2 BAB II TEORI DASAR 2.1 Awan Konvektif Di wilayah tropis, sebagian besar hujan umumnya dihasilkan oleh awan-awan cumulus. Awan jenis ini tumbuh karena terjadi karena adanya konveksi, yaitu naiknya udara lembab ke ketinggian yang lebih tinggi dimana uap air mengalami kondensasi dan berubah fasa menjadi tetes-tetes awan. Tinggi dasar awan cumulus kecil antara 600 m – 1500 m, dan puncak awan setinggi 500 m sampai dengan 6000 m. Awan konvektif jenis kumulus dapat berkembang menjadi awan guruh yang menyebabkan hujan deras, batu es, kilat dan guruh (Bayong, 1999). Awan jenis ini, yang disebut Cumulonimbus merupakan awan dengan ketebalan vertikal yang besar, dan puncak awan yang tinggi serta temperatur puncak awan yang rendah. Model konseptual dari struktur awan Cumulonimbus ditunjukkan pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Model konseptual dari struktur awan cumulonimbus (sumber : Houze, 1993) Awan cumulus dapat berkembang menjadi awan individu yang menghasilkan hujan deras lokal atau dapat pula berkembang mejadi awan multicell dengan area 2-1 presipitasi yang luas. Konveksi single cell terutama dipicu oleh pemanasan yang kuat sehingga menyebabkan udara naik dengan cepat. Oleh karena itu, awan Cumulonimbus individu biasanya menghasilkan curah hujan dengan intensitas tinggi, curah hujan yang terukur dipermukaan sangat besar dalam periode waktu yang singkat. Daur dari sebuah sel awan kumulus dapat dibagi menjadi 3 tingkatan pertumbuhan, tergantung pada arah arus udara yang diminan dan besarnya gerakan vertikal. Sebagai gambaran lihat bagian model sel awan guruh menurut Byers-Braham pada Gambar 2.2. Gambar 2.2 Bagan model sel awan guruh menurut Byers-Braham (sumber: Mulyanto, 2005) • Pertama adalah tingkat kumulus, ditandai dengan adanya gerakan arus udara keatas di seluruh sel awan (gambar a). • Kedua adalah tingkat masak, ditandai dengan adanya arus udara keatas dan arus udara ke bawah (gambar b). • Ketiga adalah tingkat disipasi (pelenyapan), ditandai dengan adanya arus udara ke bawah yang lemah di seluruh sel awan (gambar c). Dalam tingkat kumulus, udara di sekitarnya masuk melalui samping dan mengikuti pergerakan arus udara keatas. Makin banyak uap air yang terbawa arus udara keatas, makin banyak uap air yang mengkondensasi menjadi tetes awan dan 2-2 makin banyak jumlah tetes hujan yang dapat meninggalkan dasar awan dan jatuh ke permukaan bumi sebagai hujan. Setelah akhir tingkat kumulus saat tetes awan telah tumbuh menjadi besar maka tetes ini akan jatuh di dalam awan yang menyebabkan gaya seret saat arus udara kebawah dan pendinginan evaporatif terjadi. Hal ini merupakan awal dari tangkat pertumbuhan awan dewasa (mature) dan udara pada tingkat ini terasa dingin. Kemudian arus udara kebawah mencapai permukaan tanah dan menyebar di permukaan yang dapat mengubah pola angin permukaan. Pada tingkat dewasa, arus udara ke atas terkikis, karena itu sel awan memasuki tingkat disipasi (pelenyapan). Dengan kerusakan arus udara keatas maka awan kehilangan sumber air yang mengkondensasi sehingga sel awan akhirnya akan mati dengan meninggalkan bekas sisa awan. 2.2 Satelit Meteorologi Meteorologi, seperti cabang ilmu lainnya, bergantung pada pengukuran yang tepat dan hati-hati terhadap objek kajiannya. Ahli meteorologi mengamati atmosfer menggunakan dua pendekatan dasar, metode langsung (in situ) dan metode tidak langsung, atau yang disebut juga remote sensing. Meluncurkan satelit yang dilengkapi dengan instrumen remote sensing ke luar angkasa memberikan kita kemampuan untuk secara kontinu memonitor Bumi dari kejauhan. Istilah satelit meteorologi kemudian ditujukan pada satelit yang mengorbit bumi dengan membawa instrumen remote sensing untuk memperoleh data atmosfer dan lautan. Satelit melakukan pengukuran secara tidak langsung melalui radiasi elektromagnetik yang berasal dari permukaan di bawahnya. Oleh karena itu, radiasi elektromagnetik merupakan dasar dari teknolgi remote sensing. Instrumen remote sensing, baik yang mengorbit di luar angkasa, berada di permukaan, maupun yang berada di udara merekam bagian-bagian dari spektrum elektromagnetik yang diserap, diemisikan, atau disebar oleh gas dan partikel di atmosfer. Ada dua jenis satelit cuaca, yang dibagi berdasarkan karakteristik orbitnya: Polar Operational Environmental Satellites (POES) dan Geostationary Operational 2-3 Environmental Satellites (GOES). GOES mengorbit di atas equator degan kecepatan yang sama dengan kecepatan rotasi bumi, sehingga dapat mentransmisikan gambar secara kontinu dari wilayah di bawahnya. Satelit geostasioner mengorbit di atas satu titik pada permukaan bumi dengan ketinggian sekitar 36.000 km. Gambar 2.3 Dua jenis orbit satelit meteorologi (sumber: http://cimss.ssec.wisc.edu/satmet/modules/sat_basics/) Sementara itu, POES mengorbit bumi dari kutub ke kutub. Satelit jenis ini mengumpulkan data dalam satu jalur (swath) di bawahnya sementara bumi berputar pada sumbunya. Dengan demikian, satelit dengan orbit polar dapat mengamati keseluruhan planet dua kali dalam periode 24 jam. Modus operasional standar adalah dengan mengoperasikan dua satelit polar secara kontinu, satu satelit mengorbit dari utara ke selatan (descending) dan yang lainnya mengorbit dari selatan ke utara (ascending), masing-masing mengelilingi bumi setiap 12 jam. Orbit POES jauh lebih rendah dan singkat, dengan ketingian sampai dengan 879 km dan hanya membutuhkan waktu sekitar 1 jam setengah untuk melengkapi satu orbit penuh. Karakteristik seperti ini menghasilkan gambar dan profil atmosfer dengan resolusi tinggi. 2-4 2.2.1 Instrumen remote sensing satelit meteorologi Instrumen satelit yang mengukur energi eloktromagnetik disebut radiometer. Ada dua jenis radiometer yang umumnya dibawa oleh satelit meteorologi: imager dan sounder. • Imager Dua tipe utama imager adalah visible imager dan infrared imager. Yang pertama mengukur radiasi cahaya tampak dari matahari yang direfleksikan oleh permukaan Bumi atau oleh awan, sementara yang kedua mengukur radiasi infra merah yang diemisikan oleh kedua entitas tersebut. Data dari kedua radiometer ini dikirim ke bumi dimana citra visible dan infra merah (IR) dihasilkan oleh komputer. • Sounder Jenis radiometer lainnya adalah yang disebut sebagai sounder, kependekan dari Vertical Atmospheric Sounder (VAS). Seperti juga imager, instrumen ini mengukur radiasi, yaitu radiasi inframerah. Sounder menyediakan profil vertikal dari temperatur, tekanan, dan uap air di atmosfer bumi. 2.2.2 Multi-Functional Transport Satellite (MTSAT) Salah satu satelit meteorologi geostasioner yang beroperasi saat ini untuk kawasan Asia Pasifik adalah satelit MTSAT yang diluncurkan oleh Japan Ministry of Land, Infrastructure and Transport dan Japan Meteorological Agency pada tanggal 26 Februari 2005. Satelit ini dioperasikan untuk menggantikan satelit GMS-5 milik Jepang yang dinon-aktifkan akibat adanya kerusakan pada instrumen satelitnya. MTSAT berfungsi sebagai kontrol lalu lintas udara dan navigasi serta fungsi meteorologis. Satelit ini merupakan sumber utama data satelit geostasioner untuk kawasan Asia-Pasifik termasuk Indonesia. MTSAT membawa dua jenis sensor tipe imager, visible (VIS) dan infra red (IR) dengan 4 kanal (IR1-IR4), dengan karakteristik masing-masing sebagai berikut: 2-5 • Sensor visible (VIS, panjang gelombang 0.55 – 0.80 µm) Citra VIS diperoleh dari data radiasi cahaya tampak yang disebar atau direfleksikan oleh Bumi dan awan. Citra visible memberi meteorologis informasi tambahan yang tidak bisa diperoleh dari citra IR. Contohnya, kabut dapat diamati dari citra VIS, tetapi tidak pada citra temperatur IR ketika kabut dan permukaan tanah memiliki temperatur yang sama. Intensitas pada citra VIS bergantung pada albedo/reflektivitas dari permukaan atau awan. • Sensor infra red thermal (IR1 – IR2, panjang gelombang 10-12 µm) Citra infra merah thermal menunjukkan temperatur permukaan tanah, permukaan laut, atau puncak awan di atas keduanya. Pada panjang gelombang ini, atenuasi oleh gas-gas di atmosfer terhadap energi yang diradiasikan oleh permukaan bumi atau awan relatif kecil. Pada kanal ini, kebanyakan permukaan bumi dan tipe awan memiliki emisivitas mendekati satu, terkecuali awan cirrus. Oleh karena itu, tingkat kecerahan citra yang terdeteksi oleh satelit sebanding dengan temperatur aktual puncak awan selain awan cirrus. Temperatur yang hangat (0-30 oC) umumnya menunjukkan permukaan tanah atau laut tanpa tutupan awan di atasnya Semakin kecil temperatur yang terukur, berarti awan yang dideteksi semakin tinggi dan tebal. Temperatur yang sangat dingin menunjukkan puncak awan yang sangat tinggi, yang pada umumnya mengindikasikan aktivitas konvektif yang kuat. • Sensor uap air (IR3, panjang gelombang 6.5 – 7 µm) Kanal infra merah uap air berada di panjang gelombang sekitar 6-7 µm. Bagian spektrum yang diserap uap air terutama berada pada 6.7 mikron. Spektrum emisi pada panjang gelombang ini teratenuasi maksimum oleh uap air. Oleh karena itu, kanal ini dapat menunjukkan kandungan uap air di lapisan engah atmosfer. 2-6 • Sensor infra merah gelombang pendek (IR-4, panjang gelombang 3.5 – 4.0 µm Atenuasi radiasi bumi pada kanal ini oleh gas di atmosfer kecil. Akan tetapi, pada temperatur rendah, ketidakpastian sensor cukup tinggi. Kanal ini dengan kombinasi kanal infra merah thermal dapat digunakan untuk mendeteksi kabut pada malam hari. 2.2.3 Satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) adalah sebuah misi yang dijalankan oleh NASA berkerjasama dengan JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency). Misi ini bertujuan terutama untuk memonitor dan mengkaji hujan tropis. Satelit yang diluncurkan oleh misi bersama ini (yang disebut satelit TRMM) adalah satelit non-sun-synchronous (berorbit polar) dengan ketinggian orbit 403 km. Satelit ini diluncurkan pada tanggal 27 November 1997, dengan membawa 5 instrumen, VIRS, TMI, PR, CERES, dan LIS. • Visible Infrared Radiometer (VIRS) adalah radiometer dengan 5 kanal, beroperasi di panjang gelombang 0.65, 1.6, 3.75, 10.8, dan 12 µm, yang menyediakan observasi beresolusi tinggi dari tutupan awan, tipe awan, dan temperatur puncak awan. • TRMM Microwave Imager (TMI) adalah radiometer pasif gelombang mikro multichannel yang beroperasi di lima frekuensi: 10.65, 19.35, 37.0, dan 85.5 GHz. TMI menyediakan informasi tentang volume kolom presipitasi, tetestetes awan, cloud ice, intensitas hujan, dan tipe hujan (misal konvektif atau stratiform). • Precipitation Radar (PR). Satelit TRMM adalah satelit pertama di dunia yang mengikutsertakan instrumen radar. TRMM PR adalah radar elektronik yang beroperasi di frekuensi 13.8 GHz. Instrumen ini mengukur distribusi curah hujan 3-D di atas laut dan daratan, serta memperhitungkan ketebalan lapisan presipitasi. 2-7 • Lightning Imaging Sensor (LIS) adalah sensor optis terkalibrasi yang beroperasi pada panjang gelombang 0.7774 µm dan berfungsi untuk mengamati distribusi dan variabilitas petir di Bumi. • Clouds and Earth's Radiant Energy System (CERES) adalah radiometer broadband dengan range spectral 0.3 hingga 50 µm. Instrumen ini mengukur energi radiasi yang diemisikan dan direfleksikan oleh permukaan Bumi dan komponen-komponen atmosfer (misalnya awan, aerosol). Gambar 2.4 Satelit TRMM dan instrumen yang dibawanya (sumber: http://daac.gsfc.nasa.gov/precipitation/trmm_instr.shtml) 2.3 Estimasi Curah Hujan Dengan Metode CST (Convective Stratiform Technique) Metode estimasi curah hujan yang pertama dikembangkan dan relatif sederhana adalah metode estimasi dengan menggunakan citra VIS dan IR thermal. Salah satu dari metode estimasi yang menggunakan citra IR thermal adalah metode CST. Menurut Adler dan Negri (1988), untuk meningkatkan hasil dari teknik estimasi curah hujan yang berbasis data visible dan inframerah, perlu memperhitungkan faktor fisis pada proses perhitungannya. Adler dan Negri (1988) kemudian memperkenalkan metode Convective Stratiform Technique (CST) dengan 2-8 memfokuskan masalah pada temperatur puncak awan. Tahapan awal yang dilakukan pada metode CST yaitu pengidentifikasian awan cirrus, dan kemudian mencari konvektif sel menggunakan pola local minima pada area temperatur IR. 2-9