Dangdut Budaya Musik Etnik Nusantara III Aris Setiawan M.Sn. Dangdut merupakan salah satu musik populer Indonesia yang berkembang pesat pada tahun 1960-an. Pada masa itu, musik dangdut lebih dikenal dengan sebutan „Orkes Melayu‟ (sering pula disingkat OM). Beberapa penyanyi dan pencipta lagu dangdut terkenal kala itu di antaranya: Ema Gangga, Hasnah Tahar, Said Effendi, Munif Bahaswan, Ellya Khadam dan lain sebagainya. Dari segi instrumen, pada awalnya musik dangdut atau Orkes Melayu menggunakan gitar, mandolin, bass, akordion, suling, tamborin, dan kendang dua sisi. Perkembangan selanjutnya, komposisi instrumen musik dangdut beralih, akordion digantikan dengan keyboard elektrik, gitar dan bass dari akustik menjadi elektrik (menggunakan aliran listrik), serta terdapat penambahan instrumen lain seperti drum set, terompet, saksophone, timphani.[1] Pola musik dangdut sangat dinamis, sehingga cukup potensial digunakan sebagai musik pergaulan dengan tradisi joget ramai-ramai bahkan nyawer atau ngibing. [1] Mauly Purba dan Ben Pasaribu, Musik Populer. (Jakarta: LSPN (Lembaga Pendidikan Seni Nusantara), 2005). Hlm. 77-83. Istilah „dangdut‟ pertama kali diperkenalkan oleh Billy Silabumi[1] dalam cerpennya pada majalah Aktuil (1972). Majalah ini pula yang mempopulerkan istilah dangdut menggantikan sebutan Orkes Melayu. Kata „dangdut‟ merupakan sebuh idiom kata yang sebenarnya oleh Billy Silabumi digunakan untuk „mengejek‟ Orkes Melayu yang dari segi musikal terkesan monoton dengan hanya mengeksploitasi bunyi dhang dan dhut. Kata tersebut (dangdut) menjadi populer, para musisi Orkes Melayu tidak serta merta menerima kehadiran kata „dangdut‟ tapi tidak serta merta pula menolaknya. Banyak musisi yang masih menggunakan Orkes Melayu untuk menyebut nama kelompoknya tapi menggunakan kata „dangdut‟ untuk menyebut jenis musiknya. Dengan demikian nama „dangdut‟ berasal dari anomatophe bunyi musikal kendang, dhang dan dhut. [1] Baca Tabloid Dangdut,No.4, Tahun 1, Juni 1995. Pada awal tahun 1970an mantan pemusik rock Roma Irama, bersama dengan kelompok Soneta dan pasangan duet Elvi Sukaesi, masuk dalam blantika musik dangdut. Dalam musik dangdutnya Roma mencoba mengurangi warna India dan meningkatkan warna Timur Tengah serta memasukan unsur-unsur rock‟n roll ke dalam elemen musik dangdutya hingga melahirkan “new dangdut” Selain itu dalam hal artistik : pencahayaan, tata suara, dan tata panggung mulai dilakukan penataan secara serius, sehingga dari pementasan yang dilakukan dangdut lebih berkesan megah, dahsyat dan menarik bagi penonton dalam sekala luas. Dengan perubahan ini dangdut menjadi sangat populer, dan atas sejumlah upaya yang dilakukan, Roma Irama kemudian dinobatkan menjadi „raja dangdut‟. Selain itu keteguhan Roma dalam menyuarakan pesan-pesan agama Islam, makin memperkuat nama besarnya hingga musiknya sering disebut sebagi “ The Sound of Muslem” Bukan hanya dalam musik saja Roma melakukan gerakanya, berbagai teknologi dimanfaatkan sebagi media promosi terhadap album-album baru yang dihasilkan. Selain melalui kaset rekaman dan pementasan, film juga dijadikan sebagi media dalam mendukung popularitas. Roma Irama kemudian memproduksi film-film yang bertema cerita yang bersumber dari judul-judul lagunya yang populer, misalnya „begadang‟ (1970), „penasaran‟ (1976), „perjuangan dan doa‟ (1970) serta film-film lainya. Kesuksesan Roma dalam berdangdut