BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Profil Waduk Cengklik Boyolali Keberadaan waduk dan danau sangat penting dalam turut menciptakan keseimbangan ekologi dan tata air. Dari sudut ekologi, waduk dan danau merupakan ekosistem yang terdiri dari unsur air, kehidupan akuatik, dan daratan yang dipengaruhi tinggi rendahnya muka air, sehingga kehadiran waduk dan danau akan mempengaruhi tinggi rendahnya muka air, selain itu, kehadiran waduk dan danau juga akan mempengaruhi iklim mikro dan keseimbangan ekosistem di sekitarnya (Kutarga, dkk, 2008). Waduk Cengklik merupakan tipe waduk tunggal guna yang berfungsi sebagai penyedia air bagi sawah-sawah di sekitarnya. Waduk Cengklik terletak di Desa Ngargorejo, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah yang memiliki luas 240 ha (BPS Boyolali, 2014). Secara geografis, waduk Cengklik terletak pada 110° 45’ 06” − 110° 44’ 04” BT dan 7° 29’ 50” − 7° 31’ 05” LS. Selain fungsi utamanya sebagai irigasi sawah, waduk ini juga telah digunakan untuk perikanan tangkap dan karamba skala kecil, bahkan Pemerintah Kabupaten Boyolali telah menyiapkan program pengembangan wisata air (Pitoyo dan Wiryanto, 2002). Sebagian besar penggunaan lahan di sekitar Waduk Cengklik adalah sebagai sawah irigasi dan pemukiman penduduk. 6 7 2. Faktor Lingkungan a. Faktor Biotik 1) Plankton Istilah plankton pertama kali digunakan oleh Victor Hensen pada tahun 1887. Kata plankton berasal dari bahasa Yunani yang berarti pengembara (Sachlan, 1980). Menurut Nontji (1987) dan Odum (1994) plankton adalah organisme, baik hewan maupun tumbuhan yang hidup melayang diperairan dengan kemampuan geraknya sangat terbatas, sehingga organisme tersebut selalu terbawa arus, secara keseluruhan plankton tidak dapat bergerak melawan arus. Sedangkan menurut Sachlan (1980), plankton adalah jasad-jasad renik yang hidup melayang dalam air, tidak bergerak atau bergerak sedikit dan pergerakannya dipengaruhi oleh arus. Plankton dapat dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu Fitoplankton (plankton nabati) dan Zooplankton (plankton hewani) (Sumich, 1992). a) Fitoplankton Fitoplankton terdiri atas kumpulan tanaman mikro yang hampir tidak mempunyai kemampuan untuk melawan arus air. Beberapa fitoplankton menggunakan flagel, silia, dan lendir untuk bergerak, namun sebagian besar melayang bebas di dalam perairan (Wetzel and Likens, 1979). Fitoplankton merupakan organisme uniseluler yang koloninya terdiri dari sel individu yang biasanya seragam (Herawati, 1989). Menurut Thurman and Webber (1984), fitoplankton dalam 8 perairan merupakan produsen primer sehingga keberadaan fitoplankton mutlak berada dalam perairan. Wetzel and Likens (1979) menyebutkan, bahwa pada komunitas fitoplankton terdapat beberapa algae yang umum ditemukan. Algae tersebut diantaranya Chlorophyta (green algae), Xanthophyceae (yellow-green algae), Bacillariophyceae Chrysopyhceae (diatom), (golden-brown Euglenophyceae algae), (euglenoids), Dinophyceae (dinoflagellates). Menurut Fachrul (2007), fitoplankton dapat ditemukan dibeberapa jenis perairan, yaitu laut, danau, sungai, kolam dan waduk. Fitoplankton dapat hidup diberbagai kedalaman asalkan masih terdapat cahaya matahari yang mencukupi untuk melakukan fotosintesis. Menurut Nontji (1974), sifat khas fitoplankton adalah mampu berkembang secara berlipat ganda dalam waktu relatif singkat, tumbuh dengan kerapatan tinggi, melimpah, dan terhampar luas. Fitoplankton dapat memperoleh makanan melalui proses fotosintesis, sehingga fitoplankton harus berada pada bagian permukaan yang sering disebut dengan zona eufotik perairan. Peran fitoplankton dalam ekosistem perairan sangat besar, yaitu merupakan produsen primer perairan, mampu menyuplai energi dari proses fotosintesis. Seringkali tingkat kesuburan perairan ditentukan oleh kepadatan dan keanekaragaman jenis fitoplankton (Poedjirahajoe, 2011). 