sekuritisasi aset lembaga pembiayaan dan pengembangan pasar

advertisement
WP/5 /2013
Working Paper
SEKURITISASI ASET LEMBAGA PEMBIAYAAN
DAN PENGEMBANGAN PASAR SECONDARY
MORTGAGE FACILITY DALAM RANGKA
PENDALAMAN PASAR KEUANGAN INDONESIA
Sri Liani Suselo, Shinta R.I. Soekro, R. Aga Nugraha
Desember, 2013
Ke si m p ul an, p en d a p at , da n p an d ang an yan g di s am p ai k an ol eh pe n uli s d al a m
p a per ini m er u p a ka n k e si m p ul an, p en d a pat d an pa n da ng an p en ul is d a n b u ka n
mer u p a k an k es im p u l an, p en d a pat d an p a nd an ga n r e s mi B an k I nd on e si a.
SEKURITISASI ASET LEMBAGA PEMBIAYAAN DAN PENGEMBANGAN
PASAR SECONDARY MORTGAGE FACILITY
DALAM RANGKA
PENDALAMAN PASAR KEUANGAN INDONESIA
Sri Liani Suselo, Shinta R.I. Soekro, R. Aga Nugraha
Abstraksi
Selain sebagai alternatif sumber pembiayaan bagi perekonomian, pasar
keuangan yang dalam diyakini mampu meningkatkan efektivitas kebijakan
moneter dan sektor riil. Dengan mempertimbangkan kondisi pasar keuangan
domestik yang saat ini masih relatif dangkal, salah satu upaya percepatan
pendalaman pasar keuangan di Indonesia adalah melalui perluasan
instrumen keuangan. Dengan mempertimbangkan jumlah lembaga
pembiayaan yang terus mengalami peningkatan dengan piutang yang juga
meningkat pesat, penelitian ini akan memfokuskan pada sekuritisasi aset
untuk lembaga pembiayaan di Indonesia sebagai salah satu instrumen
keuangan. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui potensi
implementasi sekuritisasi aset sebagai alternatif pendanaan bagi lembaga
pembiayaan serta melihat potensi secondary mortgage facility bagi
perbankan di Indonesia; dan (2) mengetahui langkah-langkah yang
dibutuhkan untuk mengembangkan sekuritisasi aset di Indonesia,
khususnya mortgage backed securities. Penelitian ini menggunakan metode
survei dan indepth interview yang kemudian dianalisis dengan
menggunakan metode analisis statistik deskriptif dan gap analysis. Dalam
metode survei digunakan pula alat analisis Maximum Difference.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa minimnya originator (sisi penawaran)
telah menyebabkan kurang berkembangnya sekuritisasi aset di Indonesia,
baik di pasar primer maupun pasar sekunder. Jika dilihat dari sisi
permintaan, potensi implementasi sekuritisasi aset sebagai alternatif
pendanaan bagi perusahaan pembiayaan cukup tinggi yang dicerminkan
oleh minat yang cukup besar oleh berbagai lembaga keuangan seperti dana
pensiun, reksa dana, serta perusahaan asuransi dan bank untuk melakukan
sekuritisasi. Jika ditinjau dari sisi penawaran, pengembangan sekuritisasi
aset juga menunjukkan potensi yang besar yang dicerminkan oleh semakin
meningkatnya jenis pinjaman yang diberikan oleh perusahaan pembiayaan,
khususnya untuk pembiayaan konsumen dan sewa guna usaha (leasing)
dan kredit KPR yang diberikan oleh bank. Potensi yang besar di sisi
permintaan dan sisi penawaran terhadap sekuritisasi aset diharapkan akan
mendorong pengembangan pasar sekuritas di Indonesia. Namun, kondisi
perusahaan pembiayaan dan bank secara umum saat ini yang memiliki
kelebihan likuiditas menjadikan salah satu alasan kurangnya urgensi untuk
mengembangkan sekuritisasi aset dewasa ini.
Dari penelitian diidentifikasi bahwa terdapat upaya yang perlu dilakukan
atau diperbaiki untuk pengembangan pasar sekuritisasi di Indonesia, yaitu
(1) mempercepat dikeluarkannya undang-undang yang khusus mengatur
sekuritisasi aset; (2) memperbanyak jumlah perusahaan atau bank yang
dapat bertindak sebagai originator atau investor, misalnya melalui
pemberian insentif (sweetener) kepada calon originator; (3) membentuk
special purpose vehicle (SPV) atau meningkatkan peran SPV yang telah ada
sehingga dapat membeli tagihan dari originator untuk disekuritisasi dan
selanjutnya dijual kepada investor; dan (4) meningkatkan pemahaman
masyarakat, khususnya pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan
sekuritisasi melalui edukasi dan sosialisasi. Dalam penelitian juga
ditemukan bahwa terdapat pandangan yang berbeda antara perusahaan
pembiayaan dan bank dengan para pakar mengenai keberadaan lembaga
penjamin yang menjamin investor dalam hal terjadi default pembayaran oleh
debitur.
JEL Classification: G1, G21,
Keywords: Financial Market,
Financial Intermediary
Securities,
Mortgage,
Mortgage
Market,
I.
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perekonomian yang maju dan berkembang memerlukan dukungan
pasar keuangan yang sehat, likuid, dan efisien. Terdapat dua hal yang
menjadi alasan, yaitu pertama, pasar keuangan menjembatani kebijakan
moneter dan sektor riil, dan kedua, selain perbankan, pasar keuangan
merupakan alternatif sumber pembiayaan bagi perekonomian.
Meskipun telah berkembang, pasar keuangan Indonesia masih
tertinggal jika dibandingkan negara di kawasan ASEAN lainnya. Tingkat
kedalaman pasar keuangan Indonesia masih jauh tertinggal apabila
dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand, apalagi dengan Singapura.
Data di Bank Indonesia tentang pasar uang rupiah, pasar valuta asing
domestik, dan pasar saham menunjukkan masih tipisnya volume transaksi
dan masih terbatasnya ketersediaan instrumen pasar keuangan, termasuk
untuk instrumen lindung nilai. Oleh karena itu, upaya percepatan
pendalaman pasar keuangan sangat diperlukan.
Pentingnya percepatan pendalaman pasar keuangan domestik serta
sebagai antisipasi tantangan masa depan dan dinamika perekonomian
global, terutama antisipasi terjadinya krisis pada masa yang akan datang
diperlukan pendalaman pasar keuangan Indonesia yang sehat dan kuat.
Pendalaman pasar keuangan domestik yang sehat, kuat, dan berkelanjutan
perlu didukung oleh penciptaan produk-produk keuangan yang memiliki
keterkaitan terhadap pembangunan sektor riil. Sementara itu, kondisi
perekonomian domestik saat ini masih menunjukkan bahwa di tengah
ekses likuiditas perbankan Indonesia, pembiayaan perbankan kepada
sektor riil yang produktif (seperti kredit investasi) belum menunjukkan
perkembangan yang menggembirakan. Oleh karena itu, perlu dicari sumber
pembiayaan selain perbankan yang dapat menjadi alternatif sumber
pembiayaan kegiatan produktif. Lembaga pembiayaan merupakan salah
satu alternatifnya. Saat ini lembaga pembiayaan di Indonesia berjumlah
sekitar 200 perusahaan, suatu jumlah yang relatif cukup besar untuk
berperan dalam pembiayaan kegiatan produktif di Indonesia.
Seperti diketahui bahwa saat ini alternatif peran lembaga pembiayaan
sebagai sumber pembiayaan sektor riil yang produktif masih mengalami
kendala mendasar yang berupa keterbatasan modal. Namun, seperti telah
dilakukan dalam praktik di negara lain, salah satu upaya untuk mengatasi
liquidity shortage di pasar domestik dan internasional dilakukan melalui
penciptaan
mekanisme
sekuritisasi
aset
karena
melalui
mekanisme
sekuritisasi aset, penerimaan pendapatan pada masa mendatang (future
income) akan diterima di depan (net present value) sehingga dapat
mengatasi kendala tersebut.
Dalam
berupaya
rangka
pendalaman
mengembangkan
perumahan
rakyat/KPR)
pasar
dengan
pasar
keuangan
sekunder
mendirikan
pemerintah
mortgage
PT
facility
Sarana
telah
(kredit
Multigriya
Finansial (SMF). Meskipun demikian, pasar sekunder KPR tersebut relatif
masih belum aktif jika dibandingkan dengan pasar skunder negara
tetangga seperti Malaysia. Faktor penyebabnya diduga akibat belum
kuatnya regulasi yang ada dan ketidaktahuan masyarakat seputar proses
sekuritisasi aset. Oleh sebab itu, untuk mengetahui lebih jauh mengenai
pemahaman dan animo lembaga pembiayaan bank dan nonbank untuk
melakukan sekuritisasi aset, Bank Indonesia berinisiatif melakukan kajian
mengenai sekuritisasi aset lembaga pembiayaan dan pengembangan pasar
sekunder di Indonesia sebagai bagian dari pendalaman pasar keuangan.
Kajian ini sejalan dengan mandat Bank Indonesia sebagai bagian dari
pemerintah,
Bank
Indonesia
diberikan
mandat
pengaturan
dan
pengawasan makroprudensial untuk menjamin terjaganya stabilitas sistem
keuangan, yaitu kondisi institusi keuangan dan pasar keuangan berfungsi
secara efektif dan efisien serta mampu bertahan terhadap kerentanan
internal dan eksternal. Sistem keuangan yang stabil menjamin alokasi
sumber
pendanaan
atau
pembiayaan
dapat
berkontribusi
dalam
mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Dengan
demikian, keberadaan sekuritisasi aset atau efek beragun aset dipandang
akan
sangat
pembiayaan
membantu
melalui
pasar
perbankan
modal
dalam
dengan
memperoleh
proses
likuiditas
sekuritisasi
aset
perbankan berkualitas tinggi. Melalui sekuritisasi aset, perbankan akan
terhindar dari maturity mismatch mengingat selama ini pembiayaan bank,
khususnya
untuk
kredit
pemilikan
rumah
(KPR),
sebagian
masih
menggunakan dana jangka pendek, seperti tabungan, deposito, dan giro.
1.2
Perumusan Masalah
Penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan berikut.
1. Bagaimana kondisi sekuritisasi aset di Indonesia dewasa ini? Berapa
besar potensi lembaga pembiayaan di dalam menyalurkan pinjaman,
khususnya
pinjaman
dalam
bentuk
kredit
investasi
melalui
mekanisme sekuritisasi aset?
2. Apakah
faktor-faktor
yang
relevan
yang
dapat
mempengaruhi
lembaga pembiayaan untuk melakukan sekuritisasi aset? Kebijakankebijakan
apa
saja
yang
dapat
memfasilitasi
pengembangan
sekuritisasi aset di Indonesia?
3. Upaya apa saja yang dapat ditempuh dalam rangka mengembangkan
pasar
sekunder
bagi
efek
beragun
aset
(EBA)
di
Indonesia,
khususnya bagi EBA kredit perumahan yang dipasarkan di pasar
uang di Indonesia?
1.3
Tujuan Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh hal-hal sebagai berikut.
1. Mengetahui potensi implementasi sekuritisasi aset sebagai alternatif
pendanaan bagi lembaga pembiayaan, dan melihat potensi secondary
mortgage facility bagi perbankan di Indonesia.
2. Mengetahui
langkah-langkah
yang
dibutuhkan
untuk
mengembangkan sekuritisasi aset di Indonesia khususnya mortgage
backed securities.
1.4
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan beberapa manfaat yaitu
sebagai berikut.
1. Bagi Bank Indonesia, hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan
dalam merancang berbagai kebijakan yang diperlukan sehingga
memperkukuh
kestabilan
sistem
keuangan
Indonesia
dan
pendalaman pasar keuangan di Indonesia.
2. Bagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hasil penelitian ini sangat
berguna untuk mendapatkan gambaran mengenai kondisi alternatif
sumber pembiayaan dan potensi dari lembaga pembiayaan serta
untuk merancang kebijakan pendalaman pasar keuangan yang tepat.
3. Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memperkaya
studi
tentang
sekuritisasi aset lembaga pembiayaan dan pengembangan secondary
mortgage facility di Indonesia yang saat ini masih terbatas dan dapat
menjadi referensi bagi studi yang lain mengenai sekuritisasi di
Indonesia.
