Volume I, No. 2, Desember 2013 ISSN 2338-3690 JURNAL KEPERAWATAN HKBP BALIGE Diterbitkan Oleh : Akademi Keperawatan HKBP Balige Sumatera Utara, Indonesia Volume 1, Nomor omor 2, Desember 2013 ISSN 2338-3690 2338 JURNAL KEPERAWATAN HKBP BALIGE AKADEMI KEPERAWATAN HKBP BALIGE Editorial SUSUNAN DEWAN REDAKSI Penasihat: Prof. dr. Bistok Saing, SpA(K) Pimpinan Redaksi: Lamria Simanjuntak, S.Kep, Ns, M.Kes Dewan Editor: dr. r. Margaretha Sirait, M.Kes dr. r. Eddy Salmon Sirait, M.Kes dr. r. Irwan Wirya, M.Kes Elfrida Nainggolan, SKM Daniel Tambunan, SSos. Editor Pelaksana: Carolina M Simanjuntak, S.Kep, Ns Jenti Sitorus, SST Keuangan: Istin Tampubolon Alamat Redaksi; Jl. Gereja No. 17, Balige, Tobasa Sumatera Utara, 22314 Kami bersyukur kepada Tuhan YME karena jurnal keperawatan volume 1 nomor 2 ini dapat terbit. Kami juga berharap bahwa jurnal ini akan berguna bagi sivitas Akademi Keperawatan HKBP Balige serta bagi pembaca pada umumnya. Pada volume dan nomor ini akan menginformasikan enam tulisan hasil penelitian,, studi pustaka maupun tulisan ilmiah dari para dosen dan da praktisi tentang keperawatan, kesehatan dan kebidanan yang dapat dilihat pada daftar isi. Semoga isi jurnal volume 1 nomor 2 ini bermanfaat bagi pembaca. Kritik dan saran kami harapkan untuk perbaikan selanjutnya. Akhir kata kami mengharapkan kontribusi kontribu tulisan dari para akademisi dan praktisi untuk dapat mengirimkan tulisannya pada edisi-edisi selanjutnya. Hormat Kami, Pimpinan Redaksi www.akperhkbp.ac.id email: mail: [email protected] i Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690 DAFTAR MITRA BESTARI Ucapan terimakasih dan penghargaan disampaikan kepada para pakar yang telah diundang sebagai Mitra Bestari/Penelaah oleh Jurnal Keperawatan HKBP Balige dalam Volume 1 No.2 Tahun 2013. Berikut ini daftar nama pakar yang telah berpartisipasi : 1. dr. David Simangunsong, M.Kes Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen, Medan 2. dr. T. M. Panjaitan, SKM Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen, Medan 3. dr. Novita Simanjuntak, MARS Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen, Medan 4. S. Sihombing, Ssi. Apt AKPER HKBP Balige, Tobasa 5. Jastro Situmorang, SKep, Ns AKPER HKBP Balige, Tobasa 6. dr. Tihar Hasibuan, MARS RSU HKBP Balige, Tobasa ii Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690 DAFTAR ISI 1. Hubungan Mobilisasi Dini Dengan Lamanya Penyembuhan Luka Passca Operasi Appendiktomi Di Zaal C Rumah Sakit HKBP Balige Tahun 2013 98 Elfrida Nainggolan, SKM., Lamria Simanjuntak, S.Kep, Ns, M.Kes 2. Dampak Penggunaan Laptop Terhadap Motivasi Belajar Mahasiswa Tingkat III Akademi Keperawatan HKBP Balige 106 dr. Irwan Wirya, M.Kes 3. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan Perawat Tentang Pemenuhan Nutrisi Pada Pasien Dengan Gangguan Kardiovaskuler Di Ruang E RSU HKBP Balige Tahun 2011 Jenti Sitorus, SST., Daniel Tambunan, MARS 110 4. Pengaruh Merubah Posisi Dan Massase Kulit Pada Pasien Stroke Terhadap Terjadinya Luka Dekubitus Di Zaal F RSU HKBP Balige 117 Carolina M. Simanjuntak, S.Kep Ns., dr. Margaretha Sirait, M.Kes 5. Pengetahuan Perawat Dalam Merawat Pasien TB Paru Di Rumah Sakit HKBP Balige 126 Jastro Situmorang, S.Kep, Ns., dr. Edi Salmon Sirait, M.Kes 6. Pelaksanaan Pencegahan Infeksi Nosokomial Akibat Tindakan Invasif Pemasangan Infus Oleh Perawat Pelaksana Tahun 2010 Di RSU Bethesda Serukam 135 Juliming Kenedy, SKM, Susito, SKM., M.Kes, Ishak, Silvia, Thresiawati iii Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690 HUBUNGAN MOBILISASI DINI DENGAN LAMANYA PENYEMBUHAN LUKA PASCA OPERASI APPENDIKTOMI DI ZAAL C RUMAH SAKIT HKBP BALIGE TAHUN 2013 Elfrida Nainggolan, SKM Lamria Simanjuntak, S.Kep, Ns, M.Kes Prodi D3 Keperawatan Akper HKBP Balige, Tobasa, Sumut [email protected] Abstrak Appendiktomi merupakan salah satu penanganan yang sering dilakukan pada pasien yang mengalami appendiksitis. Pasca pembedahan sering sekali dijumpai pasien takut untuk melakukan mobilisasi yang disebabkan oleh beberapa faktor. Mobilisasi merupakan faktor yang utama dalam mempercepat pemulihan dan mencegah terjadinya komplikasi pasca bedah. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelasi yang bertujuan untuk mengetahu hubungan mobilisasi dini dengan lamanya penyembuhan luka pasca operasi appendiktomi. Penelitian ini dilakukan di RSU HKBP Balige pada bulan November 2012 s.d Maret 2013 dengan jumlah sampel 15 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Dari hasil penelitian diperoleh uji Chi-square menunjukkan nilai p = 0,008 (p < 0,05). Artinya ada hubungan antara mobilisasi dini dengan lamanya penyembuhan luka paska operasi appendictomy di ruang zaal C RSU HKBP Balige Tahun 2013. Kata kunci : Mobilisasi, Apendiktomi, Rumah Sakit, HKBP Balige gangguan pernapasan dan gangguan peristaltik maupun berkemih (Carpenito, 2000). Namun, bila terlalu dini dilakukan dengan teknik yang salah, mobilisasi dapat mengakibatkan proses penyembuhan luka menjadi tidak efektif. Oleh karena itulah, mobilisasi harus dilakukan secara teratur dan bertahap, diikuti dengan latihan Range of Motion (ROM) aktif dan pasif (Roper, 2002). Marlitasari (2010) meneliti tentang gambaran penatalaksanaan mobilisasi dini pada pasien apendektomi di RS PKU Muhammadiyah Gombong. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh data bahwa mobilisasi dini dapat mengurangi rasa nyeri pasien, mengurangi waktu rawat di rumah sakit dan dapat mengurangi stress psikis pada pasien. Kesimpulan dari penelitian ini adalah adalah dengan bergerak seseorang dapat mencegah kekakuan otot dan sendi, mengurangi rasa nyeri, menjaga aliran darah, memperbaiki 1. PENDAHULUAN Insiden apendisitis di negara maju lebih tinggi daripada negara berkembang, Amerika menangani 11 kasus/10.000 kasus apendisitis setiap tahun. Menurut data RSPAD Gatot Subroto tahun 2008 jumlah pasien yang menderita penyakit apendisitis di Indonesia adalah sekitar 32% dari jumlah populasi penduduk Indonesia (DEPKES RI, 2009). Salah satu faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka akibat operasi pembuangan apendiks (apendektomi) adalah kurangnya/ tidak melakukan mobilisasi dini. Mobilisasi merupakan faktor yang utama dalam mempercepat pemulihan dan mencegah terjadinya komplikasi pasca bedah. Mobilisasi sangat penting dalam percepatan hari rawat dan mengurangi resiko karena tirah baring lama seperti terjadinya dekubitus, kekakuan atau penegangan otot-otot di seluruh tubuh, gangguan sirkulasi darah, 98 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690 Berdasarkan data survei awal, peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan mobilisasi dini dengan lamanya penyembuhan luka paska operasi appendiktomy di ruang zaal C RSU HKBP Balige Tahun 2013. metabolisme tubuh, mengembalikan kerja fisiologis organ-organ vital yang pada akhirnya justru akan mempercepat penyembuhan luka. Keberhasilan mobilisasi dini tidak hanya mempercepat proses pemulihan luka pasca pembedahan namun juga mempercepat pemulihan peristaltik usus pada pasien pasca pembedahan (Israfi dalam Akhrita, 2011). Hal ini telah dibuktikan oleh Wiyono dalam dalam Akhrita (2011) dalam penelitiannya terhadap pemulihan peristaltik usus pada pasien pasca pembedahan. Hasil penelitiannya mengatakan bahwa mobilisasi diperlukan bagi pasien pasca pembedahan untuk membantu mempercepat pemulihan usus dan mempercepat penyembuhan luka pasien. Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di Ruang Zaal C RSU HKBP Balige, terdapat 25 orang pasien yang mengalami pasca operasi apendiktomy. Peneliti mendapatkan informasi bahwa dari 25 orang yang baru mengalami operasi apendisitis 20 orang mengatakan bahwa mereka sangat takut untuk melakukan mobilisasi paska operasi. Hal ini disebabkan karena pasien merasa sangat kesakitan saat bergerak pasca efek anestesi operasi tersebut hilang. Disamping itu, pasien juga mengungkapkan kekhawatiran jahitan luka bekas operasi akan meregang atau terbuka jika mereka melakukan mobilisasi paska operasi. Mereka beranggapan mobilisasi dapat menyebabkan terjadinya ruam atau lecet pada bagian abdomen bagian bawah, kekakuan atau penegangan otot – otot di seluruh tubuh, pusing dan susah bernafas, juga susah buang air besar maupun berkemih. Hal inilah yang menyebabkan banyak diantara mereka untuk lebih memilih diam atau tidak bergerak diatas tempat tidur. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Mobilisasi Dini 2.1.1Definisi Mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk bergerak secara bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktifitas guna mempertahankan kesehatannya (Alimul, 2009). 2.1.2 Tujuan Mobilisasi Dini Mobilisasi dini bertujuan untuk mengurangi komplikasi paska bedah, terutama atelektasis dan pneumonia hipostasis, mempercepat terjadinya buang air besar dan buang air kecil secara rasa nyeri pasca operasi (E. Oswari, 2005). Mobilisasi yang dilakukan untuk meningkatkan ventilasi, mencegah stasis darah dengan meningkatkan kecepatan sirkulasi pada ekstremitas dan kecepatan pemulihan pada luka abdomen (Suzanne C, 2005). 2.1.3 Jenis Mobilisasi Menurut Alimul (2009), jenis mobilisasi dibedakan berdasarkan kemampuan gerakan yang dilakukan oleh seseorang yaitu : 1. Mobilisasi penuh, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan peran seharihari. Mobilisasi penuh ini merupakan fungsi saraf motorik dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh area tubuh seseorang. 2. Mobilisasi sebagian, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan jelas dan 99 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 tidak mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan sensorik pada area tubuh. Mobilitas sebagian dibagi menjadi dua jenis yaitu: a. Mobilitas sebagian temporer, merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang bersifat sementara, ini dapat disebabkan oleh trauma pada sistem musculoskletal. b. Mobilitas sebagian permanen, merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya menetap. Hal tersebut disebabkan oleh rusaknya sistem saraf, contoh terjadinya hemiplegia karena stroke. ISSN 2338-3690 2.2.1 Pengertian Pembedahan adalah suatu penanganan medis secara invasif yang dilakukan untuk mendiagnosa atau mengobati penyakit, injuri, atau deformitas tubuh (LeMone & Burke, 2003). Apendiktomi adalah pembedahan dengan cara pengangkatan apendiks. Apendisitis merupakan indikasi tersering pengangkatan apendiks, walaupun pembedahan ini dapat juga dilakukan untuk tumor, misalnya karsinoid atau adenokarsinoma (Sylvia A. Price, 2006). 2.2.2 Persiapan Pembedahan Apendiktomi a. Persiapan Fisik Sebelum pembedahan dimulai, lambung harus kosong dan dipuasakan enam jam sebelum pembedahan. Kulit tubuh, khususnya di daerah lapangan operasi harus bersih. Penderita harus mandi dengan sabun atau larutan antiseptik. Suhu badan dipertahankan normal. Hipertermi meningkatkan metabolisme sehingga syok tidak dapat dikompensasi seperti biasa. Sedangkan hipotermi memperlambat metabolisme sehingga misalnya pembekuan darah melambat. Keseimbangan cairan dan elektrolit harus dikoreksi. Pada penderita diabetes mellitus dilakukan kadar gula darah dan ketonuria. Diuresis menjadi pegangan penting dalam menentukan keseimbangan cairan. Jika diuresis mencapai 30 ml/jam, lidah lembab, mukosa lain tampak basah dan turgor kulit memadai, hidrasi penderita dapat dianggap normal. Penyulit pasca bedah paling banyak terjadi di paru. Perokok harus dianjurkan untuk berhenti merokok sekurang-kurangnya satu minggu sebelum rencana operasi. Gangguan faal hati sering ditemukan dan, akibatnya, seperti hipoalbuminemia, anemia dan 2.1.4 Latihan Rentang Gerak (Range Of Motion/ROM) Kemampuan sendi untuk melakukan pergerakan pada pasien berbeda sesuai dengan kondisi kesehatannya. Latihan rentang gerak merupakan gerakan yang mungkin dilakukan sendi pada salah satu dari tiga potongan tubuh yaitu, sagital, frontal, dan transversal (Potter dan Perry, 2006). Latihan rentang gerak ini dilakukan pada masing-masing persendian dengan melakukan gerakan yang tidak membahayakan. Latihan ROM dapat dilakukan secara aktif dan pasif. Latihan ROM secara pasif merupakan latihan dimana perawat menggerakkan persendian pasien sesuai dengan rentang geraknya. Sedangkan latihan ROM secara aktif adalah ROM yang dilakukan oleh pasien sendiri tanpa bantuan perawat dan alat bantu. Perbedaan latihan ROM pasif dan aktif bergantung pada ada tidaknya bantuan yang diberikan perawat pada pasien dalam melakukan ROM (Asmadi, 2009). 2.2 Konsep Bedah Apendiktomi 100 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690 gangguan pembekuan darah, sedapat mungkin dikoreksi. Pada obstruksi saluran cerna harus dilakukan dekompresi dengan memasang pipa lambung (Sjamsuhidayat, 2005). dengan efektif, latihan melatih 1997). tehnik nafas dalam, batuk miring kanan dan miring kiri, mengerakkan tungkai, dan turun dari tempat tidur (Carol, b. Persiapan Mental Secara mental, pasien harus dipersiapkan untuk menghadapi pembedahan karena selalu ada cemas atau takut terhadap penyuntikan, nyeri luka, anastesia, bahkan terhadap kemungkinan cacat atau mati (Sjamsuhidayat, 2005). Untuk kelancaran pembedahan pasien dan keluarganya perlu mengetahui beberapa informasi yang berkaitan dengan prosedur pembedahan. Informasi tersebut penting mengingat pasien mempunyai hak untuk menyetujui atau menolak intervensi yang akan diberikan. Disamping itu perawat juga mempunyai kewajiban untuk menyampaikan informasi yang berkaitan dengan proses penyembuhan pasien sesuai dengan standar keperawatan. Beberapa prosedur yang perlu disiapkan secara kolaboratif antara dokter dengan perawat sebelum pasien menjalani pembedahan antara lain: dokter menetapkan diagnosa media pasien, melakukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan dagnostik dan persiapan lainnya seperti melakukan enema, cukur, memberi dukungan psikologis dan spiritual, serta memberikan pendidikan kesehatan (Kozier, dkk, 2004). Pendidikan kesehatan merupakan hal yang sangat penting untuk dipersiapkan sebelum pembedahan, mengingat pengalaman menjalani operasi merupakan peristiwa kompleks yang sangat menegangkan. Informasi melalui pendidikan kesehatan yang perlu disampaikan sebelum apendiktomi diharapkan dapat membantu menurunkan kecemasan dan rasa nyeri c. Perawatan Apendiktomi Perawatan pasca apendiktomi umumnya sama dengan perawatan pasien lain yang menjalani operasi/laparatomi. Perkembangan kondisi pasien harus diobservasi dengan baik untuk mencegah terjadinya peritonitis dan komplikasi lain setelah pembedahan. Mobilisasi diawali segera pada hari pertama post operasi, dan diet diberikan sesuai dengan toleransi kerja usus. Mobilisasi mengacu pada kemampuan seseorang untuk bergerak dengan bebas. Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk bangkit, berdiri dan berjalan, kembali ke tempat tidur, kursi (Lewis S, 2000) yang dapat diperoleh dari kepatenan pernafasan, sirkulasi dan kontrol terhadap nyeri. Obat anastesi tertentu dapat menyebabkan depresi pernafasan. Sehingga perawat perlu waspada adanya pernafasan yang dangkal dan lambat serta batuk yang lemah. Salah satu kekhawatiran terbesar perawat adalah obstruksi jalan nafas akibat aspirasi muntah, ukumulasi sekresi mukosa di faring, atau bengkaknya spasme laring (Odom, 1993 dalam Kozier, 2004). Pencegahan awal statis sirkulasi sebagai komplikasi sirkulasi yang tidak adekuat adalah dengan meningkatkan aliran darah balik vena dan aliran darah normal. Perawat menganjurkan klien melakukan latihan kaki dan ambulasi lebih awal. 3. KERANGKA KONSEP Mobilisasi dini 101 Lamanya Penyembuhan Luka Pasca Operasi Apendiktomi 1. Lambat 2. Cepat Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690 yang diperoleh dari Ruangan Zaal C RS HKBP Balige. 