InfoPOM BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA BADAN POM RI Volume 10, No.5 November 2009 ISSN 1829-9334 KERJA SAMA DOKTER DAN AHLI FARMASI PADA LAYANAN INFORMASI KESEHATAN Dalam Rangka Peningkatan Keselamatan Pasien DAFTAR ISI IPendahuluan Komunikasi adalah tulang punggung dalam pelaksanaan sebuah program di institusi mana pun. Dalam pelayanan kesehatan, komunikasi menjadi lebih penting karena menyangkut kelangsungan hidup serta hak sehat manusia. Komunikasi antar dokter dan antara dokter dengan profesi lain sudah banyak dibahas, walau pun masalah yang ada belum sepenuhnya teratasi. Komunikasi antara dokter dengan ahli farmasi menjadi semakin penting mengingat aktivitas pemberian obat kepada pasien ternyata bukan sekedar penyerahan obat dari penyedia obat kepada pasien. Berbagai aspek layak disimak mengenai komunikasi (dapat juga disebut kerja sama atau kolaborasi) antara dokter dengan ahli farmasi. Peran saling melengkapi Kamus Oxford English Dictionary menyebutkan definisi collaborate sebagai: bekerja sama pada sebuah kegiatan atau proyek; pengertian lain adalah: bekerja sama dengan lawan (dengan kecurigaan/ traitorously). Dalam kenyataan sehari-hari, pengertian yang kedua lebih sering mengemuka (disadari atau tidak) terutama jika pihak yang bekerja sama bukan berasal dari induk disiplin ilmu yang sama. Dengan kompleksnya permasalahan kesehatan maka kerja sama yang lebih baik antar profesi menjadi terasa semakin kebutuhan. Mahasiswa kedokteran diminta ikut dalam rotasi perawat agar dapat lebih memahami peran perawat dalam pengelolaan pasien; perawat diajak bekerja sama dengan fisioterapis dalam berbagai tindakan rehabilitasi untuk mempercepat tercapainya target pengobatan jasmani. Kerja sama antara ahli farmasi dengan dokter belum banyak dibahas dan dilaksanakan dalam praktek pelayanan kesehatan sehari-hari di rumah sakit baik di rawat inap mau pun di rawat jalan. Manfaat yang dapat diperoleh setidaknya dalam hal efisiensi pengobatan mau pun peningkatan keselamatan pasien. Editorial Pembaca yang terhormat, Komunikasi yang baik antara dokter dengan apoteker sebagai tenaga kefarmasian dapat memberikan banyak manfaat terutama dalam hal keamanan dan keselamatan pasien. Tetapi sangat disayangkan jalur komunikasi ini sangatlah minim. Komunikasi yang terjalin ketika masalah muncul seringkali terjadi secara informal dan bersifat insidentil. Agar komunikasi terjalin dengan efisien, komunikasi tersebut harus masuk dalam sebuah sistem sehingga baik dokter maupun ahli farmasi dapat berdiskusi tentang pengelolaan pasien tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut pada kesempatan kali ini kami sajikan artikel tentang Kerjasama Antara Dokter dan Ahli Farmasi Pada Layanan Informasi Kesehatan Dalam Rangka Peningkatan Keselamatan Pasien. Artikel ini merupakan makalah DR., Dr., Czeresna Heriawan Soejono, SpPD-Kger., MEpid., FACP yang disampaikan pada Launching IONI 2008 pada tanggal 26 Oktober 2009. Artikel berikutnya adalah Penatalaksanaan Keracunan Akibat Gigitan Ular Berbisa. Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia. Untuk itu diharapkan penatalaksanaan keracunan akibat gigitan ular berbisa dapat diketahui oleh masyarakat luas sehingga apabila ada korban gigitan ular, dapat dilakukan langkah-langkah yang tepat untuk mengatasi dampak racunnya. Sebagai institusi pemerintah yang berwenang dalam pengawasan obat dan makanan, Badan POM berupaya memperkuat Sistem Pengawasan Obat dan Makanan yang komprehensif dan menyeluruh. Untuk itu kami sajikan artikel Pengawasan Pasca Pemasaran oleh Badan POM RI agar pembaca lebih memahami tugas pengawasan yang dilakukan oleh Badan POM. Edisi kali ini ditutup dengan artikel mengenai Profil Balai Besar POM di Surabaya. Semoga InfoPOM edisi November ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca semua. Selamat membaca. 2 Pekerjaan yang dilakukan dokter dan ahli farmasi sebenarnya bersifat saling melengkapi (komplementer); secara hipotetikal dapat dikatakan bahwa kerja sama tersebut dapat memberikan pengaruh positif terhadap keluaran pasien (patient outcome). Wujud kolaborasi antara dokter dan ahli farmasi antara lain misalnya: penelusuranan informasi riwayat obat yang lengkap dan akurat; penyediaan informasi obat yang lege artis; pemanfaatan evidencebased prescribing; deteksi dini kesalahan peresepan obat; pemantauan obat (meningkatkan keamanan obat); meningkatkan cost-effectiveness dalam peresepan obat; meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan masing-masing pihak demi kepuasan pasien. Kolaborasi yang tidak optimal dapat merugikan pasien. Pemberian obat oral yang tidak disesuaikan dengan sifat farmakokinetik obat yang bersangkutan potensial menurunkan efektivitas obat dan bahkan dapat meningkatkan risiko interaksi obat. Komunikasi Dengan komunikasi yang baik antara dokter dengan ahli farmasi sebenarnya banyak manfaat yang dapat diperoleh terutama dalam hal keamanan dan keselamatan (pengobatan) pasien. Namun dalam praktek sehari-hari baik di rumah sakit (rawat inap) mau pun rawat jalan, jalur untuk membina komunikasi ini sangatlah minim atau