BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebijakan Hukum Pidana Istilah “kebijakan” dalam tulisan ini diambil dari islilah “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal policy”, “criminal law policy” atau “strafrechtspolitiek”.1 Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, “Politik Hukum” adalah.2 1 Barda Nawawi Arief. Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group. Hlm.26. 2 Barda Nawawi. Ibid.Hlm.26. 37 a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.3 b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan- peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.4 Bertolak dari pengertian demikian Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna5. Dalam kesempatan lain beliau menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti, “usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan 3 Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung,:Alumni, 1981.Hlm. 159. Sudarto. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Bandung: Sinar Baru.Hlm 20. 5 Sudarto, Op,cit, Hlm.161. 4 38 keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.6 Pengertian dalam definisi “penal policy” dari Marc Ancel yaitu “suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik”.7 Dengan demikian, yang dimaksud dengan “peraturan hukum positif” (the positive rules) dalam definisi Marc Ancel itu jelas adalah peraturan perundang-undangan hukum pidana. Dengan demikian, istilah “penal policy” menurut Marc Ancel adalah sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana”. Menurut A. Mulder dan dikutip juga oleh Barda Nawawi Arief dalam bukunya Kebijakan hukum Pidana Perkembangan Konsep KUHP Baru, “Strafrechtspolitiek” ialah garis kebijakan untuk menentukan.8 a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbarui. 6 Sudarto, Op,cit, 1983, Hlm. 93 dan 109. Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group. Hlm.27. 8 Barda Nawawi Arief. Op. Cit. Hlm.27. 7 39 b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana. c. Cara bagaimana peradilan, dan penyidikan, pelaksanaan penuntutan, pidana harus dilaksanakan. Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan.9 1) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana; dan 2) Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik 9 Barda Nawawi Arief. Ibid.Hlm.30. 40 dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).10 Di samping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy).11 Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan 10 11 masyarakat Barda Nawawi Arief.ibid.Hlm.28. Barda Nawawi Arief.Ibid.Hlm.28. 41 dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi di dalam pengertian “social policy", sekaligus tercakup di dalamnya (l social welfare policy” dan “social clefence policy".12 Dilihat dalam arti luas, kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana materiil, di bidang hukum pidana formal dan di bidang hukum pelaksanaan pidana. Berdasarkan cakupan kebijakan hukum pidana bahwa kebijakan hukum pidana dalam pengambalian kerugian keuangan negara yaitu dalam kebijakan hukum formulasi. B. Kebijakan Hukum Pidana Korupsi 1. Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi selama ini terjadi secara sistematik dan meluas. Dengan meluasnya tindak pidana korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan 12 Barda Nawawi Arief.Ibid. Hlm.28. 42 ekonomi masyarakat secara meluas.13 Dengan meluasnya tindak pidana korupsi, sehingga tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes).14 Oleh karena itu perlu upaya pemberantasan secara luar biasa (extra-ordinary enforcement). Menurut Robert Klitgaard, definisi korupsi adalah suatu yang membuang-buang waktu, dan lebih membahas cara-cara untuk memberantas korupsi itu sendiri.15 Pengertian korupsi dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat pada Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999. Pengertian lain, korupsi dapat diartikan sebagai “prilaku tidak mematuhi prinsip”, dilakukan oleh perorangan di sektor swasta atau pejabat publik. Putusan dibuat berdasarkan hubungan pribadi 13 H.Elwi Danil. Korupsi :Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2012.hlm.55. 