HASIL PENELITIAN PEREMPUAN MISKIN DALAM

advertisement
HASIL PENELITIAN
PEREMPUAN MISKIN DALAM KETERISOLASIANNYA
(STUDY PEREMPUAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL SUKU LAUT)
DI DESA KELUMU KABUPATEN LINGGA
SRI WAHYUNI, M.Si ( Ketua )
NIDN 1016047701
MUHAMMAD YUSUF H.M.M.Ed (Anggota)
NIDN 1005058007
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
MARET 2012
RINGKASAN
Masyarakat Komunitas Adat Terpencil (KAT) identik dengan keterisoliran, dan
keterisoliran salah satu penyebab masyarakat dalam kemiskinan. Akibat dari keterisoliran
masyarakat jauh dari fasilitas pelayanan pemerintah, baik dari sudut ekonomi , pendidikan,
kesehatan dan pembangunan infrastruktur serta interaksi sosial.
Masalah kemiskinan ini dikatakan sebagai suatu problema karena masalah kemiskinan
menuntut adanya suatu upaya pemecahan masalah secara berencana, terintegrasi dan
menyeluruh dalam waktu yang singkat. Upaya pemecahan masalah kemiskinan tersebut
sebagai upaya mempercepat proses pembangunan yang selama ini sedang dilaksanakan,
karena masalah kemiskinan perlu di dasarkan pada pemahaman suara masyarakat miskin itu
sendiri dan adanya pengakuan pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-hak dasar
masyarakat miskin, yaitu hak sosial, ekonomi, dan politik.
Kemiskinan yang dialami perempuan merupakan dampak dari kebijakan pembangunan
yang kurang responsif gender dan juga relasi gender yang tidak seimbang. Karena
permasalahan kemiskinan yang dihadapi laki-laki berbeda dengan permaslahan yang
dihadapi perempuan. Sehingga hal ini lah yang menjadikan perempuan berada pada posisi
marginal.
Penelitian ini mengkaji kondisi sosial ekonomi perempuan miskin masyarakat komunitas
adat terpencil suku laut yang sudah dirumahkan dan menetap dalam satu pulau yakni di desa
Kelumu Kabupaten Lingga. Dalam mengkaji dan menganaliss penelitian ini menggunakan
teori struktural fungsional dengan pendekatan analisis gender. Hasil penelitian menunjukan
tidak ada perubahan yang terlalu signifikan bagi perempuan suku laut, mereka masih tetap
miskin dan marginal, sama halnya ketika mereka masih hidup disampan. Hanya bedanya saat
ini mereka hidup di rumah dengan ukuran 6m X 6 m yang dihuni bisa sampai tujuh keluarga
dalam satu rumah.
Metode yang digunakan adalah kualititif dengan pendekatan deskiptif. Teknik
pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara dan dokumentasi lalu data yang
terkumpul dan dianalisa. Analisa data dilakukan berdasarkan operasionalisasi dari konsep
kemiskinan perempuan masyarakat komunitas adat terpencil suku laut. Penelitian ini
direncanakan berlangsung selama 1 (satu) tahun sampai dengan akhir Desember 2013.
Kata kunci: Perempuan, Kemiskinan, Komunitas Adat Terpencil
i
BAB I
PENDAHULUAN
Masalah kemiskinan merupakan persoalan klasik yang hingga saat ini masih menjadi
problem utama, terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Penanganan
kemiskinan kemudian menjadi suatu upaya yang mendapatkan perhatian banyak pihak. Hal ini
melahirkan sejumlah teori/pandangan, dan pendekatan yang kemudian mempengaruhi
kebijakan yang berbeda-beda.
Pandangan konvensional menyebutkan kemiskinan sebagai kekurangan modal dan
menganggap masyarakat miskin sebagai objek yang tidak memiliki informasi dan pilihan,
sehingga tidak perlu terlibat dalam pengambilan keputusan kebijakan publik. Padahal dalam
UU 1945 Pasal 34 ayat (1) menyebutkan bahwa “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara
oleh Negara” kemudian ayat (2) menyebutkan bahwa “Negara berkewajiban menangani fakir
miskin melalui pemberdayaan dan bantuan jaminan sosial”. Amanat Undang-Undang ini
mempertegas pentingnya upaya penanggulangan kemiskinan.
Pendekatan diatas terbukti kurang optimal dalam memecahkan masalah kemiskinan
bukan hanya disebabkan kesulitan anggaran dan lemahnya rancangan kebijakan, tetapi juga
tidak adanya pengakuan dan penghormatan atas suara dan hak-hak dasar masyarakat miskin.
Oleh sebab itu, pemecahan masalah kemiskinan tidak lagi dapat dilakukan oleh pemerintah
sendiri melalui kebijakan sektoral dan terpusat, seragam dan berjangka pendek.
Masalah kemiskinan ini dikatakan sebagai suatu problema karena masalah kemiskinan
menuntut adanya suatu upaya pemecahan masalah secara berencana, terintegrasi dan
menyeluruh dalam waktu yang singkat. Upaya pemecahan masalah kemiskinan tersebut
sebagai upaya mempercepat proses pembangunan yang selama ini sedang dilaksanakan, karena
masalah kemiskinan perlu di dasarkan pada pemahaman suara masyarakat miskin itu sendiri
dan adanya pengakuan pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-hak dasar masyarakat
miskin, yaitu hak sosial, ekonomi, dan politik.
Indonesia dengan jumlah penduduk lebih kurang 240 juta jiwa, dimana 49 persesn dari
populasi Indonesia adalah kaum perempuan. Jadi titik tolak pembicaraan, tidak akan pernah
lepas dari kehidupan perempuan. Mengapa demikian ? karena perempuan dalam wacana
kemiskinan, adalah kelompok yang sangat rentan terhadap persoalan ini. Bahkan lebih eksrim
lagi, ketika membicarakan kemiskinan baik di Indonesia maupun dibelahan dunia lainnya,
maka perempuan selalu ada di dalamnya. Seakan kemiskinan adalah milik kaum perempuan.
Bahkan ada yang mengatakan bahwa kemiskinan itu identik dengan perempuan.
Seperti yang di ungkapkan oleh Tabrani Yunis dalam tulisannya perempuan di jurang
kemiskinan, Di Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2009 dari
jumlah penduduk miskin yang mencapai 32,53 juta jiwa (14,15persen), 70 persen dari mereka
adalah perempuan. Ini menunjukan angka yang cukup besar bukan ? kita boleh tidak percaya
atau ragu terhadap data tersebut. Namun bila kita melihat persoalan lain dari kehidupan
perempuan dibalik angka kemiskinan tersebut, ada angka buta aksara perempuan sebesar
12,28persen, sedangkan laki-laki 5,84persen. Angka kematian ibu (AKI) juga masih sangat
tinggi, sebesar 248 per 100.000 kelahiran hidup. Secara ekonomi, tingkat partisipasi angkatan
kerja (TPAK) laki-laki jauh lebih tinggi (86,5 persen dari pada perempuan (50,2 persen).
Bila dilihat dari faktor penyebab kemiskinan dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Badan Pusat Statisti (BPS) dalam dian 2008)
mendefinisikan kemiskinan struktural sebagai kemiskinan yang ditenggarai atau disebabkan
dari kondisi struktur atau tatanan kehidupan yang tak menguntungkan. Di dalam kondisi
struktur yang demikian itu, kemiskinan menggejala bukan oleh sebab-sebab yang alami,
melainkan oleh sebab tatanan sosial yang tidak adil. Tatanan yang tidak adil ini menyebabkan
banyak warga masyarakat gagal memperoleh peluang atau akses untuk mengembangkan
dirinya serta meningkatkan kualitas hidupnya, sehingga mereka yang malang dan terperangkap
ke dalam perlakuan yang tidak adil ini menjadi serba berkekurangan, tak setara dengan
tuntutan untuk hidup yang layak dan bermartabat sebagai manusia, sedangkan kemiskinan
kultural diakibatkan oleh faktor-faktor adat dan budaya suatu daerah tertentu yang
membelenggu seseorang tetap melekat dengan indikator kemiskinan. Kemiskinan karena
tradisi sosio-kultural terjadi pada suku-suku terasing atau yang dikenal dengan istilah
Komunitas Adat Terpencil (KAT).
Berdasarkan sifatnya, kemiskinan dibagi menjadi dua, yaitu: kemiskinan kronis dan
kemiskinan sementara (Anonymous dalam dian 2008). Kemiskinan kronis merupakan kondisi
kemiskinan yang berlangsung secara terus menerus. Mereka yang mengalami kemiskinan
kronis adalah mereka yang selalu berada di bawah kemiskinan pada kurun waktu yang cukup
panjang dan berbagai usaha telah mereka lakukan namun tetap miskin. Penyebabnya yaitu: (1)
kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak
produktif, (2) keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian, terutama penduduk yang tinggal di
daerah-daerah kritis sumberdaya alam dan daerah terpencil, serta keterbatasan kemampuan
penduduk untuk melakukan perpindahan dalam rangka peningkatan taraf hidup, (3) rendahnya
taraf pendidikan dan derajat kesehatan, dan (4) terbatasnya lapangan kerja dan
ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar. Kemiskinan sementara terjadi
akibat adanya perubahan dari luar yang menyebabkan suatu keluarga atau kelompok
masyarakat yang semula tidak miskin menjadi miskin. Perubahan tersebut disebabkan oleh: (1)
pergeseran siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, (2) perubahan yang
bersifat musiman seperti dijumpai pada kasus kemiskinan nelayan dan pertanian tanaman
pangan, dan (3) bencana alam, kerusakan sosial atau dampak dari suatu kebijakan tertentu
yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat.
