15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Risiko Investasi 2.1.1 Pengertian Risiko Investasi Alasan utama orang berinvestasi adalah untuk memperoleh keuntungan. Dalam konteks manajemen investasi, tingkat keuntungan investasi disebut sebagai return. Suatu hal yang wajar jika investor menuntut tingkat pengembalian tertentu atas dana yang diinvestasikannya. Return yang diharapkan investor dari investasi yang dilakukannya merupakan kompensasi atas biaya kesempatan (opportunity cost) dan risiko penurunan daya beli akibat adanya pengaruh inflasi. Seorang investor perlu membedakan antara return yang diharapkan (expected return), dengan return yang aktual (actual return). Antara tingkat pengembalian yang diharapkan dan tingkat pengembalian yang aktual yang diperoleh investor sangat mungkin berbeda dan perbedaan inilah yang merupakan risiko yang harus selalu dipertimbangkan oleh investor sebelum memutuskan untuk berinvestasi. Adapun pengertian risiko yang dijabarkan oleh Tandelilin (2001:48) sebagai berikut : “Risiko merupakan kemungkinan perbedaan antar return aktual dengan return yang diharapkan. Semakin besar kemungkinan perbedaannya, berarti semakin besar risiko investasi tersebut.” Pengertian lain dari risiko yang dikemukakan oleh Gitman (2003:237) sebagai berikut : “Risk is the chance of financial loss or more formally, the variability of return associated with a given assets.” Artinya bahwa risiko adalah kemungkinan kerugian atau lebih formal diartikan sebagai variabilitas pengembalian yang terkait dengan aset yang diserahkan. Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa risiko adalah suatu kemungkinan dimana investor tidak mendapatkan return yang sesuai dengan harapannya. 16 2.1.2 Jenis-Jenis Risiko Investasi Adapun jenis-jenis risiko yang mungkin dihadapi oleh para investor dalam melakukan kegiatan investasi seperti yang dikemukakan oleh Reilly, et al (2000:15) diantaranya : 1. Business risk Kemungkinan kerugian yang diderita perusahaan karena keuntungan yang diperoleh lebih kecil dari keuntungan yang diharapkan. Business risk ini berkaitan dengan cakupan usaha perusahaan. 2. Financial risk Risiko yang timbul dari cara perusahaan membiayai kegiatannya, misalnya penggunaan utang dalam membiayai aset perusahaan. 3. Liquidity risk Adanya ketidakpastian yang timbul pada saat sekuritas berada di pasar sekunder. Risiko ini berkaitan dengan kecepatan pembelian/penjualan suatu aset serta tingkat harga yang terbentuk dalam transaksi tersebut. 4. Exchange Rate Risk Risiko ini berkaitan dengan fluktuasis nilai tukar mata uang domestik dengan nilai mata uang negara lainnya. Risiko ini biasanya dihadapi oleh investor internasional atau perusahaan yang menggunakan mata uang asing dalam kegiatan operasionalnya maupun pendanaan. 5. Country Risk Risiko ini berkaitan dengan kestabilan politik serta kondisi lingkungan perekonomian di suatu negara. Kemudian Ahmad (2004) menjelaskan pula mengenai risiko investasi. Menurutnya risiko investasi ada tujuh, yaitu : 1. Risiko Inflasi (Inflation Risk) Risiko inflasi terjadi bila ada peningkatan harga barang/jasa akan menurunkan nilai mata uang. 2. Risiko Pasar (Market Inflation) Risiko ini terjadi bila penurunan harga saham terjadi maka akan mengakibatkan capital loss. Risiko ini muncul sebagai akibat dari variability 17 return pasar yang disebabkan oleh terjadinya bear /bull market karena adanya kondisi ekonomi yang terus berubah-ubah. 3. Risiko Sektoral Risiko ini dipengaruhi oleh kinerja usaha industri-industri yang tergabung dalam suatu sektor yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (life cycle), kondisi peraturan dan iklim usaha. 4. Risiko Tingkat Suku Bunga (Interest Rate Risk) Risiko ini muncul dari perubahan dalam tingkat suku bunga yang ada di pasar. Risiko tingkat suka bunga mempunyai pengaruh yang sama terhadap surat berharga. Perubahan tingkat suku bunga ini akan menyebabkan terjadinya fluktuasi harga surat-surat berharga. 5. Risiko Kredit ( Credit Risk) Risiko timbul jika perusahaan menerbitkan efek hutang dan instrumen pasar yang tidak mampu untuk membayar pokok hutang dan bunga tertunggak. 6. Risiko Mata Uang (Currency Risk) Risiko ini timbul apabila terjadi perubahan nilai mata uang negara asing dibandingkan dengan mata uang domestik sehingga akan mengurangi tingkat hasil dari investasi asing. Hal ini terjadi karena nilai mata uang asing itu menurun sehingga nilai investasi langsungnya menjadi lebih kecil. 7. Assets Class Risk Saham obligasi, dan kas (atau instrumen pasar yang lainnya) merupakan tiga kelas aset yang paling utama. Jika seorang investor tidak berimbang dalam melakukan diversifikasi terhadap investasinya, dengan demikian risikonya akan semakin mengecil. Dengan adanya risiko-risiko investasi di atas, maka investor dituntut untuk berhati-hati dan melakukan analisa yang matang. Informasi yang lengkap dan pemahaman yang komprehensif akan membantu investor dalam melakukan keputusan instrumen investasi apa yang paling tepat untuknya. 18 2.1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Risiko Investasi Berdasarkan beberapa pendapat dan penelitian yang telah dilakukan oleh penelitian-penelitian sebelumnya maka penelitian ini mengkombinasikan faktorfaktor yang mempengaruhi risiko investasi baik faktor mikro maupun makro. Faktor mikro atau fundamental yang mempengaruhi risiko investasi salah satunya adalah kebijakan dividen dan faktor makro yang mempengaruhi risiko investasi diantaranya yaitu tingkat suku bunga dan nilai kurs. Menurut Halim, (2003: 47) dalam Zubaidah (2003), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi risiko investasi, yaitu: 1. Risiko Bisnis, merupakan risiko yang timbul akibat menurunnya profitabilitas perusahaan emiten 2. Risiko likuiditas, berkaitan dengan kemampuan saham yang bersangkutan untuk dapat segera diperjual belikan tanpa mengalami kerugian yang berarti. 3. Risiko Tingkat Bunga, merupakan risiko yang timbul akibat perubahan tingkat bunga yang berlaku di pasar. Biasanya risiko ini berjalan berlawanan dengan harga-harga instrumen pasar modal. 4. Risiko pasar, merupakan risiko yang timbul akibat kondisi perekonomian negara yang berubah-ubah dipengaruhi oleh resesi dan kondisi perekonomian lain. 5. Risiko daya beli, merupakan risiko yang timbul akibat pengaruh perubahan tingkat inflasi, dimana perubahan ini akan menyebabkan berkurangnya daya beli yang diinvestasikan maupun bunga yang diperoleh dari investasi. Sehingga menyebabkan nilai riil pendapatan akan lebih kecil. 6. Risiko mata uang, merupakan risiko yang timbul akibat pengaruh perubahan nilai tukar mata uang domestik (misalnya rupiah) dengan mata uang negara lain (misalnya dolar Amerika). 2.1.4 Ukuran Risiko Investasi Yang dimaksud dengan risiko investasi adalah potensi kerugian yang diakibatkan oleh penyimpangan tingkat pengembalian yang diharapkan dengan tingkat pengembalian aktual. Risiko merupakan besarnya penyimpangan antara 19 tingkat pengembalian aktual (actual return) dengan tingkat pengembalian yang diharapkan (ER – expected return). Risiko dinyatakan sebagai seberapa jauh hasil yang diperoleh dapat menyimpang dari hasil yang diharapkan, maka digunakan ukuran penyebaran. Alat statistika sebagai ukuran penyebaran, yaitu varians dan standar deviasi. Variabel ini diukur dengan menggunakan standar deviasi. Adapun persamaannya sebagai berikut: Standar Deviasi (σ ) = ∑ Dimana : Rij = Tingkat keuntungan yang terjadi pada kondisi j E (Ri) = Tingkat keuntungan yang diharapkan n = Banyaknya kondisi Sumber : Makaryanawati dan Ulum, 2009 2.2 Kebijakan Dividen 2.2.1 Pengertian Kebijakan Dividen Dividen merupakan hak pemegang saham biasa (common stock) untuk mendapatkan bagian dari keuntungan perusahaan. Jika perusahaan memutuskan untuk membagi keuntungan dalam dividen, semua pemegang saham biasa mendapatkan haknya yang sama. Hanafi (2004 :p.361) dalam Vianita, menyatakan bahwa dividen merupakan kompensasi yang diterima oleh pemegang saham, di samping capital gain. Dividen ini untuk dibagikan kepada para pemegang saham sebagai keuntungan dari laba perusahaan. Dividen ditentukan berdasarkan dalam rapat umum anggota pemegang saham dan jenis pembayarannya tergantung kepada kebijakan pemimpin. Kebijakan dividen merupakan bagian yang menyatu dengan keputusan pendanaan perusahaan. Rasio pembayaran dividen menentukan jumlah laba yang ditahan sebagai sumber pendanaan. Dengan demikian dimungkinkan membagi laba sebagai dividen dan pada saat yang sama menerbitkan saham baru. Kebijakan dividen bersangkutan dengan penentuan pembagian pendapatan (earning) antara pengunaan pendapatan 20 untuk dibayarkan kepada para pemegang saham sebagai dividen atau untuk digunakan didalam perusahaan, yang berarti laba tersebut harus ditahan didalam perusahaan (Riyanto 2001: p.265 dalam Puspita 2009). Persentase dari pendapatan yang akan di bayarkan kepada pemegang saham sebagai cash dividend disebut dividend payout ratio. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa makin tingginya dividend payout ratio yang ditetapkan oleh perusahaan berarti makin kecil dana yang tersedia untuk ditanamkan kembali di dalam perusahaan yang ini berarti akan menghambat pertumbuhan perusahaan (Riyanto 2001:p.266 dalam Puspita 2009). Kebijakan terhadap pembayaran dividen merupakan keputusan yang sangat penting dalam suatu perusahaan. Kebijakan ini melibatkan dua pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda, yaitu pihak pertama para pemegang saham dan pihak kedua perusahaan itu sendiri. Dividen diartikan sebagai pembayaran kepada para pemegang saham oleh pihak perusahaan atas keuntungan yang diperolehnya. Kebijakan dividen adalah kebijakan yang berhubungan dengan pembayaran dividen oleh pihak perusahaan, berupa penentuan besarnya pembayaran dividen dan besarnya laba ditahan untuk kepentingan pihak perusahaan (Alexander, et.al, 1993 dalam Prihantoro,2003 dalam Puspita 2009). Menurut Brigham dan Ehrhardt (2002:699), kebijakan dividen yang optimal adalah kebijakan yang menciptakan keseimbangan diantara dividen saat ini dan pertumbuhan dimasa mendatang, sehingga akan memaksimalkan harga saham. Oleh karena itu, manajer keuangan dalam menentukan kebijakan dividen perusahaan harus hati-hati. Jika perusahaan menjalankan kebijakan untuk membagikan tambahan dividen tunai sehingga jumlah dividen yang dibagikan naik, hal ini dapat meningkatkan harga saham. Tetapi, meningkatnya dividen tunai, akan mengakibatkan jumlah dana yang tersedia untuk reinvestasi menjadi sedikit, sehingga tingkat pertumbuhan yang diharapkan untuk masa mendatang akan rendah, dan hal ini akan mengakibatkan turunnya harga saham. 21 2.2.2 Teori Kebijakan Dividen Kebijakan terhadap pembayaran dividen merupakan keputusan yang sangat penting dalam suatu perusahaan. Kebijakan ini melibatkan dua pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda, yaitu pihak pertama para pemegang saham dan pihak kedua perusahaan itu sendiri. Dividen diartikan sebagai pembayaran kepada para pemegang saham oleh pihak perusahaan atas keuntungan yang diperolehnya. Kebijakan dividen adalah kebijakan yang berhubungan dengan pembayaran dividen oleh pihak perusahaan, berupa penentuan besarnya pembayaran dividen dan besarnya laba ditahan untuk kepentingan pihak perusahaan. (Alexander, et.al, 1993 dalam Prihantoro, 2003: p.8 dalam Puspita, 2009). Beberapa teori yang berkaitan dengan dividen dan asumsi–asumsi yang mendasarinya (Puspita, 2009) dan (Wirjono, 2003) : 1. Dividen tidak relevan Menurut Modigliani dan Miller (1961) dalam Saxena (1999) dalam Puspita (2009) dan Wirjono (2003) dividen payout ratio tidak mempunyai pengaruh pada harga saham perusahaan atau biaya modalnya. Modigliani dan Miller menyatakan bahwa dividen payout ratio adalah tidak relevan, selanjutnya nilai perusahaan ditentukan oleh earning power dari asset perusahaan. Sementara itu keputusan apakah laba yang diperoleh akan dibagikan dalam bentuk dividen atau akan ditahan tidak mempengaruhi nilai perusahaan. Untuk membuktikan teorinya, Modigliani dan Miller mengemukakan berbagai asumsi sebagai berikut: a. Tidak ada pajak perseorangan dan pajak penghasilan perusahaan b. Tidak ada biaya emisi atau flotation cost dan biaya transaksi c. Kebijakan penganggaran modal perusahaan independen terhadap dividen payout ratio d. Investor dan manajer mempunyai informasi yang sama tentang kesempatan investasi di masa yang akan datang. e. Distribusi pendapatan di antara dividen dan laba ditahan tidak berpengaruh terhadap tingkat keuntungan yang disyaratkan oleh investor. 22 2. Bird in the hand theory Sementara itu, menurut Gordon dan Litner (1956) dalam Saxena (1999) dalam Puspita (2009) dan Wirjono (2003) tingkat keuntungan yang disyaratkan akan naik apabila pembagian dividen dikurangi, karena investor lebih yakin terhadap penerimaan dividen daripada kenaikan nilai modal (capital gain) yang akan dihasilkan dari laba yang ditahan. Modigliani dan Miller (1961) dalam Puspita (2009) dan Wirjono (2003) berpendapat dan telah dibuktikan secara matematis bahwa investor merasa sama saja apakah menerima dividen saat ini atau menerima capital gain di masa yang akan datang. Dengan kata lain, tingkat keuntungan yang disyaratkan tidak dipengaruhi oleh dividen payout ratio. Pendapat Gordon dan Litner (1956) dalam Saxena (1999) oleh Modigliani dan Miller (1961) diberi nama bird in the hand fallacy. Gordon dan Litner (1956) dalam Saxena (1999) dalam Puspita (2009) dan Wirjono (2003)beranggapan investor memandang bahwa satu burung di tangan lebih berharga daripada seribu burung di udara. Sementara Modigliani dan Miller berpendapat bahwa tidak semua investor berkepentingan untuk menginvestasikan kembali dividen mereka di perusahaan yang sama dengan memiliki risiko yang sama. Oleh sebab itu, tingkat risiko pendapatan mereka di masa yang akan datang bukannya ditentukan oleh dividen payout ratio tetapi ditentukan oleh tingkat risiko investasi baru. 3. Teori Perbedaan Pajak ( Tax preference theory ) Teori ini diajukan oleh Litzenberger dan Ramaswamy dalam Puspita (2009) dan Wirjono (2003). Mereka menyatakan bahwa karena adanya pajak terhadap keuntungan dividen dan capital gains, para investor lebih menyukai capital gain karena dapat menunda pembayaran pajak. Oleh karena itu investor mensyaratkan suatu tingkat keuntungan yang lebih tinggi pada saham yang memberikan dividend yield tinggi, capital gain yield rendah dari pada saham dengan dividend yield rendah, capital gains yield tinggi. Jika pajak atas dividen lebih besar dari pajak atas capital gains, perbedaan ini akan makin terasa. Jika investor hanya 23 membeli saham untuk jangka waktu satu tahun, maka tidak ada bedanya antara pajak atas capital gain dan pajak atas dividen. Jadi investor akan meminta tingkat keuntungan setelah pajak yang lebih tinggi terhadap saham yang memiliki dividend yield yang tinggi daripada saham dengan dividend yield yang rendah. Oleh karena itu, teori ini menyarankan bahwa perusahaan sebaiknya menentukan dividend payout ratio yang rendah atau bahkan tidak membagikan dividen. 4. Signaling Theory Menurut dividend irrelevance theory (MM), setiap orang (investor dan manajer) memiliki informasi identik mengenai laba akan datang dan dividen perusahaan. Kenyataannya, investor yang berbeda memiliki pandangan berbeda terhadap tingkat pembayaran dividen akan datang dan ketidakpastian yang melekat dalam pembayaran tersebut, karena manajer memiliki informasi lebih banyak tentang prospek akan datang daripada pemegang saham. Kenaikan dividen seringkali diikuti dengan kenaikan harga saham, sedangkan pemotongan atau pengurangan dividen diikuti dengan penurunan harga saham. Hal ini mengindikasikan bahwa investor lebih menyukai dividen daripada capital gains. MM menyatakan, perusahaan enggan mengurangi dividen sehingga tidak akan meningkatkan dividen, kecuali perusahaan mengantisipasi adanya laba berjumlah besar pada periode akan datang. Kenaikan dividen yang lebih tinggi daripada yang diharapkan menjadi sinyal bagi investor bahwa perusahaan mengalami pertumbuhan laba yang baik. Sebaliknya, penurunan dividen akan menjadi sinyal pertumbuhan laba yang buruk pada masa akan datang. Pengumuman dividen yang meyebabkan perubahan harga mengindikasikan adanya information/signaling content (kandungan informasi). 5. Clientele Effect Menurut teori ini, pemegang saham dapat diklasifikasikan dalam beberapa kelompok (Pettit, 1977) dalam Puspita (2009) dan Wirjono (2003) kelompokkelompok yang berbeda (different groups) atau clienteles dari pemegang saham menyukai kebijakan pembayaran dividen yang berbeda. Menurut teori ini, perusahaan dapat mengubah kebijakan pembayaran dividen karena pemegang 24 saham dengan sendirinya akan menjual sahamnya kepada investor lain jika mereka tidak suka dengan kebijakan yang baru. 2.2.3 Jenis-Jenis Dividen Kebijakan dividen merupakan keputusan manajemen perusahaan. Kebijakan dividen atau keputusan dividen pada dasarnya adalah menentukan porsi keuntungan yang akan dibagikan kepada pemegang saham dan yang akan ditahan sebagai bagian dari laba ditahan (Levy dan Sarnat, 1990 dalam Wirjono, 2003). Dividen yang akan dibagikan oleh perusahaan dapat terbagi dalam beberapa jenis, yaitu (Sitanggang, 2007): 1. Dividen tunai (cash dividen), yaitu dividen yang dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk uang cash. 2. Dividen saham (stock dividen), yaitu dividen yang dibagikan perusahaan dalam bentuk saham perusahaan sehingga jumlah saham perusahaan menjadi bertambah. Namun demikian cash flow perusahaan tidak terganggu karena perusahaan tidak perlu mengeluarkan uang cash. 3. Dividen property (property dividen), yaitu dividen yang dibagikan dalam bentuk aktiva lain selain kas atau saham, misalnya aktiva tetap dan surat-surat berharga. 