Indeks Gini Provinsi Jawa Barat 2014

advertisement
TAHUN 2014
TAHUN 2014
i
KATA PENGANTAR
Komitmen Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam pembangunan daerah adalah
mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Hal ini ditandai dengan
harus tercapainya beberapa indikator makro seperti Indeks Pembangunan Manusia
yang tinggi, rendahnya tingkat pengangguran terbuka, juga menurunnya
kesenjangan pendapatan antar penduduk.
Indeks Gini (gini ratio) merupakan salah satu alat yang mengukur tingkat
kesenjangan pembagian pendapatan relatif antar penduduk suatu wilayah. Dengan
indeks gini, dapat dijelaskan hubungan antar kelompok dengan tingkat
pendapatan yang berbeda.
Publikasi “Indeks Gini Provinsi Jawa Barat Tahun 2014” disusun Balai Pusat
Data dan Analisa Pembangunan (Pusdalisbang) Bappeda Provinsi Jawa Barat
bersama Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat berisi tentang analisis
kesenjangan pendapatan di Jawa Barat pada tahun 2014. Publikasi ini berisi
tentang gambaran distribusi pendapatan masyarakat di Provinsi Jawa Barat yang
dapat digunakan sebagai acuan untuk merumuskan kebijakan pembangunan untuk
menurunkan kesenjangan pendapatan di Jawa Barat.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
proses penyusunan publikasi ini. Semoga publikasi ini dapat bermanfaat dalam
proses pembangunan di Jawa Barat.
Bandung, Desember 2015
Balai Pusdalisbang Bappeda Provinsi
Jawa Barat
Kepala,
H. E Agus Ismail, S.Sos., M.Pd
ii
Daftar Isi
KATA PENGANTAR
ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.
DAFTAR ISI
III
D A F T A R TA B E L
V
DAFTAR GAMBAR
V
1 PENDAHULUAN
1
1.1.
1.2.
1.3.
1.4.
1.5.
1
4
6
7
7
LATAR BELAKANG MASALAH
RUMUSAN MASALAH
TUJUAN PENELITIAN
SISTEMATIKA PENULISAN
KONTRIBUSI KAJIAN
2 TINJAUAN PUSTAKA
8
2.1. TEORI PERTUMBUHAN EKONOMI
2.2. DEFINISI PEMBANGUNAN
2.3. DISTRIBUSI PENDAPATAN
2.4. KONSEP KESENJANGAN
2.5. UKURAN-UKURAN TINGKAT KESENJANGAN
2.5.1. INDEKS GINI DAN KURVA LORENZ
2.5.2. KRITERIA BANK DUNIA
9
10
12
13
15
16
19
3 METODE PENELITIAN
20
3.1. D A T A
3.2. METODE ANALISIS
INDEKS GINI
KRITERIA BANK DUNIA
20
22
22
22
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
23
iii
4.1. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT
4.1.1. KEADAAN PENDUDUK JAWA BARAT
4.1.2. KEADAAN PEREKONOMIAN JAWA BARAT
4.2. ANALISIS KESENJANGAN
4.2.1. INDEKS GINI
4.2.2. KRITERIA BANK DUNIA
23
23
24
28
28
36
5 KESIMPULAN DAN SARAN
38
DAFTAR PUSTAKA
40
iv
D a f t a r Ta b e l
TABEL 1. KOEFISIEN GINI BERDASARKAN MENURUT PROVINSI ..................................................................... 30
TABEL 2. KOEFISIEN GINI BERDASARKAN TIPE DAERAH DI PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2011- 2014 .............. 34
TABEL 3. KOEFISIEN GINI BERDASARKAN KABUPATEN/KOTA ........................................................................ 35
TABEL 4. DISTRIBUSI PENGELUARAN PENDUDUK MENURUT KRITERIA BANK DUNIA TAHUN 2011-2014............. 36
Daftar Gambar
GAMBAR 1. KURVA U-TERBALIK ............................................................................................................... 8
GAMBAR 2. KURVA LORENZ .................................................................................................................. 17
GAMBAR 3. PERSENTASE PDRB MENURUT LAPANGAN USAHA 2014........................................................... 25
GAMBAR 4. PERTUMBUHAN PDRB MENURUT LAPANGAN USAHA 2014 ...................................................... 27
GAMBAR 5. KOEFISIEN GINI INDONESIA DAN PROVINSI JAWA BARAT ............................................................ 32
GAMBAR 6. KURVA LORENZ PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2014 ............................................................... 32
GAMBAR 7. INDEKS GINI MENURUT PROVINSI, KONDISI MARET 2014 ......................................................... 33
v
vi
1
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Dalam
pelaksanaan
pembangunan,
pertumbuhan
ekonomi yang tinggi merupakan sasaran utama bagi setiap daerah
yang sedang berkembang. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi
selama suatu periode tertentu tidak terlepas dari perkembangan
masing-masing sektor atau subsektor yang ikut membentuk nilai
tambah perekonomian suatu daerah. Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) sebagai suatu indikator punya peran penting dalam
mengukur keberhasilan pembangunan yang telah dicapai dan
juga dapat dijadikan sebagai suatu ukuran untuk menentukan
arah pembangunan suatu daerah di masa yang akan datang.
Melalui penggunaan strategi pertumbuhan ekonomi
dengan proses trickle down effect (penetesan ke bawah),
diharapkan hasil-hasil pembangunan dapat mengalir dan
dinikmati oleh semua lapisan masyarakat. Sehingga, pada akhirnya
kesejahteraan masyarakat akan dapat meningkat sesuai
dengan tujuan pembangunan.
Pembangunan yang dilaksanakan sejauh ini cukup
mampu mendorong peningkatan laju pertumbuhan ekonomi,
tetapi dalam banyak kasus relatif tidak bisa mengurangi
kesenjangan (disparitas). Secara umum kesenjangan yang
terjadi meliputi kesenjangan pendapatan yang menimbulkan
jurang perbedaan (gap) antara orang kaya dan miskin, dan
kesenjangan spasial yang menyebabkan adanya wilayah maju
(developed region) dan wilayah tertinggal (underdeveloped
1
region). Persoalan kesenjangan juga mewarnai proses
pembangunan di Provinsi Jawa Barat melalui perbandingan
kawasan (region) barat dan timur, serta kabupaten/kota sebagai
daerah otonom. Kesenjangan pembangunan terutama dialami
oleh daerah-daerah yang baru mengalami pemekaran.
Berdasarkan buku-buku referensi dan hasil-hasil
penelitian
penyebab
empiris
mengemukakan
terjadinya
bahwa
kesenjangan
faktor-faktor
meliputi
faktor
biofisik/karakteristik wilayah (sumberdaya alam), sumberdaya
buatan
(ketersediaan
sarana
dan
ekonomi), sumberdaya manusia,
prasarana
sosial
sumberdaya sosial,
karakteristik struktur ekonomi wilayah dan kebijakan
pemerintah daerah, selain itu aspek kelembagaan yang
menyangkut aturan dan organisasi yang ada di masyarakat,
dinamika sosial dan politik yakni dengan adanya pemekaran
wilayah dan pembentukan daerah otonomi baru juga sangat
berpengaruh, serta persoalan aliran masuk dan keluar modal
(investasi pemerintah maupun swasta) yang secara langsung
dan tidak langsung mempengaruhi kondisi pembangunan
(Sjafrizal, 2008).
Daerah-daerah yang tidak mengalami kemajuan yang
sama disebabkan karena kurangnya sumber-sumber
yang dimiliki. Disamping itu adanya kecenderungan
pemilik modal (investor) memilih daerah perkotaan atau
daerah yang memiliki fasilitas atau prasarana perhubungan,
jaringan listrik, jaringan telekomunikasi, perbankan, asuransi
serta tenaga kerja yang terampil. Disamping itu juga adanya
kesenjangan redistribusi atau pembagian pendapatan yang
tidak merata dan Pemerintah Pusat atau Provinsi kepada
2
daerah
seperti
kabupaten/kota
juga
menyebabkan
kesenjangan antar daerah (Kuncoro, 2004).
Tingginya
kesenjangan
pendapatan
mengindikasikan tidak meratanya pembangunan terutama
dalam bidang ekonomi di Indonesia. Selain itu, tingginya
kesenjangan pendapatan juga memperlihatkan adanya
heterogenitas antarwilayah. Jika antarwilayah terdapat
keragaman, kebijakan dalam pembangunan tidak bisa
dilakukan
secara
seragam,
diperlukan
penyesuaian-
penyesuaian dengan kondisi lokal daerah dan perlakuan
(treatment) yang berbeda antar daerah.
