5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ANATOMI KOLON DAN REKTUM Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 1,5 m (5 kaki) yang terbentang dari sekum sehingga kanalis ani. Diameter usus besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil yaitu sekitar 6,5 cm (2,5 inci), tetapi makin dekat anus diameternya semakin kecil. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup ileosekal mengendalikan aliran kimus dari ileum ke dalam sekum dan mencegah terjadinya aliran balik bahan fekal dari usus besar ke dalam usus halus. Kolon dibagi lagi menjadi kolon asenden, transversum, desenden, dan sigmoid. Tempat kolon membentuk kelokan tajam pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut disebut sebagai fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliakan dan membentuk lekukan berbentuk-S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri sewaktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum. Bagian usus besar terakhir disebut sebagai rektum dan membentang dari kolon sigmoid hingga anus (muara dari bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari rektum disebut sebagai kanalis ani dan dilindungi oleh otot sfingter ani ekternus dan internus. Panjang rektum dan kanalis ani adalah sekitar 15cm (5,9 inci). Hampir seluruh usus besar memiliki empat lapisan morfologik seperti yang ditemukan pada bagian usus lain. Namun demikian, ada beberapa gambaran yang khas terdapat pada kolon sahaja. Lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna, tetapi terkumpul dalam tiga pita yang disebut sabagai taenia koli. Taenia bersatu pada Universitas Sumatera Utara 6 sigmoid distal, sehingga rektum mempunyai satu lapisan otot longitudinal yang lengkap. Panjang taenia lebih pendek daripada usus, sehingga usus tertarik dan berkerut membentuk kantong-kantong kecil yang disebut sebagai haustra. Apendises epiploika adalah kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak dan melekat sepanjang taenia. Lapisan mukosa usus besar jauh lebih tebal daripada lapisan mukosa usus halus dan tidak mengandung vili atau rugae. Kripte Lieberkuhn (kelenjar intestinal) terletak lebih dalam dan mempunyai lebih banyak sel goblet dibandingkan dengan usus halus. Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan belahan kanan berdasarkan pada suplai darah yang diterima. Arteria mesentrika superior mendarahi belahan kanan (sekum, kolon asendens, dan dua pertiga proksimal kolon transversum), dan arteria mesentrika inferior mendarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum, kolon desendens, kolon sigmoid, dan bagian proksimal rektum). Suplai darah tambahan ke rektum berasal dari arteri hemoroidalis media dan inferior yang dicabangkan dari arteria iliaka interna dan aorta abdominalis. Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior adalah melalui vena mesenterika superioir, vena mesenterika inferior, dan vena hemoradialis superior (bagian sistem portal yang mengalirkan darah ke hati). Vena hemoradialis media dan inferior mengalirkan darah ke vena iliaka sehingga merupakan bagian sirkulasi sistemik. Terdapat anostomosis antara vena hemoradialis superior, media, dan inferior, sehingga tekanan portal yang meningkat dapat menyebabkan terjadinya aliran balik ke dalam vena dan mengakibatkan hemoroid. Persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan perkecualian sfingter eksterna yang berada dalam pengendalian volunter. Serabut saraf simpatis berjalan melalui saraf vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah sakral menyuplai bagian distal. Serabut simpatis meninggalkan medulla spinalis melalui saraf splangnikus. Serabut saraf ini Universitas Sumatera Utara 7 bersinaps dalam ganglia seliaka dan aortikorenalis, kemudian serabut pasca ganglionik menuju kolon. Rangsangan simpatis menghambat sekresi dan kontraksi, serta merangsang sfingter rektum. Rangsangan parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan (Emilia et al, 2002). 