karakteristik pasien koinfeksi tb-hiv di rumah sakit

advertisement
Karakteristik Pasien Koinfeksi TB-HIV Di Rumah… (Mirna Widiyanti, Eva Fitriana, Evi Iriani)
KARAKTERISTIK PASIEN KOINFEKSI TB-HIV DI RUMAH
SAKIT MITRA MASYARAKAT MIMIKA PAPUA
Mirna Widiyanti, Eva Fitriana, Evi Iriani
Balai Penelitian dan Pengembangan Biomedis Papua
Jln. Kesehatan No.10 Dok II Jayapura
Telp: (0967)534389 ; Fax: (0967)534697
Email : [email protected]
ABSTRAK
Penyakit Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular di Indonesia,
dan saat ini berada pada urutan kelima Negara dengan beban TB tertinggi di dunia.
Koinfeksi HIV-TB sekarang merupakan penyebab mortalitas utama di dunia.
Mengetahui karakteristik pasien koinfeksi tuberkulosis pada pasien HIV/AIDS di
Rumah Sakit Mitra Masyarakat Timika Papua. Penelitian observasional dengan
desain potong lintang, menggunakan rekam medik sebagai sumber data penelitian.
Sampel terdiri dari 67 kasus pasien HIV/AIDS periode Januari – April 2015.
Kelompok pasien koinfeksi HIV-TB lebih banyak terdapat pada usia 15-35 tahun
(87.4%), perempuan (78.8%), pasien yang bersekolah pada tingkat menengah dan
atas (80.4%), tidak bekerja (83.4%), pasien yang belum menikah (87.5%), CD4
<350 sel/mm³ sebanyak 89.2% dan pasien yang memiliki kadar Hb <12 g/dL
sebanyak 78.9%. Koinfeksi TB-HIV banyak ditemukan pada kelompok usia muda
dan produktif.
ABSTRACT
Tuberculosis (TB) has been an infectious disease in Indonesia, and currently
Indonesia is the fifth country with the highest TB burden in the world. HIV-TB coinfection is currently the main cause of mortality in the world. To determine the
characteristic of HIV/AIDS with tuberculosis co-infection in Mitra Masyarakat
Hospital Mimika, Papua. The study was observasional cross-sectional design, using
medical records data. The sample consisted of 67 cases of patient with HIV/AIDS
admitted from January to April 2015. The highest prevalence of HIV-TB co-infection
was:of group of age 15-35 years (87.5%); female (78.8%); attend school at the
secondary level and above (80.4%); unemployed (83.4%); unmarried (87.5%);
CD4<350 cells/mm³ ( 89.2%) and patients with Hb <12 g/dL (78.9%). HIV-TB
coinfection is common in young and productive age group.
PENDAHULUAN
Human
Immunodeficency
Virus/Acquired Immune Deficiency
Syndrome
(HIV/AIDS)
adalah
masalah besar yang mengancam
Indonesia dan banyak negara di
seluruh dunia. Indonesia merupakan
Negara
dengan
percepatan
peningkatan epidemi HIV yang
tertinggi di Asia. Secara nasional,
angka estimasi prevalensi HIV pada
populasi dewasa adalah 0,2% dengan
estimasi jumlah orang dengan
HIV/AIDS di Indonesia sekitar
190.000-400.000.¹
49
SEL Vol. 3 No. 2 November 2016: 49-55
Saat ini HIV memiliki jumlah
kematian yang tinggi, yang dapat
mengancam hidup penderita HIV tidak
hanya dari virus sendiri, namun infeksi
oportunistik (IO) dan komplikasinya
juga dapat menyebabkan kematian.²
pada permulaan epidemi AIDS, paruparu penderita HIV merupakan target
utama untuk berbagai infeksi dan
tumor.³
Insidensi IO bergantung pada
level imunosupresi atau muncul pada
CD4 <200/mm³ atau total limfosit
count
<1200/mm³,
dan
pada
prevalensi
endemik
dari
agen
penyebab. Lebih dari 80% IO
disebabkan oleh 28 patogen. Infeksi
oportunistik adalah infeksi yang
timbul akibat penurunan kekebalan
tubuh. Infeksi ini dapat timbul karena
mikroba (bakteri, jamur, virus) yang
berasal dari luar tubuh, maupun yang
sudah ada dalam tubuh manusia
namun dalam keadaan normal
terkendali oleh kekebalan tubuh.
Infeksi
yang
timbul
pada
penderita HIV bergantung pada
stadium HIV,
riwayat
infeksi,
virulensi dari organisme
yang
terinfeksi, dan faktor terkait inang
(host-related-factor).
IO
dapat
disebabkan oleh bakteri (tuberkulosis,
infeksi salmonella dll), virus (herpes
simplex virus, oral hairy leukoplakia,
situmegalovirus). Jamur (kandidiasis,
kriptokokosis, pneumocystis jiroveci),
parasit
(kriptosporodiosis)
dan
beberapa kondisi klinis lainnya berupa
malignansi (non hodkin-limfoma,
sarcoma kaposi). IO juga dapat
menyerang berbagai macam organ
seperti
saluran
nafas,
saluran
pencernaan, neurologis, kulit dan
lainnya.
Tuberkulosis (TB) merupakan
salah satu IO tersering pada orang
dengan HIV/AIDS (ODHA) di
Indonesia. Infeksi HIV memudahkan
terjadinya infeksi Mycobacterium
50
tuberculosis.
Penderita
HIV
mempunyai resiko lebih besar
menderita TB dibandingkan non-HIV.
Resiko ODHA untuk menderita TB
adalah 10% per tahun, sedangkan pada
non-ODHA risiko menderita TB
hanya 10% seumur hidup. World
Health
Organization
(WHO)
memperkirakan TB sebagai penyebab
kematian
13%
dari
penderita
AIDS.3,5,6
Penyakit Tuberkulosis (TB) sejak
lama merupakan penyakit menular
yang endemis di Indonesia dan saat ini
Indonesia berada pada ranking kelima
negara dengan beban TB tertinggi di
dunia. Kasus TB ditemukan diseluruh
propinsi di Indonesia. Papua, DKI
Jakarta dan Banten adalah 3 propinsi
dengan jumlah kasus TB terbesar di
Indonesia. Estimasi prevalensi TB
semua kasus adalah sebesar 660.000
dan estimasi insidensi berjumlah
430.000 kasus pertahun. Jumlah
kematian akibat TB diperkirakan
61.000 kematian per tahunnya.1
Meskipun
risiko
terinfeksi
tuberkulosis turun 70-90% pada
pasien-pasien yang mengkomsumsi
ART, namun TB masih merupakan
penyebab kematian terbanyak pada
penderita HIV. TB paru merupakan
jenis TB yang paling sering dijumpai
pada penderita HIV. TB dapat muncul
pada infeksi HIV awal dengan CD4
median ˃350sel/ul. Viral load pada
penderita terinfeksi HIV koinfeksi TB
meningkat enam hingga tujuh kali
dibandingkan HIV tanpa TB. Hal ini
mengakibatkan perkembangan HIV
menjadi AIDS lebih cepat.5,6,7
Tujuan penelitian adalah untuk
mengetahui
karakteristik
pasien
dengan koinfeksi tuberkulosis pada
pasien HIV/AIDS di Rumah Sakit
Mitra Masyarakat Mimika Papua.
Karakteristik Pasien Koinfeksi TB-HIV Di Rumah… (Mirna Widiyanti, Eva Fitriana, Evi Iriani)
METODE
Penelitian
observasional
dengan
desain potong lintang, dilaksanakan
pada Januari – April 2015 di VCT
Rumah Sakit Mitra Masyarakat
Mimika. Pemilihan lokasi tersebut
karena RSMM kasus dengan penderita
HIV/AIDS
tinggi dan memiliki
kelengkapan data yang baik. Sampel
adalah penderita HIV/AIDS yang
memenuhi kriteria inklusi yaitu pasien
berusia ˃15 tahun dan memiliki
kelengkapan data rekam medik
berjumlah 67 pasien. Penentuan besar
sampel
menggunakan
Rumus
Lameshow,
dengan
tingkat
kepercayaan 95% dan perkiraan
proporsi populasi pada penelitian
sebelumnya sebesar 0,98%.
HASIL:
Dari hasil analisis distribusi
frekuensi, didapatkan karakteristik
penderita HIV/AIDS terbanyak pada
kelompok umur 15-35 tahun sebesar
(87.5%), jenis kelamin perempuan
(78.8%) pasien yang mempunyai
pendidikan rendah dan menengah
(80.4%), tidak bekerja (83.4%),
menikah (78.4%), CD4 ˃350 sel/mm³
(74.3%) dan kadar Hb <12 (78.9%).
Dari hasil analisis bivariat untuk
melihat hubungan antara karakteristik
pasien
(umur,
jenis
kelamin,
pendidikan,
pekerjaan,
status
perkawinan), klinis (CD4 dan Hb)
terhadap pasien yang mengalami
koinfeksi HIV-TB maupun HIV
menunjukkan tidak ada hubungan
yang
bermakna
untuk
semua
karakteristik karena nilai p˃0.05.
Untuk melihat karakteristik dan
hubungan dengan koinfeksi HIV-TB
dapat
dilihat
pada
tabel
1.
Tabel.1. Karakteristik Pasien dan Hubungan Variabel demografis dan klinis terhadap
pasien Koinfeksi HIV-TB
Karakteristik
Kriteria
HIV-TB
HIV
Total
Nilai P
(n=67)
Umur
15-35
35 (87.5)
5 (12.5)
40
0.11
>35
19 (70.3)
8 (29.7)
27
Jenis Kelamin
P
41 (78.8)
11 (21.2)
52
0.71
L
13 (86.7)
2 (13.3)
15
Pendidikan
Sekolah
41 (80.4)
10 (19.6)
51
1.00
Tidak
13 (81.3)
3 ( 18.7)
16
sekolah
Pekerjaan
Bekerja
14 (73.6)
5 (26.4)
19
0.49
Tidak
40 (83.4)
8 (16.6)
48
Bekerja
Status
Menikah
40 (78.4)
11 (21.6)
51
0.71
Perkawinan
Tidak
14 (87.5)
2 (12.5)
16
Menikah
CD4
<350
25 (89.2)
3 (10.8)
28
0.21
>350
29 (74.3)
10 (25.7)
39
Hb
<12
30 (78.9)
8 (21.1)
38
0.76
>12
24 (82.7)
5 (17.3)
29
Uji Fisher exact test
51
SEL Vol. 3 No. 2 November 2016: 49-55
DISKUSI
Tuberkulosis
dan
HIV
mempunyai hubungan yang kuat
karena dengan infeksi HIV maka
kasus
tuberkulosis
megalami
peningkatan
sebaliknya
juga
tuberculosis
meningkatkan
progresivitas HIV. Infeksi HIV
merupakan faktor resiko untuk
berkembangnya
TB
melalui
mekanisme berupa reaktivasi infeksi
laten, progresivitas pada infeks primer
atau reinfeksi dengan mycobacterium
tuberculosis
sehingga
akan
meningkatkan kasus tuberkulosis di
masyarakat.
Dari hasil analisis hubungan
antara
umur
dan
koinfeksi
tuberkulosis–HIV, nilai p (0.11)
menunjukkan hubungan yang tidak
bermakna
dimana
didapatkan
kelompok
umur
15-35
tahun
merupakan kelompok umur terbanyak,
yaitu sebanyak 35 orang (87.5%)
pasien yang mengalami koinfeksi
tuberkulosis–HIV. Hal ini sesuai
penelitian Thaha et al.,(2009) di
Ethiopia, dimana golongan umur yang
mempunyai insidensi tinggi adalah 1535 tahun.8 Selain itu menurut WHO
proporsi usia <45 tahun merupakan
usia yang terbanyak menderita
tuberkulosis di Indonesia.9 Suprijono
dan Jayakody melaporkan hasil yang
sama, penelitian Suprijono (2005)
melaporkan bahwa pasien tuberkulosis
paru usia <45 tahun lebih banyak
dibandingkan usia >45 tahun.10
Jayakody et.al (2013) melaporkan
bahwa pasien TB paru usia <45 tahun
lebih banyak dibandingkan usia ≥45
52
tahun. Tuberkulosis paru banyak
diusia <45 tahun disebabkan mobilitas
tinggi sehingga resiko tertular tinggi.11
Hasil analisis hubungan antara
jenis
kelamin
dan
koinfeksi
tuberkulosis-HIV, nilai p (0.71)
menunjukkan hubungan yang tidak
bermakna. Subyek penelitian yang
menderita tuberculosis cenderung
lebih banyak berjenis kelamin
perempuan dibandingkan laki-laki.
Laki-laki sebnayak 13 orang yang
menderita
koinfeksi
TB-HIV
sedangkan perempuan sebanyak 41
orang. Hal ini berbeda dengan
penelitian Nainggolan, dimana lakilaki (61.4%) lebih banyak menderita
tuberkulosis
paru
dibandingkan
12
perempuan
(38.6%).
Demikian
halnya dengan penelitian Soemantri
et.al (2007) yang menyatakan bahwa
prevalensi tuberkulosis di Indonesia
pada laki-laki dua kali lebih besar
dibandingkan perempuan.13
Kementrian
kesehatan
RI
melaporkan bahwa laki-laki lebih
banyak menderita tuberculosis paru
dibandingkan perempuan.14 Penelitian
yang dilakukan oleh Abdallah et.al
(2012) melaporkan bahwa perempuan
lebih sedikit yang memiliki kebiasaan
merokok dibandingkan laki-laki.15
Merokok dapat menyebabkan fungsi
silia disaluran pernapasan terganggu
sehingga
meningkatkan
risiko
16
terinfeksi tuberkulosis.
Tingkat pendidikan seseorang
berhubungan dengan kemampuan
menyerap dan menerima informasi
kesehatan. Menurut Notoadmodjo
(2007) semakin tinggi pendidikan
Karakteristik Pasien Koinfeksi TB-HIV Di Rumah… (Mirna Widiyanti, Eva Fitriana, Evi Iriani)
formal seseorang maka semakin baik
tingkat pengetahuannya. Dari hasil uji
statistik, diperoleh, nilai p sebesar
1.00 untuk tingkat pendidikan yang
bersekolah dibandingkan paisen yang
tidak bersekolah. Dari hasil analisis
menunjukkan lebih banyak pasien
yang mengenyam pendidikan (41
orang) yang mengalami koinfeksi
tuberkulosis dibandingkan pasien yang
tidak bersekolah sebanyak (13 orang).
Hal ini berbeda dengan teori yang
menyatakan
seseorang
dengan
semakin tinggi tingkat pendidikan
semakin mudah untuk menerima
informasi sehingga dengan semakin
banyak informasi yang diperolehnya
maka semakin baik pula tingkat
pengetahuannya.17
Dari hasil analisis hubungan
antara pekerjaan dan koinfeksi
tuberkulosis-HIV didapatkan bahwa
kelompok tidak bekerja lebih banyak
dibandingkan dengan yang bekerja.
Dari hasil uji statistik didapatkan nilai
p sebesar 0.49 (p>0.05) yang artinya
tidak ada perbedaan bermakna antara
penderita yang bekerja terhadap
penderita yang tidak bekerja untuk
terkena koinfeksi tuberculosis-HIV.
Hal ini berbeda dengan pendapat
Widoyono (2008) bahwa status
pekerjaan seseorang berpengaruh pada
kesehatan individu. Pekerjaan dapat
mencerminkan tingkat sosial ekonomi
seseorang, dimana banyak masyarakat
yang masih tergolong dalam tingkat
ekonomi rendah. Masyarakat ekonomi
rendah erat kaitannya dengan perilaku
yang tidak sehat seperti merokok dan
fasilitas kesehatan yang kurang
memadai. Hal-hal inilah yang dapat
memicu koinfeksi tuberkulosis pada
pasien HIV/AIDS.18
Dari hasil analis hubungan antara
status kawin dengan koinfeksi
tuberkulosis-HIV
didapatkan
kelompok status menikah lebih banyak
dibandingkan
kelompok
tidak
menikah. Hasil uji statistik didapatkan
nilai p sebesar 0.71 (>0.05) yang
artinya tidak ada perbedaan yang
bermakna antara penderita yang
menikah dengan penderita yang belum
menikah untuk terkena koinfeksi
tuberkulosis-HIV. Hal ini berbeda
dengan penelitian yang dilakukan oleh
Barnighausen et.al (2008) yang
menemukan
bahwa
resiko
progresivitas infeksi HIV 2 kali lebih
besar terjadi pada kelompok yang
belum menikah.19 Jika dilihat dari
kondisi masyarakat Indonesia, status
perkawinan seseorang yang belum
menikah tidak menunjukkan bahwa
individu tersebut hanya akan tinggal
sendirian menempati suatu rumah,
sehingga tetap beresiko tertular TB
jika ada anggota keluarga yang sedang
terinfeksi tuberculosis.
Hitung CD4 tidak memberikan
kontribusi bermakna secara statistik
(p=0.21) hal ini kemungkinan
disebabkan oleh diagnosis TB yang
terlalu ketat dimana pasien HIV/AIDS
yang
sering
mengalami
alergi
sehingga menjadi kendala dalam
menegakkan diagnosis TB.
Pasien
HIV/AIDS
koinfeksi
Tuberkulosis
paling
banyak
menunjukkan nilai hitung CD4 <100
sel/µL (87.3%), dengan rata-rata
jumlah CD4 49.17 sel/µL. Penelitian
Nzou et.al (2010) juga menunjukkan
53
SEL Vol. 3 No. 2 November 2016: 49-55
bahwa 72% jumlah CD4 Pasien HIV
dengan koinfeksi HIV dibawah 200
sel/µL, dengan nilai rata-rata dari
jumlah CD4 pasien mencapai 104.5
sel/µL.20 Tidak berpengaruhnya CD4
terhadap
infeksi
oportunistik
ditemukan oleh penelitian Mariam
(2010) bahwa jumlah CD4 tidak
berpengaruh
terhadap
infeksi
oportunistik HIV/AIDS karena infeksi
oportunistik
disembuhkan
dulu
sebelum mulai terapi ARV, sehingga
infeksi oportunistik pada pasien tidak
banyak mempengaruhi kenaikan CD4
pasien.21
Hasil analisis hubungan antara
kadar Hb dan koinfeksi tuberkulosisHIV menyatakan bahwa tidak ada
hubungan bermakna secara statistik
(p=0.76). Penelitian Taha (2011)
menunjukkan bahwa anemia akan
memperberat defisiensi imun dan
meningkatkan
risiko
terjadinya
tuberkulosis. Penelitian Kufa (2011)
menyebutkan
bahwa
kadar
hemoglobin di bawah 10 g/dL
meningkatkan kemungkinan sebesar
tiga kali lipat terhadap terjadinya
tuberkulosis.8,21
DAFTAR PUSTAKA
1. Kementerian
Kesehatan
RI.
Strategi Nasional Pengendalian
TB di Indonesia 2010-2014.
Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit
dan
Penyehatan
Lingkungan Kemenkes RI; 2011
2. Ministry of Health and Family
Welfare Government of India.
Guidelines for Prevention and
Management
of
Common
Opportunistic
Infection/Malignancies
among
HIV-infected
Adult
and
Adolescents. NACO; 2007
54
3.
Rasheed MU, Thajuddin N.
Mycobacterial, Bacterial and
fungal
pathogens
causing
pulmonary
complications
in
patients with HIV infection. HIV
& AIDS Review 2011; 9-13
4. Hoffman
C.
Opportunistic
Infection (Ols) In : Hoffman C,
Rockstroch JK, Kamps BS, HIV
Medicine 2007. Paris : Flying
Publiser; 2007. P.389-467
5. Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban
Z. Infeksi Oportunistik pada
AIDS. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI;2005
6. Nasronoudin. HIV & AIDS.
Pendekatan Biologi Molekuler,
klinis dan sosial. Surabaya :
Airlangga University Press;2007
7. Goldenberg
S,
Price
N.
Opportunistic
fungal
lung
infections. Elsevier 2008; 295-99
8. Taha M, Deridew A, Tessema F,
Assegid
S,
Duchateau
L,
Colebaunders R. Risk Factor of
active tuberculosis in people
living
with
HIV/AIDS
in
Southwest Ethiopia : a case
control study. Ethiop J Health Sci.
2011.21 (2):131-9
9. World
Health
Organization
(WHO). Global Tuberculosis
Report 2012. Switzerland: WHO.
2012.p.11-32
10. Suprijono D. Faktor Resiko yang
Berpengaruh Terhadap Kejadian
Konversi
Dahak
setelah
Pengobatan Fase Awal Pada
PEnderita Tuberkulosis Paru
Bakteri Tahan Asam Positif,
Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Semarang
:
Universitas
Diponegoro, 2005. Tesis
11. Jayakody W, Harries A.D,
Malhotra
S,
Alwis
S,
Samaraweera S, Pallewatta N.
Characteristics And Outcomes Of
Tuberculosis Pattients Who Fail
To Smear Convert At Two
Karakteristik Pasien Koinfeksi TB-HIV Di Rumah… (Mirna Widiyanti, Eva Fitriana, Evi Iriani)
12.
13.
14.
15.
16.
17.
Months In Sri Lanka. PHA
2013;3(1):26-30
Nainggolan Helena R.N, Faktor
Yang Berhubungan Dengan Gagal
Konversi Pasien Tb Paru Kategori
I Pada Akhir Pengobatan Fase
Insentif Di Kota Medan . Medan :
Universitas Sumatera Utara, 2013.
Tesis
Soemantri S, Senewe F.P,
Tjandrarini D, Day R, Basri C,
Maniserro D, et al. Three-Fold
Reduction In The Prevalence Of
Tuberculosis Over 25 Years In
Indonesia. Int J Tuberc Lung Dis.
2007;11(4):398-404
Kemeterian Kesehatan Republik
Indonesia (Kemenkes RI). Profil
Kesehatan Indonesia Tahun 2011.
Kemenkes RI. Jakarta.2013
Abdallah Tajeldin M, Ali Abdel
Aziem A, Epidemiology of
tuberculosis in Eastern Sudan,
Asia Pacific Journal of Tropical
Biomidicine.
2012;2(12):9991001
Bates Michael N, Khalakdina A,
Pai M, Chang L, Lessa F, Smith
K, et.al. Risk of Tuberculosis
From Exposure to Tobacco
Smoke,
Arch
Intern
Med.2007;167(4):335-42
Notoatmojo, Soekidjo.2003. Ilmu
Kesehatan Masyarakat Prinsip-
18.
19.
20.
21.
prinsip Dasar. Jakarta : Rineka
Cipta
Widoyono. 2008. Penyakit Tropis,
Epidemiologi,
Penularan,
Pencegahan,
dan
pemberantasannya.
Jakarta
:
Erlangga
Barnighausen T, Caludia W, Alex
W, Mc Walter T, Nhlanhla M,
Johannes V, Natalie G, Frank T,
Adrian P, Marie LN. HIV
incidence in Rural South Africa:
Comparison of Estimates from
Longitudinal Surveilance an cross
sectional
CBED
Assay
testing.pLos
One.2008.3(11):e3640
Nzou C, Kambarani RA, Onyango
FC, Ndhlovu CE, Chikwasha V.
Clinikal predictors of low CD4
count among HIV infected
pulmonary tuberculosis clients:a
health facility-based survey. S Afr
Med J.2010.100(9):602-5
Kufa
T,
Mngomezulu
V,
Charalombous S, Hanifa Y,
Fielding K, Grant A, Undiagnosed
Tuberculosis Among HIV Clinic
Attendees : Association With
Antiretroviral
Therapy
an
Implications for Intensified Case
Finding, Isoniazid Preventive
Therapy,
and
Infection
Control.2011.
55
Download