ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMANFAATAN TANAH OLEH PETANI DI WILAYAH IZIN USAHA PERTAMBANGAN PT KAYAN PUTRA UTAMA COAL Abstrak Dammayanti Utami Bastian. Analisis Yuridis Terhadap Pemanfaatan Tanah oleh Petani di Wilayah Izin Usaha Pertambangan PT Kayan Putra Utama Coal. Dibimbing oleh Ibu Haris Retno Susmiyati, S.H., M.H selaku Dosen Pembimbing Utama dan Wiwik Harjanti, S.H., LL.M. selaku Dosen Pembimbing Pendamping. Kegiatan pemanfaatan tanah tidak lepas dari ketersedian akan tanah, namun semakin hari kebutuhan akan tanah semakin meningkat menyebabkan masyarakat berusaha memanfaatkan tanah yang ada semaksimal mungkin, termasuk atas tanah yang sudah ada dasar penguasaan di atasnya. Pemanfaatan ini terjadi di wilayah Izin Usaha Pertambangan milik PT. Kayan Putra Utama Coal. Tanah dibawah penguasaan PT Kayan Putra Utama Coal yang sudah dibebaskan, dengan memberikan ganti kerugian pada pemilik awalnya, sekarang di pinjamkan kembali kepada para petani sampai pada batas waktu yang belum ditentukan. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tidak mengatur mengenai pemanfaatan tanah ini. Padahal Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria mengamanatkan mengenai hal ini, dengan diwajibkannya setiap orang mengusahakan tanah yang dikuasainya, dan dilarangnya penelantaran tanah. Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, pada Pasal 2 menjelaskan salah satu dari obyek penertiban tanah terlantar adalah Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Dimana Izin Usaha Pertambangan termasuk didalamnya. Dengan kata lain pemanfaatan tanah yang dilakukan PT Kayan Putra Utama Coal bisa dikatakan salah satu dari objek tanah terlantar. Selain itu terdapat beberapa permasalahan dalam pemanfaatan tanah oleh petani di wilayah Izin Usaha Pertambangan PT Kayan Putra Utama Coal. Antara lain : 1. Mengenai perjanjian pemanfaatan tanah antara PT Kayan Putra Utama Coal dengan Petani, yang dilakukan tanpa ada surat perjanjian. 2. Petani beranggapan bahwa tanahnya belum dibebaskan oleh perusahaan dan meminta tanah tersebut dibebaskan, sedangkan sebelumnya atas tanah itu sudah dilalkukan pembebasan. 3. Petani tidak jarang menolak untuk mengosongkan tanahnya ketika akan digunakan oleh PT Kayan Putra Utama Coal. 4. perusahaan dapat mengambil alih tanah sewaktu-waktu. 5. Tidak adanya pengaturan secara khusus mengenai pemanfaatan tanah yang belum di tambang. Berdasarkan hal tersebut, penulis memfokuskan penelitian ini pada Analisis pemanfaatan tanah oleh petani di wilayah Izin Usaha Pertambangan PT Kayan Putra Utama Coal, Permasalahan yang terdapat dalam pemanfaatan tanah ini serta solusi terhadap permasalahan tanah yang terjadi, dengan menggunakan studi kasus dan legal survey. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 perlunya revisi pada Pasal 6 huruf B, di perlu dibentuknya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pemanfaatan tanah di wilayah izin usaha pertambangan, serta pengawasan dari pihak terkait. Bagi PT KPUC diharapkan Tetap melaksanakan kebijakan pemanfaatan tanah ini karena nilai produksi tanah dapat terus dimanfaatkan, butuhkannya peran pejabat desa (pihak ketiga) dalam pembuatan perjanjian, diharapkannya PT KPUC melakukan pembinaan kepada petani sehingga petani dapat memiliki keahlian lain selain bertani ketika tanahnya di kembalikan kepada perusahaan. sehingga kesejahteraan para petani dapat terjamin. Kata Kunci : Pemanfaatan Tanah, Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Pendahuluan Indonesia adalah negara kesatuan yang berupa kepulauan dengan luas daratan 192.257.000 ha, dengan jumlah penduduk mencapai 237.641.326 jiwa1. Hal ini menjadikan Indonesia menjadi salah satu negara dengan penduduk terpadat di dunia, dengan tingkat kepadatan demikian menimbulkan peningkatan yang pesat pada sektor pertanahan, dalam hal kebutuhan akan tanah. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan tanah, semakin meningkat pulalah rnasalah-masalah yang ditimbulkan oleh tanah yang harus ditangani dengan segera, salah satu kebutuhan akan tanah yang meningkat adalah sebagai lahan pertambangan. Dimana bentuk penggunaan lahan pertambangan ini tidak jarang menimbulkan beberapa permasalahan. Penggunaan tanah sebagai lahan pertambangan seringkali dianggap kurang bijaksana dan kurang mempertimbangakan aspek keberlanjutan. Konstitusi kita mengatur tentang aspek pertambangan ini, yakni Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang isinya menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat ” Salah satu permasalahan yang hampir selalu muncul dalam pengusahaan pertambangan yaitu wilayah pertambangannya terdapat didalam kawasan yang tidak bebas dengan kata lain ada hak yang melekat pada tanah tersebut, contohnya berada pada tanah pertanian warga. Permasalahan tumpang tindih ini semakin kompleks, bahkan sering menjadi pemicu terhambatnya atau tertundanya suatu kegiatan pertambangan. 1 Artikel berjudul “Penduduk Indonesia Hasil SP2010” http://pasuruankab.bps.go.id/ index.php/pelayanan-statistik/sensus-rilis/release-sp2010/release-sp2010-indonesia, diakses tanggal 17 April 2012 Apabila terjadi tumpang tindih antar wilayah pertambangan dengan kawasan transmigrasi di mana masyarakatnya hidup dengan cara bertani, maka langkah yang biasa ditempuh adalah perusahaan akan melakukan alih fungsi terhadap lahan pertanian, dengan cara melakukan pembebasan terhadap lahan pertanian tersebut yakni dengan memberikan ganti rugi yang layak kepada pemilik lahan. Namun setelah dibebaskan oleh Perusahaan batubara terkadang lahan atau tanah tersebut tidak serta merta dapat langsung dilakukan produksi (penambangan), selain harus dilakukan beberapa tahapan seperti ekplorasi, dapat pula karena masih menunggu selesainya penambangan di areal/lahan lainnya, atau karena sebab-sebab lainya. Tanah yang dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya dapat di kategorikan tanah terlantar. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (yang selanjutnya disingkat UUPA) menjelaskan hak atas tanah terhapus dengan sendirinya apabila tanahnya diterlantarkan. Peraturan Pemerintah mengenai Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yakni Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1998, Pasal 3 mengatur mengenai kriteria tanah terlantar, yang menyatakan “Tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik.” Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 merupakan peraturan baru yang mengatur hal serupa, menyatakan bahwa obyek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 lebih luas mengatur mengenai hal ini, dengan tidak hanya terpaku pada hak-hak atas tanah namun juga bentuk penguasaan lainnya, seperti perijinan. Sesuai dengan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pemanfaatan Lahan Terlantar, terhadap tanah terlantar dapat dilakukan penelitian dan identifikasi apabila : a. terhitung mulai 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai; atau b. sejak berakhirnya izin/keputusan/surat dasar penguasaan atas tanah dari pejabat yang berwenang. Salah satu Perusahaan yang sudah melakukan pembebasan lahan tetapi belum melakukan proses penambangan diareal tersebut adalah PT Kayan Putra Utama Coal. PT Kayan Putra Utama Coal (selanjutnya di singkat PT KPUC) berada di Desa Separi Kampung, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara. PT KPUC telah melakukan kegiatan eksplorasi sejak tahun 2002. Berdasarkan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Kalimantan Timur Tahun (1999) dan hasil monitoring dan evaluasi pinjam pakai kawasan hutan bahwa lokasi KP Eksploitasi PT KPUC berada pada Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK) seluas ± 2.279,12 ha dan Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) seluas ± 35,88 ha. Seluruh lokasi rencana kegiatan penambangan berada pada KBNK.2 Hasil pra penelitian yang dilakukan diwilayah Izin Usaha Pertambangan PT KPUC. Kawasan KBNK ini sebagian terdiri dari lahan pertanian penduduk transmigrasi yang 2 Laporan Studi Kelayakan Pertambangan Batubara PT Kayan Putra Utama Coal Bulan Mei Tahun 2011, Halaman I-1 tersebar di dua desa yakni desa Buana Jaya dan desa Mulawarman, lahan pertanian ini merupakan lahan milik warga transmigrasi yang dikelola lebih dari 20 tahun yang lalu. Rata-rata penduduk yang ada di desa Mulawarman merupakan transmigran tahun 1982. PT KPUC telah melakukan pembebasan lahan terhadap lahan milik penduduk beberapa diantaranya dilakukan pada kurun waktu 2008-2009 yang dilakukan dengan cara bertahap, beberapa dari lahan yang di bebaskan adalah lahan pertanian penduduk yang ada di Desa Mulawarman Kecamatan Tenggarong Seberang, Lahan tersebut sampai sekarang masih belum di kelola oleh pihak perusahaan dikarenakan Rencana Eksploitasi tambang belum sampai ke wilayah tersebut (cadangan), oleh karena itu ada inisiatif perusahaan untuk memanfaatkan lahan tak terpakai itu untuk dikelola sementara sebagai lahan pertanian oleh penduduk, di mana yang dimaksud penduduk disini adalah pemilik lahan sebelumnya. Penggunaan lahan untuk pertanian ini menyebabkan PT KPUC tidak melakukan pengelolaan sebagaimana mestinya yakni mengunakan tanah tersebut untuk kegiatan penambangan. Dalam proses pemanfaatan lahan, faktanya terdapat beberapa masalah antara lain perjanjian antara pihak perusahaan dan petani hanya secara lisan, dan petani yang lahannya telah dibebaskan dan diperbolehkan mengelola kembali lahan mereka sementara waktu, pada saat perusahaan ingin mengambil tanah tersebut terkadang petani menolak dan beranggapan bahwa tanah itu masih miliknya. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, penulis kemudian ingin meneliti berkaitan dengan skripsi dengan mengangkat judul ”Analisis Yuridis Terhadap Pemanfaatan Tanah oleh Petani di Wilayah Izin Usaha Pertambangan PT Kayan Putra Utama Coal”. Dengan rumusan masalah sebagai berikut, bagaimana analisis yuridis terhadap pemanfaatan tanah oleh Petani di wilayah Izin Usaha Pertambangan PT Kayan Putra Utama Coal ?, bagaimana pemasalahan yang muncul dalam pemanfaatan tanah oleh Petani di wilayah Izin Usaha Pertambangan PT Kayan Putra Utama Coal ?, bagaimana penyelesaian masalah yang muncul dalam pemanfaatan tanah oleh Petani di wilayah Izin Usaha Pertambangan PT Kayan Putra Utama Coal ?. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bertujuan untuk dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap kemajuan perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum agrarian, yang menyangkut konsep tanah terlantar dan pemanfaatannya di Indonesia serta permasalahan yang terdapat dalam pemanfaatan tanah tersebut. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan kepada masyarakat luas mengenai konsep tanah terlantar dan pemanfaatannya serta permasalahan yang terdapat dalam pemanfaaatan tanah tersebut. Pengertian Tanah Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi manusia, baik dalam fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan (pendukung mata pencaharian) di berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industri, maupun yang dipergunakan sebagai tempat untuk bermukim. Tanah merupakan sumber daya pembangunan yang memiliki sifat persediaannya terbatas dan tidak dapat bertambah. Oleh karena itu dalam penggunaan Tanah perlu diarahkan pada penggunaan tanah yang sesuai dan mempertimbangkan aspek keberlanjutan agar kelestariannya tetap terjaga dan mampu menampung kegiatan masyarakat yang terus berkembang. Istilah tanah secara umum memiliki berbagai definisi, definisi tersebut antara lain : 1. Keadaan bumi disuatu tempat. 2. Permukaan bumi yang diberi batas. 3. Daratan 4. Permukaan bumi yang terbatas yang ditempati suatu bangsa yang diperintah suatu negara atau menjadi daerah bagi suatu negara. 5. Bahan-bahan dari bumi.3 Ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi, yang disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu dalam pengertian yuridis yang disebut hak.4 Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam dalam Pasal 4 Ayat (1) Undangundang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yaitu “Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orangorang lain serta badan-badan hukum” Dengan demikian, jelaslah bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi. Tanah merupakan sumber daya alam yang bisa mempunyai berbagai bentuk ukuran, bisa dilihat sebagai benda merupakan tempat tumbuh bagi tanaman dimana ukurannya adalah subur dan gersang, bisa juga sebagai benda diukur dengan ukuran besar atau isi (volume) misalnya satu ton tanah atau satu meter kubik tanah, dan akhirnya tanah bisa dipandang sebagai ruang muka bumi sesuai Pasal 4 Ayat 1 UUPA dimana tanah berada. Belakangan ini ada usaha untuk mengganti istilah tanah dalam ukuran luas yang dikenal sebagai istilah “lahan”. Usaha ini bertujuan baik, yaitu memperkaya perbendaharaan kata-kata bahasa Indonesia. Akan tetapi tampaknya “lahan” dan “tanah” 3 Artikel berjudul “ Pengertian Tanah” Kangoes.com/artikel-tips-trik-ide-menarik-kreatif.definisi/ pengertian-tanah.html, diakses tanggal 4 Maret 2012 4 Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Prenada Media Group, Jakarta, Halaman 45 harus hidup berdampingan, karena istilah yang baru ini tidak akan bisa sepenuhnya mendesak mundur istilah yang lain. Hal ini disebabkan kata-kata seperti tanah air, tanah tumpah darah, tanah warisan, tanah wakaf, sertifikat tanah telah menjadi istilah baku secara historis maupun secara yuridis, dalam melaksanakan tugas mengemban UUPA5 Pertambangan Batubara Pertambangan batubara menurut Pasal 1 Ayat (5) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal. Usaha pertambangan merupakan kegiatan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam tambang (bahan galian) yang terdapat di dalam bumi Indonesia.6 Pada saat ini, industri pertambangan di Indonesia diatur oleh Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Undang-undang Minerba). Dalam Undang-undang ini, tepatnya dalam Pasal 1 butir 1 mengenai Ketentuan Umum, menjelaskan bahwa definisi pertambangan, yaitu “Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang”. Berdasarkan definisi tersebut, aktivitas pertambangan batubara itu terdiri dari delapan tahapan. Yang memerlukan waktu yang tidak sedikit utuk tiap kegiatan tersebut. Hal ini dapat menyebabkan penundaan waktu eksploitasi terhadap wilayah yang sudah di ekplorasi dan dibebaskan hak kepemilikannya. Karena seringkali perusahaan pertambangan memiliki wilayah yang terhitung luas, maka seringkali membagi wilayah untuk eksploitasi 5 Artikel berjudul “Perkembangan Penggunaan dan Kebijakan Penyediaan Tanah Mendukung Ketahanan Pangan” http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ Pros_Silalahi_06.pdf, diakses tanggal 15 April 2012. 