Skripsine Inyong - Fakultas Hukum UNSOED

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Diperkosa, disetubuhi, direnggut kehormatannya, digagahi atau kata-kata
lainnya sering tertulis di media massa untuk menggambarkan perbuatan keji
berbentuk pemaksaan hubungan seksual. KUHP telah mengkualifikasikan
perbuatan pemaksaan hubungan seksual ini sebagai kejahatan dengan sebutan
sebagai pemerkosaan, dan kejahatan ini termuat dalam Buku II Bab XIV tentang
Kejahatan Terhadap Kesusilaan.
Istilah yang digunakan dalam KUHP adalah “Kejahatan Terhadap
Kesusilaan”, tidak menggunakan kejahatan seksual (sexual violence) yang
diartikan sebagai perbuatan pidana berkaitan dengan seksualitas yang dapat
dilakukan terhadap laki-laki maupun perempuan. Penggunaan istilah kesusilaan
menyebabkan masyarakat terutama aparat hukum sering terjebak dalam
menempatkan Pasal-Pasal kesusilaan semata-mata sebagai persoalan pelanggaran
terhadap nilai-nilai budaya, agama, atau sopan santun yang berkaitan dengan
nafsu perkelaminan (birahi) bukan kejahatan terhadap tubuh dan jiwa seseorang.
Kualifikasi pemerkosaan menurut Pasal 285 KUHP adalah:
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang
wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena
melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 291 (2) KUHP selanjutnya mengatur tentang ancaman hukuman
pidana terhadap tindak pidana berdasarkan dalam Pasal 285 yang berakibat
kematian, yaitu:
Jika salah satu kejahatan berdasarkan Pasal 285, 286, 287, 289 dan 290
mengakibatkan kematian dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas
tahun.
2
Berdasarkan ketentuan Pasal 291 ayat (2) KUHP tersebut, maka ancaman
hukumannya ditambah menjadi paling lama lima belas tahun jika pemerkosaan
tersebut menyebabkan korbannya mati. Dengan demikian pemerkosaan
mensyaratkan:
1. Dilakukan terhadap wanita, artinya pelakunya harus laki-laki, laki-laki yang
bisa memperkosa wanita dan tidak sebaliknya.
Yang diancam hukuman dalam Pasal ini adalah dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya untuk
bersetubuh dengan dia. Pembuat Undang-undang (KUHP) ternyata
menganggap tidak perlu untuk menentukan hukuman bagi perempuan yang
memaksa untuk bersetubuh, bukanlah semata-mata karena pemaksaan oleh
seorang perempuan terhadap seorang laki-laki itu dipandang tidak mungkin,
akan tetapi justru karena perbuatan itu bagi laki-laki dipandang tidak
mengakibatkan sesuatu yang buruk atau yang merugikan. Bukanlah seorang
perempuan ada bahaya untuk melahirkan anak oleh karena itu.1
2. Adanya persetubuhan
Persetubuhan adalah perpaduan antara anggota kemaluan laki-laki dan
perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota
kemaluan laki-laki harus masuk ke dalam anggota kemaluan perempuan,
sehingga mengeluarkan mani, sesuai dengan Arrest HR 5 Februari 1912.2
Persetubuhan mana harus dilakukan di luar perkawinan, jadi tidak
dimungkinkan adanya perkosaan terhadap istri oleh suami. Pasal tentang
pemerkosaan (Pasal 285 KUHP) menerangkan bentuk pemerkosaan terbatas
persetubuhan atau penetrasi penis ke dalam vagina perempuan secara paksa,
belum termasuk benda-benda lain selain penis yang dimasukkan secara paksa
ke dalam vagina, atau bagian tubuh wanita lainnya serta perlakuan
menggesek-gesekkan penis ke bibir kelamin perempuan di luar kehendak
perempuan.3
3. Persetubuhan dilakukan dengan memaksa baik dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan.
Kejahatan pemerkosaan di atas mensyaratkan adanya pemaksaan dari pelaku
terhadap korbannya, pemaksaan mana dilakukan dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan, artinya jika persetubuhan tersebut atas persetujuan dari si
korban (suka sama suka) bukanlah suatu perkosaan.4
1
R. Soesilo. 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politea. Bogor. hal. 210
2
Ibid. hal. 209
3
Guse Prayudi. 2011. Kejahatan Persetubuhan Menurut Hukum Positif Indonesia. diakses
melalui http://www.scribd.com/doc/34683241/Kejahatan-Persetubuhan-Menurut-Hukum-PositifIndonesia. pada tanggal 1 September 2012.
4
Ibid. tanpa halaman
3
KUHP juga mengenal kejahatan persetubuhan yang tidak mensyaratkan
adanya pemaksaan dari pelaku terhadap korbannya, yaitu dalam bentuk:
1. Persetubuhan di luar perkawinan terhadap wanita dalam keadaan pingsan atau
tidak berdaya, diancam pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun (vide
Pasal 286 KUHP)
Syarat mutlaknya adalah keadaan korban yang pingsan atau tidak berdaya ini
bukan karena perbuatan pelaku, misalnya korban dalam keadaan tidak
berdaya karena ulahnya sendiri. Contoh: karena minum minuman keras, dan
pelaku kemudian menyetubuhi korban tersebut. Jikalau korban pingsan
karena perbuatan pelaku maka masuk kejahatan pemerkosaan (Pasal 285
KUHP), karena menurut Pasal 89 KUHP, membuat orang pingsan atau tidak
berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan (vide Pasal 89 KUHP).
2. Persetubuhan terhadap wanita yang umurnya belum 15 (lima belas) tahun,
diancam dengan pidana paling lama 9 (sembilan) tahun (Pasal 287 ayat (1)
KUHP)
a. Jika persetubuhan mengakibatkan wanita mengalami luka berat
dijatuhkan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun (Pasal 291
ayat (1) KUHP)
Luka berat adalah yang luka terkualifikasikan dalam Pasal 90 KUHP
yakni jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali atau yang menimbulkan bahaya maut. Tidak mampu
terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan.
Kehilangan salah satu panca indera, mendapat cacat berat, menderita
sakit lumpuh. Terganggunya daya pikir selama 4 (empat) minggu lebih
dan gugur atau matinya kandungan seorang wanita.
b. Jika persetubuhan mengakibatkan wanitanya mati, dijatuhkan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun (Pasal 291 ayat (2) KUHP).5
Persetubuhan terhadap wanita pingsan atau tidak berdaya dan terhadap
wanita belum cukup umur di atas disyaratkan dilakukan “di luar perkawinan”
artinya pelaku dan korban tidak terikat dalam suatu perkawinan, pelaku dan
korban bukanlah suami istri.
Berlakunya UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka
persetubuhan terhadap anak yakni seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun (Pasal 1 angka 1) mendapat pengaturan lebih khusus, yakni Pasal 81
yang merumuskan:
5
Ibid. tanpa halaman.
4
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi
setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain.
Berdasarkan ketentuan Pasal 81 tersebut di atas, Guse Prayudi
memberikan analisisnya bahwa orang yang sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan
dengannya disamakan dengan orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan
atau memaksa anak melakukan persetubuhan. Pendapat selengkapnya adalah
sebagai berikut:
Berdasarkan Pasal 81 UU No. 23 Tahun 2002 terdapat kualifikasi “orang
yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,
atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan
orang lain “disamakan” dengan “orang yang dengan sengaja melakukan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan
persetubuhan”. Dengan demikian, menurut UU No. 23 Tahun 2002, apabila
korban adalah anak di bawah umur maka persetubuhan yang dilakukan
dengan cara tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk,
dikonstruksikan sama dengan persetubuhan yang dilakukan dengan
memaksa.
Apabila perbuatan pidana tersebut berlangsung secara teru-menerus atau
berlanjut maka termasuk dalam klasifikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 64
ayat (1) KUHP yang merumuskan bahwa:
Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan
kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga
harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan
satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang diterapkan yang memuat
ancaman pidana pokok yang paling berat.
5
Dalam memori penjelasan tentang pembentukan Pasal 64 KUHP dimuat
antara lain:
1. Bahwa beberapa perbuatan itu harus merupakan pelaksanaan dari suatu
keputusan yang terlarang, bahwa suatu kejahatan yang berlanjut itu hanya
dapat terjadi dari sekumpulan tindak pidana yang sejenis.
2. Bahwa suatu pencurian dan suatu pembunuhan atau suatu pencurian dan
suatu penganiayaan itu secara bersama-sama tidak akan pernah dapat
menghasilkan suatu perbuatan berlanjut, oleh karena:
a. Untuk melakukan kejahatan-kejahatan itu, pelakunya harus membuat
lebih dari satu keputusan.
b. Untuk membuat keputusan-keputusan seperti itu dan untuk
melaksanakannya, pelakunya pasti memerlukan waktu yang berbeda.6
Berdasarkan memori penjelasan tersebut, Guse Prayudi memberikan
penjelasan bahwa:
Secara teoritis dikatakan ada perbuatan berlanjut apabila ada seseorang
melakukan beberapa perbuatan, perbuatan tersebut masing-masing
merupakan kejahatan atau pelanggaran dan antara perbuatan-perbuatan itu
ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai
perbuatan berlanjut dimana menurut Memorie van Toelichting “ada
hubungan sedemikian rupa”, kriterianya adalah:
1. Harus ada satu keputusan kehendak
2. Masing-masing perbuatan harus sejenis
3. Tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama.7
Hal pertama yang harus dibuktikan adalah adanya beberapa perbuatan
berupa kejahatan atau pelanggaran, dimana hukum mensyaratkan perbuatanperbuatan tersebut harus sejenis, seperti yang dinyatakan oleh R. Soesilo:
Beberapa perbuatan yang satu sama lain ada hubungannya itu supaya dapat
dipandang sebagai suatu perbuatan yang diteruskan menurut pengetahuan
dan praktek harus memenuhi syarat:
1. Harus timbul dari satu niat, atau kehendak atau keputusan
Misalnya seorang tukang berniat mempunyai (mencuri) radio, tetapi
tidak ada kesempatan untuk mencuri pesawat radio yang komplit, ia
hanya berkesempatan hari ini mencuri pengeras suara, lain minggu lagi
mencuri kawat dan seterusnya.
6
Guse Prayudi. 2012. Perbuatan Berlanjut (Voortgezette Handeling) (Suatu Bentuk
Khusus Tindak Pidana). Diakses melalui. http://www.scribd.com/doc/34963208/PerbuatanBerlanjut-Voortgezette-Handel-Ing pada tanggal 3 September 2012
7
Ibid. tanpa halaman
6
2. Perbuatan-perbuatannya itu harus sama macamnya
Misalnya pencurian dengan pencurian ternasuk pula segala macam
pencurian dari yang teringan sampai yang terberat, penggelapan dengan
penggelapan mulai dari yang teringan sampai yang terberat,
penganiayaan dengan penganiayaan meliputi semua bentuk
penganiayaan, dan penganiayaan ringan sampai penganiayaan berat.
3. Waktu antaranya tidak boleh terlalu lama
Penyelesaiannya mungkin makan tempo sampai tahunan, akan tetapi
perbuatan berulang-ulang untuk menyelesaikan itu antaranya tidak
boleh terlalu lama.8
Beberapa tindak pidana yang sejenis bisa disebut sebagai perbuatan yang
berlanjut apabila dipenuhi syarat lanjutannya, yakni berasal dari satu keputusan
kehendak dan dilakukan dalam tenggang waktu yang tidak terlalu lama. Guse
Prayudi dalam hal ini mengatakan bahwa:
Dalam Arrest HR 11 Juni 1894, dinyatakan bahwa untuk perbuatan
berlanjut tidak saja diperlukan adanya perbuatan-perbuatan yang sama jenis
yang telah dilakukan, di samping itu perbuatan-perbuatan tersebut harus
mewujudkan keputusan perbuatan terlarang yang sama. Satu keputusan
kehendak merupakan pengertian yuridis yang dikonstruksikan pelaku
melakukan beberapa tindak pidana tersebut berasal dari satu niat, yakni
tertuju pada satu objek tindak pidana tersebut. Mengenai syarat “suatu
keputusan kehendak” dapat diartikan secara umum dan lebih luas, yaitu
tidak berarti harus ada kehendak untuk tiap-tiap perbuatan. Berdasarkan
pengetian ini, maka tidak perlu perbuatan-perbuatan ini sejenis, asal
perbuatan itu dilakukan dalam rangka pelaksanaan satu tujuan, misalnya
untuk melampiaskan balas dendamnya kepada B, maka A melakukan
serangkaian perbuatan-perbuatan berupa meludahi, merobek bajunya,
memukul dan akhirnya membunuh. 9
Megenai unsur adanya satu niat ini, dalam praktek cukup sulit
membuktikannya, hal ini sebagaimana dikatakan oleh Guse Prayudi lebih lanjut,
bahwa:
Dalam tataran praktek, untuk membuktikan adanya satu niat ini cukup sulit,
sebagai contoh dalam Putusan MA No. 162.K./KR/1962 tanggal 5 Maret
1963 dinyatakan bahwa penghinaan-penghinaan ringan yang dilakukan
terhadap lima orang pada hari-hari yang berlainan tidak mungkin
berdasarkan satu keputusan kehendak, maka tidak dapat dipandang lagi
8
9
R. Soesilo. 1995. Op. Cit. hal. 81-82
Guse Prayudi. 2012. Op. Cit. tanpa halaman
7
satu perbuatan dan tidak dapat atas kesemua perkara diberikan satu
keputusan. Dengan demikian yang menjadikan pegangan untuk
menentukan adanya satu keputusan kehendak adalah perbuatan tersebut
ditujukan pada satu objek tindak pidana (object delict).10
Syarat selanjutnya adalah “dilakukan dalam tenggang waktu yang tidak
lama”. Guse Prayudi berpendapat bahwa:
Pengertian “waktu yang tidak lama” itu terlihat sangat mudah dibaca, akan
tetapi sebenarnya sulit dalam penerapannya, oleh karena tidak ada aturan
lebih lanjut mengenai batasan “waktu yang tidak lama”, apakah hal ini
ukurannya hari, bulan atau tahun, hal ini tidak jelas diatur. Sebagai bahan
pegangan, dalam Arrest HR 26 Juni 1905 dinyatakan bahwa adanya
kesamaan jenis dari perbuatan-perbuatan tidaklah cukup. Apabila dua
perbuatan terpisah oleh suatu waktu perantara selama 4 hari dan tidak
terbukti, bahwa garis perbuatan tersangka pada perbuatan yang pertama
adalah sama dengan perbuatan yang kedua, maka tidak ada perbuatan
berlanjut. Contoh kasus yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan
berlanjut adalah sebagai berikut:
Seorang laki-laki A hendak berzina dengan perempuan B yang telah
bersuami, A melakukan maksudnya itu dengan beberapa kali berzina
dengan perempuan itu dalam selang waktu yang tidak terlalu lama.
Dalam hal-hal tersebut, maka point yang menjadi pegangan untuk
menyebut adanya suatu perbuatan berlanjut adalah:
Terdakwa melakukan beberapa perbuatan (kejahatan atau pelanggaran)
yang sejenis, berasal dari satu keputusan kehendak dan dilakukan dalam
tenggang waktu yang tidak terlalu lama.11
Salah satu kasus perbuatan pidana berlanjut yang sering terjadi adalah
membujuk anak melakukan persetubuhan. Tindak pidana ini juga dialami oleh
korban GL yang berumur 14 tahun. GL menjadi korban tindak pidana dengan
sengaja membujuk melakukan persetubuhan secara berlanjut yang dilakukan oleh
MUHAJIR RASYID bin ROSIDI. Atas perbuatan tersebut, MUHAJIR RASYID
bin ROSIDI didakwa melakukan tindak pidana dengan sengaja membujuk anak
untuk melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan secara berlanjut dan
melanggar ketentuan Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
10
11
Ibid. tanpa halaman
Ibid. tanpa halaman
8
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah penerapan unsur-unsur Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun
2002 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP dalam Putusan Pengadilan Negeri
Purwokerto Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT ?
2. Bagaimana pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Purwokerto dalam
menjatuhkan pidana pada perkara Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
1. Penerapan unsur-unsur Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 jo Pasal 64
ayat (1) KUHP dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor
03/Pid.Sus/2012/PN. PWT.
2. Pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Purwokerto dalam menjatuhkan
pidana pada perkara Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pengembangan Ilmu
Pengetahuan Hukum sebagai sumbangan pikiran dalam rangka pembinaan
hukum nasional, khususnya Hukum Pidana.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan yang
bermanfaat bagi pemerintah serta instansi-instansi hukum yang terkait, dalam
memberikan perlindungan hukum terhadap anak-anak korban tindak pidana
perkosaan atau persetubuhan.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana dimaksudkan sebagai terjemahan “Strafbaarfeit”
yang berasal dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Belanda
yang kemudian diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi pada
masa penjajahan Belanda, yang masih digunakan di Indonesia sampai saat ini
dengan beberapa perubahan. Mengenai istilah ini, para sarjana menggunakan
istilah yang berlainan. Moeljatno menerjemahkan strafbaar feit dengan
istilah perbuatan pidana dan merumuskan sebagai berikut:
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Di mana larangan
tersebut ditujukan pada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian yang
ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya
ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Antara larangan
dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena itu keduanya
tidak dapat dipisahkan.12
Apabila seseorang melakukan perbuatan yang dilarang maka orang
tersebut dapat diancam dengan pidana. Menurut Moeljatno:
Untuk menyatakan hubungan yang erat itu ia menggunakan istilah
“perbuatan pidana”, dan istilah ini mempunyai pengertian yang abstrak
dan menunjuk pada dua konflik yaitu adanya kejadian atau perbuatan
tertentu dan adanya orang yang melakukan perbuatan tersebut.13
12
Moeljatno. 1987. Azas-Azas Hukum Pidana Indonesia. Bina Aksara. Jakarta
hal. 54.
13
ibid
10
Moeljatno lebih lanjut mengatakan bahwa:
Apabila strafbaar feit menggunakan istilah peristiwa pidana atau tindak
pidana adalah kurang tepat, sebab peristiwa itu adalah pengertian yang
konkret yang hanya menunjuk kepada kejadian tertentu saja sedangkan
perkataan tindak adalah menunjukan kepada kelakuan atau sikap
jasmani seseorang, jadi menyatakan keadaan yang konkret pula.14
Pengertian strafbaar feit dikemukakan oleh Simons dan Van Hamel,
sebagaimana dikutip oleh Sudarto sebagai berikut:
Menurut Simons strafbaar feit diartikan sebagai berikut, strafbaar feit
adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat
melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang
dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Berbeda pula
pendapat Van Hamel yang mengartikan strafbaar feit sebagai berikut,
strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) orang yang dirumuskan
dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana
(strafwaardich) dan dilakukan dengan kesalahan.15
Jika melihat pengertian-pengertian ini maka terdapat beberapa pokok
mengenai pengertian tindak pidana, yaitu:
a. Bahwa feit dalam strafbaar feit bearti handeling (kelakuan atau tingkah
laku);
b. Bahwa pengertian strafbaar feit dihubungkan dengan kesalahan orang
yang mengadakan kelakuan tadi.16
Utrecht menerjemahkan strafbaar feit dengan peristiwa pidana, dengan
penjelasan sebagai berikut:
Strafbaar feit diterjemahkan sebagai peristiwa pidana, karena istilah itu
meliputi suatu perbuatan (handeling atau doen positif) maupun
akibatnya (keadaan yang ditimbulkan oleh karena perbuatan atau
melainkan itu). Lebih lanjut dijelaskan pula oleh Utrecht peristiwa
pidana sebagai suatu peristiwa hukum yaitu suatu peristiwa
kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum17.
14
15
Ibid . hal. 55
Sudarto. 1991. Hukum Pidana Jilid I A-B. Fakultas Hukum Unsoed. Purwokerto.
hal..5.
16
17
Moeljatno. 1987. Op. Cit, hal..56.
Utrecht. 1986. Hukum Pidana II. Pustaka Tinta Emas. Surakarta. hal..251.
11
Sudarto menggunakan istilah strafbaar feit dengan istilah tindak pidana,
alasanya:
Pemakaian istilah yang berlainan itu tidak menjadikan soal asal
diketahui apa yang dimaksud dan dalam hal yang penting adalah isi dari
pengertian itu, namun lebih condong untuk memakai tindak pidana
seperti yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang, istilah ini sudah
dapat diterima masyarakat, jadi mempunyai sosilogishie gelding.18
2. Unsur-unsur tindak pidana
Seseorang dapat dijatuhi pidana adalah apabila orang itu telah memenuhi
unsur-unsur tindak pidana yang telah dirumuskan dalam KUHP, karena pada
umumnya Pasal-Pasal dalam KUHP terdiri dari unsur-unsur tindak pidana.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Lamintang, yaitu:
Sungguhpun demikian setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana itu pada umumnya dapat kita jabarkan
ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua
macam unsur, yakni unsur subjektif dan unsur-unsur objektif.19
Lamintang juga menjelaskan tentang unsur-unsur subjektif dan unsurunsur objektif sebagai berikut:
Unsur-unsur subjektif yaitu unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku
atau berhubungan dengan diri si pelaku, termasuk kedalamnya yaitu
segala yang terkandung di dalam hatinya.
Unsur-unsur objektif yaitu unsur-unsur yang ada hubunganya dengan
keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan dari si
pelaku itu harus dilakukan.20
Mengenai pengertian starfbaar feit, Sudarto membagi menjadi dua
pandangan:
18
Sudarto. 1991. Op. Cit, hal..35.
P.A.F. Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya Bakti.
Bandung. hal. 193.
20
Ibid . hal. 193
19
12
a. Pandangan monistis yaitu melihat keseluruhan (tumpukan) syarat untuk
adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan.
b. Pandangan dualistis yaitu pandangan yang memisahkan “pengertian
perbuatan pidana” (criminal act) dan ”pertanggungjawaban pidana”
(criminal responbility).21
Unsur-unsur tindak pidana yang dikemukakan oleh ahli hukum dalam
pandangan monistis, sebagaimana dikutip oleh Sudarto adalah sebagai
berikut:
Menurut Simons unsur-unsur strafbaar feit adalah:
a. Perbuatan manusia (positif dan negatif; berbuat atau tidak berbuat atau
membiarkan);
b. Diancam dengan pidana (strafbaargesteld);
c. Melawan unsur (onrechtmatig);
d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand);
e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (teorekeningsvatbaar
persoon).
Van Hamel menyebutkan unsur-unsur strafbaar feit adalah sebagai berikut:
a. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang;
b. Bersifat melawan hukum;
c. Dilakukan dengan kesalahan;
d. Patut dipidana
E Mezger menyebutkan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:
a. Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan);
b. Sifat melawan hukum (baik bersifat objektif maupun subjektif) ;
c. Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang;
d. Diancam dengan pidana.
J. Baumman menyebutkan unsur-unsur tindak pidana yaitu adanya perbuatan
yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dilakukan
dengan kesalahan
Menurut Karni delik itu mengandung suatu perbuatan yang mengandung
perlawanan hak, yang dilakukan dengan salah dosa, oleh orang yang
sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut dipertanggungkan.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, beliau mengemukakan definisi pendek, yaitu:
Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan
pidana.
Jelas sekali dilihat dari definisi-definisi di atas tidak adanya pemisahan antara
criminal
act
(perbuatan
pidana)
dan
criminal
responsibility
22
(pertanggungjawaban pidana).
21
22
Sudarto. 1991. Op. Cit, hal..24.
Ibid hal.. 24-25.
13
Beberapa sarjana yang mempunyai pandangan dualistis mengemukakan
unsur-unsur tindak pidana, sebagaimana dikutip oleh Sudarto sebagai
berikut:
Menurut H.B Vos unsur-unsur Strafbaar feit yaitu:
a. Kelakuan manusia, dan
b. Diancam pidana dalam undang-undang
Menurut W.P.J Pompe unsur-unsur yaitu:
a. Perbuatan
b. Bersifat melawan hukum
c. Dilakukan dengan kesalahan, dan
d. Diancam pidana.
Menurut Moeljatno untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur:
a. Perbuatan (manusia);
b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil);
c. Bersifat melawan hukum (syarat materil).23
Menurut Sudarto sendiri yaitu kedua pendirian tersebut di atas tidak ada
perbedaan yang prinsipiil, dengan alasan:
... sebab jika seseorang menganut pendirian salah satu diantaranya
hendaknya memegang pendirian tersebut dengan konsukuen, agar tidak
ada kekacauan pengertian. Yang penting adalah bahwa kita harus
menyadari bahwa untuk pengenaan pidana itu diperlukan syarat-syarat
tertentu, dan semua syarat yang diperlukan untuk pengenaan pidana
harus lengkap adanya.24
Berdasarkan Yurisprudensi MA No. 39K/Kr/1969, unsur mutlak suatu
tindak pidana adalah:
a. Memenuhi rumusan undang-undang
b. Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar)
c. Kesalahan
1) mampu bertanggung jawab;
2) tidak ada alasan pemaaf.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa perbuatan tindak pidana
apabila perbuatan itu memenuhi syarat-syarat pemidanaan, yaitu:
23
24
Ibid hal.. 25-26.
Ibid hal..26.
14
a. Memenuhi rumusan undang-undang;
b. Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar)
c. Terhadap pelakunya atau orangnya harus ada unsur kesalahan:
d. Orang yang melakukan tindakan mampu bertanggungjawab
e. Dolus atau Culpa (tidak ada alasan pemaaf)
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dijelaskan lebih lanjut
mengenai unsur-unsur tindak pidana, yaitu sebagai berikut:
a. Memenuhi rumusan undang-undang
Mengenai penentuan perbuatan pidana yang memenuhi rumusan
undang-undang di Indonesia menganut azas legalitas yang terdapat Pasal
1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang merumuskan:
Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan
aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada,
sebelum perbuatan dilakukan.
Roeslan Saleh memberikan komentarnya mengenai ketentuan Pasal
1 ayat (1) KUHP tersebut sebagai berikut:
Hal ini sesuai dengan pernyataan pembentuk undang-undang yang
menyatakan dalam suatu aturan perundang-undangan pidana,
sebelum dinyatakan dalam suatu peraturan perundang-undangan
pidana maka perbuatan tersebut belum dapat dikatakan perbuatan
pidana. Hal tersebut memenuhi ketentuan yang disebutkan dalam
Pasal 1 ayat (1) KUHP.25
Dengan demikian bahwa dasar pokok dalam menjatuhkan pidana adalah
norma yang tertulis. Azas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih
dahulu dalam perundang-undangan, lebih dikenal dalam bahasa latin yaitu
nullum delictum poena sine previa lege poenela (tidak ada pidana tanpa
ada peraturan lebih dulu).
25
Roeslan Saleh. 1980. Kitab Undang-undang
Penjelasanya. Aksara Baru. Jakarta hal. 1.
Hukum
Pidana
dengan
15
Azas ini bertujuan untuk terjaminya kepastian hukum di samping
latar belakang bahwa tentu saja azas ini mencagah agar tidak terjadi
kesewenang-wenangan
penguasa
terhadap
rakyatnya.
Azas
ini
mengandung tiga pengertian:
1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau
hal itu belum dinyatakan dalam suatu peraturan perundang-undangan.
2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi (kiyas).
3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.26
b. Bersifat melawan hukum
Unsur pemidanaan yang kedua adalah bersifat melawan hukum,
Roeslan Saleh mengatakan bahwa:
Bersifat melawan hukum dalam Bahasa Belanda disebut dengan
istilah
“Onrechtmatigheid”
atau
bisa
dinamakan
juga
“Wederrechtelijkheid”. Mengenai unsur sifat melawan hukum,
dengan jalan menyatakan suatu perbuatan dapat dipidana maka
pembentuk undang-undang memberitahukan bahwa ia memandang
perbuatan itu sebagai bersifat melawan hukum, atau untuk
selanjutnya dipandang seperti demikian27
Menurut Pompe, dikutip oleh Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim
Barkatullah:
Melawan hukum merupakan unsur mutlak perbuatan pidana
bilamana melawan hukum secara tegas disebutkan dalam ketentuan
pidana bersangkutan. Sesungguhnya demikian, walaupun melawan
hukum bukan unsur mutlak perbuatan pidana, namun adanya hal-hal
yang menghapuskan unsur melawan hukum akan menghapuskan
pula adanya pidana.28
Menurut pendapat para ahli, sebagaimana dikutip oleh Teguh
Prasetyo, mengenai pengertian melawan hukum antara lain adalah dari:
26
Ibid hal.. 40.
Ibid hal. 1.
28
Ibid hal. 5.
27
16
1) Simon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum pada
umumnya.
2) Noyon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hak subjektif
orang lain.
3) Pompe: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum dengan
pengertian yang lebih luas, bukan hanya bertentangan dengan undangundang tetapi juga dengan hukum yang tidak tertulis.
4) Van hannel: Melawan hukum adalah onrechmatig atau tanpa hak/
wewenang.