14 Ermansjah Djaja. Memberantas Korupsi Bersama KPK. Jakarta:Sinar Grafika.2010.hlm.28. 15 H.Elwi Danil. Korupsi: konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada. 2012.Hlm.4. 43 atau keluarga, korupsi akan timbul, termasuk juga konflik kepentingan dan nepotisme.16 Pengertian secara yuridis dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi memberikan batasan agar dapat memahami rumusan delik. Dalam memahami rumusan delik maka dapat dikelompokkan sebagai berikut :17 1. 2. 3. 4. 5. kelompok delik yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2,3 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999) ; kelompok delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun pasif (yang menerima suap) (Pasal 5, 11 ,12, 12 B Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001) ; kelompok delik penggelapan (Pasal 8, 10 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001) ; kelompok delik pemerasan dalam jabatan (Pasal 12e dan f undang-undang Nomor 20 Tahun 2001) ; kelompok delik yang berkaitan dengan pemborosan, leveransir, dan rekanan (Pasal 7 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001). 16 Marwan Effendy. Korupsi & Strategi Nasional Pencegahan Serta Pemberantasannya. Jakarta Selatan: Referensi.hlm.19 17 Chaerudin , Ahmad Syaiful Dinar & Syarif Fadillah. Strategi Pencegahan & Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi. Bandung: PT Refika Aditama. Hlm. 4. 44 Menurut Vito tanzin bahwa korupsi merupakan perilaku yang tidak mematuhi suatu prinsip, dilakukan oleh perorangan di sektor swasta atau pejabat publik. Huntington menyebutkan bahwa korupsi adalah perilaku menyimpang dari piblic official atau para pegawai dari norma-norma yang diterima dan dianut oleh masyarakat dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi.18 Menurut pandangan Patrick Glynn, Stephen J. Korbin dan Moises Naim yang dikutip dalam buku Marwan Effendy yang berjudul korupsi & strategi nasional pencegahan serta pemberantasannya, menyatakan “bahwa korupsi dapat muncul akibat perubahan politik yang sistematik, sehingga memperlemah atau menggancurkan tidak saja lembaga sosial dan politik, tetapi juga hukum”.19 Sedangkan menurut Soerjono Soekanto gejala korupsi muncul ditandai dengan adanya penggunaan 18 Chaerudin Ahmad Syaiful Dinar & Syarif Fadillah. Strategi Pencegahan & Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi. Bandung: PT Refika Aditama. Op.cit,. Hal 2. 19 Marwan effendy. Korupsi & Srategi Nasional Serta Pemberantasannya.Jakarta Selatan: Referensi.Hlm.25. 45 kekuasaan dan wewenang publik, untuk kepentingan pribadi atau golongan tertent, yang sifatnya melanggar hukum dan norma-norma lainnya.20 Sehingga dari perbuatannya tersebut dapat menimbulkan kerugian negara atau perekonomian negara serta orang perorangan atau masyarakat. Berdasarkan pandangan diatas bahwa sejalan dengan pandangan Bologna et al dikutip dalam buku Marwan Effendy yang berjudul korupsi & strategi nasional pencegahan pemberantasannya yaitu dalam teori gone ada 4 (empat) faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan kejahatan:21 1. keserakahan (Greeds), berkaitan dengan adanya prilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang; 2. kesepatan (Opportunities), berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan terhadapnya; 3. kebutuhan (Needs), berkaitan dengan faktorfaktor yang dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya yang wajar; 4. dipamerkan / pengungkapan (Exposures), berkaitan dengan tindakan atau konsekuwensi 20 Soerjono Soekanto, Mutafa Abdullah. Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat. Jakarta:Rajawali. 1980.Hlm.281. 21 Marwan Effendi.ibid.Hlm.26-27. 46 yang akan dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku ditemukan melakukan kecurangan. Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan yang tidak hanya merugikan keuangan negara namun juga menimbulkan kerugian-kerugian pada perekonomian rakyat. Menurut Barda Nawawi Arief bahwa tindak pidana korupsi merupakan perbuatan tercela, terkutuk dan sangat dibenci oleh sebagian masyarakat; tidak hanya oleh masyarakat dan bangsa Indonesia tetapi juga oleh masyarakat bangsa-bangsa di dunia.22 Kebijakan dalam tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diubah menjadi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi. Menurut Barda Nawawi bahwa Stategi dalam Pemberantasan Korupsi, bukan pada pemberantasan korupsi itu sendiri melainkan pemberantasan “kausa dan kondisi 22 Muladi dan Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung:Alumni.Hlm.133. 47 yang menimbulkan terjadinya korupsi”,23 pemberantasan korupsi lewat penegakan hukum pidana hanya merupakan pemberantasan simptomatik, sedangkan pemberantasan kausa dan kondisi yang menimbulkan terjadinya korupsi merupakan pemberantasan Kausatif.24 Pemberantasan dan penangulangan tindak pidana korupsi dilakukan oleh pemerintah yaitu kepolisian, kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi kejaksaan mengalami berbagai kendala. Kebijakan hukum dalam tindak pidana korupsi dalam hal ini menggunakan sarana penal yaitu menggunakan tahap formulasi. Bahwa kebijakan legislatif merupakan tahap yang strategis dari “penal policy”.25 Dalam hal ini bahwa kesalahan/kelemahan kesalahan strategis kebijakan yang 23 dapat legislatif menghambat Marwan Effendy. Korupsi & Strategi Nasional Pencegahan Serta Pemberantasannya. Jakarta Selatan: Referensi.2013.hlm.150-151. 24 Marwan Effendy. Ibid.op.cit.Hlm 151 25 Barda Namawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung: Citra Aditya Bakti.Hlm.79. 48 merupakan upaya pencegahan dan penangulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.26 2. Sanksi Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Sanksi menurut Lawrence M. Friedman (1975 diterjemahkan oleh M. Khozin (2011) dan dikutip dalam buku Hernold Ferry Makawimbang (2014): “Kerugian Keuangan Negara: Dalam Tindak Pidana Korusi, Suatu Pendekatan Hukum Progresif”, menjelaskan bahwa: sanksi adalah cara-cara menerapkan suatu norma atau peraturan.27 Sedangkan sanksi hukum adalah sanksi-sanksi yang digariskan atau diotoritasi oleh hukum.28 Tentang sanksi pidana juga ditulis oleh Suhariyono (2012), dengan mengutip pendapat Herbert L.Packer tentang sangat perlunya sanksi pidana, lebih lanjut disimpulkan sebagai berikut: “Sanksi pidana sangatlah diperlukan, sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, 26 Ibid.hlm.79. Hernold Ferry Makawimbang. Kerugian Keuangan Negara: Dalam Tindak Pidana Korupdi, Suatu Pendekatan Hukum Progresif. Yogyakarta: Thafa Media. Hlm.180. 28 Hernold Ferry Makawimbang. Ibid.Hlm.180. 27 49 yang kita miliki untuk menghadapi bahaya-bahaya besar dan sanksi pidana ketika merupakan penjamin yang utama atau terbaik.29 Berdasarkan jenis pidana yang dijatuhkan pada umumnya mengacu pada Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).30 Sedangkan dalam hukum pidana khusus ada perluasan atau penambahan jenis pidana di luar KUHP. Menurut Pasal 10 KUHP jenis pidana ada dua yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Dalam pidana pokok antara lain pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan. Sedangkan pidana tambahan meliputi beberapa hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Sedangkan Sanksi pidana yang diatur dalam Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu sebagai berikut:31 29 Suhariyono. Pembaharuan Pidana Denda. Jakarta: Papas Sinar Sianti. Op.cit.Hlm.59. 30 Teguh Prasetyo.Hukum Pidana Edisi Revisi.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.Hlm.117 31 Efi Laila Kholis. Pembayaran Uang {engganti Dalam Perkara Korupsi. Jakarta:Solusi Publishing. Hlm.6. 