KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL DAN DEWAN

advertisement
KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
DALAM PENGANGKATAN HAKIM AGUNG
(Analisis Putusan MK Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim
Agung di DPR)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
Diah Savitri
NIM : 1110048000042
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435H/2014
KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
DALAM PENGANGKATAN HAKIM AGUNG
(Implikasi Putusan MK Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim
Agung di DPR)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
DIAH SAVITRI
NIM : 1110048000042
PEMBIMBING I
PEMBIMBING II
BURHANUDDIN, SH, M. HUM
NIP : 197302151999031002
FITRIA, SH, MR
NIP : 197908222011012007
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435H/2014M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL DAN DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT DALAM PENGANGKATAN HAKIM AGUNG
(Analisis Putusan MK Nomor 27/PUU-XI/2013)” telah diajukan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 29 Desember 2014. Skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program
Strata Satu (S1) pada Program Studi Ilmu Hukum.
Jakarta, 29 Desember 2014
Mengesahkan
Dekan,
H. JM. Muslimin, MA, Ph.D.
NIP. 196808121999031014
PANITIA UJIAN
1. Ketua
:Dr.Djawahir Hejazziey, SH, MA.
NIP. 195510151979031002
(.……………)
2. Sekretaris
: Arip Purkon, SH.I, MA
NIP. 197904272003121002
(.……………)
3. Pembimbing 1
: Burhanuddin, SH, M.Hum.
NIP.197302151999031002
(.……………)
4. Pembimbing II
: Fitria, SH, MR.
NIP. 197908222011012007
(.……………)
5. Penguji I
: Nur Habibi, SH.I, MH.
NIP. 197608172009121005
(.……………)
6. Penguji II
: Nur Rohim Yunus, LLM.
NIP. 197904162011011004
(.……………)
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya saya atau
hasil jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 11 Desember 2014
Diah Savitri
ABSTRAK
Diah Savitri (1110048000042), KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL
DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM PENGANGKATAN
HAKIM AGUNG (Analisis Putusan MK Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang
Seleksi Calon Hakim Agung di DPR), di bawah bimbingan dan arahan
Bapak Burhanuddin selaku Pembimbing I dan Ibu Fitria selaku
Pembimbing II.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kewenangan Komisi
Yudisial dan Dewan Perwakilan Rakyat pada pengangkatan hakim agung
pasca Putusan MK Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim
Agung di DPR dan apa yang menjadi pertimbangan hakim Mahkamah
Konstitusi dalam memutus perkara tersebut serta kendala apa saja yang
dihadapi Komisi Yudisial dan DPR dalam proses pengangkatan hakim agung
secara keseluruhan.
Peneliti melakukan penelitian kepustakaan dengan mempelajari bukubuku, peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan materi
penulisan skripsi dan juga melakukan wawancara dengan pihak Komisi
Yudisial dan DPR. Hasil yang dicapai dalam penelitian ini menunjukan bahwa
kewenangan DPR untuk memilih calon hakim agung seperti yang dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang
Komisi Yudisial dan pada Pasal 8 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung ternyata tidak sejalan dengan makna
persetujuan yang disebutkan pada Pasal 24A ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hal ini didasarkan dengan keluarnya
putusan Mahkamah Konstitusi Nomer 27/PUU-XI/2013 yang mengubah
ketentuan memilih pada Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomer 18 Tahun
2011 tentang Komisi Yudisial dan pada Pasal 8 ayat (2) dan (3) UndangUndang Nomer 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung menjadi menyetujui.
Begitu juga dengan ketentuan yang mengharuskan KY mengajukan 3 (tiga)
calon hakim agung kepada DPR untuk setiap lowongan hakim agung yang
dalam praktiknya cukup menyulitkan, maka MK dalam putusannya mengubah
kuota calon hakim agung yang diusulkan KY kepada DPR menjadi 1 (satu)
calon hakim agung untuk setiap lowongan.
Kata Kunci
Daftar Pustaka
: Komisi Yudisial, Dewan Perwakilan Rakyat , Kewenangan
: Tahun 2000 s.d Tahun 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT., atas segala kekuasaan dan kebenaran-Nya,
telah membukakan pintu pengetahuan bagi penulis, sampai akhirnya penulis
diperkenankan masuk dan menjelajahi ruang ilmu dengan berbagai deretan ujian dan
pengalaman. Hal itu membuat penulis sadar bahwa ilmu adalah salah satu kendaraan
yang dapat membuat kita sebagai manusia untuk bisa lebih dekat dengan-Nya.
Pada kesempatan ini pun, penulis ingin berbagi rasa gembira dan rasa syukur,
serta ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, mendukung,
mendoakan, dan membimbing, serta mendampingi penulis hingga terselesaikannya
skripsi dan studi strata satu ini. Untuk itu, penulis menghaturkan banyak terima kasih
kepada :
1. Ayahanda Alm. R. Sutarto, BBA yang semasa hidupnya selalu memberi
semangat serta menjadi panutan bagi penulis dan Ibunda Martini, S.Pd atas
dukungan dan pengorbanannya baik moral dan moril serta mencurahkan
segala perhatian dan kasih sayangnya kepada penulis serta tak pernah lelah
dalam membimbing penulis, walaupun sampai saat ini penulis belum bisa
membalasnya.
2. Bapak Burhanuddin, SH, M.Hum. dan Ibu Fitria, SH, MR selaku
pembimbing I dan pembimbing II, Terima kasih atas arahannya, sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
3. Bapak Dr. JM Muslimin, P.hd selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Dr. Djawahir Hejazziey, SH, MA, MH selaku Ketua Prodi Ilmu
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Bapak Arip Purkon, SHI,
MA selaku Sekretaris Prodi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Ibu Ipah Parihah S,Ag, MH, pembimbing akademik yang telah memberi
dukungan.
6. Seluruh Dosen dan Staff Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
7. Ibu Lina Maryani, SH selaku Kepala Sub Bagian Peningkatan Kapasitas
Hakim di Biro Rekrutmen Advokasi dan Peningkatan Kapasitas Hakim di
Komisi Yudisial dan Bapak Tabah, SH, MH di Biro Rekrutmen KY, serta
Bapak Bachrudin Nasori S.Si, MM Anggota Komisi III DPR RI, terima
kasih atas segala doa dan bantuan kepada penulis karena sudah menjadi
nara sumber yang baik.
8. Teman-teman seperjuangan di Kelas Ilmu Hukum B angkatan 2010 dan
Kelas Ilmu Hukum Kelembagaan Negara yang telah berbagi suka dan
duka selama perkuliahan Ekasari, Siti Rahmadianti, Galuh Hayu, Sarah
Eka, Yulita Rosalina, Tanti Oktari, Mona Hasinah, M. Soma Karya
Madari, Jentel Chairnosia, Siti Annisa Mahfudzoh, Azhary Arsyad dan
yang lainnya, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
9. Sahabat baik penulis Wildan Bahtiar, Dwi Suranti, Krisna Puspita dan Ina
Siti Aminah, Siti Nuraini, Evianti, Maulizhar dan Andika Ifardi atas doa
dan dukungannya.
10. Adik penulis Teguh Senopati yang menjadi yang selalu menghibur dan
memberi semangat dalam penyusunan skripsi ini.
11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah ikut
berkontribusi terhadap penelitian ini.
Akhir kata dengan tidak melupakan keberadaan penulis sebagai manusia biasa
yang tak luput dari segala kekurangan dan keterbatasan, penulis membuka diri untuk
menerima segala bentuk saran dan kritikan yang konstruktif dalam rangka perubahan
dan penyempurnaan skripsi ini.
Jakarta, 11 Desember 2014
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERSETUJUAN
HALAMAN PENGESAHAN
HALAMAN PERNYATAAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR lAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………….……1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah……………………………………..8
1. Pembatasan Masalah…………………………………………………8
2. Rumusan Masalah……………………………………………………9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………..………………………………..9
D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu ………..……………..……………11
E. Metode Penelitian ……………………………....………………………13
1. Tipe Penelitian ………………………………………………………13
2. Pendekatan Masalah ..……………………………………………....15
3. Sumber Data………………………………………………………....15
4. Pengolahan dan Analisis bahan Hukum……………………………18
F. Sistematika Penelitian …………………………………………………..18
BAB II PENGANGKATAN HAKIM AGUNG OLEH KOMISI YUDISIAL
DENGAN PERSETUJUAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
A.
B.
C.
D.
E.
Pemisahan Kekuasaan Negara (Separation of Power)……………….20
Mekanisme Checks and Balances……………………………………22
Komisi Nasional Sebagai Pilar Keempat Demokrasi………………...25
Teori Kewenangan…………………………………………………...29
Tugas dan Wewenang Komisi Yudisial dalam Pengangkatan
Hakim Agung…………………………………………………….…..33
F. Kewenangan DPR dalam Pengangkatan Hakim Agung……………..45
G. Pengangkatan Hakim dalam Perspektif Islam…………………........ 53
BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-XI/2013
TENTANG SELEKSI CALON HAKIM AGUNG DI DPR
A. Kewenangan Komisi Yudisial dan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR
1. Kewenangan Komisi Yudisial Pasca Putusan …………………..56
2. Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Pasca Putusan …………………………………………….……..58
B. Pertimbangan Hakim Konstitusi dalam Memberi Putusan
Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung
di DPR
1. Kewenangan Mahkamah……………………………………….…66
2. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon ..…………67
3. Pendapat Hakim Mahkamah Konstitusi tentang
Pokok Permohonan ……………………………………………...71
BAB IV IMPLIKASI PEMILIHAN HAKIM AGUNG PASCA PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-XI/2013 TENTANG
PENGHAPUSAN KEWENANGAN DPR UNTUK MEMILIH
HAKIM AGUNG
A. Praktek-Praktek Persetujuan DPR Terhadap Pemilihan Pejabat
Negara………………………………………………………………..79
B. Kendala yang Dihadapi dalam Proses Seleksi Hakim Agung
Secara Keseluruhan………………………………….……………..85
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………….….. 98
B. Saran……………………………………………………………..…102
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Surat Permohonan Penelitian di KomisiYudisial
Lampiran 2
Surat Permohonan Penelitian di Dewan Perwakilan Rakyat
Lampiran 3
Surat Keterangan Penelitian di Komisi Yudisial
Lampiran 4
Hasil Wawancara di Komisi Yudisial
Lampiran 5
Hasil Wawancara di Dewan Perwakilan Rakyat
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Amandemen UUD NRI 1945 yang terjadi pada tahun 1999 hingga tahun
2002 memiliki pengaruh yang cukup besar pada kekuasaan kehakiman di
Indonesia. Hasil amandemen ketiga UUD NRI 1945 menghasilkan Mahkamah
Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman tertinggi selain Mahkamah
Agung, serta Komisi Yudisial.1 KY dibentuk sebagai lembaga pembantu
(auxiliary institusion) di dalam rumpun kekuasaan kehakiman yang diatur dalam
Pasal 24B UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY.2
KY merupakan lembaga yang mandiri berdasarkan ketentuan dalam Pasal
2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY menyatakan “ Komisi
Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam
pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan
lainnya.” Mandiri berarti tidak adanya campur tangan dari kekuasaan lain atau
suatu pihak tidak bergantung kepada pihak lainnya yang dalam literatur disebut
juga independen, berasal dari bahasa Inggris independence.3
1
Denny Indrayana, Negara Antara Ada dan Tiada: Reformasi Hukum Ketatanegaraan, cet. I,
(Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, Juni 2008), h. 9. Lihat juga Hans Kelsen, Pure Theory of Law,
(1967), h. 8.
2
Mahmuzar, Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sebelum dan Sesudah
Amandemen, cet. I, (Bandung: Nusa Media, 2010), h. 25.
3
Hari Murti Kridalaksana, Kamus Sinonim Bahasa Indonesia, cet.IX, (Jakarta: Nusa Indah Press,
2005), h. 89.
1
2
Secara struktural kedudukan KY diposisikan sederajat dengan Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, secara fungsional peranannya
bersifat penunjang (auxiliary) terhadap lembaga kekuasaan kehakiman.4
Meskipun kekuasaannya terkait dengan kekuasaan kehakiman, KY tidak
menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman karena komisi ini bukanlah lembaga
penegak norma hukum (code of law), melainkan lembaga penegak norma etik
(code of etic).5
Keberadaan KY sebenarnya berasal dari lingkungan internal hakim
sendiri, yaitu dari konsepsi mengenai majelis kehormatan hakim yang terdapat di
dalam dunia profesi kehakiman di lingkungan Mahkamah Agung. Sebelumnya
fungsi ethical auditor ini bersifat internal. Namun untuk menjamin efektifitas
kerjanya dalam rangka mengawasi perilaku hakim, maka fungsinya ditarik ke luar
menjadi external auditor yang kedudukannya dibuat sederajat dengan para hakim
yang berada di lembaga yang sederajat dengan pengawasannya. 6
Pembentukan komisi ini juga merupakan konsekuensi logis yang muncul
dari penyatuan atap lembaga peradilan pada Mahkamah Agung (MA). Penyatuan
atap tersebut berpotensi menimbulkan monopoli kekuasaan kehakiman oleh MA.
Dikhawatirkan MA tidak akan mampu melaksanakan kewenangan administrasi,
4
`
Sirajuddin dan Zulkarnain, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik: Menuju Peradilan yang
Bersih dan Berwibawa, cet.I, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), h. 31.
5
Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, cet.II, (Jakarta: Konpress,
2005), h. 153.
6
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, cet.I,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 159.
3
personel, keuangan dan organisasi pengadilan yang selama ini dilakukan oleh
departemen. Dibentuknya KY ini dengan harapan dapat mengubah strukturstruktur lama yang tertutup, sentralistik, otoriter dan tidak transparan tersentuh
oleh nilai-nilai demokrasi dengan dilakukannya transformasi dan reformasi
peradilan.7
Mengenai kewenangannya, Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2011 tentang KY merumuskan sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
Komisi Yudisial mempunyai wewenang:
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di
Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim;
menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersamasama dengan Mahkamah Agung; dan
menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman
Perilaku Hakim.
Menurut Jimly Asshiddiqie, karena tugas pertama dikaitkan dengan hakim
agung dan tugas kedua dengan hakim saja, maka secara harfiah jelas sekali
artinya, yaitu KY bertugas menjaga (preventif) dan menegakkan (korektif dan
represif) kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku semua hakim di Indonesia.
Dengan demikian, hakim yang harus dijaga dan ditegakkan kehormatan,
keluhuran martabat dan perilakunya mencakup hakim agung, hakim peradilan
umum, peradilan agama, peradilan tata usaha, dan pengadilan militer serta
termasuk hakim konstitusi.8
7
Indriaswati Dyah, Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara, cet.V, (Komisi Yudisial,
Jakarta 2010), h. 67.
8
Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, cet.VIII, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 232.
4
Pasal 24A ayat (3) UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa calon hakim
agung diusulkan KY kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan
selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden. Dari keterangan
pasal tersebut maka bisa dilihat adanya keterlibatan tiga lembaga negara, yaitu
KY, DPR dan Presiden dalam proses pengangkatan hakim agung. Keterlibatan
DPR dalam pengangkatan hakim agung adalah dalam rangka mewujudkan fungsi
checks and balances antar cabang kekuasaan negara dalam pemerintahan
demokrasi.9
Berdasarkan Pasal 20A UUD NRI 1945, DPR mempunyai fungsi
legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan, yang mana fungsi pengawasan
tersebut dilaksanakan melalui pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang
dan APBN. Kewenangan DPR yang berkaitan dengan pengangkatan dan
pemberhentian pejabat-pejabat publik tertentu yang membutuhkan pertimbangan
yang bersifat politik juga merupakan bagian dari fungsi pengawasan DPR.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, para hakim agung dipilih oleh
DPR untuk selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung dengan Keputusan
Presiden. Tiga orang hakim konstitusi dipilih oleh DPR untuk selanjutnya
ditetapkan dengan keputusan presiden. Duta besar, diangkat oleh presiden dengan
pertimbangan DPR, pimpinan atau dewan gubernur Bank Sentral dipilih oleh
DPR untuk selanjutnya ditetapkan dengan keputusan Presiden. Anggota Badan
9
Rifqi S Assegaf, 2004, “Urgensi Komisi Yudisial dalam Pembaruan Peradilan di Indonesia”
dalam Jurnal Hukum Jantera, Edisi 2, Tahun II, Juni 2004, h. 5.
5
Pemeriksa Keuangan (BPK) dipilih oleh DPR dengan memperhatikan
pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden. Panglima TNI dan Kepala
POLRI diangkat oleh Presiden dengan persetujuan DPR, dan sebagainya.
10
Keterlibatan lembaga perwakilan rakyat dengan adanya hak untuk
memberikan atau tidak memberikan persetujuan ataupun pertimbangan ini dapat
disebut juga hak untuk konfirmasi (right to confirm) lembaga legislatif. Dengan
adanya hak ini, lembaga perwakilan dapat ikut mengendalikan atau mengawasi
kinerja para
pejabat
publik dimaksud dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya masing-masing agar sesuai dengan ketentuan konstitusi dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.11
Namun dalam pelaksaan kewenangan tersebut kerap terjadi pertentangan
antara DPR dan lembaga lain. Seperti yang terjadi pada tahun 2008, enam fraksi
DPR menyatakan menolak Agus Martowardojo dan Raden Pardede sebagai calon
Gubernur Bank Indonesia yang diajukan oleh Presiden untuk menggantikan
Gubernur Bank Indonesia sebelumnya yaitu Burhanuddin Abdullah. Saat itu DPR
menganggap dalam pengajuan dua nama tersebut terdapat kecenderungan
Presiden mengarahkan untuk memilih salah satu calon yaitu Agus Martowardojo
dari dua nama yang telah diajukan kepada DPR. Kecenderungan yang dinilai
10
Sirajuddin dan Zulkarnain, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik: Menuju Peradilan yang
Bersih dan Berwibawa, h. 36.
11
h. 304.
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet. V, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013)
6
terlalu mencolok tersebut menimbulkan penolakan dari beberapa anggota Komisi
XI DPR.
Begitu pula yang terjadi pada proses pemilihan hakim agung tahun 2014,
di mana Komisi III DPR menolak tiga (3) Calon Hakim Agung yang disodorkan
KY Penolakan itu didasari hasil voting yang dilakukan Komisi III pada Selasa, 4
Februari 2014. Calon Hakim Agung Suhardjono, Maria dan Sunarto ditolak
dengan alasan tidak mempunyai kualitas yang mumpuni dan kualitas ketiga calon
tidak mengalami peningkatan setelah tahun 2012 gagal dalam uji kelayakan dan
kepatutan seleksi Hakim Agung. 12
Proses pengangkatan hakim agung yang melalui mekanisme politik
tersebut dalam perkembangannya dinilai berpotensi menganggu independensi
peradilan karena terintervensi oleh banyak kepentingan. Apabila DPR sebagai
lembaga negara yang anggotanya berasal dari partai politik mempunyai
kepentingan politik yang baik maka bisa diharapkan hasil hakim yang terpilih
adalah yang baik juga, namun hal yang berbeda akan terjadi apabila kepentingan
politik yang ada adalah tidak baik, maka hakim yang terpilih bisa saja
terbelenggu dengan kepentingan-kepentingan yang buruk tersebut.
Mekanisme pengangkatan hakim agung yang melibatkan DPR berpotensi
menghasilkan hakim-hakim yang tidak baik tergantung dari keadaan dan situasi
12
Diakses pada 9 September 2014 dari http://nasional.kompas.com/read/2014/02/04/1835263/
Komisi-III-Tolak-Semua-Calon-Hakim-Agung.
7
politik yang ada.13 Padahal hakim merupakan suatu pekerjaan yang sangat
memiliki tanggung jawab terhadap pelaksanaan hukum di suatu negara. Dalam
artian, hakim merupakan benteng terakhir dari penegakan hukum di suatu negara.
Oleh karena itu, apabila hakim di suatu negara memiliki moral yang sangat rapuh,
maka wibawa hukum di negara tersebut akan lemah atau terperosok.14
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materil dengan
perkara Nomor 27/PUU-XI/201315 untuk mengembalikan kewenangan DPR yang
awalnya memiliki kewenangan memilih calon hakim agung menjadi hanya
menyetujui calon hakim agung dan mengubah jumlah kuota calon Hakim Agung
yang diberikan KY kepada DPR untuk disetujui oleh DPR menjadi Hakim Agung
dari tiga (3) calon setiap satu lowongan menjadi satu (1) calon setiap satu
lowongan.
