jurnal keperawatan jurnal keperawatan hkbp balige tan hkbp balige

advertisement
Volume I, No. 2, Desember 2013
ISSN 2338-3690
JURNAL KEPERAWATAN HKBP BALIGE
Diterbitkan Oleh :
Akademi Keperawatan HKBP Balige
Sumatera Utara, Indonesia
Volume 1, Nomor
omor 2, Desember 2013
ISSN 2338-3690
2338
JURNAL KEPERAWATAN HKBP BALIGE
AKADEMI KEPERAWATAN HKBP BALIGE
Editorial
SUSUNAN DEWAN REDAKSI
Penasihat:
Prof. dr. Bistok Saing, SpA(K)
Pimpinan Redaksi:
Lamria Simanjuntak, S.Kep, Ns,
M.Kes
Dewan Editor:
dr.
r. Margaretha Sirait, M.Kes
dr.
r. Eddy Salmon Sirait, M.Kes
dr.
r. Irwan Wirya, M.Kes
Elfrida Nainggolan, SKM
Daniel Tambunan, SSos.
Editor Pelaksana:
Carolina M Simanjuntak, S.Kep, Ns
Jenti Sitorus, SST
Keuangan:
Istin Tampubolon
Alamat Redaksi;
Jl. Gereja No. 17, Balige, Tobasa
Sumatera Utara, 22314
Kami bersyukur kepada Tuhan YME karena
jurnal keperawatan volume 1 nomor 2 ini
dapat terbit. Kami juga berharap bahwa
jurnal ini akan berguna bagi sivitas
Akademi Keperawatan HKBP Balige serta
bagi pembaca pada umumnya.
Pada volume dan nomor ini akan
menginformasikan enam tulisan hasil
penelitian,, studi pustaka maupun tulisan
ilmiah dari para dosen dan
da praktisi
tentang keperawatan, kesehatan dan
kebidanan yang dapat dilihat pada daftar
isi.
Semoga isi jurnal volume 1 nomor 2 ini
bermanfaat bagi pembaca. Kritik dan
saran kami harapkan untuk perbaikan
selanjutnya.
Akhir kata kami mengharapkan kontribusi
kontribu
tulisan dari para akademisi dan praktisi
untuk dapat mengirimkan tulisannya pada
edisi-edisi selanjutnya.
Hormat Kami,
Pimpinan Redaksi
www.akperhkbp.ac.id
email:
mail: [email protected]
i
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
ISSN 2338-3690
DAFTAR MITRA BESTARI
Ucapan terimakasih dan penghargaan disampaikan kepada para pakar yang
telah diundang sebagai Mitra Bestari/Penelaah oleh Jurnal Keperawatan
HKBP Balige dalam Volume 1 No.2 Tahun 2013. Berikut ini daftar nama
pakar yang telah berpartisipasi :
1.
dr. David Simangunsong, M.Kes
Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen, Medan
2.
dr. T. M. Panjaitan, SKM
Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen, Medan
3.
dr. Novita Simanjuntak, MARS
Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen, Medan
4.
S. Sihombing, Ssi. Apt
AKPER HKBP Balige, Tobasa
5.
Jastro Situmorang, SKep, Ns
AKPER HKBP Balige, Tobasa
6.
dr. Tihar Hasibuan, MARS
RSU HKBP Balige, Tobasa
ii
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
ISSN 2338-3690
DAFTAR ISI
1.
Hubungan Mobilisasi Dini Dengan Lamanya Penyembuhan
Luka Passca Operasi Appendiktomi Di Zaal C Rumah Sakit
HKBP Balige Tahun 2013
98
Elfrida Nainggolan, SKM., Lamria Simanjuntak, S.Kep, Ns, M.Kes
2.
Dampak Penggunaan Laptop Terhadap Motivasi Belajar
Mahasiswa Tingkat III Akademi Keperawatan HKBP Balige 106
dr. Irwan Wirya, M.Kes
3.
Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan Perawat
Tentang Pemenuhan Nutrisi Pada Pasien Dengan Gangguan
Kardiovaskuler Di Ruang E RSU HKBP Balige Tahun 2011
Jenti Sitorus, SST., Daniel Tambunan, MARS
110
4.
Pengaruh Merubah Posisi Dan Massase Kulit Pada Pasien
Stroke Terhadap Terjadinya Luka Dekubitus Di Zaal F RSU
HKBP Balige
117
Carolina M. Simanjuntak, S.Kep Ns., dr. Margaretha Sirait, M.Kes
5.
Pengetahuan Perawat Dalam Merawat Pasien TB Paru Di Rumah
Sakit HKBP Balige
126
Jastro Situmorang, S.Kep, Ns., dr. Edi Salmon Sirait, M.Kes
6.
Pelaksanaan Pencegahan Infeksi Nosokomial Akibat Tindakan
Invasif Pemasangan Infus Oleh Perawat Pelaksana Tahun 2010
Di RSU Bethesda Serukam
135
Juliming Kenedy, SKM, Susito, SKM., M.Kes,
Ishak, Silvia, Thresiawati
iii
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
ISSN 2338-3690
HUBUNGAN MOBILISASI DINI DENGAN LAMANYA PENYEMBUHAN
LUKA PASCA OPERASI APPENDIKTOMI DI ZAAL C RUMAH SAKIT
HKBP BALIGE TAHUN 2013
Elfrida Nainggolan, SKM
Lamria Simanjuntak, S.Kep, Ns, M.Kes
Prodi D3 Keperawatan Akper HKBP Balige, Tobasa, Sumut
[email protected]
Abstrak
Appendiktomi merupakan salah satu penanganan yang sering dilakukan pada pasien yang
mengalami appendiksitis. Pasca pembedahan sering sekali dijumpai pasien takut untuk
melakukan mobilisasi yang disebabkan oleh beberapa faktor. Mobilisasi merupakan faktor
yang utama dalam mempercepat pemulihan dan mencegah terjadinya komplikasi pasca bedah.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelasi yang bertujuan untuk mengetahu
hubungan mobilisasi dini dengan lamanya penyembuhan luka pasca operasi appendiktomi.
Penelitian ini dilakukan di RSU HKBP Balige pada bulan November 2012 s.d Maret 2013
dengan jumlah sampel 15 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan
kuesioner. Dari hasil penelitian diperoleh uji Chi-square menunjukkan nilai p = 0,008 (p <
0,05). Artinya ada hubungan antara mobilisasi dini dengan lamanya penyembuhan luka paska
operasi appendictomy di ruang zaal C RSU HKBP Balige Tahun 2013.
Kata kunci : Mobilisasi, Apendiktomi, Rumah Sakit, HKBP Balige
gangguan pernapasan dan gangguan
peristaltik maupun berkemih (Carpenito,
2000). Namun, bila terlalu dini
dilakukan dengan teknik yang salah,
mobilisasi dapat mengakibatkan proses
penyembuhan luka menjadi tidak
efektif. Oleh karena itulah, mobilisasi
harus dilakukan secara teratur dan
bertahap, diikuti dengan latihan Range
of Motion (ROM) aktif dan pasif
(Roper, 2002).
Marlitasari (2010) meneliti tentang
gambaran penatalaksanaan mobilisasi
dini pada pasien apendektomi di RS
PKU
Muhammadiyah
Gombong.
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh
data bahwa mobilisasi dini dapat
mengurangi
rasa
nyeri
pasien,
mengurangi waktu rawat di rumah sakit
dan dapat mengurangi stress psikis pada
pasien. Kesimpulan dari penelitian ini
adalah
adalah
dengan
bergerak
seseorang dapat mencegah kekakuan
otot dan sendi, mengurangi rasa nyeri,
menjaga aliran darah, memperbaiki
1. PENDAHULUAN
Insiden apendisitis di negara maju
lebih
tinggi
daripada
negara
berkembang, Amerika menangani 11
kasus/10.000 kasus apendisitis setiap
tahun. Menurut data RSPAD Gatot
Subroto tahun 2008 jumlah pasien yang
menderita penyakit apendisitis di
Indonesia adalah sekitar 32% dari
jumlah populasi penduduk Indonesia
(DEPKES RI, 2009).
Salah
satu
faktor
yang
mempengaruhi proses penyembuhan
luka akibat operasi pembuangan
apendiks
(apendektomi)
adalah
kurangnya/ tidak melakukan mobilisasi
dini. Mobilisasi merupakan faktor yang
utama dalam mempercepat pemulihan
dan mencegah terjadinya komplikasi
pasca bedah. Mobilisasi sangat penting
dalam percepatan hari rawat dan
mengurangi resiko karena tirah baring
lama seperti terjadinya dekubitus,
kekakuan atau penegangan otot-otot di
seluruh tubuh, gangguan sirkulasi darah,
98
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
ISSN 2338-3690
Berdasarkan data survei awal,
peneliti tertarik untuk meneliti tentang
hubungan mobilisasi dini dengan
lamanya penyembuhan luka paska
operasi appendiktomy di ruang zaal C
RSU HKBP Balige Tahun 2013.
metabolisme tubuh, mengembalikan
kerja fisiologis organ-organ vital yang
pada akhirnya justru akan mempercepat
penyembuhan luka.
Keberhasilan mobilisasi dini tidak
hanya mempercepat proses pemulihan
luka pasca pembedahan namun juga
mempercepat pemulihan peristaltik usus
pada pasien pasca pembedahan (Israfi
dalam Akhrita, 2011). Hal ini telah
dibuktikan oleh Wiyono dalam dalam
Akhrita (2011) dalam penelitiannya
terhadap pemulihan peristaltik usus
pada pasien pasca pembedahan. Hasil
penelitiannya
mengatakan
bahwa
mobilisasi diperlukan bagi pasien pasca
pembedahan
untuk
membantu
mempercepat pemulihan usus dan
mempercepat penyembuhan luka pasien.
Berdasarkan survei pendahuluan
yang dilakukan oleh peneliti di Ruang
Zaal C RSU HKBP Balige, terdapat 25
orang pasien yang mengalami pasca
operasi
apendiktomy.
Peneliti
mendapatkan informasi bahwa dari 25
orang yang baru mengalami operasi
apendisitis 20 orang mengatakan bahwa
mereka sangat takut untuk melakukan
mobilisasi paska operasi. Hal ini
disebabkan karena pasien merasa sangat
kesakitan saat bergerak pasca efek
anestesi operasi tersebut hilang.
Disamping
itu,
pasien
juga
mengungkapkan kekhawatiran jahitan
luka bekas operasi akan meregang atau
terbuka jika mereka melakukan
mobilisasi paska operasi. Mereka
beranggapan
mobilisasi
dapat
menyebabkan terjadinya ruam atau lecet
pada bagian abdomen bagian bawah,
kekakuan atau penegangan otot – otot di
seluruh tubuh, pusing dan susah
bernafas, juga susah buang air besar
maupun berkemih. Hal inilah yang
menyebabkan banyak diantara mereka
untuk lebih memilih diam atau tidak
bergerak diatas tempat tidur.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Mobilisasi Dini
2.1.1Definisi
Mobilisasi merupakan kemampuan
individu untuk bergerak secara bebas,
mudah, dan teratur dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan aktifitas guna
mempertahankan kesehatannya (Alimul,
2009).
2.1.2 Tujuan Mobilisasi Dini
Mobilisasi dini bertujuan untuk
mengurangi komplikasi paska bedah,
terutama atelektasis dan pneumonia
hipostasis, mempercepat terjadinya
buang air besar dan buang air kecil
secara rasa nyeri pasca operasi (E.
Oswari, 2005). Mobilisasi yang
dilakukan untuk meningkatkan ventilasi,
mencegah
stasis
darah
dengan
meningkatkan kecepatan sirkulasi pada
ekstremitas dan kecepatan pemulihan
pada luka abdomen (Suzanne C, 2005).
2.1.3 Jenis Mobilisasi
Menurut Alimul (2009), jenis
mobilisasi
dibedakan
berdasarkan
kemampuan gerakan yang dilakukan
oleh seseorang yaitu :
1. Mobilisasi
penuh,
merupakan
kemampuan
seseorang
untuk
bergerak secara penuh dan bebas
sehingga dapat melakukan interaksi
sosial dan menjalankan peran seharihari. Mobilisasi penuh ini merupakan
fungsi saraf motorik dan sensorik
untuk dapat mengontrol seluruh area
tubuh seseorang.
2. Mobilisasi sebagian, merupakan
kemampuan
seseorang
untuk
bergerak dengan batasan jelas dan
99
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
tidak mampu bergerak secara bebas
karena dipengaruhi oleh gangguan
saraf motorik dan sensorik pada area
tubuh. Mobilitas sebagian dibagi
menjadi dua jenis yaitu:
a. Mobilitas sebagian temporer,
merupakan kemampuan individu
untuk bergerak dengan batasan
yang bersifat sementara, ini dapat
disebabkan oleh trauma pada
sistem musculoskletal.
b. Mobilitas sebagian permanen,
merupakan kemampuan individu
untuk bergerak dengan batasan
yang sifatnya menetap. Hal
tersebut disebabkan oleh rusaknya
sistem saraf, contoh terjadinya
hemiplegia karena stroke.
ISSN 2338-3690
2.2.1 Pengertian
Pembedahan
adalah
suatu
penanganan medis secara invasif yang
dilakukan untuk mendiagnosa atau
mengobati penyakit, injuri, atau
deformitas tubuh (LeMone & Burke,
2003). Apendiktomi adalah pembedahan
dengan cara pengangkatan apendiks.
Apendisitis
merupakan
indikasi
tersering
pengangkatan
apendiks,
walaupun pembedahan ini dapat juga
dilakukan untuk tumor, misalnya
karsinoid atau adenokarsinoma (Sylvia
A. Price, 2006).
2.2.2 Persiapan Pembedahan
Apendiktomi
a. Persiapan Fisik
Sebelum pembedahan dimulai,
lambung harus kosong dan dipuasakan
enam jam sebelum pembedahan. Kulit
tubuh, khususnya di daerah lapangan
operasi harus bersih. Penderita harus
mandi dengan sabun atau larutan
antiseptik. Suhu badan dipertahankan
normal.
Hipertermi
meningkatkan
metabolisme sehingga syok tidak dapat
dikompensasi seperti biasa. Sedangkan
hipotermi memperlambat metabolisme
sehingga misalnya pembekuan darah
melambat.
Keseimbangan cairan dan elektrolit
harus dikoreksi. Pada penderita diabetes
mellitus dilakukan kadar gula darah dan
ketonuria. Diuresis menjadi pegangan
penting
dalam
menentukan
keseimbangan cairan. Jika diuresis
mencapai 30 ml/jam, lidah lembab,
mukosa lain tampak basah dan turgor
kulit memadai, hidrasi penderita dapat
dianggap normal.
Penyulit pasca bedah paling banyak
terjadi di paru. Perokok harus
dianjurkan untuk berhenti merokok
sekurang-kurangnya
satu
minggu
sebelum rencana operasi. Gangguan faal
hati sering ditemukan dan, akibatnya,
seperti hipoalbuminemia, anemia dan
2.1.4 Latihan Rentang Gerak
(Range Of Motion/ROM)
Kemampuan
sendi
untuk
melakukan pergerakan pada pasien
berbeda
sesuai
dengan
kondisi
kesehatannya. Latihan rentang gerak
merupakan gerakan yang mungkin
dilakukan sendi pada salah satu dari tiga
potongan tubuh yaitu, sagital, frontal,
dan transversal (Potter dan Perry, 2006).
Latihan rentang gerak ini dilakukan
pada masing-masing persendian dengan
melakukan
gerakan
yang
tidak
membahayakan. Latihan ROM dapat
dilakukan secara aktif dan pasif. Latihan
ROM secara pasif merupakan latihan
dimana
perawat
menggerakkan
persendian pasien sesuai dengan rentang
geraknya. Sedangkan latihan ROM
secara aktif adalah ROM yang
dilakukan oleh pasien sendiri tanpa
bantuan perawat dan alat bantu.
Perbedaan latihan ROM pasif dan aktif
bergantung pada ada tidaknya bantuan
yang diberikan perawat pada pasien
dalam melakukan ROM (Asmadi,
2009).
2.2 Konsep Bedah Apendiktomi
100
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
ISSN 2338-3690
gangguan pembekuan darah, sedapat
mungkin dikoreksi. Pada obstruksi
saluran
cerna
harus
dilakukan
dekompresi dengan memasang pipa
lambung (Sjamsuhidayat, 2005).
dengan
efektif,
latihan
melatih
1997).
tehnik nafas dalam, batuk
miring kanan dan miring kiri,
mengerakkan tungkai, dan
turun dari tempat tidur (Carol,
b. Persiapan Mental
Secara mental, pasien harus
dipersiapkan
untuk
menghadapi
pembedahan karena selalu ada cemas
atau takut terhadap penyuntikan, nyeri
luka, anastesia, bahkan terhadap
kemungkinan
cacat
atau
mati
(Sjamsuhidayat,
2005).
Untuk
kelancaran pembedahan pasien dan
keluarganya perlu mengetahui beberapa
informasi yang berkaitan dengan
prosedur
pembedahan.
Informasi
tersebut penting mengingat pasien
mempunyai hak untuk menyetujui atau
menolak intervensi yang akan diberikan.
Disamping itu perawat juga mempunyai
kewajiban
untuk
menyampaikan
informasi yang berkaitan dengan proses
penyembuhan pasien sesuai dengan
standar keperawatan.
Beberapa prosedur yang perlu
disiapkan secara kolaboratif antara
dokter dengan perawat sebelum pasien
menjalani pembedahan antara lain:
dokter menetapkan diagnosa media
pasien, melakukan pemeriksaan fisik,
pemeriksaan dagnostik dan persiapan
lainnya seperti melakukan enema,
cukur, memberi dukungan psikologis
dan spiritual, serta memberikan
pendidikan kesehatan (Kozier, dkk,
2004).
Pendidikan kesehatan merupakan
hal yang sangat penting untuk
dipersiapkan sebelum pembedahan,
mengingat
pengalaman
menjalani
operasi merupakan peristiwa kompleks
yang sangat menegangkan. Informasi
melalui pendidikan kesehatan yang
perlu disampaikan sebelum apendiktomi
diharapkan
dapat
membantu
menurunkan kecemasan dan rasa nyeri
c. Perawatan Apendiktomi
Perawatan
pasca
apendiktomi
umumnya sama dengan perawatan
pasien
lain
yang
menjalani
operasi/laparatomi.
Perkembangan
kondisi pasien harus diobservasi dengan
baik untuk mencegah terjadinya
peritonitis dan komplikasi lain setelah
pembedahan. Mobilisasi diawali segera
pada hari pertama post operasi, dan diet
diberikan sesuai dengan toleransi kerja
usus.
Mobilisasi
mengacu
pada
kemampuan seseorang untuk bergerak
dengan bebas. Mobilisasi adalah
kemampuan seseorang untuk bangkit,
berdiri dan berjalan, kembali ke tempat
tidur, kursi (Lewis S, 2000) yang dapat
diperoleh dari kepatenan pernafasan,
sirkulasi dan kontrol terhadap nyeri.
Obat
anastesi
tertentu
dapat
menyebabkan
depresi
pernafasan.
Sehingga perawat perlu waspada adanya
pernafasan yang dangkal dan lambat
serta batuk yang lemah. Salah satu
kekhawatiran terbesar perawat adalah
obstruksi jalan nafas akibat aspirasi
muntah, ukumulasi sekresi mukosa di
faring, atau bengkaknya spasme laring
(Odom, 1993 dalam Kozier, 2004).
