BAB II LANDASAN TEORI

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Landasan Teori
1. Teori Keagenan (Agency Theory)
Dalam teori keagenan, (Jensen dan Meckling, 1976) mendefinisikan hubungan
keagenan sebagai sebuah kontrak dimana satu atau lebih (principal) menyewa orang
lain (agent) untuk melakukan beberapa jasa untuk kepentingan mereka dengan
mendelegasikan beberapa wewenang pembuatan keputusan kepada agen. Konflik
kepentingan akan muncul dan pendelegasian tugas yang diberikan kepada agen
dimana agen tidak dalam kepentingan untuk memaksimumkan kesejahteraan
principal, tetapi mempunyai kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri dengan
mengorbankan kepentingan pemilik.
Permasalahan yang berkaitan dengan kualitas laporan keuangan sering
disebabkan oleh adanya benturan kepentingan antara kepentingan manajemen dengan
kepentingan stakeholder. Manajemen tidak selalu bertindak untuk kepentingan
stakeholder, namun seringkali manajemen bertindak untuk memaksimumkan
kesejahteraan mereka dan mengamankan posisi mereka tanpa memandang bahaya
yang ditimbulkan terhadap stakeholder lain, misalnya karyawan, investor, kreditor
dan masyarakat.
8
9
Dipandang dari sudut pandang teori keagenan diatas, hubungan antara
masyarakat dengan pemerintah adalah seperti hubungan antara prinsipal dan agen.
Masyarakat adalah prinsipal dan pemerintah adalah agen. Prinsipal memberikan
wewenang pengaturan kepada agen, dan memberikan sumber daya kepada agen
(dalam bentuk pajak dan lain-lain).
Sebagai wujud pertanggungjawaban atas wewenang yang diberikan, agen
memberikan
laporan
pertanggungjawaban terhadap
prinsipal.
Karena
tidak
mengetahui apa yang sebenarnya dilakukan oleh agen (terjadi asimetri informasi)
maka prinsipal membutuhkan pihak ketiga yang mampu meyakinkan prinsipal bahwa
apa yang dilaporkan oleh agen adalah benar. Dalam posisi sebagai pihak ketiga inilah
sebenarnya peran akuntan sektor publik diharapkan berperan besar. Mengingat bahwa
sebagian (atau bahkan sebagian besar) laporan yang diberikan pemerintah adalah
berbentuk informasi keuangan. Menurut (Jones, 1990), akuntan (dalam hal ini sebagai
auditor) mempunyai posisi penting dengan alasan bahwa:
1.
Dia mempunyai akses terhadap informasi keuangan,
2.
Dia mempunyai akses terhadap informasi manajemen
3.
Dia independen,
4.
Dia telah mendapat pelatihan profesional, dan
5.
Dia bisa didapatkan (ada).
10
Menurut Jensen dan Meckling (1976), adanya masalah keagenan memunculkan
biaya agensi yang terdiri dari:
1. The monitoring expenditure by the principle (monitoring cost), yaitu biaya
pengawasan yang dikeluarkan oleh principal untuk mengawasi perilaku dari agent
dalam mengelola perusahaan.
2. The bounding expenditure by the agent (bounding cost), yaitu biaya yang
dikeluarkan oleh agent untuk menjamin bahwa agent tidak bertindak yang
merugikan principal.
3. The Residual Loss, yaitu penurunan tingkat utilitas principal maupun agent karena
adanya hubungan agensi.
B. Corporate Governance
1. Pengertian Good Corporate Governance
Istilah Corporate Governance (CG) pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury
Committee tahun 1992 dalam laporannya yang dikenal sebagai Cadbury Report
(Tjager dkk., 2003). Terdapat banyak definisi tentang CG yang pendefinisiannya
dipengaruhi oleh teori yang melandasinya. Perusahaan atau korporasi dapat
dipandang dari dua teori, yaitu teori pemegang saham (shareholding theory) dan teori
stakeholder (stakeholder theory).
11
Shareholding theory mangatakan bahwa perusahaan didirikan dan dijalankan
untuk tujuan memaksimumkan kesejahteraan pemilik atau pemegang saham sebagai
akibat dari investasi yang dilakukannya. Shareholding theory ini sering disebut
sebagai teori korporasi klasik yang sudah diperkenalkan oleh Adam Smith pada tahun
1776. Definisi CG yang berdasar pada shareholding theory diberikan oleh Monks dan
Minow (1995) yaitu hubungan berbagai partisipan (pemilik atau investor dan
manajemen) dalam menentukan arah dan kinerja korporasi. Definisi lain diajukan
oleh Shleifer dan Vishny (1997) yang menyebutkan bahwa CG sebagai cara atau
mekanisme untuk meyakinkan para pemilik modal dalam memperoleh hasil (return)
yang sesuai dengan investasi yang ditanamkan.
Stakeholding theory, diperkenalkan oleh Freeman (1984), menyatakan bahwa
perusahaan adalah organ yang berhubungan dengan pihak lain yang berkepentingan,
baik yang ada di dalam maupun di luar perusahaan. Definisi stakeholder ini termasuk
karyawan, pelanggan, kreditur, suplier, dan masyarakat sekitar dimana perusahaan
tersebut beroperasi.
Beberapa institusi Indonesia mengajukan definisi CG, antara lain oleh FCGI
(Forum for Corporate Governance in Indonesia) tahun 2000 yang mendefinisikan
CG sama seperti Cadbury Committee, sedangkan The Indonesian Institute for
Corporate Governance atau IICG (2000) mendefinisikan CG sebagai proses dan
struktur yang diterapkan dalam menjalankan perusahaan, dengan tujuan utama
12
meningkatkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang, dengan tetap
memperhatikan kepentingan stakeholder yang lain.
Pengertian lain CG menurut Surat Keputusan Menteri Negara atau Kepala
Badan Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN No. 23/M PM/BUMN/2000 tentang
Pengembangan Praktik GCG dalam Perusahaan Perseroan (PERSERO), Good
Corporate Governance adalah prinsip korporasi yang sehat yang perlu diterapkan
dalam pengelolaan perusahaan yang dilaksanakan semata-mata demi menjaga
kepentingan perusahaan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan perusahaan.
2. Prinsip Good Corporate Governance
Secara umum, terdapat lima prinsip dasar Good Corporate Governance dalam
Frysa Praditha Purwaningtyas 2011, yaitu:
1. Akuntabilitas (accountability)
Prinsip ini memuat kewenangan yang harus dimiliki oleh dewan komisaris dan
dewan direksi, beserta kewajibannya kepada pemegang saham dan stakeholders
lainnya. Dewan direksi, bertanggung jawab atas keberhasilan pengelolaan
perusahaan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh pemegang
saham. Dewan komisaris, bertanggung jawab atas keberhasilan pengawasan dan
wajib memberikan nasehat kepada direksi atas pengelolaan perusahaan, sehingga
tujuan perusahaan dapat tercapai.
