SEMINAR NASIONAL SDM TEKNOLOGI NUKLIR VII YOGYAKARTA, 16 NOVEMBER 2011 ISSN 1978-0176 PROPAGASI SPOROZOIT PADA NYAMUK ANOPHELES SP. SECARA IN VIVO SEBAGAI BASIS PEMBUATAN VAKSIN MALARIA IRADIASI Siti Nurhayati, Tur Rahardjo Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi, BATAN [email protected] ABSTRAK Malaria masih menjadi masalah kesehatan utama di dunia dan karenanya telah dimasukkan dalam program Millennium Development Goals (MDG) dengan tujuan mengurangi jumlah kasus malaria hingga setengahnya pada 2015. Meskipun jumlah kasusnya menurun dari 2,8 juta pada 2001 menjadi 1,2 juta pada 2008, masalah pengendalian penyakit ini masih harus terus dilakukan antara lain dengan pembuatan vaksin. Sporozoit merupakan tahapan hidup parasit paling invasif dan paling tepat dijadikan sebagai bahan vaksin. Dalam penelitian ini telah dilakukan propagasi in vivo sporozoit dalam nyamuk. Dua spesies Anopheles (Anopheles farauti dan An. maculates) dibiarkan menggigit mencit Swiss Webster terinfeksi P. berghei atau P. yoelii (parasitemia 3-5%) selama 2-3 jam, kemudian nyamuk yang terinfeksi dipelihara dalam ruangan suhu 21oC selama 14-17 hari dan diberi makanan gula 10% untuk memperoleh sporozoit dalam kelenjar ludahnya. Sporozoit diambil dengan membedah nyamuk sesuai prosedur standard. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada hari ke 14-16, jumlah nyamuk yang mampu bertahan mencapai 60-80% dari jumlah awal. Sporozoit teramati dalam jumlah rendah di bawah mikroskop karena beberapa faktor yang mempengaruhinya. Percobaan terhadap parasit malaria untuk manusia (P. falciparum) memperoleh hasil yang belum optimal, demikian halnya uji coba pada satu siklus mencit-nyamuk-mencit. Kata kunci : malaria, sporozoit, Anopheles sp., propagasi, infeksi, kelenjar ludah ABSTRACT Malaria is still as the main problem in health sector in the world and therefore it had been included in Millennium Development Goals (MDG) program with the aim to decrease up to half of malaria cases in 2015. Even though its case was decreased from 2.8 million in 2001 to 1.2 million in 2008, the controlling problem of this disease had to be continuously conducted, one of which is vaccine development. Sporozoite is the most invasive stage of parasite’s life cycle and is the most exact step for vaccine materials. In this research the in vivo propagation of sporozoite had been conducted in mosquitoes. Two spesies of Anopheles (Anopheles farauti and An. maculates) were allowed to feed P. berghei infected Swiss Webster mouse (parasitemia was 3-5%) for 2-3 hours, and then the infected mosquitoes were kept in the room at temperature of 21oC for 14-17 days and feed with 10% sugar to obtain sporozoite in their salivary glands. Sporozoite was taken out by dissecting mosquito according standard procedure. Results of experiment showed that at day 1416, the number of survived mosquito was 60-80% of the initial number. Sporozoites were observed in low number under microscope due to several factors that affecting this result. Experiment on malaria parasite in human (P. falciparum) showed no optimal results, as well as the experiment on the one cycle of mousemosquito-mouse. Keywords : malaria, sporozoite, Anopheles sp., propagation, infection, salivary glands 1. PENDAHULUAN Malaria merupakan salah satu penyakit infeksi parasit