TESIS EKSISTENSI DAN AKIBAT HUKUM DARI AKTA PERUBAHAN ANGGARAN DASAR YAYASAN BERDASARKAN PP NOMOR 2 TAHUN 2013 TERHADAP YAYASAN LAMA YANG TIDAK BERBADAN HUKUM LAGI BERDASARKAN KETENTUAN UU YAYASAN I GUSTI AYU INTAN WULANDARI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 TESIS EKSISTENSI DAN AKIBAT HUKUM DARI AKTA PERUBAHAN ANGGARAN DASAR YAYASAN BERDASARKAN PP NOMOR 2 TAHUN 2013 TERHADAP YAYASAN LAMA YANG TIDAK BERBADAN HUKUM LAGI BERDASARKAN KETENTUAN UU YAYASAN I GUSTI AYU INTAN WULANDARI NIM : 1092461005 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 EKSISTENSI DAN AKIBAT HUKUM DARI AKTA PERUBAHAN ANGGARAN DASAR YAYASAN BERDASARKAN PP NOMOR 2 TAHUN 2013 TERHADAP YAYASAN LAMA YANG TIDAK BERBADAN HUKUM LAGI BERDASARKAN UU YAYASAN Tesis ini dibuat untuk memperoleh Gelar Magister Kenotariatan pada Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana I GUSTI AYU INTAN WULANDARI NIM : 1092461005 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 i Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL : 16April 2015 Komisi Pembimbing Pembimbing I Pembimbing II Prof.Dr.I Gusti Ayu Agung Ariani, SH.,MSI Made Puryatma, SH.,M.Kn NIP. 19441221 197503 2 001 Mengetahui : Ketua Program Magister Kenotariatan Direktur Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH.,M.Hum Prof. Dr. Dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP. 19640402 198911 2 001 NIP. 19590215 198510 2 001 ii Tesis ini Telah Diuji Pada Tanggal : 13 April 2015 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor : 1119 / UN14.4 / HK / 2015 April 16 Tanggal : 10 April 2014 Ketua : Prof. Dr. I GustiAyuAgungAriani, SH., MS Anggota : 1. I Made Puryatma, SH. M.Kn 2. Dr. PutuTuniCakabawaLandra, SH., M.Hum 3. Dr. I WayanWiryawan, SH., MH 4. Dr. DesakPutuDewiKasih, SH., M.Hum iii PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Saya yang bertandatangan di bawah ini: Nama : I GUSTI AYU INTAN WULANDARI, SH NIM : 1092461005 Program Studi : Kenotariatan. Judul Tesis : Eksistensi Dan Akibat Hukum Dari Akta Perubahan Anggaran Dasar Yayasan Berdasarkan PP Nomor 2 Tahun 2013 Terhadap Yayasan Lama Yang Tidak Berbadan Hukum Lagi Berdasarkan UU Yayasan Dengan ini menyatakan dengan sebenarnya bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari plagiat. Apabila dikemudian hari karya ilmiah tesis ini terbukti plagiat, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Denpasar, 16 November 2014. Yang Membuat Pernyataan, I GUSTI AYU INTAN WULANDARI, SH NIM. 1192461012 iv UCAPAN TERIMA KASIH Dengan memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena berkat rahmat-nyalah tesis saya yang berjudul “EKSISTENSI DAN AKIBAT HUKUM DARI AKTA PERUBAHAN ANGGARAN DASAR YAYASAN BERDASARKAN PP NOMOR 2 TAHUN 2013 TERHADAP YAYASAN LAMA YANG TIDAK BERBADAN HUKUM LAGI BERDASARKAN UU YAYASAN” ini dapat diselesaikan. Dalam Penyelesaian tesis ini, saya telah berusaha dengan seluruh kemampuan agar kesempurnaan dalam penulisan dapat tercapai, namun sebagai manusia saya menyadari sepenuhnya akan kekurangan yang ada dalam diri saya. Meskipun demikian, besar harapan semoga tesis memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Pada kesempatan ini perkenakanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. I Gusti Ayu Agung Ariani, SH., MS., selaku Pembimbing I yang telah dengan penuh kesabaran dan ketelitian membimbing penulis untuk menyelesaikan tesis ini tepat pada waktunya. Terima kasih sebesarbesarnya pula penulis sampaikan kepada I Made Puryatma, SH., M.Kn, selaku Pembimbing II yang dengan penuh pengertian dan semangat dalam membimbing dan memberikan saran kepada penulis. Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan v kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi,Sp.S(K), selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana,SH.MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana atas izin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Magister. Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., MHum., selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana. Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak dan ibu segenap dosen pengajar dilingkungan Program Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana Universitas Udayana yang telah dengan tekun mendharmabaktikan ilmunya kepada segenap mahasiswa termasuk penulis. Bapak dan ibu seluruh staf dan karyawan kesekretariatan Magister Knotariatan Universitas Udayana yang turut membantu saya dalam proses administrasi tesis ini. Ibu Anneke Wibowo, SH., yang telah bersedia memberikan dokumen dan informasi terkait penulisan tesis ini. Seluruh rekan-rekan mahasiswa angkatan I Mandiri tahun akademik 2010/2011 Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang dengan penuh rasa persaudaraan dan kekeluargaan telah memberikan berbagai bantuan dan semangat. Ucapan terima kasih, sujud bakti, peluk cium kepada orang tua tercinta, Ayahanda I Gusti Kompyang Gede Pudjawan, BA.,MBA. dan Ibunda Made Ida Dwi vi Ratna Winten, BA. yang telah memberikan kesempatan untuk ananda melanjutkan kuliah di Magister Kenotariatan, serta atas dukungan moril dan materiil, doa restu dan kasih sayang yang tak terhingga. Kakak terkasih I Gusti Ayu Ratna Mahayani, SE., dan Adik-adik tersayang I Gusti Ayu Mas Pradnyamitaswari, S.Apt dan I Gusti Agung Gde Nirartha yang selalu memberikan dukungan dan doa untuk penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Suami tercinta Ngakan Putu Yudantara, ST. yang selalu setia mendampingi dan mendukung, serta ananda tercinta Desak Putu Bella Anindaswari yang memberi semangat dan kebahagiaan. Ayahanda Mertua Ngakan Putu Japa (Alm.) dan Ibunda Mertua Desak Putu Mendri atas doa dan restunya. Serta semua pihak yang namanya tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang telah mendukung dalam proses pembuatan tesis ini. Akhir kata, penulis berharap semoga Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan kebahagiaan dan kesejahteraan kepada kita semua dan semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan serta berguna bagi masyarakat. Denpasar, 17 November 2014 Penulis vii ABSTRAK EKSISTENSI DAN AKIBAT HUKUM DARI AKTA PERUBAHAN ANGGARAN DASAR YAYASAN BERDASARKAN PP NOMOR 2 TAHUN 2013 TERHADAP YAYASAN LAMA YANG TIDAK BERBADAN HUKUM LAGI BERDASARKAN KETENTUAN UU YAYASAN PP Nomor 2 Tahun 2013 diterbitkan oleh pemerintah dengan tujuan dapat menghidupkan kembali yayasan-yayasan yang telah dianggap kehilangan status badan hukumnya oleh ketentuan UU Nomor 28 Tahun 2004 jo. UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (selanjutnya UU Yayasan). Yayasan-yayasan yang telah berdiri sebelum terbitnya undang-undang yayasan dan perubahannya yang eksistensinya tidak diakui karena tidak berbadan hukum lagi dan tidak dapat menggunakan kata “yayasan” didepan namanya karena tidak melakukan syarat yang ditentukan oleh Pasal 71 UU Yayasan, dapat memperoleh kembali status badan hukumnya berdasarkan PP Nomor 2 Tahun 2001. Permasalahan dalam tesis ini ada dua, yaitu yang pertama bagaimanakah eksistensi dari yayasan lama dengan berlakunya PP Nomor 2 Tahun 2013 yang bertentangan dengan UU Yayasan. Kedua mengenai apa akibat hukum dari akta perubahan anggaran dasar yayasan yang berdasarkan PP Nomor 2 Tahun 2013 dari yayasan lama yang tidak berbadan hukum lagi berdasarkan UU Yayasan. Penelitian tesis ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang beranjak dari adanya konflik norma antara peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan mengkaji dan menganalisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan yayasan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-undang tentang Yayasan yang bertentangan dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 jo. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksistensi yayasan lama dengan berlakunya PP Nomor 2 Tahun 2013 yang bertentangan dengan Pasal 71 UU Yayasan adalah tidak sah. Yayasan lama dapat memperoleh kembali status badan hukumnya apabila pemerintah melakukan revisi terhadap UU Yayasan. Akibat hukum dari akta perubahan anggaran dasar yayasan yang dibuat berdasarkan PP Nomor 2 Tahun 2013 adalah akta tersebut batal demi hukum. kata kunci : Yayasan, Badan Hukum, Peraturan Perundang-undangan. viii ABSTRACT THE EXISTENCE AND THE LEGAL CONSEQUENCES OF CHANGES IN THE DEED OF THE FOUNDATION’S ARTICLES OF ASSOCIATION UNDER THE GOVERNMENT REGULATION NUMBER 2 OF 2013 FOR OLDER FOUNDATION WHICH HAS NO LEGAL ENTITY UNDER THE PROVISION OF LAW ON FOUNDATION After the enactment of the Law on Foundation in Indonesia, there was a grouping of foundations that had existed prior to the enactment of the Law on Foundation, namely the foundations which were recognized as legal entities, and foundations that were not recognized as legal entity. With the enactment of the Government Regulation Number 2 of 2013, the foundations that have been established prior to the issuance of Law on Foundation and its amendments, which then, the foundation of its existence was not recognized, because it was no longer a legal entity, and it may not use the word ‘foundation’ in front of its name, because it does not meet the requirements prescribed by Article 71 of the Law on Foundations, it can return regain its legal entity status. Government Regulation Number 2 of 2013 issued by the government with the aim to revive the foundations that had been considered lost its legal entity status by the provisions of the Law on Foundation. This thesis research used normative legal research methods that depart from the conflict of norms between the lower legislation with the higher level of regulation. The normative research of statutory approach was conducted by reviewing and analyzing the legislation relating to the foundation, i.e. the Government Regulation Number 2 of 2013 on the Amendment of Government Regulation Number 63 of 2008 on the Implementation of the Law on Foundation that are contrary to Law Number 16 of 2001 in conjunction with the Law Number 28 of 2004 on the Foundation. The research results showed that the existence of the older foundation that is not incorporated again under the Law on Foundation may not be extended on the basis of Government Regulation Number 2 of 2013. The older foundation may regain its legal entity status, if the government revises the Law on Foundation. The legal consequences of the deed of amendment to the articles of association of a foundation made under the Government Regulation Number 2 of 2013 are declared null and void by law. Keywords : Foundation, Legal Entities, Laws and Regulations. ix RINGKASAN Tesis ini menganalisis tentang eksistensi dan akibat hukum dari akta perubahan anggaran dasar yayasan berdasarkan PP Nomor 2 Tahun 2013 terhadap yayasan lama yang tidak berbadan hukum lagi berdasarkan UU Yayasan. Bab I menguraikan tentang latar belakang masalah mengenai eksistensi dari yayasan lama yang dengan berlakunya PP Nomor 2 Tahun 2013 yang mana PP tersebut bertentangan dengan Pasal 71 UU Nomor 28 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (untuk selanjutnya disebut UU Yayasan). Rumusan masalah dalam tesis ini ada dua, yaitu yang pertama bagaimanakah eksistensi dari yayasan lama dengan berlakunya PP Nomor 2 Tahun 2013 yang bertentangan dengan UU Yayasan, yang kedua mengenai apa akibat hukum dari akta perubahan anggaran dasar yayasan yang berdasarkan PP Nomor 2 Tahun 2013 dari yayasan lama yang tidak berbadan hukum lagi berdasarkan UU Yayasan. Landasan teori yang digunakan adalah Konsep Negara Hukum, Teori Jenjang Norma Hukum, Teori Badan Hukum, Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, dan Asas Preferensi. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif yang beranjak dari adanya konflik norma antara PP Nomor 2 Tahun 2013 dengan UU Yayasan. Bab II sebagai penjabaran dari kajian pustaka yang membahas mengenai tinjauan umum mengenai badan hukum, sejarah yayasan di Indonesia, yayasan sebagai badan hukum, organ yayasan, proses pendirian yayasan, penggabungan dan pembubaran yayasan, pengertian akta, dan jenis akta. Setelah berlakunya Undang-undang Yayasan di Indonesia, secara tegas diatur mengenai definisi Yayasan, dimana pada Pasal 1 Angka 1 menyebutkan bahwa yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak memiliki anggota. Yayasan didirikan dengan akta Notaris dan harus memohon pengesahan kepada Menteri Hukum dan Ham. Bab III merupakan hasil penelitian dan pembahasan terhadap rumusan permasalahan pertama yang diuraikan dalam dua sub bab. Sub bab pertama menguraikan eksistensi yayasan lama dengan berlakunya UU Yayasan dan PP Nomor 2 Tahun 2013 dan sub bab kedua menguraikan tentang pertentangan antara UU Yayasan dengan PP Nomor 2 Tahun 2013. Bab IV merupakan hasil penelitian dan pembahasan rumusan permasalahan kedua yang diuraikan dalam 2 sub bab, sub bab pertama adalah menguraikan tetang akibat hukum dari akta perubahan anggaran dasar yayasan berdasarkan PP Nomor 2 Tahun 2013 untuk yayasan lama yang tidak berbadan hukum lagi berdasarkan UU Yayasan, sub bab kedua menguraikan mengenai akibat hukum dari akta perubahan anggaran dasar yayasan yang tidak berbadan hukum lagi berdasarkan UU Yayasan terhadap pihak ketiga pada badan usaha yang didirikan oleh yayasan. Bab V sebagai bab penutup yang menguraikan mengenai kesimpulan dan saran. Adapun kesimpulan pembahasan di atas adalah : eksistensi dari yayasan lama yang tidak berbadan hukum lagi berdasarkan UU Yayasan dengan berlakunya PP Nomor 2 Tahun 2013 adalah tidak sah karena akta perubahan x anggaran dasar yayasan lama dibuat berdasarkan PP Nomor 2 Tahun 2013 yang bertentangan dengan UU Yayasan. Berdasarkan teori jenjang norma, asas lex superior derogat legi inferiori, dan UU Pembentukan Peraturan Perundangundangan, Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apabila terjadi pertentangan atau konflik maka peraturan perundang-undangan yang secara hierarki lebih tinggi dapat mengesampingkan peraturan perundangundangan yang lebih rendah. Akibat hukum dari dibuatnya akta perubahan anggaran dasar yayasan berdasarkan PP Nomor 2 Tahun 2013 terhadap yayasan lama yang telah kehilangan status badan hukumnya adalah akta tersebut harus dinyatakan batal demi hukum oleh pengadilan karena akta tersebut dibuat berdasarkan aturan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya. Sebagai saran dalam penelitian ini, sebaiknya pemerintah membatalkan PP Nomor 2 Tahun 2013 tersebut karena bertentangan dengan norma diatasnya dan berpotensi menimbulkan permasalahan dikemudian hari, kemudian juga pemerintah diharapkan dalam membuat revisi terhadap suatu peraturan perundang-undangan lebih memperhatikan hierarki perundangundangan yang telah diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sehingga tidak terjadi pertentangan antara norma yang lebih rendah dengan norma yang lebih tinggi. Notaris sebaiknya lebih memperluas pengetahuannya terhadap peraturan perundangundangan yang berlaku sehingga akta yang dibuatnya dikemudian hari tidak menimbulkan permasalahan dalam masyarakat. Demikian juga masyarakat sebaiknya lebih teliti dan tanggap terhadap adanya peraturan-peraturan baru dan mematuhi peraturan-peraturan tersebut sehingga tidak timbul permasalahan yang mengakibatkan pemerintah harus membuat revisi peraturan perundang-undangan. xi DAFTAR ISI Halaman SAMPUL LUAR.................................................................................................. SAMPUL DALAM .......................................................................................... PRASYARAT GELAR........................................................................................ i LEMBAR PERSETUJUAN................................................................................. ii PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT................................................................... iv UCAPAN TERIMA KASIH................................................................................ v ABSTRAK........................................................................................................... viii ABSTRACT........................................................................................................... ix RINGKASAN....................................................................................................... x DAFTAR ISI........................................................................................................ xii BAB I PENDAHULUAN 1 .............................................................................. 1.1 Latar Belakang Masalah 1.2 Rumusan Masalah .................................................................. 18 1.3 Tujuan Penelitian .................................................................. 18 1.3.1 Tujuan Umum ............................................................. 19 1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................... 19 .................................................................. 19 1.4.1 Manfaat Teoritis .............................................................. 19 1.4.2 Manfaat Praktis ................................................................ 20 1.4 1.5 Manfaat Penulisan Landasan Teoritis ...................................................... 1 ....................................................................... 20 1.5.1 Konsep Negara Hukum xi ...................................................... 20 1.5.2 Teori Jenjang Norma Hukum 1.5.3 Teori Badan Hukum ............................................ 25 .......................................................... 30 1.5.4 Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik ...................... 33 1.5.5 Asas Preferensi ...................................................................... 41 1.5.6 Kerangka Pemikiran……......................................................... 43 1.6 Metode Penelitian ....................................................................... 45 1.6.1 Jenis Penelitian ....................................................................... 45 1.6 2 Jenis Pendekatan ..................................................................... 46 1.6.3 Sumber Bahan Hukum ........................................................... 48 1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ................................... 50 1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ............................................... 50 BAB II KAJIAN PUSTAKA ....................................................................... 52 2.1 Tinjauan Umum Tentang Badan Hukum.......................................... 52 2.2 Yayasan ................................................................................... 61 a. Sejarah Yayasan di Indonesia ............................................... 61 b. Yayasan Sebagai Badan Hukum ............................................... 69 c. Organ Yayasan ....................................................................... 76 d. Proses Pendirian Yayasan ....................................................... 82 e. Penggabungan dan Pembubaran Yayasan 2.3 Akta ............................... 87 ............................................................................................... 92 a. Pengertian Akta ....................................................................... 92 b. Jenis Akta ................................................................................... 94 xii BAB III EKSISTENSI DARI YAYASAN LAMA DENGAN BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 2 TAHUN 2013 YANG BERTENTANGAN DENGAN PASAL 71 UNDANG-UNDANG……100 3.1. Eksistensi Yayasan Lama Dengan Berlakunya Undang Undang Yayasan Dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013...............100 3.1.1 Eksistensi Yayasan Lama Dengan Berlakunya Undang-Undang Yayasan……………………………………………………. 100 3.1.2 Eksistensi Yayasan Lama Dengan Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013.......................................... 103 3.2 Pertentangan Antara Undang Undang Yayasan Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 ............................................... 110 BAB IV AKIBAT HUKUM AKTA PERUBAHAN ANGGARAN DASAR YAYASAN BERDASARKAN PP NOMOR 2 TAHUN 2013 DARI YAYASAN LAMA YANG TIDAK BERBADAN HUKUM LAGI BERDASARKAN KETENTUAN UU YAYASAN ............................. 121 4.1 Akibat Hukum dari Akta Perubahan Anggaran Dasar Yayasan Berdasarkan PP Nomor 2 Tahun 2013 untuk Yayasan Lama yang Tidak Berbadan Hukum Lagi Berdasarkan UU Yayasan................ 121 4.2 Akibat Hukum dari Akta Perubahan Anggaran Dasar Yayasan yang Tidak Berbadan Hukum Lagi Berdasarkan UU Yayasan terhadap Pihak Ketiga pada Badan Usaha yang Didirikan oleh Yayasan ...... 126 xiii BAB V PENUTUP .............................................................................................. 133 5.1 Kesimpulan .................................................................................. 133 5.2 Saran ...............................................................................................133 DAFTAR PUSTAKA xiv BAB I 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Yayasan sudah lama ada dan telah dikenal oleh manusia sejak awal sejarah. Sejak semula yayasan dikenal sebagai suatu badan hukum yang bersifat nirlaba, dimana telah dipisahkan suatu harta dari harta kekayaan pribadi seseorang, yang kemudian dipergunakan untuk suatu tujuan sosial dan keagamaan, dan pengurusannya diserahkan kepada suatu badan pengurus untuk dikelola dengan baik dan penuh tanggung jawab. Rido mengemukakan bahwa untuk dapat dikatakan sebagai badan hukum suatu yayasan harus memenuhi unsur-unsur, yaitu : “Mempunyai harta kekayaan sendiri yang berasal dari suatu perbuatan pemisahan, mempunyai tujuan sendiri (tertentu), dan mempunyai alat perlengkapan.”1 Suatu badan hukum yang mengandung unsur sosial dalam setiap kegiatannya, dan sangat identik dengan unsur ekonomi sesuai dengan kebutuhan masyarakat, membuat yayasan menjadi bentuk usaha yang strategis dan cepat mengalami perkembangan didalam masyarakat. Selain itu dipicu juga karena proses pendiriannya yang mudah karena belum adanya aturan yang mengatur. Pemerintah akhirnya menerbitkan undang-undang yang mengatur tentang yayasan pada tanggal 6 Agustus 2001 setelah 56 tahun Indonesia merdeka, yaitu 1 Gatot Supramono, 2008, Hukum Yayasan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta,, hal. 2 2 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang yayasan, Lembaran Negara No. 112 Tahun 2001 Tambahan Lembaran Negara 4132 (untuk selanjutnya disebut : UU Yayasan) yang mulai berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan yaitu tanggal 6 Agustus 2002. Kemudian 4 (empat) tahun kemudian UU tersebut mengalami revisi dalam beberapa pasalnya dengan disahkannya Undang-undang Nomor 28 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No 16 Tahun 2001 tentang Yayasan LN No. 115 TLN 4430 (untuk selanjutnya disebut : Perubahan UU Yayasan). Setelah keluarnya UU Yayasan, maka secara otomatis penentuan status badan hukum yayasan-yayasan yang sudah berdiri sebelum adanya UU Yayasan harus mengikuti ketentuan yang ada di dalam UU Yayasan tersebut. Kepastian dan ketertiban hukum dalam menjalankan yayasan mulai dapat dirasakan oleh masyarakat. Dalam UU Yayasan disebutkan bahwa yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian memperoleh pengesahan dari Menteri (Pasal 11 ayat (1)). UU Yayasan juga menentukan bahwa pendirian yayasan dilakukan dengan akta Notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia (Pasal 9 ayat (2)). Berdasarkan ketentuan Pasal 71 Perubahan UU Yayasan, terdapat 2 (dua) macam status hukum untuk yayasan yang telah didirikan sebelum berlakunya UU Yayasan, yaitu : 1. Yayasan Lama (yayasan yang telah berdiri sebelum terbitnya UU Yayasan) yang telah berstatus badan hukum; 2. Yayasan Lama (yayasan yang telah berdiri sebelum terbitnya UU Yayasan) yang belum berstatus badan hukum. 3 ‘Yayasan lama yang berstatus badan hukum’ diatur dalam ketentuan Pasal 71 Ayat (1) dan Ayat (3) Perubahan UU Yayasan. Pasal 71 ayat (1) menyebutkan : Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Yayasan yang telah : didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; atau didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait; tetap diakui sebagai badan hukum, dengan ketentuan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak tanggal Undang-undang ini mulai berlaku, Yayasan tersebut wajib menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan Undang-undang ini. Berdasarkan Pasal 71 ayat (1) UU Yayasan tersebut diatas pada dasarnya tetap mengakui suatu yayasan yang telah didirikan sebelum UU Yayasan ini terbit asalkan yayasan tersebut telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia atau telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait, dengan jangka waktu penyesuaian anggaran dasar paling lambat 3 (tiga) tahun sejak tanggal UU Yayasan tersebut berlaku. Perubahan UU Yayasan berlaku sejak tanggal 6 Oktober 2005, berarti yayasan tersebut harus menyesuaikan anggaran dasar paling lambat 3 (tiga) Tahun setelah itu yaitu tanggal 6 Oktober 2008. Oleh karena itu berdasarkan Perubahan UU Yayasan, yayasan lama yang belum menyesuaikan anggaran dasar sampai tanggal 6 Oktober 2008 tidak dapat diakui sebagai badan hukum. Selain harus menyesuaikan anggaran dasarnya, untuk dapat memperoleh status badan hukum, yayasan sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 71 ayat (1) diatas juga wajib memberitahukan kepada Menteri, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 71 ayat (3) UU Yayasan menyebutkan : “Yayasan sebagaimana 4 dimaksud pada ayat (1), wajib diberitahukan kepada Menteri paling lambat 1 (satu) tahun setelah pelaksanaan penyesuaian.” Pelaksanaaan penyesuaian anggaran dasar paling lambat 6 Oktober 2008, maka pemberitahuan kepada Menteri paling lambat tanggal 6 Oktober 2009. Untuk ‘Yayasan lama yang belum berstatus badan hukum’ diatur dalam Pasal 71 ayat (2) UU Yayasan. Pasal 71 Ayat (2) menyebutkan : Yayasan yang telah didirikan dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memperoleh status badan hukum dengan cara menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan Undang-undang ini, dan mengajukan permohonan kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal Undang-undang ini berlaku. Jadi ketentuan Pasal 71 ayat (2) UU Yayasan tersebut menegaskan bahwa yayasan lama yang belum berstatus badan hukum wajib menyesuaikan anggaran dasarnya seperti yang diatur dalam UU Yayasan dan memohon pengesahan kepada Menteri dengan jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal Undang-undang ini berlaku. Perubahan UU Yayasan mulai berlaku terhitung sejak tanggal 6 Oktober 2005, berarti permohonan kepada Menteri paling lambat dilakukan pada tanggal 6 Oktober 2006. ‘Yayasan lama yang berstatus badan hukum’ dan ‘yayasan lama yang belum berstatus badan hukum’ yang tidak melakukan penyesuaian seperti yang ditentukan dalam pasal-pasal tersebut tidak dapat menggunakan kata yayasan didepan namanya dan dapat dibubarkan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 71 ayat (4) UU Yayasan, yaitu : Yayasan yang tidak menyesuaikan Anggaran Dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dapat menggunakan kata Yayasan didepan namanya dan dapat 5 dibubarkan berdasarkan keputusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan. Ketentuan Pasal 71 UU Yayasan tersebut dipertegas kembali dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-undang Yayasan tersebut. Dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 menyebutkan bahwa: Yayasan yang belum memberitahukan kepada Menteri sesuai dengan ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) Undangundang tidak dapat menggunakan kata Yayasan di depan namanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (4) Undang-undang dan harus melikuidasi kekayaannya serta menyerahkan sisa hasil likuidasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 Undang-undang. Berdasarkan ketentuan Pasal 71 UU Yayasan dan Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tersebut, sudah jelas diatur bahwa penyesuaian dan pengajuan permohonan kepada Menteri dapat dilakukan sebelum jangka waktu yang telah ditetapkan : 1. Untuk ‘Yayasan lama yang telah berstatus badan hukum’ paling lambat melakukan penyesuaian anggaran dasar tanggal 6 Oktober 2008 dan memberitahukan kepada Menteri paling lambat tanggal 6 Oktober 2009 2. Untuk ‘Yayasan lama yang belum berstatus badan hukum’ paling lambat melakukan penyesuaian dan memohon pengesahan tanggal 6 Oktober 2006. Pasal 36 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 menyebutkan bahwa : “Yayasan yang telah didirikan sebelum berlakunya Undang-Undang dan tidak diakui sebagai badan hukum dan tidak melaksanakan ketentuan Pasal 6 71 ayat (2) Undang-Undang, harus mengajukan permohonan pengesahan akta pendirian untuk memperoleh status badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.” Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 menyatakan bahwa jangka waktu untuk mengajukan permohonan pengesahan akta pendirian yayasan untuk memperoleh status badan hukum kepada Menteri adalah paling lambat 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian Yayasan ditandatangani. Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2013 yang mulai berlaku sejak tanggal 2 Januari 2013, yang merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 terdapat suatu perubahan mendasar dalam kaitannya dengan kedudukan Yayasan yang sebenarnya sudah tidak lagi dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya. Yayasan tersebut yang sebelumnya berdasarkan UU Yayasan dan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 sudah tidak dapat lagi disesuaikan anggaran dasarnya dengan UU Yayasan, dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 kembali dimungkinkan untuk menyesuaikan anggaran dasarnya. Yayasan Lama yang semula tidak dapat lagi menyesuaikan anggaran dasarnya untuk disesuaikan dengan UU Yayasan dan tidak dapat lagi menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya, saat ini kembali dapat melakukan penyesuaian anggaran dasarnya dengan UU Yayasan dan karenanya selanjutnya setelah disahkan sebagai badan hukum atau disetujuinya perubahan anggaran dasar yayasan yang bersangkutan eksistensinya sebagai badan hukum dapat kembali diakui. Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 7 2013 menambah 1 (satu) pasal diantara Pasal 15 dan 16 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008, yakni Pasal 15A yang berbunyi: Dalam hal permohonan pengesahan akta pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan kekayaan awal Yayasan berasal dari Yayasan yang sudah tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya, permohonan pengesahan dilampiri : a. Salinan akta pendirian Yayasan yang dalam premise aktanya menyebutkan asal-usul pendirian Yayasan termasuk kekayaan Yayasan yang bersangkutan; b. Laporan kegiatan Yayasan paling sedikit selama 5 (lima) tahun terakhir secara berturut-turut yang ditanda-tangani oleh Pengurus Yayasan dan diketahui oleh instansi terkait; c. Surat pernyataan Pengurus Yayasan bahwa Yayasan tidak pernah dibubarkan secara sukarela atau berdasar putusan pengadilan; d. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang telah dilegalisir oleh Notaris; e. Surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat lengkap Yayasan yang ditandatangani oleh Pengurus Yayasan dan diketahui oleh lurah atau kepala desa setempat; f. Pernyataan tertulis dari Pengurus Yayasan yang memuat keterangan nilai kekayaan pada saat penyesuaian Anggran Dasar; g. Surat pernyataan Pengurus mengenai keabsahan kekayaan Yayasan; dan h. Bukti penyetoran biaya pengesahan dan pengumuman Yayasan. Berdasarkan ketentuan Pasal 15A Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 maka untuk yayasan lama yang belum berstatus badan hukum penyesuaian dengan UU Yayasan hanya dapat dilakukan apabila : 1. Yayasan tersebut memang menjalankan kegiatan usahanya sesuai anggaran dasar yayasan yang bersangkutan yang dibuktikan dengan laporan kegiatan usaha paling sedikit selama 5 (lima) tahun terakhir secara berturut-turut, yang ditandatangani oleh Pengurus Yayasan dan diketahui oleh instansi terkait; 8 2. Yayasan yang bersangkutan belum pernah dibubarkan, yang dibuktikan dengan surat pernyataan Pengurus Yayasan bahwa yayasan tidak pernah dibubarkan secara sukarela atau berdasarkan putusan pengadilan. Penyesuaian anggaran dasar yayasan lama yang belum berstatus badan hukum dibuat dengan membuat akta pendirian yayasan, dengan menyebutkan asal-usul pendirian yayasan serta kekayaan yang bersangkutan di dalam premise akta pendiriannya, dan sebelum dibuatnya akta pendirian harus dilakukan pengecekan apakah nama yayasan yang bersangkutan masih dapat dipergunakan. Perubahan anggaran dasar yayasan yang telah berstatus badan hukum diatur dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2008. Untuk perubahan anggaran dasar yayasan lama yang telah berstatus badan hukum namun tidak dapat lagi menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 menambahkan 1 (satu) pasal diantara Pasal 37 dan 38 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 yaitu Pasal 37A yang berbunyi: (1) Dalam hal perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dilakukan untuk Yayasan yang sudah tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya maka Yayasan tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. paling sedikit selama 5 (lima) tahun berturut-turut sebelum penyesuaian Anggaran Dasar masih melakukan kegiatan sesuai Anggaran Dasarnya; dan b. belum pernah dibubarkan. (2) Perubahan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara mengubah seluruh Anggaran Dasar Yayasan dan mencantumkan: a. seluruh kekayaan Yayasan yang dimiliki pada saat penyesuaian, yang dibuktikan dengan: 1) laporan keuangan yang dibuat dan ditandatangani oleh Pengurus Yayasan tersebut; atau 9 2) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik bagi Yayasan yang laporan keuangannya wajib diaudit sesuai dengan ketentuan Undang-Undang; b. data mengenai nama dari anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas yang diangkat pada saat perubahan dalam rangka penyesuaian Anggaran Dasar tersebut. (3) Pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah disesuaikan dengan Undang-Undang disampaikan kepada Menteri oleh Pengurus Yayasan atau kuasanya melalui notaris yang membuat akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan. (4) Pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri: a. Salinan akta perubahan seluruh Anggaran Dasar yang dilakukan dalam rangka penyesuaian dengan ketentuan Undang-Undang; b. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia yang memuat akta pendirian Yayasan atau bukti pendaftaran akta pendirian di pengadilan negeri dan izin melakukan kegiatan dari instansi terkait; c. Laporan kegiatan Yayasan selama 5 (lima) tahun berturut-turut sebelum penyesuaian Anggaran Dasar yang ditandatangani oleh Pengurus dan diketahui oleh instansi terkait; d. Surat pernyataan Pengurus Yayasan bahwa Yayasan tidak pernah dibubarkan secara sukarela atau berdasarkan putusan pengadilan; e. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang telah dilegalisir oleh notaris; f. Surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat lengkap Yayasan yang ditandatangani oleh Pengurus Yayasan dan diketahui oleh lurah atau kepala desa setempat; g. Neraca Yayasan yang ditandatangani oleh semua anggota organ Yayasan atau laporan akuntan publik mengenai kekayaan Yayasan pada saat penyesuaian; h. Pengumuman surat kabar mengenai ikhtisar laporan tahunan bagi Yayasan yang sebagian kekayaannya berasal dari bantuan negara, bantuan luar negeri, dan/atau sumbangan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 Undang-Undang; dan i. Bukti penyetoran biaya pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan dan pengumumannya.” Berdasarkan ketentuan Pasal 37A Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 maka untuk yayasan lama yang telah berstatus badan hukum dapat melakukan penyesuaian apabila : 1. Yayasan tersebut memang menjalankan kegiatan usahanya sesuai anggaran dasar yayasan yang bersangkutan yang dibuktikan dengan 10 laporan kegiatan usaha paling sedikit selama 5 (lima) tahun terakhir secara berturut-turut, yang ditandatangani oleh Pengurus Yayasan dan diketahui oleh instansi terkait; 2. Yayasan yang bersangkutan belum pernah dibubarkan, yang dibuktikan dengan surat pernyataan Pengurus Yayasan bahwa yayasan tidak pernah dibubarkan secara sukarela atau berdasarkan putusan pengadilan. Penyesuaian anggaran dasar yayasan lama yang belum berstatus badan hukum dibuat dengan membuat akta perubahan anggaran dasar yayasan yang dibuat dalam rangka penyesuaian dengan UU Yayasan. Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, berdasarkan ketentuan Pasal 71 ayat (1) Perubahan UU Yayasan, yayasan yang telah didirikan sebelum dikeluarkannya UU Yayasan dan telah diakui sebagai badan hukum, dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal berlakunya Perubahan UU Yayasan wajib menyesuaikan anggaran dasarnya agar tetap diakui statusnya sebagai badan hukum. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 71 ayat (3) Perubahan UU Yayasan, Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) wajib diberitahukan kepada Menkumham paling lambat 1 (satu) tahun setelah pelaksanaan penyesuaian tersebut. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 71 ayat (2) Perubahan UU Yayasan, yayasan yang telah didirikan sebelum UU Yayasan dan tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) Perubahan UU Yayasan, wajib menyesuaikan anggaran dasarnya dengan UU Yayasan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun untuk memperoleh status sebagi badan hukum. Dan pada Pasal 71 11 ayat (4) Perubahan UU Yayasan menetukan bahwa yayasan yang tidak menyesuaikan anggaran dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” didepan namanya dan dapat dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan. Berdasarkan uraian di atas maka jika kita berpegang pada ketentuan Pasal 71 UU Yayasan maka dengan lewatnya jangka waktu yang ditetapkan dalam UU Yayasan berarti yayasan-yayasan yang tidak menyesuaikan anggaran dasarnya dengan UU Yayasan tidak dapat lagi melakukan penyesuaian anggaran dasar dan dengan demikian yayasan tersebut menjadi tidak berbadan hukum dan dapat dibubarkan, kecuali dilakukan perubahan kembali atas Pasal 71 UU Yayasan tersebut. Perubahan kembali Pasal 71 Perubahan UU Yayasan tersebut tentunya harus dilakukan dengan suatu UU. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013, pemerintah bersama pembuat UU bermaksud membuka kembali kemungkinan yayasan lama yang belum menyesuaikan anggaran dasar nya dengan Perubahan UU Yayasan (Yayasan yang sudah tidak lagi dapat menggunakan kata “Yayasan” didepan namanya) untuk dapat melakukan penyesuaian anggaran dasar dengan persyaratan tertentu. Dengan demikian, yayasan yang tadinya sudah tidak dapat lagi dilakukan penyesuaian anggaran dasar karena telah lewatnya jangka waktu penyesuaian, sekarang kembali dapat melakukan penyesuaian. 12 Banyaknya yayasan lama yang belum melakukan penyesuaian anggaran dasar seperti yang diatur dalam Pasal 71 UU Yayasan dikarenakan ketidaktahuan organ yayasan terhadap aturan tersebut, kurangnya sosialisasi pemerintah UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 terhadap masyarakat khususnya kepada yayasan-yayasan lama, yang disebabkan oleh dana dan waktu. Alasan lainnya adalah karena tidak adanya lembaga pengawasan terhadap yayasan, baik di tingkat Kabupaten/Kota maupun Provinsi terhadap keberadaan yayasan lama tersebut. Perubahan terhadap ketentuan Pasal 71 UU Yayasan ini apakah dimaksudkan untuk memperpanjang jangka waktu untuk melakukan penyesuaian ataukah ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 ini dimaksudkan untuk meniadakan ketentuan mengenai jangka waktu yang ditetapkan oleh Pasal 71 UU Yayasan. Secara hierarki perundangan, perlu diperhatikan apakah peraturan yang lebih rendah dapat mengesampingkan atau mengubah ketentuan peraturan yang lebih tinggi. Berdasarkan ketentuan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (untuk selanjutnya disebut : UUPPPU) kedudukan Peraturan Pemerintah berada dibawah Undang-Undang. Pasal 7 ayat (1) UUPPPU mengatur bahwa jenis dan hierarki peraturan berturut-turut adalah UUD 1945, Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan Daerah (Perda). Jadi terdapat konflik norma apabila ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 diterbitkan untuk tujuan 13 mengesampingkan atau mengubah ketentuan Pasal 71 UU Yayasan. Terhadap permasalahan ini, Firdhonal, Notaris di Jakarta juga berpendapat bahwa terdapat kontroversi pada pasal didalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013, dimana menurutnya bahwa : Pasal 71 UU Yayasan telah menyatakan bahwa apabila telah melewati batas waktu penyesuaian, maka yayasan tersebut dianggap bubar demi hukum. Dalam arti, yayasan itu tidak mempunyai kekuatan lagi. Sekarang, dengan keluarnya PP yang baru tentunya bertentangan dengan Pasal 71 tersebut. Seharusnya apabila ingin menghidupkan kembali yayasan yang telah lewat batas waktu penyesuaian, tentunya harus merubah Pasal 71 UU Yayasan, bukannya dengan PP. Ketika Notaris membuat akta perubahan yayasan dan kemudian terjadi sengketa, tentunya akan berdampak kepada Notaris.2 Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, suatu yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha. Kemudian dalam penjelasan pasal 3 Ayat (1) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan menyebutkan bahwa ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa Yayasan tidak digunakan sebagai wadah usaha dan Yayasan tidak dapat melakukan kegiatan usaha secara langsung tetapi harus melalui badan usaha yang didirikannya atau melalui badan usaha lain dimana Yayasan menyertakan kekayaannya. Dengan demikian yayasan diperbolehkan mendirikan badan usaha sesuai dengan Pasal tersebut dan penjelasannya. Sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Yayasan, badan usaha tersebut harus sesuai maksud dan tujuan didirikannya 2 Firdhonal, 2013, “Apakah PP No. 2/2013 Bertentangan dengan Pasal 71 UU Yayasan?” Majalah Renvoi Nomor 9.117.X, Februari 2013, hal. 46 14 yayasan tersebut, yang mana berdasarkan Pasal 8 Undang-undang Yayasan maksud dan tujuan yayasan tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, untuk dapat melaksanakan maksud dan tujuannya, suatu yayasan dapat mendirikan badan usaha dengan syarat badan usaha tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan pendirian yayasan, dan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun cakupan kegiatan usaha dari badan usaha yang dapat didirikan oleh yayasan diatur dalam Penjelasan Pasal 8 Undang-undang Yayasan, yang mana cakupan tersebut antara lain : hak asasi manusia, kesenian, olah raga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan, dan ilmu pengetahuan. Sebuah yayasan yang telah berdiri sebelum diterbitkannya UU Yayasan namun tidak melakukan penyesuaian anggaran dasar sampai batas jangka waktu yang ditentukan oleh UU Yayasan, maka yayasan tersebut tidak lagi berbadan hukum. Kemudian apabila berdiri suatu badan usaha yang didirikan oleh suatu yayasan, dimana yayasan tersebut kehilangan status badan hukumnya karena tidak melakukan penyesuaian anggaran dasar, maka secara otomatis kegiatan usaha yang dilakukan oleh badan usaha tersebut tidak memiliki legalitas. Seperti misalnya badan usaha yang didirikan oleh yayasan yaitu dibidang pendidikan. Apabila suatu yayasan pendidikan yang telah dianggap tidak berbadan hukum lagi karena tidak melakukan penyesuaian anggaran dasar dalam waktu yang telah ditentukan oleh UU Yayasan tersebut tetap melakukan kegiatannya, misalnya 15 kegiatan belajar mengajar dan penerbitan ijasah siswa yang telah lulus tetap dilakukan, maka perlu dipertanyakan legalitas status ijasah yang dikeluarkan oleh yayasan yang dianggap sudah tidak berbadan hukum tersebut. Lalu bagaimanakah pengaruhnya terhadap pihak ketiga, yang dalam hal ini adalah siswa dalam yayasan pendidikan tersebut. Berdasarkan uraian diatas, timbul pertanyaan mengenai bagaimana eksistensi dari yayasan lama dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 dan apa akibat hukum dari Akta Perubahan Anggaran Dasar yang dibuat dihadapan Notaris, terhadap yayasan lama yang sebenarnya sudah tidak berbadan hukum karena tidak melakukan penyesuaian anggaran dasar sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan oleh UU Yayasan. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka perlu dilakukan penelitian guna mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan notaris khususnya mengenai “EKSISTENSI DAN AKIBAT HUKUM DARI PERUBAHAN ANGGARAN DASAR YAYASAN BERDASARKAN PP NOMOR 2 TAHUN 2013 TERHADAP YAYASAN LAMA YANG TIDAK BERBADAN HUKUM LAGI BERDASARKAN KETENTUAN UU YAYASAN.” Setelah menelusuri kepustakaan, kemudian diketahui bahwa tesis tentang “Eksistensi dan Akibat Hukum Dari Perubahan Anggaran Dasar Yayasan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 Terhadap Yayasan Lama Yang Tidak Berbadan Hukum Lagi Berdasarkan Ketentuan UU Yayasan” sampai saat ini belum ada. Namun, telah ditemukan penelitian serupa meskipun di dalam penelitian tersebut tidak terdapat kesamaan, dan kemudian penelitian tersebut 16 dijadikan sebagai bahan acuan untuk penelitian tesis berikutnya. Adapun hasil penelitian tersebut adalah : 1. Tesis Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro yang dibuat oleh D. Herjuna Wisnu Gautama, SH dengan nomor mahasiswa B4B000110dengan judul “Tinjauan Yuridis Status Yayasan Sebagai Badan Hukum Berdasar Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 (Studi di Kota Semarang)”. Rumusan masalah yang diangkat sebagai berikut : 1. Bagaimanakah praktek pendirian Yayasan sebelum adanya Undangundang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan setelah adanya Undang-undang tersebut? 2. Apa pengaruh Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan terhadap eksistensi Yayasan yang telah ada? 2. Tesis Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro yang dibuat oleh Basuki Juni Nugraha, SH dengan nomor mahasiswa B4B003060 dengan judul “Pelaksanaan Pendirian Yayasan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2008 Di Denpasar” Rumusan masalah yang diangkat sebagai berikut : 1. Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 juncto Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 disuratkan bahwa wewenang Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia untuk mengesahkan akta pendirian Yayasan, serta Pasal 15 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 dikatakan Yayasan tidak boleh memakai nama yang sudah dipakai oleh Yayasan lain, lalu bagaimanakah proses pengesahan Yayasan di Denpasar 17 dilakukan dan apa yang harus dilakukan agar tidak terjadi kesamaan nama Yayasan? 2. Bagaimana tanggung jawab Pendiri dan Pengurus Yayasan baik sebelum maupun setelah Yayasan disahkan sebagai badan hukum? 3. Tesis Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro yang dibuat oleh Puspo Adi Cahyono, SH dengan nomor mahasiswa B4B004164 dengan judul “Tinjauan Umum Terhadap Sistem Pengesahan Yayasan di Indonesia” Rumusan masalah yang diangkat sebagai berikut : 1. Bagaimana sistem pengesahan yayasan di Indonesia dewasa ini? 2. Apakah hambatan-hambatan yang muncul dalam pelaksanaan pengesahan yayasan di Indonesia dan bagaimana penyelesaian masalahnya oleh Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia untuk menyelesaiakan permasalahan yang muncul dalam pengesahan yayasan di Indonesia? Dari ketiga tesis tersebut diatas, tidak satupun mengangkat permasalahan mengenai akibat hukum atas berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 terhadap yayasan lama yang tidak berbadan hukum berdasarkan ketentuan UU Yayasan. Ketiga tesis diatas lebih menekankan pada penerapan UU Yayasan dan tidak ada yang mempermasalahkan berlakunya pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013, yang mana Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 merupakan Peraturan Pemerintah yang baru diterbitkan di tahun 2013 sebagai perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008. Oleh karena itu dalam tesis ini penulis mengangkat permasalahan dari berlakunya Peraturan 18 Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 khususnya tentang akibat hukum yang timbul dari adanya pasal yang bertentangan dengan UU Yayasan. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan diatas, maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah eksistensi dari yayasan lama dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 yang bertentangan dengan Pasal 71 Undang-undang Yayasan? 2. Apa akibat hukum dari akta perubahan anggaran dasar yayasan berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 2013 dari yayasan lama yang tidak berbadan hukum lagi berdasarkan ketentuan UU Yayasan? 1.3 Tujuan Penelitian Penulisan tesis yang berjudul “Eksistensi dan Akibat Hukum Atas Berlakunya PP Nomor 2 Tahun 2013 Terhadap Yayasan Lama Yang Telah Tidak Berbadan Hukum Berdasarkan Ketentuan UU Yayasan” ini dilakukan dengan tujuan umum dan tujuan khusus: 1.3.1 Tujuan Umum : Adapun tujuan umum yang ingin dicapai oleh penulisan tesis ini adalah : a. Sebagai upaya peneliti dalam mengembangkan Ilmu Hukum terkait dengan paradigma “Science is a Process” (ilmu sebagai proses). Dengan paradigma ini, ilmu tidak akan pernah 19 mandek (final) dalam penggaliannya atas kebenaran di bidang obyeknya masing-masing.3 b. Untuk dapat menganalisis mengenai eksisitensi dan akibat hukum atas berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 terhadap yayasan lama yang tidak berbadan hukum berdasarkan ketentuan UU Yayasan. c. Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Pasca sarjana pada program Magister Kenotariatan Pascasarjana Universitas Udayana. 1.3.2 Tujuan Khusus : Selain tujuan umum, penulisan tesis ini juga memiliki tujuan khusus, yaitu : a. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis lebih mendalam permasalahan hukum secara khusus mengenai Bagaimana eksistensi dari yayasan lama dengan berlakunya Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 2013 yang bertentangan dengan Pasal 71 UU Yayasan. b. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis lebih mendalam permasalahan hukum secara khusus mengenai Apa akibat hukum dari akta perubahan anggaran dasar berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 2013 dari yayasan lama yang telah tidak berbadan hukum berdasarkan ketentuan UU Yayasan. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut : 1.4.1 Manfaat Teoritis : 3 Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Denpasar, hal. 53 Hasil penelitian dalam tesis ini diharapkan dapat berguna 20 dalam pengembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya di bidang kenotariatan dan dapat dijadikan sebagai bahan kajian dan bahan penelitian lebih lanjut sehingga memperjelas mengenai eksistensi dan akibat hukum dari perubahan anggaran dasar yayasan berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 2013 terhadap yayasan lama yang tidak berbadan hukum lagi berdasarkan UU Yayasan. 1.4.2 Manfaat Praktis : 1. Bagi Notaris, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dan dapat memberikan informasi dalam menjalankan jabatan serta kewenangannya dalam membuat akta Yayasan. 2. Bagi pemerintah, masyarakat, dan/atau peneliti sendiri, tesis ini diharapkan dapat memberikan informasi sekaligus sebagai pemecahan atau jalan keluar untuk masalah-masalah yang timbul atas eksistensi dan akibat hukum dari akta perubahan anggaran dasar berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 2013 dari yayasan lama yang tidak berbadan hukum lagi berdasarkan ketentuan UU Yayasan. 3. Untuk dapat memberikan sumbangan kepada ilmu pengetahuan hukum khususnya Hukum Kenotariatan berupa pemecahan masalah atau setidaknya dapat menyajikan pemikiran ilmiah dari suatu obyek penelitian, dan tidak merupakan duplikasi atau pengulangan dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. 1.5 Landasan Teoritis 21 Landasan teoritis dalam tesis ini dibangun berdasarkan konsep, teori, dan asas yaitu: Konsep Negara Hukum, Teori Jenjang Norma Hukum/Stuffen Theorie, Teori Badan Hukum, Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik, dan Asas Preferensi. Adapun penjelasannya sebagai berikut : a. Konsep Negara Hukum Sebelum menginjak pada teori dan azas lainnya, penulis mencantumkan Konsep Negara Hukum dalam tesis ini sebagai dasar berpijak, dimana dalam konsep negara hukum ini “Negara” merupakan obyek utama pembahasannya. “Seperti yang dikemukakan Jimly Asshiddiqie dalam bukunya, bahwa negara masih menjadi pusat perhatian dan objek kajian yang bersamaan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan umat manusia.”4 Indonesia adalah Negara yang menganut konsep Negara hukum dalam artian material, dengan sebutan lain Negara kesejahteraan (welfare state). Sebagaimana pandangan Muchsan yang menyatakan bahwa : Indonesia adalah Negara yang menganut konsep Negara hukum dalam artian material, dengan sebutan lain Negara kesejahteraan (welfare state). Sebagaimana pandangan Muchsan yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara kesejahteraan. Hal tersebut dapat dilihat dari salah satu sila dari Pancasila sebagai dasar falsafah negara, yaitu sila kelima yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dari bunyi sila kelima tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan negara Indonesia adalah memberikan kesejahteraan bagi warga negaranya. Selain itu, dalam alenia keempat pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (untuk selanjutnya disebut : UUD 1945) menyebutkan bahwa salah satu tujuan 4 Jimly Asshidiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid 1, Konstitusi Press bekerjasama dengan PT. Syaamil Cipta Media, Jakarta, hal. 11. 22 pembentukan negara Republik Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum.5 Pasal 1 ayat (3) bab I Undang Undang Dasar 1945 (untuk selanjutnya disebut : UUD 1945) Amandemen ketiga, menegaskan bahwa negara Indonesia adalah Negara hukum, artinya bahwa Negara kesatuan Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan (machtstaat) dan pemerintah berdasarkan sistem konstitusi (hukum dasar) bukan absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa : Didalam batang tubuh UUD 1945 tidak ditemukan pernyataan eksplisit bahwa Indonesia adalah negara hukum. Namun demikian, bukan berarti Indonesia bukan negara hukum, sebab didalam penjelasan umum UUD 1945 (bagian sistem pemerintahan negara) secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) bukan negara kekuasaan (machtstaat), serta Indonesia berdasarkan konstitusional bukan absolutisme. Dan jika dikaitkan dengan ruang lingkup dari tugas pemerintahan maka secara filosofis konstitusional jelas menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip negara hukum yang dinamis atau walfare state (negara kesejahteraan). Sebab negara wajib menjamin kesejahteraan sosial masyarakat.6 Suatu negara tidak serta merta dapat disebut sebagai negara hukum hanya karena ia telah memiliki hukum, atau karena pemerintah negara tersebut bertindak selalu berdasarkan atas hukum. Suatu negara disebut negara hukum karena selain memiliki hukum dan bertindak berdasarkan hukum negara tersebut, juga harus bertindak demi keperntingan dan kesejahteraan masyarakatnya. Diana Halim Koentjoro menyatakan, terdapat 3 (tiga) ciri negara yang dapat disebut negara hukum, yaitu : “supremasi hukum (supremacy of the law), kesetaraan dihadapan 5 Muchsan, 1982, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, hal. 70 6 SF. Marbun & Moh. Mahfud MD, 1998, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, hal. 52 23 hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hak asasi manusia (constitution based on the human right).”7 Negara hukum tidak terlepas dari konsep rechtstaat. Menurut P.H.M. Meuwissen, ciri-ciri rechtstaat adalah : 1. Adanya Undang-Undang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis yang memuat hubungan antara penguasa dan rakyat. 2. Adanya pembagian kekuasaan negara yang meliputi kekuasaan pembuatan undang-undang yang ada di tangan parlemen, kekuasaan kehakiman yang bebas, juga antara penguasa dari rakyat dan pemerintah yang mendasarkan tidakannya atas undang-undang (wetmatig bestuur). 3. Diakui dan dilindungi hak kebebasan rakyat (vriheidsrechten van de burger).8 Atas pendapat Meuweissen tersebut, Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa : “ciri-ciri yang disebutkan diatas menunjukkan bahwa titik sentral dari rechtstaat adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang bertumpu pada prinsip kebebasan dan persamaan.” 