SISTEM INTERNASIONAL HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA1 Antonio Pradjasto Pengantar Menurut laporan yang dikutip Pelapor Khusus PBB, Danilo Turk, pada 1992 terdapat 1.5 milyar manusia di dunia yang kehilangan kesempatan mendapat perawatan kesehatan dan pengadaan air bersih. Dua milyar orang tidak mendapatkan sanitasi yang layak, dan lebih dari 1 milyar orang dewasa tidak dapat membaca atau menulis; 180 juta anak-anak mengalami kekurangan gizi yang serius.2 Di antaranya terjadi dan masih terjadi di Indonesia. Pada tahun 2004, sekitar 1.5 juta balita menderita busung lapar,dan 3.6 juta balita menderita kurang gizi. Jumlah ini meningkat di tahun 2005 menjadi 1.67 juta anak balita (naik 8%) busung lapar dan 5.7 juta (naik 27.3%) kurang gizi.3 Seperti menghitung jumlah pohon yang terdapat di hutan tropis, dari ketinggian satelit misalnya, tentu sulit menentukan akurasi angka-angka tersebut. Kalaupun angka statistik diragukan, kasus berikut dapat memberi ilustrasi mengenai pola umum pemenuhan salah satu hak social ekonomi, yaitu hak atas kesehatan. Pada bulan Juni 2005 seorang anak pemulung (6th), bernama Khaerunisa, meninggal karena tidak dapat memperoleh pengobatan akibat muntaber. Dan ini bukan tanpa usaha orangtuanya untuk mencari pengobatan dasar di pusat-pusat kesehatan masyarakat. Anak itupun akhirnya dikubur setelah sang ayah menggendong arwahnya dengan menggunakan KRL. Sebulan kemudian sepasang suami istri harus tunggang langgang dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain hingga 6 kali agar anaknya yang belum genap 1 bulan memperoleh pengobatan, lagi-lagi hanya karena mereka tidak memiliki uang. Tiadanya akses pada berbagai sumber daya adalah pola umum dari pemenuhan hak sosial ekonomi masyarakat Indonesia yang sebagian besar miskin. 1 Disampaikan pada seminar dan lokakarya “Menuju Perlindungan dan Pemantauan yang Efektif Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia”, 17 April – 18 April 2007, Yogyakarta. Kerjasama PUSHAM UII Yogyakarta dengan NCHR, Universitas Oslo, Norwegia. 2 Paul Hunt, Jurnal HAM Vol.1.No.1, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, h. 34 3 Sumber: Institute for ECOSOC Rights Sistem dan Standar HAM ESB Internasional/1 Pola itu juga tercermin dalam busung lapar yang mengakibatkan kematian – bahkan di daerah yang terkenal sebagai lumbung beras nasional, atau pada komersialisasi pendidikan yang mengakibatkan jutaan anak harus kehilangan akses pada pendidikan atau menerima fasilitas pendidikan yang sangat rendah. Sementara di perkotaan, penggusuran secara besar-besaran yang mengakibatkan ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal adalah bentuk mencolok dari pola itu. Di Jakarta sendiri, sebuah ornop – FAKTA/Institut Sosial Jakarta – mencatat hanya dalam 1 tahun (2000-2001) terjadi penggusuran lebih dari 25 kali dengan puluhan ribu manusia harus berpindah. Paparan ini mencoba melihat sistem dan standar internasional bagi implementasi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dan mencoba menawarkan sebagai bahan diskusi sketsa tantangan realisasi hak-hak tersebut. Hak Asasi Ekonomi, Sosial, Budaya. Secara internasional, perjanjian internasional adalah instrumen perlindungan sekaligus sumber hukum hak asasi manusia yang utama. Sistem perlindungan hak asasi manusia melalui perjanjian-perjanjian internasional yang tumbuh pesat sejak PD II bukan sebuah kebetulan. Akan