Khilafah Islamiyah Dalam Persepektif Ahmadiyah Refleksi 98 Tahun Berdirinya Khilafah Islamiyah Al-Ahmadiyah KHILAFAH ‘ALA MINHAJIN-NUBUWWAH DARI ERA AL-RASYIDAH HINGGA ERA AL-AHMADIYAH Disajikan dalam Tasyakur 98 Tahun Beridirinya Khilafah ‘Ala MinhajinNubuwwah, yang diselenggearakan Jamaah Ahmadiyah Kota Makassar di Rumah Makan Wong Solo, Sabtu, 27 Mei 2006. Oleh : M. Syaeful ‘Uyun Mubaligh Jamaah Ahmadiyah Sulawesi Selatan 2006 Refleksi 98 Tahun Berdirinya Khilafah Islamiyah Al-Ahmadiyah KHILAFAH ‘ALA MINHAJIN-NUBUWWAH DARI ERA AL-RASYIDAH HINGGA ERA AL-AHMADIYAH (Khilafah Islmaiyah Dalam Persepektif Ahmadiyah) Oleh : M. Syaeful ‘Uyun * ALLAH SWT., melalui Kalam Suci-Nya, menegaskan, Muhammad bin Abdullah adalah Nabi dan Rasul Allah (Ali Imran, 3:144; Al-Ahzab, 33:40; Al-Fath, 48:29), diutus dengan membawa petunjuk dan agama yang benar (Al-Fath, 48:28), diberi wahyu Al-Quran (Al-Hijr, 15:87; An-Nahl, 16:44; As-Syu’ara, 26:192-194), diberi agama Islam (AlMaidah, 5:3; Al-Haj, 22:78), agama terakhir dan tersempurna (AlMaidah, 5:3; Ali Imran, 3:19), bergelar Khaataman-Nabiyyin (AlAhzab, 33:40), nabi paling sempurna, paling afdhal, dan penutup nabinabi qaumi – nabi yang bersifat kebangsaan, baik yang membawa syariat maupun yang tidak membawa syariat (Ibrahim, 14:4; Bani Israil, 17:55; Al-An’am, 6:84-90; Al-Baqarah, 2:87-91,253;), karena beliau diutus Allah untuk seluruh umat manusia (An-Nisa, 4:79; AlA’raf, 7:158; Saba’, 34:28), dan seluruh alam (Al-Anbiya, 21:107), disebut-sebut sebagai karunia bagi orang-orang beriman (Ali Imran, 3:164), dan pembuka pintu Nikmat Ilahi, berupa maqam-maqam rohani tertinggi: Nabi (ummati atau mutti’) -- Nabi yang, menjadi Nabi, semata-mata karena ke-ummatan dan ke-itaatan yang sempurna kepada baginda Nabi Muhammad SAW., bagi siapa saja dan bagi suku atau kebangsaan apa saja, maqam Siddiq, Syahid dan Shalih (An-Nisa, 4:69). Untuk mencapai maqam-maqam rohani tertinggi itu, umat Islam pun, paling tidak, 17 kali sehari semalam, dianjurkan Allah agar senantiasa berdoa untuk mendapatkan nikmatnikmat-Nya itu (Al-Fatihah, 1: 5-7), karena maqam-maqam rohani tertinggi itu akan diberikan Allah kepada siapa saja yang dikehendakiNya (An-Nisa, 4:70). Allah SWT, melalui Kalam Suci-Nya, juga menjanjikan kepada orangorang yang beriman dan beramal shaleh dari umat Muhammad SAW., bahwa sepeninggal baginda Nabi Muhammad SAW., Dia akan membangkitkan Khalifah-Khalifah sebagaimana Allah pernah membangkitkan Khalifah-Khalifah kepada orang-orang yang datang sebelum mereka: -----------------------------* Disajikan dalam Tasyakur 98 Tahun Beridirinya Khilafah ‘Ala Minhajin-Nubuwwah, yang diselenggearakan Jamaah Ahmadiyah Kota Makassar di Rumah Makan Wong Solo, Sabtu, 27 Mei 2006. Penulis adalah Mubaligh Jamaah Ahmadiyah Sulawesi Selatan, tinggal di Jl. Anuang No. 112, Makassar, Tlp. 0411-858635, HP. 08152546747 “Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dari antara kamu dan berbuat amal shaleh, bahwa Dia pasti akan menjadikan mereka itu khalifah di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan khalifah orang-orang yang sebelum mereka; dan Dia akan meneguhkan bagi mereka agama mereka, yang telah Dia ridhai bagi mereka; dan niscaya Dia akan menggantikan mereka sesudah ketakutan mereka dengan kemanan. Mereka akan menyembah Aku, dan mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu dengan Aku. Dan barangsia ingkar sesudah itu, mereka itulah orang-orang yang durhaka”. (An-Nur, 24:55) Arti Khilafat dan Nizam Khilafat “Khilafat” berasal dari kata kho-la-fa, berarti: menggantikan (to succesed), meninggalkan, pengganti atau pewaris (successor). “Nizam” (Urdu), atau “Nidhom” (Arab), berarti: sistem, tatanan atau peraturan. Nizam atau Nidhom Khilafat adalah sistem kepemimpinan dalam Islam. Kepemimpinan Khilafat lebih banyak bersifat kerohanian daripada keduniawian, bersifat agamis daripada politis. Kepemimpinan Khilafat, erat sekali hubungannya dengan Allah SWT,. Rumusan paling tepat dalam hal ini adalah apa yang disampaikan Khalifah Umar bin AlKhatab r.a. : “Sesungguhnya tidak ada Islam tanpa Jamaah, dan tidak ada Jamaah tanpa Imarah (Amir/Pimpinan), dan tidak ada Imarah tanpa taat”. (Riwayat Ad-Darimy, dari Tamim Ad-Daary, Sunan Ad-Darimy, Juz I, hal. 79). Islam adalah suatu tujuan yang ingin dicapai (penyerahan diri). Untuk mencapai tujuan ini diperlukan adanya Jamaah. Jamaah identik dengan organisasi. Jamaah atau organisasi tanpa pimpinan adalah suatu hal yang tidak mungkin. Keberadaan pimpinan dalam suatu organisasi adalah hal yang tak dapat dipisahkan. Pimpinan adalah sesuatu yang harus ditaati. Jadi, Pimpinan, Organisasi dan Ketaatan merupakan hubungan yang saling berkait. Dalam Islam, hubungan ini menjadi Khilafah, Jamaah dan Tho’ah untuk menjalankan suatu program yang telah ditetapkan. Hubungan inilah yang disebut dengan Nidhom atau Nizam Khilafat.*** Cara Pengangkatan Khalifah Cara pengangkatan Khalifah tidak sama dengan cara pengangkatan Nabi. Nabi diangkat oleh Allah SWT., langsung, dan kemudian Nabi itu sendiri mengumumkan kenabiannya kepada khalayak ramai. Disini akan terjadi yang pro dan yang kontra. Yang pro atau pendukung mulanya sedikit, tapi makin lama makin besar, sedangkan yang kontra atau penentang mulanya besar dan perkasa, tapi makin lama makin kecil atau sirna. Pengangkatan Khalifah polanya lain, meskipun kedua-duanya samasama diangkat oleh Allah SWT,. Khalifah, secara lahiriyah dipilih oleh manusia (orang-orang beriman), namun secara tersembunyi bekerja Tangan Allah SWT,. Sama halnya dengan kejadian dalam Perang Badar dimana Allah SWT., mengatakan : “Wa maa romaita idz romaita wa laakinnallooha romaa” -- “Dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, melainkan Allah-lah yang melempar”. (AlAnfal, 8:17) Saat Nabi di pilih belum ada satu pun orang beriman dan beramal saleh. Khalifah dipilih pada saat sudah ada dan sudah banyak orangorang beriman dan beramal saleh, di pilih dari dan oleh orang-orang beriman dan beramal saleh, dimana melalui mereka itulah bekerja tangan Allah SWT,. Tugas Khalifah identik dengan tugas Nabi. Jika Nabi bertugas: “LiyudhHirahu ‘alad-diini kulluihi “-- memenangkan agama (Islam), diatas agama-agama lain (As-Shaf, 61:9), maka seorang Khalifah tugasnya adalah melanjutkan dan menyempurnakan tugas Nabi tersebut. Khalifah adalah pengganti atau penerus Nabi. Jika seorang Khalifah secara penuh memikul tanggunjawab tugas seorang Nabi, maka oleh Nabi, dalam Hadits-nya, ke-Khalifahan tersebut, disebut: Khilafah ‘Ala Minhajin-Nubuwwah – Khilafah yang mengikuti jejak kenabian.*** Khalifah Wajib Adanya Bagi Muslimin Kehadiran Imarah atau Amir atau Khalifah adalah wajib adanya bagi Muslimin. Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan dan alasan, al : 1) Allah SWT, melalui Kalam Suci-Nya, telah merekomendasikan kepada orang-orang beriman dan beramal saleh, bahwa Dia pasti akan menjadikan Khalifah-Khalifah, sebagaimana Allah telah menjadikan Khalifah-Khalaifah kepada orang-orang yang datang sebelum mereka (An-Nur, 24:55). 2) Allah SWT, melalui Kalam Suci-Nya, telah menyuruh orang-orang beriman agar berpegang teguh kepada tali Allah (Nabi dan para Khalifahnya) seutuhnya, dan melarang bercerai berai (Ali-Imran, 3:103): hidup sendiri-sendiri, membuat golongan-golongan, dimana masing-masing bangga dengan kelompok atau golongannya, dan mengaku benarnya sendiri (Al-Mu’minun, 23:51-54) 3) Allah SWT, melalui Kalam Suci-Nya, telah menyuruh orang-orang beriman, agar senantiasa taat kepada Allah, taat kepada Rasul-Nya, dan taat kepada Ulil Amri (An-Nisa, 4:59). 4) Nabi Muhammad SAW., bersabda: “……Talzamu jamaatal-Muslimiina wa imaamahum……” – Tetaplah kamu pada Jama’ah Muslimin dan Imam mereka (Bukhari, Kitabul Fitan, Juz 4:225; Muslim, Kitabul Imarah, Juz 2:134-135) 5) Nabi Muhammad SAW., bersabda: “Man maata bighoiri imaamin maata miitatan jaahiliyyah” – Barangsiapa mati tidak mempunyai imam, maka matinya laksana mati jahiliyyah (HR. Ahmad dari Mu’awiyyah, Musnad Ahmad, Juz 4:96) 6) Khalifah ‘Umar bin Al-Khaththab r.a., bersabda: “Innahu laa Islaama illa bijamaatin, wa laa jamaata illa biimaarotin, wa laa imaarota illaa bithoo’atin”-- Sesungguhnya tidak ada Islam tanpa Jamaah, dan tidak ada Jamaah tanpa Imarah (Amir/Pimpinan), dan tidak ada Imarah tanpa taat (Ad-Darimy) 7) Pembai’atan Khalifah pertama Abu Bakar As-Shiddiq dilakukan lebih dahulu sebelum jenazah Rasulullah SAW., dikebumikan, begitu pula pada masa-masa penggantian ke-khalifahan berikutnya. Mengisyaratkan, Imamah itu harus ada dan berkesinambungan, tidak boleh terputus sedikit pun, sehingga Muslimin terpelihara dalam Jamaah Muslimin dan Imam mereka. 8) Bagaimana mungkin Muslimin dapat disebut sebagai Ummat kalau ditengah-tengah mereka tidak ada seorang Imarah atau Amir atau Khalifah. Sebab, tentu saja, tidak ada ummat tanpa pimpinan dan tidak ada pimpinan kalau dibelakangnya tidak ada ummat.