FILOSOFI PEMBAGIAN HARTA BERSAMA Linda Firdawaty Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung Jl. Endro Suratmin Sukarame Bandar Lampung Email: [email protected] Abstrak: Filosofi Pembagian Harta Bersama. Islam tidak mengatur secara rinci tentang pembagian harta bersama. Oleh karena itu, ulama berbeda pendapat ulama mengenai harta bersama. pendapat pertama mengatakan Islam tidak mengenal adanya harta bersama kecuali dengan syirkah, sedangkan pendapat lain menyatakan bahwa terjadinya perkawinan sudah dianggap adanya syirkah antara suami isteri tersebut. Kompilasi Hukum Islam memandang bahwa dengan adanya aqad perkawinan, terjadilah syirkah baik dalam harta dan lain-lain, sehingga jika terjadi perceraian baik cerai hidup atau mati, masing-masing mendapatkan sebagian dari harta bersama. Pembagian harta bersama menurut ketentuan KHI bukan suatu yang mutlak, karena pada prinsipnya filosofi dalam pembagian harta bersama adalah nilai yang dapat dicapai dengan musyawarah yang didasari prinsip perlindungan hukum, keimanan, keadilan, keseimbangan, musyawarah dan kasih sayang. Kata Kunci: filosofi, harta bersama, musyawarah. A. Pendahuluan Salah satu komponen yang penting dalam sebuah perkawinan adalah adanya harta kekayaan sebagai penopang kehidupan rumah tangga. Meskipun pada prinsipnya kewajiban memenuhi kebutuhan dalam rumah tangga itu adalah kewajiban suami, namun di era modern sekarang ini tidak tertutup kemungkinan perempuan /isteri juga ikut bekerja dalam memenuhi kebutuhan materi dalam rumah tangga. Hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap kedudukan harta kekayaan dalam rumahtangga, baik selama perkawinan berlangsung ataupun ketika terjadi perceraian. Perkawinan dengan tujuan untuk mencapai rumah tangga yang bahagia dan kekal merupakan idaman setiap keluarga. Namun cita-cita ideal terbentuknya rumah tangga tersebut tidak semuanya dapat diraih dan dipertahankan oleh pasangan suami isteri. Adakalanya perkawinan itu putus baik disebabkan karena kematian salah satu pihak maupun terjadinya perceraian. Di antara permasalahan pelik yang sering mengiringi proses perceraian di Pengadilan Agama adalah persoalan harta bersama atau sering juga disebut dengan harta gono gini. Permasalahan seperti ini umumnya akan memperpanjang proses perceraian karena menyangkut persoalan harta. Oleh karena itu, sebaiknya pengajuan tentang gugatan harta bersama terpisah dari gugatan perceraian agar penyelesaian perceraian tidak berlarut-larut. Problem harta bersama yang sering muncul antara lain disebabkan kurangnya pemahaman tentang apa saja yang masuk kategori harta bersama dan bagaimana proses terjadinya. Merupakan suatu hal yang wajar, karena biasanya pada saat sebelum menikah, calon mempelai tidak memikirkan tentang persoalan harta, ini karena dianggap akan mengurangi rasa 88 kepercayaan di antara calon mempelai, meskipun dibolehkan kedua belah pihak melakukan perjanjian perkawinan. Pada prinsipnya Islam tidak mengatur tentang harta bersama dalam baik dalam al Qur’an, maupun al Hadits. Dalam kitab fikih klasikpun tidak ditemukan pembahasan tentang harta bersama. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat tentang harta bersama, ada pendapat yang mengatakan tidak ada harta bersama antara suami dan isteri, sedangkan pakar hukum Islam yang lain berpendapat bahwa suatu hal yang tidak mungkin jika Islam tidak mengatur tentang harta bersama, sedangkan hal lain yang kecil-kecil saja diatur secara rinci dan termasuk dalam ruang lingkup pembahasan hukum Islam. Tidak adanya aturan yang jelas tentang harta bersama dalam alqur’an maupun hadits, mengilhami para fuqaha Indonesia mengaturnya dalam Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI). Pengaturan tentang harta kekayaan dalam perkawinan tercantum dalam pasal 85 -97 KHI. Pengaturan meliputi adanya harta bersama tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing dalam perkawinan, tanggungjawab suami isteri dalam menjaga harta, kedudukan harta bersama jika terjadi perceraian karena kematian dan terakhir Pasal 97 yang mengatur bahwa bahwa janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Sedangkan Pasal 45 sampai dengan Pasal 52 memberikan hak kepada masingmasing pihak untuk mengadakan perjanjian sebelum perkawinan dilakukan. Dengan perjanjian ini diharapkan memperjelas kedudukan harta dalam perkawinan. Perjanjian tersebut dapat meliputi percampuran harta pribadi, pemisahan harta pencaharian masing-masing dan penetapan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) mengatur tentang pembagian harta bersama, bahwa harta bersama dapat dibagi menurut ketentuan hukum masingmasing. Sedangkan KHI mengatur bahwa harta bersama dibagi dua. Namun, pihakpihak dapat melakukan kesepakatan tentang bagaimana pembagiannya. Apakah dibagi sama rata atau dibagi berdasarkan porsi masing-masing pihak dalam memperoleh harta. Namun perundang-undangan yang berlaku di Indonesia mengatur bahwa setiap harta yang diperoleh selama masa perkawinan dijadikan sebagai harta bersama tanpa membedakan siapa yang bekerja atau memperoleh harta tersebut dan terdaftar atas nama siapa, selama harta tersebut bukan merupakan harta