Uji materil tersebut diajukan karena mekanisme pengangkatan hakim
agung oleh DPR dalam ketentuan Undang-Undang KY dan Undang-Undang
Mahkamah Agung berbeda dengan yang disebutkan dalam Pasal 24A ayat (3)
UUD NRI 1945. Pasal tersebut menyebutkan kewenangan DPR adalah sebatas
13
Kewenangan DPR dalam Proses Seleksi Hakim Agung oleh Dio Ashar Wicaksana, peneliti
MaPPI FH UI dalam Fiat Justitia Vol. 1/No.2/Juni 2013, h. 8.
14
Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, cet.I, (Jakarta: Sinar Grafika,
2006), h. 114.
15
Pengujian Pasal 8 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 18
ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
8
memberikan “persetujuan” terhadap calon hakim agung yang diusulkan oleh
KY. Dengan demikian DPR tidak dalam kapasitasnya melakukan seleksi, untuk
kemudian “memilih” calon hakim agung yang diusulkan oleh KY.
Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, penulis berpendapat bahwa
berkaitan dengan hal tersebut maka penulis memilih judul sebagai berikut:
KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL DAN DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT DALAM PENGANGKATAN HAKIM AGUNG (Analisis Putusan
MK Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR)
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah merupakan hal yang penting bagi penelitian, karena
sebagai pembatas studi agar tidak melebar dan menjadi layak sehingga informasi
dan data yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang hendak diteliti.
Untuk menganalisa permasalahan utama tentang analisis yuridis terhadap
kewenangan KY dan DPR dalam pengangkatan hakim agung diperlukan data
yang relevan dan akurat. Oleh karenanya, penelitian ini dibatasi pada hal-hal yang
hanya berkaitan dengan kewenangan KY dan DPR dalam pengangkatan hakim
agung saja, sehingga pengumpulan data akan lebih terarah.
2. Rumusan Masalah
Mengacu
pada
latar
belakang
masalah
di
atas,
permasalahan yang ingin dikaji pada penelitian ini antara lain:
permasalahan-
9
1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memberi putusan Nomor 27/PUUXI/2013 tentang Seleksi Hakim Agung di DPR tersebut?
2. Bagaimana kewenangan Komisi Yudisial dan DPR dalam pengangkatan
Hakim Agung Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUUXI/2013 tentang Seleksi Hakim Agung di DPR?
3. Apa saja yang menjadi kendala Komisi Yudisial dan DPR dalam proses
seleksi Hakim Agung secara keseluruhan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian yang penulis harapkan adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pertimbangan Hakim Konstitusi dalam
memberi putusan Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Hakim
Agung di DPR.
2. Untuk mengetahui kewenangan Komisi Yudisial dan DPR dalam
pengangkatan Hakim Agung Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Hakim Agung di DPR.
3. Untuk mengetahui kendala apa saja yang dihadapi Komisi
Yudisial dan DPR terhadap proses seleksi Hakim Agung secara
keseluruhan.
10
Manfaat Penelitian
Dari rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, terdapat beberapa
manfaat yang ingin diperoleh oleh penulis. Manfaat tersebut terbagi menjadi
dua kelompok, yaitu:
1) Manfaat Teoritis
a. Untuk lebih memperkaya khasanah ilmu pengetahuan baik di
bidang hukum pada umumnya maupun di bidang Hukum
Kelembagaan Negara pada khususnya.
b. Untuk dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum
secara teoritis, khususnya bagi Hukum Tata Negara mengenai
Kewenangan Komisi Yudisial dan DPR dalam Pengangkatan
Hakim Agung.
c. Untuk menjadi pedoman bagi pihak yang ingin mengetahui dan
mendalami tentang Kewenangan Komisi Yudisial dan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dalam
Pengangkatan Hakim Agung.
2) Manfaat Praktis
a. Penulis mengharapkan agar memberikan sumbangan pemikiran
mengenai aspek Hukum Tata Negara khususnya mengenai
Kewenangan Komisi Yudisial dan DPR dalam Pengangkatan
Hakim Agung.
b. Agar hasil penelitian ini menjadi perhatian dan dapat digunakan
oleh semua pihak baik itu pemerintah, masyarakat umum maupun
11
semua pihak yang bekerja di bidang hukum, khususnya bidang
Hukum Tata Negara.
D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu
Dalam sebuah penelitian atau pembuatan skripsi, terkadang terdapat tema
yang berkaitan dengan tema yang kita ambil meskipun arah dan tujuan penelitian
tersebut berbeda. Dari penelitian ini, penulis menemukan beberapa sumber kajian
lain yang telah lebih dahulu membahas terkait dengan Kewenangan Komisi Yudisial
dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam Pengangkatan Hakim Agung. Diantaranya
adalah:
1. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Disusun oleh Ariawan Zaki Fandira, dengan judul
skripsi “Analisis Yuridis Kewenangan Komisi Yudisial Dalam
Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung”. Skripsi tersebut hanya
membahas tentang kewenangan Komisi Yudisial dan sangat sedikit
mrmbahas keterlibatan DPR dalam pengangkatan hakim agung,
sedangkan penulis membahas lebih rinci sinergitas Komisi Yudisial dan
DPR RI dalam proses pengangkatan Hakim Agung dan analisis putusan
Mahkamah Agung terbaru tentang penghapusan kewenangan DPR RI
dalam pengangkatan hakim agung.
2. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah,
disusun
oleh
Muhamad
Athoilah.
Dengan
judul
“Kewenangan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Terhadap
12
Pengangkatan Hakim Peradilan Agama (Analisis Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.” Skripsi
tersebut membahas pengangkatan hakim di lingkungan Peradilan Agama
saja. Sedangkan penulis membahas pengangkatan hakim agung di
lingkungan Mahkamah Agung.
3. Skripsi Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, disusun oleh Dwi
Wijonarko. Dengan judul “Implementasi Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial Mengenai Mekanisme
Perekrutan Hakim Agung Oleh Komisi Yudisial.” Skripsi tersebut
hanya membahas berkaitan dengan kewenangan Komisi Yudisial dalam
perekrutan hakim agung berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2004, sedangkan penulis melakukan analisis terhadap putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013.
4. Buku tentang Komisi Yudisial yang ditulis oleh A. Ahsin Thohari dengan
judul “Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan”. Perbedaannya
dengan penulis, penulis buku tersebut mengkaji maksud dibentuknya
Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia, serta
pentingnya menjaga kekuasaan kehakiman dari intervensi kekuasaan lain.
Kesimpulannya, penulis mencoba memberikan deskriptif analisis
yang lebih komperhensif dan aktual pada kajian penelitian Kewenangan
Komisi Yudisial dan Dewan Perwakilan dalam Pengangkatan Hakim
13
Agung dengan dikeluarkannya putusan mahkamah Konstitusi Nomor
27/PUU-XI/2013.
E. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya, untuk
kemudian mengusahakan pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang
timbul dalam gejala yang bersangkutan.16
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalahnya, tipe penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif,
yaitu penelitian yang dilakukan mengacu pada norma hukum yang terdapat pada
peraturan perundang-undangan dan keputusan pengadilan.17
Penelitian yuridis normatif adalah penelitian dengan melihat, menelaah
dan menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas
hukum yang berupa konsepsi, peraturan perundang-undangan, pandangan,
doktrin hukum dan system hukum yang berkaitan. Jenis penelitian ini
menekankan pada diperolehnya keterangan berupa naskah hukum yang berkaitan
dengan objek yang diteliti.18 Spesifikasi penelitian ini menggunakan tipe
16
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. XIV, (Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 2003), h. 43.
17
18
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cet.VI, (Jakarta: Kencana: 2010), h. 142.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
cet.XII, (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h. 52.
14
deskriptif analitis, yaitu penelitian yang disamping memberikan gambaran,
menuliskan dan melaporkan suatu objek atau suatu peristiwa juga akan
mengambil kesimpulan umum dari masalah yang akan dibahas.19
Dalam penelitian karya ilmiah dapat digunakan salah satu dari tiga bagian
grand methode yaitu, library research, ialah karya ilmiah yang didasarkan pada
literatur atau pustaka: field research, yaitu penelitian yang didasarkan pada
penelitian lapangan: dan bibliographic research, yaitu penelitian yang
memfokuskan pada gagasan yang terkandung dalam teori. Berdasarkan pada
subjek studi dan jenis masalah yang ada, maka dalam penelitian ini akan
digunakan metode library research atau penelitian kepustakaan. Lazimnya
disebut juga Legal Research atau Legal Research Instruction. Penelitian hukum
semacam ini tidak mengenal penelitian lapangan, karena yang diteliti adalah
bahan-bahan hukum sehingga dapat dikatakan sebagai library research.20
2. Pendekatan Masalah
Sehubungan dengan tipe masalah yang yang digunakan yaitu yuridis
normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundangundangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach).
Pendekatan perundang-undangan (statute approach) digunakan untuk
meneliti aturan-aturan yang penormaannya justru kondusif untuk mengetahui
19
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, cet. I, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2006), h. 11.
20
23.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, h.
15
lebih dalam mengenai kewenangan KY dan DPR dalam pengangkatan hakim
agung.21
Sedangkan pendekatan konseptual digunakan untuk memahami konsep
tentang kewenangan KY dan DPR dalam pengangkatan hakim agung sehingga
nanti akan diketahui dampak yang ditimbulkan dari kewenangan tersebut.
3. Sumber Data
Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua jenis, yaitu:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
sumber data. Diperoleh dengan mengadakan wawancara secara
langsung terhadap pihak yang dianggap perlu dan terkait oleh penulis.
Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang
berlangsung secara lisan di mana dua orang atau lebih bertatap muka
dan
mendengarkan
secara
langsung
informasi-informasi
atau
keterangan-keterangan.22 Dalam penelitian ini data primer diperoleh
melalui wawancara Kepala Sub Bagian Peningkatan
Kapasitas
Hakim di Biro Rekrutmen Advokasi dan Peningkatan Kapasitas
Hakim di Komisi Yudisial.
21
22
33.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 96.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, h.
16
b. Data Sekunder
Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier. Dengan penjabaran sebagai
berikut:
1) Bahan Hukum Primer
Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundanngundangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.23 Bahan
hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh
dari:
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal
24A ayat (3)
b) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung
c) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial
d) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung
e) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman
f) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR,
DPR, DPRD dan DPD
g) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tantang
Komisi Yudisial
h) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013
tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR
23
Ibid., h. 141
17
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan
hukum
sekunder
yang
digunakan
dalam
penelitian ini terdiri dari buku-buku hukum yang berkenaan
dengan KY dan DPR, buku-buku hukum lainnya, skripsi
hukum tata Negara, tesis hukum tata negara dan jurnal maupun
materi-materi mengenai hukum yang berkaitan dengan tema
Kewenangan KY dan DPR dalam Pengangkatan Hakim
Agung.
4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan, UUD
NRI 1945, peraturan perundang-undangan dan bahan materi lainnya penulis
uraikan dan hubungan sedemikian rupa sehingga disajikan dalam penulisan yang
sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Bahwa cara
pengolahan bahan hukum dilakukan secara mendalam tentang Kewenangan KY
dan DPR dalam Pengangkatan Hakim Agung selanjutnya dianalisa secara
mendalam sesuai dengan pendekatan yang digunakan.
F. Sistematika Penelitian
Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta 2012” dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing
bab terisi atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti.
Adapun perinciannya sebagai berikut:
18
BAB I :
PENDAHULUAN
Penulis akan mengemukakan mengenai : latar belakang
permasalahan,
rumusan
masalah,
tujuan
penelitian,
pembatasan masalah, metode penelitian serta sistematika
penulisan skripsi.
BAB II :
PENGANGKATAN HAKIM AGUNG OLEH KOMISI
YUDISIAL
DENGAN
PERSETUJUAN
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT
Penulis akan menguraikan tinjauan umum mengenai :
Pemisahan Kekuasaan Negara (Separation of Power),
Mekanisme Checks and Balances, Komisi Nasional
Sebagai Pilar Keempat Demokrasi, Teori Kewenangan,
Tugas
dan
Wewenangan
Komisi
Yudisial
dalam
Pengangkatan Hakim Agung, Kewenangan DPR dalam
Pengangkatan Hakim Agung serta Pengangkatan Hakim
dalam Perspektif Islam.
BAB
III : PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR
27/PUU-XI/2013
TENTANG
SELEKSI
HAKIM
AGUNG DI DPR
Penulis akan menguraikan mengenai: Kewenangan Komisi
Yudisial Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
27/PUU-XI/2013, Kewenangan DPR RI Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi
Nomor 27/PUU-XI/2013
Pertimbangan
Mahkamah
Hakim
Konstitusi
dan
dalam
Memberi Putusan Nomor 27/PUU-XI/2013.
BAB IV
: IMPLIKASI PEMILIHAN HAKIM AGUNG PASCA
TERBITNYA
PUTUSAN
MAHKAMAH
KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-XI/2013 TENTANG
19
PENGHAPUSAN
KEWENANGAN
DPR
UNTUK
MEMILIH HAKIM AGUNG
Penulis akan menguraikan analisis terhadap pembahasan
dari permasalahan yang ada, yaitu: Praktek-praktek
Persetujuan DPR Terhadap Pemilihan Pejabat Negara serta
Kendala yang dihadapi Komisi Yudisial dan DPR dalam
proses seleksi hakim agung secara keseluruhan.
Penulis akan menguraikan tentang hasil analisis yang
merupakan perumusan dari pembahasan yang dilakukan
pada
bab-bab
sebelumnya,
yang
merupakan
:
Kesimpulan dan Saran dari penulis sehubungan dengan
permasalahan yang telah diuraikan dalam penelitian.
20
BAB II
PENGANGKATAN HAKIM AGUNG OLEH KOMISI YUDISIAL DENGAN
PERSETUJUAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
A. Pemisahan Kekuasaan Negara (Separation of Power)
Pada umumnya, doktrin pemisahan kekuasaan berasal dari
Montesquieu dengan trias politica-nya dan diterapkan pertama kali oleh
The Framers of U.S. Constitution melalui proses penyaringan secara selektif
dari teori Montesquieu dan dipadukan dengan visi dan pengalaman
bernegara mereka yang berciri khas kebebasan politik dan supremasi
hukum.24
Menurut Montesquieu, dalam bukunya L‟Espirit des Lois (1748),
membagi kekuasaan negara dalam tiga cabang, yaitu : (1) kekuasaan
legislatif sebagai pembuat undang-undang, (2) kekuasaan eksekutif yang
melaksanakan, dan (3) kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif. Dari
kalsifikasi Montesquieu inilah dikenal pembagian kekuasaan negara modern
dalam tiga fungsi, yaitu legislatif (the legislative function), eksekutif (the
executive or administrative function) dan yudisial (the yudicial function).25
24
Gunawan A. Tauda, Komisi Negara Independen, cet. I, (Yogyakarta: Genta Press,
2012), h. 29.
25
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet. I, (Jakarta: Rajawali Pers,
2009), h. 283.
20
21
Sebelumnya, John Locke juga membagi kekuasaan negara dalam tiga
fungsi, tetapi berbeda isinya. Menurut John Locke, fungsi-fungsi kekuasaan
negara itu meliputi: a) Fungsi legislatif, b) Fungsi eksekutif dan c) Fungsi
federatif.26
Dalam bidang legislatif dan eksekutif, pendapat kedua sarjana itu
tampaknya mirip. Akan tetapi, dalam bidang yang ketiga pendapat mereka
berbeda. John Locke mengutamakan fungsi federatif, sedangkan Baron de
Montesquieu mengutamakan fungsi yudikatif.
Trias politika dalam sistem kekuasaan pemerintahan menjadi bahan
rujukan dan pilihan bagi negara-negara yang hendak membentuk
pemerintahannya sesuai kondisi dan kultur di negara masing-masing. Trias
politika adalah suatu prinsip normatif bahwa setiap cabang kekuasaan
sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah
penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.27
Doktrin yang murni pemisahan kekuasaan dirumuskan untuk
menentukan dan menjaga kebebasan politik dengan membagi kekuasaan
pemerintah ke dalam tiga cabang yakni, legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Masing-masing cabang pemerintah dibatasi pada pelaksanaan fungsinya
sendiri dan tidak diperbolehkan melanggar fungsi dari cabang-cabang yang
lain. Tidak ada individu yang diperbolehkan pada saat yang bersamaan
26
27
Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, h. 117.
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet. XXVIII, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2008), h.117.
22
menjadi anggota lebih dari satu cabang, sehingga masing-masing cabang
mengawasi (check) cabang yang lain dan tidak ada satu kelompok orang
yang mampu mengontrol mesin negara.28
B. Mekanisme Checks and Balances
Dapat diketahui bahwa UUD NRI 1945 tidak lagi dapat dikatakan
menganut paham trias politica Montesquieu secara mutlak, yang
memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial,
tanpa diiringi oleh hubungan saling mengendalikan satu sama lain.
Dengan perkataan lain, sistem baru yang dianut oleh UUD NRI
1945 adalah sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks and
balances. Jimly Asshiddiqie mengatakan, kalaupun istilah pemisahan
kekuasaan tadinya hendak dihindari, namun kita dapat saja menggunakan
istilah pemisahan kekuasaan (division of power) seperti yang dipakai oleh
Athur Mass, yaitu capital division of power untuk pengertian yang bersifat
horizontal, dan territorial division of power untuk pengertian yang bersifat
vertikal.29
Pemisahan kekuasaan dapat dipahami sebagai doktrin konstitusional
atau doktrin pemerintahan yang terbatas, yang membagi kekuasaan
pemerintahan ke dalam cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan
28
Romi Librayanto, Trias Politica Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, cet. I,
(Makassar: Pusat Studi Politik, Demokrasi, dan Perubahan Sosial, 2008), h. 23.
29
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 292.
23
yudikatif.30 Tugas kekuasaan legislatif adalah membuat hukum, kekuasaan
eksekutif bertugas menjalankan hukum, dan kekuasaan yudikatif bertugas
menafsirkan hukum.
Kemudian tidak dapat dipisahkan dengan pengertian ini adalah
checks and balances yang mengatakan bahwa masing-masing cabang
pemerintahan membagi sebagian kekuasaannya pada cabang lain dalam
rangka membatasi tindakan-tindakannya. Kekuasaan dan fungsi dari
masing-masing cabang adalah terpisah dan dijalankan oleh orang yang
berbeda, tidak ada organ tunggal yang dapat menjalankan otoritas yang
penuh karena masing-masing saling bergantung satu sama lain.31
Istilah checks and balances menurut Black‟s Law Dictionary,
diartikan sebagai : arrangement of governmental power whereby powers of
one governmental branch check or balance those of other brance.32
Berdasarkan pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa checks and balances
merupakan suatu prinsip saling mengimbangi dan mengawasi antar cabang
kekuasaan satu dengan yang lainnya.
Penerapan konsep pemisahan kekuasaan di zaman modern saling
mengkombinasi antara konsep pemisahan ataupun pembagian dengan
konsep checks and balances. Dalam hal ini, kekuasaan tidak dipisah (secara
238.
30
Romi Librayanto, Trias Politica Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, h. 87.
31
Ibid.
32
Henry Campbell Black, Black‟s Law Dictionary, (St. Paul Minn: West Publishing, page
24
tegas) tetapi hanya dibagi-bagi sehingga memungkinkan timbulnya
overlapping kekuasaan. Dalam teori
checks and balances, guna
penyeimbangan kekuasaan, memang dimungkinkan terjadinya overlapping
kekuasaan.33
Operasionalisasi dari teori check and balance menurut Fuadi, dapat
dilakukan melalui:34
1. Pemberian kewenangan terhadap suatu tindakan kepada lebih
dari satu cabang pemerintahan.
2. Pemberian kewenangan pengangkatan pejabat tertentu kepada
lebih dari satu cabang pemerintahan.
3. Upaya hukum dari cabang pemerintahan yang satu terhadap
cabang yang lainnya.
4. Pengawasan langsung dari satu cabang pemerintahan terhadap
cabang pemerintahan lainnya.
