Terhadap Sel T47D Melalui Induksi Apoptosis

advertisement
8
serta doxorubicin 1 µM. Penentuan nilai
konsentrasi pada flow cytometry berdasarkan
daya penghambatan yang dimungkinkan pada
uji sel hidup dan rataan tengah dari range
konsentrasi perlakuan.
Uji Sitotoksik
Pengujian sitotoksik pada umunya
menggunakan uji MTT untuk menentukan
efektivitas suatu sampel pada sel T47D
dengan parameter nilai IC50. Kultur sel T47D
yang telah tumbuh dan berkembang sangat
banyak dipanen dan sel dipindahan dengan
konsentrasi 5x104 sel/sumur ke dalam wadah
96-sumur (Nunclon). Kultur sel diinkubasi
selama 24 jam untuk adaptasi. Tiap sumuran
kultur sel ditambahkan DMSO, media, dan
sampel sebanyak 1 μL dengan konsentrasi
berbeda, lalu inkubasi kembali selama 24 jam.
Media kultur yang mengandung sampel
dibuang dan dicuci dengan larutan PBS,
kemudian dalam kondisi gelap ditambahkan
100 μL media kultur yang mengandung MTT
[3(4,5-dimetiltiazol
-2-il)-2,5
difeniltetrazolium
bromida].
Wadah
diinkubasi kembali selama 2-4 jam pada suhu
37°C. Sel yang hidup akan bereaksi dengan
MTT membentuk kristal formazan berwarna
ungu. Setelah 2-4 jam, media yang
mengandung MTT dibuang (diambil secara
hati-hati menggunakan mikropipet) kemudian
ditambahkan 100 μL DMSO untuk
melarutkan kristal formazan. Wadah digoyang
di atas shaker selama 10 menit kemudian
dibaca absorbannya dengan spektrofotometri
pada panjang gelombang 515 nm. Data yang
ditunjukkan dalam absorban dan dihitung
persen sel hidup (%), kemudian dianalisis
dengan menghitung konsentrasi media
hambatan dari 50% proliferasi sel (IC50)
dengan Microsot Excel (Arung et al. 2009).
Analisis Siklus Sel dengan Flow Cytometry
Kultur sel dimasukkan pada wadah 24sumur dengan konsentrasi 25x104 sel/sumur
dan inkubasi selama 24 jam. Media kultur
dalam wadah 24-sumur dibuang dan diganti
dengan media kultur baru serta sampel 5 uL,
DMSO atau hanya media saja, Sel hasil
perlakuan ditampung dalam tabung flow
cytometer
dan
disentrifugasi
dengan
kecepatan 1500 rpm selama 5 menit,
kemudian supernatannya dibuang. Sel
difiksasi dengan 500 µL etanol 70% dingin,
disimpan dalam suhu 4oC selama 15 menit
dan disentrifugasi kembali selama 5 menit,
kemudian supernatannya dibuang kembali.
Pelet sel disuspensikan dengan 900 µL PBS
dan 100 µl Propidium Iodida (Sigma P3566),
pewarna analisis kandungan DNA, lalu
dihomogenkan. Sel yang telah tersuspensi
diinkubasi dalam gelap selama 30 menit dan
dianalisis siklus sel dengan flow cytometry
(Arung et al. 2009).
Analisis Statistik
Data yang diperoleh berupa absorban
masing-masing sumur dikonversi ke dalam
persen sel hidup menggunakan rumus:
absorban sampel – absorban media
=
x 100%
absorban normal – absorban media
Nilai IC50 dilihat dari uji sel hidup dengan
metode
MTT
dan
dikalkulasikan
menggunakan analisis regresi linear pada
Microsoft Excel. Analisis statistik untuk
perbandingan antara sel yang diberi perlakuan
dan tidak diberi perlakuan dilakukan uji
statistiknya menggunakan uji T. Analisis data
untuk uji T dilakukan menggunakan
Microsoft Excel. Jika rataan normal lebih
besar dari rataan sampel dengan p 0,05 maka
terjadi perbedaan yang dianggap statistik
signifikan (Walpole 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Sitotoksik
Hasil uji sitotoksik dengan metode MTT
secara visual dapat dilihat pada Gambar 9. Sel
kanker normal tanpa perlakuan pada gambar
ditunjukkan dengan warna ungu pekat dan
kontrol positif (doxorubicin) berwarna ungu
yang sangat pudar. Hal tersebut menunjukkan
bahwa dalam sel normal telah terjadi reduksi
garam tetrazolium menjadi kristal formazan
ungu, sedangkan pemberian doxorubicin tidak
memperlihatkan
hal
tersebut
yang
menunjukkan sel telah mati.
