EVALUASI ELEKTROKARDIOGRAM KELINCI NEW ZEALAND WHITE (Oryctolagus cuniculus) DENGAN IMPLANTASI BIFASIK KALSIUM FOSFAT PADA KERUSAKAN SEGMENTAL TULANG RIDZKI MUHAMMAD LUTHFI MEGAPASHA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Elektrokardiogram Kelinci New Zealand White (Oryctolagus cuniculus) dengan Implantasi Bifasik Kalsium Fosfat pada Kerusakan Segmental Tulang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2015 Ridzki Muhammad Luthfi Megapasha NIM B04100172 ABSTRAK RIDZKI MUHAMMAD LUTHFI MEGAPASHA. Evaluasi Elektrokardiogram Kelinci New Zealand White (Oryctolagus cuniculus) dengan Implantasi Bifasik Kalsium Fosfat pada Kerusakan Segmental Tulang. Dibimbing oleh RIKI SISWANDI dan GUNANTI. Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi elektrokardiografi kelinci New Zealand White setelah penanaman implan tulang bifasik kalsium fosfat. Penelitian ini dilakukan pada 18 ekor kelinci New Zealand White jantan berumur 6 bulan dengan berat badan 2,5-4 kg yang dibagi menjadi dua kelompok perlakuan. Kelompok perlakuan pertama mendapat implan tulang BKF I yang merupakan kombinasi 70% hidroksiapatit (HA) dan 30% beta trikalsium fosfat (β-TKF). Kelompok perlakuan kedua mendapat implan BKF II yang merupakan kombinasi 60% HA dan 40% β-TKF. Kerusakan segmental tulang dibuat pada 1/3 proksimal medial os tibia dekstra secara aseptis. Penanaman implan tulang dilakukan pada lokasi kerusakan. Pemeriksaan EKG dilakukan dalam keadaan hewan teranestesi dengan posisi left recumbency pada saat praoperasi (hari ke-0) dan pascaoperasi (hari ke-30, 60, dan 90). Berdasarkan evaluasi, diperoleh nilai amplitudo gelombang P yang berbeda nyata (p<0.05) pada kelompok BKF II hari ke-60. Frekuensi jantung secara keseluruhan cenderung mengalami peningkatan. Nilai frekuensi jantung pada kelompok BKF II hari ke-30 dan 90 berbeda nyata (p<0.05) terhadap nilai pra-operasi. Secara keseluruhan, aktivitas jantung tidak terpengaruh oleh penanaman implan tulang. Kata kunci: Bifasik kalsium fosfat (BKF), elektrokardiogram, implan tulang, kelinci new zealand white. ABSTRACT RIDZKI MUHAMMAD LUTHFI MEGAPASHA. Electrocardiogram Evaluation of New Zealand White Rabbit (Oryctolagus cuniculus) with Biphasic Calcium Phospate Implantation on Segmental Bone Defect. Supervised by RIKI SISWANDI and GUNANTI. This study was aimed to evaluate the electrocardiographic activity of New Zealand White rabbits following biphasic calcium phosphate bone cement implantation. Eighteen male New Zealand White rabbits aged 6 months and 2.5-4 kgs of body weight were divided into two groups. The first group received BCP I implant which contains 70% hydroxyapatite (HA) and 30% beta tricalcium phospate (β-TCP). The other group received BCP II implant which contains 60% HA and 40% β-TCP. Segmental bone damage was made aseptically in one-third proximal medial of tibial bone. Bone implantation was performed at damaged location. The ECG examination was done in anesthetized condition with left recumbency position. Amplitudo value of P wave was significantly different (p<0.05) in BCP II group on day 60. Heart rate values tends to be increased. The heart rate values of BCP II group on day 30 and 90 were significantly different (p<0.05) from pre-operative condition. Overall, heart activity was not affected by bone implantation. Keywords: Biphasic calcium phosphate, bone implant, electrocardiogram, new zealand white rabbit. EVALUASI ELEKTROKARDIOGRAM KELINCI NEW ZEALAND WHITE (Oryctolagus cuniculus) DENGAN IMPLANTASI BIFASIK KALSIUM FOSFAT PADA KERUSAKAN SEGMENTAL TULANG RIDZKI MUHAMMAD LUTHFI MEGAPASHA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2013 ini mengenai implantasi tulang tibia pada kelinci dengan judul “Evaluasi Elektrokardiogram Kelinci New Zealand White (Oryctolagus cuniculus) dengan Implantasi Bifasik Kalsium Fosfat pada Kerusakan Segmental Tulang”. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung dengan judul “Penggunaan Bahan Tandur Tulang Kombinasi BetaTrikalsium Fosfat dan Bifasik Kalsium Fosfat sebagai Materi Substitusi pada Kerusakan Segmental Tulang” yang didanai oleh hibah BOPTN dan diketuai oleh peneliti utama Dr Drh Gunanti, MS. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Drh Riki Siswandi, MSi selaku pembimbing I, Dr Drh Gunanti, MS selaku pembimbing II, Dr Drh Susi Soviana, MSi selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan dukungan dan arahan kepada penulis, serta Dr. Kiagus Dahlan yang telah memberikan sumbangan material implan tulang yang digunakan dalam penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua tercinta, abang, kakak, adik, dan rekan-rekan penghuni kos Pondok Tepi Barat atas segala doa dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada tim mahasiswa departemen Fisika dan rekan-rekan sepenelitian atas kerja samanya. Semoga penulis dapat menghasilkan laporan yang bermanfaat khususnya bagi penulis, umumnya bagi pembaca. Bogor, Februari 2015 Ridzki Muhammad Luthfi Megapasha DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Kelistrikan Jantung Elektrokardiogram Patah Tulang (Fraktur) Persembuhan