EVALUASI ELEKTROKARDIOGRAM KELINCI

advertisement
EVALUASI ELEKTROKARDIOGRAM KELINCI NEW ZEALAND
WHITE (Oryctolagus cuniculus) DENGAN IMPLANTASI BIFASIK
KALSIUM FOSFAT PADA KERUSAKAN SEGMENTAL TULANG
RIDZKI MUHAMMAD LUTHFI MEGAPASHA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi
Elektrokardiogram Kelinci New Zealand White (Oryctolagus cuniculus) dengan
Implantasi Bifasik Kalsium Fosfat pada Kerusakan Segmental Tulang adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Ridzki Muhammad Luthfi Megapasha
NIM B04100172
ABSTRAK
RIDZKI MUHAMMAD LUTHFI MEGAPASHA. Evaluasi Elektrokardiogram
Kelinci New Zealand White (Oryctolagus cuniculus) dengan Implantasi Bifasik
Kalsium Fosfat pada Kerusakan Segmental Tulang. Dibimbing oleh RIKI
SISWANDI dan GUNANTI.
Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi elektrokardiografi kelinci New
Zealand White setelah penanaman implan tulang bifasik kalsium fosfat. Penelitian
ini dilakukan pada 18 ekor kelinci New Zealand White jantan berumur 6 bulan
dengan berat badan 2,5-4 kg yang dibagi menjadi dua kelompok perlakuan.
Kelompok perlakuan pertama mendapat implan tulang BKF I yang merupakan
kombinasi 70% hidroksiapatit (HA) dan 30% beta trikalsium fosfat (β-TKF).
Kelompok perlakuan kedua mendapat implan BKF II yang merupakan kombinasi
60% HA dan 40% β-TKF. Kerusakan segmental tulang dibuat pada 1/3 proksimal
medial os tibia dekstra secara aseptis. Penanaman implan tulang dilakukan pada
lokasi kerusakan. Pemeriksaan EKG dilakukan dalam keadaan hewan teranestesi
dengan posisi left recumbency pada saat praoperasi (hari ke-0) dan pascaoperasi
(hari ke-30, 60, dan 90). Berdasarkan evaluasi, diperoleh nilai amplitudo
gelombang P yang berbeda nyata (p<0.05) pada kelompok BKF II hari ke-60.
Frekuensi jantung secara keseluruhan cenderung mengalami peningkatan. Nilai
frekuensi jantung pada kelompok BKF II hari ke-30 dan 90 berbeda nyata
(p<0.05) terhadap nilai pra-operasi. Secara keseluruhan, aktivitas jantung tidak
terpengaruh oleh penanaman implan tulang.
Kata kunci: Bifasik kalsium fosfat (BKF), elektrokardiogram, implan tulang,
kelinci new zealand white.
ABSTRACT
RIDZKI MUHAMMAD LUTHFI MEGAPASHA. Electrocardiogram Evaluation
of New Zealand White Rabbit (Oryctolagus cuniculus) with Biphasic Calcium
Phospate Implantation on Segmental Bone Defect. Supervised by RIKI
SISWANDI and GUNANTI.
This study was aimed to evaluate the electrocardiographic activity of New
Zealand White rabbits following biphasic calcium phosphate bone cement
implantation. Eighteen male New Zealand White rabbits aged 6 months and 2.5-4
kgs of body weight were divided into two groups. The first group received BCP I
implant which contains 70% hydroxyapatite (HA) and 30% beta tricalcium
phospate (β-TCP). The other group received BCP II implant which contains 60%
HA and 40% β-TCP. Segmental bone damage was made aseptically in one-third
proximal medial of tibial bone. Bone implantation was performed at damaged
location. The ECG examination was done in anesthetized condition with left
recumbency position. Amplitudo value of P wave was significantly different
(p<0.05) in BCP II group on day 60. Heart rate values tends to be increased. The
heart rate values of BCP II group on day 30 and 90 were significantly different
(p<0.05) from pre-operative condition. Overall, heart activity was not affected by
bone implantation.
Keywords: Biphasic calcium phosphate, bone implant, electrocardiogram, new
zealand white rabbit.
EVALUASI ELEKTROKARDIOGRAM KELINCI NEW ZEALAND
WHITE (Oryctolagus cuniculus) DENGAN IMPLANTASI BIFASIK
KALSIUM FOSFAT PADA KERUSAKAN SEGMENTAL TULANG
RIDZKI MUHAMMAD LUTHFI MEGAPASHA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2013 ini mengenai implantasi tulang
tibia pada kelinci dengan judul “Evaluasi Elektrokardiogram Kelinci New Zealand
White (Oryctolagus cuniculus) dengan Implantasi Bifasik Kalsium Fosfat pada
Kerusakan Segmental Tulang”. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian
payung dengan judul “Penggunaan Bahan Tandur Tulang Kombinasi BetaTrikalsium Fosfat dan Bifasik Kalsium Fosfat sebagai Materi Substitusi pada
Kerusakan Segmental Tulang” yang didanai oleh hibah BOPTN dan diketuai oleh
peneliti utama Dr Drh Gunanti, MS.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Drh Riki Siswandi, MSi
selaku pembimbing I, Dr Drh Gunanti, MS selaku pembimbing II, Dr Drh Susi
Soviana, MSi selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan
dukungan dan arahan kepada penulis, serta Dr. Kiagus Dahlan yang telah
memberikan sumbangan material implan tulang yang digunakan dalam penelitian
ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua tercinta, abang,
kakak, adik, dan rekan-rekan penghuni kos Pondok Tepi Barat atas segala doa dan
dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada tim mahasiswa departemen Fisika dan
rekan-rekan sepenelitian atas kerja samanya. Semoga penulis dapat menghasilkan
laporan yang bermanfaat khususnya bagi penulis, umumnya bagi pembaca.