mulai mendapatkan simpati dari penyayi lain yang sama-sama ingin mengkibarkan bendera dangdut, diantaranya: A. Rafiq, Mansyur S, Camelia Malik, Rita Sugiarto, Meggi Z, Rama Al Pama, Itje Tresnowati, Evi Tamala dan lain sebaginya. Pada Dasawarsa 1990-an di era perkembangan Televisi Swasta, makin menambah populatitas musik dangdut. Beberapa program acara dangdut mulai dikemas dan dijadikan menu pilihan bagi para penontonya. Sukses dangdut dalam menarik simpati masyarakat luas, membuat sejumlah televisi swasta saling berlomba-lomba membuat program acara dengan musik dangdut sebagai tajuk utamanya. Acara-acara tersebut seperti „digoda‟, „in dangdut‟, „Gondang dia‟, „pria dangdut‟, „gebyar dangdut‟ dan sejumlah acara lainnya. Dangdut telah menjadi bagian dari budaya pop di masa sekarang, namun siapa sangka di balik sifat musiknya yang sederhana, ringan dan mudah dicerna semua kalangan, ternyata dangdut terakumulasi dari sejumlah unsur musikal yang beragam. Muhammad Takari mengindikasikan bahwa dangdut berasal dari seni etnis Melayu, di dalamnya mengandung unsur-unsur musik India, Arab dan Melayu. Muhammad Takari, “Akulturasi Kebudayaan Musikal Dalam Seni Pertunjukan Dangdut”, (Dalam Selonding: Jurnal Masyarakat Etnomusikologi Indonesia. Vol. 1, No. 1 September 2001) hal.103. Musik ini kemudian berkembang dengan mengadopsi unsur-unsur musik “barat” seperti rockn’ roll, regge, dan rap. Dalam perkembangan selanjutnya, dangdut berbaur dengan musik etnis nusantara lain seperti Jawa, Sunda, Batak dan Minangkabau Lebih lanjut Takari menyebutkan dangdut pada awalnya berasal dari musik Melayu, kemudian mengalami proses akulturasi hingga mencapai bentuknya yang sekarang. Masing-masing unsur tersebut saling berinteraksi dalam satu kesatuan budaya musikal yang kemudian disebut „dangdut‟. Dari sejumlah sumber yang berhasil dikumpulkan, terdapat sejumlah definisi yang dapat digunakan untuk merunut sejarah kelahiran musik dangdut. Dalam definisinya Slamet Haryono menyebutkan: “Musik dangdut atau „dangdut‟, atau juga disebut „pop melayu‟, adalah jenis musik yang pada awalnya muncul dengan dasar irama melayu yang kemudian terpengaruh oleh nada dan beat irama Hindustan”[1]. Senada dengan pendapat ini, Muhammad Takari (2001) dalam definisinya menyatakan bahwa: Dangdut adalah satu ragam seni musik Nusantara yang berasal dari seni etnis Melayu; di dalamnya mengandung unsur-unsur musik India, Arab, dan Melayu. Musik ini kemudian berkembang dengan mengadopsi unsur-unsur musik Barat, rockn’roll, Regee, dan Rap. [1] Slamet Haryono, “Dangdut dan Eksploitasi Seks Perempuan”, dalam HARMONIA Jurnal Pegetahuan dan Pemeikiran Seni Vol 3 No 2/MeiAgustus 2002 Dalam penjelasan berbeda, B Setiawan dan Kawan-kawan menyatakan Dangdut jenis musik yang baru muncul pada tahun 1970-an. Dangdut bergaya seperti musik rock dengan kombinasi musik India, tetapi dasar musikal dan vokalnya tetap Melayu Betawi, berbeda dengan musik Melayu yang terdapat di Sumatra Utara, Riau, atau Malaysia. Instrumen pengiring musik dangdut selain gendang juga gitar listrik, orgen listrik, dan lain-lain. Kata dangdut sebenarnya berasal dari bunyi gendang yang khas dalam musik tradisional India, yakni tabla. Gendang ini dapat menyuarakan bunyi untuk menghasilkan bunyi nduut (sic.), efek bunyi tersebut memberikan efek psikologis, mempertinggi pesona erotik, dan menghasilkan bagi irama musik itu