filosofi pembagian harta bersama

advertisement
FILOSOFI PEMBAGIAN HARTA BERSAMA
Linda Firdawaty
Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung
Jl. Endro Suratmin Sukarame Bandar Lampung
Email: [email protected]
Abstrak: Filosofi Pembagian Harta Bersama. Islam tidak mengatur secara rinci tentang
pembagian harta bersama. Oleh karena itu, ulama berbeda pendapat ulama mengenai harta
bersama. pendapat pertama mengatakan Islam tidak mengenal adanya harta bersama kecuali
dengan syirkah, sedangkan pendapat lain menyatakan bahwa terjadinya perkawinan sudah
dianggap adanya syirkah antara suami isteri tersebut. Kompilasi Hukum Islam memandang
bahwa dengan adanya aqad perkawinan, terjadilah syirkah baik dalam harta dan lain-lain,
sehingga jika terjadi perceraian baik cerai hidup atau mati, masing-masing mendapatkan
sebagian dari harta bersama. Pembagian harta bersama menurut ketentuan KHI bukan suatu
yang mutlak, karena pada prinsipnya filosofi dalam pembagian harta bersama adalah nilai
yang dapat dicapai dengan musyawarah yang didasari prinsip perlindungan hukum, keimanan,
keadilan, keseimbangan, musyawarah dan kasih sayang.
Kata Kunci: filosofi, harta bersama, musyawarah.
A. Pendahuluan
Salah satu komponen yang penting
dalam sebuah perkawinan adalah adanya harta
kekayaan sebagai penopang kehidupan
rumah tangga. Meskipun pada prinsipnya
kewajiban memenuhi kebutuhan dalam
rumah tangga itu adalah kewajiban suami,
namun di era modern sekarang ini tidak
tertutup kemungkinan perempuan /isteri
juga ikut bekerja dalam memenuhi
kebutuhan materi dalam rumah tangga. Hal
ini tentunya akan berpengaruh terhadap
kedudukan
harta
kekayaan
dalam
rumahtangga, baik selama perkawinan
berlangsung
ataupun ketika terjadi
perceraian.
Perkawinan dengan tujuan untuk mencapai
rumah tangga yang bahagia dan kekal
merupakan idaman setiap keluarga. Namun
cita-cita ideal terbentuknya rumah tangga
tersebut tidak semuanya dapat diraih dan
dipertahankan oleh pasangan suami isteri.
Adakalanya perkawinan itu putus baik
disebabkan karena kematian salah satu
pihak maupun terjadinya perceraian.
Di antara permasalahan pelik yang
sering mengiringi proses perceraian di
Pengadilan Agama adalah persoalan harta
bersama atau sering juga disebut dengan
harta gono gini. Permasalahan seperti ini
umumnya akan memperpanjang proses
perceraian karena menyangkut persoalan
harta. Oleh karena itu, sebaiknya pengajuan
tentang gugatan harta bersama terpisah dari
gugatan perceraian agar penyelesaian
perceraian tidak berlarut-larut.
Problem harta bersama yang sering
muncul antara lain disebabkan kurangnya
pemahaman tentang apa saja yang masuk
kategori harta bersama dan bagaimana
proses terjadinya. Merupakan suatu hal
yang wajar, karena biasanya pada saat
sebelum menikah, calon mempelai tidak
memikirkan tentang persoalan harta, ini
karena dianggap akan mengurangi rasa
88
kepercayaan di antara calon mempelai,
meskipun dibolehkan kedua belah pihak
melakukan perjanjian perkawinan.
Pada prinsipnya Islam tidak mengatur
tentang harta bersama dalam baik dalam al
Qur’an, maupun al Hadits. Dalam kitab
fikih klasikpun tidak ditemukan pembahasan
tentang harta bersama. Dalam hal ini ulama
berbeda pendapat tentang harta bersama,
ada pendapat yang mengatakan tidak ada
harta bersama antara suami dan isteri,
sedangkan pakar hukum Islam yang lain
berpendapat bahwa suatu hal yang tidak
mungkin jika Islam tidak mengatur tentang
harta bersama, sedangkan hal lain yang
kecil-kecil saja diatur secara rinci dan
termasuk dalam ruang lingkup pembahasan
hukum Islam.
Tidak adanya aturan yang jelas tentang
harta bersama dalam alqur’an maupun
hadits, mengilhami para fuqaha Indonesia
mengaturnya dalam Kompilasi Hukum Islam
(selanjutnya disebut KHI). Pengaturan
tentang harta kekayaan dalam perkawinan
tercantum dalam pasal 85 -97 KHI.
Pengaturan meliputi adanya harta bersama
tidak menutup kemungkinan adanya harta
milik masing-masing dalam perkawinan,
tanggungjawab suami isteri dalam menjaga
harta, kedudukan harta bersama jika terjadi
perceraian karena kematian dan terakhir
Pasal 97 yang mengatur bahwa bahwa
janda atau duda cerai masing-masing
berhak seperdua dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjian perkawinan.
Sedangkan Pasal 45 sampai dengan
Pasal 52 memberikan hak kepada masingmasing pihak untuk mengadakan perjanjian
sebelum perkawinan dilakukan. Dengan
perjanjian ini diharapkan memperjelas
kedudukan harta dalam perkawinan.
Perjanjian
tersebut
dapat
meliputi
percampuran harta pribadi, pemisahan harta
pencaharian masing-masing dan penetapan
kewenangan
masing-masing
untuk
mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi
dan harta bersama atau harta syarikat
sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan
hukum Islam.
