Co-opetition dalam Pengelolaan Bisnis Pariwisata di

advertisement
Co-opetition dalam Pengelolaan Bisnis Pariwisata di Indonesia
Alimuddin Rizal R
Universitas Stikubank Semarang
alimuddin_rizal @ yahoo.com
ABSTRACT
This article intended to explain about the concept of co-operation and competition in the
tourism industry. Because of the tourism business has the characteristics of interdependent
requires to can not be avoid from cooperation at the same time despite having to compete
with one another. Therefore, in managing the tourism businesses need a strong basis of
collaboration is a positive businessmen conduct, and has a strategic resources/strategic
assets which greatly benefits of each business so that the intensity of cooperation that is
built to support the creation of synergy between organizations. Competition is raised is
how every business can create a unique and "beauty contest" over the entire front end
consumers of tourism products are produced. This conceptual study elaborated from
theoretical ideas, and a variety of empirical findings about co-opetition and synergy of
cooperation that does not mean to infer that the competing hostile, but competing is
competing to give the best for the end consumer.
Key word : Co-operation,Competition,Co-opetition, and Sinergy.
I.Latar Belakang Studi
Memasuki era millenium kedua kemajuan teknologi komunikasi dan informasi
berkembang sangat pesat, situasi persaingan bisnis menjadi berbeda dan pola hubungan
antar bisnispun menjadi berkembang. Penggunaan internet untuk membentuk jejaring
bisnis semakin tumbuh dan berkembang (Turban et al, 2000). Aktivitas pebisnis dalam
memproduksi dan mendistribusikan produknya (barang dan jasa) menjadi sangat berubah.
Situasi ini tidak terkecuali terjadi pada industri pariwisata yang memiliki karakteristik
1
saling tergantung satu sama lain (interdependency). Bisnis pariwisata memiliki
karakteristik yang sangat peka terhadap lingkungan, baik lingkungan internal maupun
eksternal. Dalam konteks hubungan dalam lingkungan industri maka bisnis pariwisata
memiliki sifat saling bergantung (interdependency) yang sangat kuat (Jago and Ardle
1999), selanjutnya Garcia-Falcon, et al (1999) menegaskan hubungan kerjasama tersebut
bersifat permanen. Sementara, relasional dan ketergantungan adalah issu penting dalam
perkembangan studi-studi manajemen, pemasaran dan jejaring distribusi (Gummesson,
2002; Rao dan Perry, 2002).
Studi ini difokuskan pada kajian teoretikal maupun hasil temuan empirik dalam upayaupaya mengembangkan bisnis pariwisata di Indonesia, yang berhubungan dengan bersaing
dan bekerjasama untuk mengembangkan diri sebagai objek wisata yang menjadi pilihan
bagi para pelancong. Sementara, Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki objek
wisata yang sangat beragam, spesifik dan sangat luas. Sampai dengan hari ini kita belum
unggul secara merata diseluruh daerah, hanya daerah-daerah tertentu yang siap untuk
menjadi tempat tujuan wisata secara profesional. Permasalahan yang masih sering muncul
dalam issu pariwisata di Indonesia berkisar antara lain (Rizal, A, 2009):
1. Masalah belum terintegrasinya antar pelaku organisasi laba dan nir-laba yang berkaitan
dengan bisnis pariwisata.
2. Masalah pemerataan kemakmuran kepada masyarakat, terutama masyarakat disekitar
obyek wisata (tour destination).
3. Sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat terhadap program pariwisata nasional ke
daerah-daerah belum efektif.
4.
Masalah pencapaian target kunjungan wisata manca negara, nasional dan lokal
5. Paradigma tentang aktivitas pemasaran dalam industri pariwisata khususnya strategi
promosi masih konservatif. Promosi masih dianggap sebuah kegiatan yang sifatnya
jangka pendek sehingga pengeluarannya dianggap sebagai biaya operasional saja,
bukan sebuah investasi jangka panjang. Oleh karena itu, perlu dibangun paradigma
baru untuk semua pemangku kepentingan dalam industri pariwisata (pemerintah,
legeslatif, dan pelaku industri pariwisata). Beban tersebut dapat ditanggung
bersama, sehingga masing-masing pihak memberikan kontribusi proporsional
terhadap aktivitas tersebut.
6.
Koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah masih belum terintegrasi baik, hal
ni dapat dilihat dari masih terjadi tumpang tindihnya fokus yang dikerjakan.
Kabupaten berpromosi langsung ke luar negeri tanpa koordinasi pemerintah pusat
atau provinsi, sementara pemerintah pusat/provinsi juga melakukan hal yang sama,
padahal sumber anggaran sama yaitu pemerintah (APBN/APBD). Akhirnya, urusan
2
manajemen destinasi wisata tidak dapat dikelola secara baik dan profesional oleh
pemerintah daerah.
7. Persoalan keamanan nasional dalam negeri yang berkaitan dengan issu terorisme dan
kriminalitas lokal.
8. Tujuan wisata alam maupun buatan lebih banyak ada di desa atau pinggiran kota,
sehingga sering terjadi gesekan sosial dan ketidak rataan distribusi pendapatan,
karena pemilik/pengelola objek wisata dikuasai bukan orang lokal.
9. Adanya persaingan yang tidak sehat antar pengelola bisnis pariwisata dan ketidak
profesionalan dalam mengelola bisnis menjadikan para pelancong kecewa/merugi.
Problematika tersebut adalah persoalan nasional yang selalu menjadi fokus bahasan pada
kementerian pariwisata Indonesia maupun daerah-daerah tempat tujuan wisata. Pemasaran
tujuan wisata sering menjadi sulit untuk di manej/diorganisir, karena banyak pihak yang
terlibat. Seringkali, terjadi benturan kepentingan, motivasi dan tujuan antar pihak, padahal
mereka harus tetap hidup berdampingan. Pada area geografis yang terbatas, perusahaan
pengelola wisata yang beragam harus hidup berdampingan satu sama lain. Oleh sebab itu,
suka tidak suka mereka harus berkolaborasi untuk menyediakan barang dan jasa wisata.
Sedangkan, jika mereka ingin berhenti dalam bisnis ini pun tidak gampang, karena
biasanya sebagian besar dari sumber daya mereka terikat dalam properti.
Tujuan dari makalah ini adalah untuk menggambarkan bagaimana para pengusaha bekerja
sama dan sisi lain mereka harus tetap hidup sehingga harus bersaing dengan mitra
bisnisnya dalam memasarkan produk-produk wisata yang diproduksinya. Pertanyaan
utamanya adalah "Bagaimana bekerjasama dan bersaing untuk memasarkan berbagai
tujuan wisata (tour destination) baik dipasarkan sebagai suatu produk tunggal dan atau
kesatuan paket wisata yang melibatkan berbagai jenis usaha wisata, kecil dan menengah‖
II. Telaah Teoretikal dan Empirikal
2.1.Pola Hubungan antar Stakeholders Pariwisata
Dalam pasar persaingan, kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan jangka
panjang tergantung pada keunggulan bersaing berkelanjutan (Sustainable Competitive
Advantage) yang dicapai perusahaan (Ferdinand, 1999). Untuk mampu mencapai kondisi
tersebut pebisnis harus memiliki keungggulan bersaing (Competitive Advantage) (Porter,
1980), yang diperoleh dari ketersediaan sumberdaya strategik (strategic resources) dan
kemampuan untuk mengelolanya (strategic capabilities) (Porter, 1985; Aaker, 1989) atau
kompetensi yang dimiliki (Hammel and Prahalad, 1990). Upaya membangun keunggulan
bersaing atau keunggulan bersaing berkelanjutan, tidak hanya dapat dilakukan oleh
perusahaan secara individual, karena disamping perusahaan harus memiliki keunggulan
3
bersaing spesifik tersebut (Ferdinand, 1999), juga harus fit dengan lingkungannya
(Galbraith dan Nathanson, 1978): pasar/konsumen, distributor/Agen, pemasok, pesaing
dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Namun demikian, pada saat ini banyak macam
kerjasama yang dilakukan antar perusahaan mengalami kegagalan dalam mencapai tujuan
bersama tersebut. Kegagalan tersebut disebabkan kurangnya sumberdaya seperti
organisasional kapabilitas, keahlian, kompetensi, sumberdaya spesifik dan pemahaman
bisnis. Oleh karena itu, perlu dilakukan studi tentang pengaturan dan formasi kerjasama
strategik untuk memperoleh keunggulan kompetitif yang berkelanjutan (Brouthers dan
Wilkinson dalam Whipple, 2000). Banyak kerjasama atau aliansi telah dilakukan atau
dikembangkan terutama jika potensi keuntungan akan banyak diperoleh dari kerjasama
tersebut. Namun, ketika kerjasama tersebut berlangsung meraka lalai untuk memelihara
dan mengembangkan kerjasama tersebut, sehingga menjadi tidak berhasil. Hal ini terjadi
karena masih adanya kendala pergeseran perilaku pelaku kerjasama tersebut dari hubungan
perilaku bersaing keperilaku hubungan partnership atau kooperatif. Kendala lain dalam
kegagalan kerjasama lebih banyak disebabkan karena kendala organisasional dari pada
teknis atau finansial seperti kendala budaya dan rekayasa bisnis (Whipel, 2000). Dalam
konteks pemasaran strategik (Cravens, et al, 1994), fokus persaingan yang lebih utama
adalah pada pelanggan dari pada pesaing, karena pelangganlah yang akan memilih produk
(barang dan jasa) apa yang akan dibelinya, merek apa dan atribut apa yang harus terpenuhi.
Bagi perusahaan dituntut untuk mampu menciptakan produk yang sesuai atau bahkan lebih
dari harapan konsumen, agar mereka mencapai kepuasan, hal ini dikuatkan oleh pendapat
Peter Drucker (1973) dalam Ferdinand (1999) yang menyatakan bahwa misi utama setiap
bisnis adalah kepuasan, dan nilai hubungan jangka panjang.
Sementara, jika bisnis pada umumnya masih tetap dapat melangsungkan hidupnya tanpa
melibatkan diri dalam kerjasama, bisnis pariwisata berbeda dengan bisnis lain, pariwisata
disamping harus menyediakan produk (barang atau jasa) yang dihasilkan oleh
perusahaan/pengusaha sendiri tetapi tidak dapat terlepas dari apa yang dialami oleh para
pelancong pada saat mengunjungi suatu tempat. Sehingga, tidak hanya cukup sebuah
perusahaan restoran menyediakan menu masakan yang lezat dan layanan prima kalau tidak
ditunjang oleh sarana jalan yang baik, keamanan yang terjamin, lingkungan yang bersih,
tempat penginapan yang layak dan jasa transportasi yang nyaman dan aman. Begitupun
untuk bisnis pariwisata lainnya, menggunakan logika ketergantungan yang sama. Oleh
karena itu, untuk unggul dan menang bersaing dalam bisnis pariwisata tidaklah dapat
dicapai sendirian, meskipun para pebisnis bermain dalam pasar atau lini usaha yang sama,
mereka harus melakukannya secara bersama-sama dan terintegrasi dengan baik.
Selanjutnya, ditegaskan oleh Midleton (2001) bahwa hubungan antar bisnis dalam industri
pariwisata memiliki sifat hubungan dua arah (two-way relationships) (Gambar. 1).
4
GAMBAR 1. BENTUK DAN ARAH HUBUNGAN STRATEGI BISNIS PARIWISATA
Sumber : Midleton, 2001.
Seluruh pihak yang terlibat dalam bisnis pariwisata ini, baik sebagai pelaku bisnis, pemerintah
maupun organisasi laba dan nir-laba lainya tidak dapat melepaskan diri satu sama lain dalam
menghasilkan dan menyediakan produk-produk wisata. Oleh karena itu, vatal bagi sebuah daerah
yang mengelola bisnis pariwisata tanpa mengintegrasikannya secara baik, karena akan terjadi
knerja hubungan negatif (tidak terjadi sinergitas) antar bisnis tersebut, dan akan mengancam tidak
hanya masalah perekonomian, pemerataan dan kemakmuran, tetapi juga akan mengancam masalahmasalah lain diluar bisnis tersebut, terutama lingkungan sosial-budaya dan alam.
Berbagai pendekatan sering digunakan untuk menformulasikan industri pariwisata, diantaranya
adalah dengan mengacu pada permintaan pasar. Pendekatan ini berarti mendefinisikan wisatawan
adalah siapupun dan darimana pun ia, dan perilakunya sebagai titik awal. Konteks ini dalam
pemasaran strategik dikenal market orietation atau dalam konsep yang lebih luas dan dalam adalah
market based views of the firm. Sisi lain, pendekatan yang juga lazim adalah mendefinisikan
pariwisata pada sisi penawaran, yaitu sistem yang menghasilkan jasa dan atraksi-atraksi wisata
yang diproleh dari kreasi oleh para produsen pariwisata dengan memadukan berbagai sumberdaya
dengan kompetensi/ kapabiltas individu atau organisasi yang dimiliki, konsep ini dalam
manajemen startegi dikenal sebagai resouces based views of the firm.
