BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem politik demokrasi modern menempatkan sebuah partai politik sebagai salah satu instrumen penting dalam pelaksanaan sistem pemerintahan. Demokrasi modern mengharapkan adanya sebuah sistem yang disebut dengan keterwakilan (representativeness). Keterwakilan tersebut menyangkut keterwakilan dalam lembaga formal kenegaraan seperti parlemen (DPD/DPRD) maupun keterwakilan aspirasi masyarakat dalam institusi kepartaian. Keberadaan, kinerja dan fungsi partai politik yang begitu signifikan merupakan instrumen penting tentang bagaimana demokrasi berkembang di suatu negara. Meskipun partai politik bukan merupakan badan pelaksana dari suatu pemerintahan, namun keberadaannya akan mempengaruhi bagaimana dan kearah mana pelaksanaan pemerintahan tersebut dijalankan. Status dan peran partai politik dalam sistem politik demokrasi modern erat kaitannya dengan proses interaksi yang terjadi antara negara dengan masyarakat dalam wujud kebijakan publik. Menurut Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam No Easy Choice , salah satu bentuk dari partisipasi politik adalah mempengaruhi keputusan yang diambil oleh pemerintah (Huntington dan Nelson dalam Budiardjo, 1985: 2). Partisipasi tersebut bisa bersifat individu atau kolektif, terorganisir maupun spontan, manatap atau sporadis, secara damai atau kekerasan, legal atau tidak legal, efektif maupun tidak . Lembaga legislatif merupakan lembaga yang bertugas mewakili rakyat dalam menyampaikan aspirasi dan pendapat rakyat. Keputusan yang akan dibuat dan diambil oleh badan legislatif haruslah melalui proses yang cukup panjang. Adanya berbagai pendapat dari para anggota dewan, akhirnya membuat sebuah usulan menjadi sangat variatif. Namun terkadang ada tujuan dari usulan-usulan yang pada awalnya disampaikan sangat berbeda dengan hasil musyawarah mengenai usulan tersebut. 1 2 Hal semacam inilah yang tentu mengecewakan dan akan menimbulkan rasa tidak puas bagi para anggota yang sudah memberikan usulan. Dari sinilah seharusnya ada sejumlah orang yang paham benar akan sebuah usulan yang pada akhirnya nanti hasil yang dicapai sesuai dengan tujuan semula dibuatnya usulan tersebut. Hal ini berlaku pula jika usulan-usulan tersebut menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan perempuan. Jika usulan yang diajukan adalah tentang sesuatu yang dihadapi oleh perempuan maka tentunya akan lebih baik jika perempuan ikut bereperan dalam usulan tersebut dan ikut menentukan kebijakan yang akan diambil. Kurangnya jumlah perempuan yang terlibat penuh dalam bidang legislatif dapat berakibat tidak terselesaikannya masalah-masalah yang dihadapi oleh kaum perempuan yang hanya bisa dipahami dan dimengerti oleh perempuan saja. Keterwakilan perempuan di bidang legislatif bukan hanya masalah kesetaraan dan keadilan gender antara perempuan dan laki-laki saja. Dengan adanya keterwakilan perempuan diharapkan akan melahirkan keputusankeputusan yang tidak bias gender serta agar peremuan dapat berperan aktif dalam pembangunan. Namun pada kenyataannya, berbagai macam data menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan di lembaga legislatif masih rendah. Pada tahun 1990 sebanyak 11%, tahun 2004 sebanyak 8% dan pada tahun 2009 sebanyak 18% (Yayasan Jurnal Perempuan, 2014: 4). Hal ini terjadi karena masih adanaya hambatan baik yang bersifat kultural, struktural, maupun ekonomi yang menghadang perempuan. Walupun sistem kuota sudah diberlakukan, akan tetapi keterwakilan perempuan masih rendah. Menjelang pemilu 2009 dikeluarkanlah Undang-Undang No. 2 tentang partai politik