yang utama di dunia. Setiap tahun ditemukan 300-500 juta kasus malaria yang menyebabkan sekitar 1 juta kematian [1]. Di Indonesia kematian karena malaria dilaporkan sebanyak 1,7 juta jiwa pada tahun 2007 dan kerugian diperkirakan mencapai 3,3 triliyun. Berdasarkan data Kemenkes, 45 persen penduduk Indonesia berisiko Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir-BATAN malaria karena tinggal di daerah endemis. Program pemberantasan malaria termasuk dalam program WHO yakni Millennium Development Goals (MDG) dengan tujuan mengurangi setengah jumlah sampai 2015 dan mencegah penjangkitan malaria [2]. Penyebab penyakit ini adalah parasit dari genus Plasmodium. Ciri utama genus ini adalah siklus hidup terjadi dalam dua inang yang berbeda. Siklus seksual terjadi dalam tubuh nyamuk Anopheles betina, yang bertindak sebagai vektor 466 Siti Nurhayati dkk SEMINAR NASIONAL SDM TEKNOLOGI NUKLIR VII YOGYAKARTA, 16 NOVEMBER 2011 ISSN 1978-0176 perantara penyebaran parasit. Siklus aseksual terjadi dalam tubuh manusia [3]. Penyebaran penyakit malaria dapat dikendalikan antara lain dengan vaksinasi [4,5]. Dengan vaksin, diharapkan lebih dari 4,2 juta jiwa dapat diselamatkan dari ancaman kematian malaria pada 2008-2015 [6]. Salah satu alternatif untuk pencegahan penyakit tersebut adalah dengan vaksin yang dapat dibuat dengan teknik nuklir. Strategi ini sedang dikembangkan oleh WHO melalui program Roll Back Malaria [7]. Teknik nuklir dapat digunakan untuk melemahkan Plasmodium untuk membuat vaksin. Keunggulannya adalah teknik ini memiliki efektifitas dalam peningkatan respon imun dibandingkan dengan teknik konvensional seperti pemanasan atau kimia [8]. Sasaran dari vaksin malaria adalah tahap perkembangan plasmodium yang berbeda yaitu: preeritrositik, aseksual dan seksual [1,3,5]. Vaksin preeritrositik ideal untuk penduduk di daerah non endemis atau pengunjung yang akan masuk ke daerah endemis karena vaksin ini dapat memberikan perlindungan hingga 90%. Vaksin ini dihasilkan dengan melemahkan parasit stadium sporozoit menggunakan sinar gamma dosis 150 – 200 Gy [9,10]. Vaksin sporozoit adalah vaksin yang masih hidup dan diatenuasi menggunakan radiasi. Vaksin ini mencegah infeksi inang yang rentan (susceptible), tidak memerlukan adjuvant, serta merupakan vaksin malaria yang telah sukses diuji pada manusia. Sebelum diujicobakan pada manusia, kandidat vaksin perlu dikarakterisasi lebih lanjut tentang biokimia dan imunologiknya. Di samping itu perlu studi lebih untuk mengkaji respon imunologik inang terhadap vaksin. Hasil studi ini memberikan informasi yang diperlukan untuk keamanan dan kemanjuran vaksin serta mekanisme imunitas malaria [11]. Karena trend saat ini menunjukkan bertambahnya serangan malaria pada skala global maka program perkembangan vaksin diperlukan sebagai pelengkap program lain yang diarahkan pada pengendalian vektor malaria dan terapi obat serta prophylaxis. Saat ini hanya vaksin mengandung sporozoit teratenuasi radiasi yang secara konsisten kapas untuk jantan, dan menempatkan marmut setiap hari ke dalam kandang yang darahnya akan dihisap oleh nyamuk betina. Propagasi P. berghei dalam tubuh mencit. Penginfeksian plasmodium pada 4-5 ekor mencit dilakukan dengan menginokulasi secara intraperitoneal (IP) ±1 x 106 parasit inokulum stadium eritrositik menggunakan syringe steril 