bab 2 kerangka teori, kerangka pemikiran dan

advertisement
BAB 2
KERANGKA TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN
HIPOTESIS
2.1 Kerangka Teori
2.1.1 Manajemen Sumber Daya Manusia
2.1.1.1 Pengertian Manajemen
Manajemen merupakan ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber
daya manusia dan sumber-sumber daya lainnya secara efektif dan efisien untuk
mencapai suatu tujuan tertentu (Suwatno, 2013:16). Menurut Robbins dan Coulter
(2010:7), manajemen adalah aktivitas kerja yang melibatkan koordinasi dan
pengawasan terhadap pekerjaan orang lain, sehingga pekerjaan tersebut dapat
diselesaikan secara efisien dan efektif. Menurut Terry dalam Nawawi (2005:39),
manajemen adalah pencapaian tujuan (organisasi) yang sudah ditentukan sebelumnya
dengan mempergunakan bantuan orang lain.
2.1.1.2 Pengertian Sumber Daya Manusia
Manajemen Sumber Daya Manusia merupakan salah satu bidang dari
manajemen
umum
yang
meliputi
segi-segi
perencanaan,
peorganisasian,
pelaksanaan, dan pengendalian yang dimana proses ini terdapat dalam fungsi-fungsi
SDM karena SDM semakin penting perannya dalam pencapai tujuan perusahaan,
maka berbagai pengalaman dan hasil penelitian dalam bidang SDM dikumpulkan
secara sistematis dalam apa yang disebut manajemen sumber daya manusia (Rivai,
2013:1)
Menurut Hasibuan dalam Hartatik (2014:13) Manajemen Sumber Daya
Manusia adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar
efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan dan
masyarakat. Menurut Nawawi (2005:42), manajemen sumber daya manusia adalah
proses mendayagunakan manusia sebagai tenaga kerja secara manusiawi, agar
potensi fisik dan psikis yang dimilikinya berfungsi maksimal bagi pencapaian tujuan
organisasi.
11
12
2.1.1.3 Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia
Menurut pendekatan dari sudut pandang dan fungsi, seorang manajer
menjalankan fungsi-fungsi atau aktivitas-aktivitas tertentu dalam rangka mengelola
pekerjaan orang lain secara efektif dan efisien dengan mengklasifikasikan fungsi
manajemen sumber daya manusia ke dalam kelompok berikut:
1)
Perencanaan,yaitumendefinisikan sasaran-sasaran, menetapkan strategi,
dan mengembangkan rencana kerja untuk mengelola aktivitas-aktivitas
2)
Pengorganisasian, menentukan apa yang harus diselesaikan, bagaimana
caranya, dan siapa yang akan mengerjakannya.Fungsiinipentingsaat
terjadi restrukturisasi atas operasinya seperti perubahan jabatan
3)
Kepemimpinan, memotivasi, memimpin dan tindakan-tindakan lainnya
yang melibatkan interaksi dengan orang lain.
4)
Pengendalian, mengawasi aktivitas-aktivitas demi memastikan segala
sesuatunya terselesaikan sesuai rencana (Robbins dan Coulter, 2010:9).
.
2.1.2 Kepemimpinan
2.1.2.1 Definisi Kepemimpinan
Kepemimpinan memiliki konsep yang sangat luas dan kompleks.Seperti yang
disimpulkan oleh Stogdil, terdapat definisi tentang kepemimpinan dengan jumlah
orang yang telah mencoba mendefinisikan konsep tersebut (Yukl, 2010:3). Namun,
terdapat beberapa definisi yang dapat dianggap cukup mewakili konsep
kepemimpinan, antara lain: kepemimpinan menurut Rauch dan Behling adalah
proses mempengaruhi aktivitas-aktivitas sebuah kelompok yang diorganisasi kearah
pencapaian tujuan (Yukl, 2010:4). Kepemimpinan menurut Jacobs dan Jacques
adalah sebuah proses member arti (pengarahan yang berarti) terhadap usaha kolektif
dan mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk
mencapai sasaran (Yukl, 2010:4). Dan menurut Robbins dan Judge (2008),
kepemimpinan didefinisikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi grup kearah
pencapaian visi atau merancang keberhasilan.
Menurut Soekarso et al (2010:10) kepemimpinan merupakan proses
pengaruh sosial, yaitu suatu kehidupan yang mempengaruhi kehidupan lain,
kekuatan yang mempengaruhi perilaku orang lain ke arah pencapaian tujuan
tertentu. Menurut Colquitt et al dalam Wibowo (2013:264) mendefinisikan
13
kepemimpinan sebagai penggunaan kekuasaan dan pengaruh untuk mengarahkan
aktivitas pengikut kearah pencapaian tujuan. Arah tersebut dapat mempengaruhi
interpretasi kejadian pengikut, organisasi aktivitas pekerja mereka, komitmen
mereka terhadap tujuan utama, hubungan mereka dengan pengikut, atau akses
mereka pada kerjasama dan dukungan dari unit kerja lain.
2.1.2.2 Peranan Pemimpin
Peran manajer sebagai pemimpin adalah kunci bagi penerapan perubahan
strategi.Peranan pemimpin adalah menyusun arah perusahaan, mengkomunikasikan
ini dengan karyawan, memotivasi para karyawan dan melakukan tinjauan jangka
panjang (Rivai, 2013:821).
Covey dalam Rivai (2013) membagi peran kepemimpinan menjadi 3 bagian,
yaitu:
1. Pathfinding (pencarian alur) yaitu peran untuk menetukan visi dan misi yang
pasti.
2. Aligning (penyelaras) yaitu peran memastikan bahwa struktur, sistem, dan
proses operasional organisasi memberikan dukungan pada pencapaian visi
dan misi.
3. Empowering (pemberdayaan) yaitu peran untuk menggerakan semangat
dalam diri orang-orang dalam mengungkapkan bakat, kecerdikan, dan
kreativitas untuk mampu mengerjakan apapun dan konsistensi dengan
prinsip-prinsip yang di sepakati.
2.1.2.3 Fungsi – fungsi Kepemimpinan
Berdasarkan pendapat Soekarso et al (2010:22-23) agar kelompok berjalan
dengan efektif, maka seorang pemimpin harus melaksanakan dua fungsi utama yaitu
sebagai berikut:
1. Fungsi yang berhubungan dengan tugas atau pemecahan masalah, mencakup
penetapan struktur tugas, pemberian saran dan penyelesaian, informasi dan
pendapat.