5) Hoge raad: Dari arrest-arrest-nya dapat disimpulkan, menurut HR
melawan hukum adalah tanpa hak atau tanpa kewenangan..
6) Lamintang: perbedaan diantara pakar tersebut antara lain disebabkan
karena dalam bahasa Belanda recht dapat berarti hukum” dan dapat
berarti “hak.” Ia mengatakan, dalam bahasa Indonesia kata
wederrechtelijk itu berarti “secara tidak sah” yang dapat meliputi
pengertian “bertentangan dengan hukum objektif” dan “bertentangan
dengan hak orang lain atau hukum subjektif”.29
Melawan hukum artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan (melawan hukum formil) namun
apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan
rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat
(melawan hukum materil) maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Menentukan perbuatan itu dapat dipidana, pembentuk undangundang menjadikan sifat melawan hukum sebagai unsur yang tertulis.
Tanpa unsur ini, rumusan undang-undang akan menjadi terlampau luas.
Sifat ini juga dapat dicela kadang-kadang dimasukkan dalam rumusan
delik culpa.
Jika unsur melawan hukum itu dengan tegas terdapat di dalam
rumusan delik, maka unsur juga harus dibuktikan, sedangkan jika dengan
tegas dicantumkan maka tidak perlu dibuktikan. Penentuan apakah suatu
perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum diperlukan unsur-unsur:
29
Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah. 2005. Politik Hukum Pidana
Kajian Kebijakan Kriminalisasai dan Deskriminalisasi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
hal. 31-32.
17
1) Perbuatan tersebut melawan hukum;
2) Harus ada kesalahan pada pelaku;
3) Harus ada kerugian.30
Suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai
melawan hukum bukan hanya berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam
perundang-undangan melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau
asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum dalam suatu
perkara, misalnya faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum
dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung.
Ajaran sifat melawan hukum memiliki kedudukan yang penting
dalam hukum pidana di samping asas Legalitas. Ajaran ini terdiri dari
ajaran sifat melawan hukum yang formal dan materiil, sebagaimana
dijelaskan oleh Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, sebagai
berikut:
1) Ajaran sifat melawan hukum formal
Sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik
undang undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk
dapat dipidananya perbuatan. Ajaran sifat melawan hukum formal
adalah apabila suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur yang
termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah
tindak pidana. Jika ada alasan-alasan pembenar maka alasan-alasan
tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang.
2) Ajaran sifat melawan hukum materiil
Sifat melawan hukum materiil merupakan suatu perbuatan melawan
hukum yang tidak hanya terdapat di dalam undang-undang (yang
tertulis), tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak
tertulis juga. Sifat melawan hukum itu dapat dihapuskan berdasar
ketentuan undang-undang maupun aturan-aturan yang tidak tertulis.31
30
Theodorus M. Tuanakotta. 2009. Menghitung Kerugian Keuangan Negara
Dalam Tindak Pidana Korupsi.Salemba Empat. Jakarta. hal. 73.
31
Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah. 2005. Op.,cit.hal. 34-35.
18
Ajaran sifat melawan hukum materiil adalah memenuhi semua unsur
rumusan delik, perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan oleh
masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. karena itu
ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang,
dengan kata lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak
tertulis. Menurut D. Schaffmeister, et.al., terjemahan J. E. Sahetapy,
pengertian melawan hukum itu ada 4 kelompok yaitu:
1) Sifat melawan hukum secara umum
Semua delik tertulis atau tidak tertulis sebagai bagian inti delik dalam
rumusan delik, harus melawan hukum baru dapat dipidana, jadi tidak
perlu dicantumkan di dalam surat dakwaan adanya melawan hukum
dan juga tidak perlu dibuktikan. Contoh: pembunuhan.
2) Sifat melawan hukum secara khusus
Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 yang secara tegas
mencantumkan “melawan hukum” dengan sendirinya “melawan
hukum” harus dicantumkan di dalam surat dakwaan sehingga harus
dibuktikan adanya “melawan hukum”. Jika tidak dapat dibuktikan
putusan bebas.
3) Sifat melawan hukum secara materil
Bukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang saja,
tetapi juga perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan, kelaziman
di dalam pergaulan masyarakat dipandang sebagai perbuatan melawan
hukum.
4) Sifat melawan hukum secara formil.
Seluruh bagian inti delik apabila sudah dipenuhi atau dapat
dibuktikan, dengan sendirinya dianggap perbuatan itu telah melawan
hukum.32
Menurut Moeljatno ada perbedaan antara pandangan yang formal
dengan pandangan yang materiil, yaitu:
1) Mengakui adanya pengecualiaan/penghapusan dari sifat melawan
hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak
tertulis, sedangkan pandangan yang formal hanya mengakui
pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja, misalnya
Pasal 44 KUHP, mengenai kurang sempurnanya akal seseorang atau
karena sakit berubah akal, Pasal 48 KUHP, mengenai over macht, 49
KUHP, mengenai pembelaan terpaksa (noodweer);
32
D. Schaffmeister, et.al., 2003. Hukum Pidana. Diterjemahkan oleh J. E.
Sahetapy. Cet. Kedua. Liberty. Yogyakarta. hal. 39.
19
2) Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan
pidana, juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsurunsur tersebut, sedang bagi pandangan yang formal, sifat tersebut
tidak selalu menjadi unsur daripada perbuatan pidana. Hanya jika
dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata-nyata, barulah menjadi
unsur delik.33
Menurut Bambang Poernomo, sifat melawan hukumnya suatu
perbuatan terdapat dua ukuran, yaitu:
Sifat
melawan
hukum
yang
formal
atau
formele
wederrechttelijkheidsbegrip dan sifat melawan hukum yang materiil
atau materieele wederrechttelijkheidsbegrip. Melawan hukum formil
apabila perbuatannya dilihat semata-mata sebagai perbuatan yang
bertentangan dengan undang-undang, sesuai dengan rumus delik dan
pengecualiaannya, seperti daya paksa, pembelaan terpaksa, itu pun
karena ditentukan secara tertulis dalam undang-undang. Sebaliknya,
melawan hukum materiil, melihat perbuatan melawan hukum itu
tidak selalu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
dan suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang dapat
dikecualikan sebagai perbuatan yang tidak melawan hukum. Dengan
demikian, dalam pandangan sifat melawan hukum materiil, melawan
hukum dapat diartikan baik melawan peraturan perundangundangan, maupun hukum di luar peraturan perundang-undangan.34
c. Kesalahan
Unsur pemidanaan yang ketiga adalah kesalahan yang terdiri dari
kesengajaan (dolus dan culpa) dan kemampuan bertanggung jawab. Hal
ini sesuai dengan penjelasan dari Sudarto bahwa:
Untuk memungkinkan adanya pemidanaan secara wajar, maka tidak
cukup apabila seseorang telah melakukan tindak pidana belaka. Di
samping itu pada orang tersebut harus ada kesalahan dan
kemampuan bertanggung jawab.35
33
Moeljatno. 1987. Op. Cit. hal. 134.
Bambang Poernomo. 1994. Asas-asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta.
hal. 115.
35
Sudarto. 1991. Op. Cit, hal. 39.
34
20
Dipidananya seseorang tidaklah cukup orang itu telah melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan
hukum. Jadi meskipun perbuatanya memenuhi rumusan delik dalam
undang-undang dan tidak dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi
syarat untuk penjatuhan pidana.Untuk itu pemidanaan masih perlu adanya
syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai
kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Hal ini sebagaimana dikatakan
oleh Sudarto, bahwa:
Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat bahwa orang yang
melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah
(subjective guilt). Azas kesalahan (culpabilitas) menyangkut
orangnya atau pelakunya. Jadi untuk adanya pemidanaan harus ada
kesalahan pada si pembuat tindak pidana. Dalam hal ini berlaku azas
“nulla poena sine culpa” atau tidak ada pidana tanpa kesalahan36
Menurut Sudarto, kesalahan adalah keseluruhan syarat yang
memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat
tindak pidana.37 Kemudian Sudarto membagi kesalahan menjadi tiga arti,
yaitu:
1) Kesalahan dalam arti seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan
pengertian “pertanggungan jawab dalam unsur pidana” di dalamnya
terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatanya.
2) Kesalahan dalam bentuk kesalahan berupa:
a) Kesengajaan (dolus).
b) Kealpaan (culpa).
3) Kesalahan dala arti sempit yaitu kealpaan (culpa) seperti yang
disebutkan pada kesalahan dalam arti bentuk kesalahan yang berupa
kealpaan. 38
36
Ibid hal.39.
Ibid hal..41.
38
Ibid hal..45.
37
21
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dijelaskan bahwa
dalam hal kesalahan berlaku apa yang disebut atas “tiada pidana tanpa
kesalahan” (keine strafe ohne schhuld atau geen straf zonder schuld) atau
nulla poena sine culpa (“culpa” di sini dalam arti luas meliputi
kesengajaan). Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
kesalahan terdiri atas beberapa unsur ialah:
1) Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat
(Schuldfahigkeit atau Zurechnungsfahigkeit): artinya keadaan jiwa si
pembuat harus normal
2) Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatanya berupa
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa): ini disebut bentuk-bentuk
kesalahan.
3) Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan
pemaaf.
Kalau ketiga unsur ada maka orang yang bersangkutan bisa dinyatakan
bersalah atau mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga bisa di
pidana.39
Unsur mampu bertanggung jawab dan tidak ada alasan pemaaf dan
pembenar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Mampu bertanggung jawab
Sebagai dasar pertanggungjawaban adalah kesalahan yang
terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan perbuatannya
yang dapat dipidana serta berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat
dicela karena perbuatannya itu. Dengan kata lain, hanya dengan
hubungan batin inilah maka perbuatan yang dilarang itu dapat
dipertanggungjawabkan pada si pelaku.
Berkaitan
dengan
masalah
bertanggung
jawab
Simons,
sebagaimana dikutip oleh Sudarto, menyatakan pendapatnya sebagai
berikut:
39
Ibid hal..91
22
Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu
keadaan psikis sedemikian yang membenarkan adanya penerapan
sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari unsur sudut umum
maupun dari orangnya. Seseorang mampu bertanggung jawab
jika jiwanya sehat, yaitu apabila:
a) Ia mampu untuk untuk mengetahui atau menyadari bahwa
perbuatanya bertentangan dengan hukum;
b) Ia dapat menetukan kehendak sesuai dengan kesadaran
tersebut.40
Menurut Djoko Prakoso, dalam pengertian perbuatan pidana
tidak termasuk pertanggungjawaban. Djoko Prakoso mengatakan:
Orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang
mempunyai
kesalahan
merupakan
dasar
adanya
pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak tertulis
mengatakan, “tidak di ada pidana jika tidak ada kesalahan,”
merupakan dasar dari pada di pidananya si pembuat.41
Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo,
jika pada waktu melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut
dicela. Dengan demikan, menurutnya seseorang mendapatkan pidana
tergantung pada dua hal, yaitu:
a) Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau
dengan kata lain, harus ada unsur melawan hukum.jadi harus ada
unsur Obejektif, dan
b) Terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk
kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan
hukum tersebut dapat di pertanggungjawabkan kepadanya.jadi ada
unsur subjektif.42
Telah dimaklumi bahwa perbuatan pidana memiliki konsekuensi
pertanggungjawaban serta penjatuhan pidana, maka setidaknya,
menurut J.E. Sahetapy ada dua alasan mengenai hakikat kejahatan,
yakni:
40
Ibid hal.39.
Djoko Prakoso. 1987. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Edisi
Pertama. Liberty Yogyakarta. Yogyakarta. hal.75
42
Martiman Prodjohamidjojo. 1997. Memahami dasar-dasar hukum Pidana
Indoesia. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. hal. 31
41
23
a) Pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan
yang tidak senonoh yang dilakukan manusia lainya.
b) Pendekatan yang melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap
dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat.43
Kedua pendekatan ini berkembang sedemikian rupa bahkan
diyakini mewakili pandangan-pandangan yang ada seputar pidana dan
pemidanaan. Dari sinilah kemudian berbagai perbuatan pidana dapat
dilihat sebagai perbuatan yang tidak muncul begitu saja, melainkan
adalah hasil dari refleksi dan kesadaran manusia. Hanya saja
perbuatan tersebut telah menimbulkan kegoncangan sosial di
masyarakat.
Kemampuan bertanggungjawab merupakan keadaan batin dari
orang yang melakukan perbuatan pidana, hal ini sebagaimana
dijelaskan oleh Andi Hamzah bahwa:
Didalam hal kemampuan bertanggungjawab bila dilihat dari
keadaan batin orang yang melakukan perbuatan pidana
merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab dan menjadi
dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang
mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana
haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal,
sebab karena orang yang normal, sehat inilah yang dapat
mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran-ukuran yang
dianggap baik oleh masyarakat.44
Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal,
maka ukuran-ukuran tersebut tidak berlaku baginya tidak ada gunanya
untuk diadakan pertanggungjawaban, sebagaimana di tegaskan dalam
ketentuan Bab III Pasal 4 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:
43
J.E. Sahetapy. 1987. Victimilogy Sebuah Bunga Rampai.Pustaka sinar
Harapan. Jakarta. hal.41-42
44
Andi Hamzah. 1986. Bunga Rampai HUkum Pidana dan Acara Pidana.
Ghalia Indonesia. Jakarta. hal. 78
24
a) Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di
pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna
akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum
b) Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungjawabkan
kepadanya karena kurang sempurna akalnya karena sakit berubah
akal maka hakim boleh memerintahkan menempatkan di di rumah
sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk di periksa.
c) Yang ditentukanya dalam ayat di atas ini, hanya berlaku bagi
Mahkamah Agung, Pengadilan Tingi dan pengadilan negeri.45
Mengenai kemampuan bertanggungjawab sebenarnya tidak
secara terperinci ditegaskan oleh Pasal 44 KUHP. Hanya ditemukan
beberapa pandangan para sarjana, misalnya Van Hammel, dikutip
oleh Andi Hamzah, yang mengatakan, orang yang mampu
bertanggungjawab harus memenuhi setidaknya 3 (tiga) syarat:
a) Dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam
kejahatan
b) Dapat menginsafi bahwa perbuatanya di pandang tidak patut
dalam pergaulan masyarakat
c) Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap
perbuatan tadi.46
Sementara itu secara lebih tegas Simons, sebagaimana dikutip
oleh Andi Hamzah, mengatakan bahwa mampu bertanggungjawab
adalah mampu menginsafi sifat melawan hukumnya perbuatan dan
sesuai dengan ke insafan itu menentukan kehendaknya. Untuk adanya
kemampuan beranggungjawab maka harus ada dua unsur yaitu:
a) Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik
dan buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum
b) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan
tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
Dengan kata lain, bahwa kemampuan bertanggungjawab berkaitan
dengan dua faktor terpenting, yakni pertama faktor akal untuk
45
R. Soesilo. 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia. Bogor. hal. 60-61
46
Andi Hamzah. 1986. Op.cit, hal.79
25
membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang dilarang
atau melanggar hukum, dan kedua faktor perasaan atau kehendak
yang menetukan kehendaknya dengan menyesuaikan tingkah lakunya
dengan penuh kesadaran.47
Mengenai ketidakmampuan bertanggung jawab dengan alasan
pelaku pidana masih muda usia, Roeslan Saleh mengatakan bahwa:
Ketidakmampuan bertanggungjawab dengan alasan masih muda
usia tidak bisa di dasarkan pada Pasal 44 KUHP. Yang
disebutkan tidak mampu bertanggungjawab adalah alasan
penghapusan pidana yang umum yang dapat di salurkan dari
alasan-alasan khusus seperti tersebut dalam Pasal-Pasal 44, 48,
49, 50, dan 51. Jadi, bagi Jonkers orang yang tidak mampu
bertanggungjawab itu bukan saja karena pertumbuhan jiwanya
yang cacat atau karena gangguan penyakit, tetapi juga karena
umurnya masih muda, terkena hipnotis dan sebagainya.48
Roeslan Saleh lebih lanjut mengatakan bahwa:
Mengenai anak kecil yang umurnya masih relative muda, dalam
keadaan-keadaan yang tertentu untuk dianggap tidak mampu
bertanggungjawab haruslah didasarkan pada Pasal 44 KUHP,
jadi
sama
dengan
orang
dewasa.
Tidak
mampu
bertanggungjawab karena masih muda saja, hal itu tidak di
benarkan. Dengan demikian, maka anak yang melakukan
perbuatan pidana, tidak mempunyai kesalahan karena dia
sesungguhnya belum mengerti atau belum menginsyafi makna
perbuatan yang dilakukan. Anak memiliki ciri dan karakteristik
kejiwaan yang khusus, yakni belum memiliki fungsi batin yang
sempurna. Maka, dia tidak di idana karena tidak mempunyai
kesengajaan atau kealpaan. sebab, satu unsur kesalahan tidak ada
padanya, karenanya dia dipandang tidak bersalah, sesuai dengan
asas tidak dipidana tidak ada kesalahan, maka anak belum cukup
umur ini pun tidak dipidana.49
47
Ibid. hlm 83
Roeslan Saleh. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana:
Dua Pengertian Dalam Hukum Pidana. Aksara Baru. Jakarta. hal. 83
49
Ibid. hal.84
48
26
2) Tidak ada alasan pemaaf dan pembenar
Alasan pembenar atau alasan pemaaf ialah sesuatu hal yang
dapat dianggap sebagai sesuatu alasan yang dianggap dapat
menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan itu, sehingga hal
itu bukan suatu peristiwa pidana meskipun perbuatan itu sesuai
dengan yang dilarang oleh undang-undang.
Dalam ketentuan Umum KUHPidana alasan penghapus pidana
ini dirumuskan dalam buku kesatu, yaitu terdapat dalam Bab III Buku
Kesatu KUHPidana yang terdiri dari Pasal 44, Pasal 48 sampai
dengan Pasal 51. Sedangkan Pasal Pasal 45 sampai dengan Pasal 47
KUHPidana telah dicabut berdasarkan Pasal 67 Undang-undang No.
3Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
a) Pasal 44 (pelaku yang sakit/terganggu jiwanya)
Pasal 44 KUHPidana merumuskan:
1. Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat
di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna
akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum.
2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungjawabkan
kepadanya karena kurang sempurna akalanya atau karena sakit
berubah akal maka hakim boleh memerintahkan dia di rumah
sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk di perikasa.
3. Yang ditentukan dalam ayat yang di atas ini hanya berlaku
bagi mahkamah Agung, pengadilan Tinggi dan Pengadilan
Negeri.
Dalam Pasal 44 KUHPidana ini tampaknya pembentuk
undang-undang membuat peraturan khusus bagi pelaku yang tidak
dapat mempertanggungjawabkan perbuatanya, karena sakit jiwa
atau kurang sempurna akalnya pada saat perbuatan itu dilakukan.
R. Soesilo dalam hal ini menjelaskan:
27
Berdasarkan ayat (3) dari Pasal ini kewenangan untuk tidak
menghukum pelaku berdasarkan sakit jiwa ini hanya pada
hakim (kewenangan ini tidak ada pada polisi maupun jaksa
penuntut umum). Akan tetapi dalam menentukan apakah
pelaku menderita sakit jiwa atau sakit berubah akal, hakim
harus menggunakan saksi ahli dalam bidang ilmu kejiwaan
(psikiatri). Psikiatrilah yang menetukan apakah pelaku
memang menderita sakit jiwa yang memang mempunyai
hubungan kausal/keterkaitan dengan apa yang telah
dilakukanya itu. Meskipun demikian hakim dalam
memberikan putusanya tidaklah terkait dengan keterangan
yang diberikan oleh psikiatri, hakim dapat menerima ataupun
menolak keterangan yang diberikan psikiatri tersebut.
Penerimaan maupun penolakan hakim ini tentunya harus di
uji berdasarkan kapatutan atau kepantasan.50
b) Pasal 48 KUHPidana (perbuatan yang dilakukan dalam
keadaan terpaksa)
Pasal 48 KUHPidana merumuskan:
Barangsiapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh
sesuatu kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan, tidak boleh
dihukum.
Berdasarkan rumusan Pasal 48 KUHPidana tersebut di atas,
Utrecht memberikan pendapatnya bahwa:
Pasal 48 KUHPidana ini tidak merumuskan apa yang di
maksudkan dengan “paksaan” tersebut. Akan tetapi menurut
memorie van toelechting, maka yang di maksud dengan
paksan itu adalah “ee kracht, een drang, een dwang waaraan
men geen weerstand kan bieden” (suatu kekuatan, suatu
dorongan, suatu paksaan yang tidak dapat dilawan tidak
dapat ditahan).51
Dengan demikian tidak setiap paksaan itu dapat dijadikan
alasan penghapus pidana, akan tetapi hanya paksaan yang benarbenar tidak dapat dilawan atau dielakkan lagi oleh pelaku,
sehingga oleh sebab adanya paksaan itulah ia melakuakan tindak
50
51
R. Soesilo. 1995. Op.cit, hal 61
Utrecht. 1986. Op. Cit. hal. 350
28
pidana. Paksaan mana biasa dikenal dengan istilah paksaan yang
absolute, misalnya seseorang yang di paksa untuk menandatangani
suatu pernyataan yang tidak benar, dalam keadaan tangannya yang
di pegang oleh orang lain yang lebih kuat.
c) Pasal 49 ayat (1) KUHPidana (perbuatan yang dilakukan
untuk membela diri)
Pasal 49 ayat (1) KUHPidana merumuskan:
Barangsiapa melakukan perbuatan yang terpaksa di
lakakuanya untuk mempertahankan dirinya, atau diri orang
lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri
atau kepunyaan orang lain, dari pada serangan yang melawan
hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak
boleh dihukum.
Berdasarkan rumusan Pasal 49 ayat (1) tersebut, maka
penghapusan pidana dapat dijadikan alasan apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1. Perbuatan itu dilakukan karena untuk membela/tubuh,
kehormatan atau harta benda sendiri atau pun orang lain.
2. Perbuatan itu dilakukan atas serangan yang melawan hukum
yang terjadi pada saat itu juga. Dengan kata lain perbuatan itu
dilakukan setelah adanya serangan mengacam, bukan
perbuatan yang di ujukan untuk mempersiapkan sebelum
adanya atau terjadinya serangan dan bukan pula terhadap
serangan yang telah berakhir.
3. Perbuatan sebagai perlawanan yang dilakukan itu harus benarbenar terpaksa atau dalam kedaan darurat; tidak ada pilihan
lain (perlawanan itu memang suatu keharusan) untuk
menghindari dari serangan yang melawan hukum terebut.
Dengan kata lain perbuatan pelaku dalam hal ini di perlukan
adalah untuk membela hak terhadap keadilan, namun harus
pula dilakukan secara proporsional/seimbang. Dengan
demikian tidaklah dapat di benarkan untuk melakukan
perlawanan dengan menggunakan pistol terhadap serangan
melawan hukum yang hanya menggunakan tangan kosong.52
52
R. Soesilo. 1995. Op.cit. hlm 64-65
29
Pasal 49 ayat (2) KUHPidana (pembelaan diri yang
melampaui batas) merumuskan:
Melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, jika perbutan
dengan sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan
tergoncang dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh
dihukum.
Berkenaan dengan tindakan pembelaan yang melampaui
batas, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP,
R. Soesilo memberikan penjelasan bahwa:
Dalam hal ini hakimlah yang berperan dalam menentukan
apakah benar terdapat hubungan kausal antara suatu peristiwa
yang mengakibatkan kegoncangan jiwa pelaku sehingga ia
melakukan suatu pembelaan yang melampaui batas,
sedangkan perbuatan itu sesungguhnya merupakan tindak
pidana. Jadi sebenarnya perbuatan itu tetap merupakan
perbuatan yang melawan hukum, akan tetapi pelakunya di
nyatakan tidak bersalah, kesalahannya dihapuskan.53
d) Pasal 50 KUHPidana (melaksankan peraturan perundangundangan)
Pasal 50 KUHPidana merumuskan:
Barang siapa yang melakukan perbuatan untuk menjalankan
peraturan undang-undang tidak boleh dihukum.
Pasal 50 KUHPidana mengindikasikan bahwa perbuatan
yang dilakukan oleh seseorang yang karena menjalankan perintah
undang-undang, meskipun merupakan tindak pidana, maka atas
orang terebut tidak boleh dihukum. R. Soesilo dalam hal ini
menjelaskan bahwa:
Dalam penjelasan Pasal ini menentukan pada prinsipnya
orang yang melakukan suatu perbuatan meskipun itu
merupakan tindak pidana, akan tetapi karena dilakukan
berdasarkan perintah undang-undang maka si pelaku tidak
53
Ibid. hal. 64-65
30
boleh dihukum. Asalkan perbuatanya itu memang dilakukan
untuk kepentingan umum, bukan untuk kekpentingan pribadi
pelaku. Masalahnya adalah apakah yang di maksud dengan
undang-undang tersebut, dan apakah juga termasuk perturan
perundang-undangan yang sebenarnya tidak sah karena
bertentangan dengan undang-undang yang diatasnya (secara
hirarkhis). Demikian pula, dalam hal menjalankan perintah
undang-udnag
ini
harus
dilakukan
secara
proporsional/seimbang misalnya seorang Polisi yang
menembak seorang penjahat (kambuhan) dapat di benarkan
dari pada ia menembak seorang yang hanya untuk
mengehentikan orang yang melanggar rambu-rambu lalu
lintas yang melarikan diri.54
e) Pasal 51 ayat (1) KUHPidana (melakukan perintah jabatan
yang syah)
Pasal 51 ayat (1) KUHPidana merumuskan:
Barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan
perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak tidak
boleh dihukum.
Pasal 51 ayat (1) KUHPidana berarti bahwa seseorang yang
karena kedudukannya menjalankan tugas sesuai dengan perintah
jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak, maka orang
tersebut tidak boleh dipirana, hal ini sebagaimana dijelaskan oleh
R. Soesilo yang mengatakan bahwa:
Dengan kata lain yang memberikan perintah adalah orang
yang berwenang/berhak (perintah yang sah dari yang
berwenang) dan yang diperintah melaksanakanya karena
sesuai dengan atau berhubungan dengan pekerjaanya. Suatu
hal yang tidak boleh dilupakan bahwa dalam hal
melaksanakan perintah jabatan ini, juga harus di perhatikan
asas keseimbangan, kepatutan, kelayakan dan tidak boleh
melampaui dari batas keputusan dari orang yang
memerintah.55
54
55
Ibid. hal. 66
Ibid. hal. 66-67
31
Pasal 51 ayat (2) KUHPidana (melakukan perintah jabatan
yang tidak syah di anggap syah) merumuskan:
Perintah jabatan yang di berikan oleh kuasa yang tidak
berhak tidak membebaskan dari hukuman, kecuali jika
pegawai yang di bawahnya atas kepercayaan memandang
bahwa perintah itu seakan-akan di berikan oleh kuasa yang
berhak dengan sah dan menjalankan perintah itu menjadi
kewajiban pegawai yang di bawah pemerintah tadi.
Dalam hal ini ada alasan pemaaf dapat menghapuskan
kesalahnnya (kesalahan yang di bebankan kepada orang yang
memberi perintah). Dengan kata lain pelaku yang melaksanakan
perintah yang tidak sah, dapat di hapuskan pidananya apabila
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
(1) Perintah itu dipandangnya sebagai perintah yang syah
(2) Dilakukan dengan itikad baik
(3) Pelaksanaanya dalam ruang lingkup tugas-tugasnya (yang
biasanya ia lakukan).
Sebaliknya jika perintah itu tidak meliputi ruang lingkup tugastugasnya yang biasa ia lakukan ,maka itikad baiknya dalam
melakukan perintah itu di ragukan . jadi dalam hal ini (pembuat)
undang-undang menjaga “kepatutan buta” dari orang yang
mendapatkan tugas atau yang menerima perintah yang dapat
membawa akibat pemidanaan terhadap dirinya sendiri. dengan
kata lain seseorang menerima perintah atau tugas dari seorang
atasan haruslah waspada dan teliti.56
Dalam bagian kedua KUHPidana, terdapat juga bagian khusus
yang terdapat dalam buku kedua (Tentang Pengaturan Khusus) secara
keseluruhan membahas tentang adanya alasan penghapusan pidana
yaitu alasan pembenar, yaitu sebagai berikut:
56
Ibid. hal. 67
32
a) Pasal 166 KUHPidana
Pasal 166 KUHPidana KUHPidana merumuskan:
Ketentuan Pasal 164 dan 165 tidak berlaku bagi orang jika
pemberitahuan itu akan mendatangkan bahaya jika
pemberitahuan itu akan medatangkan bahaya penuntutan bagi
dirinya, bagi salah seorang kaum keluarganya sedarah atau
keluarganya karena perkawinan dalam keturunan yang lurus
atau derajat kedua atau ketiga dari keturunan menyimpang
bagi suaminya (isterinya) atau bekas suaminya (isterinya)
atau bagi orang lain, yang kalau di tuntut, boleh ia meminta
supaya tidak usah memberi keterangan sebagai saksi,
berhubung dengan jabatan atau pekerjaanya.
