PILIHAN BAHASA MASYARAKAT DWIBAHASAWAN BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL PADA MASYARAKAT LOMBOK NUSA TENGGARA BARAT Muhamad Agus Alwi Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia Abstrak: Pilihan bahasa masyarakat dwibahasawan berdasarkan stratifikasi sosial dalam masyarakat Sasak pengguna tingkat bahasa Sasak alus pada umumnya menjadi suatu studi yang sudah jarang di kaji lagi dalam pendidikan maupun luar pendidikan. Akan tetapi pada masyarakat Sasak pilihan bahasa Sasak alus adalah suatu adat-istiadat yang sudah menjadi identitas bagi mereka. Selain karena merupakan adat kebiasaan yang dilakukan sebagai pembuktian keberadaan masyarakat bangsawan khususnya pada masyarakat sengkol maupun masyarakat luar secara umum. Penelitian ini bertujuan: 1) menjelaskan pemilihan ragam bahasa Sasak tinggi, sedang dan rendah pada masyarakat Sengkol Kecamatan Pujut, 2) menjelaskan faktor yang menentukan penggunaan bahasa Sasak tinggi, sedang dan rendah di Desa Sengkol Kecamatan Pujut. Hasil penelitian yang diperoleh bahwa alasan-alasan yang melatarbelakangi masyarakat Sengkol khususnya kaum bangsawan menggunakan bahasa Sasak alus adalah karena salah satu warisan yang diturunkan oleh nenek moyangnya dan harus dipatuhi terutama oleh kaum bangsawan itu sendiri. Adapun alasan lain sebagai gelar kebangsawanannya yang menjadi identitas pembeda dengan masyarakat biasa. Selain sebagai identitas, gelar, dan kebiasaan bahasa Sasak alus adalah sebagai bahasa yang sangat penting di kalangan masyarakat Sasak yang menggunakan bahsa Sasak alus waktu acara adat Sasak. Salah satu adat Sasak tempat penggunaan bahasa Sasak alus adalah adat kawin atau acara perkawinan yang digunakan waktu acara adat Sasak. Kata kunci: Pilihan Bahasa, Masyarakat Dwibahasawan, Stratifikasi Sosial, dan Masyarakat Sasak Pengguna Tingkat Bahasa Sasak Alus. PENDAHULUAN Pandangan de Saussure (1916), yang menyebutkan bahwa bahasa adalah salah satu lembaga kemasyarakatan, yang sama dengan lembaga kemasyarakatan lain, seperti perkawinan, pewarisan harta peninggalan, dan sebagainya telah memberi isyarat akan pentingnya perhatian terhadap dimensi sosial bahasa. Namun, kesadaran tentang hubungan yang erat antara bahasa dan masyarakat baru muncul pada pertengahan abad ini (periksa Hudson 1996: 2). Para ahli bahasa mulai sadar bahwa pengkajian bahasa tanpa mengaitkannya dengan masyarakat akan mengesampingkan beberapa NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 319 aspek penting dan menarik, bahkan mungkin menyempitkan pandangan terhadap disiplin bahasa itu sendiri. Argumentasi ini telah dikembangkan oleh Labov (1972) dan Halliday (1973). Alasannya adalah bahwa ujaran mempunyai fungsi sosial, baik sebagai alat komunikasi maupun sebagai suatu cara mengidentifikasikan kelompok sosial. Apabila kita mempelajari bahasa tanpa mengacu ke masyarakat yang menggunakannya sama dengan menyingkirkan kemungkinan ditemukannya penjelasan sosial bagi struktur yang digunakan. Satu aspek yang juga mulai disadari adalah hakikat pemakaian bahasa sebagai suatu gejala yang senantiasa berubah. Suatu pemakaian bahasa itu bukanlah cara pertuturan yang digunakan oleh semua orang, bagi semua situasi dalam bentuk yang sama, sebaliknya pemakaian bahasa itu berbeda-beda tergantung pada berbagai faktor, baik faktor sosial, budaya, psikologis, maupun pragmatis. Hubungan bahasa dan faktor-faktor tersebut dikaji secara mendalam dalam disiplin sosiolinguistik. Dari perspektif sosiolinguistik fenomena pemilihan bahasa (language choice) dalam masyarakat multibahasa merupakan gejala yang menarik untuk dikaji. Fasold (1984: 180) mengemukakan bahwa sosiolinguistik dapat menjadi bidang studi karena adanya pilihan pemakaian bahasa. Fasold memberikan ilustrasi dengan istilah society multilingualism (multilingualisme masyarakat) yang mengacu pada kenyataan adanya banyak bahasa dalam masyarakat. Tidaklah akan ada bab tentang diglosia, apabila tidak ada variasi tinggi dan rendah. Apabila dicermati setiap bab dalam karya Fasold (1984), akan jelas bahwa setiap kajian dalam karya itu dipusatkan pada kemungkinan adanya pilihan yang bisa dibuat di dalam masyarakat mengenai penggunaan variasi bahasa. Statistik sekalipun menurut Fasold (1984) tidak akan diperlukan dalam kajian sosiolinguistik, apabila tidak ada variasi dalam penggunaan bahasa dan pilihan di antara variasi-variasi tersebut. Permasalahan yang menarik untuk diungkap di sini antara lain sebagai berikut. Dipandang sebagai fenomena apakah pemilihan bahasa itu dalam paradigma sosilinguistik: fenomena linguistis, sosial budaya, atau psikolgis? Faktor-faktor apa yang menjadi penentu pemilihan bahasa dalam masyarakat multibahasa? Secara teoretis pendekatan apa yang selama ini digunakan oleh para ahli dalam mendekati fenomena itu? Tulisan ini mencoba mengungkap permasalahan tersebut. Berikut secara berturut-turut dipaparkan: (1) perspektif sosiolinguistis tentang pemilihan bahasa ; (2) kategori pemilihan bahasa; (3) faktor penentu pemilihan bahasa; dan (4) pendekatan pemilihan bahasa. METODE PENELITIAN Sesuai dengan namanya, sosiolinguistik mengkaji hubungan bahasa dan masyarakat (Wardhaugh, 1984: 4; Holmes, 1993; 1; Hudson, 1996: 2), yang mengaitkan dua bidang yang dapat dikaji secara terpisah, yaitu struktur formal bahasa oleh linguistik dan struktur masyarakat oleh sosiologi. Istilah sosiolinguistik itu sendiri baru muncul pada tahun 1952 dalam karya Haver C. Currie (via Dittmar 1976: 27) yang menyatakan perlu adanya kajian mengenai hubungan antara NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 320 perilaku ujaran dengan status sosial. Ia mulai berkembang pada akhir tahun 60-an, dan diujung tombak oleh Committee on Sociolinguistics of the Social Science Research Council (1964) dan Research Committee on Sociolingustics of the International Sociology Association (1967). Jurnal baru terbit pada awal tahun 70-an, Language in Society (1972) dan International Journal of the Sociology of Language (1974), dan sejumlah buku teks pengantar (Pride, 1971,; Fishman, 1972, Dittmar, 1976). Dari kenyataan itu dapat dimengerti bahwa sosiolinguistik merupakan disiplin yang relatif baru. Bahasa dalam kajian sosiolinguistik tidak didekati sebagai bahasa sebagaimana dalam kajian linguistik teoretis, melainkan didekati sebagai sarana interaksi di dalam masyarakat. Konferensi sosiolinguistik pertama yang berlangsung di University of California, Los Angeles, tahun 1964, telah merumuskan adanya tujuh dimensi dalam penelitian sosiolinguistik. Ketujuh dimensi yang merupakan bidang kajian sosiolinguistik itu adalah (1) identitas sosial penutur, (2) identitas peserta tutur, (3) lingkungan sosial tempat peristiwa tutur, (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi linguistik, dan (7) penerapan praktis penelitian sosiolinguistik (lihat Dittmar 1976: 128). Sejalan dengan rumusan itu, Kartomihardjo (1988: 4) mengemukakan