analisis keterbacaan teks soal ujian nasional sekolah dasar mata

advertisement
ANALISIS KETERBACAAN TEKS SOAL UJIAN NASIONAL
SEKOLAH DASAR MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA
TAHUN 2010—2012
Tri Muryani, Totok Suhardijanto
Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Jalan Lingkar Kampus
Kelurahan Pondok Cina Beji, Depok, 16424, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Artikel ini membahas keterbacaan dalam kaitannya dengan linguistik, khususnya ranah
sintaksis. Teks soal ujian nasional mata pelajaran Bahasa Indonesia tahun 2010-2012
digunakan sebagai korpus data dalam penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
tingkat keterbacaan teks soal ujian nasional Bahasa Indonesia terhadap siswa dan faktorfaktor yang dapat memengaruhi tingkat keterbacaan dilihat dari kelas kata dan kalimatnya.
Teori klasifikasi kelas kata, frase, dan kalimat digunakan untuk tercapainya tujuan penelitian.
Hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa faktor yang memengaruhi rendahnya keterbacaan
dilihat dari kelas kata adalah ketidaklogisan kata, pemahaman makna denotatif dan konotatif,
dan penempatan konjungsi yang kurang tepat. Jika dilihat dari kalimat, rendahnya
keterbacaan dipengaruhi adanya kosakata yang jarang digunakan masa sekarang dan
munculnya istilah ilmiah.
Text Readability Analysis Problems from National Primary School Examination of
Indonesian Subjects Year 2010-2012
Abstract
This articles discusses about the readability in relation to linguistics, especially in syntactic
domains. National Exam texts of Indonesian subjects year 2010-2012 are used as the data
corpuses in this study. This study aims to determine the level of text readability in National
Exam texts of Indonesian subjects to students and factors that can affect the readability level
views of word category and sentences. Class classification theory of words, phrases, and
sentences are used to achieve the research objectives. Results of this study found that the
factors that affect readability seen from the low-class word in the incoherence of words, the
understanding of denotative and connotative meanings, and also less precise conjunctions
Analisis keterbacaan…, Tri Muryani, FIB UI, 2013
placement. As being viewed from the sentences, the low readability level is influenced by the
vocabulary choices which are rarely used nowadays, and the emergence of scientific terms.
Keywords; Readability, Syntax, Word category
Pendahuluan
Bahasa Indonesia memiliki peranan dalam pendidikan, terutama sebagai bahasa
pengantar untuk bahan bacaan atau buku teks pelajaran. Suherli Kusmana (2008: 122)
mengungkapkan berdasarkan sudut pandang buku teks pelajaran, bahasa Indonesia
merupakan media interaksi antara siswa dengan materi yang diajarkan. Selain itu, bahasa
Indonesia juga digunakan sebagai alat untuk peserta didik dalam memahami konsep dan
aplikasi dari materi pelajaran. Oleh karena itu, siswa diharapkan memiliki kemampuan
berbahasa Indonesia yang baik ketika membaca suatu teks untuk memudahkan pemahaman
konsep yang ada dalam ilmu tertentu. Dalam tesisnya, Pranowo (1998: 1) menjelaskan bahwa
pada hakikatnya kegiatan membaca merupakan bentuk komunikasi antara penulis dan
pembaca dengan bahan bacaan sebagai medianya. Agar pesan penulis atau isi bacaan dapat
diterima oleh pembaca sesuai dengan yang dimaksud penulisnya, diperlukan seperangkat
kondisi atau persyaratan bagi sebuah bacaan. Salah satu kondisi atau persyaratan yang paling
menentukan adalah tingkat keterbacaan bahan bacaan.
Keterbacaan (readibility) adalah taraf dapat-tidaknya suatu bacaan yang dibaca dan
dipahami oleh orang yang mempunyai kemampuan membaca berbeda-beda (Kridalaksana,
2001: 109). Penelitian tentang keterbacaan sudah cukup banyak sebelumnya, terutama
keterbacaan untuk buku teks pelajaran, tetapi belum banyak yang melakukan penelitian
tentang keterbacaan pada soal Ujian Nasional (UN). Salah satu teks yang penting untuk
diperhatikan dan ditinjau tingkat keterbacaannya adalah teks pada soal Ujian Nasional (UN),
terutama untuk soal Ujian Nasional Sekolah Dasar (UN SD). Hal ini penting karena siswa
harus dapat memahami teks soal dengan baik untuk menjawab setiap pertanyaan yang ada di
dalam naskah ujian nasional dengan waktu yang telah ditentukan.
Sesuai dengan aturan dari Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP) Nomor:
0020/P/BSNP/I/2013 dan Nomor: 0021/P/BSNP/2013 tentang Prosedur Operasional Standar
Ujian Nasional (POS UN) 2012 dijelaskan bahwa mata pelajaran yang diujikan tidak ada
perubahan dari tahun-tahun sebelumnya, yakni Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu
Pengetahuan Alam, dengan alokasi waktu total UN (persiapan, ujian, dan selesai) adalah 120
Analisis keterbacaan…, Tri Muryani, FIB UI, 2013
menit (2 jam).1 Dengan waktu 120 menit siswa diharapkan dapat memahami seluruh teks
yang terdapat dalam naskah soal UN, terutama untuk soal UN mata pelajaran Bahasa
Indonesia yang sebagian besar berisi teks panjang.
Banyaknya teks panjang menjadi salah satu kendala dalam mengerjakan soal UN mata
pelajaran Bahasa Indonesia pada tahun 2011. Hal ini ditegaskan oleh
Kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas)
Mansyur Ramly,
“Faktor penyebab ketidaklulusan siswa untuk mata pelajaran Bahasa
Indonesia disebabkan minimnya kemampuan siswa untuk memahami bacaan.