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan
(selanjutnya
disebut
UU
Perkawinan) mengatur tentang pembagian
harta bersama, bahwa harta bersama dapat
dibagi menurut ketentuan hukum masingmasing. Sedangkan KHI mengatur bahwa
harta bersama dibagi dua. Namun, pihakpihak dapat melakukan kesepakatan tentang
bagaimana pembagiannya. Apakah dibagi
sama rata atau dibagi berdasarkan porsi
masing-masing pihak dalam memperoleh
harta. Namun perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia mengatur bahwa setiap
harta yang diperoleh selama masa
perkawinan dijadikan sebagai harta bersama
tanpa membedakan siapa yang bekerja atau
memperoleh harta tersebut dan terdaftar
atas nama siapa, selama harta tersebut
bukan merupakan harta bawaan, hadiah
atau warisan dan atau tidak ada perjanjian
perkawinan dalam hal kepemilikan harta
bersama.
Melihat
perkembangan
masyarakat
Indonesia yang sangat dinamis dan dari
beberapa kasus putusan pengadilan,
ditemukan fakta
bahwa secara umum
majelis hakim Pengadilan Agama dalam
memutuskan perkara gugatan pembagian harta
bersama tidak keluar dari peraturan
perundang-undangan tersebut yaitu dengan
membagi rata (seperdua bagian) harta
bersama di antara suami istri. Aturan
tersebut menimbulkan banyak masalah
yang terjadi dalam praktik di Peradilan
Agama karena tidak sedikit yang menilai
dan berasumsi bahwa pembagian harta
bersama tersebut tidak memenuhi rasa
keadilan jika dibagi sama rata, sementara
salah satu pihak telah melakukan perbuatan
yang merugikan pihak lainnya karena tidak
menjalankan apa yang telah menjadi
kewajibannya terlebih dalam jangka waktu
yang lama. Atau munculnya masalah yang
disebabkan karena yang mencari nafkah
hanya suami saja, sedangkan isteri hanya
mengurus rumah tangga, yang berarti tidak
ada kontribusi secara langsung dalam
memperoleh harta kekayaan.
Oleh karena itu, melalui tulisan ini
akan dikaji beberapa permasalahan tentang
89
bagaimana kedudukan harta gono gini menurut
ketentuan hukum Islam,
dan bagaimana
filosofi pembagian harta gono gini menurut
ketentuan pasal 97 KHI?
pengaturannya diserahkan kepada masingmasing pihak. Dalam hal ini, pakar hukum
Islam berbeda pendapat tentang harta
bersama . Pendapat pertama mengatakan
tidak ada harta bersama antara suami dan
isteri. Pendapat ini dikemukakan oleh
Hazairin, Anwar Harjono, dan Andoerraoef.
Sedangkan pakar hukum Islam yang lain
berpendapat bahwa suatu hal yang tidak
mungkin jika Islam tidak mengatur tentang
harta bersama, sedangkan hal lain yang
kecil-kecil saja diatur secara rinci dan
termasuk dalam ruang lingkup pembahasan
hukum Islam. Jika tidak disebut dalam al
Qur’an, maka pasti ada dalam hadits.
Pendapat ini dikemukakan oleh T.
Jafizham. 2
Kedua pendapat tersebut masingmasing mempunyai argumentasi:
a. Tidak dikenal harta bersama kecuali
dengan jalan syirkah.
Pada dasarnya dalam Islam tidak
dikenal percampuran harta bersama antara
suami isteri karena perkawinan. Harta
kekayaan isteri tetap menjadi milik isteri
dan dikuasai sepenuhnya oleh isteri dan
harta kekayaan suami tetap menjadi milik
suami dan dikuasai sepenuhnya oleh suami.
Oleh karena itu, wanita yang bersuami
dalam Islam tetap dianggap cakap bertindak
tanpa bantuan suaminya termasuk dalam
mengurus harta benda, sehingga ia dapat
melakukan perbuatan hukum dalam
masyarakat, 3
Argumentasi pendapat bahwa tidak ada
harta bersama antara suami isteri kecuali
dengan jalan syirkah, antara lain surat
annisa ayat 34 :
B. Pembahasan
1. Pengertian Harta Bersama
Harta bersama adalah harta yang diperoleh
bersama suami isteri selama perkawinan
berlangsung, jawa: gono gini, sunda : guna
kaya 1 Harta bersama dalam masyarakat
Aceh dikenal dengan harta seharkat, dalam
masyarakat Melayu dikenal dengan harta
serikat, dalam masyarakat Jawa-Madura
dikenal dengan harta gono gini.
Pengertian harta bersama sebagaimana
dalam Undang-Undang Perkawinan pasal
35 bahwa harta yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama. Salah
satu pengertian harta gono–gini adalah
harta milik bersama suami–istri yang
diperoleh oleh mereka berdua selama dalam
perkawinan, seperti halnya jika seseorang
menghibahkan uang, atau sepeda motor,
atau barang lain kepada suami istri, atau
harta benda yang dibeli oleh suami isteri
dari uang mereka berdua, atau tabungan
dari gaji suami dan gaji istri yang dijadikan
satu, itu semuanya bisa dikatagorikan harta
gono- gini atau harta bersama.
Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 1
huruf (f) dengan tegas menyebutkan:
“Harta kekayaan dalam perkawinan
atau syirkah adalah harta yang diperoleh
baik sendiri-sendiri atau bersama suami
isteri selama dalam ikatan perkawinan
berlangsung dan selanjutnya disebut harta
bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar
atas nama siapa pun.”
A









