Menahan Laju Negara Islam Indonesia

advertisement
K OLOM PAKAR
SENIN, 2 MEI 2011
21
Menahan Laju
Negara Islam Indonesia
Oleh:
Abdul Moqsith Ghazali
Dosen Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
N
EGARA Islam
Indonesia (NII)
membuat ulah. Ia
makin agresif merekrut anggota baru. Beberapa
mahasiswa di Malang, Yogyakarta, Lampung, dan Jakarta
dinyatakan hilang, diculik
aparatur NII. Para mahasiswa
dan pelajar Islam yang minim
pemahaman keislamannya
ditarik masuk ke dalam NII.
Melalui media massa, kita
disuguhi informasi perihal
proses indoktrinasi dan ideologisasi kepada anggota baru
NII. Setelah dibaiat sebagai
anggota, mereka pun disebar
ke masyarakat untuk mencari
dana. Para mantan anggota
NII yang diwawancara televisi
mengisahkan tentang seringnya menipu orang tua untuk
memperoleh dana. Mereka
diwajibkan membayar iuran
bulanan untuk mengisi lumbung keuangan NII.
Kondisi tersebut menimbulkan keprihatinan dan kerisauan
di kalangan masyarakat. Banyak orang tua yang histeris
karena anak-anak mereka
yang masuk NII. Orang tua tak
hanya merugi secara materiel
karena tertipu, melainkan juga
defisit secara imateriel karena
anak-anak yang menjadi tumpuan harapan mereka terancam
putus sekolah atau kuliah.
Anak-anak mereka yang bersekolah di sejumlah perguruan
tinggi seperti UI, UGM, dan
UIN ternyata jatuh pada pola
pengasuhan yang keliru, NII.
Apa hendak dikata, anak-anak
itu tak fokus pada kuliah, tapi
pada NII. Prestasi akademik
mereka menurun drastis, sementara NII yang mereka perjuangkan tak realistis.
Dikisahkan, ketika menjadi
anggota NII, mereka tak hanya
diminta melepaskan diri secara
ideologis dari jenis keislaman mainstream di Indonesia,
melainkan juga memisahkan
diri secara politis dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Jika orang Islam nonNII dianggap murtad dan kafir,
NKRI dengan Pancasila dan
UUD 1945-nya dianggap negara sekuler yang harus dijauhi.
“Indonesia adalah negara kafir
yang bertentangan dengan
konsep negara dalam Islam,”
tandas mereka. Bagi mereka,
tak ada cara lain untuk memperbaiki sejumlah ‘penyimpangan’ itu kecuali dengan
menjadikan Alquran dan hadis
sahih sebagai hukum tertinggi
negara, dan NII sebagai bingkai
kenegaraannya.
Pemerintah harus
bergerak ke level
bawah, misalnya melalui
perubahan kurikulum
pendidikan agama
di lembaga-lembaga
pendidikan di Indonesia,
mulai dari tingkat bawah
hingga perguruan tinggi.
Semenjak dini anak-anak di
sekolah perlu diajari perihal
bagaimana kedudukan
agama (Islam) dalam
konteks negara Indonesia.”
Kartosoewirjo dan NII
NII tak bisa dipisahkan dari
Sekarmadji Maridjan (SM) Kartosoewirjo. Ia yang memproklamasikan berdirinya Negara
Islam Indonesia (NII) pada 7
Agustus 1949/12 Syawal 1368
H, di Tasikmalaya, Jawa Barat.
Kartosoewirjo menghendaki
berdirinya NII berdasarkan
Alquran, bukan NKRI yang
ber asaskan Pancasila. NII
dalam proklamasinya menegaskan bahwa hukum yang
berlaku adalah hukum Islam.
Dalam qanun asasi NII disebut,
‘NII adalah negara karunia
Allah subhanahu wa taala kepada bangsa Indonesia. Sifat
laksana Sayyid Quthb setelah
Hasan al-Banna.