bawaan, hadiah atau warisan dan atau tidak ada perjanjian perkawinan dalam hal kepemilikan harta bersama. Melihat perkembangan masyarakat Indonesia yang sangat dinamis dan dari beberapa kasus putusan pengadilan, ditemukan fakta bahwa secara umum majelis hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara gugatan pembagian harta bersama tidak keluar dari peraturan perundang-undangan tersebut yaitu dengan membagi rata (seperdua bagian) harta bersama di antara suami istri. Aturan tersebut menimbulkan banyak masalah yang terjadi dalam praktik di Peradilan Agama karena tidak sedikit yang menilai dan berasumsi bahwa pembagian harta bersama tersebut tidak memenuhi rasa keadilan jika dibagi sama rata, sementara salah satu pihak telah melakukan perbuatan yang merugikan pihak lainnya karena tidak menjalankan apa yang telah menjadi kewajibannya terlebih dalam jangka waktu yang lama. Atau munculnya masalah yang disebabkan karena yang mencari nafkah hanya suami saja, sedangkan isteri hanya mengurus rumah tangga, yang berarti tidak ada kontribusi secara langsung dalam memperoleh harta kekayaan. Oleh karena itu, melalui tulisan ini akan dikaji beberapa permasalahan tentang 89 bagaimana kedudukan harta gono gini menurut ketentuan hukum Islam, dan bagaimana filosofi pembagian harta gono gini menurut ketentuan pasal 97 KHI? pengaturannya diserahkan kepada masingmasing pihak. Dalam hal ini, pakar hukum Islam berbeda pendapat tentang harta bersama . Pendapat pertama mengatakan tidak ada harta bersama antara suami dan isteri. Pendapat ini dikemukakan oleh Hazairin, Anwar Harjono, dan Andoerraoef. Sedangkan pakar hukum Islam yang lain berpendapat bahwa suatu hal yang tidak mungkin jika Islam tidak mengatur tentang harta bersama, sedangkan hal lain yang kecil-kecil saja diatur secara rinci dan termasuk dalam ruang lingkup pembahasan hukum Islam. Jika tidak disebut dalam al Qur’an, maka pasti ada dalam hadits. Pendapat ini dikemukakan oleh T. Jafizham. 2 Kedua pendapat tersebut masingmasing mempunyai argumentasi: a. Tidak dikenal harta bersama kecuali dengan jalan syirkah. Pada dasarnya dalam Islam tidak dikenal percampuran harta bersama antara suami isteri karena perkawinan. Harta kekayaan isteri tetap menjadi milik isteri dan dikuasai sepenuhnya oleh isteri dan harta kekayaan suami tetap menjadi milik suami dan dikuasai sepenuhnya oleh suami. Oleh karena itu, wanita yang bersuami dalam Islam tetap dianggap cakap bertindak tanpa bantuan suaminya termasuk dalam mengurus harta benda, sehingga ia dapat melakukan perbuatan hukum dalam masyarakat, 3 Argumentasi pendapat bahwa tidak ada harta bersama antara suami isteri kecuali dengan jalan syirkah, antara lain surat annisa ayat 34 : B. Pembahasan 1. Pengertian Harta Bersama Harta bersama adalah harta yang diperoleh bersama suami isteri selama perkawinan berlangsung, jawa: gono gini, sunda : guna kaya 1 Harta bersama dalam masyarakat Aceh dikenal dengan harta seharkat, dalam masyarakat Melayu dikenal dengan harta serikat, dalam masyarakat Jawa-Madura dikenal dengan harta gono gini. Pengertian harta bersama sebagaimana dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 35 bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Salah satu pengertian harta gono–gini adalah harta milik bersama suami–istri yang diperoleh oleh mereka berdua selama dalam perkawinan, seperti halnya jika seseorang menghibahkan uang, atau sepeda motor, atau barang lain kepada suami istri, atau harta benda yang dibeli oleh suami isteri dari uang mereka berdua, atau tabungan dari gaji suami dan gaji istri yang dijadikan satu, itu semuanya bisa dikatagorikan harta gono- gini atau harta bersama. Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 1 huruf (f) dengan tegas menyebutkan: “Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun.” A 2. Konsep Harta Bersama Menurut Hukum Islam Pada prinsipnya Islam tidak mengatur tentang harta bersama dalam baik dalam al Qur’an, maupun al Hadits. Dalam kitab fikih klasikpun tidak ditemukan pembahasan tentang harta bersama. Oleh karena itu, 2 T. Jafizham, Persentuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, (Medan: Mustika, 1977), h. 119. 3 Latif Jamil, Aneka Hukum Perceraian Indoenesia, (Jakarta: Ghia Indonesia, 1982), h. 82. Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, (Mondar Maju, 1997), h. 124. 1 90 . Dasar hukumnya adalah surat an-Nisa’ ayat 32: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Dan al-Qur’an surah At-Thalak ayat 6, sebagai berikut: 5 Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Karena isteri mendapat perlindungan baik tentang nafkah lahir, batin, moral dan material, tempat tinggal, biaya pemeliharaan serta pendidikan anak-anak, menjadi tanggung jawaba penuh suami sebagai kepala keluarga. Berarti isteri dianggap pasif menerima apa yang datang dari suami, sehingga tidak ada harta bersama antara suami dan isteri. Sepanjang apa yang diberikan oleh suami kepada isteri di luar pembiayaan rumah tangga dan pendidikan anak-anak, misalnya hadiah berupa perhiasan, itulah yang menjadi hak isteri dan tidak boleh diganggu gugat oleh suami. Yang diusahakan oleh suami tetap menjadi milik