Analisis kelembagaan dan biaya transaksi dalam

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Kelembagaan
Kelembagaan diartikan sebagai aturan dan rambu-rambu sebagai
panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk
mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain.
Penataan institusi dapat ditentukan oleh beberapa unsur, yaitu : aturan operasional
untuk pengaturan pemanfaatan sumberdaya, aturan kolektif untuk menentukan,
menegakkan hukum atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional
serta mengatur hubungan kewenangan organisasi (Ostrom 1985).
Bardhan (1989) menyatakan bahwa kelembagaan akan lebih akurat bila
didefinisikan sebagai aturan-aturan sosial, kesepakatan dan elemen lain dari
struktur kerangka kerja interaksi sosial. North (1990) memperdalam lagi tentang
definisi kelembagaan, menurut North kelembagaan merupakan aturan main di
dalam suatu kelompok sosial dan sangat dipengaruhi faktor-faktor ekonomi, sosial
dan politik. Institusi dapat berupa aturan formal atau dalam bentuk kode etik
informal yang disepakati bersama. North membedakan antara institusi dari
organisasi dan mengatakan bahwa institusi adalah aturan main sedangkan
organisasi adalah pemainnya.
Manig (1991) mencatat bahwa kelembagaan merefleksikan sistem nilai
dan norma dalam masyarakat, tetapi nilai dan norma tersebut bukanlah
kelembagaan itu sendiri. Sementara itu, Rutherford (1994) menyatakan bahwa
kelembagaan dapat dimaknai sebagai regulasi perilaku yang secara umum
diterima oleh anggota-anggota kelompok sosial, untuk perilaku spesifik dalam
situasi yang khusus, baik yang diawasi sendiri maupun dimonitor oleh otoritas
luar.
2.2. Tiga Lapisan Kelembagaan
Berdasarkan berbagai definisi yang telah diungkapkan oleh para ahli
terlihat bahwa sebenarnya definisi kelembagaan tergantung dari mana orang
melihatnya, makro atau mikro. Deliarnov (2006) mengemukakan bahwa dari
7
sekian banyak pembatasan tentang kelembagaan, minimal ada tiga lapisan
kelembagaan yang terkait dengan ekonomi politik, yaitu :
1)
Kelembagaan sebagai norma-norma dan konvensi, lebih diartikan sebagai
aransemen berdasarkan konsesus atau pola tingkah laku dan norma yang
disepakati bersama. Norma dan konvensi umumnya bersifat informal,
ditegakkan oleh keluarga, masyarakat, adat dan sebagainya. Hampir semua
aktivitas
manusia
memerlukan
konvensi-konvensi
pengaturan
yang
memfasilitasi proses-proses sosial, dan begitu juga dalam setiap setting
masyarakat diperlukan seperangkat norma-norma tingkah laku untuk
membatasi tindakan-tindakan yang diperbolehkan. Jika aturan diikuti,
proses-proses sosial bisa berjalan baik. Jika dilanggar maka yang akan
timbul hanya kekacauan dalam masyarakat.
2)
Kelembagaan sebagai aturan main. Bogason (2000) mengemukakan
beberapa ciri umum kelembagaan, antara lain adanya sebuah struktur yang
didasarkan pada interaksi di antara para aktor, adanya pemahaman bersama
tentang nilai-nilai dan adanya tekanan untuk berperilaku sesuai dengan yang
telah disepakati/ditetapkan. Bogason (2000) menyatakan ada tiga level
aturan, yaitu level aksi, level aksi kolektif dan level konstitusi. Pada level
aksi, aturan secara langsung mempengaruhi aksi nyata. Dalam hal ini
biasanya ada standar atau rules of conduct. Pada level aksi kolektif,
didefinisikan sebagai aturan untuk aksi pada masa-masa yang akan datang.
Aktivitas penetapan aturan seperti ini sering juga disebut kebijakan.
Terakhir, pada level konstitusi, mendiskusikan prinsip-prinsip bagi
pengambilan keputusan kolektif masa yang akan datang, seperti prinsipprinsip demokrasi. Aturan-aturan pada level konstitusi ini biasanya ditulis
secara formal dan dikodifikasi. Konstitusi biasanya lebih sulit berubah,
walaupun bukan harga mati.
3)
Kelembagaan sebagai pengaturan hubungan kepemilikan. Kelembagaan
dianggap sebagai aransemen sosial yang mengatur : (1) individu atau
kelompok pemilik, (2) obyek nilai bagi pemilik dan orang lain, serta (3)
orang dan pihak lain yang terlibat dalam suatu kepemilikan (Deliarnov
2006). Alchian (1993) menyatakan bahwa ada tiga elemen utama hak
8
kepemilikan, yaitu (1) hak eksklusif untuk memilih penggunaan dari suatu
sumberdaya, (2) hak untuk menerima jasa-jasa atau manfaat dari
sumberdaya yang dimiliki, dan (3) hak untuk menukarkan sumberdaya yang
dimiliki sesuai persyaratan yang disepakati. Dari uraian tersebut, tersirat
bahwa siapa yang memiliki suatu sumberdaya, berhak mengontrol
penggunaan sumberdaya tersebut, sampai batas-batas tertentu hal ini dapat
dibenarkan. Begitupun, seseorang tidak bebas berbuat sesuka hatinya atas
barang
yang
dimilikinya,
sebab
bagaimana
memperlakukan
dan
menggunakan sumberdaya tersebut dinilai oleh masyarakat.
