Arahan pemanfaatan ruang dalam pengembangan

advertisement
6
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tsunami
Tsunami merupakan kosa-kata yang berasal dari jepang, yaitu “tsu” berarti
pelabuhan dan “nami” berarti gelombang/ombak. Kedua kata tersebut
digabungkan dan dapat diartikan sebagai “gelombang pelabuhan yang besar”.
Pengertian ini diambil dari akibat gelombang raksasa yang sering menyebabkan
kematian dan kerusakan pada pelabuhan-pelabuhan dan pedesaan yang terletak di
pantai Jepang (Diposaptono, 2005).
2.1.2. Penyebab tsunami
Tsunami dapat ditimbulkan oleh berbagai gangguan yang memindahkan
massa air yang besar secara vertikal dari posisi kesetimbangannya. Gempa dengan
patahan vertikal, baik patahan naik atau patahan turun yang terjadi secara
mendadak di kedalaman ribuan meter, dapat memicu terjadinya tsunami.
Keberadaan tersebut juga bisa terjadi akibat letusan gunung berapi bawah laut
atau lingkungan laut, dimana gaya impulsif yang dihasilkan oleh letusan
memindahkan kolam air dan menciptakan tsunami. Fenomena tersebut pernah
terjadi di Indonesia pada saat gunung Krakatau meletus pada tanggal 27 Agustus
1883, yang telah memicu timbulnya gelombang tsunami setinggi lebih dari 30
meter. Selain disebabkan oleh peristiwa alam yang bersumber dari bawah laut,
tsunami dapat pula terjadi akibat longsoran gunung es seperti yang terjadi di
Alaska pada tahun 1958 ( Diposaptono, 2005).
Menurut Diposaptono (2005), kejadian tsunami di Aceh akhir tahun 2004
disebabkan oleh pergeseran lempeng tektonik yang menyebabkan gempa tektonik
berkekuatan 9.0 SR, pada kedalaman 4 km di dasar laut. Disamping menyebabkan
gempa, pergeseran tersebut menyebabkan patahan dan memicu dua gempa besar
lainnya di kepulauan Andaman dan Nikobar (India) dengan kekuatan 6.3 dan 7.3
SR yang mengganggu keseimbangan air laut sehingga menimbulkan pergolakan
air yang dahsyat dan menyebabkan kerusakan serta korban jiwa di daerah pantai
yang terletak di sekitar samudera Hindia.
7
2.1.3. Perambatan dan rayapan tsunami di daratan
Di tengah lautan, ketinggian gelombang tsunami tidak lebih dari 3 meter,
terlihat seperti gelombang laut normal pada umumnya, walaupun wujud fisik
tsunami tidak kelihatan di permukaan laut dalam, sebenarnya kecepatan rambatan
tsunami bisa mencapai 1000 km/jam di laut dalam, ia akan mengalami perubahan
kenampakan gelombang ketika meninggalkan perairan laut dalam dan merambat
ke perairan yang lebih dangkal di pesisir. Pada saat gelombang mencapai perairan
yang dangkal, kecepatan tsunami akan berkurang tetapi energi total dari tsunami
konstan sehingga ketinggian gelombang dapat mencapai ketinggian lebih dari 15
meter atau lebih. Pada kedalaman laut 4.000 meter, tsunami merambat dengan
kecepatan 720 km/jam, sedangkan pada kedalaman laut 90 meter kecepatannya
berkurang menjadi sekitar 25 – 100 km/jam.
Terkadang tsunami bisa saja musnah jauh sebelum mencapai pantai. Namun
bila mencapai pantai, tsunami dapat terlihat sebagai gelombang pasang naik
maupun pasang turun yang meningkat drastis, rangkaian gelombang besar, atau
bahkan sebuah bore yang menerjang hingga ke pedalaman (daratan) yang secara
normal tidak pernah terjangkau oleh gelombang laut. Bore adalah gelombang
yang mirip tangga dengan dengan sisi yang curam, yaitu ujung gelombang pasang
yang mendesak air sungai ke hulu yang terjadi pada saat pasang laut naik, disebut
juga tidal bore. Sebuah bore dapat terjadi apabila tsunami bergerak dari perairan
dalam ke perairan teluk dangkal atau sungai. Terumbu karang, semenanjung,
muara-muara, kenampakan-kenampakan bawah laut dan kelerengan pantai
kesemuanya itu membantu untuk memodifikasi tsunami pada saat mencapai
pantai.
Tsunami yang bergerak naik ke daratan umumnya merayap dengan
kecepatan sekitar 70 km/jam merupakan kekuatan yang sangat besar yang bisa
mengangkat pasir di pantai, mencabut pepohonan dan menghancurkan bangunan
apalagi manusia dan kapal-kapal tidak berdaya melawan turbulensinya. Kualitas
air yang dibawa ke daratan mampu membanjiri daerah luas yang biasanya kering
(dry land). Rayapan akibat gelombang tsunami dapat menimbulkan genangan
banjir yang merambah daratan hingga 300 meter dari garis pantai atau lebih.
8
2.2. Penataan Ruang
Ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, ruang
lautan dan ruang udara sebagai suatu kesatuan tempat manusia dan mahluk hidup
lainnya melakukan kegiatan serta kelangsungan hidupnya. Menurut UU No. 26
tahun 2007 tentang Penataan Ruang, penataan ruang adalah suatu sistem proses
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Perencanaan tata ruang adalah proses untuk menentukan struktur ruang dan pola
ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Pemanfaatan
ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai
dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta
biaya, sementara itu pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk
mewujudkan tertib tata ruang.
Lebih jauh lagi pada pasal 2 undang–undang ini menyatakan bahwa
penataan ruang berasaskan : a) Keterpaduan; b) Keserasian, keselarasan, dan
keseimbangan; c) Keberlanjutan; d) Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan;
e) Keterbukaan; f) Kebersamaan dan kemitraan; g) Perlindungan kepentingan
umum; h) Kepastian hukum dan keadilan; dan i) Akuntabilitas.
Menurut Rustiadi et al. (2005), penataan ruang pada dasarnya merupakan
perubahan yang disengaja. Dalam pemahamannya sebagai proses pembangunan
melalui upaya-upaya perubahan kearah kehidupan yang lebih baik, maka penataan
ruang merupakan bagian dari proses pembangunan. Penataan ruang mempunyai
tiga urgensi, yaitu : a) Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (prinsip
produktivitas dan efesiensi); b) Alat dan wujud distribusi sumberdaya (prinsip
pemerataan, keberimbangan, dan keadilan) dan c) Keberlanjutan (prinsip
sustainabilitas).
Konsep penataan ruang dapat menjadi aktivitas yang mengarahkan kegiatan
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat termasuk dunia
usaha. Penataan ruang bukanlah suatu tujuan akan tetapi merupakan alat untuk
mencapai tujuan, dengan demikian kegiatan penataan ruang tidak boleh berhenti
dengan diperda kannya rencana tata ruang kabupaten/kota, tetapi penataan ruang
harus merupakan aktifitas yang terus menerus dilakukan untuk mengarahkan
9
masyarakat suatu wilayah untuk mencapai tujuan-tujuan pokoknya (Darwanto,
2000).
