saksi korban GL sambil digoyang-goyangkan dengan posisi korban di bawah dan Terdakwa di atas hingga Terdakwa mengeluarkan sperma. f. Pada tanggal 22 Agustus 2011 Terdakwa menyetubuhi lagi saksi korban GL di kamar Terdakwa, dengan cara menciumi pipi korban, selanjutnya Terdakwa melepas pakaian saksi korban, lalu meraba-raba payudara korban, kemudian Terdakwa melepas pakaiannya sendiri, lalu memasukkan alat kelaminnya yang sudah tegang ke dalam kemaluan saksi korban GL sambil digoyang-goyangkan dengan posisi korban di bawah dan Terdakwa di atas hingga Terdakwa mengeluarkan sperma. 71 g. Pada tanggal 23 Agustus 2011 Terdakwa menyetubuhi lagi saksi korban GL di kamar Terdakwa, dengan cara menciumi pipi korban, selanjutnya Terdakwa melepas pakaian saksi korban, lalu meraba-raba payudara korban, kemudian Terdakwa melepas pakaiannya sendiri, lalu memasukkan alat kelaminnya yang sudah tegang ke dalam kemaluan saksi korban GL sambil digoyang-goyangkan dengan posisi korban di bawah dan Terdakwa di atas hingga Terdakwa mengeluarkan sperma. h. Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI menyetubuhi lagi saksi korban GL yang ke 7, 8 dan 9 yang dilakukan di Lampung. i. Perbuatan Terdakwa akhirnya dilaporkan oleh saksi TARSIWAN (ayah kandung saksi korban GL ke pihak yang berwajib untuk diproses sesuai hukum yang berlaku. 2. Penangkapan dan Penahanan Terdakwa Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI ditangkap di Lampung pada tanggal 27 Oktober 2011, kemudian dibawa ke Purwokerto dan dilakukan penahanan berdasarkan Surat Perintah/Penetapan Penahanan oleh: a. Penyidik, tanggal 28 Oktober 2011, No. Pol: SP.Han/296/X/2011 sejak tanggal 28 Oktober 2011 s/d 16 November 2011. b. Diperpanjang penahanannya oleh Kepala Kejakasaan Negeri Purwokerto, tanggal 10 November 2011, No. Print-B-812/0.314/Euh.1/11/211 sejak tanggal 17 November 2011 s/d 26 Desember 2011. c. Jaksa Penuntut Umum tanggal 22 Desember 2011, No. Print-1670/0.3/14/ Euh.2/12/2011, sejak tanggal 22 Desember 2011 s/d 10 Januari 2012. d. Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto, tanggal 2 Januari 2012, Nomor 03/Pen.Pid.Sus/2012/PN.Pwt. sejak tanggal 02 Januari 2012 s/d 31 Januari 2012. e. Perpanjangan penahanan oleh Ketua Pengadilan Negeri Purwokerto, tanggal 24 Januari 2012, Nomor 03/Pen.Pid.Sus/2012/PN.Pwt. sejak tanggal 01 Februai 2012 s/d 31 Maret 2012. 3. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Terdakwa didakwa dengan dakwaan alternatif, yaitu melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam Surat Dakwaan Nomor Reg.Perk.: PDM.-04/PKRTO/Ep.2/12/2011 tertanggal 30 Desember 2011 sebagai berikut: 72 a. Dakwaan ke satu Perbuatan Terdakwa diatur dan diancam pidana berdasarkan Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, yaitu “dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan secara berlanjut”. b. Dakwaan ke dua Perbuatan Terdakwa diatur dan diancam pidana berdasarkan Pasal 287 ayat (1) KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, yaitu “melakukan persetubuhan terhadap wanita yang umurnya belum 15 (lima belas) tahun yang dilakukan secara berlanjut.” 4. Pembuktian Dalam pemeriksaan di persidangan, terdapat alat-alat bukti sebagai berikut: a. Keterangan Saksi-saksi Para saksi pada pokoknya memberikan keterangan di depan persidangan sebagai berikut: 1) Saksi korban GL Saksi adalah anak tiri Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI dan tinggal bersama sejak berumur 7 (tujuh) tahun. Kemudian sekolah di Ponpes di Bogor dan pulang ke rumah setahun sekali tiap bulan puasa. Sebelum melakukan persetubuhan, saksi dijanjikan akan dibelikan baju baru buat lebaran dan akan dituruti setiap apa yang diminta. Persetubuhan yang pertama terjadi pada tanggal 1 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, ke dua tanggal 15 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, ke tiga tanggal 19 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, ke empat tanggal 20 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, ke lima tanggal 73 22 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, ke enam tanggal 23 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, sedangkan yang ke tujuh, ke delapan dan ke sembilan dilakukan di Lampung, pada tanggal berapa saksi lupa. Pada awal melakukan persetubuhan, Terdakwa menciumi pipi saksi berkali-kali, kemudian membuka baju saksi dan meraba payudara serta kemaluan saksi, selanjutnya Terdakwa menggesekgesekkan alat kelaminnya yang sudah tegang lalu dimasukkan ke dalam kemaluan saksi sampai mengeluarkan spermanya di dalam kemaluan. Pada saat kejadian, tidak ada yang mengetahui karena saksi korban hanya tinggal berdua dengan ayah tirinya. Akibat perbuatan persetubuhan tersebut, kemaluan saksi terasa sakit dan sekarang mengalami kehamilan. Ata kehamilan tersebut berusaha digugurkan oleh Terdakwa di Lampung dengan cara dipijatkan ke seseorang lalu disuruh minum jamu. Atas keterangan saksi tersebut, Terdakwa membenarkan dan menyatakan tidak keberatan. 2) Saksi TARSIWAN bin SUMARNO Saksi adalah ayah kandung GL yang sudah bercerai sekitar 14 (empat belas) tahun. Dia membenarkan bahwa anaknya telah dihamili oleh ayah tirinya, setelah diberitahu oleh kakak mantan istrinya, (mengetahui kondisi anaknya dalam keadaan hamil setelah dibawa pulang dari Lampung). Kemudian Saksi menemui Kepala Desa Dawuhan Wetan untuk menceritakan kejadian tersebut dan selanjutnya melaporkan ke Polisi. Saksi mengatakan bahwa benar kejadian perseubuhan terjadi pada bulan puasa tahun 2011 dilakukan di rumah Terdakwa turut Desa Dawuhan Wetan RT 05/03 Kecamatan Kedunganteng, 74 Kabupaten Banyumas. Dikatakan pula bahwa korban baru berumur 14 tahun dan belum pantas untuk berumah tangga, serta berharap agar Terdakwa dihukum dengan hukuman setimpal. Atas keterangan saksi tersebut, Terdakwa membenarkan dan menyatakan tidak keberatan. 3) Saksi DALDIRI Saksi adalah kakek dari saksi korban GL yang bertempat tinggal di samping rumah Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI. Dia mengetahui kalau cucunya hamil pada bulan September 2011 dari korban sendiri dan juga pengakuan Terdakwa. Pada awalnya di bulan September 2011 Terdakwa pamit kepada saksi hendak kerja di Tangerang dan sekalian mengantar korban ke Ponpes di Bogor setelah pulang di bulan puasa. Selama 5 (lima) hari ternyata Terdakwa tidak memberi kabar sudah sampai tujuan atau belum. Selanjutnya saksi mengecek kepada teman korban yang satu sekolah di Ponpes Bogor, dan ternyata korban belum kembali ke Ponpes. Kemudian Saksi berusaha mencari informasi dan memperoleh petunjuk kalau dibawa Terdakwa ke Lampung. Bersama dengan KODRI (keponakan saksi) pada tanggal 22 September 2011, saksi menyusul ke Lampung dan menuju rumah adik Terdakwa bernama Budi. Pada saat bertemu dengan Terdakwa di Lampung inilah Terdakwa mengatakan “saya bersalah, minta maaf karena GL telah berhubungan intim dengan saya”. Setelah mendengar pengakuan Terdakwa, lalu saksi membawa korban pulang. Setelah sampai rumah, saksi memeriksakannya ke bidan, dan hasilnya korban hamil dan jalan 2 (tiga) bulan. Atas keterangan saksi tersebut, Terdakwa membenarkan dan menyatakan tidak keberatan. 75 4) Saksi KODRI bin PADOLI Saksi adalah paman dari saksi korban GL dan mengetahui kalau keponakannya telah dihamili oleh terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI setelah setelah pulang dari Lampung. Pada awalnya nenek korban cerita kepada saksi bahwa cucunya dibawa oleh Terdakwa untuk diantar ke Ponpes di Bogor, namun setelah dicek, korban belum masuk sekolah di Ponpes tersebut. Kemudian setelah mendapatkan informasi bahwa korban berada di Lampung, saksi diminta tolong untuk menjemput bersama kakek korban bernama DALDIRI. Selanjutnya saksi dan DALDIRI berangkat ke Lampung pada tanggal 20 September 2011 dan sampai di Lampung tanggal 22 September 2011, dan langsung menuju rumah adik Terdakwa bernama Budi. Saksi baru tahu kalau korban telah dihamili oleh Terdakwa setelah sampai di rumah. Atas keterangan saksi tersebut, Terdakwa membenarkan dan menyatakan tidak keberatan. 5) Saksi ANGGUN YUDI NUGROHO Saksi adalah aparat kepolisian yang telah menerima laporan dari TARSIWAN kalau anak kandungnya yaitu saksi korban GL dihamili oleh Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI. Setelah melakukan penyelidikan, kemudian saksi diperintahkan oleh atasan untuk berangkat ke Lampung mencari keberadaan Terdakwa. 76 Pada tanggal 27 Oktober 2011 saksi menuju ke Lampung untuk mencari keberadaan Terdakwa, dan bertemua di Jalan Raya Desa Gisting, lalu Terdakwa ditangkap dan dibawa ke Purwokerto. Dalam perjalanan ke Purwokerto, Terdakwa mengakui telah menyetubuhi korban berulang kali sehingga hamil. Dari pengakuan Terdakwa, korban mau diajak bersetubuh karena Terdakwa membujuk GL dengan janji akan dibelikan baju baru dan akan menuruti apa yang diminta. Atas keterangan saksi tersebut, Terdakwa membenarkan dan menyatakan tidak keberatan. b. Keterangan Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI adalah ayah tiri dari saksi korban GL. Pada waktu pemeriksaan di depan persidangan, Terdakwa mengakui telah melakukan persetubuhan dengan korban sebanyak 9 (sembilan) kali, yaitu 6 (enam) kali dilakukan di rumahnya di Desa Dawuhan Wetan RT 05/03 Kecamatan Kedunganteng, Kabupaten Banyumas, sedangkan sebanyak 3 (tiga) kali dilakukan di Lampung. Persetubuhan pertama pada tanggal 1 Agustus 2011 sekitar jam 04.00 WIB sehabis makan sahur di kamar Terdakwa, sampai mengeluarkan sperma di kemaluan korban. Persetubuhan ke dua tanggal 15 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, dengan selanjutnya Terdakwa memasukkan alat kelaminnya ke dalam kemaluan korban sampai mengeluarkan sperma. Persetubuhan ke tiga pada tanggal 19 Agustus 77 2011 di kamar Terdakwa selesai makan sahur. Persetubuhan ke empat tanggal 20 Agustus 2011 di kamar Terdakwa. Persetubuhan ke lima tanggal 22 Agustus 2011 di kamar Terdakwa. Persetubuhan ke enam tanggal 23 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, dilakukan pada setelah lebaran hari ke-4 jam 11.00 WIB. Persetubuhan ke ke tujuh, ke delapan, dan ke sembilan dilakukan di Lampung. Terdakwa mengetahui kalau korban hamil pada saat melakukan persetubuhan yang keempat, ketika korban mengatakan kalau dirinya terlambat bulan. Terdakwa mengetahui kalau korban masih anak-anak, masih berusia 14 tahun dan belum pantas untuk menjalin rumah tangga, tetapi Terdakwa masih tetap menyetubuhi korban karena didorong nafsu melihat tubuh korban dan juga dikarenakan sudah lama tidak mendapatkan nafkah batin karena istrinya bekerja di Hongkong sebagai TKI. Terdakwa tahu kalau berhubungan kelamin itu bisa menimbulkan kehamilan dan mengatakan kepada korban apabila sampai hamil siap untuk bertanggungjawab dengan menikahinya, kemudian korban akhirnya bersedia disetubuhi. c. Keterangan Ahli dr. HERNI SETIYOWATI, dokter pada Poliklinik Urdokes Polres Banyumas. telah melakukan pemeriksaan terhadap seorang perempuan bernama GL, umur 14 tahun, pelajar, alamat Desa Dawuhan Wetan RT 05/03 Kecamatan Kedunganteng, Kabupaten Banyumas, dari hasil pemeriksaan yang dituangkan dalam Visum Et