5. Pemberian kewenangan kepada pengadilan sebagai pemutus kata
akhir bila ada konflik kewenangan antara eksekutif dan
legislatif.
Hampir semua negara hukum yang demokratis dewasa ini memuat
konsep checks and balances pada konstitusinya, melalui penerapanpenerapan yang variatif. Sebagai contoh, konstitusi Republik Indonesia
menempatkan cabang kekuasaan eksekutif (Presiden) sebagai co-legislator
yang powerful. Selain berhak mengusulkan, Presiden juga membahas dan
menyetujui setiap rancangan undang-undang.
33
Gunawan A. Tauda, Komisi Negara Independen, h. 45.
34
Munir Fuadi, Teori Negara Hukum Modern, (Bandung: Refika Aditama, 2009), h. 124.
25
C. Komisi Nasional Sebagai Pilar Keempat Demokrasi
Doktrin trias politica Montesquieu yang mengandaikan bahwa tiga
fungsi kekuasaan negara harus tercermin pada tiga (3) jenis organ negara,
sering terlihat tidak relevan lagi untuk dijadikan rujukan. Di sisi lain,
perkembangan masyarakat baik secara ekonomi, politik dan sosial budaya
serta pengaruh globalisme, menghendaki struktur organisasi negara lebih
responsif terhadap perubahan, serta efektif dan efisien dalam melakukan
pelayanan publik dan mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan.35
Perkembangan tersebut berpengaruh pada struktur organisasi negara,
termasuk bentuk dan fungsi lembaga negara. Bermunculan lembagalembaga negara independen yang dapat berupa dewan (council), komisi
(commission), komite (committee), badan (board) atau otoritas (authority).
Lembaga-lembaga baru tersebut bisa disebut sebagai state auxiliary organs
sebagai
lembaga
negara
yang
bersifat
penunjang. 36
Salah
satu
kecenderungan bentuk ketatanegaraan Indonesia di masa transisi dan setelah
perubahan UUD 1945 adalah munculnya Komisi Negara Independen
(independen agencies) maupun lembaga struktural lainnya.
Komisi negara independen adalah organ negara (state organs) yang
diidealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan
eksekutif, legislaif maupun yudikatif, namun justru mempunyai fungsi dari
35
Romi Librayanto, Trias Politica Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, h. 66.
36
Gunawan A. Tauda, Komisi Negara Independen, h. 172.
26
ketiganya. Menurut Funk dan Seamon sebagaimana dikutip oleh Gunawan
A. Tauda, sebuah komisi independen tidak jarang mempunyai kekuasaan
quasi legislatif, quasi eksekutif dan quasi yudikatif. 37
Pada
tatanan praktik ketatanegaraan Indonesia, keseluruhan
lembaga-lembaga negara yang dikategorikan sebagai komisi negara
independen adalah yang memiliki karakteristik sebagaimana disebutkan
berikut ini:38
1. Dasar hukum pembentukannya menyatakan secara tegas
kemandirian atau independensi dari komisi negara independen
terkait dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
2. Independen,dalam artian bebas dari pengaruh, kehendak maupun
kontrol dari cabang kekuasaan lain.
3. Pemberhentian dan pengangkatan anggota komisi menggunakan
mekanisme tertentu yang diatur khusus, bukan semata-mata
kehendak Presiden.
4. Kepemimpinan komisi bersifat kolektif, jumlah anggota atau
komisioner bersifat ganjil dan keputusan diambil secara
majoritas suara.
5. Kepemimpinan komisi tidak dikuasai oleh partai politik tertentu.
6. Masa jabatan pemimpin komisi bersifat definitif, habis secara
bersamaan dan dapat diangkat kembali untuk satu periode
berikutnya.
Komisi Yudisial sebagai komisi independen merupakan lembaga
negara hasil amandemen ketiga UUD 1945 pada tahun 2001, tercantum
dalam Pasal 24B UUD NRI 1945 di mana KY bersifat mandiri yang
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
37
Ibid., h.173.
38
Ibid., h.175.
27
keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Sebagai implementasi putusan
tersebut diperlukan ketentuan turunan yang memuat lebih detail tentang
Komisi Yudisial. Maka, pada tanggal 13 Agustus 2004 disahkan UndangUndang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial di era
pemerintahan presiden RI Megawati Soekarnoputri.39
Merujuk pada ketentuan Pasal 24 ayat (4) UUD NRI 1945, maka
keberadaan KY pada hakikatnya merupakan badan lain yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan pasal tersebut, maka
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY melalui Pasal 2
menyatakan:
“Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri
dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau
pengaruh kekuasaan lainnya.”
Membaca ketentuan pasal tersebut menunjukan bahwa UndangUndang Nomor 18 Tahun 2011 menempatkan kedudukan KY sama dengan
lembaga-lembaga negara lain seperti MPR, DPR, MA dan MK. KY
dikonstruksikan bukan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Tetapi
lembaga ini dalam kewenangannya berkaitan erat dengan kekuasaan
kehakiman, terutama dalam menjaga kredibilitas para hakim yaitu melalui
39
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Kiprah 7 Tahun Komisi Yudisial RI: Menjaga
Keseimbangan Meneguhkan Kehormatan, (Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2012) h. 14.
28
pengusulan pengangkatan hakim dan dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.40
Untuk mendorong reformasi peradilan maka perlu dilahirkan suatu
lembaga mandiri yang mampu melakukan pengawasan terhadap kinerja
hakim dan rekruitmen hakim. Oleh karena itu dibentuklah suatu komisi
yang bernama Komisi Yudisial. Tujuan dibentuk Komisi Yudisial adalah
sebagai auxiliary organ dimana Mahkamah Agung adalah sebagai main
state organnya.41 Sehingga dari pengertian tersebut dapat ditegaskan bahwa
Komisi
Yudisial
dibentuk bukanlah sebagai
pelaksana
kekuasaan
kehakiman melainkan sebagai elemen pendukung dalam rangka mendukung
Mahkamah Agung untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman yang
merdeka, bersih dan berwibawa.
Apabila kita perbandingkan dengan sistem hukum di Prancis,
lembaga sejenis KY atau disebut Counseil Superiur de la Magistrature
(CSM) memiliki kewenangan untuk pengangkatan hakim bahkan mereka
juga mempunyai kewenangan hingga dalam memberikan pertimbangan
terhadap promosi, mutasi terhadap para seluruh hakim di Prancis. Tujuan
40
Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai
Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945, cet. I, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007) h. 108.
41
J. Djohansjah, Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independensi Kekuasaan
Kehakiman, cet.I, (Bekasi: Kesaint Blanc, 2008), h. 122.
29
dari sistem ini adalah agar adanya keseimbangan dari pihak eksekutif dan
yudikatif dalam melakukan pengangkatan hakim-hakim di Prancis.42
Selain itu, tujuan dari dibentuk KY juga sebagai sarana agar
masyarakat dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja
dan kemungkinan pemberhentian hakim. Sehingga diharapkan kekuasaan
kehakiman juga terjaga dari segi akuntabilitas dan independensi di hadapan
masyarakat. Oleh karena itu diharapkan melalui KY, aspirasi masyarakat
dapat dilibatkan di dalam proses pengangkatan Hakim Agung.
Meskipun kewenangan pengusulan Calon Hakim Agung diberikan
kepada KY, namun tetap saja KY tidak mempunyai kewenangan yang
begitu absolut dalam menentukan Hakim Agung yang terpilih, karena hasil
seleksi oleh KY nantinya akan diberikan kepada DPR untuk disetujui.
Sehingga proses seleksi Calon Hakim Agung ini bukanlah sebagai bentuk
monopoli dari KY saja, karena pada akhirnya KY tetap membutuhkan
institusi-institusi lainnya termasuk peran masyarakat untuk memberikan
masukan terkait calon-calon Hakim Agung yang akan diseleksi.
D. Teori Kewenangan
Sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang
dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan dan ilmu hukum. Kekuasaan
sering disamakan begitu saja dengan kewenangan dan kekuasaan sering
42
Rifqi Sjarief Assegaf, Kata Pengantar dari Komisi Yudisial Di Beberapa Negara Uni
Eropa, (Jakarta: LeIP, 2002), h. vi.
30
dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian juga sebaliknya.
Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan
biasanya berbentuk hubungan, dalam arti ada satu pihak yang memerintah
dan pihak lain yang diperintah (the rule and the ruled).43
Berdasarkan pengertian di atas, dapat terjadi kekuasaan yang tidak
berkaitan dengan hukum. Kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum
oleh Henc van Maarseven disebut sebagai blote match,44 sedangkan
kekuasaan yang berkaitan dengan hukum oleh Max Weber disebut sebagai
wewenang rasional atau legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu
sistem hukum ini dipahami sebagai suatu kaidah-kaidah yang telah diakui
serta dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang diperkuat oleh Negara.45
Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau
organ sehingga Negara itu dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan
(een ambten complex) di mana jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah
pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu berdasarkan
konstruksi subyek-kewajiban.46 Dengan demikian kekuasaan mempunyai
dua aspek, yaitu aspek politik dan aspek hukum, sedangkan kewenangan
43
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 36.
44
Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, cet. XVII, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2000), h. 30.
45
A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat
Indonesia, cet. V, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h. 52
46
Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, Makalah, (Yogyakarta:Universitas Islam
Indonesia, 2002), h. 39.
31
hanya beraspek hukum semata. Artinya, kekuasaan itu dapat bersumber dari
konstitusi, juga dapat bersumber dari luar konstitusi (inkonstitusional),
misalnya melalui kudeta atau perang, sedangkan kewenangan jelas
bersumber dari konstitusi.47
Terdapat perbedaan antara pengertian kewenangan (authority,
gezag) dan wewenang (competence, bevoegheid).48 Kewenangan adalah
apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan
yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya suatu
onderdeel (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di mana dalam dalam
kewenangan itu terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden).49
Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup
wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat
keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka
pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang
utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Secara yuridis,
pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.50
47
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik , h. 35.
48
Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan
Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, ( Bandung, Universitas Parahyangan, 2000), h. 22.
49
Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, cet. X, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
2002), h. 78.
50
Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, h. 65.
32
Dari berbagai pengertian kewenangan sebagaimana tersebut di atas,
penulis berkesimpulan bahwa kewenangan (authority) memiliki pengertian
yang berbeda dengan wewenang (competence). Kewenangan merupakan
kekuasaan formal yang berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang
adalah suatu spesifikasi dari kewenangan, artinya barang siapa (subyek
hukum) yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka ia
berwenang untuk melakukan sesuatu yang tersebut dalam kewenangan itu.51
Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan
dalam melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau
mengeluarkan keputisan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh
dari konstitusi secara atribusi, delegasi, maupun mandat. Suatu atribusi
menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar konstitusi. Pada
kewenangan delegasi, harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada
organ pemerintahan yang lain. Pada mandat tidak terjadi pelimpahan
apapun dalam arti pemberian wewenang, akan tetapi, yang diberi mandat
bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat, pejabat
yang diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama
mandator (pemberi mandat).
Berdasarkan uraian tersebut
penulis
akan membahas
tentang
kewenangan dua lembaga negara yang di amanatkan oleh UUD NRI 1945
51
A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat
Indonesia, h. 57.
33
dalam mekanisme pengangkatan hakim agung dalam hal ini adalah KY dalam
mengusulkan pengangkatan hakim agung berdasarkan uji kelayakan dan
kepatutan (fit and proper test) dan DPR dalam menyetujui pengusulan
pengangkatan hakim agung yang telah diusulkan oleh oleh KY.
E. Tugas dan Wewenang Komisi Yudisial dalam Pengangkatan Hakim
Agung
Sebagai lembaga yang lahir dari amanat UUD NRI 1945, KY
mempunyai tugas mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR.
Kewenangan tersebut secara detail terdapat dalam Pasal 24B ayat (1) UUD
1945. Kewenangan itu diperkuat dengan Pasal 13 huruf a Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (selanjutnya disebut UU Nomer 18
Tahun 2011) menyebutkan bahwa KY memiliki wewenang sebagai berikut:
1. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di
Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;
2. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim;
3. Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim
(KEPPH) bersama-sama dengan Mahkamah Agung;
4. Menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau
Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
Ketentuan lain juga menyebutkan KY berwenang menganalisis
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar
untuk melakukan mutasi hakim (Pasal 42 UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman) dan melakukan seleksi pengangkatan
34
hakim Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tata
Usaha Negara bersama MA (diatur dalam UU No. 49 Tahun 2009, UU
No. 50 Tahun 2009 tentang PA, dan UU No. 51 Tahun 2009 tentang
PTUN).52
Wewenang untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung
adalah wewenang yang dimiliki oleh KY untuk melakukan seleksi
terhadap calon hakim agung dan kemudian mengusulkannya kepada
DPR. Seleksi calon hakim agung merupakan kewenangan KY yang
dimaksudkan untuk mengisi kekosongan jabatan hakim agung yang
ditinggalkan hakim agung karena memasuki masa pensiun dan
meninggal dunia.
Sejak kehadiran KY, pengangkatan calon hakim agung di
samping berasal dari hakim karir, juga berasal dari non karir, seperti
praktisi hukum, akademisi hukum dan lain-lain selama memenuhi syarat
yang
ditetapkan
oleh
peraturan
perundang-undangan.53
Dalam
melaksanakan wewenang untuk mengusulkan pengangkatan hakim
agung dan hakim ad hoc, KY mempunyai tugas yang tercantum dalam
Pasal 14 UU Nomor 18 Tahun 2011, yaitu:
52
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Mengenal Lebih Dekat Komisi Yudisial, (Jakarta:
Pusat Data dan Layanan Informasi Komisi Yudisial, 2012), h. 24.
53
Sirajuddin dan Zulkarnain, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik: Menuju Peradilan
yang Bersih dan Berwibawa, cet. I, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), h. 80.
35
1.
2.
3.
4.
Melakukan pendaftaran calon hakim agung;
Melakukan seleksi terhadap calon hakim agung;
Menetapkan calon hakim agung;
Mengajukan calon hakim agung ke DPR.
Pelaksanaan proses seleksi dilaksanakan dalam jangka waktu
paling lama enam (6) bulan sejak KY menerima pemberitahuan dari
MA mengenai lowongan hakim agung. Calon hakim agung yang dapat
mengikuti seleksi di KY dapat berasal dari MA, pemerintah dan
masyarakat. Berikut uraian proses seleksi calon hakim agung oleh KY:
1. Pendaftaran Calon Hakim Agung
Pendaftaran
seleksi
dilakukan
setelah
mendapat
pemberitahuan pengisian jabatan hakim agung dari MA. Maka
sesuai dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial, dalam jangka waktu paling lama 15 (lima
belas) hari sejak menerima pemberitahuan mengenai lowongan
hakim agung, KY mengumumkan pendaftaran penerimaan calon
hakim agung selama 15 (lima belas) hari berturut-turut.
Untuk mendaftar, seseorang harus memenuhi persyaratan
untuk dapat diangkat sebagai hakim agung sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah
36
Agung dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi
Yudisial sebagaimana diuraikan dalam tabel di bawah ini:54
Tabel 1
Persyaratan Hakim Agung
Hakim Karier
Non Karier
1
Warga Negara Indonesia
1
Warga Negara Indonesia
2
Bertakwa Kepada Tuhan Yang
Maha Esa
Berijazah megister di bidang
hukum dengan dasar sarjana
hukum atau sarjana lain yang
yang mempunyai keahlian di
bidang hukum
Berusia sekurang-kurangnya 45
tahun
Mampu secara rohani dan
jasmani untuk menjalankan tugas
dan kewajiban
Berpengalaman paling sedikit 20
tahun menjadi hakim, termasuk
paling sedikit 3 tahun menjadi
hakim tinggi, dan
Tidak pernah dijatuhi sanksi
pemberhentian sementara akibat
melakukan pelanggaran kode etik
dan/atau
pedoman
perilaku
hakim.
2
Bertakwa Kepada Tuhan Yang
Maha Esa
Berijazah doctor di bidang hukum
dengan dasar sarjana hukum atau
sarjana lain yang yang mempunyai
keahlian di bidang hukum
3
4
5
6
7
3
4
5
6
7
Berusia sekurang-kurangnya 45
tahun
Mampu secara rohani dan jasmani
untuk menjalankan tugas dan
kewajiban
Berpengalaman dalam profesi
hukum dan/atau akademisi hukum
sekurang-kurangnya 20 tahun, dan
Tidak pernah dijatuhi pidana
penjara
berdasarkan
putusan
pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5
tahun atau lebih.
Setelah masa pendaftaran ditutup, KY melakukan seleksi
persyaratan administrasi. Seleksi tahap ini dilakukan dengan cara
penelitian
terhadap
persyaratan
administrasi
calon
hakim
agung.kemudian KY mengumumkan daftar nama calon hakim
54
Komisi Yudisial Republik Indonesia, 8 Tahun Komisi Yudisial Mengukuhkan Sinergitas
Memperkokoh Kewenangan, (Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2013), h. 63.
37
agung yang lolos seleksi persyaratan administrasi dalam jangka
waktu paling lama 15 (lima belas) hari.
Sejak pengumuman kelulusan persyaratan administrasi
dilakukan, masyarakat diberikan kesempatan memberi informasi
ataupendapat terhadap calon hakim tersebut dalam jangka waktu
selama 30 (tiga puluh) hari. Setelah jangka waktu habis, KY
melakukan penelitian atas informasi atau pendapat tersebut juga
dalam jangka waktu 30 (tiga puluh hari).
2. Seleksi Calon Hakim Agung
Setelah melewati proses seleksi administrasi, calon hakim
agung akan menjalankan serangkaian seleksi meliputi: karya profesi,
pembuatan karya tulis di tempat, penyelesaian kasus hukum, profile
assessment, klarifikasi, pemeriksaan kesehatan, pembekalan dan
wawancara terbuka.55
a. Karya Profesi
Setiap calon wajib menyerahkan karya profesinya
kepada panitia, yang berupa: 1) bagi calon dari jalur
hakim karier menyerahkan putusan pengadilan tingkat
banding pada saat yang bersangkutan menjadi ketua atau
majelis dalam menangani dan memutus perkara. 2) bagi
55
Komisi Yudisial Republik Indonesia, 8 Tahun Komisi Yudisial Mengukuhkan Sinergitas
Memperkokoh Kewenangan, h. 64.
38
calon dari jalur non karier berprofesi jaksa, menyerahkan
tuntutan
jaksa
(dakwaan),
profesi
pengacara
menyerahkan pembelaan (pledoi), profesi akademisi dan
profesi
hukum
lainnya
menyerahkan
hasil
karya/publikasi ilmiah.56
b. Pembuatan Karya Tulis di Tempat
Pada proses ini para peserta seleksi diwajibkan
untuk membuat suatu karya tulis yang secara langsung
dikerjakan di tempat pelaksanaan dengan tema dan judul
yang telah ditentukan oleh panitia
c. Pendapat Hukum
Setiap calon wajib menjawab soal kasus Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) dan kasus
hukum
dalam
bentuk
membuat
putusan
kasasi/peninjauan kembali (judicial review) yang telah
disiapkan oleh panitia.57
d. Penilaian Kepribadian (Profile Assessment)
Dalam rangka mengukur dan menilai kelayakan
kepribadian calon hakim untuk diangkat menjadi hakim
agung, dalam proses ini dilakukan self assessment,
56
Ibid.
57
Ibid.
39
profile assessment, investigasi dan klarifikasi. Untuk
mengetahui track record calon hakim agung.58
e. Pemeriksaan Kesehatan, Pembekalan dan Wawancara
Terbuka
Calon yang telah lulus dari rangkaian seleksi
kualitas dan kepribadian tadi, akan mengikuti wawancara
terbuka yang meliputi: visi misi, komitmen dan program
jika terpilih, pemahaman Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim (KEPPH), wawasan dan pengetahuan
hukum serta klarifikasi LHKPN dan laporan dari
masyarakat.59
3. Mengajukan Calon Hakim Agung ke DPR
Usai menjalani serangkaian seleksi, berdasarkan Pasal 18 ayat
(4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi
Yudisial, dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari
terhitung sejak berakhirnya seleksi, KY berkewajiban untuk
menetapkan dan mengajukan tiga calon hakim agung kepada DPR
dengan tembusan disampaikan kepada Presiden.60
58
Ibid., 65
59
Ibid.
