Majalah DAFTAR ISI Edisi 7 | Oktober 2015 Dr. H. MUKHTAR ZAMZAMI, S.H., M.H. Pedagang Asongan Jadi Hakim Agung LAPORAN UTAMA: Penegakan Hukum Keluarga di Indonesia INSPIRASI: Prof. Dr. H. M. ATHO MUDZHAR, MSPD PENGADILAN AGAMA BARABAI Tonggak Sejarah Pengadilan Agama DAFTAR ISI ...................................................................................... SALAM REDAKSI ........................................................................... EDITORIAL ........................................................................................ LAPORAN UTAMA ......................................................................... TOKOH BICARA .............................................................................. FENOMENAL ................................................................................... PERADILANMANCANEGARA .................................................. OPINI .................................................................................................... WAWANCARA KHUSUS ........................................................... TOKOH KITA ..................................................................................... INSPIRASI .......................................................................................... PROGRAM PRIORITAS................................................................. POSTUR ............................................................................................... PA INSPIRATIF ................................................................................ KILAS PERISTIWA ......................................................................... AKTUAL ............................................................................................. KISAH NYATA ................................................................................. EKONOMI SYARIAH ..................................................................... JINAYAH ............................................................................................ RESENSI ............................................................................................. POJOK DIRJEN ................................................................................. MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 1 2 3 4 27 28 34 44 53 58 63 66 69 71 76 80 84 87 90 93 95 1 SalamRedaksi Dinamika Kita Assalamu'alaikum wr. wb. Apa lagi yang baru dan menarik dari Majalah Peradilan Agama? Pertanyaan itu dilontarkan seorang pembaca setia majalah ini, beberapa waktu lalu. Selalu tidak mudah menjawab pertanyaan klise semacam itu. Lebih tidak mudah lagi jika pertanyaan itu disempurnakan menjadi: apa yang baru, menarik dan sekaligus penting? Tiga hal itu--baru, menarik dan penting--memang sifat dasar yang melekat pada tiap-tiap publikasi yang terbit secara berkala. Tak terkecuali majalah ini, yang terbit berkala tiap empat bulan. Kami tidak hendak menjawab pertanyaan itu di ruang yang terbatas ini. Kami lebih suka mempersilakan para pembaca untuk membuat penilaian sendiri: mana isi majalah ini yang baru, menarik dan penting. Mana pula yang mungkin sudah usang, membosankan dan tidak berguna. Pada edisi kali ini, kami menyuguhkan tema besar tentang pembaruan hukum Islam dalam bidang keluarga. Relevansinya dengan tugas pokok peradilan agama sungguh nyata. Yang kami olah dan sajikan tak cuma pengulangan dan penambalan terhadap tulisan-tulisan serupa di berbagai buku dan jurnal. Kami berjuang untuk menonjolkan sisi-sisi baru, atau setidak-tidaknya mengurai persoalan lama dengan menggunakan perspektif baru yang menarik dan penting. Penerbitan majalah ini pada edisinya yang ketujuh didahului dengan diskusi hukum berskala nasional. Pola serupa pernah kami pakai sebelumnya, namun dalam beberapa edisi mutakhir, penerbitan majalah ini tidak disatupaketkan dengan diskusi serupa. Tentu, ada pelbagai sebab yang melatarbelakanginya. Kali ini kami menghadirkan pula wawancara khusus dengan Dirjen Badilag yang pertama: Pak Wahyu Widiana. Ia peletak dasar fondasi keterbukaan informasi, pembudayaan TI dan akses terhadap keadilan bagi kelompok-kelompok rentan di peradilan agama. Ada pula sajian-sajian lain dalam pelbagai rubrik yang kami yakini punya daya pikat, sekaligus bernilai guna buat para pembaca. Seluruh suguhan itu menunjukkan bahwa peradilan agama terus berdinamika. Oya, kami Tim Redaksi juga berdinamika. Sebagian di antara kami menjalani mutasi, sebagian lainnya dianugerahi promosi. Seperti bus, ada yang pindah antarkota dalam provinsi; ada pula yang hijrah antarkota antarprovinsi. Kami sadar betul, sumbangsih kami kepada institusi kita melalui majalah ini masih tidak seberapa dibandingkan dengan sumbangsih Ibu-ibu dan Bapakbapak. Meski demikian, kami selalu berharap, sumbangsih kami yang kecil ini di kemudian hari dapat menjadi noktah-noktah yang turut mewarnai cerahburamnya masa depan institusi kita. Selamat membaca! 2 MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 DEWAN PAKAR : Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.Ip., M.Hum. Dr. H. Ahmad Kamil, S.H., M.Hum. Dr. H. Habiburrahman, S.H., M.Hum. Dr. H. Mukhtar Zamzami, S.H. M.H. Dr. H. Purwosusilo, S.H., M.H. Dr. H. Amran Suadi, S.H., M.M., M.H. PENASEHAT : Drs. H. Abdul Manaf, M.H. PENANGGUNG JAWAB: H. Tukiran, S.H., M.M. REDAKTUR SENIOR : Dr. H. Hasbi Hasan, S.H., M.H. Dr. H. Fauzan, S.H., M.M., M.H. Drs. H. Hidayatullah MS, M.H. Drs. H. Abd. Ghoni, S.H., M.H. Arief Gunawansyah, S.H., M.H. H. Arjuna, S.H., M.H. Dr. H. Abu Tholhah, M.Pd. Asep Nursobah, S.Ag., M.H. REDAKTUR PELAKSANA : Achmad Cholil, S.Ag., LL..M. EDITOR : Rahmat Arijaya, S.Ag., M.Ag. Hermansyah, S.HI. Mahrus Abdurrahim, Lc., M.H. Candra Boy Seroza, S.Ag., M.Ag. DEWAN REDAKSI : Dr. Ahmad Zaenal Fanani, S.HI., M.SI. Dr. Sugiri Permana, M.H. Achmad Fauzi, S.HI. Ade Firman Fathony, S.HI., M.SI. Alimuddin, S.HI., M.H. Edi Hudiata, Lc., M.H. M. Isna Wahyudi, S.HI. M.SI. Mohammad M. Noor, S.Ag. SEKRETARIAT : Hirpan Hilmi, S.T. DESAIN GRAFIS/FOTOGRAFER : Ridwan Anwar, S.E. Iwan Kartiwan, S.H. SIRKULASI/DISTRIBUSI : H. Dadang Syarif Hendra Friza DITERBITKAN OLEH: Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI ISSN 2355-2476 ALAMAT REDAKSI: Gedung Sekretariat Mahkamah Agung RI lt.6 Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 bypass Cempaka Putih, Jakarta Pusat Telp. (021) 290 79277; Fax. (021) 290 79211 Email: [email protected], [email protected] www.badilag.net Editorial Hakim Peradilan Agama, Pembaru Hukum Keluarga di Indonesia S udah lebih dari empat dekade, UndangUndang Perkawinan (UU No. 1/1974) yang dianggap sebagai titik awal reformasi hukum keluarga (Islam) di Indonesia belum juga diamandemen. Padahal sudah bisa dipastikan, kondisi dan situasi masyarakat sekarang sudah jauh berbeda dengan kondisi dan situasi saat Undang-Undang tersebut disahkan. Perubahan kondisi sosial masyarakat Indonesia akibat semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi informasi seiring dengan pengaruh globalisasi dan reformasi di berbagai bidang, meniscayakan kebutuhan adanya norma hukum yang sesuai dengan perkembangan zaman. Dan Undang-Undang ciptaan manusia yang dibuat empat puluh tahun lalu memiliki kemungkinan besar gagap dalam menyikapi persoalan hukum yang datang di masa kini. Akibatnya, akan semakin bermunculan kekosongan hukum karena absennya normanorma hukum keluarga yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Sedangkan di sisi lain, kebutuhan masyarakat terhadap solusi atas persoalan hukum yang membelit mereka tidak bisa ditunda lagi. Jika dirunut ke belakang, usaha untuk merevisi Undang-Undang Perkawinan sebenarnya sudah beberapa kali dilakukan. Termasuk juga revisi atas Kompilasi Hukum Islam (KHI). Akan tetapi semua usaha itu menemui jalan buntu. Usulan amandemen yang diajukan Pemerintah dan DPR selalu saja gagal. Sebagaimana kelahiran Undang Undang Perkawinan pada tahun 1974 yang diiringi dengan kontroversi dan pertentangan sengit dari berbagai kelompok yang berbeda, usaha untuk mengamandemen UU No. 1/1974 dan KHI sampai sekarang selalu saja menuai kontroversi yang luas. Alhasil, sejauh ini usaha pembaruan hukum keluarga melalui legislasi terbukti gagal. Dan ke depan, kita tidak bisa berharap banyak reformasi hukum keluarga itu terwujud melalui Parlemen. Pertanyaannya kemudian, bagaimana jika terdapat kekosongan hukum atas suatu persoalan hukum keluarga di Peradilan Agama? Di sinilah letak signifikannya peran hakim Peradilan Agama dalam mereformasi hukum keluarga di Indonesia. Jika dilihat berbagai putusan dan penetapan yang dibuat oleh hakimhakim Peradilan Agama di seantero Indonesia, banyak pembaruan hukum keluarga yang sudah dilakukan. Pembaruan hukum itu dilakukan para hakim melalui proses judicial activism dengan metode penemuan hukum, terobosan hukum maupun penafsiran hukum. Mungkin saja banyak yang belum menyadari proses pembaruan hukum keluarga yang dilakukan institusi Peradilan Agama selama ini. Tapi satu hal yang pasti, reformasi itu terjadi hari per hari melalui proses penyelesaian hukum keluarga yang kian hari makin kompleks. Ke depan, hakim Peradilan Agama diharapkan terus berani melakukan penemuan dan terobosan hukum manakala aturan yang ada dirasa belum memenuhi rasa keadilan bagi para pencari keadilan khususnya dan masyarakat pada umumnya. [] MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 3 LAPORAN UTAMA Mengenal Hukum Keluarga Islam Istilah hukum keluarga sejatinya pertama kali muncul dari sistem hukum yang berlaku di Eropa dan memiliki pengaruh cukup kuat dalam proses kodifikasi hukum di negara-negara berpenduduk Muslim. 4 MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 LAPORAN UTAMA H ukum keluarga Islam merupakan bidang hukum Islam yang paling banyak diterapkan secara luas dan langsung oleh negara-negara Muslim di dunia, termasuk Indonesia. Hukum keluarga Islam telah menjadi dasar bagi masyarakat Muslim selama berabadabad dan merepresentasikan bagian paling pokok dari syari'ah (Schacht, 1982: 101). Karena itu, perbincangan seputar hukum keluarga dengan segala dimensi kajiannya selalu menarik untuk didiskusikan di kalangan akademisi maupun praktisi hukum. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, misalnya, beberapa waktu lalu (4/8/2015) menyelenggarakan diskusi hukum bertema “Pembaruan Hukum Keluarga di Indonesia”. Hadir sebagai pembicara pakar sosiologi hukum Islam Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MA. Dalam pemaparannya pembicara menyempitkan cakupan bahasan pembaruan hukum keluarga yang luas itu khusus mengenai hukum perkawinan di Indonesia. Latar belakang penyelenggaraan diskusi hukum itu tidak terlepas dari semakin kompleksnya persoalan d a l a m l i n g k u p ke l u a r g a ya n g menuntut adanya pembaruan hukum keluarga sesuai kebutuhan zaman. Hal ini sejalan dengan pendapat Eugen Ehrlich dalam W. Friedman bahwa pembaruan hukum keluarga hendaknya menyesuaikan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (Friedman, 1953: 191). Peradilan agama tentu memiliki kepentingan mengawal arus pembaruan ini karena tidak dimungkiri pembaruan hukum Islam di Indonesia yang paling dominan salah satunya dilakukan melalui putusan sebagai wujud ijtihad hakim. Asal-usul istilah Dalam berbagai literatur fikih klasik, hampir tidak ditemukan adanya nomenklatur hukum keluarga (alahwal al-syakhsyiyah-personal law), meskipun bahasan-bahasan yang menjadi isi dari istilah tersebut telah dikemukakan. Hal ini menguatkan dugaan bahwa istilah tersebut muncul dari sistem hukum lain dan kemudian dipergunakan dalam kodifikasi hukum Islam. Dugaan ini semakin kuat, ketika diketahui istilah tersebut muncul di masa ketika pengaruh Eropa cukup kuat terhadap negara-negara Islam. Menurut N.J. Coulson, pada abad ke-19 dan seterusnya, berlangsung kontak yang semakin akrab antara peradaban Islam dan Barat, sehingga perkembangan hukum dipengaruhi secara perlahan dan menjadi bahasan dalam hukum Islam (C oulson, 1964:149). Munculnya istilah hukum keluarga di dunia Islam pertama kali pada tahun 1893 ketika seorang hakim terkemuka Mesir, Muhammad Qadri Pasha mengkompilasi kaidah-kaidah hukum keluarga dalam tulisannya berjudul al-Ahkam al-Shar'iyyat fi alAhwal al-Syakhsyiyyat ala Mazhab alImam Abi Hanifa al-Nu'man. Kompilasi ini memuat 646 pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum berdasarkan mazhab Hanafi tentang perkawinan, perceraian, mahar, larangan, wasiat dan warisan (Odeh, 2004: 1101). Menurut Joseph Schacht, ko m p i l a s i tersebut b a nya k dipengaruhi oleh formulasi dalam tradisi Barat, khususnya dalam penyusunan kaidah-kaidah hukum dalam bentuk pasal-pasal, sebagaimana juga terjadi dalam kodifikasi Majallah al-Ahkam al- Adliyah (Schacht, 1982 : 101). Mengenai asal-usul al-Ahwal alSyakhsyiyyat, literatur Arab juga mengakui bahwa istilah tersebut tidak dikenal pada masa ulama terdahulu. Istilah tersebut baru dikenal pada abad ke-12 dan ke-13. Beberapa pendapat ulama masyhur seperti Ahmad Salamah, Muhammad Beltagi Hasan, Muhammad Azmi Al Bakri dan Wahbah Zuhaili, sebagaimana dikutip situs Islamic Bank and Financial Institution Information (www.ibisonline.net ), sebagaimana berikut: Belakangan, pada tahun 1917 Turki meresmikan undang-undang hukum keluarga yang berjudul Qanun Qarar al-huquq al-Ailah alusmaniyyah. Undang-undang ini memuat 156 pasal tentang hukum keluarga, minus ketentuan-ketentuan mengenai kewarisan. Berbeda dengan kompilasi Qadri Pasha yang berbasis pada ketentuan hukum mazhab Hanafi, undang-undang ini justru bersifat lintas mazhab dengan menggunakan prinsip tahayyur (eclectic choice) sebagai pendekatan keberanjakannya (Tahir Mahmood, 1995: 82). Meskipun undang-undang ini tidak berlangsung lama, karena pergolakan politik Turki, tetapi memiliki kedudukan penting dalam perkembangan hukum keluarga Islam di dunia Islam lainnya. Penggunaan terminologi hukum keluarga (al-ahwal al-syakhsyiyahpersonal law) sebagaimana dimulai oleh Muhammad Qadri Pasha tersebut berlanjut pada serangkaian kodifikasi MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 5 LAPORAN UTAMA hukum keluarga lainnya di berbagai belahan dunia Islam, seperti di Yordania, Syiria, Tunisia, Maroko, Irak dan Pakistan. Definisi dan ruang lingkup R. Subekti (1987: 16) mendefinisikan hukum keluarga sebagai hukum yang mengatur ihwal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dan isteri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele. Dalam literatur Arab, Wahbah Zuhaili melalui buku al-fiqh al-Islami wa Adillatuhu (2001: 33), mendefinisikan hukum keluarga atau yang biasa dikenal dengan al-ahwal alsyakhshiyyah sebagai berikut: Di situs Maktabah Syamilah online, www.shamela.ws juga terdapat pengertian mengenai al-ahwal alsyakhshiyyah yang dikutip dari Ahmad Salamah (al-Ahwal Al-syakhshiyyah lilmuwatinin ghairu la-muslimin), sebagai berikut: Munculnya istilah hukum keluarga di dunia Islam pertama kali pada tahun 1893 ketika seorang hakim terkemuka Mesir, Muhammad Qadri Pasha mengkompilasi kaidah-kaidah hukum keluarga. Ada pula yang menambahkan wakaf dan perwalian dalam cakupannya. Dalam kitab-kitab fikih klasik dijumpai pembagian ruang lingkup yang berbeda-beda sebagai bagian dari bidang hukum keluarga. Salah seorang ulama dari mazhab Maliki yaitu Ibnu Jaza al-Maliki, misalnya, memasukkan perkawinan dan perceraian, wakaf, wasiat, dan fara'id (pembagian harta pusaka) dalam kelompok mu'amalah. Sedangkan ulama' Syafi'iyah menjadikan hukum keluarga sebagai bahasan tersendiri, yakni munakahat. Bab ini terbagi dalam empat bagian, yakni: ibadah (hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah), muamalah (hukum yang mengatur hubungan sesama manusia di bidang kebendaan dan pengalihannya), munakahat (hukum yang mengatur hubungan antar anggota keluarga), Hukum keluarga Islam sejatinya memiliki cakupan yang luas. Namun para ahli di bidang hukum Islam terutama di bidang hukum keluarga m e m i l i k i p e rb e d a a n p e n d a p a t terhadap ruang lingkup/cakupan hukum keluarga Islam. Ada yang berpendapat cakupan hukum keluarga hanya tiga pokok bahasan: perkawinan, perceraian dan warisan. 6 MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 'uqubah (hukum tentang keselamatan, jaminan jiwa dan harta benda, serta urusan publik dan kenegaraan (Nasution, 2010: 9) Seorang ulama kontemporer, Mustafa Ahmad al-Zarqa, mengelompokkan fikih menjadi dua bagian, yaitu ibadah dan muamalah. Kemudian membagi lebih rinci lagi menjadi tujuh kelompok, dan salah satunya adalah hukum keluarga (alahwal al-syakhsiyah), yaitu hukum perkawinan (nikah), perceraian (talak, khuluk dll.), nasab, nafkah, wasiat, dan waris. (al-Zarqa, t.t: 55-56). Secara umum jika mengacu kepada pandangan para ahli hukum Islam, ruang lingkup hukum keluarga (al-ahwal as-syakhsiyah), meliputi tata cara meminang, syarat-syarat dan rukun-rukun nikah, mahar, mahram, nikah yang sah dan nikah tidak sah, poligami, hak dan kewajiban suami dan isteri, dan nafkah. Di samping itu, meliputi perceraian, 'iddah, ruju', hubungan anak dan orang tua, pemeliharaan dan pendidikan anak (hadhanah), subyek-subyek yang berhubungan dengan kehidupan rumah tangga, serta masalah waris (Nasution, 2010: 13-14). Setelah menilik berbagai pendapat para ahli di bidang hukum keluarga Islam mengenai ruang lingkupnya, maka dapat disimpulkan bahwa cakupan hukum keluarga Islam meliputi: pertama, perkawinan yang terdiri dari peminangan, syarat dan rukun nikah, mahar, mahram dan LAPORAN UTAMA status nikah. Kedua, kehidupan rumah tangga yang mencakup hak dan kewajiban suami, isteri dan anak, p o l i ga m i , d a n n a f ka h . Ke t i ga , perceraian atau proses penyelesaian permasalahan dalam rumah tangga. Keempat, hadhanah/pengasuhan anak. Kelima, tentang penyelesaian masalah harta setelah terjadinya kematian yang meliputi waris, wasiat, wakaf, dan transaksi penyerahan/ penerimaan lain. “ Ada dua kompilasi Hukum Islam yang populer yang berhasil disusun oleh pejabat Belanda, yaitu Compendium van Clookwijck dan Compendium Freijer. “ Kodifikasi hukum keluarga Islam di Indonesia Pa s c a - e ra ko l o n i a l i s m e , fenomena yang terjadi di negaranegara Muslim adalah kodifikasi hukum Islam. Seperti di berbagai negara Muslim lainnya, hukum keluarga Islam di Indonesia juga mengalami kodifikasi, yaitu penyusunan materi hukum secara sistematis ke dalam bentuk undangundang. Kodifikasi hukum keluarga Islam di Indonesia bahkan terjadi sejak masa penjajahan Belanda. Ada dua kompilasi hukum Islam yang populer yang berhasil disusun oleh pejabat Belanda, yaitu Compendium van Clookwijck, yang dihasilkan atas usaha Clookwijck, gubernur Sulawesi tahun 1752-1755, dan Compendium Freijer yang proses p e ny u s u n a n nya d i m u l a i s e j a k gubernur jenderal Jacob Mossel tahun 1754 dan diproduksi oleh Freijer pada 1760, setelah berkonsultasi dengan penghulu, ulama, dan tokoh-tokoh masyarakat. Pada tahun 1750 juga dibuat sebuah kompilasi hukum Islam di Semarang yang diberi nama Mogharraer (Nurlaelawati, 2010: 45). Di era kemerdekaan, kodifikasi hukum keluarga Islam mewujud dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991, yang terdiri dari tiga buku, Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, dan Buku III tentang Perwakafan. Selain UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI, ada RUU Hukum Materiil Peradilan Agama (HMPA) Bidang Perkawinan yang telah diajukan ke DPR untuk pembahasan pada tingkat nasional, dan RUU HMPA Bidang Kewarisan yang masih dalam perumusan dan pengkajian oleh para ahli hukum. Kodifikasi merupakan ciri utama di negara yang menganut tradisi hukum sipil. Indonesia sebagai bekas jajahan Belanda yang menganut tradisi hukum sipil, cenderung untuk mengikuti tradisi hukum sipil. Namun demikian, tradisi hukum di Indonesia juga mengakui sumber hukum di luar undang-undang. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Dalam praktik, pembaruan hukum keluarga Islam di bidang kewarisan Indonesia justru lebih banyak dilakukan melalui putusan hakim yang kemudian menjadi yurisprudensi. Lantas bagaimana gambaran dinamika pembaruan hukum keluarga di negara-negara Muslim lainnya? |Achmad Fauzi, M. Isna Wahyudi, Edi Hudiata, M. Noor, Ahmad Zaenal Fanani | Daftar Pustaka: Coulson, N. J., A History of Islamic Law, Edinburg: Edinburg University Press, 1964. Friedman W., Legal Theory, Terjemah Muhammad Arifin dengan judul Teori dan Filsafat Hukum. Cet. II. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994. Mahmood, Tahir, Statutes Personal Law in Islamic Countries (History, Texs and Comparative Analysis), New Delhi : Academi of Law and Religion, 1995. Nasution, Khoiruddin, Pengantar dan Pe m i k i r a n H u k u m Ke l u a r g a (Perdata) Islam Indonesia, Yogyakarta: Tazzafa & ACAdeMIA, 2010. Nurlaelawati, Euis, Modernization, Tradition, and Identity: The Kompilasi Hukum Islam and Legal Practice in the Indonesian Religious Courts, Amsterdam: Amsterdam University Press, 2010. Odeh, Lama Abu, Modernizing Muslim Family Law: The Case of Egypt dalam Vanderbilt Journal of Transnational Law, Vol. 37, 2004. Schacht, Joseph, An Introduction to Islamic Law, Clarendon: Oxford University Press, 1982. Subekti, R., Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT Intermasa, cet. XXI, 1987. Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut: Darul Fikr alMu'ashir, 2001. www.ibisonline.net MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 7 LAPORAN UTAMA Sejarah & Reformasi Hukum Keluarga Islam di Dunia M odernisasi hukum keluarga di dunia Islam yang meliputi aspek perkawinan, perceraian, dan waris secara fenomenal telah dimulai sejak awal abad 20 (John L. Esposito: 2001, 5156). Secara umum, pembaruan tersebut dilakukan dengan memodifikasi hukum fiqh yang telah berabad-abad diterapkan. Tahir Mahmood mengistilahkan hal ini 8 dengan point of departure (titik keberanjakan) dari fiqh konvensional (klasik) ke perundang-undangan modern. Pembaruan hukum keluarga yang paling awal di dunia Muslim terjadi di Turki ketika diterbitkannya Ottoman Law 1917. Turki melakukan modifikasi hukum keluarga dengan mengadopsi hukum-hukum Barat sehingga Turki lebih mirip dengan MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 negara-negara Eropa. Karakeristik sekuler terpatri dalam konstitusi di Turki. Pembuat hukum di Turki tidak berusaha menjustifikasi pembaruan hukum dengan bergantung pada fiqh klasik. Ini berbeda dengan kebanyakan negara Muslim yang tetap menjadikan fiqh klasik sebagai sumber hukum yang relevan untuk diterapkan. LAPORAN UTAMA Kehadiran Undang-Undang Hukum Keluarga Turki: Ottoman Law of Family Right (Qanun Qarar alHuquq al-'A'ilah al-Utsmaniyyah) pada tahun 1917 menjadi pemantik gerakan pembaruan dan modernisasi hukum keluarga di negara-negara Muslim lainnya. (Tahir Mahmood: 1972, 115-116). Negara-negara yang sebelumnya berada dibawah kekuasaan kerajaan Turki Utsmani yang kemudian memerdekakan diri, seperti: Libanon yang juga mengadopsi hukum yang sama (1919). Negara-negara lain yang juga m e l a ku ka n p e m b a r u a n h u ku m keluarga adalah Mesir (Law of Maintenance and Personal Status/ Qanun al-Ahwal al-Shakhsiyyah wa jinayah,1920), Yordania (Jordanian Law of Family Right, 1951), Syiria (Syirian Law of Personal Status, 1953), Maroko (Family Law of Marocco, 1957), Pakistan (Family Law of Pakistan, 1955), Irak (Law of Personal Status for Iraq, 1955), Tunisia (Code of Personal Status, 1957), Sudan (Sudan Family Law, 1960), Malaysia (Undangundang Perkawinan Masing-Masing Negeri, dimulai tahun 1983). Pembaruan hukum keluarga Islam di dunia muslim dapat dikategorikan dalam dua model: intra-doctriner reform dan extra-doctrinal reform. Pembaruan hukum Islam di negara Muslim tampak unik dalam tiga kategori negara-negara Muslim. Pertama, beberapa negara yang sama sekali tidak melakukan reformasi hukum Islam dan tetap mengaplikasi- kan hukum yang ada dalam kitab-kitab fiqh sesuai dengan mazhab yang mereka anut. Negara yang termasuk dalam kategori ini adalah Saudi Arabia (Qatar dan Bahrain, Yaman, dan Oman). Kedua, beberapa negara yang meninggalkan hukum Islam dan menggantikannya dengan hukum sekuler yang biasa diterapkan di Eropa. Turki, Somalia, albania adalah negara dalam ketegori ini. Ketiga, beberapa negara yang mereformasi hukum Islam dengan mengkombinasikannya dengan hukum sekuler.Negara yang termasuk dalam kategori ini adalah Mesir, Tunisia, Iraq, Syiria, Indonesia dan lainnya. (Anderson, 1975:82-91). Metode Pembaruan Melanjutkan pemikiran Mohammad Atho Mudzhar dan Muhammad Amin Suma, Ahmad Tholabie Kharlie (2013 : 8-9) m e r u m u s k a n b a h wa d a r i s i s i substansi reformasi, pembaruan hukum keluarga Islam di dunia muslim dapat dikategorikan dalam dua model: Pertama, intra-doctriner reform, yakni reformasi yang dilakukan dengan cara menggabungkan aneka pendapat mazhab utama dan pada saat yang sama mengambil pendapat di luar mazhab utama, banyak ditemukan di sebagian besar negeri muslim, seperti Turki meskipun mazhab Hanafi menjadi mazhab utama, namun beberapa aspek hukum keluarga mengadopsi di luar mazhab Hanafi. Demikian pula Indonesia dan Mesir, dalam beberapa hal keluar dari mazhab Syafi'i. Kedua, extra-doctrinal reform, yakni pembaruan hukum dengan cara memberikan penafsiran yang sama sekali baru terhadap nash yang ada. Penerapan hukum sipil Barat oleh Turki diklaim oleh sarjana Turki bukan sebagai penyimpangan dari hukum keluarga Islam, melainkan sebagai bentuk tafsir baru dari teks suci hukum Islam. Demikian pula aturan-aturan yang berkenaan dengan kriminalisasi hukum keluarga, seperti di Tunisia dinyatakan sebagai bentuk inovasi dalam penafsiran. Kajian yang dilakukan oleh Khoiruddin, ada lima metode yang digunakan untuk melakukan pembaruan hukum keluarga di dunia Muslim yaitu: (1) takhayyur, (2) talfiq, (3) takhsis, (4). siyasah syar'iyah, dan (5). reinterpretasi nash. Strategi takhayyur lebih ditekankan pada pemilihan aturan yang cocok dari pada hanya mengikuti aliran hukum tertentu.Strategi ini digunakan pada hukum keluarga Mesir tahun 1920 dan 1929. Di Mesir, wanita dapat mengajukan gugatan cerai ke pengadilan dan pengadilan dapat mengabulkan gugatan tersebut tanpa adanya izin dari suami. Umum dalam mazhab fiqh klasik, suami dapat menceraikan istrinya secara sepihak kapanpun ia inginkan dengan alasan apapun. Sementara, berkenaan dengan hak istri mengajukan perceraian dimana suaminya tidak menginginkan perceraian, tidak dijumpai pada semua mazhab fiqh. Dalam mazhab Hanafi yang menjadi mazhab resmi di Mesir waktu itu, wanita tidak dapat mengajukan perceraian dengan alasan telah diabaikan suaminya. Sementara dalam mazhab Maliki, wanita dapat mengajukan perceraian dengan alasan pengabaian suami, kurangnya nafkah, dan kekerasan yang dilakukan suami. Di negara-negara Muslim Sunni, metode takhayyur ini bisa dilakukan dengan beberapa alternatif. Pertama, meninggalkan aturan yang ada dan mencari pendapat alternatif yang ada dalam satu tradisi mazhab yang sama. Ini dilakukan dengan meninggalkan pendapat dominan dan beralih kepada pendapat yang tidak populer dalam satu mazhab. Kedua, Jika cara pertama tidak dapat dilakukan, takhayyur dilanjutkan dengan mencari pandangan yang berkembang dan populer dalam mazhab sunni (ortodoks). Ketiga, jika cara kedua tidak dapat dilakukan, maka dilanjutkan dengan mencari pendapat dari mazhab sunni yang tidak populer. MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 9 LAPORAN UTAMA Keempat, jika tidak menemukan pendapat seperti dalam cara ketiga, maka pencarian hukum dilanjutkan dengan melihat pendapat fuqaha' khalaf. Kelima, jika semua cara tersebut tidak dapat dilakukan, maka pencarian hukum dilakukan dengan mengadopsi aturan hukum yang berkembang dalam tradisi Syi'ah (Anderson, 1976:51). Talfiq dilakukan dengan mengambil dua atau lebih aturan dari mazhab hukum yang berbeda lalu dibuat sebuah aturan hybrid baru.Dalam beberapa pandangan usul fiqh, metode ini tidak kenal bahkan tidak diperbolehkan. Metode talfiq dilakukan dengan menggabungkan beberapa pendapat dalam satu ketentuan. Ini dapat dilihat dalam Edaran Hukum Sudan No.49 Tahun 1939 mengenai bagian waris untuk saudara/saudari kandung atau seibu jika bersama dengan kakek dari garis ayah. Surat edaran ini lebih memilih untuk memberikan hak waris kepada saudara/ saudari tersebut bersama dengan kakek dengan mengadopsi pendapat Abu Yusuf, alSyaibani danulama Syafi'iyah dan malikiyah sesuai dengan prinsip Zaid bin Tsabit. Contoh talfiq yang lain mengenai aturan waris Muslim dan non Muslim di Mesir. Muslim tidak mewarisi dari non Muslim dan sebaliknya. Tetapi non Muslim boleh saling mewarisi. Sedangkan perbedaan negara tidak menjadi penghalang untuk mewarisi, kecuali jika negara (asing) tersebut membuat 10 peraturan demikian. Aturan ini merupakan penggabungan beberapa pendapat yang berkembang dikalangan sunni (Ibid.,1976:48-49). Demikian juga aturan mengenai radd untuk pasangan (suami/isteri) dalamaturan hukum Tunisia tahun 1956. Pembaruan hukum keluarga mayoritas nyaris bertujuan untuk 'meningkatkan status' perempuan dalam segala aspek kehidupan dan hukum keluarga. Takhshîshal-qadlâ adalah hak negara membatasi kewenangan peradilan baik dari segi orang, wilayah, yurisdiksi, dan hukum acara yang diterapkan (Anderson, 1971:4,12-13). Negara dapat mengambil kebijaksanaan dan prosedural untuk membatasi peradilan agar tidak menerapkan ketentuan hukum keluarga dalam situasi tertentu, tanpa bermaksud mengubah substansi hukum Islam tersebut dan bertujuan untuk kemaslahatan umat. Siyâsah syar'îyah adalah kebijakan penguasa (ruler/uli alamr)menerapkan peraturan yang MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 bermanfaat bagi rakyat dan tidak bertentangan dengan syari'ah. Namun ada juga peneliti yang menyebut takhshîsh al-qadlâ atau siyâsah syar'îyah dengan penetapan menggunakan administrasi. Sebab penetapan penguasa dan pembatasan kewenangan peradilan umumnya terjadi dalam administrasi. Hak penguasa(ruler/uli al-amr) membatasi menerapkan peraturan yang bermanfaat bagi rakyat dan tidak bertentangan dengan syari'ah ini (takhshîsh al-qadlâ dan siyâsah syar'îyah) sejalan dengan apa yang telah dirumuskan ulama ushulal fiqh dalamqaidahfiqhiyah, Sedangkan maksud reinterpretasi nash (penafsiran ulang terhadap nash) adalah melakukan penafsiran/pemahaman ulang terhadap nash (al-qur'an dan sunnah nabi Muhammad SAW). Adapun dasar pertimbangan yang digunakan dalam menggunakan metode- metode tersebut di atas ada minimal dua (2), yakni: (1) mashlahah mursalah, dan (2) konsep yang lebih sejalan dengan tuntutan dan perubahan zaman. Bila dilihat dari polanya, ada satu hal yang dapat digaris bawahi, bahwa pembaruan hukum keluarga mayoritas nyaris bertujuan untuk 'meningkatkan status' perempuan dalam segala aspek kehidupan dan hukum keluarga. Meski tujuan ini tidak disebutkan secara eksplisit, tapi terlihat dari materi hukum yang dirumuskan bahwa undang-undang seputar hukum keluarga yang dibuat (umumnya) merespon sejumlah tuntutan status dan kedudukan perempuan yang lebih adil dan setara. Ambil contoh Undang-undang Perkawinan Indonesia jelas menggulirkan tujuan tersebut. Tujuan lain yang dimiliki negaranegara Islam dalam memperbarui hukum keluarga adalah unifikasi hukum, karena masyarakatnya menganut bermacam-macam mazhab atau bahkan agama yang berbedabeda. Sehingga upaya unifikasi hukum perkawinan ditujukan untuk semua warga negara tanpa memandang perbedaan madzhab/aliran/agama. LAPORAN UTAMA Perubahan-perubahan yang terjadi dalam undang-undang keluarga di negara-negara Muslim, menurut Thahir Mahmood ada tiga belas aspek, yaitu batasan umur minimal boleh kawin, pembatasan peran wali dalam perkawinan, pembatasan kebolehan poligami, nafkah ke l u a r g a , pembatasan hak cerai suami, hak-hak dan kewajiban para pihak karena perceraian, masa kehamilan dan implikasinya, hak wali orang tua, hak waris keluarga dekat, wasiat wajibah dan pengelolaan zakat. Beberapa Aspek Pembaruan Ada beberapa aspek pembaharuan hukum Islam yang dilakukan di negara-negara Islam, diantaranya: 1. Batasan Umur Minimal Boleh Kawin Di Tunisia, umur minimal perkawinan 20 tahun untuk laki-laki dan 17 tahun untuk perempuan).Syria tidak hanya mengatur usia minimal pernikahan, tetapi juga mengatur selisih umur antara kedua calon mempelai yang akan menikah. Jika perbedaan usia di antara keduanya terlalu jauh, maka pengadilan dapat melarang terjadinya pernikahan. Ini adalah salah satu aturan yang dinilai sangat maju dalam hukum keluarga Syria. Maroko juga menetapkan batas usia minimum pernikahan bagi lakilaki dan perempuan adalah sama, 18 tahun (sebelumnya perempuan 15 tahun, laki-laki 17 tahun). Itu berarti pernikahan dini juga dapat ditekan. Salah satu pembaruan hukum keluarga Yordania yang unik adalah tentang pembatasan umur perkawinan. Selain batas umur minimal menikah 16 tahun (laki-laki) dan 15 tahun (perempuan), dinyatakan juga bahwa jika selisih umur pasangan itu 20 tahun atau lebih sementara calon istri belum berumur 30 tahun maka perkawinan itu harus mendapat izin khusus dari pengadilan. Pakistan juga melarang seseorang kawin dengan seseorang di bawah umur (Child Marriage), yaitu jika salah satu pasangannya berumur kurang dari 18 tahun bagi laki-laki dan kurang dari 16 tahun bagi perempuan. Jika seseorang laki-laki mengawini seorang perempuan berumur di bawah 16 tahun diancam dengan hukuman penjara paling lama satu bulan dan atau denda paling banyak 1000 Rupees. Kemudian bagi mereka yang memimpin pelaksanaan atau mengarahkan terlaksananya Child Marriage itu diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya satu bulan dan atau denda paling banyak 1000 Rupees. 2. Pembatasan Kebolehan Poligami Ada dua hal yang menonjol dalam pembaruan hukum keluarga di Tunisia, yaitu keharusan perceraian di pengadilan dan larangan poligami secara mutlak. Poligami dilarang sama sekali dan bagi pelanggarnya diancam denda 240 ribu Frank Tunisia dan penjara satu tahun (Pasal 18 UU Status Pribadi/Code of Personal Status tahun 1956). Demikian juga diberikan ancaman hukuman yang sama bagi perempuan yang melakukan perkawinan lagi, sedangkan ia masih berstatus sebagai istri orang lain. Tunisia berpendapat bahwa institusi perbudakan dan poligami dalam masyarakat Islam hanya berlaku pada awal Islam. Dan juga, “keadilan” sebagai prasyarat poligami hanya dapat dipenuhi oleh Nabi Muhammad saw. Tidak berbeda dari Tunisia, salah satu hal progress yang ada dalam UU sipil Turki/1926 adalah tentang pelarangan poligami secara mutlak. Bahkan sebelum Tunisia, Turki telah lebih dulu menggulirkan hal tersebut. D i M e s i r, Po l i ga m i h a nya dibolehkan jika mendapatkan izin istri, sebagaimana yang terjadi di Indonesia. Di samping itu, hukum keluarga Mesir juga memberikan ancaman sanksi kepada orang yang memberi pengakuan palsu tentang status perkawinan atau alamat istri atau para istri yang dicerai. Pegawai pencatat perkawinan yang lalai atau gagal melakukan tugasnya juga dapat dihukum dengan hukuman penjara maksimal satu bulan dan hukuman Tujuan lain yang dimiliki negara-negara Islam dalam memperbarui hukum keluarga adalah unifikasi hukum, karena masyarakatnya menganut bermacam-macam mazhab atau bahkan agama yang berbeda-beda. denda maksimal 50 pound Mesir; serta pegawai yang bersangkutan dinonaktifkan selama maksimal satu tahun. Kebijakan ini tampaknya bisa menghambat terjadinya “pernikahan liar” atau pernikahan yang tidak dicatatkan; baik yang dilakukan dalam rangka nikah sirri, kawin kontrak, ataupun perkawinan poligami yang dilakukan tanpa seizin istri. Di Irak, adapun tentang poligami, hukum berpoligami tanpa izin pengadilan maka nikahnya fasid, dan istri dapat menggugat cerai suaminya dengan alasan “suami berpoligami tanpa izin pengadilan”. Jika sang suami telah mendapatkan izin pengadilan, maka suami wajib menyediakan rumah untuk masingmasing istrinya. Di Pakistan, poligami juga bisa dilakukan namun harus dengan izin pengadilan dan izin istri pertama. Apabila melakukan poligami tanpa izin maka wajib segera melunasi seluruh maharnya dan, atas laporan dari pihak istri, diancam dengan hukuman penjara paling lama setahun dan atau denda 5000 Rupees. Di Malaysia, seorang pria yang melaksanakan poligami/menikah lagi tanpa izin tertulis dari pengadilan akan dijatuhi hukuman denda maksimal 1000 ringgit; atau dipenjara maksimal 6 bulan; atau dijatuhi hukuman keduanya sekaligus (Pasal 123 UU Hukum Keluarga Islam [Wilayah Federal] 1984 (UU 304 tahun 1984). MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 11 LAPORAN UTAMA Dasar pertimbangan pengadilan untuk memberikan izin p o l i ga m i berkaitan d e n ga n kondisi/prilaku istri dan suami. Dari sudut istri adalah: 1) Kemandulan; 2) Keuzuran jasmani; 3) Tidak layak dari segi jasmani untuk bersetubuh; 4) Sengaja tidak mau memulihkan hakhak persetubuhan, atau 5) Sakit jiwa/ gila. Sedangkan pertimbangan pada sudut suami adalah: 1) Mampu secara ekonomi untuk menanggung istri-istri dan anak keturunan, 2) Mampu berlaku adil kepada para istri 3) Perkawinan itu tidak menyebabkan maqashid as-syar'iah (bahaya bagi agama, nyawa, badan, akal pikiran atau harta benda) istri yang telah lebih dahulu dinikahi, 4) Perkawinan itu tidak akan menyebabkan turunnya martabat istri-istri atau orang-orang yang terkait dengan perkawinan, langsung atau tidak berdasarkan (Pasal 23 ayat (4) UU Hukum Keluarga Islam [Wilayah Federal] 1984 (UU 304) tahun 1984). 3. Perceraian di Luar Pengadilan Mayoritas negara-negara Islam melarang perceraian yang terjadi di luar pengadilan (extra judicial divorce). Pengucapan talak di depan pengadilan baru dapat dilakukan setelah pengadilan melakukan pemeriksaan secara seksama dan gagal mendamaikan pasangan suami istri itu. Beberapa negara, seperti Syiria, juga memberikan hak kepada istri untuk mengajukan gugatan cerai kepada suaminya karena beberapa sebab: a. Suami menderita penyakit yang dapat menghalangi untuk hidup bersama; b. Penyakit gila dari suami; c. Suami meninggalkan istri atau dipenjara lebih dari tiga tahun; d. S u a m i d i a n g ga p ga ga l memberikan nafkah; e. Penganiayaan suami terhadap istri. Pakistan tercatat sebagai negara yang menerapkan pidana bagi para pelanggarnya. Di Yordania, apabila pernikahan tidak dicatatkan kepada kantor atau petugas yang berwenang maka orang yang memimpin pelaksanaan akad nikah itu dan para pihak yang melakukan akad nikah serta para saksinya diancam dengan hukuman kurungan badan antara satu sampai dengan enam bulan dan denda tidak lebih dari 100 Dinar Yordania. (Pasal 17 ayat (3) Law of Family Rights) Sebaliknya, pada Pasal 17 ayat (4) disebutkan bahwa Petugas Pencatatan Perkawinan yang tidak mencatat secara resmi suatu akad nikah yang telah berlangsung secara sah dan telah membayar uang pendaftaran sesuai persyaratan dan ketentuan yang ada, diancam dengan hukuman sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Yordania Pasal 279 yaitu kurungan badan antara satu sampai enam bulan dan denda tidak lebih dari 100 Dinar Yordania serta diberhentikan dari jabatannya. Sedangkan di Pakistan, kegagalan para pihak yang melakukan p e r k aw i n a n u n t u k m e l a ku k a n pencatatan diancam dengan hukuman kurungan badan paling lama tiga bulan dan denda paling banyak 1000 Rupees (Pasal 5 Muslim Family Law Ordinance (MFLO) tahun 1961). Di Malaysia (Negara Bagian Perak), penduduk atau warga Negeri Perak yang melakukan akad nikah di luar Negeri Perak dalam waktu enam 4. Pencatatan Pernikahan Meskipun mayoritas negaranegara Islam mewajibkan pencatatan perkawinan, namun Yordania dan 12 MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 bulan sejak akad nikah itu tidak mencatatkan p e r k aw i n a n nya dihadapan Pejabat (Kantor) Pendaftar Perkahwinan, Perceraian, dan Rujuk Orang Islam terdekat atau perwakilannya di luar negeri maka ia diancam dengan hukuman denda 1000 Ringgit Maslaysia dan atau penjara paling lama enam bulan (UU Keluarga Islam tahun 1984, Pasal 33). Meskipun mayoritas negara-negara Islam mewajibkan pencatatan perkawinan, namun Yordania dan Pakistan tercatat sebagai negara yang menerapkan pidana bagi para pelanggarnya. LAPORAN UTAMA Brunei Darussalam, memberikan ancaman terhadap setiap orang yang memaksa seseorang untuk kawin dengan seseorang yang lain atau melarang seseorang untuk tidak kawin dengan seseorang yang lain dengan hukuman denda sebesar 2000 Ringgit Brunei dan atau penjara paling lama enam bulan. Brunei Darussalam melakukan pendekatan lain: Suatu akad nikah hanya boleh dilangsungkan dengan dipimpin oleh orang yang diangkat oleh Sultan dan yang Di-Pertuan dan diberi kewenangan untuk memimpin pelaksanaan akad nikah. Kemudian pada ayat (2) dikatakan bahwa tidak boleh ada akad nikah dilaksanakan sebelum mendapat izin dari Petugas Pencatat Perkahwinan dari distrik di mana calon mempelai bertempat tinggal. Lalu pada ayat (3) dikatakan bahwa wali dapat memimpin akad nikah hanya dihadapan Petugas Pencatat Nikah (Jurunikah) yang berwenang, setelah perempuan yang akan dinikahkan itu memberikan persetujuannya (UU Hukum Keluarga Brunei tahun 2000, Pasal 8). Selanjutnya, pada Pasal 37 dikatakan bahwa barangsiapa memimpin upacara akad nikah sedangkan ia tidak mempunyai kewenangan dari Sultan untuk itu maka ia diancam dengan denda sebesar 2000 Ringgit dan atau penjara paling lama enam bulan. 