HIMPUNAN PERDA 2011. CETAK.LD 1.sh

advertisement
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
NOMOR 03 TAHUN 2011
TENTANG
POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
POKOK-POKOK
HALAMAN 1
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
TAHUN 2010 NOMOR 61 SERI A
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
NOMOR 03 TAHUN 2011
TENTANG
POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI LAMANDAU,
Menimbang :
a. bahwa untuk terselenggaranya pengelolaan keuangan daerah yang
tertib azas dan dalam rangka mendukung terwujudnya good
governance dalam penyelenggaraan pemerintahan, diperlukan
pertanggungjawaban keuangan yang diselenggarakan secara
profesional dan terbuka;
b. bahwa sesuai ketentuan Pasal 151 Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan
Pasal 330 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun
2006 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah, maka ketentuan tentang pokok-pokok pengelolaan
keuangan daerah diatur dengan Peraturan Daerah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan
b, maka perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pokok-Pokok
Pengelolaan Keuangan Daerah.
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851);
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2002, tentang Pembentukan
Kabupaten Katingan, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Sukamara,
Kabupaten Lamandau, Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Pulang
Pisau, Kabupaten Murung Raya dan Kabupaten Barito Timur di Provinsi
Kalimantan Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4180);
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234);
6. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4400);
7. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4421);
8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun
2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undangundang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undangundang (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2005 Nomor 108,
Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 4548);
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4438);
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043);
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5049);
Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan
Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 210, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4028);
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Badan Layanan Umum Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4502);
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar
Akuntansi Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4503);
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perubahan Ke
Tiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang
Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4540);
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 136,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4574);
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana
Perimbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4575);
Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi
Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4576);
Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2005 tentang Hibah
Kepada Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4577);
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4578);
Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman
Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 150, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4585);
22. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan
Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4693);
23. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
24. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Uang Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4738);
25. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi
Perangkat Daerah (Lembaran negara Republik Indonesia tahun 2007
Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4741);
26. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana perubahan kedua dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
dan
BUPATI LAMANDAU
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN DAERAH
KEUANGAN DAERAH.
TENTANG
POKOK-POKOK
PENGELOLAAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kabupaten Lamandau;
2. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
3. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah;
4. Kepala Daerah adalah Bupati Lamandau;
5. Wakil Kepala Daerah adalah Wakil Bupati Lamandau;
6. Sekretaris Daerah adalah Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Lamandau;
7. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disingkat DPRD, adalah Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lamandau sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah;
8. Peraturan Daerah adalah peraturan yang dibentuk oleh DPRD dengan
persetujuan bersama Kepala Daerah;
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
Badan Anggaran DPRD, selanjutnya disingkat Banggar, adalah Badan Anggaran Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lamandau;
Perangkat Daerah adalah Sekretariat Daerah, Dinas, Badan, Kantor, Unit dan Satuan Kerja di
lingkungan Pemerintah Daerah yang bertanggungjawab kepada Bupati serta yang
membantu Bupati dalam penyelenggaraan Pemerintahan ;
Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk
didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan
kewajiban daerah tersebut;
Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi
perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan
pengawasan keuangan daerah;
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disingkat APBD adalah rencana
keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh
pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah;
Peraturan daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD
dengan persetujuan bersama Kepala Daerah dan mengikat secara umum;
Peraturan Kepala Daerah atau disebut dengan Peraturan Bupati adalah peraturan yang
ditetapkan oleh Kepala Daerah sebagai pelaksanaan dari Peraturan Daerah yang
bersifat mengatur dan mengikat secara umum;
Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah perangkat
daerah pada pemerintah daerah selaku pengguna anggaran/pengguna barang;
Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat SKPKD adalah
perangkat daerah pada pemerintah daerah selaku pengguna anggaran/pengguna
barang, yang juga melaksanakan pengelolaan keuangan daerah;
Organisasi adalah unsur pemerintahan daerah yang terdiri dari DPRD, kepala
daerah/wakil kepala daerah dan satuan kerja perangkat daerah;
Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah adalah Kepala Daerah yang
karena jabatannya mempunyai kewenangan menyelenggarakan keseluruhan pengelolaan
keuangan daerah;
Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat PPKD adalah kepala
satuan kerja pengelola keuangan daerah yang selanjutnya disebut dengan. kepala SKPKD
yang mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan APBD dan bertindak sebagai
bendahara umum daerah;
Bendahara Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BUD adalah PPKD yang
bertindak dalam kapasitas sebagai bendahara umum daerah;
Pengguna Anggaran adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan
anggaran untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi SKPD yang dipimpinnya;
Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan barang milik
daerah;
Kuasa Bendahara Umum Daerah yang selanjutnya disingkat Kuasa BUD adalah pejabat
yang diberi kuasa untuk melaksanakan sebagian tugas BUD;
Kuasa Pengguna Anggaran adalah pejabat yang diberi kuasa untuk
melaksanakan sebagian kewenangan pengguna anggaran dalam melaksanakan
sebagian tugas dan fungsi SKPD;
29. Pejabat Penatausahaan Keuangan SKPD yang selanjutnya disingkat PPK-SKPD adalah
pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada SKPD;
30. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan yang selanjutnya disingkat PPTK adalah
pejabat pada unit kerja SKPD yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari
suatu program sesuai dengan bidang tugasnya;
31. Bendahara Penerimaan adalah pejabat fungsional yang ditunjuk untuk menerima,
menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang
pendapatan daerah dalam rangka pelaksanaan APBD pada SKPD;
32. Bendahara Pengeluaran adalah pejabat fungsional yang ditunjuk menerima,
menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang
untuk keperluan belanja daerah dalam rangka pelaksanaan APBD pada SKPD;
33. Entitas pelaporan adalah unit pemerintahan yang terdiri atas satu atau Iebih entitas
akuntansi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan wajib menyampaikan
laporan pertanggungjawaban berupa laporan keuangan;
34. Entitas akuntansi adalah unit pemerintahan pengguna anggaran/pengguna barang dan
oleh karenanya wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan
untuk digabungkan pada entitas pelaporan;
35. Unit kerja adalah bagian dari SKPD yang melaksanakan satu atau beberapa
program;
37. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang selanjutnya disingkat
RPJMD adalah dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun;
38. Rencana Pembangunan Tahunan Daerah, selanjutnya disebut Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD), adalah dokumen perencanaan Daerah untuk periode 1 (satu)
tahun;
39. Tim Anggaran Pemerintah Daerah yang selanjutnya disingkat TAPD adalah tim yang
dibentuk dengan keputusan kepala daerah dan dipimpin oleh sekretaris daerah yang
mempunyai tugas menyiapkan serta melaksanakan kebijakan kepala daerah dalam
rangka penyusunan APBD yang anggotanya terdiri dari pejabat perencana daerah,
PPKD dan pejabat Iainnya sesuai dengan kebutuhan;
40. Kebijakan Umum APBD yang selanjutnya disingkat KUA adalah dokumen yang
memuat kebijakan bidang pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta asumsi yang
mendasarinya untuk periode 1 (satu) tahun;
41. Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara yang selanjutnya disingkat PPAS adalah
rancangan program prioritas dan patokan batas maksimal anggaran yang diberikan
kepada SKPD untuk setiap program sebagai acuan dalam penyusunan RKA-SKPD
sebelum disepakati dengan DPRD;
42. Rencana Kerja dan Anggaran SKPD yang selanjutnya disingkat RKA-SKPD adalah
dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi rencana pendapatan,
rencana belanja program dan kegiatan SKPD serta rencana pembiayaan sebagai
dasar penyusunan APBD;
43. Rencana Kerja dan Anggaran Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang selanjutnya
disingkat RKA-PPKD adalah rencana kerja dan anggaran dinas selaku Bendahara
Umum Daerah;
44. Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah adalah pendekatan penganggaran
berdasarkan kebijakan, dengan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut
dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan
mempertimbangkan implikasi biaya akibat keputusan yang bersangkutan pada
tahun berikutnya yang dituangkan dalam prakiraan maju;
45. Prakiraan Maju (forward estimate) adalah perhitungan kebutuhan dana untuk tahun
anggaran berikutnya dari tahun yang direncanakan guna memastikan kesinambungan
program dan kegiatan yang telah disetujui dan menjadi dasar penyusunan anggaran
tahun berikutnya;
46. Kinerja adalah keluaran/hasil dari kegiatan/program yang akan atau telah dicapai
sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas yang
terukur;
47. Penganggaran Terpadu (unified budgeting) adalah penyusunan rencana
keuangan tahunan yang dilakukan secara terintegrasi untuk seluruh jenis belanja guna
melaksanakan kegiatan pemerintahan yang didasarkan pada prinsip pencapaian
efisiensi alokasi dana;
48. Fungsi adalah perwujudan tugas kepemerintahan dibidang tertentu yang
dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional;
49. Urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan
kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi
kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan, dan
mensejahterakan masyarakat;
50. Program adalah penjabaran kebijakan SKPD dalam bentuk upaya yang berisi satu atau
lebih kegiatan dengan menggunakan sumber daya yang disediakan untuk mencapai
hasil yang terukur sesuai dengan misi SKPD;
51. Kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau lebih unit kerja
pada SKPD sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu program dan
terdiri dari sekumpulan tindakan pengerahan sumber daya baik yang berupa personil
(sumber daya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau
kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumber daya tersebut sebagai masukan
(input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa;
52. Sasaran (target) adalah hasil yang diharapkan dari suatu program atau keluaran yang
diharapkan dari suatu kegiatan;
53. Keluaran (output) adalah barang atau jasa yang dihasilkan oleh kegiatan yang
dilaksanakan untuk mendukung pencapaian sasaran dan tujuan program dan
kebijakan;
54. Hasil (outcome) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya
keluaran dari kegiatan-kegiatan dalam satu program;
55. Kas Umum Daerah adalah tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh
kepala daerah untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan digunakan untuk
membayar seluruh pengeluaran daerah;
56. Rekening Kas Umum Daerah adalah rekening tempat penyimpanan uang daerah yang
ditentukan oleh kepala daerah untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan
digunakan untuk membayar seluruh pengeluaran daerah pada bank yang ditetapkan;
57. Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah;
58. Pengeluaran Daerah adalah uang yang keluar dari kas daerah;
59. Pendapatan Daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai
penambah nilai kekayaan bersih;
60. Belanja Daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih;
61. Surplus Anggaran Daerah adalah selisih lebih antara pendapatan daerah dan belanja
daerah;
62. Defisit Anggaran Daerah adalah selisih kurang antara pendapatan daerah dan
belanja daerah;
63. Pembiayaan Daerah adalah semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau
pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang
bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya;
64. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran yang selanjutnya disingkat SiLPA adalah selisih lebih
realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran;
65. Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima sejumlah
uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga daerah dibebani
kewajiban untuk membayar kembali;
66. Piutang Daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada pemerintah
daerah dan/atau hak pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang sebagai
akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan
atau akibat lainnya yang sah;
67. Utang Daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar pemerintah daerah dan/atau
kewajiban pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang berdasarkan
peraturan perundang-undangan, perjanjian, atau berdasarkan sebab lainnya yang sah;
68. Dana Cadangan adalah dana yang disisihkan guna mendanai kegiatan yang
memerlukan dana relatif besar yang tidak dapat dipenuhi dalam satu tahun
anggaran;
69. Investasi adalah penggunaan aset untuk memperoleh manfaat ekonomis seperti
70.
71.
72.
73.
74.
75.
76.
77.
78.
79.
80.
81.
82.
83.
84.
bunga, deviden, royalti, manfaat sosial dan/atau manfaat lainnya sehingga dapat
meningkatkan kemampuan pemerintah dalam rangka pelayanan kepada
masyarakat;
Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD yang selanjutnya disingkat DPA-SKPD adalah
dokumen yang memuat pendapatan, belanja dan pembiayaan yang digunakan
sebagai dasar pelaksanaan anggaran oleh pengguna anggaran;
Dokumen Pelaksanaan Anggaran Pejabat Pengelola Keuangan Daerah selanjutnya
disingkat DPA-PPKD adalah dokumen pelaksana anggaran dinas selaku Bendahara
Umum Daerah;
Dokumen Pelaksanaan Perubahan Anggaran SKPD yang selanjutnya disingkat DPPASKPD adalah dokumen yang memuat perubahan pendapatan, belanja dan pembiayaan
yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan perubahan anggaran oleh pengguna
anggaran;
Anggaran Kas adalah dokumen perkiraan arus kas masuk yang bersumber dari
penerimaan dan perkiraan arus kas keluar untuk mengatur ketersediaan dana yang
cukup guna mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode;
Surat Penyediaan Dana yang selanjutnya disingkat SPD adalah dokumen yang
menyatakan tersedianya dana untuk melaksanakan kegiatan sebagai dasar penerbitan
SPP;
Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang
diterbitkan
oleh
pejabat
yang
bertanggung
jawab
atas
pelaksanaan
kegiatan/bendahara pengeluaran untuk mengajukan permintaan pembayaran;
SPP Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPP-UP adalah dokumen yang
diajukan oleh bendahara pengeluaran untuk permintaan uang muka kerja yang
bersifat pengisian kembali (revolving) yang tidak dapat dilakukan dengan
pembayaran langsung;
SPP Ganti Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPP-GU adalah dokumen yang
diajukan oleh bendahara pengeluaran untuk permintaan pengganti uang persediaan
yang tidak dapat dilakukan dengan pembayaran Iangsung;
SPP Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPP-TU adalah dokumen
yang diajukan oleh bendahara pengeluaran untuk permintaan tambahan uang
persediaan guna melaksanakan kegiatan SKPD yang bersifat mendesak dan tidak dapat
digunakan untuk pembayaran Iangsung dan uang persediaan;
SPP Langsung yang selanjutnya disingkat SPP-LS adalah dokumen yang diajukan oleh
bendahara pengeluaran untuk permintaan pembayaran Iangsung kepada pihak
ketiga atas dasar perjanjian kontrak kerja atau surat perintah kerja Iainnya dan
pembayaran gaji dengan jumlah, penerima, peruntukan, dan waktu
pembayaran tertentu yang dokumennya disiapkan oleh PPTK;
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang
digunakan/diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk
penerbitan SP2D atas beban pengeluaran DPA-SKPD;
Surat Perintah Membayar Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPM-UP
adalah dokumen yang diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna
anggaran untuk penerbitan SP2D atas beban pengeluaran DPA-SKPD yang
dipergunakan sebagai uang persediaan untuk mendanai kegiatan;
Surat Perintah Membayar Ganti Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat
SPMGU adalah dokumen yang diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa
pengguna anggaran untuk penerbitan SP2D atas beban pengeluaran DPA-SKPD yang
dananya dipergunakan untuk mengganti uang persediaan yang telah di
belanjakan;
Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat
SPM-TU adalah dokumen yang diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa
pengguna anggaran untuk penerbitan SP2D atas beban pengeluaran DPA-SKPD,
karena kebutuhan dananya melebihi dari jumlah batas pagu uang persediaan yang
telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan;
Surat Perintah Membayar Langsung yang selanjutnya disingkat SPM-LS adalah
dokumen yang diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk
penerbitan SP2D atas beban pengeluaran DPA-SKPD kepada pihak ketiga;
85. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah dokumen
yang digunakan sebagai dasar pencairan dana yang diterbitkan oleh BUD
berdasarkan SPM;
86. Barang Milik Daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban
APBD atau berasal dari perolehan Iainnya yang sah;
87. Kerugian Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata
dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja
maupun lalai;
88. Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah
SKPD/unit kerja pada SKPD di lingkungan pemerintah daerah yang dibentuk
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam
melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas;
BAB II
Ruang Lingkup
Pasal 2
Ruang lingkup keuangan daerah meliputi :
a. hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta melakukan
pinjaman;
b. kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dan
membayar tagihan kepada pihak ketiga;
c. penerimaan daerah;
d. pengeluaran daerah;
e. kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat
berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang,
termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah; dan
f.
kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dan/atau kepentingan umum.
Pasal 3
Pengelolaan keuangan daerah yang diatur dalam Peraturan Daerah ini meliputi azas umum
pengelolaan keuangan daerah, kekuasaan pengelolaan keuangan daerah, azas umum dan
struktur APBD, penyusunan rancangan APBD, penetapan APBD, pelaksanaan APBD,
perubahan APBD, pengelolaan kas, penatausahaan keuangan daerah, akuntansi keuangan
daerah, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pembinaan dan pengawasan pengelolaan
keuangan daerah, kerugian daerah, dan pengelolaan keuangan BLUD.
BAB III
Azas Umum Pengelolaan Keuangan Daerah
Pasal 4
Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundangundangan,
efektif, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan azas
keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.
BAB IV
KEWENANGAN DAN TUGAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
Bagian Pertama
Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah
Pasal 5
(1)
Kepala daerah selaku kepala pemerintah daerah adalah pemegang kekuasaan
pengelolaan keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam
kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
(2)
Pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mempunyai kewenangan :
a. menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBD;
b. menetapkan kebijakan tentang pengelolaan barang daerah;
c. menetapkan kuasa pengguna anggaran/pengguna barang;
d. menetapkan bendahara penerimaan dan/atau bendahara pengeluaran;
e. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan
daerah;
f.
menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan utang dan piutang
daerah;
g. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan barang milik
daerah; dan
h. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian atas tagihan dan
memerintahkan pembayaran.
(3)
Kepala daerah selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah
dapat melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya kepada :
a. sekretaris daerah selaku koordinator pengelola keuangan daerah;
b. kepala SKPKD selaku PPKD; dan
c. kepala SKPD selaku pejabat pengguna anggaran/pengguna barang.
Pelimpahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan keputusan
kepala daerah berdasarkan prinsip pemisahan kewenangan antara yang
memerintahkan, menguji, dan yang menerima atau mengeluarkan uang.
(3)
Bagian Kedua
Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah
Pasal 6
Sekretaris daerah selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a berkaitan dengan peran dan fungsinya dalam
membantu kepala daerah menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan
penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah termasuk pengelolaan keuangan
daerah;
(2) Sekretaris daerah selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas koordinasi di bidang:
a. penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan APBD;
b. penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan barang daerah;
c. penyusunan rancangan APBD dan rancangan perubahan APBD;
d. penyusunan Raperda APBD, perubahan APBD, dan pertanggung- jawaban
pelaksanaan APBD;
e. tugas-tugas pejabat perencana daerah, PPKD, dan pejabat pengawas
keuangan daerah; dan
f.
penyusunan laporan keuangan daerah dalam rangka pertanggung- jawaban
pelaksanaan APBD.
(3) Selain mempunyai tugas koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sekretaris daerah mempunyai tugas :
a. memimpin TAPD;
b. menyiapkan pedoman pelaksanaan APBD;
c. menyiapkan pedoman pengelolaan barang daerah;
d. memberikan persetujuan pengesahan DPA-SKPD/DPPA-SKPD; dan
e. melaksanakan tugas-tugas koordinasi pengelolaan keuangan daerah lainnya
berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh kepala daerah.
(4) Koordinator pengelolaan keuangan daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan
tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) kepada kepala daerah.
(1)
Bagian Ketiga
Pejabat Pengelola Keuangan Daerah
Pasal 7
(1) Kepala SKPKD selaku PPKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b
mempunyai tugas :
a. menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan keuangan daerah;
b. menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD;
c. melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dengan
Peraturan Daerah;
d. melaksanakan fungsi BUD;
e. menyusun laporan keuangan daerah dalam rangka pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD; dan
f. melaksanakan tugas lainnya berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh
kepala daerah.
(2) PPKD dalam melaksanakan fungsinya selaku BUD berwenang :
a. menyusun kebijakan dan pedoman pelaksanaan APBD;
b. mengesahkan DPA-SKPD/DPPA-SKPD;
c. melakukan pengendalian pelaksanaan APBD;
d. memberikan petunjuk teknis pelaksanaan sistem penerimaan dan
pengeluaran kas daerah;
e. melaksanakan pemungutan pajak daerah;
f. memantau pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran APBD oleh bank dan/ atau
lembaga keuangan lainnya yang ditunjuk ;
g. mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam pelaksanaan APBD;
h. menyimpan uang daerah;
i. menetapkan SPD;
j. melaksanakan penempatan uang daerah dan mengelola/menatausahakan
investasi;
k. melakukan pembayaran berdasarkan permintaan pejabat pengguna anggaran atas
beban rekening kas umum daerah ;
l. menyiapkan pelaksanaan pinjaman dan pemberian pinjaman atas nama
pemerintah daerah;
m. melaksanakan pemberian pinjaman atas nama pemerintah daerah ;
n. melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah ;
o. melakukan penagihan piutang daerah ;
p. melaksanakan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan daerah;
q. menyajikan informasi keuangan daerah; dan
r. melaksanakan kebijakan dan pedoman pengelolaan serta penghapusan
barang milik daerah.
(3)
PPKD selaku BUD menunjuk pejabat di Iingkungan satuan kerja pengelola
keuangan daerah selaku kuasa BUD.
(4)
PPKD bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada kepala daerah
melalui sekretaris daerah.
Pasal 8
(1) Penunjukan kuasa BUD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3)
ditetapkan dengan keputusan kepala daerah;
(2) Kuasa BUD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mempunyai tugas :
a. menyiapkan anggaran kas;
b. menyiapkan SPD;
c. menerbitkan SP2D;
d. menyimpan seluruh bukti asli kepemilikan kekayaan daerah;
e. memantau pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran APBD oleh bank
dan/atau lembaga keuangan lainnya yang ditunjuk;
f. mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam pelaksanaan
APBD;
g. menyimpan uang daerah;
h. melaksanakan penempatan uang daerah dan mengelola/menata- usahakan
investasi daerah;
i. melakukan pembayaran berdasarkan permintaan pejabat pengguna anggaran
atas beban rekening kas umum daerah;
j. melaksanakan pemberian pinjaman atas nama pemerintah daerah;
k. melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah; dan
l. melakukan penagihan piutang daerah.
(3) Kuasa BUD bertanggungjawab atas pelaksanaan tugasnya kepada PPKD.
Pasal 9
PPKD dapat melimpahkan kepada pejabat lainnya di lingkungan SKPKD untuk
melaksanakan tugas-tugas sebagai berikut :
a. menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD;
b. melakukan pengendalian pelaksanaan APBD;
c. melaksanakan pemungutan pajak daerah;
d. menyiapkan pelaksanaan pinjaman dan pemberian jaminan atas nama
pemerintah daerah;
e. melaksanakan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan daerah;
f. menyajikan informasi keuangan daerah; dan
g. melaksanakan kebijakan dan pedoman pengelolaan serta penghapusan barang milik
daerah.
Bagian Keempat
Pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang
Pasal 10
Kepala SKPD selaku pejabat pengguna anggaran/pengguna barang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf c mempunyai tugas :
a. menyusun RKA-SKPD;
b. menyusun DPA-SKPD;
c. melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran
belanja;
d. melaksanakan anggaran SKPD yang dipimpinnya;
e. melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan pembayaran;
f. melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak;
g. mengadakan ikatan/perjanjian kerjasama dengan pihak lain dalam batas
anggaran yang telah ditetapkan;
h. menandatangani SPM;
i. mengelola utang dan piutang yang menjadi tanggung jawab SKPD yang
dipimpinnya;
j. mengelola barang milik daerah/kekayaan daerah yang menjadi tanggung jawab SKPD
yang dipimpinnya;
k. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan SKPD yang dipimpinnya;
l. mengawasi pelaksanaan anggaran SKPD yang dipimpinnya;
m. melaksanakan tugas-tugas pengguna anggaran/pengguna barang lainnya
berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh kepala daerah;
n. melaksanakan tugas-tugas koordinasi dengan pihak terkait sehubungan dengan tugas
fungsi kepala SKPD yang dipimpinnya; dan
n. bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada kepala daerah melalui
sekretaris daerah.
Bagian Kelima
Pejabat Kuasa Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Barang
Pasal 11
(1) Pejabat pengguna anggaran/pengguna barang dalam melaksanakan tugas-tugas
(2)
(3)
(4)
(5)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dapat melimpahkan sebagian
kewenangannya kepada kepala unit kerja pada SKPD selaku kuasa pengguna
anggaran/kuasa pengguna barang.
Pelimpahan sebagian kewenangan sebagaimana tersebut pada ayat (1)
berdasarkan pertimbangan tingkatan daerah, besaran SKPD, besaran jumlah
uang yang dikelola, beban kerja, lokasi, kompetensi, rentang kendali dan/atau
pertimbangan objektif lainnya.
Pelimpahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh kepala daerah atas usul kepala SKPD.
Pelimpahan sebagian wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi ;
a. melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran
belanja;
b. melaksanakan anggaran unit kerja yang dipimpinnya;
c. melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan pembayaran;
d. mengadakan ikatan/perjanjian kerjasama dengan pihak lain dalam batas anggaran
yang telah ditetapkan;
e. menandatangani SPM-LS dan SPM-TU;
f. mengawasi pelaksanaan anggaran unit kerja yang dipimpinnya; dan
g. melaksanaan tugas-tugas kuasa pengguna anggaran lainnya berdasarkan kuasa
yang dilimpahkan oleh pejabat pengguna anggaran.
Kuasa pengguna anggaran/kuasa pengguna barang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada pengguna
anggaran/pengguna barang.
Bagian Keenam
Pejabat Penatausahaan Keuangan SKPD
Pasal 12
(1) Pejabat Penatausahaan Keuangan SKPD mempunyai kewenangan melaksanakan fungsi
tata usaha keuangan dalam rangka pelaksanaan APBD pada SKPD.
(2) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pejabat
Penatausahaan Keuangan SKPD bertugas :
a. Melakukan verifikasi SPP UP, SPP GU, SPP TU, SPP LS Gaji dan Tunjangan dan SPP
LS Barang dan Jasa;
b. Dalam melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf (a) termasuk
meneliti dan memeriksa kelengkapan dokumen SPP UP, SPP GU, SPP TU, SPP LS
Gaji dan Tunjangan, SPP LS Barang dan Jasa;
c. Melakukan verifikasi harian atas penerimaan;
d. Menyiapkan SPM;
e. Melakukan verifikasi atas Laporan Pertanggungjawaban Bendahara Pengeluaran
dan Bendahara Pengeluaran Pembantu;
f. Dalam melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf (e) termasuk
memverifikasi dokumen laporan pertanggungjawaban dan keabsahan bukti-bukti
pengeluaran;
g. Melakukan verifikasi kebenaran terhadap Laporan Pertanggungjawaban Bendahara
Penerimaan;
h. Dalam melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf (g) termasuk
memverifikasi dokumen laporan pertanggungjawaban dan keabsahan bukti-bukti
penerimaan;
i. Melaksanakan akuntansi SKPD; dan
j. menyiapkan laporan keuangan SKPD.
(3) PPK-SKPD tidak boleh merangkap sebagai pejabat yang bertugas melakukan
pemungutan penerimaan negara/daerah, bendahara, dan/atau PPTK.
Bagian Ketujuh
Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan SKPD
Pasal 13
(1) Pejabat pengguna anggaran/pengguna barang dan kuasa pengguna
anggaran/kuasa pengguna barang dalam melaksanakan program dan kegiatan
menunjuk pejabat pada unit kerja SKPD selaku PPTK.
(2) Penunjukan pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan
pertimbangan kompetensi jabatan, anggaran kegiatan, beban kerja, lokasi, dan/atau
rentang kendali dan pertimbangan objektif lainnya.
(3) PPTK yang ditunjuk oleh pejabat pengguna anggaran/pengguna barang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada
pengguna anggaran/pengguna barang.
(4) PPTK yang ditunjuk oleh kuasa pengguna anggaran/kuasa pengguna barang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya
kepada kuasa pengguna anggaran/kuasa pengguna barang.
(5) PPTK mempunyai tugas mencakup :
a. mengendalikan pelaksanaan kegiatan;
b. melaporkan perkembangan pelaksanaan kegiatan; dan
c. menyiapkan dokumen anggaran atas beban pengeluaran pelaksanaan
kegiatan.
Bagian Kedelapan
Bendahara SKPD
Pasal 14
Bendahara Penerimaan SKPD
(1) Bendahara Penerimaan SKPD mempunyai kewenangan menerima, menyimpan,
menyetorkan Penerimaan Pendapatan Asli Daerah dalam rangka pelaksanaan APBD
pada SKPD.
(2) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bendahara
Penerimaan SKPD bertugas :
a. Menerima pembayaran sejumlah uang atas Penerimaan Pendapatan Asli Daerah
yang tertera pada Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKP Daerah) dan/atau Surat
Ketetapan Retribusi Daerah (SKR Daerah) dari Wajib Pajak dan/atau Wajib
Retribusi;
b. Memverifikasi kesesuaian jumlah uang yang diterima dengan dokumen SKP Daerah
yang diterimanya dari PPKD;
c. Memverifikasi kesesuaian jumlah uang yang diterima dengan dokumen SKR Daerah
yang diterimanya dari Pengguna Anggaran;
d. Dalam hal verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf (b) dan huruf (c)
dinyatakan sesuai, Bendahara Penerimaan membuat dan menyerahkan Surat Tanda
Bukti Pembayaran/Bukti lain yang sah kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib
Retribusi;
e. Dalam hal verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf (b) dan huruf (c)
dinyatakan tidak sesuai, Bendahara Penerimaan membuat dan menyerahkan Surat
Tanda Bukti Pembayaran Kurang Setor/Bukti lain yang sah kepada Wajib Pajak
dan/atau Wajib Retribusi;
f. Menyimpan seluruh penerimaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf (a);
g. Menyetorkan penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf (a) ke
rekening Kas Umum Daerah paling lambat 1 hari kerja menggunakan Surat Tanda
Setoran (STS);
h. Melakukan verifikasi dan rekonsiliasi atas penerimaan Pendapatan yang diterima
melalui rekening Bank Bendahara Penerimaan dan/ atau rekening Kas Umum
Daerah;
i.
j.
Menatausahakan dan mempertanggungjawabkan Penerimaan Pendapatan Asli
Daerah dalam rangka pelaksanaan APBD pada SKPD; dan
Melakukan verifikasi, evaluasi dan analisis kebenaran pertanggungjawaban yang
disampaikan oleh Bendahara Penerimaan Pembantu.
Pasal 15
Bendahara Penerimaan Pembantu SKPD
(1) Bendahara Penerimaan Pembantu SKPD mempunyai kewenangan menerima,
menyimpan, menyetorkan Penerimaan Pendapatan Asli Daerah dalam rangka
pelaksanaan APBD pada SKPD.
(2) Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor melalui Bendahara
Penerimaan Pembantu oleh Wajib Pajak Daerah dan/atau Wajib Retribusi Daerah.
(3) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bendahara
Penerimaan Pembantu SKPD bertugas :
a. Menerima pembayaran sejumlah uang atas Penerimaan Pendapatan Asli Daerah
yang tertera pada Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKP Daerah) dan/atau Surat
Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD) dari Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
b. Memverifikasi kesesuaian jumlah uang yang diterima dengan dokumen SKP Daerah
yang diterimanya dari PPKD;
c. Memverifikasi kesesuaian jumlah uang yang diterima dengan dokumen SKR Daerah
yang diterimanya dari Pengguna Anggaran;
d. Dalam hal verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf (b) dan huruf (c)
dinyatakan sesuai, Bendahara Penerimaan membuat dan menyerahkan Surat Tanda
Bukti Pembayaran/Bukti lain yang sah kepada Wajib Pajak dan/ atau Wajib Retribusi;
e. Dalam hal verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf (b) dan huruf (c)
dinyatakan tidak sesuai, Bendahara Penerimaan membuat dan menyerahkan Surat
Tanda Bukti Pembayaran Kurang Setor/Bukti lain yang sah kepada Wajib Pajak dan/
atau Wajib Retribusi;
f. Menyimpan seluruh penerimaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf (a);
g. Menyetorkan penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf (a) ke
rekening Kas Umum Daerah paling lambat 1 hari kerja menggunakan Surat Tanda
Setoran (STS); dan
h. Menatausahakan dan mempertanggungjawabkan Penerimaan Pendapatan Asli
Daerah dalam rangka pelaksanaan APBD pada SKPD.
Pasal 16
Bendahara Pengeluaran SKPD
(1) Bendahara Pengeluaran SKPD mempunyai kewenangan menerima dan menyimpan
uang persediaan serta membayarkan belanja dalam rangka Pelaksanaan Anggaran
Belanja Daerah pada SKPD.
(2) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bendahara
Pengeluaran SKPD bertugas :
a. Mengajukan permintaan pembayaran menggunakan Surat Permintaan Pembayaran
(SPP) dan dokumen kelengkapannya;
b. Menerima Nota Perintah Pembayaran dari Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna
Anggaran;
c. Melaksanakan pembayaran dari uang persediaan yang dikelolanya;
d. Menolak perintah bayar dari Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran yang
tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan menggunakan Nota Penolakan Perintah
Membayar;
e. Menerima dan mengevaluasi kelengkapan dokumen SPP LS Barang dan Jasa yang
diberikan oleh PPTK;
f. Mengembalikan dokumen SPP LS Barang dan Jasa apabila dokumen sebagaimana
dimaksud pada huruf d tidak memenuhi syarat dan/atau tidak lengkap; dan
g. Menatausahakan dan mempertanggungjawabkan belanja dalam rangka
Pelaksanaan Anggaran Belanja Daerah.
h. Melakukan verifikasi, evaluasi dan analisis atas Laporan Pertanggungjawaban
Bendahara Pengeluaran Pembantu.
Pasal 17
Bendahara Pengeluaran Pembantu SKPD
(1) Bendahara Pengeluaran Pembantu SKPD mempunyai kewenangan menerima dan
menyimpan pelimpahan uang persediaan dari Bendahara Pengeluaran SKPD, menerima
dan menyimpan tambahan uang persediaan serta membayarkan belanja dalam rangka
Pelaksanaan Anggaran Belanja Daerah pada unit kerja SKPD.
(2) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bendahara
Pengeluaran Pembantu SKPD bertugas :
a. Mengajukan permintaan pembayaran menggunakan Surat Permintaan Pembayaran
(SPP) dan dokumen kelengkapannya;
b. Menerima Nota Perintah Pembayaran dari Kuasa Pengguna Anggaran;
c. Melaksanakan pembayaran dari uang persediaan yang dikelolanya;
d. Menolak perintah bayar dari Kuasa Pengguna Anggaran yang tidak sesuai dengan
ketentuan Peraturan menggunakan Nota Penolakan Perintah Membayar;
e. Menerima dan mengevaluasi kelengkapan dokumen SPP LS Barang dan Jasa yang
diberikan oleh PPTK;
f. Mengembalikan dokumen SPP LS Barang dan Jasa apabila dokumen sebagaimana
dimaksud pada huruf (e) tidak memenuhi syarat dan/atau tidak lengkap; dan
g. Menatausahakan dan mempertanggungjawabkan belanja dalam rangka Pelaksanaan
Anggaran Belanja Daerah.
Bagian Kesembilan
Bendahara PPKD
Pasal 18
Bendahara Penerimaan PPKD
(1) Bendahara Penerimaan PPKD mempunyai kewenangan mengelola penerimaan PPKD
dalam rangka pelaksanaan APBD.
(2) Penerimaan PPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa Pendapatan
dana perimbangan, Pendapatan lain-lain yang sah, dan pembiayaan penerimaan.
(3) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bendahara
Penerimaan PPKD bertugas :
a. Mendapatkan bukti transaksi atas Pendapatan yang diterima melalui Bank; dan
b. Menatausahakan dan mempertanggungjawabkan penerimaan PPKD dalam rangka
pelaksanaan APBD.
(4) Atas pertimbangan efisiensi dan efektifitas, kewenangan dan tugas bendahara
penerimaan PPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dapat dirangkap
oleh Bendahara Umum Daerah.
Pasal 19
Bendahara Pengeluaran PPKD
(1) Bendahara Pengeluaran PPKD mempunyai kewenangan menerima, menyimpan serta
membayarkan belanja dalam rangka Pelaksanaan Anggaran Belanja Daerah pada
SKPKD sebagai PPKD.
(2) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bendahara
Pengeluaran PPKD bertugas :
a. Mengajukan permintaan pembayaran menggunakan Surat Permintaan Pembayaran
Langsung PPKD (SPP LS PPKD) dan dokumen kelengkapannya;
b. Meneliti kelengkapan dokumen pendukung SPP LS PPKD;
c. Mengembalikan dokumen pendukung SPP LS PPKD kepada pejabat yang terkait,
apabila dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf (a) tidak memenuhi syarat
dan/atau tidak lengkap; dan
d. Menatausahakan dan mempertanggungjawabkan belanja dalam rangka Pelaksanaan
Anggaran Belanja Daerah.
BAB V
AZAS UMUM DAN STRUKTUR APBD
Bagian Pertama
Azas Umum APBD
Pasal 20
(1)
(2)
(3)
(4)
APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan
kemampuan pendapatan daerah.
Penyusunan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman kepada RKPD
dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuk tercapainya tujuan
bernegara.
APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan
stabilisasi.
APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun
ditetapkan dengan peraturan daerah.
Pasal 21
(1) Penerimaan daerah terdiri dari pendapatan daerah dan penerimaan pembiayaan
daerah.
(2) Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan perkiraan yang
terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan.
(3) Penerimaan pembiayaan sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah semua penerimaan
yang perlu dibayar kembali baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun
pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
Pasal 22
(1) Pengeluaran daerah terdiri dari belanja daerah dan pengeluaran pembiayaan daerah.
(2) Belanja daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perkiraan beban
pengeluaran daerah yang dialokasikan secara adil dan merata agar dapat dinikmati oleh
seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi, khususnya dalam pemberian
pelayanan umum.
(3) Pengeluaran pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pengeluaran yang akan diterima kembali baik pada tahun anggaran yang bersangkutan
maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
(4) Dalam menyusun APBD, penganggaran pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam
jumlah yang cukup.
Pasal 23
Seluruh pendapatan daerah, belanja
dianggarkan secara bruto dalam APBD.
daerah,
dan
pembiayaan
daerah
Pasal 24
APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun
anggaran terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.
Bagian Kedua
Struktur APBD
Pasal 25
(1) Struktur APBD merupakan satu kesatuan terdiri dari :
a. pendapatan daerah;
b. belanja daerah; dan
c. pembiayaan daerah.
(2) Struktur APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diklasifikasikan menurut urusan
pemerintahan daerah dan organisasi yang bertanggung jawab melaksanakan
urusan pemerintahan tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Klasifikasi APBD menurut urusan pemerintahan dan organisasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan ketentuan yang
ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 26
(1) Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a meliputi
semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah, yang menambah ekuitas
dana, merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu dibayar
kembali oleh daerah.
(2) Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a dirinci
menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, kelompok, jenis, obyek dan rincian
obyek pendapatan.
(3) Belanja daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b meliputi
semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana,
merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak akan diperoleh
pembayarannya kembali oleh daerah.
(4) Belanja daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b dirinci menurut
urusan pemerintahan daerah, organisasi, program, kegiatan, kelompok, jenis, obyek dan
rincian obyek belanja.
(5) Klasifikasi belanja menurut organisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
disesuaikan dengan susunan organisasi Pemerintah Kabupaten Lamandau.
(6) Pembiayaan daerah sebagaimana dimaksud Pasal 25 ayat (1) huruf c meliputi semua
transaksi keuangan untuk menutup defisit atau untuk memanfaatkan surplus.
(7) Pembiayaan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf c dirinci
menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, kelompok, jenis, obyek dan rincian
obyek pembiayaan.
Bagian Ketiga
Pendapatan Daerah
Pasal 27
Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a dikelompokan
atas :
a. pendapatan asli daerah;
b. dana perimbangan; dan
c. lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Pasal 28
(1) Kelompok pendapatan asli daerah dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri
atas :
a. pajak daerah;
b. retribusi daerah;
c. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
d. lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
(2) Jenis pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dan huruf b dirinci menurut obyek pendapatan sesuai dengan undang-undang
tentang pajak daerah dan retribusi daerah.
(3) Jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan sebagaimana
d imak su d pa da a ya t (1 ) huru f c d ir inci menu rut o b yek p en da pa tan yang
mencakup :
a. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD;
b. bagian
laba
atas
penyertaan
modal
pada
perusahaan
milik
pemerintah/BUMN; dan
c. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau
kelompok usaha masyarakat.
(4) Jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d, disediakan untuk menganggarkan penerimaan daerah yang tidak termasuk
dalam jenis pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup :
a. hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan secara tunai atau
angsuran/cicilan;
b. jasa giro;
c. pendapatan bunga;
d. penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah;
e. p en er ima a n ko misi, p o to n g an a t au pu n b en t u k la in seb a g a i a k ib at
d a r i penj ualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah;
f. penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang
asing;
g. pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan;
h. pendapatan denda pajak;
i. pendapatan denda retribusi;
j. pendapatan hasil eksekusi atas jaminan;
k. pendapatan dari Pengembalian;
l. fasilitas sosial dan fasilitas umum;
m. pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; dan
n. pendapatan dari Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
Pasal 29
(1) Kelompok pendapatan dana perimbangan dibagi menurut jenis pendapatan yang
terdiri atas :
a. dana bagi hasil;
b. dana alokasi umum; dan
c. dana alokasi khusus.
(2) Jenis dana bagi hasil dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup :
a. bagi hasil pajak; dan
b. bagi hasil bukan pajak.
(3) Jenis dana alokasi umum hanya terdiri atas objek pendapatan dana alokasi
umum.
(4) Jenis dana alokasi khusus dirinci menurut objek pendapatan menurut kegiatan yang
ditetapkan oleh pemerintah.
Pasal 30
Kelompok lain-lain pendapatan daerah yang sah dibagi menurut jenis pendapatan yang
mencakup :
a. hibah berasal dari pemerintah, pemerintah daerah lainnya, badan/lembaga/
organisasi swasta dalam negeri, kelompok masyarakat/perorangan, dan lembaga luar
negeri yang tidak mengikat;
b. dana darurat dari pemerintah dalam rangka penanggulangan korban/ kerusakan
akibat bencana alam;
c. dana bagi hasil pajak dari provinsi kepada kabupaten;
d. dana penyesuaian dan dana otonomi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah; dan
e. bantuan keuangan dari provinsi atau pemerintah daerah lainnya.
Pasal 31
Hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf a adalah penerimaan daerah yang berasal
dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional,
pemerintah, badan/lembaga dalam negeri atau perorangan, baik dalam bentuk devisa,
rupiah maupun barang dan/atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak
perlu dibayar kembali.
Pasal 32
(1) Pajak daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, lain-lain pendapatan
asli daerah yang sah yang ditransfer langsung ke kas daerah, dana perimbangan dan
lain-lain pendapatan daerah yang sah dianggarkan pada SKPKD.
(2) Retribusi daerah, komisi, potongan, keuntungan selisih nilai tukar rupiah,
pendapatan dari penyelanggaraan pendidikan dan pelatihan, hasil penjualan
kekayaan daerah yang tidak dipisahkan dan hasil pemanfaatan atau
pendayagunaan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan yang dibawah
penguasaan pengguna anggaran/pengguna barang dianggarkan pada SKPD.
Bagian Keempat
Belanja Daerah
Pasal 33
(1) Belanja daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b
dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah yang terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang
penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dilaksanakan bersama
antara pemerintah daerah dan pemerintah atau antara pemerintah daerah lainnya
yang ditetapkan dengan ketentuan perundangundangan.
(2) Belanja penyelenggaraan urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat
dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan
pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak
serta mengembangkan sistem jaminan sosial.
(3) Peningkatan kualitas kehidupan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diwujudkan melalui prestasi kerja dalam pencapaian standar pelayanan minimal
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 34
(1) Klasifikasi belanja menurut urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 ayat (1) terdiri dari belanja urusan wajib dan belanja urusan pilihan.
(2) Klasifikasi belanja menurut urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup :
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. pekerjaan umum;
d. perumahan rakyat;
e. penataan ruang;
f. perencanaan pembangunan;
g. perhubungan;
h. lingkungan hidup;
i. pertanahan;
j. kependudukan dan catatan sipil;
k. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
l. keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
m. sosial;
n. ketenagakerjaan;
koperasi dan usaha kecil dan menengah;
penanaman modal;
kebudayaan;
pemuda dan olah raga;
kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
otonomi daerah, pemerintahan umum, keuangan daerah, perangkat daerah,
kepegawaian dan persandian;
u. ketahanan pangan;
v. pemberdayaan masyarakat dan desa;
w. statistik;
x. kearsipan; dan
y. komunikasi dan informatika;
z. perpustakaan.
(3) Klasifikasi belanja menurut urusan pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup:
a. pertanian;
b. kehutanan;
c. energi dan sumber daya mineral;
d. pariwisata;
e. kelautan dan perikanan;
f. perdagangan;
g. industri; dan
h. ketransmigrasian.
(4) Belanja menurut urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau
bidang tertentu yang dilaksanakan bersama antara pemerintah daerah dan
pemerintah atau dengan pemerintah daerah lainnya yang telah ditetapkan dengan
ketentuan perundang-undangan dijabarkan dalam bentuk program dan kegiatan
yang diklasifikasikan menurut urusan wajib dan urusan pilihan.
o.
p.
q.
r.
s.
t.
Pasal 35
Klasifikasi belanja menurut fungsi yang digunakan untuk tujuan keselarasan dan
keterpaduan pengelolaan keuangan negara terdiri dari :
a. pelayanan umum;
b. ketertiban dan ketentraman;
c. ekonomi;
d. lingkungan hidup;
e. perumahan dan fasilitas umum;
f. kesehatan;
g. pariwisata dan budaya;
h. pendidikan; dan
i. perlindungan sosial.
Pasal 36
(1) Belanja menurut kelompok belanja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4)
terdiri dari :
a. belanja tidak langsung; dan
b. belanja langsung.
(2) Kelompok belanja tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan
pelaksanaan program dan kegiatan.
(3) Kelompok belanja langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan
program dan kegiatan.
Paragraf 1
Belanja Tidak Langsung
Pasal 37
(1) Kelompok belanja tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1)
huruf a dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari :
a. belanja pegawai;
b. bunga;
c. subsidi;
d. hibah;
e. bantuan sosial;
f. belanja bagi hasil;
g. bantuan keuangan; dan
h. belanja tidak terduga.
(2) Belanja pegawai sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf a dianggarkan pada
belanja organisasi berkenaan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
(3) Belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil,
belanja bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1 huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h hanya dapat
dianggarkan pada belanja SKPKD.
Pasal 38
(1) Belanja pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a merupakan
belanja kompensasi, dalam bentuk gaji dan tunjangan, serta penghasilan lainnya yang
diberikan kepada pegawai negeri sipil yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
(2) Termasuk dalam belanja pegawai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah uang
representasi dan tunjangan pimpinan dan anggota DPRD serta gaji dan tunjangan
kepala daerah dan wakil kepala daerah serta penghasilan dan penerimaan lainnya
yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundangundangan dianggarkan dalam
belanja pegawai.
Pasal 39
(1) Pemerintah daerah dapat memberikan tambahan penghasilan kepada pegawai
negeri sipil berdasarkan pertimbangan yang obyektif dengan memperhatikan
kemampuan keuangan daerah dan memperoleh persetujuan DPRD sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Persetujuan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat
pembahasan KUA.
(3) Tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam rangka
peningkatan kesejahteraan pegawai berdasarkan beban kerja atau tempat bertugas atau
kondisi kerja atau kelangkaan profesi, prestasi kerja, dan/atau pertimbangan obyektif
lainnya;
(4) Kriteria pemberian tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditetapkan dengan peraturan kepala daerah.
Pasal 40
Belanja bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b digunakan untuk
menganggarkan pembayaran bunga utang yang dihitung atas kewajiban pokok utang
(principal outstanding) berdasarkan perjanjian pinjaman jangka pendek, jangka
menengah, dan jangka panjang.
Pasal 41
(1) Belanja subsidi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf c digunakan untuk
menganggarkan bantuan biaya produksi kepada perusahaan/lembaga tertentu agar
harga jual produk/jasa yang dihasilkan terjangkau oleh masyarakat banyak.
(2) Perusahaan/lembaga tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
perusahaan/lembaga yang menghasilkan produk atau jasa pelayanan umum
masyarakat.
(3) Perusahaan/lembaga penerima belanja subsidi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus terlebih dahulu dilakukan audit sesuai dengan ketentuan pemeriksaan pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara.
(4) Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, penerima subsidi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban
penggunaan dana subsidi kepada kepala daerah.
(5) Belanja subsidi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggarkan sesuai dengan
keperluan perusahaan/lembaga penerima subsidi dalam peraturan daerah tentang APBD
yang peraturan pelaksanaannya lebih lanjut dituangkan dalam peraturan kepala daerah.
Pasal 42
(1) Belanja hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf d digunakan untuk
menganggarkan pemberian hibah dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa
kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat
dan organisasi kemasyarakatan yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya.
(2) Belanja hibah diberikan secara selektif dengan mempertimbangkan kemampuan
keuangan daerah, rasionalitas dan ditetapkan dengan keputusan kepala daerah;
(3) Belanja hibah bersifat bantuan yang tidak mengikat/tidak secara terus menerus dan harus
digunakan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam naskah perjanjian hibah
daerah.
(4) Hibah yang diberikan secara tidak terus menerus atau tidak mengikat diartikan
bahwa pemberian hibah tersebut ada batas akhirnya tergantung pada kemampuan
keuangan daerah dan kebutuhan atas kegiatan tersebut dalam menunjang
penyelenggaraan pemerintah daerah.
(5) Naskah perjanjian hibah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurangkurangnya memuat identitas penerima hibah, tujuan pemberian hibah, jumlah uang
yang dihibahkan.
(6) Pemberian hibah dalam bentuk uang atau dalam bentuk barang atau jasa dapat
diberikan kepada Pemerintah Daerah tertentu sepanjang ditetapkan dalam Peraturan
Perundang-undangan.
Pasal 43
(1) Belanja bantuan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf e
digunakan untuk menganggarkan pemberian bantuan yang bersifat sosial
kemasyarakatan dalam bentuk uang dan/atau barang kepada kelompok anggota
masyarakat, dan partai politik.
(2) Bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara selektif, tidak
secara terus menerus/tidak mengikat serta memiliki kejelasan peruntukan
penggunaannya dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dan
ditetapkan dengan keputusan kepala daerah;
(3) Bantuan sosial yang diberikan secara tidak terus menerus/tidak mengikat diartikan
bahwa pemberian bantuan tersebut tidak wajib dan tidak harus diberikan setiap tahun
anggaran.
(4) Khusus kepada partai politik diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dianggarkan dalam bantuan keuangan.
Pasal 44
Belanja bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf f digunakan untuk
menganggarkan dana bagi hasil yang bersumber dari pendapatan Kabupaten Lamandau
kepada pemerintah desa atau Pendapatan Pemerintah Daerah tertentu kepada Pemerintah
Daerah lainnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Pasal 45
(1) Bantuan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf g
digunakan untuk menganggarkan bantuan keuangan yang bersifat umum atau
khusus dari pemerintah kabupaten Lamandau kepada pemerintah desa dan pemerintah
daerah Iainnya dalam rangka pemerataan dan/atau peningkatan kemampuan
keuangan;
(2) Bersifat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) peruntukan dan penggunaannya
diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah/pemerintah desa penerima
bantuan;
(3) Bersifat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) peruntukan dan pengelolaannya
diarahkan/ditetapkan oleh pemerintah daerah pemberi bantuan;
(4) Pemberi bantuan bersifat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
mensyaratkan penyediaan dana pendamping dalam APBD atau anggaran
pendapatan dan belanja desa penerima bantuan.
Pasal 46
(1) Belanja tidak terduga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf h
merupakan belanja untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa atau tidak diharapkan
berulang seperti penanggulangan bencana alam dan bencana sosial yang
tidak diperkirakan sebelumnya, termasuk pengembalian atas kelebihan
penerimaan daerah tahun-tahun sebelumnya yang telah ditutup.
(2) Kegiatan yang bersifat tidak biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu
untuk tanggap darurat dalam rangka pencegahan gangguan terhadap stabilitas
penyelenggaraan pemerintahan demi terciptanya keamanan, ketentraman dan
ketertiban masyarakat di daerah.
(3) Pengembalian atas kelebihan penerimaan daerah tahun-tahun sebelumnya yang telah
ditutup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung dengan bukti-bukti
yang sah.
Pasal 47
(1) Belanja pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a
dianggarkan pada belanja organisasi berkenaan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja
bagi hasil, belanja bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf
g, dan huruf h hanya dapat dianggarkan pada belanja SKPKD.
Paragraf 2
Belanja Langsung
Pasal 48
Kelompok belanja langsung dari suatu kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
ayat (1) huruf b dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari :
a. belanja pegawai;
b. belanja barang dan jasa; dan
c. belanja modal.
Pasal 49
Belanja pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf a untuk pengeluaran
honorarium/upah dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah.
Pasal 50
(1) Belanja barang dan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf b
digunakan untuk pengeluaran menganggarkan pengadaan barang dan jasa
yang nilai manfaatnya kurang dari 12 (dua belas) bulan dalam melaksanakan program
dan kegiatan pemerintahan daerah.
(2) Belanja pengadaan barang dan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
belanja barang pakai habis, bahan/material, jasa kantor, premi asuransi, perawatan
kendaraan bermotor, cetak/penggandaan, sewa rumah/gedung/ gudang/parkir, sewa
sarana mobilitas, sewa alat berat, sewa perlengkapan dan peralatan kantor, makanan dan
minuman, pakaian dinas dan atributnya, pakaian kerja, pakaian khusus dan hari-hari
tertentu, perjalanan dinas, perjalanan dinas pindah tugas dan pemulangan pegawai,
pemeliharaan, jasa konsultansi, dan lain-lain pengadaan barang/jasa, dan belanja
lainnya yang sejenis.
Pasal 51
(1) Belanja modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf c digunakan untuk
pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pengadaan aset tetap berwujud yang
mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam
kegiatan pemerintahan;
(2) Nilai aset tetap berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dianggarkan
dalam belanja modal sebesar harga beli/bangun aset ditambah seluruh belanja yang
terkait pengadaan/pembangunan aset sampai aset tersebut siap digunakan;
(3) Kepala daerah menetapkan batas minimal kapitalisasi (Capitalization threshold) sebagai
dasar pembebanan belanja modal.
Pasal 52
Belanja langsung yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta
belanja modal untuk melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah
dianggarkan pada belanja SKPD berkenaan.
Paragraf 3
Belanja Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Pasal 53
(1) Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diberikan gaji dan tunjangan, biaya sarana
dan prasarana, sarana mobilitas, serta biaya penunjang operasional;
(2) Besarnya gaji dan tunjangan, biaya sarana dan prasarana, sarana mobilitas, serta biaya
penunjang operasional. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku;
(3) Gaji dan tunjangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta biaya
penunjang operasional Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dianggarkan pada belanja tidak langsung pada
organisasi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(4) Biaya sarana dan prasarana serta sarana mobilitas Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dianggarkan pada belanja
langsung pada organisasi sekretariat daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
(5) Penganggaran belanja Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah merupakan satu
kesatuan dalam belanja Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Paragraf 4
Belanja Pimpinan dan Anggota DPRD
Pasal 54
(1) Pimpinan dan Anggota DPRD diberikan Penghasilan Pimpinan dan Anggota
DPRD, Tunjangan Kesejahteraan Pimpinan dan Anggota DPRD, serta Belanja
Penunjang kegiatan DPRD.
(2) Besarnya Penghasilan Pimpinan dan Anggota DPRD, Tunjangan Kesejahteraan
Pimpinan dan Anggota DPRD, serta Belanja Penunjang kegiatan DPRD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Belanja Penghasilan Pimpinan dan Anggota DPRD sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dianggarkan pada belanja tidak langsung pada organisasi sekretariat DPRD.
(4) Belanja Tunjangan Kesejahteraan Pimpinan dan Anggota DPRD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dianggarkan pada belanja tidak langsung pada
organisasi sekretariat DPRD.
(5) Belanja Penunjang Kegiatan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dianggarkan pada belanja langsung pada organisasi sekretariat DPRD.
Bagian Kelima
Surplus / (Defisit) APBD
Pasal 55
Selisih antara anggaran pendapatan daerah dengan anggaran belanja daerah
mengakibatkan terjadinya surplus atau defisit APBD.
Pasal 56
(1) Surplus APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 terjadi apabila anggaran
pendapatan daerah diperkirakan lebih besar dari anggaran belanja daerah.
(2) Dalam hal APBD diperkirakan surplus, diutamakan untuk pembayaran pokok
utang, pendanaan belanja peningkatan jaminan sosial, penyertaan modal
(investasi) daerah, dan/atau pemberian pinjaman kepada pemerintah
pusat/pemerintah daerah lain dan/atau pendanaan belanja peningkatan jaminan sosial.
(3) Pendanaan belanja peningkatan jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diwujudkan dalam bentuk program dan kegiatan pelayanan dasar masyarakat yang
dianggarkan pada SKPD yang secara fungsional terkait dengan tugasnya melaksanakan
program dan kegiatan tersebut.
Pasal 57
(1) Defisit anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 terjadi apabila anggaran
pendapatan daerah diperkirakan lebih kecil dari anggaran belanja daerah.
(2) Batas maksimal defisit APBD untuk setiap tahun anggaran berpedoman pada
penetapan batas maksimal defisit APBD oleh Menteri Keuangan.
(3) Dalam hal APBD diperkirakan defisit, ditetapkan pembiayaan untuk menutup
defisit tersebut yang diantaranya dapat bersumber dari sisa lebih perhitungan
anggaran tahun anggaran sebelumnya, pencairan dana cadangan, hasil penjualan
kekayaan daerah yang dipisahkan, penerimaan pinjaman, dan penerimaan kembali
pemberian pinjaman atau penerimaan piutang.
Pasal 58
(1) Pemerintah daerah wajib melaporkan posisi surplus/defisit APBD kepada Menteri
Dalam Negeri dan Menteri Keuangan setiap semester dalam tahun anggaran
berkenaan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
dilakukan penundaan atas penyaluran dana perimbangan.
Bagian Keenam
Pembiayaan Daerah
Pasal 59
Pembiayaan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf c terdiri dari
penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan.
Pasal 60
(1)
(2)
Penerimaan pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 mencakup :
a. sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA);
b. pencairan dana cadangan;
c. hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan;
d. penerimaan pinjaman daerah;
e. penerimaan kembali pemberian pinjaman; dan
Pengeluaran pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 mencakup :
a. pembentukan dana cadangan;
b. penyertaan modal (investasi) pemerintah daerah;
c. pembayaran pokok utang; dan
d. pemberian pinjaman daerah.
Pasal 61
(1) Pembiayaan neto merupakan selisih antara penerimaan pembiayaan dengan
pengeluaran pembiayaan.
(2) Jumlah pembiayaan neto harus dapat menutup defisit anggaran.
Paragraf 1
Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Anggaran Sebelumnya (SiLPA)
Pasal 62
Sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf a mencakup pelampauan penerimaan PAD,
pelampauan penerimaan dana perimbangan, pelampauan penerimaan lain-lain
pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan
belanja, kewajiban kepada pihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum
terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan.
Paragraf 2
Dana Cadangan
Pasal 63
(1) Pemerintah daerah dapat membentuk dana cadangan guna mendanai kegiatan
yang penyediaan dananya tidak dapat sekaligus/sepenuhnya dibebankan dalam
satu tahun anggaran.
(2) Pembentukan dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan peraturan daerah.
(3) Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup penetapan tujuan
pembentukan dana cadangan, program dan kegiatan yang akan dibiayai dari
dana cadangan, besaran dan rincian tahunan dana cadangan yang harus
dianggarkan dan ditransfer ke rekening dana cadangan, sumber dana cadangan,
dan tahun anggaran pelaksanaan dana cadangan.
(4) Rancangan peraturan daerah tentang pembentukan dana cadangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dibahas bersamaan dengan pembahasan rancangan
peraturan daerah tentang APBD.
(5) Penetapan rancangan peraturan daerah tentang pembentukan dana cadangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh kepala daerah bersamaan
dengan penetapan rancangan peraturan daerah tentang APBD.
(6) Dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersumber dari
penyisihan atas penerimaan daerah, kecuali dari dana alokasi khusus, pinjaman
daerah dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk pengeluaran
tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(7) Dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan pada rekening
tersendiri.
(8) Penerimaan hasil bunga/deviden rekening dana cadangan dan penempatan
dalam portofolio dicantumkan sebagai penambah dana cadangan berkenaan
dalam daftar dana cadangan pada lampiran rancangan peraturan daerah tentang
APBD.
(9) Pembentukan dana cadangan dianggarkan pada pengeluaran pembiayaan dalam tahun
anggaran yang berkenaan.
Pasal 64
(1) Pencairan dana cadangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf
b digunakan untuk menganggarkan pencairan dana cadangan dari rekening dana
cadangan ke rekening kas umum daerah dalam tahun anggaran berkenaan.
(2) Jumlah yang dianggarkan tersebut pada ayat (1) yaitu sesuai dengan jumlah yang
telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang pembentukan dana cadangan
berkenaan.
Pasal 65
Penggunaan atas dana cadangan yang dicairkan dari rekening dana cadangan ke rekening
kas umum daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dianggarkan
dalam belanja langsung SKPD pengguna dana cadangan berkenaan, kecuali diatur
tersendiri dalam peraturan perundang-undangan.
Paragraf 3
Hasil Penjualan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan
Pasal 66
Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60
ayat (1) huruf c digunakan antara lain untuk menganggarkan hasil penjualan perusahaan milik
daerah/BUMD dan penjualan aset milik pemerintah daerah yang dikerjasamakan dengan
pihak ketiga, atau hasil divestasi penyertaan modal pemerintah daerah.
Paragraf 4
Penerimaan Pinjaman Daerah
Pasal 67
Penerimaan pinjaman daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf d
digunakan untuk menganggarkan penerimaan pinjaman daerah termasuk penerimaan atas
penerbitan obligasi daerah yang akan direalisasikan pada tahun anggaran berkenaan.
Paragraf 5
Pemberian Pinjaman Daerah dan Penerimaan Kembali Pemberian
Pinjaman Daerah
Pasal 68
(1) Pemberian pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) huruf d
digunakan untuk menganggarkan pinjaman yang diberikan kepada pemerintah
pusat dan/atau pemerintah daerah lainnya.
(2) Penerimaan kembali pemberian pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61
ayat (1) huruf e digunakan untuk menganggarkan posisi penerimaan kembali
pinjaman yang diberikan kepada pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah
lainnya.
Paragraf 6
Investasi Pemerintah Daerah
Pasal 69
Investasi pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) huruf b digunakan
untuk mengelola kekayaan pemerintah daerah yang diinvestasikan baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang.
Pasal 70
(1) Investasi jangka pendek merupakan investasi yang dapat segera
diperjualbelikan/dicairkan, ditujukan dalam rangka manajemen kas dan beresiko
rendah serta dimiliki selama kurang dari 12 (dua belas) bulan;
(2) Investasi jangka pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup deposito
berjangka waktu 3 (tiga) bulan sampai dengan 12 (duabelas) bulan yang dapat
diperpanjang secara otomatis, pembelian Surat Utang Negara (SUN), Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) dan Surat Perbendaharaan Negara (SPN);
(3) Investasi jangka panjang digunakan untuk menampung penganggaran investasi yang
dimaksudkan untuk dimiliki lebih dari 12 (dua belas) bulan yang terdiri dari investasi
permanen dan non permanen;
(4) Investasi jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) antara lain surat
berharga yang dibeli pemerintah daerah dalam rangka mengendalikan suatu badan
usaha, misalnya pembelian surat berharga untuk menambah kepemilikan modal
saham pada suatu badan usaha, surat berharga yang dibeli pemerintah daerah untuk
tujuan menjaga hubungan baik dalam dan luar negeri, surat berharga yang tidak
dimaksudkan untuk dicairkan dalam memenuhi kebutuhan kas jangka pendek;
(5) Investasi permanen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertujuan untuk dimiliki
secara berkelanjutan tanpa ada niat untuk diperjualbelikan atau tidak ditarik
kembali, seperti kerjasama daerah dengan pihak ketiga dalam bentuk
penggunausahaan/pemanfaatan aset daerah, penyertaan modal daerah pada BUMD
dan/atau badan usaha lainnya dan investasi permanen lainnya yang dimiliki
pemerintah daerah untuk menghasilkan pendapatan atau meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat;
(6) Investasi non permanen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertujuan untuk
dimiliki secara tidak berkelanjutan atau ada niat untuk diperjualbelikan atau ditarik
kembali, seperti pembelian obligasi atau surat utang jangka panjang yang
dimaksudkan untuk dimiliki sampai dengan tanggal jatuh tempo, dana yang
disisihkan pemerintah daerah dalam rangka pelayanan/pemberdayaan masyarakat
seperti bantuan modal kerja, pembentukan dana secara bergulir kepada kelompok
masyarakat, pemberian fasilitas pendanaan kepada usaha mikro dan menengah;
(7) Investasi jangka panjang pemerintah daerah dapat dianggarkan apabila jumlah
yang akan disertakan dalam tahun anggaran berkenaan telah ditetapkan dalam
peraturan daerah tentang penyertaan modal dengan berpedoman pada ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 71
(1) Investasi pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) huruf b,
dianggarkan dalam pengeluaran pembiayaan;
(2) Divestasi pemerintah daerah dianggarkan dalam penerimaan pembiayaan pada jenis
hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan;
(3) Divestasi pemerintah daerah yang dialihkan untuk diinvestasikan kembali dianggarkan
dalam pengeluaran pembiayaan pada jenis penyertaan modal (investasi) pemerintah
daerah;
(4) Penerimaan hasil atas investasi pemerintah daerah dianggarkan dalam kelompok
pendapatan asli daerah pada jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan;
Paragraf 7
Pembayaran Pokok Utang
Pasal 72
Pembayaran pokok utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) huruf c
digunakan untuk menganggarkan pembayaran kewajiban atas pokok utang yang
dihitung berdasarkan perjanjian pinjaman jangka pendek, jangka menengah, dan jangka
panjang.
Bagian Ketujuh
Kode Rekening Penganggaran
Pasal 73
(1) Setiap urusan pemerintahan daerah dan organisasi yang dicantumkan dalam
APBD menggunakan kode urusan pemerintahan daerah dan kode organisasi.
(2) Kode pendapatan, kode belanja dan kode pembiayaan yang digunakan dalam
penganggaran menggunakan kode akun pendapatan, kode akun belanja, dan
kode akun pembiayaan.
(3) Setiap program, kegiatan, kelompok, jenis, obyek serta rincian obyek yang
dicantumkan dalam APBD menggunakan kode program, kode kegiatan, kode
kelompok, kode jenis, kode obyek dan kode rincian obyek.
(4) Untuk tertib penganggaran kode sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2)
dan ayat (3) dihimpun menjadi satu kesatuan kode anggaran yang disebut kode
rekening.
Pasal 74
(1) Urutan susunan kode rekening APBD dimulai dari kode urusan pemerintahan
daerah, kode organisasi, kode program, kode kegiatan, kode akun, kode
kelompok, kode jenis, kode obyek, dan kode rincian obyek.
(2) Penjelasan lebih lanjut tentang kode rekening diatur dalam Peraturan Kepala
Daerah.
BAB VI
PENYUSUNAN RANCANGAN APBD
Bagian Pertama
Azas Umum
Pasal 75
(1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah
didanai dari dan atas beban APBD.
(2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di
daerah didanai dari dan atas beban APBN.
(3) Penyelenggaraan urusan pemerintahan provinsi yang penugasannya dilimpahkan
kepada kabupaten Lamandau, didanai dari dan atas beban APBD provinsi.
(4) Penyelenggaraan urusan pemerintahan Kabupaten/Kota yang penugasannya
dilimpahkan kepada desa, didanai dari dan atas beban APBD Kabupaten.
Pasal 76
(1) Seluruh penerimaan dan pengeluaran pemerintahan daerah baik dalam bentuk
uang, barang dan/atau jasa pada tahun anggaran yang berkenaan harus
dianggarkan dalam APBD.
(2) Penganggaran penerimaan dan pengeluaran APBD harus memiliki dasar hukum
penganggaran.
Pasal 77
Anggaran belanja daerah diprioritaskan untuk melaksanakan kewajiban pemerintahan
daerah sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Rencana Kerja Pemerintahan Daerah
Pasal 78
(1) Untuk menyusun APBD, pemerintah daerah menyusun RKPD yang merupakan
penjabaran dari RPJMD dengan menggunakan bahan dari Renja SKPD untuk jangka
waktu 1 (satu) tahun yang mengacu kepada Rencana Kerja Pemerintah.
(2) RKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat rancangan kerangka ekonomi
daerah, prioritas pembangunan dan kewajiban daerah, rencana kerja yang terukur
dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah,
pemerintah daerah maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
(3) Kewajiban daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempertimbangkan prestasi
capaian standar pelayanan minimal yang ditetapkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 79
(1) RKPD disusun untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan.
(2) Penyusunan RKPD diselesaikan paling lambat akhir bulan Mei sebelum tahun
anggaran berkenaan.
(3) RKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Kepala
Daerah.
(4) Tata cara penyusunan RKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpedoman pada
Peraturan Perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Kebijakan Umum APBD serta Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara
Paragraf 1
Kebijakan Umum APBD
Pasal 80
(1) Kepala daerah menyusun rancangan KUA dan rancangan PPAS berdasarkan RKPD
dan pedoman penyusunan APBD yang ditetapkan Menteri Dalam Negeri setiap tahun.
(2) Pedoman penyusunan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat antara
lain :
a. pokok-pokok kebijakan yang memuat sinkronisasi kebijakan pemerintah dengan
pemerintah daerah;
b. prinsip dan kebijakan penyusunan APBD tahun anggaran berkenaan;
c. teknis penyusunan APBD; dan
d. hal-hal khusus lainnya.
Pasal 81
(1) Dalam menyusun rancangan KUA dan rancangan PPAS sebagaimana dimaksud
Pasal 80 ayat (1), kepala daerah dibantu oleh TAPD yang dipimpin oleh sekretaris
daerah.
(2) Rancangan KUA dan rancangan PPAS yang telah disusun sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), disampaikan oleh sekretaris daerah selaku ketua TAPD kepada kepala daerah,
paling lambat minggu pertama bulan Juni.
Pasal 82
(1) Rancangan KUA memuat kondisi ekonomi makro daerah, asumsi penyusunan APBD,
kebijakan pendapatan daerah, kebijakan belanja daerah, kebijakan pembiayaan daerah,
dan strategi pencapaiannya.
(2) Strategi pencapaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat langkah-langkah
kongkrit dalam mencapai target.
Pasal 83
Rancangan PPAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) disusun dengan tahapan
sebagai berikut :
a. Menentukan skala prioritas pembangunan daerah;
b. Menentukan prioritas program untuk masing-masing urusan; dan
c. Menyusun plafon anggaran sementara untuk masing-masing program/kegiatan.
Pasal 84
(1) Rancangan KUA dan rancangan PPAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (2)
disampaikan kepala daerah kepada DPRD paling lambat pertengahan bulan Juni
tahun anggaran berjalan untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun
anggaran berikutnya.
(2) Pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh TAPD
bersama Badan Anggaran DPRD.
(3) Rancangan KUA rancangan PPAS yang telah dibahas sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) selanjutnya disepakati menjadi KUA dan PPAS paling lambat akhir bulan Juli
tahun anggaran berjalan.
Paragraf 2
Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara
Pasal 85
(1) KUA serta PPAS yang telah disepakati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat
(3), masing-masing atau dapat secara bersama-sama dituangkan ke dalam nota
kesepakatan yang ditandatangani bersama antara kepala daerah dengan pimpinan
DPRD dalam waktu bersamaan;
(2) Dalam hal kepala daerah berhalangan, yang bersangkutan dapat menunjuk pejabat
yang diberi wewenang untuk menandatangani nota kesepakatan KUA dan PPAS.
(3) Dalam hal kepala daerah berhalangan tetap, penandatanganan nota kesepakatan KUA
dan PPAS dilakukan oleh penjabat yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang.
Bagian Keempat
Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran SKPD
Pasal 86
(1) Berdasarkan nota kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1), TAPD
menyiapkan rancangan surat edaran kepala daerah tentang Pedoman Penyusunan
RKA-SKPD sebagai acuan kepala SKPD dalam menyusun RKA-SKPD.
(2) Rancangan surat edaran kepala daerah tentang pedoman penyusunan RKA-SKPD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup :
a. Prioritas pembangunan daerah dan program kegiatan yang terkait;
b. Alokasi plafon anggaran sementara untuk setiap program/kegiatan SKPD;
c. batas waktu penyampaian RKA-SKPD kepada PPKD;
d. dokumen sebagai lampiran meliputi KUA, PPAS, analisis standar belanja dan
standar satuan harga.
(3) Surat edaran kepala daerah perihal pedoman penyusunan RKA-SKPD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling lambat awal bulan
Agustus tahun anggaran berjalan.
Bagian Kelima
Rencana Kerja dan Anggaran SKPD
Pasal 87
(1) Berdasarkan pedoman penyusunan RKA-SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal
86 ayat (3), kepala SKPD menyusun RKA-SKPD.
(2) RKA-SKPD disusun dengan menggunakan pendekatan kerangka pengeluaran jangka
menengah daerah, penganggaran terpadu dan penganggaran berdasarkan prestasi kerja.
Pasal 88
(1) Pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2) dilaksanakan dengan menyusun prakiraan maju.
(2) Prakiraan maju sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi perkiraan kebutuhan anggaran
untuk program dan kegiatan yang direncanakan dalam tahun anggaran berikutnya dari
tahun anggaran yang direncanakan.
(3) Pendekatan penganggaran terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2)
dilakukan dengan memadukan seluruh proses perencanaan dan
penganggaran pendapatan, belanja, dan pembiayaan di lingkungan SKPD untuk
menghasilkan doku men rencana kerja dan anggaran.
(4) Pendekatan penganggaran berdasarkan prestasi kerja sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 87 ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan
dengan keluaran yang diharapkan dari kegiatan dan hasil serta manfaat yang
diharapkan termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut.
Pasal 89
(1) Untuk terlaksananya penyusunan RKA-SKPD berdasarkan pendekatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2) dan terciptanya kesinambungan RKASKPD, kepala SKPD mengevaluasi hasil pelaksanaan program dan kegiatan 2 (dua)
tahun anggaran sebelumnya sampai dengan semester pertama tahun anggaran
berjalan.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan menilai program dan kegiatan
yang belum dapat dilaksanakan dan/atau belum diselesaikan tahuntahun
sebelumnya untuk dilaksanakan dan/atau diselesaikan pada tahun yang direncanakan
atau 1 (satu) tahun berikutnya dari tahun yang direncanakan.
(3) Dalam hal suatu program dan kegiatan merupakan tahun terakhir untuk
pencapaian prestasi kerja yang ditetapkan, kebutuhan dananya harus dianggarkan
pada tahun yang direncanakan.
Pasal 90
(1) Penyusunan RKA-SKPD berdasarkan prestasi kerja sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 87 ayat (2) berdasarkan pada indikator kinerja, capaian atau target kinerja, analisis
standar belanja, standar satuan harga, dan standar pelayanan minimal.
(2) Indikator kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah ukuran
keberhasilan yang akan dicapai dari program dan kegiatan yang direncanakan.
(3) Capaian kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan ukuran prestasi kerja
yang akan dicapai yang berwujud kualitas, kuantitas, efisiensi dan efektifitas pelaksanaan
dari setiap program dan kegiatan.
(4) Analisis standar belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penilaian
kewajaran atas beban kerja dan biaya yang digunakan untuk melaksanakan suatu
kegiatan.
(5) Standar satuan harga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan harga satuan
setiap unit barang/jasa yang berlaku disuatu daerah yang ditetapkan dengan
keputusan kepala daerah.
(6) Standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tolok
ukur kinerja dalam menentukan capaian jenis dan mutu pelayanan dasar yang
merupakan urusan wajib daerah.
Pasal 91
RKA-SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) memuat rencana
pendapatan, rencana belanja untuk masing-masing program dan kegiatan, serta
rencana pembiayaan untuk tahun yang direncanakan dirinci sampai dengan
rincian objek pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta prakiraan maju untuk tahun
berikutnya.
(2) RKA-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga memuat informasi tentang
urusan pemerintahan daerah, organisasi, standar biaya, prestasi kerja yang akan dicapai
dari program dan kegiatan.