Laporan perkembangan perekonomian terakhir oleh
Mahi dan Suahasil (2012) mengungkapkan bahwa walaupun
memiliki kinerja yang baik dalam pembangunan ekonomi
selama 4 dekade terakhir, Indonesia masih memiliki masalah
jangka
panjang
yaitu
masalah
kesenjangan
regional.
Sebenarnya, kesenjangan antar daerah di Indonesia bukanlah
masalah baru. Para ekonom telah menyadari dan berupaya
mengatasi masalah tersebut. Hal ini dibuktikan pada tahun
1976, Emil Salim (1976) telah menulis topik ini dalam pidato
Dies Natalis-nya di Universitas Indonesia. Dia menulis bahwa
proses pembangunan yang berlangsung selama tahun 19611970 telah menyebabkan ketidakmerataan penyebaran
pendapatan. Walaupun sejak tahun 1980 pertumbuhan
ekonomi Indonesia menunjukkan tingkat pertumbuhan yang
cepat
(diluar
pertumbuhan
krisis
pada
tersebut tidak
tahun
diikuti
1997),
sepertinya
dengan distribusi
pemerataan pembangunan ke seluruh wilayah Indonesia.
3
Jawa Barat adalah salah satu provinsi yang memiliki
peranan signifikan bagi perekonomian Indonesia. Laju
pertumbuhan ekonomi Jawa Barat tahun 2014 mengalami
pertumbuhan positif sebesar 5,06 persen, bahkan tahun 2011
LPE provinsi ini mencapai 6,5 persen sehingga masuk dalam
kategori pertumbuhan di atas rata-rata. Tahun 2014,
perekonomian Provinsi Jawa Barat menyumbang sekitar
14,07 persen terhadap total perekonomian nasional dan
sekitar 24,41 persen terhadap pulau Jawa. Dengan nilai
tersebut Jawa Barat adalah provinsi ketiga terbesar
penyumbang nilai GDP Indonesia setelah DKI Jakarta dan
Jawa Timur.
Pertumbuhan ekonomi yang bagus tersebut ternyata
tidak ditopang dengan distribusi pendapatan yang merata.
Data menunjukkan, sejak tahun 2011, tingkat kesenjangan
pendapatan di provinsi Jawa Barat masuk dalam kategori
kesenjangan menengah dan termasuk peringkat 10 provinsi
dengan Indeks Gini terbesar, padahal sebelumnya, Jawa Barat
termasuk provinsi dengan kategori kesenjangan ringan.
1.2.
Rumusan Masalah
Dalam era ekonomi yang semakin terbuka, trend
perekonomian makin berorientasi pada pasar, peluang dari
keterbukaan dan persaingan pasar belum tentu dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat yang memiliki kemampuan
ekonomi yang lemah. Kondisi ini harus dicegah atau
setidaknya diminimalkan sehingga proses kesenjangan tidak
semakin melebar, karena kesempatan yang muncul dari
ekonomi terbuka hanya dapat dimanfaatkan oleh wilayah,
4
sektor dan golongan ekonomi yang lebih maju. Perhatian dan
keberpihakan
harus
diberikan
kepada
pemberdayaan
ekonomi masyarakat yang berbasis potensi lokal.
Isu-isu pokok perekonomian makro suatu daerah,
yaitu pertumbuhan ekonomi (economic growth), penyerapan
tenaga kerja (employment) dan pemerataan yang berkaitan
dengan penyediaan jasa umum dasar (basic public services).
Pertumbuhan ekonomi merefleksikan perkembangan aktifitas
perekonomian daerah yang ditandai dengan pergerakkan
roda ekonomi daerah melalui aktivitas produksi, konsumsi
dan investasi yang berdampak pada penyerapan tenaga kerja
dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan
ekonomi akan lebih bermakna manakala dapat dinikmati oleh
seluruh lapisan masyarakat secara merata.
Pelaksanaan otonomi daerah yang paralel dengan
upaya
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
melalui
penciptaan berbagai aktivitas ekonomi diperlukan suatu
pengukuran
universal
untuk
melihat
keberhasilan
pelaksanaan pembangunan dalam kerangka otonomi daerah.
Salah satu ukuran yang banyak digunakan adalah seberapa
besar
hasil-hasil
pembangunan
dapat
dinikmati
oleh
masyarakat melalui pembagian pendapatan daerah secara
merata.
Gini Ratio merupakan suatu alat untuk mengukur
tingkat kesenjangan pembagian pendapatan relatif antar
penduduk suatu negara atau wilayah yang telah diakui secara
luas. Gini Ratio dengan asumsi-asumsi tertentu dapat pula
dipergunakan untuk bahan analisis perbandingan pembagian
5
pendapatan relatif antar masyarakat dari beberapa negara
atau wilayah dan kecenderungan kesenjangan pembagian
pendapatan antara anggota masyarakat tertentu.
Perhitungan pengukuran distribusi pendapatan yang
sangat populer digunakan oleh para ilmuwan dan ekonom
dewasa ini adalah Koefisien Gini (Gini Ratio), karena
perhitungan ini cukup peka untuk menjelaskan hubungan
antara kelompok penduduk yang berpendapatan tinggi
dengan kelompok penduduk lainnya. Namun dalam kegiatan
ini untuk melihat kepincangan distribusi pendapatan di
Kabupaten Sumedang selama tiga tahun terakhir, digunakan
pengukuran Indeks Gini sehingga akan tegambar suatu
perbandingan
kesenjangan
distribusi
pendapatan
yang
mengacu pada keberhasilan pembangunan di Provinsi Jawa
Barat.
1.3.
Tujuan Penelitian
Secara umum penulisan publikasi ini dimaksudkan
untuk mendapatkan gambaran terkini mengenai kondisi
kesenjangan pendapatan di Provinsi Jawa Barat dengan
menggunakan ukuran kesenjangan Kriteria Bank Dunia dan
Koefisien
Gini.
kesenjangan
Dengan
pendapatan
tersedianya
ini
data
diharapkan
mengenai
dapat
menggambarkan peta distribusi pendapatan masyarakat di
Provinsi Jawa Barat dan dapat menjadi bahan pertimbangan
bagi pemerintah daerah dalam perencanaan pembangunan
ke depan.
6
1.4.
Sistematika Penulisan
Publikasi ini disusun menjadi lima bab. Bab satu
membahas pendahuluan yang berisi latar belakang, tujuan
disusunnya publikasi ini dan juga sistematika penulisan.Bab
dua menjabarkan kerangka konseptual yang menjelaskan
konsep konsep yang digunakan dalam penelitian ini. Bab tiga
mendeskripsikan data dan metodologi yang digunakan dalam
penelitian ini, bab empat memaparkan hasil olahan data dan
pembahasannya mengenai kesenjangan pendapatan di
Provinsi
Jawa
Barat
berdasarkan
ukuran
distribusi
pendapatan, yaitu Kriteria Bank Dunia, dan Indeks Gini. Bab
terakhir adalah bab lima, berisi kesimpulan dan saran.
1.5.
Kontribusi Kajian
Hasil dari kajian ini akan merupakan suatu kontribusi
penting dalam kebijakan pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan. Fakta-fakta yang didapat dari kajian ini dapat
dijadikan
acuan
pembangunan
untuk
ekonomi
meminimalisasi
merumuskan
dapat
kesenjangan
bagaimana
direncanakan
pendapatan,
dengan
sehingga
kemakmuran ekonomi dapat lebih merata diantara berbagai
kalangan masyarakat. Kajian ini juga memberi gambaran
cukup
terperinci
tentang
kesenjangan
pendapatan
di
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat, sehingga dapat lebih
memudahkan membuat peta kesenjangan untuk dapat
ditindaklanjuti dalam bentuk suatu kebijakan ekonomi yang
lebih efektif.