Pasal 166 ini berkaitan dengan Pasal 164 dan Pasal 165 yang
memberikan ancaman pidana kepada seseorang yang meskipun
mengetahui akan terjadinya beberapa kejahatan tertentu yang
sangat sifatnya, tidak melaporkan hal itu kepada pihak yang
berwajib pada waktu tindak-tindak pidana itu masih dapat
dihindarkan atau dicegah. Sanksi pidana ini baru dapat di jatuhkan
apabila kemudian ternyata tidak pidana yang bersangkutan benarbenar terjadi. Wirjono Prodjodikoro menjelaskan:
Jadi menurut Pasal 166, kedua Pasal tersebut (Pasal 164 dan
165) tidak berlaku apabila si pelaku melakukan tindak-tindak
pidana itu untuk menghindarkan dari penuntutan pidana
terhadap dirinya sendiri, atau terhadap sanak keluarga dalam
keturunan lurus dan kesamping samai derajat ketiga, atau
terhadap suami atau isteri, atau terhadap seseorang yang
dalam perkaranya ia dapat di bebaskan dari kewajiban
memberi kesaksian di muka sidang pengadilan.57
b) Pasal 186 ayat (1) KUHPidana
Pasal 186 ayat (1) KUHPidana merumuskan:
Saksi dan tabib yang menghadiri perkelahian satu lawan satu
tidak dapat dihukum.
57
Wirjono Prodjodikoro. 1986. Tindak-tindak Piadana Tertentu di
Indonesia. Eresco. Bandung. Hal. 224-225
33
Berkaitan dengan rumusan Pasal Pasal 186 ayat (1)
KUHPidana mengenai saksi dan tabib yang tidak boleh dihukum
karena kehadirannya dalam suatu
perkelahian satu lawan satu,
Wirjono Prodjodikoro memberikan penjelasan bahwa:
Di Negara Indonesia perbuatan seperti ini di atur dalam Bab
VI KUHPidana kita, yaitu tentang “ perkelahian satu lawan
satu,” yang terdapat dalam Pasal 182 sampai dengan Pasal
186. Akan tetapi saksi-saksi atau medis yang menghadiri atau
yang menyaksikan perang tanding ini (misalnya dalam olah
raga tinju, karate, dan lain sebagainya) tidak boleh dihukum
berdasarkan Pasal 186 ayat (1) ini.58
c) Pasal 314 ayat (1) KUHPidana
Pasal 314 ayat (1) KUHPidana merumuskan:
Kalau orang yang dihinakan, dengan keputusan hakim yang
sudah tetap, telah dipersalahkan melakukan perbuatan yang
dituduhkan itu, maka tidak boleh dijatuhkan hukuman karena
memfitnah.
Seseorang yang dituduh melakukan pencemaran nama baik
kepada orang lain, namun berdasarkan keputusan hakim yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap terbukti kebenarnnya,
maka sifat melawan hukum atas tuduhan pencemaran nama baik
tersebut dihapuskan (hilang). M. Hamdan menjelaskan bahwa:
Dalam hal ini ada satu hal yang dapat menghilangkan sifat
melawan hukumnya perbuatan itu, yaitu apabila ternyata apa
yang dilakukan (yang dituduhkan/dihinakan) kepada orang
itu, terbukti benar sesuai dengan keputusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan kata lain orang
yang dihinakan/dicemarkan nama baiknya ini telah dijatuhi
pidana terhadap perbuatan yang dihinakan/dituduhkan
kepadanya. Oleh karena itu sifat melawan hukum yang
dilakukan oleh si penghina atu pencemar nama baik tersebut
dihapuskan (hilang).59
58
Ibid. hal.168-169
M. Hamdan. 2008. Pembaharuan Hukum Tentang Alasan
Penghapusan Pidana. Jurnal Hukum Fakultas Hukum USU. Medan Desember.
2008. hal. 56-57
59
34
d) Pasal 352 ayat (2) KUHPidana
Pasal 352 ayat (2) KUHPidana merumuskan:
Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum.
Pasal 352 ayat (2) KUHPidana yang merumuskan tentang
kejahatan yang baru sebatas percobaan tidak dapat dihukum.
Kejahatan ini berkaitan dengan tindak pidana penganiayaan
ringan, sebagaimana dijelaskan oleh M. Hamdan sebagai berikut:
Pasal ini berkaitan dengan tindak pidana “penganiayaan
ringan” (Pasal 352 ayat (1)), yang pelaku diancam dengan
pidana. Akan tetapi dengan adanya ayat (2) Pasal ini, maka
percobaan melakukan penganiayaan ringan tidak dapat
dipidana; merupakan alasan penghapus pidana. seharusnya
sesuai dengan peraturan umum, yaitu Pasal 53 tentang
percobaan melakukan kejahatan, perbuatan penganiayaan
ringan ini juga harus di pidana. Akan tetapi sanyangnya
pembuat undang-undang tidak merumuskan atas dasar apa
percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dipidana.60
Apabila ketiga syarat pemidanaan tersebut di atas, yaitu memenuhi
rumusan undang-undang, bersifat melawan hukum, serta unsur kesalahan
dipenuhi oleh si pelaku tindak pidana maka pidana dapat dijatuhkan
berdasarkan ketentuan dalam KUHP. Jika ada perbuatan yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan lainnya, maka aturan dalam KUHP dapat
dikesampingkan. Dalam hal hakim menjatuhkan pidana setelah semua unsurunsur tindak pidana terpenuhi, maka penjatuhan pidana tersebut harus
memenuhi sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti. Hal ini sebagaimana diatur
dalam Pasal 183 KUHAP yang menegaskan bahwa:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.
60
Ibid, hlm.57
35
Adapun alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP adalah sebagai
berikut:
(1) Alat bukti yang sah ialah:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Surat putusan pemidanaan yang dijatuhkan oleh Hakim berdasarkan Pasal 197
KUHAP adalah memuat hal-hal sebagai berikut:
(1) Surat putusan pemidanaan memuat:
a. kepala putusan yang dituliskan merumuskan: "DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan
beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang
menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;
e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau
tindakan dan Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang
meringankan terdakwa;
g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara
diperiksa oleh hakim tunggal;
h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur
dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan
atau tindakan yang dijatuhkan;
i. ketentuan
kepada
siapa
biaya
perkara
dibebankan
dengan
menyebutkanjumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana
letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus
dan nama panitera;
(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, k dan l
Pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undang-undang
ini.
36
3. Jenis-jenis Tindak Pidana
Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, hal ini
sebagaimana dijelaskan oleh Adami Chazawi yaitu sebagai berikut:
a. Kejahatan dan pelanggaran
Perbedaan kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen)
seringkali dilihat secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif,
kejahatan dipandang sebagai tindak pidana yang sifat tercelanya tidak
semata-mata pada dimuatnya dalam undang-undang, melainkan memang
pada dasarnya telah melekat sifat terlarang sebelum memuatnya dalam
rumusan tindak pidana dalam undang-undang. Sebaliknya, dalam
pelanggaran sifat tercelanya suatu perbuatan itu terletak pada setelah
dimuatnya sebagai demikian dalam undang-undang, atau dengan kata lain
sumber tercelanya adalah undang-undang.
Secara kuantitatif, perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran hanya
didasarkan pada berat-ringannya tindak pidana yang kemudian akan
mengarah pada berat-ringannya ancaman pidana. Dalam hal ini kejahatan
merupakan bentuk tindak pidana yang lebih berat dibandingkan dengan
pelanggaran.
b. Tindak pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materiil
(materiel delicten)
Tindak pidana formil (formeel delicten) adalah tindak pidana yang
dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti
larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan sesuatu perbuatan
tertentu. Terjadinya tindak pidana tidak tergantung pada timbulnya suatu
akibat, melainkan semata-mata pada perbuatannya. Sedangkan dalam
rumusan tindak pidana materiil (materiele delicten), inti larangan adalah
pada timbulnya akibat yang dilarang.
c. Tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana kelalaian
(culpose delicten)
Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya
dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan.
Sementara tindak pidana culpa adalah tindak pidana yang dalam
rumusannya mengandung unsure culpa.
d. Tindak pidana aktif/positif (delicta commissionis) dan tindak pidana
pasif/negatif (delicta omissionis)
Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa
perbuatan aktif (positif), artinya bahwa untuk mewujudkan tindak pidana
tersebut disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang
berbuat. Sedangkan tindak pidana pasif, ada suatu kondisi dan atau
keadaan tertentu yang mewajibkan seseorang dibebani hukum untuk
berbuat tertentu, yang apabila ia tidak melakukan (aktif) perbuatan itu, ia
telah melanggar kewajiban hukumnya.
37
e. Tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana berlangsung terus
Tindak pidana terjadi seketika adalah tindak pidana yang dirumuskan
sedemikina rupa sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu
seketika atau waktu singkat, disebut dengan aflopende delicten.
Sedangkan tindak pidana berlangung terus adalah tindak pidana yang
dirumuskan sedemikian rupa, sehingga terjadinya tindak pidana itu
berlangsung lama, yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu
masih berlangsung terus, yang disebut juga dengan voortdurende delicten.
f. Tindak pidana umum dan tindak pidana khusus
Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam
KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil. Sementara tindak
pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat di luar
kodifikasi tersebut.
g. Tindak pidana communia (delicta communia) dan tindak pidana propia
(delicta propia)
Tindak pidana communia adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh
semua orang, sedangkan tindak pidana propia adalah tindak pidana yang
hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu.
h. Tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht
delicten)
Penggolongan tindak pidana ini didasarkan pada proses penuntutannya.
Dalam tindak pidana biasa, untuk dilakukannya penuntutan pidana
terhadap pembuatnya tidak disyaratkan adanya pengaduan dari yang
berhak. Sementara dalam tindak pidana aduan, untuk dapat dilakukannya
penuntutan pidana disyaratkan untuk terlebih dahulu adanya pengaduan
oleh yang berhak.
i. Tindak pidana dalam bentuk pokok, yang diperberat dan diperingan
Dilihat dari berat ringannya, ada tindak pidana tertentu yang dibentuk
menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:
1) bentuk pokok, sederhana atau bentuk standar (eenvoudige delicten),
yaitu tindak pidana dirumuskan secara lengkap dimana semua
unsurnya dicantumkan dalam rumusan;
2) dalam bentuk yang diperberat (gequalificeerde delicten), yaitu tindak
pidana yang dalam rumusannya tidak menyebutkan kembali unsurunsur bentuk pokok, namun menyebut kualifikasi bentuk pokonya
atau Pasal bentuk pokonya disertai unsur yang bersifat memberatkan;
3) dalam bentuk ringan (gepriviligieerde delicten), yaitu tindak pidana
yang dalam rumusannya tidak menyebutkan kembali unsur-unsur
bentuk pokok, namun menyebut kualifikasi bentuk pokonya atau
Pasal bentuk pokonya disertai unsur yang bersifat meringankan.
j. Tindak pidana berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi
Kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh hukum pidana terdiri
dari 3 (tiga) kelompok besar, yaitu kepentingan hukum individu
(individuale belangen), kepentingan hukum masyarakat (sociale
belangen) dan kepentingan hukum negara (staatsbelangen). Sistematika
38
pengelompokkan indak pidana bab per bab dalam KUHP didasarka pada
kepentingan hukum yang dilindungi tersebut.
k. Tindak pidana tunggal dan tindak pidana berangkai (samegestelde
delicten)
Tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) adalah tindak pidana yang
dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang selesainya tindak
pidana dan dapat dipidananya pelaku, cukup dilakukan satu kali
perbuatan saja. Sementara yang dimaksud dengan tindak pidana
berangkai adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa
sehingga untuk dipandang sebagai selesai dan dapat dipidananya
pembuat, disyaratkan dilakukan berulang-ulang.61
Berdasarkan pendapat Adami Chazawi tersebut di atas, maka dapat
dijelaskan lebih lanjut bahwa pembagian jenis-jenis tindak pidana dalam
sistem perundang-undangan hukum dibagi menjadi dua bagian yaitu
kejahatan dan pelanggaran. Ilmu pengetahuan mencari secara intensif ukuran
atau kriterium untuk membedakan kedua jenis delik itu. Menurut Sudarto
ada dua pendapat mengenai hal tersebut, yaitu:
a. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan
yang bersifat kualitatif. Dengan ukuran ini lalu didapati dua jenis delik
yaitu:
1) Rechtsdelicten
Rechtsdelicten ialah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan,
terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undangundang atau tidak, jadi yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat
sebagai bertentangan dengan keadilan. Misal: pembunuhan,
pencurian. Delik-delik semacam ini disebut ”kejahatan” (Male perse).
2) Wetsdelicten
Wetsdelicten ialah perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai
suatu tindak pidana, karena undang-undang menyebutnya sebagai
delik, karena tercantum dalam undang-undang mengancamnya dengan
pidana. Misal: memparkir mobil di sebelah kanan jalan. Delik-delik
semacam ini disebut ”pelanggaran” (Mala quia prohibita).
Perbedaan secara kualitatif ini tidak dapat diterima, sebab ada kejahatan
yang baru disadari sebagai delik, karena tercantum dalam undang-undang
pidana, jadi sebenarnya tidak segera dirasakan sebagai bertentangan
dengan rasa keadilan.
61
Adami Chazawi, Tindak Pidana Pornografi (Penyerangan terhadap Kepentingan
Hukum Mengenai Tegaknya Tatanan Kehidupan Akhlak dan Moral Kesusilaan yang
Menjunjung Tinggi Nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab), PMN, Surabaya, 2009, hal. 4.
39
Dan sebaliknya ”pelanggaran ”, yang memang benar-benar dirasakan
bertentangan dengan rasa keadilan. Oleh karena perbedaan secara
demikian itu tidak memuaskan, maka dicari ukuran lain.
b. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan
yang bersifat kualitatif. Pendirian ini hanya meletakkan kriterium pada
perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, ialah ”pelanggaran” itu
lebih ringan daripada ”kejahatan”.62
Selain pembagian tindak pidana menjadi kejahatan dan pelanggaran,
menurut Sudarto tindak pidana dapat dibedakan jenis-jenisnya sebagai
berikut:
a. Delik formil dan delik materiil
1) Delik Formil adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada
perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan
dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik.
Misal: penghasutan (Pasal 160 KUHP), pencurian (Pasal 362 KUHP).
2) Delik Materiil adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada
akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini baru selesai
apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum,
maka paling banyak hanya ada percobaan. Misal : pembakaran (Pasal
187 KUHP), pembunuhan (Pasal KUHP).
b. Delik commisionis, delik ommissionis dan delik commissionis per
commissionis commissa
1) Delik commissionis adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap
larangan yaitu berbuat sesuatu yang dilarang. Misalnya: pencurian,
penggelapan, penipuan.
2) Delik ommissionis adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap
perintah. Misal: tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan
(Pasal 522 KUHP), tidak menolong orang memerlukan pertolongan
(Pasal 531 KUHP).
3) Delik commissionis per ommissionis commissa adalah delik yang
berupa pelanggaran larangan (dua delik commissionis), akan tetapi
dapat dilakukan dengan tidak berbuat. Misal: seorang ibu yang
membunuh anaknya dengan tidak memberi air susu (Pasal 338
KUHP, Pasal 340 KUHP), seorang penjaga wissel yang menyebabkan
kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak memindahkan wissel
(Pasal 194 KUHP).
c. Delik dolus dan delik culpa (doluise en culpose delicten)
1) Delik dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan.
2) Delik culpa adalah delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu
unsur.
62
Sudarto. 1991. Op. Cit. hal. 33.
40
d. Delik tunggal dan delik berganda (enkevoudige en samengestelde
delicten)
1) Delik tunggal adalah delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan
satu kali.
2) Delik berganda adalah delik yang baru merupakan delik, apabila
dilakukan beberapa kali perbuatan. Misal: Pasal 481 (penahanan
sebagai kebiasaan).
e. Delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak berlangsung terus
(voortdurende en niet voortdurende (aflopende delicten))
Delik yang berlangsung terus adalah delik yang mempunyai bahwa
keadaan terlarang itu berlangsung terus. Misal: merampas kemerdekaan
seseorang (Pasal 333 KUHP).
f. Delik aduan dan bukan delik aduan (kalchtdelicten en en niet klacht
delicten)
Delik aduan adalah delik yang penuntutnya hanya dapat dilakukan apabila
ada pengaduan dari pihak yang terkena (gelaedeerde partij). Misal:
perzinahan (Pasal 284 KUHP).
g. Delik sederhana dan delik yang ada pembenarannya (eenvoudige dan
gedualificeerde delictgen)
1) Delik sederhana misalnya penganiayaan (Pasal 351 KUHP),
pencurian (Pasal 362 KUHP).
2) Delik yang ada pembenarannya misalnya penganiayaan yang
menyebabkan luka berat atau matinya orang (Pasal 351 Ayat 2, 3
KUHP), pencurian pada waktu malam hari (Pasal 363 KUHP).
h. Delik ekonomi (biasanya disebut dengan tindak pidana ekonomi dan
bukan delik ekonomi)
Delik Ekonomi (Tindak Pidana Ekonomi) dan bukan delik ekonomi.
Terdapat dalam Pasal Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1999
tentang Tindak Pidana Ekonomi.
i. Kejahatan ringan
Kejahatan Ringan adalah delik yang menimbulkan kerugian bagi yang
terkena, kejahatan-kejahatan ringan yang ada dalam KUHP.63
4. Pidana dan Pemidanaan
a. Pidana
1) Pengertian pidana
Pidana adalah suatu istilah yuridis sebagai terjemahan dari
bahasa Belanda straf, dan dalam bahasa Inggris disebut sentence.
Digunakan istilah pidana disini (bukan digunakan istilah “hukuman”)
63
Ibid. hal. 34-35
41
adalah ditujukan untuk memfokuskan makna yang terkandung dari
istilah pidana tersebut. Sudarto mengemukakan ketidaksetujuannya
dalam penggunaan kata hukuman untuk kata straf, karena:
Kata strafrecht bila menggunakan hukuman sebagai terjemahan
dari straf maka akan terjadi kerancuan dimana strafrecht akan
diterjemahkan menjadihukum hukuman. Pidana adalah suatu
penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang
melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.64
Selain pendapat yang dikemukakan diatas ada beberapa pendapat
yang diberikan oleh para pemikir hukum lain tentang pengertian dari
pidana itu sendiri, antara lain dikemukakan oleh Roeslan Saleh, yang
berpendapat bahwa:
Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa
atau penderitaan yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada
pembuat delik tersebut.65
Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut:
a) Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan
penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak
menyenangkan;
b) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang
memiliki kekuasaan (oleh yang berwenang);
c) Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang melakukan tindak
pidana menurut Undang-undang.
64
Sudarto, 1983. Hukum Pidana dan Pembangunan Masyarakat. Sinar Baru.
Bandung. hal. 7.
65
Roeslan Saleh. 1980. Op. Cit. hal. 41.
42
2) Jenis-jenis pidana
Berdasarkan rumusan yang terdapat dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) sebagai hukum pidana positif di Indonesia,
jenis-jenis pidana yang berlaku di Indonesia sesuai dengan rumusan
Pasal 10 KUHP adalah:
Pidana terdiri atas:
a. pidana pokok:
1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3 pidana kurungan;
4. pidana denda;
5. pidana tutupan;
b. pidana tambahan:
1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu;
3 pengumuman putusan hakim.
Jenis-jenis pidana seperti yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP,
dijelaskan lebih lanjut oleh P.A.F. Lamintang sebagai berikut:
Hukuman pidana mati selalu dicantumkan secara alternatif
dengan pidana-pidana pokok lain, yakni pada umumnya dengan
pidana seumur hidup atau selama-lamanya dua puluh tahun
penjara. Urutan kedua dari pidana pokok adalah pidana penjara.
Pengertian pidana penjara adalah suatu pidana berupa
pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang
dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah
Lembaga Pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk
mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam
Lembaga Pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan suatu tindakan
tata tertib bagi mereka yang melanggar peraturan tersebut. Sama
halnya dengan penjara pidana kurungan juga berupa pembatasan
kebebasan bergerak dari seorang terpidana. Pidana kurungan
hanya dapat dijatuhkan oleh hakim bagi orang-orang dewasa
yang telah melakukan pelanggaran. Pidana kurungan dapat
dijatuhkan oleh hakim sebagai pidana pokok atau juga sebagai
ganti pidana denda. Pidana denda telah diatur dalam KUHP
sebagai pidana pokok maupun alternatif baik dengan pidana
penjara atau kurungan atau keduanya secara bersama-sama.
Pidana tutupan merupakan jenis pidana pokok baru yang
dimasukan kedalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
tanggal 31 Oktober 1964 Nomor 20, Berita Republik Indonesia II
43
nomor 24 halaman 287 dan 288. Pidana tutupan dijatuhkan untuk
menggantikan pidana penjara yang sebenarnya dapat dijatuhkan
oleh hakim bagi pelaku kejahatan, atas dasar bahwa kejahatan
tersebut oleh pelakunya telah dilakukan karena terdorong oleh
maksud yang patut dihormati. KUHP tidak mengenal adanya
komulasi dari pidana pokok yang diancamkan bagi suatu tindak
pidana tertentu, khususnya pidana penjara dengan pidana denda,
atau pidana kurungan dengan pidana denda. Ada beberapa
ketentuan pidana yang mengandung ancaman pidana yang terdiri
dari lebih satu pidana pokok. Dimana dalam ketentuan tersebut
hakim dapat menjatuhkan pidana penjara atau kurungan
bersama-sama pidana denda atau ia dapat menjatuhkan pidana
penjara atau kurungan tanpa menjatuhkan pidana denda. Pidana
tambahan selalu dijatuhkan bersama-sama dengan penjatuhan
pidana pokok. Menurut hukum pemidanaan kita, penjatuhan
pidana tambahan bersifat fakultatif. Artinya, hakim tidak selalu
menjatuhkan suatu pidana tambahan, yaitu pada waktu ia
menjatuhkan suatu pidana pokok bagi seorang terdakwa. Dapat
disimpulkan bahwa dalam menjatuhkan pidana tambahan
diserahkan sepenuhnya pada pertimbangan hakim apakah dirasa
perlu atau tidak.66
b. Pemidanaan
1) Pengertian pemidanaan
Istilah pidana dan pemidanaan pada awalnya merupakan dua
istilah yang sama, namun dalam perkembangannya disepakati bahwa
kedua istilah tersebut dibedakan. Hal ini sejalan dengan pendapat
P.A.F. Lamintang yang mengatakan bahwa:
Awalnya istilah pidana dan pemidanaan merupakan dua istilah
yang mempunyai arti sama, namun sekarang para ahli hukum
sepakat memisahkan arti pidana dan pemidanaan. Permasalahan
tentang pengertian pemidanaan di kalangan para sarjana hukum
Indonesia masih ada beberapa kesalahpahaman. Untuk
pengertian pemidanaan itu sendiri menurut pendapat Lamintang
adalah sinonim dengan perkataan penghukuman.67
66
67
hal. 48
P.A.F. Lamintang. 1997. Op. Cit. hal. 69.
P.A.F Lamintang. 1994. Hukum Penitensier Indonesia. Armico. Bandung.
44
Berdasarkan pengertian bahwa pemidanaan merupakan sinonim
dari kata penghukuman, maka P.A.F. Lamintang lebih lanjut
mengemukakan pendapatnya bahwa:
Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat
diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang
hukumnya (berechsten). Menetapkan hukum untuk suatu
peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja,
akan tetapi juga hukum perdata. Oleh karena itu harus
disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana,
yang kerapkali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau
penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini
mempunyai makna sama dengan sentence atau veroordeling.68
Berkaitan dengan pengertian pemidanaan, Roeslan Saleh
berpendapat bahwa:
Walaupun harus diakui bahwa pemidanaan merupakan alat
pertahanan terakhir. Dia merupakan akhir dan puncak
keseluruhan sistem upaya-upaya yang dapat menggerakkan
manusia melakukan tingkah laku tertentu seperti yang
diharapkan masyarakat.69
Menurut Utrecht, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah dan
Siti Rahayu:
Hak memidana merupakan atribut pemerintah, hanya yang
mempunyai hak memerintah yang dapat memaksakan atau
memberlakukan kehendaknya yang mempunyai hak memidana.
Pemidanaan merupakan pemberian suatu nestapa bagi yang
melanggar hukum. 70
Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan para sarjana
hukum tersebut dapat disimpulkan bahwa pemidanaan itu merupakan
sinonim dari penghukuman atau penjatuhan pidana, dan mempunyai
68
Ibid. hal. 49.
Roeslan Saleh. 1987. Stelsel Pidana Indonesia. Aksara Baru. Jakarta. hal. 1.
70
Andi Hamzah dan Siti Rahayu. 1985. Suatu Tinjauan Ringkas tentang
Sistem Pemidanaan di Indonesia. Gramedia. Jakarta. hal.22.
69
45
suatu pengertian yaitu penjatuhan pidana bagi seseorang yang
melakukan pelanggaran terhadap peraturan hukum pidana. Selain itu
pemidanaan juga dapat diartikan sebagai akhir atau puncak dari
keseluruhan sistem upaya-upaya agar manusia melakukan tingkah
laku seperti yang diharapkan masyarakat.
Alasan dijatuhkannya pidana terhadap orang yang melanggar
hukum sangat bermacam-macam, oleh karena itu muncul teori-teori
yang menyatakan alasan memidana seseorang, yaitu:
a) Teori absolut (mutlak)
Menurut teori ini, seseorang mendapat pidana oleh karena
melakukan kejahatan. Merupakan pembalasan terhadap perbuatan
seseorang yang telah dilakukan. Pembalasan merupakan alasan
memidana suatu kejahatan.
b) Teori relatif (nisbi)
Menurut teori ini, suatu kejahatan tidaklah harus diikuti dengan
suatu pidana. Untuk itu tidaklah cukup adanya suatu kejahatan
melainkan harus dipersoalkan pula manfaat dari pemidanaan baik
bagi penjahat itu sendiri maupun masyarakat. Teori ini disebut
juga sebagai teori tujuan, karena dalam penjatuhan pidana
diperlukan adanya suatu tujuan. Tujuan adanya pemidanaan
menurut teori tujuan adalah sebagai prevensi yaitu pencegahan
agar kejahatan yang telah dilakukan tidak terulang kembali dan
mempunyai tujuan agar si penjahat dapat menjadi orang yang baik
sehingga tidak melakukan kejahatan lagi.
c) Teori gabungan
Penjatuhan pidana menurut teori gabungan adalah merupakan
suatu pembalasan terhadap perbuatan seseorang yang melanggar
hukum. Akan tetapi dalam memidana harus diperhatikan unsur
kemanfaatannya.71
2) Tujuan pemidanaan
Terhadap permasalahan tentang apa yang menjadi tujuan dari
pemidanaan, telah banyak pendapat yang dikemukakan dan dari para
pendapat tersebut ternyata tidak terdapat satu kesamaan pendapat
71
Ibid., hal. 25-28.
46
diantara para pemikir dan ahli hukum. Roeslan Saleh membedakan
tujuan pemidanaan menjadi tiga tipe tujuan pemidanaan, yaitu tujuan
instrumental, tujuan intrinsik, dan tujuan menurut organisasi.
Berdasarkan tiga tipe tersebut, Roeslan Saleh memberikan pengertian
sebagai berikut:
a) Tujuan instrumental
Yang dimaksud dengan perkataan instrumental disini adalah
bahwa tujuan ini bagi hukum pidana merupakan instrumen (alat)
untuk tujuan yang bersifat umum, yaitu pengaturan kehidupan
bersama di dalam sektor tertentu dan reduksi atau regulasi
kriminalitas.
b) Tujuan intrinsik
Alat-alat hukum pidana sebenarnya bukan pula tidak dapat
dihindarkan pada waktu atau dalam mencapai tujuan-tujuan
instrumentalnya harus memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan dan
kode etik dalam masyarakat. Hal ini berarti seorang tersangka dan
terdakwa tidak boleh dipidana bilamana belum ditetapkan dengan
teliti sekali mengenai kesalahan terdakwa sendiri (intrinsik).
Dengan kata lain tujuan intrinsik bisa juga dikatakan perlindungan
atas justisiabel.
c) Tujuan menurut organisasi
Tujuan-tujuan instrumental dan intrinsik yang telah ditetapkan
terwujud dalam suatu konteks organisasi, yang mendapat bentuk
nyata didalam dan dengan organisasi. 72
Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tetang tujuan yang
ingin dicapai dalam suatu pemidanaan, sebagaimana dikatakan oleh
P.A.F. Lamintang, yaitu sebagai berikut:
a) untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri;
b) untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatankejahatan;
c) untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mempu
untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahatpenjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat
diperbaiki lagi.”73
72
73
Roeslan Saleh. 1987. Op. Cit., hal. 39.