Persoalan kemiskinan perempuan ini sangat memprihatinkan dan membahayakan bagi
perempuan dan generasi bangsa. Kemiskinan perempuan yang disebabkan oleh kemiskinan
struktural membuat perempuan-perempuan yang sudah terisolir menjadi semakin terisolasi
untuk mendapatkan akses pada akhirnya menjadikan mereka miskin baik itu dalam hal
komunikasi, pendidikan, kesehatan dan ekonomi, hal ini banyak di alami oleh perempuan
masyarakat KAT.
Pemerintah melalui Departemen Sosial (Depsos) sebagai instansi sektoral yang
terlibat langsung dalam penanganan masalah kemiskinan, dalam rencana strategisnya (renstra)
memiliki program kemiskinan yang di antaranya adalah pemberdayaan fakir miskin,
pemberdayaan komunitas adat terpencil (KAT), dan pemberdayaan penyandang masalah
kesejahteraan sosial lainnya. Keseluruhan program tersebut bertujuan untuk “meningkatkan
keserasian kebijakan publik, pengkajian strategi dan pelaksanaan program-program
pembangunan dalam memberdayakan keluarga fakir miskin, KAT, keluarga dan perempuan
rawan sosial-ekonomi”. Sasaran programnya adalah kelompok masyarakat yang memiliki
ketidakmampuan sosial-ekonomi atau rentan menjadi miskin termasuk keluarga fakir miskin,
perempuan rawan sosial-ekonomi dan warga masyarakat yang tinggal di daerah kumuh.
Pemberdayaan KAT merupakan salah satu program pemerintah dalam upaya
penanggulangan kemiskinan yang ada di Indonesia, berbagai strategi dan upaya yang
dilakukan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam mengatasi masalah
kesenjangan sosial yang ada, mulai dari peningkatan sumber daya manusia, ekonomi,
lingkungan sosial, politik, dan lain sebagainya. Pemerintah pusat memberikan kewenangan
pada setiap daerah untuk mengimplementasikan program tersebut guna membantu masalah
kesejahteraan masyarakat setempat.
Komunitas Adat Terpencil (KAT) merupakan salah satu dari 22 jenis masalah
kesejahteraan sosial yang menjadi sasaran garapan departemen sosial melalui program
pemberdayaan sosial. Kriteria yang digunakan adalah hidup terpencil, hidupnya masih terikat
pada sumber daya alam sekitar, habitatnya terasing dan terbelakang, dengan kriteria tersebut
dapat dipastikan mereka termasuk keluarga fakir miskin serta memiliki tempat tinggal yang
tidak layak huni dan juga adanya perempuan rawan sosial-ekonomi.
KAT ini tersebar diseluruh Indonesia, baik di pulau besar maupun dipulau kecil.
Berdasarkan data rektorat pemberdayaan komunitas adat terpencil, persebaran KAT di
Indonesia sebesar 229.479 kepala keluarga (KK) dan pada tahun 2008 jumlah yang
diberdayakan sebanyak 73.514 KK dan yang belum diberdayakan sebanyak 143.402 KK. Di
dalam jumlah tersebut termasuk KAT yang ada di Desa Kelumu Kab Lingga sebanyak 38 KK
yang sudah diberdayakan
KAT di Desa Kelumu kabupaten Lingga adalah masyarakat suku laut yang
sebelumnya, tinggal di atas sampan yang mereka istilahkan dengan kajang yang berukuran 3 x
1 meter. Kajang ini layaknya seperti rumah di daratan semua aktifitas mulai dari melahirkan,
membesarkan anak, makan, tidur, memasak, menikah dan proses produksipun dilakukan di
atas sampan. Akan tetapi saat ini mereka tidak lagi tinggal di sampan karna sudah
mendapatkan pemberdayaan dari pemerintah setempat melalui Dinas Sosial. Mereka
ditempatkan dalam satu pulau dan dibangunkan rumah-rumah panggung di pinggir laut dengan
mata pencarian tetap sebagai nelayan. Selain bantuan berupa rumah, juga jalan berupa
semenisasi (rabat beton) sebagai penghubung dengan masyarakat di luar komunitas mereka
ada juga bantuan fasilitas air bersih dan untuk penerangan masyarakat menggunakan listrik
desa (Genset).
Sebagai bagian dari warga negara Indonesia, KAT memiliki hak dan kewajiban yang
sama dengan warga negara lainnya. Namun karena keterbatasannya, hak warga KAT relative
belum atau kurang terpenuhi, baik dalam hak sipil dan politik serta ekonomi, sosial dan
budaya. Akibatnya hak-hak warga KAT sebagi warga negara belum dapat dinikmati, sehingga
KAT menjadi bagian dari kelompok marginal. Jika KAT merupakan bagian dari kelompok
marginal, maka perempuan KAT berada dalam kondisi yang lebih tidak diuntungkan, karena
mereka KAT dan karena mereka perempuan. Sebagaimana yang diketahui bersama hingga saat
ini ketimpangan gender adalah realita yang masih sering ditemukan di lapangan dan
perempuan KAT merupakan bagian dari the voiceless yang juga mengalami dampak dari
ketimpangan gender.
Penelitian ini akan membahas bagaimana kehidupan sosial ekonomi perempuan
masyarakat KAT di Desa Kelumu Kabupaten Lingga, setelah mereka dirumahkan dengan
menggunakan pendekatan analisis gender dan teori struktural fungsional. Dengan Melihat
aktifitas sosial ekonomi mereka untuk bisa survive dengan segala keterbatasan yang
disebabkan karena keterisolasian mareka dan juga melihat fungsi dan peran pemerintah
sebagai stakeholeders yang telah memberikan bantuan
I.1
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka tim peneliti merumuskan pertanyaan yang menjadi starting
poin dalam penelitian adalah bagaimanakah kehidupan sosial ekonomi perempuan komunitas
adat terpencil setelah mereka di rumahkan ?
I.2 Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
Kajian ditujukan untuk melihat dan mengidentifikasi kehidupan sosial ekonomi perempuan
komunitas adat terpencil suku laut setelah mereka di rumahkan. Sehingga dapat menghasilkan
suatu program pemberdayaan yang tepat bagi perempuan komunitas adat terpencil yang ada di
Desa Kelumu Kabupaten Lingga khususnya.
I.2.1
Manfaat Teoritis
Sebagai acuan dan referensi akademis terkait dengan kehidupan sosial ekonomi masyarakat
miskin karena keterisolasiannya, khusus perempuan komunitas adat terpencil suku laut
I.2.2
Manfaat Praktis
1. Dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah selaku stakeholeders
yang berhubungan langsung maupun bagi pihak-pihak yang tidak berhubungan langsung
dalam rangka merumuskan program yang tepat untuk di implementasikan bagi
pemberdayaan perempuan miskin komunitas adat terpencil suku laut yang ada di
Kabupaten Lingga umumnya Desa Kelumu Khususnya.
2. Sebagai pedoman bagi masyarakat yang ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan
terutama pada program pemberdayaan KAT sehingga ada sinergitas antara instansi dengan
masyarakat guna terwujudnya pembangunan yang efektif dan efisien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Masyarakat Komunitas Adat Terpencil (KAT) identik dengan keterisoliran, dan
keterisoliran salah satu penyebab masyarakat dalam kemiskinan. Akibat dari keterisoliran
masyarakat jauh dari fasilitas pelayanan pemerintah, baik dari sudut ekonomi , pendidikan,
kesehatan dan pembangunan infrastruktur serta interaksi sosial.
II.1 Konsep Kemiskinan
Kemiskinan adalah kondisi sosial ekonomi seseorang atau sekelompok orang yang
tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan
yang bermartabat. Menurut Andist (2008)
kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga
pengertian: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, dan kemiskinan cultural. Seseorang
termasuk golongan kemiskinan absolute apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis
kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang,
kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong kemiskinan relatif sebenarnya telah
hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat
sekitarnya. Sedang miskin culturalberkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok
masyarakat yang tidak mau berusah memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha
dari pihak lain yang membantunya. Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman
utamanya mencakup:
1. Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan seharihari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini
dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
2. Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan,
dan ketidakmapuan untuk berpartisispasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk
pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan,
karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi
pada bidang ekonomi.
3. Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna
memadai di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi
di seluruh dunia. (Wikipedia:2011)
Menurut Suharto dalam Nawawi (2009) menyatakan bahwa kemiskinan merupakan
konsep dan fenomena yang bermatra multidimensional. SMERU, misalnya, menunjukkan
bahwa kemiskinan memiliki beberapa ciri :
1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan komsumsi dasar (pangan, sandang dan
papan).
2. Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan,
sanitasi, air bersih dan transportasi).
3. Ketiadaan jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan
keluarga).
4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal.
5. Ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat.
6. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber alam.