5. Hak Asuh Anak Irak tercatat sebagai salah satu n e ga ra ya n g m e m b e r i ka n h a k istimewa kepada perempuan untuk mengasuh dan mendidik anak selama perkawinan berlangsung dan begitu juga setelah perceraian, dengan catatan tidak berbuat aniaya terhadap anak, sehat, dapat dipercaya, dan mampu bertanggung jawab dan melindungi anaknya, dan juga belum menikah lagi dengan laki-laki lain. 6. Perjanjian Perkawinan Praktek pembuatan perjanjian seperti ini sekarang sudah umum diberlakukan di Negara-negara Muslim, biasanya terkait kesepakatan percampuran atau pemisahan harta dan penjaminan kesetaraan derajat wanita. Di sementara Negara isi perjanjian seperti itu boleh menyebut misalnya bahwa selama perkawinan itu masih berlangsung maka si suami tidak boleh melakukan poligami dan pelanggaran terhadap itu otomatis menyebabkan perceraian melalui pengadilan. Penegasan seperti ini mungkin perlu dilakukan karena janji untuk tidak berpoligami itu dapat diperdebatkan apakah telah melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan sebagaimana di atur di atas. 7. Pembatalan Perkawinan Malaysia (Negara Bagian Perak m i s a l nya ) m e n ga t u r b a hwa barangsiapa memaksa orang lain dengan kekerasan untuk melakukan akad nikah dengan seseorang atau melarang orang lain untuk tidak melakukan akad nikah dengan seseorang sedangkan diantara para pihak yang akan berakad-nikah itu tidak ada penghalang sesuai hukum yang berlaku maka ia diancam dengan hukuman denda paling besar 1000 Ringgit Malaysia dan atau penjara tidak lebih dari enam bulan. (Pasal 35 UU Keluarga Islam). Pun demikian Brunei Darussalam, memberikan ancaman terhadap setiap orang yang memaksa seseorang untuk kawin dengan seseorang yang lain atau melarang seseorang untuk tidak kawin dengan seseorang yang lain sedangkan antara pasangan itu tidak ada halangan hukum apa pun dan mereka telah memnuhi batas usia minimal kawin maka orang yang memaksa tersebut diancam dengan hukuman denda sebesar 2000 Ringgit Brunei dan atau penjara paling lama enam bulan. (UU Hukum Keluarga tahun 2000, Pasal 35). ***** Selain hal-hal tersebut diatas, masih banyak hal lain yang mendapatkan aspek pembaharuan hukum di negara-negara Islam, misalnya Pembatasan Peran Wali Dalam Perkawinan, Pembatasan Hak Cerai Suami, Hak-Hak Dan Kewajiban Para Pihak Karena Perceraian, Hak Waris Keluarga Dekat, dan Wasiat Wajibah. Tampaknya bentuk dan materi hukum perkawinan secara khusus dan hukum keluarga secara umum sangat bervariasi antara satu negara dengan negara Islam (atau negara dengan mayoritas penduduk muslim) lainnya. Walaupun begitu, dapat disimak beberapa konsep dasar dari pembaruan hukum keluarga yang dilakukan oleh negara-negara Islam yang telah disebutkan diatas, diantaranya: 1. Pembaruan hukum dilakukan baik terhadap substansi hukumnya maupun penambahan pencantuman sanksi bagi pelanggarnya. MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 13 LAPORAN UTAMA 2. Pembaruan hukum hanya difokuskan pada penambahan dan pencantuman ancaman sanksi atas pelanggaran terhadap berbagai pengaturan yang ada dalam UU itu, sedangkan substansi dibiarkan sebagaimana adanya untuk menghindari resistensi yang terlalu keras. 3. Pembaruan hukum dilakukan seminimal mungkin dan terhadap beberapa pasal saja seperti batas usia minimal kawin, sedangkan focus pembaruan diletakkan pada penambahan ancaman sanksi atas pelanggaran terhadap berbagai pengaturan yang ada di dalamnya. Sebagai catatan akhir, Musdah Mulia dalam Menuju Hukum Perkawinan Ya n g Adil: M e m b e rd a y a ka n Pe re m p u a n Indonesia, (Jakarta, 2006) memberikan tiga penekanan penting: 1. Upaya pembaruan hukum keluarga di negara-negara Islam selalu mendapatkan tantangan dari kelompok Islam tradisional dan fundamental yang sela lu mempertahankan status quo. 2. Pembaruan hukum keluarga tersebut selalu berujung pada kelahiran undang-undang baru yang materinya berbeda dengan ketentuan hukum sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh klasik. 3. Pembaruan hukum keluarga yang dilakukan oleh negara-negara Islam (maupun mayoritas/ minoritas penduduk muslim), semuanya termotivasi oleh hal yang sama yaitu membangun masyarakat sipil yang berkualitas dan beradab, sekaligus memperbaiki status dan kedudukan perempuan serta melindungi anak-anak. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan Indonesia? |Rahmat Arijaya, Ade Firman Fathony, Alimuddin| Daftar Pustaka: Abdurrahman Adi Saputera, “SEJARAH KEBERLAKUAN HUKUM KELUARGA ISLAM DAN TINJAUAN HUKUM PERNIKAHAN DI BRUNEI DARUSSALAM,” Disertasi tidak diterbitkan Universiti Islam Shultan Syarif Ali Bandar Seri Begawan Brunei Darussalam,2013. Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2013. Arso Sosroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, 1978. Asma Barlas, Cara Quran Membebaskan Perempuan, Serambi, Jakarta, 2005. J.N.D. Anderson, Law Reform in The Modern World, Anthone Press, London, 1967, dalam Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia, Jakarta, 2006. John L. Esposito, Women in Muslim Family Law, Syracuse University Press, New York, 2001 Khoiruddin Nasution, “Sejarah Singkat Pembaruan Hukum Keluarga Muslim”, dalam M. Atho Mudzhar dan Khoiruddin Nasution (ed), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-Kitab Fikih, Ciputat Press, Jakarta, 2003, hlm. 10-11. 14 Komnas Perempuan, Konsultasi Nasional: Mencapai Hukum Keluarga yang Adil dan Setara Gender, yang diselenggarakan di Hotel Harris, Jakarta, 3-4 Februari 2009. Lane, Jan-Erik, Hamadi Redissi, Riyad Saydawi. Religion and Politics: Islam and Muslim Civilization. Farnham/Burlington: Ashgate Publishing Company, 2009. Mohammad Atho Mudzhar, Fatwafatwa Majelis Ulama Indonesia, Leiden INIS, Jakarta, 1993 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Rajawali Press, Jakarta, 2004. Muhammad Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis: Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversial Itu, Grahacipta, Jakarta, 2005. Muhammad Zaki Saleh (Mahasiswa Prog. Doktor UIN Syahid Jakarta), Trend Kriminalisasi dalam Hukum Keluarga di Negara-negara Muslim, Dipresentasikan pada Annual Conference Kajian Islam, Lembang – Bandung, 2006. Munawir Syadzali, Reaktualisasi Ajaran Islam, dalam Iqbal Abdurrauf Saimima (Ed.) Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1988. Nasaruddin Umar, Refleksi Penerapan Hukum Keluarga di Indonesia, MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 dalam http://www.komnasperempuan.or .id/wp-content/uploads/2009/ 02/refleksi-penerapan-hukumkeluarga-diindonesia_nasaruddin-umar.pdf Prof. Dr. Atho' Mudzhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Arab Saudi (Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih). Prof. Dr. Atho' Mudzhar, Personal Law in Islamic Countries, ada juga Pemikir dan Ilmuwan Indonesia, (2003). Tahir Mahmood, Family Law Reform in Muslim World, Tripathi, Bombay, 1972 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, dalam Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia, Jakarta, 2006. Welchman, Lynn. Women and Muslim Family Laws in Arab States: A Comparative Overview of Textual Development and Advocacy. Amsterdam: ISIM/Amsterdam University Press, 2007. Women Living under Muslim Law, Knowing Our Rights, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh SCN, LKIS, dan WEMC dengan judul Mengenali Hak Kita (2008). LAPORAN UTAMA Pembaruan Hukum Keluarga Melalui Legislasi Sejarah pembaruan hukum keluarga Islam di Indonesia melewati banyak etape dan tantangan tersendiri. Pasca-kemerdekaan, sistem hukum di Indonesia cenderung mengikuti civil law dengan kodifikasi sebagai ciri utama. Hal ini akibat dari positivisme hukum atau legisme, di mana sumber hukum satu-satunya adalah legislasi negara. Sumber foto : www.hukumonline.com MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 15 LAPORAN UTAMA A 16 “ Awal mula pembaruan hukum keluarga Islam di Indonesia melalui legislasi dapat dilacak sejak lahirnya UU No. 22 Tahun 1946 dan UU No. 32 Tahun 1954. “ wal pembaruan hukum keluarga Islam di Indonesia melalui legislasi dapat dilacak sejak lahirnya UU No. 22 Tahun 1946 dan UU No. 32 Tahun 1954 yang mengatur tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk dengan memuat sanksi. Pengaturan ini termasuk pembaruan dalam hukum keluarga Islam, karena belum diatur dalam kitab-kitab fikih. Sebelum UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berlaku secara efektif pada 1 Oktober 1975, terdapat keragaman hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia berdasarkan golongan warga negara dan daerah. Bagi orang Indonesia asli berlaku hukum adat. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum Islam. Bagi orang Indonesia asli (Jawa, Minahasa, dan Ambon) yang beragama Kristen berlaku Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Ordonantie Christen Indonesiaers atau HOCI). Bagi orang keturunan Eropa dan Cina (Tionghoa) berlaku Kitab UndangUndang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek atau BW) dengan beberapa pengecualian. Bagi mereka yang melakukan perkawinan campuran berlaku Regeling op de Gemengde Huwelijken (S.1898 No. 158 tentang Perkawinan Campuran). Peraturan tersebut mencakup perkawinan dari mereka yang menundukkan diri pada hukum yang berbeda dan mereka yang beragama Kristen dengan nonKristen. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum keluarga termasuk bidang hukum non-netral, sehingga pembaruan hukum keluarga dalam bentuk unifikasi tidaklah mudah karena menyangkut kultur dan keyakinan masyarakat. Apalagi dalam masyarakat yang plural seperti di Indonesia. Namun demikian, Indonesia telah berhasil melakukan unifikasi bidang hukum non-netral tadi, yaitu dengan lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 (Kusumaatmadja, 2002: 24). Dalam diskusi hukum bertema “Pembaruan Hukum Keluarga di Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (4/8/2015) di Jakarta, Atho Mudzhar menyebut UU No. 1 Tahun 1974 dalam bentuknya yang sekarang bersifat diferensiasi dalam unifikasi. Karena, undang-undangnya satu tetapi isinya masih mengandung pluralisme hukum. Jika dicermati, pembaruan hukum keluarga Islam yang termuat dalam UU No. 1 Tahun 1974 mencakup: 1. Pencatatan perkawinan Dalam Pasal 2 ayat 2 UU No.1 Tahun 1974 disebutkan bahwa tiaptiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Pembatasan Poligami Poligami diatur Pasal 4 dan Pasal 5 UU No. 1 Tahun 1974. Dalam Pasal 4 diatur dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya, dan Pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, atau MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Sementara dalam Pasal 5 diatur untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, harus dipenuhi syarat-syarat yang meliputi: a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; dan c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anakanak mereka. Persetujuan terhadap isteri atau isteri-isteri tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim Pengadilan. 3. Penghapusan hak ijbar Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 mengatur bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Pasal ini telah meniadakan hak ijbar yang dimungkinkan dalam kitab-kitab fikih. Berdasarkan Pasal 27 UU No. 1 Tahun 1974, jika perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum, suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dalam jangka waktu 6 bulan. LAPORAN UTAMA “ Pengaturan harta bersama dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI merupakan akomodasi terhadap adat. Lembaga harta bersama telah terinternalisasi dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Lembaga harta bersama tidak pernah dibahas dalam kitab-kitab fikih. “ 4. Pembatasan usia nikah Pembatasan usia nikah dalam UU No.1 Tahun 1974 diatur dalam Pasal 7 yang berbunyi: (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun; (2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita; (3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6). 5. Harta bersama Harta bersama diatur dalam Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi: (1) harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, (2) harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Ketentuan mengenai pembagian harta bersama ketika terjadi perceraian tidak diatur di dalam UU No. 1 Tahun 1974, tetapi bagi orang Islam diatur lebih lanjut dalam Pasal 85-97 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pengaturan harta bersama dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI merupakan akomodasi terhadap adat. Lembaga harta bersama telah terinternalisasi dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia meskipun tidak pernah dibahas dalam kitab-kitab fikih. Menurut Yahya Harahap, penyelarasan tersebut dapat dihubungkan dengan asumsi bahwa mempertahankan lembaga harta bersama memberikan lebih banyak keuntungan dari pada kerugian. Oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan maslahah mursalah, 'urf dapat diperhatikan, selama tidak bertentangan dengan Qur'an dan Hadis. Harahap berpendapat bahwa pelembagaan harta bersama dapat diterima dan diterapkan secara hukum. Penyelarasan sebagaimana ditunjukkan oleh KHI juga dianggap memberikan kedudukan yang sama dan setara antara suami-istri (Nurlaelawati, 2010: 99-111). Berbagai ketentuan dalam UU No.1 Tahun 1974 di atas berbeda dengan atau bahkan tidak diatur dalam kitab-kitab fikih, sehingga merupakan pembaruan hukum terhadap hukum keluarga Islam yang berlaku di Indonesia. Menurut Khoirudin Nasution, pada prinsipnya metode pembaruan yang digunakan dalam melakukan kodifikasi hukum Islam kontemporer ada lima, yaitu: (1) takhayyur, (2) talfiq, (3) takhshis al-qadha, (4) siyasah syar'iyah, dan (5) reinterpretasi nash (Nasution, 2007: 334). Menurut Taufiq, dalam menetapkan wajibnya pencatatan perkawinan, talak, dan rujuk, digunakan metode takhsish al-qada', siyasah syar'iyah, dan qiyas terhadap Quran, Surat al-Baqarah (2): 282 dan at-Talak (65:2). Sementara untuk menetapkan pembatasan kebolehan poligami didasarkan pada Quran, Surat al-Nisa (4): 3 dihubungkan dengan al-Nisa' (4): 129, dan siyasah syar'iyah. Penetapan batas minimal usia nikah didasarkan pada pandangan al-Syaukani yang mengatakan bahwa kasus perkawinan Siti Aisyah adalah sebagai pengecualian(Nasution, 2007: 339). Di samping itu, disandarkan kepada beberapa riwayat bahwa beberapa tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat, Siti Aisyah diriwayatkan sanggup memimpin pasukan dalam Perang Jamal. Ini berarti boleh jadi ketika menikah dengan Nabi, usia Siti Aisyah telah mencapai 16 tahun atau lebih (Mudzhar, 2015: 6). Hadits yang mengulas tentang usia pernikahan Aisyah dengan Rasulullah, termasuk hadits problematis alias lemah. Beberapa riwayat yang termaktub dalam bukubuku hadits berasal hanya satusatunya dari Hisyam bin 'Urwah yang didengarnya sendiri dari ayahnya. Hadits ini baru diutarakan Hisyam ketika sudah bermukim di Irak. Mengenai ini, Ya'qub bin Syaibah mengatakan mempercayai perkataan Hisyam kecuali setelah ia bermukin di Irak. Bahkan, di usia lanjutnya, ingatan Hisyam sangat menurun. Oleh karena itu, riwayat usia pernikahan Aisyah yang bersumber dari Hisyam bin 'Urwah, tertolak (Syafii Antonio: 2008:303). MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 17 LAPORAN UTAMA 18 Namun demikian, KHI masih b e r b e n t u k I n s t r u k s i P re s i d e n (Inpres). Padahal, mengacu kepada UU No. 12 Tahun 2011 tentang Tata Urutan Peraturan PerundangUndangan Nasional, Inpres tidak termasuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan RI. Ini jadi salah satu hambatan pembaruan hukum keluarga Islam dari perspektif legislasi. Namun, meski hanya berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991, tidak dipungkiri hingga kini KHImenjadi rujukan hakim-hakim di lingkungan Peradilan Agama dalam membuat putusan untuk menghindari diparitas putusan karena rujukan hukum yang beragam dalam kasus-kasus yang mirip. KHI mencakup tiga buku yaitu Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, dan Buku III tentang Perwakafan. Aspek-aspek pembaruan hukum keluarga Islam yang terdapat dalam KHI lebih banyak terkait dengan hukum waris, sementara terkait hukum perkawinantidak ada satu pun ketentuan dalam KHI yang berbeda dengan aspek-apek pembaruan hukum keluarga yang ada dalam UU No. 1 Tahun 1974. Berbagai pembaruan dalam hukum kewarisan Islam yang diintrodusir oleh KHI mencakup: 1. Ahli waris pengganti Ahli waris pengganti dalam KHI diatur dalam Pasal 185 yang berbunyi: (1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173; (2) Bagian ahli waris MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat denganyang diganti. Ketentuan ahli waris pengganti dalam KHI sesuai dengan praktik memberikan hak waris kepada cucu yatim yang telah mapan di kalangan Muslim Indonesia tertentu melalui sistem plaatsvervulling (Nurlaelawati, 2010: 97). Selain itu, juga sangat dipengaruhi oleh pemikiran Hazairin tentang ahli waris pengganti. Hazairin menafsirkan kata mawali dalam Quran al-Nisa (4):33 sebagai pengganti ahli waris. Adapun yang dapat menjadi mawali yaitu “ Menurut Khoirudin Nasution, pada prinsipnya metode pembaruan yang digunakan dalam melakukan kodifikasi hukum Islam kontemporer ada lima, yaitu: (1) takhayyur, (2) talfiq, (3) takhshis al-qadha, (4) siyasah syar'iyah, dan (5) reinterpretasi nash. “ Teori lain yang mengulas tentang usia pernikahan Aisyah adalah keempat anak Abu Bakar dilahirkan pada zaman Jahiliyah (sebelum 610 M). Jika Aisyah dinikahkan dalam usia 6 tahun, berarti Aisyah lahir tahun 613 M. Padahal menurut Tabari, keempat anak Abu Bakar lahir pada zaman Jahiliyah (sebelum 610 M). Menurut Abdur Rahman, Asmah 10 tahun lebih tua dari Aisyah. Menurut Asqalani, Asmah hidup hingga usia 100 tahun dan meninggal pada tahun 73 atau 74 Hijriyah. Dengan demikian, saat hijrah usia Asmah adalah 27 atau 28 tahun. Oleh karena Aisyah 10 tahun lebih muda dari Asmah, maka usia Aisyah adalah 17 atau 18 tahun pada waktu hijrah. Kemudian mulai hidup berumah tangga dengan Rasulullah pada waktu berumur 19 atau 20 tahun (Syafii Antonio: 2008:304). Penghapusan hak ijbar dalam perkawinan didasarkan pada pendapat Ibn Shubrumah. Keharusan perceraian di pengadilan didasarkan pada pandangan al-Zahiri dan Syi'ah Imamiyah, yang menetapkan bahwa perceraian sama dengan perkawinan, hanya terjadi dengan disaksikan oleh minimal dua orang saksi (Nasution, 2007: 339). Selain UU No. 1 Tahun 1974, pembaruan hukum dalam hal perceraian juga dimuat dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah menjadi UU No. 3 Tahun 2006 dan perubahaan kedua menjadi UU No. 50 Tahun 2009. Pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989 mengatur tentang cara cerai gugat. Berdasarkan pasal tersebut seorang istri dapat mengajukan gugatan perceraian kepada Pengadilan berdasarkan alasan-alasan yang sama dengan suami seperti diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Sementara berdasarkan kitabkitab fikih, seorang istri hanya mungkin mengajukan perceraian kepada suami melalui khuluk, dengan kewajiban membayar tebusan, dan hanya dapat bercerai jika suami mengijinkan. Pembaruan hukum keluarga Islam di Indonesia melalui produk hukum negara juga dapat ditemukan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). keturunan anak pewaris, keturunan saudara pewaris, ataupun keturunan orang yang mengadakan semacam perjanjian (misalnya dalam bentuk wasiat) dengan si pewaris. Masalah ahli waris pengganti ini muncul karena Hazairin merasakan adanya ketidakadilan dalam pembagian warisan yang ada selama ini, yakni bahwa cucu perempuan yang ayahnya meninggal terlebih dahulu tidak mendapat harta warisan dari harta warisan yang ditinggalkan kakeknya. LAPORAN UTAMA mempresentasikan Rancangan Undang-Undang Hukum Terapan Peradilan Agama dan masuk dalam program legislasi, hingga saat ini rancangan tersebut belum ada kepastian pembahasan di gedung wakil rakyat. Pembaruan justru terjadi melalui putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menguji UU No. 1 Tahun 1974 dan undang-undang lain “ Menurut Yahya Harahap, ketentuan wasiat wajibah dalam KHI tersebut untuk menjembatani antara aturan yang saling bertentangan antara hukum adat dan hukum Islam. “ 2. Wasiat wajibah bagi anak angkat atau bapak angkat. Penggunaan wasiat wajibah untuk memberikan bagian harta peninggalan kepada anak angkat atau bapak angkat yang belum mendapatkan wasiat diatur dalam Pasal 209 KHI. Pasal 209 KHI berbunyi:(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyakbanyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya; (2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyakbanyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. Menurut Yahya Harahap, ketentuan wasiat wajibah dalam KHI tersebut untuk menjembatani antara aturan yang saling bertentangan antara hukum adat, yang mengizinkan orang tua angkat dan anak angkat untuk saling mewarisi, dan hukum Islam yang tidak mengizinkan orang tua angkat dan anak angkat untuk saling mewarisi (Nurlaelawati, 2010: 116). Pembaruan hukum keluarga Islam di Indonesia melalui legislasi tidak mengalami perkembangan setelah lahirnya KHI. Meskipun pada tahun 2003 Menteri Agama telah yang berkaitan dengan perkawinan. Berdasarkan penelusuran redaksi, setidaknya enam kali UU No. 1 Tahun 1974 diuji di MK. Keenam hasil pengujian tersebut terlihat dalam putusan MK Nomor 12/PUU-V/2007 yang menguji Pasal 3 ayat (1) dan (2), putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang menguji Pasal 43 ayat (1), putusan Nomor 38/PUU-IX/2012 yang menguji penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f, putusan Nomor 68/PUUXII/2014 yang menguji Pasal 2 ayat (1), dan putusan Nomor 30-74/PUUXII/2014 yang menguji Pasal 7 ayat (1). Dari keenam pengujian undang-undang tersebut, MK hanya mengabulkan pengujian Nomor: 46/PUU-VIII/2010. Berdasarkan putusan MK tersebut Pasal 43 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 menjadi berbunyi: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.” Dalam praktik, penerapan putusan MK tersebut mengalami persoalan terkait apakah keberlakuan putusan MK tersebut bersifat retroaktif atau nonretroaktif, dan sejauhmana batasbatas hubungan keperdataan antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya, apakah mencakup hubungan perwalian, dan hubungan saling mewarisi. MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 19 LAPORAN UTAMA Pendorongpembaruan Adanya pembaruan hukum keluarga Islam, disebabkan karena norma-norma yang terkandung dalam kitab-kitab fikih yang ditulis pada zaman terdahulu sudah tidak mampu lagi memberikan solusi terhadap berbagai masalah yang muncul pada zaman sekarang. Pandangan ini didasarkan kepada pendapat Abdul Manan sebagaimana simpulannya mengenai empat faktor penyebab terjadinya pembaruan hukum yaitu : 1) Untuk mengisi kekosongan hukum karena norma norma yang ada dalam kitab fikih tidak mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat terhadap 20 hukum terhadap masalah yang baru terjadi itu sangat mendesak untuk diterapkan; 2) Pengaruh globalisasi dan IPTEK sehingga perlu ada aturan hukum yang mengaturnya, terutama masalah yang belum ada aturan hukumnya; 3) Pengaruh reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan peluang kepada hukum Islam untuk bahan acuan dalam membuat hukum nasional; 4) Pengaruh pembaruan pemikiran hukum keluarga Islam yang dilaksanakan oleh para mujtahid baik tingkat internasional maupun tingkat nasional (Abdul Manan, 2006:153154). “ Prof. Abdul Manan menyebutkan empat faktor penyebab terjadinya pembaruan hukum, “ Selain putusan Nomor 46/PUUVIII/2010, terdapat pengujian undang-undang yang meskipun tidak menguji secara langsung UU No. 1 Tahun 1974 tetapi memiliki implikasi terhadap pembaharuan hukum perkawinan, yakni putusan MK Nomor 64/PUU-X/2012 yang menguji Pasal 40 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Berdasarkan putusan MK tersebut, Pasal 40 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998 menjadi berbunyi “Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A serta untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian”. Dengan ketentuan yang baru ini, pasangan suami isteri dapat meminta bank untuk membuka rekening yang dimiliki oleh pasangannya yang dapat dijadikan sebagai harta bersama. Ketentuan ini menyiratkan kesamaan kedudukan suami isteri dalam mengakses informasi rekening bank masingmasing. Keputusan ini juga semakin memberikan hak kepada isteri untuk memperoleh bagian dari harta bersama berupa tabungan atau deposito yang dimiliki oleh suami, yang selama ini sulit diakses atas nama kerahasiaan bank. Secara praktis, Amir Syarifuddin (1993: 106) mengulas beberapa faktor pendorong adanya hukum keluarga Islam. Fikih, dalam pandangan Amir, bukan hanya soal ibadah, tapi tentang peraturan yang mencakup segala kehidupan manusia. Sebagai contoh, kitab-kitab fikih tradisional tidak memberikan batas tertentu dalam umur perkawinan, sehingga menimbulkan penafsiran bayi yang masih menyusu pun dapat dikawinkan dan dikawini. Beberapa persoalan hukum MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 keluarga lainnya yang belum diatur secara spesifik dalam kitab-kitab fikih tradisional antara lain: tidak adanya kewajiban registrasi perkawinan sehingga masyarakat yang merasa telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan dapat seenaknya menikah; aturan talak dalam kitab fikih tradisional sering menimbulkan kerancuan sehingga pihak suami seenaknya menceraikan isteri; persoalan poligami yang sangat mudah juga menjadi polemik sehingga laki-laki yang ingin menikahi perempuan lebih dari satu bisa dilakukan seenaknya. Terhadap persoalan-persoalan tersebut di atas, Pemerintah Indonesia telah selangkah lebih maju karena telah memberikan suatu interpretasi baru terhadap sumber aslinya yaitu kitab dan sunnah melalui legislasi dengan hadirnya undang-undang terkait hukum keluarga Islam. Penghambat pembaruan Pe ra t u ra n perundangundangan yang terkait dengan hukum keluarga Islam di Indonesia antara lain adalah: UU No. 1 Tahun 1974, UU No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009. Selain itu, ada juga Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diberlakukan berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991. Dari beberapa peraturan perundang-undangan tersebut, UU No. 1 Tahun 1974 termasuk UU yang paling lama dan tidak pernah diubah. Sejak diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan berlaku efektif sejak 1 Oktober 1975, UU ini sudah bertahan sampai 40 tahun tanpa mengalami amandemen kecuali beberapa kali uji materi di MK. Dalam Diskusi “Pembaruan Hukum Keluarga di Indonesia” yang diselenggarakan Ditjen Badilag, (Selasa 4/8), Atho Mudzhar menyampaikan dua spekulasi mengapa UU No. 1 Tahun 1974 tidak pernah diubah: pertama, UU tersebut masih dianggap memadai untuk menjawab perkembangan sekarang. Kedua, status quo antara pihak yang ingin mempertahankannya dan pihak yang ingin mengubahnya. LAPORAN UTAMA Dalam Diskusi “Pembaruan Hukum Keluarga di Indonesia” yang diselenggarakan Ditjen Badilag (Selasa, 4/8/2015), Atho Mudzhar menyampaikan dua spekulasi mengapa UU No. 1 Tahun 1974 bisa bertahan sampai 40 tahun tanpa amandemen. Namun demikian, Atho Mudzhar juga menyinggung adanya kekhawatiran dari tokoh konservatif yang mengatakan UU ini merupakan perwujudan Islam di Indonesia, bahwa jika UU dibuka untuk diubah dikhawatirkan akan menjauhkan isinya dari hukum Islam dan jatuh ke tangan para kamu liberal dan sekuler. Alasan ini sangat masuk akal, mengingat menurut catatan sejarah, draf awal saat UU ini diajukan pemerintah pada tahun 1973 sangatlah sekuler, dan lahirnya UU yang ada sekarang ini merupakan buah dari perjuangan panjang umat Islam termasuk upaya pendudukan ruang sidang DPR oleh sekelompok pelajar. Selain menyinggung kekhawatiran tersebut, Atho juga menyinggung adanya resistensi terhadap perubahan UU No. 1 Tahun 1974 tersebut, juga karena dalam usulan perubahan memuat sanksi terhadap pelanggaran. Mengenai sanksi bagi pelanggar, Atho Mudzhar, secara tegas memaparkan perlunya sanksi dalam penegakan hukum keluarga Islam di Indonesia. Sebagai contoh, menurut Atho Mudzhar, perihal aturan pencatatan perkawinan dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, sesungguhnya merupakan hasil kompromi. Karena dalam draf awalnya, ayat (1) dan ayat (2) dalam Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tersebut digabung menjadi satu ayat. “Agar pencatatan tetap tidak menentukan keabsahan perkawinan, tetapi merupakan kewajiban yang dipatuhi masyarakat, maka jalan keluarnya adalah kedepan harus diberikan ancaman sanksi berupa sanksi denda dan atau kurungan badan bagi pelanggarnya,” tutur Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, ini. Jika merujuk kepada konsep law as tool of social engineering yang dikembangkan oleh Roscoe Pound, hukum memiliki fungsipenting bagi pembentukan perilaku masyarakat (Majda, 2001:74). Ia tidak saja dijadikan sebagai alat kontrol sosial (social control), tetapi juga dijadikan sebagai alat rekayasa sosial (social engineering) (Darji, 2008:128). Lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 merupakan salah satu realisasi dari hukum sebagai alat rekayasa sosial. Apakah UU No. 1 Tahun 1974 sudah berfungsi sebagai rekayasa sosial yang dapat menertibkan masyarakat? Perlu kajian mendalam untuk menjawab pertanyaan ini. Di satu sisi, ada pendapat yang menyebutkan UU No. 1 Tahun 1974 ini telah mampu menjadi alat rekayasa sosial. Hal ini dapat dilihat dari eksistensi Pengadilan Agama yang setiap tahun mengalami peningkatan perkara baik secara kualitas maupun kuantitas. Di sisi lain, ada juga pendapat yang menyebutkan UU No. 1 Tahun 1974 ini belum sepenuhnya mampu menjadi alat rekayasa sosial. Hal ini dapat dilihat masih maraknya pelanggaran terhadap UU No. 1 Tahun 1974 yang dilakukan oleh masyarakat dari berbagai kalangan, baik yang mengerti hukum maupun yang awam. Masalahnya, di Indonesia bagi pelanggar hukum keluarga tidak diberikan sanksi tegas berupa denda atau kurungan badan. Sehingga poligami liar, nikah di bawah tangan dan sebagainya terjadi di mana-mana tanpa pemenuhan prosedur yang diatur oleh undang-undang. Kedepan para pelaku pelanggaran hukum keluarga maupun pihak lain yang terlibat perlu dikenakan sanksi tegas sebagaimana telah dilakukan oleh negara Muslim lainnya seperti Malaysia, Pakistan, Yordania dan sebagainya. |M. Isna Wahyudi, Edi Hudiata, M. Noor, Achmad Fauzi| Daftar Pustaka: Abdul Manan, 2006, Reformasi Hukum Islam di Indonesia; Tinjauan dari Aspek Metodologis, Legislasi, dan Yurisprudensi, Jakarta: RajaGrafindo. Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, 1993, Padang: Angkasa Raya. Mochtar Kusumaatmadja, 2002, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Bandung: Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan & Alumni. Euis Nurlaelawati, 2010, Modernization, Tradition, and Identity: The Kompilasi Hukum Islam and Legal Practice in the Indonesian Religious Courts, Amsterdam: Amsterdam University Press. Atho Mudzhar, 2015, Pembaruan H u ku m Pe r ka w i n a n di Indonesia, Makalah disampaikan dalam Diskusi Hukum Pembaruan Hukum Keluarga di Indonesia, Selasa 4/8/2015, Jakarta: Ditjen Badilag. Khoiruddin Nasution, 2010, Pengantar dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia. Khoiruddin Nasution, 2007, Metode Pembaruan Hukum Keluarga Islam Kontemporer, dalam UNISIA, Vol. XXX No. 66. Darji Darmodiharjo dan Sidharta, 2008, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Cet 7. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Majda El-Muhtaj, 2001, Social Enggineering dan Maslahat, Suatu Tinjauan Filsafat Hukum Islam dan Barat, artikel dalam Mimbar Hukum No. 52 Thn XII. Muhammad Syafii Antonio, 2008, Muhammad SAW: The Super Leader Super Manager, Cet. XIII, Jakarta: Tazkia Publishing & ProLM Centre. MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 21 LAPORAN UTAMA PEMBARUAN HUKUM KELUARGA MELALUI PERADILAN AGAMA W press er Sumb 22 : foto .word rn90 .sobe www .com MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 acana pembaruan produk perundang-undangan di bidang perkawinan santer terdengar dalam diskusi hukum Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung RI yang lalu. Sebelumnya, wacana tersebut hanya topik bahasan di kalangan hakim peradilan agama di jejaring sosial saja. Salah satu isu yang muncul adalah menjadikan sejumlah putusan hakim peradilan agama referensi bagi pembaruan hukum keluarga di Indonesia. Pengadilan Agama sebagai peradilan tingkat pertama seringkali diidentikan sebagai garda depan Mahkamah Agung, sedangkan Pengadilan Tinggi Agama diidentikan dengan kawal depan Mahkamah Agung. Hal ini mengandung makna bahwa Pengadilan Agama mempunyai peranan penting sebagai wajah terdepan penegakkan hukum dan keadilan di negeri ini. Menurut Satjipto Rahardjo (1996:207), terjadi fenomena hukum yang unik pada Pengadilan Agama di mana sebagian besar peranannya sebagai peradilan keluarga, meskipun sebelumnya tidak didesain untuk tugas tersebut. Dengan kondisi obyektif ini, maka peradilan agama menjadi titik sentral utama pengembangan hukum keluarga Islam di Indonesia. LAPORAN UTAMA Kilas Balik Sejarah Peranan PA Dari sudut pandang sejarah, secara yuridis peranan pengadilan agama terlihat sejak tahun 1882 dengan keluarnya Staatsblad Nomor 152 tentang pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Cikal bakal lahirnya staatsblad tersebut adalah kewenangan yang diberkan oleh Belanda kewenangan kepada Pengadilan Agama (Priesterraden) untuk menangani s e n g ke t a pernikahan dan pembagian harta benda berdasarkan Staatsblad 1835 Nomor 58 (A.Qadri Azizy:2002,139). Sejauh ini peranan peradilan agama di Indonesia jauh lebih progresif dibandingkan dengan lembaga sejenisnya yang berada di negera-negara berpenduduk mayoritas muslim. Sejalan dengan berkembangnya teori receptie dari Cristian Snouck Hurgronje, sejak tahun 1937 terjadi reduksi kewenangan peradilan agama. Perkara yang menyangkut waris, hibah dan wasiat menjadi kewenangan peradilan umum (Manan, 2012:301). Adapun di luar Jawa dan Madura, Pengadilan Agama masih mempunyai kemungkinan untuk memeriksa sengketa waris dan wakaf. Pada tahun 1989 (dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989), kewenangan sengketa waris dan wakaf yang sempat hilang sejak tahun 1937 muncul kembali menjadi kewenangan peradilan agama. Kewenangan tersebut ditegaskan kembali pada revisi pertama undang-undang peradilan agama di tahun 2006 dengan menghapuskan pilihan hukum (choice of porum antara PA atau PN) dalam penyelesaian sengketa dan pemberian kewenangan kepada peradilan agama dalam menyelesaikan sengketa hak milik jika sengketa tersebut terjadi antara orang-orang Islam. Sejauh ini peranan peradilan agama di Indonesia jauh lebih progresif dibandingkan dengan lembaga sejenisnya yang berada di negera-negara berpenduduk mayoritas muslim. Produk hukum yang dihasilkan oleh lembaga peradilan agama telah menunjukkan bahwa hukum Islam tidak hanya dihasilkan lewat ijtihad para ulama tetapi juga oleh para hakim lewat putusannya. Sebagaimana dikemukakan oleh M. Atho Mudzhar (2000:91), bahwa hukum Islam dapat ditemukan di empat tempat yang berbeda yaitu kitab-kitab fikih, fatwa-fatwa ulama, undang-undang dan putusan pengadilan. Progresifitas lembaga peradilan agama ternyata mampu mereposisi putusan-putusan pengadilan atas hukum Islam lainnya yang telah berkembang lebih dulu (kitab fikih, fatwa ulama dan undangundang). Menurut Manan (2005:199), kenyataan ini disebabkan materi fikih seringkali tidak sesuai dengan kasus yang diajukan ke pengadilan sementara itu pengaturan dalam undang-undang cenderung tidak lengkap, sehingga wajar jika putusan pengadilan mempunyai posisi penting dalam pembaharuan hukum Islam. Dalam catatan sejarah, hukum Islam yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan berkembang cukup lambat bila dibandingkan dengan produktifitas peradilan agama. Pada tahun 1974 terjadi keberanjakan hukum Islam, di mana hukum keluarga yang berada dalam kitab-kitab fikih dapat ditemukan pada Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 jo Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975. Meskipun undangundang ini bukan sebagai hukum Islam, tetapi secara materiil berasal dari hukum Islam. Hukum perkawinan ini baru secara tegas mendapat sentuhan hukum Islam pada tahun 1991 dengan lahirnya KHI yang legalitasnnya didasarkan pada Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Selain mengatur tentang hukum perkawinan, KHI juga mengatur waris dan wakaf. Legalitas KHI yang didasarkan pada Instruksi Presiden tidak menyurutkan para hakim dalam mengimplementasikannya di setiap putusan baik tingkat pertama, banding maupun kasasi. Nampaknya pandangan Attamimi (1996:155) terhadap kedudukan KHI perlu dijadikan pedoman, bahwa KHI bukanlah sebagai bagian dari hukum tertulis dalam struktur perundangundangan di Indonesia, tetapi kedudukannya sebagai hukum tidak tertulis.yang diakui dalam sistem hukum di Indonesia dapat mengisi kekosongan hukum bagi masyarakat muslim Indonesia. Oleh karenanya meskipun instruksi presiden saat ini tidak termasuk dalam struktur peraturan perundang-undangan ternyata tradisi hukum di Indonesia telah mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum materiil hukum Islam (Abdul Gani Abdullah, 1994:62). MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 23 LAPORAN UTAMA Perangkat Hukum Pembaruan Hukum Keluarga pada Peradilan Agama Meminjam istilah yang dipergunakan Roscoe Pound, hukum sebagai salah satu alat rekayasa sosial law as tool of social engineering, pada lembaga peradilan agama ditemukan beberapa perangkat hukum yang digunakan untuk melakukan perubahan hukum keluarga. Uniknya perangkat hukum ini tidak muncul sebagai bagian dari struktur tata urut peraturan perundang-undangan tetapi lebih sebagai tradisi hukum yang berkembang pada peradilan agama. Sejauh ini, ukuran tingkat keberhasilan pembangunan hukum selalu saja dilihat dari segi jumlah produk hukum (legislasi) yang telah dihasilkan oleh lembaga yang berhak mengesahkan undang-undang (legislatif). Sirajuddin (2008 : 122) menyimpulkan bahwa hukum yang berlaku saat ini sangat dipengaruhi oleh kekuatan politik, paling tidak dapat dilihat dalam aspek politik hukum nasional. Demikian pula halnya dengan hukum Islam di Indonesia, ia senantiasa berada dalam pengaruh kekuatan politik. Oleh karena itu, konfigurasi pembentukan hukum keluarga Islam di Indonesia selalu diiringi dengan vested interest politik. Harus diakui, UU Perkawinan sebagai salah satu rujukan hakim peradilan agama dalam memutuskan perkara hukum keluarga, sepatutnya memiliki peran besar sebagai alat rekayasa sosial. Namun peran ini dapat berjalan atau tidak sangat tergantung dan dipengaruhi oleh paradigma dan tindakan para penegak hukum, dan di sinilah letak signifikansi analisis legal structure. Jika mengacu pada teori struktur hukum, paling tidak ada tiga alasan diperlukan perangkat untuk memperkuat argumentasi bahwa produk peradilan agama berguna dalam pembaruan hukum keluarga di Indonesia. Tiga hal tersebut yaitu; struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Peradilan agama 24 sebagai struktur hukum telah menjalankan tugasnya sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan di bidang hukum keluarga. Hakim peradilan agama sebagai penegak hukum adalah ujung tombak dalam membangun hukum keluarga. Budaya masyarakat Islam di Indonesia juga sangat positif merespon perkembangan hukum yang dihasilkan oleh hakim peradilan agama berupa perangkat hukum. Harus diakui, UU Perkawinan sebagai salah satu rujukan hakim peradilan agama dalam memutuskan perkara hukum keluarga, sepatutnya memiliki peran besar sebagai alat rekayasa sosial. Lawrence M. Friedman (2013 : 16) merinci bahwa baik struktur hukum berupa lembaga peradilan agama maupun substansi hukum putusan hakim, keduanya diperlukan dan sangat erat sebagai ouput dari sebuah sistem hukum. Perangkat hukum tersebut terdiri dari yurisprudensi (putusan MARI yang telah diikuti oleh putusan-putusan lainnya), Peraturan Mahkamah Agung (Perma) dan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) serta Keputusan Ketua Mahkamah Agung. 