Khilafah Islamiyah Dalam Persepektif Ahmadiyah

advertisement
Khilafah Islamiyah Dalam Persepektif Ahmadiyah
Refleksi 98 Tahun Berdirinya Khilafah Islamiyah Al-Ahmadiyah
KHILAFAH ‘ALA MINHAJIN-NUBUWWAH DARI ERA AL-RASYIDAH
HINGGA ERA AL-AHMADIYAH
Disajikan dalam Tasyakur 98 Tahun Beridirinya Khilafah ‘Ala MinhajinNubuwwah, yang diselenggearakan Jamaah Ahmadiyah Kota Makassar
di Rumah Makan Wong Solo,
Sabtu, 27 Mei 2006.
Oleh :
M. Syaeful ‘Uyun
Mubaligh
Jamaah Ahmadiyah Sulawesi Selatan
2006
Refleksi 98 Tahun Berdirinya Khilafah Islamiyah Al-Ahmadiyah
KHILAFAH ‘ALA MINHAJIN-NUBUWWAH
DARI ERA AL-RASYIDAH
HINGGA ERA AL-AHMADIYAH
(Khilafah Islmaiyah Dalam Persepektif Ahmadiyah)
Oleh : M. Syaeful ‘Uyun *
ALLAH SWT., melalui Kalam Suci-Nya, menegaskan, Muhammad bin
Abdullah adalah Nabi dan Rasul Allah (Ali Imran, 3:144; Al-Ahzab,
33:40; Al-Fath, 48:29), diutus dengan membawa petunjuk dan agama
yang benar (Al-Fath, 48:28), diberi wahyu Al-Quran (Al-Hijr, 15:87;
An-Nahl, 16:44; As-Syu’ara, 26:192-194), diberi agama Islam (AlMaidah, 5:3; Al-Haj, 22:78), agama terakhir dan tersempurna (AlMaidah, 5:3; Ali Imran, 3:19), bergelar Khaataman-Nabiyyin (AlAhzab, 33:40), nabi paling sempurna, paling afdhal, dan penutup nabinabi qaumi – nabi yang bersifat kebangsaan, baik yang membawa
syariat maupun yang tidak membawa syariat (Ibrahim, 14:4; Bani
Israil, 17:55; Al-An’am, 6:84-90; Al-Baqarah, 2:87-91,253;), karena
beliau diutus Allah untuk seluruh umat manusia (An-Nisa, 4:79; AlA’raf, 7:158; Saba’, 34:28), dan seluruh alam (Al-Anbiya, 21:107),
disebut-sebut sebagai karunia bagi orang-orang beriman (Ali Imran,
3:164), dan pembuka pintu Nikmat Ilahi, berupa maqam-maqam
rohani tertinggi: Nabi (ummati atau mutti’) -- Nabi yang, menjadi
Nabi, semata-mata karena ke-ummatan dan ke-itaatan yang
sempurna kepada baginda Nabi Muhammad SAW., bagi siapa saja dan
bagi suku atau kebangsaan apa saja, maqam Siddiq, Syahid dan
Shalih (An-Nisa, 4:69). Untuk mencapai maqam-maqam rohani
tertinggi itu, umat Islam pun, paling tidak, 17 kali sehari semalam,
dianjurkan Allah agar senantiasa berdoa untuk mendapatkan nikmatnikmat-Nya itu (Al-Fatihah, 1: 5-7), karena maqam-maqam rohani
tertinggi itu akan diberikan Allah kepada siapa saja yang dikehendakiNya (An-Nisa, 4:70).
Allah SWT, melalui Kalam Suci-Nya, juga menjanjikan kepada orangorang yang beriman dan beramal shaleh dari umat Muhammad SAW.,
bahwa sepeninggal baginda Nabi Muhammad SAW., Dia akan
membangkitkan Khalifah-Khalifah sebagaimana Allah pernah
membangkitkan Khalifah-Khalifah kepada orang-orang yang datang
sebelum mereka:
-----------------------------* Disajikan dalam Tasyakur 98 Tahun Beridirinya Khilafah ‘Ala
Minhajin-Nubuwwah, yang diselenggearakan Jamaah Ahmadiyah Kota
Makassar di Rumah Makan Wong Solo, Sabtu, 27 Mei 2006. Penulis
adalah Mubaligh Jamaah Ahmadiyah Sulawesi Selatan, tinggal di Jl.
Anuang No. 112, Makassar, Tlp. 0411-858635, HP. 08152546747
“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dari antara
kamu dan berbuat amal shaleh, bahwa Dia pasti akan menjadikan
mereka itu khalifah di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
khalifah orang-orang yang sebelum mereka; dan Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama mereka, yang telah Dia ridhai bagi
mereka; dan niscaya Dia akan menggantikan mereka sesudah
ketakutan mereka dengan kemanan. Mereka akan menyembah Aku,
dan mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu dengan Aku. Dan
barangsia ingkar sesudah itu, mereka itulah orang-orang yang
durhaka”. (An-Nur, 24:55)
Arti Khilafat dan Nizam Khilafat
“Khilafat” berasal dari kata kho-la-fa, berarti: menggantikan (to
succesed), meninggalkan, pengganti atau pewaris (successor).
“Nizam” (Urdu), atau “Nidhom” (Arab), berarti: sistem, tatanan atau
peraturan. Nizam atau Nidhom Khilafat adalah sistem kepemimpinan
dalam Islam. Kepemimpinan Khilafat lebih banyak bersifat kerohanian
daripada keduniawian, bersifat agamis daripada politis. Kepemimpinan
Khilafat, erat sekali hubungannya dengan Allah SWT,. Rumusan paling
tepat dalam hal ini adalah apa yang disampaikan Khalifah Umar bin AlKhatab r.a. :
“Sesungguhnya tidak ada Islam tanpa Jamaah, dan tidak ada Jamaah
tanpa Imarah (Amir/Pimpinan), dan tidak ada Imarah tanpa taat”.
(Riwayat Ad-Darimy, dari Tamim Ad-Daary, Sunan Ad-Darimy, Juz I,
hal. 79).
Islam adalah suatu tujuan yang ingin dicapai (penyerahan diri). Untuk
mencapai tujuan ini diperlukan adanya Jamaah. Jamaah identik
dengan organisasi. Jamaah atau organisasi tanpa pimpinan adalah
suatu hal yang tidak mungkin. Keberadaan pimpinan dalam suatu
organisasi adalah hal yang tak dapat dipisahkan. Pimpinan adalah
sesuatu yang harus ditaati. Jadi, Pimpinan, Organisasi dan Ketaatan
merupakan hubungan yang saling berkait. Dalam Islam, hubungan ini
menjadi Khilafah, Jamaah dan Tho’ah untuk menjalankan suatu
program yang telah ditetapkan. Hubungan inilah yang disebut dengan
Nidhom atau Nizam Khilafat.***
Cara Pengangkatan Khalifah
Cara pengangkatan Khalifah tidak sama dengan cara pengangkatan
Nabi. Nabi diangkat oleh Allah SWT., langsung, dan kemudian Nabi itu
sendiri mengumumkan kenabiannya kepada khalayak ramai. Disini
akan terjadi yang pro dan yang kontra. Yang pro atau pendukung
mulanya sedikit, tapi makin lama makin besar, sedangkan yang kontra
atau penentang mulanya besar dan perkasa, tapi makin lama makin
kecil atau sirna.
Pengangkatan Khalifah polanya lain, meskipun kedua-duanya samasama diangkat oleh Allah SWT,. Khalifah, secara lahiriyah dipilih oleh
manusia (orang-orang beriman), namun secara tersembunyi bekerja
Tangan Allah SWT,. Sama halnya dengan kejadian dalam Perang
Badar dimana Allah SWT., mengatakan : “Wa maa romaita idz romaita
wa laakinnallooha romaa” -- “Dan bukan engkau yang melempar
ketika engkau melempar, melainkan Allah-lah yang melempar”. (AlAnfal, 8:17)
Saat Nabi di pilih belum ada satu pun orang beriman dan beramal
saleh. Khalifah dipilih pada saat sudah ada dan sudah banyak orangorang beriman dan beramal saleh, di pilih dari dan oleh orang-orang
beriman dan beramal saleh, dimana melalui mereka itulah bekerja
tangan Allah SWT,.
Tugas Khalifah identik dengan tugas Nabi. Jika Nabi bertugas:
“LiyudhHirahu ‘alad-diini kulluihi “-- memenangkan agama (Islam),
diatas agama-agama lain (As-Shaf, 61:9), maka seorang Khalifah
tugasnya adalah melanjutkan dan menyempurnakan tugas Nabi
tersebut. Khalifah adalah pengganti atau penerus Nabi. Jika seorang
Khalifah secara penuh memikul tanggunjawab tugas seorang Nabi,
maka oleh Nabi, dalam Hadits-nya, ke-Khalifahan tersebut, disebut:
Khilafah ‘Ala Minhajin-Nubuwwah – Khilafah yang mengikuti jejak
kenabian.***
Khalifah Wajib Adanya Bagi Muslimin
Kehadiran Imarah atau Amir atau Khalifah adalah wajib adanya bagi
Muslimin. Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan dan alasan,
al :
1) Allah SWT, melalui Kalam Suci-Nya, telah merekomendasikan
kepada orang-orang beriman dan beramal saleh, bahwa Dia pasti akan
menjadikan Khalifah-Khalifah, sebagaimana Allah telah menjadikan
Khalifah-Khalaifah kepada orang-orang yang datang sebelum mereka
(An-Nur, 24:55).
2) Allah SWT, melalui Kalam Suci-Nya, telah menyuruh orang-orang
beriman agar berpegang teguh kepada tali Allah (Nabi dan para
Khalifahnya) seutuhnya, dan melarang bercerai berai (Ali-Imran,
3:103): hidup sendiri-sendiri, membuat golongan-golongan, dimana
masing-masing bangga dengan kelompok atau golongannya, dan
mengaku benarnya sendiri (Al-Mu’minun, 23:51-54)
3) Allah SWT, melalui Kalam Suci-Nya, telah menyuruh orang-orang
beriman, agar senantiasa taat kepada Allah, taat kepada Rasul-Nya,
dan taat kepada Ulil Amri (An-Nisa, 4:59).
4) Nabi Muhammad SAW., bersabda: “……Talzamu jamaatal-Muslimiina
wa imaamahum……” – Tetaplah kamu pada Jama’ah Muslimin dan
Imam mereka (Bukhari, Kitabul Fitan, Juz 4:225; Muslim, Kitabul
Imarah, Juz 2:134-135)
5) Nabi Muhammad SAW., bersabda: “Man maata bighoiri imaamin
maata miitatan jaahiliyyah” – Barangsiapa mati tidak mempunyai
imam, maka matinya laksana mati jahiliyyah (HR. Ahmad dari
Mu’awiyyah, Musnad Ahmad, Juz 4:96)
6) Khalifah ‘Umar bin Al-Khaththab r.a., bersabda: “Innahu laa
Islaama illa bijamaatin, wa laa jamaata illa biimaarotin, wa laa
imaarota illaa bithoo’atin”-- Sesungguhnya tidak ada Islam tanpa
Jamaah, dan tidak ada Jamaah tanpa Imarah (Amir/Pimpinan), dan
tidak ada Imarah tanpa taat (Ad-Darimy)
7) Pembai’atan Khalifah pertama Abu Bakar As-Shiddiq dilakukan lebih
dahulu sebelum jenazah Rasulullah SAW., dikebumikan, begitu pula
pada masa-masa penggantian ke-khalifahan berikutnya.
Mengisyaratkan, Imamah itu harus ada dan berkesinambungan, tidak
boleh terputus sedikit pun, sehingga Muslimin terpelihara dalam
Jamaah Muslimin dan Imam mereka.