7. Ketiadaan akses
terhadap lapangan kerja dan mata
pencaharian yang
berkesinambungan.
8. Ketiadkmampuan untuk beruasaha karena cacat fisik maupun mental.
9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita korban
tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil).
Dengan menggunakan perspektif yang lebih luas lagi, (David Cox dalam Muhammad 2012)
membagi kemiskinan kedalam beberapa dimensi:
1. Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi. Globalisasi menghasilkan pemenang dan
yang kalah. Pemenang adalah umumnya Negara-negara maju. Sedangkan Negaranegara berkembang seringkali semakin terpinggirkan oleh persaingan dan pasar
bebas yang menjadi prasyarat globalisasi.
2. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsistem
(kemiskinan akibat rendahnya pembangunan), kemiskinan pedesaan (kemiskinan
akibat peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan), kemiskinan perkotaan
(kemiskinan yang disebabkan oleh hakekat dan kecepatan pertumbuhan
perkotaan).
3. Kemiskinan sosial. Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak, dan
kelompok minoritas.
4. Kemiskinan konsekuensial. Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain
atau fakstor-faktor eksternal di luar masyarakat miskin. Seperti konflik, bencana
alam, kerusakan lingkungan, dan tingginya jumlah penduduk.
Secara ekonomi, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumber daya
yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan
sekelompok orang. Sumberdaya dalam konteks ini menyagnkut tidak hanya aspek finansial,
melainkan pula semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dalam arti luas. Berdasarkan konsepsi ini, maka kemiskinan dapat diukur secara
langsung dengan menetapkan persediaan sumberdaya yang dimiliki melalui penggunaan
standar baku yang dikenal dengan garis kemiskinan (poverty line). Cara seperti ini sering
disebut dengan metode pengukuran kemiskinan absolute.
Kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi ekonomi, khususnya pendapatan
dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntungan non-material oleh seseorang.
Namun demikian, secara luas kemiskinan juga kerap didefinisikan sebagai kondisi yang
ditandai oleh serba kekurangan pendidikan, keadaan kesehatan yang buruk, dan kekurangan
transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat (SMERU dalam dalam Muhammad 2012).
Definisi kemiskinan dengan menggunakan pendekatan kebutuhan dasar seperti ini diterapkan
oleh Depsos, terutama dalam mendefinisikan fakir miskin.
Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang mempunyai
sumber mata pencaharian tetapi tidak memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi
kemanusiaan (Depsos dalam Muhammad 2012). Yang dimaksud kebutuhan pokok dalam
definisi ini meliputi kebutuhan atau makanan, pakaian, perumahan, perawatan kesehatan, dan
pendidikan. Secara politik, kemiskinan dapat dilihat dari tingkat akses terhadap kekuasaan
(power). Kekuasaan dalam pengertian ini mencakup tatanan sistem politik yang dapat
menentukan kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan menggunakan
sumberdaya.
Dalam konteks politik ini Friedman mendefinisikan kemiskinan dalam kaitannya
dengan ketidaksamaan kesempatan dalam mengakumulasikan basis kekuasaan sosial yang
meliputi: (a) modal produktif atau asset (tanah, perumahan,alat produksi, kesehatan), (b)
sumber keuangan (pekerjaan, kredit), (c) organisasi sosial dan politik yang adapat digunakan
untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosial), (d) jejaring
sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa, (e) pengetahuan dan keterampilan, dan
(f) informasi yang berguna untuk kemajuan hidup (Friedman dalam Muhammad 2012).
Kemiskinan secara sosial-psikologis menunjuk pada kekurangan jaringan dan struktur
sosial
yang
mendukung
dalam
mendapatkan
kesempatan-kesempatan
peningkatan
produktivitas. Dimensi ini juga dapat diartikan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh
adanya factor-faktor penghambat yang mencegah dan merintangi seseorang dalam
memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat. Faktor-faktor penghambat
tersebut secara umum meliputi faktor internal dan eksternal. Factor internal dating dari dalam
di masyarakat miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan atau adanya hambatan budaya.
Teori ‘kemiskinan budaya’ yang dikemukakan oleh Oscar Lewis,, menyatakan bahwa
kemiskinan dapat muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh
orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja
dan sebagainya. Faktor eksternal datang dari luar kemampuan orang yang bersangkutan,
seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang dapat menghambatseseorang dalam
memnfaatkan sumberdaya. Kemiskinan model ini seringkali diistilahkan dengan kemiskinan
struktural. Menurut pandangan ini, kemiskinan terjadi bukan dikarenakan ‘ketidakmauan”
masyarakat miskin untuk bekerja, melainkan karena “ketidakmampuan” sistem dan struktur
sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan masyarakat miskin
dapat bekerja.
II.2. Faktor Penyebab Timbulnya Kemiskinan
Ada bebearapa faktor yang menyebabkan timbulnya kemiskinan, yaitu :
1. Pendidikan yang terlampau rendah
Dengan adanya tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan seseorang kurang
mempunyai keterampilan tertentu yang diperlukan dalam kehidupannya. Keterbatasan
pedidikan/keterampilan yang dimiliki menyebabkan keterbatasan kemampuan untuk
masuk dalam dunia kerja. Atas dasar kenyataaan tersebut miskin dikarenakan tidak bisa
berbuat apa-apa untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.
2. Malas bekerja
Sikap malas merupakan suatu masalah yang cukup memprihatinkan, karena
masalah ini menyangkut mentaliter dan kepribadian seseorang. Adanya sikap malas ini
seseorang bersikap acuh tak acuh dan tidak bergairah untuk bekerja, atau bersikap pasif
dalam hidupnya. Sikap malas ini cenderung untuk menggantungkan hidupnya pada
orang lain, baik pada keluarga, saudara atau family yang dipandang mempunyai
kemampuan untuk menanggung kebutuhan hidup mereka.
3. Keterbatasan sumber alam
Kemiskinan akan melanda suatu masyarakat apabila sumber alamnya tidak lagi
memberikan keuntungan bagi kehidupan mereka. Sering dikatakan oleh para ahli
bahwa masyarakat itu miskin karena memang dasarnya alamiah miskin. Alamiah
miskin yang dimaksud di sini adalah kekayaan alamnya, misalnya: tanahnya berbatubatu, tidak menyimpan kekayaan mineral, dan sebagainya. Dengan demikian layakah
kalau miskin sumber daya alam miskin juga masyarakatnya.
4. Terbatasnya lapangan kerja
Keterbatasan lapangan kerja membawa konsekuensi kemiskinan bagi
masyarakat. Secara ideal banyak orang mengatakan bahwa seseorang harus mampu
menciptakan lapangan kerja baru. Tetapi secara faktual hal tersebut kecil
kemungkinannya, karena adanya keterbatasan kemampuan seseorang baik yang berupa
skill maupun modal.
5. Keterbatasan modal
Keterbatasan modal merupakan sebuah kenyataan yang ada di negara-negara
yang sedang berkembang, kenyataan tersebut membawa kemiskinan pada sebagian
besar masyarakat di negara-negara berkembang. Seseorang miskin sebab mereka tidak
mempunyai modal untuk melengkapi alat maupun bahan dalam rangka menerapkan
keterampilan yangmereka miliki dengan suatutujuan untuk memperoleh penghasilan.
Keterbatasan modal bagi Negara-negara yang sedang berkembang dapat diibaratkan
sebagai suatu lingkaran yang tak berujung pangkal baik dari segi permintaan akan
modal maupun dari segi penawaran akan modal.
6. Beban keluarga
Semakin banyak anggota keluarga akan semakin banyak/meningkat pula
tuntutan beban hidup yang harus dipenuhi. Seseorang yang mempunyai anggota
keluarga banyak apabila tidak diimbangi dengan usaha peningkatan pendapatan sudah
pasti akan menimbulkan kemiskinan karena mereka memang berangkat dari
kemiskinan. Kenaikan pendapatan yang dibarengi dengan pertambahan jumlah
keluarga, berakibat kemiskinan akan tetap melanda mereka dan bersifat laten.
II.3 Komunitas Adat Terpencil (KAT)
KAT merupakan sebuah kelompok sosial budaya yang secara geografis bertempat
tinggal di daerah terpencil, terisolir dan sulit dijangkau. Kondisi demikian mengakibatkan
terbatasnya akses terhadap dunia luar. Kedudukan ini menjadi salah satu faktor terbatasnya
aksebilitas pelayanan sosial dasar, sehingga mereka tertinggal perkembangannya dibandingkan
dengan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Komunitas Adat Terpencil (KAT) adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal
dan terpencil serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial,
ekonomi, maupun politik (Keppres Nomor 111 Tahun 1999). Sebagaimana komunitas lainnya,
KAT juga mengalami berbagai masalah sosial dan bahkan lebih bervariasi dan lebih kompleks
dilihat dari berbagai sudut pandang warga KAT pada umumnya bertempat tinggal jauh di
pedalaman di tengah hutan belantara, di dataran tinggi atau pegunungan, di rawa-rawa, di
pesisir pantai, di pulau-pulau terpencil, dan di daerah perbatasan dengan Negara tetangga.
Secara geografis maupun sosial budaya habitat KAT dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kategori,
masih berkelana, menetap sementara, dan menetap.