P.A.F Lamintang. 1994. Op. Cit., hal. 23.
47
Selain pendapat tersebut, ada beberapa pandangan tentang tujuan
pemidanaan yang disampaikan oleh beberapa pemikir atau ahli
hukum, yaitu:
a) Stahl
Ia berpendapat bahwa dengan suatu pemidanaan itu orang dapat
mencapai tiga tujuan, yakni untuk melindungi tertib hukum, untuk
mencegah orang melakukan kejahatan, dan untuk membuat orang
menjadi jera untuk melakukan kejahatan.
b) Simons
Hingga abad ke 18 (delapan belas), praktek pemidanaan itu berada
di bawah pengaruh dari paham pembalasan atau vergeldingsidee
dan paham membuat jera atau afschrikkingsidee.74
B. Persetubuhan/Perkosaan
Salah satu perbuatan yang diancam dengan hukum pidana adalah perkosaan
atau memaksa untuk melakukan persetubuhan. Suryono Ekotama, Harum
Pudjiarta dan Widiartana mengatakan bahwa perkosaan, menurut konstruksi
yuridis perundang-undangan di Indonesia (KUHP) adalah:
Perbuatan memaksa seorang wanita yang bukan istrinya untuk bersetubuh
dengan dia dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Kata-kata
“memaksa” dan “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan” di sini sudah
menunjukkan betapa mengerikannya pemerkosaan tersebut. “Pemaksaan
hubungan kelamin pada wanita yang tidak menghendakinya akan
menyebabkan kesakitan hebat pada wanita tersebut, apalagi disertai
kekerasan fisik. Kesakitan hebat dapat terjadi tidak hanya sebatas fisik saja,
tetapi juga dari segi psikis.75
Dalam kasus kriminologi juga disebutkan:
Rape (perkosaan) adalah hubungan seks dengan wanita bukan istri orang
tersebut dengan paksa dan bertentangan dengan kehendak wanita itu. Aspek
penting dalam kejahatan ini adalah bukti bahwa di bawah usia tertentu
wanita dilindungi hukum sebagai tidak mampu untuk memberikan
pertimbangan.76
74
Ibid. hal. 23
Suryono Ekotama, Harum Pudjiarta dan Widiartana. 2001. Abortus Provocatus, Bagi
Korban Perkosaan Perspektif: Viktimologi dan Widiartana. Universitas Atmajaya Yogyakarta.
Yogyakarta. hal. 96.
76
Ibid. hal. 104.
75
48
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa:
Kata perkosaan berasal dari kata dasar perkosa yang berarti paksa,
kekerasan, gagah, kuat, perkasa. Memperkosa berarti menundukkan dengan
kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi.77
W.J.S. Poerwodarminta mengartikan sebagai berikut:
Kata perkosa diartikan dengan gagah, kuat, paksa, kekerasan, dengan paksa,
dengan kekerasan, menggagahi, memaksa dengan kekerasan. Sedang kata
perkosaan
berarti
perbuatan
memperkosa,
penggagahan,
paksaan,
pelanggaran dengan kekerasan.78
Perkosaan merupakan suatu tindak kejahatan yang sangat keji, amoral,
tercela dan melanggar norma dimana yang menjadi korban adalah perempuan
baik dewasa maupun anak di bawah umur. Hal tersebut sangat merugikan bagi
kaum perempuan dimana harga diri dan kehormatan menjadi taruhan. Achie
Sudiarti Luhulima menyatakan:
Perkosaan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya bagi kaum
perempuan, padahal kita tahu bahwa kehormatan harus dilindungi
sebagaimana telah diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM 1948) dalam artikel 2 bila ditinjau berdasarkan pengalaman
perempuan, pelanggaran hak perempuan dan perkosaan diinterprestasikan
sebagai tindakan terlarang.79
Perkosaan merupakan tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja dan
pelakunya memaksa perempuan yang tidak ada ikatan pernikahan dengan pelaku
untuk melakukan hubungan badan dengannya. Perkosaan bisa dilakukan oleh
orang dewasa maupun anak-anak dan korbannya pun bisa wanita dewasa maupun
juga yang masih anak-anak.
77
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Bahasa. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka. Jakarta. hal. 673.
78
W.J.S. Poerwodarminta. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia Balai Pustaka. Jakarta.
hal.74.
79
Achie Sudiarti Luhulima. 2000. Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap
Perempuan dan Alternatif Pemecahannya. Alumni. Bandung. hal.1.
49
Secara ideal, anak adalah pewaris dan penerus masa depan bangsa. Menurut
Abu Huraerah:
Secara real, situasi anak Indonesia masih dan terus memburuk. Dunia anak
yang seharusnya diwarnai oleh kegiatan bermain, belajar, dan
mengembangkan minat serta bakatnya untuk masa depan, namun pada
realitasnya banyak terjadi tindakan kekerasan baik itu fisik maupun
seksual.80
Pemahaman tentang kekerasan fisik maupun seksual dijelaskan lebih lanjut
oleh Iin S. sebagai berikut:
Kekerasan fisik adalah tindakan yang menyebabkan rasa sakit atau potensi
menyebabkan sakit yang dilakukan oleh orang lain, dapat terjadi sekali atau
berulang kali. Kekerasan fisik misalnya; dipukul, ditendang. Sementara itu,
yang disebut kekerasan seksual anak adalah keterlibatan anak dalam
kegiatan seksual yang tidak dipahaminya. Kekerasan seksual dapat berupa
perlakuan tidak senonoh dari orang lain, kegiatan yang menjurus pada
pornografi, perkataan-perkataan porno, dan melibatkan anak dalam bisnis
prostitusi.81
Masalah kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk kejahatan yang
melecehkan dan menodai harkat kemanusiaan, serta patut dikategorikan sebagai
jenis kejahatan melawan kemanusiaan atau kesusilaan. Abdul Wahid dan
Muhammad Irvan menyatakan bahwa:
Kejahatan kesusilaan secara umum merupakan perbuatan atau tindakan
melanggar kesusilaan atau immoral yang sengaja merusak kesopanan dan
tidak atas kemauan si korban yaitu dengan paksaan dan melalui ancaman
kekerasan. Tindakan yang dapat dikatagorikan sebagai tindakan yang dapat
melanggar kesusilaan ialah persetubuhan.82
Definisi persetubuhan dikemukakan oleh E.Y. Kanter dan S. R. Sianturi
yang mengatakan sebagai berikut:
80
Abu Huraerah. 2006. Child Abuse (Kekerasan Terhadap Anak). Nuansa. Bandung. hal.
21.
81
Iin S. 2010. Definisi Kekerasan Terhadap Anak. Diakses melalui http://iin.green.web.id.
Pada tanggal 4 September 2012.
82
Abdul Wahid dan Muhammad Irvan. 2001. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan
Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan). Refika Aditama. Bandung. hal. 25.
50
Persetubuhan ialah jika kemaluan si pria masuk ke kemaluan perempuan.
Berapa dalam atau berapa persen yang harus masuk tidaklah terlalu
dipersoalkan, yang penting ialah dengan masuknya kemaluan si pria itu
dapat terjadi kenikmatan bagi keduanya atau salah seorang dari mereka.
Kejadian ini dapat disebut sebagai perzinahan jika mereka lakukan tanpa
ada paksaan atau dengan perkataan lain mau sama mau.83
Sam Ardi memberikan penjelasan mengenai perngertian persetubuhan
sebagai berikut:
Di dalam Arrest tertanggal 5 Februari 1912 yang dikeluarkan oleh Hooge
Raad, yang dimaksud persetubuhan adalah peraduan antara anggota kelamin
laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, di
mana alat kelamin laki-laki masuk kedalam alat kelamin perempuan yang
kemudian mengeluarkan air mani. Kalau menurut definisi kedokteran
forensik yang dimaksud persetubuhan adalah perpaduan alat kelamin lakilaki dengan alat kelamin perempuan dengan penetrasi yang seringanringannya dengan atau tanpa mengeluarkan mani yang mengandung sel
mani.84
Perbedaan antara definisi hukum dengan definisi kedokteran forensik
terletak di dalam apakah alat kelamin tersebut mengeluarkan mani atau tidak.
Sam Ardi menyatakan:
Apabila dilihat dari perspektif hukum, sesuai dengan Arrest dari Hooge
Raad itu, apabila alat penis tidak sampai masuk kedalam vagina walaupun
mengeluarkan air mani, atau masuk tetapi tidak sampai keluar menurut
pengertian bersetubuh di atas belum terjadi persetubuhan, tetapi telah terjadi
percobaan persetubuhan, hal ini dapat dipidana sesuai dengan ketentuan
Pasal 53 KUHP.85
Persetubuhan dapat terjadi pada orang dewasa, namun juga dapat menimpa
pada anak di bawah umur. Pemilihan anak sebagai korban persetubuhan dapat
disebabkan karena anak mudah untuk dirayu dan dibujuk dengan iming-iming
tertentu. Inilah mengapa anak sering menjadi korban persetubuhan seorang
83
E.Y. Kanter dan S R Sianturi. 1982. Azas-azas Hukum Pidana Indonesia dan
Penerapannya. Rineka Cipta. Jakarta. hal. 1
84
Sam Ardi. 2011. Zina: Kejahatan Tanpa Korban. diakses melalui
http://www.foxitsoftware.com pada tanggal 2 September 2012.
85
Ibid. tanpa halaman
51
pelaku dewasa. Perlindungan terhadap anak atas tindakan persetubuhan diatur
dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP selengkapnya merumuskan:
Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum 15 tahun,
atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum waktunya untuk dikawin,
diancam dengan pidana penjara dengan pidana penjara paling lama sembilan
tahun.
Berdasarkan KUHP, untuk mempermudah pemahaman, dapat dibuat bagan
kejahatan seksual berkaitan dengan persetubuhan dan pemerkosaan menurut usia
yang dapat dikenakan hukuman, yaitu sebagai berikut:
Bagan 1. Kejahatan seksual berkaitan dengan persetubuhan yang dapat
dikenakan hukuman86
Umur Perempuan lebih dari
15 th
(Pasal 284 KUHP)
Dalam
Perkawinan
Dengan
Persetujuan
Perempuan
Umur Perempuan Belum
cukup 15 th
(Pasal 287 KUHP)
Persetubuhan
Di Luar
Perkawinan
Dengan kekerasan/ancaman
kekerasan
(Pasal 285)
Tanpa
Persetujuan
Perempuan
Perempuan dalam keadaan
pingsan/tidak berdaya
(Pasal 286)
86
Tri Bowo Hersandy Febrianto. 2010. Skripsi: Tindak Pidana Perkosaan Terhadap Anak
Di Bawah Umur. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”. Jakarta. hal. 11
52
Bagan 2. Pemerkosaan menurut usia dan perlakuan pelaku terhadap korban
berdasarkan KUHP87
Pemerkosaan
Usia
Perlakuan
KUHP Pasal 287:
KUHP Pasal 285:
(1) Barang siapa bersetubuh dengan
seorang wanita di luar perkawinan,
padahal
diketahuinya
atau
sepatutnya harus diduganya bahwa
umumya belum lima belas tahun,
atau kalau umurnya tidak jelas,
bawa belum waktunya untuk
dikawin, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan
tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas
pengaduan, kecuali jika umur
wanita belum sampai dua belas
tahun atau jika ada salah satu hal
berdasarkan Pasal 291 dan Pasal
294.
Barang siapa dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa seorang
wanita bersetubuh dengan dia di luar
perkawinan, diancam karena melakukan
perkosaan dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun.
Kekerasan
Fisik
Kekerasan
Psikis
KUHP Pasal 89:
Membuat orang pingsan
atau
tidak
berdaya
disamakan
dengan
menggunakan kekerasan.
KUHP Pasal 286:
Barang siapa bersetubuh
dengan seorang wanita di
luar perkawinan, padahal
diketahui bahwa wanita itu
dalam keadaan pingsan atau
tidak berdaya, diancam
dengan pidana penjara
paling lama sembilan tahun.
KUHP Pasal 291:
(1) Jika salah satu kejahatan berdasarkan Pasal 286, 2 87, 289,
dan 290 mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana
penjara paling lama dua belas tahun;
(2) Jika salah satu kejahatan berdasarkan Pasal 285, 2 86, 287,
289 dan 290 mengakibatkan kematisn dijatuhkan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
87
Ibid. hal. 12
53
Pasal 81 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga
merumuskan tentang tindak pidana persetubuhan dengan korban anak-anak.
Ketentuan Pasal 81 UU No. 23 Tahun 2002 tersebut selengkapnya merumuskan:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi
setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain.
Persetubuhan merupakan kejahatan kesusilaan (kemanusiaan). Dalam
Kamus Istilah Fiqh menyebutkan pengertian persetubuhan sebagai berikut:
Hubungan kelamin/seks antara laki-laki dan perempuan tanpa ada ikatan
perkawinan yang sah, yaitu memasukkan dzakar/kelamin laki-laki ke dalam
farji/kelamin perempuan, minimal sampai batas qulfah (kepala dzakar).88
Persetubuhan dapat melibatkan dua pihak yang sudah sama-sama dewasa,
ataupun keduanya anak-anak, atau salah satu pihak masih di bawah umur.
Persetubuhan terhadap anak di bawah umur artinya persetubuhan yang dilakukan
terhadap seseorang yang mana seseorang itu belum genap berusia 15 (lima belas)
tahun. Wirjono Prodjodikoro dalam hal ini berpendapat bahwa:
Tindak pidana bersetubuh dengan orang di bawah umur tertentu, didasarkan
pada ketentuan Pasal 287 ayat (1) KUHP bahwa barang siapa bersetubuh
dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau
sepatutnya harus diduganya bahwa umumya belum 15 (lima belas) tahun,
atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Tindak pidana
dari ketentuan Pasal 287 ayat (1) KUHP ini merupakan tindak pidana aduan
(klachtdelict), kecuali jika umur wanita belum sampai dua belas tahun atau
jika ada salah satu hal berdasarkan Pasal 291 dan Pasal 294 (Pasal 287 ayat
(2) KUHP).89
88
Sudaryono dan Natangsa Surbakti. 2005. Buku Pegangan Kuliah Hukum Pidana. UNS.
Surakarta. hal. 123.
89
Wirjono Prodjodikoro. 1986. Op. Cit. hal. 119
54
Tindak pidana perkosaan atau pemaksaan untuk melakukan persetubuhan
sangat mencemaskan terlebih kalau korbannya adalah anak-anak yang masih di
bawah umur, sebab hal ini akan mempengaruhi psikologis perkembangan anak
dan menimbulkan trauma seumur hidup. Selain itu masa depan mereka menjadi
suram dan mereka tidak mempunyai masa depan lagi.
Para pelaku dari tindak perkosaan seringkali adalah orang-orang yang
dikenal oleh korban bahkan ada juga yang masih mempunyai hubungan keluarga
dan yang paling memprihatinkan adalah seorang ayah yang tega memperkosa
anak kandungnya sendiri (incest). Tapi tidak menutup kemungkinan pelaku
tindak pidana pemerkosaan adalah orang luar.
Tindak pidana perkosaan yang pelakunya adalah keluarga sendiri
diperkirakan masih relatif sedikit yang dilaporkan bila dibandingkan dengan
jumlah kejadian sesungguhnya yang tidak dilaporkan oleh korban karena secara
psikis dan sosial mereka mengalami masalah yang sangat kompleks. Di antaranya
adalah rasa takut, rasa malu apabila diketahui orang lain, serta rasa kasihan pada
pelaku. Korban perkosaan seringkali mengalami trauma yang hebat, terutama
apabila pelaku perkosaan adalah orang tua mereka sendiri, karena secara psikis
anak tetap terikat dan tergantung pada orang tua, khususnya ayah dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya.
55
C. Perbuatan Berlanjut (Voortgezette Handeling)
1. Pengertian Perbuatan Berlanjut (Voortgezette Handeling)
Perbuatan berlanjut merupakan gabungan daripada beberapa perbuatan
yang dilakukan seseorang, dimana antara perbuatan yang satu dengan
perbuatan yang lain belum pernah ada putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum yang tetap, sehingga terhadap pelaku dikenakan cara
penghukuman tertentu, sebagaimana ditentukan pada Pasal 64 KUHP.
Bentuk gabungan ini dalam bahasa Belanda dikenal dengan sebutan
“Voortgezette Handeling”, yang dalam KUHP diatur dalam Pasal 64 ayat (1)
yang merumuskan:
Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan
kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga
harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya
diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang diterapkan yang
memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
Sesungguhnya, apa yang dimaksudkan dengan perbuatan berlanjut atau
voortgezette handeling tidak begitu jelas maksudnya dari perumusan atau
pengaturan dalam undang-undang. C. Djisman Samosir mengemukakan
pendapatnya bahwa:
Undang-undang tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai perkataan
beberapa perbuatan itu harus mempunyai hubungan yang demikian rupa.
Hubungan mi dapat ditafsirkan secara macam-macam, misalnya, karena
adanya persamaan waktu, persamaan tempat dari terjadinya beberapa
perbuatan itu dan sebagainya. Hoge Raad dalam arrestnya tanggal 19
Oktober 1932, N.J. 1932 mengartikan voortgezette handeling atau
tindakan yang dilanjutkan itu sebagai perbuatan-perbuatan yang sejenis
dan sekaligus merupakan pelaksanaan dari satu maksud yang sama.90
90
49.
C. Djisman Samosir. 1983. Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru. Bandung. hal. 48-
56
Hans
C.
Tangkau
juga
memberikan
pendapatnya
mengenai
ketidakjelasan rumusan Pasal 64 KUHP tersebut sebagai berikut:
Ketidakjelasan dari pengertian perbuatan berlanjut adalah karena
menurut rumusan Pasal 64 KUHP bahwa perbuatan berlanjut adalah
beberapa perbuatan yang mempunyai hubungan sedemikian rupa tanpa
penjelasan dan penegasan mengenai hubungan bagaimana yang
dimaksud. Dengan demikian, hubungan itu dapat ditafsirkan macammacam, karena keterhubungan itu dapat dilihat dari banyak
kemungkinan, antara lain dapat dikatakan ada hubungan karena waktu,
karena tempat dan karena lain-lain hal.91
Hans C. Tangkau lebih lanjut berpendapat bahwa:
Menurut rumusan Pasal 64 ayat (1) KUHP karena adanya keterhubungan
antara satu perbuatan dengan lain perbuatan, maka perbuatan-perbuatan
itu harus dianggap satu perbuatan Jadi, beberapa perbuatan yang
dilakukan dan tetapi haruslah dianggap satu perbuatan. Jadi beberapa
perbuatan tersebut biarpun merupakan perbuatan atau pelanggaran yang
masing-masing berdiri sendiri.92
Sehubungan dengan beberapa perbuatan yang harus dianggap satu
perbuatan ini, P.A.F. Lamintang, mengutip pendapat Simons, mengatakan
bahwa:
Pemberlakuan Pasal 64 ayat (1) KUHP itu hanya berkenaan dengan
masalah penjatuhan hukuman dan bukan dengan masalah pembentukan
satu tindak pidana, dengan segala akibatnya yakni berkenaan dengan
tempat terjadinya tindak pidana, dengan keturutsertaan dengan masalah
kadaluarsa dan lain-lain.93
Berdasarkan pandangan Simons terhadap rumusan Pasal 64 ayat (1)
KUHP di atas, terutama mengenai beberapa perbuatan yang harus dianggap
satu perbuatan, dikemukakan bahwa Pasal 64 ayat (1) KUHP bukanlah
mengatur dalam hal bagaimana beberapa perbuatan pidana, tetapi hanya
dapat dikenakan satu hukuman saja, jadi bukan menjumlahkan ancaman
hukuman dari masing-masing perbuatan.
91
Hans C. Tangkau. 2007. Karya Tulis Ilmiah. Gabungan Beberapa Perbuatan Pidana
Dan Masalah Penghukumannya. Fakultas Hukum. Universitas Sam Ratulangi Manado. hal. 4
92
Ibid. hal. 5
93
P.A.F. Lamintang. 1997. Op. Cit. hal. 697
57
Pendapat serupa dengan Simons, juga dikemukakan van Hattum, dikutip
oleh P.A.F. Lamintang, bahwa:
Bahwa Pasal 64 ayat (1) KUHP hanya memuat suatu peraturan
mengenai penjatuhan hukuman dan bukan mengatur tentang masalah
pembentukan sejumlah tindak pidana menjadi satu keseluruhan menurut
undang-undang, dan hal mana mempunyai arti yang sangat penting bagi
lembaga-lembaga locus delicti, kadaluarsa dan keturutsertaan.94
Dengan demikian, bagaimana atau ukuran-ukuran apa yang digunakan
untuk menentukan beberapa perbuatan itu hanya diancam satu hukuman saja,
karena haruslah dipandang sebagai satu perbuatan tidaklah dijelaskan dalam
rumusan undang-undang. Hal ini merupakan kelemahan pengaturan daripada
perbuatan berlanjut dalam KUHP, sehingga nampaknya pembuat undangundang cenderung menyerahkan pemecahannya pada praktek. Hans C.
Tangkau dalam hal ini mengatakan sedikitnya terdapat gambaran dalam
Memorie Penjelasan atau MvT, bahwa:
Di dalam memorie penjelasan mengenai pembentukan Pasal 64 KUHP
itu, pembentuk undang-undang hanya mensyaratkan bahwa berbagai
perilaku itu haruslah merupakan pelaksanaan satu keputusan terlarang,
dan bahwa suatu kejahatan berlanjut itu hanya dapat terjadi dari
sekumpulan tindak pidana sejenis. Di dalam memorie penjelasan itu juga
telah dijelaskan bahwa suatu pencurian atau suatu penganiayaan itu
secara bersama-sama tidak akan pernah dapat menghasilkan suatu tindak
pidana berlanjut, karena:
a. Untuk melaksanakan kejahatan itu, pelakunya barns membuat dari
suatu keputusan;
b. Untuk membuat keputusan-keputusan seperti itu dan untuk
melaksanakannya, pelakunya memerlukan waktu yang berbeda".
Demikianlah gambaran dalam memorie penjelasan mengenai perbuatan
berlanjut. Namun, apakah gambaran dalam memorie penjelasan tersebut
sudah dapat memberikan penegasan mengenai ukuran-ukuran dari
perbuatan berlanjut yaitu beberapa perbuatan yang harus dianggap satu
perbuatan dan karena itu hanya diancam satu hukuman?95
94
95
Ibid
Hans C. Tangkau. 2007. Op. Cit. hal. 5
58
2. Ciri-ciri Perbuatan Berlanjut
Para sarjana pada umumnya berkesimpulan bahwa guna menentukan
beberapa perbuatan berlanjut, diperlukan 3 (tiga) ukuran atau ciri,
sebagaimana dikemukakan oleh E.Y. Kanter, dan S.R. Sianturi, yaitu:
a. Tindakan-tindakan yang terjadi adalah sebagai perwujudan dari satu
kehendak jahat (one criminal intention);
b. Delik-delik yang terjadi itu sejenis;
c. Tenggang waktu antara terjadinya tindakan-tindakan tersebut tidak
terlampau lama.96
R. Soesilo, di pihak lain mengemukakan pendapatnya mengenai
perbuatan berlanjut tersebut sebagai berikut:
Beberapa perbuatan yang satu sama lain ada hubungannya itu supaya dapat
dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan menurut pengetahuan dan
praktek harus memenuhi syarat-syarat :
a. Harus timbul dari satu niat, atau kehendak atau keputusan.
b. Perbuatan-perbuatannya itu harus sama macamnya.
c. Waktu antaranya tidak boleh terlalu lama".97
Jadi, ukuran-ukuran yang dikemukakan di atas adalah sesungguhnya
tidak memberikan pemecahan masalah dari suatu perbuatan berlanjut, sebab
masalah ini dapat tersimpul dari masing-masing ukuran itu sendiri, dan
terlebih dahulu dapat dilihat pada ukuran kesatu ialah tindakan-tindakan yang
terjadi adalah perwujudan dari suatu kehendak jahat. Hans C. Tangkau
dalam hal ini berpendapat bahwa
Dalam hubungan dengan ukuran perbuatan berlanjut, yang menjadi
pertanyaan adalah bagaimana menentukan bahwa beberapa perbuatan
dilakukan sebagai perwujudan satu kejahatan jahat. Hal ini jelas tidak
selamanya, bahkan pada umumnya sukar ditentukan. Apa dan
bagaimana yang dimaksud dengan satu kehendak jahat dan bagaimana
yang dikatakan lebih dari satu kehendak jahat ? Hal ini sangatlah sukar
untuk menentukannya. Apakah maksudnya bahwa beberapa perbuatan
yang dilakukan itu, sebelum dilakukan oleh pelaku memang sudah
ditentukan untuk dilakukan atau apakah yang dimaksudkan itu termasuk
pula bila pelaku pada mulanya hanya bermaksud untuk melakukan satu
96
97
E.Y. Kanter dan S R Sianturi. 1982. Op. Cit. hal. 396.
R. Soesilo. 1995. Op. Cit. hal. 81-82
59
perbuatan saja, tetapi kemudian setelah melakukan yang satu, lalu
menentukan untuk melakukan yang lainnya. Diantara dua kemungkinan
ini, tidaklah jelas yang mana dapat disebut satu kehendak, apakah salah
satunya atau kedua-duanya dapat merupakan satu perwujudan kehendak.
Hal ini lebih sukar lagi bila dihubungkan dengan pelbagai kemungkinan
variasi kejadian nyata dalam masyarakat. Misalnya, seseorang
sebenamya hanya bermaksud membunuh A, tetapi setelah selesai
melakukan, B secara tiba-tiba muncul dan sehingga mengetahui apa
yang terjadi dan karena pelaku merasa takut, lalu ia memutuskan pula
untuk membunuh B. Dengan demikian pembunuhan terhadap A dan B,
biarpun dilakukan berturut-turut, tetapi didasarkan pada dua keputusan
kehendak dan bukan satu kehendak. Jadi, dapatkah pembunuhan
terhadap A dan B tersebut dikatakan perbuatan berlanjut ? Demikian
pula, misalnya pada mulanya A hanya bermaksud sekali saja mencuri
uang di tempat dimana ia bekerja, karena kebetulan ia ada kebutuhan
yang sangat mendesak, sedangkan waktu itu ia tidak mempunyai uang.
Dan setelah beberapa waktu lewat, ia mengetahui apa yang
dilakukannya tidak ada yang mengetahui, maka timbul lagi
keinginannya untuk mencuri uang. Dari dua pencurian itu, sebenarnya
tidak didasarkan pada satu keputusan kehendak, melainkan didasarkan
pada dua kepentingan kehendak yang terpisah. Jadi, apakah perbuatan
tersebut adalah perbuatan berlanjut atau tidak ?98
Berdasarkan
contoh-contoh
tersebut
di
atas,
dapatlah
kiranya
disimpulkan bahwa betapa sukarnya menentukan apakah beberapa perbuatan
telah
dilakukan
berdasarkan
satu
keputusan
kehendak
atau
tidak.
Demikianlah kesulitan besar yang harus dihadapi dalam menilai dan
menentukan apakah beberapa perbuatan yang dilakukan dapat dipandang
sebagai perbuatan berlanjut atau tidak, dengan menggunakan ukuran-ukuran
dan atau syarat yang dilakukannya berdasarkan satu keputusan kehendak.
Kesulitan-kesulitan dalam praktek demikian itu terlihat dalam putusan
pengadilan, seperti Putusan Hoge Raad Belanda tanggal 26 Juni 1905 NJ.
8255, sebagaimana dikemukakan oleh Hans C. Tangkau sebagai berikut:
Dari pertimbangan Hoge Raad, dapat dilihat bahwa dua perbuatan yang
dilakukan berturut-turut dalam jangka waktu 4 (empat) hari bukanlah
merupakan perbuatan berlanjut menurut Hoge Raad, karena tidak
98
Hans C. Tangkau. 2007. Op. Cit. hal. 6-7
60
ternyata pelaku itu memang sebelumnya telah memutuskan atau
menentukan kedua perbuatan tersebut secara berturut-turut atau dengan
kata lain tidak ternyata adanya satu keputusan kehendak dalam
melakukan perbuatan dimaksud dapat berarti kedua perbuatan tersebut,
bukanlah perbuatan berlanjut.99
Kemudian, dalam Putusan tanggal 5 Maret 1963 Noting : 162
K/Kr/1962, MA-RI dalam pertimbangan hukumnya menunjukkan bahwa:
Tidak mungkin perbuatan-perbuatan yang dilakukan pada 5 (lima) orang
yang berlainan pada hari-hari yang berlainan didasarkan pada satu
keputusan kehendak, biarpun mungkin pelaku menyatakan perbuatanperbuatan itu dilakukan atas dasar satu keputusan kehendak. Atau
dengan kata lain, ada tidaknya perbuatan berlanjut itu, penilaiannya
bukan pada apa yang dikatakan pelaku, melainkan pada penilaian hakim
atas cara perbuatan dilakukan dan keadaan-keadaan lainnya, dan olehnya
penggunaan ukuran adanya satu kehendak ini tidak ada manfaatnya
digunakan untuk menentukan ada atau tidaknya perbuatan berlanjut.100
Ukuran lainnya dari adanya perbuatan berlanjut adalah bahwa perbuatan
tersebut haruslah yang sejenis. Hans C. Tangkau memberikan penjelasan
mengenai perbuatan sejenis tersebut sebagai berikut:
Beberapa perbuatan dimaksud seperti halnya pencurian dan pencurian,
penganiayaan dan penganiayaan, pembunuhan dan pembunuhan.
