proposal penelitian - Portal Kopertis Wilayah III

advertisement
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Negara kita dimasa lalu pernah berhasil meningkatkan produksi pertanian
yang ditempuh melalui program intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi.
Hasil yang sangat menonjol adalah program intensifikasi panca usaha tani di lahan
sawah dengan meningkatnya produksi beras, sehingga tercapai swasembada beras
pada tahun 1983. setelah itu, sektor pertanian mulai tidak diperhatikan,
dilecehkan, dan terseret oleh industrialisasi yang tidak berpijak pada sektor
pertanian. Sekarang sering kita dengar rakyat yang meninggal dunia karena
kelaparan, anak-anak yang busung lapar, rakyat jelata yang antri sembilan bahan
pokok dan harganya sangat mahal, serta para petani yang selalu rugi dan masih
dibawah garis kemiskinan. Untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri,
pemerintah kita sekarang harus mengimpor dari negara lain. Kebutuhan kedelai
diimpor dari Amerika serikat, daging dan susu dari Australia, beras dari Vietnam
dan Muangthai, serta sayuran dan buah-buahan impor yang banyak kita jumpai di
supermarket. Suatu hal yang sangat ironis yang terjadi di negara agraris yang
subur makmur dan kaya sumber daya alam. Padahal jika sektor pertanian
dikembangkan
dengan
sungguh-sungguh,
bukan
hanya
akan
mencapai
swasembada pangan, tapi akan mengalami surplus pangan dan bisa mengekspor
hasil pertanian sehingga negara mendapatkan devisa yang melimpah.
1.2. Tujuan Khusus
Pertanian merupakan sektor yang paling berpotensi untuk dikembangkan
di Indonesia. Dengan curah hujan yang tinggi, matahari yang bersinar sepanjang
tahun, dan memiliki vegetasi alamiah yang beranekaragam sangat memungkinkan
negara kita untuk menjadi salah satu negara terkaya di dunia. Vegetasi sabana,
stepa, dan gurun terdapat didaerah Nusa Tenggara, vegetasi iklim kutub terdapat
di Puncak Jaya di Papua, dan vegetasi hutan hujan tropis yang luas dengan jenis
tumbuhan beragam dan kerapatan tinggi yang terdapat di pulau Sumatra,
Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Keanekaragaman vegetasi seperti ini
memungkinkan tanaman berinteraksi dengan mikroba yang mempunyai sifat
12
beranekaragam. Hanya tanaman yang bersimbiosis dengan mikroba unggul yang
dapat tumbuh subur di vegetasi yang ekstrim, baik mikroba yang hidup dalam
jaringan tanaman (endofit) maupun yang hidup disekitar akar tanaman (rizosfer).
Mikroba tersebut berperan sebagai pelarut fosfat, penambat nitrogen, pelarut
kalium, dan penghasil hormon tumbuh yang akan dimanfaatkan untuk
pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Dengan demikian dari uraian diatas, maka tujuan khusus yang ingin
dicapai pada penelitian ini dalam jangka pendek adalah :
 Membuat produk mikroba unggul penghasil hormon auksin dan sitokinin
yang dapat meningkatkan produktivitas pertanian di Indonesia tetapi
dengan harga yang murah dan terjangkau oleh para petani
 Mensosialisasikan cara penggunaan produk mikroba ini kepada para petani
di Indonesia sehingga diperoleh hasil yang optimal
 Mencari investor, baik pemerintah maupun swasta yang mau menanamkan
modalnya, sehingga produk mikroba ini dapat diproduksi dalam skala
besar dan dapat segera diaplikasikan kepada para petani
 Terus mengembangkan produk yang sudah ada untuk mendapatkan produk
yang lebih unggul dari sebelumnya
1.3. Urgensi (Pentingnya) Penelitian
Penelitian ini sangatlah penting untuk dilaksanakan dengan segera, karena
bangsa kita sebagai negeri subur makmur yang kaya sumber daya alam sekarang
ini mempunyai ketahanan pangan yang sangat menyedihkan. Oleh karena itu,
dengan penelitian ini:
1. Produktivitas pertanian Indonesia akan meningkat, tidak hanya mencapai
swasembada pangan tapi kita bisa surplus pangan dan dapat mengekspor
kelebihan pangan kita untuk mendapatkan devisa
2. Produktivitas pertanian yang meningkat akan meningkatkan kesejahteraan
para petani dan keluarga Indonesia pada umumnya dengan ketersediaan
pangan yang melimpah
3. Terciptanya
lapangan
kerja
baru
melalui
pendirian
pabrik
untuk
memproduksi produk mikroba ini sehingga akan menyedot tenaga kerja.
13
1.4. Hasil Penelitian yang Ditargetkan
Untuk Penelitian Lanjutan Tahap I (Tahun III) : Hasil yang ditargetkan
terdiri dari 2 aspek :
a.Mengidentifikasi bakteri unggul terpilih penghasil auksin dan sitokinin.
b.Pengujian aktivitas fitohormon pada tanaman pangan.
Diharapkan pada penelitian lanjutan tahun berikutnya akan diperoleh
Teknologi Fermentasi dan Formula Cair dan Padat Produk Fitohormon.
(Penelitian Tahap Berikutnya). Teknologi formulasi mikroba unggul penghasil
auksin dan sitokinin dengan carrier berupa zeolit yang ditambah gypsum sebagai
perekat dan mineral-mineral tertentu sebagai nutrisi mikroba atau formulasi
gliserol, CMC (carboxymethylcellulose), dan mineral-mineral tertentu sehingga
dapat menekan biaya produksi dan produk akhirnya dapat terjangkau oleh para
petani.
1.5. Maksud dan Tujuan Penelitian Lanjutan Tahap I (Tahun Ketiga)
Maksud dari penelitian ini adalah mengidentifikasi isolat murni bakteri
lokal yang terpilih (KNG.RT1 dan JGEA7), serta menguji aktivitas fitohormon
alami yang dihasilkan pada tanaman pangan (tanaman kedelai) guna
meningkatkan produktivitas tanaman kedelai serta mengurangi penggunaan
fitohormon dan pupuk yang berasal dari bahan kimia.
Tujuan penelitian adalah : ingin mengetahui identitas (jenis spesies) dan
karakteristik
dari isolat bakteri lokal KNG.RT1 yang memiliki kemampuan
menghasilkan fitohormon dari golongan auksin (IAA) dan isolat bakteri lokal
JGEA7 yang memiliki kemampuan menghasilkan fitohormon dari golongan
sitokinin; serta untuk mengetahui pengaruh penggunaan
beberapa tingkat
konsentrasi fitohormon alami dan jenis pupuk pada budidaya kedelai, guna
mendapatkan kombinasi terbaik antara konsentrasi fitohormon dan jenis pupuk
untuk pertumbuhan dan produktivitas tanaman kedelai yang maksimal.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Fitohormon
14
Istilah hormon berasal dari bahasa yunani, horman, yang artinya zat
perangsang. Hormon yang berfungsi merangsang pertumbuhan dan perkembangan
tanaman disebut fitohormon. Konsentrasi fitohormon dalam tanaman sangat
rendah. Fitohormon dapat diekstrak dari jaringan tanaman terutama dari jaringan
meristematik. Seperti yang dikatakan William et. al. (2006), Kita harus
mengekstrak 20.000 Kg koleoptil tanaman tomat atau 80 gallon urin manusia
untuk menghasilkan ± 1 gram auksin jenis IAA (Indole-3-Acetic Acid).
Fitohormon dapat dibagi menjadi 6 golongan yaitu auksin, sitokonin, giberelin
(GA), etilen, brasinosteroid, dan asam absisat.
2.2. Auksin
Istilah auksin berasal dari bahasa yunani, auxein yang artinya tumbuh.
Auksin merupakan hormon yang pertama kali ditemukan. Charles Darwin
merupakan ilmuwan pertama yang meneliti hormon ini. Dalam bukunya “The
Power of Movement in Plants" yang diterbitkan pada tahun 1880, beliau
menggambarkan tentang pengaruh cahaya pada pergerakan koleoptil rumput
canary (Phalaris canariensis). Koleoptil merupakan selaput yang menyelubungi
titik tumbuh ujung tanaman rumput-rumputan yang melindungi titik tumbuh
tersebut ketika menembus tanah. Koleoptil akan membelok kearah datangnya
cahaya. Jika ujung koleoptil dibungkus dengan aluminum foil, maka koleoptil
tidak mengarah pada datangnya cahaya. Jika ujung koleoptil dibiarkan terbuka
dan bagian bawahnya tertutup, maka koleoptil mengarah pada datangnya cahaya.
Eksperimen Darwin menunjukkan bahwa ujung koleoptil merupakan jaringan
tanaman yang berperan dalam merespon cahaya kemudian memproduksi sinyal
dan ditransportasikan ke bagian bawah dari koleoptil yang merupakan bagian
yang membelok kearah datangnya cahaya. Darwin kemudian memotong koleoptil
dan dibiarkan terkena cahaya matahari dan hasilnya ternyata pembelokan tidak
terjadi.
Pada tahun 1885, Salkowski menemukan IAA (Indole-3-Acetic Acid) pada
media fermentasi. Isolasi produk yang sama dari jaringan tanaman tidak
mendapatkan apa-apa untuk hampir selama 50 tahun. Pada tahun 1907, Fritting
melakukan eksperimen tentang pengaruh irisan pada bagian tanaman yang terkena
15
cahaya maupun bagian yang gelap. Hasil eksperimennya membantu menambah
pemahaman jika translokasi sinyal tanaman terjadi pada bagian tertentu dari
tanaman tapi hasil eksperimennya tidak meyakinkan karena sinyal dapat keluar
melalui bagian jaringan tanaman yang teriris.
Pada tahun 1913, Boysen-Jensen memodifikasi eksperimen Fritting
dengan memasukkan potongan mika untuk mencegah transportasi sinyal dan
menunjukkan bahwa transportasi auksin dari bagian yang terkena cahaya menuju
bagian gelap dari tanaman. Pada tahun 1918, Paal menegaskan hasil eksperimen
Boysen-Jensen dengan memotong ujung koleoptil dan dibiarkan dalam kondisi
gelap, yang terkena cahaya hanya ujungnya. Hasilnya menunjukkan bahwa bagian
manapun koleoptil tersebut terlindungi, pembelokan terjadi menuju arah yang
lain.
Pada tahun 1926, mahasiswa belanda yang bernama Fritz Went
mempublikasikan laporan yang menceritakan bagaimana beliau mengisolasi zat
pengatur tumbuh dengan menempatkan potongan koleoptil diatas media agar
dengan periode waktu tertentu, kemudian media agar dipindahkan dan
ditempatkan potongan batang tanaman Avena diatasnya. Setelah penempatan pada
agar, batang tersebut tumbuh. Pada tahun 1928, Went mengembangkan metode
untuk mengukur zat pengatur tumbuh ini. Hasil eksperimen ini menunjukkan
bahwa pembelokan batang sebanding dengan jumlah zat pengatur tumbuh pada
agar.
Pada tahun 1931, Kogl dan Haagen-Smit memurnikan senyawa
auxentriolic acid (auksin A) dari urine manusia. Kemudian Kogl mengisolasi
senyawa lain dari urin manusia yang fungsi dan struktur kimianya sama dengan
auksin A, salahsatunya adalah IAA yang sebelumnya telah ditemukan oleh
Salkowski pada tahun 1885. Pada tahun 1954, komite ahli fisiologis tanaman
memberikan nama auksin untuk kelompok hormon tersebut.
Pada tahun 1979, tiga orang ilmuwan amerika yang bernama Tien,
Gaskins, dan Hubbel dari Institute of Food and Agricultural Sciences, Gainesville,
Florida, Amerika Serikat, meneliti tentang produksi zat pengatur tumbuh oleh
Azospirillum braziliense dan pengaruhnya pada pertumbuhan pearl millet
(Penistatum americanum). Metode TLC, HPLC dan Bioassay digunakan untuk
16
memisahkan dan mengidentifikasi ZPT yang diproduksi bakteri dalam media cair.
IAA dan ILA (Indole-3-Lactic Acid) dapat diproduksi oleh Azospirillum
braziliense dengan prekursor triptofan. Konsentrasi IAA meningkat jika
konsentrasi triptofan juga meningkat dari 1 hingga 100 µg/ml. Konsentrasi IAA
juga makin meningkat seiring dengan makin bertambahnya umur kultur bakteri
hingga mencapai fase stasioner. Pengocokan pada kultur bakteri akan
meningkatkan produksi hormon, terutama pada medium yang berisi nitrogen.
Giberellin dalam jumlah sedikit tetapi secara biologis sangat signifikan pada
pertumbuhan tanaman serta 3 jenis senyawa serupa sitokinin yang ekuivalen
dengan 0,001 µg kinetin/ml juga diproduksi oleh bakteri ini.
Pada tahun 1987, William F. Fett, Stanley F. Osman dan Michael F. Dunn
dari Agricuiltuirzal Research Servicse, U.S. Department of Agriculture, Amerika
Serikat, melakukan pengkajian apakah produksi auksin oleh Pseudomonad dan
Xantomonad
yang berkaitan
dengan kemampuannya untuk
merangsang
pertumbuhan hipertropi pada tanaman inangnya. Pseudomonad dipelihara pada
semisynthetic liquid medium berdasarkan studi Brugger dan Keen sedangkan
Xantomonad dipelihara pada Yeast-Salts-Glycerol (YSG) medium. Adanya
senyawa indole pada supernatan kultur diidentifikasi dengan TLC dan HPLC.
Semua strain dapat memproduksi IAA pada media cair ditambahkan 0,05 % Ltriptofan. Kadar IAA tertinggi didapat pada supernatan patogen kacang kedelai
yaitu Pseudomonas syringae pv. Syringae, dan bakteri ini selanjutnya diuji tanpa
penambahan L-triptofan. Ternyata, bakteri ini masih dapat menghasilkan IAA.
Senyawa indole yang lain dari berbagai strain teridentifikasi dalam media cair,
seperti ILA, Indole-3-Aldehyde, Indole-3-Acetamide, dan N-acetyl-triptofan.
Pseudomonad dan Xantomonad bisa dibedakan dengan adanya N-acetyl-triptofan
yang hanya terdapat pada supernatan Xantomonad.
Pada tahun 1990, tiga orang ilmuwan yang bernama Jinichiro Koga,
Takashi Adachi and Hidemasa Hidaka dari Bio Science Laboratories, Meiji Seika
Kaisha Ltd., Jepang, melakukan eksperimen tentang biosintesis IAA dari triptofan
melalui jalur Indole-3-Piruvic Acid oleh bakteri Enterobacter cloacae yang
diisolasi dari rizosfer ketimun sehat yang diketahui dapat menghasilkan IAA pada
medium cair Luria Broth yang diperkaya triptophan 1 mg/ml. Selain IAA, bakteri
17
ini juga dapat menghasilkan Indole-3-Lactic Acid (ILA) dan tryptophol (Tol).
Pada kondisi aerobik, produksi IAA lebih tinggi daripada produksi ILA dan Tol,
tapi pada kondisi anaerobik produksi ILA dan Tol lebih tinggi daripada produksi
IAA. Pada eksperimen konversi 8 macam substrat indole yaitu Triptofan, Indole3-pyruvic
Acid,
Indole-3-Acetamide,
Indole-3-Lactic
Acid,
Tryptophol,
tryptamine, Indole-3-Acetonitrile, dan kontrol. Hasilnya ternyata E. cloacae hanya
mengkonversi Triptofan, Indole-3-pyruvic Acid, dan Indole-3-Acetamide menjadi
IAA. Hal ini menguatkan dugaan bahwa biosintasis IAA oleh E. cloacae dari
triptofan menjadi IAA ternyata melalui Indole-3-pyruvic Acid dan Indole-3Acetaldehide.
Pada tahun 1997, Eric Glickmann et. al., dari Institut des Sciences
Végétales, Centre National de la Recherche Scientifique, Prancis, melakukan
eksperimen mengenai produksi IAA oleh 57 patovar Pseudomonas syringae yang
beberapa diantaranya seperti P. syringae pv. syringae, P. savastanoi pv.
phaseolicola, P. syringae pv. tabaci, dan P. syringae pv. tomato serta spesies
bakteri lain seperti Agrobacterium tumefaciens, Agrobacterium sp., Erwinia
herbicola pv. gypsophilae, Alcaligenes faecalis, dan Escherichia coli pada king B
medium dengan atau tanpa penambahan triptofan. Hasilnya, 8 strain memproduksi
IAA dalam konsentrasi tinggi pada media yang tidak ditambahkan triptofan. Pada
patovar P. savastanoi pv. savastanoi, terdeteksi adanya gen iaaM dan iaaH,
termasuk 8 strain yang dapat memproduksi IAA dalam konsentrasi tinggi pada
media yang tidak ditambahkan triptofan. Selain itu, ada beberapa patovar yang
tidak melibatkan gen iaaM dan iaaH, tapi melibatkan gen iaaL yang mengkodekan
sintesis IAA-lysine yang terdeteksi pada patovar yang dapat memproduksi IAA
tanpa penambahan triptofan.
Gen iaaM mensintesis enzim Triptofan-mono-
oxygenase (IAM) yang mengkonfersi Triptofan menjadi IAM (Indole-3Acetamide). Gen iaaH mensintesis enzim Indole-3-Acetamide hydrolase yang
mengkonversi IAM menjadi IAA. Kedua gen tersebut disebut root-inducing genes
(Roi-genes).
Pada tahun 2003, Rudy Maor, Sefi Haskin, Hagit Levi-Kedmi, dan Amir
Sharon dari Tel Aviv university, Israel, melakukan penelitian untuk mempelajari
pengaruh penambahan triptofan, IAA dan IAM pada proses biosintesis IAA dalam
18
kultur aksenik (kultur satu strain mikroba) Colletotricum gloeosporioides f. sp.
aeschynomene dan mempelajari biosintesis IAA oleh fungi tersebut pada tanaman.
Fungi dipelihara pada Emerson’s YpSs (EMS) medium. Tanaman Aeschnomene
virginica (northern joinvetch) digunakan sebagai tanaman uji. Mereka
menyimpulkan bahwa biosintesis IAA tergantumg pada triptofan dan jumlah IAA
akan semakin meningkat jika triptofan juga meningkat. Produksi IAA dan IAM
oleh fungi ini terjadi pada waktu fase infeksi biotropik (infeksi untuk
mendapatkan nutrisi dari jaringan hidup inangnya) dan neurotropik. Jumlah IAA
yang diproduksi biomassa fungi paling tinggi pada fase biotropik.
Pada tahun 2004, Farah Ahmad, Iqbal Ahmad, Mohd Saghir Khan dari
Aligarh Muslim University, India, melakukan pengujian terhadap kemampuan 21
isolat bakteri (10 Azotobacter sp. Dan 11 Pseudomonas sp.) dari berbagai tanah
rizosfer dari sekitar kota Aligarh dalam menghasilkan Indole-3-Acetic Acid pada
media Nutrient Broth yang berisi 0, 1, 2 dan 5 mg/ml triptofan, diinkubasi pada 28
± 2 oC selama 15 hari untuk Azotobacter sp. dan 1 minggu untuk Pseudomonas
spp. Antara 2,68–10,80 µg/ml IAA diproduksi oleh Azotobacter tanpa
penambahan triptofan. 7 isolat Azotobacter sp. memproduksi IAA pada
konsentrasi yang cukup tinggi pada kisaran 7,3–32,8 µg/ml dengan penambahan
triptofan 5 mg/ml. Pada penambahan 1 dan 2 mg/ml triptofan, produksi IAA-nya
pada kisaran 1,47–11,88 dan 5,99–24,8 µg/ml. Pada isolat Pseudomonas
fluorescent, produksi IAA meningkat dengan meningkatnya konsentrasi triptofan
dari 1 hingga 5 mg/ml. Pada konsentrasi triptofan 5 mg/ml, 5 isolat memproduksi
IAA dengan konsentrasi tinggi (41,0 hingga 53,2 µg/ml) sementara 6 isolat
lainnya memproduksi 23,4 hingga 36,2 µg/ml. Isolat Pseudomonas sp. (Ps1, Ps4
dan Ps7) menghambat perpanjangan akar pada tanaman Sesbania aculeata dan
Vigna radiata sedangkan isolat Azotobacter (Azs1, Azs6 dan Azs9) dapat
merangsang perpanjangan akar dari kedua tanaman tersebut. Penambahan
triptofan 1 hingga 5 mg/ml pada kedua tanaman tersebut memperlihatkan efek
pertumbuhan tanaman yang menurun. Dengan kata lain, penambahan triptofan
konsentrasi tinggi dari luar bersifat racun pada tanaman tersebut.
2.3. Sitokinin
19
Sitokinin merupakan salah satu zat pengatur tumbuh pada tanaman yang