2. Fungsi yang berhubungan dengan pemeliharaan kelompok atau sosial,
mencakup segala sesuatu yang dapat membantu kelompok atau organisasi
berjalan lebih baik atau efektif, persetujuan dengan kelompok lain, pengaruh
perbedaan pendapat dan sebagainya. Fungsi-fungsi kepemimpinan dalam
organisasi dapat disebut dengan “enam F”, antara lain :
14
a. Fungsi pengambilan keputusan ( Decision Making)
b. Fungsi pengarahan (Directing)
c. Fungsi pendelegasian (Delegation)
d. Fungsi pemberdayaan (Empowerment)
e. Fungsi fasilitas (Facilitating)
f. Fungsi pengendalian (Controlling)
2.1.2.4 Sumber Daya Kepemimpinan
Berdasarkan pendapat Soekarso et al (2010:26) seorang pemimpin hanya
dapat melakukan fungsi kepemimpinannya apabila memiliki kekuatan berupa suatu
sumber daya tertentu, seperti :
a. Pengaruh (Influence)
Kepemimpinan merupakan proses pengaruh sosial dalam hubungan
interpersonal. Pemimpin mempengaruhi bawahan atau pengikut kearah yang
diinginkan.
b. Kekuasaan (Power)
Pemimpin hanya dapat melakukan fungsi kepemimpinannya apabila
memiliki suatu sumber daya tertentu, yaitu power.Dalam hal ini power
berarti daya, atau dalam teori kepemimpianan power adalah sebagai
kekuasaan.
c. Legitimasi (Legitimacy)
Kepemimpinan memerlukan legitimasi agar posisi formal keberadaan
pemimpin dan kekuasaan mendapat pengakuan resmi dalam organisasi.
d. Indiosinkratik kredit (Indiosyncracy credit)
Konsep Indiosinkratik merupakan elemen penting dari analisis teori
pertukaran (exchange theory).Bagaimanapun pemimpin atau anggota dalam
menjalankan tugas mempunyai peran masing-masing sesuai dengan
kelompok atau organisasi.
e. Wewenang (Authority)
Wewenang merupakan dasar hukum untuk mengambil tindakan yang
diperlukan agar tugas dan tanggung jawab dapat dilaksanakan dengan baik.
f. Politik (Politic)
15
Dalam organisasi terdapat keterbatasan sumber daya, keanekaragaman
struktur, perbedaan kepentingan dan terjadi perubahan, maka agar
mendapatkan lebih berperan atau lebih berkuasa dalam organisasi maka
diperlukan tindakan-tindakan tertentu yaitu politik.
2.1.2.5 Teori Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan adalah perilaku atau tindakan pemimpin dalam
mempengaruhi para anggota/pengikut serta melaksanakan tugas-tugas pekerjaan
manajerial (Soekarso et al, 2010:11). Dharma dalam Sudaryono (2014:200)
mendefinisikan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku yang
ditunjukkan seseorang pada saat ia mencoba mempengaruhi orang lain. Sedangkan
Robins dan Judge (2008) mengidentifikasi empat jenis gaya kepemimpinan antara
lain :
1. Gaya kepemimpinan kharismatik
Menurut House dalam Yukl (2010:294) kepemimpinan karismatik ditandai
dengan adanya seorang pemimpin yang mempunyai dampak yang mendalam dan
tidak biasa terhadap pengikutnya.Pengikutnya merasa bahwa keyakinan-keyakinan
pemimpin adalah benar dan mereka menerimanya tanpa mempertanyakan lagi,
singkatnya mereka terlibat secara emosional terhadap misi organisasi tersebut.Teori
ini mengenali bagaimana para pemimpin karismatik berperilaku, ciri dan
keterampilan mereka, serta kondisi dimana mereka paling mungkin muncul.Shamir
telah merevisi dan memperluas teori itu dengan menggabungkan perkembangan
baru dalam pemikiran tetang motivasi manusia dan gambaran yang lebih rinci tetang
pengaruh pemimpin pada pengikut. Asumsi berikut telah dilakukan mengenai
motivasi manusia : perilaku adalah ekspresi dari perasaan seseorang, nilai dan
konsep diri dan juga berorientasi sasaran dan pragmatis, konsep diri seseorang
terdiri dari hierarki identitas dan nilai social, orang secara intrinstik termotivasi
untuk memperkuat dan mempertahankan kepercayaan diri dan nilai mereka, dan
orang secara intrinstik termotivasi untuk memelihara konsistensi di antara berbagai
komponen dari konsep diri mereka dan antara konsep diri mereka dengan perilaku
(Yukl, 2010:294). Terdapat beberapa karakteristik dari kepemimipinan karismatik,
antara lain: Mempunyai visi, berani mengambil resiko untuk mencapai misinya,
peka terhadap kebutuhan pengikutnya, mereka dapat menunjukan perilaku yang luar
biasa. Maka dalam kepemimpinan karismatik, para pengikut terpacu kemampuan
16
kepemimpinan yang heroik atau yang luar biasa ketika mereka mengamati perilakuperilaku tertentu pemimpin mereka.
2. Gaya kepemimpinan transaksional
merupakan pemimpin yang memandu atau memotivasi dengan cara
memberikan reward pada para pengikut mereka menuju sasaran yang ditetapkan
dengan memperjelas persyaratan peran dan tugas. Menurut Robbins dan Judge
(2008:91) pemimpin transaksional adalah pemimpin yang memandu atau
memotivasi pengikutnya untuk mencapai tujuan dengan menjelaskan peran dan
tugas yang diharuskan.Karakteristik dari kepemimpinan transaksional adalah
contingent reward, management by exception (active), management by exception
(passive), dan laissez-faire.Contingent reward adalah pertukaran antara penghargaan
dengan usaha, harapan penghargaan untuk kinerja yang baik, menghargai
prestasi.Management by exception (active) adalah memantau dan mencari terhadap
penyimpangan aturan dan standar, mengambil tindakan perbaikan.Management by
exception (passive) adalah mengintervensi hanya jika sesuatu berjalan dengan tidak
terstandar.Laissez-faire
adalah
melepaskan
tanggung
jawab,
menghindari
yang
memberikan
pembuatan keputusan (Robbins dan Judge, 2008:91).