Studi ini mengambil pendekatan yang kedua. Ini berfokus pada perusahaan-perusahaan wisata yang
memberikan pengaruh pada bagaimana produk wisata pada tujuan tertentu, dibuat dan dipasarkan.
Para pemangku kepentingan di daerah tujuan wisata yang terlibat dalam interaksi jaringan antar
pasangan atau kelompok operator, berpotensi untuk menciptakan "sistem hubungan antar
pemangku kepentingan" (Wheaver dan Oppermann, 2000). Dalam konteks ini produk wisata tidak
hanya terdiri dari barang atau layanan, namun dipandang sebagai gabungan dari kualitas yang
berbeda/spesifik atau khas, dari barang dan jasa yang ditawarkan.
5
Sifat dari produk wisata ini dijelaskan dalam studi ini dalam lima komponen: jasa, produk multielemen, keterlibatan sektor publik dan swasta , industri fragmentaris (terpisah dari bisnis wisata
tetapi diperlukan), dan variasi usaha musiman (Burns dan Holden, 1995). Tujuan wisata adalah
bagian penting dari industri pariwisata karena merupakan faktor pendorong bagi seorang turis
memutuskan untuk melaksanakan sebuah perjalanan wisata. Citra destinasi wisata selalu berubah
dari waktu ke waktu, dan sangat bergantung pada proses pengembangan pada tempat tujuan wisata
tersebut. Keterlibatan para produsen wisata menghasilkan keragaman produk wisata, dan jalinan
hubungan baik antar produsen wisata maupun antara produsen wisata dengan para turis akan
mempengaruhi citra destinasi. Pada akhirnya sadar atau tidak, kesan yang akan ditimbulkan dari
proses interakasi tersebut pasti akan beragam bagi para turis. Setiap turis akan mempunyai proses
aktivitas dan kesan yang bebeda, sangat bergantung pada pennyedia jasa yang mereka pakai selama
mengkonsumsi wisata tersebut (Gambar 2).
Gambar 2. Pola Interakasi Turis dan Pelaku Bisnis Pariwisata
CONTACT PERSON/ORGANISASI WISATA
Turis A
V
V
Turis B
Turis C
Turis D
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
Turis E
Turis F
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
Sumber : Di elaborasi dari Yvonne, 2003
Setiap perusahaan pariwisata hanya dapat mempengaruhi turis melalui produk (barang dan jasa)
yang diproduksinya sendiri saja, tidak secara keseluruhan. Para turis akan memilih berbagai produk
wisata yang ditawarkan pebisnis, seperti: atraksi dan fasilitas yang disediakan, layanan transportasi
ke dan dari tujuan, akomodasi, restoran dan juga wujud dan nuansa dari destinasi wisata.
Keputusan turis untuk membeli suatu paket perjalanan wisata akan sangat dipengaruhi oleh
berbagai strategi pemasaran yang dilakukan oleh berbagai perusahaan pariwisata. Dimana mereka
6
baik secara individu atau bersama-sama dapat memasarkan kegiatan, fasilitas, dan jasa layanan
perusahaan dan spesifikasi dari destinasi wisata. Sebagai hasil dari situasi yang digambarkan di
atas, makalah ini berpendapat bahwa, mengenai pemasaran tempat tujuan wisata, strategi dan
program pemasaran dilakukan secara terpadu (integrited) adalah sebuah perspektif strategi yang
dapat dilakukan oleh para pelaku bisnis. Jadi, tidak hanya pada persfekif pelanggan (turis) saja,
tetapi juga pengusaha. Persoalannya bagaimana para pengusaha mampu menjadikan seorang turis
tertarik, membeli, mengkonsumsi, menggunakan seluruh produk yang ditawarkan oleh masingmasing pengusaha, dan dalam waktu relatif lama. Kondisi ini tidak mungkin dicapai tanpa
melakukan kerjasama antar pemangku kepentingan dalam industri pariwisata.
Kerjasama (Co-operation)
Kerjasama adalah jalinan hubungan antar dua atau lebih entitas (orang atau organisasi) untuk
mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Dalam konteks sosiologis Chris Lucas (2005)
menjelaskan bahwa manusia adalah mahluk sosial yang memerlukan individu lain, manusia adalah
anggota dari sekumpulan lainnya: grup, asosiasi maupun institusi. Jadi sifat dasar kerjasama adalah
alamiah, merupakan kebutuhan manusia sebagai mahluk sosial, dimana tidak ada satupun yang
dapat menghindar dari ‖membutuhkan pihak lain‖.
Kerjasama dalam organisasi berarti bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama, merupakan
proses bekerja bersama-sama dengan pihak lain untuk selalu meraih yang lebih baik dari tujuan
yang telah disepakati atau ditetapkan bersama (Palmer 2000). Organisasi bukanlah suatu entitas
yang berdiri sendiri, dibutuhkan jalinan hubungan (kerjasama) dengan pihak lain. Organisasi
tersebut akan tetap bersaing untuk mencapai tujuannya meskipun mereka dalam posisi bekerjasama
untuk mencapai tujuan yang sama (Hage 1994, Palmer 2000, Zineldin 2004).
Hage (1994) mendefinisikan bahwa kerjasama antar organisasi meliputi usaha-usaha yang
merupakan jalinan hubugan sederhana, seperti: pertukaran informasi, sampai dengan hubugan yang
kompleks seperti menghasilkan produk bersama. Upaya-upaya ini mencakup aktivitas yang sangat
luas, dan membentuk sebuah rangkaian kesatuan aktvitas antar rekanan. Axelrod (2000) membagi
pola kerjasama antar organisasi menjadi 3 (tiga) kategori yaitu: (1)kerjasama antar perusahaan
sejenis (kerjasama horisontal), (2)kerjasama saling melengkapi (komplementer) atau, (3)kerjasama
multi bisnis (antar pemangku kepentingan, baik usaha sejenis, subsitusi dan komplementer
(misalnya: pihak lembaga keuangan/pembiayaan).
Wood and Gray (1991) menegaskan bahwa kerjasama merupakan antitesis dari kompetisi
(persaingan), meskipun persaingan tersebut merupakan pemicu satu organisasi untuk lebih unggul
dari organisasi lainnya. Dijelaskannya pula bahwa bekerjasama dalam organisasi bukanlah berarti
meniadakan persaingan tersebut, tetapi pelaku bisnis berupaya untuk mengoptimalkan penggunaan
asset, kemampuan/kompetensi yang dimiliki untuk pencapaian hasil dengan membangun jejaring
bisnis dalam berbagai lini bisnis dan fungsi manajemen. Pendapat ini didukung pula oleh
Nalenbuff and Brandenberg (1996) bahwa Co-Operation adalah kombinasi antara ko-operasi
dengan kompetisi, yang merupakan sarana strategik untuk membangun kontinyuitas usaha. Namun,
Palmer (2000) menyebutkan bahwa sarana strategik untuk membangun kontinyuitas usaha perlu
mengembangkan kombinasi antara kerjasama dan bersaing yang disebutnya sebagai “co-opetition”
(integrasi dari co-operation dan competition). Selanjutnya, sarana strategik tersebut dapat muncul
7
dengan adanya suatu kerjasama yang merupakan suatu perjanjian jangka panjang, dimana
kompetitor dan komplementor akan belajar dan bermain dipasar dihadapan konsumen akhir.
Jadi, dalam kerjasama: kemitraan, kolaborasi, partnerships dan bentuk kerjasama lainnya bukanlah
berarti menghilangkan persaingan tapi bagaimana berkolaborasi dalam menghadapi persaingan dan
berkompetisi dalam menciptakan keunggulan posisional bersaing untuk pencapaian kinerja
pemasaran/perusahaan yang lebih baik. Kerjasama antar bisnis ini bagi perusahaan dapat dilakukan
dalam bentuk berbagi: sumberdaya strategis, risiko, pengetahuan, teknologi, informasi pasar,
penguasaan pasar, bahkan dapat dijadikan kolaborasi untuk menghadang pendatang baru (Porter
1980) atau menghadang peniruan-peniruan (imitasi) (Barney 1991). Hal ini dapat dicapai karena
pebisnis dalam networking atau yang menjalin kerjasama akan memiliki keunggulan posisional
bersaing yang kuat jika kemitraannya sukses.
Morgan and Hunt (1994) menegaskan bahwa kerjasama merupakan hasil dari pertukaran
relasional. Perilaku pertukaran relasional tersebut adalah kepercayaan dan komitmen relasional
antar kedua belah pihak. Perusahaan yang mempercayai perusahaan lain akan memiliki komitmen
untuk bekerjasama dalam upaya meraih tujuan bersama, dengan landasan kepercayaan dan
komitmen relasional ini maka akan diperoleh kerjasama yang kuat. Wernefelt (1984) menjelaskan
bahwa kerjasama merupakan modal sosial (Social Capital) dalam suatu organisasi. Kemampuan
untuk membangun hubungan kerjasama merupakan aktiva strategis bagi organisasi, karena dengan
semakin banyaknya mitra kerjasama maka akan semakin menguatkan ―partnership”, kolaborasi
antar organisasi, semakin banyak dan luasnya jejaring bisnis, sehingga kondisi ini sulit ditiru oleh
pesaing karena membutuhkan pembelajaran organisasional. Lebih jauh, penelitian Heide and Miner
(1992) menguji kerjasama antara pembeli dan pemasok (buyers-supliers relationship) menemukan
bahwa kerjasama dapat memberikan manfaat berupa: berbagi informasi (sharing information),
berbagi dalam menyelesaikan masalah dan pengendalian kekuatan/kekuasan. Kemudian, Palmer
(1996, 2000), Grant (2000), dan Egan (2001) menjelaskan pula bahwa kerjasama antar organisasi
akan menciptakan kekuatan networking, barriers to entry, dan kehawatiran/halangan-halangan
beralih (switching barriers) dengan pertimbangan tingginya biaya peralihan serta dapat
memudahkan untuk mengendalikan imitasi (barriers to imitation) yang dilakukan oleh pendatang
baru dalam persaingan atau pesaing diluar kerjasama.
Keunikan karakteristik industri pariwisata, sehingga dalam implementasinya binsis ini hanya dapat
dibedakan satu sama lain tapi tidak dapat dipisahkan (Kenneth et al, 2004). Meskipun tidak terikat
secara formal satu sama lain, tapi percepatan pertumbuhan, perkembangan dan keberlangsungan
bisnis pariwisata sulit terjadi tanpa jalinan hubungan dengan organisasi lain (Jago and Shaw 1998,
Tremblay 2000a, Midleton 2001).
Pemangku kepentingan (Stakeholders) dalam industri pariwisata digambarkan oleh Trully Sautter,
et al (1999) adalah sebagai berikut (Gambar 3):
8
GAMBAR 3. STAKEHOLDERS DALAM INDUSTRI PARIWISATA
Pesaing -pesaing
PIhak - pihak
dalam pengelolaan
Wilayah/Tempat
Internal Organisasi
Tujuan wisata
Tujuan Wisata
dan Produk wisata
Organisai Pemerintah :
Setempat , Daerah ,
Pusat atau Negara Lain
Industri/Perusaaan /
Pemasok Lokal
Proses Strategi
Kunjungan Wisatawan:
Tujuan Wisata atau
Produk Wisata
Pihak -pihak lain
yang Berminat
Organisasi Bisnis
Turis Lokal ,
Diluar
Nasional dan
Industri Pariwisata
Internasional
Sumber : Trully Sautter, et al (1999)
Dari Gambar 3. tersebut dapat dijelaskan bahwa banyak pemangku kepentingan dalam industri
pariwisata, baik langsung maupun tidak langsung. Langsung artinya terlibat langsung dalam proses
pertukaran/transaksi pariwisata, seperti: penyelenggara wisata, tempat tujuan wisata, pemandu
wisata, bisnis akomodasi (hotel/motel, restoran, warung dan lain-lain), bisnis hiburan, transportasi,
lembaga keuangan dan pemerintah sebagai penerima pendapatan dari sektor devisa, retribusi dan
pajak. Tidak langsung artinya pihak-pihak yang turut merasakan dengan adanya/semakin
banyaknya ketertarikan pelancong dan keragaman paket wisata disuatu tempat, maka akan
menumbuh-kembangkan berbagai sektor ekonomi, seperti industri-industri kerajinan, industri
makanan, pusat perbelanjaan dan lembaga keunagan serta berbagai bisnis jasa lainnya. Artinya,
untuk menyusun program pemasaran sebuah paket wisata (tujuan wisata) maka perlu melibatkan
banyak institusi baik langsung maupun tidak langsung berkenaan dengan program tersebut. Trully
(1999) menjelaskan bahwa untuk menyusun strategi tersebut perlu koordinasi antar-pihak
(organisasi), seperti: bisnis transportasi, akomodasi, tour operators, tour agency, departemen
pemerintah yang terkait langsung maupun tidak langsung, melibatkan pelaku bisnis lain yang
terkait, misalnya: dengan pusat-pusat perbelanjaan (tradisional dan modern) dan industri/gerai
cendera-mata (suvenir). Jadi, proses penyusunan strategi yang dilakukan oleh institusi pariwisata
baik sektor publik maupun sektor privat (perusahaan), harus mendasarkan pada kepentingan
stakeholders dalam industri tersebut (Athiyaman 1995, Athiyaman and Robertson 1995, Chon and
Olsen 1990, Cooper 1997, Hall 2000, Tremblay 2000b).