tidak ada sama sekali. Jalur komunikasi yang tertata dalam sistem tidak pernah terjalin. Komunikasi yang terjalin ketika masalah muncul sering kali terjadi secara informal dan bersifat insidentil. Komunikasi informal ini memang dapat membantu; namun ada beberapa komponen dalam berkomunikasi yang hilang sehingga belum memadai untuk sebuah kolaborasi. Komunikasi informal (melalui telepon misalnya) sering kali waktunya (timing-nya) tidak tepat; saat dokter menerima telepon belum tentu ia langsung dapat mengingat pasien mana yang sedang dibicarakan. Jika seorang ahli farmasi harus menyampaikan pesan temannya yang kebetulan sudah lewat waktu tugasnya namun belum sempat berjumpa dengan dokter yang merawat, maka belum tentu ahli farmasi tersebut memahami betul keadaan klinis pasien sehingga hasil akhir pembicaraan/ konsultasi tidak optimal. Agar komunikasi terjalin dengan efisien, interaksi/ komunikasi harus masuk dalam sebuah sistem (tim terpadu misalnya); akan ada k e s e m p a t a n u n t u k memperkenalkan diri dan menjelaskan peran ahli farmasi pada pengelolaan pasien yang bersangkutan. Selanjutnya, baik dokter mau pun ahli farmasi dapat saling berbagi (dari sudut pandang masing-masing) dan berdiskusi tentang pengelolaan pasien tersebut. Dengan sistem yang dibangun seperti di atas maka Nopember 2009 k e s a l a h a n a k i b a t misscommunication dapat dihindari. Kerja sama tim multidisiplin secara interdisiplin Dalam hubungan kerja sama antara dokter dengan ahli farmasi setidaknya terdapat dua disiplin ilmu dan dua profesi yang berhubungan. Hubungan kerja sama tersebut tentu merupakan hubungan multidisiplin yang p e n d ekatannya seharusnya bersifat interdisiplin dan bukan bersifat multidisiplin. Pendekatan yang bersifat multidisiplin paling sering keliru diinterpretasikan sebagai model interdisiplin. Pada pendekatan yang bersifat multidisiplin ini disiplin atau bidang ilmu terkait berupaya untuk mengintegrasikan pelayanan demi kepentingan pasien. Mereka bertemu, saling berbagi informasi, merencanakan dan menetapkan siapa yang akan ikut berperan/ berkontribusi dan jenis keahlian apa yang dapat diperankan. Namun demikian, setiap bidang ilmu mengembangkan pengalaman di bidang masingmasing kecuali untuk keahlian yang memang berada pada area 'abu-abu' pada saat mereka melakukan koordinasi. Tugas dan tanggung jawab diterapkan pada setiap bidang ilmu dengan batasan yang tegas sesuai disiplin masing-masing. Setiap bidang melaksanakan (mempraktekkan) pekerjaan mereka secara independen, sangat berhati-hati untuk tidak 'memasuki wilayah' Nopember 2009 bidang lain. Pengembangan profesionalisme terjadi di dalam bidang masing-masing (Satin, 1996). Pada pendekatan yang bersifat interdisiplin, semua perencanaan, pengembangan pengalaman, dan pelaksanaan pelayanan dikerjakan dengan penuh pemahaman bahwa terdapat tumpang tindih dalam hal kompetensi; dipahami pula bahwa masalah-masalah pasien dapat saling terkait. Setiap bidang mampu mengembangkan diri bersama. Mereka bertemu untuk mengevaluasi masalah yang sedang dihadapi, membicarakan tujuan spesifik yang harus dicapai serta mendiskusikan berbagai intervensi yang harus diambil untuk mencapai tujuan tadi. Pekerjaan, tugas dan tanggung jawab diterapkan tidak sematamata berdasarkan disiplin atau bidang terkait namun juga berdasarkan kompetensi atau kemampuan individu, mau pun atas dasar kebutuhan dan situasi masalah yang sedang dihadapi. Peran dan tanggung jawab setiap disiplin tidaklah kaku namun dapat beralih sesuai perkembangan masalah yang ada saat itu. Pada model ini, identitas dan praktik setiap bidang tidak terikat pada disiplin terkait, melainkan dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan paparan dengan disiplin lain saat bekerja, juga dengan pengalaman yang didapat serta sejalan dengan perkembangan kebutuhan profesional yang semakin mendalam; yang lebih penting adalah sesuai pula dengan kemampuan dan k e t e r t a r i k a n u n t u k mengembangkan profesinya masing-masing (Satin, 1996; Siegler, 2006). Proses Kolaborasi Proses koordinasi untuk mendapatkan kolaborasi yang dapat bekerja secara optimal memang tidaklah mudah; diperlukan serangkaian proses yang harus dilalui baik secara formal mau pun informal. Pertama, masing-masing pihak harus sepakat untuk membangun kolaborasi ini. Kedua belah pihak seyogyanya duduk bersama dan menuangkan seluruh pemikiran, impian, dan keinginan masingmasing. Kedua pihak harus memahami buah pikiran masingmasing dan menyatakan pentingnya kerja sama ini serta setuju untuk berkolaborasi. Langkah berikutnya adalah menetapkan peran dan fungsi masing-masing dalam pengelolaan pasien. Batasan kegiatan masing-masing pihak perlu dielaborasi secara rinci dan disepakati dengan berpatokan pada kesepakatan pemikiran yang telah dicapai sebelumnya (bahwasanya keselamatan dan kepuasan pasien adalah yang utama serta merupakan tujuan bersama). Kemungkinan terdapatnya tumpang tindih dari berbagai peran yang ada akan terlihat sehingga konflik dapat dihindari. Konflik masih potensial timbul karena setiap disiplin merasa paling memiliki kompetensi (atau setidaknya