9 b) Zooplankton Zooplankton adalah organisme planktonik yang pada umumnya berukuran 0,2 – 2 mm dan bersifat heterotrofik yang bergantung pada materi organik baik berupa fitoplankton maupun detritus (Nontji, 2006). Peranan zooplankton di dalam perairan sangat penting sebagai herbivora karena dapat mengontrol kelimpahan fitoplankton. Dengan demikian zooplankton mempunyai peran penting sebagai mata rantai primer antara produser primer dengan karnivora besar dan kecil (Nybakken, 1988). Pada umumnya zooplankton ditemukan pada perairan dengan kecepatan arus dan kekeruhan air yang rendah (Barus, 2004). b. Faktor Abiotik 1) Faktor Fisika a) Suhu Cahaya matahari yang masuk ke perairan akan mengalami penyerapan dan perubahan menjadi energi panas. Proses penyerapan cahaya ini berlangsung secara lebih intensif pada lapisan atas sehingga lapisan atas perairan memiliki suhu yang lebih tinggi dan densitas yang lebih kecil dari pada lapisan bawah. Kondisi ini pada perairan tergenang akan menyebabkan terjadinya stratifikasi thermal pada kolom air (Effendi, 2003). Suhu perairan dipengaruhi oleh intensitas cahaya yang masuk kedalam air. Suhu selain berpengaruh terhadap berat jenis, viskositas 10 dan densitas air, juga berpengaruh terhadap kelarutan gas dan unsurunsur dalam air. Sedangkan perubahan suhu dalam kolom air akan menimbulkan arus secara vertikal. Secara langsung maupun tidak langsung, suhu berperan dalam ekologi dan distribusi plankton baik fitoplankton maupun zooplankton (Subarijanti, 1994). Suhu mempunyai efek langsung dan tidak langsung terhadap fitoplankton. Efek langsung yaitu toleransi organisme terhadap keadaan suhu, sedangkan efek tidak langsung yaitu melalui lingkungan misalnya dengan kenaikan suhu air sampai batas tertentu akan menurunkan kelarutan oksigen (Boney dalam Sudaryanti, 1989). Pada suhu yang lebih hangat selalu dijumpai kelimpahan fitoplankton yang tinggi. Intensitas cahaya berpengaruh terhadap laju fotosintesa dan pertumbuhan alga (Sulawesty, dkk., 2005). Menurut Odum (1994), Walaupun variasi suhu dalam air tidak sebesar di udara, hal ini merupakan faktor pembatas utama karena organisme akuatik sering kali mempunyai toleransi yang sempit (stenotermal). Menurut Haslan (1995) dalam Effendi (2003), kisaran suhu optimal bagi pertumbuhan fitoplankton adalah 20º C – 30 º C. b) Kecerahan Kecerahan air dapat diukur dengan secchi disk. Kedalaman secchi disk menunjukan hubungan yang erat dengan cahaya matahari yang masuk kedalam suatu perairan. Kedalaman secchi disk merupakan ukuran kejernihan suatu perairan yang menggambarkan sifat optik perairan terhadap transmisi cahaya. Kemampuan cahaya matahari 11 menembus kedalam perairan ditentukan oleh warna perairan, kandungan bahan-bahan organik maupun anorganik yang tersuspensi didalam oerairan, kepadatan plankton, jasad renik dan detritus. Semakin tinggi kedalaman secchi disk semakin dalam penetrasi cahaya ke dalam air yang akan meningkatkan ketebalan lapisan air yang produktif. Tebalnya lapisan air yang produktif memungkinkan terjadinya pemanfaatan unsur hara secara terus menerus oleh produsen primer. Hal tersebut dapat mengakibatkan kandungan unsur hara menjadi berkurang dan produsen primer dibatasi oleh tingkat regenerasi unsur hara (Sumich, 1992). 