Kebiasaan siswa untuk membaca artikel panjang kemudian mendapatkan
maknanya masih kurang. Soal Bahasa Indonesia banyak diawali bacaan sehingga
pertanyaan yang muncul terkait bacaan.”2
Terkait hal tersebut, Mansyur membantah ketidaklulusan siswa dalam Bahasa
Indonesia disebabkan materi yang sulit. Menurutnya, ketidaklulusan juga terjadi karena siswa
terburu-buru atau kurang cermat saat mengerjakan soal. Dia berharap guru bahasa Indonesia
lebih banyak melatih siswa untuk memahami makna dari bacaan.
Bersandar pada banyaknya kesulitan yang dihadapi siswa sekolah dasar dengan soal
UN Bahasa Indonesia, penulis akan melihat kesulitan tersebut dengan menganalisis
keterbacaan dan keterpahaman soal ujian nasional sekolah dasar mata pelajaran Bahasa
Indonesia tahun 2010—2012. Soal Bahasa Indonesia yang diujikan dalam UN sebagian besar
cenderung bersifat pemahaman terhadap wacana, sehingga peserta perlu menangkap
ide/gagasan dalam suatu naskah yang disajikan untuk memahami soal. Oleh karena itu, untuk
mengetahui seberapa tinggi kemampuan siswa dalam menyimak dan memahami teks bacaan
tersebut perlu diukur tingkat keterbacaan mereka terhadap teks soal tersebut.
Tinjauan Teoretis
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik Cloze Test sebagai metode
yang digunakan untuk mengukur keterbacaan teks dan teknik Index Fog sebagai metode yang
dapat digunakan untuk mengukur keterpahaman kalimat bahasa Indonesia. Teori yang
1
Jadwal UN SD 2013. Jakarta diunduh dari www.ujian-nasional.info/2013/01/jadwal-un-tahun-2013.html pukul
23:07 tanggal 9 April 2013
2
http://edukasi.kompas.com/read/2011/05/16/13371277/70.Persen.Tak.Lulus.Karena.Bahasa.Indonesia) diunduh
tanggal 28 Maret 2013 pukul 7:31
Analisis keterbacaan…, Tri Muryani, FIB UI, 2013
digunakan adalah teori pembagian kelas kata, frase, dan kalimat dari diktat Harimurti
Kridalaksana berjudul “Tata Deskriptif Bahasa Indonesia” tahun 1999. Kemudian yang
terakhir adalah Teori Komponen Makna dari Nida Eugene.
Adapun kelas kata dalam bahasa Indonesia menurut Kridalaksana adalah verba,
ajektiva, nomina, pronomina, numeralia, adverbia, interogativa, demonstrativa, artikula,
preposisi, konjungsi, kategori fatis, dan interjeksi.
Frase adalah satuan gramatikal berupa gabungan kata dengan kata yang bersifat
nonpredikatif (Kridalaksana, 1999: 144). Rusyana dan Samsuri (dalam Kridalaksana, 1999:
144) membagi frase menjadi dua jenis.
1. Frase eksosentris
Frase eksosentris adalah frase yang sebagian atau seluruhnya tidak mempunyai
perilaku sintaksis yang sama dengan komponen-komponennya. Frase ini memiliki
komponen perangkai berupa preposisi atau partikel dan komponen sumbu berupa kata
atau kelompok kata. Frase yang berperangkai preposisi disebut frase eksosentris
direktif atau frase proposional, sedangkan frase yang berperangkai lain disebut frase
eksosentris nondirektif (Kridalaksana, 1999: 145)
2. Frase endosentris
Frase endosentris adalah frase yang keseluruhannya mempunyai perilaku
sintaksis yang sama dengan salah satu bagiannya. Frase endosentris dibagi atas dua
jenis yaitu, frase endosentris berinduk satu atau frase modifikatif dan frase endosentris
berinduk banyak (Kridalaksana, 1999: 147). Frase modifikatif terdiri atas frase verbal,
frase ajektival, frase nominal, frase pronominal, dan frase numeralia. Frase endosentris
berinduk banyak terdiri atas frase koordinatif dan frase apositif (Kridalaksana, 1999:
161—161).
Kalimat adalah satuan bahasa yang relatif berdiri sendiri, mempunyai ciri utama
berupa intonasi final dan secara aktual maupun potensial terdiri dari klausa (Kridalaksana,
1999: 182). Kridalaksana (1999: 182) menjelaskan bahwa dalam ragam tulis, kalimat itu
sebagian besar ditandai oleh huruf kapital di pangkalnya dan oleh tanda-tanda akhir seperti
titik, tanda seru, tanda tanya, atau tidak ditandai apa-apa (misalnya pada kalimat tak lengkap)
di belakangnya. Jenis-jenis kalimat menurut Harimurti Kridalaksana adalah sebagai berikut.
1. Berdasarkan jumlah klausa
Berdasarkan jumlah klausanya kalimat terdiri atas kalimat tunggal, kalimat
bersusun, kalimat majemuk, kalimat bertopang, dan kalimat kombinasi keempat jenis
Analisis keterbacaan…, Tri Muryani, FIB UI, 2013
kalimat itu. Kalimat majemuk terdiri atas kalimat majemuk setara dan kalimat
majemuk bertingkat.
2. Berdasarkan struktur klausa
Berdasarkan struktur klausanya kalimat dapat dibedakan atas kalimat lengkap
dan kalimat tak lengkap.
3. Berdasarkan kategori predikat
Berdasarkan kategori predikatnya kalimat dapat dibedakan atas kalimat verbal
dan kalimat nonverbal.
4. Berdasarkan intonasi
Berdasarkan pola intonasinya kalimat dibedakan atas kalimat deklaratif,
kalimat interogatif, kalimat imperatif, kalimat aditif, kalimat responsif, dan kalimat
ekslamatif.
5. Berdasarkan amanat wacana
Berdasarkan amanat wacananya kalimat dapat dibedakan atas kalimat
pernyataan, kalimat pertanyaan, dan kalimat perintah.