Dalam mempertahankan hidupnya, warga KAT umumnya mengandalkan sumber dan
potensi alam dengan menggunakan penerapan teknologi sangat sederhana. Derasnya arus
informasi yang disertai dengan kemajuan teknologi, secara lambat laun, kehidupan KAT juga
makin tertinggal, bahkan terdesak hingga terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Permasalahan sosial yang dihadapi warga KAT tidak terletak pada kebiasaan hidup
yang telah mereka jalani, akan tetapi diukur dari derajat kelayakan hidup yang memungkinkan
mereka tetap mempertahankan keberlangsungan hidupnya (survival), membangun peradaban
sendiri (civilization) serta memenuhi martabat kemanusiaan (human dignity) dan hak-haknya
yang layak bagi kemanusiaan (human right) dalam kesatuan hidup bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
Abraham Maslow (dalam Richard L. Daft, 2002) berpendapat ada 5 (lima) hierarki
kebutuhan manusia, yaitu (1) Fisiologi (physiological needs), yaitu kebutuhan fisik manusia
yang paling mendasar seperti pangan, sandang perumahan, udara, dan air termasuk kebutuhan
seks, (2) Kebutuhan keamanan (safety needs) adalah kebutuhan untuk keselamatan dan
jaminan lingkungan fisik, emosional, dan kebebasan dari adanya ancaman. (3) Kebutuhan
penerimaan (belongingness needs) adalah kebutuhan yang merefleksikan hasrat untuk diterima
oleh sesama, menjadi ikatan sekawan dan menjadi bagian dari kelompok. (4) Kebutuhan
penghargaan (esteem needs) yaitu kebutuhan untuk memiliki kesan positif dan menerima
perhatian, penyaluran dan apresiasi dari orang lain. (5) Kebutuhan aktualisasi diri (self
actualization needs) merupakan kebutuhan yang menekankan pada potensi dan peningkatan
kompetensi seseorang.
Bagi warga KAT kelima hirarki kebutuhan manusia tersebut di atas rasanya masih jauh
dari kenyataan, karena pemenuhan kebutuhan dasar (fisiologi) belum semuanya terpenuhi
secara layak. Terlebih bagi warga KAT yang masih dalam taraf awal pemberdayaan sosial.
II.4. Kebijakan dan Strategi
Kebijakan umum pembardayaan KAT diarahkan pada upaya pengembangan
kemandirian KAT untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam berbagai aspek kehidupan dan
penghidupannya agar mampu menanggapi perubahan sosial budaya dan lingkungannya. Arah
kebijakan pemberdayaan KAT meliputi :
1. Meningkatkan profesionalitas pelayanan sosial baik yang dilaksanakan oleh pemerintah
maupun masyarakat dan dunia usaha terhadap KAT.
2. Meningkatkan dan memeratakan pelayanan sosial yang lebih adil, dalam arti bahwa setiap
KAT berhak untuk memperoleh pelayanan sosial yang sebaik-baiknya.
3. Memantapkan manajemen pelayanan sosial bagi KAT melalui penyempurnaan terus
menerus dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelayanan
sosial yang semakin berkualitas dan akuntabilitas.
4. Meningkatkan dan memantapkan partisipasi sosial
masyarakat dalam pelayaan sosial
dengan melibatkan semua unsur dan komponen masyarakat atas dasar swadaya dan
kesetiakawanan sosial sehingga merupakan bentuk usaha-usaha kesejahteraan sosial yang
melembaga dan berkesinambungan.
Strategi pemberdayaan KAT adalah menciptakan kondisi lingkungan yang
mendukung KAT untuk dapat mengembangkan keterampilan dan kemampuan adaptasi
terhadap perubahan lingkungan sosial budaya, ekonomi dan politik. Dalam pelaksanaan
strategi tersebut, maka pendekatan yag digunakan adalah :
a. Pemberdayaan, yang mengandung makna untuk meningkatkan profesionalisme dan
kinerjanya serta pemberian kepercayaan dan peluang kepada masyarakat, dunia usaha dan
KAT untuk mencegah dan mengatasi masalah yang ada di lingkungannya.
b. Kemitraan, yang mengandung makna adanya kerjasama sesuai dengan program,
kepedulian, kesetaraan, kebersamaan, kolaborasi dan jaringan kerja yang menumbuh
kembangkan kemanfaatan timbal balik antara pihak-pihak yang bermitra dengan KAT.
c. Partisipasi, yang mengandung makna adanya prakarsa dan peranan dari KAT dan
lingkungan sosialnya dalam pengambilan keputusan serta melakukan pilihan terbaik untuk
peningkatan kesejahteraan sosialnya.
d. Advokasi sosial, yang mengandung makna perlindungan terhadap berbagai sumberdaya
yang dimiliki untuk meningkatkan harkat dan martabat serta kualitas hidup KAT.
II.5 Perempuan Miskin
Mempersoalkan kemiskinan dalam relasi perempuan dan laki-laki bukanlah versus
yang given, akan tetapi kemiskinan perempuan dipahami sebagai persoalan yang lahir dari
kontruksi sosial yang tidak adil dalam relasi gender. Kenyataan kemiskinan yang banyak
dialami oleh kaum perempuan, memiliki latar masalah yang berbeda dengan kemiskinan yang
dialami oleh laki-laki, kemiskinan yang dialami oleh perempuan tidak lepas dari kondisi
ketidakadilan gender yang sedang berlansung umumnya pada masyarakat patriakhat, yang
menempatkan perempuan pada kondisi yang tidak diuntungkan, baik pada aspek struktural
maupun pada aspek kultural.
Persoalan kemiskinan juga tidak hanya sekedar berbicara ketidakpunyaan atau
ketidakcukupan individu dalam suatu kelompok dalam memenuhi kebutuhan terhadap barangbarang yang langka, akan tetapi persoalan kemiskinan juga melekat problem ketidakadilan
gender, hal ini akan terlihat dari bagaimana distribusi dan alokasi hak untuk mendapatkan
pendidikan yang layak, pelayanan kesehatan yang baik, tingkat pendapatan yang adil dan
mendapatkan akses yang setara.
Kondisi kemiskinan yang dialami oleh perempuan bukanlah disebabkan karena factor
bahwa perempuan malas dibandingkan laki-laki, akan tetapi kemiskinan kelompok perempuan
lebih banyak disebabkan oleh factor-faktor structural yang menghegomoni dan membonsai
peran-peran perempuan, sehingga posisi perempuan menjadi lemah dan miskin.
Identifikasi atas beberapa persoalan kemiskinan perempuan sebagai sebuah bentuk
ketidakadilan gender, dapat dijumpai pada bentuk ketidakadilan gender seperti ;
Pertama ; Marginalisasi (peminggiran) perempuan pada sektor publik, apakah itu dibidang
politik, sosial, ekonomi dan budaya, tidak jarang perempuan hanya dijadikan sebagai
pelengkap dalam relasinya dengan laki-laki. Konsekwensi dari proses marginalisasi perempuan
pada sektor-sektor public, menjadikan perempuan mengalami keterhambatan dalam
mengaktualisasikan potensi dirinya sebagai manusia yang punya kehendak yang sama dengan
laki-laki. Marginalisasi perempuan ini akan berpengaruh langsung pada pemiskinan
perempuan.
Kedua ; Subordinasi. Kaum perempuan berada pada posisi subordinate yaitu tunduk pada lakilaki. Perempuan dianggap mahluk yang irasional dan emosional dan hanya layak berada di
wilayah domestik karena ketidak mampuan dalam memimpin. Pandangan perempuan sebagai
konco wingking, yaitu teman di belakang atau di balik wilayah publik yang ditempati laki-laki.
Kondisi subordinasi ini menjadi perempuan dihinggapi penyakit Cinderella complex (takut
dijauhi atau dicela kaum pria), ketika perempuan berada pada kondisi subordinasi,
menjadikanperempuan umumnya tidak otonom dan berdaulat dalam mengakses dan mengelola
modal sosial dan ekonomi yang dimilikinya, karena tidak akan lepes dari penguasaan laki-laki
dalam ikatan-ikatan lembaga keluarga.
Ketiga ; Stereotipe adalah pelebelan negatif terhadap jenis kelamin tertentu yaitu jenis kelamin
perempuan. Perempuan diberi label kaum yang lemah, bodoh dan emosional, dimana label ini
menyebabkan perempuan sukar untuk meningkatkan kepercayaan dirinya. Stereotipe gender
membuat kita membatasi pemahaman mengenai apa yang bisa dikerjakan perempuan dan apa
yang bisa dikerjakan laki-laki. Misalnya perempuan di dunia domestic dan laki-laki tugasnya
mencari nafkah, padahal faktanya tidak selalu keadaan seperti itu.