lebih kompeten daripada disiplin l a i n n y a ) . Te r j a d i n y a k o n f l i k bukanlah satu-satunya ancaman; tidak tercapainya apa yang disebut sebagai tujuan bersama juga merupakan hal yang perlu diantisipasi. Perbedaan latar belakang pendidikan/ pelatihan dan k u r a n g l a n c a r n y a komunikasi disadari merupakan hal yang harus diselesaikan dengan bijak. Keadaan tersebut di atas d i s i k a p i d e n g a n mengedepankan saling pengertian dan pendekatan i n t e r d i s i p l i n s e r t a pentingnya komunikasi antar anggota sebagai landasan tercapainya pengertian bersama. Kesepakatan dapat tercapai karena masing-masing pihak ternyata mempunyai visi yang s a m a . Setelah kesepakatan bersama ditaati, masingmasing pihak akan menegaskan kembali pengertian pendekatan interdisiplin yang harus diterapkan -yang berbeda dari multidisiplin, paradisiplin maupun pandisiplin. Selain itu, perbedaan yang ada dapat disikapi dengan tingkat toleransi yang tinggi dan dianggap sebagai aset positif. Setiap anggota s a l i n g m e m b a n t u d a n saling mendukung; mereka berpartisipasi aktif dan selfinitiated. Dengan pelaksanaan kolaborasi yang secara sadar mengedepankan pemahaman akan peran masing-masing tersebut diharapkan hasil akhir pengelolaan pasien dapat lebih efisien, terhindarkan dari kesalahan yang tidak perlu, serta terbangun sistem yang menjamin keselamatan pasien dari sisi pengobatan. Penutup Telah dibicarakan perlunya kolaborasi antara dokter dengan ahli farmasi (terutama ahli farmasi klinik). Kesadaran akan adanya peran yang saling melengkapi, rasa percaya yang tinggi, serta komunikasi yang optimal yang tersusun dalam sebuah sistem yang mengedepankan prinsip interdisiplin dalam sebuah tim multidisiplin maka keselamatan dan keamanan pasien akan lebih terjamin. (Dr. Dr. Czeresna Heriawan Soejono, SpPD-KGer., Mepid., FACP) DAFTAR PUSTAKA Satin, DG., 1996 The Interdisciplinary, Integrated Approach to Profesional Practice with the Aged. Dalam: Satin DG, Blakeney BA, Bottomley JM, Howe MC, Smith HD, eds. The Clinical Care of the Aged Person, An Interdisciplinary Perspective. New York: Oxford University Press. Hal 391-402. Siegler, EL., 2006 Developing and Managing a High-Functioning Interdisciplinary Team. Dalam : Gallo JJ, Bogner HR, Fulmer T, Paveza GJ, eds. Handbool of Geriatric Assessment. Boston: Jones and Bartlett Publishers. Hal 431-8. Leape, LL., 1999 Pharmacist participation on physician rounds and adverse drug events in the intensive care unit. JAMA; 281(3); July 1999: 267-70. Nijjer, S., 2008 Effective collaboration between doctors and pharmacists. Hospital Pharmacist; vol 15; May 2008: 179-82. September 2009 Penatalaksanaan Keracunan Akibat Gigitan Ular Berbisa Ular Berbisa di Indonesia Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan berbagai cara yang menghambat respons pada sistem biologis dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Keracunan sering dihubungkan dengan pangan atau bahan kimia. Pada kenyataannya bukan hanya pangan atau bahan kimia saja yang dapat menyebabkan keracunan. Di sekeliling kita ada racun alam yang terdapat pada beberapa tumbuhan dan hewan. Salah satunya adalah gigitan ular berbisa yang sering terjadi di daerah tropis dan subtropis. Mengingat masih sering terjadi keracunan akibat gigitan ular maka untuk dapat menambah pengetahuan masyarakat kami menyampaikan informasi mengenai bahaya dan pertolongan terhadap gigitan ular berbisa. Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia. Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa memiliki sepasang taring pada bagian rahang atas. Pada taring tersebut terdapat saluran bisa untuk menginjeksikan bisa ke dalam tubuh mangsanya secara subkutan atau intramuskular. Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik. Nopember 2009 Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada spesies, ukuran ular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu atau kedua taring menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang terjadi. Ular berbisa kebanyakan termasuk dalam famili Colubridae, tetapi pada umumnya bisa yang dihasilkannya bersifat lemah. Contoh ular yang termasuk famili ini adalah ular sapi (Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular jali (Ptyas korros), dan ular serasah (Sibynophis geminatus). Ular berbisa kuat yang terdapat di Indonesia biasanya masuk dalam famili Elapidae, Hydropiidae, atau Viperidae. Elapidae memiliki taring pendek dan tegak permanen. Beberapa contoh anggota famili ini adalah ular cabai (Maticora intestinalis), ular weling (Bungarus candidus), ular sendok (Naja sumatrana), dan ular king kobra (Ophiophagus hannah). Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal dapat dilipat ke bagian rahang atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang mangsanya. Ada dua subfamili pada Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ untuk mendeteksi mangsa berdarah panas (pit organ), yang terletak di antara lubang hidung dan mata. Beberapa contoh Viperidae adalah ular bandotan (Vipera russelli), ular tanah (Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris). Bagaimanakah Gigitan Ular Dapat Terjadi? Korban gigitan ular terutama adalah petani, pekerja perkebunan, nelayan, pawang ular, pemburu, dan penangkap ular. Kebanyakan gigitan ular terjadi ketika orang tidak mengenakan alas kaki atau hanya memakai sandal dan menginjak ular secara tidak sengaja. Gigitan ular juga dapat terjadi pada penghuni rumah, ketika ular memasuki rumah untuk mencari mangsa berupa ular lain, cicak, katak, atau tikus. 5 Mata dengan pupil vertikal Bagaimana Mengenali Ular Berbisa? Tidak ada cara sederhana untuk mengidentifikasi ular berbisa. Beberapa spesies ular tidak berbisa dapat tampak menyerupai ular berbisa. Namun, beberapa ular berbisa dapat dikenali melalui ukuran, bentuk, warna, kebiasaan dan suara yang dikeluarkan saat merasa terancam. Beberapa ciri ular berbisa adalah bentuk kepala segitiga, ukuran gigi taring kecil, dan pada luka bekas gigitan terdapat bekas taring. Sifat Bisa, Gejala, dan Tanda Gigitan Ular Berdasarkan sifatnya pada tubuh mangsa, bisa ular dapat dibedakan menjadi bisa hemotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi jantung dan sistem pembuluh darah; bisa neurotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi sistem saraf dan otak; dan bisa sitotoksik, yaitu bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan. Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit menginjeksikan bisa pada korbannya. Orang yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang diinjeksikan ke tubuhnya dapat menjadi panik, nafas menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi kaku, dan kepala menjadi pening. Gejala dan Gambar 2 : Bekas gigitan ular A : Ular tidak berbisa tanpa bekas taring B : Ular berbisa dengan bekas taring 6 Lubang Hidung Organ pendeteksi panas Gambar 1 :Organ pendeteksi panas (pit organ) pada Crotlinae terletak diantara lubang hidung dan mata tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi sesuai spesies ular yang menggigit dan banyaknya bisa yang diinjeksikan pada korban. Gejala dan tanda-tanda tersebut antara lain adalah tanda gigitan taring (fang marks), nyeri lokal, pendarahan lokal, memar, pembengkakan kelenjar getah bening, radang, melepuh, infeksi lokal, dan nekrosis jaringan (terutama akibat gigitan ular dari famili Viperidae). Penatalaksanaan Keracunan Akibat Gigitan Ular Langkah-langkah yang harus diikuti pada penatalaksanaan gigitan ular adalah: 1. Pertolongan pertama, harus dilaksanakan secepatnya setelah terjadi gigitan ular sebelum korban dibawa ke rumah sakit. Hal ini dapat dilakukan oleh korban sendiri atau orang lain yang ada di t e m p a t k e j a d i a n . Tu j u a n pertolongan pertama adalah untuk menghambat penyerapan bisa, mempertahankan hidup korban dan menghindari komplikasi sebelum mendapatkan perawatan medis di rumah sakit serta mengawasi gejala dini yang membahayakan. Kemudian segera bawa korban ke tempat perawatan medis. Metode pertolongan yang dilakukan adalah menenangkan korban yang cemas; imobilisasi (membuat tidak bergerak) bagian tubuh yang tergigit dengan cara mengikat atau menyangga dengan kayu agar tidak terjadi kontraksi otot, karena pergerakan atau kontraksi otot dapat meningkatkan penyerapan bisa ke dalam aliran darah dan getah bening; pertimbangkan pressureimmobilisation pada gigitan Elapidae; hindari gangguan terhadap luka gigitan karena dapat Nopember 2009 meningkatkan penyerapan bisa dan menimbulkan pendarahan lokal. 2. Korban harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya, dengan cara yang aman dan senyaman mungkin. Hindari pergerakan atau kontraksi otot untuk mencegah peningkatan penyerapan bisa. 3. Pengobatan gigitan ular Pada umumnya terjadi salah pengertian mengenai pengelolaan gigitan ular. Metode penggunaan torniket (diikat dengan keras sehingga menghambat peredaran darah), insisi (pengirisan dengan alat tajam), pengisapan tempat gigitan, pendinginan daerah yang digigit, pemberian antihistamin dan kortikosteroid harus dihindari karena tidak terbukti manfaatnya. 4. Terapi yang dianjurkan meliputi: a. Bersihkan bagian yang terluka dengan cairan faal atau air steril. b. Untuk efek lokal dianjurkan imobilisasi menggunakan perban katun elastis dengan lebar + 10 cm, panjang 45 m, yang dibalutkan kuat di sekeliling bagian tubuh yang tergigit, mulai dari ujung jari kaki sampai bagian yang terdekat dengan gigitan. Bungkus rapat dengan perban seperti membungkus kaki yang terkilir, tetapi ikatan jangan terlalu kencang agar aliran darah tidak terganggu. Penggunaan torniket tidak dianjurkan karena dapat mengganggu aliran darah dan pelepasan torniket dapat menyebabkan efek sistemik yang lebih berat. c. P e m b e r i a n t i n d a k a n pendukung berupa stabilisasi y a n g m e l i p u t i penatalaksanaan jalan nafas; penatalaksanaan fungsi Nopember 2009 d. e. p e r n a f a s a n ; penatalaksanaan sirkulasi; penatalaksanaan resusitasi perlu dilaksanakan bila kondisi klinis korban berupa hipotensi berat dan shock, shock perdarahan, kelumpuhan saraf pernafasan, kondisi yang tiba-tiba memburuk akibat terlepasnya penekanan perban, hiperkalaemia akibat rusaknya otot