Komponen makna (semantic component, semantic feature,semantic property, semantic
marker) merupakan satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna kata
atau ujaran; mis. unsur-unsur [+insan], [+muda], [laki-laki] dsb. adalah komponen makna dari
buyung (Kridalaksana, 2001:115). Nida (dalam Kusuma, 2012: 10) mengelompokkan
beberapa tipe komponen makna, yaitu sebagai berikut.
a. Komponen bersama (common component), komponen makna yang menghubungkan
satu kata dengan kata yang lain dalam satu ranah semantis. Misalnya ibu, bapak,
anak, kakak, dan adik memiliki komponen bersama, yaitu manusia dan kekerabatan.
b. Komponen diagnostik (diagnostic component), komponen makna yang digunakan
sebagai pembeda dari satu kata dengan kata yang lain.
c.
Komponen penjelas (supplement component), komponen yang diakibatkan
perluasan dari suatu kata atau hadirnya makna konotatif.
Metode Penelitian
Kajian deskriptif ini dilakukan terhadap 20 siswa SDN 01 Cengkareng Barat
Pagi dan 20 siswa SD Angkasa IX Halim. Teknik pengumpulan data penelitian ini berupa
kuesioner dengan dua jenis yang berbeda. Untuk mengukur tingkat keterbacaan, penulis
Analisis keterbacaan…, Tri Muryani, FIB UI, 2013
menggunakan kuesioner dengan teknik Cloze Test, yaitu penghapusan sejumlah kata dari
suatu teks untuk diisi oleh siswa. Untuk mengukur tingkat keterpahaman kalimat, penulis juga
menggunakan kuesnioner dengan teknik Fog Index, yaitu dengan memberikan skor kalimat
sesuai dengan tingkat kesulitannya, seperti sangat mudah (a), agak mudah (b), sedang (c),
agak sulit (d), dan sangat sulit (e).
Sumber data diperoleh berdasarkan korpus teks soal ujian nasional mata pelajaran
Bahasa Indonesia sekolah dasar tahun 2010, 2011, dan 2012, masing-masing tahun diambil
dua teks soal. Teknik Cloze Test penulis gunakan sebagai dasar analisis dan menemukan
permasalahan linguistik siswa sekolah dasar dalam memahami teks soal ujian nasional Bahasa
Indonesia, terutama penggunaan kelas kata yang digunakan dalam teks UN tersebut. Penulis
melibatkan siswa sekolah dasar kelas VI untuk menjawab isian yang terdapat dalam teknik
Cloze Test dan Fog Index kemudian menganalisis tingkat keterbacaan siswa dilihat dari
kecenderungan penggunaan kelas kata dan kalimat dalam soal tersebut. Fog Index digunakan
untuk mengukur indeks keterbacaan didasarkan pada jumlah kata yang terdapat dalam kalimat
dan banyaknya kata yang sulit. Hasil angka yang diperoleh dari teknik Fog Index kemudian
dibandingkan dengan jawaban siswa yang menyatakan beberapa kalimat yang dianggap
paling sulit.
Teknik untuk Mengukur Tingkat Keterbacaan
Menurut Chaniago dalam Suladi (2000: 9), ada beberapa formula yang dapat
digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan, misalnya Reading Ease Formula (RE),
Human Interest (HI) , Dale and Chall (DAC), Fog Index (FI), Grafik Fry (1977), Grafik
Raygor (1984), Prosedur Klose (Cloze Test), dan Formula Flesch (1974). Menurut Suladi
(2000: 9), teknik Cloze Test selain digunakan untuk alat uji keterbacaan, juga dapat digunakan
sebagai teknik pengajaran membaca untuk meningkatkan keterampilan membaca siswa. Di
dalam penelitian ini, penulis juga mengukur keterpahaman kalimat dari teks soal UN dengan
menggunakan Fog Index atau Indeks Fog untuk melihat tingkat keterbacaan dari pemahaman
kalimat siswa.
1. Teknik Cloze Test sebagai Alat Ukur Tingkat Keterbacaan
Teknik Cloze Test pertama kali diperkenalkan oleh Wilson Taylor. Konsep teknik
tersebut menjelaskan kecenderungan orang untuk menyempurnakan suatu pola yang tidak
lengkap menjadi satu kesatuan yang utuh dan melihat bagian-bagian sebagai suatu
keseluruhan. Melalui teknik ini siswa diminta memahami wacana yang tidak lengkap dengan
Analisis keterbacaan…, Tri Muryani, FIB UI, 2013
pemahaman yang sempurna (Suladi, 2000: 10). Suladi (2000:10) menambahkan bahwa
prosedur klose atau Cloze Test sebagai alat ukur tingkat keterbacaan juga dapat digunakan
untuk
a. menguji kesukaran dan kemudahan bahan ajar;
b. mengklasifikasi tingkat baca siswa;
c. mengetahui kelayakan wacana sesuai dengan peringkat siswa.
Taylor (dikutip oleh Indrawati dalam Andriyana, 2012: 6—8) memaparkan tahapantahapan dalam teknik ini sebagai berikut. Tahap pertama adalah memilih di bagian awal dan
akhir soal UN tahun 2010, 2011, dan 2012 masing-masing dua teks sehingga total
keseluruhan ada enam teks. Tahap kedua adalah menghilangkan kata ke-n (n=1,2,3, dst) dari
setiap teks, kemudian menggantinya dengan titik-titik. Adapun batasan kata dalam penelitian
ini adalah setiap unsur yang dipisahkan oleh spasi. Untuk penelitian ini, penulis menggunakan
n=10. Jadi, penghapusan dilakukan pada setiap kata kesepuluh. Selanjutnya, teks yang
rumpang tersebut dibagikan kepada siswa-siswa kelas VI SD untuk diisi.
