1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara kita dimasa lalu pernah berhasil meningkatkan produksi pertanian yang ditempuh melalui program intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi. Hasil yang sangat menonjol adalah program intensifikasi panca usaha tani di lahan sawah dengan meningkatnya produksi beras, sehingga tercapai swasembada beras pada tahun 1983. setelah itu, sektor pertanian mulai tidak diperhatikan, dilecehkan, dan terseret oleh industrialisasi yang tidak berpijak pada sektor pertanian. Sekarang sering kita dengar rakyat yang meninggal dunia karena kelaparan, anak-anak yang busung lapar, rakyat jelata yang antri sembilan bahan pokok dan harganya sangat mahal, serta para petani yang selalu rugi dan masih dibawah garis kemiskinan. Untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri, pemerintah kita sekarang harus mengimpor dari negara lain. Kebutuhan kedelai diimpor dari Amerika serikat, daging dan susu dari Australia, beras dari Vietnam dan Muangthai, serta sayuran dan buah-buahan impor yang banyak kita jumpai di supermarket. Suatu hal yang sangat ironis yang terjadi di negara agraris yang subur makmur dan kaya sumber daya alam. Padahal jika sektor pertanian dikembangkan dengan sungguh-sungguh, bukan hanya akan mencapai swasembada pangan, tapi akan mengalami surplus pangan dan bisa mengekspor hasil pertanian sehingga negara mendapatkan devisa yang melimpah. 1.2. Tujuan Khusus Pertanian merupakan sektor yang paling berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia. Dengan curah hujan yang tinggi, matahari yang bersinar sepanjang tahun, dan memiliki vegetasi alamiah yang beranekaragam sangat memungkinkan negara kita untuk menjadi salah satu negara terkaya di dunia. Vegetasi sabana, stepa, dan gurun terdapat didaerah Nusa Tenggara, vegetasi iklim kutub terdapat di Puncak Jaya di Papua, dan vegetasi hutan hujan tropis yang luas dengan jenis tumbuhan beragam dan kerapatan tinggi yang terdapat di pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Keanekaragaman vegetasi seperti ini memungkinkan tanaman berinteraksi dengan mikroba yang mempunyai sifat 12 beranekaragam. Hanya tanaman yang bersimbiosis dengan mikroba unggul yang dapat tumbuh subur di vegetasi yang ekstrim, baik mikroba yang hidup dalam jaringan tanaman (endofit) maupun yang hidup disekitar akar tanaman (rizosfer). Mikroba tersebut berperan sebagai pelarut fosfat, penambat nitrogen, pelarut kalium, dan penghasil hormon tumbuh yang akan dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Dengan demikian dari uraian diatas, maka tujuan khusus yang ingin dicapai pada penelitian ini dalam jangka pendek adalah : Membuat produk mikroba unggul penghasil hormon auksin dan sitokinin yang dapat meningkatkan produktivitas pertanian di Indonesia tetapi dengan harga yang murah dan terjangkau oleh para petani Mensosialisasikan cara penggunaan produk mikroba ini kepada para petani di Indonesia sehingga diperoleh hasil yang optimal Mencari investor, baik pemerintah maupun swasta yang mau menanamkan modalnya, sehingga produk mikroba ini dapat diproduksi dalam skala besar dan dapat segera diaplikasikan kepada para petani Terus mengembangkan produk yang sudah ada untuk mendapatkan produk yang lebih unggul dari sebelumnya 1.3. Urgensi (Pentingnya) Penelitian Penelitian ini sangatlah penting untuk dilaksanakan dengan segera, karena bangsa kita sebagai negeri subur makmur yang kaya sumber daya alam sekarang ini mempunyai ketahanan pangan yang sangat menyedihkan. Oleh karena itu, dengan penelitian ini: 1. Produktivitas pertanian Indonesia akan meningkat, tidak hanya mencapai swasembada pangan tapi kita bisa surplus pangan dan dapat mengekspor kelebihan pangan kita untuk mendapatkan devisa 2. Produktivitas pertanian yang meningkat akan meningkatkan kesejahteraan para petani dan keluarga Indonesia pada umumnya dengan ketersediaan pangan yang melimpah 3. Terciptanya lapangan kerja baru melalui pendirian pabrik untuk memproduksi produk mikroba ini sehingga akan menyedot tenaga kerja. 13 1.4. Hasil Penelitian yang Ditargetkan Untuk Penelitian Lanjutan Tahap I (Tahun III) : Hasil yang ditargetkan terdiri dari 2 aspek : a.Mengidentifikasi bakteri unggul terpilih penghasil auksin dan sitokinin. b.Pengujian aktivitas fitohormon pada tanaman pangan. Diharapkan pada penelitian lanjutan tahun berikutnya akan diperoleh Teknologi Fermentasi dan Formula Cair dan Padat Produk Fitohormon. (Penelitian Tahap Berikutnya). Teknologi formulasi mikroba unggul penghasil auksin dan sitokinin dengan carrier berupa zeolit yang ditambah gypsum sebagai perekat dan mineral-mineral tertentu sebagai nutrisi mikroba atau formulasi gliserol, CMC (carboxymethylcellulose), dan mineral-mineral tertentu sehingga dapat menekan biaya produksi dan produk akhirnya dapat terjangkau oleh para petani. 1.5. Maksud dan Tujuan Penelitian Lanjutan Tahap I (Tahun Ketiga) Maksud dari penelitian ini adalah mengidentifikasi isolat murni bakteri lokal yang terpilih (KNG.RT1 dan JGEA7), serta menguji aktivitas fitohormon alami yang dihasilkan pada tanaman pangan (tanaman kedelai) guna meningkatkan produktivitas tanaman kedelai serta mengurangi penggunaan fitohormon dan pupuk yang berasal dari bahan kimia. Tujuan penelitian adalah : ingin mengetahui identitas (jenis spesies) dan karakteristik dari isolat bakteri lokal KNG.RT1 yang memiliki kemampuan menghasilkan fitohormon dari golongan auksin (IAA) dan isolat bakteri lokal JGEA7 yang memiliki kemampuan menghasilkan fitohormon dari golongan sitokinin; serta untuk mengetahui pengaruh penggunaan beberapa tingkat konsentrasi fitohormon alami dan jenis pupuk pada budidaya kedelai, guna mendapatkan kombinasi terbaik antara konsentrasi fitohormon dan jenis pupuk untuk pertumbuhan dan produktivitas tanaman kedelai yang maksimal. BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fitohormon 14 Istilah hormon berasal dari bahasa yunani, horman, yang artinya zat perangsang. Hormon yang berfungsi merangsang pertumbuhan dan perkembangan tanaman disebut fitohormon. Konsentrasi fitohormon dalam tanaman sangat rendah. Fitohormon dapat diekstrak dari jaringan tanaman terutama dari jaringan meristematik. Seperti yang dikatakan William et. al. (2006), Kita harus mengekstrak 20.000 Kg koleoptil tanaman tomat atau 80 gallon urin manusia untuk menghasilkan ± 1 gram auksin jenis IAA (Indole-3-Acetic Acid). Fitohormon dapat dibagi menjadi 6 golongan yaitu auksin, sitokonin, giberelin (GA), etilen, brasinosteroid, dan asam absisat. 2.2. Auksin Istilah auksin berasal dari bahasa yunani, auxein yang artinya tumbuh. Auksin merupakan hormon yang pertama kali ditemukan. Charles Darwin merupakan ilmuwan pertama yang meneliti hormon ini. Dalam bukunya “The Power of Movement in Plants" yang diterbitkan pada tahun 1880, beliau menggambarkan tentang pengaruh cahaya pada pergerakan koleoptil rumput canary (Phalaris canariensis). Koleoptil merupakan selaput yang menyelubungi titik tumbuh ujung tanaman rumput-rumputan yang melindungi titik tumbuh tersebut ketika menembus tanah. Koleoptil akan membelok kearah datangnya cahaya. Jika ujung koleoptil dibungkus dengan aluminum foil, maka koleoptil tidak mengarah pada datangnya cahaya. Jika ujung koleoptil dibiarkan terbuka dan bagian bawahnya tertutup, maka koleoptil mengarah pada datangnya cahaya. Eksperimen Darwin menunjukkan bahwa ujung koleoptil merupakan jaringan tanaman yang berperan dalam merespon cahaya kemudian memproduksi sinyal dan ditransportasikan ke bagian bawah dari koleoptil yang merupakan bagian yang membelok kearah datangnya cahaya. Darwin kemudian memotong koleoptil dan dibiarkan terkena cahaya matahari dan hasilnya ternyata pembelokan tidak terjadi. Pada tahun 1885, Salkowski menemukan IAA (Indole-3-Acetic Acid) pada media fermentasi. Isolasi produk yang sama dari jaringan tanaman tidak mendapatkan apa-apa untuk hampir selama 50 tahun. Pada tahun 1907, Fritting melakukan eksperimen tentang pengaruh irisan pada bagian tanaman yang terkena 15 cahaya maupun bagian yang gelap. Hasil eksperimennya membantu menambah pemahaman jika translokasi sinyal tanaman terjadi pada bagian tertentu dari tanaman tapi hasil eksperimennya tidak meyakinkan karena sinyal dapat keluar melalui bagian jaringan tanaman yang teriris. Pada tahun 1913, Boysen-Jensen memodifikasi eksperimen Fritting dengan memasukkan potongan mika untuk mencegah transportasi sinyal dan menunjukkan bahwa transportasi auksin dari bagian yang terkena cahaya menuju bagian gelap dari tanaman. Pada tahun 1918, Paal menegaskan hasil eksperimen Boysen-Jensen dengan memotong ujung koleoptil dan dibiarkan dalam kondisi gelap, yang terkena cahaya hanya ujungnya. Hasilnya menunjukkan bahwa bagian manapun koleoptil tersebut terlindungi, pembelokan terjadi menuju arah yang lain. Pada tahun 1926, mahasiswa belanda yang bernama Fritz Went mempublikasikan laporan yang menceritakan bagaimana beliau mengisolasi zat pengatur tumbuh dengan menempatkan potongan koleoptil diatas media agar dengan periode waktu tertentu, kemudian media agar dipindahkan dan ditempatkan potongan batang tanaman Avena diatasnya. Setelah penempatan pada agar, batang tersebut tumbuh. Pada tahun 1928, Went mengembangkan metode untuk mengukur zat pengatur tumbuh ini. Hasil eksperimen ini menunjukkan bahwa pembelokan batang sebanding dengan jumlah zat pengatur tumbuh pada agar. Pada tahun 1931, Kogl dan Haagen-Smit memurnikan senyawa auxentriolic acid (auksin A) dari urine manusia. Kemudian Kogl mengisolasi senyawa lain dari urin manusia yang fungsi dan struktur kimianya sama dengan auksin A, salahsatunya adalah IAA yang sebelumnya telah ditemukan oleh Salkowski pada tahun 1885. Pada tahun 1954, komite ahli fisiologis tanaman memberikan nama auksin untuk kelompok hormon tersebut. Pada tahun 1979, tiga orang ilmuwan amerika yang bernama Tien, Gaskins, dan Hubbel dari Institute of Food and Agricultural Sciences, Gainesville, Florida, Amerika Serikat, meneliti tentang produksi zat pengatur tumbuh oleh Azospirillum braziliense dan pengaruhnya pada pertumbuhan pearl millet (Penistatum americanum). Metode TLC, HPLC dan Bioassay digunakan untuk 16 memisahkan dan mengidentifikasi ZPT yang diproduksi bakteri dalam media cair. IAA dan ILA (Indole-3-Lactic Acid) dapat diproduksi oleh Azospirillum braziliense dengan prekursor triptofan. Konsentrasi IAA meningkat jika konsentrasi triptofan juga meningkat dari 1 hingga 100 µg/ml. Konsentrasi IAA juga makin meningkat seiring dengan makin bertambahnya umur kultur bakteri hingga mencapai fase stasioner. Pengocokan pada kultur bakteri akan meningkatkan produksi hormon, terutama pada medium yang berisi nitrogen. Giberellin dalam jumlah sedikit tetapi secara biologis sangat signifikan pada pertumbuhan tanaman serta 3 jenis senyawa serupa sitokinin yang ekuivalen dengan 0,001 µg kinetin/ml juga diproduksi oleh bakteri ini. Pada tahun 1987, William F. Fett, Stanley F. Osman dan Michael F. Dunn dari Agricuiltuirzal Research Servicse, U.S. Department of Agriculture, Amerika Serikat, melakukan pengkajian apakah produksi auksin oleh Pseudomonad dan Xantomonad yang berkaitan dengan kemampuannya untuk merangsang pertumbuhan hipertropi pada tanaman inangnya. Pseudomonad dipelihara pada semisynthetic liquid medium berdasarkan studi Brugger dan Keen sedangkan Xantomonad dipelihara pada Yeast-Salts-Glycerol (YSG) medium. Adanya senyawa indole pada supernatan kultur diidentifikasi dengan TLC dan HPLC. Semua strain dapat memproduksi IAA pada media cair ditambahkan 0,05 % Ltriptofan. Kadar IAA tertinggi didapat pada supernatan patogen kacang kedelai yaitu Pseudomonas syringae pv. Syringae, dan bakteri ini selanjutnya diuji tanpa penambahan L-triptofan. Ternyata, bakteri ini masih dapat menghasilkan IAA. Senyawa indole yang lain dari berbagai strain teridentifikasi dalam media cair, seperti ILA, Indole-3-Aldehyde, Indole-3-Acetamide, dan N-acetyl-triptofan. Pseudomonad dan Xantomonad bisa dibedakan dengan adanya N-acetyl-triptofan yang hanya terdapat pada supernatan Xantomonad. Pada tahun 1990, tiga orang ilmuwan yang bernama Jinichiro Koga, Takashi Adachi and Hidemasa Hidaka dari Bio Science Laboratories, Meiji Seika Kaisha Ltd., Jepang, melakukan eksperimen tentang biosintesis IAA dari triptofan melalui jalur Indole-3-Piruvic Acid oleh bakteri Enterobacter cloacae yang diisolasi dari rizosfer ketimun sehat yang diketahui dapat menghasilkan IAA pada medium cair Luria Broth yang diperkaya triptophan 1 mg/ml. Selain IAA, bakteri 17 ini juga dapat menghasilkan Indole-3-Lactic Acid (ILA) dan tryptophol (Tol). Pada kondisi aerobik, produksi IAA lebih tinggi daripada produksi ILA dan Tol, tapi pada kondisi anaerobik produksi ILA dan Tol lebih tinggi daripada produksi IAA. Pada eksperimen konversi 8 macam substrat indole yaitu Triptofan, Indole3-pyruvic Acid, Indole-3-Acetamide, Indole-3-Lactic Acid, Tryptophol, tryptamine, Indole-3-Acetonitrile, dan kontrol. Hasilnya ternyata E. cloacae hanya mengkonversi Triptofan, Indole-3-pyruvic Acid, dan Indole-3-Acetamide menjadi IAA. Hal ini menguatkan dugaan bahwa biosintasis IAA oleh E. cloacae dari triptofan menjadi IAA ternyata melalui Indole-3-pyruvic Acid dan Indole-3Acetaldehide. Pada tahun 1997, Eric Glickmann et. al., dari Institut des Sciences Végétales, Centre National de la Recherche Scientifique, Prancis, melakukan eksperimen mengenai produksi IAA oleh 57 patovar Pseudomonas syringae yang beberapa diantaranya seperti P. syringae pv. syringae, P. savastanoi pv. phaseolicola, P. syringae pv. tabaci, dan P. syringae pv. tomato serta spesies bakteri lain seperti Agrobacterium tumefaciens, Agrobacterium sp., Erwinia herbicola pv. gypsophilae, Alcaligenes faecalis, dan Escherichia coli pada king B medium dengan atau tanpa penambahan triptofan. Hasilnya, 8 strain memproduksi IAA dalam konsentrasi tinggi pada media yang tidak ditambahkan triptofan. Pada patovar P. savastanoi pv. savastanoi, terdeteksi adanya gen iaaM dan iaaH, termasuk 8 strain yang dapat memproduksi IAA dalam konsentrasi tinggi pada media yang tidak ditambahkan triptofan. Selain itu, ada beberapa patovar yang tidak melibatkan gen iaaM dan iaaH, tapi melibatkan gen iaaL yang mengkodekan sintesis IAA-lysine yang terdeteksi pada patovar yang dapat memproduksi IAA tanpa penambahan triptofan. Gen iaaM mensintesis enzim Triptofan-mono- oxygenase (IAM) yang mengkonfersi Triptofan menjadi IAM (Indole-3Acetamide). Gen iaaH mensintesis enzim Indole-3-Acetamide hydrolase yang mengkonversi IAM menjadi IAA. Kedua gen tersebut disebut root-inducing genes (Roi-genes). Pada tahun 2003, Rudy Maor, Sefi Haskin, Hagit Levi-Kedmi, dan Amir Sharon dari Tel Aviv university, Israel, melakukan penelitian untuk mempelajari pengaruh penambahan triptofan, IAA dan IAM pada proses biosintesis IAA dalam 18 kultur aksenik (kultur satu strain mikroba) Colletotricum gloeosporioides f. sp. aeschynomene dan mempelajari biosintesis IAA oleh fungi tersebut pada tanaman. Fungi dipelihara pada Emerson’s YpSs (EMS) medium. Tanaman Aeschnomene virginica (northern joinvetch) digunakan sebagai tanaman uji. Mereka menyimpulkan bahwa biosintesis IAA tergantumg pada triptofan dan jumlah IAA akan semakin meningkat jika triptofan juga meningkat. Produksi IAA dan IAM oleh fungi ini terjadi pada waktu fase infeksi biotropik (infeksi untuk mendapatkan nutrisi dari jaringan hidup inangnya) dan neurotropik. Jumlah IAA yang diproduksi biomassa fungi paling tinggi pada fase biotropik. Pada tahun 2004, Farah Ahmad, Iqbal Ahmad, Mohd Saghir Khan dari Aligarh Muslim University, India, melakukan pengujian terhadap kemampuan 21 isolat bakteri (10 Azotobacter sp. Dan 11 Pseudomonas sp.) dari berbagai tanah rizosfer dari sekitar kota Aligarh dalam menghasilkan Indole-3-Acetic Acid pada media Nutrient Broth yang berisi 0, 1, 2 dan 5 mg/ml triptofan, diinkubasi pada 28 ± 2 oC selama 15 hari untuk Azotobacter sp. dan 1 minggu untuk Pseudomonas spp. Antara 2,68–10,80 µg/ml IAA diproduksi oleh Azotobacter tanpa penambahan triptofan. 