*** Khilafah Islamiyah Dari Masa ke Masa Rasulullah SAW., mengkhabarghaibkan, empat era/periode akan mewarnai kepemimpinan Muslimin sepanjang perjalanan sejarahnya : “Dari Nu’man bin Basyir dari Hudzaifah bin al-Yaman r.a., berkata: Rasulullah SAW., bersabda: Adalah masa Kenabian itu ada di tengahtengah kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia telah menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang mengikuti jejak Kenabian (Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia telah menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menggigit (Mulkan ‘Adhan), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila ia telah menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menyombong ((Mulkan Jabariyyah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya, apabila ia telah menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang mengikuti jejak Kenabian (Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah). Kemudian (Nabi), diam”. (Musnad Ahmad bin Hanbal, Jilid 4:273).*** Era Kenabian Menurut Hadits Nabi diatas, era pertama ialah era Kenabian. Era ini, jelas merujuk kepada era Kenabian Nabi Muhammad SAW,. Nabi Muhammad SAW., memimpin Muslimin dalam satu Jama’ah dan Imamah. Kaum Muslimin hidup kompak dibawah pimpinan Allah dan Rasul-Nya itu. Dalam menjalankan kepemimpinannya, Nabi Muhammad SAW., tidak pernah mendirikan perkumpulan atau partai, atau negara, untuk mengamalkan Wahyu-wahyu Allah yang di wahyukan kepada beliau. Melainkan, setelah wayu diterima, kemudian diamalkan dan di da’wahkan kepada umat manusia. Mereka yang memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya itu, mengikuti beliau dan dengan berjamaah, mereka mengamalkan Wahyu-wahyu Allah dengan mengikuti perbuatan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW,. Orang pertama yang memenuhi seruan Rasulullah SAW., itu, ialah istri beliau, Khadijah dari kalangan wanita, Abu Bakar dari kalangan pria, dan Ali bin Abi Thalib serta Zaid bin Haritsah dari kalangan pemuda. Dari waktu ke waktu bertambah banyaklah jumlah kaum Muslimin dan Muslimat, termasuk shahabat-shahabat besar seperti ‘Utsman bin ‘Affan, Hamzah bin ‘Abdul Muthalib, ‘Umar bin Khaththab dan lainlainnya. Kaum Muslimin yang mengikuti Rasulullah SAW., itu adalah Jama’ah pertama, Jamaah Muslimin yang di pimpin Rasulullah SAW., sendiri. Masa kepemimpinan Rasulullah SAW., dalam kehidupan berjamaah bersama kaum Muslimin berkisar lebih kurang 23 tahun.*** Era Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah Era kedua ialah era Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah – Khilafah yang berpola kepada Kenabian Nabi Muhammad SAW., Era ini, merujuk kepada masa kepemimpinan Al-Khulafaur-Rasyidin Al-Mahdiyin -- Abu Bakar Ash-Shidiq, ‘Umar bin Khaththab, ‘Usman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib r.a. Era Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah ini, dimulai sejak wafatnya Rasulullah SAW,. Keempat Khalifah itu adalah para Khalifah yang dibenarkan oleh Rasulullah SAW., sebagai Khalifah-Khalifah yang mendapat pimpinan atau petunjuk yang benar dari Allah SWT,. Bahkan Rasulullah SAW., sendiri berwasiat kepada Muslimin agar selain berpegang teguh pada Sunnah beliau, juga berpegang pada Sunnah Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyin, seraya bersabda: “Aku berwasiat kepada kamu sekalian agar tetap bertaqwa kepada Allah, mendengar dan tha’at, sekalipun yang memimpinmu seorang budak Habsyi, karena orang yang hidup diantara kamu di kemudianku, akan melihat perselisihan yang banyak. Maka dari itu, hendaklah kamu berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin AlMahdiyin (para Khalifah yang mendapat petunjuk yang benar). Hendaklah kamu pegang teguh akan dia, dan kamu gigitlah dengan geraham. Dan kamu jauhilah perkara-perkara baru yang diadaadakan, karena sesungguhnya semua perkara yang diada-adakan itu bid’ah dan semua bid’ah itu sesat”. (HR. Ahmad dari Al-Irbadh bin Sariyah, Musnad Ahmad, Jilid 4:126127, Sunan Abu Dawud, Jilid 4:200-201) Sebagaimana pada masa kepemimpinan Rasulullah SAW., kaum Muslimin pada masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyin (11-40 H/632-661 M), ini pun hidup kompak dalam kehidupan berjama’ah dibawah satu pimpinan. Mereka tampil sebagai sebaik-baik umat yang dibangkitkan untuk sekalian manusia, hidup berjama’ah dengan satu pimpinan (Imam), yang memimpin ke arah takwa kepada Allah SWT,. Pada masa kepemimpinan ‘Usman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib, terjadi peristiwa yang dialami beliau berdua, yang menyebabkan keduanya menemui syahid. Peristiwa ini merupakan pelajaran berharga bagi kaum Muslimin, agar hal itu hendaknya tidak terulang lagi. Hingga kapan era Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah ini berlangsung? Said bin Jamhan, mengutip Sabda Rasulullah SAW., sbb : “Dari Sa’id bin Jamhan, ia berkata: Telah menghabarkan kepadaku Safinah, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW,: Khilafah pada umatku tiga puluh tahun, kemudian kerajaan sesudah itu. Lalu berkata kepadaku Safinah: Peganglah kekhalifahan Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Usman. Dan berkata kepadaku Safinah: Peganglah kekhalifahan ‘Ali. Berkata Safinah: Maka kami dapatkan Khilafah itu tiga puluh tahun. Berkata Sa’id: Maka saya berkata kepada Safinah: Sesungguhnya Bani ‘Umayyah mengaku Khalifah itu ada pada mereka. Safinah berkata: Berdusta Bani Az-Zarqai, bahkan mereka itu raja dari sejelek-jelek raja”. (HR. At- Tirmidzi ) Safinah benar, karena masa ke-Khilafahan Al-Khulafaur-Rasyidin AlMahdiyin, Khilafat ‘Ala Minhajin Nubuwwah, Abu Bakar Ash-Shiddiq, ‘Umar bin Khaththab, ‘Usman bin ‘Affan, dan ‘Ali bin Abi Thalib, berkisar 30 tahun (632-661 M).*** Era Mulkan ‘Adhon dan Mulkan Jabariyyatan Era ke tiga, setelah era Khilafah yang menempuh jalan Kenabian -Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah, dengan kehendak Allah berakhir, ialah era Mulkan Adhan -- kerajaan-kerajaan yang mengigit, dan Mulkan Jabariyyatan -- kerajaan yang menyombong/takabur. Tarikh mencatat, setelah syahidnya Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan tampil memimpin Muslimin dan dialah yang merubah kepemimpinan Muslimin menjadi kerajaan. Dia menjadi raja pertama dari keturunan ‘Umayyah, datuknya. Dalam sebuah Arsar dari ‘Abdurrahman bin Abi Bakrah disebutkan, Mu’awiyyah berkata pada Abi Bakrah: “Apakah kamu mengatakan kami raja? Maka kami sungguh ridha dengan Raja”. (Musnad Ahmad, Jilid V:50). Mu’awiyyah memegang kendali kepemimpinan Muslimin dari 41-80 H (661-680 M). Kemudian diteruskan oleh putranya, Yazid, lalu diteruskan oleh keturunan Bani Umayyah lainnya sampai raja yang terakhir Marwan bin Muhammad bin Marwan (128-131 H/744-750 M), yang dilenyapkan oleh Abu ‘Abbas ‘Asafah. Secara keseluruhan sistim kerajaan (Mulkan ‘Adhan maupun Mulkan Jabariyyatan), yang menggantikan sistim Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah, dapat disimpulkan dalam table berikut: Jenis Kepemimpinan Jarak Masa Jumlah Khalfiah/Raja Penguasa Pemerintahan Dinasti Umayyah di Damaskus 661-750 M 14 Pemerintahan Dinasti Abbasiyyah di Baghdad 750-1258 M 37 Pemerintahan Dinasti ‘Abbasiyyah di Kairo 1261-1517 M 18 Pemerintahan Dinasti ‘Utsmaniyyah di Turki 1517-1924 M 36 Dunasti yang bersamaan dengan Khilafat ‘Abbasiyyah Pemerintah Dinasti Umayyah Di Spanyol 756-1031 M 16 Pemerintahan Dinasti Fatimiyyah Di Mesir 909-1171 M 14 Jumlah keseluruhan Khilafat/Raja/Penguasa : 135 Pada kedua zaman ini, sekalipun Muslimin kelihatannya maju pesat dan Islam meluas ke seluruh Jazirah Arabia, Asia Selatan, Afrika dan sebagian Eropa, namun terdapat keretakan di bagian dalam. Kepemimpinan secara Sunnah Rasulullah SAW., yang diikuti oleh Khulafaur-Rasyidin Al-Mahdiyyin, telah mulai terhapus pada zaman ini dan digantikan dengan kepemimpinan secara turun temurun (Dinasti/Kerajaan). Kesatuannya bukan lagi berbentuk Jama’ah, tetapi Mulkan (Kerajaan). Memang, tidak semua raja pada era ini konditenya buruk. Dari antara mereka juga ada yang saleh-saleh, bahkan Umar bin ‘Abdul Azis r.h, salah seorang diantara raja-raja Bani Umayyah, disebut-sebut sebagai Khalifah Al-Rasyidah ke lima. Secara zahir, Muslimin pun masih berada dibawah satu pimpinan, hingga Mulkan Adhan dan Mulkan Jabariyyatan dihapuskan oleh Allah SWT., dengan runtuhnya Dinasty ‘Utsmadiyyah di Turki pada tahun 1342 H/1924M, setelah lebih dahulu pada 1 Nopember 1922 M, Sultan Muhammad IV diturunkan dari tahtanya oleh Turki Muda Nasional pimpinan Mustafa Kemal Pasya. Masa kekuasaan Mulkan Adhan dan Mulkan Jabariyatan, berlangsung sekitar 1263 tahun (661 M – 1924 M). Mengisi kevakuman selama masa ini, Khilafah yang mengikuti jejak Kenabian, diamanahkan Allah SWT., kepada para Mujadid, yang bangkit di setiap permulaan abad, sesuai dengan janji-Nya kepada Nabi Muhammad SAW.,: “Innallooha yab’atsu lihaadihil ummati ‘alaa ra’si kulli miatin sanatin mayujaadi laha diinaha” – Sesungguhnya Allah berjanji kepada umat ini bahwa pada setiap permulaan abad, Dia akan membangkitkan seorang Mujadid yang akan memperbaharui bagi mereka agama mereka (Abu Dawud). Nawwab Siddiq Hasan Khan, ‘Ulama kenamaan asal Hindustan, dalam bukunya berjudul Al-Hujajul