(1)
Pasal 92
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
Rencana pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) memuat
kelompok, jenis, obyek dan rincian obyek pendapatan daerah, yang
dipungut/dikelola/ diterima oleh SKPD sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, yang
ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
peraturan daerah, peraturan pemerintah atau undang-undang.
Rencana belanja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) memuat kelompok
belanja tidak langsung dan belanja langsung yang masing-masing diuraikan menurut
jenis, obyek dan rincian obyek belanja.
Rencana pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) memuat
kelompok penerimaan pembiayaan yang dapat digunakan untuk menutup defisit
APBD dan pengeluaran pembiayaan yang digunakan untuk memanfaatkan
surplus APBD yang masing-masing diuraikan menurut jenis, obyek dan rincian
obyek pembiayaan.
Urusan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (2) memuat
bidang urusan pemerintahan daerah yang dikelola sesuai dengan tugas pokok dan
fungsi organisasi.
Organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (2) memuat nama
organisasi atau nama SKPD selaku pengguna anggaran/pengguna barang.
Prestasi kerja yang hendak dicapai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2)
terdiri dari indikator, tolok ukur kinerja dan target kinerja.
Program sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (2) memuat nama program yang
akan dilaksanakan SKPD dalam tahun anggaran berkenaan.
Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (2) memuat nama kegiatan yang
akan dilaksanakan SKPD dalam tahun anggaran berkenaan.
Pasal 93
(1) Indikator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (7) meliputi masukan,
keluaran dan hasil.
(2) Tolok ukur kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (7) merupakan ukuran
prestasi kerja yang akan dicapai dari keadaan semula dengan mempertimbangkan
faktor kualitas, kuantitas, efisiensi dan efektifitas pelaksanaan dari setiap program dan
kegiatan.
(3) Target kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (7) merupakan hasil yang
diharapkan dari suatu program atau keluaran yang diharapkan dari suatu kegiatan.
Pasal 94
Belanja langsung yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja
modal dianggarkan dalam RKA-SKPD pada masing-masing SKPD.
Pasal 95
(1) Pada SKPKD disusun RKA-SKPD dan RKA-PPKD.
(2) RKA-SKPD memuat program/kegiatan yang dilaksanakan oleh PPKD selaku SKPD.
(3) RKA-PPKD digunakan untuk menampung :
a. Penerimaan pajak daerah dan pendapatan yang berasal dari dana perimbangan dan
pendapatan hibah;
b. Belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi
hasil, belanja bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga; dan
c. Penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan daerah.
Bagian Keenam
Penyiapan Raperda APBD
Pasal 96
(1) RKA-SKPD yang telah disusun oleh SKPD disampaikan kepada PPKD untuk dibahas
lebih lanjut oleh TAPD.
(2) Pembahasan oleh TAPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk
menelaah :
a. kesesuaian antara RKA-SKPD dengan KUA, PPAS, prakiraan maju dan RKS-SKPD
tahun berjalan yang disetujui tahun lalu, dan dokumen perencanaan lainnya;
b. kesesuaian rencana anggaran dengan standar analisis belanja, standar satuan harga;
c. kelengkapan instrumen pengukuran kinerja yang meliputi capaian kinerja, indikator
kinerja, kelompok sasaran kegiatan, dan standar pelayanan minimal;
d. proyeksi prakiraan maju untuk tahun anggaran berikutnya; dan
e. sinkronisasi program dan kegiatan antar RKA-SKPD;
(3) Dalam hal hasil pembahasan RKA-SKPD terdapat ketidaksesuaian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) kepala SKPD melakukan penyempurnaan.
Pasal 97
(1) RKA-SKPD yang telah disempurnakan oleh kepala SKPD disampaikan kepada PPKD
sebagai bahan penyusunan rancangan peraturan daerah tentang APBD dan
rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD.
(2) Rancangan peraturan daerah tentang APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilengkapi dengan lampiran yang terdiri dari :
a. ringkasan APBD;
b. ringkasan APBD menurut urusan pemerintahan daerah dan organisasi;
c. rincian APBD menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, pendapatan,
belanja dan pembiayaan;
d. rekapitulasi belanja menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi,
program dan kegiatan;
e. rekapitulasi belanja daerah untuk keselarasan dan keterpaduan urusan
pemerintahan daerah dan fungsi dalam kerangka pengelolaan keuangan
negara;
f. daftar jumlah pegawai per golongan dan per jabatan;
g. daftar piutang daerah;
h. daftar penyertaan modal (investasi) daerah;
i. daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset tetap daerah;
j. daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset lain-lain;
k. daftar kegiatan-kegiatan tahun anggaran sebelumnya yang belum diselesaikan dan
dianggarkan kembali dalam tahun anggaran ini;
l. daftar dana cadangan daerah; dan
m. daftar pinjaman daerah.
Pasal 98
(1) Rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) dilengkapi dengan lampiran yang terdiri dari :
a. ringkasan penjabaran APBD;
b. penjabaran APBD menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, program, kegiatan,
kelompok, jenis, obyek, rincian obyek pendapatan, belanja dan pembiayaan.
(2) Rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD wajib memuat penjelasan
sebagai berikut :
a. untuk pendapatan mencakup dasar hukum;
b. untuk belanja mencakup lokasi kegiatan;
c. untuk pembiayaan mencakup dasar hukum, dan sumber penerimaan
pembiayaan untuk kelompok penerimaan pembiayaan dan tujuan pengeluaran
pembiayaan untuk kelompok pengeluaran pembiayaan.
Pasal 99
(1) Rancangan peraturan daerah tentang APBD yang telah disusun oleh PPKD
disampaikan kepada kepala daerah.
(2) Rancangan peraturan daerah tentang APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sebelum disampaikan kepada DPRD disosialisasikan kepada masyarakat.
(3) Sosialisasi rancangan peraturan daerah tentang APBD sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) bersifat memberikan informasi mengenai hak dan kewajiban pemerintah
daerah serta masyarakat dalam pelaksanaan APBD tahun anggaran yang direncanakan.
(4) Penyebarluasan rancangan peraturan daerah tentang APBD dilaksanakan oleh
sekretaris daerah selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah.
BAB VII
PENETAPAN APBD
Bagian Pertama
Penyampaian dan Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Tentang APBD
Pasal 100
(1) Kepala daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang APBD beserta
lampirannya kepada DPRD paling lambat pada minggu pertama bulan Oktober tahun
anggaran sebelumnya dari tahun yang direncanakan untuk mendapatkan persetujuan
bersama.
(2) Penyampaian rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disertai dengan nota keuangan.
(3) Dalam hal kepala daerah dan/atau pimpinan DPRD berhalangan tetap, maka pejabat
yang ditunjuk dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang selaku penjabat/pelaksana
tugas kepala daerah dan/atau selaku pimpinan sementara DPRD yang
menandatangani persetujuan bersama.
Pasal 101
(1) Penetapan agenda pembahasan rancangan peraturan daerah tentang APBD untuk
mendapatkan persetujuan bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1)
disesuaikan dengan tata tertib DPRD.
(2) Pembahasan rancangan peraturan daerah ditekankan pada kesesuaian rancangan
APBD dengan KUA, dan PPAS;
(3) Dalam pembahasan rancangan peraturan daerah tentang APBD, DPRD dapat meminta
RKA-SKPD berkenaan dengan program/kegiatan tertentu;
(4) Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam dokumen
persetujuan bersama antara kepala daerah dan DPRD;
(5) Persetujuan bersama antara kepala daerah dan DPRD terhadap rancangan peraturan
daerah tentang APBD ditandatangani oleh kepala daerah dan pimpinan DPRD paling
lama 1 (satu) bulan sebelumnya tahun anggaran berakhir;
(6) Dalam hal kepala daerah dan/atau pimpinan DPRD berhalangan tetap, maka pejabat yang
ditunjuk oleh pejabat yang berwenang selaku penjabat/pelaksana tugas kepala daerah
dan/atau selaku pimpinan sementara DPRD yang menandatangani persetujuan bersama;
(7) Atas dasar persetujuan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (5), kepala daerah
menyiapkan rancangan peraturan bupati tentang penjabaran APBD.
Pasal 102
(1) Dalam hal penetapan APBD mengalami keterlambatan, kepala daerah melaksanakan
pengeluaran setiap bulan setinggi-tingginya sebesar seperduabelas APBD tahun
anggaran sebelumnya;
(2) Pengeluaran setingginya untuk keperluan setiap bulan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibatasi hanya untuk belanja yang bersifat tetap seperti belanja pegawai,
layanan jasa dan keperluan kantor sehari-hari.
(3) Apabila DPRD sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1)
tidak menetapkan persetujuan bersama dengan kepala daerah terhadap rancangan
peraturan daerah tentang APBD, kepala daerah melaksanakan pengeluaran setinggitingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya untuk membiayai
keperluan setiap bulan.
(4) Pengeluaran setinggi-tingginya untuk keperluan setiap bulan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan untuk belanja yang bersifat mengikat dan
belanja yang bersifat wajib.
(5) Belanja yang bersifat mengikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan
belanja yang dibutuhkan secara terus menerus dan harus dialokasikan oleh pemerintah
daerah dengan jumlah yang cukup untuk keperluan setiap bulan dalam tahun
anggaran yang bersangkutan, seperti belanja pegawai, belanja barang dan jasa.
(6) Belanja yang bersifat wajib adalah belanja untuk terjaminnya kelangsungan pemenuhan
pendanaan pelayanan dasar masyarakat antara lain pendidikan dan kesehatan dan/atau
melaksanakan kewajiban kepada pihak ketiga.
Pasal 103
(1) Rencana pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) disusun dalam
rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD.
(2) Rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilaksanakan setelah memperoleh pengesahan dari Gubernur.
(3) Pengesahan rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan Gubernur.
(4) Rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilengkapi dengan lampiran yang terdiri dari :
a. ringkasan APBD;
b. ringkasan APBD menurut urusan pemerintahan daerah dan organisasi;
c. rincian APBD menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, program,
kegiatan, kelompok, jenis, obyek, rincian obyek pendapatan, belanja dan
pembiayaan;
d. rekapitulasi belanja menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi,
program dan kegiatan;
e. rekapitulasi belanja daerah untuk keselarasan dan keterpaduan urusan
pemerintahan daerah dan fungsi dalam kerangka pengelolaan keuangan
negara;
f.
g.
h.
i.
j.
k.
daftar jumlah pegawai per golongan dan per jabatan;
daftar piutang daerah;
daftar penyertaan modal (investasi) daerah;
daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset tetap daerah;
daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset lain-lain;
daftar kegiatan-kegiatan tahun anggaran sebelumnya yang belum diselesaikan dan
dianggarkan kembali dalam tahun anggaran ini;
l. daftar dana cadangan daerah; dan
m. daftar pinjaman daerah.
Pasal 104
(1) Penyampaian rancangan peraturan kepala daerah untuk memperoleh pengesahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (5) paling lama 15 (lima belas) hari
kerja terhitung sejak DPRD tidak menetapkan keputusan bersama dengan kepala
daerah terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD.
(2) Apabila dalam batas waktu 30 (tiga puluh) hari kerja gubernur tidak mengesahkan
rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), kepala daerah menetapkan rancangan peraturan kepala daerah dimaksud
menjadi peraturan kepala daerah.
Pasal 105
Pelampauan dari pengeluaran setinggi-tingginya sebagaimana ditetapkan dalam Pasal
102 ayat (1), dapat dilakukan apabila ada kebijakan pemerintah untuk kenaikan gaji dan
tunjangan pegawai negeri sipil, bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah yang
ditetapkan dalam undang-undang, kewajiban pembayaran pokok pinjaman dan bunga
pinjaman yang telah jatuh tempo serta pengeluaran yang mendesak diluar kendali
pemerintah daerah.
Bagian Kedua
Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan Rancangan Peraturan
Kepala Daerah Tentang Penjabaran APBD
Pasal 106
(1) Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD yang telah disetujui bersama DPRD dan
rancangan Peraturan Bupati tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh bupati
paling lama 3 (tiga) hari kerja disampaikan terlebih dahulu kepada gubernur untuk
dievaluasi.
(2) Penyampaian rancangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan :
a. persetujuan bersama antara pemerintah daerah dan DPRD terhadap
rancangan peraturan daerah tentang APBD;
b. KUA dan PPAS yang disepakati antara kepala daerah dan pimpinan DPRD;
c. risalah sidang jalannya pembahasan terhadap rancangan peraturan daerah
tentang APBD; dan
d. nota keuangan dan pidato kepala daerah perihal penyampaian pengantar nota
keuangan pada sidang DPRD.
(3) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk tercapainya keserasian
antara kebijakan daerah dan kebijakan nasional, keserasian antara kepentingan publik
dan kepentingan aparatur serta untuk meneliti sejauh mana APBD Kabupaten
Lamandau tidak bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan yang lebih
tinggi dan/atau peraturan daerah lainnya yang ditetapkan oleh Kabupaten Lamandau.
(4) Untuk efektivitas pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur
dapat mengundang pejabat Pemerintah Daerah kabupaten yang terkait.
(5) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam keputusan gubernur
dan disampaikan kepada bupati paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak
diterimanya rancangan dimaksud.
(6) Apabila gubernur menyatakan hasil evaluasi atas rancangan peraturan daerah
tentang APBD dan rancangan peraturan bupati tentang penjabaran APBD sudah sesuai
dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
bupati menetapkan rancangan dimaksud menjadi peraturan daerah dan peraturan
bupati.
(7) Dalam hal gubernur menyatakan bahwa hasil evaluasi rancangan peraturan daerah
tentang APBD dan rancangan peraturan bupati tentang penjabaran APBD bertentangan
dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
bupati bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari kerja
terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi.
(8) Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Bupati dan DPRD, dan Bupati tetap
menetapkan rancangan peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan
bupati tentang penjabaran APBD menjadi peraturan daerah dan peraturan bupati,
gubernur membatalkan peraturan daerah dan peraturan bupati dimaksud sekaligus
menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya.
(9) Pembatalan peraturan daerah dan peraturan bupati serta pernyataan berlakunya
pagu APBD tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditetapkan dengan
peraturan gubernur.
Pasal 107
(1) Paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
106 ayat (8), kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan peraturan daerah dan
selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut peraturan daerah dimaksud.
(2) Pencabutan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
peraturan daerah tentang pencabutan peraturan daerah tentang APBD.
(3) Pelaksanaan pengeluaran atas pagu APBD tahun sebelumnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (8) ditetapkan dengan peraturan kepala daerah.
Pasal 108
Evaluasi rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan rancangan Peraturan Kepala
Daerah tentang penjabaran APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3),
berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri.
Pasal 109
(1) Penyempurnaan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (7)
dilakukan kepala daerah bersama dengan Badan Anggaran DPRD.
(2) Hasil penyempurnaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
pimpinan DPRD.
(3) Keputusan pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dijadikan dasar
penetapan peraturan daerah tentang APBD.
(4) Keputusan pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersifat final dan
dilaporkan pada sidang paripurna berikutnya.
(5) Sidang paripurna berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yakni setelah sidang
paripurna pengambilan keputusan bersama terhadap rancangan peraturan daerah
tentang APBD.
(6) Keputusan pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada
gubernur paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah keputusan tersebut ditetapkan.
(7) Dalam hal pimpinan DPRD berhalangan tetap, maka pejabat yang ditunjuk dan ditetapkan
oleh pejabat yang berwenang selaku pimpinan sementara DPRD yang menandatangani
keputusan pimpinan DPRD.
Bagian Ketiga
Penetapan Peraturan Daerah Tentang APBD dan
Peraturan Kepala Daerah Tentang Penjabaran APBD
Pasal 110
(1) Rancangan peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan kepala daerah
tentang penjabaran APBD yang telah dievaluasi ditetapkan oleh kepala daerah menjadi
peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran
APBD.
(2) Penetapan rancangan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah
tentang penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling
lambat tanggal 31 Desember tahun anggaran sebelumnya.
(3) Dalam hal kepala daerah berhalangan tetap, maka pejabat yang, ditunjuk dan
ditetapkan oleh pejabat yang berwenang selaku penjabat/pelaksana tugas kepala
daerah yang menetapkan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah
tentang penjabaran APBD.
(4) Kepala daerah menyampaikan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala
daerah tentang penjabaran APBD kepada Gubernur paling lama 7 (tujuh) hari kerja
setelah ditetapkan;
(5) Untuk memenuhi asas transparansi, kepala daerah wajib menginformasikan substansi
peraturan daerah APBD kepada masyarakat yang telah diundangkan dalam lembaran
daerah.
BAB VIII
PELAKSANAAN APBD
Bagian Pertama
Azas Umum Pelaksanaan APBD
Pasal 111
(1) Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah dalam rangka pelaksanaan urusan
pemerintahan daerah dikelola dalam APBD.
(2) Setiap SKPD yang mempunyai tugas memungut dan/atau menerima pendapatan
daerah wajib melaksanakan pemungutan dan/atau penerimaan berdasarkan ketentuan
yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
(3) Penerimaan SKPD dilarang digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran, kecuali
ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
(4) Penerimaan SKPD berupa uang atau cek harus disetor ke rekening kas umum
daerah paling lama 1 (satu) hari kerja.
(5) Jumlah belanja yang dianggarkan dalam APBD merupakan batas tertinggi untuk setiap
pengeluaran belanja.
(6) Pengeluaran tidak dapat dibebankan pada anggaran belanja jika untuk
pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dalam APBD.
(7) Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dilakukan jika dalam
keadaan darurat, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD
dan/atau disampaikan dalam laporan realisasi anggaran.
(8) Kriteria keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
(9) Setiap SKPD dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran daerah untuk tujuan
lain dari yang telah ditetapkan dalam APBD.
(10) Pengeluaran belanja daerah menggunakan prinsip hemat, tidak mewah, efektif,
efisien dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD
Paragraf 1
Penyiapan Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD
Pasal 112
(1) PPKD paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah peraturan daerah tentang APBD
ditetapkan, memberitahukan kepada semua kepala SKPD agar menyusun rancangan
DPA-SKPD.
(2) Rancangan DPA-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merinci sasaran yang
hendak dicapai, program, kegiatan, anggaran yang disediakan untuk mencapai
sasaran tersebut, dan rencana penarikan dana tiap-tiap SKPD serta pendapatan yang
diperkirakan.
(3) Kepala SKPD menyerahkan rancangan DPA-SKPD kepada PPKD paling lama 6 (enam)
hari kerja setelah pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Pada SKPKD disusun DPA-SKPD dan DPA-PPKD.
(5) DPA-SKPD memuat program/kegiatan yang dilaksanakan oleh PPKD selaku SKPD.
(6) DPA-PPKD digunakan untuk menampung :
a. Penerimaan pajak daerah dan pendapatan yang berasal dari dana perimbangan dan
pendapatan hibah;
b. Belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi
hasil, belanja bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga;
c. Penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan daerah;
Pasal 113
(1) TAPD melakukan verifikasi rancangan DPA-SKPD bersama-sama dengan kepala SKPD
paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak ditetapkannya peraturan kepala daerah
tentang penjabaran APBD;
(2) Berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPKD
mengesahkan rancangan DPA-SKPD dengan persetujuan sekretaris daerah.
(3) DPA-SKPD yang telah disahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan kepada kepala SKPD, satuan kerja pengawasan daerah, dan Badan Pemeriksa
Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal disahkan.
(4) DPA-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai dasar pelaksanaan
anggaran oleh kepala SKPD selaku pengguna anggaran/pengguna barang.
Paragraf 2
Anggaran Kas
Pasal 114
(1) Kepala SKPD berdasarkan rancangan DPA-SKPD menyusun rancangan
anggaran kas SKPD.
(2) Rancangan anggaran kas SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada PPKD selaku BUD bersamaan dengan rancangan DPASKPD.
(3) Pembahasan rancangan anggaran kas SKPD dilaksanakan bersamaan dengan
pembahasan DPA-SKPD.
Pasal 115
(1) PPKD selaku BUD menyusun anggaran kas pemerintah daerah guna mengatur
ketersediaan dana yang cukup untuk mendanai pengeluaran-pengeluaran sesuai
dengan rencana penarikan dana yang tercantum dalam DPA-SKPD yang telah
disahkan.
(2) Anggaran kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat perkiraan arus kas masuk
yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas keluar yang digunakan untuk
mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode.
(3) Mekanisme pengelolaan anggaran kas pemerintah daerah ditetapkan dalam
peraturan kepala daerah.
(4) Penjelasan lebih lanjut tentang Anggaran Kas Pemerintah Daerah diatur dalam
Peraturan Kepala Daerah.
Bagian Ketiga
Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Daerah
Pasal 116
(1) Semua pendapatan daerah dilaksanakan melalui rekening kas umum daerah.
(2) Setiap pendapatan harus didukung oleh bukti yang lengkap dan sah.
Pasal 117
(1) Setiap SKPD yang memungut pendapatan daerah wajib mengintensifkan
pemungutan pendapatan yang menjadi wewenang dan tanggung jawabnya.
(2) SKPD dilarang melakukan pungutan selain dari yang ditetapkan dalam peraturan
daerah.
Pasal 118
Komisi, rabat, potongan atau pendapatan lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun
yang dapat dinilai dengan uang, baik secara langsung sebagai akibat dari penjualan,
tukar-menukar, hibah, asuransi dan/atau pengadaan barang dan jasa termasuk
pendapatan bunga, jasa giro atau pendapatan lain sebagai akibat penyimpanan dana
anggaran pada bank serta pendapatan dari hasil pemanfaatan barang daerah atas
kegiatan lainnya merupakan pendapatan daerah.
Pasal 119
(1) Pengembalian atas kelebihan pendapatan dilakukan dengan membebankan pada
pendapatan yang bersangkutan untuk Pengembalian pendapatan yang terjadi
dalam tahun yang sama.
(2) Untuk pengembalian kelebihan pendapatan yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya
dibebankan pada belanja tidak terduga.
(3) Pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus didukung
dengan bukti yang lengkap dan sah.
Pasal 120
Semua pendapatan dana perimbangan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah
dilaksanakan melalui rekening kas umum daerah dan dicatat sebagai pendapatan daerah.
Bagian Keempat
Pelaksanaan Anggaran Belanja Daerah
Pasal 121
(1) Setiap pengeluaran belanja atas beban APBD harus didukung dengan bukti yang
lengkap dan sah.
(2) Bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat pengesahan oleh pejabat
yang berwenang dan bertanggung jawab atas kebenaran material yang timbul dari
penggunaan bukti dimaksud.
(3) Pengeluaran kas yang mengakibatkan beban APBD tidak dapat dilakukan sebelum
rancangan peraturan daerah tentang APBD ditetapkan dan ditempatkan dalam
lembaran daerah.
(4) Pengeluaran kas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak termasuk untuk belanja
yang bersifat mengikat dan belanja yang bersifat wajib yang ditetapkan dalam
peraturan kepala daerah.
Pasal 122
(1) Dasar pengeluaran anggaran belanja tidak terduga yang dianggarkan dalam APBD
untuk mendanai tanggap darurat, penanggulangan bencana alam dan/atau bencana
sosial, termasuk pengembalian atas kelebihan penerimaan daerah tahun-tahun
sebelumnya yang telah ditutup ditetapkan dengan keputusan kepala daerah dan
diberitahukan kepada DPRD paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak keputusan
dimaksud ditetapkan.
(2) Pengeluaran belanja untuk tanggap darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berdasarkan kebutuhan yang diusulkan dari instansi/lembaga berkenaan setelah
mempertimbangkan efisiensi dan efektifitas serta menghindari adanya tumpang tindih
pendanaan terhadap kegiatan-kegiatan yang telah didanai dari anggaran pendapatan
dan belanja negara.
(3) Pimpinan instansi/lembaga penerima dana tanggap darurat bertanggung- jawab
atas penggunaan dana tersebut dan wajib menyampaikan laporan realisasi
penggunaan kepada atasan langsung dan kepala daerah.
(4) Tata cara pemberian dan pertanggungjawaban belanja tidak terduga untuk
tanggap darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam
peraturan kepala daerah.
Pasal 123
Bendahara pengeluaran sebagai wajib pungut pajak penghasilan (PPh) dan pajak lainnya,
wajib menyetorkan seluruh penerimaan potongan dan pajak yang dipungutnya ke rekening
kas negara pada bank yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagai bank persepsi
atau pos giro dalam jangka waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 124
Untuk kelancaran pelaksanaan tugas SKPD, kepada pengguna anggaran/kuasa pengguna
anggaran dapat diberikan uang persediaan yang dikelola oleh bendahara pengeluaran.
Bagian Kelima
Pelaksanaan Anggaran Pembiayaan Daerah
Paragraf 1
Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) Tahun Sebelumnya
Pasal 125
Sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya merupakan penerimaan
pembiayaan yang digunakan untuk :
a. menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil daripada
realisasi belanja;
b. mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung;
c. mendanai kewajiban lainnya yang sampai dengan akhir tahun anggaran belum
diselesaikan.
Pasal 126
(1) Pelaksanaan kegiatan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 huruf b
didasarkan pada DPA-SKPD yang telah disahkan kembali oleh PPKD menjadi DPA
Lanjutan SKPD (DPAL-SKPD) tahun anggaran berikutnya.
(2) Untuk mengesahkan kembali DPA-SKPD menjadi DPAL-SKPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Kepala SKPD menyampaikan laporan akhir realisasi
pelaksanaan kegiatan fisik dan non-fisik maupun keuangan kepada PPKD paling
lambat pertengahan bulan Desember tahun anggaran berjalan.
(3) Jumlah anggaran dalam DPAL-SKPD dapat disahkan setelah terlebih dahulu
dilakukan pengujian terhadap :
a. sisa DPA-SKPD yang belum diterbitkan SPD dan/atau belum diterbitkan SP2D
atas kegiatan yang bersangkutan;
b. sisa SPD yang b elum d iterb itka n SPP, SPM d an SP2D; a tau
c. SP2D yang belum diuangkan.
(4) DPAL-SKPD yang telah disahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijadikan
dasar pelaksanaan penyelesaian pekerjaan dan penyelesaian pembayaran.
(5) Pekerjaan yang dapat dilanjutkan dalam bentuk DPAL memenuhi kriteria :
a. pekerjaan yang telah ada ikatan perjanjian kontrak pada tahun anggaran berkenaan;
dan
b. keterlambatan penyelesaian pekerjaan diakibatkan bukan karena kelalaian pengguna
anggaran/barang atau rekanan, namun karena akibat dari force major;
(6) Penjelasan lebih lanjut tentang DPAL-SKPD diatur dalam Peraturan Kepala
Daerah tentang Sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah.
Paragraf 2
Dana Cadangan
Pasal 127
(1) Dana cadangan dibukukan dalam rekening tersendiri atas nama dana cadangan
pemerintah daerah yang dikelola oleh BUD.
(2) Dana cadangan tidak dapat digunakan untuk membiayai program dan kegiatan lain
diluar yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang pembentukan dana
cadangan.
(3) Program dan kegiatan yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan apabila dana cadangan telah mencukupi untuk
melaksanakan program dan kegiatan.
(4) Untuk pelaksanaan program dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dana
cadangan dimaksud terlebih dahulu dipindahbukukan ke rekening kas umum daerah.
(5) Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling tinggi sejumlah pagu
dana cadangan yang akan digunakan untuk mendanai pelaksanaan kegiatan dalam tahun
anggaran berkenaan sesuai dengan yang ditetapkan dalam peraturan daerah
tentang pembentukan dana cadangan.
(6) Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan surat
perintah pemindahbukuan oleh kuasa BUD atas persetujuan PPKD.
(7) Dalam hal program dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah
selesai dilaksanakan dan target kinerjanya telah tercapai, maka dana cadangan yang
masih tersisa pada rekening dana cadangan, dipindahbukukan ke rekening kas umum
daerah.
Pasal 128
(1) Dalam hal dana cadangan yang ditempatkan pada rekening dana cadangan belum
digunakan sesuai dengan peruntukannya, dana tersebut dapat ditempatkan dalam
portofolio yang memberikan hasil tetap dengan risiko rendah.
(2) Penerimaan hasil bunga/deviden rekening dana cadangan dan penempatan dalam
portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menambah jumlah dana cadangan.
(3) Portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. deposito;
b. sertifikat bank indonesia (SBI);
c. surat perbendaharaan negara (SPN);
d. surat utang negara (SUN); dan
e. surat berharga Iainnya yang dijamin pemerintah.
(4) Penatausahaan pelaksanaan program dan kegiatan yang dibiayai dari dana
cadangan di perlakukan sama dengan penatausahaan pelaksanaan program/ kegiatan
Iainnya.
Paragraf 3
Investasi
Pasal 129
(1) Investasi awal dan penambahan investasi dicatat pada rekening penyertaan
modal (investasi) daerah.
(2) Pengurangan, penjualan, dan/atau pengalihan ivestasi dicatat pada rekening
penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan (divestasi modal).
Paragraf 4
Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah
Pasal 130
(1) Penerimaan pinjaman daerah dan obligasi daerah dilakukan melalui rekening
kas umum daerah.
(2) Pemerintah daerah tidak dapat memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain.
(3) Pendapatan daerah dan/atau aset daerah (barang milik daerah) tidak boleh
dijadikan jaminan pinjaman daerah.
(4) Kegiatan yang dibiayai dari obligasi daerah beserta barang milik daerah yang
melekat dalam kegiatan tersebut dapat dijadikan jaminan obligasi daerah.
Pasal 131
Kepala SKPKD melakukan penatausahaan atas pinjaman daerah dan obligasi
daerah.
Pasal 132
(1) Pemerintah daerah wajib melaporkan posisi komulatif pinjaman dan kewajiban
pinjaman kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri setiap akhir
semester tahun anggaran berjalan.
(2) Posisi komulatif pinjaman dan kewajiban pinjaman sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas :
a. jumlah penerimaan pinjaman;
b. p e m b a y a r a n p in j a m a n ( p o k o k d a n b u n g a ) ; d a n
c. sisa pinjaman.
Pasal 133
(1) Pemerintah daerah wajib membayar bunga dan pokok utang dan/atau obligasi
daerah yang telah jatuh tempo.
(2) Apabila anggaran yang tersedia dalam APBD/perubahan APBD tidak mencukupi
untuk pembayaran bunga dan pokok utang dan/atau obligasi daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), kepala daerah dapat melakukan pelampauan
pembayaran mendahului perubahan atau setelah perubahan APBD.
Pasal 134
(1) Pelampauan pembayaran bunga dan pokok utang dan/atau obligasi daerah
sebelum perubahan APBD dilaporkan kepada DPRD dalam pembahasan awal
perubahan APBD.
(2) Pelampauan pembayaran bunga dan pokok utang dan/atau obligasi daerah setelah
perubahan APBD dilaporkan kepada DPRD dalam laporan realisasi anggaran.
Pasal 135
(1) Kepala SKPKD melaksanakan pembayaran bunga dan cicilan pokok utang
dan/atau obligasi daerah yang jatuh tempo.
(2) Pembayaran bunga pinjaman dan/atau obligasi daerah dicatat pada rekening
belanja bunga.
(3) Pembayaran denda pinjaman dan/atau obligasi daerah dicatat pada rekening
belanja bunga.
(4) Pembayaran pokok pinjaman dan/atau obligasi daerah dicatat pada rekening
cicilan pokok utang yang jatuh tempo.
Pasal 136
(1) Pengelolaan obligasi daerah ditetapkan dengan peraturan kepala daerah.
(2) Peraturan kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurangkurangnya mengatur mengenai :
a. penetapan strategi dan kebijakan pengelolaan obligasi daerah termasuk
kebijakan pengendalian resiko;
b. perencanaan dan penetapan portofolio pinjaman daerah;
c. penerbitan obligasi daerah;
d. penjualan obligasi daerah melalui lelang dan/atau tanpa lelang;
e. pembelian kembali obligasi daerah sebelum jatuh tempo;
f. pelunasan; dan
g. aktivitas lain dalam rangka pengembangan pasar perdana ke pasar sekunder
obligasi daerah.
(3) Penyusunan peraturan kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri.
Paragraf 5
Piutang Daerah
Pasal 137
(1)
(2)
Setiap piutang daerah diselesaikan seluruhnya dengan tepat waktu.
PPK-SKPD melakukan penatausahaan atas penerimaan piutang atau tagihan daerah
yang menjadi tanggung jawab SKPD.
Pasal 138
(1)
(2)
Piutang atau tagihan daerah yang tidak dapat diselesaikan seluruhnya pada saat
jatuh tempo, diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Piutang daerah jenis tertentu seperti piutang pajak daerah dan piutang retribusi
daerah merupakan prioritas untuk didahulukan penyelesaiannya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 139
(1)
(2)
(3)
Piutang daerah yang terjadi sebagai akibat hubungan keperdataan dapat
diselesaikan dengan cara damai, kecuali piutang daerah yang cara
penyelesaiannya diatur tersendiri dalam peraturan perundang-undangan.
Piutang daerah dapat dihapuskan dari pembukuan dengan penyelesaian secara
mutlak atau bersyarat, kecuali cara penyelesaiannya diatur tersendiri dalam peraturan
perundang-undangan.
Penghapusan piutang daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
oleh :
a. kepala daerah untuk jumlah sampai dengan Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah)
b. kepala daerah dengan persetujuan DPRD untuk jumlah Iebih dari
Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 140
(1)
(2)
(3)
Kepala SKPKD melaksanakan penagihan dan menatausahakan piutang daerah.
Untuk melaksanakan penagihan piutang daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), kepala SKPKD menyiapkan bukti dan administrasi penagihan.
Penjelasan lebih lanjut tentang penagihan dan penatausahaan piutang daerah
diatur dalam Peraturan Kepala Daerah tentang Sistem dan Prosedur Pengelolaan
Keuangan Daerah.
Pasal 141
(1) Kepala SKPKD setiap bulan melaporkan realisasi penerimaan piutang kepada kepala
daerah.
(2) Bukti pembayaran piutang SKPKD dari pihak ketiga harus dipisahkan dengan bukti
penerimaan kas atas pendapatan pada tahun anggaran berjalan.
BAB IX
PERUBAHAN APBD
Bagian Pertama
Dasar Perubahan APBD
Pasal 142
(1) Perubahan APBD dapat dilakukan apabila terjadi :
a. perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi KUA;
b. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit
organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja;
c. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran Iebih tahun sebelumnya harus
digunakan dalam tahun berjalan;
d. keadaan darurat; dan
e. keadaan luar biasa.
(2) Perubahan APBD hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun
anggaran, kecuali dalam keadaan luar biasa.
Bagian Kedua
Kebijakan Umum serta Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara
Perubahan APBD
Pasal 143
(1) Perubahan APBD disebabkan perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi KUA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (1) huruf a dapat berupa terjadinya
pelampauan atau tidak tercapainya proyeksi pendapatan daerah, alokasi belanja
daerah, sumber dan penggunaan pembiayaan yang semula ditetapkan dalam KUA.
(2) Kepala daerah memformulasikan hal-hal yang mengakibatkan terjadinya perubahan
APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (1) huruf a ke dalam rancangan
kebijakan umum perubahan APBD serta PPAS perubahan APBD.
(3) Dalam rancangan kebijakan umum perubahan APBD dan PPAS perubahan APBD
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disajikan secara lengkap penjelasan mengenai :
a. perbedaan asumsi dengan KUA yang ditetapkan sebelumnya;
b. program dan kegiatan yang dapat diusulkan untuk ditampung dalam
perubahan APBD dengan mempertimbangkan sisa waktu pelaksanaan APBD tahun
anggaran berjalan;
c. capaian target kinerja program dan kegiatan yang harus dikurangi dalam
perubahan APBD apabila asumsi KUA tidak tercapai; dan
d. capaian target kinerja program dan kegiatan yang harus ditingkatkan dalam
perubahan APBD apabila melampaui asumsi KUA.
(4) Rancangan kebijakan umum perubahan APBD dan PPAS perubahan APBD
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada DPRD untuk dibahas paling
lambat minggu pertama bulan Agustus dalam tahun anggaran berjalan.
(5) Pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh TAPD
bersama Badan Anggaran DPRD.
(6) Rancangan kebijakan umum perubahan APBD dan PPAS perubahan APBD
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), setelah dibahas selanjutnya disepakati
menjadi kebijakan umum perubahan APBD serta PPA perubahan APBD paling lambat
minggu kedua bulan Agustus tahun anggaran berjalan.
(7) Dalam hal persetujuan DPRD terhadap rancangan peraturan daerah tentang perubahan
APBD diperkirakan pada akhir bulan September tahun anggaran berjalan, agar
dihindari adanya penganggaran kegiatan pembangunan fisik di dalam rancangan
peraturan daerah tentang perubahan APBD.
Pasal 144
Kebijakan umum perubahan APBD serta PPA perubahan APBD yang telah disepakati
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (6), masing-masing atau dapat secara bersamasama dituangkan ke dalam nota kesepakatan yang ditandatangani bersama antara kepala
daerah dengan pimpinan DPRD dalam waktu bersamaan.
Pasal 145
(1) Berdasarkan nota kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144, TAPD
menyiapkan rancangan surat edaran kepala daerah perihal pedoman penyusunan RKASKPD yang memuat program dan kegiatan baru dan/atau kriteria DPA-SKPD yang
dapat diubah untuk dianggarkan dalam perubahan APBD sebagai acuan bagi kepala
SKPD.
(2) Rancangan surat edaran kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup :
a. PPAS perubahan APBD yang dialokasikan untuk program baru dan/atau kriteria
DPA-SKPD yang dapat diubah pada setiap SKPD;
b. batas waktu penyampaian RKA-SKPD dan/atau DPA-SKPD yang telah diubah
kepada PPKD;
c. dokumen sebagai lampiran meliputi kebijakan umum perubahan APBD,
PPAS perubahan APBD, standar analisa belanja dan standar harga.
(3) Pedoman penyusunan RKA-SKPD dan/atau kriteria DPA-SKPD yang dapat
diubah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diterbitkan oleh kepala daerah
paling lambat minggu ketiga bulan Agustus tahun anggaran berjalan.
Pasal 146
(1) Perubahan DPA-SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (1) dapat
berupa peningkatan atau pengurangan capaian target kinerja program dan
kegiatan dari yang telah ditetapkan semula.
(2) Peningkatan atau pengurangan capaian target kinerja program dan kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diformulasikan dalam format dokumen
pelaksanaan perubahan anggaran SKPD (DPPA-SKPD).
(3) Dalam format DPPA-SKPD dijelaskan capaian target kinerja, kelompok, jenis, obyek,
dan rincian obyek pendapatan, belanja serta pembiayaan baik sebelum dilakukan
perubahan maupun setelah perubahan.
Bagian Ketiga
Pergeseran Anggaran
Pasal 147
(1) Pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (1) huruf b serta pergeseran antar
obyek belanja dalam jenis belanja dan antar rincian obyek belanja diformulasikan
dalam DPPA-SKPD.
(2) Pergeseran antar rincian obyek belanja dalam obyek belanja berkenaan dapat
dilakukan atas persetujuan PPKD.
(3) Pergeseran antar obyek belanja dalam jenis belanja berkenaan dilakukan atas
persetujuan sekretaris daerah.
(4) Pergeseran anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
dilakukan dengan cara mengubah peraturan kepala daerah tentang penjabaran
APBD sebagai dasar pelaksanaan, untuk selanjutnya dianggarkan dalam
rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD.
(5) Pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja dapat
dilakukan dengan cara merubah peraturan daerah tentang APBD.
(6) Anggaran yang mengalami perubahan baik berupa penambahan dan/atau
pengurangan akibat pergeseran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dijelaskan
dalam kolom keterangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran perubahan APBD.
(7) Tata cara pergeseran sebagaimana dimaksud ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam
peraturan kepala daerah tentang Sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah.
Bagian Keempat
Penggunaan Saldo Anggaran Lebih Tahun Sebelumnya
Dalam Perubahan APBD
Pasal 148
(1) Saldo anggaran lebih tahun sebelumnya merupakan sisa lebih perhitungan tahun
anggaran sebelumnya.
(2) Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan
dalam tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (1) huruf
c dapat berupa :
a. membayar bunga dan pokok utang dan/atau obligasi daerah yang melampaui anggaran
yang tersedia mendahului perubahan APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133
ayat (2);
b. melunasi seluruh kewajiban bunga dan pokok utang;
c. mendanai kenaikan gaji dan tunjangan PNS akibat adanya kebijakan
pemerintah;
d. mendanai kegiatan lanjutan sesuai dengan ketentuan Pasal 133;
e. mendanai program dan kegiatan baru dengan kriteria harus diselesaikan sampai
dengan batas akhir penyelesaian pembayaran dalam tahun anggaran berjalan; dan
f. mendanai kegiatan-kegiatan yang capaian target kinerjanya ditingkatkan dari yang
telah ditetapkan semula dalam DPA-SKPD tahun anggaran berjalan yang dapat
diselesaikan sampai dengan batas akhir penyelesaian pembayaran dalam tahun
anggaran berjalan.
(3) Penggunaan saldo anggaran tahun sebelumnya untuk pendanaan pengeluaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf f
diformulasikan terlebih dahulu dalam DPPA-SKPD.
(4) Penggunaan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya untuk mendanai pengeluaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diformulasikan terlebih dahulu dalam
DPAL-SKPD.
(5) Penggunaan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya untuk mendanai
pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e diformulasikan terlebih
dahulu dalam RKA-SKPD.
Bagian Kelima
Pendanaan Keadaan Darurat
Pasal 149
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
Keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (1) huruf d
sekurang-kurangnya memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. bukan merupakan kegiatan normal dari aktivitas pemerintah daerah dan tidak
dapat diprediksikan sebelumnya;
b. tidak diharapkan terjadi secara berulang;
c. berada diluar kendali dan pengaruh pemerintah daerah; dan
d. memiliki dampak yang signifikan terhadap anggaran dalam rangka pemulihan yang
disebabkan oleh keadaan darurat.
Dalam keadaan darurat, pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran yang
belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan
perubahan APBD.
Pendanaan keadaan darurat yang belum tersedia anggarannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat menggunakan belanja tidak terduga.
Dalam hal belanja tidak terduga tidak mencukupi dapat dilakukan dengan cara :
a. menggunakan dana dari hasil penjadwalan ulang capaian target kinerja
program dan kegiatan lainnya dalam tahun anggaran berjalan; dan/atau
b. memanfaatkan uang kas yang tersedia.
Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk belanja untuk
keperluan mendesak yang kriterianya ditetapkan dalam peraturan daerah tentang
Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah ini.
Kriteria belanja untuk keperluan mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
mencakup :
a. program dan kegiatan pelayanan dasar masyarakat yang anggarannya belum
tersedia dalam tahun anggaran berjalan; dan
b. keperluan mendesak lainnya yang apabila ditunda akan menimbulkan
kerugian yang lebih besar bagi pemerintah daerah dan masyarakat.
Penjadwalan ulang capaian target kinerja program dan kegiatan lainnya dalam tahun
anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a diformulasikan
terlebih dahulu dalam DPPA-SKPD.
Pendanaan keadaan darurat untuk kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
diformulasikan terlebih dahulu dalam RKA-SKPD.
Dalam hal keadaan darurat terjadi setelah ditetapkannya perubahan APBD,
pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia
anggarannya, dan pengeluaran tersebut disampaikan dalam laporan realisasi
anggaran.
Dasar pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (9)
diformulasikan terlebih dahulu dalam RKA-SKPD untuk dijadikan dasar pengesahan
DPA-SKPD oleh PPKD setelah memperoleh persetujuan sekretaris daerah.
Pelaksanaan pengeluaran untuk mendanai kegiatan dalam keadaan darurat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (5) terlebih dahulu ditetapkan
dengan peraturan kepala daerah.
Bagian Keenam
Pendanaan Keadaan Luar Biasa
Pasal 150
(1) Keadaan Iuar biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (1) huruf e merupakan
keadaan yang menyebabkan estimasi penerimaan dan/atau pengeluaran dalam APBD
mengalami kenaikan atau penurunan lebih besar dari 50% (lima puluh persen).
(2) Persentase 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
selisih (gap) kenaikan atau penurunan antara pendapatan dan belanja dalam APBD.
Pasal 151
(1) Dalam hal kejadian Iuar biasa yang menyebabkan estimasi penerimaan dalam APBD
mengalami peningkatan Iebih dari 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 150 ayat (1), dapat dilakukan penambahan kegiatan baru dan/atau penjadwalan
ulang/peningkatan capaian target kinerja program dan kegiatan dalam tahun
anggaran berjalan.
(2) Penambahan kegiatan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diformulasikan
terlebih dahulu dalam RKA-SKPD.
(3) Penjadwalan ulang/peningkatan capaian target kinerja program dan kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diformulasikan terlebih dahulu dalam DPPASKPD.
(4) RKA-SKPD dan DPPA-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) digunakan
sebagai dasar penyusunan rancangan peraturan daerah tentang perubahan kedua
APBD.
Pasal 152
(1) Dalam hal kejadian Iuar biasa yang menyebabkan estimasi penerimaan dalam APBD
mengalami penurunan lebih dari 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 150 ayat (1), maka dapat dilakukan penjadwalan ulang/pengurangan
capaian target kinerja program dan kegiatan Iainnya dalam tahun anggaran berjalan.
(2) Penjadwalan ulang/pengurangan capaian target sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diformulasikan ke dalam DPPA-SKPD.
(3) DPPA-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai dasar
penyusunan rancangan peraturan daerah tentang perubahan kedua APBD.
Bagian Ketujuh
Penyiapan Raperda Perubahan APBD
Pasal 153
(1) RKA-SKPD yang memuat program dan kegiatan baru dan DPPA-SKPD yang akan
dianggarkan dalam perubahan APBD yang telah disusun oleh SKPD disampaikan
kepada PPKD untuk dibahas lebih lanjut oleh TAPD.
(2) Pembahasan oleh TAPD dilakukan untuk menelaah kesesuaian antara RKA SKPD dan
DPPA-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan kebijakan umum perubahan
APBD serta PPA perubahan APBD, prakiraan maju yang direncanakan atau yang telah
disetujui dan dokumen perencanaan Iainnya, serta capaian kinerja, indikator kinerja,
standar analisis belanja, standar satuan harga, dan standar pelayanan minimal.
(3) Dalam hal hasil pembahasan RKA-SKPD dan DPPA-SKPD yang memuat program
dan kegiatan yang akan dianggarkan dalam perubahan APBD terdapat ketidaksesuaian
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), SKPD melakukan
penyempurnaan.
Pasal 154
(1) RKA-SKPD yang memuat program dan kegiatan baru dan DPPA-SKPD yang akan
dianggarkan dalam perubahan APBD yang telah disempurnakan oleh SKPD,
disampaikan kepada PPKD untuk dibahas lebih lanjut oleh TAPD.
(2) RKA-SKPD yang memuat program dan kegiatan baru dan DPPA-SKPD yang akan
dianggarkan dalam perubahan APBD yang telah dibahas TAPD, dijadikan bahan
penyusunan rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD dan rancangan
peraturan kepala daerah tentang penjabaran perubahan APBD oleh PPKD.
Bagian Kedelapan
Penetapan Perubahan APBD
Paragraf 1
Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD dan Rancangan Peraturan
Kepala Daerah tentang Penjabaran Perubahan APBD
Pasal 55
Rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD dan peraturan kepala daerah
tentang penjabaran perubahan APBD yang disusun oleh PPKD memuat pendapatan, belanja
dan pembiayaan yang mengalami perubahan dan yang tidak mengalami perubahan.
Pasal 156
(1) Rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 155 terdiri dari rancangan peraturan daerah tentang perubahan
APBD beserta lampirannya.
(2) Lampiran rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri dari :
a. ringkasan perubahan APBD;
b. ringkasan perubahan APBD menurut urusan pemerintahan daerah dan
organisasi;
c. rincian perubahan APBD menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi,
pendapatan, belanja dan pembiayaan;
d. rekapitulasi perubahan belanja menurut urusan pemerintahan daerah,
organisasi, program dan kegiatan;
e. rekapitulasi perubahan belanja daerah untuk keselarasan dan keterpaduan
urusan pemerintahan daerah dan fungsi dalam kerangka pengelolaan
keuangan negara;
f. daftar perubahan jumlah pegawai per golongan dan per jabatan;
g. daftar kegiatan-kegiatan tahun anggaran sebelumnya yang belum
diselesaikan dan dianggarkan kembali dalam tahun anggaran ini; dan
h. daftar pinjaman daerah.
Pasal 157
(1) Rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran perubahan APBD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (1) terdiri dari rancangan peraturan
kepala daerah tentang penjabaran perubahan APBD beserta Iampirannya.
(2) Lampiran rancangan peraturan kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri dari:
a. ringkasan penjabaran perubahan anggaran pendapatan daerah, belanja
daerah dan pembiayaan daerah; dan
b. penjabaran perubahan APBD menurut organisasi, program, kegiatan,
kelompok, jenis, obyek, rincian obyek pendapatan, belanja dan pembiayaan.
Pasal 158
(1) Rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD yang telah disusun oleh PPKD
disampaikan kepada kepala daerah.
(2) Rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sebelum disampaikan oleh kepala daerah kepada DPRD
disosialisasikan kepada masyarakat.
(3) Sosialisasi rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) bersifat memberikan informasi mengenai hak dan
kewajiban pemerintah daerah serta masyarakat dalam pelaksanaan perubahan APBD
tahun anggaran yang direncanakan.
(4) Penyebarluasan rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD
dilaksanakan oleh sekretariat daerah.
Paragraf 2
Penyampaian, Pembahasan dan Penetapan Raperda Perubahan APBD
Pasal 159
(1) Kepala daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD,
beserta Iampirannya kepada DPRD paling lambat minggu kedua bulan September
tahun anggaran berjalan untuk mendapatkan persetujuan bersama.
(2) Penyampaian rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disertai dengan nota keuangan perubahan APBD.
(3) DPRD menetapkan agenda pembahasan rancangan peraturan daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Pembahasan rancangan peraturan daerah berpedoman pada kebijakan umum
perubahan APBD serta PPA perubahan APBD yang telah disepakati antara kepala
daerah dan pimpinan DPRD.
(5) Pengambilan keputusan DPRD untuk menyetujui rancangan peraturan daerah tentang
perubahan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 3 (tiga) bulan
sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir.
Paragraf 3
Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD dan
Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran Perubahan APBD
Pasal 160
(1) Tata cara evaluasi dan penetapan rancangan Peraturan Daerah tentang
perubahan APBD dan rancangan Peraturan Bupati tentang penjabaran
perubahan APBD menjadi Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati berlaku ketentuan
Pasal 106 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4).
(2) Dalam hal gubernur menyatakan bahwa hasil evaluasi rancangan peraturan daerah
tentang perubahan APBD dan rancangan peraturan bupati tentang penjabaran
perubahan APBD bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, bupati bersama DPRD melakukan
penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya hasil
evaluasi.
(3) Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Bupati dan DPRD, dan Bupati
tetap menetapkan rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD dan
rancangan peraturan bupati tentang penjabaran perubahan APBD menjadi peraturan
daerah dan peraturan bupati, gubernur membatalkan peraturan daerah dan peraturan
bupati dimaksud sekaligus menyatakan tidak diperkenankan melakukan perubahan
APBD dan tetap berlaku APBD tahun anggaran berjalan.
(4) Pembatalan peraturan daerah dan peraturan bupati serta pernyataan
berlakunya APBD tahun berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan
dengan Keputusan Gubernur.
Pasal 161
Gubernur menyampaikan hasil evaluasi yang dilakukan atas Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten tentang perubahan APBD dan Rancangan Peraturan Bupati tentang penjabaran
perubahan APBD kepada Menteri Dalam Negeri.
Paragraf 4
Pelaksanaan Perubahan Anggaran SKPD
Pasal 162
(1) PPKD paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah peraturan daerah tentang perubahan APBD
ditetapkan, memberitahukan kepada semua kepala SKPD agar menyusun rancangan
DPPA-SKPD terhadap program dan kegiatan yang dianggarkan dalam perubahan APBD.
(2) DPA-SKPD yang mengalami perubahan dalam tahun berjalan seluruhnya harus disalin
kembali ke dalam Dokumen Pelaksanaan Perubahan Anggaran Satuan Kerja
Perangkat Daerah (DPPA-SKPD).
(3) Dalam DPPA-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap rincian obyek
pendapatan, belanja atau pembiayaan yang mengalami penambahan atau
pengurangan atau pergeseran harus disertai dengan penjelasan latar belakang
perbedaan jumlah anggaran baik sebelum dilakukan perubahan maupun setelah
dilakukan perubahan.
(4) DPPA-SKPD dapat dilaksanakan setelah dibahas TAPD, dan disahkan oleh PPKD
berdasarkan persetujuan sekretaris daerah.
BAB X
PENGELOLAAN KAS
Bagian Pertama
Pengelolaan Penerimaan dan Pengeluaran Kas
Pasal 163
(1) BUD bertanggung jawab terhadap pengelolaan penerimaan dan pengeluaran kas
daerah.
(2) Untuk mengelola kas daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BUD
membuka rekening kas umum daerah pada bank yang sehat.
(3) Penunjukan bank yang sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dengan keputusan kepala daerah dan diberitahukan kepada DPRD.
(4) BUD wajib menyampaikan laporan atas pengelolaan uang yang terdapat dalam
kewenangannya.
(5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa :
a. Laporan Posisi Kas Harian; dan
b. Rekonsiliasi Bank.
(6) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Kepala Daerah
setiap hari kerja.
Pasal 164
Untuk mendekatkan pelayanan pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran kas kepada
SKPD atau masyarakat, BUD dapat membuka rekening penerimaan dan rekening
pengeluaran pada bank yang ditetapkan oleh kepala daerah.
Pasal 165
(1) Rekening penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 digunakan untuk
menampung penerimaan daerah setiap hari.
(2) Saldo rekening penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap akhir hari
kerja wajib disetorkan seluruhnya ke rekening kas umum daerah.
Pasal 166
(1) Rekening pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 diisi dengan dana
yang bersumber dari rekening kas umum daerah.
(2) Jumlah dana yang disediakan pada rekening pengeluaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disesuaikan dengan rencana pengeluaran yang telah ditetapkan dalam
APBD.
Bagian Kedua
Pengelolaan Kas Non Anggaran
Pasal 167
(1) Pengelolaan kas non anggaran mencerminkan penerimaan dan pengeluaran kas yang
tidak mempengaruhi anggaran pendapatan, belanja, dan pembiayaan pemerintah
daerah.
(2) Penerimaan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) seperti :
a. potongan Taspen;
b. potongan Askes;
c. potongan PPh;
d. potongan PPN;
e. penerimaan titipan uang muka;
f. penerimaan uang jaminan; dan
g. penerimaan lainnya yang sejenis.
(3) Pengeluaran kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) seperti:
a. penyetoran Taspen;
b. penyetoran Askes;
c. penyetoran PPh;
d. penyetoran PPN;
e. Pengembalian titipan uang muka;
f. Pengembalian uang jaminan; dan
g. pengeluaran lainnya yang sejenis.
(4) Penerimaan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperlakukan sebagai
penerimaan perhitungan pihak ketiga.
(5) Pengeluaran kas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sebagai
pengeluaran perhitungan pihak ketiga.
(6) Informasi penerimaan kas dan pengeluaran kas sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3) disajikan dalam laporan arus kas aktivitas non anggaran.
(7) Penyajian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) sesuai dengan Standar
Akuntansi Pemerintahan.
(8) Tata cara pengelolaan kas non anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam peraturan kepala daerah tentang Sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan
Daerah.
BAB XI
PENATAUSAHAAN KEUANGAN DAERAH
Bagian Pertama
Azas Umum Penatausahaan Keuangan Daerah
Pasal 168
(1) Pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran, bendahara penerimaan/ pengeluaran
dan orang atau badan yang menerima atau menguasai uang/barang/kekayaan daerah
wajib menyelenggarakan penatausahaan sesuai dengan peraturan perundangundangan.
(2) Pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan
dengan surat bukti yang menjadi dasar penerimaan dan/atau pengeluaran atas
pelaksanaan APBD bertanggung jawab terhadap kebenaran material dan akibat yang
timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud.
Bagian Kedua
Pelaksanaan Penatausahaan Keuangan Daerah
Pasal 169
(1) Untuk pelaksanaan APBD, kepala daerah menetapkan :
a. pejabat yang diberi wewenang menandatangani SPD;
b. pejabat yang diberi wewenang menandatangani SPM;
pejabat yang diberi wewenang mengesahkan SPJ;
pejabat yang diberi wewenang menandatangani SP2D;
bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran;
bendahara pengeluaran yang mengelola belanja bunga, belanja subsidi, belanja
hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi basil, belanja bantuan keuangan, belanja
tidak terduga, dan pengeluaran pembiayaan pada SKPKD;
g. bendahara penerimaan pembantu dan bendahara pengeluaran pembantu
SKPD; dan
h. pejabat lainnya dalam rangka pelaksanaan APBD.
Penetapan pejabat yang ditunjuk sebagai kuasa pengguna anggaran/kuasa
pengguna barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan sesuai
dengan kebutuhan.
Penetapan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h,
didelegasikan oleh kepala daerah kepada kepala SKPD.
Pejabat lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mencakup :
a. PPK-SKPD yang diberi wewenang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada
SKPD;
b. PPTK yang diberi wewenang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari suatu
program sesuai dengan bidang tugasnya;
c. pejabat yang diberi wewenang menandatangani surat bukti pemungutan
pendapatan daerah;
d. pejabat yang diberi wewenang menandatangani bukti penerimaan kas dan
bukti penerimaan lainnya yang sah; dan
e. p emb a n t u b en d aha r a p en er ima a n d a n / a t a u p emb a nt u b end a h a ra
pengeluaran.
Penetapan pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4)
dilaksanakan sebelum dimulainya tahun anggaran berkenaan.
Penetapan pejabat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf (d) dan huruf (e)
dimaksudkan untuk mendukung kelancaran tugas perbendaharaan dan dilaksanakan
sesuai dengan kebutuhan.
Penjelasan lebih lanjut penetapan pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
selanjutnya diatur dalam Peraturan Kepala Daerah tentang Sistem dan Prosedur
Pengelolaan Keuangan Daerah.
c.
d.
e.
f.
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Pasal 170
(1) Untuk mendukung kelancaran tugas perbendaharaan, bendahara penerimaan dan
bendahara pengeluaran dapat dibantu oleh pembantu bendahara.
(2) Pembantu bendahara penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melaksanakan fungsi sebagai kasir atau pembuat dokumen penerimaan.
(3) Pembantu bendahara pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melaksanakan fungsi sebagai kasir, pembuat dokumen pengeluaran uang atau
pengurusan gaji.
Bagian Ketiga
Penatausahaan Penerimaan
Pasal 171
Surat Ketetapan Pajak Daerah
(1)
(2)
Surat Ketetapan Pajak Daerah ditetapkan oleh PPKD.
Surat Ketetapan Pajak Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurangkurangnya mencakup :
a. Nomor Surat Ketetapan Pajak Daerah;
b. Masa dan Tahun Pajak Daerah;
c. Identitas Wajib Pajak Daerah;
d. Kode rekening, uraian dan jumlah Pajak Daerah; dan
e. Jatuh Tempo Pembayaran.
(3)
(4)
Kode rekening, uraian dan jumlah Pajak Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf (d) dirinci menurut kelompok, jenis, obyek dan rincian obyek Pendapatan Asli
Daerah.
Surat Ketetapan Pajak Daerah ditetapkan setiap awal Tahun Anggaran.
Pasal 172
Surat Ketetapan Retribusi Daerah
(1) Surat Ketetapan Retribusi Daerah ditetapkan oleh Pengguna Anggaran.
(2) Surat Ketetapan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurangkurangnya mencakup :
a. Nomor Surat Ketetapan Retribusi Daerah;
b. Masa dan tahun Retribusi Daerah;
c. Identitas wajib Retribusi Daerah;
d. Kode rekening, uraian dan jumlah Retribusi Daerah; dan
e. Jatuh Tempo Pembayaran.
(3) Kode rekening, uraian dan jumlah Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf (d) dirinci menurut kelompok, jenis, obyek dan rincian obyek Pendapatan Asli
Daerah.
(4) Surat Ketetapan Retribusi Daerah ditetapkan setiap awal Tahun Anggaran.
Pasal 173
Surat Tanda Bukti Pembayaran
(1) Bendahara Penerimaan melakukan verifikasi kesesuaian jumlah uang yang diterima
dengan SKP Daerah yang diterimanya dari PPKD.
(2) Bendahara Penerimaan melakukan verifikasi kesesuaian jumlah uang yang diterima
dengan dokumen SKR Daerah yang diterimanya dari Pengguna Anggaran.
(3) Dalam hal verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan
sesuai, Bendahara Penerimaan membuat dan menyerahkan Surat Tanda Bukti
Pembayaran/Bukti lain yang sah kepada Wajib Pajak dan/ atau Wajib Retribusi.
(4) Surat Tanda Bukti Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sekurangkurangnya mencakup :
a. Nomor Bukti atas Penerimaan Pendapatan Asli Daerah;
b. Nama Bendahara Penerimaan;
c. Identitas wajib Pajak Daerah dan/atau wajib Retribusi Daerah;
d. Kode rekening, uraian dan jumlah Pajak Daerah dan/atau Retribusi Daerah;dan
e. Tanggal Penerimaan Pendapatan Asli Daerah.
(5) Kode rekening, uraian dan jumlah Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) huruf (d) dirinci menurut kelompok, jenis, obyek dan rincian obyek Pendapatan Asli
Daerah.
Pasal 174
Surat Tanda Bukti Pembayaran Kurang Setor
(1) Dalam hal verifikasi sebagaimana dimaksud pada pasal 168 ayat (1) dan ayat (2)
dinyatakan tidak sesuai, Bendahara Penerimaan membuat dan menyerahkan Surat
Tanda Bukti Pembayaran Kurang Setor/Bukti lain yang sah kepada Wajib Pajak dan/
atau Wajib Retribusi.
(2) Surat Tanda Bukti Pembayaran Kurang Setor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekurang-kurangnya mencakup :
a. Nomor bukti atas Penerimaan Pendapatan Asli Daerah;
b. Nama Bendahara Penerimaan;
c. Identitas wajib Pajak Daerah dan/atau wajib Retribusi Daerah;
d. Kode rekening, uraian dan jumlah Pajak Daerah dan/atau Retribusi Daerah;
e. Tanggal Penerimaan Pendapatan Asli Daerah;
f. Jumlah kurang bayar atas Penerimaan Pendapatan Asli Daerah; dan
g. Tanggal jatuh tempo pembayaran.
(3) Kode rekening, uraian dan jumlah Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf (d) dirinci menurut kelompok, jenis, obyek dan rincian obyek Pendapatan Asli
Daerah.
Pasal 175
Surat Tanda Setoran
(1) Bendahara Penerimaan melakukan penyetoran sejumlah uang atas Penerimaan
Pendapatan Asli Daerah ke rekening Kas Umum Daerah menggunakan Surat Tanda
Setoran.
(2) Penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 1 hari kerja berikutnya
setelah hari penerimaan.
(3) Surat Tanda Setoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
mencakup :
a. Nomor bukti atas setoran Pendapatan Asli Daerah;
b. Nama dan Nomor Rekening Kas Umum Daerah;
c. Jumlah uang yang disetor;
d. Kode rekening, uraian dan jumlah Pajak Daerah dan/atau Retribusi Daerah;
e. Tanggal Penerimaan Pendapatan Asli Daerah; dan
f. Tanggal penyetoran Pendapatan Asli Daerah.
(4) Kode rekening, uraian dan jumlah Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) huruf (d) dirinci menurut kelompok, jenis, obyek dan rincian obyek Pendapatan Asli
Daerah.
Bagian Keempat
Penatausahaan Pengeluaran
Paragraf 1
Penyediaan Dana
Pasal 176
(1) Setelah penetapan anggaran kas, PPKD dalam rangka manajemen kas
menerbitkan SPD.
(2) SPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disiapkan oleh kuasa BUD untuk
ditandatangani oleh PPKD.
(3) Pengeluaran kas atas beban APBD dilakukan berdasarkan SPD atau dokumen
lain yang dipersamakan dengan SPD.
(4) Penerbitan SPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan per bulan, per
triwulan, atau per semester sesuai dengan ketersediaan dana.
(5) Format SPD dan penjelasannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Kepala
Daerah tentang Sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah.
Paragraf 2
Permintaan Pembayaran
Pasal 177
(1) Berdasarkan SPD atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SPD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 ayat (1), bendahara pengeluaran
mengajukan SPP kepada pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran melalui
PPK-SKPD.
(2) SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa :
a. SPP Uang Persediaan (SPP-UP);
b. SPP Ganti Uang (SPP-GU);
c. SPP Tambahan Uang (SPP-TU);
d. SPP Langsung Gaji dan Tunjangan (SPP LS Gaji dan Tunjangan);
e. SPP Langsung Barang dan Jasa (SPP LS Barang dan Jasa); dan
f. SPP Langsung PPKD (SPP-LS PPKD).
(3) Pengajuan SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c dilampiri
dengan daftar rincian rencana penggunaan dana sampai dengan jenis belanja.
Pasal 178
(1) Bendahara pengeluaran mengajukan SPP-UP melalui PPK-SKPD dalam rangka
pengisian uang persediaan.
(2) SPP UP diajukan setiap awal Tahun Anggaran setelah dikeluarkannya keputusan Kepala
Daerah tentang besaran UP.
(3) Dokumen SPP-UP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari :
a. salinan SPD;
b. surat pengantar SPP-UP;
c. ringkasan SPP-UP;
d. rincian SPP-UP;
e. draft surat pernyataan pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran yang
menyatakan bahwa uang yang diminta tidak dipergunakan untuk keperluan selain
uang persediaan saat pengajuan SP2D kepada kuasa BUD; dan
f. lampiran lain yang diperlukan.
Pasal 179
Bendahara pengeluaran mengajukan SPP-GU dalam rangka mengganti uang
persediaan.
(2) Ketentuan batas jumlah SPP GU ditetapkan dalam keputusan Kepala Daerah.
(3) Dokumen SPP-GU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari :
a. surat pengantar SPP-GU;
b. ringkasan SPP-GU;
c. rincian penggunaan SP2D-UP/SPP-GU yang lalu;
d. laporan pertanggungjawaban, bukti transaksi yang sah dan lengkap;
e. salinan SPD;
f. draft surat pernyataan untuk ditandatangani oleh pengguna anggaran/kuasa
pengguna anggaran yang menyatakan bahwa uang yang diminta tidak
dipergunakan untuk keperluan selain ganti uang persediaan saat pengajuan SP2D
kepada kuasa BUD; dan
g. lampiran lain yang diperlukan.
(1)
Pasal 180
(1) Bendahara pengeluaran mengajukan SPP-TU dalam rangka tambahan uang
persediaan.
(2) Dokumen SPP-TU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari :
a. surat pengantar SPP-TU;
b. ringkasan SPP-TU;
c. rincian rencana penggunaan SPP-TU;
d. salinan SPD;
e. draft surat pernyataan untuk ditandatangani oleh pengguna anggaran/kuasa
pengguna anggaran yang menyatakan bahwa uang yang diminta tidak
dipergunakan untuk keperluan selain tambahan uang persediaan saat
pengajuan SP2D kepada kuasa BUD;
f. surat keterangan yang memuat penjelasan keperluan pengisian tambahan uang
persediaan; dan
g. lampiran lainnya.
(3) Batas jumlah pengajuan SPP-TU harus mendapat persetujuan dari PPKD dengan
memperhatikan rincian kebutuhan dan waktu penggunaan.
(4) Dalam hal jumlah tambahan uang tidak habis digunakan dalam 1 (satu) bulan, maka
sisa tambahan uang disetor ke rekening kas umum daerah.
(5) Ketentuan batas waktu penyetoran sisa tambahan uang sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dikecualikan untuk :
a. Kegiatan yang pelaksanaannya melebihi 1 (satu) bulan;
b. Kegiatan yang mengalami penundaan dari jadwal yang telah ditetapkan yang
diakibatkan oleh peristiwa diluar kendali PA/KPA;
Pasal 181
(1) Bendahara pengeluaran mengajukan SPP-LS Gaji dan Tunjangan dalam rangka
pembayaran gaji dan tunjangan serta penghasilan lainnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2) Dokumen SPP-LS gaji dan tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari :
a. salinan SPD;
b. surat pengantar SPP-LS Gaji dan Tunjangan;
c. ringkasan SPP-LS Gaji dan Tunjangan;
d. rincian SPP-LS Gaji dan Tunjangan; dan
e. lampiran SPP-LS.
(3) Lampiran dokumen SPP-LS Gaji dan Tunjangan serta penghasilan lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e mencakup :
a. pembayaran gaji induk;
b. gaji susulan;
c. kekurangan gaji;
d. gaji terusan;
e. uang duka wafat/tewas yang dilengkapi dengan daftar gaji induk/gaji
susulan/kekurangan gaji/uang duka wafat/tewas;
f. SK CPNS;
g. SK PNS;
h. SK kenaikan pangkat;
i. SK jabatan;
j. kenaikan gaji berkala;
k. surat pernyataan pelantikan;
l. surat pernyataan masih menduduki jabatan;
m. surat pernyataan melaksanakan tugas;
n. daftar keluarga (KP4);
o. fotokopi surat nikah;
p. fotokopi akte kelahiran;
q. surat keterangan pemberhentian pembayaran (SKPP) gaji;
r. daftar potongan sewa rumah dinas;
s. surat keterangan masih sekolah/kuliah;
t. surat pindah;
u. surat kematian;
v. SSP PPh Pasal 21; dan
w. peraturan perundang-undangan mengenai penghasilan pimpinan dan anggota DPRD
serta gaji dan tunjangan kepala daerah/wakil kepala daerah.
(4) Bendahara pengeluaran mempersiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Kelengkapan lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan sesuai dengan
peruntukannya.
Pasal 182
(1) Bendahara Pengeluaran mengajukan SPP LS Barang dan Jasa dalam rangka
pembayaran kepada pihak ketiga atas pengadaan barang dan jasa.
(2) Dokumen SPP-LS untuk pengadaan barang dan jasa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri dari :
a. salinan SPD;
b. surat pengantar SPP-LS barang dan jasa
c. ringkasan SPP-LS barang dan jasa;
d. rincian SPP-LS barang dan jasa; dan
e. lampiran lainnya.
(3) Lampiran lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e mencakup:
a. salinan surat rekomendasi dari SKPD teknis terkait;
b. SSP disertai faktur pajak (PPN dan PPh) yang telah ditandatangani wajib pajak
dan wajib pungut;
c. surat perjanjian kerjasama/kontrak antara pengguna anggaran/kuasa
pengguna anggaran dengan pihak ketiga serta mencantumkan nomor
rekening bank pihak ketiga;
d. berita acara penyelesaian pekerjaan;
e. berita acara serah terima barang dan jasa;
f. berita acara pembayaran;
g. kwitansi bermaterai, nota/faktur yang ditandatangani pihak ketiga dan PPTK serta
disetujui oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran;
h. surat jaminan bank atau yang dipersamakan yang dikeluarkan oleh bank atau
lembaga keuangan non bank;
i. dokumen lain yang dipersyaratkan untuk kontrak-kontrak yang dananya sebagian
atau seluruhnya bersumber dari penerusan pinjaman/hibah luar negeri;
j. berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh pihak ketiga/rekanan serta
unsur panitia pemeriksaan barang berikut lampiran daftar barang yang diperiksa;
k. surat angkutan atau konosemen apabila pengadaan barang dilaksanakan di luar
wilayah kerja;
l. surat pemberitahuan potongan denda keterlambatan pekerjaan dari PPTK
apabila pekerjaan mengalami keterlambatan;
m. foto/buku/dokumentasi tingkat kemajuan/ penyelesaian pekerjaan;
n. potongan jamsostek (potongan sesuai dengan ketentuan yang berlaku/surat
pemberitahuan jamsostek); dan
o. khusus untuk pekerjaan konsultan yang perhitungan harganya menggunakan biaya
personil (billing rate), berita acara prestasi kemajuan pekerjaan
dilampiri dengan bukti kehadiran dari tenaga konsultan sesuai
pentahapan waktu pekerjaan dan bukti penyewaan/pembelian alat
penunjang serta bukti pengeluaran lainnya berdasarkan rincian dalam surat
penawaran.
( 3 ) PPTK mempersiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).
( 4 ) Kelen g k a p a n la mp ir a n d o ku men sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
digunakan sesuai dengan peruntukannya.
( 5 ) Dalam hal kelengkapan dokumen yang diajukan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) tidak lengkap, bendahara pengeluaran mengembalikan dokumen kepada PPTK
untuk dilengkapi.
Pasal 183
(1)
(2)
Bendahara Pengeluaran PPKD mengajukan SPP LS PPKD untuk permintaan
pembayaran belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial,
belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan dan pengeluaran pembiayaan.
SPP LS PPKD diajukan kepada PPKD melalui PPK SKPKD.
Pasal 184
Permintaan pembayaran untuk suatu kegiatan dapat terdiri dari SPP-LS dan/atau SPPUP/GU/TU.
Paragraf 3
Perintah Membayar
Pasal 185
(1)
PPK SKPD memverifikasi SPP dan meneliti kelengkapan dokumen SPP yang diajukan
oleh Bendahara Pengeluaran dan/atau Bendahara Pengeluaran Pembantu.
(2) Dalam hal SPP dan/atau dokumen kelengkapan SPP sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dinyatakan lengkap dan sah, PPK SKPD menyiapkan SPM yang diajukan kepada
Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran.
(3) Atas SPM yang diajukan oleh PPK SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran mengotorisasi dan menerbitkan Surat
Perintah Membayar.
(4) Dalam hal SPP dan/atau dokumen kelengkapan SPP sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dinyatakan tidak lengkap dan/ atau tidak sah, PPK SKPD menyiapkan Surat
Penolakan SPM yang diajukan kepada Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna
Anggaran.
(5) Atas Surat Penolakan SPM yang diajukan oleh PPK SKPD sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran mengotorisasi dan menolak
menerbitkan Surat Perintah Membayar menggunakan Surat Penolakan Penerbitan SPM.
(6) Dalam hal dinyatakan tidak lengkap dan/atau tidak sah sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), PPK SKPD mengembalikan SPP dan dokumen kelengkapan SPP kepada
Bendahara Pengeluaran dan/atau Bendahara Pengeluaran Pembantu.
Pasal 186
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
PPK SKPKD memverifikasi SPP LS PPKD dan meneliti kelengkapan dokumen SPP LS
PPKD yang diajukan oleh Bendahara Pengeluaran PPKD.
Dalam hal SPP dan/atau dokumen kelengkapan SPP sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dinyatakan lengkap dan sah, PPK SKPKD menyiapkan SPM yang diajukan kepada
PPKD.
Atas SPM yang diajukan oleh PPK SKPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PPKD
mengotorisasi dan menerbitkan Surat Perintah Membayar LS PPKD.
Dalam hal SPP dan/atau dokumen kelengkapan SPP sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dinyatakan tidak lengkap dan/atau tidak sah, PPK SKPKD menyiapkan Surat
Penolakan SPM yang diajukan kepada PPKD.
Atas Surat Penolakan SPM yang diajukan oleh PPK SKPKD sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), PPKD mengotorisasi dan menolak menerbitkan Surat Perintah
Membayar menggunakan Surat Penolakan Penerbitan SPM.
Dalam hal dinyatakan tidak lengkap dan/atau tidak sah sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), PPK SKPKD mengembalikan SPP dan dokumen kelengkapan SPP kepada
Bendahara Pengeluaran PPKD.
Pasal 187
(1) Penerbitan SPM paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak diterimanya SPP
beserta dokumen kelengkapannya.
(2) Penolakan penerbitan SPM paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak diterimanya
SPP pengajuan beserta dokumen kelengkapannya.
Pasal 188
Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran mengajukan SPM beserta dokumen
kelengkapan SPM kepada Kuasa BUD.
Pasal 189
PPKD mengajukan SPM LS PPKD beserta dokumen kelengkapan SPM LS PPKD kepada
Kuasa BUD.
Pasal 190
(1) Kelengkapan dokumen SPM sebagaimana dimaksud pada pasal 188 untuk SPM Uang
Persediaan dan/atau Tambahan Uang Persediaan adalah Surat Pernyataan
Tanggungjawab Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran.
(2) Kelengkapan dokumen SPM sebagaimana dimaksud pada pasal 188 untuk SPM Ganti
Uang Persediaan mencakup :
a. Surat Pernyataan Tanggungjawab Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran;
dan
b. bukti-bukti pengeluaran yang sah dan lengkap.