2.3. Karakteristik Kelembagaan
Lembaga bersifat dinamis, selalu berubah mengikuti perubahan pola
interaksi, nilai, kultur, serta selera masyarakat seiring dengan perubahan waktu.
Dimensi perubahan kelembagaan meliputi :
1) Perubahan konfigurasi/kepentingan pelaku ekonomi, perubahan kelembagaan
dianggap sebagai dampak dari perubahan kepentingan.
2) Sengaja dirancang untuk mempengaruhi/mengatur kegiatan ekonomi.
Tujuan perubahan adalah memperbaiki kualitas interaksi/transaksi
ekonomi antar pelaku menuju keseimbangan baru yang lebih efisien dan
berkeadilan.
Profesor Elinor Ostrom, penggiat kelembagaan dari Indiana University,
Bloomington, mengembangkan kerangka analisis perubahan kelembagaan yang
membaginya dalam tiga level, yaitu 1) Operational rule yang berada pada
operational choice level, 2) Collective choice rule yang berada pada level
collective choice, dan 3) Constitutional rule yang berada pada level constitutional
choice. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1 (Ostrom 1990).
Operational rule adalah aturan main yang berlaku dalam keseharian, yaitu
aturan yang ditemukan dalam sebuah komunitas, organisasi atau kelompok
masyarakat mengenai bagaimana interaksi antar anggota komunitas tersebut
seharusnya terjadi. Terkait dengan pemanfaatan sumberdaya alam, operational
rule merupakan instrumen pembatas mengenai kapan, dimana, seberapa banyak
dan bagaimana anggota sebuah komunitas memanfaatkan sumberdaya alam.
9
Pengawasan (monitoring) terhadap tindakan setiap aktor, penegakan sanksi bagi
para pelanggar dan pemberian reward kepada mereka yang taat aturan semuanya
diatur dalam operational rule. Operational rule berubah seiring dengan perubahan
teknologi, sumberdaya, budaya, keadaan ekonomi, dan lain-lain (Ostrom 1990).
Rules:
Constitutional
Collective choice
Levels of
Analysis
Constitutional choice Collective choice
Operational choice
Processes:
Formulation
Governance
Adjudication
Modification
Appropriation
Provision
Monitoring
Enforcement
Policy-making
Management
Adjudication
Operational
Gambar 1 Hubungan antara rules dan level analisis kelembagaan (Ostrom 1990).
Walaupun operational rule berubah secara spontan, namun dalam
pelaksanaannya ada ketentuan-ketentuan atau kesepakatan-kesepakatan mengenai
bagaimana operational rule tersebut berubah. Ketentuan-ketentuan/kesepakatankesepakatan tersebut disebut collective choice rule, yaitu aturan mengenai
bagaimana operational rule dibuat atau diubah, siapa yang melakukan perubahan,
dan kapan perubahan tersebut harus berlangsung. Hasil pekerjaan aktor-aktor
yang bermain pada level collective choice akan langsung berpengaruh pada
operational rule (Ostrom 1990).
Kelembagaan pada constitutional choice level mengatur, utamanya,
mengenai siapa yang berwenang bekerja pada level collective choice dan
bagaimana mereka bekerja. Constitutional rule merupakan rule tertinggi yang
tidak semua kelompok, organisasi atau komunitas memilikinya. Collective choice
rule berbeda dengan constitutional rule walaupun aktor yang terlibat dalam
pembuatannya kemungkinan sama.
10
2.4. Property Right
Dalam literatur ekonomi sumberdaya, istilah property right (hak
kepemilikan) didefinisikan sebagai serangkaian hak yang menggambarkan tentang
hak milik (owner’s right), keistimewaan (privileges) dan pembatasan-pembatasan
dalam
penggunaan
sumberdaya
(Tietenberg
1992).
Charles
(2001)
mengklasifikasikan property right menjadi dua bagian, yaitu property right
regime dan types of right. Property right regime terdiri atas non property, state
property, common property dan private property. Secara lengkap klasifikasi
property right tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
Hak
Kepemilikan
Rezim Hak
Kepemilikan
Individu
Tipe Hak
Kepemilikan
Akses
Terbuka
Hak
Pengalihan
Negara
Hak
Eksklusif
Masyarakat
Hak
Pengelolaan
Swasta
Hak
Pemanfaatan
Perusahaan
Hak
Akses
Gambar 2 Klasifikasi hak kepemilikan (Property right) (Charles 2001).
Hanna et al. (1996) membagi 4 tipe rezim hak kepemilikan dalam sistem
pengelolaan sumberdaya alam, yaitu : (1) hak kepemilikan pribadi (private
property regime); (2) hak milik bersama (common property regime); (3) hak milik
negara (state property regime); dan (4) tanpa hak milik (open acces regime).
Karakteristik masing-masing rezim hak kepemilikan berdasarkan unit pemegang
hak kepemilikan dan hak pemilik, serta tugas-tugas pemilik sebagaimana tersaji
pada Tabel 1.