4. Dividen likuidasi (liquidating dividen), yaitu dividen yang diberikan kepada pemegang saham sebagai akibat dilikuidasikannya perusahaan. Dividen diperoleh dari selisih antara nilai realisasi aset perusahaan dikurangi dengan semua kewajibannya. 2.2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Dividen Kebijakan dividen atau keputusan dividen pada hakikatnya adalah menentukan porsi keuntungan yang akan dibagikan kepada para pemegang saham, dan yang akan ditahan sebagai bagian dari laba ditahan. (Levy dan Sarnat, dalam Sutrisno, 2001: 2). Menurut Bringham dan Gapenski (1996) dalam Yuniningsih (2002), perusahaan berkepentingan untuk mendonasi ekspansi dan meningkatkan pertumbuhan perusahaan, sementara di lain pihak dalam hal ini 25 investor, mereka mengharapkan adanya pembagian keuntungan atas laba yang diperoleh (dividen). Perusahaan harus bisa membuat sebuah kebijakan yang optimal. Kebijakan yang diambil harus bisa memenuhi keinginan kedua belah pihak dimana perusahaan tetap bisa memenuhi kebutuhan dana, sedangkan pihak investor memperoleh apa yang diinginkan, sehingga investor tidak mengalihkan investasinya ke perusahaan lain. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai kebijakan dividen, khususnya faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam penilitian ini faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen sebagai berikut: 1. Keputusan Investasi a. Pengertian Investasi Secara umum investasi berarti penundaan konsumsi saat ini untuk konsumsi di masa yang akan datang. Dengan pengertian bahwa investasi adalah menempatkan modal atau dana pada suatu asset yang diharapkan akan memberikan hasil atau akan meningkatkan nilainya di masa yang akan datang. Dari sini, investasi berarti diawali dengan mengorbankan potensi konsumsi saat ini untuk mendapatkan peluang yang lebih baik atau besar di masa yang akan datang. Keputusan Investasi merupakan kegiatan untuk menentukan campuran dan tipe assets yang ada pada bagian kiri neraca perusahaan. Assets mix ditentukan dan dipelihara pada tingkat optimal dari masing-masing bagian aktiva. Keputusan ini penting karena akan mempengaruhi keberhasilan perusahaan dalam mencapai tujuan yaitu memaksimumkan nilai perusahaan. (Gitman, 2003). Selaras dengan Brealey & Myers (2000) bahwa keputusan investasi (penganggaran modal) merupakan inti dari seluruh analisis keuangan yaitu membuat keputusan yang memaksimumkan nilai perusahaan. Menurut Bodie, et all (2004:4) pengertian investasi adalah: “Investment is commitment of current resources in the expectation of deriving greater resources in the future.” 26 Artinya bahwa investasi adalah komitmen sumber daya saat ini yang diharapan dapat memberi sumber daya yang lebih besar di masa depan. Melalui pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa suatu investasi adalah kegiatan penanaman modal untuk memperoleh hasil dimasa yang akan datang yang memperhatikan kemakmuran dari investor itu sendiri. Gitman dan Joehnk (2005:3) juga mengemukakan bahwa investasi adalah : “Any vehicle into which funds can be placed with the expectation that it will generate positive income and / or preserve or increased its value.” Artinya bahwa investasi merupakan wadah dimana dana dapat ditempatkan dengan harapan bahwa itu akan menghasilkan pendapatan yang positif dan / atau memelihara atau meningkatkan nilainya. Jadi, investasi merupakan penempatan dana pada berbagai aktiva keuangan dengan harapan akan diperolehnya tingkat keuntungan yang optimal pada waktu yang akan datang. Untuk memperoleh keuntungan, maka perusahaan memerlukan investasi guna memperlancar proses operasinya. Investasi adalah mengeluarkan dana untuk satu atau lebih assets yang akan digunakan untuk beberapa jangka waktu dimasa depan. Investasi yang dilakukan perusahaan untuk memperlancar proses operasinya berupa investasi pada aktiva. Dalam mengelola aktiva atau assets yang dimiliki oleh perusahaan, seorang manajer keuangan harus dapat menentukan seberapa besar alokasi untuk masing-masing aktiva (aktiva tetap maupun aktiva lancar) sehubungan dengan bidang usaha dari perusahaan tersebut. Keputusan investasi sangat penting karena akan mempengaruhi keberhasilan pencapaian tujuan perusahaan dan merupakan inti dari seluruh analisis keuangan (Gitman; 2000 dan Brealy & Myers; 2000). Keputusan Investasi merupakan kegiatan untuk menentukan campuran dan tipe asset yang ada pada bagian kiri neraca perusahaan. Asset mix ditentukan dan dipelihara pada tingkat optimal dari masing-masing bagian aktiva. Keputusan ini penting karena akan mempengaruhi keberhasilan perusahaan dalam mencapai tujuan yaitu memaksimumkan nilai perusahaan (Gitman, 2000). Selaras dengan Brealey & Myers (2000) bahwa keputusan investasi (penganggaran modal) 27 merupakan inti dari seluruh analisis keuangan yaitu membuat keputusan yang memaksimumkan nilai perusahaan. Investasi, yang lazim disebut juga dengan istilah penanaman modal atau pembentukan modal merupakan komponen kedua yang menentukan tingkat pengeluaran agregat. Dengan demikian istilah investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran atau pembelanjaan atau penanaman-penanaman modal perusahaan untuk membeli barang-barang modal dan perlengkapan-perlengkapan untuk menambah kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian. Pertambahan jumlah barang modal ini memungkinkan perekonomian tersebut menghasikan lebih banyak barang dan jasa di masa yang akan datang. Adakalanya penanaman modal dilakukan untuk menggantikan barang-barang modal yang lama yang telah harus dan perlu didepresiasikan. (KumpulBlogger.com 2008). b. Jenis-Jenis Investasi Investasi merupakan sebuah cara alternatif yang dapat digunakan untuk meningkatkan nilai aset di masa depan, dengan melakukan investasi, menurunnya purchasing power akibat inflasi dapat di ofsett oleh return yang di dapatkan dari investasi. Investasi sendiri dapat digolongkan ke dalam dua jenis, yaitu (www.zonaekis.com,2010): 1. : Investasi pada real asset Investasi pada real asset dapat dilakukan dengan membeli peralatan, pendirian pabrik, perbaikan mesin produksi, dan lain-lain. 2. Investasi pada financial asset Sedangkan investasi pada financial asset (instrumen keuangan) dapat dilakukan pada pasar uang (berupa sertifikat deposito, commercial papper, dan lain-lain) maupun pasar modal (berupa saham, obligasi, dan lain-lain). c. Ukuran Investasi Investasi adalah suatu kegiatan penanaman modal pada aktiva-aktiva yang bersifat jangka panjang, yaitu aktiva riil (aktiva yang berwujud) dan aktiva 28 financial yang jangka waktu pengembaliannya/tingkat returnya akan diperoleh lebih dari lima tahun. Untuk mengukur pertumbuhan investasi yang akan dilakukan perusahaan, maka dapat menggunakan rumus (Haruman, 2006) : Investasi = Total Assets − Total Assets t −1 Total Assets t −1 X 100% Berdasarkan uraian di atas, modal kerja dan aktiva tetap sangat berperan dalam kinerja perusahaan sehingga dibutuhkan pemikiran yang matang dalam mengambil keputusan untuk melakukan investasi pada aktiva tetap dan modal kerja. Suatu perusahaan akan melakukan investasi jika investasi tersebut dianggap menguntungkan bagi perusahaan, sehingga dapat meningkatkan laba perusahaan. 2. Profitabilitas Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba pada masa mendatang dan merupakan indikator dari keberhasilan operasi perusahaan. Perusahaan yang mempunyai profitabilitas yang tinggi akan menarik minat investor untuk menanamkan modalnya dengan harapan akan mendapatkan keuntungan yang tinggi pula. (Kim et al.1993) dalam Supriyono dan Amin (2000) dalam Kusumawati dan Sudento (2005). Oleh karena dividen diambil dari keuntungan bersih yang diperoleh perusahaan, maka keuntungan tersebut akan mempengaruhi besarnya dividen payout ratio. Perusahaan yang memperoleh keuntungan cenderung akan membayar porsi keuntungan yang lebih besar sebagai dividen. Semakin besar keuntungan yang diperoleh, maka akan semakin besar pula kemampuan perusahaan untuk membayar dividen (Damayanti dan Achyani, 2006 dalam Puspita 2009). Profitabilitas yaitu menunjukan kemampuan perusahaan untuk memperoleh keuntungan dari penggunaan modalnya. Rasio profitabilitas akan memberikan jawaban akhir tentang efektivitas menjamin perusahaan. Rasio ini memberi gambaran tentang tingkat efektivitas pengelolaan perusahaan. Setiap perusahaan dalam menjalankan kegiatan bisnisnya akan berusaha untuk menghasilkan laba atau profit yang optimal. Menurut Gitman (2000: 617) adalah: 29 “Profitability is the relationship between revenues and cost generated by using the firm assets current and fixed in productive activities”. Artinya bahwa Profitabilitas adalah hubungan antara pendapatan dan biaya yang dihasilkan dengan menggunakan aset perusahaan saat ini dan tetap dalam kegiatan produktif. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa profitabilitas adalah hubungan antara pendapatan dan biaya yang menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Profitabilitas (ROI) = EAT TA X 100% (Sutrisno, 2000) 3. Likuiditas (Qucik Ratio) Menurut Sutrisno (2005), likuiditas merupakan kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban-kewajibannya yang segera harus dipenuhi. Semakin tinggi likuiditas sebuah perusahaan, maka kemampuan perusahaan di dalam membayar kewajiban-kewajibannya akan semakin baik. Rasio likuiditas pun banyak macamnya, diantaranya adalah quick ratio yang menghitung seberapa besarkah perusahaan dapat membayar hutang lancarnya dengan aset yang paling lancar yaitu aset tanpa inventori. Dengan demikian likuiditas dapat diperoleh dengan rumus : Likuiditas = Current Assets − Inventory Current Liabilities X 100% (Sutrisno, 2000) 4. Leverage (Debt To Equity Ratio) Debt to equity ratio mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya, yang ditunjukkan oleh berapa bagian modal sendiri yang digunakan untuk membayar hutang. (Prihantoro, 2003). Rasio ini mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya yang ditunjukkan oleh beberapa bagian modal sendiri yang digunakan untuk membayar hutang. 30 Semakin besar rasio ini menunjukkan semakin besar kewajibannya dan rasio yang semakin rendah akan menunjukkan semakin tinggi kemampuan perusahaan memenuhi kewajibannya. Apabila perusahaan menentukan bahwa pelunasan utangnya akan diambilkan dari laba ditahan, berarti perusahaan harus menahan sebagian besar dari pendapatannya untuk keperluan tersebut, yang ini berarti hanya sebagian kecil saja pendapatan yang dapat dibayarkan sebagai dividen (Riyanto 2001:267). Peningkatan utang ini akan mempengaruhi tingkat pendapatan bersih yang tersedia bagi pemegang saham, artinya semakin tinggi kewajiban perusahaan, akan semakin menurunkan kemampuan perusahaan membayar dividen (Sudarsi 2002:80). Oleh karena itu, semakin rendah DER akan semakin tinggi kemampuan perusahaan untuk membayar semua kewajibannya. Semakin besar proporsi utang yang digunakan untuk struktur modal suatu perusahaan, maka akan semakin besar jumlah kewajiban (Prihantoro ,2003: p.10). Peningkatan hutang pada gilirannya akan mempengaruhi besar kecilnya laba bersih yang tersedia bagi para pemegang saham termasuk dividen yang akan diterima, karena kewajiban tersebut lebih diprioritaskan daripada pembagian dividen (Prihantoro, 2003: p.10). Jika beban hutang tinggi, maka kemampuan perusahaan untuk membagi dividen akan semakin rendah, sehingga DER mempunyai hubungan negatif dengan dividend payout ratio (Prihantoro ,2003: p.10). Pendanaan ini merupakan salah satu keputusan keuangan yang harus ditetapkan oleh manajer keuangan. Pendanaan ini sama dengan penentuan struktur modal perusahaan. Apakah modal perusahaan akan diambil dari luar atau dari dalam perusahaan. Atau kedua-duanya dengan proporsi yang berbeda. Menurut Brealey et al. (2001:490): ”Leverage ratio is measure how much financial leverage the firm has taken on debt to equity”. Artinya bahwa rasio leverage adalah mengukur berapa banyak leverage keuangan perusahaan telah diambil pada hutang terhadap ekuitas. Kemudian menurut Van Horne (2001:470) dalam Puspita 2009: “Capital structure, the mix (or proportion) of a firm’s permanent long– term financing represented by debt, preferred stock, and common stock equity.” 31 Artinya bahwa struktur modal, gabungan (atau proporsi) pembiayaan permanen perusahaan jangka panjang diwakili oleh hutang, saham preferen, dan ekuitas saham biasa. Dari beberapa pengertian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa struktur modal memberikan gambaran bagaimana pembiayaan perusahaan dilakukan dengan menggunakan sumber dana jangka panjang dan modal sendiri berupa saham biasa, saham preferen dan laba yang ditahan. Menurut Brigham dan Ehrhardt (2002:632): “The optimal capital structure is the one that maximizes the price of the firm’s stock, and this generally calls for a debt ratio that is lower than the one that maximizes expected EPS.” Artinya bahwa struktur modal yang optimal adalah salah satu yang memaksimalkan harga saham perusahaan, dan ini umumnya disebut sebagai rasio utang yang lebih rendah daripada memaksimalkan EPS yang diharapkan. Selanjutnya menurut Damodaran (2001:560), bahwa : “The optimal capital structure hypothesis is to examine the stock price reaction to actions taken by firms either to increase or decrease leverage.They make these changes to get closer to their optimal capital structures, both debt-increasing and debt-decreasing actions should be accompanied by positive excess returns, at least on average.” Artinya bahwa hipotesis struktur modal yang optimal adalah untuk menguji reaksi harga saham untuk tindakan yang diambil oleh perusahaan baik untuk menambah atau mengurangi leverage. Mereka membuat perubahan ini agar mendapat struktur modal optimal, baik meningkatan hutang dan menurunkan hutang harus disertai dengan pengembalian pendapatan yang positif, setidaknya rata-rata. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa, struktur modal yang optimal adalah struktur modal perusahaan yang dapat meminimalkan biaya modal dan menaikkan harga saham perusahaan. 32 Menurut Mayo (2001:448) leverage dibagi menjadi dua jenis: (a) Operating Leverage (leverage operasi): Leverage operasi timbul pada saat perusahaan menggunakan biaya tetap pada produksi tanpa memperhatikan jumlah biaya tersebut, dari pada biaya variabel untuk menghasilkan mutu pada output. (a) Financial leverage (Leverage keuangan): Artinya bahwa leverage keuangan merupakan penggunaan dana untuk perusahan/orang lain dalam pengembalian perjanjian untuk membayar sebuah return tetap atas penggunaan dana hutang atau saham preferen dari keuangan. Rasio leverage digunakan untuk mengukur seberapa jauh perusahaan didanai dengan hutang. Modal yang akan digunakan oleh perusahaan dalam menjalankan operasionalisasinya dapat berasal dari pinjaman pihak ketiga. Hanya yang menjadi permasalahan adalah seberapa besar perusahaan harus menentukan besarnya modal sendiri yang akan digunakan juga seberapa besar modal pinjaman tersebut akan digunakan. Sementara Debt To Equity Ratio dapat diartikan jumlah modal sendiri perusahaan yang dibiayai oleh hutang yang berasal dari kreditur. Para kreditur memperhatikan equity yang memberi batas keamanan, akan tetapi dengan bertambahnya dana melalui hutang para pemilik memperoleh manfaat yakni dapat mempertahankan pengendalian atas perusahaan dengan suatu investasi yang terbatas. Adapun rasio yang digunakan sebagai dasar pembahasan adalah debt to equity ratio. Debt to equity ratio merupakan perhitungan sederhana yang membandingkan total hutang perusahaan dari modal pemegang saham. (Jurnal Ekonomi Akuntansi: www.petra.ac.id, 2005). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Ross et al. (2003:66) yang menyatakan bahwa: “Debt to equity ratio is dividing total debt with total equity”. Artinya bahwa Rasio hutang terhadap ekuitas adalah membagi total hutang dengan total ekuitas. Pernyataan tersebut didukung oleh pendapat Brealey et al. (2001:490) “Debt to equity is long term debt of the firm dividing equity“. Dapat disimpulkan bahwa debt to equity ratio merupakan rasio yang membandingkan total hutang 33 dengan total ekuitas dari pemegang saham. Dengan demikian, debt to equity ratio juga dapat memberikan gambaran mengenai struktur modal yang dimiliki oleh perusahaan sehingga dapat dilihat seberapa besar modal sendiri yang dimiliki perusahaan yang diperoleh dapat menjamin jumlah hutangnya. Financing = DER = Total Debt X 100% Total Equity Sumber : Sutrisno, 2000 2.2.5 Ukuran Kebijakan Dividen Dividen adalah pembagian keuntungan yang diberikan perusahaan penerbit saham tersebut atas keuntungan yang dihasilkan perusahaan. Dividen diberikan setelah mendapat persetujuan dari pemegang saham dalam RUPS. Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan dividen merupakan keputusan yang diambil oleh manajer keuangan dalam menentukan proporsi pendapatan yang akan dibagikan kepada para pemegang saham sebagai dividen yang diukur dengan besarnya Dividend Payout Ratio (DPR) dan pendapatan yang akan diinvestasikan kembali dalam perusahaan sebagai laba ditahan. ( Goh dan Koher, 2003). Dividend per lembar DPR = Laba bersih saham 2.3 Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 2.3.1 Pengertian Sertifikat Bank Indonesia (SBI) x 100% Sebagaimana tercantum dalam UU No.13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, salah satu tugas Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter adalah membantu pemerintah dalam mengatur, menjaga dan memelihara kestabilan nilai Rupiah. Bank Indonesia merupakan salah satu lembaga negara yang berwenang dalam menetapkan suku bunga untuk menjaga kestabilan moneter. Salah satu piranti moneter tidak langsung Bank Indonesia yaitu menggunakan Operasi Pasar Terbuka (OPT) yang dilaksanakan untuk mempengaruhi likuiditas Rupiah di 34 pasar uang, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat suku bunga. Operasi pasar terbuka ini dilakukan melalui dua cara yaitu penjualan Sertifikat Bank Indonesia dengan sistem pelelangan dan Intervensi Rupiah. Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No.8/13/DPM tentang Penerbitan Sertifikat Bank Indonesia Melalui Lelang, Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. Pengertian Sertifikat Bank Indonesia dari situs www.bi.go.id dijelaskan bahwa sertifikat bank Indonesia adalah : “Surat berharga atas unjuk dalam rupiah yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai pengakuan hutang jangka pendek dengan sistem diskonto.” Dalam menjaga kelangsungan variabel makro ekonomi suatu negara, pemerintah biasanya menetapkan suku bunga. Menurut Khalwaty (2000:143) definisi dari suku bunga adalah : ”Suku bunga merupakan instrumen konvensional untuk mengendalikan atau menekan laju pertumbuhan inflasi. Secara teori tingkat bunga yang dibayarkan bank adalah tingkat bunga nominal yang merupakan penjumlahan tingkat bunga riil ditambah inflasi (Mankiw, 2003 dalam www.scribd.com). Adanya kenaikan atau penurunan inflasi akan berdampak pada kenaikan atau penurunan tingkat bunga kredit. Suku bunga kredit yang ada pada saat ini dianggap beberapa kalangan baik dari pelaku bisnis maupun pakar ekonomi belum optimal. Mereka menuntut agar Bank Indonesia selaku penguasa moneter mempengaruhi suku bunga deposito dan suku bunga kredit berkaitan dengan turunnya SBI agar dapat meningkatkan atau mengembangkan sektor riil lewat kegiatan investasinya. Namun tuntutan itu belum atau baru sedikit yang dipenuhi (Info Bank, 2004). Menurut Karl dan Fair (2001:635) dalam www.KumpulBlogger.com, suku bunga adalah pembayaran bunga tahunan dari suatu pinjaman, dalam bentuk persentase dari pinjaman yang diperoleh dari jumlah bunga yang diterima tiap tahun dibagi dengan jumlah pinjaman. Kemudian pengertian suku bunga menurut Sunariyah (2004:80) adalah harga dari pinjaman. Suku bunga dinyatakan sebagai 35 persentase uang pokok per unit waktu. Bunga merupakan suatu ukuran harga sumber daya yang digunakan oleh debitur yang harus dibayarkan kepada kreditur. 2.3.2 Fungsi Sertifikat Bank Indonesia (SBI) SBI merupakan salah satu mekanisme yang digunakan Bank Indonesia untuk mengontrol kestabilan nilai Rupiah. Dengan menjual SBI, Bank Indonesia dapat menyerap kelebihan uang primer yang beredar. Fungsi suku bunga menurut Sunariyah (2004:81) adalah : 1. Sebagai daya tarik bagi para penabung yang mempunyai dana lebih untuk diinvestasikan. 2. Suku bunga dapat digunakan sebagai alat moneter dalam rangka mengendalikan penawaran dan permintaan uang yang beredar dalam suatu perekonomian. Misalnya, pemerintah mendukung pertumbuhan suatu sektor industri tertentu apabila perusahaan-perusahaan dari industri tersebut akan meminjam dana. Maka pemerintah memberi tingkat bunga yang lebih rendah dibandingkan sektor lain. 3. Pemerintah dapat memanfaatkan suku bunga untuk mengontrol jumlah uang beredar. Ini berarti, pemerintah dapat mengatur sirkulasi uang dalam suatu perekonomian. (KumpulBlogger.com 2009). 2.3.3 Tujuan Penerbitan Sertifikat Bank Indonesia Sebagai otoritas moneter, BI berkewajiban memelihara kestabilan nilai Rupiah. Dalam paradigma yang dianut, jumlah uang primer (uang kartal + uang giral di BI) yang berlebihan dapat mengurangi kestabilan nilai Rupiah. SBI diterbitkan dan dijual oleh BI untuk mengurangi kelebihan uang primer tersebut. (Oktavia, 2007). 2.3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sertifikat Bank Indonesia (SBI) Suku bunga itu sendiri ditentukan oleh dua kekuatan, yaitu : penawaran tabungan dan permintaan investasi modal (terutama dari sektor bisnis). Tabungan adalah selisih antara pendapatan dan konsumsi. Bunga pada dasarnya berperan 36 sebagai pendorong utama agar masyarakat bersedia menabung. Jumlah tabungan akan ditentukan oleh tinggi rendahnya tingkat bunga. Semakin tinggi suku bunga, akan semakin tinggi pula minat masyarakat untuk menabung, dan sebaliknya. Tinggi rendahnya penawaran dana investasi ditentukan oleh tinggi rendahnya suku bunga tabungan masyarakat. (KumpulBlogger.com 2009). 2.3.5 Dasar Hukum Sertifikat Bank Indonesia (SBI) Dasar hukum penerbitan SBI adalah UU No.13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.31/67/KEP/DIR tanggal 23 Juli 1998 tentang Penerbitan dan Perdagangan Sertifikat Bank Indonesia serta Intervensi Rupiah, dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/2/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System. (Oktavia, 2007). 2.3.6 Karakteristik Sertifikat Bank Indonesia (SBI) Karakteristik dari Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang dimuat dalam leaflet Bank Indonesia, sebagai berikut : 1. Jangka waktu maksimum 12 bulan 2. Denominasi, dari yang terendah Rp 50 juta sampai dengan yang tertinggi Rp 100 miliar. 3. Pembelian SBI oleh masyarakat minimal Rp 100 juta dan selebihnya dengan kelipatan Rp 50 juta. 4. Pembelian SBI didasarkan dengan nilai tunai yang diperoleh dengan rumus sebagai berikut : Nilai Tunai = NilaiNomialΧ360 [360 + (TingkatDiskontoΧJangkaWaktu )] 5. Pembeli SBI memperoleh hasil berupa nilai diskonto yang dibayar dimuka, yang diperoleh dengan rumus berikut : Nilai Diskonto = Nilai Nominal – Nilai Tunai 6. Pajak penghasilan atas diskonto dikenakan secara final sebesar 15%. 7. SBI diterbitkan tanpa warkat (scripless). 37 8. SBI dapat diperdagangkan di pasar sekunder. (Oktavia, 2007) 2.3.7 Ukuran Sertifikat Bank Indonesia (SBI) Melalui penggunaan SBI, Bank Indonesia secara tidak langsung dapat mempengaruhi tingkat suku bunga di pasar uang dengan jalan mengumumkan step out rate (SOR) yaitu tingkat suku bunga yang diterima oleh BI atas penawaran tingkat bunga dari peserta lelang harian, maupun lelang mingguan. Selanjutnya step out rate (SOR) tersebut akan dipakai sebagai indikator bagi tingkat suku bunga transaksi di pasar uang pada umumnya. Sedangkan cara penentuan suku bunga SBI dihitung dengan cara menghitung weight average dari SBI yang telah terjual dengan tingkat diskontonya masing-masing, suku bunga SBI yang berlaku pada saat itu dengan rumus seperti dibawah ini : Suku Bunga SBI = ΣΜ i⋅ ⋅ Wi Dimana : M i = Nominal SBI yang terjual kepada peserta i Wi = Tingkat Diskonto yang ditawarkan peserta i (Oktavia, 2007). 2.4 Nilai Tukar (Kurs) 2.4.1 Pengertian Nilai Tukar (Kurs) Nilai tukar (exchange rate) atau dikenal dengan kurs adalah harga mata uang suatu negara terhadap negara lain atau mata uang suatu negara dinyatakan dalam mata uang negara lain. Nilai tukar merupakan salah satu variabel penting dalam suatu perekonomian terbuka, karena variabel ini berpengaruh pada variabel-variabel lain seperti harga produk, tingkat bunga, neraca pembayaran, dan neraca transaksi berjalan (ekspor dikurangi impor). Peranan tersebut berkaitan erat dengan tingkat harga relatif dari barang-barang domestik dan barang-barang luar negeri dalam suatu hubungan perdagangan internasional. 