6 Salim HS, 2005, Hukum Pertambangan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Halaman 53. (penambangan) berdasarkan tahun kegiatan akan dilakukan diwilayah tersebut. Dimana dalam kurun waktu tersebut sebagian tanah menjadi terbengakalai dan tidak bermanfaat, terlebih dalam jangka waktu yang relatif lama. Hubungan Antara Pertambangan dengan Tanah Hukum pertambangan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan hukum agraria. Ini erat kaitannya dengan pemanfaatan tanah untuk kepentingan pertambangan. Bagi perorangan maupun badan hukum yang akan melakukan penambangan pada wilayah pertambangan, yang harus diketahui lebih awal adalah status hukum tanah yang akan digunakan. Pada Undang-undang Minerba yakni dalam Pasal 134 pada BAB XVII mengatur mengenai penggunaan tanah untuk kegiatan usaha pertambangan, isi ketentuannya menyatakan : (1) Hak atas WIUP, WPR, atau WIUPK tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi. (2) Kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, (3) Kegiatan usaha dilaksanakan pertambangan sebagaimana dimaksud pada Ayat setelah mendapat izin dari instansi Pemerintah (2) dapat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 134 Ayat (1) secara implisit menyatakan bahwa WIUP tidak meliputi hak atas tanah, karena yang di kelola ada di bawah permukaan bumi (tanah). Mengenai hak milik atas tanah pada WIUPnya maka diatur dalam Pasal 135, yang menyatakan “Pemegang IUP Eksplorasi atau IUPK Eksplorasi hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah.” Jadi Apabila tanah yang akan digunakan itu berstatus tanah hak milik, perusahaan penambangan itu harus memberikan ganti rugi yang layak kepada pemilik tanah. Ganti rugi tidak hanya terhadap tanah-tanah yang bersangkutan, tetapi juga terhadap benda-benda yang ada di atasnya, seperti tanaman, bangunan dan lain-lain.7 Atau dengan hal-hal lain yang disepakati oleh kedua belah pihak, yakni perusahaan dan pemilik hak milik atas tanah. Pasal 138 Undang-undang Minerba, menyatakan “Hak atas IUP, IPR, atau IUPK bukan merupakan pemilikan hak atas tanah.” Kembali menekankan bahwa IUP bukan salah satu dari bentuk kepemilikan hak atas tanah, seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. Jadi IUP merupakan izin yang diberikan pejabat yang berwenang hanya untuk mengelola bagian di bawah permukaan bumi (tanah). Syarat dan Prosedur untuk Memperoleh Izin Usaha Pertambangan Syarat-syarat dan prosedur untuk memperoleh Izin Usaha Pertambangan diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 dan Keputusan Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1453K/29/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Tugas Pemerintahan di Bidang Pertambangan Umum. Pasal 6 Peraturan Pemerintah Republik Indonesiaan Nomor 23 Tahun 2011, menyatakan : (1) IUP diberikan oleh Menteri, gubernur, kewenangannya berdasarkan permohonan yang diajukan oleh: 7 Ibid, Halaman 25 atau bupati/walikota sesuai dengan a. badan usaha; b. koperasi; dan c. perseorangan. (2) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf a dapat berupa badan usaha swasta, BUMN, atau BUMD. (3) Perseorangan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf c dapat berupa orang perseorangan, perusahaan firma, atau perusahaan komanditer. (4) IUP sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diberikan setelah mendapatkan WIUP. (5) Dalam 1 (satu) WIUP dapat diberikan 1 (satu) atau beberapa IUP. Di dalam lampiran Keputusan Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1453 K/29/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Pertambangan Umum, telah ditentukan persyaratan permohonan izin Izin Usaha Pertambangan. Menyatakan antara lain: Izin Usaha Pertambangan Eksploitasi dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu: a. Peningkatan Izin Usaha Pertambangan eksplorasi; b. Pertambangan eksploitasi baru; dan c. Perpanjangan Izin Usaha Pertambangan eksploitasi. Persyaratan Permohonan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi, yaitu: a. Surat permohonan; b. Peta wilayah; c. Laporan lengkap eksplorasi; d. Laporan studi Kelayakan; e. Dokumen AMDAL, atau UKL-UPL; f. Tanda bukti membayar iuran tetap; g. Akta pendirian perusahaan yang salah satu dari maksud dan tujuannya menyebutkan berusaha di bidang pertambangan dan disahkan instansi yang berwenang. Pengertian Pemanfaatan Tanah Pemanfaatan tanah merupakan unsur dari hak atas tanah, yang dimaksud dengan hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Perkataan “mempergunakan” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah itu dipergunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan, sedangkan perkataan “mengambil manfaat” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah itu dipergunakan untuk kepentingan bukan untuk mendirikan bangunan, misalnya pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan.8 Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah. Menyatakan bahwa “Penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil.” Dengan kata lain Pemanfaatan tanah merupakan salah satu wujud penatagunaan tanah yang bertujuan untuk kepentingan masyarakat. Dalam Pasal 1 Ayat (4) Pemanfaatan tanah adalah kegiatan untuk mendapatkan nilai tambah tanpa mengubah wujud fisik penggunaan tanahnya. Dalam pemanfaatan tanah untuk proses pembangunan Negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia banyak sekali kendalanya diantaranya tidak tersedia dana yang cukup. Keterbatasan dana tersebut menyebabkan pemerintah hanya memberikan 8 Artikel berjudul “Pembuatan Akta jual beli yang tidak sesuai ketentuan dalam prosedur pembuatan akta pejabat pembuat akta tanah ”, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789 /30887/3/Chapter%20II.pdf, tanggal akses 9 April 2012 prioritas pada bidang-bidang tertentu. Dengan keterbatasan yang dimiliki Pemerintah tentu saja permasalahan tersebut tidak dapat sepenuhnya ditangani oleh pemerintah, maka peranan masyarakat yang terwujud dalam suatu institusi atau suatu lembaga sangat dibutuhkan untuk memperingan dan menutup celah-celah yang belum tertangani oleh pemerintah serta membantu usaha-usaha pendidikan dan sosial masyarakat. Dalam hal ini tanah yang merupakan aset kekayaan institusi atau lembaga dapat dimanfaatkan sesuai dengan tujuan sosial.9 Kebutuhan manusia yang semakin meningkat akan tanah, tidak dapat terpenuhi dengan keterbatasan jumlah tanah tersebut. Sehingga sebisa mungkin tanah tidak boleh dibiarkan terbengkalai karena hal itu mengurangi nilai kemanfaatan pada tanah tersebut. Pengertian Petani Pasal 1 huruf e Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, menyatakan bahawa “petani ialah orang, baik yang mempunyai maupun tidak mempunyai tanah yang mata pencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah untuk pertanian.” Masih banyak memahami tentang para Penyuluh pengertian Pertanian ”petani” yang kurang sehingga seringkali memperhatikan pengertian dan petani diterjemahkan ke dalam bahasa inggris menjadi farmer yang sebenarnya sangat berbeda sekali dengan petani yang dalam arti peasant.10 Farmer adalah gambaran yang diberikan oleh AT. Mosher yaitu petani yang berperan sebagai : juru tani, pengelola dan anggota masyrakat. Gambaran tersebut mengungkapkan bahwa farmer adalah petani pengusaha, yang menjalankan usaha pertanian sebagai suatu perusahaan, sehingga 9 Darmadi, 2011, “ Tinjauan Yuridis Pemanfaatan Tanah Hibah oleh Yayasan ”, Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Samarinda. Halaman 5 10 Artikel berjudul Strategi Melakukan Penyuluhan Pertanian Untuk Petani “Kecil” http://bp3kpancajaya. wordpress.com/2011/04/10/strategi-melakukan-penyuluhan-pertanian-untuk-petani-kecil/. diakses tanggal 22 April 2012 untung rugi senantiasa menjadi pertimbangan di dalam menjalankan usahanya dan memproduksi hasil pertanian dengan orientasi pasar.11 Hal tersebut berbeda jauh dengan pendapat Dr. Samsi Hariadi dari UGM Yogyakarta, ia melukiskan peasent yaitu petani kecil sebagai produsen pertanian, menguasai lahan sempit dengan orientasi produksi untuk mencukupi kebutuhan keluarga, bersifat subsistem. Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan petani di Indonesia adalah ”peasant” yang memiliki karakteristik khas. Peasant adalah petani kecil yang lahan pertaniannya sempit dengan hasil usahatani yang sebagian besar untuk keperluan keluarga, bersifat tradisional. Sedangkan, farmer adalah petani pengusaha yang menjalankan usaha tani secara perusahaan, dan biasanya memiliki lahan luas karena hasil pertaniannya untuk konsumsi pasar. 12 Dalam penelitian dilapangan petani di wilayah IUP PT Kayan Putra Utama Coal termasuk dalam kategori “pleasant” hal ini dilihat dari hasil pertaniannya hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan luas tanah yang dimiliki tidak terlalu luas hanya berkisar 1 sampai 2 hektar. Pengertian Perjanjian Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan berlandaskan pada ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena undang-undang” 11 AT. Mosher dalam Warsana, S.P. Strategi Melakukan Penyuluhan Pertanian Untuk Petani “Kecil” http://bp3kpancajaya. wordpress.com/2011/04/10/strategi-melakukan-penyuluhan-pertanian-untuk-petani-kecil/. diakses tanggal 22 April 2012 12 Dr. Samsi Hariadi dalam Warsana, S.P. Strategi Melakukan Penyuluhan Pertanian Untuk Petani “Kecil” http://bp3kpancajaya. wordpress.com/2011/04/10/strategi-melakukan-penyuluhan-pertanian-untuk-petani-kecil/. diakses tanggal 22 April 2012 Hal tersebut dipertegas lagi dengan rumusan ketentuan Pasal 1313 Kitab Undangundang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri pada satu orang atau lebih” Dalam perjanjian ada asas-asas umum hukum perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, salah satunya adalah asas konsensualitas. Asas konsensualitas memperlihatkan kepada kita semua, bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua atau lebih orang telah mengikat, dan karenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau consensus, meskipun kesepakatan telah dicapai secara lisan semata-mata. Ini berarti pada prinsip-prinsipnya para pihak yang berjanji tidak memerlukan formalitas, walaupun demikian, untuk menjaga kepentingan pihak debitor (atau yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi) diadakanlah bentuk-bentuk formalitas, atau dipersyaratkan adanya suatu tindak nyata tertentu.13 Ketentuan mengenai konsensualitas ini dapat kita temui dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, ada 4 syarat yakni: A. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri; B. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; C. Suatu pokok persoalan tentu; D. Suatu sebab yang tidak terlarang. Asas konsensualitas adalah ketentuan umum yang melahirkan perjanjian konsensuil. Di mana dalam perjanjian ini dibutuhkan perjanjian riil dan perjanjian formil, dalam perjanjian formil menyatakan bahwa untuk pengalihan kebendaan harus dilakukan dalam 13 Kartini Mulyadi dan Gunawan Wijaya. 2003, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakatra. Halaman 35. bentuk akta otentik atau akta di bawah tangan. Dengan kata lain kesepakatan saja belum mengikat para pihak yang berjanji sehingga diperlukannya bukti secara tertulis.14 Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution) Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui 2 (dua) proses. Proses penyelesaian sengketa tertua melalui proses litigasi di dalam pengadilan, kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa melalui kerja sama (kooperatif) di luar pengadilan. Proses litigasi menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversarial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesainya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif, dan menimbulkan permusuhan di antara pihak yang bersengketa. Sebaliknya melalui proses di luar pengadilan menghasilkan kesepakatan yang bersifat “win-win solution”, dijamin kerahasiaan sengketa para pihak, dihindari keterlambatan yang diakibatkan karena hal procedural dan administratif, menyelesaikan masalah secara komperhensif dalam kebersamaan, dan tetap menjaga hubungan baik. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini umumnya dinamakan dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR)15 Pengertian Alternative Dispute Resolution (ADR) atau APS disini adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Dengan demikian jelaslah yang dimaksud dengan Alternative Dispute Resolution dalam prespektif Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 adalah suatu pranata penyelesaian sengketa diluar pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak dengan mengesampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan. Penggunaan 14 Ibid, Halaman 56 15 M. Yahya Harahap. 1997. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa. PT Citra Aditya Bakti. Bandung. Halaman 280-281 pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan tersebut bukan suatu yang harus dilakukan atau dijalankan terlebih dahulu.16 Pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 telah menyediakan beberapa pranata pilihan penyelesaian sengketa secara damai yang dapat ditempuh para pihak untuk menyelesaikan sengketa atau beda pendapat mereka, apakah dengan mendayagunakan pranata konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya dapat ditempuh bila para pihak telah menyepakati bahwa sengketanya akan disampaikan melalui jalur penyelesaian di luar pengadilan.17 Negosiasi yang berasal dari bahasa Latin yaitu “neg” yang berarti tidak dan “atium” yang berarti berhenti, ini mengandung arti bahwa seseorang tidak akan berhenti selama proses berlangsung atau sampai persetujuan didapat. Secara sederhana negosiasi berarti suatu proses tawar menawar atau upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain melalui proses interaksi, komunikasi yang dinamis dengan tujuan untuk mendapatkan penyelesaian atau jalan keluar atas suatu masalah yang sedang berlangsung.18 Kaitannya dengan negosiasi pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa: “Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternative penyelesaian sengketa sebagimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis”. Kata “Pertemuan langsung” menunjukan bahwa penyelesaian sengketa atau beda pendapatnya dilakukan melalui negosiasi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa negosiasi itu adalah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dilakukan oleh 16 Susanti Adi Nugroho, 2009. Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa. PT Telaga Ilmu Indonesia. Jakarta Selatan. Halaman 4 17 Ibid. Halaman 5 18 Ibid. Halaman 21-22 pihak-pihak yang bersengketa atau kuasanya secara langsung pada saat negosiasi dilakukan, tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah. Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa telah dikenal luas dan menarik minat banyak pakar. Joni Emirzon mengumpulkan beberapa pengertian mediasi dalam berbagai versi sebagai berikut : 1. Mediasi adalah suatu proses dimana para pihak dengan bantuan seseorang atau beberapa orang, secara sistematis menyelesaikan permasalahan yang disengketakan untuk mencari alternatif dan mencapai penyelesaian yang dapat mengakomodasi kebutuhan mereka. (Folberg & Taylor)19 2. Mediation in negotiation carried out with the assistance of a third party. (Stephen B. Goldberg)20 3. Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 “ Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.” Secara umum mediasi dapat diartikan upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap netra, dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang fasilitator untuk terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat. Dengan kata lain, proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan 19 Folberg & Taylor dalam Joni Emirzon, 2001. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi , dan Arbitrase). PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Halaman 59 20 Stephen B. Goldberg dalam Joni Emirzon, 2001. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi , dan Arbitrase). PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Halaman 60 pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian yg memuaskan. 1. Analisis yuridis terhadap pemanfaatan tanah oleh Petani di wilayah Izin Usaha Pertambangan PT Kayan Putra Utama Coal Semakin beragamnya kebutuhan masyarakat di era sekarang ini termasuk kebutuhan akan tanah baik sebagai tempat tinggal, pertokoan, lahan pertanian atau perkebunan, termasuk sebagai lahan pertambangan, dan tidak jarang ada ketersinggungan antara berbagai kepentingan itu, salah satu contoh yang diangkat dan menjadi bahan bahasan adalah antara pemanfaatan tanah sebagai lahan pertanian yang terdapat dalam wilayah izin usaha pertambangan PT Kayan Putra Utama Coal yang terdapat di Desa Mulawarman. Wilayah izin usaha pertambangan PT Kayan Putra Utama Coal ini berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kutai Kartanegara No. 540/2507/IUP-OP/MB-PBAT/IX/2010 tentang Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Kepada PT. Kayan Putra Utama Coal. Didalam Surat Keputusan tersebut Desa Mulawarman termasuk dalam wilayah produksi PT Kayan Putra Utama Coal. Lahan Pertanian penduduk disini didapatkan dari kebijakan transmigrasi, berdasarkan penelitian penduduknya rata-rata merupakan transmigran pada tahun 1982. Sebagian dari lahan ini ada yang masih dikelola sendiri oleh pemilik asalnya, ada pula yang sudah diwariskan kepada anak cucunya. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 136 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengatur tentang pembebasan tanah, yakni : (1) Pemegang IUP atau IUPK sebelum melakukan kegiatan operasi produksi wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Penyelesaian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan atas tanah oleh pemegang IUP atau IUPK. PT Kayan Putra Utama Coal melakukan pembebasan tanah di lokasi pertanian milik penduduk transmigrasi. Untuk lahan seluas 1.012 Ha pada tahap perhitungan Laporan Studi Kelayakan PT Kayan Putra Utama Coal tahun 2011, lahan di wilayah desa Mulawarman yang saat ini sudah dibebaskan sekitar 200 Ha. Menurut amanat Pasal 135 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang menyatakan “Pemegang IUP Eksplorasi atau IUPK Eksplorasi hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah”. Sehingga PT Kayan Putra Utama Coal melakukan pembebasan terhadap hak milik atas tanah di wilayah izin usaha produksinya. Setelah pembebasan tersebut selesai barulah PT Kayan Putra Utama Coal dapat melaksanakan kegiatan Produksi, karena telah diberi hak penguasaan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 137, yakni: “Pemegang IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 dan Pasal 136 yang telah melaksanakan penyelesaian terhadap bidang-bidang tanah dapat diberikan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang.” Setelah tanah dibebaskan muncul permasalahan, yakni belum bisa dilakukan operasi produksi di tanah tersebut. Hal ini dikarenakan belum selesainya operasi produksi di lokasi sebelumnya. Lahan ini masih merupakan lahan cadangan yang di persiapkan sebelum operasi produksi di lokasi sebelumnya selesai (operasi produksi dilakukan bertahap berdasarkan kurun waktu yang telah ditetapkan PT. Kayan putra Utama Coal). Diperkirakan wilayah yang terdapat di Desa Mulawarman ini akan dilakukan operasi produksi pada tahun 2014. Berdasarkan alasan tersebut PT Kayan Putra Utama Coal membuat kebijakan, atas dasar permintaan petani bahwa para petani setempat yang lahannya berada di daerah tersebut masih dapat melakukan kegiatan pertanian sampai batas waktu yang belum ditentukan. Akan tetapi apabila PT Kayan Putra Utama Coal akan menggunakan lahan tersebut para petani diminta untuk tidak bertani di lahan itu. Kebijakan ini diberikan agar tanah tersebut tidak terlantar dan menjadi tanah yang tidak produktif dalam jangka waktu yang cukup lama, serta memberikan kesempatan bagi penduduk untuk memperoleh nafkah sambil mencari mata pencaharian setelah lahan dikembalikan ke perusahaan nantinya. Sampai saat ini tanah yang masih dimanfaatkan oleh petani sekitar 21 ha. Pembebasan tanah dilakukan secara bertahap pada kurun waktu 2008-2009 untuk wilayah Desa Mulawarman. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai pemanfaatan tanah dalam wilayah izin usaha pertambangan yang diberikan. Mengenai tanah hanya mengatur kegiatan pasca tambang yang wajib dilakukan perusahaan. Oleh karena itu tidak ada hal yang dilanggar oleh perusahaan dalam ketentuan Pertambangan khususnya Pertambangan Batubara, karena masih dalam masa pengelolaan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi dan bukan merupakan penelantaran lahan eks tambang. Menurut hasil wawancara dengan Sekertaris Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Kutai Kartanegara, menjelaskan : “bahwa pada dasarnya mengenai pemanfaatan lahan ini tidak melanggar peraturan perundang-undangan mengenai pertambangan karena bentuk pengawasan yang dikhususkan adalah pengawasan terhadap tanah ekstambang (reklamasi), dan pemanfaatan tanah seperti ini hanya merupakan perjanjian antara kedua belah pihak saja, yaitu pihak perusahaan dan petani setempat.”21 Fakta di lapangan yang ditemui menunjukan dibeberapa tempat (wilayah IUP) memiliki jarak yang lama dari waktu pembebasan sampai pada tahap operasi produksi, tidak jarang dapat memakan waktu lebih dari 3 tahun. Ketika memperhatikan dari presfektif ekonomi, hal ini dapat menimbulkan kerugian terhadap masyarakat dan pemerintah, karena hal ini menyebabkan tanah menjadi tidak produktif apabila tidak dimanfaatkan, sehingga mengurangi pendapatan masyarakat dan pemerintah. salah satu contoh perusahaan yang belum melakukan operasi produksi pada tanah yang sudah dibebaskan yaitu PT KPUC, namun tidak ada pengaturan sebagai dasar hukum yang pasti mengatur mengenai pemanfaatan lahan di wilayah izin usaha pertambangan seperti ini. Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, kebijakan yang diberikan PT Kayan Putra Utama Coal ini bisa menjadi bumerang, karena dalam Pasal 2 menyatakan bahwa obyek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Maka akibatnya PT Kayan Putra Utama Coal bisa dikenakan sanksi yakni pemutuskan hubungan hukum dengan tanah yang ditetapkan sebagai tanah terlantar, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 9 ayat (2). yaitu: “Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah terlantar merupakan tanah hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, penetapan tanah terlantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat juga penetapan hapusnya 21 Hasil wawancara dengan Sekertaris Dinas Pertambangan dan Energi, tanggal 9 Agustus 2012. hak atas tanah, sekaligus memutuskan hubungan hukum sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.” serta ditegaskan Izin usaha pertambangan milik PT Kayan Putra Utama Coal termasuk dalam kategori dasar penguasaan atas tanah. Tujuan pemberian dasar penguasaannya adalah Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi, untuk melakukan penambangan di daerah tersebut, terlebih tanah yang berada di wilayah izin tersebut sudah dibebaskan oleh pihak perusahaan. Ketika tanah tersebut setelah dibebaskan dari tahun 2008-2009 dibiarkan begitu saja, tentunya hanya akan menjadi hutan dan semak belukar, dengan kebijakan perusahaan ini memberikan peluang kepada para petani untuk memperoleh keuntungan dari bertani sementara waktu sambil mencari pekerjaan lain, sehingga petani tidak kaget dan punya bayangan kegiatan apa yang akan dilakukannya pasca tanah di kembalikan kepada perusahaan, namun perusahaan meminjamkan tanah tersebut kepada petani untuk di tanami selama tanah belum digunakan perusahaan, hal ini dapat termasuk kategori tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya, dengan kata lain dengan Peraturan ini perusahaan malah lebih baik tidak meminjamkan tanahnya. Walaupun pada dasarnya kegiatan inilah yang sebenarnya baik untuk dilakukan, karena tanah tersebut masih bisa diambil manfaatnya oleh petani. Masalah penetapan tanah terlantar sebagaimana yang dilakukan PT Kayan Putra Utama Coal terdapat ketidakjelasan hukum, karena dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pemanfaatan Lahan Terlantar, mengatur tentang penelitian menjelaskan: “ terhadap tanah terlantar dapat dilakukan penelitian dan identifikasi apabila : a. terhitung mulai 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai; atau b. sejak berakhirnya izin/keputusan/surat dasar penguasaan atas tanah dari pejabat yang berwenang. “ Dengan kata lain walaupun tanah tersebut sudah tidak dimanfaatkan sesuai peruntukannya selama 4 tahun, baru bisa di lakukan penelitian dan identifikasi pada saat izin usaha pertambangan tersebut berakhir pada tahun 2024, dan sanksi atas tindakan tersebut adalah pemutusan hubungan dengan tanah yang ditetapkan sebagai tanah terlantar tersebut. Karena izinnya sudah berakhir maka sanksi pemutusan hubungan dengan tanah ini tidak menimbulkan akibat hukum terhadap perusahaan, dan kegiatan pemanfaatan tanah yang tidak sesuai dengan izin seperti yang diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar tidak dapat memberikan sanksi yang mengikat, karena masa berlaku izin milik PT Kayan Putra Utama Coal belum berakhir, dan baru berakhir tahun 2024. Aturan pertambangan dalam hal ini Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, memungkinkan lahan dibiarkan kosong atau tidak dimanfaatkan dan tidak ada sanksi atas hal itu. Sedangkan bila dihubungkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar pengaturan mengenai izin usaha pertambangan. sanksi yang diberikan berupa pemutusan hubungan dengan tanah yang dinyatakan tanah terlantar, yang penelitiannya baru dapat dilakukan ketika tanah tersebut telah berakhir izinnya. Padahal pada Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tanah memang akan diserahkan kembali kepada pemerintah setelah izin berakhir, sehingga tidak perlu ada penetapan tanah terlantar dengan sendirinya tanah tersebut akan kembali pada pemerintah dan menjadi aset negara. Dengan kata lain aturan tersebut jika diperuntukan bagi Izin Usaha Pertambangan tidak menimbulkan akibat hukum apapun dan sanksi menjadi tidak efektif. Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (selanjutnya disingkat UUPA) telah memuat mengenai ketentuan kewajiban untuk mengusahakan tanah, yakni dalam Pasal 15 yang isinya menyatakan : “Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan-hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memerhatikan pihak yang ekonomis lemah.” Pelanggaran terhadap hal ini dapat berikan sanksi sesuai dengan Pasal 52 Ayat 1 UUPA, yakni: “Barang siapa yang dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 15 dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan atau denda setinggitingginya Rp 10.000,-“ Serta penelantaran terhadap tanah merupakan salah satu penyebab hapusnya hubungan hukum dengan tanah yang dimiliki. Faktanya bukan hanya 1-2 bulan tetapi 3-5 tahun bahkan lebih, waktu di mana tanah yang telah dibebaskan belum bisa langsung dilakukan produksi di usaha pertambangan, dengan alasan belum selesainya penambangan di lokasi sebelumnya. Perusahaan penambangan tambang di biasanya lokasi membebaskan sebelumnya untuk tanah menjamin jauh sebelum ketersediaan selesainya tanah ketika penambangan di lokasi sebelumnya telah selesai. Sehingga kegiatan perusahaan dapat terus berlangsung. Namun tanah tersebut seringkali dibiarkan terlantar atau tidak dimanfaatkan. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan hendaklah memperhatikan mengenai hal ini, dan menjadikannya sebagai pertimbangan untuk membuat peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai hal ini, 3-5 tahun mungkin bukan waktu yang lama bagi pemilik tanah yang tidak mengusahakan tanahnya untuk alasan apapun, tetapi bagi pihak ekonomi lemah seperti petani yang tidak memiliki keahlian lain selain bertani, waktu tersebut sangat berharga karena ketika diperbolehkan memanfaatkan tanah yang tidak dipergunakan, para petani bisa menghidupi keluarganya. Sehingga pentingnya peraturan ini dibuat agar kepastian hukum dan perlindungan dapat diberikan kepada petani yang memanfaatkan tanah di wilayah izin usaha pertambangan yang tanahnya belum dimanfaatkan. 2. Pemasalahan yang muncul dalam pemanfaatan tanah oleh Petani di wilayah Izin Usaha Pertambangan PT Kayan Putra Utama Coal. Tanah merupakan sumber daya alam fisik yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan di segala kehidupan manusia baik yang langsung digunakan untuk kehidupannya seperti tempat tinggal/perumahan, untuk bercocok tanam, maupun dipergunakan untuk melakukan usahanya seperti kegiatan pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, pertambangan dan sebagainya. Kebutuhan akan tanah setiap waktunya selalu bertambah namun kenyataannya luasan tanah tidak dapat bertambah, sehingga menyebabkan ketersediaannya menjadi terbatas. Keterbatasan ini menyebabkan terjadinya pemanfaatan tanah yang tidak atau belum dimanfaatkan oleh si empunya tanah, untuk memperoleh manfaat. Baik sebagai perkebunan, perikanan, pertanian dan lainnya. Walaupun begitu tidak jarang terdapat permasalahan terhadap pemanfaatan tanah yang demikian. Sama halnya dengan pemanfaatan tanah antara petani dan PT Kayan Putra Utama Coal, dalam hal ini petani memanfaatkan lahan yang belum terpakai milik PT Kayan Putra Utama Coal. Permasalahan yang muncul dalam pemanfaatan tanah antara petani dan PT Kayan Putra Utama Coal antara lain adalah : 2.1. Perjanjian pemanfaatan tanah antara PT Kayan Putra Utama Coal dengan Petani, yang dilakukan tanpa ada surat perjanjian. Adapun perjanjian yang dilakukan antara PT Kayan Putra Utama Coal dan para petani hanya bersifat lisan, hanya berdasarkan kepercayaan antara kedua belah pihak. namun dizaman sekarang ini terkadang kepercayaan saja yang menjadi dasar perikatan tidaklah kuat, karena dengan tidak adanya surat perjanjian selalu ada celah bagi kedua belah pihak untuk melanggar perjanjian (wan prestasi) tersebut. 