berperan dalam pembelahan sel (cell division). Sitokinin ditemukan pertama kali
oleh Haberlandt pada tahun 1913. F. Skoog, C. Miller dan rekan-rekannya pada
tahun 1950-an melakukan penelitian pada batang tembakau yang ditumbuhkan
pada medium sintetik dan menyatakan bahwa senyawa yang berperan dalam
kultur jaringan tersebut adalah kinetin (6-furfurylaminopurine). Sitokinin dari
alam yang pertama kali diidentifikasi adalah zeatin yang nama kimianya 6-(4hydroxy-3-methylbutenylamino)purine.
Bagian
tanaman
yang
mempunyai
aktifitas sitokinin paling tinggi adalah ujung akar, pucuk, dan benih tanaman yang
masih muda.
Selain oleh tanaman, sitokinin juga dapat diproduksi oleh mikroorganisme
seperti sianobakteri (alga hijau biru) dan beberapa bakteri fitopatogenik (misalnya
Agrobacterium tumefaciens, Pseudomonas savastanoi, dan Rhodococcus fascians)
dan
jamur
Dictyostelium
discoideum.
Rizobakteri
Azotobacter
dapat
memproduksi fitohormon auksin dan sitokinin seperti Azotobacter chrococcum, A.
beijerinckii, A. paspali serta A. vinelandii. Taller & Wong (1989) membuktikan
adanya sitokinin dari jenis zeatin ribosida (ZR), zeatin (Z), isopenteniladenosin
(2iPR), isopenteniladenin (2iP), metiltiozeatin (MSZ) dan metiltioisopenteniladenin (MS2iP) yang diekskresikan oleh A. vinelandii. Abbass dan Okon (1993)
memperlihatkan kemampuan A. paspali untuk meningkatkan pertumbuhan
tanaman dengan kapasitasnya dalam memproduksi faktor tumbuh. Di dalam
supernatan kultur cair
Azotobacter chrococcum, yang diisolasi dari rizosfer
jagung dengan kepadatan 108 cfu/ml terdapat kinetin dan benzyladenin-9glukosida masing-masing dengan konsentrasi 0,0197 dan 0,004 µg/ml. Kemudian
suatu isolat Azotobacter yang diisolasi dari rizosfer tomat yang dikulturkan
selama 72 jam dalam media cair pupuk organik 3 ml/ltr yang mengandung
nitrogen kurang dari 1 % dapat mengekskresi 2,39 µg/ml sitokinin dari kepadatan
sel 3,7 x 109 cfu/ml, tetapi tidak terdeteksi adanya hormon auksin dan giberelin
(Hindersah et al., 2002b).
Murai et. al., (1980) melakukan penelitian terhadap 5 strain bakteri
Corynebacterium fascian yang ditumbuhkan pada Nutrient Broth dan diinkubasi
selama 4 hari pada suhu 25 oC dan dikromatografi dengan kolom sephadex LH-20
20
(30 g, 1,9 x 42 cm) dalam 35 % (v/v) etanol menunjukkan bahwa isolat MW 2 dari
University of Alexandria (mesir) menghasilkan 168 µg/liter kinetin equivalent,
isolat CF2 dan CF1 dari Bulkholder Collection (Cornell University) menghasilkan
masing-masing 8,3 dan 2,3 µg/liter kinetin equivalent, isolat CF15 dari University
of California menghasilkan 0,4 µg/liter kinetin equivalent, dan isolat CF16 dari
Bulkholder Collection (Cornell University) menghasilkan 0,2 µg/liter kinetin
equivalent. Plasmid dari isolat MW2, CF2 dan CF1 yang mempunyai produktifitas
sitokinin yang tinggi (Mr ≈ 108) menunjukkan ukuran yang lebih besar daripada
isolat yang produktifitasnya rendah. CF15 mempunyai ukuran plasmid yang lebih
kecil daripada yang lain. CF16 tidak terdeteksi adanya plasmid, tetapi yang ada
berupa DNA ekstra kromosomal yang lain. Corynebacterium fascians tersebut
memproduksi 4 sitokinin yaitu 6-(3-methyl-2-butenylamino) purine (i6Ade), 6-(4hydroxy-3-methyl-cis-2-butenylamino)
methyl-cis-2-butenylamino)-2-methylthio
purine
purine
(c-io6Ade),
6-(4-hydroxy-3-
(ms2-c-io6Ade),
dan
6-
methylamino purine (m6Ade) dan 3 sitokinin tambahan yaitu 6-(4-hydroxy-3methyl-trans-2-butenyl amino) purine (t-io6Ade), 6-(4-hydroxy-3- methyl-2butenyl amino)-9-3-D-ribofuranosyl purine (io6A), dan 6-(3-methyl-2-butenyl
amino)-9-f3-D-ribofuranosylpurine (i6A).
Akiyoshi et. al., (1987) melakukan pengujian produktifitas sitokinin pada
beberapa strain Agrobacterium tumefaciens dan Agrobacterium rhizogenes,
Pseudomonas syringae pv. Phaseolicola, Pseudomonas syringae pv. angulata,
Pseudomonas syringae pv. tabaci, Pseudomonas syringae pv. Savastanoi dari
oleander, zaitun, dan privet, Pseudomonas solanacearum dari endofit tomat,
pisang, kentang, tembakau dan Eupatorium sp yang diambil dari Costa Rica,
Colombia, Peru, Sri Lanka, Venezuela, Brazil dan Grenada, Xanthomonas
campestris dan Rhodococcus fascians. Semua bakteri ditumbuhkan pada AB
minimal medium (8 g Nutrient Broth, 2 g K2HPO4, 0,5 g KH2PO4, 0,12 g MgSO4,
dan 5 g glucose per liter aquadest) yang diperkaya dengan 2 µg biotin per liter dan
diinkubasi pada inkubator shaker 25 oC. Setelah diuji dengan radioimmunoassay,
A. tumefaciens strain T37 menghasilkan 44 tZ, 2 tZR dan 2 nanogram/ml iP/iPA,
A. rhizogenes strain 8196 menghasilkan 3 tZ, 0,6 tZR dan 0,1 nanogram/ml
iP/iPA, Pseudomonas syringae pv. Savastanoi strain TK1050 yang diisolasi dari
21
endofit pohon zaitun menghasilkan 1,140 tZ, 170 tZR dan 0,6 nanogram/ml
iP/iPA, Pseudomonas solanacearum strain 248 dari endofit tembakau dari
Columbia menghasilkan 109 tZ, 18 tZR dan 2 nanogram/ml iP/iPA. Bakteri
Xanthomonas campestris dan Rhodococcus fascians tidak terdeteksi adanya
sitokinin.
Sturtevant dan Taller (1988) menganalisis kandungan sitokinin pada
bakteri Bradyrhizobium japonicum strain 6 1A68 (dari Nitragin Co., Inc.,
Milwaukee, WI) yang ditumbuhkan pada media yang digunakan oleh Valera dan
Alexander yang dimodifikasi oleh Phillip dan Torrey yang terdiri dari 10 g
mannitol, 0,8 g K2HPO4, 0,2 g KH2PO4, 0,5 g (NH4)2SO4, 0,4 g KNO3, 0,2 g
MgSO4.7H20,
0,1
g
CaCl2.2H20,
0,01
g
FeCl3.6H20,
Na2MoO4.2H20,
ZnSO4.7H20, H3BO3, MnSO4. H20, p-aminobenzoic acid and pyridoxine HCl
masing-masing 0,2 mg, meso-inositol, thiamine HCl, calcium pantothenate dan
riboflavin masing-masing 1 mg, 0,25 mg biotin, 15 µg CuSO4, 1 µg CoCl2.H20
yang dilarutkan dalam 1 liter aquadest dengan pH 6,8. Sebagai pembanding,
Sturtevant dan Taller (1989) juga menumbuhkan Rhizobium phaseoli pada media
yang sama tapi dimodifikasi dengan menambahkan 1 mg/L thiamine HCI dan
0,25 mg/L biotin. Kedua strain tersebut diinkubasi pada suhu 28 oC, 100 rpm
selama 4 hari dalam inkubator shaker. Kadar sitokininnya dihitung dengan HPLC
merek Amberlite XAD-2 dengan kolom Sephadex LH-20 dengan sistem solvent
ethanol 35% (v/v). Dari Bradyrhizobium japonicum strain 6 1A68 teridentifikasi 3
jenis sitokinin yaitu io6Ado 0,8 KE/liter, io6Ade 0,4 KE/liter, dan ms2io6Ade 0,1
KE/liter.
2.4. Klasifikasi Mikroba
Klasifikasi adalah suatu istilah yang berkaitan dan seringkali digunakan
atau dipertukarkan dengan taksonomi. Taksonomi adalah ilmu mengenai
klasifikasi atau penataan sistematik organisme ke dalam kelompok atau kategori
yang disebut taksa (tunggal : takson). Akan tetapi, penyusunan taksonomik
mikroorganisme mensyaratkan diidentifikasi sebagaimana mestinya dan diberi
22
nama. Kegiatan secara keseluruhan, yakni tentang pengklasifikasian, penamaan,
dan pengidentifikasian mikroorganisme, disebut sebagai sistematika mikroba
(Waluyo, 2008). Dari klasifikasi maka ditentukanlah kriteria yang perlu untuk
diidentifikasi. Klasifikasi juga memberikan suatu cara untuk menentukan
kekerabatan evolusioner di antara kelompok-kelompok jasad renik dan untuk
memilih mikroorganisme yang mungkin memiliki cirri-ciri atau kemampuan yang
menarik perhatian secara khusus, misalnya menghasilkan antibiotik (Pelczar,
1986).
Menurut Gupta (1990), kriteria untuk klasifikasi mikroba yaitu:
a). Sumber energi : fototropik, kemotropik
b). Kebutuhan gizi : sederhana atau kompleks
c). Kemampuan untuk tumbuh dalam jaringan hidup saprofit dan parasit
d). Suhu pertumbuhan : psikrofil, mesofil dan termofil
e). Kebutuhan oksigen : aerob dan anaerob
Kriteria
di atas dianggap tidak memuaskan, sehingga timbul beberapa cara
klasifikasi yang berbeda yaitu :
1. Klasifikasi biologs yang berdasarkan sifat-sifat biologis, imunologis dan
ekologis.
2. Klasifikasi morfologi dibagi dalam dua kelompok yaitu :
a. Mikroba golongan tinggi; berupa filament yang tumbuh dengan
membuat cabang membentuk miselium, misalnya kapang.
b. Bakteri ; terdiri atas satu sel dan tidak pernah membuat miselium.
3. Klasifikasi biokimia dengan komposisi kimiawi dinding sel dari sel
prokariot berbeda dengan sel eukariot. Pada sel eukariot tidak terdapat
asam N-asetil muramat, sedangkan selaput dinding sel prokariot tidak
mengandung sterol.
4. Komposisi DNA sebagai dasar klasifikasi menggunakan kadar G+C
(Guanin dan Sitosin) dalam bakteri, dapat dibuktikan terdapat rentang
yang luas dari unsure G+C, bervariasi antara 25-80 mol persen pada
genus-genus yang berbeda
23
2.5. Identifikasi dan Karakterisasi Bakteri
Identifikasi adalah penggunaan kriteria yang ditetapkan untuk klasifikasi
dan
nomenklatur
untuk
mengidentifikasi
mikroorganisme
dengan
membandingkan ciri-ciri yang belum diketahui jenisnya dengan cirri-ciri yang
sudah diketahui jenisnya. Identifikasi mikroorganisme yang telah diisolasi perlu
pencirian, deskripsi, dan perbandingan yang cukup dengan deskripsi yang telah
dipublikasikan untuk mikroorganisme lain yang serupa (Pelczar, 1986).
Teknik identifikasi mikroba merupakan langkah lanjutan dari hasil isolasi.
Untuk identifikasi dan determinasi hasil biakan murni ditentukan berdasarkan
morfologi induvidu, sifat pewarnaan, morfologi koloni, sifat-sifat biokimia
(fisiologis), patogenitas, dan serologinya. Akan tetapi, pada mikroba tertentu
terkadang tidak diperlukan pengujian lengkap seperti di atas. (Waluyo, 2008).
Proses awal identifikasi mikroba yakni dengan mengamati morfologi individu
secara mikroskopik dan pertumbuhannya pada berbagai macam medium. Karena
suatu mikroba tidak dapat dideterminasi hanya dengan berdasarkan sifat-sifat
morfologinya saja, maka perlu dilihat sifat-sifat biokimia dan faktor-faktor yang
mempengaruhi pertumbuhannya. Mikroba yang morfologinya sama mungkin saja
berbeda kebutuhan nutrisinya dan persyaratan ekologi lainnya. Demikian juga
patogenisitas dapat dipakai untuk membantu identifikasi dan determinasi mikroba
tersebut. Bila suatu mikroba memiliki sifat-sifat yang hampir sama, maka
dilanjutkan uji serologinya.
Karakterisasi dilakukan pada isolat bakteri yang telah lolos seleksi dengan
cara melakukan berbagai pemeriksaan laboratoris agar isolat bakteri tersebut dapat
dikelompokkan dalam suatu golongan (Feliatra, 1999). Karakterisasi yang
umumnya dilakukan meliputi :
2.6. Pengujian fisiologis dengan reaksi biokimia
-
Uji kebutuhan oksigen dengan medium NB
-
Uji Katalase
-
Uji fermentasi karbohidrat
-
Uji hidrolisis pati
-
Uji indol
-
Uji fermentasi gula, H2S, dan gas dengan TSIA
24
-
Uji MR-VR
-
Uji Sitrat
-
Uji hidrolisis urea
2.7. Analisis Molekular
Melalui
prosedur
laboratorium
dapat
ditentukan komposisi
basa
(kandungan guanin + sitokinin atau GS) DNA suatu mikroorganisme dan
membandingkannya dengan komposisi basa DNA pada mikroorganisme lainnya.
Derajat kekerabatan atau kesamaan DNA pada berbagai mikroorganisme dapat
ditentukan pula dengan percobaan hibridisasi. Dalam teknik ini utasan tunggal
DNA
mikroorganisme
dipertemukan
dengan
utasan
tunggal
DNA
mikroorganisme yang lain. Derajat penyatuan kembali utasan-utasan tunggal ini
mencerminkan derajat kesamaannya (Pelczar, 1986).
2.8. Empat Kategori Besar Bakteri
Untuk identifikasi mikroba, meskipun ada skema klasifikasi yang diakui
secara internasional, namun skema klasifikasi yang paling terkenal dan paling
umum digunakan yakni mengacu pada “Bergey’s Manual of Determinative
Bacteriology”. Pada klasifikasi Bergey’s tahun 1994 edisi ke-9 (Holt et al., 1994).
Kelompok bakteri digolongkan menjadi 4 kategori besar, yakni :
2.8.1. Kategori Besar I : Eubacteria Gram Negatif dengan Dinding Sel, yang
terdiri 16 Grup
Prokariota memiliki struktur dinding sel yang kompleks (tipe Gram
Negatif) baik pada susunan dinding luar maupun dinding dalam, dengan lapisan
peptidoglikan yang tipis (yang terdiri dari asam muramat) dan komplemen yang
bervariasi di bagian luar dan antara lapisan-lapisan itu. Biasanya organisme
tersebut jika diwarnai menunjukkan Gram negatif. Bentuk sel bias berbentuk oval,
25
lurus, melengkung, batang, heliks atau filament; beberapa yang lain berbentuk
kapsul atau selubung (Holt et al., 1994). Reproduksi dengan pembelahan biner,
tetapi beberapa kelompok dengan kuncup, pembelahan ganda (pleurocapsales).
Myxobacteria membentuk badan buah dan mikrospora. Beberapa yang lain
bergerang dengan cara berenang, meluncur, dan tidak bergerak. Anggota dari
kategori ini bakteri fototropik atau nonfototopik (lithotrofik dan heteritrofik) dan
bersifat aerobik, anarobik, anaerob fakultatif, dan mikroaerofilik; beberapa
anggotanya merupakan parasit obligat interseluler.
2.8.2. Kategori Besar II : Eubacteria Gram Negatif dengan Dinding Sel,
yang terdiri 6 Grup
Kategori ini merupakan prokariot dengan susunan dinding sel tipe Gram
positif. Sel dapat berbentuk sphere, batang, atau filament; batang dan filament
tidak bercabang, tetapi beberapa menunjukkan cabang benar. Reproduksi secara
umum dengan pembelahan biner; beberapa memproduksi bentukan istrirahat
(endospora atau spora pada hifa). Kategori tersebut tidak bersifat fotosintetik;
umumnya kemosintetik heterotrofik dan bersifat aerobik, anaerobic, anaerobic
fakultatif, dan mikroaerofil. Anggota kategori ini bakteri asporogenous dan
sporogenous, seperti pada actinomycetes.
2.8.3. Kategori Besar III : Eubacteria tanpa Dinding Sel, terdiri hanya 1
Grup saja, yakni Mycoplasma atau Mollicula
Kategori ini tanpa memiliki dinding sel dan tidak mensintesis precursor
peptidoglikan. Organisme kategori ini tertutup oleh suatu unit membrane, yakni
membrane plasma. Sel bersifat sangat pleomorfik dan ukurannya bervariasi mulai
yang besar sampai yang sangat kecil (0,2 mikrometer). Umumnya berbentuk
filament bercabang. Reproduksi dengan perkuncupan, fragmentasi, dan atau
pembelahan biner. Biasanya non motil, tetapi beberapa spesies dengan pergerakan
meluncur. Bentuk spora tidak ada. Sel terwarnai menjadi Gram negatif. Banyak
memerlukan media kompleks untuk pertumbuhan (tekanan osmotic tinggi) dan
menembus permukaan medium padat membentuk koloni berbentuk “telur dadar”.
26
Kebanyakan spesies memerlukan kolesterol dan asam amino rantai panjang untuk
pertumbuhan. Komplek guanine dan sitosin dalam ARN ribosom 43-48 mol%
(lebih rendah 50-54 mol% dari dinding Eubacteria Gram positif dan Gram
negatif); guanine dan sitosin dari ADN 23-46 mol% dan ukuran genom
mycoplasma lebih sedikit daripada prokariotik yakni 0,5-0,1 x 109 dalton.
Mycoplasma bersifat saprofitik, parasitic, atau patogenik, dan bersifat pathogen
penyebab penyakit pada binatang, tanaman, dan jaringan.
2.8.4. Kategori Besar IV : Archeobacteria, yang terdiri 5 Grup
Archaeobacteria dominan sebagai mikroba daratan dan akuatik, terdapat
secara anerobik atau hipersalin atau hydrothermal dan geothermal; juga terdapat
bersimbiosis dengan saluran pencernaan pada binatang. Kategori bakteri ini terdiri
dari aerob, anaerob, dan aerob fakultatif yang dapat tumbuh secara
khemolithoototrof, organototrof, atau organototrof fakultatif. Archaeebacteria
dapat bersifat mesofil, atau thermofil yang dapat tumbuh pada suhu di atas 100ºC.
Archaeobacteria memiliki sifat unik secara biokimia yakni adanya eter
lemak, isopropyl gliserol. Ketiadaan murein pada dinding sel menyebabkan reaksi
terhadap antibiotika ß-laktam. Lengan umum dari tARNs terdiri pseudouridin atau
1-metilpseudouridin. Sekuen 5S, 16S, dan 23S rARNs sangat berbeda antara
eubacteria dan eukariota.
Beberapa ciri molekuler Archaeobacteia: (a) perpanjangan faktor 2 (EF2) terdiri asam amino diftalmida dan ADP-ribosable oleh racun difteria, (b)
sekuens asam amino dari protein “A” ribosomal homolog dengan eukariotik
protein (L-7/L-12), (c) initiator tARN metionil bukan formilated, (d) beberapa
gen tARN berpasangan dengan basa “AU”, (f) ARN polymerase adalah
multikomponen enzim dan peka terhadap antibiotic rimfamisin dan streptolidigin,
(g) seperti halnya AND polymerase dari eukariot; replikasi AND Archaeobacteria
polymerase tidak dihambat oleh aphidicolin atau butilfenil-dGTP, dan sintesis
protein dihambat oleh anisomisin tetapibuka oleh kloramfenikol. Archaeobacteria
otototrofik tidak dapat mengasimilasi karbon dioksida melalui siklus Calvin. Pada
Methanobacterium, CO2 diikat melalui suatu jalur asetil CoA, dimana Acidianus
27
dan Thermoproteus dimana CO2 diikat melalui suatu jalur reduksi asam
trikarboksilat. Fiksasi N2 dapat dilihat pada beberapa metanogen.
Hasil pewarnaan Gram kemungkina dapat Gram positif atau Gram
negatif. Spesies yang bersifat Gram positif pada dinding selnya memiliki
pseudomurein, metahanochondrotin, dan heteropolisakarida; sedangkan pada
Gram negatif karena memiliki lapisan permukaan (gliko-)protein. Selnya memiliki
keragaman bentuk. Diameter sel antara 0,1-15 milimikron dan panjang filamen
dapat mencapai 200 milimikon. Perbanyakan sel dapat dengan pembelahan biner,
perkuncupan, fragmentasi dan mekanisme yang belum diketahui. Sel dapat
berwarna merah, ungu, jingga, coklat jeruk, kuning, hijau, hitam kekuningan dan
putih.
Secara umum Archaeobacteria terdiri (a) Archaeobacteria methanogenik,
(b) Archaeobacteria pereduksi sulfat, (c) Archaeobacteria halofilik ekstrem, (d)
Archaeobacteria tanpa dinding sel, dan (e) Thermofilik Sº-metaboliser.
Dari empat kategori besar di atas (Kategori I, Kategori II, Kategori III,
dan Kategori IV) dibagi menjadi 35 GRUP. Masing-masing grup adalah :