rangka, serta kerusakan ginjal dan komplikasi nekrosis lokal. Pemberian suntikan antitetanus, atau bila korban pernah mendapatkan toksoid maka diberikan satu dosis toksoid tetanus. Pemberian suntikan penisilin kristal sebanyak 2 juta unit secara intramuskular. f. Pemberian sedasi atau analgesik untuk menghilangkan rasa takut cepat mati/panik. g. Pemberian serum antibisa. Karena bisa ular sebagian besar terdiri atas protein, maka sifatnya adalah antigenik sehingga dapat dibuat dari serum kuda. Di Indonesia, antibisa bersifat polivalen, yang mengandung antibodi terhadap beberapa bisa ular. Serum antibisa ini hanya diindikasikan bila terdapat kerusakan jaringan lokal yang luas. (Tanti Kuspriyanto, Ssi, Msi) -Sentra Informasi Keracunan Nasional-Badan Pengawas Obat dan MakananPustaka Guidelines for the Clinical Management of Snakes bites in the South-East Asia Region, World Health Organization, 2005. Pedoman Pertolongan Keracunan untuk Puskesmas, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2002. Snake Venom: The Pain and Potential of Poison, The Cold Blooded News Vol. 28, Number 3, March, 2001. SEGENAP KARYAWAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN Mengucapkan SELAMAT TAHUN BARU Gambar 3 :Imobilisasi bagian tubuh menggunakan perban. 2010 PENGAWASAN PASCA PEMASARAN oleh BADAN POM RI kesehatan konsumen. Untuk itu pengawasan tidak dapat dilakukan secara parsial hanya pada produk akhir yang beredar di masyarakat, tetapi harus dilakukan secara komprehensif dan sistemik, mulai dari kualitas bahan yang digunakan, cara-cara pembuatan, distribusi, penyimpanan, sampai produk tersebut siap dikonsumsi oleh masyarakat. Sejalan dengan kebijakan pasar global, pengawasan harus dilakukan mulai dari produk masuk di entry point sampai peredaran di pasar. Pada seluruh mata rantai tersebut harus ada sistem yang memiliki mekanisme yang dapat mendeteksi kualitas produk sehingga secara dini dapat dilakukan pengamanan jika terjadi degradasi mutu, produk sub standar, kontaminasi dan hal-hal lain yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat. Untuk menyelenggarakan tugas pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan tersebut diperlukan institusi dengan infrastruktur pengawasan yang kuat, memiliki integritas dan kredibilitas profesional yang tinggi serta memiliki kewenangan untuk melaksanakan penegakan hukum, maka pemerintah memberi mandat kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk melaksanakan tugas tersebut. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sebelum produk diizinkan untuk diproduksi atau diimpor dan diedarkan di Indonesia harus dilakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap keamanan, kemanfaatan dan mutunya. Pengawasan Obat dan Makanan di Indonesia yang merupakan bagian integral dari pembangunan kesehatan secara umum harus dapat mengantisipasi perubahan lingkungan strategis yang senantiasa berubah secara dinamik. Perubahan-perubahan tersebut, baik yang berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung pada sistem pengawasan obat dan makanan, harus dapat diantisipasi secara cepat dan tepat. Dalam upaya meningkatkan perlindungan kesehatan masyarakat dari risiko produk obat dan makanan yang berisiko terhadap kesehatan termasuk diantaranya adalah produk palsu, substandar atau ilegal, Badan POM berupaya memperkuat Sistem Pengawasan Obat dan Makanan yang komprehensif dan menyeluruh. Tugas pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan mempunyai lingkup yang luas dan kompleks, menyangkut kepentingan dan hajat hidup rakyat banyak dengan sensitifitas publik yang tinggi serta berimplikasi luas pada keselamatan dan 8 Untuk produk obat, dalam evaluasi tersebut, dikembangkan suatu mekanisme evaluasi yang obyektif melalui pembentukan tim independen Komite Nasional Penilai Obat Jadi (KOMNAS POJ). Komite tersebut terdiri dari pakar dan berasal dari berbagai universitas serta institusi terkait. Pertemuan berkala dilakukan untuk membahas dan mengevaluasi keamanan, kemanfaatan dan mutu obat berdasarkan data ilmiah yang diserahkan, berupa data preklinik dan data klinik serta data penunjang lain. Evaluasi mutu dilakukan untuk menjamin terpenuhinya spesifikasi dan standar untuk zat aktif, zat tambahan dan produk jadi serta bahan kemasan. Untuk menjamin mutu produk, Badan POM mensyaratkan bahwa setiap produk obat yang dihasilkan harus melalui proses produksi sesuai Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Sedangkan untuk setiap produk obat tradisional harus memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB), produk kosmetik harus memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik (CPKB) dan setiap produk pangan harus memenuhi persyaratan Cara Produksi yang Baik untuk Makanan. Evaluasi terhadap penandaan atau label pada kemasan produk dilakukan agar konsumen mendapat informasi yang lengkap, obyektif dan tidak menyesatkan, sehingga dapat menjamin Nopember 2009 penggunaan produk yang tepat dan aman. Seluruh rangkaian evaluasi yang dilakukan sebelum produk diedarkan ke masyarakat merupakan langkahlangkah pengawasan pre-market (prapemasaran). Selain