Selain itu masyarakat mempunyai norma tertentu tentang perempuan yang ideal yaitu
feminism ; lembut, halus, teliti, rajin, patuh, taat, cantik, cermat dan sebagainya. Sementara
kaum laki-laki adalah maskulin ; gagah, perkasa, kuat, cerdas, kasar, memimpin, macho dan
sebagainya. Padahal yang lebih menyehatkan adalah androgen (androgini) yaitu percampuran
antara karakteristik sekaligus maskulin dalam kadar yang sangat variatif antara satu orang
dengan orang lain. Individu androgini menurut Spence dan helmreich adalah memiliki harga
diri yang lebih tinggi, lebih fleksible dan lebih efektif dalam hubungan interpersonal
(E.Donelson dkk dalam muzak 2008)
Keempat ; Beban ganda ; pembagian kerja di dunia domestic perempuan, laki-laki disektor
public. Akibatnya ketika perempuan masuk disektor public ada beban ganda yang
disandangnya, semestinya ada juga bebanganda untuk laki-laki, karena memang pekerjaan
domestic bukanlah kodrat perempuan. Perempuan tidak dinilai ketika melakukan pekerjaan
produksi dan sosial, sementara kerja produksi yang mereka lakukan hanya dianggap sifatnya
membantu saja. Karena perempuan mengalami beban ganda, secara lansung ataupun tidak,
perempuan kurang maksimak dalam memasuki wilayah public, sehingga kemiskinan tetap
menjadi jejaring yang sulit dilepaskan.
Kelima ; Diskriminasi adalah bentuk perbedaan perlakuan terhadap seseorang atau sekelompok
orang dikarenakan jenis kelamin, ras, agama, status sosial atupun suku. Salah satu bentuk
diskriminasi berbasis gender adalah memberikan keistimewaan kepada anak laki-laki untuk
mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan anak perempuan, ketika suatu
keluarga yang secara ekonomi menengah kebawah dihadapkan pada pilihan mana diantara
anak perempuan dan laki-laki akan di sekolahkan ke jenjang yang lebih tinggi, maka pilihan
secara umum akan dijatuhkan pada anak laki-laki, dengan pertimbangan anak perempuan
nantinya akan ikut suami. Begitupun dalam hal pembedaan upah buruh perempuan dan buruh
laki-laki untuk jenis pekerjaan yang sama. (E.Donelson dkk dalam muzak 2008). Upah buruh
laki-laki akan dapat lebih besar dibandingkan dengan perempuan, atas pertimbangan bahwa
upah yang didapatkan perempuan hanya menjadi tambahan pendapatan keluarga. Bentuk
diskriminasi ini secara structural melanggengkan proses pemiskinan perempuan dibandinkan
laki-laki. (Muzak 2008 ; 39-41)
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif dengan menggunakan pendekatan
analisis gender yang digambarkan melalui interaksi langsung antara peneliti dan informan
dalam pengalian data yang dibutuhkan untuk pengembangan dan analisis penelitian ini.
III.1
Wilayah & Waktu Kajian
Penelitian perempuan miskin dalam keterisolasian pada masyarakat komunitas adat terpencil
suku laut di Desa Kelumu kabupaten Lingga akan dimulai pada bulan Maret sampai dengan
Desember 2013. Kunjungan ke lokasi penelitian akan dilakukan sebanyak minimal 6 (enam)
kali visitasi yang terdiri dari observasi dan wawancara awal, pengumpulan data dan
pengecekan kembali keabsahan data kualitatif yang diperoleh. Dengan demikian, dalam 2(dua)
bulan pertama peneliti dharapkan telah memiliki gambaran yang cukup memadai yang akan
digunakan sebagai data awal, dimana waktu keseluruhan yang untuk penelitian ini adalah 10
(sepuluh) bulan, termasuk sosialisasi hasil penelitian.
III.2
Data dan Metode Penelitian
Data akan diperoleh melalui teknik pengumpulan data primer melalui wawancara mendalam
dan observasi, sehingga tergambarkan jelas bahwa penelitian ini menggunakan metode
kualitatif. Dalam melakukan penelitian, peneliti menggunakan pemetaan sosial untuk
memahami, mengidentifikasi serta memetakan kondisi, kendala berikut permasalahan,
sehingga nantinya dapat mengahsilkan suatu program peberdyaan yang tepat bagi perempuan
misikin komunitas adat terpencil suku laut di Desa Kelumu Kab Lingga. (Ahmad SJA, dkk
2009). Data-data yang dikumpulkan antara lain meliputi gambaran umum dan kondisi fisik
desa kelumu termasuk profil demografi, kondisi sosial ekonomi masyarakat, insfratruktur dan
prasarana yang tersedia, faktor-faktor pendukung dan faktor penghambat.
III.3
Sumber Data dan Informan Penelitian
Dalam penelitian kualitatif tidak dikenal istilah populasi dan sampel, melainkan sumber data
dan informan. Adapun sumber data secara keseluruhan akan terklasifikasi menjadi data primer
yang akan diperoleh melalui rangkaian teknik pengumpula data, dan data sekunder yang akan
terpenuhi dengan studi literatur. Informan dalam penelitian ini adalah perempuan Komunitas
Adat Terpencil Suku Laut, Lurah, Dinas Sosial Dan Badan Pemberdayaan Perempuan.
III.4
Teknik Pengumpulan Data
(1) Observasi; dengan teknik pengamat sebagai pemeran serta (the observer as
participant). Peranan pengamat secara terbuka diketahui oleh umum, karena segala
macam informasi dapat dengan mudah diperoleh (Bambang Rudito dan Melia Famiola
2008).
(2) Wawancara; dengan panduan interview guide. Interview guide digunakan untuk
menjadikan terarahnya wawancara yang dilakukan. Interview guide mencakup sampel
orang yang diwawancara dan juga latar, peristiwa dan proses sebagai ukuran dalam
penggalian informasi (Moleong 2005).
(3) Dokumentasi; berupa foto dan data terkait yang menjadi lampiran pada pemaparan
hasil penelitian ini.
III.5
Analisa Data
Analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa kualitatif, yaitu analisa
yang dilakukan dengan cara data dihimpun, disusun secara sistematis, diinterpretasikan, dan
dianalisa sehingga dapat menjelaskan pengertian dan pemahaman tentang gejala yang diteliti.
Analisis kualitatif mengandung karakteristik-karakteristik diantaranya data yang muncul
berupa kata-kata bukan rangkaian angka. Dalam hal ini data dikumpulkan melalui wawancara,
observasi, dan dokumentasi diproses dan dianalisis secara kualitatif. Maksud dilakukan
kegiatan ini untuk memberikan gambaran yang mendalam dan kesimpulan yang tepat dan
memadai sesuai dengan topik dan tujuan penelitian. Dalam hal ini menjelaskan kondisi sosial
ekonomi perempuan miskin komunitas adat terpencil suku laut.
III.7
Konsep Operasional
Penelitian ini akan dijalankan dengan menggunakan konsep operasional yang dikembangkan
berdasarkan kerangka teori mengambarkan kemiskinan yang dialamin perempuan komuniatas
adat terpencil suku laut indikator-indikator sebagai berikut:
1.
Kemiskinan struktural yang dilihat dari :
a. Pendidikan
b. Kesehatan
c. Ekonomi
d. Infrasruktur (sarana dan prasarana) untuk mendapatkan akses informasi dan
interaksi dengan masyarakat di luar komunitas masyarakat adat terpencil suku
laut.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
IV.1. GAMBARAN WILAYAH PENELITIAN
Penelitian masyarakat Komunitas Adat Terpencil (KAT) dalam hal ini adalah
masyarakat suku laut atau yang dikenal juga dengan istilah manusia perahu, berada di
Kabupaten Lingga salah satu dari kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau yang memiliki KAT.
Jumlah warga KAT di Kabupaten Lingga sebanyak 714 Kepala Keluarga (KK) yang tersebar
di empat kecamatan yaitu ;
1. Kecamatan Lingga utara sebanyak 80 KK
2. Kecamatan Lingga sebanyak 239 KK
3. Kecamatan Singkep Barat sebanyak 75 KK
4. Kecamatan Senayang sebanyak 285 KK.
Adapun kecamatan yang menjadi fokus dalam lokasi penelitian ini adalah Kecamatan Lingga
sebagai pusat Ibu kota Kabupaten Lingga, secara administratif memiliki 18 desa/kelurahan.
Dari jumlah tersebut sebanyak tiga lokasi desa yang memiliki daerah KAT salah satu desanya
adalah Desa Kelumu sebagai objek penelitian. Desa Kelumu dengan luas area kurang lebih 46
KM2, memiliki KAT sebanyak 38 KK dengan mata pencaharian sebagai nelayan dan bertani
sayur-sayuran.
Kondisi infrastruktur jalan Desa Kelumu adalah jalan semenisasi (rabat beton). Jenis
penerangan masyarakat menggunakan listrik desa (genset). Fasilitas air bersih bantuan
program PNPM di tahun 2009 dan tahun 2010. Pada tahun 2012 Desa Kelumu mendapatkan
bantuan ADD untuk perbaikan jembatan.
Desa kelumu dapat di tempuh dari ibu kota Kabupaten Lingga dengan menggunakan
trasportasi darat (Motor, Mobil) dan trasportasi laut dengan jarak tempuh kurang lebih 20km
akan tetapi untuk menuju lokasi pemukiman warga KAT dari desa, hanya bisa menggunakan
motor dan trasportasi laut dengan jarak tempuh kurang lebih 1,6km. Sementara fasilitas
pelayanan masyarakat di Desa Kelumu sudah memiliki Kantor Desa dan untuk fasilitas
pelayanan kesehatan sudah memiliki POLINDES.