tetapi merupakan reaksi wajar atas kekejaman yang terjadi pada saat itu sehingga ada kehendak kuat untuk mencegah terulangnya kembali pelanggaran hak asasi yang sama. Sistem ini didasarkan pada pengakuan bahwa setiap umat manusia, terlepas dari negara ia berasal, memiliki hak-hak dasar semata-mata karena dia adalah manusia. Memang baik secara teoritis maupun praktis, kontribusi perjanjian-perjanjian internasional perlindungan hak asasi manusia sangat besar.4 Di dalamnya terumus norma-norma hak asasi manusia yang menjadi standar universal.5 Melalui ratifikasi perjanjian internasional terbuka proses integrasi norma-norma hak asasi manusia dalam sistem hukum nasional. 4 Beyani, Chaloka “The Legal Premises for the International Protection of Human Rights” di Guy S. Goodwin-Gill and S.Talmon (ed.) The Reality of International Law Essays in Honour of Ian Brownlie. hal. 21-35 5 Terdapat 6 Konvensi HAM utama yaitu Kovenan Internasional Hak Sipil Politik, Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Konvensi Anti Penyiksaan, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial dan Konvensi Hak Anak. Sistem dan Standar HAM ESB Internasional/2 Disamping itu terdapat berbagai bentuk mekanisme lain. Di PBB (tingkat global) mekanisme itu didasarkan atas perjanjian internasional (treaty based) dan berdasarkan pada Piagam PBB (charter based).6 Di tingkat regional untuk hak ekonomi, kita mengenal Social Charter7 negaranegara persatuan Eropa dan African Charter on Human Rights and Peoples’. Di tingkat nasional hak-hak ini dijamin dalam Konstitusi, seperti hak bekerja, hak atas tempat tinggal dan social security dijamin dalam UUD 1945. Perlindungan Hukum HAM internasional dalam masa damai didasarkan pada pengakuan bahwa setiap umat manusia, terlepas dari negara ia berasal, memiliki hak-hak dasar semata-mata karena dia adalah manusia. Sistem perlindungan hak asasi manusia melalui perjanjian-perjanjian internasional yang tumbuh pesat sejak PD II bukan sebuah kebetulan. Akan tetapi merupakan reaksi wajar atas kekejaman yang terjadi pada saat itu sehingga ada kehendak kuat untuk mencegah terulangnya kembali pelanggaran hak asasi yang sama. Dasar dari perlindungan internasional hak asasi manusia sangat jelas dalam pembukaan Piagam PBB yang menyatakan tujuan adanya PBB: “menyelamatkan generasi-generasi yang akan datang dari musibah perang, dan menegaskan kembali keyakinannya pada hak-hak asasi fundamental”.8 Selanjutnya pasalpasal 1(3)9, 55 dan 56 dari Piagam memberi landasan utama bagi perumusan standar hak asasi manusia dan sistem perlindungan internasional hak asasi manusia sebagaimana terlihat dalam konvensi-konvensi internasional hak asasi manusia. Artinya persoalan hak asasi manusia merupakan kepedulian yang sah dari masyarakat dunia. Aturan-aturan tersebut menjadi dasar bagi sistem perlindungan hak asasi manusia universal. Dari sini dirumuskan substansi HAM dan diciptakan mekanisme-mekanisme untuk melindunginya oleh organ-organ PBB. Sumber yang paling eksplisit dan utama dari hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai hak asasi adalah Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights/selanjutnya DUHAM)10 dan dielaborasi lebih lanjut dalam Kovenan Internasional Hak-hak 6 Hannum H. (ed), ‘Guide to International Human Rights Practice’ hal. 44-59 dan 61-84. Catatan ringkas untuk ini lihat “Mekanisme Monitoring HAM” pada Training Hukum HAM untuk Dosen Pengajar HAM di Fakultas Hukm Negeri dan Swasta Indonesia Tahap II, Yogyakarta, 27 Januari 2006, Kerjasama PUSHAM Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dan Norwegian Centre for Human Rights (NCHR). 