model pengembangan perkebunan karet

advertisement
IV. GAMBARAN UMUM KAWASAN TRANSMIGRASI
BATUMARTA
4.1. Sejarah Singkat Pengembangan Kawasan Transmigrasi BATUMARTA
Kawasan Transmigrasi Batumarta pada awalnya secara administrasi terletak
dalam wilayah Kecamatan Peninjauan, Baturaja Timur dan Buay Madang
Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Provinsi Sumatera Selatan dengan luas
areal pencadangan 82.000 ha, masing-masing dengan Surat Keputusan (SK)
Gubernur KDH TK I Provinsi Sumatera Selatan Nomor : 39/KPTS/1975 tanggal
30 Juli 1975 seluas 65.000 ha, dan Surat Keputusan (SK) Gubernur KDH TK I
Sumatera Selatan Nomor : 703/KPTS/1983 tanggal 10 Desember 1983 seluas
17.000 ha (Kantor Departemen Transmigrasi Kabupaten OKU, 1993).
Pembangunan
Batumarta
permukiman
dilaksanakan
melalui
transmigrasi
Proyek
di
Kawasan
Transmigrasi
Transmigrasi
Batumarta
yang
berkedudukan di Kabupaten OKU, merupakan Pilot Project bantuan IBRD
(International Bank for Reconstruction and Development) dilaksanakan dalam 2
(dua) tahap yaitu IBRD I dan IBRD III dalam jangka waktu ± 10 tahun. Dalam
periode tersebut telah dibangun sebanyak 16 (enam belas) Unit Permukiman
Transmigrasi (UPT) dengan total penempatan pokok transmigran sebanyak 6500
KK, terdiri atas 4.500 KK yang ditempatkan pada UPT I s/d XI (IBRD I) dan
2.000 KK pada UPT XII s/d XVI (IBRD III). Rincian jumlah penempatan pokok
pada masing-masing UPT disajikan pada Tabel 5.
Alokasi peruntukan lahan (land utilization) dan luas total lahan yang
diberikan kepada para transmigran melalui proyek IBRD I berbeda dengan proyek
IBRD III yaitu 5 ha per KK untuk IBRD I dan 3,5 ha per KK untuk IBRD II.
Rincian alokasi peruntukan lahan dan luas masing-masing disajikan pada Tabel 6 .
Sketsa awal rencana tata ruang permukiman dan penggunaan lahan kawasan
Batumarta dapat dilihat pada Gambar 6.
Selanjutnya sejalan dengan pemekaran wilayah administrasi Kabupaten
Ogan Komering Ulu menjadi 3 (tiga) kabupaten yaitu Ogan Komering Ulu, Ogan
Komering Ulu Timur (OKU Timur) dan Ogan Komering Ulu Selatan (OKU
Selatan), maka Kawasan Transmigrasi Batumarta terbagi ke dalam 2 (dua)
60
Gambar 6 Sketsa awal rencana tata ruang permukiman dan penggunaan lahan
kawasan BATUMARTA
61
wilayah kabupaten yaitu OKU dan OKU Timur. Letak lokasi administrasi desa
(eks UPT) permukiman transmigrasi Batumarta pasca pemekaran kabupaten
secara terinci disajikan pada Tabel 7.
Tabel 5 Jumlah penempatan pokok transmigran yang dirinci menurut masingmasing UPT di Batumarta Kab. OKU
No.
UPT/Proyek
Penempatan pokok
Tahun
Penempatan
KK
400
500
438
336
364
393
386
274
301
391
717
497
503
250
350
400
6.500
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Ex UPT Batumarta I
1975/1976
Ex UPT Batumarta II
1975/1976
Ex UPT Batumarta III
1976/1977
Ex UPT Batumarta IV
1976/1977
Ex UPT Batumarta V
1979/1980
Ex UPT Batumarta VI
1979/1980
Ex UPT Batumarta VII
1979/1980
Ex UPT Batumarta VIII
1979/1980
Ex UPT Batumarta IX
1980/1981
Ex UPT Batumarta X
1980/1981
Ex UPT Batumarta XI
1980/1981
Ex UPT Batumarta XII
1982/1983
Ex UPT Batumarta XIII
1982/1983
Ex UPT Batumarta XIV
1984/1985
Ex UPT Batumarta XV
1984/1985
Ex UPT Batumarta XVI
1984/1985
JUMLAH
Sumber : Kandep Transmigrasi Kab. OKU (1993)
Jiwa
1720
2320
1929
1553
1795
1789
1678
1268
1384
1780
3388
2176
2388
1116
1355
1664
29.303
Tabel 6 Luasan lahan pertanian yang diberikan kepada transmigran di kawasan
Batumarta
IBRD I
Luas (ha)
IBRD III
Luas (ha)
Lahan pekarangan
Lahan usaha I
Lahan usaha II
Kebun karet
Cadangan
0,25
0,75
2,00
1,00
1,00
Lahan pekarangan
Lahan usaha I
Lahan usaha II
Kebun Karet
Cadangan
0,25
1,00
1,25
1,00
-
Jumlah
5,00
Jumlah
3,50
62
Tabel 7 Wilayah Kecamatan dan Desa dalam Kawasan Transmigrasi Batumarta
Kabupaten
Kecamatan
Sinar Peninjauan
Ogan Komering Ulu
Lubuk Raja
Ogan Komering Ulu
Timur
Madang Suku III
Desa
Marga Bakti
Karya Mukti
Karya Jaya
Sri Mulya
Marga Mulya
Tanjung Makmur
Batumarta 1
Batumarta 2
Lekis Rejo
Lubuk Banjar
Batu Marta 10
Bina Amarta
Batu Marta 6
Wana Bakti
Suka Damai
Karya Makmur 8
Keterangan
Eks UPT BM XI
Eks UPT BM XII
Eks UPT BM XIII
Eks UPT BM XIV
Eks UPT BM XV
Eks UPT BM XVI
Eks UPT BM I
Eks UPT BM II
Eks UPT BM III
Eks UPT BM IV
Eks UPT BM X
Eks UPT BM V
Eks UPT BM VI
Eks UPT BM VII
Eks UPT BM IX
Eks UPT BM VIII
Sumber : Data PODES Batumarta (2008)
Menurut World Bank (1994), Proyek Transmigrasi I yang lazim disebut
TRANS I (IBRD I) yang disetujui pada tahun 1976 merupakan pilot project yang
dimaksudkan untuk menguji strategi pengembangan pertanian, sosial dan
ekonomi lokasi-lokasi transmigrasi lahan kering (upland areas). Sejumlah 4.500
keluarga telah ditempatkan, dengan setiap keluarga menerima lahan 5 ha yang
dikembangkan dalam 2 (dua) tahap, di mana tahap pertama oleh proyek termasuk
penanaman 1 ha kebun karet, dan tahap kedua oleh petani itu sendiri dikemudian
hari. Adapun Proyek Transmigrasi III, yang lazim disebut TRANS III (IBRD III),
yang disetujui pada tahun 1982 (dalam Kawasan BATUMARTA), tetapi
mendapat alokasi lahan yang lebih kecil, yaitu 3,5 ha untuk petak lahan tanaman
pangan dan tanaman perkebunan dengan tahap pengembangan sama seperti pada
TRANS I. Gambaran daerah asal transmigran dapat diikuti dari data penempatan
transmigran pada TRANS I, yang mana dari 4500 KK yang ditempatkan terdiri
dari 4 persen berasal dari Bali, 35 persen dari Jawa Timur, 25 persen dari Jawa
Barat, 10 persen dari D.I. Yogyakarta, 20 persen dari Jawa Barat dan 6 persen
merupakan transmigran lokal.
Permukiman transmigrasi di kawasan transmigrasi Batumarta termasuk ke
dalam kategori Transmigrasi Umum Lahan Kering (TULK) dengan pola kegiatan
usaha pokok tanaman pangan, sehingga perlakuan pembinaan pada umumnya
63
sama dengan perlakuan yang diberikan bagi permukiman tranmigrasi umum pola
tanaman pangan lainnya. Hal yang membedakan perlakuan/pola pembinaannya
adalah pada alokasi lahan seluas 5 ha atau 3.5 ha per KK
berikut bantuan
pembangunan kebun karet seluas 1 ha bagi transmigran di UPT pada lokasi
penelitian dibandingkan alokasi lahan yang hanya 2 ha per KK dan tanpa bantuan
pembangunan kebun karet bagi lokasi-lokasi TULK lainnya.
Pengalaman pahit getir para petani pada umumnya dalam mengusahakan
usahatani tanaman pangan di lokasi penelitian selama 5 tahun masa pembinaan di
satu pihak, dan adanya indikasi keberhasilan pembangunan kebun karet seluas 1
ha dari bantuan proyek memberikan pembelajaran yng berharga dan rasa
optimisisme para petani untuk berpaling kepada pengusahaan tanaman karet dari
pada mengusahakan tanaman pangan. Selanjutnya sejak tahun 1982 dimana kebun
karet bantuan proyek pada lokasi TRANS I telah menghasilkan atau mulai
disadap, perhatian petani mulai tertuju kepada pengembangan tanaman karet. Bagi
lokasi Proyek TRANS III, penyadapan dimulai tahun 1982/1983.
Pengelolaan kebun karet transmigran di Batumarta menerapkan dua pola
yaitu pola bebas/non mini estate dan pola mini estate. Pola bebas adalah system
pengelolaan karet yang dilaksanakan sendiri oleh transmigran pada kebun
karetnya masing-masing. Pola mini estate adalah sistem pengelolaan karet yang
kegiatan penyadapan, pemeliharaan, pengolahan hasil dan pemasarannya melalui
KUD setempat dengan supervisi oleh PTP.
Pembinaan kebun karet secara keseluruhan dibina oleh tim pola terpadu,
sesuai dengan SK Bupati KDH Tk II OKU Nomor:525.21/120/V/1985 tanggal 12
Desember 1985 dan Tim Pembina proyek perkebunan daerah tingkat II (TP3D II).
Penerapan pola ini menunjukkan dampak yang positif untuk mempercepat
perkembangan ekonomi transmigran (Kandeptrans Kabupaten OKU, 1993).
Dengan berkembangnya perkebunan karet tersebut, warga transmigran secara
bertahap telah membuka Lahan Usaha II dan Lahan cadangan untuk
mengembangkan tanaman karet secara swadaya.
64
4.2. Kondisi Lingkungan Bio-geofisik
4.2.1. Letak Geografi
Kawasan transmigrasi Batumarta berada di dua kabupaten yaitu Kabupaten
Ogan Komering Ulu (OKU) dan Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur (OKU
Timur). Pada awalnya kawasan ini berada pada satu wilayah kabupaten, yaitu
Kabupaten OKU, namun seiring perkembangan wilayah maka dianggap perlu
untuk membagi wilayah Kabupaten OKU menjadi tiga Kabupaten, yaitu
Kabupaten OKU, Kabupaten OKU Timur dan Kabupaten OKU Selatan.
Akibatnya, kawasan transmigrasi ini berada pada dua wilayah kabupaten.
Kawasan Batumarta terletak diantara dua sungai besar yaitu sungai Ogan
disebelah barat dan sungai Komering di sebelah timur kawasan. Secara geografis
kawasan ini terletak diantara 3º 35´ – 4º 19´ LS dan 104º 10´ – 104º 40´ BT.
Menurut Lembaga Penelitian Tanah (1975), secara umum kawasan
Batumarta terletak pada ketinggian antara 40 meter di atas permukaan laut pada
bagian utara kawasan sampai 100 meter di atas permukaan laut pada bagian
selatan kawasan. Peralihan ketinggian sangat gradual, kecuali pada kompleks
Bukit Balau dengan puncak ketinggian 155 meter dari permukaan laut.
4.2.2 Iklim
Kawasan Batumarta termasuk ke dalam tipe iklim tropika basah dengan
rata-rata bulan basah (curah hujan >100 mm/bl) antara 9-10 bulan dan curah
hujan tipe A (Schmidt & Ferguson, 1951). Berdasarkan sistem klasifikasi iklim
Koppen, kawasan ini termasuk tipe iklim Af, yaitu iklim hujan tropis tanpa bulan
kering yang jelas, dan dengan suhu udara harian selama bulan kering tetap berada
di atas 22º C.
Curah hujan dan hari hujan bulanan tidak merata. Curah hujan tahunan
rata-rata berkisar antara 2.700 – 3.100 mm, dan pada umumnya di kawasan
bagian selatan lebih basah (>2.800 mm per tahun) di bandingkan bagian utara
(<2.800 mm per tahun) dengan selang variabilitas 10 – 25 persen (Lembaga
Penelitian Tanah, 1975).
Intensitas curah hujan tertinggi terjadi antara bulan November sampai
dengan bulan April dan yang terendah terjadi bulan Juni sampai dengan bulan
September. Untuk pengusahaan tanaman semusim lahan kering, wilayah ini
65
memiliki 6 bulan pertumbuhan atau masa pertanaman yaitu dari bulan November
hingga bulan April, sedangkan banyaknya bulan kering berkisar antara 4-5 bulan
per tahun yaitu antar bulan Juni hingga September. Pada bulan-bulan tersebut
curah hujan menurut Oldeman et al. (1980) mencukupi untuk pertumbuhan dan
produksi tanaman semusim lahan kering. Untuk pengusahaan tanaman tahunan
seperti kakao, karet dan kelapa sawit, kondisi iklim di wilayah ini cukup sesuai.
Dengan demikian kondisi curah hujan di wilayah ini dapat dinyatakan cukup
sesuai untuk pengembangan agribisnis.
4.2.3. Fisiografi dan Bentuk Wilayah.
Kawasan Batumarta terdiri atas dua fisiografi wilayah, yaitu wilayah dataran
(peneplain) dan cekungan. Genangan air atau cekungan kecil dan dangkal banyak
dijumpai di dalam kawasan, terutama di sepanjang pinggir sungai. Cekungan
agak luas dijumpai di di bagian timur kawasan berupa rawa di sekitar danau
Lebak Datuk. Tinggi permukaan air di daerah cekungan tersebut berfluktuasi,
yang mana pada musim hujan merupakan genangan air yang luas, kemudian
kering pada musim kemarau.
Bentuk wilayah bervariasi mulai dari datar sampai berbukit atau lereng dari
0-2% hingga diatas 25%. Di Kawasan Batumarta terdapat Sungai Gilas yang
membelah di tengah kawasan dan menjadi batas wilayah antara Kabupaten Ogan
Komering Ulu (OKU) dengan Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur (OKUT).
Sungai ini merupakan salah satu sumber air yang dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat sekitar kawasan.
Wilayah dataran dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelompok, yaitu : 1)
bentuk wilayah datar sampai berombak dengan bukit-bukit kecil (hillocks)
dengan lereng dominan 0-5 persen, 2) bentuk wilayah berombak sampai
bergelombang dengan bukit-bukit kecil dan lereng dominan 5-12 persen, 3)
bentuk wilayah bergelombang dengan bukit-bukit kecil dan lereng dominan 12-25
persen (Lembaga Penelitian Tanah, 1975 dan Pusat Penelitian Tanah 1982).
4.2.4. Geologi dan Bahan induk
Kawasan Batumarta termasuk ke dalam formasi Kuarter dan Tersier.
Formasi Kuarter hanya terdapat dalam jumlah sedikit di sepanjang tepi sungai dan
66
rawa-rawa yang terdiri dari bahan endapan air tawar yang berliat dan berpasir.
Formasi Tersier terdapat dalam area yang luas dan terdiri dari andesit, lapisan
Baturaja, lapisan Telisa dan lapisan Palembang Bawah dan Tengah (Lembaga
Penelitian Tanah, 1975).
Menurut Hikmatullah (1990), formasi Telisa yang berumur lebih tua
daripada formasi Palembang bersusunan batulumpur, batupasir berkapur,
batugamping bertufa yang tersingkap. Formasi Baturaja bersusunan batugamping
terumbu, batugamping berpasir dan napal. Formasi Palembang Anggota Tengah
da Bawah bersusunan batupasir bertufa, tufa masam dan napal bertuf dengan
sisipan –sisipan lignit dan fosil tumbuhan.
Lapisan Palembang utamanya terdiri dari batuan lumpur yang terbentuk dari
bahan vulkanik masam yang berasal dari bahan vulkano dari kompleks Bukit
Barisan. Lapisan Palembang Bawah terbentuk dalam periode Miosen Akhir
berupa liat batupasir yang berasal dari bahan yang bersifat dasitik dan liparitik,
mengandung kuarsa, plagioklas, sanidin dan biotit. Di beberapa tempat ia
mengandung fosil-fosil laut, terutama glaukonitik. Lapisan Palembang Tengah
terbentuk selama periode Pliosen, dan terdiri dari liparitik yang bertekstur halus,
tufa yang bersifat dasitik dan tufa-berpasir, pumiceous tuff, butir-butir kuarsa dan
batubara.
4.2.5. Hidrologi
Kawasan Batumarta dialiri oleh sungai Lekis, Gilas, Way Balak dan Way
Halom dan anak-anak sungainya. Sungai Lekis bermuara ke sungai Ogan, dan tiga
sungai lainnya bermuara ke sungai Komering. Sungai Ogan dan sungai Komering
mengalir dari hulu di Bukit Barisan, sedangkan air dari sungai Lekis dan Gilas
bersumber dari dalam kawasan. Oleh karena itu kualitas air sungai berbeda,
dimana air sungai Komering adalah yang terbaik, diikuti oleh sungai Ogan.
Kualitas air sungai Lekis lebih baik dari sungai Gilas, karena sungai Lekis melalui
singkapan batuan kapur.
Air tanah berada pada kedalaman 15-20 meter dan berfluktuasi dengan
musim. Terdapat banyak sumber air di dalam kawasan, terutama di dasar lembah,
tetapi alirannya sangat kecil dan kering pada musim kemarau.
67
4.2.6. Tanah dan Kesesuaian Lahan
Pada umumnya tanah yang terbentuk di dalam Kawasan Batumarta yang
berasal dari bahan endapan liat di daerah cekungan membentuk kelompok tanah
Gleisol, dan yang terbentuk dari bahan tersier yang bersifat masam di daerah
dataran membentuk kelompok tanah Podsolik. Klasifikasi tanah pada tingkat
Great Soil Group yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Tanah (1975),
membagi jenis tanah di dalam Kawasan Batumarta ke dalam 6 kelompok yaitu:
tanah alluvial (2 seri tanah), tanah-tanah hidromorfik kelabu (3 seri tanah), tanahtanah podsolik coklat (2 seri tanah), tanah-tanah podsolik merah kuning (8 seri
tanah), tanah-tanah lateritik (1 seri tanah), dan tanah kompleks. Tim Pusat
Penelitian Tanah (1982) yang melakukan survai kapabilitas tanah di SKP A
Batumarta mengelompokkan tanah di lokasi survai ke dalam 3 kelompok yaitu:
Gleisol Distrik, Podsolik Kromik dan Podsolik Plintik.
Menurut Widjaya dan Hidayati (2003), jenis tanah yang ada di lokasi calon
lahan berdasarkan sifat fisik tanahnya termasuk baik untuk mendukung
pertumbuhan tanaman karet, sedangkan sifat kimia tanah (kesuburan tanah)
umumnya masih rendah. Namun kesuburan tanah sendiri dapat ditingkatkan
dengan berbagai usaha penambahan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman
karet ke dalam tanah, antara lain melalui pemupukan, sehingga kesuburan tanah
yang rendah bukan merupakan masalah untuk pertumbuhan tanaman karet, karena
relatif mudah untuk diperbaiki.
Berdasarkan pengamatan di lapangan pada lokasi calon lahan dapat
diketahui kondisi fisik lahan yang meliputi kedalaman efektif tanah, pengamatan
bentuk muka lahan dan kemiringan lahan, serta drainase tanah. Kedalaman efektif
tanah merupakan parameter yang mendukung pertumbuhan akar tanaman karet, di
mana pada lokasi penelitian sangat bervariasi mulai 50 cm sampai > 100 cm.
Kondisi seperti termasuk dalam keadaan baik untuk kedalaman efektif > 100 cm
dan termasuk sedang apabila kedalaman efektif > 45 cm. Untuk tanaman karet
masih dapat tumbuh dengan baik pada tanah > 45 cm.
Berdasarkan evaluasi lahan terhadap kondisi lahan saat ini (present
condition), lahan-lahan di Kawasan Batumarta tergolong marginal sampai kurang
sesuai untuk pengembangan tanaman pangan, tetapi sesuai sampai sesuai marginal
68
untuk tanaman tahunan. Potensi lahan dapat ditingkatkan dengan perbaikan
kesuburan (Lembaga Penelitian Tanah, 1975). Menurut Widjaya dan Hidayati
(2003) yang menganalisis kesesuaian lahan Kawasan Batumarta untuk tanaman
karet dengan membandingkan antara karakteristik lahan dengan persyaratan lahan
dan iklim untuk tanaman karet mengemukakan bahwa lahan di Batumarta
tergolong Sangat Sesuai (S1).
Evaluasi lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tataguna tanah.
Inti evaluasi kesesuaian lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta
oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan, dengan sifat-sifat atau kualitas
lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Dengan cara ini, maka akan
diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian/kemampuan lahan untuk jenis
penggunaan lahan tersebut.
Klasifikasi kesesuaian atau kemampuan lahan adalah pengelompokan
lahan berdasarkan kesesuaiannya atau kemampuannya untuk tujuan penggunaan
tertentu. Pengelompokan ini biasanya dilakukan dengan menggunakan satuan peta
tanah (SPT), atau sering juga disebut satuan unit lahan dari hasil survei tanah
sebagai satuan evaluasi dan sebagai dasar untuk menentukan batas-batas
penyebarannya.
Klasifikasi kesesuaian atau kemampuan lahan adalah pengelompokan
lahan berdasarkan kesesuaiannya atau kemampuannya untuk tujuan penggunaan
tertentu. Pengelompokan ini dilakukan dengan menggunakan satuan peta tanah
(SPT), atau sering juga disebut satuan unit lahan (SUL) dari hasil survei tanah
sebagai satuan evaluasi dan sebagai dasar untuk menentukan batas-batas
penyebarannya.
4.3. Kependudukan dan Sosial Budaya
Berdasarkan data PODES (2009) yang disajikan pada Tabel 8, jumlah
penduduk di 16 desa ex UPT Kawasan Batumarta adalah 53.549 jiwa (13.940
KK) dari semula sejumlah 29.303 jiwa (6.500 KK) pada saat penempatan. Dari
luas wilayah sebesar 82.000 ha yang dicadangkan oleh Pemerintah untuk Proyek
Transmigrasi Batumarta, menurut data PODES (2008) tersebut, yang termasuk
dalam 16 desa ex UPT Batumarta hanya seluas 33.490,54 ha, sedangkan sisanya
69
termasuk dalam desa-desa sekitar baik itu berupa desa Asli (penduduk setempat)
maupun desa-desa baru yang merupakan perkembangan desa dari banyaknya
pendatang baru baik sebagai transmigrasi swakarsa mandiri yang berasal dari
Daerah Asal maupun dari penduduk setempat. Dengan demikian dari luas wilayah
(Kawasan Batumarta) yang dianalisis seluas 83.897,79 ha, seluas 50.407,25 ha
(60,08 %) termasuk ke dalam wilayah administrasi desa-desa sekitar ex UPT
Batumarta, yang terdiri dari 19 desa dengan jumlah penduduk 51.046 jiwa.
Apabila jumlah penduduk yang terdaftar di 16 desa ex UPT Batumarta
dibagi dengan luas areal di 16 desa tersebut, maka kepadatan penduduk rata-rata
di kawasan ini adalah 160 jiwa/km2, sedangkan apabila jumlah penduduk di 16
desa ex UPT dan desa-desa disekitarnya yang berada dalam areal kawasan
dijumlahkan dan dibagi dengan luas areal kawasan
keseseluruhan, maka
kepadatan penduduknya adalah 125 jiwa/km2. Sebanyak 92% keluarga di 16 desa
ex UPT bekerja di bidang pertanian, sedangkan di desa sekitarnya 80%, dan ratarata keluarga tani di dalam kawasan Batumarta 86%.
Penduduk di wilayah ini mempunyai mobilitas yang tinggi. Letak geografis
yang berada di antara kota Palembang dan Bandar Lampung dan didukung oleh
sarana dan prasarana transportasi cukup baik, merupakan salah satu penyebab dari
tingginya mobilitas pergerakan penduduk Kabupaten OKU dan OKU Timur.
Penduduk suku bangsa asli/lama tersebar dimasing-masing wilayah kecamatan,
sedangkan penduduk suku bangsa Jawa-Bali menyebar dikawasan-kawasan
transmigrasi dengan mata pencaharian sebagai petani, sedangkan penduduk
tionghoa menyebar dikawasan perkotaan dengan mata pencaharian sebagai
pedagang.
Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan
pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan,
pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan
kegiatan ekonomi. Penduduk desa pada umumnya stuktur mata pencahariannya
didominasi oleh kegiatan pertanian dengan sub-sektor dominan adalah
perkebunan rakyat (karet, kopi, kelapa dan lainnya). Pola permukiman perdesaan
70
di wilayah ini pada umumnya terpencar-pencar dalam satuan pemukiman
mengikuti pola pemukiman sekitar jaringan jalan dan aliran sungai.
Tabel 8 Keragaan Jumlah Penduduk di Kawasan Transmigrasi Batumarta
Kecamatan
Sinar
Peninjauan
Lubuk Raja
Madang
Suku III
Nama Desa
Marga Bakti
Karya Mukti
Karya Jaya
Sri Mulya
Marga Mulya
Tanjung Makmur
Batumarta 1
Batumarta 2
Lekis Rejo
Lubuk Banjar
Batu Marta 10
Bina Amarta
Batu Marta 6
Wana Bakti
Suka Damai
Karya Makmur 8
Laki-laki
(jiwa)
2.089
1.781
1.500
999
1.012
931
1.896
4.748
2.210
1.479
973
2.094
1.918
1.634
1.188
929
Perempuan
(jiwa)
1.942
1.643
1.219
964
972
856
1.792
4.672
2.128
1.408
1.063
1.742
1.908
1.895
1.152
812
Jumlah
Jumlah
(jiwa)
4.031
3.424
2.719
1.963
1.984
1.787
3.688
9.420
4.338
2.887
2.036
3.836
3.826
3.529
2.340
1.741
53.549
Jumlah KK
1.070
921
752
590
576
570
1.046
2.144
1.201
744
563
1.042
779
898
607
437
13.940
Sumber : Kompilasi Data PODES (2009)
Dari berbagai suku bangsa tersebut diatas mempunyai keanekaragaman
bahasa yang berbeda, namun diantara mereka hidup dengan rukun dan damai.
Selain itu mereka mempunyai agama yang kuat yaitu Islam. Mobilitas penduduk
tinggi, sehingga mereka banyak berkomunikasi antar etnis dan kontak sosial
budaya pun terjadi
4.4. Sarana dan Prasarana Kawasan
Fasilitas sarana dan prasarana yang ada di kawasan transmigrasi Batumarta
cukup lengkap. Fasilitas pendidikan telah ada mulai dari tingkat dasar hingga
tingkat menengah. Sekolah dasar sebanyak 33 unit, sekolah menengah pertama 4
unit dan menengah atas 3 unit.
Sarana kesehatan yang ada di kawasan Batumarta terdiri dari 3 unit
Puskesmas, 6 unit puskesmas pembantu, 9 balai pengobatan. Sarana kesehatan
tersebut selain berfungsi sebagai pelayanan pengobatan umum, juga untuk
71
melayani pelayanan akseptor KB, yang pelaksanaannya dilakukan secara
terkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten baik dalam hal penyediaan
tenaga medis/paramedis maupun dalam penyediaan obat-obatan.
Sarana peribadatan yang ada terdiri dari mesjid 26 buah, langgar 107 buah,
gereja 9 buah dan pura 3 buah. Selain itu, di kawasan Batumarta juga tersedia
berbagai sarana olahraga sehingga warga masyarakat bisa melaksanakan berbagai
kegiatan antara lain sepak bola, volley ball, dan bulu tangkis.
Perkembangan kelembagaan desa sudah cukup baik karena lembagalembaga di desa seperti LMD, LKMD, PKK, Karang Taruna maupun Kontak Tani
pada umumnya telah berfungsi serta berperan dalam upaya membantu pembinaan
terhadap masyarakat transmigran. Lembaga ekonomi KUD ada di tiap-tiap Unit
Permukiman Transmigrasi dan sudah berbadan hukum serta telah berperan baik
dalam upaya membantu kegiatan pemasaran karet dari warga transmigran untuk
disalurkan ke PTP X, maupun sebagai penyalur pupuk dan pestisida. KUD-KUD
tersebut saat ini sudah berstatus sebagai KUD mandiri.
Sarana penunjang yang ada di kawasan Batumarta antara lain sarana
transportasi yang sangat mendukung dalam kelancaran kegiatan perekonomian di
kawasan ini.
Panjang jalan yang telah dibangun pemerintah yaitu jalan
penghubung sepanjang 154 km, jalan poros 136,5 km serta jalan desa sepanjang
296,5 km. Selain itu telah dibangun 52 buah jembatan yang dibangun melalui
kegiatan proyek pemerintah, maupun swadaya masyarakat.
4.5. Perkembangan Usaha Pertanian dan Kebun Karet
Batumarta merupakan permukim transmigrasi yang dibangun dengan
dukungan kredit Bank Dunia, melalui paket IBRD I (UPT 1-11) dan IBRD III
(UPT 12-16). Paradigma pembangunan transmigrasi ketika itu adalah perluasan
areal pertanian tanaman pangan. Namun belajar dari pola pembangunan
transmigrasi sebelumnya, di mana laju peningkatan ekonominya relatif lamban,
maka pemerintah memberikan dukungan pembangunan tanaman penguat ekonomi
(cash crops). Untuk kasus Batumarta, tanaman penguat ekonomi itu adalah karet;
sama dengan pola yang dikembangkan di permukiman Rimbobujang dan Alai Ilir
72
(Jambi) yang dibangun hampir pada waktu yang bersamaan dengan pembangunan
permukiman transmigrasi di Batumarta.
Pola penyediaan lahan bagi transmigran ada dua kelompok utama, yaitu:
Pertama, pola 5 ha, yang terdiri dari LP (0.25 ha), LU I (0.75 ha), LU-II (2 ha),
LU-cadangan (1 ha), dan Lahan Karet (1 ha). Kedua, pola 3.50 ha, yang terdiri
dari LP (0.25 ha), LU-I (1.00 ha), LU II (1.25 ha), dan Lahan Karet (1 ha).
Perkembangan usaha pertanian dan kebun karet di kawasan Batumarta
secara spesifik diuraikan berikut ini:
4.5.1. Budidaya Tanaman Pangan dan Peternakan
Penempatan transmigran di Batumarta I-II (IBRD I) sudah dimulai sejak
tahun 1976, sedangkan lokasi Batumarta XII (IBRD III) mulai ditempati pada
tahun 1983. Penempatan dilakukan sesuai dengan kemajuan pembangunan
permukiman. Ketika ditempatkan, transmigran menerima jaminan hidup (jadup)
selama setahun. Pada saat yang sama transmigran memperoleh bantuan sarana
produksi pertanian agar bisa membudidayakan tanaman pangan di LP dan LU-I.
Disamping usaha transmigran yang dominan dalam penanaman karet, juga
diusahakan pertanian tanaman pangan. Budidaya tanaman padi menggunakan
sistem tumpangsari dengan kondisi lahan tanah kering.
Umumnya produksi
pertanian tanaman pangan tahun 1992-1993 rata-rata tanaman padi 1,2 ton/ha,
jagung 1,25 ton/ha, kacang tanah 1,32 ton/ha, ubi kayu 8 ton/ha, kacang hijau 0,62
ton/ha, kedelai 0,76 ton/ha.
Tanaman perkebunan lainnya biasanya ditanam
sebagai tanaman sela baik di lahan pekarangan maupun di lahan usaha I.
Praktek budidaya tanaman pangan pada umumnya menghadapi kendala
sebagai berikut: (1) Lapisan olah tanah terkelupas ketika dilakukan pembukaan
lahan secara mekanis menggunakan alat berat. Tanah miskin bahan organik dan
berstruktur gumpal, yang memberikan kondisi tidak ideal bagi pertumbuhan akar
tanaman pangan, dan (2) Ketika tanaman telah tumbuh, mengalami serangan
hama (terutama babi), sebab lahan pangan itu berdampingan dengan calon LU IIIII serta Lahan Karet, yang ketika itu masih bervegetasi hutan. Selain itu, para
transmigran juga menghadapi hambatan ‘budaya’. Transmigran pada umumnya
adalah para buruh-tani, yang biasanya bekerja untuk melaksanakan perintah
73
majikan. Sekarang mereka harus membuat perencanaan sendiri untuk menggarap
lahan milik mereka sendiri.
Untuk mengatasi persoalan teknis dan budaya itu, instansi yang menangani
ketransmigrasian
maupun instansi
teknis
lainnya,
menempatkan
tenaga
pendamping lapang. Pendamping itu bertugas untuk ‘menemani’ transmigran agar
bisa melakukan kegiatan pembelajaran sambil bekerja. Meski demikian, masamasa awal penempatan itu benar-benar menjadi masa penuh cobaan dan
tantangan. Untuk mengatasi segala tantangan itu, tidak jarang para transmigran
harus berhutang untuk mengadakan sarana produksi pertanian; karena hasil
produksi tahun berjalan hanya cukup untuk kebutuhan subsisten saja, namun tidak
cukup untuk melakukan investasi pada musim berikutnya. Pada masa kritis ini,
ada juga transmigran yang tidak bisa bertahan dan ‘menjual lahannya’ kepada
transmigran lain yang berhasil dengan harga relatif rendah.
Upaya pengembangan peternakan di kawasan transmigrasi Batumarta
khususnya di IBRD I sudah mendapat bantuan pemerintah berupa sapi jenis bibit
Brahman Australia, Peranakan Ongol (PO) dan Bali dengan penyebaran pokok
4.864 ekor yang didistribusikan kepada 4.399 KK transmigran penggaduh,
sedangkan pada pada UPT Batumarta IBRD III dari penyebaran pokok sebesar
399 ekor saat ini sudah berkembang menjadi 865 ekor.
Pemeliharaan dan
kegiatan penyuluhan mengenai usaha peternakan tersebut dilakukan secara
koordinasi dengan Dinas Peternakan OKU. Jenis ternak lainnya seperti kambing,
ayam, itik merupakan swadaya masyarakat.
4.5.2. Pengembangan Areal Kebun Karet
Penduduk tumbuh pesat. Selain dari pecahan KK juga adanya pendatang
baru. Blok E Batumarta II, misalnya, dari 33 KK pada tahun 1976 telah tumbuh
menjadi 200 KK pada tahun 2009. Sementara di Batumarta XII berkembang dari
497 KK (1983) menjadi 650 KK (2009). Pada umumnya, mereka bekerja pada
sektor pertanian (sebagai pemilik lahan maupun buruh sadap).
Penanaman karet dilakukan 2-3 tahun setelah penempatan transmigran,
sehingga panen perdana karet sudah terjadi pada tahun 1984/85, seperti yang
terjadi di Batumarta I-II. Batumarta XII yang penempatannya terjadi pada tahun
74
1983, penanaman karet baru dilakukan pada 1984/85, dan panen perdana baru
terjadi pada tahun 1990/1991.
Pada kawasan IBRD I, penanaman karet swadaya terjadi pada 1990-1994,
setelah transmigran bisa menikmati hasil karet secara stabil. Awalnya mereka
tanami LU-I (yang sudah siap tanam) dengan tanaman karet. Pada tiga tahun
pertama masih dilakukan tumpang sari dengan tanaman pangan. Kemudian
mereka buka juga LU-II dan LU-III; lahan ini dibuka terakhir karena relatif
memerlukan modal yang besar untuk membukanya karena masih bervegetasi
hutan dan belukar.
Pada kawasan IBRD III (Batumarta XII-XVI) sudah mulai melakukan
perluasan tanaman karet pada 1991/1992, yaitu setahun setelah panen perdana.
Perluasan terjadi pada LU I dan LU II, karena di kawasan ini tidak ada LU III.
Menurut Safari, pada tahun 1995-1998, semua lahan di Batumarta telah ditanami
karet.
Tanaman karet merupakan prioritas pengembangan usaha di kawasan
Batumarta. Pelaksanaan penanaman karet dilaksanakan oleh PTP X yang telah
dimulai pada tahun 1978 dan berakhir pada tahun 1987. Untuk UPT I sampai
dengan UPT XI telah melaksanakan penyadapan sejak tahun 1982-1983 dan untuk
UPT XII sampai dengan UPT XVI penyadapan dimulai tahun 1992-1993.
Pelaksanaan pengelolaan karet transmigran di Batumarta menerapkan 2 pola
yaitu pola bebas/non mini estate dan pola mini estate. Pola bebas adalah sistem
pengelolaan karet yang dilaksanakan sendiri oleh transmigran pada kebun
karetnya masing-masing, sedang pemasaran hasil dikoordinasikan oleh KUD
setempat.
Pola mini estate adalah sistem pengelolaan karet yang kegiatan-
kegiatan penyadapan, pemeliharaan, pengelolaan hasil dan pemasaran melalui
KUD setempat dengan supervisi oleh PTP X.
Pembinaan kebun karet secara keseluruhan dibina oleh Tim Pola Terpadu,
sesuai dengan SK Bupati KDH Tk.II OKU Nomor 525.21/120/V/1985 tanggal 12
Desember 1985 dan Tim Pembina Proyek Perkebunan Daerah Tingkat II (TP3D
II) penerapan pola ini menunjukkan dampak yang positif untuk mempercepat
perkembangan ekonomi transmigran. Dengan berkembangnya perkebunan karet
75
tersebut warga transmigran secara bertahap telah membuka Lahan Usaha II dan
Lahan Usaha Cadangan untuk mengembangkan tanamana karet secara swadaya.
Di Batumarta terjadi perluasan tanaman karet secara sistematik. Perluasan
itu distimulasi dengan hal-hal sebagai berikut:
1. Penyediaan 1 ha lahan karet telah memberikan demonstration effect yang
sangat efektif kepada masyarakat. Masyarakat melihat ‘kisah sukses’ di lahan
milik mereka sendiri.
2. Usahatani tanaman pangan lahan kering pada tanah podzolik merah kuning,
agaknya mengandung tantangan yang amat besar. Ketika tanah basah (musim
hujan), tanah amat berat untuk diolah. Sementara kalau dalam keadaan kering,
tanahnya menggumpal dan pecah-pecah, yang bisa merusak zona perakaran.
3. Ketika kawasan baru dibuka, ekplosi hama terjadi sangat intensif, terutama
hama babi. Tanaman pangan selalu diserang babi.
4. Dua
pengalaman praktek usahatani pangan itu telah menghasilkan
kesimpulan,bahwa usahatani karet itu jauh lebih menguntungkan ketimbang
usahatani tanaman pangan. Pandangan itu mengakar sampai sekarang.
Masyarakat tidak termotivasi untuk melakukan usahatani tanaman pangan
walaupun tidak cukup bukti adanya eksplosi hama babi yang intensif.
5. Pemerintah menyediakan layanan teknis diseminasi teknologi melalui UPT
Balai Penelitian Karet Sembawa. UPT ini melatih masyarakat. Peran UPT
diperkuat dengan kehadiran Sekolah Menengah Farming yang menghasilkan
petani-petani generasi kedua yang lebih rasional.
4.5.3. Penerapan Teknologi
Untuk mengawal penerapan teknolodi budidaya karet, Balai Penelitian
Perkebunan Sembawa menempatkan Unit Pelayanan Teknik di Batumarta II dan
Batumarta XII. UPT ini menyediakan kebun entres karet serta melakukan
pelatihan teknis budidaya karet (mulai dari okulasi sampai dengan penyadapan).
Kehadiran UPT ini sangat bermanfaat bagi penyebar-luasan pengetahuan dan
keterampilan budidaya karet kepada petani, yang sebelumnya tidak mengenal
budidaya karet.
Penyebarluasan teknologi dipercepat dengan hadirnya Sekolah Menengah
Farming (SMF) di Batumarta II. Pendirian SMF itu diilhami dengan sekolah
76
sejenis di Salatiga. Sekolah itu, beroperasi pada tahun 1984-2001, sangat berjasa
dalam penyebarluasan teknologi perkaretan kepada para petani generasi kedua.
Keswadayaan dalam pengadaan bibit karet, yang pada gilirannya mendorong
perluasan areal pertanaman karet secara swadaya, dengan mudah dapat dikaitkan
dengan kontribusi sekolah SMF ini.
Pengawalan teknologi itu dimaksudkan agar transmigran melakukan
praktek-praktek budidaya terbaik, sesuai dengan standar yang berlaku. Namun
adanya ‘guncangan pasar’ telah menghancurkan tingkat kepatuhan transmigran
dalam penerapan teknologi. Pada tahun 1990/1991 harga karet telah jatuh dari
Rp.500/kg menjadi hanya Rp.125/kg.
Untuk memberikan layanan pasca panen, PTPN VI telah mendirikan pabrik
pengolah lateks di Batumarta III. Namun petani lebih memilih menjual lateks
mereka ke luar lokasi dengan alasan sebagai berikut:
1. Harga lateks yang ditawarkan oleh PTPN relatif lebih rendah dibanding
dengan harga di pasaran bebas (Palembang maupun Lampung).
2. Pengukuran rendemen oleh PTPN selalu menghasilkan rendemen teraan yang
lebih rendah dibandingkan dengan rendemen teraan perusahaan swasta.
4.5.4. Rasionalitas Semu
Guncangan pasar itu telah membentuk sebuah ‘rasionalitas semu’ di
kalangan petani. Untuk mengejar target pendapatan ketika harga sedang turun,
maka petani akan meningkatkan frekuensi penyadapan. Logika itu seolah masuk
akal, namun sesungguhnya sangat tidak memiliki justifikasi empirik. Karet yang
dipanen dua kali lebih sering dari standar, ternyata tidak menghasilkan produksi
dua kali lipat.
Logika semua itu ternyata tidak berhenti ketika harga karet sudah beranjak
naik ke tingkat normal. Penyadapan tetap terjadi setiap hari. Malahan ‘rasionalitas
semu’ itu juga menyebar pada praktek pemupukan. Dalam rangka meningkatkan
pendapatan bersihnya, petani melakukan penghematan pemupukan seraya tetap
berharap produktifitas lateks tidak akan terganggu. Karena itu, pada saat ini
praktek memupuk dengan dosis pemupukan lebih rendah dibandingkan dengan
dosis anjuran, makin sering dijumpai di kalangan petani
77
‘Rasionalitas semu’ juga berlanjut pada saat petani melakukan peremajaan
tanaman karet mereka. Hal itu diterapkan pada dua aspek berikut:
1. Petani hanya melakukan penebangan batang karet lama, dan meninggalkan
pokoknya (tunggulnya). Padahal petani tahu persis, bahwa dalam peremajaan
tanaman karet itu harus memperhatikan kaidah: Pertama, pokok karet harus
diangkat sampai ke akarnya, karena dekomposisi akar karet akan mengundang
jamur akar yang bisa memusnahkan tanaman karet berikutnya. Padahal petani
sudah memahami hal itu, namun tetap mereka lakukan kesalahan itu seraya
berdoa mudah-mudahan tanaman karet muda itu tidak terserang hama jamur
akar. Kedua, sebelum dilakukan peremajaan karet, sangat dianjurkan untuk
menanami hamparan itu dengan jenis tanaman lain selama 2-3 tahun dalam
rangka menghilangkan alelopati pada zona perakaran kebun karet tua mereka.
2. Dalam rangka memperoleh populasi tanaman yang lebih tinggi, dengan
harapan akan dicapai produktifitas hamparan yang lebih tinggi pula, petani
telah menanami kebunnya dengan tingkat kerapatan tanaman yang lebih
tinggi. Padahal peningkatan kerapatan tanaman itu tidak akan meningkatkan
produksi lateks per hektar lahan.
ICRAF telah meneliti bahwa untuk
meningkatkan produktifitas lahan, sangat mungkin untuk melakukan tanaman
sisipan, baik dengan tanaman kayu maupun rotan (manau), bukan dengan
meningkatkan kerapatan tanaman karetnya.
Pada tahun 2008 yang lalu terjadi guncangan pasar yang mengakibatkan
kemerosotan harga dari Rp.10.000/kg menjadi Rp.2.500/kg. Guncangan ini kian
mengukuhkan ‘rasionalitas semu’ para petani. Alih-alih melakuan porto-folio
investasi (misalnya dengan melakukan budidaya tanaman lainnya, baik tanaman
pangan maupun tanaman sisipan pada kebun karetnya), petani tampaknya kian
yakin bahwa praktek-praktek mereka saat ini merupakan ‘best practices’ yang
masuk akal.
4.5.5. Pendapatan Petani Dari Kebun Karet
Kehadiran kebun karet telah menimbulkan aliran manfaat. Setiap kebun
yang baik rata-rata menghasilkan lateks 300 kg/ha/bulan. Dengan masa simpan
selama 10-15 hari, lateks itu akan laku dijual seharga Rp.9.000/kg. (Jika kadar air
78
lebih rendah, misal telah ditiriskan selama sebulan, harga lateks bisa meningkat
menjadi Rp.12.000/kg. Namun jarang petani yang menjual lateks dengan kadar air
rendah. Petani lebih suka menjual pada tingkat harga Rp.9.000). Dengan
demikian, setiap hektar kebun karet per bulan memberikan penghasilan kotor
sebesar Rp.2.700.000. Distribusi manfaat kebun karet tersebut adalah:
1. Sepertiga untuk buruh sadap, yaitu Rp.900.000/ha/bulan.
2. Dua pertiga untuk pemilik kebun, yaitu Rp.1.800.000/ha/bulan. Pemilik masih
harus melakukan pemupukan dua kali setahun masing-masing 400 kg pupuk
dan herbisida untuk pembersihan gulma terutama alang-alang.
3. Pedagang pengumpul (yang biasanya bertindak sebagai pengusaha angkutan),
dipercaya memperoleh marjin sebesar 25% (termasuk ongkos angkut), yaitu
Rp.675.000/ha/bulan. Seorang buruh sadap mampu menyadap 2 ha kebun
karet. Berarti setiap bulan bisa diperoleh upah sadap sebesar Rp.1.800.000.
Gambaran tingkat pendapatan tersebut diatas didukung oleh data hasil
wawancara dengan responden pada 3 kelompok (cluster) kepemilikan lahan yaitu
65% dan 80% dari masing-masing responden dengan kelompok kepemilikan
lahan 5,0 ha per KK di OKU (Kelompok 1) dan OKUT (Kelompok 2)
berpendapatan antara 1,5 – 2,0 juta per bulan, sedangkan pada responden dengan
kelompok kepemilikan lahan 3,5 ha per KK di OKU (Kelompok 3) sebanyak 60%
berpendapatan di atas 2,0 juta per bulan, dan hanya 16% yang berpendapatan
antara 1,5 – 2,0 juta per bulan ( Tabel 9). Gambaran rata-rata tingkat pendapatan
yang lebih tinggi pada Kelompok 3 diindikasikan pula dengan persentase
responden yang luas kepemilikan lahannya bertambah pada Kelompok 3 melebihi
Kelompok 1 dan 2, yaitu berturut-turut 44%, 30%, dan 10% bagi Kelompok 3,
Kelompok 2 dan Kelompok 1 (Tabel 9). Rata-rata tingkat pendapatan yang lebih
tinggi pada Kelompok 3 disebabkan tingkat produktifitas kebun yang lebih tinggi
dibandingkan pada Kelompok 1 dan 2. Perbedaan tingkat produktifitas berkaitan
dengan perbedaan umur kebun, yang mana usia kebun Kelompok 3 berkisar
antara 15 – 20 tahun, sedangkan Kelompok 1 dan 2 berkisar antara 25 – 34 tahun.
79
Tabel 9 Persentase Perubahan Kepemilikan Lahan Saat Ini dan Kisaran
Pendapatan Kelompok Responden di Kawasan Batumarta
No
Kelompok
Kepemilikan
Lahan Trans
per KK
Perubahan
Kepemilikan
Lahan (%)
Teta
Bertamba
Berkuran
p
h
g
Kisaran Pendapatan KK/bln
dalam Juta Rupiah (%)
0,5 1,0 1,5 > 2,0
1,0
1,5
2,0
1
5 Ha (OKU)
75
10
15
5
12,5
65
17,5
2
5 Ha (OKUT)
55
30
15
5
5
80
10
3
3,5 Ha (OKU)
36
44
20
20
4
16
60
Rata-rata
55
28
17
10
7
54
29
4.5.6. Fragmentasi Lahan
Fragmentasi lahan terjadi karena dua mekanisme. Pertama, pewarisan dari
orangtua kepada anak-anaknya. Jika semua anaknya tinggal di Batumarta, maka
setiap anak mengelola lahan warisannya. Namun jika ada anak yang tinggal di
“luar daerah”, maka anak yang tinggal di Batumarta akan mengelola lahan
miliknya. Secara berkala, ia kirimkan hasil lahan saudaranya itu. Kedua, menjual
sebagian lahan. Penjualan lahan banyak terjadi pada masa ‘lahan belum
menghasilkan’. Ketika itu kegiatan budidaya tanaman pangan sering menghadapi
kegagalan. Bagi seseorang, kegagalan itu bisa memacu motivasi untuk meraih
keberhasilan. Namun bagi orang lain, kegagalan budidaya bisa beresiko fatal. Ia
bisa kehilangan modal untuk menjalankan budidaya pada musim berikutnya.
Tidak jarang, untuk memulai usahanya, ia berhutang. Namun sebagian dari
mereka ternyata tidak berhasil mengumpulkan uang untuk membayar hutanghutangnya. Karena itu, menjual sebagian bidang lahannya merupakan solusi untuk
membayar hutang-hutangnya.
4.5.7. Peremajaan Karet
Peremajaan karet merupakan ‘tugas berat’ bagi masyarakat, karena
memerlukan biaya yang sangat besar. Karena itu Pemerintah Provinsi pernah
memberikan skema kredit murah (bunga 0,5%/tahun) senilai Rp.5.000.000/ha.
Namun kredit itu hanya terbatas bagi 5,000 ha kebun karet rakyat. Di Batumarta,
ada
mekanisme
penjualan
kayu
karet
secara
borongan
dengan
nilai
Rp.4.000.000/ha. Pemborong yang melakukan penebangan dan pengangkutan
80
kayu log karet. Meninggalkan ranting-ranting dan cabang. Dengan uang tersebut,
masyarakat membiayai peremajaan karetnya. Namun demikian terdapat implikasiimplikasi logis sebagai berikut:
1. Petani tidak memberakan tanah dan/atau menggunakan lahan eks karet untuk
budidaya tanaman lain. Perlakuan ini disyaratkan dalam standar peremajaan
kebun karet.
2. Standar teknis juga mengharuskan untuk mengangkat pokok (tunggul) karet
sampai ke akar-akarnya, karena akar lapuk bisa menjadi inang bagi
tumbuhnya jamur akar yang bisa membinasakan tanaman karet. Standar ini
tidak dilakukan karena memerlukan biaya yang besar.
3. Selama menunggu tanaman karet itu menghasilkan, petani tidak memperoleh
penghasilan dari kebun yang direklamasi.
4.6 Prediksi dan Evaluasi Erosi
Erosi tanah umumnya ditentukan secara kualitatip dari kejadian erosi
terdahulu atau yang telah terjadi, melalui pengamatan-pengamatan di lapangan,
keadaan iklim dan topografi (Sitorus, 1998). Menurut Arsyad (2010), prediksi
erosi pada sebidang tanah adalah metode untuk memperkirakan laju erosi yang
akan terjadi dari tanah yang digunakan untuk suatu penggunaan lahan dan
pengelolaan tertentu. Jika laju erosi yang akan terjadi telah dapat diperkirakan dan
laju erosi yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan (permissible atau
tolerable erosion) sudah bisa ditetapkan, maka kebijaksanaan penggunaan tanah
dan tindakan konservasi tanah yang diperlukan dapat ditentukan, agar tidak terjadi
kerusakan tanah sehingga tanah dapat digunakan secara produktip dan lestari.
Evaluasi (penilaian) erosi dapat dilakukan dalam dua bentuk, yaitu: 1)
penilaian mengenai kemungkinan besarnya erosi yang akan atau dapat terjadi
pada
suatu
wilayah
atau
sebidang
tanah
(disebut
penilaian
potensi/ancaman/bahaya erosi), dan 2) penilaian mengenai besarnya atau tingkat
erosi yang telah terjadi pada suatu wilayah atau sebidang tanah ( disebut
pengukuran erosi). Dalam disertasi ini, evaluasi potensi/ancaman/bahaya erosi
sekaligus prediksi erosi di kawasan Batumarta akan dilakukan dengan
menggunakan data sekunder dari laporan hasil studi/penelitian sebelumnya.
81
Peta dasar yang digunakan dalam evaluasi dan prediksi erosi ini
menggunakan Peta RBI skala 1: 50,000, sedangkan informasi tutupan lahan
merujuk pada citra Landsat ETM tanggal 4 Agustus 2009. Karakteristik tanah
merujuk pada Peta Satuan Lahan dan Tanah lembar Baturaja (1011) dan lembar
Lahat (1012) skala 1: 250,000, berikut Buku Keterangan (LREP, 1990). Kelas
kemiringan lereng diturunkan dari
kontur pada Peta RBI skala 1: 50,000.
Menurut Arsyad (2010), evaluasi potensi erosi yang meliputi areal lebih kecil
seperti suatu DAS, Sub-DAS, Propinsi, Kabupaten atau Kecamatan dengan
menggunakan peta dasar skala 1 : 20,000 sampai 1 : 500,000 termasuk kategori
evaluasi tingkat meso
(tingkat evaluasi semi detail sampai evaluasi tinjau).
Dengan demikian, evaluasi dan prediksi erosi pada penelitian ini termasuk
kategori tingkat meso.
Cara perhitungan dalam evaluasi dan prediksi erosi dalam disertasi ini
secara umum merujuk pada metode yang disajikan dalam Arsyad (2010). Khusus
faktor erosivitas hujan dan faktor lereng, karena keterbatasan data yang tersedia,
maka perhitungan menggunakan metode yang disarankan oleh Hardjowigeno &
Sukmana (1995) dan Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007). Uraian lebih rinci
mengenai cara/metode perhitungan masing-masing faktor dijelaskan dalam subsub Bab berikut ini.
4.6.1. Cara perhitungan dan Asumsi yang digunakan
a) Laju Erosi Yang Masih Dapat Dibiarkan
Laju erosi yang dinyatakan dalam mm/tahun atau ton/ha/tahun yang
terbesar dan masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan agar terpelihara suatu
kedalaman tanah yang cukup bagi pertumbuhan tanaman sehingga memungkinkan
tercapainya produktivitas yang tinggi secara lestari disebut erosi yang masih dapat
dibiarkan atau ditoleransikan, yang dalam tulisan ini ini disebut nilai T.
Perhitungan nilai T dalam disertasi ini merujuk pada metode yang dikemukakan
Hammer (1981, dalam Arsyad, 2010) menggunakan konsep kedalaman ekivalen
(equivalent depth) dan umur guna (resources life) tanah untuk menetapkan nilai T
suatu tanah. Setiap kombinasi faktor diberi nilai yang disebut faktor kedalaman
tanah. Nilai faktor kedalaman tanah dikalikan dengan kedalaman efektif tanah
akan didapatkan kedalaman ekivalen. Umur guna dalam perhitungan ini adalah
82
400 tahun, dan nilai faktor kedalaman 30 Sub-Order Tanah (Hammer, 1981)
disajikan pada Lampiran 11.
b) Prediksi Erosi
Prediksi besarnya erosi di lokasi penelitian dihitung secara spasial.
Perhitungan dilakukan dengan menggunakan persamaan the Universal Soil Loss
Equation (USLE) oleh Wischmeier dan Smith (1978, dalam Arsyad, 2010 dan
Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Persamaan USLE adalah sebagai berikut:
A = R.K.L.S.C.P
yang menyatakan :
A = banyaknya tanah tererosi dalam ton/ha/tahun
R = faktor erosivitas hujan
K = faktor erodibilitas tanah
L = faktor panjang lereng
S = faktor kecuraman lereng
C = faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman
P = faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah
Cara perhitungan dan asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut:
Faktor R (erosivitas hujan).
Data iklim yang tersedia dari stasiun iklim yang terdekat dengan lokasi penelitian
adalah dari Stasiun Iklim Baturaja. Nilai R paling akurat jika dihitung dari
besarnya Energi Kinetik (E) dengan intensitas hujan maksimum selama 30 menit
(I30). Namun, penghitungan dengan cara ini memerlukan data curah hujan yang
meliputi intensitas hujan pada setiap jam, dari awal sampai akhir hujan. Data
tersebut hanya dapat diperoleh bila digunakan alat penakar hujan otomatis. Hal ini
tidak tersedia di stasiun klimatologi Baturaja, dan bahkan sangat sedikit stasiun
iklim di Indonesia yang menggunakannya. Dalam penelitian ini, perhitungan R
menggunakan rumus Lenvain (1975, dalam Bols, 1978 dalam Hardjowigeno dan
Sukmana, 1995) sebagai berikut:
RM = 2,21 (Rain) m1,36
dimana,
RM
: erosivitas hujan bulanan
83
(Rain)m : curah hujan bulanan (cm)
Nilai R (erosivitas hujan) setahun diperoleh dengan menjumlahkan RM selama
setahun. Dengan menerapkan rumus ini pada data rata-rata curah hujan bulanan
dari stasiun iklim Baturaja, maka dapat diperoleh nilai erosivitas hujan bulanan
dan erosivitas hujan setahun, sebagaimana disajikan pada Tabel 10. Penghitungan
ini menghasilkan nilai R sebesar 1992.8 berlaku untuk lokasi penelitian.
Tabel 10 Erosivitas Hujan Bulanan dan Erosivitas Hujan Setahun di Lokasi
Penelitian
Jan
Feb
Mar
32.1
24.8
33.2
247.3
174.1
258.9
CH Bln
(cm)
RM
Apr
R
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
28.3
19.6
14.6
14.8
17.9
14.2
20.1
29.7
33.3
282.6
208.4
126.4
84.7
86.3
111.8
81.6
130.8
222.5
260.0
1992.8
(tahunan)
Faktor K (erodibilitas tanah).
Faktor K dihitung dari data tanah, yang dalam studi terdahulu (LREP, 1990),
sudah dikelompokkan kedalam peta Satuan Unit Lahan. Batas-batas besaran K
secara spasial sama dengan batas Satuan Unit Lahan. Perhitungan nilai K
menggunakan persamaan sebagai berikut (Arsyad, 2010):
100K = 1,292 [2,1 M¹‫י‬¹4 (10ˉ4) (12-a) + 3,25 (b-2) + 2,5 (c-3)]
dimana:
M adalah persentase pasir sangat halus dan debu (diameter 0.1 – 0.05 dan 0.05 –
0.02 mm) x (100% liat), a adalah persentase bahan organik, b adalah kode
struktur tanah yang digunakan dalam klasifikasi tanah (Tabel 11), dan c adalah
kelas permeabilitas profil tanah (Tabel 12).
Tabel 11 Kode Struktur Tanah
Kelas Struktur Tanah (ukuran diameter)
Granuler sangat halus (<1 mm)
Granuler halus (1 sampai 2 mm)
Granuler sedang sampai kasar (2 sampai 10 mm)
Berbentuk blok, blocky, plat, masif
Sumber: Arsyad (2010)
Kode
1
2
3
4
84
Tabel 12 Kode Permeabilitas Profil Tanah
Kelas Permeabilitas
Sangat lambat
Lambat
Lambat sampai sedang
Sedang
Sedang sampai cepat
Cepat
Sumber: Arsyad (2010)
Kecepatan (cm/jam)
< 0.5
0.5 sampai 2.0
2.0 sampai 6.3
6.3 sampai 12.7
12.7 sampai 25.4
>25.4
Kode
6
5
4
3
2
1
Dengan menggunakan rumus atau persamaan tersebut diatas, maka nilai K tanahtanah di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13 Nilai Erodibilitas Tanah (K) tanah-tanah di Lokasi Penelitian
NO.
UNIT
JENIS
LAHAN
TANAH
TEKSTUR
STRUKTUR
PERMEABILITAS
1.
Af.1.2.2
Tropaquepts
Halus
Remah
Sangat Lambat
2.
Au.1.2.1
Tropaquepts
Halus
Remah
3.
Au.1.3
Tropaquepts
Halus
4.
Idf.9.3
Dystropepts
Agak Halus
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Idq.3.2
Pdk.4.3
Pf.2.1
Pf.3.1
Pf.3.2
Pf.4.2
Pf.4.3
Hapludoxs
Hapludolls;
Hapludults
Dyatropepts;
Kandiudults
Hapludoxs;
Kandiudults
Hapludoxs;
Kandiudults
Hapludoxs;
Hapludults
Hapludoxs;
Agak Halus
Halus
Halus
Agak Halus
Agak Halus
Agak Halus
Agak Halus
Hapludults
12.
Vb.1.7.2
Eutropepts;
0.11
Lambat
9.4
0.07
Remah
Lambat
4.6
0.07
Gumpal
Cepat
3.1
0.17
Cepat
1.6
0.20
Cepat
2.1
0.02
Cepat
3.8
0.03
Cepat
3.4
0.17
Cepat
3.4
0.17
Agak Cepat
2.5
0.21
2.5
0.21
2.7
0.05
2.7
0.05
Gumpal
Membulat
Remah
Gumpal
Membulat
Gumpal
Membulat
Gumpal
Membulat
Gumpal
Membulat
Gumpal
Agak Cepat
Membulat
Halus
Remah
Agak Cepat
Halus
Remah
Agak Cepat
Haplohumults
13.
Vb.1.7.3
Eutropepts;
Haplohumults
K
3
Membulat
5.
BO
(%)
85
Faktor LS (panjang dan kemiringan lereng).
LS dihitung dari Peta Topografi lokasi penelitian. Dari peta topografi tersebut,
dapat diturunkan Peta Kelas Lereng. Dalam perhitungan spasial ini, poligon yang
akan digunakan adalah poligon kelas lereng dimaksud. Nilai LS mengacu pada
penilaian kelas kelerengan (LS) pada Tabel 14.
Tabel 14 Penilaian kelas kelerengan (LS)
KELAS KEMIRINGAN LERENG
0–8%
8 – 15 %
15 – 25 %
25 – 45 %
> 45 %
NILAI FAKTOR LS
0.25
1.20
4.25
9.50
12.00
Sumber : Hardjowigeno & Sukmana (1994), Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007)
Faktor C (tanaman/penggunaan lahan).
Penggunaan lahan di lokasi penelitian ini dikelompokkan berdasarkan Peta
Tutupan Lahan hasil interpretasi citra Landsat tahun perekaman 2009. Dari hasil
analisis citra, dimungkinkan untuk menilai faktor penggunaan lahan, yang dapat
dikelompokkan menjadi: (i) hutan sekunder, (ii) hutan rawa, (iii) perkebunan, (v)
permukiman, (vi) rawa, (vii) sawah, (viii) semak/belukar, (ix) tanah terbuka, (x)
tegalan/ladang, dan (xi) tubuh air. Penilaian faktor C (Pengelolaan Tanaman)
merujuk pada Lampiran 12, dan khusus untuk kelompok penggunaan lahan rawa
dan tubuh air tidak dilakukan penilaian. Nilai faktor C juga digunakan dalam
pendugaan erosi minimum dan maksimum yang mungkin terjadi berdasarkan
tabel tersebut. Yang dimaksudkan dengan erosi minimum adalah erosi yang
dihitung menggunakan faktor C minimum, yaitu faktor pada penggunaan lahan
dengan nilai C terendah pada tabel penggunaan lahan dimaksud. Erosi maksimum
dihitung dengan faktor dengan nilai C tertinggi pada tabel penggunaan lahan
tersebut.
Faktor P, usaha konservasi tanah.
Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa sebagian petani telah
mempraktekkan teknik konservasi tanah berupa penanaman tanaman penutup
tanah dan penanaman menurut kontur pada kebun karet mereka, namun sebagian
86
lainnya belum. Pembuatan guludan secara umum telah dilakukan petani terhadap
sawah mereka. Karena tidak dilakukan pengamatan detil terhadap upaya
konservasi ini di lapang, maka dalam perhitungan ini, faktor P masih diberi nilai 1
atau dianggap belum ada upaya konservasi tanah. Hal ini tidak menjadi masalah
dalam analisis, karena analisis justru dilakukan dengan tingkat kehati-hatian yang
lebih tinggi. Artinya, pada lahan yang telah dilakukan konservasi, erosi yang
terjadi justru akan lebih rendah dari perhitungan.
Dengan asumsi-asumsi tersebut, perhitungan lengkap termasuk nilai-nilai
parameternya disajikan berikut ini.
4.6.2. Hasil Perhitungan
a) Laju Erosi yang Masih Dapat Dibiarkan
Besarnya erosi yang masih dapat dibiarkan dalam penelitian ini dihitung untuk
kelestarian tanah dalam jangka waktu 400 tahun. Berdasarkan deskripsi sifat-sifat
tanah di lokasi penelitian dan asumsi umur guna tanah, besarnya erosi yang masih
dapat dibiarkan secara rinci disajikan pada Tabel 15.
. Tabel 15 Besarnya erosi yang masih dapat dibiarkan di Lokasi Penelitian
Ked. Ef
Faktor Ked. T (mm/th)
(mm)
1
Af.1.2.2
Tropaquepts
1000
0.95
2.375
2
Au.1.2.1
Tropaquepts
1000
0.95
2.375
3
Au.1.3
Tropaquepts
1000
0.95
2.375
4
Idf.9.3
Dystropepts
1000
1
2.5
5
Idq.3.2
Hapludoxs
1000
1
2.5
6
Pdk.4.3
Hapludolls;
250
1
0.625
Hapludults
750
0.8
1.5
7
Pf.2.1
Dyatropepts;
1000
1
2.5
Kandiudults
1000
0.8
2
8
Pf.3.1
Hapludoxs;
1000
1
2.5
Kandiudults
1000
0.8
2
9
Pf.3.2
Hapludoxs;
1000
1
2.5
Kandiudults
1000
0.8
2
10
Pf.4.2
Hapludoxs;
1000
1
2.5
Hapludults
1000
0.8
2
11
Pf.4.3
Hapludoxs;
1000
1
2.5
Hapludults
1000
0.8
2
12
Vb.1.7.2
Eutropepts;
750
1
1.875
Haplohumults
1000
1
2.5
13
Vb.1.7.3
Eutropepts;
750
1
1.875
Haplohumults
1000
1
2.5
Keterangan. Ked Ef = Kedalaman Efektif; T = Erosi yang masih dapat dibiarkan
NO.
Unit Lahan
Jenis Tanah
T (Ton/Ha/th)
28.5
28.5
28.5
30
30
7.5
18
30
24
30
24
30
24
30
24
30
24
22.5
30
22.5
30
87
b) Prediksi dan Evaluasi Erosi
Dengan menggunakan rumus USLE dan menganggap faktor-faktor C dan
P masing-masing bernilai sama dengan satu (tidak ada tumbuhan penutup tanah
dan tidak ada tindakan konservasi tanah), maka A = RKLS, maka A adalah nilai
besarnya erosi potensial untuk setiap bagian dari suatu wilayah. Dalam
perhitungan ini dapat ditentukan nilai A dari masing-masing poligon yang
merupakan kombinasi dari satuan lahan (nilai K) dan kelas lereng (nilai LS),
sedangkan nilai R sama untuk seluruh bagian dari wilayah.
Selanjutnya bahaya erosi dapat dinyatakan dalam Indeks Bahaya Erosi
(IBE) yang didefinisikan sebagai berikut (Hammer, 1981, dalam Arsyad, 2010):
Erosi Potensial (ton/ha/th)
T (ton/ha/th)
dimana T adalah besarnya erosi yang masih dapat dibiarkan. Hammer (1981,
Indeks Bahaya Erosi =
dalam Arsyad, 2010) mengelompokkan Indeks Bahaya Erosi sebagaimana di
sajikan pada Tabel 16.
Tabel 16
Klasifikasi Indeks Bahaya Erosi (Hammer, 1981, dalam
Arsyad, 2010)
Indeks Bahaya Erosi
 1,0
1,01 – 4,0
4,01 –- 10,00
 10,01
Kelas
Rendah
Sedang
Tinggi
SangatTinggi
Dengan diketahuinya nilai A (erosi potensial) dan nilai T (besarnya erosi yang
masih dapat dibiarkan), maka Indeks Bahaya Erosi masing-masing bagian wilayah
sudah dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Hammer (1981) tersebut
diatas. Sebaran Indeks Bahaya Erosi (IBE) dan luasannya menurut penggunaan
lahan pada tahun 2009 disajikan pada Tabel 17.
Berdasarkan Tabel 17, diketahui bahwa IBE tanah-tanah di kawasan
Batumarta umumnya berada pada tingkat/harkat Sedang (70.52%) dan Tinggi
(26.84%).
Formatted: Font: Italic
88
Tabel 17 Sebaran Indeks Bahaya Erosi (IBE) di Kawasan Batumarta Menurut
Penggunaan Lahan Tahun 2009
No
1
2
3
4
5
6
7
Jenis
Penggunaan
Lahan
Hutan Sekunder
Perkebunan
Permukiman
Sawah
Semak/Belukar
Tanah Terbuka
Tegalan/Ladang
Total
Persen (%)
Harkat IBE dan Luasan (ha)
Rendah
Sedang
Tinggi
0
797.96
432.62
1,411.68 31,758.55 16,804.82
78.48 2,086.62
399.66
153.08 9,736.16
394.99
0 3,718.15 1,826.71
0
949.33 1,255.53
12.99 6.484.70
21.31
1,656.23 55.531,47 21,135.64
2.10
70.52
26.84
Sangat
Tinggi
2.56
338.55
0.01
7.78
66.69
9.82
0.97
426.38
0.54
Total (ha)
1,233.14
50,313.60
2,564.77
10,292.01
5,611.55
2,214.68
6,519.97
78,749.72
100
Hal ini menunjukkan bahwa sifat tanah dengan kondisi lereng dan iklim pada
kawasan ini (nilai faktor C dan P masing-masing sama dengan satu yaitu jika
dianggap tidak ada tumbuhan penutup tanah dan tidak ada tindakan konservasi
tanah) menempatkan sebagian besar tanah disini pada harkat bahaya erosi sedang
sampai tinggi, sehingga pengelolaan tanaman dan tindakan konservasi tanah
diperlukan agar tidak terjadi penurunan kualitas lahan akibat erosi yang melebihi
tingkat erosi yang masih dapat dibiarkan. Peta Indeks Bahaya Erosi disajikan
pada Gambar 7.
Tingkat Bahaya Erosi (TBE) adalah perkiraan kehilangan tanah maksimum
dibandingkan dengan tebal solum tanahnya pada setiap unit lahan bila teknik
pengelolaan tanaman dan konservasi tanah tidak mengalami perubahan
(Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Untuk menentukan TBE, Departemen
Kehutanan (1986, dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007) menggunakan
tebal solum tanah yang telah ada dan besarnya erosi sebagai dasar. Makin dangkal
solum tanahnya, berarti makin sedikit tanah yang boleh tererosi, sehingga tingkat
bahaya erosinya sudah cukup besar meskipun tanah yang hilang (bahaya erosi =
A) belum terlalu besar.
89
Gambar 7 Peta Indeks Bahaya Erosi di Kawasan Batumarta
Pada Tabel 18 disajikan penilaian TBE berdasarkan tebal solum tanah dan
besarnya erosi.
Tabel 18 Tingkat bahaya erosi berdasar tebal solum tanah dan besarnya bahaya
erosi (jumlah erosi maksimum, A)
Tebal Solum
(cm)
> 90
60 – 90
30 – 60
< 30
<15
SR
R
S
B
Erosi Maksimum (A)-ton/ha/tahun
15 – 60
60 – 180 180 – 480
S
S
B
B
B
SB
SB
SB
SB
SB
SB
SB
>480
SB
SB
SB
SB
Keterangan: SR = sangat rendah, R = rendah, S = sedang, B = berat, SB= sangat berat
Sumber: Departemen Kehutanan (1986, dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007)
90
Perhitungan TBE pada Tabel 18 telah memasukkan nilai C (pengelolaan
tanaman) maksimum pada tahun 2009. Artinya, dalam hal ada beberapa nilai C
pada tabel penggunaan lahan, untuk perhitungan TBE digunakan nilai C
maksimum. Nilai P dianggap sama dengan satu (tanpa tindakan konservasi),
meskipun sebagian petani telah mempraktekkan tindakan konservasi, namun
dalam penelitian ini aspek tindakan konservasi tidak dipetakan. Konfigurasi
sebaran nilai TBE dan luasannya menurut jenis penggunaan lahan tahun 2009
disajikan pada Tabel 19 dan Gambar 8.
Berdasarkan Tabel 19, sebanyak 16.88% dan 11.28% dari semua jenis
penggunaan lahan yang ada di kawasan batumarta berada pada tingkat bahaya
erosi masing-masing Sangat Rendah dan Rendah. Jenis penggunaan lahan sawah
seluruhnya (100%) memiliki TBE Sangat Rendah. Penggunaan lahan hutan
sekunder, seluruhnya (100%) memiliki TBE Sangat Rendah dan Rendah.
Sebanyak 63.57% dari seluruh jenis penggunaan lahan berada pada nilai TBE
Sedang, yang didominasi berturut-turut oleh jenis penggunaan lahan perkebunan
(41,626.65 ha), semak bekukar (3,147.22 ha), lahan terbuka (2,069.75 ha), tegalan
(1,770.05) dan permukiman (1,445.94 ha). Dengan mengetahui bahwa sebagian
petani telah melaksanakan tindakan konservasi tanah pada areal perkebunan,
maka kemungkinan besar sebagian areal perkebunan yang termasuk dalam
kategori TBE sedang sebenarnya berada dalam selang TBE Rendah atau Sangat
Rendah.
Tabel 19 Sebaran Tingkat Bahaya Erosi (TBE) di kawasan Batumarta
Menurut Penggunaan Lahan Tahun 2009
No
1
2
3
4
5
6
7
Jenis
Penggunaan
Lahan
Hutan Sekunder
Perkebunan
Permukiman
Sawah
Semak/Belukar
Tanah Terbuka
Tegalan/Ladang
Total
Persen (%)
Kelompok TBE dan Luasan (ha)
Sangat
Rendah
1,139.35
1,411.68
78.48
10,292.01
359.24
0
12.99
13,293.75
16.88
Rendah
Sedang
Berat
93.79
6,726.42
0
0
2,069.75
0
0
8,886.15
11.28
0
41,626.65
1,445.94
0
3,147.22
2,069.75
1,770.05
50,059.61
63.57
0
547.55
1,040.35
0
39.15
138.56
4,736.93
6,502.54
8.26
Sangat
Berat
0
1.30
0
0
0
6.37
0
7.67
0.01
Total (ha)
1,233.14
50,313.60
2,564.77
10,292.01
5,611.55
2,214.68
6,519.97
78,749.72
100
91
Gambar 8 Peta Sebaran Tingkat Bahaya Erosi Wilayah Penelitian
Khusus untuk jenis penggunaan lahan lahan terbuka, semak belukar dan
ladang, nilai TBEnya akan lebih kecil apabila dikonversi menjadi kebun dengan
tindakan konservasi tanah. Sama halnya dengan lahan-lahan dengan jenis
penggunaan lahan ladang/tegalan yang saat ini berada pada nilai TBE Berat
(4,736.93 ha) disarankan sebaiknya dikonversi menjadi kebun dengan tindakan
konservasi tanah.
Menurut Arsyad (2010), besarnya erosi yang akan terjadi dari tanah dalam
keadaan bertanaman dengan atau tanpa tindakan konservasi, akan didapat dengan
memasukkan nilai semua faktor ke dalam persamaan USLE. Besarnya erosi hasil
92
prediksi menggunakan persamaan ini disebut erosi aktual. Untuk setiap jenis
tanaman atau pola tanam dengan tindakan konservasi tertentu, besarnya erosi yang
terjadi dapat diprediksi. Jika besarnya erosi yang akan terjadi dari perhitungan
persamaan USLE tersebut lebih besar dari nilai T maka faktor C atau P atau
keduanya harus diubah yang berarti mengubah jenis tanaman dan pola tanam atau
tindakan konservasi tanah sehingga nilai A ≤ T. Hal yang sama dapat dilakukan
pada pengembangan kawasan Batumarta, terutama pada lahan-lahan yang nilai
TBEnya berada pada kategori Sangat Berat, Berat atau Sedang.
Download