TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sektor Transportasi Kegiatan perkotaan, yang meliputi kegiatan sektor-sektor permukiman, transportasi, komersial, industri, pengelolaan limbah padat, dan sektor penunjang lainnya merupakan kegiatan yang potensial dalam merubah kualitas udara perkotaan. Dari berbagai sektor yang potensial dalam mencemari udara, pada umumnya sektor transportasi (dengan kendaraan bermotor sebagai alat transportasi) memegang peran yang sangat besar dibandingkan sektor lainnya (Soedomo, 1999). Transportasi merupakan permintaan turunan dari suatu usaha manusia dalam mengantisipasi jarak guna memenuhi kebutuhan untuk melakukan kegiatan yang secara geografis berbeda dengan tempat asalnya (Wells, 1975 dalam Sugiartha 2002). Kendaraan bermotor diduga berperan dalam peningkatan level polusi udara di pusat-pusat kota di dunia (Niraj Sharma, 2007). Hal ini juga terjadi di kota-kota besar di Indonesia, terutama di DKI Jakarta yang dibuktikan melalui hasil kajian the Study on the Integrated Air Quality Management for Jakarta Area (JICA, 1997) dan Integrated Vehicle Emission Reduction Strategy for Greater Jakarta (ADB, 2002) yang menyimpulkan bahwa sektor transportasi memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencemaran udara perkotaan. Tingginya volume kendaraan bermotor terutama kendaraan pribadi yang beroperasi di jalan-jalan di DKI Jakarta, menimbulkan kemacetan lalu lintas, pencemaran udara dan kebisingan, serta tingginya konsumsi bahan bakar. 2.1.1 Emisi Kendaraan Bermotor Sumber pencemar udara yang disebabkan oleh kegiatan manusia (antropogenik) berasal dari pembakaran bahan bakar fosil yang pada umumnya termasuk dalam keluarga karbon atau hidrokarbon. Bahan bakar fosil yang umumnya digunakan yakni oktana (C 8 H 18 ) yang merupakan bahan bakar dengan senyawa hidrokarbon kompleks. Stoikiometri pembakaran oktana dapat dilihat pada reaksi berikut (Perkins, 1974): C8 H 18 + 12,5O2 + 12,5(3,76)N 2 ↔ 9 H 2 O + 8CO2 + 12,5(3,76)N 2 Melissa (15303013) II-1 TINJAUAN PUSTAKA Melalui stoikiometri di atas, emisi yang paling signifikan dari pembakaran bahan bakar secara sempurna oleh kendaraan bermotor ke atmosfer berdasarkan massa adalah gas karbon dioksida (CO 2 ) dan uap air (H 2 O). Namun kondisi ini jarang terjadi, karena sebagian bahan bakar yang berbasis karbon dioksidasi menjadi karbon monoksida (CO). Pembentukan CO juga dipengaruhi oleh keberadaan Oksigen (O 2 ) dan temperatur. Pencemar Hidrokarbon (HC) pun diemisikan dalam bentuk uap dan partikel karbon dari butiran-butiran sisa pembakaran bahan bakar. Hampir semua bahan bakar kendaraan bermotor mengandung zat-zat ’kotoran’ berupa sulfur yang dioksidasi menjadi sulfur dioksida (SO 2 ), vanadium dalam oli yang tidak dapat terbakar, dan senyawasenyawa timbal (Pb) organik pada bensin bertimbal berupa partikel dalam gas buang. Pada kondisi temperatur pembakaran tinggi, nitrogen monoksida dapat dihasilkan melalui reaksi antara gas nitrogen (N 2 ) di atmosfer dengan senyawa nitrogen yang dikandung dalam bahan bakar, yakni sebagai berikut (Brimblecombe, 1986) : O + N 2 → NO + N N + O2 → NO + O N 2 + O2 → 2 NO Semua emisi gas muncul bervariasi secara sistematis dangan rasio udara-bahan bakar (Air Fuel Ratio-AFR), seperti digambarkan pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Variasi emisi terhadap rasio udara-bahan bakar Sumber : Colls, 2002 Melissa (15303013) II-2 TINJAUAN PUSTAKA Pemahaman variasi-variasi tersebut dilakukan untuk mengembangkan manajemen mesin dan reduksi emisi. Parameter desain AFR dijelaskan dengan menggunakan persamaan 2.1. AFR = (M a x n a ) / (M f x n f ) ...(2.1) dimana : Ma = berat molekul udara na = jumlah molekul udara Mf = berat molekul bahan bakar nf = jumlah molekul bahan bakar AFR optimum yang dihitung secara kimiawi, tanpa memperhatikan produksi polusi udara, disebut stoikiometri (pembakaran optimum pada titik tingkat oksigen dengan persediaan bahan bakar yang tersedia pada basis molekul antar molekul). Stoikiometri ditunjukkan dengan garis vertikal hitam pada Gambar 2.1 dengan nilai AFR, yakni 14,7. Pada rasio ini, produksi NO sudah hampir mencapai puncak, sedangkan kadar CO sudah menurun. Dengan kandungan bahan bakar yang lebih kaya atau padat (rich combustionAFR<14,7), maka oksigen yang diperlukan untuk melakukan pembakaran terhadap bahan bakar yang tersedia tidaklah cukup, sehingga terjadi peningkatan kadar CO dan penurunan kadar NO akibat sedikitnya energi yang dilepaskan. Ketika kandungan bahan bakar lebih miskin (lean combustion-AFR>14,7) dan terjadi pada pembakaran yang lebih normal, oksigen yang diperlukan akan berlebih sehingga kadar CO yang dihasilkan tetap rendah. Namun, kelebihan udara akan diimport ke ruang pembakaran, dihangatkan, dan dibuang sehingga terjadi penurunan temperatur dan akibatnya mengurangi produksi NO. Operasi mesin pada kondisi non-stoikometri juga mengurangi efisiensi termal sehingga lebih banyak bahan bakar dibakar untuk mengurangi konsentrasi emisi (Colls, 2002). Variasi rasio stoikometri dengan komposisi bahan bakar telah mengarah pada perkembangan equivalent ratio (ER). ER merupakan AFR aktual yang dibagi dengan AFR stoikometri untuk bahan bakar tertentu. Nilai ER saat kondisi kaya bahan bakar yakni lebih kecil dari satu (ER<1) dan saat kondisi miskin bahan bakar, nilai ER akan lebih besar dari satu (ER>1). Melissa (15303013) II-3 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.2 Parameter Pencemar Seperti telah dijelaskan sebelumnya, emisi sektor kendaraan bermotor yakni CO 2 , CO, Hidrokarbon, NOx, dan beberapa toksin udara dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan kesejahteraan manusia, permasalahan lingkungan yang serius seperti hujan asam, kerusakan lapisan ozon stratosfer, dan perubahan iklim global, serta menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Namun parameter pencemar CO dan NO yang memegang peranan penting dalam pengendalian pencemar dari sektor transportasi. Lebih lanjut, CO dan NO merupakan polutan yang mencetus (prekursor) terbentuknya zat pencemar sekunder ozon yang berbahaya bagi kesehatan. 