IV.2. SUKU LAUT DESA KELUMU
Masyarakat suku laut hidup dalam sebuah sampan di atas laut dan menjalani seluruh
proses kehidupan di dalam sampan. Tidak hanya makan, minum, buang air, tapi juga
berhubungan intim dan melahirkan. Mungkin bagi kita yang terbiasa hidup menetap dalam
sebuah rumah di daratan, hal tersebut terasa begitu berat dilakukan. Tapi itulah yang terjadi
dalam kehidupan suku laut Desa Kelumu mulai dari lahir, besar, makan, tidur, memasak,
menikah, dan proses reproduksi pun dilakukan di atas sampan yang mereka istilahkan dengan
kajang.
Kajang adalah sebuah sampan kecil yang hanya berukuran 3×1 meter. Di bagian
atasnya diberi sirap atau atap dari daun kelapa dengan tinggi sekitar 75 cm. Di atas sampan
itulah, mereka membagi setiap bagian menjadi ruang layaknya ruang di daratan. Bedanya,
stiap ruang tidak berdinding hanya dibatasi dengan perlengkapan hidup. Dapur, diletakkan di
bagian belakang sampan. Untuk memasak mereka menggunakan lempengan besi sebagai alas
kayu bakar. Sedangkan untuk tungkunya mereka gunakan kaleng bekas yang bagian
sampingnya diberi lubang untuk memasukkan kayu bakar. Lebar tungku tersebut hanya sekitar
15 cm. Api mereka dapatkan dengan menggunakan gesekan batu atau kayu.
Sementara untuk istirahat, mereka jadikan bagian tengah sampan, yang merupakan
bagian terlebar, sebagai tempat menggelar tikar. Di atas sampan yang berukuran kecil tersebut,
bisa dihuni satu keluarga dengan jumlah anak tiga sampai lima orang. Bagaimana mereka
tidur? Jangan pernah membayangkan mereka tidur dengan posisi terlentang dan datar dari
ujung kaki sampai kepala. Agar sampan bisa memuat tidur semua anggota keluarga, mereka
beristirahat dengan posisi badan melengkung, kepala di sisi kanan sementara kaki di sisi kiri.
Pola hidup yang dijalani suku laut ini, telah mempengaruhi postur tubuh mereka. Rata-rata
tinggi suku laut tidak lebih dari 1,4 meter.
Masyarakat suku laut hanya mengenal keluarga inti atu nucler family. Keluarga inti
merupakan kelompok sosial terkecil dalam kehidupan masyarakat. Dalam keluarga tersebut
terdiri dari seorang ayah, seorang ibu dan beberapa orang anak. Suku laut ini hidup
berkelompok-kelompok, satu kelompok bisa sampai sepuluh sampan yang dan juga memiliki
ketua kelompok. Satu sampan atau kajang biasanya dihuni satu keluarga, anak-anak mereka
yang masih kecil berada di bawah usia 10 tahun masih bisa tinggal satu sampan denga ayah
dan ibunya. Akan tetapi jika anak-anak mereka, terutama laki-laki, telah beranjak remaja akan
dibuatkan kajang sendiri oleh sang ayah. Di atas kajang itulah kehidupan mandiri seorang suku
laut dimulai. Si remaja akan belajar mencari ikan sendiri guna memenuhi kebutuhan hidupnya,
termasuk memasak sendiri. Di atas kajang itu pula, ia akan mulai mencari pasangan hidup dan
hidup bersama membentuk keluarga baru. Begitu seterusnya siklus kehidupan suku laut
berjalan. Sementara bagi anak perempuannya yang telah remaja tetap tinggal bersama orang
tuanya, sampai ada pemuda yang melamar dan menikahkannya. Setelah menikah anak
perempuan berpisah dengan ibu-bapaknya dan tinggal satu rumah dengan suaminya.
VI. 3. KEHIDUPAN PEREMPUAN SUKU LAUT DI SAMPAN
Sesuai dengan tujuan penelitian ini, untuk melihat dan mengidentifikasi kehidupan
sosial ekonomi perempuan komunitas adat terpencil suku laut setelah mereka di rumahkan.
Sehingga dapat menghasilkan suatu program pemberdayaan yang tepat bagi perempuan
komunitas adat terpencil yang ada di Desa Kelumu Kabupaten Lingga khususnya. Untuk itu
penulis sebelumnya akan mendiskripsikan kehidupan perempuan suku laut sebelum mereka
mendapat pembinaan atau di rumah kan oleh pemerintah setempat. Kehidupan sosial yang
digambarkan dalam penulisan ini, adalah kehidupan sosial yang dilihat dari sisi ;
1. Ekonomi
Suku laut hidup berpindah-pindah tempat (no maden) dari satu pulau ke pulau
yang lain, tergantung dari cuaca, jika musim angin utara tiba, gelombang tinggi bisa
mencapai tiga meter, maka mereka mencari di tempat yang aman di balik-balik pulau
atau masuk ke hulu-hulu sungai. Kehidupan mereka yang no maden tidak hanya
dipengaruhi oleh cuaca akan tetapi juga hasil tangkapan ikan. Karena mata pencarian
utama mereka adalah mencari ikan. Tugas mencari ikan adalah kaum lelaki atau suami
sebagai kepala rumah tangga. Kaum lelaki yang mencari ikan ini menggunakan
serompang (perahu kecil) pergi meninggalkan keluarga selama tiga hari atau paling
lama satu minggu dan kembali kesampan besar dimana anak dan istri mereka
menunggu.
Sementara itu perempuan atau istri tetap tinggal di sampan yang besar sebagai
tempat tinggal mereka, menunggu sampai suami pulang. Aktifitas perempauan atau
istri, disaat kaum lelaki atau suami mencari ikan adalah memasak, mencuci dan
mengurus anak-anaknya. Tidak banyak memang aktifitas yang dapat dilakukan oleh
kaum perempuan suku laut ini di atas sampan. Sosialisasipun dengan tetangga, hanya
sekedar untuk mengobrol tetap dilakukan di atas sampan masing-masing.
Masyarakat suku laut ini singgah dan naek di daratan, hanya untuk mengambil
air bersih, menjual hasil tangkapan ikan mereka dan menguburkan mayat jika ada
anggota keluarga yang meninggal. Tidak ada pulau tetap yang mereka singgahi, dimana
mereka memerlukan kebutuhan hidup, disana mereka akan berlabuh. Masyarakat suku
laut ini tidak mengetahui perhitungan uang, karena memang mereka tidak mengenal
pendidikan, jadi traksaksi ekonomi dilakukan dengan cara barter yakni mereka menjual
ikan-ikan kepada para toke (penadah) dan langsung menukarkannya dengan barang
kebutuhan pokok, mulai dari beras, sayur, jajanan, pakaian, dan lainnya.
2. Kesehatan
Melihat kondisi tempat tinggal suku laut di atas sampan berukuran 3×1 meter.
Di bagian atasnya diberi sirap atau atap dari daun tintau dengan tinggi sekitar 75cm dan
dinding seadanya, mereka hidup di dalamnya dengan satu keluarga yang terdiri dari
ayah, ibu dan beberapa orang anak-anak. Layaknya sebuah rumah, semua aktifitas
dilakukan di dalam sampan jika dilihat dari ukuran sampan, kurang layak untuk
dijadikan tempat tinggal apa lagi dari standar kesehatan. Belum lagi jika alam tidak
bersahabat, disaat musim hujan tiba, angin utara yang menyebabkan angin sangat
kencang berdampak tingginya gelombang, dan teriknya matahari. Semua keadaan alam
ini sangat riskan terhadap kesehatan mereka.
Penyakit yang selalu dialami suku laut ini adalah penyakit kulit, seperti gatalgatal yang membuat kulit mereka kering dan seperti bersisik. Karena suku laut dalam
kehidupan sehari-harinya mandi, mencuci dan lain-lainnya menggunakan air laut.
Mereka menggunakan air bersih, hanya untuk memasak dan minum. Hal ini dapat
dimaklumi, karena mereka terpaksa harus menghemat dalam penggunaan air bersih.
Sebab, untuk mendapatkan air bersih mereka harus naek kedaratan dan itu tidak bisa
dilakukan setiap saat.
Masyarakat suku laut dalam hal kesehatan, untuk proses penyembuhan segala
bentuk penyakit yang di derita atau dialami, mereka mempercyakannya kepada seorang
dukun yang mereka anggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat menyembuhkan
sakit yang mereka alami. Seorang dukun untuk menyembuhkan pasiennya cukup
dengan membaca matra, kemudian mengusap bagian yang sakit dengan tangannya,
akan tetapi ada juga dengan menggunakan media yakni air putih di dalam gelas atau
botol yang dibacakan mantra baru kemudian diminumkan kepada orang yang sedang
sakit.
Sementara bagi perempuan yang hamil tidak pernah mengecek kesehatan bayi
yang dikandungnya maupun kesehatan dirinya sendiri. Kalaupun perempuan hamil ini
merasa sakit, mereka tetap menggunakan jasa dukun dalam meminta obat untuk
kesembuhannya, begitu juga saat persalinan, perempuan suku laut juga mempercayai
dukun untuk membantu proses kelahiran anak mereka. Bagi perempuan yang habis
melahirkan tidak ada pantang larang, sehingga habis proses melahirkan mereka dapat
melakukan aktifitas seperti biasanya. Tak jarang habis pasca melahirkan perempuan
suku laut ada yang meninggal, begitu juga dengan anaknya. Hal ini bisa saja terjadi,
karena ketidak tahuan mereka menjaga kesehatan pasca melahirkan.