7
2
TINJAUAN PUSTAKA
Membicarakan masalah kesenjangan tidak dapat
dipisahkan dari pembahasan mengenai pembangunan, karena
kesenjangan sering dijadikan salah satu ukuran keberhasilan
pembangunan di suatu daerah, seperti yang dijabarkan Dudleey
Seer bahwa menurunmya tingkat kesenjangan pendapatan,
jumlah penduduk miskin dan pengangguran merupakan
indikator keberhasilan pembangunan dari suatu daerah (Todaro
dan Smith, 2003)
Gambar 1. Kurva U-terbalik
Hubungan antara pembangunan dan kesenjangan
pendapatan telah menjadi fokus akademik sejak bertahuntahun lalu. Simon Kuznet memprakasai kajian dengan melihat
korelasi antara 2 variable tersebut (Ray, 1998). Dalam paper-nya
yang kemudian menjadi acuan banyak peneliti, Kuznets (1995)
mengungkapkan bahwa hubungan antara tingkat distribusi
8
pendapatan dan tingkat pembangunan ekonomi mengambil
bentuk seperti U-terbalik (inverted-U curve). Dengan kata lain,
pada awal perkembangan ekonomi, distribusi pendapatan akan
menyebabkan kesenjangan pendapatan semakin tinggi, tetapi
seiring dengan semakin matangnya sebuah perekonomian,
kesenjangan pendapatan tersebut akan menurun perlahan
setelah melewati titik puncak.
2.1.
Teori Pertumbuhan Ekonomi
Djojohadikusumo
(1987)
menyatakan
bahwa
pertumbuhan ekonomi bertumpu pada proses peningkatan
produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat.
Sedangkan pembangunan ekonomi mengandung pengertian
yang lebih luas dan mencakup perubahan pada tata susunan
ekonomi
masyarakat
secara
menyeluruh.
Pembangunan
merupakan proses transformasi yang dalam perjalanan waktu
ditandai dengan perubahan strktural yakni perubahan pada
landasan kegiatan ekonomi maupun pada kerangka susunan
ekonomi masyarakat yang bersangkutan.
Selama tiga dasawarsa perhatian utama pembangunan
pada cara mempercepat tingkat pertumbuhan pendapatan
nasional,
baik
negara
maju/kaya
maupun
negara
terbelakang/miskin, baik yang menganut sistem kapitalis,
sosialis maupun campuran selalu mengutamakan pertumbuhan
ekonomi. Seperti diketahui bahwa suatu keberhasilan program
pembangunan
di
negara
berkembang
sering
dimulai
berdasarkan tinggi rendahnya tingkat pertumbuhan output dan
pendapatan
nasional.
Baik
buruknya
kualitas
kebijakan
pemerintah dan tinggi rendahnya mutu aparat di bidang
9
ekonomi secara keseluruhan biasanya diukur berdasarkan
kecepatan pertumbuhan output yang dihasilkan.
Namun
demikian
penyebaran
pertumbuhan
pendapatan tersebut masih sangat terbatas jangkauannya,
kekuatan antara negara maju dan negara berkembang tidak
seimbang sehingga cenderung memperlebar jurang kesenjangan
antara kelompok negara kaya dan negara miskin
Di negara berkembang perhatian utama terfokus pada
dilema antara pertumbuhan dan pemerataan. Pembangunan
eknomi mensyaratkan GNP yang lebih tinggi dan juga
pertumbuhan yang lebih tinggi merupakan suatu pilihan yang
hams diambil. Namun yang menjadi masalah adalah bukan
hanya soal bagiamana caranya memacu pertumbuhan, tetapi
juga siap melaksanakan dan berhak menikmati hasilnya. Dengan
demikian pembangunan ekonomi tidak semata-mata diukur
berdasarkan peningkatan GNP secara keseluruhan, tetapi hams
memperhatikan distribusi pendapatan telah meyebar ke
segenap penduduk/lapisan masyarakat, serta siapa yang telah
menikmati hasil-hasilnya (Todaro, 2000).
2.2.
Definisi Pembangunan
Menurut Todaro dan Smith (2006) pembangunan harus
dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang
mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial,
sikap-sikap masyarakat dan institusi-institusi nasional disamping
tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan
kesenjangan pendapatan serta pengentasan kemiskinan. Jadi
pada hakikatnya, pembangunan itu harus mencerminkan
perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem
10
sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman
kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompokkelompok sosial yang ada di dalamnya, untuk bergerak maju
menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara
material maupun spiritual.
Proses pembangunan di semua masyarakat paling tidak
harus memiliki tiga tujuan inti sebagai berikut:
1.
Peningkatan
ketersediaan
serta
perluasan
distribusi
berbagai barang kebutuhan hidup yang pokok seperti
pangan, sandang, papan, kesehatan, dan perlindungan
keamanan.
2.
Peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa
peningkatan pendapatan, tetapi juga meliputi penambahan
penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan,
serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan
kemanusiaan, yang kesemuanya itu tidak hanya untuk
memperbaiki kesejahteraan material, melainkan juga
menumbuhkan harga diri pada pribadi dan bangsa yang
bersangkutan.
3.
Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap
individu serta bangsa secara keseluruhan, yakni dengan
membebaskan mereka dari belitan sikap menghamba dan
ketergantungan, bukan hanya terhadap orang atau negarabangsa lain, namun juga terhadap setiap kekuatan yang
berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan mereka.
11
2.3.
Distribusi Pendapatan
Distribusi pendapatan adalah konsep yang lebih luas
dibandingkan analisis kemiskinan karena cakupannya tidak
hanya menganalisa populasi yang berada dibawah garis
kemiskinan saja, melainkan ketidakmerataan pendapatan antar
kelompok masyarakat dalam suatu daerah, ketidakmerataan
inilah yang kerap didefinisikan sebagai kesenjangan (inequality)
dalam distribusi pendapatan (Wibowo, 2012).
Berbicara mengenai kesenjangan, maka kita berbicara
bukan hanya mengenai tingkat pendapatan secara absolut,
secara intuitif kesenjangan berbicara mengenai perbedaan
standar hidup secara relatif dari suatu kelompok masyarakat
atau antar kelompok masyarakat (between dan within).
Kesenjangan sendiri merupakan topik bahasan yang
seakan tidak pernah lekang dari perhatian, terutama di negara
berkembang seperti Indonesia. Kesenjangan seringkali dijadikan
patokan ukuran pembangunan selain dari tingkat pendapatan
agregat (seperti Pendapatan Domestik Bruto), karena dapat
memberikan alternative pengukuran tingkat pendapatan secara
relative antar kelas pendapatan, dengan kata lain kita tertarik
untuk mengetahui seberapa kayakah orang kaya di suatu
masyarakat dan seberapa miskinkah orang miskin di suatu
masyarakat dan mengukur perbandingan relatif antar dua
kelompok masyarakat tersebut.
Distribusi pendapatan suatu daerah dapat menentukan
bagaimana pendapatan daerah yang tinggi mampu menciptakan
perubahanperubahan
dan
perbaikan-perbaikan
dalam
12
masyarakat, seperti mengurangi kemiskinan, pengangguran dan
kesulitan-kesulitan lain dalam masyarakat.
Distribusi pendapatan yang tidak merata tidak akan
menciptakan kemakmuran bagi masyarakat secara umum,
tetapi hanya akan menciptakan kemakmuran bagi golongan
tertentu. Antara pertumbuhan ekonomi yang pesat dan
distribusi pendapatan terdapat suatu trade off yang membawa
implikasi bahwa pemerataan dalam pembagian pendapatan
hanya dapat dicapai jika laju pertumbuhan ekonomi diturunkan.
Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi yang tinggi selalu
akan disertai dengan memburuknya distribusi pendapatan atau
terjadi kenaikan kesenjangan relatif.
2.4.
Konsep Kesenjangan
Debraj Ray mengungkapkan
konsep kesenjangan
dengan “how benefit of economy is distributed among people or
region” (Ray, 1998). Sementara Ravallion (2003) menyatakan
bahwa “inequality is about the disparities in levels of living”. Dia
kemudian membedakan kesenjangan menjadi ‘kesenjangan
relatif’
dan
‘kesenjangan
absolut’.
Kesenjangan
relatif
tergantung dari rasio pendapatan individu terhadap rata-rata
pendapatan
secara
keseluruhan.
Sehingga,
jika
semua
pendapatan naik dengan tingkat yang sama, maka kesenjangan
relatif menjadi tidak berubah. Kesenjangan absolut merupakan
pengukuran kesenjangan dengan menggunakan parameter
dengan suatu nilai mutlak.
Dalam
melakukan
analisa
kesenjangan,
kita
memerlukan suatu ukuran yang dapat menangkap pola
13
distribusi pendapatan, kemudian menghasilkan angka yang
dapat diinterpretasikan dan diperbandingkan, baik antar waktu
maupun antar sub-sample dan sample, selain juga mampu
menunjukkan derajat kesenjangan (Hindriks & Myles, 2006).