7 European Social Charter, 529 UNTS 89, berlaku sejak 26 Feb. 1965. 8 Pasal 1 Paragraf 3 Piagam PBB. Penebalan oleh penulis. Basic Documents in International Law (4th Ed.), Ian Brownlie (ed.), 1995 hal. 3 9 Maksud dari berdirinya PBB antara lain adalah: “to achieve international co-operation in .. promoting and encouraging respect for human rights and for fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex, language or religion”. 10 UN General Assembly Res. 217 A (III) of December 1948 Sistem dan Standar HAM ESB Internasional/3 Ekososbud (selanjutnya disebut KIESB) 11 yang telah ditandatangani oleh lebih dari 142 negara.12 Bersama Kovenan mengenai Hak-hak Sipil Politik (selanjut KISIPOL), Konvenan ini menjadi rujukan utama berbagai instrumen hak asasi manusia lainnya, seperti Konvensi Hak Anak, Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.13 Bahkan kedua kovenan dan DUHAM merupakan Konstitusi HAM Internasional. Sebagai kovenan yang memberi daging (substansi) dan efek dari DUHAM, hak-hak dan batasan-batasan yang ada dalam KIESB diformulasi secara lebih terinci. Disamping KIESB, hakhak ekososbud juga dijamin dalam konvensi HAM yang lebih spesifik seperti Konvensi HAK Anak (CRC), Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), dan konvensi-kovensi ILO serta instrumen HAM regional seperti ’Social Charter’ Eropa. Instrumeninstrumen hak asasi manusia yang mengambil semangatnya dari DUHAM ini dapat menjadi jurisprudence yang kuat untuk interpertasi dan implementasi dari hak-hak tersebut.14 Kovenan Internasional Hak Ekonomi Sosial Budaya Kovenan mengenai hak ekososbud terdiri dari tiga puluh satu (31) pasal yang diatur dalam 6 bagian, yang bagian pertamanya sama dengan saudaranya KIHSP. Jantung dari Kovenan ini berada pada Bagian III (pasal 6-15) yang menguraikan hak-hak yang dilindungi, yaitu: a. Hak atas kerja (right to work) b. Hak atas kondisi kerja yang layak (pasal 7) c. Hak untuk bergabung dan membentuk serikat buruh (pasal 8) d. Hak atas jaminan sosial (pasal 9) e. Hak atas perlindungan bagi keluarga (pasal 10) 11 UN General Assembly Res. 2200 A (XXI), 16 December 1966. Millenium Summit Treaty Framework 13 Catatan Ratifikasi Instrumen Internasional Hak Manusia Pokok: (a) Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (UU No. 12 Tahun 2005); (b) Kovenan Internasional Hak-hak Sosial, Ekonomi dan Budaya (UU No. 11 Tahun 2005) ; (c) Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan (UU No. 5 Tahun 1998); (d) Konvensi Internasional Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi Rasial (UU No. 29 Tahun 1999); (e) Konvensi Internasional tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (UU No. 7 Tahun 1984); (f) Konvensi Internasional tentang Hak-hak Anak (Keppres No. 36 Tahun 1990); dan (g) Konvensi Internasional Hak-hak Politik Perempuan (UU No. 68 Tahun 1958). 14 DUHAM, meski dalam bentuk ‘soft law’ telah memperoleh otoritas yang kuat untuk disebut sebagai hukum kebiasaan internasional. Lihat, Advisory Opinion on the Legal Consequences for the States of the Continued Presence of South Africa in Namibia (Namibia Opinion) ICJ Rep. 1971, hl.16,67,76; dan USA v. Iran ICJ Rep. 1980, 3, 42, para.91 (Hostage Case). 