3.1. Hipotesis Penelitian Ha : Ada hubungan antara mobilisasi dini dengan lamanya penyembuhan luka pasca operasi Appendictomy di ruang zaal C RSU HKBP Balige Tahun 2013. 3.8 TehnikPengolahan Data Setelah data terkumpul dilakukan beberapa proses pengolahan data yaitu : 1. Editing Kegiatan ini dilakukan untuk mengevaluasi kelengkapan, konsistensi dari setiap jawaban yang di berikan responden, sehingga tidak ditemui jawaban yang kosong dari responden. 2. Coding Pada tahap ini dilakukan dengan cara mengolah hasil jawaban dari setiap pertanyaan diberi kode sesuai petunjuk untuk memudahkan peneliti dalam mengolah data 3. Entery atau processing Dimana pada tahap ini jawaban responden dimasukkan semua data dalam computerisasi kedalam program Excel dan SPSS 17. Ho : Tidak Ada hubungan antara mobilisasi dini dengan lamanya penyembuhan luka pasca operasi Appendictomy di ruang zaal C RSU HKBP Balige Tahun 2013. 3.2 Jenis dan Desain Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah bersifat analisis dengan pendekatan cross sectional, yaitu untuk mengetahui hubungan mobilisasi dini dengan lamanya penyembuhan luka pasca operasi appendiktomi di ruangan Zaal C RS HKBP Balige tahun 2013. 3.3 Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan di Ruangan Zaal C Rumah Sakit HKBP Balige Tahun 2013. 3.4 Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Nopember 2012 – Februari 2013. 3.9 Analisa Data Setelah dilakukan pengolahan data maka dilakukan analisa data. Analisa data yang digunakan adalah analisa univariat dan analisa bivariat independen dan dependen. 3.5 Populasi Populasi adalah seluruh pasien yang operasi appendiktomi di Ruangan Zaal C Rumah Sakit HKBP Balige 24 Desember 2012 sampai 3 Maret 2013 adalah 15 orang. 3.9.1 Analisa Univariat Untuk mengetahui distribusi dan persentasi variabel mobilisasi dini dengan lamanya penyembuhan luka responden. 3.9.2 Analisa Bivariat Untuk mengetahui hubungan dua variabel tersebut digunakan uji statistik Chi-Square melalui komputerisasi dengan tingkat kemaknaan P < 0,05. 3.6 Sampel Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik Acsidental sampling. 3.7 Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara Data primer yaitu menggunakan kuesioner untuk pasien, dimana peneliti terlebih dahulu memberikan penjelasan singkat tentang pengisian kuesioner yang telah disediakan dengan menggunakan instrument yang telah disediakan. Data sekunder yaitu data 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ini telah dilaksanakan mulai tanggal 24 Desember 2012 sampai 3 Maret 2013. Penelitian ini melibatkan 15 orang responden 102 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690 Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Di Ruang Zaal C RSU HKBP BaligeTahun 2013 No 1 2 Karakteristik Umur 15-25 tahun 26-36 tahun 37-47 tahun > 47 tahun Jumlah Jenis Kelamin Laki – laki Perempuan Jumlah Frekuensi (F) Persentase (%) 7 5 2 1 15 46.7 33.3 13.3 6.7 100 10 5 15 66.7 33.3 100 Berdasarkan tabel 4.1 dapat dilihat bahwa responden mayoritas berusia 1525 tahun (46,7%) dan minoritas berusia > 47 tahun (6,7%). Responden mayoritas laki laki (66,7%) dan minoritas perempuan (33,3%) Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Mobilisasi Dini Responden Di Ruang Zaal C RSU HKBP BaligeTahun 2013 No 1 2 Mobilisasi Dini Tidak teratur Teratur Frekuensi (F) 13 2 Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat bahwa mayoritas responden tidak teratur Persentase (%) 86.7 13.3 dalam mobilisasi dini (86,7%) dan minoritas teratur (13,3%). Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Penyembuhan Luka Responden Di Ruang Zaal C RSU HKBP BaligeTahun 2013 No Penyembuhan Luka Frekuensi (F) Persentase (%) 1 Lambat 14 93.3 2 Cepat \1 6.7 Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat bahwa penyembuhan luka responden mayoritas minoritas lambat (93,3%) dan cepat (6,7%). Tabel 4.4 Tabulasi Silang Antara Mobilisasi Dini Dengan Penyembuhan Luka Responden Di Ruang Zaal C RSU HKBP BaligeTahun 2013 No Mobilisasi Penyembuhan Luka Total P value Dini Lambat Cepat F % F % F % 1 Tidak Teratur 13 86,6 0 0 13 86,6 0,008 2 Teratur 1 6,7 1 6,7 2 13,4 Total 14 93,3 1 6,7 15 100 103 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690 dapat memperlambat penyembuhan operasi dan efek mobilisasinya pada penyembuhan luka terjadi hematoma, infeksi, dehisens dan eviserasi. Hasil penelitian ini dibuktikan dengan teori bahwa mobilisasi secara teratur dan bertahap serta diikuti dengan istirahat dapat membantu penyembuhan luka (Nada,2007), mobilisasi dilakukan untuk meningkatkan ventilasi, mencegah statis darah dengan meningkatkan kecepatan sirkulasi pada ekstremitas dan kecepatan pemulihan pada luka abdomen (Suzanne C, 2005). Salah satu faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka akibat operasi pembuangan apendiks yang mengalami peradangan adalah mobilisasi dini. Mobilisasi merupakan faktor yang utama dalam mempercepat pemulihan, mencegah terjadinya komplikasi pasca bedah dan mencegah terjadinya trombosis vena (Carpenito, 2000). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Riana (2010) di Ruang Cenderawasih 1 RSUD Arifin Achmad Pekanbaru, didapatkan data bahwa keadaan luka primer pada penyembuhan luka yang baik sebanyak 12 responden (80%) sedangkan pada kelompok kontrol tampilan luka primer pada penyembuhan luka yang baik hanya sebanyak 6 responden (60%) dalam hal ini terlihat bahwa Mobilisasi pada kelompok A mempengaruhi proses, lama dan kesesuaian penyembuhan luka pada luka apendisitis. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Wiyono dalam Akhrita (2011), yang dalam penelitiannya terhadap pemulihan peristaltik usus pada pasien pasca pembedahan. Hasil penelitiannya mengatakan bahwa keberhasilan mobilisasi dini tidak hanya mempercepat proses pemulihan luka pasca pembedahan namun juga mempercepat pemulihan peristaltik usus Berdasarkan tabel 4.4, dari 86,6% responden yang mobilisasi dini tidak teratur, 86,6 % penyembuhan lukanya lambat, 0% cepat. Dan dari 13,4 % responden yang mobilisasi dini teratur, 6,7% penyembuhan lukanya lambat dan 6,7% cepat. Dari hasil uji Chi-square menunjukkan nilai p = 0,008 (p < 0,05). Artinya ada hubungan antara mobilisasi dini dengan lamanya penyembuhan luka paska operasi appendictomy di Ruang Zaal C RSU HKBP Balige Tahun 2013. 4.2 Pembahasan Hasil penelitian yang dilakukan di Ruang Zaal C RSU HKBP Balige mengenai hubungan mobilisasi dini dengan penyembuhan luka, diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan mobilisasi dini dengan penyembuhan luka yang dibuktikan dengan adanya proses penyembuhan luka pada pasien pasca operasi appendiktomi. Hasil uji statistik Chi-Square ditemukan bahwa ada perubahan pada pasien pasca operasi setelah dilakukan mobilisasi dini dengan nilai p = 0,008 (p < 0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis (Ho) ditolak dan hipotesisalternatif (Ha) diterima. Artinya ada hubungan antara mobilisasi dini dengan lamanya penyembuhan luka pasca operasi Appendictomy di ruang zaal C RSU HKBP Balige Tahun 2013. Hampir pada semua jenis operasi setelah 24-28 jam operasi, pasien dianjurkan meninggalkan tempat tidur untuk melakukan mobilisasi dini untuk mencegah komplikasi, luka operasi cepat sembuh bila pasien cepat jalan, karena sikap pasien yang selalu tidur di tempat tidur pasien operasi dapat menimbulkan pneumonia karena paruparu tidak berhubungan dengan baik, dan pneumonia karena bergerak dapat menimbulkan decubitus karena peredaran darah terganggu semua ini 104 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690 Vol 2. Jakarta: EGC Kusmawan, S. Luka dan Komplikasi. http://www.kusmawan.com. 2010. Lukman,N. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal.Jilid 1. Jakarta: Salemba Medika. Mansjoel,A. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Media Aesculapias FKUI. Mayo, J. 2003. Manajemen Luka. Jakarta: EGC. Mubarak, Wahit. 2007. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta. Notoatmodjo, S. 2000. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Oswari, E. 2000. Bedah dan Perawatanya. Jakarta: EGC Patricia, A. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Ediai 4 Vol 1. Jakarta: EGC Potter, & Perry, 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan Praktik. Jakarta: EGC. Reeves,J. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika Roper, Nancy. 2002. Prinsip-Prinsip Keperawatan. Yogyakarta: Yayasan Esensia Media dan Penerbit Abadi. Sjamsuhidayat. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC Schaffer. 2000. Pencegahan Infeksi dan Praktik yang Aman. Jakarta.. Suriadi. 2004. Perawatan Luka. Edisi I. Jakarta: Sagung Seto. Suzanne, dkk.. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Vol 1.. Jakarta: EGC. Wahit,M. 2007. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia Teori dan Aplikasi dalam Praktek. Jakarta : egc. **** pada pasien pasca pembedahan (Israfi dalam Akhrita, 2011). 5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian hubungan antara mobilisasi dini dengan lamanya penyembuhan luka pasca operasi Appendictomy di ruang zaal C RSU HKBP Balige Tahun 2013, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Mobilisasi responden tidak teratur (86,7%) dan mobilisasi teratur (13,3%). 2. Penyembuhan luka responden lambat (93,3%) dan penyembuhan luka cepat (6,7%). 3. Ada hubungan yang signifikan antara mobilisasi dini dengan lamanya penyembuhan luka paska operasi Appendictomy di ruang zaal C RSU HKBP Balige Tahun 2013 (p = 0,008) (p < 0,05). DAFTAR PUSTAKA Admin, Pengertian Luka dan Proses Penyembuhan Luka. http: www.admin.com. 02 Februari 2009. Alimul A, 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Surabaya: Salemba Medika. Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: EGC Asmadi. 2009. Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika. Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 Vol. 1 diterjemahkan oleh Waluyo A. Jakarta: EGC. ------- Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 Vol. 2 diterjemahkan oleh Hartono, A. Jakarta: EGC. Hidayat,A. 2007. Metodologi Penelitian Kebidanan Teknik Analisa Data .jakarta: Salemba Medika. Kazier, B. 2009. Fundamental Of Nursing, Seventh,Edition. 105 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690 DAMPAK PENGGUNAAN LAPTOP TERHADAP MOTIVASI BELAJAR MAHASISWA TINGKAT III AKADEMI KEPERAWATAN HKBP BALIGE dr. Irwan Wirya, M.Kes Prodi D3 Keperawatan Akper HKBP Balige, Tobasa, Sumut [email protected] Abstrak Belajar merupakan proses perubahan perilaku karena pengalaman dan latihan. Arti lain dari belajar adalah semua aktivitas mental atau psikis yang terjadi dalam interaksi aktif pada lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengelolaan pengertian. Media pembelajaran merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dalam proses belajar, melalui media proses belajar mengajar akan semakin optimal pencapaiannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penggunaan laptop terhadap motivasi belajar mahasiswa tingkat III AKPER HKBP Balige, dengan menggunakan desain cross sectional study. Dari hasil penelitian didapat hasil sebagian besar motivasi belajar mahasiswa tingkat III naik 75% (15 orang) apabila adanya penggunaan laptop saat belajar di kelas. Kata kunci : motivasi belajar, mahasiswa, Akper HKBP Balige Manusia dengan pendidikan adalah dua dunia yang tidak dapat terpisahkan. Manusia memerlukan pendidikan untuk mengembangkan diri dan memberikan arahan yang tepat untuk hidupnya. Sedangkan pendidikan sendiri tidaklah berarti tanpa adanya subyek yang menghidupi obyek pendidikan itu sendiri. Diperlukan pendidikan yang tepat dalam melahirkan individu yang memiliki kemampuan (skill), mental yang kuat disertai karakter yang baik. Dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi merupakan sarana dalam melahirkan individu yang lengkap dan berkualitas. Tetapi hal yang terpenting adalah motivasi dan kemauan dari setiap pribadi, dalam hal ini peneliti membahas mahasiswa itu sendiri dalam mencapai tingkat tertinggi dalam pendidikan. Notebook dan laptop merupakan sesuatu kebutuhan di era globalisasi ini. Notebook atau laptop dapat membantu mahasiwa mengerjakan tugas di kelas dan menemukan hal baru yang belum 1. LATAR BELAKANG Di era globalisasi, teknologi informasi berperan sangat penting, sebab dengan menguasai teknologi dan informasi, kita memiliki modal yang cukup untuk menjadi pemenang dalam persaingan global. Di era globalisasi, tidak menguasai teknologi informasi identik dengan buta huruf. Teknologi informasi dan multimedia telah memungkinkan mewujudkan pembelajaran yang efektif dan menyenangkan, yang melibatkan mahasiswa secara aktif. Kemampuan tehnologi informasi dan multimedia dalam menyampaikan pesan dinilai sangat besar. Dalam bidang pendidikan, teknologi informasi dan multimedia telah mengubah paradigma penyampaian materi perkuliahan kepada peserta didik. Computer Assisted Instruction (CAI) bukan saja dapat membantu dosen mengajar, melainkan sudah bersifat stand alone dalam memfasilitasi proses belajar. 106 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 mahasiwa ketahui, dalam hal ini adalah kaitan dengan motivasi belajar mahasiswa sebagai indicator. Peneliti membahas mengenai pengaruh notebook atau laptop sebagai sarana yang mempengaruhi minat belajar mahasiswa. ISSN 2338-3690 mendapat kepuasan dengan melakukan pekerjaan tersebut bukan karena rangsangan lain seperti status ataupun uang atau bisa juga dikatakan seorang melakukan hobbinya. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah manakala elemen elemen diluar pekerjaan yang melekat di pekerjaan tersebut menjadi faktor utama yang membuat seorang termotivasi seperti status ataupun kompensasi. Banyak teori motivasi yang dikemukakan oleh para ahli yang dimaksudkan untuk memberikan uraian yang menuju pada apa sebenarnya manusia dan manusia akan dapat menjadi seperti apa. Landy dan Becker membuat pengelompokan pendekatan teori motivasi ini menjadi 5 kategori yaitu teori kebutuhan, teori penguatan, teori keadilan, teori harapan, dan teori penetapan sasaran. http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/08/riset-akuntansi5/ Laptop dirancang dengan bentuk flip untuk melindungi layar dan keyboard, namun semakin berkembangnya teknologi, sekarang ada beberapa laptop hanya berbentuk layar saja dan memiliki layar touchscreen. Laptop sangat cocok bagi seseorang yang memiliki mobilitas yang tinggi dan selalu bekerja dengan laptop setiap saat. Ada juga beberapa orang memiliki laptop hanya untuk fashion atau gaya jaman sekarang, sehingga kadang sebagian orang tidak mengerti bagaimana cara merawat laptop yang mereka miliki. Namun, tak hanya itu, banyak pula yang membutuhkan tapi tak bisa merawat, sehingga laptop yang dimiliki mudah rusak. Untuk itu laptop memerlukan perawatan yang berkala agar kerja laptop tetap terjaga seperti baru. Seperti kata pepatah, “merawat lebih baik dari pada mengobati”, karena jika rusak tak sedikit biaya yang harus dikeluarkan B. Teori Motivasi B.1. Teori motivasi Abraham Maslow Abraham Maslow (1943;1970) mengemukakan bahwa pada dasarnya semua manusia memiliki kebutuhan pokok. Ia menunjukkannya dalam 5 tingkatan yang berbentuk piramid. • Kebutuhan fisiologis (rasa lapar, rasa haus, dan sebagainya) • Kebutuhan rasa aman (merasa aman dan terlindung, jauh dari bahaya) • Kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki (berafiliasi dengan orang lain, diterima, memiliki) • Kebutuhan akan penghargaan (berprestasi, berkompetensi, dan mendapatkan dukungan serta pengakuan) • Kebutuhan aktualisasi diri 2. TINJAUAN TEORITIS A. Konsep Motivasi Motivasi adalah suatu dorongan kehendak yang menyebabkan seseorang melakukan suatu perbuatan untuk mencapai tujuan tertentu. Motivasi berasal dari kata motif yang berarti "dorongan" atau rangsangan atau "daya penggerak" yang ada dalam diri seseorang. Motivasi dapat berupa motivasi intrinsic dan ekstrinsic. Motivasi yang bersifat intinsik adalah manakala sifat pekerjaan itu sendiri yang membuat seorang termotivasi, orang tersebut B.2. Teori Motivasi Herzberg Menurut Herzberg (1966), ada dua jenis faktor yang mendorong seseorang untuk berusaha mencapai kepuasan dan menjauhkan diri dari ketidakpuasan. 