HASIL PENELITIAN PEREMPUAN MISKIN DALAM KETERISOLASIANNYA (STUDY PEREMPUAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL SUKU LAUT) DI DESA KELUMU KABUPATEN LINGGA SRI WAHYUNI, M.Si ( Ketua ) NIDN 1016047701 MUHAMMAD YUSUF H.M.M.Ed (Anggota) NIDN 1005058007 UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI MARET 2012 RINGKASAN Masyarakat Komunitas Adat Terpencil (KAT) identik dengan keterisoliran, dan keterisoliran salah satu penyebab masyarakat dalam kemiskinan. Akibat dari keterisoliran masyarakat jauh dari fasilitas pelayanan pemerintah, baik dari sudut ekonomi , pendidikan, kesehatan dan pembangunan infrastruktur serta interaksi sosial. Masalah kemiskinan ini dikatakan sebagai suatu problema karena masalah kemiskinan menuntut adanya suatu upaya pemecahan masalah secara berencana, terintegrasi dan menyeluruh dalam waktu yang singkat. Upaya pemecahan masalah kemiskinan tersebut sebagai upaya mempercepat proses pembangunan yang selama ini sedang dilaksanakan, karena masalah kemiskinan perlu di dasarkan pada pemahaman suara masyarakat miskin itu sendiri dan adanya pengakuan pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-hak dasar masyarakat miskin, yaitu hak sosial, ekonomi, dan politik. Kemiskinan yang dialami perempuan merupakan dampak dari kebijakan pembangunan yang kurang responsif gender dan juga relasi gender yang tidak seimbang. Karena permasalahan kemiskinan yang dihadapi laki-laki berbeda dengan permaslahan yang dihadapi perempuan. Sehingga hal ini lah yang menjadikan perempuan berada pada posisi marginal. Penelitian ini mengkaji kondisi sosial ekonomi perempuan miskin masyarakat komunitas adat terpencil suku laut yang sudah dirumahkan dan menetap dalam satu pulau yakni di desa Kelumu Kabupaten Lingga. Dalam mengkaji dan menganaliss penelitian ini menggunakan teori struktural fungsional dengan pendekatan analisis gender. Hasil penelitian menunjukan tidak ada perubahan yang terlalu signifikan bagi perempuan suku laut, mereka masih tetap miskin dan marginal, sama halnya ketika mereka masih hidup disampan. Hanya bedanya saat ini mereka hidup di rumah dengan ukuran 6m X 6 m yang dihuni bisa sampai tujuh keluarga dalam satu rumah. Metode yang digunakan adalah kualititif dengan pendekatan deskiptif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara dan dokumentasi lalu data yang terkumpul dan dianalisa. Analisa data dilakukan berdasarkan operasionalisasi dari konsep kemiskinan perempuan masyarakat komunitas adat terpencil suku laut. Penelitian ini direncanakan berlangsung selama 1 (satu) tahun sampai dengan akhir Desember 2013. Kata kunci: Perempuan, Kemiskinan, Komunitas Adat Terpencil i BAB I PENDAHULUAN Masalah kemiskinan merupakan persoalan klasik yang hingga saat ini masih menjadi problem utama, terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Penanganan kemiskinan kemudian menjadi suatu upaya yang mendapatkan perhatian banyak pihak. Hal ini melahirkan sejumlah teori/pandangan, dan pendekatan yang kemudian mempengaruhi kebijakan yang berbeda-beda. Pandangan konvensional menyebutkan kemiskinan sebagai kekurangan modal dan menganggap masyarakat miskin sebagai objek yang tidak memiliki informasi dan pilihan, sehingga tidak perlu terlibat dalam pengambilan keputusan kebijakan publik. Padahal dalam UU 1945 Pasal 34 ayat (1) menyebutkan bahwa “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara” kemudian ayat (2) menyebutkan bahwa “Negara berkewajiban menangani fakir miskin melalui pemberdayaan dan bantuan jaminan sosial”. Amanat Undang-Undang ini mempertegas pentingnya upaya penanggulangan kemiskinan. Pendekatan diatas terbukti kurang optimal dalam memecahkan masalah kemiskinan bukan hanya disebabkan kesulitan anggaran dan lemahnya rancangan kebijakan, tetapi juga tidak adanya pengakuan dan penghormatan atas suara dan hak-hak dasar masyarakat miskin. Oleh sebab itu, pemecahan masalah kemiskinan tidak lagi dapat dilakukan oleh pemerintah sendiri melalui kebijakan sektoral dan terpusat, seragam dan berjangka pendek. Masalah kemiskinan ini dikatakan sebagai suatu problema karena masalah kemiskinan menuntut adanya suatu upaya pemecahan masalah secara berencana, terintegrasi dan menyeluruh dalam waktu yang singkat. Upaya pemecahan masalah kemiskinan tersebut sebagai upaya mempercepat proses pembangunan yang selama ini sedang dilaksanakan, karena masalah kemiskinan perlu di dasarkan pada pemahaman suara masyarakat miskin itu sendiri dan adanya pengakuan pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-hak dasar masyarakat miskin, yaitu hak sosial, ekonomi, dan politik. Indonesia dengan jumlah penduduk lebih kurang 240 juta jiwa, dimana 49 persesn dari populasi Indonesia adalah kaum perempuan. Jadi titik tolak pembicaraan, tidak akan pernah lepas dari kehidupan perempuan. Mengapa demikian ? karena perempuan dalam wacana kemiskinan, adalah kelompok yang sangat rentan terhadap persoalan ini. Bahkan lebih eksrim lagi, ketika membicarakan kemiskinan baik di Indonesia maupun dibelahan dunia lainnya, maka perempuan selalu ada di dalamnya. Seakan kemiskinan adalah milik kaum perempuan. Bahkan ada yang mengatakan bahwa kemiskinan itu identik dengan perempuan. Seperti yang di ungkapkan oleh Tabrani Yunis dalam tulisannya perempuan di jurang kemiskinan, Di Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2009 dari jumlah penduduk miskin yang mencapai 32,53 juta jiwa (14,15persen), 70 persen dari mereka adalah perempuan. Ini menunjukan angka yang cukup besar bukan ? kita boleh tidak percaya atau ragu terhadap data tersebut. Namun bila kita melihat persoalan lain dari kehidupan perempuan dibalik angka kemiskinan tersebut, ada angka buta aksara perempuan sebesar 12,28persen, sedangkan laki-laki 5,84persen. Angka kematian ibu (AKI) juga masih sangat tinggi, sebesar 248 per 100.000 kelahiran hidup. Secara ekonomi, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) laki-laki jauh lebih tinggi (86,5 persen dari pada perempuan (50,2 persen). Bila dilihat dari faktor penyebab kemiskinan dapat dibagi menjadi dua, yaitu: kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Badan Pusat Statisti (BPS) dalam dian 2008) mendefinisikan kemiskinan struktural sebagai kemiskinan yang ditenggarai atau disebabkan dari kondisi struktur atau tatanan kehidupan yang tak menguntungkan. Di dalam kondisi struktur yang demikian itu, kemiskinan menggejala bukan oleh sebab-sebab yang alami, melainkan oleh sebab tatanan sosial yang tidak adil. Tatanan yang tidak adil ini menyebabkan banyak warga masyarakat gagal memperoleh peluang atau akses untuk mengembangkan dirinya serta meningkatkan kualitas hidupnya, sehingga mereka yang malang dan terperangkap ke dalam perlakuan yang tidak adil ini menjadi serba berkekurangan, tak setara dengan tuntutan untuk hidup yang layak dan bermartabat sebagai manusia, sedangkan kemiskinan kultural diakibatkan oleh faktor-faktor adat dan budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang tetap melekat dengan indikator kemiskinan. Kemiskinan karena tradisi sosio-kultural terjadi pada suku-suku terasing atau yang dikenal dengan istilah Komunitas Adat Terpencil (KAT). Berdasarkan sifatnya, kemiskinan dibagi menjadi dua, yaitu: kemiskinan kronis dan kemiskinan sementara (Anonymous dalam dian 2008). Kemiskinan kronis merupakan kondisi kemiskinan yang berlangsung secara terus menerus. Mereka yang mengalami kemiskinan kronis adalah mereka yang selalu berada di bawah kemiskinan pada kurun waktu yang cukup panjang dan berbagai usaha telah mereka lakukan namun tetap miskin. Penyebabnya yaitu: (1) kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak produktif, (2) keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian, terutama penduduk yang tinggal di daerah-daerah kritis sumberdaya alam dan daerah terpencil, serta keterbatasan kemampuan penduduk untuk melakukan perpindahan dalam rangka peningkatan taraf hidup, (3) rendahnya taraf pendidikan dan derajat kesehatan, dan (4) terbatasnya lapangan kerja dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar. Kemiskinan sementara terjadi akibat adanya perubahan dari luar yang menyebabkan suatu keluarga atau kelompok masyarakat