Kategori Besar I : Eubacteria Gram negatif, GRUP 1 sampai dengan
GRUP 16.

Kategori Besar II : Eubacteria Gram positif dengan dinding sel dari GRUP
17 samapi dengan GRUP 29.

Kategori Besar III : Eubacteria tanpa dinding sel dari hanya terdiri dari 1
GRUP, yakn MYCOPLASMA (GRUP 30).

Kategori Besar IV : Archeobacteria
terdiri GRUP 31 sampai dengan
GRUP 35.
2.9. Gen 16S rRNA
RNA di dalam sel dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu
kelompok RNA yang berhubungan dengan ekspresi genyaitu mRNA, tRNA dan
kelompok rRNA yang tidak berhubungan dengan ekspresi gen. Ribosomal RNA
merupakan salah satu makromolekul yang menarik karena molekul ini bersifat
stabil, terdapat sekitar 83% dari keseluruhan RNA dalam sel dan merupakan
28
kerangka ribosom yang sangat berperan dalam mekanisme translasi. Semua rRNA
identik secara fungsional yakni terlibat dalam produksi protein, walaupun
demikian sekuen-sekuen dibagian tertentu terus berevolusi dan mengalami
perubahan pada level struktur primer sambil mempertahankan struktur sekunder
dan tersier yang homolog (Gutell et al., 1994).
Kemampuannya mewakili semua informasi filogenetik dan kepraktisannya
menyebabkan sekuen 16S rRNA lebih sesuai digunakan untuk identifikasi bakteri
daripada menggunakan 5S rRNA atau 23S rRNA. Menurut Bottger (1996)
aplikasi molekular untuk menganalisis keragaman mikroba melalui analisis gen
16S rRNA sesuai untuk mengidentifikasi mikroorganisme karena gen ini terdapat
pada semua organisme prokariot. Molekul 16S rRNA memiliki daerah-daerah
berbeda berupa sekuen yang konservatif dan sekuen lain yang sangat variatif.
Strategi yang sering digunakan untuk melihat keragaman mikroba yang meliputi
tahap-tahap isolasi DNA dari komunitas alami, amplifikasi gen 16S rRNA
menggunakan PCR, penapisan klon-klon untuk variabilitas genetik, pemilihan
klon unik untuk disekuen dan menentukan klon filogeniknya (Marchesi et al.,
1998). Gen 16S rRNA bersifat relatif stabil dalam sel bakteri daripada rRNA yang
biasanya didegradasi dan hanya terdapat pada fase-fase tertentu saja.
2.10.Kedelai Wilis
Varietas memegang peranan penting dalam perkembangan penanaman
kedelai karena untuk mencapai produktivitas yang tinggi sangat ditentukan oleh
potensi daya hasil dari varietas unggul yang ditanam. Potensi hasil biji dilapangan
masih dipengaruhi oleh interaksi antara faktor genetik varietas dengan
pengelolaan kondisi lingkungan tumbuh. Bila pengelolaan tidak dilakukan dengan
baik, potensi daya hasil biji yang tinggi dari varietas unggul tersebut tidak dapat
tercapai.
Kedelai (Glycine max (L.) Merril) varietas "Wilis" dilepas tahun 1983,
oleh Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor. Wilis berasal dari galur F4
persilangan varietas No. 1682 dengan Orba, yang disilangkan di Bogor pada tahun
1975. Keturunan dari persilangan diseleksi dengan metode seleksi massa berstrata
berdasarkan umur matang, mulai generasi F2 sampai F4. Pembuatan galur murni
29
dilakukan pada generasi F4. Galur yang terbaik adalah No. 1682/1343-1-1-0, yang
kemudian dilepas sebagai varietas baru, dengan nama Wilis.
Wilis menghasilkan rata-rata 1626 kg/ha, dari 18 lingkungan percobaan.
Umur matang Wilis 88 hari, tipe batang tegap dan tidak mudah rebah. Ukuran
bijinya kecil, berwarna kuning seragam dengan hilum warna coklat tua. Wilis
cocok ditanam pada lahan bekas padi sawah dengan pengolahan minimal atau
tanpa
pengolahan
tanah.
Kecambah
mempunyai
vigor
yang
baik,
pertumbuhannya cepat, dan dapat tumbuh baik pada lahan berdrainase kurang
baik (Sumarno, 1982).
2.11.Pupuk
Pupuk Kimia.
Pupuk merupakan suatu bahan yang bersifat organik ataupun anorganik, bila
ditambahkan ke dalam tanah atau ke tanaman, dapat memperbaiki sifat fisik, sifat
kimia, sifat biologi tanah dan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Cara–
cara atau metode serta usaha yang dilakukan dalam pemberian pupuk atau unsur
hara ke dalam tanah atau ke tanaman yang sesuai dibutuhkan untuk pertumbuhan
tanaman yang normal (Hasibuan, 2004).
Pupuk Organik.
Pupuk organik merupakan pupuk dengan bahan dasar yang diambil dari
alam dengan jumlah dan jenis unsur hara yang terkandung secara alami. Dalam
pemberian pupuk untuk tanaman, ada beberapa hal yang diingat, yaitu ada
tidaknya pengaruh terhadap perkembangan sifat tanah (fisik, kimia maupun
biologi) yang merugikan serta ada tidaknya gangguan keseimbangan unsur hara
dalam tanah yang akan berpengaruh terhadap penyerapan unsur hara tertentu oleh
tanaman. Penggunaan pupuk organik secara terus menerus dalam rentang waktu
tertentu akan menjadi lebih baik dibanding pupuk anorganik (Musnamar, 2003).
Pupuk Hayati
Pupuk mikrobiologis atau pupuk hayati adalah pupuk yang mengandung
mikroorganisme hidup yang ketika diterapkan pada benih, permukaan tanaman,
30
atau tanah, akan mendiami rizosfer atau bagian dalam dari tanaman dan
mendorong pertumbuhan dengan meningkatkan pasokan nutrisi utama dari
tanaman.
31
BAB III. METODE PENELITIAN
A.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Agromikrobiologi Laboratprium
Recovery Laboratorium Analitik Balai Pengkajian Bioteknologi
BPPT dan
Laboratorium Bioteknologi Institut Teknologi Indonesia Serpong.
B.
Bahan dan Peralatan Penelitian
B.1.
Bahan-bahan Penelitian
Isolat murni bakteri penghasil fitohormon IAA dengan kode KNG.RT1
dan bakteri penghasil Sitokinin dengan kode JGEA7. Isolat bakteri tersebut
diperoleh dari hasil penelitian tahun pertama.
B.1.1. Bahan untuk Identifikasi Isolat Bakteri
Genomic DNA Mini Kit (Merk: Genaid), ethanol pekat, reagen PCR
(buffer, dNTP, enzyme Taq Polimerase, MgCl2), TAE 1X, Agarose, primer 9 F 20
pmol, primer 1541 R 20 pmol, DNA template, loading dye, media Nutrient Agar,
nutrient Broth, laruan H2O2 3%, NaCl, Larutan pewarnaan gram, malacit green,
dan sebagainya.
B.1.2. Bahan untuk Uji Aktivitas pada Tanaman Pangan
Benih tanaman kedelai (Glycine max (L) Merill) varietas Wilis; Media
tanam (campuran tanah dengan pupuk kandang, perbandingan 2 : 1); Pupuk kimia
(Urea, SP-36, dan KCl), pupuk organik dan pupuk hayati Cendawan Mikoriza
Arbuskula (CMA); Formula produk fitohormon IAA dan Sitokinin alami dari
mikroba; Hormon pembanding dengan merek “Hormonik”; Pestisida Decis.
Medium kultur produksi fitohormon IAA dan Adenin terdiri dari (a). Minimal
Medium dengan triptofan 2 g/liter, (b) Luria Bertani Glukosa Triptofan (LBGT)
dan (c) Minimal Salt (MS) yang diperkaya dengan triptofan 2 g/liter.
B.2. Peralatan Penelitian
B.2.1. Peralatan untuk Identifikasi Isolat Bakteri
32
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sentrifuge, tabung
sentrifuge, mikro pipet, pipet tips, gelas ukur, Beaker Glass, timbangan analitik,
spatula, cawan petri, tabung reaksi, hot plate, magnetic stirrer, incubator shaker,
laminar air flow, jarum ose, tabung PCR, water bath, mesin PCR, elektroforesis
kit, dan sebagainya.
B.2.2. Peralatan untuk Uji Aktivitas pada Tanaman Pangan
Peralatan untuk produksi fitohormon IAA dan Sitokinin alami, antara lain:
Labu Erlenmeyer; Corong pisah; Gelas ukur; Autoclave; Hot Plate dan Magnetic
stirrer;Timbangan ;Spatula;Piring kecil;Incubator shaker ;Centrifuge
dan
tabung centrifuge;. pH meter ; Rotavapo; Tabung reaksi;Laminar air flow;Cawan
petri
Peralatan untuk penanaman kedelai, meliputi: Polybag (30 x 40 cm);
Sendok tanam; Alat untuk penyiraman (Pompa air, selang, sprayer); Cangkul;
Sekop; Troli; Gunting tanaman; Bambu penyangga tanaman.
C. Pelaksanaan Penelitian.
C.1.
Cara Kerja Identifikasi Isolat Bakteri
Untuk identifikasi bakteri terpilih dalam hal ini ada dua isolat yaitu B1
(KNG.RT1), B2 (JGEA7) Tata cara Identifikasi mengikuti Referensi dari
Bucchanan dan Gibbons 1974.
ISOLASI MIKROBA PENGHASIL HORMON
ISOLAT BAKTERI PENGHASIL AUKSIN DAN SITOKININ
OPTIMASI MEDIA PENGHASIL
IDENTIFIKASI BAKTERI
FITOHORMON
(PCR, ELEKTROFORESIS)
Gambar 1. Bagan Alir Penelitian Secara Umum
33
C.1.1. Peremajaan Isolat bakteri
Sebanyak 1 ose isolat murni masing-masing bakteri dari medium stok
diinokulasikan ke dalam media agar miring NA segar dan media NB, kemudian
diinkubasi pada suhu 37oC selama 48 jam.
C.1.2. Pengamatan Sifat Morfologi Koloni Isolat Bakteri
Isolat bakteri ditumbuhkan pada medium NA dan dilakukan pengamatan
meliputi: pertumbuhan koloni bakteri pada medium agar miring yaitu
bentuk pertumbuhan pada bekas goresan, pertumbuhan koloni bakteri pada
medium agar lempeng yaitu bentuk, tepian, elevasi, permukaan warna
(Metting, 1993).
C.1.3. Pengamatan Morfologi Sel
a. Pewarnaan Gram
Sebanyak 1 tetes larutan NaCl diteteskan pada kaca objek. 1 ose isolat
bakteri lokal diambil dan dicampurkan dengan NaCl 0,85%. Preparat
dibiarkan kering dengan cara diangin-anginkan, dan difiksasi sebanyak 3
kali diatas nyala api kemudian dibiarkan dingin. Kemudian dilakukan
pewarnaan gram yakni dengan cara diberi tetesan larutan kristal violet
selama ± 2-3 menit, dicuci dengan air dan selanjutnya ditetesi dengan
larutan lugol pada seluruh permukaan preparat selama ± 1-2 menit.
preparat dicuci dengan air dan dicuci kembali dengan alkohol 96% hingga
bersih. Kemudian dicuci dengan air, lalu diberi tetesan larutan safranin
selama ± 1-2 menit. Preparat dicuci kembali dengan air dan dikeringkan
setelah itu diamati di bawah mikroskop (Waluyo, 2008).
b. Pewarnaan Spora
Sebanyak 1 tetes larutan NaCl diteteskan pada kaca objek. Kemudian
diambil 1 ose isolat bakteri lokal dan dicampurkan dengan NaCl 0,85%.
Preparat dibiarkan kering dengan cara diangin-anginkan, dan difiksasi
sebanyak 3 kali diatas nyala api kemudian dibiarkan dingin. Kemudian
diberi tetesan Malacit Green, dibiarkan selama 2-3 menit diatas penangas
air. Lalu preparat diangkat dan dibiarkan dingin, selanjutnya dibilas
34
dengan air mengalir. Beri tetesan safranin, dibiarkan selama 30 detik,lalu
dibilas dengan air mengalir, dan dikeringkan setelah itu diamati di bawah
mikroskop. “sel vegetatif akan terlihat berwarna merah dan sporanya akan
terlihat berwarna hijau” (Madigan et al., 1995).
C.1.2. Penguji Fisiologis dengan reaksi Biokimia
Mengikuti cara kerja yang disebutkan dalam Hadioetomo (1993) dan
Amar et al., (2002) yang meliputi :
1. Uji Katalase
Sebanyak 1 ose, diambil isolat bakteri lokal. Isolat diletakkan pada kaca
objek kemudian ditetesi H2O23%. Kemudian diamati adanya gelembung
O2 (oksigen) yang terbentuk.
2. Uji Fermentasi Karbohidrat
1 ose biakan diinokulasikan kedalam seri medium (glukosa, laktosa, dan
sukrosa). Satu seri medium tidak diinokulasi dan digunakan sebagai
kontrol. Kemudian diinkubasi pada temperatur 35oC selama 48 jam,
setelah itu diamati reaksi yang terjadi. Indikator pembentukan asam laktat
apabila terjadi perubahan warna medium menjadi kuning tanpa
pembentukan gas pada tabung durham. Uji akan bersifat fermentasi asam
campuran apabila warna medium berubah dan diikuti pembentukan gas
pada tabung durham dan uji akan bersifat fermentasi alkohol apabila
terbentuk gas pada tabung durham tanpa diikuti perubahan warna medium.
3. Uji Motilitas
1 ose biakan diinokulasikan kedalam medium agar semisolid dengan cara
ditusukkan secara tegak dan 1 tabung medium tidak diinokulasi sebagai
kontrol. Kemudian diinkubasi pada temperatur 37oC selama 24 jam,
setelah itu diamati perubahan yang terjadi. “ Hasil positif menunjukkan
media menjadi keruh seluruhnya dan negatif apabila keruh hanya pada
daerah tusukan saja”.
4.
Uji Hidrolisis Pati
35
Starch agar dimasukkan dalam cawan petri. Isolat bakteri diinokulasi
dengan cara menempatkan satu mata ose biakan ditengah cawan petri
kemudian disebarkan seluas 0,5 cm dan diinkubasi selama 24-48 jam pada
suhu 37oC, setelah diinkubasi, ditambahkan beberapa tetes larutan iodium
di atas permukaan koloni isolat bakteri yang tumbuh, uji akan bernilai
positif apabila di sekeliling koloni terbentuk zona bening dan ini akan
menandakan terjadinya proses hidrolisis pati dan uji akan bernilai negatif
di sekeliling koloni terbentuk warna biru kehitaman.
5. Uji Indol
Sebanyak 1 ose, isolat diinokulasikan ke dalam Trypton Broth dan 1
tabung media tidak diinokulasi sebagai kontrol. Kemudian diinkubasi pada
suhu 35±1ºC selama 24 jam, 1 atm. Setelah itu, ditambahkan 1 tetes
larutan covac sampai terbentuk cincin merah. “Hasil positif akan
menunjukkan terbentuknya cincin merah dan negatif tidak terbentuk cincin
merah”.
6. Uji MR-VP
Sebanyak 1 ose isolat bakteri diinokulasikan kedalam media perbeniham
MR-VP dan 1 tabung media tidak di inokulasi sebagai kontrol. Kemudian
diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam. Setelah itu, sebanyak 0,2 ml
ditambahkan larutan KOH 40% selama 15 menit pada media MR dan di
tambahkan 5-10 tetes barit A dan B pada media VP. “Hasil positif akan
menunjukkan perubahan warna dari bening menjadi warna pink-merah dan
hasil negatif akan menunjukkan perubahan warna dri bening menjadi
kuning kecoklatan”.
7. Uji Hidrolisis Urea
Sebanyak 1 ose isolat bakteri ditanam pada media urea agar dan 1 tabung
media tidak di inokulasi sebagai kontrol, setelah iu diinkubasi selama 24
jam pada suhu 37 ºC. “Hasil positif akan berwarna merah dan negatif
berwarna kuning”.
8. Uji Nitrat
36
Sebanyak 1 ose biakan diinokulasikan kedalam tabung yang telah berisi
media pertumbuhan NB dan 1 tabung tidak di inokulasi sebagai kontrol,
kemudian diinkubasi 24 jam pada suhu 37 ºC. Setelah itu, ditambahkan 5
tetes larutan A (Asam Sulfanilat) dan 5 tetes larutan B (Alfa naftilamin)
dan diamati perubahan warna yang terjadi. Jika terjadi perubahan warna,
maka biakan ditambahkan sedikit serbuk Zn dan diamati perubahan yang
terjadi.
C.1.3. Analisis Molekular, Meliputi:
a). Isolasi DNA
1. Preparasi Sampel (Pra-lisis)
Jika Bakteri gram negatif: kultur sel bakteri dipindahkan (hingga 1x109)
kedalam 1,5 ml tabung mikrosentrifuge, kemudian sentrifuge selama 1
menit dengan kecepatan penuh. Kemudian buang supernatannya dan
tambahkan 200 µl GT Buffer kedalam tabung kemudian divortex. Inkubasi
selama 5 menit dalam suhu ruang.
Jika Bakteri Gram Positif: kultur sel bakteri dipindahkan (hingga 1x109)
kedalam 1,5 ml tabung mikrosentrifuge, kemudian sentrifuge selama 1
menit dengan kecepatan penuh. Kemudian buang supernatannya dan
tambahkan 200 µl lysozym Buffer kedalam tabung kemudian divortex.
Sampel diinkubasi selama 10 menit dalam suhu ruang, selama inkubasi,
tabung dikocok setiap 2-3 menit.
2. Lisis Sel
Sebanyak 200 µl GB buffer ditambahkan kedalam sampel, kemudian di
vortex selama 5 detik. Kemudian sampel diinkubasi selama 10 menit pada