Kiromah, mengemukakan, Mujadid yang dijanjikan Allah itu telah datang pada masanya, sepanjang 13 abad terakhir, al: NO PERIODE NAMA MUJADID 01 Abad I Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, r.h. 02 Abad II Imam Syafi’I, sebagian berkata: Ahmad ibni Hanbal, r.h. 03 Abad III Imam Abu Syarah atau Abu Hasan ‘As’ari, r.h. 04 Abad IV Imam Abu Ubaidullah dan Qadi Abubakar Baqlani, r.h. 05 Abad V Imam Al-Ghazali, r.h. 06 Abad VI Imam Abdul Qadir Al-Jailani, r.h. 07 Abad VII Imam Ibnu Taimiyah dan Chawaja Mu’inuddin Chisti, r.h. 08 Abad VIII Imam Hafiz Ibnu Hajar Asqalani dan Saleh Ibnu ‘Umar, r.h. 09 Abad IX Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, r.h. 10 Abad X Imam Muhammad Tahir Gujrati, r.h. 11 Abad XI Imam Mujaddid Alfi Sarhadi, r.h. 12 Abad XII Imam Syekh Waliyullah Delhi, r.h. 13 Abad XIII Imam Sayyid Ahmad Bareluwi, r.h. 14 Abad XIV Orang-orang ‘alim sepakat, Mujaddidnya, ialah: Imam Mahdi-Isa bin Maryam Yang Dijanjikan (Masih Mau’ud) Mereka inilah Imam-Imam Zaman, ‘Ulama-‘Ulama al waratsatul Anbiyaa, yang oleh Nabi SAW., diilustrasikan sebagai: “Matsalu ashhaabii matsalun-nujuum, maniqtadaa bisyaiim-minha-Htada” -- Sahabatsahabatku bagaikan bintang-bintang yang bertaburan, siapa pun yang kamu ikuti, kamu akan mendapat petunjuk yang benar (Ad-Daarami), dimana Nabi SAW., menegaskan: “Man-lam ya’rif imaama zamaanihi faqad maata miitatan jaahiliyyatan” – Barangsiapa yang tidak kenal dengan Imam Zamannya, lalu dia mati, maka matinya adalah laksana mati Jahiliyah (Abu Dawud), dan : “Man maata bighairi imaamin maata miitatan jaahiliyyatan” – Barangsiapa mati tidak mempunyai Imam, maka matinya laksana mati jahiliyyah (Musnad Ahmad).*** Kembali Ke Era Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah Era ke empat, setelah era Mulkan ‘Adhan dan Mulkan Jabariyatan berakhir sesuai dengan kehendak Allah, maka kepemimpinan Islam, menurut Rasulullah SAW., akan kembali ke era Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah: “Tsuma takuunu Khilafatan ‘ala minhajin Nubuwwah”, -kelak, kemudian, akan berdiri lagi Khilafah yang berpola dan mengikuti jejak Kenabian Muhammad SAW,. Pasca era Mulkan ‘Adhan dan Mulkan Jabariyatan berakhir, upaya untuk mendirikan kembali sistim Khilafah sudah seringkali dilakukan ulama-ulama dan pemimpin-pemimpin dunia Islam. Menurut mereka, Khilafah wajib adanya bagi Muslimin, dan era dimana sekarang ini berada adalah era berdirinya kembali Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah, sesuai dengan Sabda Nabi Muhammad SAW,. Tahun 1919, di India dibentuk All India Khilafat Conference oleh tokoh-tokoh Muslim India, seperti Syaukat Ali dan saudaranya Muhammad Ali. Lembaga ini dibentuk untuk menjaga keutuhan lembaga Khilafat dan mengusir Kolonial Inggris yang menduduki negeri-negeri Muslim di Timur Tengah umunya, dan melakukan penindasan di India, khususnya. Harapan utama gerakan ini tertumpu pada kebijakan Mustafa Kemal Pasya. Namun, setelah mengadakan dua kali konferensi, di India pada 1919, dan di Karachi pada 1921, harapan gerakan ini hancur, setelah Mustafa Kemal Pasya, menghapus kekhilafahan Turki ‘Utsmani (Mulkan ‘Utsmaniyyah), untuk selamalamanya dari bumi Turki pada 3 Maret 1924. Tahun 1926, di Mekah Saudi Arabia, berlangsung Kongres Islam Sedunia, atas prakarsa Raja Ibnu Sa’ud. Mewakili Muslim Indonesia, hadir H.O.S. Tjokro Aminoto dari Syarikat Islam, K.H. Mas Mansur dari Muhamadiyah, dan H.A. Karim Amarullah, ayahanda yang terhormat Buya Hamka. Tetapi, kongres ini tidak berhasil mewujudkan apa yang menjadi cita-cita. Saudi Arabia menolak usulan kongres untuk menghidupkan kembali lembaga Khilafah. Dalam pandangan Saudi Arabia, para utusan kongres terlalu mengaikan masalah Islam dan Muslimin dengan politik. Tahun 1974, di Lahore, Pakistan, berlangsung Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam. Tiga puluh delapan negara hadir dalam KTT ini, pesertanya terdiri atas Kepala Negara, Perdana Menteri, dan MenteriMenteri Luar Negeri. Presiden Uganda, Idi Amin, mengusulkan agar Khilafah bagi Muslimin dibahas dalam KTT ini, bahkan dia mencalonkan Raja Faisal dari Saudi Arabia untuk menduduki jabatan Khilafah itu. Usul Presiden Idi Amin, didukung oleh Senegal. Prsiden Anwar Sadat dari Mesir, dan Pemimpin Libya, Mu’amar Gadafi, serta Presiden Abdel Rahman Al-Iryani dari Yaman Utara, bahkan mengusulkan agar Raja Faisal mau menerima gelar Pangeran Umat Beriman. Tetapi, usul Idi Amin dan wakil dari Senegal itu tidak mendapat respons KTT. Masalahnya seperti angin lalu saja. Keputusan tidak ada, penolakan pun tidak ada. Upaya menegakan lembaga Khilafah pun, kembali menemui jalan buntu. Tahun 1953, di Al-Quds, Yorusalem, Palestina, Syaikh Taqiyuddin AnNabhani, mendirikan Hizbu Tahrir – Partai Pembebasan. Hizbu Tahrir, yang kini berpusat Internasional di Yordania dan telah berkembang di 30 negara itu, mengklaim sebagai partai politik idiologis dengan tujuan menjadikan idiologi Islam sebagai lampu penerang dalam kegelapan sekularistik yang membelenggu dunia saat ini. Menegakan Khilafah Islamiyah merupakan inti perjuangan, dan tema sentral kampanyekampanyenya. Menurut Hizbu Tahrir, syariah tidak bisa tegak tanpa Khilafah. Syariah tidak bisa ditegakan melalui demokrasi, sebab demokrasi bukan sistem pemerintahan berdasarkan wahyu Allah SWT., melainkan hanya berasal dari akal pikir manusia. Demokrasi akidahnya sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan, sedangkan Islam akidahnya Dua Kalimah Syahadat. Demokrasi, kata mereka, mengandung sejumlah fakta yang mengantarkan kepada keharaman. Maka, tidaklah mengherankan, jika ditengah masa krisis multi dimensi melanda dunia, termasuk melanda bangsa Inonesia saat ini, Hizbu Tahrir gigih dan gencar sekali menyampaikan seruan: “Wahai kaum Muslimin, sadar dan bangkitlah! Hanya dengan Khilafah, syariat Islam yang dirindukan, dapat diterapkan ditengah kalian. Hanya dengan Khilafah kalian dapat merajut kembali benang-benang kejayaan dan keemasan seperti sejarah umat terdahulu. Wahai kaum Muslimin, sadar dan bangkitlah! Ingatlah bahwa Allah mewajibkan kalian taat pada satu Ulil Amri, yang kalian bai’at sendiri sebagai Khalifah/Imam. Allah juga mewajibkan kalian mengemban dakwah dan jihad ke seantero dunia. Dan semua itu hanya dapat terwujud, dengan tegaknya Khilafah Islamiyah………..Sunguh benar apa yang dikatakan Rasulullah dalam Sabdanya: “Dan akan kembali lagi sistem Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” (Lembar Dakwah, Jumat, 25 Maret 2005) Dan, meneriakan yel-yel: Tolak Kepemimpinan Sekuler. Tegakan Khilafah. Terapkan Syari’ah. Ganti Sistemnya. Jangan Cuma Orangnya. Satukan Pikiran dan Langkah. Angkat Kepala Negara Yang Mau Menegakan Syari’ah. Khilafah is The Only Sulution. Islam, Yes! Sekularisme, Kapitalisme, No! Di Indonesia, H. Harry Moekti, mantan rocker, yang akrab disapa Kang Harry, termasuk salah seorang pendukung dan penganjur gerakan menegakan kembali lembaga Khilafah Islamiyah yang di gagas dan di usung Hizbu Tahrir ini. Ia kerap kali turun ke berbagai daerah di tanah air – termasuk Makassar, untuk mengkampanyekan dan mensosialisasikan ide dan gagasan yang di usungnya. Akan tetapi, sudah lebih setengah abad, Hizbu Tahrir berjuang, Khilafah Islamiyah yang dicita-citakan, tak juga kunjung menjadi kenyataan. Khilafah Islamiyah, hingga saat ini, masih menjadi tema yang dikampanyekan dan diwacanakan, belum menjadi kenyataan.*** Khilafah Jamaah Muslimin Wali Alfattah Pada dekade tahun 50-an, di Indonesia ada kelompok Islam yang konsens dengan penegakan kembali Khilafah, bernama Jamaah Muslimin Hizbullah. Kelompok yang di pimpin Wali Alfattah ini, tak hanya konsens dengan penegakan kembali Khilafah, bahkan mengklaim telah menegakan kembali Khilafah, dengan membai’at Wali Alfattah sebagai Khilafah pada musyawarah Ahlul Halli Wal Aqdi ke dua, (6-8 Pebuari 1959), di Mesjid Taqwa, Petojo Sabangan, Jakarta. Langkah kelompok ini lebih maju dibanding dengan kelompok Islam yang lain. Ia menjadikan Surah Ali Imran ayat 102-103, dan Hadits Nabi yang diriwayatkan Hudzaifah bin Al-Yaman, sebagai pijakan argumentasi ke-Khilafahannya. Tetapi, Khilafah Jamaah Muslimin Hizbullah Wali Alfattah ini, tampaknya hanya Khilafah biasa saja, seperti dalam jamaah-jamaah yang lain. Dilihat dari latarbelakang, fungsi dan esensi, tidak memiliki kriteria dan tidak memiliki syarat sebagai Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah seperti yang dinubuwatkan Nabi. Gerakan Khilafah Wali Alfattah ini juga tidak global, hanya di Indonesia saja, itu pun hanya terkonsentrasi di Jawa, khususnya Jawa bagian barat dan tengah.