butir-butir pokok

advertisement
SISTEM INTERNASIONAL
HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA1
Antonio Pradjasto
Pengantar
Menurut laporan yang dikutip Pelapor Khusus PBB, Danilo Turk, pada 1992 terdapat 1.5
milyar manusia di dunia yang kehilangan kesempatan mendapat perawatan kesehatan dan
pengadaan air bersih. Dua milyar orang tidak mendapatkan sanitasi yang layak, dan lebih
dari 1 milyar orang dewasa tidak dapat membaca atau menulis; 180 juta anak-anak
mengalami kekurangan gizi yang serius.2 Di antaranya terjadi dan masih terjadi di
Indonesia. Pada tahun 2004, sekitar 1.5 juta balita menderita busung lapar,dan 3.6 juta
balita menderita kurang gizi. Jumlah ini meningkat di tahun 2005 menjadi 1.67 juta anak
balita (naik 8%) busung lapar dan 5.7 juta (naik 27.3%) kurang gizi.3
Seperti menghitung jumlah pohon yang terdapat di hutan tropis, dari ketinggian satelit
misalnya, tentu sulit menentukan akurasi angka-angka tersebut. Kalaupun angka statistik
diragukan, kasus berikut dapat memberi ilustrasi mengenai pola umum pemenuhan salah
satu hak social ekonomi, yaitu hak atas kesehatan. Pada bulan Juni 2005 seorang anak
pemulung (6th), bernama Khaerunisa, meninggal karena tidak dapat memperoleh
pengobatan akibat muntaber. Dan ini bukan tanpa usaha orangtuanya untuk mencari
pengobatan dasar di pusat-pusat kesehatan masyarakat. Anak itupun akhirnya dikubur
setelah sang ayah menggendong arwahnya dengan menggunakan KRL. Sebulan
kemudian sepasang suami istri harus tunggang langgang dari satu rumah sakit ke rumah
sakit lain hingga 6 kali agar anaknya yang belum genap 1 bulan memperoleh pengobatan,
lagi-lagi hanya karena mereka tidak memiliki uang. Tiadanya akses pada berbagai
sumber daya adalah pola umum dari pemenuhan hak sosial ekonomi masyarakat
Indonesia yang sebagian besar miskin.
1
Disampaikan pada seminar dan lokakarya “Menuju Perlindungan dan Pemantauan yang Efektif Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia”, 17 April – 18 April 2007, Yogyakarta. Kerjasama PUSHAM
UII Yogyakarta dengan NCHR, Universitas Oslo, Norwegia.
2
Paul Hunt, Jurnal HAM Vol.1.No.1, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, h. 34
3
Sumber: Institute for ECOSOC Rights
Sistem dan Standar HAM ESB Internasional/1
Pola itu juga tercermin dalam busung lapar yang mengakibatkan kematian – bahkan di
daerah yang terkenal sebagai lumbung beras nasional, atau pada komersialisasi
pendidikan yang mengakibatkan jutaan anak harus kehilangan akses pada pendidikan
atau menerima fasilitas pendidikan yang sangat rendah. Sementara di perkotaan,
penggusuran secara besar-besaran yang mengakibatkan ratusan ribu orang kehilangan
tempat tinggal adalah bentuk mencolok dari pola itu. Di Jakarta sendiri, sebuah ornop –
FAKTA/Institut Sosial Jakarta – mencatat hanya dalam 1 tahun (2000-2001) terjadi penggusuran
lebih dari 25 kali dengan puluhan ribu manusia harus berpindah.
Paparan ini mencoba melihat sistem dan standar internasional bagi implementasi hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya dan mencoba menawarkan sebagai bahan diskusi sketsa tantangan
realisasi hak-hak tersebut.
Hak Asasi Ekonomi, Sosial, Budaya.