Tahap ketiga adalah pengambilan sampel. Pengambilan sampel dalam penelitian ini
dilakukan kepada siswa kelas VI SDN 01 Cengkareng Barat Pagi yang berjumlah 20 siswa
dan SD Angkasa IX yang berjumlah 20 siswa. SDN 01 Cengkareng Barat Pagi merupakan
sekolah dasar negeri yang memiliki akreditasi A. Kedua sekolah tersebut berada di kota
Jakarta dan mendapat perlakuan dengan standar umum sekolah nasional. Dengan demikian,
sekolah tersebut cukup ideal untuk dijadikan sampel dalam mengukur keterbacaan teks soal
ujian nasional Bahasa Indonesia.
Penulis mengambil enam teks utuh dari soal ujian nasional Bahasa Indonesia yang
sudah dimodifikasi sesuai dengan ketentuan Cloze Test. Teks tersebut dipilih karena masuk ke
dalam kategori teks terpanjang yang terdapat pada awal dan tengah pada teks soal ujian
nasional. Proses pengambilan data dengan teks rumpang dan skor pemahaman kalimat
dilakukan pada hari yang berbeda. Untuk mengisi tes kalimat rumpang, penulis membagi
menjadi enam sesi. Durasi masing-masing sesi 20 menit untuk teks panjang dan 15 menit
untuk teks pendek. Hanya ada satu sesi untuk mengisi kuesioner skor pemahaman kalimat.
Chaniago dalam Suladi (2000: 11) memberikan alternatif penilaian jawaban seperti
dibawah ini.
1. Hanya memberi nilai terhadap jawaban yang sama persis dengan kata aslinya.
Jawaban lainnya tidak dibenarkan meski maknanya sama. Ini dilakukan jika
jumlah pesertanya banyak.
2. Nilai diberikan tidak hanya pada jawaban yang sama persis. Kata atau jawaban
yang dapat menggantikan kedudukan kata yang dihilangkan dapat dibenarkan,
Analisis keterbacaan…, Tri Muryani, FIB UI, 2013
asal makna dan struktur konteks kalimat yang didudukinya tetap utuh dan dapat
diterima. Rentang skor yang diberikan adalah 3-2-1-0.
Penulis dalam penelitian ini menggunakan alternatif pertama sebagai dasar penilaian
jawaban Cloze Test. Jawaban yang dianggap benar adalah jawaban yang sama persis dengan
kata yang ada dalam teks UN, meskipun maknanya sama. Pertimbangan ini dilakukan untuk
mempermudah penghitungan dan analisis data.
Tahap keempat adalah tahap penghitungan. Penghitungan pada tahap ini dibagi
menjadi dua basis, yaitu penghitungan berbasis soal dan penghitungan berbasis siswa.
Pertama, penghitungan berbasis soal, setiap soal dari tiap teks akan dihitung persentasenya.
Hal ini dimaksudkan untuk melihat jumlah soal yang berhasil dijawab benar oleh 40 siswa.
Penghitungan skor keterbacaan teks menggunakan teknik Cloze Test adalah sebagai berikut.
Jawaban Benar
×100%
Jumlah Soal
Apabila hasil penghitungan lebih dari 75%, kategori teks adalah mudah atau
berketerbacaan tinggi. Apabila hasil di antara 20—75% kategori teks adalah sedang atau
berketerbacaan sedang. Sementara itu, apabila hasil kurang dari 20%, kategori teks adalah
sulit atau berketerbacaan rendah (Sadtono dalam Andriyana, 2012: 7).
Kedua, penghitungan berbasis siswa, setiap siswa dihitung persentase jawabannya. Hal
ini dimaksudkan untuk melihat jumlah siswa yang menjawab benar dari teks 1—6. Karena
siswa yang dijadikan sampel dalam penelitian ini berjumlah 40 orang, penghitungannya
adalah sebagai berikut.
Jumlah siswa yang menjawab benar
×100%
40
Setelah penghitungan selesai, penulis mulai mengklasifikasi jawaban dilihat dari
wacana, paragraf, kalimat, dan kelas kata yang memiliki tingkat keterbacaan yang rendah ke
tingkat yang lebih tinggi. Kemudian, menjelaskan kecenderungan siswa terhadap hasil
jawaban tersebut. Selain itu, penulis juga menganalisis teks soal untuk menemukan temuantemuan linguistik yang mempengaruhi faktor rendahnya keterbacaan teks tersebut.
2. Teknik Fog Index sebagai Alat Ukur Tingkat Keterpahaman Kalimat
Penelitian tentang “Analisis Keterbacaan Teks Soal Ujian Nasional Sekolah Dasar
Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Tahun 2010—2012” ini juga menggunakan teknik Fog
Analisis keterbacaan…, Tri Muryani, FIB UI, 2013
Index atau Indeks Fog dari Robert Gunning Fog. Teknik ini diterapkan untuk menguji
seberapa besar tingkat pemahaman siswa terhadap kalimat pada teks UN. Dalam skripsinya,
Syafrida (1992: 12) menjelaskan teknik Indeks Fog menentukan hubungan yang sesuai di
antara mutu bahasa yang digunakan dalam tulisan dan tingkat pendidikan pembaca sasaran.
Rumus keterbacaan Indeks Fog didasarkan pada dua faktor penting. Pertama, kepanjangan
kalimat; kedua, kata-kata sukar (Suladi, 2000: 15).
Suladi (2000: 27) memaparkan langkah-langkah menggunakan Indeks Fog. Tahap
pertama adalah membagi setiap teks UN ke dalam satuan kalimat. Semua kalimat dalam teks
dimasukkan ke dalam tabel kemudian siswa diminta memberikan skor untuk setiap kalimat
mulai dari kategori sangat mudah sampai kategori sangat sulit. Tahap kedua adalah
penghitungan. Setiap kalimat dihitung jumlah per kategori dan persentase setiap kategori.