2.2 FISIOLOGI KOLON DAN REKTUM Kolon adalah organ pengering dan penyimpan. Kolon normalnya menerima sekitar 500 ml kimus dari usus halus per hari. Karena sebagian besar pencernaan dan penyerapan telah diselesaikan di usus halus maka isi yang disalurkan ke kolon terdiri dari residu makanan yang tak tercerna (misalnya selulosa), komponen empedu yang tidak terserap, dan cairan. Kolon mengekstraksi H2O dan garam dari isi lumennya. Apa yang tertinggal dan akan dikeluarkan disebut feses (tinja). Fungsi utama usus besar adalah untuk menyimpan tinja sebelum defekasi. Selulosa dan bahan lain yang tak tercerna di dalam diet membentuk sebagian massa dan karenanya membantu mempertahankan keteraturan buang air. Kontraksi haustra secara perlahan menganduk isi kolon maju-mundur. Lapisan otot polos longitudinal luar tidak mengelilingi usus besar secara penuh. Lapisan ini terdiri dari tiga pita otot longitudinal yang terpisah, taeniae coli, yang berjalan di sepanjang usus besar. Taeniae coli ini lebih pendek daripada otot polos sirkular dan lapisan mukosa dibawahnya jika kedua lapisan ini dibentangkan datar. Karena itu, lapisan-lapisan dibawahnya disatukan membentuk kantung atau haustra. Haustra bukanlah sekedar kumpulan permanen yang pasif; haustra secara aktif berganti lokasi akibat kontraksi lapisan otot polos sirkular. Umumnya gerakan usus besar berlangsung lambat dan tidak mendorong sesuai fungsinya sebagai tempat penyerapan dan penyimpanan. Motilitas utama kolon adalah kontraksi haustra yang dipicu oleh ritmisitas otonom sel-sel otot polos kolon. Kontraksi ini, menyebabkan kolon membentuk haustra, serupa dengan segmentasi usus halus tetapi terjadi jauh lebih panjang. Waktu di antara dua kontraksi haustra Universitas Sumatera Utara 8 dapat mencapai tiga puluh menit, sementara kontraksi segmentasi di usus halus bergantung dengan frekuensi 9 sampai 12 kali per menit. Lokasi kantung haustra secara bertahap berubah sewaktu segmen yang semula melemas dan membentuk kantung mulai berkontraksi secara perlahan sementara bagian tadinya berkontraksi melemas secara bersamaan untuk membentuk kantung baru. Gerakan ini tidak mendorong isi usus tetapi secara perlahan mengaduknya maju-mundur sehingga isi kolon terpajan ke mukosa penyerapan. Kontraksi haustra umumnya dikontrol oleh refleks-refleks lokal yang melibatkan pleksus instrinsik. Gerakan massa mendorong tinja bergerak jauh. Tiga atau empat kali sehari, umumnya setelah makan, terjadi peningkatan mencolok motilitas saat segmensegmen besar kolon asenden dan transversum berkontraksi secara simultan, mendorong tinja sepertiga sampai tiga perempat panjang kolon dalam beberapa detik. Kontraksi massif ini, yang secara tepat dinamai gerakan massa, mendorong isi kolon ke bagian distal usus besar, tempat bahan disimpan terjadi defekasi. Ketika makanan masuk ke lambung, terjadi refleks gastrokolon yang diperantarai dari lambung ke kolon oleh gastrin dan saraf otonom ekstrinsik, yang menjadi pemicu utama gerakan massa di kolon. Pada banyak orang, refleks ini paling jelas setelah sarapan dan sering diikuti oleh keinginan untuk buang air besar. Karena itu, ketika makanan masuk ke saluran cerna, terpicu refleks-refleks yang memindahkan isi yang sudah ada ke bagian distal untuk menyediakan tempat bagi makanan yang baru masuk. Efek gastroileum memindahkan isi usus halus yang masih ada ke dalam usus besar, dan efek gastrokolon mendorong isi kolon ke dalm rektum, memicu refleks defekasi. Feses dikeluarkan oleh refleks defekasi. Ketika gerakan massa di kolon mendorong tinja ke dalam rektum, perengangan yang terjadi di rektum merangsang reseptor regang di dinding rektum, memicu refleks defekasi. Refleks ini menyebabkan sfingter ani internus (yaitu otot polos) melemas dan rektum dan kolon Universitas Sumatera Utara 9 sigmoid berkontraksi lebih kuat. Jika sfingter ani eksternus (yaitu otot rangka) juga melemas maka defekasi. Karena otot rangka, sfingter ani eksternus berada di bawah