pilihan bahasa masyarakat dwibahasawan berdasarkan stratifikasi

advertisement
PILIHAN BAHASA MASYARAKAT
DWIBAHASAWAN BERDASARKAN
STRATIFIKASI SOSIAL PADA MASYARAKAT
LOMBOK NUSA TENGGARA BARAT
Muhamad Agus Alwi
Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia
Abstrak: Pilihan bahasa masyarakat dwibahasawan berdasarkan
stratifikasi sosial dalam masyarakat Sasak pengguna tingkat
bahasa Sasak alus pada umumnya menjadi suatu studi yang sudah
jarang di kaji lagi dalam pendidikan maupun luar pendidikan.
Akan tetapi pada masyarakat Sasak pilihan bahasa Sasak alus
adalah suatu adat-istiadat yang sudah menjadi identitas bagi
mereka. Selain karena merupakan adat kebiasaan yang dilakukan
sebagai pembuktian keberadaan masyarakat bangsawan
khususnya pada masyarakat sengkol maupun masyarakat luar
secara umum.
Penelitian ini bertujuan: 1) menjelaskan pemilihan ragam bahasa
Sasak tinggi, sedang dan rendah pada masyarakat Sengkol
Kecamatan Pujut, 2) menjelaskan faktor yang menentukan
penggunaan bahasa Sasak tinggi, sedang dan rendah di Desa
Sengkol Kecamatan Pujut.
Hasil penelitian yang diperoleh bahwa alasan-alasan yang
melatarbelakangi masyarakat Sengkol khususnya kaum
bangsawan menggunakan bahasa Sasak alus adalah karena salah
satu warisan yang diturunkan oleh nenek moyangnya dan harus
dipatuhi terutama oleh kaum bangsawan itu sendiri. Adapun
alasan lain sebagai gelar kebangsawanannya yang menjadi
identitas pembeda dengan masyarakat biasa. Selain sebagai
identitas, gelar, dan kebiasaan bahasa Sasak alus adalah sebagai
bahasa yang sangat penting di kalangan masyarakat Sasak yang
menggunakan bahsa Sasak alus waktu acara adat Sasak. Salah
satu adat Sasak tempat penggunaan bahasa Sasak alus adalah adat
kawin atau acara perkawinan yang digunakan waktu acara adat
Sasak.
Kata kunci: Pilihan Bahasa, Masyarakat Dwibahasawan, Stratifikasi
Sosial, dan Masyarakat Sasak Pengguna Tingkat
Bahasa Sasak Alus.
PENDAHULUAN
Pandangan de Saussure (1916),
yang menyebutkan bahwa bahasa
adalah
salah
satu
lembaga
kemasyarakatan, yang sama dengan
lembaga kemasyarakatan lain, seperti
perkawinan,
pewarisan
harta
peninggalan, dan sebagainya telah
memberi isyarat akan pentingnya
perhatian terhadap dimensi sosial
bahasa. Namun, kesadaran tentang
hubungan yang erat antara bahasa dan
masyarakat baru muncul pada
pertengahan abad ini (periksa Hudson
1996: 2). Para ahli bahasa mulai sadar
bahwa pengkajian bahasa tanpa
mengaitkannya dengan masyarakat
akan mengesampingkan beberapa
NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 319
aspek penting dan menarik, bahkan
mungkin menyempitkan pandangan
terhadap disiplin bahasa itu sendiri.
Argumentasi ini telah dikembangkan
oleh Labov (1972) dan Halliday
(1973). Alasannya adalah bahwa
ujaran mempunyai fungsi sosial, baik
sebagai alat komunikasi maupun
sebagai
suatu
cara
mengidentifikasikan kelompok sosial.
Apabila kita mempelajari bahasa
tanpa mengacu ke masyarakat yang
menggunakannya
sama
dengan
menyingkirkan
kemungkinan
ditemukannya penjelasan sosial bagi
struktur yang digunakan. Satu aspek
yang juga mulai disadari adalah
hakikat pemakaian bahasa sebagai
suatu gejala yang senantiasa berubah.
Suatu pemakaian bahasa itu bukanlah
cara pertuturan yang digunakan oleh
semua orang, bagi semua situasi
dalam bentuk yang sama, sebaliknya
pemakaian bahasa itu berbeda-beda
tergantung pada berbagai faktor, baik
faktor sosial, budaya, psikologis,
maupun pragmatis. Hubungan bahasa
dan faktor-faktor tersebut dikaji
secara mendalam dalam disiplin
sosiolinguistik.
Dari perspektif sosiolinguistik
fenomena
pemilihan
bahasa
(language choice) dalam masyarakat
multibahasa merupakan gejala yang
menarik untuk dikaji. Fasold (1984:
180)
mengemukakan
bahwa
sosiolinguistik dapat menjadi bidang
studi
karena
adanya
pilihan
pemakaian
bahasa.
Fasold
memberikan ilustrasi dengan istilah
society
multilingualism
(multilingualisme masyarakat) yang
mengacu pada kenyataan adanya
banyak bahasa dalam masyarakat.
Tidaklah akan ada bab tentang
diglosia, apabila tidak ada variasi
tinggi dan rendah. Apabila dicermati
setiap bab dalam karya Fasold (1984),
akan jelas bahwa setiap kajian dalam
karya
itu
dipusatkan
pada
kemungkinan adanya pilihan yang
bisa dibuat di dalam masyarakat
mengenai penggunaan variasi bahasa.
Statistik sekalipun menurut Fasold
(1984) tidak akan diperlukan dalam
kajian sosiolinguistik, apabila tidak
ada variasi dalam penggunaan bahasa
dan pilihan di antara variasi-variasi
tersebut.
Permasalahan yang menarik
untuk diungkap di sini antara lain
sebagai berikut. Dipandang sebagai
fenomena apakah pemilihan bahasa
itu dalam paradigma sosilinguistik:
fenomena linguistis, sosial budaya,
atau psikolgis? Faktor-faktor apa
yang menjadi penentu pemilihan
bahasa
dalam
masyarakat
multibahasa?
Secara
teoretis
pendekatan apa yang selama ini
digunakan oleh para ahli dalam
mendekati fenomena itu? Tulisan ini
mencoba mengungkap permasalahan
tersebut. Berikut secara berturut-turut
dipaparkan:
(1)
perspektif
sosiolinguistis tentang pemilihan
bahasa ; (2) kategori pemilihan
bahasa; (3) faktor penentu pemilihan
bahasa; dan (4) pendekatan pemilihan
bahasa.
METODE PENELITIAN
Sesuai
dengan
namanya,
sosiolinguistik mengkaji hubungan
bahasa dan masyarakat (Wardhaugh,
1984: 4; Holmes, 1993; 1; Hudson,
1996: 2), yang mengaitkan dua
bidang yang dapat dikaji secara
terpisah, yaitu struktur formal bahasa
oleh
linguistik
dan
struktur
masyarakat oleh sosiologi. Istilah
sosiolinguistik itu sendiri baru
muncul pada tahun 1952 dalam karya
Haver C. Currie (via Dittmar 1976:
27) yang menyatakan perlu adanya
kajian mengenai hubungan antara
NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 320
perilaku ujaran dengan status sosial.
Ia mulai berkembang pada akhir
tahun 60-an, dan diujung tombak oleh
Committee on Sociolinguistics of the
Social Science Research Council
(1964) dan Research Committee on
Sociolingustics of the International
Sociology Association (1967). Jurnal
baru terbit pada awal tahun 70-an,
Language in Society (1972) dan
International Journal of the Sociology
of Language (1974), dan sejumlah
buku teks pengantar (Pride, 1971,;
Fishman, 1972, Dittmar, 1976). Dari
kenyataan itu dapat dimengerti bahwa
sosiolinguistik merupakan disiplin
yang relatif baru.
Bahasa
dalam
kajian
sosiolinguistik tidak didekati sebagai
bahasa sebagaimana dalam kajian
linguistik teoretis, melainkan didekati
sebagai sarana interaksi di dalam
masyarakat.
Konferensi
sosiolinguistik
pertama
yang
berlangsung
di
University
of
California, Los Angeles, tahun 1964,
telah merumuskan adanya tujuh
dimensi
dalam
penelitian
sosiolinguistik. Ketujuh dimensi yang
merupakan
bidang
kajian
sosiolinguistik itu adalah (1) identitas
sosial penutur, (2) identitas peserta
tutur, (3) lingkungan sosial tempat
peristiwa tutur, (4) analisis sinkronik
dan diakronik dari dialek-dialek
sosial, (5) penilaian sosial yang
berbeda oleh penutur akan perilaku
bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan
variasi linguistik, dan (7) penerapan
praktis penelitian sosiolinguistik
(lihat Dittmar 1976: 128). Sejalan
dengan rumusan itu, Kartomihardjo
(1988: 4) mengemukakan gagasan
tentang objek kajian sosiolinguistik,
sebagai berikut. “Sosiolinguistik
mempelajari
hubungan
antara
pembicara dan pendengar, berbagai
macam bahasa dan variasinya,
penggunaannya
sesuai
dengan
berbagai faktor penentu, baik faktor
kebahasaan maupun lainnya, serta
berbagai bentuk bahasa yang hidup
dan dipertahankan di dalam suatu
masyarakat”.