3. Agama
Dalam hal keyakinan tidak ada perbedaan gender, artinya laki-laki dan
perempuan dalam menjalankan keyakinan mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
Sistem kepercayaan orang suku laut adalah animisme yang terpusat pada penghormatan
dan pemujaan terhadap roh-roh leluhur yang digambarkan dalam berbagai bentuk
makhluk halus yang menempati seluruh alam lingkungan hidup sekitar mereka dan
menimbulkan suatu kompleks keyakinan adanya kekuatan gaib dan sakral yang
melekat pada tempat-tempat yang diyakini adanya makhluk halus. Makhluk halus yang
diyakini orang suku laut disebut dengan hantu. Hantu tersebut selalu dibayangi sebagai
manusia yang mereka sebut dengan hantu laut, hantu batu dan hatu jeram.
VI.3 KEHIDUPAN PEREMPUAN SUKU LAUT SETELAH DI RUMAHKAN.
Hakekat yang terkandung dalam setiap kehidupan adanya perubahan dan pertumbuhan
atau perkembangan yang terjadi secara terus-menerus tanpa akhir usaha manusia yang
dituangkan dalam bentuk kegiatan secara terus-menerus agar terjadi perubahan, pertumbuhan
dan perkembangan sesuai dengan yang dikehendaki yang biasanya disebut dengan
pembangunan. Pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah ini ada yang bersifat fisik
dan non fisik. Salah satu bentuk dari pembangunan non fisik adalah pembangunan yang
berpusat pada manusia, dimana pembangunan ini diselenggarakan dalam rangka mewujudkan
keadilan sosial yang sesuai dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kemampuan serta kesempatan bagi setiap warga
negara untuk turut serta dalam pembangunan dan menempuh kehidupan yang sesuai dengan
martabat dan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu pelayanan sosial
perlu dikembangkan melalui keterpaduan upaya antara bimbingan, pembinaan dan pemberian
bantuan, santunan dan rehabilitasi sosial, peningkatan taraf kesejahteraan sosial serta
pengembangan dan penyuluhan sosial untuk meningkatkat harkat dan martabat manusia. Ini
artinya pemerintah dalam mencanangkan pembangunan nasional yang berpusat pada manusia
adalah menciptakan lingkungan sosial yang memungkinkan untuk berkembang, yaitu
lingkungan sosial yang mendorong perkembangan manusia dan aktifitas potensi manusia
secara lebih besar. Menurut Gran dalam sri wahyuni (2000;14) model pembangunan nasional
yang berpusat pada manusia, berwawasan lebih jauh dari pada angka pertumbuhan GNP atau
pengadaan pelayanan sosial. Peningkatan perkembangan manusia dan kesejahteraan manusia,
persamaan dan subtainbility manusia menjadi focus sentral proses pembangunan, pelaksana
pembangunan yang menentukan tujuan, sumber-sumber pengawasan dan untuk mengarahkan
proses-proses yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Masyarakat KAT merupakan sebahagian dari masalah sosial yang harus ditanggulangi
oleh Indonesia. Oleh karena itu melalui departemen sosial pemerintahan RI pada periode Pelita
III telah mengariskan srategi pokok pembangunan dibidang kesejahteraan masyarakat terasing.
Strategi ini dituangkan sebagai program dan berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Program
ini dinamakan Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing (PKMT), yang penekananya
atau focus dari kegiatan proyek tersebut adalah memukimkan mereka yang tergolong terasing,
karena dengan memukimkan mereka dalam satu wilayah akan memudahkan dalam
memberikan pembinaan. Oleh karena itu Masyarakat Suku Laut Desa Kelumu yang
kehidupannya masih nomaden melalui Dinas Sosial Kabupaten Lingga mereka dimukim pada
tahun 2008/2009 sebanyak 38 KK hasil dari pendataan pada tahun 2007/2008. Mereka yang
dimukimkan ini diberi rumah panggung di atas laut yang berada dibibir pantai dengan ukuran
6m x 6m, yang penghuninya dalam satu rumah ada sampai tujuh orang yang terdiri dari
ayah,ibu dan anak. Pemukiman masyarakat suku laut ini jauh dari pemukiman masyrakat pada
umumnya, tentu saja kondisi ini membuat mereka menjadi terisolasi dari kehidupan keramaian
masyarakat pada umumnya.
Suku laut yang di rumah kan ini, mendapat pembinaan dari dinas sosial, baik dari segi
agama yakni pembinaan terhadap keyakinan, saat ini masyarakat suku laut yang berjumlah 40
KK sudah memiliki keyakinan yakni sebagai umat nasrani. Mereka melaksanakan ibadah
setiap minggu ke gereja..Setelah mereka memiliki agama ada hal yang berubah dari kebiasaan
mereka pada masa hidup di sampan. Hal ini bisa dilihat ketika anak mereka yang baru lahir
juga dibaktis di gereja, dan juga ketika ada salah satu anggota keluarga yang meninggal,
biasanya mereka menguburkan mayat dimana mereka menemukan daratan, maka disitulah
mayat dikuburkan dengan seadanya tanpa dimandikan maupun prosesi doa. Akan tetapi setelah
mereka memiliki keyakinan hal ini tidak dilakukan lagi, mereka memperlakukan mayat dengan
baik sebagai mana layaknya dalam prosesi pemakaman umat nasrani pada umumnya.
Sementara dalam hak politik suku laut diberikan KTP dan KK. Dalam bidang ekonomi
suku laut masih tetap bekerja sebagai nelayan dan petani. Walaupun mereka sudah
dimukimkan dan dibina akan tetapi tetap saja potret kemiskinan dan marginal meliputi
kehidupan suku laut, termasuk perempua-perempuannya, tidak ada perubahan yang signifikan
dalam kehidupan perempuan suku laut ini yang bisa dilihat :
1. Pendidikan
Pendidikan akan memberikan pencerahan bagi kehidupan manusia idealnya secara
teoritis begitu. Tetapi pada kenyataannya perempuan suku laut ini, sangat jauh dari sentuhan
pendidikan hal ini sama pada masa mereka hidup di sampan. Masih banyak terdapat
perempuan-perempuan suku laut ini yang tidak bisa baca-tulis hingga saat ini, dari sebelas
orang perempuan yang peneliti tanya hanya dua orang yang bisa baca-tulis. Saat itu peneliti
bertanya apakah tidak pernah diajarkan membaca ? mereka menjawab pernah, satu kali dalam
seminggu selama satu bulan itu artinya hanya empat kali pertemuan dengan durasi waktu satu
jam setiap kali belajar. Sistem belajar hanya diajarkan mengenal hurup akan tetapi tidak di
praktek kan bagaimana merangkai hurup menjadi satu kata yang bermakna dan mempunyai
arti (wawancar, 14/09/2013). Bahkan bahan ajar yang diajarkan ke mereka dibawa pulang
kembali menurut salah seorang yang peneliti tanya dan diaminkan oleh teman-temannya.
Metode atau sistem belajar yang diterapkan seperti ini, perempuan-perempuan suku
laut ini tidak mendapatkan apa-apa, bahkan untuk menulis nama mereka sendiri mereka tidak
bisa untuk menulisnya. Harusnya metode yang diajarkan tidak hanya sekeder mengenal hurup,
akan tetapi juga diajarkan dengan cara mempraktekkan bagaima cara merangkai hurup dan
memberikan buku bacaan yang bisa mereka baca dan dipelajari di rumah. Mengingat mereka
yang belajar ini bukan lagi pada usia anak-anak yang menpunyai daya tangkap dan daya ingat
lebih cepat.
2. Ekonomi
Masyarakat suku laut kaum laki-laki atau para suami pada umumnya bekerja sebagai
nelayan ada juga yang yang bekerja sebagai petani sayur. Penghasilan yang mereka poroleh
rata-rata Rp. 500.000 – Rp. 800.000 perbulan. Dengan penghasilan ini, sangat jauh dari
kecukupan dalam memenuhi kebutuhan pokok mereka sehari-hari untuk anggota kelurga
dalam satu rumah yang jumlahnya ada empat sampai tujuh orang.
Sementara kaum perempuannya tidak ada beraktifitas yang dapat menambah
penghasilan keluarga, perempuan-perempuan suku laut ini, hari-harinya hanya bekerja
memasak, mencuci dan mengurus anak. Tidak banyak yang dapat mereka lakukan, waktu
luang yang begitu banyak setelah mengerjakan aktifitas domestik, sambil menunggu suami
pulang dari melaut, mereka pergi bertandang ke rumah tetangga ngobrol (ngerumpi) bersenda
gurau sambil bermain guli (kelereng). Jika dibandingkan pada masa mereka hidup di sampan,
posisi perempuan ini sama saja masih termajinalkan, duduk sambil menunggu suami pulang,
hanya perbedaannya dari cara mereka bersosialisasi saja.