Dengan demikian, biarpun beberapa perbuatan telah dilakukan atas dasar
satu keputusan kehendak, tetapi karena penganiayaan dan pembunuhan
adalah berlainan, maka tidak mungkin ada perbuatan berlanjut.101
Syarat yang terakhir untuk perbuatan berlanjut adalah jangka waktu
tidak boleh terlalu lama, oleh J.F. Jonkers, dijelaskan :
Syarat yang ketiga dan terakhir yang ditentukan untuk perbuatan yang
dilanjutkan, ialah bahwa jangka waktu yang ada antara berbagai bagian
tidak boleh terlalu lama. Perbuatan-perbuatan itu sendiri boleh dilakukan
dalam jangka waktu itu harus diulangi secara teratur dalam waktu yang
tidak terlalu lama.102
99
Ibid. hal. 7
Ibid. hal. 7-8
101
Ibid. hal. 8
102
J,E. Jonkers. 1987. Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda. Bina Aksara.
Jakarta. hal, 219 -220.
100
61
Syarat jangka waktu tidak boleh terlalu lama untuk dapat dikatakan
sebagai perbuatan yang dilanjutkan, dikritisi oleh Hans C. Tangkau yang
berpendapat bahwa:
Dapatlah dikatakan bahwa dalam perbuatan yang berlanjut terdapat
pengulangan perbuatan secara teratur, yang jarak antara satu sama
lainnya tidaklah terlampau lama, biarpun pengulangan itu berlangsung
bertahun-tahun. Mengenai batas waktu ini adalah antara satu dengan
perbuatan lain tidak terlampau lama, tetapi dapat saja berlangsung
bertahun-tahun jelas adalah sangat membingungkan, karena tidak ada
batasan berapa lama antara satu perbuatan dengan perbuatan lain untuk
dapat dikatakan tidak terlampau lama. Dalam suatu yurisprudensi
dikemukakan bahwa yang menyatakan penghinaan ringan terhadap
beberapa orang yang berjarak 4 (empat) hari tidak mungkin didasarkan
pada satu keputusan kehendak, sehingga tidak mungkin merupakan
perbuatan berlanjut. Dengan demikian dalam hal-hal tertentu jarak
waktu 4 (empat) hari antara satu perbuatan dengan perbuatan lain sudah
terlampau lama untuk dapat dikatakan adanya perbuatan berlanjut.
Karena tidak ada batasan tegas dari syarat atau ukuran yang digunakan
untuk menentukan adanya perbuatan berlanjut, maka undang-undang
sudah harus memberikan pengaturan dengan batasan yang tegas
bilamana beberapa perbuatan dapat dikatakan perbuatan berlanjut atau
tidak.103
D. Pengertian Anak dan Batas Usia Anak
Pembahasan terhadap anak, maka diperlukan suatu perumusan yang
dimaksud dengan anak, termasuk mengenai batasan umur. Sampai saat ini
ternyata masih terdapat perbedaan dan pendapat mengenai pengertian anak. Di
Indonesia sendiri pengertian anak beserta umurnya diatur menurut bidang hukum
masing-masing dan juga terdapat dalam penggunaan berdasarkan kebutuhan.
Dalam hal ini dapat dilihat pengertian anak beserta batasan umur menurut
ketentuan hukum terdapat perbedaan tolok ukur. Batasan usia dewasa merupakan
103
Hans C. Tangkau. 2007. Op. Cit. hal. 9
62
hal penting untuk menentukan ada tidaknya tanggung jawab seseorang. Dalam
melakukan suatu perbuatan. Kenyataannya, dewasa ini batasan usia masih
merupakan permasalahan yang belum mendapat pemecahan final.
Definisi mengenai pengertian anak dapat dilihat dari beberapa peraturan
perundang-undangan sebagai berikut:
1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Menurut KUHPerdata batas kedewasaan anak diatur dalam Buku I Bab
Kelima Belas Bagaian Ke Satu yang terdapat dalam Pasal 330 yang
menyatakan bahwa:
Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua
puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu kawin.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas dapat ditarik penjelasan bahwa
anak menurut KUH Perdata yaitu seseorang yang usianya belum mencapai
dua pulu satu tahun atau belum pernah kawin sebelum mencapai usia dua
puluh satu tahun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seseorang yang
telah kawin meskipun belum berusia dua puluh satu tahun dan kemudian
perkawinannya itu bubar sebelum usianya mencapai satu tahun pula, maka ia
tidak dapat kembali pada satu “anak”.
2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Berdasarkan KUHP, batasan usia anak adalah sebelum berumur enam
belas tahun, hal ini dapat ditemukan pada Pasal 45 KUHP yang merumuskan:
Jika seorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang
dikerjakannya ketika umurnya belum enam belas tahun, hakim boleh:
memerintahkan, supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang
tuanya, walinya atau pemeliharanya, dengan tidak dikenakan sesuatu
hukuman, atau memerintahkan supaya si tersalah diserahkan kepada
Pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman, yakni jika
perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang
diterangkan dalam Pasal 489, 490, 492, 496, 497,503 – 505, 514, 519,
63
526, 531, 532,536, dan 540 dan perbuatan itu dilakukannya sebelum lalu
dua tahun sesudah keputusan dahulu yang menyalahkan dia melakukan
salah satu pelanggaran ini atau sesuatu kejahatan atau menghukum anak
yang bersalah itu.
Memberikan batasan umur anak dalam Pasal 45 pokok isinya adalah
sebagai berikut:
a. Memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya,
walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apapun.
b. Memerintahkan supaya si pelaku pidana diserahkan kepada pemerintah.
c. Menghukum si pelaku pidana.
Sedangkan di dalam Pasal-Pasal lain dirumuskan sebagai berikut:
a. Pasal 283 angka 1 KUHP
Diancam dengan pidana paling lama sembilan bulan atau denda paling
banyak enam ratus rupiah, barangsiapa menawarkan, memberikan untuk
terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan
tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat
untuk mencegah atau menggugurkan hamil, kepada seorang yang belum
cukup umur, dan yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa
umurnya belum tujuh belas tahun, jika isi tulisan, gambaran, alat itu telah
diketahuinya.
b. Pasal 287 angka 1 KUHP
Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinannya,
padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum
lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum
mampu dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sebilan
tahun.
c. Pasal 290 angka 2 KUHP
Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal
diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas
tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas disimpulkan bahwa seseorang
yang melakukan tindak pidana dapat dikatakan sebagai “anak” apabila ia
belum berumur enam belas tahun, atau seseorang dikatakan melakukan tindak
pidana anak apabila saat melakukan tindak pidana ia belum berumur enam
belas tahun.
64
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
memberikan definisi yang tegas mengenai anak. Setidaknya terdapat dua
Pasal yang dapat dianalisis untuk mencari batasan mengenai anak yaitu Pasal
6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1). Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 mengemukakan:
Untuk melangsungkan perkawinan, seorang yang belum mencapai umur
21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orangtua.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menegaskan:
Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam
belas) tahun”.
Berdasarkan kedua ketentuan Pasal tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa secara umum seseorang yang belum mencapai umur dua puluh satu
tahun masih dikatakan sebagai anak karena masih membutuhkan izin
orangtua ketika akan melaksanakan perkawinan (Pasal 6 ayat 2). Secara lebih
khusus lagi terdapat perbedaan antara batasan anak antara pria dan wanita,
yaitu untuk pria batasan anak adalah seseorang yang berumur kurang dari
sembilan belas tahun sedangkan untuk. Wanita batasan anak adalah seseorang
yang belum kurang dari enam belas tahun (Pasal 7 ayat (1)).
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan akhir bahwa
menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat
batasan yang berbeda mengenai anak untuk pria dan wanita. Batasan “anak”
untuk pria yaitu seseorang yang berumur kurang dari sembilan belas tahun.
Sedangkan batasan “anak” untuk wanita yaitu seseorang yang berumur
kurang dari enam belas tahun.
65
4. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979, merumuskan
batasan usia anak sebagai berikut:
Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)
tahun dan belum pernah kawin.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 tersebut, maka dapat dijelaskan
bahwa batasan usia untuk anak adalah belum mencapai umur 21 (dua puluh
satu) tahun atau belum pernah menikah.
5. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Pengertian anak menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yaitu:
Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur
8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun
dan belum pernah kawin.
Masalah umur tentunya harus dikaitkan dengan saat melakukan tindak
pidana. Sehubungan masalah umur, dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 3
Tahun 1997 ditegaskan sebagai berikut:
(1) Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah
sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
(2) Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak
yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak.
Berdasarkan rumusan Pasal 4 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997
tersebut di atas, jelas bahwa batas umur minimum anak nakal untuk dapat
diajukan ke Sidang Anak adalah 8 (delapan) tahun dengan batas maksimum
18 (delapan belas) tahun. Dalam hal anak melakukan tindak pidana, maka
66
tetap diajukan ke Sidang Anak, meskipun usianya telah melampaui batas
umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh
satu) tahu, jika pada saat melakukan perbuatan tindak pidana tersebut masih
di bawah umur dan belum pernah menikah.
6. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia
Batasan usia ”anak” berdasarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak-hak Asasi Manusia diatur pada Pasal 1 angka 5:
Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas)
tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan
apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka jelaslah bahwa batasan
untuk dapat disebut anak adalah berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun
dan belum pernah menikah.
7. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. menyatakan bahwa:
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Berdasarkan batasan tersebut, kewajiban orang tua mengasuh dan
mendidik anak-anaknya sampai dengan mereka berusia 18 tahun. Setelah usia
tersebut diasumsikan bahwa anak sudah menjadi dewasa, sehingga tidak lagi
menjadi tanggungan orangtua, meskipun secara ekonomi dan psikis seringkali
masih bergantung pada orangtuanya karena kedewasaaannya belum matang.
67
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif. Ronny Hanitijo Soemitro memberikan pengertian mengenai
pendekatan yuridis normatif sebagai berikut:
Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi
legistis positivis. Konsep ini memandang hukum identik dengan normanorma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang
berwenang. Konsepsi ini memandang hukum sebagai suatu sistem normatif
yang bersifat mandiri, tertutup dan terlepas dari sistem sosial lainnya.104
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif, yaitu suatu
penelitian yang hanya melukiskan, memaparkan, menuliskan dan melaporkan
suatu keadaan, suatu objek atau suatu peristiwa tanpa menarik suatu kesimpulan
yang bersifat umum,105 khususnya untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim
dalam memutus perkara Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT
C. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini data sekunder berupa
Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT
digunakan pula data sekunder dalam penelitian ini meliputi peraturan perundangundangan, buku-buku literatur, dokumen, yurisprudensi.
104
Ronny Hanitijo Soemitro. 1990. Metode Penelitian Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta.
hal. 13
105
Kartini Kartono. 1990. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Mandar Maju. Bandung. hal.
29
68
D. Metode Pengumpulan Data
Data sekunder ini diperoleh dengan cara mempelajari peraturan perundangundangan, buku-buku literatur, dokumen dan putusan pengadilan atau
yurisprudensi yang berkaitan dengan obyek atau materi penelitian.
E. Metode Penyajian Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini akan disajikan dalam bentuk
uraian secara sistematis.
F. Analisis Data
Seluruh data yang telah terkumpul secara lengkap dari hasil penelitian
kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis normatif kualitatif.
Normatif, karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan
yang
ada
sebagai
norma
hukum
positif,
sedangkan
kualitatif
yaitu
menghubungkan paparan hasil penelitian yang tersistematis tersebut dengan yang
didapat dari teori hukum, postulat hukum, serta hukum positif, untuk dapat
menjelaskan permasalahan secara ilmiah dan bukan dalam bentuk angkaangka.106
106
96-97
Peter Mahmud Marjuki. 2006. Penelitian Hukum. Prenada Media Group. Jakarta. hal.
69
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini data sekunder berupa
Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT
digunakan pula data sekunder dalam penelitian ini meliputi peraturan perundangundangan, buku-buku literatur, dokumen, yurisprudensi.
1. Duduk Perkara
Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI pada hari Senin, tanggal 01
Agustus 2011 sekitar pukul 04.00 WIB, tanggal 15 Agustus 2011, tanggal 19
Agustus 2011, tanggal 20 Agustus 2011, tanggal 22 Agustus 2011, tanggal 23
Agustus 2011 atau setidak-tidaknya pada waktu lain di bulan Agustus 2011,
bertempat di rumah Terdakwa Desa Dawuhan Wetan RT 05/03 Kecamatan
Kedunganteng, Kabupaten Banyumas atau setidak-tidaknya di tempat lain
yang masih termasuk daerah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto yang
berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini, melakukan beberapa
perbuatan perhubungan, sehingga dengan demikian harus dipandang sebagai
satu perbuatan yang diteruskan, dengan sengaja tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain, perbuatan tersebut dilakukan oleh Terdakwa dengan cara:
a. Saksi korban GL lahir tanggal 13 Mei 1997, umur 14 tahun, Sekolah di
Ponpes AL Asyriah Nurul Iman Bogor, saat libur menjelang puasa sekitar
bulan Agustus 2011 pulang ke rumah orang tuanya di Desa Dawuhan
Wetan RT 05/03 Kecamatan Kedunganteng, Kabupaten Banyumas,
karena ibunya sedang bekerja sebagai TKW di Hongkong, sehingga saksi
korban GL hanya tinggal bersama Terdakwa MUHAJIR RASYID bin
ROSIDI selaku ayah tiri.
70
b. Pada tanggal 1 Agustus 2011 sekitar jam 04.00 WIB sehabis makan
sahur, Terdakwa tidur di kamar Terdakwa, kemudian saksi korban GL
masuk ke kamar Terdakwa dan tidur di sebelah Terdakwa sambil
menumpangkan kakinya ke paha Terdakwa, karena Terdakwa sudah lama
tidak pernah berhubungan dengan istrinya, sehingga Terdakwa menciumi
bibir dan leher korban, karena alat kelamin Terdakwa sudah tegang, lalu
membuka pakaian korban, selanjutnya Terdakwa melepas pakaiannya
sendiri, lalu Terdakwa membujuk korban “kalau mau disetubuhi nanti
akan dibelikan baju baru, akan dituruti setiap apa yang diminta GL
dan kalau sampai hamil bapak siap tanggung jawab”, kemudian
Terdakwa memasukkan alat kelaminnya yang sudah dalam keadaan
tegang ke dalam kemaluan GL dengan posisi GL di bawah dan Terdakwa
di atas, sambil menggoyang-goyangkan kemaluannya sekitar 5 menit
hingga Terdakwa puas dan mengeluarkan sperma.
c. Selanjutnya Terdakwa menyetubuhi lagi saksi GL tanggal 15 Agustus
2011 di kamar Terdakwa dengan cara menciumi bibir dan leher korban,
lalu meraba-raba payudara korban, selanjutnya Terdakwa melepas
pakaiannya sendiri, lalu memasukkan alat kelaminnya yang sudah tegang
ke dalam kemaluan saksi korban GL sambil digoyang-goyangkan dengan
posisi korban di bawah dan Terdakwa di atas hingga Terdakwa
mengeluarkan sperma.
d. Kemudian pada tanggal 19 Agustus 2011 Terdakwa menyetubuhi lagi
saksi korban GL di kamar Terdakwa dengan cara menciumi pipi, bibir
dan leher korban, lalu meraba-raba payudara korban, selanjutnya
Terdakwa melepas pakaian saksi korban, kemudian Terdakwa melepas
pakaiannya sendiri, lalu memasukkan alat kelaminnya yang sudah tegang
ke dalam kemaluan saksi korban GL sambil digoyang-goyangkan dengan
posisi korban di bawah dan Terdakwa di atas hingga Terdakwa
mengeluarkan sperma.
e. Pada tanggal 20 Agustus 2011 Terdakwa menyetubuhi lagi saksi korban
GL di kamar Terdakwa, dengan cara menciumi pipi korban, selanjutnya
Terdakwa melepas pakaian saksi korban, lalu meraba-raba payudara
korban, kemudian Terdakwa melepas pakaiannya sendiri, lalu
memasukkan alat kelaminnya yang sudah tegang ke dalam kemaluan
saksi korban GL sambil digoyang-goyangkan dengan posisi korban di
bawah dan Terdakwa di atas hingga Terdakwa mengeluarkan sperma.
f. Pada tanggal 22 Agustus 2011 Terdakwa menyetubuhi lagi saksi korban
GL di kamar Terdakwa, dengan cara menciumi pipi korban, selanjutnya
Terdakwa melepas pakaian saksi korban, lalu meraba-raba payudara
korban, kemudian Terdakwa melepas pakaiannya sendiri, lalu
memasukkan alat kelaminnya yang sudah tegang ke dalam kemaluan
saksi korban GL sambil digoyang-goyangkan dengan posisi korban di
bawah dan Terdakwa di atas hingga Terdakwa mengeluarkan sperma.
71
g. Pada tanggal 23 Agustus 2011 Terdakwa menyetubuhi lagi saksi korban
GL di kamar Terdakwa, dengan cara menciumi pipi korban, selanjutnya
Terdakwa melepas pakaian saksi korban, lalu meraba-raba payudara
korban, kemudian Terdakwa melepas pakaiannya sendiri, lalu
memasukkan alat kelaminnya yang sudah tegang ke dalam kemaluan
saksi korban GL sambil digoyang-goyangkan dengan posisi korban di
bawah dan Terdakwa di atas hingga Terdakwa mengeluarkan sperma.
h. Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI menyetubuhi lagi saksi
korban GL yang ke 7, 8 dan 9 yang dilakukan di Lampung.
i. Perbuatan Terdakwa akhirnya dilaporkan oleh saksi TARSIWAN (ayah
kandung saksi korban GL ke pihak yang berwajib untuk diproses sesuai
hukum yang berlaku.
2. Penangkapan dan Penahanan Terdakwa
Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI ditangkap di Lampung pada
tanggal 27 Oktober 2011, kemudian dibawa ke Purwokerto dan dilakukan
penahanan berdasarkan Surat Perintah/Penetapan Penahanan oleh:
a. Penyidik, tanggal 28 Oktober 2011, No. Pol: SP.Han/296/X/2011 sejak
tanggal 28 Oktober 2011 s/d 16 November 2011.
b. Diperpanjang penahanannya oleh Kepala Kejakasaan Negeri Purwokerto,
tanggal 10 November 2011, No. Print-B-812/0.314/Euh.1/11/211 sejak
tanggal 17 November 2011 s/d 26 Desember 2011.
c. Jaksa Penuntut Umum tanggal 22 Desember 2011, No. Print-1670/0.3/14/
Euh.2/12/2011, sejak tanggal 22 Desember 2011 s/d 10 Januari 2012.
d. Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto, tanggal 2 Januari 2012, Nomor
03/Pen.Pid.Sus/2012/PN.Pwt. sejak tanggal 02 Januari 2012 s/d 31
Januari 2012.
e. Perpanjangan penahanan oleh Ketua Pengadilan Negeri Purwokerto,
tanggal 24 Januari 2012, Nomor 03/Pen.Pid.Sus/2012/PN.Pwt. sejak
tanggal 01 Februai 2012 s/d 31 Maret 2012.
3. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Terdakwa didakwa dengan dakwaan alternatif, yaitu melakukan tindak
pidana sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam Surat
Dakwaan Nomor Reg.Perk.: PDM.-04/PKRTO/Ep.2/12/2011 tertanggal 30
Desember 2011 sebagai berikut:
72
a. Dakwaan ke satu
Perbuatan Terdakwa diatur dan diancam pidana berdasarkan Pasal
81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal
64 ayat (1) KUHP, yaitu “dengan sengaja membujuk anak melakukan
persetubuhan dengannya yang dilakukan secara berlanjut”.
b. Dakwaan ke dua
Perbuatan Terdakwa diatur dan diancam pidana berdasarkan Pasal
287 ayat (1) KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, yaitu “melakukan
persetubuhan terhadap wanita yang umurnya belum 15 (lima belas)
tahun yang dilakukan secara berlanjut.”
4. Pembuktian
Dalam pemeriksaan di persidangan, terdapat alat-alat bukti sebagai
berikut:
a. Keterangan Saksi-saksi
Para saksi pada pokoknya memberikan keterangan di depan
persidangan sebagai berikut:
1) Saksi korban GL
Saksi adalah anak tiri Terdakwa MUHAJIR RASYID bin
ROSIDI dan tinggal bersama sejak berumur 7 (tujuh) tahun.
Kemudian sekolah di Ponpes di Bogor dan pulang ke rumah setahun
sekali tiap bulan puasa.
Sebelum melakukan persetubuhan, saksi dijanjikan akan
dibelikan baju baru buat lebaran dan akan dituruti setiap apa yang
diminta. Persetubuhan yang pertama terjadi pada tanggal 1 Agustus
2011 di kamar Terdakwa, ke dua tanggal 15 Agustus 2011 di kamar
Terdakwa, ke tiga tanggal 19 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, ke
empat tanggal 20 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, ke lima tanggal
73
22 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, ke enam tanggal 23 Agustus
2011 di kamar Terdakwa, sedangkan yang ke tujuh, ke delapan dan ke
sembilan dilakukan di Lampung, pada tanggal berapa saksi lupa.
Pada awal melakukan persetubuhan, Terdakwa menciumi pipi
saksi berkali-kali, kemudian membuka baju saksi dan meraba
payudara serta kemaluan saksi, selanjutnya Terdakwa menggesekgesekkan alat kelaminnya yang sudah tegang lalu dimasukkan ke
dalam kemaluan saksi sampai mengeluarkan spermanya di dalam
kemaluan.
Pada saat kejadian, tidak ada yang mengetahui karena saksi
korban hanya tinggal berdua dengan ayah tirinya. Akibat perbuatan
persetubuhan tersebut, kemaluan saksi terasa sakit dan sekarang
mengalami kehamilan. Ata kehamilan tersebut berusaha digugurkan
oleh Terdakwa di Lampung dengan cara dipijatkan ke seseorang lalu
disuruh minum jamu. Atas keterangan saksi tersebut, Terdakwa
membenarkan dan menyatakan tidak keberatan.
2) Saksi TARSIWAN bin SUMARNO
Saksi adalah ayah kandung GL yang sudah bercerai sekitar 14
(empat belas) tahun. Dia membenarkan bahwa anaknya telah dihamili
oleh ayah tirinya, setelah diberitahu oleh
kakak mantan istrinya,
(mengetahui kondisi anaknya dalam keadaan hamil setelah dibawa
pulang dari Lampung). Kemudian Saksi menemui Kepala Desa
Dawuhan
Wetan
untuk
menceritakan
kejadian
tersebut
dan
selanjutnya melaporkan ke Polisi.
Saksi mengatakan bahwa benar kejadian perseubuhan terjadi
pada bulan puasa tahun 2011 dilakukan di rumah Terdakwa turut
Desa Dawuhan Wetan RT 05/03 Kecamatan Kedunganteng,
74
Kabupaten Banyumas. Dikatakan pula bahwa korban baru berumur 14
tahun dan belum pantas untuk berumah tangga, serta berharap agar
Terdakwa dihukum dengan hukuman setimpal. Atas keterangan saksi
tersebut, Terdakwa membenarkan dan menyatakan tidak keberatan.
3) Saksi DALDIRI
Saksi adalah kakek dari saksi korban GL yang bertempat tinggal
di samping rumah Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI. Dia
mengetahui kalau cucunya hamil pada bulan September 2011 dari
korban sendiri dan juga pengakuan Terdakwa.
Pada awalnya di bulan September 2011 Terdakwa pamit kepada
saksi hendak kerja di Tangerang dan sekalian mengantar korban ke
Ponpes di Bogor setelah pulang di bulan puasa. Selama 5 (lima) hari
ternyata Terdakwa tidak memberi kabar sudah sampai tujuan atau
belum. Selanjutnya saksi mengecek kepada teman korban yang satu
sekolah di Ponpes Bogor, dan ternyata korban belum kembali ke
Ponpes.
Kemudian
Saksi
berusaha
mencari
informasi
dan
memperoleh petunjuk kalau dibawa Terdakwa ke Lampung.
Bersama dengan KODRI (keponakan saksi) pada tanggal 22
September 2011, saksi menyusul ke Lampung dan menuju rumah adik
Terdakwa bernama Budi. Pada saat bertemu dengan Terdakwa di
Lampung inilah Terdakwa mengatakan “saya bersalah, minta maaf
karena GL telah berhubungan intim dengan saya”. Setelah
mendengar pengakuan Terdakwa, lalu saksi membawa korban pulang.
Setelah sampai rumah, saksi memeriksakannya ke bidan, dan hasilnya
korban hamil dan jalan 2 (tiga) bulan. Atas keterangan saksi tersebut,
Terdakwa membenarkan dan menyatakan tidak keberatan.
75
4) Saksi KODRI bin PADOLI
Saksi adalah paman dari saksi korban GL dan mengetahui kalau
keponakannya telah dihamili oleh terdakwa MUHAJIR RASYID bin
ROSIDI setelah setelah pulang dari Lampung.
Pada awalnya nenek korban cerita kepada saksi bahwa cucunya
dibawa oleh Terdakwa untuk diantar ke Ponpes di Bogor, namun
setelah dicek, korban belum masuk sekolah di Ponpes tersebut.
Kemudian setelah mendapatkan informasi bahwa korban berada di
Lampung, saksi diminta tolong untuk menjemput bersama kakek
korban bernama DALDIRI.
Selanjutnya saksi dan DALDIRI berangkat ke Lampung pada
tanggal 20 September 2011 dan sampai di Lampung tanggal 22
September 2011, dan langsung menuju rumah adik Terdakwa
bernama Budi. Saksi baru tahu kalau korban telah dihamili oleh
Terdakwa setelah sampai di rumah. Atas keterangan saksi tersebut,
Terdakwa membenarkan dan menyatakan tidak keberatan.
5) Saksi ANGGUN YUDI NUGROHO
Saksi adalah aparat kepolisian yang telah menerima laporan dari
TARSIWAN kalau anak kandungnya yaitu saksi korban GL dihamili
oleh Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI. Setelah melakukan
penyelidikan, kemudian saksi diperintahkan oleh atasan untuk
berangkat ke Lampung mencari keberadaan Terdakwa.
76
Pada tanggal 27 Oktober 2011 saksi menuju ke Lampung untuk
mencari keberadaan Terdakwa, dan bertemua di Jalan Raya Desa
Gisting, lalu Terdakwa ditangkap dan dibawa ke Purwokerto. Dalam
perjalanan ke Purwokerto, Terdakwa mengakui telah menyetubuhi
korban berulang kali sehingga hamil. Dari pengakuan Terdakwa,
korban mau diajak bersetubuh karena Terdakwa membujuk GL
dengan janji akan dibelikan baju baru dan akan menuruti apa yang
diminta. Atas keterangan saksi tersebut, Terdakwa membenarkan dan
menyatakan tidak keberatan.
b. Keterangan Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI
Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI adalah ayah tiri dari
saksi korban GL. Pada waktu pemeriksaan di depan persidangan,
Terdakwa mengakui telah melakukan persetubuhan dengan korban
sebanyak 9 (sembilan) kali, yaitu 6 (enam) kali dilakukan di rumahnya di
Desa Dawuhan Wetan RT 05/03 Kecamatan Kedunganteng, Kabupaten
Banyumas, sedangkan sebanyak 3 (tiga) kali dilakukan di Lampung.
Persetubuhan pertama pada tanggal 1 Agustus 2011 sekitar jam
04.00 WIB sehabis makan sahur di kamar Terdakwa, sampai
mengeluarkan sperma di kemaluan korban. Persetubuhan ke dua tanggal
15 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, dengan selanjutnya Terdakwa
memasukkan alat kelaminnya ke dalam kemaluan korban sampai
mengeluarkan sperma. Persetubuhan ke tiga pada tanggal 19 Agustus
77
2011 di kamar Terdakwa selesai makan sahur. Persetubuhan ke empat
tanggal 20 Agustus 2011 di kamar Terdakwa. Persetubuhan ke lima
tanggal 22 Agustus 2011 di kamar Terdakwa. Persetubuhan ke enam
tanggal 23 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, dilakukan pada setelah
lebaran hari ke-4 jam 11.00 WIB. Persetubuhan ke ke tujuh, ke delapan,
dan ke sembilan dilakukan di Lampung. Terdakwa mengetahui kalau
korban hamil pada saat melakukan persetubuhan yang keempat, ketika
korban mengatakan kalau dirinya terlambat bulan.
