(2014) populasi manusia di du

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada tahun 2014, menurut World Population Statistics (2014) populasi
manusia di dunia mencapai tujuh milyar jiwa. Sedangkan 49,6% dari populasi
tersebut adalah wanita, dimana 15,3 dari 100.000 wanita di dunia beresiko
terjangkit kanker serviks atau kanker leher rahim (Cancer Research UK, 2008).
Kanker serviks merupakan kanker kedua yang banyak diderita oleh wanita setelah
kanker payudara khususnya di negara berkembang. Jemal et al. (2011) melaporkan
sebanyak 85% dari 530.000 kasus kanker serviks baru di dunia muncul di negara
berkembang. Di Indonesia, berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS)
tahun 2007, kanker serviks menempati urutan kedua pada pasien rawat inap di RS
seluruh Indonesia sebesar 11,78% dari seluruh penduduk Indonesia (Dirjen PP &
PL, 2013).
Pengobatan untuk mengeradikasi sel kanker serviks dari tubuh banyak
ditempuh melalui operasi, radioterapi, maupun penggunaan agen kemoterapi
(Cadron et al., 2005). Doksorubisin merupakan salah satu agen kemoterapi dari
golongan antibiotik antrasiklin generasi pertama yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan sel kanker serviks sehingga masih digunakan hingga saat ini (Nguyen
& Nordqvist, 1999; Phonnok et al., 2010). Penggunaan jangka panjang dari
doksorubisin menimbulkan efek samping berupa penurunan sistem imun tubuh
akibat neutropenia (Lyass et al., 2001), penurunan fungsi sel makrofag (Asmis et
1
2
al., 2006), dan penurunan proliferasi sel limfosit serta rasio TCD4+/TCD8+ (Zhang
et al., 2005). Selain itu, Phonnok et al. (2010) melaporkan bahwa penggunaan
doksorubisin berefek sitotoksik terhadap sel Vero. Efek samping tersebut
membutuhkan suatu usaha untuk meminimalisir, salah satunya dengan
mengkombinasikan doksorubisin dengan obat bahan alam.
Mengeksplorasi kekayaan alam Indonesia tidak akan pernah habis. Salah
satu tumbuhan yang banyak ditemukan di Papua, sarang semut (Myrmecodia
tuberosa Jack) memiliki potensi besar untuk dikembangkan dalam bidang
kesehatan. M. tuberosa merupakan satu dari tiga spesies sarang semut
(Hypnophytum formicarum dan Myrmecodia pendens) yang dipertimbangkan
memiliki khasiat medis (Soeksmanto et al., 2010). Secara empiris, rebusan air dari
gall (bagian dasar yang membesar menyerupai umbi) tumbuhan ini dimanfaatkan
oleh masyarakat Papua sebagai antinyeri akibat rematik, kanker, peningkat daya
tahan tubuh dan penambah stamina. Penelitian mengenai ekstrak etanolik dan fraksi
etil asetat M. tuberosa kadar 10, 20, 50, dan 100 µg/mL diketahui dapat
meningkatkan aktivitas fagositosis makrofag dan proliferasi limfosit (Hertiani et
al., 2010). Dalam uji toksisitas akut dan subkronik, fraksi non n-heksan (FNH)
ekstrak etanolik M. tuberosa belum menunjukkan efek toksik hingga dosis 800
mg/kgBB mencit Balb/c (Ediati dkk, 2012). Mizaton et al. (2010) juga melaporkan
bahwa ekstrak metanolik Myrmecodia platytyrea tidak berefek sitotoksik terhadap
sel Vero. Selain itu, ekstrak air dan fraksi air dari ekstrak metanol spesies
Myrmecodia pendens menunjukkan aktivitas antikanker terhadap sel kanker serviks
(HeLa) (Soeksmanto et al., 2010). Aktivitas M. tuberosa dalam meningkatkan
3
proliferasi sel limfosit dan menjadi agen antikanker berhubungan dengan adanya
senyawa golongan fenol dan flavonoid (Chiang et al., 2003; Hertiani et al., 2010;
Soeksmanto et al., 2010). Senyawa golongan fenol dan flavonoid terdapat dalam
FNH ekstrak etanolik gall tumbuhan M. tuberosa.