Gagasan
itu
mengandung
pengertian bahwa sosiolinguistik
mencakupi bidang kajian yang luas,
bukan hanya menyangkut wujud
formal bahasa dan variasi bahasa
melainkan juga penggunaan bahasa di
masyarakat. Penggunaan bahasa
tersebut bertemali dengan berbagai
faktor, baik faktor kebahasaan itu
sendiri
maupun
faktor
nonkebahasaan, seperti faktor sosial
budaya, termasuk tata hubungan
antara pembicara dan pendengar.
Implikasinya adalah bahwa tiap-tiap
kelompok masyarakat mempunyai
kekhususan dalam hal nilai-nilai
sosialbudaya dan variasi penggunaan
bahasa dalam interaksi sosial.
Ada asumsi penting di dalam
sosiolinguistik yang menyatakan
bahwa bahasa itu tidak pernah
monolitik
keberadaannya
(Bell,
1975). Asumsi ini mengandung
pengertian bahwa sosio-linguistik
memandang
masyarakat
yang
dikajinya sebagai masyarakat yang
beragam setidak-tidaknya dalam hal
penggunaan bahasa atau dalam
pilihan bahasa mereka. Adanya
fenomena pemakaian variasi bahasa
dalam masyarakat tutur dikontrol oleh
faktor-faktor sosial, budaya, dan
situasional (Kartomihardjo, 1981,
Fasold, 1984, Hudson, 1996, Wijana
(1997: 5). Dalam kajian pemilihan
bahasa, tugas sosiolinguis adalah
berusaha menerangjelaskan hubungan
antara gejala pemilihan bahasa
dengan faktor-faktor sosial, budaya,
dan situasional dalam masyarakat
dwibahasa atau multibahasa, baik
NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 321
secara
korelasional
maupun
implikasional.
Pada umumnya, sosiolinguistik
mengkaji masyarakat dwibahasa atau
multibahasa. Dalam kenyataannya,
fenomena pemilihan bahasa juga akan
bertemali dengan situasi semacam itu
sebab untuk menentukan pemilihan
bahasa atau ragam bahasa tertentu,
tentu ada bahasa lain atau ragam lain
yang
ikut
digunakan
dalam
berkomunikasi sehari-hari sebagai
pendamping sekaligus pembanding.
Sosiolinguistik
melihat
fenomena pemilihan bahasa sebagai
fakta sosial dan menempatkannya
dalam sistem lambang (kode), sistem
tingkah laku budaya, serta sistem
pragmatik. Dengan demikian, kajian
sosiolinguistik menyikapi fenomena
pemilihan bahasa sebagai wacana
dalam peristiwa komunikasi dan
sekaligus menunjukkan identitas
sosial dan budaya peserta tutur.
Dalam kaitannya dengan situasi
kebahasaan di Indonesia, kajian
pemilihan bahasa dalam masyarakat
di Indonesia bertemali dengan
permasalahan pemakaian bahasa
dalam masyarakat dwibahasa atau
multibahasa
karena
situasi
kebahasaan di dalam masyarakat
Indonesia
sekurang-kurangnya
ditandai oleh pemakaian dua bahasa,
yaitu bahasa daerah sebagai bahasa
ibu (pada sebagaian besar masyarakat
Indonesia), bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional, dan bahasa asing.
Studi pemilihan bahasa dalam
masyarakat
seperti
itu
lebih
mengutamakan aspek tutur (speech)
daripada aspek bahasa (language).
Sebagai aspek tutur, pemakaian
bahasa relatif berubah-ubah sesuai
dengan perubahan unsur-unsur dalam
konteks sosial budaya. Hymes (1972;
1973; 1980) merumuskan unsur-unsur
itu dalam akronim SPEAKING, yang
merupakan salah satu topik di dalam
etnografi komunikasi (the etnography
of communication), yang oleh
Fishman (1976: 15) dan Labov (1972:
283) disebut sebagai variabel
sosiolinguistik.
Hymes (1980) mengemukakan
tujuh belas komponen peristiwa tutur
(components of speech event) yang
bersifat universal. Ketujuh belas
komponen
itu
oleh
Hymes
diklasifikasikan lagi menjadi delapan
komponen
yang
diakronimkan
dengan SPEAKING: (1) setting and
scene (latar dan suasana tutur), (2)
participants (peserta tutur), (3) ends
(tujuan tutur), (4) act sequence
(topik/urutan tutur), (5) keys (nada
tutur), (6) instrumentalities (sarana
tutur), (7) norms (norma-norma
tutur), dan (8) genre (jenis tutur).
Pandangan Hymes di atas dijadikan
kerangka
konsep
pelaksanaan
penelitian ini. Kedelapan komponen
peristiwa tutur tersebut merupakan
faktor luar bahasa yang menentukan
pemilihan bahasa.
HASIL PENELITIAN
Pemilihan
Bahasa
Sasak
Berdasarkan Stratifikasi Sosial
Pemilihan
bahasa
Sasak
tersebut yang digunakan oleh penutur
dan mitra tutur memiliki kemampuan
bertutur dalam menggunakan bahasa
Sasak yang kerep mengalami peruses
komunikasi lisan pada masyarakat
Desa Sengkol Kecamatan Pujut.
Fenomena
kebahassaan tersebut
dapat ditemukan dalam berbagai
macam ranah, mulai dari ranah
pergaulan sehari-hari, ranah kerja,
ranah pendidikan, dan lainnya.
Pemilihan
bahasa
yang
terdapat pada masyarakat Desa
Sengkol salah satunya terjadi karena
perbedaan status (klasifikasi sosial)
masyaraat. Sebagai mana telah
NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 322
dijelaskan pada bab sebelumnya,
bahwa masyarakat Desa Sengkol
yang didiami oleh masyarakat asli
suku Sasak terdapat berbagai lapisan
masyarakat dengan varian dan
tingkatan kebahasaan yang berbedabeda pula, mulai dari bahasa alus
(halus), bahasa sedanag, dan bahasa
biasa. Lebih jelasnya masalah
tersebut akan peneliti paparkan dalam
hasil penelitian dalam bentuk campur
kode dan alih kode, yaitu sebagian
berikut.
Alih Kode Bahasa Sasak Halus
dengan Bahasa Sasak Jamak atau
Biasa
Pada bagian ini terdapat
percakapan dengan menggunakan alih
kode antara bahasa Sasak halus
dengan bahasa Sasak sedang dan
biasa.
1)
Penutur : sei epe bije nin?
(siapa punya anak itu?)
Mitra tutur 1: ndk ne ye nen bije me
uyun? (bukannya itu anakknya bu
uyun?)
Mitra tutur 2 : ye nen adek de sak
wikanang lebih jelas bijene me uyun
se mamiq ne olek montongbaan, aran
ne lelu? (ini biar kamu tahu lebih
jelas, ini anaknya ibu uyun yang
bapaknya dari Montong Ba’an,
namanya Bapak?)
Mitra tutur 3 : lalu Nuraksa. (Lalu
Nuraksa)
Mitra tutur 2 : masih ne begawean lik
sadhana? (masih kerja di sadhana
bapak?)
Mitra tutur 1 : enggih. (ya)
Mitra tutur 4 : ooo, ngembe sejarah
idup de side laek mik? (bagaimana
sejarah hidup kamu dulu pak?)
Penutur : laek sejarah idupku kence
mamaq bi, ye doank kenceku bareng,
kan jak lik bale taok ne ngeji laek.
(Dulu sejarah hidupku sama ibumu,
dia saja temanku bersama, dulukan di
rumah tempatnya ngaji)
Mitra tutur 2 : mun tg bece sejarah
idup de, sd laeq girang de
ngeceweang. (kalau saya baca sejarah
hidup kamu, kamu dulu sering
mengecewakan)
Mitra tutur 4 : tetu meq. (betul kamu)
Penutur : aran jak ite meme.
(namanya juga kita cowok)
Mitra tutur 2 : lasing, ndk de maraq
lok tatak, nine doank kence ne
bekedek sampe nane, lampaq doank
maraq tandang dengan nine ntan ne
sampe nane. (iya, tidak seperti tatak,
cewek saja temannya bergaul dan
bermain sampai sekarang, jalannya
saja sekarang sudah seperti cewek)
Penutur : ye doank kencequ laek
mamak ne uleq ngeji lampaq kence
empat. (dia saja teman aku dulu ibu
kamu pulang ngaji jalan berempat)
Mitra tutur 2 : ndk de wah terus
bergaul kence meme, untung de ndk
maraq lok tatak donk. (terus kamu
tidak pernah bergaul dengan laki-laki,
untung kamu tidak jadi seperi tatak)
Penutur : lasing ye doank po kence qu
demen. (iya, karna sma mereka
(wanita) teman saya senang bergaul).