*** Faktor Penyebab Kegagalan Muslimin Mendirikan Khilafah Kenapa usaha-usaha yang dilakukan berbagai kelompok Islam untuk mendirikan kembali Khilafah Islamiyah selalu menemui jalan buntu dan tak kunjung menjadi kenyataan? Bukankah Khilafah Islamiyah merupakan cita-cita dan harapan umat Islam? Dan, bukankah di dibawah panji Khilafah Islamiyah itulah terletak kejayaan Islam dan umat Islam? Inilah pertanyaan-pertanyaan penting yang harus dicarikan jawabannya, dan sangat baik juga dijadikan bahan renungan umat Islam, aktivis pejuang berdirinya kembali ke-Khilafahan, setelah hampir satu abad (1924-2006=82 tahun), berjuang. Dalam visi saya, ada dua faktor yang menyebabkan Muslimin, selalu gagal dalam perjuangannya menegakan kembali lembaga Khilafah: Pertama, terjadinya pemahaman dan penafsiran yang berbeda atas kedudukan Khilafah Rasulullah SAW., dan atas nash Al-Quran Surah An-Nisa ayat 59. Sebagian ada yang memahami Khilafah atau Ulil Amri itu, kedudukan politik, dan sebagian lagi memahami Khalifah atau Ulil Amri itu kedudukan Dien. Disini terjadi tarik menarik. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila rencana mewujudkan Khilafah selalu menemui kegagalan, meskipun konferensi berulang-ulang dilakukan. Khilafah dalam Muslimin pun terkatung-katung dan, tanpa terasa, sudah 82 tahun menggantung. Padahal, Khilafah/Imamah wajib adanya bagi Muslimin, dan wajib terus ada selama Muslimin dan Mu’minin masih ada, selama-lamanya hingga Hari Qiyamat kelak. Jalan keluar dari kesulitan ini, sesungguhnya mudah, sederhana sekali. Jika Khilafah Rasullah SAW., dan nash Al-Quran Surah An-Nisa ayat 59, difahami secara Dien, yang berarti kedudukan Khilafah atau Ulil Amri itu, coraknya agamis, bukan politis, maka Rasulullah SAW., dan Khulafaur-Rasyiddin-lah contohnya. Tetapi, jika kedudukan Khilafah atau Ulil Amri itu coraknya politis, bukan agamis, maka Mulkan-Mulkan itulah contohnya, seperti Dinasti ‘Umayyah, ‘Abbasiyyah dan ‘Utsmaniyah. Para aktivis pejuang penegakan kembali Khilafah tinggal memilih, model ke-Khilafahan mana yang mau dipakai. Model ke-Khilafahan Rasulullah SAW., dan Khulafaur-Rasyiddin Al-Mahidyyin – Abu Bakar, ‘Umar, ‘Usman, dan ‘Ali, r.a., ataukah model Mulkan-Mulkan – ‘Umayyah, ‘Abbasiyah dan ‘Utsmaniyah. Kalau model ke-Khilafahan Rasulullah SAW., dan Khulafaur-Rasyiddin Al-Mahdiyyin yang dipilih, berarti tidak harus punya wilayah kekuasaan (toritorial), karena agama menyangkut hati nurani manusia, dan Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrat manusia manapun (Ar-Rum, 30:30), berlaku untuk seluruh alam (Al-Anbiya, 21:107) dan seluruh umat manusia (Saba’, 34:28). Untuk mewujudkan harapan, cita-cita, dan perjuangan menegakan Khilafah model ini, metodenya adalah da’wah sesuai dengan petunjuk Al-Quran (Ali Imran, 3:104; An-Nahl, 16:125, Fushshilat, 41:33-34), dan contoh Rasulullah SAW,(AtTaubah, 9:128-129; Ali Imran, 3:159; Asy-Syu’araa, 26:214-217; Al‘An’am, 6:50-52, dll). Kalau model Mulkan-Mulkan – ‘Umayyah, ‘Abbasiyyah dan ‘Utsmaniyah, yang dipilih, berarti harus punya wilayah kekuasaan, punya toritorial, punya negara. Karena, tidak mungkin ada Penguasa (Raja, Khalifah, Emir, atau apa pun namanya), tanpa wilayah kekuasan. Memilih model kedua, ada kendala cukup berat, karena Muslimin dimana pun saat ini, harus mencari pulau lain di planet bumi ini untuk mendirikan negara baru sebagai wilayah kekuasaan Mulkan, atau mengambil kekuasan – dengan suka rela atau terpaksa, dari tangan salah satu penguasa di suatu negara dimana saja di planet bumi ini, lalu berkuasa dan menjalankan roda kekuasan dengan corak Mulkan, seperti yang pernah dilakukan ‘Umayyah, ‘Abbasiyah, dan ‘Utsmaniyah. Insya Allah, jika konsep ini digunakan, para aktivis pejuang penegakan kembali lembaga ke-Khilafahan yang bercorak Mulkan, akan menjadi kenyataan. Tetapi, jika model kedua ini yang dipilih dan berhasil, Islam sebagai rahmatan-lil’alamiin, pengaruhnya terbatas diwilayah Mulkan itu saja, tidak global – lil ‘alam dan linnaasi. Bisa mengglobal, jika Mulkan itu menjadi Imperium dunia. Dan itu, adalah sangat mustahil. Kedua, Para aktivis pejuang penegakan kembali lembaga Khilafah, agaknya telalu melihat lembaga Khilafah itu – Al-Rasyidah atapun AlMulkan, sebagai lembaga yang bercorak politis, ketimbang bercorak agamis. Kentalnya visi mereka bahwa lembaga Khilafah adalah lembaga bercorak politis, menyebabkan mereka lupa, dan melampaui kewenangan Allah, bahkan mengambil hak prerogatif Allah. Dari uraian diatas kita mengetahui, setelah era Mulkan ‘Adhan dan Mulkan Jabariyyatan berakhir, akan berdiri Khilafah yang berpola dan mengikuti jejak kenabian Muhammad SAW,. – Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah, sebagaimana pernah terjadi dan berlangsung dimasa ke- Khalifahan Abu Bakar, ‘Umar, ‘Usman, dan ‘Ali, r.a., selama 30 tahun sejak wafatnya Rasulullah SAW,. Ini berarti, Khilafah pasca MulkanMulkan itu, coraknya agamis, bukan bercorak politis. Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah, Al-Khulafaur-Rasyidin Al-Mahdiyyin – Abu Bakar Ashshiddiq, ‘Umar bin Khaththab, ‘Usman bin ‘Affan, dan ‘Ali bin Abi Thalib, r.a., secara lahir dipilih oleh manusia – orang-orang beriman, tetapi pada hakikatnya mereka dipilih oleh Allah, karena dibelakang mereka bekerja Tangan Allah. Hal demikian sesuai dengan janji Allah SWT., Sendiri (An-Nur, 24:55), dan cara kerjanya, sama dengan ketika Nabi SAW., melempar musuh di medan pertempuran Badar (Al-Anfal, 8:17). Ini artinya, mengangkat Khilafah yang bercorak agamis – ‘Ala Minhajin Nubuwwah, adalah kewenangan Allah, dan hak prorogatif Allah. Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah I, Al-Khulafaur-Rasyidin AlMahdiyyin, berdiri setelah sebelumnya diawali dengan kebangkitan seorang Reformer Agung, Rasulullah Muhammad SAW,. Setelah Sang Reformer wafat, orang-orang beriman berkumpul, lalu mengadakan pemilihinan Pemimpin Pengganti -- Khilafah, dimana dibelakangnya bekerja Tangan Allah, dan saat itu, Mu’minin sepakat memilih dan membai’at Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., sebagai Khilafah Manhaj anNubuuwah I. Cara yang sama dilakukan saat memilih ‘Umar bin Khaththab r.a., sebagai Khilafah Manhaj an-Nubuwwah II, ‘Usman bin ‘Affan r.a., sebagai Khilafah Manhaj an-Nubuuwah III, dan ‘Ali bin Abi Thalib r.a., sebagai Khilafah Manhaj an-Nubuuwah IV. Sebelum wafat, Khalifah Abu Bakar r.a., memang sempat menulis wasiat untuk memilih ‘Umar bin Khaththab r.a., sebagai Khalifah. Saat Khalifah ‘Umar r.a., masih hidup, Khalifah ‘Umar r.a., membentuk sebuah majlis untuk memilih Khalifah bilamana beliau meninggal, terdiri dari 6 orang sahabat senior, yaitu: ‘Usman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqash, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah. Tetapi, dalam pelaksaan pemilihan Khilafah, esensinya sama: Syuura. Kebangkitan Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah II, pasti tidak akan lepas dari metode dan mekanisme tersebut. Diawali dengan kebangkitan seorangang Reformer, lalu setelah Sang Reformer itu wafat, Mu’minin berkumpul mengadakan pemilihan Pemimpin Pengganti -- Khalifah, yang dibelakang mereka bekerja Tangan Allah. Hal demikian, selain selaras dengan petunjuk Al-Quran (Ali Imran, 3:159; Asy-Syuura, 42:38), juga sangat logis. Sebab, bagaimana bisa ada Pemimpin Pengganti -- Khilafah, jika tidak ada yang diganti.*** Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah Itu Telah Berdiri Sesungguhnya, hari ini, 27 Mei, 98 tahun yang lalu, atau 16 tahun sebelum Khilafah Mulkan ‘Utsmaiyah berakhir, tepatnya tanggal 27 Mei 1908, Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah II itu, telah berdiri. Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah II, berdiri, setelah sebelumnya diawali dengan kebangkitan seorang Reformer, Mirza Ghulam Ahmad, yang atas dasar wahyu yang diterimanya, ia mengaku diutus Allah sebagai Mujadid A’dham abad XIV H., Imam Mahdi-Masih Mau’id a.s., dengan missi melanjutkan risalah Rasulullah Muhammad SAW,: Yuhyiddiina wa yuqimus- syari’ah -- menghidupkan agama dan menegakan syariat Islam, dan Liyud hirahu ‘alad-diini kullihi -- memenangkan agama Islam diatas semua agama. Untuk menyempurmnakan missinya, pada 23 Maret 1889, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s., mendirikan jamaah/organisasi bernama: Jama’ah Ahmadiyah. Ahmadiyah hanyalah wadah perjuangan, didirikan hanya untuk membedakan wadah perjuangan ini dengan wadah-wadah perjuangan yang lain. Nama Ahmadiyah diambil dari nama Rasulullah SAW., yang ke dua, Ahmad. Mengisyaratkan, warna perjuangan Jama’ah Ahmadiyah dalam upaya: Yuhyiddiina wa yuqimus- syari’ah -- menghidupkan agama dan menegakan syariat Islam, dan Liyud hirahu ‘alad-diini kullihi -memenangkan agama (Islam), diatas semua agama, hanya dengan sifat Jamali – keindahan dan keluhuran akhlak Islam dan akhlaq Rasulullah Muhammad SAW., bukan dengan sabetan pedang. Tiga tahun sebelum kewafatannya, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Mujadid A’dham abad XIV H., Imam Mahdi-Masih Mau’id a.s., mengabarkan kepada orang-orang yang mengimaninya, bahwa sepeninggal beliau akan tampil Kudrat kedua. Yang dimaksud Kudrat kedua oleh beliau ialah Khalifah-Khalifah, seperti Abu Bakar, ‘Umar, ‘Usman, dan ‘Ali, r.a., sepeninggal Rasulullah SAW,. “Aku lahir sebagai suatu Kudrat dari Tuhan. Aku adalah Kudrat Tuhan yang berjasad. Kemudian, sesudah aku, akan ada lagi beberapa wujud yang jadi mazhar – cerminan atau tempat zahir – Kudrat kedua….Hendaknya, tiap jemaat para salihin di tidap negeri senantiasa