(3) Kelengkapan dokumen SPM sebagaimana dimaksud pada pasal 188 untuk SPM LS Gaji
dan Tunjangan serta SPM LS Barang dan Jasa mencakup :
a. Surat Pernyataan Tanggungjawab Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran;
dan
b. Bukti-bukti pengeluaran yang sah dan lengkap sesuai dengan kelengkapan
persyaratan yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 191
Kelengkapan dokumen SPM sebagaimana dimaksud pada pasal 189 untuk SPM LS PPKD
mencakup :
a. Surat Pernyataan Tanggungjawab PPKD; dan
b. Bukti-bukti pengeluaran yang sah dan lengkap sesuai dengan kelengkapan persyaratan
yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 192
Setelah tahun anggaran berakhir, pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran
dilarang menerbitkan SPM yang membebani tahun anggaran berkenaan.
Paragraf 4
Pencairan Dana
Pasal 193
(1) Kuasa BUD meneliti kelengkapan dokumen SPM yang diajukan oleh pengguna
anggaran/kuasa pengguna anggaran agar pengeluaran yang diajukan tidak
melampaui pagu dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan.
(2) Kuasa BUD meneliti kelengkapan dokumen SPM yang diajukan oleh PPKD agar
pengeluaran yang diajukan tidak melampaui pagu dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal dokumen SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan
lengkap, kuasa BUD menerbitkan SP2D.
(4) Dalam hal dokumen SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan tidak
lengkap dan/atau tidak sah dan/atau pengeluaran tersebut melampaui pagu anggaran,
kuasa BUD menolak menerbitkan SP2D.
(5) Dalam hal kuasa BUD berhalangan, yang bersangkutan dapat menunjuk pejabat yang
diberi wewenang untuk menandatangani SP2D.
Pasal 194
(1) Penerbitan SP2D dilaksanakan paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diterimanya
SPM beserta dokumen kelengkapannya.
(2) Penolakan penerbitan SP2D paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak diterimanya
beserta dokumen kelengkapannya.
Pasal 195
(1) Kuasa BUD menyerahkan SP2D yang diterbitkan untuk keperluan uang
persediaan/ganti uang persediaan/tambahan uang persediaan kepada pengguna
anggaran/kuasa penggguna anggaran.
(2) Kuasa BUD menyerahkan SP2D yang diterbitkan untuk keperluan pembayaran
langsung kepada pihak ketiga.
Paragraf 5
Penatausahaan Bendahara
PasaI 196
Bendahara Penerimaan SKPD
(1) Bendahara Penerimaan wajib menyelenggarakan penatausahaan terhadap seluruh
penerimaan dan penyetoran atas penerimaan yang menjadi Tanggungjawabnya.
(2) Dokumen sumber yang digunakan sebagai dasar penatausahaan terdiri dari :
a. Surat Tanda Bukti Pembayaran;
b. Nota Kredit;
c. Bukti Penerimaan Yang Sah; dan
d. Surat Tanda Setoran.
(3) Bendahara Penerimaan menatausahakan Surat Tanda Setoran yang disetorkan,
menggunakan Register STS.
(4) Bendahara Penerimaan menatausahakan setiap transaksi penerimaan menggunakan
Buku Penerimaan dan Penyetoran Bendahara Penerimaan.
(5) Buku Penerimaan dan Penyetoran Bendahara Penerimaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dilampiri dengan :
a. Buku Pembantu Per Rincian Objek Penerimaan; dan
b. Buku Rekapitulasi Penerimaan Harian.
Pasal 197
Bendahara Penerimaan Pembantu SKPD
(1) Bendahara Penerimaan Pembantu wajib menyelenggarakan penatausahaan terhadap
seluruh penerimaan dan penyetoran atas penerimaan yang menjadi Tanggungjawabnya.
(2) Dokumen sumber yang digunakan sebagai dasar penatausahaan terdiri dari :
a. Surat Tanda Bukti Pembayaran;
b. Bukti Penerimaan Yang Sah; dan
c. Surat Tanda Setoran.
(3) Bendahara Penerimaan Pembantu menatausahakan Surat Tanda Setoran yang
disetorkan, menggunakan Register STS.
(4) Bendahara Penerimaan Pembantu menatausahakan setiap transaksi penerimaan
menggunakan Buku Penerimaan dan Penyetoran Bendahara Penerimaan.
(5) Buku Penerimaan dan Penyetoran Bendahara Penerimaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dilampiri dengan :
a. Buku Pembantu Per Rincian Objek Penerimaan; dan
b. Buku Rekapitulasi Penerimaan Harian.
Pasal 198
Bendahara Penerimaan PPKD
(1) Bendahara Penerimaan PPKD wajib menyelenggarakan penatausahaan terhadap seluruh
penerimaan PPKD yang menjadi Tanggungjawabnya.
(2) Dokumen sumber yang digunakan sebagai dasar penatausahaan terdiri dari :
a. Nota Kredit; dan
b. Bukti penerimaan lain yang sah.
(3) Bendahara Penerimaan PPKD menatausahakan setiap transaksi penerimaan PPKD
menggunakan Buku Penerimaan Pendapatan PPKD.
Pasal 199
Bendahara Pengeluaran SKPD
(1) Bendahara Pengeluaran menatausahakan setiap transaksi belanja atas Pelaksanaan
Anggaran Belanja Daerah.
(2) Dokumen sumber yang digunakan sebagai dasar penatausahaan terdiri dari :
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
a. SP2D UP/GU/TU/LS Gaji dan Tunjangan/LS Barang dan Jasa atas pengajuan SPP
UP/GU/TU/LS Gaji dan Tunjangan/LS Barang dan Jasa;
b. Bukti transaksi belanja yang sah dan lengkap; dan
c. Dokumen-dokumen pendukung lainnya yang menjadi kelengkapan masing-masing
SP2D sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan.
Bendahara pengeluaran menatausahakan SPP yang diajukan, SPM serta SP2D yang
diterima menggunakan Register SPP/SPM/SP2D.
Bendahara pengeluaran menatausahakan setiap transaksi belanja menggunakan Buku
Kas Umum dan Buku Pembantu Buku Kas Umum.
Buku Pembantu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri dari :
a. Buku Pembantu Kas Tunai;
b. Buku Pembantu Simpanan Bank;
c. Buku Pembantu Pajak; dan
d. Buku Pembantu Rincian Obyek Belanja.
Buku Pembantu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) digunakan sesuai
peruntukkannya.
Dalam pelaksanaan penatausahaan, tidak semua Buku Pembantu sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) digunakan secara bersamaan untuk menatausahakan 1 (satu)
transaksi belanja dan/atau keuangan.
Pasal 200
Bendahara Pengeluaran Pembantu SKPD
(1) Bendahara Pengeluaran Pembantu menatausahakan setiap transaksi belanja atas
Pelaksanaan Anggaran Belanja Daerah.
(2) Dokumen sumber yang digunakan sebagai dasar penatausahaan terdiri dari :
a. SP2D TU/LS Barang dan Jasa atas pengajuan SPP TU/LS Barang dan Jasa;
b. Bukti transaksi belanja yang sah dan lengkap; dan
c. Dokumen-dokumen pendukung lainnya yang menjadi kelengkapan masing-masing
SP2D sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan.
(3) Bendahara Pengeluaran Pembantu menatausahakan SPP yang diajukan, SPM serta SP2D
yang diterima menggunakan Register SPP/SPM/SP2D.
(4) Bendahara Pengeluaran Pembantu menatausahakan setiap transaksi belanja
menggunakan Buku Kas Umum dan Buku Pembantu Buku Kas Umum.
(5) Buku Pembantu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri dari :
a. Buku Pembantu Kas Tunai;
b. Buku Pembantu Simpanan Bank;
c. Buku Pembantu Pajak; dan
d. Buku Pembantu Rincian Obyek Belanja.
(6) Buku Pembantu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) digunakan sesuai
peruntukkannya.
(7) Dalam pelaksanaan penatausahaan, tidak semua Buku Pembantu sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) digunakan secara bersamaan untuk menatausahakan 1 (satu)
transaksi belanja dan/atau keuangan.
Pasal 201
Bendahara Pengeluaran PPKD
(1) Bendahara Pengeluaran PPKD menatausahakan setiap transaksi belanja bunga, belanja
subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan
keuangan dan pengeluaran pembiayaan atas Pelaksanaan Anggaran Belanja Daerah.
(2) Dokumen sumber yang digunakan sebagai dasar penatausahaan terdiri dari :
a. SP2D LS PPKD atas pengajuan SPP LS PPKD; dan
b. Dokumen-dokumen pendukung lainnya yang menjadi kelengkapan masing-masing
SP2D sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-undangan.
(3) Bendahara Pengeluaran PPKD menatausahakan SPP yang diajukan, SPM serta SP2D yang
diterima menggunakan Register SPP/SPM/SP2D.
(4) Bendahara Pengeluaran PPKD menatausahakan setiap transaksi belanja menggunakan
Buku Kas Umum Bendahara Pengeluaran PPKD dan Buku Pembantu Buku Kas Umum
Bendahara Pengeluaran PPKD.
(5) Buku Pembantu Buku Kas Umum Bendahara Pengeluaran PPKD sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) adalah Buku Rekapitulasi Pengeluaran Per Rincian Obyek Bendahara
Pengeluaran PPKD.
Paragraf 6
Penatausahaan PPK SKPD
Pasal 202
(1) PPK SKPD menatausahakan setiap penerbitan perintah membayar.
(2) PPK SKPD menatausahakan pertanggungjawaban pengeluaran.
(3) PPK SKPD menatausahakan pertanggungjawaban penerimaan.
(4) Dokumen yang digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari :
a. Register SPM UP/SPM GU/SPM TU/SPM LS Gaji dan Tunjangan/SPM LS Barang dan
Jasa; dan
b. Register Surat Penolakan Penerbitan SPM.
(5) Dokumen yang digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari :
a. Register Penerimaan Laporan Pertanggungjawaban Pengeluaran;
b. Register Pengesahan Laporan Pertanggungjawaban Pengeluaran; dan
c. Register Penolakan Laporan Pertanggungjawaban Pengeluaran.
(6) Dokumen yang digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri dari :
a. Register Penerimaan Laporan Pertanggungjawaban Penerimaan;
b. Register Pengesahan Laporan Pertanggungjawaban Penerimaan; dan
c. Register Penolakan Laporan Pertanggungjawaban Penerimaan.
Paragraf 7
Penatausahaan PPK SKPKD
Pasal 203
(1) PPK SKPKD menatausahakan setiap penerbitan perintah membayar.
(2) PPK SKPKD menatausahakan pertanggungjawaban pengeluaran.
(3) Dokumen yang digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari :
a. Register SPM LS PPKD; dan
b. Register Surat Penolakan Penerbitan SPM LS PPKD.
(4) Dokumen yang digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari :
a. Register Penerimaan Laporan Pertanggungjawaban Pengeluaran;
b. Register Pengesahan Laporan Pertanggungjawaban Pengeluaran; dan
c. Register Penolakan Laporan Pertanggungjawaban Pengeluaran.
Paragraf 8
Penatausahaan Kuasa BUD
Pasal 204
Dokumen yang digunakan Kuasa BUD dalam menatausahakan penerbitan dan penolakan
SP2D terdiri dari :
a. Register SP2D;
b. Register Surat Penolakan Penerbitan SP2D; dan
c. Buku Kas Penerimaan dan Pengeluaran.
Paragraf 9
Pertanggungjawaban Penggunaan Dana
Pasal 205
Bendahara Penerima SKPD
(1) Bendahara
penerimaan
secara
administratif
wajib
mempertanggung-jawabkan
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
pengelolaan uang yang menjadi tanggungjawabnya kepada Pengguna Anggaran
melalui PPK-SKPD.
Pertanggungjawaban administratif menggunakan Laporan pertanggung-jawaban yang
berisi rekapitulasi penerimaan, penyetoran dan saldo kas yang ada di Bendahara
Penerimaan
Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan paling lambat
tanggal 10 bulan berikutnya.
Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada bulan terakhir Tahun
Anggaran disampaikan paling lambat hari kerja terakhir bulan tersebut.
Laporan Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan :
a. Buku Penerimaan dan Penyetoran yang telah ditutup pada akhir bulan berkenaan;
b. Register STS;
c. Bukti penerimaan yang sah dan lengkap; dan
d. Pertanggungjawaban bendahara penerimaan pembantu.
Bendahara Penerimaan secara fungsional wajib mempertanggungjawabkan
pengelolaan uang yang menjadi Tanggungjawabnya kepada PPKD selaku BUD.
Pertanggungjawaban fungsional menggunakan Laporan pertanggungjawaban yang
berisi rekapitulasi penerimaan, penyetoran dan saldo kas yang ada di Bendahara
Penerimaan.
Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilaksanakan paling lambat
tanggal 10 bulan berikutnya.
Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (7) pada bulan terakhir Tahun
Anggaran disampaikan paling lambat hari kerja terakhir bulan tersebut.
Laporan Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilampiri dengan :
a. Buku Penerimaan dan Penyetoran yang telah ditutup pada akhir bulan berkenaan;
b. Register STS;
c. Bukti penerimaan yang sah dan lengkap; dan
d. Pertanggungjawaban bendahara penerimaan pembantu.
Pasal 206
Bendahara Penerimaan Pembantu SKPD
(1) Bendahara Penerimaan Pembantu secara fungsional wajib mempertanggung- jawabkan
pengelolaan uang yang menjadi Tanggungjawabnya kepada Bendahara Penerimaan.
(2) Pertanggungjawaban fungsional menggunakan Laporan pertanggungjawaban yang
berisi rekapitulasi penerimaan, penyetoran dan saldo kas yang ada di Bendahara
Penerimaan.
(3) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan paling lambat
tanggal 5 bulan berikutnya.
(4) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada bulan terakhir Tahun
Anggaran disampaikan paling lambat 5 hari kerja sebelum hari kerja terakhir bulan
tersebut.
(5) Laporan Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan :
a. Buku Penerimaan dan Penyetoran yang telah ditutup pada akhir bulan berkenaan;
b. Register STS; dan
c. Bukti penerimaan yang sah dan lengkap.
Pasal 207
Bendahara Penerimaan PPKD
(1) Bendahara Penerimaan PPKD secara fungsional wajib mempertanggungjawabkan
pengelolaan uang yang menjadi tanggungjawabnya kepada PPKD melalui PPK SKPKD.
(2) Pertanggungjawaban fungsional menggunakan Buku Penerimaan PPKD yang telah
dilakukan penutupan pada akhir bulan.
(3) Buku penerimaan PPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilampiri dengan buktibukti pendukung yang sah dan lengkap.
(4) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lambat
tanggal 10 bulan berikutnya.
(5) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada bulan terakhir Tahun
Anggaran disampaikan paling lambat hari kerja terakhir bulan tersebut.
Pasal 208
Bendahara Pengeluaran SKPD
(1) Bendahara Pengeluaran secara administratif wajib mempertanggungjawabkan
penggunaan uang persediaan/ganti uang persediaan/tambahan uang persediaan
kepada Pengguna Anggaran melalui PPK SKPD.
(2) Pertanggungjawaban administratif menggunakan Surat Pertanggung-jawaban (SPJ)
yang berisi jumlah Anggaran, realisasi dan sisa pagu Anggaran baik secara kumulatif
maupun per kegiatan.
(3) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lambat
tanggal 10 bulan berikutnya.
(4) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada bulan terakhir Tahun
Anggaran disampaikan paling lambat hari kerja terakhir bulan tersebut.
(5) Laporan Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan :
a. Buku Kas Umum;
b. Laporan Penutupan Kas; dan
c. SPJ Bendahara Pengeluaran Pembantu.
(6) Bendahara
Pengeluaran
mempertanggungjawabkan
penggunaan
uang
persediaan/ganti uang persediaan dengan membuat Laporan Pertanggungjawaban
Uang Persediaan.
(7) Laporan Pertanggungjawaban Uang Persediaan berisi rekapitulasi belanja uang
persediaan sesuai dengan program dan kegiatan.
(8) Laporan Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mencakup :
a. Buku Kas Umum;
b. Ringkasan pengeluaran per rincian obyek;
c. Bukti-bukti pengeluaran yang sah atas pengeluaran sebagaimana dimaksud pada
huruf (b);
d. Bukti penyetoran PPN/PPh ke Kas Negara; dan
e. Register penutupan kas.
(9) Bendahara Pengeluaran mempertanggungjawabkan penggunaan tambahan uang
persediaan dengan membuat Laporan Pertanggungjawaban Tambahan Uang
Persediaan.
(10) Laporan Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (9) diterbitkan
apabila tambahan uang persediaan telah habis dan/atau selesai digunakan untuk
membiayai suatu kegiatan atau telah sampai pada waktu yang ditentukan sejak
tambahan uang persediaan diterima sebagaimana dimaksud pada pasal 180 ayat (4).
(11) Laporan Pertanggungjawaban Tambahan Uang Persediaan berisi rekapitulasi belanja
tambahan uang persediaan sesuai dengan program dan kegiatan.
(12) Bendahara Pengeluaran melakukan setoran ke Kas Umum Daerah apabila terdapat sisa
tambahan uang persediaan yang tidak digunakan.
(13) Laporan Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dilampiri dengan :
a. Bukti-bukti belanja yang sah dan lengkap; dan
b. Surat Tanda Setoran atas penyetoran sisa tambahan uang persediaan.
(14) Dokumen kelengkapan SPP LS Gaji dan Tunjangan/ SPP LS Barang dan Jasa dapat
dipersamakan sebagai bukti pertanggungjawaban atas belanja langsung kepada pihak
ketiga.
(15) Bendahara Pengeluaran secara fungsional wajib mempertanggungjawabkan
pengelolaan uang kepada PPKD selaku BUD.
(16) Pertanggungjawaban fungsional menggunakan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) yang
merupakan penggabungan dengan SPJ Bendahara Pengeluaran Pembantu.
(17) Penyampaian pertanggungjawaban bendahara pengeluaran secara fungsional
dilaksanakan setelah diterbitkan Surat Pengesahan Pertanggungjawaban Pengeluaran
oleh Pengguna Anggaran.
(18) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (15) dilaksanakan paling
lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
(19) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (15) pada bulan terakhir
Tahun Anggaran disampaikan paling lambat hari kerja terakhir bulan tersebut.
(20) Laporan Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (15) dilampiri
dengan :
a. Laporan Penutupan Kas; dan
b. SPJ Bendahara Pengeluaran Pembantu.
Pasal 209
Bendahara Pengeluaran Pembantu SKPD
(1) Bendahara
Pengeluaran
Pembantu
mempertanggungjawabkan
penggunaan
pelimpahan uang persediaan dengan membuat Laporan Pertanggungjawaban Uang
Persediaan Bendahara Pembantu.
(2) Laporan Pertanggungjawaban Uang Persediaan Bendahara Pembantu berisi rekapitulasi
belanja uang persediaan sesuai dengan program dan kegiatan.
(3) Laporan Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup :
a. Buku Kas Umum;
b. Ringkasan pengeluaran per rincian obyek;
c. Bukti-bukti pengeluaran yang sah atas pengeluaran sebagaimana dimaksud pada
huruf (b);
d. Bukti penyetoran PPN/PPh ke Kas Negara; dan
e. Register penutupan kas.
(4) Bendahara Pengeluaran Pembantu mempertanggungjawabkan penggunaan tambahan
uang persediaan dengan membuat Laporan Pertanggungjawaban Tambahan Uang
Persediaan.
(5) Laporan Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan apabila
tambahan uang persediaan telah habis dan/atau selesai digunakan untuk membiayai
suatu kegiatan atau telah sampai pada waktu yang ditentukan sejak tambahan uang
persediaan diterima sebagaimana dimaksud pada pasal 180 ayat (4).
(6) Laporan Pertanggungjawaban Tambahan Uang Persediaan berisi rekapitulasi belanja
tambahan uang persediaan sesuai dengan program dan kegiatan.
(7) Bendahara Pengeluaran Pembantu melakukan setoran ke Kas Umum Daerah apabila
terdapat sisa tambahan uang persediaan yang tidak digunakan.
(8) Laporan Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilampiri dengan :
a. Bukti-bukti belanja yang sah dan lengkap; dan
b. Surat Tanda Setoran atas penyetoran sisa tambahan uang persediaan.
(9) Dokumen kelengkapan SPP LS Barang dan Jasa dapat dipersamakan sebagai bukti
pertanggungjawaban atas belanja langsung kepada pihak ketiga.
(10) Bendahara Pengeluaran Pembantu secara fungsional wajib mempertanggungjawabkan pengelolaan uang kepada Bendahara Pengeluaran SKPD.
(11) Pertanggungjawaban fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (10) menggunakan
Surat Pertanggungjawaban (SPJ) Bendahara Pengeluaran Pembantu.
(12) Penyampaian pertanggungjawaban secara fungsional dilaksanakan setelah diterbitkan
Surat Pengesahan Pertanggungjawaban Pengeluaran oleh Kuasa Pengguna Anggaran.
(13) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dilaksanakan paling
lambat tanggal 5 bulan berikutnya.
(14) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (10) pada bulan terakhir
Tahun Anggaran disampaikan paling lambat 5 hari kerja sebelum hari terakhir bulan
tersebut.
(15) Laporan Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dilampiri
dengan :
a. Buku Kas Umum;
b. Laporan Penutupan Kas; dan
Pasal 210
Bendahara Pengeluaran PPKD
(1) Bendahara Pengeluaran PPKD mempertanggungjawabkan setiap transaksi belanja
kepada PPKD melalui PPK SKPKD.
(2) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan Surat
Pertanggungjawaban (SPJ) yang berisi Jumlah Anggaran, Realisasi dan Sisa Pagu
Anggaran baik secara kumulatif maupun per kegiatan.
(3) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lambat
tanggal 10 bulan berikutnya.
(4) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada bulan terakhir Tahun
Anggaran disampaikan paling lambat hari kerja terakhir bulan tersebut.
(5) Laporan Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan :
a. Buku Kas Umum (BKU) Bendahara Pengeluaran PPKD;
b. Ringkasan Pengeluaran Per Rincian Obyek Bendahara Pengeluaran PPKD; dan
c. Bukti-bukti pengeluaran yang sah atas pengeluaran dari setiap rincian obyek
sebagaimana tercantum dalam huruf (b).
Bagian Kelima
Verifikasi Laporan Pertanggungjawaban
Pasal 211
Dalam melakukan verifikasi atas Laporan Pertanggungjawaban yang disampaikan oleh
Bendahara Penerimaan Pembantu, Bendahara Penerimaan berkewajiban :
a. Memverifikasi Laporan Pertanggungjawaban dan meneliti keabsahan bukti-bukti
penerimaan yang dilampirkan; dan
b. Menguji kebenaran perhitungan atas penerimaan per rincian obyek yang tercantum
dalam ringkasan per rincian obyek;
Pasal 212
Dalam melakukan verifikasi atas Laporan Pertanggungjawaban yang disampaikan oleh
Bendahara Pengeluaran Pembantu, Bendahara Pengeluaran berkewajiban :
a. Memverifikasi Laporan Pertanggungjawaban dan meneliti kelengkapan dokumen
Laporan Pertanggungjawaban serta keabsahan bukti-bukti pengeluaran yang
dilampirkan;
b. Menguji kebenaran perhitungan atas pengeluran per rincian obyek yang tercantum
dalam ringkasan per rincian obyek;
c. Menghitung Pengenaan PPN/PPh atas beban pengeluaran per rincian obyek; dan
d. Menguji kebenaran sesuai dengan SPM dan SP2D yang diterima pada periode
sebelumnya.
Pasal 213
Dalam melakukan verifikasi atas Laporan Pertanggungjawaban yang disampaikan oleh
Bendahara Penerimaan, PPK SKPD berkewajiban :
a. Memverifikasi Laporan Pertanggungjawaban dan meneliti keabsahan bukti-bukti
penerimaan yang dilampirkan;
b. Menguji kebenaran perhitungan atas penerimaan per rincian obyek yang tercantum
dalam ringkasan per rincian obyek;
c. Dalam hal Laporan Pertanggungjawaban dan/atau bukti-bukti penerimaan sebagaimana
dimaksud pada huruf (a) dinyatakan lengkap dan sah, PPK SKPD menyiapkan Surat
Pengesahan Laporan Pertanggungjawaban Penerimaan yang diajukan kepada Pengguna
Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran.
d. Atas Surat Pengesahan Laporan Pertanggungjawaban Penerimaan yang diajukan oleh
PPK SKPD sebagaimana dimaksud pada huruf (c), Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna
Anggaran
mengotorisasi
dan
menerbitkan
Surat
Pengesahan
Laporan
Pertanggungjawaban Penerimaan.
e. Dalam hal Laporan Pertanggungjawaban dan/atau bukti-bukti penerimaan sebagaimana
dimaksud pada huruf (a) dinyatakan tidak lengkap dan/ atau tidak sah, PPK SKPD
menyiapkan Surat Penolakan Laporan Pertanggungjawaban Penerimaan yang diajukan
kepada Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran.
f. Atas Surat Penolakan Laporan Pertanggungjawaban Penerimaan yang diajukan oleh PPK
SKPD sebagaimana dimaksud pada huruf (e), Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna
Anggaran
mengotorisasi
dan
menerbitkan
Surat
Penolakan
Laporan
Pertanggungjawaban Penerimaan.
g. Ketentuan batas waktu penerbitan surat pengesahan Laporan Pertanggung- jawaban
Penerimaan dan sanksi keterlambatan penyampaian Laporan Pertanggungjawaban
ditetapkan dalam Peraturan Kepala Daerah.
Pasal 214
Dalam melakukan verifikasi atas Laporan Pertanggungjawaban yang disampaikan oleh
Bendahara Pengeluaran, PPK SKPD berkewajiban :
a. Memverifikasi Laporan Pertanggungjawaban dan meneliti kelengkapan dokumen
Laporan Pertanggungjawaban serta keabsahan bukti-bukti pengeluaran yang
dilampirkan;
b. Menguji kebenaran perhitungan atas pengeluran per rincian obyek yang tercantum
dalam ringkasan per rincian obyek;
c. Menghitung Pengenaan PPN/PPh atas beban pengeluaran per rincian obyek;
d. Menguji kebenaran kesesuaian dengan SPM dan SP2D yang diterbitkan pada periode
sebelumnya;
e. Dalam hal Laporan Pertanggungjawaban dan/atau kelengkapan dokumen beserta buktibukti pengeluaran sebagaimana dimaksud pada huruf (a) dinyatakan lengkap dan sah,
PPK SKPD menyiapkan Surat Pengesahan Laporan Pertanggungjawaban Pengeluaran
yang diajukan kepada Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran;
f. Atas Surat Pengesahan Laporan Pertanggungjawaban Pengeluaran yang diajukan oleh
PPK SKPD sebagaimana dimaksud pada huruf (e), Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna
Anggaran
mengotorisasi
dan
menerbitkan
Surat
Pengesahan
Laporan
Pertanggungjawaban Pengeluaran;
g. Dalam hal Laporan Pertanggungjawaban dan/atau kelengkapan dokumen beserta buktibukti pengeluaran sebagaimana dimaksud pada huruf (a) dinyatakan tidak lengkap
dan/atau tidak sah, PPK SKPD menyiapkan Surat Penolakan Laporan
Pertanggungjawaban Pengeluaran yang diajukan kepada Pengguna Anggaran/Kuasa
Pengguna Anggaran;
h. Atas Surat Penolakan Laporan Pertanggungjawaban Pengeluaran yang diajukan oleh
PPK SKPD sebagaimana dimaksud pada huruf (g), Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna
Anggaran
mengotorisasi
dan
menerbitkan
Surat
Penolakan
Laporan
Pertanggungjawaban Pengeluaran;
i. Ketentuan batas waktu penerbitan surat pengesahan Laporan Pertanggungjawaban
Pengeluaran dan sanksi keterlambatan penyampaian Laporan Pertanggungjawaban
ditetapkan dalam Peraturan Kepala Daerah;
Pasal 215
Dalam melakukan verifikasi atas Laporan Pertanggungjawaban yang disampaikan oleh
Bendahara Penerimaan PPKD, PPK SKPKD berkewajiban :
a. Memverifikasi Buku Penerimaan PPKD dan meneliti keabsahan bukti-bukti penerimaan
yang dilampirkan;
b. Dalam hal verifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf (a) dinyatakan lengkap dan sah,
PPK SKPKD menyiapkan Surat Pengesahan Laporan Pertanggungjawaban Bendahara
Penerimaan PPKD yang diajukan kepada PPKD;
c. Atas Surat Pengesahan Laporan Pertanggungjawaban Bendahara Penerimaan PPKD
yang diajukan oleh PPK SKPKD sebagaimana dimaksud pada huruf (b), PPKD
mengotorisasi dan menerbitkan Surat Pengesahan Laporan Pertanggungjawaban;
d. Dalam hal verifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf (a) dinyatakan tidak lengkap
dan/atau tidak sah, PPK SKPKD menyiapkan Surat Penolakan Laporan
Pertanggungjawaban yang diajukan kepada PPKD;
e. Atas Surat Penolakan Laporan Pertanggungjawaban yang diajukan oleh PPK SKPKD
sebagaimana dimaksud pada huruf (d), PPKD mengotorisasi dan menerbitkan Surat
Penolakan Laporan Pertanggungjawaban;
f. Ketentuan batas waktu penerbitan surat pengesahan Laporan Pertanggungjawaban dan
sanksi keterlambatan penyampaian Laporan Pertanggungjawaban ditetapkan dalam
Peraturan Kepala Daerah.
Pasal 216
Dalam melakukan verifikasi atas Laporan Pertanggungjawaban yang disampaikan oleh
Bendahara Pengeluaran PPKD, PPK SKPKD berkewajiban :
a. Memverifikasi Laporan Pertanggungjawaban dan meneliti kelengkapan dokumen
Laporan Pertanggungjawaban serta keabsahan bukti-bukti pengeluaran yang
dilampirkan;
b. Menguji kebenaran perhitungan atas pengeluran per rincian obyek yang tercantum
dalam ringkasan per rincian obyek;
c. Menghitung Pengenaan PPN/PPh atas beban pengeluaran per rincian obyek; dan
d. Menguji kebenaran sesuai dengan SPM dan SP2D yang diterbitkan pada periode
sebelumnya;
e. Dalam hal Laporan Pertanggungjawaban dan/atau kelengkapan dokumen beserta buktibukti pengeluaran sebagaimana dimaksud pada huruf (a) dinyatakan lengkap dan sah,
PPK SKPKD menyiapkan Surat Pengesahan Laporan Pertanggungjawaban Pengeluaran
yang diajukan kepada PPKD;
f. Atas Surat Pengesahan Laporan Pertanggungjawaban Pengeluaran yang diajukan oleh
PPK SKPKD sebagaimana dimaksud pada huruf (e), PPKD mengotorisasi dan
menerbitkan Surat Pengesahan Laporan Pertanggungjawaban Pengeluaran;
g. Dalam hal Laporan Pertanggungjawaban dan/atau kelengkapan dokumen beserta buktibukti pengeluaran sebagaimana dimaksud pada huruf (a) dinyatakan tidak lengkap
dan/atau tidak sah, PPK SKPKD menyiapkan Surat Penolakan Laporan
Pertanggungjawaban Pengeluaran yang diajukan kepada PPKD;
h. Atas Surat Penolakan Laporan Pertanggungjawaban Pengeluaran yang diajukan oleh
PPK SKPKD sebagaimana dimaksud pada huruf (g), PPKD mengotorisasi dan
menerbitkan Surat Penolakan Laporan Pertanggungjawaban Pengeluaran;
i. Ketentuan batas waktu penerbitan surat pengesahan Laporan Pertanggungjawaban
Pengeluaran dan sanksi keterlambatan penyampaian Laporan Pertanggungjawaban
ditetapkan dalam Peraturan Kepala Daerah.
Pasal 217
(1) Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran melakukan pemeriksaan kas yang
dikelola oleh Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran sekurang-kurangnya 1
(satu) kali dalam 3 (tiga) bulan;
(2) Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran melakukan pemeriksaan kas yang
dikelola oleh Bendahara Penerimaan Pembantu dan Bendahara Pengeluaran Pembantu
sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan;
(3) Pemeriksaan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dituangkan dalam
Berita Acara Pemeriksaan Kas.
Lain-lain
Pasal 218
Pengisian dokumen penatausahaan bendahara pengeluaran dapat menggunakan
aplikasi komputer dan/atau alat elektronik lainnya.
Pasal 219
Dalam hal Bendahara Penerimaan berhalangan, maka :
a. Apabila melebihi 3 (tiga) hari sampai selama-lamanya 1 (satu) bulan, Bendahara
Penerimaan wajib memberikan surat kuasa kepada pejabat yang ditunjuk untuk
melakukan penyetoran dan tugas-tugas Bendahara Penerimaan atas Tanggungjawab
Bendahara Penerimaan yang diketahui Pengguna Anggaran;
b. Apabila melebihi 1 (satu) bulan sampai selama-lamanya 3 (tiga) bulan, harus ditunjuk
Bendahara Penerimaan dan diadakan Berita Acara Serah Terima;
c. Apabila Bendahara Penerimaan sesudah 3 (tiga) bulan belum juga dapat melaksanakan
tugas, maka dianggap yang bersangkutan telah mengundurkan diri atau berhenti dari
jabatan sebagai Bendahara Penerimaan dan oleh karena itu segera diusulkan
penggantinya.
Pasal 220
Dalam hal bendahara pengeluaran berhalangan, maka :
a. apabila melebihi 3 (tiga) hari sampai selama-lamanya 1 (satu) bulan, bendahara
pengeluaran tersebut wajib memberikan surat kuasa kepada pejabat yang
ditunjuk untuk melakukan pembayaran dan tugas-tugas bendahara pengeluaran atas
tanggung jawab bendahara pengeluaran yang bersangkutan dengan diketahui
kepala SKPD;
b. apabila melebihi 1 (satu) bulan sampai selama-lamanya 3 (tiga) bulan, harus
ditunjuk pejabat bendahara pengeluaran dan diadakan berita acara serah terima;
c.
apabila bendahara pengeluaran sesudah 3 (tiga ) bulan belum juga dapat
melaksanakan tugas, maka dianggap yang bersangkutan telah mengundurkan diri atau
berhenti dari jabatan sebagai bendahara pengeluaran dan oleh karena itu segera
diusulkan penggantinya.
Bagian Kelima
Penatausahaan Dana Tugas Pembantuan
Pasal 221
(1) Penatausahaan atas pelaksanaan dana tugas pembantuan Provinsi di Kabupaten
Lamandau dilakukan secara terpisah dari penatausahaan pelaksanaan APBD Kabupaten
Lamandau.
(2) Penatausahaan atas pelaksanaan dana tugas pembantuan Kabupaten Lamandau di
Pemerintah Desa dilakukan secara terpisah dari penatausahaan pelaksanaan APBD.
Pasal 222
Pertanggungjawaban Tugas Perbantuan
(1)
Pertanggungjawaban atas pelaksanaan dana tugas pembantuan Provinsi di Kabupaten
Lamandau dilakukan secara terpisah dari pertanggungjawaban pelaksanaan APBD
Kabupaten Lamandau.
(2)
Pertanggungjawaban atas pelaksanaan dana tugas pembantuan Kabupaten Lamandau
di Pemerintah Desa dilakukan secara terpisah dari pertanggung- jawaban pelaksanaan
APB Desa.
Pasal 223
Penatausahaan Pendanaan Tugas Pembantuan
Pedoman penatausahaan pelaksanaan pendanaan tugas pembantuan Kabupaten Lamandau
di desa ditetapkan dalam Peraturan Bupati Lamandau.
BAB XII
AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH
Bagian Pertama
Sistem Akuntansi
Pasal 224
Sistem Akuntansi pemerintahan daerah merupakan serangkaian prosedur mulai dari
proses pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan
keuangan dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
(2) Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurangkurangnya terdiri dari :
a. Prosedur akuntansi penerimaan kas;
b. Prosedur akuntansi pengeluaran kas;
c. Prosedur akuntansi aset tetap/barang milik Daerah; dan
d. Prosedur akuntansi selain kas.
(3) Proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didokumentasikan dalam bentuk buku
jurnal dan buku besar, dan apabila diperlukan ditambah dengan buku besar pembantu.
(4) Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Kepala Daerah, disusun berpedoman pada prinsip pengendalian
intern sesuai peraturan pemerintah yang mengatur tentang pengendalian internal dan
Peraturan Pemerintah tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
(5) Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan oleh entitas akuntansi dan entitas pelaporan.
(6) Sistem akuntansi Pemerintah Daerah pada entitas akuntansi sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) dilaksanakan oleh PPK SKPD.
(7) Sistem akuntansi Pemerintah Daerah pada entitas pelaporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) dilaksanakan oleh PPKD.
(1)
Pasal 225
Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah dilaksanakan dalam rangka pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD. Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), entitas pelaporan menyusun laporan keuangan
yang terdiri dari :
a. Laporan Realisasi Anggaran;
b. Neraca;
c. Laporan Arus Kas; dan
d. Catatan atas Laporan Keuangan.
(2) Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), entitas akuntansi menyusun laporan keuangan yang meliputi :
a. Laporan Realisasi Anggaran;
b. Neraca; dan
c. Catatan atas Laporan Keuangan.
(1)
Pasal 226
(1)
(2)
Semua transaksi dan/atau kejadian keuangan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pemerintahan daerah dicatat pada buku jurnal berdasarkan bukti
transaksi yang sah.
Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara kronologis sesuai
dengan terjadinya transaksi dan/atau kejadian keuangan.
Pasal 227
(1)
(2)
Transaksi atau kejadian keuangan yang telah dicatat dalam buku jurnal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 227 ayat (1) selanjutnya secara periodik diposting ke dalam buku
besar sesuai dengan rekening berkenaan.
Buku besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditutup dan diringkas pada setiap
(3)
akhir periode sesuai dengan kebutuhan.
Saldo akhir setiap periode dipindahkan menjadi saldo awal periode berikutnya.
Pasal 228
(1)
(2)
Buku besar dapat dilengkapi dengan buku besar pembantu sebagai alat uji silang dan
kelengkapan informasi rekening tertentu.
Buku besar pembantu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi rincian akun yang
telah dicatat dalam buku besar.
Pasal 229
(1) Kode rekening untuk menyusun neraca terdiri dari kode akun aset, kode akun
kewajiban, dan kode akun ekuitas dana.
(2) Kode rekening untuk menyusun laporan realisasi Anggaran terdiri dari kode akun
Pendapatan, kode akun belanja, dan kode akun pembiayaan.
(3) Kode rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disusun dengan
memperhatikan kepentingan penyusunan laporan Statistik Keuangan Daerah.
Pasal 230
(1)
(2)
(3)
(4)
Pemerintah daerah sebagai entitas pelaporan menyusun laporan keuangan
pemerintah daerah.
Kepala SKPD sebagai entitas akuntansi menyusun laporan keuangan SKPD yang
disampaikan kepada PPKD untuk digabung menjadi laporan keuangan
pemerintah daerah.
Kepala BLUD sebagai entitas akuntansi menyusun laporan keuangan BLUD yang
disampaikan kepada PPKD untuk digabung ke dalam laporan keuangan
pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Kepala BLUD sebagai entitas pelaporan menyusun laporan keuangan BLUD yang
disampaikan kepada kepala daerah dan diaudit oleh pemeriksa ekstern sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Kebijakan Akuntansi
Pasal 231
Kebijakan akuntansi merupakan dasar pengakuan, pengukuran dan pelaporan atas
aset, kewajiban, ekuitas, pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta laporan
keuangan.
(2) Kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah tentang kebijakan akuntansi
pemerintah daerah dengan berpedoman pada standar akuntansi pemerintahan.
(3) Peraturan kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurangkurangnya memuat :
a. definisi, pengakuan, pengukuran dan pelaporan setiap akun dalam laporan
keuangan;
b. prinsip-prinsip penyusunan dan penyajian pelaporan keuangan.
(4) Dalam pengakuan dan pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a juga
mencakup kebijakan mengenai harga perolehan dan kapitalisasi aset.
(5) Kebijakan harga perolehan sebagaimd pada ayat (4) merupakan pengakuan terhadap
jumlah kas/setara kas dan nilai wajar imbalan lainnya yang dibayarkan sebagai
penambah nilai aset tetap.
(6) Ikhtisar kebijakan akuntansi yang diberlakukan pada setiap tahun anggaran
dimuat dalam catatan atas laporan keuangan tahun anggaran berkenaan.
(1)
Bagian Ketiga
Akuntansi Keuangan Daerah pada SKPD
Paragraf 1
Prosedur Akuntansi Penerimaan Kas pada SKPD
Pasal 232
Prosedur akuntansi penerimaan kas pada SKPD meliputi serangkaian proses mulai dari
pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan keuangan yang berkaitan dengan
penerimaan kas dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
Pasal 233
Bukti transaksi penerimaan kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 ayat (1) yang
digunakan dalam prosedur akuntansi penerimaan kas mencakup :
a. surat tanda bukti pembayaran;
b. STS;
c. bukti transfer;
d. nota kredit bank;
e. surat ketetapan pajak daerah (SKP-Daerah);
f. SKR; dan/atau
g. bukti transaksi penerimaan kas lainnya.
Pasal 234
Buku penerimaan kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 ayat (1) yang digunakan
untuk mencatat transaksi dalam prosedur akuntansi penerimaan kas terdiri dari :
a. Buku Jurnal Penerimaan Kas;
b. Buku Besar; dan
c. Buku Besar Pembantu.
Pasal 235
Prosedur akuntansi penerimaan kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232
dilaksanakan oleh PPK-SKPD.
Pasal 236
(1) PPK-SKPD berdasarkan bukti transaksi penerimaan kas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 233 melakukan pencatatan ke dalam buku jurnal penerimaan kas dengan
mencantumkan uraian rekening-lawan asal penerimaan kas berkenaan.
(2) Secara periodik jurnal atas transaksi penerimaan kas diposting ke dalam buku besar
rekening berkenaan.
(3) Setiap akhir periode semua buku besar sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditutup sebagai dasar penyusunan laporan keuangan SKPD.
Paragraf 2
Prosedur Akuntansi Pengeluaran Kas pada SKPD
Pasal 237
Prosedur akuntansi pengeluaran kas pada SKPD meliputi serangkaian proses mulai
dari pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan keuangan yang berkaitan
dengan pengeluaran kas dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
(2) Prosedur akuntansi pengeluaran kas pada SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi :
a. sub prosedur akuntansi pengeluaran kas-langsung; dan
b. sub prosedur akuntansi pengeluaran kas-uang persediaan/ganti uang persediaan/ tambahan
uang persediaan.
(1)
(3) Bukti transaksi yang digunakan dalam prosedur akuntansi pengeluaran kas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 ayat (1) mencakup :
a. SP2D;
b. nota debet bank; atau
c. bukti transaksi pengeluaran kas Iainnya;
d. SPM;
e. SPD; dan
f. kuitansi pembayaran dan bukti tanda terima barang/jasa.
Pasal 238
Buku yang digunakan untuk mencatat transaksi dalam prosedur akuntansi pengeluaran kas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 ayat (1) mencakup :
a. Buku Jurnal Pengeluaran Kas;
b. Buku Besar; dan
c. Buku Besar Pembantu.
Pasal 239
Prosedur akuntansi pengeluaran kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 ayat (1)
dilaksanakan oleh PPK-SKPD.
Pasal 240
PPK-SKPD berdasarkan bukti transaksi pengeluaran kas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 237 ayat (3) melakukan pencatatan ke dalam buku jurnal
pengeluaran kas. dengan mencantumkan uraian rekening-lawan asal pengeluaran
kas berkenaan.
(2) Secara periodik jumal atas transaksi pengeluaran kas diposting ke dalam buku
besar rekening berkenaan.
(3) Setiap akhir periode semua buku besar sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditutup sebagai dasar penyusunan laporan keuangan SKPD.
(1)
Paragraf 3
Prosedur Akuntansi Aset pada SKPD
Pasal 241
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Prosedur akuntansi aset pada SKPD meliputi pencatatan dan pelaporan akuntansi atas
perolehan, pemeliharaan, rehabilitasi, perubahan klasifikasi, dan penyusutan terhadap
aset tetap yang dikuasai/digunakan SKPD.
Pemeliharaan aset tetap yang bersifat rutin dan berkala tidak dikapitalisasi.
Rehabilitasi yang bersifat sedang dan berat dikapitalisasi apabila memenuhi salah satu
kriteria menambah volume, menambah kapasitas, meningkatkan fungsi, meningkatkan
efisiensi dan/atau menambah masa manfaat.
Perubahan klasifikasi aset tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
perubahan aset tetap ke klasifikasi selain aset tetap atau sebaliknya.
Penyusutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penyesuaian nilai
sehubungan dengan penurunan kapasitas dan manfaat dari suatu aset tetap.
Pasal 242
Setiap aset tetap kecuali tanah dan konstruksi dalam pengerjaan yang telah dinilai
(appraisal) dilakukan penyusutan yang sistematis sesuai dengan masa manfaatnya.
(2) Metode penyusutan yang dapat digunakan antara lain :
a. metode garis lurus;
b. metode saldo menurun ganda; dan
c. metode unit produksi.
(3) Metode garis lurus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan
(1)
penyesuaian nilai aset tetap dengan membebankan penurunan kapasitas dan manfaat
aset tetap yang sama setiap periode sepanjang umur ekonomis aset tetap berkenaan.
(4) Metode saldo menurun ganda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
merupakan penyesuaian nilai aset tetap dengan membebankan penurunan
kapasitas dan manfaat aset tetap yang lebih besar pada periode awal
pemanfaatan aset dibandingkan dengan periode akhir sepanjang umur ekonomis aset
tetap berkenaan.
(5) Metode unit produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan
penyesuaian nilai aset tetap dengan membebankan penurunan kapasitas dan manfaat
aset tetap berdasarkan unit produksi yang dihasilkan dari aset tetap berkenaan.
(6) Penetapan umur ekonomis aset tetap dimuat dalam kebijakan akuntansi
berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Pasal 243
Bukti transaksi yang digunakan dalam prosedur akuntansi aset berupa bukti memorial
dilampiri dengan :
a. berita acara penerimaan barang;
b. berita acara serah terima barang; dan
c. berita acara penyelesaian pekerjaan.
Pasal 244
Buku yang digunakan untuk mencatat transaksi dan/atau kejadian dalam prosedur
akuntansi aset mencakup :
a. Buku Jurnal Umum;
b. Buku Besar; dan
c. Buku Besar Pembantu.
Pasal 245
Prosedur akuntansi aset dilaksanakan oleh PPK-SKPD serta pejabat pengurus dan
penyimpan barang SKPD.
Pasal 246
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
PPK-SKPD berdasarkan bukti transaksi dan/atau kejadian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 243 membuat bukti memorial.
Bukti memorial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat
informasi mengenai jenis/nama aset tetap, kode rekening, klasifikasi aset tetap, nilai
aset tetap, tanggal transaksi dan/atau kejadian.
Bukti memorial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat ke dalam buku jurnal
umum.
Secara periodik jurnal atas transaksi dan/atau kejadian aset tetap diposting ke
dalam buku besar rekening berkenaan.
Setiap akhir periode semua buku besar sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
ditutup sebagai dasar penyusunan laporan keuangan SKPD.
Paragraf 4
Prosedur Akuntansi Selain Kas pada SKPD
Pasal 247
(1) Prosedur akuntansi selain kas pada SKPD meliputi serangkaian proses mulai dari
pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan keuangan yang berkaitan
dengan semua transaksi atau kejadian selain kas.
(2) Prosedur akuntansi selain kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup :
a. pengesahan pertanggungjawaban pengeluaran (pengesahan SPJ);
b. koreksi kesalahan pencatatan;
c. penerimaan/pengeluaran hibah selain kas;
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
d. pembelian secara kredit;
e. retur pembelian kredit;
f. pemindahtanganan atas aset tetap/barang milik daerah tanpa konsekuensi kas; dan
g. penerimaan aset tetap/barang milik daerah tanpa konsekuensi kas.
Pengesahan pertanggungjawaban pengeluaran (pengesahan SPJ) sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a merupakan pengesahan atas pengeluaran/ belanja melalui
mekanisme uang persediaan/ganti uang persediaan/tambahan uang persediaan.
Koreksi kesalahan pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan
koreksi terhadap kesalahan dalam membuat jurnal dan telah diposting ke buku besar.
Penerimaan/pengeluaran hibah selain kas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
adalah penerimaan/pengeluaran sumber ekonomi non kas yang merupakan
pelaksanaan APBD yang mengandung konsekuensi ekonomi bagi pemerintah daerah.
Pembelian secara kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d merupakan
transaksi pembelian aset tetap yang pembayarannya dilakukan di masa yang akan
datang.
Retur pembelian kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e merupakan
pengembalian aset tetap yang telah dibeli secara kredit.
Pemindahtanganan atas aset tetap tanpa konsekuensi kas sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf f merupakan pemindahtanganan aset tetap pada pihak ketiga karena
suatu hal tanpa ada penggantian berupa kas.
Penerimaan aset tetap tanpa konsekuensi kas sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf g merupakan perolehan aset tetap akibat adanya tukar menukar (ruitslaag) dan
perolehan aset akibat tindakan lain dengan pihak ketiga.
Pasal 248
Bukti transaksi yang digunakan dalam prosedur akuntansi selain kas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1) berupa bukti memorial yang dilampiri dengan :
a. pengesahan pertanggungjawaban pengeluaran (pengesahan SPJ);
b. berita acara penerimaan barang;
c. surat keputusan penghapusan barang;
d. surat pengiriman barang;
e. surat keputusan mutasi barang (antar SKPD);
f.
berita acara pemusnahan barang;
g. berita acara serah terima barang; dan
h. berita acara penilaian.
Pasal 249
Buku yang digunakan untuk mencatat transaksi dan/atau kejadian dalam prosedur
akuntansi selain kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1) mencakup :
a. Buku Jurnal Umum;
b. Buku Besar; dan
c. Buku Besar Pembantu.
Pasal 250
Prosedur akuntansi selain kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247 ayat (1)
dilaksanakan oleh PPK-SKPD.
Pasal 251
(1)
(2)
(3)
PPK-SKPD berdasarkan bukti transaksi dan/atau kejadian membuat bukti memorial.
Bukti memorial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
memuat informasi mengenai tanggal transaksi dan/atau kejadian, kode rekening,
uraian transaksi dan/atau kejadian, dan jumlah rupiah.
Bukti memorial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat ke dalam buku jurnal
umum.
Secara periodik jurnal atas transaksi dan/atau kejadian selain kas diposting ke dalam
buku besar rekening berkenaan.
(5) Setiap akhir periode semua buku besar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditutup
sebagai dasar penyusunan laporan keuangan SKPD.
(4)
Paragraf 5
Laporan Keuangan Pada SKPD
Pasal 252
(1) SKPD menyusun dan melaporkan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD secara
periodik yang meliputi :
a. laporan realisasi anggaran SKPD;
b. neraca SKPD; dan
c. catatan atas laporan keuangan SKPD.
(2) Laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disusun dan disajikan sesuai dengan peraturan pemerintah yang
mengatur tentang standar akuntansi pemerintahan.
Bagian Keempat
Akuntansi Keuangan Daerah pada SKPKD
Paragraf 1
Prosedur Akuntansi Penerimaan Kas pada SKPKD
Pasal 253
Prosedur akuntansi penerimaan kas pada SKPKD meliputi serangkaian proses mulai dari
pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan keuangan yang berkaitan dengan
penerimaan kas dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
Pasal 254
Bukti transaksi yang digunakan dalam prosedur akuntansi penerimaan kas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254 mencakup :
a. bukti transfer;
b. nota kredit bank;
c. Surat perintah pemindahbukuan;
d. surat tanda setoran (STS);
e. surat ketetapan pajak daerah (SKP-Daerah);
f.
surat ketetapan retribusi (SKR);
g. laporan penerimaan kas dari bendahara penerimaan; dan
h. bukti transaksi penerimaan kas lainnya.
Pasal 255
Buku yang digunakan untuk mencatat prosedur akuntansi penerimaan kas mencakup:
a. Buku Jurnal Penerimaan Kas;
b. Buku Besar; dan
c. Buku Besar Pembantu.
Pasal 256
Prosedur akuntansi penerimaan kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253
dilaksanakan oleh fungsi akuntansi pada SKPKD.
Pasal 257
(1)
Fungsi akuntansi berdasarkan bukti transaksi penerimaan kas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 254 melakukan pencatatan ke dalam buku jurnal penerimaan
kas dengan mencantumkan uraian rekening-lawan asal penerimaan kas berkenaan.
(2) Secara periodik jurnal atas transaksi penerimaan kas diposting ke dalam buku
besar rekening berkenaan.
(3) Setiap akhir periode semua buku besar sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditutup sebagai dasar penyusunan laporan keuangan SKPKD.
Paragraf 2
Prosedur Akuntansi Pengeluaran Kas pada SKPKD
Pasal 258
Prosedur akuntansi pengeluaran kas pada SKPKD meliputi serangkaian proses mulai dari
pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan keuangan yang berkaitan dengan
pengeluaran kas dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
Pasal 259
Bukti transaksi yang digunakan dalam prosedur akuntansi pengeluaran kas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 258 mencakup :
a.
surat perintah pencairan dana (SP2D); atau
b.
nota debet bank.
(2) Bukti transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan :
a. surat penyediaan dana (SPD);
b. surat perintah membayar (SPM);
c. laporan pengeluaran kas dari bendahara pengeluaran; dan
d. kwitansi pembayaran dan bukti tanda terima barang/jasa.
(1)
Pasal 260
Buku yang digunakan untuk mencatat transaksi mencakup :
a. Buku Jumal Pengeluaran Kas;
b. Buku Besar; dan
c. Buku Besar Pembantu.
Pasal 261
Prosedur akuntansi pengeluaran kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 258
merupakan fungsi akuntansi SKPKD.
Pasal 262
Fungsi akuntansi SKPKD berdasarkan bukti transaksi pengeluaran kas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 259 ayat (1) melakukan pencatatan ke dalam buku jurnal
pengeluaran kas dengan mencantumkan uraian rekening-lawan asal pengeluaran kas
berkenaan.
(2) Secara periodik jurnal atas transaksi pengeluaran kas diposting ke dalam buku besar
rekening berkenaan.
(3) Setiap akhir periode semua buku besar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditutup
sebagai dasar penyusunan laporan keuangan SKPKD.
(1)
Paragraf 3
Prosedur Akuntansi Aset pada SKPKD
Pasal 263
(1)
(2)
Prosedur akuntansi aset pada SKPKD meliputi serangkaian proses pencatatan dan
pelaporan akuntansi atas perolehan, pemeliharaan, rehabilitasi, penghapusan,
pemindahtanganan, perubahan klasifikasi, dan penyusutan terhadap aset tetap
yang dikuasai/digunakan SKPKD yang dapat dilakukan secara manual atau
menggunakan aplikasi komputer.
Prosedur akuntansi aset pada SKPKD digunakan sebagai alat pengendali dalam
pengelolaan aset yang dikuasai/digunakan SKPD dan/atau SKPKD.
Pasal 264
Bukti transaksi yang digunakan dalam prosedur akuntansi aset sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 263 berupa bukti memorial dilampiri dengan :
a. berita acara penerimaan barang;
b. surat keputusan penghapusan barang;
c. surat keputusan mutasi barang (antar SKPKD);
d. berita acara pemusnahan barang;
e. berita acara serah terima barang;
f. berita acara penilaian; dan
g. berita acara penyelesaian pekerjaan.
Pasal 265
Buku yang digunakan untuk mencatat transaksi dan/atau kejadian dalam prosedur
akuntansi aset mencakup :
a. Buku Jurnal Umum;
b. Buku Besar; dan
c. Buku Besar Pembantu.
Pasal 266
Prosedur akuntansi aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 264 dilaksanakan oleh fungsi
akuntansi pada SKPKD.
Pasal 267
Fungsi akuntansi SKPKD berdasarkan bukti transaksi dan/atau kejadian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 264 memuat bukti memorial.
(2) Bukti memorial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat
informasi mengenai jenis/nama aset tetap, kode rekening, klasifikasi aset tetap, nilai
aset tetap, tanggal transaksi dan/atau kejadian.
(3) Bukti memorial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat ke dalam buku jurnal
umum.
(4) Secara periodik jurnal atas transaksi dan/atau kejadian aset tetap diposting ke dalam
buku besar rekening berkenaan.
(5) Setiap akhir periode semua buku besar sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
ditutup sebagai dasar penyusunan laporan keuangan SKPKD.
(1)
Paragraf 4
Prosedur Akuntansi Selain Kas pada SKPKD
Pasal 268
Prosedur akuntansi selain kas pada SKPKD meliputi serangkaian proses mulai
dari pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan keuangan yang
berkaitan dengan semua transaksi atau kejadian selain kas yang dapat dilakukan
secara manual atau menggunakan aplikasi komputer.
(2) Prosedur akuntansi selain kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup :
a. koreksi kesalahan pembukuan;
b. penyesuaian terhadap akun tertentu dalam rangka menyusun laporan
keuangan pada akhir tahun;
c. reklasifikasi belanja modal menjadi aset tetap; dan
d. reklasifikasi akibat koreksi yang ditemukan dikemudian hari.
(1)
Pasal 269
Bukti transaksi yang digunakan dalam prosedur akuntansi selain kas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 268 ayat (1) berupa bukti memorial dilampiri dengan :
a. berita acara penerimaan barang;
b. surat keputusan penghapusan barang;
c. surat keputusan mutasi barang (antar SKPKD);
d. berita acara pemusnahan barang;
e. berita acara serah terima barang;
f. berita acara penilaian; dan
g. berita acara penyelesaian pekerjaan.
Pasal 270
Buku yang digunakan untuk mencatat transaksi dan/atau kejadian dalam prosedur
akuntansi selain kas mencakup :
a. Buku Jurnal Umum;
b. Buku Besar; dan
c. Buku Besar Pembantu.
Pasal 271
Prosedur akuntansi selain kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 ayat (1)
dilaksanakan oleh fungsi akuntansi pada SKPKD.
Pasal 272
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Fungsi akuntansi berdasarkan bukti transaksi dan/atau kejadian memuat bukti
memorial.
Bukti memorial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
memuat informasi mengenai tanggal transaksi dan/atau kejadian, kode rekening,
uraian transaksi dan/atau kejadian, dan jumlah rupiah.
Bukti memorial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat ke dalam buku jurnal
umum.
Secara periodik jurnal atas transaksi dan/atau kejadian selain kas diposting ke
dalam buku besar rekening berkenaan.
Setiap akhir periode semua buku besar sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
ditutup sebagai dasar penyusunan laporan keuangan SKPKD.
Paragraf 5
Laporan Keuangan pada SKPKD
Pasal 273
Kepala SKPKD menyusun dan melaporkan laporan arus kas secara periodik
kepada Kepala Daerah.
(2) Laporan arus kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dan disajikan
sesuai dengan peraturan pemerintah yang mengatur tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan.
(1)
BAB XIII
PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN APBD
Bagian Pertama
Laporan Realisasi Semester Pertama
Anggaran Pendapatan dan Belanja
Pasal 274
(1)
Kepala SKPD menyusun Laporan Realisasi Semester Pertama Anggaran Pendapatan
dan Belanja SKPD sebagai hasil pelaksanaan anggaran yang menjadi tanggung
jawabnya.
Laporan Realisasi Semester Pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi Laporan Keuangan dan Laporan Kinerja yang disertai dengan prognosis
untuk 6 (enam) bulan berikutnya.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disiapkan oleh PPK-SKPD dan
disampaikan kepada pejabat pengguna anggaran untuk ditetapkan sebagai
laporan realisasi semester pertama anggaran pendapatan dan belanja SKPD
serta prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya paling lama 7 (tujuh) hari kerja
setelah semester pertama tahun anggaran berkenaan berakhir.
(4) Pejabat pengguna anggaran menyampaikan laporan realisasi semester pertama
anggaran pendapatan dan belanja SKPD serta prognosis untuk 6 (enam) bulan
berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada PPKD sebagai dasar
penyusunan laporan realisasi semester pertama APBD paling lama 10 (sepuluh)
hari kerja setelah semester pertama tahun anggaran berkenaan berakhir.
(2)
Pasal 275
PPKD menyusun laporan realisasi semester pertama APBD dengan cara
menggabungkan seluruh laporan realisasi semester pertama anggaran pendapatan
dan belanja SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274 ayat (4) paling lambat
minggu kedua bulan Juli tahun anggaran berkenaan dan disampaikan kepada Sekretaris
Daerah selaku Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah.
Pasal 276
Laporan realisasi semester pertama APBD dan prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274 disampaikan kepada kepala daerah paling lambat
minggu ketiga bulan Juli tahun anggaran berkenaan untuk ditetapkan sebagai laporan
realisasi semester pertama APBD dan prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya.
Pasal 277
Laporan realisasi semester pertama APBD dan prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274 disampaikan kepada DPRD paling lambat akhir
bulan Juli tahun anggaran berkenaan.
Bagian Kedua
Laporan Tahunan
Pasal 278
(1)
(2)
PPK-SKPD menyiapkan laporan keuangan dan laporan kinerja SKPD tahun anggaran
berkenaan dan disampaikan kepada kepala SKPD untuk ditetapkan sebagai laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran SKPD.
Laporan keuangan dan laporan kinerja SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada PPKD sebagai dasar penyusunan laporan keuangan dan
laporan kinerja pemerintah daerah.
Pasal 279
Laporan keuangan dan laporan kinerja SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal
278 ayat (1) disampaikan kepada kepala daerah melalui PPKD paling lambat 2 (dua)
bulan setelah tahun anggaran berakhir.
(2) Laporan keuangan dan laporan kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disusun oleh pejabat pengguna anggaran sebagai hasil pelaksanaan anggaran yang
berada di SKPD yang menjadi tanggung jawabnya.
(3) Laporan keuangan SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari
a. laporan realisasi anggaran;
b. neraca; dan
c. catatan atas laporan keuangan.
(1)
(4) Laporan kinerja SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berisi ringkasan tentang
keluaran dari masing-masing kegiatan dan hasil yang dicapai dari masing-masing
program sebagaimana ditetapkan dalam dokumen pelaksanaan APBD.
(5) Laporan keuangan dan laporan kinerja SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilampiri dengan surat pernyataan kepala SKPD bahwa pengelolaan APBD yang
menjadi tanggung jawabnya telah diselenggarakan berdasarkan sistem pengendalian
intern yang memadai dan standar akuntansi pemerintahan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 280
PPKD menyusun laporan keuangan dan laporan kinerja pemerintah daerah dengan
cara menggabungkan laporan-laporan keuangan dan laporan kinerja SKPD paling
lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran berkenaan.
(2) Laporan keuangan dan laporan kinerja pemerintah daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada kepala daerah melalui Sekretaris Daerah
selaku Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah dalam rangka memenuhi
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
(3) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari :
a. laporan realisasi anggaran;
b. neraca;
c. laporan arus kas; dan
d. catatan atas laporan keuangan.
(5) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dan disajikan sesuai
dengan peraturan pemerintah yang mengatur tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
(6) Laporan keuangan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilampiri dengan laporan ikhtisar realisasi kinerja dan laporan keuangan
BUMD/perusahaan daerah.
(7) Laporan ikhtisar realisasi kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disusun dari
ringkasan laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dan laporan
kinerja intern di Iingkungan pemerintah daerah.
(8) Penyusunan laporan kinerja intern sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berpedoman
pada Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai laporan kinerja
intern di lingkungan pemerintah daerah.
(9) Laporan keuangan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilampiri dengan surat pernyataan kepala daerah yang menyatakan pengelolaan APBD
yang menjadi tanggung jawabnya telah diselenggarakan berdasarkan sistem
pengendalian intern yang memadai, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(1)
Pasal 281
Laporan keuangan dan laporan kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (2)
disampaikan oleh kepala daerah kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk
dilakukan pemeriksaan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
(2) Kepala daerah memberikan tanggapan dan melakukan penyesuaian terhadap
laporan keuangan pemerintah daerah berdasarkan hasil pemeriksaan BPK.
(1)
Bagian Ketiga
Penetapan Raperda Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD
Pasal 282
Kepala
daerah
menyampaikan
rancangan
peraturan
daerah
tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD paling lambat 6 (enam) bulan
setelah tahun anggaran berakhir.
(2) Rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat laporan keuangan yang meliputi
laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, catatan atas laporan keuangan,
serta dilampiri dengan laporan kinerja yang telah diperiksa Badan Pemeriksa
(1)
Keuangan (BPK) dan ikhtisar laporan keuangan badan usaha milik daerah/perusahaan
daerah.
Pasal 283
(1)
(2)
Apabila sampai batas waktu 2 (dua) bulan setelah penyampaian laporan keuangan, BPK
belum menyampaikan hasil pemeriksaan, kepala daerah menyampaikan rancangan
peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD.
Rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri
dengan laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, catatan atas laporan
keuangan, dan laporan kinerja yang isinya sama dengan yang disampaikan kepada BPK.
Pasal 284
(1) Rancangan Peraturan Daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dirinci
dalam rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang penjabaran pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD.
(2) Rancangan Peraturan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi
dengan lampiran terdiri dari :
a. ringkasan laporan realisasi Anggaran; dan
b. penjabaran laporan realisasi Anggaran;
Pasal 285
(1)
(2)
Agenda pembahasan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (1) ditentukan oleh
DPRD.
Persetujuan
bersama
terhadap
rancangan
peraturan
daerah
tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD oleh DPRD paling lama 1 (satu) bulan
terhitung sejak rancangan peraturan daerah diterima.
Pasal 286
(1)
(2)
Laporan keuangan dan laporan kinerja pemerintah daerah wajib dipublikasikan.
Laporan keuangan dan laporan kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
laporan keuangan dan laporan kinerja yang telah diaudit oleh BPK dan telah
diundangkan dalam Lembaran Daerah.
Bagian Keempat
Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD dan Peraturan Kepala Daerah tentang
Penjabaran Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD
Pasal 287
Rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang
telah disetujui bersama DPRD dan rancangan peraturan bupati tentang penjabaran
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati paling lama 3
(tiga) hari kerja disampaikan terlebih dahulu kepada Gubernur untuk dievaluasi.
(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Gubernur kepada
Bupati paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya rancangan
peraturan daerah dan rancangan peraturan bupati tentang penjabaran
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
(3) Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan peraturan daerah tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan rancangan peraturan bupati tentang
penjabaran pertanggungjawaban pelaksanaan APBD sudah sesuai dengan
kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati
menetapkan rancangan peraturan daerah dan rancangan peraturan bupati menjadi
peraturan daerah dan peraturan Bupati.
(1)
Pasal 288
Dalam hal Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan peraturan daerah tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan rancangan peraturan bupati tentang
penjabaran pertanggungjawaban pelaksanaan APBD tidak sesuai dengan kepentingan
umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati bersama DPRD
wajib melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak
diterimanya hasil evaluasi.
(2) Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Bupati dan DPRD, dan Bupati tetap
menetapkan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD dan rancangan peraturan bupati tentang penjabaran pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD menjadi peraturan daerah dan peraturan bupati, Gubernur
membatalkan peraturan daerah dan peraturan bupati dimaksud sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(1)
Pasal 289
Gubernur menyampaikan hasil evaluasi rancangan Peraturan Daerah Kabupaten tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan rancangan Peraturan Bupati
tentang
penjabaran pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada Menteri Dalam Negeri.
BAB XIV
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
Bagian Pertama
Pembinaan dan Pengawasan
Pasal 290
Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan Pengelolaan Keuangan Daerah kepada
Pemerintah Daerah yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri.
Pasal 291
(1) Pembinaan meliputi pemberian pedoman, bimbingan, supervisi, konsultasi, pendidikan
dan pelatihan.
(2) Pemberian pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup perencanaan dan
penyusunan APBD, pelaksanaan, penatausahaan dan akuntansi keuangan Daerah,
pertanggungjawaban keuangan Daerah, pemantauan dan evaluasi, serta kelembagaan
Pengelolaan Keuangan Daerah.
(3) Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup perencanaan dan penyusunan APBD, pelaksanaan, panatausahaan dan
akuntansi keuangan Daerah, serta pertanggungjawaban keuangan Daerah yang
dilaksanakan secara berkala dan/atau sewaktu-waktu, baik secara menyeluruh kepada
seluruh Daerah maupun kepada Daerah tertentu sesuai dengan kebutuhan.
(4) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara
berkala bagi Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah, pimpinan dan anggota DPRD,
perangkat Daerah, dan pegawai negeri sipil Daerah serta kepada bendahara penerimaan
dan bendahara pengeluaran.
Pasal 292
Pembinaan untuk Kabupaten dikoordinasikan oleh Gubernur selaku wakil pemerintah.
Pasal 293
(1)
(2)
DPRD melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah tentang APBD.
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan pemeriksaan tetapi
pengawasan yang lebih mengarah untuk menjamin pencapaian sasaran yang telah
ditetapkan dalam peraturan daerah tentang APBD.
Pasal 294
Pengawasan pengelolaan keuangan daerah berpedoman pada ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Kedua
Pengendalian Intern
Pasal 295
Dalam rangka meningkatkan kinerja transparansi dan akuntabilitas pengelolaan
keuangan daerah, kepala daerah mengatur dan menyelenggarakan sistem
pengendalian intern di lingkungan pemerintahan daerah yang dipimpinnya.
(2) Pengendalian intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan proses yang
dirancang untuk memberikan keyakinan yang memadai mengenai pencapaian
tujuan pemerintah daerah yang tercermin dari keandalan laporan keuangan, efisiensi
dan efektivitas pelaksanaan program dan kegiatan serta dipatuhinya peraturan
perundang-undangan.
(3) Pengendalian intern sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya
memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. terciptanya lingkungan pengendalian yang sehat;
b. terselenggaranya penilaian risiko;
c. terselenggaranya aktivitas pengendalian;
d. terselenggaranya sistem informasi dan komunikasi; dan
e. terselenggaranya kegiatan pemantauan pengendalian.
(4) Penyelenggaraan pengendalian intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
(1)
Bagian Ketiga
Pemeriksaan Ekstern
Pasal 296
Pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah dilakukan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB XV
KERUGIAN DAERAH
Pasal 297
Setiap kerugian daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau
kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundangundangan.
(2) Bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena
perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan
kepadanya secara langsung merugikan keuangan daerah, wajib mengganti
kerugian tersebut.
(3) Kepala SKPD dapat segera melakukan tuntutan ganti rugi, setelah mengetahui bahwa
dalam SKPD yang bersangkutan terjadi kerugian akibat perbuatan dari pihak
manapun.
(1)
Pasal 298
Kerugian daerah wajib dilaporkan oleh atasan langsung atau kepala SKPD kepada
kepala daerah dan diberitahukan kepada BPK paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah
kerugian daerah itu diketahui.
(2) Segera setelah kerugian daerah tersebut diketahui, kepada bendahara, pegawai negeri
sipil bukan bendahara, atau pejabat lain yang nyata-nyata melanggar hukum atau
melalaikan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 298 ayat (2) segera
(1)
dimintakan surat pernyataan kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa kerugian
tersebut menjadi tanggung jawabnya dan bersedia mengganti kerugian daerah
dimaksud.
(3) Jika surat keterangan tanggung jawab mutlak tidak mungkin diperoleh atau tidak
dapat menjamin pengembalian kerugian daerah, kepala daerah segera mengeluarkan
surat keputusan pembebanan penggantian kerugian sementara kepada yang
bersangkutan.
Pasal 299
Dalam hal bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara, atau pejabat lain yang
dikenai tuntutan ganti kerugian daerah berada dalam pengampuan, melarikan
diri, atau meninggal dunia, penuntutan dan penagihan terhadapnya beralih kepada
pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris, terbatas pada kekayaan yang dikelola
atau diperolehnya, yang berasal dari bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara,
atau pejabat lain yang bersangkutan.
(2) Tanggung jawab pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris untuk membayar ganti
kerugian daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hapus apabila dalam
waktu 3 (tiga) tahun sejak keputusan pengadilan yang menetapkan pengampuan kepada
bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan,
atau sejak bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang
bersangkutan diketahui melarikan diri atau meninggal dunia, pengampu/yang
memperoleh hak/ahli waris tidak diberi tahu oleh pejabat yang berwenang mengenai
adanya kerugian daerah.
(1)
Pasal 300
Ketentuan penyelesaian kerugian daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah
ini berlaku pula untuk uang dan/atau barang bukan milik daerah, yang berada dalam
penguasaan bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara, atau pejabat lain
yang digunakan dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.
(2) Ketentuan penyelesaian kerugian daerah dalam Peraturan Daerah ini berlaku pula untuk
pengelola perusahaan daerah dan badan-badan lain yang menyelenggarakan
pengelolaan keuangan daerah, sepanjang tidak diatur dalam peraturan perundangundangan tersendiri.
(1)
Pasal 301
(1)
(2)
Bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara, dan pejabat lain yang telah ditetapkan
untuk mengganti kerugian daerah dapat dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi
pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Putusan pidana atas kerugian daerah terhadap bendahara, pegawai negeri sipil bukan
bendahara dan pejabat lain tidak membebaskan yang bersangkutan dari tuntutan
ganti rugi.
Pasal 302
Kewajiban bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara, atau pejabat lain untuk
membayar ganti rugi, menjadi kedaluwarsa jika dalam waktu 5 (lima) tahun sejak
diketahuinya kerugian tersebut atau dalam waktu 8 (delapan) tahun sejak terjadinya
kerugian tidak dilakukan penuntutan ganti rugi terhadap yang bersangkutan.
Pasal 303
(1)
(2)
Pengenaan ganti kerugian daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh BPK.
Apabila dalam pemeriksaan kerugian daerah ditemukan unsur pidana, BPK
menindaklanjutinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 304
Pengenaan ganti kerugian daerah terhadap pegawai negeri sipil bukan bendahara
ditetapkan oleh kepala daerah.
Pasal 305
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara tuntutan ganti kerugian daerah diatur dengan
peraturan daerah dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
BAB XVI
PENGELOLAAN KEUANGAN BADAN LAYANAN UMUM DAERAH
Pasal 306
Pemerintah Daerah membentuk BLUD untuk :
a. menyediakan barang dan/atau jasa untuk layanan umum; dan
b. mengelola dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan
kepada masyarakat.
(2) Instansi yang menyediakan barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, antara lain pelayanan kesehatan, pelayanan kebersihan, pengelolaan limbah,
pengelolaan pasar, pengelolaan terminal, pengelolaan obyek wisata daerah, dana
perumahan, rumah susun sewa, serta Instansi Layanan Umum lainnya.
(3) Dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, antara lain instansi yang
melaksanakan pengelolaan dana seperti dana bergulir usaha kecil menengah, tabungan
perumahan, dan instansi pengelola dana lainnya.
(1)
Pasal 307
BLUD dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
(2) Kekayaan BLUD merupakan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan serta dikelola dan
dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan BLUD yang bersangkutan.
(1)
Pasal 308
(1) Pembinaan keuangan BLUD dilakukan oleh PPKD dan pembinaan teknis dilakukan oleh
Kepala SKPD yang bertanggungjawab atas urusan pemerintahan yang bersangkutan.
(2) Pembinaan keuangan BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemberian
pedoman, bimbingan, supervisi pendidikan dan pelatihan dibidang pengelolaan
keuangan BLUD.
(3) Pembinaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemberian pedoman,
bimbingan, supervisi, pendidikan dan pelatihan dibidang penyelenggaraan program
dan kegiatan BLUD.
Pasal 309
BLUD dapat memperoleh hibah atau sumbangan dari masyarakat atau badan lain.
Pasal 310
Seluruh Pendapatan BLUD dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja BLUD yang
bersangkutan.
BAB XVII
PENGATURAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
Pasal 311
(1)
(2)
(3)
(4)
Ketentuan tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah diatur dengan
Peraturan Daerah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Berdasarkan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud ayat (1), Kepala Daerah
menetapkan Peraturan Kepala Daerah tentang Sistem dan Prosedur Pengelolaan
Keuangan Daerah.
Sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) mencakup tata cara penyusunan, pelaksanaan, penatausahaan dan
akuntansi, pelaporan, pengawasan dan pertanggung- jawaban keuangan daerah.
Peraturan kepala daerah tentang Sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), juga memuat tata cara penunjukkan
pejabat yang diberi wewenang BUD, kuasa BUD, pengguna anggaran/kuasa
pengguna anggaran, bendahara penerimaan, dan bendahara pengeluaran
berhalangan.