107 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 Dua faktor itu disebutnya factor higiene (faktor ekstrinsik) dan faktor motivator (faktor intrinsik). Faktor higiene memotivasi seseorang untuk keluar dari ketidakpuasan, termasuk didalamnya adalah hubungan antar manusia, imbalan, kondisi lingkungan, dan sebagainya (faktor ekstrinsik), sedangkan faktor motivator memotivasi seseorang untuk berusaha mencapai kepuasan, yang termasuk didalamnya adalah achievement, pengakuan, kemajuan tingkat kehidupan, dan sebagainya (faktor intrinsik). ISSN 2338-3690 Tabel 2 Distribusi frekuensi naik turunnya motivasi belajar mahasiswa tingkat III Akper HKBP Balige terhadap penggunaan laptop saat belajar di kelas Dampak penggunaan laptop Berdampak Tidak Berdampak Total Frequency Percent 15 75 5 25 20 100 Tabel 2 menujukkan sebagian besar motivasi belajar mahasiswa tingkat III naik 75% (15 orang) apabila adanya penggunaan laptop saat belajar di kelas. Setelah melakukan penelitian terhadap 20 (dua puluh) orang responden dengan menggunakan kuisoner, maka hasil analisa data dari kuisoner adalah sebagai berikut. 1. Bahwa penggunaan laptop di kelas, sebanyak 75% responden memiliki dampak pada motivasi belajar. 2. Bahwa 75% responden memiliki peningkatan motivasi belajar apabila dapat menggunakan laptop saat belajar di kelas. 3. METODOLOGI PENELITIAN Dalam penelitian ini menggunakan desain studi cross-sectional dengan metode deskriptif yaitu menggambarkan keadaan yang sebenarnya berdasarkan data dan fakta yang ada pada saat penelitian karena bermaksud untuk mengungkapkan hubungan atau korelasi antara variabel bebas dengan variabel terikat. (Nursalam, 2003) 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis hasil penelitian meliputi analisis univariat dan bivariat. Analisis univariat meliputi analisis deskriptif untuk variable karakteristik individu dan deskripsi variable independen/bebas. 5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan hasil penelitian maka peneliti menyimpulkan bahwa dampak penggunaan laptop pada saat belajar di kelas adalah meningkatkan motivasi belajar mahasiswa tingkat III Akper HKBP Balige. Tabel 1 Distribusi frekuensi dampak penggunaan laptop terhadap motivasi belajar mahasiswa tingkat III Akper HKBP Balige Motivasi Belajar Frequency Percent Naik 15 75 Turun 5 25 Total 20 100 KEPUSTAKAAN Fadhil, 2012, Sejarah Laptop dan Perkembangannya, http://fadhilgalery.blogspot.com Hengki Riawan, 2012, Pengertian Prestasi Belajar, http://hengkiriawan. blogspot.com Dari tabel 1 menunjukkan sebagian besar responden, yaitu 75% (15 orang) memiliki dampak motivasi belajar terhadap penggunaan laptop di kelas. 108 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 Anonim, 2012, Pengertian Laptop, http://id.shvoong.com/howto/writing/2163179-pengertian laptop/#ixzz2BDYzP5pp diakses 04/05/2013 jam 10.53 wib Pamuncar, 2012, Definisi-Peran-danFungsi Mahasiswa, http://pamuncar. blogspot.com/2012/06/definisiperan-dan-fungsi mahasiswa.html 12.25 Anonim, 2009, Redefinisi-Arti Mahasiswa, http://sajakrakyat.blogspot.com/ 2009/01/redefinisi-artimahasiswa.html214311/16/12 Suci Nurhani, 2011, Dampak Positif Negatif, http://sucinurhani.blogspot.com ISSN 2338-3690 Anonim, 2010, Riset Akutansi, http://wartawarga.gunadarma.ac.id/ 2010/08/riset-akuntansi-5/ diakses 04/05/13 jam 10.40 wib Anonim, Fungsi Laptop bagi Mahasiswa, http://www.google.co.id/search?q=f ungsi+laptop+bagi+mahasiswa&ie =utf-8&oe=utf8&aq=t&rls=org.mozilla:enUS:official&client=firefox-a diakses 17.33 07/05/13 Anonim, 2011, Prestasi Belajar, http://www.sarjanaku.com/2011/02/ prestasi-belajar.html22.0011/16/12 Anonim, 2012, Pengertian Belajar, www.Cumanulisaja.blogspot.com/2 012/05/pengertian-belajar.html?=1 **** 109 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690 FAKTOR– FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG PEMENUHAN NUTRISI PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN KARDIOVASKULER DI RUANG E RSU HKBP BALIGE TAHUN 2011 Jenti Sitorus, SST Daniel Tambunan, MARS Prodi D3 Keperawatan Akper HKBP Balige, Tobasa, Sumut [email protected] Abstrak Jantung merupakan salah satu organ tubuh yang sangat vital dan memegang peranan sangat penting dalam kehidupan manusia, karena berfungsi untuk memompa dan mengalirkan darah ke seluruh bagian tubuh, termasuk ke jaringan dan organ tubuh yang lain, seperti otak, ginjal, usus, paru-paru, hati, dll. Aliran darah tersebut sangat penting sekali, karena nutrisi dan oksigen yang diperlukan oleh seluruh tubuh dapat di transportasi ke sel untuk kehidupan sel jaringan dan organ tubuh itu sendiri. Tanpa nutrisi dan oksigen yang cukup, maka sel jaringan atau organ tubuh akan mati, sehingga fungsi sel dalam jaringan atau organ akan terganggu, dan inilah yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai faktor–faktor yang mempengaruhi pengetahuan perawat tentang pemenuhan nutrisi pada pasien yang dirawat di ruang E Tahun 2011. Penelitian ini bersifat deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana faktor –faktor yang mempengaruhi pengetahuan perawat tentang pemenuhan nutrisi pada pasien yang dirawat di ruang E RSU HKBP Balige Tahun 2011. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 10 orang responden didapat bahwa 7 orang berpengetahuan baik, 2 orang (15%) berpengetahuan cukup dan 1 orang berpengetahuan kurang. Kata kunci: pengetahuan, perawat, nutrisi, kardiovaskuler, RSU HKBP Balige pemeliharaan tubuh dan melindungi tubuh. Kesalahan pola makan dewasa ini menyebabkan nutrisi makanan yang masuk ke dalam tubuh kita menjadi tidak seimbang sehingga tidak jarang ditemui orang dengan kelebihan zat gizi atau obesitas dan juga orang dengan kadar gizi yang kurang atau mal nutrisi. Data statistik dari WHO mengatakan bahwa 70 % kematian dini disebabkan penyakit jantung, kanker, diabetes dan stroke dan 50 % kematian diatas berhubungan dengan pola makan yang tidak baik (http ://adipatria.wordpress. com/). Peran perawat seharusnya mengobservasi respon klien terhadap pemberian nutrisi, memperhatikan apakah pasien menghabiskan diet yang disediakan, adakah pantangan yang 1. LATAR BELAKANG Nutrisi adalah semua makanan yang mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh baik untuk mempertahankan keseimbangan metabolisme ataupun sebagai pembangun. Untuk membangun tubuh yang sehat, dan lebih penting lagi mempertahankannya, pemasukkan gizi yang baik diperlukan. Pola makan sehat juga penting untuk membantu melindungi seseorang dari penyakit seperti penyakit jantung dan kanker. Nutrisi atau lebih mudah disebut zat gizi adalah inti dari makanan. Makanan mengandung berbagai macam nutrisi atau zat gizi. Zat gizi berfungsi membantu tubuh menjalankan metabolisme dengan benar, dan berfungsi dengan benar, menyediakan energi, memastikan pertumbuhan dan 110 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 dilanggar, habis tidaknya makanan yang dianjurkan. Karena pasien dengan penyakit kardiovaskuler mempunyai syarat-syarat tertentu dalam pemenuhan nutrisinya. Memperhatikan keadaan tersebut akhirnya penulis ingin mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan perawat tentang pemenuhan nutrisi pada pasien yang dirawat di Zaal E RSU HKBP Balige tahun 2011. ISSN 2338-3690 Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin mudah seseorang tersebut untuk menerima dan menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh dan kemauan untuk mengetahui informasi akan semakin tinggi. Menurut pendapat beberapa ahli tentang pendidikan : 1) Jhon Dewey Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia. 2) Lavengeld Mendidik adalah mempengaruhi anak dalam usaha membimbingnya supaya menjadi dewasa. Usaha membimbing adalah usaha yang disadari dan dilaksanakan dengan sengaja. Pendidikan hanya terdapat dalam pergaulan yang sengaja antara orang dewasa dan alam. 3) Rosseau Pendidikan adalah member perbekalan yang tidak ada pada masa anak-anak akan tetapi dibutuhkan pada waktu dewasa. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Pengetahuan 2.1.1. Pengertian Pengetahuan merupakan hasil tahu dari manusia, ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan (sebagian besar di peroleh melalui mata dan telinga) terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang paling penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) dan pengetahuan dapat di ukur dengan melakukan wawancara perilaku yang didasari dengan pengetahuan dan kesadaran akan lebih bertahan lama daripada perilaku yang tidak di dasari ilmu pengetahuan dan kesadaran. (Notoatmodjo, 2007:143-144). b. Pengalaman Pengalaman adalah suatu yang pernah dialami, dilihat, didengar oleh seseorang yang dapat menjadi acuan. Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman sendiri ataupun oang lain. Seseorang anak memperoleh pengetahuan bahwa api itu panas setelah memperoleh pengalaman dimana tangan dan kakinya terkena api dan terasa panas (Notoadmojo, 2007). 2.1.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan Menurut Notoadmojo (2007:20 ) faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah : a. Pendidikan Pendidikan adalah suatu proses belajar, proses pertumbuhan/ perkembangan dan perubahan ke arah yang lebih baik pada individu, kelompok dan masyarakat. Mendidik dan pendidikan adalah dua hal yang saling berhubungan. Dari segi bahasa, mendidik adalah kata kerja dan pendidikan adalah kata benda. (Notoadmojo, 2007:20). c. Sumber informasi Informasi adalah data yang di proses dalam suatu bentuk yang mempunyai arti bagi si penerima. Dengan adanya informasi, dapat meningkatkan pengetahuan bagi yang menerima. Jenis informasi ada dua yaitu 111 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690 makan yang salah menyebabkan orang mengkonsumsi makanan tinggi karbohidrat dan lemak, banyak bahan pengawet, pewarna, penyedap, banyak garam dan gula, makanan siap saji, alkohol dan lain sebagainya, disisi lain banyak juga orang yang kekurangan zat–zat gizi esensial seperti vitamin, mineral, asam lemak, asam amino, serat, air (Patria, 2008). Berdasarkan kegunaannya bagi tubuh, zat gizi dibagi dalam tiga kelompok besar yaitu 1. Kelompok zat energi, temasuk kedalam kelompok ini adalah : - Bahan makanan yang mengandung karbohidrat seperti beras, jagung, gandum, ubi, roti, singkong dan lain-lain, selain itu dalam bentuk gula seperti gula, sirup, madu dan lain-lain. - Bahan makanan yang mengandung lemak seperti minyak, santan, mentega, margarine, susu dan hasil olahannya. 2. Kelompok zat pembangun Kelompok ini meliputi makanan – makanan yang banyak mengandung protein, baik protein hewani maupun nabati, seperti daging, ikan, susu, telur, kacang-kacangan dan olahannya. 3. Kelompok zat pengatur Kelompok ini meliputi bahan-bahan yang banyak mengandung vitamin dan mineral, seperti buah-buahan dan sayuran. informasi masa lalu (informasi mengenai peristiwa lampau) dan informasi masa sekarang (informasi mengenai peristiwa yang terjadi sekarang) (Notoadmojo, 2007: 163). Informasi erat kaitannya dengan pengetahuan dimana jika seseorang mendapatkan banyak informasi seperti televisi, media cetak, media massa, radio dan surat kabar maka dapat meningkatkan pengetahuannya. 2.2.Nutrisi 2.2.1. Pengertian Nutrisi Nutrisi atau lebih mudah disebut zat gizi adalah inti dari makanan. Makanan mengandung berbagai macam nutrisi atau zat gizi. Zat gizi berfungsi membantu tubuh menjalankan metabolism dengan benar, menyediakan energi, memastikan pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh. Zat gizi dalam produk nutrisi terbagi menjadi dua yaitu zat gizi makro dan mikro. Zat gizi makro terdapat dalam makanan dalam jumlah besar terdiri dari karbohidrat, protein, lemak dan air. Zat gizi mikro terdapat dalam makanan dalam jumlah kecil terdiri dari vitamin dan mineral. Kedua macam zat gizi dari produk nutrisi makanan tersebut baik makro maupun mikro harus di konsumsi oleh tubuh dalam keadaan yang seimbang baik dari segi jumlah maupun jenisnya. Dengan produk nutrisi makanan seimbang membuat proses metabolisme tubuh menjadi lebih baik dan berkualitas, tubuh tidak akan kekurangan salah satu zat gizi yang diperlukan. Kesalahan pola makan dewasa ini menyebabkan nutrisi makanan yang masuk ke dalam tubuh kita menjadi tidak seimbang sehingga tidak jarang ditemui orang dengan kelebihan zat gizi atau katakanlah obesitas dan juga orang dengan kadar gizi yang kurang atau mal nutrisi. Pola 2.2.2. Gangguan Kardiovaskuler Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan di seluruh dunia. Fakta dari WHO menyebutkan bahwa terjadi satu kematian akibat penyakit kardiovaskular setiap dua detik, serangan jantung setiap lima detik dan akibat stroke setiap enam detik. Setiap tahunnya diperkirakan 17 112 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690 serius termasuk serangan jantung dan stroke. Adanya sumbatan darah juga dapat menyebabkan terjadinya robekan jaringan di arteri yang kemudian akan membengkak dan dapat menghambat seluruh pembuluh darah sehingga mengakibatkan serangan jantung atau stroke. juta orang meninggal akibat penyakit kardiovaskular. Penyakit kardiovaskular merupakan suatu istilah untuk gangguan yang menyebabkan penyakit jantung (kardio) dan pembuluh darah (vaskular). Ada tiga bentuk penyakit kardiovaskular, yakni penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskular, dan penyakit vaskular perifer. Penyakit jantung koroner adalah penyakit pembuluh darah yang mensuplai jantung. Implikasinya meliputi infark miokard (serangan jantung), angina (nyeri dada), dan aritmia (irama jantung abnormal). Penyakit serebrovaskular adalah penyakit pembuluh darah yang mensuplai otak. Implikasinya meliputi stroke (kerusakan sel otak karena kurangnya suplai darah) dan transient ischaemic attack (kerusakan sementara pada penglihatan, kemampuan berbicara, rasa atau gerakan). Penyakit vaskular perifer adalah penyakit pembuluh darah yang mensuplai tangan dan kaki yang berakibat rasa sakit yang sebentar datang dan pergi, serta rasa sakit karena kram otot kaki saat olah raga. Serangan jantung dan stroke terutama disebabkan oleh aterosklerosis (penumpukan lemak) pada dinding arteri pembuluh darah yang mensuplai jantung dan otak. Deposit lemak yang bertumpuk menyebabkan terbentuknya lesi yang lama kelamaan akan membesar dan menebal sehingga mempersempit arteri dan menghambat aliran darah. Akhirnya pembuluh darah akan mengeras dan bersifat kurang lentur. Gangguan kardiovaskular yang disebabkan aterosklerosis dikaitkan dengan berkurangnya aliran darah karena jantung dan otak tidak menerima suplai darah yang cukup. Hambatan aliran darah selanjutnya dapat berakibat pada episode kardiovaskular yang lebih 2.2.3. Nutrisi Pada Pasien Dengan Gangguan Kardiovaskuler Penyakit jantung terjadi akibat proses berkelanjutan, dimana jantung secara berangsur kehilangan kemampuannya untuk melakukan fungsi secara normal. Pada awal penyakit, jantung mampu mengkompensasi ketidakefisiensian fungsinya dan mempertahankan sirkulasi darah normal melalui pembesaran dan peningkatan denyut nadi. Dalam keadaan tidak terkompensasi, sirkulasi darah yang tidak normal menyebabkan sesak nafas, rasa lelah, dan rasa sakit di daerah jantung. Berkurangnya aliran darah dapat menyebabkan kelainan pada fungsi ginjal, hati, otak serta tekanan darah, yang berakibat terjadinya resorpsi natrium yang akhirnya menimbulkan edema. Penyakit jantung menjadi akut bila disertai infeksi, gagal jantung, setelah miocard infarc, dan setelah operasi jantung. Syarat-syarat diet penyakit jantung adalah sebagai berikut : 1. Energi cukup, untuk mencapai dan mempertahankan berat badan nomal. 