13
2. Pertanggungjawaban (responsibility)
Prinsip ini menuntut perusahaan maupun pimpinan dan manajer perusahaan
melakukan kegiatannya secara bertanggung jawab.
3. Keterbukaan (transparancy)
Prinsip ini, informasi harus diungkapkan secara tepat waktu dan akurat. Informasi
yang diharapkan antara lain keadaan keuangan, kinerja keuangan, kepemilikan dan
pengelolaan perusahaan. Keterbukaan dilakukan agar pemegang saham dan orang
lain mengetahui keadaan perusahaan, sehingga nilai pemegang saham dapat
ditingkatkan.
4. Kewajaran (fairness)
Seluruh pemangku kepentingan harus memiliki kesempatan untuk mendapatkan
perlakuan yang adil dari perusahaan. Setiap anggota direksi harus melakukan
keterbukaan jika menemukan transaksi-transaksi yang mengandung benturan
kepentingan.
5. Kemandirian (independency)
Prinsip ini menuntut para pengelola perusahaan agar dapat bertindak secara
mandiri, sesuai peran dan fungsi yang dimilikinya tanpa ada tekanan-tekanan dari
pihak manapun yang tidak sesuai dengan sistem operasional perusahaan yang
berlaku.
14
3. Manfaat Good Corporate Governance
Priambodo dan Suprayitno, 2007 (dalam Frysa Praditha Purwaningtyas 2011)
menjelaskan manfaat-manfaat dari penerapan Good Corporate Governance dalam
suatu perusahaan yaitu:
1. Mengurangi agency cost, biaya yang timbul karena penyalahgunaan wewenang
(wrong doing), ataupun berupa biaya pengawasan yang timbul untuk mencegah
terjadinya suatu masalah (Daniri, 2005).
2. Meningkatkan nilai saham perusahaan, sehingga dapat meningkatkan citra
perusahaan dimata publik dalam jangka waktu yang lama (Daniri, 2005).
3. Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham (Sutojo dan Aldridge,
2005).
4. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja dewan pengurus atau manajemen
puncak dan manajemen perusahaan, sekaligus meningkatkan mutu hubungan
manajemen puncak dengan manajemen senior perusahaan (Sutojo dan
Aldridge, 2005).
Namun manfaat yang optimal dari Good Corporate Governance ini tidak
sama dari suatu perusahaan dengan perusahaan yang lain. Hal ini dikarenakan adanya
perbedaan faktor-faktor intern perusahaan, termasuk riwayat hidup perusahaan, jenis
usaha, jenis risiko, struktur permodalan dan manajemennya.
C. Indikator Mekanisme Corporate Governance
Mekanisme Corporate Governance merupakan suatu aturan main, prosedur
dan hubungan yang jelas antara pihak yang mengambil keputusan dengan pihak yang
15
melakukan kontrol atau pengawasan terhadap keputusan tersebut. Mekanisme
governance diarahkan untuk menjamin dan mengawasi berjalannya sistem
governance dalam sebuah organisasi (Walsh dan Seward, 1990).
Walsh dan Seward (1990) menyatakan bahwa terdapat 2 mekanisme untuk
membantu menyamakan perbedaan kepentingan antara pemegang saham dan manajer
dalam rangka penerapan GCG, yaitu mekanisme pengendalian internal perusahaan
dan mekanisme pengendalian eksternal berdasarkan pasar.
Mekanisme pengendalian internal adalah pengendalian perusahaan yang
dilakukan dengan membuat seperangkat aturan yang mengatur tentang mekanisme
bagi hasil, baik yang berupa keuntungan, return maupun risiko-risiko yang disetujui
oleh prinsipal dan agen. Salah satu pilihan mekanisme pengendalian internal untuk
menyamakan kepentingan pemegang saham dan manajer adalah kontrak insentif
jangka panjang (Walsh dan Seward, 1990; Jensen, 1993). Kontrak jangka panjang ini
dilakukan dengan memberikan insentif pada menajer apabila nilai perusahaan atau
kemakmuran pemegang saham meningkat, salah satunya dengan cara memberi
kepemilikan saham kepada manajer (Jensen dan Meckling, 1976 dan Fama, 1980).
Dengan demikian, manajer akan termotivasi untuk meningkatkan kinerja keuangan
perusahaan atau meningkatkan kemakmuran pemegang saham karena hal tersebut
juga akan meningkatkan kekayaan manajer sendiri.
Mekanisme pengendalian eksternal adalah pengendalian perusahaan yang
dilakukan oleh pasar. Menurut teori pasar untuk pengendalian perusahaan (market for
corporate
control),
pada
saat
diketahui
bahwa
manajemen
berperilaku
16
menguntungkan diri sendiri, kinerja perusahaan akan menurun yang direfleksikan
oleh nilai saham perusahaan. Pada kondisi tersebut, kelompok menajer lain akan
menggantikan manajer yang sedang memegang jabatan. Dengan demikian bekerjanya
market for corporate control bisa menghambat tindakan menguntungkan diri manajer
sendiri (Jensen dan Meckling, 1976).
Mekanisme pengendalian lain yang secara luas digunakan dan diharapkan
dapat menyelaraskan tujuan prinsipal dan agen adalah mekanisme melalui pelaporan
keuangan. Melalui laporan keuangan yang merupakan tanggung jawab manajer,
pemilik dapat mengukur, menilai, sekaligus dapat mengawasi kinerja manajer untuk
mengetahui sejauh mana menajer telah bertindak untuk meningkatkan kesejahteraan
pemilik. Selain itu pemilik dapat memberikan kompensasi kepada manajer
berdasarkan laporan keuangan. Laporan keuangan yang dibuat dengan berdasarkan
angka-angka akuntansi diharapkan berperan besar dalam meminimalkan konflik
antara berbagai pihak yang berkepentingan dalam perusahaan (Jensen dan Meckling,
1976; Watts dan Zimerman, 1986).
Dalam hubungannya dengan jenis informasi yang disajikan dalam laporan
keuangan perusahaan, terdapat dua jenis sifat informasi yang diungkapkan. Penmann
(1988) membagi sifat informasi yang diungkapkan menjadi mandatory disclosure dan
voluntary disclosure. Informasi yang bersifat mandatory disclosure merupakan
informasi yang harus diungkapkan dalam laporan keuangan karena memang
diwajibkan oleh peraturan atau undang-undang. Sedangkan voluntary disclosure
merupakan jenis informasi yang secara sukarela diungkapkan di dalam laporan
17
keuangan yang bertujuan untuk menambah kegunaan informasi mengenai kekayaan
dan hasil operasi suatu perusahaan kepada para pemakai laporan keuangannya.
Informasi yang bersifat voluntary disclosure ini berperan untuk melengkapi informasi
yang bersifat mandatory disclosure yang diharapkan dapat meningkatkan kegunaan
informasi dalam laporan keuangan.
