HUBUNGAN PENDIDIKAN SEKS DALAM KELUARGA DENGAN PERILAKU SEKSUAL REMAJA DI SMA N 3 BUKITTINGGI TAHUN 2012 Dian Juni Eka Sari* ABSTRAK Badan Koordinasi keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2007 menyebutkan sebanyak 63% remaja SMP dan SMA di Indonesia pernah berhubungan seks. Sebanyak 21% diantaranya melakukan aborsi. SMA N 3 adalah salah satu SMA Negeri di Kota Bukittinggi. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan pendidikan seks dalam keluarga dengan perilaku seksual remaja di SMA N 3 Bukittinggi tahun 2012. Penelitian ini bersifat survey analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 3 Bukittinggi pada bulan April - Juli 2012. Populasi adalah siswa-siswi kelas 2 dan kelas 3 berjumlah 688 orang, sampel 87 responden dengan menggunakan teknik simple random sampling. Data pendidikan seks dalam keluargadan perilaku seksual dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner melalui wawancara. Pengolahan data dilakukan secara komputerisasi dengan uji statistik p = 0.05. Hasil penelitian Hasil penelitian didapatkan lebih dari sebagian responden memiliki pendidikan seksual yang baik dalam keluarga, yaitu 62.1% dan lebih dari sebagian responden berperilaku seksual yang baik yaitu 56.3%. Uji statistik hubungan pendidikan seks dalam keluarga dengan perilaku seksual remaja di SMA N 3 bukittinggi tahun 2012 didapatkan nilai p dengan nilai p = 0.000 Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara pendidikan seks dalam keluarga dengan perilaku seksual remaja di SMA Negeri 3 Bukittinggi tahun 2012 (p≥ 0,05). Disarankan kepada pihak sekolah agar memberikan penyuluhan tentang pendidikan seks dengan mengundang nara sumber yang membahas tentang perilaku seksual remaja. Kata kunci : Pendidikan, perilaku seksual, remaja RELATIONS OF SEXUAL EDUCATION IN FAMILY WITH ADOLESCENT SEXUAL BEHAVIOR IN SMA 3 BUKITTINGGI 2012 Dian Juni Eka Sari* ABSTRACT Family Planning Coordinating Board (BKKBN) in 2007menyebutkan as much as 63% of middle and high school teens in Indonesia had sex. As many as 21% of them have an abortion. SMA N 3 is one of the high schools in the City Bukittinggi.Tujuan study is to determine whether there is a relationship of sex education in families with adolescent sexual behavior in SMA N 3 Bukittinggi in 2012. This research is an analytic survey with cross sectional approach. This research was conducted in SMA Negeri 3 Bukittinggi in April-July 2012. The population is students of class 2 and class 3 amounted to 688 people, samples of 87 respondents using simple random sampling technique. Data keluargadan sex education in sexual behavior were collected using questionnaires through interviews. Computerized data processing is done by a statistical test p = 0:05. Research result The result showed more than a majority of respondents have a good sexual education in the family, which is 62.1% more than the majority of respondents and good sexual behavior that is 56.3%. Statistical tests sex education in the family relationship with the sexual behavior of teenagers in high school N 3 bukittinggi 2012 p value with the value of p = 0.000 From the results of this study concluded that there is a statistically significant relationship between sex education in families with adolescent sexual behavior in SMA Negeri 3 Bukittinggi in 2012 (p≥ 0.05). Recommended to the school in order to provide education on sex education by inviting resource persons who deal on adolescent sexual behavior. Keywords. : Education, behavior sexual, Adolescent * Dosen STIKes Prima Nusantara, Bukittinggi Jurnal Kesehatan