7 isolat Azotobacter sp. memproduksi IAA pada konsentrasi yang cukup tinggi pada kisaran 7,3–32,8 µg/ml dengan penambahan triptofan 5 mg/ml. Pada penambahan 1 dan 2 mg/ml triptofan, produksi IAA-nya pada kisaran 1,47–11,88 dan 5,99–24,8 µg/ml. Pada isolat Pseudomonas fluorescent, produksi IAA meningkat dengan meningkatnya konsentrasi triptofan dari 1 hingga 5 mg/ml. Pada konsentrasi triptofan 5 mg/ml, 5 isolat memproduksi IAA dengan konsentrasi tinggi (41,0 hingga 53,2 µg/ml) sementara 6 isolat lainnya memproduksi 23,4 hingga 36,2 µg/ml. Isolat Pseudomonas sp. (Ps1, Ps4 dan Ps7) menghambat perpanjangan akar pada tanaman Sesbania aculeata dan Vigna radiata sedangkan isolat Azotobacter (Azs1, Azs6 dan Azs9) dapat merangsang perpanjangan akar dari kedua tanaman tersebut. Penambahan triptofan 1 hingga 5 mg/ml pada kedua tanaman tersebut memperlihatkan efek pertumbuhan tanaman yang menurun. Dengan kata lain, penambahan triptofan konsentrasi tinggi dari luar bersifat racun pada tanaman tersebut. 2.3. Sitokinin 19 Sitokinin merupakan salah satu zat pengatur tumbuh pada tanaman yang berperan dalam pembelahan sel (cell division). Sitokinin ditemukan pertama kali oleh Haberlandt pada tahun 1913. F. Skoog, C. Miller dan rekan-rekannya pada tahun 1950-an melakukan penelitian pada batang tembakau yang ditumbuhkan pada medium sintetik dan menyatakan bahwa senyawa yang berperan dalam kultur jaringan tersebut adalah kinetin (6-furfurylaminopurine). Sitokinin dari alam yang pertama kali diidentifikasi adalah zeatin yang nama kimianya 6-(4hydroxy-3-methylbutenylamino)purine. Bagian tanaman yang mempunyai aktifitas sitokinin paling tinggi adalah ujung akar, pucuk, dan benih tanaman yang masih muda. Selain oleh tanaman, sitokinin juga dapat diproduksi oleh mikroorganisme seperti sianobakteri (alga hijau biru) dan beberapa bakteri fitopatogenik (misalnya Agrobacterium tumefaciens, Pseudomonas savastanoi, dan Rhodococcus fascians) dan jamur Dictyostelium discoideum. Rizobakteri Azotobacter dapat memproduksi fitohormon auksin dan sitokinin seperti Azotobacter chrococcum, A. beijerinckii, A. paspali serta A. vinelandii. Taller & Wong (1989) membuktikan adanya sitokinin dari jenis zeatin ribosida (ZR), zeatin (Z), isopenteniladenosin (2iPR), isopenteniladenin (2iP), metiltiozeatin (MSZ) dan metiltioisopenteniladenin (MS2iP) yang diekskresikan oleh A. vinelandii. Abbass dan Okon (1993) memperlihatkan kemampuan A. paspali untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan kapasitasnya dalam memproduksi faktor tumbuh. Di dalam supernatan kultur cair Azotobacter chrococcum, yang diisolasi dari rizosfer jagung dengan kepadatan 108 cfu/ml terdapat kinetin dan benzyladenin-9glukosida masing-masing dengan konsentrasi 0,0197 dan 0,004 µg/ml. Kemudian suatu isolat Azotobacter yang diisolasi dari rizosfer tomat yang dikulturkan selama 72 jam dalam media cair pupuk organik 3 ml/ltr yang mengandung nitrogen kurang dari 1 % dapat mengekskresi 2,39 µg/ml sitokinin dari kepadatan sel 3,7 x 109 cfu/ml, tetapi tidak terdeteksi adanya hormon auksin dan giberelin (Hindersah et al., 2002b). Murai et. al., (1980) melakukan penelitian terhadap 5 strain bakteri Corynebacterium fascian yang ditumbuhkan pada Nutrient Broth dan diinkubasi selama 4 hari pada suhu 25 oC dan dikromatografi dengan kolom sephadex LH-20 20 (30 g, 1,9 x 42 cm) dalam 35 % (v/v) etanol menunjukkan bahwa isolat MW 2 dari University of Alexandria (mesir) menghasilkan 168 µg/liter kinetin equivalent, isolat CF2 dan CF1 dari Bulkholder Collection (Cornell University) menghasilkan masing-masing 8,3 dan 2,3 µg/liter kinetin equivalent, isolat CF15 dari University of California menghasilkan 0,4 µg/liter kinetin equivalent, dan isolat CF16 dari Bulkholder Collection (Cornell University) menghasilkan 0,2 µg/liter kinetin equivalent. Plasmid dari isolat MW2, CF2 dan CF1 yang mempunyai produktifitas sitokinin yang tinggi (Mr ≈ 108) menunjukkan ukuran yang lebih besar daripada isolat yang produktifitasnya rendah. CF15 mempunyai ukuran plasmid yang lebih kecil daripada yang lain. CF16 tidak terdeteksi adanya plasmid, tetapi yang ada berupa DNA ekstra kromosomal yang lain. Corynebacterium fascians tersebut memproduksi 4 sitokinin yaitu 6-(3-methyl-2-butenylamino) purine (i6Ade), 6-(4hydroxy-3-methyl-cis-2-butenylamino) methyl-cis-2-butenylamino)-2-methylthio purine purine (c-io6Ade), 6-(4-hydroxy-3- (ms2-c-io6Ade), dan 6- methylamino purine (m6Ade) dan 3 sitokinin tambahan yaitu 6-(4-hydroxy-3methyl-trans-2-butenyl amino) purine (t-io6Ade), 6-(4-hydroxy-3- methyl-2butenyl amino)-9-3-D-ribofuranosyl purine (io6A), dan 6-(3-methyl-2-butenyl amino)-9-f3-D-ribofuranosylpurine (i6A). Akiyoshi et. al., (1987) melakukan pengujian produktifitas sitokinin pada beberapa strain Agrobacterium tumefaciens dan Agrobacterium rhizogenes, Pseudomonas syringae pv. Phaseolicola, Pseudomonas syringae pv. angulata, Pseudomonas syringae pv. tabaci, Pseudomonas syringae pv. Savastanoi dari oleander, zaitun, dan privet, Pseudomonas solanacearum dari endofit tomat, pisang, kentang, tembakau dan Eupatorium sp yang diambil dari Costa Rica, Colombia, Peru, Sri Lanka, Venezuela, Brazil dan Grenada, Xanthomonas campestris dan Rhodococcus fascians. Semua bakteri ditumbuhkan pada AB minimal medium (8 g Nutrient Broth, 2 g K2HPO4, 0,5 g KH2PO4, 0,12 g MgSO4, dan 5 g glucose per liter aquadest) yang diperkaya dengan 2 µg biotin per liter dan diinkubasi pada inkubator shaker 25 oC. Setelah diuji dengan radioimmunoassay, A. tumefaciens strain T37 menghasilkan 44 tZ, 2 tZR dan 2 nanogram/ml iP/iPA, A. rhizogenes strain 8196 menghasilkan 3 tZ, 0,6 tZR dan 0,1 nanogram/ml iP/iPA, Pseudomonas syringae pv. Savastanoi strain TK1050 yang diisolasi dari 21 endofit pohon zaitun menghasilkan 1,140 tZ, 170 tZR dan 0,6 nanogram/ml iP/iPA, Pseudomonas solanacearum strain 248 dari endofit tembakau dari Columbia menghasilkan 109 tZ, 18 tZR dan 2 nanogram/ml iP/iPA. Bakteri Xanthomonas campestris dan Rhodococcus fascians tidak terdeteksi adanya sitokinin. Sturtevant dan Taller (1988) menganalisis kandungan sitokinin pada bakteri Bradyrhizobium japonicum strain 6 1A68 (dari Nitragin Co., Inc., Milwaukee, WI) yang ditumbuhkan pada media yang digunakan oleh Valera dan Alexander yang dimodifikasi oleh Phillip dan Torrey yang terdiri dari 10 g mannitol, 0,8 g K2HPO4, 0,2 g KH2PO4, 0,5 g (NH4)2SO4, 0,4 g KNO3, 0,2 g MgSO4.7H20, 0,1 g CaCl2.2H20, 0,01 g FeCl3.6H20, Na2MoO4.2H20, ZnSO4.7H20, H3BO3, MnSO4. H20, p-aminobenzoic acid and pyridoxine HCl masing-masing 0,2 mg, meso-inositol, thiamine HCl, calcium pantothenate dan riboflavin masing-masing 1 mg, 0,25 mg biotin, 15 µg CuSO4, 1 µg CoCl2.H20 yang dilarutkan dalam 1 liter aquadest dengan pH 6,8. Sebagai pembanding, Sturtevant dan Taller (1989) juga menumbuhkan Rhizobium phaseoli pada media yang sama tapi dimodifikasi dengan menambahkan 1 mg/L thiamine HCI dan 0,25 mg/L biotin. Kedua strain tersebut diinkubasi pada suhu 28 oC, 100 rpm selama 4 hari dalam inkubator shaker. Kadar sitokininnya dihitung dengan HPLC merek Amberlite XAD-2 dengan kolom Sephadex LH-20 dengan sistem solvent ethanol 35% (v/v). Dari Bradyrhizobium japonicum strain 6 1A68 teridentifikasi 3 jenis sitokinin yaitu io6Ado 0,8 KE/liter, io6Ade 0,4 KE/liter, dan ms2io6Ade 0,1 KE/liter. 2.4. Klasifikasi Mikroba Klasifikasi adalah suatu istilah yang berkaitan dan seringkali digunakan atau dipertukarkan dengan taksonomi. Taksonomi adalah ilmu mengenai klasifikasi atau penataan sistematik organisme ke dalam kelompok atau kategori yang disebut taksa (tunggal : takson). Akan tetapi, penyusunan taksonomik mikroorganisme mensyaratkan diidentifikasi sebagaimana mestinya dan diberi 22 nama. Kegiatan secara keseluruhan, yakni tentang pengklasifikasian, penamaan, dan pengidentifikasian mikroorganisme, disebut sebagai sistematika mikroba (Waluyo, 2008). Dari klasifikasi maka ditentukanlah kriteria yang perlu untuk diidentifikasi. Klasifikasi juga memberikan suatu cara untuk menentukan kekerabatan evolusioner di antara kelompok-kelompok jasad renik dan untuk memilih mikroorganisme yang mungkin memiliki cirri-ciri atau kemampuan yang menarik perhatian secara khusus, misalnya menghasilkan antibiotik (Pelczar, 1986). Menurut Gupta (1990), kriteria untuk klasifikasi mikroba yaitu: a). Sumber energi : fototropik, kemotropik b). Kebutuhan gizi : sederhana atau kompleks c). Kemampuan untuk tumbuh dalam jaringan hidup saprofit dan parasit d). Suhu pertumbuhan : psikrofil, mesofil dan termofil e). Kebutuhan oksigen : aerob dan anaerob Kriteria di atas dianggap tidak memuaskan, sehingga timbul beberapa cara klasifikasi yang berbeda yaitu : 1. Klasifikasi biologs yang berdasarkan sifat-sifat biologis, imunologis dan ekologis. 2. Klasifikasi morfologi dibagi dalam dua kelompok yaitu : a. Mikroba golongan tinggi; berupa filament yang tumbuh dengan membuat cabang membentuk miselium, misalnya kapang. b. Bakteri ; terdiri atas satu sel dan tidak pernah membuat miselium. 3. Klasifikasi biokimia dengan komposisi kimiawi dinding sel dari sel prokariot berbeda dengan sel eukariot. Pada sel eukariot tidak terdapat asam N-asetil muramat, sedangkan selaput dinding sel prokariot tidak mengandung sterol. 4. Komposisi DNA sebagai dasar klasifikasi menggunakan kadar G+C (Guanin dan Sitosin) dalam bakteri, dapat dibuktikan terdapat rentang yang luas dari unsure G+C, bervariasi antara 25-80 mol persen pada genus-genus yang berbeda 23 2.5. Identifikasi dan Karakterisasi Bakteri Identifikasi adalah penggunaan kriteria yang ditetapkan untuk klasifikasi dan nomenklatur untuk mengidentifikasi mikroorganisme dengan membandingkan ciri-ciri yang belum diketahui jenisnya dengan cirri-ciri yang sudah diketahui jenisnya. Identifikasi mikroorganisme yang telah diisolasi perlu pencirian, deskripsi, dan perbandingan yang cukup dengan deskripsi yang telah dipublikasikan untuk mikroorganisme lain yang serupa (Pelczar, 1986). Teknik identifikasi mikroba merupakan langkah lanjutan dari hasil isolasi. Untuk identifikasi dan determinasi hasil biakan murni ditentukan berdasarkan morfologi induvidu, sifat pewarnaan, morfologi koloni, sifat-sifat biokimia (fisiologis), patogenitas, dan serologinya. Akan tetapi, pada mikroba tertentu terkadang tidak diperlukan pengujian lengkap seperti di atas. (Waluyo, 2008). Proses awal identifikasi mikroba yakni dengan mengamati morfologi individu secara mikroskopik dan pertumbuhannya pada berbagai macam medium. Karena suatu mikroba tidak dapat dideterminasi hanya dengan berdasarkan sifat-sifat morfologinya saja, maka perlu dilihat sifat-sifat biokimia dan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhannya. Mikroba yang morfologinya sama mungkin saja berbeda kebutuhan nutrisinya dan persyaratan ekologi lainnya. Demikian juga patogenisitas dapat dipakai untuk membantu identifikasi dan determinasi mikroba tersebut. Bila suatu mikroba memiliki sifat-sifat yang hampir sama, maka dilanjutkan uji serologinya. Karakterisasi dilakukan pada isolat bakteri yang telah lolos seleksi dengan cara melakukan berbagai pemeriksaan laboratoris agar isolat bakteri tersebut dapat dikelompokkan dalam suatu golongan (Feliatra, 1999). Karakterisasi yang umumnya dilakukan meliputi : 2.6. Pengujian fisiologis dengan reaksi biokimia - Uji kebutuhan oksigen dengan medium NB - Uji Katalase - Uji fermentasi karbohidrat - Uji hidrolisis pati - Uji indol - Uji fermentasi gula, H2S, dan gas dengan TSIA 24 - Uji MR-VR - Uji Sitrat - Uji hidrolisis urea 2.7. Analisis Molekular Melalui prosedur laboratorium dapat ditentukan komposisi basa (kandungan guanin + sitokinin atau GS) DNA suatu mikroorganisme dan membandingkannya dengan komposisi basa DNA pada mikroorganisme lainnya. Derajat kekerabatan atau kesamaan DNA pada berbagai mikroorganisme dapat ditentukan pula dengan percobaan hibridisasi. Dalam teknik ini utasan tunggal DNA mikroorganisme dipertemukan dengan utasan tunggal DNA mikroorganisme yang lain. Derajat penyatuan kembali utasan-utasan tunggal ini mencerminkan derajat kesamaannya (Pelczar, 1986). 