50 1. Pidana Mati Baik berdasarkan Pasal 69 KUHP, Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 maupun berdasarkan hak tinggi manusia pidana mati adalah pidana terberat karena pelaksanaannya berupa penyerangan terhadap hak hidup manusia yang merupakan hak asasi manusia yang utama. Dalam hal ini bahwa hanya perbuatan pidana yang benar-benar berat yang diancam oleh pidana mati, karena tidak dapat dikoreksi atau diperbaiki eksekusi yang telah terjadi apabila dikemudian hari ditemukan kekeliruan.32 2. Pidana Penjara Esensi pidana penjara adalah perampasan kemerdekaan yang merupakan hak dasar diambil secara paksa. Dalam hal ini bahwa pemidaanaan 32 Efi Laila Kholis. Ibid.Hlm.7. 51 dipergunakan demi kepentingan reclassering (pemasyarakatan atau pembinaan). 33 Menurut Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa semua tindak pidana diancam dengan pidana penjara baik penjara seumur hidup maupun sementara. Pidana penjara seumur hidup terdapat dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 12, Pasal 12B ayat 2. Pidana penjara sementara diancam dengan batas makssimum dan batas minimum. 34 Sedangkan batas minimum ditentukan dalam Pasal-pasal dalam Undang-undang sebagai salah satu upaya dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan meberantas tindak pidana korupsi. 3. Pidana Denda Pidana kewajiban 33 34 denda adalah seseorang Efi Laila Kholis. Ibid.Hlm. 7. Efi Laila Kholis.ibid. Hlm. 8-9. 52 untuk hukuman berupa mengembalikan keseimbangan hukum atau menebus dosa-dosanya dengan membayar sejumlah uang tertentu.35 Dalam undang-undang Pemberantassan Tindak Pidana meretapkan pidana denda yamg tinggi sebagai salah satu upaya dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantasa tindak pidana korupsi. 4. Pidana Tambahan Pidana tambahan adalah hanya menambah pidana pokok yang dijatuhkan. Pidana tambahan bersifat fakultatif, artinya dapat dijatuhkan, tetapi tidak ada keharusan. 36 3. Pengaturan Pembayaran kerugian Keuangan negara Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung a. Surat Edaran Jaksa Agung Nomor 4 Tahun 1988, tentang Pelaksanaan Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti Dalam Surat Edaran Diatas bahwa dikularkan dikarenakan masih adanya keragu-raguan mengenai 35 36 Efi Laila Kholis.ibid. Hlm.9-10. Efi Laila Kholis.ibid. Hlm.10. 53 eksekusi terhadap hukum pembayaran uang pengganti berdasarkan Pasal 34 sub c Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971. Berdasarkan surat edaran tersebut memberikan penegasan terhadap eksekusi hukuman pembayaran uang pengganti yaitu sebagai berikut: 1. Dalam rangka melaksanakan putusan Hakim, jika pembayaran uang pengganti belum mencukupi, Jaksa eksekutor melakukan Penyitaan terhadap harta benda lainnya dari terpidana tanpa melakukan campur tangan pihak Pengadilan dalam bentuk ijin penyitaan yaitu dituangkan dalam penetapan dan lain lain. 2. Seandainya dengan pelaksanaan jumlah barang - barang yang dimiliki oleh terpidana juga tidak mencukupi lagi. kekurangan yang masih ada, agar ditagih melalui gugatan perdata. 54 3. Untuk perkara-perkara yang berdasarkan putusan Hakim telah memperoleh kekuatan hukum tetap,namun Hakim tidak menerapkan ketentuan dalam pasal 34 sub c Undang Undang No. 3 Tahun 197 1, agar diusahakan adanya pemberian kuasa dari instansi yang bersangkutan kepada Jaksa sebagai yang menerima kuasa ( Penasihat Hukum ) untuk mengajukan gugatan perdata mewakili Negara / instansi yang bersangkutan pada Pengadilan yang berwenang. b. Surat Edaran Jaksa Agung Nomor B020/A/J.A/04/2009, tentang tata cara penyelesaian denda dan pembayaran uang pengganti tindak pidana korupsi Berdasarkan Surat Edaran Diatas mengalami perubahan, maka dikeluarkan lagi surat Edaran oleh Jaksa Agung Nomor B-020/A/J.A//04/2009, tanggal 8 April 2009 tentang tata cara penyelesaian denda dan uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi. Pelaksanaan denda dan uang pengganti dalam perkara 55 tindak pidana korupsi, perlu dipedomani petunjuk sebagai berikut37 1. Penyelesaian denda