1. Yurisprudensi • Kedudukan anak perempuan yang menghilangkan hak waris saudara (Putusan Mahkamah Agung Nomor 86K/AG/1994 tanggal 20 Juli 1995). Beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung menunjukkan bahwa anak MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 perempuan menghijab saudara. Ketentuan ini menghapus ketentuan waris dalam fikih sunni. Perubahan hukum waris ini cenderng mengikuti pendapat Ibnu Abbas yang diikuti oleh mazhab Syi'ah. Hasil penelitian Sugiri Permana menunjukkan dalam penyelesaian waris yang dilakukan atas dasar sukarela (dalam bentuk penetapan pengadilan), sebagian hakim masih mendudukan saudara sebagai ahli waris bersama-sama dengan anak perempuan. • Hilangnya hak pengasuhan anak bagi ibu yang murtad (putusan MARI Nomor:210K/AG 1996). Ketentuan ini secara materiil cenderung mengedepankan fikih klasik bila dibandingkan dengan perkembangan hukum saat ini. KHI sendiri hanya mengatur hak pengasuhan anak di bawah umur (12 tahun) bagi ibu kandungnya, sehingga pengaturan oleh yurisprudensi dipandang sebagai pelengkap dari KHI. Di sisi lain, ketentuan tersebut merupakan terobosan hukum ya n g kontroversi karena bertentangan dengan UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 51 ayat (2) di mana setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anak-anaknya. • Perluasan pemberian wasiat wajibah. Menurut Pasal 209 KHI, wasiat wajibah diberikan kepada anak angkat atau orang tua angkat. Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung RI, wasiat wajibah juga diberikan kepada anak tiri dan ahli waris non muslim (Putusan MARI Nomor: 59K/AG/2001 tanggal 8 Mei 2002). Perluasan wasiat wajibah ini berimplikasi secara hukum : LAPORAN UTAMA Pertama, menunjukkan kedekatan hubungan emosional (anak/orang tua angka, anak tiri) kepada pewaris sebagai salah satu landasan diberikan hak untuk menikmati harta tirkah melalui lembaga wasiat wajibah. Hal ini jelas berbeda dengan ketentuan waris dalam fikih klasik yang hanya memberikan hak waris atas dasar hubungan nasab, perkawinan dan wala' (memerdekakan hamba sahaya). Kedua, meniadakan diskualifikasi ahli waris karena perbedaan a ga m a . Ke te n t u a n i n i te l a h mendobrak pilar hukum waris dalam fikih klasik dan KHI. Dengan diberikannya hak kepada ahli waris non muslim untuk menikmati harta waris melalui wasiat wajibah, secara tidak langsung menghilangkan mani' al-irtsi / penghalang hak waris karena berbeda agama. 2. Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Diantara Perma yang berimplikasi p a d a p e r ke m b a n ga n h u ku m keluarga adalah Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang mediasi. Dengan ketentuan ini, mediasi menjadi bagian penting dalam setiap pemeriksaan perkara perdata court annexed mediation. Demikian halnya dengan perkara perceraian, setiap pemeriksaan perkara perceraian, sebelum pemeriksaan pokok perkara terlebih dahulu akan dilakukan mediasi. Perma ini telah mereposisi lembaga hakam dalam hukum Islam. Sebelum lahirnya Perma, hakam menjadi bagian penting dalam penyelesaian perkara perceraian terutama perceraian atas dasar alasan syiqoq. Kedudukan lembaga hakam selain didasarkan atas AlQuran (4:35) sebagai sumber yang otoritatif juga didasarkan atas ke t e n t u a n Undang-Undang Peradilan Agama (Pasal 76). Pada saat ini, lembaga mediasi telah “mengalahkan” “tradisi” hakam yang telah dibangun oleh hukum Islam. Jika mengacu pada teori struktur hukum, paling tidak ada tiga alasan diperlukan perangkat untuk memperkuat argumentasi bahwa produk peradilan agama berguna dalam pembaruan hukum keluarga di Indonesia. 3. Rapat Kerja Nasional (Rakernas) dan Keputusan Mahkamah Agung Rakernas sering kali menghasilan beberapa perubahan dan terobosan hukum, baik yang berkenaan dengan hukum formil maupun materiil. Hasil rakerna kemudian dituangkan dalam Keputusan Mahkamah Agung Nomor: KMA/032/ SK/IV/2006 (Buku II). Diantara hasil rakernas yang berhubungan erat dengan hukum keluarga adalah pemeriksaan saksi dalam perkara perceraian serta pembatasan ahli waris pengganti. perceraian adalah suatu keharusan baik cerai talak atau cerai gugat dan perkara tersebut diperiksa secara contraditoir ataupun verstek. Ketentuan ini sebagai wujud paradigma baru hukum keluarga di Indonesia. bertentangan dengan hukum acara dan fikih Islam. Dalam hukum acara perdata, saksi merupakan bagian dari alat bukti, tetapi alat bukti tersebut tidak diperlukan lagi manakala pihak lawan tidak hadir (verstek). Dalam hukum Islam, saksi tidak menjadi syarat untuk melakukan perceraian, bahkan suami yang menceraikan istrinya secara empat mata berakibat jatuhnya talak suami tersebut. Berdasarkan hasil rakernas tahun 1998, pemeriksaan saksi dalam MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 25 LAPORAN UTAMA Hasil rakernas lainnya yang berhubungan dengan hukum acara adalah pemisahan antara perkara perceraian dengan perkara harta bersama. Berdasarkan Pasal 66 UU Peradilan Agama, perkara harta bersama dapat dikumulasi dengan harta bersama, akan tetapi Mahkamah Agung telah merubahnya dan “mengharuskan” adanya pemisahan perkara harta bersama dengan perceraian. Mahkamah Agung berpendapat bahwa seringkali perkara perceraian kumulasi dengan harta bersama diselesaikan hingga tingkat kasasi, padahal senyata-nya para pihak tidak keberatan dengan perceraian. Proses yang berlarutlarut tersebut hanya untuk menyelesaikan harta bersama saja. Jauh sebelum Mahkamah Agung berpendirian seperti di atas, Satria Effendi Zein, mempunyai pemikiran brilian tentang pemisahan harta bersama dengan p e r k a ra perceraian. Menurutnya, kumulasi perceraian dengan harta bersama tidak sejalan dengan norma hukum Islam, karena dalam pandangan hukum Islam pasangan suami istri (roj'i) yang telah bercerai masih terikat oleh perkawinan sebelum istri melewati masa iddah. Sebaliknya, jika masih dalam masa iddah dan salah satunya meninggal dunia, maka satu sama lain saling mewarisi. Dengan analogi hukum tersebut, maka menurut Satria Effendi, pemeriksaan perkara perceraian (terutama cerai talak) harus dipisahkan dari perkara harta bersama. Pada tahun 2010, terjadi perubahan mendasar terhadap pengaturan ahli waris pengganti. Berdasarkan Pasal 185 KHI, tidak ada batasan mengenai garis keturunan yang dapat menjadi ahli waris pengganti. Sebagai perbandingan, di Mesir yang memberlakukan wasiat wajibah (di Indonesia menggunakan ahli waris pengganti), hanya diberikan kepada cucu perempuan 26 Pada tahun 2010, terjadi perubahan mendasar terhadap pengaturan ahli waris pengganti. Berdasarkan Pasal 185 KHI, tidak ada batasan mengenai garis keturunan yang dapat menjadi ahli waris pengganti. dan cucu serta cicit laki-laki. Di Indonesia tidak ada batasan, bahkan untuk pihak saudara pun dapat di-berlakukan ahli waris pengganti. Berdasarkan Rakernas Banjarmasin tahun 2010, ahli waris pengganti pengganti dibatasi hanya untuk cucu saja artinya cicit tidak dapat menempati sebagai ahli waris pengganti demikian pula anak/cucu saudara tidak dapat menggantikan orang tuanya (saudara pewaris). Menurut Ahmad Tholabi Kharlie (2013: 305), hukum keluarga tidak bisa dilihat secara monolitik, tetapi dengan banyak sudut pandang dan pendekatan, mengingat keragaman masyarakat Indonesia juga menjadikan upaya unifikasi tidak semudah dalam masyarakat yang homogen. Demikian pula dengan kesadaran hukum masyarakat, ternyata tidak berdiri sendiri, tetapi juga terkait dengan struktur dan substansi hukum. Ketiganya saling mempengaruhi dan membentuk satu tindakan sosial dan selalu memproduksi, sehingga dalam praktiknya ketika salah satu aspek tidak mampu melakukan fungsinya dengan baik, maka hal itupun akan memberikan pengaruh kepada komponen lain. MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 Komponen yang dimaksudkan dalam upaya modernisasi hukum keluarga adalah bahwa proses modernisasi hukum keluarga sejatinya tidak hanya berada di tangan lembaga legislatif, tetapi dalam lembaga peradilan yang juga memiliki kewenangan untuk menciptakan hukum yang lebih adil di masyarakat. |Sugiri Permana, Alimuddin, Achmad Cholil| Daftar Pustaka: Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2013. A. Qadri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional Kompetensi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum (Yogyakarta: Gama Media, 2002). A.Hamid Attamimi, “Kedudukan KHI dalam Sistem Nasional (Suatu Tinjauan dari Sudut Teori Perundang-undangan di Indonesia)” dalam Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta:Gema Insani, 1996). Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum. Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2008) Indonesia Cet ke I (Jakarta: Gema Insani Press, 1994). M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi. Satjipto Rahardjo, “Pengadilan Agama sebagai Pengadilan Keluarga” dalam Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani, 1996). Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis Yu r i s p r u d e n s i d e n g a n Pendekatan Ushuliyah (Jakarta: Kencana, 2005). Lawrence M. Friedman, The Legal System A Social Science Perspective, diterjemahkan oleh M. Khozim, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2013. TOKOH BICARA Prof. Tim Lindsey Malcolm Smith Professor of Asian Law, Melbourne Law School, Australia Hukum keluarga Islam merupakan area hukum Islam yang memperoleh tempat istimewa di hampir seluruh negara Muslim, termasuk Indonesia. Di Indonesia, sejalan dengan perkembangan kehidupan dan tuntutan kebutuhan hukum yang lebih responsive dan berkeadilan, beberapa aturan materiil-nya mengalami pembaharuan dan pembaharuan substansi ini dibarengi dengan perkembangan prosedur pelaksaannya (Lindsey, 2013). Euis Nurlaelawati, Ph.D Dosen Fakultas Syariah & Hukum UIN Yogyakarta Alumni University of Utrecht, Belanda M eski pun perkembangan hukum baik dari segi substansi atau materiil maupun dari prosedur atau formil telah diupayakan secara berbarengan, perkembangan terkait hukum formiil seperti prodeo, sidang keliling dan lainnya, meski memang, dalam bebrapa hal seperti eksekusi putusan PA masih mengalami kesulitan penerapannya-, nampaknya lebih bisa dan mudah diterima dan dijalankan oleh para penegak hukum. Perubahan dan perkembangan hukum materiil sebenarnya juga telah diakomodir dengan baik, tetapi preferensi hukum para penegak hukum di PA terhadap beberapa doktrin klasik masih yang nampak kental di dalam diri sebagian hakim, menyebabkan perkembangan dalam hal substansi hukum mendapatkan tantangan untuk aplikasi yang lebih. Di sisilain, beberapa hakim nampak sangat maju dan melakukan terobosan yang berani, yang meskipun secara umum berdampak poistif terhadap pencapaian keadilan di kalangan pencari keadilan, reaksi dari sikap itu terkadang muncul dari kalangan hakim lain dan non-hakim yang melihat putusan tidak memiliki Islamic legal rationale yang memadai. Nyatanya, memang keberanian beberapa hakim untuk melakukan terobosan terkadang tidak dibarengi dengan legal reasoning yang cukup dan relevan dan dengan detail argument yang memadai dan memuaskan. |Muhammad Isna Wahyudi, Achmad Cholil| MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 27 FENOMENAL PUTUSAN JUDEX JURIST Sumber foto : www.harianterbit.com Rekonstruksi Wasiat Wajibah untuk Isteri Non Muslim “Wasiat wajibah tidak hanya diperuntukkan bagi anak angkat dan orang tua angkat akan tetapi juga dapat diperuntukkan untuk isteri non muslim” 28 D inamika penerapan wasiat wajibah dalam hukum kewarisan Islam di Indonesia menunjukkan bahwa makna atau konsep wasiat wajibah telah direkonstruksi dan direproduksi oleh hakim melalui putusannya agar lebih sesuai dengan tujuan hukumnya dan konteks sosial-kultural yang ada sehingga wasiat wajibah bukan hanya diperuntukkan bagi anak angkat akan tetapi juga dapat diperuntukkan untuk isteri non muslim yang tidak mendapat bagian harta peninggalan suaminya. Wasiat wajibah didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan hakim sebagai aparat negara untuk MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang meninggal dunia yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. Secara normatif, ketentuan hukum yang mengatur tentang wasiat wajibah terdapat dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pasal tersebut menegaskan bahwa anak angkat dan orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta warisan anak angkatnya. Artinya, wasiat wajibah berdasarkan pasal tersebut hanya untuk anak angkat dan orang tua angkat. FENOMENAL terhalang untuk menjadi ahli waris karena adanya perbedaan keyakinan atau agama. “ Dewasa ini makna wasiat wajibah yang semula hanya untuk anak angkat dan orang tua angkat mengalami pembaruan dan perluasan makna yang signifikan. “ Ketentuan wasiat wajibah pasal 209 KHI ini dianggap baru apabila dikaitkan dengan aturan dalam fiqh tradisional, bahkan jika dikaitkan d e n ga n p e r u n d a n g - u n d a n ga n kewarisan kontemporer. Pasal tersebut menurut M. Athok Mudzhar (1998: 163) dinilai radikal karena meskipun namanya adalah wasiat wajibah, tetapi dalam kenyataannya hal itu berarti memberi hak waris atau bagian atas harta peninggalan kepada anak angkat atau orang tua angkat yang tidak sesuai dengan konsep wasiat wajibah dalam kajian fiqh lama. Pada awalnya konsep wasiat wajibah tersebut dimaksudkan sebagai langkah kompromi dengan hukum adat terutama untuk mengantisipasi partisipasi perumusan nilai-nilai hukum yang tidak dijumpai nashnya dalam al-Quran. Pada segi lain nilai-nilai itu sendiri telah tumbuh subur berkembang sebagai norma adat dan kebiasaan masyarakat Indonesia tentang hubungan hak dan kewajiban anak dan orang tua angkat. Nilai-nilai adat tersebut telah nyatanyata membawa kemaslahatan, ketertiban serta kerukunan dalam kehidupan masyarakat (Ahmad Junaidi, 2013: 110). Dewasa ini makna wasiat wajibah yang semula hanya untuk anak angkat dan orang tua angkat mengalami pembaruan dan perluasan makna yang signifikan. Pembaruan tersebut terjadi bukan karena KHI atau ketentuan hukum wasiat wajibah direvisi, akan tetapi pembaruan tersebut terjadi melalui beberapa putusan hakim pengadilan agama ketika menangani sengketa kewarisan. Hakim melalui putusannya telah melakukan terobosan hukum dengan merekonstruksi wasiat wajibah sehingga terjadi perluasan makna wasiat wajibah. Perluasan makna wasiat wajibah tersebut digunakan oleh hakim sebagai pintu untuk melakukan pembaruan atas hukum kewarisan Islam di Indonesia yang selama ini cenderung stagnan dan sulit untuk dirubah, khususnya untuk memberi bagian bagi orang-orang yang Dalam rubrik judex jurist di edisi VII ini, Majalah Peradilan Agama akan mengulas salah satu putusan hakim yang sudah menjadi yurisprudensi dan menjadi salah satu cikal bakal pembaruan dan perluasan makna wasiat wajibah bagi istri non muslim yang tidak mendapat bagian harta warisan suaminya yang muslim. Putusan tersebut adalah putusan Mahkamah Agung nomor 16 K/AG/2010 tanggal 30 April 2010 yang majelis hakimnya terdiri dari Drs. H. Andi Syamsu Alam, SH. MH., Hakim Agung sebagai Ketua Majelis, Prof. Dr. Rifyal Ka'bah, MA. dan Dr. H. Mukhtar Zamzami, SH. MH. Hakim-Hakim Agung sebagai Hakim Anggota. Putusan tersebut menetapkan bahwa isteri non muslim yang ditinggal mati oleh suaminya yang beragama Islam bukan termasuk ahli waris, akan tetapi isteri tersebut berhak mendapat wasiat wajibah sebesar porsi waris isteri. Putusan Mahkamah Agung tersebut menarik untuk dikaji setidaknya dikarenakan beberapa hal. Pertama, karena putusan Mahkamah Agung tersebut secara tekstual berbeda dengan ketentuan hukum wasiat wajibah yang ada dalam pasal 209 KHI. Kedua, untuk memberikan gambaran tentang argumentasi hukum yang dibangun oleh majelis hakim kasasi dalam melakukan pembaruan konsep wasiat wajibah, khususnya tentang bagaimana melakukan rekonstruksi dan reproduksi makna baru atas wasiat wajibah sehingga Isteri yang beragama non muslim yang ditinggal mati oleh suami yang beragama Islam berhak untuk mendapat wasiat wajibah dari harta warisan suaminya sebanyak porsi waris isteri. Deskripsi Kasus Pemohon kasasi dahulu Tergugat/Pembanding bernama Evi Lany Mosinta beragama kristen adalah isteri dari Pewaris yang bernama almarhum Muhammad Armaya bin Renreng. Pemohon Kasasi dengan Pewaris melangsungkan perkawinan pada tanggal 1 November 1990 berdasarkan Ku t i p a n Akta Perkawinan Nomor 57/K.PS/XI/1990, dalam perkawinan tersebut keduanya tidak dikaruniai keturunan (anak). Pewaris beragama Islam dan telah meninggal dunia pada tanggal 22 Mei 2008. Pada saat meninggal dunia Pewaris meninggalkan 5 orang ahli waris yaitu Halimah Daeng Baji (Ibu Kandung), Murnihati binti Renreng (Saudara kandung), Muliyahati binti Renreng (saudara kandung), Djelitahati binti Renreng (saudara kandung), dan Arsal bin Renreng (saudara kandung). Ibu Kandung dan 4 (empat) para saudara kandung pewaris tersebut diatas dalam kasus ini berposisi sebagai para Termohon Kasasi dahulu para Penggugat/para Terbanding. Sumber foto: www.konsultasisyariah.com MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 29 FENOMENAL “ Putusan kasasi tersebut merekonstruksi wasiat wajibah yang semula dalam KHI hanya diperuntukkan kepada anak angkat dan orang tua angkat. “ Gugatan kewarisan tersebut pada tingkat pertama diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Agama Makasar. Melalui putusan nomor 732/Pdt.G/2008/PA.Mks, tanggal 2 Maret 2009 Majelis Hakim Pengadilan Agama Makasar telah menjatuhkan putusan yang pada intinya mengabulkan gugatan para Penggugat untuk sebagian dengan menetapkan para Penggugat (5 orang ahli waris tersebut diatas) sebagai ahli waris dari Pewaris dan berhak mewarisi atas harta peninggalan pewaris, sedangkan Tergugat sebagai isteri Pewaris tidak ditetapkan sebagai ahli waris Pewaris karena Tergugat beragama kristen dan dalam putusan tersebut Tergugat juga tidak mendapat bagian sama sekali dari harta peninggalan Pewaris. Pada tingkat banding, putusan Pengadilan Agama Makasar tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Makasar dengan putusannya nomor 59/Pdt.G/2009/PTA.Mks tanggal 15 Juli 2009. Pada tingkat kasasi, Majelis hakim kasasi telah menjatuhkan putusan nomor 16K/AG/2010 tanggal 30 April 2010 dengan mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi (Evie Lany Mosinta) dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Agama Makasar nomor 30 59/Pdt.G/2009/PTA.Mks tanggal 15 Juli 2009 yang menguatkan putusan Pengadilan Agama Makasar nomor 732/Pdt.G/2008/PA.Mks, tanggal 2 Maret 2009. Majelis hakim kasasi kemudian mengadili sendiri yang pada intinya menetapkan bahwa Tergugat/ Pemohon Kasasi bukan ahli waris akan tetapi Tergugat/Pemohon Kasasi berhak untuk mendapatkan 15/60 bagian dari harta peninggalan Pewaris melalui pintu wasiat wajibah. Dalam pertimbangan hukumnya majelis hakim kasasi berpendapat bahwa judex factie salah menerapkan hukum. Menurutnya, perkawinan Pewaris dengan Pemohon Kasasi sudah berlangsung selama 18 tahun yang berarti Pemohon Kasasi telah cukup lama mengabdikan diri pada Pewaris, karena itu walaupun Pemohon Kasasi non muslim layak dan adil untuk memperoleh hak-haknya selaku isteri untuk mendapatkan bagian dari harta peninggalan Pewaris berupa wasiat wajibah serta bagian harta bersama. Majelis hakim kasasi juga mempertimbangkan bahwa persoalan kedudukan ahli waris non muslim sudah banyak dikaji oleh kalangan ulama diantaranya Yusuf Qardlawi yang menafsirkan bahwa orang-orang non muslim yang hidup berdampingan dengan damai tidak dapat dikategorikan sebagai kafir harbi, demikian halnya Pemohon Kasasi bersama Pewaris semasa hidup bergaul secara rukun damai meskipun berbeda keyakinan, karena itu patut dan layak Pemohon Kasasi memperoleh bagian dari harta peninggalan Pewaris berupa wasiat wajibah. Analisis: Rekonstruksi Makna Wasiat Wajibah Melalui putusan nomor 16 K/AG/2010 tersebut, majelis hakim kasasi seolah ingin menegaskan kepada para hakim di daerah bahwa menjalankan hukum tidak sama dengan menerapkan huruf-huruf peraturan begitu saja, tetapi mencari dan menemukan makna sebenarnya MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 dari suatu peraturan. Untuk menemukan dan menegakkan keadilan dalam putusan, tidak cukup menggunakan logika peraturan saja tapi juga menggunakan logika sosial dan hati nurani. Pesan tersirat tersebut bisa dilihat dari kaidah hukum yang dapat dirumuskan dari putusan nomor 16 K/AG/2010 tersebut yaitu Isteri yang beragama non muslim yang ditinggal mati oleh suami yang beragama Islam tidak termasuk ahli waris, akan tetapi ia berhak untuk mendapat wasiat wajibah dari harta warisan suaminya sebanyak porsi waris isteri. Secara normatif tidak ada hukum positif yang mendasari pemberian wasiat wajibah bagi isteri non muslim. Kekosongan hukum positif tersebut kemudian mendorong majelis hakim kasasi dalam putusan tersebut melakukan penemuan dan terobosan hukum dengan merekonstruksi makna wasiat wajibah dan menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat dengan memberi keadilan untuk isteri non muslim. Hal ini sejalan dengan bunyi pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 bahwa hukum waris yang dipraktikkan di Pengadilan Agama adalah hukum waris Islam, sedangkan hukum materiilnya diatur dalam Buku II KHI. Juga sesuai dengan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengamanahkan kepada hakim untuk wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Penggunaan frasa “menggali” secara filosofis dimaknai adanya nilai-nilai hukum yang terpendam dan belum menjadi hukum positif. Putusan kasasi tersebut merekonstruksi wasiat wajibah yang semula dalam KHI hanya diperuntukkan kepada anak angkat dan orang tua angkat kemudian diberlakukan juga kepada istri non muslim dari suami yang beragama Islam melalui wasiat wajibah. Perbedaan agama tetap menjadi penghalang untuk dapat saling mewarisi. FENOMENAL waris non muslim tetap sebagai orang yang terhalang untuk mendapatkan bagian dari harta peninggalan dari Pewaris yang muslim, tapi dia juga mendapat bagian wasiat wajibah sebesar porsi isteri yang menjadi ahli waris. Secara teleologis, tujuan adanya wasiat wajibah yang terdapat dalam pasal 209 KHI adalah untuk memberikan bagian warisan terhadap orang-orang yang dekat yang selama hidup pewaris menjalin hubungan yang baik sehingga sangat tidak adil jika orang-orang tersebut tidak mendapatkan sama sekali harta warisan. Pemahaman semacam ini sama dengan pendapat Ibn Hazm yang menyatakan bahwa wajib berwasiat terhadap kerabat yang tidak memperoleh harta warisan karena ke d u d u ka n nya s e b a ga i b u d a k , perbedaan agama, atau ada hal yang menghalangi mereka dari hak kewarisan (Ahmad Junaidi, 2013: 110). Atas dasar itu, maka putusan kasasi diatas dari aspek teleologis relevan dan sesuai dengan tujuan adanya wasiat wajibah. Putusan tersebut dari perspektif maqashid syariah, berusaha memenuhi rasa keadilan semua pihak dengan melakukan ijtihad penemuan hukum yang tidak melanggar ketentuan hukum waris Islam yang diyakini dan diikuti oleh mayoritas muslim Indonesia. Rekonstruksi wasiat wajibah melalui analisis maqashid syari'ah, yang tidak hanya memperhatikan arti teks belaka, akan tetapi teks hukum dibaca secara kritis sebagai suatu yang mengandung nilai filosofis. Di balik ketentuan normatif wasiat wajibah dan hukum kewarisan, ada filsafat hukum yang melatari dan menjadi inti dari adanya teks normatif tersebut yaitu keadilan dan kemaslahatan. Keadilan dan kemaslahatan tersebut harus dijadikan sebagai pijakan utama dalam penetapan hukum. “ Pemberian wasiat wajibah kepada istri non muslim ini telah memberikan sumbangan yang baru dalam pembaruan hukum waris Islam di Indonesia, walaupun pembaruannya bersifat terbatas. “ Aturan penghalang untuk menerima warisan karena perbedaan agama memang perlu dikaji secara kritis terutama ketika dikaitkan dengan konteks sosial masyarakat Indonesia yang dibeberapa wilayahwilayah tertentu banyak ditemukan anggota-anggota keluarganya menganut berbagai macam agama. Dalam satu keluarga antar satu anggota dengan yang lain memeluk agama yang berbeda. Walau berbeda agama mereka tetap hidup rukun damai, berbakti dan saling menghormati. Realitas sosial masyarakat Indonesia yang pluralistik yang terdiri dari berbagai agama dan keyakinan harus dipertimbangkan dalam pembagian harta warisan sehingga putusan hakim juga dapat ikut serta menjaga keutuhan keluarga dan harmoni dimasyarakat. Putusan kasasi diatas berusaha memutuskan kasus ahli waris beda agama tersebut sesuai dengan amanat Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yaitu menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dan hasil penemuan hukum yang diyakini dapat memberikan keadilan adalah dengan memberikan wasiat wajibah kepada istri non muslim. Pemberian wasiat wajibah kepada istri non muslim ini telah memberikan sumbangan yang baru dalam pembaruan hukum waris Islam di Indonesia, walaupun pembaruannya bersifat terbatas. Artinya, ahli Jika pemahaman semacam ini dijadikan pijakan oleh hakim dalam menyelesaikan sengketa waris, maka kedepan wasiat wajibah dapat digunaan sebagai pintu untuk memberi rasa keadilan bagi kerabat dekat yang secara hukum terhalang atau tidak mendapatkan harta warisan. |Ahmad Zaenal Fanani| MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 31 FENOMENAL PUTUSAN JUDEX FACTI Pemenuhan Hak-hak Pasca Perceraian Putusan Nomor 51/Pdt.G/2013/PA.Tkl Sumber foto: www.google.com Putusan hak-hak pasca perceraian yang banyak diabaikan oleh mantan suami telah menimbulkan halangan akses terhadap keadilan bagi para janda. Hakim pengadilan agama berupaya merespon kendala tersebut dengan menghukum suami membayar kewajiban sebelum ikrar talak. 32 MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 A kses terhadap keadilan mengandaikan ketiadaan halangan-halangan bagi pencari keadilan untuk memperoleh keadilan. Halangan-halangan akses terhadap keadilan dapat muncul dalam setiap tahapan yang harus dilalui oleh pencari keadilan dalam proses mencari keadilan. Hal tersebut juga dihadapi oleh kaum perempuan yang menuntut hak-hak pasca perceraian melalui pengadilan agama. FENOMENAL Mengacu kepada kerangka Rolax, ada enam tahapan proses pencarian keadilan. Pertama, seseorang menyadari bahwa situasi atau pengalaman tertentu merugikan, dan merupakan ketidakadilan. Kedua, seseorang merasa ketidakadilan tersebut disebabkan perbuatan yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh orang lain, dan atas dasar itu merumuskan sebuah keluhan. Ketiga, pencari keadilan mengadukan keluhan tersebut terkait dengan pelanggaran hukum (adat, negara, Islam) yang merugikan, dan menuntut pemulihan atas pelanggaran tersebut. Keempat, pencari keadilan dapat mengungkapkan keluhan dan mengadukannya di hadapan sebuah forum (pengadilan, dewan adat, kepala kampung, dll) yang dapat membantunya untuk memperoleh pemulihan. Kelima, penanganan pengaduan oleh forum yang dipilih dengan menerapkan norma-norma yang berlaku secara imparsial. Ke e n a m , pencari keadilan memperoleh ganti rugi atas keluhannya ketika putusan atau kesepakatan dilaksanakan. (Berenschot dan Bedner, Akses terhadap Keadilan, 2010: 13-14). Dari keenam tahapan tersebut, putusan pengadilan agama tentang hak-hak pasca perceraian menghadapi kendala pada tahap keenam. Berdasarkan penelitian Stijn van Huis, banyak putusan tentang hak-hak pasca perceraian yang diabaikan oleh mantan suami. Akibatnya, para janda kesulitan untuk meminta mantan suami membayar hak-hak pasca perceraian. Meski para janda dapat meminta eksekusi, permohonan eksekusi membutuhkan biaya, waktu, dan tenaga, yang bisa jadi tidak seimbang dengan hak-hak yang akan diterima para janda. Di sinilah terdapat halangan akses terhadap keadilan bagi para janda untuk memperoleh hak-hak pasca perceraian karena kurangnya mekanisme pelaksanaan putusan. Putusan Nomor 51/Pdt .G/ 2013/PA.Tkl telah menawarkan mekanisme untuk menjamin pelaksanaan putusan terkait hak-hak Putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim PA Takalar tanggal 19 Desember 2013 telah berupaya mewujudkan akses terhadap keadilan dengan menawarkan mekanisme pelaksanaan putusan tentang hak-hak perceraian. Sumber foto: www.femina.co.id pasca perceraian. Dalam amarnya, putusan tersebut menghukum suami untuk membayar hak-hak pasca perceraian, yang seluruhnya sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) kepada istri sebelum pengucapan ikrar talak dilaksanakan, dan menetapkan jika suami tidak memenuhi amar putusan tersebut sampai lewat waktu 6 bulan sejak ditetapkannya hari sidang penyaksian ikrar talak, maka putusan tidak berkekuatan hukum lagi, kecuali istri menyatakan kerelaannya dijatuhi talak meskipun suami belum memenuhi kewajiban hak-hak pasca perceraian. Putusan tersebut didasarkan atas pertimbangan hukum untuk mewujudkan perceraian yang baik (tasrihun bi-ihsan) sesuai dengan Quran, Surah al Baqarah ayat 229. Perceraian yang baik dapat terwujud dengan pemberian jaminan dan perlindungan hak-hak pasca perceraian bagi istri dan anak, yang dalam perkara ini dinilai majelis hakim sebagai pihak yang lemah karena keadaan dan kedudukannya, khususnya dalam kaitan dengan sejumlah norma-norma hukum beracara yang dalam konteks tertentu dinilai belum memberi perlindungan cukup atas kepentingan hukum istri dan anak. Majelis hakim mempertimbangkan fakta bahwa pelaksanaan sebagian besar putusan tentang nafkah iddah, mut'ah, dan nafkah anak yang ditetapkan dalam jumlah tertentu, selalu terkendala apabila pihak suami tidak beritikad baik memenuhinya. Sebab, kepentingan hukum pihak istri dan anak tidak mendapat jaminan dan perlindungan yang berarti melalui upaya hukum eksekusi, dikarenakan eksekusi atas putusan demikian itu berupa eksekusi pembayaran sejumlah uang yang dalam prakteknya selain membutuhkan waktu cukup lama, juga membutuhkan biaya besar bahkan dapat melampaui nominal hak istri dan anak yang dimohonkan dalam eksekusi. Amar putusan dalam putusan tersebut tampak tidak tegas dengan adanya kalausul “kecuali istri menyatakan kerelaannya dijatuhi talak meskipun suami belum memenuhi kewajiban hak-hak pasca perceraian.” Klausul yang demikian tidak perlu dimuat dalam amar, karena selain menimbulkan ketidaktegasan amar, kerelaan istri dalam hal ini tentu lebih karena keterpaksaan dan istri lebih memilih untuk segera mengakhiri hubungan perkawinan yang tidak membahagiakan. Putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim PA Takalar tanggal 19 Desember 2013 telah berupaya mewujudkan akses terhadap keadilan dengan menawarkan mekanisme pelaksanaan putusan tentang hak-hak perceraian. Dengan demikian, akses terhadap pengadilan agama bagi para istri memiliki hubungan timbal balik dengan perlindungan hak-hak pasca perceraian bagi para janda. Amar yang m e n g h u ku m s u a m i m e m e n u h i kewajiban sebelum ikrar talak juga dapat ditemukan dalam putusan kasasi nomor 84 K/AG/2009 tanggal 17 April 2009. |Muhamad Isna Wahyudi| MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 33 PERADILAN MANCANEGARA TIMUR TENGAH Mahalnya Mut'ah Cerai Talak di Maroko K erajaan Maroko dalam Bahasa Arabnya Al-Mamlakah Al Maghribiyyah adalah sebuah negara di Barat Laut Afrika yang mempunyai garis pantai yang panjang dekat Samudra Atlantik yang memanjang melewati Selat Gibraltar hingga ke Laut Tengah. Negara yang beribukota Rabat ini 34 memiliki kota terbesar bernama Casablanca yang menjadi nama salah satu kawasan di Jakarta, sebagaimana Soekarno juga menjadi nama salah satu kawasan di Maroko. Bahasa Arab menjadi bahasa resminya disamping Bahasa Berber. Saat ini negara yang bentuk peme rintah annya M o n arki MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 Konstitusional dipimpin seorang raja yaitu Mohammed VI. Maroko yang merdeka dari penjajahan Perancis pada tanggal 2 Maret 1956 memiliki luas 446,550km2 dengan jumlah penduduk pada sensus tahun 2013 sebanyak 32.878.400 jiwa dengan kepadatan rata-rata 73/ km². PERADILAN MANCANEGARA Tercatat di negeri ini ada sebuah universitas tertua di dunia, Universitas Qurawiyyin yang usianya sangat tua, melampaui Universitas Harvard di Amerika Serikat dan Universitas Al Azhar di Cairo, Mesir. Dari Universitas inilah bermunculan para pemikir kelas dunia seperti Ibnu Sina, Ibn Rusd, dan Ibn Batutah. Kerjasama MA RI dengan Maroko Pada tahun 2013 delegasi MA RI yang dipimpin oleh Dr. Ahmad Kamil SH., MH (saat itu Wakil Ketua MA RI Bidang Non Yudisial) berkunjung ke Cour du Cassation atau Pengadilan Kasasi Kerajaan Maroko. Delegasi terdiri dari Ketua Kelompok Kerja Perdata Agama MA RI, Prof. Dr. Abdul Manan, SH., S.IP, M.Hum (sekarang Ketua Kamar Peradilan Agama MA RI), Hakim Agung, Dr. Habiburrahman, SH., MH, Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama MA RI, Drs. Purwosusilo, SH., M.H. (sekarang Hakim Agung). Disamping itu, ada beberapa orang pejabat dan hakim antara lain: Drs. Farid Ismail, SH., MH, Drs. Helmy Bakrie, SH., MH, Arief Gunawan Syah, SH., MH dan Dr. Nasich Salam S, Lc., LLM. MA Kerajaan Maroko pada saat itu telah menyatakan siap untuk menandatangani Nota Kesepahaman di bidang hukum dan peradilan dengan MA RI. Peradilan di Maroko Al Majlis Al A'la atau Majelis Tinggi sekarang dikenal dengan Mahkamah Al Naqdh (Pengadilan Kasasi) didirikan pada tanggal 27 September 1957 seiring dengan pembentukan lembaga-lembaga tinggi negara sesaat setelah Maroko merdeka. Mahkamah Al Naqdh menyatukan permohonan perkara kasasi dari dua jenis peradilan yaitu peradilan umum (Al Mahkamah Al ‘Ashriyyah) dan peradilan agama (Al Mahkamah Al Syar’iyyah) dalam satu atap. Sistem administrasi dan peradilan di Cour du Cassation atau Pengadilan Kasasi melewati beberapa tahap antara lain: tahap pembentukan tahun 1957 s.d. 1974, tahap manajemen krisis tahun 1974 s.d. 1997, tahap pembaruan tahun 1997 s.d. 2010 dan tahap restrukturisasi tahun 2011. Mahkamah Al Naqdh menyatukan permohonan perkara kasasi dari dua jenis peradilan yaitu peradilan umum (Al Mahkamah Al 'Ashriyyah) dan peradilan agama (Al Mahkamah Al Syar'iyyah) dalam satu atap” MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 35 PERADILAN MANCANEGARA Mahkamah Agung dalam sistem peradilan Maroko Struktur organisasi peradilan Kerajaan Maroko terdiri dari pengadilan tingkat pertama (Al Mahkamah Al Ibtidaiyyah) pengadilan banding (Mahkamah Al Isti’naf) dan Pengadilan Kasasi (Mahkamah Al Naqdh). Jenis pengadilan: 1. Pengadilan Biasa atau Pengadilan Umum terdiri dari: Pengadilan Kasasi, pengadilan banding, dan pengadilan tingkat pertama. 2. Pengadilan khusus terdiri dari: Pengadilan Kelompok (Mahkamah Al Jama’at), Pengadilan Distrik (Mahkamah Al Muqatha’ah), Pengadilan Tata Usaha (Mahkamah Idariyyah), Pengadilan Niaga (Mahkamah Tijariyyah), Pengadilan Tinggi Tata Usaha (Mahkamah Al Isti’naf Al Idariyyah), dan Pengadilan Tinggi Niaga (Mahkamah Al Isti’naf Al Tijariyyah). Mengenai jumlah anggota Mahkamah Agung dan teknis pemilihan anggotanya diatur oleh UndangUndang. • Mahkamah Agung memiliki yurisdiksi tindak pidana yang dilakukan oleh anggota pemerintah dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi mereka 3. Pengadilan luar biasa terdiri dari : Pengadilan Militer (Mahkamah ‘Askariyyah) dan Mahkamah Agung (Mahkamah ‘Ulya). Mahkamah Agung memiliki yurisdiksi tindak pidana yang dilakukan oleh anggota pemerintah dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi mereka. Mahkamah Agung terdiri dari anggota yang dipilih separuhnya dari anggota parlemen dan separuhnya lagi dari anggota MPR. 36 Kasus Cerai Talak Rubrik kali ini mengangkat produk Pengadilan Tingkat Pertama berupa Penetapan Nomor 658/2006 Tanggal 18 Oktober 2007 Berkas Nomor 852/06/5 yang merupakan Permohonan Penyaksian Talak sekaligus penentuan besaran uang akibat cerai yang harus dibayarkan oleh suami kepada isteri yang diceraikannya, terutama yang terkait dengan mut'ah. Kasus Posisi • Pemohon, umur x tahun, bertempat tinggal di xxx, mengajukan permohonan ijin penyaksian talak terhadap Termohon, umur x tahun, bertempat tinggal di xxx, serta membayar uang perkara terkait pada tanggal 07 Agustus 2006, di wilayah yurisdiksi Pengadilan Tingkat Pertama Kota Meknes. • • • • • Sesuai UU para pihak melakukan proses mediasi, bahkan melibatkan dua orang hakam (juru runding keluarga) yang berakhir tidak MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 berhasil mencapai perdamaian, dikarenakan suami tetap ingin bercerai meskipun isteri menolaknya. Para pihak menyatakan mereka memiliki beberapa anak hasil perkawinan mereka dan sekarang isteri tidak dalam keadaan mengandung. Pengadilan menerbitkan putusan sela Nomor 171 pada tanggal 14 Juni 2007 berupa pembebanan akibat cerai kepada suami untuk isteri dan anak-anak berupa uang sebesar DM 50.000 (Lima Puluh Ribu Dirham Maroko) dan suami diperintahkan menyerahkan uang tersebut melalui panitera paling lambat 30 hari. Kemudian suami menyerahkan uang akibat cerai tersebut sesuai Nomor Wesel 133 pada tanggal 18 Juni 2007. Ijin penyaksian talak raj'i untuk suami terhadap isteri tersebut dikeluarkan oleh Pengadilan dengan putusan (al hukmu) Nomor 815 pada Tanggal 12 Juli 2007. Kemudian jatuh talak pada tanggal 17 Juli 2007 sesuai akad talak raj'i dalam register talak 154 nomor 518 halaman 350 pencatatan Kota Meknes. PERADILAN MANCANEGARA • Pengadilan menjadwalkan sidang memastikan jatuhnya talak (mu'ayanah wuqu'ith thalaq) pada tanggal 04 Oktober 2007, namun karena Pemohon dan Termohon tidak hadir maka sidang dilanjutkan dan diputuskan pada tanggal 18 Oktober 2007 dengan diterbitkannya penetapan (al qarar) Nomor 658/2006 Tanggal 18 Oktober 2007 tersebut diatas. Pertimbangan Hukum 1. Pemohon dan Termohon menikah pada tanggal 29 Desember 1995 berdasarkan akad nikah dalam register Nikah dan Cerai 26 halaman 46 Nomor 78 tanggal 14 Sya'ban 1416 pencatatan kota Meknes. 