TAHUN 2014 TAHUN 2014 i KATA PENGANTAR Komitmen Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam pembangunan daerah adalah mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Hal ini ditandai dengan harus tercapainya beberapa indikator makro seperti Indeks Pembangunan Manusia yang tinggi, rendahnya tingkat pengangguran terbuka, juga menurunnya kesenjangan pendapatan antar penduduk. Indeks Gini (gini ratio) merupakan salah satu alat yang mengukur tingkat kesenjangan pembagian pendapatan relatif antar penduduk suatu wilayah. Dengan indeks gini, dapat dijelaskan hubungan antar kelompok dengan tingkat pendapatan yang berbeda. Publikasi “Indeks Gini Provinsi Jawa Barat Tahun 2014” disusun Balai Pusat Data dan Analisa Pembangunan (Pusdalisbang) Bappeda Provinsi Jawa Barat bersama Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat berisi tentang analisis kesenjangan pendapatan di Jawa Barat pada tahun 2014. Publikasi ini berisi tentang gambaran distribusi pendapatan masyarakat di Provinsi Jawa Barat yang dapat digunakan sebagai acuan untuk merumuskan kebijakan pembangunan untuk menurunkan kesenjangan pendapatan di Jawa Barat. Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan publikasi ini. Semoga publikasi ini dapat bermanfaat dalam proses pembangunan di Jawa Barat. Bandung, Desember 2015 Balai Pusdalisbang Bappeda Provinsi Jawa Barat Kepala, H. E Agus Ismail, S.Sos., M.Pd ii Daftar Isi KATA PENGANTAR ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. DAFTAR ISI III D A F T A R TA B E L V DAFTAR GAMBAR V 1 PENDAHULUAN 1 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5. 1 4 6 7 7 LATAR BELAKANG MASALAH RUMUSAN MASALAH TUJUAN PENELITIAN SISTEMATIKA PENULISAN KONTRIBUSI KAJIAN 2 TINJAUAN PUSTAKA 8 2.1. TEORI PERTUMBUHAN EKONOMI 2.2. DEFINISI PEMBANGUNAN 2.3. DISTRIBUSI PENDAPATAN 2.4. KONSEP KESENJANGAN 2.5. UKURAN-UKURAN TINGKAT KESENJANGAN 2.5.1. INDEKS GINI DAN KURVA LORENZ 2.5.2. KRITERIA BANK DUNIA 9 10 12 13 15 16 19 3 METODE PENELITIAN 20 3.1. D A T A 3.2. METODE ANALISIS INDEKS GINI KRITERIA BANK DUNIA 20 22 22 22 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 iii 4.1. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT 4.1.1. KEADAAN PENDUDUK JAWA BARAT 4.1.2. KEADAAN PEREKONOMIAN JAWA BARAT 4.2. ANALISIS KESENJANGAN 4.2.1. INDEKS GINI 4.2.2. KRITERIA BANK DUNIA 23 23 24 28 28 36 5 KESIMPULAN DAN SARAN 38 DAFTAR PUSTAKA 40 iv D a f t a r Ta b e l TABEL 1. KOEFISIEN GINI BERDASARKAN MENURUT PROVINSI ..................................................................... 30 TABEL 2. KOEFISIEN GINI BERDASARKAN TIPE DAERAH DI PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2011- 2014 .............. 34 TABEL 3. KOEFISIEN GINI BERDASARKAN KABUPATEN/KOTA ........................................................................ 35 TABEL 4. DISTRIBUSI PENGELUARAN PENDUDUK MENURUT KRITERIA BANK DUNIA TAHUN 2011-2014............. 36 Daftar Gambar GAMBAR 1. KURVA U-TERBALIK ............................................................................................................... 8 GAMBAR 2. KURVA LORENZ .................................................................................................................. 17 GAMBAR 3. PERSENTASE PDRB MENURUT LAPANGAN USAHA 2014........................................................... 25 GAMBAR 4. PERTUMBUHAN PDRB MENURUT LAPANGAN USAHA 2014 ...................................................... 27 GAMBAR 5. KOEFISIEN GINI INDONESIA DAN PROVINSI JAWA BARAT ............................................................ 32 GAMBAR 6. KURVA LORENZ PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2014 ............................................................... 32 GAMBAR 7. INDEKS GINI MENURUT PROVINSI, KONDISI MARET 2014 ......................................................... 33 v vi 1 1.1. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Dalam pelaksanaan pembangunan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan sasaran utama bagi setiap daerah yang sedang berkembang. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi selama suatu periode tertentu tidak terlepas dari perkembangan masing-masing sektor atau subsektor yang ikut membentuk nilai tambah perekonomian suatu daerah. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebagai suatu indikator punya peran penting dalam mengukur keberhasilan pembangunan yang telah dicapai dan juga dapat dijadikan sebagai suatu ukuran untuk menentukan arah pembangunan suatu daerah di masa yang akan datang. Melalui penggunaan strategi pertumbuhan ekonomi dengan proses trickle down effect (penetesan ke bawah), diharapkan hasil-hasil pembangunan dapat mengalir dan dinikmati oleh semua lapisan masyarakat. Sehingga, pada akhirnya kesejahteraan masyarakat akan dapat meningkat sesuai dengan tujuan pembangunan. Pembangunan yang dilaksanakan sejauh ini cukup mampu mendorong peningkatan laju pertumbuhan ekonomi, tetapi dalam banyak kasus relatif tidak bisa mengurangi kesenjangan (disparitas). Secara umum kesenjangan yang terjadi meliputi kesenjangan pendapatan yang menimbulkan jurang perbedaan (gap) antara orang kaya dan miskin, dan kesenjangan spasial yang menyebabkan adanya wilayah maju (developed region) dan wilayah tertinggal (underdeveloped 1 region). Persoalan kesenjangan juga mewarnai proses pembangunan di Provinsi Jawa Barat melalui perbandingan kawasan (region) barat dan timur, serta kabupaten/kota sebagai daerah otonom. Kesenjangan pembangunan terutama dialami oleh daerah-daerah yang baru mengalami pemekaran. Berdasarkan buku-buku referensi dan hasil-hasil penelitian penyebab empiris mengemukakan terjadinya bahwa kesenjangan faktor-faktor meliputi faktor biofisik/karakteristik wilayah (sumberdaya alam), sumberdaya buatan (ketersediaan sarana dan ekonomi), sumberdaya manusia, prasarana sosial sumberdaya sosial, karakteristik struktur ekonomi wilayah dan kebijakan pemerintah daerah, selain itu aspek kelembagaan yang menyangkut aturan dan organisasi yang ada di masyarakat, dinamika sosial dan politik yakni dengan adanya pemekaran wilayah dan pembentukan daerah otonomi baru juga sangat berpengaruh, serta persoalan aliran masuk dan keluar modal (investasi pemerintah maupun swasta) yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi kondisi pembangunan (Sjafrizal, 2008). Daerah-daerah yang tidak mengalami kemajuan yang sama disebabkan karena kurangnya sumber-sumber yang dimiliki. Disamping itu adanya kecenderungan pemilik modal (investor) memilih daerah perkotaan atau daerah yang memiliki fasilitas atau prasarana perhubungan, jaringan listrik, jaringan telekomunikasi, perbankan, asuransi serta tenaga kerja yang terampil. Disamping itu juga adanya kesenjangan redistribusi atau pembagian pendapatan yang tidak merata dan Pemerintah Pusat atau Provinsi kepada 2 daerah seperti kabupaten/kota juga menyebabkan kesenjangan antar