Menurut UU 26/2007, pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam
suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan
peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. Menurut Rustiadi (2004), tata ruang
sebagai wujud pola dan struktur pemanfaatan ruang terbentuk secara alamiah dan
merupakan wujud dari proses pembelajaran (learning process) yang terus
menerus. Sebagai alat pendeskripsian, istilah pola spasial (ruang) erat dengan
istilah-istilah kunci seperti pemusatan, penyebaran, pencampuran dan keterkaitan,
posisi/lokasi, dan lain-lain. Pola pemanfaatan ruang selalu berkaitan dengan
aspek-aspek sebaran sumberdaya dan aktifitas pemanfaatannya menurut lokasi,
setiap jenis aktifitas menyebar dengan luas yang berbeda-beda, dan tingkat
penyebaran yang berbeda-beda pula (Rustiadi 2004).
Pola pemanfaatan ruang juga dicerminkan dengan gambaran pencampuran
atau keterkaitan spasial antar sumberdaya dan pemanfaatannya. Kawasan
pedesaan dicirikan dengan dominasi pencampuran antara aktifitas-aktifitas
pertanian, penambangan, dan kawasan lindung. Sebaliknya, kawasan perkotaan
dicirikan oleh pencampuran yang lebih rumit antara aktifitas jasa komersial dan
pemukiman. Adapun, kawasan sub urban di daerah perbatasan perkotaan dan
pedesaan dicirikan dengan kompleks pencampuran antara aktifitas pemukiman,
industri dan pertanian. Peta penggunaan lahan dan peta penutupan lahan adalah
bentuk deskriptif terbaik dalam menggambarkan pola pemanfaatan ruang yang
ada (Rustiadi 2004).
Hutabarat (2005), menyatakan bahwa dewasa ini penyelenggaraan penataan
ruang senantiasa dikaitkan dengan upaya mewujudkan good governance, baik
dalam konteks pembangunan wilayah administrasi maupun kawasan fungsional.
Penerapan prinsip-prinsip good governance seperti keberlanjutan, keadilan,
efesiensi, trasparansi, akuntabilitas, kepatian hukum, dan pelibatan masyarakat
secara keseluruhan juga merupakan prinsip-prinsip dasar dalam penataan ruang.
Dalam kata lain instrumen penataan ruang dapat dimanfaatkan oleh pengelola
wilayah administrasif ataupun kawasan fungsional dalam pelaksanaan kegiatan
pembangunan yang terpadu untuk mewujudkan ruang yang berkualitas, yang
10
didukung oleh pelayanan sosial-ekonomi yang baik bagi kesejahteraan
masyarakat.
Menurut Rustiadi (2001), proses alih fungsi lahan dapat dipandang
merupakan suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan
transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang
berkembang.
Perkembangan
yang
dimaksud
tercermin
dari
adanya:
(1) Pertumbuhan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya
permintaan kebutuhan terhadap penggunaan lahan sebagai dampak dari
peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita; dan (2) Adanya
pergeseran kontribusi sektor-sektor pembangunan dari sektor-sektor primer
(sektor-sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam) ke aktivitas sektorsektor sekunder (industri manufaktur dan jasa).
2.3. Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah
Wilayah menurut Undang-Undang No. 26 tahun 2007 adalah ruang yang
merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang
batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek
fungsional. Sedangkan menurut Winoto (1999), wilayah sebagai area geografis
yang mempunyai ciri tertentu dan merupakan wadah bagi segala sesuatu untuk
berlokasi dan berinteraksi. Sehingga wilayah dapat didefinisikan, dibatasi dan
digambarkan berdasarkan ciri atau kandungan area geografis tersebut, namun ciri
dan kandungan area geografis yang digunakan untuk mendefinisikan wilayah
merupakan hal yang masih diperdebatkan.
Dalam memahami wilayah, terdapat juga pengertian wilayah sebagai
wilayah nodal. Wilayah nodal merupakan bentuk spesifik dari wilayah fungsional
dan dianggap sebagai suatu sel yang terdiri dari satu inti (center) dan dikelilingi
oleh plasma (hinterland). Inti merupakan daerah center of excellence dan
memiliki sifat lebih majemuk daripada daerah hinterland. Inti atau pusat berfungsi
sebagai tempat konsentrasi penduduk, pusat pasar, pusat perdagangan, pusat
pelayanan masyarakat, pusat industri dan inovasi. Hinterland mempunyai fungsi
spesifik sebagai pemasok bahan mentah, tenaga kerja dan sebagai tempat
pemasaran produk yang dihasilkan oleh pusat serta berfungsi juga sebagai
11
penyeimbang ekologis. Pola hubungan yang terjadi antara pusat dan daerah
hinterland adalah hubungan fungsional yang berjenjang (hirarki) sehingga timbul
ketergantungan hinterland kepada inti. Selanjutnya Winoto (1999), menjelaskan
bahwa peubah-peubah yang digunakan untuk membatasi wilayah nodal adalah
kepadatan penduduk, jenis dan jumlah sarana pelayanan serta sirkulasi kapital.
Pengembangan wilayah merupakan program menyeluruh dan terpadu dari semua
kegiatan dengan memperhitungkan sumberdaya yang ada dan memberikan
kontribusi kepada pembangunan suatu wilayah.
Dalam tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam ( 3 )
tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen (uniform/homogenous region), (2)
wilayah nodal (nodal region), dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau
programming region). Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi
berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor yang dominan pada wilayah
tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor yang tidak dominan dapat beragam.
Pada dasarnya terdapat beberapa faktor penyebab homogenitas wilayah,
secara umum terdiri atas penyebab alamiah dan penyebab artifisial. Faktor
alamiah yang dapat menyebakan homogenitas wilayah adalah kelas kemampuan
lahan, iklim, dan berbagai faktor lainya. Sedangkan homogenitas yang bersifat
artifisial adalah homogenitas yang didasarkan pada pengklasifikasian berdasarkan
aspek tertentu yang dibuat oleh manusia. Contoh wilayah homogen artifisial
adalah wilayah homogen dasar kemiskinan (peta kemiskinan).
Pada umumnya wilayah homogen sangat dipengaruhi oleh potensi
sumberdaya alam dan permasalahan spesifik yang seragam, maka menurut
Rustiadi et al., (2004), wilayah homogen sangat bermanfaat dalam: (1) penentuan
sektor basis perekonomian wilayah sesuai dengan potensi/daya dukung utama
yang ada (comparative advantage), (2) pengembangan pola kebijakan yang tepat
sesuai denga permasalahan masing-masing wilayah. Konsep wilayah nodal
didasarkan atas asumsi bahwa suatu wilayah diumpamakan sebagai suatu sel
hidup yang mempunyai plasma dan inti. Inti (pusat simpul) adalah pusat-pusat
pelayanan/pemukiman
sedangkan
plasma
adalah
daerah
belakang
(peripheri/hinterland) yang mempunyai sifat-sifat tertentu dan mempunyai
hubungan fungsional (Rustiadi et al., 2005).