melakukan pengawasan melalui evaluasi pre-market, Badan POM juga melakukan post-market surveilans dengan melakukan sampling dan pengujian laboratorium atas produk yang beredar. Untuk pemantauan keamanan obat sesudah beredar dilakukan melalui program Monitoring Efek Samping Obat (MESO). Untuk melaksanakan program ini, Pusat MESO Nasional bekerjasama dan berkomunikasi dengan mitra kerja antara lain tenaga kesehatan (dokter, apoteker, bidan), Rumah Sakit, Akademisi, Organisasi Profesi di bidang kesehatan, WHO dan Drug Regulatory Authority Negara lain. Melalui program ini Badan POM menerbitkan dan mengirimkan buletin Berita MESO serta menyebarkan formulir MESO yang dikenal dengan form kuning MESO ke seluruh Rumah Sakit dan Puskesmas di seluruh Indonesia, 2 (dua) kali dalam setahun. Metode pelaporan dalam program MESO adalah pelaporan secara sukarela dari tenaga kesehatan. Terhadap laporan Efek Samping Obat (ESO) yang diterima akan dilakukan pengkajian mengenai validitas laporan, validitas efek samping dan hubungan kausal antara ESO dengan obat yang digunakan. Pengkajian dilakukan bersama Tim ahli MESO dari FKUI dan selanjutnya hasil pembahasan ini Nopember 2009 TEMUAN PRODUK ILLEGAL DI PASAR PAGI ASEMKA Pada hari Selasa, tanggal 21 Juli 2009, Tim Gabungan dari Badan POM RI, Balai Besar POM di Jakarta dan Korwas PPNS POLDA Metro Jaya melakukan pemeriksaan sarana distribusi Toko Obat SS, Toko Kosmetik HD, dan Toko Parfum (tanpa nama) berlokasi di Pasar Pagi ASEMKA Kelurahan Pinangsia, Kecamatan Taman Sari, Kodya Jakarta Barat. Pada pemeriksaan di Toko Obat SS ditemukan obat Tanpa Izin Edar (TIE) dan atau Tidak Memenuhi Syarat (TMS) Farmakope, obat tradisional TIE dan atau mengandung Bahan Kimia Obat (BKO), suplemen TIE terutama obat - obat China seperti Viagra, Cialis, obat Kuat Kebo, Obat Walet dan lain-lain sebanyak 96 item yang diamankan dalam 87 karton/ karung. Dalam pemeriksaan berhasil dilakukan pengembangan kasus sehingga ditemukan juga lokasi gudang yang berisi obat, obat tradisional, suplemen TIE dan atau TMS Farmakope di Lantai 2 Pasar Pagi Asemka. Pada pemeriksaan di Toko Kosmetik HD Asemka di Jakarta Barat ditemukan kosmetik TIE sebanyak 21 item yang diamankan dalam 6 karton dan 5 karung. Pada Toko Parfum (tanpa nama) ditemukan kosmetik TIE sebanyak 88 item, 52 kardus dan 3 karung. Parfum tersebut merupakan parfum impor eks Taiwan yang dimasukkan ke Indonesia secara illegal. Terhadap seluruh produk illegal tersebut diamankan di Badan POM. Indikasi bahwa produk tersebut TIE dan atau TMS Farmakope antara lain ditemukan produk ruahan (siap kemas) beserta kemasan kosong dan hologram yang terpisah dari produk, kemasan yang tidak seragam, dan harga lebih murah dari harga normal. Kasus ini akan ditindaklanjuti secara pro-justitia (saat ini sedang dalam tahap pemeriksaan tersangka dan saksi serta penyusunan administrasi penyidikan) dengan jeratan Pasal 80 ayat (4) b, Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan ”Barang siapa dengan sengaja memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa obat atau bahan obat yang tidak memenuhi syarat farmakope Indonesia dan atau buku standar lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1); dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)” dan Pasal 81 ayat (2) c : ”Barang siapa dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan tanpa izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1); dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 140.000.000,00 (seratus empat puluh juta rupiah). Disamping itu tetap dilakukan pengembangan kasus yang terkait dengan temuan di Asemka Jakarta Barat ini. dilaporkan ke WHO. Selain itu juga dilakukan pengkajian isu global terkait keamanan obat yang berkembang di negara lain. Bila diperlukan akan ditetapkan suatu rekomendasi tindak lanjut regulatori. Untuk produk lain seperti obat tradisional, suplemen makanan dan kosmetik juga dilakukan Monitoring Efek Samping Obat Tradisional (MESOT), Monitoring Efek Samping Suplemen Makanan (MESM) dan Monitoring Efek Samping Kosmetik (MESK). Selain itu, untuk memantau peredaran dan mencegah penyimpangan dalam distribusi obat impor perlu dilakukan pengawasan sejak di entry point, demikian juga untuk mencegah penyalahgunaan bahan baku obat untuk kepentingan ilegal, Untuk memantau peredaran dan mencegah penyimpangan dalam distribusi obat impor perlu dilakukan pengawasan sejak di entry point, demikian juga untuk mencegah penyalahgunaan bahan baku obat untuk kepentingan ilegal, dipandang perlu dilakukan pengawasan sejak pemasukannya ke wilayah Indonesia. Oleh karena itu pada tanggal 10 Juli 2005 diterbitkan peraturan Kepala Badan POM No. HK.00.05.1.3459 tentang Pengawasan Pemasukan Obat Impor dan No. HK.00.05.1.3460 tentang Pengawasan Pemasukan Bahan Baku Obat. Salah satu hasil pengawasan post market surveilans yang dilakukan oleh Badan POM dipaparkan dalam text-box. Dra. Tri Asti, Mpharm Pusat Informasi Obat Nasional 9 PROFIL Jawa Timur adalah sebesar 807 jiwa perkilometer persegi, dengan angka kematian bayi di Jawa Timur pada 2007 32,93% dan angka harapan hidup 68,90. Laju