fungsi akta perkawinan dalam hukum positif indonesia

advertisement
URGENSI PENCATATAN NIKAH
DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
Sainul
STAIN Jurai Siwo Metro
E-mail : [email protected]
Abstrak
Pencatatan nikah oleh sebagian masyarkat dianggap tidak penting. Hal ini terjadi
disebabkan karena masyarakat menganggap bahwa perkawinan sudah sah jika telah
memenuhi syarat dan rukun nikah, alasan biaya, prosedur yang berbelit-belit atau
dengan segaja menghilangkan jejak bebas dari tuntutan dan hukum administrasi,
terutama bagi perkawinan yang kedua dan seterusnya. Tulisan ini membahas tentang
urgensi pencatatan pernikahan. Tulisan ini berdasarkan datab kepustakaan yang
dianalisa secara kualitatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis.
Berdasarkan pembahsan disimpulkan bahwa pencatatan pernikahan menjadi bagain
yang penting sebagai bukti telah terjadi peristiwa hukum. Buku Nikah atau akta nikah
dalam perkawinan suatu hal yang sangat penting karena sebagai dasar jaminan
kepastian hukum atas perkawinan sebagai bukti otentik yang sempurna, bila di
kemudian hari terjadi sengketa dalam keluarga. Buku atau akta nikah merupakan
bukti bahwa pernikahan telah dicatatkan di lembar negara.
Kata Kunci : Pencatatan Nikah, Akta nikah, perlindungan hak
Abstract
Registration of marriage by some in the community are considered to be insignificant.
This happens because society thinks that marriage is valid if it has been eligible and
tenets of marriage, the reason the procedure cost, convoluted or by removing traces of
segaja free of the demands and laws of the Administration, especially to the second
marriage and so on. This paper discusses about the urgency of the recording of the
wedding. This paper is based on the libraries datab analysed qualitatively. The
approach used is a juridical approach. Based on pembahsan concluded that the
wedding be adherents logging important as proof of legal events had occurred.
Licenses or deed in marriage a very important thing because as a basic guarantee of
legal certainty over marriage as proof of a perfect, authentic if the dispute occurs later
in the family. Book or deed is proof that a marriage has been recorded on the sheet.
Keywords : Marriage, deed Recording, protection of.
Pendahuluan
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Dalam al-Qur`an
Allah memerintahkan: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (belum
kawin) di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi
kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya dan Allah maha luas (pemberianNya) lagi maha mengetahui.2
Tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang
asasi, untuk membentengi ahlak yang luhur, untuk menegakkan rumah tangga
yang islami, untuk meningkatkan ibadah kepada Allah, dan untuk mencari
keturunan yang shalih dan shalihah.3
Perkawinan dianggap sah jika telah memenuhi syarat, yaitu jika ada calon
suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab kabul.4 Untuk menguatkan
dan menjamin kepastian hukum perkawinan para pihak dapat dilindungi oleh
negara maka perkawinan yang dilansungkan harus dilaksanakan di depan Petugas
yang berwenang, agar perkawinan tersebut dapat dicatat sebagai perkawinan yang
sah secara hukum negara.5 Pencatatan tiap-tiap perkawinan sama halnya
pencatatan hal penting dalam kehidupan seseorang. Kelahiran yang dinyatakan
dalam akta yang di muat dalam daftar pencataan6 Perkawinan yang tidak
dilangsung di depan petugas dan dicatat atau tidak memiliki akta perkawinan
adalah perkawinan tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum. Dalam Undangundang Nomor 1 tahun 1974, pencatatan perkawinan bukan sebagai syarat sahnya
perkawinan melainkan sebatas syarat administratif.