12 Sistem dan Standar HAM ESB Internasional/4 f. Hak atas standar hiudp yang layak, termasuk hak atas pangan, pakain dan tempat tinggal (pasal 11) g. Hak atas kesehatan (pasal 12) h. Hak atas pendidiakan (pasal 13) i. Hak atas kebudayaan (pasal 15) Seperti diungkapkan dalam uraian sebelumnya, kovenan ini merupakan elaborasi dari DUHAM. Sebagai standar internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia maka tentu ada kewajiban untuk memenuhi (comply) dengan standar-standar internasional. Sejauh ini sebelum konvensi itu diratifikasi, konstitusi Negara kita UUD 1945 dan amandemen yang dilakukan telah mengandung hak-hak asasi yang dilindungi oleh KIHESB, sebagai man diagram di bawah ini: Hak DUHAM KIESB UUD 1945 dan amandemen 1. Kerja 23 (1) 6 2. Kondisi Kerja yang layak dan adil 23 (1) 7 27 (2) Amand. 28 A, 28C(1) 28D (2), 28I (1) 3. Membentuk dan bergabung dalam 23 (4) 8 serikat buruh 4. Jaminan Sosial 28 Amand. 28E (3) 22 9 33, Amand. 28 H(1) (3) Amand. 33 (1), 34 (2) 5. Perlindungan Keluarga 25 (1) (2) 10 6. Standar Hidup yang Layak 25 (1) 11 33 (3), Amand. 28 H (1) 28C (1), 28I (1). 7. Pendidikan 26 13 Amand. 31, 8. Kesehatan dan Perawatan Medis 25 (1) 12 28 H (1) dan 34 (3) Tentu penafsiran atas lingkup hak itu perlu terus dikembangkan, terutama untuk menjelaskan Sistem dan Standar HAM ESB Internasional/5 karakteristik hak ekonomi, sosial budaya yang merujuk pada pasal 2 (1) KIHESB: “setiap negara pihak… berjanji untuk mengambil langkah-langkah, baik sendiri maupun melalui bantuan kerjasama internasional, …., untuk secara progresif mencapai perwujudan penuh dari hak-hak yang diakui oleh Kovenan ini, … termasuk dengan pengambilan langkah-langkah legislatif”.15 [penerjemahan dan penebalan oleh penulis] Di dalamnya terkandung dua ciri. Pertama, penekanan pada kewajiban negara daripada rumusan “setiap orang memiliki hak untuk...” atau “setiap orang tidak boleh melakukan ...”. Kewajiban mana tertumpu pada sumber daya yang tersedia. Kedua, pemenuhan secara progresif (secara bertahap). Pasal ini memang tidak dirumuskan secara ketat, sehingga seringkali diartikan secara negatif – seakan hak ekososbud bukan hak asasi manusia. Suatu anggapan yang keliru, karena perumusan itu tidak menghilangkan karakter hak asasi dari hak ekonomi, sosial budaya.16 Lebih dari itu suadah ada berbagai upaya dan dokumen yang menjelaskan kandungan hak tersebut. Komite misalnya telah menguraikan lingkup kewajiban negara dalam general comment 3, masyarakat warga juga mencoba mendefinisikan dalam Limburg Principles (prinsip-prinsip limburg)17 dan Maastricht Guideline (acuan-acuan Maastricht)18. Disamping itu Pelapor Khusus Danilo Turk telah membuat laporan mengenai “The Realisation of Economic, Social and Cultural Rights”: pada 1992.19 Di dalamnya antara lain mengatakan bahwa ketersediaan sumber daya tidak bisa menjadi alasan untuk menjamin pemenuhan hak. Lembaga-lembaga HAM internasional seperti Committee on Economic, Social and Cultural Rights (selanjutnya disebut Komite) atau Komisi HAM dan Sub Komisi HAM PBB serta lembaga-lembaga HAM yang dibentuk oleh perjanjian-perjanjian HAM internasional, mengembangkan kandungan dari hak-hak tersebut. Dan Komite, yang dibentuk pada 1987 di bawah ECOSOC, memainkan peran yang sentral. Aktivitas utamanya adalah menguji laporanlaporan negara pihak hingga mengambil hasil observasi, membuat resolusi serta general 15 Lihat pasal 2 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, UNGA Res. 2200 A (XXI), 16 Des. 1966 16 Pradjasto, Antonio “Membela Hak-hak Asasi Ekonomi dan Sosial”, Jurnal HAM, Vol.1/1,Oktober 2003, hl. 1-16 17 Dirumuskan oleh ahli-ahli terkemukan dalam hukum internasional, di Maastrich 2- 6 Juni 1986, yang menilai sifat dan cakupan kewajiban Negara pihak sebagaimana KIHESB. 