Perlakuan dengan sampel daun sukun,
baik ekstrak dan senyawa memperlihatkan
warna yang bervariasi. Sampel yang memiliki
potensi penghambatan sel T47D oleh ekstrak
daun sukun adalah ekstrak heksana, terlihat
dengan warna ungu yang sangat pudar hampir
bening. Ekstrak etanol, ekstrak etil asetat, dan
ekstrak butanol secara visual tidak
menunjukkan efek sitotoksiknya dan pada
Gambar 9 memperlihatkan warna ungu yang
bervariasi pula pada tiap konsentrasi dan tiap
pengulangan. Hasil sitotoksik senyawa
flavonoid daun sukun yang berpotensi
menghambat sel T47D adalah AC-3-1 dengan
perubahan warna larutan ungu pudar
(Lampiran 5). Wadah kultur sel senyawa,
warna ungu yang terlihat pada sampel
9
Sampel Ekstrak
Etanol
Heksan
a
Doxorubicin
Konsentrasi
(dari kiri ke
kanan) dari
tinggi ke
rendah
EtAC
Butanol
Konsentrasi
(dari atas ke
bawah) dari
tinggi ke
rendaah
Normal
DMSO
Blanko
Gambar 9 Hasil uji sitotoksik dengan metode MTT-assay secara kualitatif.
senyawa tersebar rata pada semua konsentrasi
kecuali pada senyawa AC-3-1.
Penentuan utama hasil uji sitotoksik
adalah untuk menghitung nilai IC50 dari
penggunaan metode MTT-assay. Sebelum
perhitungan nilai IC50, penggunaan DMSO
dalam melarutkan sampel harus dilihat
pengaruhnya terhadap perlakuan normal
dengan menggunakan analisis statistik (uji T).
Hasil uji T dari perbandingan nilai absorban
normal dan DMSO menunjukkan bahwa
DMSO yang memiliki sifat semipolar tidak
berpengaruh signifikan terhadap perlakuan
normal dengan nilai p=0.24, jika p 0.05
terdapat beda yang signifikan pada pelarut dan
dapat mempengaruhi kerja dari sampel secara
utuh (Walpole 1993).
Nilai absorban perlakuan sampel daun
sukun dari tiga kali ulangan dengan
konsentrasi yang berseri dirata-ratakan,
kemudian dihitung persen sel hidupnya. Tabel
1 menunjukkan persen sel hidup ekstrak daun
sukun dan yang berpotensi terbaik untuk
sitotoksisitas adalah ekstrak heksana. Pada
konsentrasi 62.5 µg/mL ekstrak heksana
mampu mendekati 50% penghambatan sel
T47D sebesar 43.91% atau persen sel hidup
sebesar 56.09%. Ekstrak lainnya, seperti
ekstrak etanol, ekstrak etil asetat, dan ekstrak
butanol belum mampu memperlihatkan
Tabel 1 Hasil uji sitotoksik ekstrak daun sukun (Artocarpus altilis) terhadap sel T47D
Sampel
Konsentrasi
Rata-rata Persen Sel hidup IC50 (µg/mL)
(µg/mL)
(%)
Ekstrak Etanol
500
79.707
250
108.184
125
112.675
575.74 ± 44.559
62.5
146.673
31.25
137.558
Ekstrak Heksana
500
9.248
250
10.246
61.02 ± 31.82
125
20.160
62.5
56.088
31.25
65.735
Ekstrak Etil Asetat
500
69.494
250
64.371
264.67 ± 86.38
125
92.482
62.5
103.826
31.25
115.835
Ekstrak Butanol
500
70.825
250
100.865
482.55 ± 77.95
125
121.723
62.5
163.606
31.25
118.130
10
penghambatan 50% proliferasi sel. Pada
konsentrasi 500 µg/mL. ekstrak etanol hanya
mampu menghambat 20.30%. ekstrak etil
asetat 30.51%. dan ekstrak butanol 29.18%.