1 ml (P1) dan dua hari kemudian diamati parasitemianya. Setelah diperoleh parasitemia ±20%, mencit dieuthanasi dan darah diambil dari pungsi jantung menggunakan syringe 1 ml yang berisi anti koagulan Siti Nurhayati dkk menginduksi imunitas steril pada binatang mengerat, monyet dan manusia [12]. Imunisasi manusia dengan sporozoit P. falciparum dilakukan dengan penggigitan Anopheles terinfeksi iradiasi diikuti beberapa kali penyuntikan ulangan (booster) terbukti mampu melindungi inang [13]. Oleh karena itu kemampuan propagasi sporozoit menjadi sangat penting. Dalam makalah ini disajikan hasil propagasi sporozoit secara in vivo dimana hasil ini menjadi dasar paling penting dalam pengembangan vaksin malaria yang dibuat dari sporozoit iradiasi. 2. BAHAN DAN TATA KERJA Plasmodium. P. berghei strain ANKA dan P. yoelii yang diperoleh dari Laboratorium Malaria, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dibiakkan secara in vivo dalam tubuh mencit Swiss di Laboratorium Hewan Bidang Biomedika PTKMRBATAN. P. falciparum strain 3D7 dan NF54 diperoleh dari Lembaga Eijkman dan dikultur di PTKMR BATAN dengan prosedur standard. Mencit. Mencit jantan strain Swiss Webster berumur sekitar 2 bulan diperoleh dari Badan Libang Penyakit Menular, Kementerian Kesehatan Jakarta. dan dipelihara dalam sangkar plastik dengan tutup kawat serta diberi makanan pelet dan minuman secara ad libitum. Makanan pelet diperoleh dari Virovet dan bantalan sebagai alas kandang berupa serutan kayu yang diganti sekali seminggu. Rearing nyamuk Anopheles sp. di laboratorium. Nyamuk di-rearing di insektarian BATAN pada suhu 24-26oC, kelembaban 70-80% dan penerangan secukupnya. Di dalam kandang dimasukkan koloni stok nyamuk Anopheles sp. dan diberi wadah dari tanah liat berisi air sebagai tempat peletakan telur. Telur yang telah menetas menjadi larva dipindahkan ke dalam nampan plastik kemudian diberi makanan hingga mencapai instar ke-3. Setelah menjadi pupa, dipindahkan ke botol kecil berisi air sumur pompa diletakkan dalam kandang. Pupa yang telah menjadi nyamuk diberi makanan berupa larutan glukosa 10% dan albumin telur pada (citrat phospat dextrose/CPD). Darah terinfeksi kemudian disuntikkan secara IP pada 4-5 mencit lain yang sehat (P2). Parasitemia pada mencit diamati setiap hari dengan mengambil darah perifer dari ujung ekor. Pewarnaan Giemsa pada apusan darah tipis dan tebal. Ujung ekor mencit terinfeksi dilap dengan kapas yang dibasahi etanol kemudian dipotong sedikit menggunakan gunting steril. Dari pangkal hingga ujung ekor diurut untuk mengeluarkan darah kemudian ditempelkan pada kaca preparat pada dua tempat yang berbeda masing- 467 Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir-BATAN SEMINAR NASIONAL SDM TEKNOLOGI NUKLIR VII YOGYAKARTA, 16 NOVEMBER 2011 ISSN 1978-0176 masing untuk apusan tipis dan tebal. Setelah apusan mengering kemudian difiksasi dengan metanol selama 30 detik (untuk apusan tipis). Apusan diwarnai dengan 10% larutan Giemsa dan dibiarkan mengering selanjutnya preparat diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya pada pembesaran 1000x. Propagasi parasit pada nyamuk Anopheles sp. Mencit yeng di dalam darahnya telah mengandung parasit stadium gametosit dicukur rambut punggungnya kemudian dimasukkan ke dalam wadah kawat seukuran tubuhnya dan diletakkan dalam insektaria