perkara tindak pidana korupsi; selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah terpidana menandatangani berita acara pelaksanaan putusan pengadilan (BA-8) maka JPU harus memanggil terpidana apakah bersedia membayar denda (Pasal 273 KUHAP) atau akan menjalani hukuman subsidair kurungan (formulir D1), dengan membuat surat pernyataan (formulir D2). Apabila terpidana membayar denda, JPU menyampaikan tanda terima pembayaran denda (formulir D3) kepada terpidana atau kuasa hukumnya, apabila terpidana tidak bersedia membayar denda maka JPU harus membuat berita acara pelaksanaan putusan pengadilan (formulir BA-8) berupa pidana kurungan.38 37 Surat Edaran Jaksa Agung Nomor B-020/A.J.A/04/2009, Tanggal 08 April 2009.Hlm 67. 38 Surat Edaran Jaksa Agung Nomor B-020/A.J.A/04/2009, Tanggal 08 April 2009 .Ibid.Hlm 67. 56 2. Penyelesaiaan uang pengganti39 2.1 Yang diatur dalam (Pasal 34 sub c) Undangundang Nomor 3 tahun 1971 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bersamaan dengan surat perintah pelaksanaan putusan pengadilan (P-48) Kajari juga mengeluarkan surat perintah “mencari harta benda milik terdakwa”. Jika ditemukan harta benda milik terpidana segera disampaikan ke bidang DATUN untuk ditindak lanjuti, demikian juga apabila tidak ditemukan harta benda milik terpidana atau terpidana dalam keadaan yang ditandatangani oleh Lurah atau Kepala Desa tempat tinggal terpidana. 2.2 Penyelesaiaan uang pengganti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 39 Surat Edaran Jaksa Agung Nomor B-020/A.J.A/04/2009, Tanggal 08 April 2009.Ibid.Hlm 68 57 tentang pemberantasan tindak pidana surat perintah korupsi.40 Bersamaan dengan pelaksanaan putusan pengadilan (P-48) kajari juga mengeluarkan Surat Perintah Kepada JPU untuk mencari harta milik terpidana, apabila ditemukan harta benda milik terpidana dapat disita dan di lelang untuk menutupi uang pengganti (Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah terpidana menandatangani berita acara pelaksanaan putusan pengadilan (BA-8) ternyata harta benda terpidana tidak dapat ditemukan, maka JPU harus memanggil terpidana (formulir D1) untuk menanyakan 40 Surat Edaran Jaksa Agung Nomor B-020/A.J.A/04/2009, Tanggal 08 April 2009.Ibid.Hlm.68. 58 apakah terpidana bersedia membayar uang atau akan menjalani pidana penjara dengan membuat surat pernyataan (D2). Apabila terpidana tidak membayar uang pengganti, maka JPU membuat berita acara pelaksanaan putusan pengadilan pidana penjara (Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi).41 2.2.1 Pembayaran uang pengganti tidak bisa DATUN dialihkan dan tidak ke bisa diangsur. 2.2.2 Apabila terpidana membayar sebelum uang akan pengganti hukuman pokok selesai dilaksanakan, maka dapat 41 diterima selanjutnya Surat Edaran Jaksa Agung Nomor B-020/A.J.A/04/2009, Tanggal 08 April 2009.ibid.Hlm68. 59 berita acara pelaksanaan pidana penjara subsidair uang pengganti dibatalkan. 3. Penghapusan uang pengganti 1.1. Terhadap perkara yang diputus berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menghapuskan uang pengganti diusulkan kepada Menteri Keuangan RI melalui Jaksa Agung RI dengan melengkapi:42 - surat perintah pencarian harta benda terpidana; laporan pencarian harta benda terpidana dengan lampiran keterangan dari Lurah atau Kepala bahwa terpidana tidak mempunyai yang dapat disita untuk membayar pengganti. Terhadap uang pengganti yang milik milik surat Desa harta uang dibayar sebagian oleh terpidana tetap diusulkan penghapusan melalui Jaksa Agung RI dengan melengkapi: 42 Surat Edaran jaksa Agung Nomor B-020/A/J.A/04/2009, tanggal 8 April 2009.ibid.Hlm.69. 60 - tanda terima pembayaran uang pengganti (D3); bukti penyetoran uang pengganti ke kas Negara; surat perintah pencarian harta benda milik terpidana; laporan pencarian harta benda milik terpidana dengan lampiran surat keterangan dari Lurah atau Kepala Desa bahwa terpidana tidak mempunyai harta benda yang dapat disita untuk membayar uang pengganti. 