BAB XVIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 312
Pada saat mulai berlakunya Peraturan Daerah ini, semua Peraturan Daerah terkait
Pengelolaan Keuangan Daerah sepanjang tidak bertentangan belum diganti sesuai dengan
ketentuan Peraturan Daerah ini dinyatakan tetap berlaku.
BAB XIX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 313
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau.
Ditetapkan di Nanga Bulik
pada tanggal
BUPATI LAMANDAU,
MARUKAN
Diundangkan di Nanga Bulik
pada tanggal
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN LAMANDAU,
ARIFIN LP. UMBING
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
TAHUN 2011 NOMOR 62 SERI A
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
NOMOR 03 TAHUN 2011
TENTANG
POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
KABUPATEN LAMANDAU
A. Umum
Dalam rangka pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang diikuti dengan perimbangan keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah timbul hak dan
kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang sehingga perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan
keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah sebagaimana dimaksud merupakan subsistem dari sistem
pengelolaan keuangan negara dan merupakan elemen pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Selain kedua Undang-undang tersebut diatas, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang
menjadi acuan pengelolaan keuangan daerah yang telah terbit lebih dahulu. Undang-undang dimaksud
adalah Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, UU Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara, dan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Pada dasarnya buah pikiran yang melatarbelakangi terbitnya peraturan perundang-undangan di atas adalah
keinginan untuk mengelola keuangan negara dan daerah secara efektif dan efisien. Ide dasar tersebut
tentunya ingin dilaksanakan melalui tata kelola pemerintahan yang baik yang memiliki tiga pilar utama yaitu
transparansi, akuntabilitas, dan partisipatif.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan adanya satu peraturan pelaksanaan yang komprehensif dan
terpadu (omnibus regulation) dari berbagai undang-undang tersebut diatas yang bertujuan agar
memudahkan dalam pelaksanaannya dan tidak menimbulkan multi tafsir dalam penerapannya. Peraturan
dimaksud memuat berbagai kebijakan terkait dengan perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan dan
pertanggungjawaban keuangan Daerah.
Berdasarkan pemikiran sebagaimana diuraikan diatas maka pokok-pokok muatan peraturan pemerintah ini
mencakup:
1. Perencanaan dan Penganggaran
Pengaturan pada aspek perencanaan diarahkan agar seluruh proses penyusunan APBD semaksimal
mungkin dapat menunjukkan latar belakang pengambilan keputusan dalam penetapan arah kebijakan
umum, skala prioritas dan penetapan alokasi serta distribusi sumber daya dengan melibatkan partisipasi
masayarakat. Oleh karenanya dalam proses dan mekanisme penyusunan APBD yang diatur dalam
peraturan pemerintah ini akan memperjelas siapa bertanggung jawab apa sebagai landasan
pertanggungjawaban baik antara eksekutif dan DPRD, maupun di-internal eksekutif itu sendiri.
Dokumen penyusunan anggaran yang disampaikan oleh masing-masing satuan kerja perangkat daerah
(SKPD) yang disusun dalam format Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD harus betul-betul dapat
menyajikan informasi yang jelas tentang tujuan, sasaran, serta korelasi antara besaran anggaran (beban
kerja dan harga satuan) dengan manfaat dan hasil yang ingin dicapai atau diperoleh masyarakat dari
suatu kegiatan yang dianggarkan. Oleh karena itu penerapan anggaran berbasis kinerja mengandung
makna bahwa setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk bertanggungjawab atas hasil proses dan
penggunaan sumber dayanya.
APBD merupakan instrumen yang akan menjamin terciptanya disiplin dalam proses pengambilan
keputusan terkait dengan kebijakan pendapatan maupun belanja daerah. Untuk menjamin agar APBD
dapat disusun dan dilaksanakan dengan baik dan benar, maka dalam peraturan ini diatur landasan
administratif dalam pengelolaan anggaran daerah yang mengatur antara lain prosedur dan teknis
pengganggaran yang harus diikuti secara tertib dan taat azas. Selain itu dalam rangka disiplin anggaran
maka penyusunan anggaran baik “pendapatan” maupun “belanja” juga harus mengacu pada aturan atau
pedoman yang melandasinya apakah itu Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri,
Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah. Oleh karena itu dalam proses penyusunan APBD
pemerintah daerah harus mengikuti prosedur administratif yang ditetapkan.
Beberapa prinsip dalam disiplin anggaran yang perlu diperhatikan dalam penyusunan anggaran daerah
antara lain bahwa (1) Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional
yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan belanja yang dianggarkan merupakan
batas tertinggi pengeluaran belanja; (2) Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya
kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan
yang belum tersedia atau tidak mencukupi kredit anggarannya dalam APBD/Perubahan APBD; (3) Semua
penerimaan dan pengeluaran daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukan dalam
APBD dan dilakukan melalui rekening Kas Umum Daerah.
Pendapatan daerah (langsung) pada hakikatnya diperoleh melalui mekanisme pajak dan retribusi atau
pungutan lainnya yang dibebankan pada seluruh masyarakat. Keadilan atau kewajaran dalam perpajakan
terkait dengan prinsip kewajaran “horisontal” dan kewajaran “vertikal”. Prinsip dari kewajaran horisontal
menekankan pada persyaratan bahwa masyarakat dalam posisi yang sama harus diberlakukan sama,
sedangkan prinsip kewajaran vertikal dilandasi pada konsep kemampuan wajib pajak/restribusi untuk
membayar, artinya masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk membayar tinggi diberikan beban
pajak yang tinggi pula. Tentunya untuk menyeimbangkan kedua prinsip tersebut pemerintah daerah
dapat melakukan diskriminasi tarif secara rasional untuk menghilangkan rasa ketidak-adilan.
Selain itu dalam konteks belanja, Pemerintah Daerah harus mengalokasikan belanja daerah secara adil
dan merata agar relatif dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi, khususnya
dalam pemberian pelayanan umum.
Oleh karena itu, untuk dapat mengendalikan tingkat efisiensi dan efektifitas anggaran, maka dalam
perencanaan anggaran perlu diperhatikan (1) Penetapan secara jelas tujuan dan sasaran, hasil dan
manfaat, serta indikator kinerja yang ingin dicapai; (2) Penetapan prioritas kegiatan dan penghitungan
beban kerja, serta penetapan harga satuan yang rasional.
Aspek penting lainnya yang diatur dalam peraturan pemerintah ini adalah keterkaitan antara kebijakan
(policy), perencanaan (planning) dengan penganggaran (budget) oleh pemerintah daerah, agar sinkron
dengan berbagai kebijakan pemerintah sehingga tidak menimbulkan tumpang tindih pelaksanaan
program dan kegiatan oleh pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Proses penyusunan APBD pada dasarnya bertujuan untuk menyelaraskan kebijakan ekonomi makro dan
sumber daya yang tersedia, mengalokasikan sumber daya secara tepat sesuai kebijakan pemerintah dan
mempersiapkan kondisi bagi pelaksanaan pengelolaan anggaran secara baik. Oleh karena itu pengaturan
penyusunan anggaran merupakan hal penting agar dapat berfungsi sebagaimana diharapkan yaitu (1)
dalam konteks kebijakan, anggaran memberikan arah kebijakan perekonomian dan menggambarkan
secara tegas penggunaan sumberdaya yang dimiliki masyarakat; (2) fungsi utama anggaran adalah untuk
mencapai keseimbangan ekonomi makro dalam perekonomian; (3) anggaran menjadi sarana sekaligus
pengendali untuk mengurangi ketimpangan dan kesenjangan dalam berbagai hal di suatu negara.
Penyusunan APBD diawali dengan penyampaian kebijakan umum APBD sejalan dengan Rencana Kerja
Pemerintah Daerah, sebagai landasan penyusunan RAPBD kepada DPRD untuk dibahas dalam
pembicaraan pendahuluan RAPBD. Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati dengan
DPRD, Pemerintah Daerah bersama dengan DPRD membahas prioritas dan plafon anggaran sementara
untuk dijadikan acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah.
Kepala SKPD selanjutnya menyusun Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (RKA-SKPD) yang disusun
berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. Rencana Kerja dan Anggaran ini disertai dengan prakiraan
belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sudah disusun. Rencana Kerja dan Anggaran
ini kemudian disampaikan kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD. Hasil
pembahasan ini disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan
Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD.
Proses selanjutnya Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD disertai
penjelasan dari dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD untuk dibahas dan disetujui. APBD yang
disetujui DPRD ini terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Jika
DPRD tidak menyetujui Rancangan Perda APBD tersebut, untuk membiayai keperluan setiap bulan
Pemerintah Daerah dapat melaksanakan pengeluaran daerah setinggi-tinginya sebesar angka APBD tahun
anggaran sebelumnya dengan prioritas untuk belanja yang mengikat dan wajib.
2. Pelaksanaan dan Penatausahaan Keuangan Daerah
Kepala daerah selaku pemegang kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah juga
pemegang kekuasaan dalam pengelolaan keuangan daerah. Selanjutnya kekuasaan tersebut dilaksanakan
oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku pejabat pengelola keuangan daerah dan
dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah di
bawah koordinasi Sekretaris Daerah. Pemisahan ini akan memberikan kejelasan dalam pembagian
wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme checks and balances serta untuk mendorong
upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.
Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan
pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat.
Perubahan APBD dimungkinkan jika terjadi perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan
umum APBD, terdapat keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit
organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja, serta terjadi keadaan yang menyebabkan saldo
anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan. Selain itu
dalam keadaan darurat pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia
anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD dan/atau disampaikan dalam
Laporan Realisasi Anggaran.
Beberapa aspek pelaksanaan yang diatur dalam Peraturan Daerah tentang pokok-pokok pengelolaan
keuangan daerah ini adalah memberikan peran dan tanggung jawab yang lebih besar para pejabat
pelaksana anggaran, sistem pengawasan pengeluaran dan sistem pembayaran, manajemen kas dan
perencanaan keuangan, pengelolaan piutang dan utang, pengelolaan investasi, pengelolaan Barang Milik
Daerah, larangan penyitaan Uang dan Barang Milik Daerah dan/atau yang dikuasai negara/daerah,
penatausahaan dan pertanggungjawaban APBD, serta akuntansi dan pelaporan.
Sehubungan dengan hal itu, dalam Peraturan Daerah tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan
daerah ini diperjelas posisi satuan kerja perangkat daerah sebagai instansi pengguna anggaran dan
pelaksana program dan menetapkan posisi Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah sebagai Bendahara
Umum Daerah. Dengan demikian, fungsi perbendaharaan akan dipusatkan di Satuan Kerja Pengelola
Keuangan Daerah (SKPKD).
Namun demikian untuk menyelesaikan proses pembayaran yang bernilai kecil dengan cepat, harus
dibentuk kas kecil unit pengguna anggaran. Pemegang kas kecil harus bertanggung jawab mengelola
dana yang jumlahnya lebih dibatasi yang dalam Peraturan Daerah tentang pokok-pokok pengelolaan
keuangan daerah ini dikenal sebagai bendahara.
Berkaitan dengan sistem pengeluaran dan sistem pembayaran, dalam rangka meningkatkan
pertanggungjawaban dan akuntabilitas satuan kerja perangkat daerah serta untuk menghindari
pelaksanaan verifikasi (pengurusan administratif) dan penerbitan SPM (pengurusan pembayaran) berada
dalam satu kewenangan tunggal (Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah), fungsi penerbitan SPM
dialihkan ke Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
Dengan memisahkan pemegang kewenangan dari pemegang kewenangan komptabel, check and balance
mungkin dapat terbangun melalui (a) ketaatan terhadap ketentuan hukum, (b) pengamanan dini melalui
pemeriksaan dan persetujuan sesuai ketentuan yang berlaku, (c) sesuai dengan spesifikasi teknis, dan (d)
menghindari pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan dan memberikan keyakinan bahwa
uang daerah dikelola dengan benar.
Selanjutnya, sejalan dengan pemindahan kewenangan penerbitan SPM kepada satuan kerja perangkat
daerah, jadwal penerimaan dan pengeluaran kas secara periodik harus diselenggarakan sesuai dengan
jadwal yang disampaikan unit penerima dan unit pengguna kas. Untuk itu, unit yang menangani
perbendaharaan di Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah melakukan antisipasi secara lebih baik
terhadap kemungkinan kekurangan kas. Dan sebaliknya melakukan rencana untuk menghasilkan
pendapatan tambahan dari pemanfaatan kesempatan melakukan investasi dari kas yang belum digunakan
dalam periode jangka pendek.
3. Pertanggungjawaban Keuangan Daerah
Pengaturan bidang akuntansi dan pelaporan dilakukan dalam rangka untuk menguatkan pilar
akuntabilitas dan transparansi. Dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang akuntabel dan
transparan, pemerintah daerah wajib menyampaikan pertanggungjawaban berupa (1) Laporan Realisasi
Anggaran, (2) Neraca, (3) Laporan Arus Kas, dan (4) Catatan atas Laporan Keuangan.
Laporan keuangan dimaksud disusun sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan. Sebelum
dilaporkan kepada masyarakat melalui DPRD, laporan keuangan perlu diperiksa terlebih dahulu oleh BPK.
Fungsi pemeriksaan merupakan salah satu fungsi manajemen sehingga tidak dapat dipisahkan dari
manajemen keuangan daerah. Berkaitan dengan pemeriksaan telah dikeluarkan UU Nomor 15 tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Terdapat dua jenis
pemeriksaan yang dilaksanakan terhadap pengelolaan keuangan negara, yaitu pemeriksaan intern dan
pemeriksaan ekstern.
Pemeriksaan atas pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan sejalan dengan amandemen IV UUD 1945.
Berdasarkan UUD 1945, pemeriksaan atas laporan keuangan dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan. Dengan demikian BPK RI akan melaksanakan pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah
daerah.
Dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan keuangan ini, BPK sebagai auditor yang independen akan
melaksanakan audit sesuai dengan standar audit yang berlaku dan akan memberikan pendapat atas
kewajaran laporan keuangan.
Kewajaran atas laporan keuangan pemerintah ini diukur dari kesesuaiannya terhadap standar akuntansi
pemerintahan. Selain pemeriksaan ekstern oleh BPK, juga dapat dilakukan pemeriksaan intern.
Pemeriksaan ini pada pemerintah daerah dilaksanakan oleh Badan Pengawasan Daerah.
Oleh karena itu dengan spirit sinkronisasi dan sinergitas terhadap berbagai undang-undang tersebut
diatas, maka pengelolaan keuangan daerah yang diatur dalam peraturan pemerintah ini bersifat umum
dan lebih menekankan kepada hal yang bersifat prinsip, norma, asas, landasan umum dalam penyusunan,
pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan daerah.
Sementara itu sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah secara rinci ditetapkan oleh masingmasing daerah. Kebhinekaan dimungkinkan terjadi sepanjang hal tersebut masih sejalan atau tidak
bertentangan dengan peraturan pemerintah ini. Dengan upaya tersebut, diharapkan daerah didorong
untuk lebih tanggap, kreatif dan mampu mengambil inisiatif dalam perbaikan dan pemutakhiran sistem
dan prosedurnya serta meninjau kembali sistem tersebut secara terus menerus dengan tujuan
memaksimalkan efisiensi tersebut berdasarkan keadaan, kebutuhan dan kemampuan setempat. Dalam
kerangka otonomi, Pemerintah Daerah dapat mengadopsi sistem yang disarankan oleh pemerintah sesuai
dengan kebutuhan dan kondisinya, dengan tetap memperhatikan standar dan pedoman yang ditetapkan.
B. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Secara tertib adalah bahwa keuangan Daerah dikelola secara tepat waktu dan tepat guna
yang didukung dengan bukti-bukti administrasi yang dapat dipertanggung- jawabkan.
Taat pada Peraturan Perundang-undangan adalah bahwa Pengelolaan Keuangan Daerah
harus berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan.
Efektif merupakan pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan, yaitu
dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil.
Efisien merupakan pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu atau
penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu.
Ekonomis merupakan perolehan masukan dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada
tingkat harga yang terendah.
Transparan merupakan prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk
mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan Daerah.
Bertanggung
jawab
merupakan
perwujudan
kewajiban
seseorang
untuk
mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan
kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan
Keadilan adalah keseimbangan distribusi kewenangan dan pendanaannya dan/atau
keseimbangan distribusi hak dan kewajiban berdasarkan pertimbangan yang obyektif.
Kepatutan adalah tindakan atau suatu sikap yang dilakukan dengan wajar dan proporsional.
Manfaat untuk masyarakat adalah bahwa keuangan Daerah diutamakan untuk pemenuhan
kebutuhan masyarakat.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan koordinator adalah terkait dengan peran dan fungsi sekretaris daerah membantu
kepala daerah dalam menyusun kebijakan dan mengordinasikan penyelenggaraan urusan pemerintahan
daerah termasuk pengelolaan keuangan daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) mempunyai tugas menyiapkan dan melaksanakan kebijakan kepala
daerah dalam rangka penyusunan APBD yang anggotanya terdiri dari pejabat perencana daerah, PPKD dan
pejabat lainnya sesuai dengan kebutuhan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Anggaran Kas Pemerintah Daerah yang disiapkan oleh BUD merupakan penggabungan dari anggaran kas
SKPD.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Utang piutang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah sebagai akibat yang ditimbulkan dari
pelaksanaan DPA-SKPD.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 10
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Laporan Keuangan SKPD terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, dan catatan atas laporan keuangan.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Penunjukan PPTK sebagaimana dimaksud dalam ayat ini melalui usulan atasan langsung yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf c
Yang dimaksud dokumen anggaran adalah baik yang mencakup dokumen administrasi kegiatan maupun
dokumen administrasi terkait dengan persyaratan pembayaran yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan
dan belanja pada tahun yang bersangkutan;
Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam
merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah
kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan;
Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangan
kerja/mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas
perekonomian;
Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan
kepatutan;
Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah daerah menjadi alat untuk memelihara dan
mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 23
Yang dimaksud dengan penganggaran bruto adalah bahwa jumlah pendapatan daerah yang dianggarkan
tidak boleh dikurangi dengan belanja yang digunakan dalam rangka menghasilkan pendapatan tersebut
dan/atau dikurangi dengan bagian pemerintah pusat/daerah lain dalam rangka bagi hasil.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan organisasi pemerintahan daerah seperti DPRD, kepala daerah dan wakil kepala
daerah, sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas, kecamatan, lembaga teknis daerah, dan kelurahan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 27
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan lain-lain pendapatan daerah yang sah adalah pendapatan yang ditetapkan
pemerintah seperti dana bagi hasil pajak dari provinsi ke kabupaten/kota dan dana otonomi khusus.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 30
Hurup a
Dalam menerima hibah, daerah tidak boleh melakukan ikatan yang secara politis dapat mempengaruhi
kebijakan daerah.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”urusan wajib” dalam ayat ini adalah urusan yang sangat mendasar yang berkaitan
dengan hak dan pelayanan dasar kepada masyarakat yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah daerah.
Yang dimaksud dengan urusan yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan
berpotensi untuk meningkatkan kesejahteran masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi
keunggulan
daerah
yang
bersangkutan,
antara
lain
pertambangan, perikanan,
pertanian,
perkebunan,perhutanan, dan pariwisata.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan mengacu dalam ayat ini adalah untuk tercapainya sinkronisasi, keselarasan,
koordinasi, integrasi, penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan asas otonomi daerah dan tugas
pembantuan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Untuk memenuhi kewajiban daerah dalam memberi perlindungan, menjamin akses dan mutu pelayanan dasar
kepada masyarakat diwujudkan dalam bentuk rencana kerja dan capaian prestasi sebagai tolok ukur kinerja
daerah dengan menggunakan analisis standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh pemerintah.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 35
Klasifikasi menurut fungsi yang dimaksud dalam ayat ini adalah klasifikasi yang didasarkan pada fungsi-fungsi
utama pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Tambahan penghasilan berdasarkan beban kerja diberikan kepada pegawai negeri sipil yang dibebani
pekerjaan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang dinilai melampaui beban kerja normal.
Tambahan penghasilan berdasarkan tempat bertugas diberikan kepada pegawai negeri sipil yang dalam
melaksanakan tugasnya berada di daerah memiliki tingkat kesulitan tinggi dan daerah terpencil.
Tambahan penghasilan berdasarkan kondisi kerja diberikan kepada pegawai negeri sipil yang dalam
melaksanakan tugasnya berada pada lingkungan kerja yang memiliki resiko tinggi.
Tambahan penghasilan berdasarkan kelangkaan profesi diberikan kepada pegawai negeri sipil yang dalam
mengemban tugas memiliki ketrampilan khusus dan langka.
Tambahan penghasilan berdasarkan prestasi kerja diberikan kepada pegawai negeri sipil yang dalam
melaksanakan tugasnya dinilai mempunyai prestasi kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Huruf a
SiLPA tahun anggaran sebelumnya mencakup sisa dana untuk mendanai kegiatan lanjutan, uang Fihak Ketiga
yang belum diselesaikan, dan pelampauan target pendapatan daerah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan dapat berupa hasil penjualan perusahaan milik
daerah/BUMD dan penjualan aset milik pemerintah daerah yang dikerjasamakan dengan pihak ketiga, atau
hasil divestasi penyertaan modal pemerintah daerah.
Huruf d
Termasuk dalam penerimaan pinjaman daerah yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah penerbitan obligasi
daerah yang akan direalisasikan pada tahun anggaran berkenaan
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penyertaan modal pemerintah daerah termasuk investasi nirlaba pemerintah daerah.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 75
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 77
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Ayat (1)
RKPD memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, dan
program SKPD, lintas SKPD, dan program kewilayahan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 80
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 81
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 82
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 83
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 86
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 87
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 88
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyusunan RKA-SKPD dengan pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah dilakukan secara
bertahap disesuaikan dengan kebutuhan.
Pasal 89
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 90
Ayat (1)
Untuk kesinambungan penyusunan RKA SKPD, kepala SKPD mengevaluasi hasil pelaksanaan program dan
kegiatan 2 (dua) tahun anggaran sebelumnya sampai dengan semester pertama tahun anggaran berjalan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 92
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 93
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 94
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 97
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 98
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 99
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 100
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 101
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 102
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 103
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 104
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 105
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 108
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 111
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 112
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 113
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 114
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 115
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 116
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 117
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 118
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 123
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 128
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 129
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 130
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 131
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 134
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 135
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 136
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 137
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 138
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 139
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 140
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 141
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 142
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 143
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 144
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 145
Cukup jelas.
Pasal 146
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 147
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 148
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 149
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 150
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Pasal 151
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 152
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 153
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 154
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 155
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 156
Cukup jelas.
Pasal 157
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 158
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 159
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 160
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 161
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 162
Cukup jelas.
Pasal 163
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 164
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 165
Cukup jelas.
Pasal 166
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 167
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 168
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 169
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 170
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 171
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 172
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 173
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 174
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 175
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 176
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 177
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 178
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 179
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 180
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 181
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 182
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 183
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 184
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 185
Cukup jelas.
Pasal 186
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 187
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 188
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 189
Cukup jelas.
Pasal 190
Cukup jelas.
Pasal 191
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 192
Cukup jelas.
Pasal 193
Cukup jelas.
Pasal 194
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 195
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 196
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 197
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 198
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 199
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 200
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 201
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 202
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 203
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 204
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 205
Cukup jelas.
Pasal 206
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 207
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 208
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 209
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Ayat (12)
Cukup jelas.
Ayat (13)
Cukup jelas.
Ayat (14)
Cukup jelas.
Ayat (15)
Cukup jelas.
Ayat (16)
Cukup jelas.
Ayat (17)
Cukup jelas.
Ayat (18)
Cukup jelas.
Ayat (19)
Cukup jelas.
Ayat (20)
Cukup jelas.
Pasal 210
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Ayat (12)
Cukup jelas.
Ayat (13)
Cukup jelas.
Ayat (14)
Cukup jelas.
Ayat (15)
Cukup jelas.
Pasal 211
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 212
Cukup jelas.
Pasal 213
Cukup jelas.
Pasal 214
Cukup jelas.
Pasal 215
Cukup jelas.
Pasal 216
Cukup jelas.
Pasal 217
Cukup jelas.
Pasal 218
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 219
Cukup jelas.
Pasal 220
Cukup jelas.
Pasal 221
Cukup jelas.
Pasal 222
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 223
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 224
Cukup jelas.
Pasal 225
Cukup jelas.
Pasal 226
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 227
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 228
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 229
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 230
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 231
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 232
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 233
Cukup jelas.
Pasal 234
Cukup jelas.
Pasal 235
Cukup jelas.
Pasal 236
Cukup jelas.
Pasal 237
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 238
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 239
Cukup jelas.
Pasal 240
Cukup jelas.
Pasal 241
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 242
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 243
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 244
Cukup jelas.
Pasal 245
Cukup jelas.
Pasal 246
Cukup jelas.
Pasal 247
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 248
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 249
Cukup jelas.
Pasal 250
Cukup jelas.
Pasal 251
Cukup jelas.
Pasal 252
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 253
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 254
Cukup jelas.
Pasal 255
Cukup jelas.
Pasal 256
Cukup jelas.
Pasal 257
Cukup jelas.
Pasal 258
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 259
Cukup jelas.
Pasal 260
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 261
Cukup jelas.
Pasal 262
Cukup jelas.
Pasal 263
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 264
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 265
Cukup jelas.
Pasal 266
Cukup jelas.
Pasal 267
Cukup jelas.
Pasal 268
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 269
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 270
Cukup jelas.
Pasal 271
Cukup jelas.
Pasal 272
Cukup jelas.
Pasal 273
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 274
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 275
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 276
Cukup jelas.
Pasal 277
Cukup jelas.
Pasal 278
Cukup jelas.
Pasal 279
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 280
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 281
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 282
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 283
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 284
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 285
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 286
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 287
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 288
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 289
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 290
Cukup jelas.
Pasal 291
Cukup jelas.
Pasal 292
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 293
Cukup jelas.
Pasal 294
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 295
Cukup jelas.
Pasal 296
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 297
Cukup jelas.
Pasal 298
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 299
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 300
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 301
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 302
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 303
Cukup jelas.
Pasal 304
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 305
Cukup jelas.
Pasal 306
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 307
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 308
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 309
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 310
Cukup jelas.
Pasal 311
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 312
Cukup jelas.
Pasal 313
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
TAHUN 2011 NOMOR
SERI A
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
NOMOR 04 TAHUN 201
2011
TENTANG
PEMBENTUKAN DANA CADANGAN PEMILIHAN BUPATI DAN
WAKIL BUPATI LAMANDAU TAHUN 2013
HALAMAN 132
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
TAHUN 2011 NOMOR 62 SERI A
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
NOMOR 04 TAHUN 2011
TENTANG
PEMBENTUKAN DANA CADANGAN PEMILIHAN BUPATI DAN
WAKIL BUPATI LAMANDAU TAHUN 2013
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI LAMANDAU,
Menimbang :
a. bahwa pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lamandau Tahun
2013, biaya penyelenggaraannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Lamandau;
b. bahwa pelaksanaan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Lamandau tahun
2013 memerlukan dana yang besar sehingga perlu dianggarkan dalam
APBD Kabupaten Lamandau Tahun 2010, Tahun 2011, Tahun 2012 dan
Tahun 2013;
c. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 63 ayat (2) Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a, b, dan c
perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pembentukan Dana Cadangan
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Lamandau Tahun 2013.
Mengingat
1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
Yang Bersih Dan Bebas Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3581);
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten
Katingan, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Sukamara, Kabupaten Lamandau,
Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Murung Raya
Dan Kabupaten Barito Timur Di Provinsi Kalimantan Tengah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 18, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4180);
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 05, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
5. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan
Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 66 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4400);
6. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);
7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
8. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4438);
9. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukkan Peraturan
Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
:
10. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Pembinaan Dan
Pengawasan
Atas
Penyelenggaraan
Pemerintahan
Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 41, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4090);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4502);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akutansi
Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4503);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan
Dan Kinerja Instansi Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2006 Nomor 25 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4614);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler
Dan Keuangan Pimpinan Dan Anggota DPRD (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 47 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indoensia Nomor 4712);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2007 tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan.
Pengesahan, Pengangkatan Dan Pemberhentian Kepala Daerah Dan Wakil
Kepala Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4719);
17. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah;
18. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2006 tentang Pedoman
Penyusunan Anggaran Pendapatan Daerah Tahun Anggaran 2007;
19. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2007 Tentang Pedoman
Pengelolaan Belanja Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah.
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
dan
BUPATI LAMANDAU
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
PERATURAN DAERAH TENTANG PEMBENTUKAN DANA CADANGAN
PEMILIHAN BUPATI DAN WAKIL BUPATI LAMANDAU TAHUN 2013.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas
wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah;
3. Bupati adalah Bupati Lamandau;
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah DPRD Kabupaten
Lamandau;
5. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disingkat APBD adalah Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Lamandau;
6. Dana cadangan adalah Dana Cadangan yang akan digunakan untuk pemilihan Bupati dan
Wakil Bupati Lamandau pada tahun 2013;
7. Komisi Pemilihan Umum, selanjutnya
disingkat KPU adalah Komisi Pemilihan Umum
Kabupaten Lamandau.
BAB II
TUJUAN PEMBENTUKAN DANA CADANGAN
Pasal 2
Tujuan Pembentukan Dana Cadangan adalah untuk membiayai pelaksanaan Pemilihan Bupati dan
Wakil Bupati Lamandau pada tahun 2013, yang dilaksanakan oleh KPU Kabupaten Lamandau;
BAB III
PROGRAM DAN RINCIAN KEGIATAN
Pasal 3
Program dan Kegiatan yang akan dibiayai dari Dana Cadangan adalah :
Program Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten
Lamandau Tahun 2013.
Pasal 4
Kegiatan Penyelenggaraan Umum Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Lamandau Tahun 2013
meliputi Kegiatan Tahapan Persiapan dan Kegiatan Tahapan Pelaksanaan.
Pasal 5
Rincian Pelaksanan Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 diatur oleh KPUD Kabupaten
Lamandau dalam Rencana Kerja dan Anggaran Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah sesuai ketentuan yang berlaku.
BAB IV
JUMLAH DAN SUMBER DANA CADANGAN
Pasal 6
(1) Jumlah Dana Cadangan yang dibentuk adalah sebesar Rp. 7.500. 000. 000,- (Tujuh milyar
lima ratus juta rupiah) dengan asumsi pelaksanaan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati
berlangsung dalam 2 (dua) putaran;
(2) Pengalokasian penganggaran dana cadangan dilaksanakan dalam APBD Tahun Anggaran
2010, APBD Tahun Anggaran 2011, APBD dan tahun 2012 dan tahun 2013 dengan perincian
sebagai berikut:
a. APBD Tahun Anggaran 2010 dianggarkan sebesar Rp. 2.500.000.000,- (dua milyar lima
ratus juta rupiah);
b. APBD Tahun Anggaran 2011 dianggarkan sebesar Rp. 2.500.000.000,- (dua milyar lima
ratus juta rupiah); dan
c. APBD Tahun Anggaran 2012 dianggarkan sebesar Rp. 2.500.000.000,- (dua milyar lima
ratus juta rupiah).
Pasal 7
Sumber Dana Cadangan dialokasikan dari Sisa Lebih Perhitungan Tahun Anggaran sebelumnya
(SILPA) dan atau Dana Alokasi Umum (DAU).
BAB V
PENEMPATAN DANA CADANGAN
Pasal 8
(1) Dana Cadangan ditempatkan pada rekening tersendiri di luar rekening kas daerah dengan
nama “ REKENING DANA CADANGAN PEMILIHAN BUPATI DAN WAKIL BUPATI
LAMANDAU tahun 2013”;
(2) Penerimaan hasil bunga rekening dana cadangan dicatat sebagai pendapatan dalam pos lainlain Pendapatan Asli Daerah yang sah.
BAB VI
PENGGUNAAN DAN PELAKSlANAAN
PELAKS ANAAN DANA CADANGAN
Pasal 9
(1) Dana Cadangan yang digunakan pada tahun 2013 sesuai jadwal Pemilihan Bupati dan Wakil
Bupati Lamandau Tahun 2013 yang disusun oleh KPU Kabupaten Lamandau dan bisa
digunakan tahun 2012 triwulan IV sebagai persiapan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah
tahun 2013;
(2) Penggunaan dana cadangan dilaksanakan dengan prinsip efektif dan efisien dimana dana
yang dianggarkan merupakan pagu dana tertinggi yang dapat dipergunakan;
(3) Dana cadangan hanya dapat digunakan setelah disusun perincian menurut kebutuhan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perundang undangan yang berlaku;
(4) Sisa lebih penggunaan dana cadangan untuk program dan kegiatan sebagaimana dimaksud
pasal 2 harus disetorkan ke kas daerah.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 10
Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor
02 Tahun 2008 tentang Pembentukan Dana Cadangan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati
Lamandau Tahun 2008 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
BAB VIII
P E N U T U P
Pasal 11
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau
Lamandau.
Ditetapkan di Nanga Bulik
pada tanggal 21 September 2011
BUPATI LAMANDAU,
MARUKAN
Diundangkan di Nanga Bulik
pada tanggal 23 September 2011
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN LAMANDAU,
ARIFIN LP. UMBING
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN
KABUP
LAMANDAU
TAHUN 2011 NOMOR 62 SERI A
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
NOMOR 04 TAHUN 2011
TENTANG
PEMBENTUKAN DANA CADANGAN PEMILIHAN BUPATI DAN
WAKIL BUPATI LAMANDAU TAHUN 2013
I.
PENJELASAN UMUM.
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui
pemungutan suara yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil.
Pelaksanaan pemilihan sebagaimana maksud tersebut diatas tentunya memerlukan dana yang
sangat besar sehingga perlu dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten Lamandau Tahun 2010, Tahun 2011, Tahun 2012 dan Tahun 2013 melalui
pembentukan dana cadangan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Lamandau tahun 2013.
Peraturan Daerah ini mengatur tentang Tujuan Pembentukan Dana Cadangan, Program
Kegiatan dan Rincian Kegiatan, Jumlah dan Sumber Dana Cadangan, Penempatan Dana
cadangan, Penggunaan dan Pelaksanaan dana cadangan
II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup Jelas
Pasal 2
Cukup Jelas
Pasal 3
Cukup Jelas
Pasal 4
Cukup Jelas
Pasal 5
Cukup Jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 7
Cukup Jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 10
Cukup Jelas
Pasal 11
Cukup Jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU TAHUN 2011
NOMOR 54 SERI A
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
NOMOR 05 TAHUN 20
2011
TENTANG
PELAYANAN JAMINAN KESEHATAN DAERAH
KABUPATEN LAMANDAU
HALAMAN 139
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
TAHUN 2011 NOMOR 63 SERI E
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
NOMOR 05 TAHUN 2011
TENTANG
PELAYANAN JAMINAN KESEHATAN DAERAH
KABUPATEN LAMANDAU
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI LAMANDAU,
Menimbang
:
a.
b.
c.
d.
Mengingat
:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
bahwa pelayanan kesehatan bagi masyarakat khususnya masyarakat miskin
adalah amanat Undang-Undang yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah
Kabupaten Lamandau;
bahwa kondisi masyarakat Lamandau saat ini masih banyak yang berada
dalam kategori tidak mampu dan berada di bawah garis kemiskinan;
bahwa untuk penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik serta untuk
memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu, berkeadilan dengan biaya
terkendali sehingga dapat menjangkau lapisan masyarakat yang tidak
mampu, maka Pemerintah Kabupaten Lamandau perlu untuk menyediakan
dan memberikan pelayanan Jaminan Kesehatan Daerah;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b
dan c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pelayanan Jaminan
Kesehatan Daerah Kabupaten Lamandau.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2002 tentang
Pembentukan Kabupaten Katingan, Kabupaten Seruyan, Kabupaten
Sukamara, Kabupaten Lamandau, Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten
Pulang Pisau, Kabupaten Murung Raya dan Kabupaten Barito Timur di
Provinsi Kalimantan Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
18, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4180);
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456);
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234);
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1987 tentang Penyerahan Sebagian
Urusan Pemerintahan Dalam Bidang Kesehatan Kepada Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1987 Nomor 9, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3347);
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1991 tentang Pemeliharaan Pegawai
Negeri Sipil, Penerimaan Pensiunan, Veteran Dan Perintis Kemerdekaan
Bersama Keluarganya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991
Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3456);
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi Dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4737) ;
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyidik
Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Daerah;
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 159b/Menkes/Per/II/1988 tentang
Rumah Sakit;
12.
13.
14.
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis;
Pemerintah Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintahan Kabupaten
Lamandau (Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau Tahun 2008 Nomor 27
Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau
Nomor 27);
Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 13 Tahun 2008 tentang
Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Lamandau (Lembaran
Daerah Kabupaten Lamandau Tahun 2008 Nomor 29, Tambahan Lembaran
Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 29 Seri D) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 11 Tahun 2009
tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau
Nomor 13 Tahun 2008 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Daerah
Kabupaten Lamandau (Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau Tahun 2009
Nomor 48 Seri D, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau
Nomor 39 Seri D).
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
dan
BUPATI LAMANDAU
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN DAERAH TENTANG PELAYANAN JAMINAN KESEHATAN
DAERAH KABUPATEN LAMANDAU.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bupati ini, yang dimaksud dengan :
1.
Daerah adalah Daerah Kabupaten Lamandau;
2.
Pemerintah Daerah adalah Bupati beserta Perangkat Daerah sebagai Unsur
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah ;
3.
Bupati adalah Bupati Lamandau ;
4.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya di sebut DPRD adalah Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten Lamandau;
5.
Rumah Sakit Umum Daerah, yang selanjutnya disingkat RSUD adalah Rumah Sakit Umum
Daerah Lamandau;
6.
Rumah Sakit Rujukan adalah Rumah Sakit Umum Daerah Sultan Imanuddin Pangkalan Bun,
Rumah sakit Umum Daerah dr.Doris Sylvanus Palangka Raya, Rumah Sakit Ulin
Banjarmasin, Rumah Sakit Jiwa Kayu Tangi Banjarmasin dan Rumah Sakit Karyadi
Semarang;
7.
Pusat Kesehatan Masyarakat, yang selanjutnya disingkat Puskesmas adalah Unit Pelaksana
Teknis Operasional Dinas Kesehatan Kabupaten Lamandau;
8.
Direktur adalah direktur RSUD;
9.
Komite medik adalah komite medik RSUD;
10. Jaminan Kesehatan Daerah Kabupaten Lamandau, yang selanjutnya disingkat JAMKESDA
adalah program pemberian layanan kesehatan bagi masyarakat yang anggarannya berasal
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Kabupaten Lamandau;
11. Jaminan Kesehatan Masyarakat, yang selanjutnya disingkat Jamkesmas adalah program
pemberian layanan kesehatan kepada masyarakat miskin yang anggarannya berasal dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Sektor Kesehatan;
12. Kartu Peserta adalah kartu peserta Pelayanan Kesehatan Dasar Gratis (PKDG), kartu peserta
Jamkesmas, kartu peserta PT. Askes (Persero) dan SKTM;
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
Surat Keterangan Tidak Mampu, yang selanjutnya disebut SKTM adalah surat keterangan
yang menyatakan seseorang adalah berasal dari keluarga tidak mampu yang dikeluarkan
oleh pejabat yang berwenang;
Keluarga Miskin adalah keluarga yang telah ditetapkan dan dinyatakan miskin oleh pejabat
yang berwenang di Kabupaten Lamandau;
Surat Rujukan adalah Surat yang diberikan kepada pasien yang memerlukan pengobatan
dengan indikasi penyakit yang tidak bisa ditangani lagi atau keterbatasan sarana dan
prasarana kesehatan di pemberi pelayanan kesehatan setempat yang dikeluarkan oleh
Tenaga Medis yang menangani;
Surat Jaminan Perawatan, yang selanjutnya disebut SJP adalah Surat Jaminan yang
diberikan kepada seseorang atau pasien yang membutuhkan perawatan atau pengobatan
lebih lanjut dengan indikasi atau kondisi tertentu yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang;
Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya disingkat PNS adalah Pegawai Negeri Sipil di
Lingkungan Pemerintah Kabupaten Lamandau;
Pelayanan Kesehatan adalah semua bentuk penyelenggaraan kegiatan dan jasa yang
diberikan kepada orang pribadi dalam rangka observasi, penegakan diagnosa, pengobatan
tingkat pratama, pencegahan, pemulihan dan peningkatan status kesehatan;
Tindakan Medik adalah tindakan yang bersifat individu yang diberikan oleh Tenaga Medis
berupa pemeriksaan, konsultasi dan tindakan;
Rekam Medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien
hasil pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada
pasien;
Pelayanan Rawat Jalan adalah pelayanan kesehatan untuk observasi, diagnosa, pengobatan,
rehabilitasi medik atau pelayanan kesehatan lainnya tanpa menginap di Rumah Sakit;
Pelayanan Rawat Darurat adalah pelayanan tingkat lanjutan yang harus diberikan secepatnya
untuk mencegah / menanggulangi resiko kematian atau cacat;
Pelayanan Rawat Inap adalah pelayanan kepada pasien untuk observasi, perawatan,
diagnosa, pengobatan, rehabilitasi medik dan atau pelayanan kesehatan lainnya dengan
menginap di Rumah Sakit;
Pelayanan Penunjang Medik adalah pelayanan kepada pasien untuk membantu penegakan
diagnosis dan terapi;
General Check Up adalah pemeriksaan fisik dan penunjang medis secara lengkap yang
diberikan kepada seseorang atas permintaan sendiri atau pihak yang berkepentingan;
IUR biaya (Cost Sharing) adalah pembebanan sebagian biaya pelayanan kesehatan kepada
peserta PT. Askes (Persero) dan anggota keluarganya;
Tim Koordinasi adalah tim yang dibentuk Bupati dengan melibatkan lintas sektoral untuk
melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, pembinaan dan pengendalian program Jamkesda;
Tim Pengelola Jamkesda adalah tim yang dibentuk Sekretaris Daerah untuk mengelola dan
memverifikasi penyelenggaraan program Jamkesda di RSUD.
BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN
Pasal 2
(1)
(2)
Maksud penyelenggaraan Jamkesda adalah untuk menjamin terpeliharanya hak dasar
masyarakat daerah atas pelayanan yang berkualitas;
Tujuan Penyelenggaraan Jamkesda adalah untuk meningkatkan akses dan mutu pelayanan
kesehatan kepada masyarakat daerah Kabupaten Lamandau.
BAB III
PRINSIP PENYELENGGARAAN
Pasal 3
(1)
(2)
Pada hakekatnya pelayanan kesehatan terhadap masyarakat adalah tanggung jawab
bersama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) mengacu pada prinsip :
a.
b.
c.
d.
Dana amanat dan nirlaba dengan pemamfaatan semata-mata peningkatan derajat
kesehatan masyarakat miskin dan tidak mampu;
Menyeluruh sesuai dengan standar pelayanan medik yang berlaku di fasilitas kesehatan
yang ditunjuk;
Pelayanan terstruktur dan berjenjang;
Transparan dan akuntabel.
BAB IV
PESERTA PROGRAM JAMKESDA
Pasal 4
Peserta program Jaminan Kesehatan Daerah terdiri dari :
1. Setiap orang (masyarakat) yang telah memiliki Kartu Peserta PKDG (Pelayanan Kesehatan
Dasar Gratis);
2. Orang tidak mampu penduduk daerah yang tidak terdaftar dan yang tidak memiliki asuransi
lainnya seperti Jamkesmas, Askes PNS/Polri, Asabri, Jamsostek dan PKDG yang dibuktikan
dengan SKTM oleh pejabat yang berwenang;
3. Setiap orang (masyarakat) yang memiliki bukti SJP (Surat Jaminan Perawatan) yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang selain memiliki bukti sebagaimana yang dimaksud
pada angka 1 dan angka 2.
BAB V
TATALAKSANA PELAYANAN
Pasal 5
(1)
(2)
(3)
Setiap peserta program Jamkesda berhak mendapatkan pelayanan kesehatan rawat jalan,
rawat inap dan pelayanan gawat darurat serta pelayanan kesehatan lainnya di RSUD dan
Rumah Sakit Rujukan yang ditunjuk;
Pelayanan kesehatan dalam program Jamkesda menerapkan pelayanan berjenjang
berdasarkan rujukan;
Untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di RSUD atau Rumah Sakit Rujukan, peserta
harus menunjukkan Kartu Peserta PKDG atau SKTM, Surat Rujukan dan Surat Jaminan
Perawatan dari Pejabat yang berwenang.
Pasal 6
(1)
(2)
(3)
(4)
Pada keadaan gawat darurat peserta wajib dilayani tanpa memperhatikan kartu peserta dan
surat rujukan;
Kriteria diagnosa keadaan gawat darurat sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan
Daerah ini yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan;
Peserta sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan atau keluarganya wajib menunjukkan
Surat Rujukan, Surat Jaminan Perawatan dan SKTM atau Kartu Peserta PKDG dalam waktu
2 x 24 jam (tidak termasuk hari libur);
Apabila peserta tidak bisa menunjukkan bukti sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3)
maka biaya pelayanan yang diperoleh menjadi tanggungjawab peserta itu sendiri dan tidak
dibebankan pada program Jamkesda.
Pasal 7
(1)
(2)
(3)
Seluruh fasilitas kesehatan baik yang dimiliki maupun tidak dimiliki oleh Pemerintah Daerah
yang berlokasi di daerah wajib memberi pelayanan gawat darurat kepada peserta;
Fasilitas kesehatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) berkewajiban mengantar
pasien gawat darurat ke Rumah Sakit Rujukan;
Biaya pelayanan kesehatan, biaya transportasi pasien gawat darurat yang ditangani oleh
fasilitas kesehatan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dapat di klaim ke Tim Pengelola
Jamkesda sesuai ketentuan tarif pelayanan kesehatan yang berlaku.
Pasal 8
(1)
(2)
(3)
Penggunaan SKTM, SJP dan Surat Rujukan hanya berlaku untuk setiap kali pelayanan
kesehatan:
Peserta harus menunjukkan Surat Rujukan, SJP dan SKTM atau Kartu Peserta PKDG di
sentral layanan administrasi Rumah Sakit yang kemudian diverifikasi kebenarannya oleh Tim
Pengelola Jamkesda;
Pasien rawat inap peserta Pemegang Kartu Peserta PKDG/ SKTM dan SJP yang dimaksud
menggunakan layanan kesehatan yang dibiayai oleh program Jamkesda adalah perawatan
kelas III.
Pasal 9
(1)
(2)
(3)
Pemberian obat-obatan bagi peserta Jamkesda mengacu pada ketentuan sebagai berikut :
a. Untuk pelayanan di RSUD Lamandau menggunakan Formularium Obat-obatan
Jamkesda di RSUD Lamandau sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan
Daerah ini yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan;
b. Untuk Pelayanan di Rumah Sakit Rujukan menggunakan Formularium obat-obatan
Jamkesda di Rumah Sakit Rujukan sebagaimana tercantum dalam Lampiran III
Peraturan Daerah ini yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan.
Transportasi rujukan pasien mengacu pada ketentuan sebagai berikut :
a. Rujukan dari Puskesmas ke RSUD dibebankan pada biaya Pelayanan Kesehatan Dasar
Gratis masing-masing Puskesmas;
b. Rujukan dari RSUD ke Rumah Sakit Rujukan atau sebaliknya dibebankan pada anggaran
Jamkesda;
c. Pengembalian dari RSUD ke Puskesmas dan atau tempat tinggal pasien menjadi
tanggung jawab RSUD dan dibebankan pada anggaran Jamkesda.
Pasien tidak diperbolehkan mendapat mamfaat ganda baik dari program yang sejenis
maupun anggaran lain dari Pemerintah Daerah namun tidak terbatas pada contoh-contoh
berikut ini :
a. Biaya transportasi rujukan/perjalanan dinas yang telah ditanggung oleh Pemerintah
Daerah dan atau pihak ketiga lainnya;
b. Biaya-biaya lain yang telah ditanggung oleh Pihak Ketiga.
BAB VI
MANFAAT YANG DIPEROLEH PESERTA
Pasal 10
(1)
(2)
Pada dasarnya manfaat yang disediakan untuk peserta Jamkesda bersifat menyeluruh
berdasarkan kebutuhan medis sesuai dengan standar pelayanan medik di RSUD dan Rumah
Sakit Rujukan yang cost efektif dan rasional bukan berupa uang tunai kecuali beberapa hal
yang dibatasi dan tidak dijamin;
Biaya transportasi rujukan pasien peserta Jamkesda dibatasi hanya pada rumah sakit/fasilitas
kesehatan sebagai berikut :
a. Rumah Sakit Umum Daerah Lamandau;
b. Rumah Sakit Umum Daerah Sultan Imanuddin Pangkalan Bun;
c. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Doris Sylvanus Palangka Raya;
d. Rumah Sakit Ulin Banjarmasin;
e. Rumah Sakit Jiwa Kayu Tangi Banjarmasin;
f. Rumah Sakit Karyadi Semarang.
Pasal 11
Mamfaat Jamkesda diperoleh peserta meliputi :
1. Obat-obatan untuk peserta di RSUD sesuai dengan Formularium obat-obatan Jamkesda di
RSUD Lamandau;
2. Obat-obatan untuk peserta di Rumah Sakit Rujukan sesuai dengan Formularium obat-obatan
Jamkesda di Rumah Sakit Rujukan;
3. Obat-obatan diluar daftar formularium Rumah Sakit Rujukan dapat diberikan sepanjang
berdasarkan kebutuhan medis dengan mendapatkan persetujuan/verifikasi dari ketua tim
pengelola jamkesda serta tidak atas permintaan sendiri
4. Alat Bantu Dengar, Alat Bantu Gerak dan Kacamata;
5. Hal-hal sebagaimana yang dimaksud pada angka 3 dan angka 4 dapat diperoleh oleh peserta
dengan ketentuan Program Jamkesda hanya menanggung sebesar 60 % (Enam Puluh Per
Seratus) dari harga barang sesuai ketentuan yang berlaku.
Pasal 12
Bagi pasien peserta yang karena indikasi medis harus dirujuk ke Rumah Sakit Rujukan yang
ditunjuk akan memperoleh mamfaat sebagai berikut :
a.
Bantuan biaya transportasi ke dan dari rumah sakit rujukan untuk pasien, keluarga pasien
maksimal 1 (satu) orang dan petugas pendamping dari RSUD 1 (satu) orang;
b.
Jumlah tiket yang dapat disediakan untuk pasien yang menurut pertimbangan medis harus
berbaring pada saat pengangkutan maksimal 4 (empat) orang;
c.
Bantuan uang saku keluarga pendamping pasien sebesar Rp.50.000,- (Lima Puluh Ribu
Rupiah ) perhari yang diberikan untuk maksimal 5 (lima) hari;
d.
Lumpsum petugas pendamping dari RSUD disesuaikan dengan ketentuan perjalanan dinas
Pegawai Negeri Sipil sesuai ketentuan dalam Peraturan Bupati yang berlaku.
Pasal 13
(1) Pelayanan kesehatan di RSUD dan Rumah Sakit Rujukan untuk peserta mencakup :
a. Pelayanan Tindakan Medik;
b. Pelayanan Obat, bahan dan alat kesehatan habis pakai;
c. Pelayanan penunjang diagnostik;
d. Pelayanan darah;
e. Pelayanan Kesehatan lainnya.
(2) Untuk pelayanan kesehatan di RSUD Lamandau secara terperinci sebagaimana tercantum
dalam Lampiran IV Peraturan Daerah ini yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
sedangkan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Rujukan mengacu kepada kebutuhan/
indikasi medis peserta yang dirujuk;
(3) Acuan kebutuhan/ indikasi medis peserta yang dirujuk kerumah sakit rujukan yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud ayat (3) secara terperinci akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Bupati.
Pasal 14
Pelayanan penunjang diagnostik canggih diberikan hanya pada kasus penyelamatan (life
saving) dan kebutuhan penegakan diagnosa yang sangat diperlukan melalui pengkajian
dan
pengendalian oleh komite medik.
Pasal 15
Pelayanan yang tidak dijamin / tidak ditanggung adalah :
a.
Pelayanan yang tidak sesuai dengan prosedur dan ketentuan;
b.
Bahan. Alat dan tindakan yang bertujuan untuk kosmetik;
c.
General Ceck Up;
d.
Protesis Gigi Tiruan (Gigi Palsu);
e.
Pengobatan alternatif dan pengobatan lain yang belum terbukti secara ilmiah;
f.
g.
h.
i.
j.
Rangkaian pemeriksaan pengobatan dan tindakan dalam upaya mendapat keturunan
termasuk bayi tabung dan pengobatan impotensi (lemah syahwat);
Pelayanan kesehatan pada masa tanggap darurat bencana;
Pelayanan kesehatan dalam rangka kegiatan bakti sosial;
Upaya bunuh diri, melukai diri sendiri, menyakiti diri sendiri dan atau terlibat kegiatan yang
melanggar hukum sebagai berikut namun tidak terbatas pada minum minuman keras, bunuh
diri, balapan liar, terlibat kerusuhan dan atau tindakan kriminal lainnya;
Selisih biaya pelayanan kesehatan karena perbedaan tarif kelas perawatan karena memilih
kelas perawatan yang lebih dari haknya yaitu kelas III.
BAB VII
SUMBER DAN ALOKASI DANA
Pasal 16
Sumber pembiayaan program Jamkesda berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten Lamandau yang dialokasikan melalui Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan
Aset Daerah Kabupaten Lamandau setiap Tahun Anggaran.
BAB VIII
PERUNTUKAN DAN PENGGUNAAN PENERIMAAN
Pasal 17
(1)
(2)
Penggunaan penerimaan RSUD dan Rumah Sakit Rujukan yang berasal dari Program
Jamkesda didasarkan pada ketentuan Perundang-undangan yang berlaku;
Pertanggungjawaban, peruntukan dan penggunaan dana akan diaudit oleh Inspektorat
Daerah dan atau aparat pengawas fungsional lainnya.
BAB IX
PENYALURAN DANA
Pasal 18
(1)
Prosedur penyaluran dana Pelayanan Kesehatan Daerah Jamkesda adalah sebagai berikut
:
a. RSUD dan Rumah Sakit Rujukan melalui RSUD mengajukan permintaan pembayaran
atas pelayanan program Jamkesda kepada Tim Pengelola Jamkesda Kabupaten
Lamandau per Triwulan dengan melampirkan syarat – syarat syah yang diperlukan
antara lain :
Surat Jaminan Perawatan (SJP) (Asli)
Surat Rujukan (Asli)
Kartu Peserta PKDG (Copy dan dilegalisir)
SKTM yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang (Asli)
Rekam Medis (Copy dan dilegalisir )
Resep Dokter (Copy dan dilegalisir)
Surat Tugas Petugas Pendampig Rujukan (Asli)
Bukti Transportasi (Rujukan) (Asli)
Hasil Pemeriksaan Laboratorium (Copy dan dilegalisir )
Hasil Pemeriksaan Penunjang Diagnostik mis : Foto Rontgent, USG, EKG dll (Copy
dan dilegalisir )
b. Pendamping / keluarga pasien melalui RSUD mengajukan permintaan pembayaran
kepada Tim Pengelola Jamkesda Kabupaten Lamandau dengan melampirkan syarat –
syarat yang diperlukan, syarat yang diperlukan akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Bupati;
c. Tim Pengelola Jamkesda Kabupaten Lamandau melakukan verifikasi atas permintaan
pembayaran dimaksud;
d. Bagi permintaan pembayaran yang belum lengkap persyaratannya akan dikembalikan ke
RSUD atau Pendamping pasien yang mengajukan paling lambat 6 ( enam ) hari kerja
setelah permintaan pembayaran diterima oleh Tim Pengelola Jamkesda Kabupaten
Lamandau untuk segera dilengkapi.
e.
(2)
Bendaharawan Pengeluaran pada Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset
Daerah Kabupaten Lamandau membayar biaya pelayanan Jaminan kesehatan daerah
ini sesuai hasil verifikasi Tim Pengelola Jamkesda Kabupaten Lamandau paling lama 6
(enam) hari sejak permintaan pembayaran diterima oleh Bendaharawan Pengeluaran .
Seluruh biaya yang telah dibayarkan oleh Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan
Aset Daerah Kabupaten Lamandau
ke RSUD atau Pendamping pasien wajib
dipertanggungjawabkan menurut ketentuan yang berlaku.
BAB X
PENGORGANISASIAN
Bagian Pertama
Tim Koordinasi Jamkesda
Pasal 19
(1)
(2)
(3)
Untuk melaksanakan koordinasi, singkronisasi, pembinaan dan pengendalian program
Jamkesda, Bupati membentuk Tim Koordinasi Jamkesda yang keanggotaannya terdiri atas
a. Pelindung/penasehat;
b. Ketua; dan
c. Anggota.
Tim koordinasi Jamkesda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Keputusan Bupati;
Tim koordinasi melaporkan pelaksanaan koordinasi, singkronisasi, pembinaan dan
pengendalian program Jamkesda kepada Bupati.
Bagian Kedua
Tim Pengelola Jamkesda
Pasal 20
(1)
(2)
(3)
Untuk melaksanakan pengelolaan dan verifikasi penyelenggaraan program Jamkesda di
RSUD, Sekretaris Daerah membentuk Tim Pengelola Jamkesda yang keanggotaannya terdiri
atas:
a. Penanggungjawab;
b. Ketua; dan
c. Anggota/Verifikator
Tim Pengelola Jamkesda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Keputusan Sekretaris Daerah;
Tim pengelola melaporkan pelaksanaan pengelolaan dan verifikasi penyelenggraan program
Jamkesda di RSUD kepada Sekretaris Daerah.
BAB XI
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 21
(1) Fasilitas kesehatan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 7 Peraturan Daerah ini yang
tidak memberikan pelayanan gawat darurat diberikan sanksi administrasi berupa teguran;
(2) Apabila fasilitas kesehatan sebagaimana dimaksud ayat (1) masih tidak mengindahkan dan
memberikan pelayanan gawat darurat sesuai prosedur, maka akan diberikan teguran tertulis
bahkan denda dan pencabutan izin rumah sakit.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 22
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
gar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan Pengundangan Peraturan Daerah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau.
Ditetapkan di Nanga Bulik
pada tanggal 21 September 2011
BUPATI LAMANDAU
LAMANDAU,
MARUKAN
Diundangkan di Nanga Bulik
pada tanggal 23 September 2011
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN LAMANDAU,
ARIFIN LP. UMBING
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU TAHUN 20
2011
NOMOR 63 SERI E
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
NOMOR 05 TAHUN 2011
TENTANG
PELAYANAN JAMINAN KESEHATAN DAERAH
KABUPATEN LAMANDAU
I. PENJELAS UMUM
bahwa pelayanan kesehatan bagi masyarakat khususnya masyarakat miskin pada adalah amanat
Undang-Undang yang harus dilaksanakan, mengingat kondisi masyarakat Lamandau saat ini masih ada
dalam kategori tidak mampu dan berada di bawah garis kemiskinan;
Sebagai upaya untuk menyelenggarakan tata kelola pemerintahan yang baik serta untuk
meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, berkeadilan dengan biaya terkendali sehingga dapat
menjangkau lapisan masyarakat khususnya yang tidak mampu, maka Pemerintah Kabupaten Lamandau
mempunyai kebijakan yaitu menyediakan pelayanan Jaminan Kesehatan Daerah yang dananya dari
APBD yang dialokasikan pada setiap tahun anggaran.
II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup Jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 4
Cukup Jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Apabila peserta tidak bisa menunjukkan bukti sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) maka
biaya pelayanan yang diperoleh menjadi tanggungjawab peserta itu sendiri dan tidak
dibebankan pada program Jamkesda yaitu sesuai dengan ketentuan tarif yang berlaku sesuai
dengan Peraturan Daerah yang berlaku mengenai tarif retribusi.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 11
Cukup Jelas
Pasal 12
Cukup Jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 14
Cukup Jelas
Pasal 15
Cukup Jelas
Pasal 16
Cukup Jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 22
Cukup Jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
TAHUN 2011 NOMOR 55 SERI E
Lampiran I
: Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau
Nomor
: 05 Tahun 2011
Tanggal
: 21 September 2011
Tentang
: Pelayanan Jaminan Kesehatan Daerah Kabupaten Lamandau
DAFTAR KEADAAN GAWAT DARURAT
BAGIAN
1
ANAK
NO
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
BEDAH
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
DIAGNOSIS
3
Anemia sedang / berat
Apnea / gasping
Asfiksia neonatorum
Bayi / anak dengan ikterus
Bayi kecil / premature
Henti jantung / payah jantung
Cyanotic spell (penyakit jantung)
Diare profis > 10 x/hari disertai dehidrasi maupun tidak
Difteri
Bising Jantung/aritmia
Edema / bengkak seluruh tubuh
Epistaksis / tanda pendarahan lain disertai febris
Gagal ginjal akut
Gagal nafas akut
Gagal kesadaran (Fungsi vital masih baik)
Hematuri
Hipertensi berat
Hipotensi / syok ringan s/d sedang
Intoksikasi (Keadaan umum masih baik)
Intoksikasi disertai gangguan fungsi vital
Kejang disertai penurunan kesadaran
Muntah profis > 6x/hari dengan/tanpa dehidrasi
O
Panas tinggi > 400 C
Resusitasi cairan
Sangat sesak, gelisah, kesadaran menurun, sianosis ada retraksi hebat
Sering kencing , kemungkinan diabetes
Shock berat (nadi tidak teraba, tekanan darah tidak terukur)
Tetanus
Tidak kencing lebih dari 8 jam
Tipus abdominalis dengan komplikasi
Abses cerebri
Abses sub mandibula
Amputasi penis
Anuria
Apendicitis acuta
Atresia ani (anus malformasi)
Akut abdmen
BPH dengan retensio urine
Cedera kepala berat
Cedera kepala sedang
Cedera tulang belakang
Cedera wajah dengan gangguan jalan nafas
Cedera wajah tanpa gangguan jalan nafas antara lain :
a. Patah tulang hidung terbuka atau tertutup
b. Patah tulang pipi terbuka atau tertutup
c. Patah tulang rahang terbuka atau tertutup
d. Luka terbuka daerah wajah
Cellulitis
Cholesistisis akut
Corpus alineum pada :
a. Intra cranial
b. Leher
CARDIOVASKULER
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
c. Thoraks
d. Abdomen
e. Anggota gerak
f. Gebetalia
CVA bleeding
Dislokasi persendian
Drowning
Flail chest
Fraktur tulang kepala
Gastroskikis
Gigitam binatang / manusia
Hanging
Hematothoraks dan pneumothoraks
Hematuria
Hemorhoid grade IV dengan tanda strangulasi
Hernia incarcerata
Hidrocephalus dengan TIK yang meningkat
Hirchprung desease
Ileus obstruksi
Internal bleeding
Luka bakar
Luka terbuka daerah abdomen
Luka terbuka daerah kepala
Luka terbuka daerah thoraks
Meningokel / myokel pecah
Multiple trauma
Omfalokel pecah
Pancreatitis acut
Patah tulang dengan dugaan cedera pembuluh darah
Patah tulang iga multiple
Patah tulang leher
Patah tulang tertutup
Patah tulang terbuka
Periappendiculata infiltrate
Peritonitis generalisata
Phlegon dasar mulut
Priapismus
Prolaps rekti
Rectal bleeding
Ruptur otot dan tendon
Strangulasi penis
Syak neuroragik
Tension pneumothorak
Tetanus generalisata
Tenggelam
Torsio testis
Tracheo esophagus fistel
Trauma tajam dan tumpul daerah leher
Trauma tumpul abdomen
Trauma thraks
Trauma musculoskeletal
Trauma spinal
Traumatik amputasi
Tumor otak dengan penurunan kesadaran
Untable pelvis
Urosepsi
1
2
3
4
5
Aritmia
Aritmia dengan shock
Angina pectoris
Corpolmunaledecompesata akut
Edema paru akut
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Henti jantung
Hipertensi berat dengan komplikasi
Infark miokard dengan komplikasi
Kelainan jantung bawaan dengan gangguan airway, breathing dan
circulation
Krisis hipertensi
Miokarditis dengan shock
Nyeri dada
Pulseless electrical activity dan asistol
Sesak nafas karena payah jantung
Syndrome coroner acut
Syncope karena penyakit jantung
KEBIDANAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Abortus
Atonia uteri
Distonia bahu
Eklampsia
Ekstraksi bahu
Infeksi nifas
Kehamilan ektofik terganggu
Perdarahan antepartum
Perdarahan postpartum
Perlukaan jalan lahir
Pre eklampsia
Sisa plasenta
MATA
1
2
3
4
5
10
11
12
Benda asing di kornea / kelopak mata
Blenorrhoe / gonoblenorrhoe
Dakriosistisis akut
Endoftmitis / penoptalmitis
Glaukoma :
a. Akut
b. Sekunder
Penurunan tajam penglihatan mendadak
a. ablasio retina
b. CRAO
c. Vitreous bleeding
Sellulitis orbita
Semua kelainan kornea mata
a. Erosi
b. Ulkus / abses
c. Descematolis
Semua trauma mata
a. Trauma tumpul
b. Trauma fotoelektrik / radiasi
c. Trauma tajam / tembus
Trombosis sinus kavernosis
Tumor orbita dengan pendarahan
Uveitis / skleritis / iritasi
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Astma bronchiale sedang sampai berat
Aspirasi pneumonia
Emboli paru
Gagal nafas
Injury paru
Massive hemoptisis
Massive pleural effusion
Oedema paru non cardiogenic
Open / closed pneumothoraks
PPOM eksasesbasi akut
Pneumonia sepsis
Pneumothoraks ventil
6
7
8
9
PARU
13
14
15
Recurent haemoptoe
Status astmaticus
Tenggelam
PENYAKIT DALAM
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Demam berdarah dengue
Demam tifoid
Difteri
Disequilebrium pasca HD
Gagal ginjal akut
Gea dan dehidrasi
Hematemisis melena
Hematotochezia
Hipertensi maligna
Intoksikasi opiat
Keracunan makanan
Keracunan obat
Koma metabolic
Keto acidosis diabetikum
Leptosirosis
Malaria
Observasi shock
THT
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Abses THT, kepala dan leher
Benda asing THT
Disfagia
Obstruksi saluran nafas atas
Otalgia akut
Parese facialis akut
Perdarahan THT
Trauma TT, kepala dan leher
Tuli mendadak
Vertigo berat
PSIKIATRI
1
2
3
4
Gangguan panik
Gangguan Psikotik
Gangguan konvensi
Gaduh gelisah
BUPATI LAMANDAU,
MARUKAN
Lampiran II
: Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau
Nomor
: 05 Tahun 2011
Tanggal
: 21 September 2011
Tentang
: Pelayanan Jaminan Kesehatan Daerah Kabupaten Lamandau
FORMULARIUM OBAT-OBATAN JAMKESDA DI RSUD LAMANDAU
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
Nama Obat
Alopurinol tablet 100 mg
Ambroxol tablet 30 mg
Aminofilin tablet 150 mg
Amoksisilin kapsul 500 mg
Amoksisilin sirup kering 125 mg / 5 ml
Antasida DOEN I tablet kunyah,kombinasi :
Aluminium Hidroksida 200 mg
Amagnesium Hidroksida 200 mg
Antimalaria DOEN kombinasi :
Pirimetamin 25 mg
Sulfadoksin 500 mg
Aqua pro Injeksi steril, bebas pirogen
Asam Askorbat (Vitamin C) tablet 50 mg
Asam Mafenamat tablet salut selaput 500 mg
Asiklovir tablet 200 mg
Asiklovir tablet 400 mg
Asiklovir krim 5 %
Betametason krim 0.1 %
Dexametason injeksi iv 5 mg/ml
Dexametason tablet 0,5 mg
Difenhidramin injeksi im 10 mg/ml (HCL)
Digoksin tablet 0,25 mg
Diltiazem HCL tablet 30 mg
Dimenhidrinat tablet 50 mg
Doksisiklin kapsul 100 mg
Domperidon tablet 10 mg
Efedrin tablet 25 mg (HCL)
Epinefrin (Adrenalin) injeksi 0,1 % (sbg HCL)
Fenobarbital tablet 30 mg
Fitomedion (Vit.K) tablet salut gula 10 mg
Fitomedion (Vit.K) injeksi 10 mg/ml
Furosemid injeksi iv/im 10 mg/ml
Furosemid tablet 40 mg
Glibenklamida tablet 5 mg
Gliseril Gualakolat tablet 100 mg
Griseofulvin tablet 125 mg, Micronized
Haloperidol tablet 0,5 mg
Hidroklorotiazida tablet 25 mg
Hidrokortison krim 1 %
Isoniazid tablet 100 mg
Isoniazid tablet 300 mg
Kalsium Laktat (Kalk) tablet 500 mg
Kaptopril tablet 12,5 mg
Kaptopril tablet 25 mg
Ketokonazol krim 2 %
Ketokonazol tablet 200 mg
Kloramfenikol salep mata 1 %
Kloramfenikol suspensi 125 mg/ml
Klorfeniramina Maleat (CTM) tablet 4 mg
Kloroquin tablet 150 mg
Kodein tablet 10 mg
Kotrimoksazol DOEN I Kombinasi :
Sulfametoksazol 400 mg
Trimetropim
80 mg
Kotrimoksazol suspensi kombinasi :
Sulfametoksazol 200 mg
Trimetropim
40 mg
Magnesium Sulfat injeksi iv 40%-25 ml
Efek Farmakologi
Anti Pirai
Anti Asma / Mukolitik
Anti Asma
Antibiotik
Antibiotik
Obat Saluran Cerna
Anti Malaria
Vitamin
Analgesik
Anti Virus
Anti Virus
Salep Anti Virus
Salep Kortikosteroid
Kortikosteroid
Kortikosteroid
Anti Alergi
Obat Payah Jantung
Obat Jantung
Anti Alergi
Antibiotik
Antiemetik
Anti Asma
Anti Shock analfilaksis
Obat Psikotropika
Obat yang mempengaruhi koagulasi
Obat yang mempengaruhi koagulasi
Anti Diuretik
Anti Diuretik
Anti Diabet
Ekspektoransia
Anti Fungi
AntiPsikosis
Obat Diuretik
Kortikosteroid
Obat Antituberkolosis
Obat Antituberkolosis
Vitamin
Obat Jantung
Obat Jantung
Anti Fungi
Anti Fungi
Antibiotik
Antibiotik
Antihistamine
Anti Malaria
Obat Psikotropika
Antibiotik
Antibiotik
Ket
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
105
106
107
108
109
110
111
112
113
114
115
Metilergometrin Maleat (Metilergometrin) Tablet salut
Oksitosik
0,125 mg
Metilprednison tablet 4 mg
Kortikosteroid
Metronidazol tablet 500 mg
Antiamuba dan antigiardiasis
Mikonazol krim / salep 2 % (Nitrat)
Antifungi
Natrium Diklofenak tablet 50 mg
Analgesik
Nifedipin tablet 10 mg
Antihipertensi
Nistatin tablet salut 500.000 IU/g
Antifungi
Etil Klorida sray
Anastesi lokal
Prednison tablet 5 mg
Kortisteroid
Ranitidin injeksi 25 mg/ml
Obat saluran cerna
Ranitidin tablet a50 mg
Obat saluran cerna
Rifampisin kapsul 300 mg
Obat antituberkolosis
Rifampisin kaplet 600 mg
Obat antituberkolosis
Salisil bedak 2 %
Bedak kulit
Sefadroksil kapsul 500 mg
antibiotik
Sefotaksim injeksi 1 g
Antibiotik
Seftriakson injeksi 1 g
Antibiotik
Siprofloksasin tablet 500 mg (sbg HCL)
Antibiotik
Oksitetrasiklin HCL salep mata 1 %
Salep kulit
Oksitetrasiklin salep kulit 3 %
Salep kulit
Papaverin tablet 40 mg
Anti Kolik
Parasetamol tablet 500 mg
Antipiretik
Piracetam injeksi 1 g/5 ml
Obat gangguan psikomotorik
Piracetam tablet 400 mg
Obat gangguan psikomotorik
Piracetam tablet 800 mg
Obat gangguan psikomotorik
Pirazinamid tablet 500 mg
Obat antituberkolosis
Tramadol injeksi 50mh/ml
Analgesik non narkotika
Tramadol kapsul 50 mg
Analgesik non narkotika
Ringer laktat
Glukosa 10 %
Nacl
Glukosa 5 %
Glukosa 40 %
Alat suntik sekali pakai 1 ml
Alat suntik sekali pakai 3 ml
Alat suntik sekali pakai 5 ml
Alat suntik sekali pakai 10 ml
Alkohol
Infusion set anak
Infusion set dewasa
Kapasido 500 gram
Kasa hidropil 40 x 80
Catgut plain 3-0
Catgut chromic 3 - 0
Catgut chromic 4 - 0
Silk black 3 - 0
Silk black 4 - 0
Rivanol 0,1 % 300 cc
Sarung tangan steril 6
Sarung tangan steril 6,5
Sarung tangan steril 7
Sarung tangan steril 7,5
Sarung tangan steril 8
Sarung tangan non steril 6,5
Sarung tangan non steril 7
Sarung tangan non steril 7,5
Sarung tangan non steril 8
Elastic perban 4 inc
Elastic perban 3 inc
Biofix 10 x 4 cm
H2O2 3 %
Jarum kulit
Jarum otot
Umbilical cord clamb
Underpads 60 x 90 cm
116
117
118
119
120
121
122
123
124
125
126
127
128
129
130
131
132
133
134
135
136
137
138
139
140
141
142
143
144
145
46
147
148
149
150
151
152
153
154
155
156
157
158
159
Aquagel lubricating jelly 82 gr
Stomatch tube 12
Stomatch tube 14
Stomatch tube 16
Stomatch tube 18
Catheter 16
Catheter 18
Catheter 20
Catheter 22
Ultrans 1 kg
Ultrans 0,25
Plunarizine
Batugin elixir
Ciclobrain 400
Ciclobrain 800
Corifam 450
Corobion tablet
Corocyd tablet
Coroflox 500 mg
Corovit syrup
Corovit tablet
Crofed tablet
Fosolon cr 5 gr
Flucodin tablet
Gradiab 850 mg
Novoren tab
Ostella captab
Paraco drop
Sendicol 500 mg
Sendicol syr
Tensobon 25 mg
Ulpraz caps
Ultilox tablet 250 g
Cotristen cream 5 gr
Fixatic 100 g
Stesolid 5 mg
Catapres inj
Duvadilan inj
Kanarco inj
Suprazide 300 mg
Ponuric 100 ml
Bicolax tab
Pehacain inj
Pehamoxil inj 1 gr serbuk
Anti vertigo / Migrain
Obat meluluhkan batu urine
Obat gangguan psikomotorik
Obat gangguan psikomotorik
obat anti tuberkolosis
Vitamin
Obat pencernaan
Antibiotik
vitamin
Vitamin
Obat influenza
Salep iritasi
Obat influenza dan batuk
Anti diapet
Antiemetik
Vitamin tulang
Obat demam
Antibiotik
antibiotik
Obat jantung
Obat saluran cerna
Obat saluran cerna
Salep alergi, dermatitis
Obat infeksi saluran kemih
Anti epilepsi dan konvulsi
Antihipertensi
Anti pendarahan kelahiran
Obat saluran pernafasan
Obat tuberkolosis
Anti pirai
Laksative
Anastesi lokal
antibiotik
BUPATI LAMANDAU,
MARUKAN
Lampiran II
: Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau
Nomor
: 05 Tahun 2011
Tanggal
: 21 September 2011
Tentang
: Pelayanan Jaminan Kesehatan Daerah Kabupaten Lamandau
JENIS PELAYANAN KESEHATAN PROGRAM JAMKESDA DI RSUD LAMANDAU
No
I
II
II
Jenis Pelayanan
PELAYANAN RAWAT JALAN
1 POLIKLINIK UMUM / SPESIALIS PENYAKIT DALAM
Pemeriksaan & Pengobatan
2. POLIKLINIK ANAK / SPESIALIS ANAK
Pemeriksaan / Pengobatan Anak
Pemeriksaan / Pengobatan Bayi
3. POLIKLINIK KEBIDANAN / SPESIALIS KEBIDANAN
Pemeriksaan / Pengobatan Ibu
Pemeriksaan / Pengobatan Bumil, Bufas
Pemasangan / Pencabutan IUD
Pemasangan / Pencabutan Implant
4. POLIKLINIK BEDAH / SPESIALIS BEDAH UMUM
( Tindakan Medik Ringan / Operasi Kecil )
Pengobatan dan Perawatan luka
Incisi abses
Incisi hordeolum
Exstraksi kuku
Pengangkatan benda asing
Buang Serumen
Exstraksi lipoma, ganglion
Sirkumsisi
Pemasangan ransel verband
Minor pembidaian
Debridement
- Luka ringan
- Luka Bakar + 5 s/d 20 %
5. POLIKLINIK GIGI DAN MULUT
Pemeriksaan & Pengobatan Gigi / kunjungan
Perawatan dan pembersihan karang gigi / regio
Pencabutan gigi anak / kunjungan
Pencabutan gigi dewasa / kunjungan
Penambalan gigi sementara / kunjungan
Penambalan gigi tetap / kunjungan
Incisi Abses (Intra Oral)
Pencabutan gigi tertanam (Impacted)
INSTALASI GAWAT DARURAT
1 Penanganan keracunan
2 Penanganan Trauma / Kecelakaan
3 Penanganan Luka Bakar
4 Penanganan Syok
5 Resusitasi Jantung/paru
6 Difibritator (Deases Syok)
7 Operasi Mayor / Minor
8 Advance life support (Manajemen Airway,Breathin & Circulation)
9 Balut Bidai / Gips
PELAYANAN RAWAT INAP
1 Bangsal Penyakit dalam Pria / Wanita ( Zaal Kelas III )
- Perawatan Pasien per hari
- Pemeriksaan & Konsultasi
- Administrasi catatan Medik
- Pemakaian Oxygen per liter
Ket
IV
V
- Akomodasi Pasien ( makan ) per hari
2 Bangsal Penyakit Anak ( Zaal Kelas III )
- Perawatan Pasien per hari
- Pemeriksaan & Konsultasi
- Administrasi catatan Medik
- Pemakaian Oxygen per liter
- Akomodasi Pasien ( makan ) per hari
3 Bangsal Bedah Pria / Wanita ( Zaal Kelas III )
- Perawatan Pasien per hari
- Pemeriksaan & Konsultasi
- Administrasi catatan Medik
- Pemakaian Oxygen per liter
- Akomodasi Pasien ( makan ) per hari
4 Bangsal Kebidanan ( Zaal Kelas III )
- Pertolongan Persalinan Normal
a. Pertolongan Persalinan oleh Dokter
b. Pertolongan Persalinan oleh Bidan
- Pertolongan Persalinan dengan penyulit
a. Pertolongan Persalinan oleh Dokter
b. Pertolongan Persalinan oleh Bidan
- Perawatan Bayi per hari
- Perawatan Pasien per hari
- Pemeriksaan & Konsultasi
- Administrasi catatan Medik
- Pemakaian Oxygen per liter
- Akomodasi Pasien ( makan ) per hari
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
a. Pemeriksaan darah
- Haemoglobin
- Leukosit
- Eritrosit
- Trombosit
- Golongan Darah
- Laju Endap darah
- Malaria
CT, BT
b Pemeriksaan Urine
- Albumin
- Reduksi
- Urubilin
- Bilirubin
- Sedimen
c
Pemeriksaan kimia darah
Widal
Asam Urat
Cholesterol
Creatinin
Trigliserida
Total Protein
Bilirubin
SGOT / SGPT
Hepatitis
d Pemeriksaan Sputum BTA
e Pemeriksaan Tinja Lengkap
f
Pemeriksaan darah lengkap
g Pemeriksaan urine lengkap
VISUM ET REFERTUM
a. Visum Luar
b. Visum Dalam
c.