Pembahasan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 1
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota,1986), h.549
3 http://sigeulis.blogspot.com/2008/10/ditulis-oleh-ir-drs-abu-ammar-mm-agama.html
4 Depag RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, 1999), h.18
5 Ibid., h.15.
6 Sudarsono, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), cet-2, h.9.
1
2
A. Konsep Definisi
Perkawinan secara etimologis dalam bahasa Arab disebut nikah.7 Kawin
atau nikah adalah bersatunya dua insan manusia yang berlainan jenis yang terikat
pada ikatan perkawinan. Secara terminologis dapat disampaikan sebagai gambaran
bahwa perkawinan adalah:”suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi
manusia untuk beranak, berkembang biak, dan melestarikan hidupnya, setelah
masing-masing
pasangan
siap
melakukan
perannya
yang
positif
untuk
mewujudkan tujuan perkawinan.8 Dalam Undang Undang perkawin dijelaskan
bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.9
Dari pengertian di atas dapat difahami bahwa hakekat perkawinan
merupakan bersatunya dua insan manusia yang berlainan jenis, sebagai jalan bagi
manusia untuk beranak, berkembang biak, dan melestarikan hidupnya dalam
ikatan lahir batin sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau
rumah tangga yang bahagia dan kekal.
Syarat perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 14 sampai
dengan pasal 29 jika dikaitkan dengan hukum Islam maka dapat diuraikan syaratsyarat syah perkawinan sebagai berikut:10
1. Calon Suami
Calon Suami dapat melangsungkan pernikahanya jika memenuhi syarat: 11
a. Beragama Islam
b. Terang bahwa ia seorang laki-laki
c. Tidak terpaksa
d. Tidak beristri empat orang
e. Bukan mahramnya dari bakal istri
f. Tidak mempunyai yang haram di madu dengan bakal istri
2. Calon Istri
A.Warson Al Munawir, Kamus Al Munawir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1990), h. 70
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid 6, Al Ma’arif, Bandung, 1993, h. 1.
9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
10 Depag RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
11 Syukriy HM, Petunjuk Bagi PPN dan P3NTCR, (Jakarta: Jawatan Urusan Agama, tt), h.11
7
8
Calon
Istri,
terdapat syarat
yang
harus dipenuhi
agar
dapat
melangsungkan perkawinan, antara lain:12
a. Beragama Islam,yakni bukan wanita musryik
b. Terang bahwa ia seorang perempuan
c. Tidak diberi ijin (kepada wali untuk menikahkan) kecuali berwali mujbir
d. Tidak bersuami dan tidak dalam masa iddhah
e. Bukan mahramnya calon suami
f. Belum pernah di li’an (sumpah li’an) oleh bakal suami
g. Tidak sedang berihrom haji atau sedang melakukan umroh
Terkait dengan syarat calon suami dan calon istri di atas, Anwar
haryono menegaskan bahwa hal tersebut adalah pemikiran yang rasional dan
logis. Perkawinan tidak terjadi bila hanya ada seorang laki-laki saja atau seorang
perempuan saja, tidaklah dinamakan perkawinan jika keduanya perempuan
atau keduanya laki-laki saja.
Perkawinan yang dilaksanakan tidak dalam satu majlis, terpisah
antara satu dengan yang lain, akan tetapi dapat berintraksi, berkomunikasi
secara langsung dan dapat melaksanakan akad ijab qabul secara bersamaan
dan tertutup kemungkinan manipulasi. Maka perkawinan menjadi syah
tidak berkumpul secara langsung dalam majlis melainkan melalui media
teknologi. Hakekat majlis adalah agar menjadi terang bagi kedua belah
pihak suami dan istri, tidak ada unsur paksaan dan ada ungkapan ijab dan
kabul yang diucapkan dan dapat disaksikan saksi orang lain. Terkait dengan
persetujuan yang bebas, jika para pihak sudah memaklumi, menerima dan
atau tidak mempermasalahkan maka telah terjadi persetujuan yang bebas.
Selanjutnya mazhab Abu hanifah, mengungkapkan bahwa majlis
akad dapat menyatukan orang-orang yang berbeda-beda tempatnya. (almajlis yajma’u al-mutafariqat).13
3. Adanya Saksi
12
13
Ibid.
http://www.pernikahanteleconfrence.co.id.