Pencegahan awal statis sirkulasi
sebagai komplikasi sirkulasi yang tidak
adekuat adalah dengan meningkatkan
aliran darah balik vena dan aliran darah
normal. Perawat menganjurkan klien
melakukan latihan kaki dan ambulasi
lebih awal.
3. KERANGKA KONSEP
Mobilisasi dini
101
Lamanya Penyembuhan
Luka Pasca Operasi
Apendiktomi
1. Lambat
2. Cepat
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
ISSN 2338-3690
yang diperoleh dari Ruangan Zaal C RS
HKBP Balige.
3.1. Hipotesis Penelitian
Ha : Ada hubungan antara mobilisasi
dini dengan lamanya penyembuhan luka
pasca operasi Appendictomy di ruang
zaal C RSU HKBP Balige Tahun 2013.
3.8 TehnikPengolahan Data
Setelah data terkumpul dilakukan
beberapa proses pengolahan data yaitu :
1. Editing
Kegiatan ini dilakukan
untuk
mengevaluasi
kelengkapan,
konsistensi dari setiap jawaban yang
di berikan responden, sehingga tidak
ditemui jawaban yang kosong dari
responden.
2. Coding
Pada tahap ini dilakukan dengan cara
mengolah hasil jawaban dari setiap
pertanyaan diberi
kode sesuai
petunjuk untuk memudahkan peneliti
dalam mengolah data
3. Entery atau processing
Dimana pada tahap ini jawaban
responden dimasukkan semua data
dalam
computerisasi
kedalam
program Excel dan SPSS 17.
Ho : Tidak Ada hubungan antara
mobilisasi dini dengan lamanya
penyembuhan luka pasca operasi
Appendictomy di ruang zaal C RSU
HKBP Balige Tahun 2013.
3.2 Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan
adalah
bersifat
analisis
dengan
pendekatan cross sectional, yaitu untuk
mengetahui hubungan mobilisasi dini
dengan lamanya penyembuhan luka
pasca operasi appendiktomi di ruangan
Zaal C RS HKBP Balige tahun 2013.
3.3 Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di Ruangan
Zaal C Rumah Sakit HKBP Balige
Tahun 2013.
3.4 Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan
Nopember 2012 – Februari 2013.
3.9 Analisa Data
Setelah dilakukan pengolahan data
maka dilakukan analisa data. Analisa
data yang digunakan adalah analisa
univariat
dan
analisa
bivariat
independen dan dependen.
3.5 Populasi
Populasi adalah seluruh pasien yang
operasi appendiktomi di Ruangan Zaal
C Rumah Sakit HKBP Balige 24
Desember 2012 sampai 3 Maret 2013
adalah 15 orang.
3.9.1 Analisa Univariat
Untuk mengetahui distribusi dan
persentasi variabel mobilisasi dini
dengan lamanya penyembuhan luka
responden.
3.9.2 Analisa Bivariat
Untuk mengetahui hubungan dua
variabel tersebut digunakan uji statistik
Chi-Square
melalui
komputerisasi
dengan tingkat kemaknaan P < 0,05.
3.6 Sampel
Teknik pengambilan sampel pada
penelitian ini menggunakan teknik
Acsidental sampling.
3.7 Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan
cara Data primer yaitu menggunakan
kuesioner untuk pasien, dimana peneliti
terlebih dahulu memberikan penjelasan
singkat tentang pengisian kuesioner
yang
telah
disediakan
dengan
menggunakan instrument yang telah
disediakan. Data sekunder yaitu data
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Penelitian ini telah dilaksanakan mulai
tanggal 24 Desember 2012 sampai 3
Maret 2013. Penelitian ini melibatkan
15
orang
responden
102
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
ISSN 2338-3690
Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Di Ruang Zaal C RSU HKBP
BaligeTahun 2013
No
1
2
Karakteristik
Umur
15-25 tahun
26-36 tahun
37-47 tahun
> 47 tahun
Jumlah
Jenis Kelamin
Laki – laki
Perempuan
Jumlah
Frekuensi (F)
Persentase (%)
7
5
2
1
15
46.7
33.3
13.3
6.7
100
10
5
15
66.7
33.3
100
Berdasarkan tabel 4.1 dapat dilihat
bahwa responden mayoritas berusia 1525 tahun (46,7%) dan minoritas berusia
> 47 tahun (6,7%). Responden
mayoritas laki laki (66,7%) dan
minoritas perempuan (33,3%)
Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi Mobilisasi Dini Responden Di Ruang Zaal C RSU HKBP
BaligeTahun 2013
No
1
2
Mobilisasi Dini
Tidak teratur
Teratur
Frekuensi (F)
13
2
Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat
bahwa mayoritas responden tidak teratur
Persentase (%)
86.7
13.3
dalam mobilisasi dini (86,7%) dan
minoritas teratur (13,3%).
Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Penyembuhan Luka Responden Di Ruang Zaal C RSU
HKBP BaligeTahun 2013
No
Penyembuhan Luka
Frekuensi (F)
Persentase (%)
1
Lambat
14
93.3
2
Cepat
\1
6.7
Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat
bahwa penyembuhan luka responden
mayoritas
minoritas
lambat
(93,3%) dan
cepat
(6,7%).
Tabel 4.4
Tabulasi Silang Antara Mobilisasi Dini Dengan Penyembuhan Luka Responden
Di Ruang Zaal C RSU HKBP BaligeTahun 2013
No
Mobilisasi
Penyembuhan Luka
Total
P value
Dini
Lambat
Cepat
F
%
F
%
F
%
1 Tidak Teratur
13
86,6 0
0
13
86,6
0,008
2 Teratur
1
6,7
1
6,7
2
13,4
Total
14
93,3 1
6,7
15
100
103
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
ISSN 2338-3690
dapat memperlambat penyembuhan
operasi dan efek mobilisasinya pada
penyembuhan luka terjadi hematoma,
infeksi, dehisens dan eviserasi.
Hasil penelitian ini dibuktikan
dengan teori bahwa mobilisasi secara
teratur dan bertahap serta diikuti dengan
istirahat dapat membantu penyembuhan
luka (Nada,2007), mobilisasi dilakukan
untuk
meningkatkan
ventilasi,
mencegah
statis
darah
dengan
meningkatkan kecepatan sirkulasi pada
ekstremitas dan kecepatan pemulihan
pada luka abdomen (Suzanne C, 2005).
Salah satu faktor yang mempengaruhi
proses penyembuhan luka akibat operasi
pembuangan apendiks yang mengalami
peradangan adalah mobilisasi dini.
Mobilisasi merupakan faktor yang
utama dalam mempercepat pemulihan,
mencegah terjadinya komplikasi pasca
bedah dan mencegah terjadinya
trombosis vena (Carpenito, 2000).
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Riana (2010) di Ruang
Cenderawasih 1 RSUD Arifin Achmad
Pekanbaru,
didapatkan data bahwa
keadaan luka primer pada penyembuhan
luka yang baik sebanyak 12 responden
(80%) sedangkan pada kelompok
kontrol tampilan luka primer pada
penyembuhan luka yang baik hanya
sebanyak 6 responden (60%) dalam hal
ini terlihat bahwa Mobilisasi pada
kelompok A mempengaruhi proses,
lama dan kesesuaian penyembuhan luka
pada luka apendisitis.
Hasil penelitian ini juga sesuai
dengan penelitian Wiyono dalam
Akhrita
(2011),
yang
dalam
penelitiannya
terhadap
pemulihan
peristaltik usus pada pasien pasca
pembedahan.
Hasil
penelitiannya
mengatakan
bahwa
keberhasilan
mobilisasi
dini
tidak
hanya
mempercepat proses pemulihan luka
pasca
pembedahan
namun
juga
mempercepat pemulihan peristaltik usus
Berdasarkan tabel 4.4, dari 86,6%
responden yang mobilisasi dini tidak
teratur, 86,6 % penyembuhan lukanya
lambat, 0% cepat. Dan dari 13,4 %
responden yang mobilisasi dini teratur,
6,7% penyembuhan lukanya lambat dan
6,7% cepat.
Dari
hasil
uji
Chi-square
menunjukkan nilai p = 0,008 (p < 0,05).
Artinya ada hubungan antara mobilisasi
dini dengan lamanya penyembuhan luka
paska operasi appendictomy di Ruang
Zaal C RSU HKBP Balige Tahun 2013.
4.2 Pembahasan
Hasil penelitian yang dilakukan di
Ruang Zaal C RSU HKBP Balige
mengenai hubungan mobilisasi dini
dengan penyembuhan luka, diperoleh
hasil
bahwa
terdapat
hubungan
mobilisasi dini dengan penyembuhan
luka yang dibuktikan dengan adanya
proses penyembuhan luka pada pasien
pasca operasi appendiktomi.
Hasil uji statistik Chi-Square
ditemukan bahwa ada perubahan pada
pasien pasca operasi setelah dilakukan
mobilisasi dini dengan nilai p = 0,008 (p
< 0,05), sehingga dapat disimpulkan
bahwa hipotesis (Ho) ditolak dan
hipotesisalternatif (Ha)
diterima.
Artinya ada hubungan antara mobilisasi
dini dengan lamanya penyembuhan luka
pasca operasi Appendictomy di ruang
zaal C RSU HKBP Balige Tahun 2013.
Hampir pada semua jenis operasi
setelah 24-28 jam operasi, pasien
dianjurkan meninggalkan tempat tidur
untuk melakukan mobilisasi dini untuk
mencegah komplikasi, luka operasi
cepat sembuh bila pasien cepat jalan,
karena sikap pasien yang selalu tidur di
tempat tidur pasien operasi dapat
menimbulkan pneumonia karena paruparu tidak berhubungan dengan baik,
dan pneumonia karena bergerak dapat
menimbulkan
decubitus
karena
peredaran darah terganggu semua ini
104
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
ISSN 2338-3690
Vol 2. Jakarta: EGC
Kusmawan, S. Luka dan Komplikasi.
http://www.kusmawan.com. 2010.
Lukman,N. 2009. Asuhan Keperawatan
Pada Klien dengan Gangguan
Sistem Muskuloskeletal.Jilid 1.
Jakarta: Salemba Medika.
Mansjoel,A.
Kapita
Selekta
Kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Media
Aesculapias FKUI.
Mayo, J. 2003. Manajemen Luka.
Jakarta: EGC.
Mubarak, Wahit. 2007. Buku Ajar
Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta.
Notoatmodjo,
S.
2000.
Metode
Penelitian
Kesehatan.
Jakarta:
Rineka Cipta.
Nursalam.
2003.
Konsep
dan
Penerapan
Metodologi
Riset
Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.
Oswari, E. 2000. Bedah dan
Perawatanya. Jakarta: EGC
Patricia, A. 2005. Buku Ajar
Fundamental Keperawatan. Ediai 4
Vol 1. Jakarta: EGC
Potter, & Perry, 2005. Buku Ajar
Fundamental
Keperawatan
:
Konsep, Proses dan Praktik. Jakarta:
EGC.
Reeves,J. 2001. Keperawatan Medikal
Bedah. Jakarta: Salemba Medika
Roper, Nancy. 2002. Prinsip-Prinsip
Keperawatan. Yogyakarta: Yayasan
Esensia Media dan Penerbit Abadi.
Sjamsuhidayat. 2005. Buku Ajar Ilmu
Bedah. Jakarta: EGC
Schaffer. 2000. Pencegahan Infeksi
dan Praktik yang Aman. Jakarta..
Suriadi. 2004. Perawatan Luka. Edisi I.
Jakarta: Sagung Seto.
Suzanne, dkk.. 2001. Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah. Vol
1.. Jakarta: EGC.
Wahit,M. 2007. Buku Ajar Kebutuhan
Dasar Manusia Teori dan Aplikasi
dalam Praktek. Jakarta : egc.
****
pada pasien pasca pembedahan (Israfi
dalam Akhrita, 2011).
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian hubungan
antara mobilisasi dini dengan lamanya
penyembuhan luka pasca operasi
Appendictomy di ruang zaal C RSU
HKBP Balige Tahun 2013, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Mobilisasi responden tidak teratur
(86,7%) dan mobilisasi teratur
(13,3%).
2. Penyembuhan luka
responden
lambat (93,3%) dan penyembuhan
luka cepat (6,7%).
3. Ada hubungan yang signifikan
antara mobilisasi dini dengan
lamanya penyembuhan luka paska
operasi Appendictomy di ruang zaal
C RSU HKBP Balige Tahun 2013
(p = 0,008) (p < 0,05).
DAFTAR PUSTAKA
Admin, Pengertian Luka dan Proses
Penyembuhan
Luka.
http:
www.admin.com. 02 Februari 2009.
Alimul A, 2006. Pengantar Kebutuhan
Dasar Manusia. Surabaya: Salemba
Medika.
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian
suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
EGC
Asmadi. 2009. Konsep dan Aplikasi
Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta:
Salemba Medika.
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah. Edisi
8 Vol. 1 diterjemahkan oleh Waluyo
A. Jakarta: EGC.
------- Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah. Edisi 8 Vol. 2 diterjemahkan
oleh Hartono, A. Jakarta: EGC.
Hidayat,A. 2007. Metodologi Penelitian
Kebidanan Teknik Analisa Data
.jakarta: Salemba Medika.
Kazier, B. 2009. Fundamental Of
Nursing, Seventh,Edition.
105
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
ISSN 2338-3690
DAMPAK PENGGUNAAN LAPTOP TERHADAP MOTIVASI BELAJAR
MAHASISWA TINGKAT III AKADEMI KEPERAWATAN HKBP BALIGE
dr. Irwan Wirya, M.Kes
Prodi D3 Keperawatan Akper HKBP Balige, Tobasa, Sumut
[email protected]
Abstrak
Belajar merupakan proses perubahan perilaku karena pengalaman dan latihan. Arti lain
dari belajar adalah semua aktivitas mental atau psikis yang terjadi dalam interaksi aktif
pada lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengelolaan
pengertian. Media pembelajaran merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
dalam proses belajar, melalui media proses belajar mengajar akan semakin optimal
pencapaiannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penggunaan
laptop terhadap motivasi belajar mahasiswa tingkat III AKPER HKBP Balige, dengan
menggunakan desain cross sectional study. Dari hasil penelitian didapat hasil sebagian
besar motivasi belajar mahasiswa tingkat III naik 75% (15 orang) apabila adanya
penggunaan laptop saat belajar di kelas.
Kata kunci : motivasi belajar, mahasiswa, Akper HKBP Balige
Manusia dengan pendidikan adalah
dua dunia yang tidak dapat terpisahkan.
Manusia memerlukan pendidikan untuk
mengembangkan diri dan memberikan
arahan yang tepat untuk hidupnya.
Sedangkan pendidikan sendiri tidaklah
berarti tanpa adanya subyek yang
menghidupi obyek pendidikan itu
sendiri. Diperlukan pendidikan yang
tepat dalam melahirkan individu yang
memiliki kemampuan (skill), mental
yang kuat disertai karakter yang baik.
Dunia pendidikan, khususnya perguruan
tinggi
merupakan
sarana
dalam
melahirkan individu yang lengkap dan
berkualitas. Tetapi hal yang terpenting
adalah motivasi dan kemauan dari setiap
pribadi, dalam hal ini peneliti
membahas mahasiswa itu sendiri dalam
mencapai tingkat tertinggi dalam
pendidikan.
Notebook dan laptop merupakan sesuatu
kebutuhan di era globalisasi ini.
Notebook atau laptop dapat membantu
mahasiwa mengerjakan tugas di kelas
dan menemukan hal baru yang belum
1.
LATAR BELAKANG
Di era globalisasi, teknologi
informasi berperan sangat penting,
sebab dengan menguasai teknologi dan
informasi, kita memiliki modal yang
cukup untuk menjadi pemenang dalam
persaingan global. Di era globalisasi,
tidak menguasai teknologi informasi
identik dengan buta huruf. Teknologi
informasi
dan
multimedia
telah
memungkinkan
mewujudkan
pembelajaran
yang
efektif
dan
menyenangkan,
yang
melibatkan
mahasiswa secara aktif. Kemampuan
tehnologi informasi dan multimedia
dalam menyampaikan pesan dinilai
sangat besar. Dalam bidang pendidikan,
teknologi informasi dan multimedia
telah
mengubah
paradigma
penyampaian materi perkuliahan kepada
peserta didik. Computer Assisted
Instruction (CAI) bukan saja dapat
membantu dosen mengajar, melainkan
sudah bersifat stand alone dalam
memfasilitasi proses belajar.
106
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
mahasiwa ketahui, dalam hal ini adalah
kaitan
dengan
motivasi
belajar
mahasiswa sebagai indicator. Peneliti
membahas
mengenai
pengaruh
notebook atau laptop sebagai sarana
yang mempengaruhi minat belajar
mahasiswa.
ISSN 2338-3690
mendapat kepuasan dengan melakukan
pekerjaan tersebut bukan karena
rangsangan lain seperti status ataupun
uang atau bisa juga dikatakan seorang
melakukan
hobbinya.
Sedangkan
motivasi ekstrinsik adalah manakala
elemen elemen diluar pekerjaan yang
melekat di pekerjaan tersebut menjadi
faktor utama yang membuat seorang
termotivasi seperti status ataupun
kompensasi.
Banyak teori motivasi yang
dikemukakan oleh para ahli yang
dimaksudkan untuk memberikan uraian
yang menuju pada apa sebenarnya
manusia dan manusia akan dapat
menjadi seperti apa. Landy dan Becker
membuat pengelompokan pendekatan
teori motivasi ini menjadi 5 kategori
yaitu teori kebutuhan, teori penguatan,
teori keadilan, teori harapan, dan teori
penetapan sasaran.
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/08/riset-akuntansi5/
Laptop dirancang dengan bentuk
flip untuk melindungi layar dan
keyboard,
namun
semakin
berkembangnya teknologi, sekarang ada
beberapa laptop hanya berbentuk layar
saja dan memiliki layar touchscreen.
Laptop sangat cocok bagi seseorang
yang memiliki mobilitas yang tinggi dan
selalu bekerja dengan laptop setiap saat.
Ada juga beberapa orang memiliki
laptop hanya untuk fashion atau gaya
jaman sekarang, sehingga kadang
sebagian
orang
tidak
mengerti
bagaimana cara merawat laptop yang
mereka miliki. Namun, tak hanya itu,
banyak pula yang membutuhkan tapi tak
bisa merawat, sehingga laptop yang
dimiliki mudah rusak. Untuk itu laptop
memerlukan perawatan yang berkala
agar kerja laptop tetap terjaga seperti
baru. Seperti kata pepatah, “merawat
lebih baik dari pada mengobati”, karena
jika rusak tak sedikit biaya yang harus
dikeluarkan
B. Teori Motivasi
B.1. Teori motivasi Abraham Maslow
Abraham Maslow (1943;1970)
mengemukakan bahwa pada dasarnya
semua manusia memiliki kebutuhan
pokok. Ia menunjukkannya dalam 5
tingkatan yang berbentuk piramid.