2.1.2.1 Karbon Monoksida (CO) Gas karbon monoksida (CO) merupakan gas yang sangat stabil dan memiliki waktu tinggal di atmosfer sekitar 2-4 bulan (Wark&Warner, 1981). Sebagian emisi CO berasal dari sumber antropogenik, yakni pembakaran tidak sempurna kendaraan bermotor sehingga dapat dikatakan CO memiliki korelasi/hubungan dengan volume lalu lintas dimana volume lalu lintas yang padat akan meningkatkan akumulasi CO di atmosfer (Seinfeld, 1986). Efek CO terhadap manusia terlihat jelas pada gejala yang ditimbulkan akibat pengikatan molekul CO pada Haemoglobin (Hb). Molekul Hb yang mengadung besi memiliki daya ikat dengan CO sebesar 210 kali lebih besar dibandingkan O 2 . Tabel 2.1 dan 2.2 menjelaskan mengenai sumber dan efek CO baik terhadap manusia maupun lingkungan. Tabel 2.1 Sumber Karbon Monoksida dan Efek terhadap Manusia Pencemar Karbon Monoksida (CO) Sumber Efek thd Manusia Pembakaran minyak, batu bara, gas yang tidak sempurna pada kendaraan bermotor dan industri Terutama bagi kesehatan manusia, yakni pengikatan CO pd Hb menggantikan posisi O2 dan keracunan CO yang dapat menyebabkan pusing, muntah, berkurangnya kemampuan otak, hilangnya kesadaran, bahkan kematian. Sumber : Seinfeld, 1986 Melissa (15303013) II-4 TINJAUAN PUSTAKA Tabel 2.2 Efek Paparan Karbon terhadap Lingkungan Kondisi Lingkungan Efek 9 ppm, pemaparan selama 8 jam Standar kualitas udara ambien 50 ppm, pemaparan selama 6 minggu Perubahan struktural hati dan otak binatang 50 ppm, pemaparan selama 50 menit Penurunan ketajaman penglihatan 50 ppm, pemaparan selama 8-12jam Penurunan kemampuan psychomotor test Sumber : Wark&Warner, 1981 2.1.2.2 Oksida Nitrogen (NO dan NO 2 ) Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa sumber utama NO berasal dari pembakaran tidak sempurna dalam sistem kendaraan. Namun, selain NO, sistem kendaraan juga mengeluarkan NO 2 dalam jumlah kecil. Komponen NO dan NO 2 secara alami memiliki waktu hidup satu hari. Total emisi NO dan NO 2 yang diukur dinyatakan dalam bentuk NOx. Masa hidup komponen NOx di atmosfer berkisar antara 1 hingga 4 hari sehingga dapat dikatakan bahwa emisi NOx bersifat lokal (Seinfeld, 1986). Di atmosfer, komponen NO dan NO 2 berada dalam kondisi kesetimbangan semu. NO yang diemisikan dari kendaraan bermotor diubah menjadi NO 2 ketika terdifusi ke udara akibat ketersediaan O 2 yang sangat besar. Reaksi-reaksi NOx melibatkan reaksi pembentukan/produksi dan reaksi destruksi, yakni (Seinfeld,1986) : NO + O2 → 2 NO2 NO2 + hv → NO + O NO + O3 → NO2 + O2 O + O2 + M → O3 + M O3 + NO → NO2 + O2 NO 2 merupakan oksidator kuat sehingga bersifat lebih toksik dibandingkan NO. Paparan NO 2 dapat menimbulkan berbagai efek bagi manusia dan lingkungan. Paparan NO 2 diduga dapat meningkatkan sensitifitas paru-paru terhadap pencemar lainnya dan merupakan pengancur utama sel membran dengan cara lipid peroxidation (Colls,1986). Gambar 2.1 menjelaskan siklus Nitrogen yang terjadi di lapisan troposfer dan stratosfer. Sedangkan Tabel 2.3 menerangkan sumber dan efek Oksida Nitrogen (NO dan NO 2 ) terhadap manusia dan lingkungan. Melissa (15303013) II-5 TINJAUAN PUSTAKA Tabel 2.3 Sumber Oksida Nitrogen dan Efek terhadap Lingkungan Pencemar Oksida Nitrogen (NO and NO 2 ) Sumber Efek thd Manusia&Lingkungan Catatan Tambahan Pembakaran minyak, batu bara, gas pada kendaraan bermotor dan industri, aktivitas bakteri di tanah, kebakaran hutan, kegiatan vulkanik, dan petir Pengurangan visibilitas akibat warna NO 2 , NO 2 berkontribusi pada masalah hati dan paru-paru, NO 2 dapat menghambat pertumbuhan tanaman, mengurangi resistensi terhadap penyakit, serta berpengaruh pada penyebaran kanker Seluruh proses pembakaran hanya berkontribusi sebanyak 5 % dari NO 2 di atmosfer dimana kebanyakan dibentuk melalui reaksi yang melibatkan NO, dan terdapat kemungkinan bahwa konsentasinya akan meningkat di masa mendatang Sumber : Seinfeld, 1986 2.1.3 Sistem Transportasi dan Manajemen Lalu Lintas Angkutan umum (public transport) adalah semua jenis moda transportasi yang di supply untuk kebutuhan mobilitas pergerakan barang dan/atau orang, demi kepentingan masyarakat banyak/umum dalam memenuhi kebutuhannya, seperti bus, kereta api untuk transportasi darat, pesawat udara untuk transportasi udara, dan kapal untuk transportasi laut/sungai/danau. Tujuan dasar keberadaan angkutan umum penumpang adalah untuk menyelenggarakan pelayanan yang baik bagi masyarakat. Pada hakekatnya, angkutan umum lebih efisien dalam mengangkut orang dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan angkutan pribadi (Wells, 1975 dalam Sugiartha 2002). Sistem manajemen transportasi dan tata ruang perkotaan mempengaruhi pola pergerakan manusia dan kendaraan di suatu kota yang pada akhirnya mempengaruhi kualitas udara. Pengendalian pencemaran