dan Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif ditegaskan bahwa partai politik harus menempatkan sedikitnya 30% perempuan dalam kepengurusan partai. Menghadapi pemilu tahun 2014, kedua UU tersebut mengalami revisi menjadi UU No. 8 tahun 2012 dan UU No. 2 tahun 2011 tentang partai politik di mana partai politik harus mengikutsertkan 30% perempun dalam proses pemilihan anggota DPR/D. Hal ini diperkuat lagi dengan ketentuan model 3 zipper yang memastikan adanya calon perempuan dalam setiap tiga calon ditegaskan dalam pasal 56 ayat 2. Kebijakan afirmasi ini mendapatkan penguatan dalam pelaksanaannya dengan dikeluarkannya peraturan No.7/2013 Pasal 27 yat 2 (b) oleh Komite Pemilihan Umum (KPU) yang memberlakukan sanksi pada partai politik yang tidak memenuhi kuota 30 % caleg perempuan. Menurut ketentuan KPU ini jika kuota 30 % ini tidak terpenuhi maka partai akan ditolak dan dihapuskan dari pemilihan terkait. Dari sini, setiap partai dituntut untuk mau tidak mau harus memenuhi kuota 30 persen caleg perempuan yang telah ditetapkan oleh KPU. Pemilu legislatif tahun 2014 yang lalu merupakan salah satu agenda pemilu yaitu untuk memilih calon legislatif (caleg) sebagai anggota DPR/DPRD tingkat provinsi maupun kabupaten/kota se-Indonesia . Pemilu 9 April 2014 lalu yang dimenangkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) membuat partai ini menempatkan kadernya yang cukup banyak di lembaga legislatif. Berdasarkan data dari KPU Kota Surakarta dalam pemilu legislatif di Kota Surakarta dari 437 bakal calon legislatif bersaing secara ketat untuk memperebutkan 45 kursi di DPRD Kota Surakarta. Ada 12 parpol yang ikut berpartisipasi dalam Pemilihan Legislatif tahun 2014 di Kota Surakarta. Kedua belas parpol antara lain Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Kesejahteraan Sosial (PKS), Partai Nasdem, Partai Amanat Nasional ( PAN ) , Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrat, Partai Gerakan Indonesia Raya ( Gerindra ), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Partai yang mendaftarkan bacaleg maksimal yaitu 45 bacaleg antara lain Partai Nasdem, PDIP, PKS, PAN, Partai Golkar dan Partai Gerindra. Sedangkan PBB mendaftrakan 18 bacaleg, Partai Demokrat 34 bacaleg, PPP 34 bacaleg, PKPI 13 bacaleg, PKB 29 bacaleg dan Partai Hanura 39 bacaleg. Total bacaleg semuanya adalah 437 bacaleg, terdiri 266 bacaleg laki-laki dan 171 bacaleg perempuan. Jika dipresentasekan jumlah laki-laki adalah sebesar 60,87% dan jumlah perempuan adalah sebesar 39, 13%. 4 Setelah proses pemilu berlangsung, 45 calon legislatif terpilih anggota DPRD Kota Surakarta periode 2014-2019. Mereka yang terdiri atas 37 pria dan 8 perempuan itu, berasal dari PDI-P, PKS , PAN , Partai Golkar, Partai Demokrat, Gerindra , Partai Hanura dan PPP . Secara perolehan, PDIP menempatkan 24 kadernya untuk menduduki kursi dewan yang terdiri dari 19 laki-laki dan lima perempuan. Sementara PKS dengan lima kader yang terdiri dari lima laki-laki, lalu PAN mendapatkan jatah empat kursi yang terdiri dari empat laki-laki, Partai Golkar empat kursi yang terdiri dari tiga laki-laki dan satu perempuan. Partai Demokrat dengan tiga kursi yang terdiri dari dua laki-laki dan satu perempuan, Partai Gerindra juga tiga kursi yang terdiri dari dua laki-laki dan satu perempuan, Sedangkan Partai Hanura dan PPP menempatkan satu wakilnya di kursi DPRD Kota Surakarta. Dari sini dapat dilihat, jumlah perempuan yang duduk sebagai anggota legislatif hanya 8 orang saja dari 45 caleg yang terpilih. Jika dipresentasekan maka hanya 18 % saja perempuan yang lolos sebagai caleg dan ini masih