Bogor, Februari 2015
Ridzki Muhammad Luthfi Megapasha
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan dan Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Kelistrikan Jantung
Elektrokardiogram
Patah Tulang (Fraktur)
Persembuhan Tulang
Bifasik Kalsium Fosfat (BKF)
Kelinci New Zealand White (Oryctolagus cuniculus)
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Alat dan Bahan
Metode
Tahap Persiapan Hewan
Tahap Perlakuan
Tahap Pengambilan dan Pengolahan Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gelombang P
Kompleks QRS
Interval PR
Segmen ST
Frekuensi Jantung
Mean Electrical Axis (MEA)
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
vi
vi
1
1
2
2
2
2
3
4
4
4
5
5
5
6
6
6
7
7
8
9
10
11
12
13
14
15
15
15
16
19
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pembagian kelompok perlakuan
Amplitudo gelombang P (mV)
Durasi gelombang P (s)
Amplitudo gelombang R (mV)
Durasi kompleks QRS (s)
Durasi interval PR (s)
Durasi segmen ST (s)
Frekuensi jantung (dpm)
Mean electrical axis (°)
6
9
10
10
11
12
12
13
14
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
Sandapan bipolar Standar (segitiga Einthoven)
Grafik EKG
Kelinci New Zealand White (Oryctolagus cuniculus)
Pelet implan tulang
Implan tulang yang telah ditanam
Pemasangan elektroda EKG
Grafik EKG normal pada kelinci
Grafik EKG kelinci dengan amplitudo gelombang P tinggi
3
3
5
6
7
8
8
9
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit tulang dapat disebabkan oleh berbagai faktor baik faktor internal
maupun eksternal. Faktor internal yang dapat menyebabkan penyakit tulang
diantaranya penyakit tumor, malnutrisi terhadap vitamin dan mineral, maupun
usia. Faktor eksternal berupa trauma yang menyebabkan patah tulang ataupun
kelainan bentuk tulang lainnya. Kondisi ini semakin diperparah dengan kurangnya
pengganti tulang yang ideal (Murugan dan Ramakrishna 2004). Kasus patah
tulang yang menyebabkan kehilangan serta kerusakan tulang substansial dan
prosedur bedah seperti pengangkatan tumor tulang. Pemasangan prothesis
persendian panggul dan lainnya juga semakin meningkatkan kebutuhan akan
material pengganti tulang.
Komponen utama senyawa apatit tulang adalah kalsium fosfat yang
memiliki beberapa fase diantaranya trikalsium fosfat (TKF) dan hidroksiapatit
(HA). Menurut Saraswathy et al. (2001) HA merupakan senyawa kalsium fosfat
yang paling stabil. Material pengganti tulang yang biasa digunakan pada teknik
jaringan tulang adalah polimer alam dan matrik keramik. Polimer alam yang
digunakan adalah kolagen dan kitosan sedangkan untuk matrik keramik
digunakan keramik kalsium fosfat seperti HA dan TKF (Paul dan Sharma 2005).
Hidroksiapatit terdapat dalam tulang alami dan merupakan komposisi natural
tulang yang dapat berguna sebagai material pengganti tulang (Yoshida et al. 2004).
Kombinasi yang seimbang antara tahap yang lebih stabil (HA) dan yang lebih
mudah larut (β-TKF) memungkinkan perumusan bifasik kalsium fosfat (BKF)
dengan laju disolusi terkontrol dan sifat mekanik yang berbeda (LeGeros dan
Daculsi 1997). Material BKF diyakini sebagai alternatif yang paling menjanjikan
dan terbaik untuk rekonstruksi tulang. Material BKF dapat mengatasi kekurangan
dari autografts dan allografts seperti biaya, ketersediaan, trauma tambahan pada
kasus autografts, serta resiko penularan penyakit pada kasus allografts.
Menurut PAPSRS (2006), bone cement implatation syndrome (BCIS)
dapat terjadi pada penggunaan semen tulang. Penggunaan semen tulang
memproduksi tekanan intramedulari yang tinggi dan memaksa sumsum tulang
masuk ke dalam sirkulasi sehingga terjadi perubahan kardiopulmonari.
Monitoring sistem respirasi dan kardiovaskuler pascaoperasi penting dilakukan
pada persembuhan pasien yang mengalami trauma ortopedik (Scott dan
McLaughlin 2007).
2
Perumusan Masalah
Dengan latar belakang di atas, maka masalah penelitian dirumuskan
sebagai berikut:
1. Adakah dampak perlakuan penanaman material implan tulang pada
tulang kelinci terhadap gambaran EKG jantung?
2. Bagaimanakah fungsi jantung selama masa persembuhan tulang yang
diinduksi dengan material implan tulang?
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelititan ini bertujuan untuk mengevaluasi aktivitas elektrokardiografi
jantung kelinci White New Zealand (Oryctolagus cuniculus) setelah penanaman
implan tulang bifasik kalsium fosfat pada kerusakan segmental tulang serta untuk
mengetahui pegaruhnya terhadap aktivitas jantung. Penelitian ini bermanfaat
untuk mengetahui efektivitas dan biokompatibilitas kedua jenis implan sebagai
material substitusi tulang.
TINJAUAN PUSTAKA
Kelistrikan Jantung
Jantung terdiri atas bagian kanan yang memompakan darah ke paru-paru
dan jantung kiri yang memompakan darah ke seluruh tubuh. Setiap bagian jantung
yang terpisah ini merupakan dua ruang pompa yang dapat berdenyut, yang terdiri
atas atrium dan ventrikel (Guyton dan Hall 2007). Jantung terdiri atas tiga tipe
otot jantung yang utama yaitu otot atrium, otot ventrikel, dan serat otot khusus
pencetus dan penghantar rangsangan. Struktur yang membentuk sistem
penghantar adalah simpul sinoatrial (SA node), lintasan antar simpul di atrium
yaitu simpul atrioventrikular (AV node), berkas His dan cabang-cabangnya, dan
serabut Purkinje. Simpul SA merupakan pacu jantung normal, kecepatannya
mengeluarkan listrik menentukan frekuensi jantung. Impuls yang dibentuk dalam
SA node berjalan melalui lintasan atrium ke ventrikel (AV node) dan berlanjut ke
berkas His dan sepanjang cabang-cabang berkas His melalui serabut Purkinje ke
otot ventrikel (Guyton dan Hall 2007).
Aktivitas listrik jantung terlihat pada proses depolarisasi dan repolarisasi.