Selanjutnya, Jamal and Getz (1995), Bourgeouis and Brodwin (1984) menegaskan bahwa
perencanaan strategik dan pemasaran strategik dalam industri pariwisata berbasis pada kolaborasi
dan model strategi relasional yang dibangun berdasarkan pola-pola inter-organizational
relationship. Dengan demikian, hubungan antar organisasi dalam industri pariwisata ini sejalan
dengan konsep pertukaran relasional antar bisnis, yang dalam ilmu pemasaran dikonsepsikan
sebagai pemasaran relasional (relationship marketing), sebagaimana yang telah dijelaskan oleh:
9
Berry (1983), Bucklin and Sangupta (1993), Palmer (1996, 2000), Gummesson (1999), Gronroos,
(1990,1994a), Ganesan(1994), dan Morgan and Hunt (1994).
Oleh karenanya, pelaku dalam industri pariwisata perlu mengembangkan konsep-konsep hubungan
relasional dalam konteks perilaku relasional, dalam jalinan hubungan tersebut untuk membangun
kerjasama yang saling menguntungkan, sehingga akan dicapai sinergitas kerjasama yang dapat
menciptakan keunggulan posisional bersaing dan kinerja perushaan yang tinggi.
Perilaku Pertukaran Relasional (Relational Exchange Behavior)
Perilaku pertukaran relasional dalam teori pertukaran sosial (social exchange theory) menurut
Morgan and Hunt (1994) merupakan hasrat dan tindakan untuk mempercayai pihak lain. Upaya
untuk menjaga kepercayaan, mempertahankan dan menumbuh-kembangkan rasa saling percaya
yang telah dibangun tersebut adalah komitmen relasional. Jadi, dalam konteks empirikal Morgan
and Hunt (1994) memilah perilaku pertukaran relasional menjadi dua macam, yaitu: kepercayaan
dan komitmen relasional yang keduanya merupakan variabel konstruk, yang direfleksikan oleh
beberapa item/indikator.
1.
Kepercayaan (Trust)
Kepercayaan dalam hubungan sosial (social exchange) adalah keyakinan manusia akan menusia
lainnya bahwa pihak lain tersebut dapat menjalankan seperti apa yang diharapkan. Morgan and
Hunt (1994) mendefinisikan bahwa kepercayaan adalah kehendak/kemauan antar individu (satu
pihak dengan pihak lain) untuk saling mengandalkan satu sama lain. Kepercayaan merupakan
landasan moral/etika untuk menjalankan hubungan dengan pihak lain dalam berinteraksi sebagai
mahluk sosial (Chris-Lucas 2005). Selanjutnya, Morgan and Hunt (1994) menyebutkan pula bahwa
kepercayaan timbul sebagai hasil atas persepsi kredibilitas seseorang terhadap orang lain bahwa
pihak lain tersebut akan melakukan hal baik dalam pandangan kedua belah pihak. Pengertian ini
sebagai hasil dari persepsi kredibilitas pihak yang dipercaya akan mampu untuk mewujudkan
semua kewajiban dan janji yang telah dinyatakan (Andaleeb, 1996). Bila ternyata dikemudian hari
pihak yang dipercaya memenuhi apa yang dijanjikan, maka akan membuktikan bahwa pihak
tersebut layak diandalkan atau dipercaya.
Spekman et al (1988), Morgan and Hunt (1994) dan Andaleeb (1996) menyatakan bahwa
kepercayaan merupakan landasan dalam bekerjasama, ditegaskannya pula bahwa pertukaran
relasional (hubungan timbal balik) tidak dapat berjalan tanpa kepercayaan. Namun, sebahagian ahli
lainnya menyatakan ketidak-percayaanlah (mistrust/distrust) yang merupakan dasar suatu
hubungan/pertukaran relasional, karena mereka tidak percaya maka mereka saling bekerjasama
untuk mengikatkan diri dalam satu perjanjian (Whitehead 2001, Williamson 1979).
Kepercayaan juga dapat diartikan sebagai sikap yang berhubungan dengan risiko (mendapatkan
keuntungan atau kerugian) dalam menjalin hubungan, sehingga tingkat kepercayaan akan sangat
bergantung pada derajat kemungkinan mendapat untung atau rugi. Pengertian tersebut bermakna
bahwa kepercayaan akan lebih baik apabila ada pembatasan, kemungkinan untung atau rugi dari
10
suatu hubungan. Jika risiko kehilangan meningkat maka tingkat kepercayaan akan menurun, namun
sebaliknya apabila banyak manfaat (keuntungan) atau risiko kehilangan kecil dari suatu hubungan
maka tingkat kepercayaan akan semakin meningkat tinggi. Anderson and Narus (1990)
menjelaskan bahwa kepercayaan merupakan anteseden dari hasil balikan yang positif dan
menghindari suatu tindakan yang memberikan hasil negatif.
Atas dasar konsepsi mengenai kepercayaan tersebut, dapat dimaknai bahwa kepercayaan adalah
sebagai hasil dari persepsi kebaikan hati/ kepedulian pihak yang dipercaya, menekankan pada
seberapa jauh pihak yang dipercaya tersebut akan memperhatikan kesejahteraan atau kelangsungan
hidup usaha pihak yang memberi kepercayaan. Dalam konteks ini, kepercayaan merupakan
keyakinan pihak pemberi kepercayaan terhadap tindakan mendatang yang memberikan hasil positif
dan tidak akan melakukan tindakan negatif yang merugikan pihak yang memberi kepercayaan.
1.
Komitmen Relasional (Relational Commitment)
Komitmen relasional adalah ketetapan hati dua orang/entitas atau lebih untuk mengikatkan diri
pada suatu perjanjian formal atau tidak formal (tertulis atau tidak tertulis) untuk melangsungkan
sebuah jalinan hubungan (Morman, et al 1993, dan Morgan and Hunt 1994). Studi tentang
komitmen berawal dari studi-studi perilaku organisasional dalam organisasi. Sebagaimana
dijelaskan oleh Kanter (1968,1972,1977), Salancik (1977) bahwa komitmen adalah sikap individu
yang tergabung dalam suatu organisasi untuk menjalankan apa yang telah menjadi ketentuan, arah
dan sasaran yang ingin dicapai oleh organisasi. Selanjutnya, Robins (1998) mendefinisikan bahwa
komitmen organisasional adalah derajat/tingkatan identifikasi karyawan terhadap pencapaian
tujuan individual dan organisasional, dan kearifannya dalam memelihara dan menempatkan diri
sebagai bagian dari organisasi. Berdasarkan pengertian dan pemahaman komitmen organisasional
inilah, kemudian para ahli marketing mengadopsi pengertian tersebut.
Pemasaran relasional (relationship marketing), memposisikan komitmen sebagai bagian yang
integral dari hubungan bisnis jangka panjang (Anderson dan Weitz 1992, Gundlach, et al 1995,
Morgan and Hunt 1994). Seperti yang disampaikan oleh Dweyr, et al (1987) bahwa komitmen
relasional adalah: ―comitment as an implicit or explicit pledge of relational continuity between
exchange partners‖. Maknanya adalah komitmen relasional merupakan ikrar/janji kedua belah
pihak yang berhubungan untuk menjalin kerjasama secara terus menerus, baik dinyatakan secara
implisit maupun eksplisit. Geykens et al, 1996, Moorman, et al (1992) menjelaskan bahwa dalam
konteks hubungan pemasar dan pelanggan, komitmen merupakan orientasi pelanggan terhadap
hubungan bisnis yang diikat oleh ikatan emosional yang mengarah pada hubungan yang bersifat
jangka panjang.
Jadi, berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa komitmen relasional
adalah kesepakatan dua orang/entitas atau lebih untuk mengikatkan diri dalam suatu hubungan dan
berupaya untuk memelihara, menumbuh-kembangkan hubungan tersebut dalam waktu yang lama.
Selanjutnya, dari hasil studi-studi Anderson and Weitz (1992), Dwyer, et al (1987), Moorman, et al
(1992), menjelaskan bahwa komitmen dalam hubungan antar organisasi dicirikan oleh tiga faktor
(1) kepercayaan yang kuat dan dapat menerima tujuan organisasi lain, (2) kemauan yang kuat
untuk menghasilkan kerjasama, (3) keinginan yang kuat untuk menjaga suatu hubungan jangka
11
panjang. Selanjutnya, dalam konteks pemasaran relasional ini banyak bukti empiris yang
menjelaskan bahwa komitmen relasional merupakan kepentingan permanen untuk membangun dan
memelihara hubungan jangka panjang. Dimana komponen dalam komitmen relasional
mengandung: dimensi afektif yang berkaitan dengan sikap positif terhadap hubungan masa depan;
dimensi instrumen yang berkaitan dengan kecenderungan keterlibatan tinggi (expectation to
continue) dan kecenderungan untuk investasi berbagai sumberdaya (willingness to invest); dan
dimensi temporal yaitu dimensi komitmen yang mengindikasikan bahwa hubungan yang ada akan
berlangsung sepanjang waktu (lifetime) (Garbarino and Johnson 1999). Berry and Parasuraman
(1991) mengemukakan bahwa komitmen untuk membuat dan melakukan kesepakatan adalah dasar
suatu hubungan, pengorbanan, Anderson and Weitz (1992) menambahkan bahwa stabilitas
hubungan merupakan dasar dari komitmen. Pernyataan ini didukung oleh Dwyer, et al (1987) yang
menyatakan bahwa komitmen relasional antar lembaga diorientasikan untuk menjalin hubungan
jangka panjang dan membutuhkan pengorbanan untuk memelihara hubungan tersebut.
Dalam konteks hubungan pemasaran antar bisnis, Morgan and Hunt (1994) menjelaskan bahwa.
untuk membangun komitmen relasional antar pelaku bisnis dibutuhkan sikap dan perilaku saling
percaya/kepercayaan (trust). Kepercayaan adalah bagian dari perilaku pertukaran sosial positif
yang harus dikembangkan dalam setiap pertukaran dalam pemasaran relasional, agar tercipta ikatan
(bonding) sosial yang tinggi antar pihak yang menjalin kerjasama.
Oleh karena itu, dalam hubungan bisnis antar pelaku, perilaku-perilaku positif pada saat pertukaran
sosial berlangsung menjadi kunci dari kualitas suatu hubungan (relationship quality) sehingga
kerjasama akan berjalan dalam keragaman dan intensitas tinggi bila dilandasi oleh komitmen
relasional yang tinggi pula. Jadi, perilaku positif berupa kepercayaan merupakan pemicu
terciptanya komitmen relasional sehingga memungkinkan untuk meraih kerjasama yang semakin
kuat. Akhirnya, hubungan pemasaran tersebut akan menghasilkan jalinan hubungan harmonis
dalam jangka panjang (Dwyer, Schurr and Oh, 1987).
2.
Sinergitas Kerjasama
Sinergi, berasal dari bahasa Yunani yaitu Synergos yang maknanya adalah bekerjasama dengan
efek hasil yang luar biasa (Corning 1998). Dapat pula diartikan sebagai hubungan timba-balik dua
atau lebih unsur atau kekuatan yang efek dari kombinasi tersebut lebih besar dibanding hasil
penjumlahan secara individual. Menurut Corning (1998), Sinergi adalah suatu kondisi kerjasama
dua pihak atau lebih yang saling mempengaruhi, dimana efek kerjasama tersebut jauh lebih besar
dibanding bila mereka melakukannya secara individual.
Selanjutnya, Axelrod (1984, 2000) menjelaskan bahwa sinergi adalah kondisi organisasi yang
bekerjasama, dan kerjasama itu menghasilkan sesuatu yang secara total akan lebih efisien, lebih
efektif, lebih produktif, dan lebih baik dibanding jika melakukannya secara individual. Covey
(2000), Alan and Andreas (2007) menjelaskan bahwa sinergi adalah hasil keseluruhan yang
dicapai lebih besar daripada hasil jumlah bagian-bagian (individu-individu) yang bekerjasama.
Sinergi adalah kerjasama ”Win-Win”, artinya bila secara matematis 1 + 1 = 2 itu adalah biasa dan
bukan sinergi, namun akan menjadi sinergi bila 1 + 1 = 3 atau lebih banyak lagi (Corning 1998).
Terdapat berbagai makna dari pengertian Sinergi, namun sinergi selalu dimaknai sebagai (Axelrod,
2000), yaitu:
12
1. A mutually advantageous conjunction where the whole is greater than the sum of
the parts.
2. A dynamic state in which combined action is favored over the sum of individual
component actions.