2.8. Empat Kategori Besar Bakteri Untuk identifikasi mikroba, meskipun ada skema klasifikasi yang diakui secara internasional, namun skema klasifikasi yang paling terkenal dan paling umum digunakan yakni mengacu pada “Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology”. Pada klasifikasi Bergey’s tahun 1994 edisi ke-9 (Holt et al., 1994). Kelompok bakteri digolongkan menjadi 4 kategori besar, yakni : 2.8.1. Kategori Besar I : Eubacteria Gram Negatif dengan Dinding Sel, yang terdiri 16 Grup Prokariota memiliki struktur dinding sel yang kompleks (tipe Gram Negatif) baik pada susunan dinding luar maupun dinding dalam, dengan lapisan peptidoglikan yang tipis (yang terdiri dari asam muramat) dan komplemen yang bervariasi di bagian luar dan antara lapisan-lapisan itu. Biasanya organisme tersebut jika diwarnai menunjukkan Gram negatif. Bentuk sel bias berbentuk oval, 25 lurus, melengkung, batang, heliks atau filament; beberapa yang lain berbentuk kapsul atau selubung (Holt et al., 1994). Reproduksi dengan pembelahan biner, tetapi beberapa kelompok dengan kuncup, pembelahan ganda (pleurocapsales). Myxobacteria membentuk badan buah dan mikrospora. Beberapa yang lain bergerang dengan cara berenang, meluncur, dan tidak bergerak. Anggota dari kategori ini bakteri fototropik atau nonfototopik (lithotrofik dan heteritrofik) dan bersifat aerobik, anarobik, anaerob fakultatif, dan mikroaerofilik; beberapa anggotanya merupakan parasit obligat interseluler. 2.8.2. Kategori Besar II : Eubacteria Gram Negatif dengan Dinding Sel, yang terdiri 6 Grup Kategori ini merupakan prokariot dengan susunan dinding sel tipe Gram positif. Sel dapat berbentuk sphere, batang, atau filament; batang dan filament tidak bercabang, tetapi beberapa menunjukkan cabang benar. Reproduksi secara umum dengan pembelahan biner; beberapa memproduksi bentukan istrirahat (endospora atau spora pada hifa). Kategori tersebut tidak bersifat fotosintetik; umumnya kemosintetik heterotrofik dan bersifat aerobik, anaerobic, anaerobic fakultatif, dan mikroaerofil. Anggota kategori ini bakteri asporogenous dan sporogenous, seperti pada actinomycetes. 2.8.3. Kategori Besar III : Eubacteria tanpa Dinding Sel, terdiri hanya 1 Grup saja, yakni Mycoplasma atau Mollicula Kategori ini tanpa memiliki dinding sel dan tidak mensintesis precursor peptidoglikan. Organisme kategori ini tertutup oleh suatu unit membrane, yakni membrane plasma. Sel bersifat sangat pleomorfik dan ukurannya bervariasi mulai yang besar sampai yang sangat kecil (0,2 mikrometer). Umumnya berbentuk filament bercabang. Reproduksi dengan perkuncupan, fragmentasi, dan atau pembelahan biner. Biasanya non motil, tetapi beberapa spesies dengan pergerakan meluncur. Bentuk spora tidak ada. Sel terwarnai menjadi Gram negatif. Banyak memerlukan media kompleks untuk pertumbuhan (tekanan osmotic tinggi) dan menembus permukaan medium padat membentuk koloni berbentuk “telur dadar”. 26 Kebanyakan spesies memerlukan kolesterol dan asam amino rantai panjang untuk pertumbuhan. Komplek guanine dan sitosin dalam ARN ribosom 43-48 mol% (lebih rendah 50-54 mol% dari dinding Eubacteria Gram positif dan Gram negatif); guanine dan sitosin dari ADN 23-46 mol% dan ukuran genom mycoplasma lebih sedikit daripada prokariotik yakni 0,5-0,1 x 109 dalton. Mycoplasma bersifat saprofitik, parasitic, atau patogenik, dan bersifat pathogen penyebab penyakit pada binatang, tanaman, dan jaringan. 2.8.4. Kategori Besar IV : Archeobacteria, yang terdiri 5 Grup Archaeobacteria dominan sebagai mikroba daratan dan akuatik, terdapat secara anerobik atau hipersalin atau hydrothermal dan geothermal; juga terdapat bersimbiosis dengan saluran pencernaan pada binatang. Kategori bakteri ini terdiri dari aerob, anaerob, dan aerob fakultatif yang dapat tumbuh secara khemolithoototrof, organototrof, atau organototrof fakultatif. Archaeebacteria dapat bersifat mesofil, atau thermofil yang dapat tumbuh pada suhu di atas 100ºC. Archaeobacteria memiliki sifat unik secara biokimia yakni adanya eter lemak, isopropyl gliserol. Ketiadaan murein pada dinding sel menyebabkan reaksi terhadap antibiotika ß-laktam. Lengan umum dari tARNs terdiri pseudouridin atau 1-metilpseudouridin. Sekuen 5S, 16S, dan 23S rARNs sangat berbeda antara eubacteria dan eukariota. Beberapa ciri molekuler Archaeobacteia: (a) perpanjangan faktor 2 (EF2) terdiri asam amino diftalmida dan ADP-ribosable oleh racun difteria, (b) sekuens asam amino dari protein “A” ribosomal homolog dengan eukariotik protein (L-7/L-12), (c) initiator tARN metionil bukan formilated, (d) beberapa gen tARN berpasangan dengan basa “AU”, (f) ARN polymerase adalah multikomponen enzim dan peka terhadap antibiotic rimfamisin dan streptolidigin, (g) seperti halnya AND polymerase dari eukariot; replikasi AND Archaeobacteria polymerase tidak dihambat oleh aphidicolin atau butilfenil-dGTP, dan sintesis protein dihambat oleh anisomisin tetapibuka oleh kloramfenikol. Archaeobacteria otototrofik tidak dapat mengasimilasi karbon dioksida melalui siklus Calvin. Pada Methanobacterium, CO2 diikat melalui suatu jalur asetil CoA, dimana Acidianus 27 dan Thermoproteus dimana CO2 diikat melalui suatu jalur reduksi asam trikarboksilat. Fiksasi N2 dapat dilihat pada beberapa metanogen. Hasil pewarnaan Gram kemungkina dapat Gram positif atau Gram negatif. Spesies yang bersifat Gram positif pada dinding selnya memiliki pseudomurein, metahanochondrotin, dan heteropolisakarida; sedangkan pada Gram negatif karena memiliki lapisan permukaan (gliko-)protein. Selnya memiliki keragaman bentuk. Diameter sel antara 0,1-15 milimikron dan panjang filamen dapat mencapai 200 milimikon. Perbanyakan sel dapat dengan pembelahan biner, perkuncupan, fragmentasi dan mekanisme yang belum diketahui. Sel dapat berwarna merah, ungu, jingga, coklat jeruk, kuning, hijau, hitam kekuningan dan putih. Secara umum Archaeobacteria terdiri (a) Archaeobacteria methanogenik, (b) Archaeobacteria pereduksi sulfat, (c) Archaeobacteria halofilik ekstrem, (d) Archaeobacteria tanpa dinding sel, dan (e) Thermofilik Sº-metaboliser. Dari empat kategori besar di atas (Kategori I, Kategori II, Kategori III, dan Kategori IV) dibagi menjadi 35 GRUP. Masing-masing grup adalah : Kategori Besar I : Eubacteria Gram negatif, GRUP 1 sampai dengan GRUP 16. Kategori Besar II : Eubacteria Gram positif dengan dinding sel dari GRUP 17 samapi dengan GRUP 29. Kategori Besar III : Eubacteria tanpa dinding sel dari hanya terdiri dari 1 GRUP, yakn MYCOPLASMA (GRUP 30). Kategori Besar IV : Archeobacteria terdiri GRUP 31 sampai dengan GRUP 35. 2.9. Gen 16S rRNA RNA di dalam sel dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu kelompok RNA yang berhubungan dengan ekspresi genyaitu mRNA, tRNA dan kelompok rRNA yang tidak berhubungan dengan ekspresi gen. Ribosomal RNA merupakan salah satu makromolekul yang menarik karena molekul ini bersifat stabil, terdapat sekitar 83% dari keseluruhan RNA dalam sel dan merupakan 28 kerangka ribosom yang sangat berperan dalam mekanisme translasi. Semua rRNA identik secara fungsional yakni terlibat dalam produksi protein, walaupun demikian sekuen-sekuen dibagian tertentu terus berevolusi dan mengalami perubahan pada level struktur primer sambil mempertahankan struktur sekunder dan tersier yang homolog (Gutell et al., 1994). Kemampuannya mewakili semua informasi filogenetik dan kepraktisannya menyebabkan sekuen 16S rRNA lebih sesuai digunakan untuk identifikasi bakteri daripada menggunakan 5S rRNA atau 23S rRNA. Menurut Bottger (1996) aplikasi molekular untuk menganalisis keragaman mikroba melalui analisis gen 16S rRNA sesuai untuk mengidentifikasi mikroorganisme karena gen ini terdapat pada semua organisme prokariot. Molekul 16S rRNA memiliki daerah-daerah berbeda berupa sekuen yang konservatif dan sekuen lain yang sangat variatif. Strategi yang sering digunakan untuk melihat keragaman mikroba yang meliputi tahap-tahap isolasi DNA dari komunitas alami, amplifikasi gen 16S rRNA menggunakan PCR, penapisan klon-klon untuk variabilitas genetik, pemilihan klon unik untuk disekuen dan menentukan klon filogeniknya (Marchesi et al., 1998). Gen 16S rRNA bersifat relatif stabil dalam sel bakteri daripada rRNA yang biasanya didegradasi dan hanya terdapat pada fase-fase tertentu saja. 2.10.Kedelai Wilis Varietas memegang peranan penting dalam perkembangan penanaman kedelai karena untuk mencapai produktivitas yang tinggi sangat ditentukan oleh potensi daya hasil dari varietas unggul yang ditanam. Potensi hasil biji dilapangan masih dipengaruhi oleh interaksi antara faktor genetik varietas dengan pengelolaan kondisi lingkungan tumbuh. Bila pengelolaan tidak dilakukan dengan baik, potensi daya hasil biji yang tinggi dari varietas unggul tersebut tidak dapat tercapai. Kedelai (Glycine max (L.) Merril) varietas "Wilis" dilepas tahun 1983, oleh Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor. Wilis berasal dari galur F4 persilangan varietas No. 1682 dengan Orba, yang disilangkan di Bogor pada tahun 1975. Keturunan dari persilangan diseleksi dengan metode seleksi massa berstrata berdasarkan umur matang, mulai generasi F2 sampai F4. Pembuatan galur murni 29 dilakukan pada generasi F4. Galur yang terbaik adalah No. 1682/1343-1-1-0, yang kemudian dilepas sebagai varietas baru, dengan nama Wilis. Wilis menghasilkan rata-rata 1626 kg/ha, dari 18 lingkungan percobaan. Umur matang Wilis 88 hari, tipe batang tegap dan tidak mudah rebah. Ukuran bijinya kecil, berwarna kuning seragam dengan hilum warna coklat tua. Wilis cocok ditanam pada lahan bekas padi sawah dengan pengolahan minimal atau tanpa pengolahan tanah. Kecambah mempunyai vigor yang baik, pertumbuhannya cepat, dan dapat tumbuh baik pada lahan berdrainase kurang baik (Sumarno, 1982). 2.11.Pupuk Pupuk Kimia. Pupuk merupakan suatu bahan yang bersifat organik ataupun anorganik, bila ditambahkan ke dalam tanah atau ke tanaman, dapat memperbaiki sifat fisik, sifat kimia, sifat biologi tanah dan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Cara– cara atau metode serta usaha yang dilakukan dalam pemberian pupuk atau unsur hara ke dalam tanah atau ke tanaman yang sesuai dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman yang normal (Hasibuan, 2004). Pupuk Organik. Pupuk organik merupakan pupuk dengan bahan dasar yang diambil dari alam dengan jumlah dan jenis unsur hara yang terkandung secara alami. Dalam pemberian pupuk untuk tanaman, ada beberapa hal yang diingat, yaitu ada tidaknya pengaruh terhadap perkembangan sifat tanah (fisik, kimia maupun biologi) yang merugikan serta ada tidaknya gangguan keseimbangan unsur hara dalam tanah yang akan berpengaruh terhadap penyerapan unsur hara tertentu oleh tanaman. Penggunaan pupuk organik secara terus menerus dalam rentang waktu tertentu akan menjadi lebih baik dibanding pupuk anorganik (Musnamar, 2003). Pupuk Hayati Pupuk mikrobiologis atau pupuk hayati adalah pupuk yang mengandung mikroorganisme hidup yang ketika diterapkan pada benih, permukaan tanaman, 30 atau tanah, akan mendiami rizosfer atau bagian dalam dari tanaman dan mendorong pertumbuhan dengan meningkatkan pasokan nutrisi utama dari tanaman. 31 BAB III. METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Agromikrobiologi Laboratprium Recovery Laboratorium Analitik Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT dan Laboratorium Bioteknologi Institut Teknologi Indonesia Serpong. B. Bahan dan Peralatan Penelitian B.1. Bahan-bahan Penelitian Isolat murni bakteri penghasil fitohormon IAA dengan kode KNG.RT1 dan bakteri penghasil Sitokinin dengan kode JGEA7. Isolat bakteri tersebut diperoleh dari hasil penelitian tahun pertama. B.1.1. Bahan untuk Identifikasi Isolat Bakteri Genomic DNA Mini Kit (Merk: Genaid), ethanol pekat, reagen PCR (buffer, dNTP, enzyme Taq Polimerase, MgCl2), TAE 1X, Agarose, primer 9 F 20 pmol, primer 1541 R 20 pmol, DNA template, loading dye, media Nutrient Agar, nutrient Broth, laruan H2O2 3%, NaCl, Larutan pewarnaan gram, malacit green, dan sebagainya. B.1.2. Bahan untuk Uji Aktivitas pada Tanaman Pangan Benih tanaman kedelai (Glycine max (L) Merill) varietas Wilis; Media tanam (campuran tanah dengan pupuk kandang, perbandingan 2 : 1); Pupuk kimia (Urea, SP-36, dan KCl), pupuk organik dan pupuk hayati Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA); Formula produk fitohormon IAA dan Sitokinin alami dari mikroba; Hormon pembanding dengan merek “Hormonik”; Pestisida Decis. Medium kultur produksi fitohormon IAA dan Adenin terdiri dari (a). Minimal Medium dengan triptofan 2 g/liter, (b) Luria Bertani Glukosa Triptofan (LBGT) dan (c) Minimal Salt (MS) yang diperkaya dengan triptofan 2 g/liter. B.2. Peralatan Penelitian B.2.1. Peralatan untuk Identifikasi Isolat Bakteri 32 Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sentrifuge, tabung sentrifuge, mikro pipet, pipet tips, gelas ukur, Beaker Glass, timbangan analitik, spatula, cawan petri, tabung reaksi, hot plate, magnetic stirrer, incubator shaker, laminar air flow, jarum ose, tabung PCR, water bath, mesin PCR, elektroforesis kit, dan sebagainya. B.2.2. Peralatan untuk Uji Aktivitas pada Tanaman Pangan Peralatan untuk produksi fitohormon IAA dan Sitokinin alami, antara lain: Labu Erlenmeyer; Corong pisah; Gelas ukur; Autoclave; Hot Plate dan Magnetic stirrer;Timbangan ;Spatula;Piring kecil;Incubator shaker ;Centrifuge dan tabung centrifuge;. pH meter ; Rotavapo; Tabung reaksi;Laminar air flow;Cawan petri Peralatan untuk penanaman kedelai, meliputi: Polybag (30 x 40 cm); Sendok tanam; Alat untuk penyiraman (Pompa air, selang, sprayer); Cangkul; Sekop; Troli; Gunting tanaman; Bambu penyangga tanaman. C. Pelaksanaan Penelitian. C.1. Cara Kerja Identifikasi Isolat Bakteri Untuk identifikasi bakteri terpilih dalam hal ini ada dua isolat yaitu B1 (KNG.RT1), B2 (JGEA7) Tata cara Identifikasi mengikuti Referensi dari Bucchanan dan Gibbons 1974. ISOLASI MIKROBA PENGHASIL HORMON ISOLAT BAKTERI PENGHASIL AUKSIN DAN SITOKININ OPTIMASI MEDIA PENGHASIL IDENTIFIKASI BAKTERI FITOHORMON (PCR, ELEKTROFORESIS) Gambar 1. Bagan Alir Penelitian Secara Umum 33 C.1.1. Peremajaan Isolat bakteri Sebanyak 1 ose isolat murni masing-masing bakteri dari medium stok diinokulasikan ke dalam media agar miring NA segar dan media NB, kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 48 jam. C.1.2. Pengamatan Sifat Morfologi Koloni Isolat Bakteri Isolat bakteri ditumbuhkan pada medium NA dan dilakukan pengamatan meliputi: pertumbuhan koloni bakteri pada medium agar miring yaitu bentuk pertumbuhan pada bekas goresan, pertumbuhan koloni bakteri pada medium agar lempeng yaitu bentuk, tepian, elevasi, permukaan warna (Metting, 1993). C.1.3. Pengamatan Morfologi Sel a. Pewarnaan Gram Sebanyak 1 tetes larutan NaCl diteteskan pada kaca objek. 