sendiri. Dari sejumlah pendapat di atas, secara keseluruhan mencerminkan adanya satu indikasi mengenai keberadaan musik dangdut yang berasal dari seni etnis Melayu. Asumsi ini didasarkan atas beberapa temuan dalam perkembangan budaya musikal yang terdapat dalam kesenian Melayu[1] 1] Menurut pandangan orang-orang Barat, malayu adalah ras orang-orang berbahasa Melayu dan beragama Islam. Istilah Melayu sendiri berasal dari sebuah tempat (sungai dan kerajaan) di Jambi. Musik dangdut awalnya dikenal sebagai musik Melayu atau sering disebut juga dengan Orkes Melayu, daerah sebaran musik ini meliputi sejumlah wilayah di Semenanjung Melayu diantaranya: Daerah-daerah pantai Sumatra dan pulaupulau sekitarnya, semenanjug Malaysia, kepulauan Riau, pantai laut Kalimantan Barat, dan dalam perkembangannya termasuk wilayah Jakarta (Betawi). Di daerah-daerah inilah musik Melayu awalnya berkembang. Pada awal perkembangannya musik ini menggunakan jenis instrumen yang mirip dengan instrumen Melayu, namun dalam perkembangannya selanjutnya musik dangdut banyak mengadopsi instrumen dan gaya musik lain seperti India, Timur Tengah, dan “Barat” (Eropa), serta dalam perkembangan selanjutnya dangdut juga berbaur dengan berbagai musik etnis Nusantara, seperti: Jawa, Sunda, Batak, dan Minangkabau. Musik dangdut pada dasarnya berakar pada seni pergaulan rakyat jelata. Ekspresi kesenian yang ada dalam dangdut, seperti lirik lagunya yang sederhana, polos, mudah dicerna, musik tidak rumit, serta kedekekatan antara musik dan tari begitu menyatu, sudah ada dalam kesenian tradisional. Bentuk kesenian seperti itu tanpa disadari sudah dikenal idiomnya, melekat dan dimiliki oleh mereka. Karena kedekatanya dengan idiom-idiom seni tradisi itulah, memungkinkan musik dangdut menjadi bagian dari kehidupan mereka. Bentuk-bentuk pengungkapan yang terdapat dalam musik dangdut semacam ini, secara substansi tidak jauh berbeda dengan jenis-jenis seni rakyat seperti seni ronggeng atau tayuban, di mana antara tari dan musiknya tidak dapat dipisahkan. Seperti yang dijelaskan Muhammad Takari menyatakan bahwa dangdut merupakan suatu seni pertunjukkan yang mainstream-nya berasal dari genre seni pertunjukkan ronggeng Melayu, khususnya rentak mak inang. MATERI II Dangdut Budaya Musik Etnik Nusantara III Aris Setiawan M.Sn. Seni Ronggeng Melayu Ronggeng dikawasan budaya Melayu Sumatra utara merupakan salah satu jenis seni pertunjukan yang melibatkan unsur musik intrumental, vokal, pantun, dan lawak. Ronggeng atau disebut juga Joged Melayu merupakan seni hiburan sosial dalam bentuk tarian berpasangan yang diringi ensambel musik ronggeng, termasuk seni yang populer di Sumatra Utara. Para penari ronggeng ini dibayar melalui sawer-an yang diberikan oleh para pengunjung yang ikut menari bersama. Ensambel Ronggeng, terdiri dari sejumlah instrumen dengan fungsi musikal berbeda. Pertama instrumen pembawa lagu: akordion, harmonium, biola, seksofon, dan klarinet. Kedua instrumen pembawa rentak, terdiri dari satu atau dua buah kendang ronggeng. Ketiga instrumen pembawa tekanan ketukan dasar, yaitu sebuah gong (tetawak). Sedangkan Rentak mak inang, merupakan penyebutan irama lagu-lagu dan tari yang biasa dibawakan oleh mak inang (pengasuh keluarga raja) yang kemudian digunakan oleh rakyat awam. Rentaknya sedang (sekitar 100 ketukan permenit). Rentak ini kemudian berkembang dan diadopsi oleh penari dan pemusik