Dari hasil penelitian terdahulu diperoleh hasil bahwa praktik disclosure
ternyata sangat beragam antar negara. Chow dan Wong-Boren (1987) serta Meek dan
Robert (1995) menyatakan bahwa di Meksiko informasi mengenai laba unit bisnis
(profit by lines of business) adalah wajib diungkapkan (mandatory), tetapi di Swedia
dan Perancis, informasi ini bersifat voluntary. Perbedaan ini disebabkan peraturan
tentang disclosure yang berbeda antara negara yang satu dengan negara lainnya.
Selain hal tersebut, keragaman informasi yang disajikan juga disebabkan oleh
perbedaan karakteristik pasar, khususnya pasar modal antara negara maju dan negara
yang masih berkembang. Penelitian Saudagaran dan Diga (1997) tentang karakteristik
dan isu-isu kebijakan pelaporan keuangan antar berbagai pasar modal di negara maju
dan berkembang menemukan hasil bahwa perbedaan tersebut didasari atas tiga
kriteria yaitu availability of information (ketersediaan informasi), reliability
(keandalan), dan comparibility (daya banding).
Dalam hubungannya dengan faktor yang mempengaruhi disclosure dalam
laporan keuangan, berbagai penelitian telah dilakukan, diantaranya oleh Firth (1989),
Cooke (1992), dan Arifin (2001). Firth (1989) meneliti praktik voluntary disclosure
perusahaan publik di Inggris. Dia menyatakan bahwa perusahaan yang tergolong
18
perusahaan berskala kecil di Inggris memiliki kecenderungan untuk lebih
meningkatkan voluntary disclosure dalam laporan keuangannya dengan tujuan agar
dapat memperoleh sumber dana di pasar modal. Cooke (1992) meneliti laporan
tahunan perusahaan publik di Jepang. Perusahaan yang berskala besar secara
signifikan mengungkapkan lebih banyak informasi daripada perusahaan yang
berskala kecil. Di Indonesia, Arifin (2001) menemukan bahwa perusahaan yang
berbasis asing (multinational firms) ternyata memiliki level of voluntary disclosure
yang lebih tinggi daripada perusahaan domestik. Selain itu, Arifin (2001) juga
menemukan bahwa dari 60 item informasi yang bersifat voluntary disclosure dari
persepsi pemakai (users), 24 item memiliki derajat kepentingan yang tinggi,
sedangkan dari persepsi penyaji atau manajemen (preparers) hanya sejumlah 12 item.
Dari uraian di atas, baik mekanisme internal maupun eksternal keduanya
mempunyai tujuan untuk menyelaraskan hubungan antara prinsial dan agen dengan
meminimalkan konflik yang terjadi yang disebabkan oleh Asymmetry Information.
1. Keberadaan Komite Audit
Menurut Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance mengenai
Komite Audit adalah sebagai berikut :
Suatu komite yang beranggotakan satu atau lebih anggota Dewan Komisaris dan
dapat meminta kalangan luar dengan berbagai keahlian, pengalaman, dan kualitas lain
yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan Komite Audit.
19
Menurut Hiro Tugiman (1995, 8), pengertian Komite Audit adalah sebagai
berikut :
Komite Audit adalah sekelompok orang yang dipilih oleh kelompok yang lebih besar
untuk mengerjakan pekerjaan tertentu atau untuk melakukan tugas-tugas khusus atau
sejumlah anggota Dewan Komisaris perusahaan klien yang bertanggungjawab untuk
membantu auditor dalam mempertahankan independensinya dari manajemen.
Dalam Keputusan Menteri BUMN Nomor: Kep-103/MBU/2002, pengertian
Komite Audit tidak diterangkan secara gamblang, tetapi pada intinya menyatakan
bahwa Komite Audit adalah suatu badan yang berada dibawah Komisaris yang
sekurang-kurangnya minimal satu orang anggota Komisaris, dan dua orang ahli yang
bukan merupakan pegawai BUMN yang bersangkutan yang bersifat mandiri baik
dalam pelaksanaan tugasnya maupun pelaporannya dan bertanggungjawab langsung
kepada Komisaris atau Dewan Pengawas. Hal tersebut senada dengan Keputusan
Ketua Bapepam Nomor: Kep-41/PM/2003 yang menyatakan bahwa Komite Audit
adalah komite yang dibentuk oleh Dewan Komisaris dalam rangka membantu
melaksanakan tugas dan fungsinya.
a. Sifat dan Pembentukkan Komite Audit
Komite Audit dibentuk oleh Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas,
yang bekerja secara kolektif dan berfungsi membantu Komisaris dalam
melaksanakan tugasnya. Komite Audit bersifat mandiri baik dalam pelaksanaan
20
tugasnya maupun dalam pelaporan, dan bertanggungjawab langsung kepada
Komisaris. Lebih jelas Undang-Undang Republik Indonesia No.19 Tahun 2003
tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Keputusan Ketua Bapepam
Nomor: Kep-41/PM/2003 menyatakan:
1. BUMN maupun Emiten atau Perusahaan Publik wajib membentuk Komite
Audit yang bekerja secara kolektif dan berfungsi membantu Komisaris dan
Dewan Pengawas.
2. Komite Audit dipimpin oleh seorang ketua yang bertanggungjawab kepada
Komisaris dan Dewan Pengawas.
3. Komite Audit terdiri dari sekurang-kurangnya satu orang Komisaris
Independen dan sekurang-kurangnya dua orang lainnya berasal dari luar
perusahaan.
Komite Audit dituntut untuk dapat bertindak secara independen,
independensi Komite Audit tidak dapat dipisahkan moralitas yang melandasi
integeritasnya. Hal ini perlu disadari karena Komite Audit merupakan pihak yang
menjembatani antara eksternal auditor dan perusahaan yang juga sekaligus
menjembatani antara fungsi pengawasan Dewan Komisaris dengan Internal
Auditor.
21
b. Tujuan dan Manfaat Pembentukan Komite Audit
Tujuan Komite Audit sebenarnya sudah ada dalam definisi Komite Audit
itu sendiri. Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) mengemukakan
bahwa Komite Audit mempunyai tujuan membantu Dewan Komisaris untuk
memenuhi tanggungjawab dalam memberikan pengawasan secara menyeluruh.
Menurut Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: Kep117/M-MBU/2002 menjelaskan bahwa tujuan Komite Audit adalah membantu
Dewan Komisaris atau dewan Pengawas dalam memastikan efektivitas sistem
pengendalian intern dan efektivitas pelaksanaan tugas auditor eksternal dan
internal.
Sedangkan manfaat Komite Audit dikemukakan oleh Hiro Tugiman (1995,
11), adalah:
1.
Dewan Komisaris dan Direksi akan banyak terbantu dalam pengelolaan
perusahaan.
2.