Depolarisasi yang dimulai pada simpul SA disebarkan secara radial ke seluruh
atrium kemudian semuanya bertemu di simpul AV. Seluruh depolarisasi atrium
berlangsung selama kira-kira 0.1 detik, oleh karena hantaran di simpul AV lambat,
terjadi perlambatan kira-kira 0.1 detik (perlambatan AV node) sebelum eksitasi
menyebar ke ventrikel. Gelombang depolarisasi dari puncak septum menyebar
secara cepat di dalam serabut Purkinje ke semua bagian ventrikel (Ganong 2002).
3
Elektrokardiogram
Elektrokardiogram (EKG) merupakan rekaman aktivitas listrik jantung.
Rekaman EKG dapat menjadi alat bantu dalam mendiagnosa kelainan jantung.
Elektrokardiogram dapat direkam dengan menggunakan elektroda aktif atau
elektroda eksplorasi yang dihubungkan dengan elektroda indiferent pada potensial
nol (rekaman unipolar) atau dengan menggunakan dua elektroda aktif (rekaman
bipolar). Rekaman bipolar dilakukan dengan bipolar standar lead Einthoven.
Segitiga dengan jantung pada pusatnya (segitiga Einthoven) dapat diperkirakan
dengan menempatkan elektroda pada kedua lengan dan tungkai kiri (Ganong
2002).
Gambar 1 Sadapan bipolar standar (segitiga Einthoven) (Dharma 2009)
Elektrokardiogram normal terdiri atas sebuah gelombang P, sebuah
kompleks QRS, dan sebuah gelombang T. Kompleks QRS terdiri atas tiga
gelombang yang terpisah, yakni gelombang Q, gelombang R, dan gelombang S,
tetapi tidak semua selalu ditemukan (Guyton dan Hall 2007). Frekuensi jantung
merupakan penjumlahan dari interval P-P atau interval R-R pada sadapan bipolar
yang akan terlihat dalam detak jantung per menit. Amplitudo dari gelombang
elektrokardiorafi, amplitudo gelombang P, kompleks QRS, gelombang T terekam
sebagai kekuatan voltage, milivolt (mV). Durasi dari gelombang
elektrokardiografi, durasi gelombang P, kompleks QRS, gelombang T, serta
interval P-R, interval R-R, dan interval Q-T yang merupakan penjumlahan dari
kedua sadapan bipolar dan sadapan unipolar dalam detik (seconds) (Ahmed dan
Sanyal 2008).
Gambar 2 Grafik EKG (Dharma 2009)
4
Patah Tulang (Fraktur)
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
atau tulang rawan. Berdasarkan luka yang ada patah tulang dapat dibagi menjadi
patah tulang terbuka dan patah tulang tertutup (Brinker et al. 2006). Fiksasi patah
tulang tergantung dari derajat keparahan gangguan pada tulang. Patah tulang luka
terbuka dengan tipe comminuted memerlukan fiksasi menggunakan bone grafting.
Sumber bone graft dapat diperoleh dari tulang hewan yang sama (Autograft), dari
tulang spesies yang sama (Allograft), dari tulang spesies yang berbeda (Xenograft),
maupun dari tulang sintetik (Brinker et al. 2006). Persembuhan luka dipengaruhi
faktor mekanik (reduksi dan stabilitas) dan faktor biologi (suplai darah, lokasi
patah tulang, dan luka jaringan lunak). Pulmonary fat embolism dapat menjadi
komplikasi pada persembuhan patah tulang (Scott dan McLaughlin 2007).
Persembuhan Tulang
Persembuhan tulang pada tulang yang patah atau rusak terdiri dari
beberapa fase. Fase hematoma disertai tahap inflamasi yang berlangsung selama
beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri. Fase
proliferatif yaitu terjadinya pembetukan jaringan ikat fibrous dan tulang rawan
(osteoid). Fase proliferatif dimulai pada minggu ke-2 hingga minggu ke-3 setelah
terjadinya fraktur dan berakhir pada minggu ke-4 hingga minggu ke-8. Fase
pembentukan kalus yang merupakan fase lanjutan dari fase hematoma dan fase
proliferatif. Fase konsolidasi yang berjalan perlahan selama beberapa bulan
sebelum tulang cukup kuat untuk menerima beban yang normal. Fase remodelling,
yaitu proses pembentukan dan penyerapan tulang secara terus menerus. Proses ini
terjadi selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun hingga tulang mendekati
bentuk semula, terutama pada anak-anak (Liebermen dan Gary 2005).
Persembuhan tulang tergantung dan dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu aliran
darah pada garis fraktur, reduksi dari fragmen fraktur, serta derajat stabilisasi dari
fragmen fraktur (Piermattei et al. 2006).
Bifasik Kalsium Fosfat (BKF)
Hidroksiapatit dapat ditemukan pada tulang dan gigi manusia.
Hidroksiapatit ini telah menjadi komponen yang lazim digunakan dalam mengisi
kekosongan tulang akibat amputasi atau untuk mempromosikan pertumbuhan
tulang pada pemasangan implan prosthesis. Saat ini telah banyak ditemukan
berbagai fase hidroksiapatit, respon tubuh yang dihasilkan juga berbeda-beda.
Implan tulang juga banyak menggunakan hidroksiapatit seperti pada penggantian
sendi panggul maupun implan gigi. Berbagai studi menyebutkan bahwa
hidroksiapatit ini bersifat osteoinduktif dan menyokong osteointegrasi.
Keramik bioaktif yang sering digunakan untuk perbaikan tulang antara lain
kombinasi kalsium karbonat, kalsium sulfat, kalsium fosfat, hidroksiapatit (HA),
dan bifasik kalsium fosfat (BKF) (terdiri dari campuran inti HA dan β-TKF dari
berbagai HA/β-TKF rasio). Sifat-sifat kimia dan fisik yang bervariasi yang
dihasilkan oleh pH, suhu, dan lama proses sintesis, membuat setiap biomaterial
unik dan mengakibatkan respon jaringan yang berbeda (Daculsi et al. 2003).