yang semula tidak miskin menjadi miskin. Perubahan tersebut disebabkan oleh: (1) pergeseran siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, (2) perubahan yang bersifat musiman seperti dijumpai pada kasus kemiskinan nelayan dan pertanian tanaman pangan, dan (3) bencana alam, kerusakan sosial atau dampak dari suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. Persoalan kemiskinan perempuan ini sangat memprihatinkan dan membahayakan bagi perempuan dan generasi bangsa. Kemiskinan perempuan yang disebabkan oleh kemiskinan struktural membuat perempuan-perempuan yang sudah terisolir menjadi semakin terisolasi untuk mendapatkan akses pada akhirnya menjadikan mereka miskin baik itu dalam hal komunikasi, pendidikan, kesehatan dan ekonomi, hal ini banyak di alami oleh perempuan masyarakat KAT. Pemerintah melalui Departemen Sosial (Depsos) sebagai instansi sektoral yang terlibat langsung dalam penanganan masalah kemiskinan, dalam rencana strategisnya (renstra) memiliki program kemiskinan yang di antaranya adalah pemberdayaan fakir miskin, pemberdayaan komunitas adat terpencil (KAT), dan pemberdayaan penyandang masalah kesejahteraan sosial lainnya. Keseluruhan program tersebut bertujuan untuk “meningkatkan keserasian kebijakan publik, pengkajian strategi dan pelaksanaan program-program pembangunan dalam memberdayakan keluarga fakir miskin, KAT, keluarga dan perempuan rawan sosial-ekonomi”. Sasaran programnya adalah kelompok masyarakat yang memiliki ketidakmampuan sosial-ekonomi atau rentan menjadi miskin termasuk keluarga fakir miskin, perempuan rawan sosial-ekonomi dan warga masyarakat yang tinggal di daerah kumuh. Pemberdayaan KAT merupakan salah satu program pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang ada di Indonesia, berbagai strategi dan upaya yang dilakukan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam mengatasi masalah kesenjangan sosial yang ada, mulai dari peningkatan sumber daya manusia, ekonomi, lingkungan sosial, politik, dan lain sebagainya. Pemerintah pusat memberikan kewenangan pada setiap daerah untuk mengimplementasikan program tersebut guna membantu masalah kesejahteraan masyarakat setempat. Komunitas Adat Terpencil (KAT) merupakan salah satu dari 22 jenis masalah kesejahteraan sosial yang menjadi sasaran garapan departemen sosial melalui program pemberdayaan sosial. Kriteria yang digunakan adalah hidup terpencil, hidupnya masih terikat pada sumber daya alam sekitar, habitatnya terasing dan terbelakang, dengan kriteria tersebut dapat dipastikan mereka termasuk keluarga fakir miskin serta memiliki tempat tinggal yang tidak layak huni dan juga adanya perempuan rawan sosial-ekonomi. KAT ini tersebar diseluruh Indonesia, baik di pulau besar maupun dipulau kecil. Berdasarkan data rektorat pemberdayaan komunitas adat terpencil, persebaran KAT di Indonesia sebesar 229.479 kepala keluarga (KK) dan pada tahun 2008 jumlah yang diberdayakan sebanyak 73.514 KK dan yang belum diberdayakan sebanyak 143.402 KK. Di dalam jumlah tersebut termasuk KAT yang ada di Desa Kelumu Kab Lingga sebanyak 38 KK yang sudah diberdayakan KAT di Desa Kelumu kabupaten Lingga adalah masyarakat suku laut yang sebelumnya, tinggal di atas sampan yang mereka istilahkan dengan kajang yang berukuran 3 x 1 meter. Kajang ini layaknya seperti rumah di daratan semua aktifitas mulai dari melahirkan, membesarkan anak, makan, tidur, memasak, menikah dan proses produksipun dilakukan di atas sampan. Akan tetapi saat ini mereka tidak lagi tinggal di sampan karna sudah mendapatkan pemberdayaan dari pemerintah setempat melalui Dinas Sosial. Mereka ditempatkan dalam satu pulau dan dibangunkan rumah-rumah panggung di pinggir laut dengan mata pencarian tetap sebagai nelayan. Selain bantuan berupa rumah, juga jalan berupa semenisasi (rabat beton) sebagai penghubung dengan masyarakat di luar komunitas mereka ada juga bantuan fasilitas air bersih dan untuk penerangan masyarakat menggunakan listrik desa (Genset). Sebagai bagian dari warga negara Indonesia, KAT memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya. Namun karena keterbatasannya, hak warga KAT relative belum atau kurang terpenuhi, baik dalam hak sipil dan politik serta ekonomi, sosial dan budaya. Akibatnya hak-hak warga KAT sebagi warga negara belum dapat dinikmati, sehingga KAT menjadi bagian dari kelompok marginal. Jika KAT merupakan bagian dari kelompok marginal, maka perempuan KAT berada dalam kondisi yang lebih tidak diuntungkan, karena mereka KAT dan karena mereka perempuan. Sebagaimana yang diketahui bersama hingga saat ini ketimpangan gender adalah realita yang masih sering ditemukan di lapangan dan perempuan KAT merupakan bagian dari the voiceless yang juga mengalami dampak dari ketimpangan gender. Penelitian ini akan membahas bagaimana kehidupan sosial ekonomi perempuan masyarakat KAT di Desa Kelumu Kabupaten Lingga, setelah mereka dirumahkan dengan menggunakan pendekatan analisis gender dan teori struktural fungsional. Dengan Melihat aktifitas sosial ekonomi mereka untuk bisa survive dengan segala keterbatasan yang disebabkan karena keterisolasian mareka dan juga melihat fungsi dan peran pemerintah sebagai stakeholeders yang telah memberikan bantuan I.1 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka tim peneliti merumuskan pertanyaan yang menjadi starting poin dalam penelitian adalah bagaimanakah kehidupan sosial ekonomi perempuan komunitas adat terpencil setelah mereka di rumahkan ? I.2 Tujuan Dan Kegunaan Penelitian Kajian ditujukan untuk melihat dan mengidentifikasi kehidupan sosial ekonomi perempuan komunitas adat terpencil suku laut setelah mereka di rumahkan. Sehingga dapat menghasilkan suatu program pemberdayaan yang tepat bagi perempuan komunitas adat terpencil yang ada di Desa Kelumu Kabupaten Lingga khususnya. I.2.1 Manfaat Teoritis Sebagai acuan dan referensi akademis terkait dengan kehidupan sosial ekonomi masyarakat miskin karena keterisolasiannya, khusus perempuan komunitas adat terpencil suku laut I.2.2 Manfaat Praktis 1. Dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah selaku stakeholeders yang berhubungan langsung maupun bagi pihak-pihak yang tidak berhubungan langsung dalam rangka merumuskan program yang tepat untuk di implementasikan bagi pemberdayaan perempuan miskin komunitas adat terpencil suku laut yang ada di Kabupaten Lingga umumnya Desa Kelumu Khususnya. 2. Sebagai pedoman bagi masyarakat yang ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan terutama pada program pemberdayaan KAT sehingga ada sinergitas antara instansi dengan masyarakat guna terwujudnya pembangunan yang efektif dan efisien. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Masyarakat Komunitas Adat Terpencil (KAT) identik dengan keterisoliran, dan keterisoliran salah satu penyebab masyarakat dalam kemiskinan. Akibat dari keterisoliran masyarakat jauh dari fasilitas pelayanan pemerintah, baik dari sudut ekonomi , pendidikan, kesehatan dan pembangunan infrastruktur serta interaksi sosial. II.1 Konsep Kemiskinan Kemiskinan adalah kondisi sosial ekonomi seseorang atau sekelompok orang yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Menurut Andist (2008) kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, dan kemiskinan cultural. Seseorang termasuk golongan kemiskinan absolute apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong kemiskinan relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin culturalberkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusah memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya. Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup: 1. Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan seharihari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar. 2. Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmapuan untuk berpartisispasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi. 3. Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna memadai di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia. (Wikipedia:2011) Menurut Suharto dalam Nawawi (2009) menyatakan bahwa kemiskinan merupakan konsep dan fenomena yang bermatra multidimensional. SMERU, misalnya, menunjukkan bahwa kemiskinan memiliki beberapa ciri : 1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan komsumsi dasar (pangan, sandang dan papan). 2. Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi). 3. Ketiadaan jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga). 4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal. 5. Ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat. 6. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber alam. 7. Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan. 8. Ketiadkmampuan untuk beruasaha karena cacat fisik maupun mental. 9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil). Dengan menggunakan perspektif yang lebih luas lagi, (David Cox dalam Muhammad 2012) membagi kemiskinan kedalam beberapa dimensi: 1. Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi. Globalisasi menghasilkan pemenang dan yang kalah. Pemenang adalah umumnya Negara-negara maju. Sedangkan Negaranegara berkembang seringkali semakin terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang menjadi prasyarat globalisasi. 2. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsistem (kemiskinan akibat rendahnya pembangunan), kemiskinan pedesaan (kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan), kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang disebabkan oleh hakekat dan kecepatan pertumbuhan perkotaan). 3. Kemiskinan sosial. Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas. 4. Kemiskinan konsekuensial. Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain atau fakstor-faktor eksternal di luar masyarakat miskin. Seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan, dan tingginya jumlah penduduk. Secara ekonomi, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Sumberdaya dalam konteks ini menyagnkut tidak hanya aspek finansial, melainkan pula semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Berdasarkan konsepsi ini, maka kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persediaan sumberdaya yang dimiliki melalui penggunaan standar baku yang dikenal dengan garis kemiskinan (poverty line). Cara seperti ini sering disebut dengan metode pengukuran kemiskinan absolute. Kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi ekonomi, khususnya pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntungan non-material oleh seseorang. Namun demikian, secara luas kemiskinan juga kerap didefinisikan sebagai kondisi yang ditandai oleh serba kekurangan pendidikan, keadaan kesehatan yang buruk, dan kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat (SMERU dalam dalam Muhammad 2012). Definisi kemiskinan dengan menggunakan pendekatan kebutuhan dasar seperti ini diterapkan oleh Depsos, terutama dalam mendefinisikan fakir miskin. Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan (Depsos dalam Muhammad 2012). Yang dimaksud kebutuhan pokok dalam definisi ini meliputi kebutuhan atau makanan, pakaian, perumahan, perawatan kesehatan, dan pendidikan. Secara politik, kemiskinan dapat dilihat dari tingkat akses terhadap kekuasaan (power). Kekuasaan dalam pengertian ini mencakup tatanan sistem politik yang dapat menentukan kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan menggunakan sumberdaya. Dalam konteks politik ini Friedman mendefinisikan kemiskinan dalam kaitannya dengan ketidaksamaan kesempatan dalam mengakumulasikan basis kekuasaan sosial yang meliputi: (a) modal produktif atau asset (tanah, perumahan,alat produksi, kesehatan), (b) sumber keuangan (pekerjaan, kredit), (c) organisasi sosial dan politik yang adapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosial), (d) jejaring sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa, (e) pengetahuan dan keterampilan, dan (f) informasi yang berguna untuk kemajuan hidup (Friedman dalam Muhammad 2012). Kemiskinan secara sosial-psikologis menunjuk pada kekurangan jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Dimensi ini juga dapat diartikan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh adanya factor-faktor penghambat yang mencegah dan merintangi seseorang dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat. Faktor-faktor penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal dan eksternal. Factor internal dating dari dalam di masyarakat miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan atau adanya hambatan budaya. Teori ‘kemiskinan budaya’ yang dikemukakan oleh Oscar Lewis,, menyatakan bahwa kemiskinan dapat muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Faktor eksternal datang dari luar kemampuan orang yang bersangkutan, seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang dapat menghambatseseorang dalam memnfaatkan sumberdaya. Kemiskinan model ini seringkali diistilahkan dengan kemiskinan struktural. Menurut pandangan ini, kemiskinan terjadi bukan dikarenakan ‘ketidakmauan” masyarakat miskin untuk bekerja, melainkan karena “ketidakmampuan” sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan masyarakat miskin dapat bekerja. II.2. Faktor Penyebab Timbulnya Kemiskinan Ada bebearapa faktor yang menyebabkan timbulnya kemiskinan, yaitu : 1. Pendidikan yang terlampau rendah Dengan adanya tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan seseorang kurang mempunyai keterampilan tertentu yang diperlukan dalam kehidupannya. Keterbatasan pedidikan/keterampilan yang dimiliki menyebabkan keterbatasan kemampuan untuk masuk dalam dunia kerja. Atas dasar kenyataaan tersebut miskin dikarenakan tidak bisa berbuat apa-apa untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. 2. Malas bekerja Sikap malas merupakan suatu masalah yang cukup memprihatinkan, karena masalah ini menyangkut mentaliter dan kepribadian seseorang. Adanya sikap malas ini seseorang bersikap acuh tak acuh dan tidak bergairah untuk bekerja, atau bersikap pasif dalam hidupnya. Sikap malas ini cenderung untuk menggantungkan hidupnya pada orang lain, baik pada keluarga, saudara atau family yang dipandang mempunyai kemampuan untuk menanggung kebutuhan hidup mereka. 3. Keterbatasan sumber alam Kemiskinan akan melanda suatu masyarakat apabila sumber alamnya tidak lagi memberikan keuntungan bagi kehidupan mereka. Sering dikatakan oleh para ahli bahwa masyarakat itu miskin karena memang dasarnya alamiah miskin. Alamiah miskin yang dimaksud di sini adalah kekayaan alamnya, misalnya: tanahnya berbatubatu, tidak menyimpan kekayaan mineral, dan sebagainya. Dengan demikian layakah kalau miskin sumber daya alam miskin juga masyarakatnya. 4. Terbatasnya lapangan kerja Keterbatasan lapangan kerja membawa konsekuensi kemiskinan bagi masyarakat. Secara ideal banyak orang mengatakan bahwa seseorang harus mampu menciptakan lapangan kerja baru. Tetapi secara faktual hal tersebut kecil kemungkinannya, karena adanya keterbatasan kemampuan seseorang baik yang berupa skill maupun modal. 5. Keterbatasan modal Keterbatasan modal merupakan sebuah kenyataan yang ada di negara-negara yang sedang berkembang, kenyataan tersebut membawa kemiskinan pada sebagian besar masyarakat di negara-negara berkembang. Seseorang miskin sebab mereka tidak mempunyai modal untuk melengkapi alat maupun bahan dalam rangka menerapkan keterampilan yangmereka miliki dengan suatutujuan untuk memperoleh penghasilan. Keterbatasan modal bagi Negara-negara yang sedang berkembang dapat diibaratkan sebagai suatu lingkaran yang tak berujung pangkal baik dari segi permintaan akan modal maupun dari segi penawaran akan modal. 