daerah (Kuncoro, 2004). Tingginya kesenjangan pendapatan mengindikasikan tidak meratanya pembangunan terutama dalam bidang ekonomi di Indonesia. Selain itu, tingginya kesenjangan pendapatan juga memperlihatkan adanya heterogenitas antarwilayah. Jika antarwilayah terdapat keragaman, kebijakan dalam pembangunan tidak bisa dilakukan secara seragam, diperlukan penyesuaian- penyesuaian dengan kondisi lokal daerah dan perlakuan (treatment) yang berbeda antar daerah. Laporan perkembangan perekonomian terakhir oleh Mahi dan Suahasil (2012) mengungkapkan bahwa walaupun memiliki kinerja yang baik dalam pembangunan ekonomi selama 4 dekade terakhir, Indonesia masih memiliki masalah jangka panjang yaitu masalah kesenjangan regional. Sebenarnya, kesenjangan antar daerah di Indonesia bukanlah masalah baru. Para ekonom telah menyadari dan berupaya mengatasi masalah tersebut. Hal ini dibuktikan pada tahun 1976, Emil Salim (1976) telah menulis topik ini dalam pidato Dies Natalis-nya di Universitas Indonesia. Dia menulis bahwa proses pembangunan yang berlangsung selama tahun 19611970 telah menyebabkan ketidakmerataan penyebaran pendapatan. Walaupun sejak tahun 1980 pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan tingkat pertumbuhan yang cepat (diluar pertumbuhan krisis pada tersebut tidak tahun diikuti 1997), sepertinya dengan distribusi pemerataan pembangunan ke seluruh wilayah Indonesia. 3 Jawa Barat adalah salah satu provinsi yang memiliki peranan signifikan bagi perekonomian Indonesia. Laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat tahun 2014 mengalami pertumbuhan positif sebesar 5,06 persen, bahkan tahun 2011 LPE provinsi ini mencapai 6,5 persen sehingga masuk dalam kategori pertumbuhan di atas rata-rata. Tahun 2014, perekonomian Provinsi Jawa Barat menyumbang sekitar 14,07 persen terhadap total perekonomian nasional dan sekitar 24,41 persen terhadap pulau Jawa. Dengan nilai tersebut Jawa Barat adalah provinsi ketiga terbesar penyumbang nilai GDP Indonesia setelah DKI Jakarta dan Jawa Timur. Pertumbuhan ekonomi yang bagus tersebut ternyata tidak ditopang dengan distribusi pendapatan yang merata. Data menunjukkan, sejak tahun 2011, tingkat kesenjangan pendapatan di provinsi Jawa Barat masuk dalam kategori kesenjangan menengah dan termasuk peringkat 10 provinsi dengan Indeks Gini terbesar, padahal sebelumnya, Jawa Barat termasuk provinsi dengan kategori kesenjangan ringan. 1.2. Rumusan Masalah Dalam era ekonomi yang semakin terbuka, trend perekonomian makin berorientasi pada pasar, peluang dari keterbukaan dan persaingan pasar belum tentu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi yang lemah. Kondisi ini harus dicegah atau setidaknya diminimalkan sehingga proses kesenjangan tidak semakin melebar, karena kesempatan yang muncul dari ekonomi terbuka hanya dapat dimanfaatkan oleh wilayah, 4 sektor dan golongan ekonomi yang lebih maju. Perhatian dan keberpihakan harus diberikan kepada pemberdayaan ekonomi masyarakat yang berbasis potensi lokal. Isu-isu pokok perekonomian makro suatu daerah, yaitu pertumbuhan ekonomi (economic growth), penyerapan tenaga kerja (employment) dan pemerataan yang berkaitan dengan penyediaan jasa umum dasar (basic public services). Pertumbuhan ekonomi merefleksikan perkembangan aktifitas perekonomian daerah yang ditandai dengan pergerakkan roda ekonomi daerah melalui aktivitas produksi, konsumsi dan investasi yang berdampak pada penyerapan tenaga kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi akan lebih bermakna manakala dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat secara merata. Pelaksanaan otonomi daerah yang paralel dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui penciptaan berbagai aktivitas ekonomi diperlukan suatu pengukuran universal untuk melihat keberhasilan pelaksanaan pembangunan dalam kerangka otonomi daerah. Salah satu ukuran yang banyak digunakan adalah seberapa besar hasil-hasil pembangunan dapat dinikmati oleh masyarakat melalui pembagian pendapatan daerah secara merata. Gini Ratio merupakan suatu alat untuk mengukur tingkat kesenjangan pembagian pendapatan relatif antar penduduk suatu negara atau wilayah yang telah diakui secara luas. Gini Ratio dengan asumsi-asumsi tertentu dapat pula dipergunakan untuk bahan analisis perbandingan pembagian 5 pendapatan relatif antar masyarakat dari beberapa negara atau wilayah dan kecenderungan kesenjangan pembagian pendapatan antara anggota masyarakat tertentu. Perhitungan pengukuran distribusi pendapatan yang sangat populer digunakan oleh para ilmuwan dan ekonom dewasa ini adalah Koefisien Gini (Gini Ratio), karena perhitungan ini cukup peka untuk menjelaskan hubungan antara kelompok penduduk yang berpendapatan tinggi dengan kelompok penduduk lainnya. Namun dalam kegiatan ini untuk melihat kepincangan distribusi pendapatan di Kabupaten Sumedang selama tiga tahun terakhir, digunakan pengukuran Indeks Gini sehingga akan tegambar suatu perbandingan kesenjangan distribusi pendapatan yang mengacu pada keberhasilan pembangunan di Provinsi Jawa Barat. 1.3. Tujuan Penelitian Secara umum penulisan publikasi ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran terkini mengenai kondisi kesenjangan pendapatan di Provinsi Jawa Barat dengan menggunakan ukuran kesenjangan Kriteria Bank Dunia dan Koefisien Gini. kesenjangan Dengan pendapatan tersedianya ini data diharapkan mengenai dapat menggambarkan peta distribusi pendapatan masyarakat di Provinsi Jawa Barat dan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam perencanaan pembangunan ke depan. 6 1.4. Sistematika Penulisan Publikasi ini disusun menjadi lima bab. Bab satu membahas pendahuluan yang berisi latar belakang, tujuan disusunnya publikasi ini dan juga sistematika penulisan.Bab dua menjabarkan kerangka konseptual yang menjelaskan konsep konsep yang digunakan dalam penelitian ini. Bab tiga mendeskripsikan data dan metodologi yang digunakan dalam penelitian ini, bab empat memaparkan hasil olahan data dan pembahasannya mengenai kesenjangan pendapatan di Provinsi Jawa Barat berdasarkan ukuran distribusi pendapatan, yaitu Kriteria Bank Dunia, dan Indeks Gini. Bab terakhir adalah bab lima, berisi kesimpulan dan saran. 1.5. Kontribusi Kajian Hasil dari kajian ini akan merupakan suatu kontribusi penting dalam kebijakan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Fakta-fakta yang didapat dari kajian ini dapat dijadikan acuan pembangunan untuk ekonomi meminimalisasi merumuskan dapat kesenjangan bagaimana direncanakan pendapatan, dengan sehingga kemakmuran ekonomi dapat lebih merata diantara berbagai kalangan masyarakat. Kajian ini juga memberi gambaran cukup terperinci tentang kesenjangan pendapatan di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat, sehingga dapat lebih memudahkan membuat peta kesenjangan untuk dapat ditindaklanjuti dalam bentuk suatu kebijakan ekonomi yang lebih efektif. 