3. Behavior of whole systems unpredicted by the behavior of their parts taken
separately. More accurately known as emergent behavior.
Berdasarkan pemaknaan yang diuraikan di atas, maka dapat dipahami bahwa kerjasama akan
menghasilkan sinergi bila hasil yang diperoleh lebih besar, kombinasi aksi yang dinamik, dan
secara individual mereka tidak mampu memprediksi keseluruhan sistem keperilakuan, namun
dengan adanya sinergi kerjasama akan lebih akurat dalam memahami perilaku yang tak terduga.
Sinergi kerjasama dalam hubungan antar organsiasi diperoleh dari hasil pertukaran relasional antar
pihak yang bekerjasama baik dalam bentuk kerjasama saling melengkapi (komplementer), subsitusi
atau transaksi pembeli-penjual, maupun penggunaan aktiva secara bersama-sama (sharing assets)
(Corning 1998).
Sinergi kerjasama dalam bisnis dapat pula dikelompokkan menjadi: Sinergi Horisontal, Sinergi
Vertikal dan Sinergi Segitiga (Chris-Lucas, 2005). Sinergi horisontal adalah sinergi yang dilakukan
oleh pebisnis yang bekerjasama dipasar yang sama atau yang bersaing untuk memperebutkan pasar
yang sama. Sinergi vertikal adalah sinergi yang dilakukan oleh pelaku bisnis yang fungsinya saling
melengkapi (komplementer). Sedangkan sinergi segitiga adalah sinergi yang dilakukan oleh banyak
pihak: antar kompetitor, komplementer dan organisasi lain yang berkepentingan dengan kerjasama
tersebut.
Suatu kerjasama bisnis akan menghasilkan sinergi, apabila memenuhi beberapa unsur, meliputi:
dimensi pemenuhan kebutuhan pihak yang bekerjasama, dan dimensi peningkatan kinerja
kerjasama (Lee and Kim, 1999), kepuasan antar pihak (Anderson and Narus, 1990); keterlibatan
emosional antar pihak dan berpola pikir Win-Win (Covey 2000).
Sinergi kerjasama dapat dibangun dari kerjasama yang kuat antar organisasi (Anderson and Narus
1990; Muthusamy, et al 2007.), sedangkan kerjasama yang kuat artinya semua pihak yakin bahwa
dengan kerjasama akan menghasilkan sesuatu yang lebih besar/baik (Craig 2005, Sawler 2005),
dan tidak berupaya untuk melakukan tindakan-tindakan oportunis yang akan merusak kerjasama
tersebut. Dengan demikian kerjasama akan menghasilkan suatu sinergi apabila: (1)masing-masing
pihak memiliki sumberdaya strategik yang dibutuhkan dalam kerjasama tersebut
(kekuatan/kekuasaan), (2)pihak yang bekerjasama harus berorientasi pada pola win-win (menangmenang), (3)berkomitmen untuk mencapai tujuan akhir yang lebih besar/baik, (4)didasari oleh
perilaku pertukaran yang positif, (5) bekerja dalam koridor kesepakatan dan mentaati kesepakatan
tersebut, (6)selalu terbuka untuk melakukan perubahan pola kerjasama sebagai alternatif dalam
upaya mencapai hasil yang lebih baik.
Berdasarkan uraian teoretis yang telah dikemukakan maka dapat disusun alur sistematis tentang
pencapaian sinergitas kerjasama dalam konteks pemasaran relasional (Gambar 4.)
13
GAMBAR. 4. SINERGI KERJASAMA DALAM HUBUNGAN ANTAR ORGANISASI
Sumber : Rizal,A, 2009.
Dari Gambar 3. tersebut, dapat dijelaskan bahwa kerjasama akan menghasilkan sebuah sinergi
apabila dilandasi oleh landasan moral yang positif dan landasan logis yang kuat. Landasan moral
atau etika artinya pelaku organisasi harus memulai sebuah kerjasama atas dasar sikap dan perilakuperilaku positif, seperti: memahami kepentingan pihak lain, saling percaya, berkomitmen tinggi
untuk meraih hasil optimal, saling setia, mengembangkan komunikasi yang terbuka, mengakui
adanya perbedaan sumberdaya dan menjadikannya sebagai motivasi dalam bekerjasama serta
berorientasi pada kerjasama yang saling menguntungkan (win-win). Landasan logik, merupakan
rasionalitas dari timbulnya kerjasama bahwa setiap individu/organisasi yang bekerjasama haruslah
memiliki sumberdaya strategis dan kemampuan/kompetensi untuk mengelola sumberdaya tersebut,
jika tidak maka salah satu pihak akan menjadi “benalu” bagi pihak lainnya. Berdasarkan
penjelasan ini maka dapat dimaknai bahwa pihak yang bekerjasama sangat menyadari bahwa
kerjasama yang dibangun atas kekuatan dan kemampuan, serta sumberdaya yang dimiliki dengan
mengeksploitasinya secara optimal dapat menghasilkan sesuatu yang lebih dahsyat bila dilakukan
secara bersama-sama asalkan mereka mengembangkan perilaku-perilaku pertukaran yang positif.
Namun, sinergi tidak dapat dicapai hanya dengan kedua landasan itu, pada saat proses berlangsung
harus pula dalam kendali koridor kerjasama dan konsistensi terhadap tujuan kerjasama tersebut.
Menetapkan tujuan, aturan dan mekanisme dalam kerjasama tersebut menjadi penting, dan setiap
pelaku kerjasama harus menegakkan kesepakatan-kesepakatan tersebut dengan menghindarkan
perilaku-perilaku oportunis saat berlangsungnya kerjasama (Rizal,A, 2009). Dengan demikian
keberlangsungan kerjasama tersebut dapat terkendali secara sistematis, tanpa adanya unsur
keterpaksaan meskipun aturan dan tuntutan tersebut bersifat memaksa/mendesak.
14
Co-opetition dalam Bisnis Pariwisata
Co-opetition adalah gabungan antara Co-operation dan Competition. Co-opetition adalah bersaing
dalam memperebutkan pangsa pasar namun tetap menjalin kerjasama secara komersial dengan para
pesaing, baik pesaing dekat maupun pesaing jauh (Zineldin 2004 dan Palmer 2000). Dalam konsep
masyarakat bebas, setiap individu adalah pesaing dan setiap kehidupan adalah persaingan.
Diharapkan bahwa semua hubungan personal maupun emosional akan dikeluarkan dari hubungan
komersial, hubungan rasional dan pengambilan keputusan. Dalam penelitian ini, sikap ini diwakili
oleh perusahaan besar yang dominan di desa-desa atau daerah tempat tujuan wisata. Mereka
beralasan bahwa bahwa ada risiko bahwa jejaring dan hubungan relasional dari para pengusaha
yang terus berkembang dari waktu ke waktu, akan menjadi terlalu kuat pada suatu saat, akibatnya
akan terjadi kegagalan untuk menjaga kerjasama tersebut dengan landasan komersial. Namun ada
juga para pemilik usaha kecil yang mengemukakan sikap komersial yang sama. Beberapa
pengusaha tersebut mengatakan bahwa dia tidak sepenuhnya mengikatkan diri secara sosial dalam
jalinan hubungan personal dimana mereka telah tumbuh kuat selama bertahun-tahun, alasannya
kedua hubungan tersebut berbeda. Mereka merasa sulit untuk menggabungkan bisnis dan
persahabatan, tapi mereka berkecenderungan untuk mementingkan kepentingan bisnis dibanding
persahabatan. Para pengusaha menjalin kerjasama dalam bentuk pertukaran informasi, pengetahuan
dan pengalaman dalam mengelola bisnis mereka. Jika kerjasama tidak mengarah pada hasil yang
diinginkan, maka banyak pengusaha mengatakan mereka akan membubarkan tanpa ragu-ragu.
Sementara sebahagian dari para pebisnis lainnya, merasa sulit untuk memutuskan hubungan kooperasi yang sudah berlangsung untuk waktu yang lama dan telah mengakar.
Top of Form
Hubungan antara kerjasama dan persaingan sangat penting dengan mengacu pada pemasaran
daerah tujuan wisata. Dari sudut pandang turis, tujuan wisata terpadu adalah lebih baik dan lebih
terjamin, di sisi lain, dalam setiap destinasi wisata (di daerah tujuan wisata) ada persaingan antara
perusahaan/pengusaha yang berbeda dari produk wisata. Destinasi dapat berkembang dalam arah
berbeda, atau mungkin juga stagnan, bergantung pada apakah berbagai wirausahawan bersikap
sebagai pesaing atau mampu hidup berdampingan di berbagai tingkatan/level bisnis.
Berkembangnya destinasi dapat dipengaruhi oleh apakah para perusahaan yang berbeda ditempat
tujuan wisata dapat bekerjasama dengan baik, atau saling bertentangan satu sama lain. Fokusnya
adalah berkompetisi dan bekerjasama secara sehat di antara para pesaing. Sementara itu, Bengtsson
dan Kock, 2000,
mengatakan bahwa co-opetition adalah, pola hubungan yang saling
menguntungkan bagi para pelaku persaingan. Bekerjasama dan bersaing berarti bahwa para pesaing
(pebisnis yang terlibat dalam pasar, dan lini usaha sama atau hampir sama), keduanya memiliki
hubungan yang kompetitif dan kooperatif dengan satu sama lain pada saat bersamaan (Nalenbuff
dan Brandenburger, 1996).
3. Pembahasan
Studi yang dilakukan oleh Weaper dan Oppermann, 2000, menyatakan bahwa pendekatan
pengembangan bisnis pariwisata saat ini semakin berfokus pada kerjasama antar para pengusaha
yang berbeda dan penguatan jejaring. Studi-studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa
keunggulan bersaing untuk menciptakan spesifikasi tujuan wisata dilakukan dengan melibatkan
beberapa pebisnis dengan berbagai aktivitas produksi/operasional dan pemasaran. Usaha Kecil dan
15
Menengah adalah bentuk dan ukuran bisnis yang paling banyak terlibat dalam bisnis ini,
kontribusinya tidak hanya sangat penting bagi perekonomian lokal tetapi juga memberikan suasana
dan karakter khusus bagi perekembangan bisnis ini (Buhalis dan Cooper, 1998). Situasi ini muncul
dari fakta bahwa tempat tujuan wisata itu sendiri merupakan arena untuk konsumsi turis, dengan
demikian perjalanan turis ke tempat tujuan wisata adalah dalam rangka untuk mengkonsumsi suatu
produk. Produk wisata tersebut harus siap untuk dikonsumsi ketika wisatawan tiba di tempat
tujuan, dan para pemain di bisnis ini harus saling melengkapi dalam memenuhi kebutuhan dan
keinginan para turis tersebut, secara simultan.
Industri pariwisata sering digambarkan sebagai usaha yang melibatkan banyak perusahaan kecil
yang memproduksi produk-produk komplementer, tapi usaha-usaha tersebut bersifat independen
satu sama lain, dan bisnis itu tidak dimiliki oleh satu atau beberapa konglomerat. Dalam studi
Carson et al (1995) menyebutkan bahwa usaha-usaha kecil dan menengah sifatnya independen
yang dilandasi motif kuat untuk mencari nafkah (kehidupan) melalui jalan berbisnis. Namun,
sering terjadi peristiwa yang paradoks dalam kasus di tempat tujuan wisata, di mana pengusaha
yang terikat dalam jaringan sosial dan ekonomi tersebut sering mengambil keuntungan sepihak,
padahal usaha tersebut adalah sumber kehidupannya. Perilaku dan tindakan pengusaha yang terjadi
dalam proses interaksi dengan rekanan lain, dilandasi oleh norma-norma lokal dan konsensus
dalam berbisnis menjadi sangat penting. Fenomenanya adalah banyak para pengusaha lokal di
usaha pariwisata yang telah beralih ketempat lain untuk menjalankan usahanya yang lain (Shawn
Williams, 1998). Sementara, orang baru yang membangun usaha ditempat tujuan wisata (di desa
atau di suatu daerah) akan mempengaruhi pola hubungan sosial formal dan informal di lingkungan
tersebut atau membangun nilai-nilai baru baik hubungan antar pengusaha maupun antar lingkungan
masyarakat sekitar. Pembahuran dalam pengelolaan atau manajemen distribusi dan jejaring bisnis
akan menjadi lebih inovatif manakala terjadi modernisasi dalam pengelolaan bisnis tersebut,
namun biasanya pula terjadi perubahan dalam hubungan sosial antar pengusaha, hubungan menjadi
sangat formal dan lepas dari norma-norma lokal yang selama ini terbangun. Ini adalah
problematika serius, manakala hubungan tersebut hanya mementingkan keuntungan privat maka
keuntungan kolektif menjadi terabaikan. Sehingga perlu mendesain sebuah hubungan yang dapat
menjaga kepentingan privat para pengusaha dan kepentingan antar pengusaha, masyarakat,
pemerintah dan alam serta sosial-budaya setempat.