6. Beban keluarga Semakin banyak anggota keluarga akan semakin banyak/meningkat pula tuntutan beban hidup yang harus dipenuhi. Seseorang yang mempunyai anggota keluarga banyak apabila tidak diimbangi dengan usaha peningkatan pendapatan sudah pasti akan menimbulkan kemiskinan karena mereka memang berangkat dari kemiskinan. Kenaikan pendapatan yang dibarengi dengan pertambahan jumlah keluarga, berakibat kemiskinan akan tetap melanda mereka dan bersifat laten. II.3 Komunitas Adat Terpencil (KAT) KAT merupakan sebuah kelompok sosial budaya yang secara geografis bertempat tinggal di daerah terpencil, terisolir dan sulit dijangkau. Kondisi demikian mengakibatkan terbatasnya akses terhadap dunia luar. Kedudukan ini menjadi salah satu faktor terbatasnya aksebilitas pelayanan sosial dasar, sehingga mereka tertinggal perkembangannya dibandingkan dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Komunitas Adat Terpencil (KAT) adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencil serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi, maupun politik (Keppres Nomor 111 Tahun 1999). Sebagaimana komunitas lainnya, KAT juga mengalami berbagai masalah sosial dan bahkan lebih bervariasi dan lebih kompleks dilihat dari berbagai sudut pandang warga KAT pada umumnya bertempat tinggal jauh di pedalaman di tengah hutan belantara, di dataran tinggi atau pegunungan, di rawa-rawa, di pesisir pantai, di pulau-pulau terpencil, dan di daerah perbatasan dengan Negara tetangga. Secara geografis maupun sosial budaya habitat KAT dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kategori, masih berkelana, menetap sementara, dan menetap. Dalam mempertahankan hidupnya, warga KAT umumnya mengandalkan sumber dan potensi alam dengan menggunakan penerapan teknologi sangat sederhana. Derasnya arus informasi yang disertai dengan kemajuan teknologi, secara lambat laun, kehidupan KAT juga makin tertinggal, bahkan terdesak hingga terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia. Permasalahan sosial yang dihadapi warga KAT tidak terletak pada kebiasaan hidup yang telah mereka jalani, akan tetapi diukur dari derajat kelayakan hidup yang memungkinkan mereka tetap mempertahankan keberlangsungan hidupnya (survival), membangun peradaban sendiri (civilization) serta memenuhi martabat kemanusiaan (human dignity) dan hak-haknya yang layak bagi kemanusiaan (human right) dalam kesatuan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Abraham Maslow (dalam Richard L. Daft, 2002) berpendapat ada 5 (lima) hierarki kebutuhan manusia, yaitu (1) Fisiologi (physiological needs), yaitu kebutuhan fisik manusia yang paling mendasar seperti pangan, sandang perumahan, udara, dan air termasuk kebutuhan seks, (2) Kebutuhan keamanan (safety needs) adalah kebutuhan untuk keselamatan dan jaminan lingkungan fisik, emosional, dan kebebasan dari adanya ancaman. (3) Kebutuhan penerimaan (belongingness needs) adalah kebutuhan yang merefleksikan hasrat untuk diterima oleh sesama, menjadi ikatan sekawan dan menjadi bagian dari kelompok. (4) Kebutuhan penghargaan (esteem needs) yaitu kebutuhan untuk memiliki kesan positif dan menerima perhatian, penyaluran dan apresiasi dari orang lain. (5) Kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs) merupakan kebutuhan yang menekankan pada potensi dan peningkatan kompetensi seseorang. Bagi warga KAT kelima hirarki kebutuhan manusia tersebut di atas rasanya masih jauh dari kenyataan, karena pemenuhan kebutuhan dasar (fisiologi) belum semuanya terpenuhi secara layak. Terlebih bagi warga KAT yang masih dalam taraf awal pemberdayaan sosial. II.4. Kebijakan dan Strategi Kebijakan umum pembardayaan KAT diarahkan pada upaya pengembangan kemandirian KAT untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam berbagai aspek kehidupan dan penghidupannya agar mampu menanggapi perubahan sosial budaya dan lingkungannya. Arah kebijakan pemberdayaan KAT meliputi : 1. Meningkatkan profesionalitas pelayanan sosial baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun masyarakat dan dunia usaha terhadap KAT. 2. Meningkatkan dan memeratakan pelayanan sosial yang lebih adil, dalam arti bahwa setiap KAT berhak untuk memperoleh pelayanan sosial yang sebaik-baiknya. 3. Memantapkan manajemen pelayanan sosial bagi KAT melalui penyempurnaan terus menerus dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelayanan sosial yang semakin berkualitas dan akuntabilitas. 4. Meningkatkan dan memantapkan partisipasi sosial masyarakat dalam pelayaan sosial dengan melibatkan semua unsur dan komponen masyarakat atas dasar swadaya dan kesetiakawanan sosial sehingga merupakan bentuk usaha-usaha kesejahteraan sosial yang melembaga dan berkesinambungan. Strategi pemberdayaan KAT adalah menciptakan kondisi lingkungan yang mendukung KAT untuk dapat mengembangkan keterampilan dan kemampuan adaptasi terhadap perubahan lingkungan sosial budaya, ekonomi dan politik. Dalam pelaksanaan strategi tersebut, maka pendekatan yag digunakan adalah : a. Pemberdayaan, yang mengandung makna untuk meningkatkan profesionalisme dan kinerjanya serta pemberian kepercayaan dan peluang kepada masyarakat, dunia usaha dan KAT untuk mencegah dan mengatasi masalah yang ada di lingkungannya. b. Kemitraan, yang mengandung makna adanya kerjasama sesuai dengan program, kepedulian, kesetaraan, kebersamaan, kolaborasi dan jaringan kerja yang menumbuh kembangkan kemanfaatan timbal balik antara pihak-pihak yang bermitra dengan KAT. c. Partisipasi, yang mengandung makna adanya prakarsa dan peranan dari KAT dan lingkungan sosialnya dalam pengambilan keputusan serta melakukan pilihan terbaik untuk peningkatan kesejahteraan sosialnya. d. Advokasi sosial, yang mengandung makna perlindungan terhadap berbagai sumberdaya yang dimiliki untuk meningkatkan harkat dan martabat serta kualitas hidup KAT. II.5 Perempuan Miskin Mempersoalkan kemiskinan dalam relasi perempuan dan laki-laki bukanlah versus yang given, akan tetapi kemiskinan perempuan dipahami sebagai persoalan yang lahir dari kontruksi sosial yang tidak adil dalam relasi gender. Kenyataan kemiskinan yang banyak dialami oleh kaum perempuan, memiliki latar masalah yang berbeda dengan kemiskinan yang dialami oleh laki-laki, kemiskinan yang dialami oleh perempuan tidak lepas dari kondisi ketidakadilan gender yang sedang berlansung umumnya pada masyarakat patriakhat, yang menempatkan perempuan pada kondisi yang tidak diuntungkan, baik pada aspek struktural maupun pada aspek kultural. Persoalan kemiskinan juga tidak hanya sekedar berbicara ketidakpunyaan atau ketidakcukupan individu dalam suatu kelompok dalam memenuhi kebutuhan terhadap barangbarang yang langka, akan tetapi persoalan kemiskinan juga melekat problem ketidakadilan gender, hal ini akan terlihat dari bagaimana distribusi dan alokasi hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, pelayanan kesehatan yang baik, tingkat pendapatan yang adil dan mendapatkan akses yang setara. Kondisi kemiskinan yang dialami oleh perempuan bukanlah disebabkan karena factor bahwa perempuan malas dibandingkan laki-laki, akan tetapi kemiskinan kelompok perempuan lebih banyak disebabkan oleh factor-faktor structural yang menghegomoni dan membonsai peran-peran perempuan, sehingga posisi perempuan menjadi lemah dan miskin. Identifikasi atas beberapa persoalan kemiskinan perempuan sebagai sebuah bentuk ketidakadilan gender, dapat dijumpai pada bentuk ketidakadilan gender seperti ; Pertama ; Marginalisasi (peminggiran) perempuan pada sektor publik, apakah itu dibidang politik, sosial, ekonomi dan budaya, tidak jarang perempuan hanya dijadikan sebagai pelengkap dalam relasinya dengan laki-laki. Konsekwensi dari proses marginalisasi perempuan pada sektor-sektor public, menjadikan perempuan mengalami keterhambatan dalam mengaktualisasikan potensi dirinya sebagai manusia yang punya kehendak yang sama dengan laki-laki. Marginalisasi perempuan ini akan berpengaruh langsung pada pemiskinan perempuan. Kedua ; Subordinasi. Kaum perempuan berada pada posisi subordinate yaitu tunduk pada lakilaki. Perempuan dianggap mahluk yang irasional dan emosional dan hanya layak berada di wilayah domestik karena ketidak mampuan dalam memimpin. Pandangan perempuan sebagai konco wingking, yaitu teman di belakang atau di balik wilayah publik yang ditempati laki-laki. Kondisi subordinasi ini menjadi perempuan dihinggapi penyakit Cinderella complex (takut dijauhi atau dicela kaum pria), ketika perempuan berada pada kondisi subordinasi, menjadikanperempuan umumnya tidak otonom dan berdaulat dalam mengakses dan mengelola modal sosial dan ekonomi yang dimilikinya, karena tidak akan lepes dari penguasaan laki-laki dalam ikatan-ikatan lembaga keluarga. Ketiga ; Stereotipe adalah pelebelan negatif terhadap jenis kelamin tertentu yaitu jenis kelamin perempuan. Perempuan diberi label kaum yang lemah, bodoh dan emosional, dimana label ini