Komunikasi yang terjadi di
atas dalam konteks situasi kantor
memperlihatkan
bahwa
tingkat
profesi yang digeluti seseorang
menentukan gaya bahasa yang
digunakan. Pada percakapan tersebut
penutur selalu menggunakan kode
bahasa jamak (BJ) pada lawan
tuturnya, karena si penutur tersebut
lebih tua dari lawan tuturnya. Namun
lawan
tuturnya
sendiri
selalu
menggunakan kode bahasa halus
(BH) saat bertutur, karena si mitra
tutur ini lebih muda dari lawan
tuturnya. Hal ini terliahat dari kata
side (kamu) yang dipakai oleh si
penutur pertama, dan kata tiang
NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 323
(saya) yang selalu di lontarkan oleh
penutur kedua dan kata equ (saya)
atau bi (kamu, untuk panggilan
wanita lebih kecil “BJ”) yang slalu di
gunakan oleh penutur pertama saat
berkomunikasi. Begitupun dengan
penutur ketiga saat berkomunikasi
dengan penutur pertama selalu
menggunkan kode BH sedang jika
dengan penutur kedua menggunakan
kode BJ. Hal ini terlihat dari kata Side
(kamu) yang digunakan ketika
berkomunikasi
dengan
penutur
pertama, secara tidak sadar penutur
ketiga beralih style menggunkan kode
BJ, terlihat dari kata Ente (kamu)
yang digunakan oleh penutur ketiga
ketika menjawab tuturan dari penutur
kedua.
Campur Kode Bahasa Sasak Halus
dan Bahasa Sasak Jamak atau
Biasa
Berikut merupakan tuturan
dengan menggunakan campur kode
dalam bahasa Sasak sedang dan biasa
dalam mendidik anak.
1)
Penutur : Kan jak uatn doang
inia mak, edak empaqn niki?
Mitra tutur : Angkak iye wah sak
tekelak inia, iye rue’n rase’n pokokn
murak muk loek
Penutur : Owh…Inggih
Mitra tutur : Mamiqm ndekn demen
laun lamun isi-isin doang, iye sik
pengkelakm inia uatn daet isin, daet
kakakm, arim, daet tuak- saikm laun
endah ean datang piaq acare mangan
bersama
Penutur
: Maraq besen mamik,
napi-napi wah.
(D5-22-05-16)
Terjemahan
Penutur : Kok uratnya saja itu mak,
tidak ada dagingnya?
Mitra tutur : Ia sudah ini yang di
jadikan sayur, dan memang begitu
juga, inikan murah dan banyak
Penutur : Owh…ya
Mitra tutur : Bapak tidak suka nanti
kalau dagingnya saja, jadi sayur ini
kita campur pakai uratnya juga biar
ada yang disukai oleh bapak mu
nanti, dan kakak, adik, beserta bibi
dan paman mu nanti mau datang
untuk buat acara makan bareng.
Penutur : Seperti katanya bapak, apaapa sudah.
Campur kode dalam tuturan
tersebut dapat ditemukan dalam
setiap percakapan, antaranya,
Penutur : Kan jak uatn doang inia
mak, edak empaqn niki?
Mitra tutur : Angkak iye wah sak
tekelak inia, iye rue’n rase’n pokokn
murak muk loek
Kalimat “kan jak uatn doang
inia mak”, termasuk ke dalam
bahasa sasak sedang. Sedangkan
“niki”, termasuk ke dalam bahasa
sasak halus. Penutur sebagai anak
dalam peristiwa tutur tersebut tetap
menggunakan bahasa Sasak alus
dalam berkomunikasi disamping
karna berkomunikasinya dengan
orang tua atau ibunya, itu juga
karena
ia
sudah
terbiasa
menggunakan bahasa Sasak sedang
setiap berkomunikasi. Selain itu
juga, campur code bahasa Sasak
halus dengan bahasa Sasak jamak
(biasa)
terdapat
juga
dalam
percakapan
berikut,
karena
merupakan
tuturan
dengan
menggunakan campur kode dalam
bahasa Sasak halus dan bahasa Sasak
jamak atau biasa.
2)
Penutu : Baiq Yun, napi
pekarye baiq Vita mangkin?
Mitra tutur 1 : Tiang mindah baiq
Nens, o y jakan sembahyang basen
mamiqn baruq
NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 324
Mitra tutur 2 : Napi sanak, tiang
sampun sembahyang?
penutur
: Inggih, napi pekarye
mangkin?
Mitra tutur 1 : Tiang margi jok
gedeng ninik
Penutur
: Napi pekarye lek
gedeng ninik?
Mitra tutur 2 : Tiang baet kepeng
Nens, Yun. Silaq tengiring!
Penutur
: Inggih mangkin tiang
nyusul kance Yuni
Mitra tutur 1 : Inggih Vit, ati-ati
lampak langan
Mitra tutur 2 : Inggih matur tampi
asih.
(D6-23-05-16)
Terjemahan
Penutur
: Baiq Yun, apa yang
dikerjakan baiq Vita sekarang?
Mitra tutur 1 : Saya tidak tau Nens,
o y lagi shalat kata bapaknya barusan
Mitra tutur 2 : Apa saudara, saya
sudah shalat?
penutur
: Ya, apa pekerjaan mu
sekarang?
Mitra tutur 1 : Saya mau pergi ke
rumah kakek
Penutur
: Mau kerja apa di
rumah kakek?
Mitra tutur 2 : Saya mau ambil uang
Nens, Yun. Ikut ayo!
Penutur
: Ia sekarang saya
menyusul sama Yuni
Mitra tutur 1 : Ia Vit, hati-hati
dijalan
Mitra tutur 2: Ia terimakasih banyak.
Dari percakapan tersebut
terdapat percampuran bahasa Sasak
alus tinggi, sedang, dan biasa.
kemudian yang berpola bahasa Sasak
halus dengan runtut digunakan oleh
antar penutur. Hal tersebut telihaat
dari bahasa Sasak biasa pada bahasa
jok (ke) lek (di) dan baet (ambil).
Dalam bahasa Sasak sedang terlihat
pada bahasa tiang (saya) dan sampun
(sudah) dan kemudian dalam bahasa
Sasak tinggi terlihat pada bahasa
inggih (ya), pekarye (pekerja),
mangkin (sekarang) dan matur
tampiasih (terimakasih banyak).
Faktor-Faktor yang Menentukan
Pemilihan Bahasa Sasak
Berdasarkan hasil wawancara
dengan narasumber yang diperoleh
dari Kepala Desa, Kepala Dusun atau
Kadus, Tokoh Adat, dan Masyarakat
sekitar Desa Sengkol Kecamatan
Pujut Kabupaten Lombok Tengah
bahwa faktor yang melatar belakangi
pengguna pemilihan bahasa Sasak,
maka ditemukan beberapa data yang
diambil dari percakapan anatara
penutur dan mitra tutur yang terjadai
dalam berbagai ranah. Namun
sebelumnya, untuk memperjelas hasil
penelitian, analisis dan pembahasan,
peneliti terlebih dahulu memaparkan
tentang tingkat kebahasaan yang
terdapat dalam masyarakat Desa
Sengkol Kecamatan Pujut. Berikut,
peneliti paparkan.
Bahasa Sasak Halus atau Tinggi
Pada bagian ini dipaparkan
data
hasil
penelitian
tentang
pemilihan bahasa yang termasuk
dalam tingkatan berbahasa yang
tergolong
tinggi,
berikut
percakapannya.
3) Percakapan bahasa Sasak tinggi
Penutur:
Assalamualaikum
warahmatullahi wabarokatuh.
Bissmillahirrahmannirrahiim, singgih
titiang pun niki agung pangampuran
dewek titiang sami nyuwun maring
dane-dane senamian.
Mitra tutur: Singgih, kang utami dane
pangarseng wacane, kapindo dane
kepale dese miwah dane kadus kang
minangke kebaos pengamong lan
pengemban adat. Kapondo malih
dane-dane
pare
pinitue-pinitue
NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 325
kerame, pare pengale dese sedaye,
pare wande warge, wage wargie, pare
santri, pare yad wangse sedaye tor
pare putre sentane kang utami malih
rame biang temanten putri. Singgih
dewek titiang pribadi semalihipun
hingkang nyarengin dewek titiang
pun niki haseba ayun rage sami, becik
hingkang lungguh sewontening arse
kiwe tengen lan pungkur, naler
nyuwun agung-agung panurgahe.
(D1-19-05-16)
Terjemahan
Penutur:
Baiklah
saya
yang
menyangku tata cara dan perilaku
termasuk juga semua orang yang ikut
bersama saya, kami memohon maaf
yang sebesar-besarnya.