Bisnis Pariwisata di Indonesia
Pertanyaannya adalah ―Bagaimana para pengusaha kecil, menengah, besar melakukan kerjasama
untuk memasarkan produk wisata sebagai produk tunggal dan kesatuan paket wisata yang
terintegrasi‖?. Pada studi ini terungkap bahwa tidak selamanya kerjasama dapat berjalan dengan
baik, karena hubungan bisnis seringkali meniadakan hubungan interpersonal manakala kepentingan
komersial mendesak. Namun ada pula kelompok pengusaha yang beralasan bahwa, jika jejaring
usaha kecil dan menengah menguat maka akan sulit untuk melanggengkan kerjasama, negosiasi
akan menjadi lebih sulit dan biaya akan menjadi lebih tinggi. Fenomena ini terjadi dibanyak daerah
yang pengelolaan wisatanya belum di integrasikan, dilandasi norma-norma lokal, dan hubungan
informal.
Meskipun belum banyak, untuk wilayah yang telah memahami bahwa sebuah strategi besar harus
dibangun untuk memajukan daerahnya sebagai industri pariwisata, maka perspektif strategi
16
pemasaran wisata terpadu yang melandasi aktivitas-aktivitas para pengusaha dalam memasarkan
produk wisatanya secara individual mulai banyak dilakukan dibberapa daerah. Tampak bahwa
motivasi dan nilai-nilai dari para pengusaha memengaruhi cara di mana mereka melakukan
kerjasama, membangun saling percaya antar sesama, memiliki komitmen tinggi untuk membangun
wilayah mereka sebagai destinasi wisata yang unggul dan terpilih oleh para turis, baik lokal,
nasional, maupun internasional. Sebuah kebanggan primordial, jika wilayah mereka menjadi
pilihan wisata para turis, maka mereka selalu menjaga agar keberlangsungan usaha mereka tetap
berjalan dan menang dalam persaingan antar daerah tujuan wisata.
Sisi lain, persoalan yang sering muncul adalah para pengusaha lokal yang memiliki bisnis wisata
ini lebih mudah untuk menggalang persatuan diantara mereka dengan ikatan dan norma-norma
lokal, namun akan menjadi sulit ketika para pengusaha luar untuk masuk dan menjalin kerjasama
baru, untuk bermain di pasar yang sama. Kondisi ini menjadi tidak baik, karena akan menghambat
kemajuan struktur kelembagaan organisasi pariwisata dan kemajuan sebuah daerah. Investor baru
menjadi berguna, apabila inovasi-inovasi baru menyertainya dan mengurangi dominasi pengusaha
lokal yang mapan disuatu daerah wisata yang sering menghambat kemajuan pariwisata itu sendiri.
Oleh karena itu, untuk mendesain suatu produk yang terintegrasi dalam suatu daerah wisata perlu
kekuatan dari pemerintah yang dapat ―memaksa‖ para pengusaha memiliki perspektif ―Sistem
Pariwisata Terpadu‖ atau ―Integrated Tour Destination System‖. Sistem ini dapat didesain dimulai
dari melakukan kajian pasar, potensi sumberdaya, penyiapan sarana dan prasarana, koordinasi antar
perusahaan transportasi, tour and travel, pihak keamanan, koordinasi antar pemerintah daerah,
sampai keseluruh pelaku jasa dan perusahaan-perusahan atau usaha-usaha kecil menengah yang
terlibat langsung pada saat para turis sedang melakukan wisata.
Semua pihak yang terlibat langsung dalam bisnis pariwisata harus memiliki kontribusi dalam
mencapai arah strategi pariwisata yang lebih besar (Cooper, 1997). Misal, Indonesia
mencanangkan industri pariwisata sebagai sektor industri yang diharapkan dapat menjadi tulang
punggung perekonomian, maka konsekuensinya adalah seluruh pihak, baik institusi maupun
masyarakat harus mengarah pada suatu grand strategy yang telah dibuat oleh pengambil
kebijakan/pemerintah. Oleh karena wilayah Indonesia sangat luas dan beragam potensi, maka
pengembangannya perlu didasarkan pada potensi dan kapasitas daerah masing-masing, dengan
mengacu pada Grand Strategy Nasional. Stear, et al (1989) menjelaskan bahwa ‖the tourism
industry is the collection of all collaborating firms and organisations which perform spesific
activities directed at satisfying the particular needs of tourist‖. Dari definisi Stear, et al (1989) ini,
dapat dimaknai bahwa industri pariwisata tersebut memiliki karakteristik saling berhubungan
dengan berbagai spesifikasi sumberdaya dan aktivitas yang dimiliki, yang diarahkan untuk
memuaskan kebutuhan, keinginan dan kepentingan para wisatawan. Dengan demikian, para
pebisnis dalam industri pariwisata tidak dapat bermain sendirian dalam melayani konsumennya,
karena keterbatasan sumberdaya dan kemampuan dari masing-masing organisasi, sehingga bisnis
ini ―mutlak‖ membutuhkan kerjasama dengan pihak lain.
Sementara, pada umumnya perusahaan pariwisata di Indonesia belum terintegrasi untuk mencapai
grand strategy dari bisnis tersebut dan secara nasionalpun tidak terjadi keajegan branding dan
belum memiliki grand strategy yang mapan dan ajeg. Kondisi ini dapat dilihat dari konsistensi arah
strategis yang ingin dicapai oleh pemerintah pusat. Pada tahun 2000, branding yang dibangun
17
secara nasional adalah ―“My Indonesia, Just a Smile Away” yang membuahkan 5,153 juta wisman
dan tahun 2002 sebesar 5 juta. Namun, karena keterbatasan biaya promosi dan kurangnya
sosialisasi pada forum internasional, maka branding ini belum dapat sepopuler ―Malaysia Truly
Asia‖. Tragisnya, belum lagi popular- branding ini telah diganti dengan branding yang bersifat
product oriented: ”Indonesia, Ultimate in Diversity”. Alasan penggantian branding ini untuk
membangun citra (image) bahwa Indonesia memiliki keragaman. Padahal, visi yang ingin dicapai
tahun 2000 belum tersosialisasi secara luas dan diimplementasikan di seluruh wilayah Indonesia,
apalagi dijadikan sebagai landasan pijak untuk penyusunan strategi pada tingkat
perusahaan/pelaku-pelaku bisnis pariwisata di Indonesia.
Organisasi yang terlibat dalam industri pariwisata di Indonesia dari skala kecil sampai dengan
besar, nasional maupun multinasional tersebar diseluruh penjuru tanah air dan didominasi wilayah
Jakarta, Bali, Jawa, sebagian: Sumatra, dan Sulawesi. Sebagaimana tertera pada Tabel 1., berikut
ini:
Tabel 1.Kelompok dan Jumlah Usaha Pariwisata di Indonesia
No
Kelompok Jenis Organisasi
Jumlah
1
Akomodasi*)
5.967
2
Arena Bermain dan Atraksi
699
3
Biro Perjalanan, Penyelenggara MICE, Tour Operator*)
3.667
4
Hiburan dan Rekreasi
1.314
5
Instansi dan Lembaga Pariwisata*)
172
6
Kawasan Obyek Wisata
1.378
7
Grup dan Jenis Pertunjukan Kesenian
403
8
Pusat Kesehatan dan Kebugaran*)
800
9
Transportasi*)
628
10
Wisata Belanja
1.136
11
Wisata Kuliner
6.182
Sumber: Kementerian Budaya dan Pariwisata/Depbudpar, 2009.
*)
Jumlah organisasi tersebut berdasarkan jumlah yang tercatat pada masing-masing daerah tanpa
memperhatikan apakah usaha tersebut kantor pusat atau cabang perusahaan.
Selanjutnya, dari jumlah yang tertera pada Tabel 1. tersebut, yang tergabung dalam organisasi
ASITA, yaitu: perusahaan Tour dan Travel, penyelenggara MICE, perusahaan tempat tujuan wisata
(tourism destination), atraksi-atraksi wisata, jasa transportasi, jasa kesenian dan olah raga serta
perusahaan-perusahaan yang terkait dengan jasa operator wisata tercatat sebesar  535 perusahaan.
Fenomena bisnis pariwisata di Indonesia, seperti: Biro Perjalanan Wisata (BPH) yang beroperasi
18
di Indonesia masih 90% nya adalah berskala usaha kecil dan menengah dan tidak lebih hanya
sebagai bisnis penjualan tiket (ticketing), belum mempunyai kemampuan sebagai perusahaan yang
mengelola paket-paket tujuan wisata (Destination Management Corporation/DMC) (Santosa
2005). Artinya kegiatan merencanakan, mengintegrasikan suatu potensi menjadi tour program,
tour atraction, dan tourism strategy belum banyak dilakukan. Adapun perusahaan perjalanan
wisata yang memiliki kemampuan memanage paket wisata lebih dominan dikuasai oleh perusahaan
lisensi atau patungan dari perusahaan multinasional yang berada diluar negeri. Sementara bisnis
transportasi dan akomodasi memiliki keragaman yang sangat luas dengan presentasi skala usaha
78% kecil dan menengah dan 22% berskala besar dan multinasional. Khususnya untuk bisnis
akomodasi, tour and travel yang mapan dikuasai oleh jejaring bisnis internasional (Santosa 2005).
Jadi, pada tingkat korporasi pengelolaan bisnis pariwisata di Indonesia masih sangat tertinggal.
Ketertinggalan pada tataran skala usaha, kemampuan manajerial, jejaring (networking) dan
kebijakan strategis dari pemerintah yang belum memiliki keajegan strategi maupun program
sehingga menyulitkan untuk menjadikannya sebagai patokan bagi kalangan bisnis. Kecuali, untuk
beberapa daerah tertentu yang telah memiliki pengalaman dalam mengelola industri pariwisata
seperti: DKI-Jakarta, Yogyakarta, Denpasar (Bali), Bandung (Jawa Barat), Surabaya-Malang (Jawa
Timur), dan Magelang (khusus untuk pengelolaan destinasi wisata Borobudur). Pada fenomena
pengelolaan pariwisata di wilayah yang telah cukup mapan tersebut tercermin dari: terintegrasinya
antara tourism destination management, hospitality management, transportation management, tour
and travel management, tour agency management, tour operator management serta kebijakan
pemerintah sektor pariwisata yang berkaitan dengan peraturan maupun penyediaan sarana dan
prasarana untuk kenyamanan dan keamanan para wisatawan. Pada akhirnya, jumlah kunjungan
wisata domestik maupun mancanegara menjadi tinggi untuk wilayah-wilayah tersebut. Contoh:
Provinsi Bali dan Yogyakarta yang memiliki tourism destination management yang profesional
dengan mengemas berbagai paket wisata yang memiliki spesifikasi (kekhasan) dengan memadukan
destinasi alam (nature), destinasi buatan manusia (produk budaya) dengan berbagai atraksi seni,
olah raga maupun pusat kerajinan/pusat belanja. Selanjutnya, tersedia tranportasi lokal dengan
berbagai pilihan (persewaan motor/mobil, taksi) serta becak dan ―andong‖/dokar sebagai
transportasi tradisional. Jasa transportasi ini bekerjasama dengan industri perhotelan, restoran,
industri rumahan (home industry) dan biro perjalanan wisata di beberapa kota yang telah memiliki
integrasi pengelolaan pariwisata. Langkah-langkah strategis ini juga mulai diikuti oleh beberapa
daerah lain yang mulai memfokuskan dan menumbuh-kembangkan industri pariwisata, seperti:
Sumatera Utara (Medan), Sulawesi Utara (Manado), Jawa Tengah (Solo, Semarang, Magelang),
Sumatera Barat (Padang), Sumatera Selatan (Palembang), Sulawesi Selatan (Ujung Pandang),
Batam (Riau) dan beberapa wilayah lain.
Intensitas kerjasama antar pengelola pariwisata di Indonesia dalam memasarkan daerah-daerah
wisata, berdasarkan studi yang dilakukan Rizal,A, (2009), bahwa: organisasi yang paling sering
menjalin kerjasama pemasaran adalah yang secara langsung terlibat dalam industri pariwisata,
seperti: tempat-tempat tujuan wisata, perusahaan ―HOREKA‖ (Hotel, Restoran dan
Katering/Kafe), Biro perjalanan wisata, perusahaan transportasi, perusahaan pemasok dan
organisasi penyelenggara ―MICE” (Meeting-Incentives-Conferences-Event). Untuk instansi
pemerintah juga sering melakukan kerjasama pemasaran ini, bentuk kerjasama yang sering
dilakukan adalah penyelenggaraan pertemuan-pertemuan (konferensi yang sifatnya periodik).