9 Kemudian Padmo Wahyono berpendapat bahwa : dalam perkembangan teori kenegaraan, pengertian rechstaat acap kali dikaitkan dengan pengertian demokrasi, sehingga merupakan suatu yang ideal dalam kehidupan kenegaraan, yaitu pada negara hukum demokratis (democratis the rechtstaat).Dalam negara hukum, pengakuan dan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia harus dijunjung tinggi.10 7 Diana Halim Koentjoro, 2004, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.34 8 Philipus M. Hadjon, dkk, 2001, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 130 9 Ibid., hal. 76 10 Padmo Wahyono, 1992, Sistem Hukum Nasional Dalam Negara Hukum Pancasila, Alumni, Bandung, hal. 82 24 Burkens berpendapat bahwa Indonesia sebagai negara hukum harus memenuhi syarat umum rechtstaat maupun rule of law. Hal yang mendasari negara hukum rechtstaat adalah : 1. Asas Legalitas, setiap tindakan pemerintah harus didasarkan atas dasar pengaturan perundang-undangan (wetelijke gronslag). Dengan landasan tersebut, Undang-undang dalam arti formal dan Undang-Undang Dasar sendiri merupakan tumpuan dasar tindakan pemerintah. Dalam hal ini pembentuk Undang-undang merupakan bagian penting negara hukum. 2. Pembagian kekuasaan, syarat ini mengandung makna bahwa kekuasan negara tidak boleh bertumpu pada satu tangan. 3. Hak-hak dasar (grondrechten), hak-hak dasar merupakan sasaran perlindungan hukum bagi rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentukan Undang-undang. 4. Pengawasan pengadilan, bagi rakyat tersedia saluran melalui pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan tindakan pemerintah (rechmatigheids toetsing). 5. Negara hukum Indonesia dirumuskan dalam penjelasan UUD 1945, yaitu Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat). Sebagai negara hukum, maka konsep dan pola hukum tersebut disesuaikan dengan kondisi Indonesia, yaitu dengan menggunakan Pancasila sebagai tolak ukur pandangan bangsa Indonesia.11 Bertolak dari pendapat-pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa negara hukum Indonesia merupakan negara hukum yang mempunyai konsep sendiri yaitu negara hukum yang dijiwai Pancasila. Sebagai negara hukum Pancasila, pemerintah dan lembaga-lembaga Indonesia lainnya dalam melaksanakan tindakan-tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum atau dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Setiap tindakan pemerintah haruslah mempertimbangkan 2 (dua) kepentingan atau 2 (dua) landasan kegunaaannya (doelmatigheid) dan landasan hukumnya (rechtmatigheid). Harus diusahakan agar setiap tindakan negara (pemerintah) harus memenuhi kedua kepentingan atau 11 Noor MS. Bakry, 1985, Pancasila Yuridis Kenegaraan, Liberty, Yogyakarta, hal. 91 25 landasan tersebut karena negara merupakan individu atau subyek yang memiliki hak dan kewajiban. Dari pendapat-pendapat tersebut, ternyata asas legalitas merupakan unsur yang selalu ada dalam upaya memberikan pengertian mengenai negara hukum. “Sejalan dengan hal tersebut, Moh.Kusnardi dan Bintan R. Saragih menyatakan bahwa legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya sebagai ciri negara hukum adalah setiap tindakan baik dari pihak penguasa maupun dari pihak rakyat harus dibenarkan secara hukum.”12 Dalam kaitannya dengan pokok permasalahan dalam penelitian tesis ini, maka sesuai dengan konsep negara hukum, agar tercipta suatu tertib hukum (Negara yang baik), undang-undang dalam arti formal merupakan tumpuan dasar pemerintahan. Dalam hubungan ini, pembentukan undang-undang merupakan bagian penting dalam negara hukum, apabila hal ini dilanggar maka Negara atau suatu tertib hukum tidak akan tercapai. Hal ini sesuai pula dengan teori kedaulatan hukum, yaitu hukum memegang kedaulatan tertinggi sehingga segala kekuasaan dalam negara harus berdasarkan atas hukum. b. Teori Jenjang Norma Hukum atau Stuffen Theorie Dalam kehidupan hukum, suatu kepastian merupakan salah satu aspek yang penting karena hukum bertujuan untuk memberikan kepastian kepada masyarakat. Salah satu hal yang berhubungan erat dengan kepastian tersebut adalah mengenai darimana hukum itu berasal. Kepastian atas asal atau sumber 12 Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, 1980, sususnan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, PT. Gramedia, Jakarta, hal. 29 26 hukum tersebut menjadi penting karena hukum kini menjadi lembaga yang semakin formal. Dalam perkembangan yang demikian, pertanyaan mengenai “sumber manakah yang kita anggap sah”, menjadi sangat penting. Dalam kaitannya dengan hierarki norma hukum, Hans Kelsen, seorang ahli filsafat hukum, mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum (Stuffen theorie), dimana ia berpendapat bahwa : norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih timggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu, norma dasar (Grundnorm).13 Menurut teori jenjang norma (stuffen theorie) ini, dasar negara berkedudukan sebagai norma dasar (grundnorm) dari sutu negara atau disebut norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm). Grundnorm merupakan norma hukum tertinggi dalam negara. Di bawah grundnorm terdapat normanorma hukum yang tingkatannya lebih rendah dari grundnorm tersebut. Normanorma hukum yang bertingkat-tingkat tadi membentuk susunan hierarkis yang disebut sebagai tertib hukum. Achmad Ali dalam bukunya mengatakan : Peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang berada di puncak piramid, dan semakin ke bawah semakin beragam dan menyebar. Norma dasar teratas adalah bersifat abstrak dan semakin ke bawah semakin konkret. Dalam proses itu, apa yang semula berupa sesuatu yang ‘seharusnya’, berubah menjadi sesuatu yang ‘dapat’ dilakukan.14 13 Maria Farida Indarti Suprapto, 1998, Ilmu Perundang-undangan, dasardasar pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, hal. 25 14 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicialprudence) : Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Volume 1 Pemahaman Awal, Kencana, Jakarta, hal. 62 27 Teori Stuffen ini adalah teori mengenai sistem hukum yang menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm). Menurut Stuffen Theorie yang dicetuskan oleh Hans Kelsen, Peraturan-peraturan hukum positif diatur secara pyramidaal (bertingkat-tingkat) dari atas, yaitu dari grundnorm secara bertingkat-tingkat ke bawah, ke suatu yang melaksanakan norma-norma hukum tersebut secara konkret. Grundnorm merupakan dasar segala kekuasaan dan merupakan legalitas Hukum Positif. Hans Kelsen juga berpendapat : Dari Grundnorm yang merupakan norma yang masih abstrak, dibentuk satu susunan norma-norma yang lebih konkret, kemudian dari susunan kedua ini dibuat suatu susunan dikonkretkan dalam Undang-Undang Dasar; lebih dikonkretkan lagi dalam Undang-undang, dari Undang-undang ke peraturan pemerintah, dan seterusnya. Dan akhirnya dalam putusan hakim norma-norma tersebut diindividualisasi (dipergunakan untuk satu hubungan tertentu dan dapat dipergunakan).15 Teori Hans Kelsen telah dikembangkan oleh muridnya yang bernama Hans Nawiasky. Dalam bukunya yang berjudul Allgemeine Rechtslehre, Hans Nawiasky menyatakan bahwa suatu hukum dari negara manapun selalu berlapislapis dan berjenjang-jenjang, dimana norma yang dibawah berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut “norma dasar”. 15 C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2011, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 380 28 Pada perkembangannya, Stuffen theorie dari Hans Kelsen ini juga diterapkan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya peraturan yang mengatur mengenai tata urutan peraturan perundang-undangan, yaitu : 1. UUD 1945, Pasal 1 ayat (2); 2. Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1996 tentang Memorandum DPR-GR mengenai sumber tertib hukum Republik Indonesia dan tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia. 3. Ketetapan MPRS No. III/MPR/2000 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. 4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 sebagaimana telah diganti oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. (selanjutnya disingkat “UU PPPU”) Sesuai dengan Stuffen theorie, Hans Kelsen dan pengembangannya dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia pun dijelaskan bahwa peraturan perundang-undangan berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis, sehingga peraturan perundang-undangan yang berada dibawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya, dengan demikian peraturan perundang-undangan yang berada diatas merupakan landasan bagi pembentukan peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya. Selain itu, peraturan perundang-undangan selalu mempunyai dua wajah; apabila keatas, peraturan tersebut bersumber dan berdasar pada norma yang ada diatasnya, tetapi 29 apabila ke bawah, peraturan tersebut juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma hukum dibawahnya. Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut : 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (disingkat UUD 1945); 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah; 5. Peraturan Presiden; 6. Peraturan Daerah. Dalam Pasal 7 Ayat (2) UUPPPU juga ditegaskan bahwa kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (1). Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa : Stufentheorie Hans Kelsen dan pengembangannya yang menyatakan norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis sehingga norma yang berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan norma yang ada di atasnya, diterapkan dalam UUD 1945. Penerapan Stufen theorie Hans Kelsen dimaksud yaitu lembaga Negara yang menjalankan kekuasaan kehakiman di Indonesia, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, diberikan kewenangan oleh UUD 1945 untuk menguji peraturan perundang-undangan. Pengujian peraturan perundang-undangan tersebut biasa disebut dengan istilah “judicial review”. Obyek yang diuji dalam judicial review tidak hanya mengenai produk hukum berbentuk undang-undang, tetapi mencakup pula peraturan perundangundangan di bawah undang-undang.16 16 Jimly Asshiddiqie, 2005, Model-model Pengujian Konstitusional di berbagai Negara, Konstitusi Pers, Jakarta, hal. 4 30 Dalam tesis ini, Teori jenjang norma Stuffen theorie relevan untuk menganalisa rumusan masalah yang pertama yaitu tentang Bagaimana eksistensi dari yayasan lama dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 yang bertentangan dengan Pasal 71 Undang-undang Yayasan. Jknm c. Teori Badan Hukum Menurut Friedmann, Teori yang mengkaji dan menganalisa tentang badan hukum terbagi menjadi lima teori, yaitu teori fiksi, teori konsesi, teori zweckvermogen, teori kekayaan bersama (teori Ihering), dan teori realis atau organik. Adapun teori-teori tersebut adalah sebagai berikut : 1. Teori Fiksi. Teori Fiksi berpendapat bahwa : kepribadian hukum atas kesatuan-kesatuan lain manusia adalah suatu khayalan. Kepribadian sebenarnya hanya ada pada manusia. Negara-negara, korporasi, lembaga-lembaga, tidak dapat menjadi subjek dari hak-hak dan kepribadian, tetapi diperlukan seolah-olah badan-badan itu manusia. W. Friedmann menyebutkan bahwa teori fiksi sama sekali bukan teori, tetapi hanya rumusan.17 Teori Fiksi yang dipelopori oleh Von Savigny ini menjelaskan bahwasanya badan hukum adalah hanyalah fiksi hukum, maksudnya adalah bahwa sebenarnya badan hukum itu semata-mata buatan negara saja, yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menciptakan dalam bayangannya suatu subjek hukum yang diperhitungkan sama dengan manusia. 2. Teori Konsesi. 17 W. Friedmann, 1990, Legal Theory (Teori dan Filsafat Hukum Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum) (Susunan I, II, dan III), diterjemahkan oleh Muhammad Arifin, Rajawali, Jakarta, hal. 213 31 Teori ini dikemukakan oleh Gierke. “Teori ini berpendapat bahwa badan hukum dalam negara tidak memiliki kepribadian hukum, kecuali diperkenankan oleh hukum, dan ini berarti negara. Teori ini didukung oleh Von Savigny, Salmond, dan Dicey.”18 3. Teori Zweckvermogen. Teori ini berpendapat bahwa hak milik badan hukum diperuntukkan dan mengikat secara sah pada tujuan-tujuan tertentu, tetapi tanpa pemilik (tanpa subjek). Teori yang dicetuskan oleh Brinz ini juga menganggap bahwa manusia saja yang dapat memiliki hak-hak. Jimly Asshiddiqie membagi teori zweckvermogen ke dalam 4 variasi, yaitu: a. Teori van het ambtelijk vermogen Teori ini berpandangan bahwa hukum badan hukum adalah badan yang mempunyai harta yang berdiri sendiri, yang dimiliki oleh pengurus harta itu karena jabatannya sebagai pengurus harta tersebut. Tokoh teori ini adalah Holder dan Binder. b. Teori zweckvermogen atau doel vermogens theorie Teori ini berpandangan bahwa badan hukum adalah badan yang mempunyai hak atas harta kekayaan tertentu yang dibentuk bertujuan untuk melayani kepentingan tertentu. Tokoh teori ini adalah A. Brinz dan F.J. van Heyden. c. Teori propriete collective Teori ini berpandangan bahwa dengan adanya tujuan melayani kepentingan tertentu, bahwa harta kekayaan dimaksud sah untuk diorganisasikan. Tokoh dalam teori ini adalah Marcel Planiol. d. Gezammenlijke vermogens theorie Menurut teori ini, badan hukum hakikatnya merupakan hak dan kewajiban anggotanya secara bersama-sama didalamnya terdapat harta kekayaan bersama yang tidak dapat dibagi-bagi. Setiap anggota tidak hanya menjadi pemilik sebagai pribadi untuk masing-masing bagiannya dalam satu kesatuan yang tidak dapat dibagi itu, tetapi juga pemilik bersama untuk keseluruhan harta kekayaan, sehingga masing-masing pribadi anggota adalah pemilik harta kekayaan yang terorganisasikan dalam badan hukum itu.19 4. Teori Kekayaan Bersama. 18 H. Salim HS., 2012, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 178 19 H. Salim HS., Ibid., hal. 179 32 Teori yang dicetuskan oleh Rodolf von Jhering ini berpendapat bahwa yang dapat menjadi subyek-subyek hak badan hukum adalah manusia-manusia secara nyata ada di belakang badan hukum, anggota-anggota badan hukum, pihak yang mendapat keuntungan dari suatu yayasan. 5. Teori Realitas atau Orgaan. Reaksi dari adanya ajaran teori fiksi adalah munculnya teori realitas atau yang lebih dikenal dengan nama teori organ. Pencetus ajaran teori ini adalah Von Gierke. Menurut Teori ini, badan hukum merupakan suatu realitas yang nyata bukan fiksi, sama seperti sifat kepribadian alam manusia didalam pergaulan hukum. Inti teori ini difokuskan pada pribadi-pribadi hukum yang nyata sebagai sumber kepribadian hukum. “Teori ini sekaligus menggambarkan tidak adanya perbedaan antara manusia dengan badan hukum. Pengikut ajaran ini di Belanda yaitu, L.C. Polano yang terkenal dengan ajarannya leer der volledige realiteit (ajaran realitas sempurna).”20 Walaupun banyak terdapat teori tentang badan hukum, tetapi tidak semua teori tersebut cocok untuk diterapkan pada badan hukum. Teori tersebut haruslah disesuaikan dengan karakteristik yang dimiliki oleh suatu badan hukum. Dalam tesis ini penulis menggunakan teori badan hukum khususnya teori harta kekayaan bertujuan (propriete collective) dan teori harta kekayaan yang dimiliki oleh seseorang karena jabatannya (leer van Het Ambtelijk Vermogen) sebagai pisau analisis dalam menganalisa rumusan masalah yang kedua yaitu tentang apa akibat hukum dari akta perubahan anggaran dasar yayasan 20 Anwar Borahima, 2010, Kedudukan Yayasan di Indonesia : Eksistensi, Tujuan, dan Tanggung Jawab Yayasan, Kencana, Jakarta, hal. 60 33 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 dari yayasan lama yang tidak berbadan hukum lagi berdasarkan ketentuan Undang-undang Yayasan. D. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik Istilah asas umum pemerintahan yang baik pertama diperkenalkan oleh De Monchy di Belanda dalam laporannya dipergunakan istilah Algemene Beginselen Van Behoorlijke Bestuur yang berkenaan dengan usaha peningkatan perlindungan hukum bagi rakyat kepada pemerintah.21 Di Indonesia, awalnya keberadaan asasasas umum pemerintahan yang baik ini hanya diakui secara yuridis formal. Saat pembahasan RUU No. 5 Tahun 1986 di DPR, fraksi ABRI mengusulkan agar asas-asas itu dimasukan sebagai salah satu gugatan terhadap keputusan badan/pejabat tata usaha Negara. Namun putusan ini ditolak oleh pemerintah dengan alasan yang dikemukakan oleh Ismail selaku Menteri Kehakiman saat itu. Alasan penolakannya adalah karena Indonesia belum memiliki kriteria tentang algemene beginselen van behoorlijk bestuur tersebut yang berasal dari negeri Belanda, yang mana Indonesia pada saat itu belum memiliki tradisi administrasi yang kuat mengakar seperti halnya di negara-negara kontinental tersebut. Tradisi demikian bisa dikembangkan melalui yurisprudensi yang kemudian akan menimbulkan norma-norma. “Secara umum prinsip dari Hukum Tata Usaha Negara kita selalu dikaitkan dengan aparatur pemerintahan yang bersih dan 21 Amrah Muslimin, 1982, Beberapa Asas-Asas Dan Pengertian-Pengertian Pokok Tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, hal. 140. 34 berwibawa yang konkretisasi normanya maupun pengertiannya masih sangat luas sekali dan perlu dijabarkan melalui kasus-kasus yang konkret”.22 Pada awalnya, asas-asas umum pemerintahan yang baik dimaksudkan sebagai sarana perlindungan hukum (rechtsbescherming) dan bahkan dijadikan sebagai instrumen untuk peningkatan perlindungan hukum (verhoodge rechtsbescherming) bagi warga negara dari tindakan pemerintah. Asas-asas umum pemerintahan yang baik selanjutnya dijadikan sebagai dasar penilaian dalam peradilan dan upaya administrasi, di samping sebagai norma hukum tidak tertulis bagi tindakan pemerintahan. Menurut SF. Marbun, Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik memiliki arti penting dan fungsi berikut: 1. Bagi administrasi negara, bermanfaat sebagai pedoman dalam melakukan penafsiran dan penerapan terhadap ketentuan-ketentuan perundangundangan yang bersifat samar atau tidak jelas. 2. Bagi warga masyarakat, sebagai pencari keadilan, Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik dapat dipergunakan sebagai dasar gugatan sebagaimana disebutkan dalam pasal 53 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 3. Bagi hakim Tata Usaha Negara, dapat dipergunakan sebagai alat menguji dan membatalkan keputusan yang dikeluarkan badan atau pejabat Tata Usaha Negara. 4. Selain itu, Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik tersebut juga berguna bagi badan legislatif dalam merancang suatu undang-undang.23 Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yang 22 Ridwan HR, 2008, Hukum administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, hal 253. 23 Nomensen Sinamo, 2010, Hukum Administrasi Negara, Jala Permata Aksara, Jakarta, hal. 142-143 35 dimaksud dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah meliputi : kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, keterbukaan, proporsional, professional dan akuntabilitas. Dalam Bab III Pasal 3 UU No. 28 Tahun 1999 tersebut menyebutkan asas-asas umum penelenggaraan negara meliputi: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Asas kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara. Asas tertib penyelenggaraan negara, yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggara negara. Asas kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. Asas proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara. Asas profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku Kemudian dalam Pasal 20 ayat 1 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan : “Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada asas-asas umum penyelenggaraan negara yang terdiri dari : asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas efisiensi, asas efektivitas”. Crince le Roy menyebutkan beberapa asas umum pemerintahan yang baik yaitu : 1. Asas kepastian hukum (principle of legal security recht zakerheidsbeginsel) 36 2. Asas keseimbangan (principle of proportionality evenredigheidsbeginsel) 3. Asas kesamaan (principle of equality, gelijkheids beginsel) 4. Asas kecermatan (principle of carefulness, zorgvuldigheids beginsel) 5. Asas motivasi pada setiap keputusan pemerintah (principle of motivation, motiveringsbeginsel). 6. Asas tidak menyalahgunakan kewenangan (principle of non misuse of competence, verbord van detournament depouvoir). 7. Asas permainan yang wajar (principle of fair play, fair play beginsel) 8. Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibition of arbitrariness, redelijkgeids beginsel of verbod van willkeur). 9. Asas kepercayaan dan menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raised expectation of gewekte verwachtingen). 10.Asas peniadaan akibat keputusan yang batal (principle of undoing the consequences of an annulled decision herstel beginsel) 11.Asas perlindungan atas pandangan hidup atau cara hidup pribadi (principle of protecting the personal way of life, bescherming van de personlijk levenssfeer)24 Dari uraian asas-asas umum pemerintahan yang baik di atas sangat relevan digunakan untuk mendukung penelitian ini, pemerintah harus menerapkan asasasas umum pemerintahan yang baik dalam menjalankan pemerintahannya terutama pada asas kepastian hukum dan asas keadilan khususnya dalam hal pembuatan dan penerapan peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian tesis ini digunakan asas kepastian hukum karena “Asas kepastian hukum adalah asas dalam Negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundangundangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Negara.” 25 Asas kepastian hukum memiliki dua aspek, yang satu lebih bersifat hukum material, yang lain bersifat formal. Aspek hukum material terkait erat dengan asas kepercayaan. Dalam banyak keadaan asas kepastian hukum menghalangi badan pemerintahan untuk menarik kembali suatu keputusan. 24 Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, 2005, Hukum Pemerintah Daerah, Pustaka Setia, Bandung, hal 81. 25 Riawan Tjandra, 2008, Hukum Administrasi Negara, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, hal 75. 37 Dengan kata lain, asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seorang berdasarkan suatu keputusan pemerintah. Jadi demi kepastian hukum, setiap keputusan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah tidak untuk dicabut kembali, sampai dibuktikan sebaliknya dalam proses peradilan. Adapun aspek yang bersifat formal dari asas kepastian hukum membawa serta bahwa ketetapan yang memberatkan dan ketentuan yang terkait pada ketetapan-ketetapan yang menguntungkan, harus disusun dengan kata-kata yang jelas. Asas kepastian hukum memberikan hak kepada yang berkepentingan untuk mengetahui dengan tepat apa yang dikehendaki daripadanya. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, arti dari kata kepastian adalah perihal (keadaan) pasti; ketentuan; ketetapan. Memiliki kepastian berarti memiliki ketetapan dalam pikiran dan bebas dari keraguan. Memiliki ketetapan dalam pikiran dan bebas dari keraguan. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Pentingnya kepastian hukum sesuai dengan Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 perubahan ketiga bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. meperhatikan 4 unsur : 1). Kepastian hukum (Rechtssicherkeit) “Penegakkan hukum harus 2). Kemanfaat hukum (Zeweckmassigkeit) 38 3). Keadilan hukum (Gerechtigkeit) 4). Jaminan hukum (Doelmatigkeit)”26 Penegakan hukum dan keadilan harus menggunakan jalur pemikiran yang tepat dengan alat bukti dan barang bukti untuk merealisasikan keadilan hukum dan isi hukum harus ditentukan oleh keyakinan etis, adil tidaknya suatu perkara. “Persoalan hukum menjadi nyata jika para perangkat hukum melaksanakan dengan baik serta memenuhi, menepati aturan yang telah dibakukan sehingga tidak terjadi penyelewengan aturan dan hukum yang telah dilakukan secara sistematis, artinya menggunakan kodifikasi dan unifikasi hukum demi terwujudnya kepastian hukum dan keadilan hukum.”27 Hukum berfungsi sebagai pelindungan kepentingan manusia, agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan secara profesional. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung normal, damai, dan tertib. Hukum yang telah dilanggar harus ditegakkan melalui penegakkan hukum. Penegakkan hukum menghendaki kepastian hukum, kepastian hukum merupakan perlindungan Yustisiable terhadap tindakan sewenang-wenang. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan tertib, aman dan damai. Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan penegakkan hukum. Hukum adalah untuk manusia maka pelaksanaan hukum 26 Dardji Darmodihardjo, Op.Cit., hal. 36 R. Arry Mth. Soekowathy, 2003, “Fungsi Dan Relevansi Filsafat Hukum Bagi Rasa Keadilan Dalam Hukum Positif”, Jurnal Filsafat, Jilid 35, Nomor 3, Desember 2003. 27 39 harus memberi manfaat, kegunaan bagi masyarakat jangan sampai hukum dilaksanakan menimbulkan keresahan di dalam masyarakat. “Masyarakat yang mendapatkan perlakuan yang baik dan benar akan mewujudkan keadaan yang tata tentrem raharja. Hukum dapat melindungi hak dan kewajiban setiap individu dalam kenyataan yang senyatanya, dengan perlindungan hukum yang kokoh akan terwujud tujuan hukum secara umum: ketertiban, keamanan, ketentraman, kesejahteraan, kedamaian, kebenaran, dan keadilan.”28 “Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim yang lainnya untuk kasus serupa yang telah diputuskan.” 29 Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam arti tidak menimbulkan keragua-raguan (multi tafsir) dan logis dalam arti ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Dalam menjaga kepastian hukum, peran pemerintah dan pengadilan sangat penting. Pemerintah tidak boleh menerbitkan aturan pelaksanaan yang tidak diatur oleh undang-undang atau bertentangan dengan undang-undang. Apabila hal itu terjadi, pengadilan harus menyatakan bahwa peraturan demikian batal demi hukum, artinya dianggap tidak pernah ada sehingga akibat yang terjadi karena adanya peraturan itu harus dipulihkan seperti sediakala. Akan tetapi, apabila 28 Ibid, hal. 295 Peter Mahmud Marzuki. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Kencana, Jakarta, hal. 158 29 40 pemerintah tetap tidak mau mencabut aturan yang telah dinyatakan batal itu, hal itu akan berubah menjadi masalah politik antara pemerintah dan pembentuk undang-undang. Yang lebih parah lagi apabila lembaga perwakilan rakyat sebagai pembentuk undang-undang tidak mempersoalkan keengganan pemerintah mencabut aturan yang dinyatakan batal oleh pengadilan tersebut. Sudah barang tentu hal semacam itu tidak memberikan kepastian hukum dan akibatnya hukum tidak mempunyai daya prediktibilitas. Asas Kepastian Hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatuhan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara. Asas kepastian hukum harus diterapkan dalam setiap peraturan. Tanpa adanya asas tersebut dapat dipastikan suatu peraturan akan menimbulkan banyak masalah dikemudian hari. Hal ini akan terjadi karena tidak adanya penghormatan terhadap hak-hak sebagai manusia. “Keadilan berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, tetapi seorang manusia diberi kecakapan atau kemampuan untuk meraba atau merasakan keadaan yang dinamakan adil itu”.30 Asas-asas umum pemerintahan yang baik khususnya asas kepastian hukum sangat relevan penulis gunakan sebagai pisau analisis atas permasalahan kedua yaitu tentang apa akibat hukum dari akta perubahan anggaran dasar yayasan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 dari yayasan lama yang tidak berbadan hukum lagi berdasarkan ketentuan Undang-undang Yayasan. 