12
Konsep wilayah perencanaan, merujuk pada wilayah yang dibatasi
berdasarkan kenyataan terhadap sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang
bersifat alamiah maupun artifisial dimana keterkaitannya sangat menentukan
sehingga perlu perencanaan secara integral. Sebagai contoh, secara alamiah suatu
daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu wilayah yang terbentuk dengan
matrik dasar kesatuan hidrologis yang perlu direncanakan secara integral.
Perencanaan wilayah (regional planning) pada dasarnya merupakan upaya
intervensi terhadap kekuatan-kekuatan pasar yang dalam konteks pengembangan
wilayah memiliki tiga tujuan pokok, yakni meminimalkan konflik kepentingan
antar sektor, meningkatkan kemajuan sektoral dan membawa kemajuan bagi
masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan pengembangan wilayah (regional
development) merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi,
mengurangi kesenjangan antar wilayah, tujuan utamanya adalah menyerasikan
berbagai kegiatan pembangunan sektoral dan wilayah, sehingga pemanfaatan
ruang dan sumberdaya yang ada didalamnya dapat optimal mendukung kegiatan
kehidupan masyarakat (Riyadi, 2002).
Menurut Rustiadi et al. (2005) perencanaan pengembangan wilayah
merupakan bidang kajian yang mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu yang
saling berkaitan didalam menjawab permasalahan-permasalahan pembangunan
serta aspek-aspek proses politik, manajemen dan administrasi perencanaan
pembangunan yang berdimensi ruang dan wilayah. Proses kajian perencanaan dan
pengembangan wilayah memerlukan pendekatan-pendekatan yang mencakup : (1)
aspek pemahaman, yaitu aspek yang menekankan pada upaya memahami
fenomena fisik alamiah hingga sosial ekonomi. Oleh karena itu diperlukan
pemahaman pengetahuan mengenai teknik-teknik analisis dan model-model
sistem untuk mengenal potensi dan memahami permasalahan pembangunan
wilayah; (2) aspek perencanaan, mencakup proses formulasi masalah, teknikteknik desain dan pemetaan hingga teknis perencanaan; dan (3) aspek kebijakan,
mencakup pendekatan evaluasi, perumusan tujuan pembangunan dan proses
pelaksanaan pembangunan seperti proses politik, administrasi, dan manajerial
pembangunan. Bidang kajian ini tidak saja menjawab pertanyaan mengapa
keadaan wilayah demikian adanya
tetapi juga menjawab bagaimana wilayah di
13
bangun.
Oleh karenanya mencakup aspek-aspek perencanaan yang bersifat
spasial (spatial planning), tata guna lahan (land use planning) hingga perencanaan
kelembagaan (Structural planning) dan proses perencanaan.
Sebagai suatu ilmu yang mengkaji seluruh aspek-aspek kewilayahan dan
mencakup aspek sumberdaya serta interaksi dan interelasi antar wilayah, maka
kajian perencanaan dan pengembangan wilayah memiliki sifat: (1) berorientasi
kewilayahan; (2) futuristik; dan (3) berorientasi publik. Secara umum perencanaan
pengembangan wilayah ditunjang oleh empat pilar pokok, yaitu: (1) inventarisasi,
klasifikasi dan evaluasi sumberdaya; (2) aspek ekonomi; (3) aspek kelembagaan
(institusional) dan; (4) aspek spasial/lokasi.
Menurut Triutomo (2001), tujuan pengembangan wilayah mengandung dua
sisi yang saling berkaitan. Disisi sosial-ekonomi, pengembangan wilayah adalah
upaya memberi kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat, misalnya
menciptakan pusat-pusat produksi, memberikan kemudahan prasarana, dan
sebagainya. Disisi lain secara ekologis pengembangan wilayah juga bertujuan
untuk menjaga keseimbangan lingkungan sebagai akibat dari campur tangan
manusia terhadap lingkungan.
Berkembangnya suatu wilayah sangat terkait oleh tingkat pemanfaatan dari
tiga sumberdaya yakni sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan teknologi.
Kemudian Prod homme (1985), dalam Triutomo (2001), menyatakan bahwa
pengembangan wilayah merupakan program yang menyeluruh dan terpadu dari
semua
kegiatan
dengan
memperhitungkan
sumberdaya
yang
ada
dan
kontribusinya pada pembangunan suatu wilayah.
2.4. Kota dalam Pengembangan Wilayah
Perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan
pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan,
pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan
kegiatan ekonomi. Kawasan kota (urban) merupakan kawasan yang dinamis,
dimana secara tetap terjadi perubahan. Kota merupakan sebuah hasil proses
produksi yang permanen (Lefebvre (1990), diacu dalam Martokusumo, 2006).
14
Perubahan ini bisa bersifat ekspansif (perluasan) atau intensifikasi
(restrukturisasi internal) sebagai respon dari kebijakan ekonomi atau tekanan
sosial yang timbul. Desain urban dapat dilihat sebagai sebuah alat untuk
mengontrol perubahan, sebagai konsekuensi terhadap perkembangan dan
pembangunan perkotaan, terutama yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Desain urban bukanlah merupakan suatu produk akhir. Namun, desain urban akan
sangat turut menentukan kualitas dari produk akhirnya, yaitu lingkungan binaan
yang dihuni. Dengan demikian desain urban harus dipahami sebagai suatu proses
yang mengarahkan perwujudan suatu lingkungan binaan fisik yang layak, sesuai
dengan aspirasi masyarakat, ramah terhadap lingkungan, termasuk kepada
kemampuan sumberdaya setempat dan daya dukung lahan serta merujuk kepada
aspek lokal (Martokusumo, 2006).
Menurut Budiharjo (1997), kota adalah kumpulan orang-orang yang
berdomisili dalam jangka waktu lama maupun sementara. Sebuah kota tidak akan
nyaman jika orang-orangnya tidak menciptakan kenyamanan bagi lingkungannya.
Kota yang baik dan berkesan adalah kota-kota dimana masyarakatnya
memberikan kenyamanan terhadap eksistensi lingkungannya. Jadi dengan
membicarakan kenyamanan berarti sebuah kota adalah kumpulan nilai-nilai yang
dianut masyarakatnya.
Kota dari pandangan yuridis administrasi dapat didefinisikan sebagai suatu
daerah tertentu dalam wilayah negara, dimana keberadaannya diatur oleh undangundang (peraturan tertentu) daerah, dimana dibatasi oleh batas-batas administratif
yang jelas yang keberadaannya diatur oleh undang-undang/peraturan tertentu dan
ditetapkan berstatus sebagai kota dan berpemerintahan tertentu dengan segala hak
dan kewajibannya dalam mengatur wilayah kewenangannya (Yunus, 2005).
Sementara itu menurut Sujarto (1970), yang dikutip Yunus (2005), kota adalah
suatu wilayah negara/suatu areal yang dibatasi oleh batas-batas administrasi
tertentu, baik berupa garis yang bersifat maya/abstrak ataupun batas-batas fisikal,
misalnya sungai, jalan raya, lembah, barisan pegunungan dan lain sebagainya
yang berada di dalam wewenang suatu tingkat pemerintahan tertentu yang berhak
dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangga di wilayah tersebut.
