hubungan pendidikan seks dalam keluarga dengan perilaku

advertisement
HUBUNGAN PENDIDIKAN SEKS DALAM KELUARGA DENGAN PERILAKU
SEKSUAL REMAJA DI SMA N 3 BUKITTINGGI
TAHUN 2012
Dian Juni Eka Sari*
ABSTRAK
Badan Koordinasi keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2007 menyebutkan sebanyak
63% remaja SMP dan SMA di Indonesia pernah berhubungan seks. Sebanyak 21% diantaranya melakukan
aborsi. SMA N 3 adalah salah satu SMA Negeri di Kota Bukittinggi. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui
apakah ada hubungan pendidikan seks dalam keluarga dengan perilaku seksual remaja di SMA N 3 Bukittinggi
tahun 2012.
Penelitian ini bersifat survey analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini dilakukan di
SMA Negeri 3 Bukittinggi pada bulan April - Juli 2012. Populasi adalah siswa-siswi kelas 2 dan kelas 3
berjumlah 688 orang, sampel 87 responden dengan menggunakan teknik simple random sampling. Data
pendidikan seks dalam keluargadan perilaku seksual dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner melalui
wawancara. Pengolahan data dilakukan secara komputerisasi dengan uji statistik p = 0.05. Hasil penelitian
Hasil penelitian didapatkan lebih dari sebagian responden memiliki pendidikan seksual yang baik
dalam keluarga, yaitu 62.1% dan lebih dari sebagian responden berperilaku seksual yang baik yaitu 56.3%. Uji
statistik hubungan pendidikan seks dalam keluarga dengan perilaku seksual remaja di SMA N 3 bukittinggi
tahun 2012 didapatkan nilai p dengan nilai p = 0.000
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna secara statistik
antara pendidikan seks dalam keluarga dengan perilaku seksual remaja di SMA Negeri 3 Bukittinggi tahun 2012
(p≥ 0,05). Disarankan kepada pihak sekolah agar memberikan penyuluhan tentang pendidikan seks dengan
mengundang nara sumber yang membahas tentang perilaku seksual remaja.
Kata kunci
: Pendidikan, perilaku seksual, remaja
RELATIONS OF SEXUAL EDUCATION IN FAMILY WITH ADOLESCENT SEXUAL BEHAVIOR
IN SMA 3 BUKITTINGGI 2012
Dian Juni Eka Sari*
ABSTRACT
Family Planning Coordinating Board (BKKBN) in 2007menyebutkan as much as 63% of middle and
high school teens in Indonesia had sex. As many as 21% of them have an abortion. SMA N 3 is one of the high
schools in the City Bukittinggi.Tujuan study is to determine whether there is a relationship of sex education in
families with adolescent sexual behavior in SMA N 3 Bukittinggi in 2012.
This research is an analytic survey with cross sectional approach. This research was conducted in
SMA Negeri 3 Bukittinggi in April-July 2012. The population is students of class 2 and class 3 amounted to 688
people, samples of 87 respondents using simple random sampling technique. Data keluargadan sex education in
sexual behavior were collected using questionnaires through interviews. Computerized data processing is done
by a statistical test p = 0:05. Research result
The result showed more than a majority of respondents have a good sexual education in the family,
which is 62.1% more than the majority of respondents and good sexual behavior that is 56.3%. Statistical tests
sex education in the family relationship with the sexual behavior of teenagers in high school N 3 bukittinggi
2012 p value with the value of p = 0.000
From the results of this study concluded that there is a statistically significant relationship between sex
education in families with adolescent sexual behavior in SMA Negeri 3 Bukittinggi in 2012 (p≥ 0.05).
Recommended to the school in order to provide education on sex education by inviting resource persons who
deal on adolescent sexual behavior.
Keywords. : Education, behavior sexual, Adolescent
*
Dosen STIKes Prima Nusantara, Bukittinggi
Jurnal Kesehatan Masyarakat STIKes Prima Nusantara Bukittinggi Vol.3 No.2 Juli 2012
27
PENDAHULUAN
Masa remaja diawali oleh masa pubertas
yaitu masa terjadinya perubahan-perubahan fisik
dan perubahan fisiologis. Perubahan ini
menyebabkan daya tarik terhadap lawan jenis yang
merupakan akibat timbulnya dorongan-dorongan
seksual. Dalam rangka mencari pengetahuan
mengenai seks, ada remaja yang melakukan secara
terbuka bahkan mulai mencoba mengadakan
eksperimen dalam kehidupan seksual (Kusmiran,
2011).