5
Kelinci New Zealand White (Oryctolagus cuniculus)
Standar internasional (ISO 10993-6 1994) menyatakan bahwa dalam
penelitian ortopedik, hewan yang dianggap layak untuk percobaan implantasi
material sebagai model bagi manusia adalah anjing, domba, kambing, dan kelinci
(Pearce et al. 2007). Neyt et al. (1998) menjelaskan bahwa salah satu hewan yang
paling umum digunakan untuk penelitian biomedis dan digunakan pada sekitar
35% studi penelitian muskuloskeletal adalah kelinci. Pemilihan spesies ini
didasarkan pada ukuran dan kemudahan dalam penanganan. Kelinci digunakan
karena kematangan tulang dewasa tercapai tidak lama setelah kematangan seksual,
yaitu sekitar usia 6 bulan (Gilsanz et al. 1988), sementara hewan lain
membutuhkan usia kematangan tulang dewasa yang lebih lama. Meskipun tidak
banyak memiliki kesamaan dengan karakter tulang manusia, beberapa persamaan
yang pernah dilaporkan adalah kepadatan mineral tulang dan kekuatan bagian
pertengahan diaphyseal tulang terhadap kepatahan antara kelinci dan manusia
(Wang et al. 1998).
Gambar 3 Kelinci New Zealand White (Oryctolagus cuniculus) sebagai objek
penelitian
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama bulan Juli sampai bulan Oktober 2013.
Pembuatan implan tulang dilakukan di laboratorium Biofisika Departemen Fisika
FMIPA IPB. Operasi implantasi dan pengambilan data elektrokardiogram (EKG)
dilakukan di laboratorium bedah eksperimental Divisi Bedah dan Radiologi,
Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, FKH-IPB.
6
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah perlengkapan bedah,
perlengkapan anestesi per-injeksi, bor tulang, mesin EKG portable (Fukuda M-E
cardiosunny D300®), dan kamera digital yang digunakan untuk kegiatan
dokumentasi. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah 18 ekor kelinci,
implant tulang bifasik kalsium fosfat (BKF), Atropine® 0.25 mg/ml (Atropin, PT
Ethica), Xylazine® 20 mg/ml (Xylazine, Troy Laboratories), Ketamile® 100
mg/ml (Ketamine HCL, Troy Laboratories), Roxine® 100 mg/ml (Enrofloxacine,
Sanbe Farma), Flunixin® 50 mg/ml (Phenol dan Sodium Formaldehyde
Sulphoxylate Dihydrate, Vet Tek), pakan, kertas EKG, dan gel EKG. Bahan
implan yang dibuat terdiri dari dua jenis. Jenis bahan implan pertama merupakan
kombinasi 70% HA dan 30% β-TKF (selanjutnya disebut BKF I). Bahan implan
jenis kedua megandung komposisi 60% HA dan 40% β-TKF (selanjutnya disebut
BKF II). Kedua implan tulang dibuat dalam bentuk pelet dengan diameter ±2 mm
dan panjang ±4 mm.
Gambar 4 Pelet implan tulang
Metode
Tahap Persiapan Hewan
Penelitian ini menggunakan 18 ekor kelinci New Zealand White umur 6
bulan dengan berat badan 2.5-4 kg yang dibagi menjadi dua kelompok perlakuan
(Tabel 1). Kelinci diaklimatisasi selama satu minggu di kandang individu dengan
pencahayaan dan temperatur optimal. Kelinci diberikan obat cacing Albentack900® (Albendazole, Biotek Indonesia) untuk mencegah terjadinya kecacingan.
Tabel 1 Pembagian kelompok perlakuan
Spesies
Kelinci
Kelompok BKF I
(70% HA:30% β-TKF)
n = 9 ekor
kelompok BKF II
(60% HA:40% β-TKF)
n = 9 ekor
7
Tahap Perlakuan
Bahan implan yang digunakan disterilisasi menggunakan alat sterilisator
ultraviolet (UV). Penanaman pelet implan tulang pada kelinci dilakukan dengan
operasi secara aseptik. Penanaman pelet implan tulang dilakukan pada bagian
medial dari diafise os tibia dekstra dengan menggunakan bor tulang untuk
membuat lubang sesuai dengan ukuran pelet implan tulang. Setelah penanaman
pelet, tulang kemudian ditutup dengan urutan penjahitan periosteum, otot,
jaringan subkutan, dan kulit.
Pemeliharaan kelinci mencakup pemeliharaan praoperasi dan pascaoperasi.
Kelinci diberi makan pakan kelinci berupa pelet serta air minum diberikan secara
ad libitum menggunakan wadah plastik setiap pagi dan sore hari. Pemeliharaan
yang dilakukan pascaoperasi adalah pemberian antibiotik Enrofloksasin dosis 4
mg/kg BB (IM) sehari satu kali dan analgesik Flunixin dosis 2 mg/kg BB (IM)
sehari satu kali. Pemberian antibiotik dan analgesik dilakukan selama 5 hari
pascaoperasi. Masing-masing kelompok perlakuan dipanen secara bertahap pada
hari ke-30, 60, dan 90.
Gambar 5 Implan tulang yang telah ditanam
Tahap Pengambilan dan Pengolahan Data
Pengambilan data elektrokardiogram (EKG) dilakukan pada hari ke-0
(praoperasi), 7, 30, 60, dan 90 pascaoperasi. Perekaman EKG pada kelinci New
Zealand White (Oryctolagus cuniculus) dilakukan dalam keadaan terbius.
Perekaman EKG dilakukan dengan kalibrasi 1 mV = 10 mm dengan kecepatan
kertas 50 mm/detik. Perekaman EKG dilakukan pada pagi hari dengan sadapan
basis-apeks (base-apex). Gelombang yang telah diperoleh dari perekaman EKG,
dihitung amplitudo dan durasinya. Data diolah menggunakan perangkat lunak
Microsoft Excel 2007. Data yang telah diolah kemudian dianalisa dengan aplikasi
SPSS 21 menggunakan sistem analisa One-Way ANOVA pada taraf nyata (p<0.05)
dan dilanjutkan dengan uji Duncan. Data hasil analisa kemudian dibandingkan
antara waktu praoperasi dengan waktu pascaoperasi.
8
A
B
Gambar 6 Pemasangan elektroda EKG A) lokasi pemasangan elektroda,
B) pemasangan elektroda pada kelinci saat operasi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gelombang P, Q, R, S, dan T pada elektrokardiogram merupakan tegangan
listrik yang ditimbulkan oleh jantung dan direkam oleh elektrokardiograf dari
permukaan tubuh. Gelombang P disebabkan oleh penyebaran depolarisasi
melewati atrium, yang diikuti oleh kontraksi atrium dan menyebabkan kurva
tekanan atrium naik sedikit segera setelah gelombang P. Beberapa saat setelah
gelombang P timbul, muncul kompleks QRS sebagai hasil depolarisasi pada
ventrikel yang mengawali kontraksi ventrikel dan menyebabkan tekanan ventrikel
mulai meningkat. Kompleks QRS mulai sesaat sebelum sistol ventrikel.