15
Kota di tinjau dari morfologi kota, dapat didefinisikan sebagai suatu daerah
tertentu dengan karakteristik pemanfaatan lahan non pertanian, pemanfaatan
sebagian besar tertutup oleh bangunan baik bersifat residensial maupun non
residensial, kepadatan bangunan khususnya perumahan yang tinggi, pola jaringan
jalan yang kompleks, dalam satuan permukiman yang kompak dan relatif lebih
besar dari satuan permukiman kedesaan di sekitarnya. Sementara itu daerah yang
bersangkutan sudah/mulai terjamah fasilitas kota (Yunus, 2005).
Kriteria Umum Kawasan Perkotaan menurut Kepmen Kimpraswil 327/2002
adalah: (1) memiliki fungsi kegiatan utama budidaya bukan pertanian atau lebih
dari 75% mata pencaharian penduduknya di sektor perkotaan; (2) memiliki jumlah
penduduk sekurang-kurangnya 10.000 jiwa; (3) memiliki kepadatan penduduk
sekurang-kurangnya 50 jiwa per hektar; (4) memiliki fungsi sebagai pusat koleksi
dan distribusi pelayanan barang dan jasa dalam bentuk sarana dan prasarana
pergantian moda transportasi.
Budiharjo (1997), mengatakan bahwa fungsi kota sebagai pusat pelayanan
(service center) membawa konsekuensi areal kota akan dipenuhi oleh kegiatankegiatan komersial dan sosial, selain kawasan perumahan dan permukiman.
Pembangunan ruang kota bertujuan untuk: (1) memenuhi kebutuhan masyarakat
akan tempat berusaha dan tempat tinggal, baik dalam kualitas maupun kuantitas;
dan (2) memenuhi kebutuhan akan suasana kehidupan yang memberikan rasa
aman, damai, tenteram dan sejahtera.
Berkenaan dengan hal tersebut pembangunan kota harus ditujukan untuk
lebih meningkatkan produktifitas yang selanjutnya akan dapat mendorong sektor
perekonomian. Namun dalam pengembangannya, tentu perlu diperhatikan
ketersediaan sumberdaya, sehingga perlu dicermati efisiensi pemanfaatan
sumberdaya maupun efisiensi pelayanan prasarana dan sarana kota. Pembangunan
perkotaan dilaksanakan dengan mengacu pada pengembangan investasi yang
berwawasan lingkungan, sehingga tidak membawa dampak negatif terhadap
lingkungan dan tidak merusak kekayaan budaya daerah. Selain itu juga
diharapkan untuk selalu mengarah kepada terciptanya keadilan yang tercermin
pada pemerataan kemudahan dalam memperoleh penghidupan perkotaan, baik
dari segi prasarana dan sarana maupun dari lapangan pekerjaan.
16
Menurut Rustiadi et al. (2005) dilihat dari konsep keruangan (spasial) dan
ekologis, urbanisasi merupakan gejala geografis yakni; a) adanya perpindahan
penduduk keluar wilayah ; b) gerakan/perpindahan penduduk yang terjadi
disebabkan adanya salah satu komponen dari ekosistem kurang/tidak berfungsi
secara baik sehingga terjadi ketimpangan dalam ekosistem setempat; c) terjadinya
adaptasi ekologis yang baru bagi penduduk yang pindah dari daerah asal ke
daerah yang baru, dalam hal ini kota. Sehingga urbanisasi dapat dipandang
sebagai suatu proses dalam artian : (1) meningkatkan jumlah dan kepadatan
penduduk kota menjadi lebih menggelembung; (2) bertambahnya kota dalam
suatu negara atau wilayah akibat dari perkembangan ekonomi, budaya dan
tehnologi baru; (3) merubah kehidupan desa atau nuansa desa menjadi suasana
kehidupan kota.
Yunus (2006), ada dua dimensi dalam membahas urbanisasi yaitu; (1)
dimensi fisiko-spasial dan (2) dimensi non fisikal. Dalam dimensi fisiko-spasial,
urbanisasi berarti berubahnya kenampakan fisiko spasial kedesaan menjadi
kenampakan
fisiko-spasial
kekotaan.
Jadi
urbanisasi
merupakan
proses
berubahnya ketiga elemen morfologi kekotaan (land use characteristics; building
characteristics dan circulation characteristics). Sedangkan dimensi non fisikal
merupakan berubahnya keseluruhan dimensi kehidupan manusia (perilaku
ekonomi, sosial, budaya, politik, teknologi) dari sifat kedesaan menjadi bersifat
kekotaan.
Sub-urban diartikan sebagai proses terbentuknya pemukiman-pemukiman
baru dan juga kawasan industri di pinggir wilayah perkotaan, terutama sebagai
perpindahan penduduk kota yang membutuhkan tempat bermukim dan untuk
kegiatan industri. Sub urban telah melahirkan fenomena yang kompleks di
wilayah sub urban yaitu akulturasi budaya, konversi lahan pertanian di perkotaan,
spekulasi lahan dan lain-lain.
Proses sub urbanisasi adalah salah satu proses pengembangan wilayah yang
semakin menonjol dan semakin berpengaruh nyata di dalam proses penataan
ruang disekitar wilayah perkotaan (Rustiadi et al., 2005). Disatu sisi proses ini
dipandang sebagai perluasan wilayah ke wilayah pinggir kota yang berdampak
meluasnya skala manajemen wilayah urban secara riil, dilain sisi proses ini sering
17
dinilai sebagai proses yang kontradiktif mengingat prosesnya selalu diiringi
dengan proses konversi lahan pertanian yang sangat prodiktif.
2.5. Teori Lokasi dan Pemusatan Kegiatan
Menurut Hanafiah (1989), pemerintah sebagai penentu lokasi mempunyai
kekuatan atau kewenangan yang dapat mempengaruhi penentuan lokasi berbagai
kegiatan ekonomi rumah tangga dan perusahaan melalui kegiatan masyarakat
yang tersebar secara spasial, dan bertujuan untuk memaksimumkan pelayanan
kepada masyarakat melalui penyebaran fasilitas pelayanan secara merata.
Kajian tentang teori lokasi secara komprehensif dilaksanakan oleh Alfred
Weber pada tahun 1909 (Tarigan, 2005). Apabila Von Thunen menganalisis
lokasi kegiatan pertanian, maka Weber menganalisis lokasi kegiatan industri atas
prinsip minimisasi biaya. Weber mengemukakan teori lokasinya berdasarkan
asumsi-asumsi sebagai berikut:
1. Lokasi kajian adalah suatu wilayah yang terisolasi, mempunyai iklim yang
homogen, konsumen terkonsentrasi pada beberapa pusat aktifitas, dan kondisi
pasar adalah persaingan sempurna.
2. Beberapa sumberdaya alam, seperti tanah liat, pasir, dan air tersedia di manamana dalam jumlah yang memadai (ubiquitous).
3. Bahan-bahan lainnya tersedia secara sporadis pada tempat-tempat tertentu
dengan jumlah terbatas.
4. Tenaga kerja tidak tersedia secara luas, tetapi terbatas pada beberapa lokasi
dengan mobilitas yang tetap.