Saksi dalam perkawinan, diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 25,
yaitu seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan, tidak
tuna rungu (tuli).14
Jumhur ulama fiqih, Imam Abu Hanifah, Syafi’i dan Hambali
berpendapat saksi adalah syarat syah nikah. Selanjutnya dapat kita pahami hadis
berikut: dari Imran bin Husain, dari nabi Muhammad SAW. Beliau bersabda:
tidak dianggap ada nikah kecuali ada dua orang saksi yang adil. (HR.Ahmad bin
Hanbal dalam satu riwayat dari anaknya Abdullah)15. Hadis ini menegaskan
saksi nikah diperlukan untuk menyaksikan dan mendengarkan prosesi nikah.
4. Adanya akad nikah
Syarat dari akad nikah, diatur dalam Kompilasi hukum Islam pasal 27
yaitu ijab kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas berurutan dan
tidak berselang waktu. 16
Syarat dalam hukum merupakan ketentuan yang tidak boleh tertinggal
atau tidak ada. Dalam hukum materiil jika tidak terpenuhi dapat dibatalkan
demi hukum, dalam hukum Islam perkawinan menjadi tidak syah.
Lafadz akad nikah yang diucapkan saat perkawinan disebut Ijab dan
Qobul. Ijab adalah pernyataan menawarkan diri dari pihak calon istri, bahwa ia
bersedia dinikahkan dengan calon suami. Dan Qabul adalah pernyataan,
jawaban pihak calon suami bahwa ia menerima kesediaan calon istrinya.
5. Adanya wali
Dalam al Qur’an surat An Nuur, dijelaskan: “Dan kawinkanlah orangorang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak kawin dari
hamba sahayamu yang perempuan.... “(An Nuur: 32).17
Muhammad ali Hasan dalam buku: Pedoman Hidup Berumah Tangga
Dalam Islam, terdapat Hadis Nabi: dari Abu Musa al Asy’ari berkata: “telah
Depag RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 23
Qadir Hasan dkk, Terjemahan Nailul authar, Juz VI, (Surabaya: Bina ilmu, tt), h.2171
16 Ibid.
17 Ibid., Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, h. 354
14
15A.
bersabda Rasulullah SAW. Tidak ada nikah, kecuali dengan adanya wali”.
(HR.Ahmad, Tarmidzi, dan Ibnu Majah).18
B. Urgensi Pencatatan Perkawinan
Berdasarkan Undang-undang pokok Perkawinan, Bab II tentang Pencatatan
Perkawinan pasal 2 ayat 1-2, berbunyi: Ayat 1, “Pencatan perkawinan dari mereka
yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh
pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang nomor 32 tahun
1954 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk”.
Ayat 2
Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain bergama Islam,
dilakukan oleh pegawai pencatatan perkawinan pada Kantor Catatan Sipil,
sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan
perkawinan.19
Dalam Pasal 2 ayat 1 UU nomor 22 tahun 1946 disebutkan bahwa: Pegawai
pencatat nikah dan orang tersebut pada ayat 3 pasal 1 membuat catatan tentang
segala nikah yang dilakukan di bawah pengawasan dan tentang talak dan rujuk
diberitahukan kepadanya; catatan yang dimaksudkan pada pasal 1 dimasukkan di
dalam buku pendaftaran masing-masing yang sengaja diadakan untuk hal itu, dan
contoh masing-masing ditetapkan oleh menteri agama.20
Dalam pasal Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang pokok-pokok
perkawinan pasal 2 ayat 1-2, menerangkan bahwa:
Ayat 1 Perkawinan syah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaanya itu.
Ayat 2
tiap-tiap perkawinan harus dicatat di unit-unit tertentu sesuai dengan
agama yang bersangkutan, di bawah departemen agama.21
Selanjutnya pihak yang berwenang dalam hal ini adalah pegawai Pencatat
nikah (PPN), sebagai mana di atur dalam Kompilasi hukum Islam pada pasal 6:
18
Muhammad ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Siraja, 2003), h.
90
Mahkamah agung, Undang-undang Pokok Perkawinan, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, h. 32
File://E:\Distribution\htdocs\sbin\uu\1946\1946\1946uu22.1946
21 http://www. “ususlan amandemen UUP no.1/1974.co.id”
19
20
Ayat 1
untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus
dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan pegawai pencatat nikah.