Tulang Bifasik Kalsium Fosfat (BKF) Kelinci New Zealand White (Oryctolagus cuniculus) METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Metode Tahap Persiapan Hewan Tahap Perlakuan Tahap Pengambilan dan Pengolahan Data HASIL DAN PEMBAHASAN Gelombang P Kompleks QRS Interval PR Segmen ST Frekuensi Jantung Mean Electrical Axis (MEA) SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP vi vi 1 1 2 2 2 2 3 4 4 4 5 5 5 6 6 6 7 7 8 9 10 11 12 13 14 15 15 15 16 19 DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pembagian kelompok perlakuan Amplitudo gelombang P (mV) Durasi gelombang P (s) Amplitudo gelombang R (mV) Durasi kompleks QRS (s) Durasi interval PR (s) Durasi segmen ST (s) Frekuensi jantung (dpm) Mean electrical axis (°) 6 9 10 10 11 12 12 13 14 DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 Sandapan bipolar Standar (segitiga Einthoven) Grafik EKG Kelinci New Zealand White (Oryctolagus cuniculus) Pelet implan tulang Implan tulang yang telah ditanam Pemasangan elektroda EKG Grafik EKG normal pada kelinci Grafik EKG kelinci dengan amplitudo gelombang P tinggi 3 3 5 6 7 8 8 9 PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit tulang dapat disebabkan oleh berbagai faktor baik faktor internal maupun eksternal. Faktor internal yang dapat menyebabkan penyakit tulang diantaranya penyakit tumor, malnutrisi terhadap vitamin dan mineral, maupun usia. Faktor eksternal berupa trauma yang menyebabkan patah tulang ataupun kelainan bentuk tulang lainnya. Kondisi ini semakin diperparah dengan kurangnya pengganti tulang yang ideal (Murugan dan Ramakrishna 2004). Kasus patah tulang yang menyebabkan kehilangan serta kerusakan tulang substansial dan prosedur bedah seperti pengangkatan tumor tulang. Pemasangan prothesis persendian panggul dan lainnya juga semakin meningkatkan kebutuhan akan material pengganti tulang. Komponen utama senyawa apatit tulang adalah kalsium fosfat yang memiliki beberapa fase diantaranya trikalsium fosfat (TKF) dan hidroksiapatit (HA). Menurut Saraswathy et al. (2001) HA merupakan senyawa kalsium fosfat yang paling stabil. Material pengganti tulang yang biasa digunakan pada teknik jaringan tulang adalah polimer alam dan matrik keramik. Polimer alam yang digunakan adalah kolagen dan kitosan sedangkan untuk matrik keramik digunakan keramik kalsium fosfat seperti HA dan TKF (Paul dan Sharma 2005). Hidroksiapatit terdapat dalam tulang alami dan merupakan komposisi natural tulang yang dapat berguna sebagai material pengganti tulang (Yoshida et al. 2004). Kombinasi yang seimbang antara tahap yang lebih stabil (HA) dan yang lebih mudah larut (β-TKF) memungkinkan perumusan bifasik kalsium fosfat (BKF) dengan laju disolusi terkontrol dan sifat mekanik yang berbeda (LeGeros dan Daculsi 1997). Material BKF diyakini sebagai alternatif yang paling menjanjikan dan terbaik untuk rekonstruksi tulang. Material BKF dapat mengatasi kekurangan dari autografts dan allografts seperti biaya, ketersediaan, trauma tambahan pada kasus autografts, serta resiko penularan penyakit pada kasus allografts. Menurut PAPSRS (2006), bone cement implatation syndrome (BCIS) dapat terjadi pada penggunaan semen tulang. Penggunaan semen tulang memproduksi tekanan intramedulari yang tinggi dan memaksa sumsum tulang masuk ke dalam sirkulasi sehingga terjadi perubahan kardiopulmonari. Monitoring sistem respirasi dan kardiovaskuler pascaoperasi penting dilakukan pada persembuhan pasien yang mengalami trauma ortopedik (Scott dan McLaughlin 2007). 2 Perumusan Masalah Dengan latar belakang di atas, maka masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1. Adakah dampak perlakuan penanaman material implan tulang pada tulang kelinci terhadap gambaran EKG jantung? 2. Bagaimanakah fungsi jantung selama masa persembuhan tulang yang diinduksi dengan material implan tulang? Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelititan ini bertujuan untuk mengevaluasi aktivitas elektrokardiografi jantung kelinci White New Zealand (Oryctolagus cuniculus) setelah penanaman implan tulang bifasik kalsium fosfat pada kerusakan segmental tulang serta untuk mengetahui pegaruhnya terhadap aktivitas jantung. Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui efektivitas dan biokompatibilitas kedua jenis implan sebagai material substitusi tulang. TINJAUAN PUSTAKA Kelistrikan Jantung Jantung terdiri atas bagian kanan yang memompakan darah ke paru-paru dan jantung kiri yang memompakan darah ke seluruh tubuh. Setiap bagian jantung yang terpisah ini merupakan dua ruang pompa yang dapat berdenyut, yang terdiri atas atrium dan ventrikel (Guyton dan Hall 2007). Jantung terdiri atas tiga tipe otot jantung yang utama yaitu otot atrium, otot ventrikel, dan serat otot khusus pencetus dan penghantar rangsangan. Struktur yang membentuk sistem penghantar adalah simpul sinoatrial (SA node), lintasan antar simpul di atrium yaitu simpul atrioventrikular (AV node), berkas His dan cabang-cabangnya, dan serabut Purkinje. Simpul SA merupakan pacu jantung normal, kecepatannya mengeluarkan listrik menentukan frekuensi jantung. Impuls yang dibentuk dalam SA node berjalan melalui lintasan atrium ke ventrikel (AV node) dan berlanjut ke berkas His dan sepanjang cabang-cabang berkas His melalui serabut Purkinje ke otot ventrikel (Guyton dan Hall 2007). Aktivitas listrik jantung terlihat pada proses depolarisasi dan repolarisasi. Depolarisasi yang dimulai pada simpul SA disebarkan secara radial ke seluruh atrium kemudian semuanya bertemu di simpul AV. Seluruh depolarisasi atrium berlangsung selama kira-kira 0.1 detik, oleh karena hantaran di simpul AV lambat, terjadi perlambatan kira-kira 0.1 detik (perlambatan AV node) sebelum eksitasi menyebar ke ventrikel. Gelombang depolarisasi dari puncak septum menyebar secara cepat di dalam serabut Purkinje ke semua bagian ventrikel (Ganong 2002). 