Secara internasional, perjanjian internasional adalah instrumen perlindungan sekaligus
sumber hukum hak asasi manusia yang utama. Sistem perlindungan hak asasi manusia melalui
perjanjian-perjanjian internasional yang tumbuh pesat sejak PD II bukan sebuah kebetulan. Akan
tetapi merupakan reaksi wajar atas kekejaman yang terjadi pada saat itu sehingga ada kehendak
kuat untuk mencegah terulangnya kembali pelanggaran hak asasi yang sama. Sistem ini
didasarkan pada pengakuan bahwa setiap umat manusia, terlepas dari negara ia berasal, memiliki
hak-hak dasar semata-mata karena dia adalah manusia.
Memang baik secara teoritis maupun praktis, kontribusi perjanjian-perjanjian
internasional perlindungan hak asasi manusia sangat besar.4 Di dalamnya terumus norma-norma
hak asasi manusia yang menjadi standar universal.5 Melalui ratifikasi perjanjian internasional
terbuka proses integrasi norma-norma hak asasi manusia dalam sistem hukum nasional.
4
Beyani, Chaloka “The Legal Premises for the International Protection of Human Rights” di Guy S.
Goodwin-Gill and S.Talmon (ed.) The Reality of International Law Essays in Honour of Ian Brownlie. hal.
21-35
5
Terdapat 6 Konvensi HAM utama yaitu Kovenan Internasional Hak Sipil Politik, Kovenan Internasional
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Konvensi Anti Penyiksaan, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial dan
Konvensi Hak Anak.
Sistem dan Standar HAM ESB Internasional/2
Disamping itu terdapat berbagai bentuk mekanisme lain. Di PBB (tingkat global) mekanisme itu
didasarkan atas perjanjian internasional (treaty based) dan berdasarkan pada Piagam PBB
(charter based).6 Di tingkat regional untuk hak ekonomi, kita mengenal Social Charter7 negaranegara persatuan Eropa dan African Charter on Human Rights and Peoples’. Di tingkat nasional
hak-hak ini dijamin dalam Konstitusi, seperti hak bekerja, hak atas tempat tinggal dan social
security dijamin dalam UUD 1945.
Perlindungan Hukum HAM internasional dalam masa damai didasarkan pada pengakuan
bahwa setiap umat manusia, terlepas dari negara ia berasal, memiliki hak-hak dasar semata-mata
karena dia adalah manusia. Sistem perlindungan hak asasi manusia melalui perjanjian-perjanjian
internasional yang tumbuh pesat sejak PD II bukan sebuah kebetulan. Akan tetapi merupakan
reaksi wajar atas kekejaman yang terjadi pada saat itu sehingga ada kehendak kuat untuk
mencegah terulangnya kembali pelanggaran hak asasi yang sama. Dasar dari perlindungan
internasional hak asasi manusia sangat jelas dalam pembukaan Piagam PBB yang menyatakan
tujuan adanya PBB: “menyelamatkan generasi-generasi yang akan datang dari musibah perang,
dan menegaskan kembali keyakinannya pada hak-hak asasi fundamental”.8 Selanjutnya pasalpasal 1(3)9, 55 dan 56 dari Piagam memberi landasan utama bagi perumusan standar hak asasi
manusia dan sistem perlindungan internasional hak asasi manusia sebagaimana terlihat dalam
konvensi-konvensi internasional hak asasi manusia. Artinya persoalan hak asasi manusia
merupakan kepedulian yang sah dari masyarakat dunia. Aturan-aturan tersebut menjadi dasar bagi
sistem perlindungan hak asasi manusia universal. Dari sini dirumuskan substansi HAM dan
diciptakan mekanisme-mekanisme untuk melindunginya oleh organ-organ PBB.
Sumber yang paling eksplisit dan utama dari hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai hak
asasi adalah Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human
Rights/selanjutnya DUHAM)10 dan dielaborasi lebih lanjut dalam Kovenan Internasional Hak-hak
6
Hannum H. (ed), ‘Guide to International Human Rights Practice’ hal. 44-59 dan 61-84. Catatan ringkas
untuk ini lihat “Mekanisme Monitoring HAM” pada Training Hukum HAM untuk Dosen Pengajar HAM di
Fakultas Hukm Negeri dan Swasta Indonesia Tahap II, Yogyakarta, 27 Januari 2006, Kerjasama PUSHAM
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dan Norwegian Centre for Human Rights (NCHR).