Sementara untuk lembaga pemerintah yang langsung menangani kepariwisataan di Indonesia yaitu
19
Dirjen Pariwisata dan untuk didaerah dengan Dinas Pariwisata. Untuk kondisi ini, responden
menjelaskan bahwa hubungan dengan Dirjen/Dinas pariwisata lebih banyak bersifat normatif dan
koordinatif. Sehingga hubungan timbal balik komersial tidak dapat diukur secara absolut, karena
Dirjen/Dinas tidak mendapatkan keuntungan secara langsung namun program-program promosi
daerah/wilayah dapat terkoordinir. Kerjasama pemasaran ini juga dilakukan dengan pihak-pihak
luar negeri, terutama kedutaan/perwakilan negara sahabat, biro perjalanan luar negeri dan pusatpusat bisnis dan kebudayaan. Untuk kerjasama ini, lebih banyak difokuskan dalam konteks
penyediaan akomodasi, traveling dan untuk membuat katalog, brosur dan seluruh bentuk informasi
yang berkaitan dengan pariwisata di Indonesia. Hubungan ini dijalin tidak selalu menggunakan
kontrak perjanjian. Hal ini menunjukkan bahwa kerjasama pemasaran dapat berlangsung meskipun
tanpa diikat dengan suatu perjanjian resmi, jika kedua belah pihak sudah saling percaya dan
memiliki komitmen yang sama untuk mengembangkan industri pariwisata.
Namun, terdapat pula informasi bahwa kerjasama pemasaran dapat terjadi akibat dari hubungan
interpersonal para manager/pimpinan perusahaan dan tanpa diikat dengan suatu perjanjian formal,
misal bila terdapat kelebihan jumlah permintaan: 1) kamar hotel maka akan dilimpahkan pada
rekanan lain yang telah dipercaya, atau 2) menggunakan armada transportasi rekanan dalam
mengelola turis, 3)bila terjadi kekurangan untuk pasokan bahan makanan dapat meminjam dari
pemasok lain. Kegiatan-kegiatan ini terus berlangsung dan tidak terhalang oleh ada/tidaknya
perjanjian formal dan sifatnya saling percaya dan selalu berupaya menjaga keberlangsungan
hubungan.
Untuk kondisi ini, dapat dijelaskan bahwa satu rekanan menjadi sangat penting bagi
lainnya bila organisasi tersebut sangat dibutuhkan bagi keberlangsungan hidup perusahaan.
Artinya, jenis transaksi atau kerjasama tersebut vital dan fatal bagi keberlangsungan
organisasi. Wujud kerjasama tersebut, berupa :
1.
Penyedia
(pemasok)
bahan-bahan
kebutuhan
akomodasi
untuk
hotel/
restoran/katering/kafe, antara lain: untuk bahan-bahan kebutuhan dasar (peralatan kamar
mandi, pembersih lantai, bahan mentah masakan, minuman, penyedia alat-alat dapur, alatalat saji, jasa pencucian pakaian, peralatan kamar tidur.
2.
Untuk jasa travel dan biro perjalanan wisata: Penyedia jasa transportasi (darat, laut, udara),
Jasa Ticketing, Jasa bengkel, jasa telekomunikasi, jasa akomodasi (tempat
penginapan/hotel, jasa restoran, jasa keamanan, perusahaan jasa minyak dan gas.
3.
Perusahaan sejenis dan komplementer dengan perusahaan responden: (sesama hotel,
restoran, kafe; biro perjalanan wisata lain (dalam dan luar negeri); koordinator kunjungan
wisata, organisasi penyelenggara pertunjukan (MICE), tempat-tempat tujuan wisata.
Sementara organisasi yang dianggap penting dan perlu bagi perusahaan adalah organisasi yang
mendukung keberlangsungan transaksi dengan konsumen akhir. Penting artinya organisasi lain
tersebut diperlukan untuk lebih mendukung upaya-upaya efektivitas dan efisiensi pengelolaan
organisasi, sehingga organisasi dapat beroperasi lebih mudah, lebih mempercepat dan lebih
mampu menjangkau konsumen akhir.
1. Jasa keuangan (untuk sistem pembayaran: master card dan visa card), jasa perbankan, jasa
asuransi, maupun untuk pembiayaan transaksi antar pihak yang bekerjasama
20
2. Jasa biro periklanan, media massa dalam dan luar negeri. Jasa-jasa layanan informasi
melalui media internet.
3. Dinas Pariwisata, Lembaga-lembaga sertifikasi, audit management dan institusi, dan
lembaga-lembaga pemerintah yang sering berinteraksi langsung dengan kepariwisataan
(kepolisian, dan pemerintahan daerah)
4. Jasa transportasi kota (seperti: taxi dan bus) dan pemandu wisata (guide)
5. Lembaga-lembaga perwakilan negara asing, organisasi pariwisata internasional.
Untuk organisasi yang dianggap kurang penting bagi organisasi tetapi diperlukan adalah
organisasi yang menjadi pelengkap dalam keberlangsungan bisnis pariwisata ini.
Organisasi ini meskipun pelengkap, tetapi berkaitan dengan kegiatan-kegiatan hedonis
yang dapat dilakukan oleh konsumen akhir/wisatawan, dimana hal ini berguna sebagai
upaya perusahaan untuk mengoptimalkan layanan, seperti:
1.
Para pengrajin, pedagang/pengusaha souvenir (cenderamata), pusat perbelanjaan/
perkulakan,
2.
Organisasi kesenian/kebudayaan, dan kelompok-kelompok atraksi keterampilan (seperti:
Sulap, Sirkus, Reog, Kesenian Tari, Wayang, Lenong, Ketoprak, Debus, dan grup-grup
musik tradisional).
4.Kesimpulan
Pola hubungan antara organisasi dengan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) baik
internal (intra-firm relationship) maupun eksternal organisasi (inter-firm relationships) yang
diorientasikan untuk mencapai sinergitas kerjasama. Artinya para pengsuaha bersaing dan
bekerjasama untuk memajukan daerah tujuan wisata, sehingga menghasilkan sesuatu yang spesifik
baik bagi perusahaan secara individual maupun unggulan pada wilayah tersebut. Kerjasama antar
organisasi harus dilandasi oleh perilaku positif dan sumberdaya strategik yang dimiliki setiap
pebisnis agar dicapai sinergitas kerjasama.
Selanjutnya, secara rinci dapat direkomendasikan bahwa untuk menumbuh-kembangkan hubungan
bisnis antar organisasi dalam bisnis periwisata ini, dapat dikembangkan pola-pola hubungan
sebagai berikut:
1. Landasan Menjalin Kerjasama
Untuk menjalin kerjasama yang dapat mencapai hasil-hasil strategis tidaklah cukup hanya
didasarkan pada kepentingan kedua belah pihak saja tetapi perlu dilandasi dengan saling percaya
(kepercayaan), sumberdaya strategik yang dimiliki, kompetensi khas dan kecakapan dalam
mengelola informasi, yaitu: Mengembangkan kejujuran dalam bertransaksi, Menepati setiap
janji/kontrak kerjasama, Berlaku adil dengan setiap rekanan bisnis, Memberikan hak secara
proporsional dengan rekan bisnis, Selalu akurat dan tepat dalam menghitung transaksi, Tidak
menuntut banyak persyaratan yang akhirnya menyulitkan rekan bisnis. Di samping itu, dari
temuan-temuan studi dapat dihimpun sebanyak 7 (tujuh) kriteria persyaratan operasional yang
harus dikembangkan dalam menjalinan hubungan ―co-opetion‖ ini, yaitu :
21
1. Kerjasama dibangun oleh dua atau lebih orang, grup, organisasi yang memiliki hasrat
kuat untuk menjalin hubungan harmonis
2. Masing-masing pihak melakukan proses kerjasama dengan nilai-nilai dasar untuk
memenuhi apa yang dibutuhkan/diharapkan oleh pihak lain.
3. Setiap pelaku bisnis berupaya (memiliki semangat) untuk ”memberikan sesuatu yang
bernilai” bagi pihak lain selama menjalin kerjasama.
4. Setiap organisasi memiliki hak untuk meninggalkan rekanannya setiap saat, apabila
bekerjasama justru menghasilkan kondisi yang lebih buruk.
5. Setiap entitas yang menjalin kerjasama harus mampu dan berkesempatan
mengkomunikasikan kehendak-kehendaknya kepada entitas lain.
6. Setiap entitas memiliki landasan etik dan norma yang mulia, sejak awal sebelum
dilangsungkan kerjasama telah memiliki komitmen tinggi untuk mencapai hubungan yang
berkesinambungan (sustainable long-term relationships), dan
7. Setiap pihak berupaya untuk menyeimbangkan hubungan, jika terjadi konflik
kepentingan.
Pelaku bisnis dalam industri pariwisata ini, perlu menjaga komitmen relasional dalam proses
berlangsungnya kerjasama. Orientasi pada: hubungan harmonis, hubungan jangka panjang (longterm relationship), upaya membangun hubungan yang kuat, mematuhi konsensus, tidak mudah
untuk mengganti rekanan, selalu berkehendak untuk memperoleh hasil optimal atas kerjasama yang
dilakukan, dan tidak hanya mementingkan kepentingan sepihak saja adalah modal dasar untuk
mengembangkan kerjasama yang intensif dalam bisnis pariwisata ini.
1. Upaya Menciptakan Hubungan Langgeng antar Pebisnis
Implikasi manajerial dalam industri pariwisata di Indonesia, dapat dirumuskan sebagai berikut,
bahwa :
1.
Hubungan bisnis harus diarahkan untuk mencapai kesetiaan, keeratan hubungan dan
komunikasi positif (pesan berantai positif) sehingga jalinan hubungan antar organisasi bersifat
jangka panjang.
2.
Untuk mencapai itu pihak manajemen harus melakukan langkah-langkah positif dalam
menjalin hubungan, yaitu :
1.
Kerjasama dilakukan oleh berbagai pengusaha yang memiliki aset strategis unggul yang
dilandasi oleh kepercayaan dan komitmen relasional agar tercapai sinergitas kerjasama.
22
2.
Mengembangkan pola kerjasama yang berorientasi pada pengembangan wilayah tujuan
wisata, sehingga produk wisata didesain sebagai suatu kesatuan yang terintegrasi.
3.
Menumbuh-kembangkan lingkungan yang kondusif bagi perusahaan untuk melangsungkan
operasional perusahaan dan kerjasama dalam industri pariwisata di Indonesia.
4. Upaya Mencapai kinerja yang strategis
Upaya yang dilakukan oleh pihak manajemen dalam mencapai kinerja yang tinggi adalah dengan
cara:
1.
Selalu berupaya untuk mengendalikan kerjasama sehingga diperoleh sinergitas dari
kerjasama tersebut. Pengendalian dilakukan dengan cara melibatkan terus menerus rekanan
terhadap transaksi yang memang merupakan kompetensi rekanan. Saling melibatkan antar
rekanan akan diperoleh hasil yang lebih: banyak, besar, efektif, efisien dan produktif.
2.
Perusahaan harus tetap konsentrasi pada persaingan dan memperhatikan para pesaingnya,
agar diketahui posisi perusahaan dalam persaingan dan selanjutnya dapat menentukan
langkah-langkah strategis dari kondisi tersebut. Pengetahuan perusahaan terhadap posisi
dalam persaingan akan memudahkan manajemen untuk mengambil keputusan strategis,
terutama untuk menghadapi persaingan dan melayani konsumen akhir.
3.
Para pelaku bisnis dalam industri pariwisata perlu meyakini bahwa kerjasama akan
menghasilkan kinerja pemsaran yang optimal. Kerjasama antar organisasi akan
mengoptimalkan: penggunaan sumberdaya/asset strategis berujud (tangible assets) maupun
tidak berujud (social capital, intelectual capital) dan kapabilitas perusahaan, sehingga
pengelolaan usaha akan lebih efektif dan efisien. Pengelolaan optimal diharapkan dapat
mempertinggi kinerja pemasaran yang diperoleh dari hubungan antar organisasi. Karena
sebagaimana yang disampaikan oleh beberapa ahli manajemen, bahwa kinerja pemasaran
merupakan landasan untuk memperoleh kinerja keuangan dalam perusahaan, tanpa
mampu mencapai kinerja pemasaran yang optimal maka perusahaan akan sulit mencapai
nilai perusahaan (corporate value) yang tinggi (Kaplan and Norton, 2004, Clark, et al
2006, dan Rob McLean. 2006).
4. Implikasi Kebijakan Publik
Indonesia adalah negara yang memiliki banyak tempat tujuan wisata (tourism destination), yang
masing-masing memiliki keunggulan dan keterbatasan. Secara demografis, sosiologis, sosiopsikologis, budaya-subbudaya serta setiap daerah memiliki kapasitas dan kapabilitas pengelolaan
berbeda-beda, maka terdapat tuntutan strategis yang harus diperhatikan oleh pelaku bisnis ini dan
para pejabat pemerintah yang terkait. Perlu dan harus didesain strategi pengembangan industri
pariwisata dengan cara menyusun Grand Strategy industri pariwisata di Indonesia yang berbasis
budaya lokal dengan pengelolaan manajemen modern (Grand strategy of Indonesian Tourism
based on Local Culture and Resources). Hal ini penting, agar keuntungan ekonomis dari industri
pariwisata dapat dinikmati oleh para pelaku bisnis lokal sehingga dapat memberdayakan para
23
pengusaha dan industri kecil/rumahan dan menengah yang berhubungan dengan bisnis pariwisata
ini.