Ayat 2 Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat nikah
tidak mempunyai kekuatan hukum.
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa pencatan perkawinan adalah
sebuah sistem, dimana ada petugas pencatatan oleh petugas yang secara khusus
untuk itu, obyek yang dicatat juga adalah perbuatan hukum khusus yaitu
menyangkut perkawinan, menggunakan mekanisme aturan hukum positif yang
ada di negara Indonesia. Pencatatan Perkawinan dimaksudkan menjamin kepastian
hukum perkawinan termasuk akibat hukum keperdataan laiinya.
Berangkat dari pemikiran Ma’ruf Amin bahwa tujuan pencatatan
perkawinan adalah pertama memberikan status perkawinan yang terjadi menjadi
sah secara hukum baik hukum agama dan hukum negara. Kedua, menjamin
pemenuhan kebutuhan sekaligus hak-hak istri dan anak, ketiga: dengan pencatatan
perkawinan maka dapat dijadikan alas hak bagi istri untuk menggugat suami.22
Manfaat pencatatan perkawinan adalah:
1. Menghilangkan rasa khawatir terutama bagi istri tentang status perkawinan.
2. Mempermudah suami dan istri dalam mengurus masalah surat menyurat yang
berhubungan dengan pemerintah.
3. Pembuktian secara tertulis tentang perkawinannya jika sewaktu-waktu terdapat
permasalahan tentang status perkawinannya di dalam masyarakat.
4. Menentukan status hukum seseorang sebagai syarat untuk:
a. Mengurus akta kelahiran
b. Mengurus pengakuan dan pengesahan anak
c. Mengurus pengangkatan anak
d. Mengurus kartu keluarga
e. Mengurus penetapan ahli waris
f. Mengurus klaim asuransi
g. Mengurus kewarganegaraan.23
22
23
http://www.pencatatannikah.co.id.
http:/www.depok.go.id/files/perda/perda 20 no.37.20 th.2000
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata di Indonesia bahwa
Pencatatan perkawinan diatur dalam:
Pasal 50: “Semua orang yang hendak menikah harus memberitahukan kehendak itu
kepada Pegawai Catatan Sipil tempat tinggal salah satu dari kedua pihak.”
Pasal 51: “Pemberitahuan ini harus dilakukan, baik sendiri maupun dengan suratsurat yang dengan cukup kepastian memperlihatkan kehendak kedua calon suami
istri dan tentang pemberitahuan itu oleh Pegawai Catatan Sipil harus di buat
sebuah akte. “24
Dari keterangan pasal di atas dapat dipahami bahwa perkawinan dapat
dinyatakan sah jika perkawinan sudah atau terdaftar di kantor catatan sipil, dan
dibuktikan memiliki akta nikah. Perkawinan yang syah secara hukum akan
berdampak pada syah segala sesuatu yang terkait atau akibat dari perkawinan. Bagi
orang Islam berdasarkan Kompilasi Hukum Islam bahwa Akta Nikah dikeluarkan
oleh Kantor Urusan Agama (KUA) setempat dimana perkawinan dilangsungkan
dan produknya adalah Buku Nikah.
Akta perkawinan ialah sebuah Buku Nikah (dahulu Register Nikah) yang
memuat antara lain sebagai berikut:
1. Nama, Tempat dan tanggal lahir, Agama/Kepercayaan, Pekerjaan dan Tempat
kediaman dari suami istri, Wali nikah, Orang tua dari suami istri, saksi-saksi,
wakil/kuasa bila perkawinan melalui seorang kuasa.