Teori lokasi Weber lebih menekankan pada lokasi industri, dengan anggapan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi lokasi tersebut adalah:
1. Biaya transportasi dan biaya tenaga kerja.
Biaya transportasi dan biaya tenaga kerja merupakan faktor umum yang secara
fundamental berpengaruh dalam penentuan lokasi kegiatan industri, biaya
transportasi berbanding lurus dengan dengan jarak tempuh, dan ketersediaan
tenaga kerja dengan upah yang rendah di lokasi tertentu akan mempengaruhi
keputusan pemilihan lokasi.
18
2. Kekuatan aglomerasi dan deglomerasi (aglomerative and deglomerative
force). Kekuatan aglomerasi dan deglomerasi adalah faktor yang juga turut
menentukan konsentrasi atau penyebaran berbagai kegiatan ekonomi dalam
suatu pola tata ruang. Sampai pada tingkat tertentu kegiatan ekonomi akan
cenderung terkonsentrasi atau mengumpul pada suatu lokasi tertentu. Bila hal
ini berlangsung terus menerus, maka akan timbul kejenuhan ekonomi pasar
lokal yang ditandai oleh dis-economic of scale, dan ini akan mengakibatkan
menyebarnya kegiatan ekonomi ke wilayah lain di sekitarnya.
Berdasarkan faktor tersebut di atas, maka lokasi industri akan cenderung
akan memilih lokasi dengan biaya input yang paling minimum. Weber
menyatakan bahwa biaya transportasi merupakan faktor utama dalam determinasi
lokasi, asumsinya adalah bahwa biaya transportasi bertambah secara proporsional
dengan bertambahnya jarak angkut, sedangkan faktor lainnya merupakan faktor
yang dapat memodifikasi lokasi.
Salah satu kelemahan dari teori Weber adalah hanya menekankan pada biaya
input, dan kurang memperhatikan aspek permintaan pasar, padahal pasar adalah
termasuk salah satu variabel dalam menentukan lokasi industri. Konsumen
tersebar di wilayah yang luas dengan intensitas permintaan yang berbeda-beda,
sehingga pasar menjadi faktor penting dalam pemilihan lokasi yang optimum,
yaitu lokasi di mana dapat diperoleh laba maksimum. Hal ini dikemukakan oleh
Losch pada tahun 1939, seperti dikutip oleh Hanafiah (1989). Dalam konsep teori
lokasinya, Losch mendasarkan pada asumsi:
1. Tidak ada perbedaan spasial dalam distribusi input, seperti bahan baku, tenaga
kerja, dan modal pada suatu wilayah yang homogen
2. Kepadatan penduduk yang seragam dan dengan selera yang konstan.
3. Tidak ada interdependensi antara perusahaan.
Apabila Weber melihat persoalan dari sisi produksi, maka Losch melihat
persoalan dari sisi permintaan pasar atas dasar prinsip lokasi yang dapat
memaksimumkan laba. Losch mengatakan bahwa lokasi penjual sangat
berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang dapat digarapnya. Makin jauh dari
tempat penjual, konsumen makin enggan membeli karena biaya transportasi untuk
19
mendatangi tempat penjual semakin mahal. Produsen harus memilih lokasi yang
menghasilkan penjualan terbesar yang identik dengan penerimaan terbesar.
Pandangan ini mengikuti pandangan Christaller. Atas dasar pandangan tersebut
Losch cenderung menyarankan lokasi produksi berada di pasar atau di dekat pasar
(Tarigan, 2005).
Menurut Isard (1960), dalam Tarigan (2005), masalah lokasi merupakan
masalah penyeimbangan antara biaya dengan pendapatan yang dihadapkan pada
suatu situasi ketidak pastian yang berbeda-beda. Keuntungan relatif dari lokasi
sangat dipengaruhi oleh faktor dasar: (a) biaya input atau bahan baku; (b) biaya
transportasi; dan (c) keuntungan aglomerasi.
Perkembangan dari teori Losch dikembangkan lebih lanjut oleh Isaard pada
tahun 1956 dengan konsep aglomerasi. Konsep aglomerasi Isard adalah:
1. Faktor skala usaha yang ekonomis, yaitu suatu besaran skala usaha dari suatu
perusahaan tertentu, sebagai konsekuensi dari perluasan perusahaan di suatu
lokasi.
2. Faktor lokalisasi yang ekonomis, yaitu lokasi yang ekonomis bagi sekelompok
perusahaan industri yang sejenis, sebagai konsekuensi dari peningkatan
produksi total pada suatu lokasi.
3. Faktor urbanisasi yang ekonomis, yaitu suatu lokasi yang ekonomis bagi
semua perusahaan dari berbagai jenis industri, sebagai konsekuensi kegiatan
ekonomi secara keseluruhan di suatu tempat berdasarkan jumlah penduduk,
tingkat pendapatan, produksi dan tingkat kesejahteraan setempat.
Secara alamiah, terdapat kecenderungan pada setiap individu penduduk dan
perusahaan untuk memilih lokasi pada daerah-daerah yang relatif sudah
berkembang atau daerah-daerah yang menjadi pemusatan di dalam wilayah yang
bersangkutan. Hal ini terjadi karena adanya berbagai keuntungan yang dihasilkan
oleh daerah-daerah pemusatan yang menjadi daya tarik bagi penduduk dan
perusahaan atau aktifitas ekonomi untuk memilih lokasi pada daerah-daerah
tersebut. Keuntungan-keuntungan tersebut dinamakan dengan keuntungan
aglomerasi.
20
Keuntungan aglomerasi, dapat didefinisikan sebagai keuntungan yang
diperoleh individu penduduk atau perusahaan, dan oleh masyarakat dan industri
secara keseluruhan pada suatu daerah di mana terjadi pemusatan kegiatan.
Keuntungan ini merupakan keuntungan eksternal yang diakibatkan oleh adanya
pemusatan geografi kependudukan, perusahaan, aktifitas sosial ekonomi,
ketersediaan sarana dan prasaran fasilitas pelayanan umum dari berbagai institusi
dan kelembagaan baik pemerintah maupun swasta.
Konsep aglomerasi dapat timbul pada berbagai skala, di mana pusat-pusat
aglomerasi yang lebih kecil akan cenderung mengitari pusat aglomerasi yang
lebih besar. Pusat dengan tingkat terendah akan melaksanakan berbagai fungsi
atau menyediakan berbagai barang dan jasa yang jumlah dan jenisnya terbatas
oleh terbatasnya jumlah penduduk ataupun sumberdaya yang dimiliki wilayah
tersebut. Pada umumnya aglomerasi terjadi pada bidang pelayanan administrasi,
kesehatan, sosial, keuangan, perdagangan, tenaga kerja, dan lalu lintas
perhubungan.
Setiap pemusatan akan menghasilkan pengaruh positif dan negatif sekaligus.
Adanya pemusatan yang berlebihan pada daerah-daerah tertentu, di samping akan
menimbulkan masalah sosial ekonomi dan lingkungan hidup, juga akan
menyebabkan dana dan sumberdaya untuk pembangunan wilayah lain menjadi
terbatas. Apalagi dengan adanya aktifitas lembaga pemerintahan yang berhirarki
lebih tinggi di suatu wilayah, maka perhatian pemerintah terhadap wilayah
tersebut cenderung lebih besar dibandingkan terhadap wilayah lainnya.