jauh dari kuota yang ditetapkan pemerintah yaitu sebesar 30%. Politik yang selama ini dianggap dunianya lelaki akhirnya mulai luntur. Perempuan berani tampil untuk bisa masuk ke dunia politik dan mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara. Perempuan yang menjadi aktor politik sebenarnya bukanlah fenomena baru di Indonesia. Sejarah Indonesia membuktikan bahwa banyak pemimpin dan pejuang perempuan yang dengan berani tampil menghadapi para penjajah seperti Cut Nya Dien dan Cut Meutia dari Aceh serta Nyai Ageng Serang dari Jawa Tengah. Pada saat itu mereka tidak memperjuangkan kesetaraan gender seperti halnya gerakan perempuan masa kini. Namun, apa yang mereka lakukan mencerminkan tindakan emansipatoris bahwa perempuan bisa seperti laki-laki yang dapat berperan penting dalam ranah publik, bahkan melakukan sesuatu yang secara tradisi dan budaya dianggap sebagai peran eksklusif laki-laki saja yaitu perang. Status yang setara bagi perempuan dan peluang mereka dalam aktivitasaktivitas politik sebenarnya telah mendapat dasar yuridis dalam UUD RI 1945. Pasal 28C ayat 2 menyebutkan, “setiap orang berhak memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa 5 dan negaranya.” Ini berarti, perempuan juga merupakan subjek pembangunan, sehingga berhak atas partisipasi dalam pengambilan keputusan serta menetapkan kebijakan publik dalam rangka menyukseskan pembangunan. Pasal 28D ayat 3, “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan,” dan pasal 28H ayat 2, “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”. Dua pasal ini mengindikasikan bahwa hak-hak politik perempuan tidak hanya terbatas pada kesempatan untuk turut serta dalam memilih dalam pemilu. Lebih dari itu, perempuan juga mempunyai hak untuk memilih dan dipilih, hak untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan implementasinya, hak untuk memegang jabatan dalam pemerintah dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di segala tingkat, hak berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan non-pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara. Persamaan kedudukan dan aktivitas-aktivitas politik antara laki-laki dan perempuan juga diatur dalam peraturan perundang-undangan di bawah UUD NKRI 1945. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pasal 45 menyebutkan, bahwa sistem pemilu, kepartaian, pemilihan anggota legislatif, sistem pengangkatan bidang legislatif, eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan perempuan. Setelah berakhirnya pemerintahan Soeharto, kaum perempuan berharap akan ada reformasi yang menyeluruh dalam segala bidang. Keluarnya Inpres No.9 Tahun 2000 merupakan salah satu hasil perjuangan perempuan yang membanggakan. Inpres ini menekankan tentang keharusan bagi setiap instansi pemerintahan baik pusat maupun daerah untuk melakukan pengarusutamaan gender. Salah satu perbincangan yang menarik pada era reformasi ini adalah tentang perempuan dan politik. Di tengah perbincangan seputar partai politik dan pemilu, salah satu masalah yang muncul adalah mengenai keterwakilan perempuan di bidang politik khususnya di bidang legislatif. 