eksistensi dan akibat hukum dari akta perubahan

advertisement
TESIS
EKSISTENSI DAN AKIBAT HUKUM DARI AKTA
PERUBAHAN ANGGARAN DASAR YAYASAN
BERDASARKAN PP NOMOR 2 TAHUN 2013 TERHADAP
YAYASAN LAMA YANG TIDAK BERBADAN HUKUM
LAGI BERDASARKAN KETENTUAN UU YAYASAN
I GUSTI AYU INTAN WULANDARI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
TESIS
EKSISTENSI DAN AKIBAT HUKUM DARI AKTA
PERUBAHAN ANGGARAN DASAR YAYASAN
BERDASARKAN PP NOMOR 2 TAHUN 2013 TERHADAP
YAYASAN LAMA YANG TIDAK BERBADAN HUKUM
LAGI BERDASARKAN KETENTUAN UU YAYASAN
I GUSTI AYU INTAN WULANDARI
NIM : 1092461005
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
EKSISTENSI DAN AKIBAT HUKUM DARI AKTA
PERUBAHAN ANGGARAN DASAR YAYASAN
BERDASARKAN PP NOMOR 2 TAHUN 2013 TERHADAP
YAYASAN LAMA YANG TIDAK BERBADAN HUKUM
LAGI BERDASARKAN UU YAYASAN
Tesis ini dibuat untuk memperoleh Gelar Magister Kenotariatan
pada Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana
I GUSTI AYU INTAN WULANDARI
NIM : 1092461005
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
i
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA
TANGGAL : 16April 2015
Komisi Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof.Dr.I Gusti Ayu Agung Ariani, SH.,MSI Made Puryatma, SH.,M.Kn
NIP. 19441221 197503 2 001
Mengetahui :
Ketua Program Magister Kenotariatan
Direktur
Program Pascasarjana
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Universitas Udayana
Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH.,M.Hum Prof. Dr. Dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K)
NIP. 19640402 198911 2 001
NIP. 19590215 198510 2 001
ii
Tesis ini Telah Diuji
Pada Tanggal : 13 April 2015
Panitia Penguji Tesis
Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana
Nomor : 1119 / UN14.4 / HK / 2015 April 16
Tanggal : 10 April 2014
Ketua
: Prof. Dr. I GustiAyuAgungAriani, SH., MS
Anggota
:
1. I Made Puryatma, SH. M.Kn
2. Dr. PutuTuniCakabawaLandra, SH., M.Hum
3. Dr. I WayanWiryawan, SH., MH
4. Dr. DesakPutuDewiKasih, SH., M.Hum
iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertandatangan di bawah ini:
Nama
: I GUSTI AYU INTAN WULANDARI, SH
NIM
: 1092461005
Program Studi
: Kenotariatan.
Judul Tesis
: Eksistensi Dan Akibat Hukum Dari Akta Perubahan
Anggaran Dasar Yayasan Berdasarkan PP Nomor 2 Tahun
2013 Terhadap Yayasan Lama Yang Tidak Berbadan
Hukum Lagi Berdasarkan UU Yayasan
Dengan ini menyatakan dengan sebenarnya bahwa karya ilmiah tesis ini bebas
dari plagiat. Apabila dikemudian hari karya ilmiah tesis ini terbukti plagiat, maka
saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku.
Denpasar, 16 November 2014.
Yang Membuat Pernyataan,
I GUSTI AYU INTAN WULANDARI, SH
NIM. 1192461012
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Dengan memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, karena berkat rahmat-nyalah tesis saya yang berjudul
“EKSISTENSI
DAN
AKIBAT
HUKUM
DARI
AKTA
PERUBAHAN
ANGGARAN DASAR YAYASAN BERDASARKAN PP NOMOR 2 TAHUN 2013
TERHADAP YAYASAN LAMA YANG TIDAK BERBADAN HUKUM LAGI
BERDASARKAN UU YAYASAN” ini dapat diselesaikan. Dalam Penyelesaian tesis
ini, saya telah berusaha dengan seluruh kemampuan agar kesempurnaan dalam
penulisan dapat tercapai, namun sebagai manusia saya menyadari sepenuhnya akan
kekurangan yang ada dalam diri saya. Meskipun demikian, besar harapan semoga
tesis memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister
Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Pada kesempatan ini perkenakanlah penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. I Gusti Ayu Agung Ariani, SH., MS., selaku
Pembimbing I yang telah dengan penuh kesabaran dan ketelitian membimbing
penulis untuk menyelesaikan tesis ini tepat pada waktunya. Terima kasih sebesarbesarnya pula penulis sampaikan kepada I Made Puryatma, SH., M.Kn, selaku
Pembimbing II yang dengan penuh pengertian dan semangat dalam membimbing
dan memberikan saran kepada penulis.
Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Prof.
Dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
v
kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister
Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Prof. Dr. dr.
A.A. Raka Sudewi,Sp.S(K), selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas
Udayana. Tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. I Gusti
Ngurah Wairocana,SH.MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana atas
izin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Magister.
Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Dr. Desak
Putu Dewi Kasih, SH., MHum., selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan
Universitas Udayana.
Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada
Bapak dan ibu segenap dosen pengajar dilingkungan Program Magister Kenotariatan
Program
Pasca
Sarjana
Universitas
Udayana
yang
telah
dengan
tekun
mendharmabaktikan ilmunya kepada segenap mahasiswa termasuk penulis. Bapak
dan ibu seluruh staf dan karyawan kesekretariatan Magister Knotariatan Universitas
Udayana yang turut membantu saya dalam proses administrasi tesis ini. Ibu Anneke
Wibowo, SH., yang telah bersedia memberikan dokumen dan informasi terkait
penulisan tesis ini. Seluruh rekan-rekan mahasiswa angkatan I Mandiri tahun
akademik 2010/2011 Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang dengan penuh
rasa persaudaraan dan kekeluargaan telah memberikan berbagai bantuan dan
semangat.
Ucapan terima kasih, sujud bakti, peluk cium kepada orang tua tercinta,
Ayahanda I Gusti Kompyang Gede Pudjawan, BA.,MBA. dan Ibunda Made Ida Dwi
vi
Ratna Winten, BA. yang telah memberikan kesempatan untuk ananda melanjutkan
kuliah di Magister Kenotariatan, serta atas dukungan moril dan materiil, doa restu dan
kasih sayang yang tak terhingga. Kakak terkasih I Gusti Ayu Ratna Mahayani, SE.,
dan Adik-adik tersayang I Gusti Ayu Mas Pradnyamitaswari, S.Apt dan I Gusti
Agung Gde Nirartha yang selalu memberikan dukungan dan doa untuk penulis dapat
menyelesaikan tesis ini. Suami tercinta Ngakan Putu Yudantara, ST. yang selalu setia
mendampingi dan mendukung, serta ananda tercinta Desak Putu Bella Anindaswari
yang memberi semangat dan kebahagiaan. Ayahanda Mertua Ngakan Putu Japa
(Alm.) dan Ibunda Mertua Desak Putu Mendri atas doa dan restunya. Serta semua
pihak yang namanya tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang telah mendukung
dalam proses pembuatan tesis ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang
Maha Esa selalu melimpahkan kebahagiaan dan kesejahteraan kepada kita semua dan
semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan serta berguna bagi
masyarakat.
Denpasar, 17 November 2014
Penulis
vii
ABSTRAK
EKSISTENSI DAN AKIBAT HUKUM DARI AKTA PERUBAHAN
ANGGARAN DASAR YAYASAN BERDASARKAN PP NOMOR 2 TAHUN
2013 TERHADAP YAYASAN LAMA YANG TIDAK BERBADAN
HUKUM LAGI BERDASARKAN KETENTUAN UU YAYASAN
PP Nomor 2 Tahun 2013 diterbitkan oleh pemerintah dengan tujuan dapat
menghidupkan kembali yayasan-yayasan yang telah dianggap kehilangan status
badan hukumnya oleh ketentuan UU Nomor 28 Tahun 2004 jo. UU Nomor 16
Tahun 2001 tentang Yayasan (selanjutnya UU Yayasan). Yayasan-yayasan yang
telah berdiri sebelum terbitnya undang-undang yayasan dan perubahannya yang
eksistensinya tidak diakui karena tidak berbadan hukum lagi dan tidak dapat
menggunakan kata “yayasan” didepan namanya karena tidak melakukan syarat
yang ditentukan oleh Pasal 71 UU Yayasan, dapat memperoleh kembali status
badan hukumnya berdasarkan PP Nomor 2 Tahun 2001. Permasalahan dalam tesis
ini ada dua, yaitu yang pertama bagaimanakah eksistensi dari yayasan lama
dengan berlakunya PP Nomor 2 Tahun 2013 yang bertentangan dengan UU
Yayasan. Kedua mengenai apa akibat hukum dari akta perubahan anggaran dasar
yayasan yang berdasarkan PP Nomor 2 Tahun 2013 dari yayasan lama yang tidak
berbadan hukum lagi berdasarkan UU Yayasan.
Penelitian tesis ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang
beranjak dari adanya konflik norma antara peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Penelitian normatif
dengan pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan mengkaji dan
menganalisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan yayasan yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-undang tentang
Yayasan yang bertentangan dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 jo.
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksistensi yayasan lama dengan
berlakunya PP Nomor 2 Tahun 2013 yang bertentangan dengan Pasal 71 UU
Yayasan adalah tidak sah. Yayasan lama dapat memperoleh kembali status badan
hukumnya apabila pemerintah melakukan revisi terhadap UU Yayasan. Akibat
hukum dari akta perubahan anggaran dasar yayasan yang dibuat berdasarkan PP
Nomor 2 Tahun 2013 adalah akta tersebut batal demi hukum.
kata kunci : Yayasan, Badan Hukum, Peraturan Perundang-undangan.
viii
ABSTRACT
THE EXISTENCE AND THE LEGAL CONSEQUENCES OF CHANGES IN
THE DEED OF THE FOUNDATION’S ARTICLES OF ASSOCIATION
UNDER THE GOVERNMENT REGULATION NUMBER 2 OF 2013 FOR
OLDER FOUNDATION WHICH HAS NO LEGAL ENTITY UNDER THE
PROVISION OF LAW ON FOUNDATION
After the enactment of the Law on Foundation in Indonesia, there was a
grouping of foundations that had existed prior to the enactment of the Law on
Foundation, namely the foundations which were recognized as legal entities, and
foundations that were not recognized as legal entity. With the enactment of the
Government Regulation Number 2 of 2013, the foundations that have been
established prior to the issuance of Law on Foundation and its amendments,
which then, the foundation of its existence was not recognized, because it was no
longer a legal entity, and it may not use the word ‘foundation’ in front of its
name, because it does not meet the requirements prescribed by Article 71 of the
Law on Foundations, it can return regain its legal entity status. Government
Regulation Number 2 of 2013 issued by the government with the aim to revive the
foundations that had been considered lost its legal entity status by the provisions
of the Law on Foundation.
This thesis research used normative legal research methods that depart
from the conflict of norms between the lower legislation with the higher level of
regulation. The normative research of statutory approach was conducted by
reviewing and analyzing the legislation relating to the foundation, i.e. the
Government Regulation Number 2 of 2013 on the Amendment of Government
Regulation Number 63 of 2008 on the Implementation of the Law on Foundation
that are contrary to Law Number 16 of 2001 in conjunction with the Law Number
28 of 2004 on the Foundation.
The research results showed that the existence of the older foundation that
is not incorporated again under the Law on Foundation may not be extended on
the basis of Government Regulation Number 2 of 2013. The older foundation may
regain its legal entity status, if the government revises the Law on Foundation.
The legal consequences of the deed of amendment to the articles of association of
a foundation made under the Government Regulation Number 2 of 2013 are
declared null and void by law.
Keywords : Foundation, Legal Entities, Laws and Regulations.
ix
RINGKASAN
Tesis ini menganalisis tentang eksistensi dan akibat hukum dari akta
perubahan anggaran dasar yayasan berdasarkan PP Nomor 2 Tahun 2013 terhadap
yayasan lama yang tidak berbadan hukum lagi berdasarkan UU Yayasan. Bab I
menguraikan tentang latar belakang masalah mengenai eksistensi dari yayasan
lama yang dengan berlakunya PP Nomor 2 Tahun 2013 yang mana PP tersebut
bertentangan dengan Pasal 71 UU Nomor 28 Tahun 2004 tentang perubahan atas
UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (untuk selanjutnya disebut UU
Yayasan). Rumusan masalah dalam tesis ini ada dua, yaitu yang pertama
bagaimanakah eksistensi dari yayasan lama dengan berlakunya PP Nomor 2
Tahun 2013 yang bertentangan dengan UU Yayasan, yang kedua mengenai apa
akibat hukum dari akta perubahan anggaran dasar yayasan yang berdasarkan PP
Nomor 2 Tahun 2013 dari yayasan lama yang tidak berbadan hukum lagi
berdasarkan UU Yayasan. Landasan teori yang digunakan adalah Konsep Negara
Hukum, Teori Jenjang Norma Hukum, Teori Badan Hukum, Asas-asas Umum
Pemerintahan yang Baik, dan Asas Preferensi. Jenis penelitian yang digunakan
adalah penelitian normatif yang beranjak dari adanya konflik norma antara PP
Nomor 2 Tahun 2013 dengan UU Yayasan.
Bab II sebagai penjabaran dari kajian pustaka yang membahas mengenai
tinjauan umum mengenai badan hukum, sejarah yayasan di Indonesia, yayasan
sebagai badan hukum, organ yayasan, proses pendirian yayasan, penggabungan
dan pembubaran yayasan, pengertian akta, dan jenis akta. Setelah berlakunya
Undang-undang Yayasan di Indonesia, secara tegas diatur mengenai definisi
Yayasan, dimana pada Pasal 1 Angka 1 menyebutkan bahwa yayasan adalah
badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan
untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan,
yang tidak memiliki anggota. Yayasan didirikan dengan akta Notaris dan harus
memohon pengesahan kepada Menteri Hukum dan Ham.
Bab III merupakan hasil penelitian dan pembahasan terhadap rumusan
permasalahan pertama yang diuraikan dalam dua sub bab. Sub bab pertama
menguraikan eksistensi yayasan lama dengan berlakunya UU Yayasan dan PP
Nomor 2 Tahun 2013 dan sub bab kedua menguraikan tentang pertentangan
antara UU Yayasan dengan PP Nomor 2 Tahun 2013.
Bab IV merupakan hasil penelitian dan pembahasan rumusan
permasalahan kedua yang diuraikan dalam 2 sub bab, sub bab pertama adalah
menguraikan tetang akibat hukum dari akta perubahan anggaran dasar yayasan
berdasarkan PP Nomor 2 Tahun 2013 untuk yayasan lama yang tidak berbadan
hukum lagi berdasarkan UU Yayasan, sub bab kedua menguraikan mengenai
akibat hukum dari akta perubahan anggaran dasar yayasan yang tidak berbadan
hukum lagi berdasarkan UU Yayasan terhadap pihak ketiga pada badan usaha
yang didirikan oleh yayasan.
Bab V sebagai bab penutup yang menguraikan mengenai kesimpulan dan
saran. Adapun kesimpulan pembahasan di atas adalah : eksistensi dari yayasan
lama yang tidak berbadan hukum lagi berdasarkan UU Yayasan dengan
berlakunya PP Nomor 2 Tahun 2013 adalah tidak sah karena akta perubahan
x
anggaran dasar yayasan lama dibuat berdasarkan PP Nomor 2 Tahun 2013 yang
bertentangan dengan UU Yayasan. Berdasarkan teori jenjang norma, asas lex
superior derogat legi inferiori, dan UU Pembentukan Peraturan Perundangundangan, Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Apabila terjadi pertentangan atau konflik maka peraturan perundang-undangan
yang secara hierarki lebih tinggi dapat mengesampingkan peraturan perundangundangan yang lebih rendah. Akibat hukum dari dibuatnya akta perubahan
anggaran dasar yayasan berdasarkan PP Nomor 2 Tahun 2013 terhadap yayasan
lama yang telah kehilangan status badan hukumnya adalah akta tersebut harus
dinyatakan batal demi hukum oleh pengadilan karena akta tersebut dibuat
berdasarkan aturan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang ada diatasnya. Sebagai saran dalam penelitian ini, sebaiknya pemerintah
membatalkan PP Nomor 2 Tahun 2013 tersebut karena bertentangan dengan
norma diatasnya dan berpotensi menimbulkan permasalahan dikemudian hari,
kemudian juga pemerintah diharapkan dalam membuat revisi terhadap suatu
peraturan perundang-undangan lebih memperhatikan hierarki perundangundangan yang telah diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sehingga tidak terjadi pertentangan
antara norma yang lebih rendah dengan norma yang lebih tinggi. Notaris
sebaiknya lebih memperluas pengetahuannya terhadap peraturan perundangundangan yang berlaku sehingga akta yang dibuatnya dikemudian hari tidak
menimbulkan permasalahan dalam masyarakat. Demikian juga masyarakat
sebaiknya lebih teliti dan tanggap terhadap adanya peraturan-peraturan baru dan
mematuhi peraturan-peraturan tersebut sehingga tidak timbul permasalahan yang
mengakibatkan pemerintah harus membuat revisi peraturan perundang-undangan.
xi
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL LUAR..................................................................................................
SAMPUL DALAM
..........................................................................................
PRASYARAT GELAR........................................................................................
i
LEMBAR PERSETUJUAN.................................................................................
ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT...................................................................
iv
UCAPAN TERIMA KASIH................................................................................
v
ABSTRAK...........................................................................................................
viii
ABSTRACT...........................................................................................................
ix
RINGKASAN.......................................................................................................
x
DAFTAR ISI........................................................................................................
xii
BAB I PENDAHULUAN
1
..............................................................................
1.1
Latar Belakang Masalah
1.2
Rumusan Masalah
..................................................................
18
1.3
Tujuan Penelitian
..................................................................
18
1.3.1 Tujuan Umum
.............................................................
19
1.3.2 Tujuan Khusus
...............................................................
19
..................................................................
19
1.4.1 Manfaat Teoritis
..............................................................
19
1.4.2 Manfaat Praktis
................................................................
20
1.4
1.5
Manfaat Penulisan
Landasan Teoritis
......................................................
1
....................................................................... 20
1.5.1 Konsep Negara Hukum
xi
...................................................... 20
1.5.2 Teori Jenjang Norma Hukum
1.5.3 Teori Badan Hukum
............................................ 25
.......................................................... 30
1.5.4 Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik
...................... 33
1.5.5 Asas Preferensi ...................................................................... 41
1.5.6 Kerangka Pemikiran……......................................................... 43
1.6
Metode Penelitian
....................................................................... 45
1.6.1 Jenis Penelitian ....................................................................... 45
1.6 2 Jenis Pendekatan ..................................................................... 46
1.6.3 Sumber Bahan Hukum ........................................................... 48
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
................................... 50
1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ............................................... 50
BAB II KAJIAN PUSTAKA
....................................................................... 52
2.1
Tinjauan Umum Tentang Badan Hukum.......................................... 52
2.2
Yayasan
................................................................................... 61
a. Sejarah Yayasan di Indonesia
............................................... 61
b. Yayasan Sebagai Badan Hukum
............................................... 69
c. Organ Yayasan
....................................................................... 76
d. Proses Pendirian Yayasan
....................................................... 82
e. Penggabungan dan Pembubaran Yayasan
2.3
Akta
............................... 87
............................................................................................... 92
a. Pengertian Akta
....................................................................... 92
b. Jenis Akta ................................................................................... 94
xii
BAB III EKSISTENSI DARI YAYASAN LAMA DENGAN BERLAKUNYA
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 2 TAHUN 2013 YANG
BERTENTANGAN DENGAN PASAL 71 UNDANG-UNDANG……100
3.1.
Eksistensi Yayasan Lama Dengan Berlakunya Undang Undang
Yayasan Dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013...............100
3.1.1 Eksistensi Yayasan Lama Dengan Berlakunya Undang-Undang
Yayasan……………………………………………………. 100
3.1.2 Eksistensi Yayasan Lama Dengan Berlakunya Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013.......................................... 103
3.2
Pertentangan Antara Undang Undang Yayasan Dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 ............................................... 110
BAB IV AKIBAT HUKUM AKTA PERUBAHAN ANGGARAN DASAR
YAYASAN BERDASARKAN PP NOMOR 2 TAHUN 2013 DARI
YAYASAN LAMA YANG TIDAK BERBADAN HUKUM LAGI
BERDASARKAN KETENTUAN UU YAYASAN ............................. 121
4.1
Akibat Hukum dari Akta Perubahan Anggaran Dasar Yayasan
Berdasarkan PP Nomor 2 Tahun 2013 untuk Yayasan Lama yang
Tidak Berbadan Hukum Lagi Berdasarkan UU Yayasan................ 121
4.2
Akibat Hukum dari Akta Perubahan Anggaran Dasar Yayasan yang
Tidak Berbadan Hukum Lagi Berdasarkan UU Yayasan terhadap
Pihak Ketiga pada Badan Usaha yang Didirikan oleh Yayasan ...... 126
xiii
BAB V PENUTUP .............................................................................................. 133
5.1
Kesimpulan
.................................................................................. 133
5.2
Saran ...............................................................................................133
DAFTAR PUSTAKA
xiv
BAB I
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Yayasan sudah lama ada dan telah dikenal oleh manusia sejak awal
sejarah. Sejak semula yayasan dikenal sebagai suatu badan hukum yang bersifat
nirlaba, dimana telah dipisahkan suatu harta dari harta kekayaan pribadi
seseorang, yang kemudian dipergunakan untuk suatu tujuan sosial dan
keagamaan, dan pengurusannya diserahkan kepada suatu badan pengurus untuk
dikelola dengan baik dan penuh tanggung jawab. Rido mengemukakan bahwa
untuk dapat dikatakan sebagai badan hukum suatu yayasan harus memenuhi
unsur-unsur, yaitu : “Mempunyai harta kekayaan sendiri yang berasal dari suatu
perbuatan pemisahan, mempunyai tujuan sendiri (tertentu), dan mempunyai alat
perlengkapan.”1
Suatu badan hukum yang mengandung unsur sosial dalam setiap
kegiatannya, dan sangat identik dengan unsur ekonomi sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, membuat yayasan menjadi bentuk usaha yang strategis dan cepat
mengalami perkembangan didalam masyarakat. Selain itu dipicu juga karena
proses pendiriannya yang mudah karena belum adanya aturan yang mengatur.
Pemerintah akhirnya menerbitkan undang-undang yang mengatur tentang
yayasan pada tanggal 6 Agustus 2001 setelah 56 tahun Indonesia merdeka, yaitu
1
Gatot Supramono, 2008, Hukum Yayasan di Indonesia, Rineka Cipta,
Jakarta,, hal. 2
2
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang yayasan, Lembaran Negara No.
112 Tahun 2001 Tambahan Lembaran Negara 4132 (untuk selanjutnya disebut :
UU Yayasan) yang mulai berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal
diundangkan yaitu tanggal 6 Agustus 2002. Kemudian 4 (empat) tahun kemudian
UU tersebut mengalami revisi dalam beberapa pasalnya dengan disahkannya
Undang-undang Nomor 28 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No 16 Tahun
2001 tentang Yayasan LN No. 115 TLN 4430 (untuk selanjutnya disebut :
Perubahan UU Yayasan).
Setelah keluarnya UU Yayasan, maka secara otomatis penentuan status
badan hukum yayasan-yayasan yang sudah berdiri sebelum adanya UU Yayasan
harus mengikuti ketentuan yang ada di dalam UU Yayasan tersebut. Kepastian
dan ketertiban hukum dalam menjalankan yayasan mulai dapat dirasakan oleh
masyarakat. Dalam UU Yayasan disebutkan bahwa yayasan memperoleh status
badan hukum setelah akta pendirian memperoleh pengesahan dari Menteri (Pasal
11 ayat (1)). UU Yayasan juga menentukan bahwa pendirian yayasan dilakukan
dengan akta Notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia (Pasal 9 ayat (2)).
Berdasarkan ketentuan Pasal 71 Perubahan UU Yayasan, terdapat 2 (dua)
macam status hukum untuk yayasan yang telah didirikan sebelum berlakunya UU
Yayasan, yaitu :
1. Yayasan Lama (yayasan yang telah berdiri sebelum terbitnya UU
Yayasan) yang telah berstatus badan hukum;
2. Yayasan Lama (yayasan yang telah berdiri sebelum terbitnya UU
Yayasan) yang belum berstatus badan hukum.
3
‘Yayasan lama yang berstatus badan hukum’ diatur dalam ketentuan Pasal 71
Ayat (1) dan Ayat (3) Perubahan UU Yayasan. Pasal 71 ayat (1) menyebutkan :
Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Yayasan yang telah :
didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia; atau
didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari
instansi terkait;
tetap diakui sebagai badan hukum, dengan ketentuan dalam jangka waktu
paling lambat 3 (tiga) tahun sejak tanggal Undang-undang ini mulai berlaku,
Yayasan tersebut wajib menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan
Undang-undang ini.
Berdasarkan Pasal 71 ayat (1) UU Yayasan tersebut diatas pada dasarnya
tetap mengakui suatu yayasan yang telah didirikan sebelum UU Yayasan ini terbit
asalkan yayasan tersebut telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan
dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia atau telah didaftarkan di
Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait,
dengan jangka waktu penyesuaian anggaran dasar paling lambat 3 (tiga) tahun
sejak tanggal UU Yayasan tersebut berlaku. Perubahan UU Yayasan berlaku sejak
tanggal 6 Oktober 2005, berarti yayasan tersebut harus menyesuaikan anggaran
dasar paling lambat 3 (tiga) Tahun setelah itu yaitu tanggal 6 Oktober 2008. Oleh
karena itu berdasarkan Perubahan UU Yayasan, yayasan lama yang belum
menyesuaikan anggaran dasar sampai tanggal 6 Oktober 2008 tidak dapat diakui
sebagai badan hukum.
Selain harus menyesuaikan anggaran dasarnya, untuk dapat memperoleh
status badan hukum, yayasan sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 71 ayat (1)
diatas juga wajib memberitahukan kepada Menteri, sebagaimana yang disebutkan
dalam Pasal 71 ayat (3) UU Yayasan menyebutkan : “Yayasan sebagaimana
4
dimaksud pada ayat (1), wajib diberitahukan kepada Menteri paling lambat 1
(satu) tahun setelah pelaksanaan penyesuaian.”
Pelaksanaaan penyesuaian anggaran dasar paling lambat 6 Oktober 2008,
maka pemberitahuan kepada Menteri paling lambat tanggal 6 Oktober 2009.
Untuk ‘Yayasan lama yang belum berstatus badan hukum’ diatur dalam Pasal 71
ayat (2) UU Yayasan. Pasal 71 Ayat (2) menyebutkan :
Yayasan yang telah didirikan dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dapat memperoleh status badan hukum dengan cara
menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan Undang-undang ini, dan
mengajukan permohonan kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat 1
(satu) tahun terhitung sejak tanggal Undang-undang ini berlaku.
Jadi ketentuan Pasal 71 ayat (2) UU Yayasan tersebut menegaskan bahwa
yayasan lama yang belum berstatus badan hukum wajib menyesuaikan anggaran
dasarnya seperti yang diatur dalam UU Yayasan dan memohon pengesahan
kepada Menteri dengan jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak
tanggal Undang-undang ini berlaku. Perubahan UU Yayasan mulai berlaku
terhitung sejak tanggal 6 Oktober 2005, berarti permohonan kepada Menteri
paling lambat dilakukan pada tanggal 6 Oktober 2006.
‘Yayasan lama yang berstatus badan hukum’ dan ‘yayasan lama yang
belum berstatus badan hukum’ yang tidak melakukan penyesuaian seperti yang
ditentukan dalam pasal-pasal tersebut tidak dapat menggunakan kata yayasan
didepan namanya dan dapat dibubarkan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 71 ayat (4) UU Yayasan, yaitu :
Yayasan yang tidak menyesuaikan Anggaran Dasarnya dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Yayasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), tidak dapat menggunakan kata Yayasan didepan namanya dan dapat
5
dibubarkan berdasarkan keputusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan
atau pihak yang berkepentingan.
Ketentuan Pasal 71 UU Yayasan tersebut dipertegas kembali dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 yang merupakan peraturan
pelaksana dari Undang-undang Yayasan tersebut. Dalam Pasal 39 Peraturan
Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 menyebutkan bahwa:
Yayasan yang belum memberitahukan kepada Menteri sesuai dengan
ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) Undangundang tidak dapat menggunakan kata Yayasan di depan namanya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (4) Undang-undang dan harus
melikuidasi kekayaannya serta menyerahkan sisa hasil likuidasi sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 Undang-undang.
Berdasarkan ketentuan Pasal 71 UU Yayasan dan Pasal 39 Peraturan
Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tersebut, sudah jelas diatur bahwa penyesuaian
dan pengajuan permohonan kepada Menteri dapat dilakukan sebelum jangka
waktu yang telah ditetapkan :
1. Untuk ‘Yayasan lama yang telah berstatus badan hukum’ paling lambat
melakukan penyesuaian anggaran dasar tanggal 6 Oktober 2008 dan
memberitahukan kepada Menteri paling lambat tanggal 6 Oktober 2009
2. Untuk ‘Yayasan lama yang belum berstatus badan hukum’ paling lambat
melakukan penyesuaian dan memohon pengesahan tanggal 6 Oktober
2006.
Pasal 36 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008
menyebutkan bahwa :
“Yayasan yang telah didirikan sebelum berlakunya Undang-Undang dan
tidak diakui sebagai badan hukum dan tidak melaksanakan ketentuan Pasal
6
71 ayat (2) Undang-Undang, harus mengajukan permohonan pengesahan
akta pendirian untuk memperoleh status badan hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15.”
Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 menyatakan bahwa jangka
waktu untuk mengajukan permohonan pengesahan akta pendirian yayasan untuk
memperoleh status badan hukum kepada Menteri adalah paling lambat
10
(sepuluh) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian Yayasan ditandatangani.
Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2013 yang
mulai berlaku sejak tanggal 2 Januari 2013, yang merupakan perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 terdapat suatu perubahan mendasar
dalam kaitannya dengan kedudukan Yayasan yang sebenarnya sudah tidak lagi
dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya. Yayasan tersebut yang
sebelumnya berdasarkan UU Yayasan dan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun
2008 sudah tidak dapat lagi disesuaikan anggaran dasarnya dengan UU Yayasan,
dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 kembali
dimungkinkan untuk menyesuaikan anggaran dasarnya.
Yayasan Lama yang semula tidak dapat lagi menyesuaikan anggaran
dasarnya untuk disesuaikan dengan UU Yayasan dan tidak dapat lagi
menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya, saat ini kembali dapat
melakukan penyesuaian anggaran dasarnya dengan UU Yayasan dan karenanya
selanjutnya
setelah
disahkan
sebagai
badan
hukum
atau
disetujuinya
perubahan anggaran dasar yayasan yang bersangkutan eksistensinya sebagai
badan hukum dapat kembali diakui. Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
7
2013 menambah 1 (satu) pasal diantara Pasal 15 dan 16 Peraturan Pemerintah
Nomor 63 Tahun 2008, yakni Pasal 15A yang berbunyi:
Dalam hal permohonan pengesahan akta pendirian Yayasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan kekayaan awal Yayasan berasal dari
Yayasan yang sudah tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan
namanya, permohonan pengesahan dilampiri :
a. Salinan akta pendirian Yayasan yang dalam premise aktanya menyebutkan
asal-usul pendirian Yayasan termasuk kekayaan Yayasan yang
bersangkutan;
b. Laporan kegiatan Yayasan paling sedikit selama 5 (lima) tahun terakhir
secara berturut-turut yang ditanda-tangani oleh Pengurus Yayasan dan
diketahui oleh instansi terkait;
c. Surat pernyataan Pengurus Yayasan bahwa Yayasan tidak pernah
dibubarkan secara sukarela atau berdasar putusan pengadilan;
d. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang telah dilegalisir oleh
Notaris;
e. Surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat lengkap Yayasan yang
ditandatangani oleh Pengurus Yayasan dan diketahui oleh lurah atau kepala
desa setempat;
f. Pernyataan tertulis dari Pengurus Yayasan yang memuat keterangan nilai
kekayaan pada saat penyesuaian Anggran Dasar;
g. Surat pernyataan Pengurus mengenai keabsahan kekayaan Yayasan; dan
h. Bukti penyetoran biaya pengesahan dan pengumuman Yayasan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 15A Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
2013 maka untuk yayasan lama
yang belum
berstatus badan
hukum
penyesuaian dengan UU Yayasan hanya dapat dilakukan apabila :
1. Yayasan tersebut memang menjalankan kegiatan usahanya sesuai
anggaran dasar yayasan yang bersangkutan yang dibuktikan dengan
laporan kegiatan usaha paling sedikit selama 5 (lima) tahun terakhir secara
berturut-turut, yang ditandatangani oleh Pengurus Yayasan dan diketahui
oleh instansi terkait;
8
2. Yayasan yang bersangkutan belum pernah dibubarkan, yang dibuktikan
dengan surat pernyataan Pengurus Yayasan bahwa yayasan tidak pernah
dibubarkan secara sukarela atau berdasarkan putusan pengadilan.
Penyesuaian anggaran dasar yayasan lama yang belum berstatus badan
hukum dibuat dengan membuat akta pendirian yayasan, dengan menyebutkan
asal-usul pendirian yayasan serta kekayaan yang bersangkutan di dalam premise
akta pendiriannya, dan sebelum dibuatnya akta pendirian harus dilakukan
pengecekan apakah nama yayasan yang bersangkutan masih dapat dipergunakan.
Perubahan anggaran dasar yayasan yang telah berstatus badan hukum
diatur dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2008. Untuk
perubahan anggaran dasar yayasan lama yang telah berstatus badan hukum namun
tidak dapat lagi menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 menambahkan 1 (satu) pasal diantara Pasal 37
dan 38 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 yaitu Pasal 37A yang
berbunyi:
(1) Dalam hal perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
37 ayat (1) dilakukan untuk Yayasan yang sudah tidak dapat menggunakan
kata “Yayasan” di depan namanya maka Yayasan tersebut harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. paling sedikit selama 5 (lima) tahun berturut-turut sebelum penyesuaian
Anggaran Dasar masih melakukan kegiatan sesuai Anggaran Dasarnya;
dan
b. belum pernah dibubarkan.
(2) Perubahan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan cara mengubah seluruh Anggaran Dasar Yayasan dan
mencantumkan:
a. seluruh kekayaan Yayasan yang dimiliki pada saat penyesuaian, yang
dibuktikan dengan:
1) laporan keuangan yang dibuat dan ditandatangani oleh Pengurus
Yayasan tersebut; atau
9
2) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik bagi
Yayasan yang laporan keuangannya wajib diaudit sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang;
b. data mengenai nama dari anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas
yang diangkat pada saat perubahan dalam rangka penyesuaian
Anggaran Dasar tersebut.
(3) Pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) yang telah disesuaikan dengan Undang-Undang
disampaikan kepada Menteri oleh Pengurus Yayasan atau kuasanya
melalui notaris yang membuat akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan.
(4) Pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilampiri:
a. Salinan akta perubahan seluruh Anggaran Dasar yang dilakukan dalam
rangka penyesuaian dengan ketentuan Undang-Undang;
b. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia yang memuat akta
pendirian Yayasan atau bukti pendaftaran akta pendirian di pengadilan
negeri dan izin melakukan kegiatan dari instansi terkait;
c. Laporan kegiatan Yayasan selama 5 (lima) tahun berturut-turut sebelum
penyesuaian Anggaran Dasar yang ditandatangani oleh Pengurus dan
diketahui oleh instansi terkait;
d. Surat pernyataan Pengurus Yayasan bahwa Yayasan tidak pernah
dibubarkan secara sukarela atau berdasarkan putusan pengadilan;
e. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang telah dilegalisir
oleh notaris;
f. Surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat lengkap Yayasan
yang ditandatangani oleh Pengurus Yayasan dan diketahui oleh lurah
atau kepala desa setempat;
g. Neraca Yayasan yang ditandatangani oleh semua anggota organ
Yayasan atau laporan akuntan publik mengenai kekayaan Yayasan pada
saat penyesuaian;
h. Pengumuman surat kabar mengenai ikhtisar laporan tahunan bagi
Yayasan yang sebagian kekayaannya berasal dari bantuan negara,
bantuan luar negeri, dan/atau sumbangan masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 72 Undang-Undang; dan
i. Bukti penyetoran biaya pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar
Yayasan dan pengumumannya.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 37A Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
2013 maka untuk yayasan lama yang telah berstatus badan hukum dapat
melakukan penyesuaian apabila :
1. Yayasan tersebut memang menjalankan kegiatan usahanya sesuai
anggaran dasar yayasan yang bersangkutan yang dibuktikan dengan
10
laporan kegiatan usaha paling sedikit selama 5 (lima) tahun terakhir secara
berturut-turut, yang ditandatangani oleh Pengurus Yayasan dan diketahui
oleh instansi terkait;
2. Yayasan yang bersangkutan belum pernah dibubarkan, yang dibuktikan
dengan surat pernyataan Pengurus Yayasan bahwa yayasan tidak pernah
dibubarkan secara sukarela atau berdasarkan putusan pengadilan.
Penyesuaian anggaran dasar yayasan lama yang belum berstatus badan hukum
dibuat dengan membuat akta perubahan anggaran dasar yayasan yang dibuat
dalam rangka penyesuaian dengan UU Yayasan.
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, berdasarkan ketentuan Pasal 71
ayat (1) Perubahan UU Yayasan, yayasan yang telah didirikan sebelum
dikeluarkannya UU Yayasan dan telah diakui sebagai badan hukum, dalam jangka
waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal berlakunya Perubahan UU Yayasan
wajib menyesuaikan anggaran dasarnya agar tetap diakui statusnya sebagai badan
hukum. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 71 ayat (3) Perubahan UU
Yayasan, Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) wajib
diberitahukan kepada Menkumham paling lambat 1 (satu) tahun setelah
pelaksanaan penyesuaian tersebut.
Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 71 ayat (2) Perubahan UU
Yayasan, yayasan yang telah didirikan sebelum UU Yayasan dan tidak memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) Perubahan UU Yayasan,
wajib menyesuaikan anggaran dasarnya dengan UU Yayasan dalam jangka waktu
1 (satu) tahun untuk memperoleh status sebagi badan hukum. Dan pada Pasal 71
11
ayat (4) Perubahan UU Yayasan menetukan bahwa yayasan yang tidak
menyesuaikan anggaran dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dapat
menggunakan
kata “Yayasan” didepan
namanya
dan
dapat
dibubarkan
berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang
berkepentingan.
Berdasarkan uraian di atas maka jika kita berpegang pada ketentuan Pasal
71 UU Yayasan maka dengan lewatnya jangka waktu yang ditetapkan dalam UU
Yayasan berarti yayasan-yayasan yang tidak menyesuaikan anggaran dasarnya
dengan UU Yayasan tidak dapat lagi melakukan penyesuaian anggaran dasar dan
dengan demikian yayasan tersebut menjadi tidak berbadan hukum dan dapat
dibubarkan, kecuali dilakukan perubahan kembali atas Pasal 71 UU Yayasan
tersebut. Perubahan kembali Pasal 71 Perubahan UU Yayasan tersebut tentunya
harus dilakukan dengan suatu UU.
Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013,
pemerintah bersama pembuat UU bermaksud membuka kembali kemungkinan
yayasan lama yang belum menyesuaikan anggaran dasar nya dengan Perubahan
UU Yayasan (Yayasan yang sudah tidak lagi dapat menggunakan kata “Yayasan”
didepan namanya) untuk dapat melakukan penyesuaian anggaran dasar dengan
persyaratan tertentu. Dengan demikian, yayasan yang tadinya sudah tidak dapat
lagi dilakukan penyesuaian anggaran dasar karena telah lewatnya jangka waktu
penyesuaian, sekarang kembali dapat melakukan penyesuaian.
12
Banyaknya yayasan lama yang belum melakukan penyesuaian anggaran
dasar seperti yang diatur dalam Pasal 71 UU Yayasan dikarenakan ketidaktahuan
organ yayasan terhadap aturan tersebut, kurangnya sosialisasi pemerintah UU
Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 terhadap masyarakat khususnya kepada
yayasan-yayasan lama, yang disebabkan oleh dana dan waktu. Alasan lainnya
adalah karena tidak adanya lembaga pengawasan terhadap yayasan, baik di
tingkat Kabupaten/Kota maupun Provinsi terhadap keberadaan yayasan lama
tersebut.
Perubahan terhadap ketentuan Pasal 71 UU Yayasan ini apakah
dimaksudkan untuk memperpanjang jangka waktu untuk melakukan penyesuaian
ataukah ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 ini
dimaksudkan untuk meniadakan ketentuan mengenai jangka waktu yang
ditetapkan oleh Pasal 71 UU Yayasan. Secara hierarki perundangan, perlu
diperhatikan apakah peraturan yang lebih rendah dapat mengesampingkan atau
mengubah ketentuan peraturan yang lebih tinggi. Berdasarkan ketentuan UU No
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (untuk
selanjutnya disebut : UUPPPU) kedudukan Peraturan Pemerintah berada dibawah
Undang-Undang.
Pasal 7 ayat (1) UUPPPU mengatur bahwa jenis dan hierarki peraturan
berturut-turut adalah UUD 1945, Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu), Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden (Perpres),
dan Peraturan Daerah (Perda). Jadi terdapat konflik norma apabila ketentuan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 diterbitkan untuk tujuan
13
mengesampingkan atau mengubah ketentuan Pasal 71 UU Yayasan. Terhadap
permasalahan ini, Firdhonal, Notaris di Jakarta juga berpendapat bahwa terdapat
kontroversi pada pasal didalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013,
dimana menurutnya bahwa :
Pasal 71 UU Yayasan telah menyatakan bahwa apabila telah melewati batas
waktu penyesuaian, maka yayasan tersebut dianggap bubar demi hukum.
Dalam arti, yayasan itu tidak mempunyai kekuatan lagi. Sekarang, dengan
keluarnya PP yang baru tentunya bertentangan dengan Pasal 71 tersebut.
Seharusnya apabila ingin menghidupkan kembali yayasan yang telah lewat
batas waktu penyesuaian, tentunya harus merubah Pasal 71 UU Yayasan,
bukannya dengan PP. Ketika Notaris membuat akta perubahan yayasan dan
kemudian terjadi sengketa, tentunya akan berdampak kepada Notaris.2
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun
2001 tentang Yayasan, suatu yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk
menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan
usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha. Kemudian dalam penjelasan
pasal 3 Ayat (1) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan menyebutkan bahwa
ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa Yayasan tidak
digunakan sebagai wadah usaha dan Yayasan tidak dapat melakukan kegiatan
usaha secara langsung tetapi harus melalui badan usaha yang didirikannya atau
melalui badan usaha lain dimana Yayasan menyertakan kekayaannya. Dengan
demikian yayasan diperbolehkan mendirikan badan usaha sesuai dengan Pasal
tersebut dan penjelasannya. Sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang
Yayasan, badan usaha tersebut harus sesuai maksud dan tujuan didirikannya
2
Firdhonal, 2013, “Apakah PP No. 2/2013 Bertentangan dengan Pasal 71 UU
Yayasan?” Majalah Renvoi Nomor 9.117.X, Februari 2013, hal. 46
14
yayasan tersebut, yang mana berdasarkan Pasal 8 Undang-undang Yayasan
maksud dan tujuan yayasan tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian, untuk dapat melaksanakan maksud dan tujuannya,
suatu yayasan dapat mendirikan badan usaha dengan syarat badan usaha tersebut
sesuai dengan maksud dan tujuan pendirian yayasan, dan tidak boleh bertentangan
dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Adapun cakupan kegiatan usaha dari badan usaha yang dapat
didirikan oleh yayasan diatur dalam Penjelasan Pasal 8 Undang-undang Yayasan,
yang mana cakupan tersebut antara lain : hak asasi manusia, kesenian, olah raga,
perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan, dan ilmu
pengetahuan.
Sebuah yayasan yang telah berdiri sebelum diterbitkannya UU Yayasan
namun tidak melakukan penyesuaian anggaran dasar sampai batas jangka waktu
yang ditentukan oleh UU Yayasan, maka yayasan tersebut tidak lagi berbadan
hukum. Kemudian apabila berdiri suatu badan usaha yang didirikan oleh suatu
yayasan, dimana yayasan tersebut kehilangan status badan hukumnya karena tidak
melakukan penyesuaian anggaran dasar, maka secara otomatis kegiatan usaha
yang dilakukan oleh badan usaha tersebut tidak memiliki legalitas. Seperti
misalnya badan usaha yang didirikan oleh yayasan yaitu dibidang pendidikan.
Apabila suatu yayasan pendidikan yang telah dianggap tidak berbadan hukum lagi
karena tidak melakukan penyesuaian anggaran dasar dalam waktu yang telah
ditentukan oleh UU Yayasan tersebut tetap melakukan kegiatannya, misalnya
15
kegiatan belajar mengajar dan penerbitan ijasah siswa yang telah lulus tetap
dilakukan, maka perlu dipertanyakan legalitas status ijasah yang dikeluarkan oleh
yayasan yang dianggap sudah tidak berbadan hukum tersebut. Lalu bagaimanakah
pengaruhnya terhadap pihak ketiga, yang dalam hal ini adalah siswa dalam
yayasan pendidikan tersebut.
Berdasarkan uraian diatas, timbul pertanyaan mengenai bagaimana
eksistensi dari yayasan lama dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 2
Tahun 2013 dan apa akibat hukum dari Akta Perubahan Anggaran Dasar yang
dibuat dihadapan Notaris, terhadap yayasan lama yang sebenarnya sudah tidak
berbadan hukum karena tidak melakukan penyesuaian anggaran dasar sesuai
dengan jangka waktu yang ditetapkan oleh UU Yayasan. Berdasarkan latar
belakang yang telah dikemukakan di atas, maka perlu dilakukan penelitian guna
mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan notaris khususnya mengenai
“EKSISTENSI DAN AKIBAT HUKUM DARI PERUBAHAN ANGGARAN
DASAR YAYASAN BERDASARKAN PP NOMOR 2 TAHUN 2013
TERHADAP YAYASAN LAMA YANG TIDAK BERBADAN HUKUM LAGI
BERDASARKAN KETENTUAN UU YAYASAN.”
Setelah menelusuri kepustakaan, kemudian diketahui bahwa tesis tentang
“Eksistensi dan Akibat Hukum Dari Perubahan Anggaran Dasar Yayasan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 Terhadap Yayasan Lama
Yang Tidak Berbadan Hukum Lagi Berdasarkan Ketentuan UU Yayasan” sampai
saat ini belum ada. Namun, telah ditemukan penelitian serupa meskipun di dalam
penelitian tersebut tidak terdapat kesamaan, dan kemudian penelitian tersebut
16
dijadikan sebagai bahan acuan untuk penelitian tesis berikutnya. Adapun hasil
penelitian tersebut adalah :
1. Tesis Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas
Diponegoro yang dibuat oleh D. Herjuna Wisnu Gautama, SH dengan nomor
mahasiswa B4B000110dengan judul “Tinjauan Yuridis Status Yayasan
Sebagai Badan Hukum Berdasar Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001
(Studi di Kota Semarang)”. Rumusan masalah yang diangkat sebagai berikut :
1. Bagaimanakah praktek pendirian Yayasan sebelum adanya Undangundang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan setelah adanya
Undang-undang tersebut?
2. Apa pengaruh Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
terhadap eksistensi Yayasan yang telah ada?
2. Tesis Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
yang dibuat oleh Basuki Juni Nugraha, SH dengan nomor mahasiswa
B4B003060 dengan judul “Pelaksanaan Pendirian Yayasan Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2008 Di Denpasar” Rumusan masalah yang diangkat sebagai berikut :
1. Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 juncto Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2004 disuratkan bahwa wewenang Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia untuk mengesahkan akta
pendirian Yayasan, serta Pasal 15 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001
dikatakan Yayasan tidak boleh memakai nama yang sudah dipakai oleh
Yayasan lain, lalu bagaimanakah proses pengesahan Yayasan di Denpasar
17
dilakukan dan apa yang harus dilakukan agar tidak terjadi kesamaan nama
Yayasan?
2. Bagaimana tanggung jawab Pendiri dan Pengurus Yayasan baik sebelum
maupun setelah Yayasan disahkan sebagai badan hukum?
3. Tesis Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
yang dibuat oleh Puspo Adi Cahyono, SH dengan nomor mahasiswa
B4B004164 dengan judul “Tinjauan Umum Terhadap Sistem Pengesahan
Yayasan di Indonesia” Rumusan masalah yang diangkat sebagai berikut :
1. Bagaimana sistem pengesahan yayasan di Indonesia dewasa ini?
2. Apakah hambatan-hambatan yang muncul dalam pelaksanaan pengesahan
yayasan di Indonesia dan bagaimana penyelesaian masalahnya oleh
Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia untuk
menyelesaiakan permasalahan yang muncul dalam pengesahan yayasan di
Indonesia?
Dari ketiga tesis tersebut diatas, tidak satupun mengangkat permasalahan
mengenai akibat hukum atas berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
2013 terhadap yayasan lama yang tidak berbadan hukum berdasarkan ketentuan
UU Yayasan. Ketiga tesis diatas lebih menekankan pada penerapan UU Yayasan
dan tidak ada yang mempermasalahkan berlakunya pasal dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013, yang mana Peraturan Pemerintah Nomor 2
Tahun 2013 merupakan Peraturan Pemerintah yang baru diterbitkan di tahun 2013
sebagai perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008. Oleh karena
itu dalam tesis ini penulis mengangkat permasalahan dari berlakunya Peraturan
18
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 khususnya tentang akibat hukum yang timbul
dari adanya pasal yang bertentangan dengan UU Yayasan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan diatas, maka
dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah eksistensi dari yayasan lama dengan berlakunya Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 yang bertentangan dengan Pasal 71
Undang-undang Yayasan?
2. Apa akibat hukum dari akta perubahan anggaran dasar yayasan
berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 2013 dari yayasan lama
yang tidak berbadan hukum lagi berdasarkan ketentuan UU Yayasan?
1.3 Tujuan Penelitian
Penulisan tesis yang berjudul “Eksistensi dan Akibat Hukum Atas
Berlakunya PP Nomor 2 Tahun 2013 Terhadap Yayasan Lama Yang Telah Tidak
Berbadan Hukum Berdasarkan Ketentuan UU Yayasan” ini dilakukan dengan
tujuan umum dan tujuan khusus:
1.3.1 Tujuan Umum :
Adapun tujuan umum yang ingin dicapai oleh penulisan tesis ini adalah :
a. Sebagai upaya peneliti dalam mengembangkan Ilmu Hukum terkait
dengan paradigma “Science is a Process” (ilmu sebagai proses). Dengan
paradigma ini, ilmu tidak akan pernah
19
mandek (final) dalam
penggaliannya atas kebenaran di bidang obyeknya masing-masing.3
b. Untuk dapat menganalisis mengenai eksisitensi dan akibat hukum atas
berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 terhadap yayasan
lama yang tidak berbadan hukum berdasarkan ketentuan UU Yayasan.
c. Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Pasca sarjana
pada program Magister Kenotariatan Pascasarjana Universitas Udayana.
1.3.2 Tujuan Khusus :
Selain tujuan umum, penulisan tesis ini juga memiliki tujuan khusus, yaitu :
a. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis lebih mendalam permasalahan
hukum secara khusus mengenai Bagaimana eksistensi dari yayasan lama
dengan berlakunya Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 2013 yang
bertentangan dengan Pasal 71 UU Yayasan.
b. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis lebih mendalam permasalahan
hukum secara khusus mengenai Apa akibat hukum dari akta perubahan
anggaran dasar berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 2013
dari yayasan lama yang telah tidak berbadan hukum berdasarkan ketentuan
UU Yayasan.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut :
1.4.1 Manfaat Teoritis :
3
Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, 2013, Pedoman
Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Denpasar,
hal. 53
Hasil
penelitian
dalam
tesis
ini
diharapkan
dapat
berguna
20
dalam
pengembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya di bidang kenotariatan dan
dapat dijadikan sebagai bahan kajian dan bahan penelitian lebih lanjut sehingga
memperjelas mengenai eksistensi dan akibat hukum dari perubahan anggaran
dasar yayasan berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 2013 terhadap
yayasan lama yang tidak berbadan hukum lagi berdasarkan UU Yayasan.
1.4.2 Manfaat Praktis :
1. Bagi Notaris, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
masukan dan dapat memberikan informasi dalam menjalankan jabatan
serta kewenangannya dalam membuat akta Yayasan.
2. Bagi pemerintah, masyarakat, dan/atau peneliti sendiri, tesis ini
diharapkan dapat memberikan informasi sekaligus sebagai pemecahan
atau jalan keluar untuk masalah-masalah yang timbul atas eksistensi dan
akibat hukum dari akta perubahan anggaran dasar berdasarkan Peraturan
Pemerintah nomor 2 tahun 2013 dari yayasan lama yang tidak berbadan
hukum lagi berdasarkan ketentuan UU Yayasan.
3. Untuk dapat memberikan sumbangan kepada ilmu pengetahuan hukum
khususnya Hukum Kenotariatan berupa pemecahan masalah atau
setidaknya dapat menyajikan pemikiran ilmiah dari suatu obyek penelitian,
dan tidak merupakan duplikasi atau pengulangan dari penelitian-penelitian
yang telah dilakukan sebelumnya.
1.5 Landasan Teoritis
21
Landasan teoritis dalam tesis ini dibangun berdasarkan konsep, teori, dan
asas yaitu: Konsep Negara Hukum, Teori Jenjang Norma Hukum/Stuffen Theorie,
Teori Badan Hukum, Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik, dan Asas
Preferensi. Adapun penjelasannya sebagai berikut :
a. Konsep Negara Hukum
Sebelum menginjak pada teori dan azas lainnya, penulis mencantumkan
Konsep Negara Hukum dalam tesis ini sebagai dasar berpijak, dimana dalam
konsep negara hukum ini “Negara” merupakan obyek utama pembahasannya.
“Seperti yang dikemukakan Jimly Asshiddiqie dalam bukunya, bahwa negara
masih menjadi pusat perhatian dan objek kajian yang bersamaan dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan umat manusia.”4 Indonesia adalah Negara yang
menganut konsep Negara hukum dalam artian material, dengan sebutan lain
Negara kesejahteraan (welfare state). Sebagaimana pandangan Muchsan yang
menyatakan bahwa :
Indonesia adalah Negara yang menganut konsep Negara hukum dalam artian
material, dengan sebutan lain Negara kesejahteraan (welfare state).
Sebagaimana pandangan Muchsan yang menyatakan bahwa Negara Indonesia
adalah negara kesejahteraan. Hal tersebut dapat dilihat dari salah satu sila dari
Pancasila sebagai dasar falsafah negara, yaitu sila kelima yang berbunyi
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dari bunyi sila kelima
tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan negara Indonesia adalah memberikan
kesejahteraan bagi warga negaranya. Selain itu, dalam alenia keempat
pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (untuk
selanjutnya disebut : UUD 1945) menyebutkan bahwa salah satu tujuan
4
Jimly Asshidiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid 1,
Konstitusi Press bekerjasama dengan PT. Syaamil Cipta Media, Jakarta, hal. 11.
22
pembentukan negara Republik Indonesia adalah memajukan kesejahteraan
umum.5
Pasal 1 ayat (3) bab I Undang Undang Dasar 1945 (untuk selanjutnya
disebut : UUD 1945) Amandemen ketiga, menegaskan bahwa negara Indonesia
adalah Negara hukum, artinya bahwa Negara kesatuan Republik Indonesia adalah
Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) tidak berdasarkan atas
kekuasaan (machtstaat) dan pemerintah berdasarkan sistem konstitusi (hukum
dasar) bukan absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). SF. Marbun dan Moh.
Mahfud MD menyatakan bahwa :
Didalam batang tubuh UUD 1945 tidak ditemukan pernyataan eksplisit bahwa
Indonesia adalah negara hukum. Namun demikian, bukan berarti Indonesia
bukan negara hukum, sebab didalam penjelasan umum UUD 1945 (bagian
sistem pemerintahan negara) secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah
negara hukum (rechtstaat) bukan negara kekuasaan (machtstaat), serta
Indonesia berdasarkan konstitusional bukan absolutisme. Dan jika dikaitkan
dengan ruang lingkup dari tugas pemerintahan maka secara filosofis
konstitusional jelas menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip negara
hukum yang dinamis atau walfare state (negara kesejahteraan). Sebab negara
wajib menjamin kesejahteraan sosial masyarakat.6
Suatu negara tidak serta merta dapat disebut sebagai negara hukum hanya
karena ia telah memiliki hukum, atau karena pemerintah negara tersebut bertindak
selalu berdasarkan atas hukum. Suatu negara disebut negara hukum karena selain
memiliki hukum dan bertindak berdasarkan hukum negara tersebut, juga harus
bertindak demi keperntingan dan kesejahteraan masyarakatnya. Diana Halim
Koentjoro menyatakan, terdapat 3 (tiga) ciri negara yang dapat disebut negara
hukum, yaitu : “supremasi hukum (supremacy of the law), kesetaraan dihadapan
5
Muchsan, 1982, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Liberty,
Yogyakarta, hal. 70
6
SF. Marbun & Moh. Mahfud MD, 1998, Pokok-pokok Hukum Administrasi
Negara, Liberty, Yogyakarta, hal. 52
23
hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara-cara yang
tidak bertentangan dengan hak asasi manusia (constitution based on the human
right).”7
Negara hukum tidak terlepas dari konsep rechtstaat. Menurut P.H.M.
Meuwissen, ciri-ciri rechtstaat adalah :
1. Adanya Undang-Undang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan
tertulis yang memuat hubungan antara penguasa dan rakyat.
2. Adanya pembagian kekuasaan negara yang meliputi kekuasaan pembuatan
undang-undang yang ada di tangan parlemen, kekuasaan kehakiman yang
bebas, juga antara penguasa dari rakyat dan pemerintah yang mendasarkan
tidakannya atas undang-undang (wetmatig bestuur).
3. Diakui dan dilindungi hak kebebasan rakyat (vriheidsrechten van de
burger).8
Atas pendapat Meuweissen tersebut, Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa :
“ciri-ciri yang disebutkan diatas menunjukkan bahwa titik sentral dari rechtstaat
adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang bertumpu
pada prinsip kebebasan dan persamaan.”
9
Kemudian Padmo Wahyono
berpendapat bahwa :
dalam perkembangan teori kenegaraan, pengertian rechstaat acap kali
dikaitkan dengan pengertian demokrasi, sehingga merupakan suatu yang ideal
dalam kehidupan kenegaraan, yaitu pada negara hukum demokratis
(democratis the rechtstaat).Dalam negara hukum, pengakuan dan jaminan
terhadap hak-hak asasi manusia harus dijunjung tinggi.10
7
Diana Halim Koentjoro, 2004, Hukum Administrasi Negara, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hal.34
8
Philipus M. Hadjon, dkk, 2001, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,
Gajah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 130
9
Ibid., hal. 76
10
Padmo Wahyono, 1992, Sistem Hukum Nasional Dalam Negara Hukum
Pancasila, Alumni, Bandung, hal. 82
24
Burkens berpendapat bahwa Indonesia sebagai negara hukum harus memenuhi
syarat umum rechtstaat maupun rule of law. Hal yang mendasari negara hukum
rechtstaat adalah :
1. Asas Legalitas, setiap tindakan pemerintah harus didasarkan atas dasar
pengaturan perundang-undangan (wetelijke gronslag). Dengan landasan
tersebut, Undang-undang dalam arti formal dan Undang-Undang Dasar
sendiri merupakan tumpuan dasar tindakan pemerintah. Dalam hal ini
pembentuk Undang-undang merupakan bagian penting negara hukum.
2. Pembagian kekuasaan, syarat ini mengandung makna bahwa kekuasan
negara tidak boleh bertumpu pada satu tangan.
3. Hak-hak dasar (grondrechten), hak-hak dasar merupakan sasaran
perlindungan hukum bagi rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan
pembentukan Undang-undang.
4. Pengawasan pengadilan, bagi rakyat tersedia saluran melalui pengadilan
yang bebas untuk menguji keabsahan tindakan pemerintah
(rechmatigheids toetsing).
5. Negara hukum Indonesia dirumuskan dalam penjelasan UUD 1945, yaitu
Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat). Sebagai negara hukum, maka
konsep dan pola hukum tersebut disesuaikan dengan kondisi Indonesia,
yaitu dengan menggunakan Pancasila sebagai tolak ukur pandangan
bangsa Indonesia.11
Bertolak dari pendapat-pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa negara
hukum Indonesia merupakan negara hukum yang mempunyai konsep sendiri yaitu
negara hukum yang dijiwai Pancasila. Sebagai negara hukum Pancasila,
pemerintah dan lembaga-lembaga Indonesia lainnya dalam melaksanakan
tindakan-tindakan
apapun
harus
dilandasi
oleh
hukum
atau
dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Setiap tindakan pemerintah haruslah
mempertimbangkan 2 (dua) kepentingan atau 2 (dua) landasan kegunaaannya
(doelmatigheid) dan landasan hukumnya (rechtmatigheid). Harus diusahakan agar
setiap tindakan negara (pemerintah) harus memenuhi kedua kepentingan atau
11
Noor MS. Bakry, 1985, Pancasila Yuridis Kenegaraan, Liberty, Yogyakarta,
hal. 91
25
landasan tersebut karena negara merupakan individu atau subyek yang memiliki
hak dan kewajiban.
Dari pendapat-pendapat tersebut, ternyata asas legalitas merupakan unsur
yang selalu ada dalam upaya memberikan pengertian mengenai negara hukum.
“Sejalan dengan hal tersebut, Moh.Kusnardi dan Bintan R. Saragih menyatakan
bahwa legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya sebagai ciri negara
hukum adalah setiap tindakan baik dari pihak penguasa maupun dari pihak rakyat
harus dibenarkan secara hukum.”12
Dalam kaitannya dengan pokok permasalahan dalam penelitian tesis ini,
maka sesuai dengan konsep negara hukum, agar tercipta suatu tertib hukum
(Negara yang baik), undang-undang dalam arti formal merupakan tumpuan dasar
pemerintahan. Dalam hubungan ini, pembentukan undang-undang merupakan
bagian penting dalam negara hukum, apabila hal ini dilanggar maka Negara atau
suatu tertib hukum tidak akan tercapai. Hal ini sesuai pula dengan teori kedaulatan
hukum, yaitu hukum memegang kedaulatan tertinggi sehingga segala kekuasaan
dalam negara harus berdasarkan atas hukum.
b. Teori Jenjang Norma Hukum atau Stuffen Theorie
Dalam kehidupan hukum, suatu kepastian merupakan salah satu aspek
yang penting karena hukum bertujuan untuk memberikan kepastian kepada
masyarakat. Salah satu hal yang berhubungan erat dengan kepastian tersebut
adalah mengenai darimana hukum itu berasal. Kepastian atas asal atau sumber
12
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, 1980, sususnan Pembagian
Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, PT. Gramedia, Jakarta,
hal. 29
26
hukum tersebut menjadi penting karena hukum kini menjadi lembaga yang
semakin formal. Dalam perkembangan yang demikian, pertanyaan mengenai
“sumber manakah yang kita anggap sah”, menjadi sangat penting. Dalam
kaitannya dengan hierarki norma hukum, Hans Kelsen, seorang ahli filsafat
hukum, mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum (Stuffen
theorie), dimana ia berpendapat bahwa :
norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu
hierarki tata susunan, dimana norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih timggi lagi, demikian
seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut
dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu, norma dasar (Grundnorm).13
Menurut teori jenjang norma (stuffen theorie) ini, dasar negara
berkedudukan sebagai norma dasar (grundnorm) dari sutu negara atau disebut
norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm). Grundnorm merupakan
norma hukum tertinggi dalam negara. Di bawah grundnorm terdapat normanorma hukum yang tingkatannya lebih rendah dari grundnorm tersebut. Normanorma hukum yang bertingkat-tingkat tadi membentuk susunan hierarkis yang
disebut sebagai tertib hukum. Achmad Ali dalam bukunya mengatakan :
Peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang berada di
puncak piramid, dan semakin ke bawah semakin beragam dan menyebar.
Norma dasar teratas adalah bersifat abstrak dan semakin ke bawah semakin
konkret. Dalam proses itu, apa yang semula berupa sesuatu yang ‘seharusnya’,
berubah menjadi sesuatu yang ‘dapat’ dilakukan.14
13
Maria Farida Indarti Suprapto, 1998, Ilmu Perundang-undangan, dasardasar pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, hal. 25
14
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori
Peradilan (Judicialprudence) : Termasuk Interpretasi Undang-undang
(Legisprudence), Volume 1 Pemahaman Awal, Kencana, Jakarta, hal. 62
27
Teori Stuffen ini adalah teori mengenai sistem hukum yang menyatakan
bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang
dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum
yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus
berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm). Menurut
Stuffen Theorie yang dicetuskan oleh Hans Kelsen, Peraturan-peraturan hukum
positif diatur secara pyramidaal (bertingkat-tingkat) dari atas, yaitu dari
grundnorm secara bertingkat-tingkat ke bawah, ke suatu yang melaksanakan
norma-norma hukum tersebut secara konkret. Grundnorm merupakan dasar segala
kekuasaan dan merupakan legalitas Hukum Positif. Hans Kelsen juga
berpendapat :
Dari Grundnorm yang merupakan norma yang masih abstrak, dibentuk satu
susunan norma-norma yang lebih konkret, kemudian dari susunan kedua ini
dibuat suatu susunan dikonkretkan dalam Undang-Undang Dasar; lebih
dikonkretkan lagi dalam Undang-undang, dari Undang-undang ke peraturan
pemerintah, dan seterusnya. Dan akhirnya dalam putusan hakim norma-norma
tersebut diindividualisasi (dipergunakan untuk satu hubungan tertentu dan
dapat dipergunakan).15
Teori Hans Kelsen telah dikembangkan oleh muridnya yang bernama
Hans Nawiasky. Dalam bukunya yang berjudul Allgemeine Rechtslehre, Hans
Nawiasky menyatakan bahwa suatu hukum dari negara manapun selalu berlapislapis dan berjenjang-jenjang, dimana norma yang dibawah berlaku, berdasar, dan
bersumber pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku,
berdasar, dan bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada suatu
norma yang tertinggi yang disebut “norma dasar”.
15
C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2011, Pengantar Ilmu Hukum
Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 380
28
Pada perkembangannya, Stuffen theorie dari Hans Kelsen ini juga
diterapkan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal
tersebut dapat dilihat dari adanya peraturan yang mengatur mengenai tata urutan
peraturan perundang-undangan, yaitu :
1. UUD 1945, Pasal 1 ayat (2);
2. Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1996 tentang Memorandum DPR-GR
mengenai sumber tertib hukum Republik Indonesia dan tata urutan
peraturan perundang-undangan Republik Indonesia.
3. Ketetapan MPRS No. III/MPR/2000 tentang Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan.
4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 sebagaimana telah diganti oleh
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. (selanjutnya disingkat “UU PPPU”)
Sesuai dengan Stuffen theorie, Hans Kelsen dan pengembangannya dalam
tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia pun dijelaskan bahwa
peraturan perundang-undangan berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis, sehingga
peraturan perundang-undangan yang berada dibawah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya, dengan demikian
peraturan perundang-undangan yang berada diatas merupakan landasan bagi
pembentukan peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya. Selain
itu, peraturan perundang-undangan selalu mempunyai dua wajah; apabila keatas,
peraturan tersebut bersumber dan berdasar pada norma yang ada diatasnya, tetapi
29
apabila ke bawah, peraturan tersebut juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi
norma hukum dibawahnya.
Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana tercantum
dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (disingkat
UUD 1945);
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah.
Dalam Pasal 7 Ayat (2) UUPPPU juga ditegaskan bahwa kekuatan hukum
peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 Ayat (1).
Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa :
Stufentheorie Hans Kelsen dan pengembangannya yang menyatakan norma itu
berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis sehingga norma yang berada di bawah
tidak boleh bertentangan dengan norma yang ada di atasnya, diterapkan dalam
UUD 1945. Penerapan Stufen theorie Hans Kelsen dimaksud yaitu lembaga
Negara yang menjalankan kekuasaan kehakiman di Indonesia, dalam hal ini
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, diberikan kewenangan oleh
UUD 1945 untuk menguji peraturan perundang-undangan. Pengujian peraturan
perundang-undangan tersebut biasa disebut dengan istilah “judicial review”.
Obyek yang diuji dalam judicial review tidak hanya mengenai produk hukum
berbentuk undang-undang, tetapi mencakup pula peraturan perundangundangan di bawah undang-undang.16
16
Jimly Asshiddiqie, 2005, Model-model Pengujian Konstitusional di
berbagai Negara, Konstitusi Pers, Jakarta, hal. 4
30
Dalam tesis ini, Teori jenjang norma Stuffen theorie relevan untuk
menganalisa rumusan masalah yang pertama yaitu tentang Bagaimana eksistensi
dari yayasan lama dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013
yang bertentangan dengan Pasal 71 Undang-undang Yayasan. Jknm
c. Teori Badan Hukum
Menurut Friedmann, Teori yang mengkaji dan menganalisa tentang badan
hukum terbagi menjadi lima teori, yaitu teori fiksi, teori konsesi, teori
zweckvermogen, teori kekayaan bersama (teori Ihering), dan teori realis atau
organik. Adapun teori-teori tersebut adalah sebagai berikut :
1. Teori Fiksi.
Teori Fiksi berpendapat bahwa :
kepribadian hukum atas kesatuan-kesatuan lain manusia adalah suatu khayalan.
Kepribadian sebenarnya hanya ada pada manusia. Negara-negara, korporasi,
lembaga-lembaga, tidak dapat menjadi subjek dari hak-hak dan kepribadian,
tetapi diperlukan seolah-olah badan-badan itu manusia. W. Friedmann
menyebutkan bahwa teori fiksi sama sekali bukan teori, tetapi hanya
rumusan.17
Teori Fiksi yang dipelopori oleh Von Savigny ini menjelaskan bahwasanya badan
hukum adalah hanyalah fiksi hukum, maksudnya adalah bahwa sebenarnya badan
hukum itu semata-mata buatan negara saja, yang sesungguhnya tidak ada, tetapi
orang menciptakan dalam bayangannya suatu subjek hukum yang diperhitungkan
sama dengan manusia.
2. Teori Konsesi.
17
W. Friedmann, 1990, Legal Theory (Teori dan Filsafat Hukum Telaah Kritis
Atas Teori-Teori Hukum) (Susunan I, II, dan III), diterjemahkan oleh Muhammad
Arifin, Rajawali, Jakarta, hal. 213
31
Teori ini dikemukakan oleh Gierke. “Teori ini berpendapat bahwa badan
hukum dalam negara tidak memiliki kepribadian hukum, kecuali diperkenankan
oleh hukum, dan ini berarti negara. Teori ini didukung oleh Von Savigny,
Salmond, dan Dicey.”18
3. Teori Zweckvermogen.
Teori ini berpendapat bahwa hak milik badan hukum diperuntukkan dan
mengikat secara sah pada tujuan-tujuan tertentu, tetapi tanpa pemilik (tanpa
subjek). Teori yang dicetuskan oleh Brinz ini juga menganggap bahwa manusia
saja yang dapat memiliki hak-hak.
Jimly Asshiddiqie membagi teori zweckvermogen ke dalam 4 variasi, yaitu:
a. Teori van het ambtelijk vermogen
Teori ini berpandangan bahwa hukum badan hukum adalah badan yang
mempunyai harta yang berdiri sendiri, yang dimiliki oleh pengurus harta itu
karena jabatannya sebagai pengurus harta tersebut. Tokoh teori ini adalah
Holder dan Binder.
b. Teori zweckvermogen atau doel vermogens theorie
Teori ini berpandangan bahwa badan hukum adalah badan yang mempunyai
hak atas harta kekayaan tertentu yang dibentuk bertujuan untuk melayani
kepentingan tertentu. Tokoh teori ini adalah A. Brinz dan F.J. van Heyden.
c. Teori propriete collective
Teori ini berpandangan bahwa dengan adanya tujuan melayani kepentingan
tertentu, bahwa harta kekayaan dimaksud sah untuk diorganisasikan. Tokoh
dalam teori ini adalah Marcel Planiol.
d. Gezammenlijke vermogens theorie
Menurut teori ini, badan hukum hakikatnya merupakan hak dan kewajiban
anggotanya secara bersama-sama didalamnya terdapat harta kekayaan bersama
yang tidak dapat dibagi-bagi. Setiap anggota tidak hanya menjadi pemilik
sebagai pribadi untuk masing-masing bagiannya dalam satu kesatuan yang
tidak dapat dibagi itu, tetapi juga pemilik bersama untuk keseluruhan harta
kekayaan, sehingga masing-masing pribadi anggota adalah pemilik harta
kekayaan yang terorganisasikan dalam badan hukum itu.19
4. Teori Kekayaan Bersama.
18
H. Salim HS., 2012, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali
Pers, Jakarta, hal. 178
19
H. Salim HS., Ibid., hal. 179
32
Teori yang dicetuskan oleh Rodolf von Jhering ini berpendapat bahwa
yang dapat menjadi subyek-subyek hak badan hukum adalah manusia-manusia
secara nyata ada di belakang badan hukum, anggota-anggota badan hukum, pihak
yang mendapat keuntungan dari suatu yayasan.
5. Teori Realitas atau Orgaan.
Reaksi dari adanya ajaran teori fiksi adalah munculnya teori realitas atau
yang lebih dikenal dengan nama teori organ. Pencetus ajaran teori ini adalah Von
Gierke. Menurut Teori ini, badan hukum merupakan suatu realitas yang nyata
bukan fiksi, sama seperti sifat kepribadian alam manusia didalam pergaulan
hukum. Inti teori ini difokuskan pada pribadi-pribadi hukum yang nyata sebagai
sumber kepribadian hukum.
“Teori ini sekaligus menggambarkan tidak adanya perbedaan antara
manusia dengan badan hukum. Pengikut ajaran ini di Belanda yaitu, L.C. Polano
yang terkenal dengan ajarannya leer der volledige realiteit (ajaran realitas
sempurna).”20 Walaupun banyak terdapat teori tentang badan hukum, tetapi tidak
semua teori tersebut cocok untuk diterapkan pada badan hukum. Teori tersebut
haruslah disesuaikan dengan karakteristik yang dimiliki oleh suatu badan hukum.
Dalam tesis ini penulis menggunakan teori badan hukum khususnya teori
harta kekayaan bertujuan (propriete collective) dan teori harta kekayaan yang
dimiliki oleh seseorang karena jabatannya (leer van Het Ambtelijk Vermogen)
sebagai pisau analisis dalam menganalisa rumusan masalah yang kedua yaitu
tentang apa akibat hukum dari akta perubahan anggaran dasar yayasan
20
Anwar Borahima, 2010, Kedudukan Yayasan di Indonesia : Eksistensi,
Tujuan, dan Tanggung Jawab Yayasan, Kencana, Jakarta, hal. 60
33
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 dari yayasan lama yang
tidak berbadan hukum lagi berdasarkan ketentuan Undang-undang Yayasan.
D. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
Istilah asas umum pemerintahan yang baik pertama diperkenalkan oleh De
Monchy di Belanda dalam laporannya dipergunakan istilah Algemene Beginselen
Van Behoorlijke Bestuur yang berkenaan dengan usaha peningkatan perlindungan
hukum bagi rakyat kepada pemerintah.21 Di Indonesia, awalnya keberadaan asasasas umum pemerintahan yang baik ini hanya diakui secara yuridis formal. Saat
pembahasan RUU No. 5 Tahun 1986 di DPR, fraksi ABRI mengusulkan agar
asas-asas itu dimasukan sebagai salah satu gugatan terhadap keputusan
badan/pejabat tata usaha Negara. Namun putusan ini ditolak oleh pemerintah
dengan alasan yang dikemukakan oleh Ismail selaku Menteri Kehakiman saat itu.
Alasan penolakannya adalah karena Indonesia belum memiliki kriteria tentang
algemene beginselen van behoorlijk bestuur tersebut yang berasal dari negeri
Belanda, yang mana Indonesia pada saat itu belum memiliki tradisi administrasi
yang kuat mengakar seperti halnya di negara-negara kontinental tersebut. Tradisi
demikian bisa dikembangkan melalui yurisprudensi yang kemudian akan
menimbulkan norma-norma. “Secara umum prinsip dari Hukum Tata Usaha
Negara kita selalu dikaitkan dengan aparatur pemerintahan yang bersih dan
21
Amrah Muslimin, 1982, Beberapa Asas-Asas Dan Pengertian-Pengertian
Pokok Tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, hal.
140.
34
berwibawa yang konkretisasi normanya maupun pengertiannya masih sangat luas
sekali dan perlu dijabarkan melalui kasus-kasus yang konkret”.22
Pada awalnya, asas-asas umum pemerintahan yang baik dimaksudkan sebagai
sarana perlindungan hukum (rechtsbescherming) dan bahkan dijadikan sebagai
instrumen
untuk
peningkatan
perlindungan
hukum
(verhoodge
rechtsbescherming) bagi warga negara dari tindakan pemerintah. Asas-asas umum
pemerintahan yang baik selanjutnya dijadikan sebagai dasar penilaian dalam
peradilan dan upaya administrasi, di samping sebagai norma hukum tidak tertulis
bagi tindakan pemerintahan.
Menurut SF. Marbun, Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik memiliki arti
penting dan fungsi berikut:
1. Bagi administrasi negara, bermanfaat sebagai pedoman dalam melakukan
penafsiran dan penerapan terhadap ketentuan-ketentuan perundangundangan yang bersifat samar atau tidak jelas.
2. Bagi warga masyarakat, sebagai pencari keadilan, Asas-asas Umum
Pemerintahan yang Baik dapat dipergunakan sebagai dasar gugatan
sebagaimana disebutkan dalam pasal 53 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
3. Bagi hakim Tata Usaha Negara, dapat dipergunakan sebagai alat menguji
dan membatalkan keputusan yang dikeluarkan badan atau pejabat Tata
Usaha Negara.
4. Selain itu, Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik tersebut juga
berguna bagi badan legislatif dalam merancang suatu undang-undang.23
Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yang
22
Ridwan HR, 2008, Hukum administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, hal
253.
23
Nomensen Sinamo, 2010, Hukum Administrasi Negara, Jala Permata
Aksara, Jakarta, hal. 142-143
35
dimaksud dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah meliputi :
kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, keterbukaan, proporsional,
professional dan akuntabilitas. Dalam Bab III Pasal 3 UU No. 28 Tahun 1999
tersebut menyebutkan asas-asas umum penelenggaraan negara meliputi:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Asas kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan
keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara.
Asas tertib penyelenggaraan negara, yaitu asas yang menjadi landasan
keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian
penyelenggara negara.
Asas kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan
umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak
diskriminatif
tentang
penyelenggraan
negara
dengan
tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan
rahasia negara.
Asas proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan
antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.
Asas profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan
dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
Kemudian dalam Pasal 20 ayat 1 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan : “Penyelenggaraan pemerintahan
berpedoman pada asas-asas umum penyelenggaraan negara yang terdiri dari : asas
kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum,
asas keterbukaan, asas efisiensi, asas efektivitas”.
Crince le Roy menyebutkan beberapa asas umum pemerintahan yang baik
yaitu :
1. Asas kepastian hukum (principle of legal security recht zakerheidsbeginsel)
36
2. Asas keseimbangan (principle of proportionality evenredigheidsbeginsel)
3. Asas kesamaan (principle of equality, gelijkheids beginsel)
4. Asas kecermatan (principle of carefulness, zorgvuldigheids beginsel)
5. Asas motivasi pada setiap keputusan pemerintah (principle of motivation,
motiveringsbeginsel).
6. Asas tidak menyalahgunakan kewenangan (principle of non misuse of
competence, verbord van detournament depouvoir).
7. Asas permainan yang wajar (principle of fair play, fair play beginsel)
8. Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibition of
arbitrariness, redelijkgeids beginsel of verbod van willkeur).
9. Asas kepercayaan dan menanggapi pengharapan yang wajar (principle of
meeting raised expectation of gewekte verwachtingen).
10.Asas peniadaan akibat keputusan yang batal (principle of undoing the
consequences of an annulled decision herstel beginsel)
11.Asas perlindungan atas pandangan hidup atau cara hidup pribadi (principle
of protecting the personal way of life, bescherming van de personlijk
levenssfeer)24
Dari uraian asas-asas umum pemerintahan yang baik di atas sangat relevan
digunakan untuk mendukung penelitian ini, pemerintah harus menerapkan asasasas umum pemerintahan yang baik dalam menjalankan pemerintahannya
terutama pada asas kepastian hukum dan asas keadilan khususnya dalam hal
pembuatan dan penerapan peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian tesis
ini digunakan asas kepastian hukum karena “Asas kepastian hukum adalah asas
dalam Negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundangundangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan
Negara.” 25 Asas kepastian hukum memiliki dua aspek, yang satu lebih bersifat
hukum material, yang lain bersifat formal. Aspek hukum material terkait erat
dengan asas kepercayaan. Dalam banyak keadaan asas kepastian hukum
menghalangi badan pemerintahan untuk menarik kembali suatu keputusan.
24
Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, 2005, Hukum Pemerintah Daerah,
Pustaka Setia, Bandung, hal 81.
25
Riawan Tjandra, 2008, Hukum Administrasi Negara, Universitas Atmajaya
Yogyakarta, Yogyakarta, hal 75.
37
Dengan kata lain, asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh
seorang berdasarkan suatu keputusan pemerintah. Jadi demi kepastian hukum,
setiap keputusan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah tidak untuk dicabut
kembali, sampai dibuktikan sebaliknya dalam proses peradilan. Adapun aspek
yang bersifat formal dari asas kepastian hukum membawa serta bahwa ketetapan
yang memberatkan dan ketentuan yang terkait pada ketetapan-ketetapan yang
menguntungkan, harus disusun dengan kata-kata yang jelas. Asas kepastian
hukum memberikan hak kepada yang berkepentingan untuk mengetahui dengan
tepat apa yang dikehendaki daripadanya.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, arti dari kata kepastian adalah
perihal (keadaan) pasti; ketentuan; ketetapan. Memiliki kepastian berarti memiliki
ketetapan dalam pikiran dan bebas dari keraguan. Memiliki ketetapan dalam
pikiran dan bebas dari keraguan. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika
suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas
dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir) dan
logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga
tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Pentingnya kepastian hukum
sesuai dengan Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 perubahan ketiga
bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Hukum berfungsi
sebagai
perlindungan
kepentingan
manusia.
meperhatikan 4 unsur :
1). Kepastian hukum (Rechtssicherkeit)
“Penegakkan
hukum
harus
2). Kemanfaat hukum (Zeweckmassigkeit)
38
3). Keadilan hukum (Gerechtigkeit)
4). Jaminan hukum (Doelmatigkeit)”26
Penegakan hukum dan keadilan harus menggunakan jalur pemikiran yang
tepat dengan alat bukti dan barang bukti untuk merealisasikan keadilan hukum
dan isi hukum harus ditentukan oleh keyakinan etis, adil tidaknya suatu perkara.
“Persoalan hukum menjadi nyata jika para perangkat hukum melaksanakan
dengan baik serta memenuhi, menepati aturan yang telah dibakukan sehingga
tidak terjadi penyelewengan aturan dan hukum yang telah dilakukan secara
sistematis, artinya menggunakan kodifikasi dan unifikasi hukum demi
terwujudnya kepastian hukum dan keadilan hukum.”27
Hukum berfungsi sebagai pelindungan kepentingan manusia, agar
kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan secara profesional.
Pelaksanaan hukum dapat berlangsung normal, damai, dan tertib. Hukum yang
telah dilanggar harus ditegakkan melalui penegakkan hukum. Penegakkan hukum
menghendaki kepastian hukum, kepastian hukum merupakan perlindungan
Yustisiable terhadap tindakan sewenang-wenang. Masyarakat mengharapkan
adanya kepastian hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan
tertib, aman dan damai. Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan
penegakkan hukum. Hukum adalah untuk manusia maka pelaksanaan hukum
26
Dardji Darmodihardjo, Op.Cit., hal. 36
R. Arry Mth. Soekowathy, 2003, “Fungsi Dan Relevansi Filsafat Hukum
Bagi Rasa Keadilan Dalam Hukum Positif”, Jurnal Filsafat, Jilid 35, Nomor 3,
Desember 2003.
27
39
harus memberi manfaat, kegunaan bagi masyarakat jangan sampai hukum
dilaksanakan menimbulkan keresahan di dalam masyarakat. “Masyarakat yang
mendapatkan perlakuan yang baik dan benar akan mewujudkan keadaan yang tata
tentrem raharja. Hukum dapat melindungi hak dan kewajiban setiap individu
dalam kenyataan yang senyatanya, dengan perlindungan hukum yang kokoh akan
terwujud tujuan hukum secara umum: ketertiban, keamanan, ketentraman,
kesejahteraan, kedamaian, kebenaran, dan keadilan.”28
“Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal dalam undang-undang,
melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim
yang satu dengan putusan hakim yang lainnya untuk kasus serupa yang telah
diputuskan.” 29 Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan
dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas
dalam arti tidak menimbulkan keragua-raguan (multi tafsir) dan logis dalam arti ia
menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau
menimbulkan konflik norma.
Dalam menjaga kepastian hukum, peran pemerintah dan pengadilan sangat
penting. Pemerintah tidak boleh menerbitkan aturan pelaksanaan yang tidak diatur
oleh undang-undang atau bertentangan dengan undang-undang. Apabila hal itu
terjadi, pengadilan harus menyatakan bahwa peraturan demikian batal demi
hukum, artinya dianggap tidak pernah ada sehingga akibat yang terjadi karena
adanya peraturan itu harus dipulihkan seperti sediakala. Akan tetapi, apabila
28
Ibid, hal. 295
Peter Mahmud Marzuki. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Kencana, Jakarta,
hal. 158
29
40
pemerintah tetap tidak mau mencabut aturan yang telah dinyatakan batal itu, hal
itu akan berubah menjadi masalah politik antara pemerintah dan pembentuk
undang-undang. Yang lebih parah lagi apabila lembaga perwakilan rakyat sebagai
pembentuk undang-undang tidak mempersoalkan keengganan pemerintah
mencabut aturan yang dinyatakan batal oleh pengadilan tersebut. Sudah barang
tentu hal semacam itu tidak memberikan kepastian hukum dan akibatnya hukum
tidak mempunyai daya prediktibilitas.
Asas Kepastian Hukum adalah asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatuhan, dan keadilan
dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara. Asas kepastian hukum harus
diterapkan dalam setiap peraturan. Tanpa adanya asas tersebut dapat dipastikan
suatu peraturan akan menimbulkan banyak masalah dikemudian hari. Hal ini akan
terjadi karena tidak adanya penghormatan terhadap hak-hak sebagai manusia.
“Keadilan berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, tetapi seorang manusia diberi
kecakapan atau kemampuan untuk meraba atau merasakan keadaan yang
dinamakan adil itu”.30
Asas-asas umum pemerintahan yang baik khususnya asas kepastian
hukum sangat relevan penulis gunakan sebagai pisau analisis atas permasalahan
kedua yaitu tentang apa akibat hukum dari akta perubahan anggaran dasar
yayasan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 dari yayasan
lama yang tidak berbadan hukum lagi berdasarkan ketentuan Undang-undang
Yayasan.
30
Kansil. C.S.T., 1979., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta, hal. 76
41
e. Asas Preferensi.
Asas preferensi terbagi menjadi tiga yaitu Lex superior derogat legi
inferiori, Lex spesialis derogat legi generali, lex posterior derogat legi priori.
Yang dimaksud dengan ketiga asas tersebut adalah sebagai berikut:
a. Lex superior derogat legi inferiori. Artinya, peraturan perundangundangan yang lebih tinggi tingkatannya mengenyampingkan berlakunya
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya, apabila
kedua peraturan perundang-undangan itu memuat ketentuan yang saling
bertentangan.
b. Lex spesialis derogat legi generali. Artinya, peraturan perundangundangan yang bersifat khusus (special) mengenyampingkan berlakunya
peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (general), apabila
kedua peraturan perundang-undangan itu memuat ketentuan yang saling
bertentangan.
c. Lex posterior derogat legi priori. Artinya, peraturan perundang-undangan
yang baru mengenyampingkan berlakunya peraturan perundang-undangan
yang lama, apabila kedua peraturan perundang-undangan itu memuat
ketentuan yang saling bertentangan.
Berdasarkan atas ketentuan Pasal 7 Ayat (2) UU PPPU yaitu “Kekuatan
hukum
Peraturan
Perundang-Undangan
adalah
sesuai
dengan
hierarki
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa
“Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan
setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa
42
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Asas yang dimaksud
tersebut sebagaimana diatur dalam ketentuan penjelasan Pasal 7 Ayat (2) UU
PPPU disebut sebagai asas lex superior derogat legi inferiori.
Berdasarkan atas ketentuan Pasal 7 ayat (2) UUPPPU beserta
penjelasannya tersebut, maka dapat diketahui bahwa peraturan perundangundangan di Indonesia secara jelas telah mengatur mengenai keberlakuan suatu
peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah selaras dengan teori jenjang
norma, hal mana suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak
boleh mengatur suatu hal yang bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam
suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Apabila ada dua norma atau lebih yang isinya mengatur hal yang sama
tetapi substansinya saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya, salah
satu atau lebih dari norma tersebut harus dikesampingkan sehingga hanya satu
norma yang dipilih dan dapat berlaku di masyarakat. Untuk memecahkan
permasalahan
dalam
konflik
norma
tersebut
dapat
dilakukan
dengan
mempergunakan asas preferensi sebagai pisau analisisnya.
Asas lex superior derogat legi inferiori ini mengandung arti bahwa
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan
perundang-undangan tingkat lebih rendah. Asas inihanya berlaku apabila terjadi
pertentangan antara dua peraturan perundang-undangan, tetapi secara hierarki
tidak sederajat. Dalam hal ini yang diperhatikan adalah hierarki peraturan
perundang-undangan, misalnya ketika terjadi pertentangan antara Peraturan
43
Pemerintah (PP) dengan Undang-undang, maka yang digunakan adalah Undangundang karena Undang-undang lebih tinggi derajatnya.
Dalam penulisan proposal tesis ini, asas lex superior derogat legi inferiori
merupakan asas yang relevan dipergunakan sebagai pisau analisis untuk
menjawab rumusan permasalahan pertama, yaitu Bagaimana eksistensi dari
yayasan lama dengan berlakunya Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 2013 yang
bertentangan dengan Pasal 71 Undang-undang Yayasan.
f. Kerangka Pemikiran
Kerangka teoritis yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini sebagai desain
pemikiran yang dapat menjadi kerangka dasar dalam memecahkan permasalahan
penelitian dan keseluruhan pembahasan untuk menjawab rumusan permasalahan
dalam penulisan tesis ini. Berdasarkan atas latar belakang permasalahan yang
diangkat dalam tesis ini yakni beranjak dari adanya konflik norma dengan
diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 sebagai perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 yang bertentangan dengan Pasal 71
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 jo. Undang-undang Nomor 28 Tahun
2004 tentang Yayasan, maka untuk dapat menjawab rumusan permasalahan yang
dibahas dalam tesis ini penulis menggunakan Konsep Negara Hukum sebagai
dasar berpijak (Grand Theory), sedangkan pisau analisisnya menggunakan Teori
Jenjang Norma dan asas preferensi Lex superior derogate legi inferiori untuk
menjawab permasalahan pertama yaitu mengenai eksistensi dari yayasan lama
dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 yang bertentangan
dengan Pasal 71 Undang-undang Yayasan, sedangkan teori Badan Hukum dan
44
asas Kepastian Hukum dipergunakan untuk mengkaji akibat hukum dari akta
perubahan anggaran dasar yayasan berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 2
tahun 2013 dari yayasan lama yang tidak berbadan hukum lagi berdasarkan
ketentuan UU Yayasan.
Bagan Kerangka Pemikiran :
Latar Belakang
Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah
Yayasan Lama
eksistensi dari
yang telah
yayasan lama
kehilangan status
dengan
badan hukumnya
berlakunya
dan tidak bisa
Peraturan
melakukan
Pemerintah
penyesuaian
Nomor 2
Tahun 2013
anggaran dasar
yang
karena telah habis
bertentangan
jangka waktu
dengan Pasal
untuk melakukan
71 Undangpenyesuaian
undang
menurut Pasal 71
Yayasan ?
UU Yayasan, kini
dapat kembali
melakukan
penyesuaian
anggaran dasar
dengan terbitnya
PP Nomor 2
Tahun 2013. PP
Nomor 2 Tahun
2013 yang
mengesampingka
n isi Pasal 71 UU
Yayasan tersebut
menimbulkan
konflik norma
antara UU dan PP
Teori
Korelasi dan Hasil
konsep Negara
Hukum
sebagai dasar
berpijak
(Grand
Theory),
sedangkan
pisau
analisisnya
menggunakan
teori Jenjang
Norma dan
asas preferensi
Lex superior
derogate legi
inferiori,
- Teori Jenjang Norma
dan Asas lex superior
derogat legi inferiori
merupakan asas yang
dipergunakan
sebagai
pisau analisis untuk
menjawab
pokok
permasalahan pertama,
yaitu substansi ketentuan
pasal 71 UU Nomor 16
Tahun 2001 jo. UU
Nomor 28 Tahun 2004
tentang
Yayasan
dikesampingkan
oleh
ketentuan
dalam
Peraturan
Pemerintah
Nomor 2 Tahun 2013
Tentang Perubahan atas
Peraturan
Pemerintah
Nomor 63 Tahun 2008
yang
merupakan
peraturan pelaksana UU
Yayasan.
- Eksistensi dari yayasan
lama dengan berlakunya
PP Nomor 2 Tahun 2013
adalah tidak sah karena
substansi yang diatur
dalam PP Nomor 2
Tahun
2013
bertentangan
dengan
Pasal 71 UU Yayasan.
Berdasarkan
teori
45
Jenjang Norma dan teori
Lex superior derogate
legi inferiori, secara
hierarki
peraturan
perundang-undangan
yang lebih rendah tidak
boleh
bertentangan
dengan peraturan yang
lebih tinggi, apabila
terjadi maka peraturan
yang lebih tinggi dapat
mengesampingkan
peraturan yang lebih
rendah.
tersebut.
2. Apa
akibat
hukum
dari
akta
perubahan
anggaran dasar
yayasan
berdasarkan
Peraturan
Pemerintah
nomor 2 tahun
2013
dari
yayasan lama
yang
tidak
berbadan
hukum
lagi
berdasarkan
ketentuan UU
Yayasan?
teori Badan
Hukum dan
asas Kepastian
Hukum
dipergunakan
untuk
mengkaji
akibat hukum
dari akta yang
diterbitkan
berdasarkan
PP Nomor 2
Tahun 2013
- Teori Badan Hukum
menegaskan mengenai
suatu yayasan harus
berbadan hukum dan
akibatnya apabila akta
perubahan
anggaran
dasar yayasan dibuat
berdasarkan PP Nomor 2
Tahun 2013 adalah akta
tersebut
dapat
dibatalkan.
Teori
Kepastian
Hukum
mengkaji bahwa akta
yang dapat dibatalkan
tersebut
tidak
memberikan kepastian
hukum bagi masyarakat
khususnya bagi para
pihak.
1.6 Metode Penelitian
a. Jenis Penelitian
Dalam pembuatan tesis ini, peneliti menggunakan jenis penelitian hukum
normatif yaitu : “suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran
46
berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif.” 31 Metode penelitian
hukum normatif bersumber pada sistematika peraturan perundang-undangan yang
merupakan sumber hukum tertulis yaitu aturan-aturan hukum mengenai yayasan.
Ciri-ciri Penelitian Hukum Normatif adalah :
1. Beranjak dari adanya kekosongan norma, kekaburan norma, dan/atau
konflik norma;
2. Tidak menggunakan hipotesis;
3. Menggunakan landasan teoritis;
4. Menggunakan bahan hukum yang terdiri dari Bahan Hukum Primer dan
Bahan Hukum Sekunder.32
Menurut Philipus M. Hadjon :
penelitian hukum normatif tidak ada pengumpulan data karena data bermakna
empiris. Penelitian hukum normatif tidak menggunakan analisis kwantitatif
(statistik). Seorang peneliti tidak boleh membatasi kajiannya hanya pada satu
undang-undang saja, tetapi harus melihat keterkaitan Undang-undang tersebut
dengan peraturan perundang-undangan lainnya.33
Peneliti menggunakan jenis penelitian hukum normatif dalam tesis ini
karena adanya konflik norma dalam pengaturan mengenai yayasan lama, yang
diatur oleh Undang-undang No. 28 Tahun 2004 jo. UU No. 16 Tahun 2001
tentang Yayasan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 yang
merupakan peraturan pelaksana dari Undang-undang Yayasan tersebut.
b. Jenis Pendekatan
Ada beberapa metode pendekatan dalam penelitian normatif, yaitu pendekatan
perundang-undangan (Statute Approach), Pendekatan Analisis Konsep Hukum
(Analitycal Conceptual Approach), Pendekatan Perbandingan (Comparitive
31
Jhony Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif,
Bayu Publising, Malang, hal. 57
32
Philipus M. Hadjon, 1997, Penelitian Hukum Normatif (Kumpulan Tulisan),
Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 1-2
33
Ibid.
47
Approach), Pendekatan Sejarah (Historical Approach), Pendekatan Filsafat
(Philosophical Approach), dan Pendekatan Kasus (Case Approach).34
Untuk kedalaman pengkajian atas permasalahan dalam tesis ini, sebagai
penelitian hukum normatif, pendekatan yang digunakan adalah :
1.
Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach).
Pendekatan Perundang-undangan adalah pendekatan konseptual yang
terkait dengan permasalahan serta penerapannya di masyarakat. “Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengungkapkan kenyataan tentang bagaimana
peraturan perundang-undangan tersebut serasi secara vertical maupun secara
horizontal, apabila menyangkut perundang-undangan yang sederajat mengenai
bidang yang sama.”35
Dalam menggunakan metode pendekatan perundang-undangan, perlu
memahami hierarki dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan.
Pendekatan perundang-undangan dalam tesis ini mengkaji konflik norma hukum
khususnya pada Pasal 71 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 jo. Undangundang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 2 Tahun 2013 yang merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 63 tahun 2008 tentang pelaksanaan undang-undang tentang yayasan,
khususnya pada Pasal 15A dan Pasal 37A mengenai penyesuaian kembali yayasan
lama yang belum berstatus badan hukum.
2.
Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitycal Conceptual Approach).
34
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Fajar Inter Pratama
Offset, Jakarta, hal. 93-137
35
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif
Suatu Kajian Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 74
48
Merupakan suatu kerangka teoritis dan konseptual yang antara lain berisi
tentang pengkajian terhadap teori-teori, definisi-definisi tertentu yang dipakai
sebagai landasan pengertian dan landasan operasional dalam pelaksanaan
penelitian. Teori-teori dan konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian
hukum ini adalah Konsep Negara Hukum, Teori Jenjangan Norma, Teori Badan
Hukum, dan Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori.
c. Sumber Bahan Hukum
“Bahan Hukum yang dipergunakan dalam penelitian hukum normatif ini adalah
dari hasil penelitian kepustakaan. Dengan demikian, bahan hukum yang
dipergunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
hukum tersier”36
1. Bahan Hukum Primer
Merupakan bahan hukum yang mengikat dan terdiri atas asas dan kaidah
hukum, misalnya bahan hukum yang dikodifikasikan atau dibukukan,
Peraturan Dasar, Konvensi Ketatanegaraan, Peraturan Perundang-undangan,
Yurisprudensi, Traktat, Keputusan Tata Usaha Negara, hukum yang tidak
tertulis.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan bahan hukum primer yaitu :
a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata),
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan,
36
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas
Indonesia Press, Jakarta, hal. 52
49
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
2001 tentang Yayasan,
d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2008 tentang
pelaksanaan undang-undang tentang Yayasan,
e. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63
Tahun 2008 tentang pelaksanaan undang-undang tentang Yayasan,
f. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan.
2. Bahan Hukum Sekunder
Merupakan bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer
dan dapat membantu penganalisisan dan pemahaman terhadap bahan hukum
primer, misalnya buku-bukuliteratur hukum (text book), jurnal-jurnal hukum,
karya tulis hukum, atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media
massa, dan bahan hukum yang diperoleh melalui electronic research yaitu
melalui internet yaitu dengan mencopy (download) bahan hukum yang
diperlukan, dengan menyebut situsnya. “Keunggulan dalam penggunaan
internet antara lain : efisisen, tanpa batas (without boundry), terbuka selama 24
jam, interaktif dan terjalin sekejap (hyperlink).”37
3. Bahan Hukum Tersier
37
Budi Agus Riswadi, 2003, Hukum Internet, UII Press, Yogyakarta, hal. 325
50
“Merupakan bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus (hukum),
ensiklopedia.”38 Dalam penelitian ini yang digunakan adalah Kamus Hukum dan
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Adapun teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan metode bola salju (snowball method). Metode bola salju
adalah metode bola menggelinding secara terus menerus yang mengacu kepada
peraturan perundang-undangan dan daftar pustaka yang berkaitan dengan ide serta
konsep – konsep yang berkaitan dengan yayasan dan kemudian disusun secara
sistematis untuk mencari keterkaitan suatu konsep hukum atau proposisi hukum
antara peraturan perundang-undangan yang sederajat atau tidak sederajat secara
sistematis.
e. Teknik Analisis Bahan Hukum
Bagi penelitian hukum normatif yang hanya mengenal data sekunder saja,
pengolahan dan penganalisaan bahan hukum tersebut tidak bisa melepaskan diri
dari berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum. Teknik analisis
penelitian bahan hukum ini diawali dengan pengumpulan bahan hukum. “Bahan
hukum yang dikumpulkan kemudian dianalisis secara normatif kualitatif.” 39
Bahan-bahan hukum yang terkumpul, baik dari bahan hukum primer maupun
38
Amirudin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
cetakan ke-6, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal 32
39
Maria S.W. Sumardjono, 1989, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian,
Fakultas Hukum UGM, hal. 25
51
sekunder akan diolah dan dianalisis melalui langkah-langkah diskripsi,
interpretasi, sistematisasi, eksplanasi, dan argumentasi.
Deskripsi mencakup isi maupun struktur hukum positif. Dalam deskripsi
dilakukan kegiatan untuk menggambarkan isi atau makna dari suatu aturan
hukum. Pada tahap ini dilakukan pemaparan serta penentuan makna dari
aturan-aturan hukum yang terdapat didalam peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan deskripsi tersebut, selanjutnya dilakukan interpretasi atau
penafsiran secara normatif terhadap proposisi-proposisi yang dijumpai untuk
kemudian disistematisasi dan dievaluasi atau dianalisa isinya (content
analysis).40
Pada tahap sistematisasi dilakukan pemaparan terhadap hubungan
hierarkis antara aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan isu hukum dan
penelitian ini. Pada tahap ini juga akan dilakukan penyerasian antara aturan-aturan
hukum yang bertentangan/konflik sehingga maknanya dapat dipahami secara logis.
Selanjutnya pada tahap eksplanasi dilakukan analisis terhadap makna yang
terkandung dalam aturan-aturan hukum sehingga keseluruhannya membentuk
kesatuan yang saling berhubungan secara logis. Kemudian pada tahap yang
terakhir adalah tahap argumentasi yaitu dikemukakan pendapat atau pandangan
penulis terhadap bahan-bahan hukum yang telah dideskripsikan, disistematisasi,
dan dieksplanasi untuk diperoleh kesimpulan atas dua permasalahan yang dikaji
dalam penulisan tesis ini.
40
Sumandi Suryabrata, 1989, Metodelogi Penelitian, CV. Rajawali, Jakarta,
hal. 85
BAB II
52
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum tentang Badan Hukum
Suatu badan dapat dikatakan mempunyai atribut sebagai badan hukum
apabila undang-undang menetapkan atau menyatakan demikian. Ada beberapa
syarat agar suatu badan/badan usaha atau perkumpulan dapat disebut sebagai
badan hukum terkait dengan sumber hukum, khususnya sumber hukum formal,
yaitu :
1. Syarat berdasarkan ketentuan perundang-undangan,
2. Syarat berdasar pada hukum kebiasaan dan yurisprudensi,
3. Syarat berdasar pada pandangan doktrin.
Syarat berdasarkan ketentuan perundang-undangan yaitu berdasarkan
ketentuan Pasal 1653 KUH Perdata terdapat 2 (dua) cara yaitu :
1. dinyatakan dengan tegas bahwa suatu organisasi adalah merupakan
badan hukum
2. tidak dinyatakan secara tegas tetapi dengan peraturan sedemikian
rupa bahwa badan itu adalah badan hukum. oleh karena itu, dengan
peraturan dapat ditarik kesimpulan bahwa badan itu adalah badan
hukum.1
Berdasarkan Pasal 1653 KUH Perdata tersebut, semua perkumpulan
swasta dianggap sebagai badan hukum dan untuk itu diperlukan pengesahan
1
Anwar Borahima, 2010, Kedudukan Yayasan di Indonesia : Eksistensi, Tujuan,
dan Tanggung Jawab Yayasan, Kencana, Jakarta, hal. 23
53
aktanya dengan meninjau atas tujuan dan aturan-aturan lainnya dari perkumpulan
tersebut. Pengesahan merupakan syarat formal yang harus dipenuhi oleh
perkumpulan yang berbadan hukum. Jadi pengesahan pemerintah mutlak
diperlukan untuk mendirikan suatu badan hukum. “Dalam perkembangan
yurisprudensi Indonesia dicapai suatu pendapat Pengadilan Negeri yang
menyatakan bahwa pengesahan sebagai badan hukum dari Menteri Kehakiman
adalah syarat mutlak bagi berdirinya suatu perseroan Terbatas sebagaimana tertera
dalam Putusan Pengadilan Negeri Semarang No. 224/1950/Perdata, tertanggal 17
Maret 1951.”2
Syarat berdasar pada hukum kebiasaan dan yurisprudensi digunakan
apabila tidak ditemukan syarat-syarat badan hukum dalam peraturan perundangundangan dan doktrin karena hukum kebiasaan dan yurisprudensi merupakan
sumber hukum formal. Menurut hukum kebiasaan dan yurisprudensi, suatu badan
hukum dikatakan ada apabila terdapat pemisahan kekayaan, ada penunjukan suatu
tujuan tertentu, dan ada penunjukan suatu organisasi tertentu.
Salah satu contoh tentang penentuan badan hukum melalui yurisprudensi
adalah yayasan. Putusan Mahkamah Agung No. 124K/Sip/1973, tanggal 27 Juni
1973 tentang kedudukan suatu yayasan sebagai badan hukum dalam kasus
Yayasan Dana Pensiun HMB. Keputusan lainnya adalah Putusan Mahkamah
Agung No. 476 K/Sip/1975, tanggal 8 Mei 1975, tentang kasus perubahan Wakaf
Al Is Af menjadi Yayasan Al Is Af. 3 Jadi berdasarkan hukum kebiasaan dan
yurisprudensi, suatu badan dikatakan sebagai badan hukum apabila memenuhi
2
3
Ibid., hal 24
Ibid., hal. 25
54
syarat materiil dan syarat formil. Syarat materiil agar dikatakan sebagai badan
hukum adalah harus adanya pemisahan kekayaan, harus ada tujuan, dan ada
pengurus. Sedangkan syarat formilnya adalah didirikan dengan akta autentik.
Setelah adanya Undang-undang Yayasan, pengesahan dan pengumuman
merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh yayasan.
Syarat berdasarkan doktrin atau pandangan para ahli juga dapat
menentukan suatu badan dikatan sebagai badan hukum. Ada beberapa doktrin
atau pandangan para ahli yang menyebutkan syarat badan hukum, yaitu :
a. Menurut Meijers4 :
Suatu badan untuk dapat disebut sebagai badan hukum harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
1. terdapat harta kekayaan terpisah lepas dari kekayaan anggotanya
2. ada kepentingan bersama yang diakui dan dilindungi oleh hukum
3. kepentingan tersebut haruslah stabil atau tidak terikat pada suatu waktu
yang pendek saja, namun juga untuk waktu yang panjang
4. harus dapat ditunjukkan harta kekayaan tersebut tersendiri, yang tidak
hanya untuk obyek tuntutan saja, tetapi juga untuk pemeliharaan
kepentingan tertentu yang terlepas dari kepentingan anggotanya.
b. Menurut Sri Soedewi Masychun Sofwan5 :
4
Lisman Iskandar, 1977, Aspek Hukum Yayasan Menurut Hukum Positif Di
Indonesia, Majalah Yuridika No. 5 & 6 Tahun XII, September-Desember 1997,
hal. 24
5
Sri Soedewi Masychun Sofwan, tanpa tahun, Hukum Badan Pribadi, Yayasan
Badan Penerbit Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 29
55
Suatu status badan hukum dapat diberikan untuk wujud-wujud tertentu,
yaitu :
1. perhimpunan
atau
kumpulan
orang-orang
yang
bersama-sama
bertujuan untuk mendirikan suatu badan
2. kumpulan harta kekayaan yang dipisahkan untuk tujuan-tujuan tertentu
c. Menurut Ali Rido6 :
Suatu perkumpulan/perhimpunan harus memenuhi 4 (empat) syarat untuk
dapat dikatakan sebagai badan hukum, yaitu :
1. ada harta kekayaan yang terpisah
2. memiliki tujuan tertentu
3. memiliki kepentingan tersendiri
4. adanya organisasi yang teratur
d. Menurut Soeroso7 :
Suatu badan hukum dalam keikutsertaannya dalam pergaulan hukum harus
memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum, yaitu :
1. memiliki kekayaan yang terpisah dari anggota-anggotanya
2. hak dan kewajiban badan hukum terpisah dari hak dan kewajiban
anggotanya
e. Menurut Rudhi Prasetya8 :
Atribut badan hukum pada suatu badan/perkumpulan hanya ada apabila
undang-undang menentukan demikian, dan undang-undang menentukan
6
Anwar Borahima, op. cit., hal. 27
Soeroso, 1999, Perbandingan Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 147
8
Rudhi Prasetya, 1995, Dana Pensiun sebagai Badan Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 35
7
56
demikian apabila dipandang perlu. Ada 2 (dua) teknik yang dilakukan oleh
undang-undang, yaitu undang-undang secara tegas menyatakan suatu
badan adalah badan hukum, dan karakteristik yang diberikan oleh
ketentuan undang-undang atas suatu badan.
Dari pendapat para ahli atau doktrin tersebut dapat disimpulkan bahwa
para ahli menekankan adanya pemisahan harta dalam suatu badan hukum.
Kemudian adanya tujuan tertentu, dan adanya organisasi sangat diperlukan.
Sementara syarat formal yaitu adanya akta tidak ada satu pun para ahli yang
mempersyaratkannya. Hal ini dikarenakan, “Meijers menempatkan badan hukum
diluar hukum perjanjian. Menurut Meijers badan hukum tidak terjadi karena
persetujuan tetapi karena perbuatan hukum.” 9 “Selain dengan akta, ada pula
beberapa yayasan yang didirikan berdasarkan peraturan pemerintah, seperti
yayasan yang diperuntukkan untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) di Indonesia, serta yayasan yang dibentuk berdasarkan keputusan
presiden (keppres) seperti yayasan yang didirikan oleh Soeharto.”10
Menurut Subekti, badan hukum adalah : “suatu badan atau perkumpulan
yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia
serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim”11.
Kemudian Rachmat Soemitro mendefinisikan badan hukum (rechtpersoon)
sebagai “suatu badan yang dapat mempunyai harta, hak, serta kewajiban seperti
9
Meijers, E.M., 1948, De Algemene Begrippen van het Burgerlijk Recht, Leiden
Universitaire Press, hal. 47
10
Anwar Borahima, Op. cit., hal. 29
11
Subekti, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Inter Masa, Jakarta, hal. 182
57
orang pribadi”. 12 Wirjono Projodikoro berpendapat bahwa badan hukum adalah
“badan yang disamping manusia perseorangan juga dianggap dapat bertindak
dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan
perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain.13
Menurut J.J. Dormeieristilah badan hukum dapat diartikan sebagai berikut :
a. Persetujuan orang – orang yang di dalam pergaulan hukum bertindak selaku
seorang saja.
b. Yayasan, yaitu suatu harta atau kekayaan, yang dipergunakan untuk suatu
maksud yang tertentu, yayasan itu diperlukan sebagai oknum.
Menurut E. Utrecht dalam Kansil, badan hukum (recht persoon) yaitu
“badan yang menurut hukum berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak,
selanjutnya dijelaskan bahwa badan hukum ialah setiap pendukung hak yang tidak
berjiwa atau lebih tepat yang bukan manusia.”14
Sedangkan menurut Sri Soedewi Maschun Sofwanmenerangkan bahwa
manusia adalah badan pribadi (itu adalah manusia tunggal). Selain dari manusia
tunggal, dapat juga oleh hukum diberikan kedudukan sebagai badan pribadi
kepada wujud lain, disebut badan hukum yaitu “kumpulan dari orang – orang
bersama mendirikan suatu badan (perkumpulan) dan kumpulan harta kekayaan,
yang ditersendirikan untuk tujuan tertentu (yayasan) kedua-duanya merupakan
12
Rachmat Soemitro, 1979, Penuntutan Perseroan Terbatas dengan Undangundang Pajak Perseroan, PT. Eresco, Bandung, hal. 36
13
Wirjono Projodikoro, 1966, Azas-azas Hukum Perdata, Sumur Bandung,
Bandung, hal. 84
14
Kansil, C.S.T. dan Christine Kansil, Op.cit, hal. 2
58
badan hukum.”15
Berdasarkan rumusan tersebut, maka badan hukum diartikan sebagai :
a. badan atau perkumpulan,
b. memiliki harta kekayaan sendiri,
c. pendukung hak dan kewajiban,
d. dapat bertindak dalam hukum atau disebut juga dengan subyek hukum,
e. dapat digugat dan menggugat didepan Pengadilan.
Dalam
ilmu
hukum,
Subyek
hukum
ada
dua
yakni
orang
(natuurlijkpersoon) dan badan hukum (rechtpersoon). Suatu badan hukum atau
orang disebut sebagai subyek hukum karena menyandang hak dan kewajiban
hukum. Sebagai subyek hukum, badan hukum juga memiliki kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum sebagaimana subyek hukum orang atau individu.
Dengan kondisi perkembangan masyarakat sekarang ini, untuk dapat
dikatakan cakap untuk bertindak dalam hukum tidak hanya terbatas pada orang
saja, tetapi juga hal lain yang disebut badan hukum (rechtperson). Chaidir Ali
memberikan definisi subyek hukum sebagai berikut :
“Subyek hukum adalah manusia yang berkepribadian (legal personality) dan
segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan. Masyarakat oleh hukum
diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban.”16
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa subyek hukum terdiri dari:
a. Manusia (naturlijke person) yang disebut orang dalam bentuk manusia atau
15
16
Kansil, C.S.T. dan Christine Kansil, Op.cit, hal. 9
Chaidir Ali, 1997, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hal. 7
manusia pribadi,
59
b. Rechts Persoon yang disebut orang dalam bentuk badan hukum atau orang
yang diciptakan hukum secara fiksi atau persona ficta.
Badan hukum ini oleh hukum diberi status sebagai “persoon” yang
mempunyai hak dan kewajiban badan hukum sebagai pembawa hak dapat
melakukan/bertindak sebagai pembawa hak manusia, yaitu badan hukum dapat
melakukan persetujuan – persetujuan memiliki kekayaan yang sama sekali
terlepas dari kekayaan anggotanya.17
Dalam Pasal 1653 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan
mengenai adanya 3 jenis badan hukum, yaitu:
1. Yang diadakan oleh kekuasaan atau pemerintah atau negara;
2. Yang diakui oleh kekuasaan;
3. Yang diperkenankan dan yang didirikan dengan tujuan tertentu yang
tidak bertentangan dengan Undang-Undang atau kesusilaan biasa juga
disebut dengan badan hukum dengan konstruksi keperdataan.
Secara umum badan hukum dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu badan
hukum publik dan badan hukum privat;
1. Badan hukum publik adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum
publik atau orang banyak dan bergerak di bidang publik atau yang menyangkut
kepentingan negara atau umum, Badan hukum ini merupakan badan negara
17
C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, Op.cit, hal. 9
60
yang dibentuk oleh yang berkuasa berdasarkan perundang-undangan, yang
dijalankan oleh pemerintah atau badan yang ditugasi untuk itu, contohnya :
a) Negara Indonesia, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
b) Daerah Provinsi dan daerah Kabupaten/Kota, berdasarkan Pasal 18,
18A, dan 18B UUD 1945 jo. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda tersebut telah mengalami
revisi sebanyak 2 kali)
c) Badan Usaha Milik Negara berdasarkan Undang-undang Nomor 19
Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
d) Pertamina, didirikan berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971
tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara
2. Sedangkan badan hukum privat adalah badan hukum yang didirikan atas dasar
hukum perdata atau hukum sipil yang bergerak dibidang privat atau
menyangkut kepentingan orang atau individu-individu yang termasuk dalam
badan hukum tersebut. Badan hukum ini merupakan badan swasta yang
didirikan oleh sejumlah orang untuk tujuan tertentu, seperti mencari laba,
sosial/kemasyarakatan, politik, dan ilmu pengetahuan dan teknologi,
contohnya:
a. Perseroan Terbatas (PT), pendiriannya berdasarkan Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
61
b. Koperasi, pendiriannya berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun
1992 tentang Koperasi
c. Yayasan, pendiriannya berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun
2001 tentang Yayasan jo. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004
tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001
d. Partai Politik, pendiriannya berdasarkan Undang-undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Parpol jo. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008
Badan Hukum harus memenuhi 2 syarat, yaitu :
1. Syarat Materiil, yaitu : adanya pemisahan harta kekayaan, adanya tujuan
tertentu, ada pengurus
2. Syarat formil, yaitu : didirikan dengan akta autentik, mendapatkan pengesahan
Menteri
Dengan terpenuhinya syarat tersebut, maka suatu badan hukum akan diakui
eksistensinya oleh negara.
2.2 Yayasan
a. Sejarah Yayasan di Indonesia
Yayasan sudah lama ada dan telah dikenal oleh manusia sejak awal sejarah.
Sejak semula yayasan dikenal sebagai suatu badan hukum yang bersifat nirlaba,
dimana telah dipisahkan suatu harta dari harta kekayaan pribadi seseorang, yang
kemudian dipergunakan untuk suatu tujuan sosial dan keagamaan, dan
62
pengurusannya diserahkan kepada suatu badan pengurus untuk dikelola dengan
baik dan penuh tanggung jawab. Di negara Amerika Serikat dan Inggris, yayasan
disebut Foundation, sedangkan di negara Belanda disebut Stichting.
Yayasan dengan tujuan khusus pun seperti “keagamaan dan pendidikan” sudah
sejak lama pula ada. Lebih dari seribu tahun sebelum lahirnya Nabi Isa, Para
Pharaoh telah memisahkan sebagian kekayaannya untuk tujuan keagamaan.
Xenophon mendirikan yayasan dengan cara menyumbangkan tanah dan
bangunan untuk kuil bagi pemujaan kepada Artemis, pemberian makanan dan
minuman bagi yang membutuhkan, dan hewan-hewan korban. Plato, pada saat
menjelang kematiannya pada tahun 347 sebelum masehi, memberikan hasil
pertanian dari tanah yang dimilikinya untuk disumbangkan selama-lamanya
bagi academia yang didirikannya. Ini mungkin merupakan yayasan pendidikan
pertama di dunia.18
Hal tersebut memperlihatkan bahwa lebih dari seribu tahun sebelum
masehi tokoh-tokoh sosial dan kemanusiaan di masa lalu telah menerapkan
prinsip-prinsip universal yayasan. “Di Belanda, yayasan (stichtingen) ini pada
tahun 1956 barulah diatur dengan Wet op Stichtingen van 31 Mei 1956, yang
mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1957,”19 “namun pada tahun 1882 Belanda
telah memiliki yurisprudensi tentang yayasan.”20
Dari sejak awal yayasan didirikan bukan untuk tujuan komersial atau
untuk mencari keuntungan, melainkan bertujuan untuk membantu atau
meningkatkan kesejahteraan hidup orang lain. Di Indonesia, sebelum berlakunya
Undang-undang Yayasan, yayasan telah diakui sebagai badan hukum berdasarkan
18
Chatamarrasyid, 2000, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan
Laba, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 1
19
Pitlo, 1986, Het, Nederlands Burgelijke Wet Boek deel 1 A, Het Rechts
Personenrecht, Gouda Quint, B.V. Arnhem, hal. 7
20
Gatot Supramono, 2008, Hukum Yayasan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta,
hal. 3
63
atas kebiasaan dan Yurisprudensi. Yayasan saat itu berdiri dan menjalankan
kegiatannya menggunakan hukum kebiasaan yang ada dalam praktik.
Yurisprudensi yang digunakan untuk mengatur mengenai yayasan sebagai
badan hukum adalah Putusan Mahkamah Agung. Salah satu contoh yurisprudensi
tentang yayasan sebagai badan hukum adalah :
Putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Juni 1973 Nomor 124 K/SIP/1973 telah
mempertimbangkan kedudukan suatu yayasan sebagai badan hukum, dimana
dalam pertimbangan putusannya tersebut Mahkamah Agung telah
membenarkan putusan Judex Factie bahwa Yayasan Dana pensiun H.M.B.
didirikan di Jakarta dengan nama “Stichting Pensiunfonds H.M.B. Indonesie”
dan bertujuan untuk menjamin keuangan para anggotanya. Bahwa para
anggotanya ialah pegawai NV. H.M.B., mempunyai pengurus sendiri terlepas
dari NV. H.M.B., dan yayasan tersebut mempunyai harta sendiri, antara lain
harta benda hibah dari NV. H.M.B. (Akte Hibah). Bahwa dengan demikian
yayasan tersebut merupakan suatu badan hukum.21 Keputusan lainnya adalah
Putusan Mahkamah Agung No. 476K/Sip/1975, tanggal 8 Mei 1975, tentang
kasus perubahan Wakaf Al Is Af menjadi Yayasan Al Is Af.22
Sebelum berlakunya Undang-undang Yayasan, tidak ada satupun
peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus tentang Yayasan di
Indonesia. Selain itu, tampak di masyarakat bahwa peranan yayasan di berbagai
sektor, misalnya di sektor sosial, pendidikan dan agama sangat menonjol. Oleh
karena itu lembaga tersebut hidup dan tumbuh berdasarkan kebiasaan yang hidup
didalam masyarakat. Namun demikian, tidaklah berarti bahwa di Indonesia sama
sekali tidak ada ketentuan yang mengatur tentang yayasan.
Secara sporadik di beberapa undang-undang disebut adanya yayasan,
seperti ; Pasal 365, Pasal 899, 900, 1680 KUHPerdata, kemudian dalam Pasal 6
ayat (3), dan Pasal 236 Rv, serta Pasal 2 ayat (7) Undang-undang Kepailitan
21
C. Ali, 1999, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hal. 91
Anwar Borahima, 2010, Kedudukan Yayasan di Indonesia : Eksistensi, Tujuan
dan Tanggung Jawab Yayasan, Kencana, Jakarta, hal. 24
22
64
(Faillissements-verordening). 23 Selain itu, di dalam Peraturan Menteri (Permen
Penerangan Republik Indonesia No. 1/Per/Menpen/1969 tentang Pelaksanaan
mengenai kententuan-ketentuan mengenai Perusahaan Pers, dalam Pasal 28
disebutkan, bahwa untuk perusahaan yang bergerak di bidang penerbitan Pers
harus berbentuk badan hukum. Yang dianggap sebagai badan hukum oleh Permen
tersebut adalah Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, atau Yayasan. Di dalam
beberapa ketentuan tentang perpajakan juga disebutkan tentang yayasan. Di dalam
berbagai peraturan perundang-undangan agraria, dimungkinkan pula bagi yayasan
untuk memiliki hak atas tanah.24 “Bahkan sejak tanggal 25 Agustus 1961, telah
dibentuk yayasan Dana Landreform oleh Menteri Agraria sebagai pelaksana dari
Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961.” 25 “Pada tahun 1993, di dalam
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 227/KMK.017/1993,
juga telah dikenal Yayasan Dana Pensiun.” 26 Bunyi Pasal-pasal dalam KUH
Perdata yang tidak secara jelas mengatur mengenai yayasan adalah :
Pasal 365 :
“Dalam segala hal, bilamana Hakim harus mengangkat seorang wali, maka
perwalian itu boleh diperintahkan kepada suatu perhimpunan berbadan hukum
yang bertempat kedudukan di Indonesia, kepada suatu yayasan atau lembaga
amal yang bertempat kedudukan disini pula, yang mana menurut anggaran
23
Ibid, hal. 1
Rudi Prasetya, 1995, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Aditya
Bakti, Bandung, hal. 35
25
Boedi Harsono, 1994, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah
Nasional, Djambatan, Jakarta, hal. 320
26
A. Setiadi, 1995, Dana Pensiun Sebagai Badan Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 241
24
65
dasarnya, akta – akta pendiriannya atau reglemennya berusaha memelihara
anak – anak belum dewasa untuk waktu yang lama”.
Pasal 899 :
“Dengan mengindahkan akan ketentuan dalam Pasal 2 Kitab Undang – undang
ini, untuk dapat menikmati sesuatu dari suatu surat wasit, seorang harus telah
ada, tatkala si yang mewariskan meninggal dunia”.
Pasal 900 :
“Tiap – tiap pemberian hibah dengan surat wasiat untuk keuntungan badan –
badan amal, lembaga – lembaga keamanan, gereja atau rumah – rumah sakit,
tak akan mempunyai akibatnya, melainkan sekedar kepada pengurus badan –
badan tersebut, oleh Presiden atau oleh suatu penguasa yang ditunjuk Presiden,
telah diberi kekuasaan untuk menerimanya.
Pasal 1680:
“Penghibahan-penghibahan kepada lembaga-lembaga umum atau lembagalembaga keagamaan, tidak mempunyai akibat, selain sekedar oleh Presiden
atau penguasa-penguasa yang ditunjuk olehnya telah diberikan kekuasaan
kepada para pengurus lembaga-lembaga tersebut, untuk menerima pemberianpemberian itu”.
Pasal-pasal dalam peraturan-peraturan tersebut diatas tidak ada satupun
yang secara jelas memberikan rumusan mengenai pengertian, tata cara pendirian,
maupun maksud dan tujuan yayasan. Saat itu status sebagai badan hukum masih
lemah karena tidak diketahui dengan pasti kapan yayasan menjadi badan hukum
karena tidak ada ketentuan yang mengatur hal tersebut. Suatu badan hukum yang
66
mengandung unsur sosial dalam setiap kegiatannya yang mana sangat identik
dengan unsur ekonomi dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan proses
pendiriannya yang mudah karena belum adanya aturan yang mengatur, membuat
yayasan menjadi bentuk usaha yang strategis dan cepat mengalami perkembangan
didalam masyarakat.
Di dalam praktek hukum yang berlaku di Indonesia, pada umumnya
yayasan selalu didirikan dengan akta Notaris sebagai syarat untuk terbentuknya
suatu yayasan. Di dalam akta Notaris dimuat ketentuan tentang pemisahan harta
kekayaan oleh pendiri yayasan, yang kemudian tidak boleh dikuasai lagi oleh
pendiri. Akta Notaris ini tidak didaftarkan ke Pengadilan Negeri, dan tidak pula
dimumkan dalam Berita Negara. “Para pengurus yayasan tidak diwajibkan untuk
mendaftarkan dan mengumumkan akta pendiriannya, juga tidak disyaratkan
pengesahan dari Menteri Kehakiman sebagai tidakan preventif.”27
Tidak-adanya ketentuan hukum yang dapat digunakan untuk mengatur
yayasan ini menimbulkan kecenderungan di masyarakat untuk menggunakan
yayasan sebagai tempat untuk menampung kekayaan para pendiri, pengelola
yayasan atau pihak lain, tidak lagi sebagai badan usaha yang sifatnya nirlaba atau
tidak mencari keuntungan. Ketiadaan peraturan yang jelas ini kemudian juga
berdampak pada semakin cepatnya pertumbuhan yayasan di Indonesia yang tidak
diikuti oleh pertumbuhan peraturan mengenai yayasan di Indonesia, sehingga
terjadi penafsiran mengenai yayasan secara sendiri-sendiri oleh masyarakat yang
berkepentingan sesuai dengan kebutuhan dan tujuan mereka.
27
Anwar Bohima, op.cit., hal. 4
67
Terkadang seringkali yayasan justru oleh pihak – pihak tertentu dijadikan
sarana untuk mengejar keuntungan sekalipun pada awal pendiriannya diciptakan
beragam alasan pembenar. Yayasan banyak digunakan sebagai wadah badan
hukum untuk bermacam-macam kegiatan termasuk diantaranya oleh pihak
penguasa, baik oleh masyarakat sipil maupun militer. Salah satunya, badan hukum
yayasan dipakai oleh militer untuk mengantisipasi peraturan yang melarang
militer untuk berbisnis.
Seperti yang terjadi pada Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP). Pada awalnya
tentara berbisnis melalui PT. Tri Usaha Bhakti (TRUBA) yang didirikan pada
tahun 1968, kemudian ketika pejabat negara termasuk TNI, dilarang terlibat
dalam pengurusan bisnis, Kepala Staff TNI AD, Jenderal Umar
Wirahadikusumah mendirikan YKEP, lalu PT. TRUBA menjadi salah satu unit
usaha di bawah YKEP.28
Selain seringnya terjadi penyimpangan dan penyalah-gunaan yayasan,
ketidak-jelasan pengaturan mengenai yayasan juga dapat menimbulkan ketidakberesan dalam pengelolaan yayasan. Ketidak-beresan tersebut terjadi pada tata
pengelolaan yayasan dalam arti luas, mulai dari manajernen, pengawasan,
transparansi, pertanggung- jawaban, akuntabilitas, struktur organisasi, sistem
(sistem kerja, peraturan kelembagaan), dan lain sebagainya.
Sering kali kita jumpai Yayasan yang mengalami masalah karena kurang
terampil dan terdidiknya Sumber Daya Manusia Yayasan, sehingga kegiatan
yayasan semakin lama semakin berkurang bahkan menjadi tidak aktif sama sekali
dan akhirnya yang tinggal hanyalah papan namanya saja. Selain itu, tidak jarang
juga kita jumpai suatu yayasan yang berkembang dengan baik dan mendapatkan
28
Danang Widoyoko, 2003, UU Yayasan: Legalisasi Bisnis Militer, Artikel
Dalam Lentera Jurnal Hukum Edisi 2 Februari 2003, hal. 18.
68
laba, kemudian mulai terjadi ketidaksepakatan intern diantara pengurus yang
mengakibatkan terjadi sengketa, sehingga harus meminta penyelesaian melalui
lembaga peradilan. Semua permasalahan tersebut disebabkan oleh tidak adanya
aturan yang jelas dan khusus mengatur mengenai yayasan.
Menyadari hal tersebut, akhirnya setelah 56 tahun Indonesia merdeka
pemerintah baru mengeluarkan Undang-undang yang mengatur tentang yayasan
pada tanggal 6 Agustus 2001, yaitu Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001
Lembaran Negara (LN) No. 112 Tahun 2001 Tambahan Lembaran Negara (TLN)
4132 yang mulai berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan yaitu
tanggal 6 Agustus 2002 dan kemudian telah mengalami revisi dalam beberapa
pasalnya dengan disahkannya Undang-undang Nomor 28 tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-undang No 16 Tahun 2001 tentang Yayasan LN No. 115
TLN 4430. Dalam keterangan pemerintah dihadapan paripurna Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai Rancangan Undang-undang Yayasan tanggal 26 Juni 2000,
dijelaskan bahwa penyusunan undang-undang yayasan dilandasi oleh beberapa
pokok pikiran, yaitu :
1. Untuk memenuhi kebutuhan perkembangan hukum dalam masyarakat
mengenai pengaturan tentang yayasan.
2. Untuk menjamin kepastian serta ketertiban hukum serta berfungsinya
yayasan sesuai dengan maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip
keterbukaan dan akuntabilitas bagi masyarakat dalam mendirikan yayasan.
Disamping itu, untuk memberikan pemahaman serta kejelasan kepada
masyarakat mengenai maksud, tujuan, dan fungsi yayasan sebagai pranata
hukum dalam rangka mencapai tujuan yayasan.
3. Berkaitan dengan arahan yang terdapat dalam Garis-Garis Besar Haluan
Negara Tahun 1999-2004, bahwa pembangunan hukum harus mewujudkan
sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan hak
asasi manusia berdasarkan keadilan dan kebenaran.29
29
Anwar Borahima, Op. cit., hal. 37-38
69
Setelah keluarnya Undang-undang (UU) Yayasan tersebut, maka secara
otomatis penentuan status badan hukum yayasan-yayasan yang sudah berdiri
sebelum adanya UU Yayasan harus mengikuti ketentuan yang ada di dalam UU
Yayasan tersebut. Kepastian dan Ketertiban hukum dalam menjalankan yayasan
mulai dapat dirasakan oleh masyarakat. Dalam UU Yayasan disebutkan bahwa
yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian memperoleh
pengesahan dari Menteri (Pasal 11 ayat (1)). UU Yayasan juga menentukan
bahwa pendirian yayasan dilakukan dengan akta Notaris dan dibuat dalam bahasa
Indonesia (Pasal 9 ayat (2)).
Setelah berlakunya UU Yayasan di Indonesia, terjadi pengelompokan bagi
yayasan yang telah ada sebelum berlakunya UU Yayasan, yaitu yayasan yang
diakui sebagai badan hukum dan yayasan yang tidak diakui sebagai badan hukum.
Hal tersebut seperti yang dinyatakan pada Pasal 71 Ayat (1) butir a dan b, yaitu
yayasan yang tetap diakui sebagai badan hukum pada saat Undang-undang
Yayasan berlaku adalah yayasan yang telah :
a. Didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan berita
Negara Republik Indonesia; atau
b. Didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan
kegiatan dari instansi terkait.
b. Yayasan sebagai Badan Hukum
Sebelum berlakunya UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, di
Indonesia yayasan telah diakui sebagai badan hukum, meskipun tidak ada
peraturan perundang-undangan yang menyatakannya secara tegas. “Dalam lalu
70
lintas hukum sehari - hari Yayasan diperlakukan sebagai legal entity.”30Scholten
berpendapat bahwa :
“Pengakuan suatu lembaga sebagai badan hukum dapat terjadi, baik sebagai
karena undang-undang, maupun karena yurisprudensi atau doktrin, dan bahwa
pengakuan suatu lembaga sebagai badan hukum tidaklah selalu karena diatur
dalam undang-undang.”31
Paul Scholten berpandangan bahwa tanpa didaftarkan di Pengadilan
maupun diumumkan dalam Berita Negara, yayasan telah berkedudukan sebagai
badan hukum dan memperoleh kedudukan badan hukum dari sumber lain. Badan
hukum yayasan dapat didirikan tanpa adanya campur tangan penguasa karena
kebiasaan dan yurisprudensi bersama-sama yang menetapkan aturan itu.
Kedudukan badan hukum pada suatu yayasan adalah suatu keharusan
karena yayasan mempunyai tujuan, mempunyai harta kekayaan, dan dalam
melaksakan kegiatannya yayasan melakukan perbuatan hukum seperti halnya
subyek hukum. Van Apeldoorn berpendapat :
Yayasan (Stichting) adalah harta yang mempunyai tujuan tertentu, tetapi
dengan tiada yang empunya. Adanya harta yang demikian adalah suatu
kenyataan, dan juga suatu kenyataan bahwa dalam pergaulan hukum ia
diperlakukan seolah-olah ia adalah purusa. Jadi konstruksi yuridisnya adalah,
ada harta dengan tujuan tertentu, tetapin tidak dapat ditunjuk sesuatu subyek,
sehingga dalam pergaulan diperlakukan seolah-olah adalah subyek hukum.32
Kemudian Pitlo memberikan uraian tentang yayasan sebagai berikut :
30
Setiawan, 1995, Tiga Aspek Yayasan, Varia Peradilan Tahun V, No. 55, hal.
112.
31
Herlien Budiono, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang
Kenotariatan, PT. Citra Aditya BAkti, Bandung, 2008, hal. 63
32
Van Apeldoorn, L. J., 1983, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta,
hal. 209
71
Sebagaimana halnya untuk tiap-tiap perbuatan hukum, maka untuk pendirian
yayasan harus ada sebagai dasar suatu kemauan yang sah. Pertama-tama harus
ada maksud untuk mendirikan suatu yayasan, kemudian perbuatan hukum
tersebut harus memenuhi tiga syarat materiil, yakni adanya pemisahan harta
kekayaan, tujuan, dan organisasi, dan satu syarat formal yakni surat.33
Definisi mengenai yayasan juga dikemukakan oleh Emerson Andrews, “A
nongovernmental, nonprofit organization having a principle fund of its own,
manage by its own trustees or directors, and established to maintain or aid social,
educational, charitable, religious, or other activities serving the common
welfare.” 34 Emerson berpendapat bahwa yayasan merupakan organisasi non
pemerintah yang nirlaba, yang memiliki harta kekayaannya sendiri, diatur oleh
pengurus yayasan itu sendiri, didirikan untuk kepentingan kegiatan sosial,
pendidikan, amal, keagamaan, ataupun kegiatan lain yang bertujuan melayani
kesejahteraan masyarakat.
Lemaire juga memberikan uraian mengenai yayasan, dimana menurutnya
“yayasan diciptakan dengan suatu perbuatan hukum, yaitu dengan memisahkan
suatu harta kekayaan dengan tujuan nirlaba dan adanya susunan organisasi,
dengan mana sungguh-sungguh dapat terwujud tujuannya dengan alat-alat itu.”35
Selanjutnya Bregstein berpandangan bahwa “yayasan adalah suatu badan
hukum yang didirikan dengan suatu perbuatan hukum, yang tidak bertujuan untuk
membagikan
kekayaan
dan/atau
penghasilannya
kepada
pendiri
atau
penguasaannya didalam yayasan atau kepada orang-orang lain, terkecuali
33
Lombang Tobing, G. H. S., 1990, Beberapa Tinjauan Mengenai Yayasan
(Stichting), Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Solo, hal. 5
34
Emerson Andrews, 1958, Philantropic Foundation, New York, hal. 4
35
Anwar Borahima, Op. Cit., hal. 65
72
sepanjang yang terakhir ini, yang demikian adalah untuk kegunaan tujuan idiil.”36
Scholten juga memiliki pendapat mengenai yayasan. Menurutnya “yayasan adalah
suatu badan hukum yang dilahirkan oleh suatu pernyataan sepihak. Pernyataan
tersebut harus berisikan pemisahan suatu kekayaan untuk suatu tujuan tertentu,
dengan menunjukkan cara kekayaan tersebut diurus dan digunakan.”37
Setelah berlakunya UU Yayasan, dengan tegas definisi yayasan diatur
dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, menyatakan
bahwa “yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan
dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan,
dan kemanusiaan, yang tidak memiliki anggota.”
Sekalipun dalam Pasal 1 angka 1 UU Yayasan telah ditentukan status badan
hukum yayasan, Pasal 9 ayat (1) dan (2) mengatur bahwa suatu yayasan juga
harus didirikan dengan syarat-syarat sebagai berikut :
“(1) Yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan
sebagian harta kekayaan pendirinya sebagai kekayaan awal.
(2) Pendirian yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dengan akta notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia.”
Apabila telah dibuat akta pendiriannya di hadapan notaris, suatu yayasan
tidak serta merta menjadi suatu badan hukum. Guna mendapatkan status badan
hukum sebuah Yayasan harus mengajukan permohonan pengesahan kepada
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia seperti yang
tercantum dalam Pasal 11 ayat (1) yang berbunyi:
36
37
Lombang Tobing, G. H. S., Loc. Cit.
Lombang Tobing, G. H. S., Op. Cit., hal. 6
73
“Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian Yayasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) memperoleh pengesahan dari
Menteri.”
Dengan diaturnya prosedur memperoleh status badan hukum secara rinci
oleh UU Yayasan memberikan pengertian yang jelas bahwa Yayasan adalah
badan hukum dan atas hal ini diharapkan tidak ada lagi keragu - raguan tentang
status badan hukum Yayasan.
Di Belanda, pengertian yayasan atau stichtingen dapat dilihat dalam Pasal
285 ayat (1) NBW, yang berbunyi :
“een stichting is een door een rechtshandeling in het leven geroepen
rechtspersoon, welke geen laden, kent en beoogt met behulp van een door toe
bestemd vermogen een in de statuten vermeld doel te verwezenlijken.”38
(Yayasan adalah badan hukum yang lahir karena suatu perbuatan hukum, yang
tidak mempunyai anggota dan bertujuan untuk melaksanakan tujuan yang
tertera dalam statistik yayasan dengan dana yang dibutuhkan untuk itu.)
Dalam pasal tersebut, NBW telah secara tegas menentukan bahwa yayasan
berstatus badan hukum.
Yayasan sebagai badan hukum telah diterima di Belanda dalam suatu
yurisprudensi Tahun 1882 Hoge Raad, yang merupakan badan peradilan tertinggi
di negeri Belanda berpendirian bahwa Yayasan sebagai badan hukum adalah sah
menurut hukum dan karenanya dapat didirikan. Pendirian Hoge Raad tersebut
38
Chatama Rasjid, 2001, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan
Laba, Cet. I., PT. Citra Ditya Bakti, Bandung, hal. 6.
74
diikuti oleh Hoode Gerech Shof di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) dalam
putusannya dari tahun 1889.39
Pengertian yayasan atau foundation menurut Blacks Law Dictionary :
“Permanent fund established and maintained by contribution for charitable,
educational, religius, research or other benevolent purposes. In institution or
association given to rendering financial aid to collages, school, hospital, and
charities and generally supported by gifts for such purposes. The founding or
building of a college or hospital. The incorporation or endowment of a college or
hospital is the foundation; and he who endows it with land or other property is the
founder”40
Black Law Dictionary memberikan pengertian bahwa adanya suatu dana
yang berkesinambungan dan tetap yang didapatkan melalui sumbangan yang
digunakan untuk kegiatan sosial, pendidikan, keagamaan, riset dan kegunaan
lainnya. Bantuan dalam bentuk sumbangan dana dalam suatu institusi atau
asosiasi diberikan kepada kampus-kampus, sekolah, rumah sakit, dan kegiatan
sosial lainnya.
Dari pendapat para ahli dan peraturan perundang-undangan yang ada, baik
di Belanda maupun di Indonesia, dapat disimpulkan unsur-unsur yayasan sebagai
berikut :
39
Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi, Hukum Yayasan di Indonesia Berdasarkan
Undang-Undang RI No. 16 Tahun 2001, TentangYayasan, Indonesia Center
Publishing, hal. 18.
40
Hendry Compbell Black, MA, Black’s Law Dictionary Cet. 2, West Publishing
Co,t.th, ST Paul Minestotta USA, hal. 45.
1. Berbadan Hukum
75
2. Tidak mempunyai anggota
3. Ada harta yang dipisahkan
Mempunyai tujuan di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.
Pada suatu badan maupun perkumpulan yang tidak dengan tegas
dinyatakan sebagai badan hukum, penetapan kedudukan sebagai badan hukum
dapat ditentukan dengan melihat peraturan-peraturan yang mengaturnya. Apabila
dari peraturan-peraturan tersebut dapat ditarik konklusi adanya ciri-ciri, sifat-sifat,
atau dengan kata lain adanya unsur-unsur badan hukum, maka badan atau
perkumpulan tersebut adalah badan hukum.
Dari sudut doktrin, para ahli sepakat bahwa yayasan adalah badan hukum.
hal itu karena yayasan memenuhi syarat-syarat untuk dikatakan sebagai badan
hukum, meskipun tidak semua pendapat menyebutkan didalam definisinya bahwa
yayasan adalah badan hukum. Dalam praktiknya, yayasan didirikan dengan akta
notaris dengan memisahkan suatu harta kekayaan oleh pendiri, dan harta tersebut
tidak dapat lagi dikuasai oleh pendiri tersebut. Akta notaris memuat mengenai
anggaran dasar yayasan, dimana dalam anggaran dasar tersebut mengatur
mengenai yayasan dan pengurusnya, dan apabila ada, juga memuat ketentuan
mengenai orang-orang yang mendapat manfaat dari harta kekayaan yayasan
tersebut.
Dengan memperhatikan pengaturan hukum serta doktrin tersebut diatas,
maka dapat disimpulkan bahwa yayasan adalah badan hukum.
76
c. Organ Yayasan
Yayasan merupakan subyek hukum yang berwujud badan hukum, bukan
manusia alamiah, oleh karena itu ia tidak dapat mengurus dirinya sendiri. Sebagai
subyek hukum badan, yayasan tidak dapat menjalankan sendiri segala kegiatan
yang harus dilakukan oleh badan tersebut. Dalam melakukan perbuatan hukum,
yayasan memerlukan perantara manusia selaku wakilnya. Walaupun dalam
bertindak suatu yayasan harus melalui perantaraan orang (natuurlijke personen),
namun orang tersebut tidak bertindak untuk dan atas nama dirinya, melainkan
untuk dan atas pertanggung jawaban yayasan. Orang-orang yang bertindak untuk
dan atas pertanggung jawaban yayasan tersebut inilah yang disebut sebagai organ.
Yayasan memiliki organ namun tidak memiliki anggota. Ketiadaan
anggota inilah yang membedakan yayasan dengan badan hukum lainnya, seperti
perkumpulan, koperasi, maupun perseroan terbatas. Yayasan tidak memiliki
anggota karena yang dianggap badan hukum dalam yayasan adalah kekayaan
yang berupa uang dan kekayaan lainnya. “Jika melihat dalam teori kekayaan yang
bertujuan maka tampaknya hal ini sesuai dengan kondisi yayasan dimana
kekayaan badan hukum terlepas dari yang memegangnya, sehingga hak - hak
badan hukum sebenarnya adalah kekayaan yang terikat oleh satu tujuan.”41
Karena kondisinya yang tidak mempunyai anggota, maka para pembina,
pengurus maupun pengawas tidak ada yang mendapat pembagian keuntungan
yang diperoleh yayasan, yang mana hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 3 ayat
41
Chaidir Ali, SH, Op.cit, hal. 35.
(2) yang berbunyi :
77
“Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada pembina
pengurus dan pengawas”.
Kemudian Pasal 5 mengatur bahwa:
“Kekayaan yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang
diperoleh yayasan berdasarkan undang-undang ini dilarang dialihkan atau
dibagikan secara langsung atau tidak langsung kepada pembina, pengurus, dan
pengawas, karyawan atau pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap
yayasan.”
Dari pasal-pasal tersebut diatas dapat dilihat bahwa keuntungan yang
diperoleh yayasan dalam menjalankan usahanya tidak dapat dibagikan kepada
organ yayasan maupun pihak-pihak yang berkepentingan terhadap yayasan.
Keuntungan tersebut digunakan untuk mencapai tujuan tertentu (sosial,
pendidikan, atau keagamaan) yang telah ditentukan oleh para pendiri yayasan
tersebut saat mendirikannya. Kondisi inilah yang diharapkan oleh para pembuat
undang-undang sehingga yayasan tidak didirikan untuk berlindung di balik status
badan hukum yayasan, namun kenyataannya digunakan untuk memperkaya para
pendiri ataupun organ yayasan.
Paul Scholten menyatakan bahwa bentuk perwakilan dalam badan hukum itu
masuk ke dalam golongan aansteling (pengangkatan), tetapi yang menentukan
luasnya wewenang yang diwakili adalah anggaran dasar/statutair, bukan oleh
rapat umum, ataupun yang mengangkatnya. Pengangkatan pengurus oleh rapat
umum juga bukan merupakan lastgeving (pemberian kuasa/beban).42
42
Pitlo, Het Rechts Personenrecht naar het Netherlands Burgelijk Wet Boek, hal.
476
78
Jadi, walaupun pengurus berada dibawah rapat umum, namun rapat umum
tidak dapat memerintah direksi sebab wewenang mewakili dan luasnya ditentukan
oleh anggaran dasar. Seperti yang juga diungkapkan oleh Assers, bahwa :
“De bestuurder van de rechtspersoon is niet een last-hebber van de
rechtpersoon in the technisch-juridis-che zin. Of the bestuurder arbeider is in
diens van de rechtspersoon hangt af van de omstandigheden van het geval.”43
Artinya, meskipun pengurus merupakan wakil dari badan hukum, tetapi perbuatan
dari badan hukum tersebut tidak dapat disamakan dengan wakil biasa atau wakil
dengan surat kuasa, sebagaimana sering terjadi antara manusia biasa yang
diwakili oleh orang lain. Pada badan hukum setiap tindakannya diwakili oleh
organ, sehingga setiap perbuatan organ tersebut merupakan perbuatan badan
hukum itu sendiri.
Perbuatan dari pengurus (organ) yang oleh hukum dipertanggungjawabkan kepada badan hukum merupakan suatu pengakuan, bahwa pengurus
mewakili badan hukum. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 1655 KUH Perdata
yang menyatakan bahwa pengurus dapat mengikatkan badan hukum dengan pihak
ketiga.
Para pengurus dari badan hukum berwenang untuk bertindak atas nama
badan hukum tersebut. Menurut Pitlo yang membandingkan antara badan hukum
dengan bayi manusia, “badan hukum bertindak dengan perantaraan pengurusnya
sebagai wakilnya, sedangkan bayi manusia dengan perantaraan orang tua atau
walinya.”
43
Assers, C., 1968, Handleiding To De Beoefening van Het Netherlands Burgelijk
Rech. Uitgeversmaatschappij, W.E.J. Tjeenk Willink-Zwolle, hal. 141
79
Berdasarkan Pasal 2 UU Yayasan, organ terdiri atas Pembina, pengurus,
dan pengawas. Dengan berlakunya UU Yayasan beserta PP No. 63 Tahun 2008
sebagai peraturan pelaksananya, maka dapat diketahui syarat dari organ yayasan
dengan menyimpulkan beberapa Pasal dalam UU Yayasan dan PP tersebut.
Adapun syarat-syarat dari organ yayasan tersebut diuraikan sebagai berikut :
1) Pembina
Definisi Pembina diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU Yayasan, yang berbunyi:
“Pembina adalah organ yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak
diserahkan kepada pengurus atau pengawas oleh undang-undang ini atau anggaran
dasar”.
Syarat pembina antara lain :
1. orang perorangan (Pasal 28 ayat (3) UU Yayasan)
2. mempunyai dedikasi tinggi untuk mencapai tujuan dan maksud
yayasan (Pasal 28 ayat (3) UU Yayasan)
3. diangkat berdasarkan keputusan rapat gabungan seluruh anggota
pengurus dan anggota pengawas (Pasal 28 ayat (4) UU Yayasan)
4. tidak boleh merangkap sebagai anggota pengurus dan/atau anggota
pengawas (Pasal 29 UU Yayasan)
5. Apabila berkewarganegaraan asing, jika bertempat tinggal di Indonesia
harus memegang izin melakukan kegiatan dan/atau usaha di Indonesia
dan merupakan pemegang Kartu Izin Tinggal Sementara (Pasal 13 ayat
(1) PP Nomor 63 Tahun 2008)
80
Pembina tidak selalu adalah pendiri yayasan. Pembina dapat juga diangkat
berdasarkan keputusan rapat anggota Pembina atau diangkat berdasarkan rapat
gabungan seluruh anggota pengurus dan anggota pengawas.
2) Pengurus
Definisi Pengurus diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU Yayasan, yang berbunyi:
“Pengurus adalah organ Yayasan yang melaksanakan kepengurusan Yayasan.”
Syarat pengurus antara lain :
1.
orang perorangan (Pasal 31 ayat (2) UU Yayasan)
2.
mampu melakukan perbuatan hukum (Pasal 31 ayat (2) UU Yayasan)
3.
diangkat oleh pembina berdasarkan keputusan rapat pembina (Pasal
32 ayat (1) UU Yayasan)
4.
tidak boleh merangkap sebagai anggota pembina dan/atau anggota
pengawas (Pasal 31 ayat (3) UU Yayasan)
5.
memenuhi persyaratan lainnya yang diatur dalam anggaran dasar
(Pasal 32 ayat (4) UU Yayasan)
6.
tidak pernah dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan
dalam melakukan pengurusan Yayasan yang menyebabkan kerugian
bagi yayasan, masyarakat, atau negara (Pasal 39 ayat (3) UU
Yayasan)
7.
anggota pengurus yang didirikan oleh orang asing atau orang asing
bersama orang Indonesia wajib bertempat tinggal di Indonesia (Pasal
12 ayat (2) PP Nomor 63 Tahun 2008)
8.
81
anggota pengurus berkewarganegaraan asing harus memegang izin
melakukan kegiatan dan/atau usaha di Indonesia dan merupakan
pemegang Kartu Izin Tinggal Sementara (Pasal 12 ayat (3) PP No. 63
Tahun 2008)
3) Pengawas
Definisi Pengawas diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU Yayasan, yang berbunyi:
“Pengawas adalah organ Yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta
memberi nasihat kepada Pengurus dalam menjalankan kegiatan Yayasan.”
Syarat pengawas antara lain :
1.
orang perorangan (Pasal 40 ayat (3) UU Yayasan)
2.
mampu melakukan perbuatan hukum (Pasal 40 ayat (3) UU Yayasan)
3.
tidak boleh merangkap sebagai pembina atau pengurus (Pasal 40 ayat
(4) UU Yayasan)
4.
memenuhi persyaratan lainnya yang diatur dalam anggaran dasar
(Pasal 44 ayat (2) UU Yayasan)
5.
diangkat berdasarkan keputusan rapat pembina (Pasal 41 ayat (1) UU
Yayasan)
6.
Apabila berkewarganegaraan asing, jika bertempat tinggal di
Indonesia harus memegang izin melakukan kegiatan dan/atau usaha di
Indonesia dan merupakan pemegang Kartu Izin Tinggal Sementara
(Pasal 13 ayat (1) PP No. 63 Tahun 2008)
d. Proses Pendirian Yayasan
82
Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undangundang Nomor 16 Tahun 2001 jo. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004, belum
ada keseragaman tentang cara pendirian yayasan, oleh karena itu yayasan
didirikan hanya berdasarkan pada kebiasaan dalam masyarakat. Sebelum adanya
UU Yayasan, yayasan didirikan dengan akta Notaris, baik yayasan yang didirikan
oleh pihak swasta ataupun pemerintah. Yayasan yang didirikan oleh badan-badan
pemerintah dilakukan dengan surat keputusan dari pejabat yang berwenang untuk
itu atau dengan akta Notaris sebagai syarat dibentuknya yayasan. Namun para
pengurus yayasan tidak diwajibkan untuk mendaftarkan atau mengumumkan akta
pendiriannya, ataupun mengajukan permohonan pengesahan kepada Menteri
Kehakiman pada saat itu. Tidak adanya aturan itulah yang menyebabkan tidak
adanya keseragaman didalam pendirian yayasan. Banyaknya yayasan yang tidak
berbadan hukum sebelum terbitnya UU Yayasan dikarenakan tidak adanya aturan
yang memaksa sehingga tidak ada keharusan bagi pengurus yayasan untuk
mendaftarkan yayasannya.
Setelah berlakunya UU Nomor 16 Tahun 2001 jo. UU Nomor 28 Tahun
2004 yang mengatur tentang yayasan, maka suatu yayasan dapat didirikan dengan
mengikuti tata cara yang telah ditetapkan oleh UU Yayasan tersebut. Dalam UU
Yayasan diatur pendirian yayasan dengan 3 (tiga) proses, yaitu :
1. Proses pendirian yayasan
2. Proses pengesahan akta yayasan
3. Proses pengumuman yayasan sebagai badan hukum
83
Pendirian yayasan terjadi dengan akta diantara para pendirinya, atau
dengan surat hibah/wasiat yang dibuat dihadapan notaris. Di dalam akta tersebut
disebutkan maksud dan tujuan pendirian yayasan, nama, susunan dan badan
pengurus, juga adanya kekayaan yayasan. Oleh karena itu dalam hukum perdata
mensyaratkan 2 (dua) aspek yang harus dipenuhi dalam mendirikan yayasan,
yaitu :
a. aspek materiil : ada pemisahan harta kekayaan, maksud dan tujuan
yang jelas, dan ada organisasi (nama, susunan dan badan pengurus).
b. aspek formil : ada akta pendirian, pengesahan dari Menteri Hukum dan
Ham, serta diumumkan dalam Lembaran Berita Negara Republik
Indonesia.
Dalam Pasal 9 UU Yayasan, syarat pendirian yayasan ada 3 (tiga), yaitu :
1. minimal didirikan oleh satu orang atau lebih
2. pendiri harus memisahkan kekayaan pribadinya dengan kekayaan yayasan
3. dibuat
dalam
bentuk
akta
Notaris,
yang
kemudian
diajukan
permohonannya kepada Menteri Hukum dan Ham RI dan diumumkan
dalam Berita Negara RI.
Tata cara pendirian Yayasan diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2004 yang berbunyi :
1. Permohonan pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 (2)
diajukan secara tertulis kepada Menteri.
2. Pengesahan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diberikan atau ditolak dalam jangka waktu paling lambat 30 (tigapuluh) hari
84
terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap.
3. Dalam hal diperlukan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
(4), pengesahan diberikan atau ditolak dalam jangka waktu paling lambat 14
(empatbelas) hari terhitung sejak tanggal jawaban atas permintaan
pertimbangan dari instansi terkait diterima.
4. Dalam hal jawaban atas permintaan pertimbangan tidak diterima,
pengesahan diberikan atau ditolak dalam jangka waktu paling lambat 30
(tigapuluh)
hari
terhitung sejak
tanggal
permintaan
pertimbangan
disampaikan kepada instansi terkait.
Kemudian dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001, yang berbunyi
sebagai berikut :
1) Dalam hal permohonan pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (1) ditolak, Menteri wajib memberitahukan secara tertulis dengan
alasannya, kepada pemohon mengenai penolakanpengesahan tersebut.
2) Alasan penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah
bahwapermohonan yang diajukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya.
Dari pasal-pasal tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa permohonan
pengesahan diajukan secara tertulis kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia. UU Yayasan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal
11, memberikan wewenang kepada Departmen Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia, untuk memberikan pengesahan kepada yayasan yang telah
berdiri berdasarkan akta notaris untuk mengajukan permohonan untuk
mendapatkan status badan hukum.
85
Dalam pendirian yayasan, dimungkinkan orang asing (warga negara asing
atau badan hukum asing) sebagai pendiri yayasan. Dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 63 Tahun 2008 tentang pelaksanaan Undang-undang Yayasan, diatur
mengenai syarat-syarat agar orang asing dapat mendirikan yayasan. Pembatasan
terhadap orang asing dalam mendirikan yayasan ini tidak hanya diatur dalam PP
Nomor 63 Tahun 2008, tapi juga diatur dengan peraturan-peraturan lain seperti
peraturan di bidang keimigrasian dan peraturan di bidang ketenaga-kerjaan.
Dalam PP Nomor 63 Tahun 2008 disebutkan bahwa pendirian yayasan oleh orang
asing atau bersama dengan orang asing dapat dilakukan dengan syarat :
1. Modal awal minimal sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
2. Pengurus yayasannya harus memenuhi syarat :
a. salah satu pengurus yayasan harus dijabat oleh orang Indonesia (warga
negara Indonesia)
b. seluruh anggota pengurus (ketua, sekretaris, bendahara) harus
bertempat tinggal di Indonesia
c. apabila pengurus yayasan berkewarganegaraan asing, maka harus
memiliki kartu izin tinggal terbatas (KITAS) dan izin untuk melakukan
kegiatan atau usaha di Indonesia.
3. Pembina dan pengawas yayasan juga harus memiliki KITAS dan izin
untuk melakukan kegiatan atau usaha di Indonesia, seperti halnya dengan
pengurus.
86
4. Khusus bagi yayasan yang didirikan oleh orang asing atau bersama dengan
orang asing, pendiri harus melampirkan dokumen standar untuk
pengesahan yayasan yang tidak mengandung unsur asing dan harus
melampirkan dokumen tambahan, yaitu berupa :
a. identitas warga negara asing (Paspor) atau badan hukum asing
(dokumen perusahaan lengkap) tersebut.
b. surat pernyataan bahwa kegiatan yayasan tersebut tidak akan
merugikan masyarakat, bangsa, dan negara Republik Indonesia.
Dalam proses pendirian yayasan, langkah awal yang harus dilakukan
adalah memiliki calon nama. Nama tersebut kemudian dicek melalui Notaris ke
Departemen Hukum dan Ham Republik Indonesia (Depkumham). Untuk
pengajuan pengecekan nama, pihak Notaris harus terlebih dahulu melunasi biaya
PNBP untuk pengecekan nama dan mengajukan surat permohonan pengecekan
nama kepada Depkumham. Dalam surat permohonan tersebut harus dicantumkan
rencana tempat kedudukan yayasan. Untuk pengecekan tersebut calon pendiri
harus menunggu selama satu minggu untuk mendapatkan kepastian nama tersebut
dapat digunakan atau tidak. Depkumham akan mengirimkan surat balasan kepada
Notaris yang bersangkutan yang intinya menyebutkan bahwa nama tersebut dapat
atau tidak dapat digunakan. Setelah nama disetujui, pendiri dapat menandatangani
akta pendirian di Notaris. Segera setelah akta pendirian ditandatangani, Notaris
akan memproses pengesahan yayasan tersebut dalam waktu maksimal satu bulan
terhitung sejak persetujuan penggunaan nama dari Depkumham dan 10 (sepuluh)
hari sejak tanggal akta pendiriannya. Jika proses pengesahan tidak dilakukan
87
dalam waktu satu bulan sejak penggunaan nama disetujui, maka pemesanan nama
tersebut menjadi gugur dan nama tersebut dapat digunakan oleh yayasan lain.
e. Penggabungan dan Pembubaran Yayasan
1. Penggabungan Yayasan
Penggabungan yayasan adalah perbuatan hukum menggabungkan satu
yayasan dengan yayasan lain yang telah ada dan mengakibatkan yayasan yang
menggabungkan diri menjadi bubar. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
penggabungan yayasan adalah :
1. ketidak-mampuan suatu yayasan dalam melaksanakan kegiatan usaha
tanpa dukungan dari yayasan lain;
2. yayasan yang menerima penggabungan diri tidak pernah melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasar yayasan maupun
ketertiban umum dan kesusilaan.
3. Yayasan yang bergabung dan yayasan yang menerima penggabungan
kegiatannya sejenis.
Yayasan yang menggabungkan diri dan yayasan yang menerima penggabungan
sama-sama mengalihkan harta kekayaan dan utang atau aktiva dab pasiva kepada
yayasan baru hasil penggabungan tersebut. Penggabungan yayasan bertujuan
untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan yang sebelumnya kurang berhasiloleh
yayasan yang menggabungkan diri tersebut.
Dalam
UU
Yayasan,
dapat
dilihat
inisiatif
untuk
melakukan
penggabungan hanya datang dari satu arah, yaitu dari pihak yang tidak mampu
dan tidak sebaliknya. Namun dalam UU Yayasan tidak mengatur mengenai
88
kemungkinan penggabungan dua buah yayasan yang keduanya tidak mampu
menjalankan usahanya. Selain itu juga tidak diatur mengenai bentuk
penggabungan yayasan tersebut, apakah berbentuk merger, konsolidasi, ataukah
akuisisi.
Untuk menggabungkan diri, pengurus yayasan dapat mengajukan usul
kepada Pembina, yang kemudian oleh Pembina diputuskan dalam rapat Pembina
yang dihadiri paling sedikit ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota pembina, dan
disetujui paling sedikit oleh ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota pembina dan
juga disetujui oleh ¾ (tiga perempat) dari seluruh anggota yang hadir. Pengurus
yayasan hasil penggabungan wajib untuk mengumumkan hasil penggabungan
dalam dua surat kabar harian paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
penggabungan selesai dilakukan.
2. Pembubaran Yayasan
Dalam Pasal 62 UU Yayasan, diatur mengenai pembubaran yayasan, baik
pembubaran karena inisiatif dari yayasan itu sendiri, maupun karena
penetapan/putusan pengadilan. Pembubaran yayasan dapat disebabkan oleh
beberapa hal, yaitu :
1. Berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam anggaran dasar.
Yayasan yang ditetapkan jangka waktu berdirinya akan otomatis bubar
jika jangka waktu yang ditetapkan telah berakhir.
2. Tujuan yayasan yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah tercapai atau
tidak tercapai. Contohnya pada yayasan yang didirikan dengan tujuan
memberantas buta huruf pada suatu desa tertentu, yang apabila menurut
89
para pendiri (pembina) yayasan desa tersebut telah terbebas dari buta
huruf atau sebaliknya, maka yayasan akan dibubarkan.
3. Adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, berdasarkan
alasan :
a. yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan
b. yayasan tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit;
c. harta kekayaan yayasan tidak cukup untuk melunasi utang setelah
pernyataan pailit dicabut.
Dengan demikian, dari ketentuan diatas dapat disimpulkan bahwa
pembubaran yayasan ada 2 (dua) jenis, yaitu pembubaran secara sukarela dan
pembubaran secara paksa. Pada pembubaran yayasan secara sukarela, ada 2 (dua)
alasan yang melatar-belakangi, yaitu jangka waktu yang ditetapkan dalam
anggaran dasar yayasan telah berakhir dan tujuan yayasan yang ditetapkan dalam
anggaran dasar telah tercapai atau tidak tercapai. Pembubaran secara sukarela
mengakibatkan yayasan bubar demi hukum.
Pembubaran yayasan secara sukarela hanya dapat dilakukan berdasarkan
keputusan rapat pembina yang dihadiri oleh paling sedikit ¾ (tiga perempat) dari
jumlah anggota pembina dan disetujui paling sedikit oleh ¾ (tida perempat)
jumlah anggota pembina yang hadir. Pembina menunjuk likuidator untuk
membereskan kekayaan yayasan yang bubar demi hukum. Apabila pembina tidak
menunjuk likuidator, maka penguruslah yang bertindak sebagai likuidator.
Dengan adanya pembubaran yayasan, maka yayasan tersebut tidak dapat
melakukan perbuatan hukum kecuali untuk membereskan kekayaanya dalam
90
proses likuidasi yayasan. Selama dalam proses likuidasi, semua surat keluar harus
mencatumkan frase/atau kata-kata “dalam likuidasi” dibelakang nama yayasan.
Frase “dalam likuidasi” tersebut untuk memberikan status yang lebih jelas atas
yayasan tersebut kepada pihak ketiga.
Pada pembubaran yayasan secara paksa yang dikarenakan adanya putusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, maka pengadilan yang
menunjuk likuidator. Dalam hal yayasan yang dinyatakan bubar karena pailit,
maka berlaku peraturan di bidang kepailitan, yaitu perlu menunjuk kurator.
Dengan ditunjuknya likuidator, maka pihak ketiga yang akan melakukan
perbuatan hukum dengan yayasan tersebut ataupun penjualan aset-aset yayasan
dapat tetap dilakukan melalui perantaraan likuidator tersebut. Adapun tugas
likuidator atau kurator adalah membereskan harta kekayaan yayasan yang telah
bubar atau dibubarkan, memberikan kewenangan sekaligus kewajiban bagi
likuidator untuk melakukan beberapa tindakan proses likuidasi sebagai berikut :
1. menginventarisir semua harta kekayaan yayasan termasuk utang-utang dan
piutang-piutang yayasan
2. membuat daftar utang-utang yayasan dan menyusun peringkat utang
tersebut
3. membuat daftar piutang yayasan dan melaksanakan penagihan utang
(menjadikan uang)
4. menjual seluruh harta kekayaan yayasan.44
Likuidator atau kurator yang ditunjuk untuk melakukan pemberesan
kekayaan yang bubar atau dibubarkan, paling lambat 5 (lima) hari terhitung sejak
tanggal penunjukkan, wajib untuk mengumumkan pembubaran yayasan dan
proses likuidasinya dalam surat kabar harian berbahasa Indonesia. Kemudian
44
Anwar Borahima, Op. cit., hal. 328
91
dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal proses likuidasi
berakhir, likuidator atau kurator wajib mengumumkan hasil likuidasi dalam surat
kabar harian berbahasa Indonesia.
Likuidator atau kurator dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung
sejak tanggal proses likuidasi berakhir, wajib melaporkan masalah pembubaran
yayasan kepada dewan pembina yayasan. Apabila laporan pembubaran yayasan
dan pengumuman hasil likuidasi tidak dilakukan, maka bubarnya yayasan tidak
berlaku bagi pihak ketiga.
Pengaturan mulai berlakunya pembubaran yayasan sama dengan
pembubaran perseroan terbatas (PT) berdasarkan UU Perseroan Terbatas Nomor
40 Tahun 2007, yaitu bahwa PT bubar setelah likuidator selesai melaksanakan
proses likuidasi, melaporkan hasil likuidasi tersebut kepada Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) atau hakim pengawas yang mengangkatnya, dan
kemudian mengajukan pembubaran tersebut ke SABH. Bubarnya PT efektif sejak
laporan perihal pembubaran PT oleh likuidator tersebut diterima oleh Menteri
Hukum dan Ham RI.
Berdasarkan Pasal 68 UU Yayasan, kekayaan sisa hasil likuidasi Yayasan
harus diserahkan kepada :
1. yayasan lain yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama dengan
yayasan yang bubar
2. badan hukum lain yang melakukan kegiatan yang sama dengan yayasan
yang bubar
92
3. negara, yang mana penggunaannya dilakukan sesuai dengan maksud dan
tujuan yayasan yang bubar.
1.3
Akta
a. Pengertian Akta
“Istilah akta dalam bahasa Belanda disebut ”acte” dan dalam bahasa
Inggris disebut ”act” atau ”deed”. Disebutkan bahwa ”acta” merupakan bentuk
jamak dari ”actum” yang berasal dari bahasa latin dan berarti perbuatanperbuatan.”45 Walaupun tidak secara pasti mengetahui definisi dari akta, namun
masyarakat sudah mengenali apa yang disebut dengan akta dalam kehidupan
sehari-hari. Setiap orang yang menjalankan usaha di bidang ekonomi atau
menjalin hubungan hukum dengan orang lain pasti pernah menerima atau
membuat suatu akta. Akta dibuat dengan tujuan sebagai pembuktian atau alat
bukti tentang adanya hubungan hukum antara seseorang yang satu dengan lainnya.
Dengan memiliki akta sebagai alat bukti, maka seseorang dengan mudah dapat
membuktikan adanya hubungan hukum tersebut jika kelak ada pihak yang ingkar
janji atau wanprestasi. Akta juga dapat digunakan sebagai dasar oleh seseorang
untuk meminta atau menuntut pihak lain agar melaksanakan kewajiban hukum
yang tertuang dalam akta.
Akta merupakan salah satu alat bukti yang bersifat tertulis atau surat.
Menurut Asser-Anema, alat bukti tertulis, surat, atau tulisan adalah “dragers van
verstaanbare leestekens dienende om een gedachteneenheid te vertolken
(pengemban tanda-tanda baca yang mengandung arti serta bermanfaat untuk
45
Andi Hamzah, 1994, Kamus Hukum Indonesia, PT Pradnya Paramita, Jakarta,
hal. 34
93
menggambarkan suatu pikiran)”.46 Dalam bukunya, Husni Thamrin menyatakan
bahwa akta adalah “surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa yang
menjadi dasar dari suatu hak, atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan
sengaja untuk pembuktian.” 47 Pitlo mengartikan akta sebagai surat-surat yang
ditandatangani, dibuat untuk dipakai sebagai bukti dan untuk dipergunakan oleh
orang lain, untuk keperluan apa surat itu dibuat.48 I Made Puryatma menyatakan
bahwa “akta adalah alat bukti berupa tulisan atau dibalik: tulisan yang sengaja
dibuat untuk dipergunakan sebagai alat pembuktian.”49
Alat bukti tertulis adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan
yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah
pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Sebagai alat bukti
tertulis, surat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu surat yang merupakan akta dan yang
bukan akta. Kemudian akta dibagi menjadi 2 (dua), yaitu akta autentik dan akta
dibawah tangan. Pasal 1867 KUH Perdata menyebutkan :
“pembuktian dengan tulisan-tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik
dan tulisan-tulisan dibawah tangan.”
Agar dapat digolongkan dalam pengertian akta, suatu surat harus
ditandatangani. Keharusan suatu surat untuk ditandatangani merupakan ketentuan
yang diatur oleh Pasal 1869 KUH Perdata. Tanda-tangan harus ada dalam suatu
46
Tan Thong Kie, 1984, Serba Serbi 30 Tahun Notariat di Indonesia, tidak
dipublikasikan, hal. 9
47
Husni Thamrin, 2011, Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris, LaksBang
PRESSindo, Yogyakarta, hal 10
48
Pitlo, 1979, Pembuktian dan Daluarsa, Terjemahan oleh M. Isa Aris, Intermassa,
Jakarta, hal. 52
49
I Made Puryatma, 2013, Pelatihan Teknik Pembuatan Akta Notaris, tidak
dipublikasikan, hal. 1
94
akta bertujuan untuk membedakan akta yang satu dengan yang lainnya. Jadi
fungsi tanda-tangan adalah untuk memberi ciri khusus atau mengindividualisir
sebuah akta.
Dari penjabaran tersebut diatas, dapat disimpulkan unsur-unsur akta :
1. Merupakan alat bukti surat atau bersifat tertulis
2. Diberi tanda-tangan
3. Memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak
4. Sengaja dibuat untuk pembuktian.
b.
Jenis Akta
Sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1867 KUH Perdata, akta dibagi
menjadi 2 (dua) jenis, yaitu akta dibawah tangan dan akta otentik. Kemudian akta
otentik dibagi lagi menjadi 2 (dua) yaitu akta umum dan akta khusus. Akta umum
dibagi menjadi akta pejabat (ambtelijke acte) dan akte parte (partij acte).
Pengertian akta dibawah tangan (onderhands acte) adalah akta yang
sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan pejabat umum
yang berwenang. Akta demikian dibuat semata-mata oleh para pihak yang
berkepentingan. Yang dikatagorikan sebagai akta dibawah tangan dalam Pasal
1874 KUH Perdata adalah surat-surat daftar (register), catatan mengenai rumah
tangga dan surat-surat lainnya yang dibuat tanpa bantuan seorang pejabat.
Soeroso mendefinisikan akta dibawah tangan sebagai “akta yang dibuat
tidak oleh atau tanpa perantaraan seseorang pejabat umum, melainkan dibuat dan
ditanda-tangani sendiri oleh para pihak yang mengadakan perjanjian, misalnya
95
perjanjian jual beli atau perjanjian sewa menyewa.” 50 Dalam hal apabila para
pihak yang menandatangani surat perjanjian tersebut mengakui dan tidak
menyangkal tanda-tangannya maupun isi atau apa yang tertulis dalam perjanjian
itu, maka akta dibawah tangan tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sama
dengan akta otentik. Sebagaimana ketentuan Pasal 1875 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa :
Suatu tulisan dibawah-tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu
hendak dipakai, atau yang dengan cara yang menurut Undang-undang
dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang-orang yang
menandatanganinya serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat
hak dari mereka, bukti yang sempurna seperti akta autentik, dan demikian pula
berlakulah ketentuan Pasal 1871 untuk tulisan itu, yang dalam Ayat (2)
berbunyi :
Jika apa yang termuat disitu sebagai suatu penuturan belaka tidak ada
hubungannya langsung dengan pokok isi akta, maka itu hanya dapat berguna
sebagai permulaan pembuktian dengan tulisan.
I Made Puryatma berpendapat bahwa akta dibawah tangan ialah “akta
yang dibuat sendiri oleh mereka yang bersangkutan atau oleh para pihak yang
untuk sahnya harus ditandatangani oleh mereka diatas materai yang cukup,
materainya tidak boleh kurang. Akta otentik yang kehilangan otensitasnya karena
cacat juga termasuk salah satu akta dibawah tangan.” 51 Berdasarkan definisidefinisi akta dibawah tangan tersebut diatas, dapat ditarik unsur-unsur sebagai
berikut :
1. Sebuah akta
2. dibuat dan ditanda-tangani sendiri oleh para pihak
3. tanpa perantaraan pejabat umum
50
Soeroso, 2010, Perjanjian dibawah tangan : pedoman praktis pembuatan dan
aplikasi hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 8
51
I Made Puryatma, Op. Cit., hal. 7
4. untuk mengadakan perjanjian
96
5. memiliki kekuatan pembuktian sempurna sejauh tidak disangkal oleh
para pihak yang menandatangani akta tersebut
Selain akta dibawah tangan, akta otentik juga diatur dalam KUH Perdata.
Akta Otentik diatur dalam Pasal 1868 KUH Perdata, yang berbunyi :
Akta otentik yaitu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi
wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para
ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak dari padanya tentang apa yang
tercantum didalamnya dan bahkan tentang apa yang tercantum didalamnya
sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanyalah
sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok dari pada
akta.
Dengan demikian, undang-undang telah secara tegas menyatakan bahwa suatu
akta dapat disebut sebagai akta otentik jika :
1. dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;
2. dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum;
3. pejabat umum yang tersebut harus memiliki kewenangan untuk itu.
Pejabat yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUH Perdata tersebut adalah
Notaris, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris, yang merupakan pejabat umum yang ditunjuk untuk
membuat akta otentik, sepanjang berdasarkan peraturan umum tidak ditunjuk atau
dikecualikan kepada pejabat lain. Oleh karena itu, agar memenuhi syarat sebagai
akta otentik, seorang pejabat umum yang membuat akta, eksistensinya harus
diatur dengan Undang-undang.
97
Pada umumnya, kewenangan seorang Notaris membuat akta melekat pada
jabatan yang dipangkunya, hal mana diatur oleh Undang-undang. Kewenangan
tersebut meliputi 4 (empat) hal :
1. Kewenangan mengenai subyek.
Maksudnya seorang Notaris dapat membuatkan akta untuk siapa saja
kecuali untuk dirinya sendiri, suami/istri, orang lain yang mempunyai
hubungan kekeluargaan dengan Notaris, baik karena perkawinan
maupun hubungan darah dalam garis keturunan kebawah dan/atau
keatas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai
dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri maupun
dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa (Pasal 52
ayat (1) UUJN).
2. Kewenangan mengenai obyek
maksudnya Notaris dapat membuat akta otentik, sejauh pembuatan
akta itu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya (Penjelasan
UUJN alinea 4). Jadi, kewenangan Notaris membuat akta otentik
adalah bersifat kebiasaan (regel) sedangkan bagi pejabat lainnya
adalah merupakan pengecualian. Contohnya, seorang pejabat catatan
sipil hanya boleh membuat akta catatan sipil, tidak boleh membuat
akta otentik umum, sedangkan Notaris berwenang membuat akta
otentik umum namun tidak berwenang membuat akta catatan sipil.
3. Kewenangan mengenai waktu
98
Notaris dapat membuat akta otentik kapan saja kecuali pada saat
sedang cuti resmi dari jabatannya. Pada saat cuti, Notaris wajib untuk
menyerahkan protocol Notaris kepada Notaris pengganti. (Pasal 32
ayat (1) UUJN).
4. Kewenangan mengenai tempat
Notaris hanya boleh membuat akta otentik diwilayah kewenangan
jabatannya saja. Wilayah kewenangan Notaris meliputi satu propinsi,
jika diluar dari wilayah kewenangan jabatannya, ia tidak boleh
membuat akta otentik (Pasal 18 UUJN).
Husni Thamrin berpendapat, akta otentik adalah “akta yang dibuat oleh
pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan yang
telah ditetapkan, baik dengan dan atau tanpa bantuan dari pihak-pihak yang
berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat didalamnya
oleh pihak-pihak yang berkepentingan.”52 Akta otentik tersebut memuat mengenai
keterangan seorang pejabat yang menerangkan tentang apa yang dilakukannya
atau yang dilihat dihadapannya. Dalam suatu perjanjian, apa yang dijanjikan,
dinyatakan dalam akta otentik itu adalah benar seperti apa yang diperjanjikan,
dinyatakan oleh para pihak sebagai apa yang dilihat dan didengar oleh Notaris,
terutama mengenai tanggal akta, tempat dibuatnya akta, identitas yang hadir, dan
tanda tangan didalam akta tersebut merupakan pembuktian formal, sedangkan
52
Husni Thamrin, Op. Cit., hal. 11
99
kekuatan pembuktian materiil isi atau materi akta adalah benar bagi pihak-pihak
yang bersangkutan.
Akta otentik dibagi menjadi dua, yaitu akta yang dibuat oleh pejabat
(ambtelijke acte) dan akta yang dibuat oleh para pihak dihadapan pejabat (partij
acte). Ambtelijke acte adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk
itu, dimana pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat dan dilakukan. Inisiatif
pembuatan akta tidak berasal dari orang yang disebutkan dalam akta. Contohnya,
berita acara Rapat Umum Pemegang Saham PT, berita acara pencatatan boedel.
Sedangkan partij acte adalah akta yang dibuat oleh para pihak dihadapan pejabat
yang berwenang untuk itu, dimana Notaris hanya menuangkan kehendak dan
kemauan para pihak yang merupakan isi dari akta tersebut. Inisiatif pembuatan
akta ada pada para pihak yang meminta jasa pejabat tersebut, bukan atas inisiatif
pejabatnya. Contohnya, akta sewa menyewa.
BAB III
100
EKSISTENSI DARI YAYASAN LAMA DENGAN BERLAKUNYA
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 2 TAHUN 2013 YANG
BERTENTANGAN DENGAN PASAL 71 UNDANG-UNDANG YAYASAN
3.1 Eksistensi Yayasan Lama Dengan Berlakunya Undang-Undang Yayasan
Dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013
3.1.1 Eksistensi Yayasan Lama Dengan Berlakunya Undang-Undang Yayasan
Tidak adanya keserasian dalam pelaksanaan pembentukan yayasan di
Indonesia serta tidak adanya aturan yang mengatur yayasan dalam melaksanakan
kegiatannya mendorong pemerintah untuk menerbitkan Undang-undang Yayasan
pada tahun 2001, yaitu Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001.Undang-undang
Yayasan dirasakan perlu menimbang bahwa di Indonesia perkembangan yayasan
begitu pesat dengan berbagai kegiatan, maksud, dan tujuan, dan pengaturannya
hanya didasarkan pada kebiasaan dalam masyarakat karena belum memiliki
peraturan yang mengatur secara khusus.Tidak adanya peraturan yang mengatur
mengenai yayasan menyebabkan tidak terjaminnya kepastian dan ketertiban
hukum bagi masyarakat.Undang-undang Yayasan mengatur agar yayasan
berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuannya, sehingga prinsip keterbukaan dan
akuntabilitas kepada masyarakat terpenuhi.
Sampai akhirnya pada tahun 2004 pemerintah merasa perlu melakukan
perubahan atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tersebut dengan
pertimbangan bahwa Undang-undang Yayasan tersebut belum memenuhi seluruh
101
kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, selain itu juga terdapat
beberapa substansi dalam undang-undang tersebut yang dapat menimbulkan
berbagai penafsiran. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 diubah dengan
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004.
Dengan berlakunya Undang-undang Yayasan dan Perubahan Undangundang Yayasan, maka semua yayasan baik yang telah didirikan sebelum
berlakunya Undang-undang Yayasan maupun yayasan yang akan didirikan harus
memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Undang-undang Yayasan. Setelah
terbitnya UU Yayasan, tidak semua yayasan yang telah berdiri sebelum adanya
UU Yayasan dianggap berstatus badan hukum oleh UU Yayasan. Berdasarkan
Pasal 71 ayat (1) Undang-undang Yayasan, yayasan yang berdiri sebelum
terbitnya Undang-undang Yayasan, dianggap berstatus badan hukum apabila :
-
telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan
Berita Negara Republik Indonesia; dan
-
telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan
kegiatan dari instansi terkait.
Yayasan yang tidak memenuhi syarat seperti yang diatur dalam Pasal 71
ayat (1) tersebut, dianggap tidak berbadan hukum. Yayasan yang memenuhi
syarat berbadan hukum seperti yang disebutkan dalam pasal tersebut, setelah
terbitnya UU Yayasan dianggap tidak berbadan hukum kecuali menyesuaikan
anggaran dasarnya dalam jangka waktu 5 tahun dari berlakunya Undang-undang
Yayasan Nomor 16 Tahun 2001, yang kemudian Undang-undang Yayasan
tersebut direvisi menjadi Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 sehingga jangka
102
waktu penyesuaiannya menjadi 3 tahun. Selain harus melakukan penyesuaian
anggaran dasar, yayasan yang telah ada sebelum terbitnya Undang-undang
Yayasan juga harus memohon pengesahan kepada Menteri Hukum dan Ham
paling lambat 1 (satu) tahun setelah pelaksanaan penyesuaian.
Yayasan yang berdiri sebelum terbitnya Undang-undang Yayasan namun
tidak berbadan hukum (tidak memenuhi syarat sebagai badan hukum berdasarkan
ketentuan Pasal 71 ayat (1) Undang-undang Yayasan), juga diberi kesempatan
untuk mendapatkan status badan hukum dengan syarat harus menyesuaikan
anggaran dasarnya dan mengajukan permohonan pengesahan kepada Menteri
Hukum dan Ham paling lambat 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-undang
Yayasan.
Undang-undang Yayasan (Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001) terbit
pada tanggal 6 Agustus 2001 dan kemudian diubah dengan Undang-undang
Nomor 28 Tahun 2004 yang terbit pada tanggal 6 Oktober 2004. Apabila yayasan
berbadan hukum yang berdiri sebelum Undang-undang Yayasan lahir ingin tetap
berstatus badan hukum, maka yayasan tersebut harus melakukan penyesuaian
paling lambat tanggal 6 Oktober 2008 dan memohon pengesahan kepada Menteri
Hukum dan Ham paling lambat tanggal 6 Oktober 2009. Sedangkan untuk
yayasan yang tidak berbadan hukum, apabila ingin memperoleh status badan
hukum harus melakukan penyesuaian dan memohon pengesahan kepada Menteri
Hukum dan Ham paling lambat tanggal 6 Oktober 2006, seperti yang diatur dalam
Pasal 71 Ayat (2) Perubahan Undang-undang Yayasan.
103
Apabila yayasan yang berdiri sebelum terbitnya Undang-undang Yayasan
tidak melakukan penyesuaian anggaran dasar dan memohon pengesahan kepada
Menteri Hukum dan Ham sampai jangka waktu yang telah ditetapkan dalam Pasal
71 ayat (1), (2), dan (3) Perubahan Undang-undang Yayasan, maka yayasan
tersebut eksistensinya tidak diakui oleh undang-undang, tidak dapat menggunakan
kata ‘yayasan’ didepan namanya, dan dapat dibubarkan berdasarkan keputusan
Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.
3.1.2 Eksistensi Yayasan Lama Dengan Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor
2 Tahun 2013
Undang-undang Yayasan dan Perubahan Undang-undang Yayasan 4
(empat) tahun kemudian baru memiliki Peraturan Pelaksanaannya yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 sebagai peraturan pelaksana dari Undangundang yayasan. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tersebut diterbitkan
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 14 ayat (4),
Pasal 15 ayat (4), Pasal 27 ayat (2), Pasal 61, dan Pasal 69 ayat (2) UndangUndang
Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.Namun kemudian,
pemerintah merasa perlu untuk menerbitkan perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 63 Tahun 2008 dengan pertimbangan bahwa masih adanya yayasan yang
belum menyesuaikan anggaran dasarnya dengan UU Yayasan untuk dapat
memperoleh status badan hukum atau tetap diakui status badan hukumnya. Oleh
karena itu, pada tanggal 2 Januari 2013, pemerintah mengeluarkan Peraturan
104
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 63 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan,
yang mana mulai berlaku pada tanggal diundangkannya peraturan pemerintah
tersebut.
Sebelum Indonesia memiliki UU yang mengatur mengenai yayasan, telah
banyak masyarakat yang mendirikan yayasan dengan dasar kebiasaan dalam
masyarakat dan yurisprudensi.Tidak adanya peraturan yang mengatur mengenai
yayasan menyebabkan ketidakseragaman antara yayasan yang satu dengan yang
lainnya, baik dari pendiriannya, maupun dalam maksud dan tujuannya.Terbitnya
UU Yayasan memberikan kepastian dan ketertiban hukum kepada masyarakat,
sehingga yayasan berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuannya berdasarkan
prinsip keterbukaan dan akuntabilitas.
Undang-undang Yayasan serta Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun
2008 telah mengatur secara tegas mengenai yayasan-yayasan yang berdiri
sebelum terbitnya Undang-undang Yayasan.Dalam Undang-undang dan Peraturan
Pemerintah tersebut mengatur bahwa yayasan-yayasan yang berdiri sebelum
berlakunya Undang-undang Yayasan harus melakukan penyesuaian anggaran
dasar dan memohon pengesahan kepada Menteri Hukum dan Ham. Terdapat 2
macam yayasan yang berdiri sebelum terbitnya Undang-undang yayasan, yaitu :
1. yayasan yang dianggap berbadan hukum karena telah mendaftarkan diri di
Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara
105
Republik Indonesia atau memiliki izin melakukan kegiatan dari instansi
terkait,
2. yayasan yang dianggap tidak berbadan hukum karena tidak mendaftarkan
diri ke Pengadilan Negeri, tidak diumumkan dalam Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia maupun tidak memiliki izin dari instansi
terkait.
Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 dalam Pasal 36 (1)
menyebutkan bahwa :
“Yayasan yang telah didirikan sebelum berlakunya Undang-Undang dan
tidak diakui sebagai badan hukum dan tidak melaksanakan ketentuan Pasal
71 ayat (2) Undang-Undang, harus mengajukan permohonan pengesahan
akta pendirian untuk memperoleh status badan hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15.”
Penyesuaian anggaran dasar dan permohonan kepada Menteri Hukum dan
Ham memiliki batas waktu sesuai dengan yang diatur dalam Undang-undang
Yayasan.Jangka waktu penyesuaian anggaran dasar berakhir pada tanggal 6
Oktober 2008. Apabila setelah tanggal 6 Oktober 2008 yayasan yang berdiri
sebelum berlakunya Undang-undang Yayasan belum juga melakukan penyesuaian
anggaran dasar, maka yayasannya tidak diakui lagi eksistensinya dan dianggap
tidak berbadan hukum lagi, dengan demikian tidak dapat menggunakan kata
‘yayasan’ lagi didepan namanya.
106
Sampai dengan batas waktu yang ditetapkan oleh Perubahan Undangundang Yayasan, ternyata masih banyak yayasan yang berdiri sebelum terbitnya
Undang-undang Yayasan belum juga melakukan penyesuaian anggaran dasar dan
memohon pengesahan kepada menteri Hukum dan Ham. Oleh karena itu,
pemerintah bermaksud untuk memberikan kembali kesempatan pada yayasanyayasan yang telah kehabisan waktu untuk melakukan penyesuaian dan memohon
pengesahan tersebut dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
2013 yang merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun
2008 tentang pelaksanaan UU Yayasan.
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 yang mulai berlaku pada
tanggal diundangkannya ini yaitu pada tanggal 2 Januari 2013, memuat tentang
hal-hal yang berhubungan dengan syarat-syarat agar suatu yayasan yang belum
berstatus badan hukum dapat kembali melakukan penyesuaian dan mengajukan
permohonan kepada Menteri Hukum dan Ham. Seperti yang tercantum dalam
Pasal I angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013, menyatakan bahwa
diantara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan Pasal 15A, yang mana Pasal 15A
mengatur tentang surat-surat yang harus dilengkapi oleh yayasan yang sudah tidak
dapat menggunakan kata “yayasan” didepan namanya, agar dikatakan berbadan
hukum dan dapat kembali disebut sebagai yayasan.
Kemudian Pasal I angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013
menyatakan bahwa terdapat perubahan pada Pasal 18 Peraturan Pemerintah
Nomor 63 Tahun 2008, yang mana ditambahkan 1 ayat pada pasal tersebut yakni
ayat (4), yang berbunyi : “Perubahan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana
107
dimaksud pada ayat (1) berlaku sejak tanggal diterbitkannya surat penerimaan
pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan oleh Menteri”. Yang mana
Pasal 18 ayat (1) berbunyi : “Pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan
selain perubahan nama dan kegiatan Yayasan disampaikan kepada Menteri oleh
Pengurus Yayasan untuk dicatat dalam Daftar Yayasan dan diumumkan dalam
Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.”
Pasal I angka 3 pada intinya merevisi ketentuan dalam Pasal 19 ayat (2)
serta menambah satu ayat lagi yakni ayat (3).Pasal 19 Ayat (2) mengatur bahwa
perubahan data yayasan yang disampaikan kepada Menteri oleh pegurus yayasan
mulai berlaku sejak tanggal keputusan rapat atau tanggal kemudian yang
ditetapkan dalam keputusan rapat yang sah memutuskan perubahan data tersebut.
Dan tambahan pada Ayat (3) berbunyi : “Menteri berdasarkan pemberitahuan
perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pencatatan
perubahan data dan menerbitkan surat penerimaan pemberitahuan perubahan
data.” Di antara Pasal 19 dan Pasal 20 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 19A
sehingga berbunyi sebagai berikut : “Menteri hanya dapat menerima perubahan
Anggaran Dasar dan/atau perubahan data Yayasan yang dilakukan oleh anggota
organ yang telah diberitahukan kepada Menteri.”
Pada Pasal I Angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013
menyebutkan bahwa di antara Pasal 37 dan Pasal 38 ditambah 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 37A. Pasal 37A ayat (1) berbunyi : “Dalam hal perubahan Anggaran
Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dilakukan untuk Yayasan
yang sudah tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya maka
Yayasan tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
108
a. paling sedikit selama 5 (lima) tahun berturut-turut sebelum penyesuaian
Anggaran Dasar masih melakukan kegiatan sesuai Anggaran Dasarnya;
dan
b. belum pernah dibubarkan.”
Pasal 37 ayat (1) huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013
ini membingungkan. Pasal 71 Perubahan Undang-undang Yayasan telah
menentukan bahwa penyesuaian anggaran dasar paling lambat dapat dilakukan
tahun 2008, oleh karena itu suatu yayasan yang telah tidak dapat menggunakan
kata “yayasan” didepan namanya terhitung sejak tahun 2008 karena telah lewat
jangka waktu tersebut, apabila selama 5 tahun berturut-turut sebelum penyesuaian
Anggaran Dasar masih melakukan kegiatan sesuai Anggaran Dasarnya, maka
kegiatan yayasan tersebut bersifat ilegal karena saat melakukan kegiatannya
yayasan tersebut tidak lagi berbadan hukum dan tidak dapat disebut sebagai
yayasan.
Pasal 37 ayat (2), (3), dan (4) memuat mengenai syarat-syarat untuk dapat
melakukan perubahan anggaran dasar. Pasal 37 ayat (2) berbunyi :
Perubahan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan cara mengubah seluruh Anggaran Dasar Yayasan dan
mencantumkan:
a. seluruh kekayaan Yayasan yang dimiliki pada saat penyesuaian, yang
dibuktikan dengan:
1)
laporan keuangan yang dibuat dan ditandatangani oleh Pengurus Yayasan
tersebut; atau
2)
laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik bagi Yayasan
yang laporan keuangannya wajib diaudit sesuai dengan ketentuan UndangUndang;
b. data mengenai nama dari anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas yang
diangkat pada saat perubahan dalam rangka penyesuaian Anggaran Dasar
tersebut.
109
Pasal 37 ayat (3) berbunyi : “Pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar
Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah disesuaikan dengan
Undang-Undang disampaikan kepada Menteri oleh Pengurus Yayasan atau
kuasanya melalui notaris yang membuat akta perubahan Anggaran Dasar
Yayasan.” Sedangkan ayat (4) berbunyi :
“Pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilampiri:
a. salinan akta perubahan seluruh Anggaran Dasar yang dilakukan dalam
rangka penyesuaian dengan ketentuan Undang-Undang;
b. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia yang memuat akta pendirian
Yayasan atau bukti pendaftaran akta pendirian di pengadilan negeri dan izin
melakukan kegiatan dari instansi terkait;ww.hukumonline.com
c. laporan kegiatan Yayasan selama 5 (lima) tahun berturut-turut sebelum
penyesuaian Anggaran Dasar yang ditandatangani oleh Pengurus dan
diketahui oleh instansi terkait;
d. surat pernyataan Pengurus Yayasan bahwa Yayasan tidak pernah
dibubarkan secara sukarela atau berdasarkan putusan pengadilan;
e. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang telah dilegalisir oleh
notaris;
f. surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat lengkap Yayasan yang
ditandatangani oleh Pengurus Yayasan dan diketahui oleh lurah atau kepala
desa setempat;
g. neraca Yayasan yang ditandatangani oleh semua anggota organ Yayasan
atau laporan akuntan publik mengenai kekayaan Yayasan pada saat
penyesuaian;
h. pengumuman surat kabar mengenai ikhtisar laporan tahunan bagi Yayasan
yang sebagian kekayaannya berasal dari bantuan negara, bantuan luar
negeri, dan/atau sumbangan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
72 Undang-Undang; dan
i. bukti penyetoran biaya pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan
dan pengumumannya.”
Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Perubahan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
dan Pasal 37A mulai berlaku sejak tanggal diterbitkannya surat penerimaan
pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan oleh Menteri.”
110
Dan yang terakhir, ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Yayasan yang belum memberitahukan kepada Menteri sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang tidak dapat
menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 71 ayat (4) Undang-Undang dan tidak lagi melakukan kegiatannya
sesuai dengan Anggaran Dasar selama 3 (tiga) tahun berturut-turut, harus
melikuidasi kekayaannya serta menyerahkan sisa hasil likuidasi sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 Undang-Undang.
Dari seluruh pasal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2
Tahun 2013 tersebut, hanya dimaksudkan untuk yayasan-yayasan yang telah
kehilangan status badan hukumnya dan tidak lagi dapat menggunakan kata
“yayasan” didepan namanya berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 16
Tahun
2001
jo.
Undang-undang
Nomor
28
Tahun
2004
mengenai
Yayasan.Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 maka
eksistensi dari yayasan lama atau yayasan-yayasan yang sudah kehilangan status
badan hukumnya kembali dapat diakui.
3.2 Pertentangan antara Undang-undang Yayasan dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 dibentuk dengan harapan
dapat menyempurnakan beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor
63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan. Namun
apa yang diatur didalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tersebut,
tidak hanya menambahkan ketentuan demi kesempurnaan Peraturan Pemerintah
Nomor 63 Tahun 2008, tetapi juga mengubah ketentuan yang diatur dalam
Undang-undang Yayasan, khususnya mengenai jangka waktu penyesuaian
anggaran dasar yang diatur dalam Pasal 71 UU Yayasan.
Pada Pasal 71 ayat (1) UU Yayasan berbunyi :
111
Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Yayasan yang telah :
didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia; atau
didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari
instansi terkait;
tetap diakui sebagai badan hukum, dengan ketentuan dalam jangka waktu
paling lambat 3 (tiga) tahun sejak tanggal Undang-undang ini mulai berlaku,
Yayasan tersebut wajib menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan
Undang-undang ini.
Jadi Pasal 71 ayat (1) tersebut mengatur bahwa yayasan-yayasan yang
telah berdiri sebelum terbitnya UU Yayasan, yang mana menurut UU Yayasan
telah memenuhi syarat berbadan hukum namun karena adanya UU Yayasan harus
melakukan penyesuaian kembali untuk dapat mempertahankan status badan
hukumnya tersebut. Untuk melakukan penyesuaian kembali, yayasan-yayasan
tersebut hanya diberikan jangka waktu paling lambat 3 tahun sejak berlakunya
UU Yayasan.
Pasal 72 ayat (2) berbunyi :
Yayasan yang telah didirikan dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dapat memperoleh status badan hukum dengan cara
menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan Undang-undang ini, dan
mengajukan permohonan kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat 1
(satu) tahun terhitung sejak tanggal Undang-undang ini berlaku.
Pasal 71 ayat (2) mengatur mengenai yayasan-yayasan yang telah berdiri
sebelum terbitnya UU Yayasan, namun tidak memenuhi syarat berbadan hukum
dari UU Yayasan, diberikan kesempatan untuk memperoleh status badan hukum
dengan ketentuan harus melakukan penyesuaian anggaran dasar dan mengajukan
112
permohonan kepada Menteri Hukum dan Ham paling lambat 1 tahun sejak
berlakunya UU Yayasan.
Kemudian Pasal 71 ayat (3) berbunyi :
“Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib diberitahukan kepada
Menteri paling lambat 1 (satu) tahun setelah pelaksanaan penyesuaian.”
Ketentuan yang diatur dalam Pasal 71 ayat (3) tersebut adalah mengenai
yayasan-yayasan yang telah berdiri sebelum berlakunya UU Yayasan, selain wajib
melakukan penyesuaian anggaran dasar seperti yang diatur dalam Pasal 71 ayat
(1) UU Yayasan, juga wajib untuk mengajukan permohonan pengesahan kepada
Menteri Hukum dan Ham agar dapat mempertahankan status badan hukumnya.
Jangka waktu yang diberikan untuk mengajukan permohonan pengesahan kepada
Menteri Hukum dan Ham adalah paling lambat 1 tahun setelah dilaksanakannya
penyesuaian anggaran dasar.
Dan Pasal 71 ayat (4) menyebutkan :
Yayasan yang tidak menyesuaikan Anggaran Dasarnya dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Yayasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), tidak dapat menggunakan kata Yayasan didepan namanya dan dapat
dibubarkan berdasarkan keputusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan
atau pihak yang berkepentingan.
Pasal 71 ayat (4) menegaskan bahwa apabila yayasan-yayasan yang berdiri
sebelum berlakunya UU Yayasan, baik yang telah ataupun belum berstatus badan
hukum, tidak melakukan penyesuaian anggaran dasar seperti yang diatur dalam
Pasal 71 ayat (1) dan (2), maka tidak dapat lagi menggunakan kata ‘Yayasan’
113
didepan namanya dan dapat dimohonkan pembubaran oleh Jaksa atau pihak yang
berkepentingan melalui putusan pengadilan.
Jadi berdasarkan Pasal 71 tersebut diatas, pemberian kesempatan kepada
yayasan yang berdiri sebelum berlakunya UU Yayasan untuk melakukan
penyesuaian anggaran dasar hanya diberi waktu 3 tahun terhitung dari berlakunya
UU Yayasan yaitu pada tahun 2005 sehingga penyesuaian dapat dilakukan paling
lambat sampai tahun 2008. Apabila sampai waktu yang telah ditetapkan tersebut
Yayasan
yang
dimaksud
belum
juga
melakukan
penyesuaian,
maka
konsekuensinya dapat dibubarkan dan tidak boleh memakai kata ‘Yayasan’ lagi
didepan namanya.
Akibat dari aturan tersebut, banyak yayasan yang menjadi tidak berbadan
hukum karena tidak melakukan penyesuaian anggaran dasar.Dan waktu yang
diberikan pun telah habis, sehingga kesempatan untuk menjadi badan hukum telah
tertutup bagi yayasan-yayasan tersebut.Yayasan tersebut dianggap telah ‘mati’
karena tidak dapat menggunakan kata ‘Yayasan’ lagi didepan namanya. Yayasanyayasan tersebut dapat melikuidasi yayasannya dan membuat yayasan baru
dengan maksud dan tujuan sama namun dengan nama berbeda, kemudian
menyerahkan kekayaan sisa hasil likuidasi yayasan yang ‘mati’ tersebut kepada
yayasan yang baru.
Namun hingga batas waktu yang telah diberikan oleh Perubahan Undangundang Yayasan tidak banyak yayasan yang melakukan hal tersebut sehingga
masih banyaknya yayasan yang ‘mati’ atau kehilangan status badan hukum dan
tidak dapat lagi menggunakan kata “yayasan” didepan namanya karena tidak
114
melakukan penyesuaian anggaran dasar. Untuk membantu masyarakat agar lebih
mudah mendaftarkan pendirian dan/atau perubahan anggaran dasar yayasannya
dalam rangka penyesuaian dengan UU Yayasan, pemerintah merasa perlu
menyempurnakan beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63
Tahun 2008, sehingga kemudian pemerintah mengeluarkan PP Nomor 2 Tahun
2013 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008
Tentang pelaksanaan undang-undang tentang yayasan. PP 2/ 2013 menambahkan
Pasal 15A diantara Pasal 15 dan Pasal 16, yang berbunyi :
Dalam hal permohonan pengesahan akta pendirian Yayasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan kekayaan awal Yayasan berasal dari
Yayasan yang sudah tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan
namanya, permohonan pengesahan dilampiri :
a. Salinan akta pendirian Yayasan yang dalam premise aktanya menyebutkan
asal-usul pendirian Yayasan termasuk kekayaan Yayasan yang
bersangkutan;
b. Laporan kegiatan Yayasan paling sedikit selama 5 (lima) tahun terakhir
secara berturut-turut yang ditanda-tangani oleh Pengurus Yayasan dan
diketahui oleh instansi terkait;
c. Surat pernyataan Pengurus Yayasan bahwa Yayasan tidak pernah
dibubarkan secara sukarela atau berdasar putusan pengadilan;
d. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang telah dilegalisir oleh
Notaris;
e. Surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat lengkap Yayasan yang
ditandatangani oleh Pengurus Yayasan dan diketahui oleh lurah atau kepala
desa setempat;
f. Pernyataan tertulis dari Pengurus Yayasan yang memuat keterangan nilai
kekayaan pada saat penyesuaian Anggran Dasar;
g. Surat pernyataan Pengurus mengenai keabsahan kekayaan Yayasan; dan
h. Bukti penyetoran biaya pengesahan dan pengumuman Yayasan.
Pasal 15A tersebut menyebutkan mengenai lampiran-lampiran yang harus
dilengkapi oleh yayasan yang sudah tidak dapat menggunakan kata ‘Yayasan’
didepan namanya atau yayasan yang telah ‘mati’ berdasarkan Undang-undang
Yayasan, untuk mendapatkan pengesahan akta pendirian yayasan oleh Menteri
115
agar memperoleh status badan hukum. Kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 2
Tahun 2013 juga menambahkan Pasal 37A diantara Pasal 37 dan 38 yang
berbunyi :
(1) Dalam hal perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 ayat (1) dilakukan untuk Yayasan yang sudah tidak dapat
menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya maka Yayasan tersebut
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. paling sedikit selama 5 (lima) tahun berturut-turut sebelum penyesuaian
Anggaran Dasar masih melakukan kegiatan sesuai Anggaran Dasarnya; dan
b. belum pernah dibubarkan.
(2)Perubahan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan cara mengubah seluruh Anggaran Dasar Yayasan dan
mencantumkan:
a. seluruh kekayaan Yayasan yang dimiliki pada saat penyesuaian, yang
dibuktikan dengan:
1) laporan keuangan yang dibuat dan ditandatangani oleh Pengurus Yayasan
tersebut; atau
2) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik bagi Yayasan
yang laporan keuangannya wajib diaudit sesuai dengan ketentuan UndangUndang;
b. data mengenai nama dari anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas yang
diangkat pada saat perubahan dalam rangka penyesuaian Anggaran Dasar
tersebut.
(3)Pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) yang telah disesuaikan dengan Undang-Undang
disampaikan kepada Menteri oleh Pengurus Yayasan atau kuasanya melalui
notaris yang membuat akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan.
(4)Pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilampiri:
a. Salinan akta perubahan seluruh Anggaran Dasar yang dilakukan dalam
rangka penyesuaian dengan ketentuan Undang-Undang;
b. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia yang memuat akta pendirian
Yayasan atau bukti pendaftaran akta pendirian di pengadilan negeri dan izin
melakukan kegiatan dari instansi terkait;
c. Laporan kegiatan Yayasan selama 5 (lima) tahun berturut-turut sebelum
penyesuaian Anggaran Dasar yang ditandatangani oleh Pengurus dan
diketahui oleh instansi terkait;
d. Surat pernyataan Pengurus Yayasan bahwa Yayasan tidak pernah
dibubarkan secara sukarela atau berdasarkan putusan pengadilan;
e. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang telah dilegalisir oleh
notaris;
116
f. Surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat lengkap Yayasan yang
ditandatangani oleh Pengurus Yayasan dan diketahui oleh lurah atau kepala
desa setempat;
g. Neraca Yayasan yang ditandatangani oleh semua anggota organ Yayasan
atau laporan akuntan publik mengenai kekayaan Yayasan pada saat
penyesuaian;
h. Pengumuman surat kabar mengenai ikhtisar laporan tahunan bagi Yayasan
yang sebagian kekayaannya berasal dari bantuan negara, bantuan luar negeri,
dan/atau sumbangan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72
Undang-Undang; dan
i. Bukti penyetoran biaya pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar
Yayasan dan pengumumannya.”
Jadi Pasal 37A tersebut menegaskan mengenai syarat agar yayasan yang telah
‘mati’ atau tidak berbadan hukum lagi dapat melakukan perubahan anggaran dasar
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 37 Ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 63 Tahun 2008, yang berbunyi:
“Perubahan anggaran dasar yayasan yang diakui sebagai badan hukum menurut
ketentuan Pasal 71 Ayat (1) Undang-undang dilakukan oleh organ yayasan
sesuai dengan anggaran dasar yayasan yang bersangkutan.”
Dari pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa Peraturan Pemerintah
Nomor 2 Tahun 2013 ini membuka kembali kesempatan bagi yayasan yang telah
‘mati’ atau tidak dapat lagi menggunakan kata ‘Yayasan’ didepan namanya
berdasarkan kententuan yang diatur oleh Perubahan Undang-undang Yayasan. Hal
tersebut memperlihatkan bahwa aturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2
Tahun 2013 merevisi apa yang telah diatur dalam Pasal 71 Perubahan Undangundang Yayasan. Yayasan lama yang telah dianggap ‘mati’ atau tidak berbadan
hukum berdasarkan ketentuan Pasal 71 UU Yayasan, diberikan kesempatan
kembali oleh Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 untuk melakukan
117
penyesuaian anggaran dasar dan memohon pengesahan Menteri agar dapat
memeroleh status badan hukum atau dengan kata lain dapat dihidupkan kembali.
Permasalahannya disini adalah adanya pertentangan aturan antara
ketentuan yang diatur dalam Perubahan Undang-undang Yayasan dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013. Peraturan Pemerintah Nomor 2
Tahun 2013 melakukan perubahan terhadap apa yang telah diatur dalam
Perubahan Undang-undang Yayasan, padahal secara hierarki perundang-undangan
Peraturan Pemerintah berada dibawah Undang-undang.
Berdasarkan Teori Jenjang Norma dari Hans Kelsen yang menyatakan
bahwa norma-norma hukum itu memiliki jenjang atau berlapis-lapis membentuk
hierarki tata susunan norma hukum, dimana norma yang lebih rendah berlaku,
bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, hingga yang tertinggi
adalah norma dasar (Grundnorm). Dengan demikian peraturan perundangundangan yang lebih tinggi menjadi landasan bagi peraturan yang lebih rendah.
Teori Jenjang Norma ini juga diterapkan dalam tata urutan peraturan perundangundangan di Indonesia, yang mana diatur secara jelas jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangannya dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Urutannya dari atas
ke bawah adalah Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945,
Ketetapan Majelis Permusyawatan Rakyat, Undang-undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan yang
terbawah adalah Peraturan Daerah. Undang-undang ini menegaskan kekuatan
hukum dari peraturan-peraturan tersebut adalah sesuai dengan hierarki yaitu
peraturan
yang
lebih
tinggi
mengesampingkan
peraturan
yang
118
lebih
rendah.Apabila terjadi konflik atau pertentangan antara peraturan yang lebih
tinggi dengan peraturan yang lebih rendah, maka peraturan perundang-undangan
yang digunakan adalah peraturan yang lebih tinggi.
Demikian juga dalam Asas Preferensi yang dapat menjadi acuan apabila
terjadi pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang
lain. Diantara 3 asas preferensi, penulis menggunakan asas Lex Superior derogat
Legi Inferiori dalam menjawab permasalahan pertama.Lex Superior derogat Legi
Inferiori yaitu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya
mengesampingkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang tingkatannya
lebih rendah.Apabila terjadi pertentangan antara peraturan yang tidak sederajat
secara hierarki, maka asas ini yang digunakan sebagai pisau analisisnya.
Jika terdapat dua norma atau lebih yang isinya mengatur hal yang sama
namun substansinya saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya, salah
satu atau lebih dari norma tersebut harus dikesampingkan sehingga hanya satu
norma yang dipilih dan dapat berlaku di masyarakat. Untuk memecahkan
permasalahan
dalam
konflik
norma
tersebut
dapat
dilakukan
dengan
mempergunakan asas preferensi sebagai pisau analisisnya.
Asas Lex Superior derogat Legi Inferiori juga merupakan dasar bagi
Undang-undang
tentang
Pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan
(UUPPPU), dimana dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) UUPPPU menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan hierarki dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2) adalah
penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada
119
asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Selain mengacu pada teori Jenjangan norma dan Asas Lex Superior
Derogat Legi Inferiori, ketentuan Pasal 7 ayat (2) UUPPPU serta penjelasannya
memperlihatkan bahwa di Indonesia telah ada peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai keberlakuan suatu peraturan perundang-undangan
dimana suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak dapat
mengatur suatu hal yang bertentangan dengan ketentuan yang diatur oleh
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Oleh karena itu, berdasarkan Teori Jenjang Norma dan Asas Lex Superior
derogat Legi Inferiori, serta berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undangundang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maka pertentangan yang
terjadi antara Perubahan Undang-undang Yayasan dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 2 Tahun 2013 dapat diselesaikan dengan mengenyampingkan Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 yang secara hierarki berada di bawah Undangundang Yayasan. Secara hierarki perundang-undangan, undang-undang lebih
tinggi derajatnya daripada peraturan pemerintah. Dengan demikian, apabila
pemerintah ingin melakukan revisi terhadap apa yang diatur dalam Undangundang Yayasan, maka pemerintah seharusnya melakukan revisi terhadap
Undang-undang Yayasan bukan pada Peraturan Pemerintahnya. Selain itu, pada
kententuan Pasal 71 Undang-undang Yayasan dan Perubahannya tidak ada klausa
yang menyebutkan bahwa akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 seharusnya hanya melakukan
120
perubahan atau penambahan terhadap pasal yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008, bukan menambahkan pasal yang isinya
bertentangan dengan Undang-undang Yayasan. Oleh karena itu, ketentuan pasal
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tersebut bertentangan dengan
Undang-undang Yayasan dan Perubahannya dan seharusnya batal demi hukum.
BAB IV
121
AKIBAT HUKUM AKTA PERUBAHAN ANGGARAN DASAR
BERDASARKAN PP NOMOR 2 TAHUN 2013 DARI YAYASAN LAMA
YANG TIDAK BERBADAN HUKUM LAGI BERDASARKAN
KETENTUAN UU YAYASAN
4.1 Akibat Hukum dari Akta Perubahan Anggaran Dasar berdasarkan PP
No. 2 Tahun 2013 untuk Yayasan Lama yang tidak berbadan hukum lagi
berdasarkan UU Yayasan
Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 tentang Pelaksanaan Undang-undang tentang
Yayasan, yayasan-yayasan yang telah berdiri sebelum terbitnya Undang-undang
Yayasan dan Perubahannya, yang kemudian yayasan tersebut dianggap ‘mati’
atau eksistensinya tidak diakui karena tidak berbadan hukum lagi dan tidak dapat
menggunakan kata “yayasan” didepan namanya karena tidak melakukan syarat
yang ditentukan oleh Pasal 71 UU Yayasan, dapat kembali ‘dihidupkan’.
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 diterbitkan oleh pemerintah dengan
tujuan dapat menghidupkan yayasan-yayasan yang telah dianggap ‘mati’ dan
tidak berbadan hukum oleh ketentuan Undang-undang Yayasan dan Perubahan
Undang-undang Yayasan.
Yayasan-yayasan tersebut dapat melakukan penyesuaian anggaran dasar
dan memohon pengesahan kepada Menteri Hukum dan Ham agar yayasan
122
tersebut dapat memperoleh status badan hukum atau ‘hidup’ kembali. Yayasan
dapat meminta kepada Notaris untuk dibuatkan akta perubahan anggaran dasar
dan kemudian apabila akta tersebut telah selesai, melalui Notaris yayasan tersebut
dapat mengajukan permohonan pengesahan kepada Menteri. Dengan adanya akta
tersebut, yayasan dapat kembali melakukan kegiatan usahanya. Namun dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 menambahkan syarat-syarat yang
harus dipenuhi untuk mengajukan permohonan pengesahan kepada Menteri, yaitu
melampirkan berkas-berkas sesuai dengan yang disebutkan dalam Pasal 15A
Peraturan Pemerintah tersebut.
Pasal 37A Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 dengan jelas
menyatakan bahwa untuk yayasan yang didepan namanya sudah tidak dapat
menggunakan kata “yayasan” lagi, dapat melakukan perubahan anggaran dasar
untuk dapat kembali menggunakan kata yayasan dengan syarat selama 5 (lima)
tahun berturut-turut masih menjalankan kegiatan yayasannya sesuai dengan
anggaran dasar dan belum pernah dibubarkan. Maka dengan sangat jelas
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 menyatakan yayasan yang telah tidak
dapat menggunakan kata “yayasan” didepan namanya sesuai dengan perintah
Undang-undang Yayasan dan Perubahannya, dapat kembali menggunakan kata
“yayasan” dengan syarat-syarat yang diatur dalam PP tersebut.
Secara hierarki, Peraturan Pemerintah tidak dapat melakukan revisi
terhadap peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya. Berdasarkan teori
jenjang norma dan asas preferensi, apabila ada pertentangan antara peraturan
123
perundang-undangan yang tidak sederajat maka peraturan yang lebih rendah
dikesampingkan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tersebut, Notaris,
atas permohonan para pihak, membuat suatu akta perubahan yayasan yang telah
‘mati’ atau tidak dapat menggunakan kata “yayasan” didepan namanya, yang
mana yayasan tersebut sebenarnya telah dianggap mati sejak tahun 2008 oleh UU
Yayasan, dan aktanya dapat dimohonkan pembatalan ke Pengadilan Negeri.
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tidak dapat melakukan revisi terhadap
apa yang diatur dalam Pasal 71 Perubahan Undang-undang Yayasan. Apabila
pemerintah ingin memberikan kemudahan kepada masyarakat yang yayasannya
telah ‘mati’ atau tidak lagi dapat menggunakan kata “yayasan” karena kehabisan
waktu untuk melakukan penyesuaian anggaran dasar dan memohon pengesahan
kepada Menteri agar memperoleh status badan hukum, sebaiknya Undang-undang
Yayasanlah yang diubah, khususnya Pasal 71 yang mengatur tentang jangka
waktu untuk melakukan penyesuaian dan memohon pengesahan.
Pertentangan yang terjadi antara Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
2013 dengan Undang-undang Yayasan akan memiliki akibat hukum terhadap akta
perubahan anggaran dasar yang dibuat dihadapan Notaris oleh yayasan yang tidak
dapat lagi menggunakan kata “yayasan” didepan namanya. Akibat hukum dari
dibuatnya akta yayasan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013
untuk yayasan yang sudah ‘mati’ adalah yayasan tersebut tetap tidak dapat
memperoleh status badan hukum dan akta tersebut dapat dibatalkan. Yayasan
tersebut dapat “hidup kembali” atau dapat memperoleh kembali status badan
124
hukumnya hanya dengan merevisi Pasal 71 Undang-undang Yayasan dengan
Perubahan
Undang-undang
Yayasan,
bukan
dengan
merevisi
Peraturan
Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
2013.
Sesuai dengan teori badan hukum, khususnya dalam teori harta kekayaan
bertujuan dan teori harta kekayaan yang dimiliki oleh seseorang karena
jabatannya, suatu yayasan haruslah berbadan hukum karena sesuai dengan unsurunsurnya, suatu yayasan merupakan sebuah badan yang memiliki harta kekayaan
yang berdiri sendiri, memiliki pengurus, bertujuan melayani kepentingan tertentu
dan harta kekayaannya sah untuk diorganisasikan. Dengan demikian suatu
yayasan haruslah berbadan hukum. Apabila suatu yayasan kehilangan status
badan hukumnya karena tidak melakukan penyesuaian anggaran dasar sesuai
dengan yang diatur dalam Undang-undang Yayasan, maka yayasan tersebut tidak
dapat lagi disebut sebagai yayasan.
Berdasarkan salah satu bagian dari Asas-asas Umum Pemerintahan yang
Baik, yakni asas Kepastian Hukum, suatu peraturan dibuat dan diundangkan
dengan tujuan mengatur suatu hal agar menjadi jelas dan logis. Jelas dalam artian
tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir) dan logis dalam artian menjadi
suatu sistem norma dengan norma lainnya sehingga tidak berbenturan atau
menimbulkan konflik norma.
Asas Kepastian Hukum menghendaki dihormatinya hak yang telah
diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan pemerintah. Dengan demikian,
demi tercapainya kepastian hukum, setiap keputusan yang telah dikeluarkan oleh
125
pemerintah tidak dapat dicabut kembali kecuali dapat dibuktikan sebaliknya
dalam pengadilan.
Dalam menjaga kepastian hukum, pemerintah tidak boleh menerbitkan
aturan pelaksanaan yang tidak diatur oleh undang-undang atau bertentangan
dengan undang-undang. Sesuai dengan asas kepastian hukum, apabila terjadi
pertentangan
antara
aturan
pelaksana
dengan
undang-undangnya,
maka
pengadilan harus menyatakan bahwa peraturan tersebut batal demi hukum atau
dengan kata lain tidak pernah ada sehingga akibat yang muncul dengan adanya
peraturan tersebut harus dipulihkan seperti sediakala.
Suatu kepastian hukum sangatlah penting, demikian sesuai dengan bunyi
Pasal 28D Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 Amandemen ketiga, yaitu :
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil, serta perlakuan hukum yang sama dihadapan hukum.
Suatu akta penyesuaian anggaran dasar yang dibuat dihadapan Notaris
yang berdasarkan adanya aturan baru yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
2013, yang mana pada kenyataannya aturan tersebut bertentangan dengan
peraturan
perundang-undangan
diatasnya,
maka
demi
kepastian
hukum
pengadilan harus membatalkan akta tersebut. Akta penyesuaian anggaran dasar
tersebut tidak sah karena dibuat berdasarkan suatu aturan peraturan perundangundangan yang harusnya dibatalkan karena telah bertentangan dengan aturan yang
derajatnya lebih tinggi.
Dengan demikian, dengan adanya benturan norma antara Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 dengan Undang-undang Yayasan, selain
126
mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum bagi masyarakat mengenai jangka
waktu penyesuaian anggaran dasar yayasan, juga mengakibatkan suatu akta yang
dibuat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tersebut dapat
dimohonkan pembatalan ke Pengadilan Negeri, yang artinya tidak mempunyai
kekuatan hukum karena akta tersebut cacat hukum, dan sejak diputuskannya
pembatalan akta tersebut oleh hakim maka berlakunya pembatalan itu adalah
berlaku sejak perbuatan hukum/perjanjian itu dibatalkan.
4.2 Akibat Hukum Dari Akta Perubahan Anggaran Dasar Yayasan Yang
Tidak Berbadan Hukum Lagi Berdasarkan Undang-Undang Yayasan
Terhadap Pihak Ketiga Pada Badan Usaha Yang Didirikan Oleh
Yayasan
Di dalam klausul Pasal 37A ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
2013, menyebutkan bahwa ada 2 (dua) syarat yang harus dipenuhi oleh suatu
yayasan yang sudah tidak dapat menggunakan kata ‘Yayasan’ didepan namanya,
yaitu :
1. Paling sedikit selama 5 (lima) tahun berturut-turut sebelum penyesuaian
anggaran dasar masih melakukan kegiatan sesuai dengan anggaran
dasarnya, dan
2. Yayasan tersebut belum dibubarkan.
Suatu yayasan yang sudah tidak boleh lagi menggunakan kata yayasan
didepan namanya berarti tidak lagi dapat disebut sebagai yayasan dan tidak lagi
memiliki status badan hukum. Dengan demikian, bagaimana suatu yayasan dapat
127
masih melakukan kegiatan minimal 5 (lima) tahun berturut-turut, sedangkan
yayasan tersebut tidak lagi merupakan yayasan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 16
Tahun 2001 tentang Yayasan, untuk menunjang pencapaian maksud dan
tujuannya, suatu yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk dengan cara
mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha. Dalam
Perubahan Undang-undang Yayasan dalam penjelasan pasal 3 ayat (1) nya
menyatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Yayasan
dimaksudkan untuk menegaskan bahwa Yayasan tidak digunakan sebagai wadah
usaha dan yayasan tidak dapat melakukan kegiatan usaha secara langsung tetapi
harus melalui badan usaha yang didirikannya atau melalui badan usaha lain
dimana Yayasan menyertakan kekayaannya.
Oleh karena itu, yayasan
diperbolehkan mendirikan badan usaha sesuai dengan Pasal tersebut dan
penjelasannya.
Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Yayasan menyebutkan bahwa badan
usaha yang didirikan tersebut harus sesuai maksud dan tujuan didirikannya
yayasan tersebut, yang mana berdasarkan Pasal 8 Undang-undang Yayasan
menyatakan bahwa maksud dan tujuan yayasan tersebut tidak boleh bertentangan
dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Dengan demikian, untuk dapat melaksanakan maksud dan
tujuannya, suatu yayasan dapat mendirikan badan usaha dengan syarat badan
usaha tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan pendirian yayasan, dan tidak
128
boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Adapun cakupan kegiatan usaha dari badan usaha yang dapat didirikan
oleh yayasan diatur dalam Penjelasan Pasal 8 Undang-undang Yayasan, yang
mana cakupan tersebut antara lain : hak asasi manusia, kesenian, olah raga,
perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan, dan ilmu
pengetahuan.
Sebuah yayasan yang telah berdiri sebelum diterbitkannya UU Yayasan
namun tidak melakukan penyesuaian anggaran dasar sampai batas jangka waktu
yang ditentukan oleh UU Yayasan, maka yayasan tersebut tidak lagi berbadan
hukum. Kemudian apabila berdiri suatu badan usaha yang didirikan oleh suatu
yayasan, dimana yayasan tersebut kehilangan status badan hukumnya karena tidak
melakukan penyesuaian anggaran dasar, maka secara otomatis kegiatan usaha
yang dilakukan oleh badan usaha tersebut tidak memiliki legalitas.
Seperti misalnya pada suatu yayasan di bidang pendidikan, dalam hal ini
suatu sekolah. Apabila suatu yayasan pendidikan yang telah dianggap tidak
berbadan hukum lagi karena tidak melakukan penyesuaian anggaran dasar dalam
waktu yang telah ditentukan oleh UU Yayasan tersebut tetap melakukan
kegiatannya, misalnya kegiatan belajar mengajar dan penerbitan ijasah siswa yang
telah lulus tetap dilakukan, maka perlu dipertanyakan legalitas status ijasah yang
dikeluarkan oleh yayasan yang dianggap sudah tidak berbadan hukum tersebut.
Murid-murid dari sekolah tersebut menerima ijasah sebagai bukti kelulusan.
Apabila sekolah tersebut tidak lagi berada dibawah yayasan karena yayasannya
129
telah ‘mati’, maka akan berdampak pada keabsahan ijasah yang diterima oleh
murid-murid tersebut.
Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 ini, memberikan
kesempatan bagi yayasan yang telah dinyatakan ‘mati’ atau eksistensinya tidak
diakui karena telah kehilangan status badan hukumnya dan tidak dapat
menggunakan kata “yayasan” didepan namanya oleh UU Yayasan untuk ‘hidup
kembali’ dan memperoleh kembali status badan hukumnya. Yayasan tersebut
dapat meminta kepada Notaris untuk membuatkan akta perubahan anggaran dasar
dan mengajukan permohonan agar dapat memperoleh status badan hukum seperti
yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013. Kemudian
bagaimanakah status ijasah yang dikeluarkan oleh yayasan sekolah tersebut, jika
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 sendiri yang eksistensinya tidak sah
dan seharusnya batal demi hukum karena bertentangan dengan Undang-undang
Yayasan, dijadikan sebagai dasar bagi yayasan sekolah tersebut untuk melakukan
penyesuaian dengan meminta Notaris untuk membuatkan akta perubahan
anggaran dasar.
Ijasah yang dikeluarkan oleh yayasan sekolah yang telah dianggap ‘mati’
karena tidak memiliki status badan hukum berdasarkan ketentuan Undang-undang
Yayasan, tidak mempunyai legalitas lagi. Ijasah tersebut tidak diakui sebagai
ijasah dari suatu yayasan di bidang pendidikan. Peraturan Pemerintah Nomor 2
Tahun 2013 yang secara hirarki bertentangan dengan Undang-undang Yayasan,
mengakibatkan Peraturan Pemerintah tersebut harus batal demi hukum dan
apabila pemerintah ingin memberikan kesempatan kepada yayasan-yayasan yang
130
telah ‘mati’ untuk ‘hidup’ kembali, seharusnya melakukan revisi kepada Undangundang Yayasan khususnya pada Pasal 71. Jika Peraturan Pemerintah Nomor 2
Tahun 2013 yang seharusnya batal demi hukum karena bertentangan dengan
Undang-undang Yayasan dijadikan landasan bagi yayasan yang telah ‘mati’ untuk
melakukan penyesuaian anggaran dasar, maka dampak dari akta perubahan
anggaran dasar yang dibuat tersebut adalah dapat dibatalkan.
Mengacu pada pasal 37A Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
2013, yang berbunyi :
Dalam hal perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (1) dilakukan untuk Yayasan yang sudah tidak dapat menggunakan kata
“Yayasan” di depan namanya maka Yayasan tersebut harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. paling sedikit selama 5 (lima) tahun berturut-turut sebelum penyesuaian
Anggaran Dasar masih melakukan kegiatan sesuai Anggaran Dasarnya;
dan
b. belum pernah dibubarkan.
Suatu yayasan sekolah yang telah tidak dapat menggunakan kata
“yayasan” didepan namanya dan tidak berstatus badan hukum lagi, sesuai dengan
Pasal 37A tersebut dapat melakukan penyesuaian anggaran dasarnya dengan
syarat selama 5 (lima) tahun berturut-turut sebelum penyesuaian anggaran dasar
masih melakukan kegiatan sesuai anggaran dasarnya. Jika penyesuaian anggaran
dasar dilakukan pada tahun 2013, maka sejak tahun 2008 hingga tahun 2013
yayasan sekolah tersebut harus masih melakukan kegiatannya sesuai dengan
anggaran dasarnya, sedangkan Perubahan Undang-undang Yayasan menentukan
bahwa jangka waktu untuk melakukan penyesuaian anggaran dasar berakhir di
tahun 2008. Dengan demikian, apabila suatu yayasan sekolah tetap melakukan
131
kegiatan selama 5 (lima) tahun berturut-turut sejak tahun 2008 hingga 2013, maka
apabila yayasan sekolah tersebut mengeluarkan ijasah bagi murid-muridnya yang
dalam hal ini merupakan pihak ketiga, maka akibat hukumnya adalah ijasah
tersebut dianggap illegal atau tidak sah karena dikeluarkan oleh yayasan yang
telah ‘mati’ atau tidak memiliki status badan hukum dan tidak dapat
menggunakan kata yayasan didepan namanya.
Suatu ijasah yang telah diterbitkan oleh suatu yayasan sekolah yang telah
kehilangan status badan hukumnya, apabila dikemudian hari timbul permasalahan
dan ada pihak-pihak yang menggugat secara hukum, maka pihak yang
bertanggungjawab secara hukum adalah pendiri yayasan dan secara tanggung
renteng juga merupakan tanggungjawab pribadi dari organ yayasan tersebut, yaitu
pembina, pengurus, dan pengawas. Pendiri dan organ yayasan adalah pihak yang
berkewajiban untuk melakukan penyesuaian anggaran dasar yayasan agar yayasan
tersebut tidak kehilangan status badan hukumnya dan juga tidak berdampak pada
pihak ketiga, yang dalam hal ini adalah siswa yang menerima ijasah dari sekolah
yang didirikan oleh yayasan tersebut. Secara administratif, sanksi yang diterapkan
kepada yayasan yang tidak melakukan penyesuaian anggaran dasar sesuai dengan
jangka waktu yang diatur dalam Pasal 71 UU Yayasan adalah yayasan tersebut
dilarang menggunakan kata yayasan didepan namanya dan harus melikuidasi
hartanya dan kemudian sisa likuidasi diserahkan kepada yayasan lain yang
maksud dan tujuannya sama dengan yayasan yang dilikuidasi. Dalam ranah
hukum, atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan, pengadilan
dapat membubarkan yayasan tersebut. Pihak yang berkepentingan langsung antara
132
lain adalah termasuk organ yayasan (dalam hal ini pembina, pengurus, pengawas,
dan pegawai yayasan). Pihak yang berkepentingan lainnya adalah pihak ketiga
yang berhubungan dengan yayasan atas hubungan hukum, misalnya badan usaha
yang didirikan yayasan, pihak yang pernah melakukan kerjasama bidang
penyertaan modal suatu perusahaan jelas memiliki kepentingan langsung dengan
pembubaran yayasan karena menyangkut kedudukan yayasan sebagai badan
hukum yang berpengaruh terhadap tanggung jawab yayasan.
BAB V
133
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pada hasil pembahasan terhadap permasalahan dalam tesis ini,
dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut :
1. eksistensi yayasan lama dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor
2 Tahun 2013 yang bertentangan dengan Pasal 71 Undang-undang
Yayasan adalah tidak sah secara hukum karena secara hirarki Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 berada dibawah Undang-undang
Yayasan, maka Pasal 71 UU Yayasan tidak dapat direvisi oleh Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013.
2. Akibat hukum dari akta perubahan anggaran dasar yang dibuat
berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 2013 oleh yayasan lama
yang tidak berbadan hukum lagi berdasarkan ketentuan Undang-undang
Yayasan adalah akta perubahan tersebut dapat dibatalkan karena Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 bertentangan dengan Undang-undang
Yayasan.
5.2 Saran
1. Sebaiknya pemerintah membatalkan PP Nomor 2 Tahun 2013 tersebut
karena bertentangan dengan Undang-undang Yayasan dan berpotensi
134
menimbulkan permasalahan dikemudian hari, dan apabila pemerintah
ingin memberi kesempatan lagi kepada yayasan lama yang kehilangan
status badan hukum karena tidak melakukan penyesuaian anggaran dasar
sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 71 UU Yayasan, maka pemerintah
sebaiknya melakukan perubahan terhadap Pasal 71 UU Yayasan tersebut.
Selain itu pemerintah juga diharapkan dalam membuat revisi dari suatu
peraturan perundang-undangan lebih memperhatikan hirarki perundangundangan yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sehingga tidak
terjadi pertentangan norma.
2. Masyarakat, khususnya yang merupakan organ dari suatu yayasan,
hendaknya lebih teliti dan tanggap dengan adanya peraturan-peraturan
baru, serta mematuhi peraturan-peraturan tersebut sehingga dapat
menjalankan yayasannya dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
A. LITERATUR
Achmad, Ali, 2009, MenguakTeoriHukum (Legal Theory) &TeoriPeradilan
(Judicialprudence) :TermasukInterpretasiUndang-undang (Legisprudence),
Volume 1 PemahamanAwal, Kencana, Jakarta
Ali, C., 1999, Badan Hukum, Alumni, Bandung
Amirudin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, cetakan
ke-6, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta
Andi Hamzah, 1994, Kamus Hukum Indonesia, PT Pradnya Paramita, Jakarta
Andrews, Emerson, 1958, Philantropic Foundation, New York
Apeldoorn, Van, 1983, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta
ArieKusumastuti
Maria
Suhardiadi,
HukumYayasan
di
Indonesia
BerdasarkanUndang-Undang RI No. 16 Tahun 2001, TentangYayasan,
Indonesia Center Publishing
Assers, C., 1968, Handleiding To De Beoefening van Het Netherlands Burgelijk
Rech. Uitgeversmaatschappij, W.E.J. Tjeenk Willink-Zwolle
Asshiddiqie, Jimly, 2005, Model-model PengujianKonstitusional di berbagai
Negara, KonstitusiPers, Jakarta
Asshidiqie, Jimly, 2006, PengantarIlmuHukum Tata Negara, Jilid 1, Konstitusi
Press bekerjasamadengan PT. SyaamilCipta Media, Jakarta
Bakry, Noor MS, 1985, PancasilaYuridisKenegaraan, Liberty, Yogyakarta
Boedi Harsono, 1994, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah
Nasional, Djambatan, Jakarta
Borahima, Anwar, 2010, Kedudukan Yayasan di Indonesia : Eksistensi, Tujuan,
dan Tanggung Jawab Yayasan, Kencana, Jakarta
Budi AgusRiswadi, 2003, Hukum Internet, UII Press, Yogyakarta
Budiono, Herlien, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang
Kenotariatan, PT. Citra Aditya BAkti, Bandung, 2008
Chatamarrasyid, 2000, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan
Laba, Citra Aditya Bakti, Bandung
Chatamarrasyid, 2001, TujuanSosialYayasandanKegiatan Usaha BertujuanLaba,
Cet. I., PT. Citra DityaBakti, Bandung
Compbell Black MA, Hendry,Black’s Law Dictionary Cet. 2, West Publishing
Co,t.th, ST Paul Minestotta USA
Friedmann,
W.,
1990,
Legal
Theory
(TeoridanFilsafatHukumTelaahKritisAtasTeori-TeoriHukum) (Susunan I, II,
dan III), diterjemahkanoleh Muhammad Arifin, Rajawali, Jakarta
Hadjon, Philipus M., 1997, PenelitianHukumNormatif (Kumpulan Tulisan),
FakultasHukumUniversitasAirlangga, Surabaya
Hadjon, Philipus M. dkk, 2001, PengantarHukumAdministrasi Indonesia, Gajah
Mada University Press, Yogyakarta
Ibrahim,
Jhony,2006,
BayuPublising, Malang
TeoridanMetodelogiPenelitianHukumNormatif,
Iskandar, Lisman, 1977, Aspek Hukum Yayasan Menurut Hukum Positif Di
Indonesia, Majalah Yuridika No. 5 & 6 Tahun XII, September-Desember
1997
Kansil, C.S.T dan Christine S.T. Kansil, 2011, PengantarIlmuHukum Indonesia,
RinekaCipta, Jakarta
Kie, Tan Thong, 1984, Serba Serbi 30 Tahun Notariat di Indonesia, tidak
dipublikasikan
Koentjoro, Diana Halim, 2004, HukumAdministrasi Negara, Ghalia Indonesia,
Jakarta
Kusnardi,
Moh.
danBintan
R.
Saragih,
1980,
sususnanPembagianKekuasaanMenurutSistemUndang-UndangDasar 1945,
PT. Gramedia, Jakarta
Marbun, SF. &Moh. Mahfud MD, 1998,Pokok-pokokHukumAdministrasi Negara,
Liberty, Yogyakarta
Meijers, 1948, De Algemene Begrippen van het Burgerlijk Recht, Leiden
Universitaire Press
Muchsan, 1982, PengantarHukumAdministrasi Negara, Liberty, Yogyakarta
Muslimin,Amrah,
1982,
BeberapaAsas-Asas
Dan
PengertianPengertianPokokTentangAdministrasidanHukumAdministrasi,
Alumni,
Bandung
Marzuki, Peter Mahmud,2005, PenelitianHukum, Fajar Inter Pratama Offset,
Jakarta
Marzuki,Peter Mahmud,2008. PengantarIlmuHukum, Kencana, Jakarta
Pitlo, 1979, Pembuktian dan Daluarsa, Terjemahan oleh M. Isa Aris, Intermassa,
Jakarta
Pitlo, 1986, Het,Nederlands Burgelijke Wet Boek deel 1 A, Het Rechts
Personenrecht, Gouda Quint, B.V. Arnhem
Pitlo, Het Rechts Personenrecht naar het Netherlands Burgelijk Wet Boek
Prasetya, Rudhi, 1995, Dana Pensiun sebagai Badan Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung
Program
Studi
Magister
KenotariatanUniversitas
Udayana,
2013,
PedomanPendidikan Program Studi Magister KenotariatanUniversitas
Udayana, Denpasar
Projodikoro, Wirjono, 1966, Azas-azas Hukum Perdata, Sumur Bandung,
Bandung
Puryatma, I Made, 2013, Pelatihan Teknik Pembuatan Akta Notaris, tidak
dipublikasikan
Ridwan HR, 2008, Hukumadministrasi Negara, RajawaliPers,Jakarta
Salim HS.,2012, PerkembanganTeoriDalamIlmuHukum, RajawaliPers, Jakarta
Setiadi, A., 1995, Dana Pensiun Sebagai Badan Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung
Sinamo,Nomensen, 2010, HukumAdministrasi Negara,JalaPermataAksara,
Jakarta
Soekanto, Soerjono,1986, PengantarPenelitianHukum, Universitas Indonesia
Press, Jakarta
Soekanto,Soerjono,dan
Sri
Mamudji,
2001,
PenelitianHukumNormatifSuatuKajianSingkat, PT. Raja GrafindoPersada,
Jakarta
Soemitro, Rachmat, 1979, Penuntutan Perseroan Terbatas dengan Undang-undang
Pajak Perseroan, PT. Eresco, Bandung
Soeroso, 1999, Perbandingan Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta
Soeroso, 2010, Perjanjian dibawah tangan : pedoman praktis pembuatan dan
aplikasi hukum, Sinar Grafika, Jakarta
Sofwan, Sri Soedewi Masychun,tanpa tahun, Hukum Badan Pribadi, Yayasan
Badan Penerbit Gadjah Mada, Yogyakarta
Subekti, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Inter Masa, Jakarta
Sumardjono, Maria, 1989, PedomanPembuatanUsulanPenelitian, FakultasHukum
UGM
Supramono, Gatot, 2008, HukumYayasan di Indonesia, RinekaCipta, Jakarta
Suprapto, Maria Farida Indarti, 1998, IlmuPerundang-undangan,
dasarpembentukannya, Kanisius, Yogyakarta
dasar-
Suryabrata, Sumandi,1989, MetodelogiPenelitian, CV. Rajawali, Jakarta
Syarifin,Pipin,danDedahJubaedah, 2005, HukumPemerintah Daerah, PustakaSetia,
Bandung
Thamrin, Husni, 2011, Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris, LaksBang
PRESSindo, Yogyakarta
Tjandra, Riawan, 2008, HukumAdministrasi Negara, UniversitasAtmajaya
Yogyakarta, Yogyakarta
Tobing, Lombang, G. H. S., 1990, BeberapaTinjauanMengenaiYayasan
(Stichting), FakultasHukumUniversitasSebelasMaret, Solo
Wahyono, Padmo, 1992, SistemHukumNasionalDalam Negara HukumPancasila,
Alumni, Bandung
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, Lembaran Negara,
Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 112, Tambahan Lebaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4132
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang,
Yayasan Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 115, Tambahan Lebaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4430
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5234
Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undangundang tentang Yayasan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 134, Tambahan Lebaran Negara Republik Indonesia Nomor 4894
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-undang
tentang Yayasan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor
2, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5387
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1998 Tentang Penertiban
Sumber-Sumber Dana Yayasan
C. MAJALAH
ArryMth. Soekowathy, R., 2003, “Fungsi Dan RelevansiFilsafatHukumBagi Rasa
KeadilanDalamHukumPositif”, JurnalFilsafat, Jilid 35, Nomor 3, Desember
2003
DanangWidoyoko,
2003,
“UU
Yayasan:
LegalisasiBisnisMiliter”,
ArtikelDalamLenteraJurnalHukumEdisi 2 Februari 2003
Firdhonal, 2013, “Apakah PP No. 2/2013 BertentangandenganPasal 71 UU
Yayasan?”,MajalahRenvoiNomor 9.117.X, Februari 2013
LismanIskandar,
1977“AspekHukumYayasanMenurutHukumPositif
Di
Indonesia”, MajalahYuridika No. 5 & 6 Tahun XII, September-Desember
1997
Setiawan, 1995, “TigaAspekYayasan”, VariaPeradilan,Tahun V, No. 55
D. INTERNET
JimlyAsshiddiqie, “Pemikiran :BadanHukum”, Maret 2012, diaksespada 12 Juli
2013, situs : http://www.jimly.com/
Download