3. Gaya kepemimpinan transformasional
Pemimpin
transformasional
adalah
pemimpin
pertimbangan dan rangsangan intelektual yang diindividualkan dan memiliki
kharisma.Dengan kepemimpinan transformasional, para pengikut merasakan
kepercayaan, kekaguman, kesetiaan dan penghormatan terhadap kepemimpinan
serta mereka termotivasi untuk melakukan lebih daripada yang awalnya diharapkan
dari mereka. Menurut Bass, pemimpin mengubah dan memotivasi para pengikutnya
dengan membuat pengikutnya lebih sadar mengenai pentingnya hasil pekerjaan,
mendorong mereka untuk lebih mementingkan organisasi daripada kepentingan diri
sendiri, dan mengaktifkan kebutuhan mereka yang lebih tinggi (Yukl, 2010:304305). Inspirasi yang diberikan oleh pemimpin dengan tipe ini adalah dengan
memberikan tantangan dan ajakan serta mendidik.Pemimpin dalam teori ini adalah
individu yang penuh perhatian, menyediakan dukungan, pengarahan dan pelatihan
pada pengikutnya. Komponen-komponen kepemimpinan transformasional (Bass dan
17
Riggio, 2006), yaitu: Idealized influence, Inspirational motivation, Intellectual
stimulation, dan Individualized consideration.
Idealized influence dapat dilakukan oleh pemimpin transformasional
karenapemimpin dapat menjadikan dirinya menjadi contoh untuk pengikutnya karena
mereka disanjung, dihormati dan dipercaya. Pemimpin yang ingin mengidealkan
pengaruh akan berkeinginan untuk mengambil resiko dan konsisten dalam mencapai
tujuannya, daripada bertindak sewenang-wenang. Mereka dapat memperhitungkan
hal yang benar, mendemonstrasikan standar tinggi dari etika dan memimpin dengan
bermoral.Inspirational motivation adalah motivasi yang inspirasional dilakukan
pemimpin transformasional dengan cara memberikan arti dan tantangan dalam
pekerjaan pengikutnya. Intellectual stimulation adalah stimulasi-stimulasi kepada
usaha-usaha pengikutnya untuk berinovasi dan kreatif yang dilakukan dengan
mempertanyakan asumsi-asumsi, membuat pola pikir yang berbeda dalam melihat
masalah, dan menghadapi situasi yang sama dengan cara yang berbeda.
Individualized consideration adalah perhatian khusus yang diberikan oleh pemimpin
transformasional kepada setiap kebutuhan pengikutnya untuk mencapai kemajuan
dengan memposisikan diri sebagai penasihat.
4. Gaya kepemimpinan visioner
Kemamuan menciptakan dan mengartikulasikan visi yang realistis, kredibel, dan
menarik mengenai masa depan organisasi atau unit organisasi yang tengah tumbuh
dan membaik dibanding saat ini. Visi ini jika diseleksi dan diimplementasikan
secara tepat, mempunyai kekuatan besar sehingga bisa mengakibatkan terjadinya
lompatan awal ke masa depan dengan membangkitkan keterampilan, bakat, dan
sumber daya untuk mewujudkannya (Robbins dan Judge, 2008:95).
2.1.2.6 Kepemimpinan dalam Keselamatan Kerja
Beberapa
tahun
kepemimpinandalam
terakhir,
keselamatan
banyak
kerja.
penulis
Berdasarkan
menyoroti
riset
dari
pentingnya
penelitian
sebelumnya yang dipimpin oleh Barling, Loughlin, Kelloway, dilakukan pengujian
terhadap hubungan antara perubahan pola keselamatan kerja dan kepemimpinan
transformasional dijajaran manajer langsung dengan keselamatan kerja (keselamatan
yang terkait dengan kejadian) yang dipengaruhi oleh kesadaran keselamatan dan
iklim keselamatan kerja (Martinez-Corcoles et al, 2011). Mereka menemukan bahwa
18
keselamatan yang terkait dengan kejadian, hampir selalu mempertimbangkan
perilaku keselamatan kerja yang diprediksi oleh iklim keselamatan kerja, dan iklim
keselamatan kerja diprediksi secara positif oleh kepemimpinan transformasional.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Martinez-Corcoles et al (2011)
diidentifikasi jenis-jenis perilaku pemimpin yang seharusnya ditunjukan untuk
mempengaruhi perilaku keselamatan kerja dari pekerja.Pendekatannya adalah
mempelajari perilaku-perilaku spesifik dari pemimpin yang seharusnya dapat
menstimulasi perilaku yang lebih aman dijajaran bawahnya.Konsep tersebut di atas
adalah empowering leadership dengan menggunakan dimensi Empowering
Leadership Model (ELQ) dari Arnold et al dalam Martinez-Corcoles et al (2011).
Konsep ini mengakui bahwa fungsi utama dari pemimpin adalah untuk
meningkatkan potensi tim untuk menjalankan manajemen mereka sendiri dengan
mencontoh perilaku pemimpin itu sendiri, maka penerapan keselamatan kerja banyak
tergantung kepada pimpinan.
Keselamatan kerja di perusahaan bersifat “manageable” sehingga menangani
harus sesuai dengan norma manajemen K3. Dalam manajemen K3 keberhasilan
program K3 diukur dari top manajemen dapat menggerakkan semua lapisan
organisasi untuk melaksanakan program K3. Dengan kata lain K3 di perusahaan
adalah tanggung jawwab semua lapisan organisasi sesuai dengan kewenangannya
dalam menyukseskan program K3 (Hadipoetro, 2014:82). Menurut Arnold et al
dalam Martinez-Corcoles et al (2011) kepemimpinan untuk menyukseskan
keselamatan kerja terdapat 5 dimensi. Yang pertama adalah leading by example,
yaitu menunjukkan bahwa seberapa sering pimpinan menetapkan standar yang tinggi
dalam aspek K3, menunjukkan perilaku
baik, memimpin dengan memberikan
contoh. Yang kedua participative decicion making, yaitu dilihat dari seberapa sering
pemimpin mendorong anggota mengekspresikan ide dan saran, mendengarkan ide
dan saran dari anggota, menggunakan saran untuk membuat keputusan, dan
menyadari area kerja yang membutuhkan pelatihan.Yang ketiga seorang pemimpin
juga perlu melakukan coaching, dimana coaching yang dimaksud disini adalah peran
seorang pemimpin dalam mengajarkan anggota untuk menyelesaikan masalah,
memberikan perhatian kepada usaha kelompok, serta membantu kelompok untuk
fokus kepada tujuan. Yang keempat yaitu informing, dimana seorang pemimpin
harus bisa menjelaskan kepada kelompok cara memberikan andil, menjelaskan
tujuan dari peraturan perusahaan, menjelaskan peraturan dan harapan, dan
19
menjelaskan keputusan yang pimpinan buat. Yang terakhir adalah showing
concern/interacting with employe, yaitu suatu interaksi yang dilakukan pemimpin
berupa menunjukkan perhatian terhadap anggota, menyiapkan waktu berdiskusi,
memperlihatkan perhatian kepada kesuksesan anggota.