berhimpun dan terus menerus berdoa, supaya Kudrat ke dua turun dari langit….Hendaknya, aorang-orang tua jemaat yang berjiwa suci, sepeninggalku menerima bai’at atas namaku dari orang-orang….”, pesan Pendiri Ahmadiyah kepada orang-orang yang mengimannya, seperti ditulis beliau dalam bukunya berjudul: Al-Wasiat. Tanggal 26 Mei 1908, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s., wafat. Tanggal 27 Mei 1908, sesuai dengan pesan Imamuz-Zaman, dan sesuai dengan petunjuk Al-Quran (Ali Imran, 3:159; Asy-Syuura, 42:38), juga Sunnah para Sahabat Rasulullah SAW., orang-orang yang mengimani Mirza Ghulam Ahmad, sebagai Mujadid A’dham abad XIV H., Imam Mahdi-Masih Mau’id a.s., berhimpun dan berdoa, kemudian melakukan Syuura, memilih Imam Pengganti – Khilafah. Syuura, sesuai dengan Sunnah para sahabat Rasulullah SAW., dilakukan secepatnya, karena jasad Imam terdahulu, tidak dapat dikebumikan sebelum Imam pengganti terpilih. Syuura, secara aklamasi, memilih Hadhrat al-Haj Maulana Hakim Nuruddin, sebagai Khalifatul Masih I. Cara yang sama, dilakukan saat memilih Hadhrat al-Haj Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad sebagai Khalifatul Masih II, (1914), Hadhrat al-Hafiz Mirza Nasir Ahmad sebagai Khalifatul Masih III (1965), Hadhrat Mirza Thahir Ahmad sebagai Khalifatul Masih IV (1982), dan Hadhrat Mirza Masroor Ahmad sebagai Khalifatul Masih V (2003), hingga sekarang. Dengan demikian, silsilah Khilafah ini, sudah berada di era silsilah Khilafah yang ke-5, dan 98 tahun sudah (27 Mei 1908-27 Mei 2006), silsilah Khilafah ini berdiri. Proses berdirinya Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah II, memiliki kesamaan dengan proses berdirinya Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah I, : 1). Sama-sama diawali dengan kebangkitan seorang Reformer : Muhammad – Rasulullah SAW., dan Ahmad – Imam Mahdi-Masih Mau’ud a.s,. 2). Sama-sama dipilih dari dan oleh orang-orang beriman, dengan cara yang diajarkan Al-Quran dan dicontohkan Rasulullah SAW., : Syuura (Ali Imran, 3:159; Asy-Syuura, 42:38). 3). Sama-sama memikul tugas risalah Nabi : memenangkan agama (Islam), diatas semua agama (Ash-Shaf, 61:9). 4). Sama-sama bercorak agamis, bukan bercorak politis. Wilayah kekuasannya universal-global, tidak mengenal toritorial batas negara, meliputi seluruh alam dan seluruh hati umat manusia. Silsilah Khilafah ini, dalam sapaan keseharian biasa disebut: Khilafah Al-Masih atau Khilafah Al-Ahmadiyah. Disebut Khilafah Al-Masih atau Khalifatul Masih, karena ia merupakan pengganti atau pelanjut dari Mujadid A’dham abad XIV yang menyandang gelar Al-Masihil Mau’ud. Disebut Khilafah Al-Ahmadiyah atau Khalifah Ahmadiyah, kerena ia berada dalam silsilah Jamaah Ahmadiyah, dengan segala ciri dan karakternya. Tetapi, esensi fungsi dan missi dari Khilafah ini ialah melaksanakan tugas Risalah An-Nubuwwah Muhammad SAW., yakni: Liyud hirahu ‘alad-diini kullihi – memenangkan agama (Islam) diatas semua agama (Ash-Shaf, 61:9). Oleh karena itu, istilah Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah, menjadi namanya juga, dan menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari silsilah Khilafah ini.*** Tugas Kihalafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah Yang Telah dan Sedang Dilaksanakan Berdirinya Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah II, telah menjawab harapan dan cita-cita umat Islam kini maupun dimasa depan. Oleh karena itu, sesuai dengan fungsi dan missinya, Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah II ini pun sedang giat melaksanakan tugas Risalah AnNubuwwah : Liyud hirahu ‘alad-diini kullihi – memenangkan agama (Islam) diatas semua agama (Ash-Shaf, 61:9), setidaknya, dalam empat hal berikut: 1. Memperbaiki aqidah, ibadah dan akhlaq. Islam dengan tegas mengajarkan, Allah itu Al-Hayy – Mahahidup (Al-Baqarah, 2:255). Tetapi, dalam umat Islam berkembang kepercayaan bahwa Allah sudah tidak berwawancakap lagi, sudah tidak menurunkan wahyu lagi sepeningal Rasulullah SAW,. Maka, tidak heran, jika Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah Al-Ahmadiyah, memperbaiki dan mengoreksi kepercayaan tersebut. Allah, Tuhan kita, adalah Allah Yang Mahahidup. Dahulu hidup, sekarang hidup, dan akan tetap hidup. Dahulu bicara, sekarang bicara, dan akan tetap bicara, sesuai dengan sifat Al-Mutakalimun-Nya. Dahulu ber-mukallamah mukhatabah dengan hamba-hamba pilihan-Nya, sekarang ber-mukallamah mukhatabah dan akan tetap terus ber-mukallamah mukhatabah. Dahulu menyampaikan wahyu, sekarang menyampaikan wahyu, dan akan tetap terus menyampaikan wahyu. “Memang benar, karena segala kebutuhan telah terpenuhi, maka syariat serta hukum-hukum peraturan telah berakhir. Dan, dengan sampainya segala kerasulan serta kenabian ke tapal-batas terakhir, yang terwujud dalam pribadi Junjungan kita Muhammad SAW., maka kerasulan serta kenabian itu sampailah sudah ke martabat yang sempurna. Tetapi, sungguh tidak benar, anggapan, dimasa lampau Tuhan suka bercakap-cakap, akan tetapi diwaktu sekarang ini Dia tidak lagi bercakap-cakap. Kami tidak membatasi tugas dan bercakap-cakap Tuhan sampai pada zaman tertentu. Tidak syak lagi, sekarangpun Dia siap melimpahkan karunia dari sumber mata air Ilham kepada para pencahari (Kebenaran) seperti halnya dahulu-dahulu. Sekarang pintu karunia-Nya terbuka seperti halnya dahulu-dahulu. Ketahuilah, segala pintu dapat tertutup, tetapi pintu untuk datangnya Rohulkudus itu tidak pernah tertutup”, kata Sang Imamuz-Zaman, seperti dituturkan dalam bukunya: Filsafat Ajaran Islam dan Bahtera Nuh. Tidak heran, jika setiap orang yang bernaung dibawah silsilah Khilafah Al-Ahmadiyah ini, diikat dengan ikatan bai’at : Tidak akan mempersekutukan Allah hingga masuk ke liang kubur, tidak akan bohong, zinah, pandangan birahi terhadap bukan muhrim, fasik, kejahatan, aniaya, khianat, mengadakan huru hara, memberontak, serta tidak akan dikalahkan oleh hawa nafsunya walaupun bagaimana juga dorongan terhadapnya. Senantiasa akan mendirikan shalat lima waktu, ditambah shalat Tahajud, menyampaikan pujian kepada Allah SWT, dan Shalawat kepada Rasulullah SAW,. Tidak akan mendatangkan kesusahan apa pun terhadap makhluk Allah umumnya dan kaum Muslimin khususnya. Akan tetap setia kepada Allah dalam segala keadaan: susah, senang, suka, duka, nikmat ataupun musibah. Akan berhenti dari adat yang buruk dan dari menuruti hawa nafsu, dan benar-benar akan menjunjung ringgi perintah Al-Quran Suci. Akan meninggalkan takabur dan sombong. Akan menghargai agama, kehormatan agama dan mencintai Islam lebih daripada jiwanya, anak-anaknya, dan dari segala yang dicintainya. Akan menaruh belas kasih kepada makhluk Allah umumnya, dan sejauh mungkin akan mendatangkan faedah kepada umat manusia dengan kekuatan dan nikmat yang dianugrahkan Allah kepadanya, dll, dll., yang semuanya ini dilakukan dalam upaya mengadakan perbaikan aqidah, ibadah, dan akhlaq umat. 2. Membangun Jamaah Muslimin dalam level global – lil’aalamin. Islam menghendaki, agar Mu’minin dan Muslimin bersatu (Ali Imran, 3:103), dalam satu Jamaah Muslimin dan Imam mereka (Bukhari-Muslim), dan mengancam mati jahiliyyah jika mereka keluar dari Jamaah, walau hanya sejengkal (Musnad Ahmad). Menyadari, kondisi Musliminin saat ini, ibarat puing-puing yang berserakan, maka sesuai dengan rekomendasi Al-Quran dan Hadits tersebut, Khilafah Al-Ahmadiyah, telah, sedang, dan akan terus fokus dalam penyatuan Mu’minin dan Muslimin. Gerakan penyatuan dilakukan bersifat global dan sesuai dengan metode Rasulullah SAW, : Bai’at. Sayap penyatuan kini telah mengembang di 180 negara di dunia, dengan populasi jumlah pengikut lebih 200 juta jiwa. Upaya ini, akan terus focus dilakukan, sehingga di dunia ini kelak, tercipta kembali satu Islam, satu Jamaah dan satu Imamah, meskipun Mu’minin dan Muslimin dipisahkan oleh suku, bangsa, bahasa dan warna kulit, dan tercipta kembali ruhamaau bainahum – perdamaian dunia yang universal dan global. 