Gelombang T dalam elektrokardiogram mewakili tahap repolarisasi ventrikel,
yaitu waktu pada saat serat-serat otot ventrikel mulai berelaksasi. Gelombang T
terjadi sesaat sebelum akhir dari kontraksi ventrikel (Ganong 2002).
Gambar 7 Grafik EKG normal pada kelinci
9
Gelombang P
Gelombang P yang menunjukkan adanya penyebaran depolarisasi pada
atrium terdiri atas dua bagian. Bagian pertama dari gelombang P menunjukkan
depolarisasi atrium kanan, sedangkan bagian kedua dari gelombang P
menunjukkan depolarisasi atrium kiri (Thaler 2007).
Tabel 2 Amplitudo gelombang P (mV) pada kelinci dengan implan BKF I dan BKF II
berdasarkan waktu
Hari
0
7
30
60
90
Perlakuan
BKF I
0.08±0.02ax
0.07±0.02ax
0.09±0.02ax
0.07±0.03ax
0.06±0.01ax
BKF II
0.07±0.03ax
0.08±0.02ax
0.08±0.02ax
0.12±0.04by
0.06±0.02ax
Keterangan: Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya
perbedaan nyata (p<0.05) antar waktu pengambilan data. Huruf superscript (x,y)
yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata
(p<0.05) antar kelompok perlakuan.
Nilai amplitudo gelombang P menunjukkan hasil yang berbeda nyata
(p<0.05) antar kelompok perlakuan dan antar waktu pengambilan data pada
kelompok perlakuan BKF II 60 hari pascaoperasi (Tabel 2). Peningkatan
amplitudo gelombang P menunjukkan adanya pembesaran pada atrium kanan,
disebut P pulmonal. Kondisi ini sering terjadi akibat adanya gangguan pada paruparu (Thaler 2007).
Gambar 8 Grafik EKG kelinci dengan amplitudo gelombang P tinggi
10
Tabel 3 Durasi gelombang P (s) pada kelinci dengan implan BKF I dan BKF II
berdasarkan waktu
Hari
0
7
30
60
90
Perlakuan
BKF I
0.04±0.01ax
0.04±0.01ax
0.04±0.01ax
0.03±0.01ax
0.04±0.02ax
BKF II
0.04±0.01ax
0.04±0.01ax
0.03±0.01ax
0.04±0.01ax
0.05±0.01ax
Keterangan: Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya
perbedaan nyata (p<0.05) antar waktu pengambilan data. Huruf superscript (x,y)
yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata
(p<0.05) antar kelompok perlakuan.
Hasil evaluasi durasi gelombang P tidak menunjukan nilai yang berbeda
nyata antar waktu pengambilan maupun antar kelompok perlakuan (Tabel 3).
Kelompok BKF I mengalami pemendekan durasi gelombang P pada hari ke-60
dan kembali kepada nilai semula (praoperasi) pada hari ke-90. Kelompok BKF II
mengalami pemendekan durasi gelombang P pada hari ke-30 dan kembali ke nilai
semula pada hari ke-60 dan 90 pascaoperasi. Pemendekan durasi gelombang P
pada hewan percobaan ini diakibatkan oleh penurunan kemampuan depolarisasi
atrium kiri yang terjadi secara tidak signifikan.
Kompleks QRS
Kompleks QRS menunjukan aktivitas depolarisasi otot ventrikel jantung.
Kompleks QRS terdiri atas gelombang Q, gelombang R, dan gelombang S.
gelombang R digambarkan dengan grafik yang melengkung ke atas, sedangkan
gelombang Q dan S digambarkan dengan grafik yang melengkung ke bawah
(Thaler 2007).
Tabel 4 Amplitudo gelombang R (mV) pada kelinci dengan implan BKF I dan BKF II
berdasarkan waktu
Hari
0
7
30
60
90
Perlakuan
BKF I
0.41±0.10ax
0.38±0.14ax
0.29±0.04ax
0.30±0.11ax
0.38±0.10ax
BKF II
0.38±0.10ax
0.31±0.09ax
0.27±0.13ax
0.28±0.09ax
0.24±0.06ax
Keterangan: Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya
perbedaan nyata (p<0.05) antar waktu pengambilan data. Huruf superscript (x,y)
yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata
(p<0.05) antar kelompok perlakuan.
11
Berdasarkan uji yang dilakukan, amplitudo gelombang R tidak
menunjukkan hasil yang berbeda nyata antara pra dan pascaoperasi penanaman
kedua jenis implan maupun antar kelompok perlakuan (Tabel 4). Nilai amplitudo
gelombang R cenderung mengalami penurunan dibandingkan saat praoperasi.
Menurut McManus et al. (2006), penurunan amplitudo gelombang R dapat terjadi
mengikuti peningkatan stroke volume dan tekanan darah.
Tabel 5 Durasi kompleks QRS (s) pada kelinci dengan implan BKF I dan BKF II
berdasarkan waktu
Hari
0
7
30
60
90
Perlakuan
BKF I
0.05±0.01ax
0.05±0.00ax
0.04±0.01ax
0.04±0.00ax
0.05±0.00ax
BKF II
0.05±0.01ax
0.04±0.01ax
0.04±0.01ax
0.04±0.02ax
0.04±0.01ax
Keterangan: Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya
perbedaan nyata (p<0.05) antar waktu pengambilan data. Huruf superscript (x,y)
yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata
(p<0.05) antar kelompok perlakuan.
Hasil perhitungan durasi gelombang QRS tidak menunjukan perbedaan
yang nyata, baik antar waktu pengambilan data maupun antar kelompok perlakuan
(Tabel 5). Penyempitan durasi QRS terjadi pada hari ke-30 dan 60 pada kelompok
BKF, sedangkan pada kelompok BKF II penyempitan durasi QRS terjadi mulai
hari ke-7 hingga hari ke-90 pascaoperasi. Penyempitan durasi kompleks QRS
dapat disebabkan oleh takikardia (Pieper dan Stanton 1995).