Dusseldorp (1971), diacu dalam Prakoso (2005), mengemukakan bahwa
konsep dasar teori pusat pelayanan adalah pemusatan dan fungsi pemusatan, batas
ambang dan hirarki. Dengan adanya kristalisasi penduduk pada daerah inti akan
berimplikasi pada terjadinya pemusatan fasilitas pelayanan sekaligus menobatkan
daerah inti ini menjadi pusat pelayanan bagi daerah sekitarnya. Pemusatan pusat
pelayanan akan memberikan keuntungan antara lain:
1. Pemanfaatan dan pengelolaan fasilitas pelayanan akan lebih intensif daripada
tidak dipusatkan;
2. Fungsi dari setiap fasilitas pelayanan akan lebih efisien;
21
3. Mengoptimalkan fungsi kelembagaan dan social capital masyarakat.
Usaha penekanan biaya operasional dalam rangka meningkatkan efisiensi
fasilitas pelayanan atau untuk mendapatkan pasar dan jumlah konsumen yang
cukup besar bagi fasilitas pelayanan, cenderung dapat mengurangi banyaknya
pusat-pusat pelayanan, sehingga dapat meningkatkan biaya perjalanan konsumen.
Jika ditinjau dari segi usaha untuk meningkatkan kesamaan jarak maksimum yang
bersedia ditempuh oleh setiap konsumen, maka jumlah pusat-pusat pelayanan
perlu ditambah sehingga biaya perjalanan atau jarak ekonomi dapat dikurangi.
Hakimi (1964), diacu dalam Rushton (1979), menyatakan bagaimana
menemukan satu titik optimum dalam satu jaringan. Dengan adanya jarak yang
tetap di antara simpul-simpul yang ada dalam jaringan, maka akan ditemukan satu
simpul di antara semua simpul yang ada yang memiliki jarak terpendek dan
memiliki kriteria bobot yang ditetapkan.
Simpul atau titik yang dimaksud adalah titik tengah dari jaringan, ini
merupakan teori yang penting karena dapat digunakan untuk menyelesaikan
permasahan-permasalahan penaksiran simpul-simpul alternatif pada jalur jaringan.
Hakimi mengatakan, bahwa ada satu simpul dalam jaringan yang meminimumkan
jarak terpendek yang berbobot dari semua simpul terhadap satu simpul tertentu di
mana simpul tersebut juga merupakan bagian dari jaringan tersebut.
Pemukiman penduduk yang tidak tersebar merata di semua wilayah akan
menyebabkan setiap individu akan berusaha untuk mendapatkan berbagai jenis
barang, jasa, dan pelayanan terbaik yang juga tersebar di berbagai lokasi yang
dapat dijangkau berdasarkan biaya yang harus dikeluarkannya. Lokasi yang dapat
dijangkau memiliki banyak pilihan dan masyarakat akan memilih yang berada
pada posisi most accessible bagi mereka.
Suatu lokasi dapat dikatakan most accessible apabila mempunyai kriteria
berikut (Rushton 1979):
1. Kriteria jarak rata-rata minimum, yaitu jarak total dari semua penduduk yang
akan dilayani ke pusat pelayanan terdekat adalah minimum, disebut juga jarak
agregat minimum;
22
2. Kriteria jarak maksimal, yaitu apabila jarak terjauh dari tempat penduduk yang
akan dilayani ke pusat pelayanan adalah minimum yang disebut dengan jarak
minimax;
3. Kriteria penetapan berdasarkan kesamaan, yaitu apabila jumlah penduduk
yang akan dilayani pada daerah yang mengelilingi pusat pelayanan terdekat
selalu sama dengan jumlah yang ditentukan;
4. Kriteria ambang batas (population treshold), yaitu apabila jumlah penduduk
yang akan dilayani pada daerah yang mengelilingi pusat pelayanan terdekat
selalu lebih besar dari jumlah yang telah ditentukan; dan
5. Kriteria kapasitas atau daya tampung, yaitu apabila jumlah penduduk yang
akan dilayani pada daerah yang mengelilingi pusat pelayanan teredekat selalu
lebih kecil dari jumlah yang ditentukan.
Rushton (1979), mengungkapkan permasalahan lokasi yang terjadi di
negara berkembang, yaitu:
1. Belum berkembangnya sistem transportasi. Sistem transportasi yang ada
belum terintegrasi dengan lokasi fasilitas pelayanan masyarakat sehingga
sangat menyulitkan bagi masyarakat yang membutuhkan pelayan.
2. Fasilitas pelayanan tidak sesuai dengan kebutuhan. Sering terjadi fasilitas
yang tersedia tidak sesuai dengan kebutuhan dalam ukuran tata ruang,
sehingga keberadaan fasilitas yang telah ada tidak dapat memenuhi suatu
permintaan yang sesuai dengan yang diperlukan.
3. Kesalahan lokasi akibat pengaruh sistem kolonial. Perlunya perbaikan pada
sistem pola lokasi yang dibangun oleh sistem kolonial karena hal ini sering
menjadi kendala dalam perencanaan pembangunan di masa sekarang dan akan
datang, seperti diketahui bahwa sistem kolonial dibangun untuk tujuan dan
sesuai dengan keperluan dan kepentingan pemerintah kolonial pada saat itu.
4. Ketidakmerataan tingkat kesejahteraan masyarakat. Upaya pemerataan
kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah perlu dijadikan perhatian, sehingga
perencanaan pembangunan fasilitas pelayanan di suatu wilayah dapat
mengarah kepada pencapaian tujuan untuk meningkatkan tingkat pemerataan
kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut.
23
Penetapan lokasi dari suatu jenis kegiatan hendaknya tidak hanya sekedar
menerangkan kegiatan tersebut sebagaimana adanya, melainkan harus dibuat
keputusan yang rasional serta dikemukakan alasan mengapa kegiatan tersebut
berada di suatu tempat. Cara terbaik untuk menyediakan pusat pelayanan kepada
penduduk yang mendasarkan pada aspek keruangan adalah dengan menempatkan
lokasi kegiatan pada hirarki wilayah yang luasnya makin meningkat dan berada
pada tempat sentral.
2.6. Hirarki Pusat Aktivitas
Keterkaitan antara aktivitas ekonomi dengan aspek lokasi dalam suatu ruang
sudah mulai dipelajari sejak era Von Thunen yang menjelaskan tentang pola
spasial dari aktivitas produksi pertanian. Von thunen dari suatu pemikiran
sederhana, bahwa pola penggunaan lahan dalam suatu ruang merupakan fungsi
dari perbedaan harga produksi pertanian yang dihasilkan dan perbedaan biaya
produksinya, dimana jarak dari pusat pasar merupakan faktor penentu besarnya
biaya produksi. Pemikiran ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa : (1) biaya
hanya ditentukan oleh jarak dari pasar, (2) karakteristik wilayah dianggap
homogen, (3) harga di pusat pasar ditentukan oleh mekanisme suplai dan demand
yang normal, (4) tidak ada halangan untuk melakukan perdagangan (no barrier to
trade) seperti biaya tarif, kebijakan harga, labor immobility, dan tidak dapat
menggambarkan dengan cukup baik aktivitas ekonomi riil yang terjadi.