Repertum No. Pol;R/20/X/2011 tanggal 24 Oktober 2011, diperoleh hasil sebagai berikut: 78 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) Mulut alat kelamin : Selaput dara : Liang senggama (vagina) : Mulut leher rahim (cervik) : Rahim (corpus uteri) : Lain-lain yang dijumpai : Pemeriksaan laboratorium : tidak ada kelainan ditemukan luka robek lama total (habis) tidak ada kelainan tidak ada kelainan TFU 3 jari di atas sympisis pubis Keputihan, HPHT dilakukan test urine dengan menggunakan test kehamilan instan merk One Med dengan hasil positif dengan umur kehamilan kurang lebih 15 minggu. d. Barang Bukti Barang bukti yang diajukan dan diperlihatkan pada saat pemeriksaan di pengadilan adalah sebagai berikut: 1) 1 (satu) buah kaos warna putih bergambar kumbang 2) 1 (satu) buah rok warna hitam Barang bukti tersebut telah disita secara sah menurut hukum, oleh karenanya dapat digunakan untuk memperkuat pembuktian. Majelis hakim telah pula memperlihatkan barang bukti tersebut, baik kepada para saksi maupun kepada Terdakwa, dimana Terdakwa telah membenarkannya. Oleh karena itu berdasarkan ketentuan Pasal 181 KUHAP Jo Pasal 184 ayat (1) KUHAP Jo Pasal 188 ayat (1) dan (2) KUHAP merupakan alat bukti yang sah. e. Petunjuk Berdasarkan alat bukti keterangan saksi-saksi, keterangan Terdakwa dan alat bukti surat berupa Visum et Repertum, maka didapat petunjuk sebagai berikut: 79 a) Berdasarkan Pasal 188 ayat (1) KUHAP, petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Selanjutnya dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP petunjuk tersebut hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. b) Berdasarkan keterangan para saksi yang dibenarkan oleh Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI dengan didukung oleh alat bukti surat berupa Visum et Repertum serta keterangan Terdakwa yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya telah memberikan petunjuk bahwa telah terjadi tindak pidana dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan secara berlanjut dilakukan oleh Terdakwa. c) Berdasarkan Pasal 188 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP petunjuk tersebut menjadi salah satu alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP. 5. Tuntutan Pidana Karena pemeriksaan telah cukup, maka Penuntut Umum mengajukan tuntutan pidana yang pada pokoknya supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan: a. Menyatakan Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan secara berlanjut”, sebagaimana dalam dakwaan ke satu Jaksa Penuntut Umum. b. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut di atas dengan pidana penjara selama 11 (sebelas) tahun dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah Terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan. c. Menyatakan barang bukti berupa: 1) 1 (satu) buah kaos warna putih bergambar kumbang 2) 1 (satu) buah rok warna hitam Dikembalikan kepada GL d. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah). 80 6. Pembelaan Terdakwa menolak untuk didampingi Penasihat Hukum. Atas tuntutan pidana yang diajukan oleh Penuntut Umum, Terdakwa mengajukan pembelaan secara lisan, yang pada pokoknya mohon keringanan hukuman karena telah mengakui bersalah dan menyesali perbuatannya. 7. Replik Penuntut Umum Atas pembelaan Terdakwa tersebut, Penuntut Umum dalam repliknya yang pada pokoknya menyatakan tetap dengan tuntutannya. 8. Duplik Terdakwa Atas replik yang diajukan oleh Penuntut Umum, Terdakwa mengajukan duplik secara lisan yang menyatakan tetap dengan pembelaannya. 9. Fakta-fakta Hukum Berdasarkan keterangan saksi-saksi, alat bukti surat dan didukung adanya barang bukti serta keterangan Terdakwa di persidangan, diperoleh fakta-fakta hukum bahwa Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI menikah dengan ibu korban GL. Pernikahan tersebut terjadi sejak korban berumur 7 (tujuh) tahun. Ibu korban bekerja sebagai TKI di Hongkong, sehingga Terdakwa tinggal serumah dengan korban di rumah milik ibu korban di Desa Dawuhan Wetan RT 05/03 Kecamatan Kedunganteng, Kabupaten Banyumas. Pada saat memasuki SMP, korban sekolah di sebuah Pondok Pesantren di Bogor. Awal persetubuhan terjadi ketika korban pulang ke rumah pada liburan puasa bulan September 2011. Persetubuhan antara Terdakwa dengan korban dilakukan 81 sebanyak 9 (sembilan) kali, yaitu 6 (enam) kali dilakukan di rumah di Desa Dawuhan Wetan RT 05/03 Kecamatan Kedunganteng, Kabupaten Banyumas, sedangkan sebanyak 3 (tiga) kali dilakukan di Lampung. Persetubuhan pertama pada tanggal 1 Agustus 2011 sekitar jam 04.00 WIB sehabis makan sahur di kamar Terdakwa, sampai mengeluarkan sperma di kemaluan korban. Persetubuhan ke dua tanggal 15 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, dengan selanjutnya Terdakwa memasukkan alat kelaminnya ke dalam kemaluan korban sampai mengeluarkan sperma. Persetubuhan ke tiga pada tanggal 19 Agustus 2011 di kamar Terdakwa selesai makan sahur. Persetubuhan ke empat tanggal 20 Agustus 2011 di kamar Terdakwa. Persetubuhan ke lima tanggal 22 Agustus 2011 di kamar Terdakwa. Persetubuhan ke enam tanggal 23 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, dilakukan pada setelah lebaran hari ke-4 jam 11.00 WIB. Persetubuhan ke ke tujuh, ke delapan, dan ke sembilan dilakukan di Lampung. Terdakwa mengetahui kalau korban hamil pada saat melakukan persetubuhan yang keempat, ketika korban mengatakan kalau dirinya terlambat bulan. Terdakwa mengetahui kalau korban masih anak-anak, masih berusia 14 tahun dan belum pantas untuk menjalin rumah tangga, tetapi Terdakwa masih tetap menyetubuhi korban karena didorong nafsu melihat tubuh korban dan juga dikarenakan sudah lama tidak mendapatkan nafkah batin karena istrinya bekerja di Hongkong sebagai TKI. 82 Terdakwa mengetahui kalau berhubungan kelamin bisa menimbulkan kehamilan dan mengatakan kepada korban apabila sampai hamil siap untuk bertanggungjawab dengan menikahinya, kemudian korban akhirnya bersedia disetubuhi. Akibat perbuatan Terdakwa tersebut, korban mengalami kehamilan yang sudah berumur 3 (tiga) bulan. 10. Putusan Pengadilan a. Hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan Sebelum menjatuhkan pidana, terlebih dahulu dipertimbangkan halhal yang memberatkan dan yang meringankan. Hal-hal yang memberatkan adalah: 1) Perbuatan Terdakwa merusak masa depan saksi GL 2) Perbuatan Terdakwa merendahkan martabat kaum perempuan 3) Perbuatan Terdakwa dilakukan terhadap orang yang seharusnya dilindungi. Adapun hal-hal yang meringankan adalah: 1) Terdakwa belum pernah dihukum 2) Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya 3) Terdakwa bersikap sopan di persidangan. b. Amar Putusan Majelis Hakim, dengan mengingat Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, menjatuhkan putusan yang amar putusannya berbunyi sebagai berikut: 83 1) Menyatakan Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ” dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan secara berlanjut” 2) Menjatuhkan terhadap Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI tersebut dengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun dan denda sebesar Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar oleh Terdakwa diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan. 3) Menetapkan lamanya Terdakwa ditahan dalam Rumah Tahanan Negara dikurangkan seluruhnya dai pidana yang dijatuhkan. 4) Menetapkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan. 5) Menyatakan barang bukti berupa: a) 1 (satu) buah kaos warna putih bergambar kumbang b) 1 (satu) buah rok warna hitam Dikembalikan kepada GL 6) Menetapkan agar Terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah). B. Pembahasan Suatu tindakan yang merugikan orang lain atau tindakan yang melawan hukum ada yang disebut tindak pidana. Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana serta tindak pidana merupakan pelanggaran terhadap norma atau kaidah sosial yang telah ada dalam masyarakat. Hukum, menurut C.S.T. Kansil, melayani tujuan negara tersebut dengan menyelenggarakan: Keadilan dan ketertiban, sebagai syarat-syarat pokok untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan. Bahwa adil itu kiranya dapat digambarkan sebagai suatu keadaan keseimbangan yang membawa ketentraman di hati orang, dan jika diusik atau dilanggar akan menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan.107 107 C.S.T. Kansil. 1989. Pengantar Ilmu Hukum Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. Hal.41. 84 Seseorang dikatakan melawan hukum apabila melanggar peraturan hukum pidana (KUHP) dan peraturan-peraturan lain di luar KUHP. Pelakunya diancam dengan pidana sesuai perbuatannya seperti yang termuat dalam peraturan tersebut. Perbuatan yang diancam dengan hukum pidana adalah: Perbuatan yang secara mutlak harus memenuhi syarat formal, yaitu dengan mencocokan dengan rumusan Undang-undang yang telah ditetapkan yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan peraturan-peraturan lain yang berdimensi pidana dan memiliki unsur material yaitu bertentangan dengan cita-cita mengenai pergaulan masyarakat atau dengan kata pendek suatu sifat melawan hukum atau tindak pidana.108 Salah satu perbuatan yang bersifat melawan hukum atau tindak pidana adalah tindakan pemerkosaan atau membujuk untuk melakukan persetubuhan di luar ikatan perkawinan yang sah. Moeljatno mengatakan bahwa perkosaan menurut konstruksi yuridis perundang-undangan di Indonesia (KUHP), adalah: Perbuatan memaksa seorang wanita yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Kata-kata “memaksa” dan “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan” di sini sudah menunjukkan betapa mengerikannya pemerkosaan tersebut. “Pemaksaan hubungan kelamin pada wanita yang tidak menghendakinya akan menyebabkan kesakitan hebat pada wanita tersebut, apalagi disertai kekerasan fisik. Kesakitan hebat dapat terjadi tidak hanya sebatas fisik saja, tetapi juga dari segi psikis.109 Korban pemerkosaan atau bujukan untuk melakukan persetubuhan, dapat terjadi pada anak-anak di bawah umur, berdasarkan ketentuan Pasal 290 angka 3 KUHP dirumuskan bahwa: Barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas yang bersangkutan atau kutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain. 108 Moeljatno. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana Cetakan Pertama. Bina Aksara. Yogyakarta. Hal. 20. 109 Suryono Ekotama, Harum Pudjiarta dan Widiartana. 2001. Op. Cit. hal. 96. 