Hasil analisa dari Tabel 4 dan Tabel 5 menunjukan bahwa penanaman
implan tulang pada penelitian kali ini tidak memengaruhi aktivitas ventrikel
jantung. Kenaikan tegangan di dalam otot merupakan kompensasi pertambahan
massa otot jantung (hipertrofi). Hipertrofi dapat terjadi pada ventrikel kanan
maupun ventrikel kiri. Hipertrofi dapat terjadi karena adanya respon terhadap
kelebihan beban pada salah satu bagian jantung. Menurut Guyton dan Hall (2007),
massa otot jantung yang bertambah menyebabkan pembangkitan listrik yang lebih
besar di sekeliling jantung. Hal inilah yang menyebabkan potensial listrik yang
terekam pada sadapan EKG jauh lebih besar dari normal. Penurunan tegangan
kompleks QRS dapat terjadi mengikuti penurunan volume kardiak akibat kondisi
patologis, hemoragi, maupun hipovolemia (Madias 2008).
Interval PR
Interval PR merupakan penjumlahan waktu depolarisasi atrium dan waktu
perlambatan simpul AV (Widjaja 1990). Evaluasi interval PR dengan cara
menghitung permulaan gelombang P sampai dengan permulaan kompleks QRS.
Percepatan interval PR dapat terjadi karena adanya aritmia yang berhubungan
dengan gangguan impuls pada jantung. Martin (2007) menyatakan bahwa hal ini
dapat terjadi karena adanya aktivitas prematur sebagian ventrikel jantung.
12
Tabel 6 Durasi interval PR (s) pada kelinci dengan implan BKF I dan BKF II
berdasarkan waktu
Hari
0
7
30
60
90
Perlakuan
BKF I
0.08±0.01ax
0.08±0.01ax
0.07±0.01ax
0.07±0.01ax
0.08±0.01ax
BKF II
0.08±0.01ax
0.08±0.01ax
0.07±0.01ax
0.08±0.01ax
0.08±0.01ax
Keterangan: Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya
perbedaan nyata (p<0.05) antar waktu pengambilan data. Huruf superscript (x,y)
yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata
(p<0.05) antar kelompok perlakuan.
Hasil perhitungan interval PR tidak menunjukan perbedaan nyata antar
kelompok perlakuan maupun antar waktu pengambilan data (Tabel 6). Interval PR
pada kelompok BKF I dan BKF II cenderung normal antara waktu pra dan
pascaoperasi.
Segmen ST
Segmen ST merupakan bagian dari repolarisasi ventrikel. Potensial
membran erat kaitannya dengan membran kanal kalsium yang mempunyai peran
khusus pada otot jantung. Membran kanal kalsium berperan dalam kontraksi
jantung yaitu debar dan sistol. Hal ini terjadi selama potensial aksi berlangsung,
kalsium ekstraseluler masuk ke dalam sel melalui kanal lambat kalsium.
Masuknya kalsium ke dalam sel memicu pengeluaran kalsium dari retikulum
sarkoplasma atau diambil dari pompa balik cairan ekstraseluler ke dalam sel.
Perubahan nilai durasi segmen ST menunjukan kemungkinan adanya
wilayah iskemik atau infark otot ventrikel. Khas pada wilayah iskemik atau infark
otot ventrikel adalah tidak dapat memelihara secara normal, membran potensial
negatif pada saat ventrikel beristirahat (Cunningham 2002). Kerusakan (infark)
pada otot ventrikel dapat membuat potensial membran menurun dan pelepasan
muatan listrik berulang (Ganong 2002).
Tabel 7 Durasi segmen ST (s) pada kelinci dengan implan BKF I dan BKF II
berdasarkan waktu
Hari
0
7
30
60
90
Perlakuan
BKF I
0.03±0.01ax
0.03±0.01ax
0.04±0.00ax
0.03±0.01ax
0.03±0.01ax
BKF II
0.03±0.01ax
0.03±0.01ax
0.03±0.01ax
0.03±0.02ax
0.04±0.01ax
Keterangan: Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya
perbedaan nyata (p<0.05) antar waktu pengambilan data. Huruf superscript (x,y)
yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata
(p<0.05) antar kelompok perlakuan.
13
Hasil perhitungan durasi segmen ST pada hari ke-90 pascaoperasi tidak
menunjukkan adanya perbedaan nyata terhadap nilai praoperasi. Hasil perhitungan
antar kelompok perlakuan cenderung menunjukan perbedaan yang tidak nyata
(Tabel 7).
Frekuensi Jantung
Frekuensi jantung dapat dihitung melalui sinyal EKG maupun melalui
persamaan interval RR yang dihasilkan pada rekaman EKG. Interval RR
merupakan jarak antara gelombang R dengan gelombang R lainnya yang
berdekatan yang terukur dalam satuan waktu (detik) dan digunakan untuk
mengindikasi ventricular rate (Abedien dan Conner 2008).
Tabel 8 Frekuensi jantung (dpm) pada kelinci dengan implan tulang BKF I dan BKF II
berdasarkan waktu
Hari
0
7
30
60
90
Perlakuan
BKF I
181.6±11.9ax
212.8±48.2ax
230.0±13.9ax
227.7±14.6ax
196.3±45.2ax
BKF II
174.9±32.5ax
215.0±43.6ax
242.7±12.7bx
207.0±6.1ax
242.7±13.6bx
Keterangan: Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya
perbedaan nyata (p<0.05) antar waktu pengambilan data. Huruf superscript (x,y)
yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata
(p<0.05) antar kelompok perlakuan.