gagasan tentang objek kajian sosiolinguistik, sebagai berikut. “Sosiolinguistik mempelajari hubungan antara pembicara dan pendengar, berbagai macam bahasa dan variasinya, penggunaannya sesuai dengan berbagai faktor penentu, baik faktor kebahasaan maupun lainnya, serta berbagai bentuk bahasa yang hidup dan dipertahankan di dalam suatu masyarakat”. Gagasan itu mengandung pengertian bahwa sosiolinguistik mencakupi bidang kajian yang luas, bukan hanya menyangkut wujud formal bahasa dan variasi bahasa melainkan juga penggunaan bahasa di masyarakat. Penggunaan bahasa tersebut bertemali dengan berbagai faktor, baik faktor kebahasaan itu sendiri maupun faktor nonkebahasaan, seperti faktor sosial budaya, termasuk tata hubungan antara pembicara dan pendengar. Implikasinya adalah bahwa tiap-tiap kelompok masyarakat mempunyai kekhususan dalam hal nilai-nilai sosialbudaya dan variasi penggunaan bahasa dalam interaksi sosial. Ada asumsi penting di dalam sosiolinguistik yang menyatakan bahwa bahasa itu tidak pernah monolitik keberadaannya (Bell, 1975). Asumsi ini mengandung pengertian bahwa sosio-linguistik memandang masyarakat yang dikajinya sebagai masyarakat yang beragam setidak-tidaknya dalam hal penggunaan bahasa atau dalam pilihan bahasa mereka. Adanya fenomena pemakaian variasi bahasa dalam masyarakat tutur dikontrol oleh faktor-faktor sosial, budaya, dan situasional (Kartomihardjo, 1981, Fasold, 1984, Hudson, 1996, Wijana (1997: 5). Dalam kajian pemilihan bahasa, tugas sosiolinguis adalah berusaha menerangjelaskan hubungan antara gejala pemilihan bahasa dengan faktor-faktor sosial, budaya, dan situasional dalam masyarakat dwibahasa atau multibahasa, baik NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 321 secara korelasional maupun implikasional. Pada umumnya, sosiolinguistik mengkaji masyarakat dwibahasa atau multibahasa. Dalam kenyataannya, fenomena pemilihan bahasa juga akan bertemali dengan situasi semacam itu sebab untuk menentukan pemilihan bahasa atau ragam bahasa tertentu, tentu ada bahasa lain atau ragam lain yang ikut digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari sebagai pendamping sekaligus pembanding. Sosiolinguistik melihat fenomena pemilihan bahasa sebagai fakta sosial dan menempatkannya dalam sistem lambang (kode), sistem tingkah laku budaya, serta sistem pragmatik. Dengan demikian, kajian sosiolinguistik menyikapi fenomena pemilihan bahasa sebagai wacana dalam peristiwa komunikasi dan sekaligus menunjukkan identitas sosial dan budaya peserta tutur. Dalam kaitannya dengan situasi kebahasaan di Indonesia, kajian pemilihan bahasa dalam masyarakat di Indonesia bertemali dengan permasalahan pemakaian bahasa dalam masyarakat dwibahasa atau multibahasa karena situasi kebahasaan di dalam masyarakat Indonesia sekurang-kurangnya ditandai oleh pemakaian dua bahasa, yaitu bahasa daerah sebagai bahasa ibu (pada sebagaian besar masyarakat Indonesia), bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, dan bahasa asing. Studi pemilihan bahasa dalam masyarakat seperti itu lebih mengutamakan aspek tutur (speech) daripada aspek bahasa (language). Sebagai aspek tutur, pemakaian bahasa relatif berubah-ubah sesuai dengan perubahan unsur-unsur dalam konteks sosial budaya. Hymes (1972; 1973; 1980) merumuskan unsur-unsur itu dalam akronim SPEAKING, yang merupakan salah satu topik di dalam etnografi komunikasi (the etnography of communication), yang oleh Fishman (1976: 15) dan Labov (1972: 283) disebut sebagai variabel sosiolinguistik. Hymes (1980) mengemukakan tujuh belas komponen peristiwa tutur (components of speech event) yang bersifat universal. Ketujuh belas komponen itu oleh Hymes diklasifikasikan lagi menjadi delapan komponen yang diakronimkan dengan SPEAKING: (1) setting and scene (latar dan suasana tutur), (2) participants (peserta tutur), (3) ends (tujuan tutur), (4) act sequence (topik/urutan tutur), (5) keys (nada tutur), (6) instrumentalities (sarana tutur), (7) norms (norma-norma tutur), dan (8) genre (jenis tutur). Pandangan Hymes di atas dijadikan kerangka konsep pelaksanaan penelitian ini. Kedelapan komponen peristiwa tutur tersebut merupakan faktor luar bahasa yang menentukan pemilihan bahasa. HASIL PENELITIAN Pemilihan Bahasa Sasak Berdasarkan Stratifikasi Sosial Pemilihan bahasa Sasak tersebut yang digunakan oleh penutur dan mitra tutur memiliki kemampuan bertutur dalam menggunakan bahasa Sasak yang kerep mengalami peruses komunikasi lisan pada masyarakat Desa Sengkol Kecamatan Pujut. Fenomena kebahassaan tersebut dapat ditemukan dalam berbagai macam ranah, mulai dari ranah pergaulan sehari-hari, ranah kerja, ranah pendidikan, dan lainnya. Pemilihan bahasa yang terdapat pada masyarakat Desa Sengkol salah satunya terjadi karena perbedaan status (klasifikasi sosial) masyaraat. Sebagai mana telah NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 322 dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa masyarakat Desa Sengkol yang didiami oleh masyarakat asli suku Sasak terdapat berbagai lapisan masyarakat dengan varian dan tingkatan kebahasaan yang berbedabeda pula, mulai dari bahasa alus (halus), bahasa sedanag, dan bahasa biasa. Lebih jelasnya masalah tersebut akan peneliti paparkan dalam hasil penelitian dalam bentuk campur kode dan alih kode, yaitu sebagian berikut. Alih Kode Bahasa Sasak Halus dengan Bahasa Sasak Jamak atau Biasa Pada bagian ini terdapat percakapan dengan menggunakan alih kode antara bahasa Sasak halus dengan bahasa Sasak sedang dan biasa. 1) Penutur : sei epe bije nin? (siapa punya anak itu?) Mitra tutur 1: ndk ne ye nen bije me uyun? (bukannya itu anakknya bu uyun?) Mitra tutur 2 : ye nen adek de sak wikanang lebih jelas bijene me uyun se mamiq ne olek montongbaan, aran ne lelu? (ini biar kamu tahu lebih jelas, ini anaknya ibu uyun yang bapaknya dari Montong Ba’an, namanya Bapak?) Mitra tutur 3 : lalu Nuraksa. (Lalu Nuraksa) Mitra tutur 2 : masih ne begawean lik sadhana? (masih kerja di sadhana bapak?) Mitra tutur 1 : enggih. (ya) Mitra tutur 4 : ooo, ngembe sejarah idup de side laek mik? (bagaimana sejarah hidup kamu dulu pak?) Penutur : laek sejarah idupku kence mamaq bi, ye doank kenceku bareng, kan jak lik bale taok ne ngeji laek. (Dulu sejarah hidupku sama ibumu, dia saja temanku bersama, dulukan di rumah tempatnya ngaji) Mitra tutur 2 : mun tg bece sejarah idup de, sd laeq girang de ngeceweang. (kalau saya baca sejarah hidup kamu, kamu dulu sering mengecewakan) Mitra tutur 4 : tetu meq. (betul kamu) Penutur : aran jak ite meme. (namanya juga kita cowok) Mitra tutur 2 : lasing, ndk de maraq lok tatak, nine doank kence ne bekedek sampe nane, lampaq doank maraq tandang dengan nine ntan ne sampe nane. (iya, tidak seperti tatak, cewek saja temannya bergaul dan bermain sampai sekarang, jalannya saja sekarang sudah seperti cewek) Penutur : ye doank kencequ laek mamak ne uleq ngeji lampaq kence empat. (dia saja teman aku dulu ibu