KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM PENGANGKATAN HAKIM AGUNG (Analisis Putusan MK Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Oleh : Diah Savitri NIM : 1110048000042 KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435H/2014 KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM PENGANGKATAN HAKIM AGUNG (Implikasi Putusan MK Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Oleh : DIAH SAVITRI NIM : 1110048000042 PEMBIMBING I PEMBIMBING II BURHANUDDIN, SH, M. HUM NIP : 197302151999031002 FITRIA, SH, MR NIP : 197908222011012007 KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435H/2014M PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul “KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM PENGANGKATAN HAKIM AGUNG (Analisis Putusan MK Nomor 27/PUU-XI/2013)” telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 29 Desember 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S1) pada Program Studi Ilmu Hukum. Jakarta, 29 Desember 2014 Mengesahkan Dekan, H. JM. Muslimin, MA, Ph.D. NIP. 196808121999031014 PANITIA UJIAN 1. Ketua :Dr.Djawahir Hejazziey, SH, MA. NIP. 195510151979031002 (.……………) 2. Sekretaris : Arip Purkon, SH.I, MA NIP. 197904272003121002 (.……………) 3. Pembimbing 1 : Burhanuddin, SH, M.Hum. NIP.197302151999031002 (.……………) 4. Pembimbing II : Fitria, SH, MR. NIP. 197908222011012007 (.……………) 5. Penguji I : Nur Habibi, SH.I, MH. NIP. 197608172009121005 (.……………) 6. Penguji II : Nur Rohim Yunus, LLM. NIP. 197904162011011004 (.……………) Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya saya atau hasil jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 11 Desember 2014 Diah Savitri ABSTRAK Diah Savitri (1110048000042), KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM PENGANGKATAN HAKIM AGUNG (Analisis Putusan MK Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR), di bawah bimbingan dan arahan Bapak Burhanuddin selaku Pembimbing I dan Ibu Fitria selaku Pembimbing II. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kewenangan Komisi Yudisial dan Dewan Perwakilan Rakyat pada pengangkatan hakim agung pasca Putusan MK Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR dan apa yang menjadi pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara tersebut serta kendala apa saja yang dihadapi Komisi Yudisial dan DPR dalam proses pengangkatan hakim agung secara keseluruhan. Peneliti melakukan penelitian kepustakaan dengan mempelajari bukubuku, peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan materi penulisan skripsi dan juga melakukan wawancara dengan pihak Komisi Yudisial dan DPR. Hasil yang dicapai dalam penelitian ini menunjukan bahwa kewenangan DPR untuk memilih calon hakim agung seperti yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial dan pada Pasal 8 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung ternyata tidak sejalan dengan makna persetujuan yang disebutkan pada Pasal 24A ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hal ini didasarkan dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomer 27/PUU-XI/2013 yang mengubah ketentuan memilih pada Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomer 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial dan pada Pasal 8 ayat (2) dan (3) UndangUndang Nomer 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung menjadi menyetujui. Begitu juga dengan ketentuan yang mengharuskan KY mengajukan 3 (tiga) calon hakim agung kepada DPR untuk setiap lowongan hakim agung yang dalam praktiknya cukup menyulitkan, maka MK dalam putusannya mengubah kuota calon hakim agung yang diusulkan KY kepada DPR menjadi 1 (satu) calon hakim agung untuk setiap lowongan. Kata Kunci Daftar Pustaka : Komisi Yudisial, Dewan Perwakilan Rakyat , Kewenangan : Tahun 2000 s.d Tahun 2013 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT., atas segala kekuasaan dan kebenaran-Nya, telah membukakan pintu pengetahuan bagi penulis, sampai akhirnya penulis diperkenankan masuk dan menjelajahi ruang ilmu dengan berbagai deretan ujian dan pengalaman. Hal itu membuat penulis sadar bahwa ilmu adalah salah satu kendaraan yang dapat membuat kita sebagai manusia untuk bisa lebih dekat dengan-Nya. Pada kesempatan ini pun, penulis ingin berbagi rasa gembira dan rasa syukur, serta ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, mendukung, mendoakan, dan membimbing, serta mendampingi penulis hingga terselesaikannya skripsi dan studi strata satu ini. Untuk itu, penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada : 1. Ayahanda Alm. R. Sutarto, BBA yang semasa hidupnya selalu memberi semangat serta menjadi panutan bagi penulis dan Ibunda Martini, S.Pd atas dukungan dan pengorbanannya baik moral dan moril serta mencurahkan segala perhatian dan kasih sayangnya kepada penulis serta tak pernah lelah dalam membimbing penulis, walaupun sampai saat ini penulis belum bisa membalasnya. 2. Bapak Burhanuddin, SH, M.Hum. dan Ibu Fitria, SH, MR selaku pembimbing I dan pembimbing II, Terima kasih atas arahannya, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 3. Bapak Dr. JM Muslimin, P.hd selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Dr. Djawahir Hejazziey, SH, MA, MH selaku Ketua Prodi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Bapak Arip Purkon, SHI, MA selaku Sekretaris Prodi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Ibu Ipah Parihah S,Ag, MH, pembimbing akademik yang telah memberi dukungan. 6. Seluruh Dosen dan Staff Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 7. Ibu Lina Maryani, SH selaku Kepala Sub Bagian Peningkatan Kapasitas Hakim di Biro Rekrutmen Advokasi dan Peningkatan Kapasitas Hakim di Komisi Yudisial dan Bapak Tabah, SH, MH di Biro Rekrutmen KY, serta Bapak Bachrudin Nasori S.Si, MM Anggota Komisi III DPR RI, terima kasih atas segala doa dan bantuan kepada penulis karena sudah menjadi nara sumber yang baik. 8. Teman-teman seperjuangan di Kelas Ilmu Hukum B angkatan 2010 dan Kelas Ilmu Hukum Kelembagaan Negara yang telah berbagi suka dan duka selama perkuliahan Ekasari, Siti Rahmadianti, Galuh Hayu, Sarah Eka, Yulita Rosalina, Tanti Oktari, Mona Hasinah, M. Soma Karya Madari, Jentel Chairnosia, Siti Annisa Mahfudzoh, Azhary Arsyad dan yang lainnya, yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 9. Sahabat baik penulis Wildan Bahtiar, Dwi Suranti, Krisna Puspita dan Ina Siti Aminah, Siti Nuraini, Evianti, Maulizhar dan Andika Ifardi atas doa dan dukungannya. 10. Adik penulis Teguh Senopati yang menjadi yang selalu menghibur dan memberi semangat dalam penyusunan skripsi ini. 11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah ikut berkontribusi terhadap penelitian ini. Akhir kata dengan tidak melupakan keberadaan penulis sebagai manusia biasa yang tak luput dari segala kekurangan dan keterbatasan, penulis membuka diri untuk menerima segala bentuk saran dan kritikan yang konstruktif dalam rangka perubahan dan penyempurnaan skripsi ini. Jakarta, 11 Desember 2014 Penulis DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN ABSTRAK KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR lAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………………………….……1 B. Pembatasan dan Rumusan Masalah……………………………………..8 1. Pembatasan Masalah…………………………………………………8 2. Rumusan Masalah……………………………………………………9 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………..………………………………..9 D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu ………..……………..……………11 E. Metode Penelitian ……………………………....………………………13 1. Tipe Penelitian ………………………………………………………13 2. Pendekatan Masalah ..……………………………………………....15 3. Sumber Data………………………………………………………....15 4. Pengolahan dan Analisis bahan Hukum……………………………18 F. Sistematika Penelitian …………………………………………………..18 BAB II PENGANGKATAN HAKIM AGUNG OLEH KOMISI YUDISIAL DENGAN PERSETUJUAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT A. B. C. D. E. Pemisahan Kekuasaan Negara (Separation of Power)……………….20 Mekanisme Checks and Balances……………………………………22 Komisi Nasional Sebagai Pilar Keempat Demokrasi………………...25 Teori Kewenangan…………………………………………………...29 Tugas dan Wewenang Komisi Yudisial dalam Pengangkatan Hakim Agung…………………………………………………….…..33 F. Kewenangan DPR dalam Pengangkatan Hakim Agung……………..45 G. Pengangkatan Hakim dalam Perspektif Islam…………………........ 53 BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-XI/2013 TENTANG SELEKSI CALON HAKIM AGUNG DI DPR A. Kewenangan Komisi Yudisial dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR 1. Kewenangan Komisi Yudisial Pasca Putusan …………………..56 2. Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pasca Putusan …………………………………………….……..58 B. Pertimbangan Hakim Konstitusi dalam Memberi Putusan Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR 1. Kewenangan Mahkamah……………………………………….…66 2. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon ..…………67 3. Pendapat Hakim Mahkamah Konstitusi tentang Pokok Permohonan ……………………………………………...71 BAB IV IMPLIKASI PEMILIHAN HAKIM AGUNG PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-XI/2013 TENTANG PENGHAPUSAN KEWENANGAN DPR UNTUK MEMILIH HAKIM AGUNG A. Praktek-Praktek Persetujuan DPR Terhadap Pemilihan Pejabat Negara………………………………………………………………..79 B. Kendala yang Dihadapi dalam Proses Seleksi Hakim Agung Secara Keseluruhan………………………………….……………..85 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan…………………………………………………….….. 98 B. Saran……………………………………………………………..…102 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Surat Permohonan Penelitian di KomisiYudisial Lampiran 2 Surat Permohonan Penelitian di Dewan Perwakilan Rakyat Lampiran 3 Surat Keterangan Penelitian di Komisi Yudisial Lampiran 4 Hasil Wawancara di Komisi Yudisial Lampiran 5 Hasil Wawancara di Dewan Perwakilan Rakyat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Amandemen UUD NRI 1945 yang terjadi pada tahun 1999 hingga tahun 2002 memiliki pengaruh yang cukup besar pada kekuasaan kehakiman di Indonesia. Hasil amandemen ketiga UUD NRI 1945 menghasilkan Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman tertinggi selain Mahkamah Agung, serta Komisi Yudisial.1 KY dibentuk sebagai lembaga pembantu (auxiliary institusion) di dalam rumpun kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Pasal 24B UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY.2 KY merupakan lembaga yang mandiri berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY menyatakan “ Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.” Mandiri berarti tidak adanya campur tangan dari kekuasaan lain atau suatu pihak tidak bergantung kepada pihak lainnya yang dalam literatur disebut juga independen, berasal dari bahasa Inggris independence.3 1 Denny Indrayana, Negara Antara Ada dan Tiada: Reformasi Hukum Ketatanegaraan, cet. I, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, Juni 2008), h. 9. Lihat juga Hans Kelsen, Pure Theory of Law, (1967), h. 8. 2 Mahmuzar, Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen, cet. I, (Bandung: Nusa Media, 2010), h. 25. 3 Hari Murti Kridalaksana, Kamus Sinonim Bahasa Indonesia, cet.IX, (Jakarta: Nusa Indah Press, 2005), h. 89. 1 2 Secara struktural kedudukan KY diposisikan sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, secara fungsional peranannya bersifat penunjang (auxiliary) terhadap lembaga kekuasaan kehakiman.4 Meskipun kekuasaannya terkait dengan kekuasaan kehakiman, KY tidak menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman karena komisi ini bukanlah lembaga penegak norma hukum (code of law), melainkan lembaga penegak norma etik (code of etic).5 Keberadaan KY sebenarnya berasal dari lingkungan internal hakim sendiri, yaitu dari konsepsi mengenai majelis kehormatan hakim yang terdapat di dalam dunia profesi kehakiman di lingkungan Mahkamah Agung. Sebelumnya fungsi ethical auditor ini bersifat internal. Namun untuk menjamin efektifitas kerjanya dalam rangka mengawasi perilaku hakim, maka fungsinya ditarik ke luar menjadi external auditor yang kedudukannya dibuat sederajat dengan para hakim yang berada di lembaga yang sederajat dengan pengawasannya. 6 Pembentukan komisi ini juga merupakan konsekuensi logis yang muncul dari penyatuan atap lembaga peradilan pada Mahkamah Agung (MA). Penyatuan atap tersebut berpotensi menimbulkan monopoli kekuasaan kehakiman oleh MA. Dikhawatirkan MA tidak akan mampu melaksanakan kewenangan administrasi, 4 ` Sirajuddin dan Zulkarnain, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik: Menuju Peradilan yang Bersih dan Berwibawa, cet.I, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), h. 31. 5 Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, cet.II, (Jakarta: Konpress, 2005), h. 153. 6 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, cet.I, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 159. 3 personel, keuangan dan organisasi pengadilan yang selama ini dilakukan oleh departemen. Dibentuknya KY ini dengan harapan dapat mengubah strukturstruktur lama yang tertutup, sentralistik, otoriter dan tidak transparan tersentuh oleh nilai-nilai demokrasi dengan dilakukannya transformasi dan reformasi peradilan.7 Mengenai kewenangannya, Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY merumuskan sebagai berikut: a. b. c. d. Komisi Yudisial mempunyai wewenang: mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan; menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim; menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersamasama dengan Mahkamah Agung; dan menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim. Menurut Jimly Asshiddiqie, karena tugas pertama dikaitkan dengan hakim agung dan tugas kedua dengan hakim saja, maka secara harfiah jelas sekali artinya, yaitu KY bertugas menjaga (preventif) dan menegakkan (korektif dan represif) kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku semua hakim di Indonesia. Dengan demikian, hakim yang harus dijaga dan ditegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilakunya mencakup hakim agung, hakim peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha, dan pengadilan militer serta termasuk hakim konstitusi.8 7 Indriaswati Dyah, Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara, cet.V, (Komisi Yudisial, Jakarta 2010), h. 67. 8 Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, cet.VIII, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 232. 4 Pasal 24A ayat (3) UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa calon hakim agung diusulkan KY kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden. Dari keterangan pasal tersebut maka bisa dilihat adanya keterlibatan tiga lembaga negara, yaitu KY, DPR dan Presiden dalam proses pengangkatan hakim agung. Keterlibatan DPR dalam pengangkatan hakim agung adalah dalam rangka mewujudkan fungsi checks and balances antar cabang kekuasaan negara dalam pemerintahan demokrasi.9 Berdasarkan Pasal 20A UUD NRI 1945, DPR mempunyai fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan, yang mana fungsi pengawasan tersebut dilaksanakan melalui pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan APBN. Kewenangan DPR yang berkaitan dengan pengangkatan dan pemberhentian pejabat-pejabat publik tertentu yang membutuhkan pertimbangan yang bersifat politik juga merupakan bagian dari fungsi pengawasan DPR. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, para hakim agung dipilih oleh DPR untuk selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung dengan Keputusan Presiden. Tiga orang hakim konstitusi dipilih oleh DPR untuk selanjutnya ditetapkan dengan keputusan presiden. Duta besar, diangkat oleh presiden dengan pertimbangan DPR, pimpinan atau dewan gubernur Bank Sentral dipilih oleh DPR untuk selanjutnya ditetapkan dengan keputusan Presiden. Anggota Badan 9 Rifqi S Assegaf, 2004, “Urgensi Komisi Yudisial dalam Pembaruan Peradilan di Indonesia” dalam Jurnal Hukum Jantera, Edisi 2, Tahun II, Juni 2004, h. 5. 5 Pemeriksa Keuangan (BPK) dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden. Panglima TNI dan Kepala POLRI diangkat oleh Presiden dengan persetujuan DPR, dan sebagainya. 10 Keterlibatan lembaga perwakilan rakyat dengan adanya hak untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan ataupun pertimbangan ini dapat disebut juga hak untuk konfirmasi (right to confirm) lembaga legislatif. Dengan adanya hak ini, lembaga perwakilan dapat ikut mengendalikan atau mengawasi kinerja para pejabat publik dimaksud dalam menjalankan tugas dan kewenangannya masing-masing agar sesuai dengan ketentuan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.11 Namun dalam pelaksaan kewenangan tersebut kerap terjadi pertentangan antara DPR dan lembaga lain. Seperti yang terjadi pada tahun 2008, enam fraksi DPR menyatakan menolak Agus Martowardojo dan Raden Pardede sebagai calon Gubernur Bank Indonesia yang diajukan oleh Presiden untuk menggantikan Gubernur Bank Indonesia sebelumnya yaitu Burhanuddin Abdullah. Saat itu DPR menganggap dalam pengajuan dua nama tersebut terdapat kecenderungan Presiden mengarahkan untuk memilih salah satu calon yaitu Agus Martowardojo dari dua nama yang telah diajukan kepada DPR. Kecenderungan yang dinilai 10 Sirajuddin dan Zulkarnain, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik: Menuju Peradilan yang Bersih dan Berwibawa, h. 36. 11 h. 304. Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet. V, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013) 6 terlalu mencolok tersebut menimbulkan penolakan dari beberapa anggota Komisi XI DPR. Begitu pula yang terjadi pada proses pemilihan hakim agung tahun 2014, di mana Komisi III DPR menolak tiga (3) Calon Hakim Agung yang disodorkan KY Penolakan itu didasari hasil voting yang dilakukan Komisi III pada Selasa, 4 Februari 2014. Calon Hakim Agung Suhardjono, Maria dan Sunarto ditolak dengan alasan tidak mempunyai kualitas yang mumpuni dan kualitas ketiga calon tidak mengalami peningkatan setelah tahun 2012 gagal dalam uji kelayakan dan kepatutan seleksi Hakim Agung. 