VI
Visum Mayat
PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSTIK
a. Foto Rontgent
b. EKG
c. USG
BUPATI LAMANDAU,
MARUKAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
NOMOR 06 TAHUN 2011
TENTANG
PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PEREDARAN
MINUMAN BERALKOHOL
HALAMAN 162
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
TAHUN 2011 NOMOR 64 SERI E
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
NOMOR 06 TAHUN 2011
TENTANG
PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PEREDARAN
MINUMAN BERALKOHOL
DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI LAMANDAU,
Menimbang
:
a.
b.
Mengingat
:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
bahwa untuk menangkal dan mencegah timbulnya pengaruh negatif yang
semakin meluas, perlu untuk mengatur ketentuan pengendalian dan
pengawasan atas peredaran minuman beralkohol di Wilayah Kabupaten
Lamandau;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagimana dimaksud huruf a, perlu
membentuk Peraturan Daerah tentang Pengendalian dan Pengawasan
Peredaran Minuman Beralkohol.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan
Republik Indonesia Nomor 3209);
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten
Katingan, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Sukamara, Kabupaten Lamandau,
Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Murung Raya,
Kabupaten Barito Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 81, Tambahan Lembaran Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4318);
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4438);
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4389);
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Republik
Indonesia Nomor 3259);
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintah Antara Pemerintah Daerah Provinsi Dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Kabupaten Lamandau
(Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau Tahun 2008 Nomor 27 Seri E,
Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 27 Seri E);
Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 13 Tahun 2008
tentang Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Lamandau
(Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau Tahun 2008 Nomor 29 Seri D,
Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 29 Seri D),
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten
Lamandau Nomor 11 Tahun 2009 tentang Perubahan Pertama Atas
Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 13 Tahun 2008 tentang
Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Lamandau (Lembaran
Daerah Kabupaten Lamandau Tahun 2009 Nomor 48 Seri D, Tambahan
Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 39 Seri D).
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
dan
BUPATI LAMANDAU
M E M U T U S K A N:
Menetapkan
:
PERATURAN DAERAH TENTANG PENGENDALIAN
PEREDARAN MINUMAN BERALKOHOL.
DAN
PENGAWASAN
B AB I
KETENTU AN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kabupaten Lamandau;
2. Pemerintahan Daerah adalah Penyelenggara urusan Pemerintahan adalah Pemerintah Daerah dan
Dewan Perwakilan Raykat Daerah menurut azas Otonom dan tugas pembantuan dengan prinsif otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsif Negara Kesatuan RI sebagaimana dimaksud dalam UUD RI;
3. Pemerintah Daerah adalah
Bupati beserta perangkat Daerah sebagai unsur Penyelenggara
Pemerintahan Daerah;
4. Bupati adalah Bupati Lamandau;
5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah L em baga Per wak ilan
Rak yat Da er ah s eba ga i uns ur pen ye len ggar a Pemerintahan Daerah Kabupaten Lamandau;
6. Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi adalah Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi
Kabupaten Lamandau;
7. Pejabat adalah Pegawai yang diberi tugas di Bidang Retribusi Daerah sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku;
8. Minuman beralkohol adalah minuman yang mengandung ethanol yang di proses dari bahan hasil
pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destelasi atau fermentasi tanpa
destelasi, baik dengan cara memberikan perlakuan terlebih dahulu atau tidak, menambahkan
bahan lain atau tidak, maupun diproses dengan cara mencampur konsentrat dengan ethanol atau
dengan cara pengeceran minuman mengandung ethanol;
9. Distributor Minuman Beralkohol adalah perusahaan yang ditunjuk importir minuman beralkohol dan
industri minuman beralkohol untuk menyalurkan minuman beralkohol asal import atau hasil produk
dalam negeri;
10. Sub Distributor adalah perusahaan yang ditunjuk oleh distributor untuk menyalurkan minuman
beralkohol di Wilayah Kabupaten Lamandau;
11. Pengecer Minuman Beralkohol adalah perusahaan yang melakukan penjualan minuman beralkohol
kepada konsumen akhir dalam bentuk kemasan ditempat yang telah ditentukan;
12. Hotel, Restoran dan Bar temasuk Pub dan Klub Malam adalah sebagaimana dalam Peraturan
Perundang - undangan yang berlaku di Bidang Pariwisata;
13. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, m engelola data dan/ atau
keterangan lainya untuk m enguji k epatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Daerah dan
Retribusi dan untuk tujuan lainnya dalam rangka melaksanakan ketentuan Peraturan Perundangundangan Perpajakan Daerah dan Retribusi;
14. Minuman arak, tuak dan lainnya adalah minuman keras yang kadar alkoholnya tidak dapat diukur, yang
penggunaannya terbatas pada saat acara adat, budaya dan ritual lainnya sesuai dengan tradisi
masyarakat Kabupaten Lamandau;
15. Adat, budaya dan ritual lainnya adalah suatu kebiasaan adat, budaya dan ritual yang tumbuh dan
berkembang dikelompok masyarakat Kabupaten Lamandau.
B AB I I
M AK S U D D A N T U J U A N
Pasal 2
Maksud dan tujuan pengendalian dan pengawasan peredaran minuman beralkohol adalah :
1. Agar penggunaan minuman beralkohol tidak dilakukan secara bebas dapat menimbulkan
gangguan kesehatan serta merusak kehidupan anggota masyarakat terutama generasi muda,
yang pada gilirannya mengganggu ketentraman dan ketertiban masyarakat;
2. Untuk menangkal dan mencegah timbulnya pengaruh negatif akibat penggunaan minuman beralkohol di
wilayah Kabupaten Lamandau.
BAB III
PENG EN D AL I AN
Pasal 3
Dalam rangka pelaksanaan perlindungan dan pengendalian peredaran minuman beralkohol dilarang
meminum minuman beralkohol dan menjual minuman beralkohol :
1. Bagi yang berusia dibawah 21 tahun dengan menunjukan kartu identitas diri;
2. Disembarang tempat kecuali ditempat-tempat yang ditetapkan dan/atau diizinkan oleh Bupati;
3. Adapun tempat yang dilarang sebagaimana dimaksud ayat (2) adalah :
a. Warung/kios, gelanggang olah raga, gelanggang remaja, kantin, bilyard, panti pijat,
terminal, kios-kios kecil, tempat kost dan perkemahan.
b. Berdekatan dengan tempat-tempat ibadah, sekolah, rumah sakit, pemukiman dan tempat tertentu
lainnya yang ditetapkan oleh Bupati.
4. Secara berlebihan dan mengganggu ketertiban umum, sekalipun ditempat-tempat yang telah ditetapkan
dan/ atau diizinkan oleh Bupati.
Pasal 4
Kepada Produsen, Distributor dan Sub Distributor dan Pengecer minuman beralkohol dilarang :
1. Menjual dan mengedarkan secara bebas semua jenis minuman beralkohol yang melampaui batas kuota
penyaluran yang di tetapkan oleh Bupati dengan batas kadar alkohol di atas 55 % kepada masyarakat
umum;
2. Setiap orang atau badan hukum dilarang menjual minuman beralkohol kecuali ditempat yang telah
ditentukan dan atau diizinkan oleh Bupati.
Pasal 5
(1) Setiap badan hukum yang menyalurkan dan mendistribusikan minumai beralkohol wajib mendapat izin
dari Bupati;
(2) Setiap orang atau badan hukum yang menjual minuman beralkohol wajib mendapat Izin dari
Bupati;
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diberikan kepada Distributor, Sub Distributor,
Pengecer, Restoran, Hotel, Bar/Cafe, Klub malam, Pub/Karaoke, Diskotik, dan Lokalisasi PSK yang di
izinkan Bupati.
Pasal 6
Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam pasal 2 dan 3 Peraturan Daerah ini, minuman beralkohol
dapat dijual dan diedarkan untuk kepentingan pengembangan Pariwisata yang di izinkan Bupati.
Pasal 7
(1) Semua minuman beralkohol yang dijual harus dimasukan kedalam kemasan sedemikian rupa
dikendalikan peredarannya dengan menggunakan label sebagai tanda pengendalian minuman beralkohol
oleh Pemerintah Kabupaten Lamandau serta mendapatkan izin dari Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia;
(2) Label yang ditempelkan pada setiap botol atau kemasan minuman beralkohol diatur sedemikian
rupa sehingga melekat dengan aman dan hanya dapat dipergunakan satu kali.
BAB IV
PENGGOLONGAN MINUMAN BERALKOHOL
Pasal 8
Minuman beralkohol digolongkan dalam 3 (tiga) golongan yaitu :
a. Golongan A, yaitu Minuman Beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) 1 % (Satu persen)
sampai dengan 5% (Lima persen);
b. Golongan B, yaitu minuman Beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) di atas 5% (lima persen)
sampai dengan 20% (dua puluh persen);
c. Golongan C adalah minuman Beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) di atas 20% (dua puluh
persen) sampai dengan 55% (lima puluh lima persen).
BAB V
PENGAWASAN
Pasal 9
(1) Pengendalian dan pengawasan terhadap peredaran minuman beralkohol dilaksanakan oleh tim
terpadu antara Pemerintah Kabupaten Lamandau dengan Kepolisian dan Instansi terkait lainnya;
(2) Pengawasan dan tindakan pencegahan dapat juga dilakukan oleh unsur masyarakat dan
dilaporkan kepada aparat yang berwenang.
Pasal 10
(1) Minuman beralkohol yang beredar dan tidak mempunyai label tanda pengendali dilarang beredar dan
atau dijual;
(2) Terhadap minuman beralkohol sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan penyitaan dan pemusnahan
oleh petugas yang ditunjuk oleh Bupati.
BAB VI
KETENTUAN PENYIDIK
Pasal 11
(1) Selain pejabat penyidik umum yang bertugas menyidik tindak pidana penyidikan atas tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam peraturan daerah ini dapat dilakukan juga oleh penyidik Pegawai
Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Daer ah yang pengangk atannya ditetapk an s es uai
dengan per atur an perundangan yang berlaku;
(2) Dalam melakukan tugas penyidikan, para pejabat sebagaimana dimaksud ayat (1) berwenang :
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang mengenai adanya tindak pidana atas pelanggaran
peraturan daerah;
b. Melakukan tindakan pertama dan pemeriksaan ditempat kejadian;
c. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d. Melakukan penyitaan benda atau surat;
e. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g. Mendatangkan orang ahli yang dipedukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
h. Mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk penyidik bahwa tidak
dapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bu merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui
penyidik membedtahL hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.
i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertangg jawabkan;
(3) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus
sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang tentang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 12
(1) Setiap orang/badan hukum yang melanggar apa yang diatur dalam Peraturan Daerah ini diancam dengan
pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp.50.000.000 (lima
puluh juta rupiah);
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah pelanggaran;
(3) hasil pembayaran denda sebagaimana dimaksud ayat (1) di setor kekas daerah.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 13
(1) Minuman beralkohol selain yang digolongkan sebagaimana dimaksud pada pasal 8 huruf a,b dan c adalah
minuman berupa arak, tuak dan lainnya yang kadar alkoholnya tidak dapat diukur;
(2) Minuman arak, tuak dan lainnya tersebut dapat digunakan pada saat acara adat dan budaya maupun
acara ritual lainnya sesuai dengan kebiasaan yang ada di masyarakat pedalaman Lamandau;
(3) Penggunaan Minuman berupa arak, tuak dan lainnya tersebut tidak berlaku bagi kegiatan apapun kecuali
untuk kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan pada ayat (2) dan (3) akan dituntut sesuai dengan dimaksud pada pasal
12 ayat (1) dan (2).
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Dengan berlakunya peraturan daerah ini maka semua ketentuan yang pernah ada dan bertentangan
dengan Peraturan Daerah ini dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 15
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau.
Ditetapkan di Nanga Bulik
pada
ada tanggal 21 September 2011
BUPATI LAMANDAU,
MARUKAN
Diundangkan di Nanga Bulik
pada tanggal 23 September 2011
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN LAMANDAU,
LAMANDAU
ARIFIN LP. UMBING
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
TAHUN 2011 NOMOR 64 SERI E
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
NOMOR 06 TAHUN 2011
TENTANG
PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN PEREDARAN
MINUMAN BERALKOHOL
I. PENJELASAN UMUM
Dengan semakin maraknya peredaran minuman beralkohol secara bebas di Kabupaten Lamandau baik
itu berupa minuman bermerek dan minuman tradisional yang mana peredarannya sangat
memprihatinkan.
Untuk menangkal dan mencegah timbulnya pengaruh negatif yang semakin meluas, perlu untuk
mengatur ketentuan pengendalian dan pengawasan atas peredaran minuman beralkohol di
Wilayah Kabupaten Lamandau dengan menetapkan Peraturan Daerah tentang Pengendalian Dan
Pengawasan
Peredaran
Minuman Beralkohol sehingga peredaran tersebut dapat tergendali dengan baik.
II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup Jelas
Pasal 2
Cukup Jelas
Pasal 3
Cukup Jelas
Pasal 4
Izin yang diberikan oleh Bupati adalah ijin sebagaimana yang dimaksud dalam Peraturan Daerah
Kabupaten Lamandau Nomor 10 Tahun 2011 tentang Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman
Beralkohol.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
CukupJelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 6
Cukup Jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Label yang ditempelkan pada setiap botol atau kemasan minuman beralkohol di cetak oleh
DPPKAD dan Disperindagkop dan UMKM Kabupaten Lamandau selaku instansi pelaksana
koordinator pengawasan dan sekaligus pemungut
Pasal 8
Culup Jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Tim terpadu dibentuk dengan Surat Keputusan Bupati dengan koordinator pelaksana
Disperindagkop dan UMKM Kab. Lamandau selaku Instansi Teknis
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Minuman arak, tuak dan lainnya yang kadar alkoholnya tidak dapat diukur karena tanpa melalui proses
yang sesuai dengan ketentuan dan standar produksi yang ditentukan.
Ayat (2)
Minuman arak, tuak merupakan minum tradisonal yang ada turun temurun yang digunakan pada saat
acara adat dan budaya maupun acara ritual lainnya sesuai dengan kebiasaan yang ada di masyarakat
pedalaman Lamandau;
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 14
Cukup Jelas
Pasal 15
Cukup Jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2011 NOMOR 56 SERI E
PERTURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
NOMOR 07 TAHUN 2011
TENTANG
PENAMBAHAN PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH KABUPATEN LAMANDAU PADA PERSEROAN
TERBATAS (PT) BANK PEMBANGUNAN DAERAH KALIMANTAN TENGAH
HALAMAN 162
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
TAHUN 2011 NOMOR 65 SERI A
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
NOMOR 07 TAHUN 2011
TENTANG
PENAMBAHAN PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH KABUPATEN LAMANDAU PADA PERSEROAN
TERBATAS (PT) BANK PEMBANGUNAN DAERAH KALIMANTAN TENGAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI LAMANDAU,
Menimbang
:
a.
b.
c.
Mengingat
:
bahwa dalam rangka meningkatkan daya saing dan guna mengantisipasi
perkembangan ekonomi global serta mendorong pertumbuhan perekonomian
dan pemerataan pembangunan daerah, maka Penyertaan Modal Pemerintah
Daerah Kabupaten Lamandau pada PT. Bank Pembangunan Daerah
Kalimantan Tengah berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau
Nomor 5 Tahun 2006 perlu ditingkatkan;
bahwa Pemerintah Daerah sebagai salah satu pemegang saham pada PT.
Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Tengah telah sepakat menambah
penyertaan modal pada Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB)
PT. Bank Pembangunan Kalteng tanggal 28 Juni 2008 dan 27 Juni 2009;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b,
perlu menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau tentang
Penambahan Penyertaan Modal Pemerintah Kabupaten Lamandau pada
Perseroan Terbatas (PT) Bank Pembangunan Daerah Provinsi Kalimantan
Tengah.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1958 tentang Penetapan Undang-Undang
Darurat Nomor 10 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat
I Kalimatan Tengah dan Perubahan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956
tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat I Kalimantan Barat, Kalimatan
Selatan dan Kalimantan Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1957 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
1284) sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1958 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
1622);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3843);
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten
Katingan, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Sukamara, Kabupaten Lamandau,
Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Murung Raya,
Kabupaten Barito Timur di Provinsi Kalimantan Tengah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4180);
5. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
6. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
7.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
8.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4438);
9. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4756);
10. Undang-Undang
Nomor
12
Tahun
2011
tentang
Pembentukan
1.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 823, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5234);
Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992 Tentang Bank Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3655) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 60 Tahun 1996 dan diubah lagi dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 1998);
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengeloaan Keuangan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 4578);
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi Dan Pemerintah
Daerah Kabupaten/ Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1998 tentang Bentuk Hukum
Bank Pembangunan Daerah;
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2007 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah;
Peraturan Daerah Kabupaten Lamadau Nomor 5 Tahun 2006 tentang
Penyertaan Modal Pemerintah Kabupaten Lamandau Pada Perseroan Terbatas
(PT.) Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Tengah (Lembaran Darah
Kabupaten Lamandau Tahun 2006 Nomor 14 Seri E, Tambahan Lembaran
Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 18 Seri E).
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
dan
BUPATI LAMANDAU
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: PERATURAN DAERAH TENTANG PENAMBAHAN PENYERTAAN MODAL
PEMERINTAH KABUPATEN LAMANDAU PADA PERSEROAN TERBATAS (PT.)
BANK PEMBANGUNAN DAERAH KALIMANTAN TENGAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
a. Daerah adalah Kabupaten Lamandau;
b. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
c. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai Unsur Penyelenggara Pemerintah
Daerah Kabupaten Lamandau;
d. Bupati adalah Bupati Lamandau;
e. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten Lamandau;
f. PT. Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Tengah yang disingkat PT. Bank Kalteng yang selanjutnya
disebut Bank Kalteng adalah PT. Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Tengah;
g. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disebut APBD adalah Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Lamandau.
BAB II
TUJUAN
Pasal 2
Tujuan Penambahan Penyertaan Modal Pemerintah Kabupaten Lamandau pada Bank Kalteng adalah :
a. Untuk dapat meningkatkan daya saing serta guna mengantisipasi perkembangan ekonomi lokal, regional
maupun global;
b. Untuk mendukung upaya perluasan wilayah usaha dan pengembangan produk;
c. Untuk meningkatkan kemampuan dan fleksibilitas dalam rangka turut membantu dan mendorong
pertumbuhan perekonomian dan pemerataan pembangunan daerah;
d. Untuk memenuhi kriteria sebagai Bank Persepsi maupun sebagai Bank Devisa.
BAB III
PENAMBAHAN PENYERTAAN MODAL
Pasal 3
Dalam rangka penambahan Penyertaan Modal Pemerintah Daerah Kabupaten Lamandau pada Bank Kalteng
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dilaksanakan sesuai dengan prosedur dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 4
Dengan Peraturan Daerah ini Pemerintah Daerah melakukan Penambahan Penyertaan Modal kedalam
modal saham Bank Kalteng sebesar Rp. 13.500.000.000,- (Tiga Belas Milyar Lima Ratus Juta Rupiah).
Pasal 5
Jumlah modal daerah yang telah disetor oleh Pemerintah Daerah kepada Bank Kalteng, berdasarkan
Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 5 Tahun 2006 tentang Penyertaan Modal Pemerintah
Kabupaten Lamandau Pada Perseroan Terbatas (PT) Bank Pembangunan Kalimantan Tengah sebesar Rp.
6.000.000.000,- (Enam Milyar Rupiah).
Pasal 6
Dengan adanya penambahan Penyertaan Modal Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, maka
jumlah penyertaan modal daerah kedalam modal saham Bank Kalteng adalah sebesar Rp. 19.500.000.000,(Sembilan Belas Milyar Lima Ratus Juta Rupiah).
BAB IV
PELAKSANAAN PENAMBAHAN PENYERTAAN MODAL
Pasal 7
Pelaksanaan Penambahan Penyertaan Modal Pemerintah Kabupaten Lamandau yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pemerintah Kabupaten Lamandau menganggarkan dalam APBD
Kabupaten mulai Tahun 2011 sampai dengan Tahun 2014 secara bertahap yang besarnya akan ditetapkan
berdasarkan Peraturan Daerah tentang APBD.
Pasal 8
Mekanisme Penambahan Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud Pasal 7, dilakukan selama 4 tahun
berturut-turut dengan total sebesar Rp13.500.000.000,- (Tiga Belas Milyar Lima Ratus Juta Rupiah)
dengan pembagian sebagai berikut :
a. Tahun 2011 sebesar Rp. 3.375.000.000,- (Tiga Milyar Tiga Ratus Tujuh Puluh Lima Juta Rupiah);
b. Tahun 2012 sebesar Rp. 3.375.000.000,- (Tiga Milyar Tiga Ratus Tujuh Puluh Lima Juta Rupiah);
c. Tahun 2013 sebesar Rp. 3.375.000.000,- (Tiga Milyar Tiga Ratus Tujuh Puluh Lima Juta Rupiah);
d. Tahun 2014 sebesar Rp. 3.375.000.000,- (Tiga Milyar Tiga Ratus Tujuh Puluh Lima Juta Rupiah);
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 9
Peraturan Daerah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar
gar setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
penempatan yang dalam Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau
Lamandau.
Ditetapkan di Nanga Bulik
pada tanggal 21 September 2011
LAMANDAU,
BUPATI LAMANDAU
MARUKAN
Diundangkan di Nanga Bulik
pada tanggal 23 September 2011
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN LAMANDAU,
LAMANDAU
ARIFIN LP. UMBING
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
TAHUN 2011 NOMOR 65 SERI A
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
NOMOR 07 TAHUN 2011
TENTANG
PENAMBAHAN PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH KABUPATEN LAMANDAU PADA PERSEROAN
TERBATAS (PT.) BANK PEMBANGUNAN DAERAH KALIMANTAN TENGAH.
I.
PENJELASAN UMUM.
Untuk meningkatkan daya saing dan guna mengantisipasi perkembangan ekonomi global serta
mendorong pertumbuhan perekonomian dan pemerataan pembangunan daerah diperlukan modal yang
besar bagi peningkatan tersebut. Dalam hal ini Bank Pembangunan Kalimantan Tengah melalui Rapat
pemegang saham pada PT. Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Tengah telah sepakat menambah
penyertaan modal yaitu pada Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB) PT. Bank
Pembangunan Kalteng tanggal 28 Juni 2008, terjadi perubahan modal dasar semula Rp.
150.000.000.000 (seratus lima puluh milyar rupiah) menjadi Rp. 500.000.000.000 (lima ratus milyar
rupiah) yang terdiri dari :
a. Saham Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, sebesar 40% atau Rp. 200.000.000.000 (dua ratus
milyar rupiah)
b. Saham Pemerintah Kabupaten/ Kota se Kalimantan Tengah sebesar 55% atau Rp. 275.000.000.000
(dua ratus tujuh puluh lima milyar rupiah), terbagi atas :
1. Pemerintah Kota Palangka Raya sebesar Rp. 13.500.000.000 (tiga belas milyar lima ratus juta
rupiah:
2. PemerintahKabupaten Barito Selatan sebesar Rp. 21.500.000.000 (dua puluh satu milyar lima
ratus juta rupiah)
3. Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur sebesar Rp. .21.500.000.000 (dua puluh satu milyar
lima ratus juta rupiah)
4. Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat sebesar Rp. 23.500.000.000 (dua puluh tiga milyar
lima ratus juta rupiah)
5. Pemerintah Kabupaten Barito Utara sebesar Rp. 21.500.000.000 (dua puluh satu milyar lima
ratus juta rupiah)
6. Pemerintah Kabupaten Kapuas sebesar Rp. 21.500.000.000 (dua puluh satu milyar lima ratus
juta rupiah)
7. Pemerintah Kabupaten Barito Timur Rp. 19.500.000.000 (sembilan belas milyar lima ratus juta
rupiah)
8. Pemerintah Kabupaten Pulang Pisau Rp. 15.500.000.000 (lima belas milyar lima ratus juta
rupiah)
9. Pemerintah Kabupaten Katingan Rp. 19.500.000.000 (sembilan belas milyar lima ratus juta
rupiah)
10. Pemerintah Kabupaten Murung Raya Rp. 19.500.000.000 (sembilan belas milyar lima ratus juta
rupiah)
11. Pemerintah Kabupaten Seruyan Rp. 19.500.000.000 (sembilan belas milyar lima ratus juta
rupiah)
12. Pemerintah Kabupaten Gunung Mas Rp. 19.500.000.000 (sembilan belas milyar lima ratus juta
rupiah)
13. Pemerintah Kabupaten Lamandau Rp. 19.500.000.000 (sembilan belas milyar lima ratus juta
rupiah)
14. Pemerintah Kabupaten Sukamara Rp. 19.500.000.000 (sembilan belas milyar lima ratus juta
rupiah)
c. Saham Pihak Ketiga sebesar 5% atau Rp. 25.000.000.000 (dua puluh lima milyat rupiah).
Bedasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah menyebutkan penyertaan daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Dengan dasar
ketentuan tersebut Pemerintah daerah melakukan penambahan penyertaan modal Pemerintah
Kabupaten Lamanadau pada PT. Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Tengah.
II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup Jelas
Pasal 2
Cukup Jelas
Pasal 3
Cukup Jelas
Pasal 4
Cukup Jelas
Pasal 5
Cukup Jelas
Pasal 6
Cukup Jelas
Pasal 7
Cukup Jelas
Pasal 8
Cukup Jelas
Pasal 9
Cukup Jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
TAHUN 2011 NOMOR 57 SERI A
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
NOMOR 08 TAHUN 20
2011
TENTANG
IZIN DI BIDANG KETENAGALISTRIKAN
HALAMAN 177
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
TAHUN 2011 NOMOR 66 SERI E
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
NOMOR 08 TAHUN 2011
TENTANG
IZIN DI BIDANG KETENAGALISTRIKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI LAMANDAU,
Menimbang
: a.
.
c.
d.
Mengingat
: 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
bahwa tenaga listrik merupakan kebutuhan yang sangat penting
dalam mendukung lajunya perkembangan perekonomian dan
mencitakan peluang usaha didaerah.
bahwa dalam rangka pemenuhan kebutuhan tenaga listrik dan
penciptaan persaingan usaha yang sehat, perlu diberi
kesempatan yang sama kepada semua pelaku usaha untuk ikut
serta dalam usaha di bidang ketenagalistrikan;
bahwa berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009
tentang
Ketenagalistrikan,
maka
perlu
diatur
usaha
ketenagalistrikan;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf
a huruf b dan huruf c, dipandang perlu menetapkan Peraturan
Daerah tentang Izin di Bidang Ketenagalistrikan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209);
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3699);
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2002 tentang Pembentukan
Kabupaten Katingan, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Sukamara,
Kabupaten Lamandau, Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten
Pulang Pisau, Kabupaten Murung Raya, Kabupaten Barito Timur
Di Provinsi Kalimantan Tengah (Lembaran Negara RI Tahun
2002 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4180);
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RepubIik
Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4437), sebagaimana telah diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4844);
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pusat Dan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4438);
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2009
tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5052);
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011
tentang
Pembentukan
Peraturan
Perundang-Undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3209);
9. Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 11 Tahun 2008
tentang Urusan Pemerintah Daerah Yang Menjadi Kewenangan
Kabupaten Lamandau (Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau
Tahun 2008 Nomor 27 Seri E);
10. Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 13 Tahun 2008
tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten
Lamandau (Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau Tahun 2008
Nomor 29 seri D, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten
Lamandau Tahun 2008 Nomor 29 seri D).
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
dan
BUPATI LAMANDAU
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
:
PERATURAN
DAERAH
KETENAGALISTRIKAN.
TENTANG
IZIN
DI
BIDANG
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Daerah Kabupaten Lamandau;
2. Pemerintah Kabupaten adalah Pemerintah Kabupaten Lamandau;
3. Bupati adalah Bupati Lamandau;
4. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Lamandau;
5. Ketenagalistrikan adalah segala sesuatu yang menyangkut penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik
serta usaha penunjang tenaga listrik;
6. Tenaga listrik adalah suatu bentuk energi sekunder yang dibangkitkan, ditransmisikan, dan didistribusikan
untuk segala macam keperluan, tidak termasuk listrik yang dipakai untuk komunikasi, elektronika atau
isyarat;
7. Penyediaan tenaga listrik adalah pengadaan tenaga listrik mulai dari titik pembangkit sampai dengan titik
pemakaian;
8. Pemanfaatan tenaga listrik adalah penggunaan tenaga listrik mulai dari titik pemakaian;
9. Sistem tenaga listrik adalah rangkaian instalasi tenaga listrik dari pembangkit, transmisi dan distribusi
yang dioperasikan secara serentak dalam rangka penyediaan tenaga listrik;
10. Pembangkitan tenaga listrik adalah kegiatan memproduksi tenaga listrik;
11. Transmisi tenaga listrik adalah penyaluran tenaga listrik dari suatu sumber pembangkitan ke suatu sistem
distribusi atau kepada konsumen atau penyaluran tenaga listrik antar sistem;
12. Distribusi tenaga listrik adalah penyaluran tenaga listrik dari sistem transmisi atau dari sistem
pembangkitan kepada konsumen;
13. Penjualan tenaga listrik adalah suatu kegiatan usaha penjualan tenaga listrik kepada konsumen;
14. Usaha penjualan tenaga listrik adalah penyelenggaraan kegiatan usaha penjualan tenaga listrik kepada
konsumen yang tersambung pada tegangan rendah;
15. Agen penjualan tenaga listrik adalah penyelenggaraan kegiatan uasaha penjualan tenaga listrik kepada
konsumen yang tersambung pada tegangan tinggi dan tegangan rendah;
16. Pengoperasian sistem tenaga listrik adalah suatu kegiatan usaha yang mengendalikan dan
mengkoordinasikan antar sistem pembangkitan, transmisi dan distribusi tenaga listrik;
17. Pengelola tenaga listrik adalah penyelenggaraan kegiatan usaha pengoperasian sistem tenaga listrik
yang bertanggung jawab dalam mengendalikan dan mengkoordinasikan antar sistem pembangkit,
transmisi dan distribusi, serta membuat rencana pengembangan sistem tenaga listrik;
18. Jaringan transmisi nasional adalah jaringan transmisi tegangan tinggi, ekstra tinggi dan/atau ultra tinggi
untuk menyalurkan tenaga listrik bagi kepentingan umum yang ditetapkan Pemerintah sebagai jaringan
transmisi nasional;
19. Izin usaha penyediaan tenaga listrik adalah izin untuk melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk
kepentingan umum;
20. Izin operasi adalah izin untuk mengoperasikan instalasi penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
sendiri;
21. Instalasi tenaga listrik adalah bangunan sipil, elektromekanik, mesin, peralatan, saluran dan
perlengkapannya yang digunakan untuk pembangkitan, konversi, transmisi, distribusi dan pemanfaatan
tenaga listrik;
22. Usaha penunjang tenaga listrik adalah usaha yang menunjang penyediaan tenaga listrik;
23. Izin penunjang tenaga listrik adalah izin untuk melaksanakan satu atau lebih kegiatan usaha penunjang
tenaga listrik;
24. Badan usaha adalah setiap badan hukum yang dapat membentuk usaha milik negara, Badan Usaha Milik
Daerah, koperasi atau swasta, yang didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, menjalankan jenis usaha bersifat tetap dan terus menerus, bekerja dan berkedudukan dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
25. Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang oleh pemerintah diserahi tugas semata-mata untuk
melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum;
26. Badan Usaha Milik Daerah adalah badan usaha yang oleh pemerintah daerah diserahi tugas
melaksanakan usaha ketenagalistrikan;
27. Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan
melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang
berdasar atas asas kebersamaan yang lingkup usahanya di bidang ketenagalistrikan;
28. Swasta adalah badan hukum yang didirikan dan berdasarkan hukum di Indonesia yang berusaha di
bidang ketenagalistrikan;
29. Pemanfaatan tenaga listrik adalah semua produk atau alat yang dalam pemanfaatannya menggunakan
tenaga listrik untuk berfungsinya produk atau alat tersebut;
BAB II
JENIS USAHA-USAHA KETENAGALISTRIKAN
Pasal 2
Usaha ketenagalistrikan terdiri atas :
a. Usaha penyediaan tenaga listrik; dan
b. Usaha penunjang tenaga listrik.
Pasal 3
Usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf a, terdiri atas :
a. Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum;
b. Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri.
Pasal 4
(1) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pasal 3 huruf a
meliputi jenis usaha :
a. Pembangkitan tenaga listrik;
b. Transmisi tenaga listrik;
c. Distribusi tenaga listrik;
d. Penjualan tenaga listrik.
(2) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat
dilakukan secara terintegrasi.
Pasal 5
(1) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat
(1) dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, badan usaha swasta,
koperasi dan swadaya masyarakat yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik;
(2) Untuk wilayah yang belum mendapatkan pelayanan tenaga listrik, pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya memberi kesempatan kepada Badan Usaha Milik Daerah, badan usaha swasta, atau
koperasi sebagai penyelenggara usaha penyediaan tenaga listrik terintegrasi.
Pasal 6
Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf b
meliputi :
a. Pembangkitan tenaga listrik;
b. Pembangkitan tenaga listrik dan distribusi tenaga listrik; atau
c. Pembangkitan tenaga listrik, transmisi tenaga listrik, dan distribusi tenaga listrik.
Pasal 7
Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf b
dapat dilaksanakan oleh instansi pemerintah, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha
Milik Daerah, badan usaha swasta, koperasi, perseorangan, dan lembaga/badan usaha lainnya.
Pasal 8
Usaha penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf b,
a. Usaha jasa penunjang tenaga listrik; dan
b. Usaha industri penunjang tenaga listrik.
terdiri atas :
Pasal 9
(1) Usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana di maksud dalam Pasal 8
huruf a, meliputi jenis
usaha :
a. Konsultasi dalam bidang instalasi penyediaan tenaga listrik;
b. Pembangunan dan pemasangan instalasi penyediaan tenaga listrik;
c. Pemeriksaan dan pengujian instalasi tenaga listrik;
d. Pengoperasian instalasi tenaga listrik;
e. Pemeliharaan instalasi tenaga listrik;
f. Penelitian dan pengembangan;
g. Pendidikan dan pelatihan;
h. Laboratorium pengujian peralatan dan pemanfaatan tenaga listrik;
i. Sertifikasi peralatan dan pemanfaatan tenaga listrik;
j. Sertifikasi kompetensi tenaga teknik ketenagalistrikan; atau
k. Usaha jasa lain yang secara langsung berkaitan dengan penyediaan
tenaga listrik.
(2) Usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan oleh Badan Usaha
Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, badan usaha swasta dan koperasi yang memiliki sertifikasi,
klasifikasi, dan kualifikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan.
Pasal 10
(1) Usaha industri penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b, meliputi :
a. Usaha industri peralatan tenaga listrik; dan
b. Usaha industri pemanfaatan tenaga listrik.
(2) Usaha industri penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan oleh Badan Usaha
Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, badan usaha swasta dan koperasi.
Pasal 11
Usaha penyediaan tenaga listrik dan usaha penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dilaksanakan setelah mendapat ijin usaha.
Pasal 12
(1) Menurut sifat penggunaannya usaha ketenagalistrikan dibedakan atas :
a. Penggunaan utama;
b. Penggunaan cadangan;
c. Penggunaan darurat;
d. Penggunaan sementara.
(2) Menurut kapasitas pembangkit usaha ketenagalistrikan digolongkan atas :
a. Daya kapasitas terpasang kurang dari 25 KVA tidak wajib daftar;
b. Daya total kapasitas pembangkit terpasang 25 KVA sampai dengan 50 KVA wajib daftar;
c. Daya total kapasitas pembangkit diatas 50 KVA atau lebih wajib memiliki izin.
BAB III
IZIN USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DAN IZIN OPERASI
Pasal 13
(1) Izin usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (2) huruf c dikeluarkan
secara transparan dan akuntabel oleh bupati, untuk usaha penyediaan tenaga listrik di dalam wilayah
kabupaten yang tidak terhubung dengan jaringan transmisi nasional;
(2) Izin usaha untuk menyediakan tenaga listrik terdiri atas :
a. Izin usaha penyediaan tenaga listrik; dan
b. Izin operasi.
(3) Izin usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dibedakan atas:
a. Izin usaha pembangkit tenaga listrik;
b. Izin usaha transmisi tenaga listrik;
c. Izin usaha distribusi tenaga listrik;
d. Izin usaha penjualan tenaga listrik.
(4) Izin usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dikeluarkan setelah
memenuhi persyaratan administratif, teknis dan lingkungan serta kelengkapan izin lainnya;
(5) Tata cara permohonan izin akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
Pasal 14
(1) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri hanya dapat dilakukan berdasarkan izin
operasi;
(2) Izin operasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikeluarkan oleh bupati, apabila fasilitas instalasinya
berada di dalam daerah kabupaten.
Pasal 15
Pemegang izin operasi dalam wilayah yang tidak atau belum menerapkan kompetisi dapat menjual kelebihan
tenaga listrik untuk kepentingan umum setelah mendapat persetujuan bupati, apabila kapasitas instalasinya
berada di dalam daerah kabupaten.
Pasal 16
(1) Pemerintah daerah dapat memberikan teguran tertulis dalam hal menangguhkan kegiatan, membekukan
kegiatan atau mencabut izin usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam pasal 13
atau izin operasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 berdasarkan :
a. Pelanggaran terhadap salah satu persyaratan yang ditentukan;
b. Pengulangan pelanggaran atas persyaratan yang ditentukan, dan/atau;
c. Tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan.
(2) Sebelum melaksanakan pencabutan izin usaha penyediaan tenaga Listrik atau izin operasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), pemerintah kabupaten terlebih dahulu memberikan kesempatan selama jangka
waktu 3 bulan kepada Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah atau badan usaha
swasta atau koperasi dan atau swadaya masyarakat untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
BAB IV
IZIN USAHA PENUNJANG TENAGA LISTRIK
Pasal 17
Kegiatan usaha penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf b dapat dilaksanakan
oleh badan usaha setelah mendapatkan izin usaha penunjang tenaga listrik dari pemerintah kabupaten.
BAB V
KEWAJIBAN PEMEGANG IZIN
Pasal 18
Setiap pemegang izin usaha ketenagalistrikan berkewajiban untuk :
a. Mematuhi ketentuan yang disyaratkan dalam peraturan-peraturan di bidang lingkungan hidup;
b. Mematuhi ketentuan mengenai Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) ketenagalistrikan;
c. Ketentuan mengenai Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud
dalam huruf b meliputi pemenuhan standarisasi peralatan dan pemanfaatan tenaga listrik, pengamanan
instalasi tenaga listrik dan pengamanan pemanfaatan tenaga listrik untuk mewujudkan kondisi andal dan
aman bagi instalasi, aman dari bahaya bagi manusia, serta kondisi aman bagi lingkungan;
d. Setiap instalasi tenaga listrik yang akan beroperasi wajib memiliki Sertifikat Layak Operasi;
e. Setiap pemanfaatan tenaga listrik yang akan diperjualbelikan wajib memiliki tanda keselamatan;
f. Setiap tenaga teknis dalam usaha ketenagalistrikan wajib memiliki sertifikat kompetensi;
g. Setiap peralatan dan pemanfaatan tenaga listrik wajib memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI);
h. Ketentuan mengenai keselamatan ketenagalistrikan, Sertifikat Layak Operasi (SLO), tanda keselamatan
dan sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam huruf b, c, d dan e dengan Keputusan Bupati.
BAB VI
MASA BERLAKUNYA IZIN
Pasal 19
Masa berlakunya izin ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada pasal 13, 14 dan 17 diberikan untuk
jangka waktu :
a. Izin usaha pembangkitan tenaga listrik dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun dan
dapat diperpanjang;
b. Izin usaha transmisi tenaga listrik dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat
diperpanjang;
c. Izin usaha distribusi tenaga listrik dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat
diperpanjang;
d. Izin usaha penjualan tenaga listrik dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun dan
dapat diperpanjang;
e. Izin operasi dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 ( tiga) tahun dan dapat diperpanjang;
f.
Izin usaha penunjang tenaga listrik dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun dan
dapat diperpanjang.
BAB VII
BERAKHIRNYA IZIN
Pasal 20
Izin usaha ketenagalistrikan dinyatakan berakhir karena :
a. Masa berlakunya izin berakhir dan tidak diperpanjang lagi;
b. Pemegang izin mengembalikan kepada kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk / berwenang sebelum
berakhirnya masa berlaku yang telah ditetapkan dalam izin yang bersangkutan;
c. Dicabut oleh kepala daerah;
d. Melanggar ketentuan yang berlaku sebagaimana yang dimuat dalam peraturan daerah ini dan / atau
peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku dibidang ketenagalistrikan serta tidak memenuhi
kewajiban yang tercantum dalam izin yang bersangkutan;
e. Pemegang izin tidak melaksanakan kegiatan usaha tanpa memberikan alasan-alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan;
f. Dibatalkan karena bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 21
(1) Pemerintah daerah melakukan pembinaan dan pengawasan umum terhadap usaha ketenagalistrikan
yang sesuai dengan kewenangannya;
(2) Pembinaan dan pengawasan umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terutama meliputi :
a. Keselamatan pada keseluruhan sistem penyediaan tenaga listrik;
b. Pengembangan usaha;
c. Optimasi pemanfaatan sumber energi setempat, termasuk pemanfaatan energi terbaru;
d. Aspek pelestarian lingkungan;
e. Pemanfaatan proses teknologi yang bersih, ramah lingkungan dan berefisiensi tinggi pada
pembangkitan tenaga listrik;
f. Pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri, termasuk rekayasa dan kompetensi tenaga teknis;
g. Keandalan dan kecukupan penyediaan tenaga listrik; dan
h. Tercapainya standarisasi dalam bidang ketenagalistrikan.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 22
(1) Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum tanpa izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);
(2) Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga listrik tanpa izin operasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah);
(3) Setiap orang yang menjual kelebihan tenaga listrik untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum
tanpa persetujuan dari bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 24
(1) Setiap orang yang tidak memenuhi keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 huruf b yang rnengakibatkan matinya seseorang karena tenaga listrik dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah);
(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemegang izin usaha
penyediaan tenaga listrik atau pemegang izin operasi dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
(3) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang izin usaha penyediaan tenaga
listrik atau pemegang izin operasi juga diwiljibkan untuk memberi ganti rugi kepada korban;
(4) Penetapan dan tata cara pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 25
(1) Setiap orang yang tidak memenuhi keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 huruf b sehingga mempengaruhi kelangsungan penyediaan tenaga listrik dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah);
(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terputusnya aliran listrik
sehingga merugikan masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling banyak Rp. 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah);
(3) Setiap orang yang menggunakan tenaga listrik yang bukan haknya secara melawan hukum dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.500.000.000,00
(dua miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 26
Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha jasa penunjang tenaga listrik tanpa izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 27
(1) Setiap orang yang mengoperasikan instalasi tenaga listrik tanpa Sertifikat Layak Operasi (SLO)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf d dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang memproduksi, mengedarkan, atau memperjualbelikan peralatan dan pemanfaatan
tenaga listrik yang tidak sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) sebagaimana dimaksud
dalarn Pasal 18 huruf g dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 28
Setiap orang atau badan yang melakukan usaha ketenagalistrikan yang mengakibatkan kerusakan atau
pencemaran lingkungan dipidana sesuai dengan ketentuan pidana yang diatur dalam undang-undang
pengelolaan lingkungan hidup yang berlaku.
Pasal 29
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 sampai dengan Pasal 27 dilakukan
oleh badan usaha, pidana dikenakan terhadap badan usaha dan/atau pengurusnya;
(2) Dalam hal pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan terhadap badan usaha, pidana
yang dikenakan berupa denda maksimal ditambah sepertiganya.
BAB X
PENYIDIKAN
Pasal 30
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang ketenagalistrikan, diberi wewenang khusus sebagai
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan
penyidikan tindak pidana dibidang ketenagalistrikan;
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang :
a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana
dalam kegiatan usaha ketenagalistrikan;
b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan usaha yang diduga melakukan tindak pidana
dalam kegiatan usaha ketenagalistrikan;
c. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka dalam perkara tindak
pidana dalam kegiatan usaha ketenagalistrikan;
d. Menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha
ketenagalistrikan;
e. Dalam pemeriksaan sarana dan prasarana kegiatan usaha ketenagalistrikan dan menghentikan
penggunaan peralatan yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana;
f. Menyegel dan/atau menyita alat kegiatan usaha ketenagalistrikan yang digunakan untuk melakukan
tindak pidana sebagai alat bukti; dan
g. Mendatangkan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
pidana dalam kegiatan usaha ketenagalistrikan.
(3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan dimulainya
penyidikan perkara pidana kepada Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(4) Pelaksanaan kewenangan sebagai mana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
Peraturan daerah
aerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
diunda
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan peraturan pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah
Kabupaten Lamandau.
Ditetapkan di Nanga Bulik
pada tanggal 21 September 2011
BUPATI LAMANDAU,
MARUKAN
Diundangkan di Nanga Bulik
pada tanggal 23 September 2011
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN LAMANDAU,
ARIFIN LP. UMBING
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
TAHUN 2011 NOMOR 66 SERI E
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
NOMOR 08 TAHUN 2011
TENTANG
IZIN DI BIDANG KETENAGALISTRIKAN
I.
PENJELASAN UMUM
bahwa untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik sehingga perekonomian dapat berjalan dengan baik
serta sebagai suatu upaya untuk penciptaan persaingan usaha yang sehat di kalangan pengusaha di
bidang tenaga kelistrikan di Kabupaten Lamandau tentunya dengan tetap berpedoman pada ketentuan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
Peraturan daerah ini mengatur Jenis Usaha-Usaha Ketenagalistrikan yaitu usaha penyediaan tenaga
listrik dan usaha penunjang tenaga listrik. Penyediaan tenaga listrik terdiri atas usaha penyediaan
tenaga listrik untuk kepentingan umum dan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri.
Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud meliputi jenis usaha
Pembangkitan tenaga listrik, Transmisi tenaga listrik, Distribusi tenaga listrik dan Penjualan tenaga listrik
yang dapat dilakukan secara terintegrasi.
II.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup Jelas
Pasal 2
Cukup Jelas
Pasal 3
Cukup Jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 6
Cukup Jelas
Pasal 7
Cukup Jelas
Pasal 8
Cukup Jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Huruf d
Cukup Jelas
Huruf e
Cukup Jelas
Huruf f
Cukup Jelas
Huruf g
Cukup Jelas
Huruf h
Cukup Jelas
Huruf i
Cukup Jelas
Huruf j
Cukup Jelas
Huruf k
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup Jelas
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 11
Cukup Jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Huruf d
Cukup Jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Huruf d
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 15
Cukup Jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 17
Cukup Jelas
Pasal 18
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Huruf d
Cukup Jelas
Huruf e
Cukup Jelas
Huruf f
Cukup Jelas
Huruf g
Cukup Jelas
Huruf h
Cukup Jelas
Pasal 19
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Huruf d
Cukup Jelas
Huruf e
Cukup Jelas
Huruf f
Cukup Jelas
Pasal 20
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Huruf d
Cukup Jelas
Huruf e
Cukup Jelas
Huruf f
Cukup Jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Huruf d
Cukup Jelas
Huruf e
Cukup Jelas
Huruf f
Cukup Jelas
Huruf g
Cukup Jelas
Huruf h
Cukup Jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 26
Cukup Jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 28
Cukup Jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Huruf d
Cukup Jelas
Huruf e
Cukup Jelas
Huruf f
Cukup Jelas
Huruf g
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 31
Cukup Jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
TAHUN 2011 NOMOR 58 SERI E
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
NOMOR 09 TAHUN 20
2011
TENTANG
RETRIBUSI PELAYANAN KESEHATAN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LAMANDAU
HALAMAN 190
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
TAHUN 2011 NOMOR 67 SERI C
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
NOMOR 09 TAHUN 2011
TENTANG
RETRIBUSI PELAYANAN KESEHATAN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LAMANDAU
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI LAMANDAU,
Menimbang
:
a.
b.
c.
d.
Mengingat
:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
bahwa Rumah Sakit Umum Daerah Lamandau sebagai sarana pelayanan
kesehatan milik Pemerintah Daerah Kabupaten Lamandau yang diharapkan
mampu memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat sebagaimana
yang dimanatkan dalam UUD 1945;
bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 8 Tahun 2005 tentang
Retribusi Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten
Lamandau dan Perubahannya Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor
11 Tahun 2006 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kondisi saat ini,
maka perlu ditinjau kembali untuk disesuaikan;
bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, salah satu pungutan Daerah adalah di bidang
Pelayanan Kesehatan di RSUD;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,b,c
dan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah Dan Retribusi Daerah perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang
Retribusi Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah Lamandau.
Undang-Undang Nomor Undang-undang 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2576);
Undang-Udang Nomor 5 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten
Katingan, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Sukamara, Kabupaten Lamandau,
Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Murung Raya,
Kabupaten Barito Timur Di Provinsi Kalimantan Tengah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4180);
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3495);
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3637);
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5063);
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3259);
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
6.
27.
28.
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1987 tentang Penyerahan Sebagian
Urusan Pemerintahan Dalam Bidang Kesehatan Kepada Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1987 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3347);
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1991 tentang Pemeliharaan Pegawai
Negeri Sipil, Penerimaan Pensiunan, Veteran dan Perintis Kemerdekaan
bersama keluarganya;
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3637);
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578);
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan Dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4593);
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi Dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4737);
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Nomor 2007 tentang Organisasi Perangkat
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741);
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Dan
Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia 5161);
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Pemerintah Daerah;
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah, sebagaimana telah diubah Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007;
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2006 tentang Jenis Dan
Bentuk Produk Hukum Daerah;
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur
Penyusunan Produk Hukum Daerah;
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2006 tentang Lembaran
Daerah Dan Berita Daerah;
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 tentang Petunjuk
Tehknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah;
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1045/Menkes/Per/XI/2005 tentang
Organisasi Rumah Sakit Di Lingkungan Departemen Kesehatan;
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 518/Menkes/Per/VI/2008 tentang Tarif
Pelayanan Kesehatan Bagi Peserta PT. Askes (Persero) Dan Anggota
Keluarganya Di Balai Kesehatan Masyarakat Dan Rumah Sakit Pemerintah;
Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 11 Tahun 2008 tentang Urusan
Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintah Kabupaten Lamandau
(Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau Tahun 2008 Nomor 27 Seri E,
Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 27);
Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 13 Tahun 2008 tentang
Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Lamandau (Lembaran
Daerah Kabupaten Lamandau Tahun 2008 Nomor 29, Tambahan Lembaran
Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 29 Seri D) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 11 Tahun 2009 tentang
Perubahan Pertama Atas Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 13
Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten
Lamandau (Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau Tahun 2009 Nomor 48 Seri
D, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 39 Seri D).
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
dan
BUPATI LAMANDAU
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: PERATURAN DAERAH TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN KESEHATAN RUMAH
SAKIT UMUM DAERAH LAMANDAU.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kabupaten Lamandau;
2. Pemerintahan Daerah adalah Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
3. Pemerintah Daerah adalah Bupati beserta Perangkat Daerah sebagai Unsur Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah;
4. Bupati adalah Bupati Lamandau;
5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten Lamandau;
6. Rumah Sakit Umum Daerah, yang selanjutnya disingkat RSUD adalah Rumah Sakit Umum Daerah
Lamandau;
7. Direktur adalah Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Lamandau;
8. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang retribusi daerah sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan daerah yang berlaku;
9. Bendaharawan khusus penerima adalah Bendaharawan Khusus Penerima di Rumah Sakit Daerah
Lamandau;
10. Tarif adalah sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan kegiatan pelayanan medik atau non medik
yang dibebankan kepada pasien sebagai imbalan atas jasa pelayanan yang diterimanya;
11. Pelayanan Kesehatan adalah semua bentuk penyelenggaraan kegiatan dan jasa yang diberikan kepada
orang pribadi dalam rangka observasi, penegakan diagnosa, pengobatan, pencegahan, pemulihan dan
peningkatan status kesehatan;
12. Pelayanan Medik adalah pelayanan yang bersifat individu yang diberikan oleh tenaga medis berupa
pemeriksaan, konsultasi dan tindakan medik;
13. Pelayanan Rawat Jalan adalah pelayanan pasien untuk observasi, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi
medik dan atau pelayanan kesehatan lainnya tanpa menginap di rumah sakit;
14. Pelayanan Rawat Jalan Eksekutif adalah pelayanan rawat jalan di poliklinik khusus, waktu khusus dan
ditangani oleh dokter yang khusus berdasarkan pilihan pasien sepanjang dokter tersebut sedang
bertugas;
15. Pelayanan Rawat Darurat adalah pelayanan kedaruratan medik yang harus diberikan secepatnya untuk
mencegah/ menanggulangi risiko kematian atau cacat;
16. Pelayanan Rawat Inap adalah pelayanan pasien untuk observasi, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi
medik dan atau pelayanan kesehatan lainnya dengan menginap di rumah sakit;
17. Pelayanan Rawat Sehari (One Day Care) adalah pelayanan pasien untuk
observasi, diagnosis,
pengobatan, rehabilitasi medik dan atau pelayanan kesehatan
lainnya dan menempati tempat tidur
lebih dari 12 (dua belas) jam tapi kurang dari
24 (dua puluh empat) jam;
18. Pelayanan Rawat Siang Hari (Day Care) adalah pelayanan pasien untuk observasi,
diagnosis,
pengobatan, rehabilitasi medik dan atau pelayanan kesehatan lainnya maksimal 12 (dua belas) jam;
19. Pelayanan Rawat Khusus adalah pelayanan pasien untuk observasi, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi
medik dan atau pelayanan kesehatan lainnya karena pertimbangan medis memerlukan ruang perawatan
khusus;
20. Rawat Rumah adalah pelayanan pasien di rumah untuk observasi, pengobatan dan rehabilitasi medik
pasca rawat inap;
21. Tindakan Medik Operatif adalah tindakan pembedahan kepada pasien yang menggunakan pembiusan
umum, lokal atau tanpa pembiusan;
22. Tindakan Medik Non Operatif adalah tindakan yang diberikan kepada pasien tanpa pembedahan untuk
menegakkan diagnosis atau pegobatan;
23. Tindakan Medik Terapi adalah tindakan terapi yang diberikan kepada pasien untuk kepentingan
pengobatan;
24. Pelayanan Penunjang Medik adalah pelayanan kepada pasien untuk membantu penegakan diagnosis
dan terapi;
25. Pelayanan Penunjang Non Medik adalah pelayanan yang diberikan kepada seseorang di rumah sakit
yang secara tidak langsung berkaitan dengan pelayanan medik antara lain hostel, administrasi, loundry
dan atau pelayanan penunjang non medik lainnya;
26. Pelayanan Konsultasi Khusus dan Tindakan Khusus adalah pelayanan yang diberikan dalam bentuk
konsultasi/tindakan psikologi, gizi, psikiatri dan konsultasi khusus lainnya;
27. Pelayanan Medico Legal adalah pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan penegakan hukum dan
atau status kesehatan seseorang;
28. Pemulasaran Jenazah adalah kegiatan yang meliputi perawatan jenazah, konservasi bedah mayat yang
dilakukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan, pemakaman dan kepentingan dalam rangka proses
Hukum;
29. Jasa Pelayanan adalah imbalan yang diterima oleh pelaksana pelayanan atas jasa yang diberikan
kepada pasien;
30. Jasa Sarana/Prasarana adalah imbalan yang diterima oleh rumah sakit atas pemakaian
sarana/prasarana, fasilitas dan bahan;
31. Bahan adalah makanan, bahan kimia, alat kesehatan habis pakai dan bahan medis habis pakai yang
digunakan secara langsung dalam rangka pencegahan, observasi, pengobatan, konsultasi, rehabilitasi
medik dan atau pelayanan kesehatan lainnya;
32. Akomodasi adalah penggunaan fasilitas ruang rawat inap dengan atau tanpa makan di Rumah Sakit;
33. Tempat Tidur Rumah Sakit adalah tempat tidur yang tercatat dan tersedia di ruang rawat inap;
34. General Check Up adalah pemeriksaan fisik dan penunjang medis secara lengkap yang diberikan
kepada seseorang atas permintaan sendiri atau pihak yang berkepentngan;
35. Visum Et Repertum adalah suatu keterangan tertulis yang dibuat dokter berdasarkan sumpah pada saat
menerima jabatan dokter dan mempunyai daya bukti yang sah di pengadilan;
36. Rujukan Swasta adalah pasien yang dikirim oleh perusahaan swasta, rumah bersalin, praktek dokter
swasta dan balai pengobatan swasta lainnya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan baik rawat jalan,
rawat inap maupun penunjang diagnosa;
37. Orang Tidak Mampu adalah mereka yang tidak dapat membayar tarif perawatan atau pengobatan;
38. Peserta Askes (Asuransi Kesehatan) adalah orang yang telah mendapat Surat Jaminan Pelayanan
Kesehatan oleh PT.Askes (Persero);
39. Iur Biaya (Cost Sharing) adalah pembebanan sebagian tarif pelayanan kesehatan kepada peserta Askes
Sosial dan atau anggota keluarganya;
40. Unit Cost adalah perhitungan biaya riil yang dikeluarkan untuk melaksanakan satu unit/satu jenis
pelayanan kesehatan tertentu terdiri dari biaya langsung maupun biaya tidak langsung;
41. Cost Handling adalah biaya penyimpanan;
42. Cito adalah keadaan yang memerlukan pelayanan dan atau tindakan segera yang tidak dapat ditunda
dan harus didahulukan;
43. PT. Askes (Persero) adalah Badan Hukum yang menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan;
44. Peserta Askes Sosial adalah Pegawai Negeri Sipil, Pensiunan Pegawai Negeri Sipil, Pensiunan
TNI/Polri, Veteran yang keanggotaannya dibuktikan dengan kartu tanda peserta;
45. Pasien Kehakiman adalah orang-orang yang dihukum dalam lembaga kemasyarakatan atau di dalam
tahanan atau tahanan sementara;
46. Pasien Penyakit Wabah adalah orang yang menderita penyakit yang berdasarkan
UndangUndang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular;
47. Penjamin adalah pihak ketiga baik perorangan atau badan hukum sebagai penanggung tarif pelayanan
kesehatan dan atau non kesehatan dari seseorang yang menjadi tanggungannya;
48. Retribusi Jasa Umum adalah retribusi atas jasa yangdisediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah
untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan;
50. Retribusi Pelayanan Kesehatan adalah nilai pembayaran sejumlah uang yang dikeluarkan oleh
seseorang/instansi/badan sebagai imbalan atas jasa pelayanan kesehatan di RSUD;
51. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan dan perundang-undangan
diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi;
52. Surat Pendaftaran Objek Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SPDORD adalah Surat yang
digunakan oleh wajib retribusi sebagai dasar perhitungan dan pembayaran retribusi yang terutang
menurut Perundang-undangan Retribusi Daerah;
53. Surat Keterangan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah Surat Keputusan yang
menentukan besarnya jumlah retribusi yang terutang;
54. Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKRDLB adalah Surat
Keputusan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran retribusi karena jumlah kredit retribusi lebih
besar daripada retribusi yang terutang atau tidak seharusnya terutang;
55. Surat Ketetapan Retribusi Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKRDKBT
adalah Surat Keputusan yang menentukan tambahan atas jumlah retribusi yang ditetapkan;
56. Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah Surat untuk melakukan tagihan
retribusi dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda;
57. Surat Keputusan keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap besar SKRD atau dokumen
lainnya. Yang dipersamakan SKRDBKT dan SKRDLB yang diajukan oleh wajib retribusi;
58. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan dan mengolah data dan atau
keterangan lainnya, dalam rangka pengawasan kepada pemenuhan kewajiban terhadap Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku;
59. Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melaksanakan Penyelidikan;
60. Penyidikan adalah serangkaian tindakan Penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
Undang-Undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat keterangan
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
BAB II
NAMA OBYEK DAN SUBYEK RETRIBUSI
Pasal 2
Dengan nama Retribusi Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah Lamandau dipungut retribusi
sebagai pembayaran atas pelayanan kesehatan yang disediakan oleh RSUD.
Pasal 3
Objek Retribusi Pelayanan Kesehatan adalah pelayanan kesehatan di RSUD yang sejenis yang dimiliki
dan/atau dikelola oleh pemerintah daerah, kecuali pelayanan pendaftaran;
Pasal 4
Subyek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang mendapat pelayanan kesehatan dari RSUD.
BAB III
GOLONGAN RETRIBUSI
Pasal 5
Retribusi Pelayanan Kesehatan digolongkan sebagai Retribusi Jasa Umum.
BAB IV
CARA MENGUKUR TINGKAT PENGGUNAAN JASA
Pasal 6
Tingkat penggunaan jasa dihitung berdasarkan frekuensi pelayanan, jenis pelayanan dan fasilitas pelayanan
kesehatan yang diberian dalam jangka waktu tertentu.
BAB V
KEBIJAKSANAAN TARIF
Pasal 7
(1) Pemerintah dan masyarakat bertanggung jawab dalam memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan;
(2) Biaya penyelenggaraan rumah sakit dipikul bersama oleh masyarakat (pasien) dan pemerintah dengan
memperhatikan kemampuan keuangan daerah dan keadaan sosial ekonomi masyarakat;
(3) Tarif pelayanan kesehatan diperhitungkan atas dasar unit cost dari setiap jenis pelayanan dan kelas
perawatan, yang perhitungannya memperhatikan kemampuan ekonomi masyarakat, subsidi pemerintah,
subsidi silang pasien, standar biaya dan atau benchmarking sarana pelayanan kesehatan/ rumah sakit
lain yang tidak komersial;
(4) Tarif pelayanan kesehatan ditetapkan berdasarkan azas gotong royong, adil dengan mengutamakan
kepentingan masyarakat yang berpenghasilan rendah;
(5) Tarif pelayanan kesehatan untuk golongan masyarakat yang pembayarannya dijamin oleh pihak
penjamin melalui suatu ikatan perjanjian tertulis ditetapkan atas dasar tidak saling merugikan.
BAB VI
PRINSIP DAN SASARAN PENETAPAN STRUKTUR BESARNYA TARIF
Pasal 8
(1) Prinsip dalam penetapan besarnya tarif Retribusi didasarkan pada penyediaan jasa kesehatan dengan
memperhatikan kemampuan masyarakat, aspek keadilan dan efektivitas pengendalian atas pelayanan
kesehatan yang diberikan;
(2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya
bunga dan biaya modal.
BAB VII
STRUKTUR DAN BESARAN TARIF
Pasal 9
(1) Struktur tarif pelayanan kesehatan di RSUD menggunakan tarif progresif sesuai dengan kelas
perawatan;
(2) Struktur dan besaran retribusi pelayanan kesehatan di RSUD sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Peraturan Daerah ini dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Pasal 10
(1) Tarif retribusi sebagaimana dimaksud pasal 9 ayat (2) ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali;
(2) Peninjauan tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks
harga dan perkembangan perekonomian;
(3) Perubahan tarif retribusi sebagaimana tindaklanjut peninjauan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
BAB VIII
WILAYAH PEMUNGUTAN
Pasal 11
Retribusi yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat pelayanan kesehatan diberikan
BAB IX
KOMPONEN PENERIMAAN
Pasal 12
(1) Seluruh penerimaan RSUD adalah penerimaan daerah yang harus disetorkan ke kas daerah;
(2) Tarif pelayanan kesehatan terdiri dari komponen jasa sarana/prasarana dan komponen jasa pelayanan;
(3) Komponen jasa sarana/prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk bahan sesuai
keperluan;
(4) Macam dan jenis bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Direktur;
(5) Pembagian jasa pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Direktur melalui sistem renumerasi RSUD;
(6) Sistem renumerasi RSUD sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dihitung dengan mempertimbangkan
azas Pemerataan, azas kebersamaan, tanggung jawab sosial, pembinaan sumber daya manusia,
pangkat/golongan, kompetensi, bobot kerja, tanggung jawab, kinerja/ prestasi dan sikap kerja.
BAB X
JENIS PELAYANAN KESEHATAN DAN PELAYANAN NON KESEHATAN
YANG DIKENAKAN RETRIBUSI
Pasal 13
(1) Pelayanan yang dikenakan retribusi :
a. Rawat Jalan;
b. Rawat Darurat;
c. Rawat Inap;
d. Rawat Khusus;
e. Rawat Siang (Day Care);
f.
Rawat Sehari (One Day Care);
g. Rawat Rumah (Home Care).
(2) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari :
a. Pelayanan Medik;
b. Pelayanan Penunjang Medik;
c. Pelayanan Persalinan;
d. Pelayanan Rehabilitasi Medik dan Mental;
e. Pelayanan Konsultasi dan Tindakan Khusus;
f. Pelayanan Medico Legal;
g. Pelayanan Gemeral Check-Up;
h. Pemulasaran Jenazah;
i. Pelayanan Penunjang Non Medik;
j. Pelayanan Lainnya.
(3) Jenis-jenis pelayanan kesehatan beserta tarif masing-masing sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
seperti tercantum dalam Lampiran Peraturan Daerah ini dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Daerah ini;
(4) Jenis pelayanan kesehatan dapat dikembangkan menurut kebutuhan masyarakat dan kemampuan
RSUD;
(5) Retribusi pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan
Bupati;
(6) Pasien Peserta Askes Sosial yang dirawat sesuai kelas yang menjadi haknya dikenai iur biaya (cost
sharing) sesuai ketentuan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku.
BAB XI
PELAYANAN RAWAT JALAN
Pasal 14
(1) Tarif Rawat Jalan di RSUD dinyatakan dalam bentuk karcis harian atau dokumen lain yang
dipersamakan yang berlaku untuk 1 (satu) rangkaian pelayanan konsultasi pada 1 (satu) bidang
keahlian;
(2) Karcis harian rawat jalan dibedakan menjadi 9 (sembilan) jenis karcis atau dokumen lain yang
dipersamakan yaitu poliklinik KIA/KB, poliklinik umum, poliklinik gigi, poliklinik psikologi, poliklinik gizi,
poliklinik general cehck up, poliklinik spesialis dan poliklinik eksekutif.
BAB XII
PELAYANAN RAWAT DARURAT
Pasal 15
(1) Sebagai langkah penyelamatan jiwa (life saving) pasien kegawatdaruratan dapat dilayani tanpa
mempertimbangkan persyaratan administrasinya;
(2) Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwajibkan melengkapi persyaratan administrasinya seperti
jaminan perawatan dari pihak penjamin/Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM)/surat keterangan lain
yang sejenis selambat-lambatnya 2x24 jam (tidak termasuk hari libur).
BAB XIII
PELAYANAN RAWAT INAP
Pasal 16
(1) Kelas perawatan di RSUD ditetapkan sebagai berikut :
a. Kelas Very Important Person (VIP);
b. Kelas Utama Paviliun;
c. Kelas Utama Ruangan;
d. Kelas I;
e. Kelas II;
f. Kelas III;
g. Ruang Perawatan Khusus.
(2) Direktur diberikan kewenangan untuk menetapkan fasilitas dan jumlah tempat tidur di RSUD untuk tiap
kelas perawatan;
(3) Jumlah tempat tidur di kelas III disesuaikan dengan kebutuhan dan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh
lima per seratus) dari jumlah tempat tidur yang tersedia;
(4) Bayi yang rawat gabung dengan ibunya dikenakan tarif pelayanan rawat inap sebagai
berikut :
a. Jasa Sarana 50% (lima puluh per seratus) dari tarif pelayanan rawat inap kelas yang ditempati
ibunya;
b. Jasa Pelayanan 100% (seratus per seratus) dari tarif pelayanan rawat inap kelas yang ditempati
ibunya.
(5) Kelas VIP dan Kelas Utama hanya boleh diisi satu tempat tidur, namun dengan pertimbangan tertentu
direktur dapat memberikan dispensasi maksimal 2 (dua) tempat tidur, pasien kedua dikenakan tarif
pelayanan sebagai berikut :
a. Jasa Sarana 70% (tujuh puluh per seratus) dari tarif pelayanan rawat inap kelas yang ditempatinya;
b. Jasa Pelayanan 100% (seratus per seratus) dari tarif pelayanan rawat inap kelas yang ditempatinya.
Pasal 17
(1) Seorang pasien perlu atau tidaknya dirawatinapkan di RSUD ditetapkan oleh Dokter;
(2) Setiap pasien atau keluarganya dapat mengajukan permintaan perawatan di kelas yang diinginkannya
sesuai dengan kemampuan keuangannya dan ketersediaan ruangan di RSUD;
(3) Pasien yang menurut pendapat dokter yang memeriksa menderita penyakit menular tertentu, tempat
perawatannya ditetapkan di ruang isolasi;
(4) Pasien yang berstatus tahanan atau narapidana diharuskan membawa surat keterangan dari yang
berwajib, dikenakan tarif penuh dan dibebankan kepada pasien yang bersangkutan atau instansi
pengirimnya;
(5) RSUD tidak bertanggung jawab atas keamanan pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Pasal 18
(1) Peserta PT. Askes (Persero) beserta anggota keluarganya dirawat di kelas yang menjadi hak
perawatannya sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku;
(2) Pasien peserta Askes Sosial yang mengkehendaki dirawat pada kelas yang lebih tinggi dari yang
menjadi haknya, dapat dirawatinapkan pada kelas yang dikehendakinya dengan membayar selisih tarif
perawatan dan kepadanya tidak lagi dikenakan Iur biaya (cost sharing);
(3) Apabila kelas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ada atau di kelas tersebut tidak ada tempat,
maka pasien dirawatinapkan sementara di kelas yang lebih rendah;
(4) Bagi pasien yang membawa surat pengantar dari perusahaan dirawatinapkan pada kelas yang diminta
kecuali kelas III.
Pasal 19
(1) Pasien penyakit wabah/kejadian luar biasa yang dinyatakan secara resmi oleh pihak yang berwenang
dirawatinapkan di ruang isolasi khusus dengan tarif pelayanan kesehatan yang ditanggung oleh
pemerintah daerah;
(2) Apabila pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh dokter dipandang tidak membahayakan
pasien lainnya, pasien yang bersangkutan dapat menempati kelas yang diinginkan;
(3) Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diharuskan membayar tarif sesuai tarif yang berlaku.
BAB XIV
PELAYANAN RAWAT KHUSUS
Pasal 20
(1) Pelayanan Rawat Khusus adalah Perawatan pasien di ruang :
a. Intensive Care Unit (ICU), Intensive Cardic Care Unit (ICCU), Neonatal Intensive Care Unit (NICU),
Perinatal Intensive Care Unit (PICU) atau ruangan lain yang sejenis;
b. High Care Unit (HCU), Ruang Perawatan Perinatalogi atau ruangan lain yang sejenis;
c. Ruang Isolasi atau ruangan lain yang sejenis;
d. Ruang Pemulihan atau ruangan lain yang sejenis.
(2) Tarif pelayanan kesehatan pada ruang perawatan khusus ditetapkan sebagai berikut:
a. Intensive Care Unit (ICU), Intensive Cardic Care Unit (ICCU), Neonatal Intensive Care Unit (NICU),
Perinatal Intensive Care Unit (PICU) atau ruangan lain yang sejenis ditetapkan sama dengan terif
pelayanan rawat inap kelas utama ruangan;
b. High Care Unit (HCU), Ruang Perawatan Perinatalogi atau ruangan lain yang sejenis ditetapkan
sama dengan tarif pelayanan rawat inap kelas I;
c. Ruang Isolasi, Ruang Pemulihan atau ruangan lain yang sejenis ditetapkan sama dengan tarif
pelayanan rawat inap kelas II.
BAB XV
PELAYANAN RAWAT SIANG, RAWAT SEHARI DAN RAWAT RUMAH
Pasal 21
Tarif pelayanan Rawat Siang dan Rawat Sehari ditetapkan sebagai berikut :
a. Rawat Siang ditetapkan sama dengan tarif perawatan kelas II;
b. Rawat Sehari ditetapkan sama dengan tarif perawatan kelas I.
Pasal 22
(1) Rawat rumah hanya dapat diberikan bagi pasien yang telah diperbolehkan untuk pulang dan menjalani
perawatan dikediamannya oleh dokter di RSUD;
(2) Rawat rumah dapat dilaksanakan sepanjang tersedia petugas yang memungkinkan dan terbatas dalam
wilayah kota Nanga Bulik;
(3) Tarif pelayanan rawat rumah ditetapkan sama dengan tarif perawatan kelas utama ruangan;
(4) Tarif pelayanan rawat rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak termasuk biaya transportasi
petugas;
(5) Biaya transportasi petugas ditetapkan sama dengan biaya ambulance ditambah jasa konsultasi medis
dan jasa tindakan medis yang apabila diperlukan dibayar tersendiri oleh pasien.
BAB XVI
PELAYANAN MEDIK
Pasal 23
(1) Pelayanan Medik meliputi :
a. Konsultasi Medik;
b. Tindakan Medik.
(2) Jenis Tindakan Medik meliputi :
a. Tindakan Medik Operatif;
b. Tindakan Medik Non Operatif;
c. Tindakan Medik Terapi.
(3) Tindakan Medik Operatif meliputi :
a. Tindakan Medik Operatif Sederhana;
b. Tindakan Medik Operatif Kecil;
c. Tindakan Medik Operatif Sedang;
d. Tindakan Medik Operatif Besar;
e. Tindakan Medik Operatif Khusus;
f. Tindakan Medik Operatif Canggih.
