8 serta doxorubicin 1 µM. Penentuan nilai konsentrasi pada flow cytometry berdasarkan daya penghambatan yang dimungkinkan pada uji sel hidup dan rataan tengah dari range konsentrasi perlakuan. Uji Sitotoksik Pengujian sitotoksik pada umunya menggunakan uji MTT untuk menentukan efektivitas suatu sampel pada sel T47D dengan parameter nilai IC50. Kultur sel T47D yang telah tumbuh dan berkembang sangat banyak dipanen dan sel dipindahan dengan konsentrasi 5x104 sel/sumur ke dalam wadah 96-sumur (Nunclon). Kultur sel diinkubasi selama 24 jam untuk adaptasi. Tiap sumuran kultur sel ditambahkan DMSO, media, dan sampel sebanyak 1 μL dengan konsentrasi berbeda, lalu inkubasi kembali selama 24 jam. Media kultur yang mengandung sampel dibuang dan dicuci dengan larutan PBS, kemudian dalam kondisi gelap ditambahkan 100 μL media kultur yang mengandung MTT [3(4,5-dimetiltiazol -2-il)-2,5 difeniltetrazolium bromida]. Wadah diinkubasi kembali selama 2-4 jam pada suhu 37°C. Sel yang hidup akan bereaksi dengan MTT membentuk kristal formazan berwarna ungu. Setelah 2-4 jam, media yang mengandung MTT dibuang (diambil secara hati-hati menggunakan mikropipet) kemudian ditambahkan 100 μL DMSO untuk melarutkan kristal formazan. Wadah digoyang di atas shaker selama 10 menit kemudian dibaca absorbannya dengan spektrofotometri pada panjang gelombang 515 nm. Data yang ditunjukkan dalam absorban dan dihitung persen sel hidup (%), kemudian dianalisis dengan menghitung konsentrasi media hambatan dari 50% proliferasi sel (IC50) dengan Microsot Excel (Arung et al. 2009). Analisis Siklus Sel dengan Flow Cytometry Kultur sel dimasukkan pada wadah 24sumur dengan konsentrasi 25x104 sel/sumur dan inkubasi selama 24 jam. Media kultur dalam wadah 24-sumur dibuang dan diganti dengan media kultur baru serta sampel 5 uL, DMSO atau hanya media saja, Sel hasil perlakuan ditampung dalam tabung flow cytometer dan disentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit, kemudian supernatannya dibuang. Sel difiksasi dengan 500 µL etanol 70% dingin, disimpan dalam suhu 4oC selama 15 menit dan disentrifugasi kembali selama 5 menit, kemudian supernatannya dibuang kembali. Pelet sel disuspensikan dengan 900 µL PBS dan 100 µl Propidium Iodida (Sigma P3566), pewarna analisis kandungan DNA, lalu dihomogenkan. Sel yang telah tersuspensi diinkubasi dalam gelap selama 30 menit dan dianalisis siklus sel dengan flow cytometry (Arung et al. 2009). Analisis Statistik Data yang diperoleh berupa absorban masing-masing sumur dikonversi ke dalam persen sel hidup menggunakan rumus: absorban sampel – absorban media = x 100% absorban normal – absorban media Nilai IC50 dilihat dari uji sel hidup dengan metode MTT dan dikalkulasikan menggunakan analisis regresi linear pada Microsoft Excel. Analisis statistik untuk perbandingan antara sel yang diberi perlakuan dan tidak diberi perlakuan dilakukan uji statistiknya menggunakan uji T. Analisis data untuk uji T dilakukan menggunakan Microsoft Excel. Jika rataan normal lebih besar dari rataan sampel dengan p 0,05 maka terjadi perbedaan yang dianggap statistik signifikan (Walpole 1993). HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Sitotoksik Hasil uji sitotoksik dengan metode MTT secara visual dapat dilihat pada Gambar 9. Sel kanker normal tanpa perlakuan pada gambar ditunjukkan dengan warna ungu pekat dan kontrol positif (doxorubicin) berwarna ungu yang sangat pudar. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam sel normal telah terjadi reduksi garam tetrazolium menjadi kristal formazan ungu, sedangkan pemberian doxorubicin tidak memperlihatkan hal tersebut yang menunjukkan sel telah mati. Perlakuan dengan sampel daun sukun, baik ekstrak dan senyawa memperlihatkan warna yang bervariasi. Sampel yang memiliki potensi penghambatan sel T47D oleh ekstrak daun sukun adalah ekstrak heksana, terlihat dengan warna ungu yang sangat pudar hampir bening. Ekstrak etanol, ekstrak etil asetat, dan ekstrak butanol secara visual tidak menunjukkan efek sitotoksiknya dan pada Gambar 9 memperlihatkan warna ungu yang bervariasi pula pada tiap konsentrasi dan tiap pengulangan. Hasil sitotoksik senyawa flavonoid daun sukun yang berpotensi menghambat sel T47D adalah AC-3-1 dengan perubahan warna larutan ungu pudar (Lampiran 5). Wadah kultur sel senyawa, warna ungu yang terlihat pada sampel 9 Sampel Ekstrak Etanol Heksan a Doxorubicin Konsentrasi (dari kiri ke kanan) dari tinggi ke rendah EtAC Butanol Konsentrasi (dari atas ke bawah) dari tinggi ke rendaah Normal DMSO Blanko Gambar 9 Hasil uji sitotoksik dengan metode MTT-assay secara kualitatif. senyawa tersebar rata pada semua konsentrasi kecuali pada senyawa AC-3-1. Penentuan utama hasil uji sitotoksik adalah untuk menghitung nilai IC50 dari penggunaan metode MTT-assay. Sebelum perhitungan nilai IC50, penggunaan DMSO dalam melarutkan sampel harus dilihat pengaruhnya terhadap perlakuan normal dengan menggunakan analisis statistik (uji T). Hasil uji T dari perbandingan nilai absorban normal dan DMSO menunjukkan bahwa DMSO yang memiliki sifat semipolar tidak berpengaruh signifikan terhadap perlakuan normal dengan nilai p=0.24, jika p 0.05 terdapat beda yang signifikan pada pelarut dan dapat mempengaruhi kerja dari sampel secara utuh (Walpole 1993). Nilai absorban perlakuan sampel daun sukun dari tiga kali ulangan dengan konsentrasi yang berseri dirata-ratakan, kemudian dihitung persen sel hidupnya. Tabel 1 menunjukkan persen sel hidup ekstrak daun sukun dan yang berpotensi terbaik untuk sitotoksisitas adalah ekstrak heksana. Pada konsentrasi 62.5 µg/mL ekstrak heksana mampu mendekati 50% penghambatan sel T47D sebesar 43.91% atau persen sel hidup sebesar 56.09%. Ekstrak lainnya, seperti ekstrak etanol, ekstrak etil asetat, dan ekstrak butanol belum mampu memperlihatkan Tabel 1 Hasil uji sitotoksik ekstrak daun sukun (Artocarpus altilis) terhadap sel T47D Sampel Konsentrasi Rata-rata Persen Sel hidup IC50 (µg/mL) (µg/mL) (%) Ekstrak Etanol 500 79.707 250 108.184 125 112.675 575.74 ± 44.559 62.5 146.673 31.25 137.558 Ekstrak Heksana 500 9.248 250 10.246 61.02 ± 31.82 125 20.160 62.5 56.088 31.25 65.735 Ekstrak Etil Asetat 500 69.494 250 64.371 264.67 ± 86.38 125 92.482 62.5 103.826 31.25 115.835 Ekstrak Butanol 500 70.825 250 100.865 482.55 ± 77.95 125 121.723 62.5 163.606 31.25 118.130 10 penghambatan 50% proliferasi