Mitra tutur: Baiklah, yang pertma juru
bicara adat, kedua bapak kepala desa
dan bapak kadus yang menjadi
pemangku dan pelaksana adat.
Selanjutnya kepada para tokoh
masyarakat, para perangkat desa, para
keluarga, seluruh lapisan masyarakat,
para santri dan kiyai, para pemuda.
Kemudian yang paling utama orang
tua pengantin wanita. Saya pribadi
dan yang menemani saya menghadap
kepada anda semua, baik yang duduk
disebelah kiri, kanan juga di belakang
saya menyampaikan permohonan
permisi.
Penutur: Baiklah para hadirin, saya
mohon maaf yang sebesar-besarnya
kepada anda semua jika ada tutur kata
yang lupa, salah pada ucapan saya
yang menghadap pada saat ini, dan
juga jika ada kesalahan saya yang
menyangku tata cara dan tindakan
termasuk juga semua orang yang ikut
bersama saya sekarang ini. Baik yang
ada di sebelah kiri, kanan dan juga
belakang saya ini, kami memohon
maaf yang sebesar-besarnya. Saya
ptibadi juga mohon maaf yang
sebesar-besarnya mungkin belum
memahami tentang aturan dan tata
tertib. Oleh karena itu, sekali lagi
kami memohon maaf yang sebesarbesarnya.
Mitra tutur: Baiklah, kami semua
yang ada di sini memohon kepada
anda semua untuk memberi tahu kami
apa maksud anda semua. kami
memohon tutur sapa atau diceritakan.
Penggunaan bahasa Sasak
tinggi seperti yang terdapat dalam
percakapan tersebut bergantung pada
situasi ujaran. Situasi yang dimaksud
berkaitan dengan siapa berbicara,
bahasa apa yang digunakan, kepada
siapa, kapan, di mana dan mengenai
masalah apa. jadi sangat mungkin
dalam satu situasi terjadi pembicaraan
dengan pemilihan bahasa Sasak
tinggi. Selain itu terdapat juga dalam
pecakapan berikut.
4) Percakapan
bahasa
Sasak
sedang
Penutur
: Me (meme) nani mbe
eamlumbar iku?
Mitra tutur 1 : Tiang lalo laik peken
seberak bojaq sayur juluk jari te piaq
siq daun dengan sak zikir eto laun
Penutur
:Antih tiang juluk, tiang
milu mento jak.
Mitra tutur 1 : Silak mento jak, aruan
laun sepi peken.
Mitra tutur 2 : Yoh,,ape antih iku me
nani?
Mitra tutur 1 : Tiang antih rizna, ean
milu laik peken.
Mitra tutur 2 : Owh…ape jak ean
lumbar beli laik peken?
Mitra tutur 1 : Angkak iye, nane tiang
mauk laik peken, nyerang lalo bojaq
sayur jari daun dengan sak zikir eto
laun.
Mitra tutur 2 : Owh ye jak ne,guk ke
telat lalokm eaq sugul.
Penutur
: Silak donk me nani
adek te sak eru tulak.
NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 326
Mitra tutur 1 : Silak mento jak geh
tiang meken juluk.
Mitra tutur 2 :Nggih silak.
(D2-21-05-16)
Terjemahan
Penutur
: Bik mau Kemana itu?
Mitra tutur 1 : Mau ke pasar beli
sayur buat jama’ah yang zikir nanti.
Penutur
: Tunggu saya, saya ikut
Mitra tutur 1 : Ayo kalu begitu, cepat
ya nanti pasar keburu sepi
Mitra tutur 2 : Bik nani, nunggu
siapa?
Mitra tutur 1 : Saya nunggu rizna,
katanya mau ikut pergi ke pasar
Mitra tutur 2 : Mau beli apa sampai
telat sekali pergi ke pasarnya?
Mitra tutur 1: Iya, baru bisa ke pasar,
Cuma mau beli sayur buat
jama’ahzikir nanti
Mitra tutur 2 : Owh iya, tapi kok
telat sekali keluarnya
Penutur
: Ayo bik nani, biar
kita cepat Kembali
Mitra tutur 1 : Ayo kalau begitu,
saya ke pasar dulu
Mitra tutur 2 :Ya
Pemilihan
bahasa
Sasak
sedang
yang
terdapat
dalam
percakapan
tersebut
terjadi
berdasarkan
stratifikasi
sosial
masyarakat Desa Sengkol Kecamatan
Pujut. Pada percakapan tersebut,
antara penutur dan mitra tutur
melakuka
komunikasi
dengan
menggunakan bahasa Sasak sedang,
hal tersebut dapat dilihat pada
penggunaan bahasa yang tidak terlalu
halus, dan tidak juga kasar. Seperti
dalam kutipan.,
Mitra tutur 2 : Owh ye jak ne,guk ke
telat lalokm eaq sugul.
Penutur
: Silak donk me nani
adek te sak eru tulak.
Mitra tutur 1 : Silak mento jak geh
tiang meken juluk.
Mitra tutur 2 :Nggih silak.
Pada penggunaan bahasa
sasak pada percaapan tersebut, dapat
ditemukan penggunaan bahasa yang
seimbang, antara penggunaan bahasa
halus dan biasa, seperti yang dilaukan
oleh penutur, “Silak donk, nani adek
te sak aru tulak” kata-kata silak,
dalam bahasa sasak termasuk pada
tinkatan
bahasa
sasak
Halus,
sedangkan nani adekte sak aru tulak,
tetrmasuk bahasa sasak biasa.
6) Penutur
: Pire ajin gule sekilo?
Mitra tutur 1 : Mun nani jek due
olas setenge.
Penutur
: Yoh,,iye taek malik ajin
gule nani?
Mitra tutur 1 : Aok wah taek nani?
Mitra tutur 2 : Pire sekilo?
Penutur
: Astage, paran tiang
masih ajine selaek me tuan.
Mitra tutur 1 : Ndeqn cere, wah
selapuk taek nani jekn, berembe nak
eaqm meli payu? (ke pembeli), silak
side ape nak eaqm bojak? (Ke
pembeli 2).
Penutur
: Inggih tiang payu
doank,.ndarak bae gule lik bale, anuk
ang tiang sekilo mento jekn juluk.
Mitra tutur 2 : Gule kence minyak
anuk ang tiang sekilo.
Mitra tutur 1 : Nggih antih mento
juluk sendak.
(D3-21-05-16)
Terjemahan
Penutur
: Berapa harga sekilo
gula?
Mitra tutur 1 : Kalau sekarang dua
belas ribu lima ratus
Penutur
: Naik lagi harga gula
sekarang?
Mitra tutur 1 : Iya, sudah naik
Mitra tutur 2 : Berapa sekilo?
Penutur
: Astaga, saya kira masih
harga yang dulu ibu haji)
NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 327
Mitra tutur 1 : Tidak , sekarang sudah
semua naik harganya, ayo jadi kamu
mau beli?, ayo kamu mau cari apa?
Penutur
: Ya jadi, tidak ada gula di
rumah, bungkusin saya sekilo dulu
kalau begitu
Mitra tutur 2 : Gula sama minyak
sekilo saya
Mitra tutur 1 : Ya, tunggu sebentar ya
Bahasa Sasak Jamak (Biasa atau
Rendah)
7)
Percakapan bahasa Sasak
rendah.
Penutur : Kari sendak datang bulan
puase.
Mitra tutur 1 : Aok, ape eaq jari
bebuke’nta lemaq kak fit?
Penutur
: Oalah eka, lemaq araq
doang riski lamun wah mulai pause
jekn
Mitra tutur 2 : Aok jekn kak, laguk
wah tak terase bulan pause inia kak
fit
Mitra tutur 1 : Tiang jek santer sik
melet wah datang pause sinia, lguk
iye eto wah sik bingung ape eaq jari
entan’ta kun pause sinia.
Mitra tutur 2 : Eee, kendek susah
laloqn aneh Eka, lemaq mun wah
mulai pause inia jek loek jualan daun
eto kelining
Penutur : Owh iye tetuUtik
Mitra tutur 2 : Aok kenaq, laguk
persiapan endek man arak
Mitra tutur 1 : Segerah eaq pause
doang harus eaq persiapan bae,
lamun persiapan berembe entan care
pause sak epul lek dengan nine
Penutur
: Lasingan side lain bae
pikiranm endah, arak doang eak ntan
lemaq lamun wah pause jekn
Mitra tutur 2 : Iye sik sak kene
mento angkakn tiang jekn
Penutur dan mitra tutur 1 : Aok aneh,
lemak’ta malik wah ngebang inia
(D4-22-05-16)
Terjemahan
Penutur : Tinggal sebentar dating
bulan puasa
Mitra tutur 1 : Ya, apa jadi buka
puasa besok kalau sudah kita mulai
puasa kak fit?