Perempuan – perempuan suku laut ini belum pernah mendapatkan pembinaan yang
sifatnya ketrampilan yang mempunyai nilai ekonomi. Menurut ketua RT setempat, di desa
kelumu selain penghasil ikan, ada juga daun makuan yang dapat diolah menjadi bakul
(keranjang), kajang (atap daun) yang bisa dijual dengan harga satuan Rp.10.000,- dan ini
hanya ada satu warga yang membuat kerajinan dengan peralatan dan model seadanya.
(wawancara,14/09/2013). Pernyataan senada juga di ungkapkan oleh kabid dari dinas
pemberdayaan perempuan, sejak terbentuknya dinas tersebut belum pernah melakukan
pembinaan dan pemberdayaan terhadap perempuan suku laut khususnya dalam bidang
ekonomi (wawancara,13/09/2013).
Padahal jika dilihat dari hasil alam yang mereka miliki yakni daun makuan, bisa
dimanfaatkan dan diolah menjadi kerajinan tangan (handycraf), jika perempuan-perempuan
suku laut ini dapat diberdayakan dengan memberikan pelatihan berbagai macam handycraf,
tentu akan menampah income kelurga yang berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan
keluarga. Handycraf ini selain mempunyai nilai ekonomi juga memberikan nilai lebih yakni
dapat di jadikan icon Desa Kelumu penghasil handycraf hasil karya masyarakat KAT
khususnya perempuan, yang secara tidak langsung juga menjadi ajang promo atau sosialisasi,
jika kita melihat dari kacamata konsep pariwisata, jika ada yang berkunjung melihat kehidupan
masyarakat KAT, mereka bisa membawa oleh-oleh (souvenir) khas masyarakat setempat.
3. Kesehatan
Berbicara tentang kesehatan masyarakat suku laut khususnya kaum perempuan,
kesadaran mereka akan pentingnya kesehatan juga belum terbangun dengan baik. Saat mereka
sakit mereka masih datang berobat kedukun, mereka masih sangat percaya akan kekuatan atau
kesaktian matra seorang dukun dalam menyembuhkan sakit yang mereka alami. Hal ini bisa
saja terjadi karena kurangnya sosialisasi penyuluhan tentang kesehatan dalam berbagai aspek.
Walaupun mereka pernah mendapatkan penyuluhan dan pembinaan kesehatan dari Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional ( KB), akan tetapi angka kematian bayi pada saat
dalam kandungan sangat rentan di alami perempuan-perempuan suku laut ini, walaupun
peneliti tidak mendapatkan angka yang pasti, tetapi dari beberapa perempuan yang saat itu
peneliti temui, salah satunya wati menceritakan mempunyai anak empat, tiga meninggal saat
dalam kandungan. (wawancara 14/09/2013), suatu hal yang sangat memprihatinkan memang,
karena untuk mendapatkan akses kesehatan mereka harus ke pusat desa dengan menempuh
jarak lebih kurang 1,6 km, dengan kondisi jalan bertanah tidak beraspal ataupun semenisasi.
Sementara medan jalan berbukit-bukit, apa lagi saat hujan maka akan memperparah keaadaan
jalan, jika tidak hati-hati justru akan mengakibatkan terjatuh. Jalan dari lokasi KAT hanya bisa
ditempuh dengan motor, jika kita lewat daratan atau bisa juga menggunakan pompong (perahu
kecil dengan menggunakan mesin) melalui anak sungai. Bagi mereka yang tidak memiliki
kendraan mereka menempuhnya dengan berjalan kaki.
4. Infrastuktur
Infrakstruktur suatu hal yang sangat penting dalam mengatasi keterisolasian yang
menyebabkan kemiskinan. Akan tetapi dalam pembahasan infrastruktur ini, peneliti tidak
hanya membahas atau memfokuskan pada masalah jalan saja, akan tetapi juga sarana dan
prasarana yang tersedia di dalam lingkungan KAT sebagai penunjang kemajuan dan
kesejahteraan kehidupan mereka. Akses jalan yang ada saat ini sebagai penghubung
masyarakat KAT dengan masyarakat luar, seperti yang peneliti ungkapkan sebelumnya itu
sangat riskan bagi keselamatan kaum perempuan kalau harus berjalan kaki seorang diri
ataupun berkelompok dengan jarak tempuh lebih kurang 1,6 km. Kondisi jalan dan jarak
tempuh yang harus dilalui, tanpa ada trasportasi umum yang tersedia yang bisa mereka
gunakan, saat mereka kepusat desa, ke kecamatan atau ke ibu kota kabupaten selamanya lah
mereka akan selalu berada pada posisi yang marginal, karena mereka baru bisa keluar dari
lokasi mereka dalam satu minggu hanya satu kali untuk membeli kebutuhan hidup mereka.
Begitu juga dalam memberikan bantuan air bersih yang dilakukan pemerintah melalui
program PNPM di tahun 2009 dan tahun 2010, tidak resposif gender. Karena tempat
pembuatan air minum lumayan jauh dari rumah ke ruamh. Untuk mendapatkan air bersih
perempuan dan anak harus berjalan mengangkat air lebih kurang 60 meter. belum lagi kondisi
tempat air yang terletak di pinggir jalan menuju pintu masuk pemukiman suku laut tidak
berdinding dibiarkan terbuka lebar begitu jadi akan kelihatan sangat jelas kalau warga lagi
mandi maupun mencuci. Tentu saja kondisi ini sangat membahayakan bagi perempuan dan
anak khususnya.
Dari segi akses informasi, ada beberapa diantara mereka sudah bisa menggunakan hand
phone (HP) sebagai penghubung dengan teman dan saudara mereka yang tinggal beda pulau.
Hanya saja saat peneliti berkunjung kepemukiman KAT peneliti tidak melihat adanya televisi
(TV) di dalam rumah warga. Padahal TV ini bisa dijadikan sebagai salah satu media informasi
yang sifatnya audio visual, untuk menambah wawasan mereka tetang dunia luar.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
1. Perempuan komunitas adat terpencil suku laut desa kelumu , walaupun mereka sekarang
tidak lagi hidup di sampan dengan berpindah-pindah tempat (nomaden), karena sudah di
tempatkan dalam satu pemukiman dengan rumah yang diberi oleh pemerintah dengan
ukuran 6m x 6m, akan tetapi tetap saja mereka masih dalam garis kemiskinan, baik dilihat
dari sudut ekonomi, pendidikan , hokum dan kesehatan.
2. Kemiskinan perempuan ini karena tempat tinggal mereka yang terisolasi dari kehidupan
masayarakat yang layak pada umumnya, sehingga akses mereka dalam bersosialisasi
terbatas, kecuali hanya sesama komunitas mereka.
3. Kemiskinan perempuan ini juga disebabkan sulitnya mereka untuk mendapatkan akses,
baik itu akses pendidikan, kesehatan dan ekonomi, karena mereka harus menempuh jarak
lebih kurang 1,6 km untuk menuju kepusat desa dengan berjalan kaki bagi yang tidak
mempunyai kendraan.
SARAN
1. Pemerintah dalam upya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya terhadap
masyarakat KAT, tidak hanya sekedar membina mereka denga cara memukimkan
mereka dalam satu
wilayah yang tujuannya agar mereka tidak berpindah-pindah
tempat tinggal lagi, tetapi juga perlu memberikan pembinaan dalam konsep
pemberdayaan berbasis sumber daya alam yang ada di tempat mereka tinggal.
2. Member Pembinaan kepada perempuan suku laut yang mempunyai nilai ekonomis,
sehingga dapat menambah penghasilan keluarga, akan tetapi akan menjadi icon
penhasilan dari desa mereka sendiri.
3. Pemerintah dalam memukimkan masyarakat KAT termasuk juga di dalamnya
perempuan dan anak hendaknya, memperhatikan akses mereka dalam mendapatkan
pendidikan, kesehatan dan ekonomi, karena secara geografi fasilitas ini jauh dari
tempat tinggal mereka dan mereka menempuhnya dengan berjalan kaki, tentu saja hal
ini riskan terhadap kesehatan mereka.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
Muzakkar, abdullah, perempuan dan kemiskinan;realitas ketidakadilan gender, jurnal
puanri.tahun 2007
M.Fadly, Muhammad, implementasi kebijakanpemberdayaan komunitas adat terpencil di
kecamatan bua ponrang kabupaten luwu makasar. Skripsi Tahun 2012
Irawan, Prasetya. 2006. Penelitian Kualitatif & Kuantitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta.
DIA FISIP UI.
Suharto, Edi. 2009. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Kajian Strategis
Pembangunan Kesejahteraan Sosial & Pekerjaan Sosial. Bandung. PT. Refika Aditama
Usman, Sunyoto. 2010. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Departemen Sosial RI, Direktorat Jendera Pemberdayaan Sosial, Direktorat Pemberdayaan
Komunitas Adat Terpencil.
Departemen Sosial RI, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial, Direktorat Pemberdayaan
komunitas Adat Terpencil Tahun I, II, dan III. 2009. Penguatan Pendamping Sosial
Komunitas Adat Terpencil.
Sri Wahyuni, Dampak Pembinaan Kesejahteraan Sosial Terhadap Peningkatan Pendapatan
Suku Sakai Oleh Perusahaan Caltex di Duri, Skripsi tahun 2000
Download