Masalah kesenjangan dalam distribusi pendapatan
dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu :
1. Distribusi Pendapatan Antar Golongan Pendapatan (Size
Disfribution of lncome) atau kesenjangan relatif.
2. Distribusi Pendapatan Antara Daerah Perkotaan dan
Pedesaan (Urban-Rural lncome Disparities). Banyak ahli
yang menyatakan bahwa pola pembangunan lndonesia
memperlihatkan suatu fenomena yang disebut urban bias,
yaitu
pembangunan
yang
berorientasi
ke
daerah
perkotaan, dengan tekanan yang berat pada sektor
industri yang terorganisir, yang merupakan sebab
terjadinya kesenjangan distribusi pendapatan yang lebih
parah lagi di kemudian hari. Fenomena urban bias ini
seringkali terjadi di negaranegara berkembang seperti
lndonesia dimana alokasi sumber-sumber daya lebih
banyak diprioritaskan di daerah perkotaan daripada
pertimbangan pemerataan atau efisiensi.
3.
Distribusi Pendapatan Antar Daerah (Regional Income
Disparity). Kesenjangan dalam perkembangan ekonomi
antar berbagai daerah di lndonesia serta penyebaran
sumber daya alam yang tidak merata menjadi penyebab
tidak meratanya distribusi pendapatan antar daerah di
lndonesia khususnya.
14
2.5.
Ukuran-ukuran Tingkat Kesenjangan
Di dalam melakukan analisa kesenjangan di suatu wilayah,
kita memerlukan alat atau ukuran-ukuran yang dapat menimbang
tingkat kesenjangan di suatu wilayah. Ada beberapa indeks yang
diciptakan untuk mengukur kesenjangan di suatu wilayah,
diantaranya Indeks Williamson, Atkinson, Gini Koefisien, Theil
Indeks dan lain-lain, bahkan Bank Dunia menciptakan kriteria umum
untuk membandingkan tingkat kesenjangan. Pada publikasi ini,
digunakan Indeks Gini sebagai ukuran kesenjangan yang paling
umum dipakai.
Dalam melakukan analisis distribusi pendapatan, saat
memilih ukuran kesenjangan, kita mengharapkan ukuran tersebut
merupakan ukuran distribusi rumah tangga dalam ukuran tunggal
(single measure). Menurut (Hindriks & Myles, 2006), kriteria-kriteria
bagi sebuah ukuran kesenjangan yang baik adalah sebagai berikut:

Tidak tergantung pada nilai rata-rata (mean independence).
Ini berarti bahwa jika semua pendapatan bertambah dua kali
lipat, ukuran kesenjangan seharusnya tidak berubah.

Dapat diperbandingkan. Suatu ukuran distribusi pendapatan
diharapkan
dapat
memberikan
suatu
angka
ukuran
kesenjangan yang dapat diperbandingkan, baik di dalam suatu
daerah, interregional maupun secara intertemporal.

Sensitif terhadap transfer pendapatan. Suatu ukuran
distribusi
pendapatan
diharapkan
dapat
menangkap
perubahan distribusi pendapatan ketika terjadi mekanisme
transfer pendapatan dari rumah tangga berpendapatan tinggi
ke rumah tangga dengan pendapatan lebih rendah, walaupun
total pendapatan masyarakat secara agregat tidak berubah.
15
Sensitivitas terhadap transfer ini dikenal juga dengan "PigouDalton Principal of Transfer".
Sementara kriteria tambahan bagi ukuran kesenjangan yang baik
adalah:

Tidak
tergantung
jumlah
populasi
(population
size
independence). Jika populasi berubah, ukuran kesenjangan
seharusnya tidak berubah, jika kondisi lain tetap (ceteris
paribus).

Simetris. Jika antar populasi bertukat tempat tingkat
pendapatannya, seharusnya tidak akan ada perubahan dalam
ukuran kesenjangan.
Dilihat dari kriteria-kriteria yang harus dimiliki indeks, Indeks Gini
memenuhi kriteria-kriteria sebagai indeks yang mengukur
kesenjangan pendapatan di suatu daerah.
2.5.1. Indeks Gini dan Kurva Lorenz
Parameter lain yang sering digunakan untuk mengukur
distribusi pendapatan ini adalah Angka Gini Ratio yang juga
sering disebut Indeks Gini atau lengkapnya “Gini Concentration
Ratio”. Indek Gini/Gini Ratio
statistik
untuk
mengukur
merupakan salah satu teknik
kesenjangan
pendapatan.
Keistimewaan dari alat ukur ini adalah dapat ditampilkan secara
geometris, sehingga mempunyai dua aspek sekaligus yaitu
aspek visual melalui kurva yang disebut kurva lorenz dan aspek
matematis.
Ukuran kesenjangan ini juga memenuhi desirable
property dari ukuran kesenjangan, tetapi berbeda dengan
indeks Theil, Indeks Gini tidak dapat diuraikan menjadi bagian
yang bisa dijumlahkan (additively decomposable). Angka Gini
16
Ratio sebagai ukuran pemerataan pendapatan mempunyai
selang nilai antara nilai 0 (nol) dan 1 (satu). Gini Ratio sama
dengan 0 (nol) menunjukkan kesenjangan sebaran pendapatan
yang rendah (pemerataan sempurna). Sedang nilai 1 (satu)
menunjukan
tingkat
kesenjangan
sebaran
yang
tinggi
(kesenjangan sempurna). Walaupun demikian, menurut Michael
Todaro seorang ahli ekonomi pembangunan dari Italia
menyebutkan bahwa
a. Gini Ratio terletak antara 0,50 – 0,70 menandakan
pemerataan sangat timpang.
b. Sedangkan apabila nilainya terletak antara 0,36 – 0,49
menunjukan kesenjangan sedang.
c. Sementara apabila terletak diantara 0,20 – 0,35 dinyatakan
pemerataan relatif tinggi (merata).
Dalam
hal
ini,
kenyataannya
tidak
mungkin
suatu
daerah/wilayah mempunyai angka gini ratio yang besarnya
sama dengan 0 (nol) dan 1 (satu).
Gambar 2. Kurva Lorenz
17
Secara visual, indeks Gini dapat dijelaskan dengan
menggunakan kurva lorenz, yaitu kurva pengeluaran kumulatif
yang membandingkan distribusi dari suatu variabel tertentu
(misalnya pengeluaran) dengan distribusi seragam yang
mewakili persentase kumulatif penduduk.
Grafik persentase kumulatif penduduk yang diurut dari
termiskin ke yang terkaya digambar pada sumbu hoizontal dan
persentase kumulatif pengeluaran digambar pada sumbu
vertikal. Indeks gini merupakan formula yang menghitung rasio
luas bidang antara garis diagonal (perfect equality) dan kurva
lorenz. Semakin jauh jarak kurva lorenz dengan garis diagonal,
maka tingkat kesenjangannya semakin tinggi.
Parameter lain yang sering digunakan untuk mengukur
distribusi pendapatan ini adalah Angka Gini Ratio yang juga
sering disebut Indeks Gini atau lengkapnya “Gini Concentration
Ratio”. Indek Gini/Gini Ratio
statistik
untuk
mengukur
merupakan salah satu teknik
ketimpangan
pendapatan.
Keistimewaan dari alat ukur ini adalah dapat ditampilkan secara
geometris, sehingga mempunyai dua aspek sekaligus yaitu
aspek visual melalui kurva yang disebut kurva lorenz dan aspek
matematis.
Ukuran kesenjangan ini juga memenuhi desirable
property dari ukuran kesenjangan, tetapi berbeda dengan
indeks Theil, Indeks Gini tidak dapat diuraikan menjadi bagian
yang bisa dijumlahkan (additively decomposable). Angka Gini
Ratio sebagai ukuran pemerataan pendapatan mempunyai
selang nilai antara nilai 0 (nol) dan 1 (satu). Gini Ratio sama
dengan 0 (nol) menunjukkan ketimpangan sebaran .