Bagi external auditor adalah keberadaan Komite Audit sangat diperlukan
sebagai forum atau media komunikasi dengan perusahaan, sehingga
diharapkan semua aktivitas dan kegiatan eksternal auditor dalam hal ini
akan mengadakan pemeriksaan, disamping secara langsung kepada objek
22
pemeriksaan juga dibantu dengan mengadakan konsultasi dengan Komite
Audit.
Dari penjelasan tersebut, maka dapat diketahui adanya suatu indikasi
bahwa Komite Audit dibentuk karena belum memadainya peran pengawasan dan
akuntabilitas Dewan Komisaris perusahaan. Pemilihan anggota Dewan Komisaris
yang berdasarkan kedudukan dan kekerabatan menyebabkan mekanisme check
and balance terhadap direksi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Fungsi audit
internal belum berjalan optimal mengingat secara struktural, auditor tersebut
berada pada posisi yang sulit untuk bersikap independen dan objektif. Oleh karena
itu, muncul tuntutan adanya auditor independen, maka Komite audit timbul untuk
memenuhi tuntutan tersebut.
c.
Wewenang, Tugas dan Tanggungjawab Komite Audit
Komite Audit mempunyai wewenang untuk menjalankan tugas-tugasnya
seperti yang diutarakan oleh Barol (2004) dalam Siswanto Sutojo dan E. John
Aldridge (2005, 237), yaitu sebagai berikut :
Mengaudit kegiatan manajemen perusahaan dan auditor (intern and ekstern).
Mereka yang berwenang meminta informasi tambahan dan memperoleh
penjelasan dari manajemen dan karyawan yang bersangkutan. Komite Audit
23
juga mengevaluasi seberapa jauh peraturan telah mematuhi standar akunting
dan prinsip akuntansi yang diterima di Australia.
Menurut Hasnati (2003) dalam Indra Surya dan Ivan Yustiavandana (2006,
149), Komite Audit memiliki wewenang, yaitu:
1. Menyelidiki semua aktivitas dalam batas ruang lingkup tugasnya.
2. Mencari Informasi yang relevan dari setiap karyawan.
3. Mengusahakan saran hukum dan profesional lainnya yang independen
apabila dipandang perlu.
Kewenangan Komite Audit dibatasi oleh fungsi mereka sebagai alat bantu
Dewan Komisaris sehingga tidak memiliki otoritas eksekusi apapun (hanya
sebatas rekomendasi kepada Dewan Komisaris) kecuali untuk hal spesifik yang
telah memperoleh hak kuasa eksplisit dari Dewan Komisaris misalnya
mengevaluasi dan menentukan komposisi auditor eksternal dan memimpin satu
investigasi khusus. Selain itu Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep41/PM/2003 menyatakan bahwa Komite Audit memiliki wewenang mengakses
secara penuh, bebas dan tak terbatas terhadap catatan, karyawan, dana, aset, serta
sumber daya perusahaan dalam rangka tugasnya serta berwenang untuk
bekerjasama dengan auditor internal.
24
Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) (dalam
Indra Surya dan Ivan Yustiavandana (2006, 148)) Komite Audit pada umumnya
mempunyai tanggung jawab pada tiga bidang, yaitu:
1. Laporan Keuangan (Financial Reporting) Komite Audit bertanggung jawab
untuk memastikan bahwa laporan yang dibuat manajemen telah memberikan
gambaran yang sebenarnya tentang kondisi keuangan, hasil usaha, rencana dan
komitmen perusahaan jangka panjang.
2. Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance) Komite Audit bertanggung
jawab untuk memastikan bahwa perusahaan telah dijalankan sesuai undangundang dan peraturan yang berlaku dan etika, melaksanakan pengawasan secara
efektif terhadap benturan kepentingan dan kecurangan yang dilakukan oleh
karyawan perusahaan.
3. Pengawasan Perusahaan (Corporate Control) Komite Audit bertanggung jawab
untuk pengawasan perusahaan termasuk didalamnya hal-hal yang berpotensi
mengandung risiko dan sistem pengendalian intern serta memonitor proses
pengawasan yang dilakukan oleh auditor internal.
Menurut Keputusan Menteri BUMN Nomor: Kep-103/MBU/2002, dalam
membantu Komisaris atau Dewan Pengawas, Komite Audit bertugas:
25
1. Menilai pelaksanaan kegiatan serta hasil audit yang dilakukan oleh Satuan
Pengawasan Intern maupun Auditor Ekstern sehingga dapat dicegah
pelaksanaan dan pelaporan yang tidak memenuhi standar.
2. Memberikan rekomendasi mengenai penyempurnaan sistem pengendalian
manajemen perusahaan serta pelaksanaannya.
3. Memastikan bahwa telah terdapat prosedur review yang memuaskan
terhadap informasi yang dikeluarkan BUMN, termasuk brosur, laporan
keuangan berkala, proyeksi atau forecast dan lain-lain informasi keuangan
yang disampaikan kepada pemegang saham.
4. Mengidentifikasi hal-hal yang memerlukan perhatian Komisaris atau Dewan
Pengawas.
5. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Komisaris atau Dewan
Pengawas sepanjang masih dalam lingkup tugas dan kewajiban Komisaris
atau Dewan Pengawas berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Komite Audit bertugas untuk memberikan pendapat kepada Dewan
Komisaris terhadap laporan atau hal-hal yang disampaikan oleh direksi kepada
Dewan Komisaris, mengidentifikasi hal-hal yang memerlukan perhatian
Komisaris, dan melaksanakan tugas-tugas lain yang berkaitan dengan tugas Dewan
Komisaris.
26
d. Keanggotaan Komite Audit
Komite Audit biasanya terdiri dari dua hingga tiga orang anggota.
Dipimpin oleh seorang Komisaris Independen. Seperti komite pada umumnya,
Komite audit yang beranggotakan sedikit cenderung dapat bertindak lebih efisien.
Akan tetapi, Komite Audit beranggota terlalu sedikit juga menyimpan kelemahan
yakni minimnya ragam pengalaman anggota. Sebisa mungkin anggota Komite
Audit memiliki pemahaman memadai tentang pembuatan laporan keuangan dan
prinsip-prinsip pengawasan internal.
Agar mampu bekerja efektif, Komite Audit dibantu staf perusahaan dan
auditor eksternal. Komite juga harus memiliki akses langsung kepada stand dan
penasehat
perusahaan
seperti
keuangan
dan
penasehat
hukum.
Komite Audit diatur melalui Surat Edaran Bapepam Nomor: SE/03 PM/2002 (bagi
perusahaan publik) dan keputusan Menteri BUMN Nomor: Kep-103/MBU/2002
(Bagi BUMN) Komite Audit sedikitnya terdiri dari tiga orang, diketuai oleh
seorang Komisaris Independen perusahaan dengan dua orang eksternal yang
independen serta menguasai dan memiliki latar belakang akuntansi dan keuangan.