Tahap ketiga adalah pengelompokan kalimat yang paling banyak memiliki persentase
jawaban paling sulit. Setelah memisahkan beberapa kalimat yang dianggap sulit oleh siswa
kemudian kalimat tersebut dihitung menggunakan rumus Fog. Angka yang telah diperolah
kemudian dibandingkan dengan persentase jawaban siswa.
Rumus Fog
!" = !, !
! !""
+
!
!
!
Keterangan:
IF = Indeks Fog (indeks keterbacaan)
k = jumlah kalimat
A = jumlah kata
S = jumlah kata yang sulit
0,4 = konstanta
100 = konstanta
Penulis membatasi kata sulit dalam penelitian ini. Kata sulit dalam penelitian ini hanya
kata-kata serapan dari bahasa asing dan istilah-istilah teknis dalam bidang tertentu. Batasan
kata dalam penelitian ini adalah deretan huruf yang dipisahkan oleh spasi. Menurut Ida
Syafrida (1992: 15), penghitungan dengan menggunakan rumus Fog menghasilkan skor yang
menunjukkan tingkat pendidikan minimum pembaca yang dapat membaca teks yang
dianalisis. Misalnya, skor 5 menunjukkan teks dapat dipahami/terbaca oleh pembaca yang
berpendidikan minimum SD.
Hasil Penelitian
Berdasarkan penelitian keterbacaan soal Ujian Nasional (UN) tahun 2010-2012
terhadap 20 siswa SDN 01 Cengkareng Barat Pagi dan 20 siswa SD Angkasa IX Halim,
penulis mendapatkan skor keterbacaan soal dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
Analisis keterbacaan…, Tri Muryani, FIB UI, 2013
rendahnya keterbacaan. Penulis menggunakan metode Cloze Test untuk mengetahui skor
keterbacaan soal dan skor keterbacaan siswa. Dari hasil jawaban kuesioner yang telah diisi 40
siswa, penulis mendapatkan skor rerata keterbacaan soal sebagai berikut.
1. Soal UN 2010 Teks 1 terdapat 17 soal dengan jumlah kata sebanyak 191. Hasil rerata
skor keterbacaan soal ini sebesar 45,6% dengan siswa yang menjawab kurang dari
30% sebanyak 4 siswa.
2. Soal UN 2010 Teks 2 terdapat 9 soal dengan jumlah kata sebanyak 104. Hasil rerata
skor keterbacaan soal ini sebesar 84,4% dengan siswa yang menjawab kurang dari
30% sebanyak 0.
3. Soal UN 2011 Teks 1 terdapat 15 soal dengan jumlah kata sebanyak 104. Hasil rerata
skor keterbacaan soal ini sebesar 36,5% dengan siswa yang menjawab kurang dari
30% sebanyak 10 siswa.
4. Soal UN 2011 Teks 2 terdapat 12 soal dengan jumlah kata 144 buah. Hasil rerata skor
keterbacaan soal ini sebesar 65,4% dengan siswa yang menjawab kurang dari 30%
sebanyak 2 siswa.
5. Soal UN 2012 Teks 1 terdapat 14 soal dengan jumlah kata sebanyak 173. Hasil rerata
skor keterbacaan soal ini sebesar 38,5% dengan siswa yang menjawab kurang dari
30% sebanyak 16 siswa.
6. Soal UN 2012 Teks 2 terdapat 6 soal dengan jumlah kata sebanyak 68. Hasil rerata
skor keterbacaan soal ini sebesar 45% dengan siswa yang menjawab kurang dari 30%
sebanyak 4 siswa.
Dilihat dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa Soal UN 2010 Teks 2 dan UN 2011
Teks 2 memiliki rerata skor keterbacaan tertinggi dibandingkan 4 teks lainnya. Hal ini dapat
dilihat dari rerata skor keterbacaan kedua soal tersebut paling tinggi persentasenya. Sementara
itu, teks yang memiliki skor rerata keterbacaan paling rendah adalah Soal UN 2011 Teks 1
dan UN 2012 Teks 1 dilihat dari persentasenya paling sedikit dibandingkan dengan 4 teks
lain, yaitu sebesar 36,5% dan 38,5%.
Selain menghitung skor keterbacaan, penelitian ini juga mengamati frekuensi
kemunculan kelas kata pada setiap kalimat dan kecenderungan siswa menjawab benar kurang
dari 25%. Dari keenam teks yang ada penulis mendapatkan 8 kategori kelas kata yang sudah
diklasifikasikan menurut Harimurti Kridalaksana, yaitu nomina, adjektiva, konjungsi, verba,
preposisi, adverbia, demonstrativa, dan pronomina. Hasil dari kuesioner yang diisi oleh 40
siswa dalam menjawab kalimat rumpang dapat dilihat pada uraian berikut.
Analisis keterbacaan…, Tri Muryani, FIB UI, 2013
1. Kelas kata nomina memiliki frekuensi kemunculan sebanyak 31 kata. Jawaban
dijawab benar oleh kurang dari 10 siswa sebanyak 11 kata atau sebesar 35%.
2. Kelas kata adjektiva memiliki frekuensi kemunculan sebanyak 7 kata. Jawaban
dijawab benar oleh kurang dari 10 siswa sebanyak 4 kata atau sebesar 57%.
3. Kelas kata konjungsi memiliki frekuensi kemunculan sebanyak 10 kata. Jawaban
dijawab benar oleh kurang dari 10 siswa sebanyak 3 kata atau sebesar 30%.
4. Kelas kata verba memiliki frekuensi kemunculan sebanyak 11 kata. Jawaban dijawab
benar oleh kurang dari 10 siswa sebanyak 3 kata atau sebesar 27%.
5. Kelas kata preposisi memiliki frekuensi kemunculan sebanyak 5 kata. Jumlah Jawaban
dijawab benar oleh kurang dari 10 siswa sebanyak 1 kata atau sebesar 20%.
6. Kelas kata adverbia memiliki frekuensi kemunculan sebanyak 4 kata. Jawaban
dijawab benar oleh kurang dari 10 siswa sebanyak 1 kata atau sebesar 25%.