2. Konsep Harta Bersama Menurut
Hukum Islam
Pada prinsipnya Islam tidak mengatur
tentang harta bersama dalam baik dalam al
Qur’an, maupun al Hadits. Dalam kitab
fikih klasikpun tidak ditemukan pembahasan
tentang harta bersama. Oleh karena itu,

2
T. Jafizham, Persentuhan Hukum di
Indonesia
dengan Hukum Perkawinan Islam,
(Medan: Mustika, 1977), h. 119.
3 Latif Jamil, Aneka Hukum Perceraian
Indoenesia, (Jakarta: Ghia Indonesia, 1982), h. 82.
Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual Jawaban
Tuntas Masalah Kontemporer, (Mondar Maju,
1997), h. 124.
1
90


. 
Dasar hukumnya adalah surat an-Nisa’
ayat 32:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi
kaum wanita, oleh Karena Allah Telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki)
atas sebahagian yang lain (wanita), dan
karena
mereka
(laki-laki)
telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Dan al-Qur’an surah At-Thalak ayat 6,
sebagai berikut:


  




5 
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana
kamu
bertempat
tinggal
menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu
menyusahkan mereka untuk menyempitkan
(hati) mereka.
Karena isteri mendapat perlindungan
baik tentang nafkah lahir, batin, moral dan
material, tempat tinggal, biaya pemeliharaan
serta pendidikan anak-anak, menjadi
tanggung jawaba penuh suami sebagai
kepala keluarga. Berarti isteri dianggap
pasif menerima apa yang datang dari suami,
sehingga tidak ada harta bersama antara
suami dan isteri. Sepanjang apa yang
diberikan oleh suami kepada isteri di luar
pembiayaan rumah tangga dan pendidikan
anak-anak, misalnya hadiah berupa
perhiasan, itulah yang menjadi hak isteri
dan tidak boleh diganggu gugat oleh suami.
Yang diusahakan oleh suami tetap menjadi
milik suami kecuali ada syirkah.
Dalam kitab fikih tradisional, harta
bersama dapat terjadi hanya dengan adanya
syirkah sehingga terjadi percampuran harta
kekayaan suami isteri dan tidak dapat
dibeda-bedakan lagi. Dengan kata lain
dalam Islam harta bersama itu adalah harta
yang dihasilkan dengan jalan syirkah antara
suami isteri sehingga terjadi percampuran
harta yang satu dengan yang lain. 6
  