Menurut Sarbanes-Oxley act jumlah anggota Komite Audit perusahaan
dalam Siswanto Sutojo dan E. John Aldridge (2005, 132) mengharuskan bahwa:
27
Komite Audit harus beranggotakan lima orang, diangkat untuk masa jabatan
lima tahun. Mereka harus memiliki pengetahuan dasar tentang manajemen
keuangan. Dua diantara lima orang anggota tersebut pernah menjadi akuntan
publik. Tiga orang anggota yang lain bukan akuntan publik. Ketua Komite
Audit dipegang oleh salah seorang anggota Komite Akuntan Publik, dengan
syarat selama lima tahun terakhir mereka tidak berprofesi sebagai akuntan
publik. Ketua dan anggota Komite Audit tidak diperkenankan menerima
penghasilan dari perusahaan akuntan publik kecuali uang pensiun.
Menurut Hiro Tugiman (1999, 11) mengatakan bahwa :
Anggota Komite Audit adalah profesional yang bukan pegawai perusahaan,
satu diantaranya dipersyaratkan mempunyai latar belakang pendidikan dan
berpengalaman dalam bidang akuntansi dan auditing anggota lainnya dapat
berlatar belakang pendidikan dan pengalaman dalam bidang hukum atau
yang berkaitan dengan operasional atau kultur organisasi.
Menurut Subur (2003) dalam I Putu Sugiartha Sanjaya, syarat-syarat yang
harus dipenuhi untuk menjadi anggota Komite Audit adalah sebagai berikut:
1. Anggota Komite Audit harus memiliki keseimbangan keterampilan dan
pengalaman dengan latar belakang usaha yang luas.
2. Anggota Komite Audit harus independen, objektif dan profesional.
28
3. Anggota Komite Audit harus memiliki integritas, dedikasi, pemahaman yang
baik mengenai organisasi, lingkungan bisnis serta risiko dan kontrol.
4. Paling sedikit anggota komite audit harus memiliki pengertian yang baik
tentang analisa dan penyusunan laporan keuangan.
5. Ketua Komite Audit harus memiliki kemampuan untuk memimpin dan
terampil berkomunikasi dengan baik.
Selain hal tersebut, menurut Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep41/PM/2003 menambahkan bahwa anggota Komite Audit tidak merangkap jabatan
yang sama pada perusahaan lain pada periode yang sama.
2. Ukuran Dewan Komisaris Independen
Dewan Komisaris secara luas dipercaya memainkan peranan penting dalam
corporate governance, khususnya dalam memonitor manajemen tingkat atas
(Gunarsih dan Hartadi, 2002). Dewan komisaris bertugas mengawasi kebijaksanaan
direksi dalam menjalankan perusahaan dan memberikan nasehatnya. Komisaris
bersifat independen, mereka tidak terlibat dalam pengelolaan perusahaan dan
diharapkan mampu melaksanakan tugasnya secara objektif, semata-mata untuk
kepentingan perusahaan, terlepas dari pengaruh berbagai pihak yang memiliki
kepentingan yang dapat berbenturan dengan kepentingan pihak lainnya.
Menurut Egon Zehnder (2000) dalam FCGI (2003), Dewan Komisaris
merupakan inti dari corporate governance, yang ditugaskan untuk menjamin
29
pelaksanaan
strategi perusahaan,
mengawasi
manajemen dalam
mengelola
perusahaan, serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Lebih lanjut tugas-tugas
utama dewan komisaris meliputi :
1. Menilai dan mengarahkan strategi perusahaan, garis-garis besar rencana kerja,
kebijakan pengendalian risiko, anggaran tahunan dan rencana usaha,
menetapkan sasaran kerja, mengawasi pelaksanaan dan kinerja perusahaan,
serta memonitor penggunaan modal perusahaan, investasi dan penjualan aset.
2. Menilai sistem penetapan penggajian pejabat pada posisi kunci dan penggajian
anggota dewan direksi, serta menjamin suatu proses pencalonan anggota dewan
direksi yang transparan dan adil.
3. Memonitor dan mengatasi masalah benturan kepentingan pada tingkat
manajemen, anggota dewan direksi dan anggota dewan komisaris, termasuk
penyalahgunaan aset perusahaan dan manipulasi transaksi perusahaan.
4. Memonitor pelaksanaan governance, dan mengadakan perubahan dimana perlu.
5. Memantau proses keterbukaan dan efektifitas komunikasi dalam perusahaan.
Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak memiliki
hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan atau hubungan keluarga
dengan anggota dewan komisaris lainnya, direksi dan atau pemegang saham
pengendali atau hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk
bertindak independen. Komisaris independen memiliki peranan penting dalam
memonitor perusahaan (FCGI, 2003). Keberadaan komisaris independen diharapkan
mampu mendorong dan menciptakan iklim yang lebih objektif, dan menempatkan
30
kesetaraan (fairness) sebagai prinsip utama dalam memperhatikan kepentingan
pemegang saham minoritas dan stakeholders lainnya. Peran komisaris independen
diharapkan mampu mendorong diterapkannya prinsip dan praktek corporate
governance pada perusahaan-perusahaan publik di Indonesia, termasuk BUMN
(FCGI, 2003).
Komisaris independen memikul tanggung jawab untuk mendorong secara
proaktif agar komisaris dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengawas dan
penasehat direksi dapat memastikan perusahaan memiliki strategi bisnis yang efektif
(termasuk di dalamnya memantau jadwal, anggaran dan efektifitas strategi tersebut),
memastikan perusahaan memiliki eksekutif dan manajer yang profesional,
memastikan perusahaan memiliki informasi, sistem pengendalian, dan sistem audit
yang bekerja dengan baik, memastikan perusahaan mematuhi hukum dan
perundangan yang berlaku maupun nilai-nilai yang ditetapkan perusahaan dalam
menjalankan operasinya, memastikan resiko dan potensi krisis selalu diidentifikasi
dan dikelola dengan baik serta memastikan prinsip-prinsip dan praktek Good
Corporate Governance dipatuhi dan diterapkan dengan baik (FCGI, 2003).
Kriteria Dewan Komisaris Independen (FCGI, 2003) adalah sebagai berikut :
1. Komisaris independen bukan merupakan anggota manajemen.
2. Komisaris independen bukan merupakan pemegang saham mayoritas, atau
seorang pejabat dari atau dengan cara lain yang berhubungan secara langsung
atau tidak langsung dengan pemegang saham mayoritas dari perusahaan.
31
3. Komisaris independen dalam kurun waktu tiga tahun terakhir tidak
dipekerjakan dalam kapasitasnya sebagai eksekutif oleh perusahaan atau
perusahaan lainnya dalam satu kelompok usaha dan tidak pula dipekerjakan
dalam kapasitasnya sebagai komisaris setelah tidak lagi menempati posisi
seperti itu.
4. Komisaris independen bukan merupakan penasehat profesional perusahaan atau
perusahaan lainnya yang satu kelompok dengan perusahaan tersebut.