kontrol volunter. Perengangan awal dinding rektum disertai oleh timbulnya rasa ingin buang air besar. Jika keadaan ini memungkinkan defekasi maka pengencangan sfingter ani eksternus secara sengaja dapat menjegah defekasi meskipon refleks defekasi telah aktif. Jika defekasi ditunda maka dinding rektum yang semula teregang secara perlahan melemas, dan keinginan untuk buang air besar mereda sampai gerakan massa berikutnya mendorong lebih banyak tinja ke dalam rektum dan kembali meregang rektum secara memicu refleks defekasi. Selama periode inaktivitas, kedua sfingter tetap berkontraksi untuk menjamin kontinensia tinja. Jika defekasi terjadi biasanya dibantu oleh gerakan mengejan volunter yang melibatkan kontraksi otot abdomen dan ekspirasi paksa dengan glottis tertutup secara bersamaan. Tindakan ini sangat meningkatkan tekanan intra abdomen, yang membantu mendorong tinja. Terjadi konstipasi jika tinja terlalu kering. Jika defekasi ditunda terlalu lama makan dapat terjadi konstipasi (sembelit). Ketika isi kolon tertahan lebih lama daripada normal maka H20 yang diserap dari tinja meningkat sehingga tinja menjadi kering dan keras. Variasi normal frekuensi defekasi antara individu berkisar dari setiap makan hingga sekali seminggu. Ketika frekuensi berkurang melebihi apa yang normal bagi yang bersangkutan maka dapat terjadi konstipasi berikut gejala-gejala terkaitnya. Gejala-gejala ini mencakup rasa tidak nyaman di abdomen, nyeri kepala tumpul, hilangnya nafsu makan yang kadang disertai mual, dan depresi mental. Berbeda dengan anggapan umum, gejala-gejala ini tidak disebabkan oleh toksin yang diserap daripada bagian tinja yang tertahan. Meskipon metabolisme bakteri menghasilkan bahan-bahan yang mungkin toksik di kolon namun bahan-bahan ini normalnya mengalir melalui sistem porta dan disingkirkan oleh hati sebelum dapat mencapai sirkulasi sistemik. Gejala-gejala yang berkaitan konstipasi disebabkan Universitas Sumatera Utara 10 distensi berkepanjangan usus besar, terutama rektum ; gejala segera hilang setelah peregangan mereda. Kemungkinan penyebab tertundanya defekasi yang dapat menimbulkan konstipasi mencakup (1) mengabaikan keinginan untuk buang air besar; (2) berkurangnya motilitas kolon karena usia, emosi, atau diet rendah serat; (3) obstruksi gerakan feses di usus besar oleh tumor lokal atau spasme kolon; dan (4) gangguan reflkes defekasi, misalnya karena cedera jalur-jalur saraf yang terlibat. Sekresi usus besar seluruhnya bersifat protektif. Usus besar tidak mengeluarkan enzim pencernaan apapun. Tidak ada yang diperlukan karena pencernaan telah selesai sebelum kimus mencapai kolon. Sekresi kolon terdiri larutan mucus basa (NaHCO3) yang berfungsi adalah melindungi mukosa usus besar dari cedera mekanis dan kimiawi. Mucus menghasilkan pelumasan untuk mempermudah feses bergerak, sementara NaHCO3 menetralkan asam-asam iritan yang diproduksi oleh fermentasi bakteri lokal. Sekresi meningkat sebagai respon terhadap simulasi mekanis dan kimiawi mukosa kolon yang diperantarai oleh refleks pendek dan persarafan parasimpatis. Tidak terjadi pencernaan di usus besar karena tidak terdapat enzim pencernaan. Namun, bakteri kolon mencerna sebagian dari selulosa untuk kepentingan mereka. Kolon mengandung beragam bakteri yang bermanfaat. Karena gerakan kolon yang lambat maka bakteri memiliki waktu untuk tumbuh dan menumpuk di usus besar. Sebaliknya, di usus halus isi biasanya dipindahkan secara cepat sehingga bakteri tidak dapat tumbuh. Selain itu, mulut, lambung, dan usus halus mengeluarkan bahan-bahan antibakteri, tetapi kolon tidak. Namun, tidak semua bakteri yang tertelan dihancurkan oleh lisozim dan HCl. Bakteri yang bertahan hidup terus berkembang di usus besar. Jumlah bakteri yang terus hidup di kolon manusia adalah sekitar 10 kali lebih banyak daripada jumlah sel yang ada di tubuh manusia. Secara kolektif, massa bakteri ini memiliki berat 1000 g. Diperkirakan terdapat 500 sampai 1000 spesies Universitas Sumatera