3. Menghidupkan sistim ekomi Islam. Islam memiliki sistim ekonomi yang sesungguhnya lebih hebat dibanding dengan sistim ekonomi Komunisme maupun Kapitalisme. Ekonomi Islam didasarkan pada Zakat (At-Taubah, 9:102, 60), Infaq (Al-Baqarah, 2:119,267) Sedekah (Al-Baqarah, 2:267-273) dan Al-Wasyiyat (Al-Baqarah, 2:180-181). Tetapi, hampir pasti, tidak ada negara Islam, atau negara yang berpenduduk mayoritas Islam yang menggunakan sistim ekonomi Islam ini di dalam negaranya. Mereka, tampaknya lupa, sehingga mereka lebih suka menggunakan sistim ekonomi Kapitalisme, daripada sistim agamanya sendiri. Silsilah Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah Al- Ahmadiyah, sejak berdirinya telah menghidupkan kembali sistim ekonomi Islam itu, mulai dari Zakat hingga Al-Wasiat. Dengan sistim ekonomi Islam yang dibangunnya tugas Risalah An-Nubuwwah: dakwah keseluruh penjuru dunia, dengan target : Liyud hirahu ‘aladdiini kullihi, dapat dilaksanakan, dan bahkan mereka kini sedang bersiap-siap menggantikan sistim ekonomi Kapitalisme yang telah menyengsarakan mayoritas penduduk dunia itu. 4. Membangkitkan penguasaan ilmu pengetahuan dan sains. Islam adalah sumber ilmu dunia. Bahwa, Islam sebagai sumber ilmu dunia, telah terbukti, dengan penguasaan ilmu pengetahuan dimasa kejayaan Islam masa permulaan. Tetapi, pada kenyataannya kini, umat Islam tak hanya papa, tapi juga tuna ilmu pengetahuan. Negara-negara Islam dan negara-negara berpenduduk mayoritas Islam pun terbelakang. Menyadari kekurangan ini, Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah Al-Ahmadiyah mendorong dan memberikan sepirit kepada jamaahnya untuk menggali dan mendalami ilmu, bukan hanya ilmu akhirat, tapi juga ilmu pengetahuan dunia. Maka, tidak heran, jika dalam waktu kurang dari seabad, Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah AlAhmadiyah, telah melahirkan ilmuwan kenamaan sekaliber Prof. Dr. Abdus-Salam, ilmuwan Muslim pertama di dunia yang mendapat penghargaan Nobel bidang Fisika. Sir Muhammad Zafrullah Khan, Pakar Hukum Internasional dan pernah menjadi Ketua Mahkamah Internasional, berkedudukan di Belanda. Empat hal diatas hanyalah sekedar gambaran makro, bahwa Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah Al-Ahmadiyah, telah dan sedang bekerja menjalankan tugas Risalah An-Nubuwwah Nabi Muhammad SAW,. Banyak hal lainnya yang juga menjadi target, seperti: memindahkan patokan waktu dunia GMT dari kota London ke kota Mekkah (sebagai Umul Qura), mengganti sistim penanggalan Masehi yang susunan bulannya salah, dengan sistim penanggalan Islam, menjadikan hari Jum’at sebagai hari libur, dll, sehingga kelak, Islam dapat mempengaruhi semua sistim kehidupan, mewujudkan tatanan dunia baru, menciptakan langit baru dan bumi baru. Ibarat penyulam, Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah Al-Ahmadiyah, sekarang, ia sedang bekerja merajut benang-benang kejayaan Islam diatas puing-puing reruntuhan (perpecahan umat Islam).*** Kewajiban Muslimin Islam menghendaki, agar Mu’minin dan Muslimin taat kepada Allah, taat kepada Rasul, dan taat kepada Ulil Amri (An-Nisa, 4:59). Islam menghendaki, agar Mu’minin dan Muslimin tidak berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan tidak berkhianat kepada Amanah-Amanah yang ada pada amereka (Al-Anfal, 8:27). Mu’minin dan Muslimin adalah amin – pengemban amanat, dan bukan malik – pemilik/penguasa, karena tiada malik kecuali Tuhan. Bagi Mu’minin dan Muslimin yang telah mengimani dan mengikuti Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah, adalah kewajiban mereka meningkatkan terus keimanan dan keitaatannya kepada Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah, supaya dia tidak termasuk orang yang mengkhianati amanah-amanahnya. Sebab, ciri Mu’minin, Muslimin dan Muttaqin sejati, ialah mereka yang menjaga amanah-amanah yang dipikulkan kepada mereka (Al-Mu’minun, 23:8-11). Bagi Mu’minin dan Muslimin yang belum mengimani dan mengikuti Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah, sangat baik jika ia segera menyatakan keimanan dan keitaatannya, dengan cara ber-bai’at kepada Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah. Sebab, jika tidak, ia tidak saja termasuk orang-orang yang mengkhianati amanah, tapi juga termasuk orang-orang, yang kata Allah dalam Al-Quran, sebagai: fasik – pemberontak : -- Dan barangsiapa yang ingkar sesudah itu (sesudah Khilafah itu ditegakan), maka mereka itulah orang-orang fasik (An-Nur, 24:55). Sebuah posisi dan kedudukan rohani, yang tentu saja, tidak dikehendaki, oleh siapa pun. Wa akhirud-da’wana, ‘anil-hamdu lillaahi Rabbil ‘aalamiin !*** Sumber Bacaan: 1. Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Khadim al Haramain asy Syarifain 2. Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Al-Quran, Terjemah dan Tafsir Singkat. 3. Syeikh Yusuf Al-Qaradawi, Prof. Dr., Khilafah Islamiyah Suatu Realita Bukan Khayalan, Fikahati Aneska, Jakarta 2000 4. Saleh A. Nahdi, Khilafat Sarana Pemersatu Umat, Yayasan Wisma Damai 1992 5. Wali Al-Fattah, Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah, Al-Jama’ah 1990 6. Rahmat Ali H.A.O.T, Kebenaran Al-Masih Akhir Zaman, Jemaat Ahmadiyah Qadian Jakarta dan Bogor 1947 7. H. Mahmud Ahmad Chima, H.A., Khabar Suka Nabi Isa/Imam Mahdi a.s., Telah datang, Jemaat Ahmadiyah Indonesia 1997 8. Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Filsafat Ajaran Islam, Jemaat Ahmadiyah Indonesia 1984 9. Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Al-Wasiat, Jemaat Ahmadiyah Indonesia 2004 10. Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Bahtera Nuh, Yayasan Wisma Damai 1993 11. Dr. Muhammad Faiz Almath, 1100 Hadits Terpilih, Sinar Ajaran Muhammad, Gema Insani Press, Jakarta 1992 12. Majalah Suara Ansharullah No. 3 Shafar 1427 H/Aman1385 HS/Maret 2006 M 13. Majalah Gema, Edisi IV/April 2004-Syahadat 1384 HS 14. M. Lius Ma’ala, Diktat, Nizam Khilafat, Agustus 1993 ---------------------------------------------------------------------83 TAHUN KITA KEHILANGAN KHILAFAH ISLAMIYAH Oleh : Undiana * JIKA DITANYA tentang peristiwa sejarah yang terjadi pada tanggal 3 Maret, mungkin tak banyak orang yang mengenalnya. Padahal pada tanggal itu terjadi sebuah peristiwa ‘monumental’ yang menjadi awal bagi kehancuran (tepatnya dihancurkannya) sebuah institusi berikut segala kejayaan, kekuatan dan kewibawaan yang dimilikinya. Institusi itu adalah Khilafah Islamiyah, yang sudah menaungi kaum Muslim selama 13 abad lamanya. Sayangnya, umat (Islam khususnya) memang tak banyak mengetahuinya. Karena di satu sisi, rantai sejarah itu sengaja diputuskan dari kaum Muslimin. Sementara pada saat yang sama, kaum kuffar penjajah, dengan sangaja telah mendistorasi habis-habisan peristiwa yang terjadi sesuai dengan kepentingan mereka. Akhirnya generasi/putra-putri kaum Muslim tak pernah mengenal sejarah mereka yang sesungguhnya. Bahkan, Mustafa Kemal at-Taturk yang sejatinya adalah orang yang paling bertanggungjawab atas kehancurah Khilafah, justru dalam sejarah dunia yang juga dipelajari oleh para pelajar Indonesia di bangku SMP, dia dikenal sebagai ‘Pahlawan Reformis Turki’, padahal tepatnya dia bukanlah seorang pahlawan, tapi seorang pengkhianat bagi Daulah Khilafah. Dengan dibantu oleh Inggris, Mustafa Kemal (yang merupakan keturunan Yahudi), memaksa Sultan Abdul Hamid II untuk ‘turun’ dari kursi kekhalifahan dan mengusir Khalifah agung itu keluar dari Istambul (Ibu Kota Kekhalifahan Utsmani). Sesudah itu, dengan arogan Mustafa Kemal mengumumkan penghapusan institusi Khilafah pada tanggal 3 Maret 1924 kemudian menggantinya dengan negeri sekuler Turki yang jauh dari aturan Islam. Itulah yang sesungguhnya terjadi. Sangat berbeda dengan apa yang disebut dalam buku-buku sejarah yang menampilkannya sebagai seorang pahlawan. Bukankah ini adalah manipulasi sejarah? Derita Tanpa Khilafah Sejak institusi Kekhilafahan itu runtuh, maka tak ada lagi yang menaungi dan mengayomi kaum Muslimin. Seiring dengan itulah, berbagai problematika datang susul menyusul mendera umat Islam mulai dari skala nasional hingga internasional. Krisis multidemnsi terjadi di negeri-negeri kaum Muslim. Dalam bidang ekonomi, sumber daya alam negeri-negeri Islam termasuk Indonesia dikuras habis oleh para imperialis dengan berbagai kedok. Sementara kaum Muslim sendiri tak bisa menikmati kekayaan alamnya. Akibatnya, angka kemiskinan terus meningkat. Bahkan di Indonesia sendiri, dengan memakai standar Bank Dunia, jumlah kaum miskin di negeri ini lebih dari 110 juta orang. Harus kita akui, ini adalah fakta yang sangat ironis, mengingat negeri ini bukanlah negeri yang miskin, melainkan bergelimang kekayaan sumber daya alam. Ketiadaan Khilafah juga telah menyebabkan kita – umat Islam, menjadi kocar-kacir. Umat yang dulu menyatu dalam naungan satu negara yakni Khilafah Islamiyah, kini tercerai-berai dan disekat-sekat dalam berbagai negara kecil dan dibalut dengan selimut nasionalisme. Akibatnya, kita semakin mudah dikuasai oleh kaum penjajah. Parahnya lagi, setelah kaum penjajah menguasai kaum Muslim, para pemimpin kaum Muslim bukannya bahu-membahu mengusir mereka, namun justru semakin melebarkan jalan bagi penjajah untuk menginjak-injak dan membunuhi saudara-saudara seaqidah mereka. Seperti yang telah dilakukan pemerintah negeri-negeri Arab yang memberikan pangkalan udaranya untuk pendaratan pasukan Amerika hingga mereka lebih mudah membombardir Irak dengan alasan mencari senjata pemusnah massal yang keberadaannya tak pernah terbukti hingga kini. Dengan kondisi yang terpecah-belah itu pula, kaum Muslim pun semakin mudah diadu-domba untuk berperang sesama mereka. Lihatlah bagaimana Amerika mengadu domba Muslim Syiah dan Kurdi di Irak serta Hamas-Fatah di Palestina. Tanpa Daulah Khilafah itu pula, Islam dan kehormatan kaum Muslim dilecehkan tanpa ada yang membela mereka. Al-Quran diinjak-injak dengan keji oleh tentara Amerika dan dimasukan ke dalam toilet di penjara Guantanamo. Bukan rahasia pula jika para tahanan Muslim diperlakukan dengan tak manusiawi baik di penjara-penjara rahasia Amerika maupun di Irak dan tempat-tempat lainnya. Tentu masih melekat pula dalam benak kita bagaimana pelecehan Koran Jyllan Posten Denmark dalam memuat kartun