2.2. Petani tidak jarang menolak untuk mengosongkan tanahnya ketika akan digunakan oleh PT Kayan Putra Utama Coal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di PT Kayan Putra Utama Coal, pernah terjadi suatu permasalahan yakni petani menolak untuk mengosongkan tanah atau mengembalikan tanah kepada pihak perusahaan. Hal ini merupakan dampak dari tidak adanya surat perjanjian diantara kedua belah pihak, salah satunya mengenai batas waktu peminjaman, sehingga permintaan perusahaan tidak diindahkan ketika ingin menggunakan tanah tersebut. Yakni ketika sebelum musim panen perusahaan meminta kepada petani agar lahan yang digunakan untuk tidak ditanami lagi karena akan digunakan, namun setelah musim panen selesai, petani tersebut tetap melakukan kegiatan pertanian di lahan tersebut. Hal ini tetntunya merugikan pihak perusahaan karena menghambat kegiatan perusahaan, apabila perusahaan ingin menggunakan tanah tersebut, perusahaan harus memberikan gantirugi terhadap bibit petani tersebut. 2.3. Petani beranggapan tanahnya, belum dibebaskan oleh perusahaan dan meminta tanah tersebut dibebaskan. Sedangkan sebelumnya atas tanah itu sudah dilakukan pembebasan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Manager SSE PT Kayan Putra Utama Coal (Security Safety Enveronment)22, ada permasalahan lain yang terkadang muncul dalam pemanfaatan tanah ini adalah petani ada yang meminta tanahnya dibebaskan kembali. Hal ini karena terlalu lamanya jangka waktu yang diberikan, sehingga ada petani yang beranggapan bahwa tanah tersebut diberikan kembali padanya, dan meminta dilakukan pembebasan kembali saat tanah tersebut akan dikelola pihak perusahaan. Selain itu, alasan petani ialah terkait konflik dalam keluarga tidak jarang berkaitan dengan tanah yang sudah dibebaskan ini, yakni ketika ayahnya masih hidup, ia sudah menjual tanahnya kepada perusahaan tetapi ketika anaknya diperbolehkan menggarap oleh perusahaan dan tanah tesebut akan digunakan oleh perusahaan, sang anak meminta lahannya dibebaskan kembali dengan alasan perusahaan belum melakukan pembebasan atas tanah yang di garapnya. 2.4. Perusahaan dapat mengambil alih tanah sewaktu-waktu Tidak hanya pihak perusahaan yang menyampaikan keluhan, sedangkan dari sisi petani yang di wakili oleh Sekertaris Desa Mulawarman23, ada keluhan mengenai lahan yang sudah ditanam tiba-tiba digusur oleh pihak pengusaha, yang dalam hal ini menimbulkan kerugian dari sisi petani. Namun karena tidak seimbangnya kedudukan dalam hal ini perusahaan sebagai pemilik lahan dan petani hanya meminjam tanpa dasar yang kuat, termasuk karena tidak adanya surat perjanjian menyebabkan petani tidak dapat melakukan sesuatu, ketika tanaman mereka digusur oleh perusahaan. Sekertaris Desa mulawarman juga menuturkan mereka hanya mengetahui bahwa ada pemanfaatan tanah tersebut, namun mengenai 22 23 Wawancara dengan Manager SEE PT KPUC, tanggal 27 Agustus 2012 Wawancara dengan Sekertaris Desa Muwarman, tanggal 27 Agustus 2012 perjanjiannya hanya petani dan pengusaha saja. Akan menyulitkan ketika terjadi permasalahan karena peran aparat desa dalam hal ini tidak mengetahui secara pasti menganai perjanjian tersebut, dan hanya bisa menerima laporan dari petani tanpa bisa bertindak lebih jauh. Ketiadaan pengaturan secara spesifik, menyebabkan pemanfaatan tanah yang dilakukan petani menjadi tidak pasti, dan perusahaan tambang dapat mengambil tanah sewaktu-waktu. 3. Penyelesaian masalah yang muncul dalam pemanfaatan tanah oleh Petani di wilayah Izin Usaha Pertambangan PT Kayan Putra Utama Coal Permasalahan yang telah dijabarkan sebelumnya diperoleh keterangan bagaimana cara perusahaan menyelesaikan permasalahan tersebut, Permasalahan yang terjadi didasari karena tidak adanya perjanjian yang mengikat para pihak, terhadap hal seperti ini perusahaan menyelesaikannya dengan melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa. Yakni dengan negosiasi dan mediasi. Perusahaan terlebih dahulu, melakukan negosiasi. Negosiasi adalah suatu proses tawar menawar atau upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain melalui proses interaksi, komunikasi yang dinamis dengan tujuan untuk mendapatkan penyelesaian atau jalan keluar atas suatu masalah yang sedang berlangsung 24 . Negosiasi yang dilakukan perusahaan yakni dengan meminta secara baik-baik agar petani memberikan kembali tanah milik perusahaan, dengan memberikan pengertian bahwa tanah tersebut sudah dibebaskan sebelumnya. Namun jika tidak membuahkan hasil dilakukan mediasi, mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap netral, dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang fasilitator untuk 24 Ibid. Halaman 21-22 terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan . Dalam hal ini gelar mediasi yang digunakan sebagai cara penyelesaian terhadap permasalahan ini, ketentuannya di atur pada Pasal 39 ayat (1) yang menjelaskan mengenai tujuan mediasi yakni : Gelar Mediasi bertujuan: a. menampung informasi/pendapat dari semua pihak yang berselisih, dan pendapat dari unsur lain yang perlu dipertimbangkan; b. menjelaskan posisi hukum para pihak baik kelemahan/kekuatannya; c. memfasilitasi penyelesaian kasus pertanahan melalui musyawarah; dan d. pemilihan penyelesaian kasus pertanahan. Pada Pasal 39 ayat (2) dijelaskan mengenai peserta Gelar Mediasi, yakni : a. Tim Pengolah; b. Pihak pengadu, termohon dan pihak lain yang terkait; c. Pejabat Kantor BPN RI, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan/atau Kantor Pertanahan dan instansi/lembaga yang terkait; d. Pakar dan/atau saksi ahli yang terkait dengan kasus pertanahan; e. Tim Mediator dari Kantor BPN RI, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan/atau Kantor Pertanahan atau eksternal BPN RI; dan f. Unsur-unsur lain yang diperlukan. Berdasarkan ketentuan tersebut pejabat Kantor Desa Mulawarman dapat bertindak sebagai Mediator, karena tim mediator pada huruf e dapat berasal dari eksternal BPN RI. Moore menggolongkan tipologi mediator menjadi tiga kategori25, yaitu: 1. Mediator jaringan sosial (social network mediator) yaitu mediator yang dipilih karena adanya jaringan atau hubungan sosial. 2. Mediator otoritatif (authoritative mediator) adalah mediator yang dipilih karena yang bersangkutan memiliki otoritas atau kewenangan. 25 Sudharto P. Hadi, Resolusi Konflik Lingkungan, (Semarang: BP Undip, 2006), hlm. 103. 