30 Kansil. C.S.T., 1979., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 76 41 e. Asas Preferensi. Asas preferensi terbagi menjadi tiga yaitu Lex superior derogat legi inferiori, Lex spesialis derogat legi generali, lex posterior derogat legi priori. Yang dimaksud dengan ketiga asas tersebut adalah sebagai berikut: a. Lex superior derogat legi inferiori. Artinya, peraturan perundangundangan yang lebih tinggi tingkatannya mengenyampingkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya, apabila kedua peraturan perundang-undangan itu memuat ketentuan yang saling bertentangan. b. Lex spesialis derogat legi generali. Artinya, peraturan perundangundangan yang bersifat khusus (special) mengenyampingkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (general), apabila kedua peraturan perundang-undangan itu memuat ketentuan yang saling bertentangan. c. Lex posterior derogat legi priori. Artinya, peraturan perundang-undangan yang baru mengenyampingkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang lama, apabila kedua peraturan perundang-undangan itu memuat ketentuan yang saling bertentangan. Berdasarkan atas ketentuan Pasal 7 Ayat (2) UU PPPU yaitu “Kekuatan hukum Peraturan Perundang-Undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa 42 peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Asas yang dimaksud tersebut sebagaimana diatur dalam ketentuan penjelasan Pasal 7 Ayat (2) UU PPPU disebut sebagai asas lex superior derogat legi inferiori. Berdasarkan atas ketentuan Pasal 7 ayat (2) UUPPPU beserta penjelasannya tersebut, maka dapat diketahui bahwa peraturan perundangundangan di Indonesia secara jelas telah mengatur mengenai keberlakuan suatu peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah selaras dengan teori jenjang norma, hal mana suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh mengatur suatu hal yang bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apabila ada dua norma atau lebih yang isinya mengatur hal yang sama tetapi substansinya saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya, salah satu atau lebih dari norma tersebut harus dikesampingkan sehingga hanya satu norma yang dipilih dan dapat berlaku di masyarakat. Untuk memecahkan permasalahan dalam konflik norma tersebut dapat dilakukan dengan mempergunakan asas preferensi sebagai pisau analisisnya. Asas lex superior derogat legi inferiori ini mengandung arti bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah. Asas inihanya berlaku apabila terjadi pertentangan antara dua peraturan perundang-undangan, tetapi secara hierarki tidak sederajat. Dalam hal ini yang diperhatikan adalah hierarki peraturan perundang-undangan, misalnya ketika terjadi pertentangan antara Peraturan 43 Pemerintah (PP) dengan Undang-undang, maka yang digunakan adalah Undangundang karena Undang-undang lebih tinggi derajatnya. Dalam penulisan proposal tesis ini, asas lex superior derogat legi inferiori merupakan asas yang relevan dipergunakan sebagai pisau analisis untuk menjawab rumusan permasalahan pertama, yaitu Bagaimana eksistensi dari yayasan lama dengan berlakunya Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 2013 yang bertentangan dengan Pasal 71 Undang-undang Yayasan. f. Kerangka Pemikiran Kerangka teoritis yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini sebagai desain pemikiran yang dapat menjadi kerangka dasar dalam memecahkan permasalahan penelitian dan keseluruhan pembahasan untuk menjawab rumusan permasalahan dalam penulisan tesis ini. Berdasarkan atas latar belakang permasalahan yang diangkat dalam tesis ini yakni beranjak dari adanya konflik norma dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 sebagai perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 yang bertentangan dengan Pasal 71 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 jo. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, maka untuk dapat menjawab rumusan permasalahan yang dibahas dalam tesis ini penulis menggunakan Konsep Negara Hukum sebagai dasar berpijak (Grand Theory), sedangkan pisau analisisnya menggunakan Teori Jenjang Norma dan asas preferensi Lex superior derogate legi inferiori untuk menjawab permasalahan pertama yaitu mengenai eksistensi dari yayasan lama dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 yang bertentangan dengan Pasal 71 Undang-undang Yayasan, sedangkan teori Badan Hukum dan 44 asas Kepastian Hukum dipergunakan untuk mengkaji akibat hukum dari akta perubahan anggaran dasar yayasan berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 2013 dari yayasan lama yang tidak berbadan hukum lagi berdasarkan ketentuan UU Yayasan. Bagan Kerangka Pemikiran : Latar Belakang Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah Yayasan Lama eksistensi dari yang telah yayasan lama kehilangan status dengan badan hukumnya berlakunya dan tidak bisa Peraturan melakukan Pemerintah penyesuaian Nomor 2 Tahun 2013 anggaran dasar yang karena telah habis bertentangan jangka waktu dengan Pasal untuk melakukan 71 Undangpenyesuaian undang menurut Pasal 71 Yayasan ? UU Yayasan, kini dapat kembali melakukan penyesuaian anggaran dasar dengan terbitnya PP Nomor 2 Tahun 2013. PP Nomor 2 Tahun 2013 yang mengesampingka n isi Pasal 71 UU Yayasan tersebut menimbulkan konflik norma antara UU dan PP Teori Korelasi dan Hasil konsep Negara Hukum sebagai dasar berpijak (Grand Theory), sedangkan pisau analisisnya menggunakan teori Jenjang Norma dan asas preferensi Lex superior derogate legi inferiori, - Teori Jenjang Norma dan Asas lex superior derogat legi inferiori merupakan asas yang dipergunakan sebagai pisau analisis untuk menjawab pokok permasalahan pertama, yaitu substansi ketentuan pasal 71 UU Nomor 16 Tahun 2001 jo. UU Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan dikesampingkan oleh ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 yang merupakan peraturan pelaksana UU Yayasan. - Eksistensi dari yayasan lama dengan berlakunya PP Nomor 2 Tahun 2013 adalah tidak sah karena substansi yang diatur dalam PP Nomor 2 Tahun 2013 bertentangan dengan Pasal 71 UU Yayasan. Berdasarkan teori 45 Jenjang Norma dan teori Lex superior derogate legi inferiori, secara hierarki peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, apabila terjadi maka peraturan yang lebih tinggi dapat mengesampingkan peraturan yang lebih rendah. tersebut. 2. Apa akibat hukum dari akta perubahan anggaran dasar yayasan berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 2013 dari yayasan lama yang tidak berbadan hukum lagi berdasarkan ketentuan UU Yayasan? teori Badan Hukum dan asas Kepastian Hukum dipergunakan untuk mengkaji akibat hukum dari akta yang diterbitkan berdasarkan PP Nomor 2 Tahun 2013 - Teori Badan Hukum menegaskan mengenai suatu yayasan harus berbadan hukum dan akibatnya apabila akta perubahan anggaran dasar yayasan dibuat berdasarkan PP Nomor 2 Tahun 2013 adalah akta tersebut dapat dibatalkan. Teori Kepastian Hukum mengkaji bahwa akta yang dapat dibatalkan tersebut tidak memberikan kepastian hukum bagi masyarakat khususnya bagi para pihak. 1.6 Metode Penelitian a. Jenis Penelitian Dalam pembuatan tesis ini, peneliti menggunakan jenis penelitian hukum normatif yaitu : “suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran 46 berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif.” 31 Metode penelitian hukum normatif bersumber pada sistematika peraturan perundang-undangan yang merupakan sumber hukum tertulis yaitu aturan-aturan hukum mengenai yayasan. Ciri-ciri Penelitian Hukum Normatif adalah : 1. Beranjak dari adanya kekosongan norma, kekaburan norma, dan/atau konflik norma; 2. Tidak menggunakan hipotesis; 3. Menggunakan landasan teoritis; 4. Menggunakan bahan hukum yang terdiri dari Bahan Hukum Primer dan Bahan Hukum Sekunder.32 Menurut Philipus M. Hadjon : penelitian hukum normatif tidak ada pengumpulan data karena data bermakna empiris. Penelitian hukum normatif tidak menggunakan analisis kwantitatif (statistik). Seorang peneliti tidak boleh membatasi kajiannya hanya pada satu undang-undang saja, tetapi harus melihat keterkaitan Undang-undang tersebut dengan peraturan perundang-undangan lainnya.33 Peneliti menggunakan jenis penelitian hukum normatif dalam tesis ini karena adanya konflik norma dalam pengaturan mengenai yayasan lama, yang diatur oleh Undang-undang No. 28 Tahun 2004 jo. UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-undang Yayasan tersebut. b. Jenis Pendekatan Ada beberapa metode pendekatan dalam penelitian normatif, yaitu pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitycal Conceptual Approach), Pendekatan Perbandingan (Comparitive 31 Jhony Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Publising, Malang, hal. 57 32 Philipus M. Hadjon, 1997, Penelitian Hukum Normatif (Kumpulan Tulisan), Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 1-2 33 Ibid. 47 Approach), Pendekatan Sejarah (Historical Approach), Pendekatan Filsafat (Philosophical Approach), dan Pendekatan Kasus (Case Approach).34 Untuk kedalaman pengkajian atas permasalahan dalam tesis ini, sebagai penelitian hukum normatif, pendekatan yang digunakan adalah : 1. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach). Pendekatan Perundang-undangan adalah pendekatan konseptual yang terkait dengan permasalahan serta penerapannya di masyarakat. “Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan kenyataan tentang bagaimana peraturan perundang-undangan tersebut serasi secara vertical maupun secara horizontal, apabila menyangkut perundang-undangan yang sederajat mengenai bidang yang sama.”35 Dalam menggunakan metode pendekatan perundang-undangan, perlu memahami hierarki dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan. Pendekatan perundang-undangan dalam tesis ini mengkaji konflik norma hukum khususnya pada Pasal 71 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 jo. Undangundang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 yang merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2008 tentang pelaksanaan undang-undang tentang yayasan, khususnya pada Pasal 15A dan Pasal 37A mengenai penyesuaian kembali yayasan lama yang belum berstatus badan hukum. 2. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitycal Conceptual Approach). 34 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Fajar Inter Pratama Offset, Jakarta, hal. 93-137 35 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Kajian Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 74 48 Merupakan suatu kerangka teoritis dan konseptual yang antara lain berisi tentang pengkajian terhadap teori-teori, definisi-definisi tertentu yang dipakai sebagai landasan pengertian dan landasan operasional dalam pelaksanaan penelitian. Teori-teori dan konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah Konsep Negara Hukum, Teori Jenjangan Norma, Teori Badan Hukum, dan Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori. c. Sumber Bahan Hukum “Bahan Hukum yang dipergunakan dalam penelitian hukum normatif ini adalah dari hasil penelitian kepustakaan. Dengan demikian, bahan hukum yang dipergunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier”36 1. Bahan Hukum Primer Merupakan bahan hukum yang mengikat dan terdiri atas asas dan kaidah hukum, misalnya bahan hukum yang dikodifikasikan atau dibukukan, Peraturan Dasar, Konvensi Ketatanegaraan, Peraturan Perundang-undangan, Yurisprudensi, Traktat, Keputusan Tata Usaha Negara, hukum yang tidak tertulis. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan bahan hukum primer yaitu : a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, 36 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, hal. 52 49 c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2008 tentang pelaksanaan undang-undang tentang Yayasan, e. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2008 tentang pelaksanaan undang-undang tentang Yayasan, f. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. 2. Bahan Hukum Sekunder Merupakan bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu penganalisisan dan pemahaman terhadap bahan hukum primer, misalnya buku-bukuliteratur hukum (text book), jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum, atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa, dan bahan hukum yang diperoleh melalui electronic research yaitu melalui internet yaitu dengan mencopy (download) bahan hukum yang diperlukan, dengan menyebut situsnya. “Keunggulan dalam penggunaan internet antara lain : efisisen, tanpa batas (without boundry), terbuka selama 24 jam, interaktif dan terjalin sekejap (hyperlink).”37 3. Bahan Hukum Tersier 37 Budi Agus Riswadi, 2003, Hukum Internet, UII Press, Yogyakarta, hal. 325 50 “Merupakan bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus (hukum), ensiklopedia.”38 Dalam penelitian ini yang digunakan adalah Kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia. d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Adapun teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode bola salju (snowball method). Metode bola salju adalah metode bola menggelinding secara terus menerus yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan daftar pustaka yang berkaitan dengan ide serta konsep – konsep yang berkaitan dengan yayasan dan kemudian disusun secara sistematis untuk mencari keterkaitan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat atau tidak sederajat secara sistematis. e. Teknik Analisis Bahan Hukum Bagi penelitian hukum normatif yang hanya mengenal data sekunder saja, pengolahan dan penganalisaan bahan hukum tersebut tidak bisa melepaskan diri dari berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum. Teknik analisis penelitian bahan hukum ini diawali dengan pengumpulan bahan hukum. “Bahan hukum yang dikumpulkan kemudian dianalisis secara normatif kualitatif.” 39 Bahan-bahan hukum yang terkumpul, baik dari bahan hukum primer maupun 38 Amirudin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, cetakan ke-6, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal 32 39 Maria S.W. Sumardjono, 1989, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Fakultas Hukum UGM, hal. 25 51 sekunder akan diolah dan dianalisis melalui langkah-langkah diskripsi, interpretasi, sistematisasi, eksplanasi, dan argumentasi. Deskripsi mencakup isi maupun struktur hukum positif. Dalam deskripsi dilakukan kegiatan untuk menggambarkan isi atau makna dari suatu aturan hukum. Pada tahap ini dilakukan pemaparan serta penentuan makna dari aturan-aturan hukum yang terdapat didalam peraturan perundang-undangan. Berdasarkan deskripsi tersebut, selanjutnya dilakukan interpretasi atau penafsiran secara normatif terhadap proposisi-proposisi yang dijumpai untuk kemudian disistematisasi dan dievaluasi atau dianalisa isinya (content analysis).40 Pada tahap sistematisasi dilakukan pemaparan terhadap hubungan hierarkis antara aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan isu hukum dan penelitian ini. Pada tahap ini juga akan dilakukan penyerasian antara aturan-aturan hukum yang bertentangan/konflik sehingga maknanya dapat dipahami secara logis. Selanjutnya pada tahap eksplanasi dilakukan analisis terhadap makna yang terkandung dalam aturan-aturan hukum sehingga keseluruhannya membentuk kesatuan yang saling berhubungan secara logis. Kemudian pada tahap yang terakhir adalah tahap argumentasi yaitu dikemukakan pendapat atau pandangan penulis terhadap bahan-bahan hukum yang telah dideskripsikan, disistematisasi, dan dieksplanasi untuk diperoleh kesimpulan atas dua permasalahan yang dikaji dalam penulisan tesis ini. 40 Sumandi Suryabrata, 1989, Metodelogi Penelitian, CV. Rajawali, Jakarta, hal. 85 BAB II 52 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum tentang Badan Hukum Suatu badan dapat dikatakan mempunyai atribut sebagai badan hukum apabila undang-undang menetapkan atau menyatakan demikian. Ada beberapa syarat agar suatu badan/badan usaha atau perkumpulan dapat disebut sebagai badan hukum terkait dengan sumber hukum, khususnya sumber hukum formal, yaitu : 1. Syarat berdasarkan ketentuan perundang-undangan, 2. Syarat berdasar pada hukum kebiasaan dan yurisprudensi, 3. Syarat berdasar pada pandangan doktrin. Syarat berdasarkan ketentuan perundang-undangan yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 1653 KUH Perdata terdapat 2 (dua) cara yaitu : 1. dinyatakan dengan tegas bahwa suatu organisasi adalah merupakan badan hukum 2. tidak dinyatakan secara tegas tetapi dengan peraturan sedemikian rupa bahwa badan itu adalah badan hukum. oleh karena itu, dengan peraturan dapat ditarik kesimpulan bahwa badan itu adalah badan hukum.1 Berdasarkan Pasal 1653 KUH Perdata tersebut, semua perkumpulan swasta dianggap sebagai badan hukum dan untuk itu diperlukan pengesahan 1 Anwar Borahima, 2010, Kedudukan Yayasan di Indonesia : Eksistensi, Tujuan, dan Tanggung Jawab Yayasan, Kencana, Jakarta, hal. 23 53 aktanya dengan meninjau atas tujuan dan aturan-aturan lainnya dari perkumpulan tersebut. Pengesahan merupakan syarat formal yang harus dipenuhi oleh perkumpulan yang berbadan hukum. Jadi pengesahan pemerintah mutlak diperlukan untuk mendirikan suatu badan hukum. “Dalam perkembangan yurisprudensi Indonesia dicapai suatu pendapat Pengadilan Negeri yang menyatakan bahwa pengesahan sebagai badan hukum dari Menteri Kehakiman adalah syarat mutlak bagi berdirinya suatu perseroan Terbatas sebagaimana tertera dalam Putusan Pengadilan Negeri Semarang No. 224/1950/Perdata, tertanggal 17 Maret 1951.”2 Syarat berdasar pada hukum kebiasaan dan yurisprudensi digunakan apabila tidak ditemukan syarat-syarat badan hukum dalam peraturan perundangundangan dan doktrin karena hukum kebiasaan dan yurisprudensi merupakan sumber hukum formal. Menurut hukum kebiasaan dan yurisprudensi, suatu badan hukum dikatakan ada apabila terdapat pemisahan kekayaan, ada penunjukan suatu tujuan tertentu, dan ada penunjukan suatu organisasi tertentu. Salah satu contoh tentang penentuan badan hukum melalui yurisprudensi adalah yayasan. Putusan Mahkamah Agung No. 124K/Sip/1973, tanggal 27 Juni 1973 tentang kedudukan suatu yayasan sebagai badan hukum dalam kasus Yayasan Dana Pensiun HMB. Keputusan lainnya adalah Putusan Mahkamah Agung No. 476 K/Sip/1975, tanggal 8 Mei 1975, tentang kasus perubahan Wakaf Al Is Af menjadi Yayasan Al Is Af. 3 Jadi berdasarkan hukum kebiasaan dan yurisprudensi, suatu badan dikatakan sebagai badan hukum apabila memenuhi 2 3 Ibid., hal 24 Ibid., hal. 25 54 syarat materiil dan syarat formil. Syarat materiil agar dikatakan sebagai badan hukum adalah harus adanya pemisahan kekayaan, harus ada tujuan, dan ada pengurus. Sedangkan syarat formilnya adalah didirikan dengan akta autentik. Setelah adanya Undang-undang Yayasan, pengesahan dan pengumuman merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh yayasan. Syarat berdasarkan doktrin atau pandangan para ahli juga dapat menentukan suatu badan dikatan sebagai badan hukum. Ada beberapa doktrin atau pandangan para ahli yang menyebutkan syarat badan hukum, yaitu : a. Menurut Meijers4 : Suatu badan untuk dapat disebut sebagai badan hukum harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1. terdapat harta kekayaan terpisah lepas dari kekayaan anggotanya 2. ada kepentingan bersama yang diakui dan dilindungi oleh hukum 3. kepentingan tersebut haruslah stabil atau tidak terikat pada suatu waktu yang pendek saja, namun juga untuk waktu yang panjang 4. harus dapat ditunjukkan harta kekayaan tersebut tersendiri, yang tidak hanya untuk obyek tuntutan saja, tetapi juga untuk pemeliharaan kepentingan tertentu yang terlepas dari kepentingan anggotanya. b. Menurut Sri Soedewi Masychun Sofwan5 : 4 Lisman Iskandar, 1977, Aspek Hukum Yayasan Menurut Hukum Positif Di Indonesia, Majalah Yuridika No. 5 & 6 Tahun XII, September-Desember 1997, hal. 24 5 Sri Soedewi Masychun Sofwan, tanpa tahun, Hukum Badan Pribadi, Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 29 55 Suatu status badan hukum dapat diberikan untuk wujud-wujud tertentu, yaitu : 1. perhimpunan atau kumpulan orang-orang yang bersama-sama bertujuan untuk mendirikan suatu badan 2. kumpulan harta kekayaan yang dipisahkan untuk tujuan-tujuan tertentu c. Menurut Ali Rido6 : Suatu perkumpulan/perhimpunan harus memenuhi 4 (empat) syarat untuk dapat dikatakan sebagai badan hukum, yaitu : 1. ada harta kekayaan yang terpisah 2. memiliki tujuan tertentu 3. memiliki kepentingan tersendiri 4. adanya organisasi yang teratur d. Menurut Soeroso7 : Suatu badan hukum dalam keikutsertaannya dalam pergaulan hukum harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum, yaitu : 1. memiliki kekayaan yang terpisah dari anggota-anggotanya 2. hak dan kewajiban badan hukum terpisah dari hak dan kewajiban anggotanya e. Menurut Rudhi Prasetya8 : Atribut badan hukum pada suatu badan/perkumpulan hanya ada apabila undang-undang menentukan demikian, dan undang-undang menentukan 6 Anwar Borahima, op. cit., hal. 27 Soeroso, 1999, Perbandingan Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 147 8 Rudhi Prasetya, 1995, Dana Pensiun sebagai Badan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 35 7 56 demikian apabila dipandang perlu. Ada 2 (dua) teknik yang dilakukan oleh undang-undang, yaitu undang-undang secara tegas menyatakan suatu badan adalah badan hukum, dan karakteristik yang diberikan oleh ketentuan undang-undang atas suatu badan. Dari pendapat para ahli atau doktrin tersebut dapat disimpulkan bahwa para ahli menekankan adanya pemisahan harta dalam suatu badan hukum. Kemudian adanya tujuan tertentu, dan adanya organisasi sangat diperlukan. Sementara syarat formal yaitu adanya akta tidak ada satu pun para ahli yang mempersyaratkannya. Hal ini dikarenakan, “Meijers menempatkan badan hukum diluar hukum perjanjian. Menurut Meijers badan hukum tidak terjadi karena persetujuan tetapi karena perbuatan hukum.” 9 “Selain dengan akta, ada pula beberapa yayasan yang didirikan berdasarkan peraturan pemerintah, seperti yayasan yang diperuntukkan untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Indonesia, serta yayasan yang dibentuk berdasarkan keputusan presiden (keppres) seperti yayasan yang didirikan oleh Soeharto.”10 Menurut Subekti, badan hukum adalah : “suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim”11. Kemudian Rachmat Soemitro mendefinisikan badan hukum (rechtpersoon) sebagai “suatu badan yang dapat mempunyai harta, hak, serta kewajiban seperti 9 Meijers, E.M., 1948, De Algemene Begrippen van het Burgerlijk Recht, Leiden Universitaire Press, hal. 47 10 Anwar Borahima, Op. cit., hal. 29 11 Subekti, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Inter Masa, Jakarta, hal. 182 57 orang pribadi”. 12 Wirjono Projodikoro berpendapat bahwa badan hukum adalah “badan yang disamping manusia perseorangan juga dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain.13 Menurut J.J. Dormeieristilah badan hukum dapat diartikan sebagai berikut : a. Persetujuan orang – orang yang di dalam pergaulan hukum bertindak selaku seorang saja. b. Yayasan, yaitu suatu harta atau kekayaan, yang dipergunakan untuk suatu maksud yang tertentu, yayasan itu diperlukan sebagai oknum. Menurut E. Utrecht dalam Kansil, badan hukum (recht persoon) yaitu “badan yang menurut hukum berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak, selanjutnya dijelaskan bahwa badan hukum ialah setiap pendukung hak yang tidak berjiwa atau lebih tepat yang bukan manusia.”14 Sedangkan menurut Sri Soedewi Maschun Sofwanmenerangkan bahwa manusia adalah badan pribadi (itu adalah manusia tunggal). Selain dari manusia tunggal, dapat juga oleh hukum diberikan kedudukan sebagai badan pribadi kepada wujud lain, disebut badan hukum yaitu “kumpulan dari orang – orang bersama mendirikan suatu badan (perkumpulan) dan kumpulan harta kekayaan, yang ditersendirikan untuk tujuan tertentu (yayasan) kedua-duanya merupakan 12 Rachmat Soemitro, 1979, Penuntutan Perseroan Terbatas dengan Undangundang Pajak Perseroan, PT. Eresco, Bandung, hal. 36 13 Wirjono Projodikoro, 1966, Azas-azas Hukum Perdata, Sumur Bandung, Bandung, hal. 84 14 Kansil, C.S.T. dan Christine Kansil, Op.cit, hal. 2 58 badan hukum.”15 Berdasarkan rumusan tersebut, maka badan hukum diartikan sebagai : a. badan atau perkumpulan, b. memiliki harta kekayaan sendiri, c. pendukung hak dan kewajiban, d. dapat bertindak dalam hukum atau disebut juga dengan subyek hukum, e. dapat digugat dan menggugat didepan Pengadilan. Dalam ilmu hukum, Subyek hukum ada dua yakni orang (natuurlijkpersoon) dan badan hukum (rechtpersoon). Suatu badan hukum atau orang disebut sebagai subyek hukum karena menyandang hak dan kewajiban hukum. Sebagai subyek hukum, badan hukum juga memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana subyek hukum orang atau individu. Dengan kondisi perkembangan masyarakat sekarang ini, untuk dapat dikatakan cakap untuk bertindak dalam hukum tidak hanya terbatas pada orang saja, tetapi juga hal lain yang disebut badan hukum (rechtperson). Chaidir Ali memberikan definisi subyek hukum sebagai berikut : “Subyek hukum adalah manusia yang berkepribadian (legal personality) dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan. Masyarakat oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban.”16 Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa subyek hukum terdiri dari: a. Manusia (naturlijke person) yang disebut orang dalam bentuk manusia atau 15 16 Kansil, C.S.T. dan Christine Kansil, Op.cit, hal. 9 Chaidir Ali, 1997, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hal. 7 manusia pribadi, 59 b. Rechts Persoon yang disebut orang dalam bentuk badan hukum atau orang yang diciptakan hukum secara fiksi atau persona ficta. Badan hukum ini oleh hukum diberi status sebagai “persoon” yang mempunyai hak dan kewajiban badan hukum sebagai pembawa hak dapat melakukan/bertindak sebagai pembawa hak manusia, yaitu badan hukum dapat melakukan persetujuan – persetujuan memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggotanya.17 Dalam Pasal 1653 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan mengenai adanya 3 jenis badan hukum, yaitu: 1. Yang diadakan oleh kekuasaan atau pemerintah atau negara; 2. Yang diakui oleh kekuasaan; 3. Yang diperkenankan dan yang didirikan dengan tujuan tertentu yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang atau kesusilaan biasa juga disebut dengan badan hukum dengan konstruksi keperdataan. Secara umum badan hukum dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu badan hukum publik dan badan hukum privat; 1. Badan hukum publik adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum publik atau orang banyak dan bergerak di bidang publik atau yang menyangkut kepentingan negara atau umum, Badan hukum ini merupakan badan negara 17 C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, Op.cit, hal. 9 60 yang dibentuk oleh yang berkuasa berdasarkan perundang-undangan, yang dijalankan oleh pemerintah atau badan yang ditugasi untuk itu, contohnya : a) Negara Indonesia, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 b) Daerah Provinsi dan daerah Kabupaten/Kota, berdasarkan Pasal 18, 18A, dan 18B UUD 1945 jo. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda tersebut telah mengalami revisi sebanyak 2 kali) c) Badan Usaha Milik Negara berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara d) Pertamina, didirikan berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara 2. Sedangkan badan hukum privat adalah badan hukum yang didirikan atas dasar hukum perdata atau hukum sipil yang bergerak dibidang privat atau menyangkut kepentingan orang atau individu-individu yang termasuk dalam badan hukum tersebut. Badan hukum ini merupakan badan swasta yang didirikan oleh sejumlah orang untuk tujuan tertentu, seperti mencari laba, sosial/kemasyarakatan, politik, dan ilmu pengetahuan dan teknologi, contohnya: a. Perseroan Terbatas (PT), pendiriannya berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas 61 b. Koperasi, pendiriannya berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi c. Yayasan, pendiriannya berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan jo. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 d. Partai Politik, pendiriannya berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Parpol jo. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 Badan Hukum harus memenuhi 2 syarat, yaitu : 1. Syarat Materiil, yaitu : adanya pemisahan harta kekayaan, adanya tujuan tertentu, ada pengurus 2. Syarat formil, yaitu : didirikan dengan akta autentik, mendapatkan pengesahan Menteri Dengan terpenuhinya syarat tersebut, maka suatu badan hukum akan diakui eksistensinya oleh negara. 