60
Sirajuddin dan Zulkarnain, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik: Menuju Peradilan
yang Bersih dan Berwibawa, h. 85.
40
Selanjutnya DPR menetapkan calon hakim agung kepada
Presiden dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari, dan keputusan
Presiden mengenai pengangkatan hakim agung ditetapkan dalam
jangka waktu paling lama 14 (empat belas) sejak Presiden menerima
nama calon yang diajukan DPR. 61
KY sebagai pengontrol dan penyeimbang kekuasaan
kehakiman diharapkan mampu menjamin terciptanya pengangkatan
hakim agung yang kredibel dan menjaga kontinuitas hakim-hakim
yang bertugas agar tetap teguh pada nilai-nilai moralitasnya sebagai
seorang hakim yang memiliki integritas dan kepribadian tidak
tercela,
jujur,
adil,
serta
menjunjung
tinggi
nilai-nilai
profesionalisme yang melekat padanya. 62
Wewenang ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya
politisasi pengangkatan hakim agung. Secara ilmiah, kekuasaan
politik Presiden dan parlemen selalu ingin mendudukan orangorangnya sebagai hakim agung. Jika bukan mengeliminasi, KY
diharapkan mampu meminimalisasi terjadinya politisasi itu.
Sebagaimana
61
62
diketahui
bahwa
sebelumnya
penentuan
dan
Ibid.
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam
UUD 1945, cet. IV, (Yogyakarta: FH UII Press, 2005), h. 52.
41
pengusulan pengangkatan hakim agung sebelumnya dilakukan oleh
DPR yang merupakan lembaga politik.
Penentuan hakim agung yang demikian tidak akan bisa
melepaskan diri dari kepentingan dan kekuatan politik di lembaga
tersebut. Konsekuensi yang ditimbulkan sudah dapat diduga, bahwa
hakim agung yang terpilih tersebut sedikit banyak akan membalas
jasa-jasa pemilihnya.
Permasalahan pengangkatan hakim agung di belahan dunia
manapun memang mengundang tarik ulur kekuasaan yang rumit.
Perlu diketahui bahwa mekanisme yang digunakan Indonesia
dengan pengusulan, persetujuan dan pengangkatan, sedikit banyak
memang mirip dengan mekanisme pengangkatan hakim agung pada
Supreme Court di Amerika Serikat. Di negeri tersebut, hakim agung
(yang notabene hanya 9 saja jumlahnya) akan diusulkan oleh
Presiden. Usulan presiden ini diperoleh melalui serangkaian proses
seleksi yang sangat ketat dan teliti, kemudian diajukan kepada
senat.63
Kandidat hakim agung yang diusulkan kepada senat,
prinsipnya hanya memerlukan konfirmasi dari lembaga tersebut,
dalam arti untuk disetujui atau tidak disetujui. Para kandidat akan
63
Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai
Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945, h. 121.
42
diminta pendapatnya mengenai suatu permasalahan, melalui Komisi
Kehakiman Senat (Senate Judiciary Committee). Dilihat dari sudut
pandang politik, dengar pendapat ini merupakan bagian dari
justifikasi senat kepada presiden sebagai pihak yang mengusulkan.
Komisi Kehakiman melakukan dengar pendapat dengan
kandidat hakim agung yang diusulkan oleh presiden dalam tiga (3)
tahapan yaitu investigasi, dengar pendapat publik dan tidak tertutup
kemungkinan dilibatkannya kelompok-kelompok masyarakat dan
profesi secara terbuka dalam rangka menggali informasi tentang
kandidat hakim agung termasuk untuk memberikan dukungan atau
penolakan
terhadap
kandidat.
Komisi
akan
menyampaikan
rekomendasinya kepada seluruh anggota senat untuk menyetujui
atau menolak.64
Senat kemudian membuka perdebatan atas rekomendasi
Komisi Kehakiman untuk mengambil kesimpulan. Meskipun
ideologi, pandangan hidup, filsafat hukum, visi politik atau pendapat
kandidat tentang kasus-kasus hukum kontroversial yang diketahui
melalui dengar pendapat tadi dapat menjadi bahan pertimbangan,
pada
kenyataannya
terdapat
faktor-faktor
lain
yang
ikut
dipertimbangkan oleh anggota senat, seperti pendapat anggota lain
yang berpengaruh, pendapat konstituennya, atau bahkan pendapat
64
Ibid., h. 122
43
orang-orang terdekatnya. Dalam hal ini, hasil dengar pendapat
Komisi Kehakiman tidak menjadi parameter utama, tetapi keputusan
senat lah yang berpengaruh.
Pengangkatan hakim melalui lembaga khusus (umumnya
disebut judicial councils) terjadi di beberapa negara. Tom Ginsburg
sebagaimana dikutip Saldi Isra dalam keterangannya sebagai saksi
ahli permohonan uji materil dengan perkara nomor 27/PUUXI/2013, menjelaskan bahwa keberadaan judicial councils bertujuan
untuk menjauhkan kekuasaan kehakiman dari intervensi politik.
Demi terciptanya peradilan yang mandiri dan akuntabel. Ruang
kekuasaan kehakiman yang perlu dijauhkan dari kepentingan politik
adalah: (1) fungsi pengangkatan; (2) promosi; dan (3) penindakan
hakim.65
Contoh yang menarik adalah Iraq. Syarat seorang hakim
adalah sebagai berikut: (1) lulus sarjana hukum dari sekolah hukum
yang terdaftar; (2) lulus dari Institut Kehakiman (judicial institute)
di Baghdad berupa pelatihan selama dua tahun; (3) Tiga tahun
pengalaman dalam praktik hukum, baik sebagai advokat atau
petugas peradilan yang telah terdaftar di judicial institute. Selain itu
terdapat syarat alternatif, yaitu: telah berpengalaman selama 10
65
Saldi Isra, dalam keterangannya sebagai saksi ahli permohonan uji materil dengan
perkara nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Hakim Agung di DPR, h. 21.
44
tahun dalam bidang hukum meskipun di bawah umur 45 tahun dapat
pula mencalonkan diri menjadi hakim.
Di Iraq, seluruh seleksi dilakukan oleh The Higher Judicial
Councils
(HJC, Dewan Yudisial
Tertinggi).
HJC bertugas
menominasikan kandidat hakim untuk kemudian dilantik oleh
lembaga politik yang telah ditentukan. Jumlah hakim yang akan
diseleksi oleh HJC berdasarkan kebutuhan dari pengadilan, baik
berdasarkan permintaan dari Ketua Pengadilan maupun dugaan
kebutuhan pengadilan oleh HJC itu sendiri. HJC akan bergerak
apabila anggaran seleksi hakim telah disetujui oleh parlemen.
Pemenuhan kebutuhan hakim berkaitan dengan kondisi ekonomi
pada saat itu. HJC, selain berwenang menyeleksi juga memiliki
kewenangan untuk memindahkan hakim ke peradilan-peradilan
yang mereka tentukan.66
Berdasarkan
dua
contoh
di
atas,
menurut
penulis
pengangkatan hakim agung di Amerika Serikat dan Iraq tidak
berbeda jauh dengan yang terjadi di Indonesia, masing-masing
negara memiliki komisi yang serupa dengan KY di Indonesia.
Hanya saja dalam proses pengajuannya, untuk di Amerika Serikat
calon hakim agung diusulkan oleh Presiden kemudian diajukan
kepada senat, kemudian Komisi Kehakiman Senat (Senate Judiciary
66
Ibid., h. 22.
45
Committee) yang akan melakukan dengar pendapat dengan kandidat
hakim agung, meskipun nantinya pendapat Komisi Kehakiman
Senat tidak dijadikan pertimbangan utama. sedangkan di Iraq,
seluruh seleksi dilakukan oleh The Higher Judicial Councils (HJC,
Dewan Yudisial Tertinggi) dan tugas parlemen hanya melantik
hakim agung terpilih.
F. Kewenangan DPR dalam Pengangkatan Hakim Agung
Proses pengangkatan hakim agung merupakan hal yang sangat
penting untuk menciptakan hakim yang memiliki profesionalitas, integritas
dan kualitas. Proses perekrutan hakim agung secara tegas dinyatakan dalam
pasal 24A ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan: “calon hakim agung
diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk
mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung
oleh presiden”
Dengan ketentuan itu, DPR selaku lembaga penampung aspirasi
rakyat mempunyai kewenangan untuk menentukan siapa yang tepat menjadi
hakim agung sesuai dengan aspirasi dan kepentingan rakyat untuk
memperoleh
kepastian
dan
keadilan.
Kewenangan
DPR
dalam
pengangkatan hakim agung ini berkaitan dengan fungsi pengawasan yang
dimilikinya, Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
46
tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD menyebutkan DPR mempunyai
fungsi: a) legislasi; b) anggaran; dan c) pengawasan.
Keterlibatan lembaga perwakilan rakyat dengan adanya hak untuk
memberikan atau tidak memberikan persetujuan ataupun pertimbangan ini
dapat disebut juga hak untuk konfirmasi (right to confirm) lembaga
legislatif. Dengan adanya hak ini, lembaga perwakilan dapat ikut
mengendalikan atau mengawasi kinerja para pejabat public dimaksud dalam
menjalankan tugas dan kewenangannya masing-masing agar sesuai dengan
ketentuan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.67
Konstitusi tidak menjelaskan secara lebih rinci tentang proses
perekrutan hakim agung. Mekanisme pemilihan hakim agung juga tidak
diatur secara eksplisit dalam tata tertib DPR Tahun 2009-2014. Keterlibatan
DPR dalam mekanisme perekrutan hakim agung diatur dalam pasal 6 huruf
p pada bagian tugas dan wewenang anggota Dewan Perwakilan Rakyat
yang menyatakan: “memberikan persetujuan calon hakim agung yang di
usulkan komisi yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh
presiden”
Selaras dengan hal tersebut, tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat
juga mengatur tentang mekanisme persetujuan yang dimaksudkan dalam
pasal 24A ayat (3) UUD 1945 dan pasal 6 huruf p pada tata tertib Dewan
67
Paimin Napitupulu. Menuju Pemerintahan Perwakilan, cet. I, (Bandung: PT. Alumni,
2007), h. 33.
47
Perwakilan Rakyat dalam perekrutan hakim agung, hal tersebut di atur
dalam pasal 191 ayat (1) dan (2) pada tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat
yang menyatakan:
1) Dalam hal peraturan perundang-undangan menentukan
agar DPR mengajukan, memberikan persetujuan, atau
memberikan pertimbangan atas calon untuk menjadwalkan
dan menugaskan pembahasannya pada komisi terkait.
2) Tata cara pelaksanaan seleksi dan pembahasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh komisi
yang bersangkutan, meliputi:
a. Penelitian administrasi,
b. Penyampaian visi dan misi,
c. Uji kelayakan (fit and proper test),
d. Penentuan urutan calon,
e. Diumumkan kepada publik
Adapun setelah melalui tahapan-tahapan tersebut atau dalam hal ini
adalah uji kelayakan (fit and proper test) selanjutnya dilakukan pemilihan
yang berdasarkan BAB XVII tentang tata cara pengambilan keputusan pada
tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat yang menyebutkan:
Pasal 275
Keputusan berdasarkan suara terbanyak diambil apabila keputusan
berdasarkan mufakat sudah tidak terpenuhi karena adanya pendirian
sebagian anggota rapat yang tidak dapat dipertemukan lagi dengan
pendirian anggota rapat yang lain.
Pasal 276
1) Pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak dapat dilakukan
secara terbuka atau secara rahasia.
2) Pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak secara terbuka
dilakukan apabila menyangkut kebijakan.
3) Pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak secara rahasia
dilakukan apabila menyangkut orang atau masalah lain yang
ditentukan dalam rapat.
48
Pada mekanisme pemilihan hakim agung di Dewan Perwakilan
Rakyat, proses pemilihan dilaksanakan dengan cara keputusan berdasarkan
suara terbanyak secara rahasia. Mekanisme dari pemilihan tersebut
dinyatakan pada Pasal 279 tentang tata tertib DPR:
1) Pemberian suara secara rahasia dilakukan dengan tertulis,
tanpa mencantumkan nama, tanda tangan, fraksi pemberi
suara, atau tanda lain yang dapat menghilangkan sifat
kerahasiaannya.
2) Pemberian suara secara rahasia dapat juga dilakukan
dengan cara lain yang tetap menjamin sifat kerahasiaan.
3) Dalam hal hasil pemungutan suara tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 277 ayat (2),
pemungutan suara diulang sekali lagi dalam rapat itu juga.
4) Dalam hal hasil pemungutan suara ulang, sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), tidak juga memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 245 ayat (1),
pemungutan suara secara rahasia, sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), menjadi batal.
Paparan ringkas di atas dimaksudkan untuk memberi gambaran
sekilas tentang persetujuan yang dimaksud pada pasal 24A ayat (3) UUD
1945 dalam tata tertib DPR. Sedangkan untuk kewenangan dalam memilih
calon hakim agung oleh DPR secara tegas di atur dalam Pasal 8 UU Nomor
3 Tahun 2009 tentang perubahan UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung yang menyatakan:
Pasal 8 ayat (2)
“calon hakim agung dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari
nama calon yang di usulkan oleh komisi yudisial”
49
Pasal 8 ayat (3)
“calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat 1 (satu) orang dari 3 (tiga) nama calon untuk
setiap lowongan”
Kewenangan untuk memilih calon hakim agung oleh DPR juga
secara tegas diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial. Posisi DPR sebagai lembaga legislatif hanya dirumuskan
dalam pasal 18 ayat (5) dan pasal 19 ayat (1).
Pasal 18 ayat (5)
”dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung
sejak seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir, komisi
yudisial menetapkan dan mengajukan 3 (tiga) orang nama hakim
agung kepada DPR untuk setiap 1 (satu) lowongan hakim agung,
dengan tembusan disampaikan kepada presiden”.
Pasal 19 ayat (1)
”DPR telah menetapkan calon hakim agung untuk diajukan kepada
presiden dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
diterima nama calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat
(5)”.
Rumusan pengangkatan calon hakim agung dalam undangundang ternyata berbeda dengan yang ada dalam UUD NRI 1945.
Pasal 8 Ayat (2), (3), (4), dan (5) UU No. 3 Tahun 2009 tentang
Mahkamah Agung dan Pasal 18 Ayat (4) dan Pasal 19 Ayat (1) UU
No. 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial, pada dasarnya
menyatakan calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi
Yudisial dipilih DPR 1 (satu) orang dari 3 (tiga) nama calon untuk
setiap lowongan.
50
Adanya ketentuan kuota tersebut ditengarai karena pola
pengangkatan calon hakim agung di DPR dilakukan dengan
pemilihan, di mana Anggota DPR memiliki pilihan (Option), yakni
1 orang untuk setiap 3 nama yang dicalonkan. Maka dari itu, DPR
merasa perlu untuk mengetahui keunggulan calon yang satu dengan
calon lainnya, karena dari sejumlah nama yang dicalonkan, hanya
ada beberapa orang yang akan dipilih sebagai hakim agung.
Dari
alur proses, pemberian persetujuan atau tidak
memberikan persetujuan terhadap calon hakim agung yang
diusulkan oleh KY dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:68
Pertama, KY menyampaikan surat kepada pimpinan DPR
yang berisi nama-nama calon hakim agung
Kedua, pimpinan DPR mensosialisasikan surat yang
disampaikan oleh KY kepada seluruh anggota DPR melalui rapat
paripurna DPR pada tahun sidang berjalan.
68
Tjatur Sapto Edy, makalah “Peran dan Tanggung Jawab DPR dalam Seleksi Calon
Hakim Agung”, Jakarta: 20 Mei 2014, h. 7.
51
Ketiga, rapat paripurna DPR menugaskan kepada Badan
Musyawarah untuk menjadwalkan dan menugaskan pembahasannya
kepada komisi terkait.
Keempat, sesuai dengan penugasan paripurna, Badan
Musyawarah mengadakan rapat Bamus/rapat konsultasi sebagai
pengganti rapat Bamus dengan menugaskan kepada Komisi III DPR
untuk melakukan pembahasan terhadap calon hakim agung yang
diusulkan oleh KY.
Kelima, Komisi III DPR mengadakan rapat intern untuk
membicarakan persiapan, perencanaan dan pembahasan dalam
memberi persetujuan terhadap calon hakim agung.
Keenam, berdasarkan rapat intern, Komisi III membentuk
Tim Kerja yang bertugas untuk menyusun jadwal, menetapkan tata
cara, maupun metode yang hasilnya disampaikan kepada rapat pleno
Komisi III untuk dibahas, disetujui dan ditetapkan.
Ketujuh, Komisi III menyampaikan jadwal kepada masingmasing calon hakim agung untuk mengikuti proses pembuatan
makalah sebagai salah satu instrument untuk melihat dan
mengetahui kecakapan, keahlian dan pengetahuan calon hakim
agung di mana judul makalah calon hakim agung telah ditentukan
oleh Komisi III secara acak.
52
Kedelapan, Komisi III meminta masukan, tanggapan dan
pendapat masyarakat terkait profil dan rekam jejak calon hakim
agung sebelum dibuka fit and proper test.
Kesembilan, Komisi III melakukan fit and proper test di
hadapan seluruh angota Komisi III, yang materinya berupa
pemaparan visi misi, program, klarifikasi atas laporan masyarakat
dan proses pendalaman dalam tanya jawab.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013
tentang seleksi calon hakim agung di DPR tidak merubah alur proses
pemberian persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap
calon hakim agung di DPR karena putusan ini hanya menghapuskan
kewenangan DPR yang semula memilih calon hakim agung menjadi
hanya menyetujui calon hakim agung yang diausulkan KY dengan
tetap memperhatikan mekanisme yang tercantum dalam Bab XVII
tata tertib DPR.
Putusan tersebut juga mengubah mekanisme pengajuan calon
hakim agung ke DPR yang awalnya KY menetapkan dan
mengajukan 3 (tiga) calon hakim agung kepada DPR untuk setiap 1
(satu) lowongan hakim agung, pada putusan tersebut KY
menetapkan dan mengajukan 1 (satu) calon hakim agung kepada
DPR untuk setiap 1 (satu) lowongan hakim agung.
53
G. Pengangkatan Hakim dalam Perspektif Islam
Al-Quran menggunakan kata hakama ketika Allah memerintahkan
Nabi menjadi hakim yaitu melakukan tugas menegakkan hukum dan
keadilan di tengah-tengah manusia. 69 Sebagaimana dalam Al-Quran:
              
                
Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di
muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan
adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat
darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka
melupakan hari perhitungan.(Q.S. Shaad: 26)
Pada masa permulaan Islam, yang menjadi hakim adalah Rasulullah
SAW dan bisa dikatakan bahwa Rasul merupakan hakim pertama dalam
Islam. Oleh sebab itu semua permasalahan yang terjadi pada saat itu
langsung
diselesaikan
langsung
olehnya.
Dalam
menyelesaikan
permasalahan yang dihadapkan kepadanya Rasul berpegang pada apa yang
telah diturunkan oleh Allah SWT.70
Seiring perkembangan dan kemajuan Islam, akhirnya tidak dapat
dipungkiri lagi bahwa perlu untuk mengangkat hakim-hakim di daerahdaerah kekuasaan Islam. Juga karena banyaknya permasalahan hukum yang
69
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, cet. I, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2012), h. 88.
70
Ibid., h. 89.
54
terjadi di masyarakat sehingga membutuhkan untuk segera diselesaikan.
maka urusan peradilan di daerah-daerah diserahkan kepada penguasapenguasa yang dikirim ke daerah itu. Akhirnya Rasulullah mengizikan
sahabatnya untuk bertindak selaku hakim. Hal ini merupakan petunjuk
untuk memisahkan antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Hakim-hakim
yang pernah diangkat oleh Rasulullah adalah Muadz bin Jabal sebagai
hakim di Yaman, Attab bin Asid sebagai hakim di Makkah.71
Begitu pula pada masa Umar bin Khattab, saat menjadi khalifah
beliau sekaligus juga menjadi hakim. Dan dalam perkembangannya Umar
pun mengangkat orang lain untuk menjadi hakim seiring dengan
perkembangan politik, sosial, dan ekonomi. Pada masa Umar ini pertama
kali dipisahkan antara yudikatif dan eksekutif. Oleh karena tugas peradilan
adalah kewenangan umum dari kepala negara, maka menjadi wewenangnya
untuk mengangkat hakim-hakim.