suami kecuali ada syirkah. Dalam kitab fikih tradisional, harta bersama dapat terjadi hanya dengan adanya syirkah sehingga terjadi percampuran harta kekayaan suami isteri dan tidak dapat dibeda-bedakan lagi. Dengan kata lain dalam Islam harta bersama itu adalah harta yang dihasilkan dengan jalan syirkah antara suami isteri sehingga terjadi percampuran harta yang satu dengan yang lain. 6 A 7 4 Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan. Dengan perkawinan menjadilah sang isteri syarikatur rajuli fil hayati (kongsi) dalam melayani bahtera rumah tangga. Maka terjadilah antara keduanya syirkah abdan (perkongsian tidak terbatas)8. Jika harta kekayaan suami isteri itu bersatu karena syirkah, seakan-akan merupakan harta kekayaan tambahan, karena usaha bersama suami isteri selama perkawinan menjadi milik bersama, jika kelak perkawinan putus karena perceraian atau talak, maka harta syirkah tersebut dibagi antara suami dan isteri menurut pertimbangan sejauh mana usaha mereka turut serta berusaha dalam syirkah atau dapat juga dibagi dua. Menurut Yahya Harahap 9 bahwa sudut pandang hukum Islam terhadap harta bersama ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Ismail Muhammad Syah bahwa pencarian bersama suami isteri mestinya masuk dalam rubu muamalah, tetapi ternyata tidak dibicarakan secara khusus. Hal ini mungkin disebabkan karena pada umumnya pengarang kitab-kitab fiqh adalah orang Arab yang tidak mengenal adat mengenai pencarian bersama Perdata Islam di Indonesia, (Kencana, 2006), h. 109. 7 QS. Annisa’:32 8 Hasby Ash-Shissiqie, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang 1971), h. 9. 9 Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, 1991, h. 297. Q.S. Annisa’: 34. Q.S. At-talaq : 6. 6 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum 4 5 91 suami isteri, tetapi hanya berbicara tentang perkongsian/ syirkah. Kitab fikih tidak membahas tentang harta bersama, hanya membahas syarikat yang sah dan tidak sah. Kalangan Syafi’i berpendapat empat macam harta syarikat, yaitu: Namun, pakar hukum Islam di Indonesia melakukan pendekatan jalur syarikat abdan dengan hukum adat. Cara pendekatan yang demikian tidak bertentangan dengan kebolehan menjadikan urf sebagai sumber hukum Islam dan sesuai dengan jiwa al-‘adatul muhakkamah. Hal ini juga yang menginspirasi pakar hukum Islam di Indonesia ketika merumuskan pasal 85-97 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia menyetujui syirkah abdan sebagai landasan merumuskan kaidah-kaidah harta bersama suami dan isteri dalam kompilasi. b. Pendapat yang menyatakan ada harta bersama antara suami isteri. Pendapat ini mengatakan bahwa harta yang diperoleh oleh suami dan isteri karena usahanya adalah harta bersama, baik mereka sama-sama bekerja atau hanya suami yang bekerja dan isteri hanya mengurus rumah tangga beserta anak-anak saja. Sekali mereka terikat dalam perjanjian perkawinan sebagai suami isteri, maka semuanya menjadi bersatu, baik harta maupun anak-anak, seperti al Quran annisa: 21, 12Tidak perlu diiringi dengan syirkah, sebab perkawinan dengan ijab dan qabul serta memenuhi persyaratan lainnya sudah dianggap adanya syirkah antara suami isteri tersebut. Argumen dari pendapat ini antara lain: 1). Al-Qur’an surah Annisa ayat 19: 1). Syarikat inan, yaitu dua orang yang berkongsi dalam harta tertentu, misalnya bersyarikat dalam membeli suatu barang dan keuntungannya untuk mereka bersama. 2). Syarikat abdan, yaitu dua orang atau lebih bersyarikat, masing-masing mengerjakan suatu pekerjaan dengan tenaga dan hasilnya dibagi mereka bersama menurut perjanjian yang mereka buat. 3). Syarikat muwafadhah, yaitu persyarikatan dua orang atau lebih untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan tenaganya masing-masing, di antara mereka mengeluarkan modal, menerima keuntungan dengan tenaga dan modalnya, masingmasing melakukan tindakan meskipun tidak diketahui pihak lain. 4). Syarikat wujuh, yaitu syarikat atas tanpa pekerjaan ataupun harta, yaitu permodalan dengan dasar kepercayaan pihak lain. Di antara ke empat syarikat tersebut, hanya syarikat inan yang disepakati oleh semua pakar hukum Islam, sedangkan yang tiga masih diperselisihkan keabsahananya10 Karena Islam hanya membahas garisgaris besar saja, maka menimbulkan penafsiran yang berbeda tentang harta bersama. Namun harta bersama ini digolongkan kepada syirkah abdan dan muafadhah. Kesimpulan ini menurut Ismail Muhammad Syah, dengan alasan bahwa pada umumnya dalam masyarakat Indonesia sama-sama bekerja berusaha mencari nafkah hidup keluarga sehari-hari dan sekedar harta simpanan untuk masa tua mereka.11 10 11 Bersama suami isteri di Aceh ditinjau dari sudut UU Perkawinan Tahun 1974 dan Hukum Islam, Disertasi 1984, h. 282 12 Sayuti Tholib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI, 1974), h. 84. Abdul Manan, Loc. Cit., h. 110. Ismail Miuhammad Syah, Pencaharian 92 13 . A . Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Pendapat ini adalah pendapat yang paling mutakhir yang mengakui syirkah antara suami isteri terjadi karena perkawinan. Apa yang telah diatur oleh Undang-Undang Perkawinan sepanjang mengenai harta bersama pasal 35, 36, 37 sesuai dengan kehendak dan aspirasi hukum Islam. Diakuinya syirkah abdan yang menginspirasi pakar hukum Islam di Indonesia ketika merumuskan harta bersama dalam KHI melahirkan pasal 85-97, sehingga pengaturan tentang harta bersama jelas diakui dalam hukum Islam dan telah diatur secara rinci. Islam tidak mengatur secara khusus tentang pembagian harta bersama. Islam hanya memberikan rambu-rambu secara umum dalam menyelesaikan masalah harta bersama. Pembagian harta bersama tergantung kepada kesepakatan suami dan istri. Kesepakatan ini di dalam Al Qur’an disebut dengan istilah “Ash Shulhu“, yaitu perjanjian untuk melakukan perdamaian Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. 2). Al-Qur’an Surat Annisa ayat 21: 14. Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. 3). Surah al-Baqarah ayat 228: 13 14 Q.S. Annisa: 19. QS. Annisa’ :21 93 bersama (amlak). 16(Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, 4/247). Dengan demikian, jika suami istri bercerai dan hendak membagi harta gono gini di antara mereka, dapat ditempuh jalan perdamaian (ash-shulhu). Sebab salah satu jenis perdamaian adalah perdamaian antar suami istri, atau perdamaian tatkala ada persengketaan mengenai harta bersama (amlak). antara kedua belah pihak (suami istri) setelah mereka berselisih. . 3. Harta Bersama menurut Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Ketentuan tentang harta benda dalam Undang-Undang Perkawinan, diatur dalam Pasal 35, bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Demikan pula dalam penguasaan dan perlekatan hak kepemilikan atas 2 (dua) jenis harta dalam perkawinan yang telah jelas dipisahkan oleh UndangUndang Perkawinan. Hal tersebut di atas dapat dilihat dalam Pasal 36 Undang-Undang Perkawinan, yang berbunyi: 1. Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. 2. Mengenai harta bawaan masingmasing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Pasal 37 mengatur bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masingmasing. Dalam penjelasan pasal tersebut, ditegaskan bahwa yang dimaksud hukum masing-masing adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Oleh karena itu, bagi yang beragama Islam, maka berlaku Kompilasi Hukum Islam. Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) . Ayat di atas menerangkan tentang perdamaian yang diambil oleh suami istri setelah mereka berselisih. Biasanya dalam perdamaian ini ada yang harus merelakan hak-haknya misalnya, istri merelakan hakhaknya kepada suami demi kerukunan antara keduanya. Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah saw : ﻋﻦ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﻋﻮﺅﺍﻟﻤﺰﻧﻲ ﻋﻦ ﺍﺑﻴﻪ ﻋﻦ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﺔ ﺻﻠﻲ ﺍﻟﻠﺔ ﻋﻠﻴﺔ ﻭ 15 ﺍﻟﺼﻠﺢ ﺟﺎﺋﺰ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺍﻻ ﺍﺣﻞ ﺣﺮﺍﻣﺎ ﺃﻭ ﺣﺮﻡ ﺣﻼﻻ: ﺳﻠﻢ Dari Amru’ bin Auf al Muzani dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah saw bersabda: “Perdamaian adalah boleh di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan perdamaian yang menghalalkan yang haram “(HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi, dan disahihkan oleh Tirmidzi). Imam Ash-Shan’ani memberi syarah (penjelasan) hadits di atas bahwa di antara macam perdamaian adalah perdamaian antara suami istri dan perdamaian untuk memberikan sejumlah harta kepada lawan sengketa jika terjadi pada harta milik 15 Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, 4/246, hadits no. 821, Imam Syaukani, Nailul Authar, 8/463, hadits no.2325, Darul Kutub Alamiah Libanon, tt. 16 94 Ibid., h. 247. Hilman Hadikusuma 17 menjelaskan akibat hukum yang menyangkut harta bersama berdasarkan pasal 37 UU Perkawinan ini diserahkan kepada para pihak yang bercerai tentang hukum mana dan hukum apa yang berlaku, dan jika tidak ada kesepakatan antara mantan suami dan isteri, hakim dapat mempertimbangkan menurut rasa keadilan yang sewajarnya. Selain itu, akibat perceraian terhadap harta bersama juga dapat ditentukan oleh hukum adat yang digunakan oleh para pihak. Apabila para pihak menggunakan hukum adat untuk mengatur akibat perceraian, maka segala sesuatu mengenai harta bersama diatur berdasarkan hukum adat yang berlaku masing-masing. Selanjutnya dalam KHI, telah mengatur tentang harta kekayaan dalam perkawinan dalam pasal 85-97: Pasal 85: Adanya harta bersama dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri. Sejalan dengan ketentuan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, KHI pasal 86-87 juga memberikan batasan bahwa tidak ada proses percampuran harta dalam sebuah perkawinan. Ini berarti bahwa harta kekayaan yang dibawa sebelum perkawinan tetap menjadi milik masing-masing pihak yang membawanya. Perkawinan tidak merubah status kepemilikan hak atas harta kekayaan tersebut menjadi hak milik bersama. Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Adapun harta tersebut dapat berupa hadiah, hibah, sodaqah atau lainnya yang merupakan pemberian khusus untuk salah satu pihak dalam ikatan perkawinan. Harta bersama perkawinan menurut KHI (Pasal 91 ayat (1) s/d ayat (3)) dapat berupa: 1. Benda berwujud termasuk benda bergerak maupun benda tidak bergerak serta surat-surat berharga; 2. Benda tidak berwujud termasuk hak dan kewajiban. Pertanggungjawaban atas harta bersama dalam perkawinan ada pada kedua belah pihak. Baik suami dan isteri memiliki tanggung jawab memelihara dan menjaganya. Demikian pula apabila harta bersama tersebut dalam penguasaan salah satu pihak, maka pertanggungjawaban atas harta bersama tersebut melekat pada pihak yang bersangkutan. Tidak dapat seorang suami maupun isteri mengalihkan penguasaan maupun hak kepemilikannya ke pihak lain, kecuali dengan persetujuan bersama antara suami dan isteri. Dalam hal terjadinya hutang, pasal 93 KHI menjelaskan pada dasarnya pertanggungjawaban ada pada masing-masing pihak yang melakukan hutang. Namun apabila hutang tersebut digunakan untuk kepentingan dan keperluan keluarga maka pertanggungjawaban dibebankan pada harta bersama. Sedangkan apabila harta bersama tidak mencukupi untuk melunasi hutang tersebut, maka suami ikut menanggungnya dengan menggunakan harta pribadinya. Harta isteripun akan disertakan dalam pertanggungjawaban hutang tersebut apabila ternyata harta suami tidak ada atau juga tidak mencukupi sebagai pelunasan. Sedangkan pasal 94 KHI mengatur tentang suami yang beristri lebih dari satu, masing-masing harta bersama dari setiap perkawinan tersebut terpisah dan berdiri sendiri. Ini berarti harta bersama baik sebagian maupun secara keseluruhannya pada perkawinan pertama, tidak dapat sekaligus menjadi harta bersama di perkawinan kedua, ketiga dan seterusnya. Sedangkan keberlakuan harta bersama disetiap perkawinan dihitung sejak saat berlangsungnya akad perkawinan, baik itu pada perkawinan kedua, ketiga dan seterusnya. 17 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut: Perundangan Hukum Adat Hukum Agama, (Bandung: Mondar Maju, 1990), h. 189. 95 Mengenai besaran pembagian harta bersama perkawinan yang bercerai karena kematian, Pasal 96 ayat (1) KHI menyebutkan bahwa “Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama”. Pada dasarnya hal ini sama dengan besaran untuk janda atau duda cerai biasa yang diatur dalam Pasal 97 yang menyebutkan bahwa “Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orangorang yang usahanya dibalasi dengan baik. Iman merupakan dasar utama dari setiap perbuatan. Keimanan yang memotivasi seseorang melakukan pernikahan. Sebagai wujud iman dan syukur kepada Allah seseorang melaksanakan pernikahan. Demikian juga ketika mereka bercerai, dilakukan juga atas dasar iman dan keyakinan bahwa rumah tangga sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Iman mendasari adanya kasih sayang untuk saling memberi antara suami isteri, keimanan bahwa rezeki datang dari Allah dan semua pihak berhak untuk menikmatinya. Dengan iman, masingmasing pihak akan dijauhi dari sifat tamak dan serakah terhadap harta, sehingga baik suami saja yang bekerja atau justru suami tidak bekerja, maka iman akan menuntun kita untuk ikhlas membagi harta tersebut. b. Nilai Keadilan Perintah menetapkan hukum dengan adil dapat dipahami dan dimulai uraiannya dengan mengutip Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 58, sebagai berikut: A . Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. 4. Filosofi Pembagian Harta Bersama Menurut KHI Ditinjau dari Hukum Islam a. Nilai Keimanan Iman dalam Islam menempati posisi amat penting. Karena iman adalah asas dan dasar bagi seluruh amal perbuatan manusia. Tanpa iman tidak sah dan diterima amal perbuatannya. Firman Allah SWT dalam alQur’an Surah An-Nisa’ ayat 124, sebagai berikut: . Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun. Juga dalam al-Qur’an Surah Al-Isra’ ayat 19, sebagai berikut: . 96 Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Menurut Abd Muin Salim, secara struktural ayat di atas terdiri dari dua klausa yang tidak dapat dilepaskan dari klausa inti di awal ayat, yakni inna Allah ya’ murukum. Hubungan ini terwujud oleh adanya partikel “wa” dan yang berfungsi sebagai perangkai. Klausa pertama adalah klausa kondisional, karena didahului oleh partikel “iza” “apabila” yang tidak hanya berkonotasi temporal tetapi juga kondisional (dharfiyat syarthiyah).18 Sedangkan klausa kedua berkedudukan sebagai objek. Dengan demikian ayat di atas dapat dikonstruksikan ke dalam ungkapan Inna Allah ya’ murukum an tahkumu bi al-‘adl iza hakamtum baina alnas. “Sesungguhnya Allah memerintahkan agar kamu menetapkan hukum dengan adil apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia.” Konsep lain yang terkandung dalam klausa di atas adalah “keadilan” yang diungkapkan dengan al-‘adl. Al-Baidhawi menyatakan bahwa adil bermakna al-inshaf wa al-sawiyayyat “berada dipertengahan dan mempersamakan”.19 Pendapat yang sama dikemukakan oleh al-Raghib dan Rasyid Ridha.20 Sejalan dengan pendapat ini, Sayyid Quthb menyatakan bahwa dasar persamaan itu adalah sifat kemanusiaan yang dimiliki oleh setiap orang.21 Ini berarti bahwa manusia mempunyai hak yang sama oleh karena mereka sama-sama manusia. Pengertian yang berbeda dikemukakan oleh al-Maraghi. Ia tidak melihat keadilan dari segi persamaan hak, tetapi menekankan aspek terselenggaranya atau terpenuhinya hak-hak yang telah ditetapkan setelah menjadi