2. Surat-surat yang di perlukan seperti izin kawin, dispensasi kawin.
3. Kemudian akta perkawinan itu oleh pegawai pencatatan (KUA), sedangkan
helai kedua terkirimke pengadilan yang daerah hukumnya mewilayahi kantor
pencatatan tersebut. Hal ini untuk memudahkan pemeriksaan oleh pengadilan
bila dikemudian hari terjadi Talak atau Gugatan perceraian. Sebab undangundang menentukan bahwa cerai hanya dapat dilakukan di depan sidang
pengadilan, sedang cerai gugatan harus dengan putusan pengadilan. 25
Buku Nikah atau akta nikah yang dimiliki adalah buku yang didapat karena
perkawinan yang dilakukan oleh para pihak di depan petugas yang berwenang,
yaitu Pegawai Pencatat Nikah. Sebelum para pihak mendapatkan buku nikah
Subekti kitab Undang;Undang Hukum Pendata, pradya paramitha, Jakarta,1992,h.12
Moch. Idris Ramulyo, Hukum perkawinan Islam (dikutip dari Pelaksanaan Undang-undang
Perkawinan Suatu tinjauan Administratif), (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 180-182.
24
25
terlebih dahulu harus memenuhi syarat administratif, memiliki Kartu Tanda
Penduduk (KTP) calon suami istri, Surat keterangan Izin atau Numpang Nikah
calon suami istri, Surat Keterangan Sehat dari dokter, dan lain-lain. Setelah berkas
administrasi lengkap diperiksa maka langkah akhir adalah pelaksanaan nikah di
depan petugas. Jika semua berjalan tertib dan sesuai dengan aturan yang berlaku
maka suami istri telah terdaftar dalam akta nikah. Selanjutnya Suami istri tersebut
diberi Kutipan Buku Nikah, masing-masing satu untuk Suami dan satu yntuk Istri.
Buku Nikah ini adalah alat bukti hukum sempurna sebagai alat bukti otentik yang
dikeluarkan oleh pemerintah/pegawai umum melalui lembaga yang berwenang
yaitu Kantor Urusan Agama.26
C. Konsekuensi Pencatatan Perkawinan terhadap Perlindungan Hak Istri
Dan Anak.
Berbicara tentang hak, maka dalam perkawinan akan melahir akibat hukum
bagi para pihak. hak suami, hak istri dan hak suami istri dan bila memiliki anak
akan lahir hak orang tua atas anak dan hak anak terhadap orang tua.
Hak Istri dalam undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 pada Bab VI pasal
34, berbunyi:
(1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan
hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2) Istri Wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
(3) Jika suami atau istri melalaikan kewajibab masing-masing dapat mengajukan
gugatan kepada pengadilan.
Syari’at mewajibkan kepada suami untuk memenuhi kebutuhan istrinya
yang berupa kebutuhan material, seperti: nafkah, pakaian, tempat tinggal,
pengobatan dan sebagainya, sesuai dengan kondisi masing-masing menurut cara
yang baik.27
26
27
Ibid.
Yusuf Qardhawi, Fiqih Wanita, (Bandung: Jabal, 2007), cet. Ke-2, h. 50
Menurut M. Ali Hasan, hak istri terdiri dari pertama bergaul dengan istri
dengan baik, kedua mendidik istri taat beragama, ketiga mendidik istri sopan
santun dan keempat suami dilarang membuka rahasia istri.28
Bergaul dengan istri dengan baik, dalam berumah tangga banyak hal yang
harus diperhatikan oleh suami, akan tetapi mestinya disesuaikan dengan
kemampuan suami. Sebagaimana difirmankan dalam surat An-Nisa’[4]: 19: ...dan
pergaulilah dengan mereka secara patut... .
Mendidik Istri taat beragama, suami harus mampu mendidik istri taat
beragama, jika suami tidak mampu dapat mencarikan guru atau diizinkan
mengikuti majlis ta’lim. Hal ini di dalam firman Allah SWT, surat At-tahrîm [66]: 6:
“hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...”.
Mendidik Istri Sopan Santun, artinya suami harus memiliki naluri pemerhati
perilaku istri agar berperilaku sopan dalam rumah tangga dan atau di luar sebagai
warga masyarakat. Dalam firman Allah SWT surat An-Nisa [4]: 34, bahwa: “Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita...”.
Suami dilarang membuka rahasia istrinya, artinya bahwa suami tidak boleh
membeberkan aib istri, membeberkan aib istri berarti membeberkan aib keluarga,
membeberkan aib sendiri.