Di
Indonesia
terdapat
aturan
sistem
manajemen
kesehatan
dan
keselamatankerja (SMK3) yang diatur dalam Permenaker 05/Men/1996. Dalam
peraturan ini, salah satunya adalah mengatur syarat uraian jabatan disusun dengan
memperhatikan aspek K3 yang menjadi tanggung jawabnya. Di sini dicantumkan
tanggung jawab pada level manajemen atau supervisor secara umum adalah
memastikan K3 dikelola dengan baik dalam area tanggung jawabnya. Tanggung
jawab dan wewenang level manajemen, antara lain adalah memastikan pekerja
menggunakan alat pelindung diri sesuai dengan persyaratan, memberikan
pemahaman pada pekerja tentang potensi bahaya yang dapat terjadi di tempat kerja,
dan membuat instruksi kerja atau prosedur tentang penggunaan alat pelindung diri,
jika hal tersebut diperlukan.
2.1.3 Budaya Organisasi
2.1.3.1 Definisi Budaya Organisasi
Menurut Kilman, Saxton dan Serpa dalam kajian ilmu antropologi, budaya adalah
falsafah, idiologi, nilai-nilai, anggapan, keyakinan, harapan, sikap dan norma yang
dimiliki bersama dan mengingat suatu masyarakat (Nimran, 2013:126). Menurut
Griffin dan Ebert dalam Nimran (2013:127), karakteristik-karakteristik yang dimiliki
bersama oleh semua kebudayaan antara lain kebudayaan meliputi keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia, kebudayaan adalah hasil belajar,
kebudayaan adalah milik bersama, kebudayaan didasarkan pada lambang,
kebudayaan didasarkan pada akal, kebudayaan diteruskan dari satu generasi kepada
generasi yang lain.
Brown menyimpulkan bahwa budaya organisasi mengacu pada rumusan
kepercayaan, nilai-nilai, dan cara belajar dari pengalaman yang dibangun sepanjang
sejarah organisasi dan dimanifestasikan dalam tiap pengaturan material dan perilaku
dari tiap anggota organisasi tersebut (Susanto et al, 2008:6). Menurut Bennis dalam
(Susanto et al, 2008:7), budaya organisasi mempunyai 3 tingkatan, yaitu Artefak
(artifacts) yang merupakan tingkatan budaya paling atas yang terdiri dari aspek-
20
aspek yang secara nyata dapat dilihat kasat mata, didengar, dan dirasakan oleh orang
yang berada di luar organisasi. Contohnya: produk, bentuk arsitektur bangunan.
Keyakinan dan nilai yang diadopsi (espoused beliefs and values) merupakan budaya
yang secara tegas dinyatakan di organisasi. Contohnya: pernyataan misi, slogan.
Sedangkan, asumsi dasar (shared tacit assumption) merupakan asumsi tersirat yang
dibagi bersama.Suatu elemen dasar dari budaya yang tidak terlihat dan secara tidak
sadar diidentifikasi dalam interaksi sehari-hari dalam organisasi.Asumsi dasar seperti
persepsi, alam bawah sadar, dan keyakinan yang dianggap benar.
2.1.3.2 Fungsi Budaya Organisasi
Menurut Robbins dan Coulter (2006:294) budaya menjalankan sejumlah
fungsi di dalam organisasi, yaitu:
a.
Budaya mempunyai peran menetapkan tapal batas, artinya budaya
menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dengan yang
lainnya.
b.
Budaya memberikan rasa identitas ke anggota organisasi.
c.
Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas
daripada kepentingan pribadi seseorang.
d.
Budaya meningkatkan kemantapan sistem sosial.
e.
Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi
itu dengan memberikan standar yang tepat mengenai apa yang harus
dikatakan dan dilakukan oleh karyawan.
f.
Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan mekanisme pengendali yang
memandu dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan.
Menurut Robbins dan Judge (2008:262) budaya organisasi memiliki beberapa
fungsi, yaitu budaya menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dengan
organisasi yang lain, budaya memberikan identitas bagi anggota organisasi, budaya
mempermudah timbulnya komitmen yang lebih luas dan pada kepentingan individu,
budaya itu meningkatkan kemantapan sistem sosial, budaya sebagai mekanisme
pembuat makna dan kendali yang memandu serta membentuk sikap dan perilaku
karyawan.
21
2.1.3.3 Budaya Keselamatan Kerja
Konsep budaya keselamatan kerja atau iklim keselamatan kerja dianggap
sebagai salah satu prinsip manajemen yang utama. Hal ini dikarenakan, budaya
keselamatan kerja atau iklim keselamatan kerja merupakan nilai-nilai dasar dalam
hal keselamatan, sikap dalam kegiatan operasional, peningkatan mutu, proses belajar
berkelanjutan dan proses perbaikan dalam pola pikir terhadap K3 yang didasarin
tanpa paksaan (Manik dalam Lisnandhita, 2014:18). Namun, sampai saat ini dalam
banyak literatur, konsep budaya keselamatan kerja dan iklim keselamatan kerja
memiliki definisi yang sama atau salah satunya merupakan bagian dari yang lain,
sehingga hal ini menimbulkan perdebatan mengenai kedua konsep tersebut
(Martinez-Corcoles et al, 2011). Pada penelitian ini, budaya keselamatan kerja dan
iklim keselamatan kerja dianggap memiliki perbedaan konsep.