7
European Social Charter, 529 UNTS 89, berlaku sejak 26 Feb. 1965.
8
Pasal 1 Paragraf 3 Piagam PBB. Penebalan oleh penulis. Basic Documents in International Law (4th Ed.),
Ian Brownlie (ed.), 1995 hal. 3
9
Maksud dari berdirinya PBB antara lain adalah: “to achieve international co-operation in .. promoting
and encouraging respect for human rights and for fundamental freedoms for all without distinction as to
race, sex, language or religion”.
10
UN General Assembly Res. 217 A (III) of December 1948
Sistem dan Standar HAM ESB Internasional/3
Ekososbud (selanjutnya disebut KIESB) 11 yang telah ditandatangani oleh lebih dari 142 negara.12
Bersama Kovenan mengenai Hak-hak Sipil Politik (selanjut KISIPOL), Konvenan ini menjadi
rujukan utama berbagai instrumen hak asasi manusia lainnya, seperti Konvensi Hak Anak,
Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.13 Bahkan
kedua kovenan dan DUHAM merupakan Konstitusi HAM Internasional.
Sebagai kovenan yang memberi daging (substansi) dan efek dari DUHAM, hak-hak dan
batasan-batasan yang ada dalam KIESB diformulasi secara lebih terinci. Disamping KIESB, hakhak ekososbud juga dijamin dalam konvensi HAM yang lebih spesifik seperti Konvensi HAK
Anak (CRC), Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), dan
konvensi-kovensi ILO serta instrumen HAM regional seperti ’Social Charter’ Eropa. Instrumeninstrumen hak asasi manusia yang mengambil semangatnya dari DUHAM ini dapat menjadi
jurisprudence yang kuat untuk interpertasi dan implementasi dari hak-hak tersebut.14
Kovenan Internasional Hak Ekonomi Sosial Budaya
Kovenan mengenai hak ekososbud terdiri dari tiga puluh satu (31) pasal yang diatur
dalam 6 bagian, yang bagian pertamanya sama dengan saudaranya KIHSP. Jantung dari Kovenan
ini berada pada Bagian III (pasal 6-15) yang menguraikan hak-hak yang dilindungi, yaitu:
a. Hak atas kerja (right to work)
b. Hak atas kondisi kerja yang layak (pasal 7)
c. Hak untuk bergabung dan membentuk serikat buruh (pasal 8)
d. Hak atas jaminan sosial (pasal 9)
e. Hak atas perlindungan bagi keluarga (pasal 10)
11
UN General Assembly Res. 2200 A (XXI), 16 December 1966.
Millenium Summit Treaty Framework
13
Catatan Ratifikasi Instrumen Internasional Hak Manusia Pokok: (a) Kovenan Internasional Hak-hak Sipil
dan Politik (UU No. 12 Tahun 2005); (b) Kovenan Internasional Hak-hak Sosial, Ekonomi dan Budaya
(UU No. 11 Tahun 2005) ; (c) Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan (UU No. 5 Tahun 1998); (d)
Konvensi Internasional Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi Rasial (UU No. 29 Tahun 1999); (e)
Konvensi Internasional tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (UU No. 7
Tahun 1984); (f) Konvensi Internasional tentang Hak-hak Anak (Keppres No. 36 Tahun 1990); dan (g)
Konvensi Internasional Hak-hak Politik Perempuan (UU No. 68 Tahun 1958).
14
DUHAM, meski dalam bentuk ‘soft law’ telah memperoleh otoritas yang kuat untuk disebut sebagai
hukum kebiasaan internasional. Lihat, Advisory Opinion on the Legal Consequences for the States of the
Continued Presence of South Africa in Namibia (Namibia Opinion) ICJ Rep. 1971, hl.16,67,76; dan USA v.
Iran ICJ Rep. 1980, 3, 42, para.91 (Hostage Case).
12
Sistem dan Standar HAM ESB Internasional/4
f.
Hak atas standar hiudp yang layak, termasuk hak atas pangan, pakain dan tempat tinggal
(pasal 11)
g. Hak atas kesehatan (pasal 12)
h. Hak atas pendidiakan (pasal 13)
i.