yang berisi sekitar 200300 nyamuk Anopheles macullatus atau An. farauti berumur 3 hari selama 2-3 jam. Sebelum menempatkan mencit, nyamuk dibuat puasa selama satu malam atau minimal 6 jam. Sesaat setelah penggigitan, nyamuk yang tubuhnya mengandung darah mencit (gravid) dipindahkan dalam wadah karton bentuk tabung berukuran ½ liter dan dikurung dengan plastic transparan dan diberi kelembaban di dalamnya. Pada hari 0 jumlah nyamuk gravid dihitung. Empat belas- enam belas hari kemudian, jumlah nyamuk yang bertahan hidup nyamuk dihitung kembali dan diduga telah mengandung sporozoit pada kelenjar ludahnya, Selanjutnya nyamuk dibagi ke dalam dua kelompok, satu kelompok nyamuk diisolasi sporozoit dari kelenjar ludahnya lalu disuntikkan secara intravena pada mencit sehat dan kelompok lainnya dibiarkan menggigit mencit sehat. Parasitemtia diamati pada hari-hari mulai hari ke 8 setelah penyuntikan atau penggigitan. Propagasi P. falciparum pada nyamuk Anopheles sp. Propagasi dilakukan dengan teknik membrane feeding. Ke dalam kultur P. falciparum strain 3D7 atau NF54 yang diperoleh dari Lembaga sangat rendah (18% dan 57%) yang mungkin disebabkan karena kondisi udara/suhu yang tidak memadai. Sporozoit juga dapat teramati di bawah mikroskop pada saat pengambilan kelenjar ludah nyamuk (Gambar 1 kiri) meskipun jumlahnya masih cukup rendah karena kapasitas nyamuk yang digunakan (Anopheles macullatus dan An. farauti) masih terbatas (Gambar 1 kanan). Terdapat suatu Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir-BATAN Eijkman Jakarta. Satu hari kemudian kultur ditempatkan pada sistem membrane feeding dan ditempatkan sekitar 50 ekor nyamuk Anopheles sp. dalam kandang selama 2 jam. Nyamuk gravid hitung jumlahnya dan kemudian dipelihara selama 14 hari dan dihitung jumlah nyamuk yang bertahan hidup. Pembedahan nyamuk dan isolasi sporozoit. Nyamuk Anopheles yang telah dipelihara 14-16 hari dibuat pingsan dengan meletakkan dalam freezer selama 3 menit kemudian kaki dan sayapnya dibuang. Dengan menggunakan mikroskop diseksi (stereomicroscope) nyamuk dibedah secara aseptis dalam tetesan media larutan fisiologis (NaCl 0,9%) di atas kaca preparat untuk diambil usus tengah (midgut) dan kelenjar ludahnya dengan prosedur standard. Midgut dan kelenjar ludah diletakkan dalam larutan fisiologis. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini telah dilakukan propagasi atau perbanyakan parasit tahap sporozoit secara in vivo yang hanya dapat dilakukan dalam nyamuk vector Anopheles sp. Kultur sporozoit secara in vitro masih terkendala berbagai hal. Dengan demikian terdapat beberapa faktor yang mempengaruhinya seperti kemampuan nyamuk bertahan hidup yang ditentukan oleh tampilan fisiknya dan juga sifat biologiknya. Faktor lainnya adalah adanya gametosit dalam darah saat dikonsumsi oleh nyamuk, suhu ruangan selama pemeliharaan. Hasilnya disajikan dalam Tabel 1 yang menunjukkan bahwa pada hari ke 14-16, jumlah nyamuk yang mampu bertahan mencapai 6080% dari jumlah awal, meskipun pada suatu percobaan persentase tersebut spesies Anopheles yang sangat baik untuk propagasi sporozoit yakni An. stephensi yang di Indonesia belum dapat di-rearing. Percobaan terhadap parasit malaria untuk manusia (P. falciparum) yang penginfekksiannya menggunakan sistem membrane feeding memperoleh hasil yang belum optimal dimana persentase Anopheles yang bertahan hidup sampai hari 14 sangat rendah. 