Menurut Mathis dan Jackson dalam Martinez-Corcoles et al (2011),
keselamatan berarti perlindungan terhadap kesejahteraan fisik, mental dan stabilitas
emosi secara umum seseorang terhadap cedera yang terkait dengan pekerjaan.
Budaya keselamatan kerja merupakan sub komponen dari budaya organisasi yang
membahas keselamatan kerja individu, pekerjaan dan hal-hal yang diutamakan oleh
organisasi mengenai keselamatan kerja. Pembentukan budaya keselamatan kerja
yang baik adalah untuk mencegah munculnya tindakan tidak aman dari pekerja dan
kondisi tidak aman pada lingkungan kerja. Definisi budaya keselamatan kerja
menurut Turner dalam Martinez-Corcoles et al (2011) adalah serangkaian dari
kepercayaan, norma, perilaku, aturan, dan praktek teknis dan sosial yang sangat
berhubungan dengan upaya meminimalkan bahaya dan kecelakaan kerja yang akan
menimpa pekerja, manajer, pelanggan, dan masyarakat. Dimensi dari budaya
keselamatan kerja sangat bervariasi, variasi ini disebabkan perbedaan jenis industri,
perbedaan teori, dan persepsi dari peneliti.Pada penelitian ini, dimensi budaya
keselamatan kerja yang digunakan terdiri atas 3 dimensi. Yang pertama komitmen
dalam
proses
pengambilan
keputusan
yang
berkaitan
dengan
pekerjaan,
pengalokasian sumberdaya, dan dalam pembuatan prosedur kerja. Kedua adalah
komunikasi yaitu komunikasi yang baik dengan bawahannya serta dalam surat kabar.
Dan yang ketiga adalah manajemen organisasi yaitu mengatur sebuah organisasi
dalam dalam pengoperasian perusahaan, menyelesaikan konflik keselamatan kerja
dalam produksi, dalam pujian pada bawahan, dalam proses mengubah manajemen,
dalam rapat, dalam hubungan dengan pembuatan peraturan, dalam perilaku sehari-
22
hari dari pekerja, dalam perilaku sehari-hari dari pimpinan, dalam menerima
pegawai, dalam pelatihan pegawai, dalam menyusun tujuan, dalam penilaian kerja
dari pekerja (Martinez-Corcoles et al, 2011).
Terdapat prinsip-prinsip yang biasa dapat diikuti oleh seorang pimpinan
perusahaan dalam perencanaan keselamatan dan efisiensi produksi. Prinsip- prinsip
keselamatan kerja yang diterapkan di perusahaan ini kemudian akan menjadi budaya
perusahaan yang biasanya ditunjukan dari model pakaian kerja, pemakaian warna,
tanda-tanda peringatan, alat-alat pelindung diri, proses penerimaan pegawai, dan
program-program lainnya.
Pendekatan keselamatan kerja melalui budaya perusahaan banyak ditunjukan
dalam bentuk artefak. Contoh artefak budaya keselamatan yang pertama adalah
dalam pemilihan atau penggunaan pakaian kerja. Terdapat ketentuan-ketentuan yang
harus diperhatikan dalam model pakaian kerja, antara lain harus dapat mengurangi
bahaya, pas di tubuh dan tidak ada bagian yang mudah mengakibatkan kecelakaan
kerja. Yang kedua adalah alat-alat perlindungan diri seperti sepatu pengaman, sarung
tangan, helm, pelindung telinga dan pelindung paru-paru.Yang ketiga ditunjukan
dalam pemakaian aneka warna dipakai untuk maksud keselamatan.Dalam hubungan
ini, terdapat penggunaan warna seperti warna-warna yang menandakan daerahdaerah berbahaya, warna-warna yang menandakan daerah-daerah dengan fungsi
tertentu, dan warna-warna yang berefek psikologi yang baik.Dan bentuk artefak yang
terakhir adalah peringatan dan tanda-tanda dapat membawakan suatu pesan intruksi,
pesan peringatan, atau pemberian keterangan secara umum.Peringatan dan tandatanda dibuat untuk menunjang tindakan-tindakan keamanan (Martinez-Corcoles et al,
2011).
Pendekat keselamatan kerja melalui budaya perusahaan juga ditunjukkan dari
bentuk keyakinan dan nilai yang diadopsi, misalnya proses seleksi penerimaan
pegawai. Hal ini digunakan sebagai salah satu cara mengurangi tindakan tidak aman.
Tujuannya adalah untuk mengisolasi sifat yang dapat memicu kecelakaan pada
pekerjaan yang bersangkutan, kemudian menyaring kandidat berdasarkan sifatnya.
Contohnya adalah pertanyaan tentang keselamatan dalam wawancara seleksi atau
adanya proses seleksi yang menguji keselamatan kerja. Selain itu, terdapat programprogram yang dilakukan oleh pemimpin yang juga termasuk dalam bentuk budaya
ini. Contohnya: memuji pekerja saat mereka memilih perilaku yang aman,
mendengar saat pekerja menawarkan usulan, kekhawatiran atau keluhan, menjadi
23
contoh yang baik, misalnya dengan mengikuti setiap aturan keselamatan dan
prosedur, mengunjungi daerah pabrik secara teratur, memelihara komunikasi yang
terbuka, misalnya dengan memberitahu pekerja sebanyak mungkin tentang aktivitas
keselamatan seperti menguji alarm, mengubah peralatan atau prosedur keselamatan,
menghubungkan
bonus
dengan
perbaikan
keselamatan,
dan
memberikan
penghargaan untuk pekerja yang dapat mengenali potensi bahaya dalam produksi
(Martinez-Corcoles et al, 2011).
Setelah prinsip keselamatan kerja diterapkan, tentunya harus dilaksanakan.
Pelaksanaanya dapat dilihat dengan tercapainya keteraturan lingkungan kerja yang
baik.Hal ini tidak terlepas dari peran serta aktif dari pekerja. Contohnya dengan
melakukan hal-hal berikut ini: menyingkirkan benda-benda yang tidak diperlukan,
menyimpan barang secara rapi, dan membuang sampah dengan baik. Rencanarencana ini akan lebih baik saat dilaksanakan sebagai tindakan pencegahan.