3 Elektrokardiogram Elektrokardiogram (EKG) merupakan rekaman aktivitas listrik jantung. Rekaman EKG dapat menjadi alat bantu dalam mendiagnosa kelainan jantung. Elektrokardiogram dapat direkam dengan menggunakan elektroda aktif atau elektroda eksplorasi yang dihubungkan dengan elektroda indiferent pada potensial nol (rekaman unipolar) atau dengan menggunakan dua elektroda aktif (rekaman bipolar). Rekaman bipolar dilakukan dengan bipolar standar lead Einthoven. Segitiga dengan jantung pada pusatnya (segitiga Einthoven) dapat diperkirakan dengan menempatkan elektroda pada kedua lengan dan tungkai kiri (Ganong 2002). Gambar 1 Sadapan bipolar standar (segitiga Einthoven) (Dharma 2009) Elektrokardiogram normal terdiri atas sebuah gelombang P, sebuah kompleks QRS, dan sebuah gelombang T. Kompleks QRS terdiri atas tiga gelombang yang terpisah, yakni gelombang Q, gelombang R, dan gelombang S, tetapi tidak semua selalu ditemukan (Guyton dan Hall 2007). Frekuensi jantung merupakan penjumlahan dari interval P-P atau interval R-R pada sadapan bipolar yang akan terlihat dalam detak jantung per menit. Amplitudo dari gelombang elektrokardiorafi, amplitudo gelombang P, kompleks QRS, gelombang T terekam sebagai kekuatan voltage, milivolt (mV). Durasi dari gelombang elektrokardiografi, durasi gelombang P, kompleks QRS, gelombang T, serta interval P-R, interval R-R, dan interval Q-T yang merupakan penjumlahan dari kedua sadapan bipolar dan sadapan unipolar dalam detik (seconds) (Ahmed dan Sanyal 2008). Gambar 2 Grafik EKG (Dharma 2009) 4 Patah Tulang (Fraktur) Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan. Berdasarkan luka yang ada patah tulang dapat dibagi menjadi patah tulang terbuka dan patah tulang tertutup (Brinker et al. 2006). Fiksasi patah tulang tergantung dari derajat keparahan gangguan pada tulang. Patah tulang luka terbuka dengan tipe comminuted memerlukan fiksasi menggunakan bone grafting. Sumber bone graft dapat diperoleh dari tulang hewan yang sama (Autograft), dari tulang spesies yang sama (Allograft), dari tulang spesies yang berbeda (Xenograft), maupun dari tulang sintetik (Brinker et al. 2006). Persembuhan luka dipengaruhi faktor mekanik (reduksi dan stabilitas) dan faktor biologi (suplai darah, lokasi patah tulang, dan luka jaringan lunak). Pulmonary fat embolism dapat menjadi komplikasi pada persembuhan patah tulang (Scott dan McLaughlin 2007). Persembuhan Tulang Persembuhan tulang pada tulang yang patah atau rusak terdiri dari beberapa fase. Fase hematoma disertai tahap inflamasi yang berlangsung selama beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri. Fase proliferatif yaitu terjadinya pembetukan jaringan ikat fibrous dan tulang rawan (osteoid). Fase proliferatif dimulai pada minggu ke-2 hingga minggu ke-3 setelah terjadinya fraktur dan berakhir pada minggu ke-4 hingga minggu ke-8. Fase pembentukan kalus yang merupakan fase lanjutan dari fase hematoma dan fase proliferatif. Fase konsolidasi yang berjalan perlahan selama beberapa bulan sebelum tulang cukup kuat untuk menerima beban yang normal. Fase remodelling, yaitu proses pembentukan dan penyerapan tulang secara terus menerus. Proses ini terjadi selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun hingga tulang mendekati bentuk semula, terutama pada anak-anak (Liebermen dan Gary 2005). Persembuhan tulang tergantung dan dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu aliran darah pada garis fraktur, reduksi dari fragmen fraktur, serta derajat stabilisasi dari fragmen fraktur (Piermattei et al. 2006). Bifasik Kalsium Fosfat (BKF) Hidroksiapatit dapat ditemukan pada tulang dan gigi manusia. Hidroksiapatit ini telah menjadi komponen yang lazim digunakan dalam mengisi kekosongan tulang akibat amputasi atau untuk mempromosikan pertumbuhan tulang pada pemasangan implan prosthesis. Saat ini telah banyak ditemukan berbagai fase hidroksiapatit, respon tubuh yang dihasilkan juga berbeda-beda. Implan tulang juga banyak menggunakan hidroksiapatit seperti pada penggantian sendi panggul maupun implan gigi. Berbagai studi menyebutkan bahwa hidroksiapatit ini bersifat osteoinduktif dan menyokong osteointegrasi. Keramik bioaktif yang sering digunakan untuk perbaikan tulang antara lain kombinasi kalsium karbonat, kalsium sulfat, kalsium fosfat, hidroksiapatit (HA), dan bifasik kalsium fosfat (BKF) (terdiri dari campuran inti HA dan β-TKF dari berbagai HA/β-TKF rasio). Sifat-sifat kimia dan fisik yang bervariasi yang dihasilkan oleh pH, suhu, dan lama proses sintesis, membuat setiap biomaterial unik dan mengakibatkan respon jaringan yang berbeda (Daculsi et al. 2003). 