Masyarakat STIKes Prima Nusantara Bukittinggi Vol.3 No.2 Juli 2012 27 PENDAHULUAN Masa remaja diawali oleh masa pubertas yaitu masa terjadinya perubahan-perubahan fisik dan perubahan fisiologis. Perubahan ini menyebabkan daya tarik terhadap lawan jenis yang merupakan akibat timbulnya dorongan-dorongan seksual. Dalam rangka mencari pengetahuan mengenai seks, ada remaja yang melakukan secara terbuka bahkan mulai mencoba mengadakan eksperimen dalam kehidupan seksual (Kusmiran, 2011). Sudagijono dkk, (2008) mengatakan tidak banyak yang diketahui remaja mengenai pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi dari orang tua atau pun guru. Kondisi tabu yang ada membuat para orang tua menjadi sulit berbicara mengenai seksualitas dengan anak-anak mereka. Menyinggung masalah seks sedikit saja sudah dianggap vulgar. Mereka menganggap bahwa pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi tidak perlu diajarkan karena para remaja akan mengetahui dengan sendirinya seperti halnya kondisi biologis itu sendiri. Banyak juga para orang tua atau guru yang berpendapat bahwa remaja memang belum waktunya untuk mengetahui perihal seks karena usia perkawinan mereka yang masih terlalu jauh untuk itu. Ditambah adanya kekhawatiran bahwa pengajaran pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi pada anak didik justru akan menjadikan mereka penasaran dan kemudian mencoba-coba, karena kedua hal itulah kemudian para orang tua bahkan menghambat atau memutuskan akses pengetahuan seksual pada remaja. Mereka menjadi marah dan memberikan penjelasan yang salah jika mengetahui remajaremaja mereka menonton atau membaca buku-buku porno. Akibatnya, pengetahuan remaja mengenai perilaku seks yang benar pun menjadi sangat kurang (Hidayana, 2010). Anggapan sebagian masyarakat membicarakan masalah seks adalah sesuatu yang tabu sebaiknya dihilangkan karena anggapan yang seperti ini yang menghambat penyampaian pengetahuan seks yang seharusnya sudah dimulai dari segala usia (Dianawati, 2006 : 7) Pendidikan seks yang hanya berupa larangan atau berupa kata-kata tidak boleh tanpa adanya penjelasan lebih lanjut adalah sangat tidak efektif. Dikatakan tidak efektif karena pendidikan seks seperti ini tidak cukup untuk mempersiapkan remaja dalam menghadapi kehidupan yang semakin sulit. Pengaruh minuman keras, obat-obatan terlarang, tekanan dari teman-teman atau patah hati akibat hubungan cintanya akan semakin menjerumuskan mereka pada aktifitas seksual lebih dini (Dianawati, 2006 : 9) Akibat pemahaman yang keliru, banyak remaja yang mengalami frustasi, kegagalan memperoleh kehidupan yang lebih baik sehingga segala akibat buruk yang dilakukan remaja karena kesalahan dalam melakukan aktifitas seksual. Pernikahan dini yang berujung perceraian, aborsi secara serampangan tanpa melalui dokter. Aborsi yang mereka ambil sebagai jalan pintas untuk menyelesaikan masalah ini, justru sering memunculkan masalah baru, seperti infeksi pada alat reproduksi, ketidakmampuan hamil lagi, bahkan kematian (Dianawati, 2006 : 2) Remaja pada umumnya menghadapi permasalahan yang sama untuk memahami tentang seksualitas, yaitu minimnya pengetahuan tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi yang disebabkan oleh terbatasnya akses informasi dan advokasi remaja, tidak adanya akses pelayanan yang ramah terhadap remaja, belum adanya kurikulum kesehatan reproduksi remaja di sekolah, serta masih terbatasnya institusi di pemerintah yang menangani remaja secara khusus dan belum ada undang-undang yang mengakomodir hak-hak remaja mengenai seksualitas serta dorongan seksual telah menyebabkan