2.1.4 Iklim Organisasi
2.1.4.1 Definisi Iklim Organisasi
Menurut James dan James, dalam kajian psikologi, iklim diartikansebagai
persepsi individual dalam lingkungan kerja, lalu ketika persepsi tersebut disebarkan
oleh anggota organisasi maka persepsi tersebut disebut sebagai iklim organisasi
(Neal dan Griffin dalam Martinez-Corcoles et al, 2011). Iklim organisasi adalah
konsep yang membahas tentang keadaan yang terjadi di dalam organisasi yang
dipersepsikan oleh anggota organisasi. Litwin dan Stinger dalam Martinez-Corcoles
et al (2011) menjelaskan iklim berorganisasi sebagai sesuatu yang dapat
dipersepsikan oleh pekerja, dapat diukur dalam lingkungan kerja serta berpengaruh
pada motivasi, perilaku karyawan dan pekerjaan yang dilakukannya.
2.1.4.2 Iklim Keselamatan Kerja
Menurut Cabrera et al keselamatan kerja adalahpersepsi yang dibagi oleh
anggota organisasi tentang lingkungan kerjanya dan peraturan keselamatan kerja
dalam organisasi (Yule dalam Martinez-Corcoles et al, 2011). Istilah “perceived
safety climate” mengacu pada persepsi individual mengenai aturan, prosedur, dan
praktek yang terkait dengan keselamatan kerja di tempat kerja. Iklim keselamatan
24
kerja merupakan persepsi pekerja atas kebijakan, prosedur dan praktek yang terkait
dengan keselamatan. Dalam tingkat yang lebih luas, Neal dan Griffin dalam
Martinez-Corcoles et al (2011) menggambarkan iklim keselamatan sebagai persepsi
pekerja terhadap nilai keselamatan dalam sebuah organisasi. Menurut Mearns et al
dalam Bosak et al, (2013), iklim keselamatan terdiri atas 3 dimensi.Yang pertama
manajemen komitmen, yaitu komitmen dalam penggunaan alat perlindungan diri,
penerapan serta kesepakatan mengenai penerapan K3.Yang kedua priority of safety,
yaitu menaati dan menanamkan isu K3.Dan yang ketiga adalah preasure for
production (tekanan kerja), yaitu tekanan dalam kerja yang meliputi kecepatan dan
beban kerja. Menurut Zohar dalam Martinez-Corcoles, et al (2011), iklim
keselamatan kerja merefleksikan prioritas keselamatan kerja yang diyakininya dan
persepsi tersebut memperkirakan perilakuyang akan terlihat (Neal dan Griffin dalam
Martinez-Corcoles et al, 2011). Iklim keselamatan kerja yang positif akan lebih
memotivasi pekerja untuk terikat dengan aktifitas-aktifitas yang menyangkut
keselamatan kerja dibandingkan dengan pekerja yang berada dalam grup yang
memiliki iklim keselamatan kerja yang negatif. Seseorang yang termotivasi untuk
terikat dengan aktifitas keselamatan kerja, lambat laun akan lebih suka untuk
memperlihatkan perilaku keselamatan kerja tersebut.
Budaya keselamatan kerja dan iklim keselamatan kerja adalah konsep
yangsaling berhubungan.Iklim keselamatan kerja juga dipengaruhi oleh budaya
keselamatan kerja, karena budaya keselamatan kerja adalah faktor kunci untuk
menjelaskan faktor manusia dalam bidang keselamatan. Schein dalam MartinezCorcoles et al (2011) berpendapat bahwa ketika budaya organisasi telah ada dan
telah melekat, maka itu akan menentukan persepsi, perasaan, gagasan organisasi dari
anggotanya. Hal ini diperkuat dengan pendapat dari Guldenmund yaitu iklim
keselamatan kerja menunjukan manifestasi budaya yang nyata dalam organisasi
(Martinez-Corcoles et al, 2011).
2.1.5 Perilaku Organisasi
2.1.5.1 Definisi Perilaku Organisasi
Perilaku individu adalah suatu fungsi dari interaksi antara individu dengan
lingkungannya (Thoha, 2009). Individu membawa tatanan dalam organisasi berupa
kemampuan, kepercayaan pribadi, pengharapan, kebutuhan dan pengalaman masa
25
lainnya. Karakteristik organisasi antara lain sistem penghargaan dan pengendalian.
Selanjutnya kedua karakteristik ini akan berinteraksi dan mewujudkan perilaku
individu dalam organisasi (Rivai, 2013).
Menurut Johns dalam Nimran (2013:2) Perilaku organisasi adalah suatu
istilah yang menunjukkan kepada sikap dan perilaku individu dan kelompok dalam
organisasi, yang berkenaan dengan studi sistematis tentang sikap dan perilaku, baik
yang menyangkut pribadi maupun antar pribadi di dalam konteks organisasi.
2.1.5.1 Perilaku keselamatan kerja
Neal dan Griffin dalam Martinez-Corcoles et al (2011), menemukan bahwa
iklim keselamatan kerja menjadi prediktor dari kecelakaan, meskipun hubungan ini
dijembatani oleh perilaku aman. Dengan kata lain, menurut Hofmann dan Stetzer jika
pekerja memiliki iklim keselamatan kerja yang positif, pekerja akan menghindari
perilaku tidak aman (Martinez-Corcoles et al, 2011), yang kemudian menurut
Reason juga Neal dan Griffin, hal tersebut menjadi prediktor terjadinya kecelakaan
dan luka-luka (Martinez-Corcoles et al, 2011). Kajian tersebut menunjukan bahwa
perilaku keselamatan kerja mencegah terjadinya kecelakaan dan luka-luka.Selain itu,
perilaku keselamatan kerja menunjukan nilai, keyakinan, dan sikap terhadap
keselamatan kerja, dimana hal-hal tersebut berhubungan erat dengan kajian
mengenai budaya keselamatan kerja dan iklim keselamatan kerja. Schein dalam
Martinez-Corcoles et al (2011) berpendapat bahwa ketika budaya organisasi telah
ada dan telah melekat, maka itu akan menentukan persepsi, perasaan, gagasan
organisasi dan perilaku anggotanya. Menurut Clarke dalam Martinez-Corcoles et al
(2011), pola perilaku pekerja dipengaruhi oleh persepsi pekerja yang fokus terhadap
keselamatan kerja, saat budaya keselamatan kerja yang telah ada di perusahaan kuat.