5 Kelinci New Zealand White (Oryctolagus cuniculus) Standar internasional (ISO 10993-6 1994) menyatakan bahwa dalam penelitian ortopedik, hewan yang dianggap layak untuk percobaan implantasi material sebagai model bagi manusia adalah anjing, domba, kambing, dan kelinci (Pearce et al. 2007). Neyt et al. (1998) menjelaskan bahwa salah satu hewan yang paling umum digunakan untuk penelitian biomedis dan digunakan pada sekitar 35% studi penelitian muskuloskeletal adalah kelinci. Pemilihan spesies ini didasarkan pada ukuran dan kemudahan dalam penanganan. Kelinci digunakan karena kematangan tulang dewasa tercapai tidak lama setelah kematangan seksual, yaitu sekitar usia 6 bulan (Gilsanz et al. 1988), sementara hewan lain membutuhkan usia kematangan tulang dewasa yang lebih lama. Meskipun tidak banyak memiliki kesamaan dengan karakter tulang manusia, beberapa persamaan yang pernah dilaporkan adalah kepadatan mineral tulang dan kekuatan bagian pertengahan diaphyseal tulang terhadap kepatahan antara kelinci dan manusia (Wang et al. 1998). Gambar 3 Kelinci New Zealand White (Oryctolagus cuniculus) sebagai objek penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan selama bulan Juli sampai bulan Oktober 2013. Pembuatan implan tulang dilakukan di laboratorium Biofisika Departemen Fisika FMIPA IPB. Operasi implantasi dan pengambilan data elektrokardiogram (EKG) dilakukan di laboratorium bedah eksperimental Divisi Bedah dan Radiologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, FKH-IPB. 6 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian adalah perlengkapan bedah, perlengkapan anestesi per-injeksi, bor tulang, mesin EKG portable (Fukuda M-E cardiosunny D300®), dan kamera digital yang digunakan untuk kegiatan dokumentasi. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah 18 ekor kelinci, implant tulang bifasik kalsium fosfat (BKF), Atropine® 0.25 mg/ml (Atropin, PT Ethica), Xylazine® 20 mg/ml (Xylazine, Troy Laboratories), Ketamile® 100 mg/ml (Ketamine HCL, Troy Laboratories), Roxine® 100 mg/ml (Enrofloxacine, Sanbe Farma), Flunixin® 50 mg/ml (Phenol dan Sodium Formaldehyde Sulphoxylate Dihydrate, Vet Tek), pakan, kertas EKG, dan gel EKG. Bahan implan yang dibuat terdiri dari dua jenis. Jenis bahan implan pertama merupakan kombinasi 70% HA dan 30% β-TKF (selanjutnya disebut BKF I). Bahan implan jenis kedua megandung komposisi 60% HA dan 40% β-TKF (selanjutnya disebut BKF II). Kedua implan tulang dibuat dalam bentuk pelet dengan diameter ±2 mm dan panjang ±4 mm. Gambar 4 Pelet implan tulang Metode Tahap Persiapan Hewan Penelitian ini menggunakan 18 ekor kelinci New Zealand White umur 6 bulan dengan berat badan 2.5-4 kg yang dibagi menjadi dua kelompok perlakuan (Tabel 1). Kelinci diaklimatisasi selama satu minggu di kandang individu dengan pencahayaan dan temperatur optimal. Kelinci diberikan obat cacing Albentack900® (Albendazole, Biotek Indonesia) untuk mencegah terjadinya kecacingan. Tabel 1 Pembagian kelompok perlakuan Spesies Kelinci Kelompok BKF I (70% HA:30% β-TKF) n = 9 ekor kelompok BKF II (60% HA:40% β-TKF) n = 9 ekor 7 Tahap Perlakuan Bahan implan yang digunakan disterilisasi menggunakan alat sterilisator ultraviolet (UV). Penanaman pelet implan tulang pada kelinci dilakukan dengan operasi secara aseptik. Penanaman pelet implan tulang dilakukan pada bagian medial dari diafise os tibia dekstra dengan menggunakan bor tulang untuk membuat lubang sesuai dengan ukuran pelet implan tulang. Setelah penanaman pelet, tulang kemudian ditutup dengan urutan penjahitan periosteum, otot, jaringan subkutan, dan kulit. Pemeliharaan kelinci mencakup pemeliharaan praoperasi dan pascaoperasi. Kelinci diberi makan pakan kelinci berupa pelet serta air minum diberikan secara ad libitum menggunakan wadah plastik setiap pagi dan sore hari. Pemeliharaan yang dilakukan pascaoperasi adalah pemberian antibiotik Enrofloksasin dosis 4 mg/kg BB (IM) sehari satu kali dan analgesik Flunixin dosis 2 mg/kg BB (IM) sehari satu kali. Pemberian antibiotik dan analgesik dilakukan selama 5 hari pascaoperasi. Masing-masing kelompok perlakuan dipanen secara bertahap pada hari ke-30, 60, dan 90. Gambar 5 Implan tulang yang telah ditanam Tahap Pengambilan dan Pengolahan Data Pengambilan data elektrokardiogram (EKG) dilakukan pada hari ke-0 (praoperasi), 7, 30, 60, dan 90 pascaoperasi. Perekaman EKG pada kelinci New Zealand White (Oryctolagus cuniculus) dilakukan dalam keadaan terbius. Perekaman EKG dilakukan dengan kalibrasi 1 mV = 10 mm dengan kecepatan kertas 50 mm/detik. Perekaman EKG dilakukan pada pagi hari dengan sadapan basis-apeks (base-apex). Gelombang yang telah diperoleh dari perekaman EKG, dihitung amplitudo dan durasinya. Data diolah menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2007. Data yang telah diolah kemudian dianalisa dengan aplikasi SPSS 21 menggunakan sistem analisa One-Way ANOVA pada taraf nyata (p<0.05) dan dilanjutkan dengan uji Duncan. Data hasil analisa kemudian dibandingkan antara waktu praoperasi dengan waktu pascaoperasi. 