suhu 70oC. selama inkubasi, sampel dalam tabung di balikkan (kocok)
setiap 3 menit.
3. Pengikatan DNA
Setelah diinkubasi ditambahkan 200 µl ethanol pekat kedalam sampel dan
di vortex selama 10 detik. GD kolom ditempatkan kedalam tabung koleksi
37
ukuran 2 ml, kemudian pindahkan semua campuran (termasuk semua
endapan sampel) kedalam GD kolom. Sentrifuge dengan kecepatan penuh
selama 2 menit. Tabung koleksi yang berisi cairan (pengotor) dilepaskan
dan GD kolom ditempatkan kedalam tabung koleksi yang baru.
4. Pencucian
400 µl W1 buffer ditambahkan ke dalam GD kolom, kemudian
disentrifuge dengan kecepatan penuh selama 30 detik. Tabung koleksi
yang berisi cairan (pengotor) dilepaskan dan GD kolom ditempatkan
kembali kedalam tabung koleksi yang baru. kemudian disentrifuge
kembali selama 3 menit dengan kecepatan penuh untuk mengeringkan
matriks kolom.
5. Pengelusian DNA
GD kolom yang telah kering dipindahkan kedalam tabung mikrosentrifuge
berukuran 1,5 ml yang bersih. Kemudian ditambahkan 100 µl elusi buffer
atau TE buffer kedalam bagian tengah dari matriks kolom. Diamkan
selama 3-5 menit atau sampai buffer elusi atau TE terserap oleh matriks.
Kemudian disentrifuge dengan kecepatan penuh selama 30 detik untuk
mengelusi DNA yang telah dipurifikasi.
b). Polymerase Chain Reaction (PCR)
Untuk melakukan amplifkasi DNA, dibuat larutan pereaksi PCR
dibuat yang terdiri atas: 20 µl dH2O, 25 µl 5x buffer (ready mix), 2 µl
primer 9F 20 pmol, 2 µl primer 1541R 20 pmol, 1 µl DNA template yang
kemudian ditempatkan dalam satu ependorf tube volume 500 µl. Reagen
mix tersebut di aduk dengan rata menggunakan vortex, dan di sentrifuges
dengan kecepatan penuh selama 3 menit. Kemudian di “flashing”,
selanjutnya dimasukkan dalam takaran PCR Thermal Cycler MP, lalu
dilakukan pengesetan program PCR. Program thermal cycler untuk
amplifikasi DNA ini mengikuti prosedur Abdullah et al., (2003) yang
terasi dalam Tabel 1.
38
Tabel 1. Proses PCR dalam Amplifikasi DNA pada Isolat Bakteri Lokal
KNG.RT1 dan JGEA7
Reaksi
Siklus
Suhu
Lama Reaksi
Pre Denaturasi
1 kali
96°C
5 menit
96
30 detik
55
30 detik
72
1 menit
Siklus PCR
-
Denaturasi
-
Annealing
-
Ekstensi
30 kali
Elongasi
1 kali
72
7 menit
Stand by
-
4
∞
C.1.4. Elektroforesis
Sebanyak 100 ml larutan buffer TAE 1x dibuat dengan cara
mencampurkan 10 ml TAE ke dalam 90 ml akuades. kemudian dibuat gel agarosa
1% dengan cara menimbang agarosa 1 g untuk dilarutkan ke dalam bufer TAE 1x
hingga volume 100 ml. Larutan agarosa dilarut dalam microwave. Kemudian
dituang dalam plate yang diberi sisir dan ditunggu sampai beku. Gel agarose yang
telah membeku kemudian dimasukkan kedalam baki elektroforesis (kit) yang telah
berisi larutan buffer TAE 1x hingga permukaan gel agarose terendam sempurna.
Disiapkan parafim untuk mencampurkan loading dye 6x sebanyak 2 µl dengan
sampel DNA produk amplifikasi sebanyak 10 µl dengan menggunakan
mikropipet, kemudian campuran tersebut dimasukkan dalam sumur gel agarose.
Selanjutnya dibuat catatan mengenai nomor sumuran dan jenis sampel DNA yang
dimasukkan agar tidak keliru.
Selanjutnya kabel dihubungkan dari sumber arus ke tangki. Sumber arus
dinyalakan, lalu volatase diatur dan waktu running hingga diperoleh angka 70 V
dan 45 menit dengan cara menekan tombol yang sesuai pada sumber arus.
Elektroforesis dijalankan dengan cara menekan tombol run pada sumber arus.
Elektroforesis akan berhenti apabila waktu yang ditetapkan sudah habis, yang
ditandai oleh adanya bunyi alarm. Kemudian sumber arus dimatikan dan gel
dikeluarkan dari elektroforesis untuk dianalisis.
39
C.2
Cara Kerja Uji Aktifitas pada Tanaman Pangan
C.2.1 Produksi Fitohormon IAA dan Sitokinin
C.2.1.1.Pembuatan Medium Minimal Salt (MS)
Bahan-bahan untuk pembuatan 1 liter medium MS adalah : media berupa
KH2PO4 (1,36 gr), MgSO4.7H2O (0,2 gr), Na2HPO4 (2,13 gr) dan sodium sitrat
(0,5 gr) dilarutkan dalam 900 ml aquades (disebut sebagai larutan bahan I),
sedangkan glukosa (10 gr), yeast ekstrak (0,1 gr) dan triptofan (2 gr) dilarutkan
dalam 100 ml aquades (disebut sebagai larutan bahan II). Bahan-bahan tersebut
masing-masing disterilisasi dalam autoclave pada suhu 121oC, tekanan 1 atm
selama 15 menit. Setelah steril dan dingin masing-masing larutan tersebut
dicampur menjadi satu larutan secara aseptik.
C.2.1.2. Pembuatan Kultur Starter
Kultur starter disiapkan dengan menginokulasikan masing-masing 1 ose
isolat murni bakteri KNG.RT1 dan bakteri JGEA.7 dari media agar miring NA ke
dalam 6 buah labu Erlenmeyer 100 ml yang masing-masing berisi 20 ml medium
MS (terdiri dari 18 ml larutan bahan I dan 2 ml larutan bahan II) kemudian
diinkubasi dalam incubator shaker dengan kecepatan 150 rpm pada suhu kamar
selama 24 jam.
C.2.1.3. Inokulasi dan Inkubasi Kultur Produksi Fitohormon IAA
Sebanyak 20 ml kultur starter dengan kepadatan sel 10-6 masing-masing
diinokulasikan ke dalam 400 ml cairan medium produksi dalam 6 buah labu
Erlenmeyer 2000 ml (terdiri dari 360 ml larutan bahan I dan 40 ml larutan bahan
II) dan diinkubasi dalam inkubator shaker dengan kecepatan 150 rpm pada suhu
kamar selama 48 jam.
C.2.1.4. Recovery Produk Fitohormon IAA dan Sitokinin
Setelah kultur produksi Fitohormon IAA dan Sitokinin diinkubasi selama
48 jam selanjutnya masing-masing cairan kultur ditambah dengan larutan gliserol
sebanyak 20% dari jumlah larutan fitohormon (400 ml) yaitu sebanyak 80 ml.
Produk fitohormon IAA dan Sitokinin dicampur menjadi satu kemudian dibagibagi dalam beberapa botol kecil ukuran 100 ml.
40
C.3 Budidaya Tanaman Kedelai
C.3.1 Persiapan Media Tanam, Benih Kedelai, dan pupuk
a. Media tanam terdiri atas campuran tanah dan pupuk kandang dengan
perbandingan 2 : 1, Media tanam dimasukkan ke dalam polybag ukuran 30 x
40 cm masing-masing sebanyak 7 kg per polybag.
b. Benih kedelai yang digunakan adalah varietas Wilis didapat dari Balitbiogen,
Bogor. Benih kedelai dipilih dengan ukuran yang seragam, utuh, padat dan
tidak cacat.
c. Jenis pupuk yang digunakan adalah pupuk kimia (Urea, SP-36, KCL), Pupuk
Organik Granul, dan Pupuk hayati CMA.
C.2.2 Penanaman Tanaman Kedelai
Penanaman kedelai dilakukan dengan cara membuat lubang tugal pada
masing-masing polybag dengan kedalaman 5 cm, sebelum ditanam biji kedelai
dibalur oleh legin dan selanjutnya dalam setiap polibag ditanam 2 butir benih
kedelai dan benih ditutup dengan tanah lalu dipadatkan. Pemberian pupuk
dilakukan dengan menggunakan 4 jenis perlakuan pupuk, yaitu :
1. Perlakuan pertama yaitu pemberian pupuk kimia sesuai dengan dosis
pemupukkan standar yang terdiri atas Urea (0,5 gram/tanaman) SP-36 (1
gram/tanaman) dan KCl (0,75 gram/tanaman).
2. Perlakuan kedua yaitu pemberian setengah dosis pemupukkan kimia
standar
yang terdiri
atas
Urea
(0,25
gr/tanaman),
SP-36
(0,5
gram/tanaman), dan KCl (0,375 gram/tanaman), ditambah dengan satu
dosis pemupukkan organik granul yaitu sebanyak 4 gram/tanaman.
3. Perlakuan ketiga yaitu pemberian setengah dosis pupuk kimia standar yang
terdiri atas Urea (0,25 gr/tanaman), SP-36 (0,5 gram/tanaman), dan KCl
(0,375 gram/tanaman), ditambah dengan satu dosis pemupukkan hayati
CMA sebanyak 2,5 gram/tanaman.
4. Perlakuan keempat yaitu pemberian satu dosis pemupukkan organik granul
sebanyak 4 gram/tanaman ditambah dengan satu dosis pemupukkan CMA
sebanyak 2,5 gram/tanaman.
41
C.2.3 Pemeliharaan Tanamanan Kedelai
Pemeliharaan tanaman kedelai meliputi : penyulaman, penyiangan gulma,
pemupukan, pengairan dan pengendalian hama dan penyakit. Benih kedelai mulai
tumbuh kira-kira 5-6 hari, benih yang tidak tumbuh diganti atau disulam dengan
benih baru, penyulaman sebaiknya dilakukan pada saat sore hari. Setelah kedelai
berumur sekitar 2-3 Minggu Setelah Tanam (MST) dilakukan penyiangan,
penyiangan ke-2 dilakukan pada umur 6 MST bersamaan dengan pemupukan kedua.
Pemupukan menggunakan pupuk kimia (Urea, SP-36 dan KCl) dilakukan
dengan dosis sesuai dengan perlakuan uji coba. Demikian juga dengan aplikasi
pupuk organik dan pupuk hayati dilakukan sesuai dengan perlakuan yang dicoba.
Pemakaian fitohormon disesuaikan dengan konsentrasi yang sudah ditetapkan,
fitohormon disemprotkan dengan alat penyemprot (sprayer) ke setiap tanaman
kedelai dalam polibag tiap seminggu sekali sebanyak 20 ml atau 20 kali
penyemprotan per tanaman pada bagian tanah, batang, serta daun tanaman. Obyek
penyemprotan adalah bagian tanah dan tubuh tanaman, penyemprotan dimulai
dari tanaman kedelai berumur 1 MST dan diakhiri setelah tanaman berumur 5- 6
MST yaitu saat berakhirnya periode vegetatif. Penyiraman tanaman kedelai
dilakukan setiap hari, pengendalian hama dan penyakit tanaman dilakukan sesuai
dengan standar.
C.3. Pengamatan
C.3.1. Pengamatan Pertumbuhan Tanaman Kedelai
Pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman kedelai dilakukan setiap dua
minggu sekali dimulai sejak tanaman berumur 2 MST. Pengamatan pertumbuhan
tanaman kedelai meliputi :
1. Tinggi tanaman (cm)
Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dengan menggunakan meteran dengan
skala sentimeter, dimulai dari permukaan tanah sampai titik tumbuh tanaman
tertinggi. Pengamatan dilakukan setiap satu minggu sekali mulai 2 MST sampai
11 MST.
2. Jumlah daun (Helai)
42
Perhitungan jumlah daun tanaman kedelai dilakukan setiap satu minggu sekali
mulai dari umur 2 MST sampai umur 11 MST.
3. Bobot akar dalam keadaan basah dan kering (gram)
Panen tanaman kedelai dilakukan pada umur 11 MST. Akar tanaman dibersihkan
dari tanah yang melekat, lalu dipotong menjadi bagian akar dan bagian tajuk.
Untuk pengukuran basah masing-masing bagian akar ditimbang sedangkan untuk
pengukuran kering, maka akar dikeringkan dalam oven terlebih dahulu kemudian
ditimbang.
C.3.2. Pengamatan Produktivitas Tanaman Kedelai
1. Jumlah polong per tanaman (buah)
Pengamatan jumlah polong per tanaman sampel dilakukan dengan menghitung
jumlah polong yang bernas dan hampa.
2. Jumlah polong bernas per tanaman (buah)
Pengamatan jumlah polong per tanaman sampel dilakukan dengan menghitung
jumlah polong yang bernas saja.
3. Berat biji per tanaman (gram)
Perhitungan berat biji per tanaman dilakukan dengan cara mengeluarkan semua
biji dari polongnya per 1 tanaman kemudian diukur beratnya.
4. Berat biji per 100 butir (gram)
Berat biji ditimbang dengan jumlah per 100 butir.
D. Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan
pola faktorial dengan empat kali ulangan. Terdapat perlakuan yang merupakan
kombinasi dua faktor, masing-masing faktor tersebut adalah :
Jenis pupuk yang digunakan terdiri atas empat taraf :
P1 = Pupuk kimia sesuai dengan dosis pemupukan standar yaitu Urea (0,5
gram/tanaman) SP-36 (1 gram/tanaman) dan KCl (0,75 gram/tanaman).
P2 =
Setengah
dosis
pemupukan
kimia
standar
ditambah
satu
dosis
rekomendasi pupuk organik terdiri dari Urea (0,25 gr/tanaman), SP-36 (0,5
gram/tanaman), dan KCl (0,375 gram/tanaman), ditambah dengan satu
dosis pemupukan organik granul yaitu sebanyak 4 gram/tanaman.
43
P3 =
Setengah
dosis
pemupukan
kimia
standar
ditambah
satu
dosis
rekomendasi pupuk hayati Urea (0,25 gr/tanaman), SP-36 (0,5
gram/tanaman), dan KCl (0,375 gram/tanaman), ditambah dengan satu
dosis pemupukkan hayati CMA sebanyak 2,5 gram/tanaman.
P4 = Satu dosis Pupuk organik ditambah dengan satu dosis pupuk CMA yaitu 4
gram/tanaman ditambah dengan satu dosis pemupukkan CMA sebanyak
2,5 gram/tanaman.
Konsentrasi fitohormon terdiri atas lima taraf :
H0 = 0 ml
H1 = 10 ml dalam 1000 ml air
H2 = 20 ml dalam 1000 ml air
H3 = 30 ml dalam 1000 ml air
H4 = 10 ml (Sebagai hormon pembanding) dalam 1000 ml air
Tabel Kombinasi perlakuan jenis pupuk dengan konsentrasi fitohormon dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kombinasi Perlakuan Jenis Pupuk dan Konsentrasi Fitohormon
JENIS PUPUK
KONSENTRASI FITOHORMON
H0
H1
H2
H3
H4
P1
P1H0
P1H1
P1H2
P1H3
P1H4
P2
P2H0
P2H1
P2H2
P2H3
P1H4
P3
P3H0
P3H1
P3H2
P3H3
P1H4
P4
P4H0
P4H1
P4H2
P4H4
P1H4
Setiap perlakuan diulang 4 kali. Model Matematika Rancangan Acak Kelompok
berpola faktorial yang digunakan adalah :
Yij = µ + αi + βj + (αβ)ij + εij
Keterangan :
Yi
: Nilai pengamatan pada isolat bakteri ke-I dan medium ke-j.
µ
: Nilai rataan umum.
αi
: Pengaruh jenis kombinasi Pupuk ke-i ( i = 1, 2, 3, 4).
44
βj
(αβ)ij
: Pengaruh konsetransi hormon ke-j ( j = 1, 2, 3, 4).
: Pengaruh interaksi jenis kombinasi pupuk ke –i dengan
konsentrasi
hormon ke-j.
eij
: Pengaruh galat percobaan.
E. Analisa Data
Data yang diperoleh dianalis dengan analisisi Sidik Ragam berdasarkan uji
F menggunakan program SPSS 17. Apabila hasilnya menunjukkan perbedaan
yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT).
45
BAB IV. HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN
A.
Identifikasi Isolat Bakteri
A.1. Hasil Analisis Morfologi Isolat Bakteri
Berdasarkan hasil pengamatan analisis morfologi Isolat bakteri KNG.RT1
dan JGEA7 yang tumbuh pada media NA di cawan petri dapat dibedakan
berdasarkan warna, bentuk, tepian dan elevasi dari koloni bakteri tersebut ( Tabel
3 dan Gambar 2).
Tabel 3. Pengamatan Morfologi Isolat Bakteri
Warna
No
Kode Isolat
1
KNG.RT1
Krem
2
JGEA7
Krem
Koloni
Bentuk Koloni
Tepian
Elevasi
Menyebar tidak beraturan
Lobat
Datar
Lobat
Datar
Bulat dengan tepi
berserabut
Gambar 2. Bentuk Morfologi Koloni pada Isolat Bakteri KNG.RT1 dan JGEA7
Umur : 24 Jam; Medium : Nutrient Agar
A.2. Pewarnaan Gram
Hasil pewarnaan Gram dan pengamatan bentuk sel dari isolat bakteri
KNG.RT1 dan JGEA7 dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 3,
46
Tabel 4. Hasil pewarnaan Gram pada isolat bakteri KNG.RT1 dan JGEA7
No
Kode Isolat
1
KNG.RT1
2
JGEA7
Hasil Pewarnaan
Bentuk Sel
Warna Sel
Gram Negatif
Batang Pendek
Pink-Merah
Gram positif
Batang Pendek
Ungu
Gram
Isolat Bakteri KNG.RT1
Isolat Bakteri JGEA7
Gambar 3. Pewarnaan Gram dan bentuk sel pada Isolat Bakteri KNG.RT1 dan JGEA7
Umur : 24 Jam; Medium : Nutrient Agar ; Perbesaran : 1000 x dengan menggunakan
mikroskop cahaya
A.3. Uji Katalase
Kemampuan isolat bakteri KNG.RT1 dan JGEA7 dalam menguraikan
H2O2 ditunjukkan oleh uji katalase yang memberikan hasil uji positif, yang berarti
kedua isolat bakteri tersebut mampu menghasilkan enzim katalase yang dapat
digunakan pada reaksi penguraian hydrogen peroksida (H2O2) menjadi karbon
dioksida(H2O) dan gas oksigen (O2).
Hasil uji katalase dari isolat bakteri KNG.RT1 dan JGEA7 dapat dilihat
pada Tabel 5 berikut:
47
Tabel 5. Hasil Reaksi Uji Katalase pada Isolat Bakteri KNG.RT1 dan JGEA7
No
Kode Isolat