menyebabkan perempuan sukar untuk meningkatkan kepercayaan dirinya. Stereotipe gender membuat kita membatasi pemahaman mengenai apa yang bisa dikerjakan perempuan dan apa yang bisa dikerjakan laki-laki. Misalnya perempuan di dunia domestic dan laki-laki tugasnya mencari nafkah, padahal faktanya tidak selalu keadaan seperti itu. Selain itu masyarakat mempunyai norma tertentu tentang perempuan yang ideal yaitu feminism ; lembut, halus, teliti, rajin, patuh, taat, cantik, cermat dan sebagainya. Sementara kaum laki-laki adalah maskulin ; gagah, perkasa, kuat, cerdas, kasar, memimpin, macho dan sebagainya. Padahal yang lebih menyehatkan adalah androgen (androgini) yaitu percampuran antara karakteristik sekaligus maskulin dalam kadar yang sangat variatif antara satu orang dengan orang lain. Individu androgini menurut Spence dan helmreich adalah memiliki harga diri yang lebih tinggi, lebih fleksible dan lebih efektif dalam hubungan interpersonal (E.Donelson dkk dalam muzak 2008) Keempat ; Beban ganda ; pembagian kerja di dunia domestic perempuan, laki-laki disektor public. Akibatnya ketika perempuan masuk disektor public ada beban ganda yang disandangnya, semestinya ada juga bebanganda untuk laki-laki, karena memang pekerjaan domestic bukanlah kodrat perempuan. Perempuan tidak dinilai ketika melakukan pekerjaan produksi dan sosial, sementara kerja produksi yang mereka lakukan hanya dianggap sifatnya membantu saja. Karena perempuan mengalami beban ganda, secara lansung ataupun tidak, perempuan kurang maksimak dalam memasuki wilayah public, sehingga kemiskinan tetap menjadi jejaring yang sulit dilepaskan. Kelima ; Diskriminasi adalah bentuk perbedaan perlakuan terhadap seseorang atau sekelompok orang dikarenakan jenis kelamin, ras, agama, status sosial atupun suku. Salah satu bentuk diskriminasi berbasis gender adalah memberikan keistimewaan kepada anak laki-laki untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan anak perempuan, ketika suatu keluarga yang secara ekonomi menengah kebawah dihadapkan pada pilihan mana diantara anak perempuan dan laki-laki akan di sekolahkan ke jenjang yang lebih tinggi, maka pilihan secara umum akan dijatuhkan pada anak laki-laki, dengan pertimbangan anak perempuan nantinya akan ikut suami. Begitupun dalam hal pembedaan upah buruh perempuan dan buruh laki-laki untuk jenis pekerjaan yang sama. (E.Donelson dkk dalam muzak 2008). Upah buruh laki-laki akan dapat lebih besar dibandingkan dengan perempuan, atas pertimbangan bahwa upah yang didapatkan perempuan hanya menjadi tambahan pendapatan keluarga. Bentuk diskriminasi ini secara structural melanggengkan proses pemiskinan perempuan dibandinkan laki-laki. (Muzak 2008 ; 39-41) BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif dengan menggunakan pendekatan analisis gender yang digambarkan melalui interaksi langsung antara peneliti dan informan dalam pengalian data yang dibutuhkan untuk pengembangan dan analisis penelitian ini. III.1 Wilayah & Waktu Kajian Penelitian perempuan miskin dalam keterisolasian pada masyarakat komunitas adat terpencil suku laut di Desa Kelumu kabupaten Lingga akan dimulai pada bulan Maret sampai dengan Desember 2013. Kunjungan ke lokasi penelitian akan dilakukan sebanyak minimal 6 (enam) kali visitasi yang terdiri dari observasi dan wawancara awal, pengumpulan data dan pengecekan kembali keabsahan data kualitatif yang diperoleh. Dengan demikian, dalam 2(dua) bulan pertama peneliti dharapkan telah memiliki gambaran yang cukup memadai yang akan digunakan sebagai data awal, dimana waktu keseluruhan yang untuk penelitian ini adalah 10 (sepuluh) bulan, termasuk sosialisasi hasil penelitian. III.2 Data dan Metode Penelitian Data akan diperoleh melalui teknik pengumpulan data primer melalui wawancara mendalam dan observasi, sehingga tergambarkan jelas bahwa penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Dalam melakukan penelitian, peneliti menggunakan pemetaan sosial untuk memahami, mengidentifikasi serta memetakan kondisi, kendala berikut permasalahan, sehingga nantinya dapat mengahsilkan suatu program peberdyaan yang tepat bagi perempuan misikin komunitas adat terpencil suku laut di Desa Kelumu Kab Lingga. (Ahmad SJA, dkk 2009). Data-data yang dikumpulkan antara lain meliputi gambaran umum dan kondisi fisik desa kelumu termasuk profil demografi, kondisi sosial ekonomi masyarakat, insfratruktur dan prasarana yang tersedia, faktor-faktor pendukung dan faktor penghambat. III.3 Sumber Data dan Informan Penelitian Dalam penelitian kualitatif tidak dikenal istilah populasi dan sampel, melainkan sumber data dan informan. Adapun sumber data secara keseluruhan akan terklasifikasi menjadi data primer yang akan diperoleh melalui rangkaian teknik pengumpula data, dan data sekunder yang akan terpenuhi dengan studi literatur. Informan dalam penelitian ini adalah perempuan Komunitas Adat Terpencil Suku Laut, Lurah, Dinas Sosial Dan Badan Pemberdayaan Perempuan. III.4 Teknik Pengumpulan Data (1) Observasi; dengan teknik pengamat sebagai pemeran serta (the observer as participant). Peranan pengamat secara terbuka diketahui oleh umum, karena segala macam informasi dapat dengan mudah diperoleh (Bambang Rudito dan Melia Famiola 2008). (2) Wawancara; dengan panduan interview guide. Interview guide digunakan untuk menjadikan terarahnya wawancara yang dilakukan. Interview guide mencakup sampel orang yang diwawancara dan juga latar, peristiwa dan proses sebagai ukuran dalam penggalian informasi (Moleong 2005). (3) Dokumentasi; berupa foto dan data terkait yang menjadi lampiran pada pemaparan hasil penelitian ini. III.5 Analisa Data Analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa kualitatif, yaitu analisa yang dilakukan dengan cara data dihimpun, disusun secara sistematis, diinterpretasikan, dan dianalisa sehingga dapat menjelaskan pengertian dan pemahaman tentang gejala yang diteliti. Analisis kualitatif mengandung karakteristik-karakteristik diantaranya data yang muncul berupa kata-kata bukan rangkaian angka. Dalam hal ini data dikumpulkan melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi diproses dan dianalisis secara kualitatif. Maksud dilakukan kegiatan ini untuk memberikan gambaran yang mendalam dan kesimpulan yang tepat dan memadai sesuai dengan topik dan tujuan penelitian. Dalam hal ini menjelaskan kondisi sosial ekonomi perempuan miskin komunitas adat terpencil suku laut. III.7 Konsep Operasional Penelitian ini akan dijalankan dengan menggunakan konsep operasional yang dikembangkan berdasarkan kerangka teori mengambarkan kemiskinan yang dialamin perempuan komuniatas adat terpencil suku laut indikator-indikator sebagai berikut: 1. Kemiskinan struktural yang dilihat dari : a. Pendidikan b. Kesehatan c. Ekonomi d. Infrasruktur (sarana dan prasarana) untuk mendapatkan akses informasi dan interaksi dengan masyarakat di luar komunitas masyarakat adat terpencil suku laut. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN IV.1. GAMBARAN WILAYAH PENELITIAN Penelitian masyarakat Komunitas Adat Terpencil (KAT) dalam hal ini adalah masyarakat suku laut atau yang dikenal juga dengan istilah manusia perahu, berada di Kabupaten Lingga salah satu dari kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau yang memiliki KAT. Jumlah warga KAT di Kabupaten Lingga sebanyak 714 Kepala Keluarga (KK) yang tersebar di empat kecamatan yaitu ; 1. Kecamatan Lingga utara sebanyak 80 KK 2. Kecamatan Lingga sebanyak 239 KK 3. Kecamatan Singkep Barat sebanyak 75 KK 4. Kecamatan Senayang sebanyak 285 KK. Adapun kecamatan yang menjadi fokus dalam lokasi penelitian ini adalah Kecamatan Lingga sebagai pusat Ibu kota Kabupaten Lingga, secara administratif memiliki 18 desa/kelurahan. Dari jumlah tersebut sebanyak tiga lokasi desa yang memiliki daerah KAT salah satu desanya adalah Desa Kelumu sebagai objek penelitian. Desa Kelumu dengan luas area kurang lebih 46 KM2, memiliki KAT sebanyak 38 KK dengan mata pencaharian sebagai nelayan dan bertani sayur-sayuran. Kondisi infrastruktur jalan Desa Kelumu adalah jalan semenisasi (rabat beton). Jenis penerangan masyarakat menggunakan listrik desa (genset). Fasilitas air bersih bantuan program