Sementara itu, mengenai kaitannya dengan hak anak, dalam UU Nomor
1 tahun 1974 bab X pasal 45 disebutkan:
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka dengan
sebaik-baiknya.
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai
anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus
meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Memelihara anak merupakan kewajiban dari orang tua baik sendiri-sendiri
ataupun secara bersama-sama suami istri. Menelantarkan anak membuat hidup
anak hancur dan tidak berguna. Anak seharusnya mendapatkan hak pemeliharaan,
asuhan serta terpenuhi kebutuhan hidupnya dan mendapatkan pendidikan. Sifat
hubungan orang tua dan anak dapat dibedakan dari asfek materi, yaitu memberi
nafkah, menyusukan (irdla’) dan mengasuh (hadhânah). Dan segi immaterial yaitu
28
M. Ali Hasan, Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2003) h. 157-159
curahan cinta kasih, penjagaan, dan perlindungan serta pendidikan rohani dan
termasuk di dalamnya hak untuk memperoleh harta waris.29
Buku Nikah atau akta nikah dalam perkawinan suatu hal yang sangat
penting karena sebagai dasar jaminan hukum atas perkawinan dimana sebagai
bukti otentik yang sempurna, bila dikemudian hari terjadi sengketa dalam keluarga.
Akan tetapi di masyarakat secara faktual masih banyak yang menikah tidak
memiliki buku nikah karena nikah tidak di depan pejabat yang berwenang yakni
Pegawai Pencatat nikah (PPN) sehingga Kantor Urusan Agama (KUA) tidak dapat
mengeluarkan buku nikah.
Hal ini disebabkan karena pandangan masyarakat perkawinan sudah syah
jika telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau perkawinan yang pokok adalah
syah menurut agama, dan juga karena alasan biaya, prosedur yang berbelit-belit
atau dengan segaja menghilangkan jejak bebas dari tuntutan dan hukum
administrasi, terutama bagi perkawinan yang kedua dan seterusnya (bagi Pegawai
Negeri Sipil). Selanjutnya perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut oleh
masyarakat disebut Perkawinan Di Bawah Tangan (Nikah Siri).30
Berdasarkan Undang-undang no 1 tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Perkawinan adalah perkawinan dianggap syah jika tercatat dan ditunjukkan bukti
otentik yaitu buku nikah dan mendapat jaminan kepastian hukum di negara
Indonesia. Jika perkawinan tidak tercatat akan berdampak pada:
a. Perkawinan dianggap tidak syah.
Meski perkawinan dilaksanakan menurut agama dan kepercayaan, namu di
mata negara jika perkawinan belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau
Catatan Sipil dianggap perkawinan tersebut belum syah menurut hukum negara.
b. Anak hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibu.
Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak
tercatat, walaupun mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya, namun
tidak mempunyai hubungan keperdataan dengan ayahnya.
c. Anak dan ibu tidak berhak atas nafkah dan warisan
29 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang Perundangan, Hukum
Adat, Hukum Agama, (Bandar Lampung: Mandar Maju, 2003), h. 144.
30 Ibid.
Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik istri atau
anak-anak yang dilahirkan tidaklah berhak menuntut nafkah ataupun warisan
dari ayahnya.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), bahwa aturan yang
mengatur bahwa anak yang lahir di luar perkawinan yang syah (menurut negara)
hanya bernasab kepada ibunya dianulir. Selanjutnya MK memberikan putusan
bahwa anak yang lahir di luar perkawinan yang tidak syah menurut negara dapat
memiliki hak-hak keperdataan kepada bapak biologis.
Putusan MK tersebut dalam konteks yuridis adalah putusan atas substansi
hukum material yang berlaku, tidak memiliki dampak langsung kepada personal
pribadi anak. Artinya putusan tersebut hanya dapat dijadikan dasar hukum materiil
bagi anak-anak yang untuk mendapatkan hak-hak keperdataan dari bapak biologis.