Hasil Uji Katalase
1
KNG.RT1
+
2
JGEA7
+
Ket : (+) = Terbentuk Gelembung gas oksigen
( -) = Tidak terbentuk gelembung gas oksigen
A.4. Pengamatan Spora
Pada pewarnaan spora, isolat KNG.RT1 tidak terdapat endospora (Gambar
4.) dimana yang terlihat hanya sel vegetatif nya saja, sedangkan pada isolat
bakteri JGEA7 dapat terlihat spora yang terbentuk. Spora dari kedua isolat bakteri
(KNG.RT1 dan JGEA7) dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Pengamatan Isolat Bakteri Berdasarkan Spora yang Dimiliki
No
Kode Isolat
Endospora
1
KNG.RT1
-
2
JGEA7
+
Ket : (+) = Terdapat endospora
(- ) = Tidak terdapat endospor
48
Isolat Bakteri KNG.RT1
(tdk terdapat spora)
Isolat Bakteri JGEA7
(Terdapat endo spora)
spora
Gambar 4. Pewarnaan Spora pada Isolat Bakteri KNG.RT1 dan JGEA7
Umur : 48 Jam; Medium : Nutrient Agar ; Perbesaran : 1000 x dengan menggunakan
1. Hasil uji sifat biokimia dari
isolate bakteri
mikroskop
cahayaKNG.RT1 dan JGEA7
Letak spora pada Isolat KNG.RT1 termasuk kedalam spora yang terletak
pada posisi subterminal, dengan mengalami pembekakan. Diameter spora dapat
lebih besar atau lebih kecil dai diameter sel vegetatifnya. Karena itu, adanya, letak
serta ukuran endospora sangat bermanfaat didalam pencirian dan identifikasi
bakteri.
A.5. Uji Sifat Biokimia
Hasil pengujian sifat biokimia pada isolat bakteri KNG.RT1 dan JGEA7
dapat dilihat pada Tabel 7.
49
Tabel 7. Hasil Uji Sifat Biokimia dari Isolat Bakteri KNG.RT1 dan JGEA7
Isolat
Isolat
KNG.RT1
JGEA7
a. Fermentasi Glukosa
-
-
b. Fermentasi Sukrosa
-
-
c. Fermentasi Laktosa
-
-
d. Fermentasi Maltosa
-
-
2
Hidrolisis Pati
+
+
3
Indol
+
+
4
Motilitas
+
+
5
Methyl Red
+
+
6
Voges-Proskauer
-
-
7
Urea
-
-
8
Reduksi Nitrat
+
+
No
Uji Biokimia
1
Fermentasi Karbohidrat
Ket :
1 = Isolat KNG.RT1
2 = Isolat JGEA7
K = Kontrol
Hasil uji fermentasi karbohidrat dari isolat bakteri KNG.RT1 dan JGEA7
yang meliputi uji fermentasi karbohidrat glukosa, sukrosa dan lakstosa
menunjukkan bahwa kedua isolat bakteri tersebut tidak dapat memfermentasikan
karbohidrat (Gambar 5).
50
Uji FK Glukosa
1
2
Uji FK Sukrosa
K
1
2
Uji FK Laktosa
K
1
2
K
Uji FK Maltosa
1
2
K
Gambar 5. Uji Fermentasi Karbohidrat
Hasil Uji : Negatif (-)
Kedua isolat bakteri (KNG.RT1 dan JGEA7) memberikan hasil uji positif
terhadap uji indol, hal ini ditandai dengan terbentuknya cincin berwarna merah
pada biakan setelah diberi reagen Ehrlich (Gambar 6).
Terbentuk
Cincin merah
1
2
K
Gambar 6. Hasil Uji Indol
Hasil UJi: Positif (+)
51
Hasil uji urease terhadap isolat bakteri KNG.RT1 dan JGEA7 memberikan
hasil negatif, yang ditandai dengan terbentuknya warna merah keunguan pada
media biakan uji urease (Gambar 7).
Gambar 7. Hasil Uji Hidrolisis Urea
Hasil uji = Negatif (-)
Hasil uji reduksi nitrat pada isolat bakteri KNG.RT1 dan JGEA7
memberikan hasil uji positif. Hal ini menunjukkan bahwa kedua isolat bakteri
tersebut selain dapat menggunakan nitrat (NO3-) sebagai akseptor elektron
terakhir dalam sistem transfortasi elektron dengan mereduksinya menjadi nitrit
(NO2-) dengan katalis enzim nitrase.(Gambar 8).
Terbentuk gas pd tabung
durham
Gambar 8. Hasil Uji Reduksi Nitrat
Hasil Uji : Positif (+)
52
Isolat bakteri KNG.RT1 dan JGEA7 memberikan hasil uji negatif pada uji
MR-VP. Hal ini memberikan informasi bahwa kedua isolat bakteri tersebut tidak
menghasilkan asam campuran dan tidak menghasilkan asetoin dan 2,3-butanadiol
(Gambar 9 dan 10).
Gambar 9. Hasil Uji MR
Hasil Uji : Positif
Gambar 10. Hasil Uji VP
Hasil Uji : negatif
Kedua isolat bakteri memberikan hasil uji positif pada uji hidrolisis pati.
Keberadaan pati/amilum yang terhidrolisis dalam media biakan ditunjukkan
dengan terbentuknya zona bening disekitar daerah pertumbuhan bakteri setelah
diberi beberapa tetes larutan iodium (Gambar 11 dan 12).
53
Gambar 11. Hasil Uji Hidrolisis Pati
pada Isolat 1 (KNG.RT1)
Hasil Uji : positif
Gambar 12. Hasil Uji
Hidrolisis Pati
pada Isolat 2 (JGEA7)
Hasil UJi : Positif
54
A.6. Identifikasi Molekuler dengan PCR
Tabel 8. Hasil Analisis Molekular dari isolat bakteri KNG.RT1 dan
JGEA7
No
Isolat
Query
Accession
Hasil BLAST Search
Homology
Pseudomonas stutzeri partial 16S
1.
ISOLAT_01_1541R
1107
FR667911.1
rRNA gene, strain Gr50
98%
Bacillus sp. TSH22w gene for 16S
2.
ISOLAT_02_contig
1505
AB508850.1
ribosomal RNA, partial sequence
97%
Keterangan :
Isolat_01 = isolat bakteri KNG.RT1
Isolat_02 = Isolat bakteri JGEA7
B.Uji Aktivitas pada Tanaman Pangan
B.1 Tinggi Tanaman
Tabel 9 menunjukkan bahwa nilai rataan tinggi tanaman kedelai tertinggi
oleh karena perlakuan jenis pupuk terdapat pada perlakuan P1 (133,70 cm),
sedangkan nilai terendah adalah perlakuan P3 (110,75 cm). Tanaman tertinggi
oleh karena perlakuan konsentrasi fitohormon terdapat pada perlakuan H3 (129,56
cm) sedangkan nilai terendah oleh perlakuan H0 (109,38 cm).
Tabel 9. Tinggi Tanaman pada Perlakuan Jenis Pupuk dan Konsentrasi
Fitohormon 2-11 MST
MST
2
Konsentrasi Fitohormon
Jenis
Rataan
Pupuk
H0
H1
H2
H3
H4
PI
26,25
29,75
29,75
23,75
21,50
26,2
P2
28,50
33,50
33,25
29,25
29
30,7
P3
36
39,25
35
34
30,75
35
55
3
4
5
6
7
P4
34,25
33
26,50
37,75
31,25
32,55
Rataan
31,25
33,875
31,125
31,188
28,125
31,113
PI
36,25
39,75
40,75
36,75
34,25
37,55
P2
39,25
43,50
44,25
38,75
39
40,95
P3
45,50
49
43
45
37,75
44,05
P4
42,75
42,50
37,75
48
40
42,2
Rataan
40,938
43,688
41,438
42,125
37,75
PI
46,25
48,25
52
50
44
48,1
P2
51
54,75
55
48,75
47,75
51,45
P3
54,5
58,75
50,75
54,50
47
53,1
P4
51,75
53,25
47,75
60,25
46,25
51,85
Rataan
50,875
53,75
51,375
53,375
46,25
51,125
PI
57,75
63,50
65,25
60,75
58
61,05
P2
60,75
65,75
66
59,25
57,50
61,85
P3
62,75
66
58,75
61,50
54,50
60,7
P4
62
61
57,25
67,50
54,75
60,5
Rataan
60,813
64,063
61,813
62,25
56,188
61,025
PI
69,50
82
76,25
72,25
71,50
74,3
P2
71,25
75,25
77,50
69,50
70,75
72,85
P3
69,50
73,25
68,25
70
62,25
68,65
P4
70,25
68,75
69
75,50
65
69,7
Rataan
70,125
74,813
72,75
71,813
67,375
71,375
PI
83
100
97,25
87,75
88,25
91,25
P2
81,25
83,25
89,50
79
79,50
82,5
P3
81,25
85,25
80,75
86
74,50
81,55
P4
82,75
85,25
82,50
91,50
82,50
84,9
41,188
56
82,063
88,438
87,5
86,063
81,188
85,05
92,5
115,75
109,25
100,75
95,25
102,7
92,25
96,50
99,50
93,50
92
94,75
P3
92,25
99,25
94,25
101,50
91,75
95,8
P4
95,50
100,25
97
104,75
99
99,3
93,125
102,94
100
100,13
94,5
98,138
99,75
126,50
123
100,75
95,25
109,05
103
107
109,25
107
103,5
105,95
94,5
108
99,5
111
97,5
102,1
P4
101,5
107,25
103
112,5
106,25
106,1
Rataan
99,688
112,19
108,69
107,81
100,63
105,8
PI
102,50
131,50
137,75
131,5
106,75
122
P2
115
118
121,75
120,5
115
118,05
P3
95,75
110,5
103
115
103
105,45
P4
103,25
111
106,5
117,25
111
109,8
104,13
117,75
117,25
121,06
108,94
113,825
PI
113
142,25
153,75
148,75
110,75
133,7
P2
120
124,25
130,75
126,50
123,25
124,95
P3
98,75
113,75
107,75
121,25
112,25
110,75
P4
105,75
114,50
109,75
121,75
116,25
113,6
109,38
123,69
125,5
129,56
115,63
120,75
Rataan
PI
8
P2
Rataan
PI
9
P2
P3
10
Rataan
11
Rataan
57
B.2. Jumlah daun
Tabel 10 memperlihatkan bahwa nilai rataan jumlah daun tanaman kedelai
terbanyak oleh karena perlakuan jenis pupuk terdapat pada perlakuan P1 (146,70
helai), jumlah daun yang paling sedikit terdapat pada perlakuan P4 (97,55 helai).
Jumlah daun tanaman terbanyak oleh karena perlakuan konsentrasi fitohormon
terdapat pada H1 (132,50 helai) dan jumlah paling sedikit ada pada H0 (100,25
helai).
Tabel 10. Jumlah Daun Tanaman pada Perlakuan jenis Pupuk dan
Konsentrasi Fitohormon 2-11 MST
MST
2
3
4
5
Konsentrasi Fitohormon
Jenis
Rataan
Pupuk
H0
H1
H2
H3
H4
PI
11,25
12,25
10,25
9,75
11
10,9
P2
12,25
13
12,5
10,5
12
12,05
P3
11,75
13,75
15
13,75
13
13,45
P4
13,75
14,25
11
14,75
13,5
13,45
Rataan
12,25
13,313
12,188
12,188
12,375
12,463
PI
17
19,25
15,75
15,75
17
16,95
P2
16,75
18
17
15,75
18
17,1
P3
15,50
17,50
18,75
17,25
16,75
17,15
P4
19,75
21
17
21
22,50
20,25
Rataan
17,25
18,938
17,125
17,438
18,563
17,8625
PI
26,50
34,50
25,50
28,75
26,25
28,3
P2
27
27,75
29,50
27,75
29,25
28,25
P3
25,25
27,75
28,50
26
28,50
27,2
P4
30
31,75
26,25
29
33,25
30,05
Rataan
27,188
30,438
27,438
27,875
29,313
28,45
PI
36,50
48,50
37,25
43,25
33,50
39,8
P2
39,25
39,75
38,50
36,75
42,75
39,4
P3
37,75
39,25
39,75
42
43,75
40,5
P4
41,50
48
39,75
42,75
46,50
43,7
Rataan
38,75
43,875
38,813
41,188
41,625
40,85
58
6
7
8
9
10
11
PI
49,50
66,50
54,50
57
41,75
53,85
P2
52,50
62,50
57,25
50,50
62
56,95
P3
55
59,75
54
63
60
58,35
P4
54,75
65,25
54,75
58,25
60
58,6
Rataan
52,938
63,5
55,125
57,188
55,938
56,9375
PI
67,25
82,25
66,25
72,75
61,75
70,05
P2
65
77,50
73,50
64,75
84,25
73
P3
75,75
72,75
71,50
72,50
77
73,9
P4
69,25
74,50
69,75
71,50
70
71
Rataan
69,313
76,75
70,25
70,375
73,25
71,9875
PI
91,50
100,75
78,25
93
77
88,1
P2
75,5
94,25
89,25
78,75
100
87,55
P3
81,25
83,25
81,25
83,5
88,75
83,6
P4
78,50
83,75
82,50
87
75,75
81,5
Rataan
81,688
90,5
82,813
85,563
85,375
85,1875
PI
112
129,5
97,75
116,25
93,75
109,85
P2
85,75
115,75
113
94,25
122
106,15
P3
92,75
100
93,75
90,75
100,5
95,55
P4
91,5
90,75
93,75
94,75
85,25
91,2
Rataan
95,5
109
99,563
99
100,38
100,688
PI
128
143
118,50
130,50
112,50
126,5
P2
90,50
130
134,75
101
135,25
118,3
P3
90,75
117
102
96,5
103
101,85
P4
93,5
97,25
96,25
103
97
97,4
Rataan
100,69
121,81
112,88
107,75
111,94
111,013
PI
149
169,25
135,50
150,75
129
146,70
P2
81,25
133
137
109,50
154,50
123,05
P3
83,25
131
107,50
96,50
106,75
105
P4
87,50
96,75
90,75
109,25
103,50
97,55
Rataan
100,25
132,50
117,69
116,5
123,44
118,075
59
B.3 Bobot Akar Basah
Tabel 11 menunjukkan, nilai rataan bobot akar basah terbesar oleh karena
perlakuan jenis pupuk terdapat pada perlakuan P1 (32,63 gram) dan bobot
terendah adalah P4 (16,96 gram). Bobot akar basah terbesar oleh karena perlakuan
konsentrasi fitohormon terdapat pada H4 (28,21 gram) dan yang terendah pada
perlakuan H0 (13,49 gram).
Tabel 11. Data Rataan Bobot Akar Basah pada Perlakuan Jenis Pupuk dan
konsentrasi Fitohormon
Konsentrasi Fitohormon
Jenis
Rataan
Pupuk
H0
H1
H2
H3
H4
PI
14,87
20,24
39,72
45,42
42,92
32,63
P2
6,87
17,26
16,49
20,32
32,89
18,76
P3
17,09
14,12
18,035
28,40
21,26
19,78
P4
15,14
23,663
15,043
15,16
15,78
16,96
Rataan
13,49
18,82
22,32
27,32
28,21
22,03
B.4 Bobot Akar Kering
Tabel 12 memperlihatkan nilai rataan bobot akar kering terbesar oleh
karena perlakuan jenis pupuk terdapat pada perlakuan P1 (8,95 gram) dan bobot
terkecil adalah P4 (4,54 gram). Bobot akar kering terbesar oleh karena perlakuan
konsentrasi fitohormon terdapat pada H3 (8,24 gram) dan yang terkecil pada H0
(3,34 gram).
Tabel 12. Data Rataan Bobot Akar Kering pada Perlakuan Jenis Pupuk dan
Konsentrasi Fitohormon
Konsentrasi Fitohormon
Jenis
Rataan
Pupuk
H0
H1
H2
H3
H4
PI
3,825
5,088
10,613
14,89
10,315
8,95
P2
1,85
5,32
4,648
5,563
8,418
5,16
P3
3,818
3,263
4,673
8,348
6,303
5,28
P4
3,875
6,523
4,218
4,165
3,895
4,54
Rataan
3,34
5,05
6,04
8,24
7,23
5,98
60
B.5 . Jumlah Polong per Tanaman
Tabel 13 menunjukkan bahwa nilai rataan jumlah polong per tanaman
terbanyak oleh karena perlakuan jenis pupuk terdapat pada perlakuan P1 (103,75
polong) dan paling sedikit adalah perlakuan P4 (81,35 polong). Jumlah polong per
tanaman terbanyak oleh karena perlakuan konsentrasi fitohormon terdapat pada
perlakuan H4 (99,06 polong) dan paling sedikit ada pada H2 (86,38 polong).
Tabel 13. Data Rataan Jumlah Polong per Tanaman Kedelai Oleh perlakuan
Jenis Pupuk dan Konsentrasi Fitohormon
Konsentrasi Fitohormon
Jenis
Rataan
Pupuk
H0
H1
H2
H3
H4
PI
108,25
104,5
89,75
104,25
112
103,75
P2
89
110
93,5
96,75
105
98,85
P3
85,75
103
80
105,5
90,5
98,35
P4
79,5
72,5
82,25
83,75
88,75
81,35
Rataan
90,63
97,5
86,38
97,56
99,06
95,57
B.6 Jumlah Polong bernas
Tabel 14 memperlihatkan bahwa nilai rataan jumlah polong terbanyak oleh
karena perlakuan jenis pupuk terdapat pada perlakuan P1 (87,8 polong) dan yang
paling sedikit adalah perlakuan P4 (65,1 polong). Jumlah polong bernas terbanyak
oleh karena perlakuan konsentrasi fitohormon terdapat pada perlakuan H4 (83,94
polong) dan yang paling sedikit pada H2 (72,19 polong).
Tabel 14. Data Rataan JumlahPolong Bernas Oleh Perlakuan Jenis Pupuk dan
Konsentrasi Fitohormon
Konsentrasi Fitohormon
Jenis
Rataan
Pupuk
H0
H1
H2
H3
H4
PI
90,25
86,25
73,25
90,75
98,50
87,8
P2
77,50
95
79
78
90,75
84,05
P3
61,25
85,5
66,25
89,50
80,75
76,65
P4
64,25
56
70,25
69,25
65,75
65,1
Rataan
73,31
80,69
72,19
81,88
83,94
78,4
61
B.7. Berat biji Pertanaman
Tabel 15 menunjukkan bahwa data rataan berat biji per tanaman terberat
oleh karena perlakuan jenis pupuk terdapat paa perlakuan P2 (18,43 gram) dan
yang paling ringan adalah pada perlakuan P4 (15,52 gram). Berat biji per tanaman
terbesar oleh karena perlakuan konsentrasi fitohormon terdapat pada perlakuan
H3 (19,25 gram) dan yang paling sedikit pada perlakuan H0 (15,93 gram).
Tabel 15. Data Rataan Berat Biji per Tanaman Oleh Perlakuan Jenis Pupuk dan
Konsentrasi Fitohormon
Konsentrasi Fitohormon
Jenis
Rataan
Pupuk
H0
H1
H2
H3
H4
PI
17,80
17,69
14,79
18,14
20,02
17,68
P2
16,92
21,58
17,05
17,79
18,81
18,43
P3
13,39
20,49
16,89
23,23
17,08
18,22
P4
15,61
13,26
16,283
17,86
14,61
15,52
Rataan
15,93
18,26
16,25
19,25
17,63
17,46
B.8. Berat Biji per 100 Butir
Tabel 16 memperlihatkan bahwa data rataan
berat biji per 100 butir
terbanyak oleh karena perlakuan jenis pupuk terdapat pada perlakuan P3 (11,64
gram) dan yang paling sedikit adalah pada perlakuan P1 (10,15 gram). Berat biji
per 100 butir kedelai yang terbanyak oleh karena perlakuan konsentrasi
fitohormon terdapat pada perlakuan H3 (11,37 gram) dan yang paling sedikit pada
perlakuan H4 (10,55 gram).
62
Tabel 16. Data Rataan berat biji per 100 butir oleh Perlakuan Jenis Pupuk
dan Konsentrasi Fitohormon
Konsentrasi Fitohormon
Jenis
Rataan
Pupuk
H0
H1
H2
H3
H4
PI
9,95
10,19
9,99
10,25
10,33
10,15
P2
10,54
10,80
10,86
10,64
10,29
10,63
P3
11
11,91
12,25
12,53
10,50
11,64
P4
11,43
10,84
12,17
12,06
11,083
11,51
Rataan
10,73
10,93
11,32
11,37
10,55
10,98
63
BAB V. PEMBAHASAN
A.Identifikasi Isolat bakteri
A.1. Pewarnaan Bakteri
Mengacu pada Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology edisi
kesembilan (1994), isolat bakteri local KNG.RT1 yang berjenis Gram Negatif
berbentuk batang pendek dan tidak membentuk spora, kemungkinan tergolong
pada Grup 4 (bakteri Gram negatif aerob/mikroaerofilik berbentuk batang dan
kokus). Sedangkan isolat bakteri lokal JGEA7 yang berjenis Gram Positif
berbentuk batang dan membentuk endospora, kemungkinan tergolong Grup 18
(bakteri Gram positif pembentuk endospora berbentuk batang dan kokus).