7 2 TINJAUAN PUSTAKA Membicarakan masalah kesenjangan tidak dapat dipisahkan dari pembahasan mengenai pembangunan, karena kesenjangan sering dijadikan salah satu ukuran keberhasilan pembangunan di suatu daerah, seperti yang dijabarkan Dudleey Seer bahwa menurunmya tingkat kesenjangan pendapatan, jumlah penduduk miskin dan pengangguran merupakan indikator keberhasilan pembangunan dari suatu daerah (Todaro dan Smith, 2003) Gambar 1. Kurva U-terbalik Hubungan antara pembangunan dan kesenjangan pendapatan telah menjadi fokus akademik sejak bertahuntahun lalu. Simon Kuznet memprakasai kajian dengan melihat korelasi antara 2 variable tersebut (Ray, 1998). Dalam paper-nya yang kemudian menjadi acuan banyak peneliti, Kuznets (1995) mengungkapkan bahwa hubungan antara tingkat distribusi 8 pendapatan dan tingkat pembangunan ekonomi mengambil bentuk seperti U-terbalik (inverted-U curve). Dengan kata lain, pada awal perkembangan ekonomi, distribusi pendapatan akan menyebabkan kesenjangan pendapatan semakin tinggi, tetapi seiring dengan semakin matangnya sebuah perekonomian, kesenjangan pendapatan tersebut akan menurun perlahan setelah melewati titik puncak. 2.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi Djojohadikusumo (1987) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi bertumpu pada proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Sedangkan pembangunan ekonomi mengandung pengertian yang lebih luas dan mencakup perubahan pada tata susunan ekonomi masyarakat secara menyeluruh. Pembangunan merupakan proses transformasi yang dalam perjalanan waktu ditandai dengan perubahan strktural yakni perubahan pada landasan kegiatan ekonomi maupun pada kerangka susunan ekonomi masyarakat yang bersangkutan. Selama tiga dasawarsa perhatian utama pembangunan pada cara mempercepat tingkat pertumbuhan pendapatan nasional, baik negara maju/kaya maupun negara terbelakang/miskin, baik yang menganut sistem kapitalis, sosialis maupun campuran selalu mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Seperti diketahui bahwa suatu keberhasilan program pembangunan di negara berkembang sering dimulai berdasarkan tinggi rendahnya tingkat pertumbuhan output dan pendapatan nasional. Baik buruknya kualitas kebijakan pemerintah dan tinggi rendahnya mutu aparat di bidang 9 ekonomi secara keseluruhan biasanya diukur berdasarkan kecepatan pertumbuhan output yang dihasilkan. Namun demikian penyebaran pertumbuhan pendapatan tersebut masih sangat terbatas jangkauannya, kekuatan antara negara maju dan negara berkembang tidak seimbang sehingga cenderung memperlebar jurang kesenjangan antara kelompok negara kaya dan negara miskin Di negara berkembang perhatian utama terfokus pada dilema antara pertumbuhan dan pemerataan. Pembangunan eknomi mensyaratkan GNP yang lebih tinggi dan juga pertumbuhan yang lebih tinggi merupakan suatu pilihan yang hams diambil. Namun yang menjadi masalah adalah bukan hanya soal bagiamana caranya memacu pertumbuhan, tetapi juga siap melaksanakan dan berhak menikmati hasilnya. Dengan demikian pembangunan ekonomi tidak semata-mata diukur berdasarkan peningkatan GNP secara keseluruhan, tetapi hams memperhatikan distribusi pendapatan telah meyebar ke segenap penduduk/lapisan masyarakat, serta siapa yang telah menikmati hasil-hasilnya (Todaro, 2000). 2.2. Definisi Pembangunan Menurut Todaro dan Smith (2006) pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusi-institusi nasional disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan kesenjangan pendapatan serta pengentasan kemiskinan. Jadi pada hakikatnya, pembangunan itu harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem 10 sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompokkelompok sosial yang ada di dalamnya, untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara material maupun spiritual. Proses pembangunan di semua masyarakat paling tidak harus memiliki tiga tujuan inti sebagai berikut: 1. Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai barang kebutuhan hidup yang pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, dan perlindungan keamanan. 2. Peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan, tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan, yang kesemuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan material, melainkan juga menumbuhkan harga diri pada pribadi dan bangsa yang bersangkutan. 3. Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara keseluruhan, yakni dengan membebaskan mereka dari belitan sikap menghamba dan ketergantungan, bukan hanya terhadap orang atau negarabangsa lain, namun juga terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan mereka. 11 2.3. Distribusi Pendapatan Distribusi pendapatan adalah konsep yang lebih luas dibandingkan analisis kemiskinan karena cakupannya tidak hanya menganalisa populasi yang berada dibawah garis kemiskinan saja, melainkan ketidakmerataan pendapatan antar kelompok masyarakat dalam suatu daerah, ketidakmerataan inilah yang kerap didefinisikan sebagai kesenjangan (inequality) dalam distribusi pendapatan (Wibowo, 2012). Berbicara mengenai kesenjangan, maka kita berbicara bukan hanya mengenai tingkat pendapatan secara absolut, secara intuitif kesenjangan berbicara mengenai perbedaan standar hidup secara relatif dari suatu kelompok masyarakat atau antar kelompok masyarakat (between dan within). Kesenjangan sendiri merupakan topik bahasan yang seakan tidak pernah lekang dari perhatian, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Kesenjangan seringkali dijadikan patokan ukuran pembangunan selain dari tingkat pendapatan agregat (seperti Pendapatan Domestik Bruto), karena dapat memberikan alternative pengukuran tingkat pendapatan secara relative antar kelas pendapatan, dengan kata lain kita tertarik untuk mengetahui seberapa kayakah orang kaya di suatu masyarakat dan seberapa miskinkah orang miskin di suatu masyarakat dan mengukur perbandingan relatif antar dua kelompok masyarakat tersebut. Distribusi pendapatan suatu daerah dapat menentukan bagaimana pendapatan daerah yang tinggi mampu menciptakan perubahanperubahan dan perbaikan-perbaikan dalam 12 masyarakat, seperti mengurangi kemiskinan, pengangguran dan kesulitan-kesulitan lain dalam masyarakat. Distribusi pendapatan yang tidak merata tidak akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakat secara umum, tetapi hanya akan menciptakan kemakmuran bagi golongan tertentu. Antara pertumbuhan ekonomi yang pesat dan distribusi pendapatan terdapat suatu trade off yang membawa implikasi bahwa pemerataan dalam pembagian pendapatan hanya dapat dicapai jika laju pertumbuhan ekonomi diturunkan. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi yang tinggi selalu akan disertai dengan memburuknya distribusi pendapatan atau terjadi kenaikan kesenjangan relatif. 