7. Kelas kata demonstrativa memiliki frekuensi kemunculan sebanyak 3 kata. Jawaban
dijawab benar oleh kurang dari 10 siswa sebanyak 1 kata atau sebesar 0%.
8. Kelas kata pronomina memiliki frekuensi kemunculan sebanyak 2 kata. Jawaban
dijawab benar oleh kurang dari 10 siswa sebanyak 1 kata atau sebesar 0%.
Jika dilihat pada uraian di atas, kelas kata yang frekuensi kemunculannya paling
banyak adalah nomina, yaitu 31 kata. Jumlah kelas kata yang paling banyak dijawab kurang
dari 10 siswa atau 25% adalah kelas kata adjektiva. Dari 7 kelas kata yang ada dalam teks, 4
jawaban di antaranya dijawab oleh kurang dari 10 siswa. Beberapa jawaban yang mampu
dijawab benar kurang dari 25% siswa diasumsikan sebagai soal yang memiliki tingkat
kesulitan tinggi. Dari jawaban tersebut penulis menganalisis beberapa penyebab rendahnya
keterbacaan.
Penulis menggunakan teknik Fog Index untuk mengetahui skor keterpahaman soal
Ujian Nasional mata pelajaran Bahasa Indonesia terhadap 40 siswa sebagai responden. Dari
hasil jawaban kuesioner yang telah diisi 40 siswa, hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut.
Jumlah kalimat yang terdapat pada enam teks Soal UN 2010-2012 adalah 72 kalimat
yaitu, Teks 1 sebanyak 18 kalimat, Teks 2 sebanyak 8 kalimat, Teks 3 sebanyak 13 kalimat,
Teks 4 sebanyak 10 kalimat, Teks 5 sebanyak 15 kalimat, dan Teks 6 sebanyak 8 kalimat.
Rekapitulasi hasil jawaban keenam teks tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
Analisis keterbacaan…, Tri Muryani, FIB UI, 2013
Tabel Rekapitulasi Persentasi Jawaban Kuesioner
Soal
Kategori
Sekolah
UN 2010
Teks1
Neg
Swas
N=40
Neg
Swas
N=40
Neg
Swas
N=40
Neg
Swas
N=40
Neg
Swas
N=40
Neg
Swas
N=40
UN 2010
Teks 2
UN 2011
Teks 1
UN 2011
Teks 2
UN 2012
Teks 1
UN 2012
Teks 2
Persentase Hasil Jawaban Kuesioner
Kategori
Kategori
Kategori
Sangat
Agak
Sedang
Mudah (a)
Mudah (b)
(c)
44,4%
27%
13,9%
60,2%
22,4%
8,8%
52,65%
24,86%
11,45%
45%
20%
16,3%
57,5%
22,5%
11,9%
51,25%
21,25%
14,06%
31,4%
22,5%
20,2%
58,1%
22,7%
13,1%
41,59%
22,59%
15,60%
44%
19%
17%
51%
25,5%
13,5%
47,50%
22,25%
15,60%
41,1%
22,7%
17%
62%
25,7%
7,3%
51,58%
24,21%
12,19%
57,5%
20,6%
10%
63,1%
30,6%
4,3%
60,31%
25,62%
7,19%
Kategori
Agak Sulit
(c)
8,4%
5,5%
6,42%
4,4%
5,6%
5,00%
14,3%
3,5%
9,07%
13%
7,5%
9,07%
8,7%
4%
6,34%
6,3%
0,7%
3,43%
Kategori
Sangat Sulit
(d)
6,1%
3%
4,6%
14,4%
2,5%
8,44%
11,6%
2,7%
7,14%
7%
2,5%
7,14%
10,4%
1%
5,68%
5,6%
1,3%
3,43%
Untuk mengetahui rendahnya keterpahaman soal, penulis akan mencari beberapa
temuan untuk mendapatkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya. Di bawah ini penulis
akan mengelompokkan kalimat kategori (d) dengan persentase terbanyak. Kalimat berkategori
sulit ini dapat dilihat pada tabel berikut.
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kalimat
Ketika sedang merenungi nasibnya, Roro Kuning bertemu dengan Resi
Resi darmo dari padepokan Ringin putih Desa Bajulan.
Tomat dikenal dengan nama lain Solanum lycopersicum.
Selain Monalisa, Leonardo juga mempunyai lukisan lain seperti: Last
Supper, John The Baptist, Madonna Litta, dan lain-lain.
Bunga itu selalu menghadap menggikuti arah matahari karena sisi tangkai
yang tidak terkena matahari tumbuh lebih cepat daripada tangkai yang
menghadap matahari.
Bayi sudah dibiasakan minum air tomat, remaja putri memanfaatkan
untuk masker kecantikan, sedangkan orang dewasa sering menggunakan
sebagai bumbu masak, lalapan, atau jus.
Selama masa ini batang berpaling seiring dengan beredarnya matahari.
Roro kuning mengembara tanpa mengenal lelah dan tidak pernah putus
asa dengan naik turun gunung.
Kemudian ia menancapkan tongkatnya ke bumi dan keluarlah air (di
bagian Barat) dan api (di bagian timur).
Karya ini pernah dicuri orang pada tahun 1911.
Meskipun demikian, karyanya tetap hidup hingga sekarang dan telah
menjadi inspirasi bagi banyak orang, terutama seniman.
Analisis keterbacaan…, Tri Muryani, FIB UI, 2013
Persentase
Jawaban
Paling Sulit
25%
25%
22,5%
20%
15%
12,8%
12,5%
12,5%
12,5%
12,5%
Pembahasan
Dengan menggunakan teknik Cloze Test, ditemukan beberapa analisis kata yang
memiliki keterbacaan rendah, penulis menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
keterbacaan tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Jika dilihat dari kelas kata verba, beberapa kesalahan disebabkan ketidaklogisan
kata, misalnya kata beredarnya pada kalimat Selama masa ini batang berpaling
seiring dengan .......... matahari. Selain itu, terdapat juga beberapa kesalahan
karena siswa tidak dapat memahami makna kata dalam suatu konteks kalimat,
misalnya kata menancapkan pada kalimat Kemudian ia ............ tongkatnya ke
bumi dan keluarlah air (di bagian Barat) dan api (di bagian timur).