Ekstrak etanol merupakan tahapan awal
proses ekstraksi dan purifikasi sampel
(Lampiran 3) sehingga sampel masih ekstrak
kasar dan belum menunjukkan spesifikasi
dalam membantu penghambatan sel T47D.
Persentase sel hidup pada masing-masing
konsentrasi dikonversikan dalam persamaan
linear untuk mendapatkan nilai IC50. Nilai
IC50 yang tertera pada Tabel 1 menunjukkan
bahwa ekstrak heksana dengan kemampuan
penghambatan mendekati 50% proliferasi sel
memperoleh konsentrasi penghambatan 61.01
± 31.82 µg/mL. Ekstrak etanol dan ekstrak
butanol terlihat memiliki nilai IC50 yang tinggi
dan berada di luar rentang konsentrasi
perlakuan (31.25 µg/mL-500 µg/mL) yang
menunjukkan ekstrak tersebut tidak toksik.
Kemampuan ekstrak etil asetat dibandingkan
dengan ekstrak etanol dan ekstrak butanol
diduga masih memiliki kemampuan sebagai
sitotoksik dilihat dari daya hambat proliferasi
selnya mendekati 50%. walaupun konsentrasi
yang diperoleh 264.67 ± 86.38 µg/mL.
Sehingga pada penelitian ini. ekstrak heksana
pada sampel ekstrak daun sukun memiliki
potensi tinggi dalam menghambat sel T47D.
Identifikasi tanaman sukun telah dilakukan
sampai pada pemurnian senyawa. Penelitian
yang dilakukan Syah (2005). pada bagian
daun sukun diidentifikasi terdapat sekitar
tujuh senyawa. Salah satunya terdapat
senyawa AC-5-1. senyawa AC-3-1. dan
senyawa siklokomunol. Senyawa daun sukun
tersebut berasal dari hasil isolasi ekstrak etil
asetat yang mempunyai turunan flavonoid
tergeranilasi jenis dihidrokhalkon dan
prenilflavon (Syah 2005. Indraswati 2009. &
Mulyati 2009). Ketiga senyawa ini dipilih
dalam penelitian karena memiliki aktivitas
biologis sebagai antitumor/antikanker. Selain
itu. senyawa siklokomunol telah diidentifikasi
memiliki efek sitotoksik pada sel leukimia
(Syah 2005).
Persen sel hidup pada Tabel 2
menunjukkan bahwa senyawa AC-5-1
memiliki kemampuan penghambatan pada
konsentrasi 500 µM dengan persen sel hidup
sebesar
46.51%
atau
penghambatan
proliferasi sel sebesar 53.49%. Senyawa AC3-1 memperoleh persen penghambatan
proliferasi sel 74.39% dengan persen sel hidup
sebesar 25.61% pada konsentrasi perlakuan
125 µM. Sedangkan. senyawa siklokomunol
pada konsentrasi perlakuan 250 µM mampu
menghambat 54.72% proliferasi sel dengan
persen sel hidup sebesar 45.28%. Persen sel
hidup yang diperoleh tersebut dikonversikan
untuk memperoleh konsentrasi penghambatan.
Nilai IC50 yang ditunjukkan pada Tabel 2
menunjukkan bahwa senyawa AC-3-1
memberikan
potensi
konsentrasi
penghambatan tertinggi sebesar 110.33 ±
Tabel 2. Hasil uji sitotoksik senyawa flavonoid daun sukun (Artocarpus altilis) terhadap sel T47D
Sampel
Konsentrasi
Rata-rata Persen Sel hidup IC50 (µM)
(µM)
(%)
Senyawa AC-5-1
500
46.507
250
53.094
125
125.615
260.44 ± 37.12
62.5
133.965
31.25
142.615
Senyawa AC-3-1
500
6.021
250
6.687
110.33 ± 24.45
125
25.615
62.5
129.641
31.25
176.747
Senyawa Siklokomunol 500
10.146
250
45.276
266.83 ± 108.13
125
87.259
62.5
120.093
31.25
150.865
Kontrol positif:
1
43.114
Doxorubicin
0.5
54.624
0.53 ± 0.05
0.25
70.858
0.125
95.376
0.0625
120.526
11
24.46 µM. dibandingkan dengan dua senyawa
lainnya. yaitu senyawa AC-5-1 dan senyawa
siklokomunol. Ketiga senyawa memiliki
potensi menghambat 50% proliferasi sel pada
rentang konsentrasi perlakuan yang berbeda.