Terdakwa mengetahui kalau korban masih anak-anak, masih berusia
14 tahun dan belum pantas untuk menjalin rumah tangga, tetapi Terdakwa
masih tetap menyetubuhi korban karena didorong nafsu melihat tubuh
korban dan juga dikarenakan sudah lama tidak mendapatkan nafkah batin
karena istrinya bekerja di Hongkong sebagai TKI.
Terdakwa tahu kalau berhubungan kelamin itu bisa menimbulkan
kehamilan dan mengatakan kepada korban apabila sampai hamil siap
untuk bertanggungjawab dengan menikahinya, kemudian korban akhirnya
bersedia disetubuhi.
c. Keterangan Ahli
dr. HERNI SETIYOWATI, dokter pada Poliklinik Urdokes Polres
Banyumas. telah melakukan pemeriksaan terhadap seorang perempuan
bernama GL, umur 14 tahun, pelajar, alamat Desa Dawuhan Wetan RT
05/03 Kecamatan Kedunganteng, Kabupaten Banyumas, dari hasil
pemeriksaan
yang
dituangkan
dalam
Visum
Et
Repertum
No.
Pol;R/20/X/2011 tanggal 24 Oktober 2011, diperoleh hasil sebagai
berikut:
78
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
Mulut alat kelamin
:
Selaput dara
:
Liang senggama (vagina) :
Mulut leher rahim (cervik) :
Rahim (corpus uteri)
:
Lain-lain yang dijumpai :
Pemeriksaan laboratorium :
tidak ada kelainan
ditemukan luka robek lama total (habis)
tidak ada kelainan
tidak ada kelainan
TFU 3 jari di atas sympisis pubis
Keputihan, HPHT
dilakukan
test
urine
dengan
menggunakan test kehamilan instan
merk One Med dengan hasil positif
dengan umur kehamilan kurang lebih 15
minggu.
d. Barang Bukti
Barang bukti yang diajukan dan diperlihatkan pada saat pemeriksaan
di pengadilan adalah sebagai berikut:
1) 1 (satu) buah kaos warna putih bergambar kumbang
2) 1 (satu) buah rok warna hitam
Barang bukti tersebut telah disita secara sah menurut hukum, oleh
karenanya dapat digunakan untuk memperkuat pembuktian. Majelis
hakim telah pula memperlihatkan barang bukti tersebut, baik kepada para
saksi
maupun
kepada
Terdakwa,
dimana
Terdakwa
telah
membenarkannya. Oleh karena itu berdasarkan ketentuan Pasal 181
KUHAP Jo Pasal 184 ayat (1) KUHAP Jo Pasal 188 ayat (1) dan (2)
KUHAP merupakan alat bukti yang sah.
e. Petunjuk
Berdasarkan alat bukti keterangan saksi-saksi, keterangan Terdakwa
dan alat bukti surat berupa Visum et Repertum, maka didapat petunjuk
sebagai berikut:
79
a) Berdasarkan Pasal 188 ayat (1) KUHAP, petunjuk adalah perbuatan,
kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang
satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa
pelakunya. Selanjutnya dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP petunjuk
tersebut hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan
keterangan terdakwa.
b) Berdasarkan keterangan para saksi yang dibenarkan oleh Terdakwa
MUHAJIR RASYID bin ROSIDI dengan didukung oleh alat bukti
surat berupa Visum et Repertum serta keterangan Terdakwa yang
saling berkaitan antara satu dengan lainnya telah memberikan
petunjuk bahwa telah terjadi tindak pidana dengan sengaja
membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya yang
dilakukan secara berlanjut dilakukan oleh Terdakwa.
c) Berdasarkan Pasal 188 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP petunjuk
tersebut menjadi salah satu alat bukti sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP.
5. Tuntutan Pidana
Karena pemeriksaan telah cukup, maka Penuntut Umum mengajukan
tuntutan pidana yang pada pokoknya supaya Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Purwokerto yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan:
a. Menyatakan Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”dengan sengaja
membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan
secara berlanjut”, sebagaimana dalam dakwaan ke satu Jaksa Penuntut
Umum.
b. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut di atas dengan pidana
penjara selama 11 (sebelas) tahun dikurangi selama Terdakwa berada
dalam tahanan dengan perintah Terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar
Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan
kurungan.
c. Menyatakan barang bukti berupa:
1) 1 (satu) buah kaos warna putih bergambar kumbang
2) 1 (satu) buah rok warna hitam
Dikembalikan kepada GL
d. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp 2.500,- (dua
ribu lima ratus rupiah).
80
6. Pembelaan
Terdakwa menolak untuk didampingi Penasihat Hukum. Atas tuntutan
pidana yang diajukan oleh Penuntut Umum, Terdakwa mengajukan
pembelaan secara lisan, yang pada pokoknya mohon keringanan hukuman
karena telah mengakui bersalah dan menyesali perbuatannya.
7. Replik Penuntut Umum
Atas pembelaan Terdakwa tersebut, Penuntut Umum dalam repliknya
yang pada pokoknya menyatakan tetap dengan tuntutannya.
8. Duplik Terdakwa
Atas replik yang diajukan oleh Penuntut Umum, Terdakwa mengajukan
duplik secara lisan yang menyatakan tetap dengan pembelaannya.
9. Fakta-fakta Hukum
Berdasarkan keterangan saksi-saksi, alat bukti surat dan didukung
adanya barang bukti serta keterangan Terdakwa di persidangan, diperoleh
fakta-fakta hukum bahwa Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI
menikah dengan ibu korban GL. Pernikahan tersebut terjadi sejak korban
berumur 7 (tujuh) tahun.
Ibu korban bekerja sebagai TKI di Hongkong, sehingga Terdakwa
tinggal serumah dengan korban di rumah milik ibu korban di Desa Dawuhan
Wetan RT 05/03 Kecamatan Kedunganteng, Kabupaten Banyumas. Pada saat
memasuki SMP, korban sekolah di sebuah Pondok Pesantren di Bogor. Awal
persetubuhan terjadi ketika korban pulang ke rumah pada liburan puasa bulan
September 2011. Persetubuhan antara Terdakwa dengan korban dilakukan
81
sebanyak 9 (sembilan) kali, yaitu 6 (enam) kali dilakukan di rumah di Desa
Dawuhan Wetan RT 05/03 Kecamatan Kedunganteng, Kabupaten Banyumas,
sedangkan sebanyak 3 (tiga) kali dilakukan di Lampung.
Persetubuhan pertama pada tanggal 1 Agustus 2011 sekitar jam 04.00
WIB sehabis makan sahur di kamar Terdakwa, sampai mengeluarkan sperma
di kemaluan korban. Persetubuhan ke dua tanggal 15 Agustus 2011 di kamar
Terdakwa, dengan selanjutnya Terdakwa memasukkan alat kelaminnya ke
dalam kemaluan korban sampai mengeluarkan sperma. Persetubuhan ke tiga
pada tanggal 19 Agustus 2011 di kamar Terdakwa selesai makan sahur.
Persetubuhan ke empat tanggal 20 Agustus 2011 di kamar Terdakwa.
Persetubuhan ke lima tanggal 22 Agustus 2011 di kamar Terdakwa.
Persetubuhan ke enam tanggal 23 Agustus 2011 di kamar Terdakwa,
dilakukan pada setelah lebaran hari ke-4 jam 11.00 WIB. Persetubuhan ke ke
tujuh, ke delapan, dan ke sembilan dilakukan di Lampung. Terdakwa
mengetahui kalau korban hamil pada saat melakukan persetubuhan yang
keempat, ketika korban mengatakan kalau dirinya terlambat bulan.
Terdakwa mengetahui kalau korban masih anak-anak, masih berusia 14
tahun dan belum pantas untuk menjalin rumah tangga, tetapi Terdakwa masih
tetap menyetubuhi korban karena didorong nafsu melihat tubuh korban dan
juga dikarenakan sudah lama tidak mendapatkan nafkah batin karena istrinya
bekerja di Hongkong sebagai TKI.
82
Terdakwa mengetahui kalau berhubungan kelamin bisa menimbulkan
kehamilan dan mengatakan kepada korban apabila sampai hamil siap untuk
bertanggungjawab dengan menikahinya, kemudian korban akhirnya bersedia
disetubuhi. Akibat perbuatan Terdakwa tersebut, korban mengalami
kehamilan yang sudah berumur 3 (tiga) bulan.
10. Putusan Pengadilan
a. Hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan
Sebelum menjatuhkan pidana, terlebih dahulu dipertimbangkan halhal
yang
memberatkan
dan
yang
meringankan.
Hal-hal
yang
memberatkan adalah:
1) Perbuatan Terdakwa merusak masa depan saksi GL
2) Perbuatan Terdakwa merendahkan martabat kaum perempuan
3) Perbuatan Terdakwa dilakukan terhadap orang yang seharusnya
dilindungi.
Adapun hal-hal yang meringankan adalah:
1) Terdakwa belum pernah dihukum
2) Terdakwa
menyesali
perbuatannya
dan
berjanji
tidak
akan
mengulanginya
3) Terdakwa bersikap sopan di persidangan.
b. Amar Putusan
Majelis Hakim, dengan mengingat Pasal 81 ayat (2) UU No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP,
menjatuhkan putusan yang amar putusannya berbunyi sebagai berikut:
83
1) Menyatakan Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”
dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan
dengannya yang dilakukan secara berlanjut”
2) Menjatuhkan terhadap Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI
tersebut dengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun dan denda
sebesar Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan
apabila denda tersebut tidak dibayar oleh Terdakwa diganti dengan
pidana kurungan selama 6 (enam) bulan.
3) Menetapkan lamanya Terdakwa ditahan dalam Rumah Tahanan
Negara dikurangkan seluruhnya dai pidana yang dijatuhkan.
4) Menetapkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan.
5) Menyatakan barang bukti berupa:
a) 1 (satu) buah kaos warna putih bergambar kumbang
b) 1 (satu) buah rok warna hitam
Dikembalikan kepada GL
6) Menetapkan agar Terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar
Rp 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).
B. Pembahasan
Suatu tindakan yang merugikan orang lain atau tindakan yang melawan
hukum ada yang disebut tindak pidana. Tindak pidana berarti suatu perbuatan
yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku ini dapat dikatakan
merupakan subjek tindak pidana serta tindak pidana merupakan pelanggaran
terhadap norma atau kaidah sosial yang telah ada dalam masyarakat. Hukum,
menurut
C.S.T.
Kansil,
melayani
tujuan
negara
tersebut
dengan
menyelenggarakan:
Keadilan dan ketertiban, sebagai syarat-syarat pokok untuk mendatangkan
kemakmuran dan kebahagiaan. Bahwa adil itu kiranya dapat digambarkan
sebagai suatu keadaan keseimbangan yang membawa ketentraman di hati
orang, dan jika diusik atau dilanggar akan menimbulkan kegelisahan dan
kegoncangan.107
107
C.S.T. Kansil. 1989. Pengantar Ilmu Hukum Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. Hal.41.
84
Seseorang dikatakan melawan hukum apabila melanggar peraturan hukum
pidana (KUHP) dan peraturan-peraturan lain di luar KUHP. Pelakunya diancam
dengan pidana sesuai perbuatannya seperti yang termuat dalam peraturan
tersebut. Perbuatan yang diancam dengan hukum pidana adalah:
Perbuatan yang secara mutlak harus memenuhi syarat formal, yaitu dengan
mencocokan dengan rumusan Undang-undang yang telah ditetapkan yaitu
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan peraturan-peraturan
lain yang berdimensi pidana dan memiliki unsur material yaitu
bertentangan dengan cita-cita mengenai pergaulan masyarakat atau dengan
kata pendek suatu sifat melawan hukum atau tindak pidana.108
Salah satu perbuatan yang bersifat melawan hukum atau tindak pidana
adalah tindakan pemerkosaan atau membujuk untuk melakukan persetubuhan di
luar ikatan perkawinan yang sah. Moeljatno mengatakan bahwa perkosaan
menurut konstruksi yuridis perundang-undangan di Indonesia (KUHP), adalah:
Perbuatan memaksa seorang wanita yang bukan istrinya untuk bersetubuh
dengan dia dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Kata-kata
“memaksa” dan “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan” di sini sudah
menunjukkan betapa mengerikannya pemerkosaan tersebut. “Pemaksaan
hubungan kelamin pada wanita yang tidak menghendakinya akan
menyebabkan kesakitan hebat pada wanita tersebut, apalagi disertai
kekerasan fisik. Kesakitan hebat dapat terjadi tidak hanya sebatas fisik
saja, tetapi juga dari segi psikis.109
Korban pemerkosaan atau bujukan untuk melakukan persetubuhan, dapat
terjadi pada anak-anak di bawah umur, berdasarkan ketentuan Pasal 290 angka 3
KUHP dirumuskan bahwa:
Barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya
harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau
umumya tidak jelas yang bersangkutan atau kutan belum waktunya untuk
dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,
atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.
108
Moeljatno. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana
Cetakan Pertama. Bina Aksara. Yogyakarta. Hal. 20.
109
Suryono Ekotama, Harum Pudjiarta dan Widiartana. 2001. Op. Cit. hal. 96.
85
Ketentuan lain dalam KUHP, yaitu Pasal 288 ayat (1) KUHP merumuskan
sebagai berikut:
Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di dalam pernikahan, yang
diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa sebelum mampu dikawin,
diancam apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.
Pasal-Pasal di atas yang mengatur soal larangan berhubungan badan
(bersetubuh) dengan wanita yang berusia di bawah lima belas tahun, di bawah
dua belas tahun atau belum mampu untuk kawin. Artinya, pelanggaran terhadap
ketentuan tersebut dapat dianggap sebagai kejahatan kesusilaan. Pelakunya
dengan mudah dapat dituduh telah melakukan perkosaan yang secara ekplisit
menyebut soal perkosaan.
Selain KUHP, di dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak juga dirumuskan tentang tindak pidana persetubuhan dengan korban anakanak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 81 UU No. 23 Tahun 2002 yang
merumuskan sebagai berikut:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi
setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain.
Salah satu kasus tindak pidana pemerkosaan/persetubuhan dengan korban
anak di bawah umur menimpa korban bernama GL, berumur 14 (empat belas)
tahun, yang dilakukan oleh ayah tirinya sendiri yaitu MUHAJIR RASYID bin
ROSIDI yang beralamat di Desa Dawuhan Wetan RT 05/03 Kecamatan
86
Kedunganteng, Kabupaten Banyumas. Atas perbuatannya tersebut, MUHAJIR
RASYID bin ROSIDI didakwa melakukan tindak pidana dengan sengaja
membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan
secara berlanjut dan melanggar ketentuan Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 ayat (1) KUHP dan telah dijatuhi
hukuman pidana dengan Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor
03/Pid.Sus/2012/PN. PWT.
Berdasarkan
Putusan
Pengadilan
Negeri
Purwokerto
Nomor
03/Pid.Sus/2012/PN. PWT. tersebut, penelitian ini mengkaji tentang penerapan
unsur-unsur Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP
dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT
dan pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto dalam menjatuhkan
pidana pada perkara Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT.
1. Penerapan unsur-unsur Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 jo Pasal
64 ayat (1) KUHP dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor
03/Pid.Sus/2012/PN. PWT.
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, maka Majelis
Hakim sampai pada pembuktian mengenai unsur-unsur tindak pidana yang
didakwakan Penuntut Umum kepada Terdakwa. Oleh karena dakwaan
Penuntut
Umum
disusun
secara
alternatif,
maka
Majelis
Hakim
mempertimbangkan salah satu dari dakwaan tersebut yang unsur-unsurnya
dipandang sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, yaitu
dakwaan ke satu, melanggar Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, dengan unsur-unsur sebagai
berikut:
87
a. Unsur barangsiapa
Barangsiapa adalah setiap orang selaku subyek hukum yang diduga
atau disangka telah melakukan perbuatan yang dapat dihukum atas
perbuatannya dan orang tersebut mampu bertanggung jawab atas
perbuatannya.
Rumusan kata barangsiapa atau setiap orang dalam hukum pidana
menunjuk kepada subyek hukum. Bahwa setiap subyek hukum melekat
erat kemampuan bertanggng jawab, yaitu hal-hal atau keadaan yang dapat
mengakibatkan orang yang telah melakukan sesuatu yang tegas dilarang
dan diancam dengan hukuman oleh Undang-undang yang dapat diukum,
sehingga seseorang sebagai subyek hukum untuk dapat dihukum harus
memiliki kemampuan bertanggung jawab atas perbuatannya.110
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, dihubungkan dengan faktafakta yang terungkap dalam persidangan, yang didasarkan pada
keterangan
saksi-saksi
dan
keterangan
Terdakwa
sendiri,
telah
memberikan identitasnya, yaitu
1)
2)
3)
4)
5)
6)
Nama
Umur/tanggal lahir
Tempat lahir
Jenis Kelamin
Kebangsaan
Alamat
7) Pendidikan
8) Agama
9) Pekerjaan
110
hal. 17
:
:
:
:
:
:
MUHAJIR RASYID bin ROSIDI
42 tahun/31 Agustus 1969
Banyumas
Laki-laki
Indonesia
Desa Dawuhan Wetan RT 05 RW 03 Kec.
Kedungbanteng Kabupaten Banyumas
: SMA
: Islam
: Buruh
Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT.
88
Selama persidangan terbukti bahwa Terdakwa MUHAJIR RASYID
bin ROSIDI, mampu bertanggung jawab secara hukum dan dalam diri
Terdakwa
tidak
ditemukan
alasan
yang
dapat
menghapus
pertangungjawaban pidana. Dengan demikian, unsur ”barangsiapa”
terpenuhi, yaitu orang yang dimaksud sebagai pelaku dalam tindak
pidana
dengan
sengaja
membujuk
anak
untuk
melakukan
persetubuhan dengannya yang dilakukan secara berlanjut.
b. Unsur dengan sengaja
Makna ”sengaja” tidak dapat lepas dari niat yang hanya ada dalam
sikap batin pelaku, namun demikian sikap batin tersebut dapat diketahui
dari formulasi perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana.
Dalam KUHP tidak memberikan rumusan pengertian ”dengan sengaja”,
oleh karena itu Majelis Hakm berpedoman pada pengertian ”dengan
sengaja” yang terdapat dalam memori van Teolichting, bahwa kata
”dengan sengaja” atau dolus atau opzet dalam memori van Teolicting
adalah mengandung makna ”willens en weten” yang artinya bahwa
seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan ”dengan sengaja” harus
menghendaki (willen) dari perbuatan itu, serta harus menginsafi (weten)
akan akibat dari perbuatannya tersebut.111
Unsur dengan sengaja ini merupakan unsur subjektif yang berkaitan
dengan keadaan batin pelaku, yang hanya dapat diketahui dari rangkaian
perbuatannya. Menurut doktrin hukum pidana, untuk menetapkan suatu
perbuatan dilakukan ”dengan sengaja” atau tidak sengaja dikenal dengan
3 (tiga) teori, yaitu:
111
Ibid. hal. 18.
89
1) Teori kehendak, adalah apabila perbuatan tersebut dikehendaki oleh
pelaku, tidak dipersoalkan apakah pelaku mengetahui atau tidak
bahwa perbuatan tersebut akan menimbulkan akibat yang dilarang.
2) Teori pengetahuan, yaitu bahwa perbuatan tertentu dikatakan sengaja
apabila perbuatan tersebut diketahui oleh pelaku yang jika perbuatan
itu dilakukan akan menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum
pidana.
3) Teori gabungan, yaitu gabungan dari kedua teori tersebut di atas,
suatu perbuatan dikatakan disengaja apabila perbuatan tersebut
diketahui dan dikehendaki oleh pelaku.112
Menurut doktrin hukum pidana modern, kesengajaan dikenal dengan
tiga gradasi, dan dipergunakan untuk menentukan hubungan kausal antara
kelakuan/perbuatan dengan akibat yang dilarang hukum pidana, yaitu:
1) Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk), berarti terjadinya
suatu tindakan atau akibat tertentu adalah betul-betul sebagai
perwujudan dan dari maksud atau tujuan dan pengetahuan pelaku.
2) Kesengajaan sebagai keadaan pasti (kepastian) atau keharusan (opzet
bij zekerheids bewustzijn), berarti untuk mencapai maksud yang
sebenarnya Terdakwa harus melakukan perbuatan yang dilarang.
3) Kesengajaan dengan menyadari kemungkinan (voorwaardelijkopzet),
yang menjadi standar kesengajaan ini adalah sejauh mana
pengetahuan dan kesadaran pelaku tentang tindakan dan akibat
terlarang.113
112
113
Ibid. hal. 18-19
Ibid. hal. 19.
90
Berdasarkan fakta-fakta di persidangan terungkap bahwa pada
tanggal 01 Agustus 2011 sekitar pukul 04.00 WIB, tanggal 15 Agustus
2011, tanggal 19 Agustus 2011, tanggal 20 Agustus 2011, tanggal 22
Agustus 2011, tanggal 23 Agustus 2011 dan hari ke-4 lebaran Tahun
2011 di rumah Terdakwa Desa Dawuhan Wetan RT 05/03 Kecamatan
Kedunganteng, Kabupaten Banyumas, Terdakwa telah melakukan
persetubuhan dengan saksi korban GL yang lahir pada tanggal 13 Mei
1997 dan masih berumur 14 (empat belas) tahun, bahwa Terdakwa
sebagai orang tua saksi GL tahu kalau perbuatan tersebut dilarang oleh
undang-undang serta bertentangan dengan norma agama, dan
Terdakwa sebagai orang tua saksi GL yang seharusnya mendidik,
melindungi saksi GL yang masih anak-anak, akan tetapi Terdakwa malah
menyetubuhi saksi GL sehingga jelas Terdakwa mengetahui akan
perbuatan yang dilakukan tersebut yaitu kehamilan GL. Dengan
demikian ”Unsur dengan sengaja” terpenuhi.
c. Unsur melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau
membujuk anak
Elemen dari unsur ini bersifat alternatif, sehingga apabila salah satu
elemen dari unsur ini sudah terbukti, maka unsur pidana haruslah
dinyatakan terbukti.114 Berdasarkan fakta-fakta di persidangan, yaitu
keterangan saksi-saksi dengan barang bukti serta alat bukti surat, bahwa
114
Ibid. hal. 20
91
sebelum Terdakwa melakukan persetubuhan terhadap saksi GL yang
masih berumur 14 tahun, Terdakwa membujuk korban dengan
mengatakan ”kalau mau berhubungan akan dibelikan baju baru dan
siap bertanggung jawab dengan menikahi GL”, karena saat itu bulan
puasa dan mau lebaran, sehingga kata-kata tersebut oleh saksi korban GL
dipercaya, sehingga mau melakukan persetubuhan dengan terdakwa.
Dengan demikian ”unsur melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan atau membujuk anak” terpenuhi.
d. Unsur melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain
Pengertian persetubuhan adalah pertemuan antara alat kelamin lakilaki (penis) dengan alat kelamin perempuan (vagina), yaitu alat kelamin
laki-laki masuk ke dalam alat kemaluan perempuan.
Berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan Terdakwa di
persidangan serta alat bukti Visum et Repertum, diketahui bahwa pada
tanggal 01 Agustus 2011 sekitar pukul 04.00 WIB, tanggal 15 Agustus
2011, tanggal 19 Agustus 2011, tanggal 20 Agustus 2011, tanggal 22
Agustus 2011, tanggal 23 Agustus 2011 di rumah Terdakwa Desa
Dawuhan Wetan RT 05/03 Kecamatan Kedunganteng, Kabupaten
Banyumas, Terdakwa telah melakukan persetubuhan dengan saksi korban
GL dengan cara awalnya Terdakwa menciumi bibir dan meremas-remas
payudara korban, karena alat kelamin Terdakwa sudah tegang, lalu
membuka pakaian GL hingga telanjang, selanjutnya Terdakwa melepas
pakaiannya sendiri hingga telanjang, lalu Terdakwa menjilati putting
92
payudara GL, kemudian Terdakwa memasukkan alat kelaminnya yang
sudah tegang ke dalam kemaluan saksi korban GL, dengan posisi GL di
bawah
dan
Terdakwa
di
atas
sambil
menggoyang-goyangkan
kemaluannya hingga Terdakwa puas dan mengeluarkan sperma.
Sesuai Visum et Repertum No. Pol;R/20/X/2011 tanggal 24 Oktober
2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. HERNI SETIYOWATI,
dokter pada Poliklinik Urdokes Polres Banyumas, setelah melakukan
pemeriksaan terhadap seorang perempuan bernama GL, umur 14 tahun,
pelajar,
alamat
Desa
Dawuhan
Wetan
RT
05/03
Kecamatan
Kedunganteng, Kabupaten Banyumas, dari pemeriksaan diperoleh hasil
sebagai berikut:
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
Mulut alat kelamin
:
Selaput dara
:
Liang senggama (vagina) :
Mulut leher rahim (cervik) :
Rahim (corpus uteri)
:
Lain-lain yang dijumpai :
Pemeriksaan laboratorium :
8. Kesimpulan
tidak ada kelainan
ditemukan luka robek lama total (habis)
tidak ada kelainan
tidak ada kelainan
TFU 3 jari di atas sympisis pubis
Keputihan, HPHT
dilakukan
test
urine
dengan
menggunakan test kehamilan instan
merk One Med dengan hasil positif
dengan umur kehamilan kurang lebih 15
minggu.
: Dari pemeriksaan fisik yang dilakukan
terhadap perempuan tersebut di atas,
ditemukan luka robek lama pada hymen
(selaput dara) total (habis), yang
diakibatkan oleh karena kekerasan
benda tumbul dan yang bersangkutan
dalam keadaan hamil.
Dengan demikian ”unsur melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain” terpenuhi
93
e. Unsur melakukan beberapa perbuatan perhubungan, sehingga
dengan demikian harus dipandang sebagai satu perbuatan yang
diteruskan
Beberapa perbuatan dipandang sebagai perbuatan berlanjut apabila
perbuatan tersebut memenuhi syarat sebagai berikut:
1) Harus timbul dari suatu niat, kehendak atau keputusan.
2) Perbuatan-perbuatan tersebut harus sama atau sama macamnya.
3) Antara perbuatan yang satu dengan lainnya tidak boleh terlalu
lama.115
Berdasarkan fakta-fakta di persidangan terungkap bahwa Terdakwa
MUHAJIR RASYID bin ROSIDI melakukan persetubuhan dengan GL
sebanyak 9 (sembilan) kali, yaitu persetubuhan pertama dilakukan malam
hari di kamar terdakwa pada tanggal 1 Agustus 2011, persetubuhan kedua
tanggal 15 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, persetubuhan ketiga tanggal
19 Agustus 2011 di kamar Terdakwa, persetubuhan keempat tanggal 20
Agustus 2011 di kamar Terdakwa, persetubuhan kelima tanggal 22
Agustus 2011 di kamar Terdakwa, persetubuhan keenam tanggal 23
Agustus 2011 di kamar Terdakwa, sedangkan persetubuhan ke 7, 8, dan 9
Terdakwa melakukan persetubuhan dengan GL di Lampung. Dengan
demikian ”unsur melakukan beberapa perbuatan perhubungan,
sehingga dengan demikian harus dipandang sebagai satu perbuatan
yang diteruskan” terpenuhi.
115
Ibid. hal. 21
94
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, semua unsur yang
terdapat dalam Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, telah terpenuhi dan
berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan Terdakwa yang didukung
dengan barang bukti, Majelis Hakim memperoleh kesimpulan dan
berkeyakinan bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya,
yaitu
dengan
sengaja
membujuk
anak
melakukan
persetubuhan
dengannya yang dilakukan secara berlanjut..
2. Pertimbangan
hakim
Pengadilan
Negeri
Purwokerto
dalam
menjatuhkan pidana pada perkara Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT.
Seseorang dapat dijatuhi pidana adalah apabila orang itu telah memenuhi
unsur-unsur tindak pidana yang telah dirumuskan dalam KUHP, karena pada
umumnya Pasal-Pasal dalam KUHP terdiri dari unsur-unsur tindak pidana.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Lamintang, yaitu:
Lamintang juga menjelaskan tentang unsur-unsur subjektif dan unsurunsur objektif sebagai berikut:
Unsur-unsur subjektif yaitu unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku
atau berhubungan dengan diri si pelaku, termasuk kedalamnya yaitu
segala yang terkandung di dalam hatinya.