kamu pulang ngaji jalan berempat) Mitra tutur 2 : ndk de wah terus bergaul kence meme, untung de ndk maraq lok tatak donk. (terus kamu tidak pernah bergaul dengan laki-laki, untung kamu tidak jadi seperi tatak) Penutur : lasing ye doank po kence qu demen. (iya, karna sma mereka (wanita) teman saya senang bergaul). Komunikasi yang terjadi di atas dalam konteks situasi kantor memperlihatkan bahwa tingkat profesi yang digeluti seseorang menentukan gaya bahasa yang digunakan. Pada percakapan tersebut penutur selalu menggunakan kode bahasa jamak (BJ) pada lawan tuturnya, karena si penutur tersebut lebih tua dari lawan tuturnya. Namun lawan tuturnya sendiri selalu menggunakan kode bahasa halus (BH) saat bertutur, karena si mitra tutur ini lebih muda dari lawan tuturnya. Hal ini terliahat dari kata side (kamu) yang dipakai oleh si penutur pertama, dan kata tiang NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 323 (saya) yang selalu di lontarkan oleh penutur kedua dan kata equ (saya) atau bi (kamu, untuk panggilan wanita lebih kecil “BJ”) yang slalu di gunakan oleh penutur pertama saat berkomunikasi. Begitupun dengan penutur ketiga saat berkomunikasi dengan penutur pertama selalu menggunkan kode BH sedang jika dengan penutur kedua menggunakan kode BJ. Hal ini terlihat dari kata Side (kamu) yang digunakan ketika berkomunikasi dengan penutur pertama, secara tidak sadar penutur ketiga beralih style menggunkan kode BJ, terlihat dari kata Ente (kamu) yang digunakan oleh penutur ketiga ketika menjawab tuturan dari penutur kedua. Campur Kode Bahasa Sasak Halus dan Bahasa Sasak Jamak atau Biasa Berikut merupakan tuturan dengan menggunakan campur kode dalam bahasa Sasak sedang dan biasa dalam mendidik anak. 1) Penutur : Kan jak uatn doang inia mak, edak empaqn niki? Mitra tutur : Angkak iye wah sak tekelak inia, iye rue’n rase’n pokokn murak muk loek Penutur : Owh…Inggih Mitra tutur : Mamiqm ndekn demen laun lamun isi-isin doang, iye sik pengkelakm inia uatn daet isin, daet kakakm, arim, daet tuak- saikm laun endah ean datang piaq acare mangan bersama Penutur : Maraq besen mamik, napi-napi wah. (D5-22-05-16) Terjemahan Penutur : Kok uratnya saja itu mak, tidak ada dagingnya? Mitra tutur : Ia sudah ini yang di jadikan sayur, dan memang begitu juga, inikan murah dan banyak Penutur : Owh…ya Mitra tutur : Bapak tidak suka nanti kalau dagingnya saja, jadi sayur ini kita campur pakai uratnya juga biar ada yang disukai oleh bapak mu nanti, dan kakak, adik, beserta bibi dan paman mu nanti mau datang untuk buat acara makan bareng. Penutur : Seperti katanya bapak, apaapa sudah. Campur kode dalam tuturan tersebut dapat ditemukan dalam setiap percakapan, antaranya, Penutur : Kan jak uatn doang inia mak, edak empaqn niki? Mitra tutur : Angkak iye wah sak tekelak inia, iye rue’n rase’n pokokn murak muk loek Kalimat “kan jak uatn doang inia mak”, termasuk ke dalam bahasa sasak sedang. Sedangkan “niki”, termasuk ke dalam bahasa sasak halus. Penutur sebagai anak dalam peristiwa tutur tersebut tetap menggunakan bahasa Sasak alus dalam berkomunikasi disamping karna berkomunikasinya dengan orang tua atau ibunya, itu juga karena ia sudah terbiasa menggunakan bahasa Sasak sedang setiap berkomunikasi. Selain itu juga, campur code bahasa Sasak halus dengan bahasa Sasak jamak (biasa) terdapat juga dalam percakapan berikut, karena merupakan tuturan dengan menggunakan campur kode dalam bahasa Sasak halus dan bahasa Sasak jamak atau biasa. 2) Penutu : Baiq Yun, napi pekarye baiq Vita mangkin? Mitra tutur 1 : Tiang mindah baiq Nens, o y jakan sembahyang basen mamiqn baruq NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 324 Mitra tutur 2 : Napi sanak, tiang sampun sembahyang? penutur : Inggih, napi pekarye mangkin? Mitra tutur 1 : Tiang margi jok gedeng ninik Penutur : Napi pekarye lek gedeng ninik? Mitra tutur 2 : Tiang baet kepeng Nens, Yun. Silaq tengiring! Penutur : Inggih mangkin tiang nyusul kance Yuni Mitra tutur 1 : Inggih Vit, ati-ati lampak langan Mitra tutur 2 : Inggih matur tampi asih. (D6-23-05-16) Terjemahan Penutur : Baiq Yun, apa yang dikerjakan baiq Vita sekarang? Mitra tutur 1 : Saya tidak tau Nens, o y lagi shalat kata bapaknya barusan Mitra tutur 2 : Apa saudara, saya sudah shalat? penutur : Ya, apa pekerjaan mu sekarang? Mitra tutur 1 : Saya mau pergi ke rumah kakek Penutur : Mau kerja apa di rumah kakek? Mitra tutur 2 : Saya mau ambil uang Nens, Yun. Ikut ayo! Penutur : Ia sekarang saya menyusul sama Yuni Mitra tutur 1 : Ia Vit, hati-hati dijalan Mitra tutur 2: Ia terimakasih banyak. Dari percakapan tersebut terdapat percampuran bahasa Sasak alus tinggi, sedang, dan biasa. kemudian yang berpola bahasa Sasak halus dengan runtut digunakan oleh antar penutur. Hal tersebut telihaat dari bahasa Sasak biasa pada bahasa jok (ke) lek (di) dan baet (ambil). Dalam bahasa Sasak sedang terlihat pada bahasa tiang (saya) dan sampun (sudah) dan kemudian dalam bahasa Sasak tinggi terlihat pada bahasa inggih (ya), pekarye (pekerja), mangkin (sekarang) dan matur tampiasih (terimakasih banyak). Faktor-Faktor yang Menentukan Pemilihan Bahasa Sasak Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber yang diperoleh dari Kepala Desa, Kepala Dusun atau Kadus, Tokoh Adat, dan Masyarakat sekitar Desa Sengkol Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah bahwa faktor yang melatar belakangi pengguna pemilihan bahasa Sasak, maka ditemukan beberapa data yang diambil dari percakapan anatara penutur dan mitra tutur yang terjadai dalam berbagai ranah. Namun sebelumnya, untuk memperjelas hasil penelitian, analisis dan pembahasan, peneliti terlebih dahulu memaparkan tentang tingkat kebahasaan yang terdapat dalam masyarakat Desa Sengkol Kecamatan Pujut. Berikut, peneliti paparkan. Bahasa Sasak Halus atau Tinggi Pada bagian ini dipaparkan data hasil penelitian tentang pemilihan bahasa yang termasuk dalam tingkatan berbahasa yang tergolong tinggi, berikut percakapannya. 