85 Ketentuan lain dalam KUHP, yaitu Pasal 288 ayat (1) KUHP merumuskan sebagai berikut: Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di dalam pernikahan, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa sebelum mampu dikawin, diancam apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Pasal-Pasal di atas yang mengatur soal larangan berhubungan badan (bersetubuh) dengan wanita yang berusia di bawah lima belas tahun, di bawah dua belas tahun atau belum mampu untuk kawin. Artinya, pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat dianggap sebagai kejahatan kesusilaan. Pelakunya dengan mudah dapat dituduh telah melakukan perkosaan yang secara ekplisit menyebut soal perkosaan. Selain KUHP, di dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga dirumuskan tentang tindak pidana persetubuhan dengan korban anakanak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 81 UU No. 23 Tahun 2002 yang merumuskan sebagai berikut: (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Salah satu kasus tindak pidana pemerkosaan/persetubuhan dengan korban anak di bawah umur menimpa korban bernama GL, berumur 14 (empat belas) tahun, yang dilakukan oleh ayah tirinya sendiri yaitu MUHAJIR RASYID bin ROSIDI yang beralamat di Desa Dawuhan Wetan RT 05/03 Kecamatan 86 Kedunganteng, Kabupaten Banyumas. Atas perbuatannya tersebut, MUHAJIR RASYID bin ROSIDI didakwa melakukan tindak pidana dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan secara berlanjut dan melanggar ketentuan Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 ayat (1) KUHP dan telah dijatuhi hukuman pidana dengan Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT. tersebut, penelitian ini mengkaji tentang penerapan unsur-unsur Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT dan pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto dalam menjatuhkan pidana pada perkara Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT. 1. Penerapan unsur-unsur Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, maka Majelis Hakim sampai pada pembuktian mengenai unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan Penuntut Umum kepada Terdakwa. Oleh karena dakwaan Penuntut Umum disusun secara alternatif, maka Majelis Hakim mempertimbangkan salah satu dari dakwaan tersebut yang unsur-unsurnya dipandang sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, yaitu dakwaan ke satu, melanggar Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, dengan unsur-unsur sebagai berikut: 87 a. Unsur barangsiapa Barangsiapa adalah setiap orang selaku subyek hukum yang diduga atau disangka telah melakukan perbuatan yang dapat dihukum atas perbuatannya dan orang tersebut mampu bertanggung jawab atas perbuatannya. Rumusan kata barangsiapa atau setiap orang dalam hukum pidana menunjuk kepada subyek hukum. Bahwa setiap subyek hukum melekat erat kemampuan bertanggng jawab, yaitu hal-hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan orang yang telah melakukan sesuatu yang tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-undang yang dapat diukum, sehingga seseorang sebagai subyek hukum untuk dapat dihukum harus memiliki kemampuan bertanggung jawab atas perbuatannya.110 Berdasarkan pengertian tersebut di atas, dihubungkan dengan faktafakta yang terungkap dalam persidangan, yang didasarkan pada keterangan saksi-saksi dan keterangan Terdakwa sendiri, telah memberikan identitasnya, yaitu 1) 2) 3) 4) 5) 6) Nama Umur/tanggal lahir Tempat lahir Jenis Kelamin Kebangsaan Alamat 7) Pendidikan 8) Agama 9) Pekerjaan 110 hal. 17 : : : : : : MUHAJIR RASYID bin ROSIDI 42 tahun/31 Agustus 1969 Banyumas Laki-laki Indonesia Desa Dawuhan Wetan RT 05 RW 03 Kec. Kedungbanteng Kabupaten Banyumas : SMA : Islam : Buruh Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT. 88 Selama persidangan terbukti bahwa Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI, mampu bertanggung jawab secara hukum dan dalam diri Terdakwa tidak ditemukan alasan yang dapat menghapus pertangungjawaban pidana. Dengan demikian, unsur ”barangsiapa” terpenuhi, yaitu orang yang dimaksud sebagai pelaku dalam tindak pidana dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan secara berlanjut. b. Unsur dengan sengaja Makna ”sengaja” tidak dapat lepas dari niat yang hanya ada dalam sikap batin pelaku, namun demikian sikap batin tersebut dapat diketahui dari formulasi perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Dalam KUHP tidak memberikan rumusan pengertian ”dengan sengaja”, oleh karena itu Majelis Hakm berpedoman pada pengertian ”dengan sengaja” yang terdapat dalam memori van Teolichting, bahwa kata ”dengan sengaja” atau dolus atau opzet dalam memori van Teolicting adalah mengandung makna ”willens en weten” yang artinya bahwa seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan ”dengan sengaja” harus menghendaki (willen) dari perbuatan itu, serta harus menginsafi (weten) akan akibat dari perbuatannya tersebut.111 Unsur dengan sengaja ini merupakan unsur subjektif yang berkaitan dengan keadaan batin pelaku, yang hanya dapat diketahui dari rangkaian perbuatannya. Menurut doktrin hukum pidana, untuk menetapkan suatu perbuatan dilakukan ”dengan sengaja” atau tidak sengaja dikenal dengan 3 (tiga) teori, yaitu: 111 Ibid. hal. 18. 89 1) Teori kehendak, adalah apabila perbuatan tersebut dikehendaki oleh pelaku, tidak dipersoalkan apakah pelaku mengetahui atau tidak bahwa perbuatan tersebut akan menimbulkan akibat yang dilarang. 2) Teori pengetahuan, yaitu bahwa perbuatan tertentu dikatakan sengaja apabila perbuatan tersebut diketahui oleh pelaku yang jika perbuatan itu dilakukan akan menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum pidana. 3) Teori gabungan, yaitu gabungan dari kedua teori tersebut di atas, suatu perbuatan dikatakan disengaja apabila perbuatan tersebut diketahui dan dikehendaki oleh pelaku.112 Menurut doktrin hukum pidana modern, kesengajaan dikenal dengan tiga gradasi, dan dipergunakan untuk menentukan hubungan kausal antara kelakuan/perbuatan dengan akibat yang dilarang hukum pidana, yaitu: 1) Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk), berarti terjadinya suatu tindakan atau akibat tertentu adalah betul-betul sebagai perwujudan dan dari maksud atau tujuan dan pengetahuan pelaku. 2) Kesengajaan sebagai keadaan pasti (kepastian) atau keharusan (opzet bij zekerheids bewustzijn), berarti untuk mencapai maksud yang sebenarnya Terdakwa harus melakukan perbuatan yang dilarang. 3) Kesengajaan dengan menyadari kemungkinan (voorwaardelijkopzet), yang menjadi standar kesengajaan ini adalah sejauh mana pengetahuan dan kesadaran pelaku tentang tindakan dan akibat terlarang.113 112 113 Ibid. hal. 18-19 Ibid. hal. 19. 90 Berdasarkan fakta-fakta di persidangan terungkap bahwa pada tanggal 01 Agustus 2011 sekitar pukul 04.00 WIB, tanggal 15 Agustus 2011, tanggal 19 Agustus 2011, tanggal 20 Agustus 2011, tanggal 22 Agustus 2011, tanggal 23 Agustus 2011 dan hari ke-4 lebaran Tahun 2011 di rumah Terdakwa Desa Dawuhan Wetan RT 05/03 Kecamatan Kedunganteng, Kabupaten Banyumas, Terdakwa telah melakukan persetubuhan dengan saksi korban GL yang lahir pada tanggal 13 Mei 1997 dan masih berumur 14 (empat belas) tahun, bahwa Terdakwa sebagai orang tua saksi GL tahu kalau perbuatan tersebut dilarang oleh undang-undang serta bertentangan dengan norma agama, dan Terdakwa sebagai orang tua saksi GL yang seharusnya mendidik, melindungi saksi GL yang masih anak-anak, akan tetapi Terdakwa malah menyetubuhi saksi GL sehingga jelas Terdakwa mengetahui akan perbuatan yang dilakukan tersebut yaitu kehamilan GL. Dengan demikian ”Unsur dengan sengaja” terpenuhi. c. Unsur melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak Elemen dari unsur ini bersifat alternatif, sehingga apabila salah satu elemen dari unsur ini sudah terbukti, maka unsur pidana haruslah dinyatakan terbukti.114 Berdasarkan fakta-fakta di persidangan, yaitu keterangan saksi-saksi dengan barang bukti serta alat bukti surat, bahwa 114 Ibid. hal. 20 91 sebelum Terdakwa melakukan persetubuhan terhadap saksi GL yang masih berumur 14 tahun, Terdakwa membujuk korban dengan mengatakan ”kalau mau berhubungan akan dibelikan baju baru dan siap bertanggung jawab dengan menikahi GL”, karena saat itu bulan puasa dan mau lebaran, sehingga kata-kata tersebut oleh saksi korban GL dipercaya, sehingga mau melakukan persetubuhan dengan terdakwa. Dengan demikian ”unsur melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak” terpenuhi. d. Unsur melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain Pengertian persetubuhan adalah pertemuan antara alat kelamin lakilaki (penis) dengan alat kelamin perempuan (vagina), yaitu alat kelamin laki-laki masuk ke dalam alat kemaluan perempuan. Berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan Terdakwa di persidangan serta alat bukti Visum et Repertum, diketahui bahwa pada tanggal 01 Agustus 2011 sekitar pukul 04.00 WIB, tanggal 15 Agustus 2011, tanggal 19 Agustus 2011, tanggal 20 Agustus 2011, tanggal 22 Agustus 2011, tanggal 23 Agustus 2011 di rumah Terdakwa Desa Dawuhan Wetan RT 05/03 Kecamatan Kedunganteng, Kabupaten Banyumas, Terdakwa telah melakukan persetubuhan dengan saksi korban GL dengan cara awalnya Terdakwa menciumi bibir dan meremas-remas payudara korban, karena alat kelamin Terdakwa sudah tegang, lalu membuka pakaian GL hingga telanjang, selanjutnya Terdakwa melepas pakaiannya sendiri hingga telanjang, lalu Terdakwa menjilati putting 92 payudara GL, kemudian Terdakwa memasukkan alat kelaminnya yang sudah tegang ke dalam kemaluan saksi korban GL, dengan posisi GL di bawah dan Terdakwa di atas sambil menggoyang-goyangkan kemaluannya hingga Terdakwa puas dan mengeluarkan sperma. Sesuai Visum et Repertum No. Pol;R/20/X/2011 tanggal 24 Oktober 2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. HERNI SETIYOWATI, dokter pada Poliklinik Urdokes Polres Banyumas, setelah melakukan pemeriksaan terhadap seorang perempuan bernama GL, umur 14 tahun, pelajar, alamat Desa Dawuhan Wetan RT 05/03 Kecamatan Kedunganteng, Kabupaten Banyumas, dari pemeriksaan diperoleh hasil sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) Mulut alat kelamin : Selaput dara : Liang senggama (vagina) : Mulut leher rahim (cervik) : Rahim (corpus uteri) : Lain-lain yang dijumpai : Pemeriksaan laboratorium : 8. Kesimpulan tidak ada kelainan ditemukan luka robek lama total (habis) tidak ada kelainan tidak ada kelainan TFU 3 jari di atas sympisis pubis Keputihan, HPHT dilakukan test urine dengan menggunakan test kehamilan instan merk One Med dengan hasil positif dengan umur kehamilan kurang lebih 15 minggu. : Dari pemeriksaan fisik yang dilakukan terhadap perempuan tersebut di atas, ditemukan luka robek lama pada hymen (selaput dara) total (habis), yang diakibatkan oleh karena kekerasan benda tumbul dan yang bersangkutan dalam keadaan hamil. Dengan demikian ”unsur melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain” terpenuhi 93 e. Unsur melakukan beberapa perbuatan perhubungan, sehingga dengan demikian harus dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan Beberapa perbuatan dipandang sebagai perbuatan berlanjut apabila perbuatan tersebut memenuhi syarat sebagai berikut: 1) Harus timbul dari suatu niat, kehendak atau keputusan. 2) Perbuatan-perbuatan tersebut harus sama atau sama macamnya. 3) Antara perbuatan yang satu dengan lainnya tidak boleh terlalu lama.115 Berdasarkan fakta-fakta di persidangan terungkap bahwa Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI melakukan persetubuhan dengan GL sebanyak 9 (sembilan) kali, yaitu persetubuhan pertama dilakukan malam hari di kamar terdakwa pada tanggal 1 Agustus 2011, persetubuhan kedua tanggal 15 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, persetubuhan ketiga tanggal 19 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, persetubuhan keempat tanggal 20 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, persetubuhan kelima tanggal 22 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, persetubuhan keenam tanggal 23 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, sedangkan persetubuhan ke 7, 8, dan 9 Terdakwa melakukan persetubuhan dengan GL di Lampung. Dengan demikian ”unsur melakukan beberapa perbuatan perhubungan, sehingga dengan demikian harus dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan” terpenuhi. 