38 Suatu perekonomian dapat memiliki tingkat nilai tukar yang berubah-ubah setiap waktu. Ketika nilai mata uang suatu negara meningkat relatif terhadap nilai mata uang negara lain, mata uang negara tersebut mengalami apresiasi. Apresiasi mata uang domestik akan berakibat pada makin mahalnya produk domestik di luar negeri dan barang-barang impor menjadi lebih murah (dengan asumsi harga domestik di kedua negara konstan). Demikian sebaliknya, ketika nilai mata uang suatu negara menurun relatif terhadap nilai mata uang negara lain maka mata uang negara tersebut mengalami depresiasi. Depresiasi mata uang domestik akan berakibat pada makin murahnya produk domestik di luar negeri dan barangbarang impor akan lebih mahal. Perubahan harga relatif akibat adanya apresiasi ataupun depresiasi mata uang akan berpengaruh pada kondisi perdagangan luar negeri suatu negara. Ada beberapa definisi mengenai kurs atau dikenal dengan istilah foreign exchange rate/ currencies rate, antara lain: Pengertian kurs valuta asing dikemukakan oleh Brigham (2000:878), sebagai berikut: “ An exchange rate specifics the number of units of a given currency that can be purchased for one unit of another currency”. Artinya bahwa nilai tukar secara spesifik adalah jumlah unit dari suatu mata uang yang dapat dibeli untuk satu unit mata uang lain. Selanjutnya Brealey, et al (2000:179) mengemukakan pula definisi dari kurs, sebagai berikut: “The number of unit of one currency that can be purchased with one unit of another currency is called the foreign exchange rate”. Artinya bahwa nilai tukar merupakan jumlah unit dari satu mata uang yang dapat dibeli dengan satu unit mata uang lain disebut kurs mata uang asing. Dengan kata lain nilai tukar digunakan sebagai alat untuk mengukur harga suatu mata uang atas dasar atau uang yang lain. Apabila permintaan atas suatu mata uang meningkat atau terjadi penurunan terhadap penawaran akan suatu mata uang, maka exchange rate akan semakin tinggi. Nilai tukar mata uang suatu negara akan berbeda dengan nilai mata uang asing lainnya, ini disebabkan oleh 39 kondisi paritas (perbedaan daya beli) atau secara teori ekonomi, perubahan nilai tukar, tingkat harga, dan tingkat suku bunga dikaitkan dengan situasi ekonomi makro negara tersebut hal ini merupakan kondisi paritas internasional. Menurunnya kurs Rupiah terhadap mata uang asing khususnya Dolar AS memiliki pengaruh negatif terhadap ekonomi dan pasar modal (Sitinjak dan Kurniasari, 2003 dalam Oktavia 2007). 2.4.2 Penentuan Nilai Tukar (Kurs) Dalam menentukan nilai tukar, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar, yaitu (Oktavia, 2007) : 1. Faktor Fundamental Faktor fundamental berkaitan dengan indikator-indikator ekonomi seperti inflasi, suku bunga, perbedaan relatif pendapatan antar-negara, ekspektasi pasar dan intervensi Bank Sentral. 2. Faktor Teknis Faktor teknis berkaitan dengan kondisi penawaran dan permintaan devisa pada saat-saat tertentu. Apabila ada kelebihan permintaan, sementara penawaran tetap, maka harga valas akan naik dan sebaliknya. 3. Sentimen Pasar Sentimen pasar lebih banyak disebabkan oleh rumor atau berita-berita politik yang bersifat insidentil, yang dapat mendorong harga valas naik atau turun secara tajam dalam jangka pendek. Apabila rumor atau berita-berita sudah berlalu, maka nilai tukar akan kembali normal. 2.4.3 Sistem Nilai Tukar (Kurs) Konsep penentuan kurs diawali dengan konsep Purchasing Power Parity (PPP), kemudian berkembang konsep dengan pendekatan neraca pembayaran (balance of payment theory). Perkembangan konsep penentuan kurs valuta asing selanjutnya adalah pendekatan moneter (monetary approach). Pendekatan moneter menekankan bahwa kurs valuta asing sebagai harga relatif dari dua jenis mata uang, ditentukan oleh keseimbangan permintaan dan penawaran uang. 40 Pendekatan moneter mempunyai dua anggapan pokok, yaitu berlakunya teori paritas daya beli dan adanya teori permintaan uang yang stabil dari sejumlah variabel ekonomi agregate. Hal tersebut berarti model pendekatan moneter terhadap kurs valuta asing dapat ditentukan dengan mengembangkan model permintaan uang dan model paritas daya beli. (Jurnal Bisnis dan Ekonomi, www.stie-stikubank.ac.id, 2002) Menurut Kuncoro (2001: 26-31) dalam Oktavia (2007), terdapat beberapa sistem kurs mata uang yang berlaku di perekonomian internasional, yaitu: 1. Sistem kurs mengambang (floating exchange rate), sistem kurs ini ditentukan oleh mekanisme pasar dengan atau tanpa upaya stabilisasi oleh otoritas moneter. Di dalam sistem kurs mengambang dikenal dua macam kurs mengambang, yaitu : a. Mengambang bebas (murni) dimana kurs mata uang ditentukan sepenuhnya oleh mekanisme pasar tanpa ada campur tangan pemerintah. Sistem ini sering disebut clean floating exchange rate, di dalam sistem ini cadangan devisa tidak diperlukan karena otoritas moneter tidak berupaya untuk menetapkan atau memanipulasi kurs. b. Mengambang terkendali (managed or dirty floating exchange rate) dimana otoritas moneter berperan aktif dalam menstabilkan kurs pada tingkat tertentu. Oleh karena itu, cadangan devisa biasanya dibutuhkan karena otoritas moneter perlu membeli atau menjual valas untuk mempengaruhi pergerakan kurs. 2. Sistem kurs tertambat (peged exchange rate). Dalam sistem ini, suatu Negara mengkaitkan nilai mata uangnya dengan suatu mata uang negara lain atau sekelompok mata uang, yang biasanya merupakan mata uang negara partner dagang yang utama “Menambatkan“ ke suatu mata uang berarti nilai mata uang tersebut bergerak mengikuti mata uang yang menjadi tambatannya. Jadi sebenarnya mata uang yang ditambatkan tidak mengalami fluktuasi tetapi hanya berfluktuasi terhadap mata uang lain mengikuti mata uang yang menjadi tambatannya. 41 3. Sistem kurs tertambat merangkak (crawling pegs). Dalam sistem ini, suatu negara melakukan sedikit perubahan dalam nilai mata uangnya secara periodic dengan tujuan untuk bergerak menuju nilai tertentu pada rentang waktu tertentu. Keuntungan utama sistem ini adalah suatu negara dapat mengatur penyesuaian kursnya dalam periode yang lebih lama dibanding sistem kurs tertambat. Oleh karena itu, sistem ini dapat menghindari kejutan-kejutan terhadap perekonomian akibat revaluasi atau devaluasi yang tiba-tiba dan tajam. 4. Sistem sekeranjang mata uang (basket of currencies). Banyak negara terutama negara sedang berkembang menetapkan nilai mata uangnya berdasarkan sekeranjang mata uang. Keuntungan dari sistem ini adalah menawarkan stabilitas mata uang suatu negara karena pergerakan mata uang disebar dalam sekeranjang mata uang. Seleksi mata uang yang dimasukkan dalam “keranjang“ umumnya ditentukan oleh peranannya dalam membiayai perdagangan negara tertentu. Mata\uang yang berlainan diberi bobot yang berbeda tergantung peran relatifnya terhadap negara tersebut. Jadi sekeranjang mata uang bagi suatu negara dapat terdiri dari beberapa mata uang yang berbeda dengan bobot yang berbeda. 5. Sistem kurs tetap (fixed exchange rate). Dalam sistem ini, suatu Negara mengumumkan suatu kurs tertentu atas nama uangnya dan menjaga kurs ini dengan menyetujui untuk menjual atau membeli valas dalam jumlah tidak terbatas pada kurs tersebut. Kurs biasanya tetap atau diperbolehkan berfluktuasi dalam batas yang sangat sempit. (Oktavia, 2007). 2.4.4 Sejarah Perkembangan Kebijakan Nilai Tukar (Kurs) di Indonesia Sejak tahun 1970, negara Indonesia telah menerapkan tiga sistem nilai tukar, (Jurnal Bisnis dan Ekonomi, www.stie-stikubank.ac.id, 2002) yaitu: 1. Sistem kurs tetap (1970- 1978) Sesuai dengan Undang-Undang No.32 Tahun 1964, Indonesia menganut sistem nilai tukar tetap kurs resmi Rp. 250/US$, sementara kurs uang lainnya dihitung berdasarkan nilai tukar rupiah terhadap US$. Untuk menjaga kestabilan nilai 42 tukar pada tingkat yang ditetapkan, Bank Indonesia melakukan intervensi aktif di pasar valuta asing. 2. Sistem mengambang terkendali (1978-Juli 1997) Pada masa ini, nilai tukar rupiah didasarkan pada sistem sekeranjang mata uang (basket of currencies). Kebijakan ini diterapkan bersama dengan dilakukannya devaluasi rupiah pada tahun 1978. Dengan sistem ini, pemerintah menetapkan kurs indikasi (pembatas) dan membiarkan kurs bergerak di pasar dengan spread tertentu. Pemerintah hanya melakukan intervensi bila kurs bergejolak melebihi batas atas atau bawah dari spread. 3. Sistem kurs mengambang (14 Agustus 1997-sekarang) Sejak pertengahan Juli 1997, nilai tukar rupiah terhadap US$ semakin melemah. Sehubungan dengan hal tersebut dan dalam rangka mengamankan cadangan devisa yang terus berkurang maka pemerintah memutuskan untuk menghapus rentang intervensi (sistem nilai tukar mengambang terkendali) dan mulai menganut sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate) pada tanggal 14 Agustus 1997. Penghapusan rentang intervensi ini juga dimaksudkan untuk mengurangi kegiatan intervensi pemerintah terhadap rupiah dan memantapkan pelaksanaan kebijakan moneter dalam negeri. 2.4.