8 A B Gambar 6 Pemasangan elektroda EKG A) lokasi pemasangan elektroda, B) pemasangan elektroda pada kelinci saat operasi HASIL DAN PEMBAHASAN Gelombang P, Q, R, S, dan T pada elektrokardiogram merupakan tegangan listrik yang ditimbulkan oleh jantung dan direkam oleh elektrokardiograf dari permukaan tubuh. Gelombang P disebabkan oleh penyebaran depolarisasi melewati atrium, yang diikuti oleh kontraksi atrium dan menyebabkan kurva tekanan atrium naik sedikit segera setelah gelombang P. Beberapa saat setelah gelombang P timbul, muncul kompleks QRS sebagai hasil depolarisasi pada ventrikel yang mengawali kontraksi ventrikel dan menyebabkan tekanan ventrikel mulai meningkat. Kompleks QRS mulai sesaat sebelum sistol ventrikel. Gelombang T dalam elektrokardiogram mewakili tahap repolarisasi ventrikel, yaitu waktu pada saat serat-serat otot ventrikel mulai berelaksasi. Gelombang T terjadi sesaat sebelum akhir dari kontraksi ventrikel (Ganong 2002). Gambar 7 Grafik EKG normal pada kelinci 9 Gelombang P Gelombang P yang menunjukkan adanya penyebaran depolarisasi pada atrium terdiri atas dua bagian. Bagian pertama dari gelombang P menunjukkan depolarisasi atrium kanan, sedangkan bagian kedua dari gelombang P menunjukkan depolarisasi atrium kiri (Thaler 2007). Tabel 2 Amplitudo gelombang P (mV) pada kelinci dengan implan BKF I dan BKF II berdasarkan waktu Hari 0 7 30 60 90 Perlakuan BKF I 0.08±0.02ax 0.07±0.02ax 0.09±0.02ax 0.07±0.03ax 0.06±0.01ax BKF II 0.07±0.03ax 0.08±0.02ax 0.08±0.02ax 0.12±0.04by 0.06±0.02ax Keterangan: Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar waktu pengambilan data. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar kelompok perlakuan. Nilai amplitudo gelombang P menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0.05) antar kelompok perlakuan dan antar waktu pengambilan data pada kelompok perlakuan BKF II 60 hari pascaoperasi (Tabel 2). Peningkatan amplitudo gelombang P menunjukkan adanya pembesaran pada atrium kanan, disebut P pulmonal. Kondisi ini sering terjadi akibat adanya gangguan pada paruparu (Thaler 2007). Gambar 8 Grafik EKG kelinci dengan amplitudo gelombang P tinggi 10 Tabel 3 Durasi gelombang P (s) pada kelinci dengan implan BKF I dan BKF II berdasarkan waktu Hari 0 7 30 60 90 Perlakuan BKF I 0.04±0.01ax 0.04±0.01ax 0.04±0.01ax 0.03±0.01ax 0.04±0.02ax BKF II 0.04±0.01ax 0.04±0.01ax 0.03±0.01ax 0.04±0.01ax 0.05±0.01ax Keterangan: Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar waktu pengambilan data. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar kelompok perlakuan. Hasil evaluasi durasi gelombang P tidak menunjukan nilai yang berbeda nyata antar waktu pengambilan maupun antar kelompok perlakuan (Tabel 3). Kelompok BKF I mengalami pemendekan durasi gelombang P pada hari ke-60 dan kembali kepada nilai semula (praoperasi) pada hari ke-90. Kelompok BKF II mengalami pemendekan durasi gelombang P pada hari ke-30 dan kembali ke nilai semula pada hari ke-60 dan 90 pascaoperasi. Pemendekan durasi gelombang P pada hewan percobaan ini diakibatkan oleh penurunan kemampuan depolarisasi atrium kiri yang terjadi secara tidak signifikan. Kompleks QRS Kompleks QRS menunjukan aktivitas depolarisasi otot ventrikel jantung. Kompleks QRS terdiri atas gelombang Q, gelombang R, dan gelombang S. gelombang R digambarkan dengan grafik yang melengkung ke atas, sedangkan gelombang Q dan S digambarkan dengan grafik yang melengkung ke bawah (Thaler 2007). Tabel 4 Amplitudo gelombang R (mV) pada kelinci dengan implan BKF I dan BKF II berdasarkan waktu Hari 0 7 30 60 90 Perlakuan BKF I 0.41±0.10ax 0.38±0.14ax 0.29±0.04ax 0.30±0.11ax 0.38±0.10ax BKF II 0.38±0.10ax 0.31±0.09ax 0.27±0.13ax 0.28±0.09ax 0.24±0.06ax Keterangan: Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar waktu pengambilan data. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar kelompok perlakuan. 11 Berdasarkan uji yang dilakukan, amplitudo gelombang R tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata antara pra dan pascaoperasi penanaman kedua jenis implan maupun antar kelompok perlakuan (Tabel 4). Nilai amplitudo gelombang R cenderung mengalami penurunan dibandingkan saat praoperasi. Menurut McManus et al. (2006), penurunan amplitudo gelombang R dapat terjadi mengikuti peningkatan stroke volume dan tekanan darah. Tabel 5 Durasi kompleks QRS (s) pada kelinci dengan implan BKF I dan BKF II berdasarkan waktu Hari 0 7 30 60 90 Perlakuan BKF I 0.05±0.01ax 0.05±0.00ax 0.04±0.01ax 0.04±0.00ax 0.05±0.00ax BKF II 0.05±0.01ax 0.04±0.01ax 0.04±0.01ax 0.04±0.02ax 0.04±0.01ax Keterangan: Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar waktu pengambilan data. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar kelompok perlakuan. Hasil perhitungan durasi gelombang QRS tidak menunjukan perbedaan yang nyata, baik antar waktu pengambilan data maupun antar kelompok perlakuan (Tabel 5). Penyempitan durasi QRS terjadi pada hari ke-30 dan 60 pada kelompok BKF, sedangkan pada kelompok BKF II penyempitan durasi QRS terjadi mulai hari ke-7 hingga hari ke-90 pascaoperasi. Penyempitan durasi kompleks QRS dapat disebabkan oleh takikardia (Pieper dan Stanton 1995). Hasil analisa dari Tabel 4 dan Tabel 5 menunjukan bahwa penanaman implan tulang pada penelitian kali ini tidak memengaruhi aktivitas ventrikel jantung. Kenaikan tegangan di dalam otot merupakan kompensasi pertambahan massa otot jantung (hipertrofi). Hipertrofi dapat terjadi pada ventrikel kanan maupun ventrikel kiri. Hipertrofi dapat terjadi karena adanya respon terhadap kelebihan beban pada salah satu bagian jantung. Menurut Guyton dan Hall (2007), massa otot jantung yang bertambah menyebabkan pembangkitan listrik yang lebih besar di sekeliling jantung. Hal inilah yang menyebabkan potensial listrik yang terekam pada sadapan EKG jauh lebih besar dari normal. Penurunan tegangan kompleks QRS dapat terjadi mengikuti penurunan volume kardiak akibat kondisi patologis, hemoragi, maupun hipovolemia (Madias 2008). Interval PR Interval PR merupakan penjumlahan waktu depolarisasi atrium dan waktu perlambatan simpul AV (Widjaja 1990). Evaluasi interval PR dengan cara menghitung permulaan gelombang P sampai dengan permulaan kompleks QRS. Percepatan interval PR dapat terjadi karena adanya aritmia yang berhubungan dengan gangguan impuls pada jantung. Martin (2007) menyatakan bahwa hal ini dapat terjadi karena adanya aktivitas prematur sebagian ventrikel jantung. 12 Tabel 6 Durasi interval PR (s) pada kelinci dengan implan BKF I dan BKF II berdasarkan waktu Hari 0 7 30 60 90 Perlakuan BKF I 0.08±0.01ax 0.08±0.01ax 0.07±0.01ax 0.07±0.01ax 0.08±0.01ax BKF II 0.08±0.01ax 0.08±0.01ax 0.07±0.01ax 0.08±0.01ax 0.08±0.01ax Keterangan: Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar waktu pengambilan data. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar kelompok perlakuan. Hasil perhitungan interval PR tidak menunjukan perbedaan nyata antar kelompok perlakuan maupun antar waktu pengambilan data (Tabel 6). Interval PR pada kelompok BKF I dan BKF II cenderung normal antara waktu pra dan pascaoperasi. Segmen ST Segmen ST merupakan bagian dari repolarisasi ventrikel. Potensial membran erat kaitannya dengan membran kanal kalsium yang mempunyai peran khusus pada otot jantung. Membran kanal kalsium berperan dalam kontraksi jantung yaitu debar dan sistol. Hal ini terjadi selama potensial aksi berlangsung, kalsium ekstraseluler masuk ke dalam sel melalui kanal lambat kalsium. Masuknya kalsium ke dalam sel memicu pengeluaran kalsium dari retikulum sarkoplasma atau diambil dari pompa balik cairan ekstraseluler ke dalam sel. Perubahan nilai durasi segmen ST menunjukan kemungkinan adanya wilayah iskemik atau infark otot ventrikel. Khas pada wilayah iskemik atau infark otot ventrikel adalah tidak dapat memelihara secara normal, membran potensial negatif pada saat ventrikel beristirahat (Cunningham 2002). Kerusakan (infark) pada otot ventrikel dapat membuat potensial membran menurun dan pelepasan muatan listrik berulang (Ganong 2002). Tabel 7 Durasi segmen ST (s) pada kelinci dengan implan BKF I dan BKF II berdasarkan waktu Hari 0 7 30 60 90 Perlakuan BKF I 0.03±0.01ax 0.03±0.01ax 0.04±0.00ax 0.03±0.01ax 0.03±0.01ax BKF II 0.03±0.01ax 0.03±0.01ax 0.03±0.01ax 0.03±0.02ax 0.04±0.01ax Keterangan: Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar waktu pengambilan data. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar kelompok perlakuan. 13 Hasil perhitungan durasi segmen ST pada hari ke-90 pascaoperasi tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata terhadap nilai praoperasi. Hasil perhitungan antar kelompok perlakuan cenderung menunjukan perbedaan yang tidak nyata (Tabel 7). Frekuensi Jantung Frekuensi jantung dapat dihitung melalui sinyal EKG maupun melalui persamaan interval RR yang dihasilkan pada rekaman EKG. Interval RR merupakan jarak antara gelombang R dengan gelombang R lainnya yang berdekatan yang terukur dalam satuan waktu (detik) dan digunakan untuk mengindikasi ventricular rate (Abedien dan Conner 2008). Tabel 8 Frekuensi jantung (dpm) pada kelinci dengan implan tulang BKF I dan BKF II berdasarkan waktu Hari 0 7 30 60 90 Perlakuan BKF I 181.6±11.9ax 212.8±48.2ax 230.0±13.9ax 227.7±14.6ax 196.3±45.2ax BKF II 174.9±32.5ax 215.0±43.6ax 242.7±12.7bx 207.0±6.1ax 242.7±13.6bx Keterangan: Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar waktu pengambilan data. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar kelompok perlakuan. Hasil evaluasi frekuensi jantung pada kondisi pra dan pascaoperasi, maupun antar kelompok perlakuan menunjukkan beberapa perbedaan nyata. Nilai frekuensi jantung pada kelompok perlakuan BKF I mengalami kenaikan pada hari ke-7 hingga hari ke-60 pascaoperasi dan cenderung mendekati nilai awal pada hari ke-90. Kelompok perlakuan BKF II cenderung mengalami kenaikan frekuensi jantung hingga hari ke-90 pascaoperasi (Tabel 8). Hasil yang berbeda nyata (p<0.05) antar waktu pengambilan data ditemukan pada kelompok BKF II pada hari ke-30 dan 90 pascaoperasi. Nilai frekuensi jantung pada setiap kelompok dan waktu pengambilan masih berada pada rentang normal frekuensi jantung kelinci, yaitu 167-250 dpm (Kour et al. 2013). Peningkatan frekuensi jantung dapat disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya stres akibat proses penanganan hewan sebelum maupun setelah perlakuan dan pengambilan data (Leone dan Finer 2006). Stres memicu pelepasan corticotropin releasing hormone (CRH) dari hipotalamus yang kemudian memicu hipofise anterior mengeluarkan adeno corticotropichormone (ACTH). Hormon ACTH kemudian memberi sinyal ke kelenjar endokrin lain untuk melepaskan hormon tiroksin dan kortisol sebagai hormon utama stres. Jumlah hormon utama stres akan meningkat dan berpengaruh pada sistem homeostasis. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi frekuensi jantung diantaranya aktivitas, kadar CO2, berat badan, dan usia (Leone dan Finer 2006). 14 Mean Electrical Axis Mean electrical axis (MEA) dapat digunakan untuk mendeteksi perubahan kondisi kardiovaskular, seperti pembesaran atrium ataupun ventrikel. Perubahan yang dapat terjadi pada MEA adalah right axis deviation, left axis deviaton, dan indeterminate axis. Penyebab penyimpangan axis juga dapat disebabkan oleh kelainan kongenital, posisi jantung dalam rongga dada, hipertrofi otot jantung, perubahan konduksi, dan ketidakseimbangan elektrik (Kuhn dan Rose 2008). Pembesaran atrium maupun ventrikel jantung juga dapat menyebabkan pergeseran nilai MEA (Thaler 2007). Tabel 9 Mean electrical axis (°) pada kelinci dengan implan BKF I dan BKF II berdasarkan waktu Hari 0 7 30 60 90 Perlakuan BKF I 56.9±33.3ax 60.9±55.8ax 2.0±19.1ax 64.2±19.0ax 75.5±21.4ax BKF II 39.7±44.1ax 46.3±54.6ax 33.8±64.6ax 78.5±37.5ax 13.0±35.5ax Keterangan: Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar waktu pengambilan data. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar kelompok perlakuan. Hasil evaluasi MEA pada kondisi pra dan pascaoperasi maupun antar kelompok perlakuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Nilai MEA pada kelompok perlakuan BKF I cenderung mengalami peningkatan, sedangkan penurunan nilai MEA terjadi pada kelompok perlakuan BKF II (Tabel 9). Pergeseran nilai MEA yang cukup besar terjadi pada kelompok BKF II hari ke-60. Pada kondisi ini, MEA mengalami right axis deviation yang menandakan adanya perbesaran pada bagian jantung sebelah kanan. Kondisi ini diperkuat dengan peningkatan nilai amplitudo gelombang P pada kelompok BKF II hari ke-60 yang mengindikasikan adanya perbesaran yang cukup signifikan pada atrium kanan jantung. Nilai MEA pada setiap kelompok dan waktu pengambilan masih berada pada rentang nilai normal, yaitu antara -93° hingga 96° (Kour et al. 2013). Penggunaan semen tulang dapat menghasilkan tekanan intramedula yang tinggi pada saat semen tulang ditanam atau disisipkan dalam tulang sehingga menyebabkan BCIS. Sumsum tulang terdorong masuk ke dalam sirkulasi pembuluh darah. Beban embolik ini menghasilkan hipertensi paru akut yang dapat menyebabkan disfungsi ventrikel kanan, iskemia, hipotensi, dan bahkan mati tibatiba (PAPSRS 2006). Emboli dapat menyebar ke bagian tubuh lain seperti jantung dan paru-paru (Koessler et al. 2001). Donaldson et al. (2009) menyatakan bahwa emboli dapat diakibatkan oleh efek mekanis dan pelepasan mediator yang memicu peningkatan tekanan vaskuler pulmonal. Peningkatan emboli pulmonal menyebabkan hipoksia dan disfungsi vetrikel kanan yang mengarah kepada hipotensi. 15 Beban emboli ini juga dapat meningkatkan tekanan arteri pulmonal dan resistensi pembuluh darah pulmonal. Kedua hal tersebut menyebabkan dinding ventrikel kanan yang tipis berdilatasi. Hal ini ditandai dengan peningkatan daerah ventrikel kanan. Hipertrofi juga dapat terjadi pada kasus BCIS. Hipertrofi ventrikel kanan terjadi apabila jantung harus memompa darah melalui katup pulmonalis yang stenotik. Karakteristik dari sindrom yang disebabkan oleh penanaman implan semen tulang mencakup hipotensi sistemik, hipertensi paru-paru, peningkatan tekanan vena sentral, edema paru-paru, bronkokonstriksi, anoxia/hipoxemia, disritmia/aritmia jantung, cardiogenic shock, cardiac arrest, sudden death, emboli lemak/sumsum, hypothermia, dan thrombocytopenia (PAPSRS 2006). Penelitian laboratorium dan klinis untuk sindrom implantasi semen tulang menunjukkan bahwa penyebab yang mendasari hipotensi sistemik dan gagal jantung mendadak adalah kegagalan sekunder ventrikel kanan. Ventrikel kanan gagal untuk meningkatkan tekanan arteri paru-paru (Pulmonary Artery Pressure). Secara keseluruhan, ada penurunan tajam stroke volume jantung disertai dengan peningkatan daerah ventrikel kanan dan penurunan daerah ventrikel kiri (PAPSRS 2006). SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penanaman implan semen tulang BKF I dan BKF II selama 90 hari tidak berpengaruh terhadap fungsi jantung. Peningkatan frekuensi jantung tidak berkaitan erat dengan penanaman implan tulang, melainkan proses penanganan hewan. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dalam waktu yang lebih lama terhadap penggunaan implan tulang. Perlu dilakukan penelitian penggunaan implan tulang pada hewan model lain yang memiliki kekerabatan yang dekat dengan manusia untuk melihat pengaruh terhadap atrium maupun ventrikel. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan area kerusakan dan penanaman implan tulang yang lebih luas. 16 DAFTAR PUSTAKA Abedien Z, Conner R. 2008. ECG Interpretation the Self-Assesment Approach. Iowa (UK): Blackwell Publ. Ahmed JA, Sanyal S. 2008. Electrocardiographic studies in garol sheep and black bengal goats. Res J Cardiol. 1 (1):1-8. Brinker WO, Piermattei DL, Flo GL. 2006. Handbook of Small Animal Orthopedics and Fracture Repair 4th edition. St. Louis (US): Saunders Elsevier. Cunningham JG. 2002. Textbook of Veterinary Physiology. Ed ke-3. Philadelphia (US): WB Saunders. Daculsi G, Laboux O, Malard O, Weiss P. 2003. Current state of the art of biphasic calcium phosphate bioceramics. J Mater Sci. 14(3):195-200. Dharma S. 2009. Pedoman Praktis: Sistematika Interpretasi EKG. Jakarta (ID): EGC. Donaldson AJ, Thomson HE, Harper NJ, Kenny NW. 2009. Bone cement implantation syndrome. Br J Anaesth. 102(1): 12-22. Ganong WF. 2002. Fisiologi Kedokteran Edisi 20. Jakarta (ID): EGC. Gilsanz V, Roe TF, Gibbens DT, Schulz EE, Carlson ME, Gonzalez O, Boechat MI. 1988. Effect of sex steroids on peak bone density of growing rabbits. Am J Physiol. 255: E416-E421. Guyton A, Hall EJ. 2007. Fisiologi Kedokteran. Ed ke-11. Jakarta (ID): EGC. Koessler MJ, Fabiani R, Hamer H, Pitto RP. 2001. The clinical relevance of embolic events detected by transesophageal echocardiography during cemented total hip arthtoplasty: a randomized clinical trial. Anesth Analg. 92: 49-55. Kour J, Ahmed JA, Aarif O. 2013. Impact of heat stress on electrocardiographic changes in new zealand white rabbit. J Stress Physiol Biochem. 9(2): 242252. Kuhn L, Rose L. 2008. ECG Interpretation part 1: understanding mean electrical axis. J Emerg Nurs. 34(6): 530-534. LeGeros RZ, Daculsi G. 1997. In vivo transformation of biphasic calcium phosphate ceramics: ultrastructural and physico-chemical characterizations. Di dalam: Yamamuro T, Wilson-Hench J, editor. Handbook of Bioactive Ceramics. Boca Raton, USA. Florida (US): CRC Pr. 11: 17-28. Leone TA, Finer NN. 2006. Foetal adaptation at birth. Current Paedia. 16: 373378. Liebermen JR, Gary EF. 2005. Bone Regeneration and Repair. New Jersey (US): Human Press. Madias JE. 2008. Low QRS voltage and its causes. J Electrocardiol. 41: 498-500. Martin MWS. 2007. Small Animal ECGs: An Introductory Guide Second Edition. Oxford (UK): Blackwell Publishing. McManus JG, Convertino VA, Cooke WH, Ludwig DA, Holcomb JB. 2006. Basic investigations: R-wave amplitude in lead II of an electrocardiograph correlates with central hypovolemia in human beings. Acad Emerg Med. 13(10): 1003-1010. 17 Murugan R, Ramakrishna S. 2004. Bioresorbable composite bone paste using polysaccharide based nano hydroxiapatite. Biomater. 25: 3829-3835. Neyt JG, Buckwalter JA, Carroll NC. 1998. Use of animal models in musculoskeletal research. Iowa Orthop J. 18: 118-123. [PAPSRS] Pennsylvania Patient Safety Reporting System. 2006. Bone cement implantation syndrom. Patient Safety Advisory. 3(4). Paul W, Sharma CP. 2005. Nanoceramic matrices: biomedical applications. Am J Biochem and Biotechnol. 2: 41-48. Pearce A, Richards RG, Milz S, Schneider E, Pearce SG. 2007. Animal models for implant biomaterial research in bone: a review. Europ Cells and Mater. 13: 1-10. Pieper SJ, Stanton MS. 1995. Concise review for primary-care physician: narrow QRS complex tachycardias. Mayo Clin Proc. 70: 371-375. Piermattei DL, Gretchen LF, De Camp CE. 2006. Handbook of Small Animal Orthopedics and Fracture Repair 4th ed. Missouri (US): Saunders. Saraswathy G, Pal S, Rose C, Sastry TP. 2001. A novel bio-inorganic bone implant containing deglued bone, chitosan, and gelatin. Bull Mater Sci. 24(4): 415-420. Scott HW, McLaughlin R. 2007. Feline Orthopedics. London (UK): Manson Publishing. Thaler MS. 2007. The Only EKG Book You’ll Ever Need, 5th edition. Philadelphia (US): Lippincott Williams & Wilkins. Wang X, Mabrey JD, Agrawal CM. 1998. An interspecies comparison of bone fracture properties. Biomed Mater Eng. 8: 1-9. Widjaja S. 1990. Segi Praktis EKG. Jakarta: Binarupa Aksara. Yoshida A, Miyazaki T, Ishida E, Ashizuka M. 2004. Preparation of bioactive chitosan-hydroxyapatite nanocomposites for bone repair through mechanochemical reaction. Mater Trans. 45: 994-998. 18 19 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada 16 Maret 1992 sebagai anak ketiga dari pasangan Tatang Syarifudin (Alm) dan Jamilah. Tahun 1998 penulis lulus dari TK Islam PB Soedirman Jakarta. Tahun 2004 penulis lulus dari SD Islam PB Soedirman Jakarta, kemudian pada tahun 2007 penulis juga lulus dari SMP Negeri 20 Jakarta. Selanjutnya pada tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 14 Jakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Penulis memilih mayor Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti organisasi internal Himpunan Profesi Satwaliar.