Penutur : Eka, besuk ada saja rizki
kalau sudah mulai puasa
Mitra tutur 2 : Ya sih kak, tapi sudah
terasa bulan puasa ini kak fit
Mitra tutur 1 : Saya sangat pingin
sekali kalau puasa ini tiba, tapi itu
sudah, masih saja saya bingung apa
yang harus saya lakukan pada puasa
ini
Mitra tutur 2 : Tidak usah bingung
gitu Eka, besuk kalau sudah puasa
mulai, banyak kok jualan sayursayuran keliling
Penutur : Bener sekali Utik
Mitra tutur 2 : Ya benar, tapi
persiapan untuk itu belum ada
Mitra tutur 1 : Masa mau puasa saja
harus pakai persiapan segala, kalau
persiapan bagaimana cara puasa
yang full bagi wanita
Penutur : Ia, kamu sih lain saja
dalam pikiran, ada saja yang jadi
cara kalau puasa telah tiba
Mitra tutur 2 : Itu makanya saya
bilang begitu
Penutur dan mitra tutur 1 : Ia sudah ,
besuk lagi sudah azan ini.
Campur
kode
dalam
percakapan tersebut terdapat pada
kata kamu (kamu) dan (ya). Baiq Eka
selalu menggunakan bahasa Sasak
biasa ketika berkomunikasi dengan
Baiq Fit, begitu pula Baiq Fit kepada
Baiq Eka, namun ketika mereka (Baiq
Fit dan Baiq Eka) berkomunikasi
dengan tutik selalu menggunakan
bahasa Sasak biasa.
Selanjutnya,
untuk
mempertegas hasil penelitian dan
pembahasan tentang faktor-faktor
yang
menentukan
terjadinya
pemilihan bahasa, pada bagian ini
NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 328
peneliti menggunakan komponen
tutur yang terdapat dalam akronim
SPEAKNG.
Sebagaimana
yang
dikemukakan oleh Hymes (dalam
Aslinda & Syafyahya, 2014) yang
biasa disingkat dengan speaking.
Kemudian dalam penggunaannya
lebih jauh dapat diuraikan sebagai
berikut.
Setting
Tutur
atau
Tempat
Peristiwa
Komponen
tutur
setting
berhubugan dengan latar tempat
peristiwa tutur terjadi. Hal tersebut
tampak pada dialog 1-19-05-16,
peristiwa tutur berikut.
7)
Percakapan Bahasa Sasak di
Tempat Pendidikan
Penutur (guru) :Ed, embe lain pak
tahir baruk?
Mitra tutur (murid) : To masjid
pak.
Penutur : O inggih, matur tampiasih.
Mitra tutur : Inggih pak.
(D7-23-06-16)
Terjemahan
Penutur : Ed, dimana pak Tahir tadi?
Mitra tutur : Ke masjid pak.
Penutur :O ia, terimakasih ia.
Mitra tutur : Ya pak.
Pada percakapan yang terjadi
antara mitra tutur 1, dan mitra tutur 2.
Dalam komunikasi yang terbangun
antara ke-2 penutur tersebut, secara
setting (tempat) terjadi di sekolah.
Hal tersebut Ditandai dengan latar
komunikasi yang terjadi anatara guru
dan murid, berikut isi percakapnnya,
Penutur (guru) :Ed, embe lain pak
tahir baruk?
Mitra tutur (murid) : To masjid pak.
Pada percakapan tersebut,
seorang guru menanyakan di mana
guru yang bernama Tahir berada,
kemudian mitra tutur (murid)
menjawab, guru (Tahir) sedang di
masjid.
Participants
atau
Penjelas
Pengguna Bahasa
Komponen tutur participants
adalah alat penjelas pada siapa
pengguna bahasa dan bahasa apa
yang digunakan. Hal tersebut tampak
pada dialog 3-21-05-16.
8)
Percakapan bahasa Sasak
Penutur
: Pire ajin gule sekilo?
Mitra tutur 1
: Mun nani jek due
olas setenge.
Penutur
: Yoh,,iye taek malik
ajin gule nani?
Mitra tutur 1 : Aok wah taek nani?
Mitra tutur 2 : Pire sekilo?
Penutur
: Astage, paran tiang
masih ajine selaek me tuan.
Mitra tutur 1 : Ndeqn cere, wah
selapuk taek nani jekn, berembe nak
eaqm meli payu? (ke pembeli), silak
side ape nak eaqm bojak? (Ke
pembeli 2).
Penutur
:Inggih
tiang
payu
doank,.ndarak bae gule lik bale, anuk
ang tiang sekilo mento jekn juluk.
Mitra tutur 2
: Gule kence minyak
anuk ang tiang sekilo.
Mitra tutur 1
: Nggih antih mento
juluk sendak.
(D3-21-05-16)
Terjemahan
Penutur
: Berapa harga sekilo
gula?
Mitra tutur 1 : Kalau sekarang dua
belas ribu lima ratus
Penutur
:Naik lagi harga gula
sekarang?
Mitra tutur 1 : Iya, sudah naik
Mitra tutur 2 : Berapa sekilo?
Penutur
: Astaga, saya kira
masih harga yang dulu ibu haji)
Mitra tutur 1 : Tidak , sekarang sudah
semua naik harganya, ayo jadi kamu
mau beli?, ayo kamu mau cari apa?
NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 329
Penutur
: Ya jadi, tidak ada gula di
rumah, bungkusin saya sekilo dulu
kalau begitu
Mitra tutur 2 : Gula sama minyak
sekilo saya
Mitra tutur 1 : Ya, tunggu sebentar y.
Pengguna di sini melingkupi
penutur, mitra tutur dan pendengar
yang terlibat dalam suatu interaksi
verbal. Terjadinya komunikasi antar
arah (antara penutur dan mitra tutur)
ketika penutur 1 memulai percakapan
dengan menanyakan harga barang
jualan (gula) berikut, kutipan
percakapnnya,
Penutur
: Yoh,,iye taek malik
ajin gule nani?
Mitra tutur 1 : Aok wah taek nani?
Mitra tutur 2 : Pire sekilo?
Dalam komponen tutur seperti
yang diungkapkan oleh Dell Hymes,
salah satu komponen yang harus ada
adalah partisipan, atau kepada siapa
penutur berbicara.
Seelanjutnya, kdwibahasaan dalam
stratifikasi sosial masyarakat di Desa
Sengkol, seperti pada masyarakat
lainnya, tolak ukur dari kategorikategori sosial pengguna bahasa
Sasak tersebut yang utama adalah
orang-orang tua dan dewasa, karena
orang tua berpikir kalau bahasa yang
dipakai sering diikuti oleh anak kecil.
Kemudian dalam peristiwa itulah
orang tua menggunakan bahasa yang
lebih alus supaya anak generasi
penerus tidak menggunakan bahasa
yang terlalu kasar dalam bertutur.
Ends atau Maksud dan Tujuan
Tutur
Komponen
tutur
ends
mengacu pada maksud dan tujuan
tuturan secara umum, kata “ends”
mengisyaratkan bahwa peristiwa tutur
bahasa
Sasak
dilakukan
oleh
masyarakat
Sengkol
Kecamatan
Pujut. Adapun maksud dan tujuan
dalam menggunakan bahasa Sasak,
supaya bahasa dan budaya Lombok
pada suku Sasak tersebut harus
diperhatikan.
Selanjutnya, sesuai dengan
hasil wawancara yang ditemukan
pada masyarakat Sengkol Kecamatan
Pujut yang menggunakan bahasa
Sasak untuk bertutur sehari-harinya
dan setelah dilakukan klasifikasi data,
dapat digunakan untuk hal-hal: (a)
mencari tahu tentang suatu hal; (b)
mengungkapkan
kesedihan;
(c)
mencaci solusi dalam suatu persoalan;
(d) mengajak; dan (e) memberi
nasehan atau mengimformasikan
sesuatu.
Act Sequence atau Bentuk dan Isi
Tutur
Komponen tutur act sequence
berhubungan dengan bentuk dan isi
suatu tuturan. Dalam perihal ini dapat
dilihat pada contoh peristiwa tutur
berikut.
9)
Percakapan Bahasa Sasak
yang Menunjukkan Makna
Penutur : Lah, wahn tak meres ngere
roti ketimbang ambon.
Mitra tutur
: Huh, marak idap
dengan bande gunung.
Penutur : O iye aran ruen dengan
bande gunung.
Mitra tutur
: Aok ton, berat
tanggungan idapn.
(D8-24-06-16)
Terjemahan
Penutur
: Sudah lebih enak rati
daripada ubi.
Mitra tutur
: Seperti orang pikul
gunung rasanya.
Penutur
: O mungkin ini
rupanya orang pikul gunung.
Mitra tutur
: Ia saudara, terlalu
berat tanggungan saya sekarang.
NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 330
End mengacu pada maksud
dan tujuan pertuturan, Aslinda dan
Syafyahya
(2012:23),
kaitannya
dengan komunikasi atau percakapan
yang terdapat dalam komunikasi
tersebut,
Penutur :O iye aran ruen dengan
bande gunung.