18 Panduan ini mengelaborasi Prinsip Limburg dengan menekankan aspek pelanggaran hak ekososbud dan pemulihannya. 19 UN Doc E/CN.4/Sub./1992 Sistem dan Standar HAM ESB Internasional/6 comments.20 Dengan wewenang memonitor derajat realisasi hak yang dilindungi dalam KIHESB bukan saja secara perlahan berkembang kandungan dari hak asasi bersangkutan akan tetapi juga saat ini tengah digodok protokol tambahan bagi yang mengatur mekanisme pengaduan-individu terhadap dilanggarnya hak asasi mereka. Disamping itu berbagai yurispruden di tingkat nasional21, regional maupun internasional menawarkan batasan dari hak-hak tersebut yang juga dapat membentuk dan mengembangkan standar hukum hak asasi manusia. Sebagai contoh, Komite secara konsisten menyatakan bahwa penggusuran merupakan pelanggaran dari hak atas tempat tinggal, Republik Dominik (1990), Panama (1992), Kenya (1993) dan Filipina (1993) telah dinyatakan melakukan pelanggaran HAM. Sikap-sikap demikian dapat dikatakan memiliki fungsi lebih dari sekedar saran dan quasi legal.22 Melalui putusan-putusan demikian perlawanan kelompok masyarakat yang dirugikan memperoleh landasan (hukum) yang semakin kuat. Kewajiban negara Semua hak asasi menciptakan kewajiban korelatif. Demikian pula dengan hak asasi ekososbud. Mengacu pada pasal 2 Kovenan Hak Ekososbud, kewajiban negara memang dirumuskan tidak secara ketat. Sebagai contoh, pasal ini menggunakan istilah (a) ‘melakukan langkah-langkah’.. dengan segala cara yang tepat’, (b) “hingga sumber-sumber daya yang paling maksimal yang ada”, (c) ”mencapainya secara bertahap”. Meski demikian kewajiban itu dalam diuji pada tiga tingkat: 1. Kewajiban menghormati (respect). Kewajiban ini mensyaratkan negara untuk tidak ikut campur tangan dalam upaya pemenuhan hak ekososbud. Dalam tingkat kewajiban ini, negara diharuskan untuk tidak mengambil tindakan-tindakan yang mengakibatkan tercegahnya akses terhadap hak bersangkutan. Termasuk di dalamnya, mencegah melakukan sesuatu yang dapat menghambat warga memanfaatkan sumber-sumber daya alam materil yang tersedia. Dalam 20 Lihat revised guideline regarding the form and contents of reports to be submiitted by States Parties under article 16 and 17 of ICESCR, Juni 1991 (UN Doc.E/C.12/1991) 21 Banyak kasus di berbagai negara yang menghukum pelanggaran hak-hak EKOSOSBUD. Lihat Michael K Addo “Justiciability Re-examined” hl. 9. 22 Lihat Craven M. “Toward an Unoficial Petition Porcedure: A review of the role of the UN Committee on Economic, Social, and Cultural Rights”, dalam K Drzewiki and Rosas (ed.) “Social Rights as Human Rights: A European Challenge”, hal.91-113 (1994). Sistem dan Standar HAM ESB Internasional/7 konteks hak atas tempat tinggal, misalnya, negara tidak diperkenankan melakukan penggusurann (paksa). 