2. Protein cukup yaitu 0,8 g/kgBB. 3. Lemak sedang, yaitu 25-30% dari kebutuhan energi total, 10% berasal dari lemak jenuh, dan 10-15% lemak tidak jenuh. 4. Kolesterol rendah, terutama jika disertai dengan dislipidemia. 5. Vitamin dan mineral cukup. Hindari penggunaan suplemen kalium, kalsium, dan magnesium jika tidak dibutuhkan. 113 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 diberikan sebagai diet jantung III garam rendah. Diet ini rendah energi dan kalsium, tetapi cukup zat gizi lain. 6. Garam rendah, 2-3 g/hari, jika disertai hipertensi atau edema. 7. Makanan mudah cerna dan tidak menimbulkan gas. 8. Serat cukup untuk menghindari konstipasi. 9. Cairan cukup, ± 2 liter/hari sesuai dengan kebutuhan. 10. Bentuk makanan disesuaikan dengan keadaan penyakit, diberikan dalam porsi kecil. 11. Bila kebutuhan gizi tidak dapat dipenuhi melalui makanan dapat diberikan tambahan berupa makanan enteral, parenteral atau suplemen gizi. 2.2.4. Jenis Diet / Nutrisi Indikasi Pemberian ISSN 2338-3690 Diet Jantung IV Diet jantung IV diberikan dalam bentuk makanan biasa. Diet diberikan sebagai perpindahan dari Diet Jantung III atau kepada pasien jantung dengan keadaan ringan. Jika disertai hipertensi atau edema, diberikan sebagai Diet Jantung IV garam rendah. Diet ini cukup energi dan zat lain, kecuali kalsium ( Sunita, 2005). 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Konsep dan Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan Pendidikan Lama bekerja Pelatihan informasi Diet Jantung I Diet jantung I diberikan kepada pasien penyakit jantung akut seperti Myocard Infarct (MCI) atau Dekompensasio Kordis berat. Diet diberikan berupa 1-1,5 liter cairan/hari selama 1-2 hari pertama bila pasien dapat menerimanya. Diet ini sangat rendah energi dan semua zat gizi, sehingga sebaiknya diberikan selama 13 hari. - Baik - Cukup - Kurang 3.2. Metode Penelitian 3.2.1. Jenis dan Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah desain penelitian cross sectional yaitu suatu metoda yang merupakan rancangan penelitian dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat bersamaan. Jenis penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran pengetahuan perawat tentang pemenuhan nutrisi pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler yang dirawat di ruang E RSU HKBP BaligeTahun 2011. Diet Jantung II Diet jantung II diberikan dalam bentuk makanan saring atau lunak. Diet diberikan sebagai perpindahan dari Diet Jantung I, atau setelah fase akut dapat diatasi. Jika disertai hipertensi atau edema, diberikan sebagai Diet Jantung II garam rendah. Diet ini rendah energi, protein, kalsium, dan tiamin. 3.2.2. Tempat dan Waktu penelitian Penelitian dilaksanakan di ruang E RSU HKBP Balige, dilakukan mulai bulan Mei sampai Juli 2011. Diet Jantung III Diet jantung III diberikan dalam bentuk makanan lunak atau biasa. Diet diberikan sebagai perpindahan dari diet jantung II atau kepada pasien jantung dengan kondisi yang tidak terlalu berat. Jika disertai hipertensi atau edema, 3.2.3. Populasi dan Sampel a. Populasi Populasi adalah kumpulan elemenelemen yang memiliki sejumlah sifat114 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 sifat tertentu. Populasi dalam penelitian ini adalah perawat di ruang E RSU HKBP Balige tahun 2011. b. Sampel Sampel merupakan bagian dari populasi yang di anggap mewakili populasi. Sampel dalam penelitian ini diambil secara eksidental. Tabel 4. 2 Distribusi Frekuensi Perawat di Ruangan E berdasarkan Masa Kerja Di RSU HKBP BaligeTahun 2011 No 1 2 3 3.3. Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara dengan penyebaran kuesioner sedangkan dengan observasi menggunakan observasi check list. HASIL PENELITIAN Dari hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan perawat tentang pemenuhan nutrisi pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler yang dirawat di Zaal E RSU HKBP Balige, maka diperoleh : No Persentase 1 2 80% SPK 2 20% Jumlah 40 100% Jlh Persentase ( %) 40% 50% 10% 100% 4 5 1 10 Tabel 4. 3 Distribusi frekuensi perawat di ruangan E berdasarkan pernah tidaknya mengikuti pelatihan / seminar tentang pemenuhan nutrisi pada pasien dengan gangguan kardiovakuler yang dirawat di RSU HKBP Balige Tahun 2011 Tabel 4.1 Distribusi frekuensi perawat di Zaal E berdasarkan tingkat pendidikan Di RSU HKBP Balige Tahun 2011 2 Lama bekerja > 3 tahun 1–3 <1 tahun Jumlah Berdasarkan tabel 4.2 di atas dapat dilihat bahwa jumlah responden yang masa kerja >3 tahun sebanyak 4 orang (40%), responden yang masa kerjanya 1-3 tahun sebanyak 5 orang (50%) dan responden yang masa kerjanya <1 tahun yaitu 1 orang (10%). 4. No Pendidikan Jlh terakhir 1 DIII 8 ISSN 2338-3690 Mengikuti Pelatihan/ Seminar Pernah Tidak pernah Jumlah Jlh (%) 2 8 20% 80% 10 100% Berdasarkan tabel 4.3 di atas dapat dilihat bahwa jumlah responden yang pernah mengikuti pelatihan/ seminar sebanyak 2 orang (20%) dan yang tidak pernah mengikuti pelatihan yaitu 8 orang (80%) Berdasarkan tabel 4. 1 di atas dapat dilihat bahwa jumlah responden berdasarkan tingkat pendidikan adalah DIII sebanyak 8 orang (80%), responden yang berpendidikan SPK berjumlah 2 orang (20%). Tabel 4. 4 Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan perawat tentang pemenuhan nutrisi berdasarkan pernah tidaknya mengikuti pelatihan/ seminar tentang pemenuhan nutrisi 115 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 Balige pada umumnya adalah baik sebanyak 7 orang (70%) dan pengetahuan cukup 2 orang (20%) dan pengetahuan kurang 1 orang (10%). 2. Perawat yang tingkat pengetahuan baik berdasarkan pelatihan adalah perawat yang pernah mengikuti pelatihan sebanyak 2 orang (20%) dan yang tidak pernah mengikuti pelatihan sebanyak 8 orang (80%). 3. Perawat dengan tingkat pengetahuan baik berdasarkan sumber informasi adalah perawat yang mendapatkan informasi dari buku sebanyak 10 orang (100%). Pernah Tingkat Pengetahuan Cukup Kurang No tidaknya Baik mengikuti Jlh Jlh Jlh Pelatihan/ Seminar 1 2 Pernah Tidak pernah Jumlah 2 5 3 1 7 3 1 Berdasarkan tabel 4.4 di atas dapat dilihat bahwa dari 10 orang responden 7 orang (70%) adalah yang berpengetahuan baik dan 2 orang (20%) yang berpengetahuan cukup dan 1 (10%) orang yang berpengetahuan kurang Tabel 4. 5 Tingkat pengetahuan perawat tentang pemenuhan nutrisi pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler yang dirawat di ruang E RSU HKBP Balige tahun 2011 No Nilai Jlh Kategori tingkat pengetahuan 1 ≥76-100% Baik 2 ≥56-75% 3 ≥40-55% % 7 70% Cukup 2 20% Kurang 1 10% ISSN 2338-3690 Berdasarkan tabel 4.5 di atas dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan perawat tentang pemenuhan nutrisi pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler yang dirawat diruang E RSU HKBP Balige tahun 2011 yang mendapat nilai ≥76-100% yaitu sebanyak 7 orang (70%) dengan kategori baik, nilai ≥5675% sebanyak 2 orang (20%) dengan kategori cukup dan nilai ≥40-55% sebanyak 1 orang (10%) dengan kategori kurang. 5. KESIMPULAN 1. Tingkat pengetahuan perawat tentang pemenuhan nutrisi pada pasien yang dirawat di ruang E RSU HKBP 116 DAFTAR PUSTAKA Alimul, Aziz, 2007. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Salemba Medika. Jakarta. Arikunto, Suharsimi, 2006. Prosedur Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta. Budiarto, Eko, 2002. Biostatistika Untuk Kedokteran Dan Kesehatan Masyarakat. EGC. Jakarta. Notoatmodjo, Soekidjo, 2007. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta. Jakarta Nursalam, 2003. Konsep Dasar Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta. Politeknik Kesehatan Medan, 2006. Penyusunan Karya Tulis Ilmiah (KTI) , Medan. Hartono, Ardi, 2000, Asuhan Nutrisi Rumah Sakit. EGC. Jakarta Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta. Almatsier sunita, 2005, Penuntun Diet, Gramedia. Jakarta http:// Adipatria, 2010, Konsep Dasar Nutrisi, www.konsepdasarnutrisi. Com. Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690 PENGARUH MERUBAH POSISI DAN MASSASE KULIT PADA PASIEN STROKE TERHADAP TERJADINYA LUKA DEKUBITUS DI ZAAL F RSU HKBP Balige Carolina. M. Simanjuntak, S.Kep, Ns dr. Margaretha Sirait, M.Kes Prodi D3 Keperawatan Akper HKBP Balige, Tobasa, Sumut [email protected] Abstrak Salah satu intervensi keperawatan untuk mencegah terjadinya luka dekubitus pada pasien stroke yang perlu mendapat perhatian adalah mengenai merubah posisi dan massase kulit. Yang bertujuan untuk mempertahankan fungsi dari berbagai sistem dan mempertahankan integritas kulit. Namun sejauh mana pengaruh intervensi keperawatan merubah posisi dan massase kulit ini masih belum diketahui. Untuk itu penulis tertarik untuk meneliti “Apakah ada pengaruh yang signifikan merubah posisi dan massase kulit pada pasien stroke terhadap terjadinya luka dekubitus di Zaal F RSU HKBP Balige. Desain yang digunakan adalah Quasi Eksperimen, dengan populasi seluruh pasien stroke yang dirawat di Zaal F RSU HKBP Balige. Responden dalam penelitian ini sebanyak 10 orang. Analisa data dilakukan secara bertahap yaitu analisa univariat untuk mengetahui karakteristik responden dan analisa bivariat untuk melihat pengaruh antara variabel dependent dan independent dengan menggunakan uji One Sampel T Test . Kemudian didapatkan hasil nilai p = 0,000 (< α ). Hasil penelitian ini didapatkan bahwa kemampuan merubah posisi dan massase kulit pada pasien stroke dapat mencegah terjadinya luka dekubitus. Kesimpulan yang didapat adalah ada pengaruh merubah posisi dan massase kulit pada pasien stroke terhadap terjadinya luka dekubitus di di Zaal F RSU HKBP Balige. Kata kunci : merubah posisi, massase kulit, pasien stroke, luka dekubitus perawatan klien. Dekubitus merupakan masalah akut yang terus menerus terjadi pada situasi perawatan pemulihan. Salah satu aspek utama dalam pemberian asuhan keperawatan adalah mempertahankan integritas kulit. Intervensi perawatan terencana dan konsisten merupakan intervensi penting untuk menjamin perawatan yang berkualitas tinggi (Agoes, 2008). Beberapa penelitian tentang intervensi keperawatan untuk mencegah terjadinya luka dekubitus terdiri dari pengaturan posisi baring (mobilisasi), massase kulit, yang dapat mereduksi penekanan jaringan dan dapat menjadi tindakan yang efektif untuk mencegah terjadinya luka dekubitus. Intervensi 1. LATAR BELAKANG Luka dekubitus merupakan suatu ancaman yang sangat besar bagi populasi pasien yang dirawat di rumah sakit ataupun rumah perawatan lainnya. Hal ini dapat terjadi pada setiap tahap umur dan merupakan masalah, khususnya pada mereka dengan immobilitas yaitu pada pasien stroke, injuri tulang belakang atau penyakit degenerative. Pasien-pasien tersebut memiliki resiko untuk mengalami terjadinya luka dekubitus selama perawatan (Marison, 2003). Menurut Potter (2005) yang mengutip pendapat Hoff (1989) menyatakan pencegahan dekubitus merupakan prioritas utama dalam 117 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 dengan melakukan masase kulit pada bagian tubuh tertentu sebagai tambahan dari jadwal perubahan posisi yang rutin serta intervensi perubahan posisi secara berkala setiap 2 jam ( Noviestari, 2005). Merubah posisi dapat melancarkan peredaran darah serta memperbaiki pengaturan metabolisme tubuh mengembalikan kerja fisiologi organorgan vital dan mempercepat penyembuhan luka yang terjadi dan lebih lanjut perubahan posisi juga memungkinkan kulit yang tertekan terekspose udara, sehingga kelembaban, temperature, dan pH kulit (microclimate condition) bisa dipertahankan dalam kondisi yang optimal (Kusmawan 2008). Massase kulit dapat menghancurkan myogelosis atau timbunan dari sisa-sisa pembakaran yang terdapat pada otot dan menyebabkan pengerasan serabut otot, serta memperlancar sirkulasi darah, dan merawat kelembaban kulit (Wijanarko, 2010). Massase kulit juga dapat membantu memperlancar proses penyerapan sisa-sisa pembakaran yang berada dalam jaringan, dengan adanya manipulasi/penekanan dan peremasan pada jaringan maka darah dan sisa-sisa pembakaran yang tidak diperlukan terperas keluar dari jaringan masuk kedalam pembuluh vena (Pupung, 2009). Prevalensi luka dekubitus bervariasi, dilaporkan bahwa 5-10% terjadi ditatanan perawatan akut/acute care, 15-25% ditatanan perawatan jangka panjang, 7-12% ditatanan perawatan rumah/ home health care serta 8-40% di ICU karena penurunan imunitas tubuh (Enie, 2005). Hasil penelitian menunjukan insidens dekubitus Indonesia sebesar 33,3% (Suriady, 2006) angka ini sangat tinggi bila dibandingkan dengan insiden dekubitus di ASEAN yang hanya ISSN 2338-3690 berkisar 21-31,3% (Sugama 1992; Seonggsok 2004; Kwong 2005). Insiden dan prevalensi terjadinya dekubitus pada penderita stroke di Amerika cukup tinggi, untuk mendapatkan perhatian dari kalangan tenaga kesehatan yang mencapai 15%, di Indonesia hampir 25% penderita stroke terkena dekubitus Berdasarkan data dan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan penerapan intervensi keperawatan merubah posisi dan massase kulit dalam upaya mencegah terjadinya luka dekubitus dan mengidentifikasi sejauh mana pengaruh dari intervensi keperawatan tersebut pada pasien stroke yang dirawat di di zaal F RSU HKBP Balige tahun 2011. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Merubah Posisi 2.1.1. Defenisi Merubah posisi merupakan kemampuan individu untuk bergerak secara bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna mempertahankan kesehatannya (Hidayat, 2006). 2.1.2. Jenis-Jenis Merubah Posisi Menurut Hidayat (2006) ada beberapa jenis merubah posisi yang terdiri atas : a) Merubah Posisi Penuh merupakan kemampuan seorang untuk bergerak secara penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan peran sehari-hari. Merubah posisi penuh ini merupakan fungsi saraf motoris volunter dan sensoris untuk dapat mengontrol seluruh area tubuh seseorang. b) Merubah Posisi Sebagian merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan yang jelas, sehingga tidak mampu 118 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 bergerak secara bebas karena dipengaruhi oleh gangguan saraf motoris dan sensoris pada area tubuhnya. ISSN 2338-3690 b. Efek Massase Terhadap Jaringan Menbantu memperlancar proses penyerapan sisa-sisa pembakaran yang berada dalam jaringan sehingga dengan adanya manipulasi/penekanan dan peremasan pada jaringan maka darah dan sisa-sisa pembakaran yang tidak diperlukan terperas keluar dari jaringan masuk kedalam pembuluh vena (Pupung, 2009). Menurut Potter dan Perry (2005) sebagai hasil ukur yang tetapkan dalam massase adalah : a) Baik : jika massase dilakukan sesuai standar dan luka dekubitus tidak terjadi. b) Cukup : jika massase dilakukan sesuai standar tapi tidak sesuai jadwal dan luka dekubitus tidak terjadi. c) Kurang: jika massase dilakukan tidak sesuai standar dan luka dekubitus terjadi kurang satu minggu. 2.2. Konsep Massase Kulit 2.2.1 Pengertian Massase adalah suatu pemijatan/ ditepu k-tepuk pada bagian tubuh tertentu dengan tangan atau alat-alat khusus untuk memperbaiki sirkulasi, metabolisme, melepaskan pelekatan dan melancarkan peredaran darah sebagai cara pengobatan (Pupung, 2009). 2.2.2 Tujuan a. Meningkatkan sirkulasi pada daerah yang di masase. b. Meningkatkan relaksasi. c. Menjaga keadaan kondisi kulit. 2.2.3 Komponen Massase Ada beberapa komponen dalam menerapkan massase, yaitu: arah gerakan tangan massase, dosis dan frekuensi dari manipulasi yang diberikan. 1. Arah gerakan Massase Tujuannya adalah untuk mempercepat aliran darah atau sirkulasi darah venosa ke jantung. 2. Dosis dan frekuensi massase Pada pasien stroke dibutuhkan waktu sekitar 5-15 menit karena dilakukan dibagian tubuh tertentu dengan jangka waktu dua kali sehari yaitu pada waktu pasien dimandikan atau setelah mandi. 2.3. Konsep Stroke 2.3.1 Pengertian Stroke merupakan sindrom klinis akibat gangguan pembuluh darah otak, timbul mendadak dan biasanya mengenai penderita usia 45-80 tahun. Umumnya laki-laki sedikit lebih sering terkena daripada perempuan. Biasanya tidak ada gejala dini, dan muncul begitu mendadak. Secara defenisi WHO (World Health Organization) menetapkan bahwa defisit neurologik yang timbul semata-mata karena penyakit pembuluh darah otak dan bukan oleh sebab yang lain (Misbach 2007). 2.2.4 Efek Massase a. Efek massase terhadap kulit 1. Melonggarkan pelekatan dan menghilangkan penebalanpenebalan kecil yang terjadi pada jaringan dibawah kulit. 2. Kulit menjadi lunak dan elastis 3. Perasaan kulit menjadi sensitif 2.3.2 Gejala stroke Gejala stroke antara lain rasa kesemutan atau kelumpuhan diseparuh badan, kebingungan mendadak, gangguan bicara atau sukar memahami 119 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 pembicaraan orang lain, gangguan penglihatan pada satu atau kedua mata, sulit melangkah, pusing, gangguan keseimbangan atau koordinasi, atau nyeri kepala yang hebat tanpa sebab. c. 2.3.3 Jenis-jenis stroke Stroke dibagi dua kategori besar yaitu; stroke iskemik dan stroke hemoragik. Yang pertama akibat penyumbatan aliran darah dan yang kedua karena pecahnya pembuluh darah. Delapan puluh persen kasus stroke disebabkan oleh iskemia, dan sisanya disebabkan oleh perdarahan. d. 2.3.4 Akibat/Dampak Stroke Akibat stroke ditentukan oleh bagian otak mana yang cedera, tetapi perubahan–perubahan yang terjadi setelah stroke, baik yang mempengaruhi bagian kanan atau kiri otak pada umumnya adalah sebagai berikut: a. Lumpuh ; Kelumpuhan sebelah bagian tubuh (hemiplegia) adalah cacat yang paling umum akibat stroke. Bila stroke menyerang bagian kiri otak, terjadi hemiplegia kanan. Kelumpuhan terjadi dari wajah bagian kanan hingga kaki sebelah kanan termasuk tenggorokan dan lidah. Bila dampak lebih ringan biasanya bagian yang terkena dirasakan tidak bertenaga (hemiperesis kanan). Bila yang terserang adalah bagian kanan dan lebih ringan disebut hemiparesis kiri. Bila kerusakan terjadi pada bagian bawah otak (cerebelum). Kemampuan seseorang untuk mengkoordinasikan gerakan tubuhnya akan berkurang (Vita, 2006). b. Perubahan Mental Stroke tidak selalu membuat mental penderita menjadi merosot dan beberapa perubahan biasanya bersifat sementara. Setelah stroke e. f. g. ISSN 2338-3690 memang dapat terjadi perubahan pada daya pikir, kesadaran, konsentrasi, kemampuan belajar dan fungsi intelektual lainnya. Gangguan Komunikasi Seperempat dari semua pasien stroke mengalami gangguan komunikasi, yang berhubungan dengan mendengar, berbicara, membaca, menulis ,dan bahkan bahasa isyarat dengan gerakan tangan. Ketidakberdayaan ini sangat membingungkan orang yang merawatnya. Disartia (dysartia) Melemahkan otot-otot muka, lidah dan tenggorokan yang membuat kesulitan berbicara, walaupun penderita memahami bahasa verbal maupun tulisan. Cedera ini salah satu pusat pengendalian bahasa diotak sangat berdampak pada cuping temporal dan pariental otak sebelah kiri. Afrasia Gangguan Emosional Kehilangan indera perasa. 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Konsep - Merubah Posisi (miring kiri, kanan dan telentang setiap 2 jam) - Massase Kulit Luka Dekubitus pada pasien stroke 3.2 Hipotesis Penelitian Ho : Tidak ada pengaruh intervensi keperawatan merubah posisi dan masase kulit terhadap pencegahan terjadinya luka dekubitus pada pasien stroke. Ha : Ada pengaruh intervensi keperawatan dengan merubah posisi dan masase kulit terhadap 120 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690 dan tatap muka kepada pasien stroke dengan menggunakan kuesioner dan intervensi keperawatan di Zaal F RSU HKBP Balige. pencegahan terjadinya luka dekubitus pada pasien stroke. 3.3. Jenis dan Desain Penelitian Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif korelasi yang bertujuan untuk menemukan hubungan antar variabel dengan desain penelitian adalah quasi eksperimen yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh intervensi keperawatan merubah posisi dan massase kulit pada pasien stroke terhadap pencegahan terjadinya luka dekubitus. 3.6.2. Data Sekunder Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari Medikal Record di Rumah Sakit HKBP Balige. 3.7 Analisa Data 3.7.1. Anilisis Univariat Analisis ini untuk mendeskripsikan atau menjelaskan distribusi masingmasing variabel yang diteliti yaitu intervensi keperawatan merubah posisi dan massase kulit, tanda terjadinya luka dekubitus serta karakteristik responden dalam bentuk proporsi atau persentase. Setelah diolah selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel dan diagram. 3.4 Populasi Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2004). Populasi pada penelitian ini adalah pasien stroke yang peneliti dapatkan selama tahun 2011. 3.7.2. Analisis Bivariat Analisis ini untuk menguji hipotesa asosiatif yaitu menguji hubungan variabel independen (merubah posisi dan massase kulit) dengan variabel dependen (pencegahan luka dekubitus) pada pasien stroke yang dirawat dengan bedrest total. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh merubah posisi dan massase kulit pada pasien stroke terhadap terjadinya luka dekubitus. Uji statistik yang digunakan dalam analisis ini adalah Uji t ( uji One Sampel T Test) dengan prasyarat uji normalitas data. Jika data terdistribusi normal maka uji yang digunakan adalah uji One Sampel T Test dan jika data tidak terdistribusi normal maka uji yang digunakan adalah uji t wilcoxon. Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95% dengan tingkat kemaknaan α (alpha) = 0,05 (Sabri & Hastono, 2006; Sugiyono, 2004). Keputusan uji statistik dalam penelitian ini berdasarkan pendekatan probabilistik dengan program statistik komputer yang tersedia. Peneliti 3.5 Sampel Kriteria sampel pada penelitian ini adalah pasien stroke yang baru dirawat dan tidak mengalami dekubitus dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang berusia mulai 45 s/d 80 tahun dan baru pertama kali dilakukan teknik merubah posisi, tehnik pengambilan sampling dengan cara Accidental dilakukan berdasarkan kebetulan siapa saja yang ditemui dan sesuai dengan persyaratan data yang diinginkan. Menurut Arikunto (2006) bila populasi lebih dari 100, maka pengambilan sampel 10-15% atau 20-25% dari jumlah populasi. Maka jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 10 orang. 3.6 Jenis dan Metode Pengumpulan Data 3.6.1. Data primer Data primer dalam penelitian ini diperoleh dengan melakukan observasi 121 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, No. Desember 2013 ISSN 2338-3690 1.2 Umur menggunakan nilai α (alpha) 0,05 dengan kriteria hasil: • Jika P value > nilai α, maka keputusannya Ho diterima. • Jika P value alue < nilai α, maka keputusannya Ho ditolak. > 55 Thn 40-55 Thn 20-40 Thn 6 4 4. HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran ambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit HKBP Balige. Pelayanan kesehatan di ruang rawat inap penyakit dalam Zaal F ditangani oleh dokter spesialis, dokter umum, dan perawat dengan kualifikasi pendidikan D3 keperawatan, dan SPK. 2 0 Dws Muda Dari ri Gambar 4.2 di atas diketahui bahwa responden yang berumur antara 20-40 40 tahun (dewasa muda) tidak ada, berumur antara 40-55 55 tahun (dewasa menengah) sebanyak 4 orang (40%) dan berumur lebih dari 55 tahun sebanyak 6 orang (60%). 2. Analisis Bivariat Analisis sis ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh merubah posisi dan masase kulit pada pasien Stroke terhadap terjadinya Luka Dekubitus di Zaal F RSU HKBP Balige dengan menggunakan uji One Sampel T Test. 1. Karakteristik Responden 1.1 Jenis Kelamin 3 orang 7 orang Dws Tua Gambar 4.2 Distribusi frekuensi berdasarkan Usia pada responden stroke di zaal F RSU HKBP Balige. Balige 4.2. Hasil Penelitian Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti dari bulan Juli s/d Agustus 2011 terhadap 10 pasien Stroke di Zaal F di Rumah Sakit HKBP Balige maka diperoleh data yang ditampilkan dalam bentuk diagram, tabel distribusi dan grafik sebagai berikut: Pere m pua… Dws Menengah Lakilaki 70% Tabel 4.1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan erdasarkan kejadian luka dekubitus setelah etelah diberikan perubahan posisi dan masase kulit ulit di zaal F RSU HKBP Balige Gambar 4.1 Distribusi frekuensi berdasarkan Jenis enis Kelamin pada Responden Stroke di Zaal F RSU HKBP Balige. Dari gambar di atas diketahui bahwa responden yang berjenis kelamin laki-laki laki sebanyak 7 orang (70%) dan perempuan sebanyak 3 orang (30%). N o Kejadian Luka Dekubitus Frek Persentase (%) 1 Terjadi 2 20.0 2 Tidak Terjadi 8 80.0 10 100 Total 122 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 Berdasarkan tabel distribusi frekuensi di atas diketahui bahwa terdapat responden yang tidak mengalami luka dekubitus yaitu sebanyak 8 orang (80%) setelah diberikan perubahan posisi dan masase kulit dan sebanyak 2 (20%) responden yang mengalami luka dekubitus setelah dilakukan intervensi keperawatan merubah posisi dan massase kulit. perpindahan cairan kekapiler, ini akan menyokong untuk terjadinya edema dan konsekkuensinya terjadi otolisis. Hal lain juga bahwa aliran limpatik menurun, ini juga menyokong terjadi edema dan mengkontribusi untuk terjadinya nekrosis pada jaringan. (Barbara, 2005). Berdasarkan hasil uji Statistic yaitu uji One Sampel T Test didapatkan P Value sebesar 0,000 < α=0,05 sehingga Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti ada pengaruh merubah posisi dan masase kulit pada pasien Stroke terhadap terjadinya Luka Dekubitus di Zaal F RSU HKBP Balige Tahun 2011. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa mayoritas responden tidak mengalami luka dekubitus yaitu sebanyak 8 orang (80%) setelah diberikan perubahan posisi dan masase kulit dan terdapat 2 orang (20%) yang mengalami luka dekubitus setelah dilakukan intervensi keperawatan merubah posisi dan massase kulit. Hal ini terjadi karena adanya ketidaktepatan dalam hal melakukan perubahan posisi dan massase kulit pada pasien stroke, sehingga hasilnya tidak maksimal yaitu masih terdapatnya 2 orang responden yang mengalami luka dekubitus selain itu alasan yang lain adalah bahwa responden yang mengalami luka tersebut berada dalam batsan usia dewasa menengah dan dewasa tua. Dari jenis kelamin bahwa mayoritas responden mengalami luka dekubitus berjenis kelamin laki laki yaitu sebanyak 2 orang (20%), ini membuktikan bahwa kejadian dekubitus pada laki-laki lebih sering terjadi daripada perempuan hal ini disebabkan oleh karena pola hidup laki-laki berbeda dengan wanita terutama dalam hal mengkonsumsi makanan dan minuman, sehingga berpengaruh terhadap kerentanan terjadinya luka dekubitus Tabel 4.2 Hasil analisa pengaruh merubah posisi dan masase kulit pada pasien stroke terhadap terjadinya luka dekubitus di Zaal F RSU HKBP Balige Variabel P Value (CI 95%) Merubah Posisi dan Masase Kulit 0,000 ISSN 2338-3690 Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa hasil uji One Sampel T Test didapatkan P Value sebesar 0,000 < α=0,05 yang berarti ada pengaruh merubah posisi dan masase kulit pada pasien Stroke terhadap terjadinya Luka Dekubitus di Zaal F RSU HKBP Balige. 5. PEMBAHASAN Luka dekubitus merupakan dampak tekanan yang terlalu lama pada area permukaan tulang yang menonjol dan mengakibatkan berkurangnya sirkulasi darah pada area yang tertekan dan lama kelamaan jaringan setempat mengalami iskemik, hipoksia dan berkembang menjadi nekrosis. Tekanan yang normal pada kapiler adalah 32 mmHg. Apabila tekanan kapiler melebihi tekanan darah dan struktur pembuluh darah pada kulit, maka akan terjadi kolaps. Dengan terjadinya kolaps akan menghalangi oksigenisasi dan nutrisi kejaringan selain itu area yang tertekan menyebabkan terhambatnya aliran darah. Dengan adanya peningkatan tekanan arteri kapiler terjadi 123 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690 laki-laki daripada perempuan hal ini didukung oleh fakor pola hidup dalam mengkonsumsi makanan dan minuman. 4. Ada pengaruh Umur terhadap pembentukan luka dekubitus pada pasien stroke hal ini dibuktikan dengan terjadinya luka dekubitus pada responden yang berusia dewasa menengah dan dewasa tua. Terjadinya luka tersebut oleh karena kondisi tubuh serta sistem dan fungsi tubuh mereka telah mengalami penurunan. dan juga kadar albumin yang dibawah normal. Dari segi umur didapatkan hasil setelah dilakukan intervensi keperawatan merubah posisi dan massase kulit pada pasien stroke terhadap terjadinya luka dekubitus terdapat 2 orang (20%) responden yang mengalami luka dekubitus yang berusia lebih dari 55 tahun atau dewasa tua. Hal Ini membuktikan bahwa umur seseorang berpengaruh terhadap percepatan terjadinya luka dekubitus pada bagian tubuh tertentu terutama pada bagian tulang yang menonjol yang mengalami penekanan secara terus-menerus, sebab responden stroke yang berusia lebih dari 55 tahun atau lansia telah mengalami kemunduran dari sistem dan fungsi tubuh. DAFTAR PUSTAKA Agoes Azwar, et al 2008, Penyakit di usia Tua, EGC, Palembang. Alimul A, 2007. Riset Keperawatan Tehnik Penulisan Ilmiah. : Salemba Medika. Surabaya 6. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. 1. Intervensi keperawatan merubah posisi dan massase kulit pada pasien stroke dapat mencegah terjadinya luka dekubitus pada pasien stroke. Hal ini dibuktikan dengan uji statistik dengan hasil P Value 0,000, berarti ada pengaruh signifikan dari intervensi keperawatan merubah posisi dan massase kulit terhadap terjadinya luka dekubitus. 2. Responden yang tidak mengalami luka dekubitus yaitu sebanyak 8 orang (80%) setelah diberikan intervensi keperawatan merubah posisi dan masase kulit dan yang mengalami sebanyak 2 orang (20%). 3. Terdapat 2 orang Responden (20%) berjenis kelamin laki-laki yang mengalami luka dekubitus. Hal ini menjelaskan bahwa luka dekubitus akan lebih terjadi pada Alimul A, 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia : Salemba Medika. Surabaya Alimul A, 2004. Buku Saku Praktikum Kebutuhan Dasar Manusia . EGC. Jakarta.. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta. Bayly, Doreen E. 2002. Pijat Refleksi. Bandung : Pionir Jaya. Brunner & Suddarth. Keperawatan Medikal Vol. 1. Jakarta : EGC. 2002. Bedah, --------------------------. Keperawatan Medikal Vol. 2. Jakarta : EGC. 2002. Bedah, Elisabet J, (2000), Buku Saku Patofisiologi, Jakarta: EGC Hinchliff, Sue. 2000. Kamus Keperawatan. Jakarta : EGC. Hidayat Djunaedi,dkk (2009). Ulkus Dekubitus (cermin Dunia kedokteran No 64,) diakses dari 124 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 http://www.kalbe.co.id/files/cdk/fi les/10_Ulkus Dekubitus. pdf.html pada tanggal 10 juli 2009 Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius. Nursalam, 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta; Salambe Medika. Pupung. 2010. Efek Massage pada Peredaran Darah, Lympa, Kulit dan Jaringan Otot. http://www.pupung.com . ______,(2010). Luka dekubitus, diakses dari http://blog.ilmu keperawatan. com/ luka-decubitus-danpenatalaksanaan-perawatan.html pada tanggal 5 juli 2010 Politeknik kesehatan Medan, (2006). Panduan penyusunan Karya Tulis Ilmiah (KTI), Medan. Potter, Patricia A, (2006). Fundamental Keperawatan, Jakarta ; EGC Priharjo Robert, (2005), Pemenuhan Aktivitas Istrahat Pasien, Yogyakarta; EGC 125 ISSN 2338-3690 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690 PENGETAHUAN PERAWAT DALAM MERAWAT PASIEN TB PARU DI RUMAH SAKIT HKBP BALIGE Jastro Situmorang, S.Kep, Ns dr. Edi Salmon Sirait, M.Kes Prodi D3 Keperawatan Akper HKBP Balige, Tobasa, Sumut [email protected] Abstrak Penyakit TB Paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru yang disebabkan oleh bakteri Mycobakterium Tuberkulosis. Penyakit ini sudah sangat menjamur di masyarakat terutama di negara – negara berkembang yaitu sebesar 95 %. Pada umumnya penderita TB Paru mendapat pengobatan melalui rawat inap dan rawat jalan. Dalam hal ini tenaga perawat merupakan tenaga kesehatan terbanyak di rumah sakit dan memiliki kontak paling lama dengan pasien, untuk itu pengetahuan tenaga kesehatan, khususnya perawat sangat berpengaruh dalam perawatan TB Paru. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain deskriptif, dimana tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengetahuan perawat dalam merawat pasien TB paru. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 65,21 % dari responden masuk dalam kategori pengetahuan sedang dan 34 % masuk dalam kategori pengetahuan baik. Kata kunci: Pengetahuan perawat, TB Paru, Rumah Sakit HKBP Balige penduduk di negara-negara miskin, tidak memadainya pendidikan mengenai TB, terlantar, kurangnya biaya, dan adanya epidemic HIV AIDS. Di Indonesia penyakit TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Hasil survei kesehatan rumah tangga tahun 1995 menunjukkan bahwa TBC merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah kardiovaskular dan penyakit saluran nafas pada semua kelompok umur. Dalam hal perawatan penderita TB, perawat merupakan orang terpenting yang mempunyai peranan besar dalam proses penyembuhan penyakit. Tingkat pengetahuan perawat menjadi acuan bagaimana bisa terpenuhinya kebutuhan pasien. Pengetahuan tenaga kesehatan terutama perawat sangat berpengaruh dalam perawatan pasien TB paru, guna menghindari penularan. 1.1. Latar Belakang Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi kronik yang sudah sangat lama dikenal pada manusia. Permulaan abad 19 insiden penyakit TB di Eropa dan Amerika serikat sangat besar. Angka kematian cukup tinggi yakni 400 per 100.000 penduduk. Maret 1993 WHO mendeklarasikan TB sebagai global health emergency. Pada tahun 1998 ada 3.617.047 kasus TB tercatat di seluruh dunia. Sebagian kasus TB terjadi di negara–negara berkembang, diantara mereka 75% berada pada usia produktif, yaitu 20-49 tahun. Diperkirakan 95% penderita TB berada di negara berkembang sejalan dengan munculnya epidemik HIV\AIDS. Alasan utama meningkatnya beban TB global ini disebabkan : kemiskinan pada berbagai penduduk, adanya perubahan demokgrafik, perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi pada 126 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 Rumah Sakit HKBP Balige merupakan rumah sakit yang memberi pelayanan yang menjungjung tinggi kode etik keperawatan dan melayani atas dasar kasih. Insiden penderita TB Paru di RS HKBP Balige sekitar 35%. Banyak penderita TB Paru yang rawat jalan dan rawat inap. ISSN 2338-3690 Pengetahuan (knowledge) adalah sesuatu yang hadir dan terwujud dalam jiwa dan pikiran seseorang dikarenakan adanya reaksi persentuhan dan hubungan dengan lingkungan alam sekitarnya (Isyraq) Dalam pengetahuan, ada 2 aspek yang berbeda antara lain : 1. Hal-hal yang diperoleh Pengetahuan seperti ini mencakup tradisi, keterampilan, informasi, pemikiran-pemikiran dan kaidahkaidah yang diyakini oleh seseorang dan diaplikasi dalam semua kondisi dan dimensi penting kehidupan 2. Realitas yang terus berubah Seseorang mengetahui secara khusus perkara-perkara yang beragam kemudian membandinkan hal tersebut satu sama lain dan memberi pandangan atasnya 1.2. Tujuan Penelitian a.Tujuan umum untuk mengetahui tingkat pengetahuan perawat dalam merawat pasien TB Paru di RS HKBP Balige b.Tujuan khusus 1. Mengidentifikasi pengetahuan perawat RS HKBP Balige tentang cara merawat pasien TB Paru 2. Mengidentifikasi bagaimana cara parawat member perawatan terhadap pasien TB Paru di RS HKBP Balige 1.3. Manfaat Penelitian Hasil penelitian dapat memberikan kontribusi bagi praktek keperawatan dan penddikan keperawatan. Hasil penelitian juga dapat sebagai pengembangan penelitian lebih lanjut. 1. Penelitian Keperawatan Menjadi dasar penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan perawatan TB Paru 2. Praktik keperawatan Penelitian ini menjadi suatu acuan yang berguna dalam meningkatkan kemampuan perawat merawat penderita TB Paru dan menghindari penularan 3. Pendidikan keperawatan Informasi yang di dapat sebagai masukan untuk pengembangan pelajaran terutama riset keperawatan yang berhubungan dengan perawatan TB Paru 2.1.2 Pembagian Pengetahuan Pada umumnya pengetahuan dibagi menjadi : 1. Pengetahuan Langsung (Immediate) merupakan pengetahuan langsung yang hadir dalam jiwa tanpa melalui proses penafsiran dan pikiran 2. Pengetahuan Tidak langsung (Mediate) merupakan hasil dari pengaruh interpretasi dan proses berpikir serta pengalaman yang lain 3. Pengetahuan indrawi (Perceptual) sesuatu yang dicapai dan diraih melalui indra-indra lahiriah 4. Pengetahuan Konseptual merupakan pikiran manusia secara langsung tidak dapat membentuk suatu konseptual tentang objekobjek dan perkara-perkara ekstarnal berhubungan dengan alam eksterm 5. Pengetahuan Particular berkaitan dengan satu individu, objek-objek tertentu atau realitas khusus 2. TINJAUAN TEORITIS 2.1. Konsep Pengetahuan 2.1.1 Pengertian Pengetahuan 127 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 2.1.3 Domain Pengetahuan Ada 6 tingkatasn domain pengetahuan 1. Tahu (know) diartikan sebagai mengingat suatu memori yang telah di pelajari sebelumnya 2. Memahami (comprihension) diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar 3. Aplikasi (Aplication) aplikasi adalah suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real 4. Analisis suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau subjek dalam komponen-komponen 5. Sintesis (Synthesis) sintesis menunjukkun kepada suatu kemampuan untuk melakukan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu teknik keseluruhan yang baru 6. Evaluasi evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan yudifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek • • • • ISSN 2338-3690 Pendidik tenaga perawat dan masyarakat Koordinator dalam pelayanan masyarakat Kolaborator dalam membina kerja sama dengan profesi lain Konsultan / Penasehat pada tenaga kerja dan klien pembaharu system 2.2.3. Fungsi Perawat Fungsi adalah pekerjaan yang harus dilaksanakan sesuai dengan peranannya: 1. Melaksanakan instruksi dokter (fungsi dependen) 2. Observasi gejala dan respon pasien yang berhubungan dengan penyakit dan penyebabnya 3. Membantu pasien menyusun dan memperbaiki rencana keperawatan 4. Supervisi semua pihak yang ikut terlibat dalam perawatan pasien 5. Mencatat dan melaporkan keadaan pasien 6. Melaksanakan prosedur dan teknik keperawatan 7. Memberikan pengarahan dan penyuluhan untuk meningkatkan kesehatan fisik dan mental 2.3. Konsep Penyakit 2.3.1 Defenisi TB Paru Tuberculosis paru adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim paru (Smelzer, 2002) 2.2. Defenisi Perawat 2.2.1. Defenisi Perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimilikinya,yang diperoleh melalui pendidikan keperawatan (UU RI No 23, 1992) 2.3 2. Klasifikasi Tuberkulosis Pembagian secara Patologis 1. Tuberculosis primer Penularan Tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet dalam udara sekitar kita 2. Tuberkulosis post primer Kuman yang dormant pada tuberculosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai 2.2.2. Peran Perawat Peran perawat menurut CHS,1989 • Pemberi asuhan keperawatan • Pembela pasien 128 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 infeksi endogen menjadi tuberculosis dewasa Pembagian secara aktivitas radiologis Tuberkulosis paru (Koch Pumonum) aktif, nonaktif, dan quiescent (bentuk aktif yang mulai menyembuh) Pembagian secara radiologist (luas lesi) - Tuberkulosis minimal terdapat sebagian kecil infiltrate nonkafitas pada satu paru maupun kedua paru tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru. - Moderately advanced tuberculosis Ada kavitas dengan diameter tidak lebih dari 4 cm. Jmlah infiltrate bayangan halus tidakl lebih dari satu bagian paru. - Far advanced Tuberculosis Terdapat infiltrate dan kavitas yang melebihi keadaan pada moderately advanced Tuberculosis Pada tahun 1974 American thoracic Society memberikan klasifikasi baru yang diambil berdasarkan aspek kesehatan masyarakat - Kategori 0 Tidak pernah terpajan dan tidak terinfeksi, riwayat kontak negative, test tuberculin negative - Kategori I Terpajan tuberculosis, tetapi tidak terbukti ada infeksi, riwayat kontak positif, test tuberculin negative - Kategori II Terinfeksi tuberculosis, tapi tidak sakit, test tuberculin negative, radiologist dan sputum negative. - Kategori III Terinfeksi tuberculosis dan sakit ISSN 2338-3690 2.3.3 Etiologi Penyebab tuberculosis adalah mycobacterium tuberculosis, yang bersifat aerob. Kuman ini lebih menyerang jaringan yang tinggi kandungan O2 pada bagian apical paruparu lebih tinggi dari orang lain sehingga bagian ini merupakan tempat prediksi penyakit tuberculosis paru (Suyono,2001) 2.3.4 Penularan dan faktor-faktor resiko Cara penularan kebanyakan melalui ninhalasi kuman tuberculosis yang terdapat di udara. Yang berisiko tinggi untuk tertular Tuberculosis adalah: • Mereka yang kontak dekat dengan seseorang yang mempunyai TB aktif • Individu imunosupresif (lansia, pasien dengan kanker, mereka dalam terapi kortikosteroid) • Setiap individu tanpa perawatan kesehatan yang adekuat • Setiap individu dengan gangguan medis yang ada sebelumnya(mis: DM, gagal ginjal kronik) • Individu yang tinggal di daerah perumahan substandart kumuh • Petugas kesehatan 2.3.5 Patofiologi Individu rentan yang menghirup basil tuberculosis dan menjadi terinfeksi, bakteri pindah melalui jalan nafas ke alveoli. Basil juga dipindahkan melalui system limfe dan aliran darah bagian tubuh lainya (ginjal, tulang, korteks serebra dan area paru lainnya). 2.3.6 Manisfestasi klinik Secara umum gejala penyakit TB adalah: Demam tingkat rendah Keletihan Anoreksia 129 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 Nyeri dada batuk menetap Keringat malam Penurunan berat badan Batuk darah Gejala Respiratorik: Batuk kurang lebih minggu Sesak nafas batuk darah Nyeri dada Gejala sistemik: Demam malaise Keringat malam Anoreksia Berat badan menurun 2.3.7 Pemeriksaan laboratorium • • dua • • Diagnostik/ 1.Pemeriksaan diagnostic: • Pada awal pemeriksaan penyakit, gambaran radilogis adalah berupa bercak-bercak seperti awan dengan batas-batas tidak jelas • Pada tahun lanjut, bercak-bercak awan menjadi padat dan jelas batasnya • Bila lesi diikuti dengan jaringan ikat dan kelihatan bayangan terlihat bulat • adanya bayangan lesi pada photo dada menunjukkan suatu infiltrasi yang betul-betul nyata • Pemeriksaan khusus yang di perlukan seperti broncografi, yakni untuk melihat kerusakan bronkus atau paru • Gambaran tuberculosis miler dapat berupa bercak-bercak halus tersebar merata pada seluruh lapangan paru • ISSN 2338-3690 mengesampingkan proses tuberculosis paru aktif Leukosit, sedikit meningkat pada proses tuberculosis paru aktif HB: Pemeriksaan darah lain didapatkan juga anemia ringan, gamma globuli meningkat dan kadar natrim menurun Tes PAP (Peroksidase Anti perksidasi): merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen imunoperoksidase staining untuk menentukan adanya Ig G spesifik terhadap basil TB Tes mantoux atau tuberculin: Tes kulit yang digunakan untuk menentukan atau mengindikasikan adanya infeksi, tetapi belum tentu dapat penyakit secara klinis. Pemeriksaan sputum BTA: memastikan diagnopsa TB paru namun, pemeriksaan ini tidak spesifik karena hanya 30-70% pasien TB yang dapat di diagnosis. 2.3.8 Penatalaksanan Pengobatan Tuberculosis terutama berupa pemberian obat anti mikroba dalam jangka waktu yang lama selama periode 6-12 bulan. Obat- obat untuk pengobatan TB pada dewasa Obat Lini Pertama: Isoniazid(INH) Efek samping: Kemerahan, kadar enzim hepatic, Hepatitis, neuropati ferifer. Efeknya system saraf pusat ringan Rifamfisin(RIF) Efek samping: Gangguan pencernaan, hepatitis, masalahmasalah pendarahan, kemerahan, gagal ginjal, dan demam. Rifabutin(RFB) 2.Pemeriksaan laboratorium • Darah: LED, LED meningkat pada proses aktif, tetapi LED normal tidak dapat 130 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 Efek samping: Kemerahan, Hepatitis, demam, dan trombositopeni Pirazinamid(PZA) Efek samping: Hepatitis, hiperurisemia, gangguan pencernaan. Etambutol(EMB) Efek samping: neuritis, kemerahan Sterptomicin Efek samping: keracunan pada ginjal Obat Lini Kedua : Kapreonimisin Efek samping: keracunan pada auditorius, vestibular ginjal Etinamid Efek samping: ganguan pencernaan, hepatotoksis, hipersensivitas Sikloserin Efek samping: keracunan pada auditorius, vestibular, ginjal Kanamisin Efek samping: keracunan pada auditorius, vestibular, dan ginjal (prince, 2006) ISSN 2338-3690 tepat sangat penting keberhasilan pengobatan untuk 3. KERANGKA KONSEP • • • • • Defenisi Etiologi Klasifikasi CaraPenularan Manifestasi klini • • Pengobatan Asuhan Keperawatan Baik Sedang Buruk 4. METODE PENELITIAN 4.1 Desain penelitian Desain penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang dilakukan dengan tujuan membuat gambaran tentang suatu keadaan objektif. 4.2 Populasi penelitian Populasi penelitian ini adalah seluruh perawat yang bekerja di RS HKBP Balige yang berlatang belakang pendidikan SPK sejumlah 23 orang. 2.3.9 Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) DOTS adalah nama suatu strategi yang dilaksanakan di pelayanan kesehatan di dunia untuk mendeteksi dan menyembuhkan pasien TB. Strategi ini terdiri dari 5 komponen yaitu: Dukungan politik para pemimpin wilayah di setiap jenjang Mikroskop sebagai komponen utama untuk mendiagnosa TB melalui pemeriksaan sputum langsung Pengawasan minum obat Pencatatan dan pelaporan dengan baik dan benar Paduan obat anti TB jangka pendek yang benar, termasuk dosis dan jangka waktu yang 4.3 Sampel penelitian Sampel dipilih dengan menggunakan total sampling, yaitu semua populasi yang ada dijadikan sampel penelitian ini karena populasi kurang dari 100 yaitu 23 orang. 4.4 Waktu penelitian Penelitian dilakukan mulai tanggal 01 Agustus s.d 15 Agustus 2013. 4.5 Analisa data Setelah data terkumpul, maka peneliti melakukan analisa data dengan cara di periksa terlebih dahulu (editing) untuk memeriksa apakah pernyataan dalam kuesioner telah diisi sesuai dengan petujuk, setelah itu diberikan tanda kode terhadap pernyataan yang telah 131 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690 komplikasi, pengkajian, diagnose keperawatan, intervensi dan implementasi. Dalam hal ini pengetahuan responden dianggap baik apabila menjawab benar paling tidak 85% dari kuesioner. diajukan untuk mempermudah tabulasi. Setelah di tabulasi, diberi nilai sesuai dengan jawaban yang diberikan responden. Jawaban yang benar di beri nilai 1 dan yang salah di beri nilai 0. Kemudian skor yang di peroleh di tetepkan proporsinya untuk menentukan berapa nilai responden dengan menggunakan rumus Nilai=SC/ST x100% dimana SC: Score responden ST: Jumlah keseluruhan Jumlah responden yang menjawab benar>85% adalah pengetahuan baik, menjawab benar 75-85% adalah pengetahuan sedang dan menjawab <75% adalah pengetahuan buruk. 5.2. Pengetahuan Perawat Dalam Merawat Pasien TB Paru Tabel 5.1 Distribusi Pengetahuan Perawat Dalam merawat Pasien TB Paru No Pengetahuan Perawat Frekuensi/Persentasi Baik Sedang Buruk 1 Pengetahuan 20 3 (86,9%) (13,04%) Perawat tentang defenisi TB Paru 2 Pengetahuan 23 (100%) Perawat tentang Etilogi TB Paru 3 Pengetahuan 4 19 (17,4%) (82,6%) Perawat tentang klasifikasi TB Paru 4 Pengetahuan Perawat 23 (100%) tentang cara penularan TB Paru 5 Pengetahuan 23 (100%) perawat tentang tanda dan gejala 6 Pengetahuan Perawat 23 tentang Pemeriksaan (100%) diagnostik 7 Pengetahuan Perawat 9 14 tentang pengobatan (39,1%) (60,9%) TB Paru 8 Pengetahuan Perawat 14 9 (39,1%) tentang Komplikasi (60,9%) 9 Pengetahuan perawat 9 12 2 tentang Pengkajian (39,1%) (52,2%) (8,7%) keperawatan TB Paru 10 Pengetahuan perawat 16 7 (69,6%) (30,4%) tentang diagnose keperawatan 11 Pengetahuan perawat 13 10 (56,5%) (43,5%) tentang Intervensi keperawatan 12 Pengetahuan perawat 10 13 (43,5%) (56,5%) tentang Impolementasi keperawatan 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Karakteristik Responden Karakteristik Frekuen Persentase si (%) No Responden 1 Umur Responden 13 56,5 24 – 30 Thn 7 30,5 31 – 35 Thn 3 13 36 – 40 Thn 2 Jenis Kelamin 4 17,4 Laki – Laki 19 82,6 Perempuan 3 Lama Bekerja 2 – 3 Thn 13 13 3 – 4 Thn 5 21,7 4 – 5 Thn 15 65,3 > 5 Thn 5.1.2 Pengetahuan perawat dalam merawat Pasien TB Paru Pengetahuan responden dinilai dari kemampuan responden dalam menjawab kuesioner yang meliputi defenisi TB Paru, etilogi, klasifikasi, cara penularan, tanda dan gejala, pemeriksaan diagnostic, pengobatan, 132 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 Tabel 5.2 Distribusi Pengetahuan Perawat dalam merawat pasien kategori baik, sedang dan buruk. Kode Skor Persentase Baik Respon (%) den Kemampuan 1 23 76,6 2 23 76,6 3 23 76,6 4 24 80 5 24 80 6 25 83,3 7 25 83,3 8 28 83,3 9 23 76,6 Baik 10 25 83,3 Baik 11 27 90 Baik 12 26 86,6 13 26 86,6 14 25 83,3 Baik 15 24 80 Baik 16 26 86,6 17 26 86,6 Baik 18 25 83,3 Baik 19 27 90 20 27 90 21 24 80 22 25 83,3 Baik 23 26 86,6 Sedang ISSN 2338-3690 regimen 6 bulan dan 9 bulan untuk regiomen 9 bulan. Mengenai komplikasi TB Paru sekitar 60,86% perawat berpengetahuan sedang. Dalam hal pengkajian, dan implementasi keperawatan 52,17% perawat berpengetahuan sedang. Sebagai seorang perawat,harus memahami proses keperawatan yaitu: mulai dari pengkajian, diagnose keperawatan, intervensi, implementasi dan evaluasi keperawatan. Pengetahuan perawat mengenai diagnose keperawatan adalah baik yaitu sekitar 69,56%. Begitu juga dengan pengetahuan mengenai intervensi keperawatan adalah berpengetahuan baik yaitu 56,52%. Evaluasi pengetahuan responden terhadap keseluruhan konsep medis dan keperawatan TB Paru menunjukkan hasil berpengetahuan sedang. Dimana 65,21% dari responden berpengetahuan sedang dan 34,78% responden berpengetahuan baik. Tidak ada responden berpengetahuan buruk. Buruk Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang 5.2. Pembahasan Pengetahuan perawat mengenai definisi TB Paru cukup baik, yaitu sekitar 86,9% perawat berpengetahuan baik. Dalam hal ini perawat sudah mengalami apa itu TB Paru. Begitu juga dengan etiologi, cara penularan, tanda dan gejala, pemeriksaan diagnostic, perawat sudah berpengetahuan baik yaitu100%. Mengenai klasifikasi TB Paru pengetahuan perawat masih buruk yaitu sekitar 82,6%. Dalam hal ini perawat perlu mengetahui klasifikasi TB. Dalam hal pengobatan sekitar 60,86% perawat adalah berpengetahuan sedang. Perawat harus mengetahui benar mengenai pengobatan karena perawat harus menjelaskan kepada klien bahwa pengobatan TB Paru di berikan secara rutin setiap hari selama 6 bulan untuk 6. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan dapat di ambil kesimpulan dan saran mengenai tingkat pengetahuan perawat dalam merawat pasien TB Paru di RS HKBP Balige. 6.1 Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan pada tanggal 01 agustus sampai 15 agustus 2013 di RS HKBP Balige dan dari hasil pembahasan dapat di ambil kesimpulan bahawa tingkat pengetahuan perawat dalam merawat pasien TB Paru berpengetahuan sedang yaitu sekitar 65,21%. Meskipun 65,3% dari responden lama berkerja >5 tahun, namun berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa 65,21% dari responden mempunyai pengetahuan sedang mengenai perawatan TB Paru. 133 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690 Jumadi,1999.Keperawatan Profesional. Jakarta : EGC Mansjoer. 2001. Kapita Selecta Kedokteran Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius FKUI Notoadmojo. 2003. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : EGC Smeltzer.2002.Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :EGC Suyono, Salamet.2001. Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta : EGC DAFTAR PUSTAKA Amin. 2007. Ilmu Penyakit Dalam .Jakarta: EGC Arikunto,S.2007.Manajemen Penelitian. Jakarta : PT Rineka Cipta Alimul. 2002. Pengantar Pendidikan Keperawatan. Jakarta : EGC Ali.Z. 1999. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : EGC Corwin.J. Elisabeth.2001. Buku Saku Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta : EGC Doengoes. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC 134 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690 PELAKSANAAN PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL AKIBAT TINDAKAN INVASIF PEMASANGAN INFUS OLEH PERAWAT PELAKSANA TAHUN 2010 DI RSU BETHESDA SERUKAM Juliming Kenedy, SKM, Susito, SKM., M.Kes, Ishak, Silvia, Thresiawati Akademi Keperawatan Serukam, Kabupaten Bengkayang Abstrak Rumah sakit selain untuk mencari kesembuhan, juga merupakan depot bagi berbagai macam penyakit yang berasal dari penderita maupun dari pengunjung yang berstatus karier. Data menunjukkan bahwa angka kejadian infeksi nosokomial akibat pemasangan infus rata-rata di setiap ruangan perawatan di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam, Kecamatan Samalantan Kabupaten Bengkayang sekitar 30-40%. Data tersebut menunjukkan bahwa angka kejadian infeksi nosokomial akibat tindakan invasif pemasangan infus masih cukup tinggi. Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data dari sejumlah responden untuk mengetahui pelaksanaan pencegahan infeksi nosokomial akibat tindakan invasif pemasangan infus yang dilakukan oleh perawat pelaksana di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam, Kecamatan Samalantan, Kabupaten Bengkayang. Dari hasil penelitian diperoleh informasi bahwa pengetahuan perawat pelaksana di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam tentang pencegahan infeksi nosokomial akibat tindakan invasif pemasangan infus diperoleh nilai rata-rata 83,65%,keterampilan perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial yang berhubungan dengan tindakan invasif pemasangan infus diperoleh nilai rata-rata 76,92 dan fasilitas yang mendukung terhadap pelaksanaan pencegahan infeksi nosokomial akibat tindakan invasif pemasangan infus dengan nilai rata-rata ketersediaan sarana yaitu 74. Kata kunci : Pencegahan, Infeksi Nosokomial, Pemasangan Infus, RSU Bethesda benda medis maupun non medis (Utama, 2006). Infeksi ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh flora normal dari pasien itu sendiri (endogenous infection). Kebanyakan infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih disebabkan karena faktor eksternal, yaitu penyakit yang penyebarannya melalui makanan dan udara dan benda atau bahan-bahan yang tidak steril. Umumnya 50% penderita yang dirawat di rumah sakit memerlukan tindakan pemasangan infus sebagai 1. LATAR BELAKANG Rumah sakit merupakan suatu tempat dimana orang yang sakit dirawat dan ditempatkan dalam jarak yang sangat dekat. Di tempat ini pasien mendapatkan terapi dan perawatan untuk dapat sembuh. Tetapi, rumah sakit selain untuk mencari kesembuhan, juga merupakan depot bagi berbagai macam penyakit yang berasal dari penderita maupun dari pengunjung yang berstatus karier. Kuman dari suatu penyakit dapat hidup dan berkembang di lingkungan rumah sakit, seperti; udara, air, lantai, makanan dan benda- 135 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690 banyak jumlah pasien yang dirawat setiap bulannya berkisar 70-90 orang pasien khususnya di ruang rawat umum bawah dan ruang rawat umum atas dan ruang kebidanan, sekitar 90% dari jumlah pasien yang dirawat tersebut memerlukan tindakan invasif berupa pemasangan infus untuk keperluan pemberian terapi medis maupun nutrisi parenteral. Kemudian didapatkan data bahwa angka kejadian infeksi nosokomial akibat pemasangan infus rata-rata di setiap ruangan perawatan di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam, Kecamatan Samalantan Kabupaten Bengkayang sekitar 30-40%, artinya setiap bulannya dari +60 orang pasien yang dirawat dengan menggunakan infus terdapat 20-26 orang pasien yang mengalami infeksi pada infusnya. Data tersebut menunjukkan bahwa angka kejadian infeksi nosokomial akibat tindakan invasif pemasangan infus masih cukup tinggi pada rumah sakit tersebut (Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam SMF, 2010). Selama 10-20 tahun belakangan ini telah banyak perkembangan yang telah dibuat untuk mencari masalah utama terhadap meningkatnya angka kejadian infeksi nosokomial di banyak negara, dan dibeberapa negara, kondisinya justru sangat memprihatinkan. Keadaan ini justru memperlama waktu perawatan dan perubahan pengobatan dengan obatobatan mahal, serta penggunaan jasa di luar rumah sakit. Karena itulah, di negara-negara miskin dan berkembang, pencegahan infeksi nosokomial lebih diutamakan untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan pasien dirumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya (Utama, 2006). Upaya pencegahan infeksi melibatkan berbagai unsur, mulai dari peran pimpinan sebagai pengambil kebijakan sampai petugas kesehatan sendiri. Kemampuan untuk mencegah sarana pemberian terapi melalui jalur intravena. Beberapa faktor dibawah ini berperan dalam meningkatkan komplikasi kanula intravena yaitu: jenis kateter, ukuran kateter, pemasangan melalui venaseksi, kateter yang terpasang lebih dari 72 jam, kateter yang dipasang pada tungkai bawah, tidak mengindahkan prinsip anti sepsis, cairan infus yang hipertonik dan darah transfusi karena merupakan media pertumbuhan mikroorganisme, peralatan tambahan pada tempat infus untuk pengaturan tetes obat, manipulasi terlalu sering pada kanula. Kolonisasi kuman pada ujung kateter merupakan awal infeksi tempat infus dan bakteremia (Garner, 1996). Setiap tahun diperkirakan 2 juta pasien mengalami infeksi saat dirawat di Rumah Sakit. Hal ini terjadi karena pasien yang dirawat di Rumah Sakit mempunyai daya tahan tubuh yang melemah sehingga resistensi terhadap mikroorganisme penyebab penyakit menjadi turun, adanya peningkatan paparan terhadap berbagai mikroorganisme dan dilakukannya prosedur invasif terhadap pasien di rumah sakit. Golongan yang paling rentan tehadap infeksi dari rumah sakit adalah mereka yang berumur lebih dari 64 tahun dan diikuti oleh bayi kurang dari satu tahun. Lokasi infeksi tersering adalah saluran kemih (30%), luka (20%), saluran pernafasan (20%) dan lokasi lain (30%) (Nursing Times,1984). Di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam, Kecamatan Samalantan Kabupaten Bengkayang, terdapat 5 ruang perawatan yang terdiri dari: Instalasi Gawat Darurat, Ruang Kebidanan, Ruang Rawat Umum, Ruang Intencive Care Unit, dan Ruang Rawat Umum Atas, berdasarkan sensus harian dan sensus bulanan tahun 2010 pada masing-masing ruangan tersebut, diperoleh data bahwa yang paling 136 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690 ruang rawat umum, Intensive Care Unit, dan ruang rawat umum Atas. 2. Tidak sedang cuti besar. 3. Bersedia menjadi responden transmisi infeksi di rumah sakit, dan upaya pencegahan infeksi adalah tingkatan pertama dalam pemberian pelayanan yang bermutu. Untuk seorang petugas kesehatan, kemampuan mencegah infeksi memiliki keterkaitan yang tinggi dengan pekerjaan, karena mencakup setiap aspek penanganan pasien. Dimana peran petugas adalah sebagai pelaksana dalam upaya pencegahan infeksi. Namun setiap petugas kesehatan wajib memperhatikan kesehatan dirinya. Petugas kesehatan wajib melindungi dirinya misalnya dengan mengikuti seluruh prosedur universal precaution ketika bertugas. (Orel, 2001). Banyaknya jumlah sampel yang diambil ditentukan dengan mengikuti pedoman dari Tabel Penentuan Jumlah Sampel oleh Krejcie dan Morgan (1970) dalam Uma Sekaran (1992) yaitu sebagai berikut: jumlah populasi 60 orang maka jumlah sampel sebanyak 52 orang. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner dengan pertanyaan tertutup dan pedoman observasi yang dibuat oleh peneliti. Kuesioner dibagikan kepada responden untuk diisi setelah responden bersedia untuk diteliti. Cara pembuatan kuesioner dilakukan sendiri oleh peneliti dengan modififikasi, karena tidak ada sumber kuesioner yang baku. Pedoman observasi digunakan untuk mengukur keterampilan perawat dalam tindakan keperawatan serta alat/sarana yang tersedia di ruangan perawatan. Pedoman observasi dengan checklist untuk skala keterampilan memiliki kriteria : dilakukan dengan sempurna (nilai 2), dilakukan tetapi tidak sempurna (nilai 1) dan tidak dilakukan (nilai 0), sedangkan untuk skala alat/sarana dengan kriteria: tersedia dengan baik (nilai 2), tersedia tidak lengkap/kondisi kurang baik (nilai 1) dan tidak tersedia (nilai 0). 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan cross sectional yaitu suatu cara penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan data dari sejumlah responden pada saat itu atau data pada saat dilakukan penelitian untuk mengetahui pelaksanaan pencegahan infeksi nosokomial akibat tindakan invasif pemasangan infus yang dilakukan oleh perawat pelaksana di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam, Kecamatan Samalantan, Kabupaten Bengkayang. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat pelaksana di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam, Kecamatan Samalantan, Kabupaten Bengkayang yang berjumlah 60 orang, yang terdiri dari 3 orang lulusan Sekolah Perawat Kesehatan 55 orang lulusan Diploma III keperawatan dan 2 orang lulusan Sarjana kesehatan masyarakat. Sampel yang diambil adalah perawat pelaksana di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam dengan kriteria inklusi : 1. Perawat pelaksana ruang Instalasi Gawat Darurat, ruang kebidanan, 3. HASIL PENELITIAN Analisis hasil penelitian meliputi analisis univariat. Analisis univariat meliputi analisis deskriptif untuk variabel karakteristik individu dan pelaksanaan pencegahan infeksi nosokomial akibat tindakan invasif pemasangan infus oleh perawat pelaksana di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam, Kecamatan Samalantan Kabupaten Bengkayang. 137 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 Karakteristik individu pada penelitian ini meliputi nama, jenis kelamin dan ruangan. Karakteristik jenis kelamin diukur dalam skala nominal, dilakukan analisis deskriptif dan disajikan pada tabel. Tabel 2. Distribusi Pendidikan Responden di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam Tahun 2010 No 1 Tabel 1. Distribusi Jenis Kelamin Responden di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam Tahun 2010 Pendidikan Jumlah Persentase SPK 1 2 DIII 50 96 Keperawatan S-1 1 2 Keperawatan Total 52 100 2 3 No Jenis Kelamin Jlh 1 Perempuan 34 2 Laki-laki 18 Total 52 ISSN 2338-3690 Persentase 65,3 34,7 100 Tabel 3. Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Pencegahan Infeksi Nosokomial Akibat Pemasangan Infus di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam Tahun 2010 IGD Kategori Jlh Bidan % Jlh % Z. Umum Jlh % ICU Z. Atas Total Jlh % Jlh % Jlh % Sangat Baik 7 58,33 10 90,90 10 90,90 3 42,86 7 63,64 37 71,16 Baik 5 41,67 0 Cukup 0 0 Kurang 0 Jumlah 12 0 1 9,01 4 57,14 2 18,01 12 23,08 1 9,01 0 0 0 0 2 18,01 3 5,76 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 100 11 100 11 100 7 100 11 100 52 100 Tabel 4. Distribusi Keterampilan Responden Dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial Akibat Pemasangan Infus di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam Tahun 2010 Kategori Sangat Baik Baik Cukup Kurang IGD Jlh % Z.Bidan Z.Umum ICU Jlh % Jlh % Jlh % Z. Atas Jlh % Total Jlh % 5 6 54,55 5 41,67 4 33,33 2 16,67 1 8,33 12 100 45,45 5 71,42 4 36,36 25 48,08 3 27,27 4 36,37 2 18,18 2 18,18 0 0 0 0 11 100 11 100 2 0 0 7 28,58 0 0 100 4 2 1 11 36,37 18,18 9,09 100 17 8 2 52 32,70 15,38 3,84 100 Berdasarkan table 4. Diatas dapat diinterpretasikan bahwa keterampilan responden dalam mencegah infeksi noskomial akibat pemasangan infus dengan kategori sangat baik adalah sebagian dari responden yaitu sebanyak 25 orang (48,08%), dan 17 orang yang mendapat kategori baik (32,70%) dan responden dengan kategori cukup yaitu sebanyak 8 orang (15,38%), serta yang kategori kurang adalah 2 orang (3,84%). 138 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690 Tabel 5. Distribusi Ketersediaan Sarana Pencegahan Infeksi Nosokomial Akibat Pemasangan Infus di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam Tahun 2010 StandarNilai Kategori < 50 50-74 75-100 Kurang Cukup Baik 1 IGD 80 2 Z.Bidan 70 3 Z.Umum 70 4 ICU 80 5 Z.Atas 70 Rata-Rata 74 pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya Tabel 5 diatas menunjukkan pendidikan yang kurang akan distribusi penyediaan sarana untuk menghambat perkembangan sikap pelaksanaan pencegahan infeksi seseorang terhadap nilai - nilai yang nosokomial akibat pemasangan infus di baru diperkenalkan. Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam Berdasarkan hasil penelitian dapat tahun 2010 dengan kriteria cukup. dilihat bahwa dari 50 responden yang mempunyai latar belakang pendidikan Diploma III Keperawatan 35 orang memperoleh tingkat pengetahuan dalam 4. PEMBAHASAN Berdasarkan karakteristik jenis kategori sangat baik, 10 orang mendapat kelamin responden di Rumah Sakit nilai dalam kategori baik, 3 orang Umum Bethesda Serukam menunjukkan memperoleh nilai kategori cukup, 2 distribusi terbesar dari responden adalah orang perawat memperoleh nilai dengan perempuan yaitu sebanyak 34 responden kategori kurang hal ini menunjukan atau 65,3% dari total keseluruhan bahwa sebagian besar perawat yang ada responden. Namun sejauh ini belum ada di Rumah Sakit Umum Bethesda penelitian yang menjelaskan tentang Serukam dengan latar belakang adanya perbedaan jenis kelamin pendidikan Diploma III keperawatan mempengaruhi pengetahuan dan sebagian besar memiliki tingkat ketrerampilan seorang perawat dalam pengetahuan yang sudah sangat baik. memberikan pelayanan keperawatan Distribusi pengetahuan responden khususnya yang berhubungan dengan di Rumah Sakit Umum Bethesda pencegahan infeksi nosokomial akibat Serukam tentang pencegahan infeksi pemasangan infus. nosokomial akibat pemasangan infus Distribusi pendidikan responden di dengan kriteria sangat baik adalah Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam sebagian dari responden yaitu sebanyak tahun 2010 yang terbesar adalah 37 orang (71,16%). Responden yang responden dengan latar belakang mendapatkan nilai pengetahuan dengan pendidikan Diploma III Keperawatan kategori sangat baik tersebut, yaitu sebanyak 50 orang atau (96 %). mempunyai jenis kelamin, ruangan, Pendidikan merupakan salah satu hal pendidikan yang bervariasi. Ruangan yang menentukan pengetahuan perawatan yang mendapatkan nilai ratasebagaimana menurut Kuncoroningrat rata pengetahuan tentang pencegahan (1997), makin tinggi pendidikan infeksi nosokomial akibat infus yang seseorang makin mudah menerima tertinggi adalah ruang rawat umum informasi sehingga makin banyak pula dengan nilai 90,90 % sedangkan yang No Ruang Skor 139 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690 perilaku perawat, serta faktor predisposisi seperti pendidikan, kepercayaan dan sosial ekonomi dari para perawat tersebut. Dengan latar belakang tersebut diatas, tentu saja untuk melakukan pencegahan atau pengendalian infeksi nosokomial di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam diperlukan pengetahuan yang baik dari tiap personil perawat, yang menjadi dasar dari tiap pelaksanaan setiap tindakan keperawatan yang dilakukan terhadap pasien yang sesuai dengan standar dan prosedur yang berlaku di institusi tersebut. Keterampilan responden di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam dalam mencegah infeksi noskomial akibat pemasangan infus dengan kategori sangat baik yaitu sebanyak 25 orang (48,08%). Responden yang mempunyai keterampilan dalam pencegahan infeksi pada infus dengan kategori sangat baik mempunyai latar belakang pendidikan, ruangan, jenis kelamin yang berbedabeda. Ruangan perawatan yang mendapatkan nilai rata-rata keterampilan tentang pencegahan infeksi nosokomial akibat infus yang tertinggi adalah Ruang Intensive Care Unit dengan nilai 71,42 % sedangkan yang mendapatkan nilai rata-rata terendah adalah ruang rawat umum atas dengan nilai 36,36 %. Responden dengan latar belakang pendidikan. Sekolah Perawat Kesehatan yang memiliki masa kerja yang cukup lama ternyata cukup terampil dalam melaksanakan tindakan pencegahan infeksi, hal ini disebabkan karena mereka memiliki cukup banyak pengalaman dalam merawat pasien dengan menggunakan infus, karena sebagian besar pasien yang dirawat di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukamm enggunakan infus untuk pemberian obat-obatan. Keterampilan mereka dalam ketepatan insersi jarum mendapatkan nilai rata-rata terendah adalah ruang rawat umum atas dengan nilai 63,64 %. Selanjutnya merujuk pada teori Notoatmodjo (2003), pengetahuan merupakan dominan yang sangat penting dalam membentuk perilaku seseorang, artinya dalam hal ini semakin baik pengetahuan responden tentang infeksi nosokomial maka semakin baik pula kemampuan mereka dalam melakukan pencegahan terhadap infeksi nosokomial tersebut. Pada umumnya semua responden pernah mendengar dan mempelajari tentang infeksi nosokomial saat dibangku sekolah atau kuliah. Informasi mengenai infeksi nosokomial selain didapat saat sekolah atau kuliah juga melalui dokter, atau bahkan melalui media dimana infeksi nosokomial merupakan problem klinis yang sangat penting pada saat sekarang ini, terbukti dari banyaknya laporan/berita tentang kejadian infeksi nosokomial di rumah-rumah sakit, baik di luar maupun di dalam negeri, dengan konsekwensi meningkatnya angka kesakitan dan kematian. Rumah sakit merupakan tempat untuk melakukan prosedur dan tindakan medis serta keperawatan baik itu untuk membantu diagnosa maupun memonitor perjalanan penyakit dan terapi, yang selain untuk mendapatkan kesembuhan juga dapat menyebabkan pasien rentan terkena infeksi nosokomial. Pengetahuan perawat dalam hal pencegahan infeksi nosokomial khususnya yang berhubungan dengan pemasangan infus diperlukan dalam pemberian pelayanan berkualitas kepada masyarakat. Pengetahuan yang dimiliki oleh perawat pelaksana di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam tersebut secara umum belumlah cukup memadai, hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor enabling/pendukung seperti tersedianya sarana dan prasarana, faktor penguat/reinforcing seperti sikap dan 140 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690 sarung tangan sebelum melakukan tindakan, mungkin tidak disadari oleh perawat dapat meningkatkan insiden infeksi nosokomial. Mungkin kebiasaan ini lebih dominan disebabkan oleh budaya mencucitangan yang belum terlalu melekat dalam kehidupan seharihari perawat sehingga terbawa dalam pekerjaannya. Padahal mencuci tangan dan memakai sarung tangan sangat dianjurkan bila akan melakukan tindakan apapun yang berhubungan dengan pasien. Maka dari itu perlu adanya suatu proses berubah untuk memperbaiki kebiasaan tersebut menjadi berkurang atau hilang sehingga timbul kebiasaan baru yang jauh lebih baik, walaupun untuk melakukan ini tidaklah mudah dan memerlukan waktu yang cukup panjang untuk melakukan suatu perubahan. Distribusi penyediaan fasilitas/ sarana untuk pelaksanaan pencegahan infeksi nosokomial akibat pemasangan infus di ruangan perawatan yang terdapat di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukamyaitu yang dapat dikategorikan baik adalah Instalasi Gawat Darurat dan Intensive Care Unit. Sedangkan secara keseluruhan ketersedian sarana di rumah sakit tersebut dikategorikan cukup.Fasilitas penunjang berupa sarana dan prasarana guna pencegahan infeksi nosokomial khususnya yang berhubungan dengan pemasangan infus di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam yang secara umum dapat dikategorikan cukup, ditunjukkan dengan tersedianya berbagai sarana/fasilitas untuk pemasangan dan perawatan infus di tiap-tiap ruangan perawatan dengan cukup lengkap, namun demikian masih terdapat beberapa kekurangan dan kerusakan alat diantaranya sarana cuci tangan dengan air mengalir, set instumen steril, handscoen steril, tourniquet dan tiang infus. Di ruangan kateter infus cukup baik terbukti dengan jarang melesetnya insersi abbocath dalam vena pada tusukan pertama, yang terlihat selama peneliti melakukan kegiatan observasi. Pada umumnya perawat pelaksana di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam sudah mempunyai ketrampilan yang memadai dalam hal pencegahan infeksi yang berkaitan dengan pemasangan infus, tetapi terkadang dalam pelaksanaannya menemukan kendala yang berkaitan dengan kurangnya alat dan fasilitas penunjang ataupun pengetahuan dari perawat itu sendiri yang masih belum baik dalam hal pencegahan infeksi nosokomial.Berdasarkan pengamatan peneliti, sebagian besar responden tidak mencuci tangan terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan, cuci tangan hanya dilakukan setelah selesai melakukan tindakan. Hampir sebagian dari responden juga tidak memakai sarung tangan steril pada saat melakukan tindakan, mereka lebih sering menggunakan sarung tangan non steril atau bahkan tidak menggunakan sarung tangan sama sekali. Pada dasarnya transmisi penyakit melalui tangan dapat diminimalisasi dengan menjaga hiegene dari tangan. Tetapi pada kenyataannya, hal ini sulit dilakukan dengan benar, karena banyaknya alasan seperti kurangnya fasilitas cuci tangan, dan waktu mencuci tangan yang lama serta mungkin sudah terbiasa tidak mencuci tangan terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan keperawatan. Padahal diketahui bahwa tingkat pengetahuan perawat di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam rata-rata sangat baik mengenai hal ini, tapi pada prakteknya dirasa kurang. Hal ini mungkin disebabkan karena faktor kesalahan yang tidak disadari yang sudah menjadi budaya dan kebiasaan sehari-hari mereka.Kebiasaan tidak mencuci tangan ataupun tidak memakai 141 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690 apotik hanya 5-10 set handscoen steril saja setiap ruangan perhari. Sehingga petugas lebih sering menggunakan handscoen dalam kemasan kotak non steril ataupun handscoen bekas pakai yang disterilkan kembali. Sehingga halhal tersebut dapat dikatakan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi insiden terjadinya infeksi nosokomial di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam khususnya yang berkaitan dengan pemasangan infus. Tersedianya fasilitas/ sarana dengan kondisi baik dan lengkap merupakan hal yang harus diperhatikan oleh pihak pengelola institusi karena akan sangat mempengaruhi dan menunjang kualitas pelayanan yang diberikan oleh petugas. Penyediaan sarana yang masih belum memadai di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam yang merupakan rumah sakit milik swasta ini mungkin disebabkan karena minimnya anggaran untuk pengelolaan dan pembangunan rumah sakit tersebut, dan mungkin adanya sebab lain yaitu sistem manajemen rumah sakit itu sendiri yang belum berjalan dengan maksimal. Sehingga perlu adanya kajian ulang dan pembenahan dari pihak yang mempunyai wewenang dalam hal ini. perawatan dengan jumlah pasien yang cukup banyak seperti di ruang rawat umum atas, jumlah tiang infus kadangkadang tidak mencukupi saat pasien sedang penuh sehingga terpaksa infus digantung di dinding dengan menggunakan paku sehingga beresiko infus terjatuh dan terlepas atau bahkan secara estetika tidak sedap dipandang mata. Rata-rata di tiap ruangan jumlah tempat sampah medis maupun non medis masih kurang banyak atau hanya menggunakan botol bekas cairan intra vena atau botol aqua, sehingga sering tampak sampah yang berserakan dan berceceran hingga ke lantai dan tentu saja merupakan media yang sangat baik bagi mikroorganisme untuk berkembang dan menyebarkan penyakit. Menurut hasil pengamatan peneliti, setiap ruangan perawatan terdapat wastafel sebagai sarana untuk mencuci tangan dengan air mengalir, Tetapi terdapat beberapa kendala yaitu aliran air keran yang kadang mati sehingga kadang-kadang tidak ada air mengalir yang keluar melalui keran. Masingmasing ruangan tersedia dalam jumlah yang cukup bahan pencuci tangan berupa sabun yang mengandung larutan antiseptik yang dapat menghambat aktivitas atau membunuh mikroorganisme pada kulit sehingga mikro-organisme terlepas dari permukaan kulit dan mudah terhalau oleh air, handuk atau kain untuk mengeringkan tangan juga tersedia dengan jumlah yang cukup. Persedian larutan antiseptik dan desinfektan seperti alkohol 70%, baik di tiap-tiap ruangan sehingga dapat menunjang dalam pelaksanaan pencegahan infeksi. Fasilitas/sarana yang dianggap kurang adalah penyediaan alat pelindung diri/ universal precaution yaitu sarung tangan steril yang masih terbatas jumlahnya sehingga terbatas juga penggunaannya. Jumlah permintaan dari 5. KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil simpulan sebagai berikut 1. Pengetahuan perawat pelaksana di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam tentang pencegahan infeksi nosokomial akibat tindakan invasif pemasangan infus diperoleh nilai rata-rata 83,65 yang jika dikategorikan termasuk dalam kriteria sangat baik. 2. Keterampilan perawat di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam dalam pencegahan infeksi nosokomial yang berhubungan 142 Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013 ISSN 2338-3690 Notoadmojo, S. (1993) Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Andi Offset, Yogyakarta Nursalam, (2001) Pendekatan Praktis Metodologi Riset Perawatan, Infomedika, Jakarta. Potter, Patricia. A, ed all. (1997) Fundamentals of Nursing, concept, process and practice, mosby : Philadhelphia. Potter, Perry . (2000) Keterampilan dan Prosedur dasar, edisi 3, EGC, Jakarta. Purwandari, R. (2005) Pengontrolan Infeksi (Internet) Tersedia dalam:http://elearning.unej.ac.id/c ourses/IKU13236c49/document/P ENGONTROLAN_INFEKSIhandout.doc?cidReq=IKU13239d c2, diakses 02 Oktober 2010. Roper, Nancy. (1996) Prinsip-Prinsip Keperawatan, edisi 1, Yayasan Essentia Medica, Yogyakarta. Saroso, Sulianti. (2002) Kewaspadaan Universal Pengendalian Infeksi Nasokomial (Kupin) (Internet), Jakarta : Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso. Utama, H.W. (2006) Infeksi Nosokomial (Internet) Tersedia dalam :http://id.klikharry.wordpress.co m20061221infeksi-nosokomial/, diakses15 Oktober 2010 dengan tindakan invasif pemasangan infus diperoleh nilai rata-rata 76,92 yang jika dikategorikan termasuk dalam kriteria baik. 3. Fasilitas atau sarana yang mendukung terhadap pelaksanaan pencegahan infeksi nosokomial akibat tindakan invasif pemasangan infus di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam dengan nilai ratarata ketersediaan sarana yaitu 74 yang jika dikategorikan termasuk dalam kriteria cukup. DAFTAR PUSTAKA Anonim, (2004) Infeksi Nosokomial (Internet) Tersedia dalam: http://bankdata.depkes.go.id/data %20intranet/Sharing%20Folder/D ITJEN%20YANMEDIK/seri%20 3/Bab%204.htm, diakses 07 Oktober 2010 Brunner, Suddarth. (2002) Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, EGC Kedokteran, Jakarta. Danim, Sudarwan. (2003) Riset Keperawatan : Sejarah dan Metodelogi, EGC, Jakarta. Depkes, RI. (2003) Pedoman Pelaksanaan Kewaspadaan Universal di pelayanan Kesehatan, Depkes RI, Jakarta. Depkes, RI. (2003) Dasar-dasar Pencegahan Infeksi Depkes RI: Jakarta (Internet) Tersedia dalam:http://www.member/giyarti @litbang.depkes.go.id/badanlitba ngkesehatan, diakses 10 September 2010. http://www.infeksi.com/articles.php?ing =in.diakses 19 september 2010. **** 143