2) Faktor Kimia a) Derajat Keasaman (pH) Menurut Effendi (2003), sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 – 8,5. Alga akan memanfaatkan karbondioksida hingga batas pH yang tidak memungkinkan lagi bagi alga untuk tidak menggunakan karbondioksida (sekitar 10 – 11), karena pada pH ini karbondioksida bebas tidak dapat ditemukan. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir bila pH rendah. Barus (2004) menyatakan bahwa fluktuasi pH sangat dipengaruhi oleh proses respirasi. Semakin banyak karbondioksida yang dihasilkan dari proses respirasi, maka pH akan semakin rendah. Namun sebaliknya jika aktivitas fotosintesis semakin tinggi maka 12 akan menyebabkan pH semakin tinggi. Derajat keasaman perairan tawar berkisar dari 5-10. pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam yang bersifat toksik semakin tinggi yang tentunya akan mengancam kelangsungan hidup organisme akuatik. Sementara pH yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara ammonium dan ammoniak dalam air akan terganggu. Kenaikan pH di atas netral akan meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat sangat toksik bagi organisme. b) DO (Oksigen Terlarut) Disolved oxygen (oksigen terlarut) adalah jumlah oksigen yang terlarut di dalam perairan. Kelarutan oksigen perairan sangat dipengaruhi oleh daerah permukaan yang terkena suhu, konsentrasi garam serta adanya senyawa yang mudah teroksidasi yang terkandung di dalam perairan seperti kandungan bahan organik. Oksigen terlarut merupakan faktor terpenting di dalam menetapkan kualitas air, air yang polusi organiknya sangat tinggi memiliki sangat sedikit oksigen terlarut (Michael, 1994). Oksigen terlarut merupakan salah satu bagian dari unsur kimia dalam air yang berbentuk gas dan berguna bagi kebutuhan respirasi organisme perairan (Sumeni, 2012). Kisaran oksigen terlarut dalam satu perairan berkisar antara 14,6 mg/l pada 0ºC dan 6,1 mg/l pada suhu 35ºC. Oksigen terlarut dengan kisaran 3-6 ppm merupakan titik krisis bagi kehidupan dalam air (Odum, 1994). 13 c) Nitrat Nitrat (NO3-) adalah nutrien utama bagi pertumbuhan fitoplankton dan algae. Nitrat sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil yang dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Konsentrasi nitrat di suatu perairan diatur dalam proses nitrifikasi. Nitrifikasi merupakan proses oksidasi ammonia yang berlangsung dalam kondisi aerob menjadi nitrit dan nitrat adalah proses penting dalam siklus nitrogen. Oksidasi ammonia (NH3) menjadi nitrit (NO2) dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas dan oksidasi nitrit (NO2) menjadi nitrat (NO3) dilakukan oleh bakteri Nitrobacter. Kedua jenis bakteri ini adalah bakteri kemotrofik yaitu bakteri yang mendapatkan energi dari proses kimiawi (Effendi, 2003). d) Fosfat Fosfat merupakan salah satu zat hara yang diperlukan dan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan hidup organisme (Nybakken, 1992). Fosfor yang mampu diserap oleh organisme tumbuhan adalah dalam bentuk orthofosfat. Sumber fosfor dalam