2.2 Yayasan a. Sejarah Yayasan di Indonesia Yayasan sudah lama ada dan telah dikenal oleh manusia sejak awal sejarah. Sejak semula yayasan dikenal sebagai suatu badan hukum yang bersifat nirlaba, dimana telah dipisahkan suatu harta dari harta kekayaan pribadi seseorang, yang kemudian dipergunakan untuk suatu tujuan sosial dan keagamaan, dan 62 pengurusannya diserahkan kepada suatu badan pengurus untuk dikelola dengan baik dan penuh tanggung jawab. Di negara Amerika Serikat dan Inggris, yayasan disebut Foundation, sedangkan di negara Belanda disebut Stichting. Yayasan dengan tujuan khusus pun seperti “keagamaan dan pendidikan” sudah sejak lama pula ada. Lebih dari seribu tahun sebelum lahirnya Nabi Isa, Para Pharaoh telah memisahkan sebagian kekayaannya untuk tujuan keagamaan. Xenophon mendirikan yayasan dengan cara menyumbangkan tanah dan bangunan untuk kuil bagi pemujaan kepada Artemis, pemberian makanan dan minuman bagi yang membutuhkan, dan hewan-hewan korban. Plato, pada saat menjelang kematiannya pada tahun 347 sebelum masehi, memberikan hasil pertanian dari tanah yang dimilikinya untuk disumbangkan selama-lamanya bagi academia yang didirikannya. Ini mungkin merupakan yayasan pendidikan pertama di dunia.18 Hal tersebut memperlihatkan bahwa lebih dari seribu tahun sebelum masehi tokoh-tokoh sosial dan kemanusiaan di masa lalu telah menerapkan prinsip-prinsip universal yayasan. “Di Belanda, yayasan (stichtingen) ini pada tahun 1956 barulah diatur dengan Wet op Stichtingen van 31 Mei 1956, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1957,”19 “namun pada tahun 1882 Belanda telah memiliki yurisprudensi tentang yayasan.”20 Dari sejak awal yayasan didirikan bukan untuk tujuan komersial atau untuk mencari keuntungan, melainkan bertujuan untuk membantu atau meningkatkan kesejahteraan hidup orang lain. Di Indonesia, sebelum berlakunya Undang-undang Yayasan, yayasan telah diakui sebagai badan hukum berdasarkan 18 Chatamarrasyid, 2000, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 1 19 Pitlo, 1986, Het, Nederlands Burgelijke Wet Boek deel 1 A, Het Rechts Personenrecht, Gouda Quint, B.V. Arnhem, hal. 7 20 Gatot Supramono, 2008, Hukum Yayasan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 3 63 atas kebiasaan dan Yurisprudensi. Yayasan saat itu berdiri dan menjalankan kegiatannya menggunakan hukum kebiasaan yang ada dalam praktik. Yurisprudensi yang digunakan untuk mengatur mengenai yayasan sebagai badan hukum adalah Putusan Mahkamah Agung. Salah satu contoh yurisprudensi tentang yayasan sebagai badan hukum adalah : Putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Juni 1973 Nomor 124 K/SIP/1973 telah mempertimbangkan kedudukan suatu yayasan sebagai badan hukum, dimana dalam pertimbangan putusannya tersebut Mahkamah Agung telah membenarkan putusan Judex Factie bahwa Yayasan Dana pensiun H.M.B. didirikan di Jakarta dengan nama “Stichting Pensiunfonds H.M.B. Indonesie” dan bertujuan untuk menjamin keuangan para anggotanya. Bahwa para anggotanya ialah pegawai NV. H.M.B., mempunyai pengurus sendiri terlepas dari NV. H.M.B., dan yayasan tersebut mempunyai harta sendiri, antara lain harta benda hibah dari NV. H.M.B. (Akte Hibah). Bahwa dengan demikian yayasan tersebut merupakan suatu badan hukum.21 Keputusan lainnya adalah Putusan Mahkamah Agung No. 476K/Sip/1975, tanggal 8 Mei 1975, tentang kasus perubahan Wakaf Al Is Af menjadi Yayasan Al Is Af.22 Sebelum berlakunya Undang-undang Yayasan, tidak ada satupun peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus tentang Yayasan di Indonesia. Selain itu, tampak di masyarakat bahwa peranan yayasan di berbagai sektor, misalnya di sektor sosial, pendidikan dan agama sangat menonjol. Oleh karena itu lembaga tersebut hidup dan tumbuh berdasarkan kebiasaan yang hidup didalam masyarakat. Namun demikian, tidaklah berarti bahwa di Indonesia sama sekali tidak ada ketentuan yang mengatur tentang yayasan. Secara sporadik di beberapa undang-undang disebut adanya yayasan, seperti ; Pasal 365, Pasal 899, 900, 1680 KUHPerdata, kemudian dalam Pasal 6 ayat (3), dan Pasal 236 Rv, serta Pasal 2 ayat (7) Undang-undang Kepailitan 21 C. Ali, 1999, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hal. 91 Anwar Borahima, 2010, Kedudukan Yayasan di Indonesia : Eksistensi, Tujuan dan Tanggung Jawab Yayasan, Kencana, Jakarta, hal. 24 22 64 (Faillissements-verordening). 23 Selain itu, di dalam Peraturan Menteri (Permen Penerangan Republik Indonesia No. 1/Per/Menpen/1969 tentang Pelaksanaan mengenai kententuan-ketentuan mengenai Perusahaan Pers, dalam Pasal 28 disebutkan, bahwa untuk perusahaan yang bergerak di bidang penerbitan Pers harus berbentuk badan hukum. Yang dianggap sebagai badan hukum oleh Permen tersebut adalah Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, atau Yayasan. Di dalam beberapa ketentuan tentang perpajakan juga disebutkan tentang yayasan. Di dalam berbagai peraturan perundang-undangan agraria, dimungkinkan pula bagi yayasan untuk memiliki hak atas tanah.24 “Bahkan sejak tanggal 25 Agustus 1961, telah dibentuk yayasan Dana Landreform oleh Menteri Agraria sebagai pelaksana dari Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961.” 25 “Pada tahun 1993, di dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 227/KMK.017/1993, juga telah dikenal Yayasan Dana Pensiun.” 26 Bunyi Pasal-pasal dalam KUH Perdata yang tidak secara jelas mengatur mengenai yayasan adalah : Pasal 365 : “Dalam segala hal, bilamana Hakim harus mengangkat seorang wali, maka perwalian itu boleh diperintahkan kepada suatu perhimpunan berbadan hukum yang bertempat kedudukan di Indonesia, kepada suatu yayasan atau lembaga amal yang bertempat kedudukan disini pula, yang mana menurut anggaran 23 Ibid, hal. 1 Rudi Prasetya, 1995, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 35 25 Boedi Harsono, 1994, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, hal. 320 26 A. Setiadi, 1995, Dana Pensiun Sebagai Badan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 241 24 65 dasarnya, akta – akta pendiriannya atau reglemennya berusaha memelihara anak – anak belum dewasa untuk waktu yang lama”. Pasal 899 : “Dengan mengindahkan akan ketentuan dalam Pasal 2 Kitab Undang – undang ini, untuk dapat menikmati sesuatu dari suatu surat wasit, seorang harus telah ada, tatkala si yang mewariskan meninggal dunia”. Pasal 900 : “Tiap – tiap pemberian hibah dengan surat wasiat untuk keuntungan badan – badan amal, lembaga – lembaga keamanan, gereja atau rumah – rumah sakit, tak akan mempunyai akibatnya, melainkan sekedar kepada pengurus badan – badan tersebut, oleh Presiden atau oleh suatu penguasa yang ditunjuk Presiden, telah diberi kekuasaan untuk menerimanya. Pasal 1680: “Penghibahan-penghibahan kepada lembaga-lembaga umum atau lembagalembaga keagamaan, tidak mempunyai akibat, selain sekedar oleh Presiden atau penguasa-penguasa yang ditunjuk olehnya telah diberikan kekuasaan kepada para pengurus lembaga-lembaga tersebut, untuk menerima pemberianpemberian itu”. Pasal-pasal dalam peraturan-peraturan tersebut diatas tidak ada satupun yang secara jelas memberikan rumusan mengenai pengertian, tata cara pendirian, maupun maksud dan tujuan yayasan. Saat itu status sebagai badan hukum masih lemah karena tidak diketahui dengan pasti kapan yayasan menjadi badan hukum karena tidak ada ketentuan yang mengatur hal tersebut. Suatu badan hukum yang 66 mengandung unsur sosial dalam setiap kegiatannya yang mana sangat identik dengan unsur ekonomi dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan proses pendiriannya yang mudah karena belum adanya aturan yang mengatur, membuat yayasan menjadi bentuk usaha yang strategis dan cepat mengalami perkembangan didalam masyarakat. Di dalam praktek hukum yang berlaku di Indonesia, pada umumnya yayasan selalu didirikan dengan akta Notaris sebagai syarat untuk terbentuknya suatu yayasan. Di dalam akta Notaris dimuat ketentuan tentang pemisahan harta kekayaan oleh pendiri yayasan, yang kemudian tidak boleh dikuasai lagi oleh pendiri. Akta Notaris ini tidak didaftarkan ke Pengadilan Negeri, dan tidak pula dimumkan dalam Berita Negara. “Para pengurus yayasan tidak diwajibkan untuk mendaftarkan dan mengumumkan akta pendiriannya, juga tidak disyaratkan pengesahan dari Menteri Kehakiman sebagai tidakan preventif.”27 Tidak-adanya ketentuan hukum yang dapat digunakan untuk mengatur yayasan ini menimbulkan kecenderungan di masyarakat untuk menggunakan yayasan sebagai tempat untuk menampung kekayaan para pendiri, pengelola yayasan atau pihak lain, tidak lagi sebagai badan usaha yang sifatnya nirlaba atau tidak mencari keuntungan. Ketiadaan peraturan yang jelas ini kemudian juga berdampak pada semakin cepatnya pertumbuhan yayasan di Indonesia yang tidak diikuti oleh pertumbuhan peraturan mengenai yayasan di Indonesia, sehingga terjadi penafsiran mengenai yayasan secara sendiri-sendiri oleh masyarakat yang berkepentingan sesuai dengan kebutuhan dan tujuan mereka. 27 Anwar Bohima, op.cit., hal. 4 67 Terkadang seringkali yayasan justru oleh pihak – pihak tertentu dijadikan sarana untuk mengejar keuntungan sekalipun pada awal pendiriannya diciptakan beragam alasan pembenar. Yayasan banyak digunakan sebagai wadah badan hukum untuk bermacam-macam kegiatan termasuk diantaranya oleh pihak penguasa, baik oleh masyarakat sipil maupun militer. Salah satunya, badan hukum yayasan dipakai oleh militer untuk mengantisipasi peraturan yang melarang militer untuk berbisnis. Seperti yang terjadi pada Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP). Pada awalnya tentara berbisnis melalui PT. Tri Usaha Bhakti (TRUBA) yang didirikan pada tahun 1968, kemudian ketika pejabat negara termasuk TNI, dilarang terlibat dalam pengurusan bisnis, Kepala Staff TNI AD, Jenderal Umar Wirahadikusumah mendirikan YKEP, lalu PT. TRUBA menjadi salah satu unit usaha di bawah YKEP.28 Selain seringnya terjadi penyimpangan dan penyalah-gunaan yayasan, ketidak-jelasan pengaturan mengenai yayasan juga dapat menimbulkan ketidakberesan dalam pengelolaan yayasan. Ketidak-beresan tersebut terjadi pada tata pengelolaan yayasan dalam arti luas, mulai dari manajernen, pengawasan, transparansi, pertanggung- jawaban, akuntabilitas, struktur organisasi, sistem (sistem kerja, peraturan kelembagaan), dan lain sebagainya. Sering kali kita jumpai Yayasan yang mengalami masalah karena kurang terampil dan terdidiknya Sumber Daya Manusia Yayasan, sehingga kegiatan yayasan semakin lama semakin berkurang bahkan menjadi tidak aktif sama sekali dan akhirnya yang tinggal hanyalah papan namanya saja. Selain itu, tidak jarang juga kita jumpai suatu yayasan yang berkembang dengan baik dan mendapatkan 28 Danang Widoyoko, 2003, UU Yayasan: Legalisasi Bisnis Militer, Artikel Dalam Lentera Jurnal Hukum Edisi 2 Februari 2003, hal. 18. 68 laba, kemudian mulai terjadi ketidaksepakatan intern diantara pengurus yang mengakibatkan terjadi sengketa, sehingga harus meminta penyelesaian melalui lembaga peradilan. Semua permasalahan tersebut disebabkan oleh tidak adanya aturan yang jelas dan khusus mengatur mengenai yayasan. Menyadari hal tersebut, akhirnya setelah 56 tahun Indonesia merdeka pemerintah baru mengeluarkan Undang-undang yang mengatur tentang yayasan pada tanggal 6 Agustus 2001, yaitu Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 Lembaran Negara (LN) No. 112 Tahun 2001 Tambahan Lembaran Negara (TLN) 4132 yang mulai berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan yaitu tanggal 6 Agustus 2002 dan kemudian telah mengalami revisi dalam beberapa pasalnya dengan disahkannya Undang-undang Nomor 28 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang No 16 Tahun 2001 tentang Yayasan LN No. 115 TLN 4430. Dalam keterangan pemerintah dihadapan paripurna Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undang-undang Yayasan tanggal 26 Juni 2000, dijelaskan bahwa penyusunan undang-undang yayasan dilandasi oleh beberapa pokok pikiran, yaitu : 1. Untuk memenuhi kebutuhan perkembangan hukum dalam masyarakat mengenai pengaturan tentang yayasan. 2. Untuk menjamin kepastian serta ketertiban hukum serta berfungsinya yayasan sesuai dengan maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas bagi masyarakat dalam mendirikan yayasan. Disamping itu, untuk memberikan pemahaman serta kejelasan kepada masyarakat mengenai maksud, tujuan, dan fungsi yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan yayasan. 3. Berkaitan dengan arahan yang terdapat dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, bahwa pembangunan hukum harus mewujudkan sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan hak asasi manusia berdasarkan keadilan dan kebenaran.29 29 Anwar Borahima, Op. cit., hal. 37-38 69 Setelah keluarnya Undang-undang (UU) Yayasan tersebut, maka secara otomatis penentuan status badan hukum yayasan-yayasan yang sudah berdiri sebelum adanya UU Yayasan harus mengikuti ketentuan yang ada di dalam UU Yayasan tersebut. Kepastian dan Ketertiban hukum dalam menjalankan yayasan mulai dapat dirasakan oleh masyarakat. Dalam UU Yayasan disebutkan bahwa yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian memperoleh pengesahan dari Menteri (Pasal 11 ayat (1)). UU Yayasan juga menentukan bahwa pendirian yayasan dilakukan dengan akta Notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia (Pasal 9 ayat (2)). Setelah berlakunya UU Yayasan di Indonesia, terjadi pengelompokan bagi yayasan yang telah ada sebelum berlakunya UU Yayasan, yaitu yayasan yang diakui sebagai badan hukum dan yayasan yang tidak diakui sebagai badan hukum. Hal tersebut seperti yang dinyatakan pada Pasal 71 Ayat (1) butir a dan b, yaitu yayasan yang tetap diakui sebagai badan hukum pada saat Undang-undang Yayasan berlaku adalah yayasan yang telah : a. Didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan berita Negara Republik Indonesia; atau b. Didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait. b. Yayasan sebagai Badan Hukum Sebelum berlakunya UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, di Indonesia yayasan telah diakui sebagai badan hukum, meskipun tidak ada peraturan perundang-undangan yang menyatakannya secara tegas. “Dalam lalu 70 lintas hukum sehari - hari Yayasan diperlakukan sebagai legal entity.”30Scholten berpendapat bahwa : “Pengakuan suatu lembaga sebagai badan hukum dapat terjadi, baik sebagai karena undang-undang, maupun karena yurisprudensi atau doktrin, dan bahwa pengakuan suatu lembaga sebagai badan hukum tidaklah selalu karena diatur dalam undang-undang.”31 Paul Scholten berpandangan bahwa tanpa didaftarkan di Pengadilan maupun diumumkan dalam Berita Negara, yayasan telah berkedudukan sebagai badan hukum dan memperoleh kedudukan badan hukum dari sumber lain. Badan hukum yayasan dapat didirikan tanpa adanya campur tangan penguasa karena kebiasaan dan yurisprudensi bersama-sama yang menetapkan aturan itu. Kedudukan badan hukum pada suatu yayasan adalah suatu keharusan karena yayasan mempunyai tujuan, mempunyai harta kekayaan, dan dalam melaksakan kegiatannya yayasan melakukan perbuatan hukum seperti halnya subyek hukum. Van Apeldoorn berpendapat : Yayasan (Stichting) adalah harta yang mempunyai tujuan tertentu, tetapi dengan tiada yang empunya. Adanya harta yang demikian adalah suatu kenyataan, dan juga suatu kenyataan bahwa dalam pergaulan hukum ia diperlakukan seolah-olah ia adalah purusa. Jadi konstruksi yuridisnya adalah, ada harta dengan tujuan tertentu, tetapin tidak dapat ditunjuk sesuatu subyek, sehingga dalam pergaulan diperlakukan seolah-olah adalah subyek hukum.32 Kemudian Pitlo memberikan uraian tentang yayasan sebagai berikut : 30 Setiawan, 1995, Tiga Aspek Yayasan, Varia Peradilan Tahun V, No. 55, hal. 112. 31 Herlien Budiono, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya BAkti, Bandung, 2008, hal. 63 32 Van Apeldoorn, L. J., 1983, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 209 71 Sebagaimana halnya untuk tiap-tiap perbuatan hukum, maka untuk pendirian yayasan harus ada sebagai dasar suatu kemauan yang sah. Pertama-tama harus ada maksud untuk mendirikan suatu yayasan, kemudian perbuatan hukum tersebut harus memenuhi tiga syarat materiil, yakni adanya pemisahan harta kekayaan, tujuan, dan organisasi, dan satu syarat formal yakni surat.33 Definisi mengenai yayasan juga dikemukakan oleh Emerson Andrews, “A nongovernmental, nonprofit organization having a principle fund of its own, manage by its own trustees or directors, and established to maintain or aid social, educational, charitable, religious, or other activities serving the common welfare.” 34 Emerson berpendapat bahwa yayasan merupakan organisasi non pemerintah yang nirlaba, yang memiliki harta kekayaannya sendiri, diatur oleh pengurus yayasan itu sendiri, didirikan untuk kepentingan kegiatan sosial, pendidikan, amal, keagamaan, ataupun kegiatan lain yang bertujuan melayani kesejahteraan masyarakat. Lemaire juga memberikan uraian mengenai yayasan, dimana menurutnya “yayasan diciptakan dengan suatu perbuatan hukum, yaitu dengan memisahkan suatu harta kekayaan dengan tujuan nirlaba dan adanya susunan organisasi, dengan mana sungguh-sungguh dapat terwujud tujuannya dengan alat-alat itu.”35 Selanjutnya Bregstein berpandangan bahwa “yayasan adalah suatu badan hukum yang didirikan dengan suatu perbuatan hukum, yang tidak bertujuan untuk membagikan kekayaan dan/atau penghasilannya kepada pendiri atau penguasaannya didalam yayasan atau kepada orang-orang lain, terkecuali 33 Lombang Tobing, G. H. S., 1990, Beberapa Tinjauan Mengenai Yayasan (Stichting), Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Solo, hal. 5 34 Emerson Andrews, 1958, Philantropic Foundation, New York, hal. 4 35 Anwar Borahima, Op. Cit., hal. 65 72 sepanjang yang terakhir ini, yang demikian adalah untuk kegunaan tujuan idiil.”36 Scholten juga memiliki pendapat mengenai yayasan. Menurutnya “yayasan adalah suatu badan hukum yang dilahirkan oleh suatu pernyataan sepihak. Pernyataan tersebut harus berisikan pemisahan suatu kekayaan untuk suatu tujuan tertentu, dengan menunjukkan cara kekayaan tersebut diurus dan digunakan.”37 Setelah berlakunya UU Yayasan, dengan tegas definisi yayasan diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, menyatakan bahwa “yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak memiliki anggota.” Sekalipun dalam Pasal 1 angka 1 UU Yayasan telah ditentukan status badan hukum yayasan, Pasal 9 ayat (1) dan (2) mengatur bahwa suatu yayasan juga harus didirikan dengan syarat-syarat sebagai berikut : “(1) Yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya sebagai kekayaan awal. (2) Pendirian yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan akta notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia.” Apabila telah dibuat akta pendiriannya di hadapan notaris, suatu yayasan tidak serta merta menjadi suatu badan hukum. Guna mendapatkan status badan hukum sebuah Yayasan harus mengajukan permohonan pengesahan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia seperti yang tercantum dalam Pasal 11 ayat (1) yang berbunyi: 36 37 Lombang Tobing, G. H. S., Loc. Cit. Lombang Tobing, G. H. S., Op. Cit., hal. 6 73 “Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) memperoleh pengesahan dari Menteri.” Dengan diaturnya prosedur memperoleh status badan hukum secara rinci oleh UU Yayasan memberikan pengertian yang jelas bahwa Yayasan adalah badan hukum dan atas hal ini diharapkan tidak ada lagi keragu - raguan tentang status badan hukum Yayasan. Di Belanda, pengertian yayasan atau stichtingen dapat dilihat dalam Pasal 285 ayat (1) NBW, yang berbunyi : “een stichting is een door een rechtshandeling in het leven geroepen rechtspersoon, welke geen laden, kent en beoogt met behulp van een door toe bestemd vermogen een in de statuten vermeld doel te verwezenlijken.”38 (Yayasan adalah badan hukum yang lahir karena suatu perbuatan hukum, yang tidak mempunyai anggota dan bertujuan untuk melaksanakan tujuan yang tertera dalam statistik yayasan dengan dana yang dibutuhkan untuk itu.) Dalam pasal tersebut, NBW telah secara tegas menentukan bahwa yayasan berstatus badan hukum. Yayasan sebagai badan hukum telah diterima di Belanda dalam suatu yurisprudensi Tahun 1882 Hoge Raad, yang merupakan badan peradilan tertinggi di negeri Belanda berpendirian bahwa Yayasan sebagai badan hukum adalah sah menurut hukum dan karenanya dapat didirikan. Pendirian Hoge Raad tersebut 38 Chatama Rasjid, 2001, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba, Cet. I., PT. Citra Ditya Bakti, Bandung, hal. 6. 74 diikuti oleh Hoode Gerech Shof di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) dalam putusannya dari tahun 1889.39 Pengertian yayasan atau foundation menurut Blacks Law Dictionary : “Permanent fund established and maintained by contribution for charitable, educational, religius, research or other benevolent purposes. In institution or association given to rendering financial aid to collages, school, hospital, and charities and generally supported by gifts for such purposes. The founding or building of a college or hospital. The incorporation or endowment of a college or hospital is the foundation; and he who endows it with land or other property is the founder”40 Black Law Dictionary memberikan pengertian bahwa adanya suatu dana yang berkesinambungan dan tetap yang didapatkan melalui sumbangan yang digunakan untuk kegiatan sosial, pendidikan, keagamaan, riset dan kegunaan lainnya. Bantuan dalam bentuk sumbangan dana dalam suatu institusi atau asosiasi diberikan kepada kampus-kampus, sekolah, rumah sakit, dan kegiatan sosial lainnya. Dari pendapat para ahli dan peraturan perundang-undangan yang ada, baik di Belanda maupun di Indonesia, dapat disimpulkan unsur-unsur yayasan sebagai berikut : 39 Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi, Hukum Yayasan di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang RI No. 16 Tahun 2001, TentangYayasan, Indonesia Center Publishing, hal. 18. 40 Hendry Compbell Black, MA, Black’s Law Dictionary Cet. 2, West Publishing Co,t.th, ST Paul Minestotta USA, hal. 45. 1. Berbadan Hukum 75 2. Tidak mempunyai anggota 3. Ada harta yang dipisahkan Mempunyai tujuan di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Pada suatu badan maupun perkumpulan yang tidak dengan tegas dinyatakan sebagai badan hukum, penetapan kedudukan sebagai badan hukum dapat ditentukan dengan melihat peraturan-peraturan yang mengaturnya. Apabila dari peraturan-peraturan tersebut dapat ditarik konklusi adanya ciri-ciri, sifat-sifat, atau dengan kata lain adanya unsur-unsur badan hukum, maka badan atau perkumpulan tersebut adalah badan hukum. Dari sudut doktrin, para ahli sepakat bahwa yayasan adalah badan hukum. hal itu karena yayasan memenuhi syarat-syarat untuk dikatakan sebagai badan hukum, meskipun tidak semua pendapat menyebutkan didalam definisinya bahwa yayasan adalah badan hukum. Dalam praktiknya, yayasan didirikan dengan akta notaris dengan memisahkan suatu harta kekayaan oleh pendiri, dan harta tersebut tidak dapat lagi dikuasai oleh pendiri tersebut. Akta notaris memuat mengenai anggaran dasar yayasan, dimana dalam anggaran dasar tersebut mengatur mengenai yayasan dan pengurusnya, dan apabila ada, juga memuat ketentuan mengenai orang-orang yang mendapat manfaat dari harta kekayaan yayasan tersebut. Dengan memperhatikan pengaturan hukum serta doktrin tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yayasan adalah badan hukum. 76 c. Organ Yayasan Yayasan merupakan subyek hukum yang berwujud badan hukum, bukan manusia alamiah, oleh karena itu ia tidak dapat mengurus dirinya sendiri. Sebagai subyek hukum badan, yayasan tidak dapat menjalankan sendiri segala kegiatan yang harus dilakukan oleh badan tersebut. Dalam melakukan perbuatan hukum, yayasan memerlukan perantara manusia selaku wakilnya. Walaupun dalam bertindak suatu yayasan harus melalui perantaraan orang (natuurlijke personen), namun orang tersebut tidak bertindak untuk dan atas nama dirinya, melainkan untuk dan atas pertanggung jawaban yayasan. Orang-orang yang bertindak untuk dan atas pertanggung jawaban yayasan tersebut inilah yang disebut sebagai organ. Yayasan memiliki organ namun tidak memiliki anggota. Ketiadaan anggota inilah yang membedakan yayasan dengan badan hukum lainnya, seperti perkumpulan, koperasi, maupun perseroan terbatas. Yayasan tidak memiliki anggota karena yang dianggap badan hukum dalam yayasan adalah kekayaan yang berupa uang dan kekayaan lainnya. “Jika melihat dalam teori kekayaan yang bertujuan maka tampaknya hal ini sesuai dengan kondisi yayasan dimana kekayaan badan hukum terlepas dari yang memegangnya, sehingga hak - hak badan hukum sebenarnya adalah kekayaan yang terikat oleh satu tujuan.”41 Karena kondisinya yang tidak mempunyai anggota, maka para pembina, pengurus maupun pengawas tidak ada yang mendapat pembagian keuntungan yang diperoleh yayasan, yang mana hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 3 ayat 41 Chaidir Ali, SH, Op.cit, hal. 35. (2) yang berbunyi : 77 “Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada pembina pengurus dan pengawas”. Kemudian Pasal 5 mengatur bahwa: “Kekayaan yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh yayasan berdasarkan undang-undang ini dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung kepada pembina, pengurus, dan pengawas, karyawan atau pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap yayasan.” Dari pasal-pasal tersebut diatas dapat dilihat bahwa keuntungan yang diperoleh yayasan dalam menjalankan usahanya tidak dapat dibagikan kepada organ yayasan maupun pihak-pihak yang berkepentingan terhadap yayasan. Keuntungan tersebut digunakan untuk mencapai tujuan tertentu (sosial, pendidikan, atau keagamaan) yang telah ditentukan oleh para pendiri yayasan tersebut saat mendirikannya. Kondisi inilah yang diharapkan oleh para pembuat undang-undang sehingga yayasan tidak didirikan untuk berlindung di balik status badan hukum yayasan, namun kenyataannya digunakan untuk memperkaya para pendiri ataupun organ yayasan. Paul Scholten menyatakan bahwa bentuk perwakilan dalam badan hukum itu masuk ke dalam golongan aansteling (pengangkatan), tetapi yang menentukan luasnya wewenang yang diwakili adalah anggaran dasar/statutair, bukan oleh rapat umum, ataupun yang mengangkatnya. Pengangkatan pengurus oleh rapat umum juga bukan merupakan lastgeving (pemberian kuasa/beban).42 42 Pitlo, Het Rechts Personenrecht naar het Netherlands Burgelijk Wet Boek, hal. 476 78 Jadi, walaupun pengurus berada dibawah rapat umum, namun rapat umum tidak dapat memerintah direksi sebab wewenang mewakili dan luasnya ditentukan oleh anggaran dasar. Seperti yang juga diungkapkan oleh Assers, bahwa : “De bestuurder van de rechtspersoon is niet een last-hebber van de rechtpersoon in the technisch-juridis-che zin. Of the bestuurder arbeider is in diens van de rechtspersoon hangt af van de omstandigheden van het geval.”43 Artinya, meskipun pengurus merupakan wakil dari badan hukum, tetapi perbuatan dari badan hukum tersebut tidak dapat disamakan dengan wakil biasa atau wakil dengan surat kuasa, sebagaimana sering terjadi antara manusia biasa yang diwakili oleh orang lain. Pada badan hukum setiap tindakannya diwakili oleh organ, sehingga setiap perbuatan organ tersebut merupakan perbuatan badan hukum itu sendiri. Perbuatan dari pengurus (organ) yang oleh hukum dipertanggungjawabkan kepada badan hukum merupakan suatu pengakuan, bahwa pengurus mewakili badan hukum. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 1655 KUH Perdata yang menyatakan bahwa pengurus dapat mengikatkan badan hukum dengan pihak ketiga. Para pengurus dari badan hukum berwenang untuk bertindak atas nama badan hukum tersebut. Menurut Pitlo yang membandingkan antara badan hukum dengan bayi manusia, “badan hukum bertindak dengan perantaraan pengurusnya sebagai wakilnya, sedangkan bayi manusia dengan perantaraan orang tua atau walinya.” 43 Assers, C., 1968, Handleiding To De Beoefening van Het Netherlands Burgelijk Rech. Uitgeversmaatschappij, W.E.J. Tjeenk Willink-Zwolle, hal. 141 79 Berdasarkan Pasal 2 UU Yayasan, organ terdiri atas Pembina, pengurus, dan pengawas. Dengan berlakunya UU Yayasan beserta PP No. 63 Tahun 2008 sebagai peraturan pelaksananya, maka dapat diketahui syarat dari organ yayasan dengan menyimpulkan beberapa Pasal dalam UU Yayasan dan PP tersebut. Adapun syarat-syarat dari organ yayasan tersebut diuraikan sebagai berikut : 1) Pembina Definisi Pembina diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU Yayasan, yang berbunyi: “Pembina adalah organ yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada pengurus atau pengawas oleh undang-undang ini atau anggaran dasar”. Syarat pembina antara lain : 1. orang perorangan (Pasal 28 ayat (3) UU Yayasan) 2. mempunyai dedikasi tinggi untuk mencapai tujuan dan maksud yayasan (Pasal 28 ayat (3) UU Yayasan) 3. diangkat berdasarkan keputusan rapat gabungan seluruh anggota pengurus dan anggota pengawas (Pasal 28 ayat (4) UU Yayasan) 4. tidak boleh merangkap sebagai anggota pengurus dan/atau anggota pengawas (Pasal 29 UU Yayasan) 5. Apabila berkewarganegaraan asing, jika bertempat tinggal di Indonesia harus memegang izin melakukan kegiatan dan/atau usaha di Indonesia dan merupakan pemegang Kartu Izin Tinggal Sementara (Pasal 13 ayat (1) PP Nomor 63 Tahun 2008) 80 Pembina tidak selalu adalah pendiri yayasan. Pembina dapat juga diangkat berdasarkan keputusan rapat anggota Pembina atau diangkat berdasarkan rapat gabungan seluruh anggota pengurus dan anggota pengawas. 2) Pengurus Definisi Pengurus diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU Yayasan, yang berbunyi: “Pengurus adalah organ Yayasan yang melaksanakan kepengurusan Yayasan.” Syarat pengurus antara lain : 1. orang perorangan (Pasal 31 ayat (2) UU Yayasan) 2. mampu melakukan perbuatan hukum (Pasal 31 ayat (2) UU Yayasan) 3. diangkat oleh pembina berdasarkan keputusan rapat pembina (Pasal 32 ayat (1) UU Yayasan) 4. tidak boleh merangkap sebagai anggota pembina dan/atau anggota pengawas (Pasal 31 ayat (3) UU Yayasan) 5. memenuhi persyaratan lainnya yang diatur dalam anggaran dasar (Pasal 32 ayat (4) UU Yayasan) 6. tidak pernah dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan dalam melakukan pengurusan Yayasan yang menyebabkan kerugian bagi yayasan, masyarakat, atau negara (Pasal 39 ayat (3) UU Yayasan) 7. anggota pengurus yang didirikan oleh orang asing atau orang asing bersama orang Indonesia wajib bertempat tinggal di Indonesia (Pasal 12 ayat (2) PP Nomor 63 Tahun 2008) 8. 