PNPM di tahun 2009 dan tahun 2010. Pada tahun 2012 Desa Kelumu mendapatkan bantuan ADD untuk perbaikan jembatan. Desa kelumu dapat di tempuh dari ibu kota Kabupaten Lingga dengan menggunakan trasportasi darat (Motor, Mobil) dan trasportasi laut dengan jarak tempuh kurang lebih 20km akan tetapi untuk menuju lokasi pemukiman warga KAT dari desa, hanya bisa menggunakan motor dan trasportasi laut dengan jarak tempuh kurang lebih 1,6km. Sementara fasilitas pelayanan masyarakat di Desa Kelumu sudah memiliki Kantor Desa dan untuk fasilitas pelayanan kesehatan sudah memiliki POLINDES. IV.2. SUKU LAUT DESA KELUMU Masyarakat suku laut hidup dalam sebuah sampan di atas laut dan menjalani seluruh proses kehidupan di dalam sampan. Tidak hanya makan, minum, buang air, tapi juga berhubungan intim dan melahirkan. Mungkin bagi kita yang terbiasa hidup menetap dalam sebuah rumah di daratan, hal tersebut terasa begitu berat dilakukan. Tapi itulah yang terjadi dalam kehidupan suku laut Desa Kelumu mulai dari lahir, besar, makan, tidur, memasak, menikah, dan proses reproduksi pun dilakukan di atas sampan yang mereka istilahkan dengan kajang. Kajang adalah sebuah sampan kecil yang hanya berukuran 3×1 meter. Di bagian atasnya diberi sirap atau atap dari daun kelapa dengan tinggi sekitar 75 cm. Di atas sampan itulah, mereka membagi setiap bagian menjadi ruang layaknya ruang di daratan. Bedanya, stiap ruang tidak berdinding hanya dibatasi dengan perlengkapan hidup. Dapur, diletakkan di bagian belakang sampan. Untuk memasak mereka menggunakan lempengan besi sebagai alas kayu bakar. Sedangkan untuk tungkunya mereka gunakan kaleng bekas yang bagian sampingnya diberi lubang untuk memasukkan kayu bakar. Lebar tungku tersebut hanya sekitar 15 cm. Api mereka dapatkan dengan menggunakan gesekan batu atau kayu. Sementara untuk istirahat, mereka jadikan bagian tengah sampan, yang merupakan bagian terlebar, sebagai tempat menggelar tikar. Di atas sampan yang berukuran kecil tersebut, bisa dihuni satu keluarga dengan jumlah anak tiga sampai lima orang. Bagaimana mereka tidur? Jangan pernah membayangkan mereka tidur dengan posisi terlentang dan datar dari ujung kaki sampai kepala. Agar sampan bisa memuat tidur semua anggota keluarga, mereka beristirahat dengan posisi badan melengkung, kepala di sisi kanan sementara kaki di sisi kiri. Pola hidup yang dijalani suku laut ini, telah mempengaruhi postur tubuh mereka. Rata-rata tinggi suku laut tidak lebih dari 1,4 meter. Masyarakat suku laut hanya mengenal keluarga inti atu nucler family. Keluarga inti merupakan kelompok sosial terkecil dalam kehidupan masyarakat. Dalam keluarga tersebut terdiri dari seorang ayah, seorang ibu dan beberapa orang anak. Suku laut ini hidup berkelompok-kelompok, satu kelompok bisa sampai sepuluh sampan yang dan juga memiliki ketua kelompok. Satu sampan atau kajang biasanya dihuni satu keluarga, anak-anak mereka yang masih kecil berada di bawah usia 10 tahun masih bisa tinggal satu sampan denga ayah dan ibunya. Akan tetapi jika anak-anak mereka, terutama laki-laki, telah beranjak remaja akan dibuatkan kajang sendiri oleh sang ayah. Di atas kajang itulah kehidupan mandiri seorang suku laut dimulai. Si remaja akan belajar mencari ikan sendiri guna memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk memasak sendiri. Di atas kajang itu pula, ia akan mulai mencari pasangan hidup dan hidup bersama membentuk keluarga baru. Begitu seterusnya siklus kehidupan suku laut berjalan. Sementara bagi anak perempuannya yang telah remaja tetap tinggal bersama orang tuanya, sampai ada pemuda yang melamar dan menikahkannya. Setelah menikah anak perempuan berpisah dengan ibu-bapaknya dan tinggal satu rumah dengan suaminya. VI. 3. KEHIDUPAN PEREMPUAN SUKU LAUT DI SAMPAN Sesuai dengan tujuan penelitian ini, untuk melihat dan mengidentifikasi kehidupan sosial ekonomi perempuan komunitas adat terpencil suku laut setelah mereka di rumahkan. Sehingga dapat menghasilkan suatu program pemberdayaan yang tepat bagi perempuan komunitas adat terpencil yang ada di Desa Kelumu Kabupaten Lingga khususnya. Untuk itu penulis sebelumnya akan mendiskripsikan kehidupan perempuan suku laut sebelum mereka mendapat pembinaan atau di rumah kan oleh pemerintah setempat. Kehidupan sosial yang digambarkan dalam penulisan ini, adalah kehidupan sosial yang dilihat dari sisi ; 1. Ekonomi Suku laut hidup berpindah-pindah tempat (no maden) dari satu pulau ke pulau yang lain, tergantung dari cuaca, jika musim angin utara tiba, gelombang tinggi bisa mencapai tiga meter, maka mereka mencari di tempat yang aman di balik-balik pulau atau masuk ke hulu-hulu sungai. Kehidupan mereka yang no maden tidak hanya dipengaruhi oleh cuaca akan tetapi juga hasil tangkapan ikan. Karena mata pencarian utama mereka adalah mencari ikan. Tugas mencari ikan adalah kaum lelaki atau suami sebagai kepala rumah tangga. Kaum lelaki yang mencari ikan ini menggunakan serompang (perahu kecil) pergi meninggalkan keluarga selama tiga hari atau paling lama satu minggu dan kembali kesampan besar dimana anak dan istri mereka menunggu. Sementara itu perempuan atau istri tetap tinggal di sampan yang besar sebagai tempat tinggal mereka, menunggu sampai suami pulang. Aktifitas perempauan atau istri, disaat kaum lelaki atau suami mencari ikan adalah memasak, mencuci dan mengurus anak-anaknya. Tidak banyak memang aktifitas yang dapat dilakukan oleh kaum perempuan suku laut ini di atas sampan. Sosialisasipun dengan tetangga, hanya sekedar untuk mengobrol tetap dilakukan di atas sampan masing-masing. Masyarakat suku laut ini singgah dan naek di daratan, hanya untuk mengambil air bersih, menjual hasil tangkapan ikan mereka dan menguburkan mayat jika ada anggota keluarga yang meninggal. Tidak ada pulau tetap yang mereka singgahi, dimana mereka memerlukan kebutuhan hidup, disana mereka akan berlabuh. Masyarakat suku laut ini tidak mengetahui perhitungan uang, karena memang mereka tidak mengenal pendidikan, jadi traksaksi ekonomi dilakukan dengan cara barter yakni mereka menjual ikan-ikan kepada para toke (penadah) dan langsung menukarkannya dengan barang kebutuhan pokok, mulai dari beras, sayur, jajanan, pakaian, dan lainnya. 2. Kesehatan Melihat kondisi tempat tinggal suku laut di atas sampan berukuran 3×1 meter. Di bagian atasnya diberi sirap atau atap dari daun tintau dengan tinggi sekitar 75cm dan dinding seadanya, mereka hidup di dalamnya dengan satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan beberapa orang anak-anak. Layaknya sebuah rumah, semua aktifitas dilakukan di dalam sampan jika dilihat dari ukuran sampan, kurang layak untuk dijadikan tempat tinggal apa lagi dari standar kesehatan. Belum lagi jika alam tidak bersahabat, disaat musim hujan tiba, angin utara yang menyebabkan angin sangat kencang berdampak tingginya gelombang, dan teriknya matahari. Semua keadaan alam ini sangat riskan terhadap kesehatan mereka. Penyakit yang selalu dialami suku laut ini adalah penyakit kulit, seperti gatalgatal yang membuat kulit mereka kering dan seperti bersisik. Karena suku laut dalam kehidupan sehari-harinya mandi, mencuci dan lain-lainnya menggunakan air laut. Mereka menggunakan air bersih, hanya untuk memasak dan minum. Hal ini dapat dimaklumi, karena mereka terpaksa harus menghemat dalam penggunaan air bersih. Sebab, untuk mendapatkan air bersih mereka harus naek kedaratan dan itu tidak bisa dilakukan setiap saat. Masyarakat suku laut dalam hal kesehatan, untuk proses penyembuhan segala bentuk penyakit yang di derita atau dialami, mereka mempercyakannya kepada seorang dukun yang mereka anggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat menyembuhkan sakit yang mereka alami. Seorang dukun untuk menyembuhkan pasiennya cukup dengan membaca matra, kemudian mengusap bagian yang sakit dengan tangannya, akan tetapi ada juga dengan menggunakan media yakni air putih di dalam gelas atau botol yang dibacakan mantra baru kemudian diminumkan kepada orang yang sedang sakit. Sementara bagi perempuan yang hamil tidak pernah mengecek kesehatan bayi yang dikandungnya maupun kesehatan dirinya sendiri. Kalaupun perempuan hamil ini merasa sakit, mereka tetap menggunakan jasa dukun dalam meminta obat untuk kesembuhannya, begitu juga saat persalinan, perempuan suku laut juga mempercayai dukun untuk membantu proses kelahiran anak mereka. Bagi perempuan yang habis melahirkan tidak ada pantang larang, sehingga habis proses melahirkan mereka dapat melakukan aktifitas seperti biasanya. Tak jarang habis pasca melahirkan perempuan suku laut ada yang meninggal, begitu juga dengan anaknya. Hal ini bisa saja terjadi, karena ketidak tahuan mereka menjaga kesehatan pasca melahirkan. 