udara melalui peningkatan sistem transportasi terfokus pada dua aspek, yaitu pengurangan volume kendaraan dan pengurangan kepadatan lalu lintas. Makin banyak volume kendaraan yang beroperasi di jalan, makin banyak jumlah emisi gas buang total. Di negara-negara maju, walaupun catalytic converter telah dapat mengurangi emisi gas buang per kendaraan per kilometer tempuh, jika jumlah kendaraan semakin banyak dan jarak kilometer semakin bertambah maka jumlah emisi total tetap meningkat. Artinya, sistem transportasi memegang peranan penting dalam pengendalian pencemaran udara perkotaan. Pertumbuhan kendaraan yang pesat di kota-kota besar termasuk mencerminkan kurang memadainya sistem transportasi kota. Banyak orang terdorong untuk menggunakan mobil pribadi dan sepeda motor karena ketiadaan transportasi umum yang nyaman, aman, dan tepat waktu. Sistem transportasi belum terintegrasi ke dalam pengembangan wilayah. Pada banyak kasus, pembangunan perumahan di luar pusat kota Melissa (15303013) II-6 TINJAUAN PUSTAKA tidak diikuti dengan pengembangan sistem transportasi yang menghubungkan lokasi perumahan dengan lokasi komersial dan perkantoran di pusat kota. Kondisi ini mendorong orang untuk menggunakan kendaraan pribadi guna memenuhi kebutuhan transportasi mereka sehari-hari sehingga kendaraan pribadi mengambil porsi transportasi jalan yang lebih besar dibanding moda transportasi lainnya. 2.1.4 Kinerja Jaringan Jalan Kinerja jaringan jalan diketahui untuk mengukur kesesuaian kemampuan jalan terhadap beban yang diterima oleh jalan tersebut Kapasitas jalan (IHCM, 1997 dalam Puspitasari, 2004) adalah jumlah lalu lintas kendaraan maksimum yang dapat ditampung pada ruas jalan selama kondisi tertentu (desain geometri, lingkungan, dan komposisi lalu lintas). Sedangkan menurut Pigantaro (dalam Puspitasasi, 2004), kapasitas jalan adalah angka maksimum kendaraan (yang telah sesuai dengan nilai pce) yang dapat melalui suatu ruas jalan dalam perioda waktu tertentu, serta kondisi lalu lintas tertentu dan terkontrol. Rasio volume kapasitas (VCR) adalah perbandingan antara volume yang melintas (satuan mobil penumpang) dengan kapasitas pada suatu ruas jalan tertentu (satuan mobil penumpang). Dari hasil perbandingan yang diperoleh, tingkat pelayanan jalan yang bersangkutan dapat diketahui (Level of Service/ LOS). Tingkat pelayanan jalan atau LOS (Level of Service) adalah suatu ukuran yang digunakan untuk mengetahui kualitas suatu ruas jalan tertentu dalam melayani arus lalu lintas yang melewatinya. Tingkat pelayanan jalan dapat dilihat dari perbandingan antara volume lalu lintas dengan kapasitas jalan serta kecepatan lalu lintas pada ruas jalan tersebut. Salah satu unsur utama yang menyatakan tingkat pelayanan adalah waktu tempuh, biaya perjalanan, dan hal-hal lain seperti kenyamanan dan keamanan penumpang. Tingkat pelayanan jalan ditentukan dalam skala interval yang terdiri dari 6 tingkatan (Salter, 1980) yakni A, B, C, D, E, dan F. Tingkat A merupakan tingkat pelayanan yang paling tinggi. Semakin tinggi volume lalu lintas pada ruas jalan tertentu maka tingkat pelayanan jalan tersebut pun semakin menurun. Pembagian tingkat pelayanan jalan, kecepatan kendaraan untuk setiap tingkatan, dan rasio antara volume kendaraan dengan kapasitas jalan dapat dilihat pada Tabel 2.4. Melissa (15303013) II-7 TINJAUAN PUSTAKA Tabel 2.4 Kelas Tingkat Pelayanan Jalan Deskripsi Arus LOS A Arus bebas bergerak (arus lalu lintas bebas, tanpa hambatan) VCR ≤ 0,40 B Arus stabil, tidak bebas (arus lalu lintas baik, kemungkinan terjadi arus perlambatan) ≤ 0,58 C Arus stabil, kecepatan terbatas (aliran lalu lintas baik dan stabil dengan perlambatan yang masih ≤ 0,80 dapat diterima) D Arus mulai tidak stabil (mulai dirasakan gangguan dalam aliran, aliran mulai tidak stabil) ≤ 0,90 E Arus tidak stabil, kadang macet (volume pelayanan berada pada kapasitas, aliran tidak stabil) ≤ 1,00 F Macet, antrian panjang (volume pelayanan melebihi kapasitas, telah mengalami kemacetan) > 1,00 Sumber : R. J Salter, 1980. 2.1.5 Faktor Emisi Faktor emisi adalah laju masuknya pencemar ke dalam atmosfer sebagai produk suatu aktivitas, dibagi dengan tingkat aktivitas tersebut. Faktor emisi berguna untuk mempermudah penaksiran terhadap suatu sumber emisi (Djajadiningrat, 2002). Faktor emisi untuk kendaraan bermotor umumnya dibedakan berdasarkan bahan bakar yang digunakan, seperti bensin dan solar dan dipengaruhi oleh 4 (empat) kelompok parameter, yakni: • Parameter kendaraan : kategori kendaraan, model dan tahun, akumulasi jarak perjalanan, sistem bahan bakar, sistem kontrol emisi, serta kondisi perawatan. • Bahan bakar : jenis bahan bakar, kandungan Oksigen, daya penguapan, kondisi Benzena, Olefin, dan Aromatik, serta kandungan Sulfur, Timbal, dan logam-logam lain. • Lingkungan : kelembaban, ketinggian, temperatur ambien, variasi temperatur harian, dan kelas jalan. • Kondisi pengoperasian kendaraan : kecepatan rata-rata berkendara, beban, akselerasi dan penurunan kecepatan, serta perilaku pengemudi. 