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar (Kurs) Ada beberapa faktor utama yang mempengaruhi tinggi rendahnya nilai tukar mata uang dalam negeri terhadap mata uang asing. Faktor-faktor tersebut adalah (KumpulBlogger.com 2009): 1. Laju inflasi relative Dalam pasar valuta asing, perdagangan internasional baik dalam bentuk barang atau jasa menjadi dasar yang utama dalam pasar valuta asing, sehingga perubahan harga dalam negeri yang relatif terhadap harga luar negeri dipandang sebagai faktor yang mempengaruhi pergerakan kurs valuta asing. Misalnya, jika Amerika sebagai mitra dagang Indonesia mengalami tingkat inflasi yang cukup tinggi maka harga barang Amerika 43 juga menjadi lebih tinggi, sehingga otomatis permintaan terhadap barang dagangan relatif mengalami penurunan. 2. Tingkat pendapatan relative Faktor lain yang mempengaruhi permintaan dan penawaran dalam pasar mata uang asing adalah laju pertumbuhan riil terhadap harga-harga luar negeri. Laju pertumbuhan riil dalam negeri diperkirakan akan melemahkan kurs mata uang asing. Sedangkan pendapatan riil dalam negeri akan meningkatkan permintaan valuta asing relatif dibandingkan dengan supply yang tersedia. 3. Suku bunga relative Kenaikan suku bunga mengakibatkan aktifitas dalam negeri menjadi lebih menarik bagi para penanam modal dalam negeri maupun luar negeri. Terjadinya penanaman modal cenderung mengakibatkan naiknya nilai mata uang yang semuanya tergantung pada besarnya perbedaan tingkat suku bunga di dalam dan di luar negeri, maka perlu dilihat mana yang lebih murah, di dalam atau di luar negeri. Dengan demikian sumber dari perbedaan itu akan menyebabkan terjadinya kenaikan kurs mata uang asing terhadap mata uang dalam negeri. 4. Kontrol pemerintah Menurut Madura (2003:114) dalam www.KumpulBlogger.com, bahwa kebijakan pemerintah bisa mempengaruhi keseimbangan nilai tukar dalam berbagai hal termasuk: a. Usaha untuk menghindari hambatan nilai tukar valuta asing. b. Usaha untuk menghindari hambatan perdagangan luar negeri. c. Melakukan intervensi di pasar uang yaitu dengan menjual dan membeli mata uang. Alasan pemerintah untuk melakukan intervensi di pasar uang adalah: 1) Untuk memperlancar perubahan dari nilai tukar uang domestik yang bersangkutan. 2) Untuk membuat kondisi nilai tukar domestik di dalam batas-batas yang ditentukan. 3) Tanggapan atas gangguan yang bersifat sementara. 44 d. Berpengaruh terhadap variabel makro seperti inflasi, tingkat suku bunga dan tingkat pendapatan. 5. Ekspektasi Faktor kelima yang mempengaruhi nilai tukar valuta asing adalah ekspektasi atau nilai tukar di masa depan. Sama seperti pasar keuangan yang lain, pasar valas bereaksi cepat terhadap setiap berita yang memiliki dampak ke depan. Sebagai contoh, berita mengenai bakal melonjaknya inflasi di AS mungkin bisa menyebabkan pedagang valas menjual Dollar, karena memperkirakan nilai Dollar akan menurun di masa depan. Reaksi langsung akan menekan nilai tukar Dollar dalam pasar. Kemudian menurut Madura (2003:111-123), untuk menentukan perubahan nilai tukar antar mata uang suatu negara dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terjadi di negara yang bersangkutan yaitu selisih tingkat inflasi, selisih tingkat suku bunga, selisih tingkat pertumbuhan GDP, intervensi pemerintah di pasar valuta asing dan expectations (perkiraan pasar atas nilai mata uang yang akan datang). 2.4.6 Ukuran Nilai Tukar (Kurs) Nilai tukar rupiah per Dollar yang digunakan dalam penelitian ini adalah data nilai tukar kurs tengah. Perhitungan yang digunakan untuk mencari rata-rata kurs tengah Rupiah per Dollar AS bulanan, adalah berikut (www.scribd.com, 2010): Nilai kurs jual terhadap USD + Nilai kurs beli terhadap USD Kurs tengah = 2 Perkembangan nilai tukar rupiah terhadap beberapa mata uang negara lain terutama Dollar AS ternyata kekuatannya menurun. Penurunan tersebut tidak terlepas dari faktor-faktor fundamental antara lain inflasi dan suku bunga. Bahwa perbedaan tingkat suku bunga di dalam negeri dan di luar negeri yang perubahannya dapat terjadi secara cepat seharusnya menjadi pertimbangan untuk 45 pengendalian nilai tukar secara jangka pendek. Sedangkan perbedaan tingkat harga yang perubahannya relatif lebih lambat menjadi pertimbangan untuk menentukan arah perkembangan nilai tukar dalam jangka panjang. Selain itu daripada secara langsung memperhatikan perubahan-perubahan faktor tersebut, pemerintah mungkin lebih memperhatikan dampak dari perubahan faktor-faktor luar negeri pada neraca pembayaran yang terdiri dari transaksi berjalan dan transaksi modal. Berhubung lalu lintas modal, pemerintah banyak tergantung pada hasil negoisasi yang cenderung bersifat politis, maka aliran modal swasta barangkali lebih penting dalam manajemen nilai tukar khususnya dalam jangka pendek. Inflasi atau kenaikan harga secara umum yang terus menerus akan cenderung memperlemah nilai tukar. Hal ini disebabkan dengan semakin meningkatnya harga barang dalam negeri akan berakibat meningkatnya permintaan terhadap impor dan menurunnya ekspor Indonesia ke negara lain. Begitu pula untuk suku bunga pinjaman dalam negeri yang semakin meningkat akan cenderung memperkecil ekspor dan memperkuat impor Indonesia. Berbicara tentang nilai tukar tersebut, sebagian para ahli berpendapat bahwa perubahan kurs sejak 1972 adalah sebagai kosekuensi dari adanya perbedaan tingkat inflasi di antara negara-negara di dunia. Sebenarnya pandangan ini merupakan penerapan teori Paritas Daya Beli (Purchasing Power Parity). Menurut teori ini, perubahan kurs mata uang suatu negara dengan negara lain tergantung pada perbedaan tingkat inflasi di kedua negara tersebut. Suatu negara yang tingkat inflasinya lebih tinggi cenderung mengalami depresiasi terhadap mata uang negara lain. Namun pada kenyataannya perhitungan kurs atas dasar Teori Paritas Daya Beli ini mengalami kesulitan, terutama dalam mengukur perbedaan harga relatif atau inflasi serta menekankan komposisi barang yang dipakai dalam perhitungan tingkat inflasi. (Oktavia, 2007). 46 2.5 Hubungan Kebijakan Dividen, Tingkat Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Nilai Tukar (Kurs) terhadap Risiko Investasi 2.5.1 Hubungan Kebijakan Dividen dengan Risiko Investasi Menurut Chen dan Steiner (1999) dalam www.KumpulBlogger.com variabe risiko mempunyai hubungan negatif dan signifikan terhadap kebijakan dividen. Dengan tingginya risiko investasi yang dihadapi perusahaan akan diantisipasi dengan kebijakan pembayaran dividen yang rendah. Dividen yang rendah dapat digunakan untuk menghindari pemotongan dividen dimasa mendatang sehingga pengalokasian sebagian keuntungan pada laba ditahan dapat digunakan untuk investasi lebih lanjut. (kumpulblogger.com 2010). 2.5.1.1 Hubungan Keputusan Investasi, Profitabilitas, Likuiditas dan Leverage terhadap Kebijakan Dividen Masalah dalam kebijakan dan pembayaran dividen mempunyai dampak yang sangat baik bagi para investor maupun bagi perusahaan yang akan membayarkan dividennya. Pada umumnya para investor mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraannya yaitu dengan mengharapkan return dalam bentuk dividen maupun capital gain. Di lain pihak, perusahaan juga mengharapkan adanya pertumbuhan secara terus menerus untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, yang sekaligus juga harus memberikan kesejahteraan yang lebih besar kepada para pemegang sahamnya. Tentunya hal ini akan menjadi unik karena kebijakan dividen adalah sangat penting untuk memenuhi harapan para pemegang saham terhadap dividen, dan dari satu sisi juga tidak harus menghambat pertumbuhan perusahaan. (Widiyanti 2009). Pertumbuhan perusahaan dan dividen adalah kedua hal yang diinginkan perusahaan tetapi sekaligus merupakan suatu tujuan yang berlawanan. Untuk mencapai tujuan tadi perusahaan menetapkan kebijakan dividen yaitu kebijakan yang dibuat oleh perusahaan untuk menetapkan proporsi pendapatan yang dibagikan sebagai dividen yang dibayar, berarti semakin sedikit laba yang dapat ditahan dan sebagai akibatnya ialah menghambat pertumbuhan perusahaan. Sebaliknya, kalau perusahaan ingin menahan sebagian besar labanya tetap di 47 dalam perusahaan berarti bagian dari laba yang tersedia untuk pembayaran dividen adalah semakin kecil. Akibatnya, dividen yang di terima pemegang saham atau investor bisa dan tidak sebanding dengan risiko yang mereka tanggung. (Damayanti dan Achyani, 2006: p.53 dalam Puspita 2009). Mengingat akan arti penting laba, baik bagi perusahaan maupun bagi pihak investor, dimana perusahaan berkepentingan untuk menjaga kelangsungan hidup perusahaan. Perusahaan berkepentingan untuk meningkatkan pertumbuhan perusahaan, sementara di lain pihak investor mengharapkan adanya pembagian keuntungan atas laba yang diperoleh ( dividen ). Perusahaan harus bisa membuat sebuah kebijakan yang optimal. Kebijakan yang diambil harus bisa memenuhi kebutuhan dana, sedangkan pihak investor memperoleh apa yang diinginkan, sehingga investor tidak mengalihkan investasinya ke perusahaan lain. (Levy dan Sarnat, dalam Sutrisno, 2002:2). 