sel. Pada konsentrasi 500 µg/mL. ekstrak etanol hanya mampu menghambat 20.30%. ekstrak etil asetat 30.51%. dan ekstrak butanol 29.18%. Ekstrak etanol merupakan tahapan awal proses ekstraksi dan purifikasi sampel (Lampiran 3) sehingga sampel masih ekstrak kasar dan belum menunjukkan spesifikasi dalam membantu penghambatan sel T47D. Persentase sel hidup pada masing-masing konsentrasi dikonversikan dalam persamaan linear untuk mendapatkan nilai IC50. Nilai IC50 yang tertera pada Tabel 1 menunjukkan bahwa ekstrak heksana dengan kemampuan penghambatan mendekati 50% proliferasi sel memperoleh konsentrasi penghambatan 61.01 ± 31.82 µg/mL. Ekstrak etanol dan ekstrak butanol terlihat memiliki nilai IC50 yang tinggi dan berada di luar rentang konsentrasi perlakuan (31.25 µg/mL-500 µg/mL) yang menunjukkan ekstrak tersebut tidak toksik. Kemampuan ekstrak etil asetat dibandingkan dengan ekstrak etanol dan ekstrak butanol diduga masih memiliki kemampuan sebagai sitotoksik dilihat dari daya hambat proliferasi selnya mendekati 50%. walaupun konsentrasi yang diperoleh 264.67 ± 86.38 µg/mL. Sehingga pada penelitian ini. ekstrak heksana pada sampel ekstrak daun sukun memiliki potensi tinggi dalam menghambat sel T47D. Identifikasi tanaman sukun telah dilakukan sampai pada pemurnian senyawa. Penelitian yang dilakukan Syah (2005). pada bagian daun sukun diidentifikasi terdapat sekitar tujuh senyawa. Salah satunya terdapat senyawa AC-5-1. senyawa AC-3-1. dan senyawa siklokomunol. Senyawa daun sukun tersebut berasal dari hasil isolasi ekstrak etil asetat yang mempunyai turunan flavonoid tergeranilasi jenis dihidrokhalkon dan prenilflavon (Syah 2005. Indraswati 2009. & Mulyati 2009). Ketiga senyawa ini dipilih dalam penelitian karena memiliki aktivitas biologis sebagai antitumor/antikanker. Selain itu. senyawa siklokomunol telah diidentifikasi memiliki efek sitotoksik pada sel leukimia (Syah 2005). Persen sel hidup pada Tabel 2 menunjukkan bahwa senyawa AC-5-1 memiliki kemampuan penghambatan pada konsentrasi 500 µM dengan persen sel hidup sebesar 46.51% atau penghambatan proliferasi sel sebesar 53.49%. Senyawa AC3-1 memperoleh persen penghambatan proliferasi sel 74.39% dengan persen sel hidup sebesar 25.61% pada konsentrasi perlakuan 125 µM. Sedangkan. senyawa siklokomunol pada konsentrasi perlakuan 250 µM mampu menghambat 54.72% proliferasi sel dengan persen sel hidup sebesar 45.28%. Persen sel hidup yang diperoleh tersebut dikonversikan untuk memperoleh konsentrasi penghambatan. Nilai IC50 yang ditunjukkan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa senyawa AC-3-1 memberikan potensi konsentrasi penghambatan tertinggi sebesar 110.33 ± Tabel 2. Hasil uji sitotoksik senyawa flavonoid daun sukun (Artocarpus altilis) terhadap sel T47D Sampel Konsentrasi Rata-rata Persen Sel hidup IC50 (µM) (µM) (%) Senyawa AC-5-1 500 46.507 250 53.094 125 125.615 260.44 ± 37.12 62.5 133.965 31.25 142.615 Senyawa AC-3-1 500 6.021 250 6.687 110.33 ± 24.45 125 25.615 62.5 129.641 31.25 176.747 Senyawa Siklokomunol 500 10.146 250 45.276 266.83 ± 108.13 125 87.259 62.5 120.093 31.25 150.865 Kontrol positif: 1 43.114 Doxorubicin 0.5 54.624 0.53 ± 0.05 0.25 70.858 