11
Tabel 1 Tipe hak kepemilikan dalam pemanfaatan sumberdaya alam berdasarkan
pemilik, hak dan tugas-tugasnya
Tipe
Pemilik
Hak Pemilik
Kewajiban Pemilik
•
Hak milik pribadi
Individu
Penggunaan SDI
secara sosial diterima,
kendali akses
Penghindaran
penggunaan secara sosial
tidak dapat diterima
•
Hak bersama
Kolektif
Pengaturan bukan
pemilik
Pemeliharaan,
menghambat tingkat
penggunaan
•
Hak negara
Warga
negara
Menentukan aturan
Memelihara tujuan sosial
Menangkap
Tidak ada
• Tidak ada hak milik Tidak ada
Sumber : Hanna et al. (1996)
Common property, menurut Bromley (1991) esensinya adalah hak milik
swasta dalam kelompok, dan kelompok yang menentukan siapa yang tidak
diperkenankan mengambil manfaat dari sumberdaya alam “milik bersama”.
Sementara itu, open access diartikan sebagai suatu situasi sumberdaya alam tanpa
hak milik (no property right). Situasi tersebut muncul karena tidak adanya atau
gagalnya sistem pengelolaan dan wewenang yang bertujuan menerapkan norma
dan kaidah tingkah laku yang berhubungan dengan sumberdaya alam. Dengan
kata lain, rezim tanpa milik (open access) sumberdaya muncul akibat gagalnya
ketiga rezim sebelumnya untuk membawa misi kesejahteraan bersama.
Di dunia rezim pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan yang dominan
ditemukan adalah rezim milik bersama (common property regime) dan open
access (no property right). Common property regime dan open access terbukti
mengalami berbagai kegagalan, baik dalam aspek keberlanjutan sumberdaya
perikanan dan juga memunculkan berbagai tipe konflik, sehingga menimbulkan
tragedi kebersamaan (tragedy of the common) sebagaimana dikemukakan pertama
kali oleh Garrett Hardin (1968). Dalam artikelnya yang terbit dalam Journal
Science tahun 1968, menggambarkan rezim pengelolaan sumberdaya alam akses
terbuka (open access) dimana setiap individu yang memiliki akses terhadap
sumberdaya alam yang bersifat langka akan terdorong (incentive) untuk
meningkatkan intensitas pemanfaatannya demi mendapatkan economic return
dalam jangka pendek. Keadaan seperti ini akan menyebabkan setiap individu
mendapatkan manfaat yang semakin berkurang.
12
Hak kepemilikan (property right) atau status penguasaan sumberdaya
perikanan merupakan salah satu faktor utama yang menentukan alokasi
sumberdaya yang efisien (efficient resource allocation). Bagaimana produsen dan
konsumen menggunakan sumberdaya ikan dan lingkungan perairan tergantung
pada hak kepemilikan yang mengukur sumberdaya ikan tersebut. Menurut
Tietenberg (1992), secara konseptual, struktur hak kepemilikan dalam
pengelolaan sumberdaya alam untuk menghasilkan alokasi yang efisien pada
suatu ekonomi pasar yang berfungsi dengan baik, ia harus memiliki 4 karakteristik
penting, yaitu :
(1) Universalitas (universality). Semua sumberdaya alam adalah milik pribadi
(privately owned), dan seluruh hak-haknya dirinci dengan lengkap dan jelas.
(2) Eksklusivitas (exclusivity). Semua manfaat yang diperoleh dan biaya yang
dikeluarkan sebagai akibat dari pemilikan dan pemanfaatan sumberdaya itu
harus dimiliki oleh pemiliknya saja, baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam transaksi atau penjualan ke pihak lain.
(3) Dapat dipindahtangankan (transferability). Seluruh hak kepemilikan itu bisa
dipindahtangankan dari satu pemilik ke pihak lainnya dengan transaksi yang
bebas dan jelas.
(4) Terjamin pelaksanaannya (enforceability). Hak kepemilikan tersebut harus
aman dari perampasan atau pengambilan secara tidak baik dari pihak lain.
Kalau keempat komponen di atas bisa diterapkan dalam sistem
pengelolaan sumberdaya perikanan, maka alokasi sumberdaya ikan dapat
berlangsung secara efisien.
2.5. Karakteristik Fisik Common Pool Resources (CPRs)
Kegagalan pasar (market failure) akan terjadi dalam alokasi sumberdaya
pada saat hak-hak kepemilikan yang melekat pada sumberdaya tertentu tidak
terdefinisikan secara lengkap atau tidak memiliki salah satu dari keempat
komponen hak kepemilikan.
Sumberdaya yang tidak memiliki satupun dari
keempat komponen hak-hak kepemilikan disebut sebagai sumberdaya bersama
(common pool resources).
Sumberdaya bersama adalah sumberdaya alam atau sumberdaya buatan
manusia yang karena besarnya sehingga akses terhadap sumberdaya tersebut sulit
dikontrol (non excludable) dan pemanfaatan oleh seseorang bersifat mengurangi
13
kesempatan orang lain dari memanfaatkan sumberdaya tersebut (subtractable)
(Ostrom 1990). Oleh karena itu, pihak-pihak yang terlibat dalam pemanfaatannya
tidak memiliki kendali dan tanggung jawab yang jelas terhadap kualitas dan
prospek sumberdaya tersebut, sehingga tidak memiliki insentif untuk membuat
keputusan investasi dan alokasi sumberdaya yang efisien. Karena sumberdaya
bersama ini tidak dikuasai oleh perorangan atau agen ekonomi tertentu, maka
akses terhadap sumberdaya ini tidak dibatasi sehingga mendorong terjadinya
eksploitasi yang berlebihan dan berdampak negatif terhadap lingkungan.