Saat itu hakim hanya diberi kewenangan menangani perkara perdata
saja. Sedangkan untuk perkara pidana tetap ditangani oleh khalifah sendiri,
atau oleh penguasa daerah. Khalifah juga selalu mengawasi tindakan para
penguasa daerah dan hakim-hakimnya, serta selalu memberi petunjuk dan
71
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, cet. V, (Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra, 2005), h. 10.
55
bimbingan. Bahkan di masa itu sempat dibuat undang-undang yang dikenal
dengan “Dustur Umar” yang menjadi dasar asasi bagi peradilan Islam.72
Dalam mengangkat hakim, para penguasa berpedoman pada kriteria
tertentu. Di antara kriteria itu adalah hakim diangkat dari orang yang
banyak ilmu, yang takwa kepada Allah, wara‟, adil, dan cerdas. Hakimhakim yang diangkat oleh penguasa mempunyai hak otonomi dan
kebebasan penuh. Putusan-putusannya tidak dipengaruhi oleh Khalifah.
Sebagai wakil dari kepala negara, hakim tetap melaksanakan tugasnya
untuk memeriksa dan mengadili seandainya yang terlibat dalam perkara itu
adalah khalifah.73
72
Ibid., 11.
73
Ibid., 15.
56
BAB III
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-XI/2013
TENTANG SELEKSI CALON HAKIM AGUNG DI DPR
A. Kewenangan Komisi Yudisial dan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUUXI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR
1. Kewenangan Komisi Yudisial Pasca Putusan
Setelah keluarnya putusan MK Nomor 27/PUU-XI/2013
tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR, pada dasarnya tidak
ada kewenangan KY yang berubah. Kewenangan KY tetap tetap
sama seperti yang tercantum dalam Pasal 13 UU KY, yaitu:
Komisi Yudisial mempunyai wewenang:
a. mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc
di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan
persetujuan;
b. menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim;
c. menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim
bersama-sama dengan Mahkamah Agung; dan
d. menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau
Pedoman Perilaku Hakim.
Dari hasil putusan tersebut, KY hanya merubah kuota calon
hakim agung yang nantinya akan diserahkan kepada DPR, dari 3
(tiga) calon hakim agung untuk setiap 1 (satu) lowongan, menjadi 1
(satu) calon hakim agung untuk setiap 1 (satu) lowongan hakim
56
57
agung. Sesuai dengan amar putusan MK pada bagian 5 (lima) angka
1.7 dan 4, yaitu:74
Pasal 8 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
selengkapnya menjadi:
(2) Calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama
calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial.
(3) Calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat 1 (satu) orang dari 1 (satu)
nama calon untuk setiap lowongan.
(4) Persetujuan calon hakim agung sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari
sidang terhitung sejak tanggal nama calon diterima
Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial selengkapnya menjadi:
74
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim
Agung di DPR Pengujian Pasal 8 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung dan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. h. 53.
58
“Dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari
terhitung sejak berakhirnya seleksi uji kelayakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial menetapkan dan
mengajukan 1 (satu) calon hakim agung kepada DPR untuk setiap 1
(satu) lowongan hakim agung dengan tembusan disampaikan
kepada Presiden”.
2. Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pasca Putusan
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-XI/2013 telah
memangkas kewenangan DPR dalam Pasal 8 ayat (2), ayat (3) dan
ayat (4) Undang-Undang Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2009
serta Pasal 18 ayat (4) UU KY karena dipandang bertentangan
dengan norma Pasal 24A ayat (3) UUD 1945. Dengan adanya
putusan ini, kewenangan DPR bukan lagi memilih calon hakim
agung yang diusulkan KY, tetapi sekedar memberi persetujuan atas
calon yang diajukan.
Proses transformasi pengisian jabatan hakim agung memang
sangat dinamis dan mengalami perubahan yang signifikan.
Semangat perubahan ini tentu harus dimaknai sebagai wujud
perkembangan demokrasi Indonesia yang sudah maju, di mana
pengisian jabatan publik seperti hakim agung tidak didasarkan pada
penunjukan tetapi melalui suatu proses pemilihan. Keadaan ini tentu
sebagai respon atau sarana koreksi untuk melahirkan pejabat publik
yang berintegritas, professional dan memiliki keahlian dan kapasitas
59
pengetahuan yang mumpuni
dalam mewujudkan kekuasaan
kehakiman yang merdeka dan tidak memihak.
Penulis merasa sangat perlu untuk mencari dan menemukan
makna persetujuan dengan menggunakan sudut pandang sistematika
peraturan perundang-undangan. Pertama, UUD 1945 melalui Pasal
24A ayat (3) menegaskan bahwa calon hakim agung diusulkan oleh
KY kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan. Kemudian, Pasal
24A ayat (3) memberikan ruang yuridis untuk pengaturan lebih
lanjut mengenai susunan dan kedudukan Mahkamah Agung,
termasuk pula prosedur pelaksanaan dari Pasal 24A ayat (3)
tersebut. Atas dasar itu, lahirlah UU Mahkamah Agung yang telah
dua kali mengalami perubahan, terakhir dengan UU No. 3 Tahun
2009.
Penulis lebih mengkhususkan untuk melihat ketentuan dalam
Pasal 8 ayat (2), (3) dan (4) UU No. 3 Tahun 2009, karena ketentuan
tersebut yang menjadi pokok inti terdapatnya indikasi pergeseran
penjabaran makna persetujuan oleh DPR. Terlebih dahulu ayat (2)
menjelaskan bahwa calon hakim agung dipilih oleh DPR dari nama
calon yang diusulkan oleh KY. Kemudian, ayat (3) mempertegas
bahwa calon hakim agung yang diusulkan KY tersebut dipilih 1
(satu) orang dari 3 (tiga) nama calon untuk setiap lowongan.
60
Ketentuan pada ayat (3) tersebut menghendaki adanya proses
pemilihan oleh DPR terhadap calon hakim agung yang diusulkan
oleh KY. Proses itu sebenarnya memiliki pijakan logika yuridis
yang kuat karena di sisi lain KY mengajukan 3 (tiga) nama calon
untuk setiap lowongan. Artinya, sebelum memberikan persetujuan,
pembentuk undang-undang menghendaki DPR untuk melakukan
pemilihan terlebih dahulu. Singkatnya, jika terdapat 2 (dua)
lowongan hakim agung, maka KY mengusulkan 6 (enam) nama,
untuk dipilih 2 (dua) diantaranya.
Sebagaimana yang disampaikan DPR melalui Sarifuddin
Sudding,75 bahwa Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B ayat (1) UUD
NRI 1945 telah mengatur secara umum dan tegas mekanisme
pegangkatan hakim agung, yaitu diusulkan oleh Komisi Yudisial
kepada
DPR-RI
untuk
mendapatkan persetujuan, kemudian
ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. Lanjutnya, bahwa
frasa untuk mendapatkan persetujuan DPR terhadap calon hakim
agung yang diusulkan Komisi Yudisial dalam Pasal 24A ayat (3)
UUD
NRI
1945
bermakna
DPR
mempunyai
kewenangan
konstitusional untuk dapat memberikan persetujuan atau tidak dapat
memberikan persetujuan terhadap calon hakim agung yang
75
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim
Agung di DPR, h. 37.
61
diusulkan oleh KY tidak serta-merta harus disetujui oleh DPR.
Harus ada proses penilaian, harus ada proses pemilihan untuk dapat
disetujui atau tidak dapat disetujui oleh DPR.
Apakah persetujuan DPR yang dimaksudkan oleh Pasal 24A
UUD NRI 1945 harus dengan proses pemilihan? Apakah pembentuk
undang-undang menghendaki penjabaran makna yang sama antara
persetujuan dan pemilihan? Secara terminologi tentu tidak. Ada
baiknya kita melihat perbandingan penggunaan kata persetujuan dan
pemilihan dalam konteks kewenangan yang dimiliki oleh DPR.
Penulis menemukan perbedaan penggunaan kata persetujuan dan
pemilihan tersebut dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), terkhusus pada Pasal 71 tentang
tugas dan wewenang DPR. Lihat bagan berikut:
Tabel 2
Klasifikasi Tugas dan Wewenang DPR
Dalam Pasal 71 UU MPR, DPR, DPD, dan DPR
Persetujuan
Pemilihan
Persetujuan
Bersama
(DPR dengan
Presiden)
Pertimbangan
Huruf b
Huruf g
Huruf j
Huruf o
Huruf p
Huruf r
Huruf a
Huruf m
Huruf k
Huruf d
Huruf q
Huruf l
Huruf e
62
Keterangan :
 Pasal 71 huruf b : Memberikan persetujuan atau tidak
memberikan persetujuan terhadap Perppu yang diajukan
Presiden untuk menjadi undang-undang.
 Pasal 71 huruf g : Memberikan persetujuan atas RUU APBN
yang diajukan oleh Presiden, setelah dibahas bersama
terlebih dahulu.
 Pasal 71 huruf j : Memberikan persetujuan kepada Presiden
untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian dengan negara lain, serta membuat perjanjian
internasional lainnya.
 Pasal 71 huruf o : Memberikan persetujuan kepada Presiden
atas pengangkatan dan pemberhentian anggota KY.
 Pasal 71 huruf p : Memberikan persetujuan calon hakim
agung yang diusulkan oleh KY.
 Pasal 71 huruf r : Memberikan persetujuan terhadap
pemindahtanganan
aset
negara
yang
menjadi
kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan dan terhadap perjanjian yang berakibat luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara.
 Pasal 71 huruf m : Memilih anggota BPK dengan
memperhatikan pertimbangan DPD.
 Pasal 71 huruf q : Memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi.
 Pasal 71 huruf a : Persetujuan bersama dalam hal
pembentukan undang-undang.
 Pasal 71 huruf d : Persetujuan bersama dalam pembentukan
undang-undang, termasuk tehadap RUU yang diajukan oleh
DPD.
 Pasal 71 huruf e : Persetujuan bersama dalam pembentukan
undang-undang, terhadap RUU yang diajukan DPR atau
Presiden yang berkaitan dengan otonomi daerah,
 Pasal 71 huruf k : Memberikan pertimbangan kepada
Presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi.
 Pasal 71 huruf l : Memberikan pertimbangan kepada
Presiden dalam hal mengangkat duta besar dan menerima
penempatan duta besar.
Dari bagan tersebut, dapat dilihat bahwa pembentuk undangundang sendiri menggunakan istilah persetujuan dan pemilihan
dalam batasan tugas dan wewenang DPR. Bahkan untuk lebih
63
mempertegas,
terdapat
istilah
persetujuan
bersama
dan
pertimbangan. Penggunaan istilah-istilah tersebut tentunya bukan
tanpa maksud dan tujuan yang jelas. Cara termudah untuk
menegaskan bahwa terdapat perbedaan antara persetujuan dan
pemilihan, ialah dengan melihat tugas dan wewenang DPR dalam
konteks yang lebih spesifik, yakni dalam hal pengangkatan anggota
lembaga negara.76
Pada pengangkatan hakim agung dan anggota KY, DPR
memiliki wewenang untuk memberikan persetujuan, sedangkan
pada pengangkatan anggota BPK dan hakim konstitusi, DPR
memiliki
wewenang
sederhananya, jika
untuk
melakukan
pemilihan.
Logika
pembentuk undang-undang menginginkan
mekanisme yang sama untuk keempat jabatan tersebut, mengapa
tidak digunakan istilah yang sama untuk semua jabatan yang
dimaksud.
Pembentuk undang-undang justru menggunakan istilah yang
berbeda yakni persetujuan dan pemilihan. Artinya, memang
peruntukan dan pemaknaan istilah persetujuan berbeda dengan
pemilihan, khususnya dalam konteks wewenang DPR dalam proses
76
Anggota lembaga negara yang dimaksud ialah anggota Komisi Yudisial (huruf o),
Hakim Agung (huruf p), anggota Badan Pemeriksa Keuangan (huruf m), dan Hakim Konstitusi
(huruf q).
64
pengisian jabatan negara, terlebih lagi pada wewenang lain yang
dimiliki
DPR.
Sehingga
seharusnya,
istilah
“mendapatkan
persetujuan DPR” dalam proses pengisian jabatan hakim agung
tidaklah dapat disama-artikan dengan pemilihan.
Inkonsistensi atau keragu-raguan pembentuk undang-undang
dalam memaknai Pasal 24A ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, pada
UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD
(MD3), tetap digunakan istilah “memberikan persetujuan”, tetapi
dalam UU Mahkamah Agung dan UU KY justru menggunakan
istilah “dipilih oleh DPR”.
Setelah dicermati,
pemaknaan persetujuan mengalami
pergeseran ke arah pemilihan disebabkan karena adanya ketentuan
lain yang mengatur bahwa KY mengusulkan 3 (tiga) nama calon
untuk setiap lowongan, yakni Pasal 18 ayat (5) UU Nomor 18
Tahun 2011 tentang KY, yang dijadikan dasar pengaturan
pengangkatan hakim agung dalam UU No. 3 Tahun 2009 tentang
Mahkamah Agung. Dari ketentuan tersebut, DPR memandang
bahwa
perlu
dilakukan
proses
pemilihan
untuk
kemudian
menentukan calon hakim agung yang nantinya akan disetujui dan
ditetapkan sebagai hakim agung.
Padahal, konsep persetujuan sendiri memiliki proses yang
berbeda dengan konsep pemilihan. Hal ini sebagaimana diuraikan oleh
65
Khusnu Abadi,77 bahwa ketentuan pengisian jabatan publik dengan
mempergunakan frasa memperoleh persetujuan DPR mempunyai
pengertian dan makna hanya memberikan pilihan kepada DPR untuk:
a) Memberikan persetujuan, atau
b) Menolak, atau tidak memberikan persetujuan dengan
kewajiban pihak yang mengusulkan untuk mengusulkan
calon yang baru.
Dari penjelasan tersebut, kita menemukan perbedaan mendasar
konsep persetujuan dengan pemilihan, artinya kandungan makna dan
tujuan pada ketentuan Pasal 24A ayat (3) UUD NRI Tahun 1945
memang berbeda dengan kandungan pada Pasal 8 ayat (2), (3), dan (4)
UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
Meskipun MK telah mengurangi kewenangan DPR yang
terdapat pada ketentuan perundang-undangan, yang tidak lagi
melakukan proses pemilihan tetapi sekedar memberi persetujuan,
namun demikian DPR tetap melakukan fit and proper test. Proses fit
and proper test tersebut tentu harus dipahami dan dilakukan dalam
konteks memberi persetujuan atau tidak memberi persetujuan
77
Khusnu Abadi menyampaikannya dalam keterangan sebagai ahli pada perkara Pengujian
UU Mahkamah Agung dan UU Komisi Yudisial di Mahkamah Konstitusi, pada hari Kamis, 16 Mei
2013. Dalam menjelaskan konsep tersebut, Khusnu Abadi mengutip dan membandingkan berbagai
ketentuan pengisian jabatan publik yang berkenaan dengan makna frasa persetujuan DPR, seperti
pengangkatan Kapolri, pengangkatan Panglima TNI, pengangkatan gubernur, deputi gubernur
senior, dan deputi gubernur Bank Indonesia.
66
terhadap calon hakim agung yang diusulkan oleh KY, bukan dalam
kaitan memilih calon hakim agung yang diusulkan KY. 78
Dalam relasi kekuasaan negara, proses politik yang
dilakukan oleh DPR tentu tidak bisa dinafikan sebab konstitusi
sudah memberi kewenangan konstitutif yang bersifat atribut dalam
memberi persetujuan atau tidak memberi persetujuan terhadap calon
hakim agung yang diusulkan KY.
B. Pertimbangan Hakim Konstitusi dalam Memberi Putusan Nomor
27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR
1. Kewenangan Mahkamah
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili permohonan a
quo berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1)
huruf a Undang-Undang 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan Pasal 29
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan
Kehakiman,
di
mana
salah
satu
kewenangan
konstitusional MK adalah mengadili pada tingkat pertama dan
78
. Tjatur Sapto Edy, makalah Peran dan Tanggung Jawab DPR dalam Seleksi Calon
Hakim Agung , (Jakarta: 20 Mei 2014), h. 6.
67
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UndangUndang terhadap UUD.
Sedangkan Pengujian yang dimohonkan oleh para Pemohon
adalah Pasal 8 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU MA dan Pasal 18
ayat (4) UU KY, terhadap Pasal 24A ayat (3), dan Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945, maka MK berwenang untuk mengadili permohonan
tersebut.
2. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon
Menurut hukum acara pengujian Undang-Undang pada
Mahkamah Konstitusi, legal standing adalah kemampuan subyek
hukum untuk memenuhi persyaratan menurut Undang-Undang
untuk mengajuan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap
UUD kepada Mahkamah Konstitusi.79 Legal standing merupakan
adaptasi dari istilah personae in judicio yang artinya adalah hak
untuk mengajukan gugatan di depan pengadilan.80
Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang dapat
mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD
1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
79
Arifin, Firmansyah. Julius Wandi. Merambah Jalan Pembentukan Mahkamah Konstitusi
di Indonesia, cet. I, (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, 2003) h. 11.
80
Harjono, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa: Pemikiran Hukum Dr. Harjono, S.H.,
M.C.L. Wakil Ketua MK, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,
2008) h. 176.
68
konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh
berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok
orang yang mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;
Para Pemohon dalam pengujian Pasal 8 ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) UU MA dan Pasal 18 ayat (4) UU KY, terhadap Pasal
24A ayat (3), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yaitu Dr. Made
Dharma Weda, S.H., M.H., Dr. RM. Panggabean, S.H., M.H dan Dr.
ST. Laksanto Utomo, SH., MH. adalah warga negara Indonesia yang
mempunyai kepedulian dan hak konstitusional untuk berpartisipasi
dalam menegakkan hukum secara nyata dengan menjadi hakim
agung pada Mahkamah Agung (MA) namun gagal pada proses fit
and proper test di DPR. Para Pemohon mendalilkan telah dirugikan
dengan berlakunya Pasal 8 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU MA,
dan Pasal 18 ayat (4) UU KY yang menyatakan:

Pasal 8 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU MA:
(2) Calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi
Yudisial.
(3) Calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi
Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat 1 (satu)
69
(4)

orang dari 3 (tiga) nama calon untuk setiap
lowongan.
Pemilihan calon hakim agung sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama
30 (tiga puluh) hari sidang terhitung sejak
tanggal nama calon diterima Dewan Perwakilan
Rakyat.
Pasal 18 ayat (4) UU KY yang menyatakan:
Dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas)
hari terhitung sejak berakhirnya seleksi uji kelayakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial
menetapkan dan mengajukan 3 (tiga) calon hakim agung
kepada DPR untuk setiap 1 (satu) lowongan hakim
agung dengan tembusan disampaikan kepada Presiden.
Menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 24A ayat
(3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan:

Pasal 24A ayat (3):
Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial
kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan
persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim
agung oleh Presiden.

Pasal 28D ayat (1):
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Alasan Pemohon pada pokoknya sebagai berikut:
a. Para Pemohon adalah warga negara Indonesia yang
mempunyai kepedulian dan hak konstitusional untuk
berpartisipasi dalam menegakkan hukum secara nyata,
dengan menjadi hakim agung di Mahkamah Agung (MA);
b. Bahwa untuk melaksanakan hak konstitusionalnya tersebut,
para Pemohon pernah mendaftar dan dinyatakan lulus pada
beberapa tahapan seleksi yang dilakukan oleh Komisi
Yudisial (KY). Pemohon II sudah beberapa kali mengikuti
70
seleksi yang sama dan telah diusulkan oleh KY kepada
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mendapatkan
persetujuan, akan tetapi oleh karena dalam UU MA
memberikan wewenang kepada DPR untuk memilih calon
hakim yang diusulkan oleh KY, DPR bukannya memberikan
persetujuan sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 24A
ayat (3) UUD 1945, tetapi melakukan pemilihan, sehingga
Pemohon II tidak dipilih oleh DPR;
c. Bahwa Undang-Undang yang menjadi objek permohonan
para Pemohon telah memberikan kewenangan kepada DPR
untuk memilih calon hakim agung yang sudah dinyatakan
lolos dan diusulkan oleh KY telah merugikan hak
konstitusional Pemohon II yang juga berpotensi merugikan
hak konstitusional Pemohon I dan Pemohon III apabila
mendaftarkan diri kembali sebagai calon hakim agung
karena para Pemohon akan berhadapan dengan
ketidakpastian hukum dalam pengisian lowongan hakim
agung.