5. Komisaris independen bukan merupakan seorang pemasok atau pelanggan yang
signifikan dan berpengaruh dari perusahaan atau perusahaan lainnya yang satu
kelompok, atau dengan cara lain berhubungan secara langsung atau tidak
langsung dengan pemasok atau pelanggan tersebut.
6. Komisaris independen tidak memiliki kontraktual dengan perusahaan atau
perusahaan lainnya yang satu kelompok selain sebagai komisaris perusahaan
tersebut.
7. Komisaris independen harus bebas dari kepentingan dan urusan bisnis apapun
atau hubungan lainnya yang dapat, atau secara wajar dapat dianggap sebagai
campur tangan secara material dengan kemampuannya sebagai seorang
komisaris untuk bertindak demi kepentingan yang menguntungkan perusahaan.
Sebagai seorang profesional, Komisaris Independen pun harus memiliki
kompetensi pribadi, yaitu: memiliki integritas dan kejujuran yang tidak pernah
diragukan, memahami seluk beluk pengelolaan bisnis dan keuangan perusahaan,
memahami dan mampu membaca laporan keuangan perusahaan dan implikasinya
32
terhadap strategi bisnis, memahami seluk beluk industri yang digeluti perusahaan,
memiliki kepekaan terhadap perkembangan lingkungan yang dapat mempengaruhi
bisnis perusahaan, memiliki wawasan luas dan kemampuan berpikir strategis,
memiliki karakter sebagai pemimpin yang profesional, memiliki kemampuan
berkomunikasi serta kemampuan untuk mempengaruhi dan bekerja sama dengan
orang lain, memiliki komitmen dan konsisten dalam melakukan profesinya sebagai
komisaris independen, serta memiliki kemampuan untuk berpikir objektif dan
independen secara professional (FCGI, 2003).
a. Komisaris Independen menurut Peraturan Bursa Efek Jakarta
Keberadaan Komisaris Independen di Indonesia telah diatur dalam Surat
keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta (BEJ) Nomor: Kep 315/ BEJ/06-2000
perihal Peraturan No I-A, tentang Pencatatan Saham dan Efek bersifat Ekuitas
selain Saham yang diterbitkan oleh Perusahaan Tercatat pada butir mengenai
Ketentuan tentang Komisaris Independen. Dalam peraturan tersebut dinyatakan
bahwa dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan perusahaan yang baik (good
corporate governance), perusahaan yang tercatat di BEJ wajib memiliki komisaris
independen yang jumlah proporsionalnya sebanding dengan jumlah saham yang
dimiliki oleh bukan pemegang saham pengendali dengan ketentuan jumlah
komisaris independen sekurang-kurangnya 30% dari jumlah seluruh anggota
komisaris.
Beberapa kriteria lainnya tentang komisaris independen adalah sebagai
berikut (FCGI, 2003):
33
1. Komisaris independen tidak memiliki hubungan afiliasi dengan pemegang
saham
mayoritas
atau
pemegang
saham
pengendali
(controlling
shareholders) perusahaan tercatat yang bersangkutan.
2. Komisaris independen tidak memiliki hubungan dengan direktur dan atau
komisaris independen tidak memiliki kedudukan rangkap pada perusahaan
lainnya yang terafiliasi dengan Perusahaan Tercatat yang bersangkutan.
3. Komisaris independen harus mengerti peraturan perundang-undangan di
bidang pasar modal.
4. Komisaris independen diusulkan dan dipilih oleh pemegang saham minoritas
yang bukan merupakan pemegang saham pengendali (bukan controlling
shareholders) dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) komisaris
lainnya Perusahaan Tercatat yang bersangkutan.
3. Kepemilikan Institusional
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa kepemilikan institusional
memiliki peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang
terjadi antara manajer dan pemegang saham. Keberadaan investor institusional
dianggap mampu menjadi mekanisme monitoring yang efektif dalam setiap
keputusan yang diambil oleh manajer. Hal ini disebabkan investor institusional
terlibat dalam pengambilan yang strategis sehingga tidak mudah percaya terhadap
tindakan manipulasi laba.
Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham perusahaan yang
dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan
34
investasi dan kepemilikan institusi lain (Tarjo, 2008). Kepemilikan institusional
memiliki arti penting dalam memonitor manajemen karena dengan adanya
kepemilikan oleh institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih
optimal. Monitoring tersebut tentunya akan menjamin kemakmuran untuk pemegang
saham, pengaruh kepemilikan institusional sebagai agen pengawas ditekan melalui
investasi mereka yang cukup besar dalam pasar modal.
Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha
pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusional sehingga dapat
menghalangi perilaku opportunistic manajer. Menurut Shleifer and Vishny (dalam
Barnae dan Rubin, 2005) bahwa institutional shareholders, dengan kepemilikan saham
yang besar, memiliki insentif untuk memantau pengambilan keputusan perusahaan.
Begitu pula penelitian Wening (2009), semakin besar kepemilikan oleh institusi
keuangan maka semakin besar pula kekuatan suara dan dorongan untuk
mengoptimalkan nilai perusahaan.
Kepemilikan institusional memiliki kelebihan antara lain:
1. Memiliki profesionalisme dalam menganalisis informasi sehingga dapat
menguji keandalan informasi.
2. Memiliki motivasi yang kuat untuk melaksanakan pengawasan lebih ketat atas
aktivitas yang terjadi di dalam perusahaan.
Penelitian Smith (1996) (dalam Suranta dan Merdistuti, 2004) menunjukkan
bahwa aktivitas monitoring institusi mampu mengubah struktur pengelolaan
perusahaan dan mampu meningkatkan kemakmuran pemegang saham. Hal ini
35
didukung oleh Cruthley dkk (dalam Suranta dan Merdistuti, 2004) yang menemukan
bahwa monitoring yang dilakukan institusi mampu mensubstutisi biaya keagenan lain
sehingga biaya keagenan menurun dan nilai perusahaan meningkat.
D. Kinerja Keuangan Perusahaan
Menurut Hastuti (2005) dalam Yudha (2007) kinerja perusahaan adalah hasil
dari banyak keputusan individual yang dibuat secara terus menerus oleh manajemen.
Oleh karena itu untuk menilai kinerja perusahaan perlu melibatkan analisis dampak
keuangan
kumulatif
dan
ekonomi
dari
keputusan
yang
dibuat
dan
mempertimbangkannya dengan menggunakan ukuran komparatif. Kinerja keuangan
merupakan salah satu faktor yang menunjukkan efektifitas dan efisiensi suatu
organisasi dalam rangka mencapai tujuannya. Efektifitas terjadi apabila manajemen
memiliki kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat atau suatu alat yang tepat
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan efisiensi diartikan sebagai
rasio (perbandingan) antara masukan dan keluaran yaitu dengan masukan tertentu
memperoleh keluaran yang optimal.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995), kinerja dapat diartikan
sebagai sesuatu yang dapat dicapai, prestasi yang diperlihatkan dan kemampuan
kerja, berkinerja artinya berkemampuan dengan menggunakan tenaga. Jadi kinerja
keuangan berdasarkan uraian diatas, adalah kemampuan kerja manajemen keuangan
dalam mencapai prestasi kinerjanya.