milik seseorang. Konsep al-Maraghi ini lebih relevan dengan kata al-qisth daripada kata al-‘adl. Menetapkan hukum dalam ungkapan ayat di atas mencakup pengertian “membuat dan menerapkan hukum”. Secara kontekstual perintah dalam ayat tersebut tidak hanya ditujukan kepada kelompok sosial tertentu dalam masyarakat Muslim, tetapi ditujukan kepada setiap orang yang mempunyai kekuasaan memimpin orangorang lain, seperti suami terhadap istriistrinya, baik dalam pembagian nafkah lahir maupun bathin, juga pembagian harta bersama setelah mereka bercerai. Adil dimaknai sebagai suatu yang seimbang, pada posisi yang semestinya (proporsional), tidak berat sebelah. Dalam pengertian ini, jika isteri punya potensi untuk mengembangkan diri, dan suami mendukung, tidak menghalang-halanginya untuk dapat mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan bermasyarakat. Artinya jika dalam rumah tangga Allah memberikan rezeki yang lebih besar kepada isteri dibandingkan dengan rezeki yang diperoleh suami, maka ketika terjadi perceraian mereka harus membagi harta bersama menurut rasa keadilan. Keadilan akan dirasakan masingmasing pihak, jika mereka mendapatkan apa yang mestinya menjadi hak mereka. Keadilan akan terwujud jika masing-masing pihak memahami peranan dan posisi masing-masing dalam rumah tangga. Badr al-Din Muhammad bin Abdillah alZarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Mesir: Dar al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiyat, t.t), h. 195. 19 Nashr al-Din Abu al-Khair ‘Abdullah bin ‘Umar al-Baidhawi, Anwar al-Tanzil wa Asrar alTa’wil, Juz. I, (Mesir: Mushthafa al-Bab al-Habi, 1939/1358), h. 191. 20 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Qur’an al-Hakim, (Tafsir al-Manar), Juz V, (Mesir: Maktabah al-Qahirah, 1379/1960), h. 174. Ridha menyatakan bahwa keadilan yang diperintahkan dalam ayat itu dikenal oleh ahli bahasa Arab, dan bukan berarti menetapkan hukum (memutuskan perkara) berdasarkan apa yang telah pasti dalam agama. 21 Sayyid Quthb, Fi Dhilal Al-Qur’an, Juz. V, (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turas al-‘Arabi, 1386/1967), h. 118. Sayyid Quthb menyatakan bahwa dalil di 18 atas menghendaki keadilan yang menyeluruh di antara sesama manusia, bukan keadilan di antara sesama Muslim atau sesama ahli kitab dan tidak pula atas sebagian manusia saja. Keadilan adalah hak setiap manusia dengan sebab sifatnya sebagai manusia, dan sifat ini menjadi dasar keadilan di dalam ajaran-ajaran ketuhanan. Pandangan ini perlu diteliti secara seksama karena Al-Qur’an sendiri menegaskan hak yang diperoleh manusia berdasarkan usahanya. 97 c. Nilai Keseimbangan Nilai keseimbangan dalam membangun rumah tangga diwujudkan agar masingmasing pihak dapat memenuhi kewajiban dan menerima haknya. Keseimbangan perlu diciptakan agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan, sehingga terbangun rumah tangga yang kekal. Suami sebagai kepala keluarga melaksanakan kewajibannya memenuhi nafkah keluarga dan isteri mengurus rumahtangga dengan baik. Keseimbangan akan tercipta jika masing-masing pihak saling mengerti dan menghargai. Jika terjadi perceraian, maka nilai keseimbangan ini tetap perlu dijaga, agar tidak ada pihak yang dirugikan. Jika hanya suami saja yang bekerja dan isteri hanya sebagai ibu rumah tangga, maka isteri tetap mendapatkan hak pembagian harta bersama, kesimbangan ini bisa dimaknai dengan pembagian sama rata atau dibagi menurut rasa keadilan. Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. 1). Dalam Al-Qur’an terdapat sekitar 80 ayat tentang hidup, pemeliharaan hidup dan penyediaan sarana kehidupan, misalnya dalam Surat AlMaidah ayat 32. Di samping itu, AlQur’an juga berbicara tentang kehormatan dalam 20 ayat. 2). Al-Qur’an juga menjelaskan dalam sekitar 150 ayat tentang ciptaan dan makhluk-makhluk, serta tentang persamaan dalam penciptaan, misalnya dalam Surat Al-Hujarat ayat 13. 3). Al-Qur’an telah mengetengahkan sikap menentang kezaliman dan orang-orang yang berbuat zalim dalam sekitar 320 ayat, dan memerintahkan berbuat adil dalam 50 ayat yang diungkapkan dengan kata-kata : ‘adl, qisth dan qishash. 4). Begitu juga halnya dengan Sunnah Nabi. Nabi Muhammad saw telah memberikan tuntunan dan contoh dalam penegakkan dan perlindungan terhadap hak manusia. Hal ini misalnya terlihat dalam perintah Nabi yang menyuruh untuk memelihara hak-hak manusia dan hakhak kemuliaan, walaupun terhadap orang yang berbeda agama, melalui sabda beliau: “Barang siapa yang menzalimi seseorang mu’ahid (seorang yang telah dilindungi oleh perjanjian damai) atau mengurangi haknya atau membebaninya di luar batas kesanggupannya atau mengambil sesuatu dari padanya dengan tidak rela hatinya, maka aku lawannya di hari kiamat.” d. Nilai Perlindungan Hukum Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber hukum Islam memberikan penghargaan yang tinggi terhadap hak-hak manusia. AlQur’an sebagai sumber hukum pertama telah meletakkan dasar-dasar hak manusia, kebenaran dan keadilan, jauh sebelum timbul pemikiran mengenai hal tersebut pada masyarakat dunia. Ini dapat dilihat pada ketentuan-ketentuan dalam Al-Qur’an, antara lain: Filosofi pembagian