2. Pengadilan telah berupaya semaksimal mungkin untuk mendamaikan para pihak, namun tidak berhasil dikarenakan suami bersikukuh pada tuntutannya, sehingga Pengadilan tidak punya alasan selain mengabulkan gugatan ijin penyaksian talak raj'i terutama berdasarkan pasal 87 UU Perkawinan dan memutuskan tentang kewajiban menyerahkan uang akibat cerai melalui kas Pengadilan dalam masa yang sudah ditentukan sesuai pasal 83 UU Perkawinan. 3. Talak tersebut adalah talak raj'i dan isteri tidak dalam keadaan hamil, dengan demikian masa iddahnya mengikuti ketentuan pasal 136 UUP sehingga isteri berhak atas nafkah iddah dan biaya rumah selama masa iddah, suami juga berkewajiban membayar mut'ah dan sisa mahar yang masih terhutang, demikian juga hak anak-anak mereka sesuai pasal 85 UUP setelah mempertimbangkan pasal 168 dan 190 UUP. 4. S e m u a n y a berdasarkan pertimbangan lamanya usia perkawinan, kondisi ekonomi suami, sebab-sebab perceraian, dan sejauh mana kesewenangan suami (ta'assuf) dalam menjatuhkan talak terhadap isteri sesuai pasal 84 UUP, sementara pertimbangan untuk anak-anak adalah dari sisi kebutuhan ekonomi dan pendidikan anakanak sebelum cerai berdasarkan pasal 85 UUP. Menimbang juga hak dan kewajiban masing-masing suami isteri. Amar Penetapan Pengadilan menetapkan bersifat final putusnya perkawinan pemohon dan termohon karena perceraian, dan bersifat permulaan terkait hal-hal sebagai berikut: 1. Memastikan jatuhnya talak pemohon terhadap termohon, berdasarkan akad talak raj'i tersebut diatas. 2. Menentukan hak-hak termohon sebagai berikut: • Nafkah iddah sebesar DM 6000 • Biaya rumah sebesar DM 3000 • Mut'ah sebesar 25000 • Mahar terhutang sebesar DM 10000 • Nafkah anak-anak masing-masing sebesar DM 500/bulan • Biaya mengasuh masing-masing anak sebesar DM 100/bulan • Biaya rumah anak-anak sebesar DM 1500/bulan 3. Menentukan hak berkunjung untuk pemohon terhadap anakanak buah perkawinan pemohon dan termohon sehari per pekan, lima hari per libur semester, lima belas hari per libur tahunan. Penetapan ditanda-tangani oleh Ketua majelis, dua orang hakim anggota, dan dibantu oleh seorang Panitera pengganti. Analisis a. Formulasi Penetapan terdiri dari kepala penetapan (yang terdiri dari nomor dan tanggal penetapan, dan identitas para pihak), tahapan-tahapan perceraian secara kronologis yaitu: 1. Gugatan Cerai Talak yang berisi permohonan ijin penyaksian talak raj'i; 2. Putusan sela yang berisi pembebanan “akibat cerai” seperti nafkah iddah, biaya rumah, mut'ah, dan Semuanya berdasarkan pertimbangan lamanya usia perkawinan, kondisi ekonomi suami, sebab-sebab perceraian, dan sejauh mana kesewenangan suami (ta'assuf) dalam menjatuhkan talak terhadap isteri” b. c. nafkah anak; 3. Penyerahan uang“akibat cerai”; 4. Putusan ijin penyaksian talak raj'i; 5. Penjatuhan talak dan akad talak; sampai dengan 5. Sidang untuk memastikan jatuhnya talak dan dikeluarnya Penetapan Talak. Secara garis besar hampir sama saja antara proses Gugatan Cerai Talak di Pengadilan Agama di Indonesia maupun di Maroko, yaitu dimulai dengan Gugatan Cerai Talak berisi permohonan ijin menjatuhkan talak yang melahirkan produk pengadilan berupa putusan (al hukm), dan diakhiri dengan produk pengadilan berupa penetapan (al qarar). Ada hal-hal yang menarik dari kasus perceraian talak raj'i di Maroko sebagai berikut: Pertama, jarak antara tanggal g u ga t a n ( 0 7 - 0 8 - 2 0 0 6 ) d a n putusan ijin menjatuhkan talak (12-07-2007) memakan waktu yang lama hampir satu tahun lamanya, sehingga terkesan perceraian di Maroko sangat dipersulit. MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 37 PERADILAN MANCANEGARA Kedua, putusan ijin dikeluarkan setelah adanya putusan sela yang membebankan pemohon untuk membayarkan hak-hak termohon dan anak pemohon dan termohon sebagai akibat perceraian. Setelah uang akibat cerai benar-benar dibayarkan, baru dikeluarkan ijin menjatuhkan talak raj'i. Dalam hal ini hak-hak perempuan dan anak sangat diperhatikan oleh hukum di Maroko. Ketiga, besaran mut'ah mempertimbangkan unsur ta'assuf atau kesewenangan pemohon dalam menggunakan hak talaknya terhadap termohon. Semakin terbukti adanya unsur ta'assuf maka mut'ah akan semakin besar dibebankan kepada pemohon. Di Maroko, talak menjadi kewenangan suami terhadap isteri, tetapi talak yang dilakukan sewenang-wenang oleh suami akan dibebani dengan mut'ah melebihi nafkah iddah, bahkan bisa mencapai sebesar nafkah isteri selama dua tahun. Dalam hal ini hak perempuan mendapatkan rasa keadilan diperhatikan oleh hukum keluarga di Maroko. Keempat, setelah masa iddah talak raj'i habis, maka pengadilan mengadakan sidang untuk memastikan jatuhnya talak secara Di Maroko, talak menjadi kewenangan suami terhadap isteri, tetapi talak yang dilakukan sewenang-wenang oleh suami akan dibebani dengan mut'ah melebihi nafkah iddah, bahkan bisa mencapai sebesar nafkah isteri selama dua tahun final (talak bain), yaitu talak yang tidak bisa dilakukan rujuk lagi, kecuali harus dengan akad nikah baru. Kelima, talak raj'i dijatuhkan dengan cara melakukan akad talak yang seperti halnya akad nikah dan diregister oleh kantor khusus yang mencatat terjadinya talak raj'i. sehingga penyaksian ikrar talak tidak dilakukan di depan pengadilan tetapi dilakukan di kantor yang khusus mencatatkan terjadinya talak tersebut. Kasus ini menggambarkan tentang adanya mut'ah dan besarannya. Ada tiga pendapat fuqaha dalam hukum mut'ah sebagai berikut: a. Mut'ah adalah sunnah secara mutlak untuk setiap talak kecuali beberapa kasus talak yang memang tidak disyariatkan mut'ah di dalamnya, seperti halnya cerai akibat li'an dan juga cerai atas gugatan isteri. Ini pendapat mazhab maliki. b. Mut'ah hukumnya wajib jika suami menceraikan isterinya sebelum dukhul atas kehendak dirinya, sementara dia belum menentukan maskawin yang layak pada saat akad nikah. Adapun isteri yang diceraikan setelah dukhul, atau diceraikan sebelum dukhul namun sudah ditentukan maskawinnya sewaktu akad nikah, maka mut'ah hukumnya sunnah saja. Atau dengan kata lain mut'ah hukumnya sunnah untuk setiap isteri yang dicerai, selain isteri yang dinikahi tanpa disebutkan maharnya kemudian dicerai sebelum dukhul, atau ditentukan mahar yang fasid (tidak sah), maka mut'ah hukumnya wajib. Ini pendapat Mazhab Hanafi. c. Mut'ah hukumnya wajib untuk setiap perceraian, baik talak satu, dua maupun tiga, baik sebelum maupun sesudah dukhul, baik ditentukan maskawin pada saat akad nikah maupun tidak. Ini pendapat Mazhab Syafi'i dan Dhahiri. Filosofi mut'ah sendiri adalah isteri sangat menderita akibat perceraian sekalipun perceraian atas kehendaknya sendiri. Tujuan diwajibkannya nafkah mut'ah adalah mengobati sakitnya isteri akibat bercerai, bukan menghukum suami yang sewenang-wenang menggunakan hak cerai yang memang ada ditangannya. |Mahrus Abdur Rohim, Edi Hudiata| Sumber: https://ar.m.wikipedia.org/wiki/… ?»— ¤„·«_«?·⁄ ·«_… „flՄ·« http://www.blog.saeeed.com/2011/12/jurisprudence-dotation http://www.courdecassation.ma/ar/Vue_historique.aspx http://www.badilag.net. 38 MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 PERADILAN MANCANEGARA BARAT Sumber foto: www.bbc.co.uk PENEGAKAN HUKUM KELUARGA ISLAM DI INGGRIS Meskipun bukan bagian dari hukum resmi di Inggris, sejumlah preseden mengenai hukum keluarga Islam di pengadilan Inggris dipandang sebagai pengakuan simbolik terhadap eksistensi Hukum Keluarga Islam. Cendekiawan Muslim dan orientalis yang concern terhadap hukum Islam memiliki kontribusi penting dalam proses pengakuan ini. MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 39 PERADILAN MANCANEGARA 40 “ Meskipun pengadilan Inggris akhirnya kerapkali membuat pertimbangan sendiri terkait gugatan mahar, pengadilan Inggris umumnya mengakui keabsahan perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan hukum asing, termasuk hukum Islam. Dan inilah yang kemudian dapat dipandang sebagai “pengakuan” atas berlakunya hukum keluarga Islam bagi umat Islam di Inggris. “ Keberadaan umat Islam di Inggris telah berlangsung lama. Tercatat keberadaan mereka di mulai pada pertengahan abad ke-19. Jumlah mereka terus bertambah, terutama pada tahun 1961, sebelum undangundang keimigrasian membatasi masuknya masyarakat dari Negaranegara persemakmuran Inggris (Ansari, 2002 : 6). Hingga kini diperkirakan jumlah umat Islam yang mendiami wilayah Inggris mencapai lebih kurang dua juta orang (Hasan, www.3djb.co.uk). Interaksi umat Islam dengan dunia peradilan Inggris juga berlangsung seiring keberadaan mereka di Negara monarkhi tersebut. Terdapat putusan pengadilan berkaitan dengan hukum keluarga Islam pada tahun 1881 yang memutus sengketa mahar dalam perkara Moonshee Buzulul-Raheem v. Luteefutoon-Nissa yang terdaftar dengan perkara nomor [1861] 8 Moo IA 379. Pada tahun berikutnya, terdapat perkara serupa yang diputus pada tahun 1886 dalam perkara Abdul Kadir v. Salima dalam perkara nomor [1886] 8 All 149. Bahkan, terkait dengan tuntutan mahar yang tertunda (deferred mahr) sebagai upaya perlindungan terhadap perempuan yang diceraikan oleh suaminya, pengadilan Inggris memiliki sejumlah preseden yang kemudian dirujuk oleh putusanputusan hakim berikutnya. Umat Islam Inggris memang menyelesaikan sengketa di bidang hukum keluarga di pengadilan sipil (civil court), meskipun sejak tahun 1970-an telah berdiri sejumlah Dewan Syariah Islam (Islamic Shariah Council) - sebagian media umumnya menyebut dengan istilah Shariah Court (Pengadilan Syariah). (Bano, 2004 : 115-116) Lembaga yang disebut terakhir merupakan wadah yang diprakarsai oleh umat Islam di Inggris untuk menyelesaikan perkara hukum keluarga berdasarkan hukum Islam. Hanya saja, karena merupakan institusi kemasyarakatan, keberadaannya tidak diakui oleh Negara, sehingga perkara-perkara yang ditanganinya pun terbatas. Dewan ini umumnya menyelesaikan masalah perceraian (John R Bowen dalam University of St. Thomas Law Journal, 2010 : 419). Dilema Pengadilan Syariah Inggris Akibat keberadaannya yang bersifat privat dan terpisah dari sistem hukum Inggris, eksistensi pengadilan syariah menjadi dilematis, terutama terkait dengan validitas putusan perceraian yang dikeluarkan. Seorang perempuan yang terlebih dahulu mengajukan gugatan perceraian melalui pengadilan syariah kemudian melanjutkan gugatan terhadap hakhak pasca perceraian di pengadilan sipil seringkali dijadikan alasan oleh pihak suami telah terjadi khulu', yaitu perceraian atas inisiatif isteri yang MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 menghalangi perempuan untuk mendapatkan hak-haknya. Ini terjadi misalnya dalam perkara Uddin v. Choudhury [2009] EWCA (civ) 1205. Dalam bantahannya atas gugat balik Choudhury, Uddin menyebutkan, “[T]he bride was not entitled to claim the mehar or dowry in circumstances where she had, of her own free will, walked out of the marriage. He says that in those circumstances the dowry should not be payable (pengantin perempuan tidak berhak menuntut mahar, karena atas keinginannya sendiri keluar dari ikatan perkawinan. Dia mengatakan dalam kondisi tersebut mahar tidak dapat dibayarkan). S e b a l i k nya , mana kala perempuan langsung mengajukan gugatan perceraian melalui pengadilan sipil, tanpa terlebih dahulu melalui pengadilan syariah, suami seringkali beralasan yang dimohonkan untuk diputus adalah perkawinan secara sipil semata. Sementara perkawinan secara agama belum putus, sehingga gugatan terhadap hak-hak perempuan menjadi tidak beralasan. Hal ini terjadi misalnya pada kasus seorang perempuan kelahiran Pakistan yang menikah berdasarkan hukum Islam di Karachi, Pakistan dengan seorang Muslim berkebangsaan Inggris. Sesampai di Inggris mereka juga melakukan perkawinan sipil di Bedford, Inggris. Ketika perkawinan mereka sudah tidak bisa dipertahankan lagi, isteri mengajukan gugatan perceraian melalui pengadilan sipil dengan menuntut hak atas mahar yang belum dibayarkan. Di pengadilan, suami berdalih bahwa gugatan yang diajukan oleh isterinya hanya terhadap perkawinan sipil di Inggris, sementara perkawinannya yang berdasarkan hukum Islam di Pakistan tidak dimohonkan untuk diputus. Atas dasar argumentasi tersebut, suami berpandangan bahwa mereka masih terikat dalam perkawinan, sehingga isterinya tidak berhak mengajukan gugatan pembayaran mahar (Hasan, www.3djb.co.uk). PERADILAN MANCANEGARA Persoalan dilematis lain yang dihadapi oleh pengadilan syariah Inggris adalah terkait dengan kesepakatan yang dibuat oleh pasangan yang bercerai. Apabila kedua belah pihak sepakat atau sukarela, pengadilan syariah seringkali meminta kedua belah pihak atau salah satu pihak untuk membuat pernyataan tertulis terkait pengasuhan anak dan pengembalian mahar. Pihak istri membuat surat pernyataan bahwa ia akan memberikan akses kepada suaminya untuk mengunjungi anaknya atau mengembalikan mahar yang telah dibayarkan suaminya, sebagai konsekwensi khulu'. Hanya saja, meskipun kedua belah pihak telah mencapai kesepakatan terkait pengasuhan anak dan pembagian harta bersama, keduanya dapat dipersoalkan kembali di pengadilan. Lembaga publik dapat menjadi pihak intervensi manakala mereka mencurigai kepentingan anak tidak terlindungi sebagaimana mestinya, sehingga menjadi potensi pemeriksaan di pengadilan (John R Bowen dalam University of St. Thomas Law Journal, 2010 : 412). Pengakuan terhadap keabsahan perkawinan Islam Meskipun pengadilan Inggris akhirnya kerapkali membuat pertimbangan sendiri terkait gugatan mahar, pengadilan Inggris umumnya mengakui keabsahan perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan hukum asing, termasuk hukum Islam. Dan inilah yang kemudian dapat dipandang sebagai “pengakuan” atas berlakunya hukum keluarga Islam bagi umat Islam di Inggris. Betapa tidak, pengakuan terhadap keabsahan perkawinan selanjutnya membuka jalan bagi berlakunya hak-hak hukum pasca perceraian, seperti hak atas mahar yang belum dibayarkan, hak atas pengasuhan anak, hak atas harta bersama. Meskipun norma-norma hukumnya tidak selalu tepat dengan apa yang dipahami dalam konteks hukum Islam, argumentasi-argumentasi yang dibangun oleh hakim-hakim Inggris dapat menjadi studi yang menarik untuk mengetahui bagaimana hukum Islam dipahami oleh hakim-hakim sekuler. Terkait dengan sahnya suatu perkawinan, pengadilan Inggris telah memiliki preseden yang memungkinkan diakuinya suatu perkawinan yang dilaksanakan atas dasar agama tertentu, termasuk perkawinan yang dilaksanakan di luar negeri. MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 41 PERADILAN MANCANEGARA “ Oleh karena perkawinan yang sah menjadi dasar dari sebuah perceraian dan tuntutan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan perceraian, termasuk dan tidak terbatas pada masalah pengasuhan anak dan pembagian harta bersama, maka pengadilan sangat berkepentingan terhadap sahnya sebuah perkawinan. Konsekwensinya, pengadilan selalu terlebih dahulu memastikan keabsahan suatu perkawinan untuk selanjutnya menguji sengketa turunannya. “ Dalam putusan perkara Berthiaume v. Dastous [1930] AC 79 paragraf 83 disebutkan, “if a marriage is good by laws of the country where it is effected, it is good all the world over, no matter whether the proceeding or ceremony which constituted marriage according to the law of the place would not constitute a marriage in the country of the domicile of one or other spouses (jika suatu perkawinan itu baik menurut huhum Negara dimana ia berlaku, maka akan baik pula di seluruh dunia, meskipun tindakan atau upacara yang merupakan perkawinan menurut hukum suatu tempat bukanlah merupakan perkawinan di Negara tempat domisili salah satu atau pasangan lainnya). Oleh karena perkawinan yang sah menjadi dasar dari sebuah perceraian dan tuntutan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan 42 perceraian, termasuk dan tidak terbatas pada masalah pengasuhan anak dan pembagian harta bersama, maka pengadilan sangat berkepentingan terhadap sahnya sebuah perkawinan. Konsekwensinya, pengadilan selalu terlebih dahulu memastikan keabsahan suatu perkawinan untuk selanjutnya menguji sengketa turunannya. Kontribusi Cendekiawan dan Orientalis Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah cara yang ditempuh oleh pengadilan Inggris untuk memastikan keabsahan sebuah perkawinan atau akibat-akibat hukum suatu perceraian berdasarkan hukum Islam? Setidak-tidaknya terdapat tiga pendekatan yang dipergunakan oleh pengadilan Inggris terkait hal ini. Pertama, terdapat pelatihan-pelatihan bagi hakim Inggris untuk membantu mereka memahami hukum adat dari etnis minoritas yang tinggal di Inggris. Diharapkan dengan langkah ini, hakim-hakim lebih peka terhadap berbagai permasalahan yang muncul di persidangan. Upaya ini misalnya ditempuh oleh Etnic Minorities Advisory Committee of Judicial Studies Board (Judge David Pearl, dalam http://www.library.cornell.edu). Kecuali pelatihan, lembaga tersebut juga menerbitkan publikasipublikasi yang membantu hakimhakim dalam menangani perkara yang melibatkan unsur-unsur etnis di dalamnya. Salah satu terbitannya adalah Equal Treatment Bench Book yang ditujukan untuk membantu para hakim meningkatkan kualitas keadilan dalam kerja-kerja mereka. Kedua, pengadilan Inggris terkadang juga mengambil alih pernyataan tentang keabsahan yang disebutkan dalam putusan pengadilan syariah, meskipun tidak ada keterkaitan antara kedua lembaga tersebut. Hal ini misalnya terjadi dalam kasus Uddin v. Choudhury yang disebutkan diatas. Dalam paragraph 11 putusan pengadilan Inggris disebutkan bahwa perkawinan keduanya “was a valid MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 marriage under shariah law and it was then validly dissolved by decree of the Islamic Shariah Council (pernikahan mereka adalah perkawinan yang sah berdasarkan hukum Islam dan secara sah telah diputuskan oleh pengadilan syariah). Sayangnya, kondisi ini tidak selalu terjadi meskipun pengadilan syariah sendiri sangat berharap hal itu bisa berlangsung sebagaimana agama lain yang sudah diakui dalam undangundang perkawinan Inggris. Ketiga, dan ini yang terpenting, dengan menggunakan saksi ahli, baik cendekiawan Muslim sendiri atau kalangan orientalis, yang dipandang memahami hukum Islam atau aspekaspek lokalitas dalam hukum Islam yang dianut oleh pasangan yang mengajukan perkaranya ke pengadilan. Menurut David Pearl, salah seorang hakim Inggris, apa yang dikemukakan oleh para ahli tentang hukum Islam dan hukum adat sangat p e n t i n g u n t u k m e m u n gk i n ka n pengadilan lebih memahami permasalahan-permasalahan yang sering timbul di pengadilan. Para ahli telah memberikan kontribusi penting terkait permasalahan-permasalahan umat Islam di pengadilan Inggris, seperti perjodohan, pelaksanaan mahar dan aspek-aspek lain dalam ko n t ra k p e r kaw i n a n Islam, pendaftaran perkawinan, nafkah pasangan, bentuk-bentuk perceraian Islam, dan hak-hak ahli waris (Judge David Pearl, dalam http://www.library.cornell.edu). Dalam aras yang sama, Steven Gerlis, yang juga seorang hakim di Inggris, sebagaimana dikutip Pearl menyatakan, “…it is important for a judge to recognize when a case involves an ethnic element which requires further investigation and that, if necessary, suitable expert evidence should be provided (penting bagi seorang hakim untuk mengakui ketika suatu kasus melibatkan unsur etnis yang memerlukan pendalaman lebih lanjut dan, bila perlu, saksi ahli yang sesuai harus disediakan). PERADILAN MANCANEGARA Bahkan, sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, hakim juga wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Meskipun bagaimana langkah yang harus ditempuh untuk memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan tersebut amat jarang dikemukakan. Diceritakan Pearl, pengadilan Inggris pernah menangani perkara perkawinan di bawah umur yang menurut cara berfikir masyarakat Inggris boleh jadi tidak lazim. Pandangan yang disampaikan oleh N. J. Coulson di depan pengadilan akhirnya menjernihkan kasus tersebut sehingga dapat diputuskan oleh pengadilan. Dalam konteks yang lebih luas, terhadap hukum asing, pengadilan Inggris telah memiliki preseden pemberlakuan saksi ahli berikut pedoman yang berkaitan dengan saksi ahli. Pedoman tersebut meliputi kewajiban-kewajiban saksi ahli agar pendapat yang disampaikan bersifat independen tanpa terpengaruh oleh kasus terkait. Pedoman tersebut juga menuntut agar saksi ahli secara jujur menjelaskan apabila pertanyaanpertanyaan yang diajukan berada di luar keahliannya. Apabila suatu pendapat dinilai tidak memadai karena keterbatasan data, sebaiknya ahli menyatakan bahwa pendapatnya bersifat permulaan. Lessons Learned bagi Peradilan Agama? Mandat konstitusional hakim adalah mewujudkan keadilan bagi pihak-pihak yang berperkara. Untuk mencapai puncak hukum tersebut, selain harus melakukan pemeriksaan sesuai dengan kaidah-kaidah formil yang ada, hakim juga dituntut untuk memahami hukum materiil yang terkait secara mendalam. “ Apa yang dikemukakan oleh para ahli tentang hukum Islam dan hukum adat sangat penting untuk memungkinkan pengadilan lebih memahami permasalahanpermasalahan yang sering timbul di pengadilan. Para ahli telah memberikan kontribusi penting terkait permasalahanpermasalahan umat Islam di pengadilan Inggris, seperti perjodohan, pelaksanaan mahar dan aspek-aspek lain dalam kontrak perkawinan Islam, pendaftaran perkawinan, nafkah pasangan, bentuk-bentuk perceraian Islam, dan hakhak ahli waris “ Sumber foto: konsultanpendidikan.com Dari tiga pendekatan yang dilakukan oleh pengadilan Inggris dalam menegakkan hukum keluarga Islam, pendekatan pertama dan ketiga dapat menjadi pembelajaran penting dalam menegakkan hal serupa di Indonesia. Betapapun telah ada ketentuan mengenai penegakan hukum keluarga Islam di Indonesia, tidak dipungkiri bahwa hukum Islam di negeri ini juga bersentuhan dengan adat istiadat, budaya dan kearifan lokal masyarakat, sehingga perlu dipertimbangkan secara cermat oleh hakim peradilan agama. Penyelesaian sengketa keluarga melalui tokoh adat, seperti niniak mamak di Sumatera Barat, kedudukan tanah ulayat vis a vis harta bersama dalam perkawinan, atau pemberian sebelum atau saat perkawinan kepada perempuan di berbagai daerah merupakan sebagian dari persinggungan hukum Islam di Indonesia dengan aspek-aspek lokal. Pendekatan saksi ahli, berupa tokoh adat atau tokoh masyarakat lainnya yang memiliki pemahaman terkait hal tersebut boleh jadi menjadi solusi yang dapat dipergunakan dengan cepat. Akan tetapi kedepan, tidaklah berlebih jika ada inisiasi untuk mendokumentasikan aspek-aspek lokalitas tersebut dalam konteks penanganan hukum keluarga Islam di Indonesia. Siapa berkenan memulai? |Mohammad Noor| Daftar Pustaka: Ansari, Humayun, Muslim in Britain, England: Minority Rights Group International, 2002 B a n o , S a m i a , T h e Co m p l e x i t y, Difference and 'Muslim Personal Law': Rethinking the Relationship between Shariah Council and South Asian Muslim Women in Britain (Ph.D thesis), England: The University of Warwick, 2004 Bowen, John R, “How Could English Courts Recognize Shariah?”, dalam University of St. Thomas Law Journal, Vol. 7, 2010 dapat diunduh pada http://ir.stthomas.edu/ustlj/vol 7/iss3/3 Hasan, Ayesha, “Islamic Family Law in the English Courts” dalam http://www.3djb.co.uk/ Pearl, David, “The Application of Islamic Law in the English Courts” (disampaikan dalam 1995 Noel Coulson Memorial Lecture), d a l a m w e b s i t e http://www.library.cornell.edu/ colldev/mideast/isllaw.htm MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 43 OPINI Pembaruan Hukum Perkawinan Di Indonesia Oleh : Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar, MSPD Guru besar Sosiologi Hukum Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. * Makalah disajikan sebagai pengantar diskusi dalam Forum Diskusi Hukum Direktoral Jendral Peradilan Agama, Mahkamah Agung RI, 4 Agustus 2015. PENDAHULUAN ndang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan berlaku efektif sejak 1 Oktober 1975, termasuk UU yang bertahan lama (40 tahun) tanpa mengalami amandemen kecuali beberapa kali uji materi oleh Putusan Mahkamah Konstitusi. Orang dapat berspekulasi mengenai sebab kenapa UU itu bertahan demikian lama. Pertama, mungkin masyarakat merasa UU itu masih memadai untuk menjawab perkembangan sekarang. Kedua, mungkin juga sesungguhnya yang terjadi ialah status quo antara pihak-pihak yang ingin mempertahankan UU itu dan pihak-pihak yang ingin mengubahnya. Bagi mereka yang ingin memperhatahankannya, terutama dari tokoh konservatif agama Islam, melihat bahwa isi UU itu relative dekat dengan hukum Islam. Bahkan ada yang mengatakan bahwa UU itu adalah perwujudan Islam di Indonesia dalam bidang hukum perkawinan. Sejarah mencatat bahwa draft awal UU itu yang diajukan pemerintah pada tahun 1973 sangatlah sekuler, sehingga barulah menjadi UU seperti yang ada sekarang U 44 ini setelah perjuangan panjang umat Islam termasuk pendudukan ruang sidang DPR oleh sekelompok pelajar. Bagi mereka ini, kesempatan membuka ulang UU itu dan merivisnya dikhawatirkan justeru akan menjauhkan isinya dari hukum Islam dan jatuh ke tangan para kaum liberal dan secular. Adapun bagi mereka yang ingin mengubahnya, ide-idenya sudah nampak seperti beredarnya draft tandingan UU Perkawinan dan permohonan uji materi oleh berbagai pihak tentang berbagai Pasal dari UU itu. Sementara itu waktu berjalan terus dan tantangan baru juga terus bermunculan. Pertanyaannya ialah benarkah UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan itu perlu atau tidak perlu disempurnakan? Untuk menjawab pertanyaan itu, para teoritisi mengatakan bahwa terdapat empat attribute hukum yang perlu diperhatikan dalam melihat apakah sesuatu hukum itu sudah atau belum memadai. Pertama, attribute of authoriry, yaitu apakah UU atau hukum itu telah diterbitkan oleh pihak yang mmpunyai kewenangan untuk itu. Untuk UU No. 1 Tahun 1974, MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 kiranya jelas bahwa UU itu telah ditandatangani oleh Presiden RI d e n ga n persetujuan D e wa n Perwakilan Rakyat (DPR). Oleh karena itu, untuk tataran ini tidak akan dibahas dalam makalah ini. Kedua, attribute of universal application, yaitu bahwa UU itu berlaku untuk semua warganegara Indonesia, semua subyek hukum, tanpa kecuali. Untuk tataran ini pun tidak akan di bahas di sini, kecuali disinggung sepintas di mana perlu. Ketiga, attribute of obligation, yaitu apa sesungguhnya yang diperintahkan atau dilarang oleh UU itu. Tataran ini menyangkut substansi hukum, sehingga perlu dibahas di sini, meskipun tidak seluruhnya, terutama mengenai apa saja sesungguhnya yang diatur oleh UU itu, bagaimana hubungannya dengan hukum Islam dan seberapa jauh UU itu masih memadai. Bila diperlukan, sejumlah informasi perbandingan mengenai hukum perkawinan di negara Muslim lain akan disinggung dalam kaitan ini. Keempat, attribute of sanction, yaitu bagaimana ancaman sanksi diatur dan disebutkan dalam UU itu. OPINI Untuk ini pun, bila diperlukan akan disandingkan dengan informasi perbandingan mengenai sanksi yang diberlakukan di Negara-negara Muslim lain di seputar hukum perkawinan. SUBSTANSI HUKUM DAN ANCAMAN SANKSI Diantara beberapa substansi hukum yang diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan² dan perlu dikomentari di sini ialah sebagai berikut: 1. Pasal 1 UU Perkawinan merumuskan definisi perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagaimana diungkapkan oleh Putusan MK, definisi ini menegaskan bahwa bagi bangsa Indonesia perkawinan itu bukanlah sekedar perikatan sekuler antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, melainkan ikatan yang bersifat sakral karena berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan ada agama di Indonesia yang melihat bahwa perkawinan itu bukanlah ikatan antara dua pihak, yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan, melainkan antara tiga pihak dan pihak ketiga itu ialah Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu rumusan ini kiranya perlu dipertahankan karena ketegasannya memadukan unsur religiusitas dalam definisi perkawinan. 2. Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan berbunyi bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal ini dikritik sebagai diskriminatif, sehingga tidak memungkinkan dua orang yang memeluk agama berbeda m e l a n g s u n gka n p e rkaw i n a n berdasarkan UU ini. Sesungguhnya kalau kita lihat catatan perdebatan ketika draft UU ini dibahas di parlemen dulu dan di dalam masyarakat, ketika itu ada usulusul atau pilihan-pilihan agar UU itu bersifat unifikasi atau diferensiasi atau diferensiasi dalam unifikasi. Nampaknya, dalam bentuknya yang sekarang UU itu bersifat diferensiasi dalam unifikasi. Hal ini sejalan dengan konsep sakralitas perkawinan yang mendasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa yang ekspresinya berbeda menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Adapun Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan itu berbunyi bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Sesungguhnya ayat ini sudah tepat dalam arti memisahkan antara ke a b s a h a n p e rkaw i n a n d a n kewajiban pencatatan. Ini memang hasil kompromi, karena dalam draft awalnya dua ayat itu bergabung menjadi satu. Inilah yang ditolak oleh kelompok Islam karena seolah hendak menambahi rukun nikah dengan pencatatan perkawinan. Di sisi lain, dengan pemisahan dua ayat itu seperti sekarang ini, kenyataannya banyak perkawinan berlangsung dan sah meskipun tanpa dicatatkan. Sesungguhnya dalam Islam perintah “pencatatan” itu sudah ada. Alasannya, pertama dikiaskan dengan perintah pencatatan dalam transaksi jual beli dan pinjam memimjam, dan kedua, adanya hadis Nabi Muhammad SAW yang memerintahkan agar perkawinan itu dirayakan (diwalimahkan) atau dengan kata lain diumumkan. Dalam hal ini kata “aulim” (Walimahkanlah !) dalam sabda Nabi Muhammad itu dapat berarti “a'linu” (Iklankanlah atau umumkanlah !) yang pada zaman sekarang bentuknya adalah pencatatan oleh petugas Negara atau mungkin juga ke depan di “on line”- kan lewat situs internet. Agar pencatatan tetap tidak menentukan keabsahan perkawinan tetapi m e r u p a ka n ke wa j i b a n ya n g dipatuhi masyarakat maka jalan keluarnya ialah ke depan harus diberikan ancaman sanski, berupa sanksi denda dan atau kurungan badan bagi pelanggarnya. Mungkin ide ini akan ditentang oleh kelompok pemuka agama konservatif sebagai kriminalisasi hukum agama tentang perkawinan, tetapi sesungguhnya di sejumlah Negara Muslim lain hal itu sudah berlangsung. Di Yordania misalnya, berdasarkan UU Hak-hak Keluarga (Qanunu Huquq al-'Ailah atau Law of Family Rights) No. 92 tahun 1951 terakhir diamandemen dengan UU No. 61 tahun 1976, dinyatakan pada Pasal 17 ayat (3) bahwa apabila suatu akad nikah telah berlangsung tanpa dicatatkan kepada kantor atau petugas yang berwenang maka orang yang memimpin pelaksanaan akad nikah itu dan para pihak yang melakukan akad nikah serta para saksinya diancam dengan hukuman sebagaimana diatur dalam Pasal 279 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1Di dalam kenyataan, sesungguhnya para hakim Peradilan Agama dalam memeriksa dan memutus perkara-perakara pekawinan, tidak hanya mengacu kepada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tetapi juga UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang kemudian diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2011 dan peraturan perundangan terkait lainnya. Selain itu terdapat pula naskah Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dinilai sebagai ijma' (consensus) ulama Indonesia yang kemudian menjadi lampiran Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang sosialisasi dan penerapannya. Isi KHI terkadang memperkuat isi UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terkadang menyandarkan diri pada UU itu, terkadang menjelaskannya, dan terkadang pula memperkenalkan pemikiran hukum baru yang boleh jadi dalam masyarakat menjadi bahan ikhtilaf. KHI itu sendiri terdiri atas tiga buku, yaitu Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan. KHI ini unik, pertama karena bentuknya seperti UU disusun dengan urutan Bab dan Pasalnya; dan kedua karena KHI sesungguhnya bukanlah UU dan tidak pernah melalui pembahasan di parlemen, tetapi isinya dapat menjadi hukum positif yang mengikat ketika digunakan oleh hakim Peradilan Agama dalam putusannya. ² Untuk selanjutnya UU ini akan disebut di sini sebagai UU Perkawinan. MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 45 OPINI Yordania yaitu kurungan badan antara satu sampai dengan enam bulan dan denda tidak lebih dari 100 Dinar Yordania. Sebaliknya, pada Pasal 17 ayat (4) disebutkan bahwa Petugas Pencatatan Perkawinan yang tidak mencatat secara resmi suatu akad nikah yang telah berlangsung secara sah dan telah membayar uang pendaftaran sesuai persyaratan dan ketentuan yang ada, diancam dengan hukuman sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Yordania Pasal 279 yaitu kurungan badan antara satu sampai enam bulan dan denda tidak lebih dari 100 Dinar Yordania serta diberhentikan dari jabatannya. Demikian juga di Pakistan, berdasarkan Muslim Family Law Ordinance (MFLO) tahun 1961 dengan segala perubahannya dalam Pasal 5 diatur kewajiban pencatatan perkawinan dan kegagalan para pihak yang melakukan perkawinan untuk melakukan pencatatan diancam dengan hukuman kurungan badan paling lama tiga bulan dan denda paling banyak 1000 Rupees. Di Malaysia di Negara Bagian Perak, berdasarkan UU Keluarga Islam yang mulai berlaku pada tahun 1984, terdapat sedikitnya 21 (duapuluh satu) pengaturan sanksi ancaman hukuman penjara dan atau denda. Salah satunya adalah pada Pasal 33 yang menyatakan bahwa seorang penduduk atau warga Negeri Perak yang melakukan akad nikah di luar Negeri Perak dalam waktu enam bulan sejak akad nikah itu tidak mencatatkan perkawinannya dihadapan Pejabat (Kantor) Pendaftar Perkahwinan, Perceraian, dan Rujuk Orang Islam terdekat atau perwakilannya di luar negeri maka ia diancam dengan hukuman denda 1000 Ringgit Maslaysia dan 46 atau penjara paling lama enam bulan. Di Brunei Darussalam terdapat cara yang menarik dalam mengatur kewajiban pencatatan p e rkaw i n a n tanpa harus menyebutnya sebagai rukun nikah. Dalam UU Hukum Keluarga Brunei tahun 2000 yang mulai berlaku pada tahun 2001 dan telah beberapa kali diamandemen terakhir pada tahun 2012, pada Pasal 8 ayat (1) dikatakan bahwa suatu akad nikah hanya boleh dilangsungkan dengan dipimpin oleh orang yang diangkat oleh Sultan dan yang Di-Pertuan dan diberi kewenangan untuk memimpin pelaksanaan akad nikah. Kemudian pada ayat (2) dikatakan bahwa tidak boleh ada akad nikah dilaksanakan sebelum mendapat izin dari Petugas Pencatat Perkahwinan dari distrik di mana calon mempelai bertempat tinggal. Lalu pada ayat (3) dikatakan bahwa wali dapat memimpin akad nikah hanya dihadapan Petugas Pencatat Nikah (Jurunikah) yang berwenang, setelah perempuan yang akan dinikahkan itu memberikan persetujuannya. Dengan cara pengaturan seperti itu maka Brunai memastikan bahwa meskipun wali dapat memimpin akad nikah sesuai agama Islam, tetapi tetap harus di hadapan Petugas Pencatat Perkawinan. Dengan cara ini maka tidak ada perkawinan yang tidak dicatatkan. Terakhir pada Pasal 37 dikatakan bahwa barangsiapa memimpin upacara akad nikah sedangkan ia tidak mempunyai kewenangan dari Sultan untuk itu maka ia diancam dengan denda sebesar 2000 Ringgit dan atau penjara paling lama enam bulan. 3. Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan menyatakan bahwa Pengadilan dapat memberi izin kepada MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Kemudian pada Pasal 4 ayat (1) dan (2) dan Pasal 5 ayat (1) dan (2) diatur mengenai syarat-syarat dan tata-cara untuk dapat mengajukan permohonan izin berpoligami ke Pengadilan Agama. Posisi Indonesia dalam pengaturan poligami sesungguh-nya berada di tengah-tengah antara negaranegara Muslim yang melarang dan membolehkan poligami. Tunisia dan Turki adalah dua Negara yang sama sekali melarang poligami. Saudi Arabia adalah contoh Negara yang membuka lebar pintu poligami. Indonesia seperti Pakistan, mempersulit terjadinya poligami, artinya membolehkan poligami hanya saja harus dengan izin pengadilan dan dengan syaratsyarat yang ketat termasuk izin istri pertama. Masalahnya di Indonesia ialah bagi pelanggar aturan itu tidak diberikan ancaman sanksi yang tegas berupa denda dan atau kurungan badan, sehingga perkawinan poligami terjadi di mana-mana tanpa memenuhi persyaratan dan prosedur yang diatur dalam UU. Apalagi ditambah dengan kewajiban pencatatan perkawinan yang lemah sebagaimana telah diuraikan di atas maka praktis persyaratan poligami terabaikan. Ke depan mungkin perlu dicantumkan secara tegas ancaman sanksi bagi pihak-pihak yang terlibat dalam poligami yang melanggar ketentuan yang ada, bukan hanya pelaku poligami itu sendiri tetapi juga para pihak yang ikut memimpin upacara akad nikah poligami itu, termasuk wali dan para saksi. Di sejumlah Negara Muslim lain, ancaman sanksi seperti itu sudah diberlakukan. OPINI Di Tunisia misalnya, poligami memang dilarang sama sekali dan bagi pelanggarnya diancam dengan denda 240 ribu Frank Tunisia dan penjara satu tahun, sebagaimana tertuang dalam Pasal 18 UU Status Pribadi (Code of Personal Status) Tunisia tahun 1956 yang telah mengalami beberapa kali amandemen. Demikian juga diberikan ancaman hukuman yang sama bagi laki-laki yang melakukan kawin lagi, meskipun perkawinan pertamanya dilakukan di luar ketentuan UU itu. Selanjutnya ancaman hukuman yang sama juga diberikan kepada perempuan yang melakukan perkawinan lagi, sedangkan ia masih berstatus sebagai istri orang lain. Di Malaysia, di Negara Bagian Perak, dalam UU Keluarga Islam tahun 1984 Pasal 118 disebutkan bahwa seorang laki-laki yang masih terikat dengan suatu perkawinan kemudian menikah lagi tanpa izin tertulis dari pengadilan (kadi/hakim), berarti ia telah melakukan suatu pelanggaran dan diancam dengan hukuman denda paling banyak 1000 Ringgit Malaysia dan atau penjara paling lama enam bulan. Di Pakistan, berdasarkan MFLO tahun 1961 diatur bahwa barangsiapa melakukan poligami tanpa izin dari Dewan Arbitrase maka ia wajib segera melunasi seluruh maharnya dan, atas laporan dari pihak istri, diancam dengan hukuman penjara paling lama setahun dan atau denda 5000 Rupees. 