Eksploitasi sumberdaya bersama ini cenderung menguntungkan siapa yang duluan
dan mengeruk terus menerus manfaat (keuntungan) yang bisa diperoleh dengan
mengabaikan pihak lain dan efek yang ditimbulkannya. Tidaklah sukar untuk
mencari contoh-contoh sumberdaya bersama ini, seperti misalnya sumberdaya
perikanan, hutan, irigasi dan padang penggembalaan (Dharmawan dan Daryanto
2002).
Lebih jauh Berkes et al. (1989) menyatakan bahwa CPRs mengandung
dua karakteristik penting yakni (a) excludability atau kontrol terhadap akses oleh
pemakai potensial (potential users) nampaknya tidak dimungkinkan; dan (b)
subtractability, yaitu pemakai dapat mengurangi kesejahteraan orang lain.
Permasalahan yang timbul sehubungan dengan CPRs menurut Ostrom
(1990) terdiri atas :
1) Appropriation problem, yaitu permasalahan dalam hal upaya pengambilan
sesuatu yang dapat diekstrak dari suatu ekosistem sumberdaya (resource unit).
Terkait dengan pemanfaatan non excludable dan subtractable, maka
permasalahan yang timbul adalah sebagai berikut :
a. Appropriation externalities : kegiatan pemanfaatan oleh seseorang dapat
mengurangi manfaat yang bisa diambil orang lain.
b. Assigment problem : ketidakmerataan alokasi manfaat CPRs yang dapat
memicu konflik.
c. Technological externalities : penggunaan suatu teknologi oleh seseorang
user CPRs akan meningkatkan biaya penggunaan teknologi lain yang
dipakai user lain.
Upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas adalah mengatur user
dan mengalokasikan resource unit yang subtractable secara adil.
14
2) Provision problem, yaitu permasalahan dalam hal upaya untuk memelihara
kondisi resource system agar dapat terus memproduksi resource unit. Terkait
dengan pemeliharaan dan peningkatan kapasitas atau menghindari degradasi
produksi CPRs, maka permasalahan yang timbul adalah sebagai berikut :
a. Demand side : pemanfaatan CPRs melebihi kapasitas produksi akan
menurunkan kemampuan produktivitas CPRs memenuhi kebutuhan
pengguna.
b. Supply side : setiap individu memiliki insentif untuk menjadi free rider,
ingin mendapat manfaat dari CPRs tetapi tidak mau turut memelihara.
Upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas adalah memaksa atau
mengarahkan user agar ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan/penjagaan
CPRs.
2.6. Aransemen Kelembagaan dalam Tata Kelola Pembangunan
Kelautan
Saat ini arah kebijakan pembangunan kelautan masih berjalan sendirisendiri. Semua institusi negara yang berkepentingan dengan laut membuat
kebijakan lebih bersifat sektoral. Belum ada suatu mekanisme atau aransemen
kelembagaan
pembangunan
yang
mampu
kelautan.
mensinergikan
Dampaknya,
dan
memadukan
penanganan
suatu
kebijakan
kasus
dalam
pembangunan kelautan acapkali menimbulkan konflik kepentingan ketimbang
solusi integral (Kusumastanto 2010).
Nikhols et al. (2003) dalam Kusumastanto (2010) menyarankan agar
menciptakan
aransemen
kelembagaan
(institutional
arrangement)
yang
menunjang mekanisme kerja kebijakan kelautan yang disebutnya sebagai ocean
governance (OG). Aspek yang tercakup dalam OG adalah :
a. Pengalokasian masyarakat dan antar institusi negara dalam penggunaan hak,
kepemilikan dan mengurusi sumberdaya kelautan.
b. Pengaturan (regulation) hak pemanfaatan, kepemilikan dan mengurusi
sumberdaya kelautan.
c. Pengembangan suatu lembaga/institusi yang memiliki otoritas untuk
memonitoring dan menegakkan hukum dalam pengelolaan sumberdaya
kelautan.
15
d. Penciptaan ketentuan yang efektif untuk mencegah konflik pemanfaatan
sumberdaya kelautan, baik oleh masyarakat maupun antar institusi negara.
Agar bidang kelautan menjadi sebuah bidang unggulan dalam perekonomian
nasional, maka diperlukan suatu kebijakan pembangunan yang bersifat terintegrasi
antar institusi pemerintah dan sektor pembangunan (Kusumastanto 2010). Guna
mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan sebuah kebijakan pembangunan
kelautan nasional yang nantinya menjadi “payung” dalam mengambil sebuah
kebijakan yang bersifat publik. Penciptaan payung ini dibangun oleh sebuah
pendekatan kelembagaan (institutional arrangement) yang lingkupnya mencakup
dua dominan dalam suatu sistem pemerintahan yakni eksekutif dan legislatif.