468 Siti Nurhayati dkk SEMINAR NASIONAL SDM TEKNOLOGI NUKLIR VII YOGYAKARTA, 16 NOVEMBER 2011 ISSN 1978-0176 Tabel 1. Persentase jumlah Anopheles sp. pada hari ke 14-16 pasca penggigitan mencit terinfeksi Plasmodium sp. strain dan pasase (P) tertentu dengan parasitemianya. No. ParasiStrain perco- temia awal parasit (P) baan 5,10% ANKA (P5) 1. Spesies Anopheles Jumlah Jumlah nyamuk nyamuk gravid gravid hari 14-16 hari 0 (persentase) 217 180 (82,95) An. farauti Pengamatan sporozoit mikroskopis positif 2. 6,18% ANKA (P4) An. farauti 216 157 (72,68) positif 3. 4,91% ANKA (P4) An. farauti 264 48 (18,18) TD 4. 4,91% ANKA (P4) An. farauti 121` 71 (58,68) TD 5. 5,01% ANKA (P4) An. farauti 227 161 (70,93) TD 6. 8,64% ANKA (P4) An. farauti 156 109 (69,87) TD 7. 8,64% ANKA (P5) An. maculatus 547 397 (72,58) TD 8. 9,2% ANKA (P5) An. maculatus 145 92 (63,40) TD 9. 5,11% ANKA (P5) An. farauti 189 157 (83,07) TD 10. 5,11% ANKA (P5) An. farauti 274 200 (72,99) TD 11. 7,25% ANKA (P5) An. farauti 289 157 (54,33) TD 12. 7,25% P. yoelii (P4) An. farauti 37 22 (59,46) TD 13. 5,4% P. falciparum An. farauti 15 5 (33,33) TD Catatan : TD = tidak ada data Gambar 1. Tampilan mikroskopis kelenjar ludah Anopheles sp. (kiri) dan sporozoit P. Berghei (anak panah) (kanan). Selain itu, dilakukan juga uji coba pada kemampuan sporozoit hasil propagasi in vivo untuk menginfeksi mencit sehat atau disebut sebagai satu siklus mencit-nyamuk-mencit yang dilakukan dengan menggigitkan nyamuk gravid 14-16 hari maupun penyuntikan isolat spororoit menunjukkan hasil yang belum optimal. Pada hari-hari hingga 1-2 bulan sesudahnya, mencit belum menujukkan adanya parasit dalam darahnya. Hasil deteksi secara molekuler juga menunjukkan hal yang sama (data tidak disajikan). Siti Nurhayati dkk Dalam penelitian ini sedang dikembangkan teknik untuk memperoleh sporozoit sebanyakbanyaknya untuk dijadikan sebagai bahan vaksin. Tabiat biologik sporozoit Plasmodium dalam vektor Anopheles sp. dimulai ketika nyamuk mengambil makanan berupa darah terinfeksi yang mengandung parasit tahap seksual (mikrogamet) yang kemudian melakukan eksflagelasi dalam beberapa menit dan melebur dengan makrogamet untuk membentuk satu zigot diploid. Zigot bertransformasi menjadi ookinet yang menuju membran peritrofik dan lapisan sel usus (midgut). Setelah keluar dari sisi basal sel 469 Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir-BATAN SEMINAR NASIONAL SDM TEKNOLOGI NUKLIR VII YOGYAKARTA, 16 NOVEMBER 2011 ISSN 1978-0176 midgut ookinet memasuki basal lamina dimana mereka istirahat dan bertransformasi menjadi oosist. Selanjutnya oosist mengalami beberapa pembelahan mitotik dan membentuk sporoblast. Sporozoit yang muncul dari sporoblast mulai terjadi pada 10–14 hari setelah penelanan darah, merupakan perkembangan oosist dalam waktu paling lama dari siklus hidup Plasmodium. Sekali terbentuk, sporozoit aktif melalui proteolitik dan memasuki haemolymph, yakni system sirkulasi nyamuk. Jika melalui kelenjar ludah, sporozoit memasuki basal lamina dan menginvasi sel acinar dari sisi basal. Sporozoit lalu keluar sel dan berkumpul di pipa/pembuluh kelenjar ludah [14,15]. Penelitian ini berlainan dengan pengembangan vaksin untuk mencegah transmisi parasit (vaksin transmisi) yakni