12 Proses pengangkatan hakim agung yang melalui mekanisme politik tersebut dalam perkembangannya dinilai berpotensi menganggu independensi peradilan karena terintervensi oleh banyak kepentingan. Apabila DPR sebagai lembaga negara yang anggotanya berasal dari partai politik mempunyai kepentingan politik yang baik maka bisa diharapkan hasil hakim yang terpilih adalah yang baik juga, namun hal yang berbeda akan terjadi apabila kepentingan politik yang ada adalah tidak baik, maka hakim yang terpilih bisa saja terbelenggu dengan kepentingan-kepentingan yang buruk tersebut. Mekanisme pengangkatan hakim agung yang melibatkan DPR berpotensi menghasilkan hakim-hakim yang tidak baik tergantung dari keadaan dan situasi 12 Diakses pada 9 September 2014 dari http://nasional.kompas.com/read/2014/02/04/1835263/ Komisi-III-Tolak-Semua-Calon-Hakim-Agung. 7 politik yang ada.13 Padahal hakim merupakan suatu pekerjaan yang sangat memiliki tanggung jawab terhadap pelaksanaan hukum di suatu negara. Dalam artian, hakim merupakan benteng terakhir dari penegakan hukum di suatu negara. Oleh karena itu, apabila hakim di suatu negara memiliki moral yang sangat rapuh, maka wibawa hukum di negara tersebut akan lemah atau terperosok.14 Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materil dengan perkara Nomor 27/PUU-XI/201315 untuk mengembalikan kewenangan DPR yang awalnya memiliki kewenangan memilih calon hakim agung menjadi hanya menyetujui calon hakim agung dan mengubah jumlah kuota calon Hakim Agung yang diberikan KY kepada DPR untuk disetujui oleh DPR menjadi Hakim Agung dari tiga (3) calon setiap satu lowongan menjadi satu (1) calon setiap satu lowongan. Uji materil tersebut diajukan karena mekanisme pengangkatan hakim agung oleh DPR dalam ketentuan Undang-Undang KY dan Undang-Undang Mahkamah Agung berbeda dengan yang disebutkan dalam Pasal 24A ayat (3) UUD NRI 1945. Pasal tersebut menyebutkan kewenangan DPR adalah sebatas 13 Kewenangan DPR dalam Proses Seleksi Hakim Agung oleh Dio Ashar Wicaksana, peneliti MaPPI FH UI dalam Fiat Justitia Vol. 1/No.2/Juni 2013, h. 8. 14 Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, cet.I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 114. 15 Pengujian Pasal 8 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 8 memberikan “persetujuan” terhadap calon hakim agung yang diusulkan oleh KY. Dengan demikian DPR tidak dalam kapasitasnya melakukan seleksi, untuk kemudian “memilih” calon hakim agung yang diusulkan oleh KY. Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, penulis berpendapat bahwa berkaitan dengan hal tersebut maka penulis memilih judul sebagai berikut: KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM PENGANGKATAN HAKIM AGUNG (Analisis Putusan MK Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR) B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Pembatasan masalah merupakan hal yang penting bagi penelitian, karena sebagai pembatas studi agar tidak melebar dan menjadi layak sehingga informasi dan data yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang hendak diteliti. Untuk menganalisa permasalahan utama tentang analisis yuridis terhadap kewenangan KY dan DPR dalam pengangkatan hakim agung diperlukan data yang relevan dan akurat. Oleh karenanya, penelitian ini dibatasi pada hal-hal yang hanya berkaitan dengan kewenangan KY dan DPR dalam pengangkatan hakim agung saja, sehingga pengumpulan data akan lebih terarah. 2. Rumusan Masalah Mengacu pada latar belakang masalah di atas, permasalahan yang ingin dikaji pada penelitian ini antara lain: permasalahan- 9 1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memberi putusan Nomor 27/PUUXI/2013 tentang Seleksi Hakim Agung di DPR tersebut? 2. Bagaimana kewenangan Komisi Yudisial dan DPR dalam pengangkatan Hakim Agung Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUUXI/2013 tentang Seleksi Hakim Agung di DPR? 3. Apa saja yang menjadi kendala Komisi Yudisial dan DPR dalam proses seleksi Hakim Agung secara keseluruhan? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian yang penulis harapkan adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pertimbangan Hakim Konstitusi dalam memberi putusan Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Hakim Agung di DPR. 2. Untuk mengetahui kewenangan Komisi Yudisial dan DPR dalam pengangkatan Hakim Agung Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Hakim Agung di DPR. 3. Untuk mengetahui kendala apa saja yang dihadapi Komisi Yudisial dan DPR terhadap proses seleksi Hakim Agung secara keseluruhan. 10 Manfaat Penelitian Dari rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, terdapat beberapa manfaat yang ingin diperoleh oleh penulis. Manfaat tersebut terbagi menjadi dua kelompok, yaitu: 1) Manfaat Teoritis a. Untuk lebih memperkaya khasanah ilmu pengetahuan baik di bidang hukum pada umumnya maupun di bidang Hukum Kelembagaan Negara pada khususnya. b. Untuk dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum secara teoritis, khususnya bagi Hukum Tata Negara mengenai Kewenangan Komisi Yudisial dan DPR dalam Pengangkatan Hakim Agung. c. Untuk menjadi pedoman bagi pihak yang ingin mengetahui dan mendalami tentang Kewenangan Komisi Yudisial dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dalam Pengangkatan Hakim Agung. 2) Manfaat Praktis a. Penulis mengharapkan agar memberikan sumbangan pemikiran mengenai aspek Hukum Tata Negara khususnya mengenai Kewenangan Komisi Yudisial dan DPR dalam Pengangkatan Hakim Agung. b. Agar hasil penelitian ini menjadi perhatian dan dapat digunakan oleh semua pihak baik itu pemerintah, masyarakat umum maupun 11 semua pihak yang bekerja di bidang hukum, khususnya bidang Hukum Tata Negara. D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu Dalam sebuah penelitian atau pembuatan skripsi, terkadang terdapat tema yang berkaitan dengan tema yang kita ambil meskipun arah dan tujuan penelitian tersebut berbeda. Dari penelitian ini, penulis menemukan beberapa sumber kajian lain yang telah lebih dahulu membahas terkait dengan Kewenangan Komisi Yudisial dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam Pengangkatan Hakim Agung. Diantaranya adalah: 1. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Disusun oleh Ariawan Zaki Fandira, dengan judul skripsi “Analisis Yuridis Kewenangan Komisi Yudisial Dalam Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung”. Skripsi tersebut hanya membahas tentang kewenangan Komisi Yudisial dan sangat sedikit mrmbahas keterlibatan DPR dalam pengangkatan hakim agung, sedangkan penulis membahas lebih rinci sinergitas Komisi Yudisial dan DPR RI dalam proses pengangkatan Hakim Agung dan analisis putusan Mahkamah Agung terbaru tentang penghapusan kewenangan DPR RI dalam pengangkatan hakim agung. 2. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, disusun oleh Muhamad Athoilah. Dengan judul “Kewenangan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Terhadap 12 Pengangkatan Hakim Peradilan Agama (Analisis Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.” Skripsi tersebut membahas pengangkatan hakim di lingkungan Peradilan Agama saja. Sedangkan penulis membahas pengangkatan hakim agung di lingkungan Mahkamah Agung. 3. Skripsi Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, disusun oleh Dwi Wijonarko. Dengan judul “Implementasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial Mengenai Mekanisme Perekrutan Hakim Agung Oleh Komisi Yudisial.” Skripsi tersebut hanya membahas berkaitan dengan kewenangan Komisi Yudisial dalam perekrutan hakim agung berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, sedangkan penulis melakukan analisis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013. 4. Buku tentang Komisi Yudisial yang ditulis oleh A. Ahsin Thohari dengan judul “Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan”. Perbedaannya dengan penulis, penulis buku tersebut mengkaji maksud dibentuknya Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia, serta pentingnya menjaga kekuasaan kehakiman dari intervensi kekuasaan lain. Kesimpulannya, penulis mencoba memberikan deskriptif analisis yang lebih komperhensif dan aktual pada kajian penelitian Kewenangan Komisi Yudisial dan Dewan Perwakilan dalam Pengangkatan Hakim 13 Agung dengan dikeluarkannya putusan mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013. E. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian Penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya, untuk kemudian mengusahakan pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.16 Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalahnya, tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan keputusan pengadilan.17 Penelitian yuridis normatif adalah penelitian dengan melihat, menelaah dan menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum yang berupa konsepsi, peraturan perundang-undangan, pandangan, doktrin hukum dan system hukum yang berkaitan. Jenis penelitian ini menekankan pada diperolehnya keterangan berupa naskah hukum yang berkaitan dengan objek yang diteliti.18 Spesifikasi penelitian ini menggunakan tipe 16 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. XIV, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2003), h. 43. 17 18 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cet.VI, (Jakarta: Kencana: 2010), h. 142. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet.XII, (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h. 52. 14 deskriptif analitis, yaitu penelitian yang disamping memberikan gambaran, menuliskan dan melaporkan suatu objek atau suatu peristiwa juga akan mengambil kesimpulan umum dari masalah yang akan dibahas.19 Dalam penelitian karya ilmiah dapat digunakan salah satu dari tiga bagian grand methode yaitu, library research, ialah karya ilmiah yang didasarkan pada literatur atau pustaka: field research, yaitu penelitian yang didasarkan pada penelitian lapangan: dan bibliographic research, yaitu penelitian yang memfokuskan pada gagasan yang terkandung dalam teori. Berdasarkan pada subjek studi dan jenis masalah yang ada, maka dalam penelitian ini akan digunakan metode library research atau penelitian kepustakaan. Lazimnya disebut juga Legal Research atau Legal Research Instruction. Penelitian hukum semacam ini tidak mengenal penelitian lapangan, karena yang diteliti adalah bahan-bahan hukum sehingga dapat dikatakan sebagai library research.20 2. Pendekatan Masalah Sehubungan dengan tipe masalah yang yang digunakan yaitu yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundangundangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan (statute approach) digunakan untuk meneliti aturan-aturan yang penormaannya justru kondusif untuk mengetahui 19 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, cet. I, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2006), h. 11. 20 23. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, h. 15 lebih dalam mengenai kewenangan KY dan DPR dalam pengangkatan hakim agung.21 Sedangkan pendekatan konseptual digunakan untuk memahami konsep tentang kewenangan KY dan DPR dalam pengangkatan hakim agung sehingga nanti akan diketahui dampak yang ditimbulkan dari kewenangan tersebut. 3. Sumber Data Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua jenis, yaitu: a. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber data. Diperoleh dengan mengadakan wawancara secara langsung terhadap pihak yang dianggap perlu dan terkait oleh penulis. Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan di mana dua orang atau lebih bertatap muka dan mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan.22 Dalam penelitian ini data primer diperoleh melalui wawancara Kepala Sub Bagian Peningkatan Kapasitas Hakim di Biro Rekrutmen Advokasi dan Peningkatan Kapasitas Hakim di Komisi Yudisial. 21 22 33. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 96. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, h. 16 b. Data Sekunder Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Dengan penjabaran sebagai berikut: 1) Bahan Hukum Primer Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundanngundangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.23 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari: a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 24A ayat (3) b) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung c) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial d) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung e) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman f) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD g) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tantang Komisi Yudisial h) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR 23 Ibid., h. 141 17 2) Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari buku-buku hukum yang berkenaan dengan KY dan DPR, buku-buku hukum lainnya, skripsi hukum tata Negara, tesis hukum tata negara dan jurnal maupun materi-materi mengenai hukum yang berkaitan dengan tema Kewenangan KY dan DPR dalam Pengangkatan Hakim Agung. 4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan, UUD NRI 1945, peraturan perundang-undangan dan bahan materi lainnya penulis uraikan dan hubungan sedemikian rupa sehingga disajikan dalam penulisan yang sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Bahwa cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara mendalam tentang Kewenangan KY dan DPR dalam Pengangkatan Hakim Agung selanjutnya dianalisa secara mendalam sesuai dengan pendekatan yang digunakan. F. Sistematika Penelitian Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2012” dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terisi atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai berikut: 18 BAB I : PENDAHULUAN Penulis akan mengemukakan mengenai : latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, pembatasan masalah, metode penelitian serta sistematika penulisan skripsi. BAB II : PENGANGKATAN HAKIM AGUNG OLEH KOMISI YUDISIAL DENGAN PERSETUJUAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT Penulis akan menguraikan tinjauan umum mengenai : Pemisahan Kekuasaan Negara (Separation of Power), Mekanisme Checks and Balances, Komisi Nasional Sebagai Pilar Keempat Demokrasi, Teori Kewenangan, Tugas dan Wewenangan Komisi Yudisial dalam Pengangkatan Hakim Agung, Kewenangan DPR dalam Pengangkatan Hakim Agung serta Pengangkatan Hakim dalam Perspektif Islam. BAB III : PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-XI/2013 TENTANG SELEKSI HAKIM AGUNG DI DPR Penulis akan menguraikan mengenai: Kewenangan Komisi Yudisial Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013, Kewenangan DPR RI Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 Pertimbangan Mahkamah Hakim Konstitusi dan dalam Memberi Putusan Nomor 27/PUU-XI/2013. BAB IV : IMPLIKASI PEMILIHAN HAKIM AGUNG PASCA TERBITNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-XI/2013 TENTANG 19 PENGHAPUSAN KEWENANGAN DPR UNTUK MEMILIH HAKIM AGUNG Penulis akan menguraikan analisis terhadap pembahasan dari permasalahan yang ada, yaitu: Praktek-praktek Persetujuan DPR Terhadap Pemilihan Pejabat Negara serta Kendala yang dihadapi Komisi Yudisial dan DPR dalam proses seleksi hakim agung secara keseluruhan. Penulis akan menguraikan tentang hasil analisis yang merupakan perumusan dari pembahasan yang dilakukan pada bab-bab sebelumnya, yang merupakan : Kesimpulan dan Saran dari penulis sehubungan dengan permasalahan yang telah diuraikan dalam penelitian. 20 BAB II PENGANGKATAN HAKIM AGUNG OLEH KOMISI YUDISIAL DENGAN PERSETUJUAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT A. Pemisahan Kekuasaan Negara (Separation of Power) Pada umumnya, doktrin pemisahan kekuasaan berasal dari Montesquieu dengan trias politica-nya dan diterapkan pertama kali oleh The Framers of U.S. Constitution melalui proses penyaringan secara selektif dari teori Montesquieu dan dipadukan dengan visi dan pengalaman bernegara mereka yang berciri khas kebebasan politik dan supremasi hukum.24 Menurut Montesquieu, dalam bukunya L‟Espirit des Lois (1748), membagi kekuasaan negara dalam tiga cabang, yaitu : (1) kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang, (2) kekuasaan eksekutif yang melaksanakan, dan (3) kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif. Dari kalsifikasi Montesquieu inilah dikenal pembagian kekuasaan negara modern dalam tiga fungsi, yaitu legislatif (the legislative function), eksekutif (the executive or administrative function) dan yudisial (the yudicial function).25 24 Gunawan A. Tauda, Komisi Negara Independen, cet. I, (Yogyakarta: Genta Press, 2012), h. 29. 25 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet. I, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 283. 20 21 Sebelumnya, John Locke juga membagi kekuasaan negara dalam tiga fungsi, tetapi berbeda isinya. Menurut John Locke, fungsi-fungsi kekuasaan negara itu meliputi: a) Fungsi legislatif, b) Fungsi eksekutif dan c) Fungsi federatif.26 Dalam bidang legislatif dan eksekutif, pendapat kedua sarjana itu tampaknya mirip. Akan tetapi, dalam bidang yang ketiga pendapat mereka berbeda. John Locke mengutamakan fungsi federatif, sedangkan Baron de Montesquieu mengutamakan fungsi yudikatif. Trias politika dalam sistem kekuasaan pemerintahan menjadi bahan rujukan dan pilihan bagi negara-negara yang hendak membentuk pemerintahannya sesuai kondisi dan kultur di negara masing-masing. Trias politika adalah suatu prinsip normatif bahwa setiap cabang kekuasaan sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.27 Doktrin yang murni pemisahan kekuasaan dirumuskan untuk menentukan dan menjaga kebebasan politik dengan membagi kekuasaan pemerintah ke dalam tiga cabang yakni, legislatif, eksekutif dan yudikatif. Masing-masing cabang pemerintah dibatasi pada pelaksanaan fungsinya sendiri dan tidak diperbolehkan melanggar fungsi dari cabang-cabang yang lain. Tidak ada individu yang diperbolehkan pada saat yang bersamaan 26 27 Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, h. 117. Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet. XXVIII, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h.117. 