3. Agama Dalam hal keyakinan tidak ada perbedaan gender, artinya laki-laki dan perempuan dalam menjalankan keyakinan mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Sistem kepercayaan orang suku laut adalah animisme yang terpusat pada penghormatan dan pemujaan terhadap roh-roh leluhur yang digambarkan dalam berbagai bentuk makhluk halus yang menempati seluruh alam lingkungan hidup sekitar mereka dan menimbulkan suatu kompleks keyakinan adanya kekuatan gaib dan sakral yang melekat pada tempat-tempat yang diyakini adanya makhluk halus. Makhluk halus yang diyakini orang suku laut disebut dengan hantu. Hantu tersebut selalu dibayangi sebagai manusia yang mereka sebut dengan hantu laut, hantu batu dan hatu jeram. VI.3 KEHIDUPAN PEREMPUAN SUKU LAUT SETELAH DI RUMAHKAN. Hakekat yang terkandung dalam setiap kehidupan adanya perubahan dan pertumbuhan atau perkembangan yang terjadi secara terus-menerus tanpa akhir usaha manusia yang dituangkan dalam bentuk kegiatan secara terus-menerus agar terjadi perubahan, pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan yang dikehendaki yang biasanya disebut dengan pembangunan. Pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah ini ada yang bersifat fisik dan non fisik. Salah satu bentuk dari pembangunan non fisik adalah pembangunan yang berpusat pada manusia, dimana pembangunan ini diselenggarakan dalam rangka mewujudkan keadilan sosial yang sesuai dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kemampuan serta kesempatan bagi setiap warga negara untuk turut serta dalam pembangunan dan menempuh kehidupan yang sesuai dengan martabat dan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu pelayanan sosial perlu dikembangkan melalui keterpaduan upaya antara bimbingan, pembinaan dan pemberian bantuan, santunan dan rehabilitasi sosial, peningkatan taraf kesejahteraan sosial serta pengembangan dan penyuluhan sosial untuk meningkatkat harkat dan martabat manusia. Ini artinya pemerintah dalam mencanangkan pembangunan nasional yang berpusat pada manusia adalah menciptakan lingkungan sosial yang memungkinkan untuk berkembang, yaitu lingkungan sosial yang mendorong perkembangan manusia dan aktifitas potensi manusia secara lebih besar. Menurut Gran dalam sri wahyuni (2000;14) model pembangunan nasional yang berpusat pada manusia, berwawasan lebih jauh dari pada angka pertumbuhan GNP atau pengadaan pelayanan sosial. Peningkatan perkembangan manusia dan kesejahteraan manusia, persamaan dan subtainbility manusia menjadi focus sentral proses pembangunan, pelaksana pembangunan yang menentukan tujuan, sumber-sumber pengawasan dan untuk mengarahkan proses-proses yang mempengaruhi kehidupan mereka. Masyarakat KAT merupakan sebahagian dari masalah sosial yang harus ditanggulangi oleh Indonesia. Oleh karena itu melalui departemen sosial pemerintahan RI pada periode Pelita III telah mengariskan srategi pokok pembangunan dibidang kesejahteraan masyarakat terasing. Strategi ini dituangkan sebagai program dan berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Program ini dinamakan Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing (PKMT), yang penekananya atau focus dari kegiatan proyek tersebut adalah memukimkan mereka yang tergolong terasing, karena dengan memukimkan mereka dalam satu wilayah akan memudahkan dalam memberikan pembinaan. Oleh karena itu Masyarakat Suku Laut Desa Kelumu yang kehidupannya masih nomaden melalui Dinas Sosial Kabupaten Lingga mereka dimukim pada tahun 2008/2009 sebanyak 38 KK hasil dari pendataan pada tahun 2007/2008. Mereka yang dimukimkan ini diberi rumah panggung di atas laut yang berada dibibir pantai dengan ukuran 6m x 6m, yang penghuninya dalam satu rumah ada sampai tujuh orang yang terdiri dari ayah,ibu dan anak. Pemukiman masyarakat suku laut ini jauh dari pemukiman masyrakat pada umumnya, tentu saja kondisi ini membuat mereka menjadi terisolasi dari kehidupan keramaian masyarakat pada umumnya. Suku laut yang di rumah kan ini, mendapat pembinaan dari dinas sosial, baik dari segi agama yakni pembinaan terhadap keyakinan, saat ini masyarakat suku laut yang berjumlah 40 KK sudah memiliki keyakinan yakni sebagai umat nasrani. Mereka melaksanakan ibadah setiap minggu ke gereja..Setelah mereka memiliki agama ada hal yang berubah dari kebiasaan mereka pada masa hidup di sampan. Hal ini bisa dilihat ketika anak mereka yang baru lahir juga dibaktis di gereja, dan juga ketika ada salah satu anggota keluarga yang meninggal, biasanya mereka menguburkan mayat dimana mereka menemukan daratan, maka disitulah mayat dikuburkan dengan seadanya tanpa dimandikan maupun prosesi doa. Akan tetapi setelah mereka memiliki keyakinan hal ini tidak dilakukan lagi, mereka memperlakukan mayat dengan baik sebagai mana layaknya dalam prosesi pemakaman umat nasrani pada umumnya. Sementara dalam hak politik suku laut diberikan KTP dan KK. Dalam bidang ekonomi suku laut masih tetap bekerja sebagai nelayan dan petani. Walaupun mereka sudah dimukimkan dan dibina akan tetapi tetap saja potret kemiskinan dan marginal meliputi kehidupan suku laut, termasuk perempua-perempuannya, tidak ada perubahan yang signifikan dalam kehidupan perempuan suku laut ini yang bisa dilihat : 1. Pendidikan Pendidikan akan memberikan pencerahan bagi kehidupan manusia idealnya secara teoritis begitu. Tetapi pada kenyataannya perempuan suku laut ini, sangat jauh dari sentuhan pendidikan hal ini sama pada masa mereka hidup di sampan. Masih banyak terdapat perempuan-perempuan suku laut ini yang tidak bisa baca-tulis hingga saat ini, dari sebelas orang perempuan yang peneliti tanya hanya dua orang yang bisa baca-tulis. Saat itu peneliti bertanya apakah tidak pernah diajarkan membaca ? mereka menjawab pernah, satu kali dalam seminggu selama satu bulan itu artinya hanya empat kali pertemuan dengan durasi waktu satu jam setiap kali belajar. Sistem belajar hanya diajarkan mengenal hurup akan tetapi tidak di praktek kan bagaimana merangkai hurup menjadi satu kata yang bermakna dan mempunyai arti (wawancar, 14/09/2013). Bahkan bahan ajar yang diajarkan ke mereka dibawa pulang kembali menurut salah seorang yang peneliti tanya dan diaminkan oleh teman-temannya. Metode atau sistem belajar yang diterapkan seperti ini, perempuan-perempuan suku laut ini tidak mendapatkan apa-apa, bahkan untuk menulis nama mereka sendiri mereka tidak bisa untuk menulisnya. Harusnya metode yang diajarkan tidak hanya sekeder mengenal hurup, akan tetapi juga diajarkan dengan cara mempraktekkan bagaima cara merangkai hurup dan memberikan buku bacaan yang bisa mereka baca dan dipelajari di rumah. Mengingat mereka yang belajar ini bukan lagi pada usia anak-anak yang menpunyai daya tangkap dan daya ingat lebih cepat. 