(4) Tindakan Medik Non Operatif meliputi :
a. Tindakan Medik Non Operatif Sederhana;
b. Tindakan Medik Non Operatif Kecil;
c. Tindakan Medik Non Operatif Sedang;
d. Tindakan Medik Non Operatif Besar;
e. Tindakan Medik Non Operatif Khusus;
f. Tindakan Medik Non Operatif Canggih.
(5) Tindakan Medik Terapi meliputi :
a. Radiasi Eksterna Konvensional;
b. Radiasi Eksterna High Technology;
c. Bracytheraphy;
d. Radiasi Interna.
Pasal 24
(1) Konsultasi dan atau tindakan medik anestesi anak yang apabila diperlukan dibayar secara tersendiri oleh
pasien;
(2) Konsultasi/tindakan diatas meja operasi oleh dokter spesialis lain pada saat pelaksanaan operasi apabila
diperlukan ditambah sesuai jenis tindakan yang dilakukan oleh dokter konsultan;
(3) Jasa pelayanan konsultasi medik dan tindakan medik operatif diluar jam kerja dikenakan tambahan tarif
cito sebesar 20% (dua puluh per seratus);
(4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), konsultasi medik dan tindakan medik
operatif yang telah dijadwalkan sebelumnya pada saat jam kerja;
(5) Jasa pelayanan konsultasi medik yang bersifat cito yang dibayar oleh pasien maksimal 2 (dua) kali per
hari untuk 1 (satu) bidang keahlian.
Pasal 25
(1) Tarif pelayanan medik pasien rawat jalan, rawat darurat, rawat khusus, rawat siang hari, rawat sehari
dan rawat rumah ditetapkan sebagai berikut :
a. Poliklinik KIA/KB, Poliklinik Umum dan Poliklinik Gigi ditetapkan sama dengan tarif pelayanan medik
pasien rawat inap kelas III;
b. Poliklinik General Check Up, Poliklinik Spesialis, Rawat Darurat, Ruang Isolasi, Ruang Pemulihan
dan Rawat Siang Hari ditetapkan sama dengan tarif pelayanan medik pasien rawat inap kelas II;
c. Ruang High Care Unit (HCU), Ruang Perawatan Perinatalogi dan Rawat Sehari ditetapkan sama
dengan tarif pelayanan medik pasien rawat inap kelas I;
d. Poliklinik Executive, Ruang Intensive Care Unit, Intensive Cardiac Care Unit, Neonatal Intensive
Care Unit (NICU), Perinatal Intensive Care Unit (PICU) dan Rawat Rumah ditetapkan sama dengan
tarif pelayanan medik pasien rawat inap kelas utama ruangan.
(2) Tarif pelayanan medik bagi pasien rujukan sarana/fasilitas kesehatan swasta yang tidak dirawat inap di
RSUD ditetapkan sama dengan tarif sejenis pasien rawat inap kelas utama paviliun.
BAB XVII
PELAYANAN PENUNJANG MEDIK
Pasal 26
(1) Pelayanan penunjang medik meliputi :
a. Pemeriksaan Laboratorium;
b. Pemeriksaan Radio Diagnostik;
c. Pemeriksaan Diagnostik Elektromedik;
d. Pemeriksaan Diagnostik Khusus.
(2) Jasa pelayanan konsultasi dan atau tindakan medik anestesi yang apabila diperlukan dibayar secara
tersendiri oleh pasien;
(3) Jasa pelayanan penunjang medik diluar jam kerja dikenakan tambahan tarif cito sebesar 20% (dua puluh
per seratus).
Pasal 27
(1) Tarif pelayanan penunjang medik untuk pasien rawat jalan, rawat darurat dan pasien rawat inap di ruang
rawat khusus ditetapkan sebagai berikut :
a. Poliklinik KIA/KB, Poliklinik Umum dan Poliklinik Gigi ditetapkan sama dengan tarif pelayanan medik
pasien rawat inap kelas III;
b. Poliklinik General Check Up, Poliklinik Spesialis, Rawat Darurat, Ruang Isolasi, Ruang Pemulihan
dan Rawat Siang Hari ditetapkan sama dengan tarif pelayanan medik pasien rawat inap kelas II;
c. Ruang High Care Unit (HCU), Ruang Perawatan Perinatalogi dan Rawat Sehari ditetapkan sama
dengan tarif pelayanan medik pasien rawat inap kelas I;
d. Poliklinik Executive, Ruang Intensive Care Unit, Intensive Cardiac Care Unit, Neonatal Intensive
Care Unit (NICU), Perinatal Intensive Care Unit (PICU) dan Rawat Rumah ditetapkan sama dengan
tarif pelayanan medik pasien rawat inap kelas utama ruangan.
(2) Tarif pelayanan penunjang medik bagi pasien rujukan sarana/fasilitas kesehatan swasta yang tidak
dirawat inap di RSUD ditetapkan sama dengan tarif sejenis pasien rawat inap kelas utama paviliun.
BAB XVIII
PELAYANAN PERSALINAN
Pasal 28
(1) Jenis pelayanan persalinan meliputi :
a. Pelayanan Persalinan Normal;
b. Pelayanan Persalinan dengan tindakan per vaginam.
(2) Jasa pelayanan konsultasi dan atau tindakan medik anestesi anak yang apabila diperlukan dibayar
secara tersendiri oleh pasien;
(3) Tarif pelayanan persalinan bagi pasien rujukan sarana/fasilitas kesehatan swasta ditetapkan sama
dengan tarif sejenis pasien rawat inap kelas utama paviliun;
(4) Jasa pelayanan persalinan normal oleh dokter spesialis dan persalinan dengan tindakan per vaginam
diluar jam kerja dikenakan tambahan tarif cito sebesar 20% (dua puluh per seratus).
BAB XIX
PELAYANAN KONSULTASI KHUSUS DAN TINDAKAN KHUSUS
Pasal 29
(1) Jenis pelayanan konsultasi khusus dan tindakan khusus meliputi :
a. Pelayanan Konsultasi Gizi;
b. Pelayanan Konsultasi dan Tindakan Psikologi;
c. Pelayanan Konsultasi dan Tindakan Psikiatri;
d. Bimbingan Rohani;
e. Pelayanan lain yang mungkin diadakan dikemudian hari sesuai perkembangan RSUD.
(2) Tarif pelayanan konsultasi khusus bagi pasien rujukan sarana/fasilitas kesehatan swasta ditetapkan
sama dengan tarif sejenis pasien rawat inap kelas utama paviliun.
BAB XX
PELAYANAN MEDICO LEGAL
Pasal 30
(1) Jenis pelayanan medico legal meliputi :
a. Visum Et Repertum;
b. Surat Keterangan;
c. Pelayanan lain yang mungkin diadakan dikemudian hari sesuai perkembangan RSUD.
(2) Jasa pelayanan medico legal diluar jam kerja dikenakan tambahan tarif cito sebesar 20% (dua puluh per
seratus).
Pasal 31
(1) Permintaan pelayanan visum et repertum dari pasien hidup/jenazah dan otopsi jenazah hanya dapat
diberikan atas permintaan tertulis dari penyidik kepolisian atau instansi yang berwenang lainnya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(2) Biaya pelayanan visum et repertum dan otopsi jenazah dibebankan kepada pasien, keluarga, penjamin
atau instansi pengirimnya;
(3) Jenazah yang dibawa ke RSUD oleh Kepolisian dan atau oleh pihak lain guna kepentingan pemeriksaan
dan pembuatan visum et repertum disimpan untuk sementara waktu selama-lamanya 3x24 jam dengan
ketentuan untuk jenazah yang tidak jelas penanggungjawabnya, maka biaya pengelolaannya ditanggung
oleh pemerintah daerah.
BAB XXI
GENERAL CHECK UP
Pasal 32
(1) General Check Up meliputi :
a. Paket Standar;
b. Paket Eksekutif;
c. Pemeriksaan Calon Karyawan;
d. Pemeriksaan CPNS;
e. Penghapusan CPNS;
f.
KIR Kesehatan Biasa;
g. Pemeriksaan Medical Check Up lainnya sesuai permintaan.
(2) Direktur diberi kewenangan untuk menentukan paket pelayanan general check up;
(3) Tarif paket pelayanan general check up sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh direktur
dengan ketentuan besarnya tarif paket tidak boleh lebih besar dari jumlah taruf masing-masing jenis
pelayanan yang terdapat dalam paket tersebut;
(4) Jasa pelayanan general check up diluar jam kerja dikenakan tambahan tarif cito sebesar 20% (dua
puluh per seratus).
BAB XXII
PEMULASARAN JENAZAH
Pasal 33
(1) Pelayanan pemulasaran meliputi :
a. Pelayanan Jenazah;
b. Transportasi Jenazah;
c. Pelayanan lain yang mungkin diadakan dikemudian hari sesuai perkembangan RSUD.
(2) Tarif pemulasaran jenazah ditetapkan sama untuk semua kelas perawatan;
(3) Jasa pelayanan pemulasaran jenazah kecuali transportasi jenazah diluar jam kerja dikenakan tambahan
tarif cito sebesar 20% (dua puluh per seratus).
Pasal 34
(1) Setiap jenazah yang berasal dari luar rumah sakit yang akan menggunakan fasilitas rumah sakit, harus
dilaporkan secara tertulis kepada direktur dengan melampirkan surat keterangan resmi dari instansi yang
berwenang;
(2) Setiap jenazah yang akan dibawa keluar dari rumah sakit harus mendapat izin tertulis dari direktur atau
petugas lain yang ditunjuk oleh direktur;
(3) Jenazah dalam kasus kepolisian yang disimpan di kamar jenazah keamanannya menjadi tanggung
jawab pihak kepolisian;
(4) Jenazah dalam kasus kepolisian yang akan dibawa keluar dari rumah sakit harus dengan surat
permintaan resmi dari pihak kepolisian.
Pasal 35
(1) Mobil Jenazah RSUD hanya diperuntukkan untuk mengangkut jenazah dari RSUD ke rumah duka atau
tempat lainnya dalam wilayah Kabupaten Lamandau;
(2) Penggunaan diluar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin dari direktur
dengan tetap mengutamakan kepentingan pelayanan di RSUD.
BAB XXIII
PELAYANAN PENUNJANG NON MEDIK
Pasal 36
(1) Pelayanan penunjang non medik meliputi :
a. Transportasi Medis (Ambulance);
b. Pelayanan Darah;
c. Gas Medis;
d. Farmasi;
e. Pelayanan lain yang mungkin diadakan dikemudian hari sesuai perkembangan RSUD.
(2) Tarif pelayanan penunjang non medik ditetapkan sama untuk semua kelas perawatan.
Pasal 37
(1) Ambulance RSUD hanya diperuntukkan untuk mengangkut pasien dari rumahnya menuju rumah sakit,
dari rumah sakit ke rumah pasien atau kepentingan rujukan dalam wilayah Kabupaten Lamandau;
(2) Penggunaan diluar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin dari direktur
dengan tetap mengutamakan kepentingan pelayanan di RSUD;
(3) Jenis pelayanan ambulance meliputi ambulance tanpa pendamping, ambulance paramedis, ambulance
medis umum dan ambulance medis spesialis.
Pasal 38
Tarif pelayanan darah merupakan biaya penggantian atas pengolahan darah ditambah biaya penyimpanan
darah (cost handling) sebesar 20% (dua puluh per seratus).
Pasal 39
(1) Gas medis meliputi oksigen, nitrogen dan gas medis lain yang memungkinkan sesuai dengan
perkembangan RSUD;
(2) Tarif pemakaian gas medis ditetapkan sebesar harga pembelian, ditambah cost handling sebesar 20%
(dua puluh per seratus) dan PPN 10% (sepuluh per seratus).
Pasal 40
(1) Pelayanan obat dan sediaan farmasi lainnya di RSUD dilaksanakan oleh instalasi farrnasi RSUD dan
atau apotek pelengkap yang ditetapkan oleh direktur;
(2) Harga penjualan obat dan sediaan farmasi lainnya di lingkungan RSUD ditetapkan sebesar harga
pembelian, ditambah keuntungan 25% (dua puluh lima per seratus) dan PPN 10% (sepuluh per
seratus).
BAB XXIV
PELAYANAN PENUNJANG NON MEDIK LAINNYA
Pasal 41
(1) Jenis pelayanan penunjang non medik lainnya meliputi :
a. Laundry;
b. Pembakaran Sampah Medis (Incenerator);
c. Penginapan (Hostels) penjaga pasien/ pembesuk;
d. Pendidikan dan Latihan;
e. Penelitian dan Survei;
f.
Sewa Ruangan;
g. Pemasangan Iklan;
h. Pelayanan lain yang mungkin diadakan dikemudian hari sesuai perkembangan RSUD.
(2) Pemasangan iklan sebagaimana dimaksud pada huruf g ayat (1) tidak termasuk objek pajak reklame
yang telah diatur oleh Peraturan Daerah lainnya.
BAB XXV
PELAYANAN LAIN-LAIN
Pasal 42
(1) Pelayanan lain-lain meliputi:
a. Pendampingan pasien rujukan oleh paramedis dan atau dokter yang tidak menggunakan sarana
transportasi RSUD;
b. Pengiriman spesimen untuk pemeriksaan penunjang medik.
(2) Setiap orang pribadi atau badan yang mendapatkan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenakan tarif yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Direktur dengan mempertimbangkan harga
pasar yang berlaku;
(3) Tarif atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk penerimaan daerah dan dapat
diserahkan langsung kepada paramedis pendamping dan atau dokter pendamping, perusahaan jasa
ekspedisi dan atau sarana pemeriksa rujukan;
(4) Seluruh biaya atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibayar sebelum
mendapatkan pelayanan.
BAB XXVI
MASA RETRIBUSI/ SAAT RETRIBUSI TERUTANG
Pasal 43
(1) Masa retribusi adalah sekali penggunaan layanan kesehatan di RSUD;
(2) Terhadap pelayanan adminstrasi diberikan sekali selama menjadi pasien di RSUD, dan/atau tidak
terjadik kehilangan Kartu Periksa.
Pasal 44
Saat retribusi terutang adalah pada saat diterbitkannya Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD) atau
dokumen lainnya yang dipersamakan.
Pasal 45
Pungutan atas pelayanan kesehatan di RSUD pada dasarnya merupakan penerimaan daerah yang wajib
disetor ke kas daerah kecuali ditentukan lain oleh peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 46
Direktur diberi wewenang membebaskan sebagian atau seluruh tarif pelayanan kesehatan di RSUD bagi
pasien dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku.
BAB XXVII
CARA PERHITUNGAN RETRIBUSI
Pasal 47
(1) Tarif perawatan dihitung dari hari waktu masuk sampai dengan hari waktu keluar;
(2) Pasien yang dirawat lebih dari 12 (dua belas) jam tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) jam dihitung 1
(satu) hari perawatan
Pasal 48
(1) Pasien yang memilih perawatan Kelas I, Kelas Utama Ruangan, Kelas Utama Paviliun dan Kelas VIP
diharuskan menyerahkan deposit terlebih dahulu untuk 3 (tiga) hari perawatan pada Bendaharawan
Penerima;
(2) Setiap tambahan 3 (tiga) hari perawatan, pasien atau keluarganya diharuskan menyerahkan deposit
untuk 3 (tiga) hari berikutnya;
(3) Deposit yang diserahkan akan diperhitungkan dan kelebihannya akan dikembalikan pada saat pasien
keluar atau meninggal dunia;
(4) Direktur diberi kewenangan untuk membebaskan pasien dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2).
BAB XXVIII
SURAT PENDAFTARAN
Pasal 49
(1) Wajib retribusi diwajibkan mendaftarkan diri dan mengisi SPdORD atau dokumen lain yang
dipersamakan;
(2) SPdORD atau dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi
dengan benar dan lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Retribusi atau Kuasanya;
(3) Bentuk, isi, tata cara pengisian dan penyampaian SPdORD atau dokumen lain yang dipersamakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB XXIX
PENETAPAN RETRIBUSI
Pasal 50
(1) Berdasarkan SPdORD sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 ayat (1) ditetapkan retribusi terutang
dengan menerbitkan SKRD;
(2) Bentuk, isi dan tata cara penerbitan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bupati atau Pejabat yang ditunjuk
BAB XXX
PENENTUAN PEMBAYARAN, TEMPAT PEMBAYARAN,
ANGSURAN DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN
Pasal 51
(1) Pemungutan retribusi tidak dapat diborongkan;
(2) Retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD atau dokumen lainnya yang dipersamakan;
(3) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa karcis, kupon
atau kartu berlangganan;
(4) Tata cara pemungutan akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
Pasal 52
(1) Pembayaran Retribusi yang terutang harus dilunasi sekaligus dimuka satu kali masa retribusi;
(2) Retribusi yang terutang dilunasi selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sejak diterbitkannya SKRD atau
dokumen lain yang dipersamakan dan STRD;
(3) Bupati atas permohonan wajib retribusi setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat
memberikan persetujuan kepada wajib retribusi untuk mengangsur atau menunda pembayaran retribusi
dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan;
(4) Tata cara pembayaran, tempat pembayaran dan angsuran atau penundaan pembayaran retribusi diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
BAB XXXI
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 53
(1) Dalam hal wajib retribusi tidak membayar tepat waktu atau kurang membayar, dikenakan sanksi
adminstrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dari besarnya retribusi yang terutang
atau kurang dibayar dan ditangih dengan menggunakan STRD atau dokumen lain yang dipersamakan;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap wajib retribusi yang terkait
perjanjian kerjasama dengan RSUD;
(3) Penagihan retribusi terutang sebagaiaman dimaksud pada ayat (1) didahuli dengan surat teguran.
Pasal 54
(5) Pembayaran Retribusi yang terutang harus dilunasi sekaligus dimuka satu kali masa retribusi;
(6) Retribusi yang terutang dilunasi selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sejak diterbitkannya SKRD atau
dokumen lain yang dipersamakan dan STRD;
(7) Bupati atas permohonan wajib retribusi setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat
memberikan persetujuan kepada wajib retribusi untuk mengangsur atau menunda pembayaran retribusi
dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan;
(8) Tata cara pembayaran, tempat pembayaran dan angsuran atau penundaan pembayaran retribusi diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
BAB XXXII
TATA CARA PENAGIHAN
Pasal 55
(1) Retribusi terutang berdasarkan SKRD, STRD dan Surat Keputusan Keberatan yang menyebabkan
jumlah retribusi yang harus dibayar bertambah, yang tidak atau kurang dibayar oleh wajib retribusi
diberikan surat teguran/peringatan atau surat lain yang sejenis sebagai awal tindakan penagihan yang
dikeluarkan 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran;
(2) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah surat teguran/peringatan atau surat lain yang sejenis diberikan,
wajib retribusi harus melunasi retribusi yang terutang;
(3) Surat teguran/ peringatan atau surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2)
dikeluarkan oleh Pejabat yang ditunjuk.
BAB XXXIII
CARA PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN KEBERATAN
Pasal 56
(1) Wajib Retribusi dapat mengajukan keberatan hanya kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk atas
STRD atau dokumen lain yang dipersamakan;
(2) Pengajuan keberatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan
yang jelas;
(3) Dalam hal Wajib Retribusi mengajukan keberatan atas ketetapan retribusi, Wajib Retribusi harus dapat
membuktikan ketidakbenaran ketetapan retribusi tersebut;
(4) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal STRD,
SKRDKBT dan SKRDLB diterbitkan, kecuali apabila Wajib Retribusi tertentu dapat menunjukkan bahwa
dalam jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya;
(5) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak
dianggap sebagai surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
(6) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar retribusi dan pelaksanaan penagihan
retribusi.
Pasal 57
(1) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima, Bupati harus
memberi keputusan atas keberatan yang diajukan;
(2) Keputusan Bupati atas keberatan yang diajukan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian dan
atau menolak atau menambah besarnya retribusi yang terutang;
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud ayat (1) telah lewat dan Bupati tidak memberikan
suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
BAB XXXIV
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN
Pasal 58
(1) Wajib Retribusi dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Bupati atas kelebihan
pembayaran retribusi;
(2) Dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak diterimanya permohonan kelebihan pembayaran retribusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati harus memberikan Keputusan;
(3) Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran dianggap dikabulkan apabila jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui dan Bupati tidak memberikan suatu Keputusan atas
pengembalian retribusi dan/atau dalam jangka waktu 1 (satu) bulan SKRDLB harus diterbitkan;
(4) Apabila wajib retribusi mempunyai hutang retribusi lainnya, kelebihan pembayaran retribusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu hutang retribusi tersebut;
(5) Pengembalian kelebihan pembayaran retribusi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKRDLB;
(6) Bupati memberikan imbalan bunga sebesar 2 % (dua per seratus) sebulan atas keterlambatan
pembayaran kelebihan retribusi, apabila pengembalian kelebihan pembayaran retribusi dilakukan setelah
lewat jangka waktu 2 (dua) bulan,
Pasal 59
(1) Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran retribusi diajukan secara tertulis kepada Bupati
dengan sekurang-kurangnya menyebutkan:
a. Nama dan Alamat Wajib Retribusi dengan jelas;
b. Masa retribusi;
c. Besarnya kelebihan pembayaran;
d. Alasan yang singkat dan dapat dipertanggungjawabkan.
(2) Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran retribusi disampaikan secara langsung oleh Wajib
Retribusi atau melalui pos tercatat;
(3) Bukti penerimaan oleh pejabat daerah atau bukti pengiriman pos tercatat merupakan bukti saat
permohonan diterima oleh Bupati.
Pasal 60
(1) Pengembalian kelebihan retribusi dilakukan dengan menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan
Retribusi;
(2) Apabila kelebihan pembayaran retribusi diperhitungkan dengan hutang retribusi lainnya sebagaimana
dimaksud pada Pasal 57 ayat (4), maka pembayaran dilakukan dengan cara pemindahbukuan;
(3) Bukti Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini juga berlaku sebagai bukti
pembayaran.
BAB XXXV
PENGURANGAN KERINGANAN DAN PEMBEBASAN RETRIBUSI
Pasal 61
(1) Bupati dapat memberikan pengurangan keringanan dan pembebasan retribusi;
(2) Pemberian pengurangan atau keringanan retribusi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dengan
memperhatikan kemampuan wajib retribusi antara lain dengan mengangsur;
(3) Pembebasan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain diberikan kepada masyarakat
yang ditimpa bencana alam dan atau kerusuhan;
(4) Tata cara pemberian pengurangan keringanan dan pembebasan retribusi diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Bupati.
BAB XXXVI
PENGHAPUSAN PIUTANG RETRIBUSI YANG KEDALUARSA
Pasal 62
(1) Hak untuk melakukan penagihan retribusi dinyatakan kedaluarsa apabila melampaui 3 (tiga) tahun
terhitung sejak saat terutangnya retribusi kecuali wajib retribusi melakukan tindak pidana di bidang
retribusi;
(2) Kedaluarsa Penagihan Retribusi sebagaimana maksud pada ayat (1), tertangguh jika :
a. Diterbitkan Surat Teguran dan surat paksa; atau
b. Ada pengakuan hutang retribusi dari wajib retribusi baik langsung maupun tidak langsung.
(3) Dalam hal diterbitkan surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluarsa penagihan
dihitung sejak tanggal diterimanya surat teguran tersebut;
(4) Pengakuan utang retribusi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah wajib
retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang retribusi dan belum melunasinya
kepada Pemerintah daerah;
(5) Pengakuan utang retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dapat
diketahui dari pengajuan perubahan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan
oleh wajib retribusi.
Pasal 63
(1) Piutang retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah
kedaluarsa dapat dihapus;
(2) Bupati menetapkan keputusan penghapusan retribusi yang sudah kedaluarsa sebagaimana dimaksud
ayat (1);
(3) Tata cara penghapusan piutang retribusi yang sudah kedaluarsa diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB XXXVIII
INSENTIF PEMUNGUTAN
Pasal 64
(1) Instansi yang melaksanakan pemungutan retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja
tertentu;
(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah;
(3) Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XXXIX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 65
(1) Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan keuangan daerah diancam
pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali jumlah retribusi
terutang yang tidak atau kurang dibayar;
(2) Tindak Pidana sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran;
(3) Denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disetor ke Kas Negara.
BAB XL
PENYIDIKAN
Pasal 66
(1) Selain Pejabat Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi Peraturan daerah ini diberi
wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan atas pelanggaran tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah ini;
(2) Dalam melaksanakan tugas penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwewenang:
a. Menerima, mencatat, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak
pidana di bidang retribusi daerah agar keterangan laporan tersebut lengkap dan jelas;
b. Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang
kebenaran perbuatan yang berhubungan dengan tindak pidana retribusi daerah;
c. Meminta keterangan dan bukti dari orang pribadi atau badan berkenaan dengan tindak pidana di
bidang retribusi daerah;
d. Memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lainnya berkenaan dengan tindak
pidana di bidang retribusi daerah;
e. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen-dokumen
lain serta melakukan penyitaan terhadap bukti tersebut;
f. Meminta berhenti oleh dan atau melarang seseorang meningggalkan ruangan atau tempat pada saat
pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau dokumen yang di anggap
berkaitan dengan tindak pidana di bidang retribusi daerah;
g. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang retribusi daerah;
h. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau sanksi;
i. Menghentikan penyelidikan;
j. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran Penyidikan tindak pidana di bidang retribusi
daerah menurut ketentuan Perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pejabat Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat Berita Acara setiap tindakan tentang:
a. Pemeriksaan Tersangka;
b. Pemasukan Rumah;
c. Penggeledahan rumah/ tempat-tempat tertutup;
d. Penyitaan benda/ barang-barang bukti;
e. Pemeriksaan Surat;
f. Pemeriksaan sanksi;
g. Pemeriksaan di tempat kejadian dan mengirimkannya kepada Penuntut Umum dan Khusus bagi
Penyidik Pegawai Negeri Sipil melalui Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan
menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum sesuai ketentuan yang diatur dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
BAB XLI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Bagian Pertama
Makanan dan Pakaian Pasien
Pasal 67
(1) Susunan menu makanan pasien ditetapkan oleh instalasi gizi RSUD;
(2) Menu makanan bagi pasien yang memerlukan diet khusus ditentukan oleh dokter yang merawat dengan
konsultasi ahli gizi;
(3) Apabila memungkinkan pasien rawat inap dapat memakai seragam pasien selama perawatan.
Bagian Kedua
Barang Bawaan dan Kiriman Barang Untuk Pasien
Pasal 68
(1) Pasien tidak diperbolehkan membawa barang selain macam dan jenis yang telah ditetapkan oleh
Direktur;
(2) Barang kiriman dan surat untuk pasien akan diatur lebih lanjut oleh Direktur;
(3) Kiriman makanan untuk pasien dari luar harus seizin perawat jaga;
(4) RSUD tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan barang bawaan milik pasien/keluarga
pasien.
Bagian Ketiga
Penunggu Pasien dan Pembesuk
Pasal 69
(1) Waktu berkunjung untuk membesuk pasien ditetapkan oleh Direktur;
(2) Setiap orang yang berkunjung dengan maksud membesuk pasien diluar waktu berkunjung yang telah
ditetapkan harus mendapat ijin dari direktur atau petugas lain yang ditunjuk;
(3) Setiap pasien hanya diijinkan disertai 1 (satu) orang penunggu;
(4) Penunggu akan mendapatkan kartu penunggu pasien yang berfungsi sebagai kartu identitas selama
berada di lingkungan RSUD;
(5) Penunggu pasien dan pembesuk harus mentaati segala peraturan yang berlaku di lingkungan RSUD.
Bagian Keempat
Pasien Meninggal
Pasal 70
(1) Pasien yang meninggal dunia di RSUD dapat dibawa pulang oleh keluarga atau penjaminnya paling
cepat 2 (dua) jam setelah dinyatakan meninggal untuk kepentingan observasi;
(2) Setelah jangka waktu 2 (dua) jam dinyatakan meninggal dan belum diambil oleh keluarga atau
penjaminnya, RSUD berhak memindahkan jenazah ke kamar jenazah;
(3) Apabila dalam waktu 3x24 jam sejak dinyatakan meninggal dunia jenazah belum/tidak diambil/diurus
keluarga atau penjaminnya, maka RSUD berhak melakukan penguburan dan segala biaya penguburan
dibebankan kepada keluarga atau penjaminnya;
(4) Jenazah yang tidak diketahui keberadaan keluarga atau penjaminnya dapat dikuburkan oleh RSUD
setelah jangka waktu 3x24 jam terlewati dengan biaya penguburan ditanggung oleh pemerintah daerah
atau diserahkan kepada instansi lain untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
Bagian Kelima
Insentif dan Uang Jaga (Aturan Tetap)
Pasal 71
(1) Tenaga medis. Tenaga paramedis dan tenaga kesehatan lainnya yang bertugas di RSUD, dapat
diberikan
rikan insentif profesi yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Bupati;
(2) Tenaga medis, paramedis dan tenaga non medis lainnya yang bekerja pada hari libur atau diluar jam
dinas dapat diberikan uang jaga yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
BAB XLIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 72
Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka ketentuan retribusi pelayanan kesehatan RSUD yang diatur
dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 8 Tahun 2005 tentang Retribusi Pelayanan
Kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Lamandau dan Pe
Perubahannya
rubahannya Peraturan Daerah Nomor
11 Tahun 2006 termasuk peraturan lain yang setingkat dan dibawahnya dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 73
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan Pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau.
Ditetapkan di Nanga Bulik
pada tanggal 21 September 2011
BUPATI LAMANDAU,
MARUKAN
Diundangkan di Nanga Bulik
pada tanggal 23 September 2011
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN LAMANDAU,
ARIFIN LP. UMBING
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
TAHUN 2011 NOMOR 67 SERI C
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
NOMOR 59 TAHUN 2011
TENTANG
RETRIBUSI PELAYANAN KESEHATAN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LAMANDAU
I. PENJELASAN UMUM
Rumah Sakit Umum Daerah Lamandau sebagai sarana pelayanan kesehatan milik Pemerintah
Daerah Kabupaten Lamandau dimana dituntut mampu untuk memberikan pelayanan kesehatan yang
baik dan prima sejalan dengan harapan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dengan
mudah, cepat, tepat dan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dalam
suasana yang nyaman. Dilain pihak dalam pelayanan tersebut memerlukan pendanaan yang besar
terutama dalam hal penyediaan sarana dan prasarana maupun fasilitas lainnya yang berhubungan
dengan pemberian pelayanan di RSUD.
Dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan
Retribusi Daerah maka Pemerintah Kabupaten Lamandau mengambil suatu kebijakan dimana untuk
membantu manajemen RSUD sekaligus upaya peningkatan PAD diperlukan suatu aturan hukum yang
jelas dengan menetapkan Peraturan Daerah tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Umum
Daerah Lamandau. dimana disesuaikan dengan keadaan dan kondisi yang ada di Kabupaten Lamandau
termasuk Unit Cost yang berlaku.
II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup Jelas
Pasal 2
Cukup Jelas
Pasal 3
Cukup Jelas
Pasal 4
Cukup Jelas
Pasal 5
Cukup Jelas
Pasal 6
Cukup Jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Biaya bunga yaitu tagihan retribusi yang kurang bayar (tertunggak) sehingga mendapat sanksi
administrasi yaitu berupa bunga dan/atau denda. Hal ini berhubungan erat dengan Surat
Tagihan Retribusi Daerah (SSTRD). (Pasal 160 ayat (3) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang pajak daerah dan Retribusi Daerah)
Pasal 9
Ayat (1)
Tarif progresip adalah persentase tarif yang semakin naik jika kebutuhan dan mutu pelayanan semakin
meningkat.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 11
Cukup Jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Ayat (6)
Cukup Jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Ayat (6)
Cukup Jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 21
Cukup Jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
- tarif cito adalah adalah tarif yang dikenakan di luar jam pelayanan
- 20% → berdasarkan perkiraan kewajaran prosentase harga.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 38
Cukup Jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 44
Cukup Jelas
Pasal 45
Cukup Jelas
Pasal 46
Cukup Jelas
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 55
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Ayat (6)
Cukup Jelas
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 57
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Ayat (6)
Cukup Jelas
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 59
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 63
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati dengan
mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Dan
Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah.
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 65
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 67
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Pasal 69
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 71
Cukup Jelas
Pasal 72
Cukup Jelas
Pasal 73
Cukup Jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
TAHUN 2011 NOMOR 59 SERI C
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
NOMOR 10 TAHUN 2011
TENTANG
RETRIBUSI IZIN TEMPAT PENJUALAN MINUMAN BERALKOHOL
HALAMAN 264
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
TAHUN 2011 NOMOR 68 SERI C
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
NOMOR 10 TAHUN 2011
TENTANG
RETRIBUSI IZIN TEMPAT PENJUALAN MINUMAN BERALKOHOL
DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI LAMANDAU,
Menimbang
:
a.
b.
c.
Mengingat
:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
bahwa Peredaran Minuman Beralkohol di Kabupaten Lamandau semakin
marak sehingga sulit untuk memantau dan mengendali peredarannya;
bahwa dengan maraknya peredaran minuman beralkohol tersebut sering
menggangu ketertiban dan ketentraman masyarakat untuk itu perlu dilakukan
pembinaan, pengaturan dan pengendalian;
bahwa untuk maksud huruf a, huruf b dan berlakunya Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, perlu
menetapkan Peraturan Daerah tentang Retribusi Izin Tempat Penjualan
Minuman Berakohol;
Undang-Undang Nomor 81 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209;
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten
Katingan, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Sukamara, Kabupaten Lamandau,
Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Murung Raya,
Kabupaten Barito Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4318);
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4438);
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5234);
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3258);
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintah Antara Pemerintah Daerah Provinsi Dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian
Dan Pemanfaatan insentif Pemungutan Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Kabupaten Lamandau
(Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau Tahun 2008 Nomor 27 Seri E,
Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 27 Seri E);
Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 13 Tahun 2008
tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Lamandau
(Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau Tahun 2008 Nomor 29 Seri D,
Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 29 Seri D),
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten
Lamandau Nomor 11 Tahun 2009 tentang Perubahan Pertama Atas
Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 13 Tahun 2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Lamandau (Lembaran
Daerah Kabupaten Lamandau Tahun 2009 Nomor 48 Seri D, Tambahan
Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 39 Seri D).
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
dan
BUPATI LAMANDAU
M E M U T U S K A N:
Menetapkan
:
PERATURAN DAERAH
TENTANG R E T R I B U S I
P E N J U A L A N M I N U M A N BERALKOHOL.
B AB I
KETENTU AN UMUM
Pasal 1
IZIN
T E M P AT
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
a. Daerah adalah Kabupaten Lamandau;
b. Pemerintahan Daerah adalah Penyelenggara urusan Pemerintahan adalah Pemerintah Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut azas Otonom dan tugas pembantuan dengan prinsif otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan RI sebagaimana dimaksud dalam UUD RI;
c. Pemerintah Daerah adalah
Bupati beserta perangkat Daerah sebagai unsur Penyelenggara
Pemerintahan Daerah;
d. Bupati adalah Bupati Lamandau;
e. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah L em baga Per wak ilan
Rak yat Da er ah s eba ga i uns ur pen ye len ggar a Pemerintahan Daerah Kabupaten Lamandau;
f. Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UMKM adalah Dinas Perindustrian, Perdagangan,
Koperasi dan UMKM Kabupaten Lamandau;
g. Kas Daerah adalah Kas Daerah Kabupaten Lamandau;.
h. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas di Bidang Retribusi Daerah sesuai dengan Peraturan
Perundang - undangan yang berlaku;
i. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek
retribusi, penentuan besarnya retribusi yang terutang sampai kegiatan penagihan retribusi kepada
wajib retribusi serta pengawasan penyetorannya;
j. Minuman beralkohol adalah minuman yang mengandung ethanol yang diproses dari bahan hasil
pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destelasi atau fermentasi tanpa
destelasi, baik dengan cara memberikan perlakuan terlebih dahulu atau tidak, menambahkan bahan
lain atau tidak, maupun diproses dengan cara mencampur konsentrat dengan ethanol atau
dengan cara pengeceran minuman mengandung ethanol;
k. Distributor Minuman Beralkohol adalah perusahaan yang ditunjuk importir minuman beralkohol dan
industri minuman beralkohol untuk menyalurkan minuman beralkohol asal import atau hasil produk
dalam negeri;
l. Sub Distributor adalah perusahaan yang ditunjuk oleh distributor untuk menyalurkan minuman
beralkohol di Wilayah Kabupaten Lamandau;
m. Pengecer Minuman Beralkohol adalah perusahaan yang melakukan penjualan minuman beralkohol
kepada konsumen akhir dalam bentuk kemasan ditempat yang telah ditentukan;
n. Hotel, Restoran dan Bar temasuk Pub dan K!ub Malam adalah sebagaimana dalam Peraturan
Perundang - undangan yang berlaku di Bidang Pariwisata.
o. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan hukum yang menurut Peraturan Perundang-undangan,
Retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi termasuk pungutan atau pemotong
retribusi tertentu;
p. Masa Retribusi jangka waktu tertentu yang merupakan batas waktu wajib retribusi untuk
memanfaatkan pemberian izin tempat penjualan minuman beralkohol dari Pemerintah Daerah;
q. Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat dengan SKRD adalah Surat Ketetapan
Retribusi yang menentukan besamya pokok retribusi;
r. Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutanya disingkat STRD adalah untuk melakukan tagihan
retribusi dan/atau sanksi administrasi berupa bunga atau bunga Benda;
s. Surat Setoran Retribusi Daerah yang selanjutnya dapat disingkat SSRD adalah surat yang oleh wajib
retribusi yang digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran retribusi yang terutang
ke Kas Daerah atau ke pembayaran lain yang ditetapkan oleh Kepala Daerah;
t. Retribusi Perizinan Tertentu adalah retribusi atas kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka
pemberian izin kepada orang pribadi atau badan hukum yang dimaksud untuk pembinaan, pengatur
pengendalian dan pengawasan atas kegiatan penataan ruang, pengguna sumber daya alam, barang
prasarana,
sarana fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga
kelestarian lingkungan;
u. Pemeriksaan adalah serangkaian kegitan untuk mencari, mengumpulkan, m engelola data dan/atau
k eterangan lain ya untuk m enguji k epatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan
retribusi dan untuk tujuan lainnya dalam rangka melaksanakan ketentuan Peraturan Perundanganundangan Perpajakan Daerah dan Retribusi;
v. Cafe/ Bar/ Karoke adalah Cafe/ Bar/ Karoke yang merupakan bagian fasilitas hotel dan restoran.
BAB II
NAMA, OBJEK DAN SUBJEK
Pasal 2
Dengan nama Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol dipungut retribusi sebagai
pembayaran atas pemberian izin tempat Penjualan Minuman Beralkohol.
Pasal 3
(1) Objek Retribusi adalah pemberian izin tempat penjualan minuman beralkohol di suatu tempat tertentu
oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
(2) Tempat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hotel, restoran, bar/cafe,
pub/karaoke, klub malam, diskotik dan tempat lain yang diizinkan oleh Bupati.
Pasal 4
(1) Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh izin Tempat Penjualan
Minuman Beralkohol;
(2) Subjek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Wajib Retribusi, termasuk
pemungut atau pemotong Retribusi.
BAB III
JANGKA WAKTU BERLAKUNYA IZIN
Pasal 5
(1) Izin berlaku selama kegiatan usaha masih berlangsung;
(2) Izin sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) Pasal ini adalah :
a.
Izin tempat penjualan minuman beralkohol.
b.
Izin tempat penyaluran pendistribusian minuman beralkohol untuk Distributor, Sub Distributor dan
Pengecer.
(1) Tempat penjualan harus sesuai dengan tempat yang telah ditentukan dalam izin sebagaimana yang
dimaksud pada ayat (2);
(2) Dalam proses pengurusan perizinan, Bupati membentuk tim perizinan yang melibatkan Instansi terkait.
BAB IV
MASA RETRIBUSI DAN SAAT RETRIBUSI TERUTANG
Pasal 6
(1) Masa retribusi adalah jangka waktu yang lama 1 (satu) tahun;
(2) Retribusi terutang terjadi sejak diterbitkannya SKRD.
BAB V
WILAYAH PEMUNGUTAN
Pasal 7
Retribusi yang terhutang dipungut diwilayah K a b u p a t e n L a m a n d a u .
BAB VI
PENGGOLONGAN MINUMAN BERALKOHOL
Pasal 8
(1) Golongan A yaitu minuman beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) 1% (satu persen) sampai
dengan 5% (lima persen);
(2) Golongan B yaitu minuman beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) 5% (lima Persen) sampai dengan
20% (dua puluh persen);
(3) Golongan C yaitu minuman beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) 20% (dua puluh persen) sampai
dengan 55% (lima puluh lima persen).
BAB VII
GOLONGAN RETRIBUSI
Pasal 9
Retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol digolongkan sebagai retribusi perizinan tertentu.
BAB VIII
CARA MENGUKUR TINGKAT PENGGUNAAN JASA
Pasal 10
Tingkat penggunaan jasa dihitung berdasarkan frekwensi penerbitan izin serta sarana dan prasarana yang
digunakan dalam melakukan pengawasan dan monitoring tempat penjualan minuman beralkohol diwilayah
daerah.
BAB VIII
PRINSIP DAN SASARAN DALAM PENETAPAN
STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF
Pasal 11
(1) Prinsip yang dianut dalam struktur dan besarnya tarif retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol
didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin
yang bersangkutan;
(2) Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya :
a. Penerbitan dokumen izin, pembinaan, pengawasan dilapangan untuk menanggulangi dampak negatif
dari pemberian izin, penegakan hukum atas usaha penjualan minuman beralkohol;
b. Penatausahaan dan evaluasi atas laporan pelaksanaan usaha penjualan minuman beralkohol yang
meliputi aspek teknis, lingkungan dan ketertiban umum.
BAB IX
STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF RETRIBUSI
Pasal 12
Struktur dan besarnya tarif retribusi:
a. Izin tempat penjualan minuman beralkohol untuk Hotel, Restoran, Bar/Cafe, Pub/Karoke, Klub Malam,
Diskotik, Pengecer dan tempat lain yang diizinkan oleh Bupati, untuk golongan A, Rp.2.500.000,(dua juta lima ratus ribu rupiah);
b. Izin tempat penjualan minuman beralkohol untuk Hotel, Restoran, Bar/Cafe, Pub/Karoke, Klub Malam,
Diskotik, Pengecer dan tempat lain yang diizinkan oleh Bupati untuk golongan B,
Rp.6.000.000,- (enam juta rupiah);
c. Izin tempat penjualan minuman beralkohol untuk Hotel, Restoran, Bar/Café, Pub/Karoke, Klub Malam,
Diskotik, Pengecer dan tempat lain yang diizinkan oleh Bupati untuk golongan C, Rp.10.000.000,(sepuluh juta rupiah);
d. Izin tempat penjualan minuman beralkohol untuk Hotel, Restoran, Bar/Café, Pub/Karoke, Klub Malam,
Diskotik, Pengecer dan tempat lain yang diizinkan oleh Bupati untuk golongan A, dan golonggan B,
Rp.8.500.000, (delapan juta lima ratus ribu rupiah);
e. Izin tempat penjualan minuman beralkohol untuk Hotel, Restoran, Bar/Café, Pub/Karoke, Klub Malam,
Diskotik, Pengecer dan tempat lain yang diizinkan oleh Bupati untuk golongan A, B dan C,
Rp.18.500.000, (delapan belas juta lima ratus ribu rupiah);
Pasal 13
(1) Tarif retribusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali;
(2) Peninjauan tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks
harga dan perkembangan perekonomian;
(3) Perubahan tarif retribusi sebagai tindaklanjut peninjauan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
BAB X
PEMUNGUTAN RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Tata Cara Pemungutan
Pasal 14
(1) Pemungutan Retribusi tidak dapat diborongkan;
(2) Retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan;
(3) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa karcis, kupon atau
kartu berlangganan;
(4) Tata cara pemungutan Retribusi akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
Bagian Kedua
Tata Cara Pembayaran
Pasal 15
(1) Retribusi yang terutang harus dilunasi sekaligus di muka untuk satu kali masa Retribusi;
(2) Pembayaran retribusi yang terutang harus dilunasi selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sejak
diterbitnya SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan;
(3) Bupati atas permohonan wajib retribusi setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat
memberikan persetujuan kepada wajib retribusi untuk mengangsur atau menunda pembayaran retribusi
dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan;
(4) Tata cara pembayaran, tempat pembayaran dan angsuran atau penundaan pembayaran retribusi diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
Bagian Ketiga
Pemanfaatan
Pasal 16
(1) Pemanfaatan dari penerimaaan Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan perizinan tempat penjualan minuman beralkohol di Kabupaten Lamandau;
(2) Ketentuan mengenai alokasi pemanfaatan penerimaan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Bagian Keempat
Keberatan
Pasal 17
(1) Wajib Retribusi tertentu dapat mengajukan keberatan hanya kepada Bupati atau pejabat yang ditujuk
atas SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan;
(2) Keberatn diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas;
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKRD diterbitkan,
kecuali jika Wajib Retribusi tertentu dapat menunjukan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi
karena keadaan di luar kekuasaannya;
(4) Kedaan diluar kekuasaannya sebagaimana dimasud pada ayat (3) adalah suatu keadaan yang terjadi
diluar kehendak atau kekuasaan Wajib Retribusi;
(5) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar retribusi dan pelaksanaan penagihan
retribusi.
Pasal 18
(1) Bupati dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima harus
memberi keputusan atas keberatan yang diajukan dengan menerbitkan Surat Keputusan Keberatan;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib
Retribusi, bahwa keberatan yang diajukan harus diberi keputusan oleh Bupati;
(3) Keputusan Bupati atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak atau
menambah besarnya retribusi yang terutang;
(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaskud pada ayat (1) telah lewat dan Bupati tidak memberi suatu
keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
Pasal 19
(1) Jika pengajuan keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembyaran retribusi
dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 12 (dua belas)
bulan;
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan
diterbitkannya SKRDLB.
BAB XI
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 20
Dalam hal wajib retribusi tidak membayar tepat waktunya atau kurang membayar, dikenakan sanksi
administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dari retribusi yang terutang atau kurang
dibayar.
BAB XII
TATA CARA PENAGIHAN
Pasal 21
(1) Apabila Wajib Retribusi tidak membayar atau kurang membayar retribusi yang terutang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20, Bupati atau pejabat yang ditunjuk dapat melaksanakan penagihan atas
retribusi yang terutang tersebut dengan menggunakan STRD atau surat lain yang sejenis;
(2) Penagihan retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahului dengan Surat Teguran;
(3) STRD atau surat lain yang sejenis sebagai awal tindakan pelaksanaan penagihan retribusi dikeluarkan
segera setelah 7 (tujuh) hari sejak jatuh tempo;
(4) Dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah STRD atau surat lain yang sejenis, wajib Retribusi harus melunasi
retribusi yang terutang.
BAB XIII
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN
Pasal 22
(1) Atas kelebihan pembayaran retribusi, Wajib Retribusi dapat mengajukan permohonan pengembalian
kepada Bupati;
(2) Bupati dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan, sejak diterimanya permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran retribusi sebagaimana dimaskud pada ayat (1), harus memberikan keputusan;
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dilampaui dan Bupati tidak memberikan
suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran retribusi dianggap dikabulkan dan SKRDLB
harus diterbikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan;
(4) Apabila Wajib Retribusi mempunyai utang retribusi lainnya, kelebihan pembayaran retribusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang retribusi tersebut;
(5) Pengembalians kelebihan pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKRDLB;
(6) Jika pengembalian kelebihan pembayaran retribusi dikabulkan setelah lewat 2 (dua) bulan, Bupati
memberikan imbalan bunga 2% (dua persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran;
(7) Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Bupati.
BAB XIV
PENGHAPUSAN PIUTANG RETRIBUSI YANG KEDALUARSA
Pasal 23
(1) Hak untuk melakukan penagihan retribusi menjadi kedaluarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun
terhitung sejak saat terutangnya retribusi, kecuali jika wajib retribusi melakukan tindak pidana di bidang
retribusi;
(2) Kedaluwarsa penagihan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh jika :
a. Diterbitkan Surat Teguran, atau;
b. adanya pengakuan utang retribusi dari wajib retribusi.
(3) Dalam hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa
penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran tersebut;
(4) Pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah
Wajib Retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Retribusi dan belum
melunasinya kepada Pemerintah Daerah;
(5) Pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat
diketahui dari pengajuan permohonan keberatan oleh Wajib Retribusi.
Pasal 24
(1) Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah
kedaluwarsa dapat dihapuskan;
(2) Bupati menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1);
(3) Tata cara penghapusan Retribusi yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB XV
INSENTIF PEMUNGUTAN
Pasal 25
(1) Instansi yang melaksanakan pemungutan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja
tertentu;
(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah;
(3) Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XVI
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 26
(1) Selain pejabat penyidik umum yang bertugas menyidik tindak pidana penyidik atas tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah ini dapat dilakukan juga oleh penyidik Pegawai
Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Daer ah yang pengangk atannya ditetapk an s es uai
dengan Per aturan Perundangan yang berlaku;
(2) Dalam melakukan tugas penyidikan, para pejabat sebagaimana dimaksud ayat (1) berwenang :
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang mengenai adanya pidana atas pelanggaran
Peraturan Daerah;
b. Melakukan tindakan pertama dan pemeriksaan di tempat kejadian;
c. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka
tersangka;
d. Makukan penyitaan benda atau surat;
e. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
f. Memanggil orang ahli didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
h. Mengadakan Penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari penyidik bahwa tidak dapat
cukup bukti atau peristwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui
penyidik memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya;
i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggung
dipertanggungjawabkan.
(3) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai
penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana sebagai
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Undang
tentang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
BAB XVII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 27
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan yang diatur dalam peraturan daerah ini, diancam dengan pidana
kurungan paling lama (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah);
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah pelanggaran.
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 28
Peraturan Daerah ini mulai beriaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau.
Ditetapkan di Nanga Bulik
pada
ada tanggal 21 September 2011
BUPATI LAMANDAU,
MARUKAN
Diundangkan di Nanga Bulik
pada tanggal 23 September 2011
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN LAMANDAU,
LAMANDAU
ARIFIN LP. UMBING
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
TAHUN 2011 NOMOR 68 SERI C
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
NOMOR 10 TAHUN 2011
TENTANG
RETRIBUSI IZIN TEMPAT PENJUALAN MINUMAN BERALKOHOL
I.
PENJELASAN UMUM
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah
maka perlu diatur dengan jelas terhadap pemberian izin tempat penjualan minuman beralkohol di
Kabupaten Lamandau dalam rangka menciptakan ruang bagi peningkatan PAD sekaligus sebagai upaya
menghambat peradaran minuman beralkohol secara berlebihan.
Sebagai daerah yang giat-giatnya membangun tentunya memerlukan dana yang besar sehingga apa
yang terprogramkan dapat terdanai termasuk terhadap pelayanan masyarakat, tentunya Peran
pemerintah sangat besar. Oleh sebab itu sebagai upaya membantu pendaanaan tersebut tidaklah salah
apabila peluang dan potensi yang ada digunakan sebaik mungkin dengan tetap mengacu pada
ketentuan hukum yang berlaku.
II.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup Jelas
Pasal 2
Cukup Jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 7
Cukup Jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 9
Cukup Jelas
Pasal 10
Cukup Jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Kelas
Pasal 12
Cukup Jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 20
Cukup Jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Ayat (6)
Cukup Jelas
Ayat (7)
Cukup Jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Instansi yang melaksanakan pemungutan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja
tertentu yaitu terselenggaranya pemberian izin tempat penjualan minuman beralkohol termasuk
pemungutan retribusi baik yang memenuhi target maupun melebihi target.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Pemberian dan pemanfaatan insentif berpedoman pada ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 69
Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Dan Pemanfaatan insentif Pemungutan Pajak Daerah Dan
Retribusi Daerah.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 28
Cukup Jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
TAHUN 2011 NOMOR 60 SERI C
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
NOMOR 11 TAHUN 201
2011
TENTANG
PAJAK DAERAH
HALAMAN 235
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
TAHUN 2011 NOMOR 69 SERI B
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
NOMOR 11 TAHUN 2011
TENTANG
PAJAK DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI LAMANDAU,
Menimbang
: a.
b.
c.
d.
e.
Mengingat
: 1.
2.
bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, telah
ditetapkan jenis Pajak Daerah;
bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka Peraturan
Daerah Nomor 07 Tahun 2004 tentang Pajak Pengambilan Bahan
Galian Golongan C, Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2004
tentang Pajak Reklame, Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2004
tentang Pajak Hotel, Peraturan Daerah Nomor 22 Tahun 2004
tentang Pajak Restoran, Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2006
tentang Penerangan Jalan Umum dan Pajak Penggunaan Tenaga
Listrik dan Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Pajak
Hiburan
perlu
disesuaikan
dengan
ketentuan-ketentuan
dalamUndang-Undang dimaksud;
bahwa dengan dicabut dan dinyatakan tidak berlakunya
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka
Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 07 Tahun 2004
tentang Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C, Peraturan
Daerah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Pajak Reklame, Peraturan
Daerah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pajak Hotel, Peraturan
Daerah Nomor 22 Tahun 2004 tentang Pajak Restoran, Peraturan
Daerah Nomor 12 Tahun 2006 tentang Penerangan Jalan Umum
dan Pajak Penggunaan Tenaga Listrik dan Peraturan Daerah
Nomor 16 Tahun 2007 tentang Pajak Hiburan disesuaikan;
bahwa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah yang memberikan kewenangan
kepada Pemerintah Kabupaten/Kota memungut Pajak Air Tanah
maka untuk melaksanakan pemungutan Pajak Air Tanah dan
Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan di wilayah
Kabupaten Lamandau, perlu diatur ke dalam ketentuan perpajakan
daerah;
bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, b, c, dan
huruf d perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209);
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan
Pajak Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3686) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Tahun 2000
Nomor 129,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987);
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2002 tentang
Pembentukan
Kabupaten
Katingan, Kabupaten
Seruyan,
Kabupaten Sukamara, Kabupaten Lamandau, Kabupaten Gunung
Mas, Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Murung Raya,
Kabupaten Barito Timur di Provinsi Kalimantan Tengah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 18, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4180);
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor
27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4189);
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4286);
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan
Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008
tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang
Pemerintahan Daerah(Lembaran Negara Republik
Indonesia
Tahun2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4844);
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah (Lembaran
Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4422);
Undang-Undang
Nomor 27
Tahun 2009
tentang
Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043);
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan
Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009
Nomor 130, Tambahan
Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5049);
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234);
Peraturan
Pemerintah
Nomor 27
Tahun 1983
tentang
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258);
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1986 tentang Tata Cara
Pemeriksaan Di Bidang Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1986 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3339);
Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara
Penyitaan Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 247,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4049);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 136 Tahun 2000 tentang Tata Cara
Penjualan Barang Sitaan Yang Dikecualikan Dari Penjualan
Secara Lelang Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat
Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 248, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4050);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Penghapusan Piutang Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 31, TambahanLembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4488);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
19. Nomor 4578);
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi Dan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
20. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Pemberian Dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah
Dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5161);
21. Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak
Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau
Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5179);
22. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.07/2010 tentang
Badan Atau Perwakilan Lembaga Internasional Yang Tidak
Dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan;
23. Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 11 Tahun 2008
tentang Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan
Pemerintah Kabupaten Lamandau (Lembaran Daerah Kabupaten
Lamandau Tahun 2008 Nomor 27 Seri E, Tambahan Lembaran
Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 27);
24. Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 12 Tahun 2008
tentang Organisasi Dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Dan
Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Lamandau (Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau Tahun 2008
Nomor 28 Seri D, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten
Lamandau Nomor 28 Seri D) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 10 Tahun 2009
tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan Daerah Kabupaten
Lamandau Nomor 12 Tahun 2008 tentang Organisasi Dan Tata
Kerja Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten Lamandau (Lembaran Daerah Kabupaten
Lamandau Tahun 2009 Nomor 45, Tambahan Lembaran Daerah
Kabupaten Lamandau Nomor 38 Seri D);
25. Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 13 Tahun 2008
tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah (Lembaran
Daerah Kabupaten Lamandau Tahun 2008 Nomor 29 Seri D,
Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 29 Seri
D) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten
Lamandau Nomor 11 Tahun 2009 tentang Perubahan Pertama
Atas Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 13 Tahun
2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten
Lamandau (Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau Tahun 2009
Nomor 48, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau
Nomor 39 Seri D);
26. Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 14 Tahun 2008
tentang Organisasi Dan Tata Kerja Inspektorat, Badan
Perencanaan Pembangunan dan Lembaga Teknis Daerah
Kabupaten Lamandau (Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau
Tahun 2008 Nomor 30 Seri D, Tambahan Lembaran Daerah
Kabupaten Lamandau Nomor 30 Seri D) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 12 Tahun
2009 tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan Daerah
Kabupaten Lamandau Nomor 14 Tahun 2008 tentang Organisasi
Dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan
dan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Lamandau (Lembaran
Daerah Kabupaten Lamandau Tahun 2009 Nomor 47 Seri D,
Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 40
Seri D);
27. Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 16 Tahun 2009
tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kecamatan dan Kelurahan
Kabupaten Lamandau (Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau
Tahun 2009 Nomor 32 Seri D, Tambahan Lembaran Daerah
Kabupaten Lamandau Nomor 32 Seri D);
28. Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 13 Tahun 2009
tentang Organisasi Dan Tata Kerja Badan Pemberdayaan
Perempuan, Perlindungan Anak Dan Keluarga Berencana, Badan
Pelaksana Penyuluhan Dan Ketahanan Pangan Kabupaten
Lamandau (Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau Tahun 2009
Nomor 48 Seri D, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten
Lamandau Nomor 41 Seri D);
29. Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 13 Tahun 2009
tentang Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Pariwisata, Seni Dan
Budaya Dan Dinas Pemuda Dan Olah Raga Kabupaten Lamandau
(Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau Tahun 2009 Nomor 49
Seri D, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau Nomor
42 Seri D);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
dan
BUPATI LAMANDAU
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN DAERAH
TENTANG PAJAK DAERAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kabupaten Lamandau;
2. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut azas otonomi dan tigas
pembantuan dengan pronsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang dasar
Negara Republik Indonesia;
3. Pemerintah
Daerah
adalah
Bupati beserta Perangkat Daerah sebagai unsur
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
4. Bupati adalah Bupati Lamandau;
5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Lamandau;
6. Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah adalah Dinas Pendapatan
Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Lamandau;
7. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan daerah sesuai
dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku;
8. Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,
dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
9. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara (BUMN)
atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
firma, kongsi koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan
lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap;
10. Kas Daerah adalah Kas Daerah Kabupaten Lamandau;
11. Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak
Daerah sarana dalam administrasi perpajakan daerah yang dipergunakan sebagai tanda
pengenal diri atau identitas Wajib Pajak Daerah dalam melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakannya;
12. Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel;
13. Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait
lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata,
wisma pariwisata, pesanggrahan, cottage, villa, rumah penginapan dan sejenisnya,
serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh);
14. Pengusaha hotel adalah orang pribadi atau badan yang bertindak untuk dan atas
namanya sendiri atau untuk dan atas nama pihak lain yang menjadi tanggungannya
yang menyelenggarakan usaha hotel;
15. Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran;
16. Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut
bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan
sejenisnya termasuk jasa boga/catering;
17. Pengusaha restoran adalah orang pribadi atau badan yang bertindak untuk dan atas
namanya sendiri atau untuk dan atas nama pihak lain yang menjadi tanggungannya
yang menyelenggarakan usaha restoran atau rumah makan, kafetaria, kantin,
warung, bar dan sejenisnya serta jasa boga/catering;
18. Jasa Boga atau Katering adalah penyediaan makanan dan/atau minuman lengkap
dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya, untuk keperluan tertentu berdasarkan
kontrak atau perjanjian tertulis atau tidak tertulis;
19. Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan;
20. Hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan/atau keramaian
yang dinikmati dengan dipungut bayaran;
21. Penyelenggara hiburan adalah orang pribadi atau badan yang bertindak baik untuk dan
atas namanya sendiri atau untuk dan atas nama pihak lain yang menjadi
tanggungannya yang menyelenggarakan hiburan;
22. Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame;
Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak
ragamnya
dirancang untuk
tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan,
mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang,
atau badan, yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati
oleh umum;
23. Penyelenggara reklame adalah orang pribadi atau badan yang bertindak untuk dan
atas namanya sendiri atau untuk dan atas nama pihak lain yang menjadi
tanggungannya yang menyelenggarakan reklame;
24. Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang
dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain;
25. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan pengambilan
mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan
bumi untuk dimanfaatkan;
26. Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah mineral bukan logam dan batuan
sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan
batubara;
27. Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik
yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai
suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor;
28. Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara;
29. Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
30. Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah
permukaan tanah;
31. Pajak Sarang
Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau
pengusahaan sarang hurung wallet;
32. Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap
haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi;
33. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta
laut wilayah Kota;
34. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap
pada tanah dan/atau perairan dan/atau laut;
35. Nilai Jual Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga rata-rata
yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana
tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga
dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti;
36. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas
tanah dan/atau bangunan;
37. Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang
mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau
badan;
38. Hak atas Tanah dan Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan,
beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di
bidang pertanahan dan bangunan;
39. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan pajak daerah;
40. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong
pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah;
41. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas
pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban
Wajib Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah;
42. Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang
diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi
dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang
terutang;
43. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa
Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah;
44. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek
pajak dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan
penagihan pajak kepada Wajib Pajak serta pengawasan penyetorannya;
45. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD, adalah surat
yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau
pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan
kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
daerah;
46. Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD, adalah
bukti
pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan
formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke Kas Daerah melalui tempat
pembayaran yang ditunjuk olehBupati;
47. Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah surat
ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang;
48. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya disingkat SPPT, adalah
surat
yang
digunakan
untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan
Bangunan yang terutang kepada Wajb Pajak;
49. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB,
adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah
kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif,
dan jumlah pajak yang masih harus dibayar;
50. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat
SKPDKBT, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah
pajak yang telah ditetapkan;
51. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN, adalah surat
ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan
jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak;
52. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB,
adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran
pajak
karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau
seharusnya tidak terutang;
53. Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD, adalah surat untuk
melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda;
54. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan
tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang terdapat dalam Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak
Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan,
Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat
Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan;
55. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak
Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan,
Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan
Pajak Daerah Lebih
Bayar, atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang
diajukan oleh Wajib Pajak;
56. Putusan Banding adalah putusan Badan Peradilan Pajak atas banding terhadap Surat
Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak;
57. Hak mendahului adalah apabilah Wajib Pajak/Penanggung Pajak pada saat yang sama
di samping mempunyai utang-utang pribadi (perdata), juga mempunyai utang terhadap
Negara (fiskus), dimana harta kekayaan dari Wajib Pajak/Penanggung Pajak tidak
mencukupi untuk melunasi semua utang-utangnya, maka Negara memiliki hak
mendahului atas tagihan pajak tersebut.
58. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau
jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan
laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut;
59. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah
data,
keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional
berdasarkan suatu
standar
pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan daerah dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah;
60. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah adalah serangkaian tindakan
yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan daerah yang terjadi serta
menemukan tersangkanya;
61. Penyidik adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Kota
yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
62. Jurusita Pajak Daerah adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan
Pemerintah Kota yang diberi wewenang khusus untuk melaksanakan
tindakan
penagihan pajak daerah yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan
surat paksa, penyitaan dan penyanderaan;
63. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak;
64. Penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan
oleh Jurusita Pajak kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tanpa menunggu
jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak,
Masa Pajak, Tahun Pajak dan Bagian Tahun Pajak.
BAB II
JENIS PAJAK DAERAH
Pasal 2
Jenis-jenis Pajak Daerah dalam Peraturan Daerah ini terdiri dari :
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g. Pajak Parkir;
h. Pajak Air Tanah;
i. Pajak Sarang Burung Walet;
j. Bea perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
BAB III
PAJAK HOTEL
Bagian Kesatu
Nama, Objek dan Subjek Pajak
Pasal 3
Dengan nama Pajak Hotel dipungut pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel.
Pasal 4
(1) Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh Hotel dengan
pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan hotel yang sifatnya
memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas olahraga dan hiburan.
(2) Jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fasilitas telepon,
faksimile, teleks, internet, fotocopy, pelayanan cuci, seterika, transportasi, dan fasilitas
sejenis lainnya yang disediakan atau dikelola hotel;
(3) Tidak termasuk objek Pajak Hotel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah;
b. jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya;
c. jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
d. jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan
panti sosial lainnya yang sejenis;
dan
e. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh
hotel yang dapat dimanfaatkan oleh umum.
Pasal 5
(1) Subjek Pajak Hotel adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran
kepada hotel;
(2) Wajib Pajak Hotel adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel.
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
Pasal 6
Dasar pengenaan Pajak Hotel adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar
kepada hotel.
Pasal 7
Tarif Pajak Hotel ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
Pasal 8
Besarnya pokok Pajak Hotel yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6.
Bagian Ketiga
Masa Pajak/ Saat Terutang Pajak
Pasal 9
Pajak Hotel dikenakan untuk masa 1 (satu) bulan kalender yag menjadi dasar bagi wajib
pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak terutang.
Pasal 10
(1) Saat terutang Pajak sejak terjadinya pelayanan yang disediakan oleh Hotel dengan
pembayaran;
(2) Dalam hal pembayaran dilakukan sebelum pelayanan hotel diberikan, pajak terutang
terjadi saat dilakukan
pembayaran.
BAB IV
PAJAK RESTORAN
Bagian Kesatu
Nama, Objek dan Subjek Pajak
Pasal 11
Dengan nama Pajak Restoran dipungut pajak atas pelayanan yang disediakan oleh
restoran.
Pasal 12
(1) Objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh restoran dengan
pembayaran;
(2) Pelayanan yang disediakan restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pelayanan penjulan makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi oleh pembeli, baik
dikonsumsi di tempat pelayanan maupun di tempat lain termasuk jasa boga/katering);
(3) Tidak termasuk objek Pajak Restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah
pelayanan yang disediakan oleh restoran yang peredaran usahanya tidak melebihi Rp
20.000.000,00 (dua puluh juta) per tahun.
Pasal 13
(1) Subjek Pajak Restoran adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran
kepada orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran kepada orang pribadi
atau badan yang mengusahakan restoran;
(2) Wajib Pajak Restoran adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan restoran.
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
Pasal 14
Dasar pengenaan Pajak Restoran adalah jumlah pembayaran yang diterima atau yang
seharusnya diterima restoran.
Pasal 15
Tarif Pajak Restoran ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen);
Pasal 16
Besaran pokok Pajak Restoran yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14.
Bagian Ketiga
Masa Pajak/ Saat Terutang Pajak
Pasal 17
Pajak Restoran dikenakan untuk masa pajak 1 (satu) bulan kalender yang menjadi dasar bagi
wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak terutang.
Pasal 18
(1) Saat terutang Pajak Restoran sejak terjadinya pelayanan yang disediakan oleh Restoran
dengan pembayaran;
(2) Dalam hal pembayaran dilakukan sebelum pelayanan restoran diberikan,
pajak
terutang terjadi sejak dilakukan pembayaran.
BAB V
PAJAK HIBURAN
Bagian Kesatu
Nama, Objek dan Subjek Pajak
Pasal 19
Dengan nama Pajak Hiburan dipungut pajak atas jasa penyelenggaraan hiburan.
Pasal 20
(1) Objek Pajak Hiburan adalah jasa penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran,
yaitu:
a. tontonan film;
b. pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
c. kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya;
d. pameran;
e. diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya;
f. sirkus, akrobat, dan sulap;
g. permainan bilyard, golf, dan boling;
h. pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan;
i. panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran (fitness center);
j. pertandingan olahraga;
(2) Tidak termasuk objek Pajak Hiburan adalah penyelenggaraan hiburan yang tidak
dipungut bayaran, antara lain hiburan yang diselenggarakan dalam
rangka
pernikahan, upacara adat, kegiatan keagamaan, dan sejenisnya.
Pasal 21
(1) Subjek Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menikmati hiburan;
(2) Wajib Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan
hiburan.
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
Pasal 22
(1) Dasar pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah uang yang diterima atau yang
seharusnya diterima oleh penyelenggara hiburan;
(2) Jumlah uang yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
termasuk potongan harga dan tiket cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa
hiburan.
Pasal 23
(1) Tarif pajak untuk setiap jenis hiburan ditetapkan sebagai berikut:
a. Pagelaran kesenian rakyat/tradisional, sebesar 5 % (lima persen) dari harga tanda
masuk;
b. Pameran, pertunjukan sirkus, akrobat, sulap, pertandingan olah raga, sebesar 15%
(lima belas persen) dari harga tanda masuk;
c. tontonan film, sebesar 20% (dua puluh persen) dari harga tanda masuk;
d. pertunjukan pagelaran musik, tari, sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari
harga tanda masuk;
e. pacuan kuda, kendaraan bermotor sebesar 30% (tiga puluh persen) dari harga tanda
masuk.
(2) Tarif pajak untuk penyelenggaraan hiburan selain sebagaimana maksud pada ayat
(1), ditetapkan sebagai berikut:
a. permainan ketangkasan sebesar 20% (dua puluh persen) dari pembayaran;
b. Panti pijat, refleksi, permainan billyard, boling, golf, sebesar 35% (tiga puluh
lima persen) dari pembayaran;
c. mandi uap/spa, pagelaran busana, kontes kecantikan, sebesar 40% (empat
puluh persen) dari pembayaran;
d. karaoke, sebesar 45% (empat puluh lima persen) dari pembayaran;
e. diskotik, klab malam, sebesar 60% (enam puluh persen) dari pembayaran.
(3) Penyelenggaraan hiburan yang seharusnya menggunakan tanda masuk tetapi
tidak menggunakan tanda masuk atau
tidak mencantumkan harga tanda masuk
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan tarif pajak sebesar 40% (empat puluh
persen) dari jumlah yang seharusnya dibayar;
(4) Setiap penyelenggara hiburan pagelaran musik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d yang diselenggarakan di hotel atau tempat lain yang ditunjuk, wajib menyetor
uang jaminan sebagai bentuk kesungguhan dalam pembayaran pajak hiburan;
(5) Besarnya uang jaminan dan tempat lain yang ditunjuk sebagaimana dimaksud ayat
(4) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
Pasal 24
Besarnya pokok Pajak Hiburan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22.
Bagian Ketiga
Masa Pajak/ Saat Terutang Pajak
Pasal 25
Pajak Hiburan dikenakan untuk masa pajak 1 (satu) bulan kalender yang menjadi dasar bagi
waj ib pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang.
Pasal 26
(1) Saat terutang Pajak Hiburan sejak terjadinya penyelenggaraan hiburan, dengan
pembayaran;
(2) Dalam hal pembayaran dilakukan sebelum penyelenggaraan hiburan, pajak
terutang terjadi sejak dilakukan pembayaran.
BAB VI
PAJAK REKLAME
Bagian Kesatu
Nama, Objek dan Subjek Pajak
Pasal 27
Dengan nama Pajak Reklame dipungut pajak atas penyelenggaraan reklame.
Pasal 28
(1) Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan reklame;
(2) Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. reklame papan/ billboard/ videotron/ megatron/ large electronic display (LED)
dan sejenisnya;
b. reklame kain;
c. reklame melekat, stiker;
d. reklame selebaran;
e. reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
f. reklame udara;
g. reklame apung;
h. reklame suara;
i. reklame film/slide; dan
j. reklame peragaan.
(3)Tidak termasuk sebagai objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
adalah :
a. penyelenggaraan reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta
mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
b. label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi
untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
c. nama pengenal usaha atau profesi diselenggarakan sesuai dengan ketentuan
yang mengatur nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
d. reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah,
Perwakilan Diplomatik, Perwakilan konsulat, Perwakilan Persatuan Bangsa-Bangsa
serta badan/lembaga yang bernaung di bawahnya;
e. reklame yang diselenggarakan untuk kegiatan sosial, Partai Politik dan Organisasi
Kemasyarakatan.
Pasal 29
(1) Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan reklame;
(2) Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan
reklame;
(3) Dalam hal reklame diselenggarakan sendiri secara langsung oleh orang pribadi atau
badan, Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau badan tersebut;.
(4) Dalam hal reklame diselenggarakan melalui pihak ketiga, pihak ketiga tersebut menjadi
Wajib Pajak Reklame.
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
Pasal 30
(1) Dasar Pengenaan Pajak Reklame adalah Nilai Sewa Reklame;
(2) Dalam hal reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, Nilai Sewa Reklame sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan Nilai Kontrak Reklame;
(3) Dalam hal reklame diselenggarakan sendiri, Nilai Sewa Reklame sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang
digunakan, lokasi penempatan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran
media reklame;
(4) Dalam hal Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui
dan/atau dianggap tidak wajar, Nilai Sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan
faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Nilai Sewa Reklame sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dihitung dengan rumusan sebagai berikut:
NSR = (Nilai Dasar Reklame x indeks bahan) + Nilai Strategis
Pasal 31
(1) Nilai Sewa Reklame dibedakan berdasarkan jenis reklame dan persegi perhari;
(2) Nilai Dasar Reklame dibedakan berdasarkan jenis reklame dan dinyatakan dalam
satuan Rupiah per meter persegi per hari;
(3) Indeks bahan setiap jenis reklame dinyatakan dengan angka untuk membedakan
jenis bahan yang dipergunakan untuk menyelenggarakan reklame;
(4) Nilai Strategis dibedakan berdasarkan kelas jalan lokasi penempatan reklame dan
dinyatakan dalam satuan Rupiah;
(5) Hasil perhitungan Nilai Sewa Reklame, Nilai Dasar Reklame, Indeks Bahan dan Nilai
Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
dinyatakan dalam suatu tabel dan ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
Pasal 32
Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
Pasal 33
Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30.
Bagian Ketiga
Masa Pajak/ Saat Terutang Pajak
Pasal 34
Pajak Reklame dikenakan dengan masa pajak sebagai berkut :
a. Untuk Reklame yang permanen, masa pajaknya adalah jangka waktu yang lamanya 1
(satu) tahun;
b. Untuk Reklame yang bersifat insidentil atau semi permanen masa pajaknya adalah
jangka waktu yang lamanya sama dengan jangka waktu pemasangan reklame yang
ditetapkan dalam surat ketetapan pajak.
Pasal 35
Saat terutang Pajak Reklame sejak ditetapkannya SKPD oleh Bupati atau Pejabat yang
ditunjuk.
BAB VII
PAJAK PENERANGAN JALAN
Bagian Kesatu
Nama, Objek dan Subjek Pajak
Pasal 36
Dengan
listrik.
nama
Pajak
Penerangan
Jalan
dipungut
pajak
atas penggunaan tenaga
Pasal 37
(1) Objek Pajak Penerangan Jalan adalah penggunaan tenaga listrik, baik yang
dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain;
(2) Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi seluruh
pembangkit listrik;
(3) Dikecualikan dari objek Pajak Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah:
a. penggunaan tenaga listrik oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
b. Penggunaan tenaga listrik pada tempat-tempat yang digunakan oleh
kedutaan, konsulat, perwakilan asing dengan asas timbal balik;
c. penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang
tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait; dan
d. penggunaan tenaga listrik yang khusus digunakan untuk tempat ibadah.
Pasal 38
(1) Subjek Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau badan yang dapat
menggunakan tenaga listrik;
(2) Wajib Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan
tenaga listrik;
(3) Dalam hal tenaga listrik disediakan oleh sumber lain, Wajib Pajak Penerangan Jalan
adalah penyedia tenaga listrik.
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
Pasal 39
(1) Dasar pengenaan Pajak Penerangan Jalan adalah Nilai Jual Tenaga Listrik.
(2) Nilai Jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan :
a. dalam hal tenaga listrik berasal dari sumber lain dengan pembayaran, Nilai Jual
Tenaga Listrik adalah jumlah tagihan biaya beban/tetap ditambah dengan biaya
pemakaian kwh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik;
b. dalam hal tenaga listrik dihasilkan sendiri, Nilai Jual Tenaga Listrik dihitung
berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu
pemakaian listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Kota;
c. harga satuan listrik sebagaimana dimaksud pada huruf b ditetapkan dalam Peraturan
Bupati
dengan berpedoman pada harga satuan listrik yang berlaku untuk
Perusahaan Listrik Negara.
Pasal 40
Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan sebagai berikut:
a. penggunaan tenaga listrik dari sumber lain bukan untuk industri, pertambangan minyak
bumi dan gas alam, sebesar 10% (sepuluh persen);
b. penggunaan tenaga listrik dari sumber lain untuk industri, pertambangan minyak
bumi dan gas alam, sebesar 3% (tiga persen);
c. penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, sebesar 1,5% (satu koma lima
persen).