4. Pasal 6 s/d 11 UU Perkawinan mengatur mengenai syarat-syarat perkawinan. Substansi pengaturan syarat-syarat itu sesungguhnya sudah memadai, tetapi sekali lagi karena tidak ada ancaman hukuman bagi pelanggarnya maka syarat-syarat itu menjadi seperti nasehat atau saran. Dokumen itu seperti bukan hukum, tetapi berstatus “seyogyanya.” Inilah kelemahan utama UU Perkawinan itu. Khusus mengenai Pasal 7 ayat (1) tentang batas usia minimal untuk kawin yaitu 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita, mungkin perlu diubah agar batas usia itu sama antara laki-laki dan perempuan, menjadi sama-sama 19 tahun. Pertimbangannya ialah bahwa sejumlah UU lain telah mengatur bahwa batas usia anak adalah 18 tahun, sehingga perlu sinkronisasi. Demikian pula dengan wajib belajar 12 tahun maka usia 19 tahun artinya usia setelah tamat sekolah menengah atas. MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 47 OPINI Sejumlah Negara Muslim juga memang telah mengatur tentang batas usia minimal kawin itu, meskipun isinya sangat bervariasi. Algeria dan Bangladesh menetapkan batas minimal usia kawin 21 bagi lakilaki dan 18 bagi perempuan, Pakistan 18 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, Tunisia 20 dan 17 tahun, Libanon 18 dan 17 tahun, Malaysia 18 dan 16 tahun, Syria 18 dan 17 tahun, Maroko 18 dan 18 tahun, Yordania 16 dan 15 tahun, dan Iran 18 dan 15 tahun. Di Iran ada gejala yang menggusarkan karena di negeri itu ada upayaupaya untuk menurunkan batas minimal usia kawin bagi wanita menjadi 13 tahun. Sementara itu di Yordania terdapat pengaturan yang unik yang menyatakan bahwa jika selisih umur pasangan itu 20 tahun atau lebih sementara calon istri belum berumur 30 tahun maka perkawinan itu harus mendapat izin khusus dari pengadilan. Dari inovasi Yordania itu mungkin dapat pula dikembangkan perlunya batas usia maksimal kawin guna menjaga kemaslahatan pasangannya atau untuk menghindari manipulasi perkawinan atau sekurangkurangnya harus mendapatkan izin dari Pengadilan terlebih dahulu bagi orang yang telah berusia terlalu lanjut. Walhasil, tidak ada Negara yang menetapkan batas usia minimal kawin 9 tahun untuk wanita, sebagaimana sering disandarkan kepada riwayat perkawinan Siti Aisyah dengan Nabi Muhammad SAW. Jika setelah beberapa tahun Nabi Muhammad wafat lalu Siti Aisyah diriwayatkan sanggup memimpin pasukan dalam Perang Jamal maka boleh jadi ketika kawin dengan Nabi itu usia Siti Aisyah telah mencapai 16 tahun atau lebih. 48 5. Pelanggaran atas batas usia minimum kawin dapat dikenakan sanksi penjara dan denda, seperti yang terjadi di Pakistan. Pakistan melarang seseorang kawin dengan seseorang di bawah umur yang d i s e b u t nya s e b a g a i C h i l d Marriage, yaitu jika salah satu pasangannya berumur kurang dari 18 tahun bagi laki-laki dan kurang dari 16 tahun bagi perempuan. Dalam hal ini seorang laki-laki yang berumur lebih dari 18 tahun kemudian mengawini seorang perempuan berumur di bawah 16 tahun maka ia diancam dengan hukuman penjara paling lama satu bulan dan atau denda paling banyak 1000 Rupees. Kemudian bagi mereka yang memimpin pelaksanaan atau mengarahkan terlaksananya Child Marriage itu diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya satu bulan dan atau denda paling banyak 1000 Rupees. Pasal 22 s/d 28 UU Perkawinan mengatur tentang pembatalan perkawinan. Substansi pasalpasal itu sesungguhnya amat progresif, tetapi sekali lagi ka re n a t i a d a nya a n c a m a n hukuman bagi pelanggarnya maka aturan itu seperti kurang bermakna. Pasal 24 misalnya yang mengatur bahwa seseorang yang karena ikatan perkawinan dapat meminta pembatalan perkawinan baru dari pasangannya. Demikian pula Pasal 27 ayat (1) mengatur bahwa seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan itu dilangsungkan di bawah paksaan atau ancaman yang melanggar hukum. Di sementara Negara Muslim, perkawinan yang dilakukan karena paksaan itu bukan hanya membawa pembatalan perkawinan, tetapi juga pelaku MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 6. ancaman itu dikenai sanksi pidana. Di Malaysia, Negara Bagian Perak misalnya, pada Pasal 35 UU Keluarga Islam dinyatakan bahwa barangsiapa memaksa orang lain dengan kekerasan untuk melakukan akad nikah dengan seseorang atau melarang orang lain untuk tidak melakukan akad nikah dengan seseorang sedangkan diantara para pihak yang akan berakad-nikah itu tidak ada penghalang sesuai hukum yang berlaku maka ia diancam dengan hukuman denda paling besar 1000 Ringgit Malaysia dan atau penjara tidak lebih dari enam bulan. Di Brunei Darussalam dalam UU Hukum Keluarga tahun 2000 Pasal 35 dikatakan bahwa barangsiapa memaksa seseorang untuk kawin dengan seseorang yang lain atau melarang seseorang untuk tidak kawin dengan seseorang yang lain sedangkan antara pasangan itu tidak ada halangan hukum apa pun dan mereka telah memnuhi batas usia minimal kawin maka orang yang memaksa tersebut diancam dengan hukuman denda sebesar 2000 Ringgit Brunei dan atau penjara paling lama enam bulan. Pasal 29 UU Perkawinan ayat (1) dan (2) mengatur mengenai perjanjian perkawinan. Dikatakan bahwa pada waktu a t a u s e b e l u m p e rkaw i n a n dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga kepada pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. OPINI 7. Praktek pembuatan perjanjian seperti ini sekarang sudah umum diberlakukan di Negara-negara Muslim, biasanya terkait kesepakatan percampuran atau pemisahan harta dan penjaminan kesetaraan derajat wanita. Di sementara Negara isi perjanjian seperti itu boleh menyebut misalnya bahwa selama perkawinan itu masih berlangsung maka si suami tidak boleh melakukan poligami dan p e l a n g g a ra n te r h a d a p i t u otomatis m e nye b a b k a n perceraian melalui pengadilan. Penegasan seperti ini mungkin perlu dilakukan karena janji untuk tidak berpoligami itu dapat diperdebatkan apakah telah melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan sebagaimana di atur di atas. Sesungguhnya hal ini sudah diberikan peluangnya oleh Pasal 24 dan 25 UU Perkawinan itu, tetapi bagi mereka yang ingin mengeksplisitkannya dalam bunyi perjanjian perkawinan maka sebaiknya kesempatan itu dibuka dan dipertegas lagi. Pasal 30 s/d 34 UU Perkawinan mengatur mengenai kewajiban suami isteri yang isinya pada dasarnya amat memadai. Tentu saja butir terpenting di situ ialah Pasal 34 ayat (3) yang menyatakan bahwa jika suami atau istri melalaikan kewajibannya m a s i n g - m a s i n g d a p a t mengajukan gugatan kepada pengadilan. Adanya kesempatan mengajukan gugatan ke pengadilan ini perlu disosilisasikan dengan luas kepada para istri. Terdapat dua ayat yang sering mendapat kritik mengenai kewajiban suami istri ini. Pertama, Pasal 31 ayat (3) yang mengatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. Sesungguhnya dari segi ilmu manajemen setiap unit organisasi termasuk keluarga tentu perlu pemimpin dan mendaulat suami sebagai 8. kepala rumah tangga sesungguhnya tidak menjadi masalah. Masalahnya ialah ketika diperlawankan dengan istri yang jabatannya adalah ibu rumah tangga yang tentu saja tidak jelas lingkup tanggungjawabnya, apalagi pada era di mana para istri juga bekerja memperoleh penghasilan seperti sekarang ini. Pertanyaannya ialah kalau ada kepala rumah tangga, apakah berarti ada wakil kepala? Penggandengan dua fungsi yang tidak parallel ini yang menimbulkan kritik. Mungkin pengaturan itu dapat diganti dengan mengatakan bahwa baik suami maupun isteri secara bersama-sama bertanggungjawab atas kepemimpinan keluarga. Mungkin dapat ditegaskan juga bahwa pada dasarnya tugas suami adalah terkait tugas-tugas eksternal, termasuk mencari nafkah, dan tugas istri pada dasarnya bersifat internal rumah tangga. Kedua, Pasal 33 yang antara lain menyatakan bahwa suami istri wajib saling cinta-mencintai. Ungkapan ini tentu bagus tetapi seperti nasehat perkawinan, karena tentu saja amat sulit mengukur realisasi atau pelanggarannya. Mungkin dapat diubah menjadi kalimat berita atau menjadi anak kalimat, misalnya bahwa atas dasar saling cinta-mencintai maka suami istri wajib saling menghormati, saling membantu satu sama-lain dan seterusnya, sehingga kewajibannya itu sendiri memang sesuatu yang dapat diukur pelaksanaannya atau pelanggarannya. Pasal 35 s/d 37 UU Perkawinan mengatur mengenai harta bersama dalam perkawinan. Pada Pasal 35 ayat (1) dan (2) dikatakan bahwa harta benda ya n g d i p e ro l e h selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh 9. masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Konsep harta bersama ini sungguh merupakan pengaturan yang amat progresif ditinjau dari kacamata hukum Islam. Dalam masyarakat Islam selama ini seolah-olah diasumsikan bahwa harta yang peroleh selama perkawinan itu milik suami karena suamilah memang yang mencarinya. Dengan konsep harta bersama ini maka harta yang diperoleh selama perkawinan meskipun istri tidak bekerja adalah harta syirkah, masing-masing berhak atas separuh daripadanya ketika terjadi putus perkawinan atau salah satunya meninggal dunia. Pembagian warisan dilakukan hanya terhadap harta yang telah dibagi dua itu. Dalam sebuah diskusi dengan delegasi Afghanistan yang terdiri atas dekan-dekan Fakultas Syariah dan cendekiawan hukum Islam Afghanistan bertempat di Jakarta beberapa tahun lalu diketahui bahwa mereka terperanjat dengan sistem harta bersama di Indonesia ini. Mereka melihat hal ini sebagai bukti kesetaraan derajat suami dan istri dalam rumah tangga. Mereka juga mengapresiasi inovasi ini, meskipun tentu saja dalam sistem hukum lain hal itu sudah biasa terjadi. Pasal 38 s/d 41 UU Perkawinan mengatur tata cara putusnya perkawinan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Pada Pasal 38 dikatakan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan. Kemudian pada Pasal 39 ayat (1) dikatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 49 OPINI Sekarang prinsip bahwa perceraian harus dilakukan di depan pengadilan ini tentu sudah biasa dan diterima oleh masyarakat, tetapi pada tahun 1 9 7 4 ke t i k a U U i t u b a r u diberlakukan hal itu dianggap baru dan bertentangan dengan kitab-kitab fikih. Dalam kitabkitab fikih tentu kita mengetahui bahwa perceraian dapat terjadi di mana saja, bahkan dengan kalimat yang eksplisit maupun sindiran, atau diucapkan secara sungguh-sungguh atau secara kelakar. Di Pakistan berdasarkan Muslim Family Law Ordinance (MFLO) tahun 1961 perceraian di luar pengadilan masih dimungkinkan terjadi tetapi belum mulai efektif berlaku sampai tiga bulan kemudian, setelah ia melaporkannya kepada Kantor yang berwenang. Sementara itu suami yang mentalak istrinya itu diwajibkan untuk sesegera mungkin melaporkan pengucapan talaknya itu secara tertulis kepada Kantor yang berwenang itu untuk segara dibentuk Dewan Arbitrase yang diketuai oleh Petugas Negara dengan dua anggota masing-masing 50 mewakili keluarga suami dan istri. Jika Dewan Arbitrase itu gagal menjembatani perdamaian antara pasangan suami istri itu m a ka b a r u l a h d i p u t u s ka n terjadinya perceraian. Apabila suami yang telah mengucapkan talak kepada isterinya itu tidak melaporkan-nya kepada Kantor yang berwenang maka ia diancam dengan hukuman penjara paling lama satu tahun dan atau denda paling banyak 1000 Rupees. Tentu saja Negara Muslim yang paling awal memberlakukan kewajiban talak dalam sidang pegadilan itu ialah Tunisia. Berdasarkan The Code of Personal Status Tunisa tahun 1956 Pasal 30, tidak boleh lagi ada perceraian yang terjadi di luar pengadilan (extra judicial divorce). Pengucapan talak di depan pengadilan itupun baru dapat dilakukan setelah pengadilan melakukan pemeriksaan secara seksama dan gagal mendamaikan pasangan suami istri itu. Lagi-lagi di Indonesia masalahnya ialah tidak adanya ancaman sanksi. Kita melihat dalam masyarakat banyak suami MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 mentalak isterinya di luar pengadilan dan mereka tidak mendapatkan ancaman hukuman apapun yang bersifat hukuman badan atau denda. 10. Pasal 42 s/d 44 UU Perkawinan mengatur tentang kedudukan anak. Pada Pasal 42 UU itu dikatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Kemudian pada Pasal 43 ayat (1) sebelum diuji materi oleh Mahkamah Konstitusi (MK) berbunyi bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Rumusan Pasal 43 ayat (1) ini setelah diuji materi dan diputuskan oleh MK bahwa hubungan perdata itu bukan hanya dengan ibunya dan keluarga ibunya tetapi juga dengan ayahnya dan keluarga ayahnya yang hubungan darahnya dapat dibuktikan secara ilmu pengetahuan. Seperti diketahui, Putusan MK ini telah menimbulkan kontoversi dalam masyarakat, termasuk Majlis Ulama Indonesia (MUI) mempersoalkannya. OPINI Rumusan awal Pasal 43 ayat (1) itu memang sesuai dengan hukum Islam, tetapi tambahan rumusan dari MK itu terasa sedikit asing bagi sebagian besar telinga Indonesia. Masalahnya ialah seolah-olah MK menafikan arti penting dan arti legal dari lembaga perkawinan yang merupakan hasil peradaban manusia ribuan tahun itu. Dalam hal ini diklaim bahwa Putusan MK itulah yang sesuai dengan Hak Azazi Manusia (HAM), sehingga di sini seolah-olah MK sedang menggunakan norma hukum yang berbeda dari norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia dan norma itu diklaim berasal dari norma hukum internasional. Sesungguhnya MK juga mungkin tidaklah bermaksud mengatakan bahwa lembaga perkawinan itu tidak perlu, karena sikap seperti itu tentu seperti menafikan peradaban manusia yang luhur itu. Mungkin masalah ini tidak perlu menjadi bahan kontroversi, apabila secara tegas dijelaskan bahwa yang dimaksud MK dengan tambahan rumusannya (extra petitum) itu ialah dalam hal-hal pengecualian ketika sang ayah tidak diketahui dengan jelas, tetapi bukan sebagai norma pokok atau norma umum. Adapun norma umumnya tetap yaitu bahwa anak yang sah ialah anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan yang sah. Itulah sebabnya sampai hari ini, setelah Putusan MK itu pun, jutaan manusia Indonesia masih tetap saja melakukan perkawinan setiap tahunnya. Secara peradaban mereka tidak merasa cukup kalau hanya datang ke laboratorium mengujikan DNA anak mereka, meskipun tentu itu lebih murah biayanya. Mereka ingin tetap berpegang kepada norma pokok yang berlandaskan pada peradaban yang mulia sebagai manusia, bukan norma pengecualian. Dalam pengaturan ke depan, mungkin pembedaan antara norma pokok dan norma pengecualian itu perlu ditegaskan agar masyarakat merasa nyaman dengan norma yang dianutnya dan MK tidak dinilai membuat putusan bukan berdasarkan norma masyarakatnya. 11. Pasal 50 s/d 54 UU Perkawinan mengatur tentang perwalian. Diantara pasal-pasal penting dalam hal ini ialah Pasal 50 ayat (1), Pasal 53 ayat (1) dan Pasal 54. Adapun Pasal 50 ayat (1) menyebutkan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali . Kemudian Pasal 53 ayat (1) mengatakan bahwa wali dapat dicabut kekuasaannya, jika ia sangat melalaikan kewajibannya dan berkelakuan buruk sekali sebagaimana disebut pada Pasal 49. Terakhir pada ayat 54 dikatakan bahwa wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang di bawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut. Pengaturan ini tentu sudah memadai, tetapi kalau dicermati lagi sesungguh-nya sanksi itu mungkin terlalu ringan karena perbuatan buruknya itu sudah terjadi sehingga perlu diberi sanksi lain selain mengembali-kan harta itu. Selain itu soal pemeliharaan agama anak juga belum diatur secara lebih rinci, kecuali pada Pasal 51 ayat (3) yang secara umum hanya mengatakan bahwa wali wajib mengurus anak yang di bawah p e n g u a s a a n nya d a n h a r t a bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu. Di Tunisia misalnya, pengaturan tentang hal ini lebih rinci sifatnya. Dikatakan pada Pasal 59 UU Status Pribadi Tunisia bahwa hak pengasuhan anak oleh ibu yang menganut agama yang berbeda dengan agama anak (baca: agama ayah anak) maka si ibu hanya boleh mengasuh anak itu sampai usia lima tahun. Jika hak asuh anak oleh ibu saja di batasi, tentulah hak pemeliharaan anak oleh wali perlu diperketat lagi aturannya. Dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, hal-hal seperti ini sesungguhnya telah diatur den gan lebih rinci ketika mengatur soal pengangkatan anak. 12. Pasal 57 s/d 62 UU Perkawinan mengatur tentang perkawinan campuran. Dalam Pasal 57 dikatakan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam UU itu ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satunya berkewarganegaraan asing dan satunya lagi berkewarga-negaraan Indonesia. Pada Pasal 60 ayat (1) dikatakan bahwa perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syaratsyarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masingmasing telah dipenuhi. Kemudian berbeda dengan pengaturan pada pasal-pasal lainnya, Pasal 61 ayat (2) dan (3) mengatur ancaman sanksi. Dikatakan bahwa barangsiapa melakukan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang ditentukan oleh UU itu maka ia diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu bulan. MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 51 OPINI Kemudian dikatakan juga bahwa pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada maka ia diancam dengan hukuman kurungan selamalamanya tiga bulan dan dihukum jabatan. Ini lah satu-satunya tempat (Pasal 61 ayat 2 dan 3) di m a n a U U Pe r k a w i n a n i n i menyebut tentang ancaman hukuman bagi pelanggarnya. UU Perkawinan juga mengatur tentang warganegara Indonesia yang melangsungkan perkawinan di luar negeri. Pada Pasal 56 ayat (1) dan (2) dikatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan seorng warganegara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di Negara di mana perkawinan itu dilangsungkan, dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuanketentuan UU ini. Dalam waktu satu tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal tinggal mereka. Tidak diatur bagaimana ancaman hukumannya bila batas waktu satu tahun untuk pendaftaran perkawinan mereka di Indonesia itu tidak dipenuhi. Di Brunei Darusslam, berdasarkan UU Hukum Keluarga Brunei tahun 2000 Pasal 33 dikatakan bahwa warganegara Brunei yang melangsungkan akad nikah di luar negeri dan tidak melaporkannya kepada Kantor yang berwenang dalam enam bulan kepulangannya yang pertama ke Brunei, diancam dengan hukuman denda 1000 52 Ringgit dan atau penjara paling lama tiga bulan. Kemudian pada Pasal 34 dikatakan secara lebih umum bahwa Petugas Pencatat Perkawinan (Jurunikah) yang menikahkan atau mencatat perkawinan pasangan yang belum melengkapi dokumendokumen parsyaratannya atau menikahkan orang dari luar distriknya (wilayahnya) tanpa ada surat pengantar dari Petugas Pencatat Perkawinan dari distrik lainnya itu maka ia diancam dengan hukuman denda 1000 Ringgit dan atau penjara paling lama tiga bulan untuk kesalahan kali pertama dan denda 2000 Ringgit dan atau enam bulan penjara untuk kesalahan kali kedua. SKENARIO PEMBARUAN Dari uraian di atas nampak bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan itu memiliki sejumlah ruang yang masih dapat disempurnakan dari segi isinya atau substansi hukumnya. Selain itu nampak juga, bahkan lebih jelas lagi, mengenai perlunya pencantuman sejumlah ancaman hukuman bagi pelanggaran atas berbagai aturan yang dituangkan dalam UU itu. Jika dilihat dari segi prioritasnya, nampaknya penyempurnaan substansi pengaturan itu dapat ditunda atau diminimalisir karena substansi yang ada relative masih memadai, tetapi penyempurnaan dalam bentuk pencantuman ancaman sanksi atas berbagai pelanggarannya mungkin sudah sangat mendesak untuk menjaga agar masyarakat tidak menjadi anarkis dalam kehidupan perkawinan. Atas dasar pikiran di atas, sedikitnya dapat disusun tiga scenario pembaruan hukum perkawinan di Indonesia dalam waktu dekat, yaitu: a. Penyempurnaan dilakukan baik terhadap substansi hukumnya maupun penambahan pencantuman sanksi bagi pelanggarnya. MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 Skenario ini mungkin akan mendapat reaksi kuat dari sebagian masyarakat, karena dua alasan: pertama, kekhawatiran substansi UU Perkawinan akan berubah mengikuti versi pendapat kaum liberal dan sekuler sehingga semakin menjauh dari hukum Islam; dan kedua, kekhawatiran menyalahi hukum Islam karena menerapkan sanksi kurungan badan dan denda untuk pelanggaran masalah-masalah perkawinan yang dianggapnya sebagai soal agama murni bahkan juga bersifat ubudiyah. b. Pengaturan substansi dibiarkan s e b a g a i m a n a a d a nya u n t u k menghindari resistensi yang terlalu keras, tetapi penyempurnaan difokuskan pada penambahan dan pencantuman ancaman sanksi atas pelanggaran terhadap berbagai pengaturan yang ada dalam UU itu. Skenario ini, meskipun masih tetap akan mendapatkan resistensi dari sebagian masyarakat , tetapi mungkin akhirnya akan dapat diterima masyarakat setelah melihat fakta bahwa Negara Muslim lain pun telah melakukannya demi menjaga ketertiban masyarakat. c. Pe nye m p u r n a a n substansi dilakukan seminimal mungkin dan terhadap beberapa pasal saja seperti batas usia minimal kawin, sedangkan focus pembaruan diletakkan pada penambahan ancaman sanksi atas pelanggaran terhadap berbagai pengaturan yang ada di dalamnya. Skenario ini pun masih akan mendapatkan resistensi, tetapi mungkin lebih kecil sifatnya sehingga masih dapat dikendalikan. PENUTUP Demikian beberapa hal yang dapat disampaikan dalam kesempatan ini, sekedar sebagai bahan pengantar diskusi. Semoga ada manfaatnya dan terima kasih atas segala perhatiannya. WAWANCARA KHUSUS Drs. H. Wahyu Widiana, M.A. “Passion, itu Nomor Satu yang Harus Dijaga” MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 53 WAWANCARA KHUSUS J ika melihat sejarah Peradilan Agama sejak zaman kemerdekaan, Wahyu Widiana adalah orang yang paling lama menempati posisi sebagai sosok nomor wahid di Badan Peradilan Agama. Dua belas tahun ia menggawangi Badan Peradilan Islam ini, terhitung sejak Mei 2000 sampai dengan September 2012. Banyak kalangan menilai lamanya masa kepemimpinan Pak Wahyu, panggilan akrabnya, justru menguntungkan lembaga Peradilan Agama. Dalam buku 'Courting Reform; Indonesia's Islamic Courts and justice for the poor' (2010), Cate Sumner dan Tim Lindsey menyebut “The Religious Courts have also benefited from having the one Director-General for the last ten years, a person who is trained in management at a postgraduate level...” Nama Wahyu Widiana begitu melekat dengan Peradilan Agama. Waktu masih menjadi Dirjen --bahkan sampai sekarang-- ada yang menjulukinya sebagai Dirjen IT, Bapak IT Peradilan Agama, dan ada juga yang memberikan gelar Bapak Reformasi Peradilan Agama. Wakil Ketua PTA Jakarta, Dr. H. Edi Riadi, S.H., M.H., dalam Buku 'Wahyu Widiana; Bekerja Tiada Henti Membangun Peradilan Agama' bahkan menobatkan Pak Wahyu sebagai “the best leader in the Supreme Court of Indonesia because he can manage the time speed and the time zone”. Bagaimana sepak terjang Pak Wahyu paska mengakhiri tugas sebagai Dirjen Badilag pada September 2012? Bagaimana ia melihat perkembangan Peradilan Agama selama tiga tahun terakhir? Apa saja harapannya terhadap warga PA? Berikut petikan wawancara redaktur Majalah Peradilan Agama dengan alumnus Michigan University Amerika ini medio September 2015 lalu. Apa kegiatan Bapak sekarang paska pensiun dari Badilag tahun 2012 lalu? 54 Setelah saya pensiun dari peradilan agama atau katakanlah tepatnya setelah selesai menjalankan tugas sebagai Dirjen Badilag pada bulan September 2012, saya langsung mengajar di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta. Sebab kawankawan di FSH seperti Prof. Amin Suma dan kawan-kawan lainnya sangat membantu dan juga kawan-kawan di Badilag, sehingga terbitlah surat keputusan dari BKN bahwa saya mengajar. Jadi saya belum pensiun dari PNS, langsung pindah menjadi dosen di FSH UIN Jakarta. Tapi alhamdulillah juga, berkat kerja keras kawan-kawan di Badilag dan PA se Indonesia, dimana PA dinilai banyak keberhasilannya, maka begitu saya pensiun bulan September 2012, saya juga Oktober nya itu tanda tangan kontrak dengan AIPJ, Australia Indonesia Partnership for Justice. Dan saya ditunjuk sebagai Adviser. Jadi, tugas saya ngajar, sehari atau dua hari dalam seminggu. Tapi banyak juga kegiatan-kegiatan di AIPJ. Dan juga ditambah lagi sejak Agustus 2014, saya juga dipilih sebagai Ketua Umum BP4 Pusat yang berlaku sejak 2014 sampai 2019. Jadi alhamdulillah kesibukan setelah selesai tugas di Badilag banyak sekali. Ya ngajar, kegiatan di AIPJ, kemudian juga di BP4. Kalau di AIPJ tuh saya sering kali ke luar kota atau bahkan ke luar negeri. Kalau di dalam negeri ini biasanya saya mengembangkan tentang pelayanan terpadu, isbat nikah, pencatatan nikah dan pencatatan kelahiran. Mata kuliah apa yang Bapak asuh di UIN Jakarta? Bagaimana kesan Bapak selama ini mengajar (menjadi Dosen) dibandingkan dengan waktu mengurus manajemen Peradilan Agama? Di FSH UIN saya mengajar Ilmu Falak. Jadi di SK itu saya sebagai Dosen Ilmu Falak. Tetapi di semester lalu saya juga mengajar masalah Peradilan MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 Islam, Ilmu Waris, dan Manajemen BP4. Nah, saya menikmati sekali mengajar ini. Jadi kita bisa belajar lagi. Tapi kalau dibandingkan dengan waktu memenej atau menjadi Dirjen, ya ada perbedaannya. Selama ini saya menikmati apa yang saya lakukan, baik sebagai dosen. Juga waktu mengelola peradilan saya juga bisa mengembangkan kepemimpinan. Satu hal yang saya senang baik ngajar maupun di Badilag itu sikap kawan-kawan ini. Terutama di Badilag. Sangat solid, saling mendukung. Sehingga dapat dikatakan kita berhasil. Keberhasilan semua. Termasuk di FSH ini. Bapak juga terpilih menjadi Ketua BP4 Pusat. Bagaimana proses terpilihnya Bapak menjadi Ketua? Mengenai BP4, itu saya juga enggak tau mengapa kawan-kawan di BP4 Pusat dan Daerah pada Munas Agustus 2014 itu kok milih saya sebagai Ketua Umum. Jadi pada tanggal 14-16 Agustus 2014 ada Munas BP4 di Jakarta memilih kepengurusan untuk periode 20142019. Dulu periode 2009-2014 itu Pak Taufik yang jadi Ketua Umumnya, Pak Taufik mantan Wakil Ketua MA. Tetapi ketua-ketuanya banyak profesorprofesor dan tokoh-tokoh tingkat nasional. Tapi setelah periode beliaubeliau selesai, diadakan lagi Munas saya diminta jadi Ketua Umum. Saya sebetulnya ya menolak, orang selama ini saya selama ini tidak terjun langsung di BP4. Hanya terus terang waktu saya jadi Dirjen hubungan dengan BP4 Pusat itu baik sekali. Walaupun kita tidak langsung sebagai Pengurus Harian, Dirjen itu ex officio waktu itu semacam pembinannya lah. Saya banyak aktif juga dalam munasmunas BP4 atau rapat koordinasi bidang urusan se-Indonesia, itu saya beberapa kali diminta untuk berikan presentasi terutama keterkaitan kerja antara BP4 dan peradilan agama. WAWANCARA KHUSUS Nah , jadi saya dipilih itu mulamula berdasarkan voting ada 5 orang jadi formatur. Waktu itu Pak Taufik sakit. Tapi di situ ada Pak Tulus, Pak Mubarok, Prof. Nurhayati Djamas, ada Ibu Zubaidah Muhtar. Nah kemudian kelima formatur ini musyawarah dan secara aklamasi meminta saya untuk jadi Ketua Umum. Saya karena didukung semuanya, ya saya bismillah saja. Walaupun kalau bisa jangan saya, saya bilang. Saya kan dibandingkan dengan beliau-beliau itu paling muda juga. Enggak tau kenapa beliau-beliau meminta saya, akhirnya saya terima. Apa posisi dan tugas Bapak di AIPJ? Kalau di AIPJ, di kontrak itu saya ditunjuk sebagai Senior Adviser di Program Legal Identity, Identitas Hukum yang tugas saya sesuai dengan jabatannya sebagai pemberi masukan terhadap kawan-kawan yang melaksanakan kegiatan di AIPJ ini dalam program Legal Identity ini. Pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kepemilikan hak bagi masyarakat Indonesia, baik hak dalam mendapatkan identitas hukum atau hak untuk mendapatkan informasi hukum, hak untuk mendapatkan data tentang hukum. Jadi yang sedang dan sudah saya kembangkan sejak saya masuk itu adanya Pelayanan Terpadu. J a d i , s e ka ra n g i n i ka n d i Indonesia banyak sekali anak-anak Indonesia yang tidak punya Akta Kelahiran, orang tuanya tidak punya Buku Nikah. Saya mengembangkan Pelayanan Terpadu. Seperti yang diketahui Pelayanan Terpadu ini memberikan pelayanan bagi para orang tua yang tidak punya buku nikah, diisbatkan dulu oleh pengadilan agama. Berdasarkan penetapan PA itu d i b awa ke p e gawa i KUA , l a l u dikeluarkan Buku Nikahnya. Berdasarkan Buku Nikah itu dan syarat-syarat lainnya, anak-anak yang lahir dan belum tercatat kelahirannya pada saat itu juga dicatatkan di Dinas Catatan Sipil. Jadi dengan pelayanan terpadu masyarakat itu sangat terbantu. Sebab yang tadinya harus datang ke PA dulu, datang lagi ke KUA terus datang lagi ke Dinas Dukcapil untuk mendapatkan akta kelahirannya. Dengan pelayanan terpadu, mereka cukup datang di satu tempat dan satu hari bisa mendapatkan Penetapan Isbat Nikah, Buku Nikah dan Akta Kelahiran. Nah, tugas saya, disamping memberikan masukan dan pertimbangan pada program ini juga mendekati, melakukan advokasi dengan pimpinan MA, Badilag atau Badilum. Sebab ini tidak hanya di PA tapi juga di PN untuk pencatatan nikah bagi Non Muslim. Dan juga mendekati Kementerian Agama dan juga bersama PUSKAPA UI mendekati Kementerian Dalam Negeri. Kita juga mendekati pimpinan-pimpinan di Bappenas. Jadi alhamdulillah setelah 2012 untuk pelayanan terpadu ini sudah keluar SEMA dan PERMA atau MoU antara Badilag Badilum atau ada juga SE Dirjen BIMAS Islam. Sejauh mana AIPJ dan pengadilan Australia membantu programprogram di Peradilan Agama? AIPJ dan pengadilan di Australi terutama Family Court atau FCoA itu sekarang semakin intens kerja samanya dengan peradilan agama. Dan peradilan agama sangat terbantu terutama dalam mengembangkan program Justice for the Poor yang menjadi salah satu trademark dari peradilan agama. Saya merasa bahwa banyak pihak dari luar negeri, lembaga-lembaga di luar negeri, tokoh-tokoh di luar negeri bahkan PBB juga pernah menulis dalam laporannya melalui UN Women itu termasuk institusi di dalam negeri yang memberi apresiasi kepada peradilan agama itu salah satunya ka re n a p e ra d i l a n a ga m a mengembangkan program Justice for the Poor yang tegasnya adalah mengembangkan sidang keliling, pembebasan biaya perkara dan juga pos bantuan hukum. Nah, program ini dengan adanya AIPJ semakin terbantu lagi. Jadi misalnya ada 20 kabupaten yang jadi pilot project AIPJ sudah barang tentu kerja samanya dengan peradilan agama, KUA dan Dukcapil. Itu terbantunya peradilan agama tentang program ini. AIPJ ini juga mengajak FCoA untuk kerja sama. Jadi FCoA juga memberikan masukan-masukan bahkan mengadakan beberapa kali pelatihan baik di Australi maupun di sini. Baik kaitannya dengan bantuan hukum, meja informasi atau sekarang e-learning meja informasi atau mediasi. Semua ini karena kerja sama yang baik antara MA dalam hal ini peradilan agama dengan FCoA yang difasilitasi AIPJ. Jadi peradilan agama terus terang aja sekarang terbantu. Tapi pada dasarnya kita jangan mengharapkan dari AIPJ terus, tapi harus Peradilan Agama yang harus mengembangkan dirinya sendiri. MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 55 WAWANCARA KHUSUS Makanya saya prihatin kalau ada beberapa PA yang acuh terhadap pelayanan terhadap orang miskin baik masalah pembebasan biaya perkara, sidang keliling, posbakum atau misalnya SEMA 3/2014 yang sudah diganti PERMA 1/2015 yang mungkin masih b a nya k ya n g tidak menggunakan panggilan kolektif untuk pelayanan terpadu. Disamping itu saya senang sekali karena pada umumnya kawan-kawan di peradilan agama sangat mendukung keberhasilan program Justice for the Poor. Jadi kerja sama court to court yang difasilitasi AIPJ itu lebih berkembang lagi. Tapi tetap pada dasarnya tergantung peradilan agamanya karena bisa jadi besok lusa AIPJ tidak ada lagi. Bagaimana Bapak melihat kerja sama court to court itu ke depan? Kemudian saya melihat kerja sama court to court antara PA dan Family Court ini perlu kita lanjutkan kalau menurut saya. Jadi tidak tergantung kepada anggaran dari mereka. Toh selama ini kan juga anggaran dari kita, Australi ya dari mereka. Banyak kegiatan justru dari kita, seperti sidang keliling dan posbakum. Ke depan ini perlu dipertahankan kerja sama pengadilan kita dengan Family Court itu. Sebab kita tahu FCoA ini pengadilan yang terkemuka di Australi. Bahkan mantan CEO-nya, pemimpin manajemen FCoA sekarang jadi Presiden IACA, International Association for Court Administration. Jadi kita akan ikut pergaulan dunia peradilan Internasional. Jadi simpulnya, memang kerja sama court to court ini penting sekali, jangan dilepaskan. Saya mohon juga kawan-kawan di Badilag, terutama Pak Dirjen dan Pak Dirjen bagus sekali perhatiannya itu, supaya terus menjalin kerja sama. Dan banyak untungnya kerja sama dengan luar negeri itu. Seperti dengan Timur Tengah juga kan demikian bagusnya 56 seperti dengan Jami'ah Al Imam Riyadh, Mesir dan Sudan. Bagaimana Bapak melihat perkembangan Peradilan Agama dan Badilag dalam 3 (tiga) tahun terakhir ini? Saya melihat PA sekarang bagus lah. Jadi, hmm masih seperti dulu, kawan-kawan banyak yang semangat dalam berbagai macam bidang pelayanan masyarakat. Memang tiap pimpinan baik di pusat maupun di daerah kan punya gayanya masingmasing. Termasuk Dirjennya, mohon maaf seperti saya mungkin gayanya beda dengan Pak Purwo dan Pak Manaf. Ada kelebihan dan kekurangan masing-masing. Saya melihat PA ini sekarang bagus lah, jadi masih seperti dulu, tentang pengembangan IT, tentang justice for the poor, tentang integritas. Hanya yang perlu dibenahi barangkali perlu dijaga semangat itu, semangat kita, passion dari kawan-kawan di daerah ini agar mereka tetap semangat dalam melaksanakan pelayanan dan inovasinya. Dan saya melihat inovasi oleh kawan-kawan di daerah ini banyak sekali dilakukan. Tinggal kita memberi apresiasi kepada mereka, memberi penghargaan, memberi semangat. Dengan demikian maka kita akan terus maju. Saya senang melihat Pak Purwo, Pak Abdul Manaf banyak inovasiinovasi. Misalnya ceramah atau kuliah hukum acara yang divideokan dan disimpan di website. Kemudian kunjungan-kunjungan Pak Dirjen sekarang ke daerah incognito, kunjungan yang mendadak itu. Itu bagus sekali. Mudah-mudahan ini ditangkap oleh kawan-kawan di d a e ra h s e b a ga i b e n t u k u n t u k meningkatkan kualitas. Menurut Bapak, apa saja yang perlu ditingkatkan oleh Peradilan Agama dan SDM nya ke depan? Banyak dari sejak dulu. Termasuk sejak saya. Pertama, integritas. Saya mengharapkan betul integritas ini terus dijaga. Jangan MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 sampai ada hakim atau pegawai kita yang kena Majelis Kehormatan Hakim disidang lalu ditindak atau oleh Bawas. Saya prihatin sekali lah. Kita saling mengingatkan itu. Kemudian, soliditas. Jangan kita sendiri-sendiri baik di pusat maupun di daerah. Kita harus solid, lakukan koordinasi, saling mengingatkan, sharing informasi antara kita baik di pusat maupun daerah. Itu sangat penting sekali dilakukan di berbagai kesempatan. Sebab bukan saja untuk memberi informasi tapi justru untuk memotivasi kegiatan-kegiatan itu sendiri. Kemudian, semangat itu, passion itu. Saya paling senang sekali kalau kawan-kawan semangatnya kuat. Kalau dulu ada Siadpa plus, ada apa namanya kelompok-kelompok forum pembaca badilag, pendekar siadpa. Di tiap daerah ada kelompok untuk pengaman Siadpa, Simpeg dan macam-macam ya. Itu bagus sekali. Dan kita dari Jakarta ini harus selalu apresiasi. Saya senang sekali. Sering kali saya malam-malam buka dan mengikuti diskusi mereka. Ini membuat mereka termotivasi dan semangatnya makin tinggi. Saya melihat juga apa yang dilakukan Pak Purwo dan Pak Manaf ini dalam memberikan apresiasi kawan-kawan bawahannya dan di daerah sangat bagus. Dan ini bukan hanya oleh Pak Dirjen-nya saja dan Pak Direktur atau Pak Sekditjen. Tapi juga oleh semua pejabat di Badilag ini untuk memberikan apresiasi kepada kawan-kawan di daerah. Passion ini nomor satu. Kebanggaan. Jadi kita ini bangga. Kita harus meningkatkan kebanggaan kepada lembaga kita. Saya yakin sekarang masih ada. Dulu itu kan, “Badilag Yess”, “Badilag is always one step ahead”, “I love Badilag”, Itu katakata seperti itu “Bravo Badilag”, “Aku bangga jadi warga Badilag”, itu perlu dijaga. Dengan memberi apresisasi, m e n g o n t ro l m e re k a dan mengembangkan, memberi reward kepada mereka. WAWANCARA KHUSUS Apa saja yang menurut Bapak kurang terperhatikan di Peradilan Agama selama ini? Misalnya, selama ini mohon maaf, terus terang aja karena selama 3 tahun ini saya sering baca website dan Majalah Peradilan Agama. Itu sangat bagus inovasi-inovasi di peradilan agama setelah saya selesai menjadi Dirjen. Ada Majalah yg dulu belum ada, ada website yang diperbaiki, ada putusan pengadilan yang dipublikasikan, ada inovasi-inovasi lainnya. Itu bagus sekali. Kita perlu menjaga dan meningkatkan, misalnya masalah IT. Itu sekarang sudah bukan suatu hal yang hebat. Kalau dulu awal-awal saya kerja di Badilag 2005-2006 memang begitu ada website, ada Simpeg itu kan hal yang hebat karena di yang lain belum ada. Sekarang kan sudah ada di mana-mana. Jadi paling kita tinggal konsistensinya ini. Adakah harapan Bapak yang belum terpenuhi sampai sekarang di Peradilan Agama? M u d a h - m u d a h a n s e ka ra n g sudah dilaksanakan atau malah lebih bagus lagi. Dulu saya punya keinginan dan belum bisa dilaksanakan, baru mulai ngeprak-ngeprak, baru mulai motivasi. Yaitu menjadikan PTA, hakim-hakimnya terutama sebagai kawal depan MA. Jadi dulu itu ingin sekali PTA itu betul-betul menjadi pembina di pengadilan agama daerah masing-masing masing-masing. Karena tidak mungkin PA yang hampir 360 ini dibina oleh Badilag. Justru PTA ini yang harus menjadi kawal depan MA. Apa pesan dan harapan Bapak untuk warga Peradilan Agama ke depan? Harapan saya tadi itu lah. Saya mengharapkan kawan-kawan ini tetap solid, tingkatkan kualitas, jaga integritas. Kemudian terus menerus melakukan tukar menukar informasi, lakukan koordinasi di masing-masing unit kerja baik kesamping, ke bawah dan ke atas. Kemudian juga kerja sama dengan instansi lain baik di dalam negeri maupun luar negeri itu perlu terus dikembangkan. Kita memang pasif pengadilan itu kan tidak boleh mencari perkara. Te t a p i koordinasi dalam melaksanakan tugas itu kalau saya menjadi suatu keharusan. Sebab tugas kita tidak hanya bisa dilakukan oleh kita tanpa bantuan orang lain. Harapan saya juga kerja samakerja sama dengan luar negeri perlu terus dijaga, baik dengan negerinegeri yang berbahasa Inggris maupun berbahasa Arab. Atau dengan yang di ASEAN ini lah. Bagaimana Bapak mengisi waktu luang? Saya sekarang walaupun sibuk ngajar, di AIPJ, di BP4, tetapi ya tidak sesibuk waktu di badilag. Dalam arti waktu di Badilag tiap hari ke kantor. Kalau sekarang sekalipun sibuk tapi tidak tiap hari ke kantor. Dengan AIPJ sering kali keluar daerah, sering kali rapat tetap di luar itu kita bisa kerja di rumah melalui Skype atau melalui email. Juga di BP4 saya tidak tiap hari, paling seminggu sekali. Sabtu Minggu saya paling senang mengisi waktu dengan keluarga. Makan-makan di tempat makan sederhana, yang santai. Atau kalau anak-anak libur saya senang camping ke gunung atau di pinggir laut Pangandaran. Yang murah meriah tidak yang mahal-mahal. Apa kegiatan favorit Bapak? Apa ya? paling jalan-jalan, jajanjajan di tukang bubur, tapi dengan keluarga dengan anak dengan cucu. Itu saja. Ada hal lain yang ingin Bapak sampaikan? Bahwa PA ini sangat punya potensi akan SDM yang bagus dalam berbahasa asing baik Bahasa Arab maupun Bahasa Inggris. Sebab banyak sekali kawan-kawan kita ini tamatan Gontor, pesantren-pesantren yang baik Bahasa Arab dan Bahasa Inggrisnya bagus. Hanya tinggal kita bagaimana menggali potensi mereka dan juga menghimpun, mengkoordinir potensi itu menjadi kekuatan yang kuat sehingga bisa dimanfaatkan untuk institusi baik untuk Badilag maupun peradilan agama secara keseluruhan. Ya seperti kita telah melakukan EMC, English Meeting Club atau MLA, Multaqal Lughatul Arabiyyah gitu kan. Dari situ kan keliatan muncul kawankawan yang semula kita tidak tahu menjadi kita ketahui bagus Bahasa Arab Bahasa Inggrisnya. Sehingga kita manfaatkan untuk menjalin kerja sama baik dengan negara-negara Timur dan Barat. Jadi kan kita dengan Saudi Arabia, Sudan, Mesir sekarang kan bagus dan besar manfaatnya untuk pengembangan SDM di peradilan agama. Juga dengan negaranegara Barat kan. Potensi seperti ini perlu terus digali, dihimpun dan dimanfaatkan. Juga potensi-potensi lainnya di bidang IT. Sekarang saya dengar banyak juga kawan-kawan di PA yang