22 menjadi anggota lebih dari satu cabang, sehingga masing-masing cabang mengawasi (check) cabang yang lain dan tidak ada satu kelompok orang yang mampu mengontrol mesin negara.28 B. Mekanisme Checks and Balances Dapat diketahui bahwa UUD NRI 1945 tidak lagi dapat dikatakan menganut paham trias politica Montesquieu secara mutlak, yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial, tanpa diiringi oleh hubungan saling mengendalikan satu sama lain. Dengan perkataan lain, sistem baru yang dianut oleh UUD NRI 1945 adalah sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances. Jimly Asshiddiqie mengatakan, kalaupun istilah pemisahan kekuasaan tadinya hendak dihindari, namun kita dapat saja menggunakan istilah pemisahan kekuasaan (division of power) seperti yang dipakai oleh Athur Mass, yaitu capital division of power untuk pengertian yang bersifat horizontal, dan territorial division of power untuk pengertian yang bersifat vertikal.29 Pemisahan kekuasaan dapat dipahami sebagai doktrin konstitusional atau doktrin pemerintahan yang terbatas, yang membagi kekuasaan pemerintahan ke dalam cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan 28 Romi Librayanto, Trias Politica Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, cet. I, (Makassar: Pusat Studi Politik, Demokrasi, dan Perubahan Sosial, 2008), h. 23. 29 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 292. 23 yudikatif.30 Tugas kekuasaan legislatif adalah membuat hukum, kekuasaan eksekutif bertugas menjalankan hukum, dan kekuasaan yudikatif bertugas menafsirkan hukum. Kemudian tidak dapat dipisahkan dengan pengertian ini adalah checks and balances yang mengatakan bahwa masing-masing cabang pemerintahan membagi sebagian kekuasaannya pada cabang lain dalam rangka membatasi tindakan-tindakannya. Kekuasaan dan fungsi dari masing-masing cabang adalah terpisah dan dijalankan oleh orang yang berbeda, tidak ada organ tunggal yang dapat menjalankan otoritas yang penuh karena masing-masing saling bergantung satu sama lain.31 Istilah checks and balances menurut Black‟s Law Dictionary, diartikan sebagai : arrangement of governmental power whereby powers of one governmental branch check or balance those of other brance.32 Berdasarkan pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa checks and balances merupakan suatu prinsip saling mengimbangi dan mengawasi antar cabang kekuasaan satu dengan yang lainnya. Penerapan konsep pemisahan kekuasaan di zaman modern saling mengkombinasi antara konsep pemisahan ataupun pembagian dengan konsep checks and balances. Dalam hal ini, kekuasaan tidak dipisah (secara 238. 30 Romi Librayanto, Trias Politica Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, h. 87. 31 Ibid. 32 Henry Campbell Black, Black‟s Law Dictionary, (St. Paul Minn: West Publishing, page 24 tegas) tetapi hanya dibagi-bagi sehingga memungkinkan timbulnya overlapping kekuasaan. Dalam teori checks and balances, guna penyeimbangan kekuasaan, memang dimungkinkan terjadinya overlapping kekuasaan.33 Operasionalisasi dari teori check and balance menurut Fuadi, dapat dilakukan melalui:34 1. Pemberian kewenangan terhadap suatu tindakan kepada lebih dari satu cabang pemerintahan. 2. Pemberian kewenangan pengangkatan pejabat tertentu kepada lebih dari satu cabang pemerintahan. 3. Upaya hukum dari cabang pemerintahan yang satu terhadap cabang yang lainnya. 4. Pengawasan langsung dari satu cabang pemerintahan terhadap cabang pemerintahan lainnya. 5. Pemberian kewenangan kepada pengadilan sebagai pemutus kata akhir bila ada konflik kewenangan antara eksekutif dan legislatif. Hampir semua negara hukum yang demokratis dewasa ini memuat konsep checks and balances pada konstitusinya, melalui penerapanpenerapan yang variatif. Sebagai contoh, konstitusi Republik Indonesia menempatkan cabang kekuasaan eksekutif (Presiden) sebagai co-legislator yang powerful. Selain berhak mengusulkan, Presiden juga membahas dan menyetujui setiap rancangan undang-undang. 33 Gunawan A. Tauda, Komisi Negara Independen, h. 45. 34 Munir Fuadi, Teori Negara Hukum Modern, (Bandung: Refika Aditama, 2009), h. 124. 25 C. Komisi Nasional Sebagai Pilar Keempat Demokrasi Doktrin trias politica Montesquieu yang mengandaikan bahwa tiga fungsi kekuasaan negara harus tercermin pada tiga (3) jenis organ negara, sering terlihat tidak relevan lagi untuk dijadikan rujukan. Di sisi lain, perkembangan masyarakat baik secara ekonomi, politik dan sosial budaya serta pengaruh globalisme, menghendaki struktur organisasi negara lebih responsif terhadap perubahan, serta efektif dan efisien dalam melakukan pelayanan publik dan mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan.35 Perkembangan tersebut berpengaruh pada struktur organisasi negara, termasuk bentuk dan fungsi lembaga negara. Bermunculan lembagalembaga negara independen yang dapat berupa dewan (council), komisi (commission), komite (committee), badan (board) atau otoritas (authority). Lembaga-lembaga baru tersebut bisa disebut sebagai state auxiliary organs sebagai lembaga negara yang bersifat penunjang. 36 Salah satu kecenderungan bentuk ketatanegaraan Indonesia di masa transisi dan setelah perubahan UUD 1945 adalah munculnya Komisi Negara Independen (independen agencies) maupun lembaga struktural lainnya. Komisi negara independen adalah organ negara (state organs) yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislaif maupun yudikatif, namun justru mempunyai fungsi dari 35 Romi Librayanto, Trias Politica Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, h. 66. 36 Gunawan A. Tauda, Komisi Negara Independen, h. 172. 26 ketiganya. Menurut Funk dan Seamon sebagaimana dikutip oleh Gunawan A. Tauda, sebuah komisi independen tidak jarang mempunyai kekuasaan quasi legislatif, quasi eksekutif dan quasi yudikatif. 37 Pada tatanan praktik ketatanegaraan Indonesia, keseluruhan lembaga-lembaga negara yang dikategorikan sebagai komisi negara independen adalah yang memiliki karakteristik sebagaimana disebutkan berikut ini:38 1. Dasar hukum pembentukannya menyatakan secara tegas kemandirian atau independensi dari komisi negara independen terkait dalam menjalankan tugas dan fungsinya. 2. Independen,dalam artian bebas dari pengaruh, kehendak maupun kontrol dari cabang kekuasaan lain. 3. Pemberhentian dan pengangkatan anggota komisi menggunakan mekanisme tertentu yang diatur khusus, bukan semata-mata kehendak Presiden. 4. Kepemimpinan komisi bersifat kolektif, jumlah anggota atau komisioner bersifat ganjil dan keputusan diambil secara majoritas suara. 5. Kepemimpinan komisi tidak dikuasai oleh partai politik tertentu. 6. Masa jabatan pemimpin komisi bersifat definitif, habis secara bersamaan dan dapat diangkat kembali untuk satu periode berikutnya. Komisi Yudisial sebagai komisi independen merupakan lembaga negara hasil amandemen ketiga UUD 1945 pada tahun 2001, tercantum dalam Pasal 24B UUD NRI 1945 di mana KY bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, 37 Ibid., h.173. 38 Ibid., h.175. 27 keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Sebagai implementasi putusan tersebut diperlukan ketentuan turunan yang memuat lebih detail tentang Komisi Yudisial. Maka, pada tanggal 13 Agustus 2004 disahkan UndangUndang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial di era pemerintahan presiden RI Megawati Soekarnoputri.39 Merujuk pada ketentuan Pasal 24 ayat (4) UUD NRI 1945, maka keberadaan KY pada hakikatnya merupakan badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan pasal tersebut, maka Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY melalui Pasal 2 menyatakan: “Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.” Membaca ketentuan pasal tersebut menunjukan bahwa UndangUndang Nomor 18 Tahun 2011 menempatkan kedudukan KY sama dengan lembaga-lembaga negara lain seperti MPR, DPR, MA dan MK. KY dikonstruksikan bukan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Tetapi lembaga ini dalam kewenangannya berkaitan erat dengan kekuasaan kehakiman, terutama dalam menjaga kredibilitas para hakim yaitu melalui 39 Komisi Yudisial Republik Indonesia, Kiprah 7 Tahun Komisi Yudisial RI: Menjaga Keseimbangan Meneguhkan Kehormatan, (Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2012) h. 14. 28 pengusulan pengangkatan hakim dan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.40 Untuk mendorong reformasi peradilan maka perlu dilahirkan suatu lembaga mandiri yang mampu melakukan pengawasan terhadap kinerja hakim dan rekruitmen hakim. Oleh karena itu dibentuklah suatu komisi yang bernama Komisi Yudisial. Tujuan dibentuk Komisi Yudisial adalah sebagai auxiliary organ dimana Mahkamah Agung adalah sebagai main state organnya.41 Sehingga dari pengertian tersebut dapat ditegaskan bahwa Komisi Yudisial dibentuk bukanlah sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman melainkan sebagai elemen pendukung dalam rangka mendukung Mahkamah Agung untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bersih dan berwibawa. Apabila kita perbandingkan dengan sistem hukum di Prancis, lembaga sejenis KY atau disebut Counseil Superiur de la Magistrature (CSM) memiliki kewenangan untuk pengangkatan hakim bahkan mereka juga mempunyai kewenangan hingga dalam memberikan pertimbangan terhadap promosi, mutasi terhadap para seluruh hakim di Prancis. Tujuan 40 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, cet. I, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007) h. 108. 41 J. Djohansjah, Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman, cet.I, (Bekasi: Kesaint Blanc, 2008), h. 122. 29 dari sistem ini adalah agar adanya keseimbangan dari pihak eksekutif dan yudikatif dalam melakukan pengangkatan hakim-hakim di Prancis.42 Selain itu, tujuan dari dibentuk KY juga sebagai sarana agar masyarakat dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja dan kemungkinan pemberhentian hakim. Sehingga diharapkan kekuasaan kehakiman juga terjaga dari segi akuntabilitas dan independensi di hadapan masyarakat. Oleh karena itu diharapkan melalui KY, aspirasi masyarakat dapat dilibatkan di dalam proses pengangkatan Hakim Agung. Meskipun kewenangan pengusulan Calon Hakim Agung diberikan kepada KY, namun tetap saja KY tidak mempunyai kewenangan yang begitu absolut dalam menentukan Hakim Agung yang terpilih, karena hasil seleksi oleh KY nantinya akan diberikan kepada DPR untuk disetujui. Sehingga proses seleksi Calon Hakim Agung ini bukanlah sebagai bentuk monopoli dari KY saja, karena pada akhirnya KY tetap membutuhkan institusi-institusi lainnya termasuk peran masyarakat untuk memberikan masukan terkait calon-calon Hakim Agung yang akan diseleksi. D. Teori Kewenangan Sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan dan ilmu hukum. Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan dan kekuasaan sering 42 Rifqi Sjarief Assegaf, Kata Pengantar dari Komisi Yudisial Di Beberapa Negara Uni Eropa, (Jakarta: LeIP, 2002), h. vi. 30 dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian juga sebaliknya. Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan, dalam arti ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah (the rule and the ruled).43 Berdasarkan pengertian di atas, dapat terjadi kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum. Kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum oleh Henc van Maarseven disebut sebagai blote match,44 sedangkan kekuasaan yang berkaitan dengan hukum oleh Max Weber disebut sebagai wewenang rasional atau legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum ini dipahami sebagai suatu kaidah-kaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang diperkuat oleh Negara.45 Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau organ sehingga Negara itu dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan (een ambten complex) di mana jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu berdasarkan konstruksi subyek-kewajiban.46 Dengan demikian kekuasaan mempunyai dua aspek, yaitu aspek politik dan aspek hukum, sedangkan kewenangan 43 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 36. 44 Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, cet. XVII, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), h. 30. 45 A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, cet. V, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h. 52 46 Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, Makalah, (Yogyakarta:Universitas Islam Indonesia, 2002), h. 39. 31 hanya beraspek hukum semata. Artinya, kekuasaan itu dapat bersumber dari konstitusi, juga dapat bersumber dari luar konstitusi (inkonstitusional), misalnya melalui kudeta atau perang, sedangkan kewenangan jelas bersumber dari konstitusi.47 Terdapat perbedaan antara pengertian kewenangan (authority, gezag) dan wewenang (competence, bevoegheid).48 Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya suatu onderdeel (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di mana dalam dalam kewenangan itu terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden).49 Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.50 47 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik , h. 35. 48 Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, ( Bandung, Universitas Parahyangan, 2000), h. 22. 49 Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, cet. X, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), h. 78. 50 Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, h. 65. 32 Dari berbagai pengertian kewenangan sebagaimana tersebut di atas, penulis berkesimpulan bahwa kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda dengan wewenang (competence). Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang adalah suatu spesifikasi dari kewenangan, artinya barang siapa (subyek hukum) yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka ia berwenang untuk melakukan sesuatu yang tersebut dalam kewenangan itu.51 Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau mengeluarkan keputisan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi, maupun mandat. Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar konstitusi. Pada kewenangan delegasi, harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain. Pada mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang, akan tetapi, yang diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat, pejabat yang diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama mandator (pemberi mandat). Berdasarkan uraian tersebut penulis akan membahas tentang kewenangan dua lembaga negara yang di amanatkan oleh UUD NRI 1945 51 A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, h. 57. 33 dalam mekanisme pengangkatan hakim agung dalam hal ini adalah KY dalam mengusulkan pengangkatan hakim agung berdasarkan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) dan DPR dalam menyetujui pengusulan pengangkatan hakim agung yang telah diusulkan oleh oleh KY. E. Tugas dan Wewenang Komisi Yudisial dalam Pengangkatan Hakim Agung Sebagai lembaga yang lahir dari amanat UUD NRI 1945, KY mempunyai tugas mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR. Kewenangan tersebut secara detail terdapat dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Kewenangan itu diperkuat dengan Pasal 13 huruf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (selanjutnya disebut UU Nomer 18 Tahun 2011) menyebutkan bahwa KY memiliki wewenang sebagai berikut: 1. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan; 2. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim; 3. Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama-sama dengan Mahkamah Agung; 4. Menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Ketentuan lain juga menyebutkan KY berwenang menganalisis putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar untuk melakukan mutasi hakim (Pasal 42 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) dan melakukan seleksi pengangkatan 34 hakim Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tata Usaha Negara bersama MA (diatur dalam UU No. 49 Tahun 2009, UU No. 50 Tahun 2009 tentang PA, dan UU No. 51 Tahun 2009 tentang PTUN).52 Wewenang untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung adalah wewenang yang dimiliki oleh KY untuk melakukan seleksi terhadap calon hakim agung dan kemudian mengusulkannya kepada DPR. Seleksi calon hakim agung merupakan kewenangan KY yang dimaksudkan untuk mengisi kekosongan jabatan hakim agung yang ditinggalkan hakim agung karena memasuki masa pensiun dan meninggal dunia. Sejak kehadiran KY, pengangkatan calon hakim agung di samping berasal dari hakim karir, juga berasal dari non karir, seperti praktisi hukum, akademisi hukum dan lain-lain selama memenuhi syarat yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.53 Dalam melaksanakan wewenang untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc, KY mempunyai tugas yang tercantum dalam Pasal 14 UU Nomor 18 Tahun 2011, yaitu: 52 Komisi Yudisial Republik Indonesia, Mengenal Lebih Dekat Komisi Yudisial, (Jakarta: Pusat Data dan Layanan Informasi Komisi Yudisial, 2012), h. 24. 53 Sirajuddin dan Zulkarnain, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik: Menuju Peradilan yang Bersih dan Berwibawa, cet. I, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), h. 80. 35 1. 2. 3. 4. Melakukan pendaftaran calon hakim agung; Melakukan seleksi terhadap calon hakim agung; Menetapkan calon hakim agung; Mengajukan calon hakim agung ke DPR. Pelaksanaan proses seleksi dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama enam (6) bulan sejak KY menerima pemberitahuan dari MA mengenai lowongan hakim agung. Calon hakim agung yang dapat mengikuti seleksi di KY dapat berasal dari MA, pemerintah dan masyarakat. Berikut uraian proses seleksi calon hakim agung oleh KY: 1. Pendaftaran Calon Hakim Agung Pendaftaran seleksi dilakukan setelah mendapat pemberitahuan pengisian jabatan hakim agung dari MA. Maka sesuai dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari sejak menerima pemberitahuan mengenai lowongan hakim agung, KY mengumumkan pendaftaran penerimaan calon hakim agung selama 15 (lima belas) hari berturut-turut. Untuk mendaftar, seseorang harus memenuhi persyaratan untuk dapat diangkat sebagai hakim agung sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah 36 Agung dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial sebagaimana diuraikan dalam tabel di bawah ini:54 Tabel 1 Persyaratan Hakim Agung Hakim Karier Non Karier 1 Warga Negara Indonesia 1 Warga Negara Indonesia 2 Bertakwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa Berijazah megister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang yang mempunyai keahlian di bidang hukum Berusia sekurang-kurangnya 45 tahun Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban Berpengalaman paling sedikit 20 tahun menjadi hakim, termasuk paling sedikit 3 tahun menjadi hakim tinggi, dan Tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara akibat melakukan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim. 2 Bertakwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa Berijazah doctor di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang yang mempunyai keahlian di bidang hukum 3 4 5 6 7 3 4 5 6 7 Berusia sekurang-kurangnya 45 tahun Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban Berpengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademisi hukum sekurang-kurangnya 20 tahun, dan Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih. Setelah masa pendaftaran ditutup, KY melakukan seleksi persyaratan administrasi. Seleksi tahap ini dilakukan dengan cara penelitian terhadap persyaratan administrasi calon hakim agung.kemudian KY mengumumkan daftar nama calon hakim 54 Komisi Yudisial Republik Indonesia, 8 Tahun Komisi Yudisial Mengukuhkan Sinergitas Memperkokoh Kewenangan, (Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2013), h. 63. 