seni pertunjukan ronggeng. Pada tahun 1920-an di istana Kasultanan Serdang dan Deli para pemusik dan penari istana mengadopsi tradisi rongeng ke dalam satu bentuk seni yang disebut chalti. Terdiri dari dua penari wanita dengan kostum gaya India menari dalam senadung dan rentak mak inang. Tarian ini diiringi dengan sejumlah alat musik; sebuah harmonium, sebuah biola, dan sepasang tabla yang digunakan untuk menghibur raja. Tari Chalti tidak berkembang, karena terlalu rumit dan dikreasikan tidak dalam bentuk berpasangan pria-wanita; namun musiknya sangat populer. Lagu-lagunya (bergaya India) banyak di tampilkan oleh orkes-orkes Melayu yang berkembang di Medan, kemudian menyebar ke Jawa serta daerah lainnya di Nusantara pada tahun 1930-an. Tengku Luckman Sinar, salah seorang keturunan Sultan Serdang, menjelaskan struktur musik Chalti yang berkembang kemudian dikenal sebagai irama dangdut. Orkes Melayu, boleh dikatakan sebagai cikal bakal lahirnya musik dangdut yang sekarang berkembang. Meskipun demikian, keduanya memiliki sejumlah perbedaan seiring dengan perubahan dimasa pertumbuhannya. Dari segi musikal, kita bisa melihat sejumlah perubahan yang terjadi diantaraya: Fungsi rebana mulai digantikan dengan ketipung. Perubahan ini di duga kuat berasal dari pengaruh musik India terutama instrumen tabla. Gong (tetawak) diganti dengan Bass Gitar Biola diganti dengan alat-alat melodis lain seperti; mandolin, gitar, orgen elektik, keyboard, serta penambahan sejumlah alatalat elektrik lain. lirik lagu sudah tidak menggunakan syair-syair yang berasal dari Melayu, tetapi menggunakan bahasa Indonesia, daerah, maupun asing. Serta bentuk liriknya tidak lagi mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku. Musik Melayu memiliki syair penghantar (kiasan) yang mengantarkan menuju maksud sebenarnya, yang disebut dalam syair bagian isi, seperti yang selalu terlihat dalam bentuk-bentuk lirik pantun-pantun Melayu. Semantara lirik musik dangdut tidak menunjukan aturan ini karena keseluruhan lirik yang disampaikan merupakan sebuah isi dari tema yang dibawakan. Jenis musik Melayu umumnya memiliki tempo yang lambat, sedangkan musik dangdut memiliki tempo sedang dan cepat. Gerakan tari pada musik dangdut lebih bersifat erotis. Hal ini kemingkinan besar dipengarui oleh tarian perut yang berasal dari India. Sejumlah perbedaan tersebut, mengisyaratkan satu kesimpulan bahwa meskipun musik dangdut berasal dari musik Melayu[1], tetapi dalam perkembangannya musik ini banyak mengalami proses akulturasi dengan berbagai musik lain seperti; India, Timur Tengah (Arab dan Persi), Barat, serta seni etnis Nusantara lain, sehingga secara genre melahirkan satu perwujudan yang berbeda dari musik induknya. (Peter Manuel, 1988: P.210). Musik dangdut lahir dari sebuah proses sintesa unsur-unsur kebudayaan, di dalamnya tercermin beragam sifat, pola, dan kharakter dari sejumlah budaya yang terintegrasi dalam satu kesatuan tanpa kehilangan kepribadian dari budaya pembentuknya. Beragam proses perubahan yang terjadi dalam musik dangdut, dapat kita lihat pada beberapa tahapan perkembangan yang dilaluinya. Untuk lebih jelasnya perubahan transmisi yang terjadi bisa dilihat dalam tulisan Y. Edhi Susilo “Dari Melayu Ke Dangdut (Sebuah Transmisi)” dalam EKSPRESI Vol II Tahun I, September 2000 ISI Yogyakarta. TAHAPAN PERKEMBANGAN Dangdut memasuki dunia musik Indonesia jauh setelah musik