Tingkatan Politis
Eksekutif
 Presiden
 Gubernur
 Bupati / Walikota
Legislatif
 DPR
 DPRD
Tingkatan Organisasi/Implementasi
Lembaga Pemerintah
Kementerian/non Kementerian
Non-Kementerian
Menkoekuin, Bappenas, Mabes TNI, BPPT,
Lemhanas, Meneg LH
Kementerian Teknis :
Kementerian Energi dan Sumberdaya
Mineral,
Perindustrian,
Perdagangan,
Kelautan dan Perikanan, Pariwisata dan
Budaya, Pertahanan, Keuangan, Hukum dan
HAM, Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
Perhubungan, Koperasi dan UKM, Dalam
Negeri, Luar Negeri, Pendidikan Nasional
Masyarakat/ Stakeholders
 Nelayan
 Petani Ikan
 Pengusaha
Hasil Akhir
(Outcome)
BPK,BPKP
Alur Kebijakan
Pola Interaksi
Implikasi
Evaluasi
Gambar 3 Model alur kebijakan pembangunan kelautan dalam tata kelola kelautan
(Kusumastanto 2010)
16
Secara skematis model alur kebijakan pembangunan kelautan dijelaskan
pada Gambar 3 di atas. Dalam konteks itu, maka kebijakan kelautan dan perikanan
pada akhirnya menjadi kebijakan ekonomi politik yang nantinya menjadi tanggung
jawab bersama pada semua level institusi eksekutif dan legislatif yang mempunyai
keterkaitan kelembagaan maupun sektor pembangunan. Sementara pada level
legislatif adalah bagaimana lembaga ini mampu menciptakan instrumen
kelembagaan (peraturan perundangan) pada level pusat maupun daerah untuk
mendukung kebijakan pembangunan kelautan.
2.7. Tata Kelola Kelembagaan Sumberdaya Perikanan
Pengelolaan sumberdaya perikanan terdiri atas dua rezim yang dikenal oleh
masyarakat yaitu pengelolaan sumberdaya perikanan oleh pemerintah atau yang
dikenal dengan sentralistis (Government Centralized Management/GCM) dan
pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis mesyarakat (Community Based
Management/CBM) (Nikijuluw 2002). Pengelolaan sentralistik adalah rezim
pengelolaan dengan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dan wewenang
dalam memanfaatkan sumberdaya, sehingga pemerintah mempunyai hak akses,
hak memanfaatkan, hak mengatur, hak eksklusif dan hak mengalihkan. Implikasi
dari model ini adalah munculnya berbagai konflik yang sangat kompleks di
masyarakat, seperti terjadinya kerusakan sumberdaya, konflik antar kelas sosial
masyarakat nelayan, kemiskinan yang terus dirasakan oleh masyarakat pesisir,
dan lain-lain.
Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat merupakan suatu proses
pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk
mengelola sumberdaya perikanannya sendiri dengan memperhatikan kebutuhan,
keinginan, tujuan dan aspirasinya (Nikijuluw 2002). Dengan model ini,
masyarakat akan bertanggung jawab penuh dalam menjalankan kebijakan
pengelolaan sumberdaya perikanan, karena masyarakat ikut terlibat dalam
membuat perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga evaluasi. Partisipasi
masyarakat tersebut merupakan wujud kepentingannya terhadap kelangsungan
sumberdaya ikan sebagai mata pencaharian hidup sehari-hari (Satria et.al 2002).
Dengan demikian, pengelolaan sumberdaya ikan berbasis masyarakat lebih efektif
dan efisien, karena proses pengambilan keputusan dilakukan oleh masyarakat
17
lokal, sehingga dapat mengakomodir setiap aspirasi masyarakat serta pembuat
kebijakan lebih memahami kondisi daerahnya (Satria et.al 2002).
2.8. Konflik Pengelolaan Sumberdaya Ikan
Menurut Fisher et al. (2000), ada 9 alat bantu dalam penelitian untuk
menganalisis konflik, yaitu:
1) Penahapan konflik. Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai aktivitas,
intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Tahapan penahapan ini
terdiri atas :
(1)
Pra
konflik,
ini
merupakan
periode
dimana
terhadap
suatu
ketidaksesuaian sasaran di antara dua pihak atau lebih, sehingga timbul
konflik.
(2)
Konfrontasi, pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka.
(3)
Krisis, ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan/atau
kekerasan terjadi paling hebat.
(4)
Akibat, suatu krisis pasti akan menimbulkan suatu akibat. Satu pihak
mungkin menaklukkan pihak lain, atau mungkin melakukan gencatan
senjata.
(5)
Pasca konflik, akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri
berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan
mengarah ke labih normal di antara kedua pihak.
2) Urutan kejadian. Urutan kejadian merupakan daftar waktu dan menggambarkan
kejadian-kejadian secara kronologis. Tujuan penggunaan urutan kejadian
bukan untuk mendapatkan sejarah yang benar atau obyektif, tetapi untuk
memahami pandangan orang-orang yang terlibat.
3) Pemetaan konflik. Pemetaan merupakan suatu teknik yang digunakan untuk
menggambarkan konflik secara grafis, menghubungkan pihak-pihak dengan
masalah dan dengan pihak lainnya.
4) Segitiga Sikap-Perilaku-Konteks (SPK), merupakan suatu analisis berbagai
faktor yang berkaitan dengan sikap, perilaku dan konteks bagi masing-masing
pihak utama. Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mengidentifikasi ketiga
faktor tersebut di setiap pihak utama, menganalisis bagaimana faktor-faktor
tersebut saling mempengaruhi, menghubungkan faktor-faktor tersebut dengan
18
berbagai kebutuhan dan ketakutan masing-masing pihak, dan mengidentifikasi
titik awal intervensi dalam suatu situasi.