8) Bagaimana mungkin Muslimin dapat disebut sebagai Ummat kalau
ditengah-tengah mereka tidak ada seorang Imarah atau Amir atau
Khalifah. Sebab, tentu saja, tidak ada ummat tanpa pimpinan dan
tidak ada pimpinan kalau dibelakangnya tidak ada ummat.***
Khilafah Islamiyah Dari Masa ke Masa
Rasulullah SAW., mengkhabarghaibkan, empat era/periode akan
mewarnai kepemimpinan Muslimin sepanjang perjalanan sejarahnya :
“Dari Nu’man bin Basyir dari Hudzaifah bin al-Yaman r.a., berkata:
Rasulullah SAW., bersabda: Adalah masa Kenabian itu ada di tengahtengah kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah
mengangkatnya apabila Ia telah menghendaki untuk mengangkatnya.
Kemudian adalah masa Khilafah yang mengikuti jejak Kenabian
(Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah), adanya atas kehendak Allah.
Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia telah menghendaki untuk
mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menggigit
(Mulkan ‘Adhan), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah
mengangkatnya apabila ia telah menghendaki untuk mengangkatnya.
Kemudian adalah masa Kerajaan yang menyombong ((Mulkan
Jabariyyah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah
mengangkatnya, apabila ia telah menghendaki untuk mengangkatnya.
Kemudian adalah masa Khilafah yang mengikuti jejak Kenabian
(Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah). Kemudian (Nabi), diam”.
(Musnad Ahmad bin Hanbal, Jilid 4:273).***
Era Kenabian
Menurut Hadits Nabi diatas, era pertama ialah era Kenabian. Era ini,
jelas merujuk kepada era Kenabian Nabi Muhammad SAW,. Nabi
Muhammad SAW., memimpin Muslimin dalam satu Jama’ah dan
Imamah. Kaum Muslimin hidup kompak dibawah pimpinan Allah dan
Rasul-Nya itu. Dalam menjalankan kepemimpinannya, Nabi
Muhammad SAW., tidak pernah mendirikan perkumpulan atau partai,
atau negara, untuk mengamalkan Wahyu-wahyu Allah yang di
wahyukan kepada beliau. Melainkan, setelah wayu diterima, kemudian
diamalkan dan di da’wahkan kepada umat manusia. Mereka yang
memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya itu, mengikuti beliau dan
dengan berjamaah, mereka mengamalkan Wahyu-wahyu Allah dengan
mengikuti perbuatan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW,.
Orang pertama yang memenuhi seruan Rasulullah SAW., itu, ialah istri
beliau, Khadijah dari kalangan wanita, Abu Bakar dari kalangan pria,
dan Ali bin Abi Thalib serta Zaid bin Haritsah dari kalangan pemuda.
Dari waktu ke waktu bertambah banyaklah jumlah kaum Muslimin dan
Muslimat, termasuk shahabat-shahabat besar seperti ‘Utsman bin
‘Affan, Hamzah bin ‘Abdul Muthalib, ‘Umar bin Khaththab dan lainlainnya.
Kaum Muslimin yang mengikuti Rasulullah SAW., itu adalah Jama’ah
pertama, Jamaah Muslimin yang di pimpin Rasulullah SAW., sendiri.
Masa kepemimpinan Rasulullah SAW., dalam kehidupan berjamaah
bersama kaum Muslimin berkisar lebih kurang 23 tahun.***
Era Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah
Era kedua ialah era Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah – Khilafah yang
berpola kepada Kenabian Nabi Muhammad SAW., Era ini, merujuk
kepada masa kepemimpinan Al-Khulafaur-Rasyidin Al-Mahdiyin -- Abu
Bakar Ash-Shidiq, ‘Umar bin Khaththab, ‘Usman bin ‘Affan dan ‘Ali bin
Abi Thalib r.a. Era Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah ini, dimulai sejak
wafatnya Rasulullah SAW,. Keempat Khalifah itu adalah para Khalifah
yang dibenarkan oleh Rasulullah SAW., sebagai Khalifah-Khalifah yang
mendapat pimpinan atau petunjuk yang benar dari Allah SWT,. Bahkan
Rasulullah SAW., sendiri berwasiat kepada Muslimin agar selain
berpegang teguh pada Sunnah beliau, juga berpegang pada Sunnah
Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyin, seraya bersabda:
“Aku berwasiat kepada kamu sekalian agar tetap bertaqwa kepada
Allah, mendengar dan tha’at, sekalipun yang memimpinmu seorang
budak Habsyi, karena orang yang hidup diantara kamu di kemudianku,
akan melihat perselisihan yang banyak. Maka dari itu, hendaklah kamu
berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin AlMahdiyin (para Khalifah yang mendapat petunjuk yang benar).
Hendaklah kamu pegang teguh akan dia, dan kamu gigitlah dengan
geraham. Dan kamu jauhilah perkara-perkara baru yang diadaadakan, karena sesungguhnya semua perkara yang diada-adakan itu
bid’ah dan semua bid’ah itu sesat”.
(HR. Ahmad dari Al-Irbadh bin Sariyah, Musnad Ahmad, Jilid 4:126127, Sunan Abu Dawud, Jilid 4:200-201)
Sebagaimana pada masa kepemimpinan Rasulullah SAW., kaum
Muslimin pada masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyin
(11-40 H/632-661 M), ini pun hidup kompak dalam kehidupan
berjama’ah dibawah satu pimpinan. Mereka tampil sebagai sebaik-baik
umat yang dibangkitkan untuk sekalian manusia, hidup berjama’ah
dengan satu pimpinan (Imam), yang memimpin ke arah takwa kepada
Allah SWT,. Pada masa kepemimpinan ‘Usman bin ‘Affan dan ‘Ali bin
Abi Thalib, terjadi peristiwa yang dialami beliau berdua, yang
menyebabkan keduanya menemui syahid. Peristiwa ini merupakan
pelajaran berharga bagi kaum Muslimin, agar hal itu hendaknya tidak
terulang lagi.
Hingga kapan era Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah ini berlangsung?
Said bin Jamhan, mengutip Sabda Rasulullah SAW., sbb :
“Dari Sa’id bin Jamhan, ia berkata: Telah menghabarkan kepadaku
Safinah, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW,: Khilafah pada
umatku tiga puluh tahun, kemudian kerajaan sesudah itu. Lalu berkata
kepadaku Safinah: Peganglah kekhalifahan Abu Bakar, ‘Umar dan
‘Usman. Dan berkata kepadaku Safinah: Peganglah kekhalifahan ‘Ali.
Berkata Safinah: Maka kami dapatkan Khilafah itu tiga puluh tahun.
Berkata Sa’id: Maka saya berkata kepada Safinah: Sesungguhnya Bani
‘Umayyah mengaku Khalifah itu ada pada mereka. Safinah berkata:
Berdusta Bani Az-Zarqai, bahkan mereka itu raja dari sejelek-jelek
raja”. (HR. At- Tirmidzi )
Safinah benar, karena masa ke-Khilafahan Al-Khulafaur-Rasyidin AlMahdiyin, Khilafat ‘Ala Minhajin Nubuwwah, Abu Bakar Ash-Shiddiq,
‘Umar bin Khaththab, ‘Usman bin ‘Affan, dan ‘Ali bin Abi Thalib,
berkisar 30 tahun (632-661 M).***
Era Mulkan ‘Adhon dan Mulkan Jabariyyatan
Era ke tiga, setelah era Khilafah yang menempuh jalan Kenabian -Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah, dengan kehendak Allah berakhir,
ialah era Mulkan Adhan -- kerajaan-kerajaan yang mengigit, dan
Mulkan Jabariyyatan -- kerajaan yang menyombong/takabur. Tarikh
mencatat, setelah syahidnya Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin
Abi Sufyan tampil memimpin Muslimin dan dialah yang merubah
kepemimpinan Muslimin menjadi kerajaan. Dia menjadi raja pertama
dari keturunan ‘Umayyah, datuknya.
Dalam sebuah Arsar dari ‘Abdurrahman bin Abi Bakrah disebutkan,
Mu’awiyyah berkata pada Abi Bakrah: “Apakah kamu mengatakan
kami raja? Maka kami sungguh ridha dengan Raja”. (Musnad Ahmad,
Jilid V:50).
Mu’awiyyah memegang kendali kepemimpinan Muslimin dari 41-80 H
(661-680 M). Kemudian diteruskan oleh putranya, Yazid, lalu
diteruskan oleh keturunan Bani Umayyah lainnya sampai raja yang
terakhir Marwan bin Muhammad bin Marwan (128-131 H/744-750 M),
yang dilenyapkan oleh Abu ‘Abbas ‘Asafah.
Secara keseluruhan sistim kerajaan (Mulkan ‘Adhan maupun Mulkan
Jabariyyatan), yang menggantikan sistim Khilafah ‘Ala Minhajin
Nubuwwah, dapat disimpulkan dalam table berikut:
Jenis Kepemimpinan Jarak Masa Jumlah Khalfiah/Raja Penguasa
Pemerintahan Dinasti Umayyah
di Damaskus 661-750 M 14
Pemerintahan Dinasti Abbasiyyah
di Baghdad 750-1258 M 37
Pemerintahan Dinasti ‘Abbasiyyah
di Kairo 1261-1517 M 18
Pemerintahan Dinasti ‘Utsmaniyyah
di Turki 1517-1924 M 36
Dunasti yang bersamaan dengan Khilafat ‘Abbasiyyah
Pemerintah Dinasti Umayyah
Di Spanyol 756-1031 M 16
Pemerintahan Dinasti Fatimiyyah
Di Mesir 909-1171 M 14
Jumlah keseluruhan Khilafat/Raja/Penguasa : 135
Pada kedua zaman ini, sekalipun Muslimin kelihatannya maju pesat
dan Islam meluas ke seluruh Jazirah Arabia, Asia Selatan, Afrika dan
sebagian Eropa, namun terdapat keretakan di bagian dalam.
Kepemimpinan secara Sunnah Rasulullah SAW., yang diikuti oleh
Khulafaur-Rasyidin Al-Mahdiyyin, telah mulai terhapus pada zaman ini
dan digantikan dengan kepemimpinan secara turun temurun
(Dinasti/Kerajaan). Kesatuannya bukan lagi berbentuk Jama’ah, tetapi
Mulkan (Kerajaan).
Memang, tidak semua raja pada era ini konditenya buruk. Dari antara
mereka juga ada yang saleh-saleh, bahkan Umar bin ‘Abdul Azis r.h,
salah seorang diantara raja-raja Bani Umayyah, disebut-sebut sebagai
Khalifah Al-Rasyidah ke lima.
Secara zahir, Muslimin pun masih berada dibawah satu pimpinan,
hingga Mulkan Adhan dan Mulkan Jabariyyatan dihapuskan oleh Allah
SWT., dengan runtuhnya Dinasty ‘Utsmadiyyah di Turki pada tahun
1342 H/1924M, setelah lebih dahulu pada 1 Nopember 1922 M, Sultan
Muhammad IV diturunkan dari tahtanya oleh Turki Muda Nasional
pimpinan Mustafa Kemal Pasya. Masa kekuasaan Mulkan Adhan dan
Mulkan Jabariyatan, berlangsung sekitar 1263 tahun (661 M – 1924
M).
Mengisi kevakuman selama masa ini, Khilafah yang mengikuti jejak
Kenabian, diamanahkan Allah SWT., kepada para Mujadid, yang
bangkit di setiap permulaan abad, sesuai dengan janji-Nya kepada
Nabi Muhammad SAW.,: “Innallooha yab’atsu lihaadihil ummati ‘alaa
ra’si kulli miatin sanatin mayujaadi laha diinaha” – Sesungguhnya
Allah berjanji kepada umat ini bahwa pada setiap permulaan abad, Dia
akan membangkitkan seorang Mujadid yang akan memperbaharui bagi
mereka agama mereka (Abu Dawud).