Hasil evaluasi frekuensi jantung pada kondisi pra dan pascaoperasi, maupun
antar kelompok perlakuan menunjukkan beberapa perbedaan nyata. Nilai
frekuensi jantung pada kelompok perlakuan BKF I mengalami kenaikan pada hari
ke-7 hingga hari ke-60 pascaoperasi dan cenderung mendekati nilai awal pada hari
ke-90. Kelompok perlakuan BKF II cenderung mengalami kenaikan frekuensi
jantung hingga hari ke-90 pascaoperasi (Tabel 8). Hasil yang berbeda nyata
(p<0.05) antar waktu pengambilan data ditemukan pada kelompok BKF II pada
hari ke-30 dan 90 pascaoperasi. Nilai frekuensi jantung pada setiap kelompok dan
waktu pengambilan masih berada pada rentang normal frekuensi jantung kelinci,
yaitu 167-250 dpm (Kour et al. 2013). Peningkatan frekuensi jantung dapat
disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya stres akibat proses penanganan
hewan sebelum maupun setelah perlakuan dan pengambilan data (Leone dan Finer
2006). Stres memicu pelepasan corticotropin releasing hormone (CRH) dari
hipotalamus yang kemudian memicu hipofise anterior mengeluarkan adeno
corticotropichormone (ACTH). Hormon ACTH kemudian memberi sinyal ke
kelenjar endokrin lain untuk melepaskan hormon tiroksin dan kortisol sebagai
hormon utama stres. Jumlah hormon utama stres akan meningkat dan berpengaruh
pada sistem homeostasis. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi frekuensi
jantung diantaranya aktivitas, kadar CO2, berat badan, dan usia (Leone dan Finer
2006).
14
Mean Electrical Axis
Mean electrical axis (MEA) dapat digunakan untuk mendeteksi perubahan
kondisi kardiovaskular, seperti pembesaran atrium ataupun ventrikel. Perubahan
yang dapat terjadi pada MEA adalah right axis deviation, left axis deviaton, dan
indeterminate axis. Penyebab penyimpangan axis juga dapat disebabkan oleh
kelainan kongenital, posisi jantung dalam rongga dada, hipertrofi otot jantung,
perubahan konduksi, dan ketidakseimbangan elektrik (Kuhn dan Rose 2008).
Pembesaran atrium maupun ventrikel jantung juga dapat menyebabkan pergeseran
nilai MEA (Thaler 2007).
Tabel 9 Mean electrical axis (°) pada kelinci dengan implan BKF I dan BKF II
berdasarkan waktu
Hari
0
7
30
60
90
Perlakuan
BKF I
56.9±33.3ax
60.9±55.8ax
2.0±19.1ax
64.2±19.0ax
75.5±21.4ax
BKF II
39.7±44.1ax
46.3±54.6ax
33.8±64.6ax
78.5±37.5ax
13.0±35.5ax
Keterangan: Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya
perbedaan nyata (p<0.05) antar waktu pengambilan data. Huruf superscript (x,y)
yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata
(p<0.05) antar kelompok perlakuan.
Hasil evaluasi MEA pada kondisi pra dan pascaoperasi maupun antar
kelompok perlakuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Nilai MEA
pada kelompok perlakuan BKF I cenderung mengalami peningkatan, sedangkan
penurunan nilai MEA terjadi pada kelompok perlakuan BKF II (Tabel 9).
Pergeseran nilai MEA yang cukup besar terjadi pada kelompok BKF II hari ke-60.
Pada kondisi ini, MEA mengalami right axis deviation yang menandakan adanya
perbesaran pada bagian jantung sebelah kanan. Kondisi ini diperkuat dengan
peningkatan nilai amplitudo gelombang P pada kelompok BKF II hari ke-60 yang
mengindikasikan adanya perbesaran yang cukup signifikan pada atrium kanan
jantung. Nilai MEA pada setiap kelompok dan waktu pengambilan masih berada
pada rentang nilai normal, yaitu antara -93° hingga 96° (Kour et al. 2013).
Penggunaan semen tulang dapat menghasilkan tekanan intramedula yang
tinggi pada saat semen tulang ditanam atau disisipkan dalam tulang sehingga
menyebabkan BCIS. Sumsum tulang terdorong masuk ke dalam sirkulasi
pembuluh darah. Beban embolik ini menghasilkan hipertensi paru akut yang dapat
menyebabkan disfungsi ventrikel kanan, iskemia, hipotensi, dan bahkan mati tibatiba (PAPSRS 2006). Emboli dapat menyebar ke bagian tubuh lain seperti jantung
dan paru-paru (Koessler et al. 2001). Donaldson et al. (2009) menyatakan bahwa
emboli dapat diakibatkan oleh efek mekanis dan pelepasan mediator yang memicu
peningkatan tekanan vaskuler pulmonal. Peningkatan emboli pulmonal
menyebabkan hipoksia dan disfungsi vetrikel kanan yang mengarah kepada
hipotensi.
15
Beban emboli ini juga dapat meningkatkan tekanan arteri pulmonal dan
resistensi pembuluh darah pulmonal. Kedua hal tersebut menyebabkan dinding
ventrikel kanan yang tipis berdilatasi. Hal ini ditandai dengan peningkatan daerah
ventrikel kanan. Hipertrofi juga dapat terjadi pada kasus BCIS. Hipertrofi
ventrikel kanan terjadi apabila jantung harus memompa darah melalui katup
pulmonalis yang stenotik.
Karakteristik dari sindrom yang disebabkan oleh penanaman implan
semen tulang mencakup hipotensi sistemik, hipertensi paru-paru, peningkatan
tekanan vena sentral, edema paru-paru, bronkokonstriksi, anoxia/hipoxemia,
disritmia/aritmia jantung, cardiogenic shock, cardiac arrest, sudden death, emboli
lemak/sumsum, hypothermia, dan thrombocytopenia (PAPSRS 2006). Penelitian
laboratorium dan klinis untuk sindrom implantasi semen tulang menunjukkan
bahwa penyebab yang mendasari hipotensi sistemik dan gagal jantung mendadak
adalah kegagalan sekunder ventrikel kanan. Ventrikel kanan gagal untuk
meningkatkan tekanan arteri paru-paru (Pulmonary Artery Pressure). Secara
keseluruhan, ada penurunan tajam stroke volume jantung disertai dengan
peningkatan daerah ventrikel kanan dan penurunan daerah ventrikel kiri (PAPSRS
2006).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Penanaman implan semen tulang BKF I dan BKF II selama 90 hari tidak
berpengaruh terhadap fungsi jantung. Peningkatan frekuensi jantung tidak
berkaitan erat dengan penanaman implan tulang, melainkan proses penanganan
hewan.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dalam waktu yang lebih lama
terhadap penggunaan implan tulang. Perlu dilakukan penelitian penggunaan
implan tulang pada hewan model lain yang memiliki kekerabatan yang dekat
dengan manusia untuk melihat pengaruh terhadap atrium maupun ventrikel. Perlu
dilakukan penelitian lanjutan dengan area kerusakan dan penanaman implan
tulang yang lebih luas.