mengajukan i n ova s i - i n ova s i ya n g untuk perlombaan itu (Perlombaan Inovasi Pelayanan Publik Peradilan 2015, red). itu menggambarkan kawan-kawan di PA ini memang potensial untuk melakukan inovasi atau hal yang sangat positif untuk mengembangkan institusinya masing-masing. Ini perlu terus kita gali, kita himpun, dan kita manfaatkan. Sehingga potensi yang besar ini sangat bermanfaat untuk institusi dan untuk SDM di Institusi kita tercinta ini. Te r i m a kasih sudah mewawancarai saya. Mudah-mudahan membawa manfaat untuk kawankawan. Terima kasih. |Achmad Cholil| MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 57 TOKOH KITA PEDAGANG ASONGAN JADI HAKIM AGUNG Dari Palembang ke Jakarta, perjalanan hidupnya penuh suka-duka. Bukan sekadar hakim, ia juga dosen dan dai. Dr. H. Mukhtar Zamzami, S.H., M.H. [Hakim Agung Mahkamah Agung RI] 58 MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 TOKOH KITA R ona wajahnya cerah. Tawanya kerap berderai. Gerak badannya terasa enteng, meskipun kakinya tidak selincah dulu. Begitulah kondisi Mukhtar Zamzami saat ini. Beberapa bulan lalu, dalam sebuah acara yang diselenggarakan di Gedung Sekretariat Mahkamah Agung, ia muncul dengan kursi roda. Ia tak kuasa berjalan normal, akibat penyakit stroke yang menyerangnya. “Saya dulu istirahat tidak teratur. Kalau ada sesuatu yang mengganjal di pikiran, biasanya saya akan membaca sampai larut malam, bahkan sampai pagi. Kata dokter, itulah yang membuat saya kena stroke. Alhamdulillah, sekarang semakin membaik,” kata salah satu hakim agung pada Kamar Agama MA itu, di ruang kerjanya. Pada Agustus 2015 kemarin, genap delapan tahun Mukhtar Zamzami jadi hakim agung. Ia seangkatan dengan Prof. Dr. H. Hatta Ali, S.H., M.H. yang kini jadi Ketua MA. Itu adalah angkatan pertama hasil seleksi Komisi Yudisial. Perjalanan Mukhtar hingga kemudian berhasil jadi hakim agung adalah perjalanan “sengsara membawa nikmat”. Siapa sangka, anak sulung dari tujuh bersaudara ini bisa mengabdikan diri di MA dengan posisi mulia untuk menentukan nasib orangorang yang berperkara di tingkat kasasi dan PK. Lahir di Palembang pada 11 September 1948, Mukhtar berasal dari keluarga lapis bawah. Ayahnya adalah seorang tukang yang sehari-hari menyusun bata. Ibunya tidak mengenyam bangku sekolah, tapi bisa menulis Arab-Melayu. Dari ibunya-lah, Mukhtar kecil mengenal aksara dan mahir mengaji. Ketika berusia 10-an tahun, saat duduk di kelas IV Madrasah Ibtidaiyah, Mukhtar mulai tidak betah hanya bersekolah. Ingin punya uang sendiri agar bisa meringangkan beban orang tua sekaligus supaya bisa beli buku, Mukhtar berdagang kecil-kecilan. “Pagi-pagi, saya jualan kue. Pukul 7 selesai, langsung mandi dan lari-lari ke sekolah,” ia mengenang. Meski berjualan kue secara asongan, Mukhtar tak mengenal kata “ gengsi atau malu. Ia menjalaninya dengan riang gembira. “Waktu itu, sekampung, saya lah anak yang mengantungi uang. Saya bisa beli buku. Sejak kecil saya memang tergilagila pada buku,” tuturnya. Selain dibelikan buku, sebagian hasil jerih payahnya itu ia sisihkan untuk berlangganan majalah Si Kuncung dan Putera-Puteri. “Dari situ saya mengenal dunia luas. Tahu kemajuan indonesia dan luar negeri. Lalau tertanam cita-cita ingin sekolah lebih tinggi dari MI,” tuturnya. Saat belajar di Madrasah Tsanawiyah, jiwa dagangnya kian tumbuh. Membawa kotak yang diikat dengan tali di bagian pinggang, ia berkeliling ke pasar. Yang dijajakannya adalah rokok dan ia masih ingat betul merk-merk rokok itu. “Saya jual Kansas, Eskor, 555, Wembley, Gentong dan Jambu Pol,” ucapnya. Pas kelas III MTs, ia beralih jadi pedagang mainan anak-anak, lalu ganti lagi jualan jarum, benang, peniti dan pernak-pernik kecil yang biasa dibutuhkan orang kala itu. Pada masa MTs itu, ia menyukai pelajaran agama, bahasa Inggris dan sejarah. Sebaliknya, Ilmu Falak jadi momoknya. “Saya sering meninggalkan kelas ketika pelajaran Falak. Saya ajak teman-teman ke bioskop,” Mukhtar tertawa, mengenang kebandelannya kala itu. Ketika di Madrasah Aliyah, ia berhenti dagang. ”Ada razia saat itu. Jadi, saya sudah merasakan deritanya dikejar-kejar Satpol PP. Bahkan pernah dagangan saya dirampas,” tuturnya. Berhenti jadi pedagang kaki lima, Mukhtar beralih jadi guru MI. Ia hanya sanggup setahun mengajar di situ, karena penghasilannya sangat kecil. Bersama rekannya, ia lantas membuka kios penyewaan buku sekaligus taman bacaan. Ternyata usaha itu lancar. Penghasilannya meningkat. Lulus dari Aliyah, Mukhtar kuliah di IAIN Raden Fatah Palembang. Di kampus itu, ia hanya dua tahun kuliah, padahal untuk mendapatkan titel Sarjana Muda setidaknya memerlukan waktu empat tahun. “Selama dua tahun saya merasa tidak mendapat ilmu. Dosen-dosennya tidak sungguhsungguh dan tidak sistematis. Kadang datang, kadang tidak. Bahkan ada yang datang cuma empat kali setahun. Saya berpikir tidak bisa jadi orang pintar kalau terus begitu,” ujarnya. Mukhtar memutuskan untuk hijrah ke kampus lain. Yang ditujunya IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kebetulan, kondisi keuangan keluarganya sedang naik drastis kala itu. Berawal dari tukang batu, ayahnya berhasil membuka toko dan membangun rumah, sekaligus membiayai kuliah Mukhtar ke Yogyakarta. MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 59 TOKOH KITA “IAIN Jogja adalah lautan ilmu yang indah. Saya mereguk sepuaspuasnya. Buku mau beli ada, mau pinjam ada. Literatur tidak boleh berbahasa Indonesia,” ujarnya. Sewaktu kuliah di Kota Gudeg, ia membagi waktunya untuk berorganiasi, kursus bahasa Inggris dan mengikuti berbagai macam seminar. Tahun 1973, ketika masih berstatus mahasiswa, Mukhtar melepas status lajangnya. Ia menikahi seorang mahasiswi dari kampus yang sama. Pernikahan itu awalnya dilakukan secara diam-diam di rumah mertuanya di Jember, Jawa Timur. Mertuanya adalah seorang kyai yang punya pondok pesantren. “Di Jogja orang-orang nganggap saya masih pacaran. Tapi lama-lama ketahuan kalau kami sudah nikah,” ujarnya, dengan derai tawa. Dua tahun kemudian, Mukhtar menamatkan pendidikan S-1nya. Pulang ke Palembang, bukannya bahagia, ia justru nestapa. “Ayah saya bangkrut. Ketika berangkat ke Jogja, banyak duit. Ketika pulang, toko bangkrut. Saya bingung, apalagi sudah punya anak satu,” ia mengenang. 60 Pada Oktober 1975, ada perekrutan calon hakim agama. Kesempatan itu tidak disia-siakannya. Peluangnya sangat besar, karena saat itu dibutuhkan 50 hakim baru, sedangkan yang ikut tes hanya 46 orang. Berstatus Sarjana Syariah dari kampus masyhur dan menguasai literatur berbahasa Arab dan Inggris, Mukhtar tak kesulitan menjalani tes. Ya, ia lulus. Mukhtar, yang pada awalnya ingin jadi dosen, mulai melakoni peran sebagai CPNS/calon hakim pada Februari 1976. Gaji awalnya Rp2800. Ia ditempatkan di Pengadilan Agama Pangkal Pinang. Nebeng di bagian belakang kantor Wali Kota, kantor PA itu hanya berukuran 6x6 meter persegi. Di situ cuma ada ketua, panitera, pembuat daftar gaji dan penjaga. Pembagian kerja tidak jelas, sampai-sampai selain jadi hakim, Mukhtar juga jadi juru panggil. Sidang juga hanya dilakukan sebulan sekali. “Begitu kerja, saya langsung sidang. Ketua PA Pangkalpinang kyai. Saya golongan III, Pak Ketua golongan II. Ada 6 hakim honorer di sana,” ujarnya. Hakim honorer adalah para ulama lokal yang ke PA hanya ketika MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 sidang. Beberapa tahun di situ, gaji Mukhtar naik jadi Rp20.000. Gaji segitu tak cukup buat hidup seorang keluarga beranak tiga-satu anak lahir di Yogyakarta dan dua lainnya lahir di Pangkalpinang. “Buat makan saja habis Rp30.000. Saya dapat bantuan dari orang tua dan mertua,” kenangnya. Meski begitu, tak ada perasaan minder dan sedih. Mukhtar menjalaninya dengan lapang dada. Ia pun bersyukur, selain jadi hakim, ia mendapat amanah untuk mengajar di Unsri dan kerap diundang untuk mengisi ceramah agama. Di samping dapat berbagi ilmu, aktivitas di luar pengadilan itu dapat menambah relasi dan rejeki. Setelah 4,5 tahun di PA Pangkalpinang, Mukhtar dipindah ke PA Pa l e m b a n g . D i b a n d i n g PA Pangkalpinang, PA Palembang menangani perkara lebih banyak. Sidang dilakukan sepekan sekali. “Kalau di Pangkalpinang, sebulan hanya menyidangkan 7-8 perkara. Di Palembang, 70-80an perkara sebulan,” tuturnya. TOKOH KITA Saat itu, hakim diberi semacam honorarium resmi per perkara. Berkat honorarium itulah, kondisi keuangan keluarga Mukhtar lumayan membaik. Mukhtar jadi hakim di PA Palembang selama 5 tahun. Setelah itu, selama 5 tahun, ia diangkat menjadi Ketua PA Bengkulu. Karena saat itu belum ada PTA Bengkulu, Mukhtar dianggap 'sebangsa' dengan Ketua PTA. Sewaktu di Bengkulu, Mukhtar aktif berceramah dan berkiprah di MUI. Ia bahkan pernah menjadi Ketua Komisi Fatwa, lalu Ketua I merangkap Ketua Umum MUI Bengkulu. Tak semua orang suka dengan kiprah Mukhtar. Ada seseorang yang melaporkannya ke MA. Namun, ketika mengadakan pengawasan yustisial dan memberi pengarahan pada Rakerda, seorang hakim agung yang dilapori itu justru memuji Mukhtar. “Itulah sebagus-bagusnya hakim. Hakim di mata hukum, ulama di mata masyarakat ,” kata Mukhtar, menirukan ucapan hakim agung itu. Dari Bengkulu, Mukhtar balik lagi ke Palembang. Dengan jabatan Ketua PA Palembang, Mukhtar sering dilibatkan dalam pekerjaan strategis. Misalnya, ia diminta menguji calon hakim. “Waktu itu PTA-PTA yang ngetest. Materi tesnya sama dengan jaman saya. Bahkan bahasa Arab-nya lebih 'kejam'. Banyak yang gemetar lihat kitab,” ucapnya. Mukhtar juga kerap diminta mewakili Ketua PTA Palembang saat itu, Drs. H. Syamsuhadi Irsyad, S.H., untuk menghadiri berbagai acara. Karena kecocokan antara keduanya, baru tiga tahun menjabat Ketua PA Palembang, Mukhtar diajukan oleh Syamsuhadi Irsyad menjadi hakim tinggi PTA Palembang. “Tapi saya tidak boleh melepas jabatan Ketua PA. Saya juga tidak boleh sidang di PA,” ujarnya. Alasan Syamsuhadi mengangkatnya jadi hakim tinggi lebih dini, menurut Mukhtar, karena tokoh yang di kemudian hari menjadi Wakil Ketua M A B i d a n g N o n - Yu d i s i a l i t u memerlukan hakim tinggi senior yang akan menggantikannya. “Jadi, saya disetel Pak Syamsu sejak dari dulu,” tuturnya Adapaun alasan Syamsuhadi tetap mempertahankan Mukhtar jadi Ketua PA meskipun sudah diangkat jadi hakim tinggi, selain karena saat itu pola karir hakim belum begitu jelas, juga untuk menepis dugaan bahwa Mukhtar sedang kena demosi. Waktu itu, gaji hakim tinggi lebih kecil dari pada Ketua PA. Diangkat jadi hakim tinggi sering dianggap terkena hukuman. Setelah dua tahun menjalani rangkap peran, Mukhtar akhirnya benar-benar jadi hakim tinggi. Gajinya pun berkurang, sementara anakanaknya sudah beranjak besar. “Sudah jadi Ketua PA dua kali, saya belum punya rumah. Rumah dinas juga tidak ada. Uang hanya cukup untuk makan dan nyekolahin anak,” ujarnya. Karena perkara di tingkat banding sedikit, Mukhtar dapat memanfaatkan waktu luangnya untuk aktivitas-aktivitas lain. Ia memutuskan kembali ke habitat lama, sebagai dosen dan dai. Bahkan, pada tahun pertama dan kedua sebagai hakim tinggi, ia mengaku kewalahan menerima undangan untuk berceramah. Saat itu orang-orang lebih mengenalnya sebagai seorang dai atau kyai, ketimbang sebagai seorang hakim. ”Orang-orang datang ke PTA mencari saya untuk khutbah. Dari masjid terkecil sampai yang lumayan. Supaya niat kita terjaga, siapapun yang mengundang, walaupun miskin, kita harus jalan, dijemput atau tidak,” tandasnya. Setelah tujuh tahun jadi hakim tinggi PTA Palembang, berturut-turut Mukhtar dipromosikan menjadi Wakil Ke t u a P TA J a m b i , Ke t u a P TA Palembang dan Ketua PTA Pekanbaru. Setelah itu, ia mendaftar ke KY untuk mengikuti seleksi calon hakim agung pada tahun 2006. Kala itu belum ada sistem kamar. Seorang hakim agung harus menguasai segala bidang hukum. Bukan saja perdata agama, namun juga perdata umum, perdata khusus, pidana umum, pidana khusus, tata usaha negara, bahkan militer. Itu jadi tantangan tersendiri buat Mukhtar. Siang-malam ia membaca buku-buku hukum, berdiskusi dan mengikuti perkembangan kasuskasus hukum terkini di media massa. Semua data dan informasi itu lantas diringkasnya. “Contohnya hukum asuransi. Waktu itu ada kasus Manulife. Saya bikin ringkasan. Masalah korupsi, saya baca data, ternyata sudah ada komisi semacam KPK sejak 1940-an,” ungkapnya. Mukhtar bersyukur, semua yang dipelajarinya itu keluar saat tes calon hakim agung. Ia juga bersyukur, rekam jejaknya dinilai baik. Bahkan sejumlah tokoh masyarakat, perguruan tinggi dan organisasi keagamaan merekomendasikannya untuk jadi hakim agung. Ia pun hampir tidak menemui kendala yang berarti ketika mengikuti seleksi, hingga akhirnya berhasil melakoni fit and proper test di KY dan di DPR, lalu dilantik menjadi hakim agung pada Agustus 2007. “Ketika seleksi di KY, saya dapat ranking satu. Di DPR, saya ranking tiga,” ungkapnya. Meski telah melalui episode hidup yang berliku-liku, dari pedagang asongan di pinggir jalan hingga kemudian jadi hakim agung yang mulia, Mukhtar tak mau jumawa. “Kita jangan lupa kehendak Tuhan,” kata Mukhtar, “Saya punya prinsip, kita bisa sukses bukan semata-mata karena kita pintar. Ada ridho Tuhan. Kita jangan sombong.” |Hermansyah, Mahrus AR, Hirpan Hilmi, Hermanto| MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 61 TOKOH KITA Dari Eskatologi Bibel, Pornografi hingga Hak Waris Perempuan Membentangnya cakrawala keilmuan Mukhtar Zamzami tampak dari variatifnya karya ilmiah yang dihasilkannya semasa kuliah. Ketika kuliah S-1 di IAIN Yogyakarta, ia menulis skripsi berjudul “Eskatologi Bibel dan konsepsi alQuran”. Untuk mahasiswa Jurusan Tafsir pada Fakultas Syariah, sekilas judul skripsi itu kurang relevan. Tak mengherankan, ketua jurusannya kala itu, Ismail Thayib, pada mulanya menolak proposal skripsi yang diajukannya. “Saya bilang kepadanya, saya menggunakan Ulumul Quran dan Ilmu Tafsir. Lalu disetujui,” tuturnya. Usut punya usut, ternyata Mukhtar tertarik mempelajari konsep Bibel mengenai kehidupan setelah mati atau akherat karena sering berdiskusi dengan istrinya yang berstatus mahasiswi jurusan Perbandingan Agama pada Fakultas Ushuluddin di kampus yang sama. Ketika kuliah S-2 di Universitas Jayabaya, kajiannya beralih ke pidana. Ia menulis tesis berjudul “Masalah Pornografi dalam Hukum Pidana Indonesia”. “Pak Manan, Ketua PTA Medan, yang menyarankan saya. Kita punya kewenangan di bidang pidana, tapi kita belum punya ahli,” ungkapnya. Pak Manan yang ia maksud adalah Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.Ip., M.Hum yang kini jadi Ketua Kamar Agama MA. Fokus kajiannya bergeser lagi ketika membuat karya akhir saat kuliah S-3 di Universitas Padjadjaran 62 MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 Bandung. Ia menulis disertasi berjudul “Kajian Hukum terhadap Kedudukan dan Hak Perempuan dalam Sistem Hukum Kewarisan Indonesia Dikaitkan dengan Asas Keadilan dalam Rangka Menuju Pembangunan Hukum Kewarisan Islam”. Fokus kajiannya itu selaras dengan aktivitas dan perhatiannya selaku hakim agung yang sering mengadili perkara-perkara kewarisan Islam. Ia mendapati kenyataan, cukup banyak putusan peradilan agama yang memberikan harta warisan sama besar kepada laki-laki dan perempuan, seiring dengan fenomena berimbangnya peran dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Mengenai buku, Mukhtar mengaku sangat terpengaruh oleh buku “Kapita Selekta M Nasir”. Itu buku dari tokoh Masyumi yang dilarang beredar oleh pemerintah Orde Baru. “Kalau tidak punya buku ini, katanya tidak akan bisa jadi orang pintar,” Mukhtar berseloroh. Tiap kali membaca buku itu, pikiran Mukhtar serasa melayang-layang. Di sana ada paparan tentang pembaruan Islam, kelebihan-kelebihan Islam, penggunaan akal dan pikiran, hingga debat M Nasir vs Soekarno. Buku lain yang sangat mewarnai hidupnya adalah “Jejak Langkah Haji Agus Salim”. Buku terbitan Belanda itu mulai dibacanya saat berada di Madrasah Aliyah. “Saya tergila-gila. Benar-benar lain karena tidak diajarkan di sekolah,” tutur pembeli lebih dari 2000 buku itu. Lantas, siapa tokoh-tokoh yang pemikiran dan kiprahnya sangat dikagumi oleh Mukhtar Zamzami? Ada dua nama yang sangat melekat di benaknya. Pertama adalah Muhammad Abduh. “Walaupun kitab tafsirnya tidak selesai, butiran-butiran pendapatnya siap tumbuh, berakar dan berbuah. Disertasi saya dikuatkan oleh pendapat-pendapat Abduh,” ujarnya. Tokoh kedua yang dikaguminya adalah Muhammad Syahrur. “Di kampus-kampus Eropa terkenal, dia dianggap Emmanuel Kant-nya orang Arab dan Martin Luthernya orang Islam,“ tuturnya. Namun, kekaguman Mukhtar tidak terbatas pada dua intelektual muslim terkemuka itu. Ia berkata, “Saya juga mengagumi orang-orang Islam, terutama ulama, yang berpikiran terbuka, siap mendengar, siap membahas, dan tidak cepat memutuskan vonis sesat atau kafir.” |hermansyah| INSPIRASI Prof. Dr. H. M. Atho Mudhzar, MSPD Guru Besar Sosiologi Hukum Islam dan Pakar Islamic Family Law H.M. Atho Mudhzar merupakan ahli sosiologi hukum Islam yang sudah tidak asing lagi di lingkungan peradilan agama. Profesor yang pernah menjadi sekretaris Menteri Agama Munawir Sjadzali (1983-1986, 1990-1991) adalah salah satu aktor yang ikut membidani hukum keluarga muslim di Indonesia. Perhatiannya terhadap peradilan agama saat ini juga dilatarbelakangi oleh sejarah birokrasinya yang pernah menjabat sebagai Plh. Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama selama 2 (dua) bulan karena Direktur waktu itu Drs. H. Zainal Abidin Abu Bakar, SH., sedang melaksanakan ibadah haji. MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 63 INSPIRASI H.M. Atho Mudzhar, lahir di Serang pada tanggal 20 Oktober 1948. Suami dari Dra. Hj. Ani Musahadah ini cita-citanya cukup sederhana. Ia ingin menjadi dosen yang baik. Tetapi pada tanggal 19 September 1999 sejarah telah mencatatnya sebagai salah satu guru besar di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Karirnya di perguruan tinggi telah menempatkannya sebagai Rektor UIN Sunan Kalijaga periode tahun 1996-2001 dan pernah menjadi Pgs Rektor IAIN Padang pada tahun 2006. Jabatan terakhir yang dudukinya di Kementerian Agama adalah sebagai Kepala Badan Litbang dan Diklat sejak tahun 2002-2012. Kegiatan kesehariannya saat ini mengabdi di UIN Syarif Hidayatullah J a ka r t a ya n g j u ga m e r u p a ka n almamaternya dalam perolehan gelar sarjana muda di tahun 1971 dan sarjana S-1 di tahun 1975. Integritas dan profesionalitas selalu mengiringi kehidupannya baik dalam dunia akademik maupun pengabdiannya di masyarakat. Guru besar yang memperoleh gelar doktor di tahun 1991 ini masih tetap disibukkan dengan mengisi diskusi, konferensi nasional ataupun internasional khususnya yang berubungan dengan hukum Islam. Di sela-sela kesibukannya yang cukup padat, ia masih meluangkan waktu memberikan bimbingan kepada para mahasiswa, bahkan tidak segansegan pakar sosiologi hukum Islam ini memberikan bimbingan kepada mahasiswa di rumahnya sendiri. Sebagai pemerhati Islamic family law, M. Atho Mudzhar mempunyai perhatian khusus terhadap lembaga peradilan agama. Ia cukup bangga dengan eksistensi peradilan agama saat ini, terlebih lagi jika melihat fasilitas dan kemajuan lembaga yang tidak jauh berbeda dengan lembaga peradilan lain di lingkungan Mahkamah Agung RI. Sebagai salah satu pelaku sejarah hukum Islam di Indonesia, ia tidak membayangkan jika Peradilan Agama menjadi bagian dari sistem peradilan yang disebutkan dalam konstitusi (Pasal 24 ayat (2) UUD 1945)]. Perhatiannya terhadap Peradilan 64 Agama, diperlihatkan lewat sikapnya kepada hakim-hakim. Ia tetap menginginkan hakim di Peradilan Agama bertindak sebagai juru damai sebelum ia bertindak sebagai hakim, artinya hakim harus memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada para pihak agar sengketa yang dihadapinya diselesaikan secara damai. Mudzhar menyadari bahwa perkembangan hukum keluarga saat ini terutama hukum perkawinan masih menyisakan perdebatan yang perlu mendapat sentuhan pembaruan. Hal terpenting dari isu hukum keluarga di Indonesia saat ini, menurut Mudzhar berkenaan dengan sanksi ketidakpatuhan terhadap hukum. Pengaturan izin poligami saat ini seperti aturan yang ompong, karena tidak tegasnya sanksi bagi p i h a k ya n g m e l a n g ga r a t u ra n poligami, demikian pula tidak ada sanksi bagi pernikahan yang tidak dicatatkan, terlebih lagi saat ini masih terjadi perceraian yang hanya dilakukan lewat SMS atau BBM. Isu penting lainnya yang harus mendapatkan perhatian adalah berkenaan dengan harmonisasi batas usia dewasa. Saat ini ditemukan perbedaan batas usia dewasa dalam berbagai peraturan perundangundangan. Dalam hukum perkawinan ditemukan usia dewasa pernikahan 16 tahun perempuan dan 21 tahun lakilaki, usia dewasa dalam perwalian 18 MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 tahun, sementara itu untuk dapat memperoleh SIM, seseorang harus berumur minimal 17 tahun. Setelah acara diskusi di gedung Sekreteriat MARI tanggal 4 Agustus 2015 dengan tema Pembaruan Hukum Keluarga di Peradilan Agama, Tim Redaktur berhasil mewawancarainya. Berikut ringkasan wawancaranya: Berkenaan dengan perkembangan hukum keluarga di Indonesia, materi apa yang perlu mendapatkan perhatian saat ini? Tergantung dari mana kita melihatnya, Teman-teman yang menginginkan perombakan besarbesaran, banyak yang harus diperbarui, tetapi yang menganggap hal itu sudah relatif memadai, tidak banyak yang harus diperbarui. Pertama mengenai batas usia minimum untuk menikah perlu ada sinkronisasi dengan undang-undang lain yang mengatur mengenai kedewasaan. Implikasinya memang luas, istilah belum berumur 18 tahun atau sudah kawin, tidak perlu ada lagi. Sebaiknya satu kalimah saja, saya sendiri lebih setuju 19 tahun. Menteri Kesehatan malah meminta usia dewasa 21 tahun, Imam Hanafi sendiri menyatakan usia dewasa 22 tahun, yakni dewasa secara mental atau kematangan. INSPIRASI Yang sangat mengoncangkan dalam masyarakat saat ini adalah masalah pencatatan perkawinan harus diatur dan diberi sanksi dll. Demikian juga dengan poligami, saat ini aturan poligami adalah aturan ompong. Menurut saya harus diperkenalkan sejumlah diktum yang memberikan sanksi, diatur pula mengenai hal yang terkait dengan hukum formal. Yang paling mendesak adalah pemberian sanksi (terhadap pelanggaran hukum keluarga). Hal ini sangat mendesak sekali adalah pemberian sanksi, supaya orang tidak berbuat seenaknya, siapa berbuat dia bertanggung jawab. Saat ini masih ada laki-laki yang menceraikan istrinya lewat sms, bbm meskipun hal tersebut dalam fikih dibolehkan bahkan dengan cara bermain (senda gurau), talak dapat saja terjadi. Peranan apa yang dapat dilakukan oleh hakim di lingkungan peradilan a ga m a b e rke n a a n d e n ga n pembaruan hukum keluarga? Hakim adalah juru damai juga, sebelum ia menjadi juru putus ia bertindak sebagai juru damai. Kalau ia gagal mendamaikan baru melanjutkan pemeriksaan perkara. Sebgai juru damai perlu dilengkapi kemampuan dan kiat-kiat untuk melakukan perdamaian sebagai rekonsiliator. Pada saat ini BP-4 tidak ada kaitannya dengan peradilan agama, sehingga hakim mempunyai peran rekonsiliasi yang luar biasa terhadap semua jenis perkara gugatan. Bapak sebagai ahli hukum dari luar lembaga peradilan, bagaimana Bapak melihat keberadaan peradilan agama saat ini, bagaimana ketika peradilan agama ketika masih di bawah Kementrian Agama dan saat ini setelah dibawah Mahkamah Agung ? Saya pernah menjabat Direktur Peradilan Agama menggantikan Bapak Zainal Abidin selama 2 bulan sewaktu beliau naik haji. Secara umum peradilan agama mendapat kemajuan baik dalam manajemen maupun otoritas yang dimilikinya, seperti dalam perkara kewarisan pernah terjadi tarik menarik antara kewenangan peradilan agama dan kewenangan peradilan lain, hal itu tidak lain juga karena proses politik. Secara umum peradilan agama mempunyai kemajuan terlebih lagi jika dilihat dari jumlah kantor saat ini. Tantangan yang berat ke depan adalah bagaimana hakim juga menjadi seorang mujtahid, hal lil hakim mujtahid, bagaimana seorang hakim dapat menjadi penemu hukum mujtahid, alatnya saat ini sudah banyak. Hal ini menjadi tantangan yang berat, karena kita menganut civil law system. Dalam sistem ini orang baru lulus sarjana hukum dapat menjadi hakim, sedangkan dalam common law system hal itu tidak terjadi, karena seorang hakim terlebih dahulu harus menjadi pengacara bertahun-tahun lamanya, baru ia dapat menjadi hakim. Oleh karenanya ada kebijakan hakim magang, tidak lain melatih agar ia bertindak adil dan menguntungkan kemanusiaan. Saya pernah membaca (sebuah tulisan), Bagaimana pandangan hakim tentang posisi saksi perempuan? Menurut saya hal tersebut itu luar biasa, dari tidak mengakui saksi perempuan, menuju mengakui perempuan separuh laki-laki, menuju saksi perempuan saja, menuju kesaksian menafikan saksi laki-laki sama sekali. Hal ini berarti, ada peningkatan kesadaran tertentu di kalangan hakim, terutama mengenai hak-hak wanita. Umumnya hukum keluarga dikritik mengenai hak wanita, dan di sinilah tertinggalnya negara-negara muslim. Saya menganggap kesadaran gender, semua dokumen tentang wanita yang dikeluarkan oleh PBB, covenant international, CEDAW perlu menjadi kajian hakim saat ini. Secara umum, peradilan agama mendapat kemajuan setelah bergabung dengan Mahkamah Agung dan menjadi keuntungan bagi hakim agama karena dengan bergabungnya tersebut menjadi tegak sama tinggi bersama peradilan lain, di mana sebelumnya tidak pernah terjadi. Dahulu dalam UU Nomor 1 Tahun 1974, putusan PA harus disetujui (dikukuhkan) oleh peradilan umum, baru kemudian berubah sejak lahirnya undang-undang peradilan agama. Dan sekarang peradilan agama disebut dalam UUD Pasal 24, saya sendiri tidak membayangkan kalau PA akan disebutkan dalam UUD. Bagaimana pandangan Bapak mengenai pandangan sebagian kalangan yang menyatakan bahwa PA mulai tercabut dari akarnya, terutama berkaitan dengan masyarakat Islam dan para ulama bahkan dikatakan sekuler setelahnya bergabung dengan Mahkamah Agung? S aya tidak m e m p u nya i pandangan seperti itu. Hakim Agama ada syaratnya, yakni harus sarjana hukum Islam atau sarjana hukum yang mengerti hukum Islam. Artinya, pada lembaga mana saja peradilan itu berada yang terpenting syarat untuk menjadi hakimnya sama. Saya sendiri masih melihat adanya hubungan baik antara hakim agama dengan masyarakat muslim, saya masih melihat ada hakim yang masih berkhutbah. Kalaupun dianggap jauh dari masyarakat, saya melihat karena kesibukan hakim dengan profesionalisme kerjanya. |Sugiri Permana, Achmad Cholil| MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 65 PROGRAM PRIORITAS MENGINTIP PROGRAM PRIORITAS REFORMASI BIROKRASI DI LINGKUNGAN PERADILAN AGAMA Sumber foto : www.google.com K ebijakan Peraturan MENPAN Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Manajemen Perubahan yang berisi tentang teori-teori dan tata cara mencapai perubahan yang diinginkan, menandai dimulainya reformasi birokrasi gelombang kedua. Visi PerMenpan tersebut, menuju 66 birokrasi pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi, yang mampu menyelenggarakan pelayanan prima dan manajemen pemerintahan yang demokratis dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik pada tahun 2025. M e ny i k a p i d a n m e n j awa b kebijakan pemerintah, Mahkamah Agung telah mengeluarkan dua MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 Kebijakan agenda pembaruan yaitu fungsi teknis dan manajemen perkara sesuai dengan cetak biru pembaruan peradilan 2010-2035. Tahun 2015 ini memasuki tahun ke lima dalam road map pencapaian cetak biru pembaruan tersebut. Pembaruan fungsi teknis, masih berkonsentrasi pada agenda penguatan sistem kamar secara konsisten. Fokusnya tertuju pada terwujudnya kesatuan hukum dan percepatan penyelesaian perkara. Agenda pembaruan manajemen perkara masih diarahkan pada modernisasi manajemen perkara, penataan ulang proses manajemen perkara dan penataan ulang organisasi manajemen perkara. Dalam kaitan pembinaan kepada peradilan agama kebijakan-kebijakan Mahkamah Agung ini, terus ditindak lanjuti oleh para Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama mulai Drs. H. Wahyu Widiana, M.A., Dr. H. Purwosusilo, S.H., M.H., dan saat ini oleh Bapak Drs. H. Abdul Manaf, M.H. berjalan sambung menyambung dengan gaya kepemimpinan yang berbeda, namun visi misinya tetap sama. Zaman Pak Wahyu fenomena yang nampak adalah jargon penggunaan IT sebagai tool untuk penyelesaian perkara - perkara dan web site sebagai alat komunikasi jajaran peradilan agama. Hal ini dapat dilihat dengan 8 program prioritasnya yaitu : Program Prioritas Pembaruan di lingkungan peradilan agama ialah: (1) “Justice for All” yang terdiri dari Perkara Prodeo, Sidang Keliling dan Pos Bantuan Hukum (Posbakum); (2) Penyelesaian Perkara yang tepat waktu; (3) Pelayanan Publik yang prima; (4) Manajemen SDM yang terencana dan PROGRAM PRIORITAS terlaksana dengan baik; (5) Pengelolaan Website demi keterbukaan informasi publik; (6) Meja Informasi untuk memberikan pelayanan informasi di gedung pengadilan; (7) Implementasi SIADPA Plus sebagai automasi Pola Bindalmin; dan (8) Pengawasan. Program ini diteruskan oleh Dirjen kedua Bapak Purwosusilo dengan mendorong para hakim untuk mendalami profesinya dengan peningkatan kompetensi hakim dalam hukum acara dan hukum ekonomi syari'ah. Selanjutnya melihat perubahanperubahan kondisi adanya pelemahan disiplin kerja, etos kerja yang didasari keikhlasan dan adanya beberapa pengadilan agama yang kurang cermat dalam pembukuan keuangan perkara, sebagaimana hasil temuan BPK bahwa pada tahun 2014 ditengarai ada 11 Pengadilan agama yang pengelolaan keuangan perkaranya belum tertib, maka digalakanlah “program pengawasan” sejalan dengan KMA 076/KMA/SK/Vl/2009 Tentang Pedoman Pelaksanaan Penanganan Pengaduan di Lingkungan Lembaga Peradilan dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil Dirjen Badan Peradilan Agama melalui e-mail tanggal 20 April 2015 ke Kabag Ortala, menetapkan 6 Program Prioritas mendesak di Tahun 2015 yang harus dijalankan. Program mendesak yang harus disampaikan kepada jajaran peradilan agama tahun 2015: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat; Peningkatan kualitas p e n g e l o l a a n B a ra n g M i l i k Negara; Penertiban pembukuan dan pengelolaan biaya perkara dan biaya proses; Peningkatan kualitas pemahaman hukum acara dan hukum materil PA; Peningkatan pemahaman KMA 076/KMA/SK/Vl/2009 dan PP Nomor 53/2010; Peningkatan kualitas pengelolaan administrasi perkara dan administrasi persidangan. Program-program prioritas Ditjen Badan Peradilan Agama ini seiring dengan tuntutan-tuntutan p e rke m b a n ga n jaman dan berlandaskan kepada kebijakan Mahkamah Agung dalam pelaksanaan reformasi birokrasi peradilan. Dengan bermoto “ almuhaafadhoh 'alal qodiim as-sholih wal al-akhdzu bil jadiidil alashlah” memelihara yang lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih maslahat” Untuk melestarikan programprogram tersebut, melalui PERMA Nomor 1 Tahun 2014 yang mengatur pemberian layanan hukum bagi masyarakat tidak mampu di pengadilan dengan program “Justice for All” (1) Pembebasan Biaya Perkara; (2) Sidang di Luar Gedung Pengadilan dan; (3) Posyankum Pengadilan, tetap dilestarikan dan ditingkatkan Hal ini terbukti bahwa pada tahun 2014, Pembebasan Biaya Perkara (perkara prodeo) diperuntukkan bagi 359 pengadilan tingkat pertama berhasil menyelesaikan 11.513 perkara, (tahun 2013 = 10.252 perkara). Posyankum, dilaksanakan pada 74 satuan kerja pengadilan tingkat pertama berhasil melayani 82.145 orang (tahun 2012 = 69 satker, dengan layanan 55.85 orang), sedangkan Sidang di Luar Gedung Pengadilan (Sidang Keliling) untuk 310 satuan kerja pengadilan tingkat pertama seluruh Indonesia dilaksanakan di 523 lokasi dengan total penyelesaian perkara sebanyak 30.857 perkara, (tahun 2013=433 lokasi, peneyelesaian perkara 19.383 perkara), bahkan untuk jangkauan luar negeri dilaksanakan di di Tawau Malaysia, disidangkan 322 perkara itsbat nikah dengan rincian 284 perkara dikabulkan, 37 perkara digugurkan, dan 1 perkara dicabut. MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 67 PROGRAM PRIORITAS Untuk inisiasi dan inovasi baru program “Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat” digalakan itsbat nikah terpadu secara nasional, Penerapan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008, dan Portal Tabayyun Online . Itsbat nikah terpadu diatur oleh SEMA Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Pelayanan dan Pemeriksaan Perkara Voluntair/Itsbat Nikah dalam Pelayanan Terpadu. Dikatakan te r p a d u ka re n a m e l i b a t ka n Pengadilan Agama, Disdukcapil dan Departemen Agama dalam rangka mengentaskan dan menanggulangi masalah identitas pribadi dan identitas kependudukan sesuai amanat UU Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Manajemen Mutu ISO 9001:2008, berdasarkan atas keputusan KMA Nomor 02/KMA/SK/II/2012 tentang Standar Pelayanan Peradilan. Tahun ini direncanakan untuk 11 lingkungan Pengadilan Tinggi Agama, meliputi wilayah PTA Jakarta, Makasar, Palembang, Medan, Semarang, Surabaya, Jogyakarta, Bandung, M a t a ra m , Pe ka n b a r u d a n P TA Banjarmasin. Sedangkan Portal Tabayyun Online merupakan salah satu inovasi yang dikembangkan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam hal mempercepat pemanggilan para pihak. Portal ini dibuat atas dasar Surat Keputusan Dirjen Badan Peradilan Agama Nomor 2273.a/DjA/KP.01.1/SK/VIII/2014 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan dan Pemanfaatan Portal Tabayyun di Lingkungan Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI dan SK Dirjen Badan Peradilan Agama Nomor 2273.a/DjA/KP.01.1/SK/VIII/2014 Tentang Tutorial Portal Tabayyun Online. Data-data pelaksanaan itsbat nikah terpadu menyatakan telah terlayani pembuatan Akta Nikah, Akta Kelahiran secara cepat yang ¹ Sumber: https:// www.badilag.net / berita 68 diperlukaan sebagai identitas kependudukan. Hal ini dapat kita lihat jumlah pasangan yang mendaftar 49 pasutri 'Kawin lagi' dalam Itsbat nikah massal PA Rantau. Tim Sidang Keliling PA Masohi menerima dan memutus 8 perkara perkawinan, Sidang terpadu PA Tanjung Balai beserta KUA dan Dukcapil setempat sebanyak 29 pasangan suami-istri langsung mendapatkan buku nikah hari itu juga. Di PA Masohi 60 pasang masyarakat, di PA Pelaihari, Pemkab. Tanah Laut dan Kantor Kemenag Kab. Tanah Laut dengan 36 salinan penetapan itsbat nikah, 36 paket buku nikah dan 64 akta kelahiran. Dan masih banyak lagi sidang isbat nikah terpadu lainnya¹ . Dalam hal modernisasi manajemen perkara, Mahkamah Agung telah mengeluarkan percepatan penyelesaian perkara di tingkat peradilan agama dari semula 6 bulan menjadi 5 bulan, sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jangka Waktu Penyelesaian Perkara pada Pengadilan Tingkat Banding dan Pengadilan Tingkat Pertama, sedangkan modernisasi tool atau piranti percepatannya dengan meredesain SIADPA Plus (Sistem Informasi Administrasi Perkara Peradilan Agama +), dan Portal Info Perkara (Pelaporan Perkara Online). Aplikasi SIADPA Plus sebagai otomasi pola bindalmin yang dirancang ² http://www.bappenas.go.id/index.php/ download_file/view/11229/3770/ MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 sedemikian rupa secara elektronik untuk memberikan kemudahan dan percepatan dalam proses administrasi perkara. Aplikasi SIADPA sebagai solusi data dapat dilihat dari Aplikasi Sistem Keuangan Perkara (SIADPA KIPA), Aplikasi Sistem Register Perkara (SIADPA REGISTER), Aplikasi Sistem Laporan Perkara (SIADPA LIPA), Aplikasi Akta Cerai (SIADPA AKTA CERAI), Aplikasi Jadwal Sidang (SIADPA JADWAL SIDANG). Yang terakhir di kembangkan lagi SIADPTA dan Portal Info Perkara (Pelaporan Perkara Online) untuk mempercepat laporan perkara dari daerah. Hal ini berlandaskan pada instruksi Ketua Muda Urusan Peradilan Agama Nomor 12/TUADA-AG/IX/2007 tertanggal 27 September 2007. tentang pemanfaatan Aplikasi SIADPA sebagai pendamping Pola Bindalmin pada peradilan agama di seluruh Indonesia. Program-program tersebut sejalan dengan perencanaan Bappenas dalam Matriks Target Kinerja dan Alokasi Pendanaan Pembangunan Bidang Hukum dan Aparatur². Apabila kita mengintip lebih jauh program-program fokus prioritas Badilag sebagaimana dalam Pembangunan Bidang Hukum dan Aparatur, maka program ini senafas dengan 7 prioritas-prioritas bidang di Bappenas . Salah satunya program P e n y e l e n g g a r a a n Ta t a K e l o l a Pemerintahan yang Baik. Semua itu, juga menjadi program prioritas Badan Peradilan Agama, ditambah dengan pengawasan yang dilakukan secara kontinyu, baik masalah pengelolaan Barang Milik Negara, penertiban pembukuan dan pengelolaan biaya perkara dan biaya proses yang diaudit BPK, maupun pelaksanaan KMA 076/KMA/SK/Vl/2009 Tentang Pedoman Pelaksanaan Penanganan Pengaduan di Lingkungan Lembaga Peradilan dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. |Abu Tholhah| POSTUR Foto: www.pa-purworejo.go.id Mengurai Benang Kusut Mutasi Hakim Di tengah pelbagai persoalan yang masih terus membelit, roda mutasi-promosi hakim di lingkungan peradilan agama harus tetapberputar. Badilag punya jurus khusus. H ujan keluhan terjadi di ruang sidang utama sebuah pengadilan agama di Jawa Barat, pertengahan September lalu, ketika Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Drs. H. Abdul Manaf, M.H. mempersilakan aparatur di sana mengajukan pertanyaan dan menumpahkan uneg-unegnya, selepas Dirjen memberi pengarahan dan mengadakan inspeksi dadakan. “Mutasi katanya untuk kebaikan para hakim,” seorang hakim menggerutu sambil berdiri, “tapi kenapa malah banyak hakim yang sengsara karena mutasi?” Hakim lainnya berupaya jadi penyambung lidah kawannya yang merasa dilempar dari pengadilan di satu pulau ke pengadilan di pulau lain tanpa peningkatan karir. Hal demikian tidak pernah terjadi sebelumnya. Ada pula hakim yang mengeluhkan pangkatnya yang mentok, lantaran pangkat pimpinannya tidak lebih tinggi dari pangkatnya. Juga masih ada yang ingin didekatkan dengan keluarga, karena anak-anaknya masih kecil dan butuh perhatian lebih. Ada pula yang pengen balik kampung, karena di tempat tugas sekarang kerap sakit-sakitan. Bukan cuma itu. Ada lagi yang mengeluhkan minimnya rumah dinas hakim peradilan agama dibandingkan dengan rumah dinas hakim peradilan lain. “Kalau fasilitasnya tidak sama, kenapa pola mutasi harus dibuat sama?” serunya. Dirjen Badilag Abdul Manaf, yang mengawali karir hakimnya dari wilayah pelosok timur nusantara, menyimak semua itu dengan seksama. Sekalipun pertanyaan-pertanyaan dengan susbtansi dan nada yang sama kerap didengarnya, tak ayal, hujan keluhan itu mengharuskannya memberi jawaban yang tidak terkesan sekadar 'cari aman'. MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 69 POSTUR Ditegaskannya, secara umum, jumlah SDM kita kurang. Jumlah hakim tidak sebanding dengan beban kerjanya. Sebagaimana lingkungan peradilan lainnya, peradilan agama belum memperoleh tambahan hakim, karena sudah lima tahun ini tidak ada perekrutan calon hakim. Saat ini, lingkungan peradilan agama terdiri atas 29 pengadilan tinggi agama/mahkamah syar'iyah Aceh (PTA) dan 359 pengadilan agama/mahkamah syar'iyah (PA). Jika dirinci, 359 PA itu terdiri atas 13 PA Kelas IA Tertentu, 43 PA Kelas IA, 100 PA Kelas IB dan 203 PA Kelas II. Secara keseluruhan, saat ini di peradilan agama terdapat 3067 hakim. Sebanyak 518 orang merupakan hakim tinggi. Selebihnya adalah hakim tingkat pertama. Jika dirinci, 227 orang merupakan hakim PA Kelas IA Tertentu, 595 hakim PA Kelas IA,862 hakim PA Kelas IB, dan 1048 hakim PA Kelas II. “Karena kurangnya hakim, ada PA yang hakimnya cuma tiga, yaitu ketua, wakil ketua