115 Ibid. hal. 21 94 Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, semua unsur yang terdapat dalam Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, telah terpenuhi dan berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan Terdakwa yang didukung dengan barang bukti, Majelis Hakim memperoleh kesimpulan dan berkeyakinan bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya, yaitu dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan secara berlanjut.. 2. Pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Purwokerto dalam menjatuhkan pidana pada perkara Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT. Seseorang dapat dijatuhi pidana adalah apabila orang itu telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang telah dirumuskan dalam KUHP, karena pada umumnya Pasal-Pasal dalam KUHP terdiri dari unsur-unsur tindak pidana. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lamintang, yaitu: Lamintang juga menjelaskan tentang unsur-unsur subjektif dan unsurunsur objektif sebagai berikut: Unsur-unsur subjektif yaitu unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan dengan diri si pelaku, termasuk kedalamnya yaitu segala yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur objektif yaitu unsur-unsur yang ada hubunganya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.116 Mengenai pengertian starfbaar feit, Sudarto membagi menjadi dua pandangan: 116 Ibid . hal. 193 95 a. Pandangan monistis yaitu melihat keseluruhan (tumpukan) syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan. b. Pandangan dualistis yaitu pandangan yang memisahkan “pengertian perbuatan pidana” (criminal act) dan ”pertanggungjawaban pidana” (criminal responbility).117 Unsur-unsur tindak pidana yang dikemukakan oleh ahli hukum dalam pandangan monistis, sebagaimana dikutip oleh Sudarto adalah sebagai berikut: Menurut Simons unsur-unsur strafbaar feit adalah: a. Perbuatan manusia (positif dan negatif; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan); b. Diancam dengan pidana (strafbaargesteld); c. Melawan unsur (onrechtmatig); d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand); e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (teorekeningsvatbaar persoon). Van Hamel menyebutkan unsur-unsur strafbaar feit adalah sebagai berikut: a. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang; b. Bersifat melawan hukum; c. Dilakukan dengan kesalahan; d. Patut dipidana E Mezger menyebutkan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut: a. Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan); b. Sifat melawan hukum (baik bersifat objektif maupun subjektif) ; c. Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang; d. Diancam dengan pidana. J. Baumman menyebutkan unsur-unsur tindak pidana yaitu adanya perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dilakukan dengan kesalahan Menurut Karni delik itu mengandung suatu perbuatan yang mengandung perlawanan hak, yang dilakukan dengan salah dosa, oleh orang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut dipertanggungkan. Menurut Wirjono Prodjodikoro, beliau mengemukakan definisi pendek, yaitu: Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana. Jelas sekali dilihat dari definisi-definisi di atas tidak adanya pemisahan antara criminal act (perbuatan pidana) dan criminal responsibility 118 (pertanggungjawaban pidana). 117 118 Sudarto. Op. Cit, 1991, hal..24. Ibid hal.. 24-25. 96 Beberapa sarjana yang mempunyai pandangan dualistis mengemukakan unsur-unsur tindak pidana, sebagaimana dikutip oleh Sudarto sebagai berikut: Menurut H.B Vos unsur-unsur Strafbaar feit yaitu: a. Kelakuan manusia, dan b. Diancam pidana dalam undang-undang Menurut W.P.J Pompe unsur-unsur yaitu: a. Perbuatan b. Bersifat melawan hukum c. Dilakukan dengan kesalahan, dan d. Diancam pidana. Menurut Moeljatno untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur: a. Perbuatan (manusia); b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil); c. Bersifat melawan hukum (syarat materil).119 Menurut Sudarto sendiri yaitu kedua pendirian tersebut di atas tidak ada perbedaan yang prinsipiil, dengan alasan: ... sebab jika seseorang menganut pendirian salah satu diantaranya hendaknya memegang pendirian tersebut dengan konsukuen, agar tidak ada kekacauan pengertian. Yang penting adalah bahwa kita harus menyadari bahwa untuk pengenaan pidana itu diperlukan syarat-syarat tertentu, dan semua syarat yang diperlukan untuk pengenaan pidana harus lengkap adanya.120 Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan serta keadaan diri Terdakwa di dalam atau selama mengikuti persidangan, membuktikan bahwa pada diri Terdakwa tidak didapati hal-hal yang dapat melepaskannya dari pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pemaaf maupun sebagai alasan pembenar sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 44 (pelaku yang sakit/terganggu jiwanya), Pasal 48 KUHPidana (perbuatan yang dilakukan dalam keadaan terpaksa), Pasal 49 ayat (1) KUHPidana 119 120 Ibid hal.. 25-26. Ibid hal..26. 97 (perbuatan yang dilakukan untuk membela diri), Pasal 50 KUHPidana (melaksankan peraturan perundang-undangan), dan Pasal 51 ayat (1) KUHPidana (melakukan perintah jabatan yang syah), sehingga oleh karena itu, terhadap diri Terdakwa harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana setimpal dengan kesalahannya. Berdasarkan Yurisprudensi MA No. 39K/Kr/1969, unsur mutlak suatu tindak pidana adalah: a. Memenuhi rumusan undang-undang b. Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar) c. Kesalahan 1) mampu bertanggung jawab; 2) tidak ada alasan pemaaf. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa perbuatan tindak pidana apabila perbuatan itu memenuhi syarat-syarat pemidanaan, yaitu: a. Memenuhi rumusan undang-undang; b. Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar) c. Terhadap pelakunya atau orangnya harus ada unsur kesalahan: d. Orang yang melakukan tindakan mampu bertanggungjawab e. Dolus atau Culpa (tidak ada alasan pemaaf) Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dijelaskan lebih lanjut mengenai unsur-unsur tindak pidana, yaitu sebagai berikut: a. Memenuhi rumusan undang-undang Mengenai penentuan perbuatan pidana yang memenuhi rumusan undang-undang, Indonesia menganut azas legalitas yang terdapat Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang merumuskan: 98 Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Roeslan Saleh memberikan komentarnya mengenai ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut sebagai berikut: Hal ini sesuai dengan pernyataan pembentuk undang-undang yang menyatakan dalam suatu aturan perundang-undangan pidana, sebelum dinyatakan dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana maka perbuatan tersebut belum dapat dikatakan perbuatan pidana. Hal tersebut memenuhi ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.121 Dengan demikian bahwa dasar pokok dalam menjatuhkan pidana adalah norma yang tertulis. Azas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, lebih dikenal dalam bahasa latin yaitu nullum delictum poena sine previa lege poenela (tidak ada pidana tanpa ada peraturan lebih dulu). Azas ini bertujuan untuk terjaminya kepastian hukum di samping latar belakang bahwa tentu saja azas ini mencagah agar tidak terjadi kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyatnya. Azas ini mengandung tiga pengertian: 1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu belum dinyatakan dalam suatu peraturan perundang-undangan. 2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas). 3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.122 Bahwa perbuatan pidana “dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan secara berlanjut.” dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 121 Roeslan Saleh. 1980. Op. Cit. hal. 1. Ibid hal.. 40. 122 99 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT. dilakukan atau terjadi setelah ditetapkannya Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. b. Bersifat melawan hukum Unsur pemidanaan yang kedua adalah bersifat melawan hukum, Roeslan Saleh mengatakan bahwa: Bersifat melawan hukum dalam Bahasa Belanda disebut dengan istilah “Onrechtmatigheid” atau bisa dinamakan juga “Wederrechtelijkheid”. Mengenai unsur sifat melawan hukum, dengan jalan menyatakan suatu perbuatan dapat dipidana maka pembentuk undang-undang memberitahukan bahwa ia memandang perbuatan itu sebagai bersifat melawan hukum, atau untuk selanjutnya dipandang seperti demikian123 Menurut Pompe, dikutip oleh Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah: Melawan hukum merupakan unsur mutlak perbuatan pidana bilamana melawan hukum secara tegas disebutkan dalam ketentuan pidana bersangkutan. Sesungguhnya demikian, walaupun melawan hukum bukan unsur mutlak perbuatan pidana, namun adanya hal-hal yang menghapuskan unsur melawan hukum akan menghapuskan pula adanya pidana.124 Menurut pendapat para ahli, sebagaimana dikutip oleh Teguh Prasetyo, mengenai pengertian melawan hukum antara lain adalah dari: 1) Simon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum pada umumnya. 2) Noyon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hak subjektif orang lain. 3) Pompe: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum dengan pengertian yang lebih luas, bukan hanya bertentangan dengan undangundang tetapi juga dengan hukum yang tidak tertulis. 4) Van hannel: Melawan hukum adalah onrechmatig atau tanpa hak/ wewenang. 123 124 Ibid hal. 1. Ibid hal. 5. 100 5) Hoge raad: Dari arrest-arrest-nya dapat disimpulkan, menurut HR melawan hukum adalah tanpa hak atau tanpa kewenangan.. 6) Lamintang: perbedaan diantara pakar tersebut antara lain disebabkan karena dalam bahasa Belanda recht dapat berarti hukum” dan dapat berarti “hak.” Ia mengatakan, dalam bahasa Indonesia kata wederrechtelijk itu berarti “secara tidak sah” yang dapat meliputi pengertian “bertentangan dengan hukum objektif” dan “bertentangan dengan hak orang lain atau hukum subjektif”.125 Melawan hukum artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan (melawan hukum formil) namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat (melawan hukum materil) maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Menentukan perbuatan itu dapat dipidana, pembentuk undangundang menjadikan sifat melawan hukum sebagai unsur yang tertulis. Tanpa unsur ini, rumusan undang-undang akan menjadi terlampau luas. Sifat ini juga dapat dicela kadang-kadang dimasukkan dalam rumusan delik culpa. Jika unsur melawan hukum itu dengan tegas terdapat di dalam rumusan delik, maka unsur juga harus dibuktikan, sedangkan jika dengan tegas dicantumkan maka tidak perlu dibuktikan. Penentuan apakah suatu perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum diperlukan unsur-unsur: 1) Perbuatan tersebut melawan hukum; 2) Harus ada kesalahan pada pelaku; 3) Harus ada kerugian.126 Suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau 125 126 Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah. 2005. Op. Cit. hal. 31-32. Theodorus M. Tuanakotta. 