18
2.5.2. Kriteria Bank Dunia
Ukuran kesenjangan pendapatan kriteria Bank Dunia
merupakan indikator untuk mengukur tingkat ketimpangan
dengan menfokuskan pada berapa besar persentase yang
diterima oleh 40
persen
kelompok
penduduk
dengan
penghasilan terendah terhadap seluruh pendapatan penduduk
di suatu daerah. Indikator ini membagi penduduk menjadi tiga
kelompok, yaitu:

Kelompok 40 persen penduduk yang berpendapatan
rendah

Kelompok 40 persen penduduk yang berpendapatan
menengah

Kelompok 20 persen penduduk yang berpendapatan tinggi
Selanjutnya tingkat ketimpangan pendapatan penduduk
menurut Bank Dunia terpusat pada kelompok 40 persen
penduduk berpendapatan rendah, dengan kriteria sebagai
berikut
a. Bila persentase pendapatan yang diterima oleh kelompok
tersebut lebih kecil dari 12 persen, berarti tingkat
ketimpangan sebaran pendapatan tergolong “tinggi”.
b. Bila kelompok tersebut menerima 12 sampai 17 persen dari
total pendapatan, berarti tingkat ketimpangan sebaran
pendapatan “sedang”.
c. Bila kelompok tersebut menerima lebih dari 17 persen dari
total pendapatan, berarti tingkat ketimpangan sebaran
pendapatan “rendah”.
19
3
3.1.
METODE PENELITIAN
Data
Studi ini menggunakan data pengeluaran konsumsi dari
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2012-2014.
Pendekatan
pengeluaran
(expenditure
approach)
banyak
digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan dikarenakan
data konsumsi pengeluaran dikatakan lebih ‘terpecaya’ dari
data pendapatan dan karakteristik dari data SUSENAS yang
memiliki tinggal detilasi yang cukup tingi untuk variable
pengeluaran dan tidak untuk data pendapatan.
Susenas adalah data sosial ekonomi nasional yang
dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) secara periodik
sejak tahun 1963. Jika dilihat dari sejarah perkembangan
Susenas, pada awalnya survey ini hanya mencakup 5 provinsi di
pulau Jawa dengan jumlah sampel hanya sebanyak 16.000
rumah tangga. Sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan
pentingnya data ini yang digunakan juga untuk menghitung data
kemiskinan dan kesenjangan di Indonesia, sejak tahun 1982
Susenas mencakup seluruh provinsi (termasuk provinsi Timor
Timur pada saat masih bergabung dengan Indonesia) dan
jumlah sampelnya juga mengalami kenaikan tiap tahunnya.
Tahun 1987 jumlah sampel sebesar 49.000, di tahun 1993
sampelnya meningkat sebesar 65.000 rumah tangga, terakhir di
tahun 2014, sampel Susenas mencapai 300.000 rumah tangga.
20
Sampai dengan tahun 2010, Susenas menggunakan 3
modul yang dilaksanakan setiap 3 tahun sekali, yaitu Modul
Konsumsi, Modul Sosial Budaya dan Pendidikan, serta Modul
Perumahan dan Kesehatan. Mulai tahun 2011, pengumpulan
data konsumsi dilaksanakan secara triwulanan setiap tahun.
Selain modul, Susenas juga mengumpulkan data KOR. Susenas
KOR dilaksanakan setiap tahun untuk mengumpulkan data
individu dan rumah tangga mengenai kesehatan, pendidikan,
pekerjaan dan juga pengeluaran.
Pada tulisan ini, data yang dipakai adalah data
pengeluaran konsumsi per kapita tahun 2012, 2013 dan 2014.
Jenis pengeluaran yang dicakup di dalam data pengeluaran
konsumsi diklasifikasikan kedalam kelompok makanan dan non
makanan. Konsumsi pengeluaran merekam apakah konsumsi itu
terjadi melalui pembelian, produksi sendiri atau pemberian dari
pihak lain. Barang dan jasa yang bersumber dari produksi sendiri
ataupun dari pihak lain direkam dengan cara mengimputasi nilai
barang/jasa tersebut.
Jumlah alokasi sampel Susenas untuk provinsi Jawa
Barat tahun 2012, 2013 dan 2014 sebesar 23.960 rumah tangga,
namun karena terdapat beberapa sampel yang non respon
sehingga jumlah sampel Susenas untuk tahun 2012 hanya
sebanyak 22.470 rumah tangga, tahun 2013 sampel Susenas
yang merespon sebanyak 23.079 rumah tangga dan tahun 2014
sampelnya sebanyak 22.441 rumah tangga.
21
3.2. Metode Analisis
Penelitian
ini
menggunakan
Ukuran
kesenjangan
pendapatan berdasarkan Indeks Gini.
Indeks Gini
Indeks Gini adalah ukuran kesenjangan yang paling
umum
dipakai
untuk
melihat
kesenjangan
pendapatan
dikarenakan Indeks Gini memenuhi kriteria dari standar yang
baik dari sebuah ukuran kesenjangan, yaitu mean independence,
population size independence dan prinsip Pigou-Dalton.
Anggap bahwa terdapat n rumah tangga dalam suatu
sampel dan mereka disusun dari terkecil ke terbesar
berdasarkan pengeluaran per kapita yaitu y1≤y2≤…≤yn. Maka
Koefisien Gini didefinisikan sebagai
KG
Pi
Yi
n
=
=
=
=
Koefisien Gini
Proporsi kumulatif dari penerima pendapatan i
Proporsi kumulatif pengeluaran perkapita i
Jumlah observasi
Kriteria Bank Dunia
Kriteria
Bank
Dunia
untuk
ukuran
ketimpangan
pendapatan yang pada dasarnya adalah ukuran kuantil, dimana
pengeluran rumah tangga diurutkan dari yang terendah
sehingga yang terbesar. Dari pengurutan data tersebut, rumah
tangga di kelompokan menjadi 40 persen rumah tangga dengan
pengeluaran terendah, 40 persen rumah tangga dengan
pengeluaran menengah dan terakhir, 20 persen rumah tangga
dengan pengeluaran tertinggi.
22
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Provinsi Jawa Barat
Jawa Barat dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 11
Tahun 1950, tentang Pembentukan Provinsi Jawa Barat.
Kemudian dengan ditetapkannya Undang-undang No. 23 Tahun
2000 tentang pembentukan Provinsi Banten, maka sebagian
wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat berubah status
menjadi Provinsi Banten. Pada tahun 2014, Provinsi Jawa Barat
terdiri dari 18 kabupaten, 9 kota, 626 kecamatan dan 5.962
daerah desa/kelurahan (PODES BPS,2014).
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6
Tahun 2008 tanggal 31 Januari 2008, luas daerah Provinsi Jawa
Barat adalah 35.377,76 km2 atau sebesar 1,85 persen dari total
luas daerah wilayah Indonesia (BPS, 2009). Dengan batas-batas
wilayahnya sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa bagian
Barat dan DKI Jakarta di Utara, sebelah Timur berbatasan
dengan Provinsi Jawa Tengah, antara Samudra Indonesia di
Selatan dan Selat Sunda di barat.
4.1.1. Keadaan Penduduk Jawa Barat
Berdasarkan hasil proyeksi, penduduk Jawa Barat
tahun 2014 sebesar 46.029.668 jiwa atau sebesar 18,25 persen
dan total jumlah penduduk di Indonesia dengan tingkat
pertumbuhan sebesar 1,52 persen (BPS, 2014). Kabupaten
Bogor adalah kabupaten yang jumlah penduduknya terbesar di
23
Jawa Barat dan Indonesia yaitu sebesar 5.331.149 jiwa atau
sebesar 11,58 persen dari total jumlah penduduk di Jawa Barat.
Sedangkan Kota Banjar merupakan kota dengan jumlah
penduduk terkecil di Jawa Barat yaitu sebesar 180.515 jiwa atau
sebesar 0,39 persen dari total jumlah penduduk di Jawa Barat.
Menurut tingkat kepadatan penduduknya, Provinsi
Jawa Barat merupakan provinsi terpadat kedua setelah DKI
Jakarta dibandingkan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Pada
tahun 2014, kepadatan penduduk Jawa Barat mencapai 1.301
jiwa/km2. Artinya setiap satu kilometer persegi dihuni oleh
1.301 jiwa.
4.1.2. Keadaan Perekonomian Jawa Barat
Salah satu indikator perekonomian dalam suatu
wilayah adalah PDRB. Berdasarkan komposisi PDRB menurut
sektoral dapat diketahui struktur perekonomian suatu wilayah.
Sedangkan perubahan PDRB atas dasar harga konstan dari
waktu ke waktu menunjukkan besarnya laju pertumbuhan
ekonomi.
Besarnya Produk Domestik Regional Bruto Provinsi
Jawa Barat atas dasar harga berlaku tahun 2014 ialah 1,386
triliun rupiah. Sumbangan terbesar dihasilkan oleh kategori
Industri Pengolahan, kemudian kategori Perdagangan Besar dan
Eceran; Reparasi Mobil dan Motor, kategori Pertanian,
Kehutanan, dan Perikanan, kategori Konstruksi, dan kategori
Transportasi dan Pergudangan. Sementara peranan kategori
lainnya di bawah 4 persen.