2. Kewajiban melindungi (protect). Kewajiban ini pada dasarnya mengharuskan negara menjamin bahwa pihak ketiga (individu atau perusahaan) tidak melanggar hak individu lain atas akses terhadap hak bersangkutan. Oleh karena itu, hak ini dapat pula mencakup pencegahan deprivasi lebih lanjut dan jaminan bahwa mereka yang terlanggar haknya mendapat akses terhadap legal remedies. Negara misalnya harus melindungi buruh dari kinerja bisnis yang melanggar standar perburuhan, seperti pelanggaran hak atas kerja, hak atas kondisi kerja yang adil dan layak, dan sebagainya. 3. Kewajiban memenuhi (fulfill). Jika kewajiban menghormati pada intinya membatasi tindakan negara, kewajiban ‘memenuhi’ mengharuskan negara untuk melakukan tindak pro aktif yang bertujuan memperkuat akses masyarakat atas sumber-sumber daya. Kewajiban ini merupakan kewajiban yang paling menuntut intervensi negara (positive measures) sehingga terjamin hak setiap orang atas kesempatan memperoleh haknya yang tidak dapat dipenuhi melalui usaha sendiri. Dalam kewajiban ini masalah anggaran belanja negara menjadi sangat penting. Dalam konteks hak atas tempat tinggal layak, akses terhadap kepemilikan tanah atau kredit rumah yang murah harus menjadi agenda pemerintah.23 Disamping ketiga kewajiban dasar negara terhadap seluruh hak asasi manusia masih terdapat pembedaan kewajiban yang lain. Seperti dikemukakan di atas, hak ekososbud sebagaimana hak sipol mengharuskan negara untuk menahan diri (negative rights) dan intervensi agar pemenuhan hak tercapai (positive rights). Oleh karena itu, pelanggaran hak ekososbud dapat berupa pelanggaran by ommission (melalui tindakan pembiaran) maupun by commission (dengan sengaja melakukan tindakan itu sendiri). Maastrich Guideline memberi sejumlah tindakan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran by commission, beberapa di antaranya: 24 a. meniadakan aturan yang sangat penting bagi pemenuhan hak ekososbud b. adanya perlakuan-perlakuan diskriminatif c. mengeluarkan peraturan atau kebijakan yang menambah pelanggaran hak asasi manusia. Tentu jika kebijakan itu memiliki tujuan yang jelas-jelas dapat meningkatkan persamaan dan memberi perlindungan lebihpada kelompok rentan, kebijakan itu bukan pelanggaran hak ekososbud 23 Lihat pula Prinsip-prinsip Limburg(UN Doc. E/CN.4/1987/17. Annex Dankwa-Victor, Flinterman-Cees, Leckie-Scott, “Commentary to the Maastricht Guidelines on Violations of Economic, Social and Cultural Rights”, HRQ 20 (1998), 705-730 24 Sistem dan Standar HAM ESB Internasional/8 d. pemotongan atau relokasi anggaran yang mengakibatkan tidak dinikkmatinya hak-hak ekososbud, seperti peralihan biaya pendidikan dan pelayanan dasar kesehatan untuk pembelanjaan alat-alat militer. Sekedar contoh, penggusuran paksa yang oleh komite dan insitusi-institusi HAM internasional (regional) telah dianggap sebagai pelanggaran HAM yang berat merupakan pelanggaran atas hak atas tempat tinggal. Negara mempunyai kewajiban untuk menghindari tindakan penggusuran. Tindakan yang seharusnya tidak dilakukan akan tetapi ia lakukan merupakan pelanggaran hak bersangkutan (dalam contoh ini hak atas tempat tinggal layak) by commission. Sedangkan untuk pelanggaran hak ekososbud yang dilakukan dengan pembiaran (by omission), bisa merujuk pada Panduan Maastrich yang memberi gambaran sejumlah tindakan yang dianggap sebagai bentuk pelanggaran tersebut. Panduan itu memang dirumuskan secara umum sehingga dapat diterapkan dalam situasi riel. Daftar yang disusun di bawah ini didasarkan pada kewajiban negara untuk aktif sehingga menjamin pemenuhan hak ekososbud secara tepat. Kalau negara (yang harusnya melakukan tapi) tidak melakukan kewajiban itu dianggap sebagai