Nawwab Siddiq Hasan Khan, ‘Ulama kenamaan asal Hindustan, dalam
bukunya berjudul Al-Hujajul Kiromah, mengemukakan, Mujadid yang
dijanjikan Allah itu telah datang pada masanya, sepanjang 13 abad
terakhir, al:
NO PERIODE NAMA MUJADID
01 Abad I Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, r.h.
02 Abad II Imam Syafi’I, sebagian berkata: Ahmad ibni Hanbal, r.h.
03 Abad III Imam Abu Syarah atau Abu Hasan ‘As’ari, r.h.
04 Abad IV Imam Abu Ubaidullah dan Qadi Abubakar Baqlani, r.h.
05 Abad V Imam Al-Ghazali, r.h.
06 Abad VI Imam Abdul Qadir Al-Jailani, r.h.
07 Abad VII Imam Ibnu Taimiyah dan Chawaja Mu’inuddin Chisti, r.h.
08 Abad VIII Imam Hafiz Ibnu Hajar Asqalani dan Saleh Ibnu ‘Umar,
r.h.
09 Abad IX Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, r.h.
10 Abad X Imam Muhammad Tahir Gujrati, r.h.
11 Abad XI Imam Mujaddid Alfi Sarhadi, r.h.
12 Abad XII Imam Syekh Waliyullah Delhi, r.h.
13 Abad XIII Imam Sayyid Ahmad Bareluwi, r.h.
14 Abad XIV Orang-orang ‘alim sepakat, Mujaddidnya, ialah: Imam
Mahdi-Isa bin Maryam Yang
Dijanjikan (Masih Mau’ud)
Mereka inilah Imam-Imam Zaman, ‘Ulama-‘Ulama al waratsatul Anbiyaa, yang oleh Nabi SAW., diilustrasikan sebagai: “Matsalu ashhaabii
matsalun-nujuum, maniqtadaa bisyaiim-minha-Htada” -- Sahabatsahabatku bagaikan bintang-bintang yang bertaburan, siapa pun yang
kamu ikuti, kamu akan mendapat petunjuk yang benar (Ad-Daarami),
dimana Nabi SAW., menegaskan: “Man-lam ya’rif imaama zamaanihi
faqad maata miitatan jaahiliyyatan” – Barangsiapa yang tidak kenal
dengan Imam Zamannya, lalu dia mati, maka matinya adalah laksana
mati Jahiliyah (Abu Dawud), dan : “Man maata bighairi imaamin maata
miitatan jaahiliyyatan” – Barangsiapa mati tidak mempunyai Imam,
maka matinya laksana mati jahiliyyah (Musnad Ahmad).***
Kembali Ke Era Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah
Era ke empat, setelah era Mulkan ‘Adhan dan Mulkan Jabariyatan
berakhir sesuai dengan kehendak Allah, maka kepemimpinan Islam,
menurut Rasulullah SAW., akan kembali ke era Khilafah ‘Ala Minhajin
Nubuwwah: “Tsuma takuunu Khilafatan ‘ala minhajin Nubuwwah”, -kelak, kemudian, akan berdiri lagi Khilafah yang berpola dan
mengikuti jejak Kenabian Muhammad SAW,.
Pasca era Mulkan ‘Adhan dan Mulkan Jabariyatan berakhir, upaya
untuk mendirikan kembali sistim Khilafah sudah seringkali dilakukan
ulama-ulama dan pemimpin-pemimpin dunia Islam. Menurut mereka,
Khilafah wajib adanya bagi Muslimin, dan era dimana sekarang ini
berada adalah era berdirinya kembali Khilafah ‘Ala Minhajin
Nubuwwah, sesuai dengan Sabda Nabi Muhammad SAW,.
Tahun 1919, di India dibentuk All India Khilafat Conference oleh
tokoh-tokoh Muslim India, seperti Syaukat Ali dan saudaranya
Muhammad Ali. Lembaga ini dibentuk untuk menjaga keutuhan
lembaga Khilafat dan mengusir Kolonial Inggris yang menduduki
negeri-negeri Muslim di Timur Tengah umunya, dan melakukan
penindasan di India, khususnya. Harapan utama gerakan ini tertumpu
pada kebijakan Mustafa Kemal Pasya. Namun, setelah mengadakan
dua kali konferensi, di India pada 1919, dan di Karachi pada 1921,
harapan gerakan ini hancur, setelah Mustafa Kemal Pasya, menghapus
kekhilafahan Turki ‘Utsmani (Mulkan ‘Utsmaniyyah), untuk selamalamanya dari bumi Turki pada 3 Maret 1924.
Tahun 1926, di Mekah Saudi Arabia, berlangsung Kongres Islam
Sedunia, atas prakarsa Raja Ibnu Sa’ud. Mewakili Muslim Indonesia,
hadir H.O.S. Tjokro Aminoto dari Syarikat Islam, K.H. Mas Mansur dari
Muhamadiyah, dan H.A. Karim Amarullah, ayahanda yang terhormat
Buya Hamka. Tetapi, kongres ini tidak berhasil mewujudkan apa yang
menjadi cita-cita. Saudi Arabia menolak usulan kongres untuk
menghidupkan kembali lembaga Khilafah. Dalam pandangan Saudi
Arabia, para utusan kongres terlalu mengaikan masalah Islam dan
Muslimin dengan politik.
Tahun 1974, di Lahore, Pakistan, berlangsung Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) Islam. Tiga puluh delapan negara hadir dalam KTT ini,
pesertanya terdiri atas Kepala Negara, Perdana Menteri, dan MenteriMenteri Luar Negeri. Presiden Uganda, Idi Amin, mengusulkan agar
Khilafah bagi Muslimin dibahas dalam KTT ini, bahkan dia
mencalonkan Raja Faisal dari Saudi Arabia untuk menduduki jabatan
Khilafah itu. Usul Presiden Idi Amin, didukung oleh Senegal. Prsiden
Anwar Sadat dari Mesir, dan Pemimpin Libya, Mu’amar Gadafi, serta
Presiden Abdel Rahman Al-Iryani dari Yaman Utara, bahkan
mengusulkan agar Raja Faisal mau menerima gelar Pangeran Umat
Beriman.
Tetapi, usul Idi Amin dan wakil dari Senegal itu tidak mendapat
respons KTT. Masalahnya seperti angin lalu saja. Keputusan tidak ada,
penolakan pun tidak ada. Upaya menegakan lembaga Khilafah pun,
kembali menemui jalan buntu.
Tahun 1953, di Al-Quds, Yorusalem, Palestina, Syaikh Taqiyuddin AnNabhani, mendirikan Hizbu Tahrir – Partai Pembebasan. Hizbu Tahrir,
yang kini berpusat Internasional di Yordania dan telah berkembang di
30 negara itu, mengklaim sebagai partai politik idiologis dengan tujuan
menjadikan idiologi Islam sebagai lampu penerang dalam kegelapan
sekularistik yang membelenggu dunia saat ini. Menegakan Khilafah
Islamiyah merupakan inti perjuangan, dan tema sentral kampanyekampanyenya. Menurut Hizbu Tahrir, syariah tidak bisa tegak tanpa
Khilafah. Syariah tidak bisa ditegakan melalui demokrasi, sebab
demokrasi bukan sistem pemerintahan berdasarkan wahyu Allah
SWT., melainkan hanya berasal dari akal pikir manusia. Demokrasi
akidahnya sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan,
sedangkan Islam akidahnya Dua Kalimah Syahadat. Demokrasi, kata
mereka, mengandung sejumlah fakta yang mengantarkan kepada
keharaman.
Maka, tidaklah mengherankan, jika ditengah masa krisis multi dimensi
melanda dunia, termasuk melanda bangsa Inonesia saat ini, Hizbu
Tahrir gigih dan gencar sekali menyampaikan seruan:
“Wahai kaum Muslimin, sadar dan bangkitlah! Hanya dengan Khilafah,
syariat Islam yang dirindukan, dapat diterapkan ditengah kalian.
Hanya dengan Khilafah kalian dapat merajut kembali benang-benang
kejayaan dan keemasan seperti sejarah umat terdahulu. Wahai kaum
Muslimin, sadar dan bangkitlah! Ingatlah bahwa Allah mewajibkan
kalian taat pada satu Ulil Amri, yang kalian bai’at sendiri sebagai
Khalifah/Imam. Allah juga mewajibkan kalian mengemban dakwah dan
jihad ke seantero dunia. Dan semua itu hanya dapat terwujud, dengan
tegaknya Khilafah Islamiyah………..Sunguh benar apa yang dikatakan
Rasulullah dalam Sabdanya: “Dan akan kembali lagi sistem Khilafah
yang mengikuti manhaj kenabian.”
(Lembar Dakwah, Jumat, 25 Maret 2005)
Dan, meneriakan yel-yel:
Tolak Kepemimpinan Sekuler. Tegakan Khilafah. Terapkan Syari’ah.
Ganti Sistemnya. Jangan Cuma Orangnya. Satukan Pikiran dan
Langkah. Angkat Kepala Negara Yang Mau Menegakan Syari’ah.
Khilafah is The Only Sulution. Islam, Yes! Sekularisme, Kapitalisme,
No!
Di Indonesia, H. Harry Moekti, mantan rocker, yang akrab disapa Kang
Harry, termasuk salah seorang pendukung dan penganjur gerakan
menegakan kembali lembaga Khilafah Islamiyah yang di gagas dan di
usung Hizbu Tahrir ini. Ia kerap kali turun ke berbagai daerah di tanah
air – termasuk Makassar, untuk mengkampanyekan dan
mensosialisasikan ide dan gagasan yang di usungnya.
Akan tetapi, sudah lebih setengah abad, Hizbu Tahrir berjuang,
Khilafah Islamiyah yang dicita-citakan, tak juga kunjung menjadi
kenyataan. Khilafah Islamiyah, hingga saat ini, masih menjadi tema
yang dikampanyekan dan diwacanakan, belum menjadi kenyataan.***
Khilafah Jamaah Muslimin Wali Alfattah
Pada dekade tahun 50-an, di Indonesia ada kelompok Islam yang
konsens dengan penegakan kembali Khilafah, bernama Jamaah
Muslimin Hizbullah. Kelompok yang di pimpin Wali Alfattah ini, tak
hanya konsens dengan penegakan kembali Khilafah, bahkan
mengklaim telah menegakan kembali Khilafah, dengan membai’at Wali
Alfattah sebagai Khilafah pada musyawarah Ahlul Halli Wal Aqdi ke
dua, (6-8 Pebuari 1959), di Mesjid Taqwa, Petojo Sabangan, Jakarta.
Langkah kelompok ini lebih maju dibanding dengan kelompok Islam
yang lain. Ia menjadikan Surah Ali Imran ayat 102-103, dan Hadits
Nabi yang diriwayatkan Hudzaifah bin Al-Yaman, sebagai pijakan
argumentasi ke-Khilafahannya. Tetapi, Khilafah Jamaah Muslimin
Hizbullah Wali Alfattah ini, tampaknya hanya Khilafah biasa saja,
seperti dalam jamaah-jamaah yang lain. Dilihat dari latarbelakang,
fungsi dan esensi, tidak memiliki kriteria dan tidak memiliki syarat
sebagai Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah seperti yang dinubuwatkan
Nabi. Gerakan Khilafah Wali Alfattah ini juga tidak global, hanya di
Indonesia saja, itu pun hanya terkonsentrasi di Jawa, khususnya Jawa
bagian barat dan tengah.***
Faktor Penyebab Kegagalan Muslimin Mendirikan Khilafah
Kenapa usaha-usaha yang dilakukan berbagai kelompok Islam untuk
mendirikan kembali Khilafah Islamiyah selalu menemui jalan buntu
dan tak kunjung menjadi kenyataan? Bukankah Khilafah Islamiyah
merupakan cita-cita dan harapan umat Islam? Dan, bukankah di
dibawah panji Khilafah Islamiyah itulah terletak kejayaan Islam dan
umat Islam? Inilah pertanyaan-pertanyaan penting yang harus
dicarikan jawabannya, dan sangat baik juga dijadikan bahan renungan
umat Islam, aktivis pejuang berdirinya kembali ke-Khilafahan, setelah
hampir satu abad (1924-2006=82 tahun), berjuang.