remaja untuk melakukan aktivitas seksual remaja, yang akhirnya menimbulkan persoalan yang berkaitan dengan aktivitas seksual, kehamilan tidak diinginkan/KTD, aborsi remaja, pernikahan usia muda dan sebagainya (Syaifudin, 2011). World Health Organization (WHO) memperkirakan diseluruh dunia terjadi 20 juta kejadian aborsi yang tidak aman, dimana 95% terjadi di negara-negara berkembang. Angka kematian yang disebabkan aborsi yang tidak aman ini adalah 15-20%. di Asia Tenggara, WHO memperkirakan 4,2 juta aborsi dilakukan setiap tahunnya, dimana 75.000 – 1,5 juta terjadi di Indonesia (A.Waluyo, 2008). Survei yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2007 sangat mengejutkan yaitu 63 % remaja (Sekolah Menengah Pertama) SMP dan ( Sekolah Menengah Atas ) SMA di Indonesia Pernah berhubungan seks. Sebanyak 21 % diantaranya melakukan aborsi. Angka ini naik dibandingkan dengan tahun - tahun sebelumnya. Berdasarkan penelitian BKKBN tahun 2005- 2006 di kota - kota besar mulai Jabodetabek, Medan, Jakarta, Surabaya, dan Makassar, ditemukan sekitar 47 % hingga 54 % remaja mengaku melakukan hubungan seks sebelum menikah. Dari hasil penelitia tersebut BKKBN merekomendasikan ada beberapa faktor mendorong remaja melakukan hubungan seks pra – nikah. Diantaranya, pengaruh liberalisme dan pergaulan bebas, kemudian lingkungan keluarga, serta pengaruh media massa, khususnya TV dan Internet (Masri, 2008). Dari kejadian diatas pembinaan kesehatan reproduksi dan pemberian pendidikan seksual Jurnal Kesehatan Masyarakat STIKes Prima Nusantara Bukittinggi Vol.3 No.2 Juli 2012 28 remaja perlu dilakukan untuk memberikan informasi yang berhubungan dengan perilaku hidup sehat bagi remaja, di samping juga untuk mengatasi masalah yang ada, dengan pengetahuan yang memadai dan adanya motivasi untuk menjalani masa remaja secara sehat, mereka diharapkan mampu memelihara kesehatan dirinya agar dapat memasuki masa kehidupan berkeluarga dengan sistem reproduksi yang sehat (Andhyantoro, 2009). Laporan yang disampaikan oleh National Surveys of Family Growth pada tahun 1988 menunjukan bahwa 80% laki-laki dan 70% perempuan melakukan hubungan seksual selama masa pubertas dan 20% dari mereka mempunyai empat atau lebih pasangan. Ada sekitar 53% perempuan berumur antara 15-19 tahun melakukan hubungan seksual pada masa remaja, sedangkan jumlah laki-laki melakukan hubungan seksual sebanyak dua kali lipat dari pada perempuan (Soetjiningsih, 2010). Hasil penelitian di sejumlah kota besar di Indonesia menunjukkan sekitar 20% sampai 30% remaja mengaku pernah melakukan hubungan seks (DUTA, Edisi No. 230/Th.XVIII/ September 2006). Maka jangan heran kehamilan pranikah semakin sering terjadi. Disinyalir jumlah angka (persentase) yang sesunggunya jauh lebih besar dari pada data yang tercatat (Sarwono 2007). Hasil wawancara pada tanggal 1 Februari 2012 terhadap 10 orang siswa-siswi SMA N 3 Bukittinggi tentang alat reproduksi dan seksualitas, mereka mempunyai pengetahuan yang rendah tentang alat reproduksi dan mereka menganggap masalah seksualitas merupakan hal yang tabu untuk dipelajari dan dibicarakan dengan orang tua mereka. Data dari 10 orang tersebut 6 diantaranya mengatakan tidak pernah mendapat informasi tentang alat reproduksi dan pendidikan seks dari orang tua mereka sedangkan 4 orang lagi mengatakan hanya mengetahui tentang alat reproduksi laki-laki dan perempuan melalui pelajaran Sains di sekolah. Melihat kejadian di atas Penelitian ini direncanakan di SMA N 3 Bukittinggi karena melihat sekitar lokasi SMA tersebut terdapat warung internet, rental-rental VCD/CD, kemungkinan besar para siswa-siswi mudah untuk mencari informasi-informasi tentang seksualitas tanpa mendapatkan bimbingan. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian menganai hubungan pendidikan seks dalam keluarga dengan perilaku seksual remaja di SMA Negeri 3 Bukittinggi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pendidikan seks dalam keluarga dengan perilaku seksual remaja di SMA Negeri 3 Bukittinggi Tahun 2012. METODE PENELITIAN penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan desain cross sectional study. Penelitian akan dilaksanakan di SMA Negeri 3 Bukittinggi pada bulan Februari Juli 2012. Populasi adalah siswa - siswi kelas 2 dan kelas 3 SMA N 3 Bukittinggi yang berjumlah 688 orang. Sampel berjumlah 87 responden yang diambil dengan menggunakan Simple Random Sampling. Data dianalisis secara univariat dan bivariat dengan uji chi square dengan CI 95% dan α = 0,05. HASIL DAN PEMBAHASAN Pendidikan Seks dalam Keluarga Tabel 1. Distribusi Frekuensi Pendidikan Seks dalam Keluarga Pendidikan Seks Baik TidakBaik Total f % 54 33 87 62,1 37,9 100 Berdasarkan tabel diatas, didapatkan lebih dari sebagian responden mendapatkan pendidikan seks yang baik dalam keluarga, yaitu 62,1% (54 responden). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Fifi Fachri di Bukittinggi (2009) yang menyatakan dari 67 responden sebagian besar yaitu 42 responden (62,7%) memiliki pendidikan seks yang baik dalam keluarga dan sebagian kecil yaitu 25 responden (37,3%) memiliki pendidikan seks yang tidak baik dalam keluarga. Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh (Pratiwi,2006) pendidikan seks merupakan sebuah diskusi yang realistis, jujur dan terbuka bukan merupakan dikte moral belaka. Dalam pendidikan seks diberikan pengetahuan yang faktual, menempatkan seks pada persfektif yang tepat berhubungan dengan self asfee (rasa penghargaan terhadap diri). Penanaman rasa percaya diri difokuskan pada peningkatan kemampuan dan pengambilan keputusan. Menurut asumsi peneliti, responden yang memiliki pendidikan seks yang baik dalam keluarga disebabkan karena banyaknya media informasi yang membahas tentang pendidikan seks baik dari media cetak, elektronik maupun seminar yang banyak diadakan sehingga membuka wawasan orang tua untuk mengetahui pentingnya pendidikan seks itu diajarkan pada anaknya. Namun adapun yang memiliki pendidikan seks yang tidak baik dalam keluarga mungkin dikarenakan kurangnya perhatian orang tua Jurnal Kesehatan Masyarakat STIKes Prima Nusantara Bukittinggi Vol.3 No.2 Juli 2012 29 terhadap anaknya sehingga anak tidak mengetahui atau tidak mendapatkan pendidikan seks dari orang tuanya atau pun karena keluarga merasa tabu membicarakan masalah seks pada anak-anak mereka, hal ini justru membuat anak terjerumus pada perilaku seks. Saat pengisian kuesioner terlihat bahwa banyak orang tua yang pernah membicarakan masalah perubahan yang terjadi pada organ seksual dimasa pubertas. Orang tua pernah membicarakan masalah yang berhubungan dengan haid yang terjadi setiap bulannya yang mana itu merupakan salah satu informasi yang berguna bagi para remaja putri sehingga remaja tersebut dapat menyikapi seperti kebersihan diri saat haid dan cara menanggulangi nyeri. Begitu juga dengan masalah seks bebas dan pernikahan dini. Sehingga dengan demikian dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, pendapat para ahli dan penelitian orang lain terdapat kesamaan bahwa kurangnya pemberian informasi secara terbuka antara orang tua dengan remaja dalam masalah seputar seksual juga memperkuat munculnya penyimpangan perilaku seksual. Perilaku Seksual Remaja Tabel 2. Distribusi frekuensi Perilaku Seksual Remaja di SMA Negeri 3 Bukittinggi Tahun 2012 Pelaksanaan Buruk Baik Total f 38 49 87 % 43,7 56,3 100 Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa sebagian besar responden berperilaku seksual yang baik yaitu sebanyak 49 responden (56,3%). Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh FifiFachri (2009) di Bukittinggi terhadap 60 responden berperilakuseksualtidakberesikodan 7 responden berperilaku seksual beresiko. Hal ini sesuai dengan teori (Yupiter, 2005) yang mengatakan bahwa perilaku seksual merupakan perilaku yang bertujuan untuk menarik perhatian lawan jenis. Sedangkan aktivitas seksual merupakan kegiatan yang dilakukan dalam upaya memenuhi dorongan seksual atau kegiatan mendapatkan kesenagan organ kelamin atau seksual melalui berbagai perilaku. Misalnya berfantasi, masturbasi, membaca pornografi. Menurut asumsi peneliti sebagian kecil responden yang berperilaku seksburuk disebabkan masa pubertas yang tidak terkontrol sehingga menyebabkan terjadinya penyimpangan perilaku seksual dan adapun yang berperilaku seks baik itu mungkin dikarenakan mampunya seseorang remaja dalam mengontrol diri. Hal-hal yang mempengaruhi perilaku seksual remaja semakin buruk antara lain, pengaruh budaya, lingkungan, media cetak atau elektronik, pendidikan yang kurang, Adapun hal lain saat pengisian kuesioner, sebagian besar responden pernah berpegangan tangan, berciuman dan berpelukan dengan lawan jenis namun belum ada yang pernah memegang dan menempelkan kelamin pasangan dan berhubungan seksual. Sehingga dengan demikian dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, pendapat para ahli dan penelitian orang lain terdapat kesamaan bahwa perilaku seseorang merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perbuatan dan tindakan yang akan dilakukan oleh seseorang dalam melakukan perilakuseksual. Hubungan Pendidikan Seks dalam Keluarga dengan Perilaku Seksual Remaja Tabel 3. Hubungan Pendidikan Seks dalam Keluarga dengan Perilaku Seksual Remaja di SMA Negeri 3 Bukittinggi Tahun 2012 Pendidikan seks Tidak Baik Baik Total Perilaku Seksual f % P OR .00 0 5.98 0 Buruk n % 23 60,5 n 10 Baik % 20,4 33 37,9 15 38 39 49 79,6 100 54 87 62,1 100 39,5 100 Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa dari 33 responden yang medapatkan pendidikan seks yang tidak baik, ada sebanyak 23 responden (60,5%) yang berperilaku seksual buruk dan 10 responden (20,4%) berperilaku seksual baik. Sedangkan dari 54 responden yang medapatkan pendidikan seks yang baik didapatkan 15 responden (39,5%) berperilaku seks buruk dan 39 responden (79,6%) berperilaku seks baik . Dari hasil uji statistik hubungan pendidikan seks dalam keluarga dengan perilaku seksual remaja menunjukan adanya hubungan yang bermakna antara pendidikan seks dalam keluarga dengan perilaku seks remajadi SMA N 3 Bukittinggi bulan Agustus 2012, terbukti dengan p = 0,000< p = 0,05. Nilai Odd Ratio (OR=5.980) yang berarti pendidikan seks yang tidak baik dalam keluarga memiliki peluang 5.980 kali terhadap perilaku seks dibandingkan dengan pendidikan seks yang baik dalam keluarga. Jurnal Kesehatan Masyarakat STIKes Prima Nusantara Bukittinggi Vol.3 No.2 Juli 2012 30 Dari hasil penelitian Fifi Fachri (2009) di Bukittinggi dari 25 responden yang memiliki pendidikan seks yang tidak baik dalam keluarga didapatkan 6 orang berperilaku beresiko dan 19 orang tidak beresiko. Setelah dilakukan uji chi square didapatkan nilai p = 0,009 (p< 0,05) artinya Ha diterima. Faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan berkomunikasi