Kartosoewirjo memiliki kesamaan dengan Hasan al-Banna,
Sayyid Quthb, dan Maududi
hanya dalam proses kematiannya. Mereka mati kare na
dibunuh. Pada 12 Februari
1949, Hasan al-Banna dibunuh
polisi rahasia Mesir. Pada 1966,
Sayyid Quthb dibunuh dengan
tuduhan makar terhadap pemerintah Mesir. Hal yang sama
dialami Kartosoewrijo. Pengadilan Mahadper, 16 Agustus
l962, memutuskan bahwa Kartosoewirjo telah melakukan
makar terhadap NKRI. Atas
dasar itu, Kartosoewirjo dihukum mati.
negara itu jumhuriah (republik)
dengan sistem pemerintahan
federal’.
Namun, tak terlampau jelas
apa argumen akli (rasional)
dan naqli (normatif-doktrinal)
dari negara republik dengan
sistem federal tersebut. Kita tak
menemukan elaborasi spesifik
dari Kartosoewirjo berdasarkan
perspektif Alquran dan hadis
mengenai negara republik itu.
Ini penting dijelaskan. Sebab,
semua pelajar Islam tahu Negara Madinah yang didirikan
Nabi Muhammad bukan negara republik. Bahkan, menurut
Muhammad Husain Haikal
(1888-1956), Nabi Muhammad
tak pernah menentukan dasar
sistem pemerintahan yang detail. Apalagi, menurut Ali Abdur Raziq (1888-1966 M), Nabi
Muhammad adalah seorang
nabi, bukan kepala negara.
Begitu juga, sama problematisnya ketika disebut hukum
Islam dalam NII. Pertanyaannya adalah: jenis hukum Islam
seperti apa yang hendak diterapkan NII. Jawabannya tak
pernah kita temukan dari NII.
Misalnya, apa yang disebut
hukum Islam dan bagaimana
batas-batasnya. Bagaimana
cara memahami ayat-ayat hukum dalam Alquran. Kita tak
pernah mendapatkan keterangan dari NII mengenai detaildetail hukum dalam Alquran
dan hadis.
Ketidakjelasan konsep dan
argumen NII ini bisa dipahami
karena, salah satunya, Kartosoewirjo sendiri tak dikenal
sebagai pemikir politik Islam. Ia
tak memiliki landasan ideologi
yang kuat. Kartosoewirjo tak
kesohor sebagai ulama sebagaimana KH Hasyim Asy’ari,
KH Ahmad Dahlan, H Agus
Salim, dan lain-lain. Ada yang
berpendapat Kartosoewirjo
memiliki pengetahuan keislaman yang minim. Ia hanya belajar
Islam secara autodidak. Menurut sebagian pengamat, ilmu
keislaman Soekarno relatif lebih
baik ketimbang Kartosoewirjo.
Dengan kondisi ilmu keislaman
seperti ini, ia tak akan memiliki
argumen teologis yang cukup
untuk melawan gempuran tokoh-tokoh Islam lain yang menolak
NII. Tak pelak lagi, NII
dapat dengan mudah
dipatahkan, baik secara politis maupun
intelektual.
Inilah sebabnya kenapa NII
tak pernah besar, seperti pernah
besarnya Ikhwanul Muslimin
di Mesir. Ikhwanul Muslimin
memiliki tokoh intelektual seperti Hasan al-Banna (1906-1949)
dan Sayyid Quthb (1906-1966).
Abul A’la al-Maududi (19031970) yang mengampanyekan
berdirinya negara Islam adalah
tokoh dan pemikir politik Islam
yang disegani.
Tokoh-tokoh tersebut memiliki sejumlah buku monumental yang menjadi referensi
utama para pendukung negara
Islam. Quthb, misalnya, menulis buku mulai dari soal sistem
politik Islam seperti al-‘Adalah
al-Ijtima’iyah fi al-Islam (Keadilan
Sosial dalam Islam) hingga tafsir
Alquran Fi Zhilal al-Qur’an (Dalam Bayangan Alquran). Adapun
Maududi dikenal sebagai orator ulung dan penulis yang
produktif, terutama di bidang
pemikiran politik Islam. Ia
menulis buku, di antaranya,
Teori Politik Islam, Hukum Islam
dan Cara pelaksanaannya, PrinsipPrinsip Dasar bagi Negara Islam,
Hak-Hak Golongan Dzimmi dalam Negara Islam, dan Kodifikasi
Konstitusi Islam.