3) Percakapan bahasa Sasak tinggi Penutur: Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh. Bissmillahirrahmannirrahiim, singgih titiang pun niki agung pangampuran dewek titiang sami nyuwun maring dane-dane senamian. Mitra tutur: Singgih, kang utami dane pangarseng wacane, kapindo dane kepale dese miwah dane kadus kang minangke kebaos pengamong lan pengemban adat. Kapondo malih dane-dane pare pinitue-pinitue NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 325 kerame, pare pengale dese sedaye, pare wande warge, wage wargie, pare santri, pare yad wangse sedaye tor pare putre sentane kang utami malih rame biang temanten putri. Singgih dewek titiang pribadi semalihipun hingkang nyarengin dewek titiang pun niki haseba ayun rage sami, becik hingkang lungguh sewontening arse kiwe tengen lan pungkur, naler nyuwun agung-agung panurgahe. (D1-19-05-16) Terjemahan Penutur: Baiklah saya yang menyangku tata cara dan perilaku termasuk juga semua orang yang ikut bersama saya, kami memohon maaf yang sebesar-besarnya. Mitra tutur: Baiklah, yang pertma juru bicara adat, kedua bapak kepala desa dan bapak kadus yang menjadi pemangku dan pelaksana adat. Selanjutnya kepada para tokoh masyarakat, para perangkat desa, para keluarga, seluruh lapisan masyarakat, para santri dan kiyai, para pemuda. Kemudian yang paling utama orang tua pengantin wanita. Saya pribadi dan yang menemani saya menghadap kepada anda semua, baik yang duduk disebelah kiri, kanan juga di belakang saya menyampaikan permohonan permisi. Penutur: Baiklah para hadirin, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada anda semua jika ada tutur kata yang lupa, salah pada ucapan saya yang menghadap pada saat ini, dan juga jika ada kesalahan saya yang menyangku tata cara dan tindakan termasuk juga semua orang yang ikut bersama saya sekarang ini. Baik yang ada di sebelah kiri, kanan dan juga belakang saya ini, kami memohon maaf yang sebesar-besarnya. Saya ptibadi juga mohon maaf yang sebesar-besarnya mungkin belum memahami tentang aturan dan tata tertib. Oleh karena itu, sekali lagi kami memohon maaf yang sebesarbesarnya. Mitra tutur: Baiklah, kami semua yang ada di sini memohon kepada anda semua untuk memberi tahu kami apa maksud anda semua. kami memohon tutur sapa atau diceritakan. Penggunaan bahasa Sasak tinggi seperti yang terdapat dalam percakapan tersebut bergantung pada situasi ujaran. Situasi yang dimaksud berkaitan dengan siapa berbicara, bahasa apa yang digunakan, kepada siapa, kapan, di mana dan mengenai masalah apa. jadi sangat mungkin dalam satu situasi terjadi pembicaraan dengan pemilihan bahasa Sasak tinggi. Selain itu terdapat juga dalam pecakapan berikut. 4) Percakapan bahasa Sasak sedang Penutur : Me (meme) nani mbe eamlumbar iku? Mitra tutur 1 : Tiang lalo laik peken seberak bojaq sayur juluk jari te piaq siq daun dengan sak zikir eto laun Penutur :Antih tiang juluk, tiang milu mento jak. Mitra tutur 1 : Silak mento jak, aruan laun sepi peken. Mitra tutur 2 : Yoh,,ape antih iku me nani? Mitra tutur 1 : Tiang antih rizna, ean milu laik peken. Mitra tutur 2 : Owh…ape jak ean lumbar beli laik peken? Mitra tutur 1 : Angkak iye, nane tiang mauk laik peken, nyerang lalo bojaq sayur jari daun dengan sak zikir eto laun. Mitra tutur 2 : Owh ye jak ne,guk ke telat lalokm eaq sugul. Penutur : Silak donk me nani adek te sak eru tulak. NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 326 Mitra tutur 1 : Silak mento jak geh tiang meken juluk. Mitra tutur 2 :Nggih silak. (D2-21-05-16) Terjemahan Penutur : Bik mau Kemana itu? Mitra tutur 1 : Mau ke pasar beli sayur buat jama’ah yang zikir nanti. Penutur : Tunggu saya, saya ikut Mitra tutur 1 : Ayo kalu begitu, cepat ya nanti pasar keburu sepi Mitra tutur 2 : Bik nani, nunggu siapa? Mitra tutur 1 : Saya nunggu rizna, katanya mau ikut pergi ke pasar Mitra tutur 2 : Mau beli apa sampai telat sekali pergi ke pasarnya? Mitra tutur 1: Iya, baru bisa ke pasar, Cuma mau beli sayur buat jama’ahzikir nanti Mitra tutur 2 : Owh iya, tapi kok telat sekali keluarnya Penutur : Ayo bik nani, biar kita cepat Kembali Mitra tutur 1 : Ayo kalau begitu, saya ke pasar dulu Mitra tutur 2 :Ya Pemilihan bahasa Sasak sedang yang terdapat dalam percakapan tersebut terjadi berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat Desa Sengkol Kecamatan Pujut. Pada percakapan tersebut, antara penutur dan mitra tutur melakuka komunikasi dengan menggunakan bahasa Sasak sedang, hal tersebut dapat dilihat pada penggunaan bahasa yang tidak terlalu halus, dan tidak juga kasar. Seperti dalam kutipan., Mitra tutur 2 : Owh ye jak ne,guk ke telat lalokm eaq sugul. Penutur : Silak donk me nani adek te sak eru tulak. Mitra tutur 1 : Silak mento jak geh tiang meken juluk. Mitra tutur 2 :Nggih silak. Pada penggunaan bahasa sasak pada percaapan tersebut, dapat ditemukan penggunaan bahasa yang seimbang, antara penggunaan bahasa halus dan biasa, seperti yang dilaukan oleh penutur, “Silak donk, nani adek te sak aru tulak” kata-kata silak, dalam bahasa sasak termasuk pada tinkatan bahasa sasak Halus, sedangkan nani adekte sak aru tulak, tetrmasuk bahasa sasak biasa. 6) Penutur : Pire ajin gule sekilo? Mitra tutur 1 : Mun nani jek due olas setenge. Penutur : Yoh,,iye taek malik ajin gule nani? Mitra tutur 1 : Aok wah taek nani? Mitra tutur 2 : Pire sekilo? Penutur : Astage, paran tiang masih ajine selaek me tuan. Mitra tutur 1 : Ndeqn cere, wah selapuk taek nani jekn, berembe nak eaqm meli payu? (ke pembeli), silak side ape nak eaqm bojak? (Ke pembeli 2). Penutur : Inggih tiang payu doank,.ndarak bae gule lik bale, anuk ang tiang sekilo mento jekn juluk. Mitra tutur 2 : Gule kence minyak anuk ang tiang sekilo. Mitra tutur 1 : Nggih antih mento juluk sendak. (D3-21-05-16) Terjemahan Penutur : Berapa harga sekilo gula? Mitra tutur 1 : Kalau sekarang dua belas ribu lima ratus Penutur : Naik lagi harga gula sekarang? Mitra tutur 1 : Iya, sudah naik Mitra tutur 2 : Berapa sekilo? Penutur : Astaga, saya kira masih harga yang dulu ibu haji) NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 327 Mitra tutur 1 : Tidak , sekarang sudah semua naik harganya, ayo jadi kamu mau beli?, ayo kamu mau cari apa? Penutur : Ya jadi, tidak ada gula di rumah, bungkusin saya sekilo dulu kalau begitu Mitra tutur 2 : Gula sama minyak sekilo saya Mitra tutur 1 : Ya, tunggu sebentar ya Bahasa Sasak Jamak (Biasa atau Rendah) 7) Percakapan bahasa Sasak rendah. Penutur : Kari sendak datang bulan puase. Mitra tutur 1 : Aok, ape eaq jari bebuke’nta lemaq kak fit? Penutur : Oalah eka, lemaq araq doang riski lamun wah mulai pause jekn Mitra tutur 2 : Aok jekn kak, laguk wah tak terase bulan pause inia kak fit Mitra tutur 1 : Tiang jek santer sik melet wah datang pause sinia, lguk iye eto wah sik bingung ape eaq jari entan’ta kun pause sinia. Mitra tutur 2 : Eee, kendek susah laloqn aneh Eka, lemaq mun wah mulai pause inia jek loek jualan daun eto kelining Penutur : Owh iye tetuUtik Mitra tutur 2 : Aok kenaq, laguk persiapan endek man arak Mitra tutur 1 : Segerah eaq pause doang harus eaq persiapan bae, lamun persiapan berembe entan care pause sak epul lek dengan nine Penutur : Lasingan side lain bae pikiranm endah, arak doang eak ntan lemaq lamun wah pause jekn Mitra tutur 2 : Iye sik sak kene mento angkakn tiang jekn Penutur dan mitra tutur 1 : Aok aneh, lemak’ta malik wah ngebang inia (D4-22-05-16) Terjemahan Penutur : Tinggal sebentar dating bulan puasa Mitra tutur 1 : Ya, apa jadi buka puasa besok kalau sudah kita mulai puasa kak fit? Penutur : Eka, besuk ada saja rizki kalau sudah mulai puasa Mitra tutur 2 : Ya sih kak, tapi sudah terasa bulan puasa ini kak fit Mitra tutur 1 : Saya sangat pingin sekali kalau puasa ini tiba, tapi itu sudah, masih saja saya bingung apa yang harus saya lakukan pada puasa ini Mitra tutur 2 : Tidak usah bingung gitu Eka, besuk kalau sudah puasa mulai, banyak kok jualan sayursayuran keliling Penutur : Bener sekali Utik Mitra tutur 2 : Ya benar, tapi persiapan untuk itu belum ada Mitra tutur 1 : Masa mau puasa saja harus pakai persiapan segala, kalau persiapan bagaimana cara puasa yang full bagi wanita Penutur : Ia, kamu sih lain saja dalam pikiran, ada saja yang jadi cara kalau puasa telah tiba Mitra tutur 2 : Itu makanya saya bilang begitu Penutur dan mitra tutur 1 : Ia sudah , besuk lagi sudah azan ini. Campur kode dalam percakapan tersebut terdapat pada kata kamu (kamu) dan (ya). Baiq Eka selalu menggunakan bahasa Sasak biasa ketika berkomunikasi dengan Baiq Fit, begitu pula Baiq Fit kepada Baiq Eka, namun ketika mereka (Baiq Fit dan Baiq Eka) berkomunikasi dengan tutik selalu menggunakan bahasa Sasak biasa. Selanjutnya, untuk mempertegas hasil penelitian dan pembahasan tentang faktor-faktor yang menentukan terjadinya pemilihan bahasa, pada bagian ini NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 328 peneliti menggunakan komponen tutur yang terdapat dalam akronim SPEAKNG. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Hymes (dalam Aslinda & Syafyahya, 2014) yang biasa disingkat dengan speaking. Kemudian dalam penggunaannya lebih jauh dapat diuraikan sebagai berikut. Setting Tutur atau Tempat Peristiwa Komponen tutur setting berhubugan dengan latar tempat peristiwa tutur terjadi. Hal tersebut tampak pada dialog 1-19-05-16, peristiwa tutur berikut. 7) Percakapan Bahasa Sasak di Tempat Pendidikan Penutur (guru) :Ed, embe lain pak tahir baruk? Mitra tutur (murid) : To masjid pak. Penutur : O inggih, matur tampiasih. Mitra tutur : Inggih pak. (D7-23-06-16) Terjemahan Penutur : Ed, dimana pak Tahir tadi? Mitra tutur : Ke masjid pak. Penutur :O ia, terimakasih ia. Mitra tutur : Ya pak. Pada percakapan yang terjadi antara mitra tutur 1, dan mitra tutur 2. Dalam komunikasi yang terbangun antara ke-2 penutur tersebut, secara setting (tempat) terjadi di sekolah. Hal tersebut Ditandai dengan latar komunikasi yang terjadi anatara guru dan murid, berikut isi percakapnnya, Penutur (guru) :Ed, embe lain pak tahir baruk? Mitra tutur (murid) : To masjid pak. Pada percakapan tersebut, seorang guru menanyakan di mana guru yang bernama Tahir berada, kemudian mitra tutur (murid) menjawab, guru (Tahir) sedang di masjid. Participants atau Penjelas Pengguna Bahasa Komponen tutur participants adalah alat penjelas pada siapa pengguna bahasa dan bahasa apa yang digunakan. Hal tersebut tampak pada dialog 3-21-05-16. 8) Percakapan bahasa Sasak Penutur : Pire ajin gule sekilo? Mitra tutur 1 : Mun nani jek due olas setenge. Penutur : Yoh,,iye taek malik ajin gule nani? Mitra tutur 1 : Aok wah taek nani? Mitra tutur 2 : Pire sekilo? Penutur : Astage, paran tiang masih ajine selaek me tuan. Mitra tutur 1 : Ndeqn cere, wah selapuk taek nani jekn, berembe nak eaqm meli payu? (ke pembeli), silak side ape nak eaqm bojak? (Ke pembeli 2). Penutur :Inggih tiang payu doank,.ndarak bae gule lik bale, anuk ang tiang sekilo mento jekn juluk. Mitra tutur 2 : Gule kence minyak anuk ang tiang sekilo. Mitra tutur 1 : Nggih antih mento juluk sendak. (D3-21-05-16) Terjemahan Penutur : Berapa harga sekilo gula? Mitra tutur 1 : Kalau sekarang dua belas ribu lima ratus Penutur :Naik lagi harga gula sekarang? Mitra tutur 1 : Iya, sudah naik Mitra tutur 2 : Berapa sekilo? Penutur : Astaga, saya kira masih harga yang dulu ibu haji) Mitra tutur 1 : Tidak , sekarang sudah semua naik harganya, ayo jadi kamu mau beli?, ayo kamu mau cari apa? NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 329 Penutur : Ya jadi, tidak ada gula di rumah, bungkusin saya sekilo dulu kalau begitu Mitra tutur 2 : Gula sama minyak sekilo saya Mitra tutur 1 : Ya, tunggu sebentar y. Pengguna di sini melingkupi penutur, mitra tutur dan pendengar yang terlibat dalam suatu interaksi verbal. Terjadinya komunikasi antar arah (antara penutur dan mitra tutur) ketika penutur 1 memulai percakapan dengan menanyakan harga barang jualan (gula) berikut, kutipan percakapnnya, Penutur : Yoh,,iye taek malik ajin gule nani? Mitra tutur 1 : Aok wah taek nani? Mitra tutur 2 : Pire sekilo? Dalam komponen tutur seperti yang diungkapkan oleh Dell Hymes, salah satu komponen yang harus ada adalah partisipan, atau kepada siapa penutur berbicara. Seelanjutnya, kdwibahasaan dalam stratifikasi sosial masyarakat di Desa Sengkol, seperti pada masyarakat lainnya, tolak ukur dari kategorikategori sosial pengguna bahasa Sasak tersebut yang utama adalah orang-orang tua dan dewasa, karena orang tua berpikir kalau bahasa yang dipakai sering diikuti oleh anak kecil. Kemudian dalam peristiwa itulah orang tua menggunakan bahasa yang lebih alus supaya anak generasi penerus tidak menggunakan bahasa yang terlalu kasar dalam bertutur. Ends atau Maksud dan Tujuan Tutur Komponen tutur ends mengacu pada maksud dan tujuan tuturan secara umum, kata “ends” mengisyaratkan bahwa peristiwa tutur bahasa Sasak dilakukan oleh masyarakat Sengkol Kecamatan Pujut. Adapun maksud dan tujuan dalam menggunakan bahasa Sasak, supaya bahasa dan budaya Lombok pada suku Sasak tersebut harus diperhatikan. Selanjutnya, sesuai dengan hasil wawancara yang ditemukan pada masyarakat Sengkol Kecamatan Pujut yang menggunakan bahasa Sasak untuk bertutur sehari-harinya dan setelah dilakukan klasifikasi data, dapat digunakan untuk hal-hal: (a) mencari tahu tentang suatu hal; (b) mengungkapkan kesedihan; (c) mencaci solusi dalam suatu persoalan; (d) mengajak; dan (e) memberi nasehan atau mengimformasikan sesuatu. Act Sequence atau Bentuk dan Isi Tutur Komponen tutur act sequence berhubungan dengan bentuk dan isi suatu tuturan. Dalam perihal ini dapat dilihat pada contoh peristiwa tutur berikut. 9) Percakapan Bahasa Sasak yang Menunjukkan Makna Penutur : Lah, wahn tak meres ngere roti ketimbang ambon. Mitra tutur : Huh, marak idap dengan bande gunung. Penutur : O iye aran ruen dengan bande gunung. Mitra tutur : Aok ton, berat tanggungan idapn. (D8-24-06-16) Terjemahan Penutur : Sudah lebih enak rati daripada ubi. Mitra tutur : Seperti orang pikul gunung rasanya. Penutur : O mungkin ini rupanya orang pikul gunung. Mitra tutur : Ia saudara, terlalu berat tanggungan saya sekarang. NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 330 End mengacu pada maksud dan tujuan pertuturan, Aslinda dan Syafyahya (2012:23), kaitannya dengan komunikasi atau percakapan yang terdapat dalam komunikasi tersebut, Penutur :O iye aran ruen dengan bande gunung. Mitra tutur : Aok ton, berat tanggungan idapn. Penutur menyampaikan pesan bahwa tanggung jawab yang harus dipikul harus selalu diserta dengan kesababran dan uapaya sungguhsungguh dalam mengatasi dan menyelesaikannya. Seperti yang terdapat dalam penggalan percakapan tersebut. Key atau Sikap, Cara, serta Penjiwaan Bertutur Komponen tutur key berkaitan dengan sikap atau cara, nada suara, serta penjiwaan saat tuturan diucapkan. Kemudian dalam hal penggunaan bahasa