0.125 95.376 0.0625 120.526 11 24.46 µM. dibandingkan dengan dua senyawa lainnya. yaitu senyawa AC-5-1 dan senyawa siklokomunol. Ketiga senyawa memiliki potensi menghambat 50% proliferasi sel pada rentang konsentrasi perlakuan yang berbeda. Kemampuan konsentrasi penghambatan yang berbeda disebabkan karena keanekaragaman senyawa flavonoid dari adanya pola terprenilasi atau tergeranilasi sehingga membentuk senyawa yang lebih kompleks (Syah 2005). Nilai IC50 yang diperoleh dituliskan nilai standar deviasi yang menjelaskan bahwa terjadinya keragaman data. Jika nilai standar deviasi besar maka keragaman data semakin tinggi (Walpole 1993). Standar deviasi terbesar yang menandakan semakin ragamnya data pada ekstrak dilihat dari absorban (Lampiran 6) ditunjukkan oleh ekstrak etil asetat. Keragaman tersebut dapat disebabkan oleh faktor waktu inkubasi kultur sel yang kurang optimal sehingga sampel yang diujikan belum berpotensi menghambat sel T47D. Hasil sampel yang diuji jika dibandingkan dengan doxorubicin sebagai kontrol positif. senyawa AC-3-1 masih jauh seratus kalinya dari IC50 yang diperoleh doxorubicin. yaitu 0.53 ± 0.05 µM. Morfologi Sel Setelah Perlakuan Berdasarkan hasil uji sitotoksik dengan uji MTT menunjukkan sel yang potensi sebagai sitotoksik adalah ekstrak heksana. ekstrak etilasetat. senyawa AC-5-1. senyawa AC3-1. dan senyawa siklokomunol. Sampel daun sukun yang berpotensi menghambat sel T47D mengakibatkan terjadinya perubahan morfologi sel dibandingkan normal. Penghambatan proliferasi sel tersebut dimungkinkan karena sel mati. baik dapat terjadi secara apoptosis maupun nekrosis. Perubahan ciri morfologi sel karena obat kanker ditunjukkan dengan sel yang mengkerut. nukleus yang rusak karena terjadinya fragmentasi DNA dan sel yang tidak beraturan dalam ukuran. Morfologi kematian sel secara nekrosis ditunjukkan dengan sel yang membengkak. rusaknya dinding sel dan lisis sampai terjadi inflamasi (Gewies 2003). Sel T47D yang diberikan perlakuan selama 24 jam dilihat morfologi selnya menggunakan mikroskop inverted pada perbesaran 10 x 10. Sel yang diambil gambarnya merupakan salah satu contoh dari tiga ulangan pada konsentrasi perlakuan 100 µg/mL untuk ekstrak. 100 µM untuk senyawa. dan 1 µM untuk doxorubicin. Morfologi sel normal memperlihatkan pertumbuhan yang cepat. menutupi dan menempel semua bagian permukaan tempat tumbuh (satu lapisan). serta bentuknya hampir menyerupai jaringan (Gambar 10a). Jika dibandingkan dengan doxorubicin sebagai kontrol positif memberikan perubahan morfologi sel yang sangat nyata. Hal tersebut terlihat bahwa morfologi sel yang ditunjukkan pada Gambar 10b. yaitu sel yang telah mengapung pada media tumbuh. Jika dilihat lebih dekat pada morfologi selnya yang ditunjukkan oleh tanda panah merah. terlihat bentuk sel yang tidak beraturan dan sel telah lepas dari ikatannya. Apabila dilakukan pewarnaan khusus DAPI pada sel akan terlihat bentuk sel dengan kondisi DNA yang mengalami apoptosis dan nekrosis yang ditunjukkan dengan rusaknya membran plasma (Darzynkiewicz et al. 1992). Ekstrak heksana memperlihatkan morfologi sel yang menyerupai morfologi sel dari perlakuan doxorubicin. Morfologi sel