Kemampuan konsentrasi penghambatan yang
berbeda disebabkan karena keanekaragaman
senyawa flavonoid dari adanya pola
terprenilasi atau tergeranilasi sehingga
membentuk senyawa yang lebih kompleks
(Syah 2005).
Nilai IC50 yang diperoleh dituliskan nilai
standar deviasi yang menjelaskan bahwa
terjadinya keragaman data. Jika nilai standar
deviasi besar maka keragaman data semakin
tinggi (Walpole 1993). Standar deviasi
terbesar yang menandakan semakin ragamnya
data pada ekstrak dilihat dari absorban
(Lampiran 6) ditunjukkan oleh ekstrak etil
asetat. Keragaman tersebut dapat disebabkan
oleh faktor waktu inkubasi kultur sel yang
kurang optimal sehingga sampel yang
diujikan belum berpotensi menghambat sel
T47D. Hasil sampel yang diuji jika
dibandingkan dengan doxorubicin sebagai
kontrol positif. senyawa AC-3-1 masih jauh
seratus kalinya dari IC50 yang diperoleh
doxorubicin. yaitu 0.53 ± 0.05 µM.
Morfologi Sel Setelah Perlakuan
Berdasarkan hasil uji sitotoksik dengan uji
MTT menunjukkan sel yang potensi sebagai
sitotoksik adalah ekstrak heksana. ekstrak
etilasetat. senyawa AC-5-1. senyawa AC3-1.
dan senyawa siklokomunol. Sampel daun
sukun yang berpotensi menghambat sel T47D
mengakibatkan
terjadinya
perubahan
morfologi
sel
dibandingkan
normal.
Penghambatan proliferasi sel tersebut
dimungkinkan karena sel mati. baik dapat
terjadi secara apoptosis maupun nekrosis.
Perubahan ciri morfologi sel karena obat
kanker ditunjukkan dengan sel yang
mengkerut. nukleus yang rusak karena
terjadinya fragmentasi DNA dan sel yang
tidak beraturan dalam ukuran. Morfologi
kematian sel secara nekrosis ditunjukkan
dengan sel yang membengkak. rusaknya
dinding sel dan lisis sampai terjadi inflamasi
(Gewies 2003). Sel T47D yang diberikan
perlakuan selama 24 jam dilihat morfologi
selnya menggunakan mikroskop inverted pada
perbesaran 10 x 10. Sel yang diambil
gambarnya merupakan salah satu contoh dari
tiga ulangan pada konsentrasi perlakuan 100
µg/mL untuk ekstrak. 100 µM untuk senyawa.
dan 1 µM untuk doxorubicin.
Morfologi sel normal memperlihatkan
pertumbuhan yang cepat. menutupi dan
menempel semua bagian permukaan tempat
tumbuh (satu lapisan). serta bentuknya hampir
menyerupai jaringan (Gambar 10a). Jika
dibandingkan dengan doxorubicin sebagai
kontrol positif memberikan perubahan
morfologi sel yang sangat nyata. Hal tersebut
terlihat bahwa morfologi sel yang ditunjukkan
pada Gambar 10b. yaitu sel yang telah
mengapung pada media tumbuh. Jika dilihat
lebih dekat pada morfologi selnya yang
ditunjukkan oleh tanda panah merah. terlihat
bentuk sel yang tidak beraturan dan sel telah
lepas dari ikatannya. Apabila dilakukan
pewarnaan khusus DAPI pada sel akan terlihat
bentuk sel dengan kondisi DNA yang
mengalami apoptosis dan nekrosis yang
ditunjukkan dengan rusaknya membran
plasma (Darzynkiewicz et al. 1992).