Sudagijono dkk, (2008) mengatakan tidak
banyak yang diketahui remaja mengenai
pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi dari
orang tua atau pun guru. Kondisi tabu yang ada
membuat para orang tua menjadi sulit berbicara
mengenai seksualitas dengan anak-anak mereka.
Menyinggung masalah seks sedikit saja sudah
dianggap vulgar. Mereka menganggap bahwa
pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi tidak
perlu diajarkan karena para remaja akan
mengetahui dengan sendirinya seperti halnya
kondisi biologis itu sendiri. Banyak juga para orang
tua atau guru yang berpendapat bahwa remaja
memang belum waktunya untuk mengetahui
perihal seks karena usia perkawinan mereka yang
masih terlalu jauh untuk itu. Ditambah adanya
kekhawatiran bahwa pengajaran pendidikan seksual
dan kesehatan reproduksi pada anak didik justru
akan menjadikan mereka penasaran dan kemudian
mencoba-coba, karena kedua hal itulah kemudian
para orang tua bahkan menghambat atau
memutuskan akses pengetahuan seksual pada
remaja. Mereka menjadi marah dan memberikan
penjelasan yang salah jika mengetahui remajaremaja mereka menonton atau membaca buku-buku
porno. Akibatnya, pengetahuan remaja mengenai
perilaku seks yang benar pun menjadi sangat
kurang (Hidayana, 2010).
Anggapan
sebagian
masyarakat
membicarakan masalah seks adalah sesuatu yang
tabu sebaiknya dihilangkan karena anggapan yang
seperti ini yang menghambat penyampaian
pengetahuan seks yang seharusnya sudah dimulai
dari segala usia (Dianawati, 2006 : 7)
Pendidikan seks yang hanya berupa
larangan atau berupa kata-kata tidak boleh tanpa
adanya penjelasan lebih lanjut adalah sangat tidak
efektif. Dikatakan tidak efektif karena pendidikan
seks seperti ini tidak cukup untuk mempersiapkan
remaja dalam menghadapi kehidupan yang semakin
sulit. Pengaruh minuman keras, obat-obatan
terlarang, tekanan dari teman-teman atau patah hati
akibat hubungan cintanya akan semakin
menjerumuskan mereka pada aktifitas seksual lebih
dini (Dianawati, 2006 : 9)
Akibat pemahaman yang keliru, banyak
remaja yang mengalami frustasi, kegagalan
memperoleh kehidupan yang lebih baik sehingga
segala akibat buruk yang dilakukan remaja karena
kesalahan dalam melakukan aktifitas seksual.
Pernikahan dini yang berujung perceraian, aborsi
secara serampangan tanpa melalui dokter. Aborsi
yang mereka ambil sebagai jalan pintas untuk
menyelesaikan masalah ini, justru sering
memunculkan masalah baru, seperti infeksi pada
alat reproduksi, ketidakmampuan hamil lagi,
bahkan kematian (Dianawati, 2006 : 2)
Remaja pada umumnya menghadapi
permasalahan yang sama untuk memahami tentang
seksualitas, yaitu minimnya pengetahuan tentang
seksualitas dan kesehatan reproduksi yang
disebabkan oleh terbatasnya akses informasi dan
advokasi remaja, tidak adanya akses pelayanan
yang ramah terhadap remaja, belum adanya
kurikulum kesehatan reproduksi remaja di sekolah,
serta masih terbatasnya institusi di pemerintah yang
menangani remaja secara khusus dan belum ada
undang-undang yang mengakomodir hak-hak
remaja mengenai seksualitas serta dorongan
seksual telah menyebabkan remaja untuk
melakukan aktivitas seksual remaja, yang akhirnya
menimbulkan persoalan yang berkaitan dengan
aktivitas seksual, kehamilan tidak diinginkan/KTD,
aborsi remaja, pernikahan usia muda dan
sebagainya (Syaifudin, 2011).