Kemudian Christaller (1966), dan Losch (1954), dalam
Smith (1976),
dengan “teori lokasi pusat” yang mulai mencoba untuk menjelaskan mengapa
dalam suatu wilayah bisa muncul pusat-pusat aktivitas. Menurut Christaller
(1966), setiap produsen mempunyai skala ekonomi yang berbeda sehingga
aktivitasnya akan menjadi efesien apabila jumlah konsumennya mencukupi.
Karena itu lokasional aktivitas dari suatu produsen ditujuakan untuk melayani
wilayah konsumen yang berada dalam suatu jarak atau range tertentu. Dengan
demikian wilayah cakupan dari produk yang dihasilkan akan sangat tergantung
kepada seberapa jauh keinginan konsumen melakukan perjalanan untuk
memperolehnya, elastisitas demand, harga produk, biaya trasport dan frekwensi
penggunaannya.
24
Lokasi di sekitar produsen atau suplier yang memiliki tingkat demand
konsumen yang mencakupi terhadap barang dan jasa yang dihasilkan disebut
dengan istilah treshold. Setiap produk yang dihasilkan, termasuk dalam hal ini
fasilitas umum, mempunyai wilayah treshold-nya sendiri. Karena itu distribusi
spasial dari aktivitas produksi bisa diprediksi berdasarkan wilayah treshold-nya.
Dari sisi karakteristik suplai, aktivitas ekonomi skala besar akan berada di pusat
pelayana hirarki I karena wilayah treshold-nya luas. Sementara dari sisi
karakteristik
demand,
produk
yang
sifatnya
inelastis
dan
frekwensi
penggunaannya tidak terlalu sering juga akan berada di pusat pelayanan hirarki I,
sebagai upaya untuk mengoptimalkan keuntungan melalui maksimalisasi jumlah
konsumen yang harus dilayani.
Sistem lokasi pusat-pusat pelayanan dapat diidentifikasi melalui pendekatan
top down, yaitu dari aktivitas produksi dengan treshold tinggi ke rendah atau
bottom up, yaitu dari aktivitas produksi dengan treshold rendah ke tinggi.
Christaller (1966), diacu Smith (1976), melakukan identifikasi melalui pendekatan
top down. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa lokasi pusat utama akan menjadi
semakin besar dan meyebar daripada lokasi pusat yang lebih rendah. Lokasi pusat
utama ini akan menyediakan barang dan jasa utama, yaitu barang dan jasa yang
dihasilkan oleh aktivitas produksi yang treshold-nya tinggi, dan sekaligus
menyediakan barang dan jasa yang lebih rendah, yaitu barang dan jasa yang
dihasilkan oleh aktivitas produksi yang treshold-nya rendah. Keberadaan barang
dan jasa yang lebih rendah di lokasi pusat utama disebabkan karena produsen
dengan treshold-nya rendah ingin medapatkan keuntungan yang lebih tinggi dari
treshold-nya itu sendiri. Sementara itu lokasi pusat pelayanan yang lebih rendah
hanya akan menyediakan barang dan jasa yang lebih rendah.
Sedangakan Losch (1954), diacu Smith (1976), melakukan identifikasi
melalui pendekatan bottom up. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa lokasi pusat
utama hanya akan menyediakan barang dan jasa utama, sedangkan lokasi pusat
yang lebih rendah hanya akan meyediakan barang dan jasa yang lebih rendah.
Menurut Smith (1976), pemikiran Losch ini banyak ditentang oleh para peneliti,
karena dengan menggunakan teknik skalogram berdasarkan skala Gutman, secara
25
empiris tidak pernah ditemukan lokasi pusat pelayanan yang hanya menyediakan
barang dan jasa utama saja.
Pada perkembangan selanjutnya, Isard (1975), mulai mempertanyakan
kegunaan dari teori yang tidak mampu melakukan prediksi karena asumsinya
yang kurang realistis. Berkaitan dengan teori lokasi pusat, asumsi-asumsi yang
dikritisi mencakup kondisi wilayah yang homogen, terjadinya persaingan
sempurna antara produsen/suplier, lokasi produsen/suplier hanya didasarkan pada
treshold, hanya ada satu produsen/suplier pada satu pusat, dan konsumen
melakukan perjalanan hanya untuk satu tujuan saja.
Berdasarka hasil temuan empiris, produsen/suplier selain menyediakan jasa
untuk konsumen, pada dasarnya juga menjadi konsumen bagi produsen/suplier
yang lain. Karena itu antara produsen/suplier pun saling terkait dalam kerangka
sistem supply dan demand. Dengan demikian sebenarnya para produsen/suplier
akan muncul di satu lokasi apabila terjadi konsentrasi demand di lokasi tersebut.
Menurut Isard (1975), teori lokasi pusat tidak mempertimbangkan adanya
konsentrasi demand, dan munculnya lokasi pusat utama dalam kondisi wilayah
yang relatif homogen justru mengganggu asumsi dasar dari teorinya.
Selain itu, berdasarkan hasil temuan empiris konsumen biasanya akan
membeli lebih dari satu jenis barang dan jasa dalam satu kali perjalanan. Karena
itu ketersediaan jenis barang dan jasa yang beragam akan mendorong konsumen
untuk melakukan perjalanan. Fakta empiris ini menggugurkan asumsi bahwa
konsumen melakukan perjalanan hanya untuk satu tujuan, dan sekaligus membuat
asumsi bahwa lokasi produsen/suplier hanya ditentukan oleh treshold-nya menjadi
tidak realistis. Apabila produsen/suplier memilih lokasi yang lebih jauh untuk bisa
melayani wilayah konsumen yang lebih luas. Tetapi karena bagi konsumen
membeli berbagai barang dalam satu kali perjalanan membuat ongkos transport
menjadi lebih murah, maka produsen/suplier yang berbeda akan memilih lokasi
yang berdekatan untuk melayani keinginan konsumen.
Selanjutnya menurut Smith (1976), teori lokasi pusat ini akan sangat
membantu dalam menganalisa sistem hirarki pusat wilayah yang terjadi di
lapangan secara empiris. Fakta empiris pertama yang dijumpai adalah sistem
hirarki pusat yang berjenjang seperti distribusi log-normal (rank-size distribution
26
of urban center). Menurut Berry (1961), diacu dalam Smith (1976), hal ini terjadi
karena proses trickle down effect dapat berjalan dengan baik. Tenaga kerja di
kota-kota besar akan menuntut upah yang lebih tinggi, sehingga industri akan
bergeser ke wilayah-wilayah yang upah tenaga kerjanya lebih rendah. Karena itu
industri akan bergeser dari kota-kota besar ke kota-kota yang lebih kecil dan
multiplier effect dari bergesernya lokasi industri ini akan mendorong proses trickle
down effect terus berjalan. Namun terjadinya proses ini mensyaratkan adanya 2
hal, yaitu adanya pertumbuhan yang berimbang dan berkelanjutan dalam waktu
yang relatif lama dan adanya kompetisi diantara perusahaan dalam memperoleh
faktor produksi dan tenaga kerja.