36
1. Tobin’s Q
Tobin’s Q atau Q ratio merupakan suatu model yang berguna dalam
pembuatan keputusan investasi. Menurut Ricardo dalam Juniarti (2009 : 24), Tobin’s
Q meringkas informasi yang akan datang yang relevan dengan keputusan investasi
perusahaan. Perusahaan meningkatkan modal saham jika Q tinggi karena jika nilai
Tobin’s Q di atas satu maka perusahaan akan menghasilkan rate on return lebih
tinggi dibandingkan dengan yang dikeluarkan oleh biaya aktiva. Pengukuran kinerja
dengan menggunakan Tobin’s Q tidak hanya memberikan gambaran pada aspek
fundamental saja, tetapi juga sejauh mana pasar menilai perusahaan dari berbagai
aspek yang dilihat oleh pihak luar termasuk investor. Tobin’s Q mewakili sejumlah
variabel yang penting dalam pengukuran kinerja, antara lain yaitu aktiva yang tercatat
di perusahaan, kecenderungan pasar yang memadai seperti pandangan-pandangan
analis mengenai prospek perusahaan, dan variabel modal intelektual atau intangible
asset.
Secara sederhana, Tobin’s Q adalah pengukur kinerja dengan membandingkan
dua penilaian dari asset yang sama. Tobin’s Q merupakan rasio dari nilai pasar asset
perusahaan yang diukur oleh nilai pasar dari jumlah saham yang beredar dan hutang
(enterprise value) terhadap replacement cost dari aktiva perusahaan (Fiakas, 2005).
Apabila perusahaan memiliki nilai lebih besar dari nilai dasar sebelumnya, maka akan
memiliki biaya untuk meningkatkan kembali, dan laba kemungkinan akan
didapatkan. Berdasarkan pemikiran Tobin’s, bahwa insentif untuk membuat modal
investasi baru adalah tinggi ketika surat berharga (saham) memberikan keuntungan di
37
masa depan dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi dari biaya investasinya
(Fiakas, 2005).
Sauaia & Castro Junior (2002) menguji Tobin’s Q sebagai pengukur kinerja
perusahaan di The Multinational Management Game (Keys, et al 1992). Di dalam
studi tersebut telah ditemukan bahwa kinerja perusahaan yang tinggi, sebagaimana
diukur melalui permainan kinerja sendiri secara rutin, Tobin’s Q yang tertinggi
setelah bermain sepuluh putaran. Berdasarkan hasil pengujian melalui simulasi
permainan tersebut, menunjukkan bahwa Q secara statistik memiliki keabsahan
prediksi dan nilainya harus diselidiki bila diterapkan untuk permainan bisnis yang
lain.
Nama Tobin’s Q berasal dari James Tobin dari Yale University setelah dia
memperoleh nobel. Morck dkk., (1998) dan McConnel dkk., (1990) dalam
Ndaruningpuri (2005) menggunakan Tobin’s Q sebagai pengukuran kinerja keuangan
perusahaan.
Rasio yang dianggap paling baik dalam memberikan informasi dalam mengukur
kinerja keuangan perusahaan adalah Tobin’s Q. Menurut Sukamulja (2004) rasio Tobin’s
Q dapat menjelaskan berbagai fenomena dalam kegiatan perusahaan, seperti hubungan
antara kepemilikan manajemen dan nilai perusahaan, hubungan antara kinerja
manajemen dengan keuntungan akuisisi, dan kebijakan pendanaan, dividen, dan
kompensasi.
Morck,
dkk
(dikutip
dari
Ndaruningpuri,
2005)
dalam
penelitiannya
menggunakan Tobin’s Q sebagai alat ukur kinerja perusahaan dengan alasan bahwa
38
dengan penggunaan Tobin’s Q, maka market value perusahaan dapat diketahui. Market
value perusahan mencerminkan keuntungan masa depan perusahaan seperti laba saat ini.
Rasio Tobin’s Q dapat mendeteksi prospek pertumbuhan dengan baik. Semakin
besar nilai rasio Tobin’s Q menunjukkan bahwa perusahaan memiliki prospek
pertumbuhan yang baik pula dan memiliki intingable asset (aset tidak berwujud) yang
semakin besar. Hal ini disebabkan karena perusahaan yang memiliki nilai pasar yang
tinggi akan menyebabkan investor rela mengeluarkan pengorbanan lebih untuk memiliki
perusahaan tersebut. Perusahaan dengan nilai Tobin’s Q yang tinggi biasanya memiliki
brand image perusahaan yang sangat kuat, sedangkan perusahaan yang memiliki nilai
Tobin’s Q yang rendah umumnya berada pada industri yang sangat kompetitif atau
industri yang mengecil (Brealey dan Myers, 2000 dalam Sukamulja, 2004).
E. Return Saham (Cummulative Abnormal Return)
Menurut J. Fred Weston dan Eugene F. Brigham (2001: 236) return
didefinisikan sebagai hasil deviden ditambah keuntungan atau kerugian dari modal,
dalam hal ini saham. Dan menurut Miswanto (1998: 53) return dari suatu investasi
selama beberapa periode adalah perubahan harga pasar ditambah dengan kas yang
diterima karena hak pemilikan (deviden), dibagi dengan harga pasar awal investasi.
Abnormal return adalah selisih antara tingkat keuntungan yang sebenarnya
dengan tingkat keuntungan yang diharapkan. Abnormal return sering digunakan
sebagai dasar pengujian efisiensi pasar. Pasar dikatakan efisien jika tidak satu pun
pelaku pasar yang menikmati abnormal return dalam jangka waktu yang cukup lama.
Akan tetapi, abnormal return dapat digunakan untuk melakukan penilaian kinerja
39
surat berharga. Pada dasarnya ada beberapa model untuk menghitung abnormal
return, di antaranya market model atau single index model dan capital asset pricing
model. Kedua model tersebut sulit dilakukan karena harus melakukan estimasi untuk
beta, tingkat bunga bebas risiko dan return pasar. Persamaan Aggarwal et al. (1993)
dapat digunakan untuk mempermudah perhitungan karena bagi perusahaan yang baru
go public akan sangat sulit menentukan beta yang tepat.
Dalam keuangan, abnormal return merupakan perbedaan antara pengembalian
yang diharapkan keamanan dan kembali aktual. Abnormal return kadang-kadang
dipicu oleh “peristiwa”. Misalnya mencakup merger, pengumuman dividen,
pengumuman perusahaan produktif, meningkatkan suku bunga, tuntutan hukum , dll
semua yang dapat berkontribusi ke abnormal return. Kegiatan di bidang keuangan
biasanya dapat diklasifikasikan sebagai kejadian atau informasi harga yang belum
atau sesudahnya ada di pasar keuangan.