1.2. Terhadap perkara yang diputus berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, penghapusan Tindak uang Pidana pengganti diusulkan kepada Menteri Keuangan RI melalui Jaksa Agung RI dengan melengkapi: - surat perintah pencarian harta benda milik terpidana; laporan pencarian harta benda milik terpidana; tagihan uang pengganti (formulir D1) ; pernyataan tidak sanggup membayar uang pengganti (formulir D2); berita acara pelaksanaan pidana penjara subsidair pembayaran uang pengganti (BA-8). 61 4. Denda dan uang pengganti terhadap perkara tindak pidana korupsi yang belum diselesaikan sesuai dengan ketentuan diatas harus diselesaikan dengan ditindaklunjuti sesui petunjuk ini. 5. Pelaporan penyelesaian benda dan uang pengganti harus dilampiri formulir-formulir tersebut diatas dan apabila terpidana melakukan pembayaran harus dilampirkan bukti setor ke kas Negara. 6. Apabila uang pengganti tindak dibayar, maka pihak yang dirugikan baik instansi pemerintah, BUMN, BUMND maupun Badan Hukum lain yang mengelola keuangan negara masih berhak untuk memiliki harta kekayaan dengan dasar Pasal 1365 Kitab Ubdabg-undang Hukum Perdata, yang menyebutkan: “tiap perbuatan yang melanggar hukum dan mengakibatkan kerugian kepada orang lain, mengakibatkan orang yang menimbulkan 62 kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut”. Dalam pelaksanaannya dapat memberi Surat Kuasa Khusus kepada Kejaksaan selaku Jaksa Pengacara Negara. c. Surat Edaran Jaksa Agung Nomor B28/A/Ft.1/05/2009, mengenai Petunjuk Kepada Jaksa Penuntut Umum Dalam Membuat Surat Tuntutan. Berdasarkan Surat edaran tersebut diatas maka dapat dicermati penentuan pidana pembayaran uang pengganti. Namun dalam hal ini bahwa Jaksa Agung mengeluarkan surat edaran Nomor B-28/A/Ft.1/05/2009 tanggal 11 Mei 2009 yaitu sebagai berikut:43 1. kewajiban membayar uang pengganti sedapat mungkin langsung ditujukan kepada instansi yang dirrugikan sebagai akibat dari tindak pidana korupsi. Amar surat tuntutan : “membayar uang pengganti kepda negara(institusi yang dirugikan)”; 2. untuk memberikan rasa keadilan kepada terpidana yang membayar uang pengganti tetapi hanya sebagian (tidak penuh) dari pidana dalam putusan, maka didalam amar tuntutan supaya ditambah klausul: “apabila 43 Efi Laila Kholis. Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi. Jakarta:Solusi Publishing. Hlm.20. 63 terdakwa/ terpidana membayar uang pengganti, maka jumlah uang pengganti yang dibayarkan tersebut akan diperhitungkan dengan lamanya pidana tambahan berupa pidana penjara sebagai ganti dari kewajiban membayar uang pengganti; 3. terhadap kewajiban pembayaran uang pengganti yang terdakwa lebih dari satu orang supaya di dalam Amar Tuntutan disebutkan secara jelas dan pasti jumlah kepada masing-masing terdakwa dan tidak boleh disebutkan secara tanggung renteng karena tidak akan memberikan kepastian hukum dan menimbulkan kesulitan dalam eksekusi. Kesulitan eksekusi yang terjadi baik menyangkut jumlah uang pengganti yang harus dibayar oleh masing-masing terdakwa/ terpidana maupun terhadap terpidana yang membayar (atau membayar sebagian) uang pengganti sehingga harus menjalani hukuman badan sebagai pengganti dari kewajiban membayar uang pengganti;44 4. Apabila tidak diketahui secara pasti jumlah yang diperoleh dari tindak pidana korupsi oleh masing-masing terdakwa/terpidana, maka salah satu cara yang dapat dipedomani untuk menentukan besar uang pengganti yang akan digunakan kepada masing-masing terpidana/terdakwa adalah menggunakan kualifikasi “turut serta” dalam Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHAP; 5. Untuk pelaksanaan petunjuk penentuan besar uang pengganti supaya dilaksanakan secara tertib dengan administrasi yang dapat dipertanggungjawabkan disertakan buktibukti yang akurat yang dapat dipergunakan 44 Efi Laila Kholis.ibid.Hlm.21. 