1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara nasional prevalensi kasus AIDS di Indonesia sebesar 8,15 artinya
setiap 100.000 penduduk sebesar 8,15% diantaranya menderita AIDS (Ditjen
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2009). Angka epidemi
kumulatif tertinggi adalah di Papua sebesar 135,44 per 100.000 jumlah
penduduk secara nasional di Indonesia (Ditjen Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, 2010). Indonesia telah digolongkan sebagai negara
dengan tingkat epidemi HIV dan AIDS yang terkonsentrasi misalnya pada
kelompok pekerja seks komersial dan pengguna jarum suntik (KPA, 2010).
Prevalensi penyakit HIV dan AIDS di Indonesia terus menunjukkan
peningkatan karena semakin tingginya mobilitas penduduk antar wilayah,
menyebarnya sentra-sentra pembangunan ekonomi, meningkatnya perilaku
seksual yang tidak aman, dan meningkatnya penyalahgunaan Napza melalui
suntikan. Pada tahun 2011 terjadi pergeseran metode penularan dari
penyalahgunaan jarum suntik (34%) ke transmisi seksual (71%) terutama
heteroseksual (KPA, 2012).
Peningkatan prevalensi penyakit HIV dan AIDS mendorong pemerintah
dan lembaga nonpemerintah untuk melakukan upaya dalam mengendalikan
penyebaran HIV dan AIDS di Indonesia, salah satunya dengan meningkatkan
pengetahuan, sikap dan perilaku terkait HIV dan AIDS. Namun, faktanya 80%
penduduk Indonesia masih memiliki pemahaman yang salah mengenai
penyakit ini (Bappenas, 2010). Hanya 42% perempuan dan 52% laki-laki
yang telah menikah di Indonesia mengetahui metode penularan infeksi HIV
1
2
dan AIDS (BPS dan Makro Internasional, 2008). Pengetahuan yang salah ini
dapat menimbulkan stigma dan diskriminasi bagi orang dengan HIV dan
AIDS.
Tidak hanya masyarat, namun stigma yang salah dan diskriminasi juga
dilakukan oleh tenaga kesehatan seperti yang dikemukakan dalam beberapa
penelitian internasional. Mulaudzi dkk (2011) menemukan bahwa setidaknya
satu diantara empat perawat di Afrika Selatan mempunyai sikap yang buruk
terhadap pasien dengan HIV dan AIDS. Perilaku yang buruk terhadap pasien
juga ditunjukkan dalam penelitian Lange (2003), bahwa ditemukan
diskriminasi yang ditunjukkan oleh petugas-petugas kesehatan di Amerika,
bahkan ada yang menolak memberikan perawatan sehingga akses
pelayanan kesehatan bagi pasien dengan HIV dan AIDS tersebut menjadi
buruk. Di Indonesia sendiri, setidaknya dari 13 ribu penderita HIV dan AIDS
30% diantaranya mengeluhkan mengalami diskriminasi yang dilakukan oleh
rumah sakit dan paramedis (Yayasan Spiritia, 2005).
Rumah sakit sebagai sarana kesehatan seharusnya memberikan
pelayanan dengan mengutamakan penyembuhan serta pemulihan bagi
siapapun, termasuk juga pasien HIV dan AIDS. Pelayanan kesehatan yang
baik terhadap pasien HIV dan AIDS sangat perlu dilakukan untuk
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas akibat infeksi. Infeksi pada HIV
dan AIDS sendiri menyebabkan penderitanya berisiko mengalami penurunan
berat badan (Piwoz dan Preble, 2000). Penurunan berat badan yang
signifikan merupakan sinyal bahaya dari penyakit HIV dan AIDS karena
penurunan berat badan menjadi salah satu indikasi status gizi yang
memburuk.
3
Menurut Niedzwiecki dan Rath (2005), penyebab kematian tertinggi pada
pasien AIDS adalah karena kekurangan gizi. Peran gizi sangat dibutuhkan
untuk mencegah semakin buruknya kondisi pasien. Dalam penelitian Ahoua
(2011), pemberian obat antiretroviral virus dan asupan gizi yang cukup dapat
membantu meningkatkan pemulihan pasien. Selain itu, dalam manajemen
pasien dengan HIV dan AIDS juga dibutuhkan suatu standar yang mengatur
mengenai pelayanan gizi yang paripurna bagi pasien HIV dan AIDS (RCQH,
2003). Hal ini salah satunya bertujuan untuk memberikan pelayanan yang
konsisten dan profesional (NASCOP, 2007).
Sejauh ini, penelitian mengenai gizi untuk HIV dan AIDS terbilang jarang,
bahkan belum ada. Penelitian HIV dan AIDS pada tenaga kesehatan sebatas
dokter, perawat, radiografer (Andrewin dkk, 2008; Mulaudzi dkk 2011; Mo,
2006; dan Okaro,2010). Padahal tenaga gizi, terutama ahli gizi merupakan
tenaga kesehatan di rumah sakit yang memiliki peran sentral dalam
pelayanan gizi serta termasuk dalam salah satu tenaga kesehatan
profesional yang ikut dalam tim terapi bagi HIV dan AIDS (USAID, 2011).
Mengingat perannya yang cukup signifikan tersebut sehingga perlu dilibatkan
dan dipersiapkan dengan baik (KPA, 2010). Pentingnya peranan gizi dalam
manajemen pasien dengan HIV dan AIDS inilah yang mendorong untuk
melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan
tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku tenaga gizi di rumah sakit terhadap
HIV dan AIDS. Penelitian ini bertujuan mencegah adanya stigma yang salah
dan potensi tindakan diskriminatif sehingga pelayanan yang diberikan dapat
maksimal.
4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka dapat dibuat suatu
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Faktor-faktor
apa
sajakah
yang
berhubungan
dengan
tingkat
pengetahuan, sikap dan perilaku tenaga gizi (ahli gizi dan tenaga
pramusaji) di rumah sakit terhadap HIV dan AIDS?
2. Bagaimana gambaran kebijakan rumah sakit atau Standar Prosedur
Operasional (SPO) mengenai pelayanan HIV dan AIDS, gizi, serta gizi
terkait HIV dan AIDS?
C. Tujuan
1. Tujuan umum:
Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat pengetahuan,
sikap, dan perilaku tenaga gizi (ahli gizi dan tenaga pramusaji) di rumah
sakit terhadap penyakit HIV dan AIDS.
2. Tujuan khusus:
a. Mendeskripsikan kebijakan terkait pelayanan bagi pasien HIV dan
AIDS, pelayanan gizi, serta pelayanan gizi bagi pasien dengan HIV
dan AIDS.
b. Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku
tenaga gizi di rumah sakit terkait HIV dan AIDS.
c. Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan ahli gizi di rumah sakit
terkait dengan gizi pada HIV dan AIDS.
d. Mengidentifikasi
variabel
yang
berhubungan
dengan
tingkat
pengetahuan, sikap, dan perilaku tenaga gizi (ahli gizi dan tenaga
5
e. pramusaji) di rumah sakit terkait HIV dan AIDS.
f.
Mengidentifikasi
variabel
yang
berhubungan
dengan
tingkat
pengetahuan ahli gizi di rumah sakit terkait dengan gizi pada HIV dan
AIDS.
D. Manfaat
1. Bagi institusi pendidikan:
a. Mengembangkan teori baru yang dapat memberikan gambaran
pentingnya pengetahuan, sikap, dan perilaku yang baik agar
pelayanan terhadap pasien HIV dan AIDS dapat maksimal.
b. Memperkaya materi ajar di Program Studi Gizi Kesehatan FK UGM.
2. Bagi institusi pelayanan kesehatan, terutama pelayanan gizi di rumah
sakit:
a. Menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan bagi
pelayanan terhadap pasien HIV dan AIDS agar dalam memberikan
terapi dan pelayanan kesehatan dapat maksimal.
b. Meminimalkan risiko diskriminasi sehingga dalam memberikan
pelayanannya tetap berorientasi pada kepuasan dan kesembuhan
pasien.
3. Bagi penelitian selanjutnya:
Memberikan gambaran untuk pengembangan penelitian selanjutnya
terkait pelayanan yang optimal bagi pasien HIV dan AIDS.
6
E. Keaslian Penelitian
1) Mulaudzi, dkk (2011) melakukan penelitian yang berjudul ”Nurse’s
Knowledge, Attitudes, and Coping Related to HIV and AIDS in a Rural
Hospital in South Africa” hasilnya perawat memiliki sedikit pengetahuan
tentang HIV dan AIDS dan satu diantara empat perawat mempunyai
sikap yang buruk. Penelitian Mulaudzi tersebut menggunakan metode
cross-sectional. Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian tersebut
seperti lama bekerja dan umur menjadi acuan dari faktor yang
mempengaruhi pengetahuan, sikap, dan perilaku dalam penelitian ini.
Adapun perbedaan dari penelitian ini adalah metode yang dilakukan yaitu
cross-sectional yang didahului dengan studi eksploratif untuk melihat
kebijakan rumah sakit terkait dengan pelayanan gizi. Selain itu subjek
yang digunakan bukan perawat melainkan tenaga gizi.
2) Andrewin, dkk (2008) melakukan penelitian berjudul “Stigmatization of
Patients with HIV/AIDS among Doctors and Nurses in Belize”. Penelitian
tersebut menyatakan bahwa adanya stigma yang buruk terhadap pasien
HIV dan AIDS yang dilakukan oleh dokter dan perawat. Disisi lain, umur
juga merupakan faktor yang signifikan berpengaruh pada sikap terhadap
pasien HIV dan AIDS sehingga penelitian ini dapat digunakan menjadi
acuan dalam menentukan variabel bebas. Andrewin dalam penelitiannya
lebih fokus terhadap stigma dan perilaku dokter dan perawat terhadap
pasien dengan HIV dan AIDS sedangkan pada penelitian ini lebih fokus
pada pengetahuan, sikap, dan perilaku tenaga gizi terhadap penyakit HIV
dan AIDS.
7
3) Okaro (2010) melakukan penelitian yang berjudul “Knowledge and
Attitude
of
Radiographers
towards
HIV/AIDS
Patients
Attending
Radiology Clinics in Enugu State, Nigeria”. Hasil yang didapat yaitu
radiografer memiliki pengetahuan yang memuaskan dan perilaku yang
baik terhadap pasien dengan HIV dan AIDS. Kuesioner penelitian Okaro
digunakan sebagai referensi untuk memberikan gambaran dalam
pembuatan kuesioner pengetahuan dan sikap. Adapun perbedaannya
yaitu dalam penelitian ini mencakup pengetahuan, sikap, dan perilaku
tidak hanya pengetahuan dan sikap. Perbedaan juga terdapat pada
subjek penelitian. Pada penelitian ini subjeknya adalah tenaga gizi
sedangkan penelitian Okaro yaitu radiografer.
4) Mo (2006) melakukan penelitian “The Knowledge and Attitudes of
Registered Nurses in Public Hospital Related to the Prevention of HIV
and AIDS Transmission”. Hasilnya, ada hubungan antara pengetahuan
yang
kurang
dengan
sikap
yang
buruk.
Perawat
yang
lebih
berpengalaman mengikuti pelatihan tentang HIV dan AIDS dan merawat
pasien HIV dan AIDS memiliki pengetahuan dan sikap yang berbeda
terkait HIV dan AIDS. Kuesioner penelitian Mo ini digunakan sebagai
acuan untuk mengukur tingkat pengetahuan dan sikap pada penelitian ini.
Penelitian Mo menggunakan desain kuantitatif, eksploratif, deskriptif, dan
kontekstual sedangkan penelitian ini menggunakan desain kuantitatif
dengan metode cross-sectional yang didahului dengan studi eksploratif
untuk melihat kebijakan rumah sakit terkait dengan pelayanan gizi.
Download