Secara operasional dapat dipetakan hubungan kerjasama pemasaran ini dengan pola sebagai
berikut:
Industri pariwisata melibatkan berbagai organisasi bisnis yang memiliki karakteristik
berbeda-beda, tetapi satu sama lain memiliki ketergantungan terhadap lainnya. Berdasarkan
karakteristik usaha, perusahaan yang mengelola pariwisata ini dapat dikelompokkan menjadi:
travel organizer (tour operator, retail travel agencies, wholesale travel agencies, tour organizers,
dan event organizers (MICE), perusahaan transportasi (transport companies) yaitu: maskapai
penerbangan, perkapalan dan transportasi darat; perusahaan akomodasi (accomodation companies)
yaitu: hotel, motel, apartemen, bungalow dan camp- sites; perusahaan food and baverages
(restoran, kafetaria, pubs, dan katering; recreational dan leisure companies (taman umum/taman
nasional, teater, museum, galeri seni), dan koordinator industri pariwisata (perusahaan pemerintah
yang mengorganisir tour agensi, dan asosiasi tour agensi). Walaupun perusahaan-perusahaan
tersebut beroperasi secara independen dan selalu bersaing satu sama lain, namun perusahaan
tersebut adalah bagian dari keseluruhan sistem dalam industri ini.
Oleh karena itu, hubungan pemasaran antar organisasi ini perlu dibuat secara sistematis sehingga
kerjasama yang dihasilkan dapat menghasilkan sinergi kerjasama yang fantastis, dan mampu
menciptakan keunggulan bersaing perusahaan dan menguatkan posisi perusahaan dalam
persaingan. Pada akhirnya kerjasama ini akan menghasilkan kinerja pemasaran yang tinggi. Secara
diagramatik pola kerjasama tersebut dapat dibuat dalam bentuk diagram sebagai berikut:
GAMBAR 4. POLA HUBUNGAN ANTARA PERUSAHAAN DALAM INDUSTRI
PARIWISATA DI INDONESIA
Sumber:diadopsi dari Rizal,A, 2009.
Pola kerjasama dalam industri pariwisata di Indonesia ini perlu dikembangkan dengan
pola kerjasama yang dapat dikontrol secara manajerial/ dikoordinir oleh organisasi profesional.
Untuk itu, organisasi yang menjadi koordinator merupakan perusahaan pemerintah atau asosiasi
industri pariwisata. Koordinator dari institusi pemerintah bukanlah instansi seperti Dinas
24
Pariwisata. Alasannya, instansi ini memiliki karakteristik dan birokrasi yang sangat berbeda
dibanding dengan industri pariwisata. Industri pariwisata memerlukan profesionalisme, dan
kompetensi tinggi dalam pengelolaannya, sehingga pola kerja efektif, efisien, dan produktivitas
tinggi merupakan tuntutan dan keharusan.
Berdasarkan Gambar 4. dapat dijelaskan bahwa koordinator berperan membuat
rancangan, mengintegrasikan dan mengkoordinasikan seluruh aktivitas perusahaan-perusahaan
yang menyediakan produk dan jasa pariwisata baik langsung maupun tidak langsung. Sementara,
perusahaan-perusahaan agensi perjalanan wisata dan event organizer adalah pengelola
operasionalisasi seluruh rangkaian aktivitas wisatawan, termasuk memberikan informasi yang
dibutuhkan wisatawan. Pola hubungan ini dibangun atas dasar perilaku positif, yaitu saling percaya
dan komitmen terhadap konsensus.
Apabila model ini dikembangkan, keuntungan ekonomis tidak akan hanya dinikmati oleh investor
asing dan swasta yang sangat kuat dalam bisnis ini. Akan terjadi mutual-benefit antar pihak-pihak
yang bekerjasama, sebagaimana dinyatakan oleh Stokes (2003, 2006), bahwa: industri pariwisata
tidak akan pernah tumbuh dengan cepat tanpa atmospir yang kondusif baik berasal dari masyarakat
lokal maupun yang diciptakan oleh pemerintahan lokal maupun pusat melalui peraturan-peraturan
yang dapat memelihara dan menjaga potensi ekonomi dan lingkungan dimana pariwisata tersebut
akan ditumbuh-kembangkan. Beberapa contoh negara lain yang telah membentuk pola koordinator
ini, seperti: Australian Tourism Organization, Thailand Tourism Organization, Malaysia Tourism
Organization yang berfungsi untuk mengkoordinasikan strategi-strategi pariwisata sampai pada
tingkat implementasi, meskipun dinegara-negara tersebut tetap masih banyak asosiasi organisasiorganisasi yang satu line of business.
Selanjutnya untuk membangun, menumbuh-kembangkan industri pariwisata, dan meningkatkan
kunjungan wisata baik antar daerah (wisatawan nusantara) maupun wisatawan manca negara dapat
direkomendasikan beberapa kebijakan pemerintah pusat maupun daerah secara spesifik, yaitu:
1.
Memahami Perilaku Pelancong. Perilaku pelancong pada dasarnya adalah sama, yaitu
untuk memenuhi kebutuhan hedonis (sesuatu yang menyenangkan) yang diperoleh melalui
traveling, destinasi wisata, pertunjukan, dan akomodasi (Jago dan Shaw 1998). Sehingga,
perlu penggarapan secara profesional dan proporsional dari seluruh objek-objek wisata
(tourism destination) yang dipadukan dengan atraksi-atraksi tradisional dan modern. Oleh
karena itu, diperlukan destination tourism management pada tataran nasional,
wilayah/daerah dan perusahaan.
2.
Pemberdayaan masyarakat baik yang berkaitan dengan profesionalisme pelaku pariwisata
maupun masyarakat umum. Berdayanya masyarakat sekitar objek wisata maka potensi
sumberdaya lokal akan dapat memberikan nilai tambah kepada perekonomian rakyat, jika
tidak maka akan terjadi ketimpangan antara pengelola wisata modern dengan masyarakat
yang daerahnya menjadi objek wisata.
3.
Upaya mencapai keseimbangan pengembangan potensi ekonomi dari sektor pariwisata
maka pemerintah perlu mengidentifikasi dan menumbuh-kembangkan wilayah tujuan
wisata potensial di Indonesia secara terintegrasi dan terprogram (melalui tahapan prioritas),
tidak terkonsentrasi hanya pada wilayah tertentu (Jawa dan Bali). Selanjutnya, untuk
25
mengoptimalkan outcomes yang ditargetkan, pemerintah pusat melalui pimpinan/pejabat
daerah dapat menggunakan power-nya untuk mengintegrasikan objek wisata, saranaprasarana wisata yang dikelola oleh swasta maupun BUMN yang ada didaerah-daerah.
4.
Pengemasan paket-paket wisata harus dilakukan dengan melibatkan banyak pihak yang
berkompeten dalam mengambil keputusan, sehingga implementasi strategisnya akan lebih
terkoordinir, tepat waktu dan efisien. Oleh karenanya diperlukan Tour and Travel
Management yang diimplementasikan secara komprehensif dan terintegrasi pada tingkat
organisasi (perusahaan), daerah dan nasional.
5.
Pemerintah selayaknya melakukan regulasi terhadap tumbuh-kembangnya organisasi
pariwisata, sehingga (misal) Biro Perjalanan Wisata tidak diperkenankan hanya menjual
tiket tanpa turut serta mendesain bagaimana meningkatkan industri pariwisata di
wilayahnya atau secara nasional.
6.
Merancang event internasional, nasional maupun lokal daerah yang dikemas menjadi suatu
objek destinasi bagi wisatawan lokal, nasional maupun internasional dan sifatnya
berkelanjutan.
7.
Pemerintah dan pelaku bisnis pariwisata konsisten memanfaatkan media dan teknologi
informasi sebagai sarana promosi kepada seluruh calon wisatawan dan pemangku
kepentingan lainnya. Sehingga terbangun sistem informasi pariwisata Indonesia yang
terintegrasi dari sabang sampai merauke.
8.
Untuk meningkatkan wisatawan nusantara, kerjasama antar daerah/wilayah merupakan
potensi yang sangat besar. Kerjasama dapat dilakukan antar departemen, misalnya untuk
liburan sekolah dari Taman Kanak-Kanak sampai dengan Perguruan Tinggi dapat dijadikan
sebagai objek konsumen akhir. Caranya, paket-paket wisata antar daerah dikemas oleh
Koordinator industri wisata (saat ini hanya ada dibeberapa daerah meskipun belum
terintegrasi), dan dikemas paket-paket wisata berdasarkan tiap-tiap segmen yang dituju.
Hasil perencanaan strategis tersebut di koordinasikan pada tingkat antar pemerintahan kota,
kabupaten, dan provinsi di seluruh Indonesia. Jika ini dilakukan, kita akan memperoleh
hasil yang tidak hanya pemerataan pendapatan tetapi tumbuh-kembang perekonomian antar
daerah akan semakin berimbang, dan akan memberikan wawasan nusantara bagi para anak
bangsa. Untuk melaksanakan ini dibutuhkan komitmen dari pelaku bisnis pariwisata dan
aparat pemerintahan (para pengambil keputusan dan pelaksana).
9.
Untuk wisatawan mancanegara, memanfaatkan seluruh konsulat, atase dan kedutaan besar
Indonesia untuk menjadi sarana produktif memperkenalkan dan membangun citra Indonesia.
Meningkatkan intensitas kerjasama dengan biro perjalanan wisata internasional (luar negeri)
dan maskapai penerbangan untuk route perjalanan.
26
DAFTAR PUSTAKA
Aaker, David A & Kumar V (1989), Marketing Research, 7th Edition, New : John Willey & Son,Inc.
Alan, Smart., and Andreas, Dudas. 2007. ―Developing a decision-making framework for implementing
purchasing synergy: a case study‖. International Journal of Physical Distribution & Logistics
Management. Vol.37. No.1, pp. 64-89
Andaleeb, Syed-Saad. 1996. ―An Experimental Investigation of Satisfaction and Commitment in Marketing
Channels: The Role of Trust and Dependence.‖ Journal of Retailing. 72 (spring), pp 77-93.
Anderson, Erin & Barton Weitz (1992),‖The Use of Pledges to Build and Sustain Commitment in
distribution Channels,‖ Journal of Marketing Research, Vol.XXIX (Feb), 18-34.
Anderson,James.C, and James, A.Narus. 1990. ―A Model of Distribution Firm and Manufacturer Firm
Working Partnerships‖. Journal of Marketing Reasearch. Vol 54 (Januari), 42-58.
Athiyaman,A. 1995.―The interface of tourism and strategy research: an analysis‖. Tourism Management.
Vol. 16 (6), pp.447-453.
_______, and Robertson. R.W. 1995. ―Strategic planning in large tourism firms: An empirical analysis‖.
Tourism Management Journal. Vol.16.(3), pp.199-205
_______,2000. On six expand in Cooperation Theory. Prepared for a Special Issue of Analyse & Kritik on
The Evolution of Cooperation, School of Public Policy, University of Michigan. [email protected]
Axelrod, Robert. 1984. The Evolution of Cooperation. New York, Basic Books.
Barney. Jay, (1991), ―Strategic Resources and Sustained Competitive Advantage‖, Journal of Management ,
17(1), pp99-120.
Bengsston, M, and Kock, S. 2000, ―Coopetition‖ in business network to cooperate and compete
simultaneously‖, Industrial Marketing Management, Vol.29. pp 411- 426.
Berry, Leonard.L. 1983. ―Relationship Marketing‖: in Emerging Persfective on Services Marketing.
American Marketing Association. pp 25-28.
_______,and A.Parasuraman. 1991. Marketing services: Competing throught quality. New York, NY: The
Free Press.
_______.1995. ―Relationship Marketing of Services-Growing Interest, Emerging Perspectives‖. Journal of
the Academy Marketing Science. Vol. 23 (4), pp. 236-245.
Bourgeois,L.J, and Brodwin, D.R. 1984. ―Strategic implementation, five approaches to an elusive
phenomenon‖. Strategic Management Journal. Vol.5.pp,241-264.
Bucklin, Louis P, and Sanjit Sengupta. 1993. ‖Organizing Successful Co-Marketing Alliances.” Journal of
Marketing.” Vol.57 (2), pp.32-46.
Buhalis, D., and Cooper, C. 1998, Competition or Cooperation? Embracing and Managing in Tourism,
Routledge London.
27
Burns, P., And Holden, A. 1995, Tourism a New Perpective, Prentice Hall. Hernel Hempstead.
Carson, D., Cornie, S., McGowan, P, and Hill, J. 1995, Marketing and Entrepreneurdship in SME’S, Prentice
Hall. Hernel Hertfordshire.
Chon, K.S, and Olsen, M.D. 1990. ―Applying the strategic management process in the management of
tourism organisations‖. Tourism Management . Sptember, pp.206-213.
Chris-Lucas. 2005. Value Metascience and Synergistic Choice. www.Chris-Lucas.com
Clark,H.Bruce., Abels V.Andrew, dan Ambler, Tim. 2006. ―An Information Processing Model of Marketing
Performance Measurement‖. Journal of Marketing Theory and Practice. Summer 2006, Vol.14(3),
pp.191-208.
Cooper,C.1997. ―The contribution of lifecycle analysis and strategic planning to sustainable tourism‖. Dalam
S. Wahab & J.Piagram (editorial). Tourism development and growth: the challenge of
sustainability. pp.78-94, London, Routledge.
Corning,A.Peter. 1998. ―Synergy Another Idea Whose Time Has Come?.‖ Journal of Social and
Evolutionary System. Vol 21.pp.1-9.
Covey,Steven.R. 2000. ―The seven habits of highly people‖.
Craig, John.D. 2005. ―Northwest synergy: a lesson in effective collaboration‖. Healthcare Financial
Management. Vol.59, (4) April.pp.108-117.
Craveens, David.W. (1994), Strategic Marketing 4th.ed., Irwin, Chicago.
Craveens, David.W. 1994. Strategic Marketing 4th.ed. Irwin, Chicago.
Drucker, Peter. 1996, ‖Non profit prophet‖, The Aliance Analyst, www.alliance analyst. Com. di akses
oktober 2007.
Dweyr.F,Robert., Paul.H, Schurr, and Sejo Oh. 1987.‖Developing Buyer-Seller Relationship.‖ Journal of
Marketing. Vol.51 (April). pp.11-27
Egan, John. 2001. Relationship Marketing: Exploring Relationship Strategies in Marketing. 1th ed. Pearson
Education Limited, England.
Ferdinand, Augusty,T., 1999, Strategic Pathways Toward Sustainable Competitive Advantage, Desertation,
Suothern Cross University, Australia.
Ganesan, Shankar. 1994. ― Determinant of Long Term Orientation in Buyer-Seller Relationship‖. Journal of
Marketing. Vol 58 (April 1994), pp.1-19.
Garbarino, Ellen, & Mark S. Johnson (1999), ―The Different Roles of Satisfaction, Trust, and Commitment
in Customer Relationship,‖ Journal of Marketing, Vol. 63, April, 70-87
Garcia-Falcon, Juan Manuel and Medina-Munoz, Diego. 1999.―The relationship between hotel companies
and travel agencies: An empirical Assesment of The United States Market‖. The Service Industries
Journal. Vol.Oct 19.(4). pp. . 102-122
Geykens, Inge ________., Jan-Benedict.E.M., Steenkamp, Lisa K. Scheer, and Nirmalya Kumar. 1996. ―The
Effect of Trust and Interdependence on Relationship Commitment: A Trans-Atlantic Study.‖
International Journal of Research in Marketing. Vol.13 (October), pp.303-317.
28
Geykens, Inge., Jan Benedict E.M., Steenkamp, and Nirmalya, Kumar. 1999. ‖A-Meta Analysis of
Satisfaction in Marketing Channel Relationship‖. Journal of Marketing Research. Mei, pp.1-16.
Grant, Robert, 2000, ―Strategic Management‖ New Jersey; Prntice Hall.
GrÖnroos, Christian. 1990. ―Relationship approach to the marketing function in service contexts: the
marketing and organization behaviour interface‖.Journal of Business Research, Vol.20, pp.3-11.
Gronrroos, Christian, (1997), Keynote Paper: ―From Marketing Mix to Relationship Marketing : Towards a
Paradigm Shift in Marketing‖, Management Decision, Volume 35 NO.4. , p 332-339, MCB
University Press Limited.
_______.1994a. ―From Marketing Mix to Relationship Marketing : Towards a Paradigm Shift in
Marketing‖. Asia-Australia Marketing Journal, Vol.2 (1).
_______.1994b. ―From Marketing Mix to Relationship Marketing : Towards a Paradigm Shift in
Marketing‖. Management Decision. Vol.32 NO.2. MCB University Press Limited.
Gummesson, E., (1999), “Total Relationship Marketing: Rethinking Marketing Management from Ps to 30
Rs‖. Oxford: Butterworth Heinemann.
.............., (2000),‖Return on Relationships (ROR): building the future with intellectual capital‖, paper 5
(www.mcb.co.uk /services/conferen/ nov99/ rm).
_____.2002. ―Total Relationship Marketing.‖ British Library Cataloguing in Publication Data.
Gundllach, Gregory T., Ravi S. Achrol, & John T. Mentzer (1995),‖The Strucure of Commitment in
Exchange,‖ Journal of Marketing,Vol.59, 78-92
Hage, Jerald. 1994. Organizational theory and the concept of productivity. In Productivity research in the
behavioral and social sciences, ed. AP.Brief, pp.91-125, New York, NY: Praeger.
Hall.C.M. 2000. ―Tourism Planning: policies, processes and relationship‖. Harlowe, England, Prentice-Hall.
Jago.L. K., dan Mc.Ardle.K. 1999. A Temporal, spatial and thematic analysis of Victoria’s special events.
Research paper. CAUTHE National Research Conference, Adelaide, pp. 113-124.
_______, and Shaw.R.N. 1998. Categorisation of special events: A market perspective. Research paper- A
Conference examining tourism issues in New Zealand and Australia. Massey University, New
Zealand.
Jamal.T.B., and Getz.D. 1995. ―Collaboration theory and Community tourism planning‖. Annals of Tourism
Research. Vol 22(1), pp.186-204.
Kanter, Rosabeth Moss. 1968. ―Commitment and social organization: A Study of Commitment of
mechanisms in utopian communities‖. American Sociological Review. Vol.33, pp.499-517.
_______. 1972. ―Commitment and Community: Communes and utopias in sociological perspective‖.
Cambridge,MA, Harvard University Press
_______. 1977. ―Men and Women of the corporation‖. New York, NY, Basic Book.
Kaplan,Robert.S., and Norton, David.P. 2005. “Strategy Map: Converting Intangible Assets into Tangible
Outcomes”.Harvard Business School Press, Boston, Massachusetts.
29
Kenneth F.D. Hughey., Jonet C. Ward., Kirsten A. Crawford., Lesley McConnell., Jeremy G.Philip, and
Robys Washbourne. 2004. ―A classification framework and management approach for the
sustainable use of natural assets used for Tourism. The International Journal of Tourism Research.
Sep/Oct, Vol.6, 5, pp.349-363.
Lee Chong Ju , and Sae Won Kim. 1999. ―Consumer Trust Social Marketing and Ethics of Welfare
Exchange‖. Journal of Business Ethics. Vol.74 (Springer). pp.17–23
Midleton.V. 2001. Marketing in Travel and Tourism. 3rd ed.Butterworth Heinemann, Thousand Oaks, CA:
Sage Publications.
Moorman, Christine., Zaltman, Gerald, and Despande, Rohid. 1992. ―Relatioships between Providers and
Users of Market Research: The Dynamics of Trust within and between Organizations‖. Journal of
Marketing Research. Vol.29 (August), pp.314-328.
Morgan, Robert M.,& Sherlby D. Hunt (1994),‖The Commitment-Trust Theory of Relationship Marketing,‖
Journal of Marketing,Vol.58, 20-38
Muthusamy. Senthil Kumar., Margaret A.White, dan Amelia Carr. 2007. ―An- Empirical Examination of The
Role of Social Exchange in Alliance Performance‖ . Journal of Managerial Issues. Vol.XIX(1),
pp.53- 75
Nalenbuff, B, and Brandenburger, A. 1996, “Co-opetition”, ISL, forslag AB, Oskarshamn.
Palmer.A.J, and Bejou. D. 1995. ―Tourism destination marketing alliances‖. Annals of Tourism Research.
Vol.22(3), pp.616-629.
_______._1996. ―Relationship Marketing: a universal paradigm or management pad?‖. The Learning
Organisation. Vol.3(3),pp.18-25.
________.2000. ―Co-operation and Competition: a Darwinian synthesis of relationship marketing‖.
European Journal of Marketing. Vol.34 (5/6), 687-704.
Porter, M. E, (1980), Competitive Strategy., New York; Free Press.
............., (1985), Competitive Advantage ., New York; Free Press.
.............,(1987), From Competitive Advantage to Corporate Strategy, Hrvard Business Review.
Prahalad.C.K., and Gary, Hamel. 1990. ―The core competence of the corporation‖. Harvard Business
Review. Vol.68, pp.79-87
Rao, S, and Perry,C. 2002, Thingking about Relationship Marketing: Where are We Now?, Journal of
Business and Industrial Marketing, Vol.17, pp.598-614.
Rizal, Alimuddin. 2009: Kekuatan Memaksa dalam Pemasaran Relasional: Studi Empiris pada Industri
Pariwisata di Indonesia, Disertasi , UNDIP, Semarang.
Rob.McLean. 2006. ―Alignment: Using the Balanced Scorecard to Create Corporate Synergies‖ Australian
Journal of Management, Vol.31.(2) Dec.pp. 367.
Salancik, G.R, and Pfeffer. J. 1978. “The external control of organisations: A resource dependence
perspective”. New York, Harper and Row.
30
Santosa.2005.―Potret Industri Pariwisata di Indonesia‖. Warta Ekonomi. ed.25, Jakarta.
Sawler, James. 2005. ―Horizontal Alliances and the Merger Paradox‖. Managerial and Decision Economics.
Vol. 26.pp. 243–248
Shaw, G, and Williams, A, 1998, ―Entrepreneurship, small business culture and tourism development‖, In
Ionnides D, and Debbage, K,(Ed), “The Economic Geography of The Tourism Industry, Routledge
London, pp. 233-255.
Spekman, Robert.E., Frazier, Gary, and Charles R.O’Neal. 1988. ―Just-in Time Exchange Relationship in
Industrial Market‖. Journal of Marketing. Vol.52. (October):pp.52-67.
Spekman.M, and Davies.G. 2000. ―Trust as a Mediating variable in a complex model of channel member
behaviour‖. IMP Conference Proceedings. Accessed 2/10/03. htttp:/www.bath.ac.uk/imp/pdf/139_
SpekmanDavies. pdf
Stear.L., G. Buckley, and G. Stankey. 1989. ―Constructing a Meaningful Concept of a Tourism Industry:
Some Problems, and Implications for Research and Policy’ in Blackwell‖. Jim and Lloyd Stear
(editors) Case Histories of Tourism and Hospitality. Australian-International Magazine Services.
North Sydney.
Stokes, Robyn.L. 2003. Inter-organisational relationship for events tourism strategy making in Australian
states and territories. Ph.D Disertation, Departement-School of Tourism and Hotel Management.
Griffith University. on-June.
_______.2006. ―Network-based strategy making for event tourism‖. European Journal of marketing. Vol.40
No.5/6.
Tourism & Hospitality Industry Fact Sheet .1995. Tourism Training Victoria. February.
Tremblay,P. 2000-a. ―An evolutionary interpretation of the role collaborative partnership in sustainable
tourism‖. Clevedon, UK.: Channel View Publication, pp.314—332.
_______.2000-b. ―The new age of strategic tourism: From product differentiation to strategic inovation.
Paper presented at the CAUTHE 2000 National Research Conference, pp.219-229
Truly, Sautter.E, and Leises.B. 1999. mnaging Stakeholders: A Tourism planning model. Annal of Tourism
Research. Vol.26 (2), pp.312-328.
Tuban, E., Lee.,J, King, D, and Chung, M. 2000, Electronic Commerce, Prentice Hall, Englewood, Cliffs,
NJ.
Weaver, D.and Oppermann, M. 2000, Tourism Management, Milton Wiley.
Wernefelt.B. 1984. A Resources Based View of the Firm. Strategic Management Journal. pp.171-180.
Whipple, Yudith. 2000. ―Strategic Alliance Succes Factor‖. The Journal of Supply Chain Management.
Summer.
Whitehead, Mark. 2001. Arrogant, devious, slimeballs, the enemy…..Suplly Management Journal. April 26:
pp.20-24.
Williamson, Oliver.E. 1979. Transaction-Cost Economics: The Governance of constractual relation. Journal
of Law and Economics. Vol.22 (Oktober): pp.233-261.
31
Wood.D., and Gray.B. 1991. ―Toward comprehensive theory of collaboration‖. Journal of Applied Bevioural
Science. Vol.27 (2), pp.139-162.
www.Asean.com
www.indonesia-tourism.com
www.proquest.com
Yvonne von Friedrichs Grngsjo. 2003. ―Destination Networking Co-opetition in Peripheral Surroundings‖.
International Journal of Physical Distribution & Logistics Management. Vol.33,No.5.pp 427-448.
Zineldin, Mosad and Brendenlőw, Torbjorn. 2003. Strategic Alliance: synergies and Cahalenges, A Case of
strategic outsourcing relatiosnhip ―SOUR‖. International Journal of Physical Distribution &
Logistic Management. Vol.33(5), pp 449-464.
............., 2004. ―Co-opetition: The Organisation of the future. Marketing Intelligence and Planning. Vol.22
(7).pp.780-789.
32
Download