37 agung yang lolos seleksi persyaratan administrasi dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari. Sejak pengumuman kelulusan persyaratan administrasi dilakukan, masyarakat diberikan kesempatan memberi informasi ataupendapat terhadap calon hakim tersebut dalam jangka waktu selama 30 (tiga puluh) hari. Setelah jangka waktu habis, KY melakukan penelitian atas informasi atau pendapat tersebut juga dalam jangka waktu 30 (tiga puluh hari). 2. Seleksi Calon Hakim Agung Setelah melewati proses seleksi administrasi, calon hakim agung akan menjalankan serangkaian seleksi meliputi: karya profesi, pembuatan karya tulis di tempat, penyelesaian kasus hukum, profile assessment, klarifikasi, pemeriksaan kesehatan, pembekalan dan wawancara terbuka.55 a. Karya Profesi Setiap calon wajib menyerahkan karya profesinya kepada panitia, yang berupa: 1) bagi calon dari jalur hakim karier menyerahkan putusan pengadilan tingkat banding pada saat yang bersangkutan menjadi ketua atau majelis dalam menangani dan memutus perkara. 2) bagi 55 Komisi Yudisial Republik Indonesia, 8 Tahun Komisi Yudisial Mengukuhkan Sinergitas Memperkokoh Kewenangan, h. 64. 38 calon dari jalur non karier berprofesi jaksa, menyerahkan tuntutan jaksa (dakwaan), profesi pengacara menyerahkan pembelaan (pledoi), profesi akademisi dan profesi hukum lainnya menyerahkan hasil karya/publikasi ilmiah.56 b. Pembuatan Karya Tulis di Tempat Pada proses ini para peserta seleksi diwajibkan untuk membuat suatu karya tulis yang secara langsung dikerjakan di tempat pelaksanaan dengan tema dan judul yang telah ditentukan oleh panitia c. Pendapat Hukum Setiap calon wajib menjawab soal kasus Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) dan kasus hukum dalam bentuk membuat putusan kasasi/peninjauan kembali (judicial review) yang telah disiapkan oleh panitia.57 d. Penilaian Kepribadian (Profile Assessment) Dalam rangka mengukur dan menilai kelayakan kepribadian calon hakim untuk diangkat menjadi hakim agung, dalam proses ini dilakukan self assessment, 56 Ibid. 57 Ibid. 39 profile assessment, investigasi dan klarifikasi. Untuk mengetahui track record calon hakim agung.58 e. Pemeriksaan Kesehatan, Pembekalan dan Wawancara Terbuka Calon yang telah lulus dari rangkaian seleksi kualitas dan kepribadian tadi, akan mengikuti wawancara terbuka yang meliputi: visi misi, komitmen dan program jika terpilih, pemahaman Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), wawasan dan pengetahuan hukum serta klarifikasi LHKPN dan laporan dari masyarakat.59 3. Mengajukan Calon Hakim Agung ke DPR Usai menjalani serangkaian seleksi, berdasarkan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial, dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak berakhirnya seleksi, KY berkewajiban untuk menetapkan dan mengajukan tiga calon hakim agung kepada DPR dengan tembusan disampaikan kepada Presiden.60 58 Ibid., 65 59 Ibid. 60 Sirajuddin dan Zulkarnain, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik: Menuju Peradilan yang Bersih dan Berwibawa, h. 85. 40 Selanjutnya DPR menetapkan calon hakim agung kepada Presiden dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari, dan keputusan Presiden mengenai pengangkatan hakim agung ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) sejak Presiden menerima nama calon yang diajukan DPR. 61 KY sebagai pengontrol dan penyeimbang kekuasaan kehakiman diharapkan mampu menjamin terciptanya pengangkatan hakim agung yang kredibel dan menjaga kontinuitas hakim-hakim yang bertugas agar tetap teguh pada nilai-nilai moralitasnya sebagai seorang hakim yang memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, jujur, adil, serta menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme yang melekat padanya. 62 Wewenang ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya politisasi pengangkatan hakim agung. Secara ilmiah, kekuasaan politik Presiden dan parlemen selalu ingin mendudukan orangorangnya sebagai hakim agung. Jika bukan mengeliminasi, KY diharapkan mampu meminimalisasi terjadinya politisasi itu. Sebagaimana 61 62 diketahui bahwa sebelumnya penentuan dan Ibid. Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, cet. IV, (Yogyakarta: FH UII Press, 2005), h. 52. 41 pengusulan pengangkatan hakim agung sebelumnya dilakukan oleh DPR yang merupakan lembaga politik. Penentuan hakim agung yang demikian tidak akan bisa melepaskan diri dari kepentingan dan kekuatan politik di lembaga tersebut. Konsekuensi yang ditimbulkan sudah dapat diduga, bahwa hakim agung yang terpilih tersebut sedikit banyak akan membalas jasa-jasa pemilihnya. Permasalahan pengangkatan hakim agung di belahan dunia manapun memang mengundang tarik ulur kekuasaan yang rumit. Perlu diketahui bahwa mekanisme yang digunakan Indonesia dengan pengusulan, persetujuan dan pengangkatan, sedikit banyak memang mirip dengan mekanisme pengangkatan hakim agung pada Supreme Court di Amerika Serikat. Di negeri tersebut, hakim agung (yang notabene hanya 9 saja jumlahnya) akan diusulkan oleh Presiden. Usulan presiden ini diperoleh melalui serangkaian proses seleksi yang sangat ketat dan teliti, kemudian diajukan kepada senat.63 Kandidat hakim agung yang diusulkan kepada senat, prinsipnya hanya memerlukan konfirmasi dari lembaga tersebut, dalam arti untuk disetujui atau tidak disetujui. Para kandidat akan 63 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, h. 121. 42 diminta pendapatnya mengenai suatu permasalahan, melalui Komisi Kehakiman Senat (Senate Judiciary Committee). Dilihat dari sudut pandang politik, dengar pendapat ini merupakan bagian dari justifikasi senat kepada presiden sebagai pihak yang mengusulkan. Komisi Kehakiman melakukan dengar pendapat dengan kandidat hakim agung yang diusulkan oleh presiden dalam tiga (3) tahapan yaitu investigasi, dengar pendapat publik dan tidak tertutup kemungkinan dilibatkannya kelompok-kelompok masyarakat dan profesi secara terbuka dalam rangka menggali informasi tentang kandidat hakim agung termasuk untuk memberikan dukungan atau penolakan terhadap kandidat. Komisi akan menyampaikan rekomendasinya kepada seluruh anggota senat untuk menyetujui atau menolak.64 Senat kemudian membuka perdebatan atas rekomendasi Komisi Kehakiman untuk mengambil kesimpulan. Meskipun ideologi, pandangan hidup, filsafat hukum, visi politik atau pendapat kandidat tentang kasus-kasus hukum kontroversial yang diketahui melalui dengar pendapat tadi dapat menjadi bahan pertimbangan, pada kenyataannya terdapat faktor-faktor lain yang ikut dipertimbangkan oleh anggota senat, seperti pendapat anggota lain yang berpengaruh, pendapat konstituennya, atau bahkan pendapat 64 Ibid., h. 122 43 orang-orang terdekatnya. Dalam hal ini, hasil dengar pendapat Komisi Kehakiman tidak menjadi parameter utama, tetapi keputusan senat lah yang berpengaruh. Pengangkatan hakim melalui lembaga khusus (umumnya disebut judicial councils) terjadi di beberapa negara. Tom Ginsburg sebagaimana dikutip Saldi Isra dalam keterangannya sebagai saksi ahli permohonan uji materil dengan perkara nomor 27/PUUXI/2013, menjelaskan bahwa keberadaan judicial councils bertujuan untuk menjauhkan kekuasaan kehakiman dari intervensi politik. Demi terciptanya peradilan yang mandiri dan akuntabel. Ruang kekuasaan kehakiman yang perlu dijauhkan dari kepentingan politik adalah: (1) fungsi pengangkatan; (2) promosi; dan (3) penindakan hakim.65 Contoh yang menarik adalah Iraq. Syarat seorang hakim adalah sebagai berikut: (1) lulus sarjana hukum dari sekolah hukum yang terdaftar; (2) lulus dari Institut Kehakiman (judicial institute) di Baghdad berupa pelatihan selama dua tahun; (3) Tiga tahun pengalaman dalam praktik hukum, baik sebagai advokat atau petugas peradilan yang telah terdaftar di judicial institute. Selain itu terdapat syarat alternatif, yaitu: telah berpengalaman selama 10 65 Saldi Isra, dalam keterangannya sebagai saksi ahli permohonan uji materil dengan perkara nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Hakim Agung di DPR, h. 21. 44 tahun dalam bidang hukum meskipun di bawah umur 45 tahun dapat pula mencalonkan diri menjadi hakim. Di Iraq, seluruh seleksi dilakukan oleh The Higher Judicial Councils (HJC, Dewan Yudisial Tertinggi). HJC bertugas menominasikan kandidat hakim untuk kemudian dilantik oleh lembaga politik yang telah ditentukan. Jumlah hakim yang akan diseleksi oleh HJC berdasarkan kebutuhan dari pengadilan, baik berdasarkan permintaan dari Ketua Pengadilan maupun dugaan kebutuhan pengadilan oleh HJC itu sendiri. HJC akan bergerak apabila anggaran seleksi hakim telah disetujui oleh parlemen. Pemenuhan kebutuhan hakim berkaitan dengan kondisi ekonomi pada saat itu. HJC, selain berwenang menyeleksi juga memiliki kewenangan untuk memindahkan hakim ke peradilan-peradilan yang mereka tentukan.66 Berdasarkan dua contoh di atas, menurut penulis pengangkatan hakim agung di Amerika Serikat dan Iraq tidak berbeda jauh dengan yang terjadi di Indonesia, masing-masing negara memiliki komisi yang serupa dengan KY di Indonesia. Hanya saja dalam proses pengajuannya, untuk di Amerika Serikat calon hakim agung diusulkan oleh Presiden kemudian diajukan kepada senat, kemudian Komisi Kehakiman Senat (Senate Judiciary 66 Ibid., h. 22. 45 Committee) yang akan melakukan dengar pendapat dengan kandidat hakim agung, meskipun nantinya pendapat Komisi Kehakiman Senat tidak dijadikan pertimbangan utama. sedangkan di Iraq, seluruh seleksi dilakukan oleh The Higher Judicial Councils (HJC, Dewan Yudisial Tertinggi) dan tugas parlemen hanya melantik hakim agung terpilih. F. Kewenangan DPR dalam Pengangkatan Hakim Agung Proses pengangkatan hakim agung merupakan hal yang sangat penting untuk menciptakan hakim yang memiliki profesionalitas, integritas dan kualitas. Proses perekrutan hakim agung secara tegas dinyatakan dalam pasal 24A ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan: “calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden” Dengan ketentuan itu, DPR selaku lembaga penampung aspirasi rakyat mempunyai kewenangan untuk menentukan siapa yang tepat menjadi hakim agung sesuai dengan aspirasi dan kepentingan rakyat untuk memperoleh kepastian dan keadilan. Kewenangan DPR dalam pengangkatan hakim agung ini berkaitan dengan fungsi pengawasan yang dimilikinya, Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 46 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD menyebutkan DPR mempunyai fungsi: a) legislasi; b) anggaran; dan c) pengawasan. Keterlibatan lembaga perwakilan rakyat dengan adanya hak untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan ataupun pertimbangan ini dapat disebut juga hak untuk konfirmasi (right to confirm) lembaga legislatif. Dengan adanya hak ini, lembaga perwakilan dapat ikut mengendalikan atau mengawasi kinerja para pejabat public dimaksud dalam menjalankan tugas dan kewenangannya masing-masing agar sesuai dengan ketentuan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.67 Konstitusi tidak menjelaskan secara lebih rinci tentang proses perekrutan hakim agung. Mekanisme pemilihan hakim agung juga tidak diatur secara eksplisit dalam tata tertib DPR Tahun 2009-2014. Keterlibatan DPR dalam mekanisme perekrutan hakim agung diatur dalam pasal 6 huruf p pada bagian tugas dan wewenang anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang menyatakan: “memberikan persetujuan calon hakim agung yang di usulkan komisi yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden” Selaras dengan hal tersebut, tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat juga mengatur tentang mekanisme persetujuan yang dimaksudkan dalam pasal 24A ayat (3) UUD 1945 dan pasal 6 huruf p pada tata tertib Dewan 67 Paimin Napitupulu. Menuju Pemerintahan Perwakilan, cet. I, (Bandung: PT. Alumni, 2007), h. 33. 47 Perwakilan Rakyat dalam perekrutan hakim agung, hal tersebut di atur dalam pasal 191 ayat (1) dan (2) pada tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat yang menyatakan: 1) Dalam hal peraturan perundang-undangan menentukan agar DPR mengajukan, memberikan persetujuan, atau memberikan pertimbangan atas calon untuk menjadwalkan dan menugaskan pembahasannya pada komisi terkait. 2) Tata cara pelaksanaan seleksi dan pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh komisi yang bersangkutan, meliputi: a. Penelitian administrasi, b. Penyampaian visi dan misi, c. Uji kelayakan (fit and proper test), d. Penentuan urutan calon, e. Diumumkan kepada publik Adapun setelah melalui tahapan-tahapan tersebut atau dalam hal ini adalah uji kelayakan (fit and proper test) selanjutnya dilakukan pemilihan yang berdasarkan BAB XVII tentang tata cara pengambilan keputusan pada tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat yang menyebutkan: Pasal 275 Keputusan berdasarkan suara terbanyak diambil apabila keputusan berdasarkan mufakat sudah tidak terpenuhi karena adanya pendirian sebagian anggota rapat yang tidak dapat dipertemukan lagi dengan pendirian anggota rapat yang lain. Pasal 276 1) Pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak dapat dilakukan secara terbuka atau secara rahasia. 2) Pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak secara terbuka dilakukan apabila menyangkut kebijakan. 3) Pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak secara rahasia dilakukan apabila menyangkut orang atau masalah lain yang ditentukan dalam rapat. 48 Pada mekanisme pemilihan hakim agung di Dewan Perwakilan Rakyat, proses pemilihan dilaksanakan dengan cara keputusan berdasarkan suara terbanyak secara rahasia. Mekanisme dari pemilihan tersebut dinyatakan pada Pasal 279 tentang tata tertib DPR: 1) Pemberian suara secara rahasia dilakukan dengan tertulis, tanpa mencantumkan nama, tanda tangan, fraksi pemberi suara, atau tanda lain yang dapat menghilangkan sifat kerahasiaannya. 2) Pemberian suara secara rahasia dapat juga dilakukan dengan cara lain yang tetap menjamin sifat kerahasiaan. 3) Dalam hal hasil pemungutan suara tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 277 ayat (2), pemungutan suara diulang sekali lagi dalam rapat itu juga. 4) Dalam hal hasil pemungutan suara ulang, sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 245 ayat (1), pemungutan suara secara rahasia, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menjadi batal. Paparan ringkas di atas dimaksudkan untuk memberi gambaran sekilas tentang persetujuan yang dimaksud pada pasal 24A ayat (3) UUD 1945 dalam tata tertib DPR. Sedangkan untuk kewenangan dalam memilih calon hakim agung oleh DPR secara tegas di atur dalam Pasal 8 UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang perubahan UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang menyatakan: Pasal 8 ayat (2) “calon hakim agung dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang di usulkan oleh komisi yudisial” 49 Pasal 8 ayat (3) “calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat 1 (satu) orang dari 3 (tiga) nama calon untuk setiap lowongan” Kewenangan untuk memilih calon hakim agung oleh DPR juga secara tegas diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Posisi DPR sebagai lembaga legislatif hanya dirumuskan dalam pasal 18 ayat (5) dan pasal 19 ayat (1). Pasal 18 ayat (5) ”dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir, komisi yudisial menetapkan dan mengajukan 3 (tiga) orang nama hakim agung kepada DPR untuk setiap 1 (satu) lowongan hakim agung, dengan tembusan disampaikan kepada presiden”. Pasal 19 ayat (1) ”DPR telah menetapkan calon hakim agung untuk diajukan kepada presiden dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterima nama calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (5)”. Rumusan pengangkatan calon hakim agung dalam undangundang ternyata berbeda dengan yang ada dalam UUD NRI 1945. Pasal 8 Ayat (2), (3), (4), dan (5) UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 18 Ayat (4) dan Pasal 19 Ayat (1) UU No. 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial, pada dasarnya menyatakan calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dipilih DPR 1 (satu) orang dari 3 (tiga) nama calon untuk setiap lowongan. 50 Adanya ketentuan kuota tersebut ditengarai karena pola pengangkatan calon hakim agung di DPR dilakukan dengan pemilihan, di mana Anggota DPR memiliki pilihan (Option), yakni 1 orang untuk setiap 3 nama yang dicalonkan. Maka dari itu, DPR merasa perlu untuk mengetahui keunggulan calon yang satu dengan calon lainnya, karena dari sejumlah nama yang dicalonkan, hanya ada beberapa orang yang akan dipilih sebagai hakim agung. Dari alur proses, pemberian persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap calon hakim agung yang diusulkan oleh KY dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:68 Pertama, KY menyampaikan surat kepada pimpinan DPR yang berisi nama-nama calon hakim agung Kedua, pimpinan DPR mensosialisasikan surat yang disampaikan oleh KY kepada seluruh anggota DPR melalui rapat paripurna DPR pada tahun sidang berjalan. 68 Tjatur Sapto Edy, makalah “Peran dan Tanggung Jawab DPR dalam Seleksi Calon Hakim Agung”, Jakarta: 20 Mei 2014, h. 7. 