Faktor empiris kedua adalah sistem hirarki pusat, dimana lokasi pusat utama
sangat dominan (primate system). Dalam primate system, tidak semua bagian dari
suatu wilayah mendapatkan pelayanan yang sama, tetapi ada satu pusat yang
dipilih untuk dikembangkan melebihi share dari produsen/suplier yang secara riil
ada di lokasi tersebut memonopoli aktivitas ekonomi seluruh wilayah, dan
meninggalkan wilayah hinterland yang jauh menjaditidak terlayani. Banyak orang
berpikir bahwa fakta empiris ini mirip dengan model Von Thunen, dimana
munculnya primate center justru akan mendorong komersialisasi dan intensifikasi
di wilayah hinterland-nya. Tetapi perlu diingat bahwa model Von Thunen tidak
mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi bisa bergerak bebas.
Menurut Smith (1976), apabila jaringan transportasi, modal, dan industri
terkonsentrasi di suatu pusat (primate center), intensifikasi produksi di daerah
periphery hanya akan menyebabkab harga yang lebih rendah bagi produk
periphery yang dihasilkan (term of trade-nya rendah).
Menurut Berry (1961), diacu dalam Smith (1976), primate system ini terjadi
karena suatu wilayah sedang dalam proses menuju masyarakat maju atau
masyarakat industri, atau karena bargaining politik yang jauh tidak berimbang,
dimana lokasi pusat biasanya dihuni oleh para elite dengan kekuatan politik yang
jauh lebih besar. Tetapi menurut Smith (1976), ada satu hal yang dilupakan Berry
bahwa di negara-negara Amerika Latin primate system terus berlangsung hingga
saat ini. Dalam kondisi ini primate system terjadi bukan karena proses
pembangunan ekonomi yang sedang berjalan atau karena keberadaan elit politik
27
di pusat kota, tetapi ini merupakan produk dari sistem ekonomi non kompetitif.
Artinya perusahaan di primate center mempunyai keuntungan dari kondisi pasar
monopsony dalam memperoleh faktor produksi dan tenaga kerja.
Dari berbagai uraian di atas, diketahui bahwa berkembangnya suatu lokasi
menjadi pusat pelayanan, secara alamiah terjadi karena adanya proses aglomerasi
yang bertujuan untuk mengoptimalkan economic of scale ( biaya per satuan input
menjadi lebih murah apabila skala aktivitasnya menjadi lebih besar dan economic
of scope (nilai tambah akan meningkat apabila berbagai aktivitas ekonomi yang
berbeda digabungkan).
2.7. Citra Satelit Resolusi Tinggi
Kenampakan wilayah perkotaan jauh lebih rumit dari pada kenampakan
daerah pedesaan. Hal ini disebabkan persil lahan kota pada umumnya sempit,
bangunan padat dan fungsi bangunannya beraneka. Oleh karena itu sistem
penginderaan jauh yang diperlukan untuk menyusun tata ruang harus disesuaikan
dengan resolusi spasial yang sepadan, untuk keperluan perencanaan tata ruang
detail, maka resolusi spasial yang tinggi akan mampumenyajikan data spasial
secara rinci.
Untuk keperluan klasifikasi penutup lahan dapat digunakan berbagai citra,
dimana ada beberapa citra yang mempunyai resolusi tinggi sehingga mampu
menunjukkan perbedaan antara perumahan teratur dengan perumahan tidak teratur
atau pemukiman padat dan pemukiman tidak padat. Berbagai data satelit resolusi
tinggi dengan resolusi spasial 0.7 – 10 m, dapat digunakan untuk memperoleh
data penggunaan lahan dengan tingkat kerincian skala 1 : 5000 atau 1 : 10000.
Citra satelit resolusi tinggi yang dapat digunakan antara lain SPOT 5, Ikonos,
ALOS, Quick Bird, Formosat 2, Orbview 3 dan lain-lain (Martono. 2006).
Citra Ikonos merupakan salah satu citra yang beresolusi tinggi. Citra
merupakan gambaran yang terekam oleh sensor, sedangkan kata Ikonos berasal
dari bahasa Yunani yaitu “Eye-Kohnos” yang artinya sama dengan citra (image).
Ikonos merupakan nama satelit sekaligus sensor yang digunakan untuk merekam
gambar/obyek permukaan bumi. Satelit Ikonos mengorbit bumi pada orbit Sunsynchronous, 14 kali per hari, atau setiap 98 menit (Hildamus, 2002).
28
Saluran spektral 1, 2 dan 3 dari citra Ikonos multispektral secara berurutan
mengukur reflektansi spektrum elektromagnetik pada bagian biru, hijau, dan
merah. Pita-pita tersebut untuk mengukur karakteristik spektral yang tampak oleh
mata. Saluran mengukur reflektansi spektrum elektromagnetik pada bagian infra
merah dekat, dan sangat membantu dalam mengklasifikasi vegetasi. Resolusi
Ikonos yang tinggi tersebut memberikan peluang untuk dapat mendeteksi
penggunaan lahan secara rinci. Rekaman citra satelit Ikonos menggunakan saluran
atau panjang gelombang pankromatik (sinar tampak) dan saluran infra merah
dengan pantulan (infra merah dekat) kombinasi saluran menghasilkan warna palsu
yang dapat digunakan untuk identifikasi permukaan bumi secara rinci.
Citra Ikonos dapat dikoraksi geometri secara presisi, sehingga layak untuk
pembuatan peta dasar maupun peta tematik. Resolusi spasial citra Ikonos
pankromatik 1 meter, memungkinkan pembuatan peta skala dengan besar yaitu
peta skala 1 : 2000, sedangkan citra Ikonos multispektral 4 meter memungkinkan
membuat peta skala 1 : 5000, dengan ketelitian pemetaan lebih dari 95 %. Hasil
pengecekan lapang di berbagai tempat dapat meningkatkan ketelitian peta menjadi
100 % dengan kaidah kartografi standar. Di bawah ini dapat dilihat spesifikasi
citra Ikonos pada Tabel 1.
Tabel 1. Spesifikasi Citra Ikonos.
Waktu Peluncuran
24 September 1999
Lokasi Peluncuran
Venderberg Air Forces Base, California
Resolusi
Resolusi setiap pita spektral :
• Pankromatik : 1 meter (nominal < 260 off nadir)
• Multispektral : 4 meter (nominal < 260 off nadir)
Respon Spektral Citra
• Pankromatik : 0.45-0.90 mikron
• Multispektral : 4 meter
Lebar Swath dan ukuran • Lebar Swath : 13 km pada nadir
Scene
• Areas of interest : Citra tunggal 13 km x 13 km
Ketinggian
423 mil / 681 km
Inklinasi
98,10
Kecepatan
4 mil per detik / 7 km per detik
Waktu Orbit
98 menit
Tipe Orbit
Sun-synchronous
Sumber : Hildanus, 2002
Download