6 Adanya keterwakilan perempuan di bidang legislatif sudah barang tentu erat kaitannya dengan partai politik dan fungsi rekruitmen politik yang dijalankannya. Pada saat ini, kebanyakan pemilih lebih memilih calon legislatif hanya berdasarkan pada tokohnya saja tanpa memperdulikan jenis kelamin, perempuan atau laki-laki. Demikian juga partai politik yang sebagian hanya berusaha memenangkan banyaknya jumlah calon dari partai mereka untuk berhasil lolos dan duduk sebagai anggota legislatif. Pemerintah sebenarnya sudah berusaha untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di bidang politik. Salah satunya adalah dengan membuat UU No.12 Tahun 2003 pasal 65 Ayat 1 tentang Pemilu yang menyebutkan bahwa partai politik hendaknya mempertimbangkan penempatan sekurang-kurangnya 30 persen caleg perempuan dari daftar caleg yang diajukan. Namun masalah keterwakilan perempuan di legislatif ternyata tidak bisa diselesaikan setelah berlakunya UU ini. Partai politik yang merupakan sebuah kelompok terorganisasi secara stabil dengan cara merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pemimpin partai politiknya, dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun material (Budihardjo dalam Gatara, 2007:221). Kehadiran partai politik merupakan salah satu keharusan dalam sebuah negara demokrasi bagi berlangsungnya proses demokrasi yang sehat dalam tatanan sistem politiknya. Hal ini berkaitan dengan fungsi yang dijalankan oleh partai politik dalam sebuah sistem politik. Dan salah satu fungsi partai politik adalah dimensi rekruitmen politik. Fungsi partai politik dari dimensi rekruitmen politik mengantarkan partai politik untuk mempersiapkan calon legislatif dari partainya. Rekruitmen politik merupakan seleksi dan pengangkatan seorang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya (Gatara dan Dzulkiah, 2007:228). Dari sini jelaslah bahwa partai politik berperan sangat penting untuk melakukan rekruitmen terhadap calon-calon yang berkualitas untuk diusung menjadi calegnya, karena kualitas caleg akan berpengaruh kepada kualitas parlemen. Partai politik berupaya penuh untuk memenuhi kuota 30% caleg perempuan tersebut dengan melakuka banyak hal. 7 Dari sini jelaslah bahwa partai memegang peran yang sangat besar dalam penentuan caleg melalui proses rekruitmennya. Karena berawal dari proses rekruitmen inilah kuota 30% caleg perempuan terpenuhi ataukah tidak. Partai politik berperan penting dalam mempengaruhi jumlah perempuan yang terpilih yang akan menduduki jabatan-jabatan tertentu dipartai politik. Proses politik yang akan membawa perempuan untuk menempati jabatan-jabatan tersebut adalah pada proses rekruitmen politik. Proses rekruitmen politik bersifat sangat terbatas dan masih belum memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender. Ada beberapa penelitian terdahulu yang mempunyai tema yang sama dengan tema penelitian ini di antaranya adalah Penelitian yang dilakukan oleh Mike Elisbeth F. Panjaitan yang berjudul “Upaya Partai Politik Dalam Memenuhi Affirmative Action Calon Legislatif Pada Pemilihan Legislatif 2014 Di Kota Surabaya”. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pemlihan legislatif 2014 di Kota Surabaya di mana jumlah caleg laki-laki sebanyak 379 orang (65,34%) dan caleg perempuan sebanyak 201 orang (34,66%). Data tersebut menunjukkan adanya peningkatan keterwakilan perempuan jika dibandingkan dengan pemilihan legislatif sebelumnya dan peningkatan ini merupakan bentuk peran partai politik dalam memenuhi peraturan-peraturan pemilihan. Jatah 50 kursi pada pileg 2014 di Kota Surabaya menjadi kesempatan untuk setiap partai politik mengirimkan nama-nama caleg yang mampu bersaing dengan caleg-caleg dari partai lainnya. Jumlah caleg perempuan pada pemilihan legislatif sebelumnya sebanyak 15 orang yang mana pada pemilihan legislatif 2014 bertambah menjadi 17 orang dengan persentase sebanyak 34. Terlampauinya jumlah 30% keterwakilan perempuan harusnya mampu meloloskan calon-calon perempuan pada pileg 2014 di Kota Surabaya, salah satunya yaitu dengan bantuan partai politik dalam menjalankan