Menurut Mearns et al dalam Martinez-Corcolez et al (2011) perilaku keselamatan
kerja terdapat satu dimensi yaitu, pelaksanaan aturan keselamatan kerja dimana
didalamnya membahas tentang mematuhi aturan keselamatan kerja, menaati prosedur
kerja, melakukan SOP dalam mencapai target, mencapai target yang lebih baik
dengan menaati peraturan, kondisi tempat kerja memungkinkan untuk bekerja sesuai
peraturan, insentif mendorong untuk menaati peraturan, tidak mengambil jalan pintas
yang menyebabkan risiko, menaati peraturan tanpa tekanan manajemen, tidak
mengikuti rekan kerja yang tidak menaati peraturan.
26
Perilaku juga sering diartikan sebagai tindakan atau kegiatan yang
ditampilkan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain dan lingkungan
disekitarnya atau bagaimana manusia beradaptasi terhadap lingkungannya. Perilaku
pada hakikatnya adalah aktifitas atau kegiatan nyata yang ditampikan seseorang yang
dapat teramati secara langsung maupun tidak langsung.Perilaku keselamatan kerja
adalah tindakan atau kegiatan yang berhubungan dengan faktor-faktor keselamatan
kerja.Faktor iklim keselamatan lebih berpengaruh terhadap perilaku keselamatan jika
dibandingkan dengan pengalaman pekerja. Diperlukan strategi gabungan antara iklim
keselamatan dan pengalaman kerja untuk meningkatkan perilaku keselamatan secara
maksimal guna mencapai total budaya keselamatan(www.healtsafetyprotection.com).
Behavioral safety adalah suatu pendekatan sistimatis dalam penelitian psikologi
tentang perilaku manusia di dalam lingkungan kerja.Safety behavior memfokuskan
pada identifikasi dari unsafe behavior. Menurut Miner dalam Lisnandhita (2014:24),
unsafe behavior adalah tipe perilaku yang mengarah pada kecelakaan seperti bekerja
tanpa menghiraukan keselamatan, melakukan pekerjaan tanpa ijin, menyingkirkan
peralatan keselamatan, operasi pekerjaan pada kecepatan yang berbahaya,
menggunakan peralatan tidak standar, bertindak kasar, kurang pengetahuan, cacat
tubuh atau keadaan emosi yang terganggu. Program behavioral based safety antara
lain: membudayakan keselamatan kerja sebagai komitmen dari top manajemen,
memberikan pelatihan kepada pemimpin di seluruh jajaran untuk menjadi penyebar
perubahan perilaku keselamatan kerja, melakukan observasi di tempat kerja,
melakukan tindakan perbaikan, memproses reaksi dari para individu, mengumpulkan
data dan laporan dasar, menganalisa laporan dan rekomendasi, dan mengevaluasi
(Sentral sistem consulting, 2012).
Tujuan praktis dari penelaahan studi perilaku organisasi adalah untuk
mendeterminasi
bagaimanakah
perilaku
manusia
itu
mempengaruhi
usaha
pencapaian tujuan-tujuan organisasi.Agar perilaku manusia membentuk perilaku
organisasi yang sesuai dengan tujuan organisasi, maka diperlukan sebuah sistem
yang mencakup seluruh kegiatan di perusahaan. Salah satu cara untuk mencapai hal
tersebut dalam hal mencapai keselamatan kerja dalam organisasi adalah dengan
penerapan sistem manajemen K3 di perusahaan yang dapat membentuk pekerja yang
produktif, sehat, dan berkualitas. Beberapa Negara sudah mengembangkan Sistem
Manajemen K3 (SMK3) sendiri, salah satunya adalah Indonesia. Hal ini menunjukan
adanya perhatian yang kuat dari negara-negara tersebut terhadap K3. Kebanyakan
27
sistem yang diterapkan dibuat dalam bentuk undang-undang atau ketetapan menteri.
Di Indonesia, peraturan tentang K3 dibuat oleh menteri tenaga kerja dan
transmigrasi, aturannya sendiri berdasarkan Permenaker 05/MEN/1996.
Prinsip dasar dari sistem manajemen ini adalah penerapan pengaturan
undang-undang dan pengawasan serta perlindungan para buruh. Tujuan dari sistem
manajemen K3 adalah sebagai alat untuk mencapai derajat tertinggi kesehatan tenaga
kerja, sebagai upaya untuk mencegah dan memberantas penyakit dan kecelakaankecelakaan akibat kerja, meningkatkan efisiensi dan produktivitas tenaga manusia,
menghilangkan kelelahan kerja, meningkatkan kepuasan kerja serta memberikan
perlindungan bagi masyarakat di sekitar perusahaan dari bahaya polusi. Manfaat
penerapan SMK3 adalah perlindungan karyawan, memperlihatkan kepatuhan pada
peraturan dan undang-undang, mengurangi biaya, membuat sistem manajemen yang
efektif, meningkatkan kepercayaan pelanggan. Penerapan K3 yang baik dan terarah
dalam suatu wadah industri akan memberikan dampak baik, salah satunya adalah
sumber daya manusia yang berkualitas (Suardi, 2007).
2.2 Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1 Tabel Penelitian Terdahulu
NO
1
Judul
Pengarang
Tujuan
Hasil
Leadership and
employees’
perceived
safety
behaviours in a
nuclear power
plant:
A structural
equation model
Mario
MartinezCorcoles,
Francisco
Gracia, Ines
Tomas, Jose
M. Peiro
(2011)
Tujuan dari
penelitian ini
adalah untuk
mengetahui
bagaimana perilaku
pemimpinan
mempengaruhi
perilaku
keselamatan kerja
dengan
mempertimbangkan
beberapa faktor
yaitu budaya
keselamatan dan
iklim keselamatan
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa
ketika budaya
keselamatan kuat,
perilaku pemimpin akan
menghasilkan iklim
keselamatan yang tinggi
di antara anggota dan
memprediksi perilaku
keamanan pada pekerja
28
2
Authentic
leader, safe
work: the
influence of
leadership on
safety
performance
Flavia de
Souza
Costa
Neves
Cavazotte,
Cristiano
Jose Pereira
Duarte,
Anna Maria
Calvao
Gobbo
(2013)
Tujuan dari
penelitian ini
adalah untuk
mengetahui
pengaruh
kepemimpinan
yang autentik
terhadap perilaku
keselamatan kerja
Hasil penelitian
menunjukan bahwa
terdapat pengaruh
kepemimpinan yang
autentik terhadap
perilaku keselamatan
kerja. Dimana
kepemimpinan menjadi
rute untuk
mempromosikan
perilaku yang aman bagi
pengikut mereka.