• Kebutuhan fisiologis (rasa lapar,
rasa haus, dan sebagainya)
• Kebutuhan rasa aman (merasa aman
dan terlindung, jauh dari bahaya)
• Kebutuhan akan rasa cinta dan rasa
memiliki (berafiliasi dengan orang
lain, diterima, memiliki)
• Kebutuhan
akan
penghargaan
(berprestasi, berkompetensi, dan
mendapatkan
dukungan
serta
pengakuan)
• Kebutuhan aktualisasi diri
2. TINJAUAN TEORITIS
A. Konsep Motivasi
Motivasi adalah suatu dorongan
kehendak yang menyebabkan seseorang
melakukan suatu perbuatan untuk
mencapai tujuan tertentu. Motivasi
berasal dari kata motif yang berarti
"dorongan" atau rangsangan atau "daya
penggerak" yang ada dalam diri
seseorang.
Motivasi dapat berupa motivasi
intrinsic dan ekstrinsic. Motivasi yang
bersifat intinsik adalah manakala sifat
pekerjaan itu sendiri yang membuat
seorang termotivasi, orang tersebut
B.2. Teori Motivasi Herzberg
Menurut Herzberg (1966), ada dua
jenis faktor yang mendorong seseorang
untuk berusaha mencapai kepuasan dan
menjauhkan diri dari ketidakpuasan.
107
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
Dua faktor itu disebutnya factor higiene
(faktor ekstrinsik) dan faktor motivator
(faktor intrinsik). Faktor higiene
memotivasi seseorang untuk keluar dari
ketidakpuasan, termasuk didalamnya
adalah hubungan antar manusia,
imbalan, kondisi lingkungan, dan
sebagainya
(faktor
ekstrinsik),
sedangkan faktor motivator memotivasi
seseorang untuk berusaha mencapai
kepuasan, yang termasuk didalamnya
adalah
achievement,
pengakuan,
kemajuan tingkat kehidupan, dan
sebagainya (faktor intrinsik).
ISSN 2338-3690
Tabel 2
Distribusi frekuensi naik turunnya
motivasi belajar mahasiswa tingkat III
Akper HKBP Balige terhadap
penggunaan laptop saat belajar di kelas
Dampak
penggunaan
laptop
Berdampak
Tidak
Berdampak
Total
Frequency Percent
15
75
5
25
20
100
Tabel 2 menujukkan sebagian besar
motivasi belajar mahasiswa tingkat III
naik 75% (15 orang) apabila adanya
penggunaan laptop saat belajar di kelas.
Setelah
melakukan
penelitian
terhadap 20 (dua puluh) orang
responden
dengan
menggunakan
kuisoner, maka hasil analisa data dari
kuisoner adalah sebagai berikut.
1. Bahwa penggunaan laptop di kelas,
sebanyak 75% responden memiliki
dampak pada motivasi belajar.
2. Bahwa 75% responden memiliki
peningkatan motivasi belajar apabila
dapat menggunakan laptop saat
belajar di kelas.
3. METODOLOGI PENELITIAN
Dalam penelitian ini menggunakan
desain studi cross-sectional dengan
metode deskriptif yaitu menggambarkan
keadaan yang sebenarnya berdasarkan
data dan fakta yang ada pada saat
penelitian karena bermaksud untuk
mengungkapkan hubungan atau korelasi
antara variabel bebas dengan variabel
terikat. (Nursalam, 2003)
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis hasil penelitian meliputi
analisis univariat dan bivariat. Analisis
univariat meliputi analisis deskriptif
untuk variable karakteristik individu dan
deskripsi variable independen/bebas.
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisa dan
pembahasan hasil penelitian maka
peneliti menyimpulkan bahwa dampak
penggunaan laptop pada saat belajar di
kelas adalah meningkatkan motivasi
belajar mahasiswa tingkat III Akper
HKBP Balige.
Tabel 1
Distribusi frekuensi dampak
penggunaan laptop terhadap motivasi
belajar mahasiswa tingkat III
Akper HKBP Balige
Motivasi Belajar Frequency Percent
Naik
15
75
Turun
5
25
Total
20
100
KEPUSTAKAAN
Fadhil, 2012, Sejarah Laptop dan
Perkembangannya,
http://fadhilgalery.blogspot.com
Hengki Riawan, 2012, Pengertian
Prestasi Belajar,
http://hengkiriawan. blogspot.com
Dari tabel 1 menunjukkan sebagian
besar responden, yaitu 75% (15 orang)
memiliki dampak motivasi belajar
terhadap penggunaan laptop di kelas.
108
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
Anonim, 2012, Pengertian Laptop,
http://id.shvoong.com/howto/writing/2163179-pengertian
laptop/#ixzz2BDYzP5pp diakses
04/05/2013 jam 10.53 wib
Pamuncar, 2012, Definisi-Peran-danFungsi Mahasiswa,
http://pamuncar.
blogspot.com/2012/06/definisiperan-dan-fungsi mahasiswa.html
12.25
Anonim, 2009, Redefinisi-Arti
Mahasiswa, http://sajakrakyat.blogspot.com/
2009/01/redefinisi-artimahasiswa.html214311/16/12
Suci Nurhani, 2011, Dampak Positif
Negatif,
http://sucinurhani.blogspot.com
ISSN 2338-3690
Anonim, 2010, Riset Akutansi,
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/
2010/08/riset-akuntansi-5/ diakses
04/05/13 jam 10.40 wib
Anonim, Fungsi Laptop bagi
Mahasiswa,
http://www.google.co.id/search?q=f
ungsi+laptop+bagi+mahasiswa&ie
=utf-8&oe=utf8&aq=t&rls=org.mozilla:enUS:official&client=firefox-a
diakses 17.33 07/05/13
Anonim, 2011, Prestasi Belajar,
http://www.sarjanaku.com/2011/02/
prestasi-belajar.html22.0011/16/12
Anonim, 2012, Pengertian Belajar,
www.Cumanulisaja.blogspot.com/2
012/05/pengertian-belajar.html?=1
****
109
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
ISSN 2338-3690
FAKTOR– FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGETAHUAN PERAWAT
TENTANG PEMENUHAN NUTRISI PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN
KARDIOVASKULER DI RUANG E RSU HKBP BALIGE TAHUN 2011
Jenti Sitorus, SST
Daniel Tambunan, MARS
Prodi D3 Keperawatan Akper HKBP Balige, Tobasa, Sumut
[email protected]
Abstrak
Jantung merupakan salah satu organ tubuh yang sangat vital dan memegang peranan
sangat penting dalam kehidupan manusia, karena berfungsi untuk memompa dan mengalirkan
darah ke seluruh bagian tubuh, termasuk ke jaringan dan organ tubuh yang lain, seperti otak,
ginjal, usus, paru-paru, hati, dll. Aliran darah tersebut sangat penting sekali, karena nutrisi dan
oksigen yang diperlukan oleh seluruh tubuh dapat di transportasi ke sel untuk kehidupan sel
jaringan dan organ tubuh itu sendiri. Tanpa nutrisi dan oksigen yang cukup, maka sel jaringan
atau organ tubuh akan mati, sehingga fungsi sel dalam jaringan atau organ akan terganggu, dan
inilah yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai faktor–faktor yang
mempengaruhi pengetahuan perawat tentang pemenuhan nutrisi pada pasien yang dirawat di
ruang E Tahun 2011. Penelitian ini bersifat deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui
bagaimana faktor –faktor yang mempengaruhi pengetahuan perawat tentang pemenuhan nutrisi
pada pasien yang dirawat di ruang E RSU HKBP Balige Tahun 2011. Hasil penelitian yang
dilakukan terhadap 10 orang responden didapat bahwa 7 orang berpengetahuan baik, 2 orang
(15%) berpengetahuan cukup dan 1 orang berpengetahuan kurang.
Kata kunci: pengetahuan, perawat, nutrisi, kardiovaskuler, RSU HKBP Balige
pemeliharaan tubuh dan melindungi
tubuh.
Kesalahan pola makan dewasa ini
menyebabkan nutrisi makanan yang
masuk ke dalam tubuh kita menjadi
tidak seimbang sehingga tidak jarang
ditemui orang dengan kelebihan zat gizi
atau obesitas dan juga orang dengan
kadar gizi yang kurang atau mal nutrisi.
Data statistik dari WHO mengatakan
bahwa 70 % kematian dini disebabkan
penyakit jantung, kanker, diabetes dan
stroke dan 50 % kematian diatas
berhubungan dengan pola makan yang
tidak baik (http ://adipatria.wordpress.
com/).
Peran
perawat
seharusnya
mengobservasi respon klien terhadap
pemberian
nutrisi,
memperhatikan
apakah pasien menghabiskan diet yang
disediakan, adakah pantangan yang
1. LATAR BELAKANG
Nutrisi adalah semua makanan yang
mengandung
zat-zat
gizi
yang
dibutuhkan oleh tubuh baik untuk
mempertahankan
keseimbangan
metabolisme
ataupun
sebagai
pembangun. Untuk membangun tubuh
yang sehat, dan lebih penting lagi
mempertahankannya, pemasukkan gizi
yang baik diperlukan. Pola makan sehat
juga
penting
untuk
membantu
melindungi seseorang dari penyakit
seperti penyakit jantung dan kanker.
Nutrisi atau lebih mudah disebut zat
gizi adalah inti dari makanan. Makanan
mengandung berbagai macam nutrisi
atau zat gizi. Zat gizi berfungsi
membantu
tubuh
menjalankan
metabolisme dengan benar, dan
berfungsi dengan benar, menyediakan
energi, memastikan pertumbuhan dan
110
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
dilanggar, habis tidaknya makanan yang
dianjurkan.
Karena pasien dengan
penyakit kardiovaskuler mempunyai
syarat-syarat tertentu dalam pemenuhan
nutrisinya.
Memperhatikan keadaan tersebut
akhirnya penulis ingin mengetahui
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pengetahuan
perawat
tentang
pemenuhan nutrisi pada pasien yang
dirawat di Zaal E RSU HKBP Balige
tahun 2011.
ISSN 2338-3690
Semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang, maka semakin mudah
seseorang tersebut untuk menerima dan
menyerap dan memahami pengetahuan
yang mereka peroleh dan kemauan
untuk mengetahui informasi akan
semakin tinggi. Menurut pendapat
beberapa ahli tentang pendidikan :
1) Jhon Dewey
Pendidikan
adalah
proses
pembentukan kecakapan-kecakapan
fundamental secara intelektual dan
emosional ke arah alam dan sesama
manusia.
2) Lavengeld
Mendidik adalah mempengaruhi
anak dalam usaha membimbingnya
supaya menjadi dewasa. Usaha
membimbing adalah usaha yang
disadari dan dilaksanakan dengan
sengaja. Pendidikan hanya terdapat
dalam pergaulan yang sengaja
antara orang dewasa dan alam.
3) Rosseau
Pendidikan
adalah
member
perbekalan yang tidak ada pada
masa anak-anak akan tetapi
dibutuhkan pada waktu dewasa.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Pengetahuan
2.1.1. Pengertian
Pengetahuan merupakan hasil tahu
dari manusia, ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan (sebagian
besar di peroleh melalui mata dan
telinga) terhadap suatu objek tertentu.
Pengetahuan merupakan domain yang
paling penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang (overt behavior) dan
pengetahuan dapat di ukur dengan
melakukan wawancara perilaku yang
didasari dengan pengetahuan dan
kesadaran akan lebih bertahan lama
daripada perilaku yang tidak di dasari
ilmu pengetahuan dan kesadaran.
(Notoatmodjo, 2007:143-144).
b. Pengalaman
Pengalaman adalah suatu yang
pernah dialami, dilihat, didengar oleh
seseorang yang dapat menjadi acuan.
Pengetahuan dapat diperoleh dari
pengalaman sendiri ataupun oang lain.
Seseorang
anak
memperoleh
pengetahuan bahwa api itu panas setelah
memperoleh pengalaman dimana tangan
dan kakinya terkena api dan terasa
panas (Notoadmojo, 2007).
2.1.2. Faktor-faktor Yang
Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Notoadmojo (2007:20 )
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pengetahuan adalah :
a. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu proses
belajar,
proses
pertumbuhan/
perkembangan dan perubahan ke arah
yang lebih baik pada individu,
kelompok dan masyarakat. Mendidik
dan pendidikan adalah dua hal yang
saling berhubungan. Dari segi bahasa,
mendidik adalah kata kerja dan
pendidikan
adalah
kata
benda.
(Notoadmojo, 2007:20).
c. Sumber informasi
Informasi adalah data yang di
proses dalam suatu bentuk yang
mempunyai arti bagi si penerima.
Dengan adanya informasi, dapat
meningkatkan pengetahuan bagi yang
menerima. Jenis informasi ada dua yaitu
111
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
ISSN 2338-3690
makan yang salah menyebabkan orang
mengkonsumsi
makanan
tinggi
karbohidrat dan lemak, banyak bahan
pengawet, pewarna, penyedap, banyak
garam dan gula, makanan siap saji,
alkohol dan lain sebagainya, disisi lain
banyak juga orang yang kekurangan
zat–zat gizi esensial seperti vitamin,
mineral, asam lemak, asam amino, serat,
air (Patria, 2008).
Berdasarkan kegunaannya bagi
tubuh, zat gizi dibagi dalam tiga
kelompok besar yaitu
1. Kelompok zat energi, temasuk
kedalam kelompok ini adalah :
- Bahan
makanan
yang
mengandung karbohidrat seperti
beras, jagung, gandum, ubi, roti,
singkong dan lain-lain, selain itu
dalam bentuk gula seperti gula,
sirup, madu dan lain-lain.
- Bahan
makanan
yang
mengandung
lemak
seperti
minyak,
santan,
mentega,
margarine,
susu
dan
hasil
olahannya.
2. Kelompok zat pembangun
Kelompok ini meliputi makanan –
makanan yang banyak mengandung
protein, baik protein hewani
maupun nabati, seperti daging, ikan,
susu, telur, kacang-kacangan dan
olahannya.
3. Kelompok zat pengatur
Kelompok ini meliputi bahan-bahan
yang banyak mengandung vitamin
dan mineral, seperti buah-buahan
dan sayuran.
informasi
masa
lalu
(informasi
mengenai peristiwa lampau) dan
informasi masa sekarang (informasi
mengenai peristiwa yang terjadi
sekarang) (Notoadmojo, 2007: 163).
Informasi erat kaitannya dengan
pengetahuan dimana jika seseorang
mendapatkan banyak informasi seperti
televisi, media cetak, media massa,
radio dan surat kabar maka dapat
meningkatkan pengetahuannya.
2.2.Nutrisi
2.2.1. Pengertian Nutrisi
Nutrisi atau lebih mudah disebut zat
gizi adalah inti dari makanan. Makanan
mengandung berbagai macam nutrisi
atau zat gizi. Zat gizi berfungsi
membantu
tubuh
menjalankan
metabolism
dengan
benar,
menyediakan
energi,
memastikan
pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh.
Zat gizi dalam produk nutrisi
terbagi menjadi dua yaitu zat gizi makro
dan mikro. Zat gizi makro terdapat
dalam makanan dalam jumlah besar
terdiri dari karbohidrat, protein, lemak
dan air. Zat gizi mikro terdapat dalam
makanan dalam jumlah kecil terdiri dari
vitamin dan mineral. Kedua macam zat
gizi dari produk nutrisi makanan
tersebut baik makro maupun mikro
harus di konsumsi oleh tubuh dalam
keadaan yang seimbang baik dari segi
jumlah maupun jenisnya.
Dengan produk nutrisi makanan
seimbang membuat proses metabolisme
tubuh menjadi lebih baik dan
berkualitas,
tubuh
tidak
akan
kekurangan salah satu zat gizi yang
diperlukan. Kesalahan pola makan
dewasa ini menyebabkan nutrisi
makanan yang masuk ke dalam tubuh
kita menjadi tidak seimbang sehingga
tidak jarang ditemui orang dengan
kelebihan zat gizi atau katakanlah
obesitas dan juga orang dengan kadar
gizi yang kurang atau mal nutrisi. Pola
2.2.2. Gangguan Kardiovaskuler
Penyakit kardiovaskular merupakan
penyebab
utama
kematian
dan
kecacatan di seluruh dunia. Fakta dari
WHO menyebutkan bahwa terjadi satu
kematian akibat penyakit kardiovaskular
setiap dua detik, serangan jantung setiap
lima detik dan akibat stroke setiap enam
detik. Setiap tahunnya diperkirakan 17
112
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
ISSN 2338-3690
serius termasuk serangan jantung dan
stroke. Adanya sumbatan darah juga
dapat menyebabkan terjadinya robekan
jaringan di arteri yang kemudian akan
membengkak dan dapat menghambat
seluruh pembuluh darah sehingga
mengakibatkan serangan jantung atau
stroke.
juta orang meninggal akibat penyakit
kardiovaskular.
Penyakit kardiovaskular merupakan
suatu istilah untuk gangguan yang
menyebabkan penyakit jantung (kardio)
dan pembuluh darah (vaskular). Ada
tiga bentuk penyakit kardiovaskular,
yakni penyakit jantung koroner,
penyakit serebrovaskular, dan penyakit
vaskular perifer. Penyakit jantung
koroner adalah penyakit pembuluh
darah
yang
mensuplai
jantung.
Implikasinya meliputi infark miokard
(serangan jantung), angina (nyeri dada),
dan aritmia (irama jantung abnormal).
Penyakit serebrovaskular adalah
penyakit
pembuluh
darah
yang
mensuplai otak. Implikasinya meliputi
stroke (kerusakan sel otak karena
kurangnya suplai darah) dan transient
ischaemic attack (kerusakan sementara
pada
penglihatan,
kemampuan
berbicara, rasa atau gerakan). Penyakit
vaskular perifer adalah penyakit
pembuluh darah yang mensuplai tangan
dan kaki yang berakibat rasa sakit yang
sebentar datang dan pergi, serta rasa
sakit karena kram otot kaki saat olah
raga.
Serangan jantung dan stroke
terutama disebabkan oleh aterosklerosis
(penumpukan lemak) pada dinding
arteri pembuluh darah yang mensuplai
jantung dan otak. Deposit lemak yang
bertumpuk menyebabkan terbentuknya
lesi yang lama kelamaan akan
membesar dan menebal sehingga
mempersempit arteri dan menghambat
aliran darah. Akhirnya pembuluh darah
akan mengeras dan bersifat kurang
lentur.
Gangguan kardiovaskular yang
disebabkan aterosklerosis dikaitkan
dengan berkurangnya aliran darah
karena jantung dan otak tidak menerima
suplai darah yang cukup. Hambatan
aliran darah selanjutnya dapat berakibat
pada episode kardiovaskular yang lebih
2.2.3. Nutrisi Pada Pasien Dengan
Gangguan Kardiovaskuler
Penyakit jantung terjadi akibat
proses berkelanjutan, dimana jantung
secara
berangsur
kehilangan
kemampuannya untuk melakukan fungsi
secara normal. Pada awal penyakit,
jantung
mampu
mengkompensasi
ketidakefisiensian
fungsinya
dan
mempertahankan sirkulasi darah normal
melalui pembesaran dan peningkatan
denyut nadi.
Dalam
keadaan
tidak
terkompensasi, sirkulasi darah yang
tidak normal menyebabkan sesak nafas,
rasa lelah, dan rasa sakit di daerah
jantung. Berkurangnya aliran darah
dapat menyebabkan kelainan pada
fungsi ginjal, hati, otak serta tekanan
darah, yang berakibat terjadinya
resorpsi
natrium
yang
akhirnya
menimbulkan edema. Penyakit jantung
menjadi akut bila disertai infeksi, gagal
jantung, setelah miocard infarc, dan
setelah operasi jantung.