24
Gambar 3. Persentase PDRB Menurut Lapangan Usaha 2014
M,N
I
H
5%
J
O
KL
R,S,T,U
PQ
A
9% B
G
15%
C
44%
F
8%
ED
Keterangan :
A
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
B
Pertambangan dan Penggalian
C
Industri Pengolahan
D
Pengadaan Listrik dan Gas
E
Pengadaan air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang
F
Konstruksi
G
Perdagangan Besar dan Eceran
H
Transportasi dan Pergudangan
I
Penyediaan akomodasi makan minum
J
Informasi dan Komunikasi
K
Jasa Keuangan dan Asuransi
L
Real Estate
M,N Jasa Perusahaan
O
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib
P
Jasa Pendidikan
R,S,T,U Jasa Lainyya
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu ukuran
dari hasil pembangunan yang telah dilaksanakan oleh suatu
daerah, khususnya pembangunan dalam bidang ekonomi.
Pertumbuhan tersebut merupakan agregat dari pertumbuhan di
setiap sektor ekonomi yang ada. Bagi setiap daerah, indikator
ini
sangat
dibutuhkan
untuk
mengetahui
keberhasilan
25
pembangunan yang telah dicapai, serta berguna untuk
menentukan arah pembangunan di masa yang akan datang
(BPS, 2001).
Perekonomian
Jawa
Barat
pada
tahun
2014
mengalami perlambatan dibandingkan pertumbuhan tahuntahun sebelumnya. Laju pertumbuhan PDRB Jawa Barat tahun
2014 mencapai 5,06 persen, sedangkan tahun 2013 sebesar
6,34 persen. Pertumbuhan ekonomi tertinggi dicapai oleh
kategori Informasi dan Komunikasi sebesar 17,47 persen.
Sedangkan seluruh kategori ekonomi PDRB yang lain pada tahun
2014 mencatat pertumbuhan yang positif.
Adapun
kategori-kategori
lainnya
berturut-turut
mencatat pertumbuhan yang positif, di antaranya kategori
Informasi dan Komunikasi mencatat sebesar 17,47 persen;
kategori Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial sebesar 15,78
persen; kategori Jasa Pendidikan sebesar 14,43 persen; kategori
Jasa Lainnya sebesar 8,80 persen; kategori Transportasi dan
Pergudangan sebesar 7,50 persen; kategori Jasa Perusahaan
sebesar 6,92 persen; kategori Penyediaan Akomodasi dan Makan
Minum
sebesar
6,00
persen;
kategori
Pengadaan
Air,
Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang sebesar 5,95
persen; kategori Konstruksi 5,45 persen; kategori Industri
Pengolahan sebesar 5,11 persen; kategori Real Estat sebesar
4,46 persen; kategori Pengadaan Listrik dan Gas sebesar 4,30
persen; kategori Jasa Keuangan dan Asuransi sebesar 4,12
persen; kategori Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi
Mobil dan Sepeda Motor sebesar 3,31 persen; kategori
Pertambangan dan Penggalian sebesar 1,57 persen; kategori
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan sebesar 0,47 persen; dan
26
kategori Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan
Sosial Wajib 0,46 persen.
Gambar 4. Pertumbuhan PDRB Menurut Lapangan Usaha 2014
Pert Ekonomi
A
0,47
B
1,57
C
D
Lapangan Usaha
5,06
5,11
4,3
E
F
G
3,31
H
5,95
5,45
I
7,5
6
J
K
17,47
4,12
L
4,46
M,N
O
0,46
P
6,92
14,43
Q
R,S,T,U
0
5
Keterangan :
A
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M,N
O
P
R,S,T,U
8,8
10
15,78
15
20
Pertambangan dan Penggalian
Industri Pengolahan
Pengadaan Listrik dan Gas
Pengadaan air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang
Konstruksi
Perdagangan Besar dan Eceran
Transportasi dan Pergudangan
Penyediaan akomodasi makan minum
Informasi dan Komunikasi
Jasa Keuangan dan Asuransi
Real Estate
Jasa Perusahaan
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib
Jasa Pendidikan
Jasa Lainyya
27
4.2. Analisis Kesenjangan
Mengurangi kesenjangan antar daerah telah menjadi
salah satu isu kebijakan utama di Indonesia. Pemerintah telah
berusaha untuk mengurangi kesenjangan melalui programprogramnya. Misalnya, Program
Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM Mandiri), percepatan daerah tertinggal,
daerah perbatasan, daerah konflik, daerah pasca bencana dan
puncaknya pada tahun 2011, Indonesia meluncurkan MP3IE
(Masterplan Percepatan dan Perluasaan Ekonomi Indonesia)
yang mengandung butir-butir yang ditargetkan akan dicapai
Indonesia hingga tahun 2025.
Alur kajian pada bab ini dimulai dengan pembahasan
perbandingan kesenjangan pendapatan antar wilayah di
Indonesia dengan titik berat melihat kondisi kesenjangan
pendapatan di Jawa Barat sebagai provinsi dengan jumlah
penduduk terbesar di Indonesia dibandingkan dengan provinsiprovinsi lainnya. Setelah itu, pembahasan dilanjutkan untuk
melihat
data
historis
potret
kesenjangan
pendapatan
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2014. Hasil
perhitungan kesenjangan pendapatan disini menggunakan
ukuran Indeks Gini.
4.2.1. Indeks Gini
Indeks Gini merupakan ukuran yang paling umum
digunakan untuk menganalisa tingkat kesenjangan di suatu
daerah. Menurut Michael Todaro, seorang ahli ekonomi
pembangunan dari Italia, bahwa nilai Gini Ratio yang terletak
antara 0,50–0,70 menandakan pemerataan yang sangat
28
timpang, sedangkan apabila nilainya terletak antara 0,36–0,49
menunjukan kesenjangan sedang, sementara apabila nilai Gini
terletak diantara 0,20–0,35 dinyatakan pemerataan relatif tinggi
(merata). Dalam hal ini, kenyataannya tidak mungkin suatu
daerah/wilayah mempunyai angka gini ratio yang besarnya
sama dengan 0 (nol) dan 1 (satu).
Kesenjangan antar Provinsi di Indonesia
Berdasarkan koefisien gini, kesenjangan pendapatan di
provinsi Jawa Barat secara umum termasuk dalam kategori
kesenjangan sedang. Jika dibandingkan dengan kondisi kesenjangan
secara nasional, indeks gini provinsi Jawa Barat sama dengan
nasional. Tingkat kesenjangan Indonesia tahun 2014 (kondisi Maret)
jika diukur dengan Indeks Gini adalah sebesar 0,41 sementara Jawa
Barat juga sebesar 0,41.
Peningkatan
kesenjangan
pendapatan
merupakan
fenomena yang terjadi secara umum di seluruh provinsi di
Indonesia. Tabel 4.1 menunjukkan bahwa pada periode tahun
2009 ke 2014, peningkatan terjadi di seluruh provinsi di
Indonesia. DKI Jakarta dan Papua tercatat sebagai provinsi
dengan kesenjangan tertinggi di Indonesia pada tahun 2009
dengan Koefisien Gini sebesar 0.39 dan 0,38. Sedangkan pada
tahun 2014, daerah dengan tingkat kesenjangan tertinggi
dipegang oleh Papua Barat dan DKI Jakarta.