dengan orang tua antara lain karena perbedaan norma, sudut pandang dan pola pikir yang dianut orang tua dengan remaja, kemerosotan wibawa orang tua karena perbuatan yang bertentangan dengan peraturan yang dibuat sendiri, ketidaksepahaman orang tua dalam mendidik dan mendisiplin anak, kurangnya kemampuan orangtua dalam mengungkapkan pikiran, perasaan dan pengalaman remaja atau sebaliknya, cara mendidik yang salah dan adanya perbedaan cita-cita antara orang tua dan anak (Sarwono, 2007). Menurut asumsi peneliti bahwa remaja yang mendapatkan pendidikan seks yang baik dalam keluarga cenderung berperilaku baik dalam hal-hal yang berhubungan dengan perilaku seksual dan begitu juga sebaliknya. Tetapi tidak semua remaja yang mendapatkan pendidikan seks yang baik memiliki perilaku seksual yang baik juga, hal tersebut bisa dipengaruhi oleh pengaruh dari lingkungan luar yang sangat kuat contohnya saja pengaruh teman sebaya, dan ada juga remaja yang mendapatkan pendidikan tidak baik dalam keluarga justru memiliki perilaku seksual yang baik hal itu bisa disebabkan oleh kesadaran dari dalam diri remaja tersebut dan dia bisa mendapatkan sumber pendidikan seks yang baik dari sekolah, media cetak ataupun elektonik. KESIMPULAN 1. 2. 3. Lebih dari sebagian responden mendapatkan pendidikan seks yang baik dalamkeluarga (62,1%) Lebih dari sebagaian responden berperilaku seksual baik (56,3%) Terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan seks dalam keluarga dengan perilaku seksual remaja (p≤ 0,05) 3. 4. 5. Agar memberikan penyegaran rohani/ pendidikan agama kepada siswa yang dikemas secara khusus agar remaja tidak bosan mengikuti kegiatan tersebut secara terjadwal diluar jam pembelajaran atau pada muatan lokal sekali seminggu atau paling tidak satu kali dalam sebulan. Agar dapat menambah materi pendidikan kesehatan yang berhubungan dengan kesehatan remaja. Agar petugas kesehatan terkait dapat memberikan pendidikan kesehatan reproduksi remaja terutama penyakit menular seksual dalam kaitannya dengan perilaku seksual disekolah-sekolah menengah setiap bulannya dan dapat dijadikan sebagai agenda rutin dalam memberikan pelayanan. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi, 2006, Prosedur Penelitian, Jakarta, Rineka Cipta Arikunto, 2010, Metode Penelitian Kesehatan Dianawati, Ajen, 2006, Pendidikan Seks Untuk Remaja, Jakarta : KawanPustidaka Hidayana, 2010, Hubungan Pendidikan sek Dini, Bandar Lampung,www.perilakusesual.com 15-04-2012 Kusmiran, E, 2011. Kesehatan Reproduksi remaja dan wanita. Jakarta : Salemba Medica Masri 2008, Remaja dan Permasalahan sosial, Jakarta, www.mtmcairo.multiply.com diakses tanggal 16-04-2012 Notoatmodjo, S. 2010, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan,Jakarta : Rineka Cipta Notoatmodjo, Soekidjo, 2005, Metode Penelitian Kesehatan, Edisi Revisi ke 3. Jakarta : Rineka Cipta Pratiwi, 2006, Pendidikan seks Untuk Remaja, Yogyakarta : Tugu Publisher Sarwono, Sarlito W, 2007, Psikologi Remaja, Jakarta : PT. Raja Grafido Persada Soetjiningsih, 2010, Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya, Jakarta : Sagung Seto Yupiter, 2005, Perilaku Seksual Berisiko Bagi Remaja SARAN 1. 2. Agar dapat memberikan bimbingan secara terjadwal dan kontinue kepada siswa didalam kegiatan sekolah maupun kegiatan ekstrakurikuler, sehingga setiap kegiatan siswa dapat berjalan sesuai dengan semestinya. Agar memberikan bimbingan tentang perilaku seks dalam bentuk bimbingan dan konseling secara terjadwal 1-2 kali dalam sebulan. Jurnal Kesehatan Masyarakat STIKes Prima Nusantara Bukittinggi Vol.3 No.2 Juli 2012 31