3. Mediator independen (independent mediator) yaitu mediator yang dipilih karena professional.. Pemerintah desa (Kantor Desa Mulawarman) termasuk dalam mediator otoratif, yang dipilih karena dianggap memiliki kewenangan. Kewenangan ini dapat dibaca sebagai pihak yang memiliki kekuasaan untuk mengatur dan memerintah. Pemilihan mediator yang ‘berwenang’ ini biasanya dijadikan sebagai strategi untukmengikat pihak-pihak yang bersengketa agar tidak main-main dan melaksanakan hasil-hasil perundingan. Selain itu, para pihak juga berharap adanya tindak lanjut dari pemerintah bila memang obyek yang dipersengketakan berupa kebijakan dari pihak yang berwenang. Sehingga kedua belah pihak bersepakat pejabat Desa Mulawarman sebagai mediator dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam pemanfaatan tanah oleh petani di wilayah Izin Usaha Pertambangan PT KPUC ini. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan mediasi26, yakni : 1. Faktor Mediator, keberhasilan mediasi dilihat dari faktor mediator dapat didefinisikan adanya kegigihan mediator untuk merealisasikan keberhasilan mediasi dan kemampuan/skill dan penguasaan mediator terhadap aspek mediasi. 2. Faktor Perkara, keberhasilan mediasi dilihat dari faktor perkara dapat diidentifikasikan berdasarkan karakteristik perkara yang melatarbelakanginya. 3. Faktor Para Pihak, faktor keberhasilan mediasi dari aspek para pihak yaitu para pihak beri’tikad baik untuk mengakhiri sengketa melalui mediasi. 4. Faktor Sarana, hal ini berupa tempat dan pembiayaan yang dapat membantu proses keberhasilan mediasi. Faktor Mediator dan Para pihak lah yang paling berpengaruh dalam mediasi permasalahan antara petani dan PT KPUC ini. hal ini di tunjukan oleh perusahaan dengan membuat tim khusus untuk membantu menyelesaikan pemasalahan seperti ini. Mediator yakni pejabat Kantor Desa Mulawarman senantiasa aktif dalam berupaya menyelesaikan pemasalahan, sehingga mediasi dapat cepat dilaksanakan. Setelah kesepakatan tercapai 26 Artikel berjudul “Teori dan Implementasi Mediasi Dalam Pengadilan Agama”, http://www.ptabandung.go.id/uploads/arsip/888Sinopsis_Disertasi.pdf, tanggal akses 21 September 2012. kedua belah pihak yakni petani dan pengusaha senantiasa tunduk pada kesepakatan yang telah dibuat sehingga permasalahan tidak berlangsung berkelanjutan. Penutup Berdasarkan hasil pembahasan penulis, kebijakan pemanfaatan tanah oleh petani di wilayah izin usaha pertambangan PT Kayan Putra Utama menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai pemanfaatan tanah untuk sektor lain dalam wilayah Izin Usaha Pertambangan yang belum dilakukan penambangan. Namun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar hal ini merupakan pelanggaran karena tanah di bawah dasar penguasaan izin usaha pertambangan ini telah tidak sesuai dengan peruntukannya, namun baru dapat diidentifikasi setelah izinnya berakhir. Sanksi atas hal tersebut apabila ditetapkan sebagai tanah terlantar adalah pemutusan hubungan dengan tanah tersebut dan menjadikan tanah tersebut sebagai aset negara, sedangkan untuk tanah pascatambang setelah di lakukan reklamasi tanah tersebut memang secara otomatis kembali kepada negara, tanpa harus dilakukan penelitian dan penetapan sebagai tanah terlantar. Permasalahan yang muncul dalam pemanfaatan tanah untuk pertanian di wilayah Izin Usaha Pertambangan PT KPUC antara lain : tidak adanya perjanjian tertulis antara PT KPUC dengan petani yang memanfaatkan tanah di wilayah IUP PT KPUC, petani menolak untuk mengosongkan tanahnya ketika akan digunakan oleh PT KPUC, perusahaan dapat mengambil alih tanah sewaktu-waktu, petani beranggapan bahwa tanahnya belum dibebaskan oleh perusahaan dan meminta tanah tersebut dibebaskan sedangkan sebelumnya tanah tersebut sudah dibebaskan. Penyelesaian terhadap permasalahan yang muncul dalam pemanfaatan tanah karena tidak dibuat pejanjian tertulis yang mengatur. maka jika terjadi permasalahan, masyarakat dan perusahaan menempuh jalan negosiasi antara petani dengan pengusaha (PT KPUC) dan mediasi dengan pejabat Kantor Desa Mulawarman sebagai mediator. Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan pada Pasal 39 ayat (2) huruf e memperbolehkan tim mediator berasal dari eksternal BPN RI, dalam hal ini pejabat Kantor Desa Mulawarman. Pejabat Kantor Desa Mulawarman termasuk dalam kategori mediator otoritatif (authoritative mediator), yang dipilih oleh petani dan pengusaha (PT KPUC) karena yang bersangkutan memiliki otoritas atau kewenangan. Faktor para pihak dan keberhasilan mediasi ini. Faktor mediator yang paling berpengaruh dalam DAFTAR PUSTAKA Darmadi, 2011, Tinjauan Yuridis Pemanfaatan Tanah Hibah oleh Yayasan, Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Samarinda Harahap, M. Yahya. 1997. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa. PT Citra Aditya Bakti. Bandung. HS, Salim, 2005, Hukum Pertambangan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hutagalung, Arie Sukanti dan Gunawan, Markus, 2009, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Marzuki, Peter Mahmud, 2007, Penelitian Hukum (Cetakan Ketiga), Prenada Media Group, Jakarta. Muhammad, Abdulkadir, 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung. Mulyadi, Kartini dan Wijaya, Gunawan. 2003, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakatra. Nugroho, Susanti Adi, 2009. Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa. PT Telaga Ilmu Indonesia. Jakarta Selatan Parlindugan, A.P., 2008, Berakhirnya Hak-Hak Atas Tanah Menurut Sistem UUPA (Undangundang Pokok Agraria) (Cetakan Keempat), Mandar Maju, , Bandung. Santoso, Urip, 2005, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Prenada Media Group, Jakarta. Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri , Ghalia Indonesia, Jakarta. Sudrajat, Nandang. 2010, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia Menurut Hukum, Pustaka Yustisia, Yogyakarta. Suhariningsih, 2009, Tanah Terlantar, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta Sunggono, Bambang, 2006, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria. Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. C. Dokumen Hukum Laporan Studi Kelayakan Pertambangan Batubara PT Kayan Putra Utama Coal Bulan Mei Tahun 2011 Profil Desa Mulawarman Tahun 2012 D. Artikel Jurnal Ilmiah, Artikel Koran, Artikel Internet, dan Makalah Seminar Artikel http://tatagunatanah.blogspot berjudul “Pengertian Tata Guna Tanah”, .com/2008/08/pengertian-tata-guna-tanah. html, diakses tanggal 27 Februari 2012 Artiekl berjudul “ Pengertian Tanah” Kangoes.com/artikel-tips-trik-ide-menarikkreatif.definisi/pengertian-tanah.html, diakses tanggal 4 Maret 2012 Artikel berjudul “Perkembangan Penggunaan dan Kebijakan Penyediaan Tanah Mendukung Ketahanan Pangan” http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/ pdffiles/ Pros_Silalahi_06.pdf, diakses tanggal 15 April 2012. Artikel berjudul “Pembuatan Akta jual beli yang tidak sesuai ketentuan dalam prosedur pembuatan akta pejabat pembuat akta tanah”, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30887/3/Chapter%20II.pdf, diakses tanggal 9 April 2012 Artikel berjudul “Penduduk Indonesia Hasil SP2010” http://pasuruankab. bps.go.id/index.php/pelayanan-statistik/sensus-rilis/release-sp2010/ release-sp2010indonesia, diakses tanggal 17 April 2012 Artikel berjudul “Strategi Melakukan Penyuluhan Pertanian Untuk Petani “Kecil”” http://bp3kpancajaya .wordpress.com/2011/04/10/strategi-melakukan-penyuluhan-pertanian-untuk-petani-kecil/, diakses tanggal 22 April 2012 Artikel berjudul “Teori dan Implementasi Mediasi Dalam Pengadilan Agama”, http://www.ptabandung.go.id/uploads/arsip/888Sinopsis_Disertasi.pdf, diakses tanggal 21 September 2012.