1 ose isolat bakteri lokal diambil dan dicampurkan dengan NaCl 0,85%. Preparat dibiarkan kering dengan cara diangin-anginkan, dan difiksasi sebanyak 3 kali diatas nyala api kemudian dibiarkan dingin. Kemudian dilakukan pewarnaan gram yakni dengan cara diberi tetesan larutan kristal violet selama ± 2-3 menit, dicuci dengan air dan selanjutnya ditetesi dengan larutan lugol pada seluruh permukaan preparat selama ± 1-2 menit. preparat dicuci dengan air dan dicuci kembali dengan alkohol 96% hingga bersih. Kemudian dicuci dengan air, lalu diberi tetesan larutan safranin selama ± 1-2 menit. Preparat dicuci kembali dengan air dan dikeringkan setelah itu diamati di bawah mikroskop (Waluyo, 2008). b. Pewarnaan Spora Sebanyak 1 tetes larutan NaCl diteteskan pada kaca objek. Kemudian diambil 1 ose isolat bakteri lokal dan dicampurkan dengan NaCl 0,85%. Preparat dibiarkan kering dengan cara diangin-anginkan, dan difiksasi sebanyak 3 kali diatas nyala api kemudian dibiarkan dingin. Kemudian diberi tetesan Malacit Green, dibiarkan selama 2-3 menit diatas penangas air. Lalu preparat diangkat dan dibiarkan dingin, selanjutnya dibilas 34 dengan air mengalir. Beri tetesan safranin, dibiarkan selama 30 detik,lalu dibilas dengan air mengalir, dan dikeringkan setelah itu diamati di bawah mikroskop. “sel vegetatif akan terlihat berwarna merah dan sporanya akan terlihat berwarna hijau” (Madigan et al., 1995). C.1.2. Penguji Fisiologis dengan reaksi Biokimia Mengikuti cara kerja yang disebutkan dalam Hadioetomo (1993) dan Amar et al., (2002) yang meliputi : 1. Uji Katalase Sebanyak 1 ose, diambil isolat bakteri lokal. Isolat diletakkan pada kaca objek kemudian ditetesi H2O23%. Kemudian diamati adanya gelembung O2 (oksigen) yang terbentuk. 2. Uji Fermentasi Karbohidrat 1 ose biakan diinokulasikan kedalam seri medium (glukosa, laktosa, dan sukrosa). Satu seri medium tidak diinokulasi dan digunakan sebagai kontrol. Kemudian diinkubasi pada temperatur 35oC selama 48 jam, setelah itu diamati reaksi yang terjadi. Indikator pembentukan asam laktat apabila terjadi perubahan warna medium menjadi kuning tanpa pembentukan gas pada tabung durham. Uji akan bersifat fermentasi asam campuran apabila warna medium berubah dan diikuti pembentukan gas pada tabung durham dan uji akan bersifat fermentasi alkohol apabila terbentuk gas pada tabung durham tanpa diikuti perubahan warna medium. 3. Uji Motilitas 1 ose biakan diinokulasikan kedalam medium agar semisolid dengan cara ditusukkan secara tegak dan 1 tabung medium tidak diinokulasi sebagai kontrol. Kemudian diinkubasi pada temperatur 37oC selama 24 jam, setelah itu diamati perubahan yang terjadi. “ Hasil positif menunjukkan media menjadi keruh seluruhnya dan negatif apabila keruh hanya pada daerah tusukan saja”. 4. Uji Hidrolisis Pati 35 Starch agar dimasukkan dalam cawan petri. Isolat bakteri diinokulasi dengan cara menempatkan satu mata ose biakan ditengah cawan petri kemudian disebarkan seluas 0,5 cm dan diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 37oC, setelah diinkubasi, ditambahkan beberapa tetes larutan iodium di atas permukaan koloni isolat bakteri yang tumbuh, uji akan bernilai positif apabila di sekeliling koloni terbentuk zona bening dan ini akan menandakan terjadinya proses hidrolisis pati dan uji akan bernilai negatif di sekeliling koloni terbentuk warna biru kehitaman. 5. Uji Indol Sebanyak 1 ose, isolat diinokulasikan ke dalam Trypton Broth dan 1 tabung media tidak diinokulasi sebagai kontrol. Kemudian diinkubasi pada suhu 35±1ºC selama 24 jam, 1 atm. Setelah itu, ditambahkan 1 tetes larutan covac sampai terbentuk cincin merah. “Hasil positif akan menunjukkan terbentuknya cincin merah dan negatif tidak terbentuk cincin merah”. 6. Uji MR-VP Sebanyak 1 ose isolat bakteri diinokulasikan kedalam media perbeniham MR-VP dan 1 tabung media tidak di inokulasi sebagai kontrol. Kemudian diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam. Setelah itu, sebanyak 0,2 ml ditambahkan larutan KOH 40% selama 15 menit pada media MR dan di tambahkan 5-10 tetes barit A dan B pada media VP. “Hasil positif akan menunjukkan perubahan warna dari bening menjadi warna pink-merah dan hasil negatif akan menunjukkan perubahan warna dri bening menjadi kuning kecoklatan”. 7. Uji Hidrolisis Urea Sebanyak 1 ose isolat bakteri ditanam pada media urea agar dan 1 tabung media tidak di inokulasi sebagai kontrol, setelah iu diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 ºC. “Hasil positif akan berwarna merah dan negatif berwarna kuning”. 8. Uji Nitrat 36 Sebanyak 1 ose biakan diinokulasikan kedalam tabung yang telah berisi media pertumbuhan NB dan 1 tabung tidak di inokulasi sebagai kontrol, kemudian diinkubasi 24 jam pada suhu 37 ºC. Setelah itu, ditambahkan 5 tetes larutan A (Asam Sulfanilat) dan 5 tetes larutan B (Alfa naftilamin) dan diamati perubahan warna yang terjadi. Jika terjadi perubahan warna, maka biakan ditambahkan sedikit serbuk Zn dan diamati perubahan yang terjadi. C.1.3. Analisis Molekular, Meliputi: a). Isolasi DNA 1. Preparasi Sampel (Pra-lisis) Jika Bakteri gram negatif: kultur sel bakteri dipindahkan (hingga 1x109) kedalam 1,5 ml tabung mikrosentrifuge, kemudian sentrifuge selama 1 menit dengan kecepatan penuh. Kemudian buang supernatannya dan tambahkan 200 µl GT Buffer kedalam tabung kemudian divortex. Inkubasi selama 5 menit dalam suhu ruang. Jika Bakteri Gram Positif: kultur sel bakteri dipindahkan (hingga 1x109) kedalam 1,5 ml tabung mikrosentrifuge, kemudian sentrifuge selama 1 menit dengan kecepatan penuh. Kemudian buang supernatannya dan tambahkan 200 µl lysozym Buffer kedalam tabung kemudian divortex. Sampel diinkubasi selama 10 menit dalam suhu ruang, selama inkubasi, tabung dikocok setiap 2-3 menit. 2. Lisis Sel Sebanyak 200 µl GB buffer ditambahkan kedalam sampel, kemudian di vortex selama 5 detik. Kemudian sampel diinkubasi selama 10 menit pada suhu 70oC. selama inkubasi, sampel dalam tabung di balikkan (kocok) setiap 3 menit. 3. Pengikatan DNA Setelah diinkubasi ditambahkan 200 µl ethanol pekat kedalam sampel dan di vortex selama 10 detik. GD kolom ditempatkan kedalam tabung koleksi 37 ukuran 2 ml, kemudian pindahkan semua campuran (termasuk semua endapan sampel) kedalam GD kolom. Sentrifuge dengan kecepatan penuh selama 2 menit. Tabung koleksi yang berisi cairan (pengotor) dilepaskan dan GD kolom ditempatkan kedalam tabung koleksi yang baru. 4. Pencucian 400 µl W1 buffer ditambahkan ke dalam GD kolom, kemudian disentrifuge dengan kecepatan penuh selama 30 detik. Tabung koleksi yang berisi cairan (pengotor) dilepaskan dan GD kolom ditempatkan kembali kedalam tabung koleksi yang baru. kemudian disentrifuge kembali selama 3 menit dengan kecepatan penuh untuk mengeringkan matriks kolom. 5. Pengelusian DNA GD kolom yang telah kering dipindahkan kedalam tabung mikrosentrifuge berukuran 1,5 ml yang bersih. Kemudian ditambahkan 100 µl elusi buffer atau TE buffer kedalam bagian tengah dari matriks kolom. Diamkan selama 3-5 menit atau sampai buffer elusi atau TE terserap oleh matriks. Kemudian disentrifuge dengan kecepatan penuh selama 30 detik untuk mengelusi DNA yang telah dipurifikasi. b). Polymerase Chain Reaction (PCR) Untuk melakukan amplifkasi DNA, dibuat larutan pereaksi PCR dibuat yang terdiri atas: 20 µl dH2O, 25 µl 5x buffer (ready mix), 2 µl primer 9F 20 pmol, 2 µl primer 1541R 20 pmol, 1 µl DNA template yang kemudian ditempatkan dalam satu ependorf tube volume 500 µl. Reagen mix tersebut di aduk dengan rata menggunakan vortex, dan di sentrifuges dengan kecepatan penuh selama 3 menit. Kemudian di “flashing”, selanjutnya dimasukkan dalam takaran PCR Thermal Cycler MP, lalu dilakukan pengesetan program PCR. Program thermal cycler untuk amplifikasi DNA ini mengikuti prosedur Abdullah et al., (2003) yang terasi dalam Tabel 1. 38 Tabel 1. Proses PCR dalam Amplifikasi DNA pada Isolat Bakteri Lokal KNG.RT1 dan JGEA7 Reaksi Siklus Suhu Lama Reaksi Pre Denaturasi 1 kali 96°C 5 menit 96 30 detik 55 30 detik 72 1 menit Siklus PCR - Denaturasi - Annealing - Ekstensi 30 kali Elongasi 1 kali 72 7 menit Stand by - 4 ∞ C.1.4. Elektroforesis Sebanyak 100 ml larutan buffer TAE 1x dibuat dengan cara mencampurkan 10 ml TAE ke dalam 90 ml akuades. kemudian dibuat gel agarosa 1% dengan cara menimbang agarosa 1 g untuk dilarutkan ke dalam bufer TAE 1x hingga volume 100 ml. Larutan agarosa dilarut dalam microwave. Kemudian dituang dalam plate yang diberi sisir dan ditunggu sampai beku. Gel agarose yang telah membeku kemudian dimasukkan kedalam baki elektroforesis (kit) yang telah berisi larutan buffer TAE 1x hingga permukaan gel agarose terendam sempurna. Disiapkan parafim untuk mencampurkan loading dye 6x sebanyak 2 µl dengan sampel DNA produk amplifikasi sebanyak 10 µl dengan menggunakan mikropipet, kemudian campuran tersebut dimasukkan dalam sumur gel agarose. Selanjutnya dibuat catatan mengenai nomor sumuran dan jenis sampel DNA yang dimasukkan agar tidak keliru. Selanjutnya kabel dihubungkan dari sumber arus ke tangki. Sumber arus dinyalakan, lalu volatase diatur dan waktu running hingga diperoleh angka 70 V dan 45 menit dengan cara menekan tombol yang sesuai pada sumber arus. Elektroforesis dijalankan dengan cara menekan tombol run pada sumber arus. Elektroforesis akan berhenti apabila waktu yang ditetapkan sudah habis, yang ditandai oleh adanya bunyi alarm. Kemudian sumber arus dimatikan dan gel dikeluarkan dari elektroforesis untuk dianalisis. 39 C.2 Cara Kerja Uji Aktifitas pada Tanaman Pangan C.2.1 Produksi Fitohormon IAA dan Sitokinin C.2.1.1.Pembuatan Medium Minimal Salt (MS) Bahan-bahan untuk pembuatan 1 liter medium MS adalah : media berupa KH2PO4 (1,36 gr), MgSO4.7H2O (0,2 gr), Na2HPO4 (2,13 gr) dan sodium sitrat (0,5 gr) dilarutkan dalam 900 ml aquades (disebut sebagai larutan bahan I), sedangkan glukosa (10 gr), yeast ekstrak (0,1 gr) dan triptofan (2 gr) dilarutkan dalam 100 ml aquades (disebut sebagai larutan bahan II). Bahan-bahan tersebut masing-masing disterilisasi dalam autoclave pada suhu 121oC, tekanan 1 atm selama 15 menit. Setelah steril dan dingin masing-masing larutan tersebut dicampur menjadi satu larutan secara aseptik. C.2.1.2. Pembuatan Kultur Starter Kultur starter disiapkan dengan menginokulasikan masing-masing 1 ose isolat murni bakteri KNG.RT1 dan bakteri JGEA.7 dari media agar miring NA ke dalam 6 buah labu Erlenmeyer 100 ml yang masing-masing berisi 20 ml medium MS (terdiri dari 18 ml larutan bahan I dan 2 ml larutan bahan II) kemudian diinkubasi dalam incubator shaker dengan kecepatan 150 rpm pada suhu kamar selama 24 jam. C.2.1.3. Inokulasi dan Inkubasi Kultur Produksi Fitohormon IAA Sebanyak 20 ml kultur starter dengan kepadatan sel 10-6 masing-masing diinokulasikan ke dalam 400 ml cairan medium produksi dalam 6 buah labu Erlenmeyer 2000 ml (terdiri dari 360 ml larutan bahan I dan 40 ml larutan bahan II) dan diinkubasi dalam inkubator shaker dengan kecepatan 150 rpm pada suhu kamar selama 48 jam. C.2.1.4. Recovery Produk Fitohormon IAA dan Sitokinin Setelah kultur produksi Fitohormon IAA dan Sitokinin diinkubasi selama 48 jam selanjutnya masing-masing cairan kultur ditambah dengan larutan gliserol sebanyak 20% dari jumlah larutan fitohormon (400 ml) yaitu sebanyak 80 ml. Produk fitohormon IAA dan Sitokinin dicampur menjadi satu kemudian dibagibagi dalam beberapa botol kecil ukuran 100 ml. 40 C.3 Budidaya Tanaman Kedelai C.3.1 Persiapan Media Tanam, Benih Kedelai, dan pupuk a. Media tanam terdiri atas campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 2 : 1, Media tanam dimasukkan ke dalam polybag ukuran 30 x 40 cm masing-masing sebanyak 7 kg per polybag. b. Benih kedelai yang digunakan adalah varietas Wilis didapat dari Balitbiogen, Bogor. Benih kedelai dipilih dengan ukuran yang seragam, utuh, padat dan tidak cacat. c. Jenis pupuk yang digunakan adalah pupuk kimia (Urea, SP-36, KCL), Pupuk Organik Granul, dan Pupuk hayati CMA. C.2.2 Penanaman Tanaman Kedelai Penanaman kedelai dilakukan dengan cara membuat lubang tugal pada masing-masing polybag dengan kedalaman 5 cm, sebelum ditanam biji kedelai dibalur oleh legin dan selanjutnya dalam setiap polibag ditanam 2 butir benih kedelai dan benih ditutup dengan tanah lalu dipadatkan. Pemberian pupuk dilakukan dengan menggunakan 4 jenis perlakuan pupuk, yaitu : 1. Perlakuan pertama yaitu pemberian pupuk kimia sesuai dengan dosis pemupukkan standar yang terdiri atas Urea (0,5 gram/tanaman) SP-36 (1 gram/tanaman) dan KCl (0,75 gram/tanaman). 2. Perlakuan kedua yaitu pemberian setengah dosis pemupukkan kimia standar yang terdiri atas Urea (0,25 gr/tanaman), SP-36 (0,5 gram/tanaman), dan KCl (0,375 gram/tanaman), ditambah dengan satu dosis pemupukkan organik granul yaitu sebanyak 4 gram/tanaman. 3. Perlakuan ketiga yaitu pemberian setengah dosis pupuk kimia standar yang terdiri atas Urea (0,25 gr/tanaman), SP-36 (0,5 gram/tanaman), dan KCl (0,375 gram/tanaman), ditambah dengan satu dosis pemupukkan hayati CMA sebanyak 2,5 gram/tanaman. 4. Perlakuan keempat yaitu pemberian satu dosis pemupukkan organik granul sebanyak 4 gram/tanaman ditambah dengan satu dosis pemupukkan CMA sebanyak 2,5 gram/tanaman. 