2.4. Konsep Kesenjangan Debraj Ray mengungkapkan konsep kesenjangan dengan “how benefit of economy is distributed among people or region” (Ray, 1998). Sementara Ravallion (2003) menyatakan bahwa “inequality is about the disparities in levels of living”. Dia kemudian membedakan kesenjangan menjadi ‘kesenjangan relatif’ dan ‘kesenjangan absolut’. Kesenjangan relatif tergantung dari rasio pendapatan individu terhadap rata-rata pendapatan secara keseluruhan. Sehingga, jika semua pendapatan naik dengan tingkat yang sama, maka kesenjangan relatif menjadi tidak berubah. Kesenjangan absolut merupakan pengukuran kesenjangan dengan menggunakan parameter dengan suatu nilai mutlak. Dalam melakukan analisa kesenjangan, kita memerlukan suatu ukuran yang dapat menangkap pola 13 distribusi pendapatan, kemudian menghasilkan angka yang dapat diinterpretasikan dan diperbandingkan, baik antar waktu maupun antar sub-sample dan sample, selain juga mampu menunjukkan derajat kesenjangan (Hindriks & Myles, 2006). Masalah kesenjangan dalam distribusi pendapatan dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu : 1. Distribusi Pendapatan Antar Golongan Pendapatan (Size Disfribution of lncome) atau kesenjangan relatif. 2. Distribusi Pendapatan Antara Daerah Perkotaan dan Pedesaan (Urban-Rural lncome Disparities). Banyak ahli yang menyatakan bahwa pola pembangunan lndonesia memperlihatkan suatu fenomena yang disebut urban bias, yaitu pembangunan yang berorientasi ke daerah perkotaan, dengan tekanan yang berat pada sektor industri yang terorganisir, yang merupakan sebab terjadinya kesenjangan distribusi pendapatan yang lebih parah lagi di kemudian hari. Fenomena urban bias ini seringkali terjadi di negaranegara berkembang seperti lndonesia dimana alokasi sumber-sumber daya lebih banyak diprioritaskan di daerah perkotaan daripada pertimbangan pemerataan atau efisiensi. 3. Distribusi Pendapatan Antar Daerah (Regional Income Disparity). Kesenjangan dalam perkembangan ekonomi antar berbagai daerah di lndonesia serta penyebaran sumber daya alam yang tidak merata menjadi penyebab tidak meratanya distribusi pendapatan antar daerah di lndonesia khususnya. 14 2.5. Ukuran-ukuran Tingkat Kesenjangan Di dalam melakukan analisa kesenjangan di suatu wilayah, kita memerlukan alat atau ukuran-ukuran yang dapat menimbang tingkat kesenjangan di suatu wilayah. Ada beberapa indeks yang diciptakan untuk mengukur kesenjangan di suatu wilayah, diantaranya Indeks Williamson, Atkinson, Gini Koefisien, Theil Indeks dan lain-lain, bahkan Bank Dunia menciptakan kriteria umum untuk membandingkan tingkat kesenjangan. Pada publikasi ini, digunakan Indeks Gini sebagai ukuran kesenjangan yang paling umum dipakai. Dalam melakukan analisis distribusi pendapatan, saat memilih ukuran kesenjangan, kita mengharapkan ukuran tersebut merupakan ukuran distribusi rumah tangga dalam ukuran tunggal (single measure). Menurut (Hindriks & Myles, 2006), kriteria-kriteria bagi sebuah ukuran kesenjangan yang baik adalah sebagai berikut: Tidak tergantung pada nilai rata-rata (mean independence). Ini berarti bahwa jika semua pendapatan bertambah dua kali lipat, ukuran kesenjangan seharusnya tidak berubah. Dapat diperbandingkan. Suatu ukuran distribusi pendapatan diharapkan dapat memberikan suatu angka ukuran kesenjangan yang dapat diperbandingkan, baik di dalam suatu daerah, interregional maupun secara intertemporal. Sensitif terhadap transfer pendapatan. Suatu ukuran distribusi pendapatan diharapkan dapat menangkap perubahan distribusi pendapatan ketika terjadi mekanisme transfer pendapatan dari rumah tangga berpendapatan tinggi ke rumah tangga dengan pendapatan lebih rendah, walaupun total pendapatan masyarakat secara agregat tidak berubah. 15 Sensitivitas terhadap transfer ini dikenal juga dengan "PigouDalton Principal of Transfer". Sementara kriteria tambahan bagi ukuran kesenjangan yang baik adalah: Tidak tergantung jumlah populasi (population size independence). Jika populasi berubah, ukuran kesenjangan seharusnya tidak berubah, jika kondisi lain tetap (ceteris paribus). Simetris. Jika antar populasi bertukat tempat tingkat pendapatannya, seharusnya tidak akan ada perubahan dalam ukuran kesenjangan. Dilihat dari kriteria-kriteria yang harus dimiliki indeks, Indeks Gini memenuhi kriteria-kriteria sebagai indeks yang mengukur kesenjangan pendapatan di suatu daerah. 2.5.1. Indeks Gini dan Kurva Lorenz Parameter lain yang sering digunakan untuk mengukur distribusi pendapatan ini adalah Angka Gini Ratio yang juga sering disebut Indeks Gini atau lengkapnya “Gini Concentration Ratio”. Indek Gini/Gini Ratio statistik untuk mengukur merupakan salah satu teknik kesenjangan pendapatan. Keistimewaan dari alat ukur ini adalah dapat ditampilkan secara geometris, sehingga mempunyai dua aspek sekaligus yaitu aspek visual melalui kurva yang disebut kurva lorenz dan aspek matematis. Ukuran kesenjangan ini juga memenuhi desirable property dari ukuran kesenjangan, tetapi berbeda dengan indeks Theil, Indeks Gini tidak dapat diuraikan menjadi bagian yang bisa dijumlahkan (additively decomposable). Angka Gini 16 Ratio sebagai ukuran pemerataan pendapatan mempunyai selang nilai antara nilai 0 (nol) dan 1 (satu). Gini Ratio sama dengan 0 (nol) menunjukkan kesenjangan sebaran pendapatan yang rendah (pemerataan sempurna). Sedang nilai 1 (satu) menunjukan tingkat kesenjangan sebaran yang tinggi (kesenjangan sempurna). Walaupun demikian, menurut Michael Todaro seorang ahli ekonomi pembangunan dari Italia menyebutkan bahwa a. Gini Ratio terletak antara 0,50 – 0,70 menandakan pemerataan sangat timpang. b. Sedangkan apabila nilainya terletak antara 0,36 – 0,49 menunjukan kesenjangan sedang. c. Sementara apabila terletak diantara 0,20 – 0,35 dinyatakan pemerataan relatif tinggi (merata). Dalam hal ini, kenyataannya tidak mungkin suatu daerah/wilayah mempunyai angka gini ratio yang besarnya sama dengan 0 (nol) dan 1 (satu). Gambar 2. Kurva Lorenz 17 Secara visual, indeks Gini dapat dijelaskan dengan menggunakan kurva lorenz, yaitu kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variabel tertentu (misalnya pengeluaran) dengan distribusi seragam yang mewakili persentase kumulatif penduduk. Grafik persentase kumulatif penduduk yang diurut dari termiskin ke yang terkaya digambar pada sumbu hoizontal dan persentase kumulatif pengeluaran digambar pada sumbu vertikal. Indeks gini merupakan formula yang menghitung rasio luas bidang antara garis diagonal (perfect equality) dan kurva lorenz. Semakin jauh jarak kurva lorenz dengan garis diagonal, maka tingkat kesenjangannya semakin tinggi. Parameter lain yang sering digunakan untuk mengukur distribusi pendapatan ini adalah Angka Gini Ratio yang juga sering disebut Indeks Gini atau lengkapnya “Gini Concentration Ratio”. Indek Gini/Gini Ratio statistik untuk mengukur merupakan salah satu teknik ketimpangan pendapatan. Keistimewaan dari alat ukur ini adalah dapat ditampilkan secara geometris, sehingga mempunyai dua aspek sekaligus yaitu aspek visual melalui kurva yang disebut kurva lorenz dan aspek matematis. Ukuran kesenjangan ini juga memenuhi desirable property dari ukuran kesenjangan, tetapi berbeda dengan indeks Theil, Indeks Gini tidak dapat diuraikan menjadi bagian yang bisa dijumlahkan (additively decomposable). Angka Gini Ratio sebagai ukuran pemerataan pendapatan mempunyai selang nilai antara nilai 0 (nol) dan 1 (satu). Gini Ratio sama dengan 0 (nol) menunjukkan ketimpangan sebaran . 