2. Jika dilihat dari kelas kata adjektiva, beberapa kesalahan terjadi karena siswa
belum memahami makna denotatif dan makna konotatif, misalnya kata sehat pada
kalimat Menanam tomat diperlukan tanah yang ...... Selain itu, beberapa kesalahan
jawaban terjadi karena pada soal tersebut tidak terdapat konteks wacana yang
mendukung jawaban, misalnya kata banyak pada kalimat Tanaman makin ...... dan
tumbuh subur.
3. Jika dilihat dari kelas kata nomina, kesalahan jawaban siswa diakibatkan siswa
sulit menentukan pilihan kata atau diksi yang sesuai untuk konteks kalimat
tersebut. Siswa menganggap bahwa kata yang bersinonim dapat digunakan untuk
semua konteks kalimat. Misalnya siswa sulit membedakan kata saran, usul, dan
anjuran. Hal ini dapat dilihat pada kata anjuran dalam kalimat Dengan melihat
kegunaan tomat yang cukup banyak, sebaiknya masyarakat menanam sendiri di
kebun, ini sesuai dengan ....... pemerintah untuk memanfaatkan halaman rumah.
Sebagian besar siswa juga sulit membedakan makna tanaman dan tumbuhan,
misalnya kata tanaman pada kalimat Yaitu tanah yang sehat, yaitu tanah yang
bebas penyakit ......., sebagian besar siswa banyak yang menjawab dengan kata
tumbuhan.
4. Jika dilihat dari kelas kata konjungsi, beberapa kesalahan jawaban siswa
disebabkan siswa tidak dapat menempatkan konjungsi yang tepat sehingga
menjadi kalimat yang berterima. Hal ini disebabkan soal yang terlalu panjang dan
objek yang dilesapkan, misalnya kata jika dalam kalimat Ia berpesan .... Ana suka
merawat bunga berarti ia turut melestarikan alam.
Pemahaman siswa terhadap suatu kalimat juga merupakan salah satu faktor tingkat
rendah/tingginya keterbacaan suatu teks. Untuk melihat tingkat keterpahaman siswa,
Analisis keterbacaan…, Tri Muryani, FIB UI, 2013
penelitian ini menggunakan Fog Index sebagai teknik pengolahan data. Dari hasil kuesioner
yang didapatkan penulis, persentase jawaban (a) paling rendah terdapat pada Soal UN 2011
Teks 1 sebesar 41,59% dan persentase jawaban (a) paling tinggi terdapat pada Soal UN 2012
Teks 2 sebesar 60,31%. Persentase jawaban (d) paling rendah terdapat pada Soal UN 2012
Teks 2 sebesar 3,43% dan persentase jawaban (d) paling tinggi terdapat pada Soal UN 2012
Teks 2 sebesar 8,44%.
Hal ini dapat dikatakan bahwa soal yang dianggap paling mudah oleh siswa SDN 01
Cengkareng Barat Pagi dan SD Angkasa IX Halim terdapat pada Soal UN 2012 Teks 2,
sedangkan soal yang dianggap paling sulit adalah Soal UN 2010 Teks 2. Dari hasil yang
diperoleh dari kuesioner siswa terlihat bahwa kalimat yang dianggap paling sulit disebabkan
oleh beberapa faktor antara lain sebagai berikut.
Kalimat (1) Ketika sedang merenungi nasibnya, Roro Kuning bertemu dengan Resi Resi
darmo dari padepokan Ringin putih Desa Bajulan.
Kalimat (1) dianggap oleh siswa sebagai kalimat sulit dengan jumlah responden yang
menyatakan sebanyak 10 siswa atau setara dengan 25%. Jika diuji dengan rumus Fog indeks
keterbacaan kalimat itu adalah sebagai berikut.
!" = !, !
IF kalimat (1) = 0,4 !"
!
+ !""
!"
! !""
+
! !
!
2
IF = 0,4 (17+11,76)
IF = 0,4 (28,76)
IF = 11,50
Indeks keterbacaan sebesar 11,50 menunjukkan bahwa kalimat itu termasuk sulit dipahami.
Hal itu berarti bahwa tingkat keterbacaan kalimat tersebut rendah. Rendahnya tingkat
keterbacaan kalimat tersebut karena adanya beberapa istilah, seperti kata resi dan padepokan.
Diperkirakan bahwa kedua istilah tersebut jarang digunakan siswa dalam percakapan seharihari. Kedua kata itu merupakan istilah dalam bidang keagamaan pada masa Hindu-Budha.
Selain itu, kesalahan penulisan Resi menjadi Resi Resi juga merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi siswa dalam memahami kalimat tersebut.
Analisis keterbacaan…, Tri Muryani, FIB UI, 2013
Kalimat (2) Tomat dikenal dengan nama lain Solanum lycopersicum.
Kalimat (2) dianggap oleh siswa sebagai kalimat sulit dengan jumlah responden yang
menyatakan sebanyak 10 siswa dari 40 siswa yang ada atau setara dengan 25%. Jika diuji
dengan rumus Fog, indeks keterbacaan kalimat itu adalah sebagai berikut.
IF Kalimat (2)= 0,4
!
!
+ !""
!
2
IF = 0,4 (7 + 28,57)
IF = 14,22
Indeks keterbacaan sebesar 14,22 menunjukkan bahwa kalimat itu termasuk kategori sulit
dipahami. Hal tersebut menandakan bahwa tingkat keterbacaan kalimat itu rendah.