Dalam visi saya, ada dua faktor yang menyebabkan Muslimin, selalu
gagal dalam perjuangannya menegakan kembali lembaga Khilafah:
Pertama, terjadinya pemahaman dan penafsiran yang berbeda atas
kedudukan Khilafah Rasulullah SAW., dan atas nash Al-Quran Surah
An-Nisa ayat 59. Sebagian ada yang memahami Khilafah atau Ulil Amri
itu, kedudukan politik, dan sebagian lagi memahami Khalifah atau Ulil
Amri itu kedudukan Dien. Disini terjadi tarik menarik. Oleh karena itu,
tidaklah mengherankan bila rencana mewujudkan Khilafah selalu
menemui kegagalan, meskipun konferensi berulang-ulang dilakukan.
Khilafah dalam Muslimin pun terkatung-katung dan, tanpa terasa,
sudah 82 tahun menggantung. Padahal, Khilafah/Imamah wajib
adanya bagi Muslimin, dan wajib terus ada selama Muslimin dan
Mu’minin masih ada, selama-lamanya hingga Hari Qiyamat kelak.
Jalan keluar dari kesulitan ini, sesungguhnya mudah, sederhana
sekali. Jika Khilafah Rasullah SAW., dan nash Al-Quran Surah An-Nisa
ayat 59, difahami secara Dien, yang berarti kedudukan Khilafah atau
Ulil Amri itu, coraknya agamis, bukan politis, maka Rasulullah SAW.,
dan Khulafaur-Rasyiddin-lah contohnya. Tetapi, jika kedudukan
Khilafah atau Ulil Amri itu coraknya politis, bukan agamis, maka
Mulkan-Mulkan itulah contohnya, seperti Dinasti ‘Umayyah,
‘Abbasiyyah dan ‘Utsmaniyah.
Para aktivis pejuang penegakan kembali Khilafah tinggal memilih,
model ke-Khilafahan mana yang mau dipakai. Model ke-Khilafahan
Rasulullah SAW., dan Khulafaur-Rasyiddin Al-Mahidyyin – Abu Bakar,
‘Umar, ‘Usman, dan ‘Ali, r.a., ataukah model Mulkan-Mulkan –
‘Umayyah, ‘Abbasiyah dan ‘Utsmaniyah.
Kalau model ke-Khilafahan Rasulullah SAW., dan Khulafaur-Rasyiddin
Al-Mahdiyyin yang dipilih, berarti tidak harus punya wilayah kekuasaan
(toritorial), karena agama menyangkut hati nurani manusia, dan Islam
adalah agama yang sesuai dengan fitrat manusia manapun (Ar-Rum,
30:30), berlaku untuk seluruh alam (Al-Anbiya, 21:107) dan seluruh
umat manusia (Saba’, 34:28). Untuk mewujudkan harapan, cita-cita,
dan perjuangan menegakan Khilafah model ini, metodenya adalah
da’wah sesuai dengan petunjuk Al-Quran (Ali Imran, 3:104; An-Nahl,
16:125, Fushshilat, 41:33-34), dan contoh Rasulullah SAW,(AtTaubah, 9:128-129; Ali Imran, 3:159; Asy-Syu’araa, 26:214-217; Al‘An’am, 6:50-52, dll).
Kalau model Mulkan-Mulkan – ‘Umayyah, ‘Abbasiyyah dan
‘Utsmaniyah, yang dipilih, berarti harus punya wilayah kekuasaan,
punya toritorial, punya negara. Karena, tidak mungkin ada Penguasa
(Raja, Khalifah, Emir, atau apa pun namanya), tanpa wilayah
kekuasan.
Memilih model kedua, ada kendala cukup berat, karena Muslimin
dimana pun saat ini, harus mencari pulau lain di planet bumi ini untuk
mendirikan negara baru sebagai wilayah kekuasaan Mulkan, atau
mengambil kekuasan – dengan suka rela atau terpaksa, dari tangan
salah satu penguasa di suatu negara dimana saja di planet bumi ini,
lalu berkuasa dan menjalankan roda kekuasan dengan corak Mulkan,
seperti yang pernah dilakukan ‘Umayyah, ‘Abbasiyah, dan
‘Utsmaniyah. Insya Allah, jika konsep ini digunakan, para aktivis
pejuang penegakan kembali lembaga ke-Khilafahan yang bercorak
Mulkan, akan menjadi kenyataan. Tetapi, jika model kedua ini yang
dipilih dan berhasil, Islam sebagai rahmatan-lil’alamiin, pengaruhnya
terbatas diwilayah Mulkan itu saja, tidak global – lil ‘alam dan linnaasi. Bisa mengglobal, jika Mulkan itu menjadi Imperium dunia. Dan
itu, adalah sangat mustahil.
Kedua, Para aktivis pejuang penegakan kembali lembaga Khilafah,
agaknya telalu melihat lembaga Khilafah itu – Al-Rasyidah atapun AlMulkan, sebagai lembaga yang bercorak politis, ketimbang bercorak
agamis. Kentalnya visi mereka bahwa lembaga Khilafah adalah
lembaga bercorak politis, menyebabkan mereka lupa, dan melampaui
kewenangan Allah, bahkan mengambil hak prerogatif Allah.
Dari uraian diatas kita mengetahui, setelah era Mulkan ‘Adhan dan
Mulkan Jabariyyatan berakhir, akan berdiri Khilafah yang berpola dan
mengikuti jejak kenabian Muhammad SAW,. – Khilafah ‘Ala Minhajin
Nubuwwah, sebagaimana pernah terjadi dan berlangsung dimasa ke-
Khalifahan Abu Bakar, ‘Umar, ‘Usman, dan ‘Ali, r.a., selama 30 tahun
sejak wafatnya Rasulullah SAW,. Ini berarti, Khilafah pasca MulkanMulkan itu, coraknya agamis, bukan bercorak politis.
Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah, Al-Khulafaur-Rasyidin Al-Mahdiyyin
– Abu Bakar Ashshiddiq, ‘Umar bin Khaththab, ‘Usman bin ‘Affan, dan
‘Ali bin Abi Thalib, r.a., secara lahir dipilih oleh manusia – orang-orang
beriman, tetapi pada hakikatnya mereka dipilih oleh Allah, karena
dibelakang mereka bekerja Tangan Allah. Hal demikian sesuai dengan
janji Allah SWT., Sendiri (An-Nur, 24:55), dan cara kerjanya, sama
dengan ketika Nabi SAW., melempar musuh di medan pertempuran
Badar (Al-Anfal, 8:17). Ini artinya, mengangkat Khilafah yang
bercorak agamis – ‘Ala Minhajin Nubuwwah, adalah kewenangan Allah,
dan hak prorogatif Allah.
Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah I, Al-Khulafaur-Rasyidin AlMahdiyyin, berdiri setelah sebelumnya diawali dengan kebangkitan
seorang Reformer Agung, Rasulullah Muhammad SAW,. Setelah Sang
Reformer wafat, orang-orang beriman berkumpul, lalu mengadakan
pemilihinan Pemimpin Pengganti -- Khilafah, dimana dibelakangnya
bekerja Tangan Allah, dan saat itu, Mu’minin sepakat memilih dan
membai’at Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., sebagai Khilafah Manhaj anNubuuwah I. Cara yang sama dilakukan saat memilih ‘Umar bin
Khaththab r.a., sebagai Khilafah Manhaj an-Nubuwwah II, ‘Usman bin
‘Affan r.a., sebagai Khilafah Manhaj an-Nubuuwah III, dan ‘Ali bin Abi
Thalib r.a., sebagai Khilafah Manhaj an-Nubuuwah IV. Sebelum wafat,
Khalifah Abu Bakar r.a., memang sempat menulis wasiat untuk
memilih ‘Umar bin Khaththab r.a., sebagai Khalifah. Saat Khalifah
‘Umar r.a., masih hidup, Khalifah ‘Umar r.a., membentuk sebuah
majlis untuk memilih Khalifah bilamana beliau meninggal, terdiri dari 6
orang sahabat senior, yaitu: ‘Usman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib,
Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqash, Zubair bin Awwam, dan
Thalhah bin Ubaidillah. Tetapi, dalam pelaksaan pemilihan Khilafah,
esensinya sama: Syuura.
Kebangkitan Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah II, pasti tidak akan
lepas dari metode dan mekanisme tersebut. Diawali dengan
kebangkitan seorangang Reformer, lalu setelah Sang Reformer itu
wafat, Mu’minin berkumpul mengadakan pemilihan Pemimpin
Pengganti -- Khalifah, yang dibelakang mereka bekerja Tangan Allah.
Hal demikian, selain selaras dengan petunjuk Al-Quran (Ali Imran,
3:159; Asy-Syuura, 42:38), juga sangat logis. Sebab, bagaimana bisa
ada Pemimpin Pengganti -- Khilafah, jika tidak ada yang diganti.***
Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah Itu Telah Berdiri
Sesungguhnya, hari ini, 27 Mei, 98 tahun yang lalu, atau 16 tahun
sebelum Khilafah Mulkan ‘Utsmaiyah berakhir, tepatnya tanggal 27 Mei
1908, Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah II itu, telah berdiri. Khilafah
‘Ala Minhajin Nubuwwah II, berdiri, setelah sebelumnya diawali
dengan kebangkitan seorang Reformer, Mirza Ghulam Ahmad, yang
atas dasar wahyu yang diterimanya, ia mengaku diutus Allah sebagai
Mujadid A’dham abad XIV H., Imam Mahdi-Masih Mau’id a.s., dengan
missi melanjutkan risalah Rasulullah Muhammad SAW,: Yuhyiddiina
wa yuqimus- syari’ah -- menghidupkan agama dan menegakan syariat
Islam, dan Liyud hirahu ‘alad-diini kullihi -- memenangkan agama
Islam diatas semua agama. Untuk menyempurmnakan missinya, pada
23 Maret 1889, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s., mendirikan
jamaah/organisasi bernama: Jama’ah Ahmadiyah. Ahmadiyah
hanyalah wadah perjuangan, didirikan hanya untuk membedakan
wadah perjuangan ini dengan wadah-wadah perjuangan yang lain.
Nama Ahmadiyah diambil dari nama Rasulullah SAW., yang ke dua,
Ahmad. Mengisyaratkan, warna perjuangan Jama’ah Ahmadiyah dalam
upaya: Yuhyiddiina wa yuqimus- syari’ah -- menghidupkan agama dan
menegakan syariat Islam, dan Liyud hirahu ‘alad-diini kullihi -memenangkan agama (Islam), diatas semua agama, hanya dengan
sifat Jamali – keindahan dan keluhuran akhlak Islam dan akhlaq
Rasulullah Muhammad SAW., bukan dengan sabetan pedang.
Tiga tahun sebelum kewafatannya, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad,
Mujadid A’dham abad XIV H., Imam Mahdi-Masih Mau’id a.s.,
mengabarkan kepada orang-orang yang mengimaninya, bahwa
sepeninggal beliau akan tampil Kudrat kedua. Yang dimaksud Kudrat
kedua oleh beliau ialah Khalifah-Khalifah, seperti Abu Bakar, ‘Umar,
‘Usman, dan ‘Ali, r.a., sepeninggal Rasulullah SAW,. “Aku lahir sebagai
suatu Kudrat dari Tuhan. Aku adalah Kudrat Tuhan yang berjasad.