Pasal 41
(1) Besaran pokok Pajak Penerangan Jalan yang terutang dihitung dengan
cara
mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dengan dasar pengenaan
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39;
(2) Hasil penerimaan Pajak Penerangan Jalan sebagian dialokasikan untuk penyediaan
penerangan jalan secara berkesinambungan dan berkeadilan yang ditetapkan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Bagian Ketiga
Masa Pajak/ Saat Terutang Pajak
Pasal 42
Pajak Penerangan Jalan dikenakan untuk masa pajak 1 (satu) bulan kalender yang
menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak
terutang.
Pasal 43
Saat terutang Pajak Penerangan Jalan sejak terjadinya penggunaan tenaga listrik.
BAB VIII
PAJAK MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN
Bagian Kesatu
Nama, Objek dan Subjek Pajak
Pasal 44
Dengan nama Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan dipungut pajak atas pengambilan
mineral bukan logam dan batuan.
Pasal 45
(1) Objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah kegiatan pengambilan mineral
bukan logam dan batuan yang meliputi:
a. asbes;
b. batu tulis;
c. batu setengah permata;
d. batu kapur;
e. batu apung;
f. batu permata;
g. bentonit;
h. dolomit;
i. feldspar;
j. garam batu (halite);
k. grafit;
l. granit/andesit;
m. gips;
n. kalsit;
o. kaolin;
p. leusit;
q. magnesit;
r. mika;
s. marmer;
t. nitrat;
u. opsidien;
v. oker;
w. pasir dan kerikil;
x. pasir kuarsa;
y. perlit;
z. phospat; aa. talk;
aa. tanah serap (fuller earth);
bb. tanah diatome;
cc. tanah liat;
dd. tawas (alum);
ee. tras;
ff . yarosif;
gg. zeolit;
hh. basal;
ii. trakkit; dan
jj. mineral bukan logam dan batuan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Dikecualikan dari objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan yang nyata-nyata tidak
dimanfaatkan secara komersial, seperti kegiatan pengambilan tanah untuk keperluan
rumah tangga, pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel listrik/telepon,
b.
penanaman pipa air/gas;
kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan yang merupakan
ikutan dari kegiatan pertambangan lainnya, yang tidak dimanfaatkan secara
komersial.
Pasal 46
(1) Subjek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah orang pribadi atau badan
yang dapat mengambil mineral bukan logam dan batuan;
(2) Wajib Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah orang pribadi atau badan yang
mengambil mineral bukan logam dan batuan.
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
Pasal 47
(1) Dasar pengenaan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah nilai jual hasil
pengambilan mineral bukan logam dan batuan;
(2) Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan mengalikan
volume/tonase hasil pengambilan dengan nilai pasar atau harga standar masingmasing jenis mineral bukan logam dan batuan;
(3) Nilai pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk masing-masing jenis mineral
bukan logam dan batuan ditetapkan secara periodik berdasarkan Peraturan Bupati
sesuai dengan harga rata-rata yang berlaku setempat di wilayah daerah;
(4) Dalam hal nilai pasar dari hasil produksi mineral bukan logam dan batuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sulit diperoleh, digunakan harga standar yang
ditetapkan oleh instansi yang berwenang dalam bidang pertambangan Mineral Bukan
Logam dan Batuan.
Pasal 48
Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima
persen).
Pasal 49
Besaran pokok Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang terutang dihitung dengan
cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dengan dasar pengenaan
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47.
Bagian Ketiga
Masa Pajak/ Saat Terutang Pajak
Pasal 50
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan dikenakan untuk masa pajak 1 (satu) bulan kalender
yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak yang
terutang.
Pasal 51
Saat terutang Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan sejak terjadinya kegiatan
pengambilan mineral bukan logam dan batuan yang dimanfaatkan secara komersial.
BAB IX
PAJAK PARKIR
Bagian Kesatu
Nama, Objek dan Subjek Pajak
Pasal 52
Dengan nama Pajak Parkir dipungut pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar
badan jalan dan penyediaaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
Pasal 53
(1) Objek Pajak Parkir adalah penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik
yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu
usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor;
(2) Tidak
termasuk
objek
Pajak
Pakir
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat (1) adalah:
a. penyelenggaraan tempat parkir oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
b. penyelenggaraan tempat parkir oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk
karyawannya sendiri;
c. penyelenggaraan tempat parkir oleh kedutaan, dan perwakilan negara asing dengan
asas timbal balik;
d. penyelenggaraan tempat parkir yang semata-mata digunakan untuk usaha
memperdagangkan kendaraan bermotor;
e. penyelenggaraan fasilitas parkir tempat-tempat ibadah.
Pasal 54
(1) Subjek Pajak Parkir adalah orang pribadi atau badan yang melakukan parkir
kendaraan bermotor;
(2) Wajib Pajak Parkir adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan
tempat parkir.
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
Pasal 55
(1) Dasar pengenaan Pajak Parkir adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya
dibayar kepada penyelenggara tempat parker;
(2) Jumlah yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk
potongan harga parkir dan parkir cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa
parkir.
Pasal 56
Tarif Pajak Parkir ditetapkan sebesar 30% (tiga puluh persen).
Pasal 57
Besaran pokok Pajak Parkir yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55.
Bagian Ketiga
Masa Pajak/ Saat Terutang Pajak
Pasal 58
Pajak Parkir dikenakan untuk masa pajak 1 (satu) bulan kalender yang menjadi dasar bagi
wajib pajakn untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang.
Pasal 59
Saat terutang Pajak Parkir sejak terjadinya kegiatan penyelenggaraan tempat parker di luar
badan jalan sebagaimana dimaksud Pasal 53.
BAB X
PAJAK AIR TANAH
Bagian Kesatu
Nama, Objek dan Subjek Pajak
Pasal 60
Dengan nama Pajak Air Tanah dipungut pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan Air
Tanah.
Pasal 61
(1) Objek Pajak Air Tanah adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah;
(2) Dikecualikan dari objek Pajak Air Tanah adalah:
a. pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah oleh Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah;
b. pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah untuk keperluan dasar rumah
tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat, serta peribadatan;
c. pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah untuk keperluan pemadaman
kebakaran.
Pasal 62
(1) Subjek Subjek Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau
badan
yang
melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah;
(2) Wajib Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan
dan/atau pemanfaatan air tanah.
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
Pasal 63
(1) Dasar pengenaan Pajak Air Tanah adalah Nilai Perolehan Air Tanah;
(2) Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam
rupiah yang dihitung dengan mempertimbangkan faktor-faktor berikut:
a. lokasi sumber air;
b. tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
c. volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan; dan
d. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau
pemanfaatan air.
(3) Besarnya Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) ditetapkan dalam Peraturan Bupati yang dapat ditinjau kembali secara periodik
paling lama setahun sekali.
Pasal 64
Tarif Pajak Air Tanah ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
Pasal 65
Besaran pokok Pajak Air Tanah yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam pasal 64 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud dalam pasal 63.
Bagian Ketiga
Masa Pajak/ Saat Terutang Pajak
Pasal 66
Pajak Air Tanah dikenakan dengan masa pajak sebagai berikut :
a. Untuk pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah secara permanen, masa pajaknya
adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan;
b. Untuk pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah yang bersifat insidentil atau semi
permanen, masa pajaknya adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan jangka waktu
pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah yang ditetapkan dalam surat ketetapan
pajak.
Pasal 67
Saat terutang Pajak Air Tanah sejak diterbitkan SKRD atau dokumen yang dipersamakan
oleh Bupati atau Pejabat yang ditunjuk.
BAB XI
PAJAK SARANG BURUNG WALET
Bagian Kesatu
Nama, Objek dan Subjek Pajak
Pasal 68
Dengan nama Pajak Sarang Burung Walet dipungut pajak atas pengambilan dan/atau
pengusahaan Sarang Burung Walet.
Pasal 69
(1) Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan
sarang burung walet;
(2) Tidak termasuk objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah pengambilan sarang burung walet yang telah dikenakan penerimaan negara
bukan pajak (PNBP).
Pasal 70
(1) Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau badan yang melakukan
pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet;
(2) Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau badan yang melakukan
pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
Pasal 71
(1) Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah Nilai Jual Sarang Burung
Walet;
(2) Nilai Jual Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang burung walet dengan
volume sarang burung wallet;
(3) Harga pasaran umum sarang burung walet sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditetapkan secara periodik dengan Peraturan Bupati.
Pasal 72
Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
Pasal 73
Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71.
Bagian Ketiga
Masa Pajak/ Saat Terutang Pajak
Pasal 74
Pajak Sarang Burung Walet yang terutang terjadi pada saat pengambilan sarang
burung walet.
BAB XII
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
Bagian Kesatu
Nama, Objek dan Subjek Pajak
Pasal 75
Dengan nama Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dipungut pajak atas
perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Pasal 76
(1) Objek Pajak Bea Perolehan hak atas Tanah dan Bangunan adalah perolehan hak
atas tanah dan/atau bangunan.
(2) Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pemindahan hak karena:
1) jual beli;
2) tukar menukar;
3) hibah;
4) hibah wasiat;
5) waris;
6) pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7) pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8) penunjukan pembeli dalam lelang;
9) pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10) penggabungan usaha;
11) peleburan usaha;
12) pemekaran usaha; dan
13) hadiah.
b. pemberian hak baru karena:
1) kelanjutan pelepasan hak; atau
2) di luar pelepasan hak.
(3) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun; dan
f. hak pengelolaan.
(4) Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan bangunan
adalah objek pajak yang diperoleh:
a. perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
b. negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan
pembangunan guna kepentingan umum;
c. badan
atau
perwakilan
lembaga
internasional
yang ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan
organisasi tersebut;
d. orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain
dengan tidak adanya perubahan nama;
e. orang pribadi atau badan karena wakaf; dan
f. orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
Pasal 77
(1) Subjek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi
atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan;
(2) Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi
atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan.
Bagian Kedua
Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
Pasal 78
(1) Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah nilai
perolehan objek pajak;
(2) Nilai perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal:
a. jual beli adalah harga transaksi;
b. tukar menukar adalah nilai pasar;
c. hibah adalah nilai pasar;
d. hibah wasiat adalah nilai pasar;
e. waris adalah nilai pasar;
f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan
hukum tetap adalah nilai pasar;
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah
nilai pasar;
j. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k. penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l. peleburan usaha adalah nilai pasar;
m. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n. hadiah adalah nilai pasar; dan/atau
o. penunjukan pembelian dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam
Risalah Lelang.
(3) Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah dari Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP) yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun
terjadi perolehan, maka nilai perolehan objek pajak yang digunakan adalah NJOP Pajak
Bumi dan Bangunan;
(4) Dalam hal NJOP Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum
ditetapkan pada saat terutangnya BPHTB, NJOP Pajak Bumi dan Bangunan dapat
didasarkan pada surat keterangan NJOP Pajak Bumi dan Bangunan;
(5) Surat keterangan NJOP Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) adalah bersifat sementara;
(6) Surat keterangan NJOP Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dapat diperoleh di instansi yang berwenang di daerah.
Pasal 79
Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan sebesar 5% (lima
persen).
Pasal 80
Besaran pokok Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dihitung
dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dengan
dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) setelah dikurangi
NPOP Tidak Kena Pajak.
Bagian Ketiga
Masa Pajak/ Saat Terutang Pajak
Pasal 81
(1) Saat terutangnya pajak bea perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan ditetapkan
untuk:
a. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
b. tukar menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
c. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
d. hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
e. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke
kantor pertanahan;
f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal
dibuat dan ditandatanganinya akta;
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
h. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap;
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari
pelepasan hak
adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
j. pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya
surat keputusan pemberian hak;
k. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
l. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
m. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
n. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; dan
o. lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang.
(2) Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 82
(1) Pajabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyertakan bukti pembayaran
pajak;
(2) Kepala Kantor yang membidangi pelayanan lelang negara hanya dapat menandatangani
risalah lelang Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak
menyerahkan bukti pembayaran pajak;
(3) Kepala Kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran Hak atas
Tanah atau pendaftaran peralihan Hak atas
Tanah
setelah
Wajib
Pajak
menyerahkan bukti pembayaran pajak.
Pasal 83
(1) Pejabat
Pembuat
Akta Tanah/Notaris dan Kepala Kantor yang membidangi
pelayanan lelang negara melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang Perolehan
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan kepada Bupati atau pejabat yang ditunjuk paling
lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya;
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
Bagian Keempat
Penetapan
Pasal 84
(1) Wajib Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan wajib membayar pajak yang
terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak;
(2) Pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan
SSPD;
(3) SSPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga merupakan SPTRD;
(4) SSPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan kepada Bupati atau
Pejabat yang ditunjuk setelah adanya pelunasan pajak terutang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 80 ayat (2);
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, isi, ukuran, tata cara pembayaran dan
penyampaian SSPD ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
BAB XIII
WILAYAH PEMUNGUTAN
Pasal 85
Pajak yang terutang dipungut di wilayah Kota dimana objek pajak berlokasi.
BAB XIV
TATA CARA PEMUNGUTAN
Pasal 86
(1) Pemungutan pajak dilarang diborongkan;
(2) Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan atau dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak;
(3) Jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati adalah :
a. Pajak Reklame;
b. Pajak Air Tanah;
(4) Jenis Pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak adalah :
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Penerangan Jalan;
e. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
f. Pajak Parkir;
g. Pajak Sarang Burung Walet;
h. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
(5) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan penetapan Bupati
atau Pejabat dibayar dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang
dipersamakan;
(6) Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berupa
karcis dan nota perhitungan;
(7) Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri dibayar
dengan
menggunakan SPTPD, SKPDKB, dan/atau SKPDKBT.
Pasal 87
(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Bupati dapat
menerbitkan:
a. SKPDKB dalam hal:
1) jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang terutang
tidak atau kurang dibayar;
2) jika SPTPD tidak disampaikan kepada Bupati dalam jangka waktu 15 (lima
belas) hari dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya
sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
3) jika kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang terutang dihitung
secara jabatan.
b. SKPDKBT jika ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap
yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang;
c. SKPDN jika jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak
atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak lama 24 (dua puluh empat) bulan
dihitung sejak saat terutangnya pajak;
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a angka 1) dan angka 2), dikenakan sanksi adminstratif berupa bunga n
sebesar 25% (dua puluh lima persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau
terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung
sejak saat terutangnya pajak;
(3) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dikenakan sanksi adminstratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus
persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebutt;
(4) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika wajib pajak
melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan;
(5) Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
angka 3) dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima
persen) dari pokok pajak ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua
persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
Pasal 88
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan, pengisian dan penyampaian SKPD
atau dokumen lain yang dipersamakan, SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 86 ayat (5) dan ayat (7) diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 89
(1) setiap wajib pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 86 ayat (7) wajib mengisi SPTPD dengan benar, lengkap dan jenis serta
ditandatangani dan disampaikan kepada Dinas;
(2) Penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara
biasa, dengan tanda tangan stempel, atau tanda tangan elektronik atau digital yang
semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama;
(3) Batas waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama
15 (lima belas) hari setelah berakhirnya masa pajak;
(4) Apabila batas waktu penyampaian SPTPD jatuh pada hari libur, maka SPTPD
disampaikan pada hari kerja berikutnya;
(5)
Apabila SPTPD tidak disampaikan sesuai batas waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), atau melampaui batas waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
SKPD diterima, dapat diterbitkan Surat Teguran.
Pasal 90
Wajib Pajak atas kemauan sendiri dapat membetulkan SPTPD dengan menyampaikan
pernyataan tertulis, dengan syarat Dinas Pendapatan
Daerah
belum
mulai
melakukan tindakan pemeriksaan.
BAB XV
TATA CARA PEMBAYARAN
Pasal 91
(1) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran
dan penyetoran pajak yang terutang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat
terutangnya pajak;
(2) SKPD, SKPDKB,SKPDLBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan dan Keputusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu
paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan;
(3) Bupati atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan
dapat memberikan persetujuan pembayaran pajak dengan dikenakan bunga 2% (dua
persen) sebulan;
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, penyetoran, tempat
pembayaran, angsuran dan penundaan pembayaran pajak diatur dengan Peraturan
Bupati.
BAB XVI
TATA CARA PENAGIHAN
Pasal 92
(1)
Bupati atau Pejabat dapat menerbitkan STPD jika:
a. pajak tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat
salah tulis dan/atau salah hitung;
c. Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda;
(2) STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang
sama dengan SKPD, SKPDKB dan SKPDKBT.
Pasal 93
(1) Penagihan pajak dilakukan terhadap pajak yang terutang dalam SKPD,
SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan dan Putusan Banding;
(2) Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis sebagai awal
tindakan pelaksanaan penagihan pajak dikeluarkan 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo
pembayaran;
(3) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah Surat teguran atau Surat peringatan atau
surat lain yang sejenis, Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang terutang;
(4) Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang;
(5) Surat Teguran atau Surat peringatan atau surat lain yang sejenis sekurangkurangnya memuat:
a. nama Wajib Pajak atau Penanggung Pajak;
b. besarnya utang pajak;
c. perintah untuk membayar;
d. saat pelunasan utang pajak.
Pasal 94
(1) Pajak yang terutang berdasarkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding yang tidak atau kurang
bayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan surat paksa;
(2) Penagihan pajak dengan surat paksa dilaksanakan dengan peraturan perundangundangan.
Bagian Kesatu
Penagihan Seketika dan Sekaligus
Pasal 95
(1) Penagihan pajak dapat dilakukan seketika dan sekaligus tanpa menunggu tanggal
jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (5) huruf d,
apabila:
a. Wajib Pajak atau Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selamalamanya atau berniat untuk itu;
b. Wajib Pajak atau Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki
atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan
usaha yang dikerjakannya di Indonesia;
c. terdapat tanda-tanda bahwa Wajib Pajak atau Penanggung Pajak
akan
membubarkan kegiatan usahanya atau menggabungkan atau memekarkan
usahanya
atau memindahtangankan
usaha
yang
dimiliki
atau
yang
dikuasainya atau melakukan perubahan bentuk lainnya;
d. kegiatan usaha akan dibubarkan atau ditutup oleh Pemerintah Daerah;
e. terjadi penyitaan atas barang Wajib Pajak atau Penanggung Pajak oleh pihak ketiga
atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
(2) Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, sekurang-kurangnya memuat:
a. nama Wajib Pajak atau Penanggung Pajak;
b. besarnya utang pajak;
c. perintah untuk membayar;
d. saat pelunasan utang pajak.
(3) Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan sebelum penerbitan
Surat Paksa;
(4) Ketentuan
formal
untuk pelaksanaan Penagihan
Seketika
dan Sekaligus,
dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kedua
Surat Paksa
Pasal 96
(1) Apabila jumlah pajak yang belum dibayar tidak dilunasi dalam batas waktu sebagaimana
ditentukan dalam Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis,
ditagih dengan Surat Paksa;
(2) Bupati atau Pejabat menerbitkan Surat Paksa setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari
kerja sejak Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis diterima
oleh Wajib Pajak;
(3) Pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak tidak mengakibatkan penundaan pelaksanaan
Surat Paksa.
Pasal 97
(1) Pelaksanaan Surat Paksa tidak dapat dilanjutkan dengan penyitaan sebelum lewat
waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 96;
(2) Ketentuan formal untuk pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat
Paksa,
dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Penyitaan
Pasal 98
(1) Apabila utang pajak tidak dilunasi Wajib Pajak dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1), Bupati atau Pejabat segera menerbitkan Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan;
(2) Penyitaan dilaksanakan oleh Juru Sita Pajak Daerah dengan disaksikan oleh
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa, penduduk Indonesia dikenal
oleh Juru Sita Pajak Daerah dan dapat dipercaya;
(3) Setiap pelaksanaan penyitaan, Juru Sita Pajak Daerah membuat Berita Acara
Pelaksanaan Sita yang ditanda tangani oleh Juru Sita Pajak Daerah, Wajib Pajak
atau Penanggung Pajak dan saksi-saksi.
Pasal 99
(1) Penyitaan dilaksanakan terhadap barang milik Wajib Pajak atau Penanggung Pajak
yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan atau di tempat lain yang
penguasaannya berada ditangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan
utang tertentu yang dapat berupa:
a. barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, dan deposito berjangka,
tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu, obligasi saham,
atau
surat
berharga
lainnya,
piutang,
dan
penyertaan modal pada perusahaan lain;
b. barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor
tertentu.
(2) Penyitaan terhadap Wajib Pajak atau Penanggung Pajak badan dapat dilaksanakan
terhadap barang milik perusahaan, pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang,
penanggung jawab,
pemilik
modal
baik
di
tempat
kedudukan
yang
bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain;
(3) Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sampai dengan nilai
barang yang disita diperkirakan cukup oleh Juru Sita Pajak Daerah untuk melunasi
utang pajak dan biaya penagihan pajak;
(4) Pengajuan keberatan tidak mengakibatkan penundaan pelaksanaan penyitaan.
Pasal 100
Penyitaan tambahan dapat dilaksanakan apabila:
a. nilai barang yang disita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 nilainya tidak cukup
untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak;
b. hasil lelang barang yang telah disita tidak cukup untuk melunasi utang pajak dan
penagihan pajak.
Bagian Keempat
Pelelangan
Pasal 101
(1) Apabila utang pajak dan/atau biaya penagihan pajak tidak dilunasi dalam jangka
waktu 10 (sepuluh) hari setelah dilaksanakan penyitaan, Bupati atau Pejabat
berwenang melaksanakan penjualan secara lelang terhadap barang yang disita
melalui Kantor Lelang Negara;
(2) Setelah Kantor Lelang Negara menetapkan hari, tanggal, jam dan
tempat
pelaksanaan lelang, Juru Sita Pajak Daerah memberitahukan dengan segera
secara tertulis kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak;
(3) Barang yang disita berupa uang tunai, deposito berjangka, tabungan, saldo
rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi
saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan
lain, dikecualikan dari penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1);
(4) Barang yang disita sebagaimana dimaksud pada ayat (2), digunakan untuk
membayar biaya penagihan pajak dan utang pajak dengan cara:
a. uang tunai disetor ke Kantor Perbendaharaan dan Kas Daerah atau Bank
atau tempat lain yang ditunjuk;
b. deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro atau bentuk lainnya
yang
dipersamakan
dengan
itu, dipindahbukukan ke rekening Kantor
Perbendaharaan dan Kas Daerah atau Bank atau tempat lain yang ditunjuk atas
permintaan Pejabat kepada Bank yang bersangkutan;
obligasi, saham atau surat berharga lainnya yang diperdagangkan di
bursa efek dijual di bursa efek atas permintaan Pejabat;
c. obligasi, saham atau surat berharga lainnya yang tidak diperdagangkan di
bursa efek segera dijual oleh Pejabat;
d. piutang dibuatkan berita acara persetujuan tentang pengalihan hak menagih
dari Wajib Pajak atau Penanggung Pajak kepada Pejabat;
e. penyertaan modal pada perusahaan lain dibuatkan akte persetujuan pengalihan
hak menjual dari Wajib Pajak atau Penanggung Pajak kepada Pejabat.
(5) Penjualan secara lelang terhadap barang yang disita sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dilaksanakan paling lama 14 (empat belas) hari setelah pengumuman
lelang melalui media massa;
(6) Pengumuman lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2),dilaksanakan paling
lama 14 (empat belas) hari setelah penyitaan;
(7) Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan 1 (satu) kali dan untuk barang
tidak bergerak dilakukan 2 (dua) kali;
(8) Pengumuman lelang untuk barang bergerak dengan nilai paling banyak Rp
20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) tidak harus diumumkan melalui media massa.
Pasal 102
(1) Lelang tetap dapat dilaksanakan walaupun keberatan yang diajukan oleh Wajib
Pajak atau Penanggung Pajak belum memperoleh keputusan keberatan;
(2) Lelang tetap dapat dilaksanakan tanpa dihadiri Wajib pajak dan/atau Penanggung
Pajak;
(3) Lelang tidak dilaksanakan jika Wajib Pajak atau Penanggung Pajak telah melunasi
utang pajak dan biaya penagihan pajak, atau berdasarkan putusan pengadilan,
atau putusan pengadilan pajak atau objek lelang musnah.
BAB XVII
KEDALUWARSA PENAGIHAN
Pasal 103
(1) Hak untuk melakukan penagihan pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui
waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak, kecuali apabila Wajib
Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah;
(2) Kedaluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh
apabila:
a. diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung.
(3) Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian
Surat Teguran dan Surat Paksa tersebut;
(4) Pengakuan utang pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b adalah Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai
utang pajak dan belum melunasinya kepada Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan
dan Aset Daerah;
(5) Pengakuan utang pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan
angsuran
atau
penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
Pasal 104
(1) Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan
penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan;
(2) Bupati menetapkan keputusan penghapusan piutang pajak yang sudah kadaluwarsa
sebagaimana dimaksud ayat (1);
(3) Tata cara penghapusan piutang pajak yang sudah kadaluwarsa diatur dengan Peraturan
Bupati.
BAB XVIII
KEBERATAN, BANDING DAN GUGATAN
Bagian Pertama
Keberatan
Pasal 105
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Bupati atau Pejabat atas
suatu:
a. SKPD;
b. SKPDKB;
c. SKPDKBT;
d. SKPDLB;
e. SKPDN;
f. Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2) Keberatan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai
alasan-alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKPD,
SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB dan SKPDN diterima Wajib Pajak, kecuali Wajib Pajak
dapat menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di
luar kekuasaannya;
(3) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas ketetapan pajak secara jabatan,
Wajib Pajak harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak dimaksud;
(4) Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit sejumlah
yang telah disetujui Wajib Pajak;
(5) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) tidak dianggap
sebagai
Surat
Keberatan
sehingga tidak dipertimbangkan;
(6) Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh Bupati atau Pejabat yang
ditunjuk atau tanda pengiriman surat keberatan melalui surat pos tercatat sebagai tanda
bukti penerimaan surat keberatan;
(7) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan
penagihan pajak;
(8) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan,Bupati atau
Pejabat wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar
penghitungan pengenaan pajak, pemotongan atau pemungutan pajak.
Pasal 106
(1) Bupati atau Pejabat dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas bulan) sejak tanggal
Surat Keberatan diterima, harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan;
(2) Keputusan atas keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa
mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah
pajak yang terutang
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan
Bupati atau Pejabat tidak memberi suatu keputusan, maka permohonan keberatan
yang diajukan dianggap dikabulkan;
(4) Keputusan keberatan tidak menghilangkan hak Wajib Pajak untuk mengajukan
permohonan mengangsur pembayaran.
Bagian Kedua
B a n d i n g
Pasal 107
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan
Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Bupati
atau Pejabat;
(2) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis
dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak
keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan keberatan;
(3) Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar pajak sampai
dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding;
(4) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan permohonan
banding,Bupati atau Pejabat wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang
menjadi dasar Surat Keputusan Keberatan yang diterbitkan;
(5) Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding
belum merupakan pajak yang terutang sampai dengan Putusan Banding diterbitkan.
Pasal 108
Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan Peradilan
Tata Usaha Negara.
Bagian Ketiga
G u g a t a n
Pasal 109
(1) Gugatan Wajb Pajak terhadap:
a. pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau
Pengumuman Lelang;
b. keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
c. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain
yang ditetapkan dalam Pasal 102 ayat (1) dan Pasal 105; atau
d. penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan yang dalam penerbitannya
tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan daerahhanya dapat diajukan kepada Pengadilan
pajak.
(2) Jangka waktu untuk mengajukan gugatan paling lama 14 (empat belas) hari sejak
tanggal pelaksanaan penagihan;
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mengikat apabila jangka
waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaan Wajib Pajak,
jangka waktu dimaksud dapat diperpanjang;
(4) Perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah 14 (empat
belas) hari terhitung sejak berakhirnya keadaan diluar kekuasaan Wajib Pajak;
(5) Terhadap 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) keputusan diajukan 1 (satu)
Surat Gugatan.
BAB XIX
PENGURANGAN, KERINGANAN DAN PEMBEBASAN PAJAK
Pasal 110
(1) Bupati atau Pejabat berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau Penanggung
Pajak dapat memberikan pengurangan, keringanan atau pembebasan pajak;
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan terhadap pajak yang
telah dan/atau belum ditetapkan;
(3) Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
tata
cara
pemberian pengurangan,
keringanan dan pembebasan pajak diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB XX
PEMBETULAN, PEMBATALAN, PENGURANGAN KETETAPAN DAN PENGHAPUSAN
ATAU PENGURANGAN SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 111
(1) Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Bupati atau Pejabat
dapat membetulkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, atau STPD, SKPDN, atau
SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan
hitung
dan/atau
kekeliruan
penerapan
ketentuan
tertentu dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah;
(2) Bupati atau Pejabat dapat:
a. mengurangkan atau menghapus sanksi administratif berupa bunga, denda,
dan kenaikan pajak yang terutang menurut
peraturan
perundang-undangan
perpajakan daerah, dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan
Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
b. mengurangkan atau membatalkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD,
SKPDN atau SKPDLB yang tidak benar;
c. mengurangkan atau membatalkan STPD;
d. membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang dilaksanakan atau
diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan; dan
e. mengurangkan
ketetapan
pajak
terutang
berdasarkan pertimbangan
kemampuan membayar Wajib Pajak atau kondisi tertentu objek pajak.
(3) Bupati atau Pejabat dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal
surat permohonan pembetulan diterima, harus memberikan keputusan atas
permohonan pembetulan yang diajukan Wajib Pajak;
(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terlampaui Bupati atau
Pejabat tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pembetulan yang
diajukan dianggap dikabulkan;
(5) Apabila diminta oleh Wajib Pajak, Bupati atau Pejabat wajib memberikan keterangan
secara tertulis mengenai hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau
mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak;
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi
administratif dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB XXI
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK
Pasal 112
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Atas kelebihan pembayaran pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan
pengembalian kepada Bupati atau Pejabat;
Bupati atau Pejabat dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, sejak diterimanya
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), harus memberikan keputusan;
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dilampaui dan
Bupati atau Pejabat tidak memberikan suatu
keputusan,
permohonan
pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan SKPDLB
harus diterbitkan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan;
Apabila Wajib Pajak mempunyai utang pajak lainnya, kelebihan pembayaran pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi
terlebih dahulu utang pajak tersebut;
Apabila kelebihan pembayaran pajak diperhitungkan dengan utang pajak lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pembayarannya dilakukan dengan cara
pemindahbukuan dan bukti
pemindahbukuan
juga
berlaku
sebagai
bukti
pembayaran;
Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya
SKPDLB;
Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB XXII
HAK MENDAHULU
Pasal 113
(1) Pemerintah Daerah mempunyai Hak Mendahulu untuk utang pajak atas barangbarang milik Wajib Pajak atau Penanggung Pajak;
(2) Ketentuan tentang Hak Mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya kenaikan
pajak;
(3) Hak Mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya,
kecuali terhadap:
a. biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk
melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau
c. biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu
warisan.
(4) Hak mendahulu hilang setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal
diterbitkan SKPD, SKPDKB, SKDKBT, STPD,
Surat
Keputusan
Keberatan,
Surat Keputusan Pembetulan, atau Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak
yang harus dibayar bertambah;
(5) Perhitungan jangka waktu Hak Mendahulu ditetapkan sebagai berikut:
a. dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi maka
jangka waktu 5 (lima) tahunsebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung
sejakpemberitahuan Surat paksa;
b. dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan mengangsur
pembayaran maka jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dihitung sejak batas akhir
penundaan diberikan.
BAB XXIII
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN
Pasal 114
(1) Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan omset paling sedikit Rp 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah) per tahun wajib menyelenggarakan pembukuan atau
pencatatan;
(2) Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan
etikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya;
(3) Kriteria Wajib Pajak dan penentuan besaran omzet serta tata cara pembukuan atau
pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
Pasal 115
(1) Bupati atau Pejabat berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah;
(2) Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang
menjadi
dasarnya,
dan
dokumen lain
yang
berhubungan
dengan
penghasilan/omzet yang diperoleh, atau objek pajak yang terutang;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang
perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau
c. memberikan keterangan lain yang diperlukan.
(3) Buku, catatan, atau dokumen, data, informasi dan keterangan lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak paling lama 14 (empat belas)
hari kalender sejak permintaan disampaikan;
(4) Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta
keterangan lain yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk
merahasiakannya, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan
untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Untuk
keperluan
pemeriksaan,
petugas
pemeriksa
harus memiliki tanda
pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan serta
memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa;
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan pajak diatur dengan Peraturan
Bupati.
Pasal 116
Dalam rangka pelaksanaan pengawasan pembayaran pajak daerah, Dinas Pendapatan
Daerah setelah mendapatkan persetujuan Bupati berwenang
menghubungkan sarana
pembayaran Wajib Pajak dengan sistem pengawasan perpajakan dalam jaringan sistem
informasi Pemerintah Kabupaten atau Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan
Aset Daerah.
Pasal 117
(1) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (1) dan
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116, dituangkan ke dalam Laporan
Hasil Pemeriksaan;
(2) Terhadap temuan dalam pemeriksaan yang tidak atau tidak seluruhnya disetujui
oleh Wajib Pajak, dilakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan;
(3) Hasil pembahasan akhir hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), dibuatkan Berita Acara yang ditandatangani oleh petugas Pemeriksa dan Wajib
Pajak yang bersangkutan;
(4) Berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan laporan hasil
pemeriksaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diterbitkan
SKPD atau SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN atau STPD.
Pasal 118
(1) Bupati atau Pejabat berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan
tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak apabila:
a. Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal
114 ayat (1) dan Pasal 115;
b. Wajib Pajak memperlihatkan pembukuan, pencatatan atau dokumen lain yang
palsu atau dipalsukan.
(2) Tata cara penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)diatur dalam Peraturan
Bupati.
BAB XXIV
INSTANSI PEMUNGUT
Pasal 119
Instansi yang melaksanakan pemungutan pajak daerah adalah Dinas Pendapatan
Daerah atau Instansi terkait lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XXV
INSENTIF PEMUNGUTAN
Pasal 120
(1) Instansi yang melaksanakan pemungutan pajak daerah dapat diberikan Insentif atas
dasar pencapaian kinerja tertentu;
(2) Pemberian Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
(3) Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud ayat (1)
diatur dengan peraturan Bupati.
BAB XXVI
KETENTUAN KHUSUS
Pasal 121
(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang
diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan
atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan daerah;
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli
yang ditunjuk oleh Bupati untuk membantu
dalam
pelaksanaan
ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah;
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
a. Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi ahli dalam sidang
pengadilan;
b. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan olehBupati untuk memberikan
keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang
berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan daerah.
(4) Untuk kepentingan daerah, Bupati berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan buku tertulis dari atau
tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk;
(5) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata,
atas permintaan hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara
Perdata, Bupati dapat memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
agar memberikan dan memperlihatkan buku tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang
ada padanya;
(6) Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama
tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara
pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
BAB XXVII
KETENTUAN SANKSI
Bagian Pertama
Sanksi Administratif
Paragraf 1
Pasal 122
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris, Kepala Kantor Yang Membidangi Pelayanan Lelang
Negara, Kepala Kantor Bidang Pertanahan.
Pasal 123
(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Kepala Kantor yang membidangi
pelayanan lelang Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 81 ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi berupa denda sebesar
Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran;
(2) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Kepala Kantor yang membidangi
pelayanan lelang Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 83 ayat (1) dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp.250.000,00 (dua
ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan;
(3) Kepala Kantor Bidang Pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Paragraf 2
Wajib Pajak
Pasal 124
(1) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 87 dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua
persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka
waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya
pajak;
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 87 huruf b dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar
100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut;
(3) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada Pasal 87 ayat (3) huruf b tidak dikenakan jika
Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan
(4) Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal
87 huruf a angka 3) dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25%
(dua puluh lima persen) dari pokok pajak ditambah sanksi administratif berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau
terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan
dihitung sejak saat terutangnya pajak;
Paragraf 3
Instansi Pemungut Pajak
Pasal 125
(1) Dalam hal pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian
atau seluruhnya, Instansi pemungut pajak wajib mengembalikan kelebihan
pembayaran pajak dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen)
sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan;
(2) Dalam hal pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah lewat 2 (dua)
bulan, Instansi pemungut pajak memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen)
sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak;
(3) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan
sampai dengan diterbitkannya SKPDLB.
Bagian Kedua
Sanksi Pidana
Pasal 126
(1) Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi
dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak
benar
sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar;
(2) Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan
tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar
sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama
2 (dua) tahun atau denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar.
Pasal 127
Tindak pidana di bidang perpajakan daerah tidak dituntut setelah melampaui jangka waktu
5 (lima) tahun sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Tahun Pajak yang
bersangkutan.
Pasal 128
(1) Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati yang karena kealpaannya tidak
memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat
(1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp 4.000.000,00 (empat juta rupiah);
(2) Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati yang dengan sengaja tidak
memenuhi kewajiban atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya
kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (1) dan ayat (2)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
(3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar;
(4) Tuntutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan
sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau Badan selaku Wajib
Pajak, karena itu dijadikan tindak pidana pengaduan.
Pasal 129
Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 dan Pasal 124 ayat (1) dan ayat (2)
merupakan penerimaan Negara.
Pasal 130
(1)
Petugas pajak atau seseorang yang bekerja di lingkungan Pemerintah
Kabupaten yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaan atau tugas pokok dan
fungsinya memaksa Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak untuk memberikan
sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau mengerjakan
sesuatu bagi dirinya sendiri dan/atau orang lain, sehingga merugikan keuangan
daerah diancam dengan
pidana
sebagaimana
dimaksud
dalam peraturan
perundang-undangan tindak pidana korupsi;
(2)
Petugas pajak yang dalam melaksanakan tugasnya terbukti melakukan
pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak dengan maksud menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dikenakan sanksi berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 131
Petugas pajak tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila dalam
melaksanakan tugasnya didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah.
BAB XXVIII
PENYIDIKAN
Pasal 132
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Kabupaten Lamandau
diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan daerah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum
Acara Pidana;
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil
tertentu di lingkungan Pemerintah Kabupaten yang diangkat oleh pejabat yang
berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
(3) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. menerima, mencari,
mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah agar keterangan atau
laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau
badan tentang kebenaran perbuatan yang
dilakukan
sehubungan
dengan
tindak pidana perpajakan daerah;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan
dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah;
d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di
bidang perpajakan daerah;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan,
pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti
tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan daerah;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau
tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang,
benda dan/atau dokumen yang dibawa;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana dibidang perpajakan
daerah;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan/atau
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan daerah, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan
dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Pasal 133
(1) Untuk kepentingan penerimaan daerah, atas permintaan Bupati, penyidik dapat
menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah paling lama
dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat permintaan;
(2) Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak
yang tidak atau kurang dibayar dan ditambah dengan sanksi administratif berupa
kenaikan sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar
atau yang tidak seharusnya dikembalikan.
BAB XXIX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 134
Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku, pajak terutang yang ditetapkan berdasarkan
Peraturan Daerah Nomor 07 Tahun 2004 tentang Pajak Pengambilan Bahan Galian
Golongan C, Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Pajak Reklame, Peraturan
Daerah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pajak Hotel, Peraturan Daerah Nomor 22 Tahun
2004 tentang Pajak
k Restoran, Peraturan
Daerah Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Penerangan Jalan Umum dan Pajak Penggunaan Tenaga Listrik dan Peraturan Daerah
Nomor 16 Tahun 2007 tentang Pajak Hiburan,
Hiburan, masih tetap merupakan pajak yang terutang
dan dapat ditagih selama jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutang sesuai
dengan tata cara penagihan pajak dalam peraturan daerah ini.
BAB XXX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 135
Pada saat peraturan
aturan daerah ini mulai berlaku, maka Peraturan Daerah Nomor 07 Tahun
2004
04 tentang Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C, Peraturan Daerah Nomor 20
Tahun 2004 tentang Pajak Reklame, Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2004 tentang
Pajak Hotel, Peraturan Daerah Nomor 22 Tahun 2004 tentang Paja
Pajak
k Restoran, Peraturan
Daerah Nomor 12 Tahun 2006 tentang Penerangan Jalan Umum dan Pajak Penggunaan
Tenaga Listrik dan
an Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Pajak Hiburan
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi
Pasal 136
Peraturan Daerah ini berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah
dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau
Lamandau.
Ditetapkan
itetapkan di Nanga Bulik
pada
ada tanggal 21 September 2011
BUPATI LAMANDAU
LAMANDAU,
MARUKAN
Diundangkan di Nanga Bulik
pada tanggal 23 September 2011
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN LAMANDAU,
ARIFIN LP. UMBING
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
TAHUN 2011 NOMOR 69 SERI B
ini
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
NOMOR 11 TAHUN 2011
TENTANG
PAJAK DAERAH
I. PENJELASAN UMUM
1. Peraturan Daerah ini merupakan pengaturan kembali dan sebagai pengganti
serta penyempurnaan peraturan perpajakan daerah Kabupaten Lamandau
yang penyusunannya secara tersendiri ke dalam masing-masing bentuk
Peraturan Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah. Penyempurnaan dan pengaturan
kembali
semua
ketentuan
perpajakan daerah ke dalam Peraturan Daerah tentang Pajak
Daerah ini selain dimaksudkan dalam rangka menyeragamkan ketentuan formal
tata cara pemungutan dan penagihan pajak
yang mengatur pelaksanaan
daerah, dan ketentuan material yang meliputi antara lain objek dan subjek
pajak, tarif pajak, dasar pengenaan dan cara penghitungan pajak, serta ketentuan
mengenai
masa
pajak
dan
saat
terutang
pajak,
juga
untuk
meningkatkan
pendapatan daerah dari semua jenis pajak daerah yang
merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang cukup potensial untuk
pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dan dalam
rangka
penyesuaian terhadap Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
2. Sistem, mekanisme, dan tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan
yang sederhana menjadi ciri dan corak dalam perubahan peraturan daerah ini
dengan tetap menganut sistem self assessment. Perubahan tersebut bertujuan
untuk lebih memberikan keadilan, meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak,
meningkatkan kepastian dan penegakan hukum, serta mengantisipasi kemajuan di
bidang teknologi informasi. Selain itu, perubahan tersebut juga dimaksudkan
untuk meningkatkan profesionalisme aparatur perpajakan daerah, meningkatkan
keterbukaan administrasi perpajakan daerah, dan meningkatkan kepatuhan
sukarela Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakannya.
4. Sejalan dengan harapan peningkatan pelayanan masyarakat Wajib Pajak,
wewenang Bupati yang bersifat teknis administratif dapat dilimpahkan kepada
bawahannya, dalam hal ini Pejabat pada Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan
dan Aset Daerah Kabupaten Lamandau, agar pelaksanaan administrasi yang terlalu
membebani masyarakat Wajib Pajak dan birokratis dapat dihindari.
5. Dengan berpegang teguh pada prinsip keadilan, kesederhanaan dan kepastian
hukum, arah dan tujuan penyusunan Peraturan Daerah ini mengacu pada
kebijakan pokok sebagai berikut:
a. meningkatkan efisiensi pemungutan pajak dalam rangka mendukung
penerimaan daerah;
b. meningkatkan
pelayanan,
kepastian
hukum
dan
keadilan
bagi
masyarakat Wajib Pajak;
c. menyesuaikan tuntutan perkembangan sosial ekonomi masyarakat Wajib
Pajak serta perkembangan di bidang teknologi informasi;
d. meningkatkan keseimbangan antara hak dan kewajiban perpajakan
masyarakat Wajib Pajak, dan menunjang usaha terciptanya aparat perpajakan
daerah yang makin mampu dan bersih.
e. menyerderhanakan prosedur administrasi perpajakan daerah;
f. meningkatkan penerapan prinsip self assessment secara akuntabel dan
konsisten;
g. menuju kemandirian dalam pembiayaan daerah dan pembiayaan pembangunan
yang sumber utamanya berasal dari penerimaan pajak daerah;
Dengan dilaksanakannya kebijakan pokok tersebut diharapkan dapat
meningkatkan penerimaan daerah seiring semakin meningkatnya kepatuhan
sukarela
Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya dan
membaiknya iklim usaha ke arah yang lebih kondusif dan kompetitif.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Dalam pasal ini memuat pengertian atau istilah yang bersifat teknis dan sudah
baku dipergunakan di bidang perpajakan daerah yang dimaksudkan
untuk mencegah adanya kekeliruan penafsiran dalam penerapan pasal demi
pasal, sehingga dapat memberikan kemudahan dan kelancaran bagi Wajib
Pajak dalam melaksanakan sepenuhnya kewajiban perpajakan daerah.
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup Jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pengecualian apartemen, kondominium dan sejenisnya didasarkan
atas izin usahanya.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Termasuk dalam objek Restoran adalah pelayanan take away/ delivery order
(tidak dimakan di tempat) dan pelayanan lainnya dalam bentuk apapun oleh
restoran, rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar dan sejenisnya
termasuk pelayanan jasa boga/ katering
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan peredaran usaha adalah jumlah keseluruhan
penerimaan dari penjualan di restoran, rumah makan , kafetaria, kantin,
warung, bar dan sejenisnya termasuk penjualan jasa boga/ katering.
Perubahan besaran peredaran usaha yang tidak melebihi Rp. 20.000.000,00
(dua puluh juta rupiah) setahun dapat ditinjau kembali sesuai perkembangan
perekonomian di Kabupaten Lamandau. Untuk mengantisipasi hal tersebut
Bupati di berikan kewenangan mengadakan penyesuaian atas batasan
peredaran usaha tersebut.
Pasal 13
Cukup Jelas
Pasal 14
Cukup Jelas
Pasal 15
Tarif pajak sebesar 10% (sepuluh persen) merupakan tarif paling tinggi yang
diberlakukan kepada Wajib Pajak, dan Wajib Pajak wajib menambahkan Pajak
Restoran atas pembayaran pelayanan di restoran, rumah makan, kafetaria,
kantin, warung, bar, dan sejenisnya, termasuk usaha jasa boga/katering.
Dalam hal Wajib Pajak tidak menambahkan pajak, maka jumlah pembayaran
telah termasuk Pajak Restoran.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kesenian yang dimaksud adalah hiburan kesenian rakyat/tradisional
yang dipandang perlu untuk dilestarikan dan diselenggarakan di
tempat yang dapat dikunjungi oleh semua lapisan masyarakat.
Yang dimaksud dengan pertunjukan pergelaran musik, tari dan/atau
busana adalah pertunjukan pergelaran musik, tari dan/atau busana
yang
penyelenggaraannya
baik
bersifat nasional maupun
internasional.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Termasuk dan sejenisnya adalah bar, pub, ruang musik (music room),
balai gita (singing hall), dan ruang salesa music (music lounge).
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Termasuk permainan ketangkasan adalah permainan ketangkasan manual,
mekanik dan elektrik.
Permainan ketangkasan manual antara lain arena menembak, lempar bola,
balon udara, lempar gelang, sepeda air (jet sky), seluncur es ((ice
skating), banana boat, permainan wahana wisata air/waterpark,
permainan anak-anak, kereta pesiar dan pertunjukan komedi putar, dan
sejenisnya.
Permainan ketangkasan mekanik antara lain permainan mesin keping (coin
game machine), bola ketangkasan (pinball), dan kiddy ride.
Permainan
ketangkasan
elektronik;
menggunakan aplikasi komputer dan
lain.
meliputi
permainan
yang
multi media serta teknologi
Permainan ketangkasan pacuan kuda dan kendaraan bermotor; meliputi
arena pertandingan berkuda dan perlombaan balap yang menggunakan
kendaraan bermotor roda dua atau roda empat.
Huruf i
Termasuk pusat kebugaran (finess center) adalah steambath, perawatan
tubuh, perawatan rambut (creambath).
Huruf j
Yang
dimaksud
dengan
pertandingan
olah
pertandingan olahraga dengan memungut bayaran.
raga
adalah
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup Jelas
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup Jelas
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan penyelenggaran hiburan pegelaran musik di hotel
adalah penyelnggaraan hiburan yang tidak menyatu dengan manajemen
hotel
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Pengertian papan adalah apabila sesuatu reklame ditempelkan,
dilekatkan, dipasang, digantungkan pada suatu alat atau benda lain
seperti tembok, dinding, pagar, tiang dan sebagainya, maka termasuk
reklame papan.
Huruf b
Termasuk reklame kain adalah reklame yang berbentuk
bendera, tenda, krey, umbul-umbul yang terbuat dari kain, karet,
karung dan sejenisnya.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan reklame udara adalah diselenggarakan di
udara dengan menggunakan gas, laser, cahaya, pesawat udara
atau alat lain yang sejenis.
Menggunakan gas adalah reklame yang mengudara dengan
bahan gas atau balon tanpa gas.
Menggunakan laser atau cahaya adalah reklame yang dalam
ekspresinya melalui pancaran sinar laser atau cahaya yang
diarahkan ke suatu kawasan tertentu.
Menggunakan pesawat udara adalah reklame yang dipertunjukan
dengan ditarik oleh pesawat udara.
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Termasuk dalam pengertian reklame slide atau reklame film
adalah reklame yang diselenggarakan dengan menggunakan slide
atau alat komputer atau dengan cara lain yang sejenis.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pengertian reklame nama pengenal usaha atau profesi adalah
reklame yang dibuat, ditempelkan, dilekatkan dan dipasang sendiri
oleh pemilik usaha atau seseorang yang semata-mata sebagai
pengenalan usaha atau profesinya, dengan ketentuan luasnya tidak
melebihi 0,25 m2, kecuali
ditentukan secara khusus dalam
peraturan perundang-undangan profesi yang bersangkutan.
Apabila penyelenggaraan reklame pengenalan usaha atau
profesi didomplengkan dengan reklame lainnya yang bertujuan untuk
pengenalan sesuatu produk, misalnya produk minuman A, maka
termasuk ke dalam objek pajak reklame.
Huruf d
Pengecualian Pemerintah atau Pemerintah Daerah dalam hal ini
adalah penyelenggaraan reklame yang dilakukan oleh Badan Usaha
Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Wajib Pajak dimaksud adalah orang pribadi atau badan yang
menyelenggarakan reklame untuk dimanfaatkan bagi kepentingan
sendiri.
Ayat (4)
Wajib Pajak dimaksud adalah pihak ketiga yang menyelenggarakan
reklame, misalnya perusahaan jasa periklanan.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan
sendiri adalah pembangkit tenaga listrik yang berasal dari Perusahaan
Listrik Negara.
Yang dimaksud dengan penggunaan tenaga listrik yang diperoleh dari
sumber lain adalah pembangkit tenaga listrik yang berasal dari bukan
Perusahaan Listrik Negara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Ketentuan tentang pengecualian pengenaan Pajak Penerangan
Jalan
bagi
perwakilan lembaga-lembaga internasional
berpedoman pada Keputusan Menteri Keuangan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan kapasitas tertentu adalah besaran daya
terpasang setiap unit pembangkit tenaga listrik yang ditetapkan
dengan KeputusanBupati.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Biaya pemakaian KWH
pemakaian KWH.
adalah
termasuk
biaya
kelebihan
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 40
Adanya perbedaan pembebanan Nilai Jual Tenaga Listrik antara kegiatan
industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam dan bukan industri,
pertambangan minyak bumi dan gas alam, dimaksudkan untuk
menghindari
pembebanan
yang pada akhirnya akan memberatkan
masyarakat dan anggaran pendapatan dan belanja negara, karena
pembayaran atas jenis pajak ini dilakukan dari bagi hasil penerimaan
negara dari sektor pertambangan minyak dan gas alam.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Yang dimaksud dengan di luar badan jalan antara lain kawasan tertentu
seperti
pusat-pusat perbelanjaan bisnis, maupun
perkantoran yang
menyediakan fasilitas parkir untuk umum.
Yang dimaksud dengan tempat penitipan kendaraan bermotor adalah
tempat menitipkan kendaraan bermotor dengan memungut bayaran.
Pasal 53
Ayat (1)
Penyelenggaraan tempat parkir/penitipan kendaraan bermotor seperti
garasi dan/atau bersifat insidental dengan memungut bayaran,
termasuk objek pajak ini.
Ayat (2)
Huruf a
Penyelenggaraan tempat parkir oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah tidak termasuk penyelenggaraan tempat
parkir oleh BUMN/BUMD.
Tempat parkir yang dimiliki oleh Pemerintah dan Pemerintah
Daerah yang penyelenggaraannya diserahkan kepada pihak
lain, seperti pihak swasta, koperasi dari instansi Pemerintah
dan Pemerintah Daerah, tidak termasuk yang dikecualikan dari
objek pajak ini.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan penyelenggaraan tempat parkir yang
semata-mata digunakan untuk usaha memperdagangkan
kendaraan bermotor adalah tempat parkir kendaraan bermotor
untuk diperjualbelikan, seperti show room kendaraan bermotor.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal pengelolaan penyelenggaraan tempat parkir
dilakukan dengan pihak lain oleh karena sesuatu perjanjian, maka
Wajib Pajak adalah pihak pengelola yang menyelenggarakan
parkir.
Pasal 55
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan jumlah pembayaran adalah jumlah
yang diterima atau seharusnya diterima oleh penyelenggara
(jumlah penerimaan kotor).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Tidak termasuk yang dikecualikan sebagai objek
Pajak Air Tanah adalah pengambilan dan/atau
pemanfaatan air tanah yang dilakukan oleh Badan
Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.
Huruf b
Pengecualian objek pajak atas pengambilan dan/atau
pemanfaatan air tanah untuk keperluan dasar rumah
tangga dan tempat peribadatan adalah dimaksudkan
nyata-nyata dipergunakan untuk keperluan dasar rumah
tangga dan tempat peribadatan.
Yang dimaksud dengan pengecualian pengambilan atau
pemanfaatan
air tanah untuk keperluan pengairan
perikanan rakyat adalah pengecualian objek pajak atas
pengambilan atau pemanfaatan air tanah untuk usaha
perikanan
yang pengusahaannya dilakukan oleh
masyarakat tani dengan tetap memperhatikan kelestarian
lingkungan dan tidak termasuk usaha perikanan yang
dilakukan badan.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Termasuk dalam pengertian lokasi sumber air adalah
kedalaman sumber air yang disadap.
Huruf c
Yang dimaksud dengan volume air yang diambil adalah
jumlah volume air yang dihitung dalam 1 (satu) bulan
berjalan berdasarkan alat mesin air atau alat pengukur
luah (debit) air atau alat ukur lainnya.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Besarnya Nilai Perolehan Air Tanah untuk lokasi yang telah
dijangkau pelayanan Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM) diperhitungkan lebih tinggi dibanding dengan tarif
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), dan pengambilan
dan pemanfaatan air tanah untuk kelipatan penggunaan
lebih besar maka harga dasar airnya semakin tinggi.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup Jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Ayat (1)
Pengertian pengambilan dan/atau pengusahaan sarang
burung walet adalah kegiatan pengambilan dan/atau
pengusahaan sarang burung walet yang berada pada habitat
buatan, meliputi :
a. bangunan
baru
yangdibangun
khusus
untukbudidaya/penangkaran sarang burung walet;
b. rumah, gedung gardu, gudang tua, gudang kosong
yang secara tidak sengaja menjadi sarang burung walet.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Contoh:
Wajib Pajak “A” membeli tanah dan bangunan dengan:
Nilai Perolehan Objek Pajak = Rp. 65.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
= Rp. 60.000.000,00 (-)
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak = Rp. 5.000.000,00
Pajak yang Terutang = 5% x Rp. 5.000.000,00
= Rp. 250.000,00
Pasal 81
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 82
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “risalah lelang” adalah kutipan
risalah lelang yang di tandatangani oleh Kepala Kantor yang
membidangi pelayanan lelang Negara.
Pasal 83
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 84
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 85
Cukup Jelas
Pasal 86
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan dilarang di borongkan adalah
bahwa seluruh proses kegiatan pemungutan pajak tidak
dapat diserahkan kepada pihak ketiga, namun
dimungkinkan adanya kerjasama dengan pihak ketiga
dalam rangka proses pemungutan pajak, antara lain
pencetakan formulir perpajakan, pengiriman surat-surat
kepada wajib pajak atau penghimpunan data objek dan
subjek pajak.
Ayat (2)
Ketentuan ini mengatur tata cara pengenaan pajak, yaitu
ditetapkan oleh Bupati atau Pejabat atau dibayar sendiri
oleh Wajib Pajak.
Cara pertama, pajak dibayar oleh Wajib Pajak setelah
terlebih dahulu ditetapkan oleh Bupati atau Pejabat melalui
SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
Cara kedia, pajak dibayar sendiri adalah pengenaan pajak
yang memberikan keprcayaan kepada Wajib Pajak untuk
menghitung,
memperhitungkan,
membayar
dan
melaporkan sendiri pajak yang terutang dengan
menggunakan SPTPD menggunakan SPTPD
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Karcis dan nota perhitungan yang telah mendapatkan
pengesahan dari Dinas Pendapatan Daerah merupakan
alat bukti untuk melakukan pemungutan pajak yang
berkekuatan hukum sma dengan SKPD.
Ayat (5)
Wajib pajak yang memenuhi kewajibannya dengan cara
membayar sendiri , diwajibkan melaporkan pajak yang
terutang dengan menggunakan SPTPD. Jika Wajib Pajak
yang diberi kepercayaan menghitung, memperhitungkan,
membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang
tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya,
dapat diterbitkan SKPDKB dan/atau SKPDKBT yang
menjadi sarana penagihan.
Ayat (6)
Cukup Jelas
Ayat (7)
Cukup Jelas
Pasal 87
Ketentuan ini mengatur penerbitan surat ketetapan pajak atas pajak yang
dibayar sendiri. Penerbitan surat ketetapan pajak ditujukan kepada Wajib
Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian
SPTPD atau karena ditemukannya data piskal yang ditad dilaporkan oleh
Wajib Pajak.
Dalam pasal ini kewenangan yang diberikan kepada Bupati atau Pejabat
untuk dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT atau SKPDN hanya
terhadap kasus-kasus tertentu dengan perkataan lain hanya terhadap
Wajib Pajak tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil
pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau kewajiban
material.
Contoh:
a. Seorang Wajib Pajak tidak menyampaikan SPTPD pada tahunPajak
2009. Setelah ditegur dalam jangka waktu tertentu juga belum
menyampaikan SPTPD, maka dalam jangka waktu paling lama 5 (lima)
tahun Bupati atau Pejabat dapat menerbitkan SKPDKB atas pajak yang
terutang.
b. Seorang Wajib Pajak menyampaikan SPTPD pada tahun pajak 2009.
Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun pajak, ternyata dari hasil
pemeriksaan SPTPD yang disampaikan tidak benar. Atas pajak yang
terutang yang kurang bayar tersebut, Bupati atau Pejabat dapat
menerbitkan SKPDKB ditambah dengan sanksi adminstratif.
c. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam contoh yang telah
diterbitkan SKPDKB, apabila dalam jangka waktu paling lama 5 (lima)
tahun sesudah pajak yang terutang ditemukan data baru dan/atau data
semula yang belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah
pajak yang terutang.Bupati atau Pejabat dapat menerbitkan SKPDKBT.
d. Yang dimaksud dengan data baru adalah data atau keterangan
mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya
jumlah pajak yang terutang yang olh Wajib Pajak belum diberitahukan
pada waktu penyampaian SPTPD. Selain itu, termasuk dalam data
baru adalah data yang semula belum terungkap, yaitu data yang:
a.
b.
Tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam SPTPD; dan/atau
Pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak
tidak mengungkapkan data dan/atau memberikan keterangan lain
secara benar, lengkap dan terinci sehingga tidak memungkinkan
petugas Dinas Pendapatan Daerah dapat menerapkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam
menghitung jumlah pajak yang terutang.
Yang dimaksud dengan penetapan pajak secara jabatan adalah
penetapan besarnya pajak terutang yang dilakukan oleh Bupati atau
Pejabat berdasarkan data yang ada atau keterangan lain yang
dimiliki oleh Bupati atau Pejabat.
Pasal 88
Cukup Jelas
Pasal 89
Ayat (1)
SPTPD
adalah
sarana
untuk
melaporkan
dan
mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang
sebenarnya terutang dan untuk melaporkan omzet yang diperoleh
wajib pajak.
Yang dimaksud dengan mengisi SPTPD adalah mengisi formulir
SPTPD dalam bentuk kertas dan/atau dalam bentuk elektronik
dengan benar, lengkap dan jelas sesuai dengan petunjuk
pengisian yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah.
Yang dimaksud dengan benar, lengkap dan jelas dalam mengisi
SPTPD adalah:
a.
Benar adalah benar dalam penghitungan, termasuk benar
dalam penerapan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan daerah, dalam penulisan dan sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya.
b.
Lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang
berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur lainnya
yang harus dilaporkan dalam SPTPD; dan
c. Jelas adalah melaporkan asal usul atau sumber dari objek
pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam
SPTPD.
Ayat (2)
Dalam rangka peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak dan
sejalan dengan tuntutan perkembangan teknologi informasi, perlu
cara lain bagi Wajib Pajak untuk memenuhi kewajban
menyampaikan SPTPD, misalnya disampaikan secara elektronik
Ayat (3)
Ketentuan ayat ini mengatur tentang batas waktu penyampaian
SPTPD yang dianggap cukup memadai bagi Wajib Pajak untuk
mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan
pelaporan dan pembayaran pajak serta penyelesaian
pembukuannya
Pelaporan SPTPD, pembayaran dan penyetoran pajak yang
terutang ditetapkan dengan tidak melampaui 15 (lima belas) hari
setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak.
Keterlambatan dalam pembayaran dan penyetoran tersebut
berakibat dikenai sanksi adminstratif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Dalam rangka pembinaan terhadap Wajib Pajak yang sampai
dengan batas waktu yang telah ditentukan ternyata tidak
menyampaikan SPTPD kepada Dinas Pendapatan Daerah atau
tidak membayar pajak yang terutang dalam SKPD, maka kepada
Wajib Pajak yang bersangkutan dapat diberikan Surat Teguran.
Pasal 90
Terhadap kekeliruan dalam pengisian SPTPD yang dibuat oleh Wajib
Pajak, Wajib Pajak masih berhak untuk melakukan pembetulan atas
kemauan sendiri dengan syarat Dinas Pendapatan belum memulai
melakukan tindakan pemeriksaan.
Yang dimaksud dengan memulai melakukan tindakan pemeriksaan
adalah pada saat Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak
disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai atau anggota
keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
Pasal 91
Ayat (1)
Dalam hal pemungutan pajak berdasarkan sistem Official
Assessment, pembayaran pajak yang terutang ditentukan dalam
batas waktu 30 (tiga puluh) hari sejak surat ketetapan pajak
diterima oleh Wajib Pajak
Batas waktu pelaporan Self Assessmen, paling lama 15 (lima
belas) hari setelah berakhirnya masa pajak
pajak yang terutang berdasarkan SPPT harus dilunasi selambatlambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh
Wajib Pajak
contoh:
apabila SPPT diterima oleh Wajib Pajak tangga 1 April 2009,
maka jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 30 September
2009
pajak yang terutang berdasarkan SKPD harus dilunasi selambatlambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya SKPD oleh
Wajib Pajak.
Contoh:
Apabila SKPD diterima oleh Wajib Pajak tanggal 1 Maret, maka
jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 31 Maret 2009.
Pasal 92
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
STPD menurut ayat ini disamakan kekuatan hukumnya dengan
SKPD, SKPDKB dan SKPDKBT sehingga dalam hal
penagihannya dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa.
Pasal 93
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penagihan pajak adalah serangkaian
tindakan agar penanggung pajaklah dis melunasi utang pajak
dan biaya penagihan dengan menegur atau memperingatkan ,
melaksanakan
penagihan
seketika
dan
sekaligus,
memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan,
melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan dan
menjual barang yang telah disita.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan surat lain yang sejenis adalah surat yang
dipersamakan dengan surat teguran atau surat peringatan.
Penyampaian surat teguran dilakukan sebelum jatuh tempo
pembayaran.
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Pasal 94
Cukup Jelas
Pasal 95
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan
penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung
Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh
utang pajak dari semua jenis pajak, masa pajak dan tahun pajak
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Surat perintah penagihan seketika dan sekaligus adalah surat yang diterbitkan
olek Kepala Dinas Pendapatan Daerah kepada petugas Juru Sita untuk
melakukan penagihan pajak seketika dan sekaligus.
Surat perintah penagihan seketika dan sekaligus dapat dijadikan dasar untuk
melakukan penagihan pajak dengan surat paksa.
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Pasal 96
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Penagihan pajak dengan surat paksa dilaksanakan apabila Wajib Pajak tidak
melunasi utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran dan
setelah jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari surat teguran atau surat
peringatan atau surat lain yang sejenis diterima oleh Wajib Pajak atau Wajib
Pajak tidak memenuhi angsuran pembayaran pajak atau penundaan
pembayaran pajak.
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 97
Ayat (1)
Jangka waktu 2x24 jam dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada
Wajib Pajak atau Penanggung Pajak melunasi utang pajak sebagaimana
tercantum dalam surat paksa yang bersangkutan
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 98
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Kehadiran para sanksi dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa pelaksanaan
penyitaan dilaksanakan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Ayat (3)
Berita acar pelaksanaan sita merupakan pemberitahuan kepada penanggung
pajak dan masyarakat bahwa penguasaan barang penanggung pajak telah
berpindah dari penanggung pajak kepada pejabat. Oleh karena itu, dalam
setiap penyitaan Jurusita Pajak harus membuat berita acara pelaksanaan sita
secara jelas dan lengkap yang sekurang-kurangnya membuat hari dan tanggal,
nomor, nama Jurusita Pajak, nama Penanggung Pajak, nama dan jenis barang
yang disita dan tempat penyitaan.
Pasal 99
Ayat (1)
Tujuan penyitaan adalah untuk memperoleh jaminan pelunasan utang pajak
dari penanggung pajak. Oleh karena itu, penyitaan dapat dilaksanakan
terhadap semua barang penanggung pajak baik yang berada ditempat tinggal,
tempat usaha, tempat kedudukan penanggung pajak atau tempat lain maupun
yang penguasaannya di tangan pihak lain.
Pada dasarnya penyitaan dilaksanakan dengan mendahulukan barang
bergerak maupun dalam hal keadaan tertentu penyitaan dapat dilaksanakan
langsung terhadap barang tidak bergerak. Keadaan tertentu, misalnya Jurusita
pajak tidak menjumpai barang bergerak yang dapat dijadikan objek sita atau
barang bergerak yang dijumpainya tidak mempunyai nilai atau harganya tidak
memadai jika dibandingkan dengan utang pajak.
Yang dimaksud dengan penguasaan berada di tangan pihak lain, misalnya
disewakan atau dipinjamkan sedangkan yang dimaksud dengan dibebani
dengan hak tanggungan sebagaimana jaminan pelunasan utang tertentu,
misalnya barang yang dihipotekkan, digadaikan atau diagunkan.
Ayat (2)
Pada dasarnya penyitaan terhadap badan dilakukan atas barang milik
perusahaan. Akan tetapi apablia nilai barang tersebut tidak mencukupi atau
barang milik perusahaan tidak dapat ditemukan atau karena kesulitan dalam
melaksanakan penyitaan terhadap baran milik perusahaan tidak mencukupi,
maka penyitaan dapat dilakukan terhadap barang-barang milik pengurus,
kepala perwakilan, kepala cabang, penanggungjawab, pemilik modal atau
ketua untuk yayasan.
Ayat (3)
Dalam memperkirakan nilai barang yang disita Jurusita pajak harus
memperhatikan jumlah dan jenis barang berdasarkan harga wajar sehingga
jurusita pajak tidak dapat melakukan penyitaan secara berlebihan. Dalam hal
tertentu Jurusita pajak dimungkinkan untuk meminta bantuan jasa penilai.
Yang dimaksud dngan biaya penagihan pajak adalah biaya pelaksanaan surat
paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, pengumuman lelang, jasa
penilai dan biaya lainnya sehubungan dengan penagihan pajak.
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 100
Ketentuan ini dimaksud agar Jurusita Pajak dapat melaksanakan
penyitaan terhadap barang milik Penanggung Pajak yang ditemukan
atau diketahui kemudian apabila nilai barang yang telah disita terdahulu
tidak cukup untuk membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
Dengan demikian penyitaan dapat dilaksanakan lebih dari satu kali
sampai dengan jumlah yang cukup untuk melunasi utang pajak dan
biaya penagihan baik sebelum lelang maupun setelah lelang
dilaksanakan.
Pasal 101
Ayat (1)
Meskipun Wajib Pajak atau Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak
tetapi belum melunasi biaya penagihan pajak, penjualan secara lelang
terhadap barang yang telah disita tetap dapat dilaksnakan
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Pemindahbukuan objek sita yang tersimpan di bank berupa deposito
berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro atau bentuk lainnya yang
disamakan dengan itu dilaksanakan dengan mengacu kepada ketentuan
mengenai rahasia bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
Huruf c
Cukup Jelas
Huruf d
Cukup Jelas
Huruf e
Cukup Jelas
Huruf f
Cukup Jelas
Ayat (5)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memeri kesempatan kepada wajib pajak
atau penanggung pajak melunasi utang pajaknya sebelum pelelangan
terhadap barang yang disita dilaksanakan. Sesuai dengan ketentuan dalam
peraturan lelang, setiap penjualan secara lelang harus didahului dengan
pengumuman lelang.
Ayat (6)
Cukup Jelas
Ayat (7)
Dalam hal barang tidak bergerak yang akan dilelang bersama-sama barang
bergerak, pengumanan lelang dilakukan dua kali untuk barang tidak bergerak,
satu kali bersama-sama barang bergerak pada pengumunan pertama,
sehingga penjualan barang bergerak dapat didahulukan.
Ayat (8)
Pengertian tidak harus diumumkan melalui media massa misalnya dengan
selebaran atau pengumunan yang ditempelkan di tempat umum, misalnya di
Kantor Kelurahan atau di papan pengumunan kantor pejabat
Pasal 102
Ayat (1)
Atas dasar bahwa lelang merupakan tindaklanjut eksekusi dari surat paksa yang
kedudukannya sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, maka sekalipun Wajib Pajak atau Penanggung Pajak mengajukan
keberatan dan belum memperoleh keputusan, lelang tetap dapat dilaksanakan.
Ayat (2)
Dikarenakan barang yang disita telah berpindah dari Wajib Pajak atau Penanggung
Pajak kepada Pejabat, maka pejabat yang bersangkutan mempunyai wewenang
untuk menjual barang yang disita dimaksud. Mengingat Wajib Pajak atau
Penanggung Pajak yang memiliki barang yang disita telah diberitahukan bahwa
barang yang disita akan dijual secara lelang pada waktu yang telah ditentukan,
lelang tetap dapat dilaksanakan walaupun tanpa dihadiri oleh Wajib Pajak atau
Penanggung Pajak
Ayat (3)
Pada dasarnya lelang tidak dilaksanakan apabila Wajib Pajak atau Penanggung
Pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. Namun dalam hal
terdapat putusan pengadilan yang mengabulkan gugatan pihak ketiga atas
kepemilikan barang yang disita atau putusan pengadilan pajak yang mengabulkan
gugatan wajib pajak atau penanggung pajak atas pelaksanaan penagihan pajak
atau barang sitaan yang akan dilelang musnah karena terbakar atau bencana alam,
lelang tetap tidak dilaksanakan walaupun uang pajak dan biaya penagihan pajak
belum dilunasi.
Pasal 103
Ayat (1)
Saat kedaluwarsa penagihan pajak ini perlu ditetapkan untuk memberi kepastian
hukum kapan utang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi. Kedaluwarsa STPD,
SKRD, SKPDKB, SKPDKBT, SPPT diterbitkan.
Dalam hal ini Wajib Pajak mengajukan permohonan pembetulan, keberatan,
banding atau peninjauan kembali, kedaluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun
dihitung sejak tanggal penerbitan.
Surat keputusan pembatalan, surat keputusan keberatan, putusan banding atau
putusan peninjauan kembali.
Perhitungan kedaluwarsa penagihan pajak tersebut diatas tidak dapat diberlakukan
kepada wajib pajak apablia melakukan tindak pidana di bidang perpajakn daerah.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Pasal 104
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Permohonan penghapusan piutang pajak oleh kepala Dinas Pendapatan Daerah
harus menjelaskan alasan-alasan penghapusan dan upaya-upaya yang telah
dilakukan. Berdasarkan permohonan penghapusan, Bupati dapat menetapkan
penghapusan piutang pajak sampai dengan Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah) ditetapkan oleh Bupati setelah mendapat persetujuan dari Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lamandau
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 105
Ayat (1)
Huruf a
Apabila wajib pajak berpendapat bahwa jumlah pajak dalam surat ketetpan pajak
dan pemotongan atau pemungutan tidak sebagaimana mestinya, maka wajib pajak
dapat mengajukan keberatan hanya kepada Bupati atau pejabat yang menerbitkan
surat ketetapan pajak.
Keberatan yang diajukan adalah mengenai materi atau isi dari ketetapan pajak
dengan membuat perhitungan jumlah yang seharusnya dibayar menurut
perhitungan wajib pajak.
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Huruf d
Cukup Jelas
Huruf e
Cukup Jelas
Huruf f
Yang dimaksud dengan pihak ketiga adalah orang pribadi atau badan menurut
peraturan daerah ini atau yang ditunjuk oleh Bupati atau pejabat sebagai pemotong
atau pemungut pajak.
Ayat (2)
Alasan-alasan yang jelas disini bahwa wajib pajak dalam mengajukan kebertannya
harus disertai dengan data atau bukti bahwa jumlah pajak terutang atau
pemotongan/pemungutan pajak yang ditetapan oleh Bupati atau Pejabat tidak
benar. Batas waktu pengajuan surat keberatan ditentukan dalam waktu 3 (tiga)
bulan
sejak
tanggal
diterima
wajib
pajak
atau
sejak
tanggal
pemotongan/pemungutan pajak dengan maksud agar wajib pajak mempunyai waktu
yang cukup memadai untuk mempersiapkan surat keberatan beserta alasannya.
Apabila ternyata bahwa batas waktu 3 (tiga) bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh
wajib pajak karena keadaan di luar kekuasaannya wajib pajak (force majeur),
tenggang waktu selama 3 (tiga) bulan tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk
diperpanjang oleh Bupati atau Pejabat.
Ayat (3)
Ketentuan ini mengharuskan wajib pajak untuk dapat membuktikan atas
ketidakbenaran ketetapan pajak secara jabatan.
Surat ketetapan pajak secara jabatan (ex officio) diterbitkan karena wajib pajak tidak
menyampaikan surat pemberitahuan pajak daerah (SPTPD) meskipun telah ditegur
secara tertulis. Apabila wajib pajak tidak dapat membuktikan ketidakbenaran surat
ketetapan pajak secara jabatan maka keberatannya ditolak
Ayat (4)
Ketentuan ini mengatur bahwa persyaratan pengajuan keberatan bagi wajib pajak
adalah harus melunasi terlebih dahulu sejumlah kewajiban perpajakannya yang
telah disetujui wajib pajak dan pelunasan tersebut harus dilakukan sebelum waji
pajak mengajukan keberatan.
Pasal (5)
Permohonan keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam pasal ini bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak dapat
dipertimbangkan dan tidak diterbitkan surat keputusan keberatan.
Pasal (6)
Ketentuan ini diperlukan dengan maksud agar wajib pajak tidak menghindar dari
kewajiban untuk membayar pajak yang telah ditetapkan dengan dalih mengajukan
keberatan sehingga dapat dicegah terganggunya penerimaan daerah.
Pasal (7)
Cukup Jelas
Pasal (8)
Agar wajib pajak dapat menyusun keberatan dengan alasan yang kuat, wajib pajak
di beri hak untuk memninta dasar pengenaan pajak, pemotongan atau pemungutan
pajak yang telah ditetapkan. Oleh karena itu Bupati atau Pejabat berkewajiban untuk
memenuhi permintaan tersebut.
Pasal 106
Ayat (1)
Terhadap surat keberatan yang diajukan oleh wajib pajak kewenangan
penyelesaian dalam tingkat pertama diberikan kepada Bupati atau Pejabat denan
ketentuan batasan waktu penyelesaian keputusan atas keberatan wajib pajak
ditetapkan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 107
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Ketentuan ini dimaksudkan bagi wajib pajak yang mengajukan banding, dimana
jangka waktu pelunasan pajak yang diajukan banding tertangguh sampai dengan 1
(satu) bulan sejak tanggal penerbitan putusan banding. Penangguhan jangka waktu
pelunasan pajak menyebabkan sanksi adminstrasi berupa bunga tidak diberlakukan
atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan.