Sasak yang berkaitan dengan sikap atau cara, nada suara dan penjiwaan sepanjang yang teramati cendrung bersikap ramah, namun bergantung pada keharmonisan atau kedekatan hubungan antara penutur dan mitra tutur. Manakala dapat diklasifikasikan kedekatan hubungan penutur dan mitra tutur dalam bahasa Sasak dari hasil wawancara sejauh ini bisa dibagi menjadi: (a) teman akrab; (b) teman tidak akrab; (c) teman sekadar kenal; dan (d) tidak harmonis. Apabila penutur dan mitra tutur berteman akrab lebih cendrung bersikap ramah walaupun nadanya sering tinggi dan naik turun, namun penjiwaannya gembira dan cendrung tidak santun dalam menuturkan katakatanya dan lebih sering memakai dan mengeluarkan kata-kata sumpah serapah awal bertemu. Namun , bila ada sesuatu yang penting atau ada masalah tentu saja akan bersikap santun dan serius, dan nada suara sedikit rendah, dan akan sangat rendah bila sedang mengeluh. Instrumentalities atau Bentuk Bahasa pada Peristiwa Tutur Komponen tutur instrumentalities berkaitan dengan saluran dan bentuk bahasa dalam suatu peristiwa tutur. Dalam melakukan pengamatan yang panjang, kenyataan menunjukkan bahwa saluran bahasa Sasak alus lebih dominan adalah oral atau berhadaphadap. Kemudian untuk kasus-kasus tertentu dapat ditemukan saluran bahasa berupa isyarat, misalnya menggambit dengan tangan untuk memanggil temannya yang jauh supaya mendekat, menganggukkan kepala atau mengangkat kelopak mata bila berpapasan, melambaikan atau sekadar mengangkat tangan di atas kepala sebagai isyarat selamat jalan atau selamat tinggal, membuka tangan ke arah kanan pertanda menyuruh masuk atau menyuruh duduk dan membuka tangan ke arah depan untuh menyuruh mencicipi makanan yang terhidang. Selain itu juga terkadang memukul atau mencolek punggung, sebagai salam jumpa khusus untuk teman yang akrab, namun hal tersebut khusus untuk penutur yang masih lanjang atau masih merasa anak muda. Untuk ibu-ibu atau bapak-bapak hanya jabat tangan dan ada juga yang menepuk bahu sedikit. Dalam saluran bahasa tulisan sulit ditemukan karena peristiwa tutur atau percakapan belum ditemukan melalui tulisan. Norms atau Norma Interaksi dan Norma Interpretasi NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 331 Komponen tutur norms berkaitan dengan norma interaksi dan norma interpretasi. Perilaku dalam suatu peristiwa tutur yang terdapat dalam bahasa Sasak alus lebih jauh dapat diperhatikan dalam peristiwa tutur berikut. 10) Percakapan Bahasa Sasak yang Menunjukkan Norms Penutur : Eh medaran? Mitra tutur : Inggih, makasih. penutur : Silak. Mitra tutur : Masihk besuh (D9-24-06-16) Terjemahan Penutur : Kita makan? Mitra tutur : Ia, terima kasih. penutur : Mari. Mitra tutur : Masih kenyang. Dalam komunikasi tersebut, terdapat semacam aturan yang menuntun arah pembicaraan. Oleh karena percakapan tersebut merupakan komunikasi yang berasal dari multi arah, adanya komunikasi yang interaktif, maka secara norma atau aturan berbicara yang sesuai dengan komponen speaking yang dibicarakan dalam teori, bahwa norma dalam kategori ini mengacu pada penyampaian bahasa dan pesan ynag disampaiakan sesuai dengan aturan sopan dan santun yang berlaku dalam masyarakat tertentu, seperti halnya dalam percakapan berikut., Penutur : Eh medaran? Mitra tutur : Inggih, makasih. Pada pengglan percakapan tersebbut, penutur berupaya mengajak mitra tutur untuk makan bersama, dengan menggunakan bahasa halus, selanjutnya, mitra tutur tidak menolak dengan menggunakan bahasa Sasak kasar. Genre atau Bentuk Tutur Dominan Secara Berdialog Komponen tutur genre berkaitan dengan bentuk penyampaian yang lebih dominan disampaikan secara dialog dan sangat jarang disampaikan secara monolog. Kemudian bentuk tutur genre ini tampak pada percakapan 119-05-16. 12) Percakapan Bahasa Sasak Tinggi Penutur: Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh. Bissmillahirrahmannirrahiim, singgih titiang pun niki agung pangampuran dewek titiang sami nyuwun maring dane-dane senamian. Mitra tutur: Singgih, kang utami dane pangarseng wacane, kapindo dane kepale dese miwah dane kadus kang minangke kebaos pengamong lan pengemban adat. Kapondo malih dane-dane pare pinitue-pinitue kerame, pare pengale dese sedaye, pare wande warge, wage wargie, pare santri, pare yad wangse sedaye tor pare putre sentane kang utami malih rame biang temanten putri. Singgih dewek titiang pribadi semalihipun hingkang nyarengin dewek titiang pun niki haseba ayun rage sami, becik hingkang lungguh sewontening arse kiwe tengen lan pungkur, naler nyuwun agung-agung panurgahe. (D1-19-05-16) Terjemahan Penutur: Baiklah saya yang menyangku tata cara dan perilaku termasuk juga semua orang yang ikut bersama saya, kami memohon maaf yang sebesar-besarnya. Mitra tutur: Baiklah, yang pertma juru bicara adat, kedua bapak kepala desa dan bapak kadus yang menjadi pemangku dan pelaksana adat. Selanjutnya kepada para tokoh masyarakat, para perangkat desa, para keluarga, seluruh lapisan masyarakat, NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 332 para santri dan kiyai, para pemuda. Kemudian yang paling utama orang tua pengantin wanita. Saya pribadi dan yang menemani saya menghadap kepada anda semua, baik yang duduk disebelah kiri, kanan juga di belakang saya menyampaikan permohonan permisi. Penutur: Baiklah para hadirin, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada anda semua jika ada tutur kata yang lupa, salah pada ucapan saya yang menghadap pada saat ini, dan juga jika ada kesalahan saya yang menyangku tata cara dan tindakan termasuk juga semua orang yang ikut bersama saya sekarang ini. Baik yang ada di sebelah kiri, kanan dan juga belakang saya ini, kami memohon maaf yang sebesar-besarnya. Saya ptibadi juga mohon maaf yang sebesar-besarnya mungkin belum memahami tentang aturan dan tata tertib. Oleh karena itu, sekali lagi kami memohon maaf yang sebesarbesarnya. Mitra tutur: Baiklah, kami semua yang ada di sini memohon kepada anda semua untuk memberi tahu kami apa maksud anda semua. kami memohon tutur sapa atau diceritakan. Pada percakapan tersebut antara Amaq Puput dan Amaq Galih, termasuk dalam pemilihan bahasa Sasak tinggi dan selain dalam pemilihan bahasa Sasak tinggi juga berbentuk dialog. Sebagai bahasa tertinggi dalam tataran bahasa Sasak berdasarkan tingkat pemakaian dalam penggunaannya tersebut juga termasuk komponen tutur yang dipakai secara berdialog. MANFAAT PENELITIAN Ervin-Trip (dalam Grosjean 1982: 125) mengidentifikasikan empat faktor utama yang menyebabkan pemilihan bahasa, yaitu (1) latar (waktu dan tempat) dan situasi, (2) partisipan dalam interaksi, (3) topik percakapan, dan (4) fungsi interaksi. Faktor pertama dapat berupa hal-hal, seperti: makan pagi di lingkungan keluarga, pesta kuliah, atau berkencan. Faktor kedua mencakup hal-hal, seperti: usia, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial ekonomi, asal, latar belakang kesukuan, dan peranannya dalam hubungan