Hak atas kebudayaan (pasal 15)
Seperti diungkapkan dalam uraian sebelumnya, kovenan ini merupakan elaborasi dari DUHAM.
Sebagai standar internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia maka tentu ada
kewajiban untuk memenuhi (comply) dengan standar-standar internasional. Sejauh ini sebelum
konvensi itu diratifikasi, konstitusi Negara kita UUD 1945 dan amandemen yang dilakukan telah
mengandung hak-hak asasi yang dilindungi oleh KIHESB, sebagai man diagram di bawah ini:
Hak
DUHAM
KIESB
UUD 1945
dan amandemen
1. Kerja
23 (1)
6
2. Kondisi Kerja yang layak dan adil
23 (1)
7
27 (2)
Amand. 28 A, 28C(1)
28D (2), 28I (1)
3. Membentuk dan bergabung dalam
23 (4)
8
serikat buruh
4. Jaminan Sosial
28
Amand. 28E (3)
22
9
33, Amand. 28 H(1) (3)
Amand. 33 (1), 34 (2)
5. Perlindungan Keluarga
25 (1) (2)
10
6. Standar Hidup yang Layak
25 (1)
11
33 (3), Amand. 28 H (1)
28C (1), 28I (1).
7. Pendidikan
26
13
Amand. 31,
8. Kesehatan dan Perawatan Medis
25 (1)
12
28 H (1) dan 34 (3)
Tentu penafsiran atas lingkup hak itu perlu terus dikembangkan, terutama untuk menjelaskan
Sistem dan Standar HAM ESB Internasional/5
karakteristik hak ekonomi, sosial budaya yang merujuk pada pasal 2 (1) KIHESB:
“setiap negara pihak… berjanji untuk mengambil langkah-langkah, baik sendiri maupun
melalui bantuan kerjasama internasional, …., untuk secara progresif mencapai
perwujudan penuh dari hak-hak yang diakui oleh Kovenan ini, … termasuk dengan
pengambilan langkah-langkah legislatif”.15 [penerjemahan dan penebalan oleh penulis]
Di dalamnya terkandung dua ciri. Pertama, penekanan pada kewajiban negara daripada rumusan
“setiap orang memiliki hak untuk...” atau “setiap orang tidak boleh melakukan ...”. Kewajiban
mana tertumpu pada sumber daya yang tersedia. Kedua, pemenuhan secara progresif (secara
bertahap).
Pasal ini memang tidak dirumuskan secara ketat, sehingga seringkali diartikan secara negatif –
seakan hak ekososbud bukan hak asasi manusia. Suatu anggapan yang keliru, karena perumusan
itu tidak menghilangkan karakter hak asasi dari hak ekonomi, sosial budaya.16 Lebih dari itu
suadah ada berbagai upaya dan dokumen yang menjelaskan kandungan hak tersebut. Komite
misalnya telah menguraikan lingkup kewajiban negara dalam general comment 3, masyarakat
warga juga mencoba mendefinisikan dalam Limburg Principles (prinsip-prinsip limburg)17 dan
Maastricht Guideline (acuan-acuan Maastricht)18. Disamping itu Pelapor Khusus Danilo Turk
telah membuat laporan mengenai “The Realisation of Economic, Social and Cultural Rights”:
pada 1992.19 Di dalamnya antara lain mengatakan bahwa ketersediaan sumber daya tidak bisa
menjadi alasan untuk menjamin pemenuhan hak.
Lembaga-lembaga HAM internasional seperti Committee on Economic, Social and Cultural
Rights (selanjutnya disebut Komite) atau Komisi HAM dan Sub Komisi HAM PBB serta
lembaga-lembaga HAM yang dibentuk oleh perjanjian-perjanjian HAM internasional,
mengembangkan kandungan dari hak-hak tersebut. Dan Komite, yang dibentuk pada 1987 di
bawah ECOSOC, memainkan peran yang sentral. Aktivitas utamanya adalah menguji laporanlaporan negara pihak hingga mengambil hasil observasi, membuat resolusi serta general
15
Lihat pasal 2 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, UNGA Res. 2200 A
(XXI), 16 Des. 1966
16
Pradjasto, Antonio “Membela Hak-hak Asasi Ekonomi dan Sosial”, Jurnal HAM, Vol.1/1,Oktober 2003,
hl. 1-16
17
Dirumuskan oleh ahli-ahli terkemukan dalam hukum internasional, di Maastrich 2- 6 Juni 1986, yang
menilai sifat dan cakupan kewajiban Negara pihak sebagaimana KIHESB.