1.5
Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri atas enam bab. Setelah Bab I berupa pendahuluan,
Bab II menjelaskan
tinjauan pustaka yang membahas teori sekuritisasi
aset, definisi sekuritisasi aset, pihak-pihak yang terlibat, termasuk fungsi
masing-masing dalam sekuritisasi aset, skema pembiayaan sekuritisasi
aset, dan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Bab III menjelaskan
metodologi penelitian, mencakup pendekatan yang akan dilakukan dalam
kajian ini, jenis dan sumber data yang digunakan, serta metode
pengumpulan data. Bab IV akan menjelaskan gambaran umum mengenai
sekuritisasi aset di beberapa negara. Bab V mengulas gambaran umum
mengenai sekuritisasi aset di Indonesia dan hasil survei beserta analisisnya
terhadap lembaga pembiayaan di Indonesia, dan Bab VI berisi simpulan
dan rekomendasi kebijakan.
II.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Sekuritisasi Aset
Sekuritisasi aset merupakan cara inovatif bagi perusahaan yang
melakukan pembiayaan untuk mencari dana di pasar modal dengan
menjual pendapat kas (cash flows) dari aset yang dimilikinya (Hu, 2011).
Secara spesifik sekuritisasi aset merupakan sekumpulan aset keuangan
yang berupa piutang yang dikemas dalam bundel aset, kemudian dijual
kepada pihak kedua untuk memenuhi kebutuhan dana. Proses sekuritisasi
yang dilaksanakan akan diserahkan kepada satu entitas bisnis yang
disebut Special Purpose Vehicle (SPV) (Han dan Gene, 1995 dan Harrell et
al., 1997). SPV merupakan entitas bisnis yang sengaja didirikan untuk
melakukan proses sekuritisasi yaitu mengonversi aset keuangan yang tidak
likuid menjadi sekuritas atau surat berharga yang mudah diperjualbelikan
(tradable securities) (Haffner, 2008).
Menurut
Peraturan
Pemerintah
(PP)
Nomor
19
Tahun
2005,
sekuritisasi aset adalah transformasi aset yang tidak likuid menjadi likuid
dengan cara pembelian aset keuangan dari kreditur asal dan penerbit EBA,
sedangkan
menurut
Peraturan
Bank
Indonesia
Nomor
7/4/2005,
sekuritisasi aset adalah penerbitan surat berharga oleh penerbit EBA yang
didasarkan pada pengalihan aset keuangan dari kreditur asal yang diikuti
dengan pembayaran yang berasal dari hasil penjualan efek beragun aset
kepada pemodal.
Setidaknya dalam Han dan Gene (1995) terdapat empat pihak yang
terlibat di dalam sekuritisasi aset, yaitu (1) peminjam (borrower), (2)
pemberi pinjaman/penjual aset (originator), (3) pembeli aset (SPV atau
grantor trust), dan (4) investor dari sekuritas yang dijamin oleh aset
(securities backed by asset).
Sementara itu, Fang dan Long (2009) menguraikan seperti yang
terdapat pada gambar 1 bahwa perusahaan sebagai originator menjual aset
keuangan yang dapat memberikan pendapatan (future cash inflows) kepada
perusahaan khusus yang dikenal dengan SPV atau trust. Selanjutnya, SPV
mengelompokkan aset keuangan tersebut ke dalam kumpulan aset (pool of
assets) dan melakukan credit enhancement terhadap aset-aset tersebut
untuk memperoleh rating dari lembaga pemeringkat, dan SPV selanjutnya
menerbitkan surat berharga (securities) untuk membiayai pembelian aset
keuangan tersebut.
2.2
Kriteria dan Struktur Sekuritisasi Aset
Dewi
(2006)
menguraikan
bahwa
tidak
semua
aset
dapat
disekuritisasi. Ada beberapa karakteristik aset yang dapat disekuritisasi,
yaitu (1) cash flow yang dapat diprediksi, (2) rata-rata jatuh tempo minimal
satu tahun karena sekuritisasi aset merupakan instrumen pendanaan
jangka panjang, (3) tingkat tunggakan yang rendah, (4) amortisasi seluruh
pinjaman pokok pada saat jatuh tempo, (5) tingkat keragaman debitur
berdasarkan demografi dan geografi, dan (6) jaminan yang memiliki nilai
dan manfaat yang tinggi bagi debitur.
Dari uraian di atas jelas bahwa aset keuangan yang dapat
disekuritisasi tidak terbatas hanya pada fasilitas pembiayaan kredit
kepemilikan rumah (mortgage backed securities), tetapi dapat berupa
pembiayaan kredit kendaraan bermotor, pembiayaan leasing, piutang
perusahaan
(account receivables),
pembiayaan
kartu
kredit,
bahkan
penerimaan premi asuransi (Han dan Gene, 1995; Cummings dan Trainar,
2009; Iacobucci dan Winter, 2005, dan Doherty dan Schlesiinger, 2002).
Sama halnya dengan aset yang dapat disekuritisasi, transaksi
sekuritisasi aset pun harus memenuhi kriteria, yaitu (1) penerbit adalah
suatu badan hukum yang khusus dan hanya melakukan pembelian aset
keuangan dan penerbitan EBA dan tidak terkait dengan kreditor asal, (2)
penjualan aset keuangan dari kreditor asal kepada penerbit harus
memenuhi kriteria penjualan putus (true sale), (3) pengalihan aset
keuangan beserta seluruh hak dan jaminan yang melekat pada penerbit
atau pemodal harus sempurna secara hukum dan hal itu dikuatkan
dengan opini hukum (bankruptcy remoteness), (4) harus ada peringkat yang
diberikan lembaga pemeringkat secara khusus yang menyatakan bahwa
transaksi ini adalah transaksi sekuritisasi aset, dan (5) aliran arus kas
dalam sekuritisasi aset, baik dalam pembelian aset keuangan maupun
dalam pembayaran terhadap pokok dan bunga atas EBA tidak melalui
penerbit (Dewi, 2006).
Menurut Doherty dan Schlesinger (2002), struktur sekuritisasi aset
beragun piutang terdiri atas tiga dua model, yaitu (1) pindah tangan (pass
through) dan (2) salur bayar (pay through).
Pindah
tangan
adalah
aset
menjadi
milik
investor,
semua
pembayaran piutang diterima investor, bank (atau pihak yang semula
memberi pinjaman) tidak lagi mencantumkan piutang dalam neraca
mereka, tetapi mereka tetap menerima service fee untuk melayani
administrasi piutang, sedangkan salur bayar adalah kepemilikan piutang
tetap di tangan perusahaan pemilik piutang, pembayaran piutang langsung
disalurkan kepada investor, dan sekuritas tercatat sebagai utang dalam
neraca pemilik piutang.
2.3
Manfaat Sekuritisasi Aset
Dengan adanya sekuritisasi aset terdapat beberapa manfaat yang
dapat diperoleh, baik oleh investor, originator, maupun oleh perekonomian.
Dalam Santoso et al (2011) manfaat yang diperoleh investor dari adanya
sekuritisasi
aset
adalah
(1)
investor
dapat
berinvestasi
pada
aset
berkualitas, (2) rendahnya default rate karena terbaginya aset piutang ke
dalam banyak debitur, (3) sesuai untuk investor dengan kebutuhan
pengembalian pokok yang lebih cepat, dan (4) profil rating EBA yang tinggi
dapat meningkatkan portofolio investasi secara keseluruhan.
Sementara
itu,
originator
memperoleh
manfaat
berupa
(1)
meningkatkan likuiditas, (2) memperoleh sumber dana (cost of fund) yang
murah,
(3)
memperbaiki
tingkat
kecukupan
modal,
(4)
menutupi
kesenjangan antara sumber dana dan penggunaan dana, (5) menerima
dana lebih awal, (6) memberi kesempatan mengelola dana sehingga
meningkatkan hasil investasi, (7) meningkatkan kualitas aset/piutang yang
pada
gilirannya
meningkatkan
tingkat
solvabilitas,
dan
(8)
dapat
menggunakan dana hasil sekuritisasi untuk mengurangi beban utang yang
berbunga tinggi.
Bagi industri, sekuritisasi aset mempercepat integrasi keuangan dan
diversifikasi investor (financial deepening). Integrasi memungkinan modal
mengalir di antara pasar dan mampu mengurangi konsekuensi dari shock
yang terjadi pada suatu bank lokal dan lembaga keuangan yang lain.
2.4
Potensi Risiko Sekuritisasi
Transaksi sekuritisasi aset juga memiliki potensi risiko yang harus
diwaspadai. Kasus subprime mortage di Amerika Serikat yang terjadi pada
Agustus 2007 merupakan salah satu risiko yang ditimbulkan dari kegiatan
sekuritisasi aset.
Rendahnya suku bunga di Amerika Serikat dalam periode yang
cukup panjang, yaitu di bawah 2% sejak 2001, telah mendorong
pertumbuhan kredit yang berlebihan. Guna memperoleh imbal hasil yang
lebih tinggi, pemilik modal selanjutnya meningkatkan preferensi risiko
dengan membeli aset yang berisiko. Di sisi lain, euforia suku bunga rendah
telah memunculkan berbagai produk finansial yang semakin beragam dan
rumit salah satunya adalah subprime mortgage. Suku bunga yang rendah
tersebut telah meningkatkan minat masyarakat Amerika Serikat yang
secara finansial kurang memiliki kemampuan yang memadai untuk
membeli rumah murah melalui skema subprime mortgage (KPR murah).
Rendahnya kualitas kredit telah menyebabkan gagal bayar yang masif yang
selanjutnya menyebabkan banyak lembaga keuangan besar di Amerika
Serikat bangkrut dan harus ditutup sehingga muncul krisis keuangan
global 2008.
Persamalahan lain yang terkait dengan sekuritisasi aset adalah
rumitnya prosedur melakukan sekuritisasi karena banyaknya pihak yang
akan terlibat dalam kegiatan ini, seperti originator, investors, credit
enhancer, underwriter, custodian, special purpose vehicle, dan servicer, di
samping juga karena terdapat biaya operasional (financial engineering) yang
harus dikeluarkan. Sebagai contoh, untuk mengeluarkan efek beragun
aset, PT BNI tbk. memerlukan waktu hampir lima tahun dari awal
penandatangan nota kesepahaman antara PT BNI tbk dengan PT Sarana
Multigriya Finansial tahun 2005 hingga diterbitkannya efek beragun aset
pertama tahun 2009. Sekuritisasi aset juga menjadikan originator (dalam
hal ini bank) untuk mengeluarkan biaya operasional tambahan karena
institusi ini harus senantiasa melakukan pemonitoran terhadap peminjam
(borrower) yang kreditnya telah ditransformasi menjadi efek beragun aset
untuk menjamin kualitas kredit si peminjam.
Penerbitan sekuritisasi aset atau efek beragun aset ke dalam tranches
juga merupakan permasalahan yang dihadapi para investor. Investor yang
membeli sekuritisasi aset atau efek beragun aset dengan senior tranche
pada umumnya adalah mereka yang memiliki risiko relatif lebih rendah,
tetapi dengan perolehan yield yang kecil. Sebaliknya, investor yang membeli
junior tranche umumnya adalah mereka yang memiliki risiko relatif lebih
tinggi, tetapi memperoleh yield lebih besar. Dalam hal terjadi default atau
gagal bayar oleh debitur, investor yang memiliki junior tranche
biasanya
menerima pembayaran paling akhir dan lebih lama karena penyelesaian
untuk sekuritisasi aset biasanya lebih lama.
2.5
Pengertian Pendalaman Pasar Keuangan
Menurut Lynch (1996), terdapat lima indikator untuk mengetahui
perkembangan sektor keuangan suatu negara, yakni sebagai berikut.
1. Ukuran Kuantitatif (Quantity Measures)
Indikator kuantitatif bersifat moneter dan kredit ditujukan untuk
mengukur pembangunan dan kedalaman sektor keuangan, seperti rasio
uang dalam arti sempit terhadap PDB, dan rasio uang dalam arti luas
terhadap PDB.
2. Ukuran Struktural (Structural Measures)
Indikator struktural bertujuan untuk menganalisis struktur sistem
keuangan dan menentukan pentingnya elemen-elemen yang berbedabeda pada sistem keuangan. Dalam hal ini digunakan rasio-rasio sebagai
indikator yaitu rasio uang dalam arti luas terhadap PDB, dan rasio
pengeluaran pasar sekuritas terhadap uang dalam arti luas.
3. Harga Sektor Keuangan (Financial Prices)
Harga sektor keuangan dapat dilihat dari tingkat bunga kredit dan
pinjaman sektor riil.
4. Skala Produk (Product Range)
Indikator ini dilihat dari berbagai jenis-jenis instrumen keuangan yang
terdapat di pasar keuangan, seperti: produk keuangan dan bisnis
(commercial paper,corporate bond, listed equity), produk investasi, produk
pengelolaan risiko, dan nilai tukar luar negeri.
5. Biaya Transaksi (Transaction Cost)
Biaya transkasi diukur dari spread suku bunga.
Sementara itu, Shaw (dalam Ruslan, 2011) mengemukakan bahwa
pendalaman keuangan (financial deepening) merupakan akumulasi dari
aktiva-aktiva keuangan yang lebih cepat daripada akumulasi kekayaan
yang bukan keuangan. Pendalaman keuangan ditunjukkan oleh semakin
besarnya rasio antara jumlah uang beredar (M2) dan PDB. Sebaliknya,
semakin
kecil
rasio
antara
jumlah
uang
beredar
(M2)
dan
PDB
menunjukkan semakin dangkal sektor kuangan suatu negara.
2.6
Penelitian Sebelumnya
Loutskina dan Strahan (2009) dalam penelitian yang dilakukan sepanjang
1992--2004
terhadap
pasar
sekunder
mortgage
di
Amerika
serikat
menyimpulkan bahwa sekuritisasi dapat mempercepat integrasi keuangan
dan memperluas diversifikasi investor. Intergrasi tersebut memungkinkan
terjadinya aliran modal di antara pasar keuangan yang ada, baik domestik
maupun internasional. Selain itu, sekuritisasi juga mampu memitigasi
risiko bagi bank jika terjadi gangguan (shock) pada bank atau lembaga
lainnya
sehingga
terhindar
dari
dampak
sistemik
yang
dapat
ditimbulkannya.
Dewi (2006) mengungkapkan hasil studi literatur yang dilakukannya,
yaitu bahwa secara umum stagnasi pasar keuangan lokal mengakibatkan
terbatasnya akses dunia usaha ke sumber pendanaan di luar perbankan,
atau
sangat tergantung dari perbankan. Hal itu membawa konsekuensi
bahwa ketika suku bunga perbankan naik, dunia usaha yang pada awalnya
masih produktif akan mengalami kesulitan keuangan untuk mendapatkan
dana murah untuk membiayai kegiatan usahanya. Sekuritisasi aset
diyakini sebagai sarana bagi dunia usaha untuk memperoleh sumber
pendanaan yang lebih murah. Sekuritisasi aset merupakan transaksi yang
bersifat off-balance sheet sehingga tidak akan menaikkan rasio utang
terhadap modal. Selain itu, dengan sekuritisasi aset perusahaan
tidak
akan menanggung beban utang yang lebih besar karena merupakan
penjualan aset yang bersifat clean sale sehingga solvabilitas perusahaan
dapat meningkat.
Han dan Lai (1995) menganalisis biaya dan manfaat sekuritisasi aset
pada industri asuransi di Amerika Serikat dan ingin membuktikan
mengapa sekuritisasi aset tidak meraih sukses di industri tersebut. Dari
hasil empiris yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa untuk melakukan
transformasi alur kas (cash flows) dalam asuransi menjadi fixed income
asset membutuhkan biaya yang mahal karena adanya ketidakpastian pada
alur kas tersebut. Di samping itu, urgensi perusahaan asuransi untuk
menggunakan sekuritisasi aset dalam rangka diversifikasi portofolio tidak
signifikan sebab hanya sebagian kecil aset pada industri asuransi yang
tergolong aset tidak likuid sehingga sejatinya perusahaan asuransi cukup
melakukan reasuransi dan tidak perlu sekuritisasi. Lebih lanjut peraturan
melarang asuransi untuk menjual produk keuangan lain tanpa didukung
oleh dana cadangan. Oleh karena itu, sekuritisasi merupakan barang
langka dalam industri asuransi.
Tidak hanya Han dan Lai (1995) yang melakukan penelitian pada
industri asuransi, Doherty dan Schlesinger (2002) juga melakukan hal yang
sama, hanya saja fokus penelitiannya terletak pada pengelolaan risiko
perusahaan asuransi. Sekuritisasi menjadi salah satu alat bagi perusahaan
asuransi untuk mendekomposisi risiko yang melekat sebagai mekansime
untuk lindung nilai (hedging) atas risiko tersebut sehingga pada gilirannya
mendorong manajemen risiko yang lebih fleksibel.
Cummings dan Trainar (2009) menganalisis kekuatan dan kelemahan
reasuransi
dan
sekuritisasi
di
dalam
mengelola
risko
yang
dapat
diasuransikan. Reasuransi dapat dilakukan secara efektif jika risiko relatif
kecil, tetapi jika magnitude risiko menjadi lebih besar, sekuritisasi menjadi
pilihan bagi perusahaan asuransi sebagai sarana manajemen risiko dan
dapat menjadi komplemen atau menjadi substitusi dari reasuransi.
Sekuritisasi juga memainkan peran yang penting dalam memberikan
keleluasaan kepada perusahaan asuransi untuk mencapai kombinasi yang
optimal dalam diversifikasi risiko dan menggeser risiko individu ke pasar
modal yang lebih luas, khususnya risiko yang memiliki magnitude besar.
Haffner (2008) dalam penelitian yang dilakukan untuk menguji
keberhasilan mortgage backed securities (MBSs) atau lebih spesifik disebut
residential MBSs (RMBSs) ditemukan bahwa sekuritisasi kredit perumahan
(secondary mortgage) pada pasar sekunder di Amerika Serikat tumbuh
cukup pesat sejak 1970. Pertumbuhan tersebut bukan disebabkan oleh
adanya kompetisi yang sehat di dalam pasar sekunder, tetapi karena
peraturan yang melindungi dan subsidi yang diberikan oleh pemerintah.
Subsidi diberikan kepada Fannie Mae dan Freddie Max sebagai SPV yang
merupakan agen pemerintah berupa pajak rendah, suku bunga rendah,
dan konsesi keuangan lainnya.
Sekuritisasi aset tidak hanya domain industri keuangan, industri
nonkeuangan juga dapat memanfaatkan struktur sekuritisasi aset. Adalah
Harrell dan Folk (1994) yang melakukan studi pada industri penyedia jasa
kesehatan (healthcare providers) di Amerika Serikat yang melakukan
sekuritisasi dari pos penerimaannya (account receivables). Studi dilakukan
dari perspektif hukum dan diperoleh hasil bahwa diperlukan infrastruktur
yuridis dari sekuritisasi pada healthcare receivables karena sekuritisasi
merupakan alternatif sumber pendanaan yang murah. Sebagian besar
penyedia jasa kesehatan enggan melakukan sekuritisasi aset atas pos
penerimannya karena aturan yang melarang transfer dana pemerintah
kepada SPV.
Lebih lanjut Harrell et al (1997) menganalisis sekuritisasi pada
komoditas minyak, gas, dan sumber daya alam lainnya. Sekuritisasi yang
dilakukan adalah terhadap aset energi dan kredit untuk pembangunan dan
produksi yang diperoleh perusahaan dari ekspor dan lembaga multilateral.
Sekuritisasi
menjadi
perhatian
dari
seluruh
stakeholder
(pengampu
kepentingan) pada industri minyak, gas serta sumber daya alam lainnya
dan merupakan alternatif di dalam mengakses sumber dana murah melalui
sekuritisasi aset.
Sementara itu, Long dan Fang (2009) dalam penelitiannya menguji efek
kekayaan (wealth effect) pemegang saham terkait dengan sekuritisasi aset
di Cina. Hasil empiris ditemukan bahwa sekuritisasi tidak membawa
dampak signifikan terhadap kekayaan pemegang saham (stock holders).
Penelitian
itu
membuktikan
bahwa
perusahaan
dan
pemerintah
seharusnya memahami kondisi pasar dan mempromosikan sekuritisasi
aset
ketika
pasar
tenang
pengampu kepentingan.
dalam
rangka
memaksimalkan
kekayaan
III.
3.1
METODOLOGI PENELITIAN
Kerangka Pikir
Penelitian ini dilakukan dengan latar belakang adanya keinginan
untuk mempercepat pendalaman pasar keuangan di Indonesia. Pasar
keuangan yang dalam diyakini mampu meningkatkan efektivitas kebijakan
moneter dan sektor riil selain sebagai alternatif sumber pembiayaan bagi
perekonomian.
Kondisi pasar keuangan domestik saat ini masih relatif dangkal
sehingga dibutuhkan upaya pendalaman melalui perluasan instrumen
keuangan, misalnya melalui sekuritiasi aset. Sekuritisasi aset dapat
dilakukan
terhadap
aset
keuangan/piutang
perusahaan
yang
tidak
terbatas pada sektor keuangan saja. Namun, penelitian ini akan difokuskan
pada sekuritisasi aset pada lembaga pembiayaan di Indonesia.
Berdasarkan laporan tahunan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang
dahulu bernama Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
Kementerian Keuangan/Bappepam-LK (2011) disebutkan bahwa jumlah
lembaga pembiayaan dari tahun ke tahun terus meningkat dan piutang
lembaga pembiayaan pada tahun 2011 tercatat sebesar Rp127,76 triliun
atau meningkat 137,6% dalam lima tahun terakhir. Hal itu mendasari
dipilihnya
lembaga
keuangan
sebagai
objek
penelitian.
Kajian
ini
dimaksudkan untuk mengetahui potensi implementasi sekuritisasi aset
sebagai alternatif pendanaan bagi lembaga pembiayaan di Indonesia serta
untuk
menyusun
alternatif
skema
sekuritisasi
aset
bagi
lembaga
pembiayaan di Indonesia.
Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut, digunakan data dan
informasi yang bersumber dari Departemen Statistik dan Moneter Bank
Indonesia (DSM/BI) dan OJK (d/h Bapepam LK). Selain itu, dilakukan pula
focus group discussion (FGD), indepth interview¸dan survei terhadap
perusahaan pembiayaan. Dalam penelitian ini metode analisis yang
digunakan adalah analisis statistik deskriptif dan analisis maximum
difference.
Kerangka pikir yang digunakan dalam penelitian ini tergambar pada
diagram alur di bawah ini.
PERUMUSAN
MASALAH
TUJUAN PENELITIAN
LAPORAN DAN DATA DARI
BAPPEPAM-LK DAN
DEPARTEMEN STATISTIK BI
PENDEKATAN PENELITIAN
FGD/SURVEI/INDEPTH
INTERVIEW/STUDI LITERATUR
METODE ANALISIS YANG
DIGUNAKAN
(Statistik Deskriptif dan Analisis
Maxdiff)
PENARIKAN KESIMPULAN
Gambar 2.
Kerangka Pikir Penelitian
3.2
Jenis dan Sumber Data
1. Jenis Data
Berdasarkan sifatnya jenis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data kuantitatif, yaitu data dalam bentuk angka dan dapat
dinyatakan dalam satuan hitung. Data kuantitatif dalam penelitian
ini berupa data yang terdiri atas modal (modal dasar dan modal
disetor), sumber dana, total aset, jenis, dan besarnya kredit yang
disalurkan.
2. Sumber Data
Berdasarkan sumbernya data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data primer dan data sekunder.
a. Data primer merupakan data yang secara langsung diperoleh
dari objek penelitian, yaitu perusahaan pembiayaan yang
masih harus diteliti serta data yang memerlukan pengolahan
lebih lanjut. Data tersebut merupakan hasil wawancara dengan
pengambil keputusan yang terkait dengan aktivitas usaha
pembiayaan, seperti pemilik, direktur, atau manajer terkait.
b. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari unit kerja,
lembaga, atau instansi terkait yang telah diolah, seperti
gambaran umum perusahaan, perkembangan usaha, kegiatan
yang dibiayai, sektor usaha yang dibiayai, dan kualitas aset
yang
dibiayai.
Data
ini
juga
dapat
diperoleh
dengan
mempelajari berbagai pustaka dan literatur lain yang memiliki
relevansi dengan sasaran penelitian. Data sekunder dalam
penelitian ini akan diperoleh dari Departemen Statistik (DSta)
Bank Indonesia dan laporan tahunan industri perusahaan
pembiayaan yang diterbitkan oleh OJK.
3. Menentukan Populasi dan Sampel
Populasi lembaga pembiayaan nonbank sampai dengan Maret 2013
mencapai 197 perusahaan (berdasarkan data Departemen Statistik
Bank Indonesia). Jumlah populasi tersebut relatif kecil dan homogen
sehingga dalam menentukan target responden pada penelitian ini,
digunakan non-probability sampling. Sebagian besar responden survei
berlokasi di Jabodetabek dan hanya beberapa responden yang
berlokasi di luar Jabodetabek.
Responden dipilih berdasarkan purposive random sampling, yaitu
responden yang dipilih mewakili lembaga pembiayaan bank dan
nonbank yang memiliki portofolio berupa sewa guna usaha (leasing),
anjak piutang (factoring), dan pembiayaan konsumsi. Responden
yang dipilih untuk mengisi kuesioner harus memiliki otoritas sebagai
pengambil keputusan di perusahaan, seperti pemegang saham,
direksi, dan manajer yang kompeten.
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dan informasi dalam penelitian ini diperoleh
melalui wawancara, Focus Group Discussions, dan studi literatur.
a. Wawancara
Dalam
pengumpulan
data
penelitian
ini
akan
dilakukan
serangkaian tanya jawab dengan pihak perusahaan pembiayaan
dengan bantuan kuesioner yang terstruktur yang dioleh dengan
menggunakan metode analisis statistika deskriptif.
b. Focus Group Discussions (FGD)
Pengumpulan data juga dilakukan dengan FGD bersama dengan
para pakar seperti Otoritas Jasa Keuangan selaku lembaga yang
mengawasi perusahaan yang bergerak di bidang pembiayaan,
praktisi di bidang pembiayaan, dan akademisi untuk memperoleh
gambaran yang jelas mengenai hasil pengamatan para pakar
terkait lembaga pembiayaan.
c. Studi Literatur
Selain butir a dan butir b di atas teknik pengumpulan data
dilakukan dengan membaca dan mempelajari teori dan literatur
yang berkaitan dengan objek penelitian, seperti jurnal, disertasi,
buku teks, dan materi yang lain dalam bentuk tulisan yang
berkaitan dengan lembaga pembiayaan.
5. Metode Analisis Data
a. Metode
yang digunakan
untuk menganalisis data dalam
penelitian ini adalah metode analisis deskriptif, yaitu metode yang
dilakukan dengan cara mengumpulkan data, menyusun, dan
menginterprestasikan sehingga diperoleh gambaran yang jelas
terhadap masalah yang diteliti.
b. Di samping itu, juga akan digunakan metode analisis maximum
difference scaling (maxdiff) yang diperkenalkan oleh Jordan
Louviere pada tahun 1990, yaitu teknik pengukuran yang
menggunakan
jarak
maksimum
(maximum
difference)
antarvariabel.
Sebagaimana diketahui bahwa
metode pengukuran yang lazim
digunakan adalah pengukuran dengan 5 skala penilaian. Namun,
dalam survei ini juga akan digunakan sistem pengukuran MaxDiff
yang bertujuan untuk meningkatkan validitas hasil pengukuran data,
terutama data yang berkaitan dengan share of preference atau share
of usage jenis-jenis investasi (yaitu sekuritas aset UMKM vs. jenis
investasi yang lain).
Pengukuran
pemeringkatan
tingkat
data
preferensi
merupakan
atau
hal
penggunaan
yang
dengan
menyulitkan
bagi
responden. Terlebih melakukan pemeringkatan terhadap data dalam
jumlah yang besar (lima ke atas). Dengan pendekatan MaxDiff, proses
itu dipermudah karena responden hanya diminta memilih kelompok
kecil hal yang paling dibutuhkan dan yang tidak dibutuhkan. Sebagai
contoh untuk kasus survei ini, jenis pertanyaannya akan disusun
menjadi sebagai berikut.
Manakah di antara pilihan jenis investasi berikut yang paling
menarik bagi perusahaan Bapak/Ibu?
Manakah di antara pilihan jenis investasi berikut yang paling
kurang menarik bagi perusahaan Bapak/Ibu?
Sekuritisasi
UMKM
Danareksa
Valas
SBI
Paling
Menarik
Paling
Kurang
Menarik
1
2
3
4
1
2
3
4
aset
Pertanyaan ini diulangi untuk menjamin bahwa setiap pilihan jenis
investasi yang berbeda telah diperbandingkan. Metode ini tidak
hanya berdampak pada meningkatnya validitas data, tapi juga
memudahkan dalam hal analisis.
Metode pengukuran Maxdiff pada intinya didasarkan pada share
choice, yaitu setiap alternatif pilihan memiliki probabilitas tertentu
untuk dipilih.
Keterangan: i merupakan alternatif pilihan, sedangkan k
merupakanah jumlah alternatif pilihan.
Dalam teori alternatif j akan dipilih jika setelah dibandingkan dengan
alternatif yang lain alternatif tersebut memililik nilai p paling besar.
Pendekatan yang dilakukan untuk mendapatkan dugaan paramater v
adalah dengan maximum likelihood (ML) atau dengan hierarchical
bayes (HB). Untuk survei ini, pendekatan pendugaan parameter akan
didasarkan pada metode HB. Metode itu, menurut Louviere, tidak
mensyaratkan jumlah sampel banyak, seperti pada ML. Keuntungan
pendugaan parameter dengan menggunakan metode HB adalah hasil
dugaannya bersifat individual sehingga untuk pendugaan suatu
segmen cukup ”menjumlahkan” data dari setiap individu. Hal itu
sedikit berbeda dengan metodeML karena setiap segmen memerlukan
pendugaan yang berbeda. Hasil analisis yang diperoleh dari metode
MaxDiff ini adalah akan diperoleh gambaran dugaan terkait dengan
share of demand dari jenis investasi yang diminati investor.
3.3
Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan lembaga pembiayaan
adalah perusahaan pembiayaan yang diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
Dalam Pasal 1 huruf (b) disebutkan bahwa Perusahaan Pembiayaan
adalah badan usaha di luar Bank dan Lembaga Keuangan Bukan
Bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang
termasuk dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan. Dengan kata
lain,
Perusahaan
Pembiayaan
merupakan
badan
usaha
yang
melaksanakan kegiatan usaha dari lembaga pembiayaan.
Kegiatan Perusahaan Pembiayaan merupakan sebagian kegiatan
yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan. Dalam Pasal 2 Peraturan
Menteri
Keuangan
Pembiayaan
No.
disebutkan
84/PMK.012/2006
bahwa
Perusahaan Pembiayaan antara lain:
a. sewa guna usaha;
b. anjak piutang;
c. usaha kartu kredit; dan/atau
d. pembiayaan konsumen.
Sewa Guna Usaha
bentuk
tentang
kegiatan
Perusahaan
usaha
dari
Sewa guna usaha (leasing) merupakan kegiatan pembiayaan dalam
bentuk penyediaan barang modal, baik secara sewa guna usaha
dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak
opsi (operating lease) untuk digunakan oleh penyewa guna usaha
(lessee)
selama
jangka
waktu
tertentu
dengan
berdasarkan
pembayaran secara angsuran.
Kegiatan sewa guna usaha dilakukan dalam bentuk pengadaan
barang modal bagi penyewa guna usaha, baik dengan maupun tanpa
hak opsi untuk membeli barang tersebut. Pengadaan barang modal
dapat juga dilakukan dengan cara membeli barang penyewa guna
usaha yang kemudian disewagunausahakan kembali. Sepanjang
perjanjian sewa guna usaha masih berlaku, hak milik atas barang
modal objek transaksi sewa guna usaha berada pada perusahaan
pembiayaan.
Anjak Piutang
Anjak piutang (factoring) adalah kegaitan pembiayaan dalam bentuk
pembelian piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut
pengurusan atas piutang tersebut.
Dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan No. 84/PMK.012/2006
tentang Perusahaan Pembiayaan disebutkan bahwa kegiatan anjak
piutang dilakukan dalam bentuk piutang dagang jangka pendek
suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut.
Kegiatan anjak piutang tersebut dapat dilakukan dalam bentuk anjak
piutang tanpa jaminan dari penjual piutang (without recourse) atau
anjak piutang dengan jaminan dari penjual piutang (with recourse).
Anjak piutang without recourse adalah kegiatan anjak piutang yang
seluruh
risiko
ketaktertagihan
utang
ditanggung
perusahaan
pembiayaan, sedangkan anjak piutang with recourse adalah kegiatan
anjak piutang yang seluruh risiko ketaktertagihan sebagian atau
seluruh
piutang
yang
dijual
kepada
Perusahaan
Pembiayaan
ditanggung oleh penjual piutang.
Usaha Kartu Kredit
Usaha kartu kredit (credit card) adalah kegiatan pembiayaan untuk
pembelian barang dan/atau jasa dengan menggunakan kartu kredit.
Kegiatan usaha kartu kredit dilakukan dalam bentuk penerbitan
kartu kredit yang dapat dimanfaatkan oleh pemegangnya untuk
pembelian barang dan/atau jasa. Perusahaan Pembiayaan yang
melakukan kegiatan usaha kartu kredit, sepanjang berkaitan dengan
sistem pembayaran, wajib mengikuti ketentuan Bank Indonesia.
Pembiayaan Konsumen
Pembiayaan
pembiayaan
konsumen
konsumen
untuk
dengan
(consumer
pengadaan
finance)
barang
pembayaran
adalah
berdasarkan
secara
angsuran.
kegiatan
kebutuhan
Kegiatan
pembiayaan konsumen dilakukan dalam bentuk penyediaan dana
untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan
pembayaran secara angsuran. Kebutuhan konsumen yang dimaksud
meliputi pembiayaan kendaran bermotor, pembiayaan alat-alat
rumah
tangga,
pembiayaan
barang-barang
elektronik,
dan
pembiayaan perumahan.
Di samping Perusahaan Pembiayaan, objek lain dalam penelitian ini
adalah
bank
perumahaan.
yang
menyalurkan
kreditnya
untuk
pembelian
IV.
GAMBARAN
UMUM
LEMBAGA
KEUANGAN
DAN
PASAR
SEKUNDER MORTGAGE FACILITY DI BEBERAPA NEGARA
4.1
Malaysia
Regulator Utama
Fungsi
Bank Negara Malaysia
Menjaga stabilitas moneter dan
keuangan dan saat ini tengah
mendorong Malaysia menjadi salah
satu
pusat
keuangan
syariah
(Islamic financial hub).
Securities Commission Malaysia
Mengatur dan mengawasi aktivitas
pasar modal serta melaporkan
kepada Menteri Keuangan.
Labuan Financial Services Authority
Mengatur dan mengawasi pusat
bisnis dan keungan Labuan, dan
menjadi ketaatan pelaku bisnis
terhadap regulasi.
Cagamas Berhad
Fokus dalam penerbitan surat
berharga
berupa
asset-backed
securities
(ABS)
syariah
dan
nonsyariah.
Perbedaan utama pasar keuangan di Malaysia dibandingkan dengan
negara-negara lain adalah penekanannya pada penerapan perbankan
syariah (Islamic banking practices). Terdapat lebih dari 100 instrumen
keuangan syariah, termasuk sukuk (Islamic bonds) yang berdenominasi
mata
uang
asing.
Keuangan
syariah
masih
tetap
menunjukkan
pertumbuhan yang kuat di Malaysia, terutama di empat area utama, yaitu
perbankan syariah, takaful dan re-takaful, pasar uang antarbank dengan
prinsip syariah, dan pasar modal syariah. Di samping itu, pasar keuangan
di Malaysia juga didukung oleh lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki
spesialisasi masing-masing, misalnya spesialisasi pada usaha kecil dan
menengah (UKM), impor-ekspor, dan pertanian.
Jika dibandingkan dengan negara tetangganya, seperti Indonesia dan
Cina, sekuritisasi di Malaysia memainkan peran yang sangat penting. Salah
satu
lembaga
yang
memiliki
peran
penting
di
dalam
mendorong
perkembangan sekuritisasi aset di Malaysia hingga maju seperti saat ini
adalah Cagamas Berhad atau biasa dikenal dengan National Mortgage
Corporation, yang didirikan pada tahun 1986 oleh pemerintah Malaysia.
Tujuan pendirian lembaga ini adalah untuk mengembangkan pasar
sekunder mortgage facility. Fungsi dan peran Cagamas Berhad ini tidak
ubahnya seperti Fannie Mae dan Freddie Mac di Amerika Serikat. Surat
berharga yang diterbitkan oleh Cagamas Berhad adalah Cagamas Bonds
yang penerbitannya diatur oleh Securities Commission. Obligasi dengan
rating triple A (“AAA”) ini mungkin adalah satu-satunya obligasi yang
diterbitkan oleh perusahaan di Malaysia yang mendukung pertumbuhan
kepemilikan rumah dengan mengefektifkan fungsi pasar sekunder kredit
kepemilikan rumah. Dalam hal pengembangan pasar sekunder tersebut,
pemerintah
Malaysia
menunjukkan
komitmen
yang
kuat
dalam
mempromosikan sekuritisasi aset, salah satunya adalah pemberian insentif
pajak kepada lembaga pembiayaan yang akan melakukan sekuritisasi aset
yang berupa pembebasan pembayaran pajak.
Tujuan pembentukan Cagamas Berhad oleh pemerintah Malaysia
pada tahun 1976 sama dengan ketika pemerintah Indonesia mendirikan
SMF. Pemerintah Malaysia ingin mendorong kepemilikan rumah bagi
penduduk berpendapatan rendah dan menengah dan hal ini hanya akan
terwujud
apabila
tersedia
fasilitas
kredit
murah.
Terdapat
empat
karakteristik dari mortgage-backed securities (MBS) yang diterbitkan oleh
Cagamas Berhad, yaitu sebagai berikut.
1. Purchased with recourse: primary lenders menanggung biaya jika terjadi
kegagalan bayar (default) oleh debitur. Meskipun skema pembelian non-
recourse telah diperkenalkan pada tahun 1999, sebagian besar bank
lebih
menyukai
menjual
kredit
mereka
dengan
recourse
untuk
menghindari penghapusan kredit yang lancar dari neraca perusahaan.
Sampai dengan Desember 2010, 51 persen posisi pembelian adalah
pembelian dengan recourse.
2. Repurchase option during interest-review periods: lembaga keuangan
diizinkan untuk membeli kembali (repurchase) kredit mereka jika tingkat
bunga yang ditetapkan berbeda dengan acuan tingkat bunga yang
ditetapkan oleh Cagamas dalam kurun waktu tertentu.
3. Liquid: obligasi Cagamas diklasifikasikan sebagai aset likuid pada neraca
perusahaan.
4. Dana
yang
diperoleh
dari
penjualan
mortgage
kepada
Cagamas
dibebaskan dari persyaratan yang ada dalam perundang-undangan dan
persyaratan likuiditas. Ini merupakan insentif yang diberikan kepada
bank sebagai originator yang melakukan sekuritisasi aset.
Cagamas
Berhad
memiliki
anak
perusahaan
yang
beroperasi
mewakilinya, CMBS, untuk menerbitkan RMBS. Ciri utama dari suratsurat utang yang diterbikan oleh Cagamas adalah fixed conventional
commercial floating paper, Islamic commercial paper, fixed conventional
medium-term notes, dan fixed and floating Islamic medium-term notes.
Tipikal obligasi semi-annual mengharuskan minimum jumlah aset yang
disekuritisasi sebesar RM 1 juta, sementara itu di pasar sekunder surat
berharga yang diterbitkan minimum berdenominasi RM 1000.
Selain Cagamas Berhad, dan khususnya anak perusahaannya CMBS,
beberapa bank juga melakukan sekuritisasi terhadap aset-asetnya meski
dalam jumlah yang tidak signifikan jika dibandingkan dengan yang
dilakukan Cagamas Berhad.
4.2
Korea
Regulator Utama
Fungsi
Bank of Korea
Mengelola
kebijakan
moneter,
stabilitas keuangan, dan sistem
pembayaran di Korea.
Financial Supervisory Commission
Mengatur, mengawasi, dan menjaga
pasar
keuangan
melalui
dua
lembaga utama di bawahnya, yaitu
Financial Supervisory Service dan
Securities and Futures Commission.
Korea Securities’ Dealers Association
Menjamin perdagangan yang adil
dan melindungi investor dengan
mengelola
pasar
obligasi
dan
mengawasi pelaku di pasar modal.
Korea Exchange Market (KRX)
Self Regulatory Organisation (SRO)
yang mengawasi pasar saham di
Korea.
Korea Housing Finance Corporation
Dalam jangka panjang memfasilitasi
tercapainya stabilitas penawaran
perumahan
dan
menangani
instrumen lain yang berhubungan
dengan perumahan.
Setelah dilakukan pemisahan dengan Korea Utara beberapa dekade yang
lalu, Korea Selatan menikmati pertumbuhan ekonomi dan saat ini
menempati urutan ke-15 negara ekonomi terbesar di dunia. Meskipun
demikian,
rating
kredit
pada
pasar
keuangan
Korea
masih
tetap
berfluktuasi walaupun memiliki fundamental ekonomi yang kuat. Hal itu
disebabkan oleh adanya ancaman militer Korea Utara.
Pada 1997 Korea Selatan mengalami krisis keuangan yang cukup berat
sebagai dampak dari krisis keuangan sehingga memaksa negara tersebut
meminta bantuan dana kepada
Konsekuensi
logis
yang
dihadapi
International Monetary Fund
Korea
Selatan
waktu
itu
(IMF).
adalah
meluluskan keinginan IMF agar pemerintah Korea Selatan meliberalisasi
pasar modal. Penerbitan asset-backed securities (ABS) merupakan salah
satu instrumen yang cukup berhasil pascakrisis finansial. Selama periode
krisis jumlah kredit macet (non performing loan/NPL) meningkat secara
signifikan sehingga pemerintah perlu membuat suatu mekanisme yang
dapat
mengobati
masalah
tersebut.
Ketika
pemerintah
Indonesia
melakukan pembelian aset dan menjual kembali di pasar dalam rangka
menggairahkan perekononian, pemerintah Korea Selatan mendirikan Korea
Mortgage Corporation (KoMoCo) yang bertugas untuk membeli mortgage,
menyekuritisasinya, dan menjual kredit tersebut kepada masyarakat
dengan yield atractive.
Pada tahun 1998 pemerintah merilis asset-backed securities law untuk
mendorong realisasi restrukturisasi kredit yang diikuti dengan mortgagebacked securities law pada tahun 1999 dan aturan hukum lainnya.
Korea Housing-Finance Cooperation (HF) yang didirikan antara tahun
2003—2004
saat
ini
telah
menerbitkan
mortgage-backed
securities,
mortgage-backed bonds, dan student loan-backed securities. Pinjaman
kepada pelajar merupakan pinjaman jangka pendek dengan tingkat bunga
yang tinggi karena penawaran yang terbatas. Melalui penerbitan surat
berharga yang di-back up dengan pinjaman pelajar, pemerintah berharap
dapat terus menyediakan pinjaman pelajar dalam jangka panjang dengan
tingkat bunga yang rendah. Saat ini, sekuritisasi aset marak dilakukan
oleh pihak swasta setelah berlakunya Asset Securitization Act pada 1998.
Penerbit utama atau dikenal dengan istilah originator di antaranya adalah
perbankan
utamanya
dan
perusahaan
berasal
dari
penerbangan.
perusahaan dana
Sementara
pensiun
dan
itu,
pembeli
perusahaan
asuransi. Pemerintah Korea Selatan juga memberikan insentif pajak,
seperti halnya Malaysia, kepada perusahaan originator yang menerbitkan
mortgage backed securities (MBS).
4.3. Amerika Serikat
Regulator Utama
Fungsi
Federal Reserve
Menjaga
kestabilan
harga
dan
pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan
moneter.
Department of the Treasury
Membantu
implementasi
kebijakan
fiskal,
mengatur
perdagangan,
mengumpulkan pajak, dan mencetak
uang atas nama bank sentral.
Securities
and
Commission (SEC)
Exchange Mengatur lembaga keuangan di AS
secara independen dan mengawasi
seluruh transaksi yang terjadi, termasuk
instrumen keuangan yang ada seperti
saham dan derifatif lainnya.
Federal
Deposit
Corporation (FDIC)
Insurance Menjamin simpanan masyarakat di bank
serta menjamin legal lending limit
sehingga
memenuhi
aturan
yang
berlaku.
Fannie Mae, Freddie Mac and Perusahaan yang disponsori negara yang
memfasilitasi
penyaluran
kredit
Ginnie Mae
perumahan di Amerika Serikat dan
pengembangan pasar sekundernya.
Pada akhir era tahun 1990-an terjadi kebangkrutan industri dotcom di
Amerika Serikat yang berimbas pada turunnya kepercayaan konsumen
terhadap perekonomian Amerika Serikat. Dalam rangka mendorong agar
perekonomian
kembali
bergairah,
The
Fed
menempuh
kebijakan
menurunkan suku bunga sembilan kali pada tahun 2001 hingga mencapai
level
terendah
sepanjang
empat
dekade.
Rendahnya
suku
bunga
mendorong masyarakat untuk mengajukan kredit, termasuk kelompok
yang sebelumnya tidak layak meminjam (subprime) ikut mengajukan kredit
perumahan. Selanjutnya investment bank mengemas kredit tersebut
menjadi
sekuritas
dan
menjualnya
kepada
investor
yang
berharap
memperoleh return yang tinggi. Permintaan kredit perumahan terus
meningkat
hingga
pertengahan
tahun
2000-an
dan
bank
tetap
menyediakan pembiayaan kepada debitur subprime tersebut.
Kejadian yang tidak dapat dihindari akhirnya terjadi, yaitu debitur
subprime tidak dapat membayar cicilan utang seiring dengan tren
meningkatnya suku bunga akibat perekonomian AS yang overheating.
Meningkatnya jumlah penawaran rumah dan menurunnya daya beli
masyarakat menekan harga rumah menjadi lebih murah dan puncaknya
pada tahun 2007 terjadi bubble burst pada industri properti residensial di
AS. Kegagalan bayar debitur perumahan tersebut akhirnya berimbas pada
kegagalan pasar derivatif kredit perumahan tersebut. Investment bank yang
memiliki
eksposur
residential
mortgage-backed
securities
(RMBS)
mengalami kerugian yang besar karena investor tidak tertarik lagi untuk
membelinya. Pemegang terbesar RMBS adalah Fannie Mae dan Freddie
Mac, keduanya merupakan perusahaan yang dibentuk pemerintah AS
untuk mendorong kepemilikan rumah murah. Akhirnya, pemerintah AS
harus mengeluarkan dana talangan sebesar USD 100 miliar.
Fannie Mae (Federal National Mortgage Association) dan Freddie Mae
(Federal Home Mortgage Corporation) merupakan perusahaan publik yang
memiliki
sejumlah
pemerintah.
pemegang
Terdapat
tiga
saham,
tetapi
karakteristik
tetap
yang
didukung
membedakan
oleh
kedua
perusahaan tersebut dengan perusahaan publik lainnya, yaitu mendapat
pengecualian untuk tidak melapor kepada pengawas pasar modal (SEC)-dikecualikan dari kewajiban membayar pajak--dan memperoleh fasilitas
kredit dari pemerintah.
Akibat
kejadian
great
depression,
Presiden
Franklin
D.
Roosevelt
mendirikan Fannie Mae untuk memfasilitasi ketersediaan likuiditas bagi
perbankan yang mengalami default akibat debitur yang tidak dapat
membayar. Setelah mengetahui Fannie Mae didukung oleh pemerintah,
bank mulai tidak berhati-hati dalam memberikan kredit, bahkan berani
memberi pasar perumahan booming karena kelompok masyarakat yang
sejatinya tidak mampu untuk membeli rumah dapat membeli rumah. Pada
1968, untuk mengurangi beban fiskal pemerintah, Fannie Mae akhirnya
menjadi perusahaan publik. Untuk mencegah praktik monopoli oleh Fannie
Mae, pada 1970 pemerintah mendirikan Freddie Mac dan menjadikannya
perusahaan publik pada 1989.
4.4 Inggris
Regulator Utama
Fungsi
Bank of England
Mengatur
kebijakan
moneter,
termasuk
menetapkan
aturan
mikroprudensial
dan
makroprudensial melalui komite
di BoE atau dikenal dengan
Financial Policy Committee.
Financial Conduct Authority
Melindungi konsumen, mengawasi
lembaga keuangan, dan menjamin
kompetisi berjalan sehat dan
berupaya
untuk
menciptakan
pasar keuangan yang efektif dan
efisien.
Prudential Regulation Authority
Mengawasi keamanan dan kinerja
bank dan lembaga keuangan
lainnya untuk mencegah risiko
sistemik.
Inggris merupakan tempat bagi lembaga-lembaga keuangan besar seperti
HSBC dan Barclays dan London merupakan salah satu pusat keuangan
terbesar di dunia. LIBOR (London Interest Bank Offered Rate) masih
menjadi suku bunga acuan yang penting bagi pasar uang antarbank di
dunia.
Pada
Desember
2009,
Debt
Management
Office
di
Inggris
mengimplementasikan skema penjaminan asset-backed securities (ABS)
dengan
aturan
yang
ketat.
Tujuan
utamanya
adalah
mendukung
perekonomian, memperbaiki akses pada pasar keuangan, dan melindungi
para pembayar pajak. Denominasi ABS hanya dalam poundsterling dengan
rating “AAA” dan diterbitkan di pasar modal London, Irlandia, dan
Luksemburg serta dijamin oleh pemerintah Inggris.
Penerbit RMBS yang utama di Inggris biasanya memiliki struktur sama
dengan sekuritisasi pada kartu kredit yang memiliki master trust. Kredit
lama akan diamortisasi, sedangkan kredit baru akan ditambahkan ke
dalam sekumpulan aset yang akan diputar kembali. Terdapat pula
sekumpulan peraturan yang cukup kompleks yang mengatur sekuritisasi
tersebut.
Terdapat karakteristik tertentu dari RMBS yang diterbitkan di Inggris.
Tidak seperti sekuritisasi di Amerika Serikat, di Inggris kredit perumahan
merupakan recourse debt. Peminjam tidak dapat menikmati manfaat pajak
apa pun, tetapi harus membayar capital gain pajak setiap kali membayar
cicilan utangnya sampai dengan 5 tahun. Secara khusus kredit perumahan
biasanya berjangka waktu jatuh tempo 25 tahun dengan amortisasi
menggunakan tingkat bunga tetap pada 2--3 tahun pertama, sesudah itu
suku bunga akan bervariasi. Kredit perumahan di Inggris juga tidak
menerapkan prepayment penalty.
Sebagai bagian dari Uni Eropa, perubahan dalam peraturan yang
ditetapkan Uni Eropa akan mempengaruhi Inggris. Pada Mei 2013
European Central Bank (ECB) mengumumkan bahwa dalam rangka
membuka akses pembiayaan kepada usaha kecil dan menengah (UKM),
ECB akan bekerja sama dengan European Investment Bank (EIB) untuk
mengimplementasikan ABS pada UKM tersebut. Hal itu menunjukkan
bahwa sekuritisasi memiliki manfaat yang besar bagi perekonomian.
V.
ANALISIS HASIL PENELITIAN
Untuk mencapai dua tujuan penelitian ini, yaitu (1) mengetahui potensi
implementasi sekuritisasi aset sebagai alternatif pendanaan bagi lembaga
pembiayaan
serta
melihat
potensi
secondary
mortgage facility
bagi
perbankan di Indonesia dan (2) mengetahui langkah-langkah yang
dibutuhkan
untuk
mengembangkan
sekuritisasi
aset
di
Indonesia,
khususnya mortgage backed securities, dalam bab ini akan dilihat lebih
dalam potensi sekuritisasi aset di Indonesia ditinjau dari sisi permintaan
(demand side) dan dari sisi penawaran (supply side) dengan menggunakan
gap analysis. Sebelum membahas mengenai sisi permintaan, penawaran,
dan gap analysis, terlebih dahulu akan dibahas mengenai kondisi pasar
sekuritisasi
di
Indonesia
yang
meliputi
peraturan
dan
ketentuan
sekuritisasi aset, perkembangan penerbitan sekuritisasi di Indonesia, dan
perkembangan kegiatan perusahaan pembiayaan.
5.1 KONDISI SEKURITISASI ASET DI INDONESIA
5.1.1 Peraturan dan Ketentuan Sekuritisasi Aset
Di Indonesia undang-undang tentang sekuritisasi masih dalam bentuk
rancangan (RUU) yang disusun pada tahun 2005 dan saat ini tengah
diajukan ke DPR. Regulasi terkait sekuritisasi saat ini mengacu pada
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, khususnya
Pasal 5 butir p dan Pasal 30 ayat (2) (lihat Lampiran). Peraturan yang
berkaitan dengan sekuritisasi di Indonesia pertama kali dikeluarkan oleh
Bapepam (saat ini berubah nama menjadi Otoritas Jasa Keuangan) pada
tahun 1997 yang dikenal dengan nama Kontrak Investasi Kolektif–Efek
Beragun Aset (KIK-EBA) dimana yang telah mengalami revisi pada tahun
2002 dan 2003. Berdasarkan keputusan Ketua Bapepam No. KEP-
28/PM/2003 disebutkan bahwa KIK-EBA adalah kontrak antara Manajer
Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat Efek Beragun Aset,
yaitu
Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolo investasi
kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan
penitipan kolektif.
Kegiatan perdagangan KIK-EBA diatur lebih lanjut dalam Lampiran
Keputusan Ketua Bapepam berikut ini (ketentuan lebih terperinci dapat
dilihat pada Lampiran):
a. Peraturan Bapepam Nomor V.G.5 tentang Fungsi Manajer Investasi
berkaitan dengan Efek Beragun Aset;
b. Peraturan Bapepam Nomor VI.A.2 tentang Fungsi Bank Kustodian
berkaitan dengan Efek Beragun Aset;
c. Peraturan Bapepam Nomor IX.C.9 tentang Pernyataan Pendaftaran
dalam Rangka Penawaran Umum Efek Beragun Aset;
d. Peraturan Bapepam Nomor IX.C.10 tentang Pedoman Bentuk dan Isi
Prospektus dalam Rangka Penawaran Umum Efek Beragun Aset;
e. Peraturan Bapepam Nomor IX.K.1 tentang Pedoman Kontrak Investasi
Kolektif Efek Beragun Aset, dan
f. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-147/PJ/2003 tanggal 13
Mei 2003 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang Diterima
atau Diperoleh Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset dan Para
Investornya.
Selain dasar hukum EBA sebagaimana disebutkan di atas, Bank Indonesia
juga mengatur kegiatan sekuritisasi yang dituangkan dalam Peraturan
Bank Indonesia No. 7/4/PBI/2005 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam
Aktivitas Sekuritisasi Aset bagi Bank Umum. Adapun aspek penting dalam
Peraturan Bank Indonesia tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1. Peraturan Bank Indonesia No. 7/4/PBI/2005
5.1.2 Perkembangan Penerbitan Sekuritisasi di Indonesia
Perusahaan-perusahaan di Indonesia yang telah menjadi originator, tetapi
melakukan sekuritisasi di luar negeri, yaitu:
a. Citibank NA, Cabang Jakarta telah melakukan sekuritisasi atas tagihan
kartu kreditnya pada tahun 1995 sampai dengan 1997;
b. PT Astra Sedaya Finance melakukan sekuritisasi tagihan kredit
kendaraan bermotornya pada bulan Juni 1996;
c. PT Bunas Finance Indonesia Tbk melakukan sekuritisasi tagihan kredit
kendaraan bermotornya pada bulan Februari 1997;
d. PT Astra International Tbk melakukan sekuritisasi tagihan kredit
mobilnya pada bulan Juni 1997;
e. PT Bank Bira Tbk melakukan sekuritisasi tagihan kredit kendaraan
bermotornya pada bulan Maret 1997;
f. PT Bank International Indonesia melakukan sekuritisasi tagihan kartu
kredit mendatangnya pada bulan Juli 1997;
g. PT Putra Surya Multidana Tbk melakukan sekuritisasi tagihan kredit
mobil dan sepeda motornya pada bulan Oktober 1997; dan
h. PT
Kaltim
Prima
Coal
melakukan
sekuritisasi
tagihan
ekspor
mendatangnya pada tahun 2004.
Sementara itu, perusahaan di Indonesia yang telah menjadi originator dan
disekuritisasi di dalam negeri baru PT Bank Tabungan Negara Tbk. BTN
telah melakukan sekuritisasi tagihan hipotik sejak 2008 hingga 2012 yang
besarnya masing-masing Rp111 miliar pada bulan Februari 2009 (transaksi
ke-1) dengan coupon rate 13%, Rp391 miliar pada bulan November 2009
(tansaksi ke-2) dengan coupon rate 11%, Rp750 miliar pada bulan
Desember 2010 (transaksi ke-3) dengan coupon rate 9,25%, Rp703 miliar
pada bulan November 2011 (transaksi ke-3) dengan coupon rate 8,.75%,
dan Rp1 triliun pada tahun 2012 (transaksi ke-4) dengan coupon rate
7,75%.
Sumber: PT Bank BTN Tbk.
Gambar 3. Perkembangan Transaksi Sekuritisasi BTN
5.1.3 Perkembangan Kegiatan Perusahaan Pembiayaan
Jika ditinjau dari kegiatannya, total aset perusahaan pembiayaan terus
mengalami
peningkatan
dari
tahun
ke
tahun.
Tercatat
total
aset
perusahaan pembiayaan pada tahun 2007 sebesar Rp127,26 triliun
meningkat menjadi Rp341,57 triliun pada akhir 2012 dan terus meningkat
menjadi Rp391,57 triliun pada triwulan III/2013 atau meningkat sebesar
67,5% sejak tahun 2007. Hal itu merupakan suatu peningkatan yang
sangat signifikan.
Sumber : Indikator Terkini Ekonomi dan Moneter,
Oktober 2013
Grafik 1. Total Aset Perusahaan Pembiayaan
Jika dilihat dari kegiatan usahanya, tampak bahwa pembiayaan yang
diberikan oleh perusahaan pembiayaan setiap tahunnya yang terbesar
diperuntukkan pembiayaan konsumen, yaitu sebesar 63% posisi akhir
2012 yang diikuti oleh pembiayaan untuk sewa guna usaha (35%).
Sementara itu, pembiayaan untuk anjak piutang masih amat sangat kecil
(2%) dan pembiayaan untuk kartu kredit hampir sama sekali tidak ada
(Grafik 2 dan
3).
Sumber : Hasil survei
dan Moneter, Oktober 2013
Sumber : Indikator Terkini Ekonomi
Grafik 2.
Sementara
Grafik 3.
itu,
dalam
melakukan
kegiatan
usahanya,
perusahaan
pembiayaan memberikan pembiayaan dengan bersumber dari pinjaman
dalam negeri dan luar negeri. Tercatat lebih dari separuh pinjaman
perusahaan pembiayaan bersumber dari dalam negeri (59%) dan sisanya
sebesar 41% berasal dari pinjaman luar negeri. Dari jumlah tersebut
sebagian besar berupa pinjaman dari perbankan (Grafik 4 dan Grafik 5).
Khusus perusahaan pembiayaan yang terafiliasi dengan bank, umumnya
mereka memperoleh pinjaman dari banknya.
Pinjaman Yang Diterima Oleh Perusahaan
Pembiayaan
Pinjaman Yang Diterima Perusahaan
Pembiayaan
Lainnya
7%
Pinjaman Luar
Negeri
41%
Pinjaman
Dalam Negeri
59%
Posisi Desember 2012
Sumber: Hasil survei
Grafik 4.
Bank
93%
Posisi Desember 2012
Sumber : Hasil survei
Grafik 5.
Pinjaman yang Diterima oleh Perusahaan Pembiayaan
Pinjamn
Diterima oleh Perusahaan Pembiayaan
(Luar Negeri dan Dalam Negeri)
(Bank dan Lainnya)
yang
5.2 Potensi Sekuritisasi Ditinjau dari Sisi Permintaan (Demand Side)
Potensi dari sekuritisasi ditinjau dari sisi permintaan dapat didekati--salah
satunya--melalui
banyaknya
investor
yang
ingin
membeli
KIK-EBA.
Menurut hasil FGD dengan PT Danareksa Investment Management,
dikemukakan bahwa saat ini banyak investor yang merasa tidak puas
dengan suku bunga yang rendah karena mereka memiliki target aktuari
yang masih tinggi. Kondisi tersebut telah mendorong investor untuk
mencari alternatif atau outlet investasi yang lain. Sekuritisasi aset
dipandang merupakan alternatif investasi yang lain di samping obligasi dan
saham.
Dengan memperhitungkan aset lembaga keuangan seperti Dana Pensiun,
Reksa Dana, serta Asuransi dan Bank yang tercatat sebesar Rp750 triliun,
tampak bahwa minat lembaga tersebut untuk melakukan investasi pada
KIK-EBA cukup tinggi, yaitu sebesar Rp480 triliun dengan asumsi 20% dari
aset lembaga tersebut digunakan untuk melakukan investasi pada KIKEBA dikurangi dengan yang outstanding sebesar Rp1,5 triliun (Tabel 2).
Minat
yang
cukup
besar
untuk
berinvestasi
oleh
Dana
Pensiun
kemungkinan didorong oleh Peraturan Pemerintah yang baru yang
memperkenakan Dana Pensiun dapat menginvestasikan dananya pada
surat berharga dengan peringkat Triple A (“AAA”) maksimal 20% dari total
dana yang dikelola.
Tabel 2. Perkiraan Investasi Pada EBA oleh Beberapa Lembaga
(triliun Rp.)
Perkiraan
Maksimum
Investasi Pada
EBA [asumsi
20% aset]
Lembaga
Aset
Dana
Pensiun
Reksa Dana
Asuransi
Bank
TOTAL
160
32
270
320
54
64
330
480
Sumber: bahan FGD PT Dana Reksa
Investment Mgt. 15 Maret 2013
Selain melihat jumlah investor yang potensial, potensi sekuritisasi ditinjau
dari sisi permintaan dapat pula didekati dengan mengukur jumlah emiten
dan nilai saham maupun obligasi yang diterbitkan. Jika dilihat dari
perkembangan saham dan obligasi di pasar perdana, tampak bahwa
penerbitan kedua instrumen pasar modal tersebut terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun, baik dalam jumlah penerbit (emiten)
maupun nilainya (Grafik 6.). Jumlah emiten di pasar saham meningkat dari
173 emiten pada tahun 2007 menjadi 221 emiten pada Oktober 2013 atau
meningkat sebesar 21,2%. Sementara itu, jumlah emiten di pasar obligasi
meningkat dari 468 emiten pada tahun 2007 menjadi 594 emiten pada
Oktober 2013 atau meningkat sebesar 21,7%.
Grafik 6. Jumlah Emiten dalam Pasar Saham dan Obligasi Perdana
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia
Jika ditinjau dari nilainya, pasar saham mengalami peningkatan dari
Rp327,94 triliun pada tahun 2007 menjadi Rp624,88 triliun pada bulan
Oktober 2013 atau meningkat sebesar 47,5% (Grafik 7). Sementara itu,
pasar obligasi mengalami peningkatan nilai dari Rp133,92 triliun pada
tahun 2007 menjadi Rp376,44 triliun pada bulan Oktober 2013 atau
meningkat sebesar 64,4%.
Grafik 7. Nilai Saham dan Obligasi (Perdana)
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia
Peningkatan dalam jumlah emiten dan nilai--baik untuk pasar saham
maupun pasar obligasi--menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan
permintaan yang meningkat terhadap instrumen di pasar modal. Dengan
demikian, terdapat peluang bagi sekuritisasi untuk berkembang sebagai
instrumen lainnya di pasar modal.
Grafik 8. Perkembangan Deposito Rupiah
Sumber : Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank
Indonesia
Potensi
pengembangan
sekuritisasi
aset
dapat
pula
dilihat
dari
perkembangan simpanan deposito rupiah di bank. Simpanan deposito
rupiah yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (lihat grafik
8)
menunjukkan
potensi
permintaan
KIK-EBA.
Dalam
hal
tingkat
pengembalian (return) deposito dinilai tidak lagi menguntungkan, KIK-EBA
dapat menjadi alternatif investasi yang menguntungkan bagi deposan (flight
to higher return).
5.3 Potensi Sekuritisasi Ditinjau dari sisi penawaran (Supply Side)
Jika ditinjau dari sisi penawaran, potensi sekuritisasi di Indonesia dapat
didekati dengan melihat jenis pembiayaan yang diberikan oleh perusahaan
pembiayaan yang dapat disekuritisasi. Jenis pembiayaan yang dapat
disekuritisasi oleh perusahaan pembiayaan adalah pembiayaan konsumen
yang diikuti dengan sewa guna usaha dengan pertimbangan kedua jenis
pembiayaan tersebut adalah yang paling besar disalurkan oleh perusahaan
pembiayaan dan memiliki kecenderungan terus meningkat (Grafik 9).
Khusus untuk pembiayaan konsumen, hanya pembiayaan dengan jangka
waktu menengah dan panjang yang sebaiknya disekuritisasi. Hal itu
didasarkan pada pengalaman BTN yang melakukan sekuritisasi aset atas
tagihan KPR-nya minimal dua tahun guna melihat track record dari
nasabahnya.
Grafik
9.
Pembiayaan
Jenis
Pinjaman
yang
Disalurkan
Perusahaan
Di samping itu, potensi sekuritisasi dapat pula dilihat dari daya tarik dan
minat perusahaan pembiayaan terhadap sekuritisasi. Semakin besar daya
tarik originator terhadap sekuritisasi diharapkan semakin besar pula
perusahaan pembiayaan untuk melakukan sekuritisasi. Hasil survei
menunjukkan bahwa 52% responden survei, khususnya perusahaan besar,
memandang bahwa pembiayaan melalui sekuritisasi aset cukup menarik
dan bahkan 16% responden khususnya perusahaan yang memiliki aset
sedang berpendapat sangat menarik (Grafik 10). Sementara itu, bank
sangat tertarik terhadap sekuritisasi yang ditunjukkan dengan lebih dari
60% responden bank menyatakan ketertarikannya.
Grafik 10 Minat untuk melakukan Sekuritisasi Aset
Sumber : Hasil survei
Apabila ditinjau lebih jauh minat untuk melakukan sekuritisasi, hanya
separuh (55%) responden perusahaan pembiayaan yang menyatakan
berminat (termasuk yang sangat berminat), sedangkan sisanya 45%
belum atau kurang berminat terhadap sekuritisasi aset. Demikian pula
mayoritas responden bank (lebih dari 60%) menyatakan kurang berminat
atau
tidak
berminat.
Sementara
itu,
sebesar
67%
perusahaan
pembiayaan yang terafiliasi menyatakan sangat berminat terhadap
sekuritisasi, angka yang cukup signifikan. Tingginya minat melakukan
sekuritisasi karena sekuritisasi dianggap sebagai alternatif sumber
pembiayaan untuk mengatasi shortage funding serta memberikan yield
yang tinggi (Grafik 11 dan Grafik 12).
SUMBER : HASIL SURVEI
GRAFIK 11.
URUTAN ASPEK SEKURITISASI ASET YANG
SUMBER : HASIL SURVEI
GRAFIK 12
URUTAN MANFAAT
SEKURITISASI
DIPANDANG
Di
sisi
MENARIK
lain,
responden
ASET
yang
menyatakan
kurang
tertarik
dengan
sekuritisasi aset disebabkan terutama oleh belum adanya kepastian hukum
dalam bertransaksi dengan menggunakan sekuritisasi aset di Indonesia.
Selain itu, masih adanya kelebihan likuiditas dan kemungkinan kesulitan
dalam pengelolaan administrasi sekuritisasi aset menjadi alasan lain
kurang atau tidak berminatnya responden terhadap sekuritisasi aset.
Sementara itu, untuk melihat potensi pengembangan sekuritisasi aset dari
sisi penawaran dapat pula dilihat dari besarnya kredit kepemilikan rumah
(KPR) yang diberikan oleh perbankan. Dari gambar di bawah ini tampak
bahwa penyaluran kredit KPR oleh perbankan mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun (Grafik 13). Tercatat KPR yang diberikan oleh bank
meningkat lebih dari dua kali lipat selama lima tahun terakhir. Posisi KPR
yang signifikan mencapai Rp276,96 triliun pada bulan Oktober 2013
menunjukkan bahwa terdapat potensi yang cukup besar bagi perbankan
untuk menyekuritisasi piutang KPR-nya. Dalam hal ini apabila mengacu
pada BTN yang telah melakukan sekuritisasi sebesar 1% atas asetnya,
potensi KPR yang dapat disekuritisasi mencapai Rp2,8 triliun.
Grafik 13. Penyaluran Kredit Pemilikan Rumah oleh Perbankan
Kredit Pemillikan Rumah yang Diberikan
Bank -Bank
300,000
250,000
200,000
150,000
miliar Rp.
100,000
50,000
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Okt 2013
Sumber : Indikator Terkini Ekonomi dan Moneter Oktober
2013
5.4 Gap Analysis dan Pengembangan Sekuritisasi Aset di Indonesia
Dari uraian di atas, penulis mencoba untuk menuangkan hal atau upayaapa saja yang perlu diperbaiki atau dipenuhi ke dalam matriks gap
analysis sebagaimana tersebut di bawah ini. Upaya yang perlu dilakukan
dalam rangka mengembangkan pasar sekuritisasi di Indonesia meliputi
(lihat matriks) hal berikut.
1. Mempercepat
dikeluarkannya
undang-undang
tersendiri
yang
mengatur sekuritisasi aset.
2. Memperbanyak jumlah perusahaan atau bank yang dapat bertindak
sebagai originator atau investor. Hal itu dapat ditempuh melalui
pemberian insentif (sweetener) kepada calon originator. Bentuk insentif
tersebut, antara lain, berupa pembebasan/pengurangan pajak bagi
perusahaan atau bank yang ingin melakukan sekuritisasi dan
memasukkan sekuritisasi dalam komponen penghitungan capital
adequacy ratio (CAR) dan/atau berupa loan to deposit ratio (LDR).
3. Membentuk special purpose vehicle yang dapat membeli tagihan dari
originator untuk disekuritisasi dan selanjutnya dijual kepada investor.
Dalam hal ini peran PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) dapat
diperluas tidak hanya mencakup kegiatan sekuritisasi untuk properti,
tetapi juga dapat diperluas untuk yang lain, seperti kredit konsumsi,
sewa guna usaha, atau anjak piutang.
4. Meningkatkan pemahaman masyarakat, khususnya pihak-pihak yang
terlibat dalam kegiatan sekuritisasi, melalui edukasi dan sosialisasi
mengenai sekuritisasi aset.
Meningkatkan pemahaman mengenai sekuritisasi melalui edukasi dan
sosialisasi bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan sekuritisasi
dipandang
sebagai
sesuatu
yang
urgen
mengingat
hasil
survei
menunjukkan bahwa baru 50% perusahaan pembiayaan yang benarbenar paham mengenai konsep sekuritisasi, sedangkan pemahaman
mengenai sekuritisasi oleh perusahaan pembiayaan yang terafiliasi dan
bank jauh lebih baik.
Dari beberapa kali FGD terungkap bahwa terdapat beberapa perusahaan
yang berencana melakukan sekuritisasi aset, tetapi terhenti karena
permasalahan mengenai ketentuan dalam melakukan sekuritisasi aset,
seperti yang dialami Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang mengalami
masalah pencatatan akuntansi ketika akan menjual tagihannya dan salah
satu bank devisa yang mengalami masalah perlakuan pajak pada saat
akan melakukan sekuritisasi atas tagihannya.
Edukasi dan sosialisasi mengenai sekuritisasi aset dipandang krusial
karena hasil survei menunjukkan bahwa sedikit sekali responden (± 10%)
berpendapat sekuritisasi aset di Indonesia akan berkembang dalam
jangka pendek. Bank dan perusahaan pembiayaan berdasarkan hasil
survei
sebagian
besar
mengganggap
sekuritisasi
aset
baru
akan
berkembang dalam jangka menengah panjang. Kondisi tersebut perlu
dicermati karena sekuritisasi di Indonesia telah diatur dalam ketentuan
Bapepam sejak tahun 1997 yang dikenal dengan nama KIK-EBA dalam
implementasinya baru satu perusahaan, yaitu BTN yang melakukan
sekuritisasi di dalam negeri. Kurang pahamnya konsep mengenai
sekuritisasi aset telah menjadikan instrumen ini kurang menarik bagi
originator (perusahaan pembiayaan dan bank) meskipun sesungguhnya
konsep itu memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan instrumen
yang lain seperti obligasi dan saham.
Tabel 3. Keunggulan KIK-EBA Dibandingkan dengan Produk Sejenis
Selanjutnya dalam mengembangkan sekuritisasi di Indonesia penting
pula dikaji secara lebih dalam perlunya lembaga penjamin. Sebagian
besar perusahaan pembiayaan (77%) dan bank menghendaki keberadaan
lembaga penjamin yang menjamin investor dalam hal terjadi default
pembayaran oleh debitur. Namun, pendapat beberapa pakar dalam FGD
(seperti BTN dan Fitch Rating Indonesia) mengemukakan bahwa lembaga
penjamin tidak diperlukan karena konsep sekuritisasi salah satunya
adalah bank remoteness, yaitu
investor terbebas dari tidak tertagihnya
piutang dalam hal debitur gagal bayar. Di samping itu, peraturan OJK (
dan Bank Indonesia yang mengharuskan originator membeli KIK-EBA
kelas
junior
merupakan
bentuk
jaminan
bahwa
originator
tetap
bertanggung jawab kepada investor jika debitur default dalam melakukan
pembayaran.
Tabel 4. Gap Analysis Pengembangan Sekuritisasi Aset di Indonesia
EXISTING CONDITION
Perangkat hukum
Sisi penawaran (supply side )
Sisi permintaan (demand side )
Sekuritisasi diatur dalam UU No. 8
Tahun 1995 tentang Pasar Modal
dan peraturan Bapepam terkait
sekuritiasi aset
Meski dahulu pernah ada ± 8
perusahaan yang menjadi
originator dengan menerbitkan
sekuritisasi namun di luar negeri,
namun saat ini baru ada 1
originator yang menerbitkan di
dalam negeri, yaitu Bank BTN.
Saat ini investor untuk membeli
KIK-EBA cukup beragam, yaitu
yayasan dana pensiun,
perusahaan asuransi, reksa dana,
bank, lembaga penjamin,
multifinance, agen pemerintah
(mis. SMF), mutual fund, dll.
Pasar sekuritisasi aset di Indonesia Masih terbatas pasar primer
Di Indonesia saat ini baru
terdapat KIK-EBA yang mengikat
manajer investasi dan bank
kustodian.
Produk
Berdasarkan survei dan hasil FGD,
rendahnya minat melakukan
sekuritisasi disebabkan oleh
pemahaman yang kurang
Pemahaman terhadap sekuritisasi terhadap kegiatan sekuritisasi
GAP ANALYSIS
EXPECTED CONDITION
Perlu mempercepat disahkannya
RUU tentang Sekuritisasi Aset
yang saat ini sudah di DPR.
Terdapat Undang-undang yang
khusus mengatur mengenai
sekuritisasi aset di Indonesia
sehingga akan mempermudah
pihak-pihak yang akan melakukan
kegiatan sekuritisasi
Pemerintah perlu mengupayakan
untuk menambah jumlah
originator melalui pemberian
berbagai insentif (sweetener )
Originator diharapkan lebih dari 1
perusahaan/bank agar sekuritisasi
berkembang di Indonesia.
Jumlah investor perlu ditambah
agar sekuritisasi aset semakin
berkembang yaitu dengan
Pemerintah mengeluarkan
berbagai kebijakan yang
memperkenankan institusi
tertentu untuk membeli KIK-EBA,
misal ketentuan perusahaan atau
pihak asing dapat membeli KIKEBA yang diterbitkan oleh
originator dari dalam negeri
Investor diharapkan dalam jumlah
yang cukup dan dari berbagai
pihak.
Agar pasar sekunder dari
sekuritisasi aset dapat
berkembang diperlukan jumlah
originator yang cukup banyak
Perlu menciptakan SPV (special
purpose vehicle ) sebagai lembaga
yang membeli tagihan originator
dan menjual sekuritisasi aset.
Dalam hal ini perlu meningkatkan
peran Sarana Multigriya Finansial
(SMF) sebagai SPV yang tidak saja
menyalurkan kredit namun juga
dapat menerbitkan sekuritisasi
aset. Participation Letter yang
dipandang sebagai breakthrough
bagi SMF untuk dapat
meningkatkan perannya sebagai
SPV.
Diharapkan berkembang ke pasar
sekunder
Pemerintah perlu untuk
mengedukasi dan
mensosialisasikan kepada
masyarakat mengenai sekuritisasi
khususnya pihak-pihak terkait
seperti legal advisor dan
akuntan.
Diharapkan masyarakat paham
mengenai kegiatan sekuritisasi
sehingga akan mendorong minat
untuk berpartisipasi dalam
kegiatan sekuritisasi sehingga
akan mendorong
berkembangnnya pasar primer
dan sekunder dari sekuritisasi
aset.
Diharapkan produk yang tersedia
adalah sekuritisasi aset (seperti di
US, Malaysia, Korea) dimana SPV
berperan sebagai lembaga yang
menerbitkan sekuritisasi aset.
BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Dari uraian pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik simpulan sebagai
berikut.
a. Saat ini sekuritisasi aset di Indonesia mengacu pada UU No. 8 Tahun
1995 tentang Pasar Modal dan diatur dalam Peraturan yang
dikeluarkan oleh OJK Tahun 1997 yang disempurnakan pada tahun
2002 dan 2003. Kegiatan sekuritisasi aset juga diatur dalam
Keputusan
Direktur
Jenderal
Pajak
terkait
penghasilan
yang
diperoleh KIK-EBA dan para investornya serta diatur Bank Indonesia
berkenaan dengan prinsip kehati-hatian bank dalam melakukan
sekuritisasi aset.
b. Meski
terdapat
beberapa
perusahaan
dan
bank
yang
telah
melakukan sekuritisasi, baru BTN yang melakukan sekuritisasi di
dalam negeri dengan jumlah transaksi sebanyak lima kali dengan
nilai
total
mencapai
Rp1.96
triliun. Minimnya
originator
(sisi
penawaran) telah menyebabkan kurang berkembangnya sekuritisasi
aset di Indonesia. Hal itu yang menyebabkan pasar, baik pasar
primer
maupun
berkembang
pasar
sekunder
sebagaimana
dari
diharapkan
sekuritisasi
aset
tidak
pemerintah
atau
para
pengampu/pemangku kepentingan.
c. Pada dasarnya potensi implementasi sekuritisasi aset
sebagai
alternatif pendanaan bagi perusahaan pembiayaan jika dilihat dari
sisi permintaan cukup tinggi. Hal itu tercermin dalam minat yang
cukup besar oleh lembaga keuangan seperti Dana Pensiun, Reksa
Dana,
Perusahaan
Asuransi,
dan
bank
untuk
melakukan
sekuritisasi, selain semakin meningkatnya penjualan saham dan
obligasi di pasar modal.
d. Pengembangan sekuritisasi jika ditinjau dari sisi penawaran juga
menunjukkan potensi yang besar yang dicerminkan oleh semakin
meningkatnya jenis pinjaman yang diberikan oleh perusahaan
pembiayaan, khususnya untuk pembiayaan konsumen dan sewa
guna usaha (leasing) dan kredit KPR yang diberikan oleh bank.
Potensi yang besar—dari sisi permintaan dan dari sisi penawaran
atas sekuritisasi aset—diharapkan akan mendorong pengembangan
pasar sekuritas di Indonesia.
e. Untuk mendorong pengembangan sekuritisasi aset di Indonesia,
perlu dilakukan edukasi yang mendalam dan sosialisasi yang
ekstensif kepada publik, khususnya pihak-pihak yang terlibat dalam
kegiatan sekuritisasi karena tingkat pemahaman pihak-pihak terkait
terhadap sekuritisasi aset masih tergolong rendah meskipun telah
disadari adanya daya tarik untuk melakukan sekuritisasi aset.
f. Kondisi perusahaan pembiayaan dan bank secara umum yang saat
ini memiliki kelebihan likuiditas menjadikan salah satu alasan
kurangnya urgensi untuk mengembangkan sekuritisasi aset dewasa
ini.
6.2. Saran
Dari
simpulan
tersebut
terdapat
beberapa
saran
yang
dapat
aset
dalam
dipertimbangkan, yaitu sebagai berikut.
a. Menyempurnakan
ketentuan
mengenai
sekuritisasi
rangka meningkatkan minat perusahaan pembiayaan dan bank
untuk melakukan kegiatan sekuritisasi di Indonesia. Saat ini
ketentuan yang ada baru berupa Peraturan Bapepam yang dikenal
dengan nama KIK-EBA sehingga dapat dipertimbangkan untuk
ditingkatkan menjadi undang-undang.
b. Memberikan berbagai insentif (sweetener) untuk menarik minat
perusahaan
pembiayaan
originator.
Bentuk
dan
bank
insentif
untuk
bertindak
sebagai
dapat
berupa
tersebut
penundaan/penghapusan pajak serta memasukkan KIK-EBA sebagai
komponen penghitungan capital adequacy ratio (CAR) dan loan to
deposit ratio (LDR).
c. Melakukan edukasi dan sosialisasi secara intensif, baik kepada
originator, investor, maupun lembaga pendukung seperti kantor
hukum (law firms), kantor audit, dan kantor pajak.
d. Memerlukan
penelitian
lebih
lanjut
untuk
melihat
dari
sisi
permintaan sehingga potensi sekuritisasi aset di Indonesia dapat
dilihat dari dua sisi (permintaan dan penawaran) sehingga dapat
tergambar dengan jelas dan dapat ditarik suatu simpulan yang
komprehensif terhadap pengembangan sekuritisasi aset di Indonesia
pada masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. 2008. “Studi
Analisis
Pengaruh
Faktor-Faktor
Ekonomi
Terhadap
Kinerja
Perusahaan Pembiayaan”. Departemen Keuangan
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. 2011. “Laporan
Tahunan Industri Perusahaan Pembiayaan”. Departemen Keuangan.
Bank BTN. 2011.”Sekuritisasi Aset KPR: Sebuah Strategi dalam Memitigasi
Isu Likuiditas”.
Barings, Ing. 1997. “Asset Securitization: Current Technique and Emerging
Market Applications”. Dalam Euromoney Publications PLC.
Cummings, J. D. dan Trainar, P. 2009 “Securitization, Insurance, and
Reinsurance”. Dalam The Journal of Risk and Insurance, 76 (3), hal.
463--492.
Dewi, Vera Intani. 2006. “Sekuritisasi Aset sebagai Peluang Bisnis dan
Peningkatan Solvabilitas Perusahaan”. dalam Bina Ekonomi, 10 (1),
hal. 86--95.
Doherty, N. A. dan Schlesinger, H. 2002. “Insurance Contracts and
Securitization”. Dalam The Journal of Risk and Insurance, 69 (1), hal.
45--62.
Fang, M. dan Long, F. 2009. “A Preliminary Look at Effects of Asset-Backed
Securitization
on
Shareholders”.
Dalam
Journal
of
Financial
Management of Property and Construction, 14 (3), hal. 248--256.
Haffner, M.E.A. 2008. “Subsidization as Motor to Residential Mortgage
Securitization in the US”. Dalam Journal of Housing and Built
Environment, 23 (4), hal. 337--351.
Han, L. M. dan Lai, G.C. 1995. “An Analysis of Securitization in the
Insurance Industry”. Dalam The Journal of Risk and Insurance, 62 (2),
hal. 286--296.
Harrell, C. E. dan Mark D. Folk, M. D. 1997. “Financing American Health
Security: The Securitization of Healthcare Receivables”, Dalam The
Business Lawyer, 50 (1), hal. 47--97.
Hu, J. C. 2011. Asset Securitization. Singapore: John Wiley & Sons.
Iacobucci,
E.M.
dan
Winter,
R.A.
2005.
“Asset
Securitization
and
Asymmetric Information”. Dalam The Journal of Legal Studies, 34 (1),
hal. 161--206.
Isnawangsih, Agnes. 1998/1999. “Sekuritisasi Aset di Indonesia”. dalam
Occassional Paper BI OP/98/03, Bank Indonesia.
Loutskina, E dan Strahan, P.E. 2009. “Securitization and the Declining
Impact of Bank Finance on Loan Supply: Evidence from Mortgage
Originations”. Dalam The Journal of Finance, 64 (2), hal. 861--889.
Kementerian
Keuangan,
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
84/PMK.012/2006 tanggal 29 September 2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
Ruslan, Dede. 2011. “Analisis Financial Deepening di Indonesia”. Dalam
Journal of Indonesian Applied Economics, Vol.5 No.2, Oktober 2011, hal
183--204.
Santoso, W., Nirwansyah, Shinta R.I. Soekro, Darmansyah, Hilde D.
Sihaloho.
2011.
“Pemanfaatan
Sekuritisasi
Aset
dalam
Rangka
Mendorong Sektor Riil: Alternatif Pembiayaan UMKM”. Dalam Working
Paper PPSK Bank Indonesia, WP/7/PPSK-BI/2011.
Download