5) Analogi bawang Bombay (atau donat), merupakan suatu cara untuk
menganalisis perbedaan pandangan tentang konflik dari pihak-pihak yang
berkonflik.
6) Pohon konflik, merupakan suatu alat bantu, menggunakan gambar sebuah
pohon untuk mengurutkan isu-isu pokok konflik.
7) Analisis kekuatan konflik, merupakan cara untuk mengidentifikasi kekuatankekuatan yang mempengaruhi konflik.
8) Analogi pilar, merupakan alat bantu yang didasarkan pada keyakinan bahwa
situasi tertentu tidak benar-benar stabil, tetapi ditahan oleh berbagai faktor
atau kekuatan, yaitu pilar-pilar. Alat bantu ini menggunakan ilustrasi berupa
grafik dari elemen-elemen atau kekuatan-kekuatan yang menahan situasi yang
tidak stabil.
9) Piramida, merupakan alat bantu grafik yang menunjukkan tingkat-tingkat
stakeholders dalam suatu konflik.
2.9. Transaksi
Ekonomi klasik/neoklasik berasumsi bahwa transaksi bersifat free of cost.
Dengan kata lain, transaksi dapat berlangsung mengikuti mekanisme pasar tanpa
perlu keluar biaya. Pandangan ini bertolak belakang dengan pemikiran ekonomi
kelembagaan baru yang beranggapan sebaliknya. Pasar tidak akan berjalan
sempurna bila pelaku ekonomi tidak memiliki informasi mengenai barang yang
akan ditransaksikan. Untuk itu, sebagian ekonom berkeyakinan bahwa transaksi
dapat berjalan bila ada informasi. Pengumpulan informasi memerlukan biaya.
Karena itu, asumsi bahwa transaksi dapat berjalan tanpa biaya menjadi
tergoyahkan. Dengan demikian, biaya transaksi menjadi unit analisis penting
dalam ekonomi kelembagaan.
Untuk memahami apa itu biaya transaksi, berikut disampaikan berbagai
pengertian yang disampaikan oleh para pakar. Williamson sebagai salah satu
penggiat ternama ekonomi kelembagaan berpendapat bahwa transaksi adalah
transfer/perpindahan barang dari satu tahap ke tahap lain melalui teknologi yang
terpisah. Satu tahapan selesai dan tahap berikutnya dimulai (Williamson 1985).
19
Sedangkan menurut Furubotn dan Richter (2000), transaksi merupakan
perpindahan barang, jasa, informasi, pengetahuan, dan lain-lain dari satu tempat
(komunitas) ke tempat (komunitas) lain atau pemindahan barang dari produsen ke
konsumen, atau pemindahan barang dari satu individu ke individu yang lain. Hal
ini disebut transaksi fisik/delivery.
Selain dalam pengertian perpindahan fisik, transaksi juga meliputi akuisisi
atau pemindahan hak kepemilikan atas barang dari pemilik ke pihak lain.
Transaksi dilihat dari aspek legal. Pengertian transaksi yang lebih luas
disampaikan Max Weber. Menurutnya, transaksi adalah tindakan yang diperlukan
untuk menetapkan, memelihara dan atau mengubah hubungan sosial (Weber
1968). Definisi ini meliputi pembentukan dan upaya mempertahankan kerangka
kelembagaan dimana proses transaksi ekonomi bisa terjadi.
2.10. Biaya Transaksi
Oliver Williamson mendefinisikan biaya transaksi sebagai biaya untuk
menjalankan sistem ekonomi (Williamson 1985). Doglas North menyebutnya
sebagai biaya untuk menspesifikasi dan memaksakan kontrak yang mendasari
pertukaran, sehingga dengan sendirinya mencakup biaya organisasi politik dan
ekonomi.
Dengan
demikian,
meliputi
biaya negosiasi,
mengukur,
dan
memaksakan pertukaran (North 1990).
2.11. Biaya Transaksi dalam Ko-Manajemen Perikanan
Abdullah et al. (1998) mengelompokkan biaya transaksi dalam komanajemen perikanan menjadi tiga kategori, yaitu : (1) biaya informasi, (2) biaya
pengambilan keputusan bersama, dan (3) biaya operasional. Kategori pertama
dan kedua merupakan biaya transaksi sebelum kegiatan kontrak (ex ante
transaction cost), sedangkan kategori ketiga merupakan biaya transaksi sesudah
kegiatan (ex post transaction cost).