satu perairan dapat berasal dari udara, pelapukan batuan, dekomposisi bahan organik, pupuk limbah pertanian, limbah industri, limbah rumahtangga dan mineral-mineral fosfat (Saeni, 1989). Secara umum kandungan fosfat meningkat terhadap kedalaman. Kandungan fosfat yang lebih rendah terdapat di permukaan dan kandungan fosfat yang lebih tinggi dijumpai pada perairan yang lebih 14 dalam (Hutagalung dan Rozak, 1997). Menurut Sanusi (1994), keberadaan unsur hara di suatu lokasi perairan merupakan kontribusi kompleks yang bersumber dari proses upwelling, transportasi horizontal massa air (arus permukaan), suplai dari sistem sungai (daratan) dan proses kehidupan dalam perairan tersebut. Sehubungan dengan kebutuhan bagi pertumbuhan fitoplankton, kisaran ortofosfat yang optimum adalah 0,09 – 1,80 ppm. Basmi (1999) menyebutkan senyawa ortofosfat merupakan faktor pembatas bila kadarnya di bawah 0,004 ppm, sementara pada kadar lebih dari 1,0 ppm ortofosfat dapat menimbulkan blooming. 3. Struktur Komunitas Komunitas adalah kumpulan dari beberapa populasi yang terdiri atas spesies berbeda yang menempati daerah tertentu. Odum (1994) menyebutkan bahwa, komunitas dapat diklasifikasikan berdasarkan bentuk atau sifat struktur utama seperti spesies dominan, bentuk-bentuk hidup atau indikator-indikator, habitat fisik dari komunitas dan sifat-sifat atau tanda-tanda fungsional. Komunitas dapat dikaji berdasarkan klasifikasi sifat-sifat struktural (struktur komunitas). Struktur komunitas dapat dipelajari melalui komposisi, ukuran dan keanekaragaman spesies. Struktur komunitas juga terkait erat dengan kondisi habitat. Perubahan pada habitat akan mempengaruhi struktur komunitas, karena perubahan habitat akan berpengaruh pada tingkat spesies sebagai komponen terkecil penyusunan populasi yang membentuk komunitas. Struktur komunitas fitoplankton pada suatu perairan dapat diketahui melalui indeks-indeks biologi sebagai berikut: 15 a) Densitas Densitas (kepadatan) merupakan banyaknya individu yang ditanyakan dengan persatuan luas. Nilai kepadatan dapat menggambarkan jenis dengan nilai kerapatan tinggi memiliki pola penyesuaian yang besar (Fachrul, 2007). Densitas diberi batasan sebagai jumlah per unit area atau per unit volume. Kepadatan merupakan parameter populasi yang berkaitan erat dengan parameter lain yang berhubungan dengan pengelolaan perairan tersebut (Effendi, 2003). b) Indeks Keanekaragaman Indeks keanekaragaman di artikan sebagai suatu gambaran secara matematik tentang jumlah jenis suatu organisme dalam populasi. Indeks keanekaragaman akan mempermudah dalam menganalisi informasiinformasi mengenai jumlah individu dan jumlah jenis suatu organisme. Suatu cara yang paling sederhana untuk menyatakan indeks keanekaragaman yaitu dengan menetukan prosentase komposisi dari jenis di dalam sampel. Semakin banyak spesies yang terdapat dalam suatu sampel, semakin besar keanekaragaman, meskipun harga ini juga sangat tergantung dari jumlah total individu masing-masing spesies (Kaswadji, 1976). c) Indeks Keseragaman Dalam suatu komunitas, kemerataan individu tiap spesies dapat diketahui dengan menghitung indeks keseragaman. Indeks keseragaman ini merupakan suatu angka yang tidak bersatuan yang besarnya antara 0 – 16 1, semakin kecil nilai indeks keseragaman, semakin kecil pula keseragaman suatu populasi, berarti penyebaran jumlah individu tiap spesies tidak sama dan