A







7 
4
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa
yang
dikaruniakan
Allah
kepada
sebahagian kamu lebih banyak dari
sebahagian yang lain. (karena) bagi orang
laki-laki ada bahagian dari pada apa yang
mereka usahakan, dan bagi para wanita
(pun) ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan.
Dengan perkawinan menjadilah sang isteri
syarikatur rajuli fil hayati (kongsi) dalam
melayani bahtera rumah tangga. Maka
terjadilah antara keduanya syirkah abdan
(perkongsian tidak terbatas)8. Jika harta
kekayaan suami isteri itu bersatu karena
syirkah,
seakan-akan
merupakan
harta
kekayaan tambahan, karena usaha bersama
suami isteri selama perkawinan menjadi milik
bersama, jika kelak perkawinan putus karena
perceraian atau talak, maka harta syirkah
tersebut dibagi antara suami dan isteri menurut
pertimbangan sejauh mana usaha mereka turut
serta berusaha dalam syirkah atau dapat juga
dibagi dua.
Menurut Yahya Harahap 9 bahwa sudut
pandang hukum Islam terhadap harta bersama
ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh
Ismail Muhammad Syah bahwa pencarian
bersama suami isteri mestinya masuk dalam
rubu muamalah, tetapi ternyata tidak
dibicarakan secara khusus. Hal ini mungkin
disebabkan karena pada umumnya pengarang
kitab-kitab fiqh adalah orang Arab yang tidak
mengenal adat mengenai pencarian bersama
Perdata Islam di Indonesia, (Kencana, 2006), h.
109.
7 QS. Annisa’:32
8 Hasby Ash-Shissiqie, Pengantar Hukum
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang 1971), h. 9.
9 Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan
dan Acara Peradilan Agama, 1991, h. 297.
Q.S. Annisa’: 34.
Q.S. At-talaq : 6.
6 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum
4
5
91
suami isteri, tetapi hanya berbicara tentang
perkongsian/ syirkah.
Kitab fikih tidak membahas tentang harta
bersama, hanya membahas syarikat yang sah
dan tidak sah. Kalangan Syafi’i berpendapat
empat macam harta syarikat, yaitu:
Namun, pakar hukum Islam di
Indonesia melakukan pendekatan jalur
syarikat abdan dengan hukum adat. Cara
pendekatan yang demikian tidak bertentangan
dengan kebolehan menjadikan urf sebagai
sumber hukum Islam dan sesuai dengan jiwa
al-‘adatul muhakkamah. Hal ini juga yang
menginspirasi pakar hukum Islam
di
Indonesia ketika merumuskan pasal 85-97
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
menyetujui syirkah abdan sebagai landasan
merumuskan kaidah-kaidah harta bersama
suami dan isteri dalam kompilasi.
b. Pendapat yang menyatakan ada
harta bersama antara suami isteri.
Pendapat ini mengatakan bahwa harta
yang diperoleh oleh suami dan isteri karena
usahanya adalah harta bersama, baik
mereka sama-sama bekerja atau hanya
suami yang bekerja dan isteri hanya
mengurus rumah tangga beserta anak-anak
saja. Sekali mereka terikat dalam perjanjian
perkawinan sebagai suami isteri, maka
semuanya menjadi bersatu, baik harta
maupun anak-anak, seperti al Quran annisa:
21, 12Tidak perlu diiringi dengan syirkah,
sebab perkawinan dengan ijab dan qabul
serta memenuhi persyaratan lainnya sudah
dianggap adanya syirkah antara suami isteri
tersebut. Argumen dari pendapat ini antara
lain:
1). Al-Qur’an surah Annisa ayat 19:


  
  















1). Syarikat inan, yaitu dua orang yang
berkongsi dalam harta tertentu,
misalnya
bersyarikat
dalam
membeli suatu barang dan
keuntungannya untuk mereka
bersama.
2). Syarikat abdan, yaitu dua orang atau
lebih bersyarikat, masing-masing
mengerjakan
suatu
pekerjaan
dengan tenaga dan hasilnya dibagi
mereka
bersama
menurut
perjanjian yang mereka buat.
3).
Syarikat
muwafadhah,
yaitu
persyarikatan dua orang atau lebih
untuk
melaksanakan
suatu
pekerjaan
dengan
tenaganya
masing-masing, di antara mereka
mengeluarkan
modal,
menerima
keuntungan dengan tenaga dan
modalnya,
masingmasing
melakukan tindakan meskipun tidak
diketahui pihak lain.
4). Syarikat wujuh, yaitu syarikat atas
tanpa pekerjaan ataupun harta,
yaitu permodalan dengan dasar
kepercayaan pihak lain.
Di antara ke empat syarikat tersebut,
hanya syarikat inan yang disepakati oleh
semua pakar hukum Islam, sedangkan yang
tiga masih diperselisihkan keabsahananya10
Karena Islam hanya membahas garisgaris besar saja, maka menimbulkan
penafsiran yang berbeda tentang harta
bersama. Namun harta bersama ini
digolongkan kepada syirkah abdan dan
muafadhah. Kesimpulan ini menurut Ismail
Muhammad Syah, dengan alasan bahwa
pada
umumnya
dalam
masyarakat
Indonesia sama-sama bekerja berusaha
mencari nafkah hidup keluarga sehari-hari
dan sekedar harta simpanan untuk masa tua
mereka.11
10
11
Bersama suami isteri di Aceh ditinjau dari sudut UU
Perkawinan Tahun 1974 dan Hukum Islam,
Disertasi 1984, h. 282
12
Sayuti Tholib, Hukum Kekeluargaan
Indonesia, (Jakarta: UI, 1974), h. 84.
Abdul Manan, Loc. Cit., h. 110.
Ismail Miuhammad Syah, Pencaharian
92

 




 




13 . 



 




  





A
 



. 
Wanita-wanita yang ditalak handaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.
tidak boleh mereka menyembunyikan apa
yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika
mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. dan suami-suaminya berhak
merujukinya dalam masa menanti itu, jika
mereka (para suami) menghendaki ishlah.
dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara
yang ma'ruf. Akan tetapi para suami
mempunyai satu tingkatan kelebihan dari
pada isterinya dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.
Pendapat ini adalah pendapat yang
paling mutakhir yang mengakui syirkah
antara suami isteri terjadi karena
perkawinan. Apa yang telah diatur oleh
Undang-Undang Perkawinan sepanjang
mengenai harta bersama pasal 35, 36, 37
sesuai dengan kehendak dan aspirasi hukum
Islam. Diakuinya syirkah abdan yang
menginspirasi pakar hukum Islam di Indonesia
ketika merumuskan harta bersama dalam
KHI melahirkan pasal 85-97, sehingga
pengaturan tentang harta bersama jelas
diakui dalam hukum Islam dan telah diatur
secara rinci.
Islam tidak mengatur secara khusus
tentang pembagian harta bersama. Islam
hanya memberikan rambu-rambu secara
umum dalam menyelesaikan masalah harta
bersama. Pembagian harta bersama
tergantung kepada kesepakatan suami dan
istri. Kesepakatan ini di dalam Al Qur’an
disebut dengan istilah “Ash Shulhu“, yaitu
perjanjian untuk melakukan perdamaian
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal
bagi kamu mempusakai wanita dengan
jalan paksa dan janganlah kamu
menyusahkan mereka karena hendak
mengambil kembali sebagian dari apa yang
telah kamu berikan kepadanya, terkecuali
bila mereka melakukan pekerjaan keji yang
nyata dan bergaullah dengan mereka
secara patut. kemudian bila kamu tidak
menyukai mereka, (maka bersabarlah)
karena mungkin kamu tidak menyukai
sesuatu, Padahal Allah menjadikan
padanya kebaikan yang banyak.
2). Al-Qur’an Surat Annisa ayat 21:

 






 
14.
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali,
Padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai
suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu)
telah mengambil dari kamu perjanjian yang
kuat.
3). Surah al-Baqarah ayat 228:



  
   
  








13
14
Q.S. Annisa: 19.
QS. Annisa’ :21
93
bersama (amlak). 16(Imam Ash-Shan’ani,
Subulus Salam, 4/247).
Dengan demikian, jika suami istri
bercerai dan hendak membagi harta gono
gini di antara mereka, dapat ditempuh jalan
perdamaian (ash-shulhu). Sebab salah satu
jenis perdamaian adalah perdamaian antar
suami istri, atau perdamaian tatkala ada
persengketaan mengenai harta bersama
(amlak).
antara kedua belah pihak (suami istri)
setelah mereka berselisih.




 
  




 
  
.
3. Harta
Bersama
menurut
Peraturan Perundang-Undangan
di Indonesia
Ketentuan tentang harta benda dalam
Undang-Undang Perkawinan, diatur dalam
Pasal 35, bahwa harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta bersama
dan harta bawaan dari masing-masing
suami dan isteri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah
atau warisan, berada di bawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain. Demikan pula dalam
penguasaan dan perlekatan hak kepemilikan
atas 2 (dua) jenis harta dalam perkawinan
yang telah jelas dipisahkan oleh UndangUndang Perkawinan.
Hal tersebut di atas dapat dilihat dalam
Pasal 36 Undang-Undang Perkawinan, yang
berbunyi:
1. Mengenai harta bersama, suami atau
isteri
dapat
bertindak
atas
persetujuan kedua belah pihak.
2. Mengenai harta bawaan masingmasing, suami isteri mempunyai hak
sepenuhnya
untuk
melakukan
perbuatan hukum mengenai harta
bendanya.
Pasal 37 mengatur bahwa bila
perkawinan putus karena perceraian, harta
benda diatur menurut hukumnya masingmasing. Dalam penjelasan pasal tersebut,
ditegaskan bahwa yang dimaksud hukum
masing-masing adalah hukum agama,
hukum adat dan hukum-hukum lainnya.
Oleh karena itu, bagi yang beragama Islam,
maka berlaku Kompilasi Hukum Islam.
Dan jika seorang wanita khawatir akan
nusyuz atau sikap tidak acuh dari
suaminya, maka tidak mengapa bagi
keduanya untuk mengadakan perdamaian
yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu
lebih baik (bagi mereka) .
Ayat di atas menerangkan tentang
perdamaian yang diambil oleh suami istri
setelah mereka berselisih. Biasanya dalam
perdamaian ini ada yang harus merelakan
hak-haknya misalnya, istri merelakan hakhaknya kepada suami demi kerukunan antara
keduanya. Hal ini dikuatkan dengan sabda
Rasulullah saw :
‫ﻋﻦ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﻋﻮﺅﺍﻟﻤﺰﻧﻲ ﻋﻦ ﺍﺑﻴﻪ ﻋﻦ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﺔ ﺻﻠﻲ ﺍﻟﻠﺔ ﻋﻠﻴﺔ ﻭ‬
15 ‫ ﺍﻟﺼﻠﺢ ﺟﺎﺋﺰ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺍﻻ ﺍﺣﻞ ﺣﺮﺍﻣﺎ ﺃﻭ ﺣﺮﻡ ﺣﻼﻻ‬: ‫ﺳﻠﻢ‬
Dari Amru’ bin Auf al Muzani dari
bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah
saw bersabda: “Perdamaian adalah boleh
di antara kaum muslimin, kecuali
perdamaian yang mengharamkan yang
halal dan perdamaian yang menghalalkan
yang haram “(HR Abu Dawud, Ibnu
Majah, dan Tirmidzi, dan disahihkan oleh
Tirmidzi).
Imam Ash-Shan’ani memberi syarah
(penjelasan) hadits di atas bahwa di antara
macam perdamaian adalah perdamaian
antara suami istri dan perdamaian untuk
memberikan sejumlah harta kepada lawan
sengketa jika terjadi pada harta milik
15 Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, 4/246,
hadits no. 821, Imam Syaukani, Nailul Authar,
8/463, hadits no.2325, Darul Kutub Alamiah
Libanon, tt.
16
94
Ibid., h. 247.
Hilman Hadikusuma 17 menjelaskan
akibat hukum yang menyangkut harta
bersama berdasarkan pasal 37 UU
Perkawinan ini diserahkan kepada para
pihak yang bercerai tentang hukum mana
dan hukum apa yang berlaku, dan jika tidak
ada kesepakatan antara mantan suami dan
isteri, hakim dapat mempertimbangkan
menurut rasa keadilan yang sewajarnya.
Selain itu, akibat perceraian terhadap
harta bersama juga dapat ditentukan oleh
hukum adat yang digunakan oleh para
pihak. Apabila para pihak menggunakan
hukum adat untuk mengatur akibat
perceraian, maka segala sesuatu mengenai
harta bersama diatur berdasarkan hukum
adat yang berlaku masing-masing.
Selanjutnya dalam KHI, telah mengatur
tentang harta kekayaan dalam perkawinan
dalam pasal 85-97:
Pasal 85: Adanya harta bersama dalam
perkawinan
tidak
menutup
kemungkinan adanya harta milik
masing-masing suami atau isteri.
Sejalan dengan ketentuan Pasal 36 ayat
(2) Undang-Undang Perkawinan, KHI
pasal 86-87 juga memberikan batasan
bahwa tidak ada proses percampuran
harta dalam sebuah perkawinan. Ini
berarti bahwa harta kekayaan yang
dibawa sebelum perkawinan tetap
menjadi milik masing-masing pihak
yang membawanya. Perkawinan tidak
merubah status kepemilikan hak atas
harta kekayaan tersebut menjadi hak
milik bersama. Harta isteri tetap
menjadi hak isteri dan dikuasai penuh
olehnya, demikian juga harta suami
tetap menjadi hak suami dan dikuasai
penuh olehnya. Adapun harta tersebut
dapat berupa hadiah, hibah, sodaqah
atau lainnya yang merupakan pemberian
khusus untuk salah satu pihak dalam
ikatan perkawinan.
Harta bersama perkawinan menurut
KHI (Pasal 91 ayat (1) s/d ayat (3)) dapat
berupa:
1. Benda berwujud termasuk benda
bergerak maupun benda tidak
bergerak serta surat-surat berharga;
2. Benda tidak berwujud termasuk hak
dan kewajiban.
Pertanggungjawaban
atas
harta
bersama dalam perkawinan ada pada kedua
belah pihak. Baik suami dan isteri memiliki
tanggung
jawab
memelihara
dan
menjaganya. Demikian pula apabila harta
bersama tersebut dalam penguasaan salah satu
pihak, maka pertanggungjawaban atas harta
bersama tersebut melekat pada pihak yang
bersangkutan. Tidak dapat seorang suami
maupun isteri mengalihkan penguasaan
maupun hak kepemilikannya ke pihak lain,
kecuali dengan persetujuan bersama antara
suami dan isteri.
Dalam hal terjadinya hutang, pasal 93
KHI
menjelaskan
pada
dasarnya
pertanggungjawaban ada pada masing-masing
pihak yang melakukan hutang. Namun
apabila hutang tersebut digunakan untuk
kepentingan dan keperluan keluarga maka
pertanggungjawaban dibebankan pada harta
bersama. Sedangkan apabila harta bersama
tidak mencukupi untuk melunasi hutang
tersebut, maka suami ikut menanggungnya
dengan menggunakan harta pribadinya.
Harta isteripun akan disertakan dalam
pertanggungjawaban hutang tersebut apabila
ternyata harta suami tidak ada atau juga
tidak mencukupi sebagai pelunasan.
Sedangkan pasal 94 KHI mengatur
tentang suami yang beristri lebih dari satu,
masing-masing harta bersama dari setiap
perkawinan tersebut terpisah dan berdiri
sendiri. Ini berarti harta bersama baik
sebagian maupun secara keseluruhannya pada
perkawinan pertama, tidak dapat sekaligus
menjadi harta bersama di perkawinan
kedua, ketiga dan seterusnya. Sedangkan
keberlakuan harta bersama disetiap
perkawinan
dihitung
sejak
saat
berlangsungnya akad perkawinan, baik itu
pada perkawinan kedua,
ketiga dan
seterusnya.
17 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan
Indonesia Menurut: Perundangan Hukum Adat
Hukum Agama, (Bandung: Mondar Maju, 1990), h.
189.
95
Mengenai besaran pembagian harta
bersama perkawinan yang bercerai karena
kematian, Pasal 96 ayat (1) KHI
menyebutkan bahwa “Apabila terjadi cerai
mati, maka separuh harta bersama menjadi
hak pasangan yang hidup lebih lama”. Pada
dasarnya hal ini sama dengan besaran untuk
janda atau duda cerai biasa yang diatur
dalam Pasal 97 yang menyebutkan bahwa
“Janda atau duda cerai masing-masing
berhak seperdua dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjian perkawinan”.
Dan barangsiapa yang menghendaki
kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu
dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah
mukmin, maka mereka itu adalah orangorang yang usahanya dibalasi dengan baik.
Iman merupakan dasar utama dari
setiap
perbuatan.
Keimanan
yang
memotivasi
seseorang
melakukan
pernikahan. Sebagai wujud iman dan
syukur
kepada
Allah
seseorang
melaksanakan pernikahan. Demikian juga
ketika mereka bercerai, dilakukan juga atas
dasar iman dan keyakinan bahwa rumah
tangga sudah tidak dapat dipertahankan
lagi.
Iman mendasari adanya kasih sayang
untuk saling memberi antara suami isteri,
keimanan bahwa rezeki datang dari Allah
dan
semua
pihak
berhak
untuk
menikmatinya. Dengan iman, masingmasing pihak akan dijauhi dari sifat tamak
dan serakah terhadap harta, sehingga baik
suami saja yang bekerja atau justru suami
tidak bekerja, maka iman akan menuntun
kita untuk ikhlas membagi harta tersebut.
b. Nilai Keadilan
Perintah menetapkan hukum dengan
adil dapat dipahami dan dimulai uraiannya
dengan mengutip Al-Qur’an surat an-Nisa’
ayat 58, sebagai berikut:










  

  A


  



.  
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
4. Filosofi
Pembagian
Harta
Bersama Menurut KHI Ditinjau
dari Hukum Islam
a. Nilai Keimanan
Iman dalam Islam menempati posisi
amat penting. Karena iman adalah asas dan
dasar bagi seluruh amal perbuatan manusia.
Tanpa iman tidak sah dan diterima amal
perbuatannya. Firman Allah SWT dalam alQur’an Surah An-Nisa’ ayat 124, sebagai
berikut:
  











 
.
Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal
saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang
ia orang yang beriman, maka mereka itu
masuk ke dalam surga dan mereka tidak
dianiaya walau sedikitpun.
Juga dalam al-Qur’an Surah Al-Isra’
ayat 19, sebagai berikut:


 






 
.
96
Sesungguhnya
Allah
adalah
Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.
Menurut Abd Muin Salim, secara
struktural ayat di atas terdiri dari dua klausa
yang tidak dapat dilepaskan dari klausa inti
di awal ayat, yakni inna Allah ya’
murukum. Hubungan ini terwujud oleh
adanya partikel “wa” dan yang berfungsi
sebagai perangkai. Klausa pertama adalah
klausa kondisional, karena didahului oleh
partikel “iza” “apabila” yang tidak hanya
berkonotasi
temporal
tetapi
juga
kondisional
(dharfiyat
syarthiyah).18
Sedangkan klausa kedua berkedudukan
sebagai objek. Dengan demikian ayat di
atas dapat dikonstruksikan ke dalam
ungkapan Inna Allah ya’ murukum an
tahkumu bi al-‘adl iza hakamtum baina alnas. “Sesungguhnya Allah memerintahkan
agar kamu menetapkan hukum dengan adil
apabila kamu menetapkan hukum di antara
manusia.”
Konsep lain yang terkandung dalam
klausa di atas adalah “keadilan” yang
diungkapkan dengan al-‘adl. Al-Baidhawi
menyatakan bahwa adil bermakna al-inshaf
wa al-sawiyayyat “berada dipertengahan
dan mempersamakan”.19
Pendapat yang sama dikemukakan oleh
al-Raghib dan Rasyid Ridha.20 Sejalan
dengan pendapat ini, Sayyid Quthb
menyatakan bahwa dasar persamaan itu
adalah sifat kemanusiaan yang dimiliki oleh
setiap orang.21 Ini berarti bahwa manusia
mempunyai hak yang sama oleh karena
mereka sama-sama manusia. Pengertian yang
berbeda dikemukakan oleh al-Maraghi. Ia
tidak melihat keadilan dari segi persamaan
hak,
tetapi
menekankan
aspek
terselenggaranya atau terpenuhinya hak-hak
yang telah ditetapkan setelah menjadi milik
seseorang. Konsep al-Maraghi ini lebih
relevan dengan kata al-qisth daripada kata
al-‘adl.
Menetapkan hukum dalam ungkapan
ayat di atas mencakup pengertian
“membuat dan menerapkan hukum”. Secara
kontekstual perintah dalam ayat tersebut
tidak hanya ditujukan kepada kelompok
sosial tertentu dalam masyarakat Muslim,
tetapi ditujukan kepada setiap orang yang
mempunyai kekuasaan memimpin orangorang lain, seperti suami terhadap istriistrinya, baik dalam pembagian nafkah lahir
maupun bathin, juga pembagian harta
bersama setelah mereka bercerai.
Adil dimaknai sebagai suatu yang
seimbang, pada posisi yang semestinya
(proporsional), tidak berat sebelah. Dalam
pengertian ini, jika isteri punya potensi
untuk mengembangkan diri, dan suami
mendukung, tidak menghalang-halanginya
untuk dapat mengaktualisasikan dirinya
dalam kehidupan bermasyarakat. Artinya
jika dalam rumah tangga Allah memberikan
rezeki yang lebih besar kepada isteri
dibandingkan dengan rezeki yang diperoleh
suami, maka ketika terjadi perceraian mereka
harus membagi harta bersama menurut rasa
keadilan. Keadilan akan dirasakan masingmasing pihak, jika mereka mendapatkan
apa yang mestinya menjadi hak mereka.
Keadilan akan terwujud jika masing-masing
pihak memahami peranan dan posisi
masing-masing dalam rumah tangga.
Badr al-Din Muhammad bin Abdillah alZarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Mesir:
Dar al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiyat, t.t), h. 195.
19 Nashr al-Din Abu al-Khair ‘Abdullah bin
‘Umar al-Baidhawi, Anwar al-Tanzil wa Asrar alTa’wil, Juz. I, (Mesir: Mushthafa al-Bab al-Habi,
1939/1358), h. 191.
20 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Qur’an
al-Hakim, (Tafsir al-Manar), Juz V, (Mesir:
Maktabah al-Qahirah, 1379/1960), h. 174. Ridha
menyatakan bahwa keadilan yang diperintahkan
dalam ayat itu dikenal oleh ahli bahasa Arab, dan
bukan berarti menetapkan hukum (memutuskan
perkara) berdasarkan apa yang telah pasti dalam
agama.
21 Sayyid Quthb, Fi Dhilal Al-Qur’an, Juz. V,
(Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turas al-‘Arabi, 1386/1967),
h. 118. Sayyid Quthb menyatakan bahwa dalil di
18
atas menghendaki keadilan yang menyeluruh di
antara sesama manusia, bukan keadilan di antara
sesama Muslim atau sesama ahli kitab dan tidak pula
atas sebagian manusia saja. Keadilan adalah hak
setiap manusia dengan sebab sifatnya sebagai
manusia, dan sifat ini menjadi dasar keadilan di
dalam ajaran-ajaran ketuhanan. Pandangan ini perlu
diteliti secara seksama karena Al-Qur’an sendiri
menegaskan hak yang diperoleh manusia
berdasarkan usahanya.
97
c. Nilai Keseimbangan
Nilai keseimbangan dalam membangun
rumah tangga diwujudkan agar masingmasing pihak dapat memenuhi kewajiban dan
menerima haknya. Keseimbangan perlu
diciptakan agar tidak ada pihak-pihak yang
dirugikan, sehingga terbangun rumah
tangga yang kekal. Suami sebagai kepala
keluarga melaksanakan kewajibannya memenuhi
nafkah keluarga dan isteri mengurus
rumahtangga dengan baik. Keseimbangan
akan tercipta jika masing-masing pihak
saling mengerti dan menghargai.
Jika terjadi perceraian, maka nilai
keseimbangan ini tetap perlu dijaga, agar
tidak ada pihak yang dirugikan. Jika hanya
suami saja yang bekerja dan isteri hanya
sebagai ibu rumah tangga, maka isteri tetap
mendapatkan
hak
pembagian
harta
bersama, kesimbangan ini bisa dimaknai
dengan pembagian sama rata atau dibagi
menurut rasa keadilan.















 
Dan Allah telah meninggikan langit dan
Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya
kamu jangan melampaui batas tentang
neraca itu. Dan Tegakkanlah timbangan itu
dengan adil dan janganlah kamu
mengurangi neraca itu.
1). Dalam Al-Qur’an terdapat sekitar
80 ayat tentang hidup, pemeliharaan
hidup
dan
penyediaan
sarana
kehidupan, misalnya dalam Surat AlMaidah ayat 32. Di samping itu, AlQur’an juga berbicara tentang
kehormatan dalam 20 ayat.
2). Al-Qur’an juga menjelaskan dalam
sekitar 150 ayat tentang ciptaan dan
makhluk-makhluk,
serta
tentang
persamaan
dalam
penciptaan,
misalnya dalam Surat Al-Hujarat
ayat 13.
3). Al-Qur’an telah mengetengahkan
sikap menentang kezaliman dan
orang-orang yang berbuat zalim
dalam sekitar 320 ayat, dan
memerintahkan berbuat adil dalam
50 ayat yang diungkapkan dengan
kata-kata : ‘adl, qisth dan qishash.
4). Begitu juga halnya dengan Sunnah
Nabi. Nabi Muhammad saw telah
memberikan tuntunan dan contoh
dalam penegakkan dan perlindungan
terhadap hak manusia. Hal ini
misalnya terlihat dalam perintah
Nabi
yang
menyuruh
untuk
memelihara hak-hak manusia dan hakhak kemuliaan, walaupun terhadap
orang yang berbeda agama, melalui
sabda beliau: “Barang siapa yang
menzalimi
seseorang
mu’ahid
(seorang yang telah dilindungi oleh
perjanjian damai) atau mengurangi
haknya atau membebaninya di luar
batas
kesanggupannya
atau
mengambil sesuatu dari padanya
dengan tidak rela hatinya, maka aku
lawannya di hari kiamat.”
d. Nilai Perlindungan Hukum
Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber
hukum Islam memberikan penghargaan
yang tinggi terhadap hak-hak manusia. AlQur’an sebagai sumber hukum pertama telah
meletakkan dasar-dasar hak manusia,
kebenaran dan keadilan, jauh sebelum
timbul pemikiran mengenai hal tersebut
pada masyarakat dunia. Ini dapat dilihat
pada ketentuan-ketentuan dalam Al-Qur’an,
antara lain:
Filosofi pembagian harta bersama menurut
pasal 97 KHI adalah dalam rangka memberikan
perlindungan hukum terhadap isteri jika
terjadi percaraian. Karena pada umumnya
isteri tidak bekerja mencari nafkah, dia
hanya mengurus rumah tangga, anak dan
suami yang tidak kalah sibuk dan letihnya
dengan suami. Karena isteri tidak
mempunyai kontribusi dalam mencari harta,
maka jika terjadi perceraian, isteri tetap
98
mendapat sebagian harta, karena syirkah
tenaga dan fikiran yang disumbangkan
dalam membangun rumah tangga. Jika isteri
tidak diberi harta, ia akan menderita ketika
bercerai dari suaminya tanpa mendapat
apa-apa sebagai bekal hidupnya.
masyarakat
yang
mengingkari
atau
mengabaikan musyawarah dapat dianggap
sebagai masyarakat yang cacat dalam
komitmen terhadap salah satu bentuk
ibadah.
Dari ayat tersebut dapat diketahui,
bahwa sebelum masa hijrah, kaum
muslimin sudah mengenal musyawarah.
Bahkan sebelum agama Islam datang,
masyarakat
Arab
sudah
mengenal
musyawarah. Sebagaimana yang disebutkan
dalam al-Qur’an, surat al-Naml: 32, bahwa
Ratu (Balqis penguasa negeri Saba’) yang
hidup pada masa Nabi Sulaiman dalam
kepemimpianannya sering bermusyawarah
dengan bawahannya.
Kedua, terdapat dalam surah AlBaqarah, ayat 233 (Madaniyyah):