Syarat-syarat diet penyakit jantung
adalah sebagai berikut :
1. Energi cukup, untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan nomal.
2. Protein cukup yaitu 0,8 g/kgBB.
3. Lemak sedang, yaitu 25-30% dari
kebutuhan energi total, 10% berasal
dari lemak jenuh, dan 10-15% lemak
tidak jenuh.
4. Kolesterol rendah, terutama jika
disertai dengan dislipidemia.
5. Vitamin dan mineral cukup. Hindari
penggunaan
suplemen
kalium,
kalsium, dan magnesium jika tidak
dibutuhkan.
113
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
diberikan sebagai diet jantung III garam
rendah. Diet ini rendah energi dan
kalsium, tetapi cukup zat gizi lain.
6. Garam rendah, 2-3 g/hari, jika
disertai hipertensi atau edema.
7. Makanan mudah cerna dan tidak
menimbulkan gas.
8. Serat cukup untuk menghindari
konstipasi.
9. Cairan cukup, ± 2 liter/hari sesuai
dengan kebutuhan.
10. Bentuk
makanan
disesuaikan
dengan keadaan penyakit, diberikan
dalam porsi kecil.
11. Bila kebutuhan gizi tidak dapat
dipenuhi melalui makanan dapat
diberikan tambahan berupa makanan
enteral, parenteral atau suplemen
gizi.
2.2.4. Jenis Diet / Nutrisi
Indikasi Pemberian
ISSN 2338-3690
Diet Jantung IV
Diet jantung IV diberikan dalam
bentuk makanan biasa. Diet diberikan
sebagai perpindahan dari Diet Jantung
III atau kepada pasien jantung dengan
keadaan ringan. Jika disertai hipertensi
atau edema, diberikan sebagai Diet
Jantung IV garam rendah. Diet ini
cukup energi dan zat lain, kecuali
kalsium ( Sunita, 2005).
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Kerangka Konsep
dan
Faktor-faktor yang
mempengaruhi pengetahuan
Pendidikan
Lama bekerja
Pelatihan
informasi
Diet Jantung I
Diet jantung I diberikan kepada
pasien penyakit jantung akut seperti
Myocard
Infarct
(MCI)
atau
Dekompensasio Kordis berat. Diet
diberikan berupa 1-1,5 liter cairan/hari
selama 1-2 hari pertama bila pasien
dapat menerimanya. Diet ini sangat
rendah energi dan semua zat gizi,
sehingga sebaiknya diberikan selama 13 hari.
- Baik
- Cukup
- Kurang
3.2. Metode Penelitian
3.2.1. Jenis dan Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan
adalah desain penelitian cross sectional
yaitu suatu metoda yang merupakan
rancangan penelitian dengan melakukan
pengukuran atau pengamatan pada saat
bersamaan. Jenis penelitian deskriptif
yang bertujuan untuk mengetahui
gambaran pengetahuan perawat tentang
pemenuhan nutrisi pada pasien dengan
gangguan kardiovaskuler yang dirawat
di ruang E RSU HKBP BaligeTahun
2011.
Diet Jantung II
Diet jantung II diberikan dalam
bentuk makanan saring atau lunak. Diet
diberikan sebagai perpindahan dari Diet
Jantung I, atau setelah fase akut dapat
diatasi. Jika disertai hipertensi atau
edema, diberikan sebagai Diet Jantung
II garam rendah. Diet ini rendah energi,
protein, kalsium, dan tiamin.
3.2.2. Tempat dan Waktu penelitian
Penelitian dilaksanakan di ruang E
RSU HKBP Balige, dilakukan mulai
bulan Mei sampai Juli 2011.
Diet Jantung III
Diet jantung III diberikan dalam
bentuk makanan lunak atau biasa. Diet
diberikan sebagai perpindahan dari diet
jantung II atau kepada pasien jantung
dengan kondisi yang tidak terlalu berat.
Jika disertai hipertensi atau edema,
3.2.3. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi adalah kumpulan elemenelemen yang memiliki sejumlah sifat114
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
sifat tertentu. Populasi dalam penelitian
ini adalah perawat di ruang E RSU
HKBP Balige tahun 2011.
b. Sampel
Sampel merupakan bagian dari
populasi yang di anggap mewakili
populasi. Sampel dalam penelitian ini
diambil secara eksidental.
Tabel 4. 2
Distribusi Frekuensi Perawat di
Ruangan E berdasarkan Masa Kerja Di
RSU HKBP BaligeTahun 2011
No
1
2
3
3.3. Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah
wawancara
dengan
penyebaran
kuesioner sedangkan dengan observasi
menggunakan observasi check list.
HASIL PENELITIAN
Dari hasil penelitian mengenai
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pengetahuan
perawat
tentang
pemenuhan nutrisi pada pasien dengan
gangguan kardiovaskuler yang dirawat
di Zaal E RSU HKBP Balige, maka
diperoleh :
No
Persentase
1
2
80%
SPK
2
20%
Jumlah
40
100%
Jlh
Persentase
( %)
40%
50%
10%
100%
4
5
1
10
Tabel 4. 3
Distribusi frekuensi perawat di ruangan
E berdasarkan pernah tidaknya
mengikuti pelatihan / seminar tentang
pemenuhan nutrisi pada pasien dengan
gangguan kardiovakuler yang dirawat di
RSU HKBP Balige Tahun 2011
Tabel 4.1
Distribusi frekuensi perawat di Zaal E
berdasarkan tingkat pendidikan
Di RSU HKBP Balige Tahun 2011
2
Lama
bekerja
> 3 tahun
1–3
<1 tahun
Jumlah
Berdasarkan tabel 4.2 di atas dapat
dilihat bahwa jumlah responden yang
masa kerja >3 tahun sebanyak 4 orang
(40%), responden yang masa kerjanya
1-3 tahun sebanyak 5 orang (50%) dan
responden yang masa kerjanya <1 tahun
yaitu 1 orang (10%).
4.
No Pendidikan Jlh
terakhir
1
DIII
8
ISSN 2338-3690
Mengikuti
Pelatihan/
Seminar
Pernah
Tidak
pernah
Jumlah
Jlh
(%)
2
8
20%
80%
10
100%
Berdasarkan tabel 4.3 di atas dapat
dilihat bahwa jumlah responden yang
pernah mengikuti pelatihan/ seminar
sebanyak 2 orang (20%) dan yang tidak
pernah mengikuti pelatihan yaitu 8
orang (80%)
Berdasarkan tabel 4. 1 di atas dapat
dilihat bahwa jumlah
responden
berdasarkan tingkat pendidikan adalah
DIII sebanyak 8 orang (80%),
responden yang berpendidikan SPK
berjumlah 2 orang (20%).
Tabel 4. 4
Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan
perawat tentang pemenuhan nutrisi
berdasarkan pernah tidaknya mengikuti
pelatihan/ seminar tentang pemenuhan
nutrisi
115
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
Balige pada umumnya adalah baik
sebanyak 7 orang (70%) dan
pengetahuan cukup 2 orang (20%)
dan pengetahuan kurang 1 orang
(10%).
2. Perawat yang tingkat pengetahuan
baik berdasarkan pelatihan adalah
perawat yang pernah mengikuti
pelatihan sebanyak 2 orang (20%)
dan yang tidak pernah mengikuti
pelatihan sebanyak 8 orang (80%).
3. Perawat dengan tingkat pengetahuan
baik berdasarkan sumber informasi
adalah perawat yang mendapatkan
informasi dari buku sebanyak 10
orang (100%).
Pernah
Tingkat Pengetahuan
Cukup Kurang
No tidaknya Baik
mengikuti
Jlh
Jlh
Jlh
Pelatihan/
Seminar
1
2
Pernah
Tidak
pernah
Jumlah
2
5
3
1
7
3
1
Berdasarkan tabel 4.4 di atas dapat
dilihat bahwa dari 10 orang responden
7
orang
(70%)
adalah
yang
berpengetahuan baik dan 2 orang (20%)
yang berpengetahuan cukup dan 1
(10%) orang yang berpengetahuan
kurang
Tabel 4. 5
Tingkat pengetahuan perawat tentang
pemenuhan nutrisi pada pasien dengan
gangguan kardiovaskuler yang dirawat
di ruang E RSU HKBP Balige tahun 2011
No
Nilai
Jlh
Kategori
tingkat
pengetahuan
1
≥76-100% Baik
2
≥56-75%
3
≥40-55%
%
7
70%
Cukup
2
20%
Kurang
1
10%
ISSN 2338-3690
Berdasarkan tabel 4.5 di atas dapat
dilihat bahwa tingkat pengetahuan
perawat tentang pemenuhan nutrisi pada
pasien dengan gangguan kardiovaskuler
yang dirawat diruang E RSU HKBP
Balige tahun 2011 yang mendapat nilai
≥76-100% yaitu sebanyak 7 orang
(70%) dengan kategori baik, nilai ≥5675% sebanyak 2 orang (20%) dengan
kategori cukup dan nilai ≥40-55%
sebanyak 1 orang (10%) dengan
kategori kurang.
5. KESIMPULAN
1. Tingkat pengetahuan perawat tentang
pemenuhan nutrisi pada pasien yang
dirawat di ruang E RSU HKBP
116
DAFTAR PUSTAKA
Alimul, Aziz, 2007. Metode Penelitian
Keperawatan dan Teknik Analisis
Data. Salemba Medika. Jakarta.
Arikunto, Suharsimi, 2006. Prosedur
Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta.
Budiarto, Eko, 2002. Biostatistika
Untuk
Kedokteran
Dan
Kesehatan Masyarakat. EGC.
Jakarta.
Notoatmodjo, Soekidjo, 2007. Ilmu
Kesehatan Masyarakat. Rineka
Cipta. Jakarta
Nursalam, 2003. Konsep Dasar
Penerapan Metodologi Penelitian
Ilmu Keperawatan. Salemba
Medika. Jakarta.
Politeknik Kesehatan Medan, 2006.
Penyusunan Karya Tulis Ilmiah
(KTI) , Medan.
Hartono, Ardi, 2000, Asuhan Nutrisi
Rumah Sakit. EGC. Jakarta
Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah,
EGC, Jakarta.
Almatsier sunita, 2005, Penuntun Diet,
Gramedia. Jakarta
http:// Adipatria, 2010, Konsep Dasar
Nutrisi, www.konsepdasarnutrisi. Com.
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
ISSN 2338-3690
PENGARUH MERUBAH POSISI DAN MASSASE KULIT PADA PASIEN
STROKE TERHADAP TERJADINYA LUKA DEKUBITUS DI ZAAL F
RSU HKBP Balige
Carolina. M. Simanjuntak, S.Kep, Ns
dr. Margaretha Sirait, M.Kes
Prodi D3 Keperawatan Akper HKBP Balige, Tobasa, Sumut
[email protected]
Abstrak
Salah satu intervensi keperawatan untuk mencegah terjadinya luka dekubitus pada
pasien stroke yang perlu mendapat perhatian adalah mengenai merubah posisi dan
massase kulit. Yang bertujuan untuk mempertahankan fungsi dari berbagai sistem dan
mempertahankan integritas kulit. Namun sejauh mana pengaruh intervensi
keperawatan merubah posisi dan massase kulit ini masih belum diketahui. Untuk itu
penulis tertarik untuk meneliti “Apakah ada pengaruh yang signifikan merubah posisi
dan massase kulit pada pasien stroke terhadap terjadinya luka dekubitus di Zaal F RSU
HKBP Balige. Desain yang digunakan adalah Quasi Eksperimen, dengan populasi
seluruh pasien stroke yang dirawat di Zaal F RSU HKBP Balige. Responden dalam
penelitian ini sebanyak 10 orang. Analisa data dilakukan secara bertahap yaitu analisa
univariat untuk mengetahui karakteristik responden dan analisa bivariat untuk melihat
pengaruh antara variabel dependent dan independent dengan menggunakan uji One
Sampel T Test . Kemudian didapatkan hasil nilai p = 0,000 (< α ). Hasil penelitian ini
didapatkan bahwa kemampuan merubah posisi dan massase kulit pada pasien stroke
dapat mencegah terjadinya luka dekubitus. Kesimpulan yang didapat adalah ada
pengaruh merubah posisi dan massase kulit pada pasien stroke terhadap terjadinya luka
dekubitus di di Zaal F RSU HKBP Balige.
Kata kunci : merubah posisi, massase kulit, pasien stroke, luka dekubitus
perawatan klien. Dekubitus merupakan
masalah akut yang terus menerus terjadi
pada situasi perawatan pemulihan. Salah
satu aspek utama dalam pemberian
asuhan
keperawatan
adalah
mempertahankan
integritas
kulit.
Intervensi perawatan terencana dan
konsisten merupakan intervensi penting
untuk menjamin perawatan yang
berkualitas tinggi (Agoes, 2008).
Beberapa
penelitian
tentang
intervensi keperawatan untuk mencegah
terjadinya luka dekubitus terdiri dari
pengaturan posisi baring (mobilisasi),
massase kulit, yang dapat mereduksi
penekanan jaringan dan dapat menjadi
tindakan yang efektif untuk mencegah
terjadinya luka dekubitus. Intervensi
1.
LATAR BELAKANG
Luka dekubitus merupakan suatu
ancaman yang sangat besar bagi
populasi pasien yang dirawat di rumah
sakit ataupun rumah perawatan lainnya.
Hal ini dapat terjadi pada setiap tahap
umur
dan
merupakan
masalah,
khususnya pada mereka dengan
immobilitas yaitu pada pasien stroke,
injuri tulang belakang atau penyakit
degenerative. Pasien-pasien tersebut
memiliki resiko untuk mengalami
terjadinya luka dekubitus selama
perawatan (Marison, 2003).
Menurut
Potter (2005) yang
mengutip pendapat Hoff (1989)
menyatakan pencegahan dekubitus
merupakan prioritas utama dalam
117
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
dengan melakukan masase kulit pada
bagian tubuh tertentu sebagai tambahan
dari jadwal perubahan posisi yang rutin
serta intervensi perubahan posisi secara
berkala setiap 2 jam ( Noviestari, 2005).
Merubah posisi dapat melancarkan
peredaran darah serta memperbaiki
pengaturan
metabolisme
tubuh
mengembalikan kerja fisiologi organorgan
vital
dan
mempercepat
penyembuhan luka yang terjadi dan
lebih lanjut perubahan posisi juga
memungkinkan kulit yang tertekan terekspose udara, sehingga kelembaban,
temperature, dan pH kulit (microclimate
condition) bisa dipertahankan dalam
kondisi yang optimal (Kusmawan
2008).
Massase
kulit
dapat
menghancurkan
myogelosis
atau
timbunan dari sisa-sisa pembakaran
yang
terdapat
pada
otot
dan
menyebabkan pengerasan serabut otot,
serta memperlancar sirkulasi darah, dan
merawat kelembaban kulit (Wijanarko,
2010). Massase kulit juga dapat
membantu
memperlancar
proses
penyerapan sisa-sisa pembakaran yang
berada dalam jaringan, dengan adanya
manipulasi/penekanan dan peremasan
pada jaringan maka darah dan sisa-sisa
pembakaran yang tidak diperlukan
terperas keluar dari jaringan masuk
kedalam pembuluh vena (Pupung,
2009).
Prevalensi
luka
dekubitus
bervariasi, dilaporkan bahwa 5-10%
terjadi ditatanan perawatan akut/acute
care, 15-25% ditatanan perawatan
jangka panjang, 7-12% ditatanan
perawatan rumah/ home health care
serta 8-40% di ICU karena penurunan
imunitas tubuh (Enie, 2005). Hasil
penelitian
menunjukan
insidens
dekubitus Indonesia sebesar 33,3%
(Suriady, 2006) angka ini sangat tinggi
bila dibandingkan dengan insiden
dekubitus di ASEAN yang hanya
ISSN 2338-3690
berkisar 21-31,3% (Sugama 1992;
Seonggsok 2004; Kwong 2005).
Insiden dan prevalensi terjadinya
dekubitus pada penderita stroke di
Amerika
cukup
tinggi,
untuk
mendapatkan perhatian dari kalangan
tenaga kesehatan yang mencapai 15%,
di Indonesia hampir 25% penderita
stroke terkena dekubitus
Berdasarkan data dan uraian diatas
maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan penerapan intervensi
keperawatan merubah posisi dan
massase kulit dalam upaya mencegah
terjadinya
luka
dekubitus
dan
mengidentifikasi sejauh mana pengaruh
dari intervensi keperawatan tersebut
pada pasien stroke yang dirawat di di
zaal F RSU HKBP Balige tahun 2011.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Merubah Posisi
2.1.1. Defenisi
Merubah
posisi
merupakan
kemampuan individu untuk bergerak
secara bebas, mudah, dan teratur dengan
tujuan untuk memenuhi kebutuhan
aktivitas
guna
mempertahankan
kesehatannya (Hidayat, 2006).
2.1.2. Jenis-Jenis Merubah Posisi
Menurut Hidayat (2006) ada
beberapa jenis merubah posisi yang
terdiri atas :
a) Merubah Posisi Penuh merupakan
kemampuan
seorang
untuk
bergerak secara penuh dan bebas
sehingga
dapat
melakukan
interaksi sosial dan menjalankan
peran sehari-hari. Merubah posisi
penuh ini merupakan fungsi saraf
motoris volunter dan sensoris
untuk dapat mengontrol seluruh
area tubuh seseorang.
b) Merubah
Posisi
Sebagian
merupakan kemampuan seseorang
untuk bergerak dengan batasan
yang jelas, sehingga tidak mampu
118
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
bergerak secara bebas karena
dipengaruhi oleh gangguan saraf
motoris dan sensoris pada area
tubuhnya.
ISSN 2338-3690
b. Efek Massase Terhadap Jaringan
Menbantu memperlancar proses
penyerapan sisa-sisa pembakaran
yang berada dalam jaringan
sehingga
dengan
adanya
manipulasi/penekanan
dan
peremasan pada jaringan maka
darah dan sisa-sisa pembakaran
yang tidak diperlukan terperas
keluar dari jaringan
masuk
kedalam pembuluh vena (Pupung,
2009).
Menurut Potter dan Perry (2005)
sebagai hasil ukur yang tetapkan dalam
massase adalah :
a) Baik :
jika massase dilakukan
sesuai standar
dan luka
dekubitus tidak terjadi.
b) Cukup : jika massase dilakukan
sesuai standar tapi tidak sesuai
jadwal dan luka dekubitus tidak
terjadi.
c) Kurang: jika massase dilakukan
tidak sesuai standar dan luka
dekubitus terjadi kurang satu
minggu.
2.2. Konsep Massase Kulit
2.2.1 Pengertian
Massase adalah suatu pemijatan/
ditepu k-tepuk pada bagian tubuh
tertentu dengan tangan atau alat-alat
khusus untuk memperbaiki sirkulasi,
metabolisme, melepaskan pelekatan dan
melancarkan peredaran darah sebagai
cara pengobatan (Pupung, 2009).
2.2.2 Tujuan
a. Meningkatkan sirkulasi pada daerah
yang di masase.
b. Meningkatkan relaksasi.
c. Menjaga keadaan kondisi kulit.
2.2.3 Komponen Massase
Ada beberapa komponen dalam
menerapkan massase, yaitu: arah
gerakan tangan massase, dosis dan
frekuensi
dari
manipulasi
yang
diberikan.
1. Arah gerakan Massase
Tujuannya
adalah
untuk
mempercepat aliran darah atau
sirkulasi darah venosa ke jantung.