18 2.5.2. Kriteria Bank Dunia Ukuran kesenjangan pendapatan kriteria Bank Dunia merupakan indikator untuk mengukur tingkat ketimpangan dengan menfokuskan pada berapa besar persentase yang diterima oleh 40 persen kelompok penduduk dengan penghasilan terendah terhadap seluruh pendapatan penduduk di suatu daerah. Indikator ini membagi penduduk menjadi tiga kelompok, yaitu: Kelompok 40 persen penduduk yang berpendapatan rendah Kelompok 40 persen penduduk yang berpendapatan menengah Kelompok 20 persen penduduk yang berpendapatan tinggi Selanjutnya tingkat ketimpangan pendapatan penduduk menurut Bank Dunia terpusat pada kelompok 40 persen penduduk berpendapatan rendah, dengan kriteria sebagai berikut a. Bila persentase pendapatan yang diterima oleh kelompok tersebut lebih kecil dari 12 persen, berarti tingkat ketimpangan sebaran pendapatan tergolong “tinggi”. b. Bila kelompok tersebut menerima 12 sampai 17 persen dari total pendapatan, berarti tingkat ketimpangan sebaran pendapatan “sedang”. c. Bila kelompok tersebut menerima lebih dari 17 persen dari total pendapatan, berarti tingkat ketimpangan sebaran pendapatan “rendah”. 19 3 3.1. METODE PENELITIAN Data Studi ini menggunakan data pengeluaran konsumsi dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2012-2014. Pendekatan pengeluaran (expenditure approach) banyak digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan dikarenakan data konsumsi pengeluaran dikatakan lebih ‘terpecaya’ dari data pendapatan dan karakteristik dari data SUSENAS yang memiliki tinggal detilasi yang cukup tingi untuk variable pengeluaran dan tidak untuk data pendapatan. Susenas adalah data sosial ekonomi nasional yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) secara periodik sejak tahun 1963. Jika dilihat dari sejarah perkembangan Susenas, pada awalnya survey ini hanya mencakup 5 provinsi di pulau Jawa dengan jumlah sampel hanya sebanyak 16.000 rumah tangga. Sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya data ini yang digunakan juga untuk menghitung data kemiskinan dan kesenjangan di Indonesia, sejak tahun 1982 Susenas mencakup seluruh provinsi (termasuk provinsi Timor Timur pada saat masih bergabung dengan Indonesia) dan jumlah sampelnya juga mengalami kenaikan tiap tahunnya. Tahun 1987 jumlah sampel sebesar 49.000, di tahun 1993 sampelnya meningkat sebesar 65.000 rumah tangga, terakhir di tahun 2014, sampel Susenas mencapai 300.000 rumah tangga. 20 Sampai dengan tahun 2010, Susenas menggunakan 3 modul yang dilaksanakan setiap 3 tahun sekali, yaitu Modul Konsumsi, Modul Sosial Budaya dan Pendidikan, serta Modul Perumahan dan Kesehatan. Mulai tahun 2011, pengumpulan data konsumsi dilaksanakan secara triwulanan setiap tahun. Selain modul, Susenas juga mengumpulkan data KOR. Susenas KOR dilaksanakan setiap tahun untuk mengumpulkan data individu dan rumah tangga mengenai kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan juga pengeluaran. Pada tulisan ini, data yang dipakai adalah data pengeluaran konsumsi per kapita tahun 2012, 2013 dan 2014. Jenis pengeluaran yang dicakup di dalam data pengeluaran konsumsi diklasifikasikan kedalam kelompok makanan dan non makanan. Konsumsi pengeluaran merekam apakah konsumsi itu terjadi melalui pembelian, produksi sendiri atau pemberian dari pihak lain. Barang dan jasa yang bersumber dari produksi sendiri ataupun dari pihak lain direkam dengan cara mengimputasi nilai barang/jasa tersebut. Jumlah alokasi sampel Susenas untuk provinsi Jawa Barat tahun 2012, 2013 dan 2014 sebesar 23.960 rumah tangga, namun karena terdapat beberapa sampel yang non respon sehingga jumlah sampel Susenas untuk tahun 2012 hanya sebanyak 22.470 rumah tangga, tahun 2013 sampel Susenas yang merespon sebanyak 23.079 rumah tangga dan tahun 2014 sampelnya sebanyak 22.441 rumah tangga. 21 3.2. Metode Analisis Penelitian ini menggunakan Ukuran kesenjangan pendapatan berdasarkan Indeks Gini. Indeks Gini Indeks Gini adalah ukuran kesenjangan yang paling umum dipakai untuk melihat kesenjangan pendapatan dikarenakan Indeks Gini memenuhi kriteria dari standar yang baik dari sebuah ukuran kesenjangan, yaitu mean independence, population size independence dan prinsip Pigou-Dalton. Anggap bahwa terdapat n rumah tangga dalam suatu sampel dan mereka disusun dari terkecil ke terbesar berdasarkan pengeluaran per kapita yaitu y1≤y2≤…≤yn. Maka Koefisien Gini didefinisikan sebagai KG Pi Yi n = = = = Koefisien Gini Proporsi kumulatif dari penerima pendapatan i Proporsi kumulatif pengeluaran perkapita i Jumlah observasi Kriteria Bank Dunia Kriteria Bank Dunia untuk ukuran ketimpangan pendapatan yang pada dasarnya adalah ukuran kuantil, dimana pengeluran rumah tangga diurutkan dari yang terendah sehingga yang terbesar. Dari pengurutan data tersebut, rumah tangga di kelompokan menjadi 40 persen rumah tangga dengan pengeluaran terendah, 40 persen rumah tangga dengan pengeluaran menengah dan terakhir, 20 persen rumah tangga dengan pengeluaran tertinggi. 22 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Provinsi Jawa Barat Jawa Barat dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 11 Tahun 1950, tentang Pembentukan Provinsi Jawa Barat. Kemudian dengan ditetapkannya Undang-undang No. 23 Tahun 2000 tentang pembentukan Provinsi Banten, maka sebagian wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat berubah status menjadi Provinsi Banten. Pada tahun 2014, Provinsi Jawa Barat terdiri dari 18 kabupaten, 9 kota, 626 kecamatan dan 5.962 daerah desa/kelurahan (PODES BPS,2014). Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 2008 tanggal 31 Januari 2008, luas daerah Provinsi Jawa Barat adalah 35.377,76 km2 atau sebesar 1,85 persen dari total luas daerah wilayah Indonesia (BPS, 2009). Dengan batas-batas wilayahnya sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa bagian Barat dan DKI Jakarta di Utara, sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah, antara Samudra Indonesia di Selatan dan Selat Sunda di barat. 