2.2 Meteorologi Pencemaran Udara Masalah polusi udara berkaitan erat dengan faktor meteorologi, terutama dalam hal perpindahan polutan dari sumbernya ke daerah penerima (Perkins, 1974). Konsentrasi polutan tergantung pada jumlah dan jenis polutan yang dikeluarkan oleh sumber emisi, konfigurasi sumber emisi, serta kondisi meteorologi. Melissa (15303013) II-8 TINJAUAN PUSTAKA Meteorologi mempelajari dinamika yang terjadi di atmosfer. Perubahan skala meteorologi akan mempengaruhi pola sebaran/ dispersi polutan sebab atmosfer sendiri memiliki kemampuan untuk mendispersikan dan mendifusikan polutan baik secara vertikal maupun horizontal. Pada kondisi meteorologi tidak baik (lapisan inversi rendah dan angin sedang atau lemah) polutan akan didispersikan secara perlahan-lahan yang mengakibatkan konsentrasi polutan setempat menjadi tinggi. Pada kondisi meteorologi baik (atmosfer tidak stabil dan angin kencang) polutan didispersikan dengan cepat, baik secara vertikal maupun horizontal yang menyebabkan terjadinya pengenceran konsentrasi polutan dan penyebaran lebih lanjut. Tabel 2.5 memperlihatkan pergerakan skala meteorologi yang dikategorikan dalam 3 (tiga) skala berdasarkan dimensi jarak (Seinfeld J.H, 1986). Tabel 2.5 Pergerakan Skala Meteorologi Skala Makro Periode Waktu Harian-Mingguan Keterangan Contoh Fenomena yang terjadi pada skala lebih Pergerakan udara bertekanan tinggi dan besar dari 1000 kilometer, disebut juga rendah pada dataran kontinen yang luas atau skala sipnotik, dan berpengaruh terhadap di atas permukaan laut/samudra. long-range transport pollution, ozon transport, hujan asam, serta CFC. Meso Jam-Harian Fenomena yang terjadi pada skala 100 - Pada 2 fenomena yang sama : pergerakan <1000 kilometer dan digunakan untuk angin darat-laut, pergerakan angin gunung- penelitian pencemaran udara perkotaan. lembah, dan perpindahan front(*) tekanan tinggi atau rendah di atas benua atau lautan. Mikro Menit-Jam Fenomena yang terjadi pada skala di Dispersi jalan raya dan dispersi kepulan bawah 1 kilometer. asap serta resim aliran yang kompleks pada gedung-gedung bertingkat. Sumber : Seinfeld J.H, 1986. Keterangan : (*) Front merupakan daerah dimana terdapat 2 jenis massa udara (udara dengan temperatur dan kelembaban yang sama yang melingkupi suatu daerah yang sangat luas) dengan kondisi pencampuran yang sangat rendah. Faktor-faktor meteorologi yang dapat mempengaruhi konsentrasi polutan dan mengakibatkan dispersi adalah arah dan kecepatan angin, tinggi campuran, dan turbulensi atmosferik (konsep stabilitas). Melissa (15303013) II-9 TINJAUAN PUSTAKA 2.2.1 Arah dan Kecepatan Angin Angin merupakan perpindahan massa udara yang didominasi ke arah horizontal (Cole, 1975). Angin dipengaruhi oleh variasi kondisi meteorologi, waktu, tempat dan letak ketinggian (topografi). Variasi angin akan memberikan pengaruh terhadap turbulensi atmosfer. Pada skala yang lebih kecil, karakteristik permukaan seperti pepohonan, bangunan, bukit, dan gunung dapat menyebabkan turbulensi menjadi semakin besar. Berdasarkan pergerakan udara, atmosfer dibagi dalam dua lapisan, yakni (Cheremisinoff & Moressi, 1978) : 1. Atmospheric Mixing Layer, yang dipengaruhi oleh kekasaran permukaan, gradien tekanan horizontal, gaya geser, dan gaya Coriolis (gaya semu akibat pengaruh gerakan rotasi Bumi dan gerakan udara nisbi terhadap permukaan Bumi). Atmospheric Mixing Layer memiliki hubungan dengan transpor dan difusi polutan. 2. Geostrophic Layer, yang dipengaruhi oleh gradien tekanan horizontal dan gaya Coriolis. Angin merupakan suatu vektor sehingga angin dinyatakan dalam arah dan kecepatannya. Arah angin dijelaskan secara konvensional sebagai arah dari mana angin tersebut bertiup (blowing from) dan diidentifikasi dengan 1 dari 16 (atau kadang 32) titik kompas atau secara keilmuan dilihat sebagai sudut dalam derajat searah dengan jarum jam dari utara. Sedangkan kecepatan angin merupakan hal penting dalam dispersi atmosferik yang dinyatakan dalam skala Beaufort (biasa digunakan oleh marinir), m/s, knot, mill/jam (Colls, 2002). Pada siang hari, turbulensi dan pergerakan vertikal sangat besar akibat pengaruh dari sinar matahari sehingga menyebabkan variasi kecepatan angin akan kecil karena adanya transfer energi yang besar antara berbagai lapisan atmosfer. Sedangkan pada malam hari, pergerakan angin vertikal sangat rendah sehingga terjadi hal yang sebaliknya. Wind rose digunakan sebagai informasi meteorologis yang berhubungan dengan penyebaran polutan, yang menggambarkan perubahan arah dan kecepatan angin secara diagram pada waktu dan kawasan tertentu (Wark and Warner, 1981). Wind rose umumnya berbentuk lingkaran yang terdiri dari bagian pusat yang menunjukkan Melissa (15303013) II-10 TINJAUAN PUSTAKA informasi kejadian calm wind, sejumlah garis yang ditarik dari pusat lingkaran yang mewakili arah mata angin dan mengarah sesuai dengan arah dari mana angin berhembus, panjang setiap garis yang menyatakan frekuensi angin dari arah yang bersangkutan, serta variasi kecepatan angin yang diwakili oleh bentuk-bentuk garis yang digambarkan dalam legenda dari wind rose tersebut. Calm wind merupakan kecepatan angin yang berada di bawah ambang batas sensor arah atau kecepatan angin. Karena kondisinya yang calm, membuat pengukuran arah tidak berguna sehingga calm wind didistribusikan merata ke seluruh arah mata angin (Noll and Miller, 1977). Penanganan calm wind merupakan suatu permasalahan khusus dalam penerapan model Gauss sebab konsentrasi akan berbanding terbalik terhadap kecepatan angin. Karena itu, nilai konsentrasi akan sangat besar jika angin dalam keadaan calm dijadikan input model. Gambar 2.2 menjelaskan distribusi arah dan kecepatan angin berdasarkan wind rose. Gambar 2.2 Wind Rose Sumber: Cooper and Alley, 1994 Melissa (15303013) II-11 TINJAUAN PUSTAKA 2.2.2 Radiasi Matahari Isolasi atau kuantitas radiasi