dan hakim biasa,” kata Abdul Manaf. Sarana dan prasarana pendukung kerja hakim peradilan agama belum sepenuhnya memadai. Ambil contoh rumah dinas. Pembangunan fisik di lingkungan peradilan agama sejak era satu atap difokuskan pada gedung pengadilan, sehingga pembangunan rumah dinas hampir tidak pernah ada. Ini bisa dimaklumi, karena rata-rata gedung pengadilan di lingkungan peradilan agama sebelum era satu atap berukuran mungil dan berada di 'gang tikus'. Karena itu, di tengah anggaran MA yang terbatas, wajar jika pembangunan gedung pengadilan yang dijadikan sebagai pusat pelayanan publik sekaligus tempat menegakkan keadilan lebih diprioritaskan. Anggaran untuk mengadakan promosi-mutasi secara berkala juga masih belum sesuai harapan. sejak beberapa tahun terakhir, Ditjen Badilag mengalami 'defisit'. Selalu besar pasak dari pada tiang, lantaran biaya yang harus dikeluarkan lebih besar ketimbang anggaran yang 70 tersedia. Persoalan itu bermula beberapa tahun lalu, ketika standar biaya mutasi ditingkatkan, sementara alokasi anggaran tidak bertambah. Dampaknya, hakim yang dimutasi tahun 2013, misalnya, baru memperoleh biaya mutasi tahun 2014. Efek dominonya, hakim yang dimutasi tahun 2014 baru memperoleh biaya mutasi tahun 2015. Begitu seterusnya. Mata rantai persoalan biaya mutasi itu, menurut Dirjen Badilag, baru bisa diputus tahun depan. Di sisi lain, tidak ada diskrimanasi maupun afirmasi dalam hal pola mutasi dan promosi. Semua aparatur dari empat lingkungan peradilan harus tunduk pada ketentuan pola mutasi yang ditetapkan Ketua Mahkamah Agung. Itu adalah konsekwensi tak terelakkan dari penyatuatapan empat lingkungan peradilan di bawah MA yang telah berlangsung satu dasawarsa. Secara berkala, para hakim harus menjalani perpindahan tempat tugas yang kemungkinannya dari Sabang hingga Merauke, sesuai lanskap nengeri kita. Pedoman pola mutasi dan promosi hakim peradilan agama sudah mengaturnya, mulai dari persyaratan dan pelaksanaan mutasi, hingga hak-hak yang diperoleh pelaku mutasi. Ditjen Badilag tidak mau menunggu tiga persoalan krusial itu dibereskan terlebih dahulu untuk memutar roda mutasi hakim di lingkungan peradilan agama. Bagaimanapun juga, pemutasian dan pemromosian hakim harus tetap jalan, walau tidak dapat dilakukan secara kolosal. Badilag punya cara khusus untuk mengurai benang kusut itu. Badilag membuat prioritas. “Yang kami prioritaskan ada tiga,” kata Abdul Manaf. Yang pertama adalah para hakim angkatan tahun 2010 yang sejak penempatannya kali pertama hingga sekarang belum pernah menjalani mutasi. Badilag tidak ingin mereka terbenam di PA Kelas II. Mereka perlu rotasi untuk penyegaran dan peningkatan pengalaman. MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 Yang kedua adalah para hakim yang sakit dan kesulitan mendapatkan d o k te r ya n g d a p a t m e n g o b a t i penyakitnya di tempatnya mengabdi sekarang. Badilag telah memiliki data siapa saja mereka. Dan yang ketiga adalah para hakim yang pangkatnya mentok, karena tidak mungkin mereka menyalip pangkat atasannya atau tidak mungkin naik pangkat lantaran bertugas di PA kelas bawah. Supaya kebijakan soal prioritas promosi-mutasi itu dapat terlaksana dengan baik dan tidak dikacaukan oleh pihak internal dan eksternal, Badilag punya jurus antisipatif. “Kami akan libatkan Bawas,” kata Abdul Manaf. Mantan Inspektur Wilayah pada Badan Pengawasan MA itu mengatakan, Badilag selaku penyuplai data untuk Tim Promosi-Mutasi (TPM) yang dipimpin Ketua MA tidak akan main mata dengan para hakim yang hendak potong kompas. Semua harus sejalan dengan pedoman pola mutasi-promosi, kecuali jika ada halhal tertentu yang sifatnya eksepsional yang dimungkinkan oleh pedoman yang telah berlaku dua tahun itu. Tidak hanya itu. Badilag ingin menutup rapat-rapat pintu lobi. Para hakim tidak diperkenankan datang ke Badilag untuk meminta mutasi dan promosi. “Tunggu saja. Kalau memang sudah waktunya, pasti akan dimutasi,” Abdul Manaf menegaskan. Lantas di mana peran Bawas? Selain secara permanen menjadi salah satu unsur TPM, Bawas akan diajak mengawasi hakim-hakim dan pejabat Badilag dalam proses promosi-mutasi. Jika ada pejabat Badilag yang meminta atau menerima pemberian dari hakim untuk urusan mutasi, misalnya, Dirjen Badilag akan menyerahkan persoalan itu ke Bawas agar orang-orang yang terlibat diperiksa dan dijatuhi hukuman disiplin jika terbukti. Kalau sudah begitu, pelan namun pasti, benang kusut promosi-mutasi hakim akan terurai. |hermansyah| PA INSPIRATIF D Tonggak Sejarah Pengadilan Agama Berawal dari PA Barabai ahulu kala PA Barabai yang terletak di sebelah utara Provinsi Kalimantan Selatan dan berada 165 km dari kota Banjarmasin, dikenal dengan sebutan Kerapatan Kadi Barabai. Kemudian berevolusi menjadi Pengadilan Agama Barabai pada masa kini. Gedung Kerapatan Kadi “Barabai”yang merupakan nama ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Tengah,sejak pertama kali berdiri sampai sekarang masih tampak kokoh menjadi saksi sejarah kecintaan umat Islam terhadap penegakan hukum Islam di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Bahkan Mahkamah Agung RI akan menjadikan gedung tersebut menjadi bagian dari situs sejarah kelahiran dan perkembangan Peradilan Agama di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 71 PA INSPIRATIF Kabupaten Hulu Sungai Tengah sendiri memiliki luas wilayah 1.472 km2 dan memiliki moto daerah yaitu “Murakata” yang diambil dari bahasa Banjar. Murakata merupakan singkatan dari kata Mufakat, Rakat dan Seiya-sekata. Ada 13 belas kecamatan yang menjadi wilayah yurisdiksi PA Barabai. Berikut Peta Yurisdiksi Pengadilan Agama Barabai. Seiring dengan perkembangan politik hukum pemerintah Republik Indonesia, kantor Pengadilan Agama Barabai pernah berpindah ke gedung yang diresmikan oleh Kementerian Agama saat itu. Gedung yang menjadi saksi perkembangan Peradilan dari zaman ke zaman inipun akan dijadikan sebagai situs sejarah di Kalimantan Selatan. Akhirnya untuk menjawab tuntutan modernisasi peradilan di Indonesia, Pengadilan Agama Barabai sekarang menempati gedung yang diresmikan oleh Mahkamah Agung RI disesuaikan dengan prototype yang ideal. Pengadilan Agama Barabai yang beralamat di Jalan H. Abdul Muis Redhani No. 62 Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan, saat ini 72 dinahkodai oleh Drs. H. Muhammad Kurdi sebagai Ketua PA, Drs. Ali Badaruddin, S.H., M.H sebagai Wakil KPA, dan Drs. Hasani, S.H. sebagai Panitera/Sekretaris,serta didukung delapan orang hakim lainnya untuk menyelesaikan rata-rata 63 perkara yang masuk setiap bulannya. Memang perkara cerai gugat masih mendominasi jenis perkara yang masuk, disamping cerai talak, gugatan waris, isbat nikah, dispensasi menjadi optimal, dan tentunya semangat pelayanan untuk kaum duafa dan terpinggirkan tersebut mendapat sambutan positif dari masyarakat. Tidak perlu ada sidang insidentil dan putusan sela, cukup ada perintah pansek kepada Kuasa Pengguna Anggaran untuk mengeluarkan biaya panggilan pertama dalam perkara prodeo. Perintah pansek tersebut tentunya setelah adanya proses nikah juga perubahan nama ikut mewarnai perkara yang disidangkan di PA Barabai. Pengadilan Agama Barabai yang memiliki misi “Memberikan Pelayanan Hukum Yang Berkeadilan Kepada Masyarakat Pencari Keadilan” bahkan mampu memaksimalkan serapan anggaran untuk perkara prodeo sampai mencapai lebih dari 36 perkara dari 20 perkara yang dianggarkan sepanjang tahun 2015. SK KMA No. 26 Tahun 2012 tentang Standar Pelayanan Peradilan sebagai payung hukum menyelesaikan perkara prodeotanpa harus melalui sidang insidentil dan putusan sela, menjadi alasan mengapa serapan anggaran untuk perkara prodeo pemberitahuan perihal kondisi anggaran prodeo kepada Ketua PA, kemudian Ketua PA mengeluarkan surat ijin berperkara secara cumacuma. Pengadilan Agama Barabai yang juga memiliki misi “Meningkatkan kredibilitas dan transparansi dalam penanganan masalah hukum di Pengadilan Agama Barabai” telah berhasil menorehkan beberapa prestasi diantaranya penghargaan dari Kementerian Keuangan Republik Inodonesia dan Pemerintah Daerah Kabupaten Hulu Sungai Tengah sebagai Peringkat Pertama kategori kinerja penyerapan anggaran Tahun 2014 Satuan Kerja Lingkup Kabupaten Hulu Sungai Tengah. MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 PA INSPIRATIF Pernah juga PA Barabai menyabet sebagai juara pada tahun 2012 dalam upload putusan terbanyak di Direktori Putusan dengan kategori jumlah perkara antara 500 – 999 di tahun 2011 melalui Info Perkara Online, maupun penghargaan dalam bidang implementasi dan kelengkapan data dengan nilai 100% pada aplikasi SIMPEG dan E-Doc Online tingkat ms/pa Tahun 2014, yang keduanya dikelola oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia. Komitmen Pimpinan Dan Spirit Melayani Merespon terlaksananya PERMA Nomor 1 Tahun 2015 yang terus disosialisasikan oleh Mahkamah Agung sampai saat sekarang, PA Barabai melakukan proaktif sehingga sidang layanan terpadu tahun 2016 di wilayah P TA Banjarmasin direncanakan akan dilaksanakan di Pengadilan Agama Barabai, Pelaihari dan Tanjung. Seperti dimaklumi oleh publik, ada tiga brand unggulan Peradilan Agama antara lain dalam bidang layanan sidang keliling, layanan prodeo dan layanan terpadu. Komitmen PA Barabai memberikan layanan sidang keliling untuk masyarakat tidak mampun dan terpinggirkan adalah komitmen warisan para pendahulunya, bahkan sejak era Kerapatan Kadi, layanan Sidang keliling dilakukan juga oleh kadi kalaitu, yang datang ke ke c a m a t a n - ke c a m a t a n untuk menyelesaikan sengketa hukum diantara anggota masyarakat. Sementara merespon adanya spririt inovasi layanan pengadilan seperti digaungkan oleh Ketua Mahkamah Agung RI dalam pidato arahan Hari Jadi Mahkamah Agung ke70, dalam memberikan layanan prima kepada masyarakat pencari keadilan, ada dua komitmen inovasi yang dikembangkan oleh PA Barabai antara lain adalah pertama, akan dibukanya posko layanan informasi yang dibuka di hari-hari pasar yang ada di 13 kecamatan dalam wilayah yurisdiksinya. Sehingga masyarakat tidak perlu datang ke PA Barabai berkali-kali hanya sekedar mencari informasi prosedur berperkara, persyaratan yang harus dipenuhi saat mengajukan gugatan atau permohonan dan berbagai informasi lainnya. Ke d u a , adalah tentang dibebaskannya biaya panggilan sidang pertama untuk pihak dalam perkara voluntair. PA Barabai akan melakukan panggilan sidang pertama di tempat, demi mencapai asas berperkara yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Pengadilan Empat Zaman Pengadilan Agama Barabai yang memiliki visi “Mewujudkan Pengadilan Agama Barabai yang Agung” memiliki sejarah panjang melampaui empat zaman perkembangan Peradilan Agama di Indonesia, yaitu sejak zaman penjajahan, zaman kemerdekaan, zaman dualisme pembinaan, dan zaman “satu atap”. Uniknya semua fase sejarah yang dilalui oleh PA Barabai semuanya memiliki situs gedung yang masih berdiri kokoh sampai saat ini. Ada gedung Kerapatan Kadi Barabai yang tidak lain merupakan rumah pribadi Kadi H. Mochtar seorang Mufti di kawasan itu, secara resmi dijadikan gedung pengadilan tempat menyelesaikan pengaduan hukum oleh masyarakat Barabai pada tahun 1937 oleh pemerintah penjajah Belanda saat itu. Ada gedung Pengadilan Agama Barabai di era Departemen Agama yang diresmikan oleh H. Muchtar Zarkasyi, SH., yang saat itu menjabat Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, pada tanggal 21 Oktober 1985. Gedung tersebut saat ini berada di area Masjid Agung Riyadush Sholihin, karena beberapa Kadi saat itu merangkap sebagai imam besar di masjid tersebut. MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 73 PA INSPIRATIF Ada gedung Pengadilan Agama Barabai yang modern di era satu atap di bawah Mahkamah Agung yang sudah dioperasikan sejak dua tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 22 Mei 2013 saat diresmikan oleh YM Ketua Mahkamah Agung RI. Jasmerah Kerapatan Kadi “JASMERAH” frasa yang dicetuskan oleh mendiang Sang Proklamator RI, Soekarno, kepanjangan dari kata-kata JAngan Sekali-kali MElupakan sejaRAH. Mempelajari sejarah masa lalu untuk mengetahui betapa besar pengorbanan dan jasa-jasa orangorang yang dahulu berjuang demi kemerdekaan bangsa Indonesia. Demikian pula halnya dengan perjalanan Peradilan Agama, tidak bisa lepas dari sejarah pendahulunya. Mempelajari sejarah Peradilan Agama tidak saja sekedar mengetahui kondisi riil saat itu, tetapi juga dapat menumbuhkan kecintaan yang mendalam terhadap instansi Peradilan Agama. Sebagaimana halnya sejarah Peradilan Agama di Indonesia yang dimulai dengan terbitnya Staatsblaad 1882, maka Peradilan Agama di Kalimantan Selatan dimulai dengan terbitnya Staatsblaad 1937. Secara khusus, di Kalimantan Selatan ini, Pengadilan Agama dahulu dikenal dengan istilah Kerapatan Kadi. Keberadaan Kerapatan Kadi sebagai lembaga peradilan bagi umat Islam merupakan sesuatu yang mutlak adanya (conditon sine quanon). Eksistensinya berbanding lurus dengan Islam dan pemeluknya. Sebelum adanya Kerapatan Kadi 74 tersebut di daerah Barabai telah ada Mufti yang menangani berbagai fatwa agama, menangani pula fatwa yang bertalian dengan nikah, talak, rujuk dan warisan. Mufti pertama kali di daerah Barabai pada saat itu dipegang oleh H. M. Mochtar bin H. M. Hasan (berdasarkan Surat Keputusan Resident Zov Borneo tanggal 20 Februari 1932). Sejak adanya Mufti tersebut, kemudian tokoh masyarakat, para tuan guru, alim ulama meminta kepada Pemerintah Penjajah agar orang Islam diberi kesempatan dan wewenang untuk menyelesaikan perkaranya yang menyangkut kepentingan orang Islam, teristimewa dalam bidang rumah tangga dengan memakai tata aturan agama Islam. Dari Pemerintah Hindia Belanda dengan adanya gagasan-gagasan ataupun permintaan-permintaan umat Islam pada saat itu, maka diadakanlah/lahirlah Statblaad Tahun 1937 Nomor 638 dan Nomor 639 tersebut. Dengan dikeluarkannya Statblaad tersebut berarti eksistensi dari pada peraturan Islam dan kepentingan ummat Islam di sekitar Banjarmasin dan Kalimantan Selatan termasuk di dalamnya Barabai sudah mulai mantap, dan dengan dikeluarkannya Statblaad Tahun 1937 tersebut, pemerintah pada tanggal 21 Mei 1938 dengan Surat Nomor 58/B/1-3/38 mengangkat jabatan sebagai Kadi yang pertama juga mempercayakan kepada H. M. Mochtar bin H. M. Hasan yang sebelumnya sudah memangku jabatan sebagai Mufti tersebut, dan sejak berdirinya sampai dengan sekarang, di MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 Pengadilan Agama Barabai sudah 7 (tujuh) kali pergantian pimpinan. Meneladani Datuk Kelampaian Menurut ahli sejarah, Islam di Nusantara berkembang melalui proses yang panjang hingga berdirilah kesultanan dan kerajaan. Salah satu diantaranya Kesultanan Banjar di Kalimantan Selatan. Pada masa ini yang amat berpengaruh dalam rangka menerapkan Hukum Islam adalah Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, beliaulah yang memelopori pembentukan Lembaga Mufti dan Qadhi. Kedua lembaga tersebut, kemudian dipimpin oleh anak keturunannya. Lembaga mufti dijabat oleh cucunya bernama H. Muhammad As'ad sementara lembaga Kadi dijabat puteranya bernama H. Abu Su'ud bin Muhammad Arsyad Al Banjari sebagai Kadi pertama. Pada perkembangannya, terdapat sekitar 28 (dua puluh delapan) keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang menjabat sebagai Kadi Lembaga ini kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya Kerapatan Qadhi dan Kerapatan Qadhi Besar di Kalimantan Selatan oleh Pemerintah Balanda, yang sekarang dikenal dengan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari atau dikenal juga Datuk Kelampaian (1710 – 1812 M) sebagai peletak dasar penegakkan hukum Islam di Kalimanan Selatan.Keilmuan Syekh Arsyad tidak saja terkenal di Kalimantan Selatan, tapi seantero wilayah Indonesia, Brunei, Malaysia, Arab Saudi, dan lain sebagainya. PA INSPIRATIF Penelaahan mengenai Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari menjadi penting untuk aparat Peradilan Agama, karena beliau penggagas Kerapatan Kadi. Selain Kerapatan Kadi Ada beberapa sebutan lain untuk peradilan agama di berbagai wilayah kerajaan di tanah air, antara lain di Aceh dikenal dengan nama “Mahkamah Syari'ah Jeumpa”, di Sumatera Utara dikenal “Mahkamah Majelis Syara'”, sementara di Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya yang merupakan bekas wilayah kerajaan Islam Ukai digunakan istilah “Hakim Syara'” atau “Qadhi Syara'”. Selain itu, di Sumbawa juga dikenal istilah “Hakim Syara', di Sumatera Barat disebut “Mahkamah Tuan Kadi” atau “Angku Kali”, di Bima (NTB) dengan nama “Badan Hukum Syara'”, dan di Kerajaan Mataram dikenal dengan “Pengadilan Surambi”. Kefakihan seorang Syekh Muhammad Arsyad Al Banjri merupakan bukti konkret bahwa masyarakat Islam saat itu membutuhkan sosok pengadil yang disebut Qadhi. Oleh karenanya, keberadaan Qadhi atau Hakim merupakan suatu keniscayaan dalam suatu kehidupan bermasyarakat. Tingkat keilmuan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari sebagai sosok penggagas Kerapatan Kadi juga menjadi inspirasi bagi para hakim, agar senantiasa memperdalam keilmuan baik secara formal dengan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, maupun secara informal dengan mengikuti berbagai pelatihan. Fenomena Kampung Kadi Hal fenomenal yang menjadi inspirasi dari sejarah PA Barabai adalah adanya kampung Kadi di Barabai. Kampung Kadi ini sangat unik dan istimewa, karena dari sinilah lahir para tokoh anak keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang menjabat Kadi di masa penjajahan. Selain menjadi Kadi, anak keturunan tersebut juga sebagai pejuang Islam yang disegani penjajah. Terdapat keunikan pelembagaan hukum Islam dalam sejarah Kerapatan Kadi terutama di Barabai, termasuk eksistensi Kerapatan Kadi dari Kampung Kadi hingga menjadi Lembaga Pendidikan Modern dari sisi penggunaan Teknologi Informasi yang menjadi suatu keniscayaan di Peradilan Agama.Di era modernisasi peradilan, Pengadilan Agama Barabai beberapa kali meraih penghargaan dari Diretorat Jenderal Badan Peradilan Agama untuk tingkat nasional. Bahkan untuk tingkatl regional, PA Barabai juga beberapa kali menyabet penghargaan, seperti diantaranya penghargaan yang diterima dari KPN Kab. Barabai sebagai juara penyerapan anggaran. Masyarakat Kalimantan Selatan sejak sebelum tahun 1937 telah mengapresiasi penegakan hukum Islam. Kecintaan umat Islam di Kalimantan Selatan terhadap penegakan hukum Islam sangat tinggi, bahkan umat Islam di Kalimantan Selatan ini meminta didirikannya Kerapatan Kadi sebagai lembaga penegakan hukum Islam, yang akhirnya berevolusi menjadi Pengadilan Agama Barabai pada saat ini. Peradilan Agama akan tetap eksis, selama umat Islam ada. Kecintaan terhadap Peradilan Agama merupakan kecintaan terhadap penegakan hukum Islam. Menjaga Peradilan Agama adalah dengan caracara yang bermartabat seperti menlajutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, penguasaan bahasa asing, dan peningkatan kualitas putusan. |Mahrus, Hirpan Hilmi| MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 75 KILAS PERISTIWA Hakim Family Court of Australia Berbagi Pengalaman di Badilag MA Gelar Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik Peradilan 2015 Bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Mahkamah Agung (HUT MA) ke-70 yang jatuh pada 19 Agustus 2015 ini, MA secara resmi meluncurkan Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik Peradilan 2015. Kompetisi ini bakal diikuti seluruh pengadilan tingkat pertama di empat lingkungan peradilan yang bakal diikuti 789 pengadilan terkait praktik pengembangan layanan publik di bidang peradilan. Kompetisi ini dimulai hari ini hingga 22 September 2015 dilanjutkan dengan pengumuman hasil seleksi dokumen inovasi pada 5 Oktober. Selanjutnya, seleksi tahap akhir sekaligus pengumuman pemenang akan diselenggarakan pada 22 Oktober 2015. Peter Murphy, hakim Family Court of Australia (FCoA), berkunjung ke Badilag, Jumat (26/6/2015). Datang bersama penasehat FCoA, Leisha Lister, ia disambut Dirjen Badilag Drs. H. Abdul Manan, M.H. dan para pejabat eselon II Badilag. Tujuan kedatangan hakim tingkat banding itu adalah berbagi pengetahuan dan pengalaman mengenai sistem hukum dan peradilan di negaranya, khususnya mengenai perkembanganp e r ke m b a n g a n t e r k i n i h u ku m keluarga di sana. Ketua MA Memberikan Pembekalan kepada 40 Hakim Diklat Ekonomi Syariah ke Riyadh Ketua Mahkamah Agung RI, Prof. Dr. H. M. Hatta Ali, S.H., M.H., memberikan pembekalan kepada 40 hakim peradilan agama yang akan mengikuti diklat ekonomi syariah di Sekolah Tinggi Peradilan, Universitas Al Imam Muhammad Ibnu Saud, Riyadh, Saudi Arabia, pada Kamis (9/4/2015).Hadir juga dalam acara pembekalan yang berlangsung di ruang rapat Wiryono, lantai 2 gedung Mahkamah Agung adalah Duta Besar Arab Saudi untuk RI, Rektor LIPIA Jakarta, Wakil Ketua MA Non Yudisial, Ketua Kamar Peradilan Agama, dan Dirjen Badilag. Mahkamah Agung RI Perluas Kerjasama dengan Mahkamah Agung Qatar Ketua Mahkamah Agung RI YM. Prof.Dr.H. M. Hatta Ali, SH, MH beserta rombongan melakukan kunjungan ke Qatar dan Sudan pada hari Senin – Ahad, tanggal 1 – 7 Juni 2015. Kunjungan ke Qatar untuk melakukan kerjasama pendidikan dan pelatihan, khususnya di bidang ekonomi syariah. 76 MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 KILAS PERISTIWA Penggagas UU Peradilan Agama Telah Wafat Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH., salah seorang ahli hukum Indonesia telah berpulang ke Rahmatullah. Busthanul Arifin meninggal dunia di Jakarta pada hari Rabu (22/4/2015) pukul 11.00 WIB dalam usia 85 tahun.Bustanul Arifin yang biasa dipanggil Pak Bus lahir di Payakumbuh, Sumatera Barat pada tanggal 2 Juni 1929 ini merupakan pakar hukum Islam yang pernah menjadi hakim agung selama 26 tahun dengan jabatan terakhir sebagai Ketua Muda Mahkamah Agung Bidang Peradilan Agama. Pak Bus juga merupakan salah satu tokoh dibalik lahirnya Undang-Undang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam. Lahirnya UU PA dan KHI tidak terlepas dari peranannya. Pertama di Ibukota, PA Jakarta Selatan Raih Sertifikat ISO Pada hari Rabu (17/6/2015), dilakukan Seremoni penyerahan sertifikat ISO 9001:2008 kepada Pengadilan Agama Jakarta Selatan di halaman belakang gedung yang terletak di R Harsono. Salinan Sertifikat ISO diserahkan oleh perwakilan pt Asricert Indonesia kepada Ketua Kamar Agama Mahkamah Agung Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.Ip., M.H. Selanjutnya, Ketua Kamar Agama menyerahkannya kepada Sekretaris MA Nurhadi, S.H., M.H. Dengan diserahkannya Sertifikat ISO beserta salinannya itu, maka PA Jakarta Selatan kini menyandang predikat sebagai pengadilan pertama dari empat lingkungan peradilan di wilayah DKI Jakarta yang sukses meraih Sertifikat ISO. Hattrick, MA Raih Opini WTP Lagi Laporan keuangan Mahkamah Agung (MA) tahun 2014 mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dengan demikian, MA berhasil mencetak hattrick. MA meraih opini tertinggi itu tiga tahun berturut-turut pada 2012, 2013 dan 2014. Kepastian itu diperoleh Badilag.net setelah mencermati Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2014. Laporan Nomor 74/LHP/XV/05/2015 itu dibuat BPK pada 25 Mei 2015. Enam Ketua PTA Dilantik Ketua MA Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. H. M. Hatta Ali, S.H., M.H. melantik dan mengambil sumpah sepuluh ketua pengadilan tingkat banding, Senin (18/5/2015), di Gedung Sekretariat MA, Jakarta Pusat. Sepuluh orang yang dilantik Ketua MA itu terdiri dari enam Ketua Pengadilan Tinggi Agama (PTA), satu Ketua Pengadilan Tinggi (PT) dan tiga Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN). Enam Ketua PTA yang dilantik itu terdiri dari Ketua PTA Banten, Ketua PTA Palangkaraya, Ketua PTA Mataram, Ketua PTA Maluku Utara, Ketua PTA Gorontalo dan Ketua PTA Bengkulu. MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 77 KILAS PERISTIWA Badilag Menguji Coba Aplikasi TPM-Online di 5 Wilayah Direktorat Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan Agama Ditjen Badilag telah menguji coba aplikasi TPM-Online di lima wilayah yang dijadikan proyek percontohan. Ke-5 wilayah itu ialah PTA Banten, PTA Bandung, PTA Yogyakarta, PTA Semarang dan PTA Surabaya.Karena dijadikan proyek percontohan, mulai sekarang kelima wilayah itu harus mengirim usulan promosi dan mutasi ke Badilag dengan menggunakan TPMOnline. Ketua PTA Perempuan Pertama Itu Telah Tiada Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Peradilan agama berduka. Ketua Pengadilan Tinggi Agama Bengkulu Dra. Hj. Husnaini A, S.H., M.Ag menghembuskan nafas terakhirnya pada Sabtu (4/4/2015), di RSUD M Yunus Bengkulu. Ketua PTA perempuan pertama sepanjang sejarah eksistensi peradilan agama di nusantara itu wafat dalam usia 62 tahun setelah terserang Hepatitis C dan mendapat perawatan selama sebulan terakhir. Jenazah almarhumah dimakamkan keesokan harinya di Desa Kapau, Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Mahasiswa STAIN Pekalongan Kunjungi Badilag Sekitar 75 orang mahasiswa Jurusan SyariahSTAIN PekalonganProdi Ahwalal Syahshiyyah yang dipimpin oleh Abdul Hamid, MA. selaku Dosen Pembimbing melakukan kunjungan KKL (Kuliah Kerja Lapangan) ke Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Selasa (21/4/2015). Rombongan diterima langsung oleh Kepala Bagian Organisasi dan Tata Laksana Ditjen Badilag, Dr. Abu Tholhah, M.Pd. dan Kepala Sub Direktorat Mutasi Hakim, Nurjanah, SH.,MH. dalam hal ini mewakili Direktur Jenderal, di Ruang Rapat lantai VI Gedung Sekretariat Mahkamah Agung RI. Wakil Ketua MA Membuka Bimtek Ekonomi Syariah di Semarang Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non-Yudisial H. Suwardi, S.H., M.H membuka bimbingan teknis ekonomi syariah yang diselenggarakan Pengadilan Tinggi Agama Semarang, 9-11 Juni 2015, di Semarang. Bimtek ini diikuti oleh 144 peserta yang terdiri dari Wakil Ketua, hakim, Wakil Panitera dan jurusita PA se-Jawa Tengah. 78 MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 KILAS PERISTIWA Descente PA Sekayu Menerabas Hutan Menyusuri Sungai Menyusul Putusan Sela PTA Palembang dalam perkara banding yang sedang berlangsung, Majelis Hakim PA Sekayu, hari Jum'at (12/6/2015), melaksanakan sidang pemeriksaan setempat (descente) di desa Beruge, kecamatan Babat Toman, kabupaten Sekayu. Tak seperti biasanya, medan yang harus ditempuh untuk sidang pemeriksaan setempat dalam perkara ini dapat dibilang rumit. Pasalnya, dari 5 objek yang diperiksa, dua di antaranya berada di seberang sungai Musi. ParagrapPA Sintang Gelar Sidang Perdana Isbat Nikah Terpadu di Kabupaten Melawi Bertempat di Pendopo Bupati Kabupaten Melawi, PA Sintang menyelenggarakan sidang isbat nikah terpadu, Kamis (23/4/2015. Pelayanan Hukum Terpadu yang diprakarsai oleh Gabungan Organisasi Wanita (GOW) Kabupaten Melawi ini melibatkan 3 instansi sekaligus yaitu Pengadilan Agama Sintang, KUA Kecamatan Nanga Pinoh Kabupaten Melawi serta Dinas catatan Sipil Kabupaten Melawi. PA Sijunjung Gelar Sidang Keliling Terpadu tahun 2015 di Pulau Punjung, Dharmasraya Bertempat di Gedung Pertemuan Umum (GPU) Sungai Dareh, Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya pada hari Kamis (16/4/2015), PA Sijunjung kembali menggelar Sidang Keliling Terpadu Isbat Nikah yang sebelumnya diadakannya di Kamang Baru Kabupaten Sijunjung. Kegiatan Sidang Keliling Dalam Pelayanan Terpadu Identitas Hukum di Pulau punjung ini berjalan lancar dan sesuai rencana. Acara ini dibuka secara resmi oleh Bupati Dharmasraya dan juga dihadiri oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama Padang, Ketua DPRD Dharmasraya, Kepala Kejaksaan Negeri Dharmasraya, beserta seluruh Pimpinan Daerah di Kabupaten Dharmasraya. PA Praya, PUSKAPA UI, AIPJ dan Kemenag serta DUKCAPIL Lombok Tengah Bahas Identitas Hukum Anak Pada hari Kamis, (2/7/2015) bertempat di ruangan sidang dua PA Praya, berlangsung Diskusi yang dipimpin oleh Pusat kajian Perlindungan Anak dan Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ) beserta tiga lembaga PA Praya, Kemenag, Dinas Catatan Sipil. Diskusi yang juga di hadiri oleh perwakilan dari Columbia University Mailman School of Public Health ini membahas tentang pentingnya identitas hukum kepada masyarakat yang berada di Lombok Tengah serta bagai mana menyelesaikan permasalahan tentang Legal Identitas masayarakat khususnya masyarakat Lombok Tengah. MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 79 AKTUAL Urgensi Polisi Pengaman Peradilan S eorang pria mengamuk di ruang tunggu Pengadilan Agama Batam. Menggunakan pisau, dia menusuk istri dan mertuanya. Istrinya, yang hendak melakoni sidang perkara perceraian, terluka di bagian punggung. Nahas menimpa sang mertua. Dia tersungkur hingga meninggal dunia. Pria itu akhirnya tertusuk pisaunya sendiri ketika para pengunjung PA Batam beramai-ramai menghentikan aksi brutalnya. Dia tewas saat dirawat di rumah sakit. Tragedi pada Kamis siang, 11 Juni 2015, itu bukan peristiwa tragis pertama dan satu-satunya di pengadilan. Peristiwa serupa, dengan kadar ketragisan yang berbeda-beda, telah terjadi di pelbagai pengadilan di negeri ini. Sebelum ini, tragedi berdarah yang paling mengerikan terjadi di PA Sidoarjo pada tahun 2005, ketika seorang kolonel angkatan laut membunuh istri dan seorang hakim yang menyidangkan perkara harta gono-gininya dengan menggunakan 80 sangkur di ruang sidang. Yang Maha Esa”. Kini, timbullah rupa-rupa pertanyaan: Mengapa peristiwa serupa itu bisa terjadi berkali-kali? Seperti apa sesungguhnya pengamanan di gedung pengadilan saat ini? Apa saja upaya nyata yang dapat ditempuh untuk mengantisipasi agar peristiwaperistiwa serupa tidak terjadi? Sebagai tempat bertemu dan bergumulnya orang-orang bermasalah, pengadilan dapat menjadi arena tanding otak dan otot sekaligus. Agar pihak-pihak yang bersengketa tidak menyubstitusi kemampuan otaknya dengan ketangguhan ototnya, diciptakanlah hukum acara atau hukum formil. Hukum formil juga dipakai hakim agar hukum materiil dapat diterapkan secara tepat. Keadilan substantif hanya dapat diperoleh jika keadilan prosedural ditegakkan. Pertama-tama, perlu dipahami bahwa pengadilan adalah muara penyelesaian kasus dan sengketa dalam masyarakat yang beradab. Karena itu orang menyebutnya benteng terakhir pencari keadilan. Namun ada pula yang menyebutnya keranjang sampah, karena pengadilan adalah tempat bagi orang-orang bermasalah mencari jalan keluar agar 'sampah'-nya tidak terlalu busuk, atau syukur-syukur dapat didaur ulang. Nasib para pemburu keadilan itu ditentukan oleh para hakim yang memutus dengan tagline “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 Sayangnya, hukum formil terlalu ciut. Ia hanya mengatur bagaimana para pihak berhantam-hantaman argumen dan adu kuat bukti di ruang sidang. Hukum formil tidak menjangkau soal-soal lain yang lebih sepele namun bisa berdampak fatal, mulai dari cara berpakaian, bendabenda yang boleh dibawa, hingga kelakuan-kelakuan yang tidak elok. AKTUAL Menyadari lubang regulasi itu, maka diciptakanlah tata tertib untuk pengunjung pengadilan yang berlaku tidak hanya untuk orang-orang yang akan dan telah bersidang, namun juga untuk penonton, wartawan, tukang demo, sales, dan bisa jadi juga makelar yang mengaku-aku bisa menskenariokan hasil akhir putusan hakim. Ternyata tata tertib itu juga tidak m e m a d a i . D i s a m p i n g ka d a n g rumusan-rumusannya terlalu obscuur, juga tidak ada aparat khusus yang diberi tanggung jawab untuk memastikan tata tertib itu ditaati. Kalaupun ada personil yang ditunjuk untuk mengamankan pengadilan, jumlah, kemampuan dan peralatannya tidak sebanding dengan tanggung jawab yang dipikulnya. Sebagai contoh, seluruh pengadilan dalam tata tertibnya melarang setiap pengunjung membawa senjata api, senjata tajam dan senjata-senjata lainnya. Nyatanya, tata tertib itu hanya garang di atas kertas. Tidak semua pengadilan punya satuan pengaman (satpam). Kalaupun ada satpam, pada umumnya mereka merangkaprangkap peran: dari mengatur tempat parkir, mengatur antrian sidang, hingga membentaki orang di ruang tunggu yang merokok semau bibirnya. Belakangan, satpam-satpam di pengadilan dibekali metal detector. Itupun tidak banyak berdaya guna. Sebab utamanya karena masih sedikit pengadilan yang menerapkan aturan single gate. Orang bisa masuk ke gedung dan fasilitas-fasilitas pengadilan dari banyak pintu dan berbagai celah. Sebab lainnya, dan ini sungguh bisa memicu tawa, ada sebagian satpam yang tidak bisa mengoperasikan metal detector. Pernah ditemukan di sebuah pengadilan, metal detector teronggok di gudang. Ketika ditanya, satpam di sana menjawab bahwa dia baru tahu ternyata metal detector itu menggunakan baterai dan, apesnya, dia tidak tahu cara mengganti baterai yang dayanya sudah ludes. Selama ini, aparat kepolisian dilibatkan dalam pengamanan di pengadilan-pengadilan hanya jika ada persidangan perkara yang menarik perhatian publik atau sidang yang dihadiri oleh massa dari dua kubu yang berseteru berpotensi rusuh. *** Pengamanan pengadilan sejatinya telah menjadi perhatian serius Mahkamah Agung yang membawahi empat lingkungan peradilan di seluruh Indonesia. Salah satu penandanya ialah dimasukkannya persoalan tersebut dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan atau lebih dikenal dengan RUU Contempt of Court. Bab V RUU yang naskahnya disiapkan oleh Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) itu mengatur tentang Pengamanan Penyelenggaraan Peradilan. Pengamanan di situ dibagi dua, yaitu di dalam persidangan dan di luar persidangan. MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 81 AKTUAL Pasal 13 ayat (1) RUU tersebut menyatakan bahwa hakim atau pengadilan dapat mengeluarkan perintah kepada petugas Kepolisian Republik Indonesia atau polisi pengamanan peradilan untuk mengamankan penyelenggaraan peradilan. Ayat (2) kemudian merinci, untuk mengamankan di dalam persidangan, perintah sebagaimana disebut dalam ayat (1) dapat dilakukan secara lisan dan untuk pengamanan di luar persidangan dapat dilakukan dengan penetapan. Pertanyaan yang mungkin timbul: Mengapa tugas pengamanan peradilan perlu dibebankan kepada polisi dan apakah pengamanan peradilan oleh polisi tidak malah jadi bumerang yang akan merecoki independensi peradilan? Ada beberapa jawaban yang dapat dikhalayakkan. Pertama, secara khittah Polri punya fungsi untuk memelihara ketertiban masyarakat, di samping fungsi-fungsi lainnya. Berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Kedua, polisi jauh lebih powerfull daripada satpam internal pengadilan. Polisi lebih terlatih dan dibekali senjata. Lebih dari itu, polisi punya wewenang untuk memeriksa, menggeledah, menyita, menangkap dan menahan seseorang atau beberapa orang yang melakukan tindak pidana Contempt of Court. Yang tergolong Contempt of Court bukan saja menyerang dan/atau m e m b u n u h h a k i m d a n a p a ra t peradilan. Tindakan serupa yang ditujukan kepada pihak-pihak yang berperkara di pengadilan juga tergolong Contempt of Court, atau lebih tepatnya disebut direct contempt of court-sebab ada juga indirect contempt of court-karena mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan peradilan. Ketiga, jika Polri terkendala oleh keterbatasan personil, sarana dan 82 Nanti, polisi pengaman peradilan dapat bekerja di ruang sidang maupun di luar ruang sidang, seperti di halaman, tempat parkir, ruang pendaftaran perkara, dan ruang tunggu sidang. anggaran, dimungkinkan untuk membentuk polisi khusus yang membantu polisi, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Polri, asalkan ada peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya. Yang disebut polisi khusus, sesuai penjelasan pasal tersebut, ialah instansi dan/atau badan pemerintah yang oleh atau atas kuasa peraturan perundang-undangan diberi wewenang untuk melaksanakan fungsi kepolisian di bidang teknisnya masing-masing. Sudah ada beberapa contoh polisi khusus, misalnya polsus kehutanan dan polsus imigrasi. Karena itu, jika nanti dibentuk polsus pengadilan yang membantu polisi, tentu bukan hal yang nyeleneh. Tentu, kewenangan polsus tidak seluas kewenangan yang dipunyai polisi pada umumnya. Keempat, kehadiran polisi di p e n ga d i l a n t i d a k m e n g ga n g g u independensi peradilan, asalkan diatur secara tepat. Perlu dipahami, 740 pengadilan di seluruh Indonesia adalah unit-unit kerja di bawah Mahkamah Agung yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman. Sebagai lembaga yudikatif, pengadilan bersifat independen. Independensi itu terutama menyangkut bidang yudisial, yaitu menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara. Dalam bidang non-yudisial, pengadilan semi-dependen. Artinya, meski berstatus pemegang kekuasaan yudikatif yang secara ketatanegaraan terlepas dari kekuasaan eksekutif dan legislatif, MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 namun dalam hal organisasi, administrasi, sumber daya manusia dan keuangan, MA dan pengadilanpengadilan di bawahnya masih harus bermitra dengan pemerintah dan DPR. Besarnya anggaran pengadilan, misalnya, merupakan hasil rembugan dan persetujuan banyak pihak, mulai Bappenas, Kementerian Keuangan, hingga DPR. Demikian halnya dengan pengamanan peradilan. Adalah lazim belaka jika MA dan Polri bermitra u n t u k m e n ga m a n ka n j a l a n nya peradilan, dengan syarat dan ketentuan tertentu, yang meliputi wewenang, wilayah kerja, alur instruksi, serta pelaporan yang dibebankan kepada polisi. Nanti, polisi pengaman peradilan dapat bekerja di ruang sidang maupun di luar ruang sidang, seperti di halaman, tempat parkir, ruang pendaftaran perkara, dan ruang tunggu sidang. Namun harus dimengerti bahwa tidak semua proses persidangan di pengadilan terbuka untuk umum. Persidangan untuk perkara perceraian, asusila dan kasus yang melibatkan anak-anak, misalnya, prosesnya harus dilakukan secara tertutup. Kecuali majelis hakim dan para pihak yang bersidang, tidak ada yang boleh memasuki ruang sidang, termasuk polisi. Untuk mengantisipasi terjadinya kerusuhan dan guna melindungi majelis hakim yang sedang menyidangkan perkara secara tertutup, di meja majelis hakim harus tersedia tombol alarm yang sewaktu-waktu bisa dipencet, sehingga polisi yang berjaga di luar ruang sidang dapat segera masuk dan mengambil tindakan. Jangan sampai yang terjadi malah sebaliknya. Ketika dilanda panik karena ada pengunjung sidang yang mengamuk, ketua majelis hakim lekas-lekas meraih telpon genggamnya, lalu memencet nomor HP satpam. Orang yang dihubungi ternyata sedang ngopi di kantin, sementara ruang sidang telah bersimbah darah. Sungguh naudzubillah… |Hermansyah| Selamat Tahun Baru 1437 Hijriyah Selamat Atas Suksesnya Penyelenggaraan Turnamen Nasional Tenis Beregu Piala Ketua Mahkamah Agung RI Denpasar, Bali, 10 - 17 Oktober 2015 Beregu Putra Beregu Putri Juara I : Mahkamah Agung Juara I : PTA Jakarta Juara II : PTA Bandung Juara II : PT Surabaya Juara III : PTA Surabaya & Juara III : PT Bandung & : PTA Semarang : PT Sulbar KISAH NYATA Do'a yang Terjawab 23 Tahun Kemudian Oleh: Muhammad Iqbal, SHI., MA (Hakim PA Cilegon) “Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui”. (QS. Al-Baqarah : 216). H ari itu… Jum'at 23 Oktober 1981 pukul 02.00 dini hari Waktu Cairo, di sebuah rumah sakit yang bernama “al-Ma'adzah” oleh seorang dokter bernama Ismat Qadhi, di daerah Heliopolis-Cairo, terlahir seorang bayi laki-laki dengan berat + 3,5 Kg, anak kedua dari pasangan mahasiswa Universitas al-Azhar asal Indonesia. Bayi yang telah ditunggutunggu kelahirannya, bayi yang menurut perhitungan dokter lahir tanggal 8 Oktober 1981, 15 hari sebelumnya. Ketika si bayi dilahirkan, sebenarnya sang ibu sedang mendapat