3
Safety Culture
in Combating
Occupational
Safety and
Health
Problems in
the Malaysian
Manufacturing
Sectors
Noor Aina
Amirah,
Wan Izatul
Asma,
Mohd
Shaladdin
Muda,
Wan Abd
Aziz Wan
Mohd Amin
(2013)
Tujuan dari
penelitian ini
adalah untuk
mengetahui
pengaruh budaya
keselamatan kerja
terhadap perilaku
keselamatan kerja
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh
budaya keselamatan
kerja terhadap perilaku
keselamatan kerja.
Masalah menunjukkan
bahwa perilaku
keselamatan kerja dan
kepatuhan terhadap
OSHA akan
menyebabkan
keselamatan positif,
budaya yang pada
gilirannya akan
menyebabkan
pengurangan kecelakaan
4
Examining
Safety
Behaviour
With the Safety
Climate
and the Theory
of Planned
Behaviour
Ceren
AVCI and
Ali YAYLI
(2014)
Tujuan dari
penelitian ini
adalah untuk
mengetahui
pengaruh iklim
keselamatan kerja
terhadap perilaku
keselamatan kerja
Hasil penelitian
mengungkapkan
bahwaiklimkeselamatan,
dan normanormakeselamatanrekan
kerjamemilikiefek
langsungdan tidak
langsungpada
perilakukeselamatan
Sumber : Penulis
29
2.3 Kerangka Pemikiran
Penelitian ini diawali dengan menuliskan latar belakang penelitian lalu
membatasi masalah yang ada dan merumuskannya kebeberapa masalah yang akan
dijadikan tujuan dari penelitian. Setelah menemukan tujuan penelitian, selanjutnya,
mencari dan mengumpulkan informasi berupa teori dan fakta-fakta atau bukti-bukti
yang terkait dengan variabel yang diteliti, yaitu variabel kepemimpinan, budaya
keselamatan kerja, iklim keselamatan kerja,dan perilaku keselamatan kerja agar
landasan penelitian ini semakin kuat. Langkah berikutnya adalah pengumpulan data
yang dilakukan dengan wawancara dan penyebaran kuesioner pada karyawan
perusahaan.
Budaya
Keselamatan Kerja
Perilaku
Keselamatan Kerja
Kepemimpinan
Iklim Keselamatan
Kerja
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Sumber : Peneliti
30
2.4 Hipotesis
Berdasarkan masalah yang diajukan dalam penelitan ini, maka hipotesis
sementara yang dapat disimpulkan dipenelitian ini yaitu:
1. Hipotesis pengujian antara Kepemimpinan terhadap Perilaku Keselamatan
Kerja pada PT. SUTRA MANDIRI.
Ho: tidak ada pengaruh yang signifikan antara kepemimpinan terahadap
Perilaku keselamatan kerja
Ha: ada pengaruh yang signifikan antara Kepemimpinan terhadap Perilaku
Keselamatan Kerja
2. Hipotesis pengujian antara Kepemimpinan terhadap Budaya Keselamatan
Kerja pada PT. SUTRA MANDIRI.
Ho: tidak ada pengaruh yang signifikan antara Kepemimpinan terhadap
Budaya Keselamatan Kerja
Ha: ada pengaruh yang signifikan antara Kepemimpinanterhadap Budaya
Keselamtan Kerja
3. Hipotesis pengujian antara Kepemimpinan terhadap Iklim Keselamatan Kerja
pada PT. SUTRA MANDIRI.
Ho: tidak ada pengaruh yang signifikan antara Kepemimpinan terhadap Iklim
Keselamtan Kerja
Ha: ada pengaruh yang signifikan antara Kepemimpinan terhadap Iklim
Keselamatan Kerja
4. Hipotesis pengujian antara Budaya Keselamatan Kerja terhadap Perilaku
Keselamatan Kerja pada PT. SUTRA MANDIRI.
Ho: tidak ada pengaruh yang signifikan antara Budaya Keselamatan Kerja
terhadap Perilaku Keselamatan Kerja
Ha: ada pengaruh yang signifikan antara Budaya Keselamatan Kerjaterhadap
Perilaku Keselamtan Kerja
31
5. Hipotesis pengujian antara Iklim Keselamatan Kerja terhadap Perilaku
Keselamatan Kerja pada PT. SUTRA MANDIRI.
Ho: tidak ada pengaruh yang signifikan antara Iklim Keselamatan Kerja
terhadap Perilaku Keselamatan Kerja
Ha: ada pengaruh yang signifikan antara Iklim Keselamatan Kerjaterhadap
Perilaku Keselamtan Kerja
6. Hipotesis pengujian antara Kepemimpinan terhadapBudaya Keselamatan
Kerjadan dampaknya terhadap perilaku keselamatan kerja pada PT. SUTRA
MANDIRI.
Ho: tidak ada pengaruh yang signifikan antara Kepemimpinan terhadap
Budaya Keselamtan Kerja dan dampaknya terhadap Perilaku Keselamatan
Kerja
Ha: ada pengaruh yang signifikan antara Kepemimpinan terhadap Budaya
Keselamatan Kerja dan dampaknya terhadap Perilaku Keselamatan Kerja
7. Hipotesis pengujian antara Kepemimpinan terhadapIklim Keselamatan Kerja
dan dampaknya terhadap Perilaku Keselamatan Kerja pada PT. SUTRA
MANDIRI.
Ho: tidak ada pengaruh yang signifikan antara Kepemimpinan terhadap Iklim
Keselamtan Kerja dan dampaknya terhadap Perilaku Keselamatan Kerja
Ha: ada pengaruh yang signifikan antara Kepemimpinan terhadapIklim
Keselamatan Kerja dan dampaknya terhadap Perilaku Keselamatan Kerja
32
Download