Ekstrak
heksana
memperlihatkan
morfologi sel yang menyerupai morfologi
sel dari perlakuan doxorubicin. Morfologi sel
yang terjadi pada perlakuan ekstrak heksana
(Gambar 11a) adalah sel yang mengapung
pada media tumbuh dan terlepasnya ikatan
antar sel. Bentuk sel yang tidak beraturan
yang telah mengalami kematian ditunjukkan
oleh panah warna merah. Ekstrak etil asetat
menunjukkan perubahan yang berbeda dengan
ekstrak heksana. Gambar 11b memperlihatkan
morfologi sel yang sebagaian besar sel telah
terlepas ikatan antar selnya. tetapi belum
mengapung secara sempurna pada media
a
b
Gambar 10 Sel T47D setelah 24 jam
perlakuan: (a) perlakuan normal;
(b) kontrol positif (doxorubicin).
tanda panah merah potongan sel
normal dan sel yang diberi
perlakuan kontrol positif.
12
a
mengalami kematian. Perubahan morfologi
sel dalam satu sumur yang tidak merata dapat
disebabkan kurangnya waktu inkubasi
sehingga sampel belum efektif dalam
menghambat proliferasi sel T47D. Faktor
ketelitian dalam pengerjaan kultur sel dapat
menjadi salah satu penyebab terjadinya
keragaman antar morfologi sel suatu sampel.
a
b
Gambar 11 Sel T47D yang diberi perlakuan
ekstrak: (a) perlakuan ekstrak
heksana; (b) perlakuan ekstrak
etil asetat. tanda panah merah
adalah potongan sel yang diberi
perlakuan ekstrak heksana.
tumbuh. Bentuk sel yang ditunjukkan oleh
kotak berwarna merah memperlihatkan sel
dengan bentuk yang tidak beraturan seperti
terjadi pengerutan membran plasma.
Morfologi sel ketiga senyawa secara visual
pada perbesaran 10 x 10 memperlihatkan
bentuk gambar yang hampir mirip. Senyawa
AC-5-1 (Gambar 12a) menggambarkan
sebagian sel yang masih hidup. ditunjukkan
oleh kotak berwarna hijau. Sel hidup pada
gambar masih membentuk satu lapisan.
walaupun ikatan antar sel tidak padat.
Lekukannya menunjukkan sel akan mulai
melepaskan ikatan antar sel. Bentuk sel tidak
beraturan yang ditunjukkan oleh kotak warna
merah memperlihatkan sel mati.
Morfologi
sel
senyawa
AC-3-1
memberikan perubahan morfologi yang sama
dengan senyawa AC-5-1 karena senyawa
flavonoid satu ini memiliki jenis dan struktur
yang menyerupai senyawa AC-5-1. Perubahan
yang terjadi (Gambar 12b). yaitu sebagian sel
akan mengapung. terlepas ikatan dengan sel
lainnya. dan bentuk membran plasma yang
tidak beraturan. Ciri morfologi tersebut
menjadi ciri sel mengalami kematian (kotak
warna merah). Di sisi lain pada permukaan sel
tumbuh terdapat morfologi sel yang
membentuk satu lapisan yang menunjukkan
sel masih hidup (kotak warna hijau).
Perubahan morfologi sel yang terjadi pada
sel T47D yang diberi perlakuan senyawa
siklokomunol (Gambar 12c) adalah dominan
sel melakukan pemisahan dirinya dari sel lain.
Sel yang berwarna kuning merupakan ciri sel
b
c
Gambar 12 Sel T47D yang diberi perlakuan
senyawa: (a) perlakuan senyawa
AC-5-1; (b) perlakuan senyawa
AC-3-1;
(c)
perlakuan
siklokomunol. tanda panah merah
adalah potongan sel yang
menunjukkan sel mati dan tanda
panah hijau adalah sel hidup.
13
yang telah terfragmentasi karena proses
apoptosis. Akumulasi persen populasi sel dari
suatu analisis siklus sel pada flow cytometry
dihitung berdasarkan jumlah kandungan DNA
yang terdeteksi dari suatu populasi sel dalam
media uji. Populasi sel pada fase sub-G1
merupakan populasi sel yang memiliki
kandungan DNA terfragmentasi karena
adanya sampel yang bekerja menginduksi
apoptosis. (Rabinovitch 1990 & Arung et al.