Utara 11 bakteri yang berbeda hidup di kolon. Mikroorganisme kolon ini biasanya tidak sahaja membahayakan tetapi pada kenyataannya dapat bermanfaat. Sebagai contoh, bakteri penghuni (1) meningkatkan imunitas usus dengan berkompetisi memperebutkan nutrien dan ruang dengan mikroba yang berpotensi patogen; (2) mendorong motilitas kolon; (3) membantu memelihara integritas mukosa kolon; dan (4) memberi kontribusi nutrisi. Sebagai contoh, bakteri mensistesis vitamin K yang dapat diserap dan meningkatkan keasaman kolon sehingga mendorong penyerapan kalsium, magnesium, dan seng. Selain itu, berbeda dari anggapan sebelumnya, sebagian dari glukosa yang dibebaskan selama pemprosesan serat makanan oleh bakteri diserap oleh mukosa kolon. Usus besar menyerap garam dan air, mengubah isi lumen menjadi feses. Sebagian penyerapan berlangsung didalam kolon, tetapi dengan tingkatan yang lebih rendah daripada di usus halus. Karena permukaan lumen kolon cukup halus maka luas permukaan absorptifnya jauh lebih kecil daripada usus halus. Jika motilitas usus halus yang tinggi menyebabkan isi usus cepat masuk ke kolon sebelum absorpsi nutrien tustas maka kolon tidak dapat menyerap sebagian besar bahan ini dan bahan akan keluar sebagai diare. Kolon dalam keadaan normal menyerap garam dan H2O. Natrium diserap secara aktif, Cl⁻ mengikuti secara pasif menuruni gradien listrik, dan H2O mengikuti secara osmotis. Kolon menyerap sejumlah elektrolit lain serta vitamin K yang disintesis oleh bakteri kolon. Melalui absorpsi garam dan H2O terbentuk massa tinja yang padat. Dari 500 g bahan yang masuk ke kolon setiap hari dari usus halus, kolon normalnya menyerap sekitar 350 ml , meninggalkan 150 g feses untuk dikeluarkan dari tubuh setiap hari. Bahan feses ini biasanya terdiri dari 100 g H2O dan 50 g bahan padat, termasuk selulosa yang tidak tercerna, bilirubin, bakteri, dan sejumlah kecil garam. Karena itu, berbeda dari pandangan umum, saluran cerna bukan saluran ekskresi utama untuk Universitas Sumatera Utara 12 mengeluarkan zat sisa dari tubuh. Produk sisa utama yang di ekskresikan di tinja adalah bilirubin. Konstituen-konstituen tinja lain adalah residu makanan yang tidak terserap dan bakteri, yang sebenarnya tidak pernah menjadi sebgaian dari tubuh. Gas usus diserap atau dikeluarkan. Kadang-kadang selain feses yang keluar dari anus, gas usus, atau flatus, juga keluar. Gas ini terutama berasal dari dua sumber : (1) udara yang tertelan (hingga 500 ml udara mungkin tertelan ketika makan) dan (2) gas yang diproduksi oleh fermentasi bakteri di kolon. Adanya gas yang mengalir melalui isi lumen menimbulkan suara berkumur yang dikenal sebagai borborigmi. Bersendawa, mengeluarkan sebagian besar udara yang tertelan dari lambung, tetapi sebagian masuk ke usus. Di usus biasanya hanya sedikit terdapat gas karena gas cepat diserap atau diteruskan ke dalam kolon. Sebagian besar gas di kolon disebabkan oleh aktivitas bakteri, dengan jumlah dan sifat gas bergantung pada jenis makanan yang dikonsumsi dan karakteristik bakteri kolon. Sebagian makanan, misalnya kacangkacangan, mengandungi tipe-tipe karbohidrat yang tidak dapat dicerna oleh manusia tetapi dapat diserang oleh bakteri penghasil gas. Banyak dari gas ini yang diserap melalui mukosa usus. Sisanya dikeluarkan melalui anus. Untuk secara selektif mengeluarkan gas ketika feses juga ada di rektum, yang bersangkutan secara sengaja mengontraksikan otot-otot abdomen dan sfingter ani eksternus secara bersamaan. Ketika kontraksi abdomen meningkatkan tekanan yang menekan sfingter ani eksternus yang menutup maka terbentuk gradien terkanan yang memaksa udara keluar dengan kecepatan tinggi melalui lubang anus yang berbentuk celah dan terlalu sempit untuk keluarnya feses. Lewatnya udara dengan kecepatan tinggi menyebabkan tepi-tepi lubang anus bergetar, menghasilkan nada rendah khas yang menyertai keluarnya gas (Sherwood, 2002). 