Unsur-unsur objektif yaitu unsur-unsur yang ada hubunganya dengan
keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan dari si
pelaku itu harus dilakukan.116
Mengenai pengertian starfbaar feit, Sudarto membagi menjadi dua
pandangan:
116
Ibid . hal. 193
95
a. Pandangan monistis yaitu melihat keseluruhan (tumpukan) syarat untuk
adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan.
b. Pandangan dualistis yaitu pandangan yang memisahkan “pengertian
perbuatan pidana” (criminal act) dan ”pertanggungjawaban pidana”
(criminal responbility).117
Unsur-unsur tindak pidana yang dikemukakan oleh ahli hukum dalam
pandangan monistis, sebagaimana dikutip oleh Sudarto adalah sebagai
berikut:
Menurut Simons unsur-unsur strafbaar feit adalah:
a. Perbuatan manusia (positif dan negatif; berbuat atau tidak berbuat atau
membiarkan);
b. Diancam dengan pidana (strafbaargesteld);
c. Melawan unsur (onrechtmatig);
d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand);
e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (teorekeningsvatbaar
persoon).
Van Hamel menyebutkan unsur-unsur strafbaar feit adalah sebagai berikut:
a. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang;
b. Bersifat melawan hukum;
c. Dilakukan dengan kesalahan;
d. Patut dipidana
E Mezger menyebutkan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:
a. Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan);
b. Sifat melawan hukum (baik bersifat objektif maupun subjektif) ;
c. Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang;
d. Diancam dengan pidana.
J. Baumman menyebutkan unsur-unsur tindak pidana yaitu adanya perbuatan
yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dilakukan
dengan kesalahan
Menurut Karni delik itu mengandung suatu perbuatan yang mengandung
perlawanan hak, yang dilakukan dengan salah dosa, oleh orang yang
sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut dipertanggungkan.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, beliau mengemukakan definisi pendek, yaitu:
Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan
pidana.
Jelas sekali dilihat dari definisi-definisi di atas tidak adanya pemisahan antara
criminal
act
(perbuatan
pidana)
dan
criminal
responsibility
118
(pertanggungjawaban pidana).
117
118
Sudarto. Op. Cit, 1991, hal..24.
Ibid hal.. 24-25.
96
Beberapa sarjana yang mempunyai pandangan dualistis mengemukakan
unsur-unsur tindak pidana, sebagaimana dikutip oleh Sudarto sebagai
berikut:
Menurut H.B Vos unsur-unsur Strafbaar feit yaitu:
a. Kelakuan manusia, dan
b. Diancam pidana dalam undang-undang
Menurut W.P.J Pompe unsur-unsur yaitu:
a. Perbuatan
b. Bersifat melawan hukum
c. Dilakukan dengan kesalahan, dan
d. Diancam pidana.
Menurut Moeljatno untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur:
a. Perbuatan (manusia);
b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil);
c. Bersifat melawan hukum (syarat materil).119
Menurut Sudarto sendiri yaitu kedua pendirian tersebut di atas tidak ada
perbedaan yang prinsipiil, dengan alasan:
... sebab jika seseorang menganut pendirian salah satu diantaranya
hendaknya memegang pendirian tersebut dengan konsukuen, agar tidak
ada kekacauan pengertian. Yang penting adalah bahwa kita harus
menyadari bahwa untuk pengenaan pidana itu diperlukan syarat-syarat
tertentu, dan semua syarat yang diperlukan untuk pengenaan pidana
harus lengkap adanya.120
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan serta
keadaan diri Terdakwa di dalam atau selama mengikuti persidangan,
membuktikan bahwa pada diri Terdakwa tidak didapati hal-hal yang dapat
melepaskannya dari pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pemaaf
maupun sebagai alasan pembenar sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal
44 (pelaku yang sakit/terganggu jiwanya), Pasal 48 KUHPidana (perbuatan
yang dilakukan dalam keadaan terpaksa), Pasal 49 ayat (1) KUHPidana
119
120
Ibid hal.. 25-26.
Ibid hal..26.
97
(perbuatan yang dilakukan untuk membela diri), Pasal 50 KUHPidana
(melaksankan peraturan perundang-undangan), dan Pasal 51 ayat (1)
KUHPidana (melakukan perintah jabatan yang syah), sehingga oleh karena
itu, terhadap diri Terdakwa harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana
setimpal dengan kesalahannya.
Berdasarkan Yurisprudensi MA No. 39K/Kr/1969, unsur mutlak suatu
tindak pidana adalah:
a. Memenuhi rumusan undang-undang
b. Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar)
c. Kesalahan
1) mampu bertanggung jawab;
2) tidak ada alasan pemaaf.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa perbuatan tindak pidana
apabila perbuatan itu memenuhi syarat-syarat pemidanaan, yaitu:
a. Memenuhi rumusan undang-undang;
b. Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar)
c. Terhadap pelakunya atau orangnya harus ada unsur kesalahan:
d. Orang yang melakukan tindakan mampu bertanggungjawab
e. Dolus atau Culpa (tidak ada alasan pemaaf)
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dijelaskan lebih lanjut
mengenai unsur-unsur tindak pidana, yaitu sebagai berikut:
a. Memenuhi rumusan undang-undang
Mengenai penentuan perbuatan pidana yang memenuhi rumusan
undang-undang, Indonesia menganut azas legalitas yang terdapat Pasal 1
ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang merumuskan:
98
Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan
aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada,
sebelum perbuatan dilakukan.
Roeslan Saleh memberikan komentarnya mengenai ketentuan Pasal
1 ayat (1) KUHP tersebut sebagai berikut:
Hal ini sesuai dengan pernyataan pembentuk undang-undang yang
menyatakan dalam suatu aturan perundang-undangan pidana,
sebelum dinyatakan dalam suatu peraturan perundang-undangan
pidana maka perbuatan tersebut belum dapat dikatakan perbuatan
pidana. Hal tersebut memenuhi ketentuan yang disebutkan dalam
Pasal 1 ayat (1) KUHP.121
Dengan demikian bahwa dasar pokok dalam menjatuhkan pidana adalah
norma yang tertulis. Azas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih
dahulu dalam perundang-undangan, lebih dikenal dalam bahasa latin yaitu
nullum delictum poena sine previa lege poenela (tidak ada pidana tanpa
ada peraturan lebih dulu).
Azas ini bertujuan untuk terjaminya kepastian hukum di samping
latar belakang bahwa tentu saja azas ini mencagah agar tidak terjadi
kesewenang-wenangan
penguasa
terhadap
rakyatnya.
Azas
ini
mengandung tiga pengertian:
1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau
hal itu belum dinyatakan dalam suatu peraturan perundang-undangan.
2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi (kiyas).
3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.122
Bahwa perbuatan pidana “dengan sengaja membujuk anak untuk
melakukan
persetubuhan
dengannya
yang
dilakukan
secara
berlanjut.” dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor
121
Roeslan Saleh. 1980. Op. Cit. hal. 1.
Ibid hal.. 40.
122
99
03/Pid.Sus/2012/PN. PWT. dilakukan atau terjadi setelah ditetapkannya
Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
b. Bersifat melawan hukum
Unsur pemidanaan yang kedua adalah bersifat melawan hukum,
Roeslan Saleh mengatakan bahwa:
Bersifat melawan hukum dalam Bahasa Belanda disebut dengan
istilah
“Onrechtmatigheid”
atau
bisa
dinamakan
juga
“Wederrechtelijkheid”. Mengenai unsur sifat melawan hukum,
dengan jalan menyatakan suatu perbuatan dapat dipidana maka
pembentuk undang-undang memberitahukan bahwa ia memandang
perbuatan itu sebagai bersifat melawan hukum, atau untuk
selanjutnya dipandang seperti demikian123
Menurut Pompe, dikutip oleh Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim
Barkatullah:
Melawan hukum merupakan unsur mutlak perbuatan pidana
bilamana melawan hukum secara tegas disebutkan dalam ketentuan
pidana bersangkutan. Sesungguhnya demikian, walaupun melawan
hukum bukan unsur mutlak perbuatan pidana, namun adanya hal-hal
yang menghapuskan unsur melawan hukum akan menghapuskan
pula adanya pidana.124
Menurut pendapat para ahli, sebagaimana dikutip oleh Teguh
Prasetyo, mengenai pengertian melawan hukum antara lain adalah dari:
1) Simon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum pada
umumnya.
2) Noyon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hak subjektif
orang lain.
3) Pompe: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum dengan
pengertian yang lebih luas, bukan hanya bertentangan dengan undangundang tetapi juga dengan hukum yang tidak tertulis.
4) Van hannel: Melawan hukum adalah onrechmatig atau tanpa hak/
wewenang.
123
124
Ibid hal. 1.
Ibid hal. 5.
100
5) Hoge raad: Dari arrest-arrest-nya dapat disimpulkan, menurut HR
melawan hukum adalah tanpa hak atau tanpa kewenangan..
6) Lamintang: perbedaan diantara pakar tersebut antara lain disebabkan
karena dalam bahasa Belanda recht dapat berarti hukum” dan dapat
berarti “hak.” Ia mengatakan, dalam bahasa Indonesia kata
wederrechtelijk itu berarti “secara tidak sah” yang dapat meliputi
pengertian “bertentangan dengan hukum objektif” dan “bertentangan
dengan hak orang lain atau hukum subjektif”.125
Melawan hukum artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan (melawan hukum formil) namun
apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan
rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat
(melawan hukum materil) maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Menentukan perbuatan itu dapat dipidana, pembentuk undangundang menjadikan sifat melawan hukum sebagai unsur yang tertulis.
Tanpa unsur ini, rumusan undang-undang akan menjadi terlampau luas.
Sifat ini juga dapat dicela kadang-kadang dimasukkan dalam rumusan
delik culpa.
Jika unsur melawan hukum itu dengan tegas terdapat di dalam
rumusan delik, maka unsur juga harus dibuktikan, sedangkan jika dengan
tegas dicantumkan maka tidak perlu dibuktikan. Penentuan apakah suatu
perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum diperlukan unsur-unsur:
1) Perbuatan tersebut melawan hukum;
2) Harus ada kesalahan pada pelaku;
3) Harus ada kerugian.126
Suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai
melawan hukum bukan hanya berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam
perundang-undangan melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau
125
126
Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah. 2005. Op. Cit. hal. 31-32.
Theodorus M. Tuanakotta. 2009. Op. Cit. Jakarta. hal. 73.
101
asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum dalam suatu
perkara, misalnya faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum
dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung.
Ajaran sifat melawan hukum memiliki kedudukan yang penting
dalam hukum pidana di samping asas Legalitas. Ajaran ini terdiri dari
ajaran sifat melawan hukum yang formal dan materiil, sebagaimana
dijelaskan oleh Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, sebagai
berikut:
1) Ajaran sifat melawan hukum formal
Sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik
undang undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk
dapat dipidananya perbuatan. Ajaran sifat melawan hukum formal
adalah apabila suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur yang
termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah
tindak pidana. Jika ada alasan-alasan pembenar maka alasan-alasan
tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang.
2) Ajaran sifat melawan hukum materiil
Sifat melawan hukum materiil merupakan suatu perbuatan melawan
hukum yang tidak hanya terdapat di dalam undang-undang (yang
tertulis), tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak
tertulis juga. Sifat melawan hukum itu dapat dihapuskan berdasar
ketentuan undang-undang maupun aturan-aturan yang tidak tertulis.127
Ajaran sifat melawan hukum materiil adalah memenuhi semua unsur
rumusan delik, perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan oleh
masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. karena itu
ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang,
dengan kata lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak
tertulis. Menurut D. Schaffmeister, et.al., terjemahan J. E. Sahetapy,
pengertian melawan hukum itu ada 4 kelompok yaitu:
127
Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah. 2005. Op.,cit.hal. 34-35.
102
1) Sifat melawan hukum secara umum
Semua delik tertulis atau tidak tertulis sebagai bagian inti delik dalam
rumusan delik, harus melawan hukum baru dapat dipidana, jadi tidak
perlu dicantumkan di dalam surat dakwaan adanya melawan hukum
dan juga tidak perlu dibuktikan. Contoh: pembunuhan.
2) Sifat melawan hukum secara khusus
Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 yang secara tegas
mencantumkan “melawan hukum” dengan sendirinya “melawan
hukum” harus dicantumkan di dalam surat dakwaan sehingga harus
dibuktikan adanya “melawan hukum”. Jika tidak dapat dibuktikan
putusan bebas.
3) Sifat melawan hukum secara materil
Bukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang saja,
tetapi juga perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan, kelaziman
di dalam pergaulan masyarakat dipandang sebagai perbuatan melawan
hukum.
4) Sifat melawan hukum secara formil.
Seluruh bagian inti delik apabila sudah dipenuhi atau dapat
dibuktikan, dengan sendirinya dianggap perbuatan itu telah melawan
hukum.128
Menurut Moeljatno ada perbedaan antara pandangan yang formal
dengan pandangan yang materiil, yaitu:
1) Mengakui adanya pengecualiaan/penghapusan dari sifat melawan
hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak
tertulis, sedangkan pandangan yang formal hanya mengakui
pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja, misalnya
Pasal 44 KUHP, mengenai kurang sempurnanya akal seseorang atau
karena sakit berubah akal, Pasal 48 KUHP, mengenai over macht, 49
KUHP, mengenai pembelaan terpaksa (noodweer);
2) Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan
pidana, juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsurunsur tersebut, sedang bagi pandangan yang formal, sifat tersebut
tidak selalu menjadi unsur daripada perbuatan pidana. Hanya jika
dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata-nyata, barulah menjadi
unsur delik.129
Menurut Bambang Poernomo, sifat melawan hukumnya suatu
perbuatan terdapat dua ukuran, yaitu:
128
129
D. Schaffmeister, et.al., 2003. Op. Cit. hal. 39.
Moeljatno. 1987. Op. Cit. hal. 134.
103
Sifat
melawan
hukum
yang
formal
atau
formele
wederrechttelijkheidsbegrip dan sifat melawan hukum yang materiil
atau materieele wederrechttelijkheidsbegrip. Melawan hukum formil
apabila perbuatannya dilihat semata-mata sebagai perbuatan yang
bertentangan dengan undang-undang, sesuai dengan rumus delik dan
pengecualiaannya, seperti daya paksa, pembelaan terpaksa, itu pun
karena ditentukan secara tertulis dalam undang-undang. Sebaliknya,
melawan hukum materiil, melihat perbuatan melawan hukum itu
tidak selalu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
dan suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang dapat
dikecualikan sebagai perbuatan yang tidak melawan hukum. Dengan
demikian, dalam pandangan sifat melawan hukum materiil, melawan
hukum dapat diartikan baik melawan peraturan perundangundangan, maupun hukum di luar peraturan perundang-undangan.130
Bahwa perbuatan pidana “dengan sengaja membujuk anak untuk
melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan secara berlanjut”
dalam
Putusan
Pengadilan
Negeri
Purwokerto
Nomor
03/Pid.Sus/2012/PN. PWT. merupakan perbuatan pidana yang bersifat
melawan hukum, yaitu pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 81 ayat (2)
UU No. 23 Tahun 2002 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
c. Kesalahan
Unsur pemidanaan yang ketiga adalah kesalahan yang terdiri dari
kesengajaan (dolus dan culpa) dan kemampuan bertanggung jawab. Hal
ini sesuai dengan penjelasan dari Sudarto bahwa:
Untuk memungkinkan adanya pemidanaan secara wajar, maka tidak
cukup apabila seseorang telah melakukan tindak pidana belaka. Di
samping itu pada orang tersebut harus ada kesalahan dan
kemampuan bertanggung jawab.131
130
131
Bambang Poernomo. 1994. Op. Cit.hal. 115.
Sudarto. 1991. Op. Cit, hal. 39.
104
Dipidananya seseorang tidaklah cukup orang itu telah melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan
hukum. Jadi meskipun perbuatanya memenuhi rumusan delik dalam
undang-undang dan tidak dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi
syarat untuk penjatuhan pidana.Untuk itu pemidanaan masih perlu adanya
syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai
kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Hal ini sebagaimana dikatakan
oleh Sudarto, bahwa:
Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat bahwa orang yang
melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah
(subjective guilt). Azas kesalahan (culpabilitas) menyangkut
orangnya atau pelakunya. Jadi untuk adanya pemidanaan harus ada
kesalahan pada si pembuat tindak pidana. Dalam hal ini berlaku azas
“nulla poena sine culpa” atau tidak ada pidana tanpa kesalahan132
Menurut Sudarto, kesalahan adalah keseluruhan syarat yang
memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat
tindak pidana.133 Kemudian Sudarto membagi kesalahan menjadi tiga arti,
yaitu:
1) Kesalahan dalam arti seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan
pengertian “pertanggungan jawab dalam unsur pidana” di dalamnya
terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatanya.
2) Kesalahan dalam bentuk kesalahan berupa:
a) Kesengajaan (dolus).
b) Kealpaan (culpa).
3) Kesalahan dala arti sempit yaitu kealpaan (culpa) seperti yang
disebutkan pada kesalahan dalam arti bentuk kesalahan yang berupa
kealpaan. 134
132
Ibid hal.39.
Ibid hal..41.
134
Ibid hal..45.
133
105
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dijelaskan bahwa
dalam hal kesalahan berlaku apa yang disebut atas “tiada pidana tanpa
kesalahan” (keine strafe ohne schhuld atau geen straf zonder schuld) atau
nulla poena sine culpa (“culpa” di sini dalam arti luas meliputi
kesengajaan). Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
kesalahan terdiri atas beberapa unsur ialah:
1) Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat
(Schuldfahigkeit atau Zurechnungsfahigkeit): artinya keadaan jiwa si
pembuat harus normal
2) Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatanya berupa
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa): ini disebut bentuk-bentuk
kesalahan.
3) Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan
pemaaf.
Kalau ketiga unsur ada maka orang yang bersangkutan bisa dinyatakan
bersalah atau mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga bisa di
pidana.135
Unsur mampu bertanggung jawab dan tidak ada alasan pemaaf dan
pembenar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Mampu bertanggung jawab
Sebagai dasar pertanggungjawaban adalah kesalahan yang
terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan perbuatannya
yang dapat dipidana serta berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat
dicela karena perbuatannya itu. Dengan kata lain, hanya dengan
hubungan batin inilah maka perbuatan yang dilarang itu dapat
dipertanggungjawabkan pada si pelaku.
135
Ibid hal..91
106
Berkaitan
dengan
masalah
bertanggung
jawab
Simons,
sebagaimana dikutip oleh Sudarto, menyatakan pendapatnya sebagai
berikut:
Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu
keadaan psikis sedemikian yang membenarkan adanya penerapan
sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari unsur sudut umum
maupun dari orangnya. Seseorang mampu bertanggung jawab
jika jiwanya sehat, yaitu apabila:
a) Ia mampu untuk untuk mengetahui atau menyadari bahwa
perbuatanya bertentangan dengan hukum;
b) Ia dapat menetukan kehendak sesuai dengan kesadaran
tersebut.136
Menurut Djoko Prakoso, dalam pengertian perbuatan pidana
tidak termasuk pertanggungjawaban. Djoko Prakoso mengatakan:
Orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang
mempunyai
kesalahan
merupakan
dasar
adanya
pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak tertulis
mengatakan, “tidak di ada pidana jika tidak ada kesalahan,”
merupakan dasar dari pada di pidananya si pembuat.137
Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo,
jika pada waktu melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut
dicela. Dengan demikan, menurutnya seseorang mendapatkan pidana
tergantung pada dua hal, yaitu:
a) Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau
dengan kata lain, harus ada unsur melawan hukum.jadi harus ada
unsur Obejektif, dan
b) Terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk
kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan
hukum tersebut dapat di pertanggungjawabkan kepadanya.jadi ada
unsur subjektif.138
136
Ibid hal.39.
Djoko Prakoso. 1987. Op. Cit. hal.75
138
Martiman Prodjohamidjojo. 1997. Op. Cit. hal. 31
137
107
Telah dimaklumi bahwa perbuatan pidana memiliki konsekuensi
pertanggungjawaban serta penjatuhan pidana, maka setidaknya,
menurut J.E. Sahetapy ada dua alasan mengenai hakikat kejahatan,
yakni:
a) Pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan
yang tidak senonoh yang dilakukan manusia lainya.
b) Pendekatan yang melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap
dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat.139
Kedua pendekatan ini berkembang sedemikian rupa bahkan
diyakini mewakili pandangan-pandangan yang ada seputar pidana dan
pemidanaan. Dari sinilah kemudian berbagai perbuatan pidana dapat
dilihat sebagai perbuatan yang tidak muncul begitu saja, melainkan
adalah hasil dari refleksi dan kesadaran manusia. Hanya saja
perbuatan tersebut telah menimbulkan kegoncangan sosial di
masyarakat.
Kemampuan bertanggungjawab merupakan keadaan batin dari
orang yang melakukan perbuatan pidana, hal ini sebagaimana
dijelaskan oleh Andi Hamzah bahwa:
Didalam hal kemampuan bertanggungjawab bila dilihat dari
keadaan batin orang yang melakukan perbuatan pidana
merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab dan menjadi
dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang
mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana
haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal,
sebab karena orang yang normal, sehat inilah yang dapat
mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran-ukuran yang
dianggap baik oleh masyarakat.140
139
140
J.E. Sahetapy. 1987. Victimilogy Op. Cit. hal.41-42
Andi Hamzah. 1986. Op. Cit. hal. 78
108
Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal,
maka ukuran-ukuran tersebut tidak berlaku baginya tidak ada gunanya
untuk diadakan pertanggungjawaban, sebagaimana di tegaskan dalam
ketentuan Bab III Pasal 4 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
a) Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di
pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna
akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum
b) Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungjawabkan
kepadanya karena kurang sempurna akalnya karena sakit berubah
akal maka hakim boleh memerintahkan menempatkan di di rumah
sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk di periksa.
c) Yang ditentukanya dalam ayat di atas ini, hanya berlaku bagi
Mahkamah Agung, Pengadilan Tingi dan pengadilan negeri.141
Mengenai kemampuan bertanggungjawab sebenarnya tidak
secara terperinci ditegaskan oleh Pasal 44 KUHP. Hanya ditemukan
beberapa pandangan para sarjana, misalnya Van Hammel, dikutip
oleh Andi Hamzah, yang mengatakan, orang yang mampu
bertanggungjawab harus memenuhi setidaknya 3 (tiga) syarat:
a) Dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam
kejahatan
b) Dapat menginsafi bahwa perbuatanya di pandang tidak patut
dalam pergaulan masyarakat
c) Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap
perbuatan tadi.142
Sementara itu secara lebih tegas Simons, sebagaimana dikutip
oleh Andi Hamzah, mengatakan bahwa mampu bertanggungjawab
adalah mampu menginsafi sifat melawan hukumnya perbuatan dan
sesuai dengan ke insafan itu menentukan kehendaknya. Untuk adanya
kemampuan beranggungjawab maka harus ada dua unsur yaitu:
141
142
R. Soesilo. 1995. Op.Cit, hal. 60-61
Andi Hamzah. 1986. Op.Cit, hal.79
109
a) Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik
dan buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum
b) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan
tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
Dengan kata lain, bahwa kemampuan bertanggungjawab berkaitan
dengan dua faktor terpenting, yakni pertama faktor akal untuk
membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang dilarang
atau melanggar hukum, dan kedua faktor perasaan atau kehendak
yang menetukan kehendaknya dengan menyesuaikan tingkah lakunya
dengan penuh kesadaran.143
Mengenai ketidakmampuan bertanggung jawab dengan alasan
pelaku pidana masih muda usia, Roeslan Saleh mengatakan bahwa:
Ketidakmampuan bertanggungjawab dengan alasan masih muda
usia tidak bisa di dasarkan pada Pasal 44 KUHP. Yang
disebutkan tidak mampu bertanggungjawab adalah alasan
penghapusan pidana yang umum yang dapat di salurkan dari
alasan-alasan khusus seperti tersebut dalam Pasal-Pasal 44, 48,
49, 50, dan 51. Jadi, bagi Jonkers orang yang tidak mampu
bertanggungjawab itu bukan saja karena pertumbuhan jiwanya
yang cacat atau karena gangguan penyakit, tetapi juga karena
umurnya masih muda, terkena hipnotis dan sebagainya.144
Roeslan Saleh lebih lanjut mengatakan bahwa:
Mengenai anak kecil yang umurnya masih relative muda, dalam
keadaan-keadaan yang tertentu untuk dianggap tidak mampu
bertanggungjawab haruslah didasarkan pada Pasal 44 KUHP,
jadi
sama
dengan
orang
dewasa.
Tidak
mampu
bertanggungjawab karena masih muda saja, hal itu tidak di
benarkan. Dengan demikian, maka anak yang melakukan
perbuatan pidana, tidak mempunyai kesalahan karena dia
sesungguhnya belum mengerti atau belum menginsyafi makna
perbuatan yang dilakukan. Anak memiliki ciri dan karakteristik
kejiwaan yang khusus, yakni belum memiliki fungsi batin yang
sempurna. Maka, dia tidak di idana karena tidak mempunyai
kesengajaan atau kealpaan. sebab, satu unsur kesalahan tidak ada
padanya, karenanya dia dipandang tidak bersalah, sesuai dengan
asas tidak dipidana tidak ada kesalahan, maka anak belum cukup
umur ini pun tidak dipidana.145
143
Ibid. hlm 83
Roeslan Saleh. 1983. Op.Cit hal. 83
145
Ibid. hal.84
144
110
Bahwa Terdakwa pada perbuatan pidana “dengan sengaja
membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya yang
dilakukan secara berlanjut” dalam Putusan Pengadilan Negeri
Purwokerto Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT. dipandang mampu
bertanggung jawab atas perbuatannya, karena Terdakwa dalam
kondisi normal dan sehat sebagaimana tertuang dalam BAP bahwa
ketika diperiksa Terdakwa menyatakan sehat, sadar, tidak dalam
keadaan terpaksa atau tertekan atau ditekan oleh siapapun.
2) Tidak ada alasan pemaaf dan pembenar
Alasan pembenar atau alasan pemaaf ialah sesuatu hal yang
dapat dianggap sebagai sesuatu alasan yang dianggap dapat
menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan itu, sehingga hal
itu bukan suatu peristiwa pidana meskipun perbuatan itu sesuai
dengan yang dilarang oleh undang-undang.
Berdasarkan ketentuan KUHPidana, alasan penghapus pidana ini
dirumuskan dalam buku kesatu, yaitu terdapat dalam Bab III Buku
Kesatu KUHPidana yang terdiri dari Pasal 44, Pasal 48 sampai
dengan Pasal 51. Sedangkan Pasal 45 sampai dengan Pasal 47
KUHPidana telah dicabut berdasarkan Pasal 67 Undang-undang No.
3Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
a) Pasal 44 (pelaku yang sakit/terganggu jiwanya)
Pasal 44 KUHPidana merumuskan:
1. Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat
di pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna
akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum.
111
2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungjawabkan
kepadanya karena kurang sempurna akalanya atau karena sakit
berubah akal maka hakim boleh memerintahkan dia di rumah
sakit gila selama-lamanya satu tahun untuk di perikasa.
3. Yang ditentukan dalam ayat yang di atas ini hanya berlaku
bagi mahkamah Agung, pengadilan Tinggi dan Pengadilan
Negeri.
Dalam Pasal 44 KUHPidana ini tampaknya pembentuk
undang-undang membuat peraturan khusus bagi pelaku yang tidak
dapat mempertanggungjawabkan perbuatanya, karena sakit jiwa
atau kurang sempurna akalnya pada saat perbuatan itu dilakukan.
R. Soesilo dalam hal ini menjelaskan:
Berdasarkan ayat (3) dari Pasal ini kewenangan untuk tidak
menghukum pelaku berdasarkan sakit jiwa ini hanya pada
hakim (kewenangan ini tidak ada pada polisi maupun jaksa
penuntut umum). Akan tetapi dalam menentukan apakah
pelaku menderita sakit jiwa atau sakit berubah akal, hakim
harus menggunakan saksi ahli dalam bidang ilmu kejiwaan
(psikiatri). Psikiatrilah yang menetukan apakah pelaku
memang menderita sakit jiwa yang memang mempunyai
hubungan kausal/keterkaitan dengan apa yang telah
dilakukanya itu. Meskipun demikian hakim dalam
memberikan putusanya tidaklah terkait dengan keterangan
yang diberikan oleh psikiatri, hakim dapat menerima ataupun
menolak keterangan yang diberikan psikiatri tersebut.
Penerimaan maupun penolakan hakim ini tentunya harus di
uji berdasarkan kapatutan atau kepantasan.146
b) Pasal 48 KUHPidana (perbuatan yang dilakukan dalam
keadaan terpaksa)
Pasal 48 KUHPidana merumuskan:
Barangsiapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh
sesuatu kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan, tidak boleh
dihukum.