dengan menerapkan teknik agar sporozoit tidak dapat berkembang biak atau bertahan hidup dalam nyamuk [11]. Suatu vaksin melawan malaria menggunakan sporozoit telah menunjukkan bahwa tindakan ini dapat menyelamatkan anak-anak dari infeksi atau kematian. Vaksin diperlukan untuk menginduksi timbulnya imunitas humoral maupun seluler yang protektif terhadap penyakit malaria sehingga seseorang yang mendapat imunisasi menjadi kebal terhadap infeksi oleh P. falciparum [16]. Vaksin sporozoit dibuat dengan membiarkan nyamuk yang di-rearing di laboratorium untuk mengkonsumsi darah hewan terinfeksi malaria yang mengandung gametosit sirkular. Nyamuk dipelihara pada lingkungan yang memadai selama 17-21 hari yakni selama waktu tersebut perkembangan sporozoit terjadi dalam oocyst yang menempel pada dinding usus nyamuk terinfeksi. Hal tersebut telah dilakukan dalam penelitian ini dengan perbaikan sistem dan kemampuan personil maupun peralatannya. Potensi yang penting dari tahap sporozoit dalam menstimulasi imunitas protektif dalam tubuh inang vertebrata pertama kali dilakukan pada tahun 1910 oleh Sergent dkk [17]. Mereka memvaksinasi burung melawan malaria menggunakan sporozoit sebagai immunogen. Kegiatan ini diikuti dan diperbaiki oleh Russell dkk [18] dan Richards [19]. Sedangkan Nussenzweig dkk [20] memperluas temuan tersebut untuk plasmodia mamalia dengan memproduksi untuk pertama kali suatu imunitas steril terhadap P. berghei pada mencit. Studi oleh Clyde dkk [21-23] dan Rieckman dkk [24,25] menggunakan sukarelawan manusia secara jelas menunjukkan kemanjuran vaksin sporozoit. Mereka juga menunjukkan bahwa imunitas sporozoit bukan spesifik strain dalam imunisasi dengan satu strain yang akan memicu proteksi ke strain lain. Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir-BATAN 4. KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada hari ke 14-16, jumlah nyamuk yang mampu bertahan mencapai 60-80% dari jumlah awal, meskipun dua percobaan lainnya memperoleh persentase yang rendah (18 dan 54%). Sporozoit teramati di bawah mikroskop dan beberapa faktor sangat mempengaruhi hasil ini seperti kondisi fisik nyamuk dan suhu pemeliharaan. Percobaan terhadap parasit malaria untuk manusia (P. falciparum) memperoleh hasil yang belum optimal (persentase sangat rendah (33,3%). Uji coba pada satu siklus mencit-nyamuk-mencit juga menjukkan hasil yang belum baik karena belum terdeteksinya parasit dalam darah mencit pada hari-hari pasca penyuntikan atau penggigitan. 5. DAFTAR PUSTAKA 1. World Health Organization, (2005). Initiative for Vaccine Research, State the art of vaccine research and development, http:/www.who.int/vaccinesdocuments. 2. Hakim, L. (2001). Global Fund Malaria, Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan (Kemenkes). 3. Departemen Ksehatan, Mengendalikan penyakit malaria dan mulai menurunnya jumlah kasus malaria dan penyakit lainnya pada 2015. 4. Gunawan, S., (2000). Malaria: Epidemiologi, patogenesis dan manifestasi klinis, edited by Harijanto, Penerbit Buku Kedokteran EGC, pp 1-25. 5. Anonimous. (2005). Parasite control, Nature reviews/immunology. Nature publishing group. 6. Roll Back Malaria Partnership. Global Malaria Business Plan, http://www.rollbackmalaria.org/ gmbp.html. Accessed 7 February 2008 7. World Health Organization / Roll Back Malaria. (2001). Malaria early warning systems – concepts, indicators and partners. A framework for field research in Africa. Geneva: The organization. 