beasiswa untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya di Universitas yang sama, suatu kesempatan emas buatnya, bahkan ia merupakan satusatunya mahasiswa perempuan asal Indonesia yang mendapat kesempatan emas ketika itu, namun… karena cintanya kepada sang bayi, ia rela melepas kesempatan itu dengan berkata “Insya Allah saya akan menyambung kuliah study S2 bersama anakku kelak”. Sekitar tahun 1983, keluarga kecil ini kembali ke Medan-Indonesia, dengan menumpang tinggal di sebuah perumahan kampus Universitas AlWashliyah (UNIVA), mereka membangun keluarga ini dengan status pekerjaan sebagai Dosen. Hinga 84 lahir pula dua orang anak perempuan, Eliza (1984) dan Nawal (1985). Tapi sayangnya, lima bulan setelah kelahiran Nawal, sang ayah berpulang ke rahmatullah, berpulang ke sang kekasihnya disebabkan penyakit lever yang dideritanya. Sejak itulah, sang ibu dengan susah p aya h nya m e n ga s u h , membesarkan, dan mendidik keempat anaknya hingga kini. Tanpa rasa lelah, tanpa keluhan beliau terus dan terus berusaha agar kelak, keempat anaknya bisa menjadi orang yang berhasil. Meskipun hidup tanpa seorang ayah, bukan berarti kasih sayang tidak diterimanya. Beradaptasi di sekolah maupun di kampus, si anak selalu menganggap guru maupun dosennya layaknya orang tuanya, sehingga ia selalu beranggapan dan dengan bangganya ia mengatakan “orang tuaku banyak, dan semua orang tuaku itu sayang sama aku”. Sebagaimana halnya dengan anak-anak lainnya, ia juga memiliki cita-cita, ketika itu ia bercita-cita ingin menjadi seorang DOKTER, ya seorang dokter dengan segudang JARUM. Sama atau tidak dengan anak-anak lain, ia punya niat yang tulus ingin membantu orang sakit dan orang susah. Mungkin saja ini terilhami dari cerita sang ibu yang menceritakan susahnya mencari biaya pengobatan ketika sang ayah MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 sakit. Sejak duduk di bangku SD, MTs, maupun Aliyah juara kelas selalu ia raih, bahkan di perkuliahan ia juga merupakan alumni lulusan tercepat dan terbaik fakultas (2004) dengan predikat “sangat memuaskan”. Sementara prestasi di luar sekolah, ia pernah menjadi Duta Sumatera Utara pada acara Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) ke-19 tahun 2000 di Palu – Sulawesi Tengah untuk cabang Musabaqah Fahmil Qur'an (Cerdas Cermat Isi Kandungan al-Qur'an), meskipun tidak sampai juara. Setamat sekolah, ia mencoba ikut UMPTN dengan mengambil jurusan Kedokteran di Universitas Sumatera Utara dan pilihan kedua di Universitas Sriwijaya dengan jurusan yang sama. Namun, dasar nasib yang tidak mendukung, UMPTN kali ini gagal total, dan sebagai antisipasinya, ia pun kuliah di IAIN-SU dengan jurusan Ahwalussakhsiyah (Hukum Perdata Islam). Niat awal sih untuk menghindari status “pengangguran”, sambil menunggu tahun depan ikut UMPTN lagi. Cerita punya cerita, p e r j a l a n a n wa k t u s a t u t a h u n mengubah cita-citanya yang semula ingin jadi “dokter” menjadi “tak punya cita-cita”, yang penting cepat tamat, dapat ijazah, dan kerja. KISAH NYATA “ Cerita punya cerita, perjalanan waktu satu tahun mengubah cita-citanya yang semula ingin jadi “dokter” menjadi “tak punya cita-cita”, yang penting cepat tamat, dapat ijazah, dan kerja. “ Sukses di sekolah dan di kampus, bukan serta merta sukses pula di dunia kerja. Banyak pengalaman pahit yang dirasakan, bahkan dua kali mencari kerja di Jakarta juga tak luput dari incarannya, dunia perbankan dan instansi pemerintahan (Deplu) pernah dicoba, namun Allah selalu memberikan YANG TERBAIK buatnya berupa “KETIDAKLULUSAN”. Syukur alhamdulillah, rutinitas hariannya sebagai satu-satunya anak lelaki yang bertugas “extra” dibandingkan dengan saudarasaudara perempuannya, mendorong ia harus terus berada di luar rumah, mengantar sang ibu kemanapun sang ibu pergi, baik ke kampus tempat sang ibu kerja, maupun ke tempat-tempat perwiridan kaum ibu yang dibina ibunya. Tahun itu, tahun 2004, di satu sisi ia baru tamat kuliah dan sedang berusaha mencari kerja, sementara sang ibu, sebagai seorang Dosen yang masih berpendidikan strata satu, diwajibkan kuliah strata dua. Si ibu menyarankan agar selama menunggu panggilan kerja gimana kalau ia mendaftar kuliah S2 aja, hitung-hitung positif-nya, kalau lulus dan dapat beasiswa, tapi tidak dipanggil kerja ya tetap ngantar sekaligus kuliah, hitunghitungannya lagi ya menghindari status “PENGANGGURAN”, walaupun s e b e n a r nya m a h a s i swa i t u ya “PENGANGGURAN TERSELUBUNG” seperti kata Dosen-nya saat mengajar mata kuliah Ekonomi Pembangunan. Nah, pernahkah kita berpikir, bahwa do'a maupun ucapan kita yang telah lama baru dikabulkan setelah bertahun-tahun bahkan setelah kita lupa dengan do'a tersebut?? Allah Maha Kuasa atas segalagalanya, + 23 tahun sebelumnya, kalian pasti ingat, ketika si anak lahir dan sang ibu dengan relanya melepas kesempatan meraih beasiswa S2 di AlAzhar, satu Universitas ternama di dunia, dengan mengatakan “Insya Allah saya akan menyambung kuliah study S2 bersama anakku kelak”, perkataan ini DI JAWAB OLEH ALLAH SWT. Lalu pantaskah kita su'udzzan terhadap Allah ?? Selama kuliah, tak bosanbosannya ia melamar kerja, tiap libur semester dengan sisa uang beasiswa ia berangkat ke Jakarta, mau mencoba mengundi nasib di perantauan, sebenarnya, keberhasilan itu sudah terlihat ketika mencoba melamar kerja di salah satu perbankan di ibukota untuk jabatan Account Officer, ketika itu ia berada diperingkat tengah dari jumlah peserta yang akan diLULUSkan, pun ternyata tidak lulus, mungkin ini dikarenakan sayangnya Allah kepadanya dengan memberikan kesempatan kepadanya untuk berbakti kepada sang ibu. Waktu terus berjalan, hingga pada tahun 2007 ia mendapat sms dari seorang teman, di sms itu tertulis “Informasi Penerimaan Cakim … dst. Pada awalnya sih, ia tidak berminat, tapi untuk menyenangkan hati sang ibu yang mengharapkan ia ikut dalam perekrutan pegawai ini, akhirnya ia pun mencoba. Kali ini ia berdo'a dengan do'a yang berbeda dari sebelumnya, jika sebelumnya setiap mengikuti ujian penyaringan ia berdo'a “Ya Allah.. berikan yang terbaik kepadaku” dengan konsekwensi menerima apapun hasil yang akan diberikan Allah, lulus atau tidak. Kali ini ia berdo'a dengan kalimat “Ya Allah.. jadikan ini yang terbaik bagiku saat ini, dan bila ada yang lebih baik bagiku, bimbing aku keluar darinya”. Rezeki tak dapat ditolak, tepat tanggal 9 Mei 2007, ia melihat namanya ada di antara 10 peserta yang lulus Cakim untuk wilayah SUMUT. Allah SWT Maha Kuasa, dengan bermodalkan do'a sang ibu dan keyakinan akan kuasa Allah, ia lulus bersama ratusan Cakim lainnya. Namun ada satu hal yang sebelumnya dirahasiakan oleh sang ibu ke si anak, bahwa selama ini, sang ibu selalu mendo'akan agar Allah TIDAK MELULUSKAN anaknya, baik ketika melamar kerja di Perbankan maupun di Deplu, dengan alasan “belum siap berpisah dengan anaknya”. Ada dua sms ucapan yang paling berkesan padanya. Yang pertama, sms dari seorang teman PNS, yang mengatakan innalillah…kata sang teman, dengan alasan ia akan rusak dengan sistem yang ada, dan yang kedua, sms dari seorang teman yang lain, yang mengatakan : “Selamat, semoga amanah. Ingat, Allah menempatkan seseorang itu sesuai dengan tempat dan kemampuannya, dan kau adalah orang yang TERPILIH untuk itu”. *** 29 Juni 2010, ia dilantik menjadi seorang Hakim di Pengadilan Agama Muara Bungo-Jambi, suka duka dialaminya sendiri di perantauan, biasa tinggal di daerah dengan penduduk yang ramai kini tinggal di suatu daerah yang jauh berbeda dengan harapannya. Sebulan, dua bulan, tiga bulan, ia lewati dengan sabar dan berpikir “bagaimana ia bisa cepat keluar dari daerah ini”, sementara ia tidak punya nilai jual (personal value), tapi bagaimana caranya? MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 85 KISAH NYATA 86 “ Dengan memberanikan diri, ia berangkat ke Badilag menemui Bapak Dirjen, yang terhormat Bapak Wahyu Widiana, berbekal sebuah karya sederhana “e-book Buku II” (2011), Alhamdulillah ia mendapat support dari sang decision maker, dan Alhamdulillah berbekal support itu pula belakangan ia berhasil membuat e-book lainnya dengan bantuan teman-teman seprofesinya seperti “e-book Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Lingkungan Peradilan Agama” (2012), “e-book Himpunan Peraturan Peradilan Agama bidang Ekonomi Syariah” (2014), dan “e-book Kompilasi Hukum Islam versi Arab” (2015) MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 “ Hari sabtu dan minggu merupakan 2 hari yang paling tidak mengasyikkan baginya, ia yang biasanya tidak pernah ada di rumah, berubah menjadi anak rumahan. Berbeda jauh dengan keadaannya di kota asal, hari Sabtu dan Minggu merupakan hari yang ditunggutunggu, karena bisa refreshing dan bisa jalan-jalan sepuasnya. Tapi di Muara Bungo, jika tidak ada kegiatan baru di dua hari tersebut, bisa jadi seharian di kamar saja, keluar kamar hanya untuk menjemur pakaian, dan pergi ke warung “Ampera” untuk makan. Hingga pada suatu hari ia berpikir “mungkin dengan melanjutkan study ia akan bisa keluar dari sini”. Beberapa bulan kemudian ia mendapat kesempatan dari Mesir untuk mengikuti short course bahasa arab selama 3 bulan di satu lembaga bahasa Arab bernama Lisanul Arab. Dengan memberanikan diri, ia berangkat ke badilag menemui Bapak Dirjend, yang terhormat Bapak Wahyu Widiana, berbekal sebuah karya sederhana “e-book Buku II” (2011), Alhamdulillah ia mendapat support dari sang decision maker, dan Alhamdulillah berbekal support itu pula belakangan ia berhasil membuat e-book lainnya dengan bantuan teman-teman seprofesinya seperti “ebook Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Lingkungan Peradilan Agama” (2012), “e-book Himpunan Peraturan Peradilan Agama bidang Ekonomi Syariah” (2014), dan “e-book Kompilasi Hukum Islam versi Arab” (2015), dan alhamdulillah semua karya sederhana ini belakangan menjadikannya bernilai jual, hehehe….. Rejeki belum berpihak kepadanya, dengan alasan tertentu, ia tidak memperoleh izin untuk mengikuti short course bahasa arab di Mesir tersebut, namun meskipun tidak jadi berangkat, setidaknya ada karya yang bisa ia persembahkan buat rekanrekan hakim, dan siapa tahu, jika Allah swt berkehendak suatu saat nanti, mungkin saja ia bisa ikut diberangkatkan ke Riyadh untuk mengikuti pelatihan Ekonomi Syari'ah, batinnya, hehehe… Menjalani profesi Hakim di Pengadilan Agama Muara Bungo gak selamanya berjalan mulus, pernah satu kali ia bersama rekan-rekan Hakim dan bahkan bersama pengamanan yang bertugas melakukan Descente dikejar pakai parang oleh Tergugat, lari menuruni tanah yang berbukit, melompati parit dan bersembunyi di dalam rawa-rawa turut ia lakoni. Tanggung jawab akan kerjaan membuatnya harus siap dengan segala resiko. Bahkan dengan kejadian tersebut, ia banyak mendapat pelajaran berharga bagaimana menyikapi dan menyelesaikan konflik di lapangan, pelajaran yang tentunya tidak akan ia dapatkan di buku pelajaran manapun namun hanya di dapat dari pengalaman kerja. Mutasi dan promosi bagi seorang Hakim adalah suatu yang pasti, namun kapan dan di daerah mana akan ditempatkan itu yang bersifat tidak pasti. Kita harus Husnuzzon, jangan pernah melihat ataupun membandingkan hidup kita dengan apa yang didapat orang lain, yakinkan bahwa ini merupakan tempat yang terbaik buat kita, sesekali lihatlah ke bawah jangan lihat ke atas terus. Bayangkan saja jika ada orang yang lebih susah dengan penempatan barunya. Bersiaplah dengan resiko terburuk, karena kalau kita sudah siap di tempat yang terburuk tentu semuanya aman-aman saja, dan kalau tidak di tempatkan di tempat terburuk tersebut, justru tidak ada beban pikiran lagi dan pasti akan menerima dengan senang hati. Semua pasti ada hikmahnya, kita tidak tau, penempatan yang kita sesali boleh jadi merupakan tempat kita menempah diri. 26 Juni 2013, TPM diumumkan dan ia dimutasi ke Cilegon-Banten, ia harus kembali belajar beradaptasi, otaknya kembali berpikir, karya apa lagi yang akan dibuat? Masih terlalu dini untuk berbahagia ataupun bersedih hati, karena umur yang masih muda dan masa depan yang masih panjang. Trus.. emangnya kenapa aku harus peduli dengan dia…??? Jawabannya adalah … karena “dia” adalah “aku”. EKONOMI SYARI’AH Diklat Ekonomi Syariah Riyadh Angkatan III TRANSAKSI BISNIS MODERN JADI MATERI PRIMADONA Antusiasme peserta begitu tinggi, terutama materi yang berkaitan dengan ekonomi syariah. Tak ayal, saking antusiasnya, para dosen sering dihujani pertanyaan. M ahkamah Agung RI melalui Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Ditjen Badilag MA RI), terus berupaya melakukan pembinaan teknis yustisial dan non yustisial secara berkelanjutan. Pembinaan tersebut dilakukan baik melalui kegiatan bimbingan teknis yang diselenggarakan oleh Ditjen Badilag MA RI maupun oleh Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan (Balitbang Diklat Kumdil MA RI). Selain bimbingan teknis oleh lembaga internal, Ditjen Badilag MA RI juga menjalin kerjasama dengan berbagai lembaga eksternal untuk meningkatkan kapasitas hakim di bidang ekonomi syariah. Kerjasama tersebut antara lain dengan Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Fakultas Hukum Khartoum University Sudan, dan Sekolah Tinggi Peradilan U n ive r s i t a s Islam Al-Imam Muhammad Ibnu Suud, Riyadh, Saudi Arabia. Terkait dengan kerjasama yang disebutkan terakhir di atas, bentuk kerjasama dilakukan dalam bidang pendidikan dan pelatihan ekonomi syariah. Hingga Mei 2015 ini sudah dilaksanakan sebanyak 3 angkatan. Angkatan I dilaksanakan pada tahun 2008, kemudian tahun 2012 untuk angkatan II, dan angkatan III pada April-Mei 2015. Selanjutnya, angkatan IV akan dilaksanakan sekitar pertengahan bulan November 2015. Kerjasama ini akan terus berkelanjutan pada angkatan-angkatan berikutnya. MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 87 EKONOMI SYARI’AH Sekolah Tinggi Peradilan merupakan bagian tak terpisahkan dari Universitas Islam Al-Imam Muhammad Ibnu Saud. Sekolah Tinggi ini didirikan pada 12 Juli 1965. Sebagai Sekolah Tinggi Peradilan, tugas utamanya adalah memproduksi hakim yang mumpuni dengan cara memberikan kajian intensif tentang ilmu hukum, peradilan dan pengembangan kapasitas penelitian ilmiah. Sekolah Tinggi ini memiliki spesialisasi di bidang peradilan terutama mengenai perbandingan ilmu hukum Islam, peradilan niaga, peradilan perburuhan, peradilan keluarga, peradilan pidana dan peradilan tata usaha negara. Di samping itu, lembaga ini memberikan perhatian serius terhadap pelatihan dan peningkatan kapasitas hakim dengan menyediakan beberapa program pelatihan yang didesain khusus untuk hakim. Sekolah Tinggi Peradilan ini dikenal sebagai lembaga pendidikan tinggi pertama dalam bidang peradilan di SaudiArabia. Tingkatkan Kapasitas Hakim Peserta Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Ekonomi Syariah angkatkan III Tahun 2015 berjumlah 40 orang yang terdiri dari: 2 orang Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Agama, 3 88 orang Ketua Pengadilan Agama, 5 orang Wakil Ketua Pengadilan Agama, 5 orang Hakim Yustisial MA (3 Asisten Hakim Agung & 2 Staf Khusus Dirjen Badilag), dan 25 orang hakim Pengadilan Agama. Ke-40 peserta tersebut mewakili 16 Pengadilan Tinggi Agama dan 35 Pengadilan Agama se-Indonesia. Sebelum berangkat ke Riyadh, ke-40 peserta diberikan pembekalan oleh Ketua Mahkamah Agung RI, Prof. Dr. H. M. Hatta Ali, S.H., M.H., di ruang rapat Wiryono, lantai 2 gedung Mahkamah Agung pada Kamis (9/4/2015). Hadir juga dalam acara pembekalan tersebut, Duta Besar Arab Saudi untuk RI, Rektor LIPIA Jakarta, Wakil Ketua MA Non Yudisial, Ketua Kamar Peradilan Agama, dan Dirjen Badilag. “Saya ucapkan selamat atas terpilihnya saudara-saudara untuk mengikuti diklat ekonomi syariah di Riyadh. Ini patut disyukuri karena Saudara terpilih secara objektif oleh penguji yang memang didatangkan dari Arab Saudi,” kata Ketua MA mengawali ceramahnya. Ketua MA menyambut baik kegiatan diklat ekonomi syariah di Arab Saudi. Menurutnya, kegiatan seperti ini sangat bermanfaat sekali untuk meningkatkan kapasitas hakim peradilan agama dalam penguasaan MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi syariah. Lebih lanjut Ketua MA menegaskan bahwa peningkatan kapasitas hakim peradilan agama dalam penguasaan hukum ekonomi syariah merupakan keniscayaan seiring dengan kewenangan penyelesaian sengketa ekonomi syariah di peradilan agama. “Tugas Saudara ke depan akan semakin berat karena ekonomi syariah terus berkembang pesat. Penguasaan ilmu hukum ekonomi dan ilmu syariah mutlak harus Saudara kuasai,” tegas Ketua MA. Di akhir wejangannya, Ketua MA berpesan agar diklat ekonomi syariah di Riyadh diikuti dengan serius. “Setelah pulang nanti, Saudara punya tugas untuk menyebarkan ilmu yang Saudara peroleh ke hakim-hakim lainnya yang belum ikut diklat ke Saudi,” katanya. EKONOMI SYARI’AH Diklat Ekonomi Syariah angkatkan III Tahun 2015, secara umum,memiliki tujuan yang sama dengan angkatan-angkatan sebelumnya, yaitu untuk meningkatkan kapasitas hakim di bidang ekonomi syariah. Adapun secara spesifik, Sekolah Tinggi Peradilan telah menetapkan tujuannya adalah sebagai berikut: a) Mengkaji isu-isu mengenai hukum transaksi keuangan perbankan syariah kontemporer, hukum keluarga kontemporer, serta metode penyelesaian sengketa dalam peristiwa konkret; b) Meningkatkan kerjasama antara Universitas Islam AlImam Muhammad Ibnu Suud, Riyadh, Saudi Arabia melalui Sekolah Tinggi Peradilan, dengan Mahkamah Agung Republik Indonesia; Selanjuntya, c) Mengkaji tentang hukum kewarisan dan pembagian harta warisan melalui metode teori dan praktik; d) Mengkaji hukum pembuktian dan bukti permulaan kontemporer; e) Meningkatkan kapasitas peserta dengan wawasan dan keilmuan melalui metode teori dan praktik agar dapat berkontribusi u n t u k ke m a j u a n p e ra d i l a n d i Indonesia; f) Mengkaji teori penemuan hukum dan teknik penyusunan putusan; g) Meningkatkan kapasitas peserta dalam dan kemampuan menyampaikan pengalaman. Selama kurang lebih 40 hari, para peserta telah dijadwalkan oleh Sekolah Tinggi Peradilan untuk mengikuti serangkaian kegiatan dari tanggal 10 April 2015 sampai dengan tanggal 14 Mei 2015.Pemberangkatan peserta dari Jakarta ke Riyadh dilaksanakan pada hari Jumat 10 April 2015 Pukul 15.35 WIB. Kegiatan Diklat dimulai sejak Minggu 12 April 2015 s.d. Tanggal 6 Mei 2015. Selanjutnya, melakukan perjalanan umrah pada 713 Mei 2015. Kemudian kembali ke Jakarta pada Rabu 13 Mei 2015 dan tiba di Jakarta pada Kamis 14 Mei 2015 Pukul 11.00 WIB. Biaya Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Ekonomi Syariah angkatkan III Tahun 2015 ini, baik transportasi udara Jakarta-Riyadh-Madinah-JedahJakarta, transportasi darat, dan akomodasi para peserta selama berada di Saudi Arabia, sepenuhnya ditanggung oleh Kerajaan Saudi Arabia melalui Sekolah Tinggi Peradilan, Universitas Islam Al-Imam Muhammad Ibnu Suud, Riyadh, Saudi Arabia. Materi Primadona Materi Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Ekonomi Syariah angkatkan III Tahun 2015 ini difokuskan pada ekonomi syariah yaitu: Transaksi Bisnis Modern(al-Mu'amalaat alMaaliyah al-Mu'aashirah), Metode Pembuktian dan Bukti Permulaan (Thuruq al-Itsbaat wa al-Qaraain), Problematika Hukum Keluarga Terkini (Nawazul fi Fiqh al-Usrah), Teori Akad (Nadzariyah al-Aqd), Pembagian Warisan dan Harta (Qismah al- M a w a r i t s w a a l - T i rka a t ) , d a n Manajemen Peradilan (Idaarah al'Amaliyah al-Qadlaiyyah). Materi-materi tersebut diajarkan pada sesi pagi hari, sedangkan materi pada sore hari (muhadlorohmasaiyah) bersifat pemahaman akidah, tauhid, dan akhlak. Dari keseluruhan materi yang diberikan, transaksi bisnis modern menjadi primadona para peserta. Dosen yang berpengalaman dan ahli di bidangnya, serta kajian mendalam tentang ekonomi syariah, menjadi alasan bagi peserta betah duduk di ruang pelatihan lantai tiga Sekolah Tinggi Peradilan. Antusias para peserta begitu tinggi untuk memperdalam berbagai materi diklat tersebut, terutama materi yang berkaitan dengan ekonomi syariah. Tak ayal, saking antusiasnya, para dosen yang memberikan materi sering dihujani pertanyaan. Hal ini menjadikan suasana belajar menjadi menarik karena ada interaksi antara dosen dan peserta. Selain materi yang telah dijadwalkan tersebut, para peserta juga mendalami perkembangan ekonomi dan keuangan syariah di Saudi Arabia, model penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Saudi Arabia dan analisis putusan ekonomi syariah yang dikeluarkan oleh pengadilan setempat. |Edi Hudiata| MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 89 JINAYAH PEMBERLAKUAN QANUN JINAYAT HINGGA FENOMENA CAMBUK ACEH Masyarakat Aceh boleh berbangga, pasalnya pada Oktober 2015 mendatang Qanun Nomor 6 Tahun 2014 akan diberlakukan efektif. Qanun yang dinilai sebagai hukum materil jinayat itu, sejak 22 Oktober 2014 telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) bersama pemerintah daerah dan telah diundangkan dalam lembaran Aceh Nomor 7 di tahun yang sama. 90 MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 Sumber foto: www.metrotvnews.com JINAYAH Berdasarkan ketentuan Pasal 75 Qanun Nomor 6 Tahun 2014 bahwa qanun jinayat secara otomatis berlaku efektif setahun sejak diundangkan yaitu pada tanggal 23 Oktober 2015 yang akan datang. Dalam acara seminar sehari yang diadakan Mahkamah Syar'iyah Aceh pada tanggal 4 Agustus 2015 lalu, Ketua Mahkamah Syar'iyah Aceh Drs. H. Jufri Ghalib, SH, MH ingin meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa aparat penegak hukum di Aceh siap melaksanakan Qanun tersebut. Keinginan Mahkamah Syar'iyah direspon positif oleh Dinas Syariat pun sependapat, menurut Drs. H. Jufri Ghalib, SH, MH, kewenangan absolut Mahkamah Syar'iyah dalam mengadili perkara jinayat sudah diatur dalam Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam serta telah dirincikan dalam beberapa qanun yang telah terbit. “Hal-hal yang bersifat teknis yustisial atau hukum acara jinayat yang tidak diatur dalam qanun acara jinayat, para hakim tetap merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), caranya d e n ga n m e n gh a r m o n i s a s i ka n pelaksanaannya sesuai dengan asas- Islam Aceh, Kepolisian Daerah, dan Kejaksaan di Aceh. Empat instansi hukum itu, satu suara dalam menyikapi efektifitas pemberlakuan Qanun Jinayat sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing. Direktur Pusat Mediasi dan Konsultasi Hukum Al-Hikmah Aceh sekaligus inisiator seminar sehari bertajuk “Evaluasi Kritis Implementasi Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Jinayat dan Kesiapan Penegak Hukum di Aceh” Drs. H. Soufyan M. Saleh, SH, MM meyakini, bahwa baik masyarakat maupun penegak hukum mampu melaksanakan isi materi dalam Qanun Jinayat yang akan berlaku. Menurut mantan Ketua PTA Medan tersebut, kedudukan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 adalah sebagai hukum materil jinayat, sedangkan Qanun Nomor 7 Tahun 2013 adalah hukum acara jinayat. Ketua Mahkamah Syar'iyah Aceh asas syariat Islam,” tulis ketua Mahkamah Syar'iyah Aceh dalam rumusan hasil seminar. Mahkamah Syar'iyah Kutacane 6 kasus, Mahkamah Syar'iyah Singkil 5 kasus, Mahkamah Syar'iyah Banda Aceh dan Mahkamah Syar'iyah Takengon masing-masing 4 kasus, Mahkamah Syar'iyah Jantho, Sinabang, dan Simpang Tiga Redelong masingmasing 2 kasus, dan Mahkamah Syar'iyah Sabang hanya menangani satu kasus maisir, sedangkan Mahkamah Syar'iyah Tapaktuan, Lhokseumawe, Blangkeujeren, dan Mahkamah Syar'iyah Calang tidak mendapatkan perkara apapun bidang jinayat. Masih di tahun 2014, perkara maisir yang naik banding sebanyak satu perkara berasal dari Mahkamah Syar'iyah Banda Aceh dan satu perkara khalwat dari Mahkamah Syar'iyah Takengon. Masih sama dengan tahun lalu, sejak Januari hingga Juni tahun 2015, perkara maisir mendominasi sebanyak 28 kasus, menyusul perkara khalwat sebanyak 6 kasus, dan satu kasus untuk khamar. Mahkamah Syar'iyah Sigli masih menduduki peringkat atas sebanyak 9 perkara maisir yang diterima dan diputuskan, disusul Mahkamah Syar'iyah Meulaboh dan Mahkamah Syar'iyah Jantho sebanyak 4 kasus maisir, sedangkan Mahkamah Syar'iyah Banda Aceh sebanyak 4 perkara khalwat telah diputuskan. Perkara Maisir Mendominasi Mahkamah B e rd a s a r k a n data dari Mahkamah Syar'iyah Aceh, sepanjang tahun 2014 lalu perkara maisir (perjudian) mendominasi meja hijau Mahkamah Syar'iyah di Aceh sebanyak 87 kasus, menyusul perkara khalwat sebanyak 8 perkara, dan khamar hanya satu perkara. Dari jumlah 87 kasus maisir tersebut, Mahkamah Syar'iyah Sigli paling banyak menangani dan menyelesaikan sebanyak 21 kasus, menyusul Mahkamah Syar'iyah Langsa 9 kasus, Mahkamah Syar'iyah Meureudu 8 kasus, Mahkamah Syar'iyah Bireuen dan Mahkamah Syar'iyah Idi masing-masing 7 kasus, Menurut Ketua Mahkamah Syar'iyah Langsa, kebanyakan masyarakat Aceh menyangsikan pelaksanaan qanun tersebut akan berjalan efektif, karena selama ini qanun yang telah terbit seperti qanun khomar, maisir dan khalwat di beberapa daerah tidak berjalan efektif. MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 91 JINAYAH “Sebagai contoh qanun nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat Islam hampir dapat dikatakan tidak berjalan sama sekali. Di dalam qanun tersebut dinyatakan bahwa bagi seorang muslim yang tidak salat jumat 3 kali berturut-turut dapat di hukum cambuk. Sifat tebang pilih atau hukum yang tajam ke bawah terasa sekali karena hampir 99 percent terpidana yang kena hukuman cambuk adalah masyarakat kalangan bawah,” tulis Drs. Zulkarnain Lubis, MH dalam surat elektronik kepada redaktur pada Sabtu 15 Agustus 2015. Mengamati data perkara jinayat yang masuk Mahkamah Syar'iyah Aceh sepanjang tahun 2014, para terpidana dari kalangan berpenghasilan rendah, seperti tukang becak, mocok-mocok, pekerjaan tidak tetap bahkan ada yang hanya ibu rumah tangga biasa. Perbuatan maisir tersebut adalah maisir kelas bawah dengan jumlah taruhan minimal Rp.54.000,- (lima puluh empat ribu rupiah) dan maksimal Rp700.000,- (tujuh ratus 92 ribu rupiah) sampai Rp1.400.000,(satu juta empat ratus ribu rupiah). Menurut Zulkarnain Lubis, fenomena Eksekusi pencambukan khususnya di daerah Langsa masih perlu banyak pembenahan, terutama masalah eksekusi di lapangan yang terkesan tidak dikelola secara profesional. “Sebagai contoh yang terjadi di lapangan, eksekusi cambuk dihadiri oleh masyarakat yang belum berumur 18 tahun, tidak dihadiri oleh hakim Pengawas dari Mahkamah Syariyah, jarak antara pengunjung dan tempat pencambukan yang terlalu dekat sehingga terkesan semrawut, terpidana tidak dapat dieksekusi karena sudah tidak berada di tempat dan lain sebagainya” tulis mantan wakil ketua PA Sibolga. Meskipun demikian, secara keseluruhan upaya penegakan hukum Jinayat di seluruh Aceh dan khususnya kota Langsa telah mempersempit ruang gerak pelaku tindakan jarimah. Masyarakat kalangan terdidik dapat dipastikan sangat takut jika dicambuk MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 di tempat terbuka akibat tindakan pelanggaran hukum jinayat. Hal itu disebabkan praktik hukuman cambuk di Aceh memang berbeda dengan di Malaysia atau Pakistan. Menurut Zulkarnain Lubis, cambuk di Malaysia benar-benar melukai, seorang yang kena cambuk akan mengalami proses penyembuhan cukup lama bahkan berbulan-bulan, sedangkan hukuman cambuk di Aceh hanya memberikan efek malu. “Sebagaimana diatur di dalam Peraturan Gubernur Nomor 10 tahun 2005 tentang petunjuk teknis pelaksanaan Uqubat cambuk sehingga tidak melukai tetapi lebih kepada memberikan efek malu kepada masyarakat. Penulis menilai cambuk Aceh lebih syar'i dibanding dengan praktik cambuk di negara lain. Karena memang praktik hukum cambuk di zaman Rasulullah dan sahabat tidak terlalu keras dan tidak pula terlalu lembut,” tulisnya di akhir surat elektronik. |Alimuddin| RESENSI Judul Buku : Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin Dalam Perspektif Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Penulis : Dr. I Nyoman Sujana, S.H., M.Hum. Peresensi: Ilman Hasjim, S.H.I., M.H. Penerbit : Aswaja Pressindo Tahun : I, Januari 2015 Tebal : xiii, 267 halaman RATIO LEGIS ANAK LUAR KAWIN M ajelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengesahkan Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of Child) dan kemudian berlaku sebagai hukum internasional. Dalam Konvensi ini telah melahirkan 5 (lima) prinsip perlindungan anak, yaitu (1) active protection, (2) nondiscrimination, (3) the best interest of the child, (4) the right to life, survival, and development, dan (5) respect for the views of the child. Semangat prinsip-prinsip di atas juga ikut mengilhami lahirnya UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014. Hingga keluarnya UndangUndang Perlindungan Anak di atas, sampai sekarang kesejahteraan anak dan pemenuhan hak-hak anak masih jauh dari harapan. Termasuk anak yang lahir di luar perkawinan yang sah atau biasa disebut dengan “anak luar kawin”. MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 93 RESENSI Medio Februari 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) membuat simpulan hukum yang mengejutkan banyak pihak. Putusan Nomor 46/PUUVIII/2010 terkait pengakuan terhadap kedudukan hukum bagi anak luar kawin, namun tidak mengatur secara jelas kedudukan serta hak-haknya. Di dalam putusan tersebut tidak memberi batasan yang pasti tentang pengertian anak luar kawin dimaksud, apakah termasuk anak hasil perzinahan, anak sumbang, ataukah anak hasil dari perkawinan di bawah tangan, sehingga masih terdapat norma yang kabur. Beranjak dari adanya ketidakjelasan aturan tentang hak-hak keperdataan anak luar kawin dan batasan tentang anak luar kawin masih sangat luas, maka I Nyoman Sujana menulis buku ini dengan meneliti mengenai anak luar kawin yang lahir sebagai akibat dari perkawinan di bawah tangan. Perkawinan tersebut dilakukan oleh ayah biologisnya yang masih terikat tali perkawinan sah dengan isterinya, dan isteri tersebut tidak menyetujui suami untuk berpoligami. Sebagai seorang akademisi juga praktisi (advokat), penulis cukup mumpuni menganilisis persoalan di atas. Kapasitas sebagai ahli hukum perdata dan hukum waris Universitas Warmadewa, Denpasar, kemudian coba dikembangkan penulis dalam uraian disertasi yang sudah lolos uji. Melalui telaah filosofis, teori-teori hukum, serta konsep yang lugas dan sederhana, ia mencoba menawarkan hubungan perdata antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya. Putusan MK diakui telah menciptakan adanya pro dan kontra dari berbagai pihak, baik akademisi, para praktisi hukum, agamawan, maupun di dalam masyarakat Muslim. Bagi yang pro, putusan di atas dinyatakan sebagai terobosan hukum yang sangat mulia. Sedang bagi yang kontra, jelas putusan tersebut dianggap sebagai norma yang akan melegalkan perzinahan, perselingkuhan, dan hubungan suami isteri yang tidak sah lainnya. Hal mana, perilaku 94 di atas sudah sangat bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia yang berdasar atas Pancasila (hal. 14). Menurut Pasal 42 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang dimaksud anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sedang untuk terminologi anak luar kawin tidak diatur secara jelas. Namun dari ketentuan bunyi pasal di atas, berdasarkan logika argumentum a contrario, anak yang dilahirkan di luar perkawinan disebut sebagai anak luar kawin (hal. 56). Makna kawin di bawah tangan cukup dekat dengan istilah perkawinan yang kerap terjadi di kalangan umat Islam Indonesia. Hal ini terasa wajar, karena sebagian m a s ya ra k a t M u s l i m m eya k i n i , perkawinan yang telah cukup rukun dan syarat, maka bisa dinyatakan sah. Meskipun perkawinan itu tidak memiliki kekuatan hukum tertulis. Fenomena yang tampaknya dianggap lumrah, karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Kebijakankebijakan hukum yang dibuat dan diundangkan (masih) tetap mengakomodir kepentingan umat Islam. Termasuk di dalamnya undangundang tentang perkawinan. Ajaran agama tentang perkawinan, tidak jarang sangat mempengaruhi aturan perkawinan yang dibuat sebuah negara. Misalnya, dalam sejarah Perancis, yang sebagian rakyatnya memeluk agama Katholik, dan cerai tidak diperbolehkan. Maka hukum yang mengatur perkawinan juga tidak memperbolehkan cerai. Hal tersebut dimasukkan dalam bidang openbaar orde atau ketertiban umum yang tidak boleh dilanggar (hal. 132). Kedudukan anak luar kawin yang lahir dari perkawinan di bawah tangan oleh ayah biologis yang masih terikat perkawinan sah dengan isterinya, nampaknya belum mendapatkan keadilan di negara yang berdasar atas hukum. Posisi anak luar kawin masih sangat lemah. Ditinjau dari teori perlindungan hukum, dalam suatu MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 hubungan hukum, jika salah satu berada lebih lemah, maka pihak marjinal tersebut harus mendapat perlindungan negara dalam bentuk instrumen hukum dan peraturan perundang-undangan (hal. 180). Putusan MK pada dasarnya tidak mengubah status anak luar kawin menjadi anak sah. Sekalipun putusan itu menyatakan adanya hubungan perdata antara anak luar kawin dengan ibu dan bapaknya serta keluarga ibu dan bapaknya. Kedudukan anak luar kawin berbeda dengan anak sah, karena kedudukan ini akan berimplikasi pada pewarisan yakni adanya perbedaan pembagian warisan anak luar kawin dan anak sah (hal. 236). Terlepas adanya pro kontra, dalam literatur Islam Indonesia, makna nikah bawah tangan cukup beragam. Selain seperti dimaksud penulis, juga mencakup mereka yang melakukan pernikahan pertama, tapi tidak tercatat. Sekadar catatan, agar tidak mempersempit makna adanya anak luar kawin akibat perkawinan bawah tangan. Karena adanya implikasi hukum lain, perlu kehatihatian dalam menelaah arti kawin di bawah tangan. Meskipun demikian, hasil penelitian yang kini menjadi sebuah buku teks, memberi khazanah baru dalam hukum keluarga tanah air, khususnya dalam membahas kedudukan hukum anak luar kawin. Dan, bagi pembaca, karya I Nyoman Sujana ini menarik untuk dijadikan bahan bacaan dan diskusi oleh segenap praktisi maupun akademisi. Terlebih penulis melihatnya dari perspektif berbeda dalam menelaah persoalan anak luar kawin. Di samping itu, karena putusan MK adalah final dan mengikat, maka dalam mengambil kesimpulan hukum terkait kedudukan anak luar kawin dan segala implikasi hukum materiilnya, hakim dapat memberi s o l u s i h u ku m ya n g re s p o n s i f . Termasuk bisa menghilangkan adanya kekaburan norma atas kedudukan hukum anak luar kawin. POJOK DIRJEN Tiga Generasi Peradilan Agama Oleh: Abdul Manaf S uatu ketika, seorang mantan pejabat menghadiri sebuah acara. Dia tidak lagi datang dengan mobil sedan mewah yang dulu jadi kendaraan dinasnya. Dia juga tanpa didampingi sopir pribadi dan ajudan. Dia datang seorang diri, dengan menenteng tas sendiri. Tidak tersedia kursi khusus untuknya. Dia yang dulu selalu duduk di depan, sekarang harus duduk di belakang, berbaur dengan yang lain. Tidak hanya itu, orang-orang dalam acara itu seperti tidak pernah kenal mantan pejabat itu. Menyapa pun tidak. Seakan-akan mantan pejabat itu sejenis barang kadaluarsa yang tak berguna. MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015 95 POJOK DIRJEN Sampai acara selesai, namanya tidak pernah disebut-sebut. Orang-orang pun enggan datang menghampirinya, apalagi mengajaknya bercakap-cakap, meskipun mereka tahu betul, dulu pejabat itu sangat berkuasa dan para bawahan selalu mengerubutinya. Ketiga generasi itu memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Seorang pemimpin dari generasi sahabat belum tentu cocok jadi pemimpin di era tabiit tabiin. Sebaliknya, seorang pemimpin dari generasi tabiit tabiin belum tentu cocok jadi pemimpin di era sahabat. *** Agama kita mengajari kita untuk bersikap takzim kepada orang tua, sesepuh dan guru kita. Sikap hormat itu Peristiwa itu pernah saya lihat sendiri. Namun itu tidak semata-mata dilandasi oleh ada atau tidaknya tidak terjadi di lingkungan peradilan agama. Tidak juga jabatan yang melekat padanya. Penghormatan itu lebih melibatkan warga peradilan agama. karena kita, secara pribadi dan lembaga, berutang budi Saya merasa ada yang janggal di situ. Bagaimanapun padanya. Tanpa jerih payah generasi terdahulu, tidak juga, meskipun sudah tidak lagi punya jabatan penting akan ada kejayaan yang dialami generasi sekarang. dan strategis, dia tetaplah seorang hamba Allah yang Selaras dengan itu, dalam masyarakat kita ada pernah berjasa pada institusi. Tidak elok dia filosofi "mikul dhuwur mendem jero". Maksudnya, apadiperlakukan seperti itu. apa yang baik dari sesepuh kita, mari kita teladani dan Soal fasilitas dan protokoler, itu urusannya negara. kita ungkapkan ke mana-mana. Di sisi lain, apa-apa yang Tapi soal kepedulian dan keramahtamahan, itu urusan buruk dari sesepuh kita, tidak perlu kita ikuti dan mari kita. Karena itu, meskipun seseorang tidak lagi kita tutup serapat-rapatnya. punya jabatan dan tidak punya kekuasaan Kadang-kadang, ketika menghadapi untuk menentukan karir kita, bukan persoalan tertentu, generasi muda kurang berarti dia tidak perlu kita pedulikan. menghargai generasi tua, bahkan Kita akui, sesungguhnya, di kadang menyepelekan. Mereka lupa, lingkup apapun, selalu ada Soal fasilitas dan protokoler, orang tua pernah muda, tapi orang kesenjangan antargenerasi. muda belum pernah tua. itu urusannya negara. Biarpun begitu, idealnya setiap Itu bisa terjadi karena generasi generasi memperlakukan muda cenderung ingin segalanya Tapi soal kepedulian generasi sebelumnya dengan berlangsung serba cepat, serba dan keramahtamahan, selayak-layaknya. instan. Sebaliknya, generasi tua Di lingkungan peradilan cenderung lebih bijaksana dengan itu urusan kita. agama, jika kita menganalogikan menimbang maslahat dan dengan generasi pasca Rasulullah mudharatnya. SAW, maka kita akan menemukan tiga Antara generasi muda dan generasi. generasi tua harus ada tali penghubung. Pertama, generasi sahabat. Mereka Ada silaturrahmi. Ada kesinambungan adalah sesepuh-sesepuh peradilan agama yang p e m i k i ra n d a n s e m a n ga t u n t u k te r u s seluruhnya sudah purnabhakti, bahkan kebanyakan memajukan lembaga. Karena itu, generasi muda harus sudah kembali ke sisi Allah SWT. Mereka tahu dan menimba ilmu dan pengalaman sebanyak-banyaknya merasakan betul pasang-surut eksistensi peradilan dari generasi tua. Jangan lupa pula untuk membiasakan agama. Mereka berjuang dengan pikiran, tenaga, juga diri mendoakan generasi tua agar senantiasa sehat dan harta benda. Mereka tidak sempat menikmati buah dapat terus mengabdi dan berkarya, meskipun di luar perjuangan itu. lingkup peradilan agama. Kedua, generasi tabiin. Mereka adalah orang tuaJika kebetulan berjumpa dalam sebuah acara, orang tua kita yang sebagian masih menjabat dan hendaknya generasi muda lebih peka untuk terlebih mengabdi, namun sebagian lainnya telah purnabhakti. dahulu bertegur sapa, mengucapkan salam dan Mereka penerus langsung generasi sahabat. Mereka mendampinginya jika diperlukan. Jangan pernah merasakan pahitnya perjuangan, sekaligus mencicipi menganggap mereka sejenis barang kadaluarsa yang tak manisnya hasil perjuangan. berguna. Ketiga, generasi tabiit tabiin. Kebanyakan dari kita Dengan maupun tanpa jabatan, para sesepuh kita tergolong generasi ini. Kita tidak ikut merasakan adalah orang-orang mulia. Dengan memuliakan mereka, susahnya perjuangan, tapi justru merasakan buah insya Allah kita akan tertular menjadi orang mulia pula. perjuangan. Sisi negatifnya, kita jadi kurang tahan banting Akhirnya, kita mesti ingat ungkapan lama: setiap orang dan gampang mengeluhkan ini-itu. ada masanya dan setiap masa ada orangnya. (*) “ “ 96 MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015