World Health Organization (WHO)
memperkirakan diseluruh dunia terjadi 20 juta
kejadian aborsi yang tidak aman, dimana 95%
terjadi di negara-negara berkembang. Angka
kematian yang disebabkan aborsi yang tidak aman
ini adalah 15-20%. di Asia Tenggara, WHO
memperkirakan 4,2 juta aborsi dilakukan setiap
tahunnya, dimana 75.000 – 1,5 juta terjadi di
Indonesia (A.Waluyo, 2008).
Survei yang dilakukan oleh Badan
Koordinasi
Keluarga
Berencana
Nasional
(BKKBN) pada tahun 2007 sangat mengejutkan
yaitu 63 % remaja (Sekolah Menengah Pertama)
SMP dan ( Sekolah Menengah Atas ) SMA di
Indonesia Pernah berhubungan seks. Sebanyak 21
% diantaranya melakukan aborsi. Angka ini naik
dibandingkan dengan tahun - tahun sebelumnya.
Berdasarkan penelitian BKKBN tahun 2005- 2006
di kota - kota besar mulai Jabodetabek, Medan,
Jakarta, Surabaya, dan Makassar, ditemukan sekitar
47 % hingga 54 % remaja mengaku melakukan
hubungan seks sebelum menikah. Dari hasil
penelitia tersebut BKKBN merekomendasikan ada
beberapa faktor mendorong remaja melakukan
hubungan seks pra – nikah. Diantaranya, pengaruh
liberalisme
dan pergaulan bebas, kemudian
lingkungan keluarga, serta pengaruh media massa,
khususnya TV dan Internet (Masri, 2008).
Dari kejadian diatas pembinaan kesehatan
reproduksi dan pemberian pendidikan seksual
Jurnal Kesehatan Masyarakat STIKes Prima Nusantara Bukittinggi Vol.3 No.2 Juli 2012
28
remaja perlu dilakukan untuk memberikan
informasi yang berhubungan dengan perilaku hidup
sehat bagi remaja, di samping juga untuk mengatasi
masalah yang ada, dengan pengetahuan yang
memadai dan adanya motivasi untuk menjalani
masa remaja secara sehat, mereka diharapkan
mampu memelihara kesehatan dirinya agar dapat
memasuki masa kehidupan berkeluarga dengan
sistem reproduksi yang sehat (Andhyantoro, 2009).
Laporan yang disampaikan oleh National
Surveys of Family Growth pada tahun 1988
menunjukan bahwa 80% laki-laki dan 70%
perempuan melakukan hubungan seksual selama
masa pubertas dan 20% dari mereka mempunyai
empat atau lebih pasangan. Ada sekitar 53%
perempuan berumur antara 15-19 tahun melakukan
hubungan seksual pada masa remaja, sedangkan
jumlah laki-laki melakukan hubungan seksual
sebanyak dua kali lipat dari pada perempuan
(Soetjiningsih, 2010).
Hasil penelitian di sejumlah kota besar di
Indonesia menunjukkan sekitar 20% sampai 30%
remaja mengaku pernah melakukan hubungan seks
(DUTA, Edisi No. 230/Th.XVIII/ September
2006). Maka jangan heran kehamilan pranikah
semakin sering terjadi. Disinyalir jumlah angka
(persentase) yang sesunggunya jauh lebih besar
dari pada data yang tercatat (Sarwono 2007).
Hasil wawancara pada tanggal 1 Februari
2012 terhadap 10 orang siswa-siswi SMA N 3
Bukittinggi tentang alat reproduksi dan seksualitas,
mereka mempunyai pengetahuan yang rendah
tentang alat reproduksi dan mereka menganggap
masalah seksualitas merupakan hal yang tabu untuk
dipelajari dan dibicarakan dengan orang tua
mereka. Data dari 10 orang tersebut 6 diantaranya
mengatakan tidak pernah mendapat informasi
tentang alat reproduksi dan pendidikan seks dari
orang tua mereka sedangkan 4 orang lagi
mengatakan hanya mengetahui tentang alat
reproduksi laki-laki dan perempuan melalui
pelajaran Sains di sekolah.
Melihat kejadian di atas Penelitian ini
direncanakan di SMA N 3 Bukittinggi karena
melihat sekitar lokasi SMA tersebut terdapat
warung
internet,
rental-rental
VCD/CD,
kemungkinan besar para siswa-siswi mudah untuk
mencari informasi-informasi tentang seksualitas
tanpa mendapatkan bimbingan. Oleh karena itu
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
menganai hubungan pendidikan seks dalam
keluarga dengan perilaku seksual remaja di SMA
Negeri 3 Bukittinggi. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui hubungan pendidikan seks dalam
keluarga dengan perilaku seksual remaja di SMA
Negeri 3 Bukittinggi Tahun 2012.