A.2. Uji Katalase
Hasil ini membuktikan isolat bakteri KNG.RT1 dan JGEA7 termasuk
kedalam bakteri aerobik. Enzim katalase diduga penting untuk pertumbuhan
aerobik pada bakteri karena komponen H2O2 merupakan salah satu hasil respirasi
aerobik bakteri, dimana hasil respirasi tersebut justru dapat menghambat
pertumbuhan bakteri karena bersifat toksik bagi bakteri itu sendiri. Oleh karena
itu, komponen ini harus dipecah agar tidak bersifat toksik lagi (Funke, 2004).
A.3. Pengamatan spora
Letak spora di dalam sel serta ukurannya selama pembentukkan tidaklah
sama bagi setiap spesies, hal ini penting pada proses identifikasi. Ada spora yang
dibentuk di tengah-tengah sel (sentral), terminal yaitu spora yang dibentuk di
ujung sel, dan subterminal yaitu dibentuk dekat ujung sel (Prescott et al., 2005).
Letak spora pada Isolat bakteri KNG.RT1 termasuk kedalam spora yang terletak
pada posisi subterminal, dengan mengalami pembekakan. Diameter spora dapat
lebih besar atau lebih kecil dari diameter sel vegetatifnya. Karena itu, adanya letak
serta ukuran endospora sangat bermanfaat didalam pencirian dan identifikasi
bakteri
64
A.4. Hasil Uji Sifat Biokimia dari isolate bakteri KNG.RT1 dan JGEA7
Hasil pengujian sifat biokimia menunjukkan bahwa antara isolat bakteri
KNG.RT1 dan JGEA7 memiliki kesamaan terhadap reaksi biokimia, yakni
mampu menghasilkan enzim katalase, motilitas, mampu memproduksi indol, tidak
mampu memfermentasikan karbohidrat, tidak mampu menghasilkan asam
campuran, tidak mampu menghasilkan 2,3- butanadiol maupun asetoin, tidak
dapat menghidrolisis urea dan dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit dan gas
nitrogen.
Menurut Lay (1994), jika hasil uji fermentasi karbohidrat berupa warna
kaldu menjadi kuning atau lebih kuning dari warna kaldu pada tabung kontrol dan
terbentuk gas pada tabung durham, menunjukkan terjadi fermentasi asam
campuran.
Karbohidrat
lazim
digunakan
sebagai
sumber
energi
oleh
mikroorganisme (Lay, 2004), namun isolat bakteri KNG.RT1 dan JGEA7 tidak
menggunakan karbohidrat jenis monosakarida, disakarida dan polisakarida
sebagai sumber karbon dan sumber energinya. Hal ini ditunjukkan dengan
ketidakmampuan isolat dalam memfermentasikan karbohidrat jenis glukosa,
sukrosa dan laktosa.
Hasil uji motilitas menunjukkan hasil positif pada kedua isolat bakteri,
dimana keduanya melakukan motilitas (pergerakan). Biasanya yang menyebabkan
motilitas atau pergerakan pada sel bakteri adalah flagel. Flagel merupakan struktur
seperti rambut-rambut yang amat tipis, menembus dinding sel, bermula dari
wilayah dibawah membran sel di dalam sitoplasma. Tidak semua bakteri memiliki
flagella, banyak spesies seperti Bacillus dan Spirillum memiliki flagel, flagella
jarang dijumpai pada bakteri coccus. Bagi bakteri-bakteri berflagel, pola pelekatan
serta banyaknya yang melekat, digunakan untuk mengklasifikasi bakteri kedalam
kelompok taksonomi tertentu. Sebagai contoh, diantara bakteri yang berbentuk
batang Gram negatif, pada genus Pseudomonas dicirikan dengan flagella yang
terletak diujung sel (flagella monotrikus atau lofotrikus) dan genus Escherichia
berflagel disekitar sel (flagella peritrikus) (Pelczar, 1986).
Kedua isolat bakteri (KNG.RT1 dan JGEA7) memberikan hasil uji positif
terhadap uji indol, hal ini ditandai dengan terbentuknya cincin berwarna merah
pada biakan setelah diberi reagen Ehrlich. Hal ini membuktikan bahwa kedua
65
isolat bakteri tersebut mampu menghasilkan enzim triptonase yang dapat
mengkatalisis reaksi pemecahan triptofan menjadi indol, asam piruvat dan
amonia. Triftopan telah diakui sebagai prekursor fisiologis biosintesis auksin dan
sitokinin baik pada tanaman maupun pada mikroorganisme (Tarabily et al., 2003).
Dan juga merupakan prekursor fisiologis yang efisien dalam proses biosintesis
mikrobial auksin.
Hasil uji urease terhadap isolat bakteri KNG.RT1 dan JGEA7 memberikan
hasil negatif, yang ditandai dengan terbentuknya warna merah keunguan pada
media biakan uji urease. Hal ini menunjukkan bahwa kedua isolat bakteri tersebut
tidak dapat menghasilkan enzim urease yang dapat menguraikan urea menjadi
CO2 dan NH3, sehingga warna indikator merah fenol tetap berwarna kuning yang
berarti tidak terbentuk senyawa yang bersifat basa seperti NH3 dalam media
biakan.
Hasil uji reduksi nitrat pada isolat bakteri KNG.RT1 dan JGEA7
memberikan hasil uji positif. Hal ini menunjukkan bahwa kedua isolat bakteri
tersebut selain dapat menggunakan nitrat (NO3-) sebagai akseptor elektron
terakhir dalam sistem transfortasi elektron dengan mereduksinya menjadi nitrit
(NO2-) dengan katalis enzim nitrase.
NO3- + 2e- + 2H+
NO2- + H2O
Hasil uji reduksi nitrat terhadap kedua isolat, juga dihasilkan gas pada tabung
durham. Menurut Lay (1994), gas dalam tabung durham tersebut merupakan
campuran gas CO2 dan N2. Gas N2 berasal dari penguraian sempurna nitrat
sedangkan CO2 merupakan produk respirasi anaerobik.
2NO2- + 7e- + 8H+
N2(g) + 4H2O
A.5. Sekuensing DNA
Hasil amplifikasi gen 16s rRNA disekuen untuk mengetahui urutan
nukleotidanya. Prinsip sequencing sama dengan PCR, hanya pada metode ini, ada
tambahan ddNTPs (nukloetida tanpa gugus hidroksida pada atom karbon ketiga)
66
yang dapat menghentikan proses pemanjangan rantai pada titik-titik basa tertentu
sehingga ada banyak rantai dengan ujung basa yang berbeda-beda, dengan
elektroforesis akan didapatkan bermacam-macam panjang DNA dengan ujung
yang berbeda-beda, sehingga urutan basa dapat ditentukan dengan mengurutkan
panjang DNA mulai dari yang terpendek.
Urutan basa penyusun gen pengkode 16S rRNA yang telah diketahui
digunakan untuk menentukan spesies bakteri berdasarkan data pada bank gen.
Hasil sekuen gen 16S rRNA kedua isolate bakteri dianalisis similaritasnya dengan
data di bank gen menggunakan program BLAST-N (Basic Local Alignment
Search Tool-Nucleotide) dari situs NCBI (National Center for Biotechnology
Information). Berdasarkan hasil analisis program BLAST-N diketahui homologi
spesies dari kedua isolate bakteri yang diuji (Tabel 17.).
Tabel 17. Hasil Analisis Molekular dari isolat bakteri KNG.RT1 dan JGEA7
No
1
Isolat
ISOLAT_01_1541R
Query
1107
Accession
Hasil BLAST Search
Homology
Pseudomonas stutzeri partial
FR667911.1
16S rRNA gene, strain Gr50
98%
Bacillus sp. TSH22w gene
2
1505
ISOLAT_02_contig
for 16S ribosomal RNA,
AB508850.1 partial sequence
Isolat 1 diartikan sebagai isolat bakteri dari KNG.RT1 (Tabel ?), dimana
hasil BLAST Search menunjukkan jenis Pseudomonas stutzeri partial 16s rRNA
gene, strain Gr50 dengan homolog 89%. Isolat 2 diartikan sebagai isolat bakteri
JGEA7 (Tabel 17) dengan hasil BLAST Search menunjukkan jenis Bacillus sp
TSH22w gene for 16S ribosomal RNA, partial sequence dengan homology 97%.
Hasil sekuen dari kedua isolat bakteri tersebut termasuk kedalam kingdom
Kingdom : Bakteria
Filum
: Proteobacteria
Kelas
: Gamma Proteobacteria
Ordo
: Pseudomonadales
Famili : Pseudomonadaceae
Genus : Pseudomonas
Spesies : P. stutzeri
97%
67
Kingdom : Bakteria
Filum
: Firmicutes
Kelas
: Bacilli
Ordo
: Bacillales
Famili : Bacillaceae
Genus : Bacillus
Spesies : Bacillus sp.
Hasil identifikasi 2 isolat bakteri penghasil fitohormon membuktikan
bahwa Isolat bakteri KNG.RT1 adalah bakteri Pseudomonas stutzeri sedangkan
Isolat bakteri JGEA7 adalah Bacillus sp.
B.Uji Aktivitas Fitohormon pada Tanaman Pangan (Kedelai Wilis)
Pengaplikasian fitohormon pada penelitian ini, dilakukan dengan dibuat
menjadi beberapa jenis tingkat konsentrasi (H0 = 0 ml, H1 =10 ml, H2 = 20 ml, H3
=30 ml, dan H4 = 10 ml hormon pembanding). Penggunaan komposisi tingkat
konsentrasi fitohormon ini mengacu pada reverensi-reverensi penelitian yang
berkaitan dengan fitohormon serupa yang penggunaannya pada budidaya tanaman
kedelai, serta mengacu pada komposisi atau dosis hormon-hormon yang berada di
pasaran. Penggunaan fitohormon juga dikombinasi dengan penggunaan jenis
pupuk (kimia, organik, hayati). Kemudian dari pengaplikasian kombinasi jenis
pupuk dan konsentrasi fitohormon tersebut, pada tanaman kedelai dilakukan
pengamatan terhadap tingkat pertumbuhan dan produktivitas dari masing-masing
kelompok perlakuan tersebut.
B.1.
Penanaman Tanaman Kedelai Wilis
Proses penanaman dilakukan dengan membuat tugal atau lubang sedalam
5 cm, kemudian dimasukkan kedalamnya biji kedelai sebanyak 2 butir, pemberian
2 butir kedelai untuk memperbesar persentase keberhasilan kedelai yang bisa
tumbuh pada tiap polibag, selanjutnya ditambahkan masing-masing kelompok
polibag sesuai dengan perlakuan dari jenis pupuk. Khusus pemberian pupuk kimia
68
tidak boleh secara langsung mengenai biji kedelai, dikarenakan biji kedelai dapat
mengalami kebusukan oleh karena bahan pupuk kimia yang cukup keras
B.2.
Pengamatan Pertumbuhan Tanaman Kedelai
B.2.1. Tinggi Tanaman Kedelai
Hasil pengamatan pertumbuhan tinggi tanaman kedelai, didapatkan nilai
rata-rata tinggi tanaman 120,75 cm (Lampiran 11) terdapat perbedaan ukuran
tinggi tanaman dibanding tinggi rata-rata tanaman kedelai yang terdapat di
literatur yaitu 40-50 cm. Hal ini terjadi dikarenakan ada pengaruh dari tempat atau
lokasi penanaman tanaman kedelai, dimana penanaman pada penelitian ini
dilakukan didalam screen house, sehingga tanaman kurang mendapatkan sinar
matahari yang cukup dan menyebabkan etiolasi pada kedelai.
Perlakuan pemberian jenis pupuk dan konsentrasi fitohormon serta
interaksi antara kedua kombinasi perlakuan tersebut berpengaruh sangat nyata
terhadap tinggi tanaman kedelai. Dari hasil DMRT dapat dilihat bahwa perlakuan
P1 (81,13 cm) memiliki pengaruh paling besar terhadap pertumbuhan tinggi
tanaman kedelai dibanding perlakuan jenis pupuk yang lainnya.
Berkaitan dengan pengaruh terhadap tinggi tanaman, perlakuan P1
memiliki pengaruh yang besar dibandingkan perlakuan pupuk yang lain oleh
karena memiliki unsur yang lengkap serta kandungan nitrogen yang tinggi,
menurut (Setyamidjaja, 1986) bahwa salah satu peranan nitrogen pada tumbuhan
adalah merangsang pertumbuhan vegetatif, yaitu menambah tinggi tanaman. Jika
dibandingkan dengan P3 yang memiliki pengaruh terendah oleh karena pupuk
hayati CMA (yang terkandung) lebih berperan dalam meningkatkan mineralisasi
Phospor, Fakuara (1988) menyatakan bahwa terjadi peningkatan serapan Phospor
oleh tanaman yang berasosiasi dengan Mikoriza.
Masa awal menanam, terjadi peningkatan tinggi tanaman secara cepat
justru terjadi pada P3 dan P4, hal ini dikarenakan pupuk hayati dan organik bersifat
sifat alami sehingga akar tanaman yang masih muda mampu menyerap puupk
hayati dengan baik dibanding dengan pupuk kimia. Ketika tanaman berumur 6-11
MST tanaman P1 mulai mengalami pertumbuhan vegetatif yang lambat dalam hal
peningkatan tinggi tanaman, hal ini sebabkan kandungan nitrogen pada P3 dan P4
69
terbatas dan mulai habis sedangkan pada P1 tersedia nitrogen yang lebih banyak
sehingga masih bisa dimanfaatkan untuk pertumbuhan.
Hasil uji DMRT perlakuan fitohormon, maka H1 memberikan pengaruh
terbesar terhadap tinggi tanaman kedelai, namun tidak memiliki beda nyata
terhadap H3 artinya, penggunaan 10 ml dengan 30 ml memiliki pengaruh yang
sama terhadap pertumbuhan vegetatif dan tinggi tanaman. Hal ini disebabkan jika
fitohormon khususnya auksin jika diberikan pada tingkat dosis yang tinggi justru
akan menghambat pertumbuhan tinggi tanaman oleh sebab auksin akan
memproduksi etilen yang berlebihan, maka pemberian dosis dengan 30 ml tidak
membuat tumbuhan semakin memanjang. Dari interaksi antara jenis pupuk
dengan konsentrasi fitohormon yang memberikan hasil terbaik terhadap tinggi
tanamanan adalah P1H2. Gambar 13 sampai 16 adalah gambar pertumbuhan
tanaman kedelai umur 2 MST, 5 MST, 8 MST, dan 11 MST.
Gambar 13. Tanaman umur 2 minggu
GGambar 14. Tanaman umur 5
minggu
Gambar 15. Tanaman umur 8 minggu
GGambar 16. Tanaman umur 11
minggu
70
B.2.2. Jumlah Daun Tanaman Kedelai
Berkaitan dengan pengaruh terhadap jumlah daun tanaman kedelai maka
P1 memiliki pengaruh yang besar dibanding dengan perlakuan pupuk yang lain,
dan pengaruh terendah pada jumlah daun tanaman kedelai adalah P4. Pengaruh P1
terhadap pertumbuhan jumlah daun dikarenakan unsur nitrogen yang tinggi dan
dalam dosis yang besar karena salah satu fungsi dari nitrogen adalah dapat
menyehatkan pertumbuhan daun tanaman dan membuat daun lebih lebat serta
hijau (Sutedjo, 1999).
Uji DMRT perlakuan fitohormon memperlihatkan bahwa H1 memberikan
pengaruh terbesar terhadap jumlah daun tanaman kedelai, dan perlakuan hormon
yang memberikan pengaruh terendah terhadap jumlah daun tanaman kedelai
adalah H0 atau perlakuan tanpa pemberian hormon. Fitohormon auksin IAA
memiliki peran membantu percepatan pertumbuhan tanaman, termasuk juga
pertumbuhan jumlah daun tanaman kedelai (Teale, 2006). Interaksi antara pupuk
dengan hormon yang memiliki pengaruh terbesar terhadap jumlah daun adalah
P1H1.
Grafik perbandingan pertumbuhan jumlah daun
tanaman kedelai
berdasarkan perlakuan jenis Pupuk (P) dapat dilihat pada Gambar 17 sampai
dengan Gambar 20.
(MST)
Gambar 17. Grafik Pertumbuhan Jumlah Daun
Tanaman Kedelai Perlakuan P1
Gambar 18. Grafik Pertumbuhan Jumlah Daun
Tanaman Kedelai Perlakuan P2
71
Gambar 19. Grafik Pertumbuhan Jumlah Daun
Tanaman Kedelai Perlakuan P3
Gambar 20. Grafik Pertumbuhan Jumlah Daun
Tanaman Kedelai Perlakuan P4
Keterangan : Pengamatan dilakukan mulai dari umur 2 Minggu Setelah Tanam
(MST). Pada grafik, angka 1
menunjukkan umur 2 MST dan
seterusnya sampai angka 10 yang menunjukkan umur 11 MST.
B.2.3. Bobot Akar Basah Tanaman Kedelai
Kombinasi perlakuan Jenis Pupuk berpengaruh sangat nyata terhadap
bobot akar basah. Dari data rataan bobot akar basah oleh perlakuan pupuk dan
hormon perlakuan P1 memiliki pengaruh tertinggi terhadap jumlah bobot akar
basah sedangkan yang memiliki pengaruh terendah adalah P4. Fungsi nitrogen
diperlukan untuk pembentukan pertumbuhan vegetatif dan salah satunya adalah
pembentukkan akar tanaman kedelai, namun jika terlalu banyak dapat
menghambat pembungaan dan pembuahan pada tanaman (Tisdale dan Nelson,
1976).
Uji DMRT memperlihatkan bahwa perlakuan P1 memberikan pengaruh
yang lebih besar terhadap pertumbuhan akar tanaman kedelai dibanding dengan
perlakuan lainnya, Baik P2, P3, P4 tidak memberikan pengaruh yang nyata
terhadap pertumbuhan akar tanaman kedelai. Perlakuan P3 merupakan kedua
tertinggi dalam mempengaruhi pertumbuhan akar tanaman.
Perlakuan P3