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Pasal 108
Cukup Jelas
Pasal 109
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan hak kepada wajib pajak/ penanggung
pajak untuk mengajukan gugatan kepada pengadilan pajak dala hal wajib pajak/
penanggung pajak tidak setuju dengan pelaksanaan penagihan pajak yang meliputi
pelaksanaan surat paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan atau
pengumunan lelang.
Ayat (2)
Jangka waktu 14 (empat belas) hari untuk mengajukan gugatan dianggap memadai
dan telah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pengadilan pajak. Jangka
waktu untuk mengajukan gugatan terhadap surat paksa dihitung sejak
pemberitahuan kepada wajib/penanggung pajak untuk sita dihitung sejak
pembuatan berita cara pelaksanaan sita dan untuk lelang dihitung sejak
pengumuman lelang.
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Pasal 110
Ayat (1)
Pengurangan yang dapat diberikan berupa pengurangan pokok pajak yang
merupakan perkalian antara tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak
Pengurangan pokok pajak dalam pasal ini diberikan oleh Bupati atau Pejabat
berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima, sehingga tingginya 50% (lima puluh
persen) dari pokok pajak.
Contoh:
Pemberian pengurangan bagi kepentingan sosial dan keagamaan yang tidak
bersifat komersial dengan pengecualian bagi wajib pajak yang pemungutan
pajaknya ditetapkan berdasarkan sistem Self Assessment maka pengurangan tidak
dapat diberikan.
Keringanan diberikan pada dasar pengenaan pajak yang akan digunakan untuk
memperhitung besarnya pokok pajak. Wajib pajak yang telah mendapatkan putusan
pemberian keringanan dasar pengenaan pajak untuk suatu ketetapan pajak tidak
dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan pengurangan pokok pajak
untuk ketetapan yang sama atau sebaliknya.
Pemberian keringanan yang dimaksud pada pasal ini berdasarkan pertimbangan
Bupati atau Pejabat pada suatu keadaan tertentu yang diberikan setinggi-tingginya
50% (lima puluh persen) dari dasar pengenaan pajak atau pokok pajak.
Pemberian persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak yang terutang
kepada wajib pajak adalah merupakan bagian dari keringanan pajak.
Bupati karena jabatannya dapat memberikan pembebasan pajak baik sebagian atau
seluruhnya kepada wajib pajak atau terhadap objek pajak tertentu berdasarkan
keadaan dan azas timbal balik (reciprocitas).
Yang dimaksud dengan pembebasan pajak berdasarkan azas keadilan adalah
ditujukan bagi wajib pajak golongan ekonomi lemah.
Contoh:
Wajib pajak restoran yang beromzet Rp. 20.000.000,0 (dua puluh juta) per tahun
dibebaskan dari pengenaan pajak.
Yang dimaksud dengan pembebasan pajak berdasarkan azas timbal balik adalah
perlakukan yang sama berdasarkan konvensi Wina tahun 1961.
Contoh:
Pembebasan pajak penerangan jalan atas penggunaan tenaga listrik pada tempattempat yang digunakan oleh korps Diplomatik.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 111
Ayat (1)
Pembetulan menurut ayat ini dilaksanakan dalam rangka menjalankan tugas
pemerintahan yang baik sehingga apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan yang
bersifat manusiawi perlu dibetulkan sebagaimana mestinya. Sifat kesalahan atau
kekeliruan tersebut tidak mengandung persengketaan antara fiskus dengan wajib
pajak.
Apabila ditenukan kesalahan atau kekeliruan baik oleh fiskus maupun berdasarkan
permohonan wajib pajak, kesalahan atau kekeliruan tersebut harus dibetulkan.
Ayat (2)
Huruf
Yang dimaksud dengan kekhilafan wajib pajak adalah keadaan wajib pajak secara
sadar atau lupa atau dalam kondisi tertentu sulit untuk menentukan pilihan dalam
memenuhi kewajiban perpajakan daerah.
Huruf b
Bupati atau Pejabat karena jabatannya dan berlandaskan unsur keadilan dapat
mengurangkan atau membatalkan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, SKPDN,
SKPDLB yang tidak benar. Misalnya wajib pajak yang ditolak pengajuan
pengurangannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukan surat
permohonan keberatan atau pengurangan tidak pada waktunya) meskipun
persyaratan materil terpenuhi.
Huruf c
Cukup Jelas
Huruf d
Cukup Jelas
Huruf e
Cukup Jelas
Ayat (3)
Ketentuan ini memberikan penegasan batasan waktu bagi Bupati atau Pejabat
untuk menerbitkan keputusan pembetulan paling lama 3 (tiga) bulan sejak
permohonan diterima. Pembatasan waktu penerbitan surat keputusan pembetulan
diperlukan guna mendapatkan kepastian hukum kepada wajib pajak atas
penyelesaian permohonan yang diajukannya.
Ayat (4)
Dalam hal batas waktu 3 (tiga) bulan terlampaui tetapi Bupati atau Pejabat belum
memberikan keputusan permohonan wajib pajak dianggap di kabulkan.
Dengan dianggap dikabulkannya permohonan wajib pajak, Bupati atau Pejabat
menerbitkan surat keputusan pembetulan sesuai dengan permohonan wajib pajak.
Ayat (5)
Cukup Jelas
Ayat (6)
Cukup Jelas
Pasal 112
Ayat (1)
Untuk pengembalian kelebihan pembayaran pajak, wajib pajak harus mengajukan
permohonan dengan menyebutkan sekurang-kurangnya:
a. NPWPD
b. Masa pajak
c. Besarnya kelebihan pajak
d. Dokumen atau keterangan yang menjadi dasar pembayaran pajak
e. Perhitungan pajak menurut wajib pajak
Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diproses setelah terlebih
dahulu dilakukan pemeriksaan kepada wajib pajak untuk mengetahui kebenaran
atas permohonan tersebut.
Ayat (2)
Untuk menjamin kepastian hukum bagi wajib pajak dan ketertiban adminstrasi
perpajakan daerah batas waktu penetapan keputusan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak ditetapkan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal di
terima permohonan.
Ayat (3)
Dalam hal batas waktu 12 (dua belas) bulan terlampaui, tetapi Bupati atau Pejabat
belum memberikan keputusan, permohonan wajib pajak dianggap dikabulkan.
Dengan dianggap dikabulkannya permohonan wajib pajak, Bupati atau Pejabat
wajib menerbitkan SKPDLB dalam waktu paling lama 1 (stu) bulan setelah
berakhirnya batas waktu pemberian keputusan.
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Ayat (6)
Cukup Jelas
Ayat (7)
Cukup Jelas
Pasal 113
Ayat (1)
Ayat ini menetapkan kedudukan pemerintah Kabupaten sebagai kreditur preferen
yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik wajib pajak
atau penanggung pajak yang akan dilelang di muka umum. Pembayaran kepada
kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Pasal 114
Cukup Jelas
Pasal 115
Ayat (1)
Bupati atau Pejabat dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan daerah berwenang melakukan pemeriksaan untuk:
a.
b.
Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak
Tujuan lain dalam rangka pemaksanakan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan daerah.
Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor (pemeriksaan kantor) atai di tempat wajib
pajak (pemeriksaan lapangan) yang ruang lingkup pemeriksaannya dapat meliputi
satu jenis pajak, beberapa jenis pajak atau seluruh jenis pajak baik untuk tahuntahun yang lalu maupun untuk tahun berjalan.
Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban
perpajakan wajib pajak dilakukan dengan menelusuri kebenaran data SPTPD,
pembukuan atau pencatatan dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya
dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha dan/atau perolehan omzet yang
sebenarnya.
Pemeriksaan lapangan dapat berupa penugasan petugas pada Dinas Pendapatan
Daerah untuk melaksanakan kegiatan penungguan (penggedokan) dan/atau
kegiatan monitoring di tempat objek pajak guna mendapatkan data riil yang
sesungguhnya dengan atau tanpa sepengetahuan wajib pajak.
Ayat (2)
Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak yang diperiksa sebagaimana
dimaksud pada ayat ini disesuaikan dengan tujuan dilakukannya pemeriksaan baik
dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan maupun untuk
tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan daerah.
Bagi wajib pajak yang menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan dengan
menggunakan proses pengolahan data secara elektronik (electronic data
processing/EDP), baik diselenggarakan sndiri maupun yang diselenggarakan
melalui pihak lain, harus memberikan akses kepada petugas pemeriksa untuk
mengakses dan/atau mengunduh data dari catatan, dokumen dan dokumen lain
yang berhubungan dengan omzet/penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha atau
objek yang terutang pajak.
Bersadarkan ayat ini wajib pajak yang diperiksa juga memiliki kewajiban
memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruangan
yang merupakan tempat penyimpanan dokumen, uang dan/atau barang yang dapat
memberi petunjuk tentang perolehan omzet/penghasilan wajib pajak dan melakukan
peminjaman dan/atau pemeriksaan di tempat-tempat tersebut.
Dalam hal petugas pemeriksa membutuhkan keterangan lain selain buku, catatan
dan dokumen lain, wajib pajak harus memberikan keterangan lain yang dapat
berupa keterangan terlulis dan/atau keterangan lisan.
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Untuk mencegah adanya dalih bahwa wajib pajak yang sedang diperiksa terikat
pada kerahasiaan sehingga pembukuan, catatan, dokumen serta keteranganketerangan lain yang diperlukan tidak dapat diberikan oleh wajib pajak, maka ayat ini
menegaskan bahwa kewajiban merahasiakan itu ditiadakan.
Ayat (5)
Pemeriksaan dilaksanakan oleh petugas pemeriksa yang jelas identitasnya. Oleh
karena itu, petugas pemeriksa pajak harus memliki tanda pengenal pemeriksa dan
dilengkapi dengan surat perintah pemeriksaan, serta memperlihatkannya kepada
wajib pajak yang diperiksa. Petugas pemeriksa harus menjelaskan tujuan
dilakukannya pemeriksaan kepada wajib pajak.
Petugas pemeriksa harus telah mendapatkan pendidikan teknis yang cukup dan
memiliki keterampilan sebagai pemeriksa pajak. Dalam menjalankan tugasnya
petugas pemeriksa harus bekerja dengan jujur, bertanggungjawab, penuh
pengertian, sopan dan objektif serta wajib menghindarkan diri dari perbuatan tercela.
Pendapat dan simpul petugas pemeriksa harus berlandaskan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah.
Ayat (6)
Cukup Jelas
Pasal 116
Yang dimaksud dengan sarana pembayaran wajib pajak antara lain penggunaan
electronic cash register dan teknologi komputer.
Pasal 117
Cukup Jelas
Pasal 118
Ayat (1)
Dalam pemeriksaan dapat ditemukan adanya wajib pajak yang tidak memenuhi
ketentuan yakni dengan tidak memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk
memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberikan bantuan guna
kelancaran pemeriksaan. Keadaan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai hal,
miaslnya wajib pajak tidak berada di tempat atau sengaja tidak diberikan
kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang
perlu dan tidak memberikan bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
Wajib pajak yang pada saat dilakukan pemeriksaan tidak memberi kesempatan
kepada pemeriksa untuk memasuki tempat, ruang dan barang bergerak dan/atau
tidak bergerak serta mengakses data yang dikelola secara elektronik atau tidak
memberik bantuan guna kelancaran pemeriksaan dianggap menghalangi
pelaksanaan pemeriksaan.
Dalam hal demikian untuk memperoleh buku, cacatan, dokumen termasuk data
yang dikelola secara elektronik dan benda-benda lain yang dapat memberikan
petunjuk tentang besarnya perolehan omzet penjualan wajib pajak yang diperiksa
dipandang perlu memberi kewenangan kepada Bupati yang dilaksanakan oleh
pemeriksa untuk melakukan penyegelan terhadap tempat, ruang dan barang
bergerak dan/atau tidak bergerak.
Penyegelan merupakan upaya terakhir pemeriksa untuk memperoleh atau
mengamankan buku, catatan, dokumen termasuk data yang dikelola secara
elektronik dan benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang perolehan
omzet penjualan wajib pajak yang diperiksa agar tidak dipindahkan, dihilangkan,
dimusnahkan, diubah, dirusak, ditukar atau dipalsukan.
Penyegelan data elektronik dilakukan sepanjang tidak menghentikan kelancaran
kegiatan usaha wajib pajak, khususnya yang berkaitan dengan pelayanan kepada
tamu/konsumen.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 119
Yang dimaksud dengan instansi yang melaksanakan pemungutan adalah
dinas/badan/lembaga yang tugas pokok dan fungsinya melaksanakan pemungutan
pajak daerah.
Pasal 120
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Pemberian besarnya insentif dilakukan melalui pembahasan yang dilakukan oleh
Pemeritah daerah dengan alat kelengkapan DPRD yang membidangi masalh
keuangan.
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 121
Ayat (1)
Setiap pejabat baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang
perpajakan daerah dilarang mengungkapkan kerahasiaan wajib pajak yang
menyangkut masalah perpajakan daerah, antara lain:
a.
Laporan omzet pendapatan dan/atau setoran pajak yang terutang dalam
SPTPD dan lain-lain yang dilaporkan oleh wajib pajak
b.
Data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan
c.
Dokumen dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifa rahasia
d.
Dokumen dan/atau rahasia wajib pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkenaan.
Ayat (2)
Para ahli seperti ahli bahasa, akuntan dan pengacara yang ditunjuk oleh Bupati
untuk membantu pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah
adalah sama dengan petugas pajak yang dilarang pula untuk mengungkapkan
kerahasiaan wajib pajak sebagaimana dimaksud ayat (1).
Ayat (3)
Keterangan yang dapat diberitahukan adalah identitas wajib pajak dan informasi
yang bersifat umum tentang perpajakan daerah.
Identitas wajib pajak meliputi:
1. Nama wajib pajak
2. Nomor pokok wajib pajak
3. Alamat wajib pajak.penanggung pajak
4. Alamat kegiatan usaha
5. Jenis kegiatan usaha wajib pajak
Informasi yang bersifat umum tentang perpajakan daerah meliputi:
1. Penerimaan pajak secara global
2. Penerimaan pajak per jenis pajak
3. Jumlah wajib pajak yang terdaftar
4. Register permohonan wajib pajak
5. Tunggakan pajak secara global.
Ayat (4)
Untuk kepentingan daerah, misalnya dalam rangka penyidikan, penuntutan,
atau dalam rangka mengadakan kerjasama dengan Instansi Pemerintah
Provinsi/Kabupaten/Kota lain, keterangan atau bukti tertulis dari atau tentang
Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak tertentu yang
ditunjuk olehBupati. Dalam surat izin yang diterbitkan olehBupati
harus
dicantumkan nama Wajib Pajak, nama pihak yang ditunjuk, dan nama pejabat,
ahli, atau tenaga ahli yang diizinkan untuk memberikan keterangan atau
memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak.
Pemberian izin tertulis dilakukan secara terbatas dalam hal-hal yang dipandang
perlu oleh Bupati.
Ayat (5)
Untuk melaksanakan pemeriksaan pada sidang pengadilan dalam perkara
pidana atau perdata yang berhubungan dengan masalah perpajakan daerah,
demi
kepentingan
peradilan, Bupati memberikan izin pembebasan atas
kewajiban kerahasiaan kepada pejabat pajak dan para ahli sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) atas permintaan tertulis hakim ketua sidang.
Ayat (6)
Ketentuan ayat ini merupakan pembatasan dan penegasan bahwa keterangan
perpajakan daerah yang diminta hanya mengenai perkara pidana atau perdata
tentang perbuatan atau peristiwa yang menyangkut bidang perpajakan
daerah dan hanya terbatas pada tersangka yang bersangkutan.
Pasal 122
Ketentuan pasal ini memuat pengenaan sanksi administratif berupa denda
kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris, Kepala Kantor yang membidangi
pelayanan lelang Negara, Kepala Kantor bidang pertanahan, dengan maksud
untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan daerah dan mencegah
terjadinya peristiwa hukum atas sebidang tanah tanpa adanya bukti pembayaran
pajak.
Pasal 123
Ketentuan pasal ini mengatur pengenaan sanksi administratif berupa denda
dan kenaikan adalah dengan maksud untuk kepentingan tertib administrasi
perpajakan daerah dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi
kewajiban perpajakannya.
Sanksi administratif berupa kenaikan merupakan suatu jumlah proporsional yang
harus ditambahkan pada pokok pajak yang tidak atau kurang bayar.
Ayat (1)
Huruf a
Sanksi administratif berupa bunga, dihitung dari jumlah pajak yang kurang
atau terlambat dibayar, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu)
bulan.
Huruf b
Pengenaan saksi administratif berupa kenaikan sebagai konsekuensi dari
penetapan pajak secara jabatan atas ketidakpatuhan Wajib Pajak untuk
mengisi dan/atau menyampaikan SPTPD secara tepat waktu.
Huruf c
Dalam hal setelah penerbitan surat ketetapan pajak ternyata masih
ditemukan data baru termasuk data yang belum terungkap yang belum
diperhitungkan sebagai dasar penetapan tersebut, atas pajak yang kurang
dibayar ditagih dengan SKPDKBT ditambah sanksi administratif berupa
kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak
tersebut.
Huruf d
Pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang melampaui batas waktu
yang ditentukan
dalam Pasal 108 ayat (1), dikenakan sanksi 2% (dua
persen) sebulan dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu tersebut sampai
dengan pembayaran atau penyetoran pajak, dan bagian dari bulan dihitung
penuh 1 (satu) bulan.
Huruf e
Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administratif berupa bunga
sebesar 2%(dua persen) sebulan bagi Wajib Pajak yang diperbolehkan
mengangsur dan menunda pembayaran pajak.
Contoh:
a. Wajib Pajak mempunyai kewajiban pajak yang ditetapkan dalam surat
ketetapan pajak sebesar Rp 3.500.000,00 yang diterbitkan pada tanggal
1 Maret 2010 dengan batas akhir pelunasan tanggal 31 Maret 2010.
Wajib Pajak tersebut diperbolehkan untuk mengangsur pembayaran
dalam jangka waktu 5 (lima) bulan dengan jumlah yang tetap sebesar
Rp 700.000,00. Sanksi administrasi berupa bunga untuk setiap angsuran
dihitung sebagai berikut:
- angsuran ke-1 : 2% x Rp 3.500.000,00 = Rp 70.000,00
- angsuran ke-2 : 2% x Rp 2.800.000,00 = Rp 56.000,00
- angsuran ke-3 : 2% x Rp 2.100.000,00 = Rp 42.000,00
- angsuran ke-4 : 2% x Rp 1.400.000,00 = Rp 28.000,00
- angsuran ke-5 : 2% x Rp 700.000,00
= Rp 14.000,00
b. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a diperbolehkan
untuk menunda pembayaran pajak sampai dengan tanggal 30 Agustus
2010. Sanksi
administratif
berupa
bunga
atas
penundaan
pembayaran surat ketetapan pajak tersebut sebesar 5 x 2% x Rp
3.500.000,00 = Rp 350.000,00.
Huruf f
Merupakan ketentuan yang mengatur pengenaan sanksi administratif berupa
bunga atas STPD yang diterbitkan karena:
a. pajak tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. penelitian terhadap SPTPD yang ternyata terdapat salah tulis
dan/atau salah hitung yang menyebabkan jumlah pajak yang terutang
kurang bayar.
Huruf g
Dalam hal keberatan ditolak atau dikabulkan sebagian dan Wajib Pajak
tidak mengajukan permohonan banding, jumlah pajak
berdasarkan
keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum
mengajukan keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak
tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan, dan penagihan dengan
Surat Paksa akan dilaksanakan apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang
pajak tersebut. Disamping itu, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif
berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen).
Contoh:
Untuk tahun pajak 2009, SKPDKB dengan jumlah pajak yang masih harus
dibayar sebesar Rp 5.000.000,00
diterbitkan terhadap Wajib Pajak,
Irawan Susanto. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Irawan
Susanto hanya menyetujui pajak yang harus dibayarnya sebesar Rp
3.500.000,00 dan telah melunasi sebagian SKPDKB tersebut sebesar
Rp 3.500.000,00 dan kemudian mengajukan keberatan kepadaBupati atau
Pejabat. Dengan
berbagai
pertimbangan, Bupati
atau
Pejabat
mengabulkan sebagian keberatan Irawan Susanto dengan jumlah pajak
yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp 4.200.000,00. Dalam hal
ini, Irawan Susanto tidak dikenai sanksi administratif berupa bunga,
tetapi dikenai sanksi sesuai dengan ayat ini, yakni sebesar 50% x (Rp
4.200.000,00 - Rp 3.500.000,00) = Rp 350.000,00.
Huruf h
Dalam hal permohonan banding Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan
sebagian, jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan
pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi
paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding,
dan penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan apabila Wajib
Pajak tidak melunasi utang pajak tersebut. Disamping itu, Wajib Pajak
dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 100% (seratus persen)
sebagaimana dimaksud pada ayat ini.
Contoh:
Untuk tahun pajak 2009, SKPDKB dengan jumlah pajak yang masih harus
dibayar sebesar Rp 5.000.000,00
diterbitkan terhadap Wajib Pajak,
Irawan Susanto. Dalam
pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Irawan
Susanto hanya menyetujui pajak yang harus dibayarnya sebesar Rp
3.500.000,00 dan telah melunasi sebagian SKPDKB tersebut sebesar
Rp 3.500.000,00 dan kemudian mengajukan surat keberatan.Bupati atau
Pejabat mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak dengan jumlah pajak
yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp 4.200.000,00.
Selanjutnya Wajib Pajak mengajukan permohonan banding dan oleh
Pengadilan Pajak diputuskan besarnya pajak yang masih harus dibayar
menjadi sebesar Rp 3.900.000,00. Dalam hal ini baik sanksi administratif
berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan tidak dikenakan. Namun,
Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda yaitu sebesar
100% x (Rp 3.900.000,00 - Rp 3.500.000,00) = Rp 400.000,00.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 124
Pengenaan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 400% (empat ratus
persen) dari pokok pajak yang terutang merupakan konsekuensi logis dari fakta
kenyataan atas ketidakpatuhan Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakannya
mengisi atau menyampaikan SPTPD secara tepat waktu serta untuk memenuhi
permintaan Bupati atau Pejabat bagi
keperluan
pelaksanaan
pemeriksaan
sehingga
menimbulkan kesulitan
petugas
pemeriksa
pajak
dalam
memperhitungkan jumlah pajak terutang yang sebenarnya.
Pasal 125
Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak,
sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan, dikenai sanksi administrasi
dengan menerbitkan surat ketetapan pajak atau
Surat Tagihan Pajak Daerah, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang
perpajakan dikenai sanksi pidana.
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan
pelanggaran administrasi melainkan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan.
Dengan adanya sanksi pidana tersebut, diharapkan tumbuhnya kesadaran
Wajib Pajak untuk mematuhi kewajiban perpajakan seperti yang ditentukan dalam
Peraturan Daerah ini.
Ayat (1)
Kealpaan yang dimaksud dalam pasal ini berarti tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati,
atau kurang mengindahkan kewajibannya sehingga perbuatan tersebut dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan daerah.
Ayat (2)
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini yang
dilakukan dengan sengaja dikenai sanksi yang berat mengingat pentingnya
peranan penerimaan pajak dalam penerimaan daerah.
Pasal 126
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 127
Cukup Jelas
Pasal 128
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 129
Cukup jelas
Pasal 130
Pegawai/petugas
pajak
pada
Dinas
Pendapatan
Daerah
dalam
melaksanakan tugasnya di bidang pemungutan pajak daerah dianggap
berdasarkan itikad baik apabila tidak bermaksud mencari keuntungan bagi diri
sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi,
kolusi, dan/atau nepotisme.
Pasal 131
Cukup Jelas
Pasal 132
Cukup Jelas
Pasal 133
Cukup Jelas
Pasal 134
Cukup Jelas
Pasal 135
Cukup Jelas
Pasal 136
Cukup Jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
TAHUN 2011 NOMOR
SERI B
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
NOMOR 12 TAHUN 20
2011
TENTANG
RETRIBUSI PELAYANAN KESEHATAN
PUSKESMAS, PUSTU DAN POLINDES DI KABUPATEN LAMANDAU
HALAMAN 310
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
TAHUN 2011 NOMOR 70 SERI C
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
NOMOR 12 TAHUN 2011
TENTANG
RETRIBUSI PELAYANAN KESEHATAN
PUSKESMAS, PUSTU DAN POLINDES DI KABUPATEN LAMANDAU
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI LAMANDAU,
Menimbang
:
a.
e.
f.
g.
h.
Mengingat
:
1.
2.
3.
5.
6.
bahwa pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang yang dijamin
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang harus diwujudkan dengan upaya peningkatan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya;
bahwa untuk kelancaran pelaksanaan pelayanan yang lebih baik sebagai
upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat diperlukan pelayanan
kesehatan yang optimal;
bahwa salah satu Kewenangan Pemerintah Daerah adalah memungut
Retribusi Daerah sesuai dengan kewenangannya sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah;
bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 8 Tahun 2005
tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah
Kabupaten Lamandau dan Perubahannya Peraturan Daerah Kabupaten
Lamandau Nomor 11 Tahun 2006 sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kondisi saat ini, maka perlu ditinjau kembali untuk
disesuaikan;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dalam huruf a, b, c, d
dan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Dan Retribusi Daerah perlu ditetapkan Peraturan Daerah tentang
Retribusi Pelayanan Kesehatan Puskesmas, Pustu dan Polindes di
Kabupaten Lamandau.
Undang-Undang Nomor 81 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Repblik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten
Katingan, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Sukamara, Kabupaten
Lamandau, Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Pulang Pisau,
Kabupaten Murung Raya, Kabupaten Barito Timur Di Provinsi Kalimantan
Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 18, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4180);
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3637);
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan
Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5049);
7. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
8. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5234);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1987 tentang Penyerahan
Sebagian Urusan Pemerintahan Dalam Bidang Kesehatan Kepada
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1987 Nomor 9,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3347);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1991 tentang Pemeliharaan
Pegawai Negeri Sipil, Penerimaan Pensiunan, Veteran Dan Perintis
Kemerdekaan Bersama Keluarganya;
11. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi Dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4761);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Pemberian Dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah Dan
Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5161);
13. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Pemerintah Daerah;
14. Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintah
Kabupaten Lamandau (Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau Tahun
2008 Nomor 27 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten
Lamandau Nomor 27);
15. Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 13 Tahun 2008 tentang
Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Lamandau
(Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau Tahun 2008 Nomor 29,
Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 29 Seri D)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten
Lamandau Nomor 11 Tahun 2009 tentang Perubahan Pertama Atas
Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 13 Tahun 2008 tentang
Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Lamandau
(Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau Tahun 2009 Nomor 48 Seri D,
Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 39 Seri D).
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
dan
BUPATI LAMANDAU
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
:
PERATURAN DAERAH TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN KESEHATAN
PUSKESMAS, PUSTU DAN POLINDES DI KABUPATEN LAMANDAU.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kabupaten Lamandau;
2. Pemerintahan Daerah adalah Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
3. Pemerintah Daerah adalah Bupati beserta Perangkat Daerah sebagai Unsur Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah;
4. Bupati adalah Bupati Lamandau;
5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten Lamandau;
6. Dinas Kesehatan adalah Dinas Kesehatan Kabupaten Lamandau;
7. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten adalah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
Lamandau;
8. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang retribusi daerah sesuai dengan
Peraturan Perundang-undangan daerah yang berlaku;
9. Bendaharawan khusus penerima adalah Bendaharawan Khusus Penerima di Dinas Kesehatan
Kabupaten Lamandau;
10. Pelayanan Kesehatan adalah semua bentuk penyelenggaraan kegiatan dan jasa yang
diberikan kepada masyarakat dengan maksud mendapatkan pengobatan, pencegahan,
pemulihan dan peningkatan kesehatan yang dilakukan oleh Puskesmas, Pustu dan Polindes
yang dipungut biaya atau tidak dipungut biaya;
11. Pusat Kesehatan Masyarakat adalah suatu kesatuan organisasi fungsional yang merupakan
pengembangan kesehatan masyarakat yang membina peran serta masyarakat disamping
memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di
wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok;
12. Puskesmas Keliling adalah pelayanan kesehatan oleh Puskesmas dengan mempergunakan
kendaraan roda 4 (empat), kendaraan roda 2 (dua) atau transportasi lainnya di lokasi yang jauh
dari sarana pelayanan yang ada;
13. Pondok Bersalin Desa atau dapat disingkat POLINDES adalah sarana yang melaksanakan
upaya kesehatan ibu dan anak yang merupakan bagian integral dari Puskesmas;
14. Puskesmas Pembantu atau dapat disingkat PUSTU adalah sarana yang melaksanakan upaya
pelayanan kesehatan kepada masyarakat secara menyeluruh yang merupakan bagian integral
dari Puskesmas;
15. Retribusi Daerah adalah Pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin
tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan
pembeli atau Daerah;
16. Retribusi Pelayanan Kesehatan yang selanjutnya dapat disebut Retribusi adalah pembayaran
atas pelayanan kesehatan di Puskesmas, Pustu dan Polindes di Kabupaten Lamandau;
17. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut Peraturan Perundangundangan retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran;
18. Surat Pendaftaran Objek Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SPDORD adalah Surat
yang digunakan oleh wajib retribusi sebagai dasar perhitungan dan pembayaran retribusi yang
terutang menurut Perundang-undangan Retribusi Daerah;
19. Surat Keterangan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah Surat Keputusan
yang menentukan besarnya jumlah retribusi yang terutang;
20. Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKRDLB adalah
Surat Keputusan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran retribusi karena jumlah
kredit retribusi lebih besar daripada retribusi yang terutang atau tidak seharusnya terutang;
21. Surat Ketetapan Retribusi Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat
SKRDKBT adalah Surat Keputusan yang menentukan tambahan atas jumlah retribusi yang
ditetapkan;
22. Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah Surat untuk
melakukan tagihan retribusi dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda;
23. Surat Keputusan keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap besar SKRD
atau dokumen lainnya. Yang dipersamakan SKRDBKT dan SKRDLB yang diajukan oleh wajib
retribusi;
24. Rawat Jalan adalah pelayanan kesehatan terhadap orang yang masuk Puskesmas, Pustu dan
Polindes untuk keperluan observasi, diagnosa, pengobatan, rehabilitasi medik dan pelayanan
kesehatan lainnya tanpa tinggal di ruang rawat inap;
25. Rawat Jalan Tingkat I adalah semua jenis pelayanan kesehatan perorangan yang dilakukan di
Unit Gawat Darurat baik pagi maupun sore hari;
26. Rujukan Swasta adalah penderita yang dikirim oleh perusahaan swasta, rumah bersalin,
praktek dokter swasta dan balai pengobatan swasta lainnya untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan baik rawat jalan, rawat inap maupun penunjang diagnostik;
27. Pelayanan Rawat Inap adalah pelayanan kepada pasien untuk observasi, diagnosis,
pengobatan, rehabilitasi medik dan pelayanan kesehatan yang lainnya;
28. Pelayanan Kesehatan Tingkat Lanjutan/Rujukan adalah pelayanan kesehatan perorangan yang
bersifat spesialistik atau sub spesialistik yang meliputi rawat jalan tingkat lanjutan, rawat inap
tingkat lanjutan;
29. Pelayanan Gawat Darurat adalah pelayanan kesehatan kepada penderita yang membutuhkan
pertolongan pertama dengan maksud menyelamatkan jiwa, mencegah dan mengatasi CACAT
serta meringankan penderitaan;
30. Pelayanan Penunjang Diagnostik adalah pelayanan untuk menegakkan diagnostik;
31. Tindakan Medik dan Therapy adalah tindakan pembedahan, pengobatan menggunakan alat
dan tindakan diagnostik lainnya;
32. Konservasi Jenazah adalah kegiatan perawatan dan pengawetan jenazah dengan memakai
bahan-bahan kimia yang dilakukan tenaga kesehatan untuk kepentingan bukan proses
peradilan;
33. Visum Et Repertum adalah suatu keterangan tertulis yang dibuat dokter atas sumpah yang
diucapkan pada waktu berakhirnya pendidikan kedokteran, mempunyai daya bukti yang syah di
pengadilan, selama keterangan itu memuat segala sesuatu yang diamati (terutama yang dilihat
dan ditemukan) pada objek yang diperiksa;
34. Jasa Sarana dan Prasarana adalah jasa pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Puskesmas,
Pustu dan atau Polindes kepada seseorang berupa jasa pelayanan, bahan dan alat (bahan
kimia, alat kesehatan atau lainnya yang tidak mungkin dibeli sendiri oleh penderita), untuk
digunakan langsung dalam rangka observasi, diagnosa, pengobatan, perawatan, rehabilitasi
medik dan pelayanan kesehatan lainnya;
35. Jasa Medik adalah jasa pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Dokter kepada seseorang
dalam rangka observasi, diagnosa, pengobatan, perawatan, rehabilitasi medik dan pelayanan
kesehatan lainnya;
36. Jasa Perawatan adalah jasa pelayanan kesehatan yang diberikan oleh paramedis
kepada seseorang dalam rangka observasi, diagnosa, pengobatan, perawatan, rehabilitasi
medik dan pelayanan kesehatan lainnya;
37. Konsultasi Medik adalah permohonan pemeriksaan spesialistik yang diberikan kepada
seseorang demi kepentingan usaha penyembuhan penyakitnya;
38. Akomodasi adalah penggunaan fasilitas rawat inap dengan atau tanpa makan di Puskesmas
Perawatan;
39. Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat-obatan tradisional, kosmetika dan bahan habis
pakai;
40. Visite Dokter adalah kunjungan dokter pada jam dinas terhadap penderita yang dirawat;
41. Catatan Medik adalah catatan mengenai data kegiatan medis yang merupakan komponen
dalam sistem informasi kesehatan;
42. Penjamin adalah orang atau Badan Hukum sebagai penanggung biaya pelayanan kesehatan
dari seseorang yang menjadi tanggungannya;
43. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan dan mengolah data
dan atau keterangan lain dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban
retribusi berdasarkan besar Peraturan Perundang-undangan Retribusi Daerah;
44. Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri
Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melaksanakan
Penyelidikan;
45. Penyidikan adalah serangkaian tindakan Penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam Undang-Undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu
membuat keterangan tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
BAB II
TANGGUNG JAWAB
Pasal 2
Pemerintah Daerah dan Masyarakat berkewajiban dalam memelihara dan mempertinggi derajat
kesehatan di Kabupaten Lamandau.
BAB III
NAMA OBYEK DAN SUBYEK RETRIBUSI
Pasal 3
Dengan nama Retribusi Pelayanan Kesehatan Puskesmas, Pustu dan Polindes dipungut retribusi
sebagai pembayaran atas pelayanan kesehatan di Puskesmas, Pustu dan Polindes.
Pasal 4
Objek Retribusi adalah pelayanan kesehatan di Puskesmas, Pustu dan Polindes yang dimiliki
dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan pendaftaran.
Pasal 5
Subyek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh jasa pelayanan kesehatan
dari Puskesmas, Pustu dan Polindes.
BAB IV
GOLONGAN RETRIBUSI
Pasal 6
Retribusi Pelayanan Kesehatan Puskesmas, Pustu dan Polindes Kabupaten Lamandau termasuk
golongan Retribusi Jasa Umum.
BAB V
CARA MENGUKUR TINGKAT PENGGUNAAN JASA
Pasal 7
Tingkat Penggunaan Jasa dihitung berdasarkan frekuensi pelayanan, jenis pelayanan dan fasilitas
pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Puskesmas, Pustu dan Polindes dalam jangka waktu
tertentu.
BAB VI
PRINSIP DAN SASARAN DALAM PENETAPAN STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF
Pasal 8
(1)
(2)
Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi berdasarkan jenis
pelayanan kesehatan dengan mempertimbangkan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan,
kemampuan masyarakat, aspek keadilan dan efektivitas pengendalian atas pelayanan
tersebut;
Biaya sebagaimana dimaksud ayat (1) termasuk investasi, sarana dan prasarana, serta biaya
operasional dan pemeliharaan;
BAB VII
PELAYANAN KESEHATAN DI PUSKESMAS, PUSTU DAN POLINDES
Pasal 9
Pelayanan kesehatan di Puskesmas , Pustu dan Polindes meliputi :
a.
Pelayanan rawat jalan kesehatan dasar dan pelayanan rawat jalan rujukan adalah untuk
membiayai sebagian biaya penyelenggaraan pelayanan sesuai dengan kemampuan
masyarakat;
b.
Pelayanan rawat jalan tindakan khusus :
- Perawatan sederhana adalah untuk membiayai sebagian dari biaya penyelenggaraan
pelayanan sesuai kemampuan masyarakat;
- Perawatan sedang untuk membiayai separuh dari biaya perawatan;
- Perawatan besar didasarkan pada tujuan untuk membiayai sepertiga dari biaya perawatan
dengan memperhatikan kemampuan masyarakat.
Pasal 10
Setiap Orang yang menggunakan sarana pelayanan kesehatan di Puskesmas, Pustu dan Polindes
akan dikenakan pungutan berupa :
a. Jasa Pelayanan;
b. Perawatan dan Pengobatan;
c. Tindakan Medik;
d. Pelayanan Ambuance/Puskesmas Keliling.
Pasal 11
Bagi penderita penyakit menular yang pengobatannya termasuk dalam program
proyek Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular diberikan pelayanan kesehatan secara
cuma-cuma.
BAB VIII
PELAYANAN AMBULANCE DAN MOBIL JENAZAH
Pasal 12
(1)
(2)
(3)
(4)
Bagi pasien yang menggunakan jasa ambulance dan mobil jenazah dikenakan retribusi;
Mobil Ambulance/Puskesmas Keliling hanya diperuntukkan untuk :
a. Mengangkut penderita ke Puskesmas atau luar Puskesmas;
b. Kegiatan Operasional Pelayanan Kesehatan ke desa-desa dalam wilayah kerja
Puskesmas;
c. Mengangkut Penderita yang akan dirujuk ke Rumah Sakit.
Mobil Ambulance/Puskesmas Keliling tidak dibenarkan untuk mengangkut mayat dari
Puskesmas maupun di luar Puskesmas;
Penggunaan ambulance dan mobil jenazah ke luar wilayah kerja puskesmas yang
bersangkutan akan dikenakan biaya operasional.
BAB IX
PELAYANAN KESEHATAN YANG DIKENAKAN TARIF
Pasal 13
(1)
Pelayanan Kesehatan yang dikenakan tarif dikelompokkan menjadi :
1.1 Pelayanan Rawat Jalan
1.1.1 Poliklinik Pengobatan Umum
a. Kartu Rawat Jalan ( Pasien Baru )
b. Pasien Berobat Jalan
c. Pemeriksaan Visus Mata/ Kunjungan
d. Permintaan Visum Et Refertum ( Visum Luar / Visum Dalam )
e. KIR Kesehatan ( Umum/ Pelajar / PNS )
1.1.2 Poliklinik KIA
a. Pemeriksaan Kesehatan Ibu, Bumil dan Bufas
b. Pemeriksaan Kesehatan Anak
c. Pemeriksaan Kesehatan bayi
d. Pelayanan Konseling Gizi
e. Konsultasi Perawatan Payudara
f. Pemeriksaan Kehamilan ( Doppler / USG )
1.1.3 Poliklinik Gigi dan Mulut
a. Pemeriksaan/ Pengobatan Gigi/ Kunjungan
1.1.4 Tindakan pada Gigi dan Mulut
a. Perawatan & Pembersihan Karang Gigi/ Region
b. Pencabutan gigi anak/ Gigi
c. Pencabutan gigi dewasa/ Gigi
d. Penambalan Gigi Sementara/ Kunjungan
e. Penambalan Gigi Tetap/ Kunjungan
f. Insisi Abses Gigi (Intra Oral)
g. Pencabutan Gigi Tertanam (Impated)
h.
1.2
1.3
Pencabutan Gigi Tetap dengan Komplikasi
Tindakan
1.2.1 Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan
a. Debridement (Luka/ Luka Bakar)
b. Minor Surgery Ringan
c. Spalk/ Pembidaian
d. Ransel Verban
e. Hecting Per Jahitan (Luar/ Dalam)
f. Aff Hecting (Luar)
g. Amputasi Sederhana Per Tindakan
h. Pemasangan/ Aff Kateter Per Tindakan
i. Pasang NGT/ Bilas Lambung
j. Vena Sectio
k. Pemasangan Infus Per Tindakan
l. Aff Infus Per Tindakan
m. Exstirpasi Corpus Allineum (THT)
n. Exstraksi Lipoma Ganglion
o. Oksigen (O2) Per Liter
1.2.2 Tindakan Medik Ringan/ Operasi Kecil
a. Pengobatan dan Perawatan Luka
b. Insisi Abses
c. Exstraksi Kuku (Cabut Kuku)
d. Pengangkatan Benda Asing
e. Incisi Hordeolum
f. Buang serumen Per Telinga
g. Suntikan Depoprorera termasuk Bahannya
h. Suntikan Cyclofem
i. Tindik Daun Telinga
j. Sirkumsisi (Khitan)
k. Pencabutan Implant Tanpa/ Dengan Komplikasi
l. Pemasangan Implant Tanpa Bahan
m. Pencabutan IUD Tanpa/ Dengan Komplikasi
n. Pencabutan IUD Tanpa Bahan
Tindakan Laboratorium
1.3.1 Pemeriksaan Darah
a. Haemoglobin (Hb)
b. Leukosit
c. Eritrosit
d. Trombosit
1.4
1.5
1.6
e. Golongan Darah
f. Laju Endap Darah (LED)
g. CT, BT
h. DDR Malaria
1.3.2 Pemeriksaan Urine
a. Albumin
b. Reduksi
c. Urubilin
d. Bilirubin
e. Sedimen
1.3.3. Pemeriksaan Sputum BTA
1.3.4 Pemeriksaan Darah Lengkap
1.3.5 Pemeriksaan Urine Lengkap
1.3.6 Pemeriksaan Urine Rutin
1.3.7 Pemeriksaan Widal
1.3.8 Pemeriksaan Test Kehamilan
1.3.9 Pemeriksaan Asam Urat
1.3.10 Pemeriksaan Gula Darah
1.3.11 Pemeriksaan Faeces Lengkap
1.3.12 Pemeriksaan SGOT
1.3.13 Pemeriksaan SGPT
1.3.14 Pemeriksaan HIV/ AIDS
1.3.15 Pemeriksaan Narkoba
1.3.16 Pemeriksaan Cholesterol
Tindakan Pertolongan Kesehatan
1.4.1 Pertolongan Persalinan Normal
a. Pertolongan oleh Tenaga Dokter
b. Pertolongan oleh Tenaga Bidan
c. Pertolongan oleh Tenaga Perawat
d. Perawatan Ibu Bersalin Per Hari
e. Perawatan Bayi Per Hari
1.4.2 Pertolongan Persalinan Dengan Penyulit
a. Pertolongan oleh Tenaga Dokter
b. Pertolongan oleh Tenaga Bidan
c. Pertolongan oleh Tenaga Perawat
d. Perawatan Ibu Bersalin Per Hari
e. Perawatan Bayi Per Hari
Pelayanan Rawat Inap di Puskesmas Perawatan
1.5.1 Kelas I
a. Perawatan Pasien Per Hari
b. Pemeriksaan/ Pengobatan dan Konsultasi Medik
c. Administrasi dan Catatan Medik (Medical Record)
1.5.2 Kelas II
a. Perawatan Pasien Per Hari
b. Pemeriksaan / Pengobatan dan Konsultasi Medik
c. Administrasi dan Catatan Medik (Medical Record)
1.5.3 Kelas III (Zaal)
a. Perawatan Pasien Per Hari
b. Pemeriksaan/ Pengobatan dan Konsultasi Medik
c. Administrasi dan Catatan Medik (Medical Record)
1.5.4 Pemakaian Oksigen Per Liter
Pelayanan Ambulance
1.6.1 Pelayanan Ambulance Dalam Kota (Lokal) Setiap 10 Km
a. Dalam Wilayah Puskesmas
1.6.2 Pelayanan Ambulance Luar Kota / Wilayah Puskesmas Setiap 10 Km
a. Siang Hari
b. Malam Hari
1.7
(2)
Pengawetan Jenazah
1.7.1 Dengan Bahan (Formalin Cair)
1.7.2 Tanpa Bahan
Segala jenis pemeriksaan dan tindakan yang belum tergolong dalam salah satu kelompok
yang dimaksud pada ayat (1), akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
BAB X
STRUKTUR BESARNYA TARIF RETRIBUSI
Pasal 14
(1)
Struktur besarnya tarif digolongkan berdasarkan atas pelayanan kesehatan yang diberikan;
(2)
Struktur dan besarnya tarif retribusi pelayanan kesehatan di Puskesmas, Pustu dan Polindes
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagaimana tabel di bawah ini :
JENIS PELAYANAN
2
No
1
I
PELAYANAN RAWAT JALAN
A.
Poliklinik Pengobatan Umum
1.
Pemeriksaan / Pengobatan :
a.
Kartu Rawat Jalan ( Pasien Baru )
b.
Pasien Berobat Jalan
d.
Pemeriksaan Visus Mata / Kunjungan
e.
Permintaan Visum Et Refertum
1). Visum Luar
2). Visum Dalam
f.
KIR Kesehatan 1 Kali
1). Pelajar
2). Umum / PNS
B.
Poliklinik KIA
1.
Pemeriksaan / Pengobatan
a.
Pemeriksaan Kesehatan Ibu, Bumil dan Bufas
b.
Pemeriksaan Kesehatan Anak
c.
Pemeriksaan Bayi
d.
Pelayanan Konseling Gizi
e.
Konsultasi Perawatan Payudara
2.
Pemeriksaan Kehamilan Dengan :
a.
Dopller
b.
USG
1.000,5.000,5.000,70.000,150.000,Gratis
15.000,-
5.000,5.000,5.000,10.000,10.000,50.000,150.000,-
C.
II
Poliklinik Pada Gigi dan Mulut
1.
Pemeriksaan / Pengobatan Gigi / kunjungan
D.
Tindakan Pada Gigi dan Mulut
1.
Perawatan dan Pembersihan Karang Gigi / Regio
2.3 Pencabutan Gigi Anak / Gigi
.
Pencabutan Gigi Dewasa / Gigi
4.
Penambalan Gigi Sementara / Kunjungan
5.
Penambalan Gigi Tetap / Kunjungan
6.
Incisi Abses Gigi (Intra Oral)
7.
Pencabutan Gigi Tertanam (Impacted)
8.
Pencabutan Gigi Tetap dengan Komplikasi
TINDAKAN
A.
Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan
1.
Debridement
a.
Luka
b.
Luka Bakar
2.
Minor Surgery Ringan
3.
Spalk / Pembidaian
4.
Ransel Verban
5.
Hecting Per Jahitan ( Luar / Dalam )
6.
Aff Hecting ( Luar )
7.
Amputasi Sederhana Per Tindakan
8.
Pemasangan / Aff Kateter Per Tindakan
9.
Pasang NGT / Bilas Lambung
10. Vena Sectio
11. Pemasangan Infus Per Tindakan
12. Aff Infus Per Tindakan
TARIF (Rp).
3
5.000,10.000,10.000,25.000,10.000,20.000,25.000,50.000,35.000,-
20.000,30.000,20.000,10.000,15.000,10.000,5.000,25.000,20.000,25.000,20.000,15.000,5.000,-
13.
14.
15.
B.
III.
IV
V
Exstirpasi Corpus Allineum ( THT )
Exstraksi Lipoma Ganglion
Oksigen ( O2 ) Per Liter
Tindakan Medik Ringan / Operasi Kecil
1.
Pengobatan dan Perawatan Luka
2.
Insisi Abses
3.
Ekstraksi Kuku ( Cabut Kuku )
4.
Pengangkatan Benda Asing
a. Besar
b. Kecil
5.
Insisi Hordeolum
6.
Buang Serumen Per Telinga
7.
Suntikan Depopropera termasuk Bahannya
8.
Suntikan Cyclofem
9.
Tindik Daun Telinga
10. Sirkumsisi (Khitan)
11. Pencabutan Implant Tanpa / Dengan Komplikasi
12. Pemasangan Implant Tanpa Bahan
13. Pencabutan IUD Tanpa / Dengan Komplikasi
14. PemasanganIUD Tanpa Bahan
TINDAKAN LABORATORIUM
A.
Pemeriksaan Darah
1.
Haemoglobin ( Hb )
2.
Leukosit
3.
Eritrosit
4.
Trombosit
5.
Golongan Darah
6.
Laju Endap Darah ( LED )
7.
CT, BT
8.
DDR Malaria
B.
Pemeriksaan Urine
1.
Albumin
2.
Reduksi
3.
Urubilin
4.
Bilirubin
5.
Sedimen
C.
Pemerikaan Sputum BTA
D.
Pemeriksaan Darah Lengkap
E.
Pemeriksaan Urine Lengkap
F.
Pemeriksaan Urine Rutin
G.
Pemeriksaan Widal
H.
Pemeriksaan Test Kehamilan
I.
Pemeriksaan Asam Urat
J.
Pemeriksaan Gula Darah
K.
Pemeriksaan Faeces Lengkap
L.
Pemeriksaan SGOT
M.
Pemeriksaan SGTP
N.
Pemeriksaan HIV / AIDS
O.
Pemeriksaan Narkoba
P.
Pemeriksaan Cholesterol
TINDAKAN PERTOLONGAN PERSALINAN
A.
Pertolongan Persalinan Normal
1.
Pertolongan Oleh Dokter
2.
Pertolongan Oleh Bidan
3.
Pertolongan Oleh Perawat
4.
Perawatan Ibu Bersalin Per Hari
5.
Perawatan Bayi Per Hari
B.
Pertolongan Persalinan dengan Penyulit
1.
Pertolongan Oleh Dokter
2.
Pertolongan Oleh Bidan
3.
Pertolongan Oleh Perawat
4.
Perawatan Ibu Bersalin Per Hari
5.
Perawatan Bayi Per Hari
PELAYANAN RAWAT INAP DI PUSKESMAS PERAWATAN
A.
Perawatan Umum
1.
Kelas I
a. Perawatan Pasien Per Hari
15.000,25.000,1.000,20.000,10.000,15.000,10.000,5.000,15.000,10.000,15.000,15.000,15.000,150.000,200.000,100.000,250.000,200.000,-
5.000,5.000,5.000,5.000,10.000,5.000,5.000,10.000,5.000,- 5.000,5.000,5.000,5.000,15.000,10.000,10.000,10.000,20.000,15.000,20.000,15.000,15.000,25.000,25.000,50.000,100.000,25.000,-
150.000,100.000,100.000,10.000,10.000,200.000,150.000,150.000,10.000,10.000,-
50.000,-
2.
3.
4.
VI
VII
b. Pemeriksaan/Pengobatan dan Konsultasi Medik
c. Administrasi dan Catatan Medik (Medical Record)
Kelas II
a. Perawatan Pasien Per Hari
b. Pemeriksaan/Pengobatan dan Konsultasi Medik
c. Administrasi dan Catatan Medik (Medical Record)
Kelas III (Zaal)
a. Perawatan Pasien Per Hari
b. Pemeriksaan/Pengobatan dan Konsultasi Medik
c. Administrasi dan Catatan Medik (Medical Record)
Pemakaian Oksigen Per Liter
PELAYANAN AMBULANCE
A.
Pelayanan Ambulance Dalam Kota (Lokal) Setiap 10 Km
1.
Dalam Wilayah Puskesmas
B.
Pelayanan Ambulance Luar Kota/Wilayah Puskesmas Setiap 10 Km pada
:
1. Siang Hari
2. Malam Hari
PENGAWETAN JENAZAH
A.
Dengan Bahan ( Formalin Cair )
B.
Tanpa Bahan
20.000,7.000,40.000,15.000,5.000,30.000,10.000,2.500,1.000,-
25.000,-
25.000,30.000,200.000,100.000,-
Pasal 15
(1)
(2)
(3)
Tarif retribusi sebagaimana dimaksud Pasal 14 Ayat (2) ditinjau kembali paling lama 3 (tiga)
tahun sekali;
Peninjauan tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan indeks harga dan perkembangan ekonomi;
Perubahan tarif retribusi sebagaimana tindak lanjut peninjauan tarif sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
BAB XI
CARA PERHITUNGAN RETRIBUSI
Pasal 16
Retribusi yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam pasal
14 ayat (2) dengan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam pasal 7.
BAB XII
MASA RETRIBUSI/ SAAT RETRIBUSI TERUTANG
Pasal 17
(1) Masa retribusi adalah sekali penggunan layanan kesehatan di Puskesmas, Pustu dan Polindes;
(2) Terhadap pelayanan administrasi diberikan sekali selama menjadi pasien di Puskesmas, Pustu
dan Polindes dan/atau tidak terjadi kehilangan Kartu Periksa.
BAB XIII
WILAYAH PEMUNGUTAN
Pasal 18
Pemungutan retribusi dilakukan di wilayah tempat pelayanan diberikan.
BAB XIV
TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PEMUNGUTAN RETRIBUSI
Pasal 19
(1)
(2)
Pemungut Retribusi ditunjuk langsung oleh Bupati atau Pejabat yang ditunjuk untuk itu
dengan mengeluarkan Surat Keputusan Bupati sebagai Surat Tugas;
Pemungut Retribusi bertanggung jawab langsung kepada Bupati melalui Kepala Dinas
(3)
Kesehatan;
Pemungut Retribusi berkewajiban untuk menyetor hasil pungutan retribusi kepada Bendahara
Penerima dan melaporkan hasil pemungutan secara teratur kepada Bupati melalui Kepala
Dinas Kesehatan pada awal bulan berikutnya.
BAB XV
TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB BENDAHARAWAN KHUSUS PENERIMA
Pasal 20
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Bupati secara tehknis menunjuk dan mengangkat seorang bendaharawan khusus penerima
sesuai dengan prosedur dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku;
Bendaharawan khusus penerima berkewajiban menyelenggarakan pembukuan dengan
administrasi yang teratur dan benar sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan;
Semua hasil penerimaan sudah di setor oleh bendaharawan khusus penerima selambat lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja ke Kas Daerah pada Dinas Pendapatan,
Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Lamandau;
Bendaharawan Khusus Penerima dilarang menyimpan uang hasil pemungutan retribusi di luar
batas waktu yang ditentukan dan atas nama pribadi/instansinya pada suatu bank;
Bendaharawan Khusus Penerima dengan persetujuan atasan langsung selambat-lambatnya
tanggal 15 setiap bulan sudah menyampaikan Laporan Pertanggungjawaban kepada Bupati
melalui Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Lamandau.
BAB XVI
PENENTUAN PENGGUNAAN
Pasal 21
(1) Hasil pemungutan retribusi Pelayanan Kesehatan Puskesmas, Pustu dan Polindes seluruhnya
disetor ke Kas Daerah;
(2) Hasil pungutan retribusi sebagaimana dimaksud ayat (1) disetor oleh bendaharawan penerima
pada sarana pelayanan setempat melalui bendaharawan penerima Dinas Kesehatan;
(3) Dari hasil pemungutan Retribusi sebagaimana dimaksud ayat (1) sebesar 50% dikembalikan
ke Puskesmas, Pustu dan Polindes berupa Jasa pelayanan tenaga kesehatan Puskesmas,
Pustu dan Polindes;
BAB XVIII
SURAT PENDAFTARAN
Pasal 22
(1)
(2)
(3)
Wajib retribusi diwajibkan mendaftarkan diri dan mengisi SPDORD atau dokumen lain yang
dipersmakan;
SPDORD atau dokumen lain yang dipersmakan sebagaimana dimaksud ayat (1) harus diisi
dengan benar dan lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Retribusi atau Kuasanya;
Bentuk, isi dan tata cara pengisian SPDORD atau dokumen lain yang dipersamakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
BAB XIX
PENETAPAN RETRIBUSI
Pasal 23
(1) Berdasarkan SPDORD sebagaimana dimaksud pasal 22 ayat (1) ditetapkan retribusi
terutang dengan menerbitkan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan;
(2) Bentuk isi dan tata cara penerbitan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bupati atau Pejabat yang ditunjuk.
BAB XX
PENENTUAN PEMBAYARAN, TEMPAT PEMBAYARAN,
ANGSURAN DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN
Pasal 26
(1)
(2)
(3)
(4)
Pemungutan retribusi tidak dapat diborongkan;
Retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD atau dokumen lainnya yang dipersamakan;
Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa karcis,
kupon atau kartu berlangganan;
Tata cara pemungutan retribusi akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
BAB XXI
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 27
(1)
(2)
Dalam hal wajib retribusi tidak membayar tepat waktunya atau kurang membayar, maka
dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua per seratus) setiap bulan dari
jumlah retribusi yang terutang atau kurang di bayar dan ditagih dengan menggunakan STRD;
Penagihan retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahului dengan Surat
Teguran.
BAB XXII
TATA CARA PEMBAYARAN
Pasal 28
(1)
(2)
(3)
(4)
Pembayaran Retribusi yang terutang harus dilunasi sekaligus dimuka satu kali masa
retribusi;
Retribusi yang terutang dilunasi selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sejak diterbitkannya
SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan dan STRD;
Bupati atas permohonan wajib retribusi setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat
memberikan persetujuan kepada wajib retribusi untuk mengangsur atau menunda
pembayaran retribusi dengan dikenkan bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan;
Tata cara pembayaran, tempat pembayaran dan angsuran atau penundaan pembayaran
retribusi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
BAB XXIII
TATA CARA PENAGIHAN
Pasal 29
(1)
(2)
(3)
Retribusi terutang berdasarkan SKRD, STRD dan Surat Keputusan Keberatan yang
menyebabkan jumlah retribusi yang harus dibayar bertambah, yang tidak atau kurang dibayar
oleh wajib retribusi diberikan surat teguran/ peringatan atau surat lain yang sejenis sebagai
awal tindakan penagihan yang dikeluarkan 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran;
Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah surat teguran/peringatan atau surat lain yang
sejenis diberikan, wajib retribusi harus melunasi retribusi yang terutang;
Surat teguran/peringatan atau surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud ayat (1)
dan (2) dikeluarkan oleh Pejabat yang ditunjuk.
BAB XXIV
CARA PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN KEBERATAN
Pasal 30
(1)
(2)
(3)
Wajib Retribusi dapat mengajukan keberatan hanya kepada Bupati atau Pejabat yang
ditunjuk atas STRD atau dokumen lain yang dipersamakan;
Pengajuan keberatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan disertai
alasan-alasan yang jelas;
Dalam hal Wajib Retribusi mengajukan keberatan atas ketetapan retribusi, Wajib Retribusi
harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan retribusi tersebut.
(4)
(5)
(6)
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal STRD
dan dokumen lain yang dipersamakan diterbitkan, kecuali apabila Wajib Retribusi tertentu
dapat menunjukkan bahwa dalam jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di
luar kekuasaannya;
Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) tidak dianggap sebagai surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan;
Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar retribusi dan pelaksanaan
penagihan retribusi.
Pasal 31
(1)
(2)
(3)
Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima, Bupati
harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan;
Keputusan Bupati atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian dan atau
menolak atau menambah besarnya retribusi yang terutang;
Apabila dalam jangka waktu sebagaimana di maksud ayat (1) telah lewat dan Bupati tidak
memberikan suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
BAB XXV
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN
Pasal 32
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Wajib Retribusi dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Bupati atas kelebihan
pembayaran retribusi;
Dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak diterimanya permohonan kelebihan pembayaran
retribusi sebagaimana di maksud ayat (1) pasal ini, Bupati harus memberikan Keputusan;
Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran dianggap dikabulkan apabila jangka
waktu sebagaimana dimaksud ayat (2) pasal ini, Bupati tidak memberikan Keputusan atas
pengembalian retribusi dan/atau jangka waktu 1 (satu) bulan SKRDLB harus diterbitkan;
Apabila wajib retribusi mempunyai hutang retribusi lainnya, kelebihan pembayaran retribusi
sebagaimana di maksud ayat (1) pasal ini dapat diperhitungkan untuk melunasi terlebih
dahulu hutang retribusi tersebut;
Pengembalian kelebihan pembayaran retribusi dilakukan dalam jangka waktu paling lama
2 (dua) bulan sejak diterbitkan SKRDLB;
Bupati memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua per seratus) sebulan atas keterlambatan
pembayaran kelebihan retribusi apabila pengembalian kelebihan pembayaran retribusi
dilakukan setelah lewat jangka waktu 2 (dua) bulan.
Pasal 33
(1)
(2)
(3)
Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran retribusi diajukan secara tertulis kepada
Bupati dengan menetapkan :
a. Nama dan Alamat Wajib Retribusi dengan jelas;
b. Masa retribusi;
c. Besarnya kelebihan pembayaran;
d. Alasan yang singkat.
Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran retribusi disampaikan secara langsung
oleh Wajib Retribusi dan atau yang mewakili;
Bukti penerimaan oleh Pejabat Daerah merupakan bukti saat permohonan diterima oleh
Bupati.
Pasal 34
(1)
(2)
Pengambilan kelebihan retribusi dilakukan dengan menerbitkan Surat Perintah Membayar
kelebihan Retribusi ( SPMKR );
Apabila kelebihan pembayaran retribusi diperhitungkan dengan hutang retribusi lainnya
sebagaimana dimaksud pada Pasal 32 ayat (4) maka pembayaran dilakukan dengan cara
memindahbukukan;
(3)
Bukti Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud ayat (2) pasal ini juga berlaku sebagai bukti
pembayaran.
BAB XXV
PENGHAPUSAN PIUTANG RETRIBUSI YANG KEDALUARSA
Pasal 35
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Hak untuk melakukan penagihan retribusi dinyatakan kedaluarsa apabila melampaui 3 (tiga)
tahun terhitung sejak saat terutangnya retribusi kecuali wajib retribusi melakukan tindak
pidana di bidang retribusi.
Kedaluarsa Penagihan Retribusi sebagaimana maksud pada ayat (1), tertangguh jika :
a. Diterbitkan Surat Teguran dan surat paksa; atau
b. Ada pengakuan hutang retribusi dari wajib retribusi baik langsung maupun tidak
langsung.
Dalam hal diterbitkan surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluarsa
penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya surat teguran tersebut;
Pengakuan utang retribusi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
adalah wajib retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang retribusi
dan belum melunasinya kepada Pemerintah daerah;
Pengakuan utang retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b, dapat diketahui dari pengajuan perubahan angsuran atau penundaan pembayaran
dan permohonan keberatan oleh wajib retribusi.
Pasal 36
(1)
(2)
(3)
Piutang retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan
sudah kedaluarsa dapat dihapus;
Bupati menetapkan keputusan penghapusan retribusi yang sudah kedaluarsa sebagaimana
dimaksud ayat (1);
Tata cara penghapusan piutang retribusi yang sudah kedaluarsa diatur dengan Peraturan
Bupati.
BAB XXVI
INSENTIF PEMUNGUTAN
Pasal 37
(1) Instansi yang melaksanakan pemungutan retribusi dapat diberikan insentif atas dasar
pencapaian kinerja tertentu;
(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah;
(3) Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan perundangundangan yang berlaku.
BAB XXVII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 37
(1) Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan keuangan daerah
diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan atau denda paling banyak 3 (tiga) kali
jumlah retribusi terutang yang tidak atau kurang ayar;
(2) Tindak Pidana yang dimaksud ayat (1) adalah pelanggaran;
(3) Denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disetor ke Kas negara.
BAB XXVIII
PENYIDIKAN
Pasal 38
(1)
(2)
(3)
(4)
Selain Pejabat Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS) tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi Peraturan
daerah ini diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan atas
pelanggaran tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah ini ;
Dalam melaksanakan tugas penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang :
a. Menerima, mencatat, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan
dengan tindak pidana di bidang retribusi daerah agar keterangan laporan tersebut
lengkap dan jelas;
b. Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan
tentang kebenaran perbuatan yang berhubungan dengan tindak pidana retribusi daerah;
c. Meminta keterangan dan bukti dari orang pribadi atau badan berkenaan dengan tindak
pidana di bidang retribusi daerah;
d. Memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lainnya berkenaan
dengan tindak pidana di bidang retribusi daerah;
e. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bukti pembukuan, pencatatan dan
dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bukti tersebut;
f. Meminta berhenti oleh dan atau melarang seseorang meningggalkan ruangan atau
tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan
atau dokumen yang di anggap berkaitan dengan tindak pidana di bidang retribusi daerah;
g. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang retribusi daerah;
h. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau
sanksi;
i. Menghentikan penyelidikan;
j. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran Penyidikan tindak pidana di bidang
retribusi daerah menurut ketentuan Perundang-undangan yang berlaku.
Pejabat Penyidik sebagaimana dimaksud ayat (1) membuat Berita Acara setiap tindakan
tentang :
a. Pemeriksaan Tersangka;
b. Pemasukan Rumah;
c. Penggeledahan rumah/ tempat-tempat tertutup;
d. Penyitaan benda/ barang-barang bukti;
e. Pemeriksaan Surat;
f. Pemeriksaan sanksi;
g. Pemeriksaan di tempat kejadian dan mengirimkannya kepada Penuntut Umum dan
Khusus bagi Penyidik Pegawai Negeri Sipil melalui Penyidik Polisi Negara Republik
Indonesia.
Penyidik sebagaimana dimaksud ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan
menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum sesuai ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
BAB XXIX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 39
Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka ketentuan retribusi pelayanan kesehatan RSUD
yang diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 8 Tahun 2005 tentang
Retribusi Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Lamandau dan
Perubahannya Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2006 termasuk peraturan lain yang setingkat
dan dibawahnya dinyatakan tidak berlaku lagi.
BAB XXX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 40
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan
diundangkan.
Agar
gar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan Pengundangan Peraturan Daerah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau.
Ditetapkan di Nanga Bulik
pada tanggal 21 September 2011
BUPATI LAMANDAU,
MARUKAN
Diundangkan di Nanga Bulik
pada tanggal 23 September 2011
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN LAMANDAU,
ARIFIN LP. UMBING
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
TAHUN 2011 NOMOR 70 SERI C
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
NOMOR 12 TAHUN 2011
TENTANG
RETRIBUSI PELAYANAN KESEHATAN
PUSKESMAS, PUSTU DAN POLINDES DI KABUPATEN LAMANDAU
I. PENJELASAN UMUM
Pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang yang dijamin dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang harus diwujudkan dengan upaya
peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya untuk itu diperlukan
kelancaran pelaksanaan pelayanan yang lebih baik sebagai upaya peningkatan derajat
kesehatan masyarakat dengan melakukan pelayanan kesehatan yang lebih baik dan optimal.
Untuk mewujudkan hal tersebut tentunya memerlukan dana yang besar dimana apabila
kita hanya mengandalkan APBD tidak disertai dengan sumber pendapatan yang baik maka apa
yang di programkan tidak dapat tercapai dengan baik dan obtimal. Untuk itu sebagi upaya
konkrit dari Pemerintah Daerah adalah membuat suatu kebijakan melalui penetapan Peraturan
Daerah tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Puskesmas, Pustu Dan Polindes Di Kabupaten
Lamandau. Hal ini sesuai dengan salah satu Kewenangan Pemerintah Daerah adalah
memungut Retribusi Daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undangat Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup Jelas
Pasal 2
Cukup Jelas
Pasal 3
Cukup Jelas
Pasal 4
Cukup Jelas
Pasal 5
Cukup Jelas.
Pasal 6
Cukup Jelas
Pasal 7
Cukup Jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 9
Cukup Jelas
Pasal 10
Cukup Jelas
Pasal 11
Cukup Jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 16
Cukup Jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 18
Cukup Jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Ayat (6)
Cukup Jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Ayat (6)
Cukup Jelas
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 39
Cukup Jelas
Pasal 40
Cukup Jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
TAHUN 2011 NOMOR 62 SERI C
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
NOMOR 13 TAHUN 2011
TENTANG
PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH KABUPATEN LAMANDAU
KEPADA PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM
KABUPATEN LAMANDAU
HALAMAN 347
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
TAHUN 2011 NOMOR 71 SERI A
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
NOMOR 13 TAHUN 2011
TENTANG
PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH KABUPATEN LAMANDAU
KEPADA PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM
KABUPATEN LAMANDAU
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI LAMANDAU,
Menimbang
:
a.
b.
c.
Mengingat
:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
bahwa Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Lamandau berupaya
untuk memberikan dan meningkatkan pelayanan air bersih kepada
masyarakat Nanga Bulik dan sekitarnya, tentunya memerlukan
perangkat untuk operasional dan peralatan pendukungnya;
bahwa untuk mendukung Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten
Lamandau Pemerintah Daerah perlu menyertakan modal,berupa aset
hasil penyerahan Kabupaten Kotawaringin Barat kepada Perusahaan
Daerah Air Minum Kabupaten Lamandau;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan b, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang
Penyertaan Modal Pemerintah Kabupaten Lamandau kepada
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Lamandau.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962 Nomor 10,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2378);
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Peyelengaraan
Pemerintah Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan
Nevotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor
18 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4180);
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2002 tentang Pembentukan
Kabupaten Katingan, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Sukamara,
Kabupaten Lamandau, Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Pulang
Pisau, Kabupaten Murung Raya, Kabupaten Barito Timur di Provinsi
Kalimantan Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2002 Nomor 18 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4180);
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
Undang-Undang Nomor 1 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4421);
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah beberapakali dirubah, terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua Atas
Undang- Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16
17
18
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234);
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan
Sistem Penyediaan Air Minum (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 33);
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4578);
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Dan
Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2008 tentang
Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Tahun 2009;
Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 11 Tahun 2005
tentang Pendirian Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten
Lamandau(Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau Tahun 2005
Nomor 11 Seri D);
Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 11 Tahun 2008
tentang Urusan Pemerintah Yang Menjadi Kewenangan Kabupaten
Lamandau (Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau Tahun 2008
Nomor 27 Seri D);
Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 14 Tahun 2008
tentang Organisasi Dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan
Pembangunan Dan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Lamandau
(Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau Tahun 2008 Nomor 30 Seri
D) sebagaimana telah diubah pertama kali dengan Peraturan Daerah
Kabupaten Lamandau Nomor 12 Tahun 2009 tentang Perubahan
Pertama Atas Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 14
Tahun 2008 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Inspektorat, Badan
Perencanaan Pembangunan Dan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten
Lamandau (Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau Tahun 2009
Nomor 47 Seri D, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lamandau
Nomor 40 Seri D).
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
dan
BUPATI LAMANDAU
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
:
PERATURAN
DAERAH
TENTANG
PENYERTAAN
MODAL
PEMERINTAH KABUPATEN LAMANDAU KEPADA PERUSAHAAN
DAERAH AIR MINUM (PDAM) KABUPATEN LAMANDAU.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Daerah Kabupaten Lamandau;
2. Pemerintahan Daerah adalah Penyelenggaraan Urusan Pemerintah oleh Pemerintah Daerah
dan DPRD menurut Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan dengan prinsip Otonomi seluasluasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai Unsur Penyelenggara
Pemerintahan Daerah;
4. Bupati adalah Bupati Lamandau;
5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Lamandau;
6. Sekretris Daerah adalah Sekretaris Daerah Kabupaten Lamandau;
7. Perusahaan Daerah Air Minum adalah Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Lamandau.
8. Penyertaan Modal adalah setiap usaha dalam menyertakan modal daerah pada suatu usaha
bersama dengan pihak ketiga, dan atau pemanfaatan modal daerah oleh pihak ketiga dengan
suatu imbalan tertentu;
9. Modal Daerah adalah modal dalam bentuk uang dan atau kekayaan daerah (yang belum
dipisahkan) yang dapat dinilai dengan uang seperti tanah, bangunan, mesin- mesin, surat-surat
berharga, fasilitas dan hak-hak lainnya yang dimiliki oleh daerah yang merupakan kekayaan
daerah;
BAB II
TUJUAN
Pasal 2
(1) Penyertaan modal daerah bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian daerah
dan menambah pendapatan asli daerah, serta meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di
bidang air minum;
(2) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini penyertaan modal
daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip ekonomi perusahaan/profit oriented dan pelayanan
kepada masyarakat/social oriented.
BAB III
PENYERTAAN MODAL
Pasal 3
(1) Pemerintah Kabupaten Lamandau melakukan penyertaan modal daerah ke dalam Perusahaan
Daerah Air Minum Kabupaten Lamandau sebesar Rp. 1.778.823.813,- (Satu Milyar Tujuh
Ratus Tujuh Puluh Delapan Juta Delapan Ratus Dua Puluh Tiga Ribu Delapan Ratus Tiga
Belas Rupiah);
(2) Penyertaan modal sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan hasil penyerahan aset dari
Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat berdasarkan Berita Acara serah terima aset
Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Kotawaringin Barat yang berada di wilayah
Kabupaten Lamandau dari Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat kepada Pemerintah
Kabupaten Lamandau pada tanggal 30 Januari 2007 dengan Nomor : Ekbang/500/41/I/2007
dan Nomor : 690/25 Bang/I/2007 dengan rincian sebagai berikut :
NO.
URUT
1
GOL
URAIAN
01
Tanah
2
3
4
5
6
02
03
04
05
06
Peralatan dan Mesin
Gedung dan Bangunan
Jalan,Irigasi dan Jaringan
Aset Tetap Lainnya
Konstruksi Dalam Pengerjaan
Total
NILAI (RP.)
KETERANGAN
0 Terdapat 900 M2
tanah yang belum
terdapat nilainya
4.764.000
57.451.000
1.716.608.813
0
0
1.778.823.813
BAB IV
TATA CARA PENYERTAAN MODAL
Pasal 4
(1) Penyertaan Modal Daerah kepada Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Lamandau
dengan cara memberikan penyertaan modal berupa aset milik daerah yang merupakan hasil
penyerahan dari Kabupaten Kotawaringin Barat Tahun 2007 sebagaimana dimaksud pada
Pasal 3 ayat (2);
(2) Pelaksanaan sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan dengan cara bagi hasil keuntungan
sesuai dengan maksud pendirian perusahaan.
BAB V
PENGAWASAN
Pasal 5
(1) Bupati
menunjuk pejabat yang akan mewakili Pemerintah Daerah untuk melakukan
pengawasan atas penyertaan modal sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
(2) Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memiliki wawasan dan
memahami usaha dibidang air minum secara profesional;
(3) Dalam melaksanakan tugasnya pejabat sebagaimana
sebagaimana dimaksud ayat (2) bertanggung jawab
kepada Bupati Lamandau.
BAB VI
BAGI HASIL KEUNTUNGAN
Pasal 6
(1) Bagi hasil keuntungan dari Penyertaan Modal menjadi Hak Daerah yang diperoleh selama
Tahun Anggaran Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Lamandau
Lamandau;
(2) Bagi hasil keuntungan sebagaimana dimaksud ayat (1) akan diberikan oleh Perusahaan Daerah
Air Minum (PDAM) kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Lamandau berdasarkan pada
persentasinya yang akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati;
(3) Bagi hasil keuntungan
ngan sebagaimana dimaksud ayat (2) disetor ke Kas Daerah dan dialokasikan
dalam APBD.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 7
Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka segala ketentuan yang ada sepanjang tidak
bertentangan dengan Peraturan Daerah ini dinyatakan tetap berlaku.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 8
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten
Kabupaten Lamandau.
Ditetapkan di
pada tanggal
anggal
Nanga Bulik
27 September 2011
BUPATI LAMANDAU
MARUKAN
Diundangkan di Nanga Bulik
pada tanggal
anggal 28 September 2011
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN LAMANDAU,
ARIFIN LP. UMBING
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
TAHUN 2011 NOMOR 71 SERI A
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
NOMOR 13 TAHUN 2011
TENTANG
PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH KABUPATEN LAMANDAU
KEPADA PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM
KABUPATEN LAMANDAU
I. PENJELASAN UMUM
bahwa Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Lamandau berupaya untuk memberikan dan
meningkatkan pelayanan air bersih kepada masyarakat Nanga Bulik dan sekitarnya, tentunya
memerlukan perangkat untuk operasional dan peralatan pendukungnya;
Untuk mendukung Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Lamandau Pemerintah Daerah
perlu menyertakan modal,berupa aset hasil penyerahan Kabupaten Kotawaringin Barat kepada
Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Lamandau.
II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup Jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 7
Cukup Jelas
Pasal 8
Cukup Jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU
TAHUN 2011 NOMOR 63 SERI A
Download