1. Hubungan Keputusan Investasi dengan Kebijakan Dividen Dalam meningkatkan nilai perusahaan, disamping membuat kebijakan dividen, perusahaan dituntut untuk tumbuh. Pertumbuhan dapat diwujudkan dengan menggunakan kesempatan investasi sebaik-baiknya. Investasi berhubungan dengan pendanaan dan apabila investasi sebagian besar didanai internal equity, sehingga akan mempengaruhi besarnya dividen yang dibagikan, dan apabila dana internal equity kurang mencukupi dari dana yang dibutuhkan untuk investasi maka bisa dipenuhinya dari eksternal khususnya dari hutang. Perusahaan yang cenderung menggunakan sumber dana eksternal untuk mendanai tambahan investasi akan membagikan dividen yang lebih besar (Surasni, 1998, dalam Yuniningsih, 2002). Untuk itulah, manajer harus dapat menentukan kebijakan dividen yang memberikan keuntungan kepada investor. Di sisi lain harus menjalankan perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang diharapkan 2. Hubungan Profitabilitas dengan Kebijakan Dividen Selain variabel investasi, variabel lainnya yang mempengaruhi kebijakan dividen adalah variabel profitabilitas, likuiditas dan leverage. Faktor profitabilitas 48 berpengaruh terhadap kebijakan dividen karena dividen adalah sebagian dari laba bersih yang diperoleh perusahaan, oleh karena itu dividen akan dibagikan apabila perusahaan memperoleh keuntungan. Perusahaan yang semakin besar keuntungannya akan membayar porsi pendapatan yang semakin besar sebagai dividen (Sudarsi 2002:79). Oleh karena dividen diambil dari keuntungan bersih yang diperoleh perusahaan, maka keuntungan tersebut akan mempengaruhi besarnya dividen payout ratio. Perusahaan yang memperoleh keuntungan cederung akan membayar porsi keuntungan yang lebih besar sebagai dividen. Semakin besar keuntungan yang diperoleh, maka akan semakin besar pula kemampuan perusahaan untuk membayar dividen. (Damayanti dan Achyani,2006 dalam Puspita 2009). 3. Hubungan Likuiditas dengan Kebijakan Dividen Sedangkan untuk variabel likuiditas, likuiditas bukan digunakan membayar dividen tetapi dialokasikan pada pembelian aktiva tetap atau aktiva lancar yang permanen, guna memanfaatkan kesempatan investasi yang ada, serta untuk biaya operasional. Profitabilitas tinggi pada saat ini tidak mempengaruhi kenaikan dividen saat ini dan perusahaan tidak akan meningkatkan atau menurunkan dividen sebagai respon terhadap fluktuasi keuntungan yang sifatnya sementara (Riyanto, 2001 dalam Mulato 2008). 4. Hubungan Leverage dengan Kebijakan Dividen Dalam penelitian ini, variabel leverage yang digunakan adalah Debt to equity ratio. Debt to equity ratio mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya, yang ditunjukkan oleh berapa bagian modal sendiri yang digunakan untuk membayar hutang. Debt to equity ratio merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat leverage (penggunaan utang) terhadap total shareholders’ equity yang dimiliki perusahaan (Ang 2007:18.35 dalam Puspita 2009). Faktor ini mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya yang ditunjukkan oleh beberapa bagian modal sendiri yang digunakan untuk membayar hutang. Semakin besar rasio ini 49 menunjukkan semakin besar kewajibannya dan rasio yang semakin rendah akan menunjukkan semakin tinggi kemampuan perusahaan memenuhi kewajibannya. Apabila perusahaan menentukan bahwa pelunasan utangnya akan diambilkan dari laba ditahan, berarti perusahaan harus menahan sebagian besar dari pendapatannya untuk keperluan tersebut, yang ini berarti berarti hanya sebagian kecil saja yang pendapatan yang dapat dibayarkan sebagai dividen (Riyanto 2001:267 dalam Puspita 2009). Peningkatan utang ini akan mempengaruhi tingkat pendapatan bersih yang tersedia bagi pemegang saham, artinya semakin tinggi kewajiban perusahaan, akan semakin menurunkan kemampuan perusahaan membayar dividen (Sudarsi 2002:80). Prihantoro (2003) menyatakan bahwa debt equity ratio mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya, yang ditunjukkan oleh berapa bagian modal sendiri yang digunakan untuk membayar hutang. Oleh karena itu, semakin rendah DER akan semakin tinggi kemampuan perusahaan untuk membayar semua kewajibannya. Semakin besar proporsi utang yang digunakan untuk struktur modal suatu perusahaan, maka akan semakin besar jumlah kewajiban (Prihantoro, 2003: p.10). Peningkatan hutang pada gilirannya akan mempengaruhi besar kecilnya laba bersih yang tersedia bagi para pemegang saham termasuk dividen yang akan diterima, karena kewajiban tersebut lebih diprioritaskan daripada pembagian dividen. Jika beban hutang tinggi, maka kemampuan perusahaan untuk membagi dividen akan semakin rendah, sehingga DER mempunyai hubungan negatif dengan dividend payout ratio (Prihantoro ,2003: p.10). Jadi, jika tingkat profitabilitas perusahaan tinggi, tingkat likuiditas rendah dan tingkat leverage yang tinggi maka akan semakin tinggi pula tingkat kemungkinan dividen yang akan dibagikan oleh perusahaan. Dividen yang dibayarkan kepada para pemegang saham tergantung kepada kebijakan masingmasing perusahaan, sehingga memerlukan pertimbangan yang lebih serius dari manajemen perusahaan. (Levy dan Sarnat, dalam Sutrisno, 2001:2 ). 50 2.5.2 Hubungan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan Risiko Investasi Pada kondisi perekonomian seperti saat ini, risiko meningkat tanpa diikuti kenaikan harapan keuntungan yang proporsional. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi fluktuasi risiko investasi. Salah satunya adalah tingkat suku bunga yang merupakan faktor di luar fundamental perusahaan. Apabila tingkat suku bunga tinggi, maka para investor akan lebih tertarik untuk menyimpan uang mereka di bank, dan sebaliknya jika tingkat suku bunga rendah, maka para investor akan lebih memilih berinvestasi di saham. Walaupun risiko yang diakibatkannya lebih besar, namun para investor mengejar tingkat pengembalian yang lebih tinggi sebab bunga bank sudah dianggap tidak memadai lagi. (Makaryanawati dan Ulum, 2009). Tingkat suku bunga merupakan persentase dari pokok pinjaman yang harus dibayar oleh peminjam kepada pemberi pinjaman sebagai imbal jasa yang dilakukan dalam suatu periode tertentu yang telah disepakati kedua belah pihak. Sunariyah (2006:105) mengemukakan bahwa apabila tingkat bunga meningkat maka jumlah tabungan juga akan meningkat. Hal ini sangat rasional karena bunga adalah sebagai daya tarik agar individu yang kelebihan dana akan menabung. Karvof (2004:79) mengungkapkan bahwa secara teoritis hubungan antara tingkat suku bunga dan kinerja pasar modal adalah negatif atau berbanding terbalik. Kenaikan suku bunga pada umumnya akan membuat harga saham turun karena akan memotong laba perusahaan. Hal ini terjadi dengan 2 (dua) cara. Pertama, kenaikan suku bunga akan meningkatkan biaya modal (cost of capital) dalam bentuk beban bunga yang harus ditanggung perusahaan, sehingga labanya bisa terpangkas. Kedua, ketika suku bunga tinggi, biaya produksi akan meningkat dan harga produk akan semakin mahal sehingga konsumen mungkin menunda pembeliannya dan menyimpan dananya di bank. Akibat selanjutnya penjualan perusahaan menurun dan penurunan penjualan mengakibatkan laba juga menurun dan akan menekan harga sahamnya yang listing di bursa. Berdasarkan pendapat di atas, menunjukkan bahwa tingkat suku bunga merupakan hal penting dan salah satu faktor yang mempengaruhi risiko investasi. Jika tingkat suku bunga tinggi, 51 maka akan mengakibatkan harga saham turun dan risiko investasi menjadi menurun. Sebaliknya, jika tingkat suku bunga rendah, maka akan mengakibatkan harga saham naik dan risiko investasi menjadi meningkat. (Makaryanawati dan Ulum, 2009). 2.5.3 Hubungan Nilai Tukar (kurs) dengan Risiko Investasi Perubahan nilai kurs timbul apabila terdapat perubahan kurs antara tanggal transaksi dan tanggal penyelesaian pos moneter yang timbul dari transaksi dalam mata uang asing. Tingkat keuntungan yang diharapkan dari adanya investasi akan menurun dengan cepat jika nilai kurs berubah tajam, sehingga bagi para pelaku ekonomi semakin rendah tingkat perubahan nilai kurs adalah semakin baik. Hal ini akan mempengaruhi keputusan seorang investor dalam berinvestasi. Permintaan terhadap saham menjadi turun dan risiko saham meningkat. Oleh karena itu, dalam melakukan investasi, seorang investor tentu akan menanamkan modalnya pada perusahaan yang mempunyai kinerja yang baik. Kinerja yang baik menunjukkan bahwa perusahaan dapat meningkatkan kekayaan bagi pemegang sahamnya. Artinya, perusahaan berhasil memberikan tingkat pengembalian sebagaimana yang diharapkan oleh investor, yang berupa capital gain atau dividen. (Zubaidah, 2004).