matahari yang mencapai suatu area di permukaan Bumi merupakan fungsi dari beberapa variabel dengan faktor terpenting yakni variasi sudut jatuh sinar matahari terhadap permukaan Bumi. Adapun faktor lainnya, yakni lamanya siang hari dimana sinar matahari membentuk sudut tegak lurus terhadap permukaan Bumi dan sudut-sudut lainnya pada kondisi sinar matahari yang lebih rendah pada pagi dan sore hari. Periode insolasi pada musim panas nilainya berkisar dua kali lipat dari periode insolasi pada musim dingin. Sedangkan untuk daerah khatulistuwa dengan kondisi lamanya siang dan malam relatif seimbang, maka besar radiasi matahari total yang diterima oleh permukaan Bumi sepanjang tahun akan relatif stabil (Wark and Warner, 1981). Kuantitas radiasi matahari yang jatuh pada puncak atmosfer dipengaruhi faktor waktu (tahun/hari), derajat lintang, dan absorptivitas permukaan Bumi. Semakin besar ketinggian matahari maka semakin besar pula insolasinya. Pertambahan derajat lintang akan menyebabkan ketinggian matahari berkurang. Sedangkan adsorptivitas permukaan dipengaruhi oleh jenis permukaan yang menerima radiasi (contoh : permukaan tanah gundul yang tidak rata akan menyerap radiasi lebih banyak daripada es atau batuan) (Wark and Warner, 1981). 2.2.3 Stabilitas Atmosfer Stabilitas atmosfer mempunyai peranan penting dalam pengenceran kadar polutan akibat faktor difusi dan angin. Untuk kondisi atmosfer yang tidak stabil (umumnya terjadi pada tengah hari di atas jalanan beraspal), udara cenderung bergerak ke atas sehingga kadar polutan per satuan volume yang terakumulasi di atmosfer menjadi lebih kecil atau terjadi proses dispersi polutan yang berakibat pada penurunan beban konsentrasi polutan. Sedangkan untuk kondisi atmosfer yang stabil (umumnya terjadi pada pagi dan sore hari), udara cenderung akan bergerak ke bawah/ turun sehingga kadar polutan per satuan volume menjadi besar atau memperlambat proses dispersi polutan yang berakibat penambahan kadar polutan (Soerjadi, 2002). Melissa (15303013) II-12 TINJAUAN PUSTAKA Stabilitas atmosfer dipengaruhi oleh berbagai parameter meteorologi, yakni isolasi, turbulensi, besarnya kecepatan angin, dan gradien temperatur vertikal (lapse rate) (Cheremisinoff and Moressi, 1978). Menurut Wark and Warner (1981), lapse rate adiabatik kering adalah tingkat pendinginan suatu parcel udara ketika tidak terjadi pertukaran kalor antara parcel udara dengan lingkungannya. Secara teoritis, suatu parcel udara yang dipaksa bergerak naik dalam atmosfer akan mengalami tekanan yang lebih rendah sehingga parcel udara tersebut akan mengembang dan mendingin. Temperatur lapse rate yakni sebesar 0,98 °C/100m dan kenaikan ketinggian dianggap sebagai tingkat adiabatik kering. Stabilitas vertikal berkaitan langsung dengan lapse rate. Hubungan keduanya mengikuti pola seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.6. Tabel 2.6. Hubungan stabilitas dengan Lapse rate Lapse rate Stabilitas atmosfer γ > γd Tidak stabil γ = γd Netral γ < γd Stabil Ket : γ = Lapse rate atmosfer aktual γd = Lapse rate adiabatik kering Sumber : Cooper and Alley, 1994 Pada lapse rate super-adiabatik (kondisi tidak stabil), suatu parcel udara akan bergerak ke atas dan mengalami pendinginan namun dengan suhu yang masih lebih hangat daripada udara di lingkungannya. Karena pengaruh gaya apung (buoyant), parcel udara tersebut akan tetap bergerak ke atas. Ketika parcel udara itu bergerak turun, maka parcel udara akan mengalami peningkatan temperatur dengan suhu yang masih lebih dingin dibandingkan dengan udara di lingkungannya. Selama kondisi netral, parcel udara akan bergerak baik ke atas maupun ke bawah dengan perubahan temperatur pada tingkat yang sama dengan udara di lingkungannya, dan pergerakannya baik ke atas atau kebawah tidak terpengaruh oleh gaya buoyant. Selama dalam kondisi stabil (lapse rate subadiabatik), pergerakan parcel udara ke atas akan menghasilkan parcel udara yang lebih dingin dibandingkan dengan udara lingkungannya sehingga parcel tersebut akan kembali naik ke ketinggian sebelumnya. Demikian pula halnya dengan parcel udara yang bergerak Melissa (15303013) II-13 TINJAUAN PUSTAKA ke bawah mengalami peningkatan temperatur yang kondisinya lebih hangat dibandingkan udara di sekitarnya, maka parcel udara akan bergerak kembali ke ketinggian awalnya. (Cooper and Alley, 1994). Gambar 2.3 Efek Lapse rate aktual terhadap stabilitas vertikal Sumber : Cooper and Alley, 1994 Klasifikasi stabilitas atmosfer yang didasarkan pada kecepatan angin, tutupan awan, dan besarnya radiasi sinar matahari, dijelaskan pertama kali oleh Turner (1974) yang kemudian dilanjutkan oleh Pasquill (1961). Adapun metode lainnya, yakni metode Bowen et al. dengan modifikasi yang tetap mempertahankan struktur dari metode Turner, ditunjukkan pada Tabel 2.7. Melissa (15303013) II-14 TINJAUAN PUSTAKA Tabel 2.7 Metode Radiasi Matahari untuk Mengestimasi Kelas Stabilitas Pasquill SIANG HARI Radiasi Sinar Matahari (W/m2) Kecepatan angin (m/s) >925 925 - 675 675 - 175 <175 <2 A A B D 2-3 A B C D 3–5 B B C D 5–6 C C D D >6 C D D D MALAM HARI Kecepatan angin Gradien Temperatur Vertikal (m/s) <0 >0 < 2.0 F F 2.0 – 2.5 D E > 2.5 D D Sumber : www.epa.gov Ket : A=sangat labil, B=labil sedang, C=sedikit labil, D=netral, E=sedikit stabil, F=stabil. 