41 C.2.3 Pemeliharaan Tanamanan Kedelai Pemeliharaan tanaman kedelai meliputi : penyulaman, penyiangan gulma, pemupukan, pengairan dan pengendalian hama dan penyakit. Benih kedelai mulai tumbuh kira-kira 5-6 hari, benih yang tidak tumbuh diganti atau disulam dengan benih baru, penyulaman sebaiknya dilakukan pada saat sore hari. Setelah kedelai berumur sekitar 2-3 Minggu Setelah Tanam (MST) dilakukan penyiangan, penyiangan ke-2 dilakukan pada umur 6 MST bersamaan dengan pemupukan kedua. Pemupukan menggunakan pupuk kimia (Urea, SP-36 dan KCl) dilakukan dengan dosis sesuai dengan perlakuan uji coba. Demikian juga dengan aplikasi pupuk organik dan pupuk hayati dilakukan sesuai dengan perlakuan yang dicoba. Pemakaian fitohormon disesuaikan dengan konsentrasi yang sudah ditetapkan, fitohormon disemprotkan dengan alat penyemprot (sprayer) ke setiap tanaman kedelai dalam polibag tiap seminggu sekali sebanyak 20 ml atau 20 kali penyemprotan per tanaman pada bagian tanah, batang, serta daun tanaman. Obyek penyemprotan adalah bagian tanah dan tubuh tanaman, penyemprotan dimulai dari tanaman kedelai berumur 1 MST dan diakhiri setelah tanaman berumur 5- 6 MST yaitu saat berakhirnya periode vegetatif. Penyiraman tanaman kedelai dilakukan setiap hari, pengendalian hama dan penyakit tanaman dilakukan sesuai dengan standar. C.3. Pengamatan C.3.1. Pengamatan Pertumbuhan Tanaman Kedelai Pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman kedelai dilakukan setiap dua minggu sekali dimulai sejak tanaman berumur 2 MST. Pengamatan pertumbuhan tanaman kedelai meliputi : 1. Tinggi tanaman (cm) Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dengan menggunakan meteran dengan skala sentimeter, dimulai dari permukaan tanah sampai titik tumbuh tanaman tertinggi. Pengamatan dilakukan setiap satu minggu sekali mulai 2 MST sampai 11 MST. 2. Jumlah daun (Helai) 42 Perhitungan jumlah daun tanaman kedelai dilakukan setiap satu minggu sekali mulai dari umur 2 MST sampai umur 11 MST. 3. Bobot akar dalam keadaan basah dan kering (gram) Panen tanaman kedelai dilakukan pada umur 11 MST. Akar tanaman dibersihkan dari tanah yang melekat, lalu dipotong menjadi bagian akar dan bagian tajuk. Untuk pengukuran basah masing-masing bagian akar ditimbang sedangkan untuk pengukuran kering, maka akar dikeringkan dalam oven terlebih dahulu kemudian ditimbang. C.3.2. Pengamatan Produktivitas Tanaman Kedelai 1. Jumlah polong per tanaman (buah) Pengamatan jumlah polong per tanaman sampel dilakukan dengan menghitung jumlah polong yang bernas dan hampa. 2. Jumlah polong bernas per tanaman (buah) Pengamatan jumlah polong per tanaman sampel dilakukan dengan menghitung jumlah polong yang bernas saja. 3. Berat biji per tanaman (gram) Perhitungan berat biji per tanaman dilakukan dengan cara mengeluarkan semua biji dari polongnya per 1 tanaman kemudian diukur beratnya. 4. Berat biji per 100 butir (gram) Berat biji ditimbang dengan jumlah per 100 butir. D. Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan pola faktorial dengan empat kali ulangan. Terdapat perlakuan yang merupakan kombinasi dua faktor, masing-masing faktor tersebut adalah : Jenis pupuk yang digunakan terdiri atas empat taraf : P1 = Pupuk kimia sesuai dengan dosis pemupukan standar yaitu Urea (0,5 gram/tanaman) SP-36 (1 gram/tanaman) dan KCl (0,75 gram/tanaman). P2 = Setengah dosis pemupukan kimia standar ditambah satu dosis rekomendasi pupuk organik terdiri dari Urea (0,25 gr/tanaman), SP-36 (0,5 gram/tanaman), dan KCl (0,375 gram/tanaman), ditambah dengan satu dosis pemupukan organik granul yaitu sebanyak 4 gram/tanaman. 43 P3 = Setengah dosis pemupukan kimia standar ditambah satu dosis rekomendasi pupuk hayati Urea (0,25 gr/tanaman), SP-36 (0,5 gram/tanaman), dan KCl (0,375 gram/tanaman), ditambah dengan satu dosis pemupukkan hayati CMA sebanyak 2,5 gram/tanaman. P4 = Satu dosis Pupuk organik ditambah dengan satu dosis pupuk CMA yaitu 4 gram/tanaman ditambah dengan satu dosis pemupukkan CMA sebanyak 2,5 gram/tanaman. Konsentrasi fitohormon terdiri atas lima taraf : H0 = 0 ml H1 = 10 ml dalam 1000 ml air H2 = 20 ml dalam 1000 ml air H3 = 30 ml dalam 1000 ml air H4 = 10 ml (Sebagai hormon pembanding) dalam 1000 ml air Tabel Kombinasi perlakuan jenis pupuk dengan konsentrasi fitohormon dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kombinasi Perlakuan Jenis Pupuk dan Konsentrasi Fitohormon JENIS PUPUK KONSENTRASI FITOHORMON H0 H1 H2 H3 H4 P1 P1H0 P1H1 P1H2 P1H3 P1H4 P2 P2H0 P2H1 P2H2 P2H3 P1H4 P3 P3H0 P3H1 P3H2 P3H3 P1H4 P4 P4H0 P4H1 P4H2 P4H4 P1H4 Setiap perlakuan diulang 4 kali. Model Matematika Rancangan Acak Kelompok berpola faktorial yang digunakan adalah : Yij = µ + αi + βj + (αβ)ij + εij Keterangan : Yi : Nilai pengamatan pada isolat bakteri ke-I dan medium ke-j. µ : Nilai rataan umum. αi : Pengaruh jenis kombinasi Pupuk ke-i ( i = 1, 2, 3, 4). 44 βj (αβ)ij : Pengaruh konsetransi hormon ke-j ( j = 1, 2, 3, 4). : Pengaruh interaksi jenis kombinasi pupuk ke –i dengan konsentrasi hormon ke-j. eij : Pengaruh galat percobaan. E. Analisa Data Data yang diperoleh dianalis dengan analisisi Sidik Ragam berdasarkan uji F menggunakan program SPSS 17. Apabila hasilnya menunjukkan perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT). 45 BAB IV. HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN A. Identifikasi Isolat Bakteri A.1. Hasil Analisis Morfologi Isolat Bakteri Berdasarkan hasil pengamatan analisis morfologi Isolat bakteri KNG.RT1 dan JGEA7 yang tumbuh pada media NA di cawan petri dapat dibedakan berdasarkan warna, bentuk, tepian dan elevasi dari koloni bakteri tersebut ( Tabel 3 dan Gambar 2). Tabel 3. Pengamatan Morfologi Isolat Bakteri Warna No Kode Isolat 1 KNG.RT1 Krem 2 JGEA7 Krem Koloni Bentuk Koloni Tepian Elevasi Menyebar tidak beraturan Lobat Datar Lobat Datar Bulat dengan tepi berserabut Gambar 2. Bentuk Morfologi Koloni pada Isolat Bakteri KNG.RT1 dan JGEA7 Umur : 24 Jam; Medium : Nutrient Agar A.2. Pewarnaan Gram Hasil pewarnaan Gram dan pengamatan bentuk sel dari isolat bakteri KNG.RT1 dan JGEA7 dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 3, 46 Tabel 4. Hasil pewarnaan Gram pada isolat bakteri KNG.RT1 dan JGEA7 No Kode Isolat 1 KNG.RT1 2 JGEA7 Hasil Pewarnaan Bentuk Sel Warna Sel Gram Negatif Batang Pendek Pink-Merah Gram positif Batang Pendek Ungu Gram Isolat Bakteri KNG.RT1 Isolat Bakteri JGEA7 Gambar 3. Pewarnaan Gram dan bentuk sel pada Isolat Bakteri KNG.RT1 dan JGEA7 Umur : 24 Jam; Medium : Nutrient Agar ; Perbesaran : 1000 x dengan menggunakan mikroskop cahaya A.3. Uji Katalase Kemampuan isolat bakteri KNG.RT1 dan JGEA7 dalam menguraikan H2O2 ditunjukkan oleh uji katalase yang memberikan hasil uji positif, yang berarti kedua isolat bakteri tersebut mampu menghasilkan enzim katalase yang dapat digunakan pada reaksi penguraian hydrogen peroksida (H2O2) menjadi karbon dioksida(H2O) dan gas oksigen (O2). Hasil uji katalase dari isolat bakteri KNG.RT1 dan JGEA7 dapat dilihat pada Tabel 5 berikut: 47 Tabel 5. Hasil Reaksi Uji Katalase pada Isolat Bakteri KNG.RT1 dan JGEA7 No Kode Isolat Hasil Uji Katalase 1 KNG.RT1 + 2 JGEA7 + Ket : (+) = Terbentuk Gelembung gas oksigen ( -) = Tidak terbentuk gelembung gas oksigen A.4. Pengamatan Spora Pada pewarnaan spora, isolat KNG.RT1 tidak terdapat endospora (Gambar 4.) dimana yang terlihat hanya sel vegetatif nya saja, sedangkan pada isolat bakteri JGEA7 dapat terlihat spora yang terbentuk. Spora dari kedua isolat bakteri (KNG.RT1 dan JGEA7) dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Pengamatan Isolat Bakteri Berdasarkan Spora yang Dimiliki No Kode Isolat Endospora 1 KNG.RT1 - 2 JGEA7 + Ket : (+) = Terdapat endospora (- ) = Tidak terdapat endospor 48 Isolat Bakteri KNG.RT1 (tdk terdapat spora) Isolat Bakteri JGEA7 (Terdapat endo spora) spora Gambar 4. Pewarnaan Spora pada Isolat Bakteri KNG.RT1 dan JGEA7 Umur : 48 Jam; Medium : Nutrient Agar ; Perbesaran : 1000 x dengan menggunakan 1. Hasil uji sifat biokimia dari isolate bakteri mikroskop cahayaKNG.RT1 dan JGEA7 Letak spora pada Isolat KNG.RT1 termasuk kedalam spora yang terletak pada posisi subterminal, dengan mengalami pembekakan. Diameter spora dapat lebih besar atau lebih kecil dai diameter sel vegetatifnya. Karena itu, adanya, letak serta ukuran endospora sangat bermanfaat didalam pencirian dan identifikasi bakteri. A.5. Uji Sifat Biokimia Hasil pengujian sifat biokimia pada isolat bakteri KNG.RT1 dan JGEA7 dapat dilihat pada Tabel 7. 49 Tabel 7. Hasil Uji Sifat Biokimia dari Isolat Bakteri KNG.RT1 dan JGEA7 Isolat Isolat KNG.RT1 JGEA7 a. Fermentasi Glukosa - - b. Fermentasi Sukrosa - - c. Fermentasi Laktosa - - d. Fermentasi Maltosa - - 2 Hidrolisis Pati + + 3 Indol + + 4 Motilitas + + 5 Methyl Red + + 6 Voges-Proskauer - - 7 Urea - - 8 Reduksi Nitrat + + No Uji Biokimia 1 Fermentasi Karbohidrat Ket : 1 = Isolat KNG.RT1 2 = Isolat JGEA7 K = Kontrol Hasil uji fermentasi karbohidrat dari isolat bakteri KNG.RT1 dan JGEA7 yang meliputi uji fermentasi karbohidrat glukosa, sukrosa dan lakstosa menunjukkan bahwa kedua isolat bakteri tersebut tidak dapat memfermentasikan karbohidrat (Gambar 5). 50 Uji FK Glukosa 1 2 Uji FK Sukrosa K 1 2 Uji FK Laktosa K 1 2 K Uji FK Maltosa 1 2 K Gambar 5. Uji Fermentasi Karbohidrat Hasil Uji : Negatif (-) Kedua isolat bakteri (KNG.RT1 dan JGEA7) memberikan hasil uji positif terhadap uji indol, hal ini ditandai dengan terbentuknya cincin berwarna merah pada biakan setelah diberi reagen Ehrlich (Gambar 6). Terbentuk Cincin merah 1 2 K Gambar 6. Hasil Uji Indol Hasil UJi: Positif (+) 51 Hasil uji urease terhadap isolat bakteri KNG.RT1 dan JGEA7 memberikan hasil negatif, yang ditandai dengan terbentuknya warna merah keunguan pada media biakan uji urease (Gambar 7). Gambar 7. Hasil Uji Hidrolisis Urea Hasil uji = Negatif (-) Hasil uji reduksi nitrat pada isolat bakteri KNG.RT1 dan JGEA7 memberikan hasil uji positif. Hal ini menunjukkan bahwa kedua isolat bakteri tersebut selain dapat menggunakan nitrat (NO3-) sebagai akseptor elektron terakhir dalam sistem transfortasi elektron dengan mereduksinya menjadi nitrit (NO2-) dengan katalis enzim nitrase.(Gambar 8). Terbentuk gas pd tabung durham Gambar 8. Hasil Uji Reduksi Nitrat Hasil Uji : Positif (+) 52 Isolat bakteri KNG.RT1 dan JGEA7 memberikan hasil uji negatif pada uji MR-VP. Hal ini memberikan informasi bahwa kedua isolat bakteri tersebut tidak menghasilkan asam campuran dan tidak menghasilkan asetoin dan 2,3-butanadiol (Gambar 9 dan 10). Gambar 9. Hasil Uji MR Hasil Uji : Positif Gambar 10. Hasil Uji VP Hasil Uji : negatif Kedua isolat bakteri memberikan hasil uji positif pada uji hidrolisis pati. Keberadaan pati/amilum yang terhidrolisis dalam media biakan ditunjukkan dengan terbentuknya zona bening disekitar daerah pertumbuhan bakteri setelah diberi beberapa tetes larutan iodium (Gambar 11 dan 12). 53 Gambar 11. Hasil Uji Hidrolisis Pati pada Isolat 1 (KNG.RT1) Hasil Uji : positif Gambar 12. Hasil Uji Hidrolisis Pati pada Isolat 2 (JGEA7) Hasil UJi : Positif 54 A.6. Identifikasi Molekuler dengan PCR Tabel 8. Hasil Analisis Molekular dari isolat bakteri KNG.RT1 dan JGEA7 No Isolat Query Accession Hasil BLAST Search Homology Pseudomonas stutzeri partial 16S 1. ISOLAT_01_1541R 1107 FR667911.1 rRNA gene, strain Gr50 98% Bacillus sp. TSH22w gene for 16S 2. ISOLAT_02_contig 1505 AB508850.1 ribosomal RNA, partial sequence 97% Keterangan : Isolat_01 = isolat bakteri KNG.RT1 Isolat_02 = Isolat bakteri JGEA7 B.Uji Aktivitas pada Tanaman Pangan B.1 Tinggi Tanaman Tabel 9 menunjukkan bahwa nilai rataan tinggi tanaman kedelai tertinggi oleh karena perlakuan jenis pupuk terdapat pada perlakuan P1 (133,70 cm), sedangkan nilai terendah adalah perlakuan P3 (110,75 cm). Tanaman tertinggi oleh karena perlakuan konsentrasi fitohormon terdapat pada perlakuan H3 (129,56 cm) sedangkan nilai terendah oleh perlakuan H0 (109,38 cm). Tabel 9. Tinggi Tanaman pada Perlakuan Jenis Pupuk dan Konsentrasi Fitohormon 2-11 MST MST 2 Konsentrasi Fitohormon Jenis Rataan Pupuk H0 H1 H2 H3 H4 PI 26,25 29,75 29,75 23,75 21,50 26,2 P2 28,50 33,50 33,25 29,25 29 30,7 P3 36 39,25 35 34 30,75 35 55 3 4 5 6 7 P4 34,25 33 26,50 37,75 31,25 32,55 Rataan 31,25 33,875 31,125 31,188 28,125 31,113 PI 36,25 39,75 40,75 36,75 34,25 37,55 P2 39,25 43,50 44,25 38,75 39 40,95 P3 45,50 49 43 45 37,75 44,05 P4 42,75 42,50 37,75 48 40 42,2 Rataan 40,938 43,688 41,438 42,125 37,75 PI 46,25 48,25 52 50 44 48,1 P2 51 54,75 55 48,75 47,75 51,45 P3 54,5 58,75 50,75 54,50 47 53,1 P4 51,75 53,25 47,75 60,25 46,25 51,85 Rataan 50,875 53,75 51,375 53,375 46,25 51,125 PI 57,75 63,50 65,25 60,75 58 61,05 P2 60,75 65,75 66 59,25 57,50 61,85 P3 62,75 66 58,75 61,50 54,50 60,7 P4 62 61 57,25 67,50 54,75 60,5 Rataan 60,813 64,063 61,813 62,25 56,188 61,025 PI 69,50 82 76,25 72,25 71,50 74,3 P2 71,25 75,25 77,50 69,50 70,75 72,85 P3 69,50 73,25 68,25 70 62,25 68,65 P4 70,25 68,75 69 75,50 65 69,7 Rataan 70,125 74,813 72,75 71,813 67,375 71,375 PI 83 100 97,25 87,75 88,25 91,25 P2 81,25 83,25 89,50 79 79,50 82,5 P3 81,25 85,25 80,75 86 74,50 81,55 P4 82,75 85,25 82,50 91,50 82,50 84,9 41,188 56 82,063 88,438 87,5 86,063 81,188 85,05 92,5 115,75 109,25 100,75 95,25 102,7 92,25 96,50 99,50 93,50 92 94,75 P3 92,25 99,25 94,25 101,50 91,75 95,8 P4 95,50 100,25 97 104,75 99 99,3 93,125 102,94 100 100,13 94,5 98,138 99,75 126,50 123 100,75 95,25 109,05 103 107 109,25 107 103,5 105,95 94,5 108 99,5 111 97,5 102,1 P4 101,5 107,25 103 112,5 106,25 106,1 Rataan 99,688 112,19 108,69 107,81 100,63 105,8 PI 102,50 131,50 137,75 131,5 106,75 122 P2 115 118 121,75 120,5 115 118,05 P3 95,75 110,5 103 115 103 105,45 P4 103,25 111 106,5 117,25 111 109,8 104,13 117,75 117,25 121,06 108,94 113,825 PI 113 142,25 153,75 148,75 110,75 133,7 P2 120 124,25 130,75 126,50 123,25 124,95 P3 98,75 113,75 107,75 121,25 112,25 110,75 P4 105,75 114,50 109,75 121,75 116,25 113,6 109,38 123,69 125,5 129,56 115,63 120,75 Rataan PI 8 P2 Rataan PI 9 P2 P3 10 Rataan 11 Rataan 57 B.2. Jumlah daun Tabel 10 memperlihatkan bahwa nilai rataan jumlah daun tanaman kedelai terbanyak