2009. Op. Cit. Jakarta. hal. 73. 101 asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum dalam suatu perkara, misalnya faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung. Ajaran sifat melawan hukum memiliki kedudukan yang penting dalam hukum pidana di samping asas Legalitas. Ajaran ini terdiri dari ajaran sifat melawan hukum yang formal dan materiil, sebagaimana dijelaskan oleh Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, sebagai berikut: 1) Ajaran sifat melawan hukum formal Sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik undang undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat dipidananya perbuatan. Ajaran sifat melawan hukum formal adalah apabila suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-alasan pembenar maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang. 2) Ajaran sifat melawan hukum materiil Sifat melawan hukum materiil merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang tidak hanya terdapat di dalam undang-undang (yang tertulis), tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis juga. Sifat melawan hukum itu dapat dihapuskan berdasar ketentuan undang-undang maupun aturan-aturan yang tidak tertulis.127 Ajaran sifat melawan hukum materiil adalah memenuhi semua unsur rumusan delik, perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. karena itu ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang, dengan kata lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis. Menurut D. Schaffmeister, et.al., terjemahan J. E. Sahetapy, pengertian melawan hukum itu ada 4 kelompok yaitu: 127 Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah. 2005. Op.,cit.hal. 34-35. 102 1) Sifat melawan hukum secara umum Semua delik tertulis atau tidak tertulis sebagai bagian inti delik dalam rumusan delik, harus melawan hukum baru dapat dipidana, jadi tidak perlu dicantumkan di dalam surat dakwaan adanya melawan hukum dan juga tidak perlu dibuktikan. Contoh: pembunuhan. 2) Sifat melawan hukum secara khusus Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 yang secara tegas mencantumkan “melawan hukum” dengan sendirinya “melawan hukum” harus dicantumkan di dalam surat dakwaan sehingga harus dibuktikan adanya “melawan hukum”. Jika tidak dapat dibuktikan putusan bebas. 3) Sifat melawan hukum secara materil Bukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang saja, tetapi juga perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan, kelaziman di dalam pergaulan masyarakat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum. 4) Sifat melawan hukum secara formil. Seluruh bagian inti delik apabila sudah dipenuhi atau dapat dibuktikan, dengan sendirinya dianggap perbuatan itu telah melawan hukum.128 Menurut Moeljatno ada perbedaan antara pandangan yang formal dengan pandangan yang materiil, yaitu: 1) Mengakui adanya pengecualiaan/penghapusan dari sifat melawan hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis, sedangkan pandangan yang formal hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja, misalnya Pasal 44 KUHP, mengenai kurang sempurnanya akal seseorang atau karena sakit berubah akal, Pasal 48 KUHP, mengenai over macht, 49 KUHP, mengenai pembelaan terpaksa (noodweer); 2) Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan pidana, juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsurunsur tersebut, sedang bagi pandangan yang formal, sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur daripada perbuatan pidana. Hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata-nyata, barulah menjadi unsur delik.129 Menurut Bambang Poernomo, sifat melawan hukumnya suatu perbuatan terdapat dua ukuran, yaitu: 128 129 D. Schaffmeister, et.al., 2003. Op. Cit. hal. 39. Moeljatno. 1987. Op. Cit. hal. 134. 103 Sifat melawan hukum yang formal atau formele wederrechttelijkheidsbegrip dan sifat melawan hukum yang materiil atau materieele wederrechttelijkheidsbegrip. Melawan hukum formil apabila perbuatannya dilihat semata-mata sebagai perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, sesuai dengan rumus delik dan pengecualiaannya, seperti daya paksa, pembelaan terpaksa, itu pun karena ditentukan secara tertulis dalam undang-undang. Sebaliknya, melawan hukum materiil, melihat perbuatan melawan hukum itu tidak selalu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dan suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang dapat dikecualikan sebagai perbuatan yang tidak melawan hukum. Dengan demikian, dalam pandangan sifat melawan hukum materiil, melawan hukum dapat diartikan baik melawan peraturan perundangundangan, maupun hukum di luar peraturan perundang-undangan.130 Bahwa perbuatan pidana “dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan secara berlanjut” dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT. merupakan perbuatan pidana yang bersifat melawan hukum, yaitu pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. c. Kesalahan Unsur pemidanaan yang ketiga adalah kesalahan yang terdiri dari kesengajaan (dolus dan culpa) dan kemampuan bertanggung jawab. Hal ini sesuai dengan penjelasan dari Sudarto bahwa: Untuk memungkinkan adanya pemidanaan secara wajar, maka tidak cukup apabila seseorang telah melakukan tindak pidana belaka. Di samping itu pada orang tersebut harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab.131 130 131 Bambang Poernomo. 1994. Op. Cit.hal. 115. Sudarto. 1991. Op. Cit, hal. 39. 104 Dipidananya seseorang tidaklah cukup orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatanya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana.Untuk itu pemidanaan masih perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Sudarto, bahwa: Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Azas kesalahan (culpabilitas) menyangkut orangnya atau pelakunya. Jadi untuk adanya pemidanaan harus ada kesalahan pada si pembuat tindak pidana. Dalam hal ini berlaku azas “nulla poena sine culpa” atau tidak ada pidana tanpa kesalahan132 Menurut Sudarto, kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat tindak pidana.133 Kemudian Sudarto membagi kesalahan menjadi tiga arti, yaitu: 1) Kesalahan dalam arti seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian “pertanggungan jawab dalam unsur pidana” di dalamnya terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatanya. 2) Kesalahan dalam bentuk kesalahan berupa: a) Kesengajaan (dolus). b) Kealpaan (culpa). 3) Kesalahan dala arti sempit yaitu kealpaan (culpa) seperti yang disebutkan pada kesalahan dalam arti bentuk kesalahan yang berupa kealpaan. 134 132 Ibid hal.39. Ibid hal..41. 134 Ibid hal..45. 133 105 Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dijelaskan bahwa dalam hal kesalahan berlaku apa yang disebut atas “tiada pidana tanpa kesalahan” (keine strafe ohne schhuld atau geen straf zonder schuld) atau nulla poena sine culpa (“culpa” di sini dalam arti luas meliputi kesengajaan). Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kesalahan terdiri atas beberapa unsur ialah: 1) Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat (Schuldfahigkeit atau Zurechnungsfahigkeit): artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal 2) Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatanya berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa): ini disebut bentuk-bentuk kesalahan. 3) Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf. Kalau ketiga unsur ada maka orang yang bersangkutan bisa dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga bisa di pidana.135 Unsur mampu bertanggung jawab dan tidak ada alasan pemaaf dan pembenar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Mampu bertanggung jawab Sebagai dasar pertanggungjawaban adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan perbuatannya yang dapat dipidana serta berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena perbuatannya itu. Dengan kata lain, hanya dengan hubungan batin inilah maka perbuatan yang dilarang itu dapat dipertanggungjawabkan pada si pelaku. 135 Ibid hal..91 106 Berkaitan dengan masalah bertanggung jawab Simons, sebagaimana dikutip oleh Sudarto, menyatakan pendapatnya sebagai berikut: Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psikis sedemikian yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari unsur sudut umum maupun dari orangnya. Seseorang mampu bertanggung jawab jika jiwanya sehat, yaitu apabila: a) Ia mampu untuk untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatanya bertentangan dengan hukum; b) Ia dapat menetukan kehendak sesuai dengan kesadaran tersebut.136 Menurut Djoko Prakoso, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pertanggungjawaban. Djoko Prakoso mengatakan: Orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak tertulis mengatakan, “tidak di ada pidana jika tidak ada kesalahan,” merupakan dasar dari pada di pidananya si pembuat.137 Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika pada waktu melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut dicela. Dengan demikan, menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu: a) Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain, harus ada unsur melawan hukum.jadi harus ada unsur Obejektif, dan b) Terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat di pertanggungjawabkan kepadanya.jadi ada unsur subjektif.138 136 Ibid hal.39. Djoko Prakoso. 1987. Op. Cit. hal.75 138 Martiman Prodjohamidjojo. 1997. Op. Cit. hal. 31 137 107 Telah dimaklumi bahwa perbuatan pidana memiliki konsekuensi pertanggungjawaban serta penjatuhan pidana, maka setidaknya, menurut J.E. Sahetapy ada dua alasan mengenai hakikat kejahatan, yakni: a) Pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang tidak senonoh yang dilakukan manusia lainya. b) Pendekatan yang melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat.139 Kedua pendekatan ini berkembang sedemikian rupa bahkan diyakini mewakili pandangan-pandangan yang ada seputar pidana dan pemidanaan. Dari sinilah kemudian berbagai perbuatan pidana dapat dilihat sebagai perbuatan yang tidak muncul begitu saja, melainkan adalah hasil dari refleksi dan kesadaran manusia. Hanya saja perbuatan tersebut telah menimbulkan kegoncangan sosial di masyarakat. Kemampuan bertanggungjawab merupakan keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan pidana, hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Andi Hamzah bahwa: Didalam hal kemampuan bertanggungjawab bila dilihat dari keadaan batin orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal, sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran-ukuran yang dianggap baik oleh masyarakat.140 139 140 J.E. Sahetapy. 1987. Victimilogy Op. Cit. hal.41-42 Andi Hamzah. 