mengandung pupuk hayati dengan pupuk kimia dan pupuk hayati merupakan
pupuk yang mengandung mikoroganisme dengan fungsi untuk meningkatkan
72
kadar P pada tanah, sedangkan salah satu fungsi unsur P pada tanaman berfungsi
untuk mempercepat pertumbuhan akar tanaman dan memperkuat batang tanaman
(Sutedjo, 1999).
Uji DMRT memperlihatkan bahwa perlakuan antara H4, H3, H2 tidak
memberikan perbedaan yang nyata, namun perlakuan yang paling mempengaruhi
terhadap bobot akar basah, yaitu H4 yaitu hormon pembanding dengan
konsentrasi 10 ml dan pengaruh terendah adalah perlakuan H0. Perlakuan interaksi
antara jenis pupuk dan konsentrasi yang memberikan pengaruh terbesar terhadap
pertumbuhan dan produktivitas tanaman kedelai adalah P1H4.
B.2.4. Bobot Akar Kering Tanaman Kedelai
Berkaitan dengan pengaruh terhadap bobot akar kering maka terdapat beda
nyata oleh jenis pupuk dan beda konsentrasi terhadap bobot kering akar.
Perlakuan P1 memiliki pengaruh terbesar terhadap bobot akar kering sedangkan
perlakuan yang paling terendah ada pada P4. Dan untuk Uji Duncan, pengaruh
tertinggi terhadap bobot akar kering oleh hormon ada pada perlakuan H3 dan yang
terendah ada pada H0. Terhadap bobot kering akar tanaman kedelai, fitohormon
memiliki pengaruh terhadap bobot kering akar, dimana tanpa penggunaan
fitohormon bobot akar kering tanaman kedelai sangat rendah dibanding dengan
tanaman yang diberi fitohormon. Dan interaksi jenis pupuk dan konsentrasi
fithormon yang memiliki pengaruh terbesar adalah P1H3.
B.3.
Pengamatan Produktivitas Tanaman Kedelai
B.3.1. Jumlah Polong per Tanaman
Data analisis sidik ragam pengaruh jenis pupuk dengan konsentrasi
fitohormon terhadap jumlah polong per tanaman maupun polong bernas memiliki
beda yang nyata. Uji DMRT jenis pupuk terhadap jumlah polong per tanaman
yang memilikipengaruh terbesar adalah perlakuan P1 dengan nilai 103,75,
sedangkan perlakuan dengan pengaruh terkecil adalah P4 dengan nilai 81,35 buah.
Untuk jumlah polong bernas yang memiliki pengaruh terbesar adalah perlakuan P1
dengan nilai 87,80 buah dan yang terendah adalah P4 65,10 buah.
73
Pembentukkan polong pada tanaman kedelai dipengaruhi oleh unsur P
yang tersedia dalam tanah, fungsi unsur P itu sendiri adalah meningkatkan
pertumbuhan bunga tanaman kedelai, dan bunga inilah yang menjadi cikal bakal
dari polong, sehingga jika memiliki jumlah bunga yang banyak maka
kemungkinan terbentuknya polong yang banyak pun terjadi. Perlakuan P1
merupakan perlakuan yang memberikan pengaruh terbesar terhadap pertumbuhan
jumlah polong per tanaman maupun polong bernas. Hal ini disebabkan
ketersediaan unsur P dari pupuk SP-36 yang cukup.
B.3.2. Jumlah Polong Bernas
Uji DMRT pada fithormon maka H4 merupakan hormon yang memberikan
pengaruh terbesar terhadap pertumbuhan polong per tanaman maupun polong
bernas dengan nilai rata-rata 99,06 buah dan 83,94, namun perlakuan fitohormon
H4 tidak berbeda nyata terhadap H3 maupun H1, hal ini menggambarkan
pemberian hormon dengan konsentrasi banyak 30 tidak serta memberikan efek
yang lebih baik dibanding pemberian konsentrasi 10 ml, karena memiliki
pengaruh yang sama. Perlakuan interaksi jenis pupuk dan konsentrasi fitohormon
yang memberikan pengaruh terbesar terhadap jumlah polong per tanaman dan
polong bernas adalah kombinasi perlakuan P1H4 dengan nilai rata-rata 112 buah
sedang bernas 98,50 buah.
B.3.3. Berat Biji per Tanaman
Menurut data analisis sidik ragam, pengaruh jenis pupuk dan konsentrasi
fitohormon memiliki beda nyata terhadap berat biji per tanaman. Pembentukkan
biji kedelai dipengaruhi oleh beberapa faktor ; seperti kondisi penyiraman atau
ketersediaan air untuk tanaman kedelai, dimana kedelai sangat membutuhkan air
pada saat pengisian biji pada polong kedelai. Gangguan kekeringan selama masa
pembungaan akan mengurangi pembentukan polong, tetapi pengurangan produksi
lebih terasa pada tahap pengisian polong daripada tahap pembungaan (Maesen,
1993). Selain dari kondisi pengairan pembentukkan biji pada polong juga
dipengaruhi oleh unsur makro untuk mendukung pertumbuhan dan hasil biji yang
74
tinggi tanaman kedelai juga memerlukan unsur hara P dan K dalam jumlah yang
yang banyak (Tisdale dkk, 1985).
Pengaruh fitohormon terhadap berat biji per tanaman untuk perlakuan
tertinggi dipengaruhi oleh perlakuan H3 dengan nilai rata-rata 19,25 gram dan
11,36 gram dan interaksi untuk berat biji per tanaman dipengaruhi oleh interaksi
P3H3 dengan nilai rata-rata tertinggi 23,23 gram. Pengaruh oleh interaksi jenis
pupuk dan konsentrasi fitohormon terhadap berat biji kedelai per 100 butir
kombinasi perlakuan tertinggi ada pada P3H3 dengan nilai rata-rata 12,53 gram.
B.3.4. Berat Biji per 100 Butir
Pengaruh jenis pupuk dan konsentrasi fitohormon memiliki beda nyata
terhadap berat biji per 100 butir menurut data analisis sidik ragam,. Salah satu
faktor yang mempengaruhi berat biji kedelai adalah ketersediaan air untuk
tanaman kedelai, dimana kedelai sangat membutuhkan air pada saat pengisian biji
pada polong kedelai. Kekurangan air selama masa pembungaan akan mengurangi
pembentukan polong, tetapi pengurangan produksi lebih terasa pada tahap
pengisian polong daripada tahap pembungaan (Maesen, 1993). Faktor lain yang
mempengaruhi berat biji adalah unsur nutrisi mikro dan makro. Untuk mendukung
pertumbuhan dan hasil biji yang tinggi tanaman kedelai juga memerlukan unsur
hara P dan K sebagai unsur makro dalam jumlah yang yang banyak (Tisdale dkk.,
1985).
Pengaruh fitohormon terhadap berat biji per tanaman untuk perlakuan
tertinggi dipengaruhi oleh perlakuan H3 dengan nilai rata-rata 11,37 gram dan
Pengaruh oleh interaksi jenis pupuk dan konsentrasi fitohormon terhadap berat
biji kedelai per 100 butir kombinasi perlakuan tertinggi ada pada P3H3 dengan
nilai rata-rata 12,53 gram. berat yang didapatkan pada kombinasi terbaik ini masih
berada pada tingkat sedang (10 – 13 gr/100 butir) dan hal jumlah produksi biji
kedelai per 100 butir.
75
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Isolat lokal bakteri murni KNG.RT1 penghasil fitohormon IAA adalah
spesies Pseudomonas stutzeri dengan homology 98% dan isolat lokal
bakteri murni JGEA7 penghasil fitohormon sitokinin adalah spesies
Bacillus sp. dengan homology 97%. Isolat KNG.RT1 memiliki
karakteristik yang berbeda dengan isolat bakteri JGEA7
2. Konsentrasi fitohormon auksin dan sitokinin (KNG.RT1 dan JGEA.7)
berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan dan produktivitas
tanaman kedelai, tetapi tidak berpengaruh nyata pada berat biji per
tanaman serta berat biji per 100 butir.
3. Interaksi antar tingkat konsentrasi fitohormon dengan jenis pupuk
berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman
kedelai, tetapi tidak berpengaruh nyata pada berat biji per tanaman
serta berat biji per 100 butir.
4. Kombinasi antara jenis pupuk dan konsentrasi fitohormon yang paling
baik untuk pertumbuhan dan produktivitas tanaman kedelai adalah
jenis pupuk Perlakuan P1 dengan konsentrasi fitohormon perlakuan H3.
Kombinasi perlakuan tersebut dapat menghasilkan pertumbuhan
tanaman dengan tinggi rata-rata 148,75 cm, rata-rata jumlah
daun150,75 helai, rata-rata bobot akar basah 45,42 gram, rata-rata
bobot akar kering 14,89 gram, rata-rata jumlah polong per tanaman
104,25 buah, rata-rata jumlah polong bernas 90,75 buah, rata-rata berat
biji per tanaman 18,14 gram dan rata-rata berat biji per 100 butir 10,25
gram.
B. SARAN
Perlu dilakukan uji fisiologi yang lebih lengkap agar diketahui reaksireaksi yang terjadi sehingga dapat diketahui keragaman dalam aplikasi dari kedua
isolat bakteri tersebut. Disamping itu perlu dilakukan aplikasi pada berbagai
76
tanaman baik tanaman pangan maupun holtikultura sehingga diketahui pengaruh
isolat bakteri pada tanaman dengan komposisi yang sesuai.
Berdasarkan pada kesimpulan penelitian ini disarankan penggunaan
tingkat konsentrasi fitohormon adalah konsentrasi 10 ml. Hal ini dikarenakan
tingkat konsentrasi tersebut memberikan perbedaan yang nyata pada pertumbuhan
dan produktivitas tanaman kedelai.
Perlu adanya penelitian lebih lanjut penggunaan dosis (konsentrasi
fitohormon maupun jenis pupuk) yang beragam guna memperoleh dosis yang
sesuai untuk produksi kedelai, serta penelitian terhadap jenis varietas kedelai yang
lain yang bisa dijadikan objek dari aplikasi pada penelitian ini.
77
DAFTAR PUSTAKA
Amar, A., S. Sukotjo., dan L. Suan. 2002. Isolasi dan Identifikasi Bakteri dalam
Badeg Page dari Ponorogo Jawa Timur. Jurnal Biosains. ISSN: 0215-9333. 7
(2): 1-7.
Backmann, A. 2006. Carbohydrate metabolism in Bacteria-use of differences in
carbohydrate metabolism for identifying bacteria. Caister Academic Press.
USA.
Barbara J. Taller and Tit-Yee Wong. Cytokinins in Azotobacter vinelandii Culture
Medium. Department of Biology, Memphis State University, Memphis,
Tennessee 38152. 1988.
Bucchanan, R.E and N.E Gibbons, 1974, Bergey’s Manual of Determinative
Bacteriology, Eight Edition. The WilliAMS AND Wilkins Company, Baltimore
Dawn B. Sturtevant and Barbara J. Taller. Cytokinin Production by Bradyrhizobium
japonicum. Department of Biology, Memphis State University, Memphis,
Tennessee 38152. 1988.
Donna E. Akiyoshi, Dean A Regier, and Milton P. Gordon. Cytokinin Production by
Agrobacterium and Pseudomonas spp. Department of Biochemistry, University
of Washington, Seattle, Washington 98195. 1987.
Eric Glickmann, Louis Gardan, Sylvie Jacquet, Shafik Hussain, Miena Elasri, Annik
Petit, and Yves Dessaux. Auxin Production Is a Common Feature of Most
Pathovars of Pseudomonas syringae. 1997. Institut des Sciences Végétales,
Centre National de la Recherche Scientifique, France.
Fakuara M.Y. 1988. Mikoriza, Teori dan Kegunaan dalam Praktek. PAU, IPB.
Bogor. 130 hal.
Farah Ahmad, Iqbal Ahmad & Mohd Saghir Khan. Indole Acetic Acid Production by
the Indigenous Isolates of Azotobacter and Pseudomonas fluorescent in the
Presence and Absence of Tryptophan. 2004. Department of Agricultural
Microbiology, Faculty of Agricultural Sciences, Aligarh Muslim University,
Aligarh – India.
78
Funke, B.R. Tortora, G.J., Case, C.L. 2004. Microbiology: an introduction (8th ed,
ed) Benjamin Cumming. San Fransisco.
Hasibuan, B. E., 2004. Pupuk dan Pemupukan. Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara. Medan.
Holt, J.G., Noel, R.K, Peter, H.A, James, T.S, dan Stanley, T.W. 1994. Begey’s
Manual of Determinative Bacteriology. Ninth Edition. Williams & Wilkins 428
East Preston Street Baltimore, Maryland 21202, USA.
Jinichiro Koga, Takashi Adachi & Hidemasa Hidaka. IAA Biosynthetic Pathway
from Tryptophan via Indole-3-pyruvic Acid in Enterobacter cloacae. 1990. Bio
Science Laboratories, Meiji Seika Kaisha, Ltd., Japan.
Lay, W. Bibiana. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. PT Raja Grafindo
Persada. Jakarta.
Madigan, M. T., J.M. Martinko, P.V. Dunlap, and D.P. Cark. 2009. Brock Biology of
Microorganism, 12th edition. Pearson Benjamin-Cumming. San Fransisco.
ISBN 0-13-2232460-1.
Musnamar, E. I. 2003. Pupuk Organik. Penebar. Jakarta.
Maesen, L. J. G. V. D., 1993, Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 1 Kacangkacangan, Penerjemah Sadikin Somaatmadja. PT. Gramedia. Jakarta.
Pelczar, M. J & E.C.S. Chan. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jilid 2. UI-Press.
Jakarta.
Rudy Maor, Sefi Haskin, Hagit Levi-Kedmi, & Amir Sharon. In Planta Production of
Indole-3-Acetic Acid by Colletotrichum gloeosporioides f. sp. aeschynomene.
2003. Department of Plant Sciences, Tel Aviv University, Ramat-Aviv, Tel
Aviv 69978, Israel.
Setyamidjaja, D. 1986. Pupuk dan Pemupukkan. CV. Simplex, jakarta.
Sumarno, 1982. Yield Stability of “Orba” Soybean Cultivar. Penelitian Pertanian Vol.
2(2) : 75-77.
Sutedjo, M.M., 1999. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rhineka Cipta. Jakarta.
Teale , W. D., A. P. Ivan and P. Klaus. 2006. Auxin in Action: Signaling, Transport
and The Control of Plan Growth and Development. Institute Fur biologie II/
79
Botanik, Schanzlestrase, 79104 Freiburg.
Tien,T.M., M. H. Gaskin, and D. H. Hubbel. Plant Growth Substances Produced by
Azospirillum brasilense and Their Effect on the Growth of Pearl Millet
(Pennisetum americanum L.). 1979. U.S. Department of Agriculture Institute of
Food and Agricultural Sciences, Gainesville, Florida 32611.
Tisdale, S.J. and W. L. Nelson, 1976. Soil Fertility and Fertilizer. The Third Edition,
McMillan Publishing Company, New York.
Tisdale, S.J. and W.L. Nelson, and J.D. Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizers. 4th
Ed. Macmillian Publishing Company. New York.
Waluyo, Lud. 2008. Teknik Metode Dasar Mikrobiologi. UMM-Press. Malang.
William D. Teale, Ivan A. Paponov and Klaus Palme. Auxin in action: signalling,
transport and the control of plant growth and development. 2006. Institut für
Biologie II/Botanik, Schänzlestrasse, 79104 Freiburg, Germany.
William F. Fett, Stanley F. Osman, and Michael F. Dunn. Auxin Production by PlantPathogenic Pseudomonads and Xanthomonads. 1987. Eastern Regional
Reseacrch Center, Agricuiltuirzal Research Servicse, U.S. Department of
Agriculture, Wyndmoor, Pennsylvania.
W.T. Frankenberger Jr., and M. Poth. Biosynthesis of Indole-3-Acetic Acid by the
Pine Ectomycorrhizal Fungus Pisolithus tinctorius. 1987. Department of Soil
and Environmental Sciences, University of California, Riverside, California.
80
Lampiran
81
Lampiran 1. Kerangka Berpikir
Indonesia: Negara
Agraris (pertanian)
Melupakan akan kesuburan
tanah
penggunaan akan pupuk
kima yg tinggi
Pupuk Hayati
(Fitohormon alami)
Kandungan humus tanah rendah
kualitas tanaman rendah
& tidak ramah lingkungan
Pemanfaat bakteri alam
dari
rhizosfer/endofit
KNGRT1
(Isolat bakteri
Fitohormon Auksin)
JGEA7
(isolat bakteri
Fitohormon sitokinin)
Uji identifikasi isolat
bakteri lokal
bakteri yg memiliki kemampuan
menghasilkan fitohormon alami
(auksin & sitokinin)
kualitas
tanaman baik dan ramah lingkungan
Uji Biokimia
Uji Morfologi
Uji Molekular
82
Lampiran 2. Bagan Kerja
Mengikuti cara kerja yang disebutkan dalam Amar et al., (2002) yang meliputi :
Isolat Bakteri Lokal
KNG.RT1 dan JGEA7
Peremajaan Isolat Bakteri
Isolasi Isolat bakteri
Pewarnaan Gram
Gram Positif
Gram Negatif
Bentuk Bakteri
Batang
Bulat
Uji Katalase
Katalase Positif
Katalase Negatif
Pengamatan Spora
Tidak Membentuk Spora
Membentuk Spora
Uji Biokimia
Analisis Molekular
83
Lampiran 3. Komposisi Media
1. Nutrient Agar dan Nutrient Broth tanpa Agar