81 anggota pengurus berkewarganegaraan asing harus memegang izin melakukan kegiatan dan/atau usaha di Indonesia dan merupakan pemegang Kartu Izin Tinggal Sementara (Pasal 12 ayat (3) PP No. 63 Tahun 2008) 3) Pengawas Definisi Pengawas diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU Yayasan, yang berbunyi: “Pengawas adalah organ Yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberi nasihat kepada Pengurus dalam menjalankan kegiatan Yayasan.” Syarat pengawas antara lain : 1. orang perorangan (Pasal 40 ayat (3) UU Yayasan) 2. mampu melakukan perbuatan hukum (Pasal 40 ayat (3) UU Yayasan) 3. tidak boleh merangkap sebagai pembina atau pengurus (Pasal 40 ayat (4) UU Yayasan) 4. memenuhi persyaratan lainnya yang diatur dalam anggaran dasar (Pasal 44 ayat (2) UU Yayasan) 5. diangkat berdasarkan keputusan rapat pembina (Pasal 41 ayat (1) UU Yayasan) 6. Apabila berkewarganegaraan asing, jika bertempat tinggal di Indonesia harus memegang izin melakukan kegiatan dan/atau usaha di Indonesia dan merupakan pemegang Kartu Izin Tinggal Sementara (Pasal 13 ayat (1) PP No. 63 Tahun 2008) d. Proses Pendirian Yayasan 82 Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undangundang Nomor 16 Tahun 2001 jo. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004, belum ada keseragaman tentang cara pendirian yayasan, oleh karena itu yayasan didirikan hanya berdasarkan pada kebiasaan dalam masyarakat. Sebelum adanya UU Yayasan, yayasan didirikan dengan akta Notaris, baik yayasan yang didirikan oleh pihak swasta ataupun pemerintah. Yayasan yang didirikan oleh badan-badan pemerintah dilakukan dengan surat keputusan dari pejabat yang berwenang untuk itu atau dengan akta Notaris sebagai syarat dibentuknya yayasan. Namun para pengurus yayasan tidak diwajibkan untuk mendaftarkan atau mengumumkan akta pendiriannya, ataupun mengajukan permohonan pengesahan kepada Menteri Kehakiman pada saat itu. Tidak adanya aturan itulah yang menyebabkan tidak adanya keseragaman didalam pendirian yayasan. Banyaknya yayasan yang tidak berbadan hukum sebelum terbitnya UU Yayasan dikarenakan tidak adanya aturan yang memaksa sehingga tidak ada keharusan bagi pengurus yayasan untuk mendaftarkan yayasannya. Setelah berlakunya UU Nomor 16 Tahun 2001 jo. UU Nomor 28 Tahun 2004 yang mengatur tentang yayasan, maka suatu yayasan dapat didirikan dengan mengikuti tata cara yang telah ditetapkan oleh UU Yayasan tersebut. Dalam UU Yayasan diatur pendirian yayasan dengan 3 (tiga) proses, yaitu : 1. Proses pendirian yayasan 2. Proses pengesahan akta yayasan 3. Proses pengumuman yayasan sebagai badan hukum 83 Pendirian yayasan terjadi dengan akta diantara para pendirinya, atau dengan surat hibah/wasiat yang dibuat dihadapan notaris. Di dalam akta tersebut disebutkan maksud dan tujuan pendirian yayasan, nama, susunan dan badan pengurus, juga adanya kekayaan yayasan. Oleh karena itu dalam hukum perdata mensyaratkan 2 (dua) aspek yang harus dipenuhi dalam mendirikan yayasan, yaitu : a. aspek materiil : ada pemisahan harta kekayaan, maksud dan tujuan yang jelas, dan ada organisasi (nama, susunan dan badan pengurus). b. aspek formil : ada akta pendirian, pengesahan dari Menteri Hukum dan Ham, serta diumumkan dalam Lembaran Berita Negara Republik Indonesia. Dalam Pasal 9 UU Yayasan, syarat pendirian yayasan ada 3 (tiga), yaitu : 1. minimal didirikan oleh satu orang atau lebih 2. pendiri harus memisahkan kekayaan pribadinya dengan kekayaan yayasan 3. dibuat dalam bentuk akta Notaris, yang kemudian diajukan permohonannya kepada Menteri Hukum dan Ham RI dan diumumkan dalam Berita Negara RI. Tata cara pendirian Yayasan diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 yang berbunyi : 1. Permohonan pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 (2) diajukan secara tertulis kepada Menteri. 2. Pengesahan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan atau ditolak dalam jangka waktu paling lambat 30 (tigapuluh) hari 84 terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap. 3. Dalam hal diperlukan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 (4), pengesahan diberikan atau ditolak dalam jangka waktu paling lambat 14 (empatbelas) hari terhitung sejak tanggal jawaban atas permintaan pertimbangan dari instansi terkait diterima. 4. Dalam hal jawaban atas permintaan pertimbangan tidak diterima, pengesahan diberikan atau ditolak dalam jangka waktu paling lambat 30 (tigapuluh) hari terhitung sejak tanggal permintaan pertimbangan disampaikan kepada instansi terkait. Kemudian dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001, yang berbunyi sebagai berikut : 1) Dalam hal permohonan pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) ditolak, Menteri wajib memberitahukan secara tertulis dengan alasannya, kepada pemohon mengenai penolakanpengesahan tersebut. 2) Alasan penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah bahwapermohonan yang diajukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya. Dari pasal-pasal tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa permohonan pengesahan diajukan secara tertulis kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. UU Yayasan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11, memberikan wewenang kepada Departmen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, untuk memberikan pengesahan kepada yayasan yang telah berdiri berdasarkan akta notaris untuk mengajukan permohonan untuk mendapatkan status badan hukum. 85 Dalam pendirian yayasan, dimungkinkan orang asing (warga negara asing atau badan hukum asing) sebagai pendiri yayasan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang pelaksanaan Undang-undang Yayasan, diatur mengenai syarat-syarat agar orang asing dapat mendirikan yayasan. Pembatasan terhadap orang asing dalam mendirikan yayasan ini tidak hanya diatur dalam PP Nomor 63 Tahun 2008, tapi juga diatur dengan peraturan-peraturan lain seperti peraturan di bidang keimigrasian dan peraturan di bidang ketenaga-kerjaan. Dalam PP Nomor 63 Tahun 2008 disebutkan bahwa pendirian yayasan oleh orang asing atau bersama dengan orang asing dapat dilakukan dengan syarat : 1. Modal awal minimal sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). 2. Pengurus yayasannya harus memenuhi syarat : a. salah satu pengurus yayasan harus dijabat oleh orang Indonesia (warga negara Indonesia) b. seluruh anggota pengurus (ketua, sekretaris, bendahara) harus bertempat tinggal di Indonesia c. apabila pengurus yayasan berkewarganegaraan asing, maka harus memiliki kartu izin tinggal terbatas (KITAS) dan izin untuk melakukan kegiatan atau usaha di Indonesia. 3. Pembina dan pengawas yayasan juga harus memiliki KITAS dan izin untuk melakukan kegiatan atau usaha di Indonesia, seperti halnya dengan pengurus. 86 4. Khusus bagi yayasan yang didirikan oleh orang asing atau bersama dengan orang asing, pendiri harus melampirkan dokumen standar untuk pengesahan yayasan yang tidak mengandung unsur asing dan harus melampirkan dokumen tambahan, yaitu berupa : a. identitas warga negara asing (Paspor) atau badan hukum asing (dokumen perusahaan lengkap) tersebut. b. surat pernyataan bahwa kegiatan yayasan tersebut tidak akan merugikan masyarakat, bangsa, dan negara Republik Indonesia. Dalam proses pendirian yayasan, langkah awal yang harus dilakukan adalah memiliki calon nama. Nama tersebut kemudian dicek melalui Notaris ke Departemen Hukum dan Ham Republik Indonesia (Depkumham). Untuk pengajuan pengecekan nama, pihak Notaris harus terlebih dahulu melunasi biaya PNBP untuk pengecekan nama dan mengajukan surat permohonan pengecekan nama kepada Depkumham. Dalam surat permohonan tersebut harus dicantumkan rencana tempat kedudukan yayasan. Untuk pengecekan tersebut calon pendiri harus menunggu selama satu minggu untuk mendapatkan kepastian nama tersebut dapat digunakan atau tidak. Depkumham akan mengirimkan surat balasan kepada Notaris yang bersangkutan yang intinya menyebutkan bahwa nama tersebut dapat atau tidak dapat digunakan. Setelah nama disetujui, pendiri dapat menandatangani akta pendirian di Notaris. Segera setelah akta pendirian ditandatangani, Notaris akan memproses pengesahan yayasan tersebut dalam waktu maksimal satu bulan terhitung sejak persetujuan penggunaan nama dari Depkumham dan 10 (sepuluh) hari sejak tanggal akta pendiriannya. Jika proses pengesahan tidak dilakukan 87 dalam waktu satu bulan sejak penggunaan nama disetujui, maka pemesanan nama tersebut menjadi gugur dan nama tersebut dapat digunakan oleh yayasan lain. e. Penggabungan dan Pembubaran Yayasan 1. Penggabungan Yayasan Penggabungan yayasan adalah perbuatan hukum menggabungkan satu yayasan dengan yayasan lain yang telah ada dan mengakibatkan yayasan yang menggabungkan diri menjadi bubar. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggabungan yayasan adalah : 1. ketidak-mampuan suatu yayasan dalam melaksanakan kegiatan usaha tanpa dukungan dari yayasan lain; 2. yayasan yang menerima penggabungan diri tidak pernah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasar yayasan maupun ketertiban umum dan kesusilaan. 3. Yayasan yang bergabung dan yayasan yang menerima penggabungan kegiatannya sejenis. Yayasan yang menggabungkan diri dan yayasan yang menerima penggabungan sama-sama mengalihkan harta kekayaan dan utang atau aktiva dab pasiva kepada yayasan baru hasil penggabungan tersebut. Penggabungan yayasan bertujuan untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan yang sebelumnya kurang berhasiloleh yayasan yang menggabungkan diri tersebut. Dalam UU Yayasan, dapat dilihat inisiatif untuk melakukan penggabungan hanya datang dari satu arah, yaitu dari pihak yang tidak mampu dan tidak sebaliknya. Namun dalam UU Yayasan tidak mengatur mengenai 88 kemungkinan penggabungan dua buah yayasan yang keduanya tidak mampu menjalankan usahanya. Selain itu juga tidak diatur mengenai bentuk penggabungan yayasan tersebut, apakah berbentuk merger, konsolidasi, ataukah akuisisi. Untuk menggabungkan diri, pengurus yayasan dapat mengajukan usul kepada Pembina, yang kemudian oleh Pembina diputuskan dalam rapat Pembina yang dihadiri paling sedikit ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota pembina, dan disetujui paling sedikit oleh ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota pembina dan juga disetujui oleh ¾ (tiga perempat) dari seluruh anggota yang hadir. Pengurus yayasan hasil penggabungan wajib untuk mengumumkan hasil penggabungan dalam dua surat kabar harian paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penggabungan selesai dilakukan. 2. Pembubaran Yayasan Dalam Pasal 62 UU Yayasan, diatur mengenai pembubaran yayasan, baik pembubaran karena inisiatif dari yayasan itu sendiri, maupun karena penetapan/putusan pengadilan. Pembubaran yayasan dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu : 1. Berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam anggaran dasar. Yayasan yang ditetapkan jangka waktu berdirinya akan otomatis bubar jika jangka waktu yang ditetapkan telah berakhir. 2. Tujuan yayasan yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah tercapai atau tidak tercapai. Contohnya pada yayasan yang didirikan dengan tujuan memberantas buta huruf pada suatu desa tertentu, yang apabila menurut 89 para pendiri (pembina) yayasan desa tersebut telah terbebas dari buta huruf atau sebaliknya, maka yayasan akan dibubarkan. 3. Adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, berdasarkan alasan : a. yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan b. yayasan tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit; c. harta kekayaan yayasan tidak cukup untuk melunasi utang setelah pernyataan pailit dicabut. Dengan demikian, dari ketentuan diatas dapat disimpulkan bahwa pembubaran yayasan ada 2 (dua) jenis, yaitu pembubaran secara sukarela dan pembubaran secara paksa. Pada pembubaran yayasan secara sukarela, ada 2 (dua) alasan yang melatar-belakangi, yaitu jangka waktu yang ditetapkan dalam anggaran dasar yayasan telah berakhir dan tujuan yayasan yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah tercapai atau tidak tercapai. Pembubaran secara sukarela mengakibatkan yayasan bubar demi hukum. Pembubaran yayasan secara sukarela hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan rapat pembina yang dihadiri oleh paling sedikit ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota pembina dan disetujui paling sedikit oleh ¾ (tida perempat) jumlah anggota pembina yang hadir. Pembina menunjuk likuidator untuk membereskan kekayaan yayasan yang bubar demi hukum. Apabila pembina tidak menunjuk likuidator, maka penguruslah yang bertindak sebagai likuidator. Dengan adanya pembubaran yayasan, maka yayasan tersebut tidak dapat melakukan perbuatan hukum kecuali untuk membereskan kekayaanya dalam 90 proses likuidasi yayasan. Selama dalam proses likuidasi, semua surat keluar harus mencatumkan frase/atau kata-kata “dalam likuidasi” dibelakang nama yayasan. Frase “dalam likuidasi” tersebut untuk memberikan status yang lebih jelas atas yayasan tersebut kepada pihak ketiga. Pada pembubaran yayasan secara paksa yang dikarenakan adanya putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, maka pengadilan yang menunjuk likuidator. Dalam hal yayasan yang dinyatakan bubar karena pailit, maka berlaku peraturan di bidang kepailitan, yaitu perlu menunjuk kurator. Dengan ditunjuknya likuidator, maka pihak ketiga yang akan melakukan perbuatan hukum dengan yayasan tersebut ataupun penjualan aset-aset yayasan dapat tetap dilakukan melalui perantaraan likuidator tersebut. Adapun tugas likuidator atau kurator adalah membereskan harta kekayaan yayasan yang telah bubar atau dibubarkan, memberikan kewenangan sekaligus kewajiban bagi likuidator untuk melakukan beberapa tindakan proses likuidasi sebagai berikut : 1. menginventarisir semua harta kekayaan yayasan termasuk utang-utang dan piutang-piutang yayasan 2. membuat daftar utang-utang yayasan dan menyusun peringkat utang tersebut 3. membuat daftar piutang yayasan dan melaksanakan penagihan utang (menjadikan uang) 4. menjual seluruh harta kekayaan yayasan.44 Likuidator atau kurator yang ditunjuk untuk melakukan pemberesan kekayaan yang bubar atau dibubarkan, paling lambat 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal penunjukkan, wajib untuk mengumumkan pembubaran yayasan dan proses likuidasinya dalam surat kabar harian berbahasa Indonesia. Kemudian 44 Anwar Borahima, Op. cit., hal. 328 91 dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal proses likuidasi berakhir, likuidator atau kurator wajib mengumumkan hasil likuidasi dalam surat kabar harian berbahasa Indonesia. Likuidator atau kurator dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal proses likuidasi berakhir, wajib melaporkan masalah pembubaran yayasan kepada dewan pembina yayasan. Apabila laporan pembubaran yayasan dan pengumuman hasil likuidasi tidak dilakukan, maka bubarnya yayasan tidak berlaku bagi pihak ketiga. Pengaturan mulai berlakunya pembubaran yayasan sama dengan pembubaran perseroan terbatas (PT) berdasarkan UU Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, yaitu bahwa PT bubar setelah likuidator selesai melaksanakan proses likuidasi, melaporkan hasil likuidasi tersebut kepada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau hakim pengawas yang mengangkatnya, dan kemudian mengajukan pembubaran tersebut ke SABH. Bubarnya PT efektif sejak laporan perihal pembubaran PT oleh likuidator tersebut diterima oleh Menteri Hukum dan Ham RI. Berdasarkan Pasal 68 UU Yayasan, kekayaan sisa hasil likuidasi Yayasan harus diserahkan kepada : 1. yayasan lain yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama dengan yayasan yang bubar 2. badan hukum lain yang melakukan kegiatan yang sama dengan yayasan yang bubar 92 3. negara, yang mana penggunaannya dilakukan sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan yang bubar. 1.3 Akta a. Pengertian Akta “Istilah akta dalam bahasa Belanda disebut ”acte” dan dalam bahasa Inggris disebut ”act” atau ”deed”. Disebutkan bahwa ”acta” merupakan bentuk jamak dari ”actum” yang berasal dari bahasa latin dan berarti perbuatanperbuatan.”45 Walaupun tidak secara pasti mengetahui definisi dari akta, namun masyarakat sudah mengenali apa yang disebut dengan akta dalam kehidupan sehari-hari. Setiap orang yang menjalankan usaha di bidang ekonomi atau menjalin hubungan hukum dengan orang lain pasti pernah menerima atau membuat suatu akta. Akta dibuat dengan tujuan sebagai pembuktian atau alat bukti tentang adanya hubungan hukum antara seseorang yang satu dengan lainnya. Dengan memiliki akta sebagai alat bukti, maka seseorang dengan mudah dapat membuktikan adanya hubungan hukum tersebut jika kelak ada pihak yang ingkar janji atau wanprestasi. Akta juga dapat digunakan sebagai dasar oleh seseorang untuk meminta atau menuntut pihak lain agar melaksanakan kewajiban hukum yang tertuang dalam akta. Akta merupakan salah satu alat bukti yang bersifat tertulis atau surat. Menurut Asser-Anema, alat bukti tertulis, surat, atau tulisan adalah “dragers van verstaanbare leestekens dienende om een gedachteneenheid te vertolken (pengemban tanda-tanda baca yang mengandung arti serta bermanfaat untuk 45 Andi Hamzah, 1994, Kamus Hukum Indonesia, PT Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 34 93 menggambarkan suatu pikiran)”.46 Dalam bukunya, Husni Thamrin menyatakan bahwa akta adalah “surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa yang menjadi dasar dari suatu hak, atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.” 47 Pitlo mengartikan akta sebagai surat-surat yang ditandatangani, dibuat untuk dipakai sebagai bukti dan untuk dipergunakan oleh orang lain, untuk keperluan apa surat itu dibuat.48 I Made Puryatma menyatakan bahwa “akta adalah alat bukti berupa tulisan atau dibalik: tulisan yang sengaja dibuat untuk dipergunakan sebagai alat pembuktian.”49 Alat bukti tertulis adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Sebagai alat bukti tertulis, surat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu surat yang merupakan akta dan yang bukan akta. Kemudian akta dibagi menjadi 2 (dua), yaitu akta autentik dan akta dibawah tangan. Pasal 1867 KUH Perdata menyebutkan : “pembuktian dengan tulisan-tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik dan tulisan-tulisan dibawah tangan.” Agar dapat digolongkan dalam pengertian akta, suatu surat harus ditandatangani. Keharusan suatu surat untuk ditandatangani merupakan ketentuan yang diatur oleh Pasal 1869 KUH Perdata. Tanda-tangan harus ada dalam suatu 46 Tan Thong Kie, 1984, Serba Serbi 30 Tahun Notariat di Indonesia, tidak dipublikasikan, hal. 9 47 Husni Thamrin, 2011, Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, hal 10 48 Pitlo, 1979, Pembuktian dan Daluarsa, Terjemahan oleh M. Isa Aris, Intermassa, Jakarta, hal. 52 49 I Made Puryatma, 2013, Pelatihan Teknik Pembuatan Akta Notaris, tidak dipublikasikan, hal. 1 94 akta bertujuan untuk membedakan akta yang satu dengan yang lainnya. Jadi fungsi tanda-tangan adalah untuk memberi ciri khusus atau mengindividualisir sebuah akta. Dari penjabaran tersebut diatas, dapat disimpulkan unsur-unsur akta : 1. Merupakan alat bukti surat atau bersifat tertulis 2. Diberi tanda-tangan 3. Memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak 4. Sengaja dibuat untuk pembuktian. b. Jenis Akta Sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1867 KUH Perdata, akta dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu akta dibawah tangan dan akta otentik. Kemudian akta otentik dibagi lagi menjadi 2 (dua) yaitu akta umum dan akta khusus. Akta umum dibagi menjadi akta pejabat (ambtelijke acte) dan akte parte (partij acte). Pengertian akta dibawah tangan (onderhands acte) adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan pejabat umum yang berwenang. Akta demikian dibuat semata-mata oleh para pihak yang berkepentingan. Yang dikatagorikan sebagai akta dibawah tangan dalam Pasal 1874 KUH Perdata adalah surat-surat daftar (register), catatan mengenai rumah tangga dan surat-surat lainnya yang dibuat tanpa bantuan seorang pejabat. Soeroso mendefinisikan akta dibawah tangan sebagai “akta yang dibuat tidak oleh atau tanpa perantaraan seseorang pejabat umum, melainkan dibuat dan ditanda-tangani sendiri oleh para pihak yang mengadakan perjanjian, misalnya 95 perjanjian jual beli atau perjanjian sewa menyewa.” 50 Dalam hal apabila para pihak yang menandatangani surat perjanjian tersebut mengakui dan tidak menyangkal tanda-tangannya maupun isi atau apa yang tertulis dalam perjanjian itu, maka akta dibawah tangan tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan akta otentik. Sebagaimana ketentuan Pasal 1875 KUH Perdata yang menyatakan bahwa : Suatu tulisan dibawah-tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau yang dengan cara yang menurut Undang-undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang-orang yang menandatanganinya serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari mereka, bukti yang sempurna seperti akta autentik, dan demikian pula berlakulah ketentuan Pasal 1871 untuk tulisan itu, yang dalam Ayat (2) berbunyi : Jika apa yang termuat disitu sebagai suatu penuturan belaka tidak ada hubungannya langsung dengan pokok isi akta, maka itu hanya dapat berguna sebagai permulaan pembuktian dengan tulisan. I Made Puryatma berpendapat bahwa akta dibawah tangan ialah “akta yang dibuat sendiri oleh mereka yang bersangkutan atau oleh para pihak yang untuk sahnya harus ditandatangani oleh mereka diatas materai yang cukup, materainya tidak boleh kurang. Akta otentik yang kehilangan otensitasnya karena cacat juga termasuk salah satu akta dibawah tangan.” 51 Berdasarkan definisidefinisi akta dibawah tangan tersebut diatas, dapat ditarik unsur-unsur sebagai berikut : 1. Sebuah akta 2. dibuat dan ditanda-tangani sendiri oleh para pihak 3. tanpa perantaraan pejabat umum 50 Soeroso, 2010, Perjanjian dibawah tangan : pedoman praktis pembuatan dan aplikasi hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 8 51 I Made Puryatma, Op. Cit., hal. 7 4. untuk mengadakan perjanjian 96 5. memiliki kekuatan pembuktian sempurna sejauh tidak disangkal oleh para pihak yang menandatangani akta tersebut Selain akta dibawah tangan, akta otentik juga diatur dalam KUH Perdata. Akta Otentik diatur dalam Pasal 1868 KUH Perdata, yang berbunyi : Akta otentik yaitu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak dari padanya tentang apa yang tercantum didalamnya dan bahkan tentang apa yang tercantum didalamnya sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok dari pada akta. Dengan demikian, undang-undang telah secara tegas menyatakan bahwa suatu akta dapat disebut sebagai akta otentik jika : 1. dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang; 2. dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum; 3. pejabat umum yang tersebut harus memiliki kewenangan untuk itu. Pejabat yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUH Perdata tersebut adalah Notaris, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang merupakan pejabat umum yang ditunjuk untuk membuat akta otentik, sepanjang berdasarkan peraturan umum tidak ditunjuk atau dikecualikan kepada pejabat lain. Oleh karena itu, agar memenuhi syarat sebagai akta otentik, seorang pejabat umum yang membuat akta, eksistensinya harus diatur dengan Undang-undang. 97 Pada umumnya, kewenangan seorang Notaris membuat akta melekat pada jabatan yang dipangkunya, hal mana diatur oleh Undang-undang. Kewenangan tersebut meliputi 4 (empat) hal : 1. Kewenangan mengenai subyek. Maksudnya seorang Notaris dapat membuatkan akta untuk siapa saja kecuali untuk dirinya sendiri, suami/istri, orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris, baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan kebawah dan/atau keatas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa (Pasal 52 ayat (1) UUJN). 2. Kewenangan mengenai obyek maksudnya Notaris dapat membuat akta otentik, sejauh pembuatan akta itu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya (Penjelasan UUJN alinea 4). Jadi, kewenangan Notaris membuat akta otentik adalah bersifat kebiasaan (regel) sedangkan bagi pejabat lainnya adalah merupakan pengecualian. Contohnya, seorang pejabat catatan sipil hanya boleh membuat akta catatan sipil, tidak boleh membuat akta otentik umum, sedangkan Notaris berwenang membuat akta otentik umum namun tidak berwenang membuat akta catatan sipil. 3. Kewenangan mengenai waktu 98 Notaris dapat membuat akta otentik kapan saja kecuali pada saat sedang cuti resmi dari jabatannya. Pada saat cuti, Notaris wajib untuk menyerahkan protocol Notaris kepada Notaris pengganti. (Pasal 32 ayat (1) UUJN). 4. Kewenangan mengenai tempat Notaris hanya boleh membuat akta otentik diwilayah kewenangan jabatannya saja. Wilayah kewenangan Notaris meliputi satu propinsi, jika diluar dari wilayah kewenangan jabatannya, ia tidak boleh membuat akta otentik (Pasal 18 UUJN). Husni Thamrin berpendapat, akta otentik adalah “akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan dan atau tanpa bantuan dari pihak-pihak yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat didalamnya oleh pihak-pihak yang berkepentingan.”52 Akta otentik tersebut memuat mengenai keterangan seorang pejabat yang menerangkan tentang apa yang dilakukannya atau yang dilihat dihadapannya. Dalam suatu perjanjian, apa yang dijanjikan, dinyatakan dalam akta otentik itu adalah benar seperti apa yang diperjanjikan, dinyatakan oleh para pihak sebagai apa yang dilihat dan didengar oleh Notaris, terutama mengenai tanggal akta, tempat dibuatnya akta, identitas yang hadir, dan tanda tangan didalam akta tersebut merupakan pembuktian formal, sedangkan 52 Husni Thamrin, Op. Cit., hal. 11 99 kekuatan pembuktian materiil isi atau materi akta adalah benar bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Akta otentik dibagi menjadi dua, yaitu akta yang dibuat oleh pejabat (ambtelijke acte) dan akta yang dibuat oleh para pihak dihadapan pejabat (partij acte). Ambtelijke acte adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu, dimana pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat dan dilakukan. Inisiatif pembuatan akta tidak berasal dari orang yang disebutkan dalam akta. Contohnya, berita acara Rapat Umum Pemegang Saham PT, berita acara pencatatan boedel. Sedangkan partij acte adalah akta yang dibuat oleh para pihak dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu, dimana Notaris hanya menuangkan kehendak dan kemauan para pihak yang merupakan isi dari akta tersebut. Inisiatif pembuatan akta ada pada para pihak yang meminta jasa pejabat tersebut, bukan atas inisiatif pejabatnya. Contohnya, akta sewa menyewa. BAB III 100 EKSISTENSI DARI YAYASAN LAMA DENGAN BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 2 TAHUN 2013 YANG BERTENTANGAN DENGAN PASAL 71 UNDANG-UNDANG YAYASAN 3.1 Eksistensi Yayasan Lama Dengan Berlakunya Undang-Undang Yayasan Dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 3.1.1 Eksistensi Yayasan Lama Dengan Berlakunya Undang-Undang Yayasan Tidak adanya keserasian dalam pelaksanaan pembentukan yayasan di Indonesia serta tidak adanya aturan yang mengatur yayasan dalam melaksanakan kegiatannya mendorong pemerintah untuk menerbitkan Undang-undang Yayasan pada tahun 2001, yaitu Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001.Undang-undang Yayasan dirasakan perlu menimbang bahwa di Indonesia perkembangan yayasan begitu pesat dengan berbagai kegiatan, maksud, dan tujuan, dan pengaturannya hanya didasarkan pada kebiasaan dalam masyarakat karena belum memiliki peraturan yang mengatur secara khusus.Tidak adanya peraturan yang mengatur mengenai yayasan menyebabkan tidak terjaminnya kepastian dan ketertiban hukum bagi masyarakat.Undang-undang Yayasan mengatur agar yayasan berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuannya, sehingga prinsip keterbukaan dan akuntabilitas kepada masyarakat terpenuhi. Sampai akhirnya pada tahun 2004 pemerintah merasa perlu melakukan perubahan atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tersebut dengan pertimbangan bahwa Undang-undang Yayasan tersebut belum memenuhi seluruh 101 kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, selain itu juga terdapat beberapa substansi dalam undang-undang tersebut yang dapat menimbulkan berbagai penafsiran. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 diubah dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004. Dengan berlakunya Undang-undang Yayasan dan Perubahan Undangundang Yayasan, maka semua yayasan baik yang telah didirikan sebelum berlakunya Undang-undang Yayasan maupun yayasan yang akan didirikan harus memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Undang-undang Yayasan. Setelah terbitnya UU Yayasan, tidak semua yayasan yang telah berdiri sebelum adanya UU Yayasan dianggap berstatus badan hukum oleh UU Yayasan. Berdasarkan Pasal 71 ayat (1) Undang-undang Yayasan, yayasan yang berdiri sebelum terbitnya Undang-undang Yayasan, dianggap berstatus badan hukum apabila : - telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; dan - telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait. Yayasan yang tidak memenuhi syarat seperti yang diatur dalam Pasal 71 ayat (1) tersebut, dianggap tidak berbadan hukum. Yayasan yang memenuhi syarat berbadan hukum seperti yang disebutkan dalam pasal tersebut, setelah terbitnya UU Yayasan dianggap tidak berbadan hukum kecuali menyesuaikan anggaran dasarnya dalam jangka waktu 5 tahun dari berlakunya Undang-undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001, yang kemudian Undang-undang Yayasan tersebut direvisi menjadi Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 sehingga jangka 102 waktu penyesuaiannya menjadi 3 tahun. Selain harus melakukan penyesuaian anggaran dasar, yayasan yang telah ada sebelum terbitnya Undang-undang Yayasan juga harus memohon pengesahan kepada Menteri Hukum dan Ham paling lambat 1 (satu) tahun setelah pelaksanaan penyesuaian. Yayasan yang berdiri sebelum terbitnya Undang-undang Yayasan namun tidak berbadan hukum (tidak memenuhi syarat sebagai badan hukum berdasarkan ketentuan Pasal 71 ayat (1) Undang-undang Yayasan), juga diberi kesempatan untuk mendapatkan status badan hukum dengan syarat harus menyesuaikan anggaran dasarnya dan mengajukan permohonan pengesahan kepada Menteri Hukum dan Ham paling lambat 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-undang Yayasan. Undang-undang Yayasan (Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001) terbit pada tanggal 6 Agustus 2001 dan kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 yang terbit pada tanggal 6 Oktober 2004. Apabila yayasan berbadan hukum yang berdiri sebelum Undang-undang Yayasan lahir ingin tetap berstatus badan hukum, maka yayasan tersebut harus melakukan penyesuaian paling lambat tanggal 6 Oktober 2008 dan memohon pengesahan kepada Menteri Hukum dan Ham paling lambat tanggal 6 Oktober 2009. Sedangkan untuk yayasan yang tidak berbadan hukum, apabila ingin memperoleh status badan hukum harus melakukan penyesuaian dan memohon pengesahan kepada Menteri Hukum dan Ham paling lambat tanggal 6 Oktober 2006, seperti yang diatur dalam Pasal 71 Ayat (2) Perubahan Undang-undang Yayasan. 103 Apabila yayasan yang berdiri sebelum terbitnya Undang-undang Yayasan tidak melakukan penyesuaian anggaran dasar dan memohon pengesahan kepada Menteri Hukum dan Ham sampai jangka waktu yang telah ditetapkan dalam Pasal 71 ayat (1), (2), dan (3) Perubahan Undang-undang Yayasan, maka yayasan tersebut eksistensinya tidak diakui oleh undang-undang, tidak dapat menggunakan kata ‘yayasan’ didepan namanya, dan dapat dibubarkan berdasarkan keputusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan. 3.1.2 Eksistensi Yayasan Lama Dengan Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 Undang-undang Yayasan dan Perubahan Undang-undang Yayasan 4 (empat) tahun kemudian baru memiliki Peraturan Pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 sebagai peraturan pelaksana dari Undangundang yayasan. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tersebut diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 14 ayat (4), Pasal 15 ayat (4), Pasal 27 ayat (2), Pasal 61, dan Pasal 69 ayat (2) UndangUndang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.Namun kemudian, pemerintah merasa perlu untuk menerbitkan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 dengan pertimbangan bahwa masih adanya yayasan yang belum menyesuaikan anggaran dasarnya dengan UU Yayasan untuk dapat memperoleh status badan hukum atau tetap diakui status badan hukumnya. Oleh karena itu, pada tanggal 2 Januari 2013, pemerintah mengeluarkan Peraturan 104 Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan, yang mana mulai berlaku pada tanggal diundangkannya peraturan pemerintah tersebut. Sebelum Indonesia memiliki UU yang mengatur mengenai yayasan, telah banyak masyarakat yang mendirikan yayasan dengan dasar kebiasaan dalam masyarakat dan yurisprudensi.Tidak adanya peraturan yang mengatur mengenai yayasan menyebabkan ketidakseragaman antara yayasan yang satu dengan yang lainnya, baik dari pendiriannya, maupun dalam maksud dan tujuannya.Terbitnya UU Yayasan memberikan kepastian dan ketertiban hukum kepada masyarakat, sehingga yayasan berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas. Undang-undang Yayasan serta Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 telah mengatur secara tegas mengenai yayasan-yayasan yang berdiri sebelum terbitnya Undang-undang Yayasan.Dalam Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tersebut mengatur bahwa yayasan-yayasan yang berdiri sebelum berlakunya Undang-undang Yayasan harus melakukan penyesuaian anggaran dasar dan memohon pengesahan kepada Menteri Hukum dan Ham. Terdapat 2 macam yayasan yang berdiri sebelum terbitnya Undang-undang yayasan, yaitu : 1. yayasan yang dianggap berbadan hukum karena telah mendaftarkan diri di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara 105 Republik Indonesia atau memiliki izin melakukan kegiatan dari instansi terkait, 2. yayasan yang dianggap tidak berbadan hukum karena tidak mendaftarkan diri ke Pengadilan Negeri, tidak diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia maupun tidak memiliki izin dari instansi terkait. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 dalam Pasal 36 (1) menyebutkan bahwa : “Yayasan yang telah didirikan sebelum berlakunya Undang-Undang dan tidak diakui sebagai badan hukum dan tidak melaksanakan ketentuan Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang, harus mengajukan permohonan pengesahan akta pendirian untuk memperoleh status badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.” Penyesuaian anggaran dasar dan permohonan kepada Menteri Hukum dan Ham memiliki batas waktu sesuai dengan yang diatur dalam Undang-undang Yayasan.Jangka waktu penyesuaian anggaran dasar berakhir pada tanggal 6 Oktober 2008. Apabila setelah tanggal 6 Oktober 2008 yayasan yang berdiri sebelum berlakunya Undang-undang Yayasan belum juga melakukan penyesuaian anggaran dasar, maka yayasannya tidak diakui lagi eksistensinya dan dianggap tidak berbadan hukum lagi, dengan demikian tidak dapat menggunakan kata ‘yayasan’ lagi didepan namanya. 106 Sampai dengan batas waktu yang ditetapkan oleh Perubahan Undangundang Yayasan, ternyata masih banyak yayasan yang berdiri sebelum terbitnya Undang-undang Yayasan belum juga melakukan penyesuaian anggaran dasar dan memohon pengesahan kepada menteri Hukum dan Ham. Oleh karena itu, pemerintah bermaksud untuk memberikan kembali kesempatan pada yayasanyayasan yang telah kehabisan waktu untuk melakukan penyesuaian dan memohon pengesahan tersebut dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 yang merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang pelaksanaan UU Yayasan. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 yang mulai berlaku pada tanggal diundangkannya ini yaitu pada tanggal 2 Januari 2013, memuat tentang hal-hal yang berhubungan dengan syarat-syarat agar suatu yayasan yang belum berstatus badan hukum dapat kembali melakukan penyesuaian dan mengajukan permohonan kepada Menteri Hukum dan Ham. Seperti yang tercantum dalam Pasal I angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013, menyatakan bahwa diantara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan Pasal 15A, yang mana Pasal 15A mengatur tentang surat-surat yang harus dilengkapi oleh yayasan yang sudah tidak dapat menggunakan kata “yayasan” didepan namanya, agar dikatakan berbadan hukum dan dapat kembali disebut sebagai yayasan. Kemudian Pasal I angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 menyatakan bahwa terdapat perubahan pada Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008, yang mana ditambahkan 1 ayat pada pasal tersebut yakni ayat (4), yang berbunyi : “Perubahan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana 107 dimaksud pada ayat (1) berlaku sejak tanggal diterbitkannya surat penerimaan pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan oleh Menteri”. Yang mana Pasal 18 ayat (1) berbunyi : “Pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan selain perubahan nama dan kegiatan Yayasan disampaikan kepada Menteri oleh Pengurus Yayasan untuk dicatat dalam Daftar Yayasan dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.” Pasal I angka 3 pada intinya merevisi ketentuan dalam Pasal 19 ayat (2) serta menambah satu ayat lagi yakni ayat (3).Pasal 19 Ayat (2) mengatur bahwa perubahan data yayasan yang disampaikan kepada Menteri oleh pegurus yayasan mulai berlaku sejak tanggal keputusan rapat atau tanggal kemudian yang ditetapkan dalam keputusan rapat yang sah memutuskan perubahan data tersebut. Dan tambahan pada Ayat (3) berbunyi : “Menteri berdasarkan pemberitahuan perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pencatatan perubahan data dan menerbitkan surat penerimaan pemberitahuan perubahan data.” Di antara Pasal 19 dan Pasal 20 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 19A sehingga berbunyi sebagai berikut : “Menteri hanya dapat menerima perubahan Anggaran Dasar dan/atau perubahan data Yayasan yang dilakukan oleh anggota organ yang telah diberitahukan kepada Menteri.” Pada Pasal I Angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 menyebutkan bahwa di antara Pasal 37 dan Pasal 38 ditambah 1 (satu) pasal, yakni Pasal 37A. Pasal 37A ayat (1) berbunyi : “Dalam hal perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dilakukan untuk Yayasan yang sudah tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya maka Yayasan tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 108 a. paling sedikit selama 5 (lima) tahun berturut-turut sebelum penyesuaian Anggaran Dasar masih melakukan kegiatan sesuai Anggaran Dasarnya; dan b. belum pernah dibubarkan.” Pasal 37 ayat (1) huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 ini membingungkan. Pasal 71 Perubahan Undang-undang Yayasan telah menentukan bahwa penyesuaian anggaran dasar paling lambat dapat dilakukan tahun 2008, oleh karena itu suatu yayasan yang telah tidak dapat menggunakan kata “yayasan” didepan namanya terhitung sejak tahun 2008 karena telah lewat jangka waktu tersebut, apabila selama 5 tahun berturut-turut sebelum penyesuaian Anggaran Dasar masih melakukan kegiatan sesuai Anggaran Dasarnya, maka kegiatan yayasan tersebut bersifat ilegal karena saat melakukan kegiatannya yayasan tersebut tidak lagi berbadan hukum dan tidak dapat disebut sebagai yayasan. Pasal 37 ayat (2), (3), dan (4) memuat mengenai syarat-syarat untuk dapat melakukan perubahan anggaran dasar. Pasal 37 ayat (2) berbunyi : Perubahan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara mengubah seluruh Anggaran Dasar Yayasan dan mencantumkan: a. seluruh kekayaan Yayasan yang dimiliki pada saat penyesuaian, yang dibuktikan dengan: 1) laporan keuangan yang dibuat dan ditandatangani oleh Pengurus Yayasan tersebut; atau 2) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik bagi Yayasan yang laporan keuangannya wajib diaudit sesuai dengan ketentuan UndangUndang; b. data mengenai nama dari anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas yang diangkat pada saat perubahan dalam rangka penyesuaian Anggaran Dasar tersebut. 109 Pasal 37 ayat (3) berbunyi : “Pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah disesuaikan dengan Undang-Undang disampaikan kepada Menteri oleh Pengurus Yayasan atau kuasanya melalui notaris yang membuat akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan.” Sedangkan ayat (4) berbunyi : “Pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri: a. salinan akta perubahan seluruh Anggaran Dasar yang dilakukan dalam rangka penyesuaian dengan ketentuan Undang-Undang; b. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia yang memuat akta pendirian Yayasan atau bukti pendaftaran akta pendirian di pengadilan negeri dan izin melakukan kegiatan dari instansi terkait;ww.hukumonline.com c. laporan kegiatan Yayasan selama 5 (lima) tahun berturut-turut sebelum penyesuaian Anggaran Dasar yang ditandatangani oleh Pengurus dan diketahui oleh instansi terkait; d. surat pernyataan Pengurus Yayasan bahwa Yayasan tidak pernah dibubarkan secara sukarela atau berdasarkan putusan pengadilan; e. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang telah dilegalisir oleh notaris; f. surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat lengkap Yayasan yang ditandatangani oleh Pengurus Yayasan dan diketahui oleh lurah atau kepala desa setempat; g. neraca Yayasan yang ditandatangani oleh semua anggota organ Yayasan atau laporan akuntan publik mengenai kekayaan Yayasan pada saat penyesuaian; h. pengumuman surat kabar mengenai ikhtisar laporan tahunan bagi Yayasan yang sebagian kekayaannya berasal dari bantuan negara, bantuan luar negeri, dan/atau sumbangan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 Undang-Undang; dan i. bukti penyetoran biaya pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan dan pengumumannya.” Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: “Perubahan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 37A mulai berlaku sejak tanggal diterbitkannya surat penerimaan pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan oleh Menteri.” 110 Dan yang terakhir, ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Yayasan yang belum memberitahukan kepada Menteri sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (4) Undang-Undang dan tidak lagi melakukan kegiatannya sesuai dengan Anggaran Dasar selama 3 (tiga) tahun berturut-turut, harus melikuidasi kekayaannya serta menyerahkan sisa hasil likuidasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 Undang-Undang. Dari seluruh pasal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tersebut, hanya dimaksudkan untuk yayasan-yayasan yang telah kehilangan status badan hukumnya dan tidak lagi dapat menggunakan kata “yayasan” didepan namanya berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 jo. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 mengenai Yayasan.Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 maka eksistensi dari yayasan lama atau yayasan-yayasan yang sudah kehilangan status badan hukumnya kembali dapat diakui. 3.2 Pertentangan antara Undang-undang Yayasan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 dibentuk dengan harapan dapat menyempurnakan beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan. Namun apa yang diatur didalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tersebut, tidak hanya menambahkan ketentuan demi kesempurnaan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008, tetapi juga mengubah ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Yayasan, khususnya mengenai jangka waktu penyesuaian anggaran dasar yang diatur dalam Pasal 71 UU Yayasan. Pada Pasal 71 ayat (1) UU Yayasan berbunyi : 111 Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Yayasan yang telah : didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; atau didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait; tetap diakui sebagai badan hukum, dengan ketentuan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak tanggal Undang-undang ini mulai berlaku, Yayasan tersebut wajib menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan Undang-undang ini. Jadi Pasal 71 ayat (1) tersebut mengatur bahwa yayasan-yayasan yang telah berdiri sebelum terbitnya UU Yayasan, yang mana menurut UU Yayasan telah memenuhi syarat berbadan hukum namun karena adanya UU Yayasan harus melakukan penyesuaian kembali untuk dapat mempertahankan status badan hukumnya tersebut. Untuk melakukan penyesuaian kembali, yayasan-yayasan tersebut hanya diberikan jangka waktu paling lambat 3 tahun sejak berlakunya UU Yayasan. Pasal 72 ayat (2) berbunyi : Yayasan yang telah didirikan dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memperoleh status badan hukum dengan cara menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan Undang-undang ini, dan mengajukan permohonan kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal Undang-undang ini berlaku. Pasal 71 ayat (2) mengatur mengenai yayasan-yayasan yang telah berdiri sebelum terbitnya UU Yayasan, namun tidak memenuhi syarat berbadan hukum dari UU Yayasan, diberikan kesempatan untuk memperoleh status badan hukum dengan ketentuan harus melakukan penyesuaian anggaran dasar dan mengajukan 112 permohonan kepada Menteri Hukum dan Ham paling lambat 1 tahun sejak berlakunya UU Yayasan. Kemudian Pasal 71 ayat (3) berbunyi : “Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib diberitahukan kepada Menteri paling lambat 1 (satu) tahun setelah pelaksanaan penyesuaian.” Ketentuan yang diatur dalam Pasal 71 ayat (3) tersebut adalah mengenai yayasan-yayasan yang telah berdiri sebelum berlakunya UU Yayasan, selain wajib melakukan penyesuaian anggaran dasar seperti yang diatur dalam Pasal 71 ayat (1) UU Yayasan, juga wajib untuk mengajukan permohonan pengesahan kepada Menteri Hukum dan Ham agar dapat mempertahankan status badan hukumnya. Jangka waktu yang diberikan untuk mengajukan permohonan pengesahan kepada Menteri Hukum dan Ham adalah paling lambat 1 tahun setelah dilaksanakannya penyesuaian anggaran dasar. Dan Pasal 71 ayat (4) menyebutkan : Yayasan yang tidak menyesuaikan Anggaran Dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dapat menggunakan kata Yayasan didepan namanya dan dapat dibubarkan berdasarkan keputusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan. Pasal 71 ayat (4) menegaskan bahwa apabila yayasan-yayasan yang berdiri sebelum berlakunya UU Yayasan, baik yang telah ataupun belum berstatus badan hukum, tidak melakukan penyesuaian anggaran dasar seperti yang diatur dalam Pasal 71 ayat (1) dan (2), maka tidak dapat lagi menggunakan kata ‘Yayasan’ 113 didepan namanya dan dapat dimohonkan pembubaran oleh Jaksa atau pihak yang berkepentingan melalui putusan pengadilan. Jadi berdasarkan Pasal 71 tersebut diatas, pemberian kesempatan kepada yayasan yang berdiri sebelum berlakunya UU Yayasan untuk melakukan penyesuaian anggaran dasar hanya diberi waktu 3 tahun terhitung dari berlakunya UU Yayasan yaitu pada tahun 2005 sehingga penyesuaian dapat dilakukan paling lambat sampai tahun 2008. Apabila sampai waktu yang telah ditetapkan tersebut Yayasan yang dimaksud belum juga melakukan penyesuaian, maka konsekuensinya dapat dibubarkan dan tidak boleh memakai kata ‘Yayasan’ lagi didepan namanya. Akibat dari aturan tersebut, banyak yayasan yang menjadi tidak berbadan hukum karena tidak melakukan penyesuaian anggaran dasar.Dan waktu yang diberikan pun telah habis, sehingga kesempatan untuk menjadi badan hukum telah tertutup bagi yayasan-yayasan tersebut.Yayasan tersebut dianggap telah ‘mati’ karena tidak dapat menggunakan kata ‘Yayasan’ lagi didepan namanya. Yayasanyayasan tersebut dapat melikuidasi yayasannya dan membuat yayasan baru dengan maksud dan tujuan sama namun dengan nama berbeda, kemudian menyerahkan kekayaan sisa hasil likuidasi yayasan yang ‘mati’ tersebut kepada yayasan yang baru. Namun hingga batas waktu yang telah diberikan oleh Perubahan Undangundang Yayasan tidak banyak yayasan yang melakukan hal tersebut sehingga masih banyaknya yayasan yang ‘mati’ atau kehilangan status badan hukum dan tidak dapat lagi menggunakan kata “yayasan” didepan namanya karena tidak 114 melakukan penyesuaian anggaran dasar. Untuk membantu masyarakat agar lebih mudah mendaftarkan pendirian dan/atau perubahan anggaran dasar yayasannya dalam rangka penyesuaian dengan UU Yayasan, pemerintah merasa perlu menyempurnakan beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008, sehingga kemudian pemerintah mengeluarkan PP Nomor 2 Tahun 2013 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 Tentang pelaksanaan undang-undang tentang yayasan. PP 2/ 2013 menambahkan Pasal 15A diantara Pasal 15 dan Pasal 16, yang berbunyi : Dalam hal permohonan pengesahan akta pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan kekayaan awal Yayasan berasal dari Yayasan yang sudah tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya, permohonan pengesahan dilampiri : a. Salinan akta pendirian Yayasan yang dalam premise aktanya menyebutkan asal-usul pendirian Yayasan termasuk kekayaan Yayasan yang bersangkutan; b. Laporan kegiatan Yayasan paling sedikit selama 5 (lima) tahun terakhir secara berturut-turut yang ditanda-tangani oleh Pengurus Yayasan dan diketahui oleh instansi terkait; c. Surat pernyataan Pengurus Yayasan bahwa Yayasan tidak pernah dibubarkan secara sukarela atau berdasar putusan pengadilan; d. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang telah dilegalisir oleh Notaris; e. Surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat lengkap Yayasan yang ditandatangani oleh Pengurus Yayasan dan diketahui oleh lurah atau kepala desa setempat; f. Pernyataan tertulis dari Pengurus Yayasan yang memuat keterangan nilai kekayaan pada saat penyesuaian Anggran Dasar; g. Surat pernyataan Pengurus mengenai keabsahan kekayaan Yayasan; dan h. Bukti penyetoran biaya pengesahan dan pengumuman Yayasan. Pasal 15A tersebut menyebutkan mengenai lampiran-lampiran yang harus dilengkapi oleh yayasan yang sudah tidak dapat menggunakan kata ‘Yayasan’ didepan namanya atau yayasan yang telah ‘mati’ berdasarkan Undang-undang Yayasan, untuk mendapatkan pengesahan akta pendirian yayasan oleh Menteri 115 agar memperoleh status badan hukum. Kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 juga menambahkan Pasal 37A diantara Pasal 37 dan 38 yang berbunyi : (1) Dalam hal perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dilakukan untuk Yayasan yang sudah tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya maka Yayasan tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. paling sedikit selama 5 (lima) tahun berturut-turut sebelum penyesuaian Anggaran Dasar masih melakukan kegiatan sesuai Anggaran Dasarnya; dan b. belum pernah dibubarkan. (2)Perubahan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara mengubah seluruh Anggaran Dasar Yayasan dan mencantumkan: a. seluruh kekayaan Yayasan yang dimiliki pada saat penyesuaian, yang dibuktikan dengan: 1) laporan keuangan yang dibuat dan ditandatangani oleh Pengurus Yayasan tersebut; atau 2) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik bagi Yayasan yang laporan keuangannya wajib diaudit sesuai dengan ketentuan UndangUndang; b. data mengenai nama dari anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas yang diangkat pada saat perubahan dalam rangka penyesuaian Anggaran Dasar tersebut. (3)Pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah disesuaikan dengan Undang-Undang disampaikan kepada Menteri oleh Pengurus Yayasan atau kuasanya melalui notaris yang membuat akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan. (4)Pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri: a. Salinan akta perubahan seluruh Anggaran Dasar yang dilakukan dalam rangka penyesuaian dengan ketentuan Undang-Undang; b. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia yang memuat akta pendirian Yayasan atau bukti pendaftaran akta pendirian di pengadilan negeri dan izin melakukan kegiatan dari instansi terkait; c. Laporan kegiatan Yayasan selama 5 (lima) tahun berturut-turut sebelum penyesuaian Anggaran Dasar yang ditandatangani oleh Pengurus dan diketahui oleh instansi terkait; d. Surat pernyataan Pengurus Yayasan bahwa Yayasan tidak pernah dibubarkan secara sukarela atau berdasarkan putusan pengadilan; e. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang telah dilegalisir oleh notaris; 116 f. Surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat lengkap Yayasan yang ditandatangani oleh Pengurus Yayasan dan diketahui oleh lurah atau kepala desa setempat; g. Neraca Yayasan yang ditandatangani oleh semua anggota organ Yayasan atau laporan akuntan publik mengenai kekayaan Yayasan pada saat penyesuaian; h. Pengumuman surat kabar mengenai ikhtisar laporan tahunan bagi Yayasan yang sebagian kekayaannya berasal dari bantuan negara, bantuan luar negeri, dan/atau sumbangan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 Undang-Undang; dan i. Bukti penyetoran biaya pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan dan pengumumannya.” Jadi Pasal 37A tersebut menegaskan mengenai syarat agar yayasan yang telah ‘mati’ atau tidak berbadan hukum lagi dapat melakukan perubahan anggaran dasar sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 37 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008, yang berbunyi: “Perubahan anggaran dasar yayasan yang diakui sebagai badan hukum menurut ketentuan Pasal 71 Ayat (1) Undang-undang dilakukan oleh organ yayasan sesuai dengan anggaran dasar yayasan yang bersangkutan.” Dari pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 ini membuka kembali kesempatan bagi yayasan yang telah ‘mati’ atau tidak dapat lagi menggunakan kata ‘Yayasan’ didepan namanya berdasarkan kententuan yang diatur oleh Perubahan Undang-undang Yayasan. Hal tersebut memperlihatkan bahwa aturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 merevisi apa yang telah diatur dalam Pasal 71 Perubahan Undangundang Yayasan. Yayasan lama yang telah dianggap ‘mati’ atau tidak berbadan hukum berdasarkan ketentuan Pasal 71 UU Yayasan, diberikan kesempatan kembali oleh Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 untuk melakukan 117 penyesuaian anggaran dasar dan memohon pengesahan Menteri agar dapat memeroleh status badan hukum atau dengan kata lain dapat dihidupkan kembali. Permasalahannya disini adalah adanya pertentangan aturan antara ketentuan yang diatur dalam Perubahan Undang-undang Yayasan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 melakukan perubahan terhadap apa yang telah diatur dalam Perubahan Undang-undang Yayasan, padahal secara hierarki perundang-undangan Peraturan Pemerintah berada dibawah Undang-undang. Berdasarkan Teori Jenjang Norma dari Hans Kelsen yang menyatakan bahwa norma-norma hukum itu memiliki jenjang atau berlapis-lapis membentuk hierarki tata susunan norma hukum, dimana norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, hingga yang tertinggi adalah norma dasar (Grundnorm). Dengan demikian peraturan perundangundangan yang lebih tinggi menjadi landasan bagi peraturan yang lebih rendah. Teori Jenjang Norma ini juga diterapkan dalam tata urutan peraturan perundangundangan di Indonesia, yang mana diatur secara jelas jenis dan hierarki peraturan perundang-undangannya dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Urutannya dari atas ke bawah adalah Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawatan Rakyat, Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan yang terbawah adalah Peraturan Daerah. Undang-undang ini menegaskan kekuatan hukum dari peraturan-peraturan tersebut adalah sesuai dengan hierarki yaitu peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang 118 lebih rendah.Apabila terjadi konflik atau pertentangan antara peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan yang lebih rendah, maka peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah peraturan yang lebih tinggi. Demikian juga dalam Asas Preferensi yang dapat menjadi acuan apabila terjadi pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lain. Diantara 3 asas preferensi, penulis menggunakan asas Lex Superior derogat Legi Inferiori dalam menjawab permasalahan pertama.Lex Superior derogat Legi Inferiori yaitu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya mengesampingkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah.Apabila terjadi pertentangan antara peraturan yang tidak sederajat secara hierarki, maka asas ini yang digunakan sebagai pisau analisisnya. Jika terdapat dua norma atau lebih yang isinya mengatur hal yang sama namun substansinya saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya, salah satu atau lebih dari norma tersebut harus dikesampingkan sehingga hanya satu norma yang dipilih dan dapat berlaku di masyarakat. Untuk memecahkan permasalahan dalam konflik norma tersebut dapat dilakukan dengan mempergunakan asas preferensi sebagai pisau analisisnya. Asas Lex Superior derogat Legi Inferiori juga merupakan dasar bagi Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UUPPPU), dimana dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) UUPPPU menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hierarki dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2) adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada 119 asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain mengacu pada teori Jenjangan norma dan Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori, ketentuan Pasal 7 ayat (2) UUPPPU serta penjelasannya memperlihatkan bahwa di Indonesia telah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai keberlakuan suatu peraturan perundang-undangan dimana suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak dapat mengatur suatu hal yang bertentangan dengan ketentuan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Oleh karena itu, berdasarkan Teori Jenjang Norma dan Asas Lex Superior derogat Legi Inferiori, serta berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undangundang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maka pertentangan yang terjadi antara Perubahan Undang-undang Yayasan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 dapat diselesaikan dengan mengenyampingkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 yang secara hierarki berada di bawah Undangundang Yayasan. Secara hierarki perundang-undangan, undang-undang lebih tinggi derajatnya daripada peraturan pemerintah. Dengan demikian, apabila pemerintah ingin melakukan revisi terhadap apa yang diatur dalam Undangundang Yayasan, maka pemerintah seharusnya melakukan revisi terhadap Undang-undang Yayasan bukan pada Peraturan Pemerintahnya. Selain itu, pada kententuan Pasal 71 Undang-undang Yayasan dan Perubahannya tidak ada klausa yang menyebutkan bahwa akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 seharusnya hanya melakukan 120 perubahan atau penambahan terhadap pasal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008, bukan menambahkan pasal yang isinya bertentangan dengan Undang-undang Yayasan. Oleh karena itu, ketentuan pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tersebut bertentangan dengan Undang-undang Yayasan dan Perubahannya dan seharusnya batal demi hukum. BAB IV 121 AKIBAT HUKUM AKTA PERUBAHAN ANGGARAN DASAR BERDASARKAN PP NOMOR 2 TAHUN 2013 DARI YAYASAN LAMA YANG TIDAK BERBADAN HUKUM LAGI BERDASARKAN KETENTUAN UU YAYASAN 4.1 Akibat Hukum dari Akta Perubahan Anggaran Dasar berdasarkan PP No. 2 Tahun 2013 untuk Yayasan Lama yang tidak berbadan hukum lagi berdasarkan UU Yayasan Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 tentang Pelaksanaan Undang-undang tentang Yayasan, yayasan-yayasan yang telah berdiri sebelum terbitnya Undang-undang Yayasan dan Perubahannya, yang kemudian yayasan tersebut dianggap ‘mati’ atau eksistensinya tidak diakui karena tidak berbadan hukum lagi dan tidak dapat menggunakan kata “yayasan” didepan namanya karena tidak melakukan syarat yang ditentukan oleh Pasal 71 UU Yayasan, dapat kembali ‘dihidupkan’. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 diterbitkan oleh pemerintah dengan tujuan dapat menghidupkan yayasan-yayasan yang telah dianggap ‘mati’ dan tidak berbadan hukum oleh ketentuan Undang-undang Yayasan dan Perubahan Undang-undang Yayasan. Yayasan-yayasan tersebut dapat melakukan penyesuaian anggaran dasar dan memohon pengesahan kepada Menteri Hukum dan Ham agar yayasan 122 tersebut dapat memperoleh status badan hukum atau ‘hidup’ kembali. Yayasan dapat meminta kepada Notaris untuk dibuatkan akta perubahan anggaran dasar dan kemudian apabila akta tersebut telah selesai, melalui Notaris yayasan tersebut dapat mengajukan permohonan pengesahan kepada Menteri. Dengan adanya akta tersebut, yayasan dapat kembali melakukan kegiatan usahanya. Namun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 menambahkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mengajukan permohonan pengesahan kepada Menteri, yaitu melampirkan berkas-berkas sesuai dengan yang disebutkan dalam Pasal 15A Peraturan Pemerintah tersebut. Pasal 37A Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 dengan jelas menyatakan bahwa untuk yayasan yang didepan namanya sudah tidak dapat menggunakan kata “yayasan” lagi, dapat melakukan perubahan anggaran dasar untuk dapat kembali menggunakan kata yayasan dengan syarat selama 5 (lima) tahun berturut-turut masih menjalankan kegiatan yayasannya sesuai dengan anggaran dasar dan belum pernah dibubarkan. Maka dengan sangat jelas Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 menyatakan yayasan yang telah tidak dapat menggunakan kata “yayasan” didepan namanya sesuai dengan perintah Undang-undang Yayasan dan Perubahannya, dapat kembali menggunakan kata “yayasan” dengan syarat-syarat yang diatur dalam PP tersebut. Secara hierarki, Peraturan Pemerintah tidak dapat melakukan revisi terhadap peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya. Berdasarkan teori jenjang norma dan asas preferensi, apabila ada pertentangan antara peraturan 123 perundang-undangan yang tidak sederajat maka peraturan yang lebih rendah dikesampingkan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tersebut, Notaris, atas permohonan para pihak, membuat suatu akta perubahan yayasan yang telah ‘mati’ atau tidak dapat menggunakan kata “yayasan” didepan namanya, yang mana yayasan tersebut sebenarnya telah dianggap mati sejak tahun 2008 oleh UU Yayasan, dan aktanya dapat dimohonkan pembatalan ke Pengadilan Negeri. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tidak dapat melakukan revisi terhadap apa yang diatur dalam Pasal 71 Perubahan Undang-undang Yayasan. Apabila pemerintah ingin memberikan kemudahan kepada masyarakat yang yayasannya telah ‘mati’ atau tidak lagi dapat menggunakan kata “yayasan” karena kehabisan waktu untuk melakukan penyesuaian anggaran dasar dan memohon pengesahan kepada Menteri agar memperoleh status badan hukum, sebaiknya Undang-undang Yayasanlah yang diubah, khususnya Pasal 71 yang mengatur tentang jangka waktu untuk melakukan penyesuaian dan memohon pengesahan. Pertentangan yang terjadi antara Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 dengan Undang-undang Yayasan akan memiliki akibat hukum terhadap akta perubahan anggaran dasar yang dibuat dihadapan Notaris oleh yayasan yang tidak dapat lagi menggunakan kata “yayasan” didepan namanya. Akibat hukum dari dibuatnya akta yayasan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 untuk yayasan yang sudah ‘mati’ adalah yayasan tersebut tetap tidak dapat memperoleh status badan hukum dan akta tersebut dapat dibatalkan. Yayasan tersebut dapat “hidup kembali” atau dapat memperoleh kembali status badan 124 hukumnya hanya dengan merevisi Pasal 71 Undang-undang Yayasan dengan Perubahan Undang-undang Yayasan, bukan dengan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013. Sesuai dengan teori badan hukum, khususnya dalam teori harta kekayaan bertujuan dan teori harta kekayaan yang dimiliki oleh seseorang karena jabatannya, suatu yayasan haruslah berbadan hukum karena sesuai dengan unsurunsurnya, suatu yayasan merupakan sebuah badan yang memiliki harta kekayaan yang berdiri sendiri, memiliki pengurus, bertujuan melayani kepentingan tertentu dan harta kekayaannya sah untuk diorganisasikan. Dengan demikian suatu yayasan haruslah berbadan hukum. Apabila suatu yayasan kehilangan status badan hukumnya karena tidak melakukan penyesuaian anggaran dasar sesuai dengan yang diatur dalam Undang-undang Yayasan, maka yayasan tersebut tidak dapat lagi disebut sebagai yayasan. Berdasarkan salah satu bagian dari Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, yakni asas Kepastian Hukum, suatu peraturan dibuat dan diundangkan dengan tujuan mengatur suatu hal agar menjadi jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir) dan logis dalam artian menjadi suatu sistem norma dengan norma lainnya sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Asas Kepastian Hukum menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan pemerintah. Dengan demikian, demi tercapainya kepastian hukum, setiap keputusan yang telah dikeluarkan oleh 125 pemerintah tidak dapat dicabut kembali kecuali dapat dibuktikan sebaliknya dalam pengadilan. Dalam menjaga kepastian hukum, pemerintah tidak boleh menerbitkan aturan pelaksanaan yang tidak diatur oleh undang-undang atau bertentangan dengan undang-undang. Sesuai dengan asas kepastian hukum, apabila terjadi pertentangan antara aturan pelaksana dengan undang-undangnya, maka pengadilan harus menyatakan bahwa peraturan tersebut batal demi hukum atau dengan kata lain tidak pernah ada sehingga akibat yang muncul dengan adanya peraturan tersebut harus dipulihkan seperti sediakala. Suatu kepastian hukum sangatlah penting, demikian sesuai dengan bunyi Pasal 28D Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 Amandemen ketiga, yaitu : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan hukum yang sama dihadapan hukum. Suatu akta penyesuaian anggaran dasar yang dibuat dihadapan Notaris yang berdasarkan adanya aturan baru yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013, yang mana pada kenyataannya aturan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan diatasnya, maka demi kepastian hukum pengadilan harus membatalkan akta tersebut. Akta penyesuaian anggaran dasar tersebut tidak sah karena dibuat berdasarkan suatu aturan peraturan perundangundangan yang harusnya dibatalkan karena telah bertentangan dengan aturan yang derajatnya lebih tinggi. Dengan demikian, dengan adanya benturan norma antara Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 dengan Undang-undang Yayasan, selain 126 mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum bagi masyarakat mengenai jangka waktu penyesuaian anggaran dasar yayasan, juga mengakibatkan suatu akta yang dibuat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tersebut dapat dimohonkan pembatalan ke Pengadilan Negeri, yang artinya tidak mempunyai kekuatan hukum karena akta tersebut cacat hukum, dan sejak diputuskannya pembatalan akta tersebut oleh hakim maka berlakunya pembatalan itu adalah berlaku sejak perbuatan hukum/perjanjian itu dibatalkan. 4.2 Akibat Hukum Dari Akta Perubahan Anggaran Dasar Yayasan Yang Tidak Berbadan Hukum Lagi Berdasarkan Undang-Undang Yayasan Terhadap Pihak Ketiga Pada Badan Usaha Yang Didirikan Oleh Yayasan Di dalam klausul Pasal 37A ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013, menyebutkan bahwa ada 2 (dua) syarat yang harus dipenuhi oleh suatu yayasan yang sudah tidak dapat menggunakan kata ‘Yayasan’ didepan namanya, yaitu : 1. Paling sedikit selama 5 (lima) tahun berturut-turut sebelum penyesuaian anggaran dasar masih melakukan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya, dan 2. Yayasan tersebut belum dibubarkan. Suatu yayasan yang sudah tidak boleh lagi menggunakan kata yayasan didepan namanya berarti tidak lagi dapat disebut sebagai yayasan dan tidak lagi memiliki status badan hukum. Dengan demikian, bagaimana suatu yayasan dapat 127 masih melakukan kegiatan minimal 5 (lima) tahun berturut-turut, sedangkan yayasan tersebut tidak lagi merupakan yayasan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya, suatu yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha. Dalam Perubahan Undang-undang Yayasan dalam penjelasan pasal 3 ayat (1) nya menyatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Yayasan dimaksudkan untuk menegaskan bahwa Yayasan tidak digunakan sebagai wadah usaha dan yayasan tidak dapat melakukan kegiatan usaha secara langsung tetapi harus melalui badan usaha yang didirikannya atau melalui badan usaha lain dimana Yayasan menyertakan kekayaannya. Oleh karena itu, yayasan diperbolehkan mendirikan badan usaha sesuai dengan Pasal tersebut dan penjelasannya. Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Yayasan menyebutkan bahwa badan usaha yang didirikan tersebut harus sesuai maksud dan tujuan didirikannya yayasan tersebut, yang mana berdasarkan Pasal 8 Undang-undang Yayasan menyatakan bahwa maksud dan tujuan yayasan tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, untuk dapat melaksanakan maksud dan tujuannya, suatu yayasan dapat mendirikan badan usaha dengan syarat badan usaha tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan pendirian yayasan, dan tidak 128 boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun cakupan kegiatan usaha dari badan usaha yang dapat didirikan oleh yayasan diatur dalam Penjelasan Pasal 8 Undang-undang Yayasan, yang mana cakupan tersebut antara lain : hak asasi manusia, kesenian, olah raga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan, dan ilmu pengetahuan. Sebuah yayasan yang telah berdiri sebelum diterbitkannya UU Yayasan namun tidak melakukan penyesuaian anggaran dasar sampai batas jangka waktu yang ditentukan oleh UU Yayasan, maka yayasan tersebut tidak lagi berbadan hukum. Kemudian apabila berdiri suatu badan usaha yang didirikan oleh suatu yayasan, dimana yayasan tersebut kehilangan status badan hukumnya karena tidak melakukan penyesuaian anggaran dasar, maka secara otomatis kegiatan usaha yang dilakukan oleh badan usaha tersebut tidak memiliki legalitas. Seperti misalnya pada suatu yayasan di bidang pendidikan, dalam hal ini suatu sekolah. Apabila suatu yayasan pendidikan yang telah dianggap tidak berbadan hukum lagi karena tidak melakukan penyesuaian anggaran dasar dalam waktu yang telah ditentukan oleh UU Yayasan tersebut tetap melakukan kegiatannya, misalnya kegiatan belajar mengajar dan penerbitan ijasah siswa yang telah lulus tetap dilakukan, maka perlu dipertanyakan legalitas status ijasah yang dikeluarkan oleh yayasan yang dianggap sudah tidak berbadan hukum tersebut. Murid-murid dari sekolah tersebut menerima ijasah sebagai bukti kelulusan. Apabila sekolah tersebut tidak lagi berada dibawah yayasan karena yayasannya 129 telah ‘mati’, maka akan berdampak pada keabsahan ijasah yang diterima oleh murid-murid tersebut. Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 ini, memberikan kesempatan bagi yayasan yang telah dinyatakan ‘mati’ atau eksistensinya tidak diakui karena telah kehilangan status badan hukumnya dan tidak dapat menggunakan kata “yayasan” didepan namanya oleh UU Yayasan untuk ‘hidup kembali’ dan memperoleh kembali status badan hukumnya. Yayasan tersebut dapat meminta kepada Notaris untuk membuatkan akta perubahan anggaran dasar dan mengajukan permohonan agar dapat memperoleh status badan hukum seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013. Kemudian bagaimanakah status ijasah yang dikeluarkan oleh yayasan sekolah tersebut, jika Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 sendiri yang eksistensinya tidak sah dan seharusnya batal demi hukum karena bertentangan dengan Undang-undang Yayasan, dijadikan sebagai dasar bagi yayasan sekolah tersebut untuk melakukan penyesuaian dengan meminta Notaris untuk membuatkan akta perubahan anggaran dasar. Ijasah yang dikeluarkan oleh yayasan sekolah yang telah dianggap ‘mati’ karena tidak memiliki status badan hukum berdasarkan ketentuan Undang-undang Yayasan, tidak mempunyai legalitas lagi. Ijasah tersebut tidak diakui sebagai ijasah dari suatu yayasan di bidang pendidikan. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 yang secara hirarki bertentangan dengan Undang-undang Yayasan, mengakibatkan Peraturan Pemerintah tersebut harus batal demi hukum dan apabila pemerintah ingin memberikan kesempatan kepada yayasan-yayasan yang 130 telah ‘mati’ untuk ‘hidup’ kembali, seharusnya melakukan revisi kepada Undangundang Yayasan khususnya pada Pasal 71. Jika Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 yang seharusnya batal demi hukum karena bertentangan dengan Undang-undang Yayasan dijadikan landasan bagi yayasan yang telah ‘mati’ untuk melakukan penyesuaian anggaran dasar, maka dampak dari akta perubahan anggaran dasar yang dibuat tersebut adalah dapat dibatalkan. Mengacu pada pasal 37A Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013, yang berbunyi : Dalam hal perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dilakukan untuk Yayasan yang sudah tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya maka Yayasan tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. paling sedikit selama 5 (lima) tahun berturut-turut sebelum penyesuaian Anggaran Dasar masih melakukan kegiatan sesuai Anggaran Dasarnya; dan b. belum pernah dibubarkan. Suatu yayasan sekolah yang telah tidak dapat menggunakan kata “yayasan” didepan namanya dan tidak berstatus badan hukum lagi, sesuai dengan Pasal 37A tersebut dapat melakukan penyesuaian anggaran dasarnya dengan syarat selama 5 (lima) tahun berturut-turut sebelum penyesuaian anggaran dasar masih melakukan kegiatan sesuai anggaran dasarnya. Jika penyesuaian anggaran dasar dilakukan pada tahun 2013, maka sejak tahun 2008 hingga tahun 2013 yayasan sekolah tersebut harus masih melakukan kegiatannya sesuai dengan anggaran dasarnya, sedangkan Perubahan Undang-undang Yayasan menentukan bahwa jangka waktu untuk melakukan penyesuaian anggaran dasar berakhir di tahun 2008. Dengan demikian, apabila suatu yayasan sekolah tetap melakukan 131 kegiatan selama 5 (lima) tahun berturut-turut sejak tahun 2008 hingga 2013, maka apabila yayasan sekolah tersebut mengeluarkan ijasah bagi murid-muridnya yang dalam hal ini merupakan pihak ketiga, maka akibat hukumnya adalah ijasah tersebut dianggap illegal atau tidak sah karena dikeluarkan oleh yayasan yang telah ‘mati’ atau tidak memiliki status badan hukum dan tidak dapat menggunakan kata yayasan didepan namanya. Suatu ijasah yang telah diterbitkan oleh suatu yayasan sekolah yang telah kehilangan status badan hukumnya, apabila dikemudian hari timbul permasalahan dan ada pihak-pihak yang menggugat secara hukum, maka pihak yang bertanggungjawab secara hukum adalah pendiri yayasan dan secara tanggung renteng juga merupakan tanggungjawab pribadi dari organ yayasan tersebut, yaitu pembina, pengurus, dan pengawas. Pendiri dan organ yayasan adalah pihak yang berkewajiban untuk melakukan penyesuaian anggaran dasar yayasan agar yayasan tersebut tidak kehilangan status badan hukumnya dan juga tidak berdampak pada pihak ketiga, yang dalam hal ini adalah siswa yang menerima ijasah dari sekolah yang didirikan oleh yayasan tersebut. Secara administratif, sanksi yang diterapkan kepada yayasan yang tidak melakukan penyesuaian anggaran dasar sesuai dengan jangka waktu yang diatur dalam Pasal 71 UU Yayasan adalah yayasan tersebut dilarang menggunakan kata yayasan didepan namanya dan harus melikuidasi hartanya dan kemudian sisa likuidasi diserahkan kepada yayasan lain yang maksud dan tujuannya sama dengan yayasan yang dilikuidasi. Dalam ranah hukum, atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan, pengadilan dapat membubarkan yayasan tersebut. Pihak yang berkepentingan langsung antara 132 lain adalah termasuk organ yayasan (dalam hal ini pembina, pengurus, pengawas, dan pegawai yayasan). Pihak yang berkepentingan lainnya adalah pihak ketiga yang berhubungan dengan yayasan atas hubungan hukum, misalnya badan usaha yang didirikan yayasan, pihak yang pernah melakukan kerjasama bidang penyertaan modal suatu perusahaan jelas memiliki kepentingan langsung dengan pembubaran yayasan karena menyangkut kedudukan yayasan sebagai badan hukum yang berpengaruh terhadap tanggung jawab yayasan. BAB V 133 PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan pada hasil pembahasan terhadap permasalahan dalam tesis ini, dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut : 1. eksistensi yayasan lama dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 yang bertentangan dengan Pasal 71 Undang-undang Yayasan adalah tidak sah secara hukum karena secara hirarki Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 berada dibawah Undang-undang Yayasan, maka Pasal 71 UU Yayasan tidak dapat direvisi oleh Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013. 2. Akibat hukum dari akta perubahan anggaran dasar yang dibuat berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 2013 oleh yayasan lama yang tidak berbadan hukum lagi berdasarkan ketentuan Undang-undang Yayasan adalah akta perubahan tersebut dapat dibatalkan karena Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 bertentangan dengan Undang-undang Yayasan. 5.2 Saran 1. Sebaiknya pemerintah membatalkan PP Nomor 2 Tahun 2013 tersebut karena bertentangan dengan Undang-undang Yayasan dan berpotensi 134 menimbulkan permasalahan dikemudian hari, dan apabila pemerintah ingin memberi kesempatan lagi kepada yayasan lama yang kehilangan status badan hukum karena tidak melakukan penyesuaian anggaran dasar sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 71 UU Yayasan, maka pemerintah sebaiknya melakukan perubahan terhadap Pasal 71 UU Yayasan tersebut. Selain itu pemerintah juga diharapkan dalam membuat revisi dari suatu peraturan perundang-undangan lebih memperhatikan hirarki perundangundangan yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sehingga tidak terjadi pertentangan norma. 2. Masyarakat, khususnya yang merupakan organ dari suatu yayasan, hendaknya lebih teliti dan tanggap dengan adanya peraturan-peraturan baru, serta mematuhi peraturan-peraturan tersebut sehingga dapat menjalankan yayasannya dengan baik. DAFTAR PUSTAKA A. LITERATUR Achmad, Ali, 2009, MenguakTeoriHukum (Legal Theory) &TeoriPeradilan (Judicialprudence) :TermasukInterpretasiUndang-undang (Legisprudence), Volume 1 PemahamanAwal, Kencana, Jakarta Ali, C., 1999, Badan Hukum, Alumni, Bandung Amirudin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, cetakan ke-6, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta Andi Hamzah, 1994, Kamus Hukum Indonesia, PT Pradnya Paramita, Jakarta Andrews, Emerson, 1958, Philantropic Foundation, New York Apeldoorn, Van, 1983, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta ArieKusumastuti Maria Suhardiadi, HukumYayasan di Indonesia BerdasarkanUndang-Undang RI No. 16 Tahun 2001, TentangYayasan, Indonesia Center Publishing Assers, C., 1968, Handleiding To De Beoefening van Het Netherlands Burgelijk Rech. Uitgeversmaatschappij, W.E.J. Tjeenk Willink-Zwolle Asshiddiqie, Jimly, 2005, Model-model PengujianKonstitusional di berbagai Negara, KonstitusiPers, Jakarta Asshidiqie, Jimly, 2006, PengantarIlmuHukum Tata Negara, Jilid 1, Konstitusi Press bekerjasamadengan PT. SyaamilCipta Media, Jakarta Bakry, Noor MS, 1985, PancasilaYuridisKenegaraan, Liberty, Yogyakarta Boedi Harsono, 1994, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta Borahima, Anwar, 2010, Kedudukan Yayasan di Indonesia : Eksistensi, Tujuan, dan Tanggung Jawab Yayasan, Kencana, Jakarta Budi AgusRiswadi, 2003, Hukum Internet, UII Press, Yogyakarta Budiono, Herlien, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya BAkti, Bandung, 2008 Chatamarrasyid, 2000, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba, Citra Aditya Bakti, Bandung Chatamarrasyid, 2001, TujuanSosialYayasandanKegiatan Usaha BertujuanLaba, Cet. I., PT. Citra DityaBakti, Bandung Compbell Black MA, Hendry,Black’s Law Dictionary Cet. 2, West Publishing Co,t.th, ST Paul Minestotta USA Friedmann, W., 1990, Legal Theory (TeoridanFilsafatHukumTelaahKritisAtasTeori-TeoriHukum) (Susunan I, II, dan III), diterjemahkanoleh Muhammad Arifin, Rajawali, Jakarta Hadjon, Philipus M., 1997, PenelitianHukumNormatif (Kumpulan Tulisan), FakultasHukumUniversitasAirlangga, Surabaya Hadjon, Philipus M. dkk, 2001, PengantarHukumAdministrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta Ibrahim, Jhony,2006, BayuPublising, Malang TeoridanMetodelogiPenelitianHukumNormatif, Iskandar, Lisman, 1977, Aspek Hukum Yayasan Menurut Hukum Positif Di Indonesia, Majalah Yuridika No. 5 & 6 Tahun XII, September-Desember 1997 Kansil, C.S.T dan Christine S.T. Kansil, 2011, PengantarIlmuHukum Indonesia, RinekaCipta, Jakarta Kie, Tan Thong, 1984, Serba Serbi 30 Tahun Notariat di Indonesia, tidak dipublikasikan Koentjoro, Diana Halim, 2004, HukumAdministrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta Kusnardi, Moh. danBintan R. Saragih, 1980, sususnanPembagianKekuasaanMenurutSistemUndang-UndangDasar 1945, PT. Gramedia, Jakarta Marbun, SF. &Moh. Mahfud MD, 1998,Pokok-pokokHukumAdministrasi Negara, Liberty, Yogyakarta Meijers, 1948, De Algemene Begrippen van het Burgerlijk Recht, Leiden Universitaire Press Muchsan, 1982, PengantarHukumAdministrasi Negara, Liberty, Yogyakarta Muslimin,Amrah, 1982, BeberapaAsas-Asas Dan PengertianPengertianPokokTentangAdministrasidanHukumAdministrasi, Alumni, Bandung Marzuki, Peter Mahmud,2005, PenelitianHukum, Fajar Inter Pratama Offset, Jakarta Marzuki,Peter Mahmud,2008. PengantarIlmuHukum, Kencana, Jakarta Pitlo, 1979, Pembuktian dan Daluarsa, Terjemahan oleh M. Isa Aris, Intermassa, Jakarta Pitlo, 1986, Het,Nederlands Burgelijke Wet Boek deel 1 A, Het Rechts Personenrecht, Gouda Quint, B.V. Arnhem Pitlo, Het Rechts Personenrecht naar het Netherlands Burgelijk Wet Boek Prasetya, Rudhi, 1995, Dana Pensiun sebagai Badan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung Program Studi Magister KenotariatanUniversitas Udayana, 2013, PedomanPendidikan Program Studi Magister KenotariatanUniversitas Udayana, Denpasar Projodikoro, Wirjono, 1966, Azas-azas Hukum Perdata, Sumur Bandung, Bandung Puryatma, I Made, 2013, Pelatihan Teknik Pembuatan Akta Notaris, tidak dipublikasikan Ridwan HR, 2008, Hukumadministrasi Negara, RajawaliPers,Jakarta Salim HS.,2012, PerkembanganTeoriDalamIlmuHukum, RajawaliPers, Jakarta Setiadi, A., 1995, Dana Pensiun Sebagai Badan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung Sinamo,Nomensen, 2010, HukumAdministrasi Negara,JalaPermataAksara, Jakarta Soekanto, Soerjono,1986, PengantarPenelitianHukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta Soekanto,Soerjono,dan Sri Mamudji, 2001, PenelitianHukumNormatifSuatuKajianSingkat, PT. Raja GrafindoPersada, Jakarta Soemitro, Rachmat, 1979, Penuntutan Perseroan Terbatas dengan Undang-undang Pajak Perseroan, PT. Eresco, Bandung Soeroso, 1999, Perbandingan Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta Soeroso, 2010, Perjanjian dibawah tangan : pedoman praktis pembuatan dan aplikasi hukum, Sinar Grafika, Jakarta Sofwan, Sri Soedewi Masychun,tanpa tahun, Hukum Badan Pribadi, Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada, Yogyakarta Subekti, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Inter Masa, Jakarta Sumardjono, Maria, 1989, PedomanPembuatanUsulanPenelitian, FakultasHukum UGM Supramono, Gatot, 2008, HukumYayasan di Indonesia, RinekaCipta, Jakarta Suprapto, Maria Farida Indarti, 1998, IlmuPerundang-undangan, dasarpembentukannya, Kanisius, Yogyakarta dasar- Suryabrata, Sumandi,1989, MetodelogiPenelitian, CV. Rajawali, Jakarta Syarifin,Pipin,danDedahJubaedah, 2005, HukumPemerintah Daerah, PustakaSetia, Bandung Thamrin, Husni, 2011, Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta Tjandra, Riawan, 2008, HukumAdministrasi Negara, UniversitasAtmajaya Yogyakarta, Yogyakarta Tobing, Lombang, G. H. S., 1990, BeberapaTinjauanMengenaiYayasan (Stichting), FakultasHukumUniversitasSebelasMaret, Solo Wahyono, Padmo, 1992, SistemHukumNasionalDalam Negara HukumPancasila, Alumni, Bandung B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, Lembaran Negara, Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 112, Tambahan Lebaran Negara Republik Indonesia Nomor 4132 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang, Yayasan Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 115, Tambahan Lebaran Negara Republik Indonesia Nomor 4430 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5234 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undangundang tentang Yayasan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 134, Tambahan Lebaran Negara Republik Indonesia Nomor 4894 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-undang tentang Yayasan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5387 Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1998 Tentang Penertiban Sumber-Sumber Dana Yayasan C. MAJALAH ArryMth. Soekowathy, R., 2003, “Fungsi Dan RelevansiFilsafatHukumBagi Rasa KeadilanDalamHukumPositif”, JurnalFilsafat, Jilid 35, Nomor 3, Desember 2003 DanangWidoyoko, 2003, “UU Yayasan: LegalisasiBisnisMiliter”, ArtikelDalamLenteraJurnalHukumEdisi 2 Februari 2003 Firdhonal, 2013, “Apakah PP No. 2/2013 BertentangandenganPasal 71 UU Yayasan?”,MajalahRenvoiNomor 9.117.X, Februari 2013 LismanIskandar, 1977“AspekHukumYayasanMenurutHukumPositif Di Indonesia”, MajalahYuridika No. 5 & 6 Tahun XII, September-Desember 1997 Setiawan, 1995, “TigaAspekYayasan”, VariaPeradilan,Tahun V, No. 55 D. INTERNET JimlyAsshiddiqie, “Pemikiran :BadanHukum”, Maret 2012, diaksespada 12 Juli 2013, situs : http://www.jimly.com/