keroncong berkembang. Pada tahun 1930-an, keroncong mengalami transisi penting ketika AK.Gani (tokoh Partai Serikat Islam Indonesia) mengadakan festival keroncong pada 1938. Ia melihat kemungkinan menjadikan musik rakyat “Melayu” untuk membangkitkan rasa nasionalisme, yang disebutnya Orkes Melayu (meliputi keroncong, orkes harmonium, dan irama Malaya). Dengan kata lain, orkes melayu dipahami sebagai musiknya orang pribumi sehingga tidak mengherankan bila pada masa awal kemerdekaan, jenis musik ini mendapat prioritas[2] . Zoelkarnaen Mistortoify, Musik Etnik Nusantara IV (Bahan Ajar Budaya Musik Indonesia) Etnomusikologi ISI Surakarta 2005, P. 30 Pada tahun 1950-an, film-film India dan Malaya mulai masuk ke Indonesia. Dalam sejarahnya perkembangan film-film ini cukup berpengaruh terhadap perkembangan musik dangdut, mengingat masuknya film-film ini semakin memperkuat kharakter musikal dangdut yang mulai berkambang. Seperti yang dijelaskan oleh Noor bahwasanya: Sinema diperkenalkan di puasat-pusat perkotaan Malaya pada tahun 1920-an dan 1930-an. Meskipun film-film diimpor dari Amerika Serikat, India, dan China, kepada masyarakat kemudian diperkenalkan film-film produksi lokal pada tahun 1933 dan 1934. industri film Melayu mengikuti format teater Bangsawan; dialog, nyanyian, musik, dan tari menjadi unsur yang penting dalam pembuatan film. Sutradara film India yang didatangkan ke Tanah Melayu menyutradarai film-film Melayu sangat akrab dengan cara penyutradaraan film-film Hindustani, karena film-film Hidustani sangat digemari oleh penonton Melayu. (Noor dalam M. Takari 2001: P.107) Pemasukan elemen-elemen Hindustan terutama musik dan tari menjadi satu strategi didalam mensukseskan produksi film yang masih baru, maka dalam pembuatan filmfilm Melayu inipun tidak lupa dimasukkan unsur-unsur musik Melayu. Dalam film Seroja tahun 1955 misalnya, penyanyi Said Effendi menyanyikan lagu Bunga Seroja yang ide dan struktur lagunya banyak mengambil musik Melayu. Pada dekade 1950-an inilah, Indonesia memiliki nama-nama yang cukup terkenal sebagai penyanyi melayu. Sebut saja Emma Gangga, Juhana Satar, Hasnah Thahar, Suhaemi, A Chalik, M Syaugi, dan A Harris. Yang disebut terakhir ini pernah mencuri perhatian publik irama Melayu lewat lagu India, Awarahum, dan Munif Bahasuan menyanyikan lagu O Petaji. Kedua lagu itu awalnya berasal dari film India yang di bintangi Raj Kapoor bintang film paling top masa itu. Tanpa disadari pemasukan unsur-unsur musik Melayu dalam film, secara musikal menjadi peletak dasar yang kuat terhadap perkembangan musik dangdut yang berkembang sekarang. Peluang ini, semakin terbuka lebar pada masa Demokrasi Terpimpin, ketika Indonesia sedang hangat-hangatnya berupaya kembali pada kepribadian budaya bangsa untuk melawan pengaruh budaya Barat. Presiden Soekarno mengobarkan semangat anti Barat, dalam pidato yang berjudul “Manipol Usdek” 17 Agustus 1959 secara terang-terangan mengutuk musik ngakngek-ngok rock n‟roll. Penegasan kebijakan ini di tuangkan dalam larangan radio pemerintah memutar lagulagu barat serta mengimport film-film Barat Eropa dan Amerika. Dampak lebih lajut atas kebijakan ini, berakibat pada membanjirnya film-film India. Sampai tahun 1960, rata-rata film import India mencapai 225 judul film dengan 2 sampai 3 kopi masing-masing judul. [3] Pemutaran film-film India ini, banyak dilakukan di beberapa bioskop kelas