51 Ketiga, rapat paripurna DPR menugaskan kepada Badan Musyawarah untuk menjadwalkan dan menugaskan pembahasannya kepada komisi terkait. Keempat, sesuai dengan penugasan paripurna, Badan Musyawarah mengadakan rapat Bamus/rapat konsultasi sebagai pengganti rapat Bamus dengan menugaskan kepada Komisi III DPR untuk melakukan pembahasan terhadap calon hakim agung yang diusulkan oleh KY. Kelima, Komisi III DPR mengadakan rapat intern untuk membicarakan persiapan, perencanaan dan pembahasan dalam memberi persetujuan terhadap calon hakim agung. Keenam, berdasarkan rapat intern, Komisi III membentuk Tim Kerja yang bertugas untuk menyusun jadwal, menetapkan tata cara, maupun metode yang hasilnya disampaikan kepada rapat pleno Komisi III untuk dibahas, disetujui dan ditetapkan. Ketujuh, Komisi III menyampaikan jadwal kepada masingmasing calon hakim agung untuk mengikuti proses pembuatan makalah sebagai salah satu instrument untuk melihat dan mengetahui kecakapan, keahlian dan pengetahuan calon hakim agung di mana judul makalah calon hakim agung telah ditentukan oleh Komisi III secara acak. 52 Kedelapan, Komisi III meminta masukan, tanggapan dan pendapat masyarakat terkait profil dan rekam jejak calon hakim agung sebelum dibuka fit and proper test. Kesembilan, Komisi III melakukan fit and proper test di hadapan seluruh angota Komisi III, yang materinya berupa pemaparan visi misi, program, klarifikasi atas laporan masyarakat dan proses pendalaman dalam tanya jawab. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang seleksi calon hakim agung di DPR tidak merubah alur proses pemberian persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap calon hakim agung di DPR karena putusan ini hanya menghapuskan kewenangan DPR yang semula memilih calon hakim agung menjadi hanya menyetujui calon hakim agung yang diausulkan KY dengan tetap memperhatikan mekanisme yang tercantum dalam Bab XVII tata tertib DPR. Putusan tersebut juga mengubah mekanisme pengajuan calon hakim agung ke DPR yang awalnya KY menetapkan dan mengajukan 3 (tiga) calon hakim agung kepada DPR untuk setiap 1 (satu) lowongan hakim agung, pada putusan tersebut KY menetapkan dan mengajukan 1 (satu) calon hakim agung kepada DPR untuk setiap 1 (satu) lowongan hakim agung. 53 G. Pengangkatan Hakim dalam Perspektif Islam Al-Quran menggunakan kata hakama ketika Allah memerintahkan Nabi menjadi hakim yaitu melakukan tugas menegakkan hukum dan keadilan di tengah-tengah manusia. 69 Sebagaimana dalam Al-Quran: Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.(Q.S. Shaad: 26) Pada masa permulaan Islam, yang menjadi hakim adalah Rasulullah SAW dan bisa dikatakan bahwa Rasul merupakan hakim pertama dalam Islam. Oleh sebab itu semua permasalahan yang terjadi pada saat itu langsung diselesaikan langsung olehnya. Dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapkan kepadanya Rasul berpegang pada apa yang telah diturunkan oleh Allah SWT.70 Seiring perkembangan dan kemajuan Islam, akhirnya tidak dapat dipungkiri lagi bahwa perlu untuk mengangkat hakim-hakim di daerahdaerah kekuasaan Islam. Juga karena banyaknya permasalahan hukum yang 69 Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, cet. I, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), h. 88. 70 Ibid., h. 89. 54 terjadi di masyarakat sehingga membutuhkan untuk segera diselesaikan. maka urusan peradilan di daerah-daerah diserahkan kepada penguasapenguasa yang dikirim ke daerah itu. Akhirnya Rasulullah mengizikan sahabatnya untuk bertindak selaku hakim. Hal ini merupakan petunjuk untuk memisahkan antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Hakim-hakim yang pernah diangkat oleh Rasulullah adalah Muadz bin Jabal sebagai hakim di Yaman, Attab bin Asid sebagai hakim di Makkah.71 Begitu pula pada masa Umar bin Khattab, saat menjadi khalifah beliau sekaligus juga menjadi hakim. Dan dalam perkembangannya Umar pun mengangkat orang lain untuk menjadi hakim seiring dengan perkembangan politik, sosial, dan ekonomi. Pada masa Umar ini pertama kali dipisahkan antara yudikatif dan eksekutif. Oleh karena tugas peradilan adalah kewenangan umum dari kepala negara, maka menjadi wewenangnya untuk mengangkat hakim-hakim. Saat itu hakim hanya diberi kewenangan menangani perkara perdata saja. Sedangkan untuk perkara pidana tetap ditangani oleh khalifah sendiri, atau oleh penguasa daerah. Khalifah juga selalu mengawasi tindakan para penguasa daerah dan hakim-hakimnya, serta selalu memberi petunjuk dan 71 T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, cet. V, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2005), h. 10. 55 bimbingan. Bahkan di masa itu sempat dibuat undang-undang yang dikenal dengan “Dustur Umar” yang menjadi dasar asasi bagi peradilan Islam.72 Dalam mengangkat hakim, para penguasa berpedoman pada kriteria tertentu. Di antara kriteria itu adalah hakim diangkat dari orang yang banyak ilmu, yang takwa kepada Allah, wara‟, adil, dan cerdas. Hakimhakim yang diangkat oleh penguasa mempunyai hak otonomi dan kebebasan penuh. Putusan-putusannya tidak dipengaruhi oleh Khalifah. Sebagai wakil dari kepala negara, hakim tetap melaksanakan tugasnya untuk memeriksa dan mengadili seandainya yang terlibat dalam perkara itu adalah khalifah.73 72 Ibid., 11. 73 Ibid., 15. 56 BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-XI/2013 TENTANG SELEKSI CALON HAKIM AGUNG DI DPR A. Kewenangan Komisi Yudisial dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUUXI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR 1. Kewenangan Komisi Yudisial Pasca Putusan Setelah keluarnya putusan MK Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR, pada dasarnya tidak ada kewenangan KY yang berubah. Kewenangan KY tetap tetap sama seperti yang tercantum dalam Pasal 13 UU KY, yaitu: Komisi Yudisial mempunyai wewenang: a. mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan; b. menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim; c. menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung; dan d. menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim. Dari hasil putusan tersebut, KY hanya merubah kuota calon hakim agung yang nantinya akan diserahkan kepada DPR, dari 3 (tiga) calon hakim agung untuk setiap 1 (satu) lowongan, menjadi 1 (satu) calon hakim agung untuk setiap 1 (satu) lowongan hakim 56 57 agung. Sesuai dengan amar putusan MK pada bagian 5 (lima) angka 1.7 dan 4, yaitu:74 Pasal 8 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung selengkapnya menjadi: (2) Calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial. (3) Calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat 1 (satu) orang dari 1 (satu) nama calon untuk setiap lowongan. (4) Persetujuan calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sidang terhitung sejak tanggal nama calon diterima Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial selengkapnya menjadi: 74 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR Pengujian Pasal 8 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. h. 53. 58 “Dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak berakhirnya seleksi uji kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial menetapkan dan mengajukan 1 (satu) calon hakim agung kepada DPR untuk setiap 1 (satu) lowongan hakim agung dengan tembusan disampaikan kepada Presiden”. 2. Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pasca Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-XI/2013 telah memangkas kewenangan DPR dalam Pasal 8 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2009 serta Pasal 18 ayat (4) UU KY karena dipandang bertentangan dengan norma Pasal 24A ayat (3) UUD 1945. Dengan adanya putusan ini, kewenangan DPR bukan lagi memilih calon hakim agung yang diusulkan KY, tetapi sekedar memberi persetujuan atas calon yang diajukan. Proses transformasi pengisian jabatan hakim agung memang sangat dinamis dan mengalami perubahan yang signifikan. Semangat perubahan ini tentu harus dimaknai sebagai wujud perkembangan demokrasi Indonesia yang sudah maju, di mana pengisian jabatan publik seperti hakim agung tidak didasarkan pada penunjukan tetapi melalui suatu proses pemilihan. Keadaan ini tentu sebagai respon atau sarana koreksi untuk melahirkan pejabat publik yang berintegritas, professional dan memiliki keahlian dan kapasitas 59 pengetahuan yang mumpuni dalam mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak memihak. Penulis merasa sangat perlu untuk mencari dan menemukan makna persetujuan dengan menggunakan sudut pandang sistematika peraturan perundang-undangan. Pertama, UUD 1945 melalui Pasal 24A ayat (3) menegaskan bahwa calon hakim agung diusulkan oleh KY kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan. Kemudian, Pasal 24A ayat (3) memberikan ruang yuridis untuk pengaturan lebih lanjut mengenai susunan dan kedudukan Mahkamah Agung, termasuk pula prosedur pelaksanaan dari Pasal 24A ayat (3) tersebut. Atas dasar itu, lahirlah UU Mahkamah Agung yang telah dua kali mengalami perubahan, terakhir dengan UU No. 3 Tahun 2009. Penulis lebih mengkhususkan untuk melihat ketentuan dalam Pasal 8 ayat (2), (3) dan (4) UU No. 3 Tahun 2009, karena ketentuan tersebut yang menjadi pokok inti terdapatnya indikasi pergeseran penjabaran makna persetujuan oleh DPR. Terlebih dahulu ayat (2) menjelaskan bahwa calon hakim agung dipilih oleh DPR dari nama calon yang diusulkan oleh KY. Kemudian, ayat (3) mempertegas bahwa calon hakim agung yang diusulkan KY tersebut dipilih 1 (satu) orang dari 3 (tiga) nama calon untuk setiap lowongan. 60 Ketentuan pada ayat (3) tersebut menghendaki adanya proses pemilihan oleh DPR terhadap calon hakim agung yang diusulkan oleh KY. Proses itu sebenarnya memiliki pijakan logika yuridis yang kuat karena di sisi lain KY mengajukan 3 (tiga) nama calon untuk setiap lowongan. Artinya, sebelum memberikan persetujuan, pembentuk undang-undang menghendaki DPR untuk melakukan pemilihan terlebih dahulu. Singkatnya, jika terdapat 2 (dua) lowongan hakim agung, maka KY mengusulkan 6 (enam) nama, untuk dipilih 2 (dua) diantaranya. Sebagaimana yang disampaikan DPR melalui Sarifuddin Sudding,75 bahwa Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B ayat (1) UUD NRI 1945 telah mengatur secara umum dan tegas mekanisme pegangkatan hakim agung, yaitu diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada DPR-RI untuk mendapatkan persetujuan, kemudian ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. Lanjutnya, bahwa frasa untuk mendapatkan persetujuan DPR terhadap calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial dalam Pasal 24A ayat (3) UUD NRI 1945 bermakna DPR mempunyai kewenangan konstitusional untuk dapat memberikan persetujuan atau tidak dapat memberikan persetujuan terhadap calon hakim agung yang 75 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR, h. 37. 61 diusulkan oleh KY tidak serta-merta harus disetujui oleh DPR. Harus ada proses penilaian, harus ada proses pemilihan untuk dapat disetujui atau tidak dapat disetujui oleh DPR. Apakah persetujuan DPR yang dimaksudkan oleh Pasal 24A UUD NRI 1945 harus dengan proses pemilihan? Apakah pembentuk undang-undang menghendaki penjabaran makna yang sama antara persetujuan dan pemilihan? Secara terminologi tentu tidak. Ada baiknya kita melihat perbandingan penggunaan kata persetujuan dan pemilihan dalam konteks kewenangan yang dimiliki oleh DPR. Penulis menemukan perbedaan penggunaan kata persetujuan dan pemilihan tersebut dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), terkhusus pada Pasal 71 tentang tugas dan wewenang DPR. Lihat bagan berikut: Tabel 2 Klasifikasi Tugas dan Wewenang DPR Dalam Pasal 71 UU MPR, DPR, DPD, dan DPR Persetujuan Pemilihan Persetujuan Bersama (DPR dengan Presiden) Pertimbangan Huruf b Huruf g Huruf j Huruf o Huruf p Huruf r Huruf a Huruf m Huruf k Huruf d Huruf q Huruf l Huruf e 62 Keterangan : Pasal 71 huruf b : Memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Perppu yang diajukan Presiden untuk menjadi undang-undang. Pasal 71 huruf g : Memberikan persetujuan atas RUU APBN yang diajukan oleh Presiden, setelah dibahas bersama terlebih dahulu. Pasal 71 huruf j : Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, serta membuat perjanjian internasional lainnya. Pasal 71 huruf o : Memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota KY. Pasal 71 huruf p : Memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan oleh KY. Pasal 71 huruf r : Memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan dan terhadap perjanjian yang berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara. Pasal 71 huruf m : Memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Pasal 71 huruf q : Memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi. Pasal 71 huruf a : Persetujuan bersama dalam hal pembentukan undang-undang. Pasal 71 huruf d : Persetujuan bersama dalam pembentukan undang-undang, termasuk tehadap RUU yang diajukan oleh DPD. Pasal 71 huruf e : Persetujuan bersama dalam pembentukan undang-undang, terhadap RUU yang diajukan DPR atau Presiden yang berkaitan dengan otonomi daerah, Pasal 71 huruf k : Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi. Pasal 71 huruf l : Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar. Dari bagan tersebut, dapat dilihat bahwa pembentuk undangundang sendiri menggunakan istilah persetujuan dan pemilihan dalam batasan tugas dan wewenang DPR. Bahkan untuk lebih 63 mempertegas, terdapat istilah persetujuan bersama dan pertimbangan. Penggunaan istilah-istilah tersebut tentunya bukan tanpa maksud dan tujuan yang jelas. Cara termudah untuk menegaskan bahwa terdapat perbedaan antara persetujuan dan pemilihan, ialah dengan melihat tugas dan wewenang DPR dalam konteks yang lebih spesifik, yakni dalam hal pengangkatan anggota lembaga negara.76 Pada pengangkatan hakim agung dan anggota KY, DPR memiliki wewenang untuk memberikan persetujuan, sedangkan pada pengangkatan anggota BPK dan hakim konstitusi, DPR memiliki wewenang sederhananya, jika untuk melakukan pemilihan. Logika pembentuk undang-undang menginginkan mekanisme yang sama untuk keempat jabatan tersebut, mengapa tidak digunakan istilah yang sama untuk semua jabatan yang dimaksud. Pembentuk undang-undang justru menggunakan istilah yang berbeda yakni persetujuan dan pemilihan. Artinya, memang peruntukan dan pemaknaan istilah persetujuan berbeda dengan pemilihan, khususnya dalam konteks wewenang DPR dalam proses 76 Anggota lembaga negara yang dimaksud ialah anggota Komisi Yudisial (huruf o), Hakim Agung (huruf p), anggota Badan Pemeriksa Keuangan (huruf m), dan Hakim Konstitusi (huruf q). 64 pengisian jabatan negara, terlebih lagi pada wewenang lain yang dimiliki DPR. Sehingga seharusnya, istilah “mendapatkan persetujuan DPR” dalam proses pengisian jabatan hakim agung tidaklah dapat disama-artikan dengan pemilihan. Inkonsistensi atau keragu-raguan pembentuk undang-undang dalam memaknai Pasal 24A ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, pada UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), tetap digunakan istilah “memberikan persetujuan”, tetapi dalam UU Mahkamah Agung dan UU KY justru menggunakan istilah “dipilih oleh DPR”. Setelah dicermati, pemaknaan persetujuan mengalami pergeseran ke arah pemilihan disebabkan karena adanya ketentuan lain yang mengatur bahwa KY mengusulkan 3 (tiga) nama calon untuk setiap lowongan, yakni Pasal 18 ayat (5) UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY, yang dijadikan dasar pengaturan pengangkatan hakim agung dalam UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Dari ketentuan tersebut, DPR memandang bahwa perlu dilakukan proses pemilihan untuk kemudian menentukan calon hakim agung yang nantinya akan disetujui dan ditetapkan sebagai hakim agung. Padahal, konsep persetujuan sendiri memiliki proses yang berbeda dengan konsep pemilihan. Hal ini sebagaimana diuraikan oleh 65 Khusnu Abadi,77 bahwa ketentuan pengisian jabatan publik dengan mempergunakan frasa memperoleh persetujuan DPR mempunyai pengertian dan makna hanya memberikan pilihan kepada DPR untuk: a) Memberikan persetujuan, atau b) Menolak, atau tidak memberikan persetujuan dengan kewajiban pihak yang mengusulkan untuk mengusulkan calon yang baru. Dari penjelasan tersebut, kita menemukan perbedaan mendasar konsep persetujuan dengan pemilihan, artinya kandungan makna dan tujuan pada ketentuan Pasal 24A ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 memang berbeda dengan kandungan pada Pasal 8 ayat (2), (3), dan (4) UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Meskipun MK telah mengurangi kewenangan DPR yang terdapat pada ketentuan perundang-undangan, yang tidak lagi melakukan proses pemilihan tetapi sekedar memberi persetujuan, namun demikian DPR tetap melakukan fit and proper test. Proses fit and proper test tersebut tentu harus dipahami dan dilakukan dalam konteks memberi persetujuan atau tidak memberi persetujuan 77 Khusnu Abadi menyampaikannya dalam keterangan sebagai ahli pada perkara Pengujian UU Mahkamah Agung dan UU Komisi Yudisial di Mahkamah Konstitusi, pada hari Kamis, 16 Mei 2013. Dalam menjelaskan konsep tersebut, Khusnu Abadi mengutip dan membandingkan berbagai ketentuan pengisian jabatan publik yang berkenaan dengan makna frasa persetujuan DPR, seperti pengangkatan Kapolri, pengangkatan Panglima TNI, pengangkatan gubernur, deputi gubernur senior, dan deputi gubernur Bank Indonesia. 66 terhadap calon hakim agung yang diusulkan oleh KY, bukan dalam kaitan memilih calon hakim agung yang diusulkan KY. 78 Dalam relasi kekuasaan negara, proses politik yang dilakukan oleh DPR tentu tidak bisa dinafikan sebab konstitusi sudah memberi kewenangan konstitutif yang bersifat atribut dalam memberi persetujuan atau tidak memberi persetujuan terhadap calon hakim agung yang diusulkan KY. B. Pertimbangan Hakim Konstitusi dalam Memberi Putusan Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR 1. Kewenangan Mahkamah Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili permohonan a quo berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, di mana salah satu kewenangan konstitusional MK adalah mengadili pada tingkat pertama dan 78 . Tjatur Sapto Edy, makalah Peran dan Tanggung Jawab DPR dalam Seleksi Calon Hakim Agung , (Jakarta: 20 Mei 2014), h. 6. 67 terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UndangUndang terhadap UUD. Sedangkan Pengujian yang dimohonkan oleh para Pemohon adalah Pasal 8 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU MA dan Pasal 18 ayat (4) UU KY, terhadap Pasal 24A ayat (3), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, maka MK berwenang untuk mengadili permohonan tersebut. 2. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon Menurut hukum acara pengujian Undang-Undang pada Mahkamah Konstitusi, legal standing adalah kemampuan subyek hukum untuk memenuhi persyaratan menurut Undang-Undang untuk mengajuan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD kepada Mahkamah Konstitusi.79 Legal standing merupakan adaptasi dari istilah personae in judicio yang artinya adalah hak untuk mengajukan gugatan di depan pengadilan.80 Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan 79 Arifin, Firmansyah. Julius Wandi. Merambah Jalan Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, cet. I, (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, 2003) h. 11. 80 Harjono, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa: Pemikiran Hukum Dr. Harjono, S.H., M.C.L. Wakil Ketua MK, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008) h. 176. 68 konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama); b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara; Para Pemohon dalam pengujian Pasal 8 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU MA dan Pasal 18 ayat (4) UU KY, terhadap Pasal 24A ayat (3), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yaitu Dr. Made Dharma Weda, S.H., M.H., Dr. RM. Panggabean, S.H., M.H dan Dr. ST. Laksanto Utomo, SH., MH. adalah warga negara Indonesia yang mempunyai kepedulian dan hak konstitusional untuk berpartisipasi dalam menegakkan hukum secara nyata dengan menjadi hakim agung pada Mahkamah Agung (MA) namun gagal pada proses fit and proper test di DPR. Para Pemohon mendalilkan telah dirugikan dengan berlakunya Pasal 8 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU MA, dan Pasal 18 ayat (4) UU KY yang menyatakan: Pasal 8 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU MA: (2) Calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial. (3) Calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat 1 (satu) 69 (4) orang dari 3 (tiga) nama calon untuk setiap lowongan. Pemilihan calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sidang terhitung sejak tanggal nama calon diterima Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 18 ayat (4) UU KY yang menyatakan: Dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak berakhirnya seleksi uji kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial menetapkan dan mengajukan 3 (tiga) calon hakim agung kepada DPR untuk setiap 1 (satu) lowongan hakim agung dengan tembusan disampaikan kepada Presiden. Menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: Pasal 24A ayat (3): Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Alasan Pemohon pada pokoknya sebagai berikut: a. Para Pemohon adalah warga negara Indonesia yang mempunyai kepedulian dan hak konstitusional untuk berpartisipasi dalam menegakkan hukum secara nyata, dengan menjadi hakim agung di Mahkamah Agung (MA); b. Bahwa untuk melaksanakan hak konstitusionalnya tersebut, para Pemohon pernah mendaftar dan dinyatakan lulus pada beberapa tahapan seleksi yang dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY). Pemohon II sudah beberapa kali mengikuti 70 seleksi yang sama dan telah diusulkan oleh KY kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mendapatkan persetujuan, akan tetapi oleh karena dalam UU MA memberikan wewenang kepada DPR untuk memilih calon hakim yang diusulkan oleh KY, DPR bukannya memberikan persetujuan sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 24A ayat (3) UUD 1945, tetapi melakukan pemilihan, sehingga Pemohon II tidak dipilih oleh DPR; c. Bahwa Undang-Undang yang menjadi objek permohonan para Pemohon telah memberikan kewenangan kepada DPR untuk memilih calon hakim agung yang sudah dinyatakan lolos dan diusulkan oleh KY telah merugikan hak konstitusional Pemohon II yang juga berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon I dan Pemohon III apabila mendaftarkan diri kembali sebagai calon hakim agung karena para Pemohon akan berhadapan dengan ketidakpastian hukum dalam pengisian lowongan hakim agung. Berdasarkan dalil para Pemohon yang telah disebutkan di atas, MK berpendapat para Pemohon memenuhi kualifikasi sebagai warga negara Indonesia yang memiliki hak konstitusional dan hak konstitusionalnya tersebut dapat dirugikan dengan berlakunya Pasal 8 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU MA, dan Pasal 18 ayat (4) UU KY. Oleh karena itu, para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo. 71 3. Pendapat Hakim Mahkamah Konstitusi tentang Pokok Permohonan Para Pemohon mengajukan pengujian materiil Pasal 8 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU MA, dan Pasal 18 ayat (4) UU KY yang menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut:81 a. Mekanisme pengangkatan hakim agung dan kewenangan DPR dalam UU MA dan UU KY yang diuji oleh para Pemohon telah dirumuskan secara berbeda dan tidak sesuai dengan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi warga negara Indonesia yang hendak menggunakan hak konstitusionalnya untuk menjadi hakim agung, khususnya para Pemohon; b. Keterlibatan DPR dalam pengangkatan hakim agung memang diatur dalam UUD 1945, akan tetapi keterlibatan DPR tersebut hanya dalam bentuk memberikan persetujuan terhadap calon hakim agung yang diajukan oleh KY sebelum ditetapkan oleh Presiden sebagai hakim agung, bukan dalam bentuk memilih calon hakim; c. Kewenangan DPR untuk memilih calon hakim agung merupakan pelanggaran serius terhadap konstitusi karena mekanisme pengangkatan hakim agung yang melibatkan DPR telah diatur secara menyimpang oleh Pasal 8 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU MA dan Pasal 18 ayat (4) UU KY dari Pasal 24A ayat (3) UUD 1945, dan juga menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap para Pemohon dan hak setiap warga negara Indonesia; d. Mekanisme calon hakim agung yang dipilih oleh DPR berpotensi mengganggu independensi peradilan, karena hal tersebut memungkinkan bagi DPR menolak caloncalon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dengan alasan tidak memenuhi jumlah yang disyaratkan 81 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR, h. 44. 72 oleh UU MA dan UU KY, atau DPR memilih calon hakim agung yang dapat melindungi kepentingan partai politik tertentu, dan juga membuka kesempatan kepada DPR untuk mengulang kembali proses seleksi yang sudah dilakukan oleh KY; e. Pola pemilihan calon hakim agung yang dilakukan oleh DPR, menimbulkan konsekuensi kepada KY untuk mengajukan calon hakim agung Iebih dari jumlah calon hakim agung yang dibutuhkan, yang mengharuskan KY mengajukan 3 (tiga) calon hakim agung kepada DPR untuk setiap lowongan hakim agung. Dalam praktiknya hal tersebut cukup menyulitkan KY untuk memenuhi jumlah calon hakim agung yang harus diajukan melebihi dari jumlah hakim agung yang dibutuhkan, sehingga mengganggu proses rekrutmen hakim agung itu sendiri. Untuk membuktikan dalilnya para Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan serta ahli yaitu Zainal Arifin Mochtar, Saldi Isra, dan Fajrul Falaakh. Terhadap permasalahan konstitusional yang diajukan oleh para Pemohon tersebut, MK memutuskan dalil para Pemohon beralasan menurut hukum dan akhirnya MK memutuskan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya, dengan pertimbangan sebagai berikut:82 a. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menentukan, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Salah satu cara untuk menjamin independensi lembaga peradilan maupun hakim, UUD 1945 mengatur sedemikian rupa proses dan mekanisme pengisian jabatan hakim agung, yaitu dengan 82 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR, h. 46. 73 menyerahkan pengusulan calon hakim agung kepada suatu organ konstitusional yang independen yaitu KY yang dibentuk berdasarkan UUD 1945. Latar belakang pemberian kewenangan pengusulan calon hakim agung kepada KY, tidak terlepas dari pengangkatan hakim agung sebelum perubahan UUD 1945 berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang menentukan bahwa hakim agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara dari calon yang diusulkan oleh DPR yaitu diusulkan masingmasing dua calon untuk satu posisi hakim agung. Mekanisme tersebut dianggap tidak memberi jaminan independensi kepada hakim agung, karena penentuan hakim agung akan sangat ditentukan oleh Presiden dan usul DPR yang kedua-duanya adalah lembaga politik. Perubahan UUD 1945 dimaksudkan, antara lain, memberikan jaminan independensi yang lebih kuat kepada hakim agung, dengan menentukan mekanisme pengusulan hakim agung yang dilakukan oleh suatu lembaga negara yang independen pula, sehingga pengaruh politik dalam proses penentuan hakim agung dapat diminimalisasi. Dalam hal ini, UUD menghendaki adanya peran minimal kekuatan politik dari lembaga politik untuk menentukan hakim agung, agar hakim agung benar-benar independen. b. Putusan Mahkamah Nomor 005/PUU-IV/2006, tanggal 23 Agustus 2006, Mahkamah mempertimbangkan, antara lain, “... di samping lembaga-lembaga negara yang bersifat utama, atau yang biasa disebut sebagai lembaga tinggi negara seperti dimaksud di atas, dalam UUD 1945 juga diatur adanya lembaga-lembaga negara yang bersifat konstitusional lainnya seperti Komisi Yudisial, Kepolisian Negara, Tentara Nasional Indonesia, bank sentral, komisi pemilihan umum, dewan pertimbangan presiden, dan sebagainya. Namun, pengaturan lembagalembaga tersebut dalam UUD 1945, tidaklah dengan sendirinya mengakibatkan lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945 tersebut, termasuk Komisi Yudisial, harus dipahami dalam pengertian lembaga (tinggi) negara sebagai lembaga utama (main organs). 74 Komisi Yudisial sebagai lembaga negara tidaklah menjalankan salah satu fungsi kekuasaan negara sebagaimana yang secara universal dipahami. Sebagai komisi negara, sifat tugas Komisi Yudisial terkait dengan fungsi kekuasaan kehakiman, yaitu dalam hubungan dengan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Oleh karena itu, keberadaan komisi negara yang demikian biasa disebut sebagai „auxiliary state organs‟ atau „auxiliary agencies‟ yang menurut istilah yang dipakai oleh Soetjipno sebagai salah seorang mantan anggota PAH I BP MPR dalam persidangan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 10 Mei 2006, Komisi Yudisial merupakan „supporting element‟ dalam sistem kekuasaan kehakiman (vide Berita Acara Persidangan tanggal 10 Mei 2006). Namun, oleh karena persoalan pengangkatan hakim agung dan persoalan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim itu dianggap sangat penting, maka ketentuan mengenai hal tersebut dicantumkan dengan tegas dalam UUD 1945. Kedudukan Komisi Yudisial ditentukan pula dalam UUD 1945 sebagai komisi negara yang bersifat mandiri, yang susunan, kedudukan, dan keanggotaannya diatur dengan undang-undang tersendiri, sehingga dengan demikian komisi negara ini tidak berada di bawah pengaruh Mahkamah Agung ataupun dikendalikan oleh cabangcabang kekuasaan lainnya”. Berdasarkan pertimbangan tersebut, kedudukan KY yang mandiri sebagai suatu komisi negara yang tidak berada di bawah pengaruh Mahkamah Agung ataupun tidak dikendalikan oleh cabang kekuasaan negara lainnya menjadi sangat penting untuk menentukan calon hakim agung.83 c. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial pada konsiderans (Menimbang), huruf b menyatakan: “Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung serta 83 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR, h. 48. 75 pengawasan terhadapb hakim yang transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim”. KY telah melakukan serangkaian seleksi administrasi dan seleksi terhadap kualitas dan kepribadian seperti yang ditentukan dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 18 UU KY yang juga ikut melibatkan masyarakat. Dari ketentuan tersebut di atas, sangat jelas KY mempunyai tugas yang berat dalam menjaring calon hakim agung yang berkualitas yang diyakini mempunyai integritas yang tinggi terhadap penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Penjaringan calon hakim agung melalui seleksi yang dilakukan oleh KY dalam mencari hakim agung yang berintegritas dan berkualitas, menurut MK telah sesuai dengan yang diamanatkan oleh UUD 1945 khususnya Pasal 24A ayat (2) yang menyatakan, “Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum”. d. Pengusulan calon hakim agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 24A ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan, “Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden”, merupakan pengusulan calon hakim agung yang sudah melalui proses penyeleksian sebagaimana yang telah diuraikan di atas, namun hal tersebut tidak sinkron ketika pengaturan lebih lanjut dari Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 tersebut yaitu dalam Pasal 8 ayat (2) UU MA yang menyatakan, “Calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial”. DPR sebagai lembaga politik bukan lagi memberikan persetujuan kepada calon hakim agung yang diusulkan oleh KY, namun DPR memilih nama calon hakim agung yang diusulkan KY tersebut, yang kemudian melakukan fit and proper test seperti yang sudah dilakukan oleh KY, ditambah lagi dengan 76 wawancara yang dilakukan oleh DPR terhadap calon hakim agung untuk menguji penguasaan ilmu hukumnya. Padahal dalam risalah pembahasan perubahan UUD 1945, khususnya mengenai pembentukan KY dijelaskan bahwa tujuan pembentukan KY yang mandiri adalah dalam rangka melakukan rekrutmen terhadap hakim agung yang akan diusulkan kepada DPR untuk disetujui dan ditetapkan oleh Presiden. Hal tersebut, sebagaimana diungkapkan oleh Agun Gunanjar Sudarsa (anggota PAH 1 BP MPR) dalam Rapat Pleno ke-38 PAH I BP MPR, tanggal 10 Oktober 2001, antara lain menyatakan,84 “... dalam Pasal 24B ini, kami menyatakan bahwa hakim agung diangkat dan diberhentikan dengan persetujuan DPR atas usul Komisi Yudisial. Nah, sehingga dengan kata-kata „dengan persetujuan DPR‟, DPR itu tidak lagi melakukan fit and proper test, DPR tidak lagi melakukan proses seleksi, tetapi DPR hanya memberikan persetujuan atau menolak sejumlah calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial. Kembali kami menekankan, agar kekuasaan kehakiman yang merdeka itu tidak terintervensi oleh kepentingan-kepentingan politik”. Catatan risalah perubahan UUD 1945, menjelaskan dengan sangat gamblang makna dan kandungan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden”. Dengan demikian, posisi DPR dalam penentuan calon hakim agung sebatas memberi persetujuan tau tidak memberi persetujuan atas calon hakim agung yang diusulkan oleh KY, dan DPR tidak dalam posisi untuk memilih dari beberapa calon hakim agung yang diusulkan oleh KY sebagaimana diatur dalam UndangUndang a quo. Hal itu dimaksudkan agar ada jaminan independensi hakim agung yang tidak dapat dipengaruhi 84 Majelis Permusyawaratan Rakyat, Risalah Rapat Pleno Panitia Ad Hoc I BP MPR RI Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945, h. 506. 77 oleh kekuatan politik atau cabang kekuasan negara lainnya.85 Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut MK, Pasal 8 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU MA, serta Pasal 18 ayat (4) UU KY, telah menyimpang atau tidak sesuai dengan norma Pasal 24A ayat (3) UUD 1945, karena ketentuan tersebut telah mengubah kewenangan DPR dari hanya “memberikan persetujuan” menjadi kewenangan untuk “memilih” calon hakim agung yang diajukan oleh KY. Demikian juga, ketentuan dalam kedua Undang-Undang a quo, yang mengharuskan KY untuk mengajukan tiga calon hakim agung untuk setiap lowongan hakim agung, juga bertentangan dengan makna yang terkandung dalam Pasal 24A ayat (3) UUD 1945. Agar ketentuan kedua Undang-Undang a quo, tidak menyimpang dari norma UUD 1945, menurut MK, kata “dipilih” oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) harus dimaknai “disetujui” oleh Dewan Perwakilan Rakyat serta kata “pemilihan” dalam ayat (4) UU MA harus dimaknai sebagai “persetujuan”. 85 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR, h. 50. 78 Begitu juga frasa “3 (tiga) nama calon” yang termuat dalam Pasal 8 ayat (3) UU MA dan Pasal 18 ayat (4) UU KY harus dimaknai “1 (satu) nama calon”, sehingga calon hakim agung yang diajukan oleh KY kepada DPR hanya satu calon hakim agung untuk setiap satu lowongan hakim agung untuk disetujui oleh DPR. 79 BAB IV IMPLIKASI PEMILIHAN HAKIM AGUNG PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-XI/2013 TENTANG PENGHAPUSAN KEWENANGAN DPR UNTUK MEMILIH HAKIM AGUNG A. Praktek-Praktek Persetujuan DPR Terhadap Pemilihan Pejabat Negara Salah satu tugas lain yang diemban oleh DPR sesuai dengan mandat peraturan perundang-undangan adalah pemilihan pejabat publik yang lazimnya melalui mekanisme uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test). Proses seleksi pejabat publik melalui mekanisme uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) oleh DPR mulai diragukan keefektifannya. Hal tersebut dipicu oleh banyaknya kejadian buruk, seperti praktik korupsi yang melibatkan pejabat publik hasil seleksi DPR, seperti anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2003-2007 yang dijebloskan ke penjara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena dakwaan korupsi berupa penyuapan. Tidak lama kemudian, Irawady Junus, mantan anggota KY ditangkap oleh KPK karena diduga menerima suap dalam proyek pengadaan tanah. Terakhir, ditetapkannya 79 80 Syamsul Bahri sebagai tersangka kasus korupsi proyek KIMBUN di Malang.86 Tahapan penentuan alat kelengkapan yang ditugaskan dalam pengangkatan pejabat publik Rapat Paripurna Bamus menentukan jadwal dan komisi yang membahas Rapat Komisi Peran dan kewenangan DPR dalam proses pemilihan pejabat publik dapat dikategorikan menjadi dua (2) kelompok.87 Pertama, kelompok pejabat publik yang dalam pengangkatannya diusulkan, dengan persetujuan, dan dipilih oleh DPR. Kelompok pejabat publik itu dalam proses pencalonannya memerlukan persetujuan melalui Rapat Paripurna DPR sebelum disampaikan kepada presiden untuk diproses lebih lanjut. Kedua, kelompok pejabat publik yang dalam pengangkatannya harus mendapatkan pertimbangan dari DPR atau dikonsultasikan dengan DPR. Untuk kelompok itu, proses pencalonannya tidak memerlukan persetujuan Rapat Paripurna DPR. Hasil pertimbangan dari alat kelengkapan yang ditugaskan akan langsung dikirim kepada presiden untuk diproses lebih lanjut. 