yang terjadi pada perlakuan ekstrak heksana (Gambar 11a) adalah sel yang mengapung pada media tumbuh dan terlepasnya ikatan antar sel. Bentuk sel yang tidak beraturan yang telah mengalami kematian ditunjukkan oleh panah warna merah. Ekstrak etil asetat menunjukkan perubahan yang berbeda dengan ekstrak heksana. Gambar 11b memperlihatkan morfologi sel yang sebagaian besar sel telah terlepas ikatan antar selnya. tetapi belum mengapung secara sempurna pada media a b Gambar 10 Sel T47D setelah 24 jam perlakuan: (a) perlakuan normal; (b) kontrol positif (doxorubicin). tanda panah merah potongan sel normal dan sel yang diberi perlakuan kontrol positif. 12 a mengalami kematian. Perubahan morfologi sel dalam satu sumur yang tidak merata dapat disebabkan kurangnya waktu inkubasi sehingga sampel belum efektif dalam menghambat proliferasi sel T47D. Faktor ketelitian dalam pengerjaan kultur sel dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya keragaman antar morfologi sel suatu sampel. a b Gambar 11 Sel T47D yang diberi perlakuan ekstrak: (a) perlakuan ekstrak heksana; (b) perlakuan ekstrak etil asetat. tanda panah merah adalah potongan sel yang diberi perlakuan ekstrak heksana. tumbuh. Bentuk sel yang ditunjukkan oleh kotak berwarna merah memperlihatkan sel dengan bentuk yang tidak beraturan seperti terjadi pengerutan membran plasma. Morfologi sel ketiga senyawa secara visual pada perbesaran 10 x 10 memperlihatkan bentuk gambar yang hampir mirip. Senyawa AC-5-1 (Gambar 12a) menggambarkan sebagian sel yang masih hidup. ditunjukkan oleh kotak berwarna hijau. Sel hidup pada gambar masih membentuk satu lapisan. walaupun ikatan antar sel tidak padat. Lekukannya menunjukkan sel akan mulai melepaskan ikatan antar sel. Bentuk sel tidak beraturan yang ditunjukkan oleh kotak warna merah memperlihatkan sel mati. Morfologi sel senyawa AC-3-1 memberikan perubahan morfologi yang sama dengan senyawa AC-5-1 karena senyawa flavonoid satu ini memiliki jenis dan struktur yang menyerupai senyawa AC-5-1. Perubahan yang terjadi (Gambar 12b). yaitu sebagian sel akan mengapung. terlepas ikatan dengan sel lainnya. dan bentuk membran plasma yang tidak beraturan. Ciri morfologi tersebut menjadi ciri sel mengalami kematian (kotak warna merah). Di sisi lain pada permukaan sel tumbuh terdapat morfologi sel yang membentuk satu lapisan yang menunjukkan sel masih hidup (kotak warna hijau). Perubahan morfologi sel yang terjadi pada sel T47D yang diberi perlakuan senyawa siklokomunol (Gambar 12c) adalah dominan sel melakukan pemisahan dirinya dari sel lain. Sel yang berwarna kuning merupakan ciri sel b c Gambar 12 Sel T47D yang diberi perlakuan senyawa: (a) perlakuan senyawa AC-5-1; (b) perlakuan senyawa AC-3-1; (c) perlakuan siklokomunol. tanda panah merah adalah potongan sel yang menunjukkan sel mati dan tanda panah hijau adalah sel hidup. 