dengan partisipan lain. (contoh: direktur-karyawan, suami-istri, penjual pembeli, gurusiswa). Faktor ketiga dapat berupa: topik-topik tentang pekerjaan, olah raga, harga sembako, peristiwa aktual, dan sebagainya. Faktor keempat dapat berupa hal-hal seperti: penawaran informasi, permohonan, dan mengucapkan terima kasih. Senada dengan pendapat ErvinTrip di atas, Grosjean (1982: 136) berpendapat tentang faktor yang berpengaruh dalam pemilihan bahasa. Menurut Grosjean terdapat empat faktor, yaitu (1) partisipan, (2) situasi, (3) isi wacana, (4) fungsi interaksi. Aspek yang perlu diperhatikan dari faktor partisipan adalah (a) keahlian berbahasa, (b) pilihan bahasa yang dianggap lebih baik, (3) status sosial ekonomi, (d) usia, (e) jenis kelamim, (f) pendidikan, (g) pekerjaan, (h) latar belakang etnis, (i) relasi kekeluargaan, (j) keintiman, (k) sikap kepada bahasa-bahasa, dan (l) kekuatan luar yang menekan. Faktor situasi mencakupu: (a) lokasi atau latar, (b0 kehadiran pembicara monolingual, (c) tingkat formalitas, dan (d) tingkat keintiman. Faktor isi wacana berkaitan dengan (a) topik percakapan dan (b) tipe kosakata. Faktor fungsi interaksi mencakup: (a) strategi menaikan status, (b) jarak sosial, (c) melarang NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 333 masuk atau mengeluargak sesoorang dari pembicaraan, dan (d) memerintah atau meminta. Dari jabaran di atas, yang perlu diperhatikan adalah adanya atau jarang terdapat faktor tunggal yang mempengaruhi pemilihan bahasa seorang dwibahasawan dan multibahasawan. Yang menjadi pertanyaan adalah “apakaah faktorfaktor itu memiliki kedudukan yang sama pentingnya?. Umumnya beberapa faktor menduduki kedudukan yang lebih penting daripada faktor lainnya. Di Obewart, Gal (dalam Grosjean, 1982: 143) menemukan bukti bahwa karakteristik pembicara dan pendengar menduduki faktor penentu terpenting. Sedangkan faktor topik dan latar merupakan faktor yang kurang penting daripada faktor partisipan. Berbeda dengan Gal, Rubin menemukan faktor penentu yang terpenting adalah lokasi interaksi. Rubin meneliti pilihan bahasa Guarani dan Spanyol di Paraguay. Dari penelitian itu dapat disimpulkan bahwa lokasi interaksi, yaitu (1) desa, (2) sekolah, dan (3) tempat umum, sangat menentukan pilihan bahasa oleh pembicara bilingual. Di desa, pembicara akan memilih bahasa Guarani, di sekolah akan memilih bahasa Spanyol, dan di tempat umum memimilih bahasa Spanyol (Grosjean 1982: 43). Penelitian terhadap pemilihan bahasa menurut Fasold (1984: 183) dapat dilakukan berdasarkan tiga pendekatan, yaitu pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial, dan pendekatan antropologi. Ketiga pendekatan itu dapat dijelaskan sebagai berikut. Pendekatan sosiologi berkaitan dengan analisis ranah (domain). Pendekatan ini pertama dikemukakan oleh Fishman (1964). Ranah menurut Fishman (1964) dipandang sebagai konstelasi faktor-faktor seperti lokasi, topik, dan partisipan. Ranah didefinisikan sebagai konsepsi sosiokultural yang diabstraksikan dari topik komunikasi, hubungan peran antar komunikator, tempat komunikasi di dalam keselarasan lembaga masyarakat dan bagian dari aktivitas masyarakat tutur (Fishman dalam Pride dan Holmes (ed), 1972). Di bagian lain, Fishman (dalam Amon, 1987) mengemukakan bahwa ranah adalah konsepsi teoretis yang menandai satu situasi interaksi yang didasarkan pada pengalaman yang sama dan terikat oleh tujuan dan kewajiban yang sama, misalnya keluarga, ketetanggaan, agama, dan pekerjaan. Sebagai contoh, apabila penutur berbicara di rumah dengan seorang anggota keluarga mengenai sebuah topik, maka penutur itu dikatakan berada pada ranah keluarga. Analisis domain terkait dengan diglosia. Di dalam sebuah masyarakat yang terdapat diglosia, bahasa rendah (low) merupakan bahawa yang cenderung dipilih dalam domain keluarga, sedangkan bahasa tinggi dipergunakan dalam domain yang lebih formal, seperti pendidikan dan pemerintahan. Penelitian yang mempergunakan analisis domain pernah dilakukan antara lain oleh Greenfield (1972) tentang pemilihan bahasa Spanyol dengan tiga komponen kongruen, yaitu: orang, tempat, dan topik. Untuk menguji apakah sebuah paduan dari ketiga faktor itu benar-benar berhubungan dengan pikiran anggota masyarakatnya, Greenfield menyebarkan kuesioner. Dengan kuesioner itu subjek diberi dua faktor yang kongruen dan diminta untuk menyeleksi yang ketiga NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 334 dan juga bahasa yang akan mereka gunakan dalam panduan situasi. Subjek diberi tahu untuk memikirkan sebuah percakapan dengan orang tua tentang masalah keluarga dan meminta memilih tempat di antara beberapa pilihan: rumah, pantai, gereja, sekolah, dan tempat kerja. Dari kuesioner yang kembali mayoritas responden memilih lokasi rumah seperti yang diharapkan. Dengan satu perkecualian (pilihan pantai sebagai komponen yang tepat untuk domain persahabatan), komponen ketiga yang diharpkan dipipih oleh paling tidak 81 persen subjek. Setelah memilih komponen ketiga yang tepat, subjek diminta untuk menunjukkan yang mana yang berhubungan dengan domain pada skala lima-butir. Skala ini mirip dengan skla perbedaan-semantik yang sering digunakan dalam penelitian sikap bahasa. Angka 1 pada skala itu menunjukkan semua bahasa Spanyol, 2 berarti lebih banyak bahasa Spanyol daripada bahasa Inggris, 3 berarti jumlah yang sama antara bahasa Spanyol dan bahasa Inggris, 4 leboh banyak bahasa Inggris daripada bahasa Spanyol, 5 berarti semua bahasa Inggris. Dari hasil rata-rata diketahui bahwa bahasa Spanyol mendapatkan rata-rat rendah dan lebih banyak subjek yang memilih bahasa Inggris. Analisis varian dengan pilihan bahasa sebagai variabel bebas menunjukkan bahwa perbedaan menurut kategori domain signifikan pada p < 0,01. Interpretasi yang bisa ditarik adalah bahwa bahasa Spanyol lebih cenderung dipilih dalam situasi akrab, dan bahasa Inggris lebih cenderung dipilih dalam situasi yang terdapat perbedaan status. Dengan menggunakan pendekatan sosiologis inilah Greenfield menemukan bukti bahwa masyarakat Puerto Rico di New York City cenderung diglosik, dengan bahasa Spanyol sebagai bahasa rendah dan bahasa Inggris sebagai bahasa tinggi. Berbeda dengan pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial lebih tertarik pada proses psikologis manusia daripada kategori dalam masyarakat luas. Pendekatan ini lebih berorientasi pada individu, seperti motivasi individu, daripada berorientasi pada masyarakat. Karyakarya penting dalam penelitian pemilihan bahasa dengan pendekatan psikologi sosial telah dilakukan oleh Simon Herman (1968), Giles dan kawan-kawannya (Giles 1973; Giles, Bourhish dan Taylor 1977). Herman (1968 dalam Fasold 1984: 187) mengemukakan teori situasi tumpang tindih yang mempengaruhi seseorang di dalam pemilihan bahasa. Menurut Herman seorang penutur dwibahasa berada pada lebih dari satu situasi psikologis secara simultan. Herman membicarakan tiga