pelanggaran hak ekososbud dengan pembiaran, sebagai contoh: 1. seperti juga diungkapkan dalam Prinsip Limburg25, kegagalan negara untuk melakukan langkah-langkah yang diperlukan (sesuai pasal 2 ay.1) merupakan pelanggaran hak asasi manusia karena pembiaran; 2. kegagalan merubah atau mencabut aturan yang sungguh-sungguh tidak konsisten dengan kewajiban yang ada dalam kovenan ini. Sebagai contoh, Perda DKI 11/1988 mengenai Ketertiban Umum merupakan aturan yang jelas-jelas melanggar hak bekerja masyarakat (miskin) tentu merupakan aturan yang seharusnya dicabut. Tidak dicabutnya peraturan tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia ekososbud; 3. kegagalan melaksanakan aturan atau memberlakukan kebijakan yang diperuntukan bagi pemenuhan hak-hak ekososbud. Sebagai contoh, strategi wajib sekolah 9 tahun (untuk memenuhi hak atas pendidikan) tapi tidak dijalankan bisa dianggap sebagai pelanggaran negara atas hak pendidikan dengan pembiaran; 4. kegagalan mengatur pihak ketiga (termasuk modal) entah individu atau kelompok agar mereka mencegah melakukan pelanggaran hak ekososbud; 5. kegagalan negara memperhitungkan aspek ekonomi, sosial dan budaya dalam membuat perjanjian internasional dengan negara lain, sebuah organisasi internasional, atau dengan Sistem dan Standar HAM ESB Internasional/9 perusahaan multinasional. Dalam hal ini, negara tetap dianggap sebagai pihak yang memiliki kapasitas untuk menjamin pencegahan pelanggaran oleh pihak ketiga. Ketiga kewajiban di atas mengandung dan dapat dibedakan menjadi kewaijban by conduct maupun by result. Jika by conduct menunjuk pada proses – realisasi hak bersangkutan melalui tindakan-tindakan yang diperhitungkan dalam merealisasikan hak – maka kewajiban by result menuntut adanya capaian-capaian dengan ukuran-ukuran yang jelas. Sebagai contoh, dalam hak atas kesehatan diterapkannya rencana aksi untuk menurunkan kematian ibu/anak pada saat persalinan (maternal mortality) atau demam berdarah sebagai wujud menjalankan kewajiban by conduct. Sedangkan pada bentuk kewajiban berdasarkan hasil, maka ada derajat tertentu yang ditentukan untuk dicapai, misalnya hendak menurunkan tingkat kematian dari 1/1000 menjadi 1/50000 orang. Beberapa kemungkinan 1. Terus mengkampanyekan bahwa hak ekososbud adalah hak asasi dan bisa diterapkan (applicable) –bukan sekedar aspirasi. 2. Melakukan riset pada pemetaan kondisi, menggali pola-pola penghambat pemajuan dan perlindungan hak ekonomi social budaya, serta peluang yang ada untuk itu, baik di ranah Negara, masyarakat sipil maupun bisnis. Laporan ini bisa menjadi laporan tandingan dari laporan resmi, atau laporan yang dapat memberi pilihan intervensi yang lebih sistemik. Hal ini bisa dilakukan oleh lembaga riset independen yang memberi perhatian lebih pada hak ekonomi, sosial dan budaya. Hal ini bisa pula dilakukan melalui suatu bentuk penyelidikan yang melibatkan public (inquiry public) 3. Mengembangkan jaringan pemerhati, peneliti, aktivis hak ekonomi, social budaya. 4. Melakukan berbagai upaya penuntutan perlindungan dan pemenuhan hak asasi ekonomi, social budaya baik melalui pengadilan maupun dengan meningkatkan kapasitas politik masyarakat untuk dapat mendorong dan mengontrol penyelenggara kekuasaan Negara untuk semakin menjalankan kewajibannya yang mencakup kewajiban menghormati, melindungi dan memenuhi. 25 Prinsip Limburg para. 16-20 Sistem dan Standar HAM ESB Internasional/10