kecenderungan bahwa suatu spesies mendominasi populasi tersebut. Sebaliknya semakin besar nilai indeks keseragaman, maka populasi menunjukan keseragaman, yang berarti bahwa jumlah individu tiap spesies boleh dikatakan sama atau merata (Pasengo, 1995). d) Indeks Dominansi Dominansi merupakan suatu bentuk penguasaan dalam suatu perairan untuk mendapatkan makanan maupun tempat tinggal yang layak untuk bertahan cukup lama (Sediadi, 2004). Untuk dapat mengetahui apakah suatu jenis organisme yang mendominasi suatu perairan dapat menggunakan indeks dominansi. Nilai indeks dominansi berkisar antara 0 – 1. Apabila nilai indeks mendekati atau bernilai 1, maka perairan didominasi oleh jenis tertentu dan sebaliknya (Odum, 1994). e) Indeks Similaritas Indeks yang digunakan untuk mengetahui tingkat kesamaan komposisi jenis dua komunitas adalah koefisien kesamaan komunitas (Indeks of Similarity). Nilai indeks similaritas (IS) berada antara 0 dan 1, dimana nilai yang mendekati 1 (100%) menunjukkan keadaan di dalam dua komunitas yang dibandingkan sama dan sebaliknya jika nilai IS mendekati 0 (0%) apabila komunitas mempunyai komposisi spesies yang berbeda (Odum, 1994). 17 4. Ekosistem Perairan Tawar Secara umum, ekosistem perairan tawar dibagi menjadi dua yaitu perairan mengalir (lotic water) dan perairan menggenang (lentic water). Ciri perairan lotik adalah adanya arus yang terus menerus dengan kecepatan bervariasi, sehingga perpindahan massa air berlangsung terus menerus. Sebagai contoh perairan lotik antara lain sungai, kali, kanal, parit dan lain lain. Perairan lentik atau disebut juga perairan tenang, merupakan perairan yang aliran airnya lambat atau bahkan tidak ada dan massa air terakumulasi dalam periode waktu yang lama. Pada perairan lentik, arus tidak menjadi faktor pembatas utama bagi biota yang hidup di dalamnya. Contoh perairan lentik antara lain: waduk, danau, kolam, telaga, situ, rawa dan lainlain (Barus, 2004). Perairan tawar menjadi habitat berbagai macam organisme perairan seperti ikan, plankton, alga, gastropoda, kelompok crustacea, amphibi, dan lain-lain. Pada ekosistem perairan, fitoplankton merupakan komponen penting karena berperan sebagai produsen primer dalam jaring makanan. Di samping itu, kelimpahan plankton dapat dijadikan indikator mengenai kualitas dan tingkat kesuburan suatu perairan (Wetzel and Likens, 1979). 5. Status Trofik dan Pencemaran Waduk Dalam PERMEN LH No. 28 Th. 2009 tentang Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau dan/atau Waduk, disebutkan bahwa kondisi kualitas air waduk diklasifikasikan berdasarkan eutrofikasi yang disebabkan oleh peningkatan kadar unsur hara dalam air. Faktor pembatas sebagai penentu eutrofikasi adalah unsur Nitrogen (N) dan Fosfor (F). Nitrogen membatasi proses eutrofikasi bila 18 kadarnya kurang dari delapan kali kadar fosfor, sementara fosfor membatasi proses eutrofikasi bila kadar nitrogen lebih dari delapan kali kadar fosfor. Eutrofikasi disebabkan oleh peningkatan kadar unsur hara terutama parameter Nitrogen dan Fosfor pada air waduk. Eutrofikasi diklasifikasikan ke dalam empat kategori status trofik yaitu: 1. Oligotrof : status trofik air waduk yang mengandung unsur hara dengan kadar rendah. Status ini menunjukkan kualitas air masih bersifat alamiah belum tercemar dari sumber unsur hara Nitrogen dan Fosfor. 