bawah. Film India yang beredar di Indonesia umumnya film musikal, sehingga keberadaannya berpengaruh terhadap musik Melayu kala itu. Gejala perubahan ini secara musikal berpengaruh pula terhadap irama Melayu. Gendang Melayu yang bentuknya seperti rebana mulai digantikan perkusi yang lebih dekat dengan warna suara tabla. Pola irama yang ditimbulkaberolah vokal (yang mestinya menjadi syarat utama) menjadi tidak penting. Akibatnya perempuan yang memilih menyanyi sebagai profesi cenderung berlomba dalam “pengolahan” tubuh, semantara usaha untuk meningkatkan kualitas teknik vokalnya diabaikan Hidden From History: Aspect of Indonesian Cinema 1955-1965” dalam Review of Indonesian and Malayan Affairs, Vol.2, No.1, 1985. Ainur Rochimah, sesok gadis desa Japanan, Gempol, Pasuruan, mencetak sejarah baru musik dangdut. Babak revolusi baru dangdut telah digulirkan, yang mengherankan, nama inul justru awalnya dikenal secara sembunyi-sembunyi. Hal ini diketahui dari sejumlah rekaman VCD goyang Inul yang sering disebut “dangdut koplo”, justru meledak dipasaran gelap. Istilah koplo, mengarahkan pada salah satu obat-obatan psikotropika yang sering di sebut dengan nama pil koplo. Indikasi ini diberikan terkait dengan pengaruh (sifat) yang ditimbulkan menjadikan pemakainya koplo (sakau). Musik koplo sering diidentikan dengan jogged yang lepas, bebas, sampai terkoplo-koplo meskipun hanya kepalanya yang bergoyang. Banyak orang memburu dan penasaran untuk mencari goyang ngebor Inul yang kemudian menggemparkan dunia dangdut Indonesia. VCD itu sebenarnya rekaman tidak resmi Inul di beberapa hajatan di beberapa kota di Jawa Timur. Keluguan gadis desa yang sempat beropsesi menjadi seorang dokter ini, ternyata mampu menarik simpati penonton. Dalam setiap penampilanya Inul memang selalu tampil lepas, kocak dan menyegarkan. Di Jawa Timur Inul terkenal ia punya komunitas fanatik yang sering disebut “komunitas koplo” Nama Inul makin mencuat di belantika musik dangdut Indonesia. Kesuksesan Inul adalah sebuah fenomenal, jika penyanyi-penyanyi dangdut era sebelumnya mendapatkan kesuksesan karena ia lahir dari rahim industri rekaman, Inul justru berbeda, beberapa album kaset rekaman yang sempat go public seperti: Two In One, Kepiye Mas, Cinta Suci, Pacar Asli, dan Mbah Dukun Versi Jawa, tidak begitu laku dipasaran. Keseksesan Inul baru datang ketika ia bertemu dengan Elly Kusumastuti, mantan pegawai perusahaan rekaman Black board yang belakangan menjadi menejernya. Inul mulai ditawari pentas di TV, tanyangan pertama Inul adalah acara Laris Manis-nya SCTV pada Maret 2002. Keseksesan Inul dalam acara ini makin membawa goyang ngabor menembus kafekafe, hotel-hotel berbintang lima, hingga menghebohkan belantika musik Indonesia dan manca negara. Ravolusi Inul, melahirkan babak baru dalam abad melinium, sebuah era “carut marut” dengan berbagai kontroversi di dalamnya Meskipun tidak terjadi secara radikal, sebagi sebuah perubahan revolusi ini setidaknya menimbulkan kepanikan dan efek psikologis yang cukup mendalam Euforia reformasi, misalnya, memperlihatkan kecendrungan demikian. Berbagai partai politik muncul, penjarahan, korupsi makin menjadi, kebijakan pemerintah berganti dengan cepat, aksi-aksi kekerasan dan teror terjadi dibanyak tempat, dsb. Kecenderungan demikian, dalam derajat tertentu, tercermin juga dalam kasus revolusi goyang dalam kehidupan belantikan musik dangdut.