pertumbuhan ekonomi Jawa Timur pada tahun 2006 adalah 5,80%. Balai Besar POM Jumlah sarana yang termasuk dalam ruang lingkup pengawasan Balai Besar POM di Surabaya meliputi 42 Industri Farmasi, 5 Industri Obat Tradisional, 245 Industri Kecil Di Surabaya Obat Tradisional, 128 Industri Kosmetika, 77 Industri PKRT, Balai Besar POM di Surabaya merupakan salah satu Unit Khusus, 909 Puskesmas, 1.706 Apotek, 338 Toko Obat, 38 345 Industri Pangan, 17.063 Industri Rumah Tangga Pangan, 346 Pedagang Besar Farmasi, 161 Rumah Sakit Umum dan Pelaksana Teknis (UPT) Badan POM yang dibentuk Gudang Farmasi, 140 sarana distribusi obat tradisional, 497 berdasarkan SK Kepala Badan POM No. 05018/SK/KBPOM sarana distribusi kosmetika, 1.150 saran distribusi pangan, tanggal 17 Mei 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit 130 sarana distribusi suplemen makanan, sarana distribusi Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan bahan berbahaya dan 116 sarana penjualan parcel. Makanan. Sebagai UPT, tentunya Balai Besar POM di Surabaya mempunyai tugas dan fungsi pengawasan obat dan B. Lingkungan Internal makanan di wilayah Propinsi Jawa Timur dalam rangka Jumlah pegawai Balai Besar POM di Surabaya seluruhnya memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap risiko adalah 143 orang. Terdiri dari 54 pegawai laki-laki dan 89 yang berdampak pada kesehatan akibat penggunaan dan pegawai perempuan (data per 31 Desember 2008) orang. Dari penyalahgunaan obat, narkotika, psikotropika dan zat adiktif jumlah tersebut 24 orang pegawai golongan IV, Golongan III (NAPZA), obat tradisional, pangan, suplemen makanan, 100 orang dan 19 orang golongan II. Pejabat struktural kosmetik dan perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT) berjumlah 11 orang, pejabat fungsional PFM golongan IV yang tidak memenuhi persyaratan keamanan, kemanfaatan berjumlah 5 orang, PFM golongan III berjumlah 43 orang dan dan mutu. pejabat fungsional PFM golongan II 2 orang. Jumlah total KEADAAN UMUM DAN LINGKUNGAN Pemeriksaan dan Penyidikan 30 orang, Bidang Pengujian pegawai di Sub. Bag. TU adalah 30 orang, Bidang A. Lingkungan Eksternal Pangan dan Bahan Berbahaya 15 orang, Bidang Pengujian Wilayah kerja (catchment area) Balai Besar POM di Surabaya Mikrobiologi 9 orang, Bidang Pengujian Produk Terapetik, OT, adalah 29 kabupaten dan 9 kota di Jawa Timur. Luas wilayah Kosmetik dan Produk Komplemen 36 orang dan Bidang kerja 46.428,38 km2 dan wilayah terjauh dari Ibukota adalah Sertifikasi dan Layanan Informasi Konsumen 13 orang. Kabupaten Banyuwangi dan Pacitan. Terdapat 4 Kabupaten Balai Besar POM di Surabaya beralamat di Jalan berada di pulau Madura. Untuk mencapai wilayah kerja Balai Karangmenjangan No.20/22 Surabaya. Terdapat 4 saluran Besar POM di Surabaya, bisa ditempuh dengan jalan darat telepon, 1 menggunakan sistem PABX kapasitas 36 menggunakan mobil, dan beberapa daerah bisa ekstension untuk menghubungi Balai Besar POM di Surabaya menggunakan kereta api, sedangkan untuk ke Pulau Madura yaitu (031) 5022815, 5020575, 5048833, 5015486 dan dapat ditempuh menggunakan kapal selain darat. Rata-rata terdapat 5 saluran faximili.Sedangkan alamat e-mail yang waktu perjalanan ke wilayah kerja ditempuh selama 4 jam dapat dihubungi adalah [email protected] serta dimana paling lama perjalanan ditempuh selama 6 jam dan [email protected] paling cepat 2 jam. Sedangkan waktu perjalanan di satu wilayah kerja rata-rata 3 jam dimana paling lama 4 jam dan HASIL KEGIATAN PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN paling singkat 2 jam. TAHUN 2008 Jumlah penduduk di wilayah kerja Balai Besar POM di Pada tahun 2008 telah dilakukan pemeriksaan terhadap Surabaya adalah 37.478.737 jiwa (Badan Pusat Statistik Jawa sarana produksi dan distribusi obat, NAPZA, obat tradisional, Timur, Desember 2008). Kota Surabaya mempunyai jumlah kosmetika, suplemen makanan, pangan dan bahan penduduk yang paling besar, yaitu 2.720.156 jiwa, diikuti berbahaya serta dilakukan pengambilan contoh komoditi Kabupaten Malang sebesar 2.442.422 jiwa dan Kabupaten produk-produk tersebut untuk diuji di Laboratorium Balai Jember yaitu 2.293.740 jiwa. Tingkat kepadatan penduduk Besar POM di Surabaya. Nopember 2009 Kepala Balai Besar POM Surabaya Drs.Sudiyanto, Apt. Kepala Bidang Pengujian Teranokoko Dra. Retno Chatulistiani P, Apt Kepala Bidang Pengujian Pangan dan BB Drs. Muhammad Muchtar, Apt., MH Kepala Bidang Mikrobiologi Dra. Puryani Kepala Bidang Sertifikasi dan Layanan informasi Konsumen Dra. Endang Widowati, Apt Kepala Bidang Pemeriksaan dan Penyidikan Dra. Harlina Samadi, Apt Ka Sub Bag TU Dra. Retno Kurpaningsih, Apt Ka Sie Layanan Informasi Konsumen Drs. Suprihadi, Apt. Ka Sie Sertifikasi Dra. Lindawati, Apt Ka Sie Pemeriksaan Drs. Kotot Munarto, Apt Ka Sie Penyidikan Dra. Trikoranti Mustikawati, Apt semua sarana industri farmasi yang diperiksa belum menerapkan CPOB dengan baik. · PBF yang ada 346 sarana, yang diperiksa 175 PBF (50,58%) dan ditemukan 19 sarana PBF yang tidak memenuhi ketentuan. · Produsen pangan jumlah 13.345 sarana, diperiksa 246 sarana (1,8%) tidak memenuhi ketentuan 