……….
  











 



  




 
……… 
“…… Seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupannya. Janganlah
seorang ibu menderita kesengsaraan
karena anaknya dan seorang ayah karena
anaknya, dan warispun berkewajiban
demikian. Apabila keduanya (suami isteri)
ingin menyapih anak mereka (sebelum dua
tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan antara mereka, maka tidak
ada dosa atas keduanya ……
e. Nilai Musyawarah
Musyawarah pada dasarnya hanya
dapat digunakan untuk hal-hal yang baik,
sejalan dengan makna dasarnya, yaitu
mengeluarkan madu. Oleh karena itu unsurunsur musyawarah yang harus dipenuhi
adalah; a) Al-Haq; yang dimusyawarahkan
adalah kebenaran, b) Al-’Adlu; dalam
musyawarah mengandung nilai keadilan, c)
Al-Hikmah; dalam musyawarah dilakukan
dengan bijaksana.
Dalam al-Qur’an, kata َ‫ ﺷَﻮَﺭ‬dengan
segala perubahannya berulang 4 kali, yaitu
(‫ﺃﺷَﺎﺭَ )ﺕ‬,22‫ﺗَﺸَﺎﻭُﺭ‬,23‫ﺷَﺎﻭِﺭ‬,24 dan ‫ﺷُﻮْﺭَﻯ‬.25
Sedangkan kata yang menunjukkan tentang
musyawarah yaitu sebagai berikut:
Pertama, surah al-Syura ayat 38
(Makkiyyah):
ْ‫ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺍﺳْﺘَﺠَﺎﺑُﻮﺍ ﻟِﺮَﺑِّﻬِﻢْ ﻭَﺃَﻗَﺎﻣُﻮﺍ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓَ ﻭَﺃَﻣْﺮُﻫُﻢ‬
.َ‫ﺷُﻮﺭَﻯ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﻭَﻣِﻤَّﺎ ﺭَﺯَﻗْﻨَﺎﻫُﻢْ ﻳُﻨْﻔِﻘُﻮﻥ‬
“(bagi)
orang-orang
yang
menerima
(mematuhi) seruan Tuhannya, mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan)
dengan musyawarah antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rizki
yang kami berikan kepada mereka.” (Q.S.
Al-Syura: 38).
Ayat ini diturunkan di Makkah
(Makiyyah) sebelum hijrah dan sebelum
berdirinya daulah Islamiyah (era Madinah).
Ini menunjukkan bahwa musyawarah
merupakan salah satu karakteristik penting
yang khas bagi umat Islam, selain iman
kepada Allah, mendirikan shalat, saling
menolong dalam masalah ekonomi. Oleh
karena itu Allah memuji orang yang
melaksanakannya. Musyawarah merupakan
salah satu ibadah terpenting. Oleh sebab itu,
Ayat ini tergolong ayat Madaniyyah
yang menjelaskan bagaimana seharusnya
hubungan suami isteri sebagai mitra dalam
rumah tangga, saat mengambil keputusan
yang berkaitan dengan rumah tangga dan
anak-anak mereka (seperti menyapih anak)
dengan jalan musyawarah. Allah juga
Q.S. Maryam: 29.
Q.S. Al-Baqarah: 233.
24 Q.S. Ali Imran: 159.
25 Q.S. Al-Syura: 38.
22
23
99
berfirman, dalam surah at-Thalaq ayat 6,
sebagai berikut:
satu dari kedua belah pihak atau keduaduanya kadang harus merelakan sebagian
hak-nya demi untuk mencapai suatu
kesepakatan. Umpamanya : suami istri yang
sama-sama bekerja dan membeli barangbarang rumah tangga dengan uang mereka
berdua, maka ketika mereka berdua
melakukan perceraian, mereka sepakat
bahwa istri mendapatkan 40 % dari barang
yang ada, sedang suami mendapatkan 60 %,
atau istri 55 % dan suami 45 %, atau
dengan pembagian lainnya, semuanya
diserahkan kepada kesepakatan mereka
berdua.

……

  



. 
dan musyawarahkanlah di antara kamu
(segala sesuatu) dengan baik; dan jika
kamu menemui kesulitan Maka perempuan
lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
Ibnu katsir mengatakan, Di dalam
menyapih anak, kedua orang tua harus
mengadakan
musyawarah.
Tidak
diperbolehkan penyapihan yang dilakukan
tanpa ada musyawarah.26 Lebih jauh lagi,
dalam berhubungan rumah tangga (suami
isteri) baik masalah pendidikan anak-anak
mereka,
harta
benda,
rencana
pengembangan masa depan mereka dan
permasalahan apapun dalam rumah tangga
seharusnya dimusyawarahkan antara suami
isteri dan juga anak-anaknya. Yang
demikian telah dicontohkan oleh Nabi
Ibrahim bermusyawarah dengan anaknya
(Nabi Ismail).
Keharusan untuk membagi sama rata,
masing-masing mendapatkan 50%, seperti
dalam KHI, ternyata tidak mempunyai dalil
yang bisa dipertanggung jawabkan,
sehingga pendapat yang benar dalam
pembagian harta gono gini adalah
dikembalikan kepada kesepakatan dan
musyawarah
antara
suami
isteri
sebagaimana hadist Rasulullah dari Amru’
bin Auf al Muzani dari bapaknya dari
kakeknya tentang kebolehan melakukan
perdamaian di antara kaum muslimin,
kecuali perdamaian yang mengharamkan
yang halal dan perdamaian yang
menghalalkan yang haram “(HR Abu
Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi, dan
disahihkan oleh Tirmidzi).
Untuk mencapai perdamaian/musyawarah
dalam pembagian harta gono-gini, salah
f. Nilai kasih sayang
Kasih sayang yang terjalin selama
hidup berumah tangga antara suami dan
isteri tetap diwujudkan meskipun telah
bercerai, dengan memberikan sebagian
harta kepada mantan isteri atau suaminya,
terutama isteri yang tidak bekerja.
Demikian juga jika suami yang tidak
bekerja, maka wujud kasih sayang isteri
adalah memberikan sebagian harta bersama
agar
suaminya
dapat
melanjutkan
kehidupannya sendiri. Quran Surat AnNisa’ ayat 21:

 






.  
Bagaimana kamu akan mengambilnya
kembali, padahal sebagian kamu telah
bergaul (bercampur) dengan yang lain
sebagai suami-isteri. dan mereka (isteriisterimu) telah mengambil dari kamu
perjanjian yang kuat.
Idealitas kasih sayang yang dituntut
oleh agama ialah seperti yang telah
diajarkan oleh Rasulullah saw. Beliau telah
mengajarkan bahwa ukuran kasih sayang
optimal yang semestinya diberikan kepada
makhluk Allah adalah seperti kasih sayang
pada diri sendiri. Sebaliknya jika kasih
sayang pada diri sendiri tidak berbanding
lurus dengan kasih sayuang pada orang lain,
Rasulullah menilainya dengan sebutan
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (Beirut: Dar
Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi', 1999), jilid. 1, h.
635.
26
100
“tidak beriman”. Dengan demikian, kualitas
keimanan menunjukkan kepekaan rasa untuk
mengasihi orang lain.27 Sebagaimana hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
dalam pembagian harta bersama adalah
nilai
yang
dapat
dicapai
dengan
musyawarah
yang
didasari
prinsip
keimanan,
keadilan,
keseimbangan,
perlindungan hukum, musyawarah dan
kasih sayang.
ْ‫ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻣُﺴَﺪَّﺩٌ ﻗَﺎﻝَ ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻳَﺤْﻴَﻰ ﻋَﻦْ ﺷُﻌْﺒَﺔَ ﻋَﻦ‬
‫ﻗَﺘَﺎﺩَﺓَ ﻋَﻦْ ﺃَﻧَﺲٍ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻪُ ﻋَﻦْ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ‬
َ‫ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻭَﻋَﻦْ ﺣُﺴَﻴْﻦٍ ﺍﻟْﻤُﻌَﻠِّﻢِ ﻗَﺎﻝ‬
ِ‫ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻗَﺘَﺎﺩَﺓُ ﻋَﻦْ ﺃَﻧَﺲٍ ﻋَﻦْ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪ‬
ِ‫ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻗَﺎﻝَ ﻻَ ﻳُﺆْﻣِﻦُ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﺣَﺘَّﻰ ﻳُﺤِﺐَّ ﻷَِﺧِﻴﻪ‬
( ‫ﻣَﺎ ﻳُﺤِﺐُّ ﻟِﻨَﻔْﺴِﻪِ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ‬
DAFTAR PUSTAKA
Hadikusuma, Hilman,
Hukum Perkawinan
Indonesia Menurut: Perundangan
Hukum Adat Hukum Agama, Mondar
Maju, Bandung, 1990.
Harahap, Yahya, Kedudukan, Kewenangan
dan Acara Peradilan Agama, Pustaka
Kartini, 1997.
Tidak sempurna iman seseorang sehingga
ia mencintai saudaranya sebagaimana ia
mencntai dirinya sendiri. (H.R. Bukhari).
Jafizham, T, Persentuhan Hukum di
Indonesia
dengan
Hukum
Perkawinan Islam, Mustika, Medan,
1977.
C. Penutup
Pada prinsipnya Islam tidak mengatur
secara rinci tentang pembagian harta
bersama baik dalam al-Qur’an, hadits
maupun pendapat para fuqaha. Oleh karena
itu, terjadi perbedaan pendapat ulama
tentang harta bersama, pendapat pertama
mengatakan Islam tidak mengenal adanya
harta bersama kecuali dengan syirkah, apa
yang menjadi milik suami tetap menjadi
milik suami dan dikuasai oleh suami
sedangkan harta milik isteri menjadi milik
isteri dan dikuasai oleh isteri.
Pasal 35 Undang-Undang perkawinan
mengatur bahwa harta benda dalam
perkawinan menjadi harta bersama. Pasal 37
Undang-Undang Perkawinan mengatur
bahwa bila perkawinan putus karena
perceraian, harta benda diatur menurut
hukumnya masing-masing, sedangkan pasal
97 KHI mengatur bahwa janda atau duda
cerai masing-masing berhak seperdua dari
harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain
dalam perjanjian perkawinan.
Jika terjadi perceraian, pembagian
harta bersama dapat dilakukan dengan
perdamaian (ash-shulh). Pembagian harta
bersama menurut KHI bukan suatu yang
mutlak, karena pada prinsipnya filosofi
Jamil,
Latif, Aneka Hukum
Indoenesia,
Ghalia
Jakarta, 1982.
Perceraian
Indonesia,
Katsir, Ibnu, Tafsir Ibnu Katsir, Beirut: Dar
Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi',
1999, jilid. 1.
Nashr al-Din Abu al-Khair ‘Abdullah bin
‘Umar al-Baidhawi, Anwar alTanzil wa Asrar al-Ta’wil, Juz I,
(Mesir: Mushthafa al-Bab al-Halabi,
1939/1358).
Quthb, Sayyid, Fi Dhilal Al-Qur’an, Juz V,
Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turas al‘Arabi, 1386/1967.
Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir AlQur’an al-Hakim, (Tafsir al-Manar),
Juz V, (Mesir: Maktabah al-Qahirah,
1379/1960),
Shan’ani, Imam Ash-, Subulus Salam,
4/246, hadits no. 821, Imam
Syaukani, Nailul Authar, 8/463,
hadits no.2325, Darul Kutub
Alamiah Libanon, tt.
Shiddiqiy, Hasby Ash-, Pengantar Hukum
Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1971.
Muhammad Yusuf, Metode dan Aplikasi
Pemaknaan Hadis, (Yogyakarta: Bidang Akademik
UIN Sunan Kalijaga, 2008), h. 91.
27
101
Syah,
Ismail Muhammad, Pencaharian
Bersama suami isteri di Aceh
ditinjau dari sudut UU Perkawinan
Tahun 1974 dan Hukum Islam,
Disertasi 1984.
Tholib,
Sayuti, Hukum Kekeluargaan
Indonesia, Jakarta, UI, 1974.
Utomo, Setiawan Budi, Fiqh Aktual
Jawaban
Tuntas
Masalah
Kontemporer, Mondar Maju, 1997.
Yusuf, Muhammad, Metode dan Aplikasi
Pemaknaan Hadis, Yogyakarta,
Bidang Akademik UIN Sunan
Kalijaga, 2008.
Zarkasyi, Badr al-Din Muhammad bin Abdillah
al-, al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an,
Mesir: Dar al-Ihya al-Kutub al‘Arabiyat, tt.
102
Download