Nabi Muhammad Saw. Bahkan seakan tak memperhatikan protes keras dari kaum Muslim di berbagai penjuru dunia, gambar-gambar itu terus dimuat oleh media Norwegia dan harian France Soir Prancis. Penghinaan tajam terhadap Islam juga disuarakan oleh Paus yang terang-terangan menghina Rasulullah dan ajaran jihad. Kaum Muslim di beberapa negeri juga dibantai dengan keji baik oleh kaum kafir penjajah maupun oleh para pemimpin negeri mereka yang menjadi antek penjajah. Bumi Palestina terus mengalirkan darah kaum Muslim yang ditumpahkan oleh tangan-tangan keji Israel. Begitu pun di Irak, Cechya, Afganistan, Moro, dan tempat lainnya, kaum Muslim kian di bantai. Sementara di Bosnia, sebanyak 30.000 kaum Muslimah di perkosa secara keji oleh tentara Serbia. Tidak ada yang menolong mereka. Kemana semua pemimpin kaum Muslim? Sangat kontras dengan sikap yang ditujukan oleh Khalifah Al-Munatsir Billah ketika mendengar seorang warganya (Muslimah) dilecehkan kehormatannya oleh pejabat Romawi di kota Amuria. Begitu jeritan Muslimah secara sambungmenyambung hingga terdengar oleh sang Khalifah, beliau segera meresponsnya dengan cara mengirimkan pasukan dengan jumlah yang sangat besar; kepala pasukan sudah sampai ke kota Amuria, sedangkan ekornya masih ada di kota Baghdad, dimana Khalifah berada. Sungguh menakjubkan! Pemimpin mana pada saat ini yang telah demikian peduli pada seorang rakyatnya yang dilecehkan? Ketiadaan Khilafah juga telah membuat kita semakin jauh dari hukumhukum Allah. Islam hanya diposisikan sebagai ibadah ritual semata, sedangkan hukum-hukum dalam masalah negara dan mu’amalah (kemasyarakatan), tidak diterapkan sama sekali. Akibatnya, hukumhukum agung dari Sang Maha Agung itu pun terlantar, tidak diterapkan lagi dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan dan bidangbidang lainnya. Padahal, Islam sejatinya tak hanya mengatur ibadah ritual semata, tapi mengatur seluruh aspek kehidupan mulai dari yang terkecil hingga yang terbesar. Hanya saja, di satu sisi kaum Muslim memang meyakini bahwa hanya Allah SWT-lah satu-satunya yang wajib disembah, namun pada saat yang bersamaan mereka menjauhkan diri dari aturan-aturan dari-Nya. Kita Butuh Khilafah Berbagai kisah duka yang dialami oleh kaum Muslim seperti dipaparkan diatas adalah harga mahal yang harus dibayar karena ketiadaan Khilafah Islamiyah yang menerapkan aturan Islam. Itu adalah ‘konsekwensi logis’ akibat tidak diterapkannya hukum-hukum Allah. Hal itu sekaligus pula sebagai bukti bahwa ketika hukum-hukum Allah itu ditinggalkan, bencana demi bencana datang silih berganti menimpa umat manusia karena dia sendiri jauh dari fitrah yang seharusnya. Berdasarkan hal itu, maka perjuangan untuk tegaknya Khilafah Islamiyah seharusnya bukan hanya menjadi ‘icon’/tujuan perjuangan sekelompok orang/partai tertentu saja, akan tetapi harus menjadi perjuangan seluruh kaum Muslim yang menginginkan persatuan, keadilan dan kebahagiaan hakiki. Tidak cukupkah bagi kita berbagai bencana yang ditimpakan kepada kita selama ini sebagai cobaan agar kita segera kembali ke jalan-Nya? Disamping itu, Allah sesungguhnya telah menjanjikan kepada kaum Muslim bahwa mereka pasti akan berkuasa kembali di bumi sebagaimana Firaman-Nya dalam Al-Quran: “Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang salih diantara kalian bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa. Sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka. Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, mereka itulah orang-orang yang fasik” (TQS, An-Nur (24):55) Tidakkah kita rindu untuk menyonsong janji Allah itu? Wallahu ‘alam bi as-showab. *** *) Fajar, Opini, 03 Maret 2007. Penulis adalah alumni Fakultas Bahasa dan Sastra UNM, Makassar, dan Aktivis Hizbu Tahrir Indonesia (HTI) UMAT ISLAM TIDAK PERNAH KEHILANGAN KHILAFAHNYA (Tanggapan atas Tulisan Undiana: 83 Tahun Kita Kehilangan Khilafah Islamiyah) Oleh : M. Syaeful ‘Uyun NU’MAN BIN BASYIR dari Hudzaifah bin al-Yaman r.a., berkata: Rasulullah SAW., bersabda: Adalah masa Kenabian itu ada di tengahtengah kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia telah menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang mengikuti jejak Kenabian (Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia telah menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menggigit (Mulkan ‘Adlan), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia telah menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menyombong ((Mulkan Jabariyyah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya, apabila Ia telah menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang mengikuti jejak Kenabian (Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah). Kemudian (Nabi), diam”. Demikian sepenggal Hadits Nabi berkenaan dengan kepemimpinan Islam, sebagaimana tertulis dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Jilid 4:273. Menurut Nabi, empat periode kepemimpinan akan menyertai dan mendampingi umat Islam sepanjang perjalanan sejarahnya. Periode pertama, ialah periode Kenabian. Umat Islam sepakat, periode ini ialah periode ketika umat Islam dipimpin langsung Nabi Muhammad SAW., selama kurang lebih 23 tahun.. Periode kedua, ialah periode Khilafah yang mengikuti jejak kenabian (Khilafah ‘Ala Minhajin-Nubuwwah). Sebagian besar umat Islam sepakat, periode ini ialah periode ketika umat Islam dipimpin Khalifah Abu Bakar ra, ‘Umar ra, ‘Usman ra, dan ‘Ali ra. Disebut ‘Ala MinhajinNubuwwah, karena kekhilafahan ini diawali dengan kebangkitan seorang Nabi, menjalankan kepemimpinannya, dengan seutuhnya mengikuti corak/pola kepemimpinan Nabi Muhammad SAW,. Masa kepemimpinan khilafah ini berlangsung selama kurang lebih 30 tahun, persis seperti yang diramalkan Nabi: “Al-khilafatu fii ummatii tsalatsuuna tsanatan” (HR. Abu Dawud & Tirmidzi). Periode ketiga, ialah periode Kerajaan (Mulkan), dengan dua macam corak kerajaan, yaitu: Mulkan ‘Adlan -- kerajaan yang menggigit, dan Mulkan Jabariyatan -- kerajaan yang menyombong/takabur. Umat Islam sepakat, periode ini ialah periode ketika umat Islam berada dibawah pimpinan Khilafah Mulkan dengan dua macam tipe kerajaannya (Mulkan ‘Adlan dan Mulkan Jabariyatan), mulai dari Dinasti Umayyah, hingga Dinasti Turki Utsmany. Masa kepemimpinan Khilafah Mulkan berlangsung selama sekitar 1263 tahun (661 M – 1924 M), dengan 135 Kilafah/Raja/Penguasa, rinciannya antara lain sbb: Pemerintahan Dinasti ‘Umayyah di Damaskus (661-750 M): 14 Khalifah/Raja/Penguasa, Pemerintahan Dinasti ‘Abbasiyyah di Baghdad (750-1258 M): 37 Khalifah/Raja/Penguasa, Pemerintahan Dinasti ‘Abbasiyyah di Kairo (1261-1517 M): 18 Khalifah/Raja/Penguasa, Pemerintahan Dinasti ‘Utsmaniyyah di Turki (1517-1924 M): 36 Khalifah/Raja/Penguasa, kemudian Dinasti yang bersamaan dengan Khilafat ‘Abbasiyyah: Pemerintahan Dinasti ‘Umayyah di Spanyol (7561031 M): 16 Khalifah/Raja/Penguasa, dan Pemerintahan Dinasti Fatimiyyah di Messir (909-1171 M): 14 Khalifah/Raja/Penguasa. Periode keempat, ialah periode Khilafah yang mengikuti jejak Kenabian (Khilafah ‘Ala Minhajin-Nubuwwah). Umat Islam tampaknya belum sepakat berkenaan dengan Khilafah Islamiyah periode keempat ini. Sebagian ada yang memahami kepemimpinan Khilafah ‘Ala Minhajin-Nubuwwah ini bercorak politis, dan sebagian ada yang memahami kepemimpinan ini bercorak agamis. Sebagian ada yang sudah meyakini kebangkitannya, sebagian ada yang masih mencaricari dan berusaha untuk mendirikannya, sebagian ada yang sama sekali tidak memperhatikannya, bahkan menganggap sama sekali tidak penting. Namun, satu hal yang pasti, khabar ghaib (nubuwwah) Nabi Muhammad SAW., ini memberi petunjuk : Khilafah Islamiyah periode keempat ini coraknya adalah ‘Ala Minhajin-Nubuwwah, seperti era Khilafah Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, ra, bukan Mulkan, seperti era Dinasti- Dinasti: ‘Umayyah, ‘Abbasiyyah, Fatimiyyah, dan Turki ‘Utsmany. Dan, dengan berakhirnya periode Khilafah Mulkan (1924), yang berlangsung selama 1263 tahun itu, menandakan : era dimana sekarang ini kita ada, adalah era kebangkitan Khilafah ‘Ala Minhajin-Nubuwwah fase ke II itu. Diamnya Nabi, setelah menjelaskan akan bangkitnya periode Khilafah ini, menunjukan periode Khilafah ini akan berlangsung lama, sampai waktu yang hanya Allah saja yang maha tahu. Silang Pendapat Seputar Model Kepemimpinan Islam Meskipun Rasulullah Muhammad SAW., telah mengabarkan mengenai akan terjadinya periode-periode kepemimpinan dalam Islam, namun sejak Rasulullah SAW., wafat, berkenaan dengan model kepemimpinan Islam, umat Islam tampaknya tidak pernah mengenal kata sepakat. Sebagian sepakat dengan Khilafah ‘Ala Minhajin-Nubuwwah – Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, ra. Sebagian lagi menolak Khilafah ‘Ala Minhajin-Nubuwwah, dan sepakat Ahlul Bait-lah yang berhak melanjutkan dan mewarisi kepemimpinan dan risalah Nabi Muhammad SAW,. Silang pendapat tersebut berlangsung hingga kini (sudah 1428 tahun), seperti tampak pada pendirian dan keyakinan Sunni-Syiah. Pada kalangan Sunni, Imamah pasca Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah, dilanjutkan