2.3 PENGERTIAN KANKER KOLOREKTAL Kanker kolorektal adalah kanker yang menyerang kolon sampai ke dubur. Sebagian besar kanker kolorektal berasal dari adenokarsinoma. Adenokarsinoma Universitas Sumatera Utara 13 adalah neoplasma ganas epithelial dengan sel-sel penyusunnya identik struktural bahkan kadang-kadang fungsional, dengan sel-sel epitel kelenjar normal pasangannya apokrin, ekrin, endokrin, dan kelenjar parenkim. Oleh WHO kanker rektum dimasukkan ke dalam International Classification of Disease (ICD) dengan kode C nomor 20 dan kanker kolon dengan kode C nomor 18. 2.4 ETIOLOGI Perkembangan kanker kolorektal merupakan interaksi antara faktor lingkungan dan faktor genetik. Faktor lingkungan multipel beraksi terhadap predisposisi genetik atau defek yang didapat dan berkembang menjadi kanker kolorektal . Terdapat 3 kelompok kanker kolorektal berdasarkan perkembangannya, yaitu : 1) kelompok yang diturunkan (inherited) yang mencakup kurang dari 10% dari kasus kanker kolorektal; 2) kelompok sporadic, yang mencakup sekitar 70%; 3) kelompok familial, mencakup 20%. Kelompok yang diturunkan adalah mereka yang dilahirkan sudah dengan mutasi germline (germline mutation), pada salah satu allele dan terjadi mutasi somatic pada allele yang lain. Contohnya pada FAP (familial adenomatous polyposis) dan HNPPC ( hereditery non-polyposis colorectal cancer) . HNPCC terdapat pada sekitar 5% dari kanker kolorektal. Kelompok sporadic memerlukan dua mutasi somatik, satu pada masing-masing allele-nya . Terdapat dua model perkembangan kanker kolorektal (karsinogenesis) yaitu LOH (loss of heterozygocity) dan RER (replication error) . Model LOH mencakup mutasi tumor gen supresor meliputi gen APC, DCC, dan p53 serta aktivasi onkogen yaitu K-ras. Model ini contohnya adalah perkembangan polip adenoma menjadi karsinoma. Sementara model RER karena adanya mutasi gen hMSH2, hMLH1, hPMS1, dan hPMS2. Model terakhir ini contohnya adalah perkembangan HNPCC. Pada bentuk sporadic, 80% berkembang lewat model LOH dan 20% berkembang lewat model RER. Universitas Sumatera Utara 14 Kanker kolorektal adalah proses penyakit multifaktorial. Faktor genetik, paparan lingkungan (termasuk diet), dan kondisi peradangan saluran pencernaan semua terlibat dalam perkembangan kanker kolorektal. Meskipun banyak tentang genetika kanker kolorektal masih belum diketahui, penelitian saat ini menunjukkan bahwa faktor genetik memiliki korelasi terbesar untuk kanker kolorektal. Mutasi keturunan dari gen APC adalah penyebab familial adenomatosa poliposis (FAP), yang mempengaruhi individu membawa resiko hampir 100% dari kanker usus sebesar usia 40 tahun. Sindrom herediter nonpolyposis kanker usus (HNPCC, Sindrom Lynch) menimbulkan tentang risiko seumur hidup 40% untuk mengembangkan kanker kolorektal; individu dengan sindrom ini juga pada peningkatan risiko untuk kanker urothelial, kanker endometrium, dan kanker kurang umum lainnya. Sindrom Lynch ditandai dengan deficient mismatch repair (DMMR) karena mutasi diwariskan di salah satu gen perbaikan mismatch, seperti hMLH1, hMSH2, hMSH6, hPMS1, hPMS2, dan gen yang belum ditemukan kemungkinan lainnya. HNPCC merupakan penyebab dari sekitar 6% dari semua kanker usus besar. Meskipun penggunaan aspirin dapat mengurangi risiko kolorektal neoplasia di beberapa populasi, sebuah studi oleh Bakar et al, ditemukan tidak berpengaruh pada kejadian kanker kolorektal di operator Sindrom Lynch dengan penggunaan aspirin, pati resisten, atau keduanya. Faktor makanan adalah subjek penyelidikan intensif dan berkelanjutan. Studi epidemiologi telah menunjukkan peningkatan risiko kanker kolorektal dengan diet tinggi daging merah dan lemak hewan, diet serat yang rendah, dan asupan keseluruhan rendah buah dan sayuran. Asupan tinggi serat dikaitkan dengan penurunan risiko kanker kolorektal. Secara khusus, serat sereal dan biji-bijian yang ditemukan untuk menjadi efektif. Asupan yoghurt tinggi juga dikaitkan dengan penurunan risiko kanker kolorektal. Universitas Sumatera Utara 15 Obesitas dan gaya hidup pilihan seperti merokok, konsumsi alkohol, dan kebiasaan menetap juga telah dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker kolorektal. Konsumsi alkohol yang tinggi dikaitkan dengan risiko tinggi untuk kanker kolorektal, pada individu dengan riwayat keluarga penyakit (American Society Cancer, 2014). 