peran dan fungsi partai. Apabila partai politik menjalankan peran dan fungsi partai secara maksimal maka akan menghasilkan calon-calon perempuan yang berkualitas. Partai politik sebagai kereta yang membawa para caleg baik caleg laki-laki maupun perempuan harus lebih fokus dalam mempersiapkan perwakilan masing-masing partai dengan kualitas sebagai prioritas. Dari sinilah peneliti akan ntuk mengetahui bagaimana upaya partai 8 politik (Partai Golongan Karya, Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Hati Nurani Rakyat) dalam pemenuhan Affirmative Action pada pemilihan legislatif 2014 di Kota Surabaya dan apa saja hambatan yang dihadapi partai politik dalam menjalankan fungsi partai. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa ada pemilihan legislatif 2014 di Surabaya, partai politik yaitu Partai Golkar, Partai Demokrat, PKB dan Hanura menjalankan perannya untuk menghadapi hambatan-hambatan partai politik dalam meningkatkan keterwakilan perempuan, yaitu hambatan institusional, keterbatasan sumber daya manusia (SDM), budaya patriarki dan keterbatasan finansial. Partai Demokrat melakukan penyesuaian dengan memberikan kesempatan kepada kader-kader perempuan untuk terlibat dalam kepengurusan sehingga peran perempuan semakin meningkat yang kemudian perempuan memenuhi kuota 30% sesuai peraturan. PKB dengan basis keagamaan lebih sulit menyesuaikan untuk melibatkan perempuan dalam kegiatan politik karena partai dengan tradisi keagamaan yang kuat sehingga menganut nilai-nilai politik bahwa laki-laki merupakan sosok pemimpin yang paling layak. ` Partai Golkar, Partai Demokrat, PKB dan Partai Hanura membutuhkan upaya yang lebih dalam proses rekruitmen. Upaya yang dilakukan partai politik dapat dilihat dari proses rekruitmen politik, pembekalan caleg, penempatan dapil yang tepat dan mencegah pencurian suara. Untuk proses rekruitmen, partai Golkar hanya melibatkan internal saja dan belum melibatkan instansi lain untuk ikut berperan. Proses rekruimen dilakukan oleh tim seleksi yang disebut dengan tim pileg dan berasal dari partai Golkar sendiri. Untuk menjadi tim seleksi sudah ditentukan di struktur. Tim seleksi terpilih bukan karena jabatannya sebagai ketua atau wakil ketua yang sekian banyak. Caleg yang datang ke partai Demokrat harus mempunyai niat dari dalam diri untuk mengabdi dan bekerja di partai dan dapat dilihat dari keseriusan caleg mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh partai sehingga partai dapat mempercayai bahwa caleg-caleg tersebut mempunyai komitmen dan loyalitas tinggi sehingga caleg yang hanya mengandalkan faktor finansial saja tidak akan disambut baik oleh partai. Partai Golkar, Partai Demokrat, PKB dan Partai Hanura telah menjalankan fungsi dan peran partai pada 9 pemilihan legislatif 2014 di Surabaya namun masih banyak kekurangan partai baik dari internal maupun eksternal partai. Penelitian kedua yang dilakukan oleh Ghea Clarisa Tuasuun yang berjudul “Kandidasi Perempuan Caleg Di Kota Surabaya Dalam Pemilihan Legislatif 2014”. Latar belakang penelitian ini berdasarkan pada pemilihan legislatif tahun 2014 di mana banyaknya nama-nama perempuan yang berlaga dalam kontestasi politik ini. Namun hal tersebut tetap tidak terlepas dari berbagai konflik di dalamnya, mengingat dalam proses kandidasi tersebut setiap perempuan berangkat dari latar belakang dan motif yang berbeda-beda. Tetapi hal tersebut merupakan angin segar bagi kaum perempuan yang mulai berani unjuk kebolehan di panggung politik. Salah satu hal yang terlihat cukup fenomenal dalam pemilu legislatif tahun 2014 ini adalah meningkatnya perempuan