METODE PENELITIAN
penelitian
ini
adalah
penelitian
observasional analitik dengan desain cross
sectional study. Penelitian akan dilaksanakan di
SMA Negeri 3 Bukittinggi pada bulan Februari Juli 2012. Populasi adalah siswa - siswi kelas 2 dan
kelas 3 SMA N 3 Bukittinggi yang berjumlah 688
orang. Sampel berjumlah 87 responden yang
diambil dengan menggunakan Simple Random
Sampling. Data dianalisis secara univariat dan
bivariat dengan uji chi square dengan CI 95% dan
α = 0,05.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pendidikan Seks dalam Keluarga
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Pendidikan Seks
dalam Keluarga
Pendidikan
Seks
Baik
TidakBaik
Total
f
%
54
33
87
62,1
37,9
100
Berdasarkan tabel diatas, didapatkan lebih
dari sebagian responden mendapatkan pendidikan
seks yang baik dalam keluarga, yaitu 62,1% (54
responden).
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Fifi
Fachri di Bukittinggi (2009) yang menyatakan dari
67 responden sebagian besar yaitu 42 responden
(62,7%) memiliki pendidikan seks yang baik dalam
keluarga dan sebagian kecil yaitu 25 responden
(37,3%) memiliki pendidikan seks yang tidak baik
dalam keluarga.
Sesuai dengan teori yang dikemukakan
oleh (Pratiwi,2006) pendidikan seks merupakan
sebuah diskusi yang realistis, jujur dan terbuka
bukan merupakan dikte moral belaka. Dalam
pendidikan seks diberikan pengetahuan yang
faktual, menempatkan seks pada persfektif yang
tepat berhubungan dengan self asfee (rasa
penghargaan terhadap diri). Penanaman rasa
percaya diri difokuskan pada peningkatan
kemampuan dan pengambilan keputusan.
Menurut asumsi peneliti, responden yang
memiliki pendidikan seks yang baik dalam
keluarga disebabkan karena banyaknya media
informasi yang membahas tentang pendidikan seks
baik dari media cetak, elektronik maupun seminar
yang banyak diadakan sehingga membuka
wawasan orang tua untuk mengetahui pentingnya
pendidikan seks itu diajarkan pada anaknya.
Namun adapun yang memiliki pendidikan
seks yang tidak baik dalam keluarga mungkin
dikarenakan kurangnya perhatian orang tua
Jurnal Kesehatan Masyarakat STIKes Prima Nusantara Bukittinggi Vol.3 No.2 Juli 2012
29
terhadap anaknya sehingga anak tidak mengetahui
atau tidak mendapatkan pendidikan seks dari orang
tuanya atau pun karena keluarga merasa tabu
membicarakan masalah seks pada anak-anak
mereka, hal ini justru membuat anak terjerumus
pada perilaku seks.
Saat pengisian kuesioner terlihat bahwa
banyak orang tua yang pernah membicarakan
masalah perubahan yang terjadi pada organ seksual
dimasa pubertas. Orang tua pernah membicarakan
masalah yang berhubungan dengan haid yang
terjadi setiap bulannya yang mana itu merupakan
salah satu informasi yang berguna bagi para remaja
putri sehingga remaja tersebut dapat menyikapi
seperti kebersihan diri saat haid dan cara
menanggulangi nyeri. Begitu juga dengan masalah
seks bebas dan pernikahan dini.
Sehingga dengan demikian dari hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti,
pendapat para ahli dan penelitian orang lain
terdapat kesamaan bahwa kurangnya pemberian
informasi secara terbuka antara orang tua dengan
remaja dalam masalah seputar seksual juga
memperkuat munculnya penyimpangan perilaku
seksual.
Perilaku Seksual Remaja
Tabel 2. Distribusi frekuensi Perilaku Seksual
Remaja di SMA Negeri 3 Bukittinggi Tahun 2012
Pelaksanaan
Buruk
Baik
Total
f
38
49
87
%
43,7
56,3
100
Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa
sebagian besar responden berperilaku seksual yang
baik yaitu sebanyak 49 responden (56,3%).