Abdullah et al. (1998) menyatakan bahwa masing-masing kategori
memiliki beberapa turunan aktivitas yang memungkinkan terdapatnya biaya
transaksi. Pertama, biaya informasi mencakup beberapa aktivitas, yaitu (a) upaya
untuk mencari dan memperoleh pengetahuan tentang sumberdaya, (b)
memperoleh dan menggunakan informasi, dan (c) biaya penyusunan strategi dan
20
free riding. Kedua, biaya pengambilan keputusan bersama mencakup beberapa
aktivitas, yaitu (a) menghadapi permasalahan di bidang perikanan, (b)
keikutsertaan dalam pertemuan atau rapat, (c) membuat kebijakan atau aturan, (d)
menyampaikan hasil keputusan, dan (e) melakukan koordinasi dengan pihak yang
berwenang di tingkat lokal dan pusat. Ketiga, biaya operasional bersama dalam
ko-manajemen perikanan dijabarkan lagi menjadi tiga kelompok biaya, dimana
masing-masing kelompok mencakup beberapa kegiatan. Ketiga kelompok biaya
tersebut adalah :
(1)
Biaya pemantauan, penegakan dan pengendalian terdiri dari pemantauan
aturan-aturan perikanan, pengelolaan laporan hasil tangkapan, pemantauan
lokasi penangkapan, pemantauan input untuk kegiatan penangkapan,
manajemen atau resolusi konflik, serta pemberian sanksi terhadap setiap
pelanggaran.
(2)
Biaya mempertahankan kondisi sumberdaya terdiri dari perlindungan
terhadap hak-hak penangkapan, peningkatan stok sumberdaya, dan evaluasi
terhadap kondisi sumberdaya.
(3)
Biaya distribusi sumberdaya terdiri dari distribusi hak penangkapan, dan
biaya kelembagaan atau keikutsertaan.
2.12. Kebijakan Pengembangan Kelembagaan
Salah satu problem utama dalam pembangunan kelautan sejak Orde
Baru sampai saat ini adalah bagaimana menciptakan suatu mekanisme
kelembagaan yang menunjang pengelolaan sumberdaya kelautan. Untuk
melakukan suatu analisis dan pengembangan kelembagaan dibutuhkan
framework analisis kelembagaan. Framework tersebut dinamakan Institutional
Analysis and Development (IAD). Kerangka analisis ini telah digunakan untuk
menguji pengaturan kelembagaan – aransemen kelembagaan (institutional
arrangement) dalam pengelolaan air tanah, common pool resources (misalnya
sistem irigasi, kehutanan dan perikanan), organisasi metropolitan dan
pengembangan infrastruktur pedesaan. IAD ini dapat digunakan juga untuk
menguji aransemen kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Hasil
dari analisis dan pengujian ini diharapkan akan mampu mengembangkan suatu
mekanisme kelembagaan yang sesuai (Kusumastanto 2003). Secara skematik
IAD digambarkan pada Gambar 4.
21
• Atribut fisik dari sistem
• Aturan/kelembagaan
• Atribut masyarakat/budaya
Arena aksi :
• Pelaku (actor)
• Situasi yang diputuskan
(decision situation)
Pola interaksi
(antar jaringan kerja
pemerintah)
• Performa kelembagaan
• Hasil kebijakan
Evaluasi
• Biaya informasi
• Biaya koordinasi
• Biaya strategi
Performa kelembagaan secara
keseluruhan
• Efisiensi
• Keseimbangan fiskal
• Redistribusi keadilan
• Akuntabilitas
• Adaptabilitas
Evaluasi Dampak
• Menilai hasil dari kebijakan
Gambar 4 Framework analisis dan pengembangan kelembagaan. Modifikasi
dari Ostrom, Gardner, and Walker (1999), diacu dalam
Kusumastanto (2003).
IAD secara teoritik merupakan suatu kerangka kerja yang dapat
membantu untuk menganalisis performa dan struktur aransemen kelembagaan.
Diferensiasi analisis kelembagaan berasal dari bentuk analisis organisasi yang
terfokus pada aturan. Aturan yang bersifat formal (hukum, kebijakan,
peraturan) dan informal (norma sosial) (Kusumastanto 2003).
Oleh karena itu, analisis kelembagaan mencoba untuk menguji
permasalahan yang dihadapi oleh suatu kelompok individu atau organisasi dan
bagaimana aturan itu digunakan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
IAD menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi desain kelembagaan
seperti karakteristik fisik suatu ekosistem dan problem yang bersifat alami,
budaya individu (organisasi), sehingga mampu menyelesaikan problem yang
dihadapi. Selain itu, IAD juga dapat melakukan penyusunan kelembagaan yang
bersifat individu maupun organisasi (Kusumastanto 2003).
22
Kelebihan IAD adalah (1) tidak memiliki bias normatif dalam
menggambarkan
aransemen
kelembagaan
yang
digunakan
untuk
mengimplementasikan suatu kebijakan; (2) IAD juga tidak mengandalkan
keragaman kriteria evaluasi untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan
aransemen kelembagaan yang berbeda, seperti pasar, hierarki yang sentralistik,
hierarki yang desentralistik, dan aransemen yang polisentrik (Kusumastanto
2003).
Kerangka analisis IAD dapat digunakan untuk mengevaluasi performa
kelembagaan secara menyeluruh dari berbagai perspektif yang berbeda. Salah
satu cara untuk melihat performa kelembagaan adalah efisiensi yang definisinya
dibatasi pada aspek administrasi dan biaya yang berkaitan dengan pengelolaan
administrasi program. Performa kelembagaan juga dapat dilihat dari aspek
keadilan (equity). Dua hal yang berkaitan dengan konsep keadilan adalah :
(1) Prinsip keseimbangan fiskal yang bermanfaat untuk menunjang masalah
beban keuangan
(2) Redistribusi keadilan yang berkaitan dengan struktur kegiatan suatu
program. Yang terpenting untuk diingat adalah bahwa efisiensi program
tidak membutuhkan program yang adil. Jadi efisiensi menentukan
bagaimana sumberdaya dimanfaatkan agar memberikan manfaat (benefit)
yang
besar,
dan
keadilan
menentukan
bagaimana
mengalokasikan
sumberdaya yang berbeda.