4.1.1. Keadaan Penduduk Jawa Barat Berdasarkan hasil proyeksi, penduduk Jawa Barat tahun 2014 sebesar 46.029.668 jiwa atau sebesar 18,25 persen dan total jumlah penduduk di Indonesia dengan tingkat pertumbuhan sebesar 1,52 persen (BPS, 2014). Kabupaten Bogor adalah kabupaten yang jumlah penduduknya terbesar di 23 Jawa Barat dan Indonesia yaitu sebesar 5.331.149 jiwa atau sebesar 11,58 persen dari total jumlah penduduk di Jawa Barat. Sedangkan Kota Banjar merupakan kota dengan jumlah penduduk terkecil di Jawa Barat yaitu sebesar 180.515 jiwa atau sebesar 0,39 persen dari total jumlah penduduk di Jawa Barat. Menurut tingkat kepadatan penduduknya, Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi terpadat kedua setelah DKI Jakarta dibandingkan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Pada tahun 2014, kepadatan penduduk Jawa Barat mencapai 1.301 jiwa/km2. Artinya setiap satu kilometer persegi dihuni oleh 1.301 jiwa. 4.1.2. Keadaan Perekonomian Jawa Barat Salah satu indikator perekonomian dalam suatu wilayah adalah PDRB. Berdasarkan komposisi PDRB menurut sektoral dapat diketahui struktur perekonomian suatu wilayah. Sedangkan perubahan PDRB atas dasar harga konstan dari waktu ke waktu menunjukkan besarnya laju pertumbuhan ekonomi. Besarnya Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Jawa Barat atas dasar harga berlaku tahun 2014 ialah 1,386 triliun rupiah. Sumbangan terbesar dihasilkan oleh kategori Industri Pengolahan, kemudian kategori Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Motor, kategori Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan, kategori Konstruksi, dan kategori Transportasi dan Pergudangan. Sementara peranan kategori lainnya di bawah 4 persen. 24 Gambar 3. Persentase PDRB Menurut Lapangan Usaha 2014 M,N I H 5% J O KL R,S,T,U PQ A 9% B G 15% C 44% F 8% ED Keterangan : A Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan B Pertambangan dan Penggalian C Industri Pengolahan D Pengadaan Listrik dan Gas E Pengadaan air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang F Konstruksi G Perdagangan Besar dan Eceran H Transportasi dan Pergudangan I Penyediaan akomodasi makan minum J Informasi dan Komunikasi K Jasa Keuangan dan Asuransi L Real Estate M,N Jasa Perusahaan O Administrasi Pemerintahan, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib P Jasa Pendidikan R,S,T,U Jasa Lainyya Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu ukuran dari hasil pembangunan yang telah dilaksanakan oleh suatu daerah, khususnya pembangunan dalam bidang ekonomi. Pertumbuhan tersebut merupakan agregat dari pertumbuhan di setiap sektor ekonomi yang ada. Bagi setiap daerah, indikator ini sangat dibutuhkan untuk mengetahui keberhasilan 25 pembangunan yang telah dicapai, serta berguna untuk menentukan arah pembangunan di masa yang akan datang (BPS, 2001). Perekonomian Jawa Barat pada tahun 2014 mengalami perlambatan dibandingkan pertumbuhan tahuntahun sebelumnya. Laju pertumbuhan PDRB Jawa Barat tahun 2014 mencapai 5,06 persen, sedangkan tahun 2013 sebesar 6,34 persen. Pertumbuhan ekonomi tertinggi dicapai oleh kategori Informasi dan Komunikasi sebesar 17,47 persen. Sedangkan seluruh kategori ekonomi PDRB yang lain pada tahun 2014 mencatat pertumbuhan yang positif. Adapun kategori-kategori lainnya berturut-turut mencatat pertumbuhan yang positif, di antaranya kategori Informasi dan Komunikasi mencatat sebesar 17,47 persen; kategori Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial sebesar 15,78 persen; kategori Jasa Pendidikan sebesar 14,43 persen; kategori Jasa Lainnya sebesar 8,80 persen; kategori Transportasi dan Pergudangan sebesar 7,50 persen; kategori Jasa Perusahaan sebesar 6,92 persen; kategori Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum sebesar 6,00 persen; kategori Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang sebesar 5,95 persen; kategori Konstruksi 5,45 persen; kategori Industri Pengolahan sebesar 5,11 persen; kategori Real Estat sebesar 4,46 persen; kategori Pengadaan Listrik dan Gas sebesar 4,30 persen; kategori Jasa Keuangan dan Asuransi sebesar 4,12 persen; kategori Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor sebesar 3,31 persen; kategori Pertambangan dan Penggalian sebesar 1,57 persen; kategori Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan sebesar 0,47 persen; dan 26 kategori Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 0,46 persen. Gambar 4. Pertumbuhan PDRB Menurut Lapangan Usaha 2014 Pert Ekonomi A 0,47 B 1,57 C D Lapangan Usaha 5,06 5,11 4,3 E F G 3,31 H 5,95 5,45 I 7,5 6 J K 17,47 4,12 L 4,46 M,N O 0,46 P 6,92 14,43 Q R,S,T,U 0 5 Keterangan : A Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan B C D E F G H I J K L M,N O P R,S,T,U 8,8 10 15,78 15 20 Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Pengadaan Listrik dan Gas Pengadaan air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang Konstruksi Perdagangan Besar dan Eceran Transportasi dan Pergudangan Penyediaan akomodasi makan minum Informasi dan Komunikasi Jasa Keuangan dan Asuransi Real Estate Jasa Perusahaan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib Jasa Pendidikan Jasa Lainyya 27 4.2. Analisis Kesenjangan Mengurangi kesenjangan antar daerah telah menjadi salah satu isu kebijakan utama di Indonesia. Pemerintah telah berusaha untuk mengurangi kesenjangan melalui programprogramnya. Misalnya, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM Mandiri), percepatan daerah tertinggal, daerah perbatasan, daerah konflik, daerah pasca bencana dan puncaknya pada tahun 2011, Indonesia meluncurkan MP3IE (Masterplan Percepatan dan Perluasaan Ekonomi Indonesia) yang mengandung butir-butir yang ditargetkan akan dicapai Indonesia hingga tahun 2025. Alur kajian pada bab ini dimulai dengan pembahasan perbandingan kesenjangan pendapatan antar wilayah di Indonesia dengan titik berat melihat kondisi kesenjangan pendapatan di Jawa Barat sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia dibandingkan dengan provinsiprovinsi lainnya. Setelah itu, pembahasan dilanjutkan untuk melihat data historis potret kesenjangan pendapatan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2014. Hasil perhitungan kesenjangan pendapatan disini menggunakan ukuran Indeks Gini. 4.2.1. Indeks Gini Indeks Gini merupakan ukuran yang paling umum digunakan untuk menganalisa tingkat kesenjangan di suatu daerah. Menurut Michael Todaro, seorang ahli ekonomi pembangunan dari Italia, bahwa nilai Gini Ratio yang terletak antara 0,50–0,70 menandakan pemerataan yang sangat 28 timpang, sedangkan apabila nilainya terletak antara 0,36–0,49 menunjukan kesenjangan sedang, sementara apabila nilai Gini terletak diantara 0,20–0,35 dinyatakan pemerataan relatif tinggi (merata). Dalam hal ini, kenyataannya tidak mungkin suatu daerah/wilayah mempunyai angka gini ratio yang besarnya sama dengan 0 (nol) dan 1 (satu). Kesenjangan antar Provinsi di Indonesia Berdasarkan koefisien gini, kesenjangan pendapatan di provinsi Jawa Barat secara umum termasuk dalam kategori kesenjangan sedang. Jika dibandingkan dengan kondisi kesenjangan secara nasional, indeks gini provinsi Jawa Barat sama dengan nasional. Tingkat kesenjangan Indonesia tahun 2014 (kondisi Maret) jika diukur dengan Indeks Gini adalah sebesar 0,41 sementara Jawa Barat juga sebesar 0,41. Peningkatan kesenjangan pendapatan merupakan fenomena yang terjadi secara umum di seluruh provinsi di Indonesia. Tabel 4.1 menunjukkan bahwa pada periode tahun 2009 ke 2014, peningkatan terjadi di seluruh provinsi di Indonesia. DKI Jakarta dan Papua tercatat sebagai provinsi dengan kesenjangan tertinggi di Indonesia pada tahun 2009 dengan Koefisien Gini sebesar 0.39 dan 0,38. Sedangkan pada tahun 2014, daerah dengan tingkat kesenjangan tertinggi dipegang oleh Papua Barat dan DKI Jakarta. 