18
Panduan ini mengelaborasi Prinsip Limburg dengan menekankan aspek pelanggaran hak ekososbud dan
pemulihannya.
19
UN Doc E/CN.4/Sub./1992
Sistem dan Standar HAM ESB Internasional/6
comments.20 Dengan wewenang memonitor derajat realisasi hak yang dilindungi dalam KIHESB
bukan saja secara perlahan berkembang kandungan dari hak asasi bersangkutan akan tetapi juga
saat ini tengah digodok protokol tambahan bagi yang mengatur mekanisme pengaduan-individu
terhadap dilanggarnya hak asasi mereka.
Disamping itu berbagai yurispruden di tingkat nasional21, regional maupun internasional
menawarkan batasan dari hak-hak tersebut yang juga dapat membentuk dan mengembangkan
standar hukum hak asasi manusia. Sebagai contoh, Komite secara konsisten menyatakan bahwa
penggusuran merupakan pelanggaran dari hak atas tempat tinggal, Republik Dominik (1990),
Panama (1992), Kenya (1993) dan Filipina (1993) telah dinyatakan melakukan pelanggaran
HAM. Sikap-sikap demikian dapat dikatakan memiliki fungsi lebih dari sekedar saran dan quasi
legal.22 Melalui putusan-putusan demikian perlawanan kelompok masyarakat yang dirugikan
memperoleh landasan (hukum) yang semakin kuat.
Kewajiban negara
Semua hak asasi menciptakan kewajiban korelatif. Demikian pula dengan hak asasi ekososbud.
Mengacu pada pasal 2 Kovenan Hak Ekososbud, kewajiban negara memang dirumuskan tidak
secara ketat. Sebagai contoh, pasal ini menggunakan istilah (a) ‘melakukan langkah-langkah’..
dengan segala cara yang tepat’, (b) “hingga sumber-sumber daya yang paling maksimal yang
ada”, (c) ”mencapainya secara bertahap”. Meski demikian kewajiban itu dalam diuji pada tiga
tingkat:
1. Kewajiban menghormati (respect). Kewajiban ini mensyaratkan negara untuk tidak ikut
campur tangan dalam upaya pemenuhan hak ekososbud. Dalam tingkat kewajiban ini, negara
diharuskan untuk tidak mengambil tindakan-tindakan yang mengakibatkan tercegahnya akses
terhadap hak bersangkutan. Termasuk di dalamnya, mencegah melakukan sesuatu yang dapat
menghambat warga memanfaatkan sumber-sumber daya alam materil yang tersedia. Dalam
20
Lihat revised guideline regarding the form and contents of reports to be submiitted by States Parties
under article 16 and 17 of ICESCR, Juni 1991 (UN Doc.E/C.12/1991)
21
Banyak kasus di berbagai negara yang menghukum pelanggaran hak-hak EKOSOSBUD. Lihat Michael
K Addo “Justiciability Re-examined” hl. 9.
22
Lihat Craven M. “Toward an Unoficial Petition Porcedure: A review of the role of the UN Committee on
Economic, Social, and Cultural Rights”, dalam K Drzewiki and Rosas (ed.) “Social Rights as Human
Rights: A European Challenge”, hal.91-113 (1994).
Sistem dan Standar HAM ESB Internasional/7
konteks hak atas tempat tinggal, misalnya, negara tidak diperkenankan melakukan
penggusurann (paksa).