oleh karena perlakuan jenis pupuk terdapat pada perlakuan P1 (146,70 helai), jumlah daun yang paling sedikit terdapat pada perlakuan P4 (97,55 helai). Jumlah daun tanaman terbanyak oleh karena perlakuan konsentrasi fitohormon terdapat pada H1 (132,50 helai) dan jumlah paling sedikit ada pada H0 (100,25 helai). Tabel 10. Jumlah Daun Tanaman pada Perlakuan jenis Pupuk dan Konsentrasi Fitohormon 2-11 MST MST 2 3 4 5 Konsentrasi Fitohormon Jenis Rataan Pupuk H0 H1 H2 H3 H4 PI 11,25 12,25 10,25 9,75 11 10,9 P2 12,25 13 12,5 10,5 12 12,05 P3 11,75 13,75 15 13,75 13 13,45 P4 13,75 14,25 11 14,75 13,5 13,45 Rataan 12,25 13,313 12,188 12,188 12,375 12,463 PI 17 19,25 15,75 15,75 17 16,95 P2 16,75 18 17 15,75 18 17,1 P3 15,50 17,50 18,75 17,25 16,75 17,15 P4 19,75 21 17 21 22,50 20,25 Rataan 17,25 18,938 17,125 17,438 18,563 17,8625 PI 26,50 34,50 25,50 28,75 26,25 28,3 P2 27 27,75 29,50 27,75 29,25 28,25 P3 25,25 27,75 28,50 26 28,50 27,2 P4 30 31,75 26,25 29 33,25 30,05 Rataan 27,188 30,438 27,438 27,875 29,313 28,45 PI 36,50 48,50 37,25 43,25 33,50 39,8 P2 39,25 39,75 38,50 36,75 42,75 39,4 P3 37,75 39,25 39,75 42 43,75 40,5 P4 41,50 48 39,75 42,75 46,50 43,7 Rataan 38,75 43,875 38,813 41,188 41,625 40,85 58 6 7 8 9 10 11 PI 49,50 66,50 54,50 57 41,75 53,85 P2 52,50 62,50 57,25 50,50 62 56,95 P3 55 59,75 54 63 60 58,35 P4 54,75 65,25 54,75 58,25 60 58,6 Rataan 52,938 63,5 55,125 57,188 55,938 56,9375 PI 67,25 82,25 66,25 72,75 61,75 70,05 P2 65 77,50 73,50 64,75 84,25 73 P3 75,75 72,75 71,50 72,50 77 73,9 P4 69,25 74,50 69,75 71,50 70 71 Rataan 69,313 76,75 70,25 70,375 73,25 71,9875 PI 91,50 100,75 78,25 93 77 88,1 P2 75,5 94,25 89,25 78,75 100 87,55 P3 81,25 83,25 81,25 83,5 88,75 83,6 P4 78,50 83,75 82,50 87 75,75 81,5 Rataan 81,688 90,5 82,813 85,563 85,375 85,1875 PI 112 129,5 97,75 116,25 93,75 109,85 P2 85,75 115,75 113 94,25 122 106,15 P3 92,75 100 93,75 90,75 100,5 95,55 P4 91,5 90,75 93,75 94,75 85,25 91,2 Rataan 95,5 109 99,563 99 100,38 100,688 PI 128 143 118,50 130,50 112,50 126,5 P2 90,50 130 134,75 101 135,25 118,3 P3 90,75 117 102 96,5 103 101,85 P4 93,5 97,25 96,25 103 97 97,4 Rataan 100,69 121,81 112,88 107,75 111,94 111,013 PI 149 169,25 135,50 150,75 129 146,70 P2 81,25 133 137 109,50 154,50 123,05 P3 83,25 131 107,50 96,50 106,75 105 P4 87,50 96,75 90,75 109,25 103,50 97,55 Rataan 100,25 132,50 117,69 116,5 123,44 118,075 59 B.3 Bobot Akar Basah Tabel 11 menunjukkan, nilai rataan bobot akar basah terbesar oleh karena perlakuan jenis pupuk terdapat pada perlakuan P1 (32,63 gram) dan bobot terendah adalah P4 (16,96 gram). Bobot akar basah terbesar oleh karena perlakuan konsentrasi fitohormon terdapat pada H4 (28,21 gram) dan yang terendah pada perlakuan H0 (13,49 gram). Tabel 11. Data Rataan Bobot Akar Basah pada Perlakuan Jenis Pupuk dan konsentrasi Fitohormon Konsentrasi Fitohormon Jenis Rataan Pupuk H0 H1 H2 H3 H4 PI 14,87 20,24 39,72 45,42 42,92 32,63 P2 6,87 17,26 16,49 20,32 32,89 18,76 P3 17,09 14,12 18,035 28,40 21,26 19,78 P4 15,14 23,663 15,043 15,16 15,78 16,96 Rataan 13,49 18,82 22,32 27,32 28,21 22,03 B.4 Bobot Akar Kering Tabel 12 memperlihatkan nilai rataan bobot akar kering terbesar oleh karena perlakuan jenis pupuk terdapat pada perlakuan P1 (8,95 gram) dan bobot terkecil adalah P4 (4,54 gram). Bobot akar kering terbesar oleh karena perlakuan konsentrasi fitohormon terdapat pada H3 (8,24 gram) dan yang terkecil pada H0 (3,34 gram). Tabel 12. Data Rataan Bobot Akar Kering pada Perlakuan Jenis Pupuk dan Konsentrasi Fitohormon Konsentrasi Fitohormon Jenis Rataan Pupuk H0 H1 H2 H3 H4 PI 3,825 5,088 10,613 14,89 10,315 8,95 P2 1,85 5,32 4,648 5,563 8,418 5,16 P3 3,818 3,263 4,673 8,348 6,303 5,28 P4 3,875 6,523 4,218 4,165 3,895 4,54 Rataan 3,34 5,05 6,04 8,24 7,23 5,98 60 B.5 . Jumlah Polong per Tanaman Tabel 13 menunjukkan bahwa nilai rataan jumlah polong per tanaman terbanyak oleh karena perlakuan jenis pupuk terdapat pada perlakuan P1 (103,75 polong) dan paling sedikit adalah perlakuan P4 (81,35 polong). Jumlah polong per tanaman terbanyak oleh karena perlakuan konsentrasi fitohormon terdapat pada perlakuan H4 (99,06 polong) dan paling sedikit ada pada H2 (86,38 polong). Tabel 13. Data Rataan Jumlah Polong per Tanaman Kedelai Oleh perlakuan Jenis Pupuk dan Konsentrasi Fitohormon Konsentrasi Fitohormon Jenis Rataan Pupuk H0 H1 H2 H3 H4 PI 108,25 104,5 89,75 104,25 112 103,75 P2 89 110 93,5 96,75 105 98,85 P3 85,75 103 80 105,5 90,5 98,35 P4 79,5 72,5 82,25 83,75 88,75 81,35 Rataan 90,63 97,5 86,38 97,56 99,06 95,57 B.6 Jumlah Polong bernas Tabel 14 memperlihatkan bahwa nilai rataan jumlah polong terbanyak oleh karena perlakuan jenis pupuk terdapat pada perlakuan P1 (87,8 polong) dan yang paling sedikit adalah perlakuan P4 (65,1 polong). Jumlah polong bernas terbanyak oleh karena perlakuan konsentrasi fitohormon terdapat pada perlakuan H4 (83,94 polong) dan yang paling sedikit pada H2 (72,19 polong). Tabel 14. Data Rataan JumlahPolong Bernas Oleh Perlakuan Jenis Pupuk dan Konsentrasi Fitohormon Konsentrasi Fitohormon Jenis Rataan Pupuk H0 H1 H2 H3 H4 PI 90,25 86,25 73,25 90,75 98,50 87,8 P2 77,50 95 79 78 90,75 84,05 P3 61,25 85,5 66,25 89,50 80,75 76,65 P4 64,25 56 70,25 69,25 65,75 65,1 Rataan 73,31 80,69 72,19 81,88 83,94 78,4 61 B.7. Berat biji Pertanaman Tabel 15 menunjukkan bahwa data rataan berat biji per tanaman terberat oleh karena perlakuan jenis pupuk terdapat paa perlakuan P2 (18,43 gram) dan yang paling ringan adalah pada perlakuan P4 (15,52 gram). Berat biji per tanaman terbesar oleh karena perlakuan konsentrasi fitohormon terdapat pada perlakuan H3 (19,25 gram) dan yang paling sedikit pada perlakuan H0 (15,93 gram). Tabel 15. Data Rataan Berat Biji per Tanaman Oleh Perlakuan Jenis Pupuk dan Konsentrasi Fitohormon Konsentrasi Fitohormon Jenis Rataan Pupuk H0 H1 H2 H3 H4 PI 17,80 17,69 14,79 18,14 20,02 17,68 P2 16,92 21,58 17,05 17,79 18,81 18,43 P3 13,39 20,49 16,89 23,23 17,08 18,22 P4 15,61 13,26 16,283 17,86 14,61 15,52 Rataan 15,93 18,26 16,25 19,25 17,63 17,46 B.8. Berat Biji per 100 Butir Tabel 16 memperlihatkan bahwa data rataan berat biji per 100 butir terbanyak oleh karena perlakuan jenis pupuk terdapat pada perlakuan P3 (11,64 gram) dan yang paling sedikit adalah pada perlakuan P1 (10,15 gram). Berat biji per 100 butir kedelai yang terbanyak oleh karena perlakuan konsentrasi fitohormon terdapat pada perlakuan H3 (11,37 gram) dan yang paling sedikit pada perlakuan H4 (10,55 gram). 62 Tabel 16. Data Rataan berat biji per 100 butir oleh Perlakuan Jenis Pupuk dan Konsentrasi Fitohormon Konsentrasi Fitohormon Jenis Rataan Pupuk H0 H1 H2 H3 H4 PI 9,95 10,19 9,99 10,25 10,33 10,15 P2 10,54 10,80 10,86 10,64 10,29 10,63 P3 11 11,91 12,25 12,53 10,50 11,64 P4 11,43 10,84 12,17 12,06 11,083 11,51 Rataan 10,73 10,93 11,32 11,37 10,55 10,98 63 BAB V. PEMBAHASAN A.Identifikasi Isolat bakteri A.1. Pewarnaan Bakteri Mengacu pada Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology edisi kesembilan (1994), isolat bakteri local KNG.RT1 yang berjenis Gram Negatif berbentuk batang pendek dan tidak membentuk spora, kemungkinan tergolong pada Grup 4 (bakteri Gram negatif aerob/mikroaerofilik berbentuk batang dan kokus). Sedangkan isolat bakteri lokal JGEA7 yang berjenis Gram Positif berbentuk batang dan membentuk endospora, kemungkinan tergolong Grup 18 (bakteri Gram positif pembentuk endospora berbentuk batang dan kokus). A.2. Uji Katalase Hasil ini membuktikan isolat bakteri KNG.RT1 dan JGEA7 termasuk kedalam bakteri aerobik. Enzim katalase diduga penting untuk pertumbuhan aerobik pada bakteri karena komponen H2O2 merupakan salah satu hasil respirasi aerobik bakteri, dimana hasil respirasi tersebut justru dapat menghambat pertumbuhan bakteri karena bersifat toksik bagi bakteri itu sendiri. Oleh karena itu, komponen ini harus dipecah agar tidak bersifat toksik lagi (Funke, 2004). A.3. Pengamatan spora Letak spora di dalam sel serta ukurannya selama pembentukkan tidaklah sama bagi setiap spesies, hal ini penting pada proses identifikasi. Ada spora yang dibentuk di tengah-tengah sel (sentral), terminal yaitu spora yang dibentuk di ujung sel, dan subterminal yaitu dibentuk dekat ujung sel (Prescott et al., 2005). Letak spora pada Isolat bakteri KNG.RT1 termasuk kedalam spora yang terletak pada posisi subterminal, dengan mengalami pembekakan. Diameter spora dapat lebih besar atau lebih kecil dari diameter sel vegetatifnya. Karena itu, adanya letak serta ukuran endospora sangat bermanfaat didalam pencirian dan identifikasi bakteri 64 A.4. Hasil Uji Sifat Biokimia dari isolate bakteri KNG.RT1 dan JGEA7 Hasil pengujian sifat biokimia menunjukkan bahwa antara isolat bakteri KNG.RT1 dan JGEA7 memiliki kesamaan terhadap reaksi biokimia, yakni mampu menghasilkan enzim katalase, motilitas, mampu memproduksi indol, tidak mampu memfermentasikan karbohidrat, tidak mampu menghasilkan asam campuran, tidak mampu menghasilkan 2,3- butanadiol maupun asetoin, tidak dapat menghidrolisis urea dan dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit dan gas nitrogen. Menurut Lay (1994), jika hasil uji fermentasi karbohidrat berupa warna kaldu menjadi kuning atau lebih kuning dari warna kaldu pada tabung kontrol dan terbentuk gas pada tabung durham, menunjukkan terjadi fermentasi asam campuran. Karbohidrat lazim digunakan sebagai sumber energi oleh mikroorganisme (Lay, 2004), namun isolat bakteri KNG.RT1 dan JGEA7 tidak menggunakan karbohidrat jenis monosakarida, disakarida dan polisakarida sebagai sumber karbon dan sumber energinya. Hal ini ditunjukkan dengan ketidakmampuan isolat dalam memfermentasikan karbohidrat jenis glukosa, sukrosa dan laktosa. Hasil uji motilitas menunjukkan hasil positif pada kedua isolat bakteri, dimana keduanya melakukan motilitas (pergerakan). Biasanya yang menyebabkan motilitas atau pergerakan pada sel bakteri adalah flagel. Flagel merupakan struktur seperti rambut-rambut yang amat tipis, menembus dinding sel, bermula dari wilayah dibawah membran sel di dalam sitoplasma. Tidak semua bakteri memiliki flagella, banyak spesies seperti Bacillus dan Spirillum memiliki flagel, flagella jarang dijumpai pada bakteri coccus. Bagi bakteri-bakteri berflagel, pola pelekatan serta banyaknya yang melekat, digunakan untuk mengklasifikasi bakteri kedalam kelompok taksonomi tertentu. Sebagai contoh, diantara bakteri yang berbentuk batang Gram negatif, pada genus Pseudomonas dicirikan dengan flagella yang terletak diujung sel (flagella monotrikus atau lofotrikus) dan genus Escherichia berflagel disekitar sel (flagella peritrikus) (Pelczar, 1986). Kedua isolat bakteri (KNG.RT1 dan JGEA7) memberikan hasil uji positif terhadap uji indol, hal ini ditandai dengan terbentuknya cincin berwarna merah pada biakan setelah diberi reagen Ehrlich. Hal ini membuktikan bahwa kedua 65 isolat bakteri tersebut mampu menghasilkan enzim triptonase yang dapat mengkatalisis reaksi pemecahan triptofan menjadi indol, asam piruvat dan amonia. Triftopan telah diakui sebagai prekursor fisiologis biosintesis auksin dan sitokinin baik pada tanaman maupun pada mikroorganisme (Tarabily et al., 2003). Dan juga merupakan prekursor fisiologis yang efisien dalam proses biosintesis mikrobial auksin. Hasil uji urease terhadap isolat bakteri KNG.RT1 dan JGEA7 memberikan hasil negatif, yang ditandai dengan terbentuknya warna merah keunguan pada media biakan uji urease. Hal ini menunjukkan bahwa kedua isolat bakteri tersebut tidak dapat menghasilkan enzim urease yang dapat menguraikan urea menjadi CO2 dan NH3, sehingga warna indikator merah fenol tetap berwarna kuning yang berarti tidak terbentuk senyawa yang bersifat basa seperti NH3 dalam media biakan. Hasil uji reduksi nitrat pada isolat bakteri KNG.RT1 dan JGEA7 memberikan hasil uji positif. Hal ini menunjukkan bahwa kedua isolat bakteri tersebut selain dapat menggunakan nitrat (NO3-) sebagai akseptor elektron terakhir dalam sistem transfortasi elektron dengan mereduksinya menjadi nitrit (NO2-) dengan katalis enzim nitrase. NO3- + 2e- + 2H+ NO2- + H2O Hasil uji reduksi nitrat terhadap kedua isolat, juga dihasilkan gas pada tabung durham. Menurut Lay (1994), gas dalam tabung durham tersebut merupakan campuran gas CO2 dan N2. Gas N2 berasal dari penguraian sempurna nitrat sedangkan CO2 merupakan produk respirasi anaerobik. 