harta bersama menurut pasal 97 KHI adalah dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap isteri jika terjadi percaraian. Karena pada umumnya isteri tidak bekerja mencari nafkah, dia hanya mengurus rumah tangga, anak dan suami yang tidak kalah sibuk dan letihnya dengan suami. Karena isteri tidak mempunyai kontribusi dalam mencari harta, maka jika terjadi perceraian, isteri tetap 98 mendapat sebagian harta, karena syirkah tenaga dan fikiran yang disumbangkan dalam membangun rumah tangga. Jika isteri tidak diberi harta, ia akan menderita ketika bercerai dari suaminya tanpa mendapat apa-apa sebagai bekal hidupnya. masyarakat yang mengingkari atau mengabaikan musyawarah dapat dianggap sebagai masyarakat yang cacat dalam komitmen terhadap salah satu bentuk ibadah. Dari ayat tersebut dapat diketahui, bahwa sebelum masa hijrah, kaum muslimin sudah mengenal musyawarah. Bahkan sebelum agama Islam datang, masyarakat Arab sudah mengenal musyawarah. Sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an, surat al-Naml: 32, bahwa Ratu (Balqis penguasa negeri Saba’) yang hidup pada masa Nabi Sulaiman dalam kepemimpianannya sering bermusyawarah dengan bawahannya. Kedua, terdapat dalam surah AlBaqarah, ayat 233 (Madaniyyah): ………. ……… “…… Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya (suami isteri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan antara mereka, maka tidak ada dosa atas keduanya …… e. Nilai Musyawarah Musyawarah pada dasarnya hanya dapat digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya, yaitu mengeluarkan madu. Oleh karena itu unsurunsur musyawarah yang harus dipenuhi adalah; a) Al-Haq; yang dimusyawarahkan adalah kebenaran, b) Al-’Adlu; dalam musyawarah mengandung nilai keadilan, c) Al-Hikmah; dalam musyawarah dilakukan dengan bijaksana. Dalam al-Qur’an, kata َ ﺷَﻮَﺭdengan segala perubahannya berulang 4 kali, yaitu (ﺃﺷَﺎﺭَ )ﺕ,22ﺗَﺸَﺎﻭُﺭ,23ﺷَﺎﻭِﺭ,24 dan ﺷُﻮْﺭَﻯ.25 Sedangkan kata yang menunjukkan tentang musyawarah yaitu sebagai berikut: Pertama, surah al-Syura ayat 38 (Makkiyyah): ْﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺍﺳْﺘَﺠَﺎﺑُﻮﺍ ﻟِﺮَﺑِّﻬِﻢْ ﻭَﺃَﻗَﺎﻣُﻮﺍ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓَ ﻭَﺃَﻣْﺮُﻫُﻢ .َﺷُﻮﺭَﻯ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﻭَﻣِﻤَّﺎ ﺭَﺯَﻗْﻨَﺎﻫُﻢْ ﻳُﻨْﻔِﻘُﻮﻥ “(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya, mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka.” (Q.S. Al-Syura: 38). Ayat ini diturunkan di Makkah (Makiyyah) sebelum hijrah dan sebelum berdirinya daulah Islamiyah (era Madinah). Ini menunjukkan bahwa musyawarah merupakan salah satu karakteristik penting yang khas bagi umat Islam, selain iman kepada Allah, mendirikan shalat, saling menolong dalam masalah ekonomi. Oleh karena itu Allah memuji orang yang melaksanakannya. Musyawarah merupakan salah satu ibadah terpenting. Oleh sebab itu, Ayat ini tergolong ayat Madaniyyah yang menjelaskan bagaimana seharusnya hubungan suami isteri sebagai mitra dalam rumah tangga, saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak mereka (seperti menyapih anak) dengan jalan musyawarah. Allah juga Q.S. Maryam: 29. Q.S. Al-Baqarah: 233. 24 Q.S. Ali Imran: 159. 25 Q.S. Al-Syura: 38. 22 23 99 berfirman, dalam surah at-Thalaq ayat 6, sebagai berikut: satu dari kedua belah pihak atau keduaduanya kadang harus merelakan sebagian hak-nya demi untuk mencapai suatu kesepakatan. Umpamanya : suami istri yang sama-sama bekerja dan membeli barangbarang rumah tangga dengan uang mereka berdua, maka ketika mereka berdua melakukan perceraian, mereka sepakat bahwa istri mendapatkan 40 % dari barang yang ada, sedang suami mendapatkan 60 %, atau istri 55 % dan suami 45 %, atau dengan pembagian lainnya, semuanya diserahkan kepada kesepakatan mereka berdua. …… . dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. Ibnu katsir mengatakan, Di dalam menyapih anak, kedua orang tua harus mengadakan musyawarah. Tidak diperbolehkan penyapihan yang dilakukan tanpa ada musyawarah.26 Lebih jauh lagi, dalam berhubungan rumah tangga (suami isteri) baik masalah pendidikan anak-anak mereka, harta benda, rencana pengembangan masa depan mereka dan permasalahan apapun dalam rumah tangga seharusnya dimusyawarahkan antara suami isteri dan juga anak-anaknya. Yang demikian telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim bermusyawarah dengan anaknya (Nabi Ismail). Keharusan untuk membagi sama rata, masing-masing mendapatkan 50%, seperti dalam KHI, ternyata tidak mempunyai dalil yang bisa dipertanggung jawabkan, sehingga pendapat yang benar dalam pembagian harta gono gini adalah dikembalikan kepada kesepakatan dan musyawarah antara suami isteri sebagaimana hadist Rasulullah dari Amru’ bin Auf al Muzani dari bapaknya dari kakeknya tentang kebolehan melakukan perdamaian di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan perdamaian yang menghalalkan yang haram “(HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi, dan disahihkan oleh Tirmidzi). Untuk mencapai perdamaian/musyawarah dalam pembagian harta gono-gini, salah f. Nilai kasih sayang Kasih sayang yang terjalin selama hidup berumah tangga antara suami dan isteri tetap diwujudkan meskipun telah bercerai, dengan memberikan sebagian harta kepada mantan isteri atau suaminya, terutama isteri yang tidak bekerja. Demikian juga jika suami yang tidak bekerja, maka wujud kasih sayang isteri adalah memberikan sebagian harta bersama agar suaminya dapat melanjutkan kehidupannya sendiri. Quran Surat AnNisa’ ayat 21: . Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteriisterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. Idealitas kasih sayang yang dituntut oleh agama ialah seperti yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw. Beliau telah mengajarkan bahwa ukuran kasih sayang optimal yang semestinya diberikan kepada makhluk Allah adalah seperti kasih sayang pada diri sendiri. Sebaliknya jika kasih sayang pada diri sendiri tidak berbanding lurus dengan kasih sayuang pada orang lain, Rasulullah menilainya dengan sebutan Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (Beirut: Dar Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi', 1999), jilid. 1, h. 635. 26 100 “tidak beriman”. Dengan demikian, kualitas keimanan menunjukkan kepekaan rasa untuk mengasihi orang lain.27 Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari: dalam pembagian harta bersama adalah nilai yang dapat dicapai dengan musyawarah yang didasari prinsip keimanan, keadilan, keseimbangan, perlindungan hukum, musyawarah dan kasih sayang. ْﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻣُﺴَﺪَّﺩٌ ﻗَﺎﻝَ ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻳَﺤْﻴَﻰ ﻋَﻦْ ﺷُﻌْﺒَﺔَ ﻋَﻦ ﻗَﺘَﺎﺩَﺓَ ﻋَﻦْ ﺃَﻧَﺲٍ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻪُ ﻋَﻦْ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ َﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻭَﻋَﻦْ ﺣُﺴَﻴْﻦٍ ﺍﻟْﻤُﻌَﻠِّﻢِ ﻗَﺎﻝ ِﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻗَﺘَﺎﺩَﺓُ ﻋَﻦْ ﺃَﻧَﺲٍ ﻋَﻦْ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪ ِﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻗَﺎﻝَ ﻻَ ﻳُﺆْﻣِﻦُ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﺣَﺘَّﻰ ﻳُﺤِﺐَّ ﻷَِﺧِﻴﻪ ( ﻣَﺎ ﻳُﺤِﺐُّ ﻟِﻨَﻔْﺴِﻪِ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ DAFTAR PUSTAKA Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut: Perundangan Hukum Adat Hukum Agama, Mondar Maju, Bandung, 1990. Harahap, Yahya, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Pustaka Kartini, 1997. Tidak sempurna iman seseorang sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencntai dirinya sendiri. (H.R. Bukhari). Jafizham, T, Persentuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, Mustika, Medan, 1977. C. Penutup Pada prinsipnya Islam tidak mengatur secara rinci tentang pembagian harta bersama baik dalam al-Qur’an, hadits maupun pendapat para fuqaha. Oleh karena itu, terjadi perbedaan pendapat ulama tentang harta bersama, pendapat pertama mengatakan Islam tidak mengenal adanya harta bersama kecuali dengan syirkah, apa yang menjadi milik suami tetap menjadi milik suami dan dikuasai oleh suami sedangkan harta milik isteri menjadi milik isteri dan dikuasai oleh isteri. Pasal 35 Undang-Undang perkawinan mengatur bahwa harta benda dalam perkawinan menjadi harta bersama. Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan mengatur bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing, sedangkan pasal 97 KHI mengatur bahwa janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Jika terjadi perceraian, pembagian harta bersama dapat dilakukan dengan perdamaian (ash-shulh). Pembagian harta bersama menurut KHI bukan suatu yang mutlak, karena pada prinsipnya filosofi Jamil, Latif, Aneka Hukum Indoenesia, Ghalia Jakarta, 1982. Perceraian Indonesia, Katsir, Ibnu, Tafsir Ibnu Katsir, Beirut: Dar Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi', 1999, jilid. 1. Nashr al-Din Abu al-Khair ‘Abdullah bin ‘Umar al-Baidhawi, Anwar alTanzil wa Asrar al-Ta’wil, Juz I, (Mesir: Mushthafa al-Bab al-Halabi, 1939/1358). Quthb, Sayyid, Fi Dhilal Al-Qur’an, Juz V, Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turas al‘Arabi, 1386/1967. Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir AlQur’an al-Hakim, (Tafsir al-Manar), Juz V, (Mesir: Maktabah al-Qahirah, 1379/1960), Shan’ani, Imam Ash-, Subulus Salam, 4/246, hadits no. 821, Imam Syaukani, Nailul Authar, 8/463, hadits no.2325, Darul Kutub Alamiah Libanon, tt. Shiddiqiy, Hasby Ash-, Pengantar Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1971. Muhammad Yusuf, Metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadis, (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), h. 91. 27 101 Syah, Ismail Muhammad, Pencaharian Bersama suami isteri di Aceh ditinjau dari sudut UU Perkawinan Tahun 1974 dan Hukum Islam, Disertasi 1984. Tholib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta, UI, 1974. Utomo, Setiawan Budi, Fiqh Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Mondar Maju, 1997. Yusuf, Muhammad, Metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadis, Yogyakarta, Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008. Zarkasyi, Badr al-Din Muhammad bin Abdillah al-, al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Mesir: Dar al-Ihya al-Kutub al‘Arabiyat, tt. 102