8. Groth, S., Khan, B., Robinson, A., and Hendricks, J., (2001). Nuclear sciences fights malaria. Radiation and molecular techniques can play targeted roles, IAEA Bulletin 43/2/2001, 33-36. 9. Abeku, T.A., (2007). Response to malaria epidemics in Africa, Emerging Infectious Diseases 13(5), 681- 686. 10. Hoffman, S.L., Goh, M.L., Luke, T.C., (2002). Protection of humans against malaria by immunization with radiation-attenuated 470 Siti Nurhayati dkk SEMINAR NASIONAL SDM TEKNOLOGI NUKLIR VII YOGYAKARTA, 16 NOVEMBER 2011 ISSN 1978-0176 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. Plasmodium falciparum, The Journal of Infectious Diseases 185, 1155 –1164. Smrkovski, LL, (1981). Progress in Malaria Vaccine Development, Phil J Microbiol Infect Dis. 10(1), 7-12. Kumar, K.A., Baxter, P. Tarun, A.S., Kappe, S.H.I. and Nussenzweig, V., (2009). Conserved protective mechanisms in radiation and genetically attenuated uis3(-) and uis(4) Plasmodium sporozoites, PloS ONE 4(2), 4480-4485. Clyde, D.F., Most, H., McCarthy, V.C., Vandenberg, J.P., (1973). Immunization of man against sporozoite-induced falciparum malaria, Am J Med Sci. 266, 169–177. Talman, A., Domarle, O., McKenzie, F., Ariey, F., Robert, V., (2004). Gametocytogenesis: the puberty of Plasmodium falciparum, Malaria Journal 3, 24. Diebner, H.H., Eichner, M., Molineaux, L., Collins, W.E., Jeffery, G.M., Dietz, K., (2002). Modelling the transition of asexual blood stages of Plasmodium falciparum to gametocytes, J. Theor. Biol. 202, 113-127. Safitri, I., Vaksin Malaria Semakin Dekat?, Guru Besar dari Bagian Ilmu Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Sergent, E. et al., (1980). Sur l'immunite darts le paludisme des oiseaux. Conservation in vitro des sporozoites de Plasmodium retictum. Immunite relative abtenue par inoculation de ces sporozoites. Comptrend. Acad d Sci 151, 407. Russell, P.F. et al., (1942). Active immunization of fowls against sporozoites but not trophozoites of Plasmodium gallinaceum by injections of homologous sporozoites, J. Malar. Inst. India 4, 311. Richards, W.H.G., (1966). Active immunization of chicks against Plasmodium gallinaceum by inactivated homologous sporozoites and erythrocytic parasites, Nature 212, 1492. Nussenzweig, R., et al., (1967). Protective immunity produced by the injection of xirradiated sporozoites of Plasmodium berghei. Nature 216, 160. Clyde, D.F. et al., (1973). Specificity of protection of man immunized against sporozoite-induced falciparum malaria, Am. J. Med. Sci. 266, 398. Clyde, D.F. et al., (1973). Immunization of man against sporozoite-induced falciparum malaria, Am J Med Sci 266:169. Clyde, D.F. et al., (1975). Immunization of man against falciparum and vivax malaria by Siti Nurhayati dkk use of attenuated sporozoites, Am J Trop Med Hyg 24(3), 397. 24. Rieckmann, K.H. et al., (1974). Sporozoite induced immunity in man against an Ethiopian strain of Plasmodium falciparum. Trans R Soc Trop Med Hyg 68(3), 258 25. Rieckmann, K.H. et al., (1979). Use of attenuated sporozoites in the immunization of human volunteers against falciparum malaria, Bull WHO 57(Suppl), 261. 471 Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir-BATAN