Rendahnya tingkat keterbacaan kalimat itu karena adanya istilah Solanum dan lycopersicum
yang termasuk dalam istilah bidang biologi. Istilah tersebut tidak pernah didengar siswa
sehingga mengganggu pemahaman kalimat tersebut.
Simpulan
Jika dilihat dari dua kategori sekolah, kategori negeri dan swasta, dapat disimpulkan
bahwa kalimat yang memiliki keterpahaman rendah terhadap siswa terdapat pada Soal UN
2010 Teks 2. Sementara itu, kalimat yang memiliki keterbacaan tinggi terdapat pada Soal UN
2012 Teks 2. Beberapa faktor yang memengaruhi rendahnya keterbacaan adalah kesalahan
siswa dalam memahami makna suatu kata, kurangnya pemahaman siswa terhadap makna
konotatif dan makna denotatif, beberapa jawaban tidak didukung dengan konteks yang ada
dalam teks soal, rendahnya pemahaman siswa terhadap makna yang bersinonim, kalimat yang
terdapat dalam teks terlalu panjang dan terdapat pelepasan obyek di dalamnya.
Sebagian besar kalimat yang dianggap sulit oleh siswa berdasarkan teknik Fog Index
karena terdapat banyak istilah dan kosakata sulit dalam kalimat tersebut, misalnya kata resi
dan padepokan yang merupakan istilah dalam bidang agama pada masa Hindu-Budha. Selain
itu, siswa juga menganggap kalimat tersebut sulit karena munculnya kata ilmiah dalam bidang
Biologi, seperti istilah Solanum dan lycopersicum. Kalimat yang dianggap memiliki
keterpahaman paling rendah adalah kalimat pada Soal UN 2010 Teks 2 soal Nomor 6 dengan
persentase jawaban sangat sulit sebanyak 25%, yaitu kalimat Ketika sedang merenungi
nasibnya, Roro Kuning bertemu dengan Resi Resi darmo dari padepokan Ringin putih Desa
Bajulan.
Analisis keterbacaan…, Tri Muryani, FIB UI, 2013
Saran
Soal ujian nasional mata pelajaran Bahasa Indonesia bagi beberapa orang dianggap
sulit. Bahkan beberapa siswa tidak lulus karena rendahnya nilai UN Bahasa. Kesulitankesulitan tersebut harus dapat dijelaskan secara ilmiah melalui analisis keterbacaan. Namun
demikian, penelitian tentang keterbacaan soal UN untuk saat ini masih sangat jarang. Di
bawah ini adalah saran-saran dari penulis yang didapat selama proses analisis penelitian ini.
Pertama, untuk pemerintah yang memiliki kebijakan diharapkan agar lebih teliti dalam
menyeleksi teks yang akan dijadikan soal dalam ujian nasional. Selain meminimalisasi kata
serapan atau istilah yang sulit, bentuk kalimatnya juga perlu diperhatikan. Semakin kompleks
suatu kalimat maka siswa semakin sulit menentukan inti kalimat. Beberapa hal tersebut sangat
memengaruhi pemahaman siswa terhadap isi suatu teks atau bacaan.
Kedua, saran ini ditujukan untuk guru-guru bahasa Indonesia agar lebih sering melatih
siswanya membaca cepat. Hal ini disebabkan latihan membaca cepat juga meningkatkan
kemampuan dalam memahami suatu teks. Jika siswa terbiasa dengan membaca cepat, siswa
akan lebih terbiasa membaca teks panjang dengan batasan waktu singkat, seperti saat ujian
nasional.
DAFTAR REFERENSI
Sumber Acuan:
Andriana, Winda. 2012. “Analisis Keterbacaan Teks Buku Pelajaran Kelas III SD: Studi
Kasus untuk Teks Bahasa Indonesia, IPA, dan IPS”. Skripsi Sarjana. Jakarta: FS
UI.
Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Darmojuwono, Setiawati, dkk. 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gililland, John. 1972. Readability. London: Holder and Sthroughton.
Iswara, P.D. 2000. “Variasi Pola Kalimat dan Keterbacaannya”. Tesis. Bandung: UPI
Bandung.
Kridalaksana, Harimurti. 1999. Tata Wacana Deskriptif Bahasa Indonesia. Depok: FS UI.
Kusmana, Suherli. 2008. Keterbacaan Buku Teks Pelajaran Berdasarkan Keterpahaman
Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas
Analisis keterbacaan…, Tri Muryani, FIB UI, 2013
Leech, Geoffrey. 2003. Semantik diterjemahkan oleh Paina Partana dari Semantics.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nida, Eugene. 1975. Componential Analysis of Meaning. Netherland: The Hague.
Pranowo, Dwiyanto Djoko. 1997. “Pengembangan Alat Ukur Keterbacaan Teks Berbahasa
Indonesia”. Tesis. Yogyakarta: PPS IKIP Yogyakarta.
Samadi. 2006. Geografi 1 SMA Kelas X. Jakarta: Yudhistira.
Suladi, dkk. 2000. Keterbacaan Kalimat Bahasa Indonesia dalam Buku Pelajaran SLTP.
Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Syafrida, Ida. 1992. “Keterbacaan Teks: Sebuah Analisis tentang Keterbacaan Teks Tiga
Surat Kabar Berbahasa Indonesia”. Skripsi Sarjana. Jakarta: FS UI.
Winarti, Sri, dkk. 1997. Pemakaian Bahasa Indonesia dalam Buku Pelengkap Pelajaran
Wajib nonbahasa Indonesia pada Tingkat Sekolah Dasar. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Sumber Kamus:
Alwi, Hasan, dkk. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik: Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Sumber Internet:
Http://edukasi.kompas.com/read/2011/05/16/13371277/70.Persen.Tak.Lulus.Karena.Bahasa.I
ndonesia) diunduh pada, 28 Maret 2013, pukul 7:31
Analisis keterbacaan…, Tri Muryani, FIB UI, 2013
Download