2.5 EPIDEMIOLOGI Kanker kolorektal adalah kanker urutan ketiga yang banyak yang menyerang pria dengan persentase 10,0% dan yang kedua terbanyak pada wanita dengan persentase 9,2% dari seluruh penderita kanker di seluruh dunia. Hampir 55% kasus kanker kolorektal terjadi di negara maju dengan budaya barat. Adanya variasi geografis dalam insidensi di seluruh dunia dimana insidensi tertinggi diperkirakan berada di Australia dan Selandia Baru dengan Age Standardized Rate (ASR) 44,8 pada pria dan 32,2 pada wanita per 100.000. Hal ini berkaitan karena Australia dan Selandia Baru adalah negara tujuan migrasi, terdapat hubungan peningkatan resiko kanker kolorektal dibandingkan dengan populasi dari negara asal. Kematian pasien kanker kolorektal lebih banyak terjadi di daerah yang kurang berkembang dengan persentase 52% dari jumlah kematian pasien kanker kolorektal di dunia. Tingkat kematian pasien kanker kolorektal tertinggi diperkirakan di Eropa Tengan dan Timur dengan ASR 20,3 per 100.000 untuk laki-laki dan 11,7 per 100.000 untuk perempuan. Tingkat kematian terendah terdapat di Afrika Barat dengan ASR 3,5 per 100.000 untuk laki-laki dan 3,0 per 100.000 untuk perempuan. Di Indonesia kanker kolorektal menempati urutan ketiga keganasan yang sering terjadi baik pada pria dan wanita setelah kanker paru dan kanker payudara dengan persentase 21,0% pada pria dan 14,0% pada wanita dari jumlah seluruh pasien kanker di Indonesia. Insidensi kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka kematiannya. Insidensi kanker kolorektal pada pria sebanding dengan wanita dan lebih banyak terjadi pada usia produktif. Hal ini berbeda dengan data yang diperoleh di negara barat dimana kanker biasanya terjadi pada usia lanjut. Universitas Sumatera Utara 16 Perbandingan insidensi pada laki-laki dan perempuan adalah 3 banding 1 dan kurang 50% kanker kolon dan rektum ditemukan di rektosigmoid. Kanker kolorektal banyak dijumpai pada usia produktif. Data kesehatan pada tahun 1996-2000 menunjukkan bahwa puncak insidensi kanker di Jakarta terjadi pada usia 40-49 tahun dan 50-69 tahun. Data lainnya dari Depkes menunjukkan insidensi kanker kolorektal dengan usia kurang dari 45 tahun pada 4 kota besar di Indonesia sebagai berikut, 47,85% di Jakarta, 54,5% di Bandung, 44,3% di Makassar dan 48.2% di Padang. 2.6 FAKTOR RISIKO Ada banyak faktor yang diketahui yang meningkatkan atau menurunkan risiko kanker kolorektal, beberapa faktor yang dapat diubah sementara yang lain tidak. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi termasuk riwayat pribadi atau keluarga kanker kolorektal atau polip adenomatosa dan sejarah pribadi penyakit radang usus kronis. The American Cancer Society dan organisasi lain merekomendasikan bahwa beberapa orang pada peningkatan risiko untuk kanker kolorektal karena kondisi ini mulai screening pada usia lebih dini. Studi epidemiologi juga telah mengidentifikasi banyak faktor risiko yang dapat dimodifikasi untuk kanker kolorektal. Ini termasuk aktivitas fisik, obesitas, konsumsi tinggi merah dan / atau diproses daging, merokok, dan konsumsi alkohol sedang hingga berat. 