2. Mesotrof : status trofik air waduk yang mengandung unsur hara dengan kadar sedang. Status ini menunjukkan adanya peningkatan kadar Nitrogen dan Fosfor namun masih dalam batas toleransi karena belum menunjukkan adanya indikasi pencemaran. 3. Eutrof : status trofik air waduk yang mengandung unsur hara dengan kadar tinggi. Status ini menunjukkan air telah tercemar oleh peningkatan kadar Nitrogen dan Fosfor. 4. Hipereutrof/Hipertrof : status trofik air waduk yang mengandung unsur hara dengan kadar sangat tinggi. Status ini menunjukkan air telah tercemar berat oleh peningkatan kadar Nitrogen dan Fosfor. Tabel 1. Kriteria status trofik waduk Status Trofik Oligotrof Mesotrof Eutrof Hipereutrof Kadar Rata-rata Total-N (μg/l) Kadar Rata-rata Total-P (μg/l) Kecerahan Ratarata (m) ≤ 650 651 - 750 751 - 1900 > 1900 < 10 10 - 29 30 - 99 ≥ 100 ≥ 10 4-9 2,5 – 3,9 < 2,5 Sumber: Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 28 Tahun 2009 Tentang Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau dan/atau Waduk 19 Tabel 2. Daftar klasifikasi derajat pencemaran No. Derajat Pencemaran Indeks Diversitas 1. 2. 3. 4. Tidak tercemar Ringan Sedang Berat > 2,0 2,0 – 1,6 1,5 – 1,0 < 1,0 Sumber: Lee (1978). B. Kerangka Pemikiran Waduk Cengklik pada awal dibangunnya difungsikan sebagai tempat tampungan air hujan untuk kegiatan irigasi pertanian. Seiring berjalannya waktu, kegiatan di waduk Cengklik mengalami peningkatan antara lain kegiatan pariwisata dan kegiatan budi daya ikan air tawar dalam keramba jaring apung (KJA) serta kegiatan pertanian pada musim kemarau. Sementara itu, di sekitar waduk penggunaan lahan yang mendominasi adalah sawah irigasi dan permukiman dan terdapat sungai yang bernama Kali Senting yang mengalir ke dalam badan waduk. Kegiatan-kegiatan tersebut menyumbang limbah berupa bahan organik kedalam badan perairan seperti detergen, pupuk, pakan ikan, dan lain-lain. Penumpukan nutrien tersebut di dalam badan perairan waduk dapat mengakibatkan penyuburan perairan. Fajriani, dkk. (2013) menyebutkan bahwa diantara buangan limbah tersebut, bahan organik N dan P merupakan unsur yang dapat langsung diserap oleh fitoplankton. Tersedianya nitrat dan fosfat dalam perairan akan menyuplai makanan bagi fitoplankton. Hal tersebut akan berpengaruh pada struktur komunitas fitoplankton di dalam badan perairan waduk Cengklik. Selain nutrien tersebut terdapat faktor lingkungan lainnya yang dapat mempengaruhi sktruktur komunitas fitoplankton yaitu suhu, kecerahan, pH, dan oksigen terlarut. 20 Struktur komunitas fitoplankton memiliki kaitan erat dengan kondisi habitat. Perubahan pada habitat fitoplankton baik fisik maupun kimia dapat berpengaruh pada spesies sebagai tingkat terkecil penyusunan populasi yang membentuk komunitas, sehingga akan mempengaruhi struktur komunitas fitoplankton. Salah satu indeks yang dapat digunakan untuk mengukur kestabilan fitoplankton dalam badan perairan adalah indeks keanekaragaman fitoplankton (Basmi, 1999), sehingga akan terdapat hubungan dari beragam faktor lingkungan tersebut dengan indeks keanekaragaman fitoplankton. Bagan alir kerangka pemikiran tersaji pada Gambar 1. Kegiatan di dalam Waduk Cengklik: - Pariwisata - Budidaya ikan dalam KJA - Pertanian (Nutrien) Sawah Irigasi dan Aktivitas Pemukiman Penduduk di sekitar Waduk Cengklik (Nutrien) Badan Perairan Waduk Cengklik Fisik – Kimia Perairan Fitoplankton Struktur Komunitas Fitoplankton Gambar 1. Bagan alir kerangka pemikiran