caleg di berbagai daerah. Keterlibatan perempuan dalam dunia politik diakui mulai menunjukan dinamika yang baik. Salah satu bukti nyatanya adalah peningkatan jumlah keterwakilan perempuan di kursi perwakilan rakyat adalah di DPRD Kota Surabaya. Proses kandidasi menjadi penting untuk melihat apakah mereka yang lolos sebagai caleg sudah benar benar qualified sebagai wakil rakyat. Persaingan dari masing-masing perempuan caleg tentu sangatlah sengit, mengingat dalam pemilihan legislatif kali ini berlaku pasar bebas, tidak lagi bergantung pada tata urutan penomoran calon. Perempuan caleg tidak hanya bersaing dengan caleg di luar partai, tetapi juga persaingan tersebut berlaku di dalam internal partai nantinya. Oleh sebab itu, partai politik sebagai kendaraan awal harus benar-benar mempertimbangkan siapa saja kandidat yang layak dan pantas mewakili partainya. Bagi partai politik yang sebelumnya telah aktif melakukan kaderisasi dalam berbagai organisasi sayap partai yang mereka miliki, tentu hal ini bukanlah menjadi hal yang sulit karena rekam jejak masing-masing kader jelas telah dimiliki. Pada pemilu 2014 ini, perempuan caleg benar-benar berhadapan dengan mekanisme pasar bebas, artinya kepopuleran yang dimiliki perempuan caleg tentunya juga menjadi pertimbangan. Bagi partai politik yang tidak siap dengan sistem dan kader perempuan yang berkompeten akhirnya berdampak pada rekrutmen asal-asalan khususnya bagi perempuan.. Dari sinilah 10 penelitan ini bertujuan untuk melihat apa motivasi perempuan caleg untuk menjadi kandidat suatu partai politik dan juga untuk memahami proses kandidasi caleg perempuan dalam pemilihan legislatif 2014 di DPRD Kota Surabaya. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa keputusan perempuan caleg di Kota Surabaya untuk running for office dalam pileg 2014 rupanya paling besar didasari oleh ambisi personal mereka masing-masing. Ambisi itu tidak muncul semata-mata tanpa didukung dengan kualitas dan potensi yang baik dari dalam diri mereka yang memang sudah mapan dalam karier mereka sebelum terjun dalam dunia politik. Rasa percaya diri itu muncul dalam diri perempuan caleg di Kota Surabaya, karena dalam kesehariannya mereka juga sudah berinteraksi dengan publik. Motivasi ideologis dan dukungan eksternal dari berbagai pihak walaupun bukan menjadi motivator utama, tetapi hal itu memiliki pengaruh dalam majunya perempuan caleg di pemilihan umum legislatif 2014. Berangkat dari teori Matland maka dapat disimpulkan bahwa proses kandidasi perempuan caleg di Surabaya melewati tiga tahap yaitu seleksi diri, seleksi partai, dan pemilihan. Para perempuan caleg yang berani melibatkan diri dalam ruang politik, mampu mengekspresikan semangat politik yang lugas. Ambisi dan kapasitas yang dimiliki oleh masing-masing perempuan caleg akhirnya mampu membuat mereka memutuskan untuk running for office. Dalam tahap kandidasi ini patut diacungi jempol bagi perempuan caleg karena mampu menembus petinggi partai politik yang didominasi oleh laki-laki. Kemampuan dan berbagai modal termasuk kedekatan dengan petinggi-petinggi parpol di dalamnya, tidak luput dimanfaatkan oleh masing-masing perempuan caleg dalam proses lobying politik. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah tema yang sama yaitu mengenai partisipasi perempuan di bidang politik khususnya bidang legislatif. Peran partai politik sebagai gatekeeper sangat penting mengingat seorang perempuan yang akan diajukan sebagai calon legislatif haruslah memiliki kualitas dan kecakapan yang layak dalam politik. Partai bertanggung jawab penuh untuk merekrut dan mempersiapkan para perempuan untuk menjalankan tugas dan peran 11 politik dalam lembaga legislatif. Menjadi pengurus partai merupakan langkah pertama sebelum mereka benar-benar masuk ke dalam lembaga legislatif. “Pengurus partai ditantang untuk, antara lain, bisa mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan konstituen atau populasi yang lebih luas, menyusun agenda politik partai, terlibat dalam debat-debat dan diskusi-diskusi atau membuat kompromi-kompromidenan faksi-faksi dalam partai atau dengan partai-partai lain, membuat keputusankeputusan dan mengimplementasikannya dengan baik dan tepat sasaran (Nuri Soeseno dalam Jurnal Perempuan, 2014: 107)”. Partai politik sebagai gerbang awal bagi para perempuan untuk terjun ke dunia politik perlu mendapatkan sorotan khusus karena dari partai politik lah para perempuan dapat berperan secara aktif di bidang politik khususnya bidang legislatif. Kebanyakan partai politik selama ini belum menunjukkan komitmen yang kuat untuk melibatkan perempuan secara penuh baik sebagai fungsionaris partai maupun anggota legislatif. Partai politik masih diskriminatif dalam menyeleksi dan memilih para anggota perempuan yang akan duduk di kursi legislatif. Partai politik diharapkan mempunyai politic will yang sensitif gender sehingga pada proses perekrutan, caleg perempuan dapat lebih mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif. PDI Perjuangan yang merupakan partai pemenang pemilu dan otomatis mendapatkan jumlah kursi terbanyak di legislatif yaitu sebanyak 24 kursi diharapkan berupaya semaksimal mungkin untuk memenuhi kuota 30% caleg perempuan tersebut. Dengan sistem kuota 30% ini diharapkan posisi perempuan dapat terwakili dengan baik . PDI Perjungan juga diharapkan dapat meningkatkan kuota 30% caleg perempuan yang duduk di bidang legislatif sehingga perempuan juga bisa turut serta dalam pembuatan keputusan-keputusan yang sensitif gender. Dari sinilah peneliti memutuskan untuk mengambil judul “UPAYA PDIP (PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN) DALAM MEMENUHI KUOTA CALON LEGISLATIF PEREMPUAN (Studi Kasus Penetapan Caleg Perempuan pada Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2014 di Dewan Pimpinan Cabang PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) Kota Surakarta ) sebagai penelitian yang akan dilakukan. 12 B. Rumusan Masalah Sebagaimana telah diungkapkan dalam latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana upaya PDI Perjuangan dalam memenuhi kuota 30% calon legislatif perempuan ? 2. Apa saja hambatan yang di hadapi PDI Perjuangan dalam upaya memenuhi kuota 30% calon legislatif perempuan ? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui bagaimana upaya PDI Perjuangan dalam memenuhi kuota 30% calon legislatif perempuan. b. Untuk mengetahui apa saja hambatan yang dihadapi oleh PDI Perjuangan dalam upaya memenuhi kuota 30% calon legislatif perempuan. 2. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat antara lain: a. Dilihat dari segi teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan khusunya dalam pembelajaran Sosiologi Politik dan Gender. b. Dilihat dari segi praktis Hasil penelitian ini juga bisa memberikan manfaat dari segi praktis, antara lain: 1) Dapat memberikan masukan bagi lembaga dan instansi terkait mengenai pentingnya keterwakilan perempuan di bidang politik serta pentingnya peran partai dalam proses rekruitmen caleg perempuan. 2) Dapat digunakan sebagai salah satu bahan untuk masyarakat luas mengenai gambaran umum mengenai proses rekruitmen caleg 13 perempuan dan sejauh mana peran partai politik dalam proses rekruitmen caleg perempuan.