Kemudian, sesudah aku, akan ada lagi beberapa wujud yang jadi
mazhar – cerminan atau tempat zahir – Kudrat kedua….Hendaknya,
tiap jemaat para salihin di tidap negeri senantiasa berhimpun dan
terus menerus berdoa, supaya Kudrat ke dua turun dari
langit….Hendaknya, aorang-orang tua jemaat yang berjiwa suci,
sepeninggalku menerima bai’at atas namaku dari orang-orang….”,
pesan Pendiri Ahmadiyah kepada orang-orang yang mengimannya,
seperti ditulis beliau dalam bukunya berjudul: Al-Wasiat.
Tanggal 26 Mei 1908, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s., wafat.
Tanggal 27 Mei 1908, sesuai dengan pesan Imamuz-Zaman, dan
sesuai dengan petunjuk Al-Quran (Ali Imran, 3:159; Asy-Syuura,
42:38), juga Sunnah para Sahabat Rasulullah SAW., orang-orang yang
mengimani Mirza Ghulam Ahmad, sebagai Mujadid A’dham abad XIV
H., Imam Mahdi-Masih Mau’id a.s., berhimpun dan berdoa, kemudian
melakukan Syuura, memilih Imam Pengganti – Khilafah. Syuura,
sesuai dengan Sunnah para sahabat Rasulullah SAW., dilakukan
secepatnya, karena jasad Imam terdahulu, tidak dapat dikebumikan
sebelum Imam pengganti terpilih. Syuura, secara aklamasi, memilih
Hadhrat al-Haj Maulana Hakim Nuruddin, sebagai Khalifatul Masih I.
Cara yang sama, dilakukan saat memilih Hadhrat al-Haj Mirza
Basyiruddin Mahmud Ahmad sebagai Khalifatul Masih II, (1914),
Hadhrat al-Hafiz Mirza Nasir Ahmad sebagai Khalifatul Masih III
(1965), Hadhrat Mirza Thahir Ahmad sebagai Khalifatul Masih IV
(1982), dan Hadhrat Mirza Masroor Ahmad sebagai Khalifatul Masih V
(2003), hingga sekarang. Dengan demikian, silsilah Khilafah ini, sudah
berada di era silsilah Khilafah yang ke-5, dan 98 tahun sudah (27 Mei
1908-27 Mei 2006), silsilah Khilafah ini berdiri.
Proses berdirinya Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah II, memiliki
kesamaan dengan proses berdirinya Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah
I, : 1). Sama-sama diawali dengan kebangkitan seorang Reformer :
Muhammad – Rasulullah SAW., dan Ahmad – Imam Mahdi-Masih
Mau’ud a.s,. 2). Sama-sama dipilih dari dan oleh orang-orang
beriman, dengan cara yang diajarkan Al-Quran dan dicontohkan
Rasulullah SAW., : Syuura (Ali Imran, 3:159; Asy-Syuura, 42:38). 3).
Sama-sama memikul tugas risalah Nabi : memenangkan agama
(Islam), diatas semua agama (Ash-Shaf, 61:9). 4). Sama-sama
bercorak agamis, bukan bercorak politis. Wilayah kekuasannya
universal-global, tidak mengenal toritorial batas negara, meliputi
seluruh alam dan seluruh hati umat manusia.
Silsilah Khilafah ini, dalam sapaan keseharian biasa disebut: Khilafah
Al-Masih atau Khilafah Al-Ahmadiyah. Disebut Khilafah Al-Masih atau
Khalifatul Masih, karena ia merupakan pengganti atau pelanjut dari
Mujadid A’dham abad XIV yang menyandang gelar Al-Masihil Mau’ud.
Disebut Khilafah Al-Ahmadiyah atau Khalifah Ahmadiyah, kerena ia
berada dalam silsilah Jamaah Ahmadiyah, dengan segala ciri dan
karakternya. Tetapi, esensi fungsi dan missi dari Khilafah ini ialah
melaksanakan tugas Risalah An-Nubuwwah Muhammad SAW., yakni:
Liyud hirahu ‘alad-diini kullihi – memenangkan agama (Islam) diatas
semua agama (Ash-Shaf, 61:9). Oleh karena itu, istilah Khilafah ‘Ala
Minhajin Nubuwwah, menjadi namanya juga, dan menjadi bagian yang
tidak bisa dipisahkan dari silsilah Khilafah ini.***
Tugas Kihalafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah Yang Telah dan Sedang
Dilaksanakan
Berdirinya Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah II, telah menjawab
harapan dan cita-cita umat Islam kini maupun dimasa depan. Oleh
karena itu, sesuai dengan fungsi dan missinya, Khilafah ‘Ala Minhajin
Nubuwwah II ini pun sedang giat melaksanakan tugas Risalah AnNubuwwah : Liyud hirahu ‘alad-diini kullihi – memenangkan agama
(Islam) diatas semua agama (Ash-Shaf, 61:9), setidaknya, dalam
empat hal berikut:
1. Memperbaiki aqidah, ibadah dan akhlaq. Islam dengan tegas
mengajarkan, Allah itu Al-Hayy – Mahahidup (Al-Baqarah, 2:255).
Tetapi, dalam umat Islam berkembang kepercayaan bahwa Allah
sudah tidak berwawancakap lagi, sudah tidak menurunkan wahyu lagi
sepeningal Rasulullah SAW,. Maka, tidak heran, jika Khilafah ‘Ala
Minhajin Nubuwwah Al-Ahmadiyah, memperbaiki dan mengoreksi
kepercayaan tersebut. Allah, Tuhan kita, adalah Allah Yang
Mahahidup. Dahulu hidup, sekarang hidup, dan akan tetap hidup.
Dahulu bicara, sekarang bicara, dan akan tetap bicara, sesuai dengan
sifat Al-Mutakalimun-Nya. Dahulu ber-mukallamah mukhatabah
dengan hamba-hamba pilihan-Nya, sekarang ber-mukallamah
mukhatabah dan akan tetap terus ber-mukallamah mukhatabah.
Dahulu menyampaikan wahyu, sekarang menyampaikan wahyu, dan
akan tetap terus menyampaikan wahyu. “Memang benar, karena
segala kebutuhan telah terpenuhi, maka syariat serta hukum-hukum
peraturan telah berakhir. Dan, dengan sampainya segala kerasulan
serta kenabian ke tapal-batas terakhir, yang terwujud dalam pribadi
Junjungan kita Muhammad SAW., maka kerasulan serta kenabian itu
sampailah sudah ke martabat yang sempurna. Tetapi, sungguh tidak
benar, anggapan, dimasa lampau Tuhan suka bercakap-cakap, akan
tetapi diwaktu sekarang ini Dia tidak lagi bercakap-cakap. Kami tidak
membatasi tugas dan bercakap-cakap Tuhan sampai pada zaman
tertentu. Tidak syak lagi, sekarangpun Dia siap melimpahkan karunia
dari sumber mata air Ilham kepada para pencahari (Kebenaran)
seperti halnya dahulu-dahulu. Sekarang pintu karunia-Nya terbuka
seperti halnya dahulu-dahulu. Ketahuilah, segala pintu dapat tertutup,
tetapi pintu untuk datangnya Rohulkudus itu tidak pernah tertutup”,
kata Sang Imamuz-Zaman, seperti dituturkan dalam bukunya: Filsafat
Ajaran Islam dan Bahtera Nuh. Tidak heran, jika setiap orang yang
bernaung dibawah silsilah Khilafah Al-Ahmadiyah ini, diikat dengan
ikatan bai’at : Tidak akan mempersekutukan Allah hingga masuk ke
liang kubur, tidak akan bohong, zinah, pandangan birahi terhadap
bukan muhrim, fasik, kejahatan, aniaya, khianat, mengadakan huru
hara, memberontak, serta tidak akan dikalahkan oleh hawa nafsunya
walaupun bagaimana juga dorongan terhadapnya. Senantiasa akan
mendirikan shalat lima waktu, ditambah shalat Tahajud,
menyampaikan pujian kepada Allah SWT, dan Shalawat kepada
Rasulullah SAW,. Tidak akan mendatangkan kesusahan apa pun
terhadap makhluk Allah umumnya dan kaum Muslimin khususnya.
Akan tetap setia kepada Allah dalam segala keadaan: susah, senang,
suka, duka, nikmat ataupun musibah. Akan berhenti dari adat yang
buruk dan dari menuruti hawa nafsu, dan benar-benar akan
menjunjung ringgi perintah Al-Quran Suci. Akan meninggalkan takabur
dan sombong. Akan menghargai agama, kehormatan agama dan
mencintai Islam lebih daripada jiwanya, anak-anaknya, dan dari segala
yang dicintainya. Akan menaruh belas kasih kepada makhluk Allah
umumnya, dan sejauh mungkin akan mendatangkan faedah kepada
umat manusia dengan kekuatan dan nikmat yang dianugrahkan Allah
kepadanya, dll, dll., yang semuanya ini dilakukan dalam upaya
mengadakan perbaikan aqidah, ibadah, dan akhlaq umat.
2. Membangun Jamaah Muslimin dalam level global – lil’aalamin. Islam
menghendaki, agar Mu’minin dan Muslimin bersatu (Ali Imran, 3:103),
dalam satu Jamaah Muslimin dan Imam mereka (Bukhari-Muslim), dan
mengancam mati jahiliyyah jika mereka keluar dari Jamaah, walau
hanya sejengkal (Musnad Ahmad). Menyadari, kondisi Musliminin saat
ini, ibarat puing-puing yang berserakan, maka sesuai dengan
rekomendasi Al-Quran dan Hadits tersebut, Khilafah Al-Ahmadiyah,
telah, sedang, dan akan terus fokus dalam penyatuan Mu’minin dan
Muslimin. Gerakan penyatuan dilakukan bersifat global dan sesuai
dengan metode Rasulullah SAW, : Bai’at. Sayap penyatuan kini telah
mengembang di 180 negara di dunia, dengan populasi jumlah
pengikut lebih 200 juta jiwa. Upaya ini, akan terus focus dilakukan,
sehingga di dunia ini kelak, tercipta kembali satu Islam, satu Jamaah
dan satu Imamah, meskipun Mu’minin dan Muslimin dipisahkan oleh
suku, bangsa, bahasa dan warna kulit, dan tercipta kembali ruhamaau bainahum – perdamaian dunia yang universal dan global.
3. Menghidupkan sistim ekomi Islam. Islam memiliki sistim ekonomi
yang sesungguhnya lebih hebat dibanding dengan sistim ekonomi
Komunisme maupun Kapitalisme. Ekonomi Islam didasarkan pada
Zakat (At-Taubah, 9:102, 60), Infaq (Al-Baqarah, 2:119,267) Sedekah
(Al-Baqarah, 2:267-273) dan Al-Wasyiyat (Al-Baqarah, 2:180-181).
Tetapi, hampir pasti, tidak ada negara Islam, atau negara yang
berpenduduk mayoritas Islam yang menggunakan sistim ekonomi
Islam ini di dalam negaranya. Mereka, tampaknya lupa, sehingga
mereka lebih suka menggunakan sistim ekonomi Kapitalisme, daripada
sistim agamanya sendiri. Silsilah Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah Al-
Ahmadiyah, sejak berdirinya telah menghidupkan kembali sistim
ekonomi Islam itu, mulai dari Zakat hingga Al-Wasiat. Dengan sistim
ekonomi Islam yang dibangunnya tugas Risalah An-Nubuwwah:
dakwah keseluruh penjuru dunia, dengan target : Liyud hirahu ‘aladdiini kullihi, dapat dilaksanakan, dan bahkan mereka kini sedang
bersiap-siap menggantikan sistim ekonomi Kapitalisme yang telah
menyengsarakan mayoritas penduduk dunia itu.