16
DAFTAR PUSTAKA
Abedien Z, Conner R. 2008. ECG Interpretation the Self-Assesment Approach.
Iowa (UK): Blackwell Publ.
Ahmed JA, Sanyal S. 2008. Electrocardiographic studies in garol sheep and black
bengal goats. Res J Cardiol. 1 (1):1-8.
Brinker WO, Piermattei DL, Flo GL. 2006. Handbook of Small Animal
Orthopedics and Fracture Repair 4th edition. St. Louis (US): Saunders
Elsevier.
Cunningham JG. 2002. Textbook of Veterinary Physiology. Ed ke-3. Philadelphia
(US): WB Saunders.
Daculsi G, Laboux O, Malard O, Weiss P. 2003. Current state of the art of
biphasic calcium phosphate bioceramics. J Mater Sci. 14(3):195-200.
Dharma S. 2009. Pedoman Praktis: Sistematika Interpretasi EKG. Jakarta (ID):
EGC.
Donaldson AJ, Thomson HE, Harper NJ, Kenny NW. 2009. Bone cement
implantation syndrome. Br J Anaesth. 102(1): 12-22.
Ganong WF. 2002. Fisiologi Kedokteran Edisi 20. Jakarta (ID): EGC.
Gilsanz V, Roe TF, Gibbens DT, Schulz EE, Carlson ME, Gonzalez O, Boechat
MI. 1988. Effect of sex steroids on peak bone density of growing rabbits.
Am J Physiol. 255: E416-E421.
Guyton A, Hall EJ. 2007. Fisiologi Kedokteran. Ed ke-11. Jakarta (ID): EGC.
Koessler MJ, Fabiani R, Hamer H, Pitto RP. 2001. The clinical relevance of
embolic events detected by transesophageal echocardiography during
cemented total hip arthtoplasty: a randomized clinical trial. Anesth Analg.
92: 49-55.
Kour J, Ahmed JA, Aarif O. 2013. Impact of heat stress on electrocardiographic
changes in new zealand white rabbit. J Stress Physiol Biochem. 9(2): 242252.
Kuhn L, Rose L. 2008. ECG Interpretation part 1: understanding mean electrical
axis. J Emerg Nurs. 34(6): 530-534.
LeGeros RZ, Daculsi G. 1997. In vivo transformation of biphasic calcium
phosphate ceramics: ultrastructural and physico-chemical characterizations.
Di dalam: Yamamuro T, Wilson-Hench J, editor. Handbook of Bioactive
Ceramics. Boca Raton, USA. Florida (US): CRC Pr. 11: 17-28.
Leone TA, Finer NN. 2006. Foetal adaptation at birth. Current Paedia. 16: 373378.
Liebermen JR, Gary EF. 2005. Bone Regeneration and Repair. New Jersey (US):
Human Press.
Madias JE. 2008. Low QRS voltage and its causes. J Electrocardiol. 41: 498-500.
Martin MWS. 2007. Small Animal ECGs: An Introductory Guide Second Edition.
Oxford (UK): Blackwell Publishing.
McManus JG, Convertino VA, Cooke WH, Ludwig DA, Holcomb JB. 2006.
Basic investigations: R-wave amplitude in lead II of an electrocardiograph
correlates with central hypovolemia in human beings. Acad Emerg Med.
13(10): 1003-1010.
17
Murugan R, Ramakrishna S. 2004. Bioresorbable composite bone paste using
polysaccharide based nano hydroxiapatite. Biomater. 25: 3829-3835.
Neyt JG, Buckwalter JA, Carroll NC. 1998. Use of animal models in
musculoskeletal research. Iowa Orthop J. 18: 118-123.
[PAPSRS] Pennsylvania Patient Safety Reporting System. 2006. Bone cement
implantation syndrom. Patient Safety Advisory. 3(4).
Paul W, Sharma CP. 2005. Nanoceramic matrices: biomedical applications. Am J
Biochem and Biotechnol. 2: 41-48.
Pearce A, Richards RG, Milz S, Schneider E, Pearce SG. 2007. Animal models
for implant biomaterial research in bone: a review. Europ Cells and Mater.
13: 1-10.
Pieper SJ, Stanton MS. 1995. Concise review for primary-care physician: narrow
QRS complex tachycardias. Mayo Clin Proc. 70: 371-375.
Piermattei DL, Gretchen LF, De Camp CE. 2006. Handbook of Small Animal
Orthopedics and Fracture Repair 4th ed. Missouri (US): Saunders.
Saraswathy G, Pal S, Rose C, Sastry TP. 2001. A novel bio-inorganic bone
implant containing deglued bone, chitosan, and gelatin. Bull Mater Sci.
24(4): 415-420.
Scott HW, McLaughlin R. 2007. Feline Orthopedics. London (UK): Manson
Publishing.
Thaler MS. 2007. The Only EKG Book You’ll Ever Need, 5th edition. Philadelphia
(US): Lippincott Williams & Wilkins.
Wang X, Mabrey JD, Agrawal CM. 1998. An interspecies comparison of bone
fracture properties. Biomed Mater Eng. 8: 1-9.
Widjaja S. 1990. Segi Praktis EKG. Jakarta: Binarupa Aksara.
Yoshida A, Miyazaki T, Ishida E, Ashizuka M. 2004. Preparation of bioactive
chitosan-hydroxyapatite nanocomposites for bone repair through
mechanochemical reaction. Mater Trans. 45: 994-998.
18
19
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada 16 Maret 1992 sebagai anak ketiga dari
pasangan Tatang Syarifudin (Alm) dan Jamilah. Tahun 1998 penulis lulus dari TK
Islam PB Soedirman Jakarta. Tahun 2004 penulis lulus dari SD Islam PB
Soedirman Jakarta, kemudian pada tahun 2007 penulis juga lulus dari SMP Negeri
20 Jakarta. Selanjutnya pada tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 14 Jakarta
dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Nasional
Masuk Perguruan Tinggi Negeri.
Penulis memilih mayor Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti organisasi internal Himpunan
Profesi Satwaliar.
Download