Dari sini terang perbedaan
kapasitas intelektual antara
Kartosoewirjo di satu pihak
dan Maududi-Sayyid Quthb
di pihak lain. Kartosoewirjo
tak mengkriya karya-karya
intelektual yang menjelaskan
landasan pokok dan kerangka
konseptual NII. Sejauh pengetahuan saya, Kartosoewirjo tak
mensistematisasikan pemikiran
politiknya dalam buku utuh.
Ketiadaan rujukan ideologis
dari sang proklamator NII ini
menyebabkan para pelanjut
NII seperti ayam kehilangan
induk. Tak ada tokoh kedua
apalagi ketiga yang berperan
penting setelah Kartosoewirjo,
Tawaran solusi
Semenjak dideklarasikannya hingga sekarang, NII kian
kehilangan relevansi. Alih-alih
mendapatkan dukungan dari
umat Islam, NII justru menuai
sejumlah kritik dan kecaman.
NII gagal mendapatkan dukungan dan simpati
umat Islam Indonesia. Bahkan, karena ulah
dan tindakannya akhir-akhir
ini, keberadaan NII dianggap
telah meresahkan masyarakat
dan umat Islam. Perilaku para
anggota NII dalam menjalankan agenda politik ekonomi
tak mencerminkan akhlak
Islam yang kuat. Kesukaan
anggota NII yang menghalalkan segala cara
untuk memperoleh uang jelas
bertentangan dengan nilainilai Islam. Dengan demikian,
menurut sebagai tokoh Islam,
mereka sebenarnya tak pantas
mengatasnamakan Islam.
Dalam konteks itu, saya
meng usulkan beberapa cara
untuk mengatasi soal NII.
Pertama, jika terkait dengan
soal penipuan, tindaklah para
pelakunya melalui hukum pidana yang berlaku. Hukum
harus tegak terhadap mereka
sekalipun mereka menipu dengan alasan Alquran dan hadis.
Namun, aparat penegak hukum
mesti bisa membedakan, mana
yang menjadi korban NII dan
mana yang menjadi aparatur
NII yang menyuruh bawahannya untuk menipu. Saya kira,
para mahasiswa yang ditarik
NII untuk mengumpulkan uang
adalah korban belaka dari NII.
Mereka bukan aktor utama.
Kedua, jika berhubungan
dengan ideologi keislaman
NII, organisasi-organisasi Islam
besar seperti NU, Muhammadiyah, dan MUI perlu bahumembahu untuk mendakwahkan jenis keislaman yang cocok
dan sesuai dengan konteks
keindonesiaan.
Umat Islam Indonesia tak
perlu merasa sebagai anak tiri di
hadapan ibu kandungnya sendiri, Republik Indonesia. Sebab,
sekalipun Indonesia tak menjadi
negara Islam, terlampau banyak
keistimewaan yang dimiliki
umat Islam Indonesia. Sejumlah produk perundangan yang
menunjukkan keistimewaan
itu sudah banyak dikeluarkan
Negara Indonesia, misalnya UU
Peradilan Agama, UU Zakat,
UU Haji, dan lain-lain.
Ketiga, pemerintah RI juga
harus bisa menahan laju NII.
NII potensial menggerogoti
persendian Negara Republik
Indonesia. Pemerintah tak
boleh memandang sepele dan
remeh gerakan NII. Pemerintah
harus bergerak ke level bawah,
misalnya melalui perubahan
kurikulum pendidikan agama
di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, mulai dari
tingkat bawah hingga perguruan tinggi. Semenjak dini anakanak di sekolah perlu diajari
perihal bagaimana kedudukan
agama (Islam) dalam konteks
negara Indonesia, kenapa Indonesia menjadi negara Pancasila
dan bukan negara Islam.
Itulah beberapa tawaran
solusi yang bisa diajukan agar
gerakan NII tak makin melebar dan meluas ke seantero
Indonesia.
Download