4. Membangkitkan penguasaan ilmu pengetahuan dan sains. Islam
adalah sumber ilmu dunia. Bahwa, Islam sebagai sumber ilmu dunia,
telah terbukti, dengan penguasaan ilmu pengetahuan dimasa kejayaan
Islam masa permulaan. Tetapi, pada kenyataannya kini, umat Islam
tak hanya papa, tapi juga tuna ilmu pengetahuan. Negara-negara
Islam dan negara-negara berpenduduk mayoritas Islam pun
terbelakang. Menyadari kekurangan ini, Khilafah ‘Ala Minhajin
Nubuwwah Al-Ahmadiyah mendorong dan memberikan sepirit kepada
jamaahnya untuk menggali dan mendalami ilmu, bukan hanya ilmu
akhirat, tapi juga ilmu pengetahuan dunia. Maka, tidak heran, jika
dalam waktu kurang dari seabad, Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah AlAhmadiyah, telah melahirkan ilmuwan kenamaan sekaliber Prof. Dr.
Abdus-Salam, ilmuwan Muslim pertama di dunia yang mendapat
penghargaan Nobel bidang Fisika. Sir Muhammad Zafrullah Khan,
Pakar Hukum Internasional dan pernah menjadi Ketua Mahkamah
Internasional, berkedudukan di Belanda.
Empat hal diatas hanyalah sekedar gambaran makro, bahwa Khilafah
‘Ala Minhajin Nubuwwah Al-Ahmadiyah, telah dan sedang bekerja
menjalankan tugas Risalah An-Nubuwwah Nabi Muhammad SAW,.
Banyak hal lainnya yang juga menjadi target, seperti: memindahkan
patokan waktu dunia GMT dari kota London ke kota Mekkah (sebagai
Umul Qura), mengganti sistim penanggalan Masehi yang susunan
bulannya salah, dengan sistim penanggalan Islam, menjadikan hari
Jum’at sebagai hari libur, dll, sehingga kelak, Islam dapat
mempengaruhi semua sistim kehidupan, mewujudkan tatanan dunia
baru, menciptakan langit baru dan bumi baru. Ibarat penyulam,
Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah Al-Ahmadiyah, sekarang, ia sedang
bekerja merajut benang-benang kejayaan Islam diatas puing-puing
reruntuhan (perpecahan umat Islam).***
Kewajiban Muslimin
Islam menghendaki, agar Mu’minin dan Muslimin taat kepada Allah,
taat kepada Rasul, dan taat kepada Ulil Amri (An-Nisa, 4:59). Islam
menghendaki, agar Mu’minin dan Muslimin tidak berkhianat kepada
Allah dan Rasul-Nya, dan tidak berkhianat kepada Amanah-Amanah
yang ada pada amereka (Al-Anfal, 8:27).
Mu’minin dan Muslimin adalah amin – pengemban amanat, dan bukan
malik – pemilik/penguasa, karena tiada malik kecuali Tuhan.
Bagi Mu’minin dan Muslimin yang telah mengimani dan mengikuti
Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah, adalah kewajiban mereka
meningkatkan terus keimanan dan keitaatannya kepada Khilafah ‘Ala
Minhajin Nubuwwah, supaya dia tidak termasuk orang yang
mengkhianati amanah-amanahnya. Sebab, ciri Mu’minin, Muslimin dan
Muttaqin sejati, ialah mereka yang menjaga amanah-amanah yang
dipikulkan kepada mereka (Al-Mu’minun, 23:8-11).
Bagi Mu’minin dan Muslimin yang belum mengimani dan mengikuti
Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah, sangat baik jika ia segera
menyatakan keimanan dan keitaatannya, dengan cara ber-bai’at
kepada Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah. Sebab, jika tidak, ia tidak
saja termasuk orang-orang yang mengkhianati amanah, tapi juga
termasuk orang-orang, yang kata Allah dalam Al-Quran, sebagai: fasik
– pemberontak :
-- Dan barangsiapa yang ingkar sesudah itu (sesudah Khilafah itu
ditegakan), maka mereka itulah orang-orang fasik (An-Nur, 24:55).
Sebuah posisi dan kedudukan rohani, yang tentu saja, tidak
dikehendaki, oleh siapa pun. Wa akhirud-da’wana, ‘anil-hamdu lillaahi
Rabbil ‘aalamiin !***
Sumber Bacaan:
1. Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Khadim al
Haramain asy Syarifain
2. Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Al-Quran, Terjemah dan Tafsir
Singkat.
3. Syeikh Yusuf Al-Qaradawi, Prof. Dr., Khilafah Islamiyah Suatu
Realita Bukan Khayalan, Fikahati Aneska, Jakarta 2000
4. Saleh A. Nahdi, Khilafat Sarana Pemersatu Umat, Yayasan Wisma
Damai 1992
5. Wali Al-Fattah, Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah, Al-Jama’ah 1990
6. Rahmat Ali H.A.O.T, Kebenaran Al-Masih Akhir Zaman, Jemaat
Ahmadiyah Qadian Jakarta dan Bogor 1947
7. H. Mahmud Ahmad Chima, H.A., Khabar Suka Nabi Isa/Imam Mahdi
a.s., Telah datang, Jemaat Ahmadiyah Indonesia 1997
8. Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Filsafat Ajaran Islam, Jemaat
Ahmadiyah Indonesia 1984
9. Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Al-Wasiat, Jemaat Ahmadiyah
Indonesia 2004
10. Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Bahtera Nuh, Yayasan Wisma
Damai 1993
11. Dr. Muhammad Faiz Almath, 1100 Hadits Terpilih, Sinar Ajaran
Muhammad, Gema Insani Press, Jakarta 1992
12. Majalah Suara Ansharullah No. 3 Shafar 1427 H/Aman1385
HS/Maret 2006 M
13. Majalah Gema, Edisi IV/April 2004-Syahadat 1384 HS
14. M. Lius Ma’ala, Diktat, Nizam Khilafat, Agustus 1993
---------------------------------------------------------------------83 TAHUN KITA KEHILANGAN
KHILAFAH ISLAMIYAH
Oleh : Undiana *
JIKA DITANYA tentang peristiwa sejarah yang terjadi pada tanggal 3
Maret, mungkin tak banyak orang yang mengenalnya. Padahal pada
tanggal itu terjadi sebuah peristiwa ‘monumental’ yang menjadi awal
bagi kehancuran (tepatnya dihancurkannya) sebuah institusi berikut
segala kejayaan, kekuatan dan kewibawaan yang dimilikinya. Institusi
itu adalah Khilafah Islamiyah, yang sudah menaungi kaum Muslim
selama 13 abad lamanya. Sayangnya, umat (Islam khususnya)
memang tak banyak mengetahuinya. Karena di satu sisi, rantai
sejarah itu sengaja diputuskan dari kaum Muslimin. Sementara pada
saat yang sama, kaum kuffar penjajah, dengan sangaja telah
mendistorasi habis-habisan peristiwa yang terjadi sesuai dengan
kepentingan mereka. Akhirnya generasi/putra-putri kaum Muslim tak
pernah mengenal sejarah mereka yang sesungguhnya.
Bahkan, Mustafa Kemal at-Taturk yang sejatinya adalah orang yang
paling bertanggungjawab atas kehancurah Khilafah, justru dalam
sejarah dunia yang juga dipelajari oleh para pelajar Indonesia di
bangku SMP, dia dikenal sebagai ‘Pahlawan Reformis Turki’, padahal
tepatnya dia bukanlah seorang pahlawan, tapi seorang pengkhianat
bagi Daulah Khilafah. Dengan dibantu oleh Inggris, Mustafa Kemal
(yang merupakan keturunan Yahudi), memaksa Sultan Abdul Hamid II
untuk ‘turun’ dari kursi kekhalifahan dan mengusir Khalifah agung itu
keluar dari Istambul (Ibu Kota Kekhalifahan Utsmani). Sesudah itu,
dengan arogan Mustafa Kemal mengumumkan penghapusan institusi
Khilafah pada tanggal 3 Maret 1924 kemudian menggantinya dengan
negeri sekuler Turki yang jauh dari aturan Islam. Itulah yang
sesungguhnya terjadi. Sangat berbeda dengan apa yang disebut
dalam buku-buku sejarah yang menampilkannya sebagai seorang
pahlawan. Bukankah ini adalah manipulasi sejarah?
Derita Tanpa Khilafah
Sejak institusi Kekhilafahan itu runtuh, maka tak ada lagi yang
menaungi dan mengayomi kaum Muslimin. Seiring dengan itulah,
berbagai problematika datang susul menyusul mendera umat Islam
mulai dari skala nasional hingga internasional. Krisis multidemnsi
terjadi di negeri-negeri kaum Muslim. Dalam bidang ekonomi, sumber
daya alam negeri-negeri Islam termasuk Indonesia dikuras habis oleh
para imperialis dengan berbagai kedok. Sementara kaum Muslim
sendiri tak bisa menikmati kekayaan alamnya. Akibatnya, angka
kemiskinan terus meningkat. Bahkan di Indonesia sendiri, dengan
memakai standar Bank Dunia, jumlah kaum miskin di negeri ini lebih
dari 110 juta orang. Harus kita akui, ini adalah fakta yang sangat
ironis, mengingat negeri ini bukanlah negeri yang miskin, melainkan
bergelimang kekayaan sumber daya alam.
Ketiadaan Khilafah juga telah menyebabkan kita – umat Islam,
menjadi kocar-kacir. Umat yang dulu menyatu dalam naungan satu
negara yakni Khilafah Islamiyah, kini tercerai-berai dan disekat-sekat
dalam berbagai negara kecil dan dibalut dengan selimut nasionalisme.
Akibatnya, kita semakin mudah dikuasai oleh kaum penjajah.
Parahnya lagi, setelah kaum penjajah menguasai kaum Muslim, para
pemimpin kaum Muslim bukannya bahu-membahu mengusir mereka,
namun justru semakin melebarkan jalan bagi penjajah untuk
menginjak-injak dan membunuhi saudara-saudara seaqidah mereka.
Seperti yang telah dilakukan pemerintah negeri-negeri Arab yang
memberikan pangkalan udaranya untuk pendaratan pasukan Amerika
hingga mereka lebih mudah membombardir Irak dengan alasan
mencari senjata pemusnah massal yang keberadaannya tak pernah
terbukti hingga kini. Dengan kondisi yang terpecah-belah itu pula,
kaum Muslim pun semakin mudah diadu-domba untuk berperang
sesama mereka. Lihatlah bagaimana Amerika mengadu domba Muslim
Syiah dan Kurdi di Irak serta Hamas-Fatah di Palestina.
Tanpa Daulah Khilafah itu pula, Islam dan kehormatan kaum Muslim
dilecehkan tanpa ada yang membela mereka. Al-Quran diinjak-injak
dengan keji oleh tentara Amerika dan dimasukan ke dalam toilet di
penjara Guantanamo. Bukan rahasia pula jika para tahanan Muslim
diperlakukan dengan tak manusiawi baik di penjara-penjara rahasia
Amerika maupun di Irak dan tempat-tempat lainnya. Tentu masih
melekat pula dalam benak kita bagaimana pelecehan Koran Jyllan
Posten Denmark dalam memuat kartun Nabi Muhammad Saw. Bahkan
seakan tak memperhatikan protes keras dari kaum Muslim di berbagai
penjuru dunia, gambar-gambar itu terus dimuat oleh media Norwegia
dan harian France Soir Prancis. Penghinaan tajam terhadap Islam juga
disuarakan oleh Paus yang terang-terangan menghina Rasulullah dan
ajaran jihad.