64 sebagai bahan pelaporan hasil penyelamatan kerugian keuangan negara oleh Kejaksanaan Agung. d. Surat Edaran Jaksa agung Nomor B1113/F/Fd.1/05/2010, tentang Prioritas dan Pencapaiaan Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Dengan berkembangnya tindak pidana korupsi maka Jaksa Agung menyeluarkan lagi Surat Edaran Jaksa Agung Nomor B-1113/F/Fd.1/05/2010, tanggal 18 mei 2010. Yaitu terdapat dalam poin 1 antara lain sebagai berikut.45 “Penanganan perkara tindak pidana korupsi diprioritaskan pada pengungkapan perkara yang bersifat big fish (berskala besar, dilihat dari pelaku dan/ atau nilai kerugian keuangan negara) dan still going on (tindak pidana korupsi yang dilakukan terus menerus atau berkelanjutan),46 agar dalam penegakan hukum 45 Kejaksaan Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung RI. Himpunan Tata Naskah dan Petunjuk Teknis Penyelesaiaan Perkara Tindak Pidana Khusus. 2010.Hlm.120-123. 46 sesuai penjelasan Jaksa Agung RI saat RAKER dengan Komisi III DPR RI tanggal 5 Mei 2010 dan pengarahan Presiden RI pada pembukaan Rakor MAHKUMJAPOL di Istana Negara tanggal 4 Mei 2010. 65 mengedepankan rasa keadilan masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang dengan kesadarannya telah mengembalikan kerugian keuangan negara (restoratif justice), terutama terkait perkara tindak pidana korupsi yang nilai kerugian keuangan negara relatif kecil perlu dipertimbangkan untuk tidak ditindaklanjuti, kecuali yang bersifat still going on.” Pengembalian keuangan negara yang bersifat pemiskinan melalui pembayaran uang pengganti hasil tindak pidana korupsi, sebagai bagian dari upaya pemulihan kesejahteraan sosial, merupakan ruang lingkup kebijakan hukum pidana dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. 5. Pengembalian Kerugian Keuangan Negara oleh Terpidana Korupsi Kamus besar bahasa Indonesia, mendefenisikan kata rugi, yang dikutip dalam buku Hernold Ferry Makawimbang 66 , kerugian dan merugikan sebagai berikut:47 kata rugi (1) adalah kurang dari harga beli atau modalnya, (2) kurang dari modal, (3) rugi adalah tidak mendapatkan faedah (manfaat), tidak beroleh suatu yang berguna. Kerugian adalah menanggung atau menderita rugi. Sedangkan kata merugikan adalah mendapat rugi kepada ....., sengaja menjual lebih rendah dari harga pokok.48 Kerugian keuangan negara juga dirumuskan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 yaitu sebagai berikut. 1. Hilang atau berkurangnya hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, akibat perbuatan sengaja melawan hukum dalam bentuk:49 1.1. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; 1.2. Kewajiban negara untuk menyelesaikan tugas layanan umum 47 Hernold Ferry Makawimbang. Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, Suatu Pendekatan Hukum Progresif. Yogjakarta: Thafa Media. .Hlm.12. 48 Hernold Ferry Makawimbang. Ibid.Hlm. 12. 49 Hernold Ferry Makawimbang. Ibid.Hlm. 13. 67 pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga; 1.3. Penerimaan negara dan pengeluaran negara; 1.4. Penerimaan daerah dan pengeluaran daerah; 1.5. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan negara /perusahaan daerah; 2. Hilangnya berkurangnya sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban akibat perbuatan sengaja melawan hukum dalam bentuk:50 2.1. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah dan/ atau kepentingan umum; 2.2. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Berdasarkan pendekatan interpretasi rumusan keuangan negara dan rumusan kerugian negara, dan 50 Hernold Ferry Makawimbang. Ibid.Hlm. 13. 68 berpatokan rumusan penjelasan alinea ke 3 menurut Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 adalah sebagai berikut;51 1. kekurangan kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah, akibat perbuatan sengaja melawan hukum; 2. kekurangan kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan , termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam pengusahaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara, akibat perbuatan melawan hukum. 51 Hernold Ferry Makawimbang. Ibid.Hlm. 15. 69