BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia didunia dianugrahi kemampuan berbahasa sebagai alat komunikasi dan berinteraksi dengan manusia lainnya. Dengan bahasa, manusia dapat menyampaikan ide, pikiran, perasaan kepada orang lain.“ Bahasa berfungsi sebagai lem perekat dalam menyatukan keluarga, masyarakat dan bangsa dalam kegiatan bersosialisasi. Tanpa bahasa, suatu masyarakat tak dapat terbayangkan” (Alwasilah, 1993:89). Namun, mempelajari bahasa bukan hanya sekedar untuk berbicara dengan menggunakan suatu bahasa dengan lancar, tapi kita juga harus mengetahui aspek-aspek bahasa didalamnya. Oleh karena itu, agar komunikasi dapat berfungsi dengan baik, maka bahasa yang digunakan harus dapat dimengerti maksud dan tujuan dari informasi yang ingin disampaikan kepada orang lain. Komunikasi melalui bahasa memungkinkan setiap orang untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosial yang memungkinkan setiap orang untuk mempelajari kebiasaan, adat istiadat, kebudayaan serta latar belakang masing-masing. Dalam berkomunikasi bisa saja terjadi kesalahpahaman pada pihak lawan bicara, yang disebabkan oleh kekeliruan si pembicara dalam mengungkapkan sesuatu hal yang ingin disampaikan. Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman ketika berbicara, maka dalam berbahasa kita harus memperhatikan kaidah-kaidah penggunaan bahasa. Kaidah-kaidah penggunaan bahasa ini dalam bahasa Indonesia disebut dengan tata bahasa, sedangkan dalam bahasa Jepang disebut dengan bunpoo「文法」. Universitas Sumatera Utara Bahasa Jepang memiliki karakteristik yang berbeda dengan bahasa Indonesia maupun bahasa asing lainnya, baik itu huruf, kosakata, partikel, maupun struktur kalimat. Hal ini tentunya menjadi kesulitan tersendiri bagi para pembelajar dan berdampak pada kesalahan berbahasa. Salah satu jenis kesalahan berbahasa Jepang yang sering muncul pada pembelajar adalah tentang penggunaan kosakata. Kosa kata merupakan unsur mendasar yang terdapat dalam suatu bahasa. Tanpa mengetahui kosakata, seseorang tidak akan dapat berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan menggunakan bahasa tersebut. Oleh karena itu, memahami kosakata merupakan hal yang sangat penting dan mendasar dalam mempelajari suatu bahasa. Kunihiro (1994 : 166) yang dikutip dari makalah Sutedi menegaskan bahwa penelitian tentang kosakata tidak ada habisnya. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya penelitian mengenai kosakata, seperti Miyajima (1972), Tokugawa (1972), Shibata dkk (1976), dan yang lainnya yang merupakan tokoh peneliti kosakata baik dari sudut semantik maupun sintaksis. Menurut Alwasilah (1993:160), “makna itu ada dibalik kata”. Namun, terkadang dalam suatu kata, tidak hanya memiliki satu makna saja tetapi memiliki beberapa makna, inilah yang disebut dengan polisemi. “ Satu kata mempunyai makna lebih dari satu, atau lebih tepat kita katakan satu leksem mempunyai beberapa makna (arti). Relasi ini disebut polisemi yang bermakna banyak.” (Alwasilah, 1993:164). Dalam bahasa Jepang, terdapat banyak verba yang beragam, tetapi tidak sedikit pula diantara verba tersebut ada verba yang berpolisemi dan verba yang berhomonim. Polisemi dalam bahasa Jepang disebut dengan tagigo. Polisemi Universitas Sumatera Utara yaitu dalam satu kata memiliki banyak makna. Begitu pula dengan homonim (dou-on-igigo). Untuk membedakan antara polisemi dengan homonim, menurut Kunihiro dalam Sutedi (2003:135), memberikan batasan yang jelas antara kedua istilah tersebut. Polisemi (tagigo) adalah kata yang memiliki makna lebih dari satu, dan setiap makna tersebut ada pertautannya, sedangkan yang dimaksudkan dengan homonim (dou-on-igigo), yaitu beberapa kata yang bunyinya sama, tetapi maknanya berbeda dan diantara makna tersebut sama sekali tidak ada pertautannya. Tidak seperti homonim, walaupun bunyinya sama, maknanya dapat diketahui berbeda karena hurufnya berbeda. Pada polisemi, huruf dan bunyinya sama, sehingga sulit untuk mengetahui makna yang terkandung pada verba tersebut dalam suatu kalimat. Pada penggunaan bahasa seringkali terjadi kesalahpahaman dalam hal pemahaman suatu makna. Salah satu penyebab kesalahpahaman tersebut terletak pada pengguna bahasa yang kurang memahami dengan baik makna dari salah satu unsur bahasa yaitu kata. Dalam bahasa Jepang terdapat banyak kata yang bila diartikan dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata yang sama dan juga satu kata namun memiliki banyak makna, namun bila kata-kata tersebut diteliti lebih lanjut ternyata memiliki perbedaan-perbedaan dalam hal penggunaannya dalam sebuah kalimat. Universitas Sumatera Utara Salah satu verba dalam bahasa Jepang yang memiliki makna lebih dari satu yang menarik perhatian penulis adalah verba deru ( 出 る ). Seorang pembelajar bahasa Jepang tidak akan heran ketika menemukan suatu kalimat : 「 部屋を出る ‘heya o deru’」yang dapat diterjemahkan <keluar kamar>. Namun terkadang makna kata berbeda sesuai dengan kondisi serta situasi. Seperti contoh dibawah ini : (1). 会議に出る。 (Nihongo So-Matome, 2010:100) ‘Kaigi ni deru’ (2). ゴキブリが出る。 (Nihongo So-Matome, 2010:100) ‘Gokiburi ga deru’ Pada kalimat pertama, jika diartikan secara leksikal maka berarti ‘keluar ke rapat’ padahal maknanya dalam bahasa Indonesia adalah ‘mengahadiri rapat’. Kata ‘hadir’ dalam bahasa Jepang dapat diartikan shussekisuru. Maka, bila kita substitusikan, verba deru dapat menjadi sinonim dengan shussekisuru. Sedangkan pada kalimat kedua, verba deru menyatakan makna ‘keluar’. Namun jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi ‘muncul’. Verba deru tersebut dapat disubstitusikan dengan verba arawareru. Dari kedua contoh yang disebutkan diatas didapati perbedaan makna kata deru. Dimana pada kalimat (1) berarti hadir dan kalimat (2) berarti muncul. Namun masih terdapat beberapa makna deru selain pada dua kalimat diatas. Contoh lainnya sebagai berikut : (3). 彼は中学を出ただけだ。 (Matsuura Kenji, 1994:144) Universitas Sumatera Utara ‘Kare wa chuugaku o deta dake da’ (4). 試合に出る。 (Matsuura kenji, 1994:144) ‘shiai ni deru’ Dari dua kalimat diatas terdapat perbedaan makna deru dari kalimat (1) dan (2). Pada kalimat (3), verba deru diartikan sebagai ‘tamat sekolah’ dan dapat dipadankan dengan kata pengganti sotsugyousuru yang memiliki arti sama. Begitu juga dengan kalimat ke (4) bermakna ‘ikut serta’. Sehingga dapat dipadankan dengan kata sankasuru. Dilihat dari beberapa contoh kalimat diatas dapat kita temukan beberapa arti dari verba deru. Dan dapat ditarik sebuah hipotesis bahwa verba deru apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia memiliki banyak makna dan apabila di telaah makna tersebut terdapat sinonim yang dapat ditempatkan sebagai pengganti verba deru tersebut dalam kalimat. Kata yang mengandung arti yang sama disebut dengan sinonim. Menurut Abdul Chaer (2007:297), Sinonim adalah dua buah kata atau lebih yang maknanya kurang lebih sama. Abdul Chaer mengatakan ‘kurang lebih’ dikarenakan tidak ada dua buah kata berlainan yang maknanya sama persis. Yang sama hanyalah informasinya saja, sedangkan maknanya tidak sama persis. Meskipun verba deru dapat disubstitusikan dengan verba lain tentunya akan menghasilkan suasana/nuansa yang berbeda jika dipergunakan dalam kalimat. Kata-kata yang memiliki banyak makna tersebut dapat menimbulkan ambiguitas dan kesulitan pemahaman akan ujaran yang disampaikan. Terlebih Universitas Sumatera Utara pada pembelajar bahasa Jepang. Oleh karena itu penulis tertarik untuk membuat penelitian berjudul “Analisis Polisemi Verba Deru Dalam Kalimat Bahasa Jepang”. 1.2. Perumusan masalah Di dalam bahasa Jepang terdapat banyak verba yang memiliki makna banyak atau lebih dari satu. Makna tersebut memiliki arti yang berbeda-beda sesuai dengan kontekstualnya. Seorang pembelajar bahasa asing tidak akan kesulitan ketika menemukan kalimat seperti berikut: 5 時に会社を出る。 ‘Go ji ni kaisha o deru’ Namun pembelajar bahasa Jepang akan kesulitan ketika menemukan kalimat seperti berikut: 試合に出る ‘Shiai ni deru’ Kata yang memiliki arti lebih dari satu disebut dengan polisemi (tagigo). Seseorang harus mengerti makna dari kosa kata yang digunakan. Karena jika tidak, maka akan menimbulkan kesalahpahaman dalam berkomunikasi. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis ingin mengajukan permasalahan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Apa saja makna-makna yang terkandung dalam verba deru ? 2. Bagaimana makna verba deru berdasarkan konteks kalimatnya? Universitas Sumatera Utara 1.3. Ruang Lingkup Pembahasan Sesuai dengan permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka penulis menganggap perlu adanya ruang lingkup pembahasan agar masalah dalam penelitian ini tidak terlalu luas dan berkembang jauh sehingga masalah yang akan dikemukakan lebih terarah dan mendapatkan tujuan yang diinginkan dalam penulisan ini. Kata yang memiliki makna lebih dari satu dapat disebut dengan polisemi dan homonim. Perbedaan antara polisemi dan homonim dapat dilihat dari pernyataan Kunihiro dalam Sutedi (2003:135). Polisemi (tagigo) adalah kata yang memiliki makna lebih dari satu, dan setiap makna tersebut ada pertautannya, sedangkan yang dimaksudkan dengan homonim (dou-on-igigo), yaitu beberapa kata yang bunyinya sama, tetapi maknanya berbeda dan diantara makna tersebut sama sekali tidak ada pertautannya. Dalam penelitian ini akan memaparkan dengan jelas polisemi dari verba deru dengan teori dasar yang diambil dari Nihongo Kihon Doshi Yohou Jiten oleh Koizumi, dkk tahun 1989 dan Nihongo O Manabu Hito No Jiten oleh Sakata Yukiko tahun 2000. Kalimat yang diambil dari wochi kochi yang diterbitkan oleh Japan Foundation, The Monthly Nihongo oleh Space Alc dan majalah Nipponia. Peneliti mencoba menganalisis contoh kalimat yang memiliki makna verba deru yang berbeda.Berkaitan dengan makna verba deru, penulis akan menganalisis makna verba deru berdasarkan konteks kalimatnya. Universitas Sumatera Utara 1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka Ada yang berpendapat bahwa polisemi adalah dalam satu bunyi (kata) terdapat makna lebih dari satu. Tetapi batasan seperti ini masih belum cukup, sebab dalam bahasa Jepang, kata yang merupakan satuan bunyi dan memiliki makna lebih dari satu banyak sekali, serta didalamnya ada yang termasuk polisemi (tagigo) dan ada juga yang termasuk homonim (dou-on-igigo). Oleh karena itu, kedua hal tersebut perlu dibuat batasan yang jelas. Kunihiro (1996:97) memberikan batasan tentang kedua istilah tersebut, bahwa : Polisemi (tagigo) adalah kata yang memiliki makna lebih dari satu, dan setiap makna tersebut ada pertautannya, sedangkan yang dimaksudkan dengan homonim (dou-on-igigo), yaitu beberapa kata yang bunyinya sama, tetapi maknanya berbeda dan diantara makna tersebut sama sekali tidak ada pertautannya.( Dedi Sutedi 2003:135). Pengertian polisemi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu kata yang memiliki makna lebih dari satu (KBBI 1993:1200). Keraf (2006:36) mendefinisikan bahwa polisemi ialah satu bentuk yang memiliki beberapa makna. Alwasilah (1993:164) mengatakan polisemi merupakan satu kata mempunyai lebih dari satu arti, atau lebih tepat kita katakan, satu leksem (lexeme) mempunyai beberapa makna (arti). Relasi ini disebut polisemi yang bermakna banyak. Universitas Sumatera Utara Parera (2004:81) mendefinisikan bahwa polisemi ialah suatu ujaran dalam bentuk kata yang mempunyai makna berbeda-beda tetapi masih ada hubungan dan kaitan antar makna yang berlainan tersebut. Misalnya kata ‘kepala’ dapat bermakna ‘kepala manusia, kepala jawatan, dan kepala sarung’. 1.4.2. Kerangka Teori Kerangka teori berfungsi sebagai pendorong proses berpikir deduktif yang bergerak dari alam abstrak ke alam konkret. Suatu teori yang dipakai oleh peneliti sebagai kerangka yang memberi pembatasan terhadap fakta-fakta konkret yang terbilang banyaknya dalam kenyataan kehidupan masyarakat yang harus diperhatikan. Dalam penulisan skripsi ini, penulis mempergunakan kerangka teori berdasarkan pendapat dari pakar-pakar bahasa yang diperoleh dari sumber pustaka sebagai berikut. Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian dan pemahaman arti secara keseluruhan ( KBBI 1993:59 ). Penelitian ini menggunakan pendekatan semantik yaitu teori semantik tentang makna. Semantik diterima secara luas sebagai cabang ilmu bahasa yang mengkaji tentang seluk beluk makna. Kata semantik berasal dari bahasa Inggris semantics yang memungutnya dari bahasa Yunani Semainein. Dalam bahasa Yunani, kata ini berarti makna. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau ilmu tentang arti. (Chaer, 2005:2). Universitas Sumatera Utara Semantik adalah studi tentang makna tentang anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa. Dengan demikian, semantik merupakan bagian dari linguistik (Aminuddin, 1988:15) Hubungan semantik dan linguistik sangat erat karena semantik dengan fenomena sosial dan kultur pada dasarnya memang sudah selayaknya terjadi. Disebut demikian karena aspek sosial dan kultur sangat berperan dalam menentukan bentuk-bentuk, perkembangan maupun perubahan makna kebahasaan (Aminuddin, 1988:24). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan konsep semantik konteksual. Yaitu makna sebuah leksem atau kata yang berada didalam suatu konteks. Menurur Parera (2004:47), teori kontekstual sejalan dengan teori relativisme. Makna sebuah kata terikat pada lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu itu. Makna konteks juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu dan lingkungan penggunaan bahasa tersebut. Dalam teori semantik digunakan jenis-jenis makna. Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai nilai rasa, baik positif maupun negatif (Chaer, 2002:65). Makna adalah pengertian suatu konsep yang dimiliki atau terdapat pada tanda linguistik. Tanda linguistik bisa berupa kata atau leksem maupun morfem. Sutedi (2008:123) berpendapat bahwa dalam bahasa Jepang ada dua istilah tentang makna, yaitu kata imi (意味) dan igi(意義). Kata imi digunakan untuk menyatakan makna hatsuwa (tuturan) yang merupakan wujud satuan dari parole, Universitas Sumatera Utara sedangkan igi digunakan untuk menyatakan makna dari bun (kalimat) sebagai wujud satuan dari langue. Penelitian ini bertujuan menguraikan suatu makna yang terkandung dalam suatu verba. Verba adalah kata yag dipakai untuk menyatakan sesuatu tentang seseorang atau sesuatu. Nesfield (Chaedar, 1993:48). Sedangkan dalam bahasa Jepang verba adalah jenis kata yang termasuk dalam yougen dan menyatakan kegiatan/aktivitas. Biasanya pada akhir kata selalu diakhiri dengan vokal /u/. Dalam penelitian ini, verba yang dimaksud adalah verba deru. 1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1. Tujuan Penelitian Setelah melihat perumusan masalah diatas, maka Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui apa saja makna yang terkandung dalam verba deru. 2. Untuk mengetahui bagaimana makna verba deru berdasarkan konteks kalimatnya. 1.5.2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang ingin diperoleh dalam penelitian ini adalah: 1. Dapat dijadikan referensi bagi pembelajar bahasa Jepang dalam memahami makna verba deru. Universitas Sumatera Utara 2. Dapat dijadikan masukan bagi pengajar saat mengajarkan makna dan penggunaan verba deru, terutama dalam mata kuliah sakubun (mengarang), honyaku (terjemahan), dan imiron (semantik). 3. Dapat memperkaya wawasan dalam berkomunikasi, sehingga dapat menimbulkan rasa percaya diri dalam berkomunikasi baik lisan maupun tulisan. 4. Dapat dijadikan sebagai tambahan bagi penelitian yang berkaitan dengan linguistik, terutama mengenai kata yang mempunyai makna polisemi dalam bahasa Jepang. 1.6. Metode penelitian Metode penelitian merupakan cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan penelitiannya. Metode penelitian sangat mempengaruhi keberhasilan dari penelitian tersebut. Seorang peneliti harus menentukan metode yang sesuai demi tercapainya keberhasilan. Sudjana dan Ibrahim (2001:172) mengemukakan bahwa metodologi penelitian menjelaskan bagaimana prosedur penelitian itu dilaksanakan, artinya cara bagaimana memperoleh data empiris untuk menjawab pertanyaan penelitian atau menguji hipotesis. Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Karena bahasa yang dikaji merupakan bahasa Jepang yang digunakan oleh masyarakat pada masa sekarang ini. Yang dimaksud dengan penelitian deskriptif menurut Sukmadinata (Nurzanah, 2009:52) adalah suatu bentuk Universitas Sumatera Utara penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan lainnya. Mengingat karena adanya data-data yang diperoleh dari buku yang ditulis dalam bahasa Jepang maka penulis harus menerjemahkannya ke dalam Indonesia agar memudahkan penulisan nantinya. Dalam menerjemahkan, penulis berusaha dengan cermat dan teliti serta menggunakan teori terjemahan untuk mendapatkan hasil yang sempurna. Menurut Euge A Nida dan Charles R.Taber dalam Widyamarta (2000:11), menerjemahkan merupakan kegiatan menghasilkan kembali di dalam bahasa penerima barang yang sedekat-dekatnya dan sewajarnya sepadan dengan pesan dalam bahasa sumber, pertama-tama menyangkut gaya bahasanya. Penulis mengumpulkan bebarapa contoh kalimat, wacana, percakapan dan contoh lainnya yang berhubungan dengan makna verba deru yang diambil dari berbagai sumber seperti buku, majalah, dan lain-lain yang sesuai dengan masingmasing makna verba deru. Setelah menganalisis data-data, kemudian dilanjutkan mencari kalimat, mengumpulkan dan mengklasifikasikan makna verba deru. Tahap berikutnya adalah proses merangkum dan menyusun data-data dalam satuan-satuan untuk dikelompokkan dalam setiap bab dan anak bab. Dan yang terakhir berupa penarikan kesimpulan berdasarkan data-data yang telah diteliti, lalu dari kesimpulan yang ada dapat diberikan saran-saran yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan bahasa Jepang. Universitas Sumatera Utara Penelitian Kepustakaan dilakukan pada perpustakaan Universitas Sumatera Utara, perpustakaan Jurusan Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara, perpustakaan Konsulat Jepang di Medan, beberapa informasi dari situs internet serta koleksi pribadi penulis. Universitas Sumatera Utara