Kaum Muslim di beberapa negeri juga dibantai dengan keji baik oleh
kaum kafir penjajah maupun oleh para pemimpin negeri mereka yang
menjadi antek penjajah. Bumi Palestina terus mengalirkan darah kaum
Muslim yang ditumpahkan oleh tangan-tangan keji Israel. Begitu pun
di Irak, Cechya, Afganistan, Moro, dan tempat lainnya, kaum Muslim
kian di bantai.
Sementara di Bosnia, sebanyak 30.000 kaum Muslimah di perkosa
secara keji oleh tentara Serbia. Tidak ada yang menolong mereka.
Kemana semua pemimpin kaum Muslim? Sangat kontras dengan sikap
yang ditujukan oleh Khalifah Al-Munatsir Billah ketika mendengar
seorang warganya (Muslimah) dilecehkan kehormatannya oleh pejabat
Romawi di kota Amuria. Begitu jeritan Muslimah secara sambungmenyambung hingga terdengar oleh sang Khalifah, beliau segera
meresponsnya dengan cara mengirimkan pasukan dengan jumlah
yang sangat besar; kepala pasukan sudah sampai ke kota Amuria,
sedangkan ekornya masih ada di kota Baghdad, dimana Khalifah
berada. Sungguh menakjubkan! Pemimpin mana pada saat ini yang
telah demikian peduli pada seorang rakyatnya yang dilecehkan?
Ketiadaan Khilafah juga telah membuat kita semakin jauh dari hukumhukum Allah. Islam hanya diposisikan sebagai ibadah ritual semata,
sedangkan hukum-hukum dalam masalah negara dan mu’amalah
(kemasyarakatan), tidak diterapkan sama sekali. Akibatnya, hukumhukum agung dari Sang Maha Agung itu pun terlantar, tidak
diterapkan lagi dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan dan bidangbidang lainnya. Padahal, Islam sejatinya tak hanya mengatur ibadah
ritual semata, tapi mengatur seluruh aspek kehidupan mulai dari yang
terkecil hingga yang terbesar. Hanya saja, di satu sisi kaum Muslim
memang meyakini bahwa hanya Allah SWT-lah satu-satunya yang
wajib disembah, namun pada saat yang bersamaan mereka
menjauhkan diri dari aturan-aturan dari-Nya.
Kita Butuh Khilafah
Berbagai kisah duka yang dialami oleh kaum Muslim seperti
dipaparkan diatas adalah harga mahal yang harus dibayar karena
ketiadaan Khilafah Islamiyah yang menerapkan aturan Islam. Itu
adalah ‘konsekwensi logis’ akibat tidak diterapkannya hukum-hukum
Allah. Hal itu sekaligus pula sebagai bukti bahwa ketika hukum-hukum
Allah itu ditinggalkan, bencana demi bencana datang silih berganti
menimpa umat manusia karena dia sendiri jauh dari fitrah yang
seharusnya.
Berdasarkan hal itu, maka perjuangan untuk tegaknya Khilafah
Islamiyah seharusnya bukan hanya menjadi ‘icon’/tujuan perjuangan
sekelompok orang/partai tertentu saja, akan tetapi harus menjadi
perjuangan seluruh kaum Muslim yang menginginkan persatuan,
keadilan dan kebahagiaan hakiki. Tidak cukupkah bagi kita berbagai
bencana yang ditimpakan kepada kita selama ini sebagai cobaan agar
kita segera kembali ke jalan-Nya? Disamping itu, Allah sesungguhnya
telah menjanjikan kepada kaum Muslim bahwa mereka pasti akan
berkuasa kembali di bumi sebagaimana Firaman-Nya dalam Al-Quran:
“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal-amal yang salih diantara kalian bahwa Dia
sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi,
sebagaimana dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka
berkuasa. Sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang
telah diridhai-Nya untuk mereka. Dia benar-benar akan menukar
(keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi
aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada
mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Barangsiapa yang
(tetap) kafir sesudah (janji) itu, mereka itulah orang-orang yang fasik”
(TQS, An-Nur (24):55)
Tidakkah kita rindu untuk menyonsong janji Allah itu? Wallahu ‘alam bi
as-showab. ***
*) Fajar, Opini, 03 Maret 2007.
Penulis adalah alumni Fakultas Bahasa dan Sastra UNM, Makassar,
dan Aktivis Hizbu Tahrir Indonesia (HTI)
UMAT ISLAM
TIDAK PERNAH KEHILANGAN KHILAFAHNYA
(Tanggapan atas Tulisan Undiana: 83 Tahun Kita Kehilangan Khilafah
Islamiyah)
Oleh : M. Syaeful ‘Uyun
NU’MAN BIN BASYIR dari Hudzaifah bin al-Yaman r.a., berkata:
Rasulullah SAW., bersabda: Adalah masa Kenabian itu ada di tengahtengah kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah
mengangkatnya apabila Ia telah menghendaki untuk mengangkatnya.
Kemudian adalah masa Khilafah yang mengikuti jejak Kenabian
(Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah), adanya atas kehendak Allah.
Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia telah menghendaki untuk
mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menggigit
(Mulkan ‘Adlan), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah
mengangkatnya apabila Ia telah menghendaki untuk mengangkatnya.
Kemudian adalah masa Kerajaan yang menyombong ((Mulkan
Jabariyyah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah
mengangkatnya, apabila Ia telah menghendaki untuk mengangkatnya.
Kemudian adalah masa Khilafah yang mengikuti jejak Kenabian
(Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah). Kemudian (Nabi), diam”. Demikian
sepenggal Hadits Nabi berkenaan dengan kepemimpinan Islam,
sebagaimana tertulis dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Jilid 4:273.
Menurut Nabi, empat periode kepemimpinan akan menyertai dan
mendampingi umat Islam sepanjang perjalanan sejarahnya. Periode
pertama, ialah periode Kenabian. Umat Islam sepakat, periode ini ialah
periode ketika umat Islam dipimpin langsung Nabi Muhammad SAW.,
selama kurang lebih 23 tahun..
Periode kedua, ialah periode Khilafah yang mengikuti jejak kenabian
(Khilafah ‘Ala Minhajin-Nubuwwah). Sebagian besar umat Islam
sepakat, periode ini ialah periode ketika umat Islam dipimpin Khalifah
Abu Bakar ra, ‘Umar ra, ‘Usman ra, dan ‘Ali ra. Disebut ‘Ala MinhajinNubuwwah, karena kekhilafahan ini diawali dengan kebangkitan
seorang Nabi, menjalankan kepemimpinannya, dengan seutuhnya
mengikuti corak/pola kepemimpinan Nabi Muhammad SAW,. Masa
kepemimpinan khilafah ini berlangsung selama kurang lebih 30 tahun,
persis seperti yang diramalkan Nabi: “Al-khilafatu fii ummatii
tsalatsuuna tsanatan” (HR. Abu Dawud & Tirmidzi).
Periode ketiga, ialah periode Kerajaan (Mulkan), dengan dua macam
corak kerajaan, yaitu: Mulkan ‘Adlan -- kerajaan yang menggigit, dan
Mulkan Jabariyatan -- kerajaan yang menyombong/takabur. Umat
Islam sepakat, periode ini ialah periode ketika umat Islam berada
dibawah pimpinan Khilafah Mulkan dengan dua macam tipe
kerajaannya (Mulkan ‘Adlan dan Mulkan Jabariyatan), mulai dari
Dinasti Umayyah, hingga Dinasti Turki Utsmany. Masa kepemimpinan
Khilafah Mulkan berlangsung selama sekitar 1263 tahun (661 M –
1924 M), dengan 135 Kilafah/Raja/Penguasa, rinciannya antara lain
sbb: Pemerintahan Dinasti ‘Umayyah di Damaskus (661-750 M): 14
Khalifah/Raja/Penguasa, Pemerintahan Dinasti ‘Abbasiyyah di Baghdad
(750-1258 M): 37 Khalifah/Raja/Penguasa, Pemerintahan Dinasti
‘Abbasiyyah di Kairo (1261-1517 M): 18 Khalifah/Raja/Penguasa,
Pemerintahan Dinasti ‘Utsmaniyyah di Turki (1517-1924 M): 36
Khalifah/Raja/Penguasa, kemudian Dinasti yang bersamaan dengan
Khilafat ‘Abbasiyyah: Pemerintahan Dinasti ‘Umayyah di Spanyol (7561031 M): 16 Khalifah/Raja/Penguasa, dan Pemerintahan Dinasti
Fatimiyyah di Messir (909-1171 M): 14 Khalifah/Raja/Penguasa.
Periode keempat, ialah periode Khilafah yang mengikuti jejak
Kenabian (Khilafah ‘Ala Minhajin-Nubuwwah). Umat Islam tampaknya
belum sepakat berkenaan dengan Khilafah Islamiyah periode keempat
ini. Sebagian ada yang memahami kepemimpinan Khilafah ‘Ala
Minhajin-Nubuwwah ini bercorak politis, dan sebagian ada yang
memahami kepemimpinan ini bercorak agamis. Sebagian ada yang
sudah meyakini kebangkitannya, sebagian ada yang masih mencaricari dan berusaha untuk mendirikannya, sebagian ada yang sama
sekali tidak memperhatikannya, bahkan menganggap sama sekali
tidak penting. Namun, satu hal yang pasti, khabar ghaib (nubuwwah)
Nabi Muhammad SAW., ini memberi petunjuk : Khilafah Islamiyah
periode keempat ini coraknya adalah ‘Ala Minhajin-Nubuwwah, seperti
era Khilafah Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, ra, bukan Mulkan,
seperti era Dinasti- Dinasti: ‘Umayyah, ‘Abbasiyyah, Fatimiyyah, dan
Turki ‘Utsmany. Dan, dengan berakhirnya periode Khilafah Mulkan
(1924), yang berlangsung selama 1263 tahun itu, menandakan : era
dimana sekarang ini kita ada, adalah era kebangkitan Khilafah ‘Ala
Minhajin-Nubuwwah fase ke II itu. Diamnya Nabi, setelah menjelaskan
akan bangkitnya periode Khilafah ini, menunjukan periode Khilafah ini
akan berlangsung lama, sampai waktu yang hanya Allah saja yang
maha tahu.
Silang Pendapat Seputar Model Kepemimpinan Islam
Meskipun Rasulullah Muhammad SAW., telah mengabarkan mengenai
akan terjadinya periode-periode kepemimpinan dalam Islam, namun
sejak Rasulullah SAW., wafat, berkenaan dengan model kepemimpinan
Islam, umat Islam tampaknya tidak pernah mengenal kata sepakat.
Sebagian sepakat dengan Khilafah ‘Ala Minhajin-Nubuwwah – Abu
Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, ra. Sebagian lagi menolak Khilafah
‘Ala Minhajin-Nubuwwah, dan sepakat Ahlul Bait-lah yang berhak
melanjutkan dan mewarisi kepemimpinan dan risalah Nabi Muhammad
SAW,. Silang pendapat tersebut berlangsung hingga kini (sudah 1428
tahun), seperti tampak pada pendirian dan keyakinan Sunni-Syiah.
Pada kalangan Sunni, Imamah pasca Khilafah ‘Ala Minhajin
Nubuwwah, dilanjutkan oleh Imam-Imam Mazhab. Sedang pada
kalangan Syia’ah, Imamah pasca Imam Ali, dilanjutkan Imam HasanHusain, dan wilayat-wilayat hingga sekarang. Ini menandakan,
kalangan Sunni-Syi’ah, tak pernah merasa kehilangan Imamahnya.