2.2.4 Tinggi Lapisan Pencampuran (Mixing Height) Tinggi lapisan pencampuran atau tinggi batas lapisan konvektif merupakan puncak lapisan terjadinya pencampuran vertikal yang relatif kuat dan penurunan temperatur (lapse rate) yang mendekati kondisi adiabatik kering. Tinggi pencampuran akan lebih tinggi pada lapisan yang labil saat siang hari dibandingkan dengan lapisan yang stabil saat malam hari (Wark and Warner, 1981). Tinggi lapisan pencampuran ditentukan berdasarkan bantuan profil matahari dari atmosfer hingga pada ketinggian beberapa kilometer di atas permukaan Bumi dengan menggunakan metode radiosonde (Cheremisinoff and Morresi, 1981). 2.3 Model Dispersi Polusi Jalan Raya (Street Pollution) Pada permasalahan polusi udara, model kualitas udara memegang peranan penting dalam kontrol polusi udara dan strategi manajemen untuk memberikan informasi mengenai perencanaan kualitas udara yang lebih baik dan efisien serta memperkirakan Melissa (15303013) II-15 TINJAUAN PUSTAKA kualitas udara saat ini dan masa mendatang dalam mengambil keputusan dan kebijakan suatu wilayah. Model kualitas udara memiliki 3 (tiga) klasifikasi yang didasarkan pada sumber polutan yang akan dimodelkan, yakni model sumber titik, garis, dan area. Model sumber garis digunakan untuk menstimulasi dan memprediksi dispersi polutan yang berasal dari sektor kendaraan bermotor yang berada dekat jalan layang/ raya dengan aktivitas kendaraan yang terus-menerus mengeluarkan emisi dalam berbagai karakteristik. Model dispersi polusi jalan raya umumnya digunakan untuk menganalisa hasil (output) dari jalan layang/raya yang telah ada atau akan dibangun pada jarak 10 hingga 100 meter dari downwind. Efek polusi dan aktivitas kendaraan dianggap sebagai pertimbangan utama untuk analisa prediksi kualitas udara dengan menggunakan model dispersi yang didasarkan pada Gaussian. 2.3.1 Persamaan Gaussian Persamaan Gaussian digunakan untuk mengembangkan model dispersi polutan udara dalam memprediksi dan menganalisa kualitas udara ambien akibat emisi polutan. Persamaan ini diturunkan dari analisis dimensional sederhana dan dari fungsi distribusi Gauss. Istilah dispersi Gaussian berhubungan dengan tipe umum persamaan matematis yang digunakan untuk menjelaskan distribusi vertikal dan horizontal polutan pada arah downwind yang berasal dari sumber emisi. Kepulan asap menyebar secara horizontal dan vertikal kemudian diikuti dengan pengurangan konsentrasi polutan pada saat pergerakan downwind. Daerah pencampuran vertikal dan horizontal dengan jarak downwind dari sumber emisi pada umumnya terjadi pada tingkat yang berbeda-beda, disebabkan oleh pergerakan-pergerakan turbulensi di atmosfer yang terjadi pada skala waktu dan ruang yang bervariasi. Persamaan 2.2 menunjukkan konsentrasi dari polutan yang terdispersi dalam arah vertikal dan horizontal (Wark and Warner, 1981). ⎛ Q y2 C ( x, y , z : H ) = ×⎜− π × u × σ y × σ z ⎜⎝ 2σ y 2 ⎞ ⎧⎪ ⎛ (z − H )2 ⎞ ⎛ ( z + H )2 ⎟ × ⎨exp⎜ − ⎟ ⎜ 2 ⎟ + exp⎜ − 2σ 2 ⎟ ⎪ ⎜ 2 σ z z ⎠ ⎝ ⎠ ⎩ ⎝ ⎞⎫⎪ ⎟⎬ ⎟⎪ ⎠⎭ ...(2.2) dimana: C = Konsentrasi pada titik (x,y,z,H), mg/m3 Q = Laju emisi, mg/det Melissa (15303013) II-16 TINJAUAN PUSTAKA σ y, σ z = Parameter sebaran vertikal dan horizontal, m u = Kecepatan angin rata-rata pada ketinggian sumber, m/det y = Jarak horizontal dari garis pusat kepulan, m z = Jarak vertikal dari tanah, m H = Tinggi efektif sumber (H = h + Δh dimana h = tinggi sumber dan Δh = tinggi kenaikan kepulan (plume rise)), m Parameter sebaran atau standar deviasi distribusi pencemar (σ y, σ z ) merupakan fungsi posisi x pada downwind dan tergantung pada kondisi stabilitas atmosfer. Kedua paramater sebaran dapat ditentukan dengan menggunakan grafik standar deviasi pada arah crosswind dan vertikal sebagai fungsi jarak downwind (Gambar 2.3) maupun dengan menggunakan persamaan 2.3 dan 2.4 (Wark and Warner, 1981). σ y = ax b ...(2.3) σ x = cx d + f ...(2.4) Nilai a, b, c, d, dan f tergantung pada kelas stabilitas atmosfer dan pada jarak x (km). Gambar 2.4 Grafik untuk Menentukan Standar Deviasi (σ y, σ z ) Sumber : Wark and Warner (1981) Melissa (15303013) II-17 TINJAUAN PUSTAKA 2.3.2 Sumber Garis Tidak Terhingga (Infinite Line Source) Permasalahan polusi udara akibat kumpulan industri yang berlokasi sepanjang sungai/ pelabuhan atau kepadatan lalu lintas dapat dimodelkan dengan sumber garis tidak terhingga dengan emisi yang kontinu. Arah angin tegak lurus terhadap sumber polutan dan bergerak pada arah sumbu x serta terdispersi hanya pada sumbu z. Standar deviasi horizontal, σ y tidak terdapat pada Persamaan 2.5 karena difusi crosswind dari porsi yang berbeda yang terdapat pada gas yang dikeluarkan akan tergantikan dengan sendirinya. Konsentrasi akan seragam (uniform) pada arah y sehingga konsentrasi downwind pada ground level untuk sumber garis tidak terhingga digambarkan dengan persamaan 2.5 (Wark&Warner, 1981). C ( x,0) = (2π ) ⎡ 1⎛ H × exp ⎢− ⎜⎜ ×σ z × u ⎢⎣ 2 ⎝ σ z 2q 1/ 2 ⎞ ⎟⎟ ⎠ 2 ⎤ ⎥ ⎥⎦ ...(2.5) dimana : q = laju emisi per unit jarak (g/s.m) Ketika arah angin tidak membentuk sudut 900 terhadap sumber garis, Turner menyarankan Persamaan 2.2 dibagi dengan sin φ (φ adalah sudut antara sumber garis dan arah angin. Koreksi tersebut tidak dapat digunakan ketika φ kurang dari 450. Persamaan yang digunakan adalah persamaan 2.6. C ( x ,0 ) = 2.3.3 (2π )1 / 2 ⎡ 1⎛ H × exp ⎢− ⎜⎜ × σ z × u × sin φ ⎢⎣ 2 ⎝ σ z 2q ⎞ ⎟⎟ ⎠ 2 ⎤ ⎥ ⎥⎦ ...