29
Tabel 1. Koefisien Gini Berdasarkan Menurut Provinsi
Tahun 2009- 2014
Provinsi
2009
2010
2011
2012
2013
2014
0,29
0,30
Aceh
0,32
0,35
Sumatera Utara
0,30
0,33
Sumatera Barat
0,33
0,33
Riau
0,27
0,30
Jambi
0,31
0,34
Sumatera Selatan
0,30
0,37
Bengkulu
0,35
0,36
Lampung
Kepulauan Bangka
0,29
0,30
Belitung
0,29
0,29
Kepulauan Riau
0,36
0,36
DKI Jakarta
0,36
0,36
Jawa Barat
0,32
0,34
Jawa Tengah
0,38
0,41
DI Yogyakarta
0,33
0,34
Jawa Timur
0,37
0,42
Banten
0,31
0,37
Bali
0,35
0,40
Nusa Tenggara Barat
0,36
0,38
Nusa Tenggara Timur
0,32
0,37
Kalimantan Barat
0,29
0,30
Kalimantan Tengah
0,35
0,37
Kalimantan Selatan
0,38
0,37
Kalimantan Timur
0,31
0,37
Sulawesi Utara
0,34
0,37
Sulawesi Tengah
0,39
0,40
Sulawesi Selatan
0,36
0,42
Sulawesi Tenggara
0,35
0,43
Gorontalo
0,30
0,36
Sulawesi Barat
0,31
0,33
Maluku
0,33
0,34
Maluku Utara
0,35
0,38
Papua Barat
0,38
0,41
Papua
0,37
0,38
INDONESIA
Catatan : Data Tr.1 2014 (Susenas, BPS)
0,33
0,35
0,35
0,36
0,34
0,34
0,36
0,37
0,32
0,33
0,36
0,40
0,34
0,40
0,35
0,36
0,34
0,35
0,36
0,37
0,35
0,38
0,39
0,36
0,32
0,32
0,33
0,35
0,33
0,40
0,30
0,40
0,30
0,29
0,31
0,36
0,32
0,44
0,41
0,38
0,40
0,37
0,40
0,41
0,36
0,36
0,40
0,34
0,37
0,38
0,39
0,38
0,41
0,41
0,46
0,34
0,41
0,33
0,40
0,42
0,35
0,42
0,41
0,38
0,43
0,36
0,39
0,43
0,35
0,36
0,38
0,33
0,38
0,36
0,43
0,40
0,41
0,40
0,44
0,31
0,38
0,34
0,43
0,44
0,36
0,43
0,41
0,39
0,44
0,36
0,40
0,40
0,36
0,35
0,40
0,35
0,36
0,37
0,42
0,41
0,43
0,43
0,44
0,35
0,37
0,32
0,43
0,44
0,35
0,43
0,41
0,38
0,42
0,37
0,40
0,42
0,38
0,36
0,39
0,35
0,36
0,35
0,42
0,37
0,42
0,41
0,41
0,35
0,35
0,32
0,44
0,41
0,41
0,41
0,41
0,41
Dalam konteks kesenjangan pendapatan Provinsi Jawa
Barat, meskipun berdasarkan hasil perhitungan bukanlah
provinsi dengan kesenjangan pendapatan tertinggi di Indonesia
baik untuk tahun 2009 maupun 2014, namun Provinsi Jawa
30
Barat masih merupakan provinsi yang termasuk ke dalam
sepuluh besar provinsi dengan kesenjangan pendapatan
tertinggi di Indonesia dengan kategori kelompok kesenjangan
sedang (moderat). Pada tahun 2009, nilai Koefisien Gini Provinsi
Jawa Barat sebesar 0.36 sedangkan pada tahun 2014 nilainya
melonjak cukup tajam menjadi 0.41. Hal ini perlu mendapat
perhatian lebih dari para pemangku kebijakan, baik para
pemangku kebijakan di tingkat pusat maupun provinsi,
mengingat Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah
penduduk terbesar di Indonesia.
Meskipun kesenjangan di Jawa Barat masih dalam kategori
kesenjangan sedang, tetapi kecenderungannya 5 tahun terakhir ini
tingkat kesenjangannya semakin meningkat. Pada tahun 2009,
tingkat kesenjangan masih dalam ketegori ringan (merata) tetapi
trend-nya terus meningkat, dan bahkan sudah masuk ke dalam
kategori sedang. Jika dibandingkan dengan Keadaan kesenjangan
secara nasional, 5 tahun terakhir ini, tingkat kesenjangan sudah
hampir sama dengan tingkat kesenjangan secara nasional, padahal
sebelumnya, tingkat kesenjangan Jawa Barat masih berada di
bawah kesenjangan pendapatan tingkat nasional.
31
Gambar 5. Koefisien Gini Indonesia dan Provinsi Jawa Barat
Tahun 2009 – 2014
0,450
0,400
0,350
0,300
0,250
0,200
1999 2002 2005 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Jawa Barat
INDONESIA
Gambar 6. Kurva Lorenz Provinsi Jawa Barat Tahun 2014
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
1
4
7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64 67 70 73 76 79 82 85 88 91 94 97 100
32
Gambar 7. Indeks Gini Menurut Provinsi, Kondisi Maret 2014
INDONESIA
Papua
Papua Barat
Maluku Utara
Maluku
Sulawesi Barat
Gorontalo
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tengah
Sulawesi Utara
Kalimantan Timur
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
Kalimantan Barat
Nusa Tenggara Timur
Nusa Tenggara Barat
Bali
Banten
Jawa Timur
DI Yogyakarta
Jawa Tengah
Jawa Barat
DKI Jakarta
Kep Riau
Kep Bangka Belitung
Lampung
Bengkulu
Sumatera Selatan
Jambi
Riau
Sumatera Barat
Sumatera Utara
Aceh
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
33
Kesenjangan di Perkotaan dan di Perdesaan
Jika dilihat berdasarkan klasifikasi daerah tempat tinggal,
terlihat bahwa penduduk di daerah pedesaan menunjukkan
kesenjangan yang rendah (merata), sedangkan penduduk di daerah
perkotaan
mengindikasikan
telah
berada
pada
kategori
kesenjangan sedang dan mengalami kenaikan pada tahun 2014
walaupun pada tahun 2013 sedikit mengalami penurunan tetapi
masih lebih tinggi dibanding keadaan pada tahun 2011. Penyebab
meningkatnya tingkat kesenjangan di Jawa Barat, lebih dipengaruhi
meningkatnya kesenjangan penduduk di wilayah perkotaan.
Tabel 2. Koefisien Gini Berdasarkan Tipe Daerah di Provinsi
Jawa Barat Tahun 2011- 2014
Daerah
2011
2012
2013
2014
Perkotaan
0,40
0,42
0,41
0,42
Perdesaan
0,30
0,30
0,30
0,29
Perkotaan+Perdesaan
0,39
0,412
0,40
0,40
Sumber: SUSENAS 2011, 2012, 2013, 2014 (diolah)
Kesenjangan Menurut Kabupaten/Kota
Berdasarkan hasil susenas Jawa Barat 2014, dapat
disimpulkan bahwa ketimpangan distribusi pendapatan di Provinsi
Jawa Barat secara umum dapat dikategorikan kedalam tingkat
ketimpangan distribusi pendapatan “sedang” dengan angka Indeks
Gini 0,40.
Pada tahun 2014, Kota Bandung tercatat mempunyai
indeks Gini tertinggi di Jawa Barat dengan nilai 0,48. Walaupun
secara umum, kecenderungan Gini indeks Kabupaten/Kota di
Provinsi menunjukan tingkat kesenjangan yang rendah, dalam
34
kurun waktu 5 tahun terakhir terjadi kenaikkan nilai Indeks Gini di
mayoritas kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.
Tabel 3. Koefisien Gini Berdasarkan Kabupaten/Kota
Provinsi Jawa Barat Tahun 2011-2014
Kab/Kota
2011
2012
2013
2014
Kab Bogor
0,41
0,42
0,38
0,38
Kab Sukabumi
0,30
0,35
0,30
0,32
Kab Cianjur
0,29
0,33
0,29
0,28
Kab Bandung
0,36
0,36
0,34
0,37
Kab Garut
0,30
0,34
0,31
0,33
Kab Tasikmalaya
0,37
0,33
0,32
0,29
Kab Ciamis
0,31
0,31
0,33
0,31
Kab Kuningan
0,33
0,36
0,33
0,37
Kab Cirebon
0,27
0,36
0,32
0,28
Kab Majalengka
0,31
0,39
0,32
0,34
Kab Sumedang
0,33
0,37
0,34
0,33
Kab Indramayu
0,28
0,29
0,28
0,28
Kab Subang
0,28
0,33
0,33
0,31
Kab Purwakarta
0,34
0,39
0,39
0,37
Kab Karawang
0,33
0,34
0,32
0,30
Kab Bekasi
0,33
0,36
0,33
0,33
Kab Bandung Barat
0,29
0,37
0,31
0,33
Kota Bogor
0,39
0,45
0,41
0,36
Kota Sukabumi
0,34
0,40
0,34
0,36
Kota Bandung
0,41
0,42
0,42
0,48
Kota Cirebon
0,38
0,41
0,38
0,40
Kota Bekasi
0,37
0,37
0,35
0,33
Kota Depok
0,36
0,40
0,39
0,36
Kota Cimahi
0,34
0,37
0,40
0,39
Kota Tasikmalaya
0,37
0,40
0,39
0,37
Kota Banjar
0,37
0,39
0,34
0,32
0,41
0,42
0,38
0,38
Jawa Barat
Sumber: SUSENAS 2011, 2012, 2013 (diolah)
35
4.2.2. Kriteria Bank Dunia
Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, Bank
Dunia
mempunyai
kriteria
dalam
menentukan
tingkat
ketimpangan pendapatan di suatu daerah, dimana fokus
perhatian dari penggunaan kriteria ini adalah pada kelompok 40
persen penduduk dengan pendapatan terendah. Tingkat
kesenjangann pendapatan di suatu daerah dikatakan tinggi jika
di daerah tersebut kelompok 40 persen berpendapatan
terendahnya menerima lebih kecil dari 12 persen dari total
pendapatan, dikatakan sedang jika kelompok ini proporsinya
menerima antara 12 sampai 17 persen, dan dikatakan rendah
jika kelompok ini menerima lebih dari 17 persen dari total
penerimaan.