2. Dosis dan frekuensi massase
Pada pasien stroke dibutuhkan
waktu sekitar 5-15 menit karena
dilakukan dibagian tubuh tertentu
dengan jangka waktu dua kali
sehari yaitu pada waktu pasien
dimandikan atau setelah mandi.
2.3. Konsep Stroke
2.3.1 Pengertian
Stroke merupakan sindrom klinis
akibat gangguan pembuluh darah otak,
timbul
mendadak
dan
biasanya
mengenai penderita usia 45-80 tahun.
Umumnya laki-laki sedikit lebih sering
terkena daripada perempuan. Biasanya
tidak ada gejala dini, dan muncul begitu
mendadak. Secara defenisi WHO
(World
Health
Organization)
menetapkan bahwa defisit neurologik
yang timbul semata-mata karena
penyakit pembuluh darah otak dan
bukan oleh sebab yang lain (Misbach
2007).
2.2.4 Efek Massase
a. Efek massase terhadap kulit
1. Melonggarkan pelekatan dan
menghilangkan
penebalanpenebalan kecil yang terjadi
pada jaringan dibawah kulit.
2. Kulit menjadi lunak dan elastis
3. Perasaan kulit menjadi sensitif
2.3.2 Gejala stroke
Gejala stroke antara lain rasa
kesemutan atau kelumpuhan diseparuh
badan,
kebingungan
mendadak,
gangguan bicara atau sukar memahami
119
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
pembicaraan orang lain, gangguan
penglihatan pada satu atau kedua mata,
sulit melangkah, pusing, gangguan
keseimbangan atau koordinasi, atau
nyeri kepala yang hebat tanpa sebab.
c.
2.3.3 Jenis-jenis stroke
Stroke dibagi dua kategori besar
yaitu; stroke iskemik dan stroke
hemoragik. Yang pertama akibat
penyumbatan aliran darah dan yang
kedua karena pecahnya pembuluh
darah. Delapan puluh persen kasus
stroke disebabkan oleh iskemia, dan
sisanya disebabkan oleh perdarahan.
d.
2.3.4 Akibat/Dampak Stroke
Akibat
stroke ditentukan oleh
bagian otak mana yang cedera, tetapi
perubahan–perubahan
yang terjadi
setelah stroke, baik yang mempengaruhi
bagian kanan atau kiri otak pada
umumnya adalah sebagai berikut:
a. Lumpuh ;
Kelumpuhan sebelah bagian tubuh
(hemiplegia) adalah cacat yang
paling umum akibat stroke. Bila
stroke menyerang bagian kiri otak,
terjadi
hemiplegia
kanan.
Kelumpuhan terjadi dari wajah
bagian kanan hingga kaki sebelah
kanan termasuk tenggorokan dan
lidah. Bila dampak lebih ringan
biasanya bagian yang terkena
dirasakan
tidak
bertenaga
(hemiperesis kanan). Bila yang
terserang adalah bagian kanan dan
lebih ringan disebut hemiparesis
kiri. Bila kerusakan terjadi pada
bagian bawah otak (cerebelum).
Kemampuan
seseorang
untuk
mengkoordinasikan
gerakan
tubuhnya akan berkurang (Vita,
2006).
b. Perubahan Mental
Stroke tidak selalu membuat mental
penderita menjadi merosot dan
beberapa
perubahan
biasanya
bersifat sementara. Setelah stroke
e.
f.
g.
ISSN 2338-3690
memang dapat terjadi perubahan
pada daya pikir, kesadaran,
konsentrasi, kemampuan belajar
dan fungsi intelektual lainnya.
Gangguan Komunikasi
Seperempat dari semua pasien
stroke
mengalami
gangguan
komunikasi, yang berhubungan
dengan mendengar,
berbicara,
membaca, menulis ,dan bahkan
bahasa isyarat dengan gerakan
tangan.
Ketidakberdayaan
ini
sangat membingungkan orang yang
merawatnya.
Disartia (dysartia)
Melemahkan otot-otot muka, lidah
dan tenggorokan yang membuat
kesulitan
berbicara,
walaupun
penderita memahami bahasa verbal
maupun tulisan. Cedera ini salah
satu pusat pengendalian bahasa
diotak sangat berdampak pada
cuping temporal dan pariental otak
sebelah kiri.
Afrasia
Gangguan Emosional
Kehilangan indera perasa.
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Kerangka Konsep
- Merubah Posisi
(miring kiri, kanan
dan telentang setiap
2 jam)
- Massase Kulit
Luka Dekubitus
pada
pasien
stroke
3.2 Hipotesis Penelitian
Ho
: Tidak ada pengaruh intervensi
keperawatan merubah posisi dan
masase
kulit
terhadap
pencegahan
terjadinya
luka
dekubitus pada pasien stroke.
Ha
: Ada
pengaruh
intervensi
keperawatan dengan merubah
posisi dan masase kulit terhadap
120
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
ISSN 2338-3690
dan tatap muka kepada pasien stroke
dengan menggunakan kuesioner dan
intervensi keperawatan di Zaal F RSU
HKBP Balige.
pencegahan
terjadinya
luka
dekubitus pada pasien stroke.
3.3. Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian adalah penelitian
deskriptif korelasi yang bertujuan untuk
menemukan hubungan antar variabel
dengan desain penelitian adalah quasi
eksperimen yang bertujuan untuk
mengetahui
pengaruh
intervensi
keperawatan
merubah posisi dan
massase kulit
pada pasien stroke
terhadap pencegahan terjadinya luka
dekubitus.
3.6.2. Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian
ini diperoleh dari Medikal Record di
Rumah Sakit HKBP Balige.
3.7 Analisa Data
3.7.1. Anilisis Univariat
Analisis ini untuk mendeskripsikan
atau menjelaskan distribusi masingmasing variabel yang diteliti yaitu
intervensi keperawatan merubah posisi
dan massase kulit, tanda terjadinya luka
dekubitus serta karakteristik responden
dalam bentuk proporsi atau persentase.
Setelah diolah selanjutnya disajikan
dalam bentuk tabel dan diagram.
3.4 Populasi
Populasi
adalah
wilayah
generalisasi yang terdiri dari objek atau
subjek yang mempunyai kuantitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan
oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian
ditarik
kesimpulan
(Sugiyono, 2004). Populasi pada
penelitian ini adalah pasien stroke yang
peneliti dapatkan selama tahun 2011.
3.7.2. Analisis Bivariat
Analisis ini untuk menguji hipotesa
asosiatif yaitu menguji hubungan
variabel independen (merubah posisi
dan massase kulit) dengan variabel
dependen (pencegahan luka dekubitus)
pada pasien stroke yang dirawat dengan
bedrest total. Analisis ini dilakukan
untuk mengetahui pengaruh merubah
posisi dan massase kulit pada pasien
stroke
terhadap
terjadinya
luka
dekubitus. Uji statistik yang digunakan
dalam analisis ini adalah Uji t ( uji One
Sampel T Test) dengan prasyarat uji
normalitas data. Jika data terdistribusi
normal maka uji yang digunakan adalah
uji One Sampel T Test dan jika data
tidak terdistribusi normal maka uji yang
digunakan adalah uji t wilcoxon.
Tingkat kepercayaan yang digunakan
adalah 95% dengan tingkat kemaknaan
α (alpha) = 0,05 (Sabri & Hastono,
2006; Sugiyono, 2004).
Keputusan uji statistik dalam
penelitian ini berdasarkan pendekatan
probabilistik dengan program statistik
komputer yang tersedia. Peneliti
3.5 Sampel
Kriteria sampel pada penelitian ini
adalah pasien stroke yang baru dirawat
dan tidak mengalami dekubitus dengan
jenis kelamin laki-laki dan perempuan
yang berusia mulai 45 s/d 80 tahun dan
baru pertama kali dilakukan teknik
merubah posisi, tehnik pengambilan
sampling dengan cara Accidental
dilakukan berdasarkan kebetulan siapa
saja yang ditemui dan sesuai dengan
persyaratan data yang diinginkan.
Menurut Arikunto (2006) bila populasi
lebih dari 100, maka pengambilan
sampel 10-15% atau 20-25% dari
jumlah populasi. Maka jumlah sampel
dalam penelitian ini adalah 10 orang.
3.6 Jenis dan Metode Pengumpulan
Data
3.6.1. Data primer
Data primer dalam penelitian ini
diperoleh dengan melakukan observasi
121
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2,
No. Desember 2013
ISSN 2338-3690
1.2 Umur
menggunakan nilai α (alpha) 0,05
dengan kriteria hasil:
• Jika P value > nilai α, maka
keputusannya Ho diterima.
• Jika P value
alue < nilai α, maka
keputusannya Ho ditolak.
> 55 Thn
40-55 Thn
20-40 Thn
6
4
4. HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran
ambaran
Umum
Lokasi
Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di
Rumah Sakit HKBP Balige. Pelayanan
kesehatan di ruang rawat inap penyakit
dalam Zaal F ditangani oleh dokter
spesialis, dokter umum, dan perawat
dengan kualifikasi pendidikan D3
keperawatan, dan SPK.
2
0
Dws Muda
Dari
ri Gambar 4.2 di atas diketahui
bahwa responden yang berumur antara
20-40
40 tahun (dewasa muda) tidak ada,
berumur antara 40-55
55 tahun (dewasa
menengah) sebanyak 4 orang (40%) dan
berumur lebih dari 55 tahun sebanyak 6
orang (60%).
2. Analisis Bivariat
Analisis
sis ini dilakukan untuk mengetahui
pengaruh merubah posisi dan masase
kulit pada pasien Stroke terhadap
terjadinya Luka Dekubitus di Zaal F
RSU
HKBP
Balige
dengan
menggunakan uji One Sampel T Test.
1. Karakteristik Responden
1.1 Jenis Kelamin
3
orang
7
orang
Dws Tua
Gambar 4.2
Distribusi frekuensi
berdasarkan Usia pada responden stroke
di zaal F RSU HKBP Balige.
Balige
4.2. Hasil Penelitian
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan oleh peneliti dari bulan Juli
s/d Agustus 2011 terhadap 10 pasien
Stroke di Zaal F di Rumah Sakit HKBP
Balige maka diperoleh data yang
ditampilkan dalam bentuk diagram,
tabel distribusi dan grafik sebagai
berikut:
Pere
m
pua…
Dws
Menengah
Lakilaki
70%
Tabel
4.1
Distribusi
frekuensi
responden berdasarkan
erdasarkan kejadian luka
dekubitus setelah
etelah diberikan perubahan
posisi dan masase kulit
ulit di zaal F RSU
HKBP Balige
Gambar 4.1 Distribusi frekuensi
berdasarkan Jenis
enis Kelamin pada
Responden Stroke di Zaal F RSU
HKBP Balige.
Dari gambar di atas diketahui
bahwa responden
yang berjenis
kelamin laki-laki
laki sebanyak 7 orang
(70%) dan perempuan sebanyak 3 orang
(30%).
N
o
Kejadian Luka
Dekubitus
Frek
Persentase
(%)
1
Terjadi
2
20.0
2
Tidak Terjadi
8
80.0
10
100
Total
122
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
Berdasarkan tabel distribusi frekuensi di
atas diketahui bahwa terdapat responden
yang tidak mengalami luka dekubitus
yaitu sebanyak 8 orang (80%) setelah
diberikan perubahan posisi dan masase
kulit dan sebanyak 2 (20%) responden
yang mengalami luka dekubitus setelah
dilakukan
intervensi
keperawatan
merubah posisi dan massase kulit.
perpindahan cairan kekapiler, ini akan
menyokong untuk terjadinya edema dan
konsekkuensinya terjadi otolisis. Hal
lain juga bahwa aliran limpatik
menurun, ini juga menyokong terjadi
edema dan mengkontribusi untuk
terjadinya nekrosis pada jaringan.
(Barbara, 2005).
Berdasarkan hasil uji Statistic yaitu
uji One Sampel T Test didapatkan P
Value sebesar 0,000 < α=0,05 sehingga
Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti
ada pengaruh merubah posisi dan
masase kulit pada pasien Stroke
terhadap terjadinya Luka Dekubitus di
Zaal F RSU HKBP Balige Tahun 2011.
Berdasarkan hasil penelitian ini
didapatkan bahwa mayoritas responden
tidak mengalami luka dekubitus yaitu
sebanyak 8 orang (80%) setelah
diberikan perubahan posisi dan masase
kulit dan terdapat 2 orang (20%) yang
mengalami luka dekubitus setelah
dilakukan
intervensi
keperawatan
merubah posisi dan massase kulit. Hal
ini terjadi karena adanya ketidaktepatan
dalam hal melakukan perubahan posisi
dan massase kulit pada pasien stroke,
sehingga hasilnya tidak maksimal yaitu
masih terdapatnya 2 orang responden
yang mengalami luka dekubitus selain
itu alasan yang lain adalah bahwa
responden yang mengalami luka
tersebut berada dalam batsan usia
dewasa menengah dan dewasa tua.
Dari jenis kelamin bahwa mayoritas
responden mengalami luka dekubitus
berjenis kelamin laki laki yaitu
sebanyak
2
orang
(20%),
ini
membuktikan bahwa kejadian dekubitus
pada laki-laki lebih sering terjadi
daripada perempuan hal ini disebabkan
oleh karena pola hidup laki-laki berbeda
dengan wanita terutama dalam hal
mengkonsumsi makanan dan minuman,
sehingga
berpengaruh
terhadap
kerentanan terjadinya luka dekubitus
Tabel 4.2
Hasil analisa pengaruh
merubah posisi dan masase kulit pada
pasien stroke terhadap terjadinya luka
dekubitus di Zaal F RSU HKBP Balige
Variabel
P Value (CI 95%)
Merubah Posisi
dan Masase Kulit
0,000
ISSN 2338-3690
Berdasarkan tabel di atas diketahui
bahwa hasil uji One Sampel T Test
didapatkan P Value sebesar 0,000 <
α=0,05 yang berarti ada pengaruh
merubah posisi dan masase kulit pada
pasien Stroke terhadap terjadinya Luka
Dekubitus di Zaal F RSU HKBP Balige.
5. PEMBAHASAN
Luka dekubitus merupakan dampak
tekanan yang terlalu lama pada area
permukaan tulang yang menonjol dan
mengakibatkan berkurangnya sirkulasi
darah pada area yang tertekan dan lama
kelamaan jaringan setempat mengalami
iskemik, hipoksia dan berkembang
menjadi nekrosis. Tekanan yang normal
pada kapiler adalah 32 mmHg. Apabila
tekanan kapiler melebihi tekanan darah
dan struktur pembuluh darah pada kulit,
maka akan terjadi kolaps. Dengan
terjadinya kolaps akan menghalangi
oksigenisasi dan nutrisi kejaringan
selain
itu
area
yang
tertekan
menyebabkan
terhambatnya
aliran
darah. Dengan adanya peningkatan
tekanan
arteri
kapiler
terjadi
123
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
ISSN 2338-3690
laki-laki daripada perempuan hal
ini didukung oleh fakor pola hidup
dalam mengkonsumsi makanan
dan minuman.
4. Ada pengaruh Umur terhadap
pembentukan luka dekubitus pada
pasien stroke hal ini dibuktikan
dengan terjadinya luka dekubitus
pada responden yang berusia
dewasa menengah dan dewasa tua.
Terjadinya luka tersebut oleh
karena kondisi tubuh serta sistem
dan fungsi tubuh mereka telah
mengalami penurunan.
dan juga kadar albumin yang dibawah
normal.
Dari segi umur didapatkan hasil
setelah
dilakukan
intervensi
keperawatan merubah posisi dan
massase kulit pada pasien stroke
terhadap terjadinya luka dekubitus
terdapat 2 orang (20%) responden yang
mengalami luka dekubitus yang berusia
lebih dari 55 tahun atau dewasa tua. Hal
Ini membuktikan bahwa umur seseorang
berpengaruh
terhadap
percepatan
terjadinya luka dekubitus pada bagian
tubuh tertentu terutama pada bagian
tulang yang menonjol yang mengalami
penekanan secara terus-menerus, sebab
responden stroke yang berusia lebih dari
55 tahun atau lansia telah mengalami
kemunduran dari sistem dan fungsi
tubuh.
DAFTAR PUSTAKA
Agoes Azwar, et al 2008, Penyakit di
usia Tua, EGC, Palembang.
Alimul A, 2007. Riset Keperawatan
Tehnik Penulisan Ilmiah. :
Salemba Medika. Surabaya
6. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan
pembahasan hasil penelitian maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut.
1. Intervensi keperawatan merubah
posisi dan massase kulit pada
pasien stroke dapat mencegah
terjadinya luka dekubitus pada
pasien stroke. Hal ini dibuktikan
dengan uji statistik dengan hasil P
Value 0,000, berarti ada pengaruh
signifikan
dari
intervensi
keperawatan merubah posisi dan
massase kulit terhadap terjadinya
luka dekubitus.
2. Responden yang tidak mengalami
luka dekubitus yaitu sebanyak 8
orang (80%) setelah diberikan
intervensi keperawatan merubah
posisi dan masase kulit dan yang
mengalami sebanyak 2 orang
(20%).
3. Terdapat 2 orang Responden
(20%) berjenis kelamin laki-laki
yang mengalami luka dekubitus.
Hal ini menjelaskan bahwa luka
dekubitus akan lebih terjadi pada
Alimul A, 2006. Pengantar Kebutuhan
Dasar Manusia : Salemba
Medika. Surabaya
Alimul A, 2004. Buku Saku Praktikum
Kebutuhan Dasar Manusia .
EGC. Jakarta..
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur
Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.
Bayly, Doreen E. 2002. Pijat Refleksi.
Bandung : Pionir Jaya.
Brunner
&
Suddarth.
Keperawatan Medikal
Vol. 1. Jakarta : EGC.
2002.
Bedah,
--------------------------.
Keperawatan Medikal
Vol. 2. Jakarta : EGC.
2002.
Bedah,
Elisabet J, (2000), Buku Saku
Patofisiologi, Jakarta: EGC
Hinchliff,
Sue.
2000.
Kamus
Keperawatan. Jakarta : EGC.
Hidayat Djunaedi,dkk (2009). Ulkus
Dekubitus (cermin Dunia
kedokteran No 64,) diakses dari
124
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/fi
les/10_Ulkus Dekubitus. pdf.html
pada tanggal 10 juli 2009
Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita
Selekta Kedokteran, Jilid 2.
Jakarta : Media Aesculapius.
Nursalam,
2008.
Konsep
dan
Penerapan Metodologi Penelitian
Ilmu
Keperawatan.
Jakarta;
Salambe Medika.
Pupung. 2010. Efek Massage pada
Peredaran Darah, Lympa, Kulit
dan
Jaringan
Otot.
http://www.pupung.com .
______,(2010). Luka dekubitus, diakses
dari http://blog.ilmu keperawatan.
com/ luka-decubitus-danpenatalaksanaan-perawatan.html
pada tanggal 5 juli 2010
Politeknik kesehatan Medan, (2006).
Panduan penyusunan Karya
Tulis Ilmiah (KTI), Medan.
Potter, Patricia A, (2006). Fundamental
Keperawatan, Jakarta ; EGC
Priharjo Robert, (2005), Pemenuhan
Aktivitas Istrahat Pasien, Yogyakarta;
EGC
125
ISSN 2338-3690
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
ISSN 2338-3690
PENGETAHUAN PERAWAT DALAM MERAWAT PASIEN TB PARU DI
RUMAH SAKIT HKBP BALIGE
Jastro Situmorang, S.Kep, Ns
dr. Edi Salmon Sirait, M.Kes
Prodi D3 Keperawatan Akper HKBP Balige, Tobasa, Sumut
[email protected]
Abstrak
Penyakit TB Paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru yang
disebabkan oleh bakteri Mycobakterium Tuberkulosis. Penyakit ini sudah sangat
menjamur di masyarakat terutama di negara – negara berkembang yaitu sebesar 95 %.
Pada umumnya penderita TB Paru mendapat pengobatan melalui rawat inap dan rawat
jalan. Dalam hal ini tenaga perawat merupakan tenaga kesehatan terbanyak di rumah
sakit dan memiliki kontak paling lama dengan pasien, untuk itu pengetahuan tenaga
kesehatan, khususnya perawat sangat berpengaruh dalam perawatan TB Paru. Desain
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain deskriptif, dimana tujuan
penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengetahuan perawat dalam merawat
pasien TB paru. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 65,21 % dari responden
masuk dalam kategori pengetahuan sedang dan 34 % masuk dalam kategori
pengetahuan baik.
Kata kunci: Pengetahuan perawat, TB Paru, Rumah Sakit HKBP Balige
penduduk di negara-negara miskin,
tidak
memadainya
pendidikan
mengenai TB, terlantar, kurangnya
biaya, dan adanya epidemic HIV AIDS.
Di
Indonesia
penyakit
TB
merupakan masalah utama kesehatan
masyarakat. Hasil survei kesehatan
rumah tangga tahun 1995 menunjukkan
bahwa TBC merupakan penyebab
kematian
nomor
3
setelah
kardiovaskular dan penyakit saluran
nafas pada semua kelompok umur.
Dalam hal perawatan penderita
TB,
perawat
merupakan
orang
terpenting yang mempunyai peranan
besar dalam proses penyembuhan
penyakit. Tingkat pengetahuan perawat
menjadi acuan bagaimana bisa
terpenuhinya
kebutuhan
pasien.
Pengetahuan tenaga kesehatan terutama
perawat sangat berpengaruh dalam
perawatan pasien TB paru, guna
menghindari penularan.
1.1. Latar Belakang
Tuberkulosis paru adalah penyakit
infeksi kronik yang sudah sangat lama
dikenal pada manusia. Permulaan abad
19 insiden penyakit TB di Eropa dan
Amerika serikat sangat besar. Angka
kematian cukup tinggi yakni 400 per
100.000 penduduk. Maret 1993 WHO
mendeklarasikan TB sebagai global
health emergency. Pada tahun 1998 ada
3.617.047 kasus TB tercatat di seluruh
dunia. Sebagian kasus TB terjadi di
negara–negara berkembang, diantara
mereka 75% berada pada usia
produktif,
yaitu
20-49
tahun.
Diperkirakan 95% penderita TB berada
di negara berkembang sejalan dengan
munculnya epidemik HIV\AIDS.
Alasan utama meningkatnya beban
TB global ini disebabkan : kemiskinan
pada berbagai penduduk, adanya
perubahan demokgrafik, perlindungan
kesehatan yang tidak mencukupi pada
126
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
Rumah Sakit HKBP Balige
merupakan rumah sakit yang memberi
pelayanan yang menjungjung tinggi
kode etik keperawatan dan melayani
atas dasar kasih. Insiden penderita TB
Paru di RS HKBP Balige sekitar 35%.
Banyak penderita TB Paru yang rawat
jalan dan rawat inap.
ISSN 2338-3690
Pengetahuan
(knowledge)
adalah
sesuatu yang hadir dan terwujud dalam
jiwa dan pikiran seseorang dikarenakan
adanya reaksi persentuhan dan
hubungan dengan lingkungan alam
sekitarnya (Isyraq)
Dalam pengetahuan, ada 2 aspek yang
berbeda antara lain :
1. Hal-hal yang diperoleh
Pengetahuan seperti ini mencakup
tradisi, keterampilan, informasi,
pemikiran-pemikiran dan kaidahkaidah yang diyakini oleh seseorang
dan diaplikasi dalam semua kondisi
dan dimensi penting kehidupan
2. Realitas yang terus berubah
Seseorang
mengetahui
secara
khusus
perkara-perkara yang
beragam kemudian membandinkan
hal tersebut satu sama lain dan
memberi pandangan atasnya
1.2. Tujuan Penelitian
a.Tujuan umum
untuk
mengetahui
tingkat
pengetahuan perawat dalam merawat
pasien TB Paru di RS HKBP Balige
b.Tujuan khusus
1. Mengidentifikasi
pengetahuan
perawat RS HKBP Balige tentang
cara merawat pasien TB Paru
2. Mengidentifikasi bagaimana cara
parawat member perawatan terhadap
pasien TB Paru di RS HKBP Balige
1.3. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian dapat memberikan
kontribusi bagi praktek keperawatan
dan penddikan keperawatan. Hasil
penelitian
juga
dapat
sebagai
pengembangan penelitian lebih lanjut.
1. Penelitian Keperawatan
Menjadi dasar penelitian lebih lanjut
yang
berhubungan
dengan
perawatan TB Paru
2. Praktik keperawatan
Penelitian ini menjadi suatu acuan
yang berguna dalam meningkatkan
kemampuan
perawat
merawat
penderita TB Paru dan menghindari
penularan
3. Pendidikan keperawatan
Informasi yang di dapat sebagai
masukan untuk pengembangan
pelajaran terutama riset keperawatan
yang
berhubungan
dengan
perawatan TB Paru
2.1.2 Pembagian Pengetahuan
Pada umumnya pengetahuan dibagi
menjadi :
1. Pengetahuan Langsung (Immediate)
merupakan pengetahuan langsung
yang hadir dalam jiwa tanpa melalui
proses penafsiran dan pikiran
2. Pengetahuan Tidak langsung
(Mediate)
merupakan hasil dari pengaruh
interpretasi dan proses berpikir serta
pengalaman yang lain
3. Pengetahuan indrawi (Perceptual)
sesuatu yang dicapai dan diraih
melalui indra-indra lahiriah
4. Pengetahuan Konseptual
merupakan pikiran manusia secara
langsung tidak dapat membentuk
suatu konseptual tentang objekobjek dan perkara-perkara ekstarnal
berhubungan dengan alam eksterm
5. Pengetahuan Particular
berkaitan dengan satu individu,
objek-objek tertentu atau realitas
khusus
2. TINJAUAN TEORITIS
2.1. Konsep Pengetahuan
2.1.1 Pengertian Pengetahuan
127
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
2.1.3 Domain Pengetahuan
Ada 6 tingkatasn domain pengetahuan
1. Tahu (know)
diartikan sebagai mengingat suatu
memori yang telah di pelajari
sebelumnya
2. Memahami (comprihension)
diartikan sebagai suatu kemampuan
untuk menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui dan
dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar
3. Aplikasi (Aplication)
aplikasi adalah suatu kemampuan
untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau
kondisi real
4. Analisis
suatu
kemampuan
untuk
menjabarkan materi atau subjek
dalam komponen-komponen
5. Sintesis (Synthesis)
sintesis menunjukkun kepada suatu
kemampuan untuk melakukan atau
menghubungkan
bagian-bagian
dalam suatu teknik keseluruhan
yang baru
6. Evaluasi
evaluasi ini berkaitan dengan
kemampuan
untuk
melakukan
yudifikasi atau penilaian terhadap
suatu materi atau objek
•
•
•
•
ISSN 2338-3690
Pendidik tenaga perawat dan
masyarakat
Koordinator dalam pelayanan
masyarakat
Kolaborator dalam membina
kerja sama dengan profesi lain
Konsultan / Penasehat pada
tenaga kerja dan klien pembaharu
system
2.2.3. Fungsi Perawat
Fungsi adalah pekerjaan yang harus
dilaksanakan
sesuai
dengan
peranannya:
1. Melaksanakan
instruksi
dokter
(fungsi dependen)
2. Observasi gejala dan respon pasien
yang berhubungan dengan penyakit
dan penyebabnya
3. Membantu pasien menyusun dan
memperbaiki rencana keperawatan
4. Supervisi semua pihak yang ikut
terlibat dalam perawatan pasien
5. Mencatat dan melaporkan keadaan
pasien
6. Melaksanakan prosedur dan teknik
keperawatan
7. Memberikan
pengarahan
dan
penyuluhan untuk meningkatkan
kesehatan fisik dan mental
2.3. Konsep Penyakit
2.3.1 Defenisi TB Paru
Tuberculosis paru adalah penyakit
infeksius yang terutama menyerang
parenkim paru (Smelzer, 2002)
2.2. Defenisi Perawat
2.2.1. Defenisi
Perawat adalah mereka yang memiliki
kemampuan
dan
kewenangan
melakukan
tindakan
keperawatan
berdasarkan
ilmu
yang
dimilikinya,yang diperoleh melalui
pendidikan keperawatan (UU RI No
23, 1992)
2.3 2. Klasifikasi Tuberkulosis
Pembagian secara Patologis
1. Tuberculosis primer
Penularan
Tuberkulosis
paru
terjadi karena kuman dibatukkan
atau dibersinkan keluar menjadi
droplet dalam udara sekitar kita
2. Tuberkulosis post primer
Kuman yang dormant pada
tuberculosis primer akan muncul
bertahun-tahun kemudian sebagai
2.2.2. Peran Perawat
Peran perawat menurut CHS,1989
• Pemberi asuhan keperawatan
• Pembela pasien
128
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
infeksi
endogen
menjadi
tuberculosis dewasa
Pembagian
secara
aktivitas
radiologis
Tuberkulosis
paru
(Koch Pumonum) aktif, nonaktif,
dan quiescent (bentuk aktif yang
mulai menyembuh)
Pembagian secara radiologist (luas
lesi)
- Tuberkulosis minimal
terdapat
sebagian
kecil
infiltrate nonkafitas pada satu
paru maupun kedua paru tetapi
jumlahnya tidak melebihi satu
lobus paru.
- Moderately
advanced
tuberculosis
Ada kavitas dengan diameter
tidak lebih dari 4 cm. Jmlah
infiltrate bayangan halus tidakl
lebih dari satu bagian paru.
- Far advanced Tuberculosis
Terdapat infiltrate dan kavitas
yang melebihi keadaan pada
moderately
advanced
Tuberculosis
Pada tahun 1974 American
thoracic Society memberikan
klasifikasi baru yang diambil
berdasarkan
aspek
kesehatan
masyarakat
- Kategori 0
Tidak pernah terpajan dan tidak
terinfeksi,
riwayat
kontak
negative,
test
tuberculin
negative
- Kategori I
Terpajan tuberculosis, tetapi
tidak terbukti ada infeksi,
riwayat kontak positif, test
tuberculin negative
- Kategori II
Terinfeksi tuberculosis, tapi
tidak sakit, test tuberculin
negative,
radiologist
dan
sputum negative.
- Kategori III
Terinfeksi tuberculosis dan sakit
ISSN 2338-3690
2.3.3 Etiologi
Penyebab
tuberculosis
adalah
mycobacterium tuberculosis, yang
bersifat aerob. Kuman ini lebih
menyerang jaringan yang tinggi
kandungan O2 pada bagian apical paruparu lebih tinggi dari orang lain
sehingga bagian ini merupakan tempat
prediksi penyakit tuberculosis paru
(Suyono,2001)
2.3.4 Penularan dan faktor-faktor
resiko
Cara penularan kebanyakan melalui
ninhalasi kuman tuberculosis yang
terdapat di udara.
Yang berisiko tinggi untuk tertular
Tuberculosis adalah:
• Mereka yang kontak dekat
dengan
seseorang
yang
mempunyai TB aktif
• Individu imunosupresif (lansia,
pasien dengan kanker, mereka
dalam terapi kortikosteroid)
• Setiap individu tanpa perawatan
kesehatan yang adekuat
• Setiap individu dengan gangguan
medis yang ada sebelumnya(mis:
DM, gagal ginjal kronik)
• Individu yang tinggal di daerah
perumahan substandart kumuh
• Petugas kesehatan
2.3.5 Patofiologi
Individu rentan yang menghirup basil
tuberculosis dan menjadi terinfeksi,
bakteri pindah melalui jalan nafas ke
alveoli. Basil juga dipindahkan melalui
system limfe dan aliran darah bagian
tubuh lainya (ginjal, tulang, korteks
serebra dan area paru lainnya).
2.3.6 Manisfestasi klinik
Secara umum gejala penyakit TB
adalah:
Demam tingkat rendah
Keletihan
Anoreksia
129
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
Nyeri dada
batuk menetap
Keringat malam
Penurunan berat badan
Batuk darah
Gejala Respiratorik:
Batuk kurang lebih
minggu
Sesak nafas
batuk darah
Nyeri dada
Gejala sistemik:
Demam
malaise
Keringat malam
Anoreksia
Berat badan menurun
2.3.7
Pemeriksaan
laboratorium
•
•
dua
•
•
Diagnostik/
1.Pemeriksaan diagnostic:
• Pada awal pemeriksaan penyakit,
gambaran radilogis adalah berupa
bercak-bercak
seperti
awan
dengan batas-batas tidak jelas
• Pada tahun lanjut, bercak-bercak
awan menjadi padat dan jelas
batasnya
• Bila lesi diikuti dengan jaringan
ikat dan kelihatan bayangan
terlihat bulat
• adanya bayangan lesi pada photo
dada menunjukkan suatu infiltrasi
yang betul-betul nyata
• Pemeriksaan khusus yang di
perlukan seperti broncografi,
yakni untuk melihat kerusakan
bronkus atau paru
• Gambaran tuberculosis miler
dapat berupa bercak-bercak halus
tersebar merata pada seluruh
lapangan paru
•
ISSN 2338-3690
mengesampingkan
proses
tuberculosis paru aktif
Leukosit, sedikit meningkat pada
proses tuberculosis paru aktif
HB: Pemeriksaan darah lain
didapatkan juga anemia ringan,
gamma globuli meningkat dan
kadar natrim menurun
Tes PAP (Peroksidase Anti
perksidasi):
merupakan
uji
serologi
imunoperoksidase
memakai
alat
histogen
imunoperoksidase staining untuk
menentukan adanya Ig G spesifik
terhadap basil TB
Tes mantoux atau tuberculin: Tes
kulit yang digunakan untuk
menentukan
atau
mengindikasikan adanya infeksi,
tetapi belum tentu dapat penyakit
secara klinis.
Pemeriksaan
sputum
BTA:
memastikan diagnopsa TB paru
namun, pemeriksaan ini tidak
spesifik karena hanya 30-70%
pasien TB yang dapat di
diagnosis.
2.3.8 Penatalaksanan
Pengobatan Tuberculosis terutama
berupa pemberian obat anti mikroba
dalam jangka waktu yang lama selama
periode 6-12 bulan.
Obat- obat untuk pengobatan TB pada
dewasa
Obat Lini Pertama:
Isoniazid(INH)
Efek samping: Kemerahan, kadar
enzim hepatic, Hepatitis, neuropati
ferifer. Efeknya system saraf pusat
ringan
Rifamfisin(RIF)
Efek
samping:
Gangguan
pencernaan, hepatitis, masalahmasalah pendarahan, kemerahan,
gagal ginjal, dan demam.
Rifabutin(RFB)
2.Pemeriksaan laboratorium
• Darah: LED, LED meningkat
pada proses aktif, tetapi LED
normal
tidak
dapat
130
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
Efek
samping:
Kemerahan,
Hepatitis,
demam,
dan
trombositopeni
Pirazinamid(PZA)
Efek
samping:
Hepatitis,
hiperurisemia,
gangguan
pencernaan.
Etambutol(EMB)
Efek samping: neuritis, kemerahan
Sterptomicin
Efek samping: keracunan pada
ginjal
Obat Lini Kedua :
Kapreonimisin
Efek samping: keracunan pada
auditorius, vestibular ginjal
Etinamid
Efek
samping:
ganguan
pencernaan,
hepatotoksis,
hipersensivitas
Sikloserin
Efek samping: keracunan pada
auditorius, vestibular, ginjal
Kanamisin
Efek samping: keracunan pada
auditorius, vestibular, dan ginjal
(prince, 2006)
ISSN 2338-3690
tepat sangat penting
keberhasilan pengobatan
untuk
3. KERANGKA KONSEP
•
•
•
•
•
Defenisi
Etiologi
Klasifikasi
CaraPenularan
Manifestasi klini
•
•
Pengobatan
Asuhan
Keperawatan
Baik
Sedang
Buruk
4. METODE PENELITIAN
4.1 Desain penelitian
Desain penelitian ini menggunakan
metode deskriptif yang dilakukan
dengan tujuan membuat gambaran
tentang suatu keadaan objektif.
4.2 Populasi penelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh
perawat yang bekerja di RS HKBP
Balige yang berlatang belakang
pendidikan SPK sejumlah 23 orang.
2.3.9 Directly Observed Treatment
Shortcourse (DOTS)
DOTS adalah nama suatu strategi yang
dilaksanakan di pelayanan kesehatan di
dunia
untuk
mendeteksi
dan
menyembuhkan pasien TB.
Strategi ini terdiri dari 5 komponen
yaitu:
Dukungan politik para pemimpin
wilayah di setiap jenjang
Mikroskop sebagai komponen
utama untuk mendiagnosa TB
melalui pemeriksaan sputum
langsung
Pengawasan minum obat
Pencatatan dan pelaporan dengan
baik dan benar
Paduan obat anti TB jangka
pendek yang benar, termasuk
dosis dan jangka waktu yang
4.3 Sampel penelitian
Sampel dipilih dengan menggunakan
total sampling, yaitu semua populasi
yang ada dijadikan sampel penelitian
ini karena populasi kurang dari 100
yaitu 23 orang.
4.4 Waktu penelitian
Penelitian dilakukan mulai tanggal 01
Agustus s.d 15 Agustus 2013.
4.5 Analisa data
Setelah data terkumpul, maka peneliti
melakukan analisa data dengan cara di
periksa terlebih dahulu (editing) untuk
memeriksa apakah pernyataan dalam
kuesioner telah diisi sesuai dengan
petujuk, setelah itu diberikan tanda
kode terhadap pernyataan yang telah
131
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
ISSN 2338-3690
komplikasi,
pengkajian,
diagnose
keperawatan,
intervensi
dan
implementasi.
Dalam
hal
ini
pengetahuan responden dianggap baik
apabila menjawab benar paling tidak
85% dari kuesioner.
diajukan
untuk mempermudah
tabulasi. Setelah di tabulasi, diberi nilai
sesuai dengan jawaban yang diberikan
responden. Jawaban yang benar di beri
nilai 1 dan yang salah di beri nilai 0.
Kemudian skor yang di peroleh di
tetepkan
proporsinya
untuk
menentukan berapa nilai responden
dengan menggunakan rumus
Nilai=SC/ST x100%
dimana SC: Score responden
ST: Jumlah keseluruhan
Jumlah responden yang menjawab
benar>85% adalah pengetahuan baik,
menjawab benar 75-85% adalah
pengetahuan sedang dan menjawab
<75% adalah pengetahuan buruk.
5.2. Pengetahuan Perawat
Dalam Merawat Pasien TB Paru
Tabel 5.1 Distribusi Pengetahuan
Perawat Dalam merawat Pasien TB
Paru
No Pengetahuan Perawat Frekuensi/Persentasi
Baik Sedang Buruk
1 Pengetahuan
20
3
(86,9%) (13,04%)
Perawat tentang
defenisi TB Paru
2 Pengetahuan
23
(100%)
Perawat tentang
Etilogi TB Paru
3 Pengetahuan
4
19
(17,4%)
(82,6%)
Perawat tentang
klasifikasi TB Paru
4 Pengetahuan Perawat 23
(100%)
tentang cara
penularan TB Paru
5 Pengetahuan
23
(100%)
perawat tentang
tanda dan gejala
6 Pengetahuan Perawat 23
tentang Pemeriksaan (100%)
diagnostik
7 Pengetahuan Perawat 9
14
tentang pengobatan (39,1%) (60,9%)
TB Paru
8 Pengetahuan Perawat 14
9
(39,1%)
tentang Komplikasi (60,9%)
9 Pengetahuan perawat 9
12
2
tentang Pengkajian (39,1%) (52,2%) (8,7%)
keperawatan TB
Paru
10 Pengetahuan perawat 16
7
(69,6%)
(30,4%)
tentang diagnose
keperawatan
11 Pengetahuan perawat 13
10
(56,5%)
(43,5%)
tentang Intervensi
keperawatan
12 Pengetahuan perawat 10
13
(43,5%) (56,5%)
tentang
Impolementasi
keperawatan
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian
5.1.1 Karakteristik Responden
Karakteristik Frekuen Persentase
si
(%)
No Responden
1 Umur
Responden
13
56,5
24 – 30 Thn 7
30,5
31 – 35 Thn 3
13
36 – 40 Thn
2 Jenis
Kelamin
4
17,4
Laki – Laki
19
82,6
Perempuan
3 Lama
Bekerja
2 – 3 Thn
13
13
3 – 4 Thn
5
21,7
4 – 5 Thn
15
65,3
> 5 Thn
5.1.2 Pengetahuan perawat dalam
merawat Pasien TB Paru
Pengetahuan responden dinilai dari
kemampuan
responden
dalam
menjawab kuesioner yang meliputi
defenisi TB Paru, etilogi, klasifikasi,
cara penularan, tanda dan gejala,
pemeriksaan diagnostic, pengobatan,
132
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
Tabel 5.2 Distribusi Pengetahuan
Perawat dalam merawat pasien kategori
baik, sedang dan buruk.
Kode Skor Persentase Baik
Respon
(%)
den
Kemampuan
1
23
76,6
2
23
76,6
3
23
76,6
4
24
80
5
24
80
6
25
83,3
7
25
83,3
8
28
83,3
9
23
76,6
Baik
10
25
83,3
Baik
11
27
90
Baik
12
26
86,6
13
26
86,6
14
25
83,3
Baik
15
24
80
Baik
16
26
86,6
17
26
86,6
Baik
18
25
83,3
Baik
19
27
90
20
27
90
21
24
80
22
25
83,3
Baik
23
26
86,6
Sedang
ISSN 2338-3690
regimen 6 bulan dan 9 bulan untuk
regiomen 9 bulan.
Mengenai komplikasi TB Paru sekitar
60,86%
perawat
berpengetahuan
sedang. Dalam hal pengkajian, dan
implementasi keperawatan 52,17%
perawat
berpengetahuan
sedang.
Sebagai
seorang
perawat,harus
memahami proses keperawatan yaitu:
mulai dari pengkajian, diagnose
keperawatan, intervensi, implementasi
dan evaluasi keperawatan. Pengetahuan
perawat
mengenai
diagnose
keperawatan adalah baik yaitu sekitar
69,56%.
Begitu
juga
dengan
pengetahuan
mengenai
intervensi
keperawatan adalah berpengetahuan
baik yaitu 56,52%.
Evaluasi
pengetahuan
responden
terhadap keseluruhan konsep medis dan
keperawatan TB Paru menunjukkan
hasil berpengetahuan sedang. Dimana
65,21% dari responden berpengetahuan
sedang
dan
34,78%
responden
berpengetahuan baik. Tidak ada
responden berpengetahuan buruk.
Buruk
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
5.2.
Pembahasan
Pengetahuan perawat mengenai definisi
TB Paru cukup baik, yaitu sekitar 86,9%
perawat berpengetahuan baik. Dalam
hal ini perawat sudah mengalami apa itu
TB Paru. Begitu juga dengan etiologi,
cara penularan, tanda dan gejala,
pemeriksaan diagnostic, perawat sudah
berpengetahuan baik yaitu100%.
Mengenai klasifikasi TB Paru
pengetahuan perawat masih buruk yaitu
sekitar 82,6%. Dalam hal ini perawat
perlu mengetahui klasifikasi TB. Dalam
hal pengobatan sekitar 60,86% perawat
adalah berpengetahuan sedang. Perawat
harus mengetahui benar mengenai
pengobatan karena perawat harus
menjelaskan kepada klien bahwa
pengobatan TB Paru di berikan secara
rutin setiap hari selama 6 bulan untuk
6. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan
hasil
analisa
dan
pembahasan dapat di ambil kesimpulan
dan saran mengenai tingkat pengetahuan
perawat dalam merawat pasien TB Paru
di RS HKBP Balige.
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan
penelitian
yang
dilaksanakan pada tanggal 01 agustus
sampai 15 agustus 2013 di RS HKBP
Balige dan dari hasil pembahasan dapat
di ambil kesimpulan bahawa tingkat
pengetahuan perawat dalam merawat
pasien TB Paru berpengetahuan sedang
yaitu sekitar 65,21%.
Meskipun 65,3% dari responden lama
berkerja >5 tahun, namun berdasarkan
hasil penelitian dan pembahasan bahwa
65,21% dari responden mempunyai
pengetahuan
sedang
mengenai
perawatan TB Paru.
133
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
ISSN 2338-3690
Jumadi,1999.Keperawatan
Profesional. Jakarta : EGC
Mansjoer. 2001. Kapita Selecta
Kedokteran Jilid 1. Jakarta :
Media Aesculapius FKUI
Notoadmojo.
2003.
Metodologi
Penelitian Kesehatan. Jakarta :
EGC
Smeltzer.2002.Keperawatan Medikal
Bedah. Jakarta :EGC
Suyono, Salamet.2001. Ilmu Penyakit
Dalam.Jakarta : EGC
DAFTAR PUSTAKA
Amin. 2007. Ilmu Penyakit Dalam
.Jakarta: EGC
Arikunto,S.2007.Manajemen
Penelitian. Jakarta : PT Rineka
Cipta
Alimul. 2002. Pengantar Pendidikan
Keperawatan. Jakarta : EGC
Ali.Z.
1999.
Konsep
Dasar
Keperawatan. Jakarta : EGC
Corwin.J. Elisabeth.2001. Buku Saku
Patofisiologi
Untuk
Keperawatan. Jakarta : EGC
Doengoes. 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan. Jakarta : EGC
134
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
ISSN 2338-3690
PELAKSANAAN PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL
AKIBAT TINDAKAN INVASIF PEMASANGAN INFUS
OLEH PERAWAT PELAKSANA TAHUN 2010
DI RSU BETHESDA SERUKAM
Juliming Kenedy, SKM,
Susito, SKM., M.Kes,
Ishak, Silvia, Thresiawati
Akademi Keperawatan Serukam, Kabupaten Bengkayang
Abstrak
Rumah sakit selain untuk mencari kesembuhan, juga merupakan depot bagi berbagai
macam penyakit yang berasal dari penderita maupun dari pengunjung yang berstatus
karier. Data menunjukkan bahwa angka kejadian infeksi nosokomial akibat
pemasangan infus rata-rata di setiap ruangan perawatan di Rumah Sakit Umum
Bethesda Serukam, Kecamatan Samalantan Kabupaten Bengkayang sekitar 30-40%.
Data tersebut menunjukkan bahwa angka kejadian infeksi nosokomial akibat tindakan
invasif pemasangan infus masih cukup tinggi. Penelitian ini dilakukan dengan
mengumpulkan data dari sejumlah responden untuk mengetahui pelaksanaan
pencegahan infeksi nosokomial akibat tindakan invasif pemasangan infus yang
dilakukan oleh perawat pelaksana di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam,
Kecamatan Samalantan, Kabupaten Bengkayang. Dari hasil penelitian diperoleh
informasi bahwa pengetahuan perawat pelaksana di Rumah Sakit Umum Bethesda
Serukam tentang pencegahan infeksi nosokomial akibat tindakan invasif pemasangan
infus diperoleh nilai rata-rata 83,65%,keterampilan perawat dalam pencegahan infeksi
nosokomial yang berhubungan dengan tindakan invasif pemasangan infus diperoleh
nilai rata-rata 76,92 dan fasilitas yang mendukung terhadap pelaksanaan pencegahan
infeksi nosokomial akibat tindakan invasif pemasangan infus dengan nilai rata-rata
ketersediaan sarana yaitu 74.
Kata kunci : Pencegahan, Infeksi Nosokomial, Pemasangan Infus, RSU Bethesda
benda medis maupun non medis
(Utama, 2006).
Infeksi ini dapat disebabkan oleh
mikroorganisme yang didapat dari orang
lain (cross infection) atau disebabkan
oleh flora normal dari pasien itu sendiri
(endogenous infection). Kebanyakan
infeksi yang terjadi di rumah sakit ini
lebih
disebabkan
karena
faktor
eksternal,
yaitu
penyakit
yang
penyebarannya melalui makanan dan
udara dan benda atau bahan-bahan yang
tidak steril.
Umumnya 50% penderita yang
dirawat di rumah sakit memerlukan
tindakan pemasangan infus sebagai
1. LATAR BELAKANG
Rumah sakit merupakan suatu
tempat dimana orang yang sakit dirawat
dan ditempatkan dalam jarak yang
sangat dekat. Di tempat ini pasien
mendapatkan terapi dan perawatan
untuk dapat sembuh. Tetapi, rumah
sakit selain untuk mencari kesembuhan,
juga merupakan depot bagi berbagai
macam penyakit yang berasal dari
penderita maupun dari pengunjung yang
berstatus karier. Kuman dari suatu
penyakit dapat hidup dan berkembang
di lingkungan rumah sakit, seperti;
udara, air, lantai, makanan dan benda-
135
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
ISSN 2338-3690
banyak jumlah pasien yang dirawat
setiap bulannya berkisar 70-90 orang
pasien khususnya di ruang rawat umum
bawah dan ruang rawat umum atas dan
ruang kebidanan, sekitar 90% dari
jumlah pasien yang dirawat tersebut
memerlukan tindakan invasif berupa
pemasangan infus untuk keperluan
pemberian terapi medis maupun nutrisi
parenteral. Kemudian didapatkan data
bahwa
angka
kejadian
infeksi
nosokomial akibat pemasangan infus
rata-rata di setiap ruangan perawatan di
Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam,
Kecamatan Samalantan Kabupaten
Bengkayang sekitar 30-40%, artinya
setiap bulannya dari +60 orang pasien
yang dirawat dengan menggunakan
infus terdapat 20-26 orang pasien yang
mengalami infeksi pada infusnya. Data
tersebut menunjukkan bahwa angka
kejadian infeksi nosokomial akibat
tindakan invasif pemasangan infus
masih cukup tinggi pada rumah sakit
tersebut (Rumah Sakit Umum Bethesda
Serukam SMF, 2010).
Selama 10-20 tahun belakangan ini
telah banyak perkembangan yang telah
dibuat untuk mencari masalah utama
terhadap meningkatnya angka kejadian
infeksi nosokomial di banyak negara,
dan dibeberapa negara, kondisinya
justru sangat memprihatinkan. Keadaan
ini justru memperlama waktu perawatan
dan perubahan pengobatan dengan obatobatan mahal, serta penggunaan jasa di
luar rumah sakit. Karena itulah, di
negara-negara miskin dan berkembang,
pencegahan infeksi nosokomial lebih
diutamakan untuk dapat meningkatkan
kualitas pelayanan pasien dirumah sakit
dan fasilitas kesehatan lainnya (Utama,
2006).
Upaya
pencegahan
infeksi
melibatkan berbagai unsur, mulai dari
peran pimpinan sebagai pengambil
kebijakan sampai petugas kesehatan
sendiri. Kemampuan untuk mencegah
sarana pemberian terapi melalui jalur
intravena. Beberapa faktor dibawah ini
berperan
dalam
meningkatkan
komplikasi kanula intravena yaitu: jenis
kateter, ukuran kateter, pemasangan
melalui
venaseksi,
kateter
yang
terpasang lebih dari 72 jam, kateter
yang dipasang pada tungkai bawah,
tidak mengindahkan prinsip anti sepsis,
cairan infus yang hipertonik dan darah
transfusi karena merupakan media
pertumbuhan mikroorganisme, peralatan
tambahan pada tempat infus untuk
pengaturan tetes obat, manipulasi terlalu
sering pada kanula. Kolonisasi kuman
pada ujung kateter merupakan awal
infeksi tempat infus dan bakteremia
(Garner, 1996).
Setiap tahun diperkirakan 2 juta
pasien mengalami infeksi saat dirawat
di Rumah Sakit. Hal ini terjadi karena
pasien yang dirawat di Rumah Sakit
mempunyai daya tahan tubuh yang
melemah sehingga resistensi terhadap
mikroorganisme penyebab penyakit
menjadi turun, adanya peningkatan
paparan
terhadap
berbagai
mikroorganisme dan dilakukannya
prosedur invasif terhadap pasien di
rumah sakit. Golongan yang paling
rentan tehadap infeksi dari rumah sakit
adalah mereka yang berumur lebih dari
64 tahun dan diikuti oleh bayi kurang
dari satu tahun. Lokasi infeksi tersering
adalah saluran kemih (30%), luka
(20%), saluran pernafasan (20%) dan
lokasi lain (30%) (Nursing Times,1984).
Di Rumah Sakit Umum Bethesda
Serukam,
Kecamatan
Samalantan
Kabupaten Bengkayang, terdapat 5
ruang perawatan yang terdiri dari:
Instalasi Gawat Darurat, Ruang
Kebidanan, Ruang Rawat Umum,
Ruang Intencive Care Unit, dan Ruang
Rawat Umum Atas, berdasarkan sensus
harian dan sensus bulanan tahun 2010
pada masing-masing ruangan tersebut,
diperoleh data bahwa yang paling
136
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
ISSN 2338-3690
ruang rawat umum, Intensive Care
Unit, dan ruang rawat umum Atas.
2. Tidak sedang cuti besar.
3. Bersedia menjadi responden
transmisi infeksi di rumah sakit, dan
upaya pencegahan infeksi adalah
tingkatan pertama dalam pemberian
pelayanan yang bermutu. Untuk seorang
petugas
kesehatan,
kemampuan
mencegah infeksi memiliki keterkaitan
yang tinggi dengan pekerjaan, karena
mencakup setiap aspek penanganan
pasien. Dimana peran petugas adalah
sebagai
pelaksana
dalam
upaya
pencegahan infeksi. Namun setiap
petugas kesehatan wajib memperhatikan
kesehatan dirinya. Petugas kesehatan
wajib melindungi dirinya misalnya
dengan mengikuti seluruh prosedur
universal precaution ketika bertugas.
(Orel, 2001).
Banyaknya jumlah sampel yang
diambil ditentukan dengan mengikuti
pedoman dari Tabel Penentuan Jumlah
Sampel oleh Krejcie dan Morgan (1970)
dalam Uma Sekaran (1992) yaitu
sebagai berikut: jumlah populasi 60
orang maka jumlah sampel sebanyak 52
orang.
Instrumen yang digunakan pada
penelitian ini adalah kuesioner dengan
pertanyaan tertutup dan pedoman
observasi yang dibuat oleh peneliti.
Kuesioner dibagikan kepada responden
untuk diisi setelah responden bersedia
untuk
diteliti.
Cara
pembuatan
kuesioner dilakukan sendiri oleh peneliti
dengan modififikasi, karena tidak ada
sumber kuesioner yang baku.
Pedoman observasi digunakan
untuk mengukur keterampilan perawat
dalam tindakan keperawatan serta
alat/sarana yang tersedia di ruangan
perawatan. Pedoman observasi dengan
checklist untuk skala keterampilan
memiliki kriteria : dilakukan dengan
sempurna (nilai 2), dilakukan tetapi
tidak sempurna (nilai 1) dan tidak
dilakukan (nilai 0), sedangkan untuk
skala alat/sarana dengan kriteria:
tersedia dengan baik (nilai 2), tersedia
tidak lengkap/kondisi kurang baik (nilai
1) dan tidak tersedia (nilai 0).
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif dengan pendekatan cross
sectional yaitu suatu cara penelitian
yang dilakukan dengan mengumpulkan
data dari sejumlah responden pada saat
itu atau data pada saat dilakukan
penelitian
untuk
mengetahui
pelaksanaan
pencegahan
infeksi
nosokomial akibat tindakan invasif
pemasangan infus yang dilakukan oleh
perawat pelaksana di Rumah Sakit
Umum Bethesda Serukam, Kecamatan
Samalantan, Kabupaten Bengkayang.
Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh perawat pelaksana di Rumah
Sakit Umum Bethesda Serukam,
Kecamatan Samalantan, Kabupaten
Bengkayang yang berjumlah 60 orang,
yang terdiri dari 3 orang lulusan
Sekolah Perawat Kesehatan 55 orang
lulusan Diploma III keperawatan dan 2
orang lulusan Sarjana kesehatan
masyarakat.
Sampel yang diambil adalah
perawat pelaksana di Rumah Sakit
Umum Bethesda Serukam dengan
kriteria inklusi :
1. Perawat pelaksana ruang Instalasi
Gawat Darurat, ruang kebidanan,
3. HASIL PENELITIAN
Analisis hasil penelitian meliputi
analisis univariat. Analisis univariat
meliputi analisis deskriptif untuk
variabel karakteristik individu dan
pelaksanaan
pencegahan
infeksi
nosokomial akibat tindakan invasif
pemasangan infus
oleh perawat
pelaksana di Rumah Sakit Umum
Bethesda
Serukam,
Kecamatan
Samalantan Kabupaten Bengkayang.
137
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
Karakteristik
individu
pada
penelitian ini meliputi nama, jenis
kelamin dan ruangan. Karakteristik jenis
kelamin diukur dalam skala nominal,
dilakukan analisis deskriptif dan
disajikan pada tabel.
Tabel 2. Distribusi Pendidikan
Responden di Rumah Sakit Umum
Bethesda Serukam Tahun 2010
No
1
Tabel 1. Distribusi Jenis Kelamin
Responden di Rumah Sakit Umum
Bethesda Serukam Tahun 2010
Pendidikan Jumlah Persentase
SPK
1
2
DIII
50
96
Keperawatan
S-1
1
2
Keperawatan
Total
52
100
2
3
No Jenis Kelamin Jlh
1 Perempuan
34
2 Laki-laki
18
Total
52
ISSN 2338-3690
Persentase
65,3
34,7
100
Tabel 3. Distribusi Pengetahuan Responden Tentang Pencegahan Infeksi Nosokomial
Akibat Pemasangan Infus di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam Tahun 2010
IGD
Kategori
Jlh
Bidan
%
Jlh %
Z. Umum
Jlh
%
ICU
Z. Atas
Total
Jlh
%
Jlh
%
Jlh
%
Sangat
Baik
7
58,33 10 90,90 10 90,90
3
42,86
7
63,64
37
71,16
Baik
5
41,67 0
Cukup
0
0
Kurang
0
Jumlah
12
0
1
9,01
4
57,14
2
18,01
12
23,08
1
9,01
0
0
0
0
2
18,01
3
5,76
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
100
11
100
11
100
7
100
11
100
52
100
Tabel 4. Distribusi Keterampilan Responden Dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial
Akibat Pemasangan Infus di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam Tahun 2010
Kategori
Sangat
Baik
Baik
Cukup
Kurang
IGD
Jlh %
Z.Bidan Z.Umum
ICU
Jlh % Jlh %
Jlh
%
Z. Atas
Jlh %
Total
Jlh %
5
6 54,55 5
41,67
4 33,33
2 16,67
1
8,33
12 100
45,45
5
71,42
4
36,36
25
48,08
3 27,27 4 36,37
2 18,18 2 18,18
0
0
0
0
11 100 11 100
2
0
0
7
28,58
0
0
100
4
2
1
11
36,37
18,18
9,09
100
17
8
2
52
32,70
15,38
3,84
100
Berdasarkan table 4. Diatas dapat
diinterpretasikan bahwa keterampilan
responden dalam mencegah infeksi
noskomial akibat pemasangan infus
dengan kategori sangat baik adalah
sebagian dari responden yaitu sebanyak
25 orang (48,08%), dan 17 orang yang
mendapat kategori baik (32,70%) dan
responden dengan kategori cukup yaitu
sebanyak 8 orang (15,38%), serta yang
kategori kurang adalah 2 orang (3,84%).
138
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
ISSN 2338-3690
Tabel 5. Distribusi Ketersediaan Sarana Pencegahan Infeksi Nosokomial Akibat
Pemasangan Infus di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam Tahun 2010
StandarNilai
Kategori
< 50 50-74 75-100 Kurang Cukup Baik
1
IGD
80
2
Z.Bidan
70
3
Z.Umum
70
4
ICU
80
5
Z.Atas
70
Rata-Rata
74
pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya
Tabel 5 diatas menunjukkan
pendidikan
yang
kurang
akan
distribusi penyediaan sarana untuk
menghambat
perkembangan
sikap
pelaksanaan
pencegahan
infeksi
seseorang terhadap nilai - nilai yang
nosokomial akibat pemasangan infus di
baru diperkenalkan.
Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam
Berdasarkan hasil penelitian dapat
tahun 2010 dengan kriteria cukup.
dilihat bahwa dari 50 responden yang
mempunyai latar belakang pendidikan
Diploma III Keperawatan 35 orang
memperoleh tingkat pengetahuan dalam
4. PEMBAHASAN
Berdasarkan karakteristik jenis
kategori sangat baik, 10 orang mendapat
kelamin responden di Rumah Sakit
nilai dalam kategori baik, 3 orang
Umum Bethesda Serukam menunjukkan
memperoleh nilai kategori cukup, 2
distribusi terbesar dari responden adalah
orang perawat memperoleh nilai dengan
perempuan yaitu sebanyak 34 responden
kategori kurang hal ini menunjukan
atau 65,3% dari total keseluruhan
bahwa sebagian besar perawat yang ada
responden. Namun sejauh ini belum ada
di Rumah Sakit Umum Bethesda
penelitian yang menjelaskan tentang
Serukam dengan latar belakang
adanya perbedaan jenis kelamin
pendidikan Diploma III keperawatan
mempengaruhi
pengetahuan
dan
sebagian besar memiliki tingkat
ketrerampilan seorang perawat dalam
pengetahuan yang sudah sangat baik.
memberikan pelayanan keperawatan
Distribusi pengetahuan responden
khususnya yang berhubungan dengan
di Rumah Sakit Umum Bethesda
pencegahan infeksi nosokomial akibat
Serukam tentang pencegahan infeksi
pemasangan infus.
nosokomial akibat pemasangan infus
Distribusi pendidikan responden di
dengan kriteria sangat baik adalah
Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam
sebagian dari responden yaitu sebanyak
tahun 2010 yang terbesar adalah
37 orang (71,16%). Responden yang
responden dengan
latar belakang
mendapatkan nilai pengetahuan dengan
pendidikan Diploma III Keperawatan
kategori
sangat
baik
tersebut,
yaitu sebanyak 50 orang atau (96 %).
mempunyai jenis kelamin, ruangan,
Pendidikan merupakan salah satu hal
pendidikan yang bervariasi. Ruangan
yang
menentukan
pengetahuan
perawatan yang mendapatkan nilai ratasebagaimana menurut Kuncoroningrat
rata pengetahuan tentang pencegahan
(1997), makin tinggi pendidikan
infeksi nosokomial akibat infus yang
seseorang makin mudah menerima
tertinggi adalah ruang rawat umum
informasi sehingga makin banyak pula
dengan nilai 90,90 % sedangkan yang
No
Ruang
Skor
139
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
ISSN 2338-3690
perilaku
perawat,
serta
faktor
predisposisi
seperti
pendidikan,
kepercayaan dan sosial ekonomi dari
para perawat tersebut. Dengan latar
belakang tersebut diatas, tentu saja
untuk melakukan pencegahan atau
pengendalian infeksi nosokomial di
Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam
diperlukan pengetahuan yang baik dari
tiap personil perawat, yang menjadi
dasar dari tiap pelaksanaan setiap
tindakan keperawatan yang dilakukan
terhadap pasien yang sesuai dengan
standar dan prosedur yang berlaku di
institusi tersebut.
Keterampilan responden di Rumah
Sakit Umum Bethesda Serukam dalam
mencegah infeksi noskomial akibat
pemasangan infus dengan kategori
sangat baik yaitu sebanyak 25 orang
(48,08%). Responden yang mempunyai
keterampilan dalam pencegahan infeksi
pada infus dengan kategori sangat baik
mempunyai latar belakang pendidikan,
ruangan, jenis kelamin yang berbedabeda.
Ruangan
perawatan
yang
mendapatkan
nilai
rata-rata
keterampilan
tentang
pencegahan
infeksi nosokomial akibat infus yang
tertinggi adalah Ruang Intensive Care
Unit dengan nilai 71,42 % sedangkan
yang mendapatkan nilai rata-rata
terendah adalah ruang rawat umum atas
dengan nilai 36,36 %. Responden
dengan latar belakang pendidikan.
Sekolah Perawat Kesehatan yang
memiliki masa kerja yang cukup lama
ternyata
cukup
terampil
dalam
melaksanakan tindakan pencegahan
infeksi, hal ini disebabkan karena
mereka memiliki cukup banyak
pengalaman dalam merawat pasien
dengan menggunakan infus, karena
sebagian besar pasien yang dirawat di
Rumah
Sakit
Umum
Bethesda
Serukamm enggunakan infus untuk
pemberian obat-obatan. Keterampilan
mereka dalam ketepatan insersi jarum
mendapatkan nilai rata-rata terendah
adalah ruang rawat umum atas dengan
nilai 63,64 %. Selanjutnya merujuk
pada teori Notoatmodjo (2003),
pengetahuan merupakan dominan yang
sangat penting dalam membentuk
perilaku seseorang, artinya dalam hal ini
semakin baik pengetahuan responden
tentang infeksi nosokomial maka
semakin baik pula kemampuan mereka
dalam melakukan pencegahan terhadap
infeksi nosokomial tersebut. Pada
umumnya semua responden pernah
mendengar dan mempelajari tentang
infeksi nosokomial saat dibangku
sekolah atau kuliah. Informasi mengenai
infeksi nosokomial selain didapat saat
sekolah atau kuliah juga melalui dokter,
atau bahkan melalui media dimana
infeksi nosokomial merupakan problem
klinis yang sangat penting pada saat
sekarang ini, terbukti dari banyaknya
laporan/berita tentang kejadian infeksi
nosokomial di rumah-rumah sakit, baik
di luar maupun di dalam negeri, dengan
konsekwensi
meningkatnya
angka
kesakitan dan kematian. Rumah sakit
merupakan tempat untuk melakukan
prosedur dan tindakan medis serta
keperawatan baik itu untuk membantu
diagnosa maupun memonitor perjalanan
penyakit dan terapi, yang selain untuk
mendapatkan kesembuhan juga dapat
menyebabkan pasien rentan terkena
infeksi
nosokomial.
Pengetahuan
perawat dalam hal pencegahan infeksi
nosokomial
khususnya
yang
berhubungan dengan pemasangan infus
diperlukan dalam pemberian pelayanan
berkualitas
kepada
masyarakat.
Pengetahuan yang dimiliki oleh perawat
pelaksana di Rumah Sakit Umum
Bethesda Serukam tersebut secara
umum belumlah cukup memadai, hal ini
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
faktor
enabling/pendukung
seperti
tersedianya sarana dan prasarana, faktor
penguat/reinforcing seperti sikap dan
140
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
ISSN 2338-3690
sarung tangan sebelum melakukan
tindakan, mungkin tidak disadari oleh
perawat dapat meningkatkan insiden
infeksi nosokomial. Mungkin kebiasaan
ini lebih dominan disebabkan oleh
budaya mencucitangan yang belum
terlalu melekat dalam kehidupan seharihari perawat sehingga terbawa dalam
pekerjaannya. Padahal mencuci tangan
dan memakai sarung tangan sangat
dianjurkan bila akan melakukan
tindakan apapun yang berhubungan
dengan pasien. Maka dari itu perlu
adanya suatu proses berubah untuk
memperbaiki
kebiasaan
tersebut
menjadi berkurang atau hilang sehingga
timbul kebiasaan baru yang jauh lebih
baik, walaupun untuk melakukan ini
tidaklah mudah dan memerlukan waktu
yang cukup panjang untuk melakukan
suatu perubahan.
Distribusi penyediaan fasilitas/
sarana untuk pelaksanaan pencegahan
infeksi nosokomial akibat pemasangan
infus di ruangan perawatan yang
terdapat di Rumah Sakit Umum
Bethesda Serukamyaitu yang dapat
dikategorikan baik adalah Instalasi
Gawat Darurat dan Intensive Care Unit.
Sedangkan
secara
keseluruhan
ketersedian sarana di rumah sakit
tersebut dikategorikan cukup.Fasilitas
penunjang berupa sarana dan prasarana
guna pencegahan infeksi nosokomial
khususnya yang berhubungan dengan
pemasangan infus di Rumah Sakit
Umum Bethesda Serukam yang secara
umum dapat dikategorikan cukup,
ditunjukkan
dengan
tersedianya
berbagai
sarana/fasilitas
untuk
pemasangan dan perawatan infus di
tiap-tiap ruangan perawatan dengan
cukup lengkap, namun demikian masih
terdapat beberapa kekurangan dan
kerusakan alat diantaranya sarana cuci
tangan dengan air mengalir, set
instumen steril, handscoen steril,
tourniquet dan tiang infus. Di ruangan
kateter infus cukup baik terbukti dengan
jarang melesetnya insersi abbocath
dalam vena pada tusukan pertama, yang
terlihat selama peneliti melakukan
kegiatan observasi. Pada umumnya
perawat pelaksana di Rumah Sakit
Umum Bethesda Serukam sudah
mempunyai ketrampilan yang memadai
dalam hal pencegahan infeksi yang
berkaitan dengan pemasangan infus,
tetapi terkadang dalam pelaksanaannya
menemukan kendala yang berkaitan
dengan kurangnya alat dan fasilitas
penunjang ataupun pengetahuan dari
perawat itu sendiri yang masih belum
baik dalam hal pencegahan infeksi
nosokomial.Berdasarkan
pengamatan
peneliti, sebagian besar responden tidak
mencuci tangan terlebih dahulu sebelum
melakukan tindakan, cuci tangan hanya
dilakukan setelah selesai melakukan
tindakan.
Hampir sebagian dari
responden juga tidak memakai sarung
tangan steril pada saat melakukan
tindakan,
mereka lebih sering
menggunakan sarung tangan non steril
atau bahkan tidak menggunakan sarung
tangan sama sekali. Pada dasarnya
transmisi penyakit melalui tangan dapat
diminimalisasi dengan menjaga hiegene
dari tangan. Tetapi pada kenyataannya,
hal ini sulit dilakukan dengan benar,
karena banyaknya alasan seperti
kurangnya fasilitas cuci tangan, dan
waktu mencuci tangan yang lama serta
mungkin sudah terbiasa tidak mencuci
tangan
terlebih
dahulu
sebelum
melakukan
tindakan
keperawatan.
Padahal diketahui bahwa tingkat
pengetahuan perawat di Rumah Sakit
Umum Bethesda Serukam rata-rata
sangat baik mengenai hal ini, tapi pada
prakteknya dirasa kurang. Hal ini
mungkin disebabkan karena faktor
kesalahan yang tidak disadari yang
sudah menjadi budaya dan kebiasaan
sehari-hari mereka.Kebiasaan tidak
mencuci tangan ataupun tidak memakai
141
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
ISSN 2338-3690
apotik hanya 5-10 set handscoen steril
saja setiap ruangan perhari. Sehingga
petugas lebih sering menggunakan
handscoen dalam kemasan kotak non
steril ataupun handscoen bekas pakai
yang disterilkan kembali. Sehingga halhal tersebut dapat dikatakan sebagai
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
insiden terjadinya infeksi nosokomial di
Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam
khususnya yang berkaitan dengan
pemasangan infus. Tersedianya fasilitas/
sarana dengan kondisi baik dan lengkap
merupakan hal yang harus diperhatikan
oleh pihak pengelola institusi karena
akan sangat mempengaruhi dan
menunjang kualitas pelayanan yang
diberikan oleh petugas. Penyediaan
sarana yang masih belum memadai di
Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam
yang merupakan rumah sakit milik
swasta ini mungkin disebabkan karena
minimnya anggaran untuk pengelolaan
dan pembangunan rumah sakit tersebut,
dan mungkin adanya sebab lain yaitu
sistem manajemen rumah sakit itu
sendiri yang belum berjalan dengan
maksimal.
Sehingga perlu adanya
kajian ulang dan pembenahan dari pihak
yang mempunyai wewenang dalam hal
ini.
perawatan dengan jumlah pasien yang
cukup banyak seperti di ruang rawat
umum atas, jumlah tiang infus kadangkadang tidak mencukupi saat pasien
sedang penuh sehingga terpaksa infus
digantung
di
dinding
dengan
menggunakan paku sehingga beresiko
infus terjatuh dan terlepas atau bahkan
secara estetika tidak sedap dipandang
mata. Rata-rata di tiap ruangan jumlah
tempat sampah medis maupun non
medis masih kurang banyak atau hanya
menggunakan botol bekas cairan intra
vena atau botol aqua, sehingga sering
tampak sampah yang berserakan dan
berceceran hingga ke lantai dan tentu
saja merupakan media yang sangat baik
bagi mikroorganisme untuk berkembang
dan menyebarkan penyakit.
Menurut hasil pengamatan peneliti,
setiap ruangan perawatan terdapat
wastafel sebagai sarana untuk mencuci
tangan dengan air mengalir, Tetapi
terdapat beberapa kendala yaitu aliran
air keran yang kadang mati sehingga
kadang-kadang tidak ada air mengalir
yang keluar melalui keran. Masingmasing ruangan tersedia dalam jumlah
yang cukup bahan pencuci tangan
berupa sabun yang mengandung larutan
antiseptik yang dapat menghambat
aktivitas
atau
membunuh
mikroorganisme pada kulit sehingga
mikro-organisme
terlepas
dari
permukaan kulit dan mudah terhalau
oleh air, handuk atau kain untuk
mengeringkan tangan juga tersedia
dengan jumlah yang cukup. Persedian
larutan antiseptik dan desinfektan
seperti alkohol 70%, baik di tiap-tiap
ruangan sehingga dapat menunjang
dalam pelaksanaan pencegahan infeksi.
Fasilitas/sarana yang dianggap kurang
adalah penyediaan alat pelindung diri/
universal precaution yaitu sarung
tangan steril yang
masih terbatas
jumlahnya sehingga terbatas juga
penggunaannya. Jumlah permintaan dari
5. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang telah
dilakukan dapat diambil simpulan
sebagai berikut
1. Pengetahuan perawat pelaksana di
Rumah Sakit Umum Bethesda
Serukam tentang pencegahan infeksi
nosokomial akibat tindakan invasif
pemasangan infus diperoleh nilai
rata-rata
83,65
yang
jika
dikategorikan
termasuk
dalam
kriteria sangat baik.
2. Keterampilan perawat di Rumah
Sakit Umum Bethesda Serukam
dalam
pencegahan
infeksi
nosokomial
yang
berhubungan
142
Jurnal Keperawatan HKBP Balige, Vol.1 No.2, Desember 2013
ISSN 2338-3690
Notoadmojo, S. (1993) Pengantar
Pendidikan Kesehatan dan Ilmu
Perilaku,
Andi
Offset,
Yogyakarta
Nursalam, (2001) Pendekatan Praktis
Metodologi Riset Perawatan,
Infomedika, Jakarta.
Potter, Patricia. A, ed all. (1997)
Fundamentals
of
Nursing,
concept, process and practice,
mosby : Philadhelphia.
Potter, Perry . (2000) Keterampilan dan
Prosedur dasar, edisi 3, EGC,
Jakarta.
Purwandari, R. (2005) Pengontrolan
Infeksi
(Internet) Tersedia
dalam:http://elearning.unej.ac.id/c
ourses/IKU13236c49/document/P
ENGONTROLAN_INFEKSIhandout.doc?cidReq=IKU13239d
c2, diakses 02 Oktober 2010.
Roper, Nancy. (1996) Prinsip-Prinsip
Keperawatan, edisi 1, Yayasan
Essentia Medica, Yogyakarta.
Saroso, Sulianti. (2002) Kewaspadaan
Universal Pengendalian Infeksi
Nasokomial (Kupin) (Internet),
Jakarta : Rumah Sakit Penyakit
Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso.
Utama, H.W. (2006) Infeksi Nosokomial
(Internet)
Tersedia
dalam
:http://id.klikharry.wordpress.co
m20061221infeksi-nosokomial/,
diakses15 Oktober 2010
dengan tindakan invasif pemasangan
infus diperoleh nilai rata-rata 76,92
yang jika dikategorikan termasuk
dalam kriteria baik.
3. Fasilitas
atau
sarana
yang
mendukung terhadap pelaksanaan
pencegahan
infeksi
nosokomial
akibat tindakan invasif pemasangan
infus di Rumah Sakit Umum
Bethesda Serukam dengan nilai ratarata ketersediaan sarana yaitu 74
yang jika dikategorikan termasuk
dalam kriteria cukup.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, (2004) Infeksi Nosokomial
(Internet)
Tersedia
dalam:
http://bankdata.depkes.go.id/data
%20intranet/Sharing%20Folder/D
ITJEN%20YANMEDIK/seri%20
3/Bab%204.htm,
diakses
07
Oktober 2010
Brunner, Suddarth. (2002) Keperawatan
Medikal Bedah, Edisi 8, EGC
Kedokteran, Jakarta.
Danim, Sudarwan. (2003) Riset
Keperawatan : Sejarah dan
Metodelogi, EGC, Jakarta.
Depkes,
RI.
(2003)
Pedoman
Pelaksanaan
Kewaspadaan
Universal
di
pelayanan
Kesehatan, Depkes RI, Jakarta.
Depkes, RI. (2003) Dasar-dasar
Pencegahan Infeksi Depkes RI:
Jakarta
(Internet)
Tersedia
dalam:http://www.member/giyarti
@litbang.depkes.go.id/badanlitba
ngkesehatan,
diakses
10
September 2010.
http://www.infeksi.com/articles.php?ing
=in.diakses 19 september 2010.
****
143
Download