(2.6) Sumber Garis Terhingga (Finite Line Source) Ketika sumber garis yang dikeluarkan secara kontinu terlihat pendek, maka efek tepi (edge effect) yang disebabkan ujung-ujung sumber garis perlu dilibatkan. Efek tepi menjadi penting sebab efek-efek tepi tersebut akan terus bergerak ke jarak crosswind yang lebih besar sebanding dengan pertambahan downwind yang memiliki jarak tersebut dari sumber yang dimaksud. Batas sumber garis berada pada posisi crosswind, yakni y 1 dan y 2 dengan y 1 <y 2 sehingga konsentrasi yang berada sepanjang sumbu x pada ground level digambarkan dengan persamaan 2.7 (Wark and Warner, 1981). Melissa (15303013) II-18 TINJAUAN PUSTAKA C ( x,0,0) = (2π ) ⎡ 1⎛ H × exp ⎢− ⎜⎜ ×σ z × u ⎢⎣ 2 ⎝ σ z 2q 1/ 2 ⎞ ⎟⎟ ⎠ 2 ⎤ P2 1 ⎥∫ exp − 0.5 p 2 dp 1/ 2 P1 ⎥⎦ (2π ) ( ) ...(2.7) dimana : p1 = y 1 /σ y p2 = y 2 /σ y 2.3.4 Model Dispersi Caline4 Caline4 merupakan model kualitas udara sumber garis yang dikembangkan oleh California Department of Transportation (Caltrans). Model ini dijalankan berdasarkan model difusi Gaussian dan menggunakan konsep zona pencampuran untuk memperkirakan dispersi polutan dekat jalan raya dengan beberapa parameter penting, seperti kekuatan sumber (volume lalu lintas per link dan faktor emisi), meteorologi, dan geometri lokasi. Caline4 dapat memprediksi konsentrasi polutan di titik reseptor (titik estimasi/ perkiraan konsentrasi tersebut diterima) yang berlokasi 500 meter dari jalan raya (Benson, 1989). Polutan yang diprediksi merupakan polutan yang secara relatif bersifat inert, seperti Karbon Monoksida (CO), Nitrogen Dioksida (NO 2 ), dan partikel tersuspensi. 2.3.4.1 Deskripsi Model Caline4 membagi jaringan kota yang berisi sejumlah jalan menjadi link-link, dimana setiap link merupakan garis lurus dari suatu jalan yang memiliki karakteristik emisi yang bervariasi. Link tersebut diperlakukan sebagai sumber garis (line source) dalam perhitungan konsentrasi pada reseptor dengan konsentrasi total berupa penjumlahan kontribusi berdasarkan link individual dan konsentrasi ambien akibat gambaran dispersi tertentu yang tidak terakomodasi oleh metode Gaussian sederhana (Colls, 2002). Gambar 2.5 memperlihatkan seri elemen yang didasarkan pada sudut antara jalan dan arah angin. Melissa (15303013) II-19 TINJAUAN PUSTAKA Arah Angin EL W = Lebar link W2 = Setengah lebar link D = Jarak reseptor EL = Panjang elemen ECLD = Jarak tengah elemen PHI = Sudut antara angin jalan Gambar 2.5 Seri Elemen yang Digunakan Caline4 Sumber : Benson, 1989. Tiap elemen dimodelkan sebagai sumber garis terhingga (Finite Line SourceFLS) ekuivalen yang diposisikan normal (tegak lurus) terhadap arah angin dan berpusat di titik tengah elemen. Sistem koordinat x-y dapat disejajarkan dengan arah angin dan berpusat di tengah elemen. Tingkat emisi yang terjadi di setiap elemen bersumber dari sepanjang FLS yang terdispersi secara Gaussian dari elemen-elemen tersebut. Panjang dan orientasi FLS merupakan fungsi dari ukuran elemen dan sudut antara angin – jalan (Benson,1989). Melissa (15303013) II-20 TINJAUAN PUSTAKA Arah angin Plume Gaussian Garis Tengah Plume FET : Jangkauan reseptor YE : Tampilan plume di garis tengah Reseptor Gambar 2.6 Seri Elemen yang Diwakilkan oleh Sumber Garis Terhingga (Finite Line Source) yang Ekivalen Sumber : Benson, 1989. Untuk mendistribusikan emisi ke dalam bentuk yang dapat dirumuskan maka tiap elemen dibagi menjadi 3 (tiga) sub elemen, yakni sub elemen pusat dan 2 (dua) sub elemen tambahan (ZON1, ZON2, dan ZON3). Geometri sub elemen merupakan fungsi dari ukuran elemen dan sudut angin – jalan. Tingkat rata-rata emisi diasumsikan sama pada semua elemen agar dapat dikomputasi. Emisi untuk sub elemen tambahan dimodelkan berkurang secara linier (menuju nol) pada titik akhir FLS (Benson, 1989). Hal ini dijelaskan melalui Gambar 2.7. Melissa (15303013) II-21 TINJAUAN PUSTAKA Arah angin ZON 1 Sumber Garis Terbatas yang Ekuivalen (FLS) ZON 2 ZON 3 ELL = Panjang Garis Ekuivalen CSL = Panjang sub elemen sentral Gambar 2.7 Representasi Elemen Sumber Garis Terbatas (FLS) Sumber : Benson, 1989. Konsentrasi downwind dari elemen dimodelkan menggunakan formulasi Gaussian FLS crosswind. Persamaan 2.8 menghitung konsentrasi reseptor dari segmen FLS yang tidak terbatas, dy (Benson, 1989). dC = ⎡ ⎛ q × dy y2 × ⎢exp⎜ − 2 × π × u × σ y × σ z ⎢ ⎜⎝ 2σ y 2 ⎣ ⎞⎤ ⎧⎪ ⎛ ( z − H )2 ⎞ ⎛ ( z + H )2 ⎞⎫⎪ ⎟⎥ × ⎨exp⎜ − ⎜− ⎟⎬ ⎟ + exp 2 2 ⎜ ⎟⎪ ⎟ ⎟⎥ ⎪ ⎜ 2 σ 2 σ z z ⎝ ⎠⎭ ⎝ ⎠ ⎩ ⎠⎦ ..(2.8) dimana: dC = Konsentrasi yang bertambah q = Laju emisi sumber garis σ y, σ z = Parameter dispersi vertikal dan horizontal u = Kecepatan angin H = Tinggi efektif sumber Karena σ z bernilai konstan terhadap y, maka : Melissa (15303013) II-22 TINJAUAN PUSTAKA ⎡ ( z + H )2 ⎤ ⎡ ( z − H )2 ⎤ A = exp ⎢− exp + ⎥ ⎥ ⎢− 2 2 2 σ 2σ z ⎦ z ⎦ ⎣ ⎣ ...(2.9) Diintegrasikan terhadap jangkauan panjang FLS : C= A× q 2π × u × σ y × σ z ⎛ − y2 exp ∫y1 ⎜⎜ 2σ 2 ⎝ y y2 ⎞ ⎟dy ⎟ ⎠ ...(2.10) Parameter dispersi vertikal dan horizontal (σ y, σ z ) merupakan fungsi x dan bukan y, mensubstitusi p=y/σ y dan dp=dy/σ y : A× q C= 2π × u × σ y × σ z y2 /σ y ⎛ − p2 ∫ exp⎜⎜⎝ 2 y1 / σ y ⎞ ⎟⎟σ y dp ⎠ ..(2.11) A disubstitusi kembali dan σ y dihilangkan dari rumus integral : q C= 2π × u × ×σ z y2 /σ ⎧⎪ ⎡ − ( z − H )2 ⎤ ⎡ − (z + H )2 ⎤ ⎫⎪ y ⎛ − p2 ⎞ ⎜⎜ ⎟⎟dp + exp exp exp ⎥ ⎢ ⎥⎬ ∫ ⎨ ⎢ 2 2 2 2 σ ⎪ ⎪⎩ ⎣ 2σ z ⎝ ⎠ z ⎦ ⎣ ⎦ ⎭ y1 / σ y ..(2.12) Ditulis ulang sebagai : C= q 2π × u × ×σ z ⎧⎪ ⎡ − ( z − H )2 ⎤ ⎡ − (z + H )2 ⎤ ⎫⎪ + exp exp ⎥ ⎢ ⎥ ⎬.PD ⎨ ⎢ 2 2 2 σ ⎪⎩ ⎣ 2σ z z ⎦ ⎣ ⎦ ⎪⎭ ..(2.13) dimana PD = y2 /σ y ⎛ − p2 ⎞ exp ∫ ⎜⎜⎝ 2 ⎟⎟⎠dp 2π y1 / σ y 1 ..