Komunikasi Remaja dan Orang Tua tentang Masalah Seksual (Studi Kasus pada Remaja Pelaku Seks Pranikah) M.Teguh Karya AP Pembimbing: Praesti Sedjo S.Psi, M.Si. ABSTRAK Saat ini kasus mengenai perilaku seks pranikah pada remaja semakin mengkhawatirkan, padahal perilaku tersebut harus dihindari oleh setiap individu. Salah satu penyebab terjadinya perilaku seks pranikah yaitu karena kurangnya komunikasi antara remaja dengan orang tua. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi perilaku seks pranikah subjek, komunikasi subjek dengan orang tua tentang masalah seksual, serta untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi komunikasi tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Subjek penelitian ini yaitu remaja pelaku seks pranikah. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara dan catatan lapangan. Faktor yang mempengaruhi perilaku seks pranikah subjek yaitu kurangnya pendidikan mengenai seks dari orang tua, perilaku teman sebaya, informasi dari media massa, pendidikan yang relatif rendah, dan tidak adanya rasa bersalah jika melakukan hubungan seks pranikah. Gambaran komunikasi yang dilakukan subjek dengan orang tuanya tentang masalah seksual yaitu kurangnya inisiatif berkomunikasi dan berdiskusi, orang tua suka mengalihkan pembicaraan, orang tua memberikan pengertian bahwa seks itu sehat selama dilakukan setelah menikah, orang tua tidak melarang membahas masalah seks sepanjang langsung bertanya pada orang tua, subjek merasa malu membicarakan masalah seks, orang tua tidak menjelaskan seks secara terbuka di depan umum. Faktor yang mempengaruhi komunikasi tersebut yaitu kurangnya keterbukaan, respons yang kurang baik, rasa empati, penyampaian informasi yang menarik, ketidaknyamanan saat berkomunikasi, ketidakyakinan bahwa masalah bisa teratasi dengan berkomunikasi, sikap kasar orang tua, dan kesamaan pola pikir. Kata kunci : Komunikasi, masalah seksual, remaja, orang tua, seks pranikah 1 menunjukkan rasa sayang kepada pasangannya. Rupanya gaya pacaran remaja saat ini sudah berubah. Sekedar berpegangan tangan, menurut mereka bukan hubungan pacaran, tapi teman. Mau tak mau aktivitas pacaran yang disebut sebagai proses pengenalan diri dan penjajakan kepada pasangan mereka itu lambat laun menjadi ekspresi eksploitasi seksual mereka. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan, setiap manusia pasti melalui tahapan-tahapan dalam perkembangan, di antara tahapan-tahapan tersebut ada suatu tahapan yang bernama masa remaja, yaitu masa transisi dari anakanak untuk menjadi dewasa. Masa remaja ditandai dengan terjadinya perubahan-perubahan fisik yang pesat dan aktifnya hormon yang mempengaruhi organ-organ reproduksi. Pengalaman seksual yang intens pada masa ini memperbesar ketertarikan remaja terhadap lawan jenisnya. Salah satu perilaku seksual yang umum dilakukan remaja untuk memenuhi ketertarikannya pada lawan jenis adalah perilaku pacaran. Perilaku pacaran juga dikarenakan kebutuhan sosial dan pengaruh teman sebaya yang semakin besar. Hasil serupa juga ditemukan oleh Taufik dan Anganthi (2005) di Surakarta. sebanyak 13% responden yang masih berstatus pelajar SMA telah melakukan hubungan seksual. Hasil survei PKBI pada tahun 2006 (dalam Lestari, 2007) bahkan mengungkap bahwa perilaku hubungan seks pranikah telah merambah remaja di bawah usia 18 tahun. Seks pranikah adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh pria dan wanita yang belum terikat tali perkawinan, yang pada akhirnya mereka akan menikah satu sama lain atau masing-masing akan menikah dengan orang lain (Amelia dalam Rezha, 2009). Perilaku pacaran merupakan perilaku yang sudah dianggap sebagai kelaziman ketika dilakukan oleh para remaja. Seperti yang dikemukakan oleh Taufik dan Anganthi (2005) melalui penelitiannya terhadap remaja SMA diketahui bahwa sebagian besar subjek (75,61% laki-laki dan 73,40% perempuan) sudah pernah berpacaran. Mereka berpacaran pertama kali berkisar pada usia 15-17 tahun, bahkan ada yang telah mulai berpacaran ketika berusia 12-14 tahun. Sikap menerima atau menolak seks pranikah remaja tidak dapat dilepaskan dari berbagai pengaruh lingkungan yang melingkupi kehidupan mereka, salah satunya yaitu komunikasi seksual antara orang tua dengan remaja. Menurut Laily dan Matulessy (2004), informasi atau pengetahuan mengenai seksualitas yang diberikan pada remaja lebih baik dan tepat jika dilakukan dalam keluarga, karena anak dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga, sehingga salah satu cara yang dapat diusahakan untuk mengurangi perilaku seksual pranikah Dalam penelitian yang dilakukan oleh Astuti (2005) menemukan bahwa sebagian proses pacaran pada remaja mengarah pada perilaku seksual. Dari sekedar berpegangan tangan, di awal proses pacaran, selanjutnya lebih daripada itu, ciuman menjadi hal biasa untuk 2 pada remaja adalah dengan meningkatkan kualitas komunikasi orang tua-anak. Kalaupun memiliki kesadaran untuk mengkomunikasikan seksualitas, kebanyakan orang tua hanya bersikap menunggu anak bertanya. Hal ini menyebabkan berkurangnya sikap keterbukaan dan memunculkan sikap menabuhkan pembicaraan masalah seks (Lestari & Purwandari, 2002). Komunikasi seksual orang tua dan remaja merupakan suatu proses saling tukar informasi, ide-ide dan gagasan antara orang tua dan remaja tentang masalah seksual dengan tujuan untuk saling mempengaruhi tingkah laku (Fisher, 1987). Bila orang tua tidak memberikan informasi yang memadai tentang seksualitas, remaja akan mencari informasi dari pihak lain, antara lain dari kelompok teman sebayanya. Remaja yang memiliki pengetahuan tentang seksualitas yang terbatas menjadi sumber informasi bagi remaja lain yang memerlukan informasi bagi remaja lalin yang memerlukan informasi tentang seksualitas. Keadaan ini dapat diibaratkan seperti orang buta menuntun orang buta (Meikle, Peitchinis, & Pearce, 1985). Menurut hasil penelitian Miller selama 20 tahun, komunikasi orang tua dengan remaja tentang topik-topik seksualitas memiliki peran penting untuk dapat memahami adanya variasi pada sikap dan perilaku seksual remaja, seperti sikap untuk tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah (Somers dan Canivez, 2003). Akan tetapi komunikasi seksualitas orang tua dengan remaja baru akan mempengaruhi sikap remaja bila orang tua dapat mengkomunikasikan topik-topik seksualitas dengan remaja yang nyaman (Whitaker, 1999). Saat ini masih ada orang tua dan masyarakat yang menganggap seks adalah persoalan tabu, kotor, dan tidak pantas dibicarakan atau orang tua berdalih belum saatnya untuk membicarakan (Lestari, 2007). Padahal kualitas komunikasi antara orang tua dan anak dapat menghindarkan remaja dari perilaku seksual pranikah, hal ini dikarenakan antara orang tua dan anak terjalin hubungan atau komunikasi yang intensif sehingga memungkinkan terjadinya diskusi, sharing, dan pemecahan masalah secara bersama (Laily & Matulessy, 2004). Idealnya, orang tua berperan aktif dalam melakukan pendidikan seksualitas bagi putra-putrinya. Hal ini akan berguna untuk mencegah akses ke media pornografis yang dilakukan oleh remaja, atau setidaknya menjadi penyeimbang paparan pornografi yang dilakukan remaja. Dalam kenyataannya, belum semua orang tua menjalankan peran sebagai pendidik seksualitas secara optimal bagi anakanaknya. Ketika orangtua hanya bersikap menunggu anak bertanya tanpa bersikap proaktif, maka akan timbul rasa enggan pada remaja untuk bertanya seputar masalah seksualitas. Remaja merasa tidak yakin orang tuanya akan memberi tanggapan dengan baik dan memberi jawaban terhadap rasa ingin tahunya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Indrijati (dalam Lestari, 2007), semakin meningkat (positif) kualitas komunikasi remaja dan orang tua maka sikapnya semakin tidak mendukung (menolak atau menjauh atau negatif) 3 terhadap hubungan seks pranikah atau sebaliknya, jika semakin menurun (negatif) terhadap kualitas komunikasi remaja dan orang tua maka sikapnya semakin mendukung (menerima atau positif) terhadap hubungan seks pranikah. komunikasi yang intensif tersebut memungkinkan terjadinya diskusi, sharing, dan pemecahan masalah secara bersama. Berdasarkan pemaparan di atas maka permasalahan yang ingin dikaji secara lebih lanjut dalam penelitian ini yaitu bagaimana komunikasi remaja pelaku seks pranikah dengan orang tua tentang masalah seksual. Umumnya remaja pelaku seks pranikah tidak memiliki keinginan untuk mengkomunikasikan masalah seksualitasnya dengan orang tua, selain itu orang tuanya juga tidak bisa menerima ketertarikan remaja terhadap seksualitas. Hal ini didukung oleh pernyataan Bennet & Dickinson (dalam Allgeier & Allgeier, 1991) yang mengungkapkan bahwa ketika orangtua dapat menerima ketertarikan anak terhadap seksualitas dan mempunyai kehendak untuk mendiskusikannya, maka anak-anak tersebut cenderung menunda sexual intercourse yang pertama, dan mengembangkan sikap seksual yang serupa dengan orangtuanya. Kondisi tersebut dapat terjadi karena ketika orang tua dan anak berkomunikasi tentang seksualitas, umumnya juga mengkomunikasikan sikap dan nilai, tidak sekedar fakta tentang seksualitas. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi perilaku seks pranikah subjek, selain itu untuk mengetahui komunikasi subjek dengan orang tua tentang masalah seksual, serta untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi komunikasi subjek dengan orang tua tentang masalah seksual. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan, khususnya psikologi remaja, psikologi perkembangan, dan psikologi sosial mengenai komunikasi remaja dengan orang tua tentang masalah seksual. Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa pada saat ini masih ada orang tua dan masyarakat yang menganggap seks adalah persoalan tabu dan tidak pantas untuk dikomunikasikan, kalaupun memiliki kesadaran untuk mengkomunikasikan seksualitas, kebanyakan orang tua hanya bersikap menunggu anak bertanya dan hanya memberikan informasi yang terbatas. Padahal kualitas komunikasi antara orang tua dan remaja sangat penting untuk menghindarkan remaja dari perilaku seksual pranikah, karena dengan 2. Manfaat Praktis Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah untuk memberi informasi kepada remaja dan orang tua mengenai komunikasi remaja dengan orang tua tentang masalah seksual sehingga diharapkan dapat tercipta komunikasi orang tua dan anak yang berkualitas serta perilaku seksual remaja yang positif dan sehat. 4 c. Media, alat, saluran, metode atau cara penyampaian informasi, berita atau pesan. TINJAUAN PUSTAKA Komunikasi Remaja dan Orang Tua tentang Masalah Seksual Pola Komunikasi Seksual Fisher (1987) mengungkapkan bahwa komunikasi seks orang tua dan remaja merupakan suatu proses saling tukar informasi, ide-ide dan gagasan antara orang tua dan remaja tentang masalah seksual dengan tujuan untuk saling mempengaruhi tingkah laku. Menurut Ehrenberg dan Ehrenberg (dalam Laily & Matulessy, 2004), ada empat pola komunikasi yang digunakan orang tua dalam menyampaikan masalah seksual kepada anak, yaitu: a. Pola Sex Repressive, orang tua memberi penjelasan kepada anak bahwa seks adalah sesuatu yang kotor, sehingga mereka lebih sering melarang anak-anaknya mengucapkan kata-kata yang berhubungan dengan seks. Sedangkan menurut Lestari (2007), komunikasi seksual antara orang tua dengan remaja adalah cara orang tua mengungkapkan dan mengekspresikan pikiran dan perasaan yang berkenaan dengan seksualitias dirinya pada remaja melalui diskusi mengenai masalah seksual. b. Pola Sex Avoidant, orang tua bersikap toleran dengan memberikan pengertian secara intelektual bahwa seks itu sehat, tetapi orang tua merasa malu untuk memberi penjelasan kepada anak dan cenderung menghindari diskusi secara langsung tentang seks. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi remaja dan orang tua tentang masalah seksual merupakan suatu proses bertukar pendapat dengan mendiskusikan atau menyampaikan informasi, ide-ide dan gagasan antara orang tua dan remaja tentang masalah seksual yang bertujuan untuk saling mempengaruhi tingkah laku. c. Pola Sex Obsessive, orang tua menganggap seks sebagai sesuatu yang sehat dan benar tetapi sikap mereka terhadap seks sangat bebas dan cenderung menunjukkan aktivitas yang berkaitan dengan seks secara terbuka, sehingga anak justru merasa tidak nyaman dan tertekan oleh seluruh perhatian yang diberikan tentang seks. Komponen Komunikasi Menurut Prabowo dan Puspitawati (1997), secara umum ada tiga komponen utama yang penting dalam komunikasi, yaitu: d. Pola Sex Expressive, orang tua mengintegrasikan seks ke dalam kehidupan keluarga yang seimbang. Orang tua memperkenalkan seks sebagai sesuatu yang sehat dan positif, tetapi juga menekankan kepada anak bahwa tidak ada yang bisa diperoleh secara tergesa-gesa hanya karena seks. a. Komunikator (pemberi informasi, berita atau pesan) dan komunikan (penerima informasi, pesan atau berita). b. Informasi, berita, pesan itu sendiri. 5 datang. Diam, tidak mau merespons, tidak mau mengkritik, atau bahkan tidak mau bertindak. Mungkin hal itu tepat untuk situasi tertentu, namun untuk komunikasi dalam keluarga atau percakapan sehari-hari barangkali akan membosankan. Dalam keterbukaan ini sudah sepatutnya kalau masing-masing mau bereaksi terbuka terhadap sesuatu yang dikatakan masing-masing. Tidak ada yang paling buruk kecuali tidak perduli (indifference), dan tidak ada yang paling nikmat selain dihargainya perbedaan pendapat, walaupun akan terasa pahit bagi yang mendengarkannya. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi tentang Masalah Seksual Penelitian yang dilakukan oleh Jaccard, Dittus, dan Gordon (dalam Lestari, 2007) mengungkap lima faktor yang mempengaruhi terjadinya kegagalan komunikasi seksual antara orang tua dan remaja, yakni: a. Orang tua tidak memiliki pengetahuan atau keterampilan yang diperlukan untuk menjelaskan materi seksual b. Remaja tidak memperhatikan orang tua dengan serius c. Baik orang tua maupun remaja tidak yakin apakah komunikasi yang dilakukan akan membawa perbedaan b. Empati Kualitas komunikasi yang sangat sulit dicapai adalah kemampuan untuk melakukan empati. Empati yang dimaksudkan adalah kemampuan untuk merasakan sebagaimana perasaan individu lain atau mencoba merasakan dengan cara yang sama dengan perasaan individu lain. Jika dalam komunikasi kerangka pemikirannya dalam kerangka empati ini, maka individu akan memahami posisinya, darimana individu berasal, dimana individu sekarang, dan kemana individu akan pergi. Hal yang paling penting adalah tidak akan memberikan penilaian pada perilaku atau sikap individu sebagai perilaku atau sikap yang salah atau benar. Sedangkan simpati merasakan untuk individu lain, misalnya merasa kasihan pada individu lain. d. Baik orang tua maupun remaja kesulitan menemukan waktu dan tempat yang tepat e. Orang tua takut mendorong aktivitas seksual anak. Menurut Devito (1996), suatu komunikasi dipengaruhi oleh keterbukaan, empati, dukungan, kepositifan, dan kesamaan. a. Keterbukaan Kualitas keterbukaan dalam komunikasi dapat dilihat dari dua aspek, aspek pertama yaitu: keinginan untuk terbuka bagi setiap individu yang berinteraksi dengan individu lain, keinginan untuk terbuka ini dimaksudkan agar diri masing-masing tidak tertutup dalam menerima informasi untuk dirinya, bahkan juga mengenai dirinya kalau dipandang relevan dalam rangka pembicaraan dengan lawan bicaranya. Aspek kedua yaitu keinginan untuk menanggapi secara jujur semua stimuli yang c. Dukungan Dengan dukungan akan tercapai komunikasi yang efektif, dukungan adakalanya terucap dan 6 tidak terucap. Dukungan yang tidak terucap tidak mempunyai nilai yang negatif, melainkan dapat merupakan aspek positif dari komunikasi. Gerakan-gerakan seperti anggukan kepala, kedipan mata, senyum, atau tepukan tangan merupakan dukungan positif yang tidak terucapkan. Komunikasi tidak dapat hidup dalam suasana yang penuh ancaman, jika partisipan dalam suatu komunikasi merasa bahwa sesuatu yang akan dikatakannya akan mendapat kritikan atau diserang, maka mereka akan segan untuk berlaku terbuka atau enggan memberi informasi tentang dirinya dalam cara apapun. lebih berpartisipasi dalam setiap kesempatan. Individu dalam suasana seperti ini tidak lagi mempunyai perasaan tertutup, individu senang dianggap bisa berperan. Ketiga, suatu perasaan positif dalam situasi komunikasi umum, amat bermanfaat untuk mengefektifkan kerjasama. Tidak ada sesuatu yang paling menyakitkan kecuali berkomunikasi dengan individu lain yang tidak tertarik atau tidak mau memberi respons yang menyenangkan terhadap situasi yang dibicarakan. e. Kesamaan Kesamaan merupakan karakteristik yang teristimewa, karena pada kenyataannya manusia tidak ada yang sama, individu kembarpun didapatkan perbedaan-perbedaan. Kenyataannya di dunia ini ada individu yang gagah, ada individu yang kaya, ada yang cantik, ada pula yang menjadi petinju, dosen, kuli, dan banyak lagi yang menunjukkan ketidaksamaan. Komunikasi akan lebih efektif jika individu-individu yang berkomunikasi itu dalam suasana kesamaan. Kondisi ini bukan berarti bahwa individuindividu yang tidak mempunyai kesamaan tidak dapat berkomunikasi. Tetapi jika komunikasi antar individu diinginkan akan efektif, hendaknya diketahui kesamaan-kesamaan kepribadian diantara individu-individu yang berkomunikasi. Dengan cara ini dimaksudkan hendaknya terdapat pengenalan tak terucapkan bahwa kedua pihak yang berkomunikasi dihargai dan dihormati sebagai manusia yang mempunyai sesuatu yang penting untuk dikontribusikan d. Kepositifan Dalam komunikasi, kepositifan paling sedikit memiliki 3 aspek perbedaan atau unsur. Pertama komunikasi akan berhasil jika terdapat perhatian yang positif terhadap diri individu. Jika beberapa individu mempunyai perasaan negatif terhadap dirinya dan mengkomunikasikan perasaan tersebut kepada individu lain, maka individu lain ini kemungkinan akan mengembangkan rasa negatif pula. Sebaliknya jika individu-individu mempunyai perasaan positif terhadap dirinya dan berkeinginan untuk menyampaikan perasaannya kepada individu lain, maka individu lain akan menanggapi dan memperhatikan perasaan positif tadi. Kedua, komunikasi akan terpelihara dengan baik jika suatu perasaan positif terhadap individu lain itu dikomunikasikan. Kondisi ini akan membuat individu lain merasa lebih baik dan mempunyai keberanian untuk 7 kepada sesamanya. Karakteristik kesamaan dalam komunikasi antara anggota keluarga dapat pula dilihat dari kedudukan antara pembicara dan pendengar. Misalnya suara tidak sampai karena pengeras suara rusak, bunyi-bunyian, halilintar, lingkungan yang gaduh, dan lain-lain. Gangguan teknis lebih sering dijumpai pada komunikasi yang menggunakan medium. Dampak Komunikasi Perilaku Seks Pranikah Effendy (2003) mengemukakan bahwa komunikasi memiliki tiga dampak, yaitu: Biran (dalam Oriza, 2000) mengatakan bahwa perilaku seks pranikah adalah tindakan seksual sebelum pernikahan yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda jenis kelaminnya. Sementara Lubis (dalam Oriza, 2000) berpendapat bahwa perilaku seks pranikah adalah hubungan antar pribadi yanng di dalam hubungan tersebut dilakukan hubungan aktivitas seksual sebelum menikah. a. Dampak Kognitif, berhubungan dengan pemikiran atau penalaran, sehingga khalayak yang semula tidak tahu, tidak mengerti, dan bingung menjadi jelas. b. Dampak Afektif, berkaitan dengan perasaan, akibat dari komunikasi yang timbul perasaan tertentu pada khalayak Sarwono (1997) mengatakan bahwa perilaku seks pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berciuman (kissing), bercumbuan tidak sampai menempelkan alat kelamin (necking) dan belum bersenggama, bercumbuan sampai menempelkan alat kelamin (petting) tetapi belum bersenggama dan yang sudah bersenggama (intercourse) yang dilakukan di luar hubungan pernikahan. c. Dampak Konatif, dampak ini tidak langsung timbul, melainkan didahului oleh dampak kognitif dan atau dampak afektif Hambatan-Hambatan dalam Komunikasi Seringkali dalam komunikasi kita alami lain yang dituju lain yang diperoleh. Menurut Widjaja (2000), dalam komunikasi terdapat hambatan-hambatan, yaitu: a. Hambatan Bahasa Pesan disalah artikan sehingga tidak mencapai apa yang diinginkann, apabila bahasa yang digunakan tidak dipahami oleh komunikan, termasuk penggunaan-penggunaan istilah yang diartikan berbeda atau tidak dimengerti sama sekali. Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku seks pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual terhadap lawan jenis, mulai dari kissing, necking, petting, dan intercourse yang dilakukan di luar hubungan pernikahan. b. Hambatan Teknis Pesan dapat tidak utuh diterima komunikan karena gangguan teknis. 8 yang dapat menyebabkan perilaku seksual pranikah antara lain adalah: Bentuk-Bentuk Perilaku Seks Pranikah Sarwono (1997) menyatakan jenisjenis perilaku seks pranikah adalah: a. Kurangnya pendidikan seksual dalam keluarga a. Kissing, berciuman b. Ketabuan Seksualitas Ketabuan seksualitas dapat membatasi komunikasi sehingga anak dapat menerima informasi yang salah tentang seks b. Necking, bercumbuan tidak sampai menempelkan alat kelamin dan belum bersenggama c. Petting, bercumbuan sampai menempelkan alat kelamin tetapi belum bersenggama c. Pengaruh Peers (teman sebaya) Seharusnya pendidikan seksual itu diberikan oleh orang tua, tetapi teman adalah salah satu sumber pengetahuan tentang masalah seksual d. Intercourse, sudah bersenggama yang dilakukan di luar hubungan pernikahan. Pola Perilaku Seks Pranikah d. Media Massa Jika orang tua cenderung jarang berbicara tentang seks, remaja seringkali mendapatkan informasi yang salah tentang seks dari apa yang disebut popular culture seperti Televisi, film, majalah, atau novel Erikson (1968) mengatakan ada beberapa tahapan dalam pola umum perilaku seks pranikah, yaitu: a. The Experimenter, yaitu menilai pengalaman seksual berdasarkan frekuensi, variasi, dan performance proficiency, individu yang disebut experimenter biasanya mempunyai sikap ”now’s the time to play, because later I’ll settle down”. e. Level Pendidikan Faktor level pendidikan ternyata tidak memberikan pengaruh dalam kesadaran untuk tidak melakukan perilaku seksual b. The Seeker, berusaha mendapatkan hubungan ideal dan pasangan yang sempurna dengan mengembangkan hubungan seksual dan berharap akan yang terbaik. Biasanya individu yang bersifat seeker cenderung memutuskan living together sebelum menikah f. Revolusi Seksual Pada pertengahan tahun 1970-an, ketakutan akan kehamilan, konsep dosa, dan rasa bersalah serta nilai keperawanan mengalami perubahan, dimana perilaku seksual lebih bebas dilakukan khususnya di kalangan remaja. c. The Traditionalist, bersikap willingly & joyously dalam hal seks tetapi tetap mempertahankan intercourse hanya untuk hubungan serius saja. Remaja Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seks Pranikah Hurlock (1980) mendeskripsikan remaja sebagai masa transisi dari kanakkanak ke dewasa, yang berarti berada diantara dua usia. Pada tahapan ini Sementara Benokraltis (1996), mengungkapkan bahwa beberapa faktor 9 individu tidak bisa disebut ikan maupun unggas, juga bukan anak-anak-anak maupun dewasa. Menurut Conger (dalam Rezha, 2009) remaja adalah periode dimana terjadi perubahan secara fisik, seksual dan kognitif dan penerimaan serta penempatan pada dunia sosial orang dewasa. pubertas. Akan tetapi secara umum, remaja perempuan memasuki usia pubertas dua tahun lebih awal dibanding remaja laki-laki. b. Pembentukan Konsep Diri Menurut delapan tahapan perkembangan Erikson (dalam Dusek, 1996), masa remaja sedang mengalami periode Identity Vs Identity Confusion. Kemampuan untuk melihat diri sendiri secara objektif ditandai dengan kemampuan untuk mempunyai wawasan tentang diri sendiri, serta mulai memiliki falsafah hidup tertentu. Remaja mulai memiliki nilai, kepercayaan dan keidealan yang mengarahkan perilaku mereka. Dalam tahap ini, remaja mulai sanggup untuk peduli dan mencintai orang lain, serta alam sekitar. Remaja terbagi atas beberapa tahapan usia diantaranya menurut Konopka (dalam Rezha, 2009) masa remaja meliputi beberapa pembagian lagi yaitu remaja awal antara usia 12-15 tahun, remaja madya usia 15-18 tahun dan remaja akhir usia 19-22 tahun. Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanakkanak menuju masa dewasa yang berusia antara 12-22 tahun dimana dalam prosesnya ada perubahan yang menuju ke arah kematangan fisik, psikis, status sosial dan bertambahnya tuntutan masyarakat terhadapnya. c. Perkembangan Intelegensi Individu secara keseluruhan memiliki kemampuan berpikir dan bertindak secara terarah serta mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif (Weschler dalam Sarlito, 2001). Menurut Dusek (1996), selama masa remaja, kemampuan untuk belajar, berpikir, dan mempergunakan pengetahuan semakin meningkat. Skor IQ (Inteligence Quotient) meningkat dan stabil dalam usia ini, kemampuan untuk berpikir abstrak, memiliki beberapa kemungkinan, dan pengertian mengenai konsekuensi jangka panjang dalam pengambilan keputusan juga meningkat. Karakteristik Remaja Turner dan Helms (1995) menyatakan bahwa remaja yang merupakan kelanjutan dari masa anakanak memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Usia Pubertas Usia dimana pertumbuhan fisik ditandai dengan kematangan karakteristik seksual primer dan sekunder, serta kemampuan untuk memiliki anak (reproduksi) dikenal sebagai pubertas. Oleh karena cepat lambatnya pubertas sangat tergantung pada kondisi tubuh masing-masing individu, maka sulit ditetapkan secara pasti usia berapa seseorang memasuki d. Keterlibatan dalam Lingkungan Sosial Hubungan personal diantara remaja semakin intensif tidak hanya karena hal ini penting agar diterima 10 f. Perkembangan Moral Dusek (1996) mengatakan bahwa remaja memiliki pengertian pentingnya peraturan dan hubungan dengan orang lain dalam lingkungan sosial. Oleh karena remaja memiliki kemampuan untuk berpikir abstrak, maka hal tersebut membentuk pandangan-pandangan baru tentang benar dan salah, baik dan buruk. Bagi remaja jalan yang benar untuk berperilaku ditentukan oleh nilai dan keyakinan mereka terhadap sesuatu. Perkembangan moral ini akan berpengaruh bagaimana remaja memandang lingkungan sosialnya, politik dan agama. dalam sebuah peer, akan tetapi karena remaja memiliki kebutuhan untuk berbagi perasaan dan pengalaman mereka yang baru. Pada saat ini, peer groups menawarkan dukungan dan perasaan aman kepada remaja yang berusaha mandiri dan ingin lepas dari keluarga mereka. Menurut Hurlock (1980), karena remaja lebih banyak berasa diluar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapat dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya tentang sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga. e. Perkembangan Perilaku dan Peran Seksual Ada pandangan yang menyatakan bahwa seks merupakan sesuatu hal yang sangat menarik bagi para remaja. Hal ini ditandai dengan adanya tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya, maupun dengan sesama jenis yang dinamakan perilaku seksual (Sarlito, 2001). Bentuk tingkah laku ini bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang khayalan dan diri sendiri. Di fase ini, remaja juga dituntut untuk berperilaku sesuai dengan peran seksual mereka, baik sebagai laki-laki atau perempuan. Misalnya laki-laki yang harus mulai berperan sebagai pemimpin dalam bidang sekolah, sementara perempuan mulai tertarik dengan kegiatan seputar dapur. g. Adanya Perilaku Menyimpang atau Kenakalan Remaja (juvenile delinguency) Menurut Sarlito (2001), semua tingkah laku yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dalam masyarakat (norma agama, etika, peraturan sekolah dan keluarga, dan lain-lain) dapat disebut sebagai perilaku menyimpang. Tetapi jika perilaku itu terjadi terhadap normanorma hukum pidana barulah disebut kenakalan. Adapun perilaku menyimpang yang biasanya dilakukan oleh remaja adalah penggunaan obatobatan terlarang, kerusuhan, pemberontakan terhadap otoritas, pemerkosaan, dan lain-lain. Menurut Turner dan Helms (1995), ada beberapa faktor yang menyebabkan kenakalan remaja antara lain: keluarga berantakan (broken home), kurangnya kasih sayang orangtua, disiplin yang berlebihan, pengasuhan yang tidak stabil, dan kemiskinan ekonomi. 11 orang tua lebih mungkin mencari keintiman seksual dengan teman dekatnya sebagai kompensasi, selain itu orang tua yang sangat jarang menghabiskan waktu bersama anak-anaknya menjadikan remaja lebih mengalami kecenderungan melakukan seks pranikah. Tugas Perkembangan Remaja Tugas pada masa perkembangan remaja menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1980) adalah sebagai berikut, yaitu: a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita Komunikasi seksual orang tua dan remaja merupakan suatu proses saling tukar informasi, ide-ide dan gagasan antara orang tua dan remaja tentang masalah seksual dengan tujuan untuk saling mempengaruhi tingkah laku. Secara umum ada tiga komponen utama yang penting dalam komunikasi, yaitu: komunikator dan komunikan; informasi, berita, pesan itu sendiri; serta media, alat, saluran, metode. b. Mencapai peran sosial pria dan wanita c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab e. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang-orang dewasa lainnya Adapun komunikasi seksual yang dikembangkan orang tua selama ini dibedakan oleh Ehrenberg dan Ehrenberg (dalam Laily & Matulessy, 2004) menjadi empat pola, yaitu: pola sex repressive, pola sex avoidant, pola sex obsessive, pola sex expressive. f. Mempersiapkan karir ekonomi g. Mempersiapkan keluarga perkawinan dan h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi. Dalam menghadapi permasalahan seksualitas, remaja masih mengharapkan bimbingan dari orang tua. Komunikasi seksualitas orang tua dan remaja merupakan model ideal bagi remaja, karena menjamin tersampaikannya norma tentang perilaku seksual. Namun problem komunikasi orang tua dan remaja yang umum terjadi serta sedikitnya perhatian orang tua terhadap masalah seksualitas telah menghambat terjalinnya komunikasi seksualitas antara orang tua dengan remaja (Fuhrmann, 1990). Komunikasi Remaja dengan Orang Tua tentang Masalah Seksual Kasus mengenai perilaku seks pranikah pada remaja dari waktu ke waktu semakin mengkhawatirkan. Sementara di masyarakat telah terjadi pergeseran nilainilai moral yang semakin jauh sehingga masalah tersebut sepertinya sudah menjadi hal biasa, padahal perilaku seks pranikah merupakan sesuatu yang harus dihindari oleh setiap individu. Menurut Tjahyono (1995), salah satu penyebab terjadinya perilaku seks pranikah yaitu karena kurangnya komunikasi antara remaja dengan orang tua. Menurutnya remaja yang kurang kasih sayang dari Berbagai kajian menunjukkan bahwa remaja kadang-kadang melihat orang tuanya kurang memahami gaya hidup dan tekanan yang dialami remaja 12 sekarang. Orang tua pada umumnya lebih bersikap judgemental dan terlalu melindungi agar anaknya jangan sampai berbuat kesalahan. Hal ini menyebabkan orang tua gagal menghargai kebutuhan privasi anak dan keinginannya untuk mandiri. Walaupun demikian, remaja masih tetap beranggapan bahwa orang tua merupakan sumber terpercaya tentang masalah seksualitas (Jaccard dalam Lestari, 2007). menekankan pada rincian analisis kontekstual tentang sejumlah kecil kejadian atau kondisi atau hubunganhubungan yang ada padanya. Remaja yang melakukan seks pranikah sangat jarang menghabiskan waktu untuk berkomunikasi bersama orang tuanya. Priyonggo (dalam Hertinjung, Prasetyaningrum, & Amrillah, 2005) mengemukakan bahwa berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa orangtua yang tidak lagi dianggap sebagai tempat yang aman dan mampu melindungi atau berkomunikasi dengan anggota keluarganya akan menimbulkan persoalanpersoalan yang semakin pelik pada anak, salah satunya yaitu masalah perilaku seksual pranikah. Tjahyono (1995) juga mengungkapkan bahwa orang tua yang sangat jarang menghabiskan waktu bersama anak-anaknya menjadikan remaja lebih mengalami kecenderungan melakukan seks pranikah. 2. Pernah melakukan hubungan seks pranikah Subjek Penelitian Dalam penelitian studi kasus ini, subjek yang akan digunakan oleh peneliti adalah: 1. Remaja (berusia 19 tahun) Tahap-Tahap Penelitian Adapun tahap-tahap penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi beberapa tahap, yaitu: 1. Tahap Persiapan Penelitian Peneliti melakukan persiapan dengan menyusun pertanyaan atau permasalahan penelitian, mengkaji konsep dan teori berdasarkan landasan teori yang digunakan, menentukan subjek penelitian serta menyusun pedoman wawancara, panduan observasi dan lembar data diri. Peneliti juga menyiapkan tape recorder untuk merekam jalannya wawancara agar tidak ada satupun isi wawancara yang terlupa dan terlewatkan. METODE PENELITIAN 2. Tahap Pelaksanaan Penelitian Sebelum melakukan pengumpulan data, peneliti menghubungi dan membuat janji dengan subjek penelitian dan significant other terlebih dahulu untuk melakukan wawancara. Setelah bertemu dengan subjek, peneliti memperkenalkan diri dan menerangkan maksud atau tujuan Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan penelitian studi kasus. Menurut Moleong (2004) studi kasus adalah studi yang berusaha memahami yang khas dan dapat memperluas pengalaman atau menambah kekuatan terhadap apa yang telah dikenal melalui hasil penelitian yang lalu. Lebih lanjut lagi, dapat dikatakan bahwa studi kasus 13 kedatangan peneliti. Hal ini penting untuk membuat subjek merasa nyaman dan bebas dalam menjawab pertanyaan. Kemudian peneliti mengajukan pertanyaan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal yang akan diteliti. Peneliti melakukan observasi pada saat pelaksanaan serta mencatat dan merekam semua jawaban yang diberikan subjek. sedang diwawancarai secara sitematis untuk menggali data. b. Wawancara dengan Pedoman Umum Pada proses wawancara ini peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara yang sangat umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus sebagai daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian, peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara konkrit dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung. 3. Tahapan Penyelesaian Penelitian Setelah peneliti mendapatkan data- data yang dibutuhkan, peneliti mengolah data tersebut dan menganalisanya berdasarkan teori yang ada kemudian disusun menjadi sebuah laporan. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, tipe pengumpulan data yang akan digunakan adalah wawancara dan observasi. 1. Wawancara Menurut Poerwandari (1998) wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan teertentu. c. Wawancara dengan Pedoman Terstandar yang Terbuka Dalam bentuk wawancara seperti ini, pedoman wawancara ditulis secara rinci, lengkap dengan seluruh pertanyaan dan penjabaran dalam kalimat. Peneliti diharapkan dapat melaksanakan wawancara sesuai urutan yang tercantum, serta menanyakannya dengan cara yang sama pada responden-responden yang berbeda. Namun, keluwesan dalam mendalami jawaban terbatas, tergantung pada sifat wawancara, sehingga peneliti perlu melakukan administrasi terhadap Patton (dalam Poerwandari, 2001) mengatakan bahwa wawancara dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: a. Wawancara Informal Pada proses wawancara ini, wawancara didasarkan sepenuhnya pada perkembangan pertanyaanpertanyaan secara spontan dalam interaksi alamiah. Tipe wawancara demikian umumnya dilakukan oleh peneliti yang melakukan observasi partisipan. Dalam situasi demikian, orang-orang yang diajak berbicara mungkin tidak menyadari bahwa ia 14 upaya-upaya tertentu untuk meminimalkan variasi, sekaligus mengambil langkah-langkah menyeragamkan pendekatan terhadap responden. tersebut maka peneliti akan menggunakan instrumen penelitian berupa: Menurut Benister, dkk (dalam Poerwandari, 2001), observasi adalah kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut. Observasi selalu menjadi bagian dalam penelitian psikologi serta dapat berlangsung dalam konteks laboratorium (ekperimental) maupun dalam konteks alamiah. 1. Pedoman Wawancara Pedoman wawancara yang dimaksudkan adalah untuk mempermudah peneliti dalam memberikan pertanyaan. Pedoman ini berisikan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan masalah penelitian, agar apa yang ingin diketahui oleh peneliti tidak terlewatkan. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek–aspek yang harus dibahas sekaligus menjadi daftar untuk memeriksa apakah aspek-aspek tersebut telah dibahas atau ditanyakan (Poerwandari, 1998). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan observasi tanpa peran serta atau observasi nonparticipan. Karena dalam penelitian ini peneliti hanya mempunyai satu fungsi, artinya peneliti dapat mengamati dan mendapatkan data secara langsung tentang subjek. 2. Pedoman Observasi Pedoman observasi ini digunakan untuk melihat perilaku yang muncul dalam diri subjek, bagaimana setting fisik lingkungan dan aktifitas-aktifitas yang berlangsung. Hasil obesrvasi ini digunakan sebagai catatan lapangan yang bersifat deskriptif. 2. Observasi Alat Bantu Pengumpulan Data 3. Alat Perekam Alat bantu ini digunakan untuk merekam semua pertanyaan dan jawaban yang diberikan oleh subjek, agar dapat menghemat waktu pelaksanaan penelitian. Perekaman ini dilakukan atas sepengetahuan dan izin subjek. Menurut Poerwandari (1998), peneliti sangat berperan dalam keseluruhan proses penelitian, mulai dari memilih topik, mendekati topik tersebut, mengumpulkan data, menganalisa, menginterpretasikan hingga menyimpulkan hasil penelitian. 4. Alat Tulis Alat tulis yang digunakan adalah buku tulis, pensil, pulpen, dan penghapus. Tujuan penggunaan alat tulis ini adalah untuk mencatat semua data atau informasi dalam suatu penelitian, baik wawancara maupun observasi. Istilah kualitatif menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkripsi wawancara, catatan lapangan, gambar, foto, rekaman video, dan lain-lain. Berkaitan dengan hal 15 mengurangi kemelencengan dalam pengumpulan data. Cara lain ialah membandingkan hasil pekerjaan seorang analis dengan analis lainnya. Dalam penelitian ini, dosen pembibing studi kasus bertindak sebagai pengamat yang memberikan masukan terhadap hasil pengumpulan data Keakuratan Penelitian Menurut Moleong (2004), triangulasi adalah teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Denzin (dalam Moleong, 2004) membedakan empat triangulasi sebagai teknik pemeriksaan, yaitu : 4. Triangulasi dengan Teori Menurut Lincoln dan Guba (dalam Moleong, 2004), triangulasi ini berdasarkan anggapan bahwa fakta tertentu tidak dapat diperiksa derajat kepercayaannya dengan satu atau lebih teori. Dalam hal ini, jika analisis telah menguraikan pola hubungan dan menyertakan penjelasan yang muncul dari analisis, maka penting sekali untuk mencari tema atau penjelasan pembanding. Secara induktif hal itu dilakukan dengan mengarahkan pada upaya penemuan penelitian lainnya. Sedangkan secara logika dilakukan usaha pencarian cara lainnya untuk mengorganisasikan data dengan cara memikirkan kemungkinan logis lainnya dan melihat apakah kemungkinan-kemungkinan itu dapat ditunjang oleh data. Di pihak lain, Patton (dalam Moleong, 2004) berpendapat, bahwa hal itu dapat dilaksanakan dan hal itu dinamakan penjelasan banding. Dalam penelitian ini, peneliti mencocokkan hasil penelitian dengan teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini. 1. Triangulasi dengan Sumber Menurut Patton (dalam Moleong, 2004) hal ini berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan sumber data dari subjek dan significant other 2. Triangulasi dengan Metode Patton (dalam Moleong, 2004) menyatakan bahwa triangulasi ini mempunyai dua strategi, yaitu pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data dan pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan metode wawancara yang kebenarannya dicek dengan metode observasi setelah proses wawancara selesai 3. Triangulasi dengan Peneliti atau Pengamat Hal ini berarti triangulasi ini dilakukan dengan jalan memanfaatkan peneliti atau pengamat lainnya untuk keperluan pengecekan kembali derajat kepercayaan data. Pemanfaatan pengamat lainnya membantu Teknik Analisis Data Poerwandari (1998) menguraikan langkah-langkah operasional dalam melakukan analisis data dalam penelitian kualitatif, yaitu: 16 1. Organisasi Data Pengolahan dan analisis data sesungguhnya dimulai dengan mengorganisasikan data. Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 1998) mengatakan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk memperoleh kualitas data yang baik, mendokumentasikan analisis yang dilakukan, serta menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian. kemampuan memperoleh “insight”, memberi makna pada data, memahami dan memilah mana yang esensial dan mana yang tidak. Kepekaan teoritis mengacu pada pemahaman konseptual tentang data. Sensivitas teoritis itulah yang memungkinkan peneliti mengembangkan teori yang sungguhsungguh berdasar pada data, padat secara konseptual dan terintegrasi dengan baik. 2. Koding dan Analisis Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari. Dengan demikian, peneliti dapat menemukan makna dari data yang dikumpulkannya. Secara praktis dan efektif, langkah awal koding dapat dilakukan melalui beberapa cara, antara lain : 4. Pengujian Terhadap Dugaan Dengan mempelajari data, kita mengembangkan dugaan-dugaan yang merupakan kesimpulan sementara. Dugaan yang berkembang tersebut harus dipertajam dan diuji ketepatannya. Untuk memudahkan pengujian terhadap dugaan atau kesimpulan sementara, menurut Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 1998) peneliti dapat melakukan beberapa cara, antara lain: a. Peneliti menyusunan transkripsi verbatim (kata demi kata) atau catatan lapangan. a. Menuliskan pokok-pokok pertanyaan penelitian di tempattempat yang bisa dilihat untuk memungkinkan peneliti tidak melenceng, melainkan selalu memfokus pada analisis yang sesuai tujuan penelitian. b. Peneliti secara urut dan kontinyu melakukan penomoran pada barisbaris transkrip dan/atau catatan lapangan tersebut. c. Peneliti memberikan nama untuk masing-masing berkas dengan kode tertentu. Kode yang dipilih haruslah kode yang mudah diingat dan dianggap paling tepat mewakili berkas tersebut. b. Membandingkan tema dan sub-sub tema yang dikembangkanya dengan kembali mempelajari sumber data yang ada. c. Menggunakan skema atau matriksmatriks sederhana untuk mendskripsikan kesimpulan. 3. Kepekaan Teoritis Kepekaan teoritis adalah kualitas personal yang dimiliki peneliti, yang mengindikasikan kesadaran tentang detail, lipatanlipatan dan kompleksitas makna dari data. Kepekaan teoritis mengacu pada 5. Tahapan Interpretasi Klave (dalam Poerwandari, 1998) menyatakan bahwa interpretasi mengacu pada upaya memahai data secara ekstensif sekaligus mendalam. 17 Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasikan data melalui perspekstif tersebut. Proses interpretasi memerlukan distansi (upaya pengambilan jarak) dari data, tercapai melalui langkah-langkah metodis dan teoritis yang jelas, serta melalui dimasukkannya data ke dalam konteks konseptual yang khusus. nasehat yang diberikan secara lisan tidak banyak berpengaruh untuk subjek karena subjek tidak pernah menjalani nasehat orang tuanya, tetapi perilaku seksual ayahnya yang pernah bermain dengan wanita lain cukup berpengaruh bagi subjek. Dari uraian di atas terlihat bahwa pendidikan seks yang didapatkan subjek dari keluarga masih kurang baik sehingga memberikan pengaruh negatif terhadap perilaku seks pranikah subjek. Hal tersebut memperkuat pendapat Benokraltis (1996) yang mengungkapkan bahwa kurangnya pendidikan seksual dalam keluarga merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan perilaku seksual pranikah. PEMBAHASAN 1. Faktor Apa Mempengaruhi Pranikah? Saja Perilaku yang Seks a. Pendidikan Seks dalam Keluarga Selama ini hal yang dibicarakan subjek dengan orangtuanya di rumah lebih banyak ke masalah pekerjaan, subjek merasa jika dia bertanya tentang seks maka orang tuanya lebih sering mengalihkan pembicaraan, tetapi orang tua subjek merasa selama ini subjek jarang bertanya kepadanya. Menurut subjek, ibunya sudah menerangkan masalah seks sejak subjek berusia 9 tahun ketika ayah subjek mulai senang bermain dengan wanita lain, sedangkan ayahnya mulai menjelaskan masalah seks hanya baru-baru ini saja. Selama ini orang tua sudah menjelaskan konsekuensi melakukan seks pranikah kepada subjek, dan subjek merasa informasi yang diberikan orang tuanya selama ini cukup berpengaruh untuknya dalam mengambil hal positif dari apa yang dijelaskan orang tuanya, namun menurut orang tuanya, b. Ketabuan Seksualitas Subjek menilai masalah seks hanya bisa dibicarakan jika situasinya cukup mendukung untuk bercerita, orang tua subjek juga menilai bahwa masalah seks bukanlah hal yang tabu, dan akan lebih efektif jika diberikan oleh ibu selaku figur yang lebih tepat dalam membesarkan anak. Selain itu subjek dan orang tuanya sudah tidak canggung jika harus berbicara masalah seks hal ini karena seks bukan lagi masalah yang amat tabu untuk mereka. Menurut Benokraltis (1996), ketabuan seksualitas dapat membatasi komunikasi sehingga anak dapat menerima informasi yang salah tentang seks. Dalam kasus ini masalah seksualitas 18 diberikan oleh orang tua, tetapi teman adalah salah satu sumber pengetahuan tentang masalah seksual. bukan hal yang tabu bagi subjek dan orang tuanya. c. Peers (Teman Sebaya) Orang tua subjek menilai selama ini setiap berkumpul dengan temannya maka subjek akan selalu mabuk dan bermain wanita meskipun saat itu subjek mengatakan bahwa ia hanya sekedar jalan-jalan ke rumah temannya. Subjek mengetahui resiko melakukan seks pranikah, karena itu ia selalu memakai alat pencegah kehamilan saat akan melakukan hubungan seks, selain itu teman subjek juga telah mengetahui tentang seks karena itu mereka juga memakai alat kontrasepsi walaupun masih ada sedikit rasa takut akan pasangannya yang mungkin akan hamil. Orang tua subjek pun mengetahui bahwa teman subjek selama ini telah mengetahui tentang masalah seks hanya saja masih meragukan sejauh mana pendapat teman subjek akan seks. Karena itulah orang tua subjek merasa bahwa belum pernah ada teman subjek yang telah melakukan seks, berbeda dengan pendapat subjek yang mengatakan temannya sudah melakukan seks pranikah. Selama ini informasi yang diberikan temannya cukup berpengaruh terhadap perilaku subjek, orang tua subjek sendiri hanya mengetahui bahwa pembicaraan subjek dengan temannya selama ini hanya seputar masalah wanita atau pekerjaan saja. Kondisi di atas memperkuat pendapat Benokraltis (1996), yang mengungkapkan bahwa peers atau teman sebaya merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan perilaku seksual pranikah. Seharusnya pendidikan seksual itu d. Media Massa Subjek mendapatkan informasi tentang seks dari media elektronik maupun buku, informasi yang diperoleh melalui media mempengaruhi pengetahuannya tentang seks, dan menurutnya informasi tersebut lebih jelas jika diwujudkan dalam bentuk nyata bukan hanya dalam bentuk visual saja, sehingga menurut orang tua subjek semua informasi yang diperoleh dari media tersebut bisa membawa dampak negatif untuk subjek. Kondisi tersebut sesuai dengan pendapat Benokraltis (1996), yang mengatakan bahwa media massa merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan perilaku seksual pranikah. Jika orang tua cenderung jarang berbicara tentang seks, remaja seringkali mendapatkan informasi yang salah tentang seks dari apa yang disebut popular culture seperti Televisi, film, majalah, atau novel. e. Level Pendidikan Pendidikan orang tua subjek hanya setara SMP dan SMU, hal ini tidak jauh beda dengan subjek yang hanya sampai tingkat SMP, walaupun sebenarnya subjek cukup memiliki kemampuan untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi, hanya saja sifat subjek yang malas membuatnya tidak melanjutkan sekolahnya. Menurut Benokraltis (1996), level pendidikan merupakan salah satu 19 faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seksual pranikah, namun faktor ini ternyata tidak memberikan pengaruh dalam kesadaran untuk tidak melakukan perilaku seksual. tidak dilarang oleh orang tuanya jika pulang sampai larut, hal ini karena subjek adalah laki-laki dan bisa menjaga dirinya. Subjek diizinkan berpacaran karena sudah cukup umur. Subjek diberikan batasan oleh orang tuanya dalam berpacaran hal ini karena dikhawatirkan akan membuat malu keluarga jika sampai terjadi hamil di luar nikah dan subjek sendiri setuju dengan batasan tersebut. Kondisi tersebut sesuai dengan ciri-ciri pola sex avoidant yang dikemukakan oleh Ehrenberg dan Ehrenberg (dalam Laily & Matulesy, 2004) ciri-cirinya antara lain orang tua lebih toleran terhadap masalah seksual anak, orang tua juga tidak berpandangan negatif tentang seks. f. Revolusi Seksual Subjek tidak pernah merasa bersalah terhadap pasangannya jika melakukan hubungan seks pranikah jika dilakukan atas keinginan bersama meskipun ia merasa tetap merasa bersalah dari sisi agama. Itu juga yang menyebabkan keperawanan bukanlah hal yang sakral bagi subjek, walaupun dia tidak pernah memaksakan pasangannya untuk melakukan hubungan intim. Benokraltis (1996) mengungkapkan bahwa revolusi seksual merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seksual pranikah. Pada pertengahan tahun 1970-an, ketakutan akan kehamilan, konsep dosa, dan rasa bersalah serta nilai keperawanan mengalami perubahan, dimana perilaku seksual lebih bebas dilakukan khususnya di kalangan remaja. (2) Komunikan Orang tua subjek akan mengalihkan pembicaraan jika subjek bertanya seputar masalah seks. Subjek merasa pernah ditolak saat akan bertanya tentang seks karena takut jika nantinya subjek akan mencoba melakukan hubunngan seksual. Selain itu orang tua subjek akan menjawab jika ada pertanyaan masalah seks, meski demikian menurut orang tuanya subjek jarang sekali bertanya tentang hal tersebut. Orang tua subjek tidak pernah ikut campur masalah subjek dengan pacarnya namun orang tuanya tetap akan memberi saran jika subjek bertanya, selain itu 2. Bagaimanakah Komunikasi Subjek dengan Orang Tua tentang Masalah Seksual? a. Komunikator atau Komunikan (1) Komunikator Subjek biasanya berinisiatif untuk mulai bertanya masalah seks terlebih dulu, pembicaraan tersebut akan terjadi jika ada masalah yang sedang dihadapi. Subjek 20 subjek juga tidak senang jika orangtuanya mencampuri masalahnya karena sebagai seorang laki-laki, subjek ingin menyelesaikan masalahnya sendiri. Hal-hal tersebut sesuai dengan ciri-ciri pola sex avoidant yang dikemukakan oleh Ehrenberg dan Ehrenberg (dalam Laily & Matulesy, 2004) ciri-cirinya antara lain orang tua cenderung menghindari diskusi langsung tentang seks. (dalam Laily & Matulesy, 2004) ciri-cirinya antara lain yaitu orang tua memberikan pengertian secara intelektual bahwa seks itu adalah sehat dan lebih baik daripada kejahatan. c. Metode (1). Memaksa Subjek akan dimarahi jika berkata hal yang berbau seks di depan adiknya, sedangkan orangtuanya tidak akan melarang membahas masalah seks sepanjang langsung bertanya pada orang tua. Kondisi tersebut bertentangan dengan ciri-ciri pola sex repressive yang dikemukakan oleh Ehrenberg dan Ehrenberg (dalam Laily & Matulesy, 2004), karena pada pola sex repressive, orang tua lebih sering melarang anakanaknya mengucapkan katakata yang berhubungan dengan seks. b. Isi (1). Informasi Selama ini subjek sudah dijelaskan akan bahaya seks pranikah sehingga sudah mengetahui resiko yang akan terjadi. Selama ini orang tua subjek menjelaskan bahaya seks yaitu kehamilan dan penyakit. Orang tua subjek memberi penjelasan kepada subjek bahwa seks adalah sesuatu yang sehat selama dilakukan setelah menikah. (2). Menghindar Selanjutnya orang tua subjek tidak pernah malu jika harus menjelaskan tentang seks pada subjek karena menurutnya subjek sudah cukup umur untuk mengetahui masalah tersebut. Namun subjek kadang merasa malu jika harus membicarakan masalah seks dalam waktu yang tidak tepat. Subjek enggan membicarakan masalah seks karena merasa malu jika orang tuanya mengetahui masalah seksualnya. Kondisi tersebut hampir sesuai dengan ciri-ciri (2). Gagasan Subjek jarang mendiskusikan masalah seksualitas dengan orang tuanya dan menurut orang tuanya selama ini hanya sekitar 1 sampai 2 kali saja subjek bertanya. Orang tua subjek tidak pernah menanyakan hubungan subjek dengan pacarnya. Uraian di atas sesuai dengan ciri-ciri pola sex avoidant yang dikemukakan oleh Ehrenberg dan Ehrenberg 21 pola sex avoidant yang dikemukakan oleh Ehrenberg dan Ehrenberg (dalam Laily & Matulesy, 2004) ciri-cirinya antara lain yaitu orang tua merasa malu untuk memberi penjelasan kepada anak tentang masalah seksual. tidak mendiskusikan masalah yang dihadapi dengan orangtuanya, kecuali sudah mendesak. (2). Keinginan untuk Merespons Orang tua subjek cukup responsif dalam menjawab pertanyaan subjek tentang masalah seks. Orang tua subjek akan menjawab dan memberi solusi saat subjek bertanya tentang masalah seksual seperti memberi alternatif positif dan negatif, setelah itu subjek yang menentukan pilihannya. Namun jika subjek mengambil tindakan yang salah, maka orang tua subjek cenderung menyalahkan dan bukannya memberi nasehat. Menurut Devito (1996), keterbukaan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi komunikasi. Kualitas keterbukaan dalam komunikasi dapat dilihat dari dua aspek, aspek pertama yaitu keinginan untuk terbuka bagi setiap individu yang berinteraksi dengan individu lain, keinginan untuk terbuka ini dimaksudkan agar diri masing-masing tidak tertutup dalam menerima informasi untuk dirinya, bahkan juga mengenai dirinya kalau dipandang relevan dalam rangka pembicaraan dengan lawan bicaranya. Aspek kedua yaitu keinginan untuk menanggapi secara jujur semua stimuli yang datang. Komunikasi dapat dikatakan (3). Liberal Subjek merasa orang tuanya tidak menjelaskan seks secara terbuka atau gamblang, menurut orang tua hal itu terjadi karena memang mereka jarang membicarakan tentang masalah seks. Selain itu subjek cukup nyaman saat berbicara masalah seks dengan orang tuanya. Kondisi tersebut bertentangan dengan ciri-ciri pola sex obsessive yang dikemukakan oleh Ehrenberg dan Ehrenberg (dalam Laily & Matulesy, 2004), karena pada pola sex obsessive, orang tua cenderung menunjukkan aktivitas yang berkaitan dengan seks secara terbuka, sehingga anak justru merasa tidak nyaman dan tertekan oleh seluruh perhatian yang diberikan tentang seks. 3. Faktor Apa Saja yang Mempengaruhi Komunikasi Subjek dengan Orang Tua tentang Masalah Seksual? a. Keterbukaan (1). Keinginan untuk Terbuka Subjek kurang terbuka dalam mengkomunikasikan masalah seksualnya, subjek 22 efektif jika keterbukaan dalam komunikasi ini diwujudkan. Sebaliknya komunikasi akan sangat tidak efektif jika terjadi dua individu berkomunikasi tetapi saat yang satu mengemukakan pendapatnya, sedangkan lawan bicaranya dari awal sampai akhir diam saja tidak ada reaksi. lain, misalnya merasa kasihan pada individu lain. c. Dukungan (1). Terucap Dukungan yang diberikan orang tua subjek saat mengkomunikasikan masalah seksual diantaranya yaitu menjelaskan dengan cara menarik seperti diselingi candaan, orang tua subjek juga menjawab pertanyaan subjek dengan tidak kasar selama subjek tidak memancing emosi. Subjek merasa perlu bertanya kembali apabila penjelasan yang telah diberikan orang tuanya tidak dipahaminya, namun menurut orang tuanya subjek akan lebih memilih diam walaupun dia tidak terlalu paham pada penjelasan yang diberikan kepadanya karena khawatir orang tuanya akan menjadi marah. b. Empati Orang tua subjek cenderung berempati akan masalah yang dihadapi subjek. Orang tua subjek tidak larut dalam masalah saat subjek mengalami masalah seksual, namun orang tua subjek akan membantu subjek dalam memecahkan masalahnya. Menurut Devito (1996), empati merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi komunikasi. Empati yang dimaksudkan adalah kemampuan untuk merasakan sebagaimana perasaan individu lain atau mencoba merasakan dengan cara yang sama dengan perasaan individu lain. Jika dalam komunikasi kerangka pemikirannya dalam kerangka empati ini, maka individu akan memahami posisinya, darimana individu berasal, dimana individu sekarang, dan kemana individu akan pergi. Hal yang paling penting adalah tidak akan memberikan penilaian pada perilaku atau sikap individu sebagai perilaku atau sikap yang salah atau benar. Sedangkan simpati merasakan untuk individu (2). Tidak Terucap Dukungan tidak terucap diantaranya subjek sering memperhatikan saat dinasehati masalah seksual, hal ini tidak terlepas dari keingintahuan subjek akan hal-hal positif yang bisa diambil dari nasehat tersebut. Subjek tidak pernah menemui kendala saat ingin berbicara masalah seksual, namun seringkali subjek sedikit malu untuk mulai membicarakannya, selain itu keduanya juga cukup terganggu dengan waktu luang yang bisa mereka dapatkan. Baik subjek 23 maupun orang tua merasa cukup nyaman saat berbicara masalah seksualitas di rumah walau terkadang subjek masih agak tidak nyaman karena malu. keberhasilan pemecahan masalah tersebut bergantung dari subjek sendiri. (2). Respons Positif Respons positif dari orang tua subjek diantaranya orang tua subjek tidak pernah kasar saat menasehati subjek, terutama selama subjek tidak memancing emosi. Jika subjek memilih tidak bertanya hal itu dikarenakan subjek takut akan sikap kasar yang akan diterima jika mempunyai kesimpulan yang berbeda dengan orang tuanya. Subjek tidak merasa puas dengan penjelasan yang diberikan orang tuanya karena setiap pertanyaan yang diajukan olehnya selalu dijawab dengan singkat. Dari uraian di atas terlihat bahwa subjek akan menghindari pembicaraan seputar masalah seksual karena khawatir orang tuanya akan menjadi marah. Hal ini memperkuat pendapat Devito (1996) yang mengungkapkan bahwa komunikasi tidak dapat hidup dalam suasana yang penuh ancaman, jika partisipan dalam suatu komunikasi merasa bahwa sesuatu yang akan dikatakannya akan mendapat kritikan atau diserang, maka mereka akan segan untuk berlaku terbuka atau enggan memberi informasi tentang dirinya dalam cara apapun. Uraian di atas memperkuat pendapat Devito (1996) yang mengungkapkan bahwa jika beberapa individu mempunyai perasaan negatif terhadap dirinya dan mengkomunikasikan perasaan tersebut kepada individu lain, maka individu lain ini kemungkinan akan mengembangkan rasa negatif pula. Sebaliknya jika individu-individu mempunyai perasaan positif terhadap dirinya dan berkeinginan untuk menyampaikan perasaannya kepada individu lain, maka individu lain akan menanggapi dan memperhatikan perasaan positif tadi. d. Kepositifan (1). Perasaan Positif Subjek sangat meyakini dengan berdiskusi masalah yang dialami olehnya bisa membawa perubahan yang positif karena pengalaman orang tuanya yang lebih banyak, meski demikian subjek tetap tidak yakin jika masalahnya bisa teratasi karena menurutnya itu tergantung pada kemampuan masing-masing individu. Sedangkan menurut orang tua subjek, mereka tidak yakin jika subjek bisa mengatasi masalahnya karena subjek dinilai memiliki sifat cuek dan apatis, sehingga e. Kesamaan Kedudukan orang tua dan subjek saat berkomunikasi lebih 24 seperti sahabat. Sebagai laki-laki subjek memiliki kesamaan pola pikir dengan ayahnya dan samasama cuek jika membicarakan masalah seksual. Menurut Devito (1996), kesamaan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi komunikasi. Komunikasi akan lebih efektif jika individu-individu yang berkomunikasi itu dalam suasana kesamaan. Dengan cara ini dimaksudkan hendaknya terdapat pengenalan tak terucapkan bahwa kedua pihak yang berkomunikasi dihargai dan dihormati sebagai manusia yang mempunyai sesuatu yang penting untuk dikontribusikan kepada sesamanya. Karakteristik kesamaan dalam komunikasi antara anggota keluarga dapat pula dilihat dari kedudukan antara pembicara dan pendengar. ayahnya mulai menjelaskan masalah seks hanya baru-baru ini saja. Sementara orang tua subjek terkadang menganggap seks bukanlah suatu hal yang bisa dibicarakan setiap saat, mereka lebih sering membicarakan hanya pada saat tertentu saja walaupun menurut mereka seks bukanlah hal yang cukup tabu untuk dibicarakan. Selain itu subjek juga terpengaruh untuk melakukan seks pranikah karena perilaku teman sebayanya yang ratarata juga pernah melakukan hubungan seks pranikah. Informasi yang didapat subjek dari media pun cukup menambah dorongan pada subjek untuk melakukan seks pranikah. Pendidikan subjek yang relatif rendah membuat subjek tidak pernah memikirkan akibat dari tindakan yang subjek lakukan, dalam hal ini melakukan perilaku seks pranikah. Karena itulah subjek tidak pernah merasa bersalah terhadap pasangannya jika melakukan hubungan seks pranikah yang menurutnya dilakukan atas keinginan subjek dan pasangannya meskipun terkadang terselip rasa bersalah dari sisi agama. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis observasi dan wawancara subjek dan significant other, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 2. Komunikasi Subjek dengan Orang Tua tentang Masalah Seksual Dalam kasus ini gambaran komunikasi yang dilakukan oleh subjek dengan orang tuanya diantaranya yaitu kurangnya inisiatif untuk berkomunikasi, biasanya subjek yang lebih dulu berinisiatif untuk mulai bertanya masalah seks jika subjek mempunyai masalah. Orang tua lebih toleran terhadap masalah seksual anak serta tidak berpandangan negatif tentang seks dengan tidak melarang 1. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seks Pranikah Faktor yang mempengaruhi perilaku seks pranikah subjek diantaranya yaitu kurangnya pendidikan mengenai seks dari orang tuanya sehingga menyebabkan keingintahuan berlebih pada diri subjek tentang seks itu sendiri. Ibu subjek sudah menerangkan masalah seks sejak subjek berusia 9 tahun ketika ayah subjek mulai senang bermain dengan wanita lain, sedangkan 25 subjek untuk menjalin hubungan dengan seorang wanita saat subjek sudah cukup umur. Meski demikian orang tuanya tetap memberi batasan dalam berpacaran dan subjek sendiri menyetujui batasan tersebut. Orang tua subjek tidak merasa malu jika harus menjelaskan tentang seks pada subjek karena menurutnya subjek sudah cukup umur untuk mengetahui masalah tersebut. Meski subjek kadang merasa malu jika harus membicarakan masalah seks dalam waktu yang tidak tepat. Subjek juga enggan membicarakan masalah seks karena merasa malu jika orang tuanya mengetahui masalah seksualnya. Baik subjek maupun orang tuanya merasa tidak pantas jika harus membicarakan masalah seks di depan umum. Subjek jarang mengkomunikasikan masalah seksualitasnya dengan orang tuanya karena tidak mendapatkan penjelasan masalah seks dengan detil dan lebih memilih untuk mengalihkan pembicaraan jika subjek mulai bertanya seputar masalah seks. Selama ini orang tua subjek juga tidak pernah ikut campur saat subjek mengalami masalah dengan pacarnya namun orang tuanya tetap akan memberi saran jika subjek bertanya, selain itu subjek sendiri juga tidak senang jika orangtuanya mencampuri masalahnya karena sebagai seorang laki-laki, subjek ingin menyelesaikan masalahnya sendiri. Oleh karena itu orang tua subjek tidak pernah menanyakan hubungan subjek dengan pacarnya. 3. Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Subjek dengan Orang Tua tentang Masalah Seksual Faktor yang mempengaruhi komunikasi subjek dengan orang tuanya tentang masalah seksual yaitu kurangnya keterbukaan, subjek tidak mendiskusikan masalah seksualnya kepada orang tua kecuali sudah mendesak. Orang tua subjek cukup responsif dalam menjawab pertanyaan subjek tentang masalah seks. Orang tua subjek akan menjawab dan memberi solusi saat subjek bertanya tentang masalah seksual seperti memberi alternatif positif dan negatif, setelah itu subjek tetap berperan dalam menentukan pilihannya. Namun jika subjek mengambil tindakan yang salah, maka orang tua subjek cenderung menyalahkan dan bukannya memberi nasehat. Orang tua memberikan pengertian secara intelektual bahwa seks adalah sesuatu yang sehat selama dilakukan setelah menikah. Orang tua juga menjelaskan akan bahaya seks pranikah yang bisa menyebabkan kehamilan dan penyakit. Subjek akan dimarahi jika berkata hal yang berbau seks di depan adiknya, namun orangtuanya tidak akan melarang jika subjek membahas masalah seks sepanjang langsung bertanya pada orang tua. Orang tua subjek cenderung berempati akan masalah yang dihadapi subjek. Orang tua subjek tidak larut dalam masalah saat subjek mengalami masalah seksual, namun orang tua 26 subjek akan membantu subjek dalam memecahkan masalahnya. menurutnya itu tergantung pada kemampuan masing-masing individu. Orang tua subjek pun tidak yakin jika subjek bisa mengatasi masalahnya karena subjek dinilai memiliki sifat cuek dan apatis. Dukungan yang diberikan orang tua subjek saat mengkomunikasikan masalah seksual diantaranya yaitu menjelaskan dengan cara menarik seperti diselingi candaan, orang tua subjek juga menjawab pertanyaan subjek dengan tidak kasar selama subjek tidak memancing emosi. Subjek merasa perlu bertanya kembali apabila penjelasan yang telah diberikan orang tuanya tidak dipahaminya. Namun jika sudah tidak sepaham dengan orang tuanya, subjek lebih memilih diam untuk menghindari kemarahan orang tuanya. Respons positif dari orang tua subjek diantaranya orang tua subjek tidak pernah kasar saat menasehati subjek, terutama selama subjek tidak memancing emosi. Jika subjek memilih tidak bertanya hal itu dikarenakan subjek takut akan sikap kasar yang akan diterima jika mempunyai kesimpulan yang berbeda dengan orang tuanya. Subjek tidak selalu merasa puas dengan penjelasan yang diberikan orang tuanya karena terkadang pertanyaan yang diajukan olehnya dijawab dengan singkat. Dukungan tidak terucap diantaranya subjek sering memperhatikan saat dinasehati, hal ini tidak terlepas dari keingintahuan subjek akan hal-hal positif yang bisa diambil dari nasehat tersebut. Subjek tidak pernah menemui kendala saat ingin berbicara masalah seksual, namun seringkali subjek sedikit malu untuk mulai membicarakannya, selain itu keduanya juga cukup terganggu dengan waktu luang yang bisa mereka dapatkan. Baik subjek maupun orang tua merasa cukup nyaman saat berbicara masalah seksualitas di rumah walau terkadang subjek masih agak tidak nyaman karena malu. Kedudukan orang tua dan subjek saat berkomunikasi lebih seperti sahabat. Sebagai laki-laki subjek memiliki kesamaan pola pikir dengan ayahnya dan sama-sama cuek jika membicarakan masalah seksual. Saran Dari hasil penelitian yang dilakukan, maka saran yang diajukan peneliti terhadap penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Kepada subjek, dengan adanya gambaran komunikasi tentang masalah seksual yang telah dikemukakan dalam penelitian ini, disarankan subjek dapat meningkatkan kualitas komunikasi dengan orang tuanya. Subjek sangat meyakini dengan berdiskusi masalah yang dialami olehnya bisa membawa perubahan yang positif karena pengalaman orang tuanya yang lebih banyak, meski demikian subjek tetap tidak yakin jika masalahnya bisa teratasi karena 2. Kepada lingkungan terdekat subjek yaitu keluarga dan kerabat, disarankan untuk lebih memberikan dukungan 27 positif kepada subjek agar lebih baik lagi dalam menjalankan kehidupannya di masa yang akan datang. Flick, U. (1998). An introduction to qualitative research. London: SAGE Publications Fuhrmann. 3. Kepada peneliti selanjutnya disarankan untuk mengadakan replikasi penelitian serupa dengan menggunakan metode penelitian lainnya seperti penelitian kuantitatif. Dengan keragaman ini diharapkan hasil yang diperoleh akan lebih mendalam serta dapat digeneralisasikan dalam lingkup yang lebih luas lagi. Hertinjung, W.S., Prasetyaningrum, J., Amrillah, A.A. (2005). Hubungan antarapengetahuan seksualitas dan kualitas komunikasi orang tua – anak dengan perilaku seksual pranikah. Jurnal Psikologi. Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. DAFTAR PUSTAKA Hurlock, E.B., (1991). Psikologi perkembangan (suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan). (Ed. 5). Alih bahasa: Istiwidayanti & Soedjarwo. Jakarta: Erlangga. Allgeier, E.R., & Allgeier, A.R. (1991). Sexual interactions. (3rd ed). Massachusetts: D.C. Heat and company. Kartono, K. (1992). Psikologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Astuti, Y. (2005). www.ditplb.or.id. Benokraltis, N.F. (1996). Marriages and families change choice constrain. (2nd ed). New Jersey: Prentice Hall. Laily, N & Matulessy, A. (2004). Pola komunikasi masalah seksual antara orangtua dan anak. Journal Anima Indonesia psychological. Vol.19 No.2. Surabaya : Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945. Devito, J.A. (1996). The interpersonal communication book. (7th ed). Newyork: Harpers Collins Collage Publishers. Dusek, J.B. (1995). Adolescene development & behaviour (3rd ed.). New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Lestari, S. (2007). Perilaku pacaran remaja ditinjau dari intensitas mengakses situs porno dan komunikasi seksualitas dengan orangtua. Laporan penelitian dosen muda. Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Effendy, O.U. (2003). Ilmu, teori, dan filsafat komunikasi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Fisher, J.D. (1987). Family communication and the sexual behavior and attitudes of collage students. Journal of youth and adolescence. Vol.16, No.5. Lestari, S., & Purwandari, E. (2002). Kemampuan komunikasi ibu-anak tentang seksualitas ditinjau dari tingkat pengetahuan ibu.. Indigenous, vol.6 No.1. 28 Meikle, S., Peitchinis, J.A., & Pearce, K. (1985). Teenage sexuality. London: Taylor & Francis. Sarwono, S.W. (1997). Psikologi sosial: individu dan teori-teori psikologi sosial. Jakarta: Balai Pustaka. Moleong, L. J. (2004). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Somers, C.L., & Canivez, G.L. (2003). The sexual communication scale: a measure of frequency of sexual communication between parents and adolescents. Adolescence. www.findarticles.com. Newman, B.M. & Newman, P.R. (1979). Development trough life a psychological App. (Revised ed.). USA: McGraw-Hill. Taufik Oriza, N. (2000). Konstruksi SASPSI (Skala assertivitas seksual untuk wanita Indonesia). Skripsi. Tidak diterbitkan. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Papalia, D.E. & Old, S.W. (1995). Human development (6th ed.). USA: McGraw-Hill. & Anganthi, N.R.N. (2005). Seksualitas remaja: Perbedaan antara seksualitas remaja yang tidak melakukan hubungan seksual dan remaja yang melakukan hubungan seksual. Jurnal penelitian humaniora. Vol.6, No.2. Tjahyono, E. (1995). Perilaku-perilaku seksual yang menyimpang. Anima Vol 2, No 41. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Poerwandari, E. K. (1998). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Universitas Indonesia. Turner, J.S., & Helms, D.B. (1995). Lifespan developmental. (5th ed.). New Jersey : Prentice-Hall, Inc. Whitaker, D.J., Miller, K.S., May, D.C., & Levin, M.L. (1999). Teenage partners communication about sexual risk and condom use: the importance of parent-teenager discussions. Family planning perspectives. Vol.31, No.3. www.findarticles.com. Poerwandari, E. K. (2001). Pendekatan kualitatif untuk penelitian manusia. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Universitas Indonesia. Prabowo, H., & Puspitawati, I. (1997). Psikologi pendidikan. Jakarta: Gunadarma. Widjaja, H.A.W. (2000). Ilmu komunikasi pengantar studi. Jakarta: PT Rineka Cipta Rezha, M. (2009). Perilaku seksual pada remaja putri yang berpacaran. Skripsi. (Tidak Diterbitkan). Depok : Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. 29