WP/5 /2013 Working Paper SEKURITISASI ASET LEMBAGA PEMBIAYAAN DAN PENGEMBANGAN PASAR SECONDARY MORTGAGE FACILITY DALAM RANGKA PENDALAMAN PASAR KEUANGAN INDONESIA Sri Liani Suselo, Shinta R.I. Soekro, R. Aga Nugraha Desember, 2013 Ke si m p ul an, p en d a p at , da n p an d ang an yan g di s am p ai k an ol eh pe n uli s d al a m p a per ini m er u p a ka n k e si m p ul an, p en d a pat d an pa n da ng an p en ul is d a n b u ka n mer u p a k an k es im p u l an, p en d a pat d an p a nd an ga n r e s mi B an k I nd on e si a. SEKURITISASI ASET LEMBAGA PEMBIAYAAN DAN PENGEMBANGAN PASAR SECONDARY MORTGAGE FACILITY DALAM RANGKA PENDALAMAN PASAR KEUANGAN INDONESIA Sri Liani Suselo, Shinta R.I. Soekro, R. Aga Nugraha Abstraksi Selain sebagai alternatif sumber pembiayaan bagi perekonomian, pasar keuangan yang dalam diyakini mampu meningkatkan efektivitas kebijakan moneter dan sektor riil. Dengan mempertimbangkan kondisi pasar keuangan domestik yang saat ini masih relatif dangkal, salah satu upaya percepatan pendalaman pasar keuangan di Indonesia adalah melalui perluasan instrumen keuangan. Dengan mempertimbangkan jumlah lembaga pembiayaan yang terus mengalami peningkatan dengan piutang yang juga meningkat pesat, penelitian ini akan memfokuskan pada sekuritisasi aset untuk lembaga pembiayaan di Indonesia sebagai salah satu instrumen keuangan. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui potensi implementasi sekuritisasi aset sebagai alternatif pendanaan bagi lembaga pembiayaan serta melihat potensi secondary mortgage facility bagi perbankan di Indonesia; dan (2) mengetahui langkah-langkah yang dibutuhkan untuk mengembangkan sekuritisasi aset di Indonesia, khususnya mortgage backed securities. Penelitian ini menggunakan metode survei dan indepth interview yang kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis statistik deskriptif dan gap analysis. Dalam metode survei digunakan pula alat analisis Maximum Difference. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa minimnya originator (sisi penawaran) telah menyebabkan kurang berkembangnya sekuritisasi aset di Indonesia, baik di pasar primer maupun pasar sekunder. Jika dilihat dari sisi permintaan, potensi implementasi sekuritisasi aset sebagai alternatif pendanaan bagi perusahaan pembiayaan cukup tinggi yang dicerminkan oleh minat yang cukup besar oleh berbagai lembaga keuangan seperti dana pensiun, reksa dana, serta perusahaan asuransi dan bank untuk melakukan sekuritisasi. Jika ditinjau dari sisi penawaran, pengembangan sekuritisasi aset juga menunjukkan potensi yang besar yang dicerminkan oleh semakin meningkatnya jenis pinjaman yang diberikan oleh perusahaan pembiayaan, khususnya untuk pembiayaan konsumen dan sewa guna usaha (leasing) dan kredit KPR yang diberikan oleh bank. Potensi yang besar di sisi permintaan dan sisi penawaran terhadap sekuritisasi aset diharapkan akan mendorong pengembangan pasar sekuritas di Indonesia. Namun, kondisi perusahaan pembiayaan dan bank secara umum saat ini yang memiliki kelebihan likuiditas menjadikan salah satu alasan kurangnya urgensi untuk mengembangkan sekuritisasi aset dewasa ini. Dari penelitian diidentifikasi bahwa terdapat upaya yang perlu dilakukan atau diperbaiki untuk pengembangan pasar sekuritisasi di Indonesia, yaitu (1) mempercepat dikeluarkannya undang-undang yang khusus mengatur sekuritisasi aset; (2) memperbanyak jumlah perusahaan atau bank yang dapat bertindak sebagai originator atau investor, misalnya melalui pemberian insentif (sweetener) kepada calon originator; (3) membentuk special purpose vehicle (SPV) atau meningkatkan peran SPV yang telah ada sehingga dapat membeli tagihan dari originator untuk disekuritisasi dan selanjutnya dijual kepada investor; dan (4) meningkatkan pemahaman masyarakat, khususnya pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan sekuritisasi melalui edukasi dan sosialisasi. Dalam penelitian juga ditemukan bahwa terdapat pandangan yang berbeda antara perusahaan pembiayaan dan bank dengan para pakar mengenai keberadaan lembaga penjamin yang menjamin investor dalam hal terjadi default pembayaran oleh debitur. JEL Classification: G1, G21, Keywords: Financial Market, Financial Intermediary Securities, Mortgage, Mortgage Market, I. 1.1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perekonomian yang maju dan berkembang memerlukan dukungan pasar keuangan yang sehat, likuid, dan efisien. Terdapat dua hal yang menjadi alasan, yaitu pertama, pasar keuangan menjembatani kebijakan moneter dan sektor riil, dan kedua, selain perbankan, pasar keuangan merupakan alternatif sumber pembiayaan bagi perekonomian. Meskipun telah berkembang, pasar keuangan Indonesia masih tertinggal jika dibandingkan negara di kawasan ASEAN lainnya. Tingkat kedalaman pasar keuangan Indonesia masih jauh tertinggal apabila dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand, apalagi dengan Singapura. Data di Bank Indonesia tentang pasar uang rupiah, pasar valuta asing domestik, dan pasar saham menunjukkan masih tipisnya volume transaksi dan masih terbatasnya ketersediaan instrumen pasar keuangan, termasuk untuk instrumen lindung nilai. Oleh karena itu, upaya percepatan pendalaman pasar keuangan sangat diperlukan. Pentingnya percepatan pendalaman pasar keuangan domestik serta sebagai antisipasi tantangan masa depan dan dinamika perekonomian global, terutama antisipasi terjadinya krisis pada masa yang akan datang diperlukan pendalaman pasar keuangan Indonesia yang sehat dan kuat. Pendalaman pasar keuangan domestik yang sehat, kuat, dan berkelanjutan perlu didukung oleh penciptaan produk-produk keuangan yang memiliki keterkaitan terhadap pembangunan sektor riil. Sementara itu, kondisi perekonomian domestik saat ini masih menunjukkan bahwa di tengah ekses likuiditas perbankan Indonesia, pembiayaan perbankan kepada sektor riil yang produktif (seperti kredit investasi) belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Oleh karena itu, perlu dicari sumber pembiayaan selain perbankan yang dapat menjadi alternatif sumber pembiayaan kegiatan produktif. Lembaga pembiayaan merupakan salah satu alternatifnya. Saat ini lembaga pembiayaan di Indonesia berjumlah sekitar 200 perusahaan, suatu jumlah yang relatif cukup besar untuk berperan dalam pembiayaan kegiatan produktif di Indonesia. Seperti diketahui bahwa saat ini alternatif peran lembaga pembiayaan sebagai sumber pembiayaan sektor riil yang produktif masih mengalami kendala mendasar yang berupa keterbatasan modal. Namun, seperti telah dilakukan dalam praktik di negara lain, salah satu upaya untuk mengatasi liquidity shortage di pasar domestik dan internasional dilakukan melalui penciptaan mekanisme sekuritisasi aset karena melalui mekanisme sekuritisasi aset, penerimaan pendapatan pada masa mendatang (future income) akan diterima di depan (net present value) sehingga dapat mengatasi kendala tersebut. Dalam berupaya rangka pendalaman mengembangkan perumahan rakyat/KPR) pasar dengan pasar keuangan sekunder mendirikan pemerintah mortgage PT facility Sarana telah (kredit Multigriya Finansial (SMF). Meskipun demikian, pasar sekunder KPR tersebut relatif masih belum aktif jika dibandingkan dengan pasar skunder negara tetangga seperti Malaysia. Faktor penyebabnya diduga akibat belum kuatnya regulasi yang ada dan ketidaktahuan masyarakat seputar proses sekuritisasi aset. Oleh sebab itu, untuk mengetahui lebih jauh mengenai pemahaman dan animo lembaga pembiayaan bank dan nonbank untuk melakukan sekuritisasi aset, Bank Indonesia berinisiatif melakukan kajian mengenai sekuritisasi aset lembaga pembiayaan dan pengembangan pasar sekunder di Indonesia sebagai bagian dari pendalaman pasar keuangan. Kajian ini sejalan dengan mandat Bank Indonesia sebagai bagian dari pemerintah, Bank Indonesia diberikan mandat pengaturan dan pengawasan makroprudensial untuk menjamin terjaganya stabilitas sistem keuangan, yaitu kondisi institusi keuangan dan pasar keuangan berfungsi secara efektif dan efisien serta mampu bertahan terhadap kerentanan internal dan eksternal. Sistem keuangan yang stabil menjamin alokasi sumber pendanaan atau pembiayaan dapat berkontribusi dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Dengan demikian, keberadaan sekuritisasi aset atau efek beragun aset dipandang akan sangat pembiayaan membantu melalui pasar perbankan modal dalam dengan memperoleh proses likuiditas sekuritisasi aset perbankan berkualitas tinggi. Melalui sekuritisasi aset, perbankan akan terhindar dari maturity mismatch mengingat selama ini pembiayaan bank, khususnya untuk kredit pemilikan rumah (KPR), sebagian masih menggunakan dana jangka pendek, seperti tabungan, deposito, dan giro. 1.2 Perumusan Masalah Penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan berikut. 1. Bagaimana kondisi sekuritisasi aset di Indonesia dewasa ini? Berapa besar potensi lembaga pembiayaan di dalam menyalurkan pinjaman, khususnya pinjaman dalam bentuk kredit investasi melalui mekanisme sekuritisasi aset? 2. Apakah faktor-faktor yang relevan yang dapat mempengaruhi lembaga pembiayaan untuk melakukan sekuritisasi aset? Kebijakankebijakan apa saja yang dapat memfasilitasi pengembangan sekuritisasi aset di Indonesia? 3. Upaya apa saja yang dapat ditempuh dalam rangka mengembangkan pasar sekunder bagi efek beragun aset (EBA) di Indonesia, khususnya bagi EBA kredit perumahan yang dipasarkan di pasar uang di Indonesia? 1.3 Tujuan Penelitian Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh hal-hal sebagai berikut. 1. Mengetahui potensi implementasi sekuritisasi aset sebagai alternatif pendanaan bagi lembaga pembiayaan, dan melihat potensi secondary mortgage facility bagi perbankan di Indonesia. 2. Mengetahui langkah-langkah yang dibutuhkan untuk mengembangkan sekuritisasi aset di Indonesia khususnya mortgage backed securities. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan beberapa manfaat yaitu sebagai berikut. 1. Bagi Bank Indonesia, hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan dalam merancang berbagai kebijakan yang diperlukan sehingga memperkukuh kestabilan sistem keuangan Indonesia dan pendalaman pasar keuangan di Indonesia. 2. Bagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hasil penelitian ini sangat berguna untuk mendapatkan gambaran mengenai kondisi alternatif sumber pembiayaan dan potensi dari lembaga pembiayaan serta untuk merancang kebijakan pendalaman pasar keuangan yang tepat. 3. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya studi tentang sekuritisasi aset lembaga pembiayaan dan pengembangan secondary mortgage facility di Indonesia yang saat ini masih terbatas dan dapat menjadi referensi bagi studi yang lain mengenai sekuritisasi di Indonesia. 1.5 Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri atas enam bab. Setelah Bab I berupa pendahuluan, Bab II menjelaskan tinjauan pustaka yang membahas teori sekuritisasi aset, definisi sekuritisasi aset, pihak-pihak yang terlibat, termasuk fungsi masing-masing dalam sekuritisasi aset, skema pembiayaan sekuritisasi aset, dan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Bab III menjelaskan metodologi penelitian, mencakup pendekatan yang akan dilakukan dalam kajian ini, jenis dan sumber data yang digunakan, serta metode pengumpulan data. Bab IV akan menjelaskan gambaran umum mengenai sekuritisasi aset di beberapa negara. Bab V mengulas gambaran umum mengenai sekuritisasi aset di Indonesia dan hasil survei beserta analisisnya terhadap lembaga pembiayaan di Indonesia, dan Bab VI berisi simpulan dan rekomendasi kebijakan. II. 2.1 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Sekuritisasi Aset Sekuritisasi aset merupakan cara inovatif bagi perusahaan yang melakukan pembiayaan untuk mencari dana di pasar modal dengan menjual pendapat kas (cash flows) dari aset yang dimilikinya (Hu, 2011). Secara spesifik sekuritisasi aset merupakan sekumpulan aset keuangan yang berupa piutang yang dikemas dalam bundel aset, kemudian dijual kepada pihak kedua untuk memenuhi kebutuhan dana. Proses sekuritisasi yang dilaksanakan akan diserahkan kepada satu entitas bisnis yang disebut Special Purpose Vehicle (SPV) (Han dan Gene, 1995 dan Harrell et al., 1997). SPV merupakan entitas bisnis yang sengaja didirikan untuk melakukan proses sekuritisasi yaitu mengonversi aset keuangan yang tidak likuid menjadi sekuritas atau surat berharga yang mudah diperjualbelikan (tradable securities) (Haffner, 2008). Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005, sekuritisasi aset adalah transformasi aset yang tidak likuid menjadi likuid dengan cara pembelian aset keuangan dari kreditur asal dan penerbit EBA, sedangkan menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/4/2005, sekuritisasi aset adalah penerbitan surat berharga oleh penerbit EBA yang didasarkan pada pengalihan aset keuangan dari kreditur asal yang diikuti dengan pembayaran yang berasal dari hasil penjualan efek beragun aset kepada pemodal. Setidaknya dalam Han dan Gene (1995) terdapat empat pihak yang terlibat di dalam sekuritisasi aset, yaitu (1) peminjam (borrower), (2) pemberi pinjaman/penjual aset (originator), (3) pembeli aset (SPV atau grantor trust), dan (4) investor dari sekuritas yang dijamin oleh aset (securities backed by asset). Sementara itu, Fang dan Long (2009) menguraikan seperti yang terdapat pada gambar 1 bahwa perusahaan sebagai originator menjual aset keuangan yang dapat memberikan pendapatan (future cash inflows) kepada perusahaan khusus yang dikenal dengan SPV atau trust. Selanjutnya, SPV mengelompokkan aset keuangan tersebut ke dalam kumpulan aset (pool of assets) dan melakukan credit enhancement terhadap aset-aset tersebut untuk memperoleh rating dari lembaga pemeringkat, dan SPV selanjutnya menerbitkan surat berharga (securities) untuk membiayai pembelian aset keuangan tersebut. 2.2 Kriteria dan Struktur Sekuritisasi Aset Dewi (2006) menguraikan bahwa tidak semua aset dapat disekuritisasi. Ada beberapa karakteristik aset yang dapat disekuritisasi, yaitu (1) cash flow yang dapat diprediksi, (2) rata-rata jatuh tempo minimal satu tahun karena sekuritisasi aset merupakan instrumen pendanaan jangka panjang, (3) tingkat tunggakan yang rendah, (4) amortisasi seluruh pinjaman pokok pada saat jatuh tempo, (5) tingkat keragaman debitur berdasarkan demografi dan geografi, dan (6) jaminan yang memiliki nilai dan manfaat yang tinggi bagi debitur. Dari uraian di atas jelas bahwa aset keuangan yang dapat disekuritisasi tidak terbatas hanya pada fasilitas pembiayaan kredit kepemilikan rumah (mortgage backed securities), tetapi dapat berupa pembiayaan kredit kendaraan bermotor, pembiayaan leasing, piutang perusahaan (account receivables), pembiayaan kartu kredit, bahkan penerimaan premi asuransi (Han dan Gene, 1995; Cummings dan Trainar, 2009; Iacobucci dan Winter, 2005, dan Doherty dan Schlesiinger, 2002). Sama halnya dengan aset yang dapat disekuritisasi, transaksi sekuritisasi aset pun harus memenuhi kriteria, yaitu (1) penerbit adalah suatu badan hukum yang khusus dan hanya melakukan pembelian aset keuangan dan penerbitan EBA dan tidak terkait dengan kreditor asal, (2) penjualan aset keuangan dari kreditor asal kepada penerbit harus memenuhi kriteria penjualan putus (true sale), (3) pengalihan aset keuangan beserta seluruh hak dan jaminan yang melekat pada penerbit atau pemodal harus sempurna secara hukum dan hal itu dikuatkan dengan opini hukum (bankruptcy remoteness), (4) harus ada peringkat yang diberikan lembaga pemeringkat secara khusus yang menyatakan bahwa transaksi ini adalah transaksi sekuritisasi aset, dan (5) aliran arus kas dalam sekuritisasi aset, baik dalam pembelian aset keuangan maupun dalam pembayaran terhadap pokok dan bunga atas EBA tidak melalui penerbit (Dewi, 2006). Menurut Doherty dan Schlesinger (2002), struktur sekuritisasi aset beragun piutang terdiri atas tiga dua model, yaitu (1) pindah tangan (pass through) dan (2) salur bayar (pay through). Pindah tangan adalah aset menjadi milik investor, semua pembayaran piutang diterima investor, bank (atau pihak yang semula memberi pinjaman) tidak lagi mencantumkan piutang dalam neraca mereka, tetapi mereka tetap menerima service fee untuk melayani administrasi piutang, sedangkan salur bayar adalah kepemilikan piutang tetap di tangan perusahaan pemilik piutang, pembayaran piutang langsung disalurkan kepada investor, dan sekuritas tercatat sebagai utang dalam neraca pemilik piutang. 2.3 Manfaat Sekuritisasi Aset Dengan adanya sekuritisasi aset terdapat beberapa manfaat yang dapat diperoleh, baik oleh investor, originator, maupun oleh perekonomian. Dalam Santoso et al (2011) manfaat yang diperoleh investor dari adanya sekuritisasi aset adalah (1) investor dapat berinvestasi pada aset berkualitas, (2) rendahnya default rate karena terbaginya aset piutang ke dalam banyak debitur, (3) sesuai untuk investor dengan kebutuhan pengembalian pokok yang lebih cepat, dan (4) profil rating EBA yang tinggi dapat meningkatkan portofolio investasi secara keseluruhan. Sementara itu, originator memperoleh manfaat berupa (1) meningkatkan likuiditas, (2) memperoleh sumber dana (cost of fund) yang murah, (3) memperbaiki tingkat kecukupan modal, (4) menutupi kesenjangan antara sumber dana dan penggunaan dana, (5) menerima dana lebih awal, (6) memberi kesempatan mengelola dana sehingga meningkatkan hasil investasi, (7) meningkatkan kualitas aset/piutang yang pada gilirannya meningkatkan tingkat solvabilitas, dan (8) dapat menggunakan dana hasil sekuritisasi untuk mengurangi beban utang yang berbunga tinggi. Bagi industri, sekuritisasi aset mempercepat integrasi keuangan dan diversifikasi investor (financial deepening). Integrasi memungkinan modal mengalir di antara pasar dan mampu mengurangi konsekuensi dari shock yang terjadi pada suatu bank lokal dan lembaga keuangan yang lain. 2.4 Potensi Risiko Sekuritisasi Transaksi sekuritisasi aset juga memiliki potensi risiko yang harus diwaspadai. Kasus subprime mortage di Amerika Serikat yang terjadi pada Agustus 2007 merupakan salah satu risiko yang ditimbulkan dari kegiatan sekuritisasi aset. Rendahnya suku bunga di Amerika Serikat dalam periode yang cukup panjang, yaitu di bawah 2% sejak 2001, telah mendorong pertumbuhan kredit yang berlebihan. Guna memperoleh imbal hasil yang lebih tinggi, pemilik modal selanjutnya meningkatkan preferensi risiko dengan membeli aset yang berisiko. Di sisi lain, euforia suku bunga rendah telah memunculkan berbagai produk finansial yang semakin beragam dan rumit salah satunya adalah subprime mortgage. Suku bunga yang rendah tersebut telah meningkatkan minat masyarakat Amerika Serikat yang secara finansial kurang memiliki kemampuan yang memadai untuk membeli rumah murah melalui skema subprime mortgage (KPR murah). Rendahnya kualitas kredit telah menyebabkan gagal bayar yang masif yang selanjutnya menyebabkan banyak lembaga keuangan besar di Amerika Serikat bangkrut dan harus ditutup sehingga muncul krisis keuangan global 2008. Persamalahan lain yang terkait dengan sekuritisasi aset adalah rumitnya prosedur melakukan sekuritisasi karena banyaknya pihak yang akan terlibat dalam kegiatan ini, seperti originator, investors, credit enhancer, underwriter, custodian, special purpose vehicle, dan servicer, di samping juga karena terdapat biaya operasional (financial engineering) yang harus dikeluarkan. Sebagai contoh, untuk mengeluarkan efek beragun aset, PT BNI tbk. memerlukan waktu hampir lima tahun dari awal penandatangan nota kesepahaman antara PT BNI tbk dengan PT Sarana Multigriya Finansial tahun 2005 hingga diterbitkannya efek beragun aset pertama tahun 2009. Sekuritisasi aset juga menjadikan originator (dalam hal ini bank) untuk mengeluarkan biaya operasional tambahan karena institusi ini harus senantiasa melakukan pemonitoran terhadap peminjam (borrower) yang kreditnya telah ditransformasi menjadi efek beragun aset untuk menjamin kualitas kredit si peminjam. Penerbitan sekuritisasi aset atau efek beragun aset ke dalam tranches juga merupakan permasalahan yang dihadapi para investor. Investor yang membeli sekuritisasi aset atau efek beragun aset dengan senior tranche pada umumnya adalah mereka yang memiliki risiko relatif lebih rendah, tetapi dengan perolehan yield yang kecil. Sebaliknya, investor yang membeli junior tranche umumnya adalah mereka yang memiliki risiko relatif lebih tinggi, tetapi memperoleh yield lebih besar. Dalam hal terjadi default atau gagal bayar oleh debitur, investor yang memiliki junior tranche biasanya menerima pembayaran paling akhir dan lebih lama karena penyelesaian untuk sekuritisasi aset biasanya lebih lama. 2.5 Pengertian Pendalaman Pasar Keuangan Menurut Lynch (1996), terdapat lima indikator untuk mengetahui perkembangan sektor keuangan suatu negara, yakni sebagai berikut. 1. Ukuran Kuantitatif (Quantity Measures) Indikator kuantitatif bersifat moneter dan kredit ditujukan untuk mengukur pembangunan dan kedalaman sektor keuangan, seperti rasio uang dalam arti sempit terhadap PDB, dan rasio uang dalam arti luas terhadap PDB. 2. Ukuran Struktural (Structural Measures) Indikator struktural bertujuan untuk menganalisis struktur sistem keuangan dan menentukan pentingnya elemen-elemen yang berbedabeda pada sistem keuangan. Dalam hal ini digunakan rasio-rasio sebagai indikator yaitu rasio uang dalam arti luas terhadap PDB, dan rasio pengeluaran pasar sekuritas terhadap uang dalam arti luas. 3. Harga Sektor Keuangan (Financial Prices) Harga sektor keuangan dapat dilihat dari tingkat bunga kredit dan pinjaman sektor riil. 4. Skala Produk (Product Range) Indikator ini dilihat dari berbagai jenis-jenis instrumen keuangan yang terdapat di pasar keuangan, seperti: produk keuangan dan bisnis (commercial paper,corporate bond, listed equity), produk investasi, produk pengelolaan risiko, dan nilai tukar luar negeri. 5. Biaya Transaksi (Transaction Cost) Biaya transkasi diukur dari spread suku bunga. Sementara itu, Shaw (dalam Ruslan, 2011) mengemukakan bahwa pendalaman keuangan (financial deepening) merupakan akumulasi dari aktiva-aktiva keuangan yang lebih cepat daripada akumulasi kekayaan yang bukan keuangan. Pendalaman keuangan ditunjukkan oleh semakin besarnya rasio antara jumlah uang beredar (M2) dan PDB. Sebaliknya, semakin kecil rasio antara jumlah uang beredar (M2) dan PDB menunjukkan semakin dangkal sektor kuangan suatu negara. 2.6 Penelitian Sebelumnya Loutskina dan Strahan (2009) dalam penelitian yang dilakukan sepanjang 1992--2004 terhadap pasar sekunder mortgage di Amerika serikat menyimpulkan bahwa sekuritisasi dapat mempercepat integrasi keuangan dan memperluas diversifikasi investor. Intergrasi tersebut memungkinkan terjadinya aliran modal di antara pasar keuangan yang ada, baik domestik maupun internasional. Selain itu, sekuritisasi juga mampu memitigasi risiko bagi bank jika terjadi gangguan (shock) pada bank atau lembaga lainnya sehingga terhindar dari dampak sistemik yang dapat ditimbulkannya. Dewi (2006) mengungkapkan hasil studi literatur yang dilakukannya, yaitu bahwa secara umum stagnasi pasar keuangan lokal mengakibatkan terbatasnya akses dunia usaha ke sumber pendanaan di luar perbankan, atau sangat tergantung dari perbankan. Hal itu membawa konsekuensi bahwa ketika suku bunga perbankan naik, dunia usaha yang pada awalnya masih produktif akan mengalami kesulitan keuangan untuk mendapatkan dana murah untuk membiayai kegiatan usahanya. Sekuritisasi aset diyakini sebagai sarana bagi dunia usaha untuk memperoleh sumber pendanaan yang lebih murah. Sekuritisasi aset merupakan transaksi yang bersifat off-balance sheet sehingga tidak akan menaikkan rasio utang terhadap modal. Selain itu, dengan sekuritisasi aset perusahaan tidak akan menanggung beban utang yang lebih besar karena merupakan penjualan aset yang bersifat clean sale sehingga solvabilitas perusahaan dapat meningkat. Han dan Lai (1995) menganalisis biaya dan manfaat sekuritisasi aset pada industri asuransi di Amerika Serikat dan ingin membuktikan mengapa sekuritisasi aset tidak meraih sukses di industri tersebut. Dari hasil empiris yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa untuk melakukan transformasi alur kas (cash flows) dalam asuransi menjadi fixed income asset membutuhkan biaya yang mahal karena adanya ketidakpastian pada alur kas tersebut. Di samping itu, urgensi perusahaan asuransi untuk menggunakan sekuritisasi aset dalam rangka diversifikasi portofolio tidak signifikan sebab hanya sebagian kecil aset pada industri asuransi yang tergolong aset tidak likuid sehingga sejatinya perusahaan asuransi cukup melakukan reasuransi dan tidak perlu sekuritisasi. Lebih lanjut peraturan melarang asuransi untuk menjual produk keuangan lain tanpa didukung oleh dana cadangan. Oleh karena itu, sekuritisasi merupakan barang langka dalam industri asuransi. Tidak hanya Han dan Lai (1995) yang melakukan penelitian pada industri asuransi, Doherty dan Schlesinger (2002) juga melakukan hal yang sama, hanya saja fokus penelitiannya terletak pada pengelolaan risiko perusahaan asuransi. Sekuritisasi menjadi salah satu alat bagi perusahaan asuransi untuk mendekomposisi risiko yang melekat sebagai mekansime untuk lindung nilai (hedging) atas risiko tersebut sehingga pada gilirannya mendorong manajemen risiko yang lebih fleksibel. Cummings dan Trainar (2009) menganalisis kekuatan dan kelemahan reasuransi dan sekuritisasi di dalam mengelola risko yang dapat diasuransikan. Reasuransi dapat dilakukan secara efektif jika risiko relatif kecil, tetapi jika magnitude risiko menjadi lebih besar, sekuritisasi menjadi pilihan bagi perusahaan asuransi sebagai sarana manajemen risiko dan dapat menjadi komplemen atau menjadi substitusi dari reasuransi. Sekuritisasi juga memainkan peran yang penting dalam memberikan keleluasaan kepada perusahaan asuransi untuk mencapai kombinasi yang optimal dalam diversifikasi risiko dan menggeser risiko individu ke pasar modal yang lebih luas, khususnya risiko yang memiliki magnitude besar. Haffner (2008) dalam penelitian yang dilakukan untuk menguji keberhasilan mortgage backed securities (MBSs) atau lebih spesifik disebut residential MBSs (RMBSs) ditemukan bahwa sekuritisasi kredit perumahan (secondary mortgage) pada pasar sekunder di Amerika Serikat tumbuh cukup pesat sejak 1970. Pertumbuhan tersebut bukan disebabkan oleh adanya kompetisi yang sehat di dalam pasar sekunder, tetapi karena peraturan yang melindungi dan subsidi yang diberikan oleh pemerintah. Subsidi diberikan kepada Fannie Mae dan Freddie Max sebagai SPV yang merupakan agen pemerintah berupa pajak rendah, suku bunga rendah, dan konsesi keuangan lainnya. Sekuritisasi aset tidak hanya domain industri keuangan, industri nonkeuangan juga dapat memanfaatkan struktur sekuritisasi aset. Adalah Harrell dan Folk (1994) yang melakukan studi pada industri penyedia jasa kesehatan (healthcare providers) di Amerika Serikat yang melakukan sekuritisasi dari pos penerimaannya (account receivables). Studi dilakukan dari perspektif hukum dan diperoleh hasil bahwa diperlukan infrastruktur yuridis dari sekuritisasi pada healthcare receivables karena sekuritisasi merupakan alternatif sumber pendanaan yang murah. Sebagian besar penyedia jasa kesehatan enggan melakukan sekuritisasi aset atas pos penerimannya karena aturan yang melarang transfer dana pemerintah kepada SPV. Lebih lanjut Harrell et al (1997) menganalisis sekuritisasi pada komoditas minyak, gas, dan sumber daya alam lainnya. Sekuritisasi yang dilakukan adalah terhadap aset energi dan kredit untuk pembangunan dan produksi yang diperoleh perusahaan dari ekspor dan lembaga multilateral. Sekuritisasi menjadi perhatian dari seluruh stakeholder (pengampu kepentingan) pada industri minyak, gas serta sumber daya alam lainnya dan merupakan alternatif di dalam mengakses sumber dana murah melalui sekuritisasi aset. Sementara itu, Long dan Fang (2009) dalam penelitiannya menguji efek kekayaan (wealth effect) pemegang saham terkait dengan sekuritisasi aset di Cina. Hasil empiris ditemukan bahwa sekuritisasi tidak membawa dampak signifikan terhadap kekayaan pemegang saham (stock holders). Penelitian itu membuktikan bahwa perusahaan dan pemerintah seharusnya memahami kondisi pasar dan mempromosikan sekuritisasi aset ketika pasar tenang pengampu kepentingan. dalam rangka memaksimalkan kekayaan III. 3.1 METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pikir Penelitian ini dilakukan dengan latar belakang adanya keinginan untuk mempercepat pendalaman pasar keuangan di Indonesia. Pasar keuangan yang dalam diyakini mampu meningkatkan efektivitas kebijakan moneter dan sektor riil selain sebagai alternatif sumber pembiayaan bagi perekonomian. Kondisi pasar keuangan domestik saat ini masih relatif dangkal sehingga dibutuhkan upaya pendalaman melalui perluasan instrumen keuangan, misalnya melalui sekuritiasi aset. Sekuritisasi aset dapat dilakukan terhadap aset keuangan/piutang perusahaan yang tidak terbatas pada sektor keuangan saja. Namun, penelitian ini akan difokuskan pada sekuritisasi aset pada lembaga pembiayaan di Indonesia. Berdasarkan laporan tahunan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dahulu bernama Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Kementerian Keuangan/Bappepam-LK (2011) disebutkan bahwa jumlah lembaga pembiayaan dari tahun ke tahun terus meningkat dan piutang lembaga pembiayaan pada tahun 2011 tercatat sebesar Rp127,76 triliun atau meningkat 137,6% dalam lima tahun terakhir. Hal itu mendasari dipilihnya lembaga keuangan sebagai objek penelitian. Kajian ini dimaksudkan untuk mengetahui potensi implementasi sekuritisasi aset sebagai alternatif pendanaan bagi lembaga pembiayaan di Indonesia serta untuk menyusun alternatif skema sekuritisasi aset bagi lembaga pembiayaan di Indonesia. Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut, digunakan data dan informasi yang bersumber dari Departemen Statistik dan Moneter Bank Indonesia (DSM/BI) dan OJK (d/h Bapepam LK). Selain itu, dilakukan pula focus group discussion (FGD), indepth interview¸dan survei terhadap perusahaan pembiayaan. Dalam penelitian ini metode analisis yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif dan analisis maximum difference. Kerangka pikir yang digunakan dalam penelitian ini tergambar pada diagram alur di bawah ini. PERUMUSAN MASALAH TUJUAN PENELITIAN LAPORAN DAN DATA DARI BAPPEPAM-LK DAN DEPARTEMEN STATISTIK BI PENDEKATAN PENELITIAN FGD/SURVEI/INDEPTH INTERVIEW/STUDI LITERATUR METODE ANALISIS YANG DIGUNAKAN (Statistik Deskriptif dan Analisis Maxdiff) PENARIKAN KESIMPULAN Gambar 2. Kerangka Pikir Penelitian 3.2 Jenis dan Sumber Data 1. Jenis Data Berdasarkan sifatnya jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif, yaitu data dalam bentuk angka dan dapat dinyatakan dalam satuan hitung. Data kuantitatif dalam penelitian ini berupa data yang terdiri atas modal (modal dasar dan modal disetor), sumber dana, total aset, jenis, dan besarnya kredit yang disalurkan. 2. Sumber Data Berdasarkan sumbernya data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. a. Data primer merupakan data yang secara langsung diperoleh dari objek penelitian, yaitu perusahaan pembiayaan yang masih harus diteliti serta data yang memerlukan pengolahan lebih lanjut. Data tersebut merupakan hasil wawancara dengan pengambil keputusan yang terkait dengan aktivitas usaha pembiayaan, seperti pemilik, direktur, atau manajer terkait. b. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari unit kerja, lembaga, atau instansi terkait yang telah diolah, seperti gambaran umum perusahaan, perkembangan usaha, kegiatan yang dibiayai, sektor usaha yang dibiayai, dan kualitas aset yang dibiayai. Data ini juga dapat diperoleh dengan mempelajari berbagai pustaka dan literatur lain yang memiliki relevansi dengan sasaran penelitian. Data sekunder dalam penelitian ini akan diperoleh dari Departemen Statistik (DSta) Bank Indonesia dan laporan tahunan industri perusahaan pembiayaan yang diterbitkan oleh OJK. 3. Menentukan Populasi dan Sampel Populasi lembaga pembiayaan nonbank sampai dengan Maret 2013 mencapai 197 perusahaan (berdasarkan data Departemen Statistik Bank Indonesia). Jumlah populasi tersebut relatif kecil dan homogen sehingga dalam menentukan target responden pada penelitian ini, digunakan non-probability sampling. Sebagian besar responden survei berlokasi di Jabodetabek dan hanya beberapa responden yang berlokasi di luar Jabodetabek. Responden dipilih berdasarkan purposive random sampling, yaitu responden yang dipilih mewakili lembaga pembiayaan bank dan nonbank yang memiliki portofolio berupa sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring), dan pembiayaan konsumsi. Responden yang dipilih untuk mengisi kuesioner harus memiliki otoritas sebagai pengambil keputusan di perusahaan, seperti pemegang saham, direksi, dan manajer yang kompeten. 4. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dan informasi dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara, Focus Group Discussions, dan studi literatur. a. Wawancara Dalam pengumpulan data penelitian ini akan dilakukan serangkaian tanya jawab dengan pihak perusahaan pembiayaan dengan bantuan kuesioner yang terstruktur yang dioleh dengan menggunakan metode analisis statistika deskriptif. b. Focus Group Discussions (FGD) Pengumpulan data juga dilakukan dengan FGD bersama dengan para pakar seperti Otoritas Jasa Keuangan selaku lembaga yang mengawasi perusahaan yang bergerak di bidang pembiayaan, praktisi di bidang pembiayaan, dan akademisi untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai hasil pengamatan para pakar terkait lembaga pembiayaan. c. Studi Literatur Selain butir a dan butir b di atas teknik pengumpulan data dilakukan dengan membaca dan mempelajari teori dan literatur yang berkaitan dengan objek penelitian, seperti jurnal, disertasi, buku teks, dan materi yang lain dalam bentuk tulisan yang berkaitan dengan lembaga pembiayaan. 5. Metode Analisis Data a. Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif, yaitu metode yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data, menyusun, dan menginterprestasikan sehingga diperoleh gambaran yang jelas terhadap masalah yang diteliti. b. Di samping itu, juga akan digunakan metode analisis maximum difference scaling (maxdiff) yang diperkenalkan oleh Jordan Louviere pada tahun 1990, yaitu teknik pengukuran yang menggunakan jarak maksimum (maximum difference) antarvariabel. Sebagaimana diketahui bahwa metode pengukuran yang lazim digunakan adalah pengukuran dengan 5 skala penilaian. Namun, dalam survei ini juga akan digunakan sistem pengukuran MaxDiff yang bertujuan untuk meningkatkan validitas hasil pengukuran data, terutama data yang berkaitan dengan share of preference atau share of usage jenis-jenis investasi (yaitu sekuritas aset UMKM vs. jenis investasi yang lain). Pengukuran pemeringkatan tingkat data preferensi merupakan atau hal penggunaan yang dengan menyulitkan bagi responden. Terlebih melakukan pemeringkatan terhadap data dalam jumlah yang besar (lima ke atas). Dengan pendekatan MaxDiff, proses itu dipermudah karena responden hanya diminta memilih kelompok kecil hal yang paling dibutuhkan dan yang tidak dibutuhkan. Sebagai contoh untuk kasus survei ini, jenis pertanyaannya akan disusun menjadi sebagai berikut. Manakah di antara pilihan jenis investasi berikut yang paling menarik bagi perusahaan Bapak/Ibu? Manakah di antara pilihan jenis investasi berikut yang paling kurang menarik bagi perusahaan Bapak/Ibu? Sekuritisasi UMKM Danareksa Valas SBI Paling Menarik Paling Kurang Menarik 1 2 3 4 1 2 3 4 aset Pertanyaan ini diulangi untuk menjamin bahwa setiap pilihan jenis investasi yang berbeda telah diperbandingkan. Metode ini tidak hanya berdampak pada meningkatnya validitas data, tapi juga memudahkan dalam hal analisis. Metode pengukuran Maxdiff pada intinya didasarkan pada share choice, yaitu setiap alternatif pilihan memiliki probabilitas tertentu untuk dipilih. Keterangan: i merupakan alternatif pilihan, sedangkan k merupakanah jumlah alternatif pilihan. Dalam teori alternatif j akan dipilih jika setelah dibandingkan dengan alternatif yang lain alternatif tersebut memililik nilai p paling besar. Pendekatan yang dilakukan untuk mendapatkan dugaan paramater v adalah dengan maximum likelihood (ML) atau dengan hierarchical bayes (HB). Untuk survei ini, pendekatan pendugaan parameter akan didasarkan pada metode HB. Metode itu, menurut Louviere, tidak mensyaratkan jumlah sampel banyak, seperti pada ML. Keuntungan pendugaan parameter dengan menggunakan metode HB adalah hasil dugaannya bersifat individual sehingga untuk pendugaan suatu segmen cukup ”menjumlahkan” data dari setiap individu. Hal itu sedikit berbeda dengan metodeML karena setiap segmen memerlukan pendugaan yang berbeda. Hasil analisis yang diperoleh dari metode MaxDiff ini adalah akan diperoleh gambaran dugaan terkait dengan share of demand dari jenis investasi yang diminati investor. 3.3 Ruang Lingkup Penelitian Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan lembaga pembiayaan adalah perusahaan pembiayaan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan. Dalam Pasal 1 huruf (b) disebutkan bahwa Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha di luar Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan. Dengan kata lain, Perusahaan Pembiayaan merupakan badan usaha yang melaksanakan kegiatan usaha dari lembaga pembiayaan. Kegiatan Perusahaan Pembiayaan merupakan sebagian kegiatan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan. Dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Pembiayaan No. disebutkan 84/PMK.012/2006 bahwa Perusahaan Pembiayaan antara lain: a. sewa guna usaha; b. anjak piutang; c. usaha kartu kredit; dan/atau d. pembiayaan konsumen. Sewa Guna Usaha bentuk tentang kegiatan Perusahaan usaha dari Sewa guna usaha (leasing) merupakan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal, baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh penyewa guna usaha (lessee) selama jangka waktu tertentu dengan berdasarkan pembayaran secara angsuran. Kegiatan sewa guna usaha dilakukan dalam bentuk pengadaan barang modal bagi penyewa guna usaha, baik dengan maupun tanpa hak opsi untuk membeli barang tersebut. Pengadaan barang modal dapat juga dilakukan dengan cara membeli barang penyewa guna usaha yang kemudian disewagunausahakan kembali. Sepanjang perjanjian sewa guna usaha masih berlaku, hak milik atas barang modal objek transaksi sewa guna usaha berada pada perusahaan pembiayaan. Anjak Piutang Anjak piutang (factoring) adalah kegaitan pembiayaan dalam bentuk pembelian piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut. Dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan disebutkan bahwa kegiatan anjak piutang dilakukan dalam bentuk piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut. Kegiatan anjak piutang tersebut dapat dilakukan dalam bentuk anjak piutang tanpa jaminan dari penjual piutang (without recourse) atau anjak piutang dengan jaminan dari penjual piutang (with recourse). Anjak piutang without recourse adalah kegiatan anjak piutang yang seluruh risiko ketaktertagihan utang ditanggung perusahaan pembiayaan, sedangkan anjak piutang with recourse adalah kegiatan anjak piutang yang seluruh risiko ketaktertagihan sebagian atau seluruh piutang yang dijual kepada Perusahaan Pembiayaan ditanggung oleh penjual piutang. Usaha Kartu Kredit Usaha kartu kredit (credit card) adalah kegiatan pembiayaan untuk pembelian barang dan/atau jasa dengan menggunakan kartu kredit. Kegiatan usaha kartu kredit dilakukan dalam bentuk penerbitan kartu kredit yang dapat dimanfaatkan oleh pemegangnya untuk pembelian barang dan/atau jasa. Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha kartu kredit, sepanjang berkaitan dengan sistem pembayaran, wajib mengikuti ketentuan Bank Indonesia. Pembiayaan Konsumen Pembiayaan pembiayaan konsumen konsumen untuk dengan (consumer pengadaan finance) barang pembayaran adalah berdasarkan secara angsuran. kegiatan kebutuhan Kegiatan pembiayaan konsumen dilakukan dalam bentuk penyediaan dana untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran. Kebutuhan konsumen yang dimaksud meliputi pembiayaan kendaran bermotor, pembiayaan alat-alat rumah tangga, pembiayaan barang-barang elektronik, dan pembiayaan perumahan. Di samping Perusahaan Pembiayaan, objek lain dalam penelitian ini adalah bank perumahaan. yang menyalurkan kreditnya untuk pembelian IV. GAMBARAN UMUM LEMBAGA KEUANGAN DAN PASAR SEKUNDER MORTGAGE FACILITY DI BEBERAPA NEGARA 4.1 Malaysia Regulator Utama Fungsi Bank Negara Malaysia Menjaga stabilitas moneter dan keuangan dan saat ini tengah mendorong Malaysia menjadi salah satu pusat keuangan syariah (Islamic financial hub). Securities Commission Malaysia Mengatur dan mengawasi aktivitas pasar modal serta melaporkan kepada Menteri Keuangan. Labuan Financial Services Authority Mengatur dan mengawasi pusat bisnis dan keungan Labuan, dan menjadi ketaatan pelaku bisnis terhadap regulasi. Cagamas Berhad Fokus dalam penerbitan surat berharga berupa asset-backed securities (ABS) syariah dan nonsyariah. Perbedaan utama pasar keuangan di Malaysia dibandingkan dengan negara-negara lain adalah penekanannya pada penerapan perbankan syariah (Islamic banking practices). Terdapat lebih dari 100 instrumen keuangan syariah, termasuk sukuk (Islamic bonds) yang berdenominasi mata uang asing. Keuangan syariah masih tetap menunjukkan pertumbuhan yang kuat di Malaysia, terutama di empat area utama, yaitu perbankan syariah, takaful dan re-takaful, pasar uang antarbank dengan prinsip syariah, dan pasar modal syariah. Di samping itu, pasar keuangan di Malaysia juga didukung oleh lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki spesialisasi masing-masing, misalnya spesialisasi pada usaha kecil dan menengah (UKM), impor-ekspor, dan pertanian. Jika dibandingkan dengan negara tetangganya, seperti Indonesia dan Cina, sekuritisasi di Malaysia memainkan peran yang sangat penting. Salah satu lembaga yang memiliki peran penting di dalam mendorong perkembangan sekuritisasi aset di Malaysia hingga maju seperti saat ini adalah Cagamas Berhad atau biasa dikenal dengan National Mortgage Corporation, yang didirikan pada tahun 1986 oleh pemerintah Malaysia. Tujuan pendirian lembaga ini adalah untuk mengembangkan pasar sekunder mortgage facility. Fungsi dan peran Cagamas Berhad ini tidak ubahnya seperti Fannie Mae dan Freddie Mac di Amerika Serikat. Surat berharga yang diterbitkan oleh Cagamas Berhad adalah Cagamas Bonds yang penerbitannya diatur oleh Securities Commission. Obligasi dengan rating triple A (“AAA”) ini mungkin adalah satu-satunya obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan di Malaysia yang mendukung pertumbuhan kepemilikan rumah dengan mengefektifkan fungsi pasar sekunder kredit kepemilikan rumah. Dalam hal pengembangan pasar sekunder tersebut, pemerintah Malaysia menunjukkan komitmen yang kuat dalam mempromosikan sekuritisasi aset, salah satunya adalah pemberian insentif pajak kepada lembaga pembiayaan yang akan melakukan sekuritisasi aset yang berupa pembebasan pembayaran pajak. Tujuan pembentukan Cagamas Berhad oleh pemerintah Malaysia pada tahun 1976 sama dengan ketika pemerintah Indonesia mendirikan SMF. Pemerintah Malaysia ingin mendorong kepemilikan rumah bagi penduduk berpendapatan rendah dan menengah dan hal ini hanya akan terwujud apabila tersedia fasilitas kredit murah. Terdapat empat karakteristik dari mortgage-backed securities (MBS) yang diterbitkan oleh Cagamas Berhad, yaitu sebagai berikut. 1. Purchased with recourse: primary lenders menanggung biaya jika terjadi kegagalan bayar (default) oleh debitur. Meskipun skema pembelian non- recourse telah diperkenalkan pada tahun 1999, sebagian besar bank lebih menyukai menjual kredit mereka dengan recourse untuk menghindari penghapusan kredit yang lancar dari neraca perusahaan. Sampai dengan Desember 2010, 51 persen posisi pembelian adalah pembelian dengan recourse. 2. Repurchase option during interest-review periods: lembaga keuangan diizinkan untuk membeli kembali (repurchase) kredit mereka jika tingkat bunga yang ditetapkan berbeda dengan acuan tingkat bunga yang ditetapkan oleh Cagamas dalam kurun waktu tertentu. 3. Liquid: obligasi Cagamas diklasifikasikan sebagai aset likuid pada neraca perusahaan. 4. Dana yang diperoleh dari penjualan mortgage kepada Cagamas dibebaskan dari persyaratan yang ada dalam perundang-undangan dan persyaratan likuiditas. Ini merupakan insentif yang diberikan kepada bank sebagai originator yang melakukan sekuritisasi aset. Cagamas Berhad memiliki anak perusahaan yang beroperasi mewakilinya, CMBS, untuk menerbitkan RMBS. Ciri utama dari suratsurat utang yang diterbikan oleh Cagamas adalah fixed conventional commercial floating paper, Islamic commercial paper, fixed conventional medium-term notes, dan fixed and floating Islamic medium-term notes. Tipikal obligasi semi-annual mengharuskan minimum jumlah aset yang disekuritisasi sebesar RM 1 juta, sementara itu di pasar sekunder surat berharga yang diterbitkan minimum berdenominasi RM 1000. Selain Cagamas Berhad, dan khususnya anak perusahaannya CMBS, beberapa bank juga melakukan sekuritisasi terhadap aset-asetnya meski dalam jumlah yang tidak signifikan jika dibandingkan dengan yang dilakukan Cagamas Berhad. 4.2 Korea Regulator Utama Fungsi Bank of Korea Mengelola kebijakan moneter, stabilitas keuangan, dan sistem pembayaran di Korea. Financial Supervisory Commission Mengatur, mengawasi, dan menjaga pasar keuangan melalui dua lembaga utama di bawahnya, yaitu Financial Supervisory Service dan Securities and Futures Commission. Korea Securities’ Dealers Association Menjamin perdagangan yang adil dan melindungi investor dengan mengelola pasar obligasi dan mengawasi pelaku di pasar modal. Korea Exchange Market (KRX) Self Regulatory Organisation (SRO) yang mengawasi pasar saham di Korea. Korea Housing Finance Corporation Dalam jangka panjang memfasilitasi tercapainya stabilitas penawaran perumahan dan menangani instrumen lain yang berhubungan dengan perumahan. Setelah dilakukan pemisahan dengan Korea Utara beberapa dekade yang lalu, Korea Selatan menikmati pertumbuhan ekonomi dan saat ini menempati urutan ke-15 negara ekonomi terbesar di dunia. Meskipun demikian, rating kredit pada pasar keuangan Korea masih tetap berfluktuasi walaupun memiliki fundamental ekonomi yang kuat. Hal itu disebabkan oleh adanya ancaman militer Korea Utara. Pada 1997 Korea Selatan mengalami krisis keuangan yang cukup berat sebagai dampak dari krisis keuangan sehingga memaksa negara tersebut meminta bantuan dana kepada Konsekuensi logis yang dihadapi International Monetary Fund Korea Selatan waktu itu (IMF). adalah meluluskan keinginan IMF agar pemerintah Korea Selatan meliberalisasi pasar modal. Penerbitan asset-backed securities (ABS) merupakan salah satu instrumen yang cukup berhasil pascakrisis finansial. Selama periode krisis jumlah kredit macet (non performing loan/NPL) meningkat secara signifikan sehingga pemerintah perlu membuat suatu mekanisme yang dapat mengobati masalah tersebut. Ketika pemerintah Indonesia melakukan pembelian aset dan menjual kembali di pasar dalam rangka menggairahkan perekononian, pemerintah Korea Selatan mendirikan Korea Mortgage Corporation (KoMoCo) yang bertugas untuk membeli mortgage, menyekuritisasinya, dan menjual kredit tersebut kepada masyarakat dengan yield atractive. Pada tahun 1998 pemerintah merilis asset-backed securities law untuk mendorong realisasi restrukturisasi kredit yang diikuti dengan mortgagebacked securities law pada tahun 1999 dan aturan hukum lainnya. Korea Housing-Finance Cooperation (HF) yang didirikan antara tahun 2003—2004 saat ini telah menerbitkan mortgage-backed securities, mortgage-backed bonds, dan student loan-backed securities. Pinjaman kepada pelajar merupakan pinjaman jangka pendek dengan tingkat bunga yang tinggi karena penawaran yang terbatas. Melalui penerbitan surat berharga yang di-back up dengan pinjaman pelajar, pemerintah berharap dapat terus menyediakan pinjaman pelajar dalam jangka panjang dengan tingkat bunga yang rendah. Saat ini, sekuritisasi aset marak dilakukan oleh pihak swasta setelah berlakunya Asset Securitization Act pada 1998. Penerbit utama atau dikenal dengan istilah originator di antaranya adalah perbankan utamanya dan perusahaan berasal dari penerbangan. perusahaan dana Sementara pensiun dan itu, pembeli perusahaan asuransi. Pemerintah Korea Selatan juga memberikan insentif pajak, seperti halnya Malaysia, kepada perusahaan originator yang menerbitkan mortgage backed securities (MBS). 4.3. Amerika Serikat Regulator Utama Fungsi Federal Reserve Menjaga kestabilan harga dan pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan moneter. Department of the Treasury Membantu implementasi kebijakan fiskal, mengatur perdagangan, mengumpulkan pajak, dan mencetak uang atas nama bank sentral. Securities and Commission (SEC) Exchange Mengatur lembaga keuangan di AS secara independen dan mengawasi seluruh transaksi yang terjadi, termasuk instrumen keuangan yang ada seperti saham dan derifatif lainnya. Federal Deposit Corporation (FDIC) Insurance Menjamin simpanan masyarakat di bank serta menjamin legal lending limit sehingga memenuhi aturan yang berlaku. Fannie Mae, Freddie Mac and Perusahaan yang disponsori negara yang memfasilitasi penyaluran kredit Ginnie Mae perumahan di Amerika Serikat dan pengembangan pasar sekundernya. Pada akhir era tahun 1990-an terjadi kebangkrutan industri dotcom di Amerika Serikat yang berimbas pada turunnya kepercayaan konsumen terhadap perekonomian Amerika Serikat. Dalam rangka mendorong agar perekonomian kembali bergairah, The Fed menempuh kebijakan menurunkan suku bunga sembilan kali pada tahun 2001 hingga mencapai level terendah sepanjang empat dekade. Rendahnya suku bunga mendorong masyarakat untuk mengajukan kredit, termasuk kelompok yang sebelumnya tidak layak meminjam (subprime) ikut mengajukan kredit perumahan. Selanjutnya investment bank mengemas kredit tersebut menjadi sekuritas dan menjualnya kepada investor yang berharap memperoleh return yang tinggi. Permintaan kredit perumahan terus meningkat hingga pertengahan tahun 2000-an dan bank tetap menyediakan pembiayaan kepada debitur subprime tersebut. Kejadian yang tidak dapat dihindari akhirnya terjadi, yaitu debitur subprime tidak dapat membayar cicilan utang seiring dengan tren meningkatnya suku bunga akibat perekonomian AS yang overheating. Meningkatnya jumlah penawaran rumah dan menurunnya daya beli masyarakat menekan harga rumah menjadi lebih murah dan puncaknya pada tahun 2007 terjadi bubble burst pada industri properti residensial di AS. Kegagalan bayar debitur perumahan tersebut akhirnya berimbas pada kegagalan pasar derivatif kredit perumahan tersebut. Investment bank yang memiliki eksposur residential mortgage-backed securities (RMBS) mengalami kerugian yang besar karena investor tidak tertarik lagi untuk membelinya. Pemegang terbesar RMBS adalah Fannie Mae dan Freddie Mac, keduanya merupakan perusahaan yang dibentuk pemerintah AS untuk mendorong kepemilikan rumah murah. Akhirnya, pemerintah AS harus mengeluarkan dana talangan sebesar USD 100 miliar. Fannie Mae (Federal National Mortgage Association) dan Freddie Mae (Federal Home Mortgage Corporation) merupakan perusahaan publik yang memiliki sejumlah pemerintah. pemegang Terdapat tiga saham, tetapi karakteristik tetap yang didukung membedakan oleh kedua perusahaan tersebut dengan perusahaan publik lainnya, yaitu mendapat pengecualian untuk tidak melapor kepada pengawas pasar modal (SEC)-dikecualikan dari kewajiban membayar pajak--dan memperoleh fasilitas kredit dari pemerintah. Akibat kejadian great depression, Presiden Franklin D. Roosevelt mendirikan Fannie Mae untuk memfasilitasi ketersediaan likuiditas bagi perbankan yang mengalami default akibat debitur yang tidak dapat membayar. Setelah mengetahui Fannie Mae didukung oleh pemerintah, bank mulai tidak berhati-hati dalam memberikan kredit, bahkan berani memberi pasar perumahan booming karena kelompok masyarakat yang sejatinya tidak mampu untuk membeli rumah dapat membeli rumah. Pada 1968, untuk mengurangi beban fiskal pemerintah, Fannie Mae akhirnya menjadi perusahaan publik. Untuk mencegah praktik monopoli oleh Fannie Mae, pada 1970 pemerintah mendirikan Freddie Mac dan menjadikannya perusahaan publik pada 1989. 4.4 Inggris Regulator Utama Fungsi Bank of England Mengatur kebijakan moneter, termasuk menetapkan aturan mikroprudensial dan makroprudensial melalui komite di BoE atau dikenal dengan Financial Policy Committee. Financial Conduct Authority Melindungi konsumen, mengawasi lembaga keuangan, dan menjamin kompetisi berjalan sehat dan berupaya untuk menciptakan pasar keuangan yang efektif dan efisien. Prudential Regulation Authority Mengawasi keamanan dan kinerja bank dan lembaga keuangan lainnya untuk mencegah risiko sistemik. Inggris merupakan tempat bagi lembaga-lembaga keuangan besar seperti HSBC dan Barclays dan London merupakan salah satu pusat keuangan terbesar di dunia. LIBOR (London Interest Bank Offered Rate) masih menjadi suku bunga acuan yang penting bagi pasar uang antarbank di dunia. Pada Desember 2009, Debt Management Office di Inggris mengimplementasikan skema penjaminan asset-backed securities (ABS) dengan aturan yang ketat. Tujuan utamanya adalah mendukung perekonomian, memperbaiki akses pada pasar keuangan, dan melindungi para pembayar pajak. Denominasi ABS hanya dalam poundsterling dengan rating “AAA” dan diterbitkan di pasar modal London, Irlandia, dan Luksemburg serta dijamin oleh pemerintah Inggris. Penerbit RMBS yang utama di Inggris biasanya memiliki struktur sama dengan sekuritisasi pada kartu kredit yang memiliki master trust. Kredit lama akan diamortisasi, sedangkan kredit baru akan ditambahkan ke dalam sekumpulan aset yang akan diputar kembali. Terdapat pula sekumpulan peraturan yang cukup kompleks yang mengatur sekuritisasi tersebut. Terdapat karakteristik tertentu dari RMBS yang diterbitkan di Inggris. Tidak seperti sekuritisasi di Amerika Serikat, di Inggris kredit perumahan merupakan recourse debt. Peminjam tidak dapat menikmati manfaat pajak apa pun, tetapi harus membayar capital gain pajak setiap kali membayar cicilan utangnya sampai dengan 5 tahun. Secara khusus kredit perumahan biasanya berjangka waktu jatuh tempo 25 tahun dengan amortisasi menggunakan tingkat bunga tetap pada 2--3 tahun pertama, sesudah itu suku bunga akan bervariasi. Kredit perumahan di Inggris juga tidak menerapkan prepayment penalty. Sebagai bagian dari Uni Eropa, perubahan dalam peraturan yang ditetapkan Uni Eropa akan mempengaruhi Inggris. Pada Mei 2013 European Central Bank (ECB) mengumumkan bahwa dalam rangka membuka akses pembiayaan kepada usaha kecil dan menengah (UKM), ECB akan bekerja sama dengan European Investment Bank (EIB) untuk mengimplementasikan ABS pada UKM tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa sekuritisasi memiliki manfaat yang besar bagi perekonomian. V. ANALISIS HASIL PENELITIAN Untuk mencapai dua tujuan penelitian ini, yaitu (1) mengetahui potensi implementasi sekuritisasi aset sebagai alternatif pendanaan bagi lembaga pembiayaan serta melihat potensi secondary mortgage facility bagi perbankan di Indonesia dan (2) mengetahui langkah-langkah yang dibutuhkan untuk mengembangkan sekuritisasi aset di Indonesia, khususnya mortgage backed securities, dalam bab ini akan dilihat lebih dalam potensi sekuritisasi aset di Indonesia ditinjau dari sisi permintaan (demand side) dan dari sisi penawaran (supply side) dengan menggunakan gap analysis. Sebelum membahas mengenai sisi permintaan, penawaran, dan gap analysis, terlebih dahulu akan dibahas mengenai kondisi pasar sekuritisasi di Indonesia yang meliputi peraturan dan ketentuan sekuritisasi aset, perkembangan penerbitan sekuritisasi di Indonesia, dan perkembangan kegiatan perusahaan pembiayaan. 5.1 KONDISI SEKURITISASI ASET DI INDONESIA 5.1.1 Peraturan dan Ketentuan Sekuritisasi Aset Di Indonesia undang-undang tentang sekuritisasi masih dalam bentuk rancangan (RUU) yang disusun pada tahun 2005 dan saat ini tengah diajukan ke DPR. Regulasi terkait sekuritisasi saat ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, khususnya Pasal 5 butir p dan Pasal 30 ayat (2) (lihat Lampiran). Peraturan yang berkaitan dengan sekuritisasi di Indonesia pertama kali dikeluarkan oleh Bapepam (saat ini berubah nama menjadi Otoritas Jasa Keuangan) pada tahun 1997 yang dikenal dengan nama Kontrak Investasi Kolektif–Efek Beragun Aset (KIK-EBA) dimana yang telah mengalami revisi pada tahun 2002 dan 2003. Berdasarkan keputusan Ketua Bapepam No. KEP- 28/PM/2003 disebutkan bahwa KIK-EBA adalah kontrak antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat Efek Beragun Aset, yaitu Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolo investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan penitipan kolektif. Kegiatan perdagangan KIK-EBA diatur lebih lanjut dalam Lampiran Keputusan Ketua Bapepam berikut ini (ketentuan lebih terperinci dapat dilihat pada Lampiran): a. Peraturan Bapepam Nomor V.G.5 tentang Fungsi Manajer Investasi berkaitan dengan Efek Beragun Aset; b. Peraturan Bapepam Nomor VI.A.2 tentang Fungsi Bank Kustodian berkaitan dengan Efek Beragun Aset; c. Peraturan Bapepam Nomor IX.C.9 tentang Pernyataan Pendaftaran dalam Rangka Penawaran Umum Efek Beragun Aset; d. Peraturan Bapepam Nomor IX.C.10 tentang Pedoman Bentuk dan Isi Prospektus dalam Rangka Penawaran Umum Efek Beragun Aset; e. Peraturan Bapepam Nomor IX.K.1 tentang Pedoman Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset, dan f. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-147/PJ/2003 tanggal 13 Mei 2003 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset dan Para Investornya. Selain dasar hukum EBA sebagaimana disebutkan di atas, Bank Indonesia juga mengatur kegiatan sekuritisasi yang dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 7/4/PBI/2005 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Aktivitas Sekuritisasi Aset bagi Bank Umum. Adapun aspek penting dalam Peraturan Bank Indonesia tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 1. Peraturan Bank Indonesia No. 7/4/PBI/2005 5.1.2 Perkembangan Penerbitan Sekuritisasi di Indonesia Perusahaan-perusahaan di Indonesia yang telah menjadi originator, tetapi melakukan sekuritisasi di luar negeri, yaitu: a. Citibank NA, Cabang Jakarta telah melakukan sekuritisasi atas tagihan kartu kreditnya pada tahun 1995 sampai dengan 1997; b. PT Astra Sedaya Finance melakukan sekuritisasi tagihan kredit kendaraan bermotornya pada bulan Juni 1996; c. PT Bunas Finance Indonesia Tbk melakukan sekuritisasi tagihan kredit kendaraan bermotornya pada bulan Februari 1997; d. PT Astra International Tbk melakukan sekuritisasi tagihan kredit mobilnya pada bulan Juni 1997; e. PT Bank Bira Tbk melakukan sekuritisasi tagihan kredit kendaraan bermotornya pada bulan Maret 1997; f. PT Bank International Indonesia melakukan sekuritisasi tagihan kartu kredit mendatangnya pada bulan Juli 1997; g. PT Putra Surya Multidana Tbk melakukan sekuritisasi tagihan kredit mobil dan sepeda motornya pada bulan Oktober 1997; dan h. PT Kaltim Prima Coal melakukan sekuritisasi tagihan ekspor mendatangnya pada tahun 2004. Sementara itu, perusahaan di Indonesia yang telah menjadi originator dan disekuritisasi di dalam negeri baru PT Bank Tabungan Negara Tbk. BTN telah melakukan sekuritisasi tagihan hipotik sejak 2008 hingga 2012 yang besarnya masing-masing Rp111 miliar pada bulan Februari 2009 (transaksi ke-1) dengan coupon rate 13%, Rp391 miliar pada bulan November 2009 (tansaksi ke-2) dengan coupon rate 11%, Rp750 miliar pada bulan Desember 2010 (transaksi ke-3) dengan coupon rate 9,25%, Rp703 miliar pada bulan November 2011 (transaksi ke-3) dengan coupon rate 8,.75%, dan Rp1 triliun pada tahun 2012 (transaksi ke-4) dengan coupon rate 7,75%. Sumber: PT Bank BTN Tbk. Gambar 3. Perkembangan Transaksi Sekuritisasi BTN 5.1.3 Perkembangan Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Jika ditinjau dari kegiatannya, total aset perusahaan pembiayaan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tercatat total aset perusahaan pembiayaan pada tahun 2007 sebesar Rp127,26 triliun meningkat menjadi Rp341,57 triliun pada akhir 2012 dan terus meningkat menjadi Rp391,57 triliun pada triwulan III/2013 atau meningkat sebesar 67,5% sejak tahun 2007. Hal itu merupakan suatu peningkatan yang sangat signifikan. Sumber : Indikator Terkini Ekonomi dan Moneter, Oktober 2013 Grafik 1. Total Aset Perusahaan Pembiayaan Jika dilihat dari kegiatan usahanya, tampak bahwa pembiayaan yang diberikan oleh perusahaan pembiayaan setiap tahunnya yang terbesar diperuntukkan pembiayaan konsumen, yaitu sebesar 63% posisi akhir 2012 yang diikuti oleh pembiayaan untuk sewa guna usaha (35%). Sementara itu, pembiayaan untuk anjak piutang masih amat sangat kecil (2%) dan pembiayaan untuk kartu kredit hampir sama sekali tidak ada (Grafik 2 dan 3). Sumber : Hasil survei dan Moneter, Oktober 2013 Sumber : Indikator Terkini Ekonomi Grafik 2. Sementara Grafik 3. itu, dalam melakukan kegiatan usahanya, perusahaan pembiayaan memberikan pembiayaan dengan bersumber dari pinjaman dalam negeri dan luar negeri. Tercatat lebih dari separuh pinjaman perusahaan pembiayaan bersumber dari dalam negeri (59%) dan sisanya sebesar 41% berasal dari pinjaman luar negeri. Dari jumlah tersebut sebagian besar berupa pinjaman dari perbankan (Grafik 4 dan Grafik 5). Khusus perusahaan pembiayaan yang terafiliasi dengan bank, umumnya mereka memperoleh pinjaman dari banknya. Pinjaman Yang Diterima Oleh Perusahaan Pembiayaan Pinjaman Yang Diterima Perusahaan Pembiayaan Lainnya 7% Pinjaman Luar Negeri 41% Pinjaman Dalam Negeri 59% Posisi Desember 2012 Sumber: Hasil survei Grafik 4. Bank 93% Posisi Desember 2012 Sumber : Hasil survei Grafik 5. Pinjaman yang Diterima oleh Perusahaan Pembiayaan Pinjamn Diterima oleh Perusahaan Pembiayaan (Luar Negeri dan Dalam Negeri) (Bank dan Lainnya) yang 5.2 Potensi Sekuritisasi Ditinjau dari Sisi Permintaan (Demand Side) Potensi dari sekuritisasi ditinjau dari sisi permintaan dapat didekati--salah satunya--melalui banyaknya investor yang ingin membeli KIK-EBA. Menurut hasil FGD dengan PT Danareksa Investment Management, dikemukakan bahwa saat ini banyak investor yang merasa tidak puas dengan suku bunga yang rendah karena mereka memiliki target aktuari yang masih tinggi. Kondisi tersebut telah mendorong investor untuk mencari alternatif atau outlet investasi yang lain. Sekuritisasi aset dipandang merupakan alternatif investasi yang lain di samping obligasi dan saham. Dengan memperhitungkan aset lembaga keuangan seperti Dana Pensiun, Reksa Dana, serta Asuransi dan Bank yang tercatat sebesar Rp750 triliun, tampak bahwa minat lembaga tersebut untuk melakukan investasi pada KIK-EBA cukup tinggi, yaitu sebesar Rp480 triliun dengan asumsi 20% dari aset lembaga tersebut digunakan untuk melakukan investasi pada KIKEBA dikurangi dengan yang outstanding sebesar Rp1,5 triliun (Tabel 2). Minat yang cukup besar untuk berinvestasi oleh Dana Pensiun kemungkinan didorong oleh Peraturan Pemerintah yang baru yang memperkenakan Dana Pensiun dapat menginvestasikan dananya pada surat berharga dengan peringkat Triple A (“AAA”) maksimal 20% dari total dana yang dikelola. Tabel 2. Perkiraan Investasi Pada EBA oleh Beberapa Lembaga (triliun Rp.) Perkiraan Maksimum Investasi Pada EBA [asumsi 20% aset] Lembaga Aset Dana Pensiun Reksa Dana Asuransi Bank TOTAL 160 32 270 320 54 64 330 480 Sumber: bahan FGD PT Dana Reksa Investment Mgt. 15 Maret 2013 Selain melihat jumlah investor yang potensial, potensi sekuritisasi ditinjau dari sisi permintaan dapat pula didekati dengan mengukur jumlah emiten dan nilai saham maupun obligasi yang diterbitkan. Jika dilihat dari perkembangan saham dan obligasi di pasar perdana, tampak bahwa penerbitan kedua instrumen pasar modal tersebut terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, baik dalam jumlah penerbit (emiten) maupun nilainya (Grafik 6.). Jumlah emiten di pasar saham meningkat dari 173 emiten pada tahun 2007 menjadi 221 emiten pada Oktober 2013 atau meningkat sebesar 21,2%. Sementara itu, jumlah emiten di pasar obligasi meningkat dari 468 emiten pada tahun 2007 menjadi 594 emiten pada Oktober 2013 atau meningkat sebesar 21,7%. Grafik 6. Jumlah Emiten dalam Pasar Saham dan Obligasi Perdana Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia Jika ditinjau dari nilainya, pasar saham mengalami peningkatan dari Rp327,94 triliun pada tahun 2007 menjadi Rp624,88 triliun pada bulan Oktober 2013 atau meningkat sebesar 47,5% (Grafik 7). Sementara itu, pasar obligasi mengalami peningkatan nilai dari Rp133,92 triliun pada tahun 2007 menjadi Rp376,44 triliun pada bulan Oktober 2013 atau meningkat sebesar 64,4%. Grafik 7. Nilai Saham dan Obligasi (Perdana) Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia Peningkatan dalam jumlah emiten dan nilai--baik untuk pasar saham maupun pasar obligasi--menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan permintaan yang meningkat terhadap instrumen di pasar modal. Dengan demikian, terdapat peluang bagi sekuritisasi untuk berkembang sebagai instrumen lainnya di pasar modal. Grafik 8. Perkembangan Deposito Rupiah Sumber : Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia Potensi pengembangan sekuritisasi aset dapat pula dilihat dari perkembangan simpanan deposito rupiah di bank. Simpanan deposito rupiah yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (lihat grafik 8) menunjukkan potensi permintaan KIK-EBA. Dalam hal tingkat pengembalian (return) deposito dinilai tidak lagi menguntungkan, KIK-EBA dapat menjadi alternatif investasi yang menguntungkan bagi deposan (flight to higher return). 5.3 Potensi Sekuritisasi Ditinjau dari sisi penawaran (Supply Side) Jika ditinjau dari sisi penawaran, potensi sekuritisasi di Indonesia dapat didekati dengan melihat jenis pembiayaan yang diberikan oleh perusahaan pembiayaan yang dapat disekuritisasi. Jenis pembiayaan yang dapat disekuritisasi oleh perusahaan pembiayaan adalah pembiayaan konsumen yang diikuti dengan sewa guna usaha dengan pertimbangan kedua jenis pembiayaan tersebut adalah yang paling besar disalurkan oleh perusahaan pembiayaan dan memiliki kecenderungan terus meningkat (Grafik 9). Khusus untuk pembiayaan konsumen, hanya pembiayaan dengan jangka waktu menengah dan panjang yang sebaiknya disekuritisasi. Hal itu didasarkan pada pengalaman BTN yang melakukan sekuritisasi aset atas tagihan KPR-nya minimal dua tahun guna melihat track record dari nasabahnya. Grafik 9. Pembiayaan Jenis Pinjaman yang Disalurkan Perusahaan Di samping itu, potensi sekuritisasi dapat pula dilihat dari daya tarik dan minat perusahaan pembiayaan terhadap sekuritisasi. Semakin besar daya tarik originator terhadap sekuritisasi diharapkan semakin besar pula perusahaan pembiayaan untuk melakukan sekuritisasi. Hasil survei menunjukkan bahwa 52% responden survei, khususnya perusahaan besar, memandang bahwa pembiayaan melalui sekuritisasi aset cukup menarik dan bahkan 16% responden khususnya perusahaan yang memiliki aset sedang berpendapat sangat menarik (Grafik 10). Sementara itu, bank sangat tertarik terhadap sekuritisasi yang ditunjukkan dengan lebih dari 60% responden bank menyatakan ketertarikannya. Grafik 10 Minat untuk melakukan Sekuritisasi Aset Sumber : Hasil survei Apabila ditinjau lebih jauh minat untuk melakukan sekuritisasi, hanya separuh (55%) responden perusahaan pembiayaan yang menyatakan berminat (termasuk yang sangat berminat), sedangkan sisanya 45% belum atau kurang berminat terhadap sekuritisasi aset. Demikian pula mayoritas responden bank (lebih dari 60%) menyatakan kurang berminat atau tidak berminat. Sementara itu, sebesar 67% perusahaan pembiayaan yang terafiliasi menyatakan sangat berminat terhadap sekuritisasi, angka yang cukup signifikan. Tingginya minat melakukan sekuritisasi karena sekuritisasi dianggap sebagai alternatif sumber pembiayaan untuk mengatasi shortage funding serta memberikan yield yang tinggi (Grafik 11 dan Grafik 12). SUMBER : HASIL SURVEI GRAFIK 11. URUTAN ASPEK SEKURITISASI ASET YANG SUMBER : HASIL SURVEI GRAFIK 12 URUTAN MANFAAT SEKURITISASI DIPANDANG Di sisi MENARIK lain, responden ASET yang menyatakan kurang tertarik dengan sekuritisasi aset disebabkan terutama oleh belum adanya kepastian hukum dalam bertransaksi dengan menggunakan sekuritisasi aset di Indonesia. Selain itu, masih adanya kelebihan likuiditas dan kemungkinan kesulitan dalam pengelolaan administrasi sekuritisasi aset menjadi alasan lain kurang atau tidak berminatnya responden terhadap sekuritisasi aset. Sementara itu, untuk melihat potensi pengembangan sekuritisasi aset dari sisi penawaran dapat pula dilihat dari besarnya kredit kepemilikan rumah (KPR) yang diberikan oleh perbankan. Dari gambar di bawah ini tampak bahwa penyaluran kredit KPR oleh perbankan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (Grafik 13). Tercatat KPR yang diberikan oleh bank meningkat lebih dari dua kali lipat selama lima tahun terakhir. Posisi KPR yang signifikan mencapai Rp276,96 triliun pada bulan Oktober 2013 menunjukkan bahwa terdapat potensi yang cukup besar bagi perbankan untuk menyekuritisasi piutang KPR-nya. Dalam hal ini apabila mengacu pada BTN yang telah melakukan sekuritisasi sebesar 1% atas asetnya, potensi KPR yang dapat disekuritisasi mencapai Rp2,8 triliun. Grafik 13. Penyaluran Kredit Pemilikan Rumah oleh Perbankan Kredit Pemillikan Rumah yang Diberikan Bank -Bank 300,000 250,000 200,000 150,000 miliar Rp. 100,000 50,000 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Okt 2013 Sumber : Indikator Terkini Ekonomi dan Moneter Oktober 2013 5.4 Gap Analysis dan Pengembangan Sekuritisasi Aset di Indonesia Dari uraian di atas, penulis mencoba untuk menuangkan hal atau upayaapa saja yang perlu diperbaiki atau dipenuhi ke dalam matriks gap analysis sebagaimana tersebut di bawah ini. Upaya yang perlu dilakukan dalam rangka mengembangkan pasar sekuritisasi di Indonesia meliputi (lihat matriks) hal berikut. 1. Mempercepat dikeluarkannya undang-undang tersendiri yang mengatur sekuritisasi aset. 2. Memperbanyak jumlah perusahaan atau bank yang dapat bertindak sebagai originator atau investor. Hal itu dapat ditempuh melalui pemberian insentif (sweetener) kepada calon originator. Bentuk insentif tersebut, antara lain, berupa pembebasan/pengurangan pajak bagi perusahaan atau bank yang ingin melakukan sekuritisasi dan memasukkan sekuritisasi dalam komponen penghitungan capital adequacy ratio (CAR) dan/atau berupa loan to deposit ratio (LDR). 3. Membentuk special purpose vehicle yang dapat membeli tagihan dari originator untuk disekuritisasi dan selanjutnya dijual kepada investor. Dalam hal ini peran PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) dapat diperluas tidak hanya mencakup kegiatan sekuritisasi untuk properti, tetapi juga dapat diperluas untuk yang lain, seperti kredit konsumsi, sewa guna usaha, atau anjak piutang. 4. Meningkatkan pemahaman masyarakat, khususnya pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan sekuritisasi, melalui edukasi dan sosialisasi mengenai sekuritisasi aset. Meningkatkan pemahaman mengenai sekuritisasi melalui edukasi dan sosialisasi bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan sekuritisasi dipandang sebagai sesuatu yang urgen mengingat hasil survei menunjukkan bahwa baru 50% perusahaan pembiayaan yang benarbenar paham mengenai konsep sekuritisasi, sedangkan pemahaman mengenai sekuritisasi oleh perusahaan pembiayaan yang terafiliasi dan bank jauh lebih baik. Dari beberapa kali FGD terungkap bahwa terdapat beberapa perusahaan yang berencana melakukan sekuritisasi aset, tetapi terhenti karena permasalahan mengenai ketentuan dalam melakukan sekuritisasi aset, seperti yang dialami Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang mengalami masalah pencatatan akuntansi ketika akan menjual tagihannya dan salah satu bank devisa yang mengalami masalah perlakuan pajak pada saat akan melakukan sekuritisasi atas tagihannya. Edukasi dan sosialisasi mengenai sekuritisasi aset dipandang krusial karena hasil survei menunjukkan bahwa sedikit sekali responden (± 10%) berpendapat sekuritisasi aset di Indonesia akan berkembang dalam jangka pendek. Bank dan perusahaan pembiayaan berdasarkan hasil survei sebagian besar mengganggap sekuritisasi aset baru akan berkembang dalam jangka menengah panjang. Kondisi tersebut perlu dicermati karena sekuritisasi di Indonesia telah diatur dalam ketentuan Bapepam sejak tahun 1997 yang dikenal dengan nama KIK-EBA dalam implementasinya baru satu perusahaan, yaitu BTN yang melakukan sekuritisasi di dalam negeri. Kurang pahamnya konsep mengenai sekuritisasi aset telah menjadikan instrumen ini kurang menarik bagi originator (perusahaan pembiayaan dan bank) meskipun sesungguhnya konsep itu memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan instrumen yang lain seperti obligasi dan saham. Tabel 3. Keunggulan KIK-EBA Dibandingkan dengan Produk Sejenis Selanjutnya dalam mengembangkan sekuritisasi di Indonesia penting pula dikaji secara lebih dalam perlunya lembaga penjamin. Sebagian besar perusahaan pembiayaan (77%) dan bank menghendaki keberadaan lembaga penjamin yang menjamin investor dalam hal terjadi default pembayaran oleh debitur. Namun, pendapat beberapa pakar dalam FGD (seperti BTN dan Fitch Rating Indonesia) mengemukakan bahwa lembaga penjamin tidak diperlukan karena konsep sekuritisasi salah satunya adalah bank remoteness, yaitu investor terbebas dari tidak tertagihnya piutang dalam hal debitur gagal bayar. Di samping itu, peraturan OJK ( dan Bank Indonesia yang mengharuskan originator membeli KIK-EBA kelas junior merupakan bentuk jaminan bahwa originator tetap bertanggung jawab kepada investor jika debitur default dalam melakukan pembayaran. Tabel 4. Gap Analysis Pengembangan Sekuritisasi Aset di Indonesia EXISTING CONDITION Perangkat hukum Sisi penawaran (supply side ) Sisi permintaan (demand side ) Sekuritisasi diatur dalam UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan peraturan Bapepam terkait sekuritiasi aset Meski dahulu pernah ada ± 8 perusahaan yang menjadi originator dengan menerbitkan sekuritisasi namun di luar negeri, namun saat ini baru ada 1 originator yang menerbitkan di dalam negeri, yaitu Bank BTN. Saat ini investor untuk membeli KIK-EBA cukup beragam, yaitu yayasan dana pensiun, perusahaan asuransi, reksa dana, bank, lembaga penjamin, multifinance, agen pemerintah (mis. SMF), mutual fund, dll. Pasar sekuritisasi aset di Indonesia Masih terbatas pasar primer Di Indonesia saat ini baru terdapat KIK-EBA yang mengikat manajer investasi dan bank kustodian. Produk Berdasarkan survei dan hasil FGD, rendahnya minat melakukan sekuritisasi disebabkan oleh pemahaman yang kurang Pemahaman terhadap sekuritisasi terhadap kegiatan sekuritisasi GAP ANALYSIS EXPECTED CONDITION Perlu mempercepat disahkannya RUU tentang Sekuritisasi Aset yang saat ini sudah di DPR. Terdapat Undang-undang yang khusus mengatur mengenai sekuritisasi aset di Indonesia sehingga akan mempermudah pihak-pihak yang akan melakukan kegiatan sekuritisasi Pemerintah perlu mengupayakan untuk menambah jumlah originator melalui pemberian berbagai insentif (sweetener ) Originator diharapkan lebih dari 1 perusahaan/bank agar sekuritisasi berkembang di Indonesia. Jumlah investor perlu ditambah agar sekuritisasi aset semakin berkembang yaitu dengan Pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan yang memperkenankan institusi tertentu untuk membeli KIK-EBA, misal ketentuan perusahaan atau pihak asing dapat membeli KIKEBA yang diterbitkan oleh originator dari dalam negeri Investor diharapkan dalam jumlah yang cukup dan dari berbagai pihak. Agar pasar sekunder dari sekuritisasi aset dapat berkembang diperlukan jumlah originator yang cukup banyak Perlu menciptakan SPV (special purpose vehicle ) sebagai lembaga yang membeli tagihan originator dan menjual sekuritisasi aset. Dalam hal ini perlu meningkatkan peran Sarana Multigriya Finansial (SMF) sebagai SPV yang tidak saja menyalurkan kredit namun juga dapat menerbitkan sekuritisasi aset. Participation Letter yang dipandang sebagai breakthrough bagi SMF untuk dapat meningkatkan perannya sebagai SPV. Diharapkan berkembang ke pasar sekunder Pemerintah perlu untuk mengedukasi dan mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai sekuritisasi khususnya pihak-pihak terkait seperti legal advisor dan akuntan. Diharapkan masyarakat paham mengenai kegiatan sekuritisasi sehingga akan mendorong minat untuk berpartisipasi dalam kegiatan sekuritisasi sehingga akan mendorong berkembangnnya pasar primer dan sekunder dari sekuritisasi aset. Diharapkan produk yang tersedia adalah sekuritisasi aset (seperti di US, Malaysia, Korea) dimana SPV berperan sebagai lembaga yang menerbitkan sekuritisasi aset. BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Dari uraian pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik simpulan sebagai berikut. a. Saat ini sekuritisasi aset di Indonesia mengacu pada UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan diatur dalam Peraturan yang dikeluarkan oleh OJK Tahun 1997 yang disempurnakan pada tahun 2002 dan 2003. Kegiatan sekuritisasi aset juga diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak terkait penghasilan yang diperoleh KIK-EBA dan para investornya serta diatur Bank Indonesia berkenaan dengan prinsip kehati-hatian bank dalam melakukan sekuritisasi aset. b. Meski terdapat beberapa perusahaan dan bank yang telah melakukan sekuritisasi, baru BTN yang melakukan sekuritisasi di dalam negeri dengan jumlah transaksi sebanyak lima kali dengan nilai total mencapai Rp1.96 triliun. Minimnya originator (sisi penawaran) telah menyebabkan kurang berkembangnya sekuritisasi aset di Indonesia. Hal itu yang menyebabkan pasar, baik pasar primer maupun berkembang pasar sekunder sebagaimana dari diharapkan sekuritisasi aset tidak pemerintah atau para pengampu/pemangku kepentingan. c. Pada dasarnya potensi implementasi sekuritisasi aset sebagai alternatif pendanaan bagi perusahaan pembiayaan jika dilihat dari sisi permintaan cukup tinggi. Hal itu tercermin dalam minat yang cukup besar oleh lembaga keuangan seperti Dana Pensiun, Reksa Dana, Perusahaan Asuransi, dan bank untuk melakukan sekuritisasi, selain semakin meningkatnya penjualan saham dan obligasi di pasar modal. d. Pengembangan sekuritisasi jika ditinjau dari sisi penawaran juga menunjukkan potensi yang besar yang dicerminkan oleh semakin meningkatnya jenis pinjaman yang diberikan oleh perusahaan pembiayaan, khususnya untuk pembiayaan konsumen dan sewa guna usaha (leasing) dan kredit KPR yang diberikan oleh bank. Potensi yang besar—dari sisi permintaan dan dari sisi penawaran atas sekuritisasi aset—diharapkan akan mendorong pengembangan pasar sekuritas di Indonesia. e. Untuk mendorong pengembangan sekuritisasi aset di Indonesia, perlu dilakukan edukasi yang mendalam dan sosialisasi yang ekstensif kepada publik, khususnya pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan sekuritisasi karena tingkat pemahaman pihak-pihak terkait terhadap sekuritisasi aset masih tergolong rendah meskipun telah disadari adanya daya tarik untuk melakukan sekuritisasi aset. f. Kondisi perusahaan pembiayaan dan bank secara umum yang saat ini memiliki kelebihan likuiditas menjadikan salah satu alasan kurangnya urgensi untuk mengembangkan sekuritisasi aset dewasa ini. 6.2. Saran Dari simpulan tersebut terdapat beberapa saran yang dapat aset dalam dipertimbangkan, yaitu sebagai berikut. a. Menyempurnakan ketentuan mengenai sekuritisasi rangka meningkatkan minat perusahaan pembiayaan dan bank untuk melakukan kegiatan sekuritisasi di Indonesia. Saat ini ketentuan yang ada baru berupa Peraturan Bapepam yang dikenal dengan nama KIK-EBA sehingga dapat dipertimbangkan untuk ditingkatkan menjadi undang-undang. b. Memberikan berbagai insentif (sweetener) untuk menarik minat perusahaan pembiayaan originator. Bentuk dan bank insentif untuk bertindak sebagai dapat berupa tersebut penundaan/penghapusan pajak serta memasukkan KIK-EBA sebagai komponen penghitungan capital adequacy ratio (CAR) dan loan to deposit ratio (LDR). c. Melakukan edukasi dan sosialisasi secara intensif, baik kepada originator, investor, maupun lembaga pendukung seperti kantor hukum (law firms), kantor audit, dan kantor pajak. d. Memerlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat dari sisi permintaan sehingga potensi sekuritisasi aset di Indonesia dapat dilihat dari dua sisi (permintaan dan penawaran) sehingga dapat tergambar dengan jelas dan dapat ditarik suatu simpulan yang komprehensif terhadap pengembangan sekuritisasi aset di Indonesia pada masa yang akan datang. DAFTAR PUSTAKA Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. 2008. “Studi Analisis Pengaruh Faktor-Faktor Ekonomi Terhadap Kinerja Perusahaan Pembiayaan”. Departemen Keuangan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. 2011. “Laporan Tahunan Industri Perusahaan Pembiayaan”. Departemen Keuangan. Bank BTN. 2011.”Sekuritisasi Aset KPR: Sebuah Strategi dalam Memitigasi Isu Likuiditas”. Barings, Ing. 1997. “Asset Securitization: Current Technique and Emerging Market Applications”. Dalam Euromoney Publications PLC. Cummings, J. D. dan Trainar, P. 2009 “Securitization, Insurance, and Reinsurance”. Dalam The Journal of Risk and Insurance, 76 (3), hal. 463--492. Dewi, Vera Intani. 2006. “Sekuritisasi Aset sebagai Peluang Bisnis dan Peningkatan Solvabilitas Perusahaan”. dalam Bina Ekonomi, 10 (1), hal. 86--95. Doherty, N. A. dan Schlesinger, H. 2002. “Insurance Contracts and Securitization”. Dalam The Journal of Risk and Insurance, 69 (1), hal. 45--62. Fang, M. dan Long, F. 2009. “A Preliminary Look at Effects of Asset-Backed Securitization on Shareholders”. Dalam Journal of Financial Management of Property and Construction, 14 (3), hal. 248--256. Haffner, M.E.A. 2008. “Subsidization as Motor to Residential Mortgage Securitization in the US”. Dalam Journal of Housing and Built Environment, 23 (4), hal. 337--351. Han, L. M. dan Lai, G.C. 1995. “An Analysis of Securitization in the Insurance Industry”. Dalam The Journal of Risk and Insurance, 62 (2), hal. 286--296. Harrell, C. E. dan Mark D. Folk, M. D. 1997. “Financing American Health Security: The Securitization of Healthcare Receivables”, Dalam The Business Lawyer, 50 (1), hal. 47--97. Hu, J. C. 2011. Asset Securitization. Singapore: John Wiley & Sons. Iacobucci, E.M. dan Winter, R.A. 2005. “Asset Securitization and Asymmetric Information”. Dalam The Journal of Legal Studies, 34 (1), hal. 161--206. Isnawangsih, Agnes. 1998/1999. “Sekuritisasi Aset di Indonesia”. dalam Occassional Paper BI OP/98/03, Bank Indonesia. Loutskina, E dan Strahan, P.E. 2009. “Securitization and the Declining Impact of Bank Finance on Loan Supply: Evidence from Mortgage Originations”. Dalam The Journal of Finance, 64 (2), hal. 861--889. Kementerian Keuangan, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tanggal 29 September 2006 tentang Perusahaan Pembiayaan. Ruslan, Dede. 2011. “Analisis Financial Deepening di Indonesia”. Dalam Journal of Indonesian Applied Economics, Vol.5 No.2, Oktober 2011, hal 183--204. Santoso, W., Nirwansyah, Shinta R.I. Soekro, Darmansyah, Hilde D. Sihaloho. 2011. “Pemanfaatan Sekuritisasi Aset dalam Rangka Mendorong Sektor Riil: Alternatif Pembiayaan UMKM”. Dalam Working Paper PPSK Bank Indonesia, WP/7/PPSK-BI/2011.