jenis situasi. Situasi pertama berhubungan dengan kebutuhan personal penutur (personal needs), kedua situasi lain berhubungan dengan pengelompokkan sosial (social grouping), yaitu situasi latar belakang (background situation) dan situasi sesaat (immediate situation). Sangatlah bermakna untuk melihat ketika pembicara yang harus memilih antara dua bahasa atau lebih pada dua situasi tumpang tindih. Kedua situasi psikologis itu menurut Herman (dalam Fishman 1977: 493) sebagai berikut. Pertama, satu situasi yang berkaitan dengan kebutuhan yang ada pada pribadi, yaitu keinginan untuk berbicara dalam bahasa tertentu NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 335 (bahasa yang paling dikuasainya); situasi lain berkiatan dengan normanorma kelompoknya yang memungkinkan dia memaksa diri menggunakan bahasa lain (bahasa itu mungkin belum dikuasainya secara baik).Di sini terjadi konflik antara kebutuhan pribadi dan tuntutan kelompok. Kedua, dalam penentuan bahasa yang akan digunakan muncul kekuatan yang tidak hanya dari situasi yang bersemuka (face to face), akan tetapi juga dari situasi yang lebih besar. Dengan pendekatan yang sama, Howard Giles (1977, 321-324) mengembangkan teori akomodasi (acomodation theory). Secara normal, akomodasi mengambil bentuk konvergensi, yang ditunjukkan dengan memilih sebuah bahasa atau variasi bahasa yang tampak sesuai dengan kebutuhan orang yang diajak berbicara. Dalam kondisi tertentu, seorang penutur dapat gagal melakukan konvergensi bahka mungkin dengan sengaja melakukan divergensi. Dengan kata lain, seorang penutur mungkin tidak mengalami kesulitan sama sekali dalam memilih bahasa atau variasi bahasa untuk menyesuaikan dengan orang lain, dan ada penutur yang dengan sengaja memilih bahasa atau variasi bahasa yang tidak sesuai dengan orang yang diajak berbicara. Hal di atas terjadi ketika penutur ingin menekankan loyalitasnya pada kelompokknya sendiri dan membedakan dirinya dari kelompok mitra bicara. Satu contoh yang jelas adalah ketika seorang Amerika kulit hitam yang berbicara dengan orang berkulit putih dengan menggunakan bahasa Inggris dialek hitam untuk menunjukkan jati dirinya. Dari pandangan antropologi, pilihan bahasa bertemali dengan perilaku yang mengungkap nilai-nilai sosial budaya. Seperti juga psikologi sosial, antropologi tertarik dengan bagaimana seorang penutur berhubungan dengan struktur masyarakat. Perbedaannya adalah bahwa jika psikologi sosial memandangnya dari sudut kebutuhan psikologis penutur, pendekatan antropologi memandangnya dari bagaimana seseorang menggunakan pemilihan bahasanya untuk mengungkapkan nilai kebudayaannya (Fasold 1984: 192). Dari segi metodologi terdapat perbedaan antara pendekatan antropologi, pendekatan sosiologi, dan psikologi sosial. Sosiologi dan psikologi sosial lebih mengarahkan kajiannya pada data kuesioner atau observasi atas orang-orang yang ditelitinya di bawah kendali eksperimen, sedangkan pendekatan antropologi menempatkan nilai yang tinggi pada perilaku takterkontrol yang alamiah. Hal ini membimbing mereka untuk menggunakan metode penelitian yang jarang digunakan oleh sosiolog dan psikolog sosial, yaitu yang disebut observasi partisipan (participant observation). Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Susan Gal (yang mempublikasikan penelitiannya 1979) di Oberwart, Australia Timur. Ia menghabiskan waktu satu tahun untuk tinggal di sebuah keluarga setempat (Fasold, 1984: 192). Dengan menggunakan metode observasi partisipan, antropolog dapat memberikan perspektif penjelasan atas pemilihan bahasa berdasarkan persepsinya sebagai penutur sebuah kelompok atau lebih yang “dimasukinya” selama mengadakan penelitian. Implikasi dari metode ini NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 336 adalah bahwa pengamat adalah peneliti yang menjadi anggota kelompok yang diamatinya (Wiseman dan Aron, 1970: 49). Selain itu, metode observasi partisipan yang tipikal dalam pendekatan itu, yang mengarah kepada peneliti sebagai instrumen penelitian relevan untuk mengungkap secara alamiah gejala pemilihan bahasa dalam masyarakat multibasa di Indonesia. Kesimpulan Pemilihan bahasa dalam paradigma sosiolinguistis bertemali bukan hanya dengan masalah linguistis semata, melainkan juga dengan masalah sosial, budaya, psikologis, dan situasional. Dalam konteks situasi kebahasaan di Indonesia, dengan adanya berbagai bahasa atau ragam bahasa yang digunakan dalam interaksi sosial, kajian secara mendalam terhadap fenomena ini sanat penting untuk dilakukan. Kajian seperti itu bermakna baik secara teoretis maupun praktis. Secara teroretis kajian ini bermanfaat bagi pengembangan sosiolinguistik pada umumnya, dan sosiolinguistik Indonesia pada khususnya. Disadari bahwa temuan sosiolinguistik yang berlatar situasi kebahasaan dan sosialbudaya di Indonesia diharapkan menjadi sumbangan berharga bagi disiplin sosiolinguistik pada umumnya. Secara praktis kajian itu bermakna bagi peristiwa komunikasi. Kajian pemilihan bahasa bermanfaat dalam memberikan wawasan tentang peristiwa komunikasi dalam masyarakat multibahasa di Indonesia. Dalam peristiwa itu keharusan untuk memilih bahasa atau ragam bahasa yang cocok dengan situasi komunikasi tidak dapat dihindari sebab kekeliruan dalam melakukan pemilihan bahasa atau ragam bahasa dapat berakibat kerugian bagi peserta komunikasi itu. Saran Dipandang dari perspektif sosiolinguistik, dimungkinkan adanya fenomena diglosia pada masyarakat, terutama pada masyarakat Sasak di Desa Sengkol Kecamatan Pujut yang belum diungkap pada penelitian ini. Kemudian untuk itu, diperlukan penelitian lanjut agar dapat diteliti lebih mendalam. Penelitian seperti ini sangat bermakna dalam upaya pembinaan dan pengembangan bahasa daerah. Kemudian mengingat adanya kekhawatiran tentang adanya pergeseran dan kepunahan bahasa, maka perlu kiranya untuk diteliti lebih jauh tentang pemertahanan bahasa daerah, khususnya pemertahanan bahasa Sasak yaitu base alus. DAFTAR RUJUKAN Alwi, Hasan., Soenjono Dardjowidjojo, Hans Lapoliwa, & Anton M. Moeliono. 2010. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Aslinda & Syafyahya Leni. 2014. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: Refika Aditama. Bahrie, Sudirman & Ratmaja. 2009. Bahan Ajar Muatan Lokal, Gumi Sasak; Terintegrasi Budi Pekerti. Praya: Prima Guna. Bartholomen, John R. 2001. Alif Lam Mim; Kearifan Masyarakat Sasak. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 337 Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik; Kajian Teori. Jakarta: Rineka Cipta. Chaer, Abdul & Agustina Leonie. 2010. Sosiolinguistik; Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Moleong, J. L., 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Ratmaja. 2011. Bahan Ajar Muatan Lokal; Budaya Sasak. Mataram: Prima Guna. Suandi, I Nengah. 2014. Sosiolinguistik. Singaraja: Graha Ilmu. Sumarsono. 2012. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 338