2009).
Gambar 13 memperlihatkan histogram
distribusi analisis siklus sel untuk semua
perlakuan dan Tabel 3 merupakan persentase
distribusi siklus sel dari Gambar 13.
Histogram yang ditampilkan merupakan salah
satu analisis dari tiga analisis yang dilakukan
pengujiannya dengan flow cytometry. Sel
T47D yang diberi perlakuan normal
menunjukkan akumulasi populasi sel tertinggi
pada fase G1(daerah I) dengan persentase
85.93%. Hal yang sama terlihat pada kontrol
negatif. DMSO yang menunjukkan tidak
adanya pengaruh yang nyata terhadap normal
dan sampel. Pada kontrol positif. yaitu
doxorubicin
menunjukkan
terjadinya
akumulasi populasi sel pada fase kematian
apoptosis yang diperlihatkan dengan bentuk
histogram di daerah apoptosis (daerah H).
Cell Number
Cell Number
Cell Number
Analisis Induksi Apoptosis
Penentuan sitotoksisitas suatu sel T47D
oleh daun sukun dengan menggunakan
metode MTT-assay hanya menjelaskan
kemampuan sampel dalam menghambat
pertumbuhan sel T47D dengan parameter nilai
IC50. Perubahan morfologi sel untuk
mengetahui penghambatan yang terjadi
terlihat hanya dengan bentuk sel yang
mengapung pada media. sel yang telah
terlepas ikatan antar selnya. dan bentuk sel
yang tidak beraturan. serta mengkerut menjadi
indikasi sel telah mati. Penghambatan dengan
parameter nilai IC50 dan ciri perubahan
morfologi sel belum menjelaskan penyebab
sel mengalami kematian yang diharapkan
pada penelitian ini. yaitu sampel dapat
menginduksi apoptosis. Oleh karena itu.
pengujian dengan analisis flow cytometry
dilakukan untuk memberikan penjelasan
kematian sel yang terjadi melalui induksi
apoptosis.
Analisis siklus sel dengan flow cytometry
memperlihatkan persen populasi sel pada
setiap fase yang direpresentasikan dengan
histogram. Parameter yang diamati pada
penelitian ini adalah persentase populasi sel di
fase apoptosis (daerah H) dengan adanya
kandungan DNA dari populasi sel tersebut
Cell Number
Cell Number
Cell Number
DNA Content
Cell Number
Cell Number
DNA Content
DNA Content
DNA Content
Cell Number
DNA Content
DNA Content
Cell Number
DNA Content
DNA Content
DNA Content
DNA Content
Gambar 13 Analisis siklus sel T47D dengan flow cytometry berupa histogram, (H) sel apoptosis;
(I) fase G1; (J) fase S; (K) fase G2/M.
14
Tabel 3 Distribusi sel T47D pada fase-fase siklus sel setelah perlakuan.
Perlakuan
Konsentrasi Apoptosis G1 (daerah I) S (daerah J)
G2/M
(daerah H)
(%)
(%)
(daerah K)
(%)
(%)
Normal
1.89
85.93
4.78
6.67
DMSO
1%
2.59
80.12
6.03
7.39
Doxorubicin
1 µM
75.9
20.25
3.32
0.6
Ekstrak etanol
100 µg/mL
4
56.55
19.37
12.66
Ekstrak heksana
100 µg/mL
44.47
28.43
18.81
4.98
Ekstrak etil asetat 100 µg/mL
65
8.97
16.75
6.99
Ekstrak butanol
100 µg/mL
9.15
29.9
47.3
6.62
AC-5-1
100 µM
18.9
71.79
2.5
6.34
AC-3-1
100 µM
8.3
61.46
13.08
13.4
Siklokomunol
100 µM
21.4
38.01
9.69
24.22
Persentase populasi sel pada saat apoptosis
untuk doxorubicin adalah 75.9%.