29 Tabel 1. Koefisien Gini Berdasarkan Menurut Provinsi Tahun 2009- 2014 Provinsi 2009 2010 2011 2012 2013 2014 0,29 0,30 Aceh 0,32 0,35 Sumatera Utara 0,30 0,33 Sumatera Barat 0,33 0,33 Riau 0,27 0,30 Jambi 0,31 0,34 Sumatera Selatan 0,30 0,37 Bengkulu 0,35 0,36 Lampung Kepulauan Bangka 0,29 0,30 Belitung 0,29 0,29 Kepulauan Riau 0,36 0,36 DKI Jakarta 0,36 0,36 Jawa Barat 0,32 0,34 Jawa Tengah 0,38 0,41 DI Yogyakarta 0,33 0,34 Jawa Timur 0,37 0,42 Banten 0,31 0,37 Bali 0,35 0,40 Nusa Tenggara Barat 0,36 0,38 Nusa Tenggara Timur 0,32 0,37 Kalimantan Barat 0,29 0,30 Kalimantan Tengah 0,35 0,37 Kalimantan Selatan 0,38 0,37 Kalimantan Timur 0,31 0,37 Sulawesi Utara 0,34 0,37 Sulawesi Tengah 0,39 0,40 Sulawesi Selatan 0,36 0,42 Sulawesi Tenggara 0,35 0,43 Gorontalo 0,30 0,36 Sulawesi Barat 0,31 0,33 Maluku 0,33 0,34 Maluku Utara 0,35 0,38 Papua Barat 0,38 0,41 Papua 0,37 0,38 INDONESIA Catatan : Data Tr.1 2014 (Susenas, BPS) 0,33 0,35 0,35 0,36 0,34 0,34 0,36 0,37 0,32 0,33 0,36 0,40 0,34 0,40 0,35 0,36 0,34 0,35 0,36 0,37 0,35 0,38 0,39 0,36 0,32 0,32 0,33 0,35 0,33 0,40 0,30 0,40 0,30 0,29 0,31 0,36 0,32 0,44 0,41 0,38 0,40 0,37 0,40 0,41 0,36 0,36 0,40 0,34 0,37 0,38 0,39 0,38 0,41 0,41 0,46 0,34 0,41 0,33 0,40 0,42 0,35 0,42 0,41 0,38 0,43 0,36 0,39 0,43 0,35 0,36 0,38 0,33 0,38 0,36 0,43 0,40 0,41 0,40 0,44 0,31 0,38 0,34 0,43 0,44 0,36 0,43 0,41 0,39 0,44 0,36 0,40 0,40 0,36 0,35 0,40 0,35 0,36 0,37 0,42 0,41 0,43 0,43 0,44 0,35 0,37 0,32 0,43 0,44 0,35 0,43 0,41 0,38 0,42 0,37 0,40 0,42 0,38 0,36 0,39 0,35 0,36 0,35 0,42 0,37 0,42 0,41 0,41 0,35 0,35 0,32 0,44 0,41 0,41 0,41 0,41 0,41 Dalam konteks kesenjangan pendapatan Provinsi Jawa Barat, meskipun berdasarkan hasil perhitungan bukanlah provinsi dengan kesenjangan pendapatan tertinggi di Indonesia baik untuk tahun 2009 maupun 2014, namun Provinsi Jawa 30 Barat masih merupakan provinsi yang termasuk ke dalam sepuluh besar provinsi dengan kesenjangan pendapatan tertinggi di Indonesia dengan kategori kelompok kesenjangan sedang (moderat). Pada tahun 2009, nilai Koefisien Gini Provinsi Jawa Barat sebesar 0.36 sedangkan pada tahun 2014 nilainya melonjak cukup tajam menjadi 0.41. Hal ini perlu mendapat perhatian lebih dari para pemangku kebijakan, baik para pemangku kebijakan di tingkat pusat maupun provinsi, mengingat Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia. Meskipun kesenjangan di Jawa Barat masih dalam kategori kesenjangan sedang, tetapi kecenderungannya 5 tahun terakhir ini tingkat kesenjangannya semakin meningkat. Pada tahun 2009, tingkat kesenjangan masih dalam ketegori ringan (merata) tetapi trend-nya terus meningkat, dan bahkan sudah masuk ke dalam kategori sedang. Jika dibandingkan dengan Keadaan kesenjangan secara nasional, 5 tahun terakhir ini, tingkat kesenjangan sudah hampir sama dengan tingkat kesenjangan secara nasional, padahal sebelumnya, tingkat kesenjangan Jawa Barat masih berada di bawah kesenjangan pendapatan tingkat nasional. 31 Gambar 5. Koefisien Gini Indonesia dan Provinsi Jawa Barat Tahun 2009 – 2014 0,450 0,400 0,350 0,300 0,250 0,200 1999 2002 2005 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Jawa Barat INDONESIA Gambar 6. Kurva Lorenz Provinsi Jawa Barat Tahun 2014 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64 67 70 73 76 79 82 85 88 91 94 97 100 32 Gambar 7. Indeks Gini Menurut Provinsi, Kondisi Maret 2014 INDONESIA Papua Papua Barat Maluku Utara Maluku Sulawesi Barat Gorontalo Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Utara Kalimantan Timur Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Barat Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat Bali Banten Jawa Timur DI Yogyakarta Jawa Tengah Jawa Barat DKI Jakarta Kep Riau Kep Bangka Belitung Lampung Bengkulu Sumatera Selatan Jambi Riau Sumatera Barat Sumatera Utara Aceh 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 33 Kesenjangan di Perkotaan dan di Perdesaan Jika dilihat berdasarkan klasifikasi daerah tempat tinggal, terlihat bahwa penduduk di daerah pedesaan menunjukkan kesenjangan yang rendah (merata), sedangkan penduduk di daerah perkotaan mengindikasikan telah berada pada kategori kesenjangan sedang dan mengalami kenaikan pada tahun 2014 walaupun pada tahun 2013 sedikit mengalami penurunan tetapi masih lebih tinggi dibanding keadaan pada tahun 2011. Penyebab meningkatnya tingkat kesenjangan di Jawa Barat, lebih dipengaruhi meningkatnya kesenjangan penduduk di wilayah perkotaan. Tabel 2. Koefisien Gini Berdasarkan Tipe Daerah di Provinsi Jawa Barat Tahun 2011- 2014 Daerah 2011 2012 2013 2014 Perkotaan 0,40 0,42 0,41 0,42 Perdesaan 0,30 0,30 0,30 0,29 Perkotaan+Perdesaan 0,39 0,412 0,40 0,40 Sumber: SUSENAS 2011, 2012, 2013, 2014 (diolah) Kesenjangan Menurut Kabupaten/Kota Berdasarkan hasil susenas Jawa Barat 2014, dapat disimpulkan bahwa ketimpangan distribusi pendapatan di Provinsi Jawa Barat secara umum dapat dikategorikan kedalam tingkat ketimpangan distribusi pendapatan “sedang” dengan angka Indeks Gini 0,40. Pada tahun 2014, Kota Bandung tercatat mempunyai indeks Gini tertinggi di Jawa Barat dengan nilai 0,48. Walaupun secara umum, kecenderungan Gini indeks Kabupaten/Kota di Provinsi menunjukan tingkat kesenjangan yang rendah, dalam 34 kurun waktu 5 tahun terakhir terjadi kenaikkan nilai Indeks Gini di mayoritas kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Tabel 3. Koefisien Gini Berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat Tahun 2011-2014 Kab/Kota 2011 2012 2013 2014 Kab Bogor 0,41 0,42 0,38 0,38 Kab Sukabumi 0,30 0,35 0,30 0,32 Kab Cianjur 0,29 0,33 0,29 0,28 Kab Bandung 0,36 0,36 0,34 0,37 Kab Garut 0,30 0,34 0,31 0,33 Kab Tasikmalaya 0,37 0,33 0,32 0,29 Kab Ciamis 0,31 0,31 0,33 0,31 Kab Kuningan 0,33 0,36 0,33 0,37 Kab Cirebon 0,27 0,36 0,32 0,28 Kab Majalengka 0,31 0,39 0,32 0,34 Kab Sumedang 0,33 0,37 0,34 0,33 Kab Indramayu 0,28 0,29 0,28 0,28 Kab Subang 0,28 0,33 0,33 0,31 Kab Purwakarta 0,34 0,39 0,39 0,37 Kab Karawang 0,33 0,34 0,32 0,30 Kab Bekasi 0,33 0,36 0,33 0,33 Kab Bandung Barat 0,29 0,37 0,31 0,33 Kota Bogor 0,39 0,45 0,41 0,36 Kota Sukabumi 0,34 0,40 0,34 0,36 Kota Bandung 0,41 0,42 0,42 0,48 Kota Cirebon 0,38 0,41 0,38 0,40 Kota Bekasi 0,37 0,37 0,35 0,33 Kota Depok 0,36 0,40 0,39 0,36 Kota Cimahi 0,34 0,37 0,40 0,39 Kota Tasikmalaya 