Mitra tutur : Aok ton, berat
tanggungan idapn.
Penutur menyampaikan pesan
bahwa tanggung jawab yang harus
dipikul harus selalu diserta dengan
kesababran dan uapaya sungguhsungguh dalam mengatasi dan
menyelesaikannya. Seperti yang
terdapat dalam penggalan percakapan
tersebut.
Key atau Sikap, Cara, serta
Penjiwaan Bertutur
Komponen tutur key berkaitan
dengan sikap atau cara, nada suara,
serta
penjiwaan
saat
tuturan
diucapkan. Kemudian dalam hal
penggunaan bahasa Sasak yang
berkaitan dengan sikap atau cara,
nada suara dan penjiwaan sepanjang
yang teramati cendrung bersikap
ramah, namun bergantung pada
keharmonisan
atau
kedekatan
hubungan antara penutur dan mitra
tutur. Manakala dapat diklasifikasikan
kedekatan hubungan penutur dan
mitra tutur dalam bahasa Sasak dari
hasil wawancara sejauh ini bisa
dibagi menjadi: (a) teman akrab; (b)
teman tidak akrab; (c) teman sekadar
kenal; dan (d) tidak harmonis.
Apabila penutur dan mitra
tutur berteman akrab lebih cendrung
bersikap ramah walaupun nadanya
sering tinggi dan naik turun, namun
penjiwaannya gembira dan cendrung
tidak santun dalam menuturkan katakatanya dan lebih sering memakai
dan mengeluarkan kata-kata sumpah
serapah awal bertemu. Namun , bila
ada sesuatu yang penting atau ada
masalah tentu saja akan bersikap
santun dan serius, dan nada suara
sedikit rendah, dan akan sangat
rendah bila sedang mengeluh.
Instrumentalities
atau
Bentuk
Bahasa pada Peristiwa Tutur
Komponen
tutur
instrumentalities berkaitan dengan
saluran dan bentuk bahasa dalam
suatu
peristiwa
tutur.
Dalam
melakukan pengamatan yang panjang,
kenyataan
menunjukkan
bahwa
saluran bahasa Sasak alus lebih
dominan adalah oral atau berhadaphadap. Kemudian untuk kasus-kasus
tertentu dapat ditemukan saluran
bahasa berupa isyarat, misalnya
menggambit dengan tangan untuk
memanggil temannya yang jauh
supaya mendekat, menganggukkan
kepala atau mengangkat kelopak mata
bila berpapasan, melambaikan atau
sekadar mengangkat tangan di atas
kepala sebagai isyarat selamat jalan
atau selamat tinggal, membuka
tangan ke arah kanan pertanda
menyuruh masuk atau menyuruh
duduk dan membuka tangan ke arah
depan untuh menyuruh mencicipi
makanan yang terhidang. Selain itu
juga terkadang memukul atau
mencolek punggung, sebagai salam
jumpa khusus untuk teman yang
akrab, namun hal tersebut khusus
untuk penutur yang masih lanjang
atau masih merasa anak muda. Untuk
ibu-ibu atau bapak-bapak hanya jabat
tangan dan ada juga yang menepuk
bahu sedikit. Dalam saluran bahasa
tulisan sulit ditemukan karena
peristiwa tutur atau percakapan belum
ditemukan melalui tulisan.
Norms atau Norma Interaksi dan
Norma Interpretasi
NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 331
Komponen
tutur
norms
berkaitan dengan norma interaksi dan
norma interpretasi. Perilaku dalam
suatu peristiwa tutur yang terdapat
dalam bahasa Sasak alus lebih jauh
dapat diperhatikan dalam peristiwa
tutur berikut.
10)
Percakapan Bahasa Sasak
yang Menunjukkan Norms
Penutur
: Eh medaran?
Mitra tutur : Inggih, makasih.
penutur
: Silak.
Mitra tutur : Masihk besuh
(D9-24-06-16)
Terjemahan
Penutur
: Kita makan?
Mitra tutur : Ia, terima kasih.
penutur
: Mari.
Mitra tutur
: Masih kenyang.
Dalam komunikasi tersebut,
terdapat semacam aturan yang
menuntun arah pembicaraan. Oleh
karena
percakapan
tersebut
merupakan komunikasi yang berasal
dari multi arah, adanya komunikasi
yang interaktif, maka secara norma
atau aturan berbicara yang sesuai
dengan komponen speaking yang
dibicarakan dalam teori,
bahwa
norma dalam kategori ini mengacu
pada penyampaian bahasa dan pesan
ynag disampaiakan sesuai dengan
aturan sopan dan santun yang berlaku
dalam masyarakat tertentu, seperti
halnya dalam percakapan berikut.,
Penutur
: Eh medaran?
Mitra tutur : Inggih, makasih.
Pada pengglan percakapan
tersebbut, penutur berupaya mengajak
mitra tutur untuk makan bersama,
dengan menggunakan bahasa halus,
selanjutnya, mitra tutur tidak menolak
dengan menggunakan bahasa Sasak
kasar.
Genre atau Bentuk Tutur Dominan
Secara Berdialog
Komponen
tutur
genre
berkaitan
dengan
bentuk
penyampaian yang lebih dominan
disampaikan secara dialog dan sangat
jarang disampaikan secara monolog.
Kemudian bentuk tutur genre ini
tampak pada percakapan 119-05-16.
12) Percakapan Bahasa Sasak Tinggi
Penutur:
Assalamualaikum
warahmatullahi wabarokatuh.
Bissmillahirrahmannirrahiim, singgih
titiang pun niki agung pangampuran
dewek titiang sami nyuwun maring
dane-dane senamian.
Mitra tutur: Singgih, kang utami dane
pangarseng wacane, kapindo dane
kepale dese miwah dane kadus kang
minangke kebaos pengamong lan
pengemban adat. Kapondo malih
dane-dane
pare
pinitue-pinitue
kerame, pare pengale dese sedaye,
pare wande warge, wage wargie, pare
santri, pare yad wangse sedaye tor
pare putre sentane kang utami malih
rame biang temanten putri. Singgih
dewek titiang pribadi semalihipun
hingkang nyarengin dewek titiang
pun niki haseba ayun rage sami, becik
hingkang lungguh sewontening arse
kiwe tengen lan pungkur, naler
nyuwun agung-agung panurgahe.
(D1-19-05-16)
Terjemahan
Penutur:
Baiklah
saya
yang
menyangku tata cara dan perilaku
termasuk juga semua orang yang ikut
bersama saya, kami memohon maaf
yang sebesar-besarnya.
Mitra tutur: Baiklah, yang pertma juru
bicara adat, kedua bapak kepala desa
dan bapak kadus yang menjadi
pemangku dan pelaksana adat.
Selanjutnya kepada para tokoh
masyarakat, para perangkat desa, para
keluarga, seluruh lapisan masyarakat,
NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 332
para santri dan kiyai, para pemuda.
Kemudian yang paling utama orang
tua pengantin wanita. Saya pribadi
dan yang menemani saya menghadap
kepada anda semua, baik yang duduk
disebelah kiri, kanan juga di belakang
saya menyampaikan permohonan
permisi.
Penutur: Baiklah para hadirin, saya
mohon maaf yang sebesar-besarnya
kepada anda semua jika ada tutur kata
yang lupa, salah pada ucapan saya
yang menghadap pada saat ini, dan
juga jika ada kesalahan saya yang
menyangku tata cara dan tindakan
termasuk juga semua orang yang ikut
bersama saya sekarang ini. Baik yang
ada di sebelah kiri, kanan dan juga
belakang saya ini, kami memohon
maaf yang sebesar-besarnya. Saya
ptibadi juga mohon maaf yang
sebesar-besarnya mungkin belum
memahami tentang aturan dan tata
tertib. Oleh karena itu, sekali lagi
kami memohon maaf yang sebesarbesarnya.
Mitra tutur: Baiklah, kami semua
yang ada di sini memohon kepada
anda semua untuk memberi tahu kami
apa maksud anda semua. kami
memohon tutur sapa atau diceritakan.
Pada percakapan tersebut
antara Amaq Puput dan Amaq Galih,
termasuk dalam pemilihan bahasa
Sasak tinggi dan selain dalam
pemilihan bahasa Sasak tinggi juga
berbentuk dialog. Sebagai bahasa
tertinggi dalam tataran bahasa Sasak
berdasarkan tingkat pemakaian dalam
penggunaannya
tersebut
juga
termasuk komponen tutur yang
dipakai secara berdialog.
MANFAAT PENELITIAN
Ervin-Trip (dalam Grosjean
1982:
125)
mengidentifikasikan
empat
faktor
utama
yang
menyebabkan pemilihan bahasa, yaitu
(1) latar (waktu dan tempat) dan
situasi, (2) partisipan dalam interaksi,
(3) topik percakapan, dan (4) fungsi
interaksi. Faktor pertama dapat
berupa hal-hal, seperti: makan pagi di
lingkungan keluarga, pesta kuliah,
atau berkencan.