1986. Op. Cit. hal. 78 108 Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal, maka ukuran-ukuran tersebut tidak berlaku baginya tidak ada gunanya untuk diadakan pertanggungjawaban, sebagaimana di tegaskan dalam ketentuan Bab III Pasal 4 KUHP yang berbunyi sebagai berikut: a) Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum b) Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan menempatkan di di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk di periksa. c) Yang ditentukanya dalam ayat di atas ini, hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tingi dan pengadilan negeri.141 Mengenai kemampuan bertanggungjawab sebenarnya tidak secara terperinci ditegaskan oleh Pasal 44 KUHP. Hanya ditemukan beberapa pandangan para sarjana, misalnya Van Hammel, dikutip oleh Andi Hamzah, yang mengatakan, orang yang mampu bertanggungjawab harus memenuhi setidaknya 3 (tiga) syarat: a) Dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam kejahatan b) Dapat menginsafi bahwa perbuatanya di pandang tidak patut dalam pergaulan masyarakat c) Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap perbuatan tadi.142 Sementara itu secara lebih tegas Simons, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah, mengatakan bahwa mampu bertanggungjawab adalah mampu menginsafi sifat melawan hukumnya perbuatan dan sesuai dengan ke insafan itu menentukan kehendaknya. Untuk adanya kemampuan beranggungjawab maka harus ada dua unsur yaitu: 141 142 R. Soesilo. 1995. Op.Cit, hal. 60-61 Andi Hamzah. 1986. Op.Cit, hal.79 109 a) Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum b) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. Dengan kata lain, bahwa kemampuan bertanggungjawab berkaitan dengan dua faktor terpenting, yakni pertama faktor akal untuk membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang dilarang atau melanggar hukum, dan kedua faktor perasaan atau kehendak yang menetukan kehendaknya dengan menyesuaikan tingkah lakunya dengan penuh kesadaran.143 Mengenai ketidakmampuan bertanggung jawab dengan alasan pelaku pidana masih muda usia, Roeslan Saleh mengatakan bahwa: Ketidakmampuan bertanggungjawab dengan alasan masih muda usia tidak bisa di dasarkan pada Pasal 44 KUHP. Yang disebutkan tidak mampu bertanggungjawab adalah alasan penghapusan pidana yang umum yang dapat di salurkan dari alasan-alasan khusus seperti tersebut dalam Pasal-Pasal 44, 48, 49, 50, dan 51. Jadi, bagi Jonkers orang yang tidak mampu bertanggungjawab itu bukan saja karena pertumbuhan jiwanya yang cacat atau karena gangguan penyakit, tetapi juga karena umurnya masih muda, terkena hipnotis dan sebagainya.144 Roeslan Saleh lebih lanjut mengatakan bahwa: Mengenai anak kecil yang umurnya masih relative muda, dalam keadaan-keadaan yang tertentu untuk dianggap tidak mampu bertanggungjawab haruslah didasarkan pada Pasal 44 KUHP, jadi sama dengan orang dewasa. Tidak mampu bertanggungjawab karena masih muda saja, hal itu tidak di benarkan. Dengan demikian, maka anak yang melakukan perbuatan pidana, tidak mempunyai kesalahan karena dia sesungguhnya belum mengerti atau belum menginsyafi makna perbuatan yang dilakukan. Anak memiliki ciri dan karakteristik kejiwaan yang khusus, yakni belum memiliki fungsi batin yang sempurna. Maka, dia tidak di idana karena tidak mempunyai kesengajaan atau kealpaan. sebab, satu unsur kesalahan tidak ada padanya, karenanya dia dipandang tidak bersalah, sesuai dengan asas tidak dipidana tidak ada kesalahan, maka anak belum cukup umur ini pun tidak dipidana.145 143 Ibid. hlm 83 Roeslan Saleh. 1983. Op.Cit hal. 83 145 Ibid. hal.84 144 110 Bahwa Terdakwa pada perbuatan pidana “dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan secara berlanjut” dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT. dipandang mampu bertanggung jawab atas perbuatannya, karena Terdakwa dalam kondisi normal dan sehat sebagaimana tertuang dalam BAP bahwa ketika diperiksa Terdakwa menyatakan sehat, sadar, tidak dalam keadaan terpaksa atau tertekan atau ditekan oleh siapapun. 2) Tidak ada alasan pemaaf dan pembenar Alasan pembenar atau alasan pemaaf ialah sesuatu hal yang dapat dianggap sebagai sesuatu alasan yang dianggap dapat menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan itu, sehingga hal itu bukan suatu peristiwa pidana meskipun perbuatan itu sesuai dengan yang dilarang oleh undang-undang. Berdasarkan ketentuan KUHPidana, alasan penghapus pidana ini dirumuskan dalam buku kesatu, yaitu terdapat dalam Bab III Buku Kesatu KUHPidana yang terdiri dari Pasal 44, Pasal 48 sampai dengan Pasal 51. Sedangkan Pasal 45 sampai dengan Pasal 47 KUHPidana telah dicabut berdasarkan Pasal 67 Undang-undang No. 3Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. a) Pasal 44 (pelaku yang sakit/terganggu jiwanya) Pasal 44 KUHPidana merumuskan: 1. Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum. 111 2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalanya atau karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan dia di rumah sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk di perikasa. 3. Yang ditentukan dalam ayat yang di atas ini hanya berlaku bagi mahkamah Agung, pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri. Dalam Pasal 44 KUHPidana ini tampaknya pembentuk undang-undang membuat peraturan khusus bagi pelaku yang tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatanya, karena sakit jiwa atau kurang sempurna akalnya pada saat perbuatan itu dilakukan. R. Soesilo dalam hal ini menjelaskan: Berdasarkan ayat (3) dari Pasal ini kewenangan untuk tidak menghukum pelaku berdasarkan sakit jiwa ini hanya pada hakim (kewenangan ini tidak ada pada polisi maupun jaksa penuntut umum). Akan tetapi dalam menentukan apakah pelaku menderita sakit jiwa atau sakit berubah akal, hakim harus menggunakan saksi ahli dalam bidang ilmu kejiwaan (psikiatri). Psikiatrilah yang menetukan apakah pelaku memang menderita sakit jiwa yang memang mempunyai hubungan kausal/keterkaitan dengan apa yang telah dilakukanya itu. Meskipun demikian hakim dalam memberikan putusanya tidaklah terkait dengan keterangan yang diberikan oleh psikiatri, hakim dapat menerima ataupun menolak keterangan yang diberikan psikiatri tersebut. Penerimaan maupun penolakan hakim ini tentunya harus di uji berdasarkan kapatutan atau kepantasan.146 b) Pasal 48 KUHPidana (perbuatan yang dilakukan dalam keadaan terpaksa) Pasal 48 KUHPidana merumuskan: Barangsiapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan, tidak boleh dihukum. Berdasarkan rumusan Pasal 48 KUHPidana tersebut di atas, Utrecht memberikan pendapatnya bahwa: 146 R. Soesilo. 1995. Op.cit, hal 61 112 Pasal 48 KUHPidana ini tidak merumuskan apa yang di maksudkan dengan “paksaan” tersebut. Akan tetapi menurut memorie van toelechting, maka yang di maksud dengan paksan itu adalah “ee kracht, een drang, een dwang waaraan men geen weerstand kan bieden” (suatu kekuatan, suatu dorongan, suatu paksaan yang tidak dapat dilawan tidak dapat ditahan).147 Dengan demikian tidak setiap paksaan itu dapat dijadikan alasan penghapus pidana, akan tetapi hanya paksaan yang benarbenar tidak dapat dilawan atau dielakkan lagi oleh pelaku, sehingga oleh sebab adanya paksaan itulah ia melakuakan tindak pidana. Paksaan mana biasa dikenal dengan istilah paksaan yang absolute, misalnya seseorang yang di paksa untuk menandatangani suatu pernyataan yang tidak benar, dalam keadaan tangannya yang di pegang oleh orang lain yang lebih kuat. c) Pasal 49 ayat (1) KUHPidana (perbuatan yang dilakukan untuk membela diri) Pasal 49 ayat (1) KUHPidana merumuskan: Barangsiapa melakukan perbuatan yang terpaksa di lakakuanya untuk mempertahankan dirinya, atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari pada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum. Berdasarkan rumusan Pasal 49 ayat (1) tersebut, maka penghapusan pidana dapat dijadikan alasan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Perbuatan itu dilakukan karena untuk membela/tubuh, kehormatan atau harta benda sendiri atau pun orang lain. 2. Perbuatan itu dilakukan atas serangan yang melawan hukum yang terjadi pada saat itu juga. Dengan kata lain perbuatan itu dilakukan setelah adanya serangan mengacam, bukan 147 Utrecht. 1986. Op. Cit. hal. 350 113 perbuatan yang ditujukan untuk mempersiapkan sebelum adanya atau terjadinya serangan dan bukan pula terhadap serangan yang telah berakhir. 3. Perbuatan sebagai perlawanan yang dilakukan itu harus benarbenar terpaksa atau dalam kedaan darurat; tidak ada pilihan lain (perlawanan itu memang suatu keharusan) untuk menghindari dari serangan yang melawan hukum terebut. Dengan kata lain perbuatan pelaku dalam hal ini di perlukan adalah untuk membela hak terhadap keadilan, namun harus pula dilakukan secara proporsional/seimbang. Dengan demikian tidaklah dapat di benarkan untuk melakukan perlawanan dengan menggunakan pistol terhadap serangan melawan hukum yang hanya menggunakan tangan kosong.148 Pasal 49 ayat (2) KUHPidana (pembelaan diri yang melampaui batas) merumuskan: Melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, jika perbutan dengan sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan tergoncang dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum. Berkenaan dengan tindakan pembelaan yang melampaui batas, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP, R. Soesilo memberikan penjelasan bahwa: Dalam hal ini hakimlah yang berperan dalam menentukan apakah benar terdapat hubungan kausal antara suatu peristiwa yang mengakibatkan kegoncangan jiwa pelaku sehingga ia melakukan suatu pembelaan yang melampaui batas, sedangkan perbuatan itu sesungguhnya merupakan tindak pidana. Jadi sebenarnya perbuatan itu tetap merupakan perbuatan yang melawan hukum , akan tetapi pelakunya di nyatakan tidak bersalah, keselahan nya di hapuskan.149 d) Pasal 50 KUHPidana (melaksankan peraturan perundangundangan) Pasal 50 KUHPidana merumuskan: Barang siapa yang melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang tidak boleh dihukum. 148 149 R. Soesilo. 