2. Kewajiban melindungi (protect). Kewajiban ini pada dasarnya mengharuskan negara
menjamin bahwa pihak ketiga (individu atau perusahaan) tidak melanggar hak individu lain
atas akses terhadap hak bersangkutan. Oleh karena itu, hak ini dapat pula mencakup
pencegahan deprivasi lebih lanjut dan jaminan bahwa mereka yang terlanggar haknya
mendapat akses terhadap legal remedies. Negara misalnya harus melindungi buruh dari
kinerja bisnis yang melanggar standar perburuhan, seperti pelanggaran hak atas kerja, hak
atas kondisi kerja yang adil dan layak, dan sebagainya.
3. Kewajiban memenuhi (fulfill). Jika kewajiban menghormati pada intinya membatasi
tindakan negara, kewajiban ‘memenuhi’ mengharuskan negara untuk melakukan tindak pro
aktif yang bertujuan memperkuat akses masyarakat atas sumber-sumber daya. Kewajiban ini
merupakan kewajiban yang paling menuntut intervensi negara (positive measures) sehingga
terjamin hak setiap orang atas kesempatan memperoleh haknya yang tidak dapat dipenuhi
melalui usaha sendiri. Dalam kewajiban ini masalah anggaran belanja negara menjadi sangat
penting. Dalam konteks hak atas tempat tinggal layak, akses terhadap kepemilikan tanah atau
kredit rumah yang murah harus menjadi agenda pemerintah.23
Disamping ketiga kewajiban dasar negara terhadap seluruh hak asasi manusia masih terdapat
pembedaan kewajiban yang lain. Seperti dikemukakan di atas, hak ekososbud sebagaimana hak
sipol mengharuskan negara untuk menahan diri (negative rights) dan intervensi agar pemenuhan
hak tercapai (positive rights). Oleh karena itu, pelanggaran hak ekososbud dapat berupa
pelanggaran by ommission (melalui tindakan pembiaran) maupun by commission (dengan sengaja
melakukan tindakan itu sendiri). Maastrich Guideline memberi sejumlah tindakan yang dapat
dikategorikan sebagai pelanggaran by commission, beberapa di antaranya: 24
a. meniadakan aturan yang sangat penting bagi pemenuhan hak ekososbud
b. adanya perlakuan-perlakuan diskriminatif
c. mengeluarkan peraturan atau kebijakan yang menambah pelanggaran hak asasi manusia.
Tentu jika kebijakan itu memiliki tujuan yang jelas-jelas dapat meningkatkan persamaan dan
memberi perlindungan lebihpada kelompok rentan, kebijakan itu bukan pelanggaran hak
ekososbud
23
Lihat pula Prinsip-prinsip Limburg(UN Doc. E/CN.4/1987/17. Annex
Dankwa-Victor, Flinterman-Cees, Leckie-Scott, “Commentary to the Maastricht Guidelines on
Violations of Economic, Social and Cultural Rights”, HRQ 20 (1998), 705-730
24
Sistem dan Standar HAM ESB Internasional/8
d. pemotongan atau relokasi anggaran yang mengakibatkan tidak dinikkmatinya hak-hak
ekososbud, seperti peralihan biaya pendidikan dan pelayanan dasar kesehatan untuk
pembelanjaan alat-alat militer.
Sekedar contoh, penggusuran paksa yang oleh komite dan insitusi-institusi HAM internasional
(regional) telah dianggap sebagai pelanggaran HAM yang berat merupakan pelanggaran atas hak
atas tempat tinggal. Negara mempunyai kewajiban untuk menghindari tindakan penggusuran.
Tindakan yang seharusnya tidak dilakukan akan tetapi ia lakukan merupakan pelanggaran hak
bersangkutan (dalam contoh ini hak atas tempat tinggal layak) by commission.