(2.14) dp = Fungsi Kerapatan Probabilitas Normal Parameter-parameter FLS dijelaskan pada Gambar 2.8. Melissa (15303013) II-23 TINJAUAN PUSTAKA Gambar 2.8 Sumber Garis Terhingga (Finite Line Source) Sumber : Benson, 1989. 2.3.4.2 Zona Pencampuran (Mixing Zone) Zona pencampuran merupakan suatu daerah yang seragam dan turbulen di atas jalan raya, yang lebih lanjut didefinisikan sebagai lebar jalan yang teramati ditambah 3 meter pada kedua sisinya. Penambahan ini menjelaskan terjadinya dispersi horizontal polutan awal yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor di jalan tersebut. Dalam zona pencampuran, turbulensi mekanis yang terjadi akibat pergerakan kendaraan dan turbulensi termal yang terjadi akibat panas yang dikeluarkan oleh kendaraan diasumsikan dominan di sekitar permukaan jalan (asumsi ini valid untuk semua kelas stabilitas kecuali untuk kondisi atmosfer paling tidak stabil). Jika kendaraan bermotor berada dalam keadaan melaju, maka emisi kendaraan yang dihasilkan akan segera terdispersi secara cepat. Kemudian terjadi dispersi awal dan akan mengalami turbulensi akibat adanya kendaraan lain yang melintas. Kondisi pengeluaran emisi aktif ini secara signifikan sangat berbeda dibandingkan kondisi pengeluaran pasif yang Melissa (15303013) II-24 TINJAUAN PUSTAKA diasumsikan pada metode dispersi Gaussian. Sehingga, untuk mengatasi masalah ini, model Caline4 memperlakukan parameter dispersi vertikal awal (SGZI) sebagai fungsi waktu tinggal dalam mixing zone, yang ditampilkan pada Gambar 2.9 (Benson, 1989). Gambar 2.9 Zona Pencampuran (Mixing Zone) Sumber : Benson, 1989. 2.3.4.3 Parameter Dispersi Vertikal (σ z ) dan Dispersi Horizontal (σ y ) Caline4 menggunakan kurva σ z versi modifikasi Pasquill-Smith untuk menjelaskan parameter dispersi vertikal Gaussian (σ z ) melalui Gambar 2.10, yakni kurva yang dibuat mula-mula menggunakan SGZI dari model zona pencampuran, nilai σ z yang dimodifikasi pada 10 km termasuk efek termal (SGZM), dan nilai terakhir σ z pada 10 km untuk pelepasan pasif di bawah kondisi stabilitas ambien (DREF) (Benson, 1989). Melissa (15303013) II-25 TINJAUAN PUSTAKA Gambar 2.10 Kurva Dispersi Vertikal Gabungan dari Caline4 Sumber : Benson, 1989. Sedangkan untuk parameter dispersi horizontal, σ y , dievaluasi langsung dari nilai standar deviasi arah angin (σ θ ) menggunakan metoda yang dikembangkan oleh Draxler (Benson, 1989), yang dijabarkan pada persamaan 2.15. ⎛T ⎝ tL σ y ≈ σ θ xf1 ⎜⎜ ⎞ ⎟⎟ ⎠ ..(2.15) dimana : σθ = standar deviasi sudut angin horizontal (radian). f1 = fungsi universal untuk waktu difusi, T, dan Langrarian time scale, t L. x = jarak downwind. 2.3.4.4 Standar Deviasi Arah Angin (Sigma Theta) Sebagai udara yang tetap yang juga merupakan kondisi yang dibutuhkan untuk memunculkan lapisan inversi, variabel dari arah angin dapat digunakan sebagai indikator jumlah turbulensi dan juga pencampuran udara. Kondisi yang digunakan adalah sigma theta, dimana sigma adalah perhitungan standar dari variabel dan theta adalah huruf Yunani yang biasa digunakan untuk menggambarkan sudut di dalam matematika sigma theta digunakan baik sebagai jumlah dari sinus dan cosinus dari arah angin atau sebagai rasio dari vektor (terarah) kecepatan angin terhadap skalar (acak) kecepatan angin dari stasiun cuaca itu sendiri (Atmospheric Research and Technology, 2007). Melissa (15303013) II-26 TINJAUAN PUSTAKA Metode σ θ merupakan metode yang didasarkan pada turbulensi yang menggunakan kombinasi standar deviasi arah angin dengan kecepatan angin rata-rata skalar. Hal ini coba dibuktikan oleh Yamartino dengan mengembangkan metode berdasarkan asumsi isotropik dan distribusi simetrik angin serta faktor interpolasi berdasarkan simulasi Monte-Carlo dengan asumsi yang sama. Metode Yamartino merupakan metode yang lebih baik dibandingkan dengan Metode Ackerman-Verral dan Williams. Sedangkan Turner membandingkan tiga metode menggunakan data lapangan yang terbatas dan data simulasi yang lebih banyak. Terakhir adalah Fisher yang mengunakan model angin sederhana atau isotropik dan menyarankan algoritma yang berkemampuan dengan sistem komputasi lebih yang luas (NUMUG Conference, 2007). Nilai sigma theta yang dihubungkan dengan data kecepatan rata-rata vektor dan skalar ditampilkan pada Gambar 2.11, yakni beberapa data lapangan dari kecepatan angin dari menara metereologikal dengan ketinggian 10 meter dan dilengkapi dengan sebuah anemometer dan baling-baling. Kedua kecepatan rata-rata (vektor dan skalar) juga dicatat. Kecepatan rata-rata vektor dan skalar diperoleh dari anemometer dan balingbaling yang sama, dengan menggunakan teknik perbedaan rata-rata vektor dan skalar. Data ini merupakan rata-rata selama 15 menit (Atmospheric Research and Technology, 2007). Gambar 2.11 Grafik hubungan antara kecepatan rata-rata vektor dan skalar dengan sigma theta. Sumber : Atmospheric Research and Technology, 2007 Melissa (15303013) II-27 TINJAUAN PUSTAKA Alur dari figur grafik menunjukkan adanya hubungan dengan perhitungan sigma theta. Seperti yang dapat dilihat dari figur, terdapat sedikit sekali perbedaan antara vektor dan skalar kecepatan rata-rata diatas 5 m/dt, meskipun kecepatan rata-rata dari vektor sedikit lebih rendah. Nilai sigma theta selama periode ini dengan kecepatan yang lebih tinggi biasanya dibawah 10 derajat. Di kecepatan yang lebih rendah, perbedaan yang lebih besar antara kecepatan vektor dan skalar terjadi dan nilai hubungan sigma theta juga semakin besar (Atmospheric Research and Technology, 2007). Melissa (15303013) II-28