Performa kelembagaan juga dapat dievaluasi dari aspek akuntabilitas
(accountability). Akuntabilitas berperan penting dalam aransemen kelembagaan
untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang terlibat agar melakukan
monitoring terhadap perilaku (behavior) satu sama lain. Performa kelembagaan
dapat
dilihat
dari
aspek
adaptabilitas
(adaptability).
Jika
aransemen
kelembagaan merespon perubahan politik, ekonomi, budaya, dan kondisi
lingkungan, maka performa kelembagaan mungkin akan mengalami problem
(Kusumastanto 2003).
23
2.13. Definisi dan Perkembangan Sea Farming
Sea farming berasal dari bahasa Inggris yang terdiri atas kata sea berarti
laut dan farming yang berarti berusaha tani, sehingga secara harfiah berarti
berusaha tani di laut dalam rangka memproduksi ikan. Laut dijadikan ladang atau
lahan untuk memproduksi ikan dengan menerapkan prinsip usaha tani. Sea
farming dapat didefinisikan pula sebagai aktivitas melepas telur, larva, juvenil
atau ikan muda ke laut untuk meningkatkan populasi ikan atau hasil tangkapan
(Effendi 2006).
Sea farming sudah dimulai sejak abad ke-17 di Jepang, Norwegia, dan
Amerika Serikat. Di Norwegia dan Amerika Serikat kegiatan pelepasan larva ikan
yang masih mengandung kuning telur dimulai sejak tahun 1887, dan kegiatan ini
terus berlangsung sampai dengan tahun 1967 di Norwegia. Jepang sebagai negara
yang dianggap paling berhasil menerapkan sea farming mendefinisikan sea
farming sebagai kegiatan memproduksi benih (seed production), kemudian
melepaskan benih tersebut ke laut (releasing atau restocking) dan selanjutnya
menangkap kembali ikan tersebut (recapturing atau harvesting) untuk dijual
sebagai produk perikanan laut. Perairan laut untuk restocking ini dianggap sebagai
kawasan sea ranching, bisa berupa teluk atau gosong (laut dangkal terlindung)
dengan luas ratusan hingga ribuan hektar (Effendi 2006).
Secara umum FAO (2004), diacu dalam Adrianto (2007) mendefinisikan
kegiatan pemacuan stok ikan sebagai kegiatan sistematik berbasis budidaya
(culture-based fisheries) melalui pelepasan benih ikan dengan ukuran tertentu ke
perairan alamiah atau buatan dengan tujuan merestorasi cadangan sumberdaya
ikan di perairan tersebut dan pada jangka panjang mendukung kegiatan perikanan
tangkap yang berkelanjutan (sustainable capture fisheries). Kegiatan pemacuan
stok ikan menjadi wacana yang menarik mengingat gejala umum di dunia
perikanan bahwa stok sumberdaya ikan di perairan alamiah (baik laut maupun
tawar) relatif mulai terkuras akibat tingginya tekanan penangkapan ikan yang
tidak berkelanjutan.
Kegiatan sea farming awalnya dikategorikan menjadi tiga kegiatan
berdasarkan tujuan, yakni : 1) membangun suatu populasi atau meningkatkan
24
populasi ikan di suatu areal yang rendah, 2) sport fishing dan rekreasi, dan 3)
meningkatkan hasil tangkapan nelayan. Sehingga berdasarkan aktivitas ini sea
farming berkembang menjadi 5 kegiatan, mulai dari pembenihan, pembesaran
ikan sampai mencapai ukuran tertentu yang siap dilepas ke laut, penandaan,
pelepasan ikan ke laut, dan penangkapan kembali (Effendi 2006).
Berdasarkan arealnya, kegiatan sea farming dapat dilakukan di daratan
(land based mariculture) dan laut. Berdasarkan arealnya di laut, pelepasan ikan
dibagi menjadi dua macam, yaitu untuk farsea (200 mil dari garis pantai) dan
coastal. Pembagian areal ini tentunya akan berdampak pada jenis ikan, ukuran
ikan, dan daerah pelepasan. Selanjutnya di laut sendiri kegiatan tersebut dapat
dilakukan pada enclosure, pen culture, cage culture dan sea ranching dimana satu
dan lainnya saling terkait sangat erat. Keberhasilan kegiatan itu sangat ditentukan
oleh 5 faktor utama yang perlu diperhatikan, yakni 1) sumberdaya alam, 2)
teknologi, 3) kemasyarakatan, 4) kelembagaan, dan 5) hukum (Effendi 2006).
Berdasarkan tujuan tersebut ternyata negara yang sudah memiliki
pengalaman yang cukup lama dan teknologi yang sudah maju memiliki tujuan
yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan negara masing-masing. Oleh karena
itu, pengembangan kegiatan sea farming di Indonesia seharusnya ditujukan pada
kegiatan untuk meningkatkan pendapatan nelayan di suatu daerah yang kegiatan
utamanya adalah menangkap ikan dan secara simultan memastikan kelestarian
stok ikan tersebut (Effendi, 2006).
Download