1995. Op.cit. hlm 64-65 Ibid. hal. 64-65 114 Pasal 50 KUHPidana mengindikasikan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang karena menjalankan perintah undang-undang, meskipun merupakan tindak pidana, maka atas orang terebut tidak boleh dihukum. R. Soesilo dalam hal ini menjelaskan bahwa: Dalam penjelasan Pasal ini menentukan pada prinsipnya orang yang melakukan suatu perbuatan meskipun itu merupakan tindak pidana, akan tetapi karena dilakukan berdasarkan perintah undang-undang maka si pelaku tidak boleh dihukum. Asalkan perbuatanya itu memang dilakukan untuk kepentingan umum, bukan untuk kekpentingan pribadi pelaku. Masalahnya adalah apakah yang di maksud dengan undang-undang tersebut, dan apakah juga termasuk perturan perundang-undangan yang sebenarnya tidak sah karena bertentangan dengan undang-undang yang diatasnya (secara hirarkhis). Demikian pula, dalam hal menjalankan perintah undang-udnag ini harus dilakukan secara proporsional /seimbang misalnya seorang Polisi yang menembak seorang penjahat (kambuhan) dapat di benarkan dari pada ia menembak seorang yang hanya untuk mengehentikan orang yang melanggar rambu-rambu lalu lintas yang melarikan diri.150 e) Pasal 51 ayat (1) KUHPidana (melakukan perintah jabatan yang syah) Pasal 51 ayat (1) KUHPidana merumuskan: Barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang di berikan oleh kuasa yang berhak akan tidak boleh dihukum. Pasal 51 ayat (1) KUHPidana berarti bahwa seseorang yang karena kedudukannya menjalankan tugas sesuai dengan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak, maka orang tersebut tidak boleh dipirana, hal ini sebagaimana dijelaskan oleh R. Soesilo yang mengatakan bahwa: 150 Ibid. hal. 66 115 Dengan kata lain yang memberikan perintah adalah orang yang berwenang/berhak (perintah yang sah dari yang berwenang) dan yang diperintah melaksanakanya karena sesuai dengan atau berhubungan dengan pekerjaanya. Suatu hal yang tidak boleh dilupakan bahwa dalam hal melaksanakan perintah jabatan ini, juga harus di perhatikan asas keseimbangan, kepatutan, kelayakan dan tidak boleh melampaui dari batas keputusan dari orang yang memerintah.151 Pasal 51 ayat (2) KUHPidana (melakukan perintah jabatan yang tidak syah di anggap syah) merumuskan: Perintah jabatan yang di berikan oleh kuasa yang tidak berhak tidak membebaskan dari hukuman, kecuali jika pegawai yang di bawahnya atas kepercayaan memandang bahwa perintah itu seakan-akan di berikan oleh kuasa yang berhak dengan sah dan menjalankan perintah itu menjadi kewajiban pegawai yang di bawah pemerintah tadi. Dalam hal ini ada alasan pemaaf dapat menghapuskan kesalahnnya (kesalahan yang di bebankan kepada orang yang memberi perintah). Dengan kata lain pelaku yang melaksanakan perintah yang tidak sah, dapat di hapuskan pidananya apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (1) Perintah itu dipandangnya sebagai perintah yang syah (2) Dilakukan dengan itikad baik (3) Pelaksanaanya dalam ruang lingkup tugas-tugasnya (yang biasanya ia lakukan). Sebaliknya jika perintah itu tidak meliputi ruang lingkup tugastugasnya yang biasa ia lakukan ,maka itikad baiknya dalam melakukan perintah itu di ragukan . jadi dalam hal ini (pembuat) undang-undang menjaga “kepatutan buta” dari orang yang mendapatkan tugas atau yang menerima perintah yang dapat membawa akibat pemidanaan terhadap dirinya sendiri. dengan kata lain seseorang menerima perintah atau tugas dari seorang atasan haruslah waspada dan teliti.152 151 152 Ibid. hal. 66-67 Ibid. hal. 67 116 Terdakwa pada perbuatan pidana “dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan secara berlanjut” dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT. merupakan perbuatan pidana yang tidak ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf yang dapat membebaskannya dari sifat melawan hukum perbuatan itu. Selama persidangan, Hakim tidak menemukan halhal yang dapat melepaskan terdakwa dari pertanggungjawaban pidana, baik berdasarkan alasan pembenar maupun alasan pemaaf, oleh karena itu terdakwa harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Perbuatan Terdakwa tidak ada alasan pemaaf dan alasan pembenar, karena Terdakwa melakukan tindakan “dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan secara berlanjut” tersebut: (1) Dalam keadaan sehat dan tidak sakit/terganggu jiwanya (Pasal 44 KUHP) (2) Perbuatan yang dilakukan tidak dalam keadaan terpaksa (Pasal 48 KUHP) (3) Perbuatan yang dilakukan tidak dalam rangka untuk membela diri (Pasal 49 ayat (1) KUHP) (4) Perbuatan yang dilakukan tidak dalam rangka melaksankan peraturan perundang-undangan (Pasal 50 KUHP) (5) Perbuatan yang dilakukan tidak dalam rangka melakukan perintah jabatan yang syah (Pasal 51 ayat (1) KUHP). 117 Apabila ketiga syarat pemidanaan tersebut di atas, baik memenuhi rumusan undang-undang, bersifat melawan hukum, serta unsur kesalahan, dipenuhi oleh si pelaku tindak pidana, maka pidana dapat dijatuhkan berdasarkan ketentuan dalam KUHP. Jika ada perbuatan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya, maka aturan dalam KUHP dapat dikesampingkan. Dalam hal hakim menjatuhkan pidana setelah semua unsur-unsur tindak pidana terpenuhi, maka penjatuhan pidana tersebut harus memenuhi sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP yang menegaskan bahwa: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Adapun alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP adalah sebagai berikut: (1) Alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa. (2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Surat putusan pemidanaan yang dijatuhkan oleh Hakim berdasarkan Pasal 197 KUHAP adalah memuat hal-hal sebagai berikut: (1) Surat putusan pemidanaan memuat: a. kepala putusan yang dituliskan merumuskan: "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA"; b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa; 118 c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa; e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa; g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal; h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan; i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkanjumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti; j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu; k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera; (2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, k dan l Pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum. (3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undangundang ini. Ketiga unsur tindak pidana, dalam kasus tindak pidana “dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan secara berlanjut” sebagaimana termaktup dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT., yaitu memenuhi rumusan undang-undang, bersifat melawan hukum, serta unsur kesalahan telah terpenuhi, maka hakim memutuskan bersalah kepada Terdakwa dengan alat alat bukti yang sah, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu: 119 a. Alat bukti keterangan saksi, dimana atas keterangan para saksi tersebut, Terdakwa membenarkan dan tidak keberatan. b. Alat bukti keterangan Terdakwa, dimana Terdakwa mengakui kesalahannya dan telah meminta maaf kepada pihak keluarga, menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya, sehingga memohon hukuman yang seringan-ringannya. c. Alat bukti surat yaitu Visum et Repertum, dimana atas pembacaan Visum et Repertum tersebut, Terdakwa menyatakan tidak keberatan. Antara keterangan para saksi, keterangan Terdakwa dan hasil Visum et Repertum mempunyai hubungan yang erat dan saling bersesuaian, sehingga dapat disimpulkan bahwa kerusakan pada organ vital korban GL atau selaput dara korban GL yang luka robek lama total (habis) dan kehamilan yang berusia kurang lebih 15 minggu adalah akibat perbuatan Terdakwa yang menyetubuhi korban GL dengan membujuk korban GL untuk melakukan persetubuhan dengannya dan dilakukan secara berlanjut. Dasar pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara, maka dalam menjatuhkan pidana hakim harus memperhatikan dasar mengadili, memutus dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dasar mengadili diatur dalam Pasal 84 KUHAP yang merumuskan bahwa: (1) Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya. (2) Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan. 120 (3) Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam daerah hukum pelbagai pengadilan negeri, maka tiap pengadilan negeri itu masing-masing berwenang mengadili perkara pidana itu. (4) Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut pautnya dan dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum pelbagai pengadilan negeri, diadili oleh masing-masing pengadilan negeri dengan ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut. Dasar memutus suatu perkara adalah sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan dari alat bukti tersebutlah hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar dilakukan oleh terdakwa, hal ini sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 183 KUHAP sebagai berikut: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dasar memutus suatu perkara pidana harus memuat Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan dan disertai dengan keadaan yang memberatkan dan meringankan. Pasal 197 (1) huruf f KUHAP merumuskan: Surat putusan pemidanaan memuat pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa Dasar memutus suatu perkara harus memuat alasan dan dasar putusan serta pasal tertentu dari peraturan perundangan yang dijadikan dasar untuk mengadili, hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 50 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang merumuskan: (1) Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. (2) Tiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang. 121 Berdasarkan Putusan Perkara Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT. diketahui bahwa tindak pidana dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan secara berlanjut terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto, maka berdasarkan Pasal 84 KUHAP Pengadilan Negeri Purwokerto yang berwenang mengadili dan memutus perkara tersebut. Berdasarkan Pasal 183 KUHAP, dasar memutus suatu perkara adalah sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dalam perkara ini alat bukti yang sah adalah: a. Keterangan para saksi b. Keterangan terdakwa c. Hasil Visum et Repertum Berdasarkan Pasal 197 (1) huruf f KUHAP dan Pasal 50 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan adalah Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, yaitu “dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan secara berlanjut”. Sebelum menjatuhkan pidana terlebih dahulu dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan. Hal-hal yang memberatkan adalah: a. Perbuatan Terdakwa merusak masa depan saksi korban GL b. Perbuatan Terdakwa merendahkan martabat kaum perempuan c. Perbuatan Terdakwa dilakukan terhadap orang yang seharusnya dilindungi. 122 Adapun hal-hal yang meringankan adalah: a. Terdakwa belum pernah dihukum b. Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya c. Terdakwa bersikap sopan di persidangan. Perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI terhadap saksi korban GL sangat dicela oleh masyarakat. Namun demikian, tujuan pemidanaan bukanlah semata-mata merupakan pembalasan melainkan sebagai usaha preventif dan represif agar Terdakwa bisa merenungkan perbuatan selanjutnya. Lebih tegasnya, hukuman yang dijatuhkan bukan untuk menurunkan derajat manusia, akan tetapi bersifat edukatif, motivatif agar Terdakwa tidak mengulangi perbuatan tersebut, serta preventif agar mempunyai deterent efect bagi masyarakat lainnya. Terdakwa telah ditahan menurut tata cara yang sah oleh pejabat yang berwenang untuk itu, maka terhadap masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa, akan dikurangkan seluruhnya dari lamanya pidana yang akan dijatuhkan. Mengingat ketentuan Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dalam perkara ini, maka Majelis Hakim mengadili: a. Menyatakan Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ” dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan secara berlanjut” b. Menjatuhkan terhadap Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI tersebut dengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun dan denda sebesar Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar oleh Terdakwa diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan. 123 c. Menetapkan lamanya Terdakwa ditahan dalam Rumah Tahanan Negara dikurangkan seluruhnya dai pidana yang dijatuhkan. d. Menetapkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan. e. Menyatakan barang bukti berupa: 1) 1 (satu) buah kaos warna putih bergambar kumbang 2) 1 (satu) buah rok warna hitam Dikembalikan kepada GL f. Menetapkan agar Terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah). Masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan, hal ini telah sesuai dengan Ketentuan Pasal 22 ayat (4) KUHAP yang merumuskan: Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan Sesuai pula dengan ketentuan Pasal 33 KUHP yang merumuskan: (1) Hakim dalam putusannya boleh menentukan bahwa waktu terpidana ada dalam tahanan sementara sebelum putusan menjadi tetap, seluruhnya atau sebagian di potong dari pidana penjara selama waktu tertentu dari pidana kurungan atau dari pidana denda yang dijatuhkan kepadanya; dalam hal pidana denda dengan memakai ukuran menurut Pasal 31 ayat 3. (2) Waktu selama seorang terdakwa dalam tahanan sementara yang tidak berdasarkan surat perintah, tidak dipotong dari pidananya, kecuali jika pemotongan itu dinyatakan khusus dalam putusan hakim. (3) Ketentuan Pasal ini berlaku juga dalam hal terdakwa oleh sebab dituntut bareng karena melakukan beberapa tindak pidana, kemudian dipidana karena perbuatan lain daripada yang didakwakan kepadanya waktu ditahan sementara. 124 BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai tindak pidana membujuk anak melakukan persetubuhan yang dilakukan secara berlanjut, sebagaimana telah ditetapkan dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT., maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Perbuatan Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI yang melakukan tindak pidana membujuk anak melakukan persetubuhan yang dilakukan secara berlanjut terhadap korban GL yang berumur 14 tahun, memenuhi unsur-unsur Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, yaitu: a. Unsur barangsiapa, yaitu MUHAJIR RASYID bin ROSIDI b. Unsur dengan sengaja, yaitu dengan sengaja telah melakukan persetubuhan dan mengetahui bahwa perbuatan tersebut dilarang oleh undang-undang serta bertentangan dengan norma agama. c. Unsur melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak, yaitu GL dengan mengatakan kalau mau berhubungan akan dibelikan baju baru dan siap bertanggung jawab apabila hamil dengan menikahinya. d. Unsur melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, yaitu pada tanggal 01 Agustus 2011, 15 Agustus 2011, 19 Agustus 2011, 20 Agustus 2011, 22 Agustus 2011, dan 23 Agustus 2011 di rumah Terdakwa Desa Dawuhan Wetan RT 05/03 Kecamatan Kedunganteng, Kabupaten Banyumas, dan 3 (tiga kali) di Lampung pada awal September 2011 Terdakwa telah melakukan persetubuhan dengan saksi korban GL dengan cara memasukkan alat kelaminnya ke dalam kemaluan korban sampai mengeluarkan sperma. e. Unsur melakukan beberapa perbuatan perhubungan, sehingga dengan demikian harus dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan atau berlanjut, yaitu persetubuhan pertama pada tanggal 1 Agustus 2011, persetubuhan ke dua tanggal 15 Agustus 2011, persetubuhan ke tiga 125 tanggal 19 Agustus 2011, persetubuhan ke empat tanggal 20 Agustus 2011, persetubuhan ke lima tanggal 22 Agustus 2011, persetubuhan ke enam tanggal 23 Agustus 2011 semuanya dilakukan di rumah Terdakwa Desa Dawuhan Wetan RT 05/03 Kecamatan Kedunganteng, Kabupaten Banyumas, sedangkan persetubuhan ke tujuh, ke delapan, dan ke sembilan dilakukan di Lampung. 2. Pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Purwokerto dalam menjatuhkan pidana pada perkara Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT. adalah: a. b. c. d. Keterangan saksi Keterangan Terdakwa Visum et Repertum Antara keterangan para saksi, keterangan Terdakwa dan hasil Visum et Repertum mempunyai hubungan yang erat dan saling bersesuaian. e. Terpenuhinya unsur-unsur Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP f. Terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana, yaitu: 1) Unsur memenuhi rumusan undang-undang 2) Unsur bersifat melawan hukum 3) Unsur kesalahan, yang terdiri dari unsur: a) Mampu bertanggung jawab b) Tidak ada alasan pemaaf dan pembenar g. Pertimbangan hal-hal yang memberatkan dan meringankan B. Saran Tindak pidana perkosaan atau pemaksaan untuk melakukan persetubuhan sangat mencemaskan terlebih kalau korbannya adalah anak-anak yang masih di bawah umur, sebab hal ini akan mempengaruhi psikologis perkembangan anak dan menimbulkan trauma seumur hidup. Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana dengan vonis yang maksimal sesuai dengan ancaman dalam pasal-pasal yang didakwakan, hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi si pelaku dan pembelajaran bagi masyarakat luas. 126 DAFTAR PUSTAKA Buku Teks:. Hamzah, Andi dan Siti Rahayu. 1985. Suatu Tinjauan Ringkas tentang Sistem Pemidanaan di Indonesia. Gramedia. Jakarta. Hamzah, Andi. 1986. Bunga Rampai HUkum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta. Huraerah, Abu. 2006. Child Abuse (Kekerasan Terhadap Anak). Nuansa. Bandung. Jonkers, J,E. 1987. Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda. Bina Aksara. Jakarta. Kansil, C.S.T.. 1989. Pengantar Ilmu Hukum Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. Kanter, E.Y. dan S R Sianturi. 1982. Azas-azas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya. Rineka Cipta. Jakarta. Kartono, Kartini. 1990. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Mandar Maju. Bandung. Lamintang, P.A.F. 1994. Hukum Penitensier Indonesia. Armico. Bandung. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung. Luhulima, Achie Sudiarti. 2000. Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya. Alumni. Bandung Marjuki, Peter Mahmud. 2006. Penelitian Hukum. Prenada Media Group. Jakarta. Moeljatno. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana Cetakan Pertama. Bina Aksara. Yogyakarta. 1987. Azas-Azas Hukum Pidana Indonesia. Bina Aksara. Jakarta Poernomo, Bambang. 1994. Asas-asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta. Prakoso, Djoko. 1987. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Edisi Pertama. Liberty Yogyakarta. Yogyakarta. Prasetyo, Teguh dan Abdul Hakim Barkatullah. 2005. Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasai dan Deskriminalisasi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 31-32. 127 Prodjodikoro, Wirjono. 1986. Tindak-tindak Piadana Tertentu di Indonesia. Eresco. Bandung. Prodjohamidjojo, Martiman. 1997. Memahami dasar-dasar hukum Pidana Indoesia. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Sahetapy, J.E. 1987. Victimilogy Sebuah Bunga Rampai.Pustaka sinar Harapan. Jakarta. Saleh, Roeslan. 1980. Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan Penjelasanya. Aksara Baru. Jakarta 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua Pengertian Dalam Hukum Pidana. Aksara Baru. Jakarta. 1987. Stelsel Pidana Indonesia. Aksara Baru. Jakarta. Samosir, C. Djisman. 1983. Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru. Bandung. Schaffmeister, D., et.al., 2003. Hukum Pidana. Diterjemahkan oleh J. E. Sahetapy. Cet. Kedua. Liberty. Yogyakarta. Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metode Penelitian Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta. Soesilo, R. 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politea. Bogor. Sudarto, 1983. Hukum Pidana dan Pembangunan Masyarakat. Sinar Baru. Bandung. 1991. Hukum Pidana Jilid I A-B. Fakultas Hukum Unsoed. Purwokerto. Tuanakotta, Theodorus M. 2009. Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi.Salemba Empat. Jakarta. Utrecht. 1986. Hukum Pidana II. Pustaka Tinta Emas. Surakarta. Wahid, Abdul dan Muhammad Irvan. 2001. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan). Refika Aditama. Bandung. Peraturan Perundang-undangan: Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Kitab Undang-undang Hukum Pidana 128 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Sumber Lain-lain: Chazawi, Adami. 2009. Tindak Pidana Pornografi (Penyerangan terhadap Kepentingan Hukum Mengenai Tegaknya Tatanan Kehidupan Akhlak dan Moral Kesusilaan yang Menjunjung Tinggi Nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab), PMN, Surabaya. Ekotama, Suryono, Harum Pudjiarta dan Widiartana. 2001. Abortus Provocatus, Bagi Korban Perkosaan Perspektif: Viktimologi dan Widiartana. Universitas Atmajaya Yogyakarta. Yogyakarta. Febrianto, Tri Bowo Hersandy. 2010. Skripsi: Tindak Pidana Perkosaan Terhadap Anak Di Bawah Umur. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”. Jakarta. Hamdan, M.. 2008. Pembaharuan Hukum Tentang Alasan Penghapusan Pidana. Jurnal Hukum Fakultas Hukum USU. Medan Desember 2008 Sudaryono dan Natangsa Surbakti. 2005. Buku Pegangan Kuliah Hukum Pidana. UNS. Surakarta. Tangkau, Hans C.. 2007. Karya Tulis Ilmiah. Gabungan Beberapa Perbuatan Pidana Dan Masalah Penghukumannya. Fakultas Hukum. Universitas Sam Ratulangi Manado. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Bahasa. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka. Jakarta. W.J.S. Poerwodarminta. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia Balai Pustaka. Jakarta. 129 Website: Ardi, Sam. 2011. Zina: Kejahatan Tanpa Korban. diakses http://www.foxitsoftware.com pada tanggal 2 September 2012. melalui Prayudi, Guse. 2011. Kejahatan Persetubuhan Menurut Hukum Positif Indonesia. diakses melalui http://www.scribd.com/doc/34683241/KejahatanPersetubuhan-Menurut-Hukum-Positif-Indonesia. pada tanggal 1 September 2012. Prayudi, Guse. 2012. Perbuatan Berlanjut (Voortgezette Handeling) (Suatu Bentuk Khusus Tindak Pidana). Diakses melalui. http://www.scribd.com/doc/34963208/Perbuatan-Berlanjut-VoortgezetteHandel-Ing pada tanggal 3 September 2012 S. Iin. 2010. Definisi Kekerasan Terhadap Anak. http://iin.green.web.id. Pada tanggal 4 September 2012. Diakses melalui 130 d. Unsur melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, yaitu pada tanggal 01 Agustus 2011, tanggal 15 Agustus 2011, tanggal 19 Agustus 2011, tanggal 20 Agustus 2011, tanggal 22 Agustus 2011, tanggal 23 Agustus 2011 di rumah Terdakwa Desa Dawuhan Wetan RT 05/03 Kecamatan Kedunganteng, Kabupaten Banyumas, Terdakwa telah melakukan persetubuhan dengan saksi korban GITA LUSIANA dengan cara awalnya Terdakwa menciumi bibir dan meremas-remas payudara korban, karena alat kelamin Terdakwa sudah tegang, lalu membuka pakaian korban hingga telanjang, selanjutnya Terdakwa melepas pakaiannya sendiri hingga telanjang, lalu Terdakwa menjilati puting payudara korban, kemudian Terdakwa memasukkan alat kelaminnya yang sudah tegang ke dalam kemaluan saksi korban, dengan posisi korban di bawah dan Terdakwa di atas sambil menggoyang-goyangkan kemaluannya hingga Terdakwa puas dan mengeluarkan sperma.