2.6.1 Faktor Genetik / Riwayat Keluarga Orang-orang dengan tingkat pertama relatif (orang tua, saudara, atau anak) yang memiliki kanker kolorektal harus 2 sampai 3 kali risiko pengembangan penyakit dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat keluarga. Jika relatif didiagnosis pada usia muda atau jika ada lebih dari satu relatif terkena, risiko meningkat untuk 3 sampai 6 kali dari populasi umum. Sekitar 20% dari semua pasien kanker kolorektal memiliki kerabat dekat yang didiagnosis dengan penyakit. Sebuah Universitas Sumatera Utara 17 riwayat keluarga kanker kolorektal berhubungan dengan kelangsungan hidup yang lebih baik penyakit, mungkin karena peningkatan kesadaran dan deteksi dini. Sekitar 5% dari pasien dengan kanker kolorektal memiliki sindrom genetik yang terdefinisi dengan baik yang menyebabkan penyakit. Yang paling umum ini adalah Sindrom Lynch (juga dikenal sebagai nonpolyposis herediter kanker kolorektal). Sekitar 1 dari 35 pasien kanker kolorektal memiliki Sindrom Lynch. Meskipun individu dengan Sindrom Lynch cenderung untuk berbagai jenis kanker (misalnya, endometrium, perut, dan ovarium), risiko kanker kolorektal adalah tertinggi. Selain pencegahan melalui screening, ada bukti yang mendukung kemoprevensi antara pasien berisiko tinggi ini. Sebuah uji klinis secara acak barubaru ini menunjukkan kanker usus 63% lebih sedikit di antara pasien Sindrom Lynch yang mengambil aspirin harian (600 mg). Adenomatosa poliposis familial (FAP) adalah yang paling umum sindrom genetik predisposisi kedua, dan ditandai oleh perkembangan ratusan hingga ribuan polip kolorektal pada individu yang terkena. Tanpa intervensi, risiko seumur hidup dari kanker kolorektal mendekati 100% pada usia 40. Meskipun identifikasi akurat keluarga dengan riwayat kanker kolorektal dan / atau kelainan genetik predisposisi diperlukan sehingga pengujian dapat dimulai pada usia dini, penelitian telah menunjukkan dokumentasi yang keluarga sejarah kanker dalam catatan medis yang kurang dalam setengah dari pasien perawatan primer. 2.6.2 Riwayat Kesehatan Orang dengan riwayat pribadi kanker kolorektal lebih mungkin untuk mengembangkan kanker berikutnya di usus besar atau rektum. Sebuah usia yang lebih muda di diagnosis dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi. Besarnya risiko juga bervariasi dengan lokasi anatomi dari tumor primer. Universitas Sumatera Utara 18 Riwayat polip adenomatosa juga meningkatkan risiko kanker kolorektal. Hal ini terutama berlaku jika polip yang besar atau jika ada lebih dari satu. Sebuah riwayat keluarga adenoma tampaknya meningkatkan risiko, meskipun penelitian lebih lanjut diperlukan di daerah ini. Orang yang memiliki penyakit radang usus kronis, sebuah kondisi di mana usus meradang selama periode waktu yang panjang, memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker kolorektal yang meningkat dengan tingkat dan durasi penyakit. Bentuk yang paling umum dari penyakit radang usus yang ulceratif kolitis dan penyakit Crohn. Diperkirakan bahwa 18% dari pasien dengan sejarah 30-tahun dari kolitis ulserativa akan mengembangkan kanker kolorektal. Namun, ada beberapa bukti bahwa risiko kanker pada pasien ini mungkin lebih rendah dalam beberapa tahun terakhir karena manajemen penyakit ditingkatkan (melalui penggunaan obat untuk mengendalikan peradangan) dan penggunaan skrining untuk mendeteksi lesi premalignant. Banyak studi telah menemukan bahwa pasien dengan diabetes memiliki peningkatan risiko kanker kolorektal. Meskipun onset dewasa (Tipe 2) diabetes (jenis yang paling umum) dan saham kanker faktor risiko yang sama kolorektal, termasuk obesitas dan gaya hidup, asosiasi ini tetap bahkan setelah memperhitungkan aktivitas fisik, indeks massa tubuh, dan lingkar pinggang. Studi menunjukkan bahwa hubungan mungkin lebih kuat pada pria dibandingkan pada wanita. Sebuah pertumbuhan badan penelitian menunjukkan bahwa beberapa obat diabetes secara independen mempengaruhi risiko kanker kolorektal. Secara umum, pasien kanker kolorektal dengan diabetes tampaknya memiliki kelangsungan hidup sedikit lebih buruk dibandingkan pasien non-diabetes. 