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan
oleh FifiFachri (2009) di Bukittinggi terhadap 60
responden berperilakuseksualtidakberesikodan 7
responden berperilaku seksual beresiko.
Hal ini sesuai dengan teori (Yupiter, 2005)
yang mengatakan bahwa perilaku seksual
merupakan perilaku yang bertujuan untuk menarik
perhatian lawan jenis. Sedangkan aktivitas seksual
merupakan kegiatan yang dilakukan dalam upaya
memenuhi dorongan seksual atau kegiatan
mendapatkan kesenagan organ kelamin atau
seksual melalui berbagai perilaku. Misalnya
berfantasi, masturbasi, membaca pornografi.
Menurut asumsi peneliti sebagian kecil
responden yang berperilaku seksburuk disebabkan
masa pubertas yang tidak terkontrol sehingga
menyebabkan terjadinya penyimpangan perilaku
seksual dan adapun yang berperilaku seks baik itu
mungkin dikarenakan mampunya seseorang remaja
dalam mengontrol diri.
Hal-hal yang mempengaruhi perilaku
seksual remaja semakin buruk antara lain, pengaruh
budaya, lingkungan, media cetak atau elektronik,
pendidikan yang kurang,
Adapun hal lain saat pengisian kuesioner,
sebagian besar responden pernah berpegangan
tangan, berciuman dan berpelukan dengan lawan
jenis namun belum ada yang pernah memegang dan
menempelkan kelamin pasangan dan berhubungan
seksual. Sehingga dengan demikian dari hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti,
pendapat para ahli dan penelitian orang lain
terdapat kesamaan bahwa perilaku seseorang
merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi perbuatan dan tindakan yang akan
dilakukan oleh seseorang dalam melakukan
perilakuseksual.
Hubungan Pendidikan Seks dalam
Keluarga dengan Perilaku Seksual
Remaja
Tabel 3. Hubungan Pendidikan Seks dalam
Keluarga dengan Perilaku Seksual Remaja di SMA
Negeri 3 Bukittinggi Tahun 2012
Pendidikan
seks
Tidak
Baik
Baik
Total
Perilaku
Seksual
f
%
P
OR
.00
0
5.98
0
Buruk
n
%
23
60,5
n
10
Baik
%
20,4
33
37,9
15
38
39
49
79,6
100
54
87
62,1
100
39,5
100
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa
dari 33 responden yang medapatkan pendidikan
seks yang tidak baik, ada sebanyak 23 responden
(60,5%) yang berperilaku seksual buruk dan 10
responden (20,4%) berperilaku seksual baik.
Sedangkan dari 54 responden yang medapatkan
pendidikan seks yang baik didapatkan 15
responden (39,5%) berperilaku seks buruk dan 39
responden (79,6%) berperilaku seks baik .
Dari hasil uji statistik hubungan pendidikan
seks dalam keluarga dengan perilaku seksual
remaja menunjukan adanya hubungan yang
bermakna antara pendidikan seks dalam keluarga
dengan perilaku seks remajadi SMA N 3
Bukittinggi bulan Agustus 2012, terbukti dengan p
= 0,000< p = 0,05. Nilai Odd Ratio (OR=5.980)
yang berarti pendidikan seks yang tidak baik dalam
keluarga memiliki peluang 5.980 kali terhadap
perilaku seks dibandingkan dengan pendidikan seks
yang baik dalam keluarga.
Jurnal Kesehatan Masyarakat STIKes Prima Nusantara Bukittinggi Vol.3 No.2 Juli 2012
30
Dari hasil penelitian Fifi Fachri (2009) di
Bukittinggi dari 25 responden yang memiliki
pendidikan seks yang tidak baik dalam keluarga
didapatkan 6 orang berperilaku beresiko dan 19
orang tidak beresiko. Setelah dilakukan uji chi
square didapatkan nilai p = 0,009 (p< 0,05) artinya
Ha diterima. Faktor-faktor yang menyebabkan
kesulitan berkomunikasi dengan orang tua antara
lain karena perbedaan norma, sudut pandang dan
pola pikir yang dianut orang tua dengan remaja,
kemerosotan wibawa orang tua karena perbuatan
yang bertentangan dengan peraturan yang dibuat
sendiri, ketidaksepahaman orang tua dalam
mendidik dan mendisiplin anak, kurangnya
kemampuan orangtua dalam mengungkapkan
pikiran, perasaan dan pengalaman remaja atau
sebaliknya, cara mendidik yang salah dan adanya
perbedaan cita-cita antara orang tua dan anak
(Sarwono, 2007).