Abnormal return kumulatif, atau CAR (Cumulative Abnormal Return),
merupakan jumlah dari semua pengembalian yang abnormal. Pengembalian
kumulatif abnormal biasanya dihitung atas jendela kecil, sering hanya beberapa hari.
Hal ini karena terbukti dan telah menunjukkan bahwa compounding kembali normal
setelah memberikan hasil yang jelas.
F. Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu
Pada penelitian sebelumnya, umum objek penelitian adalah semua perusahaan
yang tercatat di BEI tanpa mengklasifikasikan berdasarkan jenisnya. Namun dalam
skripsi ini penelitian dilakukan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI.
40
Pada penelitian kali ini peneliti melakukan dua penelitian secara terpisah,
yaitu penelitian model pertama Mekanisme GCG (Keberadaan Komite Audit, Ukuran
Dewan Komisaris Independen dan Kepemilikan Institusi) digunakan sebagai variabel
independen, dengan TQ (proksi kinerja keuangan) sebagai variabel dependen.
Sedangkan pada model penelitian kedua Mekanisme GCG (Keberadaan Komite
Audit, Ukuran Dewan Komisaris Independen dan Kepemilikan Institusi) dan TQ
(proksi kinerja keuangan) digunakan sebagai variabel independen, dengan Return
Saham (CAR) sebagai variabel dependen, umumnya penelitian terdahulu hanya
menggunakan 1 variabel dependen.
Periode laporan keuangan dan laporan tahunan yang digunakan adalah tahun
2009-2011, dengan sampel yang lebih banyak, sehingga hasil penelitian akan lebih
relevan dan menunjukan kondisi terkini di lapangan.
No
Peneliti
1
Klapper dan
Love (2002)
2
Hexana Sri
Lastanti
(2004)
3
Suranta dan
Machfoedz
(2003)
TABEL 2.1
HASIL PENELITIAN TERDAHULU
Variabel
Hasil Penelitian
Penelitian
Corporate
Governance, Return
on Assets (ROA) dan
Tobin’s Q)
Ukuran Dewan
Komisaris
Independen,
Kepemilikan
Terkonsentrasi,
Kepemilikan
Institusional, Tobin's
Q, ROA, ROE
Struktur
kepemilikan, nilai
perusahaan (Tobin’s
Adanya hubungan positif antara corporate
governance dengan kinerja perusahaan
yang diukur dengan return on assets
(ROA) dan Tobin’s Q
Adanya hubungan positif yang signifikan
antara independensi Dewan Komisaris
dengan nilai perusahaan yang diukur
dengan Tobin’s Q. Sementara variabel
yang lain tidak berpengaruh secara
signifikan, baik terhadap nilai perusahaan
maupun kinerja perusahaan (yang diukur
dengan ROA dan ROE)
Hubungan kepemilikan manajerial dan
nilai Perusahaan adalah linear dan negatif,
nilai perusahaan hanya dipengaruhi oleh
41
4
Hastuti
(2005)
5
Siallagan
dan
Machfoedz
(2006)
Q), investasi, ukuran
dewan direksi
GCG, Struktur
kepemilikan dan
kinerja keuangan
Kepemilikan
manajerial, komite
audit, komisaris
independen,
leverage, kualitas
laba dan nilai
perusahaan
kepemilikan manajerial, institusional dan
ukuran dewan direksi
Tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara struktur kepemilikan dengan
kinerja perusahaan, tidak terdapat
hubungan
yang
signifikan
antara
manajemen laba dengan kinerja dan
terdapat hubungan yang signifikan antara
disclosure dengan kinerja perusahaan
mekanisme corporate governance
mempengaruhi nilai perusahaan (Tobin’s
Q)
Sumber : Data sekunder yang diolah 2013
G. Alasan Modifikasi
Pada tanggal 16 Agustus 2007, pemerintah mengesahkan peraturan yang
mengatur mengenai Perseroan Terbatas yaitu Undang-undang No. 40 Tahun 2007
yang menggantikan UU Perseroan Terbatas No. 1 Tahun 1995. Keberadaan Undangundang Perseroan Terbatas tersebut diharapkan mampu menjamin terselenggaranya
iklim usaha yang kondusif, dimana Perseroan Terbatas sebagai suatu pilar
pembangunan perekonomian perlu diberikan landasan hukum untuk lebih memacu
pembangunan nasional. Tujuan pembaharuan Undang-undang Perseroan Terbatas
No. 40 Tahun 2007, salah satunya adalah untuk mendukung implementasi GCG atau
Good Corporate Governance. Pengelolaan yang baik lazim disebut dengan Good
Corporate Governance (GCG) atau prinsip Tata Kelola Usaha yang Baik. Prinsip
Tata Kelola Usaha yang Baik diadopsi dari Undang-undang No. 1 Tahun 1995
maupun Undang-undang No. 40 Tahun 2007.
42
Alasan modifikasi penelitian adalah penelitian Mekanisme GCG (Keberadaan
Komite Audit, Ukuran Dewan Komisaris Independen dan Kepemilikan Institusi)
telah banyak dilakukan, beberapa peneliti telah menemukan adanya pengaruh
Mekanisme GCG (Keberadaa Komite Audit, Ukuran Dewan Komisaris Independen
dan Kepemilikan Institusi) di perusahaan manufaktur. Namun hasil penelitian dari
satu peneliti dengan yang lainnya masih belum menghasilkan satu hasil yang sama,
hasil penelitian masih beragam, hal ini mendorong peneliti untuk melakukan
penelitian terhadap Mekanisme GCG guna mendapatkan penelitian yang lebih akurat.
Peneliti ingin melihat pengaruh Mekanisme GCG pada perusahaan manufatur.
Karena perusahaan manufaktur merupakan perusahaan yang terikat dengan peraturan
tersebut, sehingga dapat dilihat pengaruh Mekanisme GCG yang mempengaruhi
kinerja dan return perusahaan.
Kebanyakan penelitian Mekanisme GCG menjadi variabel terikat yang
dipengaruhi oleh variabel-variabel lain, namun dewasa ini nampaknya Mekanisme
GCG menjadi variabel yang dapat mempengaruhi variabel lain, karena pandangan
masyarakat dan investor mengenai sebuah perusahaan dapat dipengaruhi oleh laporan
Mekanisme GCG yang disajikan perusahaan.
43
H. Model Konseptual
Kerangka Pemikiran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Keberadaan
Komite Audit
Ukuran
Dewan
Komisaris
Independen
Kepemilikan
Institusional
Kinerja
Keuangan
Perusahaan
Return
Saham
Variabel Kontrol :
Variabel Kontrol :
- Leverage
- Leverage
- Size
- Size
GAMBAR 2.1
Kerangka Pemikiran
Download