Faktor kedua mencakup hal-hal,
seperti: usia, jenis kelamin, pekerjaan,
status sosial ekonomi, asal, latar
belakang kesukuan, dan peranannya
dalam hubungan dengan partisipan
lain. (contoh: direktur-karyawan,
suami-istri, penjual pembeli, gurusiswa). Faktor ketiga dapat berupa:
topik-topik tentang pekerjaan, olah
raga, harga sembako, peristiwa
aktual, dan sebagainya. Faktor
keempat dapat berupa hal-hal seperti:
penawaran informasi, permohonan,
dan mengucapkan terima kasih.
Senada dengan pendapat ErvinTrip di atas, Grosjean (1982: 136)
berpendapat tentang faktor yang
berpengaruh dalam pemilihan bahasa.
Menurut Grosjean terdapat empat
faktor, yaitu (1) partisipan, (2) situasi,
(3) isi wacana, (4) fungsi interaksi.
Aspek yang perlu diperhatikan
dari faktor partisipan adalah (a)
keahlian berbahasa, (b) pilihan bahasa
yang dianggap lebih baik, (3) status
sosial ekonomi, (d) usia, (e) jenis
kelamim,
(f)
pendidikan,
(g)
pekerjaan, (h) latar belakang etnis, (i)
relasi kekeluargaan, (j) keintiman, (k)
sikap kepada bahasa-bahasa, dan (l)
kekuatan luar yang menekan.
Faktor situasi mencakupu: (a)
lokasi atau latar, (b0 kehadiran
pembicara monolingual, (c) tingkat
formalitas, dan (d) tingkat keintiman.
Faktor isi wacana berkaitan dengan
(a) topik percakapan dan (b) tipe
kosakata. Faktor fungsi interaksi
mencakup: (a) strategi menaikan
status, (b) jarak sosial, (c) melarang
NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 333
masuk atau mengeluargak sesoorang
dari pembicaraan, dan (d) memerintah
atau meminta.
Dari jabaran di atas, yang perlu
diperhatikan adalah adanya atau
jarang terdapat faktor tunggal yang
mempengaruhi pemilihan bahasa
seorang
dwibahasawan
dan
multibahasawan.
Yang
menjadi
pertanyaan adalah “apakaah faktorfaktor itu memiliki kedudukan yang
sama
pentingnya?.
Umumnya
beberapa
faktor
menduduki
kedudukan yang lebih penting
daripada faktor lainnya. Di Obewart,
Gal (dalam Grosjean, 1982: 143)
menemukan bukti bahwa karakteristik
pembicara dan pendengar menduduki
faktor penentu terpenting. Sedangkan
faktor topik dan latar merupakan
faktor yang kurang penting daripada
faktor partisipan. Berbeda dengan
Gal, Rubin menemukan faktor
penentu yang terpenting adalah lokasi
interaksi. Rubin meneliti pilihan
bahasa Guarani dan Spanyol di
Paraguay. Dari penelitian itu dapat
disimpulkan bahwa lokasi interaksi,
yaitu (1) desa, (2) sekolah, dan (3)
tempat umum, sangat menentukan
pilihan bahasa oleh pembicara
bilingual. Di desa, pembicara akan
memilih bahasa Guarani, di sekolah
akan memilih bahasa Spanyol, dan di
tempat umum memimilih bahasa
Spanyol (Grosjean 1982: 43).
Penelitian terhadap pemilihan
bahasa menurut Fasold (1984: 183)
dapat dilakukan berdasarkan tiga
pendekatan,
yaitu
pendekatan
sosiologi,
pendekatan
psikologi
sosial, dan pendekatan antropologi.
Ketiga
pendekatan
itu
dapat
dijelaskan sebagai berikut.
Pendekatan sosiologi berkaitan
dengan analisis ranah (domain).
Pendekatan ini pertama dikemukakan
oleh Fishman (1964). Ranah menurut
Fishman (1964) dipandang sebagai
konstelasi faktor-faktor seperti lokasi,
topik,
dan
partisipan.
Ranah
didefinisikan
sebagai
konsepsi
sosiokultural yang diabstraksikan dari
topik komunikasi, hubungan peran
antar
komunikator,
tempat
komunikasi di dalam keselarasan
lembaga masyarakat dan bagian dari
aktivitas masyarakat tutur (Fishman
dalam Pride dan Holmes (ed), 1972).
Di bagian lain, Fishman (dalam
Amon, 1987) mengemukakan bahwa
ranah adalah konsepsi teoretis yang
menandai satu situasi interaksi yang
didasarkan pada pengalaman yang
sama dan terikat oleh tujuan dan
kewajiban yang sama, misalnya
keluarga, ketetanggaan, agama, dan
pekerjaan. Sebagai contoh, apabila
penutur berbicara di rumah dengan
seorang anggota keluarga mengenai
sebuah topik, maka penutur itu
dikatakan berada pada ranah keluarga.
Analisis domain terkait dengan
diglosia. Di dalam sebuah masyarakat
yang terdapat diglosia, bahasa rendah
(low) merupakan bahawa yang
cenderung dipilih dalam domain
keluarga, sedangkan bahasa tinggi
dipergunakan dalam domain yang
lebih formal, seperti pendidikan dan
pemerintahan.
Penelitian
yang
mempergunakan analisis domain
pernah dilakukan antara lain oleh
Greenfield (1972) tentang pemilihan
bahasa
Spanyol
dengan
tiga
komponen kongruen, yaitu: orang,
tempat, dan topik. Untuk menguji
apakah sebuah paduan dari ketiga
faktor itu benar-benar berhubungan
dengan
pikiran
anggota
masyarakatnya,
Greenfield
menyebarkan kuesioner.
Dengan kuesioner itu subjek
diberi dua faktor yang kongruen dan
diminta untuk menyeleksi yang ketiga
NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 334
dan juga bahasa yang akan mereka
gunakan dalam panduan situasi.
Subjek diberi tahu untuk memikirkan
sebuah percakapan dengan orang tua
tentang masalah keluarga dan
meminta memilih tempat di antara
beberapa pilihan: rumah, pantai,
gereja, sekolah, dan tempat kerja.
Dari
kuesioner
yang kembali
mayoritas responden memilih lokasi
rumah seperti yang diharapkan.
Dengan satu perkecualian (pilihan
pantai sebagai komponen yang tepat
untuk
domain
persahabatan),
komponen ketiga yang diharpkan
dipipih oleh paling tidak 81 persen
subjek.
Setelah memilih komponen
ketiga yang tepat, subjek diminta
untuk menunjukkan yang mana yang
berhubungan dengan domain pada
skala lima-butir. Skala ini mirip
dengan skla perbedaan-semantik yang
sering digunakan dalam penelitian
sikap bahasa. Angka 1 pada skala itu
menunjukkan semua bahasa Spanyol,
2 berarti lebih banyak bahasa Spanyol
daripada bahasa Inggris, 3 berarti
jumlah yang sama antara bahasa
Spanyol dan bahasa Inggris, 4 leboh
banyak bahasa Inggris daripada
bahasa Spanyol, 5 berarti semua
bahasa Inggris. Dari hasil rata-rata
diketahui bahwa bahasa Spanyol
mendapatkan rata-rat rendah dan
lebih banyak subjek yang memilih
bahasa Inggris. Analisis varian
dengan pilihan bahasa sebagai
variabel bebas menunjukkan bahwa
perbedaan menurut kategori domain
signifikan pada p < 0,01. Interpretasi
yang bisa ditarik adalah bahwa
bahasa Spanyol lebih cenderung
dipilih dalam situasi akrab, dan
bahasa Inggris lebih cenderung dipilih
dalam situasi yang terdapat perbedaan
status.
Dengan
menggunakan
pendekatan
sosiologis
inilah
Greenfield menemukan bukti bahwa
masyarakat Puerto Rico di New York
City cenderung diglosik, dengan
bahasa Spanyol sebagai bahasa
rendah dan bahasa Inggris sebagai
bahasa tinggi.
Berbeda dengan pendekatan
sosiologi, pendekatan psikologi sosial
lebih tertarik pada proses psikologis
manusia daripada kategori dalam
masyarakat luas. Pendekatan ini lebih
berorientasi pada individu, seperti
motivasi
individu,
daripada
berorientasi pada masyarakat. Karyakarya penting dalam penelitian
pemilihan bahasa dengan pendekatan
psikologi sosial telah dilakukan oleh
Simon Herman (1968), Giles dan
kawan-kawannya (Giles 1973; Giles,
Bourhish dan Taylor 1977).
Herman (1968 dalam Fasold
1984: 187) mengemukakan teori
situasi
tumpang
tindih
yang
mempengaruhi seseorang di dalam
pemilihan bahasa. Menurut Herman
seorang penutur dwibahasa berada
pada lebih dari satu situasi psikologis
secara
simultan.