Berdasarkan rumusan Pasal 48 KUHPidana tersebut di atas,
Utrecht memberikan pendapatnya bahwa:
146
R. Soesilo. 1995. Op.cit, hal 61
112
Pasal 48 KUHPidana ini tidak merumuskan apa yang di
maksudkan dengan “paksaan” tersebut. Akan tetapi menurut
memorie van toelechting, maka yang di maksud dengan
paksan itu adalah “ee kracht, een drang, een dwang waaraan
men geen weerstand kan bieden” (suatu kekuatan, suatu
dorongan, suatu paksaan yang tidak dapat dilawan tidak
dapat ditahan).147
Dengan demikian tidak setiap paksaan itu dapat dijadikan
alasan penghapus pidana, akan tetapi hanya paksaan yang benarbenar tidak dapat dilawan atau dielakkan lagi oleh pelaku,
sehingga oleh sebab adanya paksaan itulah ia melakuakan tindak
pidana. Paksaan mana biasa dikenal dengan istilah paksaan yang
absolute, misalnya seseorang yang di paksa untuk menandatangani
suatu pernyataan yang tidak benar, dalam keadaan tangannya yang
di pegang oleh orang lain yang lebih kuat.
c) Pasal 49 ayat (1) KUHPidana (perbuatan yang dilakukan
untuk membela diri)
Pasal 49 ayat (1) KUHPidana merumuskan:
Barangsiapa melakukan perbuatan yang terpaksa di
lakakuanya untuk mempertahankan dirinya, atau diri orang
lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri
atau kepunyaan orang lain, dari pada serangan yang melawan
hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak
boleh dihukum.
Berdasarkan rumusan Pasal 49 ayat (1) tersebut, maka
penghapusan pidana dapat dijadikan alasan apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1. Perbuatan itu dilakukan karena untuk membela/tubuh,
kehormatan atau harta benda sendiri atau pun orang lain.
2. Perbuatan itu dilakukan atas serangan yang melawan hukum
yang terjadi pada saat itu juga. Dengan kata lain perbuatan itu
dilakukan setelah adanya serangan mengacam, bukan
147
Utrecht. 1986. Op. Cit. hal. 350
113
perbuatan yang ditujukan untuk mempersiapkan sebelum
adanya atau terjadinya serangan dan bukan pula terhadap
serangan yang telah berakhir.
3. Perbuatan sebagai perlawanan yang dilakukan itu harus benarbenar terpaksa atau dalam kedaan darurat; tidak ada pilihan
lain (perlawanan itu memang suatu keharusan) untuk
menghindari dari serangan yang melawan hukum terebut.
Dengan kata lain perbuatan pelaku dalam hal ini di perlukan
adalah untuk membela hak terhadap keadilan, namun harus
pula dilakukan secara proporsional/seimbang. Dengan
demikian tidaklah dapat di benarkan untuk melakukan
perlawanan dengan menggunakan pistol terhadap serangan
melawan hukum yang hanya menggunakan tangan kosong.148
Pasal 49 ayat (2) KUHPidana (pembelaan diri yang
melampaui batas) merumuskan:
Melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, jika perbutan
dengan sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan
tergoncang dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh
dihukum.
Berkenaan dengan tindakan pembelaan yang melampaui
batas, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP,
R. Soesilo memberikan penjelasan bahwa:
Dalam hal ini hakimlah yang berperan dalam menentukan
apakah benar terdapat hubungan kausal antara suatu peristiwa
yang mengakibatkan kegoncangan jiwa pelaku sehingga ia
melakukan suatu pembelaan yang melampaui batas,
sedangkan perbuatan itu sesungguhnya merupakan tindak
pidana. Jadi sebenarnya perbuatan itu tetap merupakan
perbuatan yang melawan hukum , akan tetapi pelakunya di
nyatakan tidak bersalah, keselahan nya di hapuskan.149
d) Pasal 50 KUHPidana (melaksankan peraturan perundangundangan)
Pasal 50 KUHPidana merumuskan:
Barang siapa yang melakukan perbuatan untuk menjalankan
peraturan undang-undang tidak boleh dihukum.
148
149
R. Soesilo. 1995. Op.cit. hlm 64-65
Ibid. hal. 64-65
114
Pasal 50 KUHPidana mengindikasikan bahwa perbuatan
yang dilakukan oleh seseorang yang karena menjalankan perintah
undang-undang, meskipun merupakan tindak pidana, maka atas
orang terebut tidak boleh dihukum. R. Soesilo dalam hal ini
menjelaskan bahwa:
Dalam penjelasan Pasal ini menentukan pada prinsipnya
orang yang melakukan suatu perbuatan meskipun itu
merupakan tindak pidana, akan tetapi karena dilakukan
berdasarkan perintah undang-undang maka si pelaku tidak
boleh dihukum. Asalkan perbuatanya itu memang dilakukan
untuk kepentingan umum, bukan untuk kekpentingan pribadi
pelaku. Masalahnya adalah apakah yang di maksud dengan
undang-undang tersebut, dan apakah juga termasuk perturan
perundang-undangan yang sebenarnya tidak sah karena
bertentangan dengan undang-undang yang diatasnya (secara
hirarkhis). Demikian pula, dalam hal menjalankan perintah
undang-udnag ini harus dilakukan secara proporsional
/seimbang misalnya seorang Polisi yang menembak seorang
penjahat (kambuhan) dapat di benarkan dari pada ia
menembak seorang yang hanya untuk mengehentikan orang
yang melanggar rambu-rambu lalu lintas yang melarikan
diri.150
e) Pasal 51 ayat (1) KUHPidana (melakukan perintah jabatan
yang syah)
Pasal 51 ayat (1) KUHPidana merumuskan:
Barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan
perintah jabatan yang di berikan oleh kuasa yang berhak akan
tidak boleh dihukum.
Pasal 51 ayat (1) KUHPidana berarti bahwa seseorang yang
karena kedudukannya menjalankan tugas sesuai dengan perintah
jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak, maka orang
tersebut tidak boleh dipirana, hal ini sebagaimana dijelaskan oleh
R. Soesilo yang mengatakan bahwa:
150
Ibid. hal. 66
115
Dengan kata lain yang memberikan perintah adalah orang
yang berwenang/berhak (perintah yang sah dari yang
berwenang) dan yang diperintah melaksanakanya karena
sesuai dengan atau berhubungan dengan pekerjaanya. Suatu
hal yang tidak boleh dilupakan bahwa dalam hal
melaksanakan perintah jabatan ini, juga harus di perhatikan
asas keseimbangan, kepatutan, kelayakan dan tidak boleh
melampaui dari batas keputusan dari orang yang
memerintah.151
Pasal 51 ayat (2) KUHPidana (melakukan perintah jabatan
yang tidak syah di anggap syah) merumuskan:
Perintah jabatan yang di berikan oleh kuasa yang tidak
berhak tidak membebaskan dari hukuman, kecuali jika
pegawai yang di bawahnya atas kepercayaan memandang
bahwa perintah itu seakan-akan di berikan oleh kuasa yang
berhak dengan sah dan menjalankan perintah itu menjadi
kewajiban pegawai yang di bawah pemerintah tadi.
Dalam hal ini ada alasan pemaaf dapat menghapuskan
kesalahnnya (kesalahan yang di bebankan kepada orang yang
memberi perintah). Dengan kata lain pelaku yang melaksanakan
perintah yang tidak sah, dapat di hapuskan pidananya apabila
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
(1) Perintah itu dipandangnya sebagai perintah yang syah
(2) Dilakukan dengan itikad baik
(3) Pelaksanaanya dalam ruang lingkup tugas-tugasnya (yang
biasanya ia lakukan).
Sebaliknya jika perintah itu tidak meliputi ruang lingkup tugastugasnya yang biasa ia lakukan ,maka itikad baiknya dalam
melakukan perintah itu di ragukan . jadi dalam hal ini (pembuat)
undang-undang menjaga “kepatutan buta” dari orang yang
mendapatkan tugas atau yang menerima perintah yang dapat
membawa akibat pemidanaan terhadap dirinya sendiri. dengan
kata lain seseorang menerima perintah atau tugas dari seorang
atasan haruslah waspada dan teliti.152
151
152
Ibid. hal. 66-67
Ibid. hal. 67
116
Terdakwa
pada
perbuatan
pidana
“dengan
sengaja
membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya
yang dilakukan secara berlanjut” dalam Putusan Pengadilan
Negeri Purwokerto Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT. merupakan
perbuatan pidana yang tidak ada alasan pembenar maupun alasan
pemaaf yang dapat membebaskannya dari sifat melawan hukum
perbuatan itu. Selama persidangan, Hakim tidak menemukan halhal yang dapat melepaskan terdakwa dari pertanggungjawaban
pidana, baik berdasarkan alasan pembenar maupun alasan pemaaf,
oleh karena itu terdakwa harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi
hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.
Perbuatan Terdakwa tidak ada alasan pemaaf dan alasan
pembenar, karena Terdakwa melakukan tindakan “dengan
sengaja membujuk anak untuk melakukan persetubuhan
dengannya yang dilakukan secara berlanjut” tersebut:
(1) Dalam keadaan sehat dan tidak sakit/terganggu jiwanya
(Pasal 44 KUHP)
(2) Perbuatan yang dilakukan tidak dalam keadaan terpaksa
(Pasal 48 KUHP)
(3) Perbuatan yang dilakukan tidak dalam rangka untuk membela
diri (Pasal 49 ayat (1) KUHP)
(4) Perbuatan yang dilakukan tidak dalam rangka melaksankan
peraturan perundang-undangan (Pasal 50 KUHP)
(5) Perbuatan yang dilakukan tidak dalam rangka melakukan
perintah jabatan yang syah (Pasal 51 ayat (1) KUHP).
117
Apabila ketiga syarat pemidanaan tersebut di atas, baik memenuhi
rumusan undang-undang, bersifat melawan hukum, serta unsur kesalahan,
dipenuhi oleh si pelaku tindak pidana, maka pidana dapat dijatuhkan
berdasarkan ketentuan dalam KUHP. Jika ada perbuatan yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan lainnya, maka aturan dalam KUHP dapat
dikesampingkan.
Dalam hal hakim menjatuhkan pidana setelah semua unsur-unsur tindak
pidana terpenuhi, maka penjatuhan pidana tersebut harus memenuhi
sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti. Hal ini sebagaimana diatur dalam
Pasal 183 KUHAP yang menegaskan bahwa:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Adapun alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP adalah sebagai
berikut:
(1) Alat bukti yang sah ialah:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Surat putusan pemidanaan yang dijatuhkan oleh Hakim berdasarkan
Pasal 197 KUHAP adalah memuat hal-hal sebagai berikut:
(1) Surat putusan pemidanaan memuat:
a. kepala putusan yang dituliskan merumuskan: "DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
118
c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan
keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di
sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;
e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
pemidanaan atau tindakan dan Pasal peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang
memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali
perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua
unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya
dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan
menyebutkanjumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang
bukti;
j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di
mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap
palsu;
k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau
dibebaskan;
l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang
memutus dan nama panitera;
(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i,
j, k dan l Pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undangundang ini.
Ketiga unsur tindak pidana, dalam kasus tindak pidana “dengan sengaja
membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya yang
dilakukan secara berlanjut” sebagaimana termaktup dalam Putusan
Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT., yaitu
memenuhi rumusan undang-undang, bersifat melawan hukum, serta unsur
kesalahan telah terpenuhi, maka hakim memutuskan bersalah kepada
Terdakwa dengan alat alat bukti yang sah, sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 184 KUHAP, yaitu:
119
a.
Alat bukti keterangan saksi, dimana atas keterangan para saksi tersebut,
Terdakwa membenarkan dan tidak keberatan.
b.
Alat bukti keterangan Terdakwa, dimana Terdakwa mengakui
kesalahannya dan telah meminta maaf kepada pihak keluarga, menyesali
perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya, sehingga
memohon hukuman yang seringan-ringannya.
c.
Alat bukti surat yaitu Visum et Repertum, dimana atas pembacaan Visum
et Repertum tersebut, Terdakwa menyatakan tidak keberatan.
Antara keterangan para saksi, keterangan Terdakwa dan hasil Visum et
Repertum mempunyai hubungan yang erat dan saling bersesuaian, sehingga
dapat disimpulkan bahwa kerusakan pada organ vital korban GL atau selaput
dara korban GL yang luka robek lama total (habis) dan kehamilan yang
berusia kurang lebih 15 minggu adalah akibat perbuatan Terdakwa yang
menyetubuhi korban GL dengan membujuk korban GL untuk melakukan
persetubuhan dengannya dan dilakukan secara berlanjut.
Dasar pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara, maka dalam
menjatuhkan pidana hakim harus memperhatikan dasar mengadili, memutus
dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dasar
mengadili diatur dalam Pasal 84 KUHAP yang merumuskan bahwa:
(1) Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak
pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya.
(2) Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat
tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya
berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman
sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan
negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam
daerahnya tindak pidana itu dilakukan.
120
(3) Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam
daerah hukum pelbagai pengadilan negeri, maka tiap pengadilan negeri
itu masing-masing berwenang mengadili perkara pidana itu.
(4) Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut
pautnya dan dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum pelbagai
pengadilan negeri, diadili oleh masing-masing pengadilan negeri dengan
ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut.
Dasar memutus suatu perkara adalah sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah dan dari alat bukti tersebutlah hakim memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar dilakukan oleh terdakwa, hal ini
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 183 KUHAP sebagai berikut:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Dasar memutus suatu perkara pidana harus memuat Pasal peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan dan disertai dengan
keadaan yang memberatkan dan meringankan. Pasal 197 (1) huruf f KUHAP
merumuskan:
Surat putusan pemidanaan memuat pasal peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai
keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa
Dasar memutus suatu perkara harus memuat alasan dan dasar putusan
serta pasal tertentu dari peraturan perundangan yang dijadikan dasar untuk
mengadili, hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 50 UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yang merumuskan:
(1) Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga
memuat Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili.
(2) Tiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh ketua serta hakim
yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang.
121
Berdasarkan Putusan Perkara Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT.
diketahui bahwa tindak pidana dengan sengaja membujuk anak melakukan
persetubuhan dengannya yang dilakukan secara berlanjut terjadi di
wilayah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto, maka berdasarkan Pasal 84
KUHAP Pengadilan Negeri Purwokerto yang berwenang mengadili dan
memutus perkara tersebut.
Berdasarkan Pasal 183 KUHAP, dasar memutus suatu perkara adalah
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dalam perkara ini alat bukti
yang sah adalah:
a. Keterangan para saksi
b. Keterangan terdakwa
c. Hasil Visum et Repertum
Berdasarkan Pasal 197 (1) huruf f KUHAP dan Pasal 50 UU No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka pasal peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan adalah Pasal 81 ayat
(2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 64 ayat (1)
KUHP, yaitu “dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan
dengannya yang dilakukan secara berlanjut”.
Sebelum menjatuhkan pidana terlebih dahulu dipertimbangkan hal-hal
yang memberatkan dan yang meringankan. Hal-hal yang memberatkan
adalah:
a. Perbuatan Terdakwa merusak masa depan saksi korban GL
b. Perbuatan Terdakwa merendahkan martabat kaum perempuan
c. Perbuatan Terdakwa dilakukan terhadap orang yang seharusnya
dilindungi.
122
Adapun hal-hal yang meringankan adalah:
a. Terdakwa belum pernah dihukum
b. Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya
c. Terdakwa bersikap sopan di persidangan.
Perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa MUHAJIR RASYID bin
ROSIDI terhadap saksi korban GL sangat dicela oleh masyarakat. Namun
demikian, tujuan pemidanaan bukanlah semata-mata merupakan pembalasan
melainkan sebagai usaha preventif dan represif agar Terdakwa bisa
merenungkan perbuatan selanjutnya. Lebih tegasnya, hukuman yang
dijatuhkan bukan untuk menurunkan derajat manusia, akan tetapi bersifat
edukatif, motivatif agar Terdakwa tidak mengulangi perbuatan tersebut, serta
preventif agar mempunyai deterent efect bagi masyarakat lainnya.
Terdakwa telah ditahan menurut tata cara yang sah oleh pejabat yang
berwenang untuk itu, maka terhadap masa penahanan yang telah dijalani oleh
Terdakwa, akan dikurangkan seluruhnya dari lamanya pidana yang akan
dijatuhkan. Mengingat ketentuan Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, dan
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dalam perkara ini, maka
Majelis Hakim mengadili:
a. Menyatakan Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ” dengan sengaja
membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan
secara berlanjut”
b. Menjatuhkan terhadap Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI
tersebut dengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun dan denda
sebesar Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan
apabila denda tersebut tidak dibayar oleh Terdakwa diganti dengan pidana
kurungan selama 6 (enam) bulan.
123
c. Menetapkan lamanya Terdakwa ditahan dalam Rumah Tahanan Negara
dikurangkan seluruhnya dai pidana yang dijatuhkan.
d. Menetapkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan.
e. Menyatakan barang bukti berupa:
1) 1 (satu) buah kaos warna putih bergambar kumbang
2) 1 (satu) buah rok warna hitam
Dikembalikan kepada GL
f. Menetapkan agar Terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp
2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).
Masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan, hal ini telah sesuai dengan Ketentuan
Pasal 22 ayat (4) KUHAP yang merumuskan:
Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari
pidana yang dijatuhkan
Sesuai pula dengan ketentuan Pasal 33 KUHP yang merumuskan:
(1) Hakim dalam putusannya boleh menentukan bahwa waktu terpidana ada
dalam tahanan sementara sebelum putusan menjadi tetap, seluruhnya atau
sebagian di potong dari pidana penjara selama waktu tertentu dari pidana
kurungan atau dari pidana denda yang dijatuhkan kepadanya; dalam hal
pidana denda dengan memakai ukuran menurut Pasal 31 ayat 3.
(2) Waktu selama seorang terdakwa dalam tahanan sementara yang tidak
berdasarkan surat perintah, tidak dipotong dari pidananya, kecuali jika
pemotongan itu dinyatakan khusus dalam putusan hakim.
(3) Ketentuan Pasal ini berlaku juga dalam hal terdakwa oleh sebab dituntut
bareng karena melakukan beberapa tindak pidana, kemudian dipidana
karena perbuatan lain daripada yang didakwakan kepadanya waktu
ditahan sementara.
124
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai tindak pidana
membujuk anak melakukan persetubuhan yang dilakukan secara berlanjut,
sebagaimana telah ditetapkan dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto
Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT., maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Perbuatan Terdakwa MUHAJIR RASYID bin ROSIDI yang melakukan
tindak pidana membujuk anak melakukan persetubuhan yang dilakukan
secara berlanjut terhadap korban GL yang berumur 14 tahun, memenuhi
unsur-unsur Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 jo Pasal 64 ayat (1)
KUHP, yaitu:
a. Unsur barangsiapa, yaitu MUHAJIR RASYID bin ROSIDI
b. Unsur dengan sengaja, yaitu dengan sengaja telah melakukan
persetubuhan dan mengetahui bahwa perbuatan tersebut dilarang oleh
undang-undang serta bertentangan dengan norma agama.
c. Unsur melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk
anak, yaitu GL dengan mengatakan kalau mau berhubungan akan
dibelikan baju baru dan siap bertanggung jawab apabila hamil dengan
menikahinya.
d. Unsur melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, yaitu
pada tanggal 01 Agustus 2011, 15 Agustus 2011, 19 Agustus 2011, 20
Agustus 2011, 22 Agustus 2011, dan 23 Agustus 2011 di rumah
Terdakwa Desa Dawuhan Wetan RT 05/03 Kecamatan Kedunganteng,
Kabupaten Banyumas, dan 3 (tiga kali) di Lampung pada awal September
2011 Terdakwa telah melakukan persetubuhan dengan saksi korban GL
dengan cara memasukkan alat kelaminnya ke dalam kemaluan korban
sampai mengeluarkan sperma.
e. Unsur melakukan beberapa perbuatan perhubungan, sehingga dengan
demikian harus dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan atau
berlanjut, yaitu persetubuhan pertama pada tanggal 1 Agustus 2011,
persetubuhan ke dua tanggal 15 Agustus 2011, persetubuhan ke tiga
125
tanggal 19 Agustus 2011, persetubuhan ke empat tanggal 20 Agustus
2011, persetubuhan ke lima tanggal 22 Agustus 2011, persetubuhan ke
enam tanggal 23 Agustus 2011 semuanya dilakukan di rumah Terdakwa
Desa Dawuhan Wetan RT 05/03 Kecamatan Kedunganteng, Kabupaten
Banyumas, sedangkan persetubuhan ke tujuh, ke delapan, dan ke
sembilan dilakukan di Lampung.
2. Pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Purwokerto dalam menjatuhkan
pidana pada perkara Nomor 03/Pid.Sus/2012/PN. PWT. adalah:
a.
b.
c.
d.
Keterangan saksi
Keterangan Terdakwa
Visum et Repertum
Antara keterangan para saksi, keterangan Terdakwa dan hasil Visum et
Repertum mempunyai hubungan yang erat dan saling bersesuaian.
e. Terpenuhinya unsur-unsur Pasal 81 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 jo
Pasal 64 ayat (1) KUHP
f. Terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana, yaitu:
1) Unsur memenuhi rumusan undang-undang
2) Unsur bersifat melawan hukum
3) Unsur kesalahan, yang terdiri dari unsur:
a) Mampu bertanggung jawab
b) Tidak ada alasan pemaaf dan pembenar
g. Pertimbangan hal-hal yang memberatkan dan meringankan
B. Saran
Tindak pidana perkosaan atau pemaksaan untuk melakukan persetubuhan
sangat mencemaskan terlebih kalau korbannya adalah anak-anak yang masih di
bawah umur, sebab hal ini akan mempengaruhi psikologis perkembangan anak
dan menimbulkan trauma seumur hidup. Majelis Hakim dalam menjatuhkan
putusan pidana dengan vonis yang maksimal sesuai dengan ancaman dalam
pasal-pasal yang didakwakan, hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi
si pelaku dan pembelajaran bagi masyarakat luas.
126
DAFTAR PUSTAKA
Buku Teks:.
Hamzah, Andi dan Siti Rahayu. 1985. Suatu Tinjauan Ringkas tentang Sistem
Pemidanaan di Indonesia. Gramedia. Jakarta.
Hamzah, Andi. 1986. Bunga Rampai HUkum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia
Indonesia. Jakarta.
Huraerah, Abu. 2006. Child Abuse (Kekerasan Terhadap Anak). Nuansa. Bandung.
Jonkers, J,E. 1987. Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda. Bina Aksara.
Jakarta.
Kansil, C.S.T.. 1989. Pengantar Ilmu Hukum Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.
Kanter, E.Y. dan S R Sianturi. 1982. Azas-azas Hukum Pidana Indonesia dan
Penerapannya. Rineka Cipta. Jakarta.
Kartono, Kartini. 1990. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Mandar Maju. Bandung.
Lamintang, P.A.F. 1994. Hukum Penitensier Indonesia. Armico. Bandung.
1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya Bakti.
Bandung.
Luhulima, Achie Sudiarti. 2000. Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan
Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya. Alumni. Bandung
Marjuki, Peter Mahmud. 2006. Penelitian Hukum. Prenada Media Group. Jakarta.
Moeljatno. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum
Pidana Cetakan Pertama. Bina Aksara. Yogyakarta.
1987. Azas-Azas Hukum Pidana Indonesia. Bina Aksara. Jakarta
Poernomo, Bambang. 1994. Asas-asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Prakoso, Djoko. 1987. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Edisi Pertama. Liberty
Yogyakarta. Yogyakarta.
Prasetyo, Teguh dan Abdul Hakim Barkatullah. 2005. Politik Hukum Pidana Kajian
Kebijakan Kriminalisasai dan Deskriminalisasi. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta. 31-32.
127
Prodjodikoro, Wirjono. 1986. Tindak-tindak Piadana Tertentu di Indonesia. Eresco.
Bandung.
Prodjohamidjojo, Martiman. 1997. Memahami dasar-dasar hukum Pidana Indoesia.
PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Sahetapy, J.E. 1987. Victimilogy Sebuah Bunga Rampai.Pustaka sinar Harapan.
Jakarta.
Saleh, Roeslan. 1980. Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan Penjelasanya.
Aksara Baru. Jakarta
1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua
Pengertian Dalam Hukum Pidana. Aksara Baru. Jakarta.
1987. Stelsel Pidana Indonesia. Aksara Baru. Jakarta.
Samosir, C. Djisman. 1983. Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru. Bandung.
Schaffmeister, D., et.al., 2003. Hukum Pidana. Diterjemahkan oleh J. E. Sahetapy.
Cet. Kedua. Liberty. Yogyakarta.
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metode Penelitian Hukum. Ghalia Indonesia.
Jakarta.
Soesilo, R. 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politea. Bogor.
Sudarto, 1983. Hukum Pidana dan Pembangunan Masyarakat. Sinar Baru. Bandung.
1991. Hukum Pidana Jilid I A-B. Fakultas Hukum Unsoed. Purwokerto.
Tuanakotta, Theodorus M. 2009. Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam
Tindak Pidana Korupsi.Salemba Empat. Jakarta.
Utrecht. 1986. Hukum Pidana II. Pustaka Tinta Emas. Surakarta.
Wahid, Abdul dan Muhammad Irvan. 2001. Perlindungan Terhadap Korban
Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan). Refika
Aditama. Bandung.
Peraturan Perundang-undangan:
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
128
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Sumber Lain-lain:
Chazawi, Adami. 2009. Tindak Pidana Pornografi (Penyerangan terhadap
Kepentingan Hukum Mengenai Tegaknya Tatanan Kehidupan Akhlak dan
Moral Kesusilaan yang Menjunjung Tinggi Nilai-nilai Ketuhanan Yang
Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab), PMN, Surabaya.
Ekotama, Suryono, Harum Pudjiarta dan Widiartana. 2001. Abortus Provocatus,
Bagi Korban Perkosaan Perspektif: Viktimologi dan Widiartana.
Universitas Atmajaya Yogyakarta. Yogyakarta.
Febrianto, Tri Bowo Hersandy. 2010. Skripsi: Tindak Pidana Perkosaan Terhadap
Anak Di Bawah Umur. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”.
Jakarta.
Hamdan, M.. 2008. Pembaharuan Hukum Tentang Alasan Penghapusan Pidana.
Jurnal Hukum Fakultas Hukum USU. Medan Desember 2008
Sudaryono dan Natangsa Surbakti. 2005. Buku Pegangan Kuliah Hukum Pidana.
UNS. Surakarta.
Tangkau, Hans C.. 2007. Karya Tulis Ilmiah. Gabungan Beberapa Perbuatan
Pidana Dan Masalah Penghukumannya. Fakultas Hukum. Universitas Sam
Ratulangi Manado.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Bahasa. 1989. Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka. Jakarta.
W.J.S. Poerwodarminta. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia Balai Pustaka.
Jakarta.
129
Website:
Ardi,
Sam. 2011. Zina: Kejahatan Tanpa Korban. diakses
http://www.foxitsoftware.com pada tanggal 2 September 2012.
melalui
Prayudi, Guse. 2011. Kejahatan Persetubuhan Menurut Hukum Positif Indonesia.
diakses
melalui
http://www.scribd.com/doc/34683241/KejahatanPersetubuhan-Menurut-Hukum-Positif-Indonesia. pada tanggal 1 September
2012.
Prayudi, Guse. 2012. Perbuatan Berlanjut (Voortgezette Handeling) (Suatu Bentuk
Khusus
Tindak
Pidana).
Diakses
melalui.
http://www.scribd.com/doc/34963208/Perbuatan-Berlanjut-VoortgezetteHandel-Ing pada tanggal 3 September 2012
S.
Iin.
2010. Definisi Kekerasan Terhadap Anak.
http://iin.green.web.id. Pada tanggal 4 September 2012.
Diakses
melalui
130
d.
Unsur melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, yaitu
pada tanggal 01 Agustus 2011, tanggal 15 Agustus 2011, tanggal 19
Agustus 2011, tanggal 20 Agustus 2011, tanggal 22 Agustus 2011, tanggal
23 Agustus 2011 di rumah Terdakwa Desa Dawuhan Wetan RT 05/03
Kecamatan Kedunganteng, Kabupaten Banyumas, Terdakwa telah
melakukan persetubuhan dengan saksi korban GITA LUSIANA dengan
cara awalnya Terdakwa menciumi bibir dan meremas-remas payudara
korban, karena alat kelamin Terdakwa sudah tegang, lalu membuka pakaian
korban hingga telanjang, selanjutnya Terdakwa melepas pakaiannya sendiri
hingga telanjang, lalu Terdakwa menjilati puting payudara korban,
kemudian Terdakwa memasukkan alat kelaminnya yang sudah tegang ke
dalam kemaluan saksi korban, dengan posisi korban di bawah dan Terdakwa
di atas sambil menggoyang-goyangkan kemaluannya hingga Terdakwa puas
dan mengeluarkan sperma.
Download