13 yang telah terfragmentasi karena proses apoptosis. Akumulasi persen populasi sel dari suatu analisis siklus sel pada flow cytometry dihitung berdasarkan jumlah kandungan DNA yang terdeteksi dari suatu populasi sel dalam media uji. Populasi sel pada fase sub-G1 merupakan populasi sel yang memiliki kandungan DNA terfragmentasi karena adanya sampel yang bekerja menginduksi apoptosis. (Rabinovitch 1990 & Arung et al. 2009). Gambar 13 memperlihatkan histogram distribusi analisis siklus sel untuk semua perlakuan dan Tabel 3 merupakan persentase distribusi siklus sel dari Gambar 13. Histogram yang ditampilkan merupakan salah satu analisis dari tiga analisis yang dilakukan pengujiannya dengan flow cytometry. Sel T47D yang diberi perlakuan normal menunjukkan akumulasi populasi sel tertinggi pada fase G1(daerah I) dengan persentase 85.93%. Hal yang sama terlihat pada kontrol negatif. DMSO yang menunjukkan tidak adanya pengaruh yang nyata terhadap normal dan sampel. Pada kontrol positif. yaitu doxorubicin menunjukkan terjadinya akumulasi populasi sel pada fase kematian apoptosis yang diperlihatkan dengan bentuk histogram di daerah apoptosis (daerah H). Cell Number Cell Number Cell Number Analisis Induksi Apoptosis Penentuan sitotoksisitas suatu sel T47D oleh daun sukun dengan menggunakan metode MTT-assay hanya menjelaskan kemampuan sampel dalam menghambat pertumbuhan sel T47D dengan parameter nilai IC50. Perubahan morfologi sel untuk mengetahui penghambatan yang terjadi terlihat hanya dengan bentuk sel yang mengapung pada media. sel yang telah terlepas ikatan antar selnya. dan bentuk sel yang tidak beraturan. serta mengkerut menjadi indikasi sel telah mati. Penghambatan dengan parameter nilai IC50 dan ciri perubahan morfologi sel belum menjelaskan penyebab sel mengalami kematian yang diharapkan pada penelitian ini. yaitu sampel dapat menginduksi apoptosis. Oleh karena itu. pengujian dengan analisis flow cytometry dilakukan untuk memberikan penjelasan kematian sel yang terjadi melalui induksi apoptosis. Analisis siklus sel dengan flow cytometry memperlihatkan persen populasi sel pada setiap fase yang direpresentasikan dengan histogram. Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah persentase populasi sel di fase apoptosis (daerah H) dengan adanya kandungan DNA dari populasi sel tersebut Cell Number Cell Number Cell Number DNA Content Cell Number Cell Number DNA Content DNA Content DNA Content Cell Number DNA Content DNA Content Cell Number DNA Content DNA Content DNA Content DNA Content Gambar 13 Analisis siklus sel T47D dengan flow cytometry berupa histogram, (H) sel apoptosis; (I) fase G1; (J) fase S; (K) fase G2/M. 14 Tabel 3 Distribusi sel T47D pada fase-fase siklus sel setelah perlakuan. Perlakuan Konsentrasi Apoptosis G1 (daerah I) S (daerah J) G2/M (daerah H) (%) (%) (daerah K) (%) (%) Normal 1.89 85.93 4.78 6.67 DMSO 1% 2.59 80.12 6.03 7.39 Doxorubicin 1 µM 75.9 20.25 3.32 0.6 Ekstrak etanol 100 µg/mL 4 56.55 19.37 12.66 Ekstrak heksana 100 µg/mL 44.47 28.43 18.81 4.98 Ekstrak etil asetat 100 µg/mL 65 8.97 16.75 6.99 Ekstrak butanol 100 µg/mL 9.15 29.9 47.3 6.62 AC-5-1 100 µM 18.9 71.79 2.5 6.34 AC-3-1 100 µM 8.3 61.46 13.08 13.4 Siklokomunol 100 µM 21.4 38.01 9.69 24.22 Persentase populasi sel pada saat apoptosis untuk doxorubicin adalah 75.9%. Sampel ekstrak daun sukun yang berpotensi dalam menginduksi apoptosis adalah ekstrak heksana dan ekstrak etil asetat. Persentase populasi sel tidak hanya terakumulasi dominan pada fase