Setelah periode Khilafah ‘Ala Minhajin-Nubuwwah berakhir, dengan
syahidnya Khalifah Ali bin Abi Thalib ra., silang pendapat berkenaan
dengan model kepemimpinan Islam kembali mewarnai babak baru
dunia Islam. Sebagian sepakat dengan sistem Mulkan, sebagian lebih
memilih hidup tanpa Imamah daripada harus menerima Mulkan
sebagai Khilafah Islamiyah. Silang pendapat tersebut, juga
berlangsung hingga kini, dan ironisnya justru terjadi dikalangan Sunni
sendiri. Yang sepakat dengan sistem Mulkan, terhimpun dalam wadah
Hizbu Tahrir. Yang tidak sepakat, terhimpun dalam berbagai wadah
lainnya. Adalah tidak mengherankan jika Hizbu Tahrir resah dan
gelisah merasa telah kehilangan Khilafah Mulkan-nya, sedang yang
lainnya enjoy-hapy saja, tidak pernah merasa kehilangan apa pun.
Adalah tidak mengherankan, jika Saudari Undiana, tentunya, ia
termasuk yang tergabung dalam Hizbu Tahrir, merasa telah 83 tahun
Kehilangan Khilafah Islamiyah “Mulkan”-nya, dan merindukan
berdirinya kembali dan kejayaan kembali Khilafah Mulkan itu (Fajar,
03 Maret 2007). Hizbu Tahrir dan Saudari Undiana benar, kerena
memang faktanya : Khilafah Mulkan, telah berakhir sejak 83 tahun
silam. Tidak salah kiranya jika saya mengucapkan: Subhaanallah! dan
Inna ilaahi wa inna ilaihi raaji’uun, atas berakhirnya silsilah Khilafah
Mulkan tersebut, dan doa: “Allaahumma maalikal-mulki tu’til-mulka
mantasyaa-u wa tanji’ul-mulka miman-tasyaa-u wa tu’izzu mantasyaa-u wa tudzillu man-tasyaa-u biyadikal khair, innaka ‘alaa kulli
syai’in qadiirun” (Ali Imran, 3:26-27)
Khilafah Islamiyah Versi Ahmadiyah
Memasuki awal abad XIV H lalu, dunia Islam memasuki babak baru
pemikiran kepemimpinan. Pada awal abad itu, Ahmadiyah lahir dengan
Mirza Ghulam Ahmad sebagai Pendirinya. Berkenaan dengan
kepemimpinan Islam, Ahmadiyah menyajikan konsep yang berbeda
dengan konsep lain umumnya. Ahmadiyah sepakat, periode
Nubuwwah dan Khilafah ‘Ala Minhajin-Nubuwwah adalah periode
ketika umat Islam dipimpin Nabi Muhammad SAW,. dan para Khulafaur-Rasyidiin al-Mahdiyyin: Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, ra.
Ahmadiyah sepakat, sesuai dengan Sabda Nabi: “Al-khilaafatu fii
ummatii tsalatsuuna sanatan tsumma mulkun ba’da dzaalik” (HR. Abu
Dawud dan Tirmizi), periode Mulkan, dengan dua macam coraknya –
‘Adlan dan Jabariyatan, adalah periode ketika umat Islam berada
dibawah pimpinan Khilafah “Mulkan” Islamiyah, mulai dari Dinasti
‘Umayyah hingga Dinasti Turki ‘Utsmani. Dalam visi Ahmadiyah,
kepemimpinan Islam pada periode ini coraknya murni politis, bukan
agamis. Karenanya, berkenaan dengan keagamaan, Rasulullah SAW.,
merekomendasikan: “Fa’alaikum bi sunnatii wa sunnatil-khulafaa-iRaasyidiinal-Mahdiyyiina” (HR. Ahmad). Sedangkan kepemimpinan
yang bercorak agamis berada pada tangan Mujaddid, sebagaimana
Sabda Nabi: “Innallaaha yab’atsu lihaadihil-ummati ‘alaa ra’si kulli
miatin sanatin man-yujaddidu laha diinaha” (HR. Abu Dawud). Para
Mujaddid-lah, kata Ahmadiyah, yang memegang kepemimpinan Islam
bercorak agamis, selama periode Khilafah “Mulkan” Islamiyah
berkuasa. Menurut Ahmadiyah, para Mujaddid itu telah hadir
sepanjang 14 abad terakhir, sbb: Mujaddid abad I: ‘Umar bin Abdul
‘Aziz, abad II: Imam Syafi’I, abad III: Imam Abu Hasan al-‘As’ari,
abad IV: Imam Abu Ubaidillah, abad V: Imam al-Ghazali, abad VI:
Imam Sayyid Abdul Qadir Jailani, abad VII: Imam Ibnu Taimiyah, abad
VIII: Imam Hafiz Ibnu Hajar Asqalani, abad IX: Imam Jalaludin AbdulRahman As-Suyuti, abad X: Imam Muhammad Tahir Gujrati, abad XI:
Imam Mujaddid Alfi Sarhadi, abad XII: Imam Syekh Waliyullah Delhi,
abad XIII: Imam Sayyid Ahmad Barelwi, abad XIV: Imam Mahdi-Isa
ibnu Maryam Yang Dijanjikan (Masih Mau’ud), Hadhrat Mirza Ghulam
Ahmad, as. Setelah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad wafat (1908),
tampil Khilafah-Khilafah menggantikan beliau, dengan sebutan
Khilafah Al-Masih. Khilafah Al-Masih I: Hadhrat Al-Haj Maulana Hakim
Nuruddin, Khilafah Al-Masih II: Hadhrat Al-Haj Mirza Basyiruddin,
Khilafah Al-Masih III: Hadhrat Al-Hafiz Mirza Nasir Ahmad, Khilafah AlMasih IV: Hadhrat Mirza Tahir Ahmad, Khilafah Al-Masih V (sekarang):
Hadhrat Mirza Masroor Ahmad. Dalam keyakinan Ahmadiyah, Khilafah
yang saat ini ada bersama mereka, adalah perwujudan dari Khilafah
‘Ala Minhajin-Nubuwwah fase ke II, yang diramalkan akan berdiri
setelah berakhirnya periode Mulkan. Pendirian Ahmadiyah,
sebenarnya, tidak berlebihan. Penulis Kitab Misykatul-Masabih,
mengomentari Hadits Nabi tentang Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah
fase II itu, memberi catatan kaki: “Addhaahiru annal-Murada bihi
jamani Isa wal Mahdi”. Dan, faktanya, memang demikian, Khilafah
Ahmadiyah yang diyakini sebagai perwujudan Khilafah ‘Ala MinhajinNubuwwah fase II, berdiri setelah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad,
seorang yang mengaku diri sebagai Al-Mahdi dan Al-Masih Mau’ud
wafat, dan berdiri, bahkan, 16 tahun sebelum Khilafah “Mulkan”
Islamiyah berakhir riwayatnya. Khilafah Mulkan berkahir 1924 M.
Khilafah Ahmadiyah berdiri 1908 M. Sistem kepemimpinan Islam yang
dianut Ahmadiyah ini menandakan, umat Islam, sesunguhnya , tidak
pernah kehilangan Khilafah-nya, sepanjang empat belas abad terakhir.
Persoalannya, hanya ada yang sudah tahu dan ada yang belum tahu
saja. Agaknya, memang, bukan Ahmadiyah, jika pemikiran-pemikiran
keagamaannya, tidak kontroversi.
Penderitaan Umat dan Penoalakan Atas Khilafat
Kerinduan dan kegandrungan sebagian Muslimin terhadap berdirinya
kembali sistem Khilafah Islamiyah, apa pun bentuknya, sesungguhnya
patut dihargai dan dihormati. Sikap demikian adalah selaras dengan
petunjuk Nabi ketika menjawab pertanyaan Hudzaifah bin al-Yaman,
saat beliau ditanya perihal kebaikan dan keburukan, Nabi bersabda:
“Talzamu jamaa’atal-Muslimin wa imaamahum, wa in-lam yakunlahum jamaa’atun wa laa imaamun, fa’tazil tilkal-firaqa kullaha walau
an-na’adhdha bi ashli sajaratin hattaa yudrikal mautu wa anta ‘alaa
dzalika” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pada segerombolan semut mesti ada pemimpin semut. Pada
segerombolan burung terbang mesti ada pemimpin burung. Pada
segerombolan lebah mesti ada pemimpin lebah. Pada gerombolan
binatang-binatang itu akan merasa gelisah jika tiada pemimpinnya,
dan dengan cara-cara yang berlaku dalam nizam-nya, ia akan segera
mencari pemimpin pengganti jika diketahui pemimpin mereka telah
tiada/mati. Adalah sangat ironi, jika umat Islam, kini tidak punya
naluri untuk memiliki kepemimpinan. Dan adalah sangat ironi, jika
umat Islam, kini lebih hafal pemimpin umat Katholik se-dunia, yang
bukan agamanya, ketimbang pemimpin agamanya sendiri.
Saya sependapat dengan Saudari Undiana, bahwa tanpa Khilafah
sudah lama umat Islam merana. Tanpa Khilafah umat Islam menderita
lahir-bathin diberbagai belahan dunia, dalam segala lapangan
kehidupan. Tetapi, kita, umat Islam, ada baiknya juga instrospeksi,
apakah penderitaann umat Islam selama ini kerena ketiadaan Khilafah
ataukah justru karena sikap antipati dan penolakan terhadap Khilafah
yang sudah ada, yang telah dibangkitkan oleh Allah SWT,.
Berpedoman kepada Firman Allah: “Wa maa kunna mu’adzibiina
hattaa nab’atsa rasuulan” (Al-Isra, 17:15). “Wa lau anna ahlal-quraa
aamanuu wat-taqau lafatahnaa ‘alaihim barakatim-minas-samaa-I
wal-ardhi wa lakin kadzabuu faakhadnaahum bimaa kaanuu
yaksibuun” (Al-A’raf, 7:96), Ahmadiyah memandang, bisa saja
penderitaan umat Islam disebabkan karena penolakan terhadap
Utusan Allah dan para Khalifahnya di zaman ini. Sudah lebih seabad
umat Islam membuang rasa persahabatannya terhadap Ahmadiyah. Di
tanah air, alih-alih dakwah mengajak orang lain masuk Islam, MUI
sudah dua kali menyatakan Ahmadiyah keluar dari Islam. Inna lilaahi
wa inna ilaihi raji’uun! Aksi anti Ahmadiyah, diseluruh wilayah tanah
air, Juli 2005 hingga awal Pebruari 2006 lalu, ditambah sikap
apatisnya SBY-JK, atas kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah, bak
Pontius Pilatus ketika mengadili Yesus di hadapan sidang Mahkamah
Agama, siapa tahu, itu pula yang telah mengundang azab dan
hukuman Tuhan, mulai dari gelombang Tsunami, gempa bumi, gunung
meletus, kelaparan, Pesawat hilang, hingga kapal Levina I tenggelam.
Siapa pun boleh tidak sepakat dan, atau menolak dengan sistem
Khilafah Islamiyah ala Ahmadiyah. “Faman syaa-a fal yu’min, waman
syaa-a fal yakfur”. (Al-Kahfi, 18:29). Namun, gagasan ke-Khilafah-an
Ahmadiyah, sebelum diterima dan, atau ditolak, harus juga
dipertimbangkan matang-matang. Sebab, ternyata, gagasan dan
keyakinan Ahmadiyah tidak lepas dari petunjuk Kitab Suci : Al-Quran
dan Hadits. Dan, apa pun rekasi orang tentang Khilafah Ahmadiyah:
menerima atau menolak, hak atau bathil, satu hal yang pasti,
Ahmadiyah kini sedang bersiap-siap untuk merayakan Tasyakur
seabad Khilafah-nya, 27 Mei 2008 mendatang. ***
Makassar, 05 Maret 2007
Download