2.6.3 Aktivitas fisik Salah satu faktor perilaku yang paling konsisten dilaporkan terkait dengan risiko kanker usus besar adalah aktivitas fisik. Sebuah tinjauan baru-baru ini literatur Universitas Sumatera Utara 19 ilmiah menemukan bahwa yang paling aktif secara fisik orang memiliki risiko 25% lebih rendah dari kanker usus besar daripada orang-orang paling aktif. Sebaliknya, pasien kanker kolorektal yang tidak aktif memiliki risiko kematian yang lebih tinggi kanker kolorektal dibandingkan mereka yang lebih aktif. Selain itu, studi epidemiologi menemukan bahwa: • Semakin aktif secara fisik orang, semakin rendah risiko kanker usus besar. • Kedua aktivitas fisik rekreasi dan pekerjaan mengurangi risiko. • Orang menetap yang menjadi aktif di kemudian hari dapat mengurangi risiko mereka. Berdasarkan temuan ini, serta banyak manfaat kesehatan lain dari aktivitas fisik secara teratur, American Cancer Society dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit merekomendasikan terlibat dalam setidaknya 150 menit aktivitas intensitas sedang atau 75 menit aktivitas kuat intensitas setiap minggu (atau kombinasi dari ini), sebaiknya menyebar sepanjang minggu. Pada tahun 2012, hanya sekitar setengah dari orang dewasa AS bertemu pedoman ini aktivitas fisik. 2.6.4 Obesitas Kelebihan berat badan atau obesitas dikaitkan dengan risiko lebih tinggi terkena kanker kolorektal pada pria dan kanker usus besar pada wanita, dengan asosiasi kuat lebih konsisten diamati pada pria dibandingkan pada wanita. Risiko kelebihan berat badan dan obesitas meningkat dari independen kanker kolorektal aktivitas fisik. Obesitas abdominal (diukur dengan ukuran pinggang) tampaknya menjadi faktor risiko yang lebih penting daripada obesitas keseluruhan baik pada pria maupun wanita. Prevalensi obesitas di kalangan orang dewasa AS meningkat dari 19% pada tahun 1997 menjadi 29% pada tahun 2012. Universitas Sumatera Utara 20 2.6.5 Diet Perbedaan geografis di tingkat kanker kolorektal dan perubahan temporal dalam resiko antara populasi imigran menunjukkan bahwa diet dan gaya hidup sangat mempengaruhi terjadinya kanker kolorektal. Meskipun penelitian ini masih mengumpulkan pada peran unsur makanan tertentu pada risiko kanker kolorektal, bukti saat ini menunjukkan bahwa: • Konsumsi tinggi daging merah dan / atau diproses meningkatkan risiko dari kedua usus besar dan kanker rektum. Alasan hubungan ini tetap tidak jelas, tetapi mungkin terkait dengan karsinogen (zat penyebab kanker) yang terbentuk ketika daging merah dimasak pada suhu tinggi untuk jangka waktu yang panjang dan / atau aditif nitrit untuk pengawetan makanan. • Asupan serat makanan, serat sereal, dan biji-bijian dikaitkan dengan penurunan risiko kanker kolorektal. Secara khusus, untuk setiap 10 gram konsumsi serat harian ada pengurangan 10% risiko kanker. • Moderat buah harian dan sayuran sedikit protektif terhadap usus (tapi tidak dubur) kanker dibandingkan dengan konsumsi rendah; konsumsi yang sangat tinggi muncul untuk menambahkan manfaat tambahan sedikit. •Konsumsi lebih tinggi dari produk keseluruhan susu, susu, dan kalsium mengurangi risiko kanker kolorektal. Efek perlindungan ini tampaknya terlepas dari kandungan lemak susu. •Tingkat darah yang lebih tinggi dari vitamin D berhubungan dengan risiko sedikit lebih rendah terkena kanker kolorektal dibandingkan dengan tingkat darah rendah. •Asupan folat makanan tampaknya menurunkan risiko kanker kolorektal. Ada beberapa bukti bahwa asam folat (bentuk folat digunakan dalam suplemen dan fortifikasi) mendorong pertumbuhan kanker, yang mengarah ke hipotesis bahwa Universitas Sumatera Utara 21 peningkatan kadar folat antara Amerika sebagai akibat dari fortifikasi wajib tepung diperkaya dan sereal pada tahun 1998 yang bertanggung jawab untuk dijelaskan uptick di tingkat insiden kanker kolorektal pada akhir 1990-an. Namun, analisis terbaru dari data dari American Cancer Society Cancer Prevention Study-II menegaskan hubungan terbalik antara jumlah folat diet dan kanker kolorektal dilaporkan pada sebelumnya. Dengan demikian, penelitian menunjukkan bahwa setelah rekomendasi Diet Society, yang mencakup membatasi konsumsi daging merah dan olahan; makan berbagai sayuran dan buah-buahan setiap hari; dan memilih biji-bijian bukan produk biji-bijian olahan, akan membantu mengurangi risiko kanker kolorektal. Mengkonsumsