Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 Etnik Madura Desa Jrangoan, Kecamatan Omben Kabupaten Sampang, Provinsi Jawa Timur Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2012 Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur i Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 Etnik Madura Desa Jrangoan, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Provinsi Jawa Timur Penulis : 1. Ratna Widyasari 2. Ida Diana Sari 3. Aprilliana Lailatul M. 4. Sofyan Haryanto 5. M. Setyo Pramono Editor : 1. M. Setyo Pramono Disain sampul : Setting dan layout isi : Agung Dwi Laksono Sutopo (Kanisius) Indah Sri Utami (Kanisius) Erni Setiyowati (Kanisius) ISBN : 978-602-235-230-3 Katalog : No. Publikasi : Ukuran Buku : 155 x 235 Diterbitkan oleh : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI Dicetak oleh : Percetakan Kanisius Isi diluar tanggungjawab Percetakan ii Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 Buku seri ini merupakan satu dari dua belas buku hasil kegiatan Riset Etnografi Kesehatan ibu dan Anak tahun 2012 di 12 etnik. Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.03.05/2/1376/2012, tanggal 21 Februari 2012, dengan susunan tim sebagai berikut: Ketua Pengarah : Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kese­ hatan Kemkes RI Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH) Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, MSc Sekretariat : dr. Trisa Wahyuni Putri, MKes Anggota Mardiyah SE, MM Drie Subianto, SE Mabaroch, SSos Ketua Tim Pembina : Prof. Dr. Herman Sudiman, SKM, MKes Anggota : Prof. A.A.Ngr. Anom Kumbara, MA Prof. Dr. dr. Rika Subarniati, SKM Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, MKes Sugeng Rahanto, MPH, MPHM Ketua tim teknis : Drs. Setia Pranata, MSi Anggota Moch. Setyo Pramono, SSi, MSi Drs. Nurcahyo Tri Arianto, MHum Drs. FX Sri Sadewo, MSi Koordinator wilayah 1. Aceh, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah : Dra. Rachmalina S Prasodjo, MScPH 2. Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Gorontalo : dr. Betty Rooshermiatie, MSPH, PhD 3. Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua : Agung Dwi Laksono, SKM, MKes 4. Daerah Istimewa Yogjakarta, Jawa Timur, Bali: Drs. Kasnodihardjo Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur iii iv Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 KATA PENGANTAR Mengapa Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 perlu dila­ kukan ? Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indo­nesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap fakta untuk membantu penyelesaian masalah kesehatan berbasis budaya kearifan lokal. Kegiatan ini menjadi salah satu fungsi dari Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. Dengan mempertemukan pandangan rasional dan indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat dengan kearifan lokal masing-masing daerah. Dengan demi­ kian akan menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah dan meningkatkan status kesehatan di Indonesia. Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 12 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna me­ nyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar da­pat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan kesehatan ibu dan anak dengan memperhatikan kearifan lokal. Sentuhan budaya dalam upaya kesehatan tidak banyak dilakukan. Dengan terbitnya buku hasil penelitian Riset Etnografi ini akan menambah pustaka budaya kesehatan di Indonesia. Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur v penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan-Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini. Surabaya, Desember 2012 Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI Drg. Agus Suprapto, M.Kes vi Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 SAMBUTAN kepala Badan Litbang Kesehatan Assalamualaikum Wr.Wb. Puji syukur kepada Allah SWT kami panjatkan, karena hanya dengan rahmat dan karuniaNya Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 ini dapat diselesaikan. Buku seri merupakan hasil paparan dari penelitian etnografi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang merupakan langkah kon­krit untuk memberikan gambaran unsur budaya terkait KIA yang berbasis il­ miah. Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) menjadi prioritas utama Program pembangunan Kesehatan Masyarakat Indonesia. Penyelesaian masalah KIA belum menunjukkan hasil sesuai harapan yaitu mencapai target MDGs berupa penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi 102/100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB) 23/1000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Upaya medis sudah banyak dilakukan, sedangkan sisi non medis diketahui juga berperan cukup kuat terhadap status Kesehatan Ibu dan Anak. Faktor non medis tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan dimana mereka berada. Melalui penelitian etnografi ini, diharapkan mampu menguak sisi budaya yang selama ini terabaikan. Budaya memiliki kekhasan tertentu, sehingga pemanfaatan hasil penelitian ini memerlukan kejelian pelaksana atau pengambil keputusan program kesehatan agar dapat berdaya guna sesuai dengan etnik yang dipelajari. Kekhasan masing-masing etnik merupakan gambaran keragaman budaya di Indonesia dengan berbagai permasalahan KIA yang juga spesifik dan perlu penanganan spesifik pula. Harapan saya, buku ini dapat dimanfaatkan berbagai pihak untuk memahami budaya setempat dan selanjutnya dimanfaatkan untuk mengurai dan memecahkan permasalahan KIA pada etnik tertentu. Ucapan terimakasih khususnya kepada tim peneliti dan seluruh pihak terkait merupakan hal yang sudah selayaknya. Kerja keras dan cerdas, Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur vii tanpa kenal lelah, merupakan bukti integritasnya sebagai peneliti Badan Litbangkes. Akhir kata, bagi tim peneliti, selamat berkarya untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan keejahteraan masyarakat. Semoga buku ini bermanfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia. Wabillahitaufik wal hidayah, wassalamu’alaikum wr. wb. Jakarta, Desember 2012 Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI DR. dr. Trihono, MSc. viii Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas selesainya buku ini. Kami menyadari bahwa buku ini tidak dapat disusun dan diselesaikan dengan baik tanpa bantuan dan masukan kepada kami, mulai dari awal riset sampai dengan tahap penyelesaian penyusunan. Untuk itu kami menghaturkan terima kasih yang tak terhingga kepada yang terhormat: 1. Bapak Dr. dr. Trihono, M.Sc sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. 2. Bapak drg. Agus Suprapto, M.Kes sebagai Kepala Pusat Huma­ niora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk melaksanakan Riset Etnografi Budaya Kesehatan Ibu dan Anak. 3. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sampang, Kepala Puskesmas Jrangoan, dan Kepala Desa Jrangoan yang telah memberikan izin kepada kami untuk melaksanakan riset di Desa Jrangoan, Kabupaten Sampang, Jawa Timur. 4. Seluruh Pejabat Eselon III dan Eselon IV serta staf Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat yang telah memberikan bantuan dan masukan selama riset ini ber­ langsung. 5. Ibu dr. Tri Juni Angkasawati, M.Sc, sebagai Ketua Pelaksana Riset Khusus Budaya, di mana riset etnografi ini merupakan bagian dari Riset Khusus Budaya 2012. 6. Tim Teknis, dan Para Reviewer Riset Etnografi Budaya Kesehatan Ibu dan Anak yang tak henti-hentinya memberikan bantuan, masukan dan semangat kepada kami. Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur ix Ibu S.R. Devy yang telah memberikan dukungan luar biasa kepada tim peneliti sehingga dapat menyelesaikan riset ini dengan baik. 8. Teman-teman peneliti Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak yang selalu memberikan dukungan, semangat, dan kerja sama yang baik selama riset berlangsung dan penyusunan buku ini. 9. Masyarakat Desa Jrangoan, seluruh responden, dan perangkat desa yang telah meluangkan waktunya serta berpartisipasi dalam riset ini. 10. Semua pihak yang telah membantu langsung maupun tidak langsung termasuk memberikan saran dalam penyusunan buku ini. 7. Terakhir kami ucapkan terima kasih kepada keluarga tercinta yang telah memberikan dukungan dan dorongan kepada kami. Kiranya Allah SWT akan membalas semua budi baik yang telah dipersembahkan kepada kami. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin. x Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR. ................................................................................................................................................. iii SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG KESEHATAN ...................................................... v UCAPAN TERIMA KASIH.................................................................................................................................. vii DAFTAR TABEL............................................................................................................................................................. xiii DAFTAR GAMBAR.................................................................................................................................................... xv Bab I Pendahuluan.................................................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................. 1.2 Tujuan..................................................................................................................................................... 1.3 Metode Penelitian. ................................................................................................................. 1 3 3 Bab II Selaksa Budaya Madura di Jrangoan.............................................. 5 2.1 Sejarah Alam dan Budaya ............................................................................................. 2.2. Geografi dan Kependudukan..................................................................................... 2.3 Sistem Religi.................................................................................................................................... 2.4 Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan.......................................................... 2.5 Pengetahuan.................................................................................................................................. 2.6. Bahasa.................................................................................................................................................... 2.7. Kesenian. ............................................................................................................................................. 2.8. Mata Pencaharian. .................................................................................................................. 2.9. Teknologi dan Peralatan................................................................................................... 5 9 18 22 27 34 35 36 37 BaB III Budaya Kesehatan Ibu dan Anak............................................................... 39 3.1. Pra Hamil. ........................................................................................................................................... 3.2 Hamil........................................................................................................................................................ 3.3 Acara selametan 7 bulanan ibu hamil (pelet betteng)............... 3.4. Persalinan dan Nifas............................................................................................................. 3.5 Menyusui............................................................................................................................................ 39 48 50 54 64 Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur xi 3.6 Neonatus dan Bayi.................................................................................................................. 66 3.7 Anak dan Balita........................................................................................................................... 71 3.8 Health Seeking Behaviour ............................................................................................ 74 Bab IV Kepercayaan terhadap Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak........................................................................................... 77 Bab V Potensi dan Kendala Budaya dalam Pembangunan Kesehatan Ibu dan Anak .................................... 81 5.1 Analisis Potensi dan Kendala Unsur Budaya........................................... 85 5.2 Analisis Potensi dan Kendala Siklus KIA ...................................................... 91 Bab VI Penutup. ......................................................................................................................................... 101 6.1 Simpulan. ............................................................................................................................................ 101 6.2 Saran. ....................................................................................................................................................... 102 DAFTAR ISTILAH........................................................................................................................................................ 105 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................................................... 107 xii Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 5.1 Tabel 5.2 Tabel 5.3 Potensi Sumber Daya Manusia (Berdasarkan Usia)...................... Data Jumlah Penduduk. ................................................................................................... Teori Potensi dan Kendala Fred B. Dunn.................................................... Potensi dan Kendala Unsur Budaya.................................................................. Potensi dan Kendala Siklus KIA ............................................................................. 13 13 81 82 89 Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur xiii xiv Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Peta Desa Jrangoan ..................................................................................................... Gambar 2.2 Rumah dengan konsep Taneyan Lanjhang .................................... Gambar 2.3 Denah rumah di Desa Jrangoan ................................................................. Gambar 2.4 Rumah sekotan ................................................................................................................. Gambar 2.5 Rumah pecenan ............................................................................................................... Gambar 2.6 Para santriwati sedang berlatih kesenian untuk kegiatan imtihan ............................................................................................................. Gambar 3.1 Cara santriwati mengungkapkan ekspresi terhadap lawan jenis ............................................................................................................................. Gambar 3.2 Kamar mandi santriwati yang tidak beratap ................................ Gambar 3.3 Ibu hamil dipijat perutnya oleh dukun bayi pada saat acara selametan 7 bulanan ................................................. Gambar 3.4 Salah satu ritual acara selametan pelet betteng bagi ibu hamil ..................................................................................................................... Gambar 3.5 Bayi berusia kurang dari dua jam disuapi maddhu (madu) oleh neneknya ............................................................................................ Gambar 3.6 Bayi berusia kurang dari lima jam disuapi ro’-moro’ (kelapa muda) oleh ibunya ................................................................................ Gambar 3.7 Bayi baru lahir dimandikan oleh dukun ............................................. Gambar 3.8 Ibu nifas duduk di kursi ......................................................................................... Gambar 3.9 Di bawah kursi ibu nifas beralas kain tebal diletakkan tanah untuk menyerap darah nifas ......................... Gambar 3.10 Ibu Nifas yang memakai parem ................................................................... Gambar 3.11 Salah satu proses saat mengubur ari-ari .......................................... Gambar 3.12 Bayi dimandikan oleh dukun ......................................................................... Gambar 3.13 Sesajen untuk mengusir setan . ................................................................... Gambar 3.14Sesajen untuk mengusir setan diletakkan di dekat bayi yang sedang tidur ................................................................. Gambar 3.15 Bayi dipijat oleh dukun .......................................................................................... Gambar 4.1 Suasana pelaksanaan posyandu di Desa Jrangoan .............. 10 15 16 17 17 36 43 44 50 50 60 60 61 62 62 63 67 68 69 69 73 79 Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur xv xvi Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Dalam Undang-Undang no 17 tahun 2007 disebutkan tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005–2025, bahwa pembangunan kesehatan diselenggarakan berdasar pemberdayaan dan kemandirian, adil dan merata, serta pengutamaan dan manfaat pada ibu, bayi, anak, manusia usia lanjut, dan keluarga miskin (RPJPK, Depkes 2009). Departemen Kesehatan pada tahun 2005–2009 memprioritaskan pelayanan kesehatan ibu dan anak sebagai prioritas pertama dalam pem­ bangunan kesehatan. Prioritas berikutnya adalah pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, pendayagunaan tenaga kesehatan, penanggulangan penyakit menular, gizi buruk, krisis akibat bencana, dan peningkatan pelayanan kesehatan. Sasaran pembangunan Millenium atau Millenium Development Goals (MDGs), yaitu delapan tujuan yang diupayakan untuk dicapai pada tahun 2015 yang merupakan tantangan utama dalam pembangunan di seluruh dunia, telah disepakati oleh Indonesia bersama 189 negara lain pada tahun 2000 di New York. Deklarasi yang disepakati ini berisi komitmen negara masing-masing dan komunitas internasional untuk mencapai 8 buah sasaran pembangunan dalam millenium ini (MDGs) sebagai satu paket tujuan terukur untuk pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Salah satu sasaran adalah meningkatkan kesehatan ibu dengan target pada 2015 mengurangi dua pertiga ratio kematian ibu dari proses melahirkan (Depkes, Bappenas, 2007). Menurut data Direktorat Bina Kesehatan Ibu, rata-rata 10% ibu di Indonesia tidak pernah memeriksakan kandungan ke petugas kesehatan, sebanyak 30% ibu di Indonesia tidak melahirkan di pelayanan kesehatan Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 1 seperti dokter atau bidan, melainkan lebih memilih untuk melahirkan ke paraji atau dukun. Seluruh kabupaten dan kota di Indonesia telah diidentifikasi berdasar Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) yang disusun ber­ dasar 24 indikator, termasuk di dalamnya indikator kesehatan ibu dan anak. Nilai IPKM tersebut menggambarkan status kesehatan kabupaten dan kota. Salah satu kabupaten yang mempunyai nilai IPKM rendah ada­ lah Kabupaten Sampang, Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan data Riset Kese­hatan Dasar tahun 2007, Kabupaten Sampang menempati IPKM pe­ ringkat 20 besar terbawah se-Indonesia. Di Sampang, peran dukun bayi masih dominan dalam menangani proses kehamilan hingga persalinan. Selain itu, kesadaran ibu untuk me­ me­riksakan kesehatan kandungannya ke puskesmas maupun tenaga medis lainnya masih rendah. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Sampang, pada 2008 lalu, kematian ibu hamil mencapai 15 kasus dari jumlah 18.293 ibu bersalin. Sampang adalah salah satu kabupaten di Pulau Madura dengan angka kematian ibu dan bayi yang tinggi. Sebanyak 99% penduduk Sampang adalah etnis Madura dan agama Islam dianut oleh hampir seluruh penduduknya. Kekerabatan yang kuat dan nuansa agamis menyelimuti kehidupan penduduk di Sampang. Masjid dan mushola terlihat di berbagai tempat dan menjadi tempat para lelaki melakukan sholat berjamaah. Mata pencaharian sebagian penduduknya adalah petani dan pedagang. Madura dikenal sebagai masyarakat yang patriarkal, di mana perem­ puan tidak memiliki posisi yang signifikan, hal ini dapat dilihat dengan lemahnya posisi tawar perempuan Madura terhadap laki-laki. Lemahnya posisi tawar perempuan rupanya membawa konsekuensi yang jauh le­ bih besar, yaitu perempuan tidak memiliki akses terhadap kesehatan, bahkan ketika mereka sedang mengandung. Tentu saja tidak adanya akses terhadap kesehatan membawa implikasi yang lebih besar, yaitu bahaya yang dapat menimpa ibu hamil, mulai dari kekurangan asupan gizi, bahaya sewaktu hamil, ketika melahirkan bahkan pascamelahirkan. Tentu saja ketiadaan akses terhadap kesehatan dapat menyebabkan kematian, bukan hanya terhadap ibu namun juga anak yang akan dilahirkannya. Persoalan kesehatan semakin rumit ketika memperhatikan sumber daya kesehatan yang disediakan oleh pemerintah dan swasta. Pengelolaan sarana prasarana dan sumber daya manusia yang tersedia tidak mampu mengurangi angka kematian bayi secara signifikan dan membantu meningkatkan kualitas 2 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 kesehatan pada ibu hamil. Kedua hal ini sangat dipengaruhi oleh kultur Madura yang menjadikan laki-laki memiliki kekuasaan atas perempuan, baik atas tubuhnya maupun atas kesehatannya (Badan Pusat Statistika, 2010). Berpijak pada kerangka pemikiran tersebut, penelitian ini bertujuan untuk memahami kehidupan warga etnis Madura dengan harapan dapat diperoleh masukan-masukan berupa pola perilaku yang merupakan ken­ dala dan simultan terhadap derajat kesehatan dalam rangka program peningkatan pelayanan kesehatan dan penerapan, yang sesuai atau ti­dak bertentangan dengan etos kebudayaan warga etnis Madura yang ber­ sangkutan. 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang adat, istiadat, budaya, serta kebiasaan warga etnis Madura yang mempunyai konsekuensi terhadap kondisi kesehatan ibu dan anak sesuai dengan konsep biomedikal, serta pemanfaatan berbagai sarana kesehatan dalam kaitannya dengan pembangunan kesehatan ibu dan anak di daerah tersebut. 1.3 Metode Penelitian Pemilihan lokasi penelitian berawal pada saat peneliti pusat mela­ kukan koordinasi dan diskusi dengan peneliti daerah dan Dinas Kesehatan Kabupaten Sampang, kemudian dicocokkan dengan data sekunder yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sampang. Dari hasil diskusi dan penelusuran informasi yang dillakukan pada saat persiapan lapangan, akhirnya disepakati lokasi penelitian adalah Desa Jrangoan, Kecamatan Omben. Pemilihan lokasi tersebut berdasarkan justifikasi sebagai berikut (Profil Kesehatan Kabupaten Sampang, 2010), 1) daerah tersebut memiliki cakupan imunisasi terendah di Kabupaten Sampang; 2) daerah tersebut memiliki Standar Pelayanan Minimal (SPM) terendah di Kabupaten Sampang; 3) daerah tersebut memiliki cakupan kunjungan ibu hamil K1 dan K4 terendah di Kabupaten Sampang; dan 4) daerah tersebut memiliki persentase status gizi buruk balita terbesar di Kabupaten Sampang. Secara konseptual penelitian ini adalah penelitian kualitatif etnografi nonintervensi. Penelitian ini menggunakan sumber data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara mendalam terhadap informan kunci (Dinas Kesehatan, puskesmas, tokoh masyarakat, tokoh Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 3 agama, bidan, kader posyandu, dukun beranak, dukun bayi, ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, ibu menyusui, pasangan suami istri usia subur yang belum memiliki anak, dan remaja) dengan menggunakan pedoman wawancara mendalam dan observasi partisipasi. Wawancara terhadap responden dilakukan dengan kunjungan langsung ke rumah responden. Sementara data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen Desa Jra­ ngoan, Puskesmas Jrangoan, Kecamatan Omben, dan Dinas Kesehatan Kabupaten Sampang. Dalam metode penelitian etnografi, instrumen penelitiannya ada­ lah peneliti itu sendiri. Sebagai instrumen penelitian, peneliti melakukan observasi partisipasi, yaitu peneliti tinggal dan hidup bersama masyarakat untuk mengeksplorasi dan mengamati informasi yang ingin diketahui terkait dengan kesehatan ibu dan anak. Instrumen pendukung sebagai pedoman untuk mencari data meliputi: 1) pedoman wawancara men­ dalam sebagai petunjuk wawancara agar informasi yang diinginkan tercapai. Wawancara mendalam dilakukan kepada informan kunci, yaitu pelaku budaya atau informan yang mengetahui tentang budaya KIA di Desa Jrangoan (Dinas Kesehatan, puskesmas, tokoh masyarakat, tokoh agama, bidan, kader posyandu, dukun bayi, dukun pijat bayi, ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, ibu menyusui, pasangan suami istri usia subur yang belum memiliki anak, dan remaja), 2) buku catatan harian yang digunakan peneliti untuk mencatat setiap kejadian yang dialami peneliti setiap harinya. Hal ini digunakan untuk menangkap peristiwa yang tak terduga, 3) dokumen yang terkait dengan tempat penelitian dan kesehatan ibu dan anak yang didapat dari hasil penelusuran dokumen dan tinjuan pustaka. Setelah semua data terkumpul, yakni hasil wawancara mendalam, hasil observasi partisipasi, dan hasil penelusuran dokumen, maka da­ta dianalisis dengan mendeskripsikan perekaman data, penyusunan transkrip, koding, dan penyusunan matriks dengan metode content analysis. Kemudian dilakukan verifikasi dan selanjutnya disajikan dalam bentuk narasi, kuotasi, dan tabel untuk membantu pembaca memasuki situasi dan pemikiran responden secara langsung dan mengaitkan interpretasi peneliti itu sendiri serta menghubungkannya dengan teori atau hasil penelitian orang lain yang bisa mendukung (Moleong JL., 2001). 4 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 Bab II Selaksa Budaya Madura di Jrangoan 2.1 Sejarah Alam dan Budaya 2.1.1 Desa Jrangoan, ajhar sambi ngoan Perkembangan dan berdirinya Jrangoan tidak dapat dilepaskan da­ ri pendiri-pendiri Pondok Pesantren Al-Ihsan. Menurut babad tanah Jrangoan, pendiri Desa Jrangoan adalah Buju’ (Buyut) Ahmad yang juga merupakan pendiri pertama pesantren Al-Ihsan Jrangoan. Buju’ Ahmad adalah salah satu ulama yang berasal dari Kota Sampang. Beliau mendapat perintah dari ayahnya, yaitu Raden Qobul yang juga disebut Buju’ Aji Gunung. Perintah tersebut berasal dari Panembahan Ratu Cakraningrat atau Adipati Madura yang diasingkan ke Kota Bangkalan oleh pemerintah kolonial Belanda. Adipati Madura meminta Raden Qobul untuk mencari asal sinar yang memancar dari suatu tempat di sekitar Kota Sampang. Sinar tersebut telah dilihat oleh Adipati Madura hingga menembus langit. Menuruti permintaan Adipati Madura tersebut, putra Raden Qobul, Buju’ Ahmad, pun mencari ke seluruh wilayah Sampang hingga sampai ke sebuah tanah perdikan (tanah yang tidak dikenakan pajak oleh pemerintah kolonial Belanda) di timur Kota Sampang. Wilayah tersebut bernama Desa Pegaringan yang wilayahnya berupa hutan belantara dan menjadi tempat tinggal para perampok. Perang tanding antara Buju’ Ahmad dan gerombolan perampok tersebut tidak bisa dihindarkan, yang kemudian dimenangkan oleh Buju’ Ahmad. Dalam perjalanan ke Desa Pegaringan itu Buju’ Ahmad menemukan 2 buah makam yang memancarkan sinar ke langit. Kedua makam itu tetap menjadi teka-teki, hingga kini masyarakat Desa Jrangoan tidak mengetahui siapakah pemilik kedua makam tersebut. Oleh masyarakat Desa Jrangoan kedua makam itu dikenal dengan nama makam para syekh (ulama agama). Setelah penemuan makam tersebut, Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 5 Buju’ Ahmad menyampaikan kepada Adipati Madura. Dan sesuai per­ mintaan beliau, Buju’ Ahmad merawat kedua makam dan bermukim di wilayah tersebut. Babad tanah Jrangoan ini diceritakan oleh salah seorang informan tokoh kepemudaan, MF, di Desa Jrangoan sebagai berikut. “... Kemudian Raden Qobul memerintah putranya yang bernama Raden Ahmad, kemudian setelah Raden Ahmad menelusuri tentang cahaya tersebut, akhirnya beliau menemukan sum­ ber cahayanya adalah bersumber dari 2 kuburan, dan sam­pai sekarang pun kuburan tersebut masih belum diketaui iden­ titasnya ....” Wilayah yang semula bernama Desa Pegaringan itu kemudian berubah menjadi Desa Jrangoan. Kata Jrangoan sendiri berasal dari kata ajhar dan ngoan. Ajhar yang berarti belajar serta ngoan yang berarti menggembala ternak. Anak-anak yang tinggal di desa ini biasa mengembala ternak setiap sore hari. Buju’ Ahmad yang berniat menyebarkan ilmu (agama Islam) pun memanfaatkan waktu anak-anak menggembala untuk mengajarkan mereka tentang Islam. Kegiatan yang dilakukan oleh Buju’ Ahmad ke­ pada anak-anak pengembala ini disebut dengan ajhar sambi ngoan yang artinya “belajar sambil mengembala” sehingga akhirnya disingkat menjadi “Jrangoan”, seperti yang diceritakan salah satu informan, MF, yang me­ rupakan anggota Badan Permusyawaratan Desa berikut ini. “... Karena Buju’ Ahmad tersebut termasuk salah satu keturunan dari seseorang pemuka Islam, maka semangat beliau untuk mensyi’arkan agama Islam beliau kadang kala belajar sambil menggembala. Dan Desa Jrangoan diambil dari bahasa ajhar sambi ngoan yang artinya belajar sambil menggembala. Dan semenjak itu Buju’ Ahmad tersebut menetap di Desa Jrangoan hingga delapan generasi ....” Desa Jrangoan yang menjadi tempat belajar para penggembala ter­ nak itu menjadi cikal bakal berdirinya Pondok Pesantren Al-Ihsan. Sejak Buju’ Ahmad mengembangkan tempat tersebut untuk menimba ilmu agama bagi warga sekitar desa, banyak santri berminat menimba ilmu keagamaan. Pondok Pesantren Al-Ihsan ini terus berkembang dan kini dilanjutkan oleh keturunan kedelapan Buju’ Ahmad, yaitu Kiai Mahrus. Desa Jrangoan terbagi menjadi 4 dusun, yaitu Rabasan, Bunggentong, Tambak, dan Tobatoh dengan luas 3.059 Ha. Luasnya Desa Jrangoan ini 6 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 ti­dak terlepas dari kondisi geopolitik desa-desa tetangga, yaitu Desa Angsokah dan Desa Rongdalem. Pada zaman penjajahan Belanda, ketika di Desa Angsokah terjadi pembunuhan, klebun dari Desa Angsokah tidak berani menguburkan mayat korban pembunuhan itu di wilayah mereka karena takut kepada pemerintah kolonial Belanda. Setelah adanya perun­ dingan, maka diputuskan mayat tersebut dimakamkan oleh klebun Jra­ ngoan, karena besarnya risiko yang harus dipikul oleh klebun Jrangoan, maka wilayah Desa Angsokah diberikan kepada Desa Jrangoan seluas 1.000 Ha. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh salah seorang tokoh masyarakat Desa Jrangoan, AR, berikut ini. “... Waktu itu Kepala Desa Angsokah tidak berani karena risiko takut disuruh Belanda. Nah, disuruh ambil tanahnya ke Kepala Desa Jrangoan. Jadi melebar, kira-kira ini tambah 1.000 Ha luasnya begini, kan ndak berani ini perbatasan Angsokah, ini Angsokah ini kan ada orang dibunuh orang di sini, ndak berani ya kalo Kepala Desa Angsokah ini untuk ambil ... mengambil risiko itu, jadi Jerengoan yang menguburkan orang itu sehingga desanya juga diambil .…” Sementara itu, perkembangan wilayah Desa Jrangoan yang berba­ tasan dengan Desa Rongdalem juga terjadi pada masa penjajahan kolo­ nial Belanda. Pada saat itu terjadi perampokan dan pembunuhan di Du­sun Rabasan (termasuk dalam wilayah Desa Rongdalem) dan klebun Rongdalem juga tidak mau memakamkan mayat korban di wilayah mereka sehingga klebun Jrangoan pun kembali memakamkan mayat tersebut. Kejadian ini mengakibatkan sebagian wilayah Desa Angsokah (Dusun Rabasan) diserahkan kepada Desa Jrangoan dan menjadi dusun keempat dalam wilayah Jrangoan. Hal tersebut dikemukakan oleh informan AR: “… Suka Kepala Desa, lantas di barat juga ada. Ini juga Desa Rabasan, ada orang meninggal dunia dibunuh oranglah waktu itu apa perampokan, masa Belanda waktu itu, ya terus diambil juga waktu itu. Kepala Desa Rabasan ndak mau, nanti risiko terus diambi patok lagi, tambah kira-kira 1.000 Ha lagi. Ke utara juga ....” Perkembangan Pondok Pesantren Al-Ihsan juga merupakan perkem­ bangan Desa Jrangoan dalam hal pemerintahan desa. Kiai yang merupakan tokoh sentral di Desa Jrangoan berasal dari Pondok Pesantren Al-Ihsan. Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 7 Buju’ Ahmad menurunkan pemerintahan Pondok Pesantren dan Desa Jrangoan kepada keturunan-keturunannya, yaitu Buju’ Muhammad, Buju’ Syaf’i, Buju’ Yasin, Buju’ Baharulloh, Buju’ Baidawi, Buju’ Malik Baidawi, dan yang terakhir adalah Kiai Mahrus, pemimpin Al-Ihsan saat ini. Hingga Buju’ Malik Baidawi, ketujuh keturunan Buju’ Ahmad, selain menjadi tokoh agama, mereka juga merupakan tokoh pemerintahan. Kondisi ini berubah setelah masa kepemimpinan Buju’ Malik Baidawi. Kepala pemerintahan desa diserahkan kepada para ustad (pengajar) di Pondok Pesantren Al-Ihsan, yaitu Nahrawi atau Mat Bahar, Tamzis, serta Abdul Rohim. Walaupun tokoh pemerintahan sudah bergeser ke orang yang bukan keturunan langsung dari Buju’ Ahmad, namun sebagai tokoh agama, baik Buju’ Malik Baidowi maupun Kiai Mahrus tetap menjadi pengambil keputusan pemerintahan, terutama yang berhubungan dengan kepentingan warga umum. Klebun tidak langsung memutuskan suatu hal, tetapi memusyawarahkan terlebih dahulu kepada kiai seperti yang disampaikan oleh informan AR berikut ini. “... Yang mengangkat jadi kepala desa itu Kiai Mahrus, kan begitu jadi ada kesulitan. Ada kesulitan ini sering membicarakan, sering musyawarah bagaimana pendapatnya kiai, kan begitu kan .…” Bahkan, dalam pemilihan klebun pun tetap harus mengikuti saran kiai. Calon klebun yang menjadi pemenang adalah orang-orang yang mendapat “restu” atau yang disetujui oleh kiai. Biasanya yang menjadi klebun adalah ustad (guru) yang mengajar di lingkungan pondok pesantren atau orang-orang yang memiliki kedekatan dengan pondok pesantren. Informasi ini berasal dari salah seorang ustad di Pondok Pesantren AlIhsan Desa Jrangoan (MF) sebagai berikut. “... sangat berpengaruh sekali. Lebih-lebih seperti politik skala nasional, seperti pilkada dan pilpres. Kalau ada perintah dari kiai, maka orang akan menuruti perintahnya ... Iya, karena kalau tidak direstui, dia tidak akan menang ... rata-rata kalau tidak direstui mundur, tapi ada juga yang berlawanan arah, tapi akhirnya tidak akan menang, buktinya sudah banyak ...” “... ya sudah empat kali malah yang menang, kalau direstui atau ditunjuk oleh Kiai Mahrus. Yang pertama dan kedua tidak ada yang berani mencalonkan sebagai kades. Yang ketiga dan 8 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 keempat ada calonnya, tapi tidak dapat dukungan dari kiai, akhirnya kalah .…” Selain itu, alasan masyarakat mengikuti keputusan kiai karena ada­ nya landasan yang berdasarkan kitab kuning (kitab yang dijadikan sebagai bahan ajar di pesantren). Di dalamnya terdapat penjelasan bahwa membahagiakan hati kiai adalah dengan cara menaati beliau, maka akan mendapatkan pahala, sedangkan jika melanggar, maka akan mendapatkan dosa besar. Hal ini disampaikan oleh informan (MF) yang juga menjadi ustad di Pondok Pesantren Al-Ihsan sebagai berikut. “... tidak. Yang ada landasan seperti itu di kitab kuning. Artinya begini, kalau kita membahagiakan hati kiai atau guru, maka orang tersebut akan mendapatkan pahala yang sangat besar. Tapi, kalau sebaliknya, maka kita akan mendapatkan dosa besa. Kalau di politik, gampangnya begini, kalau guru kita memilih A dan kita memilih A juga, maka kita mendapat pahala, dan kalau sebaliknya maka kita mendapat dosa .…” Era klebun dari kalangan warga umum diawali dengan pemilihan klebun yang ditunjuk oleh Buju’ Malik Baidawi langsung pada tahun 1959, yaitu Nahrawi (Mat Bahar). Kepemimpinan Mat Bahar relatif lama, sekitar 1959 hingga 1990. Pemilihan Mat Bahar bukan merupakan pemilihan klebun terbuka yang melibatkan warga. Pemilihan klebun terbuka baru mulai dilaksanakan pada tahun 1990 yang dimenangkan oleh Tamzis yang menjadi klebun hingga tahun 1998. Pemilihan klebun selanjutnya dilaksanakan pada tahun 1998 dan dimenangkan oleh Bapak Abdul Rohim yang menjadi klebun hingga sekarang. 2.2. Geografi dan Kependudukan 2.2.1 Geografi Desa Jrangoan adalah salah satu desa di Kecamatan Omben, Kabu­ paten Sampang. Desa jrangoan terletak di sebelah timur Kota Sampang. Dari Desa Jrangoan menuju Kota Sampang membutuhkan waktu sekitar 30 menit, dengan jarak kurang lebih 12 kilometer. Desa Jrangoan mempunyai batas-batas sebagai berikut, sebelah barat berbatasan dengan Desa Kebun Sereh, sebelah timur berbatasan dengan Desa Rongdalem, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Angsokah, dan sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Kedungdung. Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 9 Gambar 2.1 Peta Desa Jrangoan. Desa Jrangoan terdiri atas empat dusun, yaitu Tambak, Rabasan, Bunggentong, dan Tobatoh. Keempat dusun itu dipisahkan oleh jalan. Antara Tobato dan Tambak dipisahkan oleh jalan beraspal yang diperbaiki pada tahun 2009, sedangkan antara Rabasan dan Bunggentong dibatasi oleh Jalan Makadam yang bercampur dengan jalan kerikil kasar. Kontur tanah dan topografi Desa Jrangoan adalah perbukitan. Setiap dusun di Jrangoan mempunyai kontur yang berbukit-bukit, kecuali Dusun Tobatoh yang sedikit berbatu. Pada umumnya tanah berupa tegalan atau ladang. Total tanah kering di Desa Jrangoan sekitar 2100 Ha. Tidak ada sawah atau tanah basah. Hal itu terkait dengan jenis tanah yang bersifat kering dengan curah hujan 5 mm/tahun. Desa Jrangoan terletak pada ketinggian 650 meter di atas permukaan laut. Kondisi ini menyebabkan suhu udara relatif lebih sejuk dibandingkan Kota Sampang. Tanah di Desa Jrangoan cenderung kering dan berbatu-batu sehingga umumnya warga Desa Jrangoan memanfaatkannya untuk berladang. Umum­nya mereka menanam jagung, kacang tanah, dan ubi jalar. Luas tanah yang dimanfaatkan untuk menanam jagung seluas 300 Ha, sedang­kan kacang tanah seluas 200 Ha, dan ubi jalar seluas 200 Ha. Menurut profil Desa Jrangoan, desa ini memiliki 3 mata air yang dimanfaatkan oleh 106 kepala keluarga (KK) dan keadaannya masih baik. Sementara sumber mata air yang lain, yaitu sumur gali dan sumur pompa; 10 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 sumur gali sebanyak 32 buah dan dimanfaatkan oleh 202 KK, sedangkan sumur pompa sebanyak 16 buah dan dimanfaatkan oleh 119 KK. Semua sumber air dalam kondisi baik dan layak digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Menurut hasil wawancara sambil lalu, masih ada 500 KK yang hanya bisa memanfaatkan kubangan-kubangan air maupun mata air kecil yang terletak di tebing-tebing sekitar tempat mereka. Pada Tahun 2000-2005, desa ini diintervensi oleh proyek WSLIC (Water Sanitasion for Low Income Community), yaitu proyek pemerintah dengan sasaran masyarakat berpenghasilan rendah yang sulit mengakses air bersih. Proyek WSLIC ini memberikan bantuan berupa pembuatan ma­ sing-masing satu sumur bor di Dusun Rabasan, Dusun Bunggentong, dan Dusun Tambak. Sementara di Dusun Tobatoh dibangun dua buah sumur bor. Namun, saat ini hanya sumur bor di Dusun Rabasan yang dapat digunakan dengan baik. Mengenai sanitasi lingkungan yang lain, pembuangan sampah misalnya, masih belum mencerminkan pola hidup sehat. Berdasarkan hasil wawancara sambil lalu, pembuangan sampah umumnya dibuang di tebing. Hal ini mereka lakukan ketika musim hujan karena sampah yang terkumpul tidak dapat dibakar di sekitar rumah. Sementara ketika musim kemarau, sampah yang terkumpul dibakar oleh sebagian warga karena sebagian warga yang lain lebih sering membuang sampah di tebing di sekitar tempat tinggal mereka. Lebih mudah membuang sampah di tebing daripada membakarnya menjadi alasan utama mengapa warga melakukannya seperti yang dipaparkan oleh salah seorang informan wanita, MB, berikut ini. “... Di situ ... di jurang, Bu tempatnya ... He’em dikumpulin pakai apa ... bak, bak cuci kalau anu ... habis masak itu dibuang ... Kalau ada ... kayak sumur gitu lo Bu ... Memang khusus buat tempat sampah setiap 2 minggu sekali, 3 minggu sekali dibakar gitu .…” Hewan ternak yang umum dipelihara di Desa Jrangoan adalah sapi, yaitu sejumlah 199 ekor, dan kambing sejumlah 269 ekor. Jumlah ter­ banyak adalah unggas, yaitu 881 ekor ayam broiler dan 269 ekor bebek. Umumnya, ketika hewan ternak hendak dijual, warga menjual langsung kepada konsumen atau menjual melalui pasar ternak. Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 11 2.2.2 Kependudukan Usia perkawinan pada remaja wanita di Desa Jrangoan umumnya sekitar 17-20 tahun. Namun menurut klebun, kondisi ini hanya secara administratif. Terkadang warga menuakan atau memudakan usia anakanak mereka tanpa alasan yang jelas. Bahkan, tanggal lahir yang tercantum pada ijazah mereka pun tidak dapat dijamin kebenarannya karena para orang tua umumnya menentukan usia anak ketika masuk sekolah secara asal-asalan. Namun, alternatif terakhir untuk mengetahui usia mereka adalah dengan melihat ijazah tersebut. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh salah seorang penanggung jawab administrasi kependudukan (MF) berikut ini. “… kalo sepengetahuan saya tidak ada. Masalahnya begini Mbak, kalo masalah administrasi kependudukan ada, tetapi ketika ditanyakan masalah umur yang sebenarnya itu pasti berbeda, kadang kalau dimudakan kadang kala dituakan soal­ nya harus sesuai dengan ijazah, dan lebih parahnya lagi data umur yang ada di ijazah tersebut asal-asalan, artinya waktu mendaftar dulu ke sekolah asal tebak aja ....” Berdasarkan profil Desa Jrangoan, penduduk di wilayah tersebut berjumlah 1.748 orang laki-laki, sedangkan perempuan berjumlah 1.764 orang, dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 965 KK. Jumlah terbanyak terdapat pada kelompok warga usia 0-29 tahun, sedangkan kelompok usia terbanyak yang kedua adalah kelompok usia 59 ke atas, dan kelompok usia 30-58 menempati tempat ketiga. Usia terbanyak yang mendiami desa ini adalah kelompok umur antara 0 hingga 29 tahun. Dari kelompok ini jumlah terbanyak ada pada usia 15-19 tahun. Umumnya mereka masih berdiam di Desa Jrangoan hingga mereka menikah dan mempunyai anak pertama. Di atas usia 19 tahun biasanya warga Desa Jrangoan pergi merantau keluar Pulau Madura, umumnya ke Kota Surabaya serta kota-kota lain di sekitar Provinsi Jawa Timur. 12 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 Tabel 2.1 Potensi Sumber Daya Manusia (Berdasarkan Usia) Balita <12 Bulan 1-5 tahun Pasangan usia subur 15-45 Laki-laki Perempuan 24 149 30 140 723 736 Sumber : Profil Desa Jrangoan Tahun 2011 Tabel 2.2 Data Jumlah Penduduk Jumlah laki-laki Jumlah perempuan Jumlah total Jumlah KK 1.748 1.764 3.512 765 Perempuan di desa ini sudah produktif membantu orang tua sejak masih berusia belasan tahun. Ketika berusia 8-10 tahun, remaja putri sudah diberikan tanggung jawab oleh orang tua mereka untuk mengasuh adik-adik mereka yang pada umumnya masih berusia batita (di bawah tiga tahun). Hal ini disampaikan informan U berikut ini. “... kakaknya ngemong ngemong ... iya bisa bantuin adik-adik­ nya juga ....” Setelah itu, ketika sudah menginjak usia 10 tahun, mereka pada umumnya belajar dan tinggal di asrama pondok pesantren. Usia 10 tahun ini adalah usia ketika mereka masuk kelas 5 Madrasah Ibtidaiyah. Orang tua akan menyerahkan anak ke Pesantren Al-Ihsan untuk mondok dan menuntut ilmu agama seperti dsampaikan NS berikut ini. “... dari umur, dari kelas ... kalau kelas 5 baru mondok ... iya, sudah undang-undangnya gitu .…” Umumnya mereka menikah sebelum menyelesaikan pendidikan pesantren, yaitu sekitar usia 17 tahun. Ketika remaja putri masih belia, me­ reka sudah harus mampu serta siap menjadi seorang istri yang mengurus dan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Para remaja putri yang kini Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 13 menjadi “nyonya kecil” tersebut harus dapat membantu suami mengurus ladang yang merupakan tempat mereka mencari nafkah seperti yang di­ sampaikan oleh informan (KH) yang bekerja sebagai buruh tani: “… ya istirahat, tapi istirahatnya ketika menjelang persalinan saja. Jadi kalo tidak tetap bekerja gak ada untuk memenuhi kebutuhan makanan .…” Ketika bersalin untuk pertama kalinya, peran ibu dari bulin (nenek) dalam keluarga adalah sebagai penyandang dana bagi persiapan persa­ linan. Selain itu, beliau juga merupakan pengambil keputusan siapa penolong persalinan ibu hamil, dengan bantuan dukun atau bidan. Beliau pulalah yang membantu menyiapkan segala kebutuhan persalinan (air panas dan kain perlengkapan persalinan lainnya) seperti diungkapkan oleh para perempuan DEsa Jrangoan (BI dan NY) berikut ini. “... tapi di sini biasanya kalau masih muda apa katanya ibunya. Yang pegang kendali itu ibunya, yang biayai itu ...” (BI) “... pengambilan keputusan di keluarga perempuan ... keba­ nyak­an perempuan (ibu dari bulin) yang ngambil untuk ke anu gitu ....” (NY) Perempuan Madura adalah perempuan yang kuat. Menurut hasil wawancara sambil lalu dengan bulin (ibu bersalin), beliau sudah mulai melaksanakan pekerjaaan sehari-hari mereka di rumah sejak 3 hari setelah mereka melahirkan dan mulai pergi ke sawah ketika bayi mereka berusia selapan (35 hari), dengan alasan pada saat itu masa nifas sudah selesai dan sudah dianggap mampu untuk bekerja di ladang, seperti yang disampaikan oleh NY, seorang tokoh masyarakat dan tokoh agama, berikut ini. “... Ya kalau liat itu ya kebalik, kalau dianu itu kan seharusnya kerjaan laki ya, kalau semua rumah tangga itu kalau tanya ya ... itu kan harus dikerjakan laki-laki, tapi karena di Madura misalnya semua itu ibu yang ngerjain ....” (NY) Interaksi sosial yang terjadi pada warga Desa Jrangoan umumnya tergantung dari gender (jenis kelamin) peduduk. Langgar merupakan ruang publik tempat para laki-laki berkumpul, sedangkan dapur atau rumah merupakan ruang domestik tempat perempuan berkumpul. Kembali informan MF menyampaikan: 14 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 “... tempat-tempat berkumpul bagi kaum laki-laki tempat yang didominasi oleh laki-laki di mushola (langgar) ... tapi mushola khusus, di mana setiap KK pasti memiliki mushola .…” Biasanya laki-laki di desa ini berkumpul setiap malam Jum’at, meng­ ingat pada waktu itu biasa dilakukan pengajian bergilir di lingkungan desa. Selain malam Jum’at, laki-laki Desa Jrangoan berkumpul ketika ada upa­cara-upacara keagamaan, misalnya mauludan, pengajian 7 bulanan, maupun pengajian ketika kelahiran bayi. Sementara waktu berkumpul untuk perempuan biasanya ketika ada kegiatan posyandu atau saat acara pernikahan, 7 bulanan, dan pengajian yang dilakukan oleh pengasuh pon­dok pesantren. Mereka berkumpul untuk membantu pemilik hajat memasak hidangan dan mempersiapkan acara tersebut. 2.2.3 Pemukiman Bagi masyarakat Desa Jrangoan, rumah memiliki arti silaturahmi antarkeluarga dalam satu keturunan. Hal ini dapat dilihat dari pola tata letak rumah yang disebut taneyan lanjhang yang artinya halaman luas, dan dalam satu lokasi terdapat 4-6 rumah yang penghuninya memiliki pertalian keluarga yang dekat. Tata letak rumah yang demikian menunjukkan bahwa privasi berpusat pada keluarga dekat, terutama jika dikaitkan dengan filosofi Bhuppa’ Bhabhu’ Ghuru Rato, di mana ayah adalah kepala keluarga dan didampingi ibu yang bertugas mengasuh anak-anaknya. Biasanya dalam satu halaman terdiri atas rumah orang tua dan anak-anak yang sudah menikah, seperti pada gambar berikut ini. Gambar 2.2 Rumah dengan konsep Taneyan Lanjhang. Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 15 Gambar 2.3 Denah rumah di Desa Jrangoan (Lintu Sulistyantoro, 2005). Satu hal yang terlihat mencolok adalah keberadaan langgar di setiap halaman rumah. Langgar dipergunakan tidak hanya untuk melaksanakan sholat, namun juga sebagai tempat berkumpul dan menginap tamu lakilaki yang datang berkunjung seperti yang diceritakan oleh dua informan tokoh agama (NS dan AR) berikut ini. “…Ya kadang yang satunya kepingin ke satunya, ndak ada gitu. Lain kalau seperti saya nanti, soalnya kalau pengasuh pas ada .... Lain kalau seperti pengasuh ya itu walaupun bukan di sini, maaf walaupun di Bangkalan di mana misalnya saudara saya atau saudaranya kiai di sini, itu ndak bisa kumpul ….” (NS) “… Itu, itu waktu dulu istilahnya mendak apoy itu istilahnya api waktu masih pawonlah, kekurangan apa minta garam, minta lombok bukan ... sekalipun tetangga bukan orang lain, familinya itu sendiri kan begitu kan .…” (AR) “... ada saudara 3 itu di satu halaman gitu ... Soalnya gitu Bu kalau di maaf ya ... Kalau lain orang lain kampung itu kan ndak ada istilah apa ya ... ganti pengasuh gitu ndak ada, lain dengan kita ini kalau orang kampung itu misalnya kerjaan itu sama jadi ndak ada ….” (AR) Bentuk rumah di Desa Jrangoan umumnya memanjang yang disebut rumah sekotan. Atapnya biasanya berbentuk segitiga sama sisi (seperti rumah joglo di Jawa) yang bentuknya memanjang dengan kamar-kamar yang memenuhi sisi bagian belakang rumah tersebut. Kamar-kamar berderet memanjang di bagian belakang rumah seperti yang disampaikan seorang informan (MF) berikut ini. 16 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 “... kalo di Madura orang tua harus ada di sebelah kanan. Jadi tidak boleh anaknya yang berada di sebelah kanan. Makanya, kalo di Madura rumah berjejernya ke samping bukan kebelakang ....” Gambar 2.4 Rumah sekotan. Gambar 2.5 Rumah pecenan. Beda rumah pecenan dan rumah sekotan terletak pada balok semen yang terletak di tengah atap dan curamnya bentuk kuda-kuda pada atapnya. Dapur terletak di sisi lain rumah dan terpisah dengan rumah inti, sedangkan kamar mandi umumnya terletak jauh dari bagian rumah inti dan dapur dengan alasan kesehatan dan kenyamanan seperti yang disampaikan oleh Klebun Desa Jrangoan (AR) berikut ini. “… Tapi itu seakan-akan sepaket, seakan-akan sepaket karena apa ... karena apa, dulu ini kan bukan jeding (kamar mandi) di Jerengoan ini, sini kan jeding ya, seperti drum di luar ya apa namanya keban kalau di rumah bagaimana lagi kan nyamuknya nanti kan juga bisa bikin rumah yang lebar .…” Dapur dan kamar mandi umumnya terpisah dengan rumah inti ka­ rena beberapa alasan. Alasan pertama karena menurut warga kedua bagian rumah itu mereprensentasikan konsep kotor. Alasan yang lain, yaitu apabila kedua bagian rumah tersebut ada di dalam rumah dan menjadi satu kesatuan dengan rumah inti, maka jika ada orang di luar keluarga yang hendak mempergunakan kamar mandi, mereka akan masuk ke dalam rumah inti, hal ini dianggap tidak baik mengingat rumah merupakan area pribadi bagi pemilik. Ventilasi berupa jendela hanya berada di bagian depan rumah. Alasan keamanan menjadi pertimbangan sehingga ventilasi terdapat di bagian Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 17 depan rumah saja. Terbatasnya ventilasi yang hanya ada di bagian depan rumah menyebabkan bagian dalam menjadi lembap dan gelap. Bahkan, terkadang ditemukan jamur di dalam rumah karena rembesan air tidak dapat kering seperti yang dikemukakan informan MF dan TZ yang mantan klebun berikut ini. “… Ya itu kan karena apa itu, air itu tidak bisa anu kan, kadangkadang ya jamuran seperti di rumah saya ada yang jamuran, soalnya apa itu tanah itu ngembes katanya orang Jawa .…” (TZ) “… mungkin kalo menurut saya, kalo kamar mandinya ada dalam rumah otomatis tamu yang mau ke kamar mandi takut, malu, dan sebagainya .…” (MF) 2.2.4 Simbol Simbol-simbol yang ditemui di dalam rumah warga Desa Jrangoan berupa bungkusan kain putih yang berisi tulisan Arab. Benda ini biasa disebut dengan jimat dan diletakkan di atas kusen pintu depan rumah sebagai penolak bala. Harapannya keluarga tersebut terhindar dari berbagai bencana. Bahan bangunan yang dipergunakan oleh warga untuk membangun rumah merupakan perbaduan antara kayu dan batu bata. Batu bata hanya dipergunakan sekitar 75-100 cm dari tanah, sedangkan sisanya mempergunakan kayu jati atau nangka. Akan tetapi, ada beberapa rumah mempergunakan batu bata seluruhnya (bangunan seperti ini banyak ditemukan di pesantren), serta ada pula beberapa rumah mempergunakan kayu saja sebagai bahan bangunan. Mayoritas lantai sudah mempergunakan cor semen atau ubin dari keramik, namun masih ditemukan beberapa rumah berlantai tanah liat yang dipadatkan. 2.3 Sistem Religi 2.3.1 Kosmologi Keberadaan tempat-tempat keramat sudah tumbuh dan berkembang sejak masa berdirinya Desa Jrangoan. Di desa ini terdapat beberapa tempat yang dianggap keramat dan pernah difungsikan oleh sebagian kelompok orang sebagai tempat untuk mencari ilmu spiritual (ngelmu), salah satunya adalah air terjun yang terletak di sebelah barat Pondok Pesantren Al-Ihsan. 18 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 Air terjun tersebut terletak di sebuah jurang yang ditumbuhi pohonpohon sehingga sinar matahari tidak dapat menembus dasar jurang. Air terjun itu diterangi lampu bohlam 5 watt baik siang maupun malam unuk menggantikan penerangan sinar matahari. Air terjun tersebut dalam beberapa tahun terakhir masih difungsikan sebagai tempat mencari ilmu spiritual dengan cara bersemedi. Namun, sejalan dengan perkembangan Pondok Pesantren Al-Ihsan, lokasi tersebut sudah tidak dipergunakan lagi. Walaupun kini lokasi air terjun tersebut tidak disalahgunakan lagi, kesan keramat dan angker masih tetap menjadi stigma di sekitar tempat tersebut. Tempat keramat lain yang berada di Desa Jrangoan terletak di se­ berang air terjun, yaitu pemakaman desa. Di pemakaman ini juga terdapat makam-makam para sesepuh Desa Jrangoan yang juga menjadi keluarga pendiri Pondok Pesantren Al-Ihsan. Pintu masuk pemakaman desa di­ tandai dengan gapura dan jalan setapak menuju makam. Ritual-ritual be­rupa pengajian rutin dilaksanakan setiap hari Kamis malam, terutama Jumat manis (Jum’at Legi) dan masih dilaksanakan hingga kini. Selain untuk mengirimkan doa bagi para leluhur pendiri desa, pengajian ini juga dilakukan untuk meminta perlindungan dari Allah SWT. Makam lain yang masih dikeramatkan, namun tidak berada di pemakaman desa, adalah dua makam syeikh yang memancarkan sinar menembus langit yang ditemukan oleh Buju’ Ahmad. Al ini dikemukakan oleh AR, Klebun Jrangoan: “... Kalau dulu masih ada 3 tempat ... daerah pondok tuh ... daerah teppa’ ini ada juga, itu ada ... teppa’ in kampung, kam­ pungnya Klampok masih Jerengoan .... Memang gitu kalau ada orang-orang lewat, kekurangan apa, ya kurang kewaspadaan itu masih diganggu ... itu ya gini, dulu kan ada, dulu ada tapi setelah mati nggak ada yang ngurusi, gapura itu paling sudah dapat berapa tahunlah ... 10 tahun itu gapura itu, baru dibangun itu ... iya pesarean yang saya bilang Bujuk Ahmad itu dan Bujuk Syekh, itu ke sana arahnya, tapi barusan itu hanya 10 tahun ya, tahun 2002 ... udah ndak, untuk apa ke air terjun ... itu air terjun itu bukan untuk rekreasi kok, itu mandinya anak-anak pondok kecil-kecilan lo .... Iya, tapi dulu itu ada hal semacam itu, itu tapi sekarang sudah tidak ada pengaruhnya ….” Tempat keramat lainnya yang kini juga sudah tidak dikeramatkan lagi, yaitu sebuah jalan setapak. Menurut tokoh masyarakat daerah ini sudah Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 19 cawar/tabar (sudah hilang keangkerannya). Kesan angker muncul karena jalan setapak tersebut terletak bersebelahan dengan pemakaman. Jalan ini umumnya dihindari oleh waga Desa Jrangoan, karena jika seseorang melewati jalan ini tidak dalam keadaan waspada atau pikirannya kosong biasanya akan tersesat dan berputar-putar di lokasi tersebut seperti disampaikan informan AR berikut ini. “... Ya apa bingung apa? Nggak, bukan ... ada suara-suara yang bukan-bukan .... Seperti jalan biasa, iya ya di sampingnya ada kuburanlah .... Tapi itu sudah tidak ada pengaruhnya sekarang, kalau dulu ada, jangan lewat sana ya ... dulu ada itu, sekarang juga tidak ada pengaruhnyalah ....” Walaupun masyarakat meyakini tempat-tempat angker di desa ini, namun mereka percaya bahwa jika salah seorang di antara mereka me­ ninggal dunia, mereka percaya bahwa arwah atau rohnya tidak akan gentayangan, tetapi langsung kembali kepada Allah. Mereka juga tidak mempercayai adanya reinkarnasi. Hubungan antara masyarakat dengan leluhurnya yang sudah meninggal umumnya melalui komunikasi doa. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam, yaitu apabila seseorang sudah meninggal maka terputuslah hubungan mereka dengan dunia tempat mereka hidup sebelumnya. Sementara ritual-ritual yang berhubungan dengan kematian biasa­ nya berupa pembacaan tahlil bersama (dihadiri tetangga-tetangga se­ kitar) selama 7 hari setelah kematian secara berturut-turut. Kemudian dilanjutkan pada hari ke-40, hari ke-100, dan juga ketika tepat hari ke1.000 sejak meninggalnya orang tersebut. Ritual ini berupa pembacaan tahlil dan doa-doa untuk keselamatan orang yang meninggal di akhirat nanti. 2.3.2 Praktik Keagamaan/Kepercayaan Tradisional Sebagai masyarakat religius, mereka juga melaksanakan upacara ke­ agamaan pada waktu-waktu tertentu yang terdapat dalam penanggalan Islam, seperti Idul Fitri, Idul Adha, dan Maulid Nabi Muhammad SAW. Di antara ketiga upacara keagamaan tersebut, yang pelaksanaannya dilakukan dalam kurun waktu selama satu bulan dan dengan mengundang tetangga sekitar yaitu perayaan Maulid Nabi (molodhan). Pada waktu molodhan, tetangga sekitar datang ke rumah keluarga yang memiliki hajat untuk membaca sholawat dan doa bersama. Tentunya hal ini membutuhkan 20 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 biaya tambahan untuk konsumsi para undangan yang hadir. Tidak jarang pula masyarakat dengan status ekonomi menengah ke bawah yang men­ sakralkan molodhan dan ingin mengadakannya di rumah harus rela ber­ utang kepada tetangga dan saudara agar dapat menyelanggarakan molo­ dhan dengan mendatangkan penceramah terkenal ke rumah mereka. Molodhan dalam perspektif masyarakat Desa Jrangoan merupakan salah satu bentuk perayaan upacara keagamaan yang harus dilakukan oleh tiap keluarga secara bergantian dengan tetanga-tetangga lainnya. Pada saat bulan Maulud umumnya anggota keluarga yang merantau akan pulang. Acara atau ritual ini juga merupakan kesempatan bagi seluruh keluarga untuk berkumpul dan mendengarkan siraman rohani dari kiai yang diundang. Menurut kepercayaan mereka, seluruh usaha yang mereka lakukan dalam penyelenggaraan molodhan bertujuan untuk memperoleh keberkahan dari Allah SWT dan syafaat dari Rasulullah di akhirat kelak, sehingga jangankan tenaga, berutang sekalipun akan mereka lakukan untuk melaksanakan/menggelar sholawatan di rumahnya. Peran kiai dalam kehidupan masyarakat tidak dapat dilepaskan da­lam kehidupan sehari-hari. Setiap aspek kehidupan warga selalu me­nyertakan restu dari kiai. Budaya chabis (memberikan sejumlah uang) kepada kiai merupakan suatu bentuk penghormatan warga kepada kiai serta upaya untuk memperoleh kebarokahan dalam hidup. Bagi mereka, chabis merupakan bentuk rasa terima kasih atas segala hal baik yang telah dilakukan oleh kiai. Hal baik yang dimaksud adalah memberikan nama bagi anak yang baru dilahirkan, sebagai tokoh agama yang membaca doa dalam upa­cara kehamilan (pelet betteng), pernikahan, kelahiran, serta kematian. Saat ini Kiai Mahrus merupakan kiai besar dalam kehidupan warga Desa Jrangoan. Selain Kiai Mahrus, istri beliau, Nyai Syifa juga menjadi penga­ yom kehidupan beragama bagi remaja putri dan ibu-ibu di desa ini. Pantangan dan tabu yang berkembang dalam kehidupan warga Desa Jrangoan adalah aturan-aturan yang berdasarkan hukum Islam. Me­nurut Kiai Mahrus, sejauh ini tidak pernah ada perbuatan-perbuatan maksiat yang mengancam kehidupan warga. Apabila ada perbuatan yang melanggar hukum agama terjadi di sekitar desa, maka mereka akan kualat dan dengan sendirinya akan meninggalkan Desa Jrangoan. Sebagai contoh, beliau menceritakan beberapa saat yang lalu sempat ada sekelompok pemuda bergerombol dan membuat resah warga karena kegiatan mereka yang kurang baik, seperti judi dan mabuk-mabukan, tetapi sejalan dengan waktu mereka pergi dengan sendirinya. Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 21 Praktik sihir dan totem tidak ditemukan di wilayah imi. Kehidupan keagamaan mereka menutup kesempatan warga melaksanakan praktik sihir. Dalam Islam praktik sihir merupakan salah satu tindakan syirik, yaitu perbuatan yang dibenci oleh Allah SWT sehingga praktik sihir merupakan hal yang dianggap dosa. Ritual yang berkaitan dengan inisiasi pada anak terbatas pada ritual sirkumsisi (sunat) yang dilakukan kepada laki-laki. Pada umumnya ritual ini dilakukan anak-anak laki-laki ketika mereka masih berusia 7–12 tahun. Sirkumsisi (sunat) yaitu pemotongan sebagian dari ujung penis. Dalam Islam, sunat merupakan kewajiban yang harus dilakukan. Sebagai penganut Islam yang taat, warga selalu melaksanakan ritual ini dengan tujuan untuk tetap mejaga kebersihan organ vital. Manfaat lain sunat yang belum mereka ketahui adalah untuk mencegah penyakit infeksi saluran kemih bagi laki-laki. Bentuk tirakat yang dilakukan masyarakat adalah puasa, suatu ritual yang umum dilakukan oleh warga desa. Puasa dilakukan sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku dalam agama Islam. Puasa yang mereka lakukan tidak terbatas pada puasa Ramadhan yag merupakan puasa wajib, tetapi juga puasa sunah yang mereka lakukan setiap Senin dan Kamis. Tirakat merupakan tindakan asketisme yang bertujuan untuk memperoleh hasil yang lebih baik melalui pertolongan Tuhan sehingga masyarakat di desa ini pun melakukannya agar memperoleh keberkahan dari Allah. 2.4 Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan 2.4.1 Keluarga Inti Dalam kehidupan sehari-hari warga Desa Jrangoan keluarga inti adalah keluarga yang hidup di bawah satu atap. Pada umumnya dalam satu atap terdiri atas 3-4 keluarga. Mereka tinggal dalam satu rumah dengan orang tua (Bapak) menjadi patron dalam keluarga inti tersebut. Otoritas anggota keluarga tersebut hanya terbatas dalam satu ruang kamar. Sebuah keluarga biasanya memiliki 6-7 anak dan tetap tinggal ber­ sama orang tuanya selama mereka belum memiliki rumah tinggal sendiri. Mereka tetap tinggal dengan orang tua mereka walaupun sudah memiliki satu atau dua orang anak sehingga dalam satu rumah sering dijumpai ada 10 orang atau lebih anggota keluarga yang menempatinya. Dalam hal pembagian kerja di keluarga, mereka mempunyai kebiasa­ an memisahkan sektor publik dan sektor domestik berdasarkan gender. 22 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 Pembagian kerja dalam keluarga pun sudah menjadi suatu kebiasaan yang tidak tertulis. Pekerjaan mencari nafkah dalam keluarga menjadi kewajiban seorang suami dan ini dijunjung tinggi oleh laki-laki. Umumnya mereka bekerja menjadi peladang dan pedagang di kota-kota sekitar Jawa Timur. Sementara perempuan umumnya hanya berkutat seputar sektor domestik. Umumnya mereka bekerja sebagai ibu rumah tangga. Apabila mereka bekerja di sektor publik, mereka terbatas hanya bekerja membantu suami di ladang atau membuka warung kecil-kecilan di pasar Desa Jrangoan atau di dalam pesantren. Seperti dikemukakan sebelumnya, laki-laki memegang peranan da­lam sektor publik di lingkungan keluarga mereka. Segala keputusan keluarga merepresentasikan keputusan kepala keluarga, termasuk dalam hal pemilihan kepala desa maupun pemilihan kepala pemerintahan yang lain. Hal ini mereka lakukan mengingat dalam Islam seorang laki-laki merupakan imam dalam kehidupan keluarga yang diejawantahkan sebagai imam di dunia dan akhirat. Sementara mengenai perwakilan dalam segala kegiatan kewanitaan, baik yang diselenggarakan oleh masyarakat, desa, maupun oleh pondok pesantren, biasanya dibebankan pada perempuan, misalnya seperti kegiatan posyandu, muslimatan, syukuran, dan kegiatan antartetangga. Dalam hal sektor produksi dan reproduksi di satu rumah tangga sudah berdasarkan gender tertentu. Sektor produksi yang berhubungan dengan sektor publik lebih didominasi oleh laki-laki. Mereka memegang kewajiban untuk menafkahi anak dan istri, memberikan kenyamanan serta keamanan bagi anggota keluarga mereka. Kewajiban tersebut merupakan ketentuan yang berlaku dalam agama Islam dan tertulis dalam buku perkawinan mereka, sedangkan hak yang mereka terima adalah penghormatan dan kepatuhan yang didapatkan dari anak istri mereka. Dalam sektor reproduksi, perempuan memiliki kondisi yang sudah menempel dan melekat erat dengan takdir kehidupan mereka. Tugas melahirkan dan merawat anak serta anggota keluarga yang lain sudah merupakan kewajiban. Mereka memiliki hak untuk memperoleh kenyamanan, keamanan, dan nafkah yang disediakan oleh suami mereka. 2.4.2 Sistem Kekerabatan Dalam kehidupan keluarga besar, penetapan garis keturunan berda­ sarkan garis ayah (patrilineal). Kondisi ini bukan merupakan sebuah ke­ tentuan mutlak seperti dalam kelompok masyarakat dengan budaya yang Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 23 menetapkan garis keturunan dari ayah namun terdapat marga/fam (family name) yang menyertainya. Sebagai penganut Islam, mereka menetapkan keturunan mereka berdasarkan hukum Islam. Sistem patrilineal ini sesuai dengan hukum Islam yang menetapkan garis keturunan berasal dari garis ayah. Ketika seorang anak lahir, maka ia akan menyandang nama ayahnya, apabila laki-laki akan menyandang nama dengan sebutan “bin” dan apabila perempuan akan menyandang nama dengan sebutan “binti”. Nama ini akan menjadi identitas dari mulai anak itu lahir hingga ia dimakamkan nanti. Identitas pribadi ini selalu menyertai seseorang dalam melewati semua siklus hidupnya. Sampai ketika dimakamkan pun doa yang dikirimkan kepada sang almarhum dan almarhumah pun akan lebih afdol dengan menyebutkan nama bin atau bintinya. Salah satu penggunaan wajib dalam pemakaian nama bin atau binti adalah dalam perkawinan. Perkawinan dalam kehidupan warga Desa Jrangoan merupakan suatu fase penting dalam kehidupan seorang anak. Persiapan pernikahan bahkan sudah dilakukan jauh hari sebelumnya, hal itu disebabkan perkawinan di Desa Jrangoan umumnya melalui perjodohan. Dalam perjodohan, orang tua memegang peranan penting, baik di lingkungan keluarga, masyarakat umum, maupun di kalangan kiai. Perjodohan dilakukan ketika anak masih berusia balita, bahkan masih di bawah satu tahun. Padahal di masyarakat umum perjodohan dilakukan ketika anak sudah dirasa cukup usia untuk dinikahkan. Pertimbangan orang tua ketika menjodohkan anaknya adalah mereka ingin calon menantunya berasal dari keluarga atau tetangga terdekat dengan alasan agar orang tua calon mempelai perempuan dapat mengetahui dan yakin bahwa menantunya adalah laki-laki yang mampu menghidupi dan melindungi anak dan istrinya, sedangkan perjodohan untuk keluarga calon mempelai laki-laki dilakukan agar mereka yakin bahwa perempuan tersebut mampu menjadi istri dan ibu yang baik bagi anak dan cucunya. Berbeda dengan keluarga kiai, perjodohan antarkerabat merupakan hal yang umum dan biasa ditemui. Pernikahan antarkerabat adalah per­nikahan yang dilakukan dengan saudara sepupu baris pertama maupun saudara sepupu baris kedua. Perkawinan yang diatur oleh orang tua atau keluarga di kalangan kiai dilakukan semenjak anak-anak berusia relatif muda, bahkan untuk anak perempuan perjodohan sering dilakukan ketika anak-anak berusia di bawah dua tahun (baduta). Hal ini terjadi karena lingkungan pesantren mengonstruksi perempuan sebagai 24 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 makhluk yang harus patuh, taat, dan tunduk terhadap aturan-aturan yang umumnya dibuat oleh laki-laki. Subordinasi terhadap perempuan dapat dilihat de­ngan pewarisan tampuk kepemimpinan di kalangan pesantren atau rege­nerasi pemimpin pondok pesantren yang biasanya diserahkan ke­pada anak laki-laki kiai. Jika kiai tidak memiliki anak laki-laki, biasanya kepemimpinan diwariskan kepada saudara laki-laki, keponakan laki-laki, atau kepada menantu. Di kalangan kiai pada etnik Madura, extended family merupakan ladang perjodohan bagi keturunan mereka dan umumnya perjodohan di­lakukan dengan sesama keturuanan kiai. Pernikahan diatur dengan sepupu pertama, sepupu kedua, maupun sepupu ketiga baik dari pihak ayah maupun ibu, tergantung keputusan bersama (orang tua). Sering terjadi perjodohan dilakukan sejak anak berusia balita, bahkan lebih muda. Beberapa perjodohan terjadi antara anak perempuan berusia di bawah lima tahun dengan remaja laki-laki berusia 2 kali usia anak perempuan tersebut. Pada umumnya anak perempuan tidak mendapatkan kesempatan untuk menolak proses perjodohan itu. Mereka menerima keputusan orang tua dan menikah ketika usia sudah dianggap cukup oleh orang tua. Dari hasil wawancara, usia perkawinan umumnya disebutkan di atas 16-20 tahun. Tetapi, dari hasil pengamatan ternyata masih banyak pernikahan yang dilangsungkan ketika pengantin wanita masih berusia 15-16 tahun dengan proses perjodohan. Setelah dilakukan cross check dengan para pemuka masyarakat, hal ini bisa terjadi karena masyarakat tidak terlalu menganggap penting tanggal lahir. Mereka hanya mengirangira tanggal dan tahun kelahiran anak-anak mereka sehingga ketika anak mereka sekolah, tanggal kelahiran yang tercantum adalah tanggal lahir perkiraan orang tua. Ijazah sekolah yang mencantumkan tanggal lahir tersebut dijadikan syarat untuk pengajuan ijin perkawinan. Hal itulah yang menyebabkan kondisi di lapangan berbeda dengan bukti-bukti yang ada secara administratif. Secara umum, pola tempat tinggal masyarakat adalah matrilokal, tetapi juga terdapat beberapa keluarga yang tinggal secara patrilokal ataupun neolokal. Dengan pola matrilokal, maka penyediaan rumah ting­ gal bagi keluarga baru menjadi tanggung jawab pihak keluarga perempuan meskipun tidak harus tinggal pada taneyan lanjhang keluarga pihak perempuan. Pada beberapa kasus, pola tempat tinggal keluarga baru bergantung pada kemampuan dan kebutuhan masing-masing keluarga mempelai. Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 25 Harta dalam keluarga berasal dari harta warisan dan harta bersama yang dimiliki oleh pasangan suami istri. Sementara pewarisan dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam hukum waris Islam, tetapi beberapa di antara mereka ada yang melakukan pembagian warisan berdasarkan amanat yang diberikan oleh orang tua mereka. 2.4.3 Sistem Kemasyarakatan dan Politik Lokal Stratifikasi sosial masyarakat Jrangoan terdiri atas dua lapisan, yaitu kelompok kiai dan masyarakat umum. Kelompok kiai menempati posisi teratas dalam masyarakat Jrangoan, sehingga kiai dan keluarganya sangat dihormati dan diberi perlakuan khusus sebagai balasan peran keagamaan yang mereka emban. Salah satu bentuk hormat masyarakat kepada kiai adalah masyarakat umum tidak menelepon kiai dan keluarganya. Jika ada suatu kepentingan dengan keluarga kiai, sebaiknya langsung menemui beliau di lingkungan pesantren. Contoh lain, yaitu berjalan di lingkungan pesantren (halaman tempat tinggal kiai) sebaiknya tidak mengenakan alas kaki karena dianggap sebagai tempat suci. Warga juga menganggap bekerja di lingkungan kiai sebagai suatu pengabdian dan kebanggaan. Pengabdian tersebut dapat sebagai ustad, ustadzah, atau pengurus rumah tangga kiai meskipun penghasilan yang didapat pas-pasan atau bahkan tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Bagi para pengabdi di lingkungan kiai, imbalan yang lebih berharga adalah berbentuk berkah (barokah) dari kiai yang akan menjadi cara mereka untuk mendapatkan rezeki dari Allah. Lapisan kedua masyarakat Jrangoan adalah masyarakat umum yang terdiri atas tokoh masyarakat dan warga biasa. Pelapisan masyarakat yang terbentuk kemudian mempengaruhi sistem perjodohan seperti yang dijelaskan di bagian sistem kekerabatan, yaitu perjodohan antarkeluarga kiai dan antarmasyarakat umum. Sistem politik lokal di Jrangoan memiliki tiga lapisan, yaitu tokoh agama (ustad dan kiai), tokoh masyarakat (klebun, mantan klebun, to­ koh kepemudaan, tokoh kewanitaan, bidan, dukun bayi, BPD-Badan Pe­ masyarakatan Desa), dan masyarakat umum. Secara administratif, klebun adalah pemimpin desa dan segala keputusan yang berhubungan dengan kehidupan warga Desa Jrangoan diputuskan secara musyawarah dan dilegalisasi oleh klebun. Apabila keputusan tidak tercapai, maka permasalahan ini akan dibawa kepada kiai untuk mendapat keputusan. Peran kiai dalam politik lokal semakin terasa ketika ada pemilihan kepala desa (pilkades) di Desa Jrangoan. Restu dan persetujuan kiai menjadi syarat utama terpi- 26 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 lihnya seorang bakal calon kepala desa. Kiai tidak hanya berperan dalam kegiataan keagamaan dan berpengaruh dalam politik lokal, namun juga dalam kehidupan sehari-hari masyarakat desa. Tokoh masyarakat dan agama berperan penting dalam masalah kese­ hatan di Desa Jrangoan. Peran klebun ditunjukkan dengan diadakannya posyandu yang diadakan di rumahny. Semua program kesehatan tersosia­ lisasikan melalui peran tokoh masyarakat (perangkat desa, terutama kle­ bun) dan tokoh agama (kiai dan nyai). Ketika program-program KIA akan disosialisasikan, bidan desa meminta bantuan nyai untuk melakukan sosialisasi program pada acara muslimatan (pengajian yang diperuntukan bagi perempuan). Pola kerja sama warga Desa Jrangoan berkembang dari kedekatan yang terjalin di langgar (tempat sholat kecil), pengajian yang dilaksanakan setiap Kamis malam dan kegiatan informal lainnya. Pola interaksi tersebut membangun pola kerja sama yang sementara, hal ini disebabkan setiap pelaksananaan kegiatan-kegiatan informal mereka bertemu dengan orangorang yang berbeda-beda. Mobilitas sosial maupun vertikal tidak terlihat secara nyata, mobilitas yang terjadi dalam kehidupan masyarakat terbatas pada mobilitas horizontal dalam hal pekerjaan. Mereka umumnya bekerja menjadi pedagang di luar Pulau Madura. Konflik antarwarga beretnik Madura umumnya berupa konflik laten yang tidak tumbuh secara frontal dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, konflik ini menyeret seluruh anggota keluarga dari masing-masing pihak walaupun tidak secara terang-terangan dan hanya membicarakan lawan di belakang mereka. Pada masyarakat etnik Madura, carok salah satu cara menyelesaikan konflik, terutama yang berhubungan dengan harta, harga diri, dan wanita (istri). Akan tetapi, carok tidak pernah terjadi di wilayah ini dikarenakan figur kiai dalam kehidupan warga sudah menjadi mediator dalam penyelesaian konflik di Desa Jrangoan. 2.5 Pengetahuan 2.5.1 Konsepsi Mengenai Sehat dan Sakit Konsepsi yang berkembang dalam kehidupan warga Desa Jrangoan tentang sehat adalah seseorang yang masih mampu beraktivitas dan bekerja, walaupun dalam kondisi sakit yang berat sekalipun. Sebaliknya, jika seseorang menderita sakit yang ringan seperti flu namun tidak mam­ pu beraktivitas dan bekerja, maka ia disebut tidak sehat (sakit). Terdapat Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 27 dua penyebab sakit, yang pertama adalah penyakit yang umumnya da­ pat disembuhkan secara medis dan yang kedua adalah penyakit yang disebabkan oleh hal-hal gaib atau kekuatan mistik. Penyakit yang disebab­ kan oleh kekuatan mistik ini disembuhkan melalui kekuatan supranatural yang dilakukan oleh kiai, ustad, atau dukun. Derajat kesakitan seseorang umumnya ditandai dengan jenis-jenis penyakit yang diidap oleh warga. Penyakit ringan adalah penyakit batuk, pilek, dan ISPA. Penyakit batuk dapat dianggap sebagai penyakit ringan walaupun batuk menahun dan hanya diobati dengan jeruk dan kecap. Hal ini dikarenakan rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai penyakit TBC. Penyakit yang dianggap berat oleh warga adalah Diabetes Mellitus (DM) atau yang mereka kenal dengan “kencing manis”. Bidan desa menyatakan bahwa banyak warga desa menginap penyakit ini dikarenakan pola hidup mereka yang gemar menyantap karbohidrat dalam dosis berlebih dan minum manis (kopi dan teh) secara berlebihan. Umumnya mereka tidak menyadari akan penyakit ini sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi bidan desa untuk menyosialisasikan perihal TBC secara terus-menerus. Konsep dingin tidak terlalu dikenal dalam kehidupan warga, tetapi konsep panas dikenal sebagai penyakit setan. Ketika seorang balita mengalami panas selama berhari-hari, ibu akan membawa balitanya ke dukun atau kiai. Pengobatan oleh dukun dilakukan dengan pemberian bu’-sobu’ dan kiai akan melakukan ritual penyembuhan melalui mediasi air putih yang didoakan. Konsepsi bersih dan kotor merupakan hal yang melatari persepsi warga dalam pembangunan rumah mereka. Konsep bersih pada masya­ rakat adalah langgar atau mushola yang dipergunakan sebagai tempat ibadah dan tempat berkumpul. Langgar atau mushola merupakan tem­ pat untuk beribadah kepada Allah SWT sehingga penting untuk dijaga kebersihannya. Sementara konsep kotor direprensentasikan dengan ka­ mar mandi dan dapur karena di dalam ruangan ini segala kotoran atau sampah dibersihkan dan dikumpulkan. Penyakit jiwa atau gila merupakan penyakit yang menurut warga Desa Jrangoan disebabkan oleh berbagai penyebab. Penyebabnya antara lain adalah penyakit saraf dan makhluk halus. Gangguan kejiwaan harus disembuhkan dengan penanganan medis di rumah sakit jiwa, sedangkan gangguan kejiwaan yang disebabkan oleh makhluk halus dianggap berpotensi terjadi tindakan yang tidak wajar, tidak seperti orang yang sehat jiwa dan rohaninya. Penyakit jiwa yang disebabkan kerasukan makhluk 28 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 halus biasanya disembuhkan dengan bantuan dukun, dengan mediasai berbagai makhluk hidup, seperti ayam dan air putih. Apabila makhluk halus di dalam tubuh tidak keluar dari tubuh orang tersebut, maka ia akan dipasung agar tidak membuat kerusuhan dan merugikan orang lain. Warga Desa Jrangoan kurang begitu memahami penyakit HIV/Aids. Bagi mereka, penyakit tersebut sangat jauh dari keseharian mereka. Pendapat tentang HIV/Aids terbatas berasal dari tenaga kesehatan dan tokoh kepemudaan saja. Menurut mereka HIV/Aids adalah penyakit yang disebabkan oleh hubungan seksual dan penggunaan jarum suntik. Keterbatasan informasi yang dimiliki terasa sangat berbeda ketika kami minta informasi mengenai penyakit-penyakit yang lain seperti TBC. Warga Desa Jrengoan mengenal penyakit TBC ini dengan istilah ceklek. Ceklek ini lebih bernuansa supranatural dibandingkan medis. Mereka menganggap ceklek adalah penyakit hasil guna-guna dari orang yang tidak suka dan iri kepada mereka. Penyakit ceklek dapat dikenali dengan gejala batuk yang tidak berhenti dan menahun atau bahkan muntah darah sehingga pengobatan ceklek umumnya melalui penyembuhan secara spiritual. Puskesmas Jrangoan berusaha menyosialisasikan penyakit TBC kepada warga Jrangoan dengan meminta kepada warga untuk me­lapor apabila keluarga terdekat atau tetangganya menderita batuk berkepanjangan dalam waktu yang relatif lama serta berat badan yang menyusut secara drastis. Warga Jrangoan memandang malaria sebagai penyakit yang disebab­ kan oleh gigitan nyamuk. Desa Jrangoan bukan merupakan daerah en­ demis malaria namun warga mengenal pengobatan pil kina dan beberapa ada yang menyebut mahoni. Warga tidak mengetahui banyak perihal pencegahan penyakit malaria. Penyakit hipertensi/kardiovasikuler sudah sering disosialisasikan kepada warga desa. Warga mengenal penyakit ini sebagai “darah tinggi” dan disebabkan oleh kebiasaan mengonsumsi makanan yang terlalu asin dan juga oleh konsumsi makanan berlemak. Pengobatan “darah tinggi” yang dipercaya oleh masyarakat adalah dengan pengobatan tradisional (jamu). Warga memilih untuk mengurangi konsumsi makanan asin untuk mencegah penyakit ini. Penyakit stroke dikenal oleh warga dengan istilah “lumpuh separuh”. Warga sudah terbiasa dengan istilah stroke, tetapi hanya beberapa warga yang bisa menjawab penyebab penyakit ini, yaitu disebabkan oleh makanan berlemak, tetapi mereka tidak mengetahui dengan pasti cara pengobatan dan pencegahan penyakit ini. Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 29 Warga mengenal diabetes atau kencing manis disebabkan karena konsumsi minuman dan makanan manis yang berlebihan. Pengobatan yang dilakukan oleh warga adalah melalui konsumsi jamu atau makanan yang pahit, seperti pare, biji mahoni, atau pun temulawak yang dibuat dalam bentuk jamu. Pencegahan yang mereka lakukan pada penyakit ini terbatas pada mengurangi makanan dan minuman yang bersifat manis. 2.5.2 Penyembuhan Tradisional Peranan sosial lain dalam proses penyembuhan tradisional di masyarakat di luar bidang kesehatan tidak ditemukan pada masyarakat ini. Penyembuh tradisional yang ada di Desa Jrangoan umumnya merupakan ahli pijat dan urut. Warga Desa Jrangoan cenderung bersifat agamis dan peranan sosial umumnya berada di tangan kiai dan pemuka masyarakat seperti klebun sehingga tidak ada peranan penyembuh tradisional yang melampaui peran mereka dalam bidang kesehatan. Keahlian para penyembuh tradisional umumnya diwarisi secara turun-temurun. Mereka mendapatkan ilmu tersebut sebagai penerus dari ilmu yang diperoleh orang tua mereka. Penurunan ilmu tersebut memakan waktu yang tidak sebentar. Mereka mempelajari ilmu dengan cara membantu orang tua mereka menangani pasien. 2.5.3 Teknik Penyembuhan Cara perawatan diri sendiri (ibu bersalin) dan bayi yang baru dilahirkan dilakukan oleh dukun yang membantu persalinan (baik persalinan yang dibantu oleh bidan maupun tidak). Ketika ibu bersalin baru melahirkan, umumnya mereka diminta untuk menyilangkan kaki kanan di atas kaki kiri. Tujuan tindakan ini adalah agar vagina dapat segera kembali ke bentuk asal (rapet). Setelah sekurangnya 1 jam beristirahat, makan, dan minum, ibu bersalin akan dimandikan serta dibersihkan dari sisa-sisa pro­ ses persalinan berupa darah dan kotoran yang lain. Setelah proses pembersihan selesai, maka akan dipasangkan stagen pada perut ibu bersalin dan menggunakan kain sarung sebagai bawahannya, dilanjutkan dengan beristirahat di ruangan yang pada lantainya disebar pasir dengan maksud apabila darah nifas keluar tidak akan menetes di lantai dan terserap oleh sehingga lebih mudah dibersihkan. Pada bayi baru lahir, bayi dimandikan dengan menggunakan air panas dan sabun sambil badannya diurut dan dipijat agar tidur bayi nyenyak. Setelah diberi pakaian dan dibedong, bayi akan diletakan diatas tampah 30 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 yang telah dialasi kain bersih, dengan tujuan apabila bayi mengompol tidak akan merusak kasur atau alas tidurnya. Di atas kepala bayi biasanya diletakkan pisau, silet, atau benda tajam lainnya, kaca dan bawang merah dan cabai yang ditusuk seperti sate. Penempatan benda-benda tersebut bertujuan agar bayi tidak diganggu oleh makhluk halus. 2.5.4 Penyembuhan Tradisional dan Biomedikal Dalam kehidupan sehari-hari, keterikatan warga Desa Jrangoan akan jamu dan obat-obatan tradisional sangat kuat. Jamu sebagai pertolongan pertama dalam penyembuhan penyakit-penyakit yang berkembang di masyarakat, mulai dari penyakit ringan seperti batuk yang diobati oleh perasan jeruk nipis yang dicampur kecap hingga penyakit-penyakit berat seperti diabetes mellitus yang mempergunakan campuran kunyit dan temulawak. Pemanfaatan obat yang dijual bebas juga mulai dikenal oleh warga Desa Jrangoan, walaupun terbatas pada obat-obat ringan penyembuh sakit kepala dan obat flu, tetapi mereka sudah mengetahui dengan pasti obat yang mereka butuhkan untuk mengobati penyakit mereka. 2.5.5 Pengetahuan tentang Makanan dan Minuman Persepsi akan makanan pada warga Desa Jrangoan terbatas pada ma­kanan pokok yang berupa nasi atau nasi jagung (nasi dengan campuran jagung) dengan lauk pauk baik berupa lauk hewani maupun lauk nabati. Penggunaan sayuran sebagai makanan pelengkap sulit ditemui pada warga Desa Jrangoan, apabila ada, jenisnya terbatas, yaitu kacang panjang, kangkung dan bayam saja. Sayuran pada umumnya diolah dengan cara direbus dan menjadi rujak (seperti gado-gado yang ditambah dengan petis sebagai campuran sambalnya) atau ditumis saja. Sementara makanan ringan terbatas pada makanan yang juga terbuat dari karbohidrat seperti tepung, singkong, jagung, serta beras. Prioritas pembagian makanan di dalam keluarga juga sangat tidak proporsional. Prioritas pertama dalam pembagian dan pemilihan lauk pauk di keluarga adalah ayah karena posisinya sebagai pencari nafkah dan pemimpin keluarga. Prioritas kedua adalah anak karena menurut mereka anak masih dalam masa pertumbuhan dan membutuhkan makanan yang lebih untuk aktivitas sehari-hari mereka. Prioritas terakhir adalah ibu karena dalam persepsi mereka, seorang ibu pasti lebih mementingkan ayah dan anak dalam pembagian makanan. Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 31 Pengetahuan tentang cara pengolahan dan penyimpanan makanan juga masih kurang. Dalam hal pengolahan makanan, seperti proses me­ masak, umumnya sesuai dengan pengetahuan yang mereka dapatkan dari orang tua mereka, misalnya mencuci sayuran setelah sayuran tersebut dipotong-potong adalah salah satu contohnya. Dalam hal penyimpanan makanan dan minuman, mereka hanya mengenal penyimpanan makanan yang sudah disajikan di dalam lemari. Makanan-makanan siap saji juga mulai merambah warga Desa Jra­ ngoan. Sosis dan nugget banyak ditemukan di Pasar Desa Jrangoan. Wa­ laupun dari segi rasa dan kesehatan belum tentu terjamin mengingat harga makanan siap saji ini relatif murah. Harga jual yang relatif murah memang sangat membantu dan terjangkau warga Desa Jrangoan. 2.5.6 Pengetahuan tentang Pelayanan Kesehatan Pada umumnya tempat pelayanan kesehatan yang digunakan oleh warga Desa Jrangoan adalah polindes yang juga menjadi tempat tinggal bidan desa. Warga membutuhkan pelayanan polindes untuk memperoleh pertolongan pertama bagi setiap permasalahan kesehatan mereka yang tidak dapat mereka selesaikan dengan pengobatan rumah tangga (self care). Sebenarnya fungsi utama polindes adalah tempat persalinan bagi warga Desa Jrangoan. Puskesmas sendiri dalam persepsi warga Desa Jrangoan adalah tempat memperoleh pengobatan yang lebih komprehensif yang tidak mereka peroleh dari polindes. Pengobatan rumah tangga yang biasa ditemui di Desa Jrangoan ada­ lah pengobatan tradisional yang mempergunakan jamu dan buk-sebuk (pertolongan oleh penyembuh tradisional) untuk anak-anak. Selain itu, warga desa juga mempergunakan obat bebas terutama untuk penyakit ringan seperti batuk, flu dan pusing yang didapatkan di warung terdekat. Pengambilan keputusan untuk memperoleh pelayanan kesehatan pada warga desa biasanya dilakukan oleh kepala rumah tangga, terutama untuk penyakit-penyakit berat yang membutuhkan pengobatan komprehensif. Tetapi, untuk pelayanan KIA, terutama pelayanan persalinan, pengambil keputusan adalah ibu dari anak yang akan melahirkan (apabila merupakan kehamilan pertama), sedangkan pada persalinan kedua dan seterusnya pengambilan keputusan di tangan ibu yang akan bersalin de­ ngan alasan sudah berpengalaman dalam persalinan sehingga bulin dapat memilih pelayanan kesehatan yang paling nyaman baginya. 32 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 Respons masyarakat pada pelayanan kesehatan profesional sangat baik. Mereka terbuka dengan sosialisasi pelayanan kesehatan yang diper­ kenalkan oleh puskesmas. Seti ap program yang diperkenalkan selalu mengikutsertakan peran tokoh agama agar dapat diterima oleh masyarakat dengan baik. Tidak ada penolakan frontal yang dilakukan masyarakat terhadap program kesehatan yang disosialisasikan. Pada umumnya sosialisasi dilakukan terus-menerus oleh nakes dan toga agar dapat diterima dan dilaksanakan oleh warga desa. 2.5.7 Persepsi Masyarakat terhadap Pelayanan Kesehatan Klebun menyatakan bahwa keberadaan puskesmas dan polindes sa­­ngat membantu warga Desa Jrangoan. Dengan adanya polindes, me­ reka tidak perlu pergi ke Kota Sampang untuk memperoleh pelayanan kesehatan dasar. Sementara ini, untuk memperoleh pelayanan kesehatan untuk anak-anak, warga Desa Jrangoan harus mencari bantuan kesehatan ke Desa Rapalaok, Kecamatan Omben yang berjarak sekitar 5 kilometer dari Desa Jrangoan. Kebutuhan akan pelayanan kesehatan bagi warga Desa Jrangoan sangat tinggi. Warga menderita penyakit yang variatif setiap musimnya. Penyakit yang sering diderita pada musim kemarau adalah ISPA, sedangkan pada musim penghujan penyakit yang ering merebak yaitu diare. Kebutuhan akan pelayanan kesehatan dasar juga dibutuhkan oleh warga desa yang lain di sekitar Jrangoan seperti Desa Kebun Sareh, Ang­sokah, Napo, dan Rong Dalem. Para warga desa tersebut juga ikut menggantungkan pemenuhan kebutuhan kesehatan pada Puskesmas Jrangoan. Sebelum ada Puskesmas Jrangoan, mereka harus menempuh perjalanan ke Puskesmas Omben atau ke Kota Sampang yang berjarak 12 kilometer dari desa. Bidan desa merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan di Desa Jrangoan. Meskipun puskesmas juga berdiri di Desa Jrangoan, tetapi untuk pelayanan-pelayanan darurat mereka sangat membutuhkan tenaga kesehatan yang dapat siap 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Bidan desa juga mempunyai kewajiban melakukan pendekatan kepada warga desa agar mereka percaya dengan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan, serta meninggalkan kepercayaan masyarakat untuk mencari pertolongan pertama pada kondisi darurat masalah kesehatan kepada dukun. Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 33 Keberadaan bidan yang ditempatkan di Desa Jrangoan dapat diterima dengan baik oleh warga. Bidan desa Nisa mengabdi di Desa Jrangoan sekitar 2 tahun. Penerimaan warga terhadap Bidan Nisa dipengaruhi oleh pembawaan beliau yang sabar dan luwes bergaul dengan warga desa sehingga dapat memperoleh kepercayaan warga. Kemampuan sosial Bidan Nisa tidak hanya mendapatkan kepercayaan warga Desa Jrangoan namun juga warga desa lain di sekitarnya seperti warga Desa Kebun Sareh dan Napo. Warga sekitar datang ke Bidan Nisa untuk berobat, pemeriksaan kesehatan, atau bahkan persalinan, meskipun telah ada bidan desa di desa mereka. 2.6. Bahasa Mayoritas penduduk Desa Jrangoan adalah keturunan asli penduduk Desa Jrangoan. Etnik/suku masyarakat Jrangoan, yaitu suku Madura dan bahasa sehari-hari mereka adalah bahasa Madura. Pada dasarnya, tidak ada perbedaan antara kosakata dalam bahasa Madura yang digunakan oleh masyarakat Jrangoan, Kabupaten Sampang dengan kosakata bahasa Madura yang terdapat di kabupaten lain di Pulau Madura. Hanya saja ada sedikit kosakata yang berbeda, namun masih dapat saling dimengerti oleh masyarakat Madura lainnya walaupun dialek pengucapan katanya berbeda. Walau demikian, bahasa Madura yang digunakan oleh masyarakat disesuaikan dengan latar belakang lawan bicaranya. Ada empat tingkatan dalam bahasa Madura, antara lain bahasa Madura enje’ iye, enggi enten, enggi bunten, dan tenggi alos. Bahasa enje’ iye digunakan antara dua orang atau lebih yang usianya sebaya. Sedangkan enggi enten digunakan jika seseorang berbicara kepada orang yang sedikit lebih tua (kakak). Enggi bunten merupakan bahasa yang digunakan apabila seseorang ber­­bicara kepada orang yang jauh lebih tua. Untuk tenggi alos biasanya digunakan ketika berkomunikasi dengan orang tua kandung, kiai, dan tokoh masyarakat. Perbedaan keempat tingkatan bahasa tersebut terletak pada beberapa kosakata tertentu. Misalnya saja untuk kata “saya” dalam bahasa Madura. Bahasa enje’ iye dan enggi enten “saya” adalah sengko’ atau engko’, jika dalam enggi bunten maka berubah menjadi kaula. Se­ dangkan bahasa tenggi alos “saya” adalah abdhina. Perbedaan tingkat ba­ hasa ini ditujukan agar orang yang lebih muda menghormati yang lebih tua, begitu pula dengan orang biasa yang selayaknya menghormati kiai dan tokoh masyarakat lainnya. 34 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 Berdasarkan data profil Desa Jrangoan tahun 2011 tingkat pendidikan masyarakat desa Jrangoan rendah. Hal itu terlihat dari jumlah penduduk Desa Jrangoan usia 18-56 tahun yang buta huruf sebesar 348 orang laki-laki dan 350 orang perempuan, dan penduduk Desa Jrangoan usia 18-56 tahun yang pernah bersekolah di SD tetapi tidak tamat sebesar 67 orang laki-laki dan 68 orang perempuan. Sedangkan penduduk Desa Jrangoan yang hanya tamat SD sebesar 133 orang laki-laki dan 134 orang perempuan. Banyaknya masyarakat Desa Jrangoan yang buta huruf dan tidak tamat SD menyebabkan masyarakat Desa Jrangoan tidak terlalu lancar berbahasa Indonesia, atau bahkan sama sekali tidak dapat berbahasa Indonesia. Banyaknya jumlah penduduk Desa Jrangoan yang buta huruf juga disebabkan karena rendahnya status ekonomi keluarga sekaligus kurangnya lembaga dan fasilitas pendidikan formal yang terdapat di Desa Jrangoan. Bagi masyarakat Desa Jrangoan, pendidikan formal seperti sekolah dasar tidak diwajibkan kepada putra-putrinya. Masyarakat Desa Jrangoan lebih mengutamakan pendidikan informal berupa pendidikan agama Islam di pesantren. Anak-anak usia sekolah di Desa Jrangoan mulai bersekolah pada usia 7 tahun dan ketika menginjak kelas 5 SD, para orang tua cen­ derung memindahkan putra-putrinya ke pesantren. Sedangkan pada usia antara 5-6 tahun anak-anak tersebut sudah mulai dikenalkan dengan kehidupan pesantren sehingga pada saat anak-anak tersebut berusia 11 tahun mereka mulai dipondokkan di Pesantren Al-Ihsan oleh orang tua hingga lulus tingkat Aliyah (sederajat SMA) dan menjadi ustad di pesantren tersebut. Masyarakat Desa Jrangoan yang bisa berbahasa Indonesia juga ada. Pada umumnya mereka yang bisa berbahasa Indonesia adalah warga yang merantau ke Pulau Jawa dan sekitarnya. Banyaknya masyarakat Desa Jrangoan yang tidak bisa berbahasa Indonesia dengan lancar menyebabkan bahasa Madura menjadi satusatunya bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dalam berinteraksi sosial di masyarakat. Oleh karena itu, petugas kesehatan ketika melak­ sanakan kegiatan health education dan health promotion di Desa Jrangoan menggunakan bahasa Madura yang merupakan satu-satunya bahasa yang paling dipahami oleh sebagian besar penduduknya. 2.7. Kesenian Madura, sebagai salah satu suku di Indonesia, memiliki beragam ke­ senian, misalnya hadrah yang diiringi musik rebana, senik musik daul dugEtnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 35 dug, dan lain sebagainya. Hanya saja, dalam lingkungan masyarakat Desa Jrangoan seni-seni budaya daerah tidak berkembang karena masya­rakat Desa Jrangoan yang bekerja sebagai petani lebih fokus pada pertaniannya dan mencari sumber pendapatan lain agar kebutuhan hidup sehari-hari keluarga dapat terpenuhi. Masyarakat Jrangoan pada umumnya tidak begitu tertarik pada pelestarian dan perkembangan kesenian khas Madura. Namun, dalam lingkungan Desa Jrangoan terdapat pondok pesantren yang masih melestarikan kesenian lokal Madura saat pelaksanan kegiatan imtiham (kegiatan perayaan kenaikan kelas dan kelulusan/wisuda para santri). Kegiatan imtihan yang hanya diadakan setahun sekali digelar dengan meriah. Berbagai macam kegiatan hiburan ditampilkan dan dipe­ rankan oleh masyarakat pesantren yang terdiri atas para pengajar (ustad dan ustadzah) dan para santriwan dan santriwati. Salah satu hiburan yang selalu ditampilkan yaitu kesenian musik hadrah yang diiringi suara rebana yang semuanya dimainkan oleh santri-santri yang telah terlatih. Gambar 2.6 Para santriwati sedang berlatih kesenian untuk kegiatan imtihan. 2.8. Mata Pencaharian Menurut data profil Desa Jrangoan tahun 2011, jenis pekerjaan ma­ syarakat Desa Jrangoan mayoritas sebagai petani dan buruh tani. Jumlah penduduk yang pekerjaan utamanya sebagai petani sebesar 301 orang laki-laki dan 206 orang perempuan, penduduk yang bekerja sebagai buruh 36 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 tani sebesar 501 orang laki-laki dan 413 orang perempuan, sedangkan yang bekerja sebagai pedagang baik yang berdagang di lingkungan Desa Jrangoan maupun yang berdagang hingga ke Pulau Jawa hanya sebagian kecil. Desa Jrangoan yang terletak di dataran tinggi dan berbatu pada dasarnya memiliki jenis tanah yang tidak subur, bahkan dapat dikatakan sebagai tanah tandus. Tanah/ladang di Jrangoan hanya bisa ditanami beberapa jenis tanaman umbi-umbian. Tidak dapat ditanami jenis tanaman yang membutuhkan banyak air. Kondisi tersebut mengakibatkan status ekonomi masyarakat rendah karena mayoritas masyarakatnya bergantung pada hasil pertanian yang tidak terlalu melimpah dan komoditas hasil pertaniannya terbatas. Hasil pertanian yang tidak berlimpah dan penjualan/pemasaran hasil pertanian yang tidak terlalu besar tersebut berdampak pada pendapatan masyarakat. Pada umumnya penjualan dari hasil pertanian masyarakat Jrangoan tidak dapat mencukupi kehidupan sehari-hari petaninya. Hasil pertanian masyarakat tidak semuanya laku terjual dan dan tidak semua dijual. Hasil pertanian yang tidak terjual tersebut akhirnya dikonsumsi sendiri oleh keluarganya. Hal ini menyebabkan variasi makanan yang yang dikonsumsi keluarga terbatas, sehingga asupan gizi keluarga tidak ter­ penuhi sebagaimana mestinya. Sebagian kecil masyarakat yang bekerja sebagai pedagang memfung­ sikan sebagian rumahnya untuk membuka warung makan yang pembeli­ nya mayoritas adalah para santri pendatang uamg tinggal di Pondok Pesantren Al-Ihsan dan Pondok Pesantren Bustanul Ulum. Ada juga sebagaian pemuda berdagang kain/pakaian ke Pulau Jawa dengan menjualnya secara kredit. Umumnya, dalam sebulan pedagang kain/pakaian tersebut membagi waktunya untuk berkeliling ke beberapa kota di wilayah Provinsi Jawa Timur, dan beberapa hari sisanya dihabiskan di rumah bersama keluarganya di Jrangoan. Hasil dari berdagang keliling di beberapa kabupaten tersebut juga tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga. Ha­ nya saja, pilihan berdagang tersebut diambil karena tidak memiliki ladang sebagai lahan garapan. 2.9. Teknologi dan Peralatan Di masyarakat Jrangoan tidak banyak jenis teknologi dan peralatan yang digunakan. Pada umumnya masyarakat desa Jrangoan tidak menciptakan teknologi dan peralatan baru dalam aktivitas sehari-hari. Ke­giatan siaga lingkungan desa berupa siskamling yang dilakukan rutin oleh santri Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 37 hanya menggunakan kentongan yang sudah umum digunakan. Bagi para santri yang bertugas keliling desa, kentongan tersebut tidak hanya digunakan untuk menginformasikan bahaya yang mengancam warga, namun juga digunakan untuk menginformasikan waktu kepada masyarakat. Kentongan tersebut dibawa saat berkeliling dan akan diketuk/dibunyikan pada jam-jam tertentu. Dalam hal kesehatan, masyarakat Desa Jrangoan pada umumnya me­miliki kebiasaan mengonsumsi jamu ramuan secara rutin, baik da­ lam keadaan sehat maupun sakit. Jamu-jamu yang biasa dikonsumsi masyarakat, yaitu jamu ramuan yang juga diolah sendiri. Namun, meski masyarakat memiliki kebiasaan minum jamu, tidak ada masyarakat yang meracik/meramu jamu dalam skala besar. Jamu ramuan tersebut hanya dibuat untuk sekali minum. Saat meracik jamu, peralatan yang digunakan berupa tumbukan yang terbuat dari 2 bongkah batu, satu batu memilki ukuran yang lebih besar dibanding batu lainnya, berbentuk persegi de­ ngan ujung-ujungnya yang tidak lancip/tajam, tampak halus pada masingmasing permukaannya, terutama pada bagian cekung seperti mangkuk kecil. Masyarakat Jrangoan juga mempercayai alat-alat tertentu dalam pe­ rawatan kehamilan dan nifas, serta perawatan bayi seperti halnya masya­ rakat Madura pada umumnya. Dalam hal perawatan kehamilan, gelang dan cincin monil digunakan bila usia kehamilan sudah mencapai 7 bulan, gelang dan cincin monil tersebut dipercaya dapat memberikan kesehatan kepada ibu hamil dan bayi dalam kandungannya. Sementara pada ibu nifas, sebelum 40 hari harus membawa (diselipkan di pinggang/perut) gun­ ting atau pisau kecil agar terhindar dari gangguan jin. Dan pada bayi yang usianya belum genap 40 hari, bayi akan diberi gelang yang berisi tulisan dari ayat-ayat Alquran dan juga gelang monil. Di atas tempat tidur bayi (di atas bantal bayi, tidak di permukaan bantal) terdapat gunting kecil. Gun­ ting tersebut juga diyakini untuk menjaga bayi dari gangguan jin jahat. 38 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 BaB III Budaya Kesehatan Ibu dan Anak 3.1. Pra Hamil 3.1.1 Remaja Jrangoan, Nge-trend di Pesantren Masyarakat Desa Jrangoan adalah masyarakat yang agamis dan se­lalu menginginkan generasi penerusnya mampu mendalami agama Islam dengan baik sehingga setiap anak usia sekolah wajib mengenyam pendidikan di pesantren. Bahkan ketika sudah beranjak remaja muda, sekitar usia 10-12 tahun, santriwati diwajibkan tinggal di asrama pesantren, sedangkan remaja putra yang tempat tinggalnya tidak jauh dari pesantren tidak diwajibkan tinggal di asrama. Ada dua pesantren di desa ini, yaitu Pesantren Al-Ihsan yang dipimpin oleh Kiai Mahrus dan Pesantren Bustanul Ulum yang dipimpin oleh Kiai Sholeh. Pesantren Al-Ihsan adalah pesantren yang menganut sistem salaf, yaitu hanya mengajarkan pendidikan agama tanpa adanya pendidikan for­mal, sedangkan Pesantren Bustanul Ulum sudah menggabungkan pen­ didikan agama yang mengkaji kitab dengan pendidikan formal. Kedua pesantren tersebut memiliki tingkatan pendidikan yang sama, yaitu Raudhatul Athfal (RA) setingkat TK, Madrasah Ibtidaiyah (MI) setingkat SD, Madrasah Tsanawiyah (MTs) setingkat SMP, dan Madrasah Aliyah (MA) setingkat SMA. Akan tetapi, pesantren yang lebih terkenal dan memiliki lebih banyak santri adalah Pesantren Al-Ihsan dengan jumlah santri kurang lebih 500 dan santriwati hampir 300 orang. Oleh karena itu, pendidikan yang paling berpengaruh di desa ini adalah pendidikan di Pesantren AlIhsan. Alasan lain mengapa Al-Ihsan lebih terkenal karena pesantren ini berhubungan erat dengan asal-usul Desa Jrangoan yang telah dijelaskan sebelumnya. Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 39 Di pesantren inilah kehidupan remaja berkembang. Banyak ilmu agama diajarkan, salah satunya tentang menikah dan kesehatan repro­ duksi. Menikah yang merupakan sunnah Rasulullah (dalam agama Islam) diajarkan secara jelas di pesantren ini. Suami adalah kepala keluarga yang wajib mencari nafkah, sedangkan istri bertugas melayani suami dan mengasuh anak. Namun pada kenyataannya, menurut ajaran Nyai Syifa dan Kiai Mahrus (pengasuh pesantren Al-Ihsan), jika istri mengerjakan beberapa pekerjaan rumah yang seharusnya dikerjakan oleh suami akan mendapatkan pahala yang berlimpah. Jadi sah-sah saja apabila dalam kehidupan sehari-hari, selain melayani suami dan mengasuh anak, istri juga memasak, membersihkan rumah, mencuci pakaian, menyapu halaman, dan beberapa pekerjaan rumah yang lain. Semua ini dilakukan agar tercipta rumah tangga yang bahagia dan sejahtera. Wanita (ibu) dalam sebuah keluarga adalah sosok unik yang bukan saja secara kodrati mampu mengandung dan melahirkan anak, tetapi juga dengan ikhlas dan tulus merawat, mengasuh, dan mendidik anak-anak hingga menjadi orang yang berguna dan mandiri. Sosok ibu pula yang senantiasa melindungi anak ketika dalam bahaya, juga menjadi teman bermain dan bercanda anaknya. Dengan penuh rasa cinta, seorang ibu selalu menghibur anak ketika anak sedih dan putus asa. Dengan telaten, ibu selalu memberi semangat hidup kepada anak dan selalu mendoakan agar kelak anaknya menjadi “orang” dan dapat hidup dengan layak. Menurut Mardiya (2008) di era modernisasi, ibu memiliki tugas dan tanggung jawab yang semakin berat. Karena untuk saat ini dan ke depannya, ia bukan lagi hanya mengurus suami dan anak-anaknya, te­ tapi juga harus ikut berjuang menopang perekonomian keluarga yang tidak lagi mampu dicukupi oleh suami. Modernisasi memang identik dengan kebutuhan hidup yang membengkak, namun kesempatan untuk memperoleh penghasilan yang layak semakin sulit. Apalagi bagi mereka yang tidak memiliki pendidikan dan keterampilan yang memadai. Oleh karena itu, tidak jarang seorang ibu harus bekerja keras membanting tulang agar anak-anaknya bisa makan atau sekolah pada saat penghasilan suami tidak menentu. Namun dengan demikian, keluarga akan memiliki tingkat keharmonisan dan ketahanan yang tinggi. Jadi ada kesesuaian antara yang diajarkan di Pesantren Al-Ihsan dengan peranan wanita yang dapat menjadikan sebuah keluarga sebagai keluarga yang memiliki tingkat ketahanan tinggi. 40 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 Selain itu, santri juga diajarkan tentang anak dan manfaat anak. Me­nurut pengasuh pesantren, anak adalah rezeki yang harus disyukuri keberadaannya, sehingga orang tua tidak perlu menghalangi kelahiran seorang anak. Istilah banyak anak banyak rezeki pun masih menjadi trend dan keyakinan yang paten. Oleh karena itu, program Keluarga Berencana (KB) diyakini sebagai bentuk pencegahan kepemilikan anak, yang berarti pencegahan terhadap rezeki. Sementara proses kelahiran dipercaya sebagai suatu amal perbuatan yang dapat menghapus seribu dosa yang pernah dilakukan sehingga semakin sering melahirkan, maka akan semakin sering pula dihapus dosanya seperti yang disampaikan oleh informan MT berikut ini. “… Kan kalau orang KB ini, Kak, kata orang kalau hamil, putus 1.000 urat, katanya. Kalau melahirkan itu katanya dihapus 1.000 dosanya ….” Program KB secara tidak langsung dianggap “membunuh” calon janin yang akan dikandung. Pernyataan ini diungkapkan oleh Nyai Syifa kepada para santriwati. Namun ada sebagian santri yang berpendapat bahwa benar apa yang dikatakan oleh Nyai, akan tetapi jika sudah menikah kelak ia akan tetap menggunakan alat kontrasepsi (KB) untuk mengatur jarak kelahiran. Badan Koordinasi dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menje­ laskan bahwa KB merupakan suatu program pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak serta mewujudkan kelu­ arga kecil yang bahagia dan sejahtera melalui pengendalian kela­hiran serta pengendalian pertumbuhan penduduk Indonesia. KB yang merupakan singkatan dari Keluarga Berencana, bila ditilik asal katanya, merupakan program yang baik dan harus mendapat dukungan sepenuhnya. Sebab semua orang yang hendak membangun rumah tangga harus memiliki perencanaan yang baik dan matang mulai dari meluruskan tujuan per­ nikahan, memilih calon pasangan hidup, membina keluarga, anak-anak, dan seluruh urusan kerumahtanggaan, semuanya perlu direncanakan dengan baik. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa program KB bukanlah suatu hal yang buruk, melainkan suatu upaya untuk merencanakan kehidupan masa depan yang cerah. Tidak selamanya pula memiliki banyak keturunan itu baik. Memiliki banyak anak juga mengakibatkan banyak risiko, seperti perhatian terhadap anak-anak kurang, kesehatan reproduksi Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 41 ibu yang bermasalah, dan kematian saat persalinan sehingga bukan rezeki yang didapatkan, tetapi suatu masalah. KB pun tidak bertujuan untuk membunuh calon bayi, tetapi lebih pada mengatur jarak kelahiran dan untuk lebih meningkatkan kualitas anak. Jika jumlah anak cukup banyak, tetapi kurang berkualitas, hanya akan menjadi beban negara, maka memiliki anak dalam jumlah cukup namun berkualitas jauh lebih utama. Namun, budaya tetaplah budaya. Pameo “banyak anak banyak rezeki” akan tetap melekat pada masyarakat Madura kecuali jika diarahkan pada suatu pemahaman yang lebih tepat. Walaupun sudah diajarkan tentang “anak dan pameo tersebut”, pesantren tetap menyelenggarakan aturan yang ketat mengenai cara santri bergaul dengan lawan jenis. Bukan bermaksud menghalang-halangi terjadinya pernikahan, tetapi lebih pada kehati-hatian dalan berperilaku. Kehidupan di pesantren tidak membolehkan para santri dan santriwati untuk bertemu. Hari-hari mereka diisi dengan menuntut ilmu agama di pesantren. Sebagai remaja atau “Anak Baru Gede” (ABG) tentulah para remaja ini membutuhkan interaksi sosial dengan lawan jenis. Banyak cara mereka lakukan dalam usaha berinteraksi dengan lawan jenis, antara lain pada saat acara Jum’at bersih yang dilakukan setiap Jum’at pagi. Para santriwati ini akan mencari kesempatan keluar gerbang pesantren dengan alasan membuang sampah, membersihkan karpet, atau menyapu sekitar lingkungan pesantren hanya untuk melihat para santri yang sedang ada di warung walaupun hanya dari kejauhan. Untuk menjemur karpet biasanya harus menaiki tangga dan mencapai tempat tertinggi di pesantren. Sebenarnya tempat ini dilarang untuk dikunjungi, karena siapa pun yang ada di tempat ini dapat melihat keadaan luar pesantren, termasuk kondisi pesantren putra. Namun, demi bisa melihat lawan jenisnya, santriwati berdalih akan menjemur karpet sehingga dapat mencuri pandang kepada santri laki-laki yang ada di seberang atau di luar pesantren. Ekspresi lainnya yang diungkapkan oleh para santriwati adalah mengungkapkan perasaannya dengan menuliskan kalimat mesra di atas bantal. Hal ini bisa dilihat pada gambar berikut ini. Tidak hanya dalam hal bergaul dengan lawan jenis saja yang diatur, jam makan pun diatur. Baik santri maupun santriwati diperbolehkan sarapan pagi dan makan malam. Namun, biasanya mereka akan sarapan pada pukul 9.00 ketika istirahat sekolah. Kemudian pada sore hari akan makan sebelum magrib. Pola makan para santri dan santriwati di pesantren bervariasi. Untuk santriwati yang keluarganya tinggal di sekitar lingkungan 42 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 Gambar 3.1 Cara santriwati mengungkapkan ekspresi terhadap lawan jenis. pesantren, makanan diantar oleh keluarga, sedangkan santriwati yang berasal dari luar Desa Jrangoan, mereka mendapatkan makanan dengan memesan makanan ke pengurus pesantren. Sementara untuk para santri, mereka membeli makanan sendiri di warung nasi atau memesan makanan pada ibu-ibu yang tinggal di sekitar pesantren. Menu makanan para remaja di pesantren Al-Ihsan sehari-hari adalah nasi dengan lauk-pauk, antara lain tahu, tempe, telur, ikan asin, dan mi instan. Lauk daging jarang mereka konsumsi, sedangkan untuk sayuran hampir tidak pernah mereka konsumsi dengan alasan tidak suka makan sayur seperti yang diungkapkan oleh informan NF berikut ini. “… kadang-kadang tahu sama tempe, kadang telur, ya kadang ada ikan, lauk itu Bu ikan laut itu kadang-kadang … sayurnya jarang, he’em ... ya banyak yang nggak suka, gitu Bu ....” Masalah lain yang terjadi di pesantren Al-Ihsan adalah Perilaku Hi­ dup Bersih dan Sehat (PHBS) yang masih kurang dilakukan oleh para santriwati. Banyak santriwati mengalami keputihan (Fluor albus) dan dibiarkan saja tanpa diobati. Keputihan ini disebabkan oleh kondisi air di kamar mandi yang kurang bersih dan higienis. Bak kamar mandi tidak tertutup, atap kamar mandi pun tidak ada sehingga jika hujan turun, air dalam bak akan bercampur dengan air hujan. Ada pula kebiasaan santriwati Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 43 yang juga mencemari air untuk mandi, yaitu kebiasaan membilas cucian dengan cara mencelupkan cucian yang masih berbusa ke dalam bak air. Hal ini menyebabkan air mengandung sabun. Apabila digunakan untuk membersihkan organ genital, maka keputihan pun tidak akan terhindarkan. Keterangan ini disampaikan oleh informan (WS dan SN) berikut ini. “Di kamar mandinya itu, di kamar mandinya itu, Kak, nggak ada atapnya. Lumutnya itu, Kak, banyak, Kak. Cuci baju itu, Kak, kalau udah dibuang air sabunnya ya dimasukkan ke bak air untuk dibilas.” (WS) “… Ndak diobatin, Kak, kadang gatel .…” “…keputihannya dibiarin aja, nggak diobatin, mengganggu kalau soal ibadah … ya gimana kalau nggak ada obatnya, saya nggak tahu .…” (SN) Gambar 3.2 Kamar mandi santriwati yang tidak beratap. Sebuah jurnal tentang bahaya keputihan (2009) mendefinisikan keputihan sebagai keluarnya cairan yang berlebihan dari alat kelamin (vagina) wanita. Vagina normalnya memang memproduksi cairan untuk menjaga kelembapan, membersihkan dari dalam, dan menjaga keasaman vagina karena mengandung bakteri-bakteri menguntungkan. Selama keseimbangan bakteri yang menguntungkan itu baik, tentu saja infeksi 44 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 pada organ reproduksi wanita ini bisa dicegah. Keputihan ada dua macam, yaitu keputihan yang normal dan yang tidak normal. Keputihan normal biasanya terjadi sebelum menstruasi atau setelah menstruasi. Bisa juga terjadi pada masa subur, yaitu sekitar dua minggu sebelum menstruasi. Keputihan normal terjadi karena perubahan hormonhormon seksual wanita (hormon estrogen dan progesteron). Biasanya cairan yang keluar berwarna bening, tidak lengket, tidak berbau, tidak gatal, dan biasanya tidak keluar terus-menerus. Sementara keputihan tidak normal atau patologis bisa terjadi karena infeksi bakteri, jamur, virus, atau mungkin karena proses radang karena alergi. Keputihan patologis ini mempunyai gejala antara lain keluar banyak cairan banyak dan terus-menerus dari vagina. Cairan tidak jernih, berwarna putih, kuning, sampai kehijauan. Terasa gatal, berbau tidak enak sehingga sangat mengganggu aktivitas sehari-hari. Keputihan dapat menyebabkan kemandulan atau bahkan kematian karena menyebabkan terserang kanker rahim. Masalah keputihan yang dialami oleh para santriwati termasuk da­lam kategori keputihan yang tidak normal karena dialami setiap hari dan mengganggu akrivitas mereka. Sesuai dengan keterangan informan, ke­putihan yang dialami santriwati ini dapat mengakibatkan penyakit kelamin, bahkan kanker mulut rahim sehingga perlu tindakan pengobatan dan pencegahan yang harus dilakukan oleh pengurus pesantren karena hal ini akan berpengaruh pada masa depan remaja di desa ini. 3.1.2 Pasangan Suami Istri yang Istrinya Belum Pernah Hamil Salah satu tujuan menikah adalah untuk memperoleh keturunan. Apa­lagi masyarakat Madura masih sangat meyakini bahwa anak akan membawa rezeki yang melimpah. Namun, ada pula pasangan suami istri yang belum memiliki anak padahal usia pernikahannya sudah 5 tahun, bahkan ada yang sudah hampir 20 tahun. Menurut informan, mereka sudah berusaha untuk berobat ke bidan desa dan berkonsultasi ke penyembuh dengan melakukan pengobatan alternatif, seperti ke dukun beranak dan terapi jamu. Dukun akan memijat bagian perut dan memeriksa keadaan rahim si ibu untuk memastikan apakah ada masalah atau tidak. Tidak hanya dokter saja yang bisa mendeteksi adanya tumor atau polip, tetapi dukun pun mampu melakukannya. Setelah itu, dukun akan memberikan jamu untuk terapi. Jamu ini hanya untuk diminum oleh istri, sedangkan suami tidak. Menurut dukun, jamu ini adalah jamu kesuburan dan informan Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 45 tidak mengetahui komposisi jamu ini. Di samping mengkosumsi jamu yang diberikan oleh dukun, sang istri juga biasanya mengonsumsi jamu racikan berupa kunyit yang direbus dengan daun asam, lalu airnya diminum serta minum air kelapa muda yang dicampur dengan telur ayam kampung. Tradisi lain yang dilakukan adalah dengan mengambil telur yang digunakan pada saat acara 7 bulanan ibu hamil, kemudian telur tersebut dimakan oleh perempuan yang belum mempunyai anak dengan tujuan agar bisa tertular hamil. Usaha yang lain adalah dengan banyak mengonsumsi sayuran. Menurut masyarakat, sayuran yang dapat menyuburkan adalah kecambah. Akan tetapi, masih belum ada. Pasangan suami istri yang belum memiliki anak tidak ada yang berusaha memeriksakan dirinya ke dokter spesialis kandungan karena mereka merasa takut dan khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan atau kabar buruk mengenai kesehatan reproduksinya. Dalam hal ini orang tua dan keluarga tidak banyak berperan dalam usaha mereka mendapatkan keturunan. Semua keputusan dan usaha yang dilakukan diserahkan kepada pasangan suami istri itu. Berikut ungkapan informan IK. “... belum pernah ke dokter spesialis, ya baru ke Bidan Nisa aja … takut (sambil tertawa) … ya takut nggak subur atau bagaimana gitu .…” Padahal secara medis, jika pasangan memeriksakan diri ke dokter kandungan dan bertanya tentang cara hamil, dokter akan memeriksa dengan sangat detail untuk mengetahui penyebab pasangan tersebut belum memiliki anak. Biasanya dokter akan memeriksa suami dan istri sekaligus, karena dokter tidak bisa memastikan siapa yang bermasalah. Pada wanita ada beberapa hal yang menyebabkan sulit punya anak, di antaranya adalah gangguan hormon yang menyebabkan siklus menstruasi tidak teratur, anovulasi, adanya kista atau tumor, kelainan alat kelamin (misalnya rahim dan tuba falopii), dan sebagainya (Partasari, 2012). Sementara pada pria, yang menyebabkan sulit memiliki anak adalah masalah sperma. Sperma yang baik dan dapat membuahi sel telur harus memenuhi persyaratan baik makroskopis maupun mikroskopis. Secara makroskopis volume sperma yang dikeluarkan harus cukup, viskositas atau kekentalannya sedang (tidak terlalu encer maupun terlalu kental), baunya pun khas, yakni seperti bunga kamboja. Jika sperma berbau busuk, maka mengindikasikan adanya penyakit atau gangguan. 46 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 Secara mikroskopis meliputi bentuk yang sempurna (ada kepala dan ekor), ukurannya normal dan proporsional (tidak terlalu panjang atau pun terlalu pendek), dan gerakannya cepat. Setelah mengetahui penyebabnya, biasanya dokter akan memberi terapi serta memberi penjelasan mengenai cara hamil. Sementara secara tradisional, pada umumnya orang meminum ramuan herbal yang diyakini dapat menyuburkan kandungan seperti pelepah kurma, jamu-jamuan, buah kedondong, buah nanas, buah pisang, kecambah, rebusan air kacang hijau, dan lain-lain. Tindakan yang dilakukan oleh pasangan suami istri yang belum memiliki anak di Desa Jrangoan ini sudah sesuai dengan yang seharusnya, yaitu mengonsumsi sayur dan buah yang dapat meningkatkan kesuburan. Hanya saja pemeriksaan melalui medis belum dilakukan dengan alasan takut. Padahal seharusnya pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui masalah atau kondisi kesehatan organ reproduksi pasangan sehingga dapat ditemukan solusi untuk dapat memiliki anak. Solusi yang dianggap ampuh oleh masyarakat adalah dengan cara mengadopsi anak saudaranya. Anak tersebut dirawat oleh pasangan suami istri ini sebagai “pancingan” agar suatu saat benar-benar bisa melahirkan anak kandung. Selain itu, jika pada akhirnya tetap tidak dikaruniai anak, maka anak hasil adopsi tersebut akan menjadi investasi masa depan bagi pasangan ini di dunia dan akhirat. Investasi yang dimaksud, yaitu suatu aset yang dapat meneruskan keturunan (walaupun bukan darah daging sendiri) dalam hal bekerja serta mendoakan keduanya ketika sudah meninggal kelak. Ketika suami istri memilih mengadopsi anak, keputusan tersebut memang dipilih atas kesepakatan bersama (Partasari, 2012). Adopsi men­ jadi pilihan mereka di antara berbagai alternatif yang ada. Harapan ketika mengadopsi ini juga sudah cukup realistis. Harapan realistis yang dimaksud adalah memang pasangan itu ingin menjadi orang tua. Ketika suami-istri sudah ingin mengadopsi anak, ada berbagai hal yang perlu dipersiapkan. Pertama, yang paling penting adalah kesiapan mental pasangan tersebut. Pasangan juga harus punya komitmen kuat karena menjadi orang tua bukan sesuatu yang mudah. Memiliki anak itu adalah suatu perubahan yang membawa banyak konsekuensi. Segala macam perubahan hidup akan sulit dijalani kalau belum siap. Bukan hanya kesulitan untuk mengasuh anak saja yang akan dihadapi pasangan ketika mengadopsi anak sebagai pancingan, namun pasangan tersebut juga harus siap menghadapi dampak psikologis ketika mereka sendiri punya anak kandung. Kasih sayang kepada anak Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 47 adopsi (yang awalnya sebagai anak pancingan) akan berkurang sehingga anak akan merasa tersisihkan. Tentunya kalau hal tersebut terjadi, orang tua tersebut sudah mengorbankan anak. Selain harus menyiapkan mental dan komitmen, pasangan ketika ingin mengadopsi anak harus mengumpulkan informasi. Pengetahuan tentang adopsi ini penting terutama jika suami-istri ingin mengadopsi anak dari lembaga formal seperti Panti Asuhan. Orang tua harus punya informasi yang lengkap. Dari situ mereka bisa menimbang apakah memang sepakat dengan informasi tersebut. Jadi, keyakinan masyarakat Desa Jrangoan bahwa dengan mengadopsi anak dapat memancing memiliki anak kandung dapat dibenarkan. Telah dipaparkan di atas bahwa dengan mengadopsi anak, rasa percaya diri untuk memiliki anak kandung akan semakin kuat, motivasi dan semangat semakin meningkat, dan pada akhirnya berpengaruh pada usaha untuk memiliki anak yang juga diiringi dengan rasa tenang. Namun, beberapa hal yang dapat memberikan dampak negatif pada pengadopsian anak, seperti ketidakadilan dalam mencurahkan kasih sayang kepada anak angkat dan anak kandung, harus dihindari agar kelak ketika benar-benar sudah memiliki anak kandung, anak angkat tidak kehilangan kasih sayang dan diasuh sama seperti anak kandung pasangan suami istri tersebut. 3.2 Hamil 3.2.1 Masa Kehamilan Permasalahan utama yang saat ini masih dihadapi berkaitan dengan kesehatan ibu di Indonesia adalah masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) yang berhubungan dengan persalinan, yaitu 228 per 100.000 kelahiran yang seharusnya nol (Kemenkes, 2010). Perawatan kehamilan merupakan salah satu faktor yang sangat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan kematian ketika persalinan, di samping itu juga untuk menjaga pertumbuhan dan kesehatan janin. Memahami perilaku perawatan kehamilan (ante natal care) adalah penting untuk mengetahui dampak kesehatan bayi dan ibu sendiri. Dalam penelitian ini terdapat empat informan ibu hamil yang usianya berkisar antara 23-37, tahun namun ada satu informan yang ber­ usia >35 tahun sehingga tergolong dalam kehamilan risiko tinggi. Tingkat pendidikan informan hanya pada tingkat SD. Mata pencaharian atau pekerjaan informan sehari-hari adalah petani dan ada informan yang 48 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 tidak bekerja atau hanya menjadi ibu rumah tangga. Kegiatan bertani yang dilakukan oleh informan adalah menanam berbagai jenis tanaman seperti padi, kacang-kacangan, singkong, ketela, cabai, bawang, dan tembakau. Ibu hamil tetap bekerja ke sawah walaupun dalam kondisi hamil ka­ rena ingin membantu suaminya mencari nafkah bagi keluarga seperti yang dikatakan oleh informan KH berikut ini. “… iya, tapi kalo kandungannya masih 4 bulan. Kalo men­ jelang mau lahir tidak bekerja. Soalnya saya mau bertahan hidup, jadi kalo tidak bekerja tidak bisa makan, Bu ….” Anak adalah rezeki yang sangat berharga bagi setiap pasangan suami istri. Oleh karena itu, perawatan sejak hamil pun sudah diperhatikan. Ketika mengetahui bahwa si ibu mulai hamil, maka seluruh anggota ke­ luarga akan memberikan perhatian lebih kepadanya, misalnya dengan cara memanggil dukun bayi dan menyarankan agar ibu hamil pergi ke polindes untuk memeriksakan kandungannya. Dukun bayi bertugas memijat ibu hamil, bahkan terkadang memijat perut si ibu agar posisi bayi tidak sungsang, sedangkan bidan juga dibutuhkan tenaganya untuk memeriksa kandungan secara medis dan pemberian vitamin. Beberapa bentuk perawatan kehamilan juga dilakukan dengan ritual yang dikenal dengan selametan. Pada usia kandungan 4 bulan diadakan acara pengajian yang mengundang tetangga serta kerabat dekat, kemudian diikuti dengan doa bersama yang biasanya dipimpin oleh kiai. Hal ini dilakukan karena menurut mereka, pada saat itu calon bayi sudah mulai ditiupkan roh oleh Allah. Ritual yang lain yaitu acara selametan saat usia kandungan 7 bulan yang biasa disebut dengan pelet betteng. Pada acara ini ibu hamil dipijat bagian perutnya oleh dukun bayi sambil menunggu kiai dan beberapa tetangga selesai mengaji dan berdoa bersama. Setelah itu, ibu hamil sambil menggendong telur dan ayam, dimandikan di halaman rumah. Setiap anggota keluarga dan tetangga yang hadir menyiramkan air yang sudah dicampur dengan bunga ke atas kepala ibu hamil tersebut. Kemudian, ibu hamil menginjak telur dan memberikan ayam kepada dukun bayi. Dukun akan berlari menjauhi ibu hamil sambil menggendong ayam. Ketika berlari, dukun pun dikejar oleh salah seorang anggota keluarga ibu hamil sambil melemparkan ranting pohon ke arahnya. Kejadian ini bukan berarti bentuk pengusiran kepada dukun, tetapi suatu ritual dengan tujuan agar persalinannya lancar. Dukun pun segera pulang dan tidak akan mengunjungi tempat lain sebelum tiba di rumahnya. Jika tidak dilakukan, Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 49 maka masyarakat percaya bahwa kelak saat melahirkan, bayi tidak akan lahir dengan mudah dan tersendat lama di mulut rahim. Sama halnya dengan dukun yang masih “tersendat” sebelum tiba di rumahnya. Gambar 3.3 Ibu hamil dipijat perutnya oleh dukun bayi pada saat acara selametan 7 bulanan. 3.2.2 Acara selametan 7 bulanan ibu hamil (pelet betteng). Gambar 3.4 Salah satu ritual acara selametan pelet betteng bagi ibu hamil. Selain pemijatan dan selametan, pada saat hamil ada beberapa pantangan yang tidak boleh dilakukan untuk menjaga keselamatan bayi da­ lam kandungan, yaitu tidak mengonsumsi makanan yang pedas agar nanti 50 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 wajah bayi tidak merah dan kotoran tidak sering menempel di mata bayi. Pantangan selanjutnya, yaitu tidak boleh mengonsumsi makanan yang akan terasa panas di dalam perut, seperti daging kambing, buah nanas, semangka, dan beberapa jenis makanan yang lain. Hal ini disampaikan oleh informan AN berikut ini. “… enggi ma’le tak ngis-ngis matana baji’ ka’assa, Bu. Dadi tak kengeng adha’ar cabbi nya’bennya’. Tak kengeng dha’aran se panas akadhi nanas, semangka, embe’ ka’assa, Bu ….” (“… iya agar tidak kotor matanya, jadi ndak boleh terlalu ba­ nyak makan cabai. Ndak boleh makan yang panas seperti nanas, semangka, kambing, itu Bu ….”) Sementara kebiasaan yang tidak boleh dilakukan adalah duduk di depan pintu dan memberikan makanan kepada seseorang yang berada di luar pagar rumah. Apabila hal ini dilakukan, maka dikhawatirkan bayi akan tertahan dalam jangka waktu yang agak lama di mulit rahim ketika proses persalinan. Kebiasaan lain yang harus dihindari adalah melilitkan handuk atau kerudung ke leher karena akan menyebabkan tali pusat melilit leher bayi ketika proses kelahiran. Hal ini seperti diungkapkan informan AM dan AN berikut ini. “… nggak boleh itu kalau ngasih makanan kaki satu di luar, satu di dalam pintu, harus kalau yang satu di dalam semua atau di luar semua … karena katanya kalau mau ngelahirin itu nanti susah, takut bayinya lama di mulut rahim, jadi nggak keluarkeluar ....” (AM) “… iya, gak bole melilitkan handuk atau selendang ke leher, karena kalau diikat-ikat gitu takut lek lek tontonan (tali pusat melilit leher bayi) .…” (AN) Mitos yang dipercaya oleh masyarakat Desa Jrangoan ini sebagian besar benar. Ibu hamil tidak boleh makan daging kambing karena akan membahayakan janin. Pantangan ini ada benarnya bagi ibu hamil yang memiliki kelebihan kolesterol dan sakit jantung karena daging kambing memiliki kadar lemak jenuh tinggi yang akan memengaruhi metabolisme asam urat. Namun, apabila tidak memiliki masalah kolesterol dan jantung, ibu hamil diperbolehkan menyantap daging kambing asalkan dengan porsi yang wajar. Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 51 Ibu hamil tidak boleh minum minuman bersoda karena takut mem­ bahayakan janin. Pantangan ini ada benarnya juga, karena hampir semua minuman bersoda diberi tambahan zat pengawet, zat pewarna, dan zat perasa yang tidak baik dikonsumsi oleh ibu hamil. Ibu hamil yang sudah terbiasa minum jamu yang aman dan bermanfaat tetap diperbolehkan minum jamu untuk meningkatkan ketahanan dan stamina tubuh. Namun, belakangan ini marak sekali beredar jamu-jamu dengan tambahan berbagai bahan kimia berbahaya. Selain itu, jamu yang terbuat dari bahan-bahan alami sekalipun, bisa saja didalamnya terkandung bahan (tanaman) tertentu yang mengandung alkohol sehingga bisa berbahaya bagi janin. Oleh karena itu, ada baiknya ibu hamil terlebih dahulu berkonsultasi dengan dokter bila ingin meminum jamu. Mengurut perut sangat berbahaya bagi ibu hamil karena amat berisiko bagi janin. Janin bisa mengalami stres sehingga bisa mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya. Apabila ada perlekatan plasenta, mengurut perut dapat menyebabkan perdarahan dan keguguran. Selain ritual, acara selametan, dan pantangan untuk ibu hamil, ada juga beberapa doa khusus yang harus dipanjatkan oleh calon ibu dan ayah. Karena sebagian besar penduduk Desa Jrangoan beragama Islam, maka membaca Alquran dan surat-surat tertentu yang ada di dalamnya menjadi kebiasaan yang bertujuan untuk keselamatan dan kebaikan calon bayi. Surat Yusuf dan Maryam adalah surat yang paling sering dibaca agar proses persalinan menjadi lancar dan bayi menjadi anak yang sholeh/ sholehah. Masa-masa kehamilan adalah masa yang cukup menegangkan bagi calon ibu baru. Ada rasa takut, khawatir, resah meski bercampur dengan bahagia karena menanti sang buah hati, terlebih lagi setelah memasuki masa-masa persalinan. Ketegangan dan kekhawatiran biasanya semakin meningkat. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa lantunan musik classic Mozart dapat mempengaruhi tumbuh kembang janin. Di sebuah situs, Surabaya Health, dinyatakan bahwa jika ingin memiliki anak yang cerdas hendaknya orang tua mengoptimalisasi anak sejak dini dan dokter di website tersebut menyarankan agar memperdengarkan musik Mozart. Para ilmuwan membuktikan bahwa bayi yang masih di dalam rahim terpengaruh oleh suara musik. Oleh sebab itu, bila diperdengarkan suara musik blues, classic, dan musik lain yang tenang, maka akan membantu pertumbuhannya. Begitu pula dengan bacaan Alquran yang menenangkan. 52 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 Bayi pun dapat terbantu pertumbuhannya ketika mendengar bacaan Alquran tersebut. Upacara adat atau acara selametan merupakan suatu bentuk du­ kungan psikologis, fisik, dan sosial yang luar biasa dan diwariskan secara turun-temurun. Di dalamnya juga terkandung nilai-nilai spiritual yang disesuaikan dengan agama masing-masing. Upacara adat bagi ibu hamil juga akan memberi rasa percaya diri, menguatkan ibu dalam masa transisi perubahan peran menjadi seorang ibu, mengubah cara pandang ibu terhadap perubahan tubuh selama hamil, meningkatkan rasa aman dan perasaan dihargai (Tari, 2011). Selain itu, umumnya wanita hamil lebih cepat lelah dan pegal. Stres pun biasanya meningkat pada wanita yang sedang hamil. Hal ini bisa disebabkan oleh perubahan hormonal, perubahan bentuk tubuh, ke­ khawatiran akan proses persalinan nanti, atau pun beban berat janin yang harus ditanggung oleh wanita hamil. Untuk mengatasi rasa lelah, stres, dan emosi, orang biasanya memilih pijat sebagai solusi yang dipercaya bisa membantu mengurangi, atau bahkan meredakan keluhan-keluhan tersebut. Pijat bagi wanita hamil aman-aman saja asalkan memenuhi standar keamanan bagi ibu dan janin. Yang penting untuk diketahui dan dilakukan adalah berkonsultasi dengan dokter mengenai kesehatan ibu dan janin, serta menghindari memijat di daerah perut karena daerah perut sangat rawan. Jika terjadi penekanan yang tidak benar pada perut saat memijat, maka bisa menyebabkan plasenta janin lepas sehingga menyebabkan janin tidak bergerak, kemudian meninggal. Sekalipun posisi janin sungsang tidak disarankan untuk melakukan pijat untuk memutar posisi janin. Pemijatan bisa dilakukan di daerah yang aman seperti punggung, kaki, dan leher agar tidak terjadi efek samping yang negatif untuk ibu dan janin yang masih ada di dalam kandungan. Pijat sebaiknya dilakukan oleh terapis yang benar-benar kompeten dan mengerti benar cara memijat wanita hamil, misalnya menggunakan meja yang khusus untuk tempat berbaring, yaitu dengan cekungan di salah satu permukaanya, sehingga bisa dijadikan tempat untuk menaruh perutagar ibu bisa berbaring tengkurap dengan nyaman dan terapis dapat memijat punggung untuk melemaskan otot-otot dan meredakan stres guna menghadapi persalinan. Berdasar uraian tersebut tampak bahwa pemijatan untuk ibu ha­ mil juga penting untuk mengurangi stres dan rasa lelah. Akan tetapi, perlu dihindari pemijatan di daerah perut. Sementara pada waktu acara Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 53 selametan 7 bulan ini ibu hamil selalu dipijat oleh dukun. Walaupun menurut keterangan masyarakat sekitar tidak pernah ada masalah ketika dipijat oleh dukun, namun menghindari pemijatan di daerah perut cukup baik dilakukan. Sehubungan dengan konsumsi makanan ibu hamil, makanan tam­ bahan untuk ibu hamil cukup bervariasi. Ada ibu hamil mengosumsi makanan tambahan berupa susu yang dicampur dengan telur ayam kampung dan madu. Ini dilakukan hanya sampai usia kandungan 7 bulan karena takut bayi menjadi terlalu besar jika dilakukan terus. Pada usia kehamilan 8-9 bulan, ibu hamil biasanya mengonsumsi jamu. Ada juga ibu hamil yang hanya mengonsumsi singkong rebus selama masa hamil karena tidak punya uang untuk membeli makanan tambahan seperti diungkapkan oleh informan AN dan KH berikut ini. “… Minum susu sama telur untuk tambahan makanan, madu juga. Minum susu sampai 7 bulan, soalnya nggak boleh ... takut bayinya kebesaran katanya, Bu. Harus banyak minum jamu kalau sudah usia kehamilan 9 bulan .…” (AN) “… gak ada, Bu, yang dimakan cuma singkong saja soalnya mau beli makanan tambahan tidak ada uang yang cukup .…” (KH) Segala sesuatu yang dikonsumsi oleh ibu hamil akan berpengaruh pada kesehatan dan tumbuh kembang janin. Apabila makanan tersebut bergizi dan memenuhi kebutuhan, maka janin akan sehat. Sementara apabila asupan makanan ibu hamil hanya sebatas karbohidrat, singkong misalnya, tanpa jenis makanan yang lain seperti makanan yang me­ ngandung protein, lemak, dan vitamin, maka kondisi kesehatan janin bisa terganggu. 3.3 Persalinan dan Nifas 3.3.1 Menjelang Persalinan Pada saat menjelang persalinan pun, tradisi dan beberapa kepercayaan tetap dianut oleh masyarakat setempat. Sebagian besar masyarakat menginginkan persalinan dilakukan di rumah masing-masing karena ada kepercayaan bahwa tempat seseorang dilahirkan akan menjadi tempat yang barokah dan dipenuhi rezeki. Misalnya, jika persalinan terjadi secara tidak sengaja di atas kendaraan seperti angkot, maka angkot tersebut akan menjadi angkot yang barokah dan sopirnya mendapatkan rezeki yang 54 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 melimpah. Apabila terjadi di rumah, maka rumah tersebut akan menjadi tempat yang selalu penuh rezeki. Oleh karena itu, seandainya memungkinkan, persalinan lebih baik dilakukan di rumah daripada di polindes atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Sebelum persalinan terjadi, ketika ibu sudah mulai kesakitan, ibu diberi jamu berupa satu siung bawang putih dan beberapa helai daun jrangoh. Jamu ini berkhasiat untuk menghilangkan rasa sakit jika ternyata persalinan masih lama dan akan mempercepat proses persalinan jika memang sudah waktunya. Minuman lain yang diberikan sebelum mulai bersalin adalah air kelapa yang diberikan oleh kiai ketika acara 7 bulanan (pelet betteng) agar persalinan berlangsung lancar dan rahim terasa licin. Ini sudah menjadi kepercayaan turun-temurun dari nenek moyang terdahulu. Khasiat air kelapa muda untuk ibu hamil yaitu apabila rajin minum air kelapa muda, terutama di trimester ketiga kehamilan, maka air ketuban akan bersih dan bayi yang dilahirkan juga berkulit bersih, berambut lebat, dan memiliki mata yang bening. Sejauh ini memang belum ada penelitian yang membuktikan secara ilmiah kebenaran tersebut. Namun, air kelapa muda memang mengandung berbagai zat yang bermanfaat bagi ibu hamil. Zat-zat itulah yang barangkali secara tidak langsung membuat bayi menjadi lebih sehat sebagaimana disebutkan dalam saran tradisional itu. Air kelapa muda kaya kandungan elektrolit, klorida, kalsium, pota­ sium, magnesium, sodium, dan riboflavin. Sebagai isotonik alami yang kaya mineral dan memiliki elektrolit sama dengan elektrolit tubuh, air kelapa muda sangat bermanfaat untuk rehidrasi dan memulihkan stamina tubuh. Ibu hamil membutuhkan lebih banyak air dibandingkan orang lain. Dehidrasi selama kehamilan dapat menyebabkan berbagai komplikasi, termasuk sakit kepala, kram, edema, bahkan kontraksi yang dapat menye­ babkan persalinan prematur. Sebagai diuretik natural yang steril, air kelapa muda melancarkan air seni dan membantu membersihkan saluran kemih. Hal ini berkhasiat mengeluarkan zat-zat toksin dari tubuh dan mencegah infeksi saluran kemih yang juga cukup umum terjadi pada wanita hamil. Air kelapa muda mengandung asam lauric, asam yang membantu melawan penyakit. Asam lauric yang terkandung dalam air kelapa sama dengan yang terdapat dalam air susu ibu dan memiliki karakteristik antijamur, antibakteri, dan antivirus sehingga menjaga kesehatan ibu dan bayi dari virus seperti herpes dan HIV, protozoa giardia lamblia, serta bakteri Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 55 klamidia dan heliokobater. Air kelapa juga dipercaya dapat memperbaiki fungsi pencernaan. Selama kehamilan, plasenta memproduksi hormon progesteron yang memperlambat kontraksi otot lambung sehingga pencernaan pun melambat. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa minum air kelapa akan mempercepat persalinan. Namun, pendapat ini masih belum bisa dibuk­tikan secara ilmiah. Namun, tidak ada pantangan bagi ibu hamil untuk minum air kelapa. Justru air kelapa mengandung zat-zat gizi yang bermanfaat bagi ibu hamil dan janin. 3.3.2 Proses Persalinan Masa persalinan merupakan periode kritis bagi para ibu hamil karena segala kemungkinan dapat terjadi, berakhir dengan selamat atau dengan kematian. Sejumlah faktor, mulai dari ada tidaknya faktor risiko kesehatan ibu, pemilihan penolong persalinan, keterjangkauan dan ketersediaan pelayanan kesehatan, kemampuan penolong persalinan sampai sikap keluarga dalam menghadapi keadaan gawat, ikut menetukan selamat tidaknya ibu. Berdasarkan data dari Puskesmas Jrangoan tahun 2011, sasaran ibu hamil di Desa Jrangoan adalah sebanyak 59 ibu hamil dan yang melakukan persalinan ke tenaga kesehatan sebanyak 56 orang. Sebagian besar ibu hamil di desa ini sudah mempercayai tenaga kesehatan (bidan desa), walaupun masih ada sebagian masyarakat yang masih mempercayai dukun beranak sebagai penolong persalinannya, seperti yang diungkapkan dua informan berikut ini. “… ya dukun beranak dulu, Bu, setelah itu baru ke bidan .…” (KH) “… Periksa kehamilan ke Bu Bidan dan ke Buk Selli (dukun ber­ anak). Kalau ke Bu Bidan ya cuma di posyandu ... he’em tiap bulan, kalau ke Buk Selli sering, soalnya sungsang terus .…” (UM) “... Waktu dulu kan nggak ada gratisan, terus mau manggil bidan itu kan kita nggak ada biaya gitu lo Bu, maksudnya harus emang lebih enakan manggil dukun soalnya biayanya kan lebih kecil gitu lo maksudnya … kalau pas sekarang kan Ibu bilang itu nggak usah, kalau manggil saya gratisan, gitu Ibu Bidan bilang .…” (UM) 56 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 Saat persalinan, orang-orang yang ada di samping ibu melahirkan adalah suami, ibu dari ibu melahirkan, dan mertua ibu melahirkan tersebut. Namun, pada beberapa kejadian, suami tidak dapat mendampingi istri karena sedang berada di luar kota untuk bekerja. Pada saat akan melahirkan, wajah ibu tampak khawatir dan gugup, bahkan berkali-kali mengatakan sudah tidak kuat menahan sakit dan tidak bisa bertahan. Namun, suami, ibu, dan ibu mertua yang mendampingi di ruang persalinan selalu menyemangati, begitu juga dengan bidan yang tidak henti-hentinya memotivasi ibu agar tetap bertahan dan berusaha sekuat tenaga. Suami berada di hulu (atas kepala) ibu agar ibu bisa mengalungkan tangannya ke leher suami sehingga bisa mengejan dengan kuat. Dengan sabar suami meniup kepala istrinya karena memang kondisi di dalam ruang bersalin agak panas, berbeda dengan kondisi di luar yang sangat dingin pada waktu malam hari. Ibu mertua dan ibu kandung ibu melahirkan senantiasa berdoa dan selalu sigap jika diminta untuk mengambil barang-barang, misalnya sarung, oleh bidan. Ibu terus mengerang kesakitan. Bidan sudah siap dengan sarung tangannya. Sebelumnya, bidan sudah memasang alas khusus orang melahirkan serta kain di bawah bokong ibu agar nantinya darah yang keluar tidak merembes ke kasur tempat bersalin. Setelah terpasang dengan sempurna, ibu mulai mengejan sambil memegang pundak dan leher suaminya. Ibu dan ibu mertua yang awalnya hanya duduk dan berdoa, mulai berdiri dan mendekati kasur tempat bersalin. Keduanya terus memberi motivasi dengan bibir yang terus mengucap doa. Kemudian, air ketuban pun pecah, dan kepala bayi mulai terlihat di mulut vagina. Bidan terus menyemangati agar ibu tidak putus asa mengejan. Setelah itu, akhirnya seorang bayi pun lahir dengan selamat. Semua orang mengucap syukur bahagia. Ibu terlihat sangat lega dan bahagia. Bidan melanjutkan tugasnya, yaitu mengeluarkan ari-ari yang masih berada di dalam rahim. Sebelumnya, bidan telah menjepit saluran ari-ari yang terhubung dengan tali pusat dengan menggunakan gunting khusus. Bayi pun menangis dengan keras. Namun, bayi itu dibiarkan menangis oleh bidan karena bidan masih berusaha mengeluarkan ari-ari dan memasukkan betadine ke dalam vagina. Lubang vagina tidak robek, hal ini karena bidan menahan dengan keras bagian bawah vagina ketika ibu mengejan. Setelah berhasil mengeluarkan ari-ari, tali pusat yang tadinya hanya dijepit, dipotong oleh bidan dan diikat dengan benang. Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 57 Tindakan selanjutnya yang dilakukan oleh bidan adalah meletakkan bayi di dada ibunya agar mencari puting susu (Inisiasi Menyusui Dini/IMD). Namun, ketika bayi belum berhasil menemukan puting susu ibu, bidan menggendong bayi itu karena IMD dirasa cukup. Kemudian, bayi diberikan kepada suami, yang sudah menjadi seorang ayah, untuk dikumandangkan adzan di telinga kanan bayi. Bayi yang pada awalnya menangis menjadi tenang seakan-akan mendengar suara adzan tersebut. Kemudian bayi diselimuti kain sarung tebal (dibedong) oleh bidan agar bisa digendong keluar. Bidan pun melanjutkan tugasnya memasangkan pembalut di celana dalam ibu dan memasangkannya dengan penuh kasih sayang. Pada saat melakukan ini, yang ada di ruang bersalin hanya bidan dan atau ibu saja. Oleh bidan, ari-ari yang pada awalnya berada di bawah bokong ibu diletakkan di keranjang yang ada di bawah kasur bersalin bersamaan dengan alasnya. Setelah itu, bidan membantu ibu memakai kain sarung dan merapikan baju serta kerudungnya. Setelah rapi, bayi dan keluarga yang ada di luar ruang bersalin diizinkan masuk kembali. Bayi diimunisasi dan ibu diberikan tablet vitamin A. Bayi juga ditimbang dan diukur panjang badannya. Bidan menyiapkan vitamin dan obat yang harus dikonsumsi oleh ibu. Ternyata bidan juga memberikan susu formula “Lactona 1” kepada ibu, dan tidak lupa juga kain kasa untuk membalut tali pusat bayi. Kemudian bidan membersihkan peralatan medisnya dan juga kasur tempat bersalin dengan cairan antikuman. Proses persalinan seperti ini hampir terjadi pada semua ibu yang melahirkan di polindes, sedangkan untuk ibu melahirkan yang ditolong di rumah hanya berbeda pada tempat bersalin. Melahirkan di rumah adalah hal yang dihindari oleh bidan karena fasilitas kurang memadai. Namun, hal ini kadang terjadi jika ibu sudah tidak kuat untuk pergi ke polindes. Peralatan yang digunakan bidan pun sama, tetapi tempat melahirkan terjadi di rumah ibu melahirkan. 3.3.3 Budaya Setelah Persalinan Saat pulang dari polindes, tempat bersalin yang paling sering di­ kunjungi, bayi digendong oleh neneknya (ibu dari ibu melahirkan). Karena saat itu ibu melahirkan pada pukul 3.00 dini hari, maka jalan menuju rumah, berjarak sekitar 300 meter dari polindes, tampak sepi dan hanya ada sedikit penerangan jalan. Dalam perjalanan pulang tersebut, paman dan kakek si bayi ikut menyertai nenek yang menggendong bayi. Nenek 58 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 bayi membawa sebatang lente (lidi) yang diyakini dapat mengusir setan selama dalam perjalanan. Hal yang sama juga dilakukan oleh ibu habis melahirkan yang biasanya naik sepeda motor bersama suaminya. Ibu membawa sebatang lidi agar terhindar dari godaan setan. Ibu yang baru melahirkan beserta bayi yang dilahirkan dipercaya sangat rentan terhadap gangguan setan, apalagi pada malam atau dini hari. Berikut merupakan pemaparan nenek bayi baru lahir (JR) mengenai lidi: “... lente neka ma’le bajhi’ tak etoro’ bunte’ seta, Bu. Ka’assa maghi la ebo’en padha abhakta lente jugan. Jha’ mon oreng se ghi’ bhuru lahir neka seggut ero’-toro’e setan. Daddi kodhu asedia lente ....” (“... lidi ini agar bayi tidak diikuti setan, Bu. Itu juga ibunya bawa lidi. Soalnya orang yang baru melahirkan sering kali diikuti setan, makanya harus menyediakan lidi ....”) Sesampainya di rumah, bayi dan ibunya sudah ditunggu oleh anggota keluarga yang lain seperti paman, bibi, serta tetangga terdekat. Sebuah nampan beras sudah disiapkan untuk ditabuhkan di dekat telinga bayi. Tujuannya agar bayi tidak mudah kaget ketika mendengar suara yang menghentak di kemudian hari. Kemudian, nampan itu akan dijadikan alas tidur si bayi selama beberapa jam sebelum akhirnya dipindah ke kasur khusus bayi. Salah seorang informan (AM) mengatakan bahwa: “... pas tabbhu gaddhang ka’assa, Bu. Enggi ka seddhi’anna kopengnga bhaji’. Ma’le tak ngejjhiddan mon la rajha ....” (“ ... lalu ditabuh nampan berasnya, Bu. Ya di dekat telinga bayi. Agar tidak mudah kaget ketika dewasa kelak ....”) Bayi mulai diperkenalkan makanan selain ASI beberapa jam setelah lahir, di antaranya madu dan kelapa muda. Bayi disuapi maddhu (madu) beberapa tetes dengan menggunakan jari telunjuk neneknya yang belum cuci tangan. Siapa pun bisa menyuapi madu ini, tidak harus si ibu. Tiga jam kemudian, bayi disuapi ro’-moro’ (kelapa muda) sekitar 2-3 sendok oleh ibunya. Ibu pun mengonsumsi kelapa muda setelah menyuapi bayinya. Menurut keyakinan masyarakat setempat, madu dan kelapa muda ber­ manfaat untuk melicinkan pencernaan bayi sehingga dapat menerima makanan apa pun yang diberikan kepadanya. Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 59 Gambar 3.5 Bayi berusia kurang dari dua jam disuapi maddhu (madu) oleh neneknya. Gambar 3.6 Bayi berusia kurang dari lima jam disuapi ro’-moro’ (kelapa muda) oleh ibunya. Sebelum disuapi makanan, bayi baru lahir ini dimandikan oleh dukun bayi. Duku akan memandikan bayi sampai bayi berusia 7 hari. 60 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 Gambar 3.7 Bayi baru lahir dimandikan oleh dukun. Bayi dimandikan oleh dukun bayi, selain agar bayi dipijat oleh dukun, ibu juga tidak perlu memikirkan proses memandikan bayinya. Hal ini merupakan perlakuan istimewa kepada ibu yang baru melahirkan. Ibu yang baru melahirkan juga tidak diperkenankan melakukan pekerjaan rumah yang berat seperti mencuci pakaiana dan membersihkan rumah. Ibu hanya membersihkan dirinya di kamar mandi, sedangkan yang mengerjakan pekerjaan rumah adalah ibu dari ibu melahirkan tersebut karena sudah menjadi kebiasaan di masyarakat ketika melahirkan ibu selalu ditemani oleh orang tuanya. Sesuai dengan tipe kekerabatan yang matrilokal, yaitu ibu tinggal bersama orang tuanya, maka ketika setelah melahirkan pun, ibu akan dibantu merawat bayinya oleh orang tua. Walaupun ada juga yang neolokal, yaitu pasangan suami istri yang tinggal di rumah sendiri (tidak bersama orang tua), namun ketika melahirkan pun akan pulang ke rumah orang tua si ibu dengan alasan agar ada yang mendampingi ibu merawat dan mengasuh bayinya. Tujuannya adalah ibu yang baru melahirkan diharapkan tenang dan tidak mengkhawatirkan masalah perawatan bayi baru lahir dan lebih fokus pada perawatan dirinya sendiri. Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 61 3.3.4 Masa Nifas Ada sebuah tradisi yang masih dilakukan oleh ibu hamil, yaitu tidak memakai pembalut pada hari pertama setelah melahirkan. Ibu hanya memakai kain sarung dan duduk di atas kursi yang beralaskan kain tebal. Kain ini digunakan agar darah nifas tidak memabasahi kursi kayu. Karena ibu tidak memakai pembalut, maka darah menetes langsung dari vagina dan keluar atau merembes ke bagian paha dan betis hingga menetes ke lantai (tanah). Agar darah yang berceceran di tanah mudah untuk dibersihkan, maka di bawah kaki ibu nifas diletakkan tanah. Dengan tanah ini, darah yang tercecer akan terserap dan jika tanah sudah penuh dengan darah, maka akan diganti dengan tumpukan tanah yang baru. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, hal ini dilakukan agar dapat mempercepat keluarnya darah nifas karena tidak tertahan oleh pembalut seperti yang disampaikan oleh informan JD berikut ini. “... bunten, Bu, tak ngangguy softex. Deggi’ mon la olle saare pas ngangguy. Ja’ ca’epon oreng seppo ka’assa tako’ dharana tak kalowar sadhaja. Enggi kaula la atoro’ dha’neka ....” (“... tidak, Bu, tidak memakai softex (pembalut). Nanti kalau sudah sehari baru memakainya. Karena kata orang tua zaman dahulu dikhawatirkan darahnya tidak keluar semua. Ya saya nurut saja ....”) Gambar 3.8 Ibu nifas duduk di kursi beralas kain tebal. Gambar 3.9 Di bawah kursi ibu nifas diletakkan tanah untuk menyerap darah nifas. Super tetra juga digunakan ibu untuk mempercepat keluarnya darah nifas. Cara menggunakannya adalah dengan menaburkannya di permukaan vagina. Selain itu, ada jamu yang diminum untuk kembali mengen- 62 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 cangkan otot yang kendur pascamelahirkan. Jamu tersebut biasanya dibeli di toko jamu yang ada di kota (Sampang). Ada juga parem, semacam lulur, yang dioleskan ke seluruh bagian tubuh seperti perut, pinggang, dan wajah. Khasiat parem sama dengan jamu, yaitu untuk mengencangkan kembali otot-otot setelah proses persalinan. Parem berupa serbuk yang hampir mirip dengan jamu. Parem ini dicampur dengan air hangat dan kemudian dioleskan ke beberapa bagian tubuh yang telah disebutkan. Penggunaan parem dilakukan sampai 40 hari pascamelahirkan. Gambar 3.10 Ibu Nifas yang memakai parem. Untuk mengembalikan bentuk perut langsing seperti semula, ibu yang sudah melahirkan menggunakan gurita khusus setiap hari. Gurita ini sama dengan gurita untuk bayi, hanya saja ukurannya lebih besar. Cara menggunakan gurita adalah dililitkan ke sekeliling perut dan mengencangkan tali gurita agar dapat menekan perut. Namun, pemakaian gurita ini tidak membuat perut ibu sakit karena kuat tidaknya tali gurita disesuaikan de­ ngan kenyamanan ibu ketika memakainya. Dengan ditekannya perut oleh gurita ini, maka diyakini bahwa perut ibu yang awalnya membesar setelah melahirkan, akan kembali langsing atau kembali ke bentuk semula. Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 63 Ibu nifas mendapat perlakuan yang sedikit istimewa dari keluarga, yaitu tidak diperbolehkan melakukan kegiatan yang melelahkan. Ibu ha­ nya diminta duduk, sedangkan pekerjaan lain yang biasanya dikerjakan sehari-hari seperti memasak, mencuci pakaian, dan membersihkan rumah dilakukan oleh suami atau orang tua ibu. Jadi, tugas ibu hanya menyusui bayinya. Namun, hal ini hanya berlaku bagi ibu yang suaminya tidak pergi ke luar kota untuk bekerja. Bagi ibu yang ditinggal oleh suaminya, maka ibu tetap melakukan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci pakaian dan membersihkan rumah. Untuk selanjutnya, ibu nifas akan berusaha untuk mencegah keha­ milan selanjutnya dengan cara coitus interuptus, yaitu suami mengeluarkan sperma di luar vagina istri. Namun, walaupun di pesantren telah diajarkan bahwa alat kontrasepsi (KB) sebaiknya tidak digunakan dengan alasan KB sama dengan membunuh calon janin serta menghalangi terhapusnya 1.000 dosa, beberapa ibu telah mengikuti program KB karena bidan desa sudah mempromosikannya dengan baik. KB yang sering digunakan adalah KB suntik dan pil KB. Alasan seorang informan (NF) tetap menggunakan alat kontrasepsi adalah sebagai berikut. “... Benni keng ta’ terro aghaduwanna potra, Bu. Samangken neka manabi tak ngereng KB pas aclorcodhan. Posang se arabaddha. Daddi ma’le tak pate semma’ se ngandung ghi pas ngereng KB ....” (“… Bukannya tidak ingin memiliki anak, Bu. Sekarang kalau tidak ikut KB jadi tidak bisa direm hamilnya. Bingung nanti yang mau merawat. Jadi biar tidak terlalu dekat jarak kehamilannya, saya ikut KB ....”) 3.5 Menyusui Hari-hari selanjutnya bayi tidak hanya minum ASI, tetapi setiap pagi dan sore disuapi pisang yang dicampur dengan nasi tim. Menurut keterangan ibu yang memiliki bayi, jika tidak diberi makanan pendamping ASI, bayi akan rewel (menangis) karena lapar sehingga akan mengganggu ibu ketika bekerja di sawah atau di dapur. Ada dua cara untuk menyuapkan makanan, yaitu dengan menggunakan sendok dan menggunakan cara tradisional, yaitu bayi diikat di atas kaki penyuap yang sedang berselonjor, kemudian disuapi dengan tangan tanpa memedulikan bayi yang menangis meronta. Masyarakat berpikir bahwa cara ini dilakukan untuk membuat bayi kenyang, bukan bermaksud untuk menyakiti bayi. 64 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 Ada beberapa pantangan untuk ibu ketika sedang dalam masa menyusui bayi, di antaranya adalah ibu tidak diperkenankan mengonsumsi ikan laut karena dikhawatirkan ASI-nya akan berbau amis. Selain itu, ibu juga tidak boleh mengonsumsi cabai terlalu banyak karena ASI akan terasa pedas dan menyebabkan mata bayi kotor serta merah. Untuk pantangan di luar makanan, yaitu tidak boleh terlalu sering melakukan hubungan seksual agar ASI tidak panas sehingga bayi kurang menyukainya. Berikut pernyataan informan AN tentang pantangan makanan saat menyusui: “... tak kengeng adha’ar juko’ polana pas ma amisan ka aing soso. Mon cabbi tak kengeng jugan polana pas ngis-ngis matana bhaji’ Bu ....” (“... tidak boleh makan ikan karena membuat ASI amis. Kalau cabai juga tidak boleh karena nanti mata bayi bisa kotor, BU ....”) Sementara ramuan untuk memperlancar ASI terbuat dari air hangat hasil rendaman abu bekas pembakaran tungku, abu biasa (tanah), dan asam jawa. Ramuan ini biasa disebut dengan pejje. Mayoritas masyarakat meyakini dan percaya bahwa ramuan ini benar-benar bisa memperlancar ASI karena sudah terbukti khasiatnya. Bagi ibu yang melahirkan di polindes akan langsung dibimbing oleh bidan untuk Inisiasi Menyusui Dini (IMD) sehingga ASI yang pertama kali keluar (kolostrum) diberikan kepada bayi. Hanya saja, terkadang bidan tidak membiarkan IMD ini secara sempurna hingga bayi berhasil me­nemukan puting susu ibu. Ketika bayi berada di atas dada ibu dan mencari puting, bidan sudah menggendong bayi kembali sebelum bayi berhasil menyusu ASI. Pada saat tiba di rumah, sebagian ibu membuang kolostrum dengan alasan kolostrum adalah ASI yang kotor. Namun, ada juga ibu yang sudah menyadari bahwa kolostrum baik untuk bayi dan memberikannya. Pengetahuan ibu tentang kolostrum ini disebabkan oleh promosi kesehatan yang dilakukan oleh bidan di posyandu. Bagi ibu yang baru pertama kali melahirkan dan belum pernah me­ nyusui sebelumnya, cara menyusui yang benar diajari oleh ibu dari ibu yang melahirkan tersebut. Caranya yaitu ibu duduk di kursi dan di pangkuannya diletakkan sebuah bantal, kemudian bayi didekap di atas bantal tersebut, lalu mulut bayi diarahkan ke puting ibu. Bantal yang ada di pangkuan ibu memudahkan mulut bayi menggapai puting ibu. Apabila bayi sedang berada di tempat tidur, maka cara menyusui yang diajarkan adalah ibu Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 65 memiringkan posisi tubuhnya menghadap bayi dan meletakkan puting susu ke mulut bayi. Posisi yang lain adalah ibu berdiri sambil menggendong bayi dengan menggunakan gendongan, lalu bayi dimiringkan menghadap dada ibu sehingga bisa langsung disusui. Frekuensi menyusui bayi adalah sesering mungkin. Jika bayi menangis karena merasa lapar, maka ibu akan segera menyusui bayinya. Tidak peduli siang atau malam, ibu tetap menyusui bayinya. Namun, ada beberapa ibu memberikan susu formula, bahkan pada saat bayi masih berusia kurang dari 7 hari. Ibu merasa bahwa ASI-nya kurang mencukupi dan bayi masih lapar. 3.6 Neonatus dan Bayi Perawatan neonatus diawali dengan “penghormatan” kepada ari-ari atau plasenta. Sebelum dikuburkan, ari-ari dicuci hingga bersih oleh dukun, kemudian diberi garam, bawang merah, bawang putih, merica, ketumbar, laos, jahe, kencur, dan kunyit. Bahan-bahan ini dimaksudkan agar bayi menjadi anak yang pintar dan hatinya selalu bersinar terang (menjadi anak yang baik). Ari-ari ini dikuburkan di halaman depan rumah oleh suami ibu melahirkan. Namun, jika suami sedang merantau, maka yang menguburkan adalah bapak mertua atau bapak kandung ibu melahirkan. Ari-ari yang sudah diberi bahan-bahan tersebut kemudian dibungkus dengan kantong plastik, lalu diletakkan di dalam sebuah lubang galian di tanah. Sebelum lubang ditutup, adzan dan iqomah dikumandangkan oleh bapak yang menguburkan ari-ari tersebut. Ini merupakan suatu penghormatan kepada ari-ari yang dianggap sebagai kembaran bayi selama dalam kandungan. Jadi, ketika dikuburkan pun diperlakukan sama seperti menguburkan manusia yang sudah meninggal sesuai dengan aturan Islam, yaitu diadzani dan dikumandangkan iqomah. Untuk menandai tempat ari-ari dikubur, di atasnya ditanam tanaman berduri. Selain sebagai tanda, tanaman ini dapat mengusir ayam atau hewan lain yang biasanya mengorek-ngorek tanah. Namun, ada juga tradisi lain untuk menandai tempat ari-ari ini, yaitu dengan meletakkan kurungan dan lampu di atasnya. Seperti telah diceritakan sebelumnya, dukun akan memandikan bayi selama 7 hari. Ini merupakan bentuk perhatian kepada ibu agar ibu yang baru saja melahirkan dapat beristirahat tanpa perlu memikirkan bagaimana memandikan bayinya karena kondisi ibu pascamelahirkan masih lemah dan terasa sakit di bagian rahim. Alasan lain, yaitu agar 66 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 Gambar 3.11 Salah satu proses saat mengubur ari-ari. ketika bayi dimandikan oleh dukun, maka bayi dapat dipijat. Menurut keyakinan masyarakat setempat, badan bayi yang baru lahir terasa sakit karena telah berjuang untuk lahir ke dunia. Oleh karena itu dibutuhkan pemijatan. Namun demikian, ada sebagian bayi yang tidak dimandikan oleh dukun, tetapi dimandikan oleh neneknya (ibu dari ibu bayi). Biasanya karena tempat tinggal dukun bayi yang biasa memeriksa ibu hamil jauh, maka yang memandikan bayi adalah neneknya. Biasanya bayi dimandikan di atas lencak (tempat duduk dari bambu) yang terletak di halaman rumah. Dukun atau orang lain yang memandikan bayi duduk berselonjor di atas lencak. Kemudian, bayi ditidurkan di atas kaki yang berselonjor ini. Bayi dibiarkan menangis karena bayi yang me­ nangis pada pagi hari akan membuat bayi sehat. Air hangat yang digunakan untuk memandikan bayi ada di dalam baskom kecil. Ada beberapa orang meletakkan batu berwarna hitam di dalam baskom berisi air untuk mandi bayi. Menurut keterangan nenek bayi (yang memandikan bayi) tersebut, batu itu merupakan batu yang sudah didoakan oleh kiai. Batu tersebut berkhasiat untuk mengencangkan kulit bayi dan mencegah bayi menjadi kurus. Selain itu, di pergelangan tangan bayi sebelah kiri terdapat gelang Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 67 yang terbuat kain. Nenek bayi mengatakan bahwa gelang tersebut terbuat dari selimut bayi. Dukun, yang membantu merawat bayi, mengambil sedikit bagian selimut bayi untuk dijadikan gelang. Khasiat gelang tersebut sama dengan batu yang ada di baskom air mandi bayi, yaitu mengencangkan kulit bayi dan mencegah bayi menjadi kurus. Gambar 3.12 Bayi dimandikan oleh dukun. Di samping baskom terdapat peralatan bayi seperti sabun dan sampo bayi, bedak bayi, minyak telon, popok kain, baju bayi, gurita, cella’, handuk, dan kain gheddhung (bedong). Ketika memandikan bayi, tidak hanya dukun atau nenek bayi yang menyaksikan, tetapi juga kerabat dekat. Me­ reka tampak antusias menonton bayi baru lahir. Jika bapak si bayi tidak sedang berada di luar Madura, maka ia akan berdiri di samping lencak, bersama kerabat dan tetangga, dan siap membantu mengambilkan peralatan bayi yang mungkin masih tertinggal di dalam rumah. Mula-mula gheddhung bayi atau apa pun yang sedang dikenakan oleh bayi dilepas. Bayi yang tidak mengenakan baju tersebut langsung disiram air hangat dari baskom dengan tangan. Bayi yang merasa kedinginan lang­sung menangis. Dukun pun melanjutkan membersihkan badan bayi dengan sabun sambil dipijat. Begitu pula saat menggunakan sampo pada rambut bayi. Posisi bayi yang telentang lalu dibalik ke posisi tengkurap. Dalam posisi tengkurap itu, punggung bayi dipijat dengan lembut. Tidak 68 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 lupa bagian kaki dan tangan serta kening juga dipijat. Bayi yang masih penuh sabun dan sampo langsung dibilas dengan air hangat. Selanjutnya, bayi dilap dengan handuk bayi. Karena tali pusat bayi masih belum lepas, dukun dengan terampil mengganti kain kasa yang membungkus tali pusat bayi. Kain kasa yang dibawa dukun merupakan pemberian bidan sebagai bentuk kepercayaan kepada dukun, yang sudah menjadi mitranya, untuk merawat bayi. Kemudian, bayi diolesi minyak telon dan dilumuri bedak dan dilanjutkan dengan memakaikan gurita, popok, baju, dan terakhir egheddhung (dibedong). Sebelum diberikan kepada ibunya untuk diberi ASI, dukun memberikan cella’ di kelopak mata bayi bagian bawah agar bayi terlihat tampan atau cantik. Ritual lain yang dilakukan adalah meniup bulu mata bagian atas dengan keras agar bulu matanya lentik. Bulu mata yang lentik menambah ketampanan atau kecantikan seseorang seperti yang disampaikan oleh informan MD berikut ini. “... esrepoh neka ma’le mletthek bulu kejha’en, Bu. Sajen mlet­ thek sajen ganteng. Cella’ se celleng neka maghantengan jugan ....” (“... ditiup ini agar bulu matanya lentik, Bu. Semakin lentik se­ makin tampan. Cella’ yang hitam ini membuat bayi tampan juga ....”) Setelah mandi pagi selesai, bayi diberikan kepada ibunya untuk disusui. Jika bayi masih berumur 1 hari, maka setelah mandi, bayi tidak diberi ASI, tetapi disuapi ro’-moro’. Apabila sudah kenyang, bayi akan tertidur. Di tempat tidur bayi, selain terdapat peralatan tidur, juga ada sesajen pengusir setan, di antaranya sebutir telur ayam, segenggam beras, bawang merah, bawang putih, cabe, lidi, pisau, dan cermin kecil. Gambar 3.13 Sesajen untuk mengusir setan. Gambar 3.14 Sesajen untuk mengusir setan diletakkan di dekat bayi yang sedang tidur. Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 69 Cara lain agar bayi terhindar dari gangguan setan adalah meminta orang yang akan menengok bayi untuk berhenti sejenak di teras rumah sebelum masuk ke rumah karena dikhawatirkan orang tersebut membawa setan dari luar rumah dan setan tersebut dapat mengganggu bayi dan membuat bayi menangis/rewel. Usaha pencegahan ini dilakukan karena bayi yang baru lahir sangat rentan terhadap gangguan setan. Upaya perlindungan terhadap bayi tidak hanya dengan menghindarkan bayi dari gangguan setan, tetapi juga dengan menyelenggarakan acara selametan atas kelahiran bayi. Acara selametan pun tidak hanya dilakukan ketika bayi dalam kandungan, tetapi juga ketika bayi berusia 7 dan 40 hari. Upacara selametan 7 hari tersebut meliputi pemberian nama bayi yang sudah diusulkan oleh kiai. Untuk pemberian nama bayi, ada sebagian masyarakat memohon pertimbangan kiai karena nama yang diberikan oleh kiai diharapkan dapat memberikan kebarokahan bagi bayi dan bayi akan menjadi anak yang baik ketika dewasa kelak. Jadi, setiap nama yang diusulkan oleh kiai selalu diterima oleh orang tua bayi. Namun, ada sebagian orang menamai bayinya sesuai dengan ide dan harapannya sendiri. Kemudian, pada saat acara selametan itu dilakukan juga pemotongan sebagian rambut bayi dan sunat yang dilakukan oleh dukun. Alat yang digunakan untuk memotong rambut bayi adalah gunting, sedangkan alat untuk sunat adalah silet. Setelah itu, dukun akan memberikan jamu (komposisi jamu tidak diketahui oleh ibu bayi) kepada bayi agar bayi sehat. Acara ini tidak seramai acara selametan ketika bayi berusia 40 hari. Ketika bayi berusia 40 hari, keluarga akan mengadakan pengajian dengan mengundang kerabat dan tetangga, serta membagi makanan (kue) untuk warga sekitar. Dalam acara ini nama bayi pun diumumkan agar seluruh kerabat dan tetangga mengetahuinya. Bagi keluarga dengan kondisi ekonomi menengah ke atas, di dalam dus makanan (kue) yang diberikan kepada para tetangga dan kerabat disertakan pula kartu yang berisi nama dan tanggal lahir bayi sehingga masyarakat mengetahui nama bayi dan tanggal lahirnya. Diharapkan para tetangga ikut mendoakan keselamatan bayi tersebut. Upacara selametan tidak hanya dilakukan pada saat bayi berusia 7 dan 40 hari, tetapi juga ketika bayi berusia 1 tahun yang dikenal dengan nama toron tana (turun tanah). Upacara ini merupakan tanda bahwa bayi sudah bisa diajari berjalan di atas tanah. Pada saat upacara, bayi duduk di atas nampan yang berisi tettel (kue dari ketan, makanan khas Madura). Di atas tettel itu bayi didudukkan agar dapat memilih beberapa barang yang 70 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 disediakan. Barang tersebut antara lain sisir, cermin, Alquran, tasbih, uang, buku, dan bolpoin. Karena ada di hadapan bayi, bayi akan mengambil barang-barang tersebut. Jika bayi mengambil sisir atau cermin, maka dipercaya kelak ketika dewasa ia akan menjadi orang yang suka berhias. Apabila memilih Alquran atau tasbih, dia akan menjadi orang yang rajin beribadah. Selanjutnya, jika bayi memilih uang mencerminkan bahwa bayi akan menjadi orang kaya. Sementara jika bayi memilih buku dan bolpoin mengisyaratkan kelak dia akan menjadi orang pintar. Acara terakhir adalah bayi diberdirikan di atas tanah sebagai simbol bahwa ia sudah bisa belajar berjalan di atas tanah. Pada acara toron tana ini, banyak anak hadir untuk menonton. Anak-anak tersebut akan diberi suguhan makanan oleh orang tua bayi, begitu pula dengan tetangga yang ada di sekitar tempat tinggal bayi. Hal ini bertujuan untuk mengumumkan kepada seluruh masyarakat bahwa bayi sudah bisa diajari berjalan. Upacara ini tidak selalu dilakukan oleh masyarakat Madura karena upacara ini sudah bukan merupakan keharusan lagi. 3.7 Anak dan Balita Keyakinan akan banyak anak banyak rezeki membuat banyak ke­ luarga memiliki anak lebih dari dua. Tentu saja hal ini berpengaruh pada pengasuhan anak, belum lagi kebiasaan banyak orang tua (ayah) bekerja di luar Madura dan pulang 1 atau 2 bulan sekali. Ibu yang bekerja di luar Madura biasanya pulang ketika usia kandungannya 8-9 bulan. Setelah bayi berusia 40 hari, ibu kembali merantau bersama suaminya, sedangkan bayi dititipkan kepada nenek atau bibinya. Nenek atau bibi yang memiliki kesibukan lain selain mengasuh bayi, misalnya bertani atau merawat anak­nya sendiri, kurang memperhatikan pengasuhan bayi yang dititipkan kepadanya sehingga pengasuhan pun ala kadarnya. Ketika berusia kurang dari 1 tahun, balita yang dititipkan tersebut masih mendapat perhatian yang lebih. Namun, ketika balita sudah mulai bisa makan sendiri, pola makannya tidak terlalu diawasi. Yang penting sudah makan dan tidak menangis, tanpa memedulikan menu dan jadwalnya, berarti tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tak heran jika pola makan kebanyakan balita menjadi tidak teratur, dan hal inilah yang mempengaruhi pertumbuhannya. Ada juga kasus lain yang terjadi pada balita yang tinggal bersama ibunya, tetapi memiliki banyak saudara dengan rentang usia tidak lebih dari 2 tahun. Perhatian ibu tidak hanya diberikan untuk satu anak, tetapi semua anak. Ibu juga harus mengerjakan pekerjaan rumah sehingga anakEtnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 71 anak yang masih balita diasuh oleh anak yang lebih besar. Sementara anak yang lebih tua, kurang dari 10 tahun, sudah bisa mengurus dirinya sendiri. Ibu tidak peduli anak-anaknya makan berapa kali sekali. Yang penting semua anak tidak kelaparan dan menangis, maka tidak perlu mengingatkan mereka untuk makan. Jika si balita enggan makan, hal ini pun tidak menjadi masalah. Kedua hal tersebut menjadi permasalahan di desa ini dalam hal pola pengasuhan dan pola makan anak. Selain pola pengasuhan dan pola makan, ada juga pola pengobatan untuk anak. Pengobatan yang dilakukan ibu ketika bayi sakit adalah dengan membawanya ke dukun bayi untuk dipijat. Beberapa penyakit yang biasanya diobati oleh dukun adalah oleh dan saben. Oleh adalah penyakit yang menyebabkan bayi kurus seperti malnutrisi dan suhu badannya naik. Cara mengobatinya adalah dengan dipijat oleh dukun bayi dan diberi jamu. Pemijatan dilakukan di bagian kaki, pinggang, punggung, tangan, dan kening. Sedangkan jamu dibuat dari berbagai macam daun dan bahan-bahan tradisional berupa empon-empon seperti temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.), kencur (Kaempferla galanga L.), jahe (Zingiber officinale Rosc.), kunyit (Curcuma domestica Val.), temu ireng (Cur­cuma aeruginosa Roxb.), dan lempuyang emprit (Zingiber americans L.); sambiloto (Andrographis paniculata Nees.); brotowali (Tinospora tuberculata Beumee.); kapulogo (Amomum cardamomum Willd.); adas (Foeniculum vulgare Mill.); dan daun pepaya (Carica papaya L.). Bahanbahan ini dicampur dan ditumbuk dengan menggunakan alat khusus berupa batu yang berbentuk seperti cobek dan batu lain yang dijadikan penggerusnya. Setelah semuanya tercampur dan diberi sedikit air, hasil ulekan tersebut dibungkus kain yang tampaknya sudah digunakan berkalikali tanpa dicuci. Jamu yang terbungkus kain ini tidak langsung diberikan, tetapi diletakkan di gelas atau piring karena dukun harus memijat bayi terlebih dahulu. Jika bayi sudah dipijat, bayi yang masih tersengal-sengal dan kehausan akan langsung dicekoki jamu dari bungkusan kain itu. Bayi tidak menolak untuk meminum jamu walaupun terasa pahit karena sudah merasa kehausan. Setelah meminum jamu, bayi langsung diberi ASI untuk menenangkannya. Selain jamu, ada obat lain untuk menyembuhkan pe­ nyakit oleh, yaitu dengan air dari sumber oleh. Sumber air ini terdapat di Desa Karang Penang, yaitu desa yang terletak di sebelah utara Desa Jrangoan. Tidak ada penjelasan mengenai asal usul sumber air oleh ini. Tetapi masyarakat sangat mempercayai khasiat air ini karena sudah terbukti manjur mengobati bayi yang sakit oleh. 72 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 Begitu pula dengan sakit saben. Saben adalah suatu kondisi ketika bayi sering menangis walaupun sudah minum ASI dan disuapi makanan. Jika bayi diare, bayi akan dipijat di bagian pinggang dan pinggulnya. Jamu akan selalu diberikan kepada bayi setelah dipijat. Namun, untuk menyembuhkan sakit saben, bayi tidak diberi air yang diambil dari sumber oleh. Gambar 3.15 Bayi dipijat oleh dukun. Jumlah balita ada di Desa Jrangoan yang ditimbang setiap bulan adalah 50,27%, yang mengalami BGM sebanyak 6,23%, dan yang termasuk dalam gizi buruk 0,21%, tepatnya 3 anak balita dengan gizi buruk (Dinas Kesehatan Sampang, 2010). Posyandu pun dilaksanakan setiap bulan di desa ini. Mayoritas ibu sudah sadar akan pentingnya mengetahui tumbuh kembang anak sehingga jumlah balita yang datang ke posyandu cukup banyak. Hal ini tidak terlepas dari peran bidan dan kader setempat yang bekerja keras mengubah paradigma masyarakat tentang kesehatan anak. Namun, dalam kasus imunisasi, ada beberapa ibu kurang setuju dan enggan untuk mengimunisasikan balitanya. Mereka khawatir balitanya demam dan jatuh sakit setelah diimunisasi. Meski demikian, sebagian besar ibu sudah mulai peduli terhadap imunisasi. Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 73 3.8 Health Seeking Behaviour Ada tiga bentuk perilaku pencarian pengobatan yang dilakukan oleh masyarakat Madura, khususnya di Desa Jrangoan ini, yaitu pengobatan ke kiai, dukun, dan tenaga kesehatan. Pengobatan dengan pertolongan kiai dilakukan ketika si sakit mengalami demam yang ditengarai akibat perbuatan makhluk halus. Kiai akan memberikan air yang sudah didoakan, lalu diminumkan atau disemburkan ke pasien. Apabila setelah diobati kiai, pasien sudah sembuh, maka ia tidak akan mencari pengobatan lain, seperti ke dukun dan tenaga medis. Kiai dianggap sebagai orang yang dapat mengusir setan karena kiai merupakan tokoh agama yang memahami ilmu agama lebih daripada yang lain. Setan merupakan makhluk yang hanya bisa diusir oleh orang yang dekat dengan Tuhan, termasuk kiai. Hal ini disampaikan oleh informan UM berikut ini. “... ka kiai ka’assa manabi songkan panas, Bu. Pola ma’ ero’toro’ setan. Kiai kan semma’ sareng se kobasa, daddi kengeng ngusir setan. Ban pole sambi nyare barokana kiai ....” (“... ke kiai itu kalau sakit panas, Bu. Mungkin si sakit diikuti setan. Kiai kan dekat dengan Yang Mahakuasa, jadi bisa ngusir setan. Lagi pula sambil mencari barokahnya kiai ....”) Dukun dimintai pertolongannya untuk menyembuhkan pasien ketika pasien menderita pegal-pegal. Dukun ini dikenal dengan dukun pijat. Selain ketika pegal-pegal, pasien akan meminta pertolongan dukun pijat ketika pasien terjatuh atau ada yang bermasalah dengan bagian tulang. Pemijatan dilakukan di bagian yang sakit. Akan tetapi, bagi pasien yang menderita pegal-pegal akan dipijat seluruh bagian tubuhnya. Biasanya dukun pijat ini adalah orang yang sudah tua dan seorang perempuan. Kemampuan memijat merupakan kemampuan yang diperoleh secara turun-temurun. Apabila ada dukun baru, maka masyarakat tidak akan mempercayai kemampuannya sebelum mengetahui bahwa dukun tersebut merupakan anak atau keponakan dari dukun terdahulu yang sudah meninggal atau pun masih hidup. Proses pemijatan dilakukan di rumah dukun, atau bisa di langgar yang berada di halaman rumah dukun. Sebelum dipijat, bagian tubuh yang terasa pegal atau sakit diolesi minyak jelantah sebagai pelicin agar dapat dipijat dengan mudah. Masyarakat yang berobat dengan cara dipijat oleh dukun ini merasa bahwa pijatan dukun cukup manjur, terbukti rasa pegal pada bagian tubuh akan hilang setelah dipijat sehingga dapat 74 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 bekerja seperti semula seperti yang diinfokan oleh informan NS berikut ini. “... Alhamdulillah kaki saya sekarang sudah tidak lagi sakit setelah dipijat oleh Bu NK (dukun pijat). Saya jatuh di kamar mandi tadi, takutnya ada yang patah karena keseleo, jadi saya ke Bu NK ini biar dipijat ....” Walaupun mayoritas dukun perempuan, tetapi pasien tidak terbatas pada warga berjenis kelamin perempuan. Banyak pasien laki-laki meminta bantuan dukun pijat untuk menyembuhkan rasa pegal yang dialaminya. Alternatif lain ketika warga sakit dan membutuhkan pengobatan adalah ke tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan yang biasa dikunjungi oleh masyarakat adalah bidan dan dokter. Bidan yang bertugas di polindes adalah tenga kesehatan utama yang menjadi tujuan berobat warga desa karena lebih dekat dan mudah dijangkau. Bidan yang ada di puskesmas jarang ditemui oleh masyarakat. Masyarakat juga lebih mengenal dan akrab dengan bidan di polindes karena menurut mereka bidan tersebut sabar dan ramah kepada setiap warga walaupun baru dua tahun bertugas di Desa Jrangoan ini. Bidan polindes juga sangat aktif dalam kegiatan posyandu sehingga warga lebih mengenalnya dan lebih percaya bahwa obat yang diberikan oleh bidan adalah obat yang manjur. Sedangkan bidan yang bertugas di puskesmas kurang dikenal oleh warga. Tak heran jika warga lebih memilih berobat ke bidan polindes yang sudah sangat dekat dengan warga. Polindes terletak di dekat Pesantren Al-Ihsan dan akses jalannya mudah. Polindes ini juga berada dalam lingkungan Madrasah Al-Ihsan. Karena lingkungan pesantren dan madrasah merupakan lokasi yang sangat dikenal warga, maka warga pun tidak sulit untuk menuju polindes. Pengobatan yang memanfaatkan jasa dokter sangat jarang dilakukan oleh masyarakat di desa ini, karena alternatif pertama yang dituju ketika sakit adalah bidan. Namun, apabila pasien belum sembuh setelah mendapat pertolongan bidan, maka dokter dan rumah sakit yang ada di kota menjadi alternatif terakhir. Dokter yang bertugas di puskesmas pun jarang ada di tempat dengan alasan yang tidak pernah dijelaskan oleh mereka. Masyarakat pun jarang berobat ke dokter puskesmas karena menganggap bahwa bidan sudah cukup baik dan manjur obatnya, jadi tidak perlu ke puskesmas meskipun terletak di pinggir jalan utama, namun agak jauh dari jangkauan masyarakat. Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 75 76 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 Bab IV Kepercayaan terhadap Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Pada umumnya fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan oleh warga Desa Jrangoan adalah polindes yang juga menjadi tempat tinggal bidan desa. Mereka membutuhkan pelayanan polindes untuk memperoleh pertolongan pertama bagi setiap permasalahan kesehatan yang tidak dapat mereka selesaikan dengan pengobatan rumah tangga. Sebenarnya fungsi utama polindes adalah sebagai tempat persalinan warga Desa Jra­ ngoan. Puskesmas dalam persepsi warga Desa Jrangoan adalah tempat untuk memperoleh pengobatan yang lebih komprehensif, yang tidak mereka dapatkan di polindes. Sementara pengobatan rumah tangga yang biasa ditemui di Desa Jrangoan adalah pengobatan tradisional yang mempergunakan jamu dan bu’-sobu’ (pertolongan oleh penyembuh tradisional) untuk anak-anak. Namun, selain pengobatan tradisional, warga juga mempergunakan obat bebas yang didapatkan di warung terdekat, terutama untuk penyakit ringan seperti batuk, flu, dan pusing. Pengambilan keputusan untuk memperoleh pelayanan kesehatan biasanya dilakukan oleh kepala rumah tangga, terutama untuk penyakitpenyakit berat yang membutuhkan pengobatan komperehensif, tetapi untuk pelayanan KIA, terutama pelayanan persalinan, pengambil kepu­ tusan adalah ibu dari ibu yang akan melahirkan (apabila merupakan ke­ hamilan pertama). Sementara untuk persalinan kedua dan seterusnya, pengambilan keputusan di tangan ibu yang hendak bersalin dengan alasan sudah berpengalaman dalam persalinan sehingga ibu bersalin dapat me­ milih pelayanan kesehatan yang paling nyaman baginya. Respons masyarakat terhadap pelayanan kesehatan profesional sa­ ngat baik, terbukti mereka terbuka dengan sosialisasi yang dilakukan oleh Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 77 tenaga kesehatan dari puskesmas. Setiap program yang diperkenalkan selalu mengikutsertakan peran tokoh agama agar dapat diterima oleh masyarakat dengan baik. Tidak ada penolakan frontal dari masyarakat terhadap setiap program kesehatan yang disosialisasikan. Pada umumnya sosialisasi dilakukan terus-menerus oleh nakes dan toga agar dapat diterima dan dilaksanakan oleh warga Desa Jrangoan. Menurut klebun, keberadaan puskesmas dan polindes sangat mem­ bantu warga Desa Jrangoan, karena mereka tidak perlu pergi ke Kota Sampang untuk memperoleh pelayanan kesehatan dasar. Bahkan, untuk memperoleh pelayanan kesehatan bagi anak-anak balita, warga mencari bantuan ke Desa Rapa Laok, Kecamatan Omben, yang berjarak sekitar 5 kilometer dari Desa Jrangoan. Kebutuhan akan pelayanan kesehatan bagi warga Desa Jrangoan sa­ngat tinggi. Umumnya warga menderita penyakit yang berbeda-beda setiap musim. Pada musim kemarau biasanya sering terjadi kasus ISPA, sedangkan pada musim penghujan sering terjadi kasus diare. Bidan desa merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan di Desa Jrangoan. Walaupun ada puskesmas, tetapi untuk pelayanan darurat me­reka membutuhkan tenaga kesehatan yang siap siaga 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Bidan desa juga mempunyai kewajiban melakukan pendekatan kepada warga desa agar mereka percaya dengan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan, serta meninggalkan kepercayaan untuk mencari pertolongan pertama kondisi darurat masalah kesehatan ke dukun. Masyarakat sangat puas dengan pelayanan yang diberikan bidan desa itu meski ia baru sekitar 2 tahun menjadi bidan di Desa Jrangoan. Kesabaran dan keluwesannya bergaul dengan warga desa membuatnya lebih dipercaya sehingga warga mau ditangani langsung olehnya. Bahkan, warga desa sekitar Desa Jrangoan, seperti warga Desa Kebun Sareh dan Napo, datang ke bidan Desa Jrangoan untuk berobat, check up kesehatan dan persalinan, walaupun di desa mereka juga ada bidan. Dari hasil wa­ wancara sambil lalu, banyak warga menyatakan bahwa bidan desa Jrangoan ramah, suka bergaul, suka bermasyarakat, dan terampil dalam melakukan persalinan. Keberadaan bidan sangat membantu meningkatkan program pelayanan kesehatan masyarakat desa, terutama pelayanan kesehatan ibu dan anak. Di Desa Jrangoan terdapat posyandu yang dilaksanakan empat kali dalam sebulan secara bergiliran. Jadi, pelaksanaan di masing-masing dusun 78 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 adalah setiap seminggu sekali. Posyandu ini dikelola oleh klebun sebagai penanggung jawab umum dan putri tertua klebun sebagai penanggung jawab operasional yang dibantu oleh para kader PKK. Sementara bidan berperan sebagai tenaga pelaksana di lapangan. Adapun kegiatan yang dilakukan dalam posyandu ini adalah pelayanan pemantauan pertumbuhan (penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan) balita, pelayanan imunisasi, dan pelayanan kesehatan ibu dan anak. Pelayanan ibu berupa pelayanan ANC (Ante Natal Care), kunjungan pascapersalinan (nifas) dan pelayanan anak berupa deteksi dan intervensi dini tumbuh kembang balita. Gambar 4.1 Suasana pelaksanaan posyandu di Desa Jrangoan. Pada gambar tersebut tampak bahwa pelayanan posyandu tidak didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Di setiap tempat pelaksanaan posyandu tidak ada meja untuk pelayanan. Pelayanan pos­ yandu dilakukan secara lesehan di lantai. Menurut Prasetyawati (2012), pelayanan posyandu kepada masyarakat dilakukan dengan sistem 5 meja, yakni meja I: pendaftaran, meja II: penimbangan, meja III: pengisian KMS (Kartu Menuju Sehat), meja IV: komunikasi/penyuluhan perorangan berdasarkan KMS, meja V: tindakan (pelayanan imunisasi, pemberian Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 79 vitamin A dosis tinggi berupa obat tetes mulut tiap bulan Februari dan Agustus, pengobatan ringan, pembagian pil atau kondom, dan konsultasi KB-Kesehatan). Petugas di meja I sampai IV dilaksanakan oleh kader, sedangkan meja V merupakan meja pelayanan paramedis (bidan desa). Namun, pada kenyataannya, hal ini tidak dapat dilakukan karena dirasa terlalu memberatkan pekerjaan kader untuk menyiapkannya. Jadi, bidan memutuskan untuk lesehan di rumah salah seorang kader karena menurut bidan terlaksananya posyandu lebih penting daripada keberadaan meja. Akan tetapi, kegiatan yang seharusnya ada di lima meja tersebut sudah dilaksanakan, walaupun tidak ada wujud meja secara nyata. Hanya saja untuk kegiatan penyuluhan tidak dilakukan setiap bulan, melainkan setiap empat bulan sekali karena kader merasa malu dan berat hati jika melakukannya setiap bulan. Hal positif yang dapat dilihat yaitu ibu-ibu sudah mulai menyadari akan pentingnya posyandu. 80 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 Bab V Potensi dan Kendala Budaya dalam Pembangunan Kesehatan Ibu dan Anak Pada bab ini dilakukan analisis kendala dan potensi tujuh unsur kebudayaan berdasarkan semua tindakan yang berhubungan dengan kesehatan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Jrangoan. Kendala dan potensi ini merupakan persepsi masyarakat Desa Jrangoan. Menurut Fred B. Dunn (1976) dalam Nico S. Kalangie (1994) faktor-faktor perilaku manusia yang mempengaruhi kesehatan dapat digolongkan dalam dua kategori, yaitu perilaku yang terwujud secara sengaja dan sadar, dan perilaku yang terwujud secara tidak sengaja dan tidak sadar. Perilakuperilaku yang sengaja atau tidak sengaja kadang membawa manfaat bagi kesehatan individu atau kelompok kemasyarakatan, sebaliknya kadang berdampak merugikan bagi kesehatan masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada model alternatif perilaku kesehatan berikut ini. Tabel 5. 1 Teori Potensi dan Kendala Fred B. Dunn PERILAKU Sengaja/Sadar/ Tahu Menguntungkan Merugikan PERILAKU Tidak Sengaja/Tidak Sadar/Tidak Tahu 1 4 Potensi/Dorongan (Stimulan) 2 3 Kendala (Hambatan) Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 81 Kotak 1 menunjukan kegiatan manusia yang secara sengaja ditujukan untuk menjaga, meningkatkan kesehatan, dan menyembuhkan diri dari penyakit atau gangguan kesehatan. Kotak 2 mencakup semua bentuk perilaku baik merugikan atau pun merusak kesehatan dan berdampak kematian yang secara sadar atau sengaja dilakukan. Kotak 3 berhubungan dengan semua tindakan yang tidak disadari dan berakibat mengganggu kesehatan individu atau kelompok sosial. Kotak 4 adalah kegiatan-kegiatan atau gejala-gejala yang secara tidak disadari atau tidak sengaja membawa manfaat positif bagi kesehatan individu atau kelompok sosial. Kehidupan masyarakat Desa Jrangoan dalam hubungannya dengan tujuh unsur budaya dapat dibagi menjadi kendala dan potensi sebagai berikut. Tabel 5.2 Potensi dan Kendala Unsur Budaya Unsur budaya Sengaja/Sadar /Tahu Religi 1. Setiap bayi Menguntungkan perempuan harus disunat 2. Takut dan patuh terhadap kiai 3. Sering membaca Alquran surat Yusuf dan surat Maryam 1. Banyaknya jumlah anak mengakibatkan mereka kesulitan dalam mengasuh anak Organisasi sosial 1. Besarnya pengaruh 1. kemasyarakatan orang tua dalam Menguntungkan pemilihan jodoh, terutama jodoh yang berasal dari keluarga dekat Buku Seri Etnografi Kesehatan 2. Besarnya pengaruh Ibu dan Anak 2012 orang tua dalam penentuan penolong Merugikan 82 Tidak Sengaja/Tidak Sadar/Tidak Tahu 1. Ibu hamil dan bayi Potensi/Doronga yang belum n berusia 40 hari (Stimulan) dilarang keluar pada senja hari/magrib (rop sorop areh) 2. Ibu hamil dan bayi dilarang pergi ke tempat-tempat yang angker atau ke tempat-tempat yang gelap 3. Mitos banyak anak banyak rezeki Kendala (Hambatan) Potensi / Dorongan (Stimulan) dalam mengasuh anak Organisasi sosial 1. Besarnya pengaruh 1. kemasyarakatan orang tua dalam Menguntungkan pemilihan jodoh, terutama jodoh yang berasal dari keluarga dekat 2. Besarnya pengaruh orang tua dalam penentuan penolong persalinan bagi anaknya 3. Orang tua memberi anjuran obat-obatan tradisional kepada anak yang sedang hamil dan masa nifas 4. Orang tua memberi anjuran kepada anak agar dipijat ketika hamil untuk membetulkan posisi bayi 5. Orang tua memberi anjuran agar anak diberi makanan supaya tidak rewel dan lapar 6. Orang tua memberi anjuran agar anak tidak diimunisasi karena bisa mengakibatkan badan panas 7. Orang tua tidak menganjurkan anak untuk KB karena KB sama dengan membunuh calon bayi 8. Mitos banyak anak banyak rezeki Merugikan 1. Perkawinan antarkerabat mengakibatkan keturunan dalam anggota keluarga memiliki risiko tinggi mengidap penyakit degeneratif 2. Ketidakpatuhan Potensi / Dorongan (Stimulan) Kendala (Hambatan) Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 83 84 dengan membunuh calon bayi 8. Mitos banyak anak banyak rezeki Merugikan 1. Perkawinan antarkerabat mengakibatkan keturunan dalam anggota keluarga memiliki risiko tinggi mengidap penyakit degeneratif 2. Ketidakpatuhan dalam melaksanakan KB Pengetahuan 1. Tidak boleh 1. Larangan untuk Menguntungkan ribut/heboh/diketa makan makanan hui orang lain yang amis (ikan, ketika akan daging, dan telur) bersalin (sak ketika dalam masa kasak) nifas 2. Lebih 2. Larangan untuk mengutamakan makan makanan suami dalam yang panas seperti pembagian daging kambing, makanan durian, dan laindibandingkan lain untuk anaknya Merugikan 1. Takut memeriksakan kehamilan pertama kali ke tenaga kesehatan, maka lebih memilih ke dukun 2. Tidak memperoleh ilmu perawatan anak yang baik, mereka mendapatkan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi hanya terbatas pada ilmu bagaimana melayani suami (untuk menyenangkan suami) Mata 1. Dalam kondisi hamil pencaharian masih bekerja di Menguntungkan sawah hingga menjelang melahirkan 2. Bekerja di luar kota Merugikan 1. Karena akan bekerja Buku Seri Etnografi Kesehatan di luar kota, maka Ibu dan Anak 2012 anak dititipkan ke saudara terdekat atau orang tua Kendala (Hambatan) Potensi/Doronga n (Stimulan) Kendala (Hambatan) Potensi / Dorongan (Stimulan) Kendala (Hambatan) hanya terbatas pada ilmu bagaimana melayani suami (untuk menyenangkan suami) Mata 1. Dalam kondisi hamil pencaharian masih bekerja di Menguntungkan sawah hingga menjelang melahirkan 2. Bekerja di luar kota Merugikan 1. Karena akan bekerja di luar kota, maka anak dititipkan ke saudara terdekat atau orang tua Peralatan 1. Penggunaan alat Menguntungkan pembuatan jamu untuk membuat jamu Merugikan Potensi / Dorongan (Stimulan) Kendala (Hambatan) Potensi / Dorongan (Stimulan) Kendala (Hambatan) 5.1 Analisis Potensi dan Kendala Unsur Budaya Seperti dikemukakan sebelumnya, kendala yang ada pada masyarakat Desa Jrangoan umumnya terjadi karena sudah turun-temurun dan men­ jadi kebiasaan pada masyarakat tersebut. Menurut Max Webber, tindakan-tindakan tersebut merupakan tindakan tradisional yang bersifat irasional, karena seorang individu memperlihatkan perilaku yang menjadi kebiasaan tanpa refleksi yang sadar atau dengan perencanaan. Individu akan membenarkan atau menjelaskan tindakan itu kalau diminta, dengan hanya mengatakan bahwa mereka bertindak seperti itu karena merupakan kebiasaan bagi mereka. Sementara tindakan menitipkan anak kepada keluarga terdekat selama orang tua merantau dan tetap bekerja di ladang dalam kondisi hamil besar adalah tindakan rasional yang beroroentasi nilai (wertrationalitat). Tindakan rasional dan berorientasi pada nilai-nilai yang menempatkan alat (menitipkan anak kepada saudara atau bekerja selama masa kehamilan) yang dipergunakan merupakan objek pertimbangan dan perhitungan yang sadar untuk mencapai tujuan (kemakmuran bersama dalam keluarga) dan tujuan-tujuan tersebut ada dalam hubungan dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau merupakan nilai akhir baginya (menciptakan keluarga sakinah mawaddah dan warahmah). Dalam sistem religi masyarakat Desa Jrangoan terdapat beberapa potensi yang berhubungan dengan KIA. Beberapa potensi tersebut berupa tindakan-tindakan yang disengaja, antara lain: setiap bayi harus disunat, Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 85 takut dan patuh kepada kiai, dan sering membaca surat Maryam dan surat Yusuf ketika hamil. Sementara tindakan melarang ibu hamil dan bayi yang belum berusia 40 hari keluar pada senja hari/magrib (rop sorop areh), ibu hamil dan bayi dilarang pergi ke tempat-tempat yang angker atau ke tempat-tempat yang gelap, dan mitos banyak anak banyak rezeki sebagai potensi berupa tindakan yang tidak disengaja. Hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Desa Jrangoan sebagai tindakan preventif agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya penyakit saben (sawan) dan penyakit-penyakit spiritual lainnya. Mayoritas masyarakat Madura beragama Islam, begitu juga dengan masyarakat Desa Jrangoan yang merupakan suku asli Madura beragama Islam. Masyarakat Madura memiliki kepatuhan yang lebih tinggi terhadap kiai (tokoh agama) daripada terhadap pemerintah maupun tenaga ke­ sehatan. Kepatuhan terhadap kiai tersebut dilakukan secara sadar oleh masyarakat Desa Jrangoan. Berdasarkan teori Fred B. Dunn, kepatuhan yang tinggi kepada kiai setempat akan menjadi sebuah potensi yang meng­ untungkan bagi petugas kesehatan dalam mengubah perilaku masyarakat Desa Jrangoan yang dianggap bertentangan dengan ilmu pengetahuan medis modern dalam upaya meningkatkan kesehatan ibu dan anak. Petugas kesehatan setempat harus dapat menjalin kerja sama yang baik dengan tokoh-tokoh agama yang dijadikan panutan oleh masyarakat, sehingga kegiatan health promotion yang dilakukan oleh tenaga kesahatan dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat Madura, khususnya masyarakat Desa Jrangoan. Dalam kegiatan health promotion yang dilakukan oleh petugas kesehatan, keterlibatan langsung kiai (tokoh agama) akan menjadi sangat penting. Selain kiai, petugas kesehatan juga dapat melibatkan klebun dan orang tua/mertua ibu hamil, karena pada dasarnya pengambilan keputusan dalam tindakan perawatan kehamilan dan pascapersalinan ibu hamil tidak lepas dari campur tangan orang tua/mertua. Kehidupan sehari-hari masyarakat Desa Jrangoan sangat kental de­ ngan ajaran Islam. Terdapat pula anjuran bagi ibu hamil yang dilakukan secara sadar oleh ibu hamil dan termasuk potensi yang menguntungkan (berdasarkan teori perilaku Fred B. Dunn) dalam perawatan kehamilannya, yaitu berupa anjuran bagi ibu hamil untuk memperbanyak membaca Alquran, terutama surat-surat khusus dalam Alquran, seperti surat Yusuf dan Surat Maryam. Anjuran untuk banyak membaca Alquran tersebut dilakukan oleh ibu hamil karena ibu hamil berharap terjaganya kesehatan ibu dan bayi, serta keselamatan pada saat proses persalinannya. Kegiatan 86 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 membaca Alquran surat Yusuf dan surat Maryam secara rutin akan memberikan ketenangan jiwa bagi ibu hamil. Ketenangan jiwa ibu hamil pada masa kehamilan dapat berdampak positif pada kesehatan ibu hamil karena ibu hamil menjadi lebih tenang sehingga upaya perawatan kehamilannya menjadi lebih baik. Sedangkan yang menjadi kendala adalah adanya mitos banyak anak banyak rezeki yang mengakibatkan orang tua mengalami kesulitan dalam mengasuh dan membesarkan anak-anaknya. Pada unsur organisasi dan kemasyarakatan, tindakan yang meng­ untungkan dan sengaja dilakukan oleh masyarakat Desa Jrangoan adalah besarnya pengaruh orang tua dalam pemilihan jodoh, terutama berasal dari keluarga dekat, besarnya pengaruh orang tua dalam penentuan pe­ nolong persalinan bagi anaknya, orang tua memberi anjuran obat-obatan tradisional kepada anak yang sedang hamil dan masa nifas, orang tua memberi anjuran kepada anak agar dipijat ketika hamil untuk membetulkan posisi janin, orang tua memberikan anjuran agar anak diberi makan supaya tidak rewel dan lapar, dan mencegah anak diimunisasi merupakan tindakan preventif yang dilakukan orang tua untuk mencegah anak menderita sakit panas. Sementara kendala yang ditemukan adalah perkawinan yang diatur antarkerabat akan menyebabkan penyakit dege­neratif seperti diabetes mellitus, hipertensi, jantung, asthma, dan bebe­rapa penyakit lain seperti hemofillia dan thalasemia yang apabila kondisinya ekstrem akan menyebabkan kematian. Tindakan orang tua yang menganjurkan anak tidak ber-KB juga dapat menimbulkan kematian dalam kondisi ekstrem, terutama apabila kehamilan dalam usia lanjut dan dengan risiko tinggi. Pada unsur pengetahuan, tindakan yang merugikan dan disengaja adalah ibu hamil disarankan memeriksakan kehamilan pertama kali ke dukun bayi, tidak boleh ribut/heboh/diketahui orang lain ketika akan bersalin (sa’-kasa’), tidak memperoleh ilmu dalam perawatan anak yang baik, mereka mendapatkan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi hanya terbatas pada ilmu bagaimana melayani suami (untuk menyenangkan suami), tindakan di atas dapat menyebabkan kematian dalam kondisi ekstrem. Sedangkan tindakan yang merugikan namun tidak disengaja adalah larangan untuk makan makanan yang amis-amis (ikan, daging dan telur) pada masa nifas, larangan untuk makan makanan yang panas seperti daging kambing, durian, dan lain-lain merupakan tindakan preventif agar tidak terjadi kondisi yang tidak diinginkan menurut perspektif budaya mereka. Tindakan lebih mengutamakan suami dalam pembagian makanan dibandingkan untuk anaknya merupakan tindakan yang dilakukan Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 87 oleh ibu untuk menjelaskan kepada anak bahwa penghormatan kepada orang tua (ayah) sangatlah penting. Sementara kendala yang ditemukan adalah tidak memperoleh ilmu dalam perawatan anak yang baik, mereka mendapatkan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi hanya terbatas pada ilmu bagaimana melayani suami (untuk menyenangkan suami) dan takut memeriksakan kehamilan pertama kali ke tenaga kesehatan, namun memilih ke dukun karena takut akan terjadi keguguran. Pada unsur pekerjaan, potensi berupa tindakan yang disengaja adalah tetap bekerja ketika hamil hingga waktu bersalin tiba. Hal ini dilakukan untuk membantu perekonomian keluarga, sedangkan tindakan yang lain adalah bekerja di luar kota dengan tujuan untuk membantu perekonomian keluarga. Tindakan yang disengaja namun menyebabkan kerugian dalam hal kesehatan adalah tindakan tersebut dapat menyebabkan ketidakoptimalan pertumbuhan janin. Pada unsur peralatan, potensi berupa tindakan yang disengaja yaitu penggunaan alat pembuat jamu untuk membuat jamu bagi ibu bersalin dan ibu dalam masa nifas, juga jamu-jamu yang akan dikonsumsi oleh anggota keluarga dalam pengobatan penyakit. Sementara tiga unsur lain seperti bahasa, kesenian, dan informasi tidak menimbulkan tindakan-tindakan yang dapat menyebabkan kerugian di bidang kesehatan. Pada unsur geografi dan pemukiman, potensi berupa konsep pemukiman taneyan lanjhang yang digunakan masyarakat Desa Jrangoan, seperti halnya masyarakat Madura lainnya. Pola taneyan lanjhang dalam pemukiman masyarakat memiliki potensi yang baik pada masa kehamil­ an. Keuntungannya yaitu keluarga ibu hamil yang lain, misalnya saudarasaudaranya, bisa turut serta memberikan perhatian kepada ibu hamil yang suaminya merantau untuk mencari nafkah. Konsep taneyan lanjhang pada dasarnya dapat lebih memudahkan petugas kesehatan dalam menyampaikan informasi-informasi penting seputar kesehatan, baik program kese­ hatan secara umum maupun program kesehatan ibu dan anak berupa kegiatan posyandu. Konsep taneyan lanjhang dalam pemukim­an masyarakat Madura jika dikaitkan dengan teori perilaku Dunn merupakan suatu hal menguntungkan yang dilakukan secara tidak sadar oleh masyarakat. 88 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 SADAR TIDAK SADAR SADAR 1 SADAR (MENGUNTUNGKAN) 1 SADAR 1 (MENGUNTUNGKAN) 1 (MENGUNTUNGKAN) 1 (MENGUNTUNGKAN) (MENGUNTUNGKAN) Remaja (MENGUNTUNGKAN) Remaja Perilaku santriwati mencelupkan cucian yang Remaja Remaja Perilaku santriwati mencelupkan cucian yang Remaja berbusa ke dalam bak mandi masih Perilaku santriwati mencelupkan cucian yang Remaja masih Perilaku santriwati mencelupkan cucian berbusa ke dalam bak mandi Perilaku santriwati mencelupkan cucian yang yang masih berbusa ke dalam bak mandi masih Perilaku santriwati mencelupkan cucian yang berbusa ke dalam bak mandi masih berbusa keIstri dalam bak mandi Pasangan Suami yang Istrinya Belum masih berbusa dalam bak mandi Pasangan Suami keIstri yang Istrinya Belum Pernah Hamil Pasangan Suami Istri yang Istrinya Belum Pasangan Suami Istri yang Istrinya Belum Pernah Hamil Pasangan Suami diri Istrike bidan yang dan Istrinya Memeriksakan dukun Belum Pernah Hamil Pasangan Suami Istri yang Istrinya Belum Pernah Hamil Memeriksakan diri ke ada bidan dan 7dukun Pernah Hamil telur Mengambil saat acara bulanan Memeriksakan diri ke bidan dan dukun Pernah Hamil Memeriksakan diri ke bidan dan dukun Mengambil telur saat acara bulanan Memeriksakan diri ke ada bidan dan 7 dukun Meminum jamu Mengambil telur saat acara bulanan Memeriksakan diri ke ada bidan dan 7 dukun Mengambil telur saat ada acara 7 bulanan Meminum jamu Mengambil telur saat ada acara 7 bulanan Memperbanyak konsumsi kecambah Meminum jamu Mengambiljamu telurkonsumsi saat ada acara 7 bulanan Meminum Memperbanyak kecambah Meminum jamu Mengadopsi anak saudara kecambah sebagai pancingan Memperbanyak konsumsi Meminum jamu Memperbanyak konsumsi Mengadopsi anak saudara kecambah sebagai pancingan Memperbanyak konsumsi kecambah Mengadopsi anak saudara sebagai pancingan Memperbanyak konsumsi kecambah Mengadopsi anak saudara Mengadopsi anak saudara sebagai sebagai pancingan pancingan Masa Kehamilan Mengadopsi anak saudara sebagai pancingan Masa Kehamilan Tetap bekerja di sawah/ladang ketika hamil Masa Kehamilan Masa Kehamilan Tetap bekerja di perut sawah/ladang ketika hamil Masa Kehamilan Melakukan pijat jika bayi sungsang Tetap bekerja di sawah/ladang ketika hamil Masa Kehamilan Tetap bekerja di sawah/ladang ketika hamil Melakukan pijat perut jika bayi sungsang Tetap bekerja dikehamilan sawah/ladang ketika hamil bidan desa Melakukan pijat perut jika ke bayi sungsang Memeriksakan Tetap bekerja dikehamilan sawah/ladang ketika hamil Melakukan pijat perut jika bayi sungsang Memeriksakan ke bidan desa Melakukan pijat perutselametan jika ke bayi sungsang Mengadakan upacara saat usia Memeriksakan kehamilan bidan desa Melakukan pijat perut jika bayi sungsang Memeriksakan kehamilan ke desa Mengadakan upacara selametan saat usia Memeriksakan kehamilan ke bidan bidan desa 4 dan 7 bulan kandungan Mengadakan upacara selametan saat usia kehamilan ke bidan desa Memeriksakan Mengadakan upacara selametan saat usia kandungan 4 dan 7 bulan Mengadakan upacara selametan saat usia Pantangan mengonsumsi makanan pedas kandungan 4 dan 7 bulan upacara selametan saat usia kandungan 4 dan 7 bulan Mengadakan Pantangan mengonsumsi makanan pedas kandungan 4 dan 7 bulan makanan pedas panas dan Pantangan mengonsumsi kandungan 4 dan 7 bulan dan Pantangan mengonsumsi makanan pedas panas minum Pantangan makanan pedas Kebiasaan susu dicampur dengan dan panas mengonsumsi mengonsumsi makanan pedas dan panas Pantangan Kebiasaan minum susu dicampur dengan dan panas dan madu telur Kebiasaan minum susu dicampur dengan dan panas telur Kebiasaan minum dan madu Kebiasaan minum susu susu dicampur dicampur dengan dengan dan madu telur Kebiasaan minum susu dicampur dengan telur dan madu telur dan madu Menjelang Persalinan telur dan madu Menjelang Persalinan Persalinan di rumah lebih diutamakan karena Menjelang Persalinan Menjelang Persalinan Persalinan diakan rumah lebihdidiutamakan Menjelang Persalinan rezeki tidak berada luar rumahkarena Persalinan di rumah lebih diutamakan karena Menjelang Persalinan Persalinan di rumah lebih diutamakan rezeki tidak akan berada di luar rumahkarena Persalinan di rumah lebih diutamakan karena Meminum air kelapa muda untuk rezeki tidak akan berada di luar rumah Persalinan diakan rumah lebih diutamakan karena berada di rumah rezeki Meminum kelapa muda untuk rezeki tidak tidakair akan berada di luar luar rumah persalinan memperlancar Meminum air kelapa muda untuk rezeki tidak akan berada di luar rumah Meminum air kelapa muda untuk memperlancar persalinan Meminum air kelapa muda untuk persalinan memperlancar Meminum air kelapa muda untuk memperlancar persalinan memperlancar persalinan Proses Persalinan memperlancar persalinan Proses Persalinan Melahirkan dengan pertolongan bidan desa Proses Persalinan Proses Persalinan Melahirkan dengan pertolongan bidan desa Proses Persalinan Bayi diimunisasi segera setelah dilahirkan Melahirkan dengan pertolongan bidan desa Proses Persalinan Melahirkan dengan pertolongan bidan Bayi diimunisasi segera setelah dilahirkan Melahirkan dengan pertolongan bidan desa desa Bayi diimunisasi segera setelah dilahirkan Melahirkan dengan pertolongan bidan desa Bayi diimunisasi segera setelah dilahirkan Bayi diimunisasi segera setelah dilahirkan Setelah Bayi Persalinan diimunisasi segera setelah dilahirkan Setelah Persalinan Membawa lidi setelah melahirkan agar tidak Setelah Persalinan Setelah Persalinan Membawa lidi setelah melahirkan agar tidak Setelah Persalinan diganggu setan Membawa lidi setelah melahirkan agar tidak Setelah Persalinan diganggu Membawa lidi setelah melahirkan agar tidak setan Membawasetan lidinampan setelah dekat melahirkan Menabuhkan telingaagar bayitidak baru diganggu Membawa lidinampan setelah dekat melahirkan agar diganggu setan Menabuhkan telinga bayitidak baru diganggu setan agar bayi tidak mudah kaget lahir Menabuhkan nampan dekat telinga bayi baru setan diganggu Menabuhkan nampan dekat telinga bayi lahir agar bayi tidak mudah kaget Menabuhkan nampan dekatkaget telinga bayi baru baru Pemberian madu dan kelapa muda pada bayi lahir agar bayi tidak mudah nampan dekatkaget telinga bayi baru lahir bayi tidak mudah Menabuhkan Pemberian madu dan kelapa muda pada bayi lahir 1agar agar bayi tidak mudah kaget hari usia Pemberian madu dan kelapa muda pada bayi agar bayi tidak mudah kaget lahir Pemberian madu dan kelapa muda pada usia 1 hari Pemberian madu dan kelapa muda pada bayi bayi usia 1 hari Pemberian madu dan kelapa muda pada bayi usia usia 1 1 hari hari usia 1 hari TIDAK 4SADAR TIDAK (POTENSI) 4SADAR TIDAK 4SADAR (POTENSI) SADAR Tabel 5.3 Potensi dan Kendala SiklusTIDAK KIA 4SADAR SADAR TIDAK SADAR 1 4 (POTENSI) 4 (POTENSI) Remaja (POTENSI) (POTENSI) Remaja Pola makan tanpa Remaja Remaja Pola makan tanpa Remaja sayur-sayuran Pola makan tanpa Remaja sayur-sayuran Pola Pola makan makan tanpa tanpa sayur-sayuran Pola makan tanpa sayur-sayuran sayur-sayuran sayur-sayuran Setelah Persalinan Setelah BayiPersalinan dimandikan oleh Setelah Persalinan Setelah Persalinan Bayi dimandikan oleh Setelah Persalinan dukun atau kerabat Bayi dimandikan oleh Setelah Persalinan dukun Bayi dimandikan oleh atau kerabat Bayi dimandikan oleh yang lain sampai bayi dukun atau kerabat Bayi dimandikan oleh dukun atau kerabat yang lain sampai bayi dukunlain atau kerabat berusia 7 hari yang sampai bayi dukun atau kerabat yang lain sampai bayi berusia 7 hari yang lain7 sampai bayi berusia hari yang lain7 sampai bayi berusia hari berusia 7 hari berusia 7 hari Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 89 Masa Nifas Tidak menggunakan pembalut pada saat masa nifas hari pertama Penaburan super tetra pada vagina dapat mempercepat keluarnya darah pada masa nifas Penggunaan jamu dan param pada masa nifas Penggunaan gurita KB dengan metode coitus interuptus KB pil dan suntikan untuk pencegah kehamilan Menyusui Pemberian MP ASI sebelum bayi berusia 6 bulan Menghindari pantangan makan ikan Menghindari pantangan makan cabai Mengonsumsi pejje untuk memperlancar ASI Kolostrum dibuang karena dianggap kotor Pemberian ASI sesering mungkin pada awal kelahiran Neonatus dan Bayi Penghormatan kepada ari-ari Pemijatan bayi saat mandi Batu hitam dari kiai dan gelang dengan tulisan Arab untuk mencegah bayi menjadi kurus Sesajen di tempat tidur bayi untuk menangkal setan Menahan orang masuk menemui bayi yang baru lahir agar setan yang mengikutinya pergi Selametan pada saat bayi berusia7 dan 40 hari untuk keselamatan bayi Sunat (pemotongan sebagian klitoris) untuk bayi perempuan Acara toron tana untuk peringatan 1 tahun bayi 90 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 Anak dan Balita Anak diasuh oleh kerabat karena orang tuanya merantau ke luar Madura Jarak kelahiran sangat dekat antarsaudara Pijat bayi untuk mengobati sakit oleh dan saben Pergi ke posyandu setiap bulan 2 (MERUGIKAN) Remaja Pengabaian pengobatan penyakit keputihan pada santriwati 3 (KENDALA) Proses Persalinan IMD tidak sempurna Pasangan Suami Istri yang Istrinya Belum Pernah Hamil Tidak memeriksakan diri ke dokter 5.2 5.2 Analisis AnalisisPotensi Tabel dan Rendah Siklus KIA Berikut merupakan analisis tabel 5.2. Penentuan suatu Berikut merupakan analisis tabel 5.3. Penentuan suatu perilaku perilaku digolongkan sebagai potensi (menguntungkan) dan digolongkan sebagai potensi (menguntungkan) dan kendala (merugikan) kendala (merugikan) berdasarkan pada pola pikir masyarakat. berdasarkan pada pola pikir masyarakat. Selanjutnya akan dibahas sesuai Selanjutnya akan dibahas sesuai dengan etiket kesehatan yang dengan etiket kesehatan yang berlaku. berlaku. Pada remaja tampak bahwa perilaku santriwati Pondok Pesantern Al-Ihsan yang mencelupkan cucian yang masih berbusa ke dalam bak 5.2.1 merupakan Potensi perilaku yang dilakukan secara sadar. Bagi mereka, ini mandi merupakan perilaku yang menguntungkan karena dengan mencelupkan Pada remaja tampak bahwa santriwati Pondok cucian ke dalam bak mandi membuat baju perilaku mereka menjadi bersih. Dilihat Pesantern Al-Ihsanperilaku yang mencelupkan cucian yang masih berbusa dari sisi kesehatan, ini merupakan perilaku yang merugikan ke merupakan dalam bak kendala mandi merupakan perilaku yang dilakukan secara dan karena hal ini menyebabkan air mengandung sabun. digunakan untuk membersihkan genital maka akan sadar.Apabila Bagi mereka, ini merupakan perilaku organ yang menguntungkan menyebabkan terjadinya keputihan. karena dengan mencelupkan cucian ke dalam bak mandi Pola makan sehari-hari santriwati Pondokdari Pesantren Al-Ihsan membuat baju mereka menjadi bersih.di Dilihat sisi kesehatan, yang tanpa sayuran merupakan perilaku yang mereka lakukan secara perilaku ini merupakan perilaku yang merugikan dan merupakan tidak sengaja/tidak ini merupakan orang tuasabun. mereka kendala karena sadar hal inikarena menyebabkan air tradisi mengandung yang membiasakan mereka dari kecil tidak mendapatkan asupan sayurApabila digunakan untuk membersihkan organ genital maka akan sayuran. Berdasarkan teori alternatif perilaku Dunn, hal ini mendatangkan menyebabkan terjadinya keputihan. keuntungan bagi mereka karena dengan jarangnya mereka Pesantren mengonsumsi Pola makan sehari-hari santriwati di Pondok sayur-sayuran maka pengeluaran unttuk berbelanja lauk pauk menjadi Al-Ihsan yang tanpa sayuran merupakan perilaku yang mereka lakukan secara tidak sengaja/tidak sadar karena ini merupakan Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 91 lebih irit. Dari sisi kesehatan ini merupakan perilaku yang merugikan dan menjadi kendala karena remaja masih dalam masa pertumbuhan dan tentu masih membutuhkan asupan gizi dan energi yang cukup untuk aktivitas mereka. Banyak santriwati di Pondok Pesantren Al-Ihsan yang mengalami penyakit kewanitaan seperti keputihan. Kurangnya penge­tahuan dan padatnya kegiatan para santriwati di pesantren menyebabkan mereka mengabaikan pengobatan penyakit keputihan ini. Mereka menyadari perilaku ini merugikan bagi mereka karena hal ini dapat mengganggu aktivitas mereka sehari-hari akibat efek gatal-gatal yang ditimbulkan dari keputihan. Dari sisi kesehatan ini merupaka kendala/hambatan karena keputihan dapat menyebabkan kemandulan atau bahkan kematian. Mungkin hal ini merupakan tamparan keras bagi wanita yang selalu menyepelekan keputihan. Sebenarnya masalah keputihan merupakan masalah yang dari dulu menjadi masalah bagi kaum perempuan. Hal yang paling menyedihkan adalah ketika para wanita tahu apa itu keputihan dan terkadang menganggap remeh masalah ini. Padahal mereka tahu bahwa keputihan tidak bisa dianggap enteng. Apabila keputihan lambat untuk ditangani dapat menjadi sangat fatal karena tidak hanya bisa mengakibatkan kemandulan dan hamil di luar kandungan, keputihan pun bisa menjadi gejala awal kanker leher rahim. Apabila sudah begitu, kematian pun bukan menjadi hal yang mustahil. Pada pasangan yang istrinya belum pernah hamil, beberapa perilaku yang merupakan suatu dorongan menuju peningkatan kesehatan ibu dan anak yang lebih baik, adalah memeriksakan dirinya ke bidan desa. Masyarakat menyadari bahwa dengan memeriksakan dirinya ke bidan desa, maka mereka akan mendapatkan keuntungan karena akan mengetahui sebab terhambatnya keinginan mereka untuk memiliki anak. Hal ini pun sesuai dengan etika kesehatan yang memang menyarankan agar pasangan suami istri yang belum dikaruniai anak segera memeriksakan dirinya ke tenaga kesehatan. Usaha lain yang dilakukan adalah dengan meminum jamu dari kunyit dan daun asam. Jamu yang lain yaitu kelapa muda dicampur dengan telur ayam kampung. Sering kali pasangan suami istri mengonsumsi kecambah untuk menambah kesuburan. Semua perilaku tersebut merupakan perilaku positif yang dapat dilakukan untuk memperoleh keturunan. 92 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 Pengadopsian anak dijadikan alternatif terakhir dalam usaha memiliki anak. Menurut mereka, perilaku ini menguntungkan karena dapat dijadikan sebagai pancingan untuk memiliki anak. Adopsi anak bisa menjadi sebuah dorongan dan juga hambatan. Menjadi dorongan jika anak yang diadopsi tidak bermasalah pada masa depan. Kemudian akan menjadi hambatan jika ternyata kelak pasutri ini memiliki anak kandung, perhatian kepada anak adopsi menjadi berkurang. Pasangan suami istri yang belum dikaruniai anak tidak memeriksakan diri mereka ke dokter spesialis dengan alasan takut jika ternyata didiagnosis mandul selamanya. Mandul merupakan hal yang sangat dikhawatirkan karena dapat memicu sanksi sosial dari masyarakat sekitar. Biasanya yang dipersalahkan adalah pihak istri, sehingga istri tidak berkenan untuk diperiksa kondisinya. Padahal pemeriksaan ke dokter spesialis merupakan suatu tindakan yang sebenarnya dapat membantu mereka untuk segera memiliki anak. Dokter spesialis akan mencari penyebabnya dan akan memberikan solusi sebagai suatu upaya atau usaha untuk memiliki anak. Pada masa kehamilan, hal positif yang dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk perilaku menguntungkan antara lain pemeriksaan keha­ milan ke polindes, menghindari makanan pedas dan panas, serta meng­ hindari duduk di depan pintu dan melilitkan handuk ke leher untuk pencegahan proses kelahiran yang terhambat. Perilaku lain yaitu ibu hamil minum susu yang dicampur dengan telur dan madu untuk meningkatkan stamina serta daya tahan tubuh ibu hamil. Namun, ada perilaku negatif yang dapat memberikan risiko buruk kepada ibu hamil, yaitu tetap bekerja di sawah/ladang meski usia kan­ dungan hampir mendekati persalinan. Walaupun demikian, mereka meng­anggap bahwa perilaku ini menguntungkan karena dapat dikatakan sebagai olahraga kecil sehingga ibu hamil tetap sehat dan kuat. Kemudian, ibu hamil juga biasa memijatkan perutnya ke dukun beranak untuk menghindari posisi bayi sungsang. Hal ini menjadi baik jika dilakukan dengan cara pemijatan yang benar. Akan tetapi, akan menjadi bermasalah apabila cara memijatnya dilakukan dengan penuh tekanan sehingga dapat mengganggu janin. Pada masa menjelang persalinan, perilaku positif yang dilakukan adalah meminum air kelapa muda karena berdasarkan pola pikir mereka, air kelapa akan melicinkan jalan lahir bayi. Menurut sudut pandang Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 93 kesehatan, air kelapa muda memang mengandung elektrolit yang baik untuk kesehatan ibu. Sementara memilih persalinan di rumah merupakan suatu hal yang baik karena rezeki di rumah itu tidak akan hilang. Akan tetapi, hal ini menyebabkan persalinan tanpa fasilitas kesehatan yang memadai walaupun bidan desa selalu membawa bidan kit ketika menolong persalinan di rumah. Sebelum melahirkan, ibu diberi minuman berupa ramuan bawang putih dan daun jrangoh agar berkurang rasa sakitnya. Namun, khasiat jamu ini belum diketahui, sehingga masih belum bisa disimpulkan apakah baik secara kesehatan atau tidak. Pada saat proses persalinan, semuanya ditangani oleh bidan desa sehingga kemungkinan terjadi hal yang negatif menjadi sangat kecil. Bayi yang diberi imunisasi segera setelah lahir dan tidak ada penolakan dari pihak keluarga merupakan suatu potensi yang patut dikembangkan. Orang tua tidak menolak karena menganggap imunisasi akan membuat bayinya sehat. Pada saat setelah persalinan, sebagai bentuk perlindungan ke­pa­ da bayi dan ibu dari gangguan setan yang mungkin mengikuti selama perjalanan pulang dari polindes ke rumah, maka siapa pun yang meng­ gendong bayi serta ibu tersebut membawa sebatang lidi. Tidak ada yang mampu menjelaskan mengapa lidi bisa mengusir setan. Hanya saja ini adalah suatu tradisi turun-temurun dari sejak zaman dahulu. Ini merupa­ kan suatu tindakan perlindungan terhadap bayi dan ibunya. Segala macam perlindungan tersebut tentunya untuk kebaikan dan tidak ada yang dirugikan dengan aktivitas membawa lidi tersebut. Jadi, membawa lidi untuk penangkal setan termasuk suatu stimulan untuk lebih memperhatikan keadaan bayi dan ibunya. Bentuk perhatian ini menunjukkan bahwa bayi dan ibunya sangat istimewa sehingga akan selalu dilindungi, termasuk di­ lindungi dari penyakit (yang disebabkan oleh gangguan setan). Perilaku selanjutnya adalah menabuhkan nampan di dekat telinga bayi agar bayi tidak mudah kaget ketika dewasa kelak. Namun, apabila ditelaah lebih lanjut, tindakan ini tidak berhubungan dengan apa pun, termasuk pengaruh terhadap potensi untuk menjadi tidak mudah kaget pada saat dewasa kelak. Tindakan tersebut hanya dilakukan satu kali dan belum ada fakta yang membuktikan kebenaran kepercayaan mereka. Akan tetapi, tidak ada pengaruh negatif yang ditimbulkan dari tindakan ini. 94 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 Selanjutnya adalah pemberian madu dan kelapa muda kepada bayi yang baru berusia beberapa jam yang menurut keyakinan masyarakat setempat bertujuan untuk melicinkan pencernaan bayi sehingga dapat menerima jenis makanan apa pun. Pendapat ini jelas bertentangan dengan keputusan WHO yang mengharuskan pemberian ASI eksklusif hingga bayi berusia 6 bulan karena pencernaan bayi belum mampu menerima makanan lain selain ASI. Oleh karena itu, perilaku ini akan memberikan dampak negatif terhadap kesehatan bayi sehingga dapat dikategorikan sebagai hambatan dalam usaha meningkatkan kesehatan anak. Suatu bentuk perhatian kepada ibu yang baru saja melahirkan adalah ibu dibiarkan beristirahat dan tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Bah­ kan, kegiatan memandikan bayinya pun tidak dilakukan sendiri, tetapi dilakukan oleh dukun bayi atau saudara. Menurut mereka, tindakan ini bertujuan agar ketika dimandikan bayi juga dipijat oleh dukun karena bayi yang baru lahir pasti merasa lelah. Hal positif yang dapat disimpulkan sebagai suatu potensi adalah ibu dapat memulihkan kondisi dirinya pas­ camelahirkan tanpa harus khawatir memikirkan kondisi bayinya karena sudah mendapat perhatian dari dukun atau kerabat yang lain. Pada masa setelah persalinan, Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dila­ kukan dengan bantuan bidan. Namun, bidan desa mengajarkan Inisiasi Menyusui Dini tidak sampai tuntas. Ketika bayi berada di dada ibu dan belum menemukan puting, bidan langsung menggendong bayi. Hal ini tentu sedikit merugikan karena alangkah lebih baiknya jika IMD dilakukan dengan sempurna. Pada masa nifas, masyarakat Jrangoan khususnya dan masyarakat Madura pada umumnya percaya bahwa darah nifas seharusnya dibuang dan tidak dihalang-halangi. Oleh karena itu, sebagian ibu nifas tidak menggunakan pembalut pada hari pertama pascamelahirkan. Namun, apabila seseorang tidak menggunakan pembalut pada saat nifas, keber­ sihan vagina tidak terjamin karena langsung berhubungan dengan udara luar dan hanya beralaskan kain sarung. Ceceran darah di atas lantai juga dapat mengundang bakteri ke dalam rumah sehingga kebiasaan ini dapat disimpulkan sebagai suatu hal yang menyebabkan menurunnya derajat kesehatan ibu dan anak. Penggunaan supertetra yang diyakini dapat melancarkan darah keluar dari vagina sebenarnya merupakan antibiotik yang dapat menyembuhkan Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 95 luka. Apabila penggunaanya sesuai dengan saran medis, maka obat ini dapat memulihkan luka yang dialami ibu pascamelahirkan. Meminum jamu pascamelahirkan dan menggunakan parem (param) merupakan suatu tindakan yang positif karena jamu mengandung bahan herbal yang dapat memulihkan kondisi fisik ibu, sedangkan param yang mengandung kencur, sereh, klabet, dan jahe dapat melemaskan otot-otot setelah melahirkan. Begitu pula dengan penggunaan gurita yang dikenakan ibu bertujuan mengembalikan bentuk perut ibu seperti semula. Gurita yang dipakai tidak terlalu erat, tetapi sesuai dengan kenyamanan. Gurita ini merupakan suatu cara tradisional yang tidak berdampak negatif pada kondisi ibu, tetapi berdampak positif, yaitu mengembalikan bentuk perut ibu walaupun membutuhkan jangka waktu yang cukup lama. Bagaimanapun juga setiap ibu yang sudah melahirkan menginginkan perutnya menjadi langsing kembali dan pemakaian gurita ini sangat membantu tanpa memberikan dampak yang negatif. Untuk mengatur jarak kelahiran biasanya masyarakat di desa ini melakukan cara ber-KB alami, yaitu coitus interuptus (senggama terputus) dan sebagian dengan menggunakan pil dan suntikan. Walaupun masih banyak ibu tidak mengikuti KB dengan alasan meyakini bahwa banyak anak banyak rezeki, tetapi sebagian sudah mulai menyadari pentingnya KB untuk mengatur jarak kelahiran. Namun, KB tetap bertujuan untuk mengatur jarak kelahiran, bukan membatasi kelahiran sehingga anak yang dimiliki tetap banyak. Pada masa menyusui, bayi tidak sepenuhnya diberi ASI, tetapi sudah diberi makanan tambahan seperti pisang yang dicampur dengan nasi sebelum bayi berusia 6 bulan dengan tujuan untuk menghindari bayi menangis karena kelaparan. Akan tetapi, pada dasarnya pemberian ASI pada bayi sebelum berusia 6 bulan akan membahayakan pencernaan bayi karena bayi belum siap menerima makanan padat. Sebuah pantangan yang sangat dipatuhi oleh masyarakat Desa Jra­ ngoan ketika dalam masa menyusui adalah menghindari konsumsi ikan karena menyebabkan ASI berbau amis. Padahal ikan mengandung protein yang sangat dibutuhkan oleh ibu dan bayinya. Lagi pula tidak ada suatu bukti bahwa ASI akan menjadi amis jika ibu mengonsumsi ikan. Pantangan lain adalah mengonsumsi cabai yang akan membuat mata bayi menjadi kotor. 96 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 Ramuan yang dipercaya dapat memperlancar keluarnya ASI adalah pejje yang terdiri atas campuran asam jawa dan abu sisa pembakaran yang diseduh dengan air panas lalu disaring. Masyarakat sekitar percaya dan sudah membuktikan bahwa ramuan ini berkhasiat untuk memperlancar ASI. Namun, apabila dikaji ulang, asam jawa adalah tanaman yang mengandung vitamin C yang sangat baik untuk daya tahan tubuh dan antioksidan. Akan tetapi, abu sisa tungku pembakaran seharusnya tidak dikonsumsi. Bisa saja abu tersebut mengandung banyak bakteri yang dapat mengganggu kesehatan seseorang jika dikonsumsi. Namun, masih belum ada penelitian nyata mengenai abu sisa pembakaran ini berkaitan dengan ramuan pelancar ASI. Jika untuk memperlancar ASI msyarakat Desa Jrangoan membuat ramuan pejje, maka untuk melindungi bayinya dari ASI yang akan dimi­ numkan adalah dengan membuang ASI yang pertama kali keluar karena dianggap kotor. Padahal ASI yang dibuang tersebut merupakan kolostrum yang dapat meningkatkan kekebalan tubuh bayi karena termasuk dalam kategori antibodi alami. Oleh karena itu, hal ini perlu dijelaskan kepada msyarakat agar menjadi suatu dorongan menuju peningkatan kesehatan ibu dan anak yang lebih baik. Walaupun demikian, ibu menyusui tetap menyadari bahwa bayi membutuhkan ASI dengan volume yang sangat banyak pada masa awal disusui sehingga ibu akan memberikan ASI sesering mungkin kepada bayi. Namun, masalah lain timbul ketika ibu memberikan makanan pendamping ASI ketika bayi masih berusia 40 hari. Ada dua hal yang bertolak belakang, yaitu hal positif dilakukan ibu ketika masa awal menyusui, namun selanjutnya ibu melakukan hambatan bagi kesehatan bayinya dengan cara memberikan makanan tambahan sebelum bayi genap berusia 6 bulan. Pada neonatus dan bayi, ari-ari merupakan plasenta yang kela­ hirannya selalu bersamaan dengan lahirnya bayi sehingga masyarakat meyakini bahwa ari-ari merupakan “kembaran” bayi. Secara biologis, pada saat kehamilan ari-ari memang “mendampingi” janin di dalam perut ibu, karena ari-ari mengemban beragam fungsi, yaitu sebagai alat respiratorik, metabolik, nutrisi, endokrin, penyimpanan, transportasi dan pengeluaran dari tubuh. Dengan fungsi ari-ari yang seperti ini maka bukan suatu hal yang tabu apabila penguburan ari-ari sangat diistimewakan. Penghormatan kepada ari-ari tidak hanya dilakukan oleh masyarakat etnis Madura, tetapi juga etnis lain seperti Jawa, bahkan masyarakat di Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 97 negara-negara lain. Jika dihubungkan dengan kesehatan, maka hal ini tidak memiliki dampak postif atau pun negatif. Oleh karena itu, apabila maksud dari penghormatan ini untuk berterima kasih kepada ari-ari yang telah menjaga bayi ketika masih dalam kandungan, maka tentu termasuk perilaku yang baik. Sudah selayaknya untuk melakukan yang terbaik untuk segala sesuatu yang baik. Selain ari-ari, keistimewaan juga didapatkan oleh bayi yang baru lahir karena dipijat oleh dukun hingga usia 7 hari. Pemijatan ini dapat memberikan relaksasi kepada bayi yang ketika dilahirkan mendapat tekanan dari mulut rahim ibu. Seperti orang dewasa yang lelah lalu dipijat dan menjadi merasa nyaman, bayi yang “lelah” pun akan merasa nyaman ketika dipijat. Pemijatan ini dapat melemaskan otot-otot bayi dan memperlancar peredaran darahnya. Jadi, pijat bayi pada masa awal hidup di dunia merupakan suatu hal yang positif. Ketika mandi, bayi tidak hanya dipijat, tetapi sebagian ibu juga melakukan tindakan yang diyakini dapat mencegah bayi kehilangan berat badannya dengan cara mencelupkan batu yang sudah didoakan oleh kiai ke dalam baskom air mandi bayi. Batu ini berwarna hitam dan terlihat bersih. Karena batu ini tidak mengotori air yang akan digunakan untuk memandikan bayi, serta dapat dijadikan suatu keoptimisan bahwa bayi akan bertambah berat badannya, maka tindakan ini bukanlah suatu hal yang dapat berujung pada kesakitan bayi. Begitu pula pada tindakan memberikan gelang yang terdapat tulisan Arab sebagai bentuk pencegahan bayi supaya tidak kurus. Bentuk perlindungan lain adalah perlindungan dari gangguan setan. Banyak hal dilakukan untuk melindungi bayi dari gangguan setan seperti meletakkan sesajen dan meminta tamu yang datang untuk tidak langsung menemui bayi karena dikhawatirkan masih dibuntuti oleh setan. Tindakan ini merupakan suatu bentuk perlindungan agar bayi tidak celaka atau menemui bahaya. Segala bentuk tindakan yang menjauhkan bayi dari bahaya termasuk dalam tindakan yang menguntungkan bagi bayi. Perlindungan tidak berhenti sampai di situ saja, tetapi berlanjut dengan diadakannya upacara selametan bayi saat berusia 7 dan 40 hari. Dengan upacara ini, berbagai pihak berdoa untuk keselamatan bayi. Upacara juga dilakukan ketika bayi berusia 1 tahun yang dikenal dengan sebutan acara toron tana. Toron tana adalah sebuah upacara menyambut bayi yang sudah siap untuk belajar berjalan, namun sebelumnya ada sebuah ritual yang dilakukan anak untuk mengambil barang-barang yang 98 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 diasumsikan sebagai cerminan masa depan anak. Ritual ini juga dapat dijadikan sebagai harapan positif bagi anak pada masa depan. Sementara acara sunat klitoris bagi bayi perempuan berpotensi untu meningkatkan kesehatan bayi karena sunat tersebut dapat membersihkan bagian-bagian yang kotor. Hanya saja perlu perhatian lebih pada alat yang digunakan untuk memotong/menyunat serta cara yang dilakukan oleh dukun. Ada beberapa kasus di desa ini saat klitoris bayi mengeluarkan banyak darah sehingga dibutuhkan penanganan secara medis. Oleh karena itu, perilaku ini akan menjadi sebuah potensi jika dilaksanakan dengan cara yang benar. Pada anak dan balita, masyarakat Desa Jrangoan biasa menitipkan balita atau anaknya kepada kerabat dekat ketika mereka harus merantau ke luar Madura. Akan tetapi, jika ditelaah lebih lanjut, anak membutuhkan kasih sayang dan pengasuhan orang tua karena orang tualah yang paling memahami anak. Apabila anak diasuh oleh kerabat, maka perhatian kerabat tersebut tidak sekuat perhatian orang tua. Mereka hanya mengasuh tanpa terlalu memedulikan keadaan anak, baik dalam hal kesehatan, makanan, atau pun perasaan. Selain itu, anak yang sudah diasuh oleh kerabat mulai dari kecil, jelas sekali tidak akan memperoleh ASI yang cukup. Hal ini pun mempengaruhi tumbuh kembang anak. Begitu pula dengan kasus jarak kelahiran anak yang terlalu dekat. Alasan mereka melakukan ini karena menginginkan banyak anak. Keya­ kinan bahwa banyak anak banyak rezekilah yang mendasari perilaku ini. Namun, hal ini perlu dipikirkan kembali karena dengan dekatnya jarak kelahiran anak, maka akan ada yang dikorbankan dalam pemberian ASI. Anak yang seharusnya masih memperoleh ASI akan terhambat karena ibu sudah hamil lagi. Dekatnya jarak kelahiran ini juga mempengaruhi kesehatan ibu terkait dengan risiko tinggi ketika melahirkan sehingga ini menjadi dampak negatif. Kepercayaan masyarakat terhadap dukun pijat bayi bukan tidak beralasan karena memang setelah dipijat dan diberi jamu, demam yang dialami bayi menjadi turun (saben). Akan tetapi, penyembuhan penyakit oleh yang dilakukan dengan cara pemberian air dari sumber oleh masih perlu dipertanyakan khasiatnya. Pijat bayi juga dianjurkan oleh tenaga medis asalkan tidak menyakiti bayi dan terjamin kehigienisannya. Setelah dipijat, bayi akan merasa lebih tenang karena otot-ototnya menjadi lemas serta peredaran darah menjadi lancar. Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 99 100 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 Bab VI Penutup 6.1 Simpulan Dalam Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak tahun 2012 di Desa Jrangoan Kecamatan Omben Kabupaten Sampang, Madura terdapat beberapa simpulan, antara lain: 1. Kontur tanah di Desa Jrangoan kering dan berbatu, serta sulit­nya sumber mata air membuat lahan-lahan tandus dan kering sehingga tidak banyak variasi komuditas tanaman yang dapat ditanam di lahan pertanian. Penduduk Desa Jrangoan mayoritas bekerja sebagai petani dan buruh tani sehingga ratarata memiliki status ekonomi yang tergolong rendah. Pekerjaan utama masyarakat sebagai petani tidak hanya melibatkan kepala keluarga (ayah bapak), namun perempuan (sebagai istri) juga turut serta membantu pekerjaan suaminya di sawah/ladang. Bahkan, ketika istri sedang hamil pun masih tetap ikut bekerja di ladang. 2. Perkembangan Desa Jrangoan dan masyarakatnya tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Pondok Pesantren Al-Ihsan yang ada di tengah desa. Masyarakat desa ini lebih menghabiskan masa remajanya di pondok pesantren. Perilaku remaja yang kurang menjaga kehigienisan personal mengakibatkan mereka men­derita penyakit kulit dan keputihan. Selain itu, sejak remaja mereka sudah jarang mengonsumsi sayuran. Tradisi perawatan kehamilan dan pascapersalinan tidak terlepas dari anjuran dan pantangan yang berasal dari kepercayaan dan agama Islam. 3. Dalam masyarakat Desa Jrangoan garis keturunan diambil dari garis keturunan ayah (patrilineal) dan setelah menikah pola Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 101 4. 5. 6. 7. tempat tinggal mereka termasuk dalam matrilokal dengan konsep pemukiman taneyan lanjhang. Keluarga di Desa Jrangoan umumnya memiliki banyak anak (5-7 orang, bahkan lebih). Mereka tidak melakukan Inisiasi Menyusui Dini (IMD) pada bayi yang baru lahir, tetapi bayi langsung diberi madu dan kelapa muda. Kebanyakan bayi diberi makanan tambahan sebelum berusia 6 bulan sehingga ASI eksklusif belum terlaksana. Tradisi merantau dan memiliki banyak anak mempengaruhi pola pengasuhan anak. Ada tiga bentuk perilaku pencarian pengobatan yang dilakukan oleh masyarakat Madura, khususnya di Desa Jrangoan ini, yaitu pengobatan ke kiai, dukun, dan tenaga kesehatan. Keputusan pencarian pengobatan tergantung pada derajat kesakitan yang dirasakan oleh pasien. Untuk persalinan, ibu ditolong oleh bidan melalui kerja sama dengan dukun. Polindes lebih diutamakan dibandingkan puskesmas karena masyarakat lebih percaya kepada bidan desa yang ada di polindes daripada dokter di puskesmas yang jarang berada di tempat. Posyandu sudah dijalankan dengan baik walaupun empat meja yang seharusnya disediakan masih belum ada. Pasangan suami istri yang belum memiliki anak memilih untuk memeriksakan dirinya ke bidan dan dukun daripada ke dokter dengan alasan khawatir istri mandul dan mendapat sanksi sosial dari masyarakat. Usaha yang dilakukan untuk memiliki anak adalah dengan meminum jamu dan mengonsumsi sayuran. Pada masa kehamilan banyak sekali ritual selametan dan juga pantangan yang harus dihindari untuk melindungi ibu dan janinnya. Tidak ada hal negatif dari upacara ini. Termasuk juga kebiasaaan minum susu dicampur dengan telur dan madu. 6.2 Saran 1. Masyarakat Desa Jrangoan sangat menghormati kiai dan nyai yang memimpin pondok pesantren, serta akan melakukan segala hal yang diperintahkan oleh mereka. Ketundukan ini dapat dijadikan suatu jalan untuk mempromosikan kesehatan, yaitu tenaga kesehatan bermitra dengan kiai dan nyai (pesantren). Melalui pesantren ini dapat dipromosikan segala hal yang ber­ hubungan dengan kesehatan ibu dan anak. Selanjutnya, kiai dan 102 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 2. 3. 4. 5. 6. nyai yang telah bermitra dengan nakes menyosialisasikannya kepada masyarakat. Konsep taneyan lanjhang atau pola extended family yang dianut oleh masyarakat etnis Madura juga dapat dijadikan sebagai prasarana untuk mempromosikan kesehatan. Jika selama ini di­bentuk kader di setiap dusun, maka alangkah lebih baik lagi jika dibentuk kader yang bertanggung jawab atas setiap satu taneyan lanjhang. Kader ini dibimbing oleh tenaga kesehatan setempat terkait dengan segala hal yang berhubungan dengan kesehatan, khususnya kesehatan ibu dan anak, dan terutama lebih ditekankan pada pola pengasuhan anak. Semakin mempererat kemitraan bidan desa dengan dukun. Selain dalam hal perawatan bayi, juga dalam hal pemijatan dan sunat bagi bayi perempuan agar terhindar dari masalah kesehatan yang tidak diinginkan. Posyandu yang sudah mulai menjadi perhatian warga sebaiknya lebih dikembangkan dengan diberikannya penyuluhan kesehatan oleh nakes, dan bisa juga oleh kader. Penyuluhan tidak selalu bernuansa memberikan ilmu, tetapi juga bisa dikreasikan dengan berbagai perlombaan yang edukatif seperti memasak makanan menu sehat dan seimbang sebagai bentuk pancingan kepada ibu-ibu agar memperhatikan kandungan gizi masakan sehari-hari. Puskesmas yang menjadi ujung tombak atau pusat kesehatan masyarakat sebaiknya lebih bisa mendekati masyarakat dan beradaptasi dengan budaya-budaya setempat sehingga da­pat menentukan suatu pendekatan berbasis budaya untuk me­ ningkatkan kesehatan masyarakat. Kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan ibu dan anak sudah mulai meningkat dari tahun ke tahun walaupun masih belum terbilang baik. Perlu upaya keras petugas kesehatan untuk menyosialisasikan program-program kesehatan ibu dan anak seperti program KB, ASI ekslusif, imunisasi, dan kesehatan reproduksi bagi remaja. Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 103 104 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 DAFTAR ISTILAH Ajhar Ajara Amper Biting Buju’ : belajar. : menjarah. : beranda/teras. : lidi. : sesepuh dan merupakan ulama terdahulu yang dihor­ mati. Ketika sudah wafat, maka makamnya disebut pula dengan buju’. Bu’ sobu’ : sesaji/sesajen Cabis : Bertamu dan berbincang-bincang ke rumah kiai. Cabis/bis-cabisan adalah bahasa halus yg digunakan warga ketika bertamu ke rumah kiai. Biasanya pada akhir per­bin­cangan warga memberikan sejumlah uang sebagai tanda terima kasih. Carok : pertengkaran antara dua orang atau lebih yang biasa­ nya menggunakan senjata tajam seperti clurit dan bisa mengakibatkan kematian. Ceklek : Penyakit dengan gejala muntah darah, kadang disertai dengan keluarnya kelabang. Warga percaya bahwa penyakit ini disebabkan oleh guna-guna. Egheddhung : dibedong. Gheddhung : bedong (kain yang menyelimuti bayi setelah mandi). Klebun : kepala desa (dipilih langsung oleh masyarakat). Langgar : tempat sholat seperti mushola yang ada di setiap ha­ laman ruma. Lente : lidi. Le’-le’ tontonan : leher bayi terlilit tali pusat. Molodhan : Upacara memperingati hari kelahiran Rasulullah Mu­ hammad SAW dengan membaca shalawat berjemaah di setiap rumah warga Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 105 Maddhu Na’-kana’ Ngoan Oleh : madu. : anak-anak. : kegiatan menggembala ternak. : kondisi bayi dengan gizi kurang atau gizi buruk dan lemah. Parem : param. Pejje : ramuan jamu untuk memperlancar ASI. Pelet betteng : ritual pemijatan ibu pada saat usia kehamilan 7 bulan yang dipimpin oleh dukun bayi. Ro’-moro’ : kelapa muda. Saben : demam yang dialami balita disertai kejang-kejang. Sa’-kasa’ : ribut atau heboh. Salaf : sistem pendidikan pesantren yang hanya mengajarkan ilmu agama, tanpa dicampur dengan ilmu pendidikan formal. Selametan : upacara sebagai wujud syukur atas sesuatu yang telah dimiliki. Syekh : ulama agama Taneyan Lanjhang: tatanan bangunan dalam satu halaman. Tettel : kue basah dengan bahan dasar ketan. Teppa’ : tepat (menunjukkan lokasi, waktu, bergantung de­ ngan kata setelahnya) 106 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2002. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: JNPKKR-POGI. Anonimous. 2011. Banyak Anak Banyak Risiko. http://ibuanak.net/2011/ banyak-anak-banyak-risiko/. Sitasi: 9 Oktober 2012 Anonimous. 2011. Bolehkah Menggunakan Stagen atau Gurita Setelah Melahirkan? http://bidanku.com/index.php?/bolehkahmenggunakan-stagen-atau-gurita-setelah-melahirkan. Sitasi: 9 Oktober 2012 Anonimous. 2009. Bahaya Keputihan. http://kamissore.blogspot. com/2009/06/bahaya-keputihan.html. Sitasi: 9 Oktober 2012 Anonimous. 2009. Kembali Cantik Usai Melahirkan. http://female.kompas. com/read/2009/09/25/17151060/kembali.cantikusai.melahirkan. Sitasi: 9 Oktober 2012 Anonimous. 2012. Amankah Pijat untuk Ibu Hamil?. http://wanitahamilku.com/amankah-pijat-untuk-ibu-hamil. Sitasi: 9 Oktober 2012 Anonimous. 2012. Efek Buruk Madu pada Bayi. http://www.parenting. co.id/article/bayi/efek.buruk.madu.pada.bayi/001/002/161. Sitasi: 9 Oktober 2012 Anonimous. 2012. Khasiat air kelapa muda untuk ibu hamil. http:// manfaat.org/khasiat-air-kelapa-muda-untuk-ibu-hamil#. Sitasi: 9 Oktober 2012. Anonimous. 2012. Pantangan Seputar Kehamilan, Mitos atau Fakta?. http://jasalogounik.blogspot.com/2012/07/pantangan-seputarkehamilan-mitos-atau_10.html. Sitasi: 9 Oktober 2012. Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 107 Anonimous. 2012. Perlukah Anda memberi minum air pada bayi Anda?. http://www.bayi.web.id/perlukah-anda-memberi-minum-airpada-bayi-anda.html. Sitasi: 9 Oktober 2012. Anonimous. 2012. Pro Kontra KB. http://azzha09.blogspot.com/2012/05/ pro-kontra-kb.html. Sitasi: 9 Oktober 2012. Badan Pusat Statistika. 2007. Survey Demografi Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta: Badan Pusat Statistika, Macro International, Bappenas. Badan Pusat Statistika, 2010. “Sensus Penduduk Indonesia 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistika. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen kesehatan RI, Laporan Nasional Riskesdas 2007, Jakarta. Bappenas, Rancang Bangun: Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu untuk mencapai Sasaran Millenium Developtment Goals. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), 2007. Departemen Kesehatan RI. 2009. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan 2005-2025. Dinar. 2011. Mengencangkan Kulit Perut Setelah Melahirkan dan Diet. http://www.tipsmesra.info/2011/03/mengencangkan-kulit-perutsetelah.html. Sitasi: 9 Oktober 2012. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. 2003. Asuhan Persalinan Normal 58 Langkah. http://putragamaru.blogspot.com/2011/05/asuhanpersalinan-normal-58-langkah.html. Sitasi: 9 Oktober 2012. Effendi, Mukhti. 2012. Maha Agung Allah, Janin Ternyata Sujud Jika Dibacakan Alquran. http://muktiblog.com/unik-dan-aneh/mahaagung-allah-janin-ternyata-sujud-jika-dibacakan-alquran. Sitasi: 9 Oktober 2012. Iskandar, Zulkarnain, dkk. 2003. Sejarah Sumenep. Sumenep: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumenep. Kalangian Nico S., 1994. Kebudayaan dan Kesehatan, Jakarta: PT Blanc Indah Corp. Maas T Linda. 2004. Kesehatan Ibu dan Anak : Persepsi Budaya dan Dampak Kesehatannya. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Suma­ tera Utara. 108 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 Moleong, JL. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif (third edition). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Partasari, Wieka Dyah. 2012. Bahaya Jika Adopsi Anak Hanya untuk Dijadikan Pancingan Hamil. http://wolipop.detik.com/read/201 2/03/30/161837/1881308/857/bahaya-jika-adopsi-anak-hanyauntuk-dijadikan-pancingan-hamil. Sitasi: 9 Oktober 2012 Prasetyawati, AE. 2012. Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dalam Milenium Development Goals (MDGs), Yogyakarta: Mutia Medika. Profil Kesehatan Kabupaten Sampang, 2010. Profil Puskesmas Jrangoan, 2011. Profil Desa Jrangoan, 2011. Tari, Romana. 2011. Mengenal Tradisi Budaya Nusantara Seputar Ke­ hamilan. http://kesehatan.kompasiana.com/ibu-dan-anak/2011/ 10/02/mengenal-tradisi-budaya-nusantara-seputar-kehamilan/. Sitasi: 9 Oktober 2012 Etnik Madura di Desa Jrangoan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur 109 110 Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012