Jika hal ini dilakukan maka anak harus menyampaikan gugatan ke Pengadilan
Agama. Adapun isi gugatannya adalah mohon ditetapkan bahwa Bapak atau Si
Anu adalah bapak Biologis anak, dengan dilengkapi bukti-bukti seperti hasil tes
DNA, saksi-saksi dan lain sebagainya. Jika ada hak-hak lain yang akan dituntut
dapat diajukan sekaligus dalam gugatan sesuai obyek gugatan yang diinginkan,
misalnya hak hadlonah, hak biaya hidup yang layak dan hak biaya pendidikan dan
lain sebagainya. Hak anak dari perkawinan tidak tercatat dapat dilakukan jika
sudah ada Putusan Majlis Hakim Pengadilan Agama tentang Siapa bapak Biologis
anak tersebut, dan putusan bahwa anak tersebut benar anak biologis bapak
tersebut.
Pada sisi lain perkawinan yang dilakukan tidak tercatat, sepanjang syah
menurut agama dan tidak ada masalah dari semua pihak, bapak, ibu dan anak
karena kesadaran pentingnya akta nikah/ buku nikah maka dapat mengajukan
isbath nikah, ke pengadilan agama sesuai domisili para pihak.
Oleh karena itu sebaiknya perkawinan dilakukan secara syah baik agama
dan kepercayaan dan sah menurut agama. Agar tidak menimbulkan kesulitan bagi
para pihak dan perkawinannya pun menjadi jelas.
Simpulan
Pencatatan perkawinan merupakan hal yang sangat penting untuk
dilakukan. Selain syarat dan rukun perkawinan, hal yang harus dipenuhi adalh
pencatatan perkawinan. Perkawinan yang telah memenuhi syarat dan rukun secara
agama sah, tetapi di mata negara tidak sah sehingga perkawinan tersebut tidak
memiliki kekuatan hukum. Pencatatan perkawinan diwajibkan dalam rangka untuk
menjamin dan melindungi hak-hak anggota keluarga, khususnya apabila terjadi
perceraian atau kematian salah satu anggota keluarga. Akibat perkawinan tidak
tercatat tersebut bagi istri dan anak, akan dirugikan karena suami/bapak dapat
menolak tanggung jawab akibat perkawinan, tidak memberi nafkah, dan atau
pemeliharaan anak dan tidak dapat diajukan ke pengadilan agama.
Daftar Pustaka
A. Warson Al Munawir, Kamus Al Munawir, Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1990
A. Qadir Hasan dkk, Terjemahan Nailul authar, Juz VI, Surabaya: Bina ilmu, tt
Depag RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, 1999
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Mahkota 1986
File://E:\Distribution\htdocs\sbin\uu\1946\1946\1946uu22.1946
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang Perundangan,
Hukum Adat, Hukum Agama, Bandar Lampung: Mandar Maju, 2003
http://www.pernikahanteleconfrence.co.id.
http://www. “ususlan amandemen UUP no.1/1974.co.id”
http://www. pencatatannikah.co.id.
http://sigeulis.blogspot.com /2008/10/ditulis-oleh-ir-drs-abu-ammar-mmagama.html
http://www. depok.go.id/files/perda/perda 20 no.37.20 th.2000
M. Ali Hasan, Berumah Tangga Dalam Islam, Jakarta: Prenada Media, 2003
Mahkamah agung, Undang-undang Pokok Perkawinan, Jakarta: Sinar Grafika, 2004
Moch. Idris Ramulyo, Hukum perkawinan Islam (dikutip dari Pelaksanaan Undangundang PerkawinanSuatu tinjauan Administratif), Jakarta: Bumi Aksara, 2004
Muhammad ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, Jakarta: Siraja,
2003
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Sudarsono, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid 6, Al Ma’arif, Bandung, 1993
Syukriy, Petunjuk Bagi PPN dan P3NTCR, Jakarta: Jawatan Urusan Agama, tt
Subekti kitab Undang;Undang Hukum Pendata, Jakarta: Pradya paramitha,1992
Yusuf Qardhawi, Fiqih Wanita, Bandung: Jabal, 2007.
Download