oleh Imam-Imam Mazhab. Sedang pada kalangan Syia’ah, Imamah pasca Imam Ali, dilanjutkan Imam HasanHusain, dan wilayat-wilayat hingga sekarang. Ini menandakan, kalangan Sunni-Syi’ah, tak pernah merasa kehilangan Imamahnya. Setelah periode Khilafah ‘Ala Minhajin-Nubuwwah berakhir, dengan syahidnya Khalifah Ali bin Abi Thalib ra., silang pendapat berkenaan dengan model kepemimpinan Islam kembali mewarnai babak baru dunia Islam. Sebagian sepakat dengan sistem Mulkan, sebagian lebih memilih hidup tanpa Imamah daripada harus menerima Mulkan sebagai Khilafah Islamiyah. Silang pendapat tersebut, juga berlangsung hingga kini, dan ironisnya justru terjadi dikalangan Sunni sendiri. Yang sepakat dengan sistem Mulkan, terhimpun dalam wadah Hizbu Tahrir. Yang tidak sepakat, terhimpun dalam berbagai wadah lainnya. Adalah tidak mengherankan jika Hizbu Tahrir resah dan gelisah merasa telah kehilangan Khilafah Mulkan-nya, sedang yang lainnya enjoy-hapy saja, tidak pernah merasa kehilangan apa pun. Adalah tidak mengherankan, jika Saudari Undiana, tentunya, ia termasuk yang tergabung dalam Hizbu Tahrir, merasa telah 83 tahun Kehilangan Khilafah Islamiyah “Mulkan”-nya, dan merindukan berdirinya kembali dan kejayaan kembali Khilafah Mulkan itu (Fajar, 03 Maret 2007). Hizbu Tahrir dan Saudari Undiana benar, kerena memang faktanya : Khilafah Mulkan, telah berakhir sejak 83 tahun silam. Tidak salah kiranya jika saya mengucapkan: Subhaanallah! dan Inna ilaahi wa inna ilaihi raaji’uun, atas berakhirnya silsilah Khilafah Mulkan tersebut, dan doa: “Allaahumma maalikal-mulki tu’til-mulka mantasyaa-u wa tanji’ul-mulka miman-tasyaa-u wa tu’izzu mantasyaa-u wa tudzillu man-tasyaa-u biyadikal khair, innaka ‘alaa kulli syai’in qadiirun” (Ali Imran, 3:26-27) Khilafah Islamiyah Versi Ahmadiyah Memasuki awal abad XIV H lalu, dunia Islam memasuki babak baru pemikiran kepemimpinan. Pada awal abad itu, Ahmadiyah lahir dengan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Pendirinya. Berkenaan dengan kepemimpinan Islam, Ahmadiyah menyajikan konsep yang berbeda dengan konsep lain umumnya. Ahmadiyah sepakat, periode Nubuwwah dan Khilafah ‘Ala Minhajin-Nubuwwah adalah periode ketika umat Islam dipimpin Nabi Muhammad SAW,. dan para Khulafaur-Rasyidiin al-Mahdiyyin: Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, ra. Ahmadiyah sepakat, sesuai dengan Sabda Nabi: “Al-khilaafatu fii ummatii tsalatsuuna sanatan tsumma mulkun ba’da dzaalik” (HR. Abu Dawud dan Tirmizi), periode Mulkan, dengan dua macam coraknya – ‘Adlan dan Jabariyatan, adalah periode ketika umat Islam berada dibawah pimpinan Khilafah “Mulkan” Islamiyah, mulai dari Dinasti ‘Umayyah hingga Dinasti Turki ‘Utsmani. Dalam visi Ahmadiyah, kepemimpinan Islam pada periode ini coraknya murni politis, bukan agamis. Karenanya, berkenaan dengan keagamaan, Rasulullah SAW., merekomendasikan: “Fa’alaikum bi sunnatii wa sunnatil-khulafaa-iRaasyidiinal-Mahdiyyiina” (HR. Ahmad). Sedangkan kepemimpinan yang bercorak agamis berada pada tangan Mujaddid, sebagaimana Sabda Nabi: “Innallaaha yab’atsu lihaadihil-ummati ‘alaa ra’si kulli miatin sanatin man-yujaddidu laha diinaha” (HR. Abu Dawud). Para Mujaddid-lah, kata Ahmadiyah, yang memegang kepemimpinan Islam bercorak agamis, selama periode Khilafah “Mulkan” Islamiyah berkuasa. Menurut Ahmadiyah, para Mujaddid itu telah hadir sepanjang 14 abad terakhir, sbb: Mujaddid abad I: ‘Umar bin Abdul ‘Aziz, abad II: Imam Syafi’I, abad III: Imam Abu Hasan al-‘As’ari, abad IV: Imam Abu Ubaidillah, abad V: Imam al-Ghazali, abad VI: Imam Sayyid Abdul Qadir Jailani, abad VII: Imam Ibnu Taimiyah, abad VIII: Imam Hafiz Ibnu Hajar Asqalani, abad IX: Imam Jalaludin AbdulRahman As-Suyuti, abad X: Imam Muhammad Tahir Gujrati, abad XI: Imam Mujaddid Alfi Sarhadi, abad XII: Imam Syekh Waliyullah Delhi, abad XIII: Imam Sayyid Ahmad Barelwi, abad XIV: Imam Mahdi-Isa ibnu Maryam Yang Dijanjikan (Masih Mau’ud), Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, as. Setelah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad wafat (1908), tampil Khilafah-Khilafah menggantikan beliau, dengan sebutan Khilafah Al-Masih. Khilafah Al-Masih I: Hadhrat Al-Haj Maulana Hakim Nuruddin, Khilafah Al-Masih II: Hadhrat Al-Haj Mirza Basyiruddin, Khilafah Al-Masih III: Hadhrat Al-Hafiz Mirza Nasir Ahmad, Khilafah AlMasih IV: Hadhrat Mirza Tahir Ahmad, Khilafah Al-Masih V (sekarang): Hadhrat Mirza Masroor Ahmad. Dalam keyakinan Ahmadiyah, Khilafah yang saat ini ada bersama mereka, adalah perwujudan dari Khilafah ‘Ala Minhajin-Nubuwwah fase ke II, yang diramalkan akan berdiri setelah berakhirnya periode Mulkan. Pendirian Ahmadiyah, sebenarnya, tidak berlebihan. Penulis Kitab Misykatul-Masabih, mengomentari Hadits Nabi tentang Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah fase II itu, memberi catatan kaki: “Addhaahiru annal-Murada bihi jamani Isa wal Mahdi”. Dan, faktanya, memang demikian, Khilafah Ahmadiyah yang diyakini sebagai perwujudan Khilafah ‘Ala MinhajinNubuwwah fase II, berdiri setelah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, seorang yang mengaku diri sebagai Al-Mahdi dan Al-Masih Mau’ud wafat, dan berdiri, bahkan, 16 tahun sebelum Khilafah “Mulkan” Islamiyah berakhir riwayatnya. Khilafah Mulkan berkahir 1924 M. Khilafah Ahmadiyah berdiri 1908 M. Sistem kepemimpinan Islam yang dianut Ahmadiyah ini menandakan, umat Islam, sesunguhnya , tidak pernah kehilangan Khilafah-nya, sepanjang empat belas abad terakhir. Persoalannya, hanya ada yang sudah tahu dan ada yang belum tahu saja. Agaknya, memang, bukan Ahmadiyah, jika pemikiran-pemikiran keagamaannya, tidak kontroversi. Penderitaan Umat dan Penoalakan Atas Khilafat Kerinduan dan kegandrungan sebagian Muslimin terhadap berdirinya kembali sistem Khilafah Islamiyah, apa pun bentuknya, sesungguhnya patut dihargai dan dihormati. Sikap demikian adalah selaras dengan petunjuk Nabi ketika menjawab pertanyaan Hudzaifah bin al-Yaman, saat beliau ditanya perihal kebaikan dan keburukan, Nabi bersabda: “Talzamu jamaa’atal-Muslimin wa imaamahum, wa in-lam yakunlahum jamaa’atun wa laa imaamun, fa’tazil tilkal-firaqa kullaha walau an-na’adhdha bi ashli sajaratin hattaa yudrikal mautu wa anta ‘alaa dzalika” (HR. Bukhari dan Muslim) Pada segerombolan semut mesti ada pemimpin semut. Pada segerombolan burung terbang mesti ada pemimpin burung. Pada segerombolan lebah mesti ada pemimpin lebah. Pada gerombolan binatang-binatang itu akan merasa gelisah jika tiada pemimpinnya, dan dengan cara-cara yang berlaku dalam nizam-nya, ia akan segera mencari pemimpin pengganti jika diketahui pemimpin mereka telah tiada/mati. Adalah sangat ironi, jika umat Islam, kini tidak punya naluri untuk memiliki kepemimpinan. Dan adalah sangat ironi, jika umat Islam, kini lebih hafal pemimpin umat Katholik se-dunia, yang bukan agamanya, ketimbang pemimpin agamanya sendiri. Saya sependapat dengan Saudari Undiana, bahwa tanpa Khilafah sudah lama umat Islam merana. Tanpa Khilafah umat Islam menderita lahir-bathin diberbagai belahan dunia, dalam segala lapangan kehidupan. Tetapi, kita, umat Islam, ada baiknya juga instrospeksi, apakah penderitaann umat Islam selama ini kerena ketiadaan Khilafah ataukah justru karena sikap antipati dan penolakan terhadap Khilafah yang sudah ada, yang telah dibangkitkan oleh Allah SWT,. Berpedoman kepada Firman Allah: “Wa maa kunna mu’adzibiina hattaa nab’atsa rasuulan” (Al-Isra, 17:15). “Wa lau anna ahlal-quraa aamanuu wat-taqau lafatahnaa ‘alaihim barakatim-minas-samaa-I wal-ardhi wa lakin kadzabuu faakhadnaahum bimaa kaanuu yaksibuun” (Al-A’raf, 7:96), Ahmadiyah memandang, bisa saja penderitaan umat Islam disebabkan karena penolakan terhadap Utusan Allah dan para Khalifahnya di zaman ini. Sudah lebih seabad umat Islam membuang rasa persahabatannya terhadap Ahmadiyah. Di tanah air, alih-alih dakwah mengajak orang lain masuk Islam, MUI sudah dua kali menyatakan Ahmadiyah keluar dari Islam. Inna lilaahi wa inna ilaihi raji’uun! Aksi anti Ahmadiyah, diseluruh wilayah tanah air, Juli 2005 hingga awal Pebruari 2006 lalu, ditambah sikap apatisnya SBY-JK, atas kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah, bak Pontius Pilatus ketika mengadili Yesus di hadapan sidang Mahkamah Agama, siapa tahu, itu pula yang telah mengundang azab dan hukuman Tuhan, mulai dari gelombang Tsunami, gempa bumi, gunung meletus, kelaparan, Pesawat hilang, hingga kapal Levina I tenggelam. Siapa pun boleh tidak sepakat dan, atau menolak dengan sistem Khilafah Islamiyah ala Ahmadiyah. “Faman syaa-a fal yu’min, waman syaa-a fal yakfur”. (Al-Kahfi, 18:29). Namun, gagasan ke-Khilafah-an Ahmadiyah, sebelum diterima dan, atau ditolak, harus juga dipertimbangkan matang-matang. Sebab, ternyata, gagasan dan keyakinan Ahmadiyah tidak lepas dari petunjuk Kitab Suci : Al-Quran dan Hadits. Dan, apa pun rekasi orang tentang Khilafah Ahmadiyah: menerima atau menolak, hak atau bathil, satu hal yang pasti, Ahmadiyah kini sedang bersiap-siap untuk merayakan Tasyakur seabad Khilafah-nya, 27 Mei 2008 mendatang. *** Makassar, 05 Maret 2007