Berdasarkan dalil para Pemohon yang telah disebutkan di
atas, MK berpendapat para Pemohon memenuhi kualifikasi sebagai
warga negara Indonesia yang memiliki hak konstitusional dan hak
konstitusionalnya tersebut dapat dirugikan dengan berlakunya Pasal
8 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU MA, dan Pasal 18 ayat (4) UU
KY. Oleh karena itu, para Pemohon memiliki kedudukan hukum
(legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo.
71
3. Pendapat
Hakim
Mahkamah
Konstitusi
tentang
Pokok
Permohonan
Para Pemohon mengajukan pengujian materiil Pasal 8 ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) UU MA, dan Pasal 18 ayat (4) UU KY
yang menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 24A ayat
(3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan alasan yang pada
pokoknya sebagai berikut:81
a. Mekanisme pengangkatan hakim agung dan kewenangan
DPR dalam UU MA dan UU KY yang diuji oleh para
Pemohon telah dirumuskan secara berbeda dan tidak
sesuai dengan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945, sehingga
menimbulkan ketidakpastian hukum bagi warga negara
Indonesia
yang
hendak
menggunakan
hak
konstitusionalnya untuk menjadi hakim agung,
khususnya para Pemohon;
b. Keterlibatan DPR dalam pengangkatan hakim agung
memang diatur dalam UUD 1945, akan tetapi
keterlibatan DPR tersebut hanya dalam bentuk
memberikan persetujuan terhadap calon hakim agung
yang diajukan oleh KY sebelum ditetapkan oleh Presiden
sebagai hakim agung, bukan dalam bentuk memilih calon
hakim;
c. Kewenangan DPR untuk memilih calon hakim agung
merupakan pelanggaran serius terhadap konstitusi karena
mekanisme pengangkatan hakim agung yang melibatkan
DPR telah diatur secara menyimpang oleh Pasal 8 ayat
(2), ayat (3) dan ayat (4) UU MA dan Pasal 18 ayat (4)
UU KY dari Pasal 24A ayat (3) UUD 1945, dan juga
menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap para
Pemohon dan hak setiap warga negara Indonesia;
d. Mekanisme calon hakim agung yang dipilih oleh DPR
berpotensi mengganggu independensi peradilan, karena
hal tersebut memungkinkan bagi DPR menolak caloncalon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial
dengan alasan tidak memenuhi jumlah yang disyaratkan
81
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim
Agung di DPR, h. 44.
72
oleh UU MA dan UU KY, atau DPR memilih calon
hakim agung yang dapat melindungi kepentingan partai
politik tertentu, dan juga membuka kesempatan kepada
DPR untuk mengulang kembali proses seleksi yang
sudah dilakukan oleh KY;
e. Pola pemilihan calon hakim agung yang dilakukan oleh
DPR, menimbulkan konsekuensi kepada KY untuk
mengajukan calon hakim agung Iebih dari jumlah calon
hakim agung yang dibutuhkan, yang mengharuskan KY
mengajukan 3 (tiga) calon hakim agung kepada DPR
untuk setiap lowongan hakim agung. Dalam praktiknya
hal tersebut cukup menyulitkan KY untuk memenuhi
jumlah calon hakim agung yang harus diajukan melebihi
dari jumlah hakim agung yang dibutuhkan, sehingga
mengganggu proses rekrutmen hakim agung itu sendiri.
Untuk membuktikan dalilnya para Pemohon mengajukan alat
bukti surat/tulisan serta ahli yaitu Zainal Arifin Mochtar, Saldi Isra,
dan Fajrul Falaakh.
Terhadap permasalahan konstitusional yang diajukan oleh
para Pemohon tersebut, MK memutuskan dalil para Pemohon
beralasan menurut
hukum
dan akhirnya
MK memutuskan
mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya, dengan
pertimbangan sebagai berikut:82
a. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menentukan, “Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan”. Salah satu cara untuk menjamin
independensi lembaga peradilan maupun hakim, UUD
1945 mengatur sedemikian rupa proses dan mekanisme
pengisian jabatan hakim agung, yaitu dengan
82
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim
Agung di DPR, h. 46.
73
menyerahkan pengusulan calon hakim agung kepada
suatu organ konstitusional yang independen yaitu KY
yang dibentuk berdasarkan UUD 1945. Latar belakang
pemberian kewenangan pengusulan calon hakim agung
kepada KY, tidak terlepas dari pengangkatan hakim
agung sebelum perubahan UUD 1945 berdasarkan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung yang menentukan bahwa hakim
agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara dari
calon yang diusulkan oleh DPR yaitu diusulkan masingmasing dua calon untuk satu posisi hakim agung.
Mekanisme tersebut dianggap tidak memberi jaminan
independensi kepada hakim agung, karena penentuan
hakim agung akan sangat ditentukan oleh Presiden dan
usul DPR yang kedua-duanya adalah lembaga politik.
Perubahan UUD 1945 dimaksudkan, antara lain,
memberikan jaminan independensi yang lebih kuat
kepada hakim agung, dengan menentukan mekanisme
pengusulan hakim agung yang dilakukan oleh suatu
lembaga negara yang independen pula, sehingga
pengaruh politik dalam proses penentuan hakim agung
dapat diminimalisasi. Dalam hal ini, UUD menghendaki
adanya peran minimal kekuatan politik dari lembaga
politik untuk menentukan hakim agung, agar hakim
agung benar-benar independen.
b. Putusan Mahkamah Nomor 005/PUU-IV/2006, tanggal
23 Agustus 2006, Mahkamah mempertimbangkan, antara
lain, “... di samping lembaga-lembaga negara yang
bersifat utama, atau yang biasa disebut sebagai lembaga
tinggi negara seperti dimaksud di atas, dalam UUD 1945
juga diatur adanya lembaga-lembaga negara yang
bersifat konstitusional lainnya seperti Komisi Yudisial,
Kepolisian Negara, Tentara Nasional Indonesia, bank
sentral, komisi pemilihan umum, dewan pertimbangan
presiden, dan sebagainya. Namun, pengaturan lembagalembaga tersebut dalam UUD 1945, tidaklah dengan
sendirinya mengakibatkan lembaga-lembaga negara
yang disebutkan dalam UUD 1945 tersebut, termasuk
Komisi Yudisial, harus dipahami dalam pengertian
lembaga (tinggi) negara sebagai lembaga utama (main
organs).
74
Komisi Yudisial sebagai lembaga negara tidaklah
menjalankan salah satu fungsi kekuasaan negara
sebagaimana yang secara universal dipahami. Sebagai
komisi negara, sifat tugas Komisi Yudisial terkait dengan
fungsi kekuasaan kehakiman, yaitu dalam hubungan
dengan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Oleh karena
itu, keberadaan komisi negara yang demikian biasa
disebut sebagai „auxiliary state organs‟ atau „auxiliary
agencies‟ yang menurut istilah yang dipakai oleh
Soetjipno sebagai salah seorang mantan anggota PAH I
BP MPR dalam persidangan Mahkamah Konstitusi pada
tanggal 10 Mei 2006, Komisi Yudisial merupakan
„supporting element‟ dalam sistem kekuasaan kehakiman
(vide Berita Acara Persidangan tanggal 10 Mei 2006).
Namun, oleh karena persoalan pengangkatan hakim
agung dan persoalan kehormatan, keluhuran martabat,
dan perilaku hakim itu dianggap sangat penting, maka
ketentuan mengenai hal tersebut dicantumkan dengan
tegas dalam UUD 1945. Kedudukan Komisi Yudisial
ditentukan pula dalam UUD 1945 sebagai komisi negara
yang bersifat mandiri, yang susunan, kedudukan, dan
keanggotaannya
diatur
dengan
undang-undang
tersendiri, sehingga dengan demikian komisi negara ini
tidak berada di bawah pengaruh Mahkamah Agung
ataupun dikendalikan oleh cabangcabang kekuasaan
lainnya”.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, kedudukan
KY yang mandiri sebagai suatu komisi negara yang tidak
berada di bawah pengaruh Mahkamah Agung ataupun
tidak dikendalikan oleh cabang kekuasaan negara lainnya
menjadi sangat penting untuk menentukan calon hakim
agung.83
c. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi
Yudisial pada konsiderans (Menimbang), huruf b
menyatakan: “Komisi Yudisial mempunyai peranan
penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman
yang merdeka melalui pencalonan hakim agung serta
83
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim
Agung di DPR, h. 48.
75
pengawasan terhadapb hakim yang transparan dan
partisipatif guna menegakkan kehormatan dan keluhuran
martabat, serta menjaga perilaku hakim”.
KY telah melakukan serangkaian seleksi
administrasi dan seleksi terhadap kualitas dan
kepribadian seperti yang ditentukan dalam Pasal 15
sampai dengan Pasal 18 UU KY yang juga ikut
melibatkan masyarakat. Dari ketentuan tersebut di atas,
sangat jelas KY mempunyai tugas yang berat dalam
menjaring calon hakim agung yang berkualitas yang
diyakini mempunyai integritas yang tinggi terhadap
penegakan hukum dan keadilan di Indonesia.
Penjaringan calon hakim agung melalui seleksi
yang dilakukan oleh KY dalam mencari hakim agung
yang berintegritas dan berkualitas, menurut MK telah
sesuai dengan yang diamanatkan oleh UUD 1945
khususnya Pasal 24A ayat (2) yang menyatakan, “Hakim
agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang
tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di
bidang hukum”.
d. Pengusulan calon hakim agung kepada DPR untuk
mendapatkan persetujuan sebagaimana yang ditentukan
dalam Pasal 24A ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan,
“Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada
Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan
persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim
agung oleh Presiden”, merupakan pengusulan calon
hakim agung yang sudah melalui proses penyeleksian
sebagaimana yang telah diuraikan di atas, namun hal
tersebut tidak sinkron ketika pengaturan lebih lanjut dari
Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 tersebut yaitu dalam Pasal
8 ayat (2) UU MA yang menyatakan, “Calon hakim
agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih oleh
Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang
diusulkan oleh Komisi Yudisial”.
DPR sebagai lembaga politik bukan lagi
memberikan persetujuan kepada calon hakim agung yang
diusulkan oleh KY, namun DPR memilih nama calon
hakim agung yang diusulkan KY tersebut, yang
kemudian melakukan fit and proper test seperti yang
sudah dilakukan oleh KY, ditambah lagi dengan
76
wawancara yang dilakukan oleh DPR terhadap calon
hakim agung untuk menguji penguasaan ilmu hukumnya.
Padahal dalam risalah pembahasan perubahan
UUD 1945, khususnya mengenai pembentukan KY
dijelaskan bahwa tujuan pembentukan KY yang mandiri
adalah dalam rangka melakukan rekrutmen terhadap
hakim agung yang akan diusulkan kepada DPR untuk
disetujui dan ditetapkan oleh Presiden. Hal tersebut,
sebagaimana diungkapkan oleh Agun Gunanjar Sudarsa
(anggota PAH 1 BP MPR) dalam Rapat Pleno ke-38
PAH I BP MPR, tanggal 10 Oktober 2001, antara lain
menyatakan,84 “... dalam Pasal 24B ini, kami
menyatakan bahwa hakim agung diangkat dan
diberhentikan dengan persetujuan DPR atas usul Komisi
Yudisial. Nah, sehingga dengan kata-kata „dengan
persetujuan DPR‟, DPR itu tidak lagi melakukan fit and
proper test, DPR tidak lagi melakukan proses seleksi,
tetapi DPR hanya memberikan persetujuan atau menolak
sejumlah calon hakim agung yang diusulkan Komisi
Yudisial. Kembali kami menekankan, agar kekuasaan
kehakiman yang merdeka itu tidak terintervensi oleh
kepentingan-kepentingan politik”. Catatan risalah
perubahan UUD 1945, menjelaskan dengan sangat
gamblang makna dan kandungan Pasal 24A ayat (3)
UUD 1945 yang menyatakan, “Hakim agung diusulkan
Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk
mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan
sebagai hakim agung oleh Presiden”.
Dengan demikian, posisi DPR dalam penentuan
calon hakim agung sebatas memberi persetujuan tau
tidak memberi persetujuan atas calon hakim agung yang
diusulkan oleh KY, dan DPR tidak dalam posisi untuk
memilih dari beberapa calon hakim agung yang
diusulkan oleh KY sebagaimana diatur dalam UndangUndang a quo. Hal itu dimaksudkan agar ada jaminan
independensi hakim agung yang tidak dapat dipengaruhi
84
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Risalah Rapat Pleno Panitia Ad Hoc I BP MPR RI Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945, h. 506.
77
oleh kekuatan politik atau cabang kekuasan negara
lainnya.85
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut MK,
Pasal 8 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU MA, serta Pasal 18 ayat
(4) UU KY, telah menyimpang atau tidak sesuai dengan norma
Pasal 24A ayat (3) UUD 1945, karena ketentuan tersebut telah
mengubah kewenangan DPR dari hanya “memberikan persetujuan”
menjadi kewenangan untuk “memilih” calon hakim agung yang
diajukan oleh KY.
Demikian juga, ketentuan dalam kedua Undang-Undang a
quo, yang mengharuskan KY untuk mengajukan tiga calon hakim
agung untuk setiap lowongan hakim agung, juga bertentangan
dengan makna yang terkandung dalam Pasal 24A ayat (3) UUD
1945. Agar ketentuan kedua Undang-Undang a quo, tidak
menyimpang dari norma UUD 1945, menurut MK, kata “dipilih”
oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3)
harus dimaknai “disetujui” oleh Dewan Perwakilan Rakyat serta
kata “pemilihan” dalam ayat (4) UU MA harus dimaknai sebagai
“persetujuan”.
85
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim
Agung di DPR, h. 50.
78
Begitu juga frasa “3 (tiga) nama calon” yang termuat dalam
Pasal 8 ayat (3) UU MA dan Pasal 18 ayat (4) UU KY harus
dimaknai “1 (satu) nama calon”, sehingga calon hakim agung yang
diajukan oleh KY kepada DPR hanya satu calon hakim agung untuk
setiap satu lowongan hakim agung untuk disetujui oleh DPR.
79
BAB IV
IMPLIKASI PEMILIHAN HAKIM AGUNG PASCA PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-XI/2013 TENTANG
PENGHAPUSAN KEWENANGAN DPR UNTUK MEMILIH
HAKIM AGUNG
A. Praktek-Praktek Persetujuan DPR Terhadap Pemilihan Pejabat
Negara
Salah satu tugas lain yang diemban oleh DPR sesuai dengan
mandat peraturan perundang-undangan adalah pemilihan pejabat publik
yang lazimnya melalui mekanisme uji kepatutan dan kelayakan (fit and
proper test). Proses seleksi pejabat publik melalui mekanisme uji
kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) oleh DPR mulai diragukan
keefektifannya.
Hal tersebut dipicu oleh banyaknya kejadian buruk, seperti
praktik korupsi yang melibatkan pejabat publik hasil seleksi DPR,
seperti anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2003-2007
yang dijebloskan ke penjara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
karena dakwaan korupsi berupa penyuapan. Tidak lama kemudian,
Irawady Junus, mantan anggota KY ditangkap oleh KPK karena diduga
menerima suap dalam proyek pengadaan tanah. Terakhir, ditetapkannya
79
80
Syamsul Bahri sebagai tersangka kasus korupsi proyek KIMBUN di
Malang.86
Tahapan penentuan alat kelengkapan yang ditugaskan
dalam pengangkatan pejabat publik
Rapat
Paripurna
Bamus menentukan
jadwal dan komisi yang
membahas
Rapat
Komisi
Peran dan kewenangan DPR dalam proses pemilihan pejabat
publik dapat dikategorikan menjadi dua (2) kelompok.87 Pertama,
kelompok pejabat publik yang dalam pengangkatannya diusulkan,
dengan persetujuan, dan dipilih oleh DPR. Kelompok pejabat publik
itu dalam proses pencalonannya memerlukan persetujuan melalui
Rapat Paripurna DPR sebelum disampaikan kepada presiden untuk
diproses lebih lanjut. Kedua, kelompok pejabat publik yang dalam
pengangkatannya harus mendapatkan pertimbangan dari DPR atau
dikonsultasikan dengan DPR. Untuk kelompok itu, proses
pencalonannya tidak memerlukan persetujuan Rapat Paripurna DPR.
Hasil pertimbangan dari alat kelengkapan yang ditugaskan akan
langsung dikirim kepada presiden untuk diproses lebih lanjut.
86
Permasalahan Seleksi Pejabat Publik di DPR, diakses pada 20 Oktober 2014 dari
korankota.co.id/indeks.php/kolom/18/06/13/seleksi-pejabat-publikdiDPR
87
Rachmad Maulana Firmansyah, Catatan Kinerja DPR 2012: Fondasi Tahun Politik, cet.
I, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), 2013. h, 42.
81
Beberapa kegiatan DPR periode 2004-2009 dan periode 20092014 yang termasuk dalam kategori pengangkatan pejabat publik
dapat dilihat pada tabel di bawah ini:88
Tabel 3
Praktik Pengangkatan Pejabat Publik di DPR Perode
2004-2009 dan 2009-2014
Pertimbangan DPR
 Usul calon anggota
Komisi Pengawas
Persaingan Usaha
(KPPU)
periode
2006—2011
 Pemberian amnesti
dan abolisi kepada
semua orang yang
terlibat
dalam
Gerakan
Aceh
Merdeka (GAM)
 25 calon Duta Besar
Luar Biasa dan
Berkuasa Penuh RI
 Calon
anggota
Lembaga
Perlindungan Saksi
dan Korban (LPSK)
 Calon
anggota
Badan
Pengawas
Pemilu (Bawaslu)
 Kepala
Badan
Pelaksana Kegiatan
Hulu Minyak dan
Gas Bumi (BP
Migas)
88
Penolakan DPR


Calon
Gubernur Bank
Indonesia (BI)
Calon
hakim
agung periode I
tahun 2014
Persetujuan DPR
 Pencalonan anggota
Komisi
Penyiaran
Indonesia Pusat (KPI)
periode 2007—2010
 Pencalonan
hakim
agung
 Pencalonan anggota
Komisi Nasional Hak
Asasi
Manusia
(Komnas
HAM)
periode 2007—2012
 Pencalonan anggota
dan Ketua Komite
Badan Pengatur Hilir
Minyak dan Gas (BPH
Migas) masa jabatan
2007—2011
 Pencalonan anggota
Komisi Perlindungan
Anak
Indonesia
(KPAI) masa jabatan
2007—2010
 Pencalonan
Deputi
Gubernur BI
 Kantor
Akuntan
Publik (KAP) untuk
memeriksa
pengelolaan
dan
tanggung
jawab
keuangan
tahunan
BPK
Sekretariat DPR RI dan UNDP, Laporan Lima Tahun DPR RI 2004-2009: Mengemban
Amanat dan Aspirasi Rakyat, cet. I, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR RI), h. 18.
82
 Calon anggota BPK
(dari 7 menjadi 9
orang)
 Pencalonan
Deputi
Gubernur BI
 Pencalonan anggota
KPU
 Pencalonan pimpinan
KPK
 Pemberhentian
dan
pengangkatan
Panglima
Tentara
Nasional
Indonesia
(TNI)
 Penggantian
hakim
konstitusi
 KAP
untuk
memeriksa
pengelolaan
dan
tanggung
jawab
keuangan
tahunan
BPK
 Calon Gubernur BI
Sumber: Laporan Lima Tahun DPR RI 2004-2009: Mengemban Amanat
dan Aspirasi Rakyat
Keterlibatan DPR dalam pemilihan pejabat publik mendapat
ruang, paling tidak sejak berdirinya berbagai lembaga dan komisikomisi negara yang independen, terlepas dari cabang kekuasaan
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Lembaga negara non-struktural
itu menjalankan tugas-tugas tertentu berdasarkan undang-undang.89
Pengangkatan pejabat negara pada umumnya dilakukan melalui
proses tersendiri yang bersifat politis ketimbang mekanisme
pengangkatan berdasarkan karier yang berlaku bagi Pegawai Negeri
Sipil (PNS).