2NO2- + 7e- + 8H+ N2(g) + 4H2O A.5. Sekuensing DNA Hasil amplifikasi gen 16s rRNA disekuen untuk mengetahui urutan nukleotidanya. Prinsip sequencing sama dengan PCR, hanya pada metode ini, ada tambahan ddNTPs (nukloetida tanpa gugus hidroksida pada atom karbon ketiga) 66 yang dapat menghentikan proses pemanjangan rantai pada titik-titik basa tertentu sehingga ada banyak rantai dengan ujung basa yang berbeda-beda, dengan elektroforesis akan didapatkan bermacam-macam panjang DNA dengan ujung yang berbeda-beda, sehingga urutan basa dapat ditentukan dengan mengurutkan panjang DNA mulai dari yang terpendek. Urutan basa penyusun gen pengkode 16S rRNA yang telah diketahui digunakan untuk menentukan spesies bakteri berdasarkan data pada bank gen. Hasil sekuen gen 16S rRNA kedua isolate bakteri dianalisis similaritasnya dengan data di bank gen menggunakan program BLAST-N (Basic Local Alignment Search Tool-Nucleotide) dari situs NCBI (National Center for Biotechnology Information). Berdasarkan hasil analisis program BLAST-N diketahui homologi spesies dari kedua isolate bakteri yang diuji (Tabel 17.). Tabel 17. Hasil Analisis Molekular dari isolat bakteri KNG.RT1 dan JGEA7 No 1 Isolat ISOLAT_01_1541R Query 1107 Accession Hasil BLAST Search Homology Pseudomonas stutzeri partial FR667911.1 16S rRNA gene, strain Gr50 98% Bacillus sp. TSH22w gene 2 1505 ISOLAT_02_contig for 16S ribosomal RNA, AB508850.1 partial sequence Isolat 1 diartikan sebagai isolat bakteri dari KNG.RT1 (Tabel ?), dimana hasil BLAST Search menunjukkan jenis Pseudomonas stutzeri partial 16s rRNA gene, strain Gr50 dengan homolog 89%. Isolat 2 diartikan sebagai isolat bakteri JGEA7 (Tabel 17) dengan hasil BLAST Search menunjukkan jenis Bacillus sp TSH22w gene for 16S ribosomal RNA, partial sequence dengan homology 97%. Hasil sekuen dari kedua isolat bakteri tersebut termasuk kedalam kingdom Kingdom : Bakteria Filum : Proteobacteria Kelas : Gamma Proteobacteria Ordo : Pseudomonadales Famili : Pseudomonadaceae Genus : Pseudomonas Spesies : P. stutzeri 97% 67 Kingdom : Bakteria Filum : Firmicutes Kelas : Bacilli Ordo : Bacillales Famili : Bacillaceae Genus : Bacillus Spesies : Bacillus sp. Hasil identifikasi 2 isolat bakteri penghasil fitohormon membuktikan bahwa Isolat bakteri KNG.RT1 adalah bakteri Pseudomonas stutzeri sedangkan Isolat bakteri JGEA7 adalah Bacillus sp. B.Uji Aktivitas Fitohormon pada Tanaman Pangan (Kedelai Wilis) Pengaplikasian fitohormon pada penelitian ini, dilakukan dengan dibuat menjadi beberapa jenis tingkat konsentrasi (H0 = 0 ml, H1 =10 ml, H2 = 20 ml, H3 =30 ml, dan H4 = 10 ml hormon pembanding). Penggunaan komposisi tingkat konsentrasi fitohormon ini mengacu pada reverensi-reverensi penelitian yang berkaitan dengan fitohormon serupa yang penggunaannya pada budidaya tanaman kedelai, serta mengacu pada komposisi atau dosis hormon-hormon yang berada di pasaran. Penggunaan fitohormon juga dikombinasi dengan penggunaan jenis pupuk (kimia, organik, hayati). Kemudian dari pengaplikasian kombinasi jenis pupuk dan konsentrasi fitohormon tersebut, pada tanaman kedelai dilakukan pengamatan terhadap tingkat pertumbuhan dan produktivitas dari masing-masing kelompok perlakuan tersebut. B.1. Penanaman Tanaman Kedelai Wilis Proses penanaman dilakukan dengan membuat tugal atau lubang sedalam 5 cm, kemudian dimasukkan kedalamnya biji kedelai sebanyak 2 butir, pemberian 2 butir kedelai untuk memperbesar persentase keberhasilan kedelai yang bisa tumbuh pada tiap polibag, selanjutnya ditambahkan masing-masing kelompok polibag sesuai dengan perlakuan dari jenis pupuk. Khusus pemberian pupuk kimia 68 tidak boleh secara langsung mengenai biji kedelai, dikarenakan biji kedelai dapat mengalami kebusukan oleh karena bahan pupuk kimia yang cukup keras B.2. Pengamatan Pertumbuhan Tanaman Kedelai B.2.1. Tinggi Tanaman Kedelai Hasil pengamatan pertumbuhan tinggi tanaman kedelai, didapatkan nilai rata-rata tinggi tanaman 120,75 cm (Lampiran 11) terdapat perbedaan ukuran tinggi tanaman dibanding tinggi rata-rata tanaman kedelai yang terdapat di literatur yaitu 40-50 cm. Hal ini terjadi dikarenakan ada pengaruh dari tempat atau lokasi penanaman tanaman kedelai, dimana penanaman pada penelitian ini dilakukan didalam screen house, sehingga tanaman kurang mendapatkan sinar matahari yang cukup dan menyebabkan etiolasi pada kedelai. Perlakuan pemberian jenis pupuk dan konsentrasi fitohormon serta interaksi antara kedua kombinasi perlakuan tersebut berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman kedelai. Dari hasil DMRT dapat dilihat bahwa perlakuan P1 (81,13 cm) memiliki pengaruh paling besar terhadap pertumbuhan tinggi tanaman kedelai dibanding perlakuan jenis pupuk yang lainnya. Berkaitan dengan pengaruh terhadap tinggi tanaman, perlakuan P1 memiliki pengaruh yang besar dibandingkan perlakuan pupuk yang lain oleh karena memiliki unsur yang lengkap serta kandungan nitrogen yang tinggi, menurut (Setyamidjaja, 1986) bahwa salah satu peranan nitrogen pada tumbuhan adalah merangsang pertumbuhan vegetatif, yaitu menambah tinggi tanaman. Jika dibandingkan dengan P3 yang memiliki pengaruh terendah oleh karena pupuk hayati CMA (yang terkandung) lebih berperan dalam meningkatkan mineralisasi Phospor, Fakuara (1988) menyatakan bahwa terjadi peningkatan serapan Phospor oleh tanaman yang berasosiasi dengan Mikoriza. Masa awal menanam, terjadi peningkatan tinggi tanaman secara cepat justru terjadi pada P3 dan P4, hal ini dikarenakan pupuk hayati dan organik bersifat sifat alami sehingga akar tanaman yang masih muda mampu menyerap puupk hayati dengan baik dibanding dengan pupuk kimia. Ketika tanaman berumur 6-11 MST tanaman P1 mulai mengalami pertumbuhan vegetatif yang lambat dalam hal peningkatan tinggi tanaman, hal ini sebabkan kandungan nitrogen pada P3 dan P4 69 terbatas dan mulai habis sedangkan pada P1 tersedia nitrogen yang lebih banyak sehingga masih bisa dimanfaatkan untuk pertumbuhan. Hasil uji DMRT perlakuan fitohormon, maka H1 memberikan pengaruh terbesar terhadap tinggi tanaman kedelai, namun tidak memiliki beda nyata terhadap H3 artinya, penggunaan 10 ml dengan 30 ml memiliki pengaruh yang sama terhadap pertumbuhan vegetatif dan tinggi tanaman. Hal ini disebabkan jika fitohormon khususnya auksin jika diberikan pada tingkat dosis yang tinggi justru akan menghambat pertumbuhan tinggi tanaman oleh sebab auksin akan memproduksi etilen yang berlebihan, maka pemberian dosis dengan 30 ml tidak membuat tumbuhan semakin memanjang. Dari interaksi antara jenis pupuk dengan konsentrasi fitohormon yang memberikan hasil terbaik terhadap tinggi tanamanan adalah P1H2. Gambar 13 sampai 16 adalah gambar pertumbuhan tanaman kedelai umur 2 MST, 5 MST, 8 MST, dan 11 MST. Gambar 13. Tanaman umur 2 minggu GGambar 14. Tanaman umur 5 minggu Gambar 15. Tanaman umur 8 minggu GGambar 16. Tanaman umur 11 minggu 70 B.2.2. Jumlah Daun Tanaman Kedelai Berkaitan dengan pengaruh terhadap jumlah daun tanaman kedelai maka P1 memiliki pengaruh yang besar dibanding dengan perlakuan pupuk yang lain, dan pengaruh terendah pada jumlah daun tanaman kedelai adalah P4. Pengaruh P1 terhadap pertumbuhan jumlah daun dikarenakan unsur nitrogen yang tinggi dan dalam dosis yang besar karena salah satu fungsi dari nitrogen adalah dapat menyehatkan pertumbuhan daun tanaman dan membuat daun lebih lebat serta hijau (Sutedjo, 1999). Uji DMRT perlakuan fitohormon memperlihatkan bahwa H1 memberikan pengaruh terbesar terhadap jumlah daun tanaman kedelai, dan perlakuan hormon yang memberikan pengaruh terendah terhadap jumlah daun tanaman kedelai adalah H0 atau perlakuan tanpa pemberian hormon. Fitohormon auksin IAA memiliki peran membantu percepatan pertumbuhan tanaman, termasuk juga pertumbuhan jumlah daun tanaman kedelai (Teale, 2006). Interaksi antara pupuk dengan hormon yang memiliki pengaruh terbesar terhadap jumlah daun adalah P1H1. Grafik perbandingan pertumbuhan jumlah daun tanaman kedelai berdasarkan perlakuan jenis Pupuk (P) dapat dilihat pada Gambar 17 sampai dengan Gambar 20. (MST) Gambar 17. Grafik Pertumbuhan Jumlah Daun Tanaman Kedelai Perlakuan P1 Gambar 18. Grafik Pertumbuhan Jumlah Daun Tanaman Kedelai Perlakuan P2 71 Gambar 19. Grafik Pertumbuhan Jumlah Daun Tanaman Kedelai Perlakuan P3 Gambar 20. Grafik Pertumbuhan Jumlah Daun Tanaman Kedelai Perlakuan P4 Keterangan : Pengamatan dilakukan mulai dari umur 2 Minggu Setelah Tanam (MST). Pada grafik, angka 1 menunjukkan umur 2 MST dan seterusnya sampai angka 10 yang menunjukkan umur 11 MST. B.2.3. Bobot Akar Basah Tanaman Kedelai Kombinasi perlakuan Jenis Pupuk berpengaruh sangat nyata terhadap bobot akar basah. Dari data rataan bobot akar basah oleh perlakuan pupuk dan hormon perlakuan P1 memiliki pengaruh tertinggi terhadap jumlah bobot akar basah sedangkan yang memiliki pengaruh terendah adalah P4. Fungsi nitrogen diperlukan untuk pembentukan pertumbuhan vegetatif dan salah satunya adalah pembentukkan akar tanaman kedelai, namun jika terlalu banyak dapat menghambat pembungaan dan pembuahan pada tanaman (Tisdale dan Nelson, 1976). Uji DMRT memperlihatkan bahwa perlakuan P1 memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap pertumbuhan akar tanaman kedelai dibanding dengan perlakuan lainnya, Baik P2, P3, P4 tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan akar tanaman kedelai. Perlakuan P3 merupakan kedua tertinggi dalam mempengaruhi pertumbuhan akar tanaman. Perlakuan P3 mengandung pupuk hayati dengan pupuk kimia dan pupuk hayati merupakan pupuk yang mengandung mikoroganisme dengan fungsi untuk meningkatkan 72 kadar P pada tanah, sedangkan salah satu fungsi unsur P pada tanaman berfungsi untuk mempercepat pertumbuhan akar tanaman dan memperkuat batang tanaman (Sutedjo, 1999). Uji DMRT memperlihatkan bahwa perlakuan antara H4, H3, H2 tidak memberikan perbedaan yang nyata, namun perlakuan yang paling mempengaruhi terhadap bobot akar basah, yaitu H4 yaitu hormon pembanding dengan konsentrasi 10 ml dan pengaruh terendah adalah perlakuan H0. Perlakuan interaksi antara jenis pupuk dan konsentrasi yang memberikan pengaruh terbesar terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman kedelai adalah P1H4. B.2.4. Bobot Akar Kering Tanaman Kedelai Berkaitan dengan pengaruh terhadap bobot akar kering maka terdapat beda nyata oleh jenis pupuk dan beda konsentrasi terhadap bobot kering akar. Perlakuan P1 memiliki pengaruh terbesar terhadap bobot akar kering sedangkan perlakuan yang paling terendah ada pada P4. Dan untuk Uji Duncan, pengaruh tertinggi terhadap bobot akar kering oleh hormon ada pada perlakuan H3 dan yang terendah ada pada H0. Terhadap bobot kering akar tanaman kedelai, fitohormon memiliki pengaruh terhadap bobot kering akar, dimana tanpa penggunaan fitohormon bobot akar kering tanaman kedelai sangat rendah dibanding dengan tanaman yang diberi fitohormon. Dan interaksi jenis pupuk dan konsentrasi fithormon yang memiliki pengaruh terbesar adalah P1H3. B.3. Pengamatan Produktivitas Tanaman Kedelai B.3.1. Jumlah Polong per Tanaman Data analisis sidik ragam pengaruh jenis pupuk dengan konsentrasi fitohormon terhadap jumlah polong per tanaman maupun polong bernas memiliki beda yang nyata. Uji DMRT jenis pupuk terhadap jumlah polong per tanaman yang memilikipengaruh terbesar adalah perlakuan P1 dengan nilai 103,75, sedangkan perlakuan dengan pengaruh terkecil adalah P4 dengan nilai 81,35 buah. Untuk jumlah polong bernas yang memiliki pengaruh terbesar adalah perlakuan P1 dengan nilai 87,80 buah dan yang terendah adalah P4 65,10 buah. 73 Pembentukkan polong pada tanaman kedelai dipengaruhi oleh unsur P yang tersedia dalam tanah, fungsi unsur P itu sendiri adalah meningkatkan pertumbuhan bunga tanaman kedelai, dan bunga inilah yang menjadi cikal bakal dari polong, sehingga jika memiliki jumlah bunga yang banyak maka kemungkinan terbentuknya polong yang banyak pun terjadi. Perlakuan P1 merupakan perlakuan yang memberikan pengaruh terbesar terhadap pertumbuhan jumlah polong per tanaman maupun polong bernas. Hal ini disebabkan ketersediaan unsur P dari pupuk SP-36 yang cukup. B.3.2. Jumlah Polong Bernas Uji DMRT pada fithormon maka H4 merupakan hormon yang memberikan pengaruh terbesar terhadap pertumbuhan polong per tanaman maupun polong bernas dengan nilai rata-rata 99,06 buah dan 83,94, namun perlakuan fitohormon H4 tidak berbeda nyata terhadap H3 maupun H1, hal ini menggambarkan pemberian hormon dengan konsentrasi banyak 30 tidak serta memberikan efek yang lebih baik dibanding pemberian konsentrasi 10 ml, karena memiliki pengaruh yang sama. Perlakuan interaksi jenis pupuk dan konsentrasi fitohormon yang memberikan pengaruh terbesar terhadap jumlah polong per tanaman dan polong bernas adalah kombinasi perlakuan P1H4 dengan nilai rata-rata 112 buah sedang bernas 98,50 buah. B.3.3. Berat Biji per Tanaman Menurut data analisis sidik ragam, pengaruh jenis pupuk dan konsentrasi fitohormon memiliki beda nyata terhadap berat biji per tanaman. Pembentukkan biji kedelai dipengaruhi oleh beberapa faktor ; seperti kondisi penyiraman atau ketersediaan air untuk tanaman kedelai, dimana kedelai sangat membutuhkan air pada saat pengisian biji pada polong kedelai. Gangguan kekeringan selama masa pembungaan akan mengurangi pembentukan polong, tetapi pengurangan produksi lebih terasa pada tahap pengisian polong daripada tahap pembungaan (Maesen, 1993). Selain dari kondisi pengairan pembentukkan biji pada polong juga dipengaruhi oleh unsur makro untuk mendukung pertumbuhan dan hasil biji yang 74 tinggi tanaman kedelai juga memerlukan unsur hara P dan K dalam jumlah yang yang banyak (Tisdale dkk, 1985). Pengaruh fitohormon terhadap berat biji per tanaman untuk perlakuan tertinggi dipengaruhi oleh perlakuan H3 dengan nilai rata-rata 19,25 gram dan 11,36 gram dan interaksi untuk berat biji per tanaman dipengaruhi oleh interaksi P3H3 dengan nilai rata-rata tertinggi 23,23 gram. Pengaruh oleh interaksi jenis pupuk dan konsentrasi fitohormon terhadap berat biji kedelai per 100 butir kombinasi perlakuan tertinggi ada pada P3H3 dengan nilai rata-rata 12,53 gram. B.3.4. Berat Biji per 100 Butir Pengaruh jenis pupuk dan konsentrasi fitohormon memiliki beda nyata terhadap berat biji per 100 butir menurut data analisis sidik ragam,. Salah satu faktor yang mempengaruhi berat biji kedelai adalah ketersediaan air untuk tanaman kedelai, dimana kedelai sangat membutuhkan air pada saat pengisian biji pada polong kedelai. Kekurangan air selama masa pembungaan akan mengurangi pembentukan polong, tetapi pengurangan produksi lebih terasa pada tahap pengisian polong daripada tahap pembungaan (Maesen, 1993). Faktor lain yang mempengaruhi berat biji adalah unsur nutrisi mikro dan makro. Untuk mendukung pertumbuhan dan hasil biji yang tinggi tanaman kedelai juga memerlukan unsur hara P dan K sebagai unsur makro dalam jumlah yang yang banyak (Tisdale dkk., 1985). Pengaruh fitohormon terhadap berat biji per tanaman untuk perlakuan tertinggi dipengaruhi oleh perlakuan H3 dengan nilai rata-rata 11,37 gram dan Pengaruh oleh interaksi jenis pupuk dan konsentrasi fitohormon terhadap berat biji kedelai per 100 butir kombinasi perlakuan tertinggi ada pada P3H3 dengan nilai rata-rata 12,53 gram. berat yang didapatkan pada kombinasi terbaik ini masih berada pada tingkat sedang (10 – 13 gr/100 butir) dan hal jumlah produksi biji kedelai per 100 butir. 75 BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 1. Isolat lokal bakteri murni KNG.RT1 penghasil fitohormon IAA adalah spesies Pseudomonas stutzeri dengan homology 98% dan isolat lokal bakteri murni JGEA7 penghasil fitohormon sitokinin adalah spesies Bacillus sp. dengan homology 97%. Isolat KNG.RT1 memiliki karakteristik yang berbeda dengan isolat bakteri JGEA7 2. Konsentrasi fitohormon auksin dan sitokinin (KNG.RT1 dan JGEA.7) berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman kedelai, tetapi tidak berpengaruh nyata pada berat biji per tanaman serta berat biji per 100 butir. 