Herman
membicarakan tiga jenis situasi.
Situasi pertama berhubungan dengan
kebutuhan
personal
penutur
(personal needs), kedua situasi lain
berhubungan
dengan
pengelompokkan
sosial
(social
grouping), yaitu situasi latar belakang
(background situation) dan situasi
sesaat
(immediate
situation).
Sangatlah bermakna untuk melihat
ketika pembicara yang harus memilih
antara dua bahasa atau lebih pada dua
situasi tumpang tindih. Kedua situasi
psikologis itu menurut Herman
(dalam Fishman 1977: 493) sebagai
berikut.
Pertama, satu situasi yang
berkaitan dengan kebutuhan yang ada
pada pribadi, yaitu keinginan untuk
berbicara dalam bahasa tertentu
NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 335
(bahasa yang paling dikuasainya);
situasi lain berkiatan dengan normanorma
kelompoknya
yang
memungkinkan dia memaksa diri
menggunakan bahasa lain (bahasa itu
mungkin belum dikuasainya secara
baik).Di sini terjadi konflik antara
kebutuhan pribadi dan tuntutan
kelompok. Kedua, dalam penentuan
bahasa yang akan digunakan muncul
kekuatan yang tidak hanya dari situasi
yang bersemuka (face to face), akan
tetapi juga dari situasi yang lebih
besar.
Dengan pendekatan yang sama,
Howard Giles (1977, 321-324)
mengembangkan teori akomodasi
(acomodation
theory).
Secara
normal,
akomodasi
mengambil
bentuk konvergensi, yang ditunjukkan
dengan memilih sebuah bahasa atau
variasi bahasa yang tampak sesuai
dengan kebutuhan orang yang diajak
berbicara. Dalam kondisi tertentu,
seorang
penutur
dapat
gagal
melakukan
konvergensi
bahka
mungkin dengan sengaja melakukan
divergensi. Dengan kata lain, seorang
penutur mungkin tidak mengalami
kesulitan sama sekali dalam memilih
bahasa atau variasi bahasa untuk
menyesuaikan dengan orang lain, dan
ada penutur yang dengan sengaja
memilih bahasa atau variasi bahasa
yang tidak sesuai dengan orang yang
diajak berbicara.
Hal di atas terjadi ketika
penutur
ingin
menekankan
loyalitasnya pada kelompokknya
sendiri dan membedakan dirinya dari
kelompok mitra bicara. Satu contoh
yang jelas adalah ketika seorang
Amerika kulit hitam yang berbicara
dengan orang berkulit putih dengan
menggunakan bahasa Inggris dialek
hitam untuk menunjukkan jati
dirinya.
Dari pandangan antropologi,
pilihan bahasa bertemali dengan
perilaku yang mengungkap nilai-nilai
sosial budaya. Seperti juga psikologi
sosial, antropologi tertarik dengan
bagaimana
seorang
penutur
berhubungan
dengan
struktur
masyarakat. Perbedaannya adalah
bahwa
jika
psikologi
sosial
memandangnya dari sudut kebutuhan
psikologis
penutur,
pendekatan
antropologi memandangnya dari
bagaimana seseorang menggunakan
pemilihan
bahasanya
untuk
mengungkapkan nilai kebudayaannya
(Fasold 1984: 192).
Dari segi metodologi terdapat
perbedaan
antara
pendekatan
antropologi, pendekatan sosiologi,
dan psikologi sosial. Sosiologi dan
psikologi sosial lebih mengarahkan
kajiannya pada data kuesioner atau
observasi atas orang-orang yang
ditelitinya
di
bawah
kendali
eksperimen, sedangkan pendekatan
antropologi menempatkan nilai yang
tinggi pada perilaku takterkontrol
yang alamiah. Hal ini membimbing
mereka untuk menggunakan metode
penelitian yang jarang digunakan oleh
sosiolog dan psikolog sosial, yaitu
yang disebut observasi partisipan
(participant observation). Sebagai
contoh, penelitian yang dilakukan
oleh
Susan
Gal
(yang
mempublikasikan penelitiannya 1979)
di Oberwart, Australia Timur. Ia
menghabiskan waktu satu tahun untuk
tinggal di sebuah keluarga setempat
(Fasold, 1984: 192).
Dengan menggunakan metode
observasi partisipan, antropolog dapat
memberikan perspektif penjelasan
atas pemilihan bahasa berdasarkan
persepsinya sebagai penutur sebuah
kelompok
atau
lebih
yang
“dimasukinya” selama mengadakan
penelitian. Implikasi dari metode ini
NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 336
adalah bahwa pengamat adalah
peneliti yang menjadi anggota
kelompok yang diamatinya (Wiseman
dan Aron, 1970: 49). Selain itu,
metode observasi partisipan yang
tipikal dalam pendekatan itu, yang
mengarah kepada peneliti sebagai
instrumen penelitian relevan untuk
mengungkap secara alamiah gejala
pemilihan bahasa dalam masyarakat
multibasa di Indonesia.
Kesimpulan
Pemilihan
bahasa
dalam
paradigma sosiolinguistis bertemali
bukan hanya dengan masalah
linguistis semata, melainkan juga
dengan masalah sosial, budaya,
psikologis, dan situasional. Dalam
konteks situasi kebahasaan di
Indonesia, dengan adanya berbagai
bahasa atau ragam bahasa yang
digunakan dalam interaksi sosial,
kajian secara mendalam terhadap
fenomena ini sanat penting untuk
dilakukan.
Kajian
seperti
itu
bermakna baik secara teoretis maupun
praktis. Secara teroretis kajian ini
bermanfaat
bagi
pengembangan
sosiolinguistik pada umumnya, dan
sosiolinguistik
Indonesia
pada
khususnya. Disadari bahwa temuan
sosiolinguistik yang berlatar situasi
kebahasaan dan sosialbudaya di
Indonesia
diharapkan
menjadi
sumbangan berharga bagi disiplin
sosiolinguistik
pada
umumnya.
Secara praktis kajian itu bermakna
bagi peristiwa komunikasi. Kajian
pemilihan bahasa bermanfaat dalam
memberikan
wawasan
tentang
peristiwa
komunikasi
dalam
masyarakat multibahasa di Indonesia.
Dalam peristiwa itu keharusan untuk
memilih bahasa atau ragam bahasa
yang
cocok
dengan
situasi
komunikasi tidak dapat dihindari
sebab kekeliruan dalam melakukan
pemilihan bahasa atau ragam bahasa
dapat berakibat kerugian bagi peserta
komunikasi itu.
Saran
Dipandang
dari
perspektif
sosiolinguistik, dimungkinkan adanya
fenomena diglosia pada masyarakat,
terutama pada masyarakat Sasak di
Desa Sengkol Kecamatan Pujut yang
belum diungkap pada penelitian ini.
Kemudian untuk itu, diperlukan
penelitian lanjut agar dapat diteliti
lebih mendalam. Penelitian seperti ini
sangat bermakna dalam upaya
pembinaan
dan
pengembangan
bahasa daerah. Kemudian mengingat
adanya kekhawatiran tentang adanya
pergeseran dan kepunahan bahasa,
maka perlu kiranya untuk diteliti
lebih jauh tentang pemertahanan
bahasa
daerah,
khususnya
pemertahanan bahasa Sasak yaitu
base alus.
DAFTAR RUJUKAN
Alwi,
Hasan.,
Soenjono
Dardjowidjojo,
Hans
Lapoliwa, & Anton M.
Moeliono. 2010. Tata Bahasa
Baku
Bahasa
Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan
Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta.
Aslinda & Syafyahya Leni. 2014.
Pengantar Sosiolinguistik.
Bandung: Refika Aditama.
Bahrie, Sudirman & Ratmaja. 2009.
Bahan Ajar Muatan Lokal,
Gumi Sasak; Terintegrasi
Budi Pekerti. Praya: Prima
Guna.
Bartholomen, John R. 2001. Alif Lam
Mim; Kearifan Masyarakat
Sasak. Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya.
NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 337
Chaer,
Abdul. 1994. Linguistik
Umum. Jakarta: Rineka
Cipta.
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik;
Kajian
Teori.
Jakarta:
Rineka Cipta.
Chaer, Abdul & Agustina Leonie.
2010.
Sosiolinguistik;
Perkenalan Awal. Jakarta:
Rineka Cipta.
Moleong, J. L., 2011. Metode
Penelitian
Kualitatif.
Bandung:
Remaja
Rosdakarya.
Ratmaja. 2011. Bahan Ajar Muatan
Lokal;
Budaya
Sasak.
Mataram: Prima Guna.
Suandi,
I
Nengah.
2014.
Sosiolinguistik.
Singaraja:
Graha Ilmu.
Sumarsono. 2012. Sosiolinguistik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
NOSI Volume 5, Nomor 3, Februari 2017 _____________________________________ Halaman 338
Download