Pepton

Beef Ekstark

Agar

akuadest
2. Agar Semi Solid
3. Trypton Broth

Trypton

Akuadest
4. MR-VP medium (Broth)
 Pepton
 Glukosa
 Dikalium Fosfat
 Akuadest
5. Medium Nitrat

Pepton

Beef Ekstrak

KNO3

Akuadest
6. Urea Broth

Kaldu urea pekat

Akuadest
84
7. Starch Agar

Pepton

Beef Ekstrak

Soluble Starch

Agar
85
Lampiran 4. Reagen dan Indikator
a. Merah Metil (uji MR atau Mhetyl Red)

Mehtyl Red
0,2 gr

Dilarutkan dalam
500 ml
b. Reagen Barit (Uji VP atau Voges-Proskauer)
1. Barit A :

α-naphtol
6 gr

dilarutkan dalam
100 ml

KOH
16 gr

Dilarutkan dalam
100 ml
2. Barit B :
c. Reagen Erhlich (Uji Indol)

n-Amyl alcohol
75 ml

HCL pekat
25 ml

p-dimethylamine-benzaldehyde
5 gr
d. Reagen Uji Nitrit
1. Larutan A :

Sulfanilic acid
0,8 gr

5 N acetic acid
100 ml
2. Larutan B :

Dimethyl-α-naphtylamine
0,5 gr

5 N acetic acid
100 ml
86
Lampiran 5. Tabel Perbandingan Karakteristik Isolat Bakteri Lokal KNG.RT1 dengan
Pseudomonas stutzeri
Pseudomonas stutzeri
No
Karakteristik
Isolat KNG.RT1
( Holt, J.G .,et al, 1994)
Pada Media NA: koloni
bkateri berwarna krem,
1.
Morfologi Koloni
elevasi datar, menyebar tdk
teratur dan lobat.
Pengecatan Gram
Gram – (Gram Negatif)
Bentuk Bakteri
Batang pendek, tunggal,
sedikit yang berpasangan
Endospora
Tidak ada
Motilitas
Motil
Uji Katalase
+
Uji Fermentasi
Karbohidrat
- Glukosa
-
Sukrosa
-
-
Fruktosa
-
-
Maltosa
-
Uji Indol
+
Uji Hidrolisis Pati
+
Uji MR
+
Uji VP
-
Uji Hidrolisis Urea
-
Uji Reduksi Nitrat
+
Keterangan : (+) dihasilkan
(-) tidak dihasilkan
87
Lampiran 6. Tabel Perbandingan Karakteristik Isolat Bakteri Lokal JGEA7 dengan Genus
Bacillus sp.
No
Karakteristik
1.
Isolat KNG.RT1
Morfologi Koloni
Pada media NA: koloni
bakteri berwarna krem,
elevasi datar, penamapkan
dari atas bulat dengan tepi
terserabut dan lobat
Pengecatan Gram
Gram + (Gram Positif)
Bentuk Bakteri
Batang pendek, tunggal,
sedikit yang berpasangan
Endospora
-
Ada endospora
-
Bentuknya elips
-
Posisi spora :
subterminal
-
Mengalami pembekakan
Motilitas
Motil
Uji Katalase
+
Uji Fermentasi
Karbohidrat
- Glukosa
-
Sukrosa
-
-
Fruktosa
-
-
Maltosa
-
Uji Indol
+
Uji Hidrolisis Pati
+
Uji MR
+
Bacillus sp.
( Holt, J.G .,et al, 1994)
88
Uji VP
-
Uji Hidrolisis Urea
-
Uji Reduksi Nitrat
+
Keterangan : (+) dihasilkan
(-) tidak dihasilkan
89
Lampiran 7. Perbedaan Karakteristik Spesies-Spesies dari Genus Bacillus
Spora
Pembentukan
Spesies
Bentuk Pembengkakan Posisi Asam
Gas
Acetoin
1. B. subtilis
E
C
+
+
2. B. pumilus
E
C
+
+
3. B. liecheniformis
E
C
+
W/+
4. B. cereus
E
C
+
+
5. B. antracis
E
C
+
+
6. B. thuringiensis
E
C
+
+
7. B. megaterium
E
C
+
+
8. B. polymyxa
E
+
CT
+
+
+
9. B. macerans
E
+
T
+
10. B. circulans
E
+
CT
+
11. B. stearothermophilus
E
+ atau T
+
12. B. coagulans
E
+ atau CT
+
+ atau 13. B. alvei
E
+
CT
+
+
14. B. firmus
E
C
W
15. B. laterosporus
E
+
C
+
16. B. brevis
S
+
CT
+/17. B. sphaericus
S
+
T
18. B. pasteurrii
E
+
T
19. B. fastidiosus
E
C
20. B. larvae
E
+
CT
+
21. B. popilliae
E
+
C
+
22. B. lentimorbus
E
+
C
+
Sumber : Buchanan dan Gibbons, 1994
Keterangan :
E : Elips
C : Tengah
CT : Tengah ke ujung
T : Ujung
W : sedikit positif
S : Silinder
90
Lampiran 8. Deskripsi Varietas Tanaman Kedelai Wilis
Nomor Induk
: B3034
Warna Hipokotil
: Ungu
Warna Batang
: Hijau
Warna Daun
: Hijau tua
Warna Bulu
: Coklat Tua
Warna Bunga
: Ungu
Warna Polong Tua
: Coklat Tua
Warna Kulit Biji
: Kuning
Warna Hilum
: Coklat Tua
Tipe tumbuh
: Determinete
Umur berbunga
: Kurang lebih 39 hari
Umur Matang
: Kurang lebih 88 hari
Tinggi Tanaman
: 40 – 50 cm
Bentuk Biji
: Oval, agak pipih
Bobot 100 biji
: Kurang lebih 10 gram
Kadar Protein
: 37%
Kadar Lemak
: 18%
Sifat-sifat lain
: Tahan Rebah
Ketahanan terhadap penyakit
: Agak tahan penyakit karat dan virus
Sumber : Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbangtan).
91
Lampiran 9. Data Pengamatan Tinggi Tanaman Kedelai Umur 2 MST
Kombinasi
Perlakuan
P1H0
P1H1
P1H2
P1H3
P1H4
P2H0
P2H1
P2H2
P2H3
P2H4
P3H0
P3H1
P3H2
P3H3
P3H4
P4H0
P4H1
P4H2
P4H3
P4H4
Total
Rataan
I
(cm)
25
32
24
23
23
28
33
33
28
30
40
40
37
39
33
37
27
32
38
32
634
31,7
Ulangan
II
III
(cm)
(cm)
23
23
22
34
30
37
24
27
24
20
32
28
29
42
28
31
25
29
24
30
35
34
39
38
39
32
32
27
28
24
34
32
36
34
25
23
37
41
31
31
597
617
29,85
30,85
IV
(cm)
34
31
28
21
19
26
30
41
35
32
35
40
32
38
38
34
35
26
35
31
641
32,05
Total
Rataan
105
119
119
95
86
114
134
133
117
116
144
157
140
136
123
137
132
106
151
125
2489
26,25
29,75
29,75
23,75
21,5
28,5
33,5
33,25
29,25
29
36
39,25
35
34
30,75
34,25
33
26,5
37,75
31,25
31,1125
92
Lampiran 10. Data Pengamatan Tinggi Tanaman Kedelai Umur 3 MST
Kombinasi
Perlakuan
P1H0
P1H1
P1H2
P1H3
P1H4
P2H0
P2H1
P2H2
P2H3
P2H4
P3H0
P3H1
P3H2
P3H3
P3H4
P4H0
P4H1
P4H2
P4H3
P4H4
Total
Rataan
I
(cm)
34
38
38
34
37
35
44
39
36
41
48
48
45
48
39
48
36
43
49
39
819
40,95
Ulangan
II
III
(cm)
(cm)
33
38
37
41
40
45
35
41
33
32
45
40
34
58
41
45
33
39
34
40
47
43
48
47
46
40
44
37
34
33
40
41
47
43
36
35
45
54
41
43
793
835
39,65
41,75
IV
(cm)
40
43
40
37
35
37
38
52
47
41
44
53
41
51
45
42
44
37
44
37
848
42,4
Total
Rataan
145
159
163
147
137
157
174
177
155
156
182
196
172
180
151
171
170
151
192
160
3295
36,25
39,75
40,75
36,75
34,25
39,25
43,5
44,25
38,75
39
45,5
49
43
45
37,75
42,75
42,5
37,75
48
40
41,1875
93
Lampiran 11. Data Pengamatan Tinggi Tanaman Kedelai Umur 4 MST
Kombinasi
Perlakuan
P1H0
P1H1
P1H2
P1H3
P1H4
P2H0
P2H1
P2H2
P2H3
P2H4
P3H0
P3H1
P3H2
P3H3
P3H4
P4H0
P4H1
P4H2
P4H3
P4H4
Total
Rataan
I
(cm)
45
42
50
45
51
47
55
45
44
51
56
52
52
55
46
60
47
52
61
46
956
47,8
Ulangan
II
III
(cm)
(cm)
41
53
50
47
52
53
44
60
43
41
58
52
42
74
53
58
43
48
42
50
55
52
59
58
53
48
54
46
48
43
46
50
58
54
45
43
56
69
54
59
942
999
47,1
49,95
IV
(cm)
46
54
53
51
41
47
48
64
60
48
55
66
50
63
51
51
54
51
55
43
1008
50,4
Total
Rataan
185
193
208
200
176
204
219
220
195
191
218
235
203
218
188
207
213
191
241
185
3905
46,25
48,25
52
50
44
51
54,75
55
48,75
47,75
54,5
58,75
50,75
54,5
47
51,75
53,25
47,75
60,25
46,25
51,125
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
105
106
107
108
109
110
111
112
113
114
115
116
117
118
119
120
121
122
123
124
125
Download