0,37 0,40 0,39 0,37 Kota Banjar 0,37 0,39 0,34 0,32 0,41 0,42 0,38 0,38 Jawa Barat Sumber: SUSENAS 2011, 2012, 2013 (diolah) 35 4.2.2. Kriteria Bank Dunia Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, Bank Dunia mempunyai kriteria dalam menentukan tingkat ketimpangan pendapatan di suatu daerah, dimana fokus perhatian dari penggunaan kriteria ini adalah pada kelompok 40 persen penduduk dengan pendapatan terendah. Tingkat kesenjangann pendapatan di suatu daerah dikatakan tinggi jika di daerah tersebut kelompok 40 persen berpendapatan terendahnya menerima lebih kecil dari 12 persen dari total pendapatan, dikatakan sedang jika kelompok ini proporsinya menerima antara 12 sampai 17 persen, dan dikatakan rendah jika kelompok ini menerima lebih dari 17 persen dari total penerimaan. Tabel 4. Distribusi Pengeluaran Penduduk Menurut Kriteria Bank Dunia Tahun 2011-2014 Distribusi Pendapatan 40 % penduduk berpendapatan terendah 40 % penduduk berpendapatan menengah 20 % penduduk berpendapatan tertinggi 2011 2012 2013 2014 17.85 16.69 17.27 17,38 35.43 34.35 35.02 34,87 46.72 48.96 47.71 47,75 Secara umum tingkat ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Barat jika diukur dengan menggunakan kriteria Bank Dunia termasuk ke dalam kategori ketimpangan rendah. Pada tahun 2014, kelompok 40 persen penduduk dengan pendapatan terendah di Provinsi Jawa Barat memberikan 17,38 persen dari total pengeluaran masyarakat Jawa Barat. 36 Walaupun termasuk dalam tingkat ketimpangan yang rendah, kontribusi dari kelompok 40 persen berpendapatan terendah ini masih berfluktuatutif dan hanya sedikit berada di atas ambang batas kategori. Melihat perkembangan 4 tahun terakhir ini, pemerintah masih harus terus memacu kinerjanya untuk terus dapat meningkatkan pemerataan pendapatan penduduk, karena kontribusi pengeluaran kelompok 40 % penduduk berpendapatan terendahnya hanya sedikit di atas 17 persen. Artinya kondisi ini masih sangat rentan untuk masuk kembali ke dalam kondisi ketimpangan menengah/sedang. Hal lain yang dapat diamati dari hasil perhitungan kriteria Bank Dunia tersebut adalah kontribusi pengeluaran penduduk pada kelompok 20 persen penduduk berpenghasilan teratas melebihi dua kali lipat dari 40 persen penduduk dengan penghasilan terendah. Dari table di atas juga terlihat bahwa dominasi kelompok penduduk 20 % pengeluaran teratas masih sangat tinggi selama empat tahun terakhir. 37 5 KESIMPULAN DAN SARAN Pertumbuhan ekonomi dan kesenjangan merupakan 2 hal yang bertolak belakang tetapi hubungannya sering menjadi bahan kajian baik peneliti sosial maupun ekonomi, hal tersebut dikarenakan konsekuensi dari pembangunan ekonomi tidak hanya menghasilkan sesuatu yang positif, tetapi menimbulkan juga dampak sampingan yang bisa jadi tidak diinginkan. Di Indonesia masalah konsekuensi distribusi dari pertumbuhan ekonomi menjadi isu utama. Pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi mulai banyak dipertanyakan banyak kalangan, apakah hal itu dinikmati sebagian besar masyarakat atau hanya sekelompok masyarakat saja. Bahkan tidak sedikit orang yang mensinyalir bahwa pembangunan selama ini malah menciptakan kesenjangan yang semakin lebar di dalam masyarakat. Publikasi ini berusaha menyajikan gambaran terkini mengenai kesenjangan pendapatan di Provinsi Jawa Barat dengan menggunakan data SUSENAS tahun 2011-2014. Ukuran kesenjangan digunakan di dalam peneitian ini, yaitu Koefisien Gini, dan kriteria Bank Dunia, menunjukkan bahwa cecara umum tingkat kesenjangan pendapatan di Provinsi Jawa Barat selama periode 2012-2014 berdasarkan termasuk kriteria dalam Bank kategori Dunia dan kesenjangan rendah termasuk kategori kesenjangan sedang berdasarkan Gini Indeks. Indeks kesenjangan pendapatan Provinsi Jawa Barat walaupun menunjukkan kesenjangan yang sedang tetapi menunjukkan kecenderungan naik dalam 10 tahun belakang ini, 38 Pemerintah daerah Provinsi Jawa Barat harus lebih serius dalam hal pengurangan kesenjangan pendapatan karena jika tidak ditangani serius, dikhawatirkan kesenjangan di masyakat akan lebih parah. Kebijakan yang diambil pemerintah daerah harus lebih memprioritaskan golongan masyarakat yang kurang tersentuh dari hasil-hasil pembangunan. Mengurangi kesenjangan antar kabupaten/kota harus dijadikan prioritas teratas pemerintah daerah Provinsi Jawa Barat. Potensi ekonomi, ketersedian infrasturktur, keuangan daerah yang tidak sama antara kabupaten/kota harus menjadi bahan pertimbangan pemerintah dalam perencanaan pembangunan sehingga tidak ada lagi aktifitas ekonomi yang hanya terkonsentrasi di beberapa wilayah tertentu saja, dan membiarkan daerah lainnya tertinggal. Perencanaan yang bersifat spasial dan mempertimbangkan dimensi regional sangat perlu diperhatikan. 39 DAFTAR PUSTAKA Akita, T. (2012).Inequality and poverty measurement.Hand out lecture of Inequality and Poverty Course. International University of Japan. Fall Term 2012. Akita, T., and Miyata, S. (2008).Urbanization, educational expansion and expenditure inequality in Indonesia in 1996, 1999 and 2002. Journal of the Asia Pacific Economy 13 (2), 147-167. Anand, S. (1983).Inequality and Poverty in Malaysia: Measurement and Decomposition. World Bank Research Publication, New York: Oxford University Press. BPS Provinsi Jawa Barat, Produk Domestik Bruto Provinsi Jawa Barat Menurut Lapangan Usaha 2010-2012. Kuznets, S. (1955). Economic growth inequality.American Economic Review 45, 1-28. and income Mahi, B Raksaka and Nazara, Suahasil,”Survey of Recent Development,” Bulletin of Indonesia Economic Studies, Vol. 48, No.1 (2012): 7-31. Nuraliyah (2009).Dekomposisi Kesenjangan Pendapatan di Indonesia Pasca Krisis (Tahun 1999-2005).Skripsi.Institut Pertanian Bogor. Shorrocks, A.(1980). The class of additively decomposable inequality measures.Econometrica, 48(3), pp. 613–25. Ray, Debraj. Development Economics. New Jersey: Princeton University Press, 1998. Ravallion, Martin,”The Debate on Globalization, Poverty and Inequality: Why Measurement Matters,” International Affairs Vol. 79, No. 4(Jul., 2003): 739-753. 40 Salim, Emil,”Perencanaan Pembangunan dan Perataan Pembangunan,” Speech in Dies Natalis of University of Indonesia (1976): 1-40. Todaro, MP.dan Smith, SC.(2004). Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Edisi Kedelapan, Jakarta : Penerbit Erlangga. Williamson, J.G, (1965). Regional inequality and the process of national development: a description of the patterns. Economic Development and Cultural Change 13(4), 1-84. http://www.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2012/10/UU202003-Sisdiknas.pdf. http://indonesia.go.id/in/kementerian/kementerian/kementeria n-pendidikan-dan-kebudayaan/936-pendidikan/11591-wajibbelajar-9-tahun-sudah-tuntas.html. http://blog.tp.ac.id/paradigma-pendidikan-masa-depan. http://simple.wikipedia.org/wiki/File:Indonesia_provinces_location _map-en.svg/. 41