apoptosis. distribusi fase siklus sel lain pun terlihat bentuk histogramnya. Akumulasi populasi sel pada perlakuan ekstrak etanol terjadi pada fase G1 dan mengalami penurunan populasi pada fase berikutnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa ekstrak etanol mengalami penghambatan setelah fase G1. Akumulasi populasi sel pada perlakuan ekstrak butanol terjadi pada fase S. Perlakuan senyawa flavonoid daun sukun terhadap sel T47D mengalami akumulasi persen populasi sel terbesar pada fase G1. Potensi dalam menginduksi apoptosis dari ketiga senyawa tidak terlalu besar. Potensi apoptosis terbaik terjadi pada senyawa siklokomunol. Pada ketiga perlakuan senyawa. penyebaran populasi sel pada setiap fase tidak merata. Persen populasi mengalami peningkatan dan penurunan pada setiap tahapan fasenya. Penyebaran jumlah populasi sel pada analisis siklus sel flow cytometry dengan perlakuan sampel daun sukun mengalami keragaman disebabkan terjadinya perbedaan pertumbuhan dan perkembangan. serta terdapatnya sistem pengontrolan checkpoint pada fase G1. fase G2. dan fase M (Campbell et al. 2002). Analisis siklus sel dengan flow cytometry yang dilakukan tiga kali ulangan untuk semua sampel pada fase apoptosis menunjukkan hasil yang berbeda signifikan dibandingkan dengan normal. Ekstrak daun sukun yang terdiri atas ekstrak etanol. ekstrak heksana. ekstrak etil asetat. dan ekstrak butanol pada konsentrasi 100 µg/mL menghasilkan rata- rata persentase populasi sel pada fase apoptosis tertinggi diperoleh ekstrak etil asetat sebesar 60.54 ± 4.15%. Persen populasi sel yang mengalami apoptosis tertinggi untuk senyawa flavonoid daun sukun pada konsentrasi 100 µM ditunjukkan oleh senyawa AC-5-1 sebesar 25.47 ± 13.64%. Apabila dibandingkan dengan persen apoptosis kontrol positif. yaitu doxorubicin 71.49 ± 9.70%. maka ekstrak etil asetat dan senyawa AC-5-1 merupakan sampel yang berpotensi untuk menginduksi sel dalam melakukan apoptosis dan mengurangi kelangsungan hidup sel T47D (Gambar 14). Tahapan uji dan pengamatan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ekstrak dan senyawa flavonoid daun sukun memiliki potensi sitotoksik melalui induksi apoptosis pada sel T47D. Ekstrak yang memiliki potensi sebagai sitotoksik melalui uji MTT adalah ekstrak heksana. Hal tersebut dibuktikan pada pengamatan morfologi sel yaitu sel yang mengapung pada media. bentuk sel yang mengkerut dan tidak beraturan yang diindikasikan sel mengalami kematian. Kematian sel secara apoptosis dengan perlakuan ekstrak heksana dilihat pada ratarata analisis flow cytometry sebesar 39.05 ± 7.65%. Hasil terbaik analisis tersebut diperoleh oleh ekstrak etilasetat. meskipun potensi IC50 ekstrak etilasetat tidak sebaik ekstrak heksana. Senyawa AC-3-1 merupakan senyawa yang berpotensi terbaik dalam uji sitotoksik. akan tetapi tidak memberikan hasil yang terbaik dalam persentase apoptosis pada flow cytometry. Persentase apoptosis tertinggi diinduksi oleh senyawa AC-5-1. Perbedaan hasil dari tahapan pengujian dapat disebabkan oleh pengerjaan kultur sel. Sistem pengontrolan dalam kultur sel tidak dapat diamati secara kontinyu karena sistem kerja sel hidup kanker yang tidak bisa