Sedangkan untuk pelanggaran hak ekososbud yang dilakukan dengan pembiaran (by omission),
bisa merujuk pada Panduan Maastrich yang memberi gambaran sejumlah tindakan yang
dianggap sebagai bentuk pelanggaran tersebut. Panduan itu memang dirumuskan secara umum
sehingga dapat diterapkan dalam situasi riel. Daftar yang disusun di bawah ini didasarkan pada
kewajiban negara untuk aktif sehingga menjamin pemenuhan hak ekososbud secara tepat. Kalau
negara (yang harusnya melakukan tapi) tidak melakukan kewajiban itu dianggap sebagai
pelanggaran hak ekososbud dengan pembiaran, sebagai contoh:
1. seperti juga diungkapkan dalam Prinsip Limburg25, kegagalan negara untuk melakukan
langkah-langkah yang diperlukan (sesuai pasal 2 ay.1) merupakan pelanggaran hak asasi
manusia karena pembiaran;
2. kegagalan merubah atau mencabut aturan yang sungguh-sungguh tidak konsisten dengan
kewajiban yang ada dalam kovenan ini. Sebagai contoh, Perda DKI 11/1988 mengenai
Ketertiban Umum merupakan aturan yang jelas-jelas melanggar hak bekerja masyarakat
(miskin) tentu merupakan aturan yang seharusnya dicabut. Tidak dicabutnya peraturan
tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia ekososbud;
3. kegagalan melaksanakan aturan atau memberlakukan kebijakan yang diperuntukan bagi
pemenuhan hak-hak ekososbud. Sebagai contoh, strategi wajib sekolah 9 tahun (untuk
memenuhi hak atas pendidikan) tapi tidak dijalankan bisa dianggap sebagai pelanggaran
negara atas hak pendidikan dengan pembiaran;
4. kegagalan mengatur pihak ketiga (termasuk modal) entah individu atau kelompok agar
mereka mencegah melakukan pelanggaran hak ekososbud;
5. kegagalan negara memperhitungkan aspek ekonomi, sosial dan budaya dalam membuat
perjanjian internasional dengan negara lain, sebuah organisasi internasional, atau dengan
Sistem dan Standar HAM ESB Internasional/9
perusahaan multinasional. Dalam hal ini, negara tetap dianggap sebagai pihak yang memiliki
kapasitas untuk menjamin pencegahan pelanggaran oleh pihak ketiga.
Ketiga kewajiban di atas mengandung dan dapat dibedakan menjadi kewaijban by
conduct maupun by result. Jika by conduct menunjuk pada proses – realisasi hak
bersangkutan melalui tindakan-tindakan yang diperhitungkan dalam merealisasikan hak –
maka kewajiban by result menuntut adanya capaian-capaian dengan ukuran-ukuran yang
jelas. Sebagai contoh, dalam hak atas kesehatan diterapkannya rencana aksi untuk
menurunkan kematian ibu/anak pada saat persalinan (maternal mortality) atau demam
berdarah sebagai wujud menjalankan kewajiban by conduct. Sedangkan pada bentuk
kewajiban berdasarkan hasil, maka ada derajat tertentu yang ditentukan untuk dicapai,
misalnya hendak menurunkan tingkat kematian dari 1/1000 menjadi 1/50000 orang.
Beberapa kemungkinan
1. Terus mengkampanyekan bahwa hak ekososbud adalah hak asasi dan bisa diterapkan
(applicable) –bukan sekedar aspirasi.
2. Melakukan riset pada pemetaan kondisi, menggali pola-pola penghambat pemajuan dan
perlindungan hak ekonomi social budaya, serta peluang yang ada untuk itu, baik di ranah
Negara, masyarakat sipil maupun bisnis. Laporan ini bisa menjadi laporan tandingan dari
laporan resmi, atau laporan yang dapat memberi pilihan intervensi yang lebih sistemik. Hal
ini bisa dilakukan oleh lembaga riset independen yang memberi perhatian lebih pada hak
ekonomi, sosial dan budaya. Hal ini bisa pula dilakukan melalui suatu bentuk penyelidikan
yang melibatkan public (inquiry public)
3. Mengembangkan jaringan pemerhati, peneliti, aktivis hak ekonomi, social budaya.
4. Melakukan berbagai upaya penuntutan perlindungan dan pemenuhan hak asasi ekonomi,
social budaya baik melalui pengadilan maupun dengan meningkatkan kapasitas politik
masyarakat untuk dapat mendorong dan mengontrol penyelenggara kekuasaan Negara untuk
semakin menjalankan kewajibannya yang mencakup kewajiban menghormati, melindungi
dan memenuhi.
25
Prinsip Limburg para. 16-20
Sistem dan Standar HAM ESB Internasional/10
Download