3. Interaksi antar tingkat konsentrasi fitohormon dengan jenis pupuk berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman kedelai, tetapi tidak berpengaruh nyata pada berat biji per tanaman serta berat biji per 100 butir. 4. Kombinasi antara jenis pupuk dan konsentrasi fitohormon yang paling baik untuk pertumbuhan dan produktivitas tanaman kedelai adalah jenis pupuk Perlakuan P1 dengan konsentrasi fitohormon perlakuan H3. Kombinasi perlakuan tersebut dapat menghasilkan pertumbuhan tanaman dengan tinggi rata-rata 148,75 cm, rata-rata jumlah daun150,75 helai, rata-rata bobot akar basah 45,42 gram, rata-rata bobot akar kering 14,89 gram, rata-rata jumlah polong per tanaman 104,25 buah, rata-rata jumlah polong bernas 90,75 buah, rata-rata berat biji per tanaman 18,14 gram dan rata-rata berat biji per 100 butir 10,25 gram. B. SARAN Perlu dilakukan uji fisiologi yang lebih lengkap agar diketahui reaksireaksi yang terjadi sehingga dapat diketahui keragaman dalam aplikasi dari kedua isolat bakteri tersebut. Disamping itu perlu dilakukan aplikasi pada berbagai 76 tanaman baik tanaman pangan maupun holtikultura sehingga diketahui pengaruh isolat bakteri pada tanaman dengan komposisi yang sesuai. Berdasarkan pada kesimpulan penelitian ini disarankan penggunaan tingkat konsentrasi fitohormon adalah konsentrasi 10 ml. Hal ini dikarenakan tingkat konsentrasi tersebut memberikan perbedaan yang nyata pada pertumbuhan dan produktivitas tanaman kedelai. Perlu adanya penelitian lebih lanjut penggunaan dosis (konsentrasi fitohormon maupun jenis pupuk) yang beragam guna memperoleh dosis yang sesuai untuk produksi kedelai, serta penelitian terhadap jenis varietas kedelai yang lain yang bisa dijadikan objek dari aplikasi pada penelitian ini. 77 DAFTAR PUSTAKA Amar, A., S. Sukotjo., dan L. Suan. 2002. Isolasi dan Identifikasi Bakteri dalam Badeg Page dari Ponorogo Jawa Timur. Jurnal Biosains. ISSN: 0215-9333. 7 (2): 1-7. Backmann, A. 2006. Carbohydrate metabolism in Bacteria-use of differences in carbohydrate metabolism for identifying bacteria. Caister Academic Press. USA. Barbara J. Taller and Tit-Yee Wong. Cytokinins in Azotobacter vinelandii Culture Medium. Department of Biology, Memphis State University, Memphis, Tennessee 38152. 1988. Bucchanan, R.E and N.E Gibbons, 1974, Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology, Eight Edition. The WilliAMS AND Wilkins Company, Baltimore Dawn B. Sturtevant and Barbara J. Taller. Cytokinin Production by Bradyrhizobium japonicum. Department of Biology, Memphis State University, Memphis, Tennessee 38152. 1988. Donna E. Akiyoshi, Dean A Regier, and Milton P. Gordon. Cytokinin Production by Agrobacterium and Pseudomonas spp. Department of Biochemistry, University of Washington, Seattle, Washington 98195. 1987. Eric Glickmann, Louis Gardan, Sylvie Jacquet, Shafik Hussain, Miena Elasri, Annik Petit, and Yves Dessaux. Auxin Production Is a Common Feature of Most Pathovars of Pseudomonas syringae. 1997. Institut des Sciences Végétales, Centre National de la Recherche Scientifique, France. Fakuara M.Y. 1988. Mikoriza, Teori dan Kegunaan dalam Praktek. PAU, IPB. Bogor. 130 hal. Farah Ahmad, Iqbal Ahmad & Mohd Saghir Khan. Indole Acetic Acid Production by the Indigenous Isolates of Azotobacter and Pseudomonas fluorescent in the Presence and Absence of Tryptophan. 2004. Department of Agricultural Microbiology, Faculty of Agricultural Sciences, Aligarh Muslim University, Aligarh – India. 78 Funke, B.R. Tortora, G.J., Case, C.L. 2004. Microbiology: an introduction (8th ed, ed) Benjamin Cumming. San Fransisco. Hasibuan, B. E., 2004. Pupuk dan Pemupukan. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan. Holt, J.G., Noel, R.K, Peter, H.A, James, T.S, dan Stanley, T.W. 1994. Begey’s Manual of Determinative Bacteriology. Ninth Edition. Williams & Wilkins 428 East Preston Street Baltimore, Maryland 21202, USA. Jinichiro Koga, Takashi Adachi & Hidemasa Hidaka. IAA Biosynthetic Pathway from Tryptophan via Indole-3-pyruvic Acid in Enterobacter cloacae. 1990. Bio Science Laboratories, Meiji Seika Kaisha, Ltd., Japan. Lay, W. Bibiana. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Madigan, M. T., J.M. Martinko, P.V. Dunlap, and D.P. Cark. 2009. Brock Biology of Microorganism, 12th edition. Pearson Benjamin-Cumming. San Fransisco. ISBN 0-13-2232460-1. Musnamar, E. I. 2003. Pupuk Organik. Penebar. Jakarta. Maesen, L. J. G. V. D., 1993, Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 1 Kacangkacangan, Penerjemah Sadikin Somaatmadja. PT. Gramedia. Jakarta. Pelczar, M. J & E.C.S. Chan. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jilid 2. UI-Press. Jakarta. Rudy Maor, Sefi Haskin, Hagit Levi-Kedmi, & Amir Sharon. In Planta Production of Indole-3-Acetic Acid by Colletotrichum gloeosporioides f. sp. aeschynomene. 2003. Department of Plant Sciences, Tel Aviv University, Ramat-Aviv, Tel Aviv 69978, Israel. Setyamidjaja, D. 1986. Pupuk dan Pemupukkan. CV. Simplex, jakarta. Sumarno, 1982. Yield Stability of “Orba” Soybean Cultivar. Penelitian Pertanian Vol. 2(2) : 75-77. Sutedjo, M.M., 1999. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rhineka Cipta. Jakarta. Teale , W. D., A. P. Ivan and P. Klaus. 2006. Auxin in Action: Signaling, Transport and The Control of Plan Growth and Development. Institute Fur biologie II/ 79 Botanik, Schanzlestrase, 79104 Freiburg. Tien,T.M., M. H. Gaskin, and D. H. Hubbel. Plant Growth Substances Produced by Azospirillum brasilense and Their Effect on the Growth of Pearl Millet (Pennisetum americanum L.). 1979. U.S. Department of Agriculture Institute of Food and Agricultural Sciences, Gainesville, Florida 32611. Tisdale, S.J. and W. L. Nelson, 1976. Soil Fertility and Fertilizer. The Third Edition, McMillan Publishing Company, New York. Tisdale, S.J. and W.L. Nelson, and J.D. Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizers. 4th Ed. Macmillian Publishing Company. New York. Waluyo, Lud. 2008. Teknik Metode Dasar Mikrobiologi. UMM-Press. Malang. William D. Teale, Ivan A. Paponov and Klaus Palme. Auxin in action: signalling, transport and the control of plant growth and development. 2006. Institut für Biologie II/Botanik, Schänzlestrasse, 79104 Freiburg, Germany. William F. Fett, Stanley F. Osman, and Michael F. Dunn. Auxin Production by PlantPathogenic Pseudomonads and Xanthomonads. 1987. Eastern Regional Reseacrch Center, Agricuiltuirzal Research Servicse, U.S. Department of Agriculture, Wyndmoor, Pennsylvania. W.T. Frankenberger Jr., and M. Poth. Biosynthesis of Indole-3-Acetic Acid by the Pine Ectomycorrhizal Fungus Pisolithus tinctorius. 1987. Department of Soil and Environmental Sciences, University of California, Riverside, California. 80 Lampiran 81 Lampiran 1. Kerangka Berpikir Indonesia: Negara Agraris (pertanian) Melupakan akan kesuburan tanah penggunaan akan pupuk kima yg tinggi Pupuk Hayati (Fitohormon alami) Kandungan humus tanah rendah kualitas tanaman rendah & tidak ramah lingkungan Pemanfaat bakteri alam dari rhizosfer/endofit KNGRT1 (Isolat bakteri Fitohormon Auksin) JGEA7 (isolat bakteri Fitohormon sitokinin) Uji identifikasi isolat bakteri lokal bakteri yg memiliki kemampuan menghasilkan fitohormon alami (auksin & sitokinin) kualitas tanaman baik dan ramah lingkungan Uji Biokimia Uji Morfologi Uji Molekular 82 Lampiran 2. Bagan Kerja Mengikuti cara kerja yang disebutkan dalam Amar et al., (2002) yang meliputi : Isolat Bakteri Lokal KNG.RT1 dan JGEA7 Peremajaan Isolat Bakteri Isolasi Isolat bakteri Pewarnaan Gram Gram Positif Gram Negatif Bentuk Bakteri Batang Bulat Uji Katalase Katalase Positif Katalase Negatif Pengamatan Spora Tidak Membentuk Spora Membentuk Spora Uji Biokimia Analisis Molekular 83 Lampiran 3. Komposisi Media 1. Nutrient Agar dan Nutrient Broth tanpa Agar Pepton Beef Ekstark Agar akuadest 2. Agar Semi Solid 3. Trypton Broth Trypton Akuadest 4. MR-VP medium (Broth) Pepton Glukosa Dikalium Fosfat Akuadest 5. Medium Nitrat Pepton Beef Ekstrak KNO3 Akuadest 6. Urea Broth Kaldu urea pekat Akuadest 84 7. Starch Agar Pepton Beef Ekstrak Soluble Starch Agar 85 Lampiran 4. Reagen dan Indikator a. Merah Metil (uji MR atau Mhetyl Red) Mehtyl Red 0,2 gr Dilarutkan dalam 500 ml b. Reagen Barit (Uji VP atau Voges-Proskauer) 1. Barit A : α-naphtol 6 gr dilarutkan dalam 100 ml KOH 16 gr Dilarutkan dalam 100 ml 2. Barit B : c. Reagen Erhlich (Uji Indol) n-Amyl alcohol 75 ml HCL pekat 25 ml p-dimethylamine-benzaldehyde 5 gr d. Reagen Uji Nitrit 1. Larutan A : Sulfanilic acid 0,8 gr 5 N acetic acid 100 ml 2. Larutan B : Dimethyl-α-naphtylamine 0,5 gr 5 N acetic acid 100 ml 86 Lampiran 5. Tabel Perbandingan Karakteristik Isolat Bakteri Lokal KNG.RT1 dengan Pseudomonas stutzeri Pseudomonas stutzeri No Karakteristik Isolat KNG.RT1 ( Holt, J.G .,et al, 1994) Pada Media NA: koloni bkateri berwarna krem, 1. Morfologi Koloni elevasi datar, menyebar tdk teratur dan lobat. Pengecatan Gram Gram – (Gram Negatif) Bentuk Bakteri Batang pendek, tunggal, sedikit yang berpasangan Endospora Tidak ada Motilitas Motil Uji Katalase + Uji Fermentasi Karbohidrat - Glukosa - Sukrosa - - Fruktosa - - Maltosa - Uji Indol + Uji Hidrolisis Pati + Uji MR + Uji VP - Uji Hidrolisis Urea - Uji Reduksi Nitrat + Keterangan : (+) dihasilkan (-) tidak dihasilkan 87 Lampiran 6. Tabel Perbandingan Karakteristik Isolat Bakteri Lokal JGEA7 dengan Genus Bacillus sp. No Karakteristik 1. Isolat KNG.RT1 Morfologi Koloni Pada media NA: koloni bakteri berwarna krem, elevasi datar, penamapkan dari atas bulat dengan tepi terserabut dan lobat Pengecatan Gram Gram + (Gram Positif) Bentuk Bakteri Batang pendek, tunggal, sedikit yang berpasangan Endospora - Ada endospora - Bentuknya elips - Posisi spora : subterminal - Mengalami pembekakan Motilitas Motil Uji Katalase + Uji Fermentasi Karbohidrat - Glukosa - Sukrosa - - Fruktosa - - Maltosa - Uji Indol + Uji Hidrolisis Pati + Uji MR + Bacillus sp. ( Holt, J.G .,et al, 1994) 88 Uji VP - Uji Hidrolisis Urea - Uji Reduksi Nitrat + Keterangan : (+) dihasilkan (-) tidak dihasilkan 89 Lampiran 7. Perbedaan Karakteristik Spesies-Spesies dari Genus Bacillus Spora Pembentukan Spesies Bentuk Pembengkakan Posisi Asam Gas Acetoin 1. B. subtilis E C + + 2. B. pumilus E C + + 3. B. liecheniformis E C + W/+ 4. B. cereus E C + + 5. B. antracis E C + + 6. B. thuringiensis E C + + 7. B. megaterium E C + + 8. B. polymyxa E + CT + + + 9. B. macerans E + T + 10. B. circulans E + CT + 11. B. stearothermophilus E + atau T + 12. B. coagulans E + atau CT + + atau 13. B. alvei E + CT + + 14. B. firmus E C W 15. B. laterosporus E + C + 16. B. brevis S + CT +/17. B. sphaericus S + T 18. B. pasteurrii E + T 19. B. fastidiosus E C 20. B. larvae E + CT + 21. B. popilliae E + C + 22. B. lentimorbus E + C + Sumber : Buchanan dan Gibbons, 1994 Keterangan : E : Elips C : Tengah CT : Tengah ke ujung T : Ujung W : sedikit positif S : Silinder 90 Lampiran 8. Deskripsi Varietas Tanaman Kedelai Wilis Nomor Induk : B3034 Warna Hipokotil : Ungu Warna Batang : Hijau Warna Daun : Hijau tua Warna Bulu : Coklat Tua Warna Bunga : Ungu Warna Polong Tua : Coklat Tua Warna Kulit Biji : Kuning Warna Hilum : Coklat Tua Tipe tumbuh : Determinete Umur berbunga : Kurang lebih 39 hari Umur Matang : Kurang lebih 88 hari Tinggi Tanaman : 40 – 50 cm Bentuk Biji : Oval, agak pipih Bobot 100 biji : Kurang lebih 10 gram Kadar Protein : 37% Kadar Lemak : 18% Sifat-sifat lain : Tahan Rebah Ketahanan terhadap penyakit : Agak tahan penyakit karat dan virus Sumber : Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbangtan). 91 Lampiran 9. Data Pengamatan Tinggi Tanaman Kedelai Umur 2 MST Kombinasi Perlakuan P1H0 P1H1 P1H2 P1H3 P1H4 P2H0 P2H1 P2H2 P2H3 P2H4 P3H0 P3H1 P3H2 P3H3 P3H4 P4H0 P4H1 P4H2 P4H3 P4H4 Total Rataan I (cm) 25 32 24 23 23 28 33 33 28 30 40 40 37 39 33 37 27 32 38 32 634 31,7 Ulangan II III (cm) (cm) 23 23 22 34 30 37 24 27 24 20 32 28 29 42 28 31 25 29 24 30 35 34 39 38 39 32 32 27 28 24 34 32 36 34 25 23 37 41 31 31 597 617 29,85 30,85 IV (cm) 34 31 28 21 19 26 30 41 35 32 35 40 32 38 38 34 35 26 35 31 641 32,05 Total Rataan 105 119 119 95 86 114 134 133 117 116 144 157 140 136 123 137 132 106 151 125 2489 26,25 29,75 29,75 23,75 21,5 28,5 33,5 33,25 29,25 29 36 39,25 35 34 30,75 34,25 33 26,5 37,75 31,25 31,1125 92 Lampiran 10. Data Pengamatan Tinggi Tanaman Kedelai Umur 3 MST Kombinasi Perlakuan P1H0 P1H1 P1H2 P1H3 P1H4 P2H0 P2H1 P2H2 P2H3 P2H4 P3H0 P3H1 P3H2 P3H3 P3H4 P4H0 P4H1 P4H2 P4H3 P4H4 Total Rataan I (cm) 34 38 38 34 37 35 44 39 36 41 48 48 45 48 39 48 36 43 49 39 819 40,95 Ulangan II III (cm) (cm) 33 38 37 41 40 45 35 41 33 32 45 40 34 58 41 45 33 39 34 40 47 43 48 47 46 40 44 37 34 33 40 41 47 43 36 35 45 54 41 43 793 835 39,65 41,75 IV (cm) 40 43 40 37 35 37 38 52 47 41 44 53 41 51 45 42 44 37 44 37 848 42,4 Total Rataan 145 159 163 147 137 157 174 177 155 156 182 196 172 180 151 171 170 151 192 160 3295 36,25 39,75 40,75 36,75 34,25 39,25 43,5 44,25 38,75 39 45,5 49 43 45 37,75 42,75 42,5 37,75 48 40 41,1875 93 Lampiran 11. Data Pengamatan Tinggi Tanaman Kedelai Umur 4 MST Kombinasi Perlakuan P1H0 P1H1 P1H2 P1H3 P1H4 P2H0 P2H1 P2H2 P2H3 P2H4 P3H0 P3H1 P3H2 P3H3 P3H4 P4H0 P4H1 P4H2 P4H3 P4H4 Total Rataan I (cm) 45 42 50 45 51 47 55 45 44 51 56 52 52 55 46 60 47 52 61 46 956 47,8 Ulangan II III (cm) (cm) 41 53 50 47 52 53 44 60 43 41 58 52 42 74 53 58 43 48 42 50 55 52 59 58 53 48 54 46 48 43 46 50 58 54 45 43 56 69 54 59 942 999 47,1 49,95 IV (cm) 46 54 53 51 41 47 48 64 60 48 55 66 50 63 51 51 54 51 55 43 1008 50,4 Total Rataan 185 193 208 200 176 204 219 220 195 191 218 235 203 218 188 207 213 191 241 185 3905 46,25 48,25 52 50 44 51 54,75 55 48,75 47,75 54,5 58,75 50,75 54,5 47 51,75 53,25 47,75 60,25 46,25 51,125 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125