Sampel ekstrak daun sukun yang
berpotensi dalam menginduksi apoptosis
adalah ekstrak heksana dan ekstrak etil
asetat. Persentase populasi sel tidak hanya
terakumulasi dominan pada fase apoptosis.
distribusi fase siklus sel lain pun terlihat
bentuk histogramnya. Akumulasi populasi sel
pada perlakuan ekstrak etanol terjadi pada
fase G1 dan mengalami penurunan populasi
pada
fase
berikutnya.
Hal
tersebut
menunjukkan
bahwa
ekstrak
etanol
mengalami penghambatan setelah fase G1.
Akumulasi populasi sel pada perlakuan
ekstrak butanol terjadi pada fase S.
Perlakuan senyawa flavonoid daun sukun
terhadap sel T47D mengalami akumulasi
persen populasi sel terbesar pada fase G1.
Potensi dalam menginduksi apoptosis dari
ketiga senyawa tidak terlalu besar. Potensi
apoptosis terbaik terjadi pada senyawa
siklokomunol.
Pada
ketiga
perlakuan
senyawa. penyebaran populasi sel pada setiap
fase tidak merata. Persen populasi mengalami
peningkatan dan penurunan pada setiap
tahapan fasenya. Penyebaran jumlah populasi
sel pada analisis siklus sel flow cytometry
dengan perlakuan sampel daun sukun
mengalami keragaman disebabkan terjadinya
perbedaan pertumbuhan dan perkembangan.
serta terdapatnya sistem pengontrolan
checkpoint pada fase G1. fase G2. dan fase M
(Campbell et al. 2002).
Analisis siklus sel dengan flow cytometry
yang dilakukan tiga kali ulangan untuk semua
sampel pada fase apoptosis menunjukkan
hasil yang berbeda signifikan dibandingkan
dengan normal. Ekstrak daun sukun yang
terdiri atas ekstrak etanol. ekstrak heksana.
ekstrak etil asetat. dan ekstrak butanol pada
konsentrasi 100 µg/mL menghasilkan rata-
rata persentase populasi sel pada fase
apoptosis tertinggi diperoleh ekstrak etil asetat
sebesar 60.54 ± 4.15%. Persen populasi sel
yang mengalami apoptosis tertinggi untuk
senyawa flavonoid daun sukun pada
konsentrasi 100 µM ditunjukkan oleh
senyawa AC-5-1 sebesar 25.47 ± 13.64%.
Apabila
dibandingkan
dengan
persen
apoptosis kontrol positif. yaitu doxorubicin
71.49 ± 9.70%. maka ekstrak etil asetat dan
senyawa AC-5-1 merupakan sampel yang
berpotensi untuk menginduksi sel dalam
melakukan apoptosis dan mengurangi
kelangsungan hidup sel T47D (Gambar 14).
Tahapan uji dan pengamatan yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa ekstrak dan
senyawa flavonoid daun sukun memiliki
potensi sitotoksik melalui induksi apoptosis
pada sel T47D. Ekstrak yang memiliki potensi
sebagai sitotoksik melalui uji MTT adalah
ekstrak heksana. Hal tersebut dibuktikan pada
pengamatan morfologi sel yaitu sel yang
mengapung pada media. bentuk sel yang
mengkerut dan tidak beraturan yang
diindikasikan sel mengalami kematian.
Kematian sel secara apoptosis dengan
perlakuan ekstrak heksana dilihat pada ratarata analisis flow cytometry sebesar 39.05 ±
7.65%. Hasil terbaik analisis tersebut
diperoleh oleh ekstrak etilasetat. meskipun
potensi IC50 ekstrak etilasetat tidak sebaik
ekstrak heksana. Senyawa AC-3-1 merupakan
senyawa yang berpotensi terbaik dalam uji
sitotoksik. akan tetapi tidak memberikan hasil
yang terbaik dalam persentase apoptosis pada
flow cytometry. Persentase apoptosis tertinggi
diinduksi oleh senyawa AC-5-1.
Perbedaan hasil dari tahapan pengujian
dapat disebabkan oleh pengerjaan kultur sel.
Sistem pengontrolan dalam kultur sel tidak
dapat diamati secara kontinyu karena sistem
kerja sel hidup kanker yang tidak bisa
Download