59 sarana (23,98%). Produsen IRTP diperiksa 297 sarana, tidak memenuhi ketentuan 63 sarana (21,2%), perlu diketahui bahwa pengawasan IRTP menjadi tanggung jawab Kabupaten/Kota sehingga pengawasan rutin oleh Balai POM sangat dikurangi. Pengawasan distribusi makanan dilakukan terhadap 274 sarana, sedang pada kegiatan pengamanan parcel Lebaran, Natal dan tahun Baru diperiksa 111 sarana dan ditemukan 182 produk yang tidak memenuhi syarat · Sarana distribusi NAPZA meliputi 3 sarana PBF Narkotika dan 52 sarana Psikotropika. Dari 3 sarana PBF Narkotika diperiksa 2 sarana (66,67%) yang hasilnya satu sarana tidak memenihi ketentuan. Dan dari 52 PBF sarana Psikotropika diperiksa 14 sarana (26,92 %) yang hasilnya Pengawasan Produk Beredar 3 saran tidak memenuhi ketentuan. Pada tahun 2008 produk terapetik/Obat, NAPZA dan PKRT yang diuji berjumlah 3.833 sampel. Sampel terdiri dari Obat (1866 · Jumlah sarana produksi kosmetika di Jawa Timur sampel), NAPZA (114 sampel), Alkes (18 sampel), PKRT (117 sebanyak 128 sarana. Diperiksa dalam rangka sampel) sedangkan rokok tidak dilakukan sampling karena belum pengawasan rutin: 75 (60%) sarana dan ditemukan 3 (4%) sarana tidak memenuhi ketentuan. berfungsinya alat uji yang ada di BBPOM di Surabaya. Sampling pangan dilakukan pada 204 sampel jajanan anak sekolah, 382 · Cakupan pengawasan industri obat tradisional sebanyak sampling seri, 66 sampel garam beryodium, 941 sampel produk 94 (38,37%) dari sarana yang ada, hasil pemeriksaan pangan sesuai prioritas sampling. Obat Tradisional (875 sampel), menunjukkan 16 (17,02%) sarana tidak memenuhi ketentuan. Kosmetika (697 sampel), Suplemen (101 sampel). Hasil uji menunjukkan 0,59% sampel obat; 9,49% obat tradisional; 15,1% · Tahun 2008 iklan yang diawasi dan dinilai sebanyak 4.350 kosmetika tidak memenuhi syarat. Jajanan anak perlu sangat iklan dan 1.731 (39,79%) diantaranya tidak memenuhi diperhatian karena jumlah yang tidak memenuhi syarat cukup ketentuan. tinggi yaitu 60,8% dari 204 sampel MAJS yang diuji, utamanya Penyidikan karena mengandung cemaran mikrobiologi dan boraks. Hasil uji Penyidikan kasus tindak pidana bidang obat dan makanan berhasil Obat Tradisional menunjukkan 11,2% sampel tidak memenuhi menjaring 20 kasus, semua pemberkasan dilakukan oleh PPNS syarat. Pelanggaran terbanyak pada produk obat tradisional Balai Besar POM Surabaya. Adapun sarana-sarana yang adalah adanya kandungan Bahan Kimia Obat (BKO). Jenis BKO melakukan pelanggaran tersebut terdiri dari sarana distribusi (toko, yang paling banyak ditemukan adalah parasetamol. Pada sediaan toko jamu), sarana produksi kosmetika dan rumah tinggal tersebar kosmetika, yang terbanyak adalah pelanggaran pada label, yaitu di beberapa kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Timur. tidak mencantumkan nomor batch, nama pabrik atau keduanya. Pelayanan dan Pemberdayaan Masyarakat Kosmetika beredar masih juga ditemukan mengandung bahan Dalam rangka pelayanan dan pemberdayaan masyarakat telah berbahaya merkuri (1 sampel), pewarna yang dilarang (7 sampel), diterima dan ditindaklanjuti 779 pengaduan, serta telah dan penetapan kadar zat aktif yang melampaui batas yang dilaksanakan penyebaran informasi ke berbagai instansi dan media diperbolehkan. sebanyak 48 kali. Dan untuk meningkatkan pengetahuan petugas Pemeriksaan Sarana Produksi Dan Distribusi Farmasi dan Balai Besar POM di Surabaya, Dinas Kesehatan Kab/Kota dan Alat Kesehatan (Farmakes) produsen telah dilatih tentang Distric Food Inspector sebanyak 38 Cakupan pemeriksaan pada sarana produksi dan distribusi orang dari perwakilan 38 Kab/Kota wilayah kerja Balai Besar POM farmakes masih kecil dibanding sarana yang ada. di Surabaya. Sarana Industri Farmasi yang ada 42 diperiksa 20 (47,62%), Nopember 2009 11 InfoPOM Penasehat : Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan; Penanggung jawab : Sekretaris Utama Badan Pengawas Obat dan Makanan; Pimpinan Redaksi : Kepala Pusat Informasi Obat dan Makanan; Sekretaris Redaksi: Budi Djanu Purwanto, SH, MH; Tim Editor : Dra. Hardaningsih, MHSM, Dra. Sri Mulyani, Apt, Dra. Dyah Nugraheni, Apt, Suyanto, SP, MSi, Yustina Muliani, SSi, Apt, Yusra Egayanti, SSi, Apt, Yuli Hijrah Saputri, SSi, Apt, Ellen Simanjuntak, SE, Dra. Tri Asti I, Apt, Mpharm, Dra. Muti Hadiyani, Rohyanih, SKom, Dewi Sofiah, SSi, Apt; Redaksi Pelaksana : Yulinar, SKM, Indah Widiyaningrum, Ssi, Apt, Eriana Kartika Asri, Ssi, Apt, Denik Prasetiawati, SFarm, Apt, Arlinda Wibiayu, Ssi, Apt; Sekretariat : Sandhyani ED, Ssi, Apt, Tanti Kuspriyanto, Ssi, Msi, Anis Siti Annisa, SKom; Sirkulasi : Surtiningsih, Netty Sirait. Alamat Redaksi : Pusat Informasi Obat dan Makanan Badan Pengawas Obat dan Makanan, Jl. Percetakan Negara No. 23, Jakarta Pusat, Telp. 021-4259945, Fax. 0214 2 8 8 9 1 1 7 , e - m a i l : [email protected] Redaksi menerima naskah yang berisi informasi yang terkait dengan obat, kosmetika, obat tradisional, produk komplemen, zat adiktif dan bahan berbahaya. Kirimkan melalui alamat redaksi dengan format minimal MS. Word 97, spasi ganda maksimal 4 halaman A4. LABORATORIUM TERANOKOKO BALAI BESAR POM DI SURABAYA