2. Ekonomi Masyarakat suku laut kaum laki-laki atau para suami pada umumnya bekerja sebagai nelayan ada juga yang yang bekerja sebagai petani sayur. Penghasilan yang mereka poroleh rata-rata Rp. 500.000 – Rp. 800.000 perbulan. Dengan penghasilan ini, sangat jauh dari kecukupan dalam memenuhi kebutuhan pokok mereka sehari-hari untuk anggota kelurga dalam satu rumah yang jumlahnya ada empat sampai tujuh orang. Sementara kaum perempuannya tidak ada beraktifitas yang dapat menambah penghasilan keluarga, perempuan-perempuan suku laut ini, hari-harinya hanya bekerja memasak, mencuci dan mengurus anak. Tidak banyak yang dapat mereka lakukan, waktu luang yang begitu banyak setelah mengerjakan aktifitas domestik, sambil menunggu suami pulang dari melaut, mereka pergi bertandang ke rumah tetangga ngobrol (ngerumpi) bersenda gurau sambil bermain guli (kelereng). Jika dibandingkan pada masa mereka hidup di sampan, posisi perempuan ini sama saja masih termajinalkan, duduk sambil menunggu suami pulang, hanya perbedaannya dari cara mereka bersosialisasi saja. Perempuan – perempuan suku laut ini belum pernah mendapatkan pembinaan yang sifatnya ketrampilan yang mempunyai nilai ekonomi. Menurut ketua RT setempat, di desa kelumu selain penghasil ikan, ada juga daun makuan yang dapat diolah menjadi bakul (keranjang), kajang (atap daun) yang bisa dijual dengan harga satuan Rp.10.000,- dan ini hanya ada satu warga yang membuat kerajinan dengan peralatan dan model seadanya. (wawancara,14/09/2013). Pernyataan senada juga di ungkapkan oleh kabid dari dinas pemberdayaan perempuan, sejak terbentuknya dinas tersebut belum pernah melakukan pembinaan dan pemberdayaan terhadap perempuan suku laut khususnya dalam bidang ekonomi (wawancara,13/09/2013). Padahal jika dilihat dari hasil alam yang mereka miliki yakni daun makuan, bisa dimanfaatkan dan diolah menjadi kerajinan tangan (handycraf), jika perempuan-perempuan suku laut ini dapat diberdayakan dengan memberikan pelatihan berbagai macam handycraf, tentu akan menampah income kelurga yang berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga. Handycraf ini selain mempunyai nilai ekonomi juga memberikan nilai lebih yakni dapat di jadikan icon Desa Kelumu penghasil handycraf hasil karya masyarakat KAT khususnya perempuan, yang secara tidak langsung juga menjadi ajang promo atau sosialisasi, jika kita melihat dari kacamata konsep pariwisata, jika ada yang berkunjung melihat kehidupan masyarakat KAT, mereka bisa membawa oleh-oleh (souvenir) khas masyarakat setempat. 3. Kesehatan Berbicara tentang kesehatan masyarakat suku laut khususnya kaum perempuan, kesadaran mereka akan pentingnya kesehatan juga belum terbangun dengan baik. Saat mereka sakit mereka masih datang berobat kedukun, mereka masih sangat percaya akan kekuatan atau kesaktian matra seorang dukun dalam menyembuhkan sakit yang mereka alami. Hal ini bisa saja terjadi karena kurangnya sosialisasi penyuluhan tentang kesehatan dalam berbagai aspek. Walaupun mereka pernah mendapatkan penyuluhan dan pembinaan kesehatan dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional ( KB), akan tetapi angka kematian bayi pada saat dalam kandungan sangat rentan di alami perempuan-perempuan suku laut ini, walaupun peneliti tidak mendapatkan angka yang pasti, tetapi dari beberapa perempuan yang saat itu peneliti temui, salah satunya wati menceritakan mempunyai anak empat, tiga meninggal saat dalam kandungan. (wawancara 14/09/2013), suatu hal yang sangat memprihatinkan memang, karena untuk mendapatkan akses kesehatan mereka harus ke pusat desa dengan menempuh jarak lebih kurang 1,6 km, dengan kondisi jalan bertanah tidak beraspal ataupun semenisasi. Sementara medan jalan berbukit-bukit, apa lagi saat hujan maka akan memperparah keaadaan jalan, jika tidak hati-hati justru akan mengakibatkan terjatuh. Jalan dari lokasi KAT hanya bisa ditempuh dengan motor, jika kita lewat daratan atau bisa juga menggunakan pompong (perahu kecil dengan menggunakan mesin) melalui anak sungai. Bagi mereka yang tidak memiliki kendraan mereka menempuhnya dengan berjalan kaki. 4. Infrastuktur Infrakstruktur suatu hal yang sangat penting dalam mengatasi keterisolasian yang menyebabkan kemiskinan. Akan tetapi dalam pembahasan infrastruktur ini, peneliti tidak hanya membahas atau memfokuskan pada masalah jalan saja, akan tetapi juga sarana dan prasarana yang tersedia di dalam lingkungan KAT sebagai penunjang kemajuan dan kesejahteraan kehidupan mereka. Akses jalan yang ada saat ini sebagai penghubung masyarakat KAT dengan masyarakat luar, seperti yang peneliti ungkapkan sebelumnya itu sangat riskan bagi keselamatan kaum perempuan kalau harus berjalan kaki seorang diri ataupun berkelompok dengan jarak tempuh lebih kurang 1,6 km. Kondisi jalan dan jarak tempuh yang harus dilalui, tanpa ada trasportasi umum yang tersedia yang bisa mereka gunakan, saat mereka kepusat desa, ke kecamatan atau ke ibu kota kabupaten selamanya lah mereka akan selalu berada pada posisi yang marginal, karena mereka baru bisa keluar dari lokasi mereka dalam satu minggu hanya satu kali untuk membeli kebutuhan hidup mereka. Begitu juga dalam memberikan bantuan air bersih yang dilakukan pemerintah melalui program PNPM di tahun 2009 dan tahun 2010, tidak resposif gender. Karena tempat pembuatan air minum lumayan jauh dari rumah ke ruamh. Untuk mendapatkan air bersih perempuan dan anak harus berjalan mengangkat air lebih kurang 60 meter. belum lagi kondisi tempat air yang terletak di pinggir jalan menuju pintu masuk pemukiman suku laut tidak berdinding dibiarkan terbuka lebar begitu jadi akan kelihatan sangat jelas kalau warga lagi mandi maupun mencuci. Tentu saja kondisi ini sangat membahayakan bagi perempuan dan anak khususnya. Dari segi akses informasi, ada beberapa diantara mereka sudah bisa menggunakan hand phone (HP) sebagai penghubung dengan teman dan saudara mereka yang tinggal beda pulau. Hanya saja saat peneliti berkunjung kepemukiman KAT peneliti tidak melihat adanya televisi (TV) di dalam rumah warga. Padahal TV ini bisa dijadikan sebagai salah satu media informasi yang sifatnya audio visual, untuk menambah wawasan mereka tetang dunia luar. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN 1. Perempuan komunitas adat terpencil suku laut desa kelumu , walaupun mereka sekarang tidak lagi hidup di sampan dengan berpindah-pindah tempat (nomaden), karena sudah di tempatkan dalam satu pemukiman dengan rumah yang diberi oleh pemerintah dengan ukuran 6m x 6m, akan tetapi tetap saja mereka masih dalam garis kemiskinan, baik dilihat dari sudut ekonomi, pendidikan , hokum dan kesehatan. 2. Kemiskinan perempuan ini karena tempat tinggal mereka yang terisolasi dari kehidupan masayarakat yang layak pada umumnya, sehingga akses mereka dalam bersosialisasi terbatas, kecuali hanya sesama komunitas mereka. 3. Kemiskinan perempuan ini juga disebabkan sulitnya mereka untuk mendapatkan akses, baik itu akses pendidikan, kesehatan dan ekonomi, karena mereka harus menempuh jarak lebih kurang 1,6 km untuk menuju kepusat desa dengan berjalan kaki bagi yang tidak mempunyai kendraan. SARAN 1. Pemerintah dalam upya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya terhadap masyarakat KAT, tidak hanya sekedar membina mereka denga cara memukimkan mereka dalam satu wilayah yang tujuannya agar mereka tidak berpindah-pindah tempat tinggal lagi, tetapi juga perlu memberikan pembinaan dalam konsep pemberdayaan berbasis sumber daya alam yang ada di tempat mereka tinggal. 2. Member Pembinaan kepada perempuan suku laut yang mempunyai nilai ekonomis, sehingga dapat menambah penghasilan keluarga, akan tetapi akan menjadi icon penhasilan dari desa mereka sendiri. 3. Pemerintah dalam memukimkan masyarakat KAT termasuk juga di dalamnya perempuan dan anak hendaknya, memperhatikan akses mereka dalam mendapatkan pendidikan, kesehatan dan ekonomi, karena secara geografi fasilitas ini jauh dari tempat tinggal mereka dan mereka menempuhnya dengan berjalan kaki, tentu saja hal ini riskan terhadap kesehatan mereka. BAB VI DAFTAR PUSTAKA Muzakkar, abdullah, perempuan dan kemiskinan;realitas ketidakadilan gender, jurnal puanri.tahun 2007 M.Fadly, Muhammad, implementasi kebijakanpemberdayaan komunitas adat terpencil di kecamatan bua ponrang kabupaten luwu makasar. Skripsi Tahun 2012 Irawan, Prasetya. 2006. Penelitian Kualitatif & Kuantitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta. DIA FISIP UI. Suharto, Edi. 2009. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial & Pekerjaan Sosial. Bandung. PT. Refika Aditama Usman, Sunyoto. 2010. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Departemen Sosial RI, Direktorat Jendera Pemberdayaan Sosial, Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Departemen Sosial RI, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial, Direktorat Pemberdayaan komunitas Adat Terpencil Tahun I, II, dan III. 2009. Penguatan Pendamping Sosial Komunitas Adat Terpencil. Sri Wahyuni, Dampak Pembinaan Kesejahteraan Sosial Terhadap Peningkatan Pendapatan Suku Sakai Oleh Perusahaan Caltex di Duri, Skripsi tahun 2000