Menurut asumsi peneliti bahwa remaja
yang mendapatkan pendidikan seks yang baik
dalam keluarga cenderung berperilaku baik dalam
hal-hal yang berhubungan dengan perilaku seksual
dan begitu juga sebaliknya. Tetapi tidak semua
remaja yang mendapatkan pendidikan seks yang
baik memiliki perilaku seksual yang baik juga, hal
tersebut bisa dipengaruhi oleh pengaruh dari
lingkungan luar yang sangat kuat contohnya saja
pengaruh teman sebaya, dan ada juga remaja yang
mendapatkan pendidikan tidak baik dalam keluarga
justru memiliki perilaku seksual yang baik hal itu
bisa disebabkan oleh kesadaran dari dalam diri
remaja tersebut dan dia bisa mendapatkan sumber
pendidikan seks yang baik dari sekolah, media
cetak ataupun elektonik.
KESIMPULAN
1.
2.
3.
Lebih dari sebagian responden mendapatkan
pendidikan seks yang baik dalamkeluarga
(62,1%)
Lebih dari sebagaian responden berperilaku
seksual baik (56,3%)
Terdapat hubungan yang signifikan antara
pendidikan seks dalam keluarga dengan
perilaku seksual remaja (p≤ 0,05)
3.
4.
5.
Agar memberikan penyegaran rohani/
pendidikan agama kepada siswa yang
dikemas secara khusus agar remaja tidak
bosan mengikuti kegiatan tersebut secara
terjadwal diluar jam pembelajaran atau pada
muatan lokal sekali seminggu atau paling
tidak satu kali dalam sebulan.
Agar dapat menambah materi pendidikan
kesehatan yang berhubungan dengan
kesehatan remaja.
Agar petugas kesehatan terkait dapat
memberikan
pendidikan
kesehatan
reproduksi remaja terutama penyakit
menular seksual dalam kaitannya dengan
perilaku
seksual
disekolah-sekolah
menengah setiap bulannya dan dapat
dijadikan sebagai agenda rutin dalam
memberikan pelayanan.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, 2006, Prosedur Penelitian,
Jakarta, Rineka Cipta
Arikunto, 2010, Metode Penelitian Kesehatan
Dianawati, Ajen, 2006, Pendidikan Seks Untuk
Remaja, Jakarta : KawanPustidaka
Hidayana, 2010, Hubungan Pendidikan sek Dini,
Bandar Lampung,www.perilakusesual.com
15-04-2012
Kusmiran, E, 2011. Kesehatan Reproduksi remaja
dan wanita. Jakarta : Salemba Medica
Masri 2008, Remaja dan Permasalahan sosial,
Jakarta,
www.mtmcairo.multiply.com
diakses tanggal 16-04-2012
Notoatmodjo, S. 2010, Pendidikan dan Perilaku
Kesehatan,Jakarta : Rineka Cipta
Notoatmodjo, Soekidjo, 2005, Metode Penelitian
Kesehatan, Edisi Revisi ke 3. Jakarta :
Rineka Cipta
Pratiwi, 2006, Pendidikan seks Untuk Remaja,
Yogyakarta : Tugu Publisher
Sarwono, Sarlito W, 2007, Psikologi Remaja,
Jakarta : PT. Raja Grafido Persada
Soetjiningsih, 2010, Tumbuh Kembang Remaja dan
Permasalahannya, Jakarta : Sagung Seto
Yupiter, 2005, Perilaku Seksual Berisiko Bagi
Remaja
SARAN
1.
2.
Agar dapat memberikan bimbingan secara
terjadwal dan kontinue kepada siswa
didalam kegiatan sekolah maupun kegiatan
ekstrakurikuler, sehingga setiap kegiatan
siswa dapat berjalan sesuai dengan
semestinya.
Agar memberikan bimbingan tentang
perilaku seks dalam bentuk bimbingan dan
konseling secara terjadwal 1-2 kali dalam
sebulan.
Jurnal Kesehatan Masyarakat STIKes Prima Nusantara Bukittinggi Vol.3 No.2 Juli 2012
31
Download