86 Permasalahan Seleksi Pejabat Publik di DPR, diakses pada 20 Oktober 2014 dari korankota.co.id/indeks.php/kolom/18/06/13/seleksi-pejabat-publikdiDPR 87 Rachmad Maulana Firmansyah, Catatan Kinerja DPR 2012: Fondasi Tahun Politik, cet. I, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), 2013. h, 42. 81 Beberapa kegiatan DPR periode 2004-2009 dan periode 20092014 yang termasuk dalam kategori pengangkatan pejabat publik dapat dilihat pada tabel di bawah ini:88 Tabel 3 Praktik Pengangkatan Pejabat Publik di DPR Perode 2004-2009 dan 2009-2014 Pertimbangan DPR Usul calon anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) periode 2006—2011 Pemberian amnesti dan abolisi kepada semua orang yang terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM) 25 calon Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI Calon anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Calon anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) 88 Penolakan DPR Calon Gubernur Bank Indonesia (BI) Calon hakim agung periode I tahun 2014 Persetujuan DPR Pencalonan anggota Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI) periode 2007—2010 Pencalonan hakim agung Pencalonan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) periode 2007—2012 Pencalonan anggota dan Ketua Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) masa jabatan 2007—2011 Pencalonan anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) masa jabatan 2007—2010 Pencalonan Deputi Gubernur BI Kantor Akuntan Publik (KAP) untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan tahunan BPK Sekretariat DPR RI dan UNDP, Laporan Lima Tahun DPR RI 2004-2009: Mengemban Amanat dan Aspirasi Rakyat, cet. I, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), h. 18. 82 Calon anggota BPK (dari 7 menjadi 9 orang) Pencalonan Deputi Gubernur BI Pencalonan anggota KPU Pencalonan pimpinan KPK Pemberhentian dan pengangkatan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Penggantian hakim konstitusi KAP untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan tahunan BPK Calon Gubernur BI Sumber: Laporan Lima Tahun DPR RI 2004-2009: Mengemban Amanat dan Aspirasi Rakyat Keterlibatan DPR dalam pemilihan pejabat publik mendapat ruang, paling tidak sejak berdirinya berbagai lembaga dan komisikomisi negara yang independen, terlepas dari cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Lembaga negara non-struktural itu menjalankan tugas-tugas tertentu berdasarkan undang-undang.89 Pengangkatan pejabat negara pada umumnya dilakukan melalui proses tersendiri yang bersifat politis ketimbang mekanisme pengangkatan berdasarkan karier yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). 89 Ibid., h. 19. 83 Mencermati bagaimana DPR menjalankan proses uji kelayakan dan kepatutan dalam pemilihan pejabat publik membawa kita memperhatikan peraturan tatib dan implementasinya pula. Paling tidak, saat pemilihan calon anggota KPK atau hakim konstitusi misalnya, semua anggota Komisi III sepakat menjadikan Pasal 152 Peraturan Tatib DPR sebagai acuan. Namun, aturan yang dimaksud dan aplikasinya sering kali menghasilkan kualitas dan integritas calon yang tidak terukur. Bahkan, dari segi proses, masih belum menjamin transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas.90 Contohnya DPR tidak partisipatif dalam memberikan kesempatan bagi publik untuk memberikan penilaian atau masukan terhadap 18 calon hakim konstitusi usulan DPR. Komisi III memberikan waktu yang sangat singkat, yaitu kurang dari 1 hari (+/10 jam). Informasi untuk memberikan penilaian dan masukan itu hanya diumumkan di satu media cetak pada Kamis, 6 Maret 2008. Sangatlah mustahil mengharapkan adanya masukan publik yang memadai tentang rekam jejak calon mengingat waktu yang begitu 90 Ironi Wewenang DPR Menguji Pejabat Publik, diakses pada 12 November 2014 dari www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f790eb2a598d/ironi-wewenang-dpr-menguji-pejabat-publik 84 singkat. Akibatnya, Komisi III tidak mengadakan klarifikasi terhadap calon hakim konstitusi. Pertimbangannya adalah Komisi III tidak mempunyai data untuk diklarifikasi.91 Sering kali, ketiadaan paramater yang jelas ditemukan dalam proses pemilihan pejabat publik. Seperti yang terjadi pada proses pemilihan hakim agung tahun 2014, di mana Komisi III DPR menolak tiga (3) Calon Hakim Agung yang disodorkan Komisi Yudisial. Penolakan itu didasari hasil voting yang dilakukan Komisi III pada Selasa, 4 Februari 2014. Calon Hakim Agung Suhardjono, Maria dan Sunarto ditolak dengan alasan tidak mempunyai kualitas yang mumpuni dan kualitas ketiga calon tidak mengalami peningkatan setelah tahun 2012 gagal dalam uji kelayakan dan kepatutan seleksi hakim agung. 92 Selain penolakan terhadap tiga (3) calon hakim agung pada Februari 2014, ambil saja contoh saat proses uji kelayakan dan kepatutan hakim konstitusi pada 2008. Dalam UU MK, kriteria hakim konstitusi telah diatur tetapi masih sebatas ukuran umum, seperti istilah negarawan yang tidak dijabarkan secara lebih jelas. 91 92 Ibid. Komisi III Tolak Semua Calon Hakim Agung, diakses pada 9 September 2014 dari http://nasional.kompas.com/read/2014/02/04/1835236/Komisi.III.Tolak.Semua.Calon.Hakim.Agung 85 Oleh karena itu, pernyataan itu sulit ditafsirkan serupa dalam penggunaannya sebagai parameter dalam proses seleksi.93 B. Kendala Proses Seleksi Hakim Agung 1. Kualitas Calon Hakim Agung Salah satu yang menjadi kendala adalah dari kualitas para calon hakim agung itu sendiri. Hasil evaluasi KY pada proses seleksi terutama saat proses wawancara, mayoritas peserta calon hakim agung lemah saat dihadapkan pada pertanyaan tentang pengetahuan dasar. Hal tersebut mungkin dikarenakan para calon hakim agung sudah terlalu lama bekerja secara praktis sebagai hakim.94 Hakim Agung harus memiliki integritas dan potensi, dua syarat inilah yang sulit ditemukan pada calon-calon yang diajukan. Sering ditemukan calon yang memenuhi kualifikasi, kompetensi tetapi integritasnya tidak cukup untuk menjadi hakim agung, sebaliknya terdapat calon yang cukup berintegritas tetapi memiliki kekurangan pada kompetensinya.95 93 Ironi Wewenang DPR Menguji Pejabat Publik, diakses pada 12 November 2014 dari www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f790eb2a598d/ironi-wewenang-dpr-menguji-pejabat-publik 94 Calon Hakim Agung Minim Pengetahuan Dasar, diakses pada 15 Juli 2014 dari m.republika.co.id/berita/nasional/hukum//14/07/12/n8lntq-wahcalon-hakim-agung-minimpengetahuan-hukum-dasar 95 Hakim Agung itu Harus manusia Paripurna, diakses pada 3 September 2014 dari m.news.viva.co.id/news/read/537855—hakim-itu-harus-manusia-paripurna- 86 Aspek pengetahuan tentang hukum secara umum, teknis yuridis termasuk pengetahuan tentang perundang-undangan dan hukum acara dari para calon terkadang tidak cukup memuaskan. Terlebih jika dikaitkan bahwa calon hakim agung nantinya diharapkan tahu akan segala permasalahan hukum untuk mencapai standar bahwa hakim seharusnya tahu akan hukum (iuscuria novit). Terdapat perbedaan yang cukup menonjol terkait dengan pemahaman para calon tentang aspek hukum acara. Para hakim dari karier terlihat cukup menguasai tentang teknis yuridis dan pengetahuan tentang hukum cara. Sementara para calon non karier masih jauh dari pemahaman tentang teknis yuridis, khususnya hukum acara.96 Pengetahuan tentang perundang-undangan para calon juga tidak ada yang menonjol, khususnya terhadap UU yang relatif baru. Bahkan kadang terdapat calon yang lupa atau tidak mengetahui tentang UU MA dan UU Kekuasaan Kehakiman. Meski demikian, harus 96 juga dikatakan bahwa latar belakang para calon Wawancara dengan Lina Maryani, SH (Kepala Sub Bagian Peningkatan Kapasitas Hakim di Biro Rekrutmen Advokasi dan Peningkatan Kapasitas Hakim di Komisi Yudisial). Jakarta, 8 September 2014. 87 mempengaruhi pengetahuan tentang perundang-undangan ini, sesuai dengan lingkup pekerjaannya selama ini.97 Para calon hakim karier misalnya cukup memahami bidangnya masing-masing, Sementara calon hakim non karier juga demikian, cukup bisa menjawab pertanyaan tentang perundangundangan yang terkait dengan latar belakang keilmuannya. Para calon dengan latar belakang akademisi biasanya cukup mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait dengan teori hukum. Dalam menilai integritas dan kualitas para calon selama proses wawancara secara komprehensif cukup sulit mengingat bahwa tidak ada kesamaan mengenai pertanyaan yang diajukan, meskipun pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat diklasifikasikan dalam beberapa isu-isu penting. Berdasarkan isu-isu penting tersebut, jawaban para calon akan menjadi landasan dalam penilaian terhadap para calon. 98 Penilaian dilakukan dengan mengklasifikasikan dalam tiga kategori yakni calon dalam kategori baik, sedang/rata-rata dan kurang baik dari aspek integritas dan kualitasnya. Kategori baik adalah para calon yang mempunyai integritas yang baik terkait 97 Wawancara dengan Bachrudin Nasori S.Si, MM (Anggota DPR Komisi III Fraksi PKB ). Jakarta, 17 September 2014. 98 Yayasan Lembaga Bantuan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Memilih Hakim Agung Terpilih: Laporan Pemantauan dan Analisa Proses Seleksi Hakim Agung, (Jakarta: YLBHI, 2013), h. 19. 88 dengan aktivitas calon pada masa lalu yang tidak banyak bermasalah, pandangan calon tentang profesi hakim dan kemampuan calon dalam memahami hukum dan reformasi peradilan. Kategori cukup mengacu pada integritas calon yang biasa-biasa saja terkait aktivitas calon yang tidak luar biasa dan kemampuan hukum yang rata-rata. Sementara kategori kurang adalah para calon yang memiliki sejumlah permasalah terkait dengan aktivitas calon dalam mejalankan profesinya dimasa lalu dan pemahaman hukum, teknis yuridis dan pandangan tentang reformasi peradilan yang lemah.99 Jumlah calon hakim juga terbatas, karena persyaratan menjadi calon hakim agung minimal telah menjadi hakim tinggi selama tiga (3) tahun. Dapat dipastikan delapan puluh persen (80%) pelamar calon hakim agung sampai pada seleksi terakhir yang dilakukan KY adalah calon yang sudah pernah melamar sebelumnya. Jika seorang hakim sudah berusia 66 tahun, biasanya orang tersebut enggan untuk mendaftar karena sedikit lagi akan masuk masa pensiun. Mereka yang mendaftar calon hakim agung rata-rata di bawah umur 50 tahun dan sedikit di atas 60 tahun. Keterbatasan jumlah tersebut juga dikarenakan calon hakim yang 99 Ibid. 89 tidak lolos seleksi tidak diperbolehkan mengikuti seleksi di tahun depan, tetapi harus menunggu selama satu tahun. Misalnya seorang calon gagal pada seleksi Tahun 2012, dia baru bisa mengikuti seleksi kembali pada Tahun 2014.100 2. Terbatasnya Alokasi Anggaran Kata anggaran merupakan terjemahan dari kata budget dalam bahasa Inggris. Definisi anggaran yang dibuat oleh The National Committee on Governmental Accounting adalah sebagai berikut: “A budget is a plan of financial operation embodying an estimated of proposed expenditures for a given period of time and the proposed means of financing them.” Maksudnya adalah anggaran merupakan rencana operasional keuangan yang mencakup suatu estimasi pengeluaran untuk suatu jangka waktu tertentu sekaligus berisi juga usulan cara untuk membiayai pengeluaran tersebut.101 Anggaran yang diterima KY dari APBN paling utama dialokasikan untuk program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis KY demi meningkatkan dukungan teknis administratif kepada KY di bidang pembiayaan kegiatan, peningkatan SDM, akuntabilitas serta pelayanan publik, program peningkatan kinerja 100 Hakim Agung itu Harus manusia Paripurna, diakses pada 3 September 2014 dari m.news.viva.co.id/news/read/537855-hakim-itu-harus-manusia-paripurna101 2002, h. 25. Muhammad Gade, Akuntansi Pemerintahan, cet.I, (Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI), 90 seleksi hakim agung dan pengawasan perilaku hakim serta untuk peningkatan sarana dan prasarana aparatur KY 102 Terbatasnya alokasi anggaran yang diberikan pemerintah menjadi kendala bagi KY. Seperti yang terjadi pada pertengahan tahun 2014, KY sempat menghentikan proses seleksi calon hakim agung dikarenakan kebijakan pemotongan anggaran. Pada Tahun 2014, alokasi anggaran yang diperoleh KY berjumlah 83, 75 miliar. Namun, berdasarkan Inpres No. 04 Tahun 2014 tentang penghematan dan Pemotongan Belanja Kementrian dan Lembaga dalam Rangka Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2014 , KY mendapat nilai pemotongan anggaran sebesar 22,8 miliar oleh pemerintah. Maka proses yang sedang berjalan dihentikan sementara karena ketiadaan dana pelaksanaan.103 Seharusnya KY melakukan 2 periode seleksi calon hakim agung pada tahun ini, tetapi terkait penerbitan Inpres No. 04 Tahun 2014, proses seleksi harus dihentikan. Pemerintah tidak memikirkan dampak buruk pemangkasan tersebut terhadap kegiatan utama di setiap lembaga. Padahal di sisi lain KY dituntut untuk menghasilkan kinerja yang baik tetapi penunjang perbaikan kerja yang semuanya 102 Alokasi Anggaran Kementrian/Lembaga Tahun 2014 Berdasarkan Program, diakses pada 8 Desember 2014 dari pendanaan.bappenas.go.id/index.php 103 Anggaran Dipotong, KY Hentikan kegiatan Sementara, diakses pada 23 November 2014 dari komisiyudisial.go.id/berita-5306-anggaran-dipotong-ky-hentikan-kegiatan-sementara 91 bergantung pada anggaran justru dipotong dengan alasan penghematan.104 Efek dari terbatasnya anggaran ini berimbas ke banyak hal, misalnya sosialisasi lowongan calon hakim agung menjadi tidak maksimal karena untuk memasang iklan di berbagai media massa membutuhkan dana yang tidak sedikit. Besarnya anggaran juga berpengaruh pada jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) di KY. Pada biro rekrutmen hakim misalnya, mereka masih mengalami banyak kekurangan SDM sehingga setiap kali KY membuka seleksi calon hakim agung, biro lain juga ikut membantu.105 Begitu juga untuk menggerakkan penghubung-penghubung di daerah untuk memantau rekam jejak hakim-hakim membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tetapi meskipun terdapat keterbatasan dana dan keterbatasan jumlah Sumber Daya Manusia (SDM), proses harus tetap berjalan.106 Di bawah ini adalah tabel jumlah SDM yang ada pada KY: 104 Wawancara dengan Lina Maryani, SH (Kepala Sub Bagian Peningkatan Kapasitas Hakim di Biro Rekrutmen Advokasi dan Peningkatan Kapasitas Hakim di Komisi Yudisial). Jakarta, 8 September 2014. 105 Ibid. 106 Ibid. 92 Tabel 4 Jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) di KY Tahun 2013 Status Kepegawaian N o Unit Kerja Non PNS Eselon I Eselon II Eselon III Eselon IV Non Eselon Jumlah PIMPINAN DAN PARA KETUA BIDANG 1 Ketua 2 3 Merangkap Anggota Wakil Ketua merangkap anggota Ketua Bidang Jumlah 1 1 1 1 5 5 7 0 0 0 0 0 7 SEKRETARIAT JENDERAL 1 Sekretaris 0 0 Jenderal 2 Biro 1 2 6 32 41 1 2 4 16 23 1 2 1 12 16 1 1 3 7 12 6 Biro Umum 1 2 7 40 50 7 Pusat Analisis 1 2 0 19 22 dan Layanan Informasi Jumlah 6 11 21 126 164 3 4 5 Pengawasan Perilaku Hakim Biro Rekrutmen Advokasi dan Peningkatan Kapasitas Hakim Biro Investigasi Biro Perencanaan dan Kepatuhan Internal TENAGA LAINNYA (NON PNS) 1 Tenaga Ahli 16 16 2 Staf Khusus 3 3 93 3 Pegawai Tidak tetap 3 3 4 Tenaga Pengawalan Pimpinan dan Anggota Jumlah 7 7 29 0 0 Jumlah Total 0 0 0 29 200 Sumber: 8 Tahun Komisi Yudisial Mengukuhka Sinergitas Memperkokoh Kewenangan, Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2013. 3. Keterbatasan Waktu Pendaftaran Pendaftaran seleksi calon hakim agung dilakukan setelah mendapat pemberitahuan pengisian jabatan hakim agung dari MA. Maka sesuai dengan Pasal 15 UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY, dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari sejak menerima pemberitahuan mengenai lowongan hakim agung, KY mengumumkan pendaftaran penerimaan calon hakim agung selama 15 (lima belas) hari berturut-turut.107 Keterbatasan waktu ini juga merupakan kendala dalam proses seleksi calon hakim agung. Sering terlambatnya surat pemberitahuan pengisian jabatan dari MA, padahal menurut peraturan seharusnya surat pemberitahuan tersebut sudah diberikan kepada KY enam (6) bulan sebelum hakim pensiun, tetapi prakteknya sering ada keterlambatan. Pengumuman pendaftaran 107 Wawancara dengan Lina Maryani, SH (Kepala Sub Bagian Peningkatan Kapasitas Hakim di Biro Rekrutmen Advokasi dan Peningkatan Kapasitas Hakim di Komisi Yudisial). Jakarta, 8 September 2014. 94 selama 15 (lima belas) hari berturut-turut juga dirasa terlalu singkat mengingat banyaknya syarat administrasi yang harus dipenuhi oleh pendaftar.108 4. Proses Politik Pada Fit and Proper Test di DPR Kekuasaan politik mempunyai energi yang cukup besar untuk melakukan intervensi terhadap kekuasaan kehakiman. Besarnya pengaruh kekuasaan politik ini dibuktikan bahwa setiap penominasian hakim agung akan selalu mempunyai keterkaitan dengan kalkulasi politik. Proses pemilihan hakim agung merupakan proses yang rentan dipolitisasi. Hal ini terkait posisi strategis seorang hakim agung secara politik. Alhasil banyak kekuatan politik yang berkepentingan dengan posisi tersebut. Sebagaimana dinyatakan Christoper E Smith dalam Critical Judicial Nominations and Political Change (1989), proses nominasi hakim agung akan selalu diikuti dengan kontestasi kepentingan politik. Pihak-pihak terkait seperti pemerintah, parlemen dan MA mempunyai tujuan politik masing-masing.109 Anthony Blackshield dalam The Appointment and Removal of Federal Judges (2005) seperti dikutip oleh Oce Madril 108 109 Ibid. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 2004) h, 24. 95 menggambarkan tiga (3) pola politisasi:110 Pertama, pemerintah atau parlemen memilih hakim agung yang memiliki sikap politik sama dengan mereka. Kedua, calon hakim agung itu sendiri merupakan anggota parlemen dan aktif dalam partai politik. Ketiga, pemilihan hakim agung atas dasar balas jasa politik. Tiga pola politisasi ini yang menyebabkan independensi hakim dan peradilan terganggu. Hakim dan peradilan dibuat tunduk kepada kepentingan politik sehingga independensi dan imparsialitas hakim dalam memutus perkara akan dipertanyakan. Sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, MA seharusnya bersih dari segala muatan politik apapun bentuknya. Namun jika dalam proses pengangkatan hakim agung melibaktkan DPR yang merupakan lembaga politik maka dikhawatirkan akan mempengaruhi independensi hakim agung yang dipilih oleh DPR dalam membuat suatu putusan kelak di MA. Pihak DPR sendiri merasa ketakutan tersebut tidak cukup beralasan. DPR adalah lembaga perwakilan yang oleh sistem perwakilan modern harus melalui partai politik. Fenomena yang kerap terjadi adalah calon hakim agung yang berkualitas tidak lolos seleksi di DPR, sebaliknya yang tidak berkualitas bisa diloloskan, 110 Oce Madril, Bunga Rampai Komisi Yudisial: Membumikan Tekad Menuju Peradilan Bersih, (Jakarta: Gramedia, 2011), h. 333. 96 lalu dicurigai adanya praktek suap menyuap antara DPR dan calon hakim agung yang tidak berkualitas tersebut. Kecurigaan ini pula yang mendaari pemangkasan kewenangan di DPR. Pihak DPR berpendapat hal ini tidak perlu terjadi seandainya KY mampu menyeleksi calon hakim agung yang berintegritas untuk diajukan kepada DPR. Pada saat penolakan tiga (3) calon hakim agung yaitu Suhardjono, Maria Anna dan Sunarto sebenarnya ketiga calon tersebut adalah calon yang pernah diajukan kepada Komisi III DPR dan ditolak. Dengan tidak disetujuinya ketiga calon hakim tersebut DPR mengharapkan KY dapat melakukan perbaikan dalam rekrutmen calon hakim agung yang akan datang.111 Mereka menganggap tidak ada satupun ketentuan putusan MK yang menyatakan DPR tidak boleh melakukan fit and proper test. Mekanisme seleksi calon hakim agung berdasarkan fit and proper test diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dan tata tertib DPR.112 DPR juga menganggap metode wawancara yang digunakan dalam fit and proper test oleh DPR selama ini dinilai efektif dalam seleksi calon hakim agung. Tujuan dari wawancara tersebut salah 111 Wawancara dengan Bachrudin Nasori S.Si, MM, (Anggota DPR Komisi III Fraksi PKB ). Jakarta, 17 September 2014. 112 Ibid. 97 satunya adalah untuk memperlihatkan kepada masyarakat umum tentang integritas dan kualitas para calon hakim agung dan diharapkan masyarakat dapat aktif bertanya kepada para calon dan dapat mendengar sendiri jawabannya. Semua proses bersifat transparan dan dapat diliput oleh media.113 DPR merasa harus ikut menilai kelayakan hakim agung karena tidak ingin dianggap sebagai lembaga yang sekedar memberi cap stempel persetujuan, karena perlu diingat pula bahwa seleksi hakim agung berpindah tangan dari Presiden ke DPR itu karena maksud reformasi yang hendak mengurangi kekuasaan presiden. Oleh karenanya menurut pandangan DPR hal tersebut adalah menjadi legal policy pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya dalam Undang-Undang, sebagaimana diamanahkan Pasal 24A ayat (5) UUD Tahun 1945 yang berbunyi “Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang”. 113 Ibid. 98 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan hasil penelitian ini, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan dari permasalahan yang dibahas: 1. Putusan MK No. 27/PUU-XI/2013 menyatakan kewenangan DPR dalam proses pengisian jabatan hakim agung kembali pada kewenangan yang diberikan langsung oleh konstitusi, yakni sebatas memberikan persetujuan terhadap calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial. MK dalam bagian pertimbangannya mengatakan, dalam risalah pembahasan perubahan UUD 1945, khususnya mengenai pembentukan KY dapat dibaca dengan jelas bahwa tujuan pembentukan KY yang mandiri adalah untuk melakukan pengangkatan terhadap hakim agung yang akan diusulkan kepada DPR untuk disetujui dan ditetapkan oleh Presiden. Sebagaimana diungkapkan Agung Gunanjar Sudarsana (Anggota PAH 1 BP MPR) dalam Rapat Pleno Ke-38 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, tanggal 10 Oktober 2001, berdasarkan kata „dengan persetujuan DPR‟, DPR tidak perlu lagi melakukan proses seleksi dan fit and proper test tetapi hanya memberikan persetujuan atau menolak sejumlah hakim agung yang diusulkan KY. MK 99 berpendapat, catatan risalah perubahan tersebut telah menjelaskan dengan sangat gamblang makna Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden”. dengan demikian posisi DPR dalam penentuan calon hakim agung sebatas memberi persetujuan atau tidak memberi persetujuan atas calon hakim agung yang diusulkan KY sebagaimana diatur dalam undang-undang a quo. Hal itu dimaksudkan agar ada jaminan independensi hakim agung yang tidak dapat dipengaruhi kekuatan politik atau cabang kekuasaan negara lainnya. 2. Pasca Putusan MK Nomor 27/PUU-IX/2013, jika DPR menyatakan setuju terhadap calon hakim yang diusulkan KY maka calon hakim agung tersebut diajukan ke Presiden untuk diangkat sebagai Hakim Agung. Kalaupun DPR tidak menyetujui calon hakim agung yang diusulkan, maka KY dengan kewenangan yang dimiliki, dapat melakukan proses ulang dari awal untuk menyeleksi dan mengajukan nama calon hakim agung yang baru ke DPR hingga terpenuhinya lowongan jabatan hakim agung yang dibutuhkan. Putusan MK tersebut juga mengubah mekanisme pengajuan calon hakim agung ke DPR yang awalnya KY menetapkan dan mengajukan 3 (tiga) calon hakim agung kepada DPR untuk setiap 1 (satu) lowongan hakim 100 agung, pada putusan tersebut Komisi Yudisial menetapkan dan mengajukan 1 (satu) calon hakim agung kepada DPR untuk setiap 1 (satu) lowongan hakim agung. 3. Kualitas calon hakim agung, terbatasnya alokasi anggaran, keterbatasan waktu pendaftaran serta proses politik dalam fit and proper test di DPR merupakan kendala-kendala yang dialami KY dan DPR dalam proses pengangkatan hakim agung secara keseluruhan. Mayoritas peserta calon hakim agung lemah saat dihadapkan pada pertanyaan tentang pengetahuan dasar dan pengetahuan peraturan perundang-undangan yang relatif baru. Latar belakang calon hakim agung juga mempengaruhi pengetahun mereka, misalnya calon hakim non karier cukup bisa menjawab pertanyaan tentang perundang-undangan yang terkait dengan latar belakang keilmuannya, sedangkan para calon dengan latar belakang akademisi cukup mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait dengan teori hukum. Terbatasnya alokasi anggaran berimbas pada tidak leluasanya KY untuk mengoptimalkan kewenangannya dalam proses pengangkatan hakim agung, sosialisasi lowongan calon hakim agung menjadi tidak maksimal karena untuk memasang iklan di berbagai media massa membutuhkan dana yang tidak sedikit, hal tersebut juga mempengaruhi jumlah SDM pada KY dan jumlah penghubungpenghubung di daerah yang bertugas untuk memantau rekam jejak 101 hakim-hakim. Sementara keterbatasan waktu pendaftaran dapat dikatakan sebagai kendala mengingat cukup banyak persyaratan administratif yang harus dipenuhi calon hakim agung. Sementara proses fit and proper test di DPR merupakan kendala yang banyak menimbulkan pro dan kontra. Sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, MA seharusnya bersih dari segala muatan politik apapun bentuknya. Namun jika dalam proses pengangkatan hakim agung melibaktkan DPR yang merupakan lembaga politik maka dikhawatirkan akan mempengaruhi independensi hakim agung yang dipilih oleh DPR dalam membuat suatu putusan kelak di MA B. Saran Berdasarkan kesimpulan tersebut maka penulis memberikan saran sebagai berikut: 1. DPR sebagai lembaga yang menjalankan sebagian besar fungsi legislasi nasional hendaknya memerhatikan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, agar produk legislasi yang dihasilkan terjamin kualitas rumusan dan tujuannya, sehingga tidak lagi timbul pemaknaan ganda atau penafsiran yang tidak sesuai dengan kehendak UUD 1945. 2. Hakim adalah pejabat negara yang merdeka dan independen dalam melaksanakan tugasnya sehingga lembaga perekrut Hakim Agung harusnya adalah lembaga yang jauh daripada kepentingan politik. 102 Kewenangan DPR yakni menyetujui atau tidak menyetujui (political selection) calon Hakim Agung yang diusulkan KY diharapkan dilaksanakan dengan mekanisme khusus dan memberikan alasan yang jelas (reasoning) jika DPR tidak menyetujui calon yang di usulkan oleh KY. Hal ini semata-mata agar ada jaminan independensi hakim agung yang tidak dapat dipengaruhi oleh kekuatan politik atau cabang kekuasan negara lainnya. 3. Hendaknya KY terus memperbaiki pola perekrutan hakim agung. Dengan diserahkannya kewenangan untuk menyeleksi calon Hakim Agung ke KY diharapkan mekanisme yang ada pada saat ini harus terus mengalami peningkatan meskipun masih terdapat kekurangan pada internal KY. Misalnya lebih bekerjasama dengan MA agar MA bisa memberikan informasi lowongan hakim agung kepada badan peradilan di bawah MA, begitu juga dengan memanfaatkan jejaring atau penghubung KY yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia untuk mensosialisasikan lowongan calon hakim agung. KY juga seharusnya bisa lebih proaktif untuk mengajak hakim-hakim yang memang berintegritas untuk mengikuti seleksi calon hakim agung. Hal ini perlu dilakukan untuk melahirkan para calon hakim yang kapabel, berintegritas, dan berkualitas. Narasumber : Lina Maryani, SH (Kepala Sub Bagian Peningkatan Kapasitas Hakim di Biro Rekrutmen Advokasi dan Peningkatan Kapasitas Hakim di Komisi Yudisial) Waktu/Tempat : Selasa, 8 Juli 2014/ Gedung Komisi Yudisial 1. Bagaimana tanggapan Komisi Yudisial atas putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR? - Pada dasarnya KY menyambut baik putusan tersebut, tanggapan Pak Taufiqurrahman selaku Ketua Bidang Rekrutmen Hakim menyambut baik, terutama beliau merasakan betul sulitnya memenuhi 3 kali lipat itu (kuota calon hakim agung). 2. Apakah kuota 1:1 akan memudahkan Komisi Yudisial dalam menyeleksi Calon Hakim Agung? - Bagi kami jadi lebih mudah, karena dengan kuota 3:1 itu kami banyak hutang hakim ke MA, tetapi dengan 1:1 sekarang semoga bisa lebih cepat seleksinya sehingga setiap lowongan hakim dari MA bisa kami penuhi. 3. Apabila terjadi penolakan dari DPR terhadap Calon Hakim Agung yang diusulkan KY seperti yang terjadi pada Februari 2014, bagaimana mekanisme selanjutnya yang dilakukan Komisi Yudisial? - Tentu kami ulang dari awal, kami lakukan seleksi lagi untuk memenuhi permintaan hakim dari MA. 4. Menurut KY, apa kelebihan dan kekurangan dari kuota 3:1 dan 1:1 dalam lowongan Calon Hakim Agung? - Dengan 3:1 yang dulu, kami mengirim 3 calon hakim dan mereka dipilih 1, mereka harus pilih salah satu dari 3 calon itu meskipun semuanya tidak mereka sukai tapi mereka terpaksa harus pilih salah satunya, jadimereka ada beban. tapi sekarang kami mengirim 1 dan mereka pilihannya hanya setuju atau tidak. Ini membuat mereka seperti tidak punya beban, kalau mereka tidak suka ya tolak saja. Kuota 1:1 ini bagi CHA lebih sulit. Dan dari sisi anggaran, penolakan itu sangat membuang anggaran, padahal karena rentang waktu seleksi cukup panjang, otomatis anggaran juga besar. 5. Menurut pemberitaan media, selama ini terjadi penurunan jumlah pendaftar. Apa yang menjadi penyebab penurunan jumlah pendaftar tersebut? - Ke depannya kami akan melakukan survey, mengapa calon-calon potensial, maksutnya calon hakim yang sudah 40 tahun, hakim karir dan bergelar tinggi tidak mau menjadi hakim agung. Disinyalir contohnya seperti hakim pengadilan tinggi gajinya lebih tinggi dari hakim agung atau mungkin karena takut dengan proses di DPR, hal ini butuh survey lebih lanjut, tidak bisa diklaim ju 6. Apakah yang menjadi kendala bagi Komisi Yudisial dalam proses seleksi Calon Hakim Agung secara keseluruhan? - Tentang kualitas calon yang mendaftar, integritasnya, pengetahuannya kurang memadai ,dalam wawancara kan terlihat.. Aspek pengetahuan tentang hukum secara umum, teknis yuridis termasuk pengetahuan tentang perundang-undangan dan hukum acara dari para calon terkadang tidak cukup memuaskan. Para hakim dari karier terlihat cukup menguasai tentang teknis yuridis dan pengetahuan tentang hukum cara. Sementara para calon non karier masih jauh dari pemahaman tentang teknis yuridis, khususnya hukum acara. Tetapi kalau bicara kenapa mereka tidak tertarik mendaftar hal itu butuh diteliti lebih lanjut, mungkin saja tidak yakin dengan proses di DPR. - Dari internal yang dihadapi KY adalah alokasi anggaran yang dialirkan pada kami, harusnya tahun ini ada 2 periode seleksi, tetapi pemerintah mementingkan pemilu sehingga ada pemotongan anggaran. Dengan pemotongan anggaran, sosialisasi lowongan juga tidak bisa maksimal karena memasang iklan di media membutuhkan dana yang tidak sedikit. Tetapi meskipun ada keterbatasan dana, proses harus tetap berjalan, meskipun efeknya cukup banyak, kami jadi kurang sosialisasi, untuk menggerakkan penghubung di daerah juga membutuhkan biaya. Anggaran juga pengaruh pada jumlah SDM di KY, bagian rekrutmen hakim misalnya masih banyak kekurangan orang. Jadi setiap ada rekrutmen, biro lain juga ikut membantu. Makanya kami mengembangkan Penghubung-penghubung di daerah yang memantau rekam jejak hakim di daerahnya masing-masing. - Keterbatasan waktu juga menjadi kendala, sering telatnya surat dari MA, menurut peraturan harusnya surat lowongan sudah diberikan kepada KY 6 bulan sebelum hakim pensiun, tetapi prakteknya sering ada keterlambatan. 7. Bagaimana harapan Komisi Yudisial untuk seleksi Calon Hakim Agung kedepannya setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi? - Harapannya putusan ini bisa menambah jumlah pendaftar calon hakim agung dan DPR bisa membuat aturan yang lebih jelas mengenai proses fit and proper test calon hakim agung di DPR ,tidak seperti yang sekarang karena sebenarnya banyak pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh anggota DPR adalah pertanyaan yang sama yang sudah diajukan KY dalam proses seleksi. Jadi harapan kami kedepannya mereka harus punya aturan jelas, jangan berdasarkan feeling mereka saja dalam memilih hakim agung. Narasumber : Wawancara dengan Bachrudin Nasori S.Si, MM (Anggota DPR Komisi III Fraksi PKB ). Waktu/Tempat : Rabu, 17 September 2014/ Gedung DPR RI Jakarta. 1. Bagaimana tanggapan Bapak selaku anggota Komisi III DPR terkait putusan MK Nomor 27/PUU XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR? - Tentunya kami menghormati putusan tersebut, bagaimanapun kan hak para pemohon ya, kalau merasa dirugikan dengan undang-undang tertentu ya silakan saja uji di MK. Apapun hasilnya tentu kami menghormati itu. Tapi resikonya kan karena hanya satu calon di setiap satu lowongan dan DPR hanya menyetujui atau tidak menyetujui jadi ada resikonya ya. Kalau kami tidak setuju, ya kami katakana tidak. Tidak bisa kami pilih yang terbaik seperti sebelum putusan. 2. Ketika melakukan fit and proper test, apa yang menjadi acuan DPR dalam menentukan layak atau tidaknya calon hakim agung untuk menjadi hakim agung? - Mekanisme itu (fit and proper test) kan diatur di UU MD3 dan di tata tertib DPR juga ada. Tentu kami acuannya dari sana. Wawancara dalam fit and proper test selama ini cukup efektif. Tujuan dari wawancara itu kan supaya memperlihatkan kepada masyarakat umum tentang integritas dan kualitas para calon hakim agung dan diharapkan masyarakat juga bisa aktif bertanya kepada para calon dan dapat mendengar sendiri jawabannya. Semua proses sudah cukup transparan dan dapat diliput oleh media. 3. Apakah DPR tetap akan melakukan fit and proper test untuk menyetujui hakim agung yang diusulkan KY selanjutnya? - putusan MK itu hanya merubah dari memilih menjadi menyetujui, tidak ada ketentuan yang menyatakan DPR tidak boleh melakukan fit and proper test. Kan ketentuannya sudah ada di tata tertib DPR dan MD3, ya kami pakai itu. 4. Selama ini proses fit and proper test di DPR dikatakan penyebab para calon hakim pesimis bisa lolos seleksi, bagaimana pendapat bapak? - Saya kira asal mempersiapkan diri dengan baik untuk apa takut sama DPR, kan prosesnya sudah terbuka, diliput media juga. Jadi bisa dilihatlah bagaimana kami ini mewawancarai mereka. Sudah bisa dilihat itu. Sudah cukup transparan. Kalau yang ditolak-ditolak itu memang kurang apik saat fit and proper test. 5. Kurang apik itu seperti apa maksudnya, Pak? - Misalnya yang semuanya ditolak oleh DPR. mereka kualitasnya tidak ada perubahan sejak ditolak pada tahun 2012, jawaban yang diberikan tidak jauh berbeda. Makanya hampir semua menolak. Ditanya pernah tidak putusan mereka dibatalkan MA, ada yang mengatakan pernah.. lalu ditanya, yang benar keputusan mereka atau keputusan MA yang benar, mereka jawab keputusan MA yang lebih benar. Berarti kan dia pernah salah dalam buat putusan, mereka akui itu. 6. Apakah yang menjadi kendala bagi DPR dalam melaksanakan kewenangannya untuk memilih hakim agung? - Kendala yang dihadapi ya dari para calon hakim sendiri, seperti yang 3 calon kemarin ditolak, hal itu kan tidak perlu terjadi kalau seandainya KY mampu menyeleksi calon hakim agung yang berintegritas untuk diajukan kepada DPR. Pada saat penolakan tiga calon hakim Suhardjono, Maria Anna dan Sunarto, mereka kan calon yang pernah diajukan kepada Komisi III DPR dan ditolak. Ya masa harus itu itu lagi orangnya? Kami mengharapkan KY lakukanlah perbaikan dalam rekrutmen calon hakim agung yang akan datang. Dimaksimalkan lagi mencari yang potensial. Kebanyakan pengetahuan perundang-undangan para calon juga tidak ada yang menonjol, khususnya UU yang masih baru. Kadang ada calon yang lupa sampai tidak tahu tentang UU MA dan UU Kekuasaan Kehakiman, padahal kan itu bidangnya mereka ya. Tapi ya latar belakang calon juga berpengaruh pada pengetahuannya. Kepercayaan kepada DPR untuk menjalankan kewenangan kami dalam proses pengangkatan hakim agung ini juga mungkin kendala ya, ko kesannya kalau dipilih DPR calon hakim agung yang berkualitas tidak lolos, sebaliknya yang tidak berkualitas bisa diloloskan, lalu dicurigai ada praktek suap antara DPR dan calon hakim agung yang tidak berkualitas. Itu tidak cukup beralasan ya, kan itu saya bilang tadi, prosesnya sudah transparan. Kami ini tidak mau dianggap lembaga yang sekedar memberi cap stempel persetujuan, nanti kalau hasilnya buruk kami juga yang dihujat. Jadi biarlah kami ikut menilai juga. Kan seleksi hakim agung berpindah tangan dari Presiden ke DPR itu karena maksud reformasi yang mengurangi kekuasaan presiden. menurut saya ini sudah jadi legal policy pembentuk Undang-Undang untuk mengatur hal tersebut di dalam Undang-Undanh. 7. Bagaimana harapan bapak sebagai anggota Komisi III untuk seleksi calon hakim agung kedepannya setelah keluarnya putusan MK? - Ya kedepannya harus benar-benar memperhatikan kualitas calon-calon yang akan diajukan kepada DPR, hakim berintegritas dan punya pemahaman hukum yang bagus. Resiko putusan MK kan begitu, tidak ya katakan tidak. Kita terus rapat dengan KY untuk kedepannya seperti apa, supaya tidak terjadi lagi seperti yang sebelumnya.