Tabel 4. Distribusi Pengeluaran Penduduk Menurut Kriteria
Bank Dunia Tahun 2011-2014
Distribusi Pendapatan
40 % penduduk
berpendapatan terendah
40 % penduduk
berpendapatan menengah
20 % penduduk
berpendapatan tertinggi
2011
2012
2013
2014
17.85
16.69
17.27
17,38
35.43
34.35
35.02
34,87
46.72
48.96
47.71
47,75
Secara umum tingkat ketimpangan pendapatan di
Provinsi Jawa Barat jika diukur dengan menggunakan kriteria
Bank Dunia termasuk ke dalam kategori ketimpangan rendah.
Pada tahun 2014, kelompok 40 persen penduduk dengan
pendapatan terendah di Provinsi Jawa Barat memberikan 17,38
persen dari total pengeluaran masyarakat Jawa Barat.
36
Walaupun termasuk dalam tingkat ketimpangan yang
rendah, kontribusi dari kelompok 40 persen berpendapatan
terendah ini masih berfluktuatutif dan hanya sedikit berada di
atas ambang batas kategori. Melihat perkembangan 4 tahun
terakhir ini, pemerintah masih harus terus memacu kinerjanya
untuk terus dapat meningkatkan pemerataan pendapatan
penduduk, karena kontribusi pengeluaran kelompok 40 %
penduduk berpendapatan terendahnya hanya sedikit di atas 17
persen. Artinya kondisi ini masih sangat rentan untuk masuk
kembali ke dalam kondisi ketimpangan menengah/sedang.
Hal lain yang dapat diamati dari hasil perhitungan kriteria
Bank Dunia tersebut adalah kontribusi pengeluaran penduduk
pada kelompok 20 persen penduduk berpenghasilan teratas
melebihi dua kali lipat dari 40 persen penduduk dengan
penghasilan terendah. Dari table di atas juga terlihat bahwa
dominasi kelompok penduduk 20 % pengeluaran teratas masih
sangat tinggi selama empat tahun terakhir.
37
5
KESIMPULAN DAN SARAN
Pertumbuhan ekonomi dan kesenjangan merupakan 2 hal
yang bertolak belakang tetapi hubungannya sering menjadi bahan
kajian baik peneliti sosial maupun ekonomi, hal tersebut
dikarenakan konsekuensi dari pembangunan ekonomi tidak hanya
menghasilkan sesuatu yang positif, tetapi menimbulkan juga
dampak sampingan yang bisa jadi tidak diinginkan. Di Indonesia
masalah konsekuensi distribusi dari pertumbuhan ekonomi menjadi
isu utama. Pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi mulai
banyak dipertanyakan banyak kalangan, apakah hal itu dinikmati
sebagian besar masyarakat atau hanya sekelompok masyarakat
saja. Bahkan tidak sedikit orang yang mensinyalir bahwa
pembangunan selama ini malah menciptakan kesenjangan yang
semakin lebar di dalam masyarakat.
Publikasi ini berusaha menyajikan gambaran terkini
mengenai kesenjangan pendapatan di Provinsi Jawa Barat dengan
menggunakan
data
SUSENAS
tahun
2011-2014.
Ukuran
kesenjangan digunakan di dalam peneitian ini, yaitu Koefisien Gini,
dan kriteria Bank Dunia, menunjukkan bahwa cecara umum tingkat
kesenjangan pendapatan di Provinsi Jawa Barat selama periode
2012-2014
berdasarkan
termasuk
kriteria
dalam
Bank
kategori
Dunia
dan
kesenjangan
rendah
termasuk
kategori
kesenjangan sedang berdasarkan Gini Indeks.
Indeks kesenjangan pendapatan Provinsi Jawa Barat
walaupun
menunjukkan
kesenjangan
yang
sedang
tetapi
menunjukkan kecenderungan naik dalam 10 tahun belakang ini,
38
Pemerintah daerah Provinsi Jawa Barat harus lebih serius dalam hal
pengurangan kesenjangan pendapatan karena jika tidak ditangani
serius, dikhawatirkan kesenjangan di masyakat akan lebih parah.
Kebijakan
yang
diambil
pemerintah
daerah
harus
lebih
memprioritaskan golongan masyarakat yang kurang tersentuh dari
hasil-hasil pembangunan.
Mengurangi kesenjangan antar kabupaten/kota harus
dijadikan prioritas teratas pemerintah daerah Provinsi Jawa Barat.
Potensi ekonomi, ketersedian infrasturktur, keuangan daerah yang
tidak sama antara kabupaten/kota harus menjadi bahan
pertimbangan pemerintah dalam perencanaan pembangunan
sehingga tidak ada lagi aktifitas ekonomi yang hanya terkonsentrasi
di beberapa wilayah tertentu saja, dan membiarkan daerah lainnya
tertinggal.
Perencanaan
yang
bersifat
spasial
dan
mempertimbangkan dimensi regional sangat perlu diperhatikan.
39
DAFTAR PUSTAKA
Akita, T. (2012).Inequality and poverty measurement.Hand out
lecture of Inequality and Poverty Course. International University
of Japan. Fall Term 2012.
Akita, T., and Miyata, S. (2008).Urbanization, educational
expansion and expenditure inequality in Indonesia in 1996, 1999
and 2002. Journal of the Asia Pacific Economy 13 (2), 147-167.
Anand, S. (1983).Inequality and Poverty in Malaysia:
Measurement and Decomposition. World Bank Research
Publication, New York: Oxford University Press.
BPS Provinsi Jawa Barat, Produk Domestik Bruto Provinsi Jawa
Barat Menurut Lapangan Usaha 2010-2012.
Kuznets, S. (1955). Economic growth
inequality.American Economic Review 45, 1-28.
and
income
Mahi, B Raksaka and Nazara, Suahasil,”Survey of Recent
Development,” Bulletin of Indonesia Economic Studies, Vol. 48,
No.1 (2012): 7-31.
Nuraliyah (2009).Dekomposisi Kesenjangan Pendapatan di
Indonesia Pasca Krisis (Tahun 1999-2005).Skripsi.Institut
Pertanian Bogor.
Shorrocks, A.(1980). The class of additively decomposable
inequality measures.Econometrica, 48(3), pp. 613–25.
Ray, Debraj. Development Economics. New Jersey: Princeton
University Press, 1998.
Ravallion, Martin,”The Debate on Globalization, Poverty and
Inequality: Why Measurement Matters,” International Affairs
Vol. 79, No. 4(Jul., 2003): 739-753.
40
Salim, Emil,”Perencanaan Pembangunan dan Perataan
Pembangunan,” Speech in Dies Natalis of University of Indonesia
(1976): 1-40.
Todaro, MP.dan Smith, SC.(2004). Pembangunan Ekonomi di
Dunia Ketiga Edisi Kedelapan, Jakarta : Penerbit Erlangga.
Williamson, J.G, (1965). Regional inequality and the process of
national development: a description of the patterns. Economic
Development and Cultural Change 13(4), 1-84.
http://www.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2012/10/UU202003-Sisdiknas.pdf.
http://indonesia.go.id/in/kementerian/kementerian/kementeria
n-pendidikan-dan-kebudayaan/936-pendidikan/11591-wajibbelajar-9-tahun-sudah-tuntas.html.
http://blog.tp.ac.id/paradigma-pendidikan-masa-depan.
http://simple.wikipedia.org/wiki/File:Indonesia_provinces_location
_map-en.svg/.
41
Download