Berdasarkan sumber empiris dan hasil penelitian terdahulu, muncul suatu
gagasan untuk mengkombinasikan FNH ekstrak etanolik gall tumbuhan M.
tuberosa dengan doksorubisin. Pengaruh kombinasi tersebut diharapkan dapat
diketahui melalui penelitian terhadap proliferasi sel limfosit dan efek sitotoksik
pada sel Vero maupun sel HeLa. Selanjutnya, FNH ekstrak etanolik gall tumbuhan
M. tuberosa diharapkan dapat digunakan sebagai terapi pendamping doksorubisin
sehingga efek samping berupa penurunan sistem imun tubuh dapat diperbaiki.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah kombinasi FNH ekstrak etanolik gall tumbuhan M. tuberosa dan
doksorubisin
dapat
mengurangi
efek
samping
doksorubisin
berupa
peningkatan proliferasi sel limfosit?
2. Berapakah dosis dari FNH ekstrak etanolik gall tumbuhan M. tuberosa yang
dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit secara optimal terhadap efek
samping dari penggunaan doksorubisin?
3. Apakah kombinasi FNH ekstrak etanolik gall tumbuhan M. tuberosa dan
doksorubisin mempengaruhi efek sitotoksik terhadap pertumbuhan sel Vero
dan HeLa?
4
C. Tujuan Penelitian
1. Mengevaluasi kemampuan kombinasi FNH ekstrak etanolik gall tumbuhan M.
tuberosa dan doksorubisin dalam mengurangi efek samping doksorubisin
berupa peningkatan proliferasi sel limfosit.
2. Mengetahui dosis FNH ekstrak etanolik gall tumbuhan M. tuberosa yang dapat
meningkatkan proliferasi sel limfosit secara optimal terhadap efek samping
dari penggunaan doksorubisin.
3. Mengevaluasi efek sitotoksik dari kombinasi FNH ekstrak etanolik gall
tumbuhan M. tuberosa dengan doksorubisin terhadap pertumbuhan sel Vero
dan sel HeLa secara in vitro.
D. Pentingnya Penelitian
Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu upaya mengeksplorasi potensi
alam Indonesia. Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat menambah
informasi mengenai tumbuhan M. tuberosa dalam mengurangi efek samping
doksorubisin yang menyebabkan penurunan sistem imun tubuh dan pengaruh
sitotoksiknya terhadap sel normal dan sel kanker serviks. Publikasi dalam jurnal
ilmiah diharapkan dapat menjadi luaran sehingga hasil penelitian dapat menjadi
sumber data dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya
dalam bidang kesehatan.
5
E. Tinjauan Pustaka
Tumbuhan sarang semut (Myrmecodia tuberosa Jack)
Tumbuhan sarang semut merupakan salah satu tumbuhan epifit yang
dapat berasosiasi dengan semut (Iridomyrmex) tetapi tidak bersifat parasit
(Beattie, 1989; Soeksmanto et al., 2010). Keberadaaan semut pada tumbuhan
ini menyebabkan terbentuknya pori-pori yang menyerupai labirin sehingga
bagian dasar tumbuhan membesar menyerupai umbi (gall) (Backer &
Bakhuizen Van Den Brink, 1965; Globinmed, 2011). Tumbuhan ini tersebar
dari wilayah pantai hingga ketinggian 2.400 m di atas permukaan laut (Manoi,
2008). Tumbuhan sarang semut merupakan anggota dari famili Rubiaceae yang
memiliki 5 genus berbeda dan hanya 2 diantaranya yang berasosiasi dengan
semut, yaitu Myrmecodia (45 spesies) dan Hypnophytum (26 spesies). Dari
spesies tersebut, hanya Hypnophytum formicarum, Myrmecodia pendens, dan
Myrmecodia tuberosa yang dipertimbangkan memiliki khasiat secara medis
(Soeksmanto et al., 2010). Berikut klasifikasi M. tuberosa secara lengkap:
Kingdom : Plantae
Divisi
: Tracheophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Gentianales
Famili
: Rubiaceae
Genus
: Myrmecodia
Spesies
: Myrmecodia tuberosa Jack
(EOL, 2013)
6
Gambar 1. Tumbuhan Sarang Semut (Myrmecodia tuberosa Jack) (Tanaman Karnivora,
2008)
Sarang semut dikenal sebagai tumbuhan obat yang telah digunakan
secara empiris dari wilayah asalnya yaitu Papua. Dekokta dari tumbuhan ini
dimanfaatkan oleh masyarakat Papua untuk mengobati maag, rematik, asam
urat, stroke, TBC, tumor, dan kanker (Subroto & Saputro, 2006).
Hasil analisis kimia menunjukkan bahwa M. tuberosa mengandung
senyawa-senyawa golongan flavonoid, fenol, terpenoid/steroid, alkaloid, tanin,
tokoferol, multimineral, dan polisakarida (Roslizawaty et al., 2007; Hertiani et
al., 2010). M. tuberosa memiliki aktivitas antioksidan yang kuat oleh adanya
senyawa golongan fenol dan flavonoid sehingga efektif sebagai agen
kemoterapi dan imunomodulator (Chiang et al., 2003; Soeksmanto et al., 2010,
Hertiani et al., 2010). Senyawa golongan fenol memiliki mekanisme
antikanker melalui induksi apoptosis, interaksi dengan growth factor receptor
dan cell signaling cascade termasuk kinase dan faktor transkripsinya (Hadi et
al., 2000; Wahle et al., 2010). Sedangkan senyawa golongan flavonoid aktif
sebagai agen kemopreventif dan kemoterapi melalui induksi apoptosis dengan
7
menghambat DNA topoisomerase II (Galati & O’Brien, 2004). Aktivitas M.
tuberosa sebagai imunomodulator juga dimungkinkan berasal dari senyawa
iridoid yang merupakan bagian dari mekanisme pertahanan dari semut
Iridomyrmex (Chiang et al., 2003; Hertiani et al., 2010).
Fraksi non n-heksan (FNH) ekstrak etanolik gall tumbuhan M. tuberosa
Ekstrak etanolik dibuat dengan metode maserasi dan remaserasi M.
tuberosa menggunakan etanolik 95% yang kemudian difraksinasi cair-cair
dengan n-heksan. Fraksi tak larut heksan/non n-heksan merupakan fraksi yang
diujikan terhadap sel limfosit, Vero, dan HeLa. FNH ini diharapkan
mengandung bagian senyawa yang bersifat lebih polar. Senyawa flavonoid dan
fenol
merupakan
senyawa
polar
yang
mempunyai
efek
sebagai
imunomodulator secara in vitro (Hollman et al., 1996; Chiang et al., 2003),
sehingga diharapkan penggunaan FNH ekstrak etanolik gall tumbuhan M.
tuberosa dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit.
Doksorubisin
Antrasiklin
doksorubisin
(DOX)
merupakan
metabolit
dari
Streptomyces peucetius var. caesius (Arcamone et al., 1969) dan merupakan
agen kemoterapi yang dikembangkan pada tahun 1970 (Cortés-Funes &
Coronado, 2007). Doksorubisin termasuk satu dari empat obat tunggal yang
memiliki aktivitas moderat terhadap kanker serviks selain cisplatin, ifosfamide,
dan dibromodulcitol (Nguyen & Nordqvist, 1999).
8
Gambar 2. Struktur Doksorubisin (Aluise et al., 2009)
Gewirtz (1999) menjelaskan aktivitas doksorubisin melalui 2 jalur
mekanisme. Mekanisme yang pertama berupa pengikatan doksorubisin pada
DNA yang dapat menyebabkan terhambatnya sintesis dan proses transkripsi
DNA, serta terhambatnya pengaruh dari topoisomerase II yang mengakibatkan
kerusakan DNA (Aggarwal & Shishodia, 2006). Selain itu, doksorubisin juga
dapat berubah menjadi radikal bebas terutama ROS (Reactive Oxygen Spesies)
(Minotti et al., 2004) yang dapat merusak DNA dan membran sel sehingga sel
akan mengalami kematian (Tokarska-Schlattner et al., 2006).
9
Gambar 3. Mekanisme Doksorubisin (PharmGKB, 2013)
Penggunaan doksorubisin sebagai agen antikanker tidak hanya
bermanfaat tetapi juga menimbulkan efek samping. Sekitar 10% dari pasien
yang menggunakan doksorubisin mengalami komplikasi jantung yang akan
berkembang setelah 10 tahun penggunaan terapi (Alexieva et al., 2014).
Alexieva et al. (2014) juga menambahkan bahwa prevalensi terjadinya gagal
jantung muncul pada dosis kumulatif doksorubisin sebesar 550 mg/m2.
Peningkatan dosis kumulatif ini juga menimbulkan efek samping yang lain,
dimana secara in vitro hal tersebut dapat menyebabkan resistensi sel kanker
terhadap doksorubisin (Mechetner et al., 1998). Selain itu, dalam Macmillan
fact sheet (2012), disebutkan bahwa penggunaan doksorubisin sebagai agen
kemoterapi juga memiliki beberapa efek samping berupa kerontokan rambut,
10
rasa mual muntah, anemia, perubahan warna urin, dan penurunan resistensi
terhadap infeksi. Penurunan resistensi terjadi karena doksorubisin dapat
menurunkan produksi limfosit di sumsum tulang belakang atau disebut
neutropenia (Lyass et al., 2001).
Sel limfosit
Sel limfosit adalah sel darah putih yang bekerja dalam sistem imun
vertebrata khususnya pada tipe sistem imun adaptif. Sel limfosit terdiri dari 3
tipe sel yaitu sel T, sel B, dan sel natural killer (NK). Ketiganya dibentuk dalam
proses hematopoiesis yang terjadi di sumsum tulang belakang (Abbas &
Lichtman, 2012). Sel T dan sel B yang merupakan limfosit berukuran kecil
menjadi dewasa di tempat yang berbeda. Sel B berubah menjadi sel B limfosit
di sumsum tulang belakang, sedangkan sel T bermigrasi dan tumbuh di organ
yang dinamakan timus (Kumar et al., 2005). Setelah proses maturasi tersebut,
limfosit memasuki sirkulasi dan bagian perifer dari organ limfoid ketika
menginvasi patogen dan atau sel tumor. Sedangkan NK sel yang merupakan
innate immune system berperan utama dalam mempertahankan tubuh dari sel
yang terinfeksi tumor dan virus.
Innate immune system memiliki 2 mekanisme utama berdasarkan
perubahan molekul permukaan yang disebut MHC (Major Histocompatibility
Complex) yang tediri dari MHC I dan MHC II (Pacheco et al., 2012). Sel
Dendrit yang mengenali perubahan berdasarkan MHC I akan meningkatkan
aktivasi dan deferensiasi dari sel TCD8+ naif ke CTL (Cytotoxic T
11
Lymphocytes) yang selanjutnya akan mengenali dan membunuh sel tumor atau
sel yang terinfeksi dengan granul sitotoksik yang mengandung perforin dan
granzyme. Sedangkan mekanisme melalui perubahan MHC II yaitu sel Dendrit
mengaktifkan sel TCD4+ naif dan meningkatkan diferensiasinya terhadap
efektor sel TCD4+ yang berkontribusi terhadap efisiensi aktivitas dari sel
TCD8+ melalui sekresi IFN-γ yang menyebabkan sel TCD8+ menginduksi
fungsi dari makrofag dan sel Natural Killer (NK). Selain itu, sel TCD4+ juga
akan mengaktifkan sel B secara efisien yang dapat mempengaruhi sel plasma
yang akan menyerang sel yang terinfeksi. Sel TCD4+ ini juga meregulasi fungsi
innate immune cells seperti makrofag dan sel NK. Sel NK yang telah aktif
melepaskan granul sitotoksik yang menghancurkan sel (Janeway et al., 2001).
Gambar 4. Peran utama dari sel T dan Sel Dendrit dalam adaptive immune response
(Pacheco et al., 2012)
12
Kanker serviks
Kanker leher rahim merupakan kanker nomer dua di dunia setelah
kanker payudara yang banyak diderita oleh wanita terutama di negara
berkembang, sebanyak 85% dari 530.000 kasus kanker serviks baru yang
muncul di dunia (Jemal et al., 2011). Faktor resiko yang berkaitan dengan
insidensi kanker serviks diantaranya riwayat kesehatan seperti merokok, seks
bebas, riwayat penyakit seksual menular, penggunaan kontrasepsi jangka
panjang, dan immunosupresi kronik. Hal tersebut jelas diindikasikan pada
kejadian level molekular yang disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV)
(Walboomers et al., 1999; Bosch et al., 2002; CDC, 2012).
Gambar 5. HeLa cell line dilihat secara mikroskopi (ATCCc, 2014)
HeLa cell line diturunkan dari sel epitel kanker serviks manusia yang
diisolasi pada tahun 1951 dari seorang wanita penderita kanker leher rahim
bernama Henriella Lacks berusia 31 tahun yang berasal dari Baltimore, USA.
Sel HeLa (Henrietta Lacks) adalah tipe sel di dalam barisan sel manusia yang
13
paling tua dan paling umum digunakan dalam penelitian. HeLa cell line cukup
aman dan umum digunakan untuk kepentingan kultur sel (Anonim, 2000).
HeLa cell line diturunkan untuk digunakan dalam penelitian mengenai kanker.
Sel ini berproliferasi secara abnormal dengan cepat dibandingkan dengan selsel kanker lainnya. Sel HeLa memiliki versi aktif dari telomerase sepanjang
pembelahan sel (Ivanković et al., 2007), dimana hal tersebut dapat mencegah
pemendekan incremental dari telomerase yang berimplikasi pada penuaan dan
kematian sel (Blackburn et al., 2009).
Selain itu, keberadaan HPV merupakan faktor krusial pada
perkembangan kanker serviks (Rodriguez et al., 2010). Di negara yang
memiliki insidensi tinggi, prevalensi HPV kronik mencapai 10-20%,
sedangkan pada negara dengan insidensi rendah berkisar antara 5-10% (Parkin
et al., 2005). Mekanisme terjadinya kanker serviks yang disebabkan oleh HPV
melibatkan aksi dari onkogen HPV E6 dan E7. Onkoprotein tersebut
menginaktivasi tumor suppressor genes yang mengoperasikan kunci
checkpoints dalam siklus sel. E6 mengikat p53 yang menyebabkan
ketidakstabilan genomik dan blocking apoptosis yang memfasilitasi sel dengan
DNA yang rusak untuk replikasi. Sedangkan E7 mengikat produk
retinoblastoma gene (Rb) dan anggota-anggota Rb yang menginduksi sintesis
DNA pada keratinosit yang seharusnya menghentikan diferensiasi dan tidak
melakukan replikasi.
14
Gambar 6. Pada lesi prakanker, protein E6 dan E7 terekspresi lebih tinggi dibandingkan
pada lesi tumor yang tidak berbahaya (OncoHealth Corp, 2013)
Pencegahan terhadap infeksi HPV dapat dilakukan dengan imunisasi
menggunakan agen imunisasi yang spesifik jenis HPV atau dengan melakukan
tes Pap smear (Rodriguez et al., 2010; CDC, 2012).
Sel Vero
Sel Vero adalah sel yang diambil oleh peneliti Jepang pada tahun 1962
dari epitel ginjal African Green Monkey (Philips, 2013) dan bukan merupakan
sel kanker (Sheets, 2000). Sel ini sering digunakan sebagai kontrol maupun
objek pengujian pada uji sitotoksik. Pada penelitian yang dilakukan, sel Vero
digunakan untuk merepresentasikan sel normal manusia. Sel ini banyak
digunakan pada berbagai penelitian mengenai virus, bakteri intraseluler, dan
parasit. Selain itu, sel Vero juga digunakan dalam pengembangan vaksin virus
15
influenza (Philips, 2013). Beberapa tipe sel Vero yang sering digunakan yaitu
Vero, Vero 76, dan Vero E6 (ATCCa, 2013; ATCCb, 2013).
Gambar 7. Sel Vero dilihat secara mikroskopi (ATCCd, 2014)
Sel Vero dapat disimpan dalam nitrogen cair atau pada suhu 80oC dalam
waktu yang lama (Ammerman et al., 2009). Stok sel Vero dalam bentuk beku
memerlukan pengembangbiakan sebelum digunakan dalam eksperimen. Selain
itu,
kondisi
steril
dalam
penyimpanan
maupun
penggunaan
perlu
dipertahankan agar tidak terjadi kontaminasi.
F. Landasan Teori
Doksorubisin merupakan salah satu agen antikanker yang masih digunakan
dalam pengobatan kanker serviks karena kemampuannya dalam mempengaruhi
pertumbuhan sel kanker tersebut. Namun, penggunaan jangka panjang dari
doksorubisin dapat menurunkan sistem imun tubuh akibat neutropenia. Tumbuhan
M. tuberosa yang banyak ditemukan di Papua memiliki banyak manfaat empiris
dalam bidang kesehatan, salah satunya sebagai agen imunostimulator. Berdasarkan
16
penelitian sebelumnya, M. tuberosa terbukti dapat meningkatkan proliferasi sel
limfosit dan tidak berefek toksik pada uji toksisitas akut, toksisitas subkronik
maupun terhadap sel Vero. Senyawa golongan fenol dan flavonoid berpengaruh
pada peningkatan proliferasi sel limfosit dan penghambatan pertumbuhan sel
kanker serviks. Kandungan senyawa tersebut terdapat di dalam FNH ekstrak
etanolik gall tumbuhan M. tuberosa. FNH ekstrak etanolik gall tumbuhan M.
tuberosa diharapkan dapat digunakan sebagai terapi pendamping penggunaan
doksorubisin sehingga efek samping berupa penurunan sistem imun tubuh dapat
diperbaiki.
G. Hipotesis
FNH ekstrak etanolik gall tumbuhan M. tuberosa dapat menurunkan efek
samping doksorubisin dengan meningkatkan proliferasi sel limfosit, meningkatkan
efek doksorubisin terhadap sel HeLa, dan tidak mempengaruhi viabilitas sel Vero.
Download