CSR - IPB Repository

advertisement
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1. Konsep Corporate Social Responsibility
Pada dasarnya, konsep CSR berasal dari istilah 3P yang dikemukakan oleh
John Elkington dalam Wibisono (2007) yakni mengenai pengintegrasian konsep
3P (profit, planet, people) dalam kegiatan perusahaan yang berkelanjutan. Kotler
& Lee (2005) dalam Mulyadi (2007) menyebutkan definisi CSR sebagai bentuk
tanggung jawab sosial dan komitmen perusahaan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui penerapan praktek bisnis yang baik serta
melalui pemberian sumbangan sumberdaya yang dimiliki perusahaan.
Definisi mengenai konsep CSR ini juga dikemukakan dalam World
Business Council on Sustainable Development seperti dikutip oleh Pambudi
(2006) dalam Mulyadi (2007), yakni sebagai sebuah komitmen dari bisnis atau
perusahaan untuk berperilaku etis dan berkontribusi terhadap pembangunan
ekonomi yang berkelanjutan, seraya meningkatkan kualitas hidup karyawan dan
keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas. Menurut Hopkins (2004)3,
CSR berhubungan dengan upaya perusahaan memperlakukan stakeholder dari
perusahaan secara etis atau bertanggung jawab. Etis atau bertanggung jawab
berarti memperlakukan stakeholder dengan hormat sebagai masyarakat beradab.
International Organization for Standardization (ISO) sebagai induk
organisasi standarisasi internasional berhasil menghasilkan panduan dan
standardisasi untuk tanggung jawab sosial pada bulan September tahun 2004,
yang diberi nama ISO 26000: Guidance Standard on Social Responsibility. ISO
26000 menjadi standar pedoman untuk penerapan CSR. ISO 26000 mengartikan
CSR sebagai tanggung jawab suatu organisasi yang atas dampak dari keputusan
dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan, melalui perilaku yang
transparan dan etis. Di dalam ISO 26000, CSR mencakup tujuh isu pokok, yaitu:
1. Pengembangan masyarakat;
2. Konsumen;
3. Praktek kegiatan institusi yang sehat;
3
Loc.cit.
5
4. Lingkungan;
5. Ketenagakerjaan;
6. Hak Asasi Manusia; dan
7. Organisasi Kepemerintahan4.
Good Corporate Citizenship dalam pelaksanaannya berfokus pada
kontribusi suatu perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang
mengalami metamorfosis, dari yang bersifat charity menjadi aktivitas yang lebih
menekankan
pada
penciptaan
kemandirian
masyarakat,
yakni
program
pemberdayaan (Ambadar, 2008). Metamorfosis kontribusi perusahaan tersebut
diungkapkan oleh Za’im Zaidi (2003) dalam Ambadar (2008), yaitu dapat dilihat
dalam Tabel 1.
Tabel 1. Metamorfosis CSR
Paradigma
Charity
Motivasi
Agama,
adaptasi
Misi
Mengatasi masalah
setempat
Pengelolaan
Pengorganisasian
Jangka
pendek,
mengatasi masalah
sesaat
Kepanitiaan
Penerima Manfaat
Orang miskin
Kontribusi
Hibah sosial
Inspirasi
Kewajiban
Philantropy
tradisi,
Good
Corporate
Citizenship (GCC)
Norma, etika dan hukum Pencerahan diri dan
universal
rekonsiliasi dengan
ketertiban sosial
Mencari dan mengatasi Memberikan
akar masalah
kontribusi terhadap
masyarakat
Terencana, terorganisasi, Terinternalisasi
dan terprogram
dalam
kebijakan
perusahaan
Yayasan/dana
Keterlibatan baik
pribadi/profesionalitas
dana
maupun
sumberdaya lain
Masyarakat luas
Masyarakat
luas
dan perusahaan
Hibah pembangunan
Hibah (sosial dan
pembangunan serta
keterlibatan sosial)
Kepentingan bersama
Sumber : Za’im Zaidi (2003) dalam Ambadar (2008)
2.1.2. Pandangan Perusahaan Terhadap CSR
Wibisono (2007) menjelaskan bahwa terdapat tiga model cara pandang
perusahaan terhadap CSR, yaitu:
1. Sekedar basa-basi dan keterpaksaan, yaitu pelaksanaan CSR karena faktor
eksternal (external driven). Pemenuhan tanggung jawab lebih karena
4
Sumber: www.csrindonesia.net. Diakses tanggal 4 Februari 2010 pukul 12.05 WIB.
6
keterpaksaan
akibat
tuntutan
daripada
kesukarelaan.
CSR
diimplementasikan sebagai upaya dalam konteks public relation yang
diliputi kemauan meraih kesempatan untuk melakukan publikasi positif
dan untuk meningkatkan citra perusahaan yang didasarkan bukan atas
regulasi CSR dari pemerintah;
2. Sebagai upaya untuk memenuhi kewajiban (compliance), didasarkan atas
adanya regulasi, hukum, dan aturan yang memaksanya. Kewajiban
perusahaan melaksanakan CSR adalah karena adanya market driven
(dorongan pasar/masyarakat dan lingkungan setempat). Pandangan lain
yang sanggup memaksa perusahaan untuk mempraktekkan CSR adalah
adanya penghargaan-penghargaan (reward) yang diberikan oleh segenap
institusi atau lembaga. Misalnya CSR Award baik yang regional maupun
global; dan
3. Beyond compliance atau compliance plus, yakni CSR diimplementasikan
karena memang ada dorongan yang tulus dari dalam (internal driven).
Perusahaan telah menyadari bahwa tanggung jawabnya bukan lagi sekedar
kegiatan ekonomi untuk menciptakan profit demi kelangsungan bisnisnya,
melainkan juga tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Penelitian Mulyadi (2007) menjelaskan bahwa pelaksanaan CSR oleh PT.
Telkom masih memandang CSR sekedar basa-basi, karena pelaksanaan CSR
mereka bertujuan untuk menunjang keberhasilan perusahaan, memperoleh citra
yang baik di mata masyarakat, serta untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Selain itu, terdapat juga kenyataan yang terjadi di lapangan mengenai
program CSR PT. Telkom ini, yaitu mereka hanya bergerak pada lingkup
community service yang hanya bertujuan untuk menyelesaikan masalah sesaat dan
untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek. Hal ini menyebabkan tidak terjadinya
proses kemandirian dari masyarakat penerima program CSR PT. Telkom ini
akibat masyarakat tidak mempunyai akses yang lebih luas terhadap program CSR
PT. Telkom ini.
Penelitian Herlin (2008) mempunyai fakta yang berbeda. Menurut Herlin
(2008), PT. Antam Tbk memandang CSR yang dilaksanakannya sebagai upaya
untuk memenuhi kewajiban (compliance). Hal ini didasarkan atas penerapan CSR
7
yang dilakukan oleh PT. Antam Tbk sesuai dengan ketentuan dari pemerintah
yaitu Keputusan Menteri BUMN No 236/MBU/2003 berupa PKBL (Program
Kemitraan dan Bina Lingkungan). PT. Antam Tbk ini juga mempunyai komitmen
penuh untuk menyejahterakan masyarakat. Salah satu bentuk kegiatan CSR PT.
Antam Tbk ini selain program kemitraan adalah bantuan dana dalam
pembangunan jalan, pelatihan pembukuan keuangan bagi mitra binaan, sunatan
masal yang dilakukan setiap tahun, serta bentuk kerja sama dan bantuan kepada
suatu yayasan yang terletak di sekitar kantor pusat Antam. Berdasarkan kegiatankegiatan tersebut diatas, CSR PT. Antam Tbk selain karena kewajiban/kebijakan
dari pemerintah dalam KEPMEN BUMN, juga merupakan dorongan tulus dari
dalam (internal driven) atau beyond compliance.
2.1.3. Motivasi Perusahaan dalam Pelaksanaan CSR
Motivasi perusahaan terkait CSR adalah sejumlah alasan dari pelaksanaan
kegiatan CSR, diantaranya yaitu feedback yang baik dari para stakeholder untuk
keberlanjutan kegiatan perusahaan. Menurut Susanta (2007), ada beberapa
motivasi perusahaan terkait dengan pelaksanaan CSR, diantaranya sebagai
berikut:
1. Menciptakan brand image dan brand reputation. Image atau reputasi dari
sebuah merek, baik merek produk maupun perusahaan, menjadi semakin
relevan pada masa sekarang, dimana pembelian produk oleh konsumen
semakin dipengaruhi oleh reputasi merek produk maupun perusahaan
pembuat;
2. Mengatasi krisis manajemen. Peningkatan partisipasi aktif masyarakat
dalam kegiatan CSR dapat menciptakan komunitas-komunitas yang bisa
membantu perusahaan mengatasi krisis;
3. Meningkatkan motivasi karyawan dan menarik karyawan berkualitas.
Kualitas perusahaan di bidang CSR dapat menimbulkan dampak positif
di dalam seperti meningkatkan kebanggaan karyawan. Melibatkan
karyawan dalam kegiatan CSR juga dapat meningkatkan kualitas moral
karyawan dan bahkan menarik karyawan berkualitas untuk masuk ke
dalam perusahaan; dan
8
4. Menciptakan inovasi. Perusahaan tidak dapat bertahan tanpa adanya
inovasi. Seringkali inovasi didapatkan dari hubungan yang dibangun oleh
perusahaan
dengan
masyarakat
sekitar
melalui
aktivitas
CSR.
Pemberdayaan masyarakat juga merupakan inovasi yang dapat diciptakan
untuk memperoleh sumber daya yang lebih murah dan efisien.
Penelitian Aprilianti (2009) menjelaskan bahwa motivasi pelaksanaan
CSR PT. Antam Pongkor adalah menciptakan brand image dan brand reputation.
Hal ini dikarenakan pelaksanaan program CSR yang dilakukan oleh PT. Antam
Pongkor dipandang oleh sebagian besar masyarakat semata-mata hanya memberi
bantuan karitatif, yaitu setelah bantuan dana disalurkan, hampir tidak ada bantuan
teknis dari PT. Antam ini. Pelaksanaan CSR PT. Antam Pongkor ini ternyata juga
tidak mempunyai staf tetap yang bertugas mendampingi masyarakat desa (sebagai
pelaksana pengembangan masyarakat profesional). Hal ini mengakibatkan
kegiatan pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh PT. Antam tersebut
tidak banyak meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat hanya sebagai
penerima (recipient) bantuan yang tidak pernah diberdayakan secara individu
maupun sebagai komunitas.
Penelitian Setianingrum (2007) menjelaskan fakta yang berbeda. Menurut
Setianingrum (2007), PT. ISM Bogasari Flour Mills dalam menerapkan CSR telah
menerapkan prinsip partisipasi dan berbasis pemberdayaan. Bahkan konsep CSR
tersebut telah melekat pada kebijakan perusahaan yang merupakan pedoman dari
setiap insan Bogasari dalam menjalankan misi guna meraih visi bersama,
sedangkan CD dianggap sebagai bagian dari aktivitas CSR Bogasari. Hal ini
menjadikan motivasi PT. ISM Bogasari dapat digolongkan dalam kegiatan
menciptakan inovasi.
2.1.4. Strategi Pelaksanaan CSR
Mulyadi (2007) menjelaskan bahwa terdapat empat model strategi
pelaksanaan kedermawanan sebagai upaya tanggung jawab sosial perusahaan
kepada masyarakat dan lingkungan, yaitu:
1. Perusahaan terlibat langsung dan menyelenggarakan sendiri kegiatan
sosialnya tanpa perantara atau bantuan pihak lain, misalnya melalui
9
corporate secretary, public affair, hubungan masyarakat, atau manager
community development;
2. Perusahaan menyelenggarakan bantuan melalui yayasan atau organisasi
sosial yang umumnya sering diterapkan di negara maju;
3. Perusahaan bermitra dengan pihak lain yang dinilai kompeten untuk
menyelenggarakan program kedermawanan misalnya dengan LSM,
universitas, dan media massa; dan
4. Perusahaan membentuk atau bergabung dalam satu konsorsium di mana
perusahaan tersebut ikut serta dalam mendirikan, menjadi anggota, atau
mendukung suatu lembaga sosial yang dilakukan untuk tujuan sosial
tertentu.
Penelitian Sihaloho (2007) menjelaskan bahwa strategi pelaksanaan CSR
PT. Perkebunan Nusantara VII (Persero) Unit Usaha Rejosari adalah bermitra
dengan masyarakat. Namun, kemitraan yang terjalin hanya pada tataran semiproductive, yang bersifat kepentingan jangka pendek dan belum atau tidak
menimbulkan sense of belonging antara perusahaan dengan mitranya. Hal ini
terjadi karena masyarakat masih dianggap sebagai obyek program, sehingga
menimbulkan kurangnya kepercayaan dan ketidaktaatan mitra pada aturan yang
telah disepakati.
Penelitian Febriana (2008) menjelaskan fakta yang berbeda. Menurut
Febriana (2008), strategi pelaksanaan CSR yang diterapkan oleh PT. Indosat
adalah terlibat langsung dan menyelenggarakan sendiri kegiatan CSR-nya.
Namun, strategi ini hanya sampai pada bentuk partisipasi konsultatif, yaitu
masyarakat berpartisipasi dengan cara berkonsultasi tentang permasalahan dan
kebutuhannya, sedangkan pihak perusahaan hanya mendengarkan, menganalisa
masalah, dan pemecahannya. Hal ini menyebabkan belum adanya peluang untuk
pembuatan keputusan bersama antara perusahaan dan masyarakat, serta
perusahaan pun tidak ada keharusan untuk menindaklanjuti pandangan
masyarakat.
10
2.1.5. Strategi Pengembangan Masyarakat
Pengembangan masyarakat (PM) merupakan gerakan yang dirancang
untuk meningkatkan taraf hidup komunitas secara keseluruhan dengan partisipasi
aktif dan inisiatif dari komunitas (Brokensha dan Hodge, 1969 dalam Nasdian
2006). Chin dan Benne (1961) dalam Nasdian (2006) memperkenalkan tiga
strategi pengembangan masyarakat bagi perubahan dan asumsi-asumsi yang
melandasinya. Pilihan strategi tersebut yaitu:
1. Rational-empirical adalah strategi PM yang didasarkan atas pandangan
yang optimistik karena strategi ini mempunyai asumsi dasar bahwa
manusia mampu menggunakan pikiran logisnya atau akalnya sehingga
mereka akan bertindak secara rasional;
2. Normative-reeducative adalah strategi PM yang menekankan pada
bagaimana klien memahami permasalahan pembaruan seperti perubahan
sikap, keterampilan, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan manusia,
sehingga lebih menekankan pada proses pendidikan dibandingkan hasil
perubahan itu sendiri; dan
3. Power-coersive adalah strategi PM yang cenderung memaksakan
kehendak dan pikiran sepihak tanpa menghiraukan kondisi dan keadaan
serta situasi yang sebenarnya dimana program itu akan dilaksanakan,
sedangkan objek utama dari program itu sendiri sama sekali tidak
dilibatkan baik dalam proses perencanaan maupun pelaksanaannya.
Pelaksanaan CSR tidak terlepas dari konsep pengembangan masyarakat.
Seperti yang dijelaskan dalam World Business Council on Sustainable
Development seperti dikutip oleh Mulyadi (2007), yakni CSR sebagai sebuah
komitmen dari bisnis atau perusahaan untuk berperilaku etis dan berkontribusi
terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, seraya meningkatkan
kualitas hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas.
Penelitian Mulyadi (2007) menjelaskan bahwa strategi pengembangan
masyarakat yang dilakukan PT. Telkom dalam pelaksanaan CSR adalah powercoersive, karena masyarakat penerima bantuan program CSR melalui PKBL ini
tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan pada tahap perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi. Proses-proses tersebut dilaksanakan sepenuhnya oleh
11
perusahaan dengan alasan semua proses tersebut telah tercantum dalam kebijakan
perusahaan, sehingga masyarakat tidak mempunyai akses untuk turut serta dalam
pengelolaan program.
2.1.6. Konsep Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat
Penerapan program CSR oleh perusahaan sering kali tidak menjadikan
masyarakat sebagai faktor utama yang menentukan keberhasilan program. Peran
serta masyarakat pun dibatasi hanya pada tahap pelaksanaan saja, sehingga
masyarakat tidak dapat berdaya dan tidak berkembang daya kreatifnya. Akhirnya,
partisipasi menjadi bentuk yang pasif dan tidak memiliki “kesadaran kritis”
(Nasdian, 2006). Payne (1979) dalam Nasdian (2006) menjelaskan bahwa
pemberdayaan ditujukan untuk membantu klien memperoleh daya (kuasa) untuk
mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait
dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam
melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa
percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer
daya dari lingkungannya.
Nasdian (2006) menjelaskan bahwa partisipasi adalah proses aktif, inisiatif
diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka
sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme)
dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Pengertian ini melihat
keterlibatan masyarakat mulai dari tahap pembuatan keputusan, penerapan
keputusan, penikmatan hasil, dan evaluasi (Cohen dan Uphoff, 1980 dalam
Nasdian, 2006). Melihat berbagai pendapat yang ada mengenai pemberdayaan dan
partisipasi di tingkat komunitas dapat dikatakan dua konsep yang erat kaitannya
(Nasdian, 2006). Pendapat ini sejalan dengan Craig dan Mayo (1995) dalam
Nasdian (2006), yaitu “empowerment is road to participation”.
2.1.7. Tingkat Partisipasi Masyarakat
Arnstein (1969) dalam Wazdy (2009) menjelaskan terdapat delapan
tangga partisipasi masyarakat yang kemudian dikenal dengan tipologi Arnstein,
seperti terlihat dalam Tabel 2.
12
Tabel 2. Tingkat Partisipasi Masyarakat
8
7
6
5
4
3
2
1
Citizen control
Delegated power
Partnership
Placation
Consultation
Information
Therapy
Manipulation
Degree of citizen power
Degree of tokenism
Non participation
Sumber: Arnstein (1969) dalam Wazdy (2009)
Manipulation bisa diartikan tidak ada komunikasi apalagi dialog; therapy
berarti ada komunikasi namun masih bersifat terbatas, inisiatif dari pemerintah
dan hanya satu arah; information menyiratkan bahwa komunikasi sudah banyak
terjadi tetapi masih bersifat satu arah; consultation bermakna bahwa komunikasi
telah berjalan dua arah; placation berarti bahwa komunikasi telah berjalan baik
dan sudah ada negosiasi antara masyarakat danpemerintah, masyarakat dapat
memberi saran tetapi tidak memiliki kewenangan menentukan keputusan
(partisipasi semu); partnership berarti suatu kondisi pemerintah dan masyarakat
merupakan mitra sejajar; delegated power berarti bahwa pemerintah memberikan
kewenangan kepada masyarakat untuk mengurus sendiri beberapa keperluannya;
dan citizen control berarti bahwa masyarakat menguasai kebijakan publik mulai
dari perumusan, implementasi hingga evaluasi dan kontrol.
Manipulation dan therapy dikategorikan sebagai non participation;
information, consultation, dan placation dikategorikan sebagai tingkat tokenism
(pertanda) yaitu tingkat peran serta di mana masyarakat di dengar dan
berpendapat, tetapi tidak ada jaminan bahwa pandangan mereka akan
dipertimbangkan oleh pemegang kekuasaan. Peran serta pada tingkat ini memiliki
kemungkinan yang sangat kecil menghasilkan perubahan dalam masyarakat;
partnership, delegated power, dan citizen control dikategorikan dalam tingkat
kekuasaan masyarakat dalam mempengaruhi dan proses pengambilan keputusan
(Arnstein, 1969 dalam Wazdy, 2009).
13
2.1.8. Konsep Pembangunan Berkelanjutan (Sustainability Development)
Menurut Jaya (2004)5, pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan
yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan
generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Untuk mencapai tujuan
tersebut dibutuhkan strategi pelaksanaannya, diantaranya ada empat hal yang
perlu diperhatikan yaitu pemerataan, partisipasi, keanekaragaman, integrasi, dan
perspektif jangka panjang yang diikuti pendekatan secara ideal. Pembangunan
berkelanjutan mencakup berbagai aspek kehidupan yaitu keberlanjutan ekologis,
ekonomi, sosial budaya, politik, serta pertahanan dan keamanan. Sementara itu,
menurut Emil Salim (1990)6, pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan untuk memenuhi kebutuhan dan
aspirasi manusia. Pembangunan yang berkelanjutan pada hakekatnya ditujukan
untuk mencari pemerataan pembangunan antar generasi pada masa kini maupun
masa mendatang.
Sebagaimana hasil KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janerio, Brasil,
pada tahun 1992, yang menegaskan mengenai konsep pembangunan berkelanjutan
(sustainability development) sebagai suatu hal yang bukan hanya menjadi
kewajiban negara, namun juga harus diperhatikan oleh kalangan korporasi.
Konsep pembangunan berkelanjutan menuntut korporasi dalam menjalankan
usahanya untuk turut memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut:
1. Ketersediaan dana;
2. Misi lingkungan;
3. Tanggung jawab sosial;
4. Terimplementasi dalam kebijakan (masyarakat, korporat, dan pemerintah);
5. Mempunyai nilai keuntungan/manfaat)7.
Penelitian Aprilianti (2009) menjelaskan bahwa pelaksanaan CSR PT.
Antam Tbk belum memperhatikan konsep keberlanjutan. Hal ini didasarkan atas
sasaran program CSR yaitu masyarakat, hanya dijadikan sebagai penerima
(recipient) bantuan yang tidak pernah diberdayakan secara individu maupun
5
Askar Jaya 2004, ‘Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development).’
www.rudyct.com/PPS702-ipb/09145/askar_jaya.pdf. Halaman 1. Diakses tanggal l8 Desember
2009 pukul 13.32 WIB.
6
Loc.cit.
7
Sumber: www.csrindonesia.net. Diakses tanggal 4 Februari 2010 pukul 12.05 WIB.
14
sebagai komunitas. Febriana (2008) dalam penelitiannya berpendapat bahwa
pelaksanaan CSR PT. Indosat belum memperhatikan konsep keberlanjutan. Hal
ini didasarkan atas pelaksanaan CSR PT. Indosat hanya berbentuk partisipasi
konsultatif, yaitu masyarakat berpartisipasi dengan cara berkonsultasi tentang
permasalahan dan kebutuhannya, sedangkan perusahaan hanya mendengarkan,
menganalisa masalah, dan pemecahannya. Hal ini mengakibatkan belum adanya
peluang untuk pembuatan keputusan antara perusahaan dan masyarakat, serta
perusahaan tidak ada keharusan untuk menindaklanjuti pandangan masyarakat.
2.1.9. Perubahan Sosial dan Kebudayaan
Soemardjan (1962) menyatakan bahwa konsep perubahan sosial mencakup
bermacam-macam perubahan di dalam lembaga-lembaga masyarakat yang
mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai-nilai, sikap, dan pola tingkah laku
antar kelompok di dalam masyarakat. Teori dan konsep perubahan sosial ini dapat
dibedakan dari perubahan kultural, seperti halnya konsep masyarakat bisa
dibedakan dengan kebudayaan. Perubahan kebudayaan diartikan sebagai
keseluruhan kompleks yang mencakup ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
modal, hukum, adat, dan tiap kemauan serta kebiasaan lainnya, yang didapatkan
oleh manusia sebagai anggota masyarakat, maka setiap perubahan pada salah satu
bagian dari keseluruhan kultural mempunyai satu segi persamaan, yaitu keduanya
menyangkut suatu adaptasi atau perbaikan dalam cara masyarakat memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya (Soemardjan, 1962).
Soekanto (1990) menjelaskan bahwa perubahan sosial dan kebudayaan
terkait dengan penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu
masyarakat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Perubahan kebudayaan dalam
skala kecil seperti perubahan model pakaian, dapat terjadi tanpa mempengaruhi
lembaga-lembaga kemasyarakatan/sistem sosial. Sebaliknya sulit dibayangkan
terjadi perubahan sosial tanpa didahului suatu perubahan kebudayaan. Lembagalembaga kemasyarakatan seperti keluarga, perkawinan, atau negara, tidak akan
mengalami perubahan jika tidak didahului perubahan fundamental di dalam
kebudayaan.
Soekanto (1990) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan sosial terdiri atas faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal.
15
Faktor-faktor internal yakni kondisi atau perkembangan yang terjadi dalam
lingkungan masyarakat yang bersangkutan yang mendorong perubahan sosial.
Faktor-faktor ini mencakup:
1. Faktor demografis (kependudukan), yaitu semua perkembangan yang
berkaitan dengan aspek demografis atau kependudukan, yang mencakup
jumlah, kepadatan, dan mobilitas penduduk;
2. Faktor adanya penemuan-penemuan baru, yaitu adanya penemuan di
kalangan atau oleh warga masyarakat berkaitan dengan suatu alat atau cara
yang selanjutnya diterima penggunaannya secara luas oleh masyarakat,
dan karena itu mempengaruhi perkembangan kehidupan sosial mereka;
dan
3. Konflik internal dalam masyarakat, yaitu pertentangan yang timbul di
kalangan warga atau kelompok-kelompok masyarakat sebagai akibat
adanya
perbedaan
kepentingan
atau
perbedaan
persepsi
yang
dipertahankan oleh masing-masing kelompok.
Faktor-faktor eksternal yaitu kondisi atau perkembangan yang terjadi di
luar lingkungan masyarakat yang bersangkutan, tetapi secara langsung maupun
tidak langsung mempengaruhi perubahan sosial dalam masyarakat yang
bersangkutan. Dalam faktor eksternal, yang terpenting diantaranya adalah
pengaruh lingkungan alam, pengaruh unsur kebudayaan maupun aktualisasi, dan
dapat berupa adanya peperangan yang mengakibatkan terjadinya penaklukan
suatu masyarakat atau bangsa oleh bangsa lain, yang selanjutnya memaksakan
terjadinya perubahan sosial terutama di kalangan bangsa yang kalah perang
(Soekanto, 1990).
Soekanto (1990) menjelaskan bahwa menurut skala pengaruhnya terhadap
kehidupan masyarakat, perubahan sosial memiliki dampak yang luas dan dalam
terhadap kehidupan masyarakat secara keseluruhan dan ada pula perubahan sosial
yang berskala kecil dalam arti pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat secara
keseluruhan relatif kecil dan terbatas. Menurut proses terjadinya, Soekanto (1990)
menjelaskan bahwa terdapat perubahan sosial yang memang dari semula
direncanakan dan dikehendaki (intended change), yaitu proses yang berupa
perintah dan larangan untuk menetralisasikan suatu keadaan krisis dengan suatu
16
akomodasi (khususnya arbitrasi) untuk melegalisasikan hilangnya keadaan yang
tidak dikehendaki, misalnya dalam bentuk program-program pembangunan sosial.
Namun ada pula yang tidak dikehendaki terjadinya atau tidak direncanakan
(unintended change). Soemardjan (1962) menjelaskan unintended change adalah
perubahan yang tidak disengaja, sehingga perubahan-perubahan itu juga tidak
dapat diduga lebih dahulu. Banyak perubahan sosial yang membingungkan
masyarakat, bahkan ditentang oleh banyak orang.
2.1.10. Dampak Program CSR Terhadap Masyarakat Lokal8
Komitmen PT. Riaupulp dalam melaksanakan CSR telah dilakukan sejak
tahun 1999 sampai sekarang. Keberpihakan Riaupulp terhadap CSR mendapatkan
penghargaan dari Menko Kesra berupa Social Empowerment Award tahun 2007.
Komitmen Riaupulp untuk menciptakan masyarakat yang berdaya terlihat melalui
kegiatan-kegiatan CSR-nya. Kegiatan CSR Riaupulp meliputi Community
Empowerment, Care Services (Program Kesehatan Masyarakat dan Pendidikan),
Basic Social Walfare, dan Local Economics and Community Based Business
Development. Salah satu dari program Care Services adalah program pengurangan
angka kematian balita. Program ini merupakan program yang terintegrasi dalam
program kesehatan masyarakat, yang terdiri dari program preventif dan program
kuratif dan telah dijalankan di sekitar 200 desa sekitar daerah operasional
perusahaan yang masih belum terjangkau oleh pemerintah. mengenai usaha
Riaupulp dalam mengurangi angka kematian balita.
Program kuratif diterapkan setiap tahunnya dalam bentuk imunisasi
kepada balita dan anak serta medical check untuk kesehatan ibu hamil. Dengan
adanya program ini, masyarakat semakin mengerti langkah-langkah dan usaha
untuk mendapatkan kehidupan yang lebih sehat. Dalam Program preventifnya,
Riaupulp juga telah bekerjasama dengan UNICEF dalam usaha mencegah
terjadinya Flu Burung, yang telah diikuti oleh sekitar 60 orang dari 104 desa di
sekitar operasional.
Program CSR dalam bidang pendidikan juga dilaksanakan oleh Riaupulp,
seperti program taman bacaan yang bertujuan untuk meningkatkan kreativitas
8
Sumber: http://fotodeka.wordpress.com/2009/01/07. Diakses tanggal 4 Februari 2010
pukul 20.45 WIB.
17
anak-anak. Program taman bacaan ini telah dibangun 100 buah di seluruh Riau,
dengan tiap-tiap taman bacaan mempunyai 200 buah judul buku. Untuk
memaksimalkan pemberdayaan ini, Riaupulp juga merekrut guru/pendidik untuk
bekerja pada taman bacaan ini.
Program pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi juga
dilaksanakan oleh Riaupulp, seperti program pertanian terpadu yang telah
membinan 3.700 petani. Selain itu, Riaupulp juga melakukan kerja sama dengan
kalangan perbankan untuk pinjaman modal kepada mitra binanya. Menurut data
Riaupulp, kredit yang telah dikeluarkan untuk mitra bina adalah Rp1.1 miliar dan
dari program UMKM ini, telah menghasilkan 85 wirausahawan lokal yang
mempekerjakan 1.303 tenaga kerja.
Kaltim Prima Coal (KPC) juga merupakan salah satu perusahaan yang
berkomitmen dalam melaksanakan CSR. Hal ini ditunjukkan perusahaan dalam
mengalokasikan dana US$5 juta setiap tahun bagi aksi corporate social
responsibility (CSR). CSR KPC terdiri dari tujuh program untuk masyarakat
sekitar lokasi usahanya, yaitu pengembangan agribisnis, kesehatan dan sanitasi,
pendidikan dan pelatihan, pembangunan infrastruktur, pengembangan usaha kecil
dan menengah (UKM), pelestarian alam dan budaya, serta penguatan kapasitas
masyarat dan pemerintah. Program-program pemberdayaan masyarakat PT KPC
tersebut diarahkan kepada pengembangan sumber daya alam (SDA) yang
terbarukan serta diselaraskan dengan program pemerintah Kabupaten Kutai
Timur.
Program agribisnis yang telah dilaksanakan KPC adalah membangun 300
hektar untuk penanaman kakao. Masyarakat setempat diberikan bibit, pupuk
sampai kepada pelatihan mengenai penanaman itu. Selain itu, program agribisnis
ini juga membuat kolam udang untuk masyarakat di Desa Muara Bengalon dan
membangun perkebunan pisang dan peternakan ayam di Kampung Kabo. KPC
juga memberikan kredit mikro kepada masyarakat Bengalon dengan total
peminjam tak kurang dari 700 orang. Pembangunan infrastruktur yang telah
dilakukan adalah program irigasi, pembangunan jalan, dan lapangan sepakbola.
18
2.2.
Kerangka Pemikiran
Pada dasarnya, konsep CSR berasal dari istilah 3P yang dikemukakan oleh
John Elkington dalam Wibisono (2007) yakni mengenai pengintegrasian konsep
3P (profit, planet, peolple) dalam kegiatan perusahaan yang berkelanjutan. Hal ini
terkait dengan jenis program CSR yang dilaksanakan, dampak dari pelaksanaan
program CSR tersebut terhadap masyarakat lokal, dan faktor-faktor yang
mempengaruhi proses pelaksanaan program CSR tersebut.
PT. Indocement dalam pelaksanaan CSR-nya dipengaruhi oleh adanya
anggaran khusus tiap tahun, socio demography mapping analize and review, dan
upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan faktor-faktor tersebut
PT. Indocement melaksanakan jenis program CSR seperti community development
(CD) lima aspek yang terdiri dari aspek pendidikan, ekonomi, kesehatan, sosial,
budaya, agama, dan keamanan; dan sustainable development project (SDP) yang
akan berdampak terhadap masyarakat lokal. Dampak program CSR dipengaruhi
oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi motivasi
perusahaan melaksanakan CSR (menciptakan brand image, mengatasi krisis
manajemen, memotivasi karyawan, dan menciptakan inovasi), cara pandang
perusahaan tentang CSR (sekedar basa-basi, compliance, beyond compliance),
strategi pelaksanaan CSR (melaksanakan sendiri CSR-nya, bermira dengan pihak
berkompeten, bantuan yayasan, bergabung dalam konsorsium), dan strategi
pengembangan masyarakat (rational empirical, normative reeducaive, power
coercive). Strategi pengembangan masyarakat ini akan berdampak terhadap
masyarakat lokal, karena terkait prinsip pemberdayaan dan partisipasi. Selain itu,
dampak program CSR ini juga dipengaruhi oleh aspek keberlanjutan proyek dan
proses pelaksanaan CSR.
Faktor eksternal yang mempengaruhi proses pelaksanaan program CSR
diantaranya adalah persepsi masyarakat terhadap program dan perusahaan, serta
karakteristik dan kebutuhan masyarakat. Sikap warga dan pemerintah desa
terhadap program dan perusahaan juga mempengaruhi keberhasilan program CSR.
Gambaran alur pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
19
PT. INDOCEMENT
Jenis program CSR
•
•
•
Faktor Eksternal
Karakteristik
dan
kebutuhan masyarakat
Persepsi
masyarakat
terhadap program
Sikap pemerintah desa
terhadap program
Dampak Program CSR
terhadap masyarakat lokal
•
•
Faktor-faktor yang
mempengaruhi proses
pelaksanaan program CSR
•
•
•
Faktor Internal
Motivasi
perusahaan
tentang CSR
Cara Pandang Perusahaan
tentang CSR
Strategi Pelaksanaan CSR
Strategi
Pengembangan
Masyarakat
Keberlanjutan Program
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Keterangan:
Mempengaruhi
2.3.
Hipotesis Pengarah
1. Program CSR yang dilaksankan oleh PT. Indocement diduga telah
berdampak besar terhadap masyarakat lokal;
2. Program CSR yang dilaksanakan oleh PT. Indocement diduga telah
memberdayakan masyarakat.
3. Implementasi program CSR yang dilaksanakan oleh PT. Indocement
diduga dipengaruhi oleh faktor internal (berasal dari perusahaan, yaitu
motivasi CSR, cara pandang CSR, strategi pelaksanaan CSR, strategi
pengembangan masyarakat, dan keberlanjutan program) dan faktor
eksternal (berasal dari kondisi masyarakat, yaitu karakteristik, kebutuhan,
persepsi, dan sikap pemerintah desa terhadap program).
2.4.
Definisi Konseptual
1. Cara pandang perusahaan tentang CSR adalah segala bentuk pemikiran
hasil informasi (baik dari dalam maupun dari luar perusahaan) yang
didapatkan oleh pihak-pihak yang terkait, yang akan mempengaruhi
keputusan perusahaan untuk melaksanakan kegiatan CSR atau tidak, yang
terdiri dari:
a. External driven adalah pandangan perusahaan mengenai CSR
dipraktekkan karena faktor eksternal;
b. Compliance adalah pandangan perusahaan mengenai CSR sebagai
20
upaya untuk memenuhi kewajiban berdasarkan regulasi maupun
hukum terkait;
c.
Beyond Compliance adalah pandangan perusahaan mengenai CSR
yang diimplementasikan karena memang ada dorongan yang tulus dari
dalam (internal driver).
2. Motivasi perusahaan terkait CSR adalah sejumlah alasan dari pelaksanaan
kegiatan CSR, diantaranya yaitu feedback yang baik dari para stakeholder
demi keberlanjutan kegiatan perusahaan.
3. Pengembangan masyarakat (PM) adalah kegiatan yang dirancang dan
diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat dalam mencapai kondisi
kehidupan yang lebih baik dan berkelanjutan sekaligus sebagai upaya
pemberdayaan
untuk
mendukung
kesejahteraan
dan
kemandirian
komunitas hingga pada generasi berikutnya.
4. Strategi pengembangan masyarakat adalah teknik atau tindakan pilihan
yang telah terprogram dalam rangka mengembangkan masyarakat, yang
terdiri dari:
a.
Rational-empirical adalah strategi PM yang didasarkan atas
pandangan yang optimistik karena strategi ini mempunyai asumsi
dasar bahwa manusia mampu menggunakan pikiran logisnya atau
rasional;
b.
Normative-reeducative adalah strategi PM yang menekankan pada
bagaimana klien memahami permasalahan pembaruan seperti
perubahan sikap, keterampilan, dan nilai-nilai yang berhubungan
dengan manusia, sehingga lebih menekankan pada proses pendidikan
dibandingkan hasil perubahan itu sendiri; dan
c.
Power-coersive adalah strategi PM yang cenderung memaksakan
kehendak dan pikiran sepihak tanpa menghiraukan kondisi dan
keadaan serta situasi yang sebenarnya di mana program itu akan
dilaksanakan, sedangkan objek utama dari program itu sendiri sama
sekali tidak dilibatkan baik dalam proses perencanaan maupun
pelaksanaannya.
21
5. Strategi pelaksanaan CSR adalah teknik atau tindakan pilihan yang telah
terprogram dalam rangka melaksanakan CSR, yang terdiri dari:
a. Keterlibatan
adalah
menyelenggarakan
perusahaan
terlibat
langsung
dan
sendiri kegiatan sosialnya tanpa perantara
atau bantuan pihak lain, misalnya melalui corporate secretary, public
affair, hubungan masyarakat,
atau
manager
community
development;
b. Melalui yayasan atau organisasi adalah perusahaan menyelenggarakan
bantuan melalui yayasan atau organisasi sosial yang umumnya sering
diterapkan di negara maju;
c. Perusahaan bermitra dengan pihak lain yang dinilai kompeten untuk
menyelenggarakan program kedermawanan misalnya dengan LSM,
universitas, dan media massa; dan
d. Perusahaan membentuk atau bergabung dalam satu konsorsium,
dimana perusahaan tersebut ikut serta dalam mendirikan, menjadi
anggota, atau mendukung suatu lembaga sosial yang dilakukan untuk
tujuan sosial tertentu.
6. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi
kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Download