89
Ibid., h. 19.
83
Mencermati bagaimana DPR menjalankan proses uji
kelayakan dan kepatutan dalam pemilihan pejabat publik membawa
kita memperhatikan peraturan tatib dan implementasinya pula.
Paling tidak, saat pemilihan calon anggota KPK atau hakim
konstitusi misalnya, semua anggota Komisi III sepakat menjadikan
Pasal 152 Peraturan Tatib DPR sebagai acuan. Namun, aturan yang
dimaksud dan aplikasinya sering kali menghasilkan kualitas dan
integritas calon yang tidak terukur. Bahkan, dari segi proses, masih
belum menjamin transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas.90
Contohnya DPR tidak partisipatif dalam memberikan
kesempatan bagi publik untuk memberikan penilaian atau masukan
terhadap 18 calon hakim konstitusi usulan DPR. Komisi III
memberikan waktu yang sangat singkat, yaitu kurang dari 1 hari (+/10 jam). Informasi untuk memberikan penilaian dan masukan itu
hanya diumumkan di satu media cetak pada Kamis, 6 Maret 2008.
Sangatlah mustahil mengharapkan adanya masukan publik yang
memadai tentang rekam jejak calon mengingat waktu yang begitu
90
Ironi Wewenang DPR Menguji Pejabat Publik, diakses pada 12 November 2014 dari
www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f790eb2a598d/ironi-wewenang-dpr-menguji-pejabat-publik
84
singkat. Akibatnya, Komisi III tidak mengadakan klarifikasi
terhadap calon hakim konstitusi. Pertimbangannya adalah Komisi III
tidak mempunyai data untuk diklarifikasi.91
Sering kali, ketiadaan paramater yang jelas ditemukan dalam
proses pemilihan pejabat publik. Seperti yang terjadi pada proses
pemilihan hakim agung tahun 2014, di mana Komisi III DPR
menolak tiga (3) Calon Hakim Agung yang disodorkan Komisi
Yudisial. Penolakan itu didasari hasil voting yang dilakukan Komisi
III pada Selasa, 4 Februari 2014. Calon Hakim Agung Suhardjono,
Maria dan Sunarto ditolak dengan alasan tidak mempunyai kualitas
yang mumpuni dan kualitas ketiga calon tidak mengalami
peningkatan setelah tahun 2012 gagal dalam uji kelayakan dan
kepatutan seleksi hakim agung. 92
Selain penolakan terhadap tiga (3) calon hakim agung pada
Februari 2014, ambil saja contoh saat proses uji kelayakan dan
kepatutan hakim konstitusi pada 2008. Dalam UU MK, kriteria
hakim konstitusi telah diatur tetapi masih sebatas ukuran umum,
seperti istilah negarawan yang tidak dijabarkan secara lebih jelas.
91
92
Ibid.
Komisi III Tolak Semua Calon Hakim Agung, diakses pada 9 September 2014 dari
http://nasional.kompas.com/read/2014/02/04/1835236/Komisi.III.Tolak.Semua.Calon.Hakim.Agung
85
Oleh karena itu, pernyataan itu sulit ditafsirkan serupa dalam
penggunaannya sebagai parameter dalam proses seleksi.93
B. Kendala Proses Seleksi Hakim Agung
1. Kualitas Calon Hakim Agung
Salah satu yang menjadi kendala adalah dari kualitas para
calon hakim agung itu sendiri. Hasil evaluasi KY pada proses
seleksi terutama saat proses wawancara, mayoritas peserta calon
hakim agung lemah saat dihadapkan pada pertanyaan tentang
pengetahuan dasar. Hal tersebut mungkin dikarenakan para calon
hakim agung sudah terlalu lama bekerja secara praktis sebagai
hakim.94
Hakim Agung harus memiliki integritas dan potensi, dua
syarat inilah yang sulit ditemukan pada calon-calon yang diajukan.
Sering ditemukan calon yang memenuhi kualifikasi, kompetensi
tetapi integritasnya tidak cukup untuk menjadi hakim agung,
sebaliknya terdapat calon yang cukup berintegritas tetapi memiliki
kekurangan pada kompetensinya.95
93
Ironi Wewenang DPR Menguji Pejabat Publik, diakses pada 12 November 2014 dari
www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f790eb2a598d/ironi-wewenang-dpr-menguji-pejabat-publik
94
Calon Hakim Agung Minim Pengetahuan Dasar, diakses pada 15 Juli 2014 dari
m.republika.co.id/berita/nasional/hukum//14/07/12/n8lntq-wahcalon-hakim-agung-minimpengetahuan-hukum-dasar
95
Hakim Agung itu Harus manusia Paripurna, diakses pada 3 September 2014 dari
m.news.viva.co.id/news/read/537855—hakim-itu-harus-manusia-paripurna-
86
Aspek pengetahuan tentang hukum secara umum, teknis
yuridis termasuk pengetahuan tentang perundang-undangan dan
hukum acara dari para calon terkadang tidak cukup memuaskan.
Terlebih jika dikaitkan bahwa calon hakim agung nantinya
diharapkan tahu akan segala permasalahan hukum untuk mencapai
standar bahwa hakim seharusnya tahu akan hukum (iuscuria novit).
Terdapat
perbedaan
yang
cukup
menonjol
terkait
dengan
pemahaman para calon tentang aspek hukum acara. Para hakim dari
karier terlihat cukup menguasai tentang teknis yuridis dan
pengetahuan tentang hukum cara. Sementara para calon non karier
masih jauh dari pemahaman tentang teknis yuridis, khususnya
hukum acara.96
Pengetahuan tentang perundang-undangan para calon juga
tidak ada yang menonjol, khususnya terhadap UU yang relatif baru.
Bahkan kadang terdapat calon yang lupa atau tidak mengetahui
tentang UU MA dan UU Kekuasaan Kehakiman. Meski demikian,
harus
96
juga
dikatakan
bahwa
latar
belakang
para
calon
Wawancara dengan Lina Maryani, SH (Kepala Sub Bagian Peningkatan Kapasitas
Hakim di Biro Rekrutmen Advokasi dan Peningkatan Kapasitas Hakim di Komisi Yudisial).
Jakarta, 8 September 2014.
87
mempengaruhi pengetahuan tentang perundang-undangan ini, sesuai
dengan lingkup pekerjaannya selama ini.97
Para calon hakim karier misalnya cukup memahami
bidangnya masing-masing, Sementara calon hakim non karier juga
demikian, cukup bisa menjawab pertanyaan tentang perundangundangan yang terkait dengan latar belakang keilmuannya. Para
calon dengan latar belakang akademisi biasanya cukup mampu
menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait dengan teori hukum.
Dalam menilai integritas dan kualitas para calon selama
proses wawancara secara komprehensif cukup sulit mengingat
bahwa tidak ada kesamaan mengenai pertanyaan yang diajukan,
meskipun pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat diklasifikasikan
dalam beberapa isu-isu penting. Berdasarkan isu-isu penting
tersebut, jawaban para calon akan menjadi landasan dalam penilaian
terhadap para calon. 98
Penilaian dilakukan dengan mengklasifikasikan dalam tiga
kategori yakni calon dalam kategori baik, sedang/rata-rata dan
kurang baik dari aspek integritas dan kualitasnya. Kategori baik
adalah para calon yang mempunyai integritas yang baik terkait
97
Wawancara dengan Bachrudin Nasori S.Si, MM (Anggota DPR Komisi III Fraksi PKB ).
Jakarta, 17 September 2014.
98
Yayasan Lembaga Bantuan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Memilih Hakim Agung
Terpilih: Laporan Pemantauan dan Analisa Proses Seleksi Hakim Agung, (Jakarta: YLBHI, 2013),
h. 19.
88
dengan aktivitas calon pada masa lalu yang tidak banyak
bermasalah,
pandangan
calon
tentang
profesi
hakim
dan
kemampuan calon dalam memahami hukum dan reformasi
peradilan. Kategori cukup mengacu pada integritas calon yang
biasa-biasa saja terkait aktivitas calon yang tidak luar biasa dan
kemampuan hukum yang rata-rata. Sementara kategori kurang
adalah para calon yang memiliki sejumlah permasalah terkait
dengan aktivitas calon dalam mejalankan profesinya dimasa lalu dan
pemahaman hukum, teknis yuridis dan pandangan tentang reformasi
peradilan yang lemah.99
Jumlah calon hakim juga terbatas, karena persyaratan
menjadi calon hakim agung minimal telah menjadi hakim tinggi
selama tiga (3) tahun. Dapat dipastikan delapan puluh persen (80%)
pelamar calon hakim agung sampai pada seleksi terakhir yang
dilakukan KY adalah calon yang sudah pernah melamar
sebelumnya. Jika seorang hakim sudah berusia 66 tahun, biasanya
orang tersebut enggan untuk mendaftar karena sedikit lagi akan
masuk masa pensiun. Mereka yang mendaftar calon hakim agung
rata-rata di bawah umur 50 tahun dan sedikit di atas 60 tahun.
Keterbatasan jumlah tersebut juga dikarenakan calon hakim yang
99
Ibid.
89
tidak lolos seleksi tidak diperbolehkan mengikuti seleksi di tahun
depan, tetapi harus menunggu selama satu tahun. Misalnya seorang
calon gagal pada seleksi Tahun 2012, dia baru bisa mengikuti
seleksi kembali pada Tahun 2014.100
2. Terbatasnya Alokasi Anggaran
Kata anggaran merupakan terjemahan dari kata budget dalam
bahasa Inggris. Definisi anggaran yang dibuat oleh The National
Committee on Governmental Accounting adalah sebagai berikut:
“A budget is a plan of financial operation embodying an
estimated of proposed expenditures for a given period of time and
the proposed means of financing them.”
Maksudnya adalah anggaran merupakan rencana operasional
keuangan yang mencakup suatu estimasi pengeluaran untuk suatu
jangka waktu tertentu sekaligus berisi juga usulan cara untuk
membiayai pengeluaran tersebut.101
Anggaran yang diterima KY dari APBN paling utama
dialokasikan untuk program dukungan manajemen dan pelaksanaan
tugas teknis KY demi meningkatkan dukungan teknis administratif
kepada KY di bidang pembiayaan kegiatan, peningkatan SDM,
akuntabilitas serta pelayanan publik, program peningkatan kinerja
100
Hakim Agung itu Harus manusia Paripurna, diakses pada 3 September 2014 dari
m.news.viva.co.id/news/read/537855-hakim-itu-harus-manusia-paripurna101
2002, h. 25.
Muhammad Gade, Akuntansi Pemerintahan, cet.I, (Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI),
90
seleksi hakim agung dan pengawasan perilaku hakim serta untuk
peningkatan sarana dan prasarana aparatur KY 102
Terbatasnya
alokasi anggaran yang diberikan pemerintah
menjadi kendala bagi KY. Seperti yang terjadi pada pertengahan
tahun 2014, KY sempat menghentikan proses seleksi calon hakim
agung dikarenakan kebijakan pemotongan anggaran. Pada Tahun
2014, alokasi anggaran yang diperoleh KY berjumlah 83, 75 miliar.
Namun,
berdasarkan
Inpres
No.
04
Tahun
2014
tentang
penghematan dan Pemotongan Belanja Kementrian dan Lembaga
dalam Rangka Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2014 , KY
mendapat nilai pemotongan anggaran sebesar 22,8 miliar oleh
pemerintah.
Maka proses yang sedang berjalan dihentikan
sementara karena ketiadaan dana pelaksanaan.103
Seharusnya KY melakukan 2 periode seleksi calon hakim
agung pada tahun ini, tetapi terkait penerbitan Inpres No. 04 Tahun
2014, proses seleksi harus dihentikan. Pemerintah tidak memikirkan
dampak buruk pemangkasan tersebut terhadap kegiatan utama di
setiap lembaga. Padahal di sisi lain KY dituntut untuk menghasilkan
kinerja yang baik tetapi penunjang perbaikan kerja yang semuanya
102
Alokasi Anggaran Kementrian/Lembaga Tahun 2014 Berdasarkan Program, diakses
pada 8 Desember 2014 dari pendanaan.bappenas.go.id/index.php
103
Anggaran Dipotong, KY Hentikan kegiatan Sementara, diakses pada 23 November 2014
dari komisiyudisial.go.id/berita-5306-anggaran-dipotong-ky-hentikan-kegiatan-sementara
91
bergantung
pada
anggaran
justru
dipotong
dengan
alasan
penghematan.104
Efek dari terbatasnya anggaran ini berimbas ke banyak hal,
misalnya sosialisasi lowongan calon hakim agung menjadi tidak
maksimal karena untuk memasang iklan di berbagai media massa
membutuhkan dana yang tidak sedikit. Besarnya anggaran juga
berpengaruh pada jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) di KY.
Pada biro rekrutmen hakim misalnya, mereka masih mengalami
banyak kekurangan SDM sehingga setiap kali KY membuka seleksi
calon hakim agung, biro lain juga ikut membantu.105
Begitu juga untuk menggerakkan penghubung-penghubung
di daerah untuk memantau rekam jejak hakim-hakim membutuhkan
biaya yang tidak sedikit. Tetapi meskipun terdapat keterbatasan dana
dan keterbatasan jumlah Sumber Daya Manusia (SDM), proses
harus tetap berjalan.106 Di bawah ini adalah tabel jumlah SDM yang
ada pada KY:
104
Wawancara dengan Lina Maryani, SH (Kepala Sub Bagian Peningkatan
Kapasitas
Hakim di Biro Rekrutmen Advokasi dan Peningkatan Kapasitas Hakim di Komisi Yudisial).
Jakarta, 8 September 2014.
105
Ibid.
106
Ibid.
92
Tabel 4
Jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) di KY Tahun 2013
Status Kepegawaian
N
o
Unit Kerja
Non
PNS
Eselon I
Eselon
II
Eselon
III
Eselon
IV
Non
Eselon
Jumlah
PIMPINAN DAN PARA KETUA BIDANG
1 Ketua
2
3
Merangkap
Anggota
Wakil
Ketua
merangkap
anggota
Ketua Bidang
Jumlah
1
1
1
1
5
5
7
0
0
0
0
0
7
SEKRETARIAT JENDERAL
1 Sekretaris
0
0
Jenderal
2 Biro
1
2
6
32
41
1
2
4
16
23
1
2
1
12
16
1
1
3
7
12
6 Biro Umum
1
2
7
40
50
7 Pusat Analisis
1
2
0
19
22
dan Layanan
Informasi
Jumlah
6
11
21
126
164
3
4
5
Pengawasan
Perilaku Hakim
Biro
Rekrutmen
Advokasi dan
Peningkatan
Kapasitas
Hakim
Biro
Investigasi
Biro Perencanaan
dan Kepatuhan
Internal
TENAGA LAINNYA (NON PNS)
1
Tenaga Ahli
16
16
2
Staf Khusus
3
3
93
3
Pegawai Tidak
tetap
3
3
4
Tenaga
Pengawalan
Pimpinan dan
Anggota
Jumlah
7
7
29
0
0
Jumlah Total
0
0
0
29
200
Sumber: 8 Tahun Komisi Yudisial Mengukuhka Sinergitas Memperkokoh Kewenangan,
Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2013.
3. Keterbatasan Waktu Pendaftaran
Pendaftaran seleksi calon hakim agung dilakukan setelah
mendapat pemberitahuan pengisian jabatan hakim agung dari MA.
Maka sesuai dengan Pasal 15 UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang
KY, dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari sejak
menerima pemberitahuan mengenai lowongan hakim agung, KY
mengumumkan pendaftaran penerimaan calon hakim agung selama
15 (lima belas) hari berturut-turut.107
Keterbatasan waktu ini juga merupakan kendala dalam
proses seleksi calon hakim agung. Sering terlambatnya surat
pemberitahuan pengisian jabatan dari MA, padahal menurut
peraturan seharusnya surat pemberitahuan tersebut sudah diberikan
kepada KY enam (6) bulan sebelum hakim pensiun, tetapi
prakteknya sering ada keterlambatan. Pengumuman pendaftaran
107
Wawancara dengan Lina Maryani, SH (Kepala Sub Bagian Peningkatan
Kapasitas
Hakim di Biro Rekrutmen Advokasi dan Peningkatan Kapasitas Hakim di Komisi Yudisial).
Jakarta, 8 September 2014.
94
selama 15 (lima belas) hari berturut-turut juga dirasa terlalu singkat
mengingat banyaknya syarat administrasi yang harus dipenuhi oleh
pendaftar.108
4. Proses Politik Pada Fit and Proper Test di DPR
Kekuasaan politik mempunyai energi yang cukup besar
untuk melakukan intervensi terhadap kekuasaan kehakiman.
Besarnya pengaruh kekuasaan politik ini dibuktikan bahwa setiap
penominasian hakim agung akan selalu mempunyai keterkaitan
dengan kalkulasi politik.
Proses pemilihan hakim agung merupakan proses yang
rentan dipolitisasi. Hal ini terkait posisi strategis seorang hakim
agung secara politik. Alhasil banyak kekuatan politik yang
berkepentingan dengan posisi tersebut. Sebagaimana dinyatakan
Christoper E Smith dalam Critical Judicial Nominations and
Political Change (1989), proses nominasi hakim agung akan selalu
diikuti dengan kontestasi kepentingan politik. Pihak-pihak terkait
seperti pemerintah, parlemen dan MA mempunyai tujuan politik
masing-masing.109
Anthony Blackshield dalam The Appointment and Removal
of Federal Judges (2005) seperti dikutip oleh Oce Madril
108
109
Ibid.
Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat (ELSAM), 2004) h, 24.
95
menggambarkan tiga (3) pola politisasi:110 Pertama, pemerintah atau
parlemen memilih hakim agung yang memiliki sikap politik sama
dengan mereka. Kedua, calon hakim agung itu sendiri merupakan
anggota parlemen dan aktif dalam partai politik. Ketiga, pemilihan
hakim agung atas dasar balas jasa politik. Tiga pola politisasi ini
yang menyebabkan independensi hakim dan peradilan terganggu.
Hakim dan peradilan dibuat tunduk kepada kepentingan politik
sehingga independensi dan imparsialitas hakim dalam memutus
perkara akan dipertanyakan.
Sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, MA
seharusnya bersih dari segala muatan politik apapun bentuknya.
Namun jika dalam proses pengangkatan hakim agung melibaktkan
DPR yang merupakan lembaga politik maka dikhawatirkan akan
mempengaruhi independensi hakim agung yang dipilih oleh DPR
dalam membuat suatu putusan kelak di MA.
Pihak DPR sendiri merasa ketakutan tersebut tidak cukup
beralasan. DPR adalah lembaga perwakilan yang oleh sistem
perwakilan modern harus melalui partai politik. Fenomena yang
kerap terjadi adalah calon hakim agung yang berkualitas tidak lolos
seleksi di DPR, sebaliknya yang tidak berkualitas bisa diloloskan,
110
Oce Madril, Bunga Rampai Komisi Yudisial: Membumikan Tekad Menuju Peradilan
Bersih, (Jakarta: Gramedia, 2011), h. 333.
96
lalu dicurigai adanya praktek suap menyuap antara DPR dan calon
hakim agung yang tidak berkualitas tersebut. Kecurigaan ini pula
yang mendaari pemangkasan kewenangan di DPR.
Pihak DPR berpendapat hal ini tidak perlu terjadi seandainya
KY mampu menyeleksi calon hakim agung yang berintegritas untuk
diajukan kepada DPR. Pada saat penolakan tiga (3) calon hakim
agung yaitu Suhardjono, Maria Anna dan Sunarto sebenarnya ketiga
calon tersebut adalah calon yang pernah diajukan kepada Komisi III
DPR dan ditolak. Dengan tidak disetujuinya ketiga calon hakim
tersebut DPR mengharapkan KY dapat melakukan perbaikan dalam
rekrutmen calon hakim agung yang akan datang.111
Mereka menganggap tidak ada satupun ketentuan putusan
MK yang menyatakan DPR tidak boleh melakukan fit and proper
test. Mekanisme seleksi calon hakim agung berdasarkan fit and
proper test diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR,
DPR, DPD dan DPRD (MD3) dan tata tertib DPR.112
DPR juga menganggap metode wawancara yang digunakan
dalam fit and proper test oleh DPR selama ini dinilai efektif dalam
seleksi calon hakim agung. Tujuan dari wawancara tersebut salah
111
Wawancara dengan Bachrudin Nasori S.Si, MM, (Anggota DPR Komisi III Fraksi PKB
). Jakarta, 17 September 2014.
112
Ibid.
97
satunya adalah untuk memperlihatkan kepada masyarakat umum
tentang integritas dan kualitas para calon hakim agung dan
diharapkan masyarakat dapat aktif bertanya kepada para calon dan
dapat mendengar sendiri jawabannya. Semua proses bersifat
transparan dan dapat diliput oleh media.113
DPR merasa harus ikut menilai kelayakan hakim agung
karena tidak ingin dianggap sebagai lembaga yang sekedar memberi
cap stempel persetujuan, karena perlu diingat pula bahwa seleksi
hakim agung berpindah tangan dari Presiden ke DPR itu karena
maksud reformasi yang hendak mengurangi kekuasaan presiden.
Oleh karenanya menurut pandangan DPR hal tersebut adalah
menjadi
legal
policy
pembentuk
Undang-Undang
untuk
mengaturnya dalam Undang-Undang, sebagaimana diamanahkan
Pasal 24A ayat (5) UUD Tahun 1945 yang berbunyi “Susunan,
kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta
badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang”.
113
Ibid.
98
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan
hasil
penelitian
ini,
maka
dapat
dikemukakan beberapa kesimpulan dari permasalahan yang dibahas:
1. Putusan MK No. 27/PUU-XI/2013 menyatakan kewenangan DPR
dalam proses pengisian jabatan hakim agung kembali pada
kewenangan yang diberikan langsung oleh konstitusi, yakni sebatas
memberikan persetujuan terhadap calon hakim agung yang diusulkan
oleh Komisi
Yudisial.
MK dalam bagian pertimbangannya
mengatakan, dalam risalah pembahasan perubahan UUD 1945,
khususnya mengenai pembentukan KY dapat dibaca dengan jelas
bahwa tujuan pembentukan KY yang mandiri adalah untuk
melakukan pengangkatan terhadap hakim agung yang akan diusulkan
kepada DPR untuk disetujui dan ditetapkan oleh Presiden.
Sebagaimana diungkapkan Agung Gunanjar Sudarsana (Anggota
PAH 1 BP MPR) dalam Rapat Pleno Ke-38 Panitia Ad Hoc I Badan
Pekerja MPR, tanggal 10 Oktober 2001, berdasarkan kata „dengan
persetujuan DPR‟, DPR tidak perlu lagi melakukan proses seleksi
dan fit and proper test tetapi hanya memberikan persetujuan atau
menolak sejumlah hakim agung yang diusulkan KY.
MK
99
berpendapat, catatan risalah perubahan tersebut telah menjelaskan
dengan sangat gamblang makna Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 yang
menyatakan, “Hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada
Dewan Perwakilan Rakyat
untuk mendapatkan persetujuan dan
selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden”. dengan
demikian posisi DPR dalam penentuan calon hakim agung sebatas
memberi persetujuan atau tidak memberi persetujuan atas calon
hakim agung yang diusulkan KY
sebagaimana
diatur
dalam
undang-undang a quo. Hal itu dimaksudkan agar ada jaminan
independensi hakim agung yang tidak dapat dipengaruhi kekuatan
politik atau cabang kekuasaan negara lainnya.
2. Pasca Putusan MK Nomor 27/PUU-IX/2013, jika DPR menyatakan
setuju terhadap calon hakim yang diusulkan KY maka calon hakim
agung tersebut diajukan ke Presiden untuk diangkat sebagai Hakim
Agung. Kalaupun DPR tidak menyetujui calon hakim agung yang
diusulkan, maka KY dengan kewenangan yang dimiliki, dapat
melakukan proses ulang dari awal untuk menyeleksi dan mengajukan
nama calon hakim agung yang baru ke DPR hingga terpenuhinya
lowongan jabatan hakim agung yang dibutuhkan. Putusan MK
tersebut juga mengubah mekanisme pengajuan calon hakim agung ke
DPR yang awalnya KY menetapkan dan mengajukan 3 (tiga) calon
hakim agung kepada DPR untuk setiap 1 (satu) lowongan hakim
100
agung, pada putusan tersebut Komisi Yudisial menetapkan dan
mengajukan 1 (satu) calon hakim agung kepada DPR untuk setiap 1
(satu) lowongan hakim agung.
3. Kualitas calon hakim agung, terbatasnya
alokasi
anggaran,
keterbatasan waktu pendaftaran serta proses politik dalam fit and
proper test di DPR merupakan kendala-kendala yang dialami KY dan
DPR dalam proses pengangkatan hakim agung secara keseluruhan.
Mayoritas peserta calon hakim agung lemah saat dihadapkan pada
pertanyaan tentang pengetahuan dasar dan pengetahuan peraturan
perundang-undangan yang relatif baru. Latar belakang calon hakim
agung juga mempengaruhi pengetahun mereka, misalnya calon
hakim non karier cukup bisa menjawab pertanyaan tentang
perundang-undangan
yang
terkait
dengan
latar
belakang
keilmuannya, sedangkan para calon dengan latar belakang akademisi
cukup mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait dengan teori
hukum. Terbatasnya alokasi anggaran
berimbas pada tidak
leluasanya KY untuk mengoptimalkan kewenangannya dalam proses
pengangkatan hakim agung, sosialisasi lowongan calon hakim agung
menjadi tidak maksimal karena untuk memasang iklan di berbagai
media massa membutuhkan dana yang tidak sedikit, hal tersebut juga
mempengaruhi jumlah SDM pada KY dan jumlah penghubungpenghubung di daerah yang bertugas untuk memantau rekam jejak
101
hakim-hakim. Sementara keterbatasan waktu pendaftaran dapat
dikatakan sebagai kendala mengingat cukup banyak persyaratan
administratif yang harus dipenuhi calon hakim agung. Sementara
proses fit and proper test di DPR merupakan kendala yang banyak
menimbulkan pro dan kontra. Sebagai salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman, MA seharusnya bersih dari segala muatan politik apapun
bentuknya. Namun jika dalam proses pengangkatan hakim agung
melibaktkan
DPR
yang
merupakan
lembaga
politik
maka
dikhawatirkan akan mempengaruhi independensi hakim agung yang
dipilih oleh DPR dalam membuat suatu putusan kelak di MA
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut maka penulis memberikan saran sebagai
berikut:
1.
DPR sebagai lembaga yang menjalankan sebagian besar fungsi
legislasi nasional hendaknya memerhatikan asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik, agar produk legislasi yang
dihasilkan terjamin kualitas rumusan dan tujuannya, sehingga tidak
lagi timbul pemaknaan ganda atau penafsiran yang tidak sesuai
dengan kehendak UUD 1945.
2.
Hakim adalah pejabat negara yang merdeka dan independen dalam
melaksanakan tugasnya sehingga lembaga perekrut Hakim Agung
harusnya adalah lembaga yang jauh daripada kepentingan politik.
102
Kewenangan DPR yakni menyetujui atau tidak menyetujui (political
selection) calon Hakim Agung yang diusulkan KY diharapkan
dilaksanakan dengan mekanisme khusus dan memberikan alasan
yang jelas (reasoning) jika DPR tidak menyetujui calon yang di
usulkan oleh KY. Hal ini semata-mata agar ada jaminan independensi
hakim agung yang tidak dapat dipengaruhi oleh kekuatan politik atau
cabang kekuasan negara lainnya.
3.
Hendaknya KY terus memperbaiki pola perekrutan hakim agung.
Dengan diserahkannya kewenangan untuk menyeleksi calon Hakim
Agung ke KY diharapkan mekanisme yang ada pada saat ini harus
terus mengalami peningkatan meskipun masih terdapat kekurangan
pada internal KY. Misalnya lebih bekerjasama dengan MA agar MA
bisa memberikan informasi lowongan hakim agung kepada badan
peradilan di bawah MA, begitu juga dengan memanfaatkan jejaring
atau penghubung KY yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia
untuk mensosialisasikan lowongan calon hakim agung. KY juga
seharusnya bisa lebih proaktif untuk mengajak hakim-hakim yang
memang berintegritas untuk mengikuti seleksi calon hakim agung.
Hal ini perlu dilakukan untuk melahirkan para calon hakim yang
kapabel, berintegritas, dan berkualitas.
Narasumber
:
Lina Maryani, SH (Kepala Sub Bagian Peningkatan
Kapasitas Hakim di Biro Rekrutmen Advokasi dan
Peningkatan Kapasitas Hakim di Komisi Yudisial)
Waktu/Tempat :
Selasa, 8 Juli 2014/ Gedung Komisi Yudisial
1. Bagaimana tanggapan Komisi Yudisial atas putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 27/PUU XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR?
-
Pada dasarnya KY menyambut baik putusan tersebut, tanggapan Pak
Taufiqurrahman selaku Ketua Bidang Rekrutmen Hakim menyambut
baik, terutama beliau merasakan betul sulitnya memenuhi 3 kali lipat
itu (kuota calon hakim agung).
2. Apakah kuota 1:1 akan memudahkan Komisi Yudisial dalam menyeleksi
Calon Hakim Agung?
-
Bagi kami jadi lebih mudah, karena dengan kuota 3:1 itu kami banyak
hutang hakim ke MA, tetapi dengan 1:1 sekarang semoga bisa lebih
cepat seleksinya sehingga setiap lowongan hakim dari MA bisa kami
penuhi.
3. Apabila terjadi penolakan dari DPR terhadap Calon Hakim Agung yang
diusulkan KY seperti yang terjadi pada Februari 2014, bagaimana
mekanisme selanjutnya yang dilakukan Komisi Yudisial?
-
Tentu kami ulang dari awal, kami lakukan seleksi lagi untuk memenuhi
permintaan hakim dari MA.
4. Menurut KY, apa kelebihan dan kekurangan dari kuota 3:1 dan 1:1 dalam
lowongan Calon Hakim Agung?
-
Dengan 3:1 yang dulu, kami mengirim 3 calon hakim dan mereka
dipilih 1, mereka harus pilih salah satu dari 3 calon itu meskipun
semuanya tidak mereka sukai tapi mereka terpaksa harus pilih salah
satunya, jadimereka ada beban. tapi sekarang kami mengirim 1 dan
mereka pilihannya hanya setuju atau tidak. Ini membuat mereka
seperti tidak punya beban, kalau mereka tidak suka ya tolak saja.
Kuota 1:1 ini bagi CHA lebih sulit. Dan dari sisi anggaran, penolakan
itu sangat membuang anggaran, padahal karena rentang waktu
seleksi cukup panjang, otomatis anggaran juga besar.
5. Menurut pemberitaan media, selama ini terjadi penurunan jumlah
pendaftar. Apa yang menjadi penyebab penurunan jumlah pendaftar
tersebut?
-
Ke depannya kami akan melakukan survey, mengapa calon-calon
potensial, maksutnya calon hakim yang sudah 40 tahun, hakim karir
dan bergelar tinggi tidak mau menjadi hakim agung. Disinyalir
contohnya seperti hakim pengadilan tinggi gajinya lebih tinggi dari
hakim agung atau mungkin karena takut dengan proses di DPR, hal ini
butuh survey lebih lanjut, tidak bisa diklaim ju
6. Apakah yang menjadi kendala bagi Komisi Yudisial dalam proses seleksi
Calon Hakim Agung secara keseluruhan?
-
Tentang kualitas calon yang mendaftar, integritasnya, pengetahuannya
kurang memadai ,dalam wawancara kan terlihat.. Aspek pengetahuan
tentang hukum secara umum, teknis yuridis termasuk pengetahuan
tentang perundang-undangan dan hukum acara dari para calon
terkadang tidak cukup memuaskan. Para hakim dari karier terlihat
cukup menguasai tentang teknis yuridis dan pengetahuan tentang
hukum cara. Sementara para calon non karier masih jauh dari
pemahaman tentang teknis yuridis, khususnya hukum acara. Tetapi
kalau bicara kenapa mereka tidak tertarik mendaftar hal itu butuh
diteliti lebih lanjut, mungkin saja tidak yakin dengan proses di DPR.
-
Dari internal yang dihadapi KY adalah alokasi anggaran yang
dialirkan pada kami, harusnya tahun ini ada 2 periode seleksi, tetapi
pemerintah
mementingkan
pemilu
sehingga
ada
pemotongan
anggaran. Dengan pemotongan anggaran, sosialisasi lowongan juga
tidak bisa maksimal karena memasang iklan di media membutuhkan
dana yang tidak sedikit. Tetapi meskipun ada keterbatasan dana,
proses harus tetap berjalan, meskipun efeknya cukup banyak, kami
jadi kurang sosialisasi, untuk menggerakkan penghubung di daerah
juga membutuhkan biaya. Anggaran juga pengaruh pada jumlah SDM
di KY, bagian rekrutmen hakim misalnya masih banyak kekurangan
orang. Jadi setiap ada rekrutmen, biro lain juga ikut membantu.
Makanya kami mengembangkan Penghubung-penghubung di daerah
yang memantau rekam jejak hakim di daerahnya masing-masing.
-
Keterbatasan waktu juga menjadi kendala, sering telatnya surat dari
MA, menurut peraturan harusnya surat lowongan sudah diberikan
kepada KY 6 bulan sebelum hakim pensiun, tetapi prakteknya sering
ada keterlambatan.
7. Bagaimana harapan Komisi Yudisial untuk seleksi Calon Hakim Agung
kedepannya setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi?
-
Harapannya putusan ini bisa menambah jumlah pendaftar calon
hakim agung dan DPR bisa membuat aturan yang lebih jelas
mengenai proses fit and proper test calon hakim agung di DPR
,tidak
seperti
yang
sekarang
karena
sebenarnya
banyak
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh anggota DPR adalah
pertanyaan yang sama yang sudah diajukan KY dalam proses
seleksi. Jadi harapan kami kedepannya mereka harus punya aturan
jelas, jangan berdasarkan feeling mereka saja dalam memilih
hakim agung.
Narasumber
:
Wawancara dengan Bachrudin Nasori S.Si, MM (Anggota
DPR Komisi III Fraksi PKB ).
Waktu/Tempat
:
Rabu, 17 September 2014/ Gedung DPR RI Jakarta.
1. Bagaimana tanggapan Bapak selaku anggota Komisi III DPR terkait putusan MK
Nomor 27/PUU XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR?
-
Tentunya kami menghormati putusan tersebut, bagaimanapun kan hak para
pemohon ya, kalau merasa dirugikan dengan undang-undang tertentu ya
silakan saja uji di MK. Apapun hasilnya tentu kami menghormati itu. Tapi
resikonya kan karena hanya satu calon di setiap satu lowongan dan DPR
hanya menyetujui atau tidak menyetujui jadi ada resikonya ya. Kalau kami
tidak setuju, ya kami katakana tidak. Tidak bisa kami pilih yang terbaik seperti
sebelum putusan.
2. Ketika melakukan fit and proper test, apa yang menjadi acuan DPR dalam
menentukan layak atau tidaknya calon hakim agung untuk menjadi hakim agung?
-
Mekanisme itu (fit and proper test) kan diatur di UU MD3 dan di tata tertib
DPR juga ada. Tentu kami acuannya dari sana. Wawancara dalam fit and
proper test selama ini cukup efektif. Tujuan dari wawancara itu kan supaya
memperlihatkan kepada masyarakat umum tentang integritas dan kualitas
para calon hakim agung dan diharapkan masyarakat juga bisa aktif bertanya
kepada para calon dan dapat mendengar sendiri jawabannya. Semua proses
sudah cukup transparan dan dapat diliput oleh media.
3. Apakah DPR tetap akan melakukan fit and proper test untuk menyetujui hakim
agung yang diusulkan KY selanjutnya?
-
putusan MK itu hanya merubah dari memilih menjadi menyetujui, tidak ada
ketentuan yang menyatakan DPR tidak boleh melakukan fit and proper test.
Kan ketentuannya sudah ada di tata tertib DPR dan MD3, ya kami pakai itu.
4. Selama ini proses fit and proper test di DPR dikatakan penyebab para calon hakim
pesimis bisa lolos seleksi, bagaimana pendapat bapak?
-
Saya kira asal mempersiapkan diri dengan baik untuk apa takut sama DPR,
kan prosesnya sudah terbuka, diliput media juga. Jadi bisa dilihatlah
bagaimana kami ini mewawancarai mereka. Sudah bisa dilihat itu. Sudah
cukup transparan. Kalau yang ditolak-ditolak itu memang kurang apik saat fit
and proper test.
5. Kurang apik itu seperti apa maksudnya, Pak?
-
Misalnya yang semuanya ditolak oleh DPR. mereka kualitasnya tidak ada
perubahan sejak ditolak pada tahun 2012, jawaban yang diberikan tidak jauh
berbeda. Makanya hampir semua menolak. Ditanya pernah tidak putusan
mereka dibatalkan MA, ada yang mengatakan pernah.. lalu ditanya, yang
benar keputusan mereka atau keputusan MA yang benar, mereka jawab
keputusan MA yang lebih benar. Berarti kan dia pernah salah dalam buat
putusan, mereka akui itu.
6. Apakah yang menjadi kendala bagi DPR dalam melaksanakan kewenangannya
untuk memilih hakim agung?
-
Kendala yang dihadapi ya dari para calon hakim sendiri, seperti yang 3 calon
kemarin ditolak, hal itu kan tidak perlu terjadi kalau seandainya KY mampu
menyeleksi calon hakim agung yang berintegritas untuk diajukan kepada
DPR. Pada saat penolakan tiga calon hakim Suhardjono, Maria Anna dan
Sunarto, mereka kan calon yang pernah diajukan kepada Komisi III DPR dan
ditolak. Ya masa harus itu itu lagi orangnya? Kami
mengharapkan KY
lakukanlah perbaikan dalam rekrutmen calon hakim agung yang akan datang.
Dimaksimalkan lagi mencari yang potensial. Kebanyakan pengetahuan
perundang-undangan para calon juga tidak ada yang menonjol, khususnya
UU yang masih baru. Kadang ada calon yang lupa sampai tidak tahu tentang
UU MA dan UU Kekuasaan Kehakiman, padahal kan itu bidangnya mereka
ya. Tapi ya latar belakang calon juga berpengaruh pada pengetahuannya.
Kepercayaan kepada DPR untuk menjalankan kewenangan kami dalam proses
pengangkatan hakim agung ini juga mungkin kendala ya, ko kesannya kalau
dipilih DPR calon hakim agung yang berkualitas tidak lolos, sebaliknya yang
tidak berkualitas bisa diloloskan, lalu dicurigai ada praktek suap antara DPR
dan calon hakim agung yang tidak berkualitas. Itu tidak cukup beralasan ya,
kan itu saya bilang tadi, prosesnya sudah transparan. Kami ini tidak mau
dianggap lembaga yang sekedar memberi cap stempel persetujuan, nanti
kalau hasilnya buruk kami juga yang dihujat. Jadi biarlah kami ikut menilai
juga. Kan seleksi hakim agung berpindah tangan dari Presiden ke DPR itu
karena maksud reformasi yang mengurangi kekuasaan presiden. menurut saya
ini sudah jadi legal policy pembentuk Undang-Undang untuk mengatur hal
tersebut di dalam Undang-Undanh.
7. Bagaimana harapan bapak sebagai anggota Komisi III untuk seleksi calon hakim
agung kedepannya setelah keluarnya putusan MK?
-
Ya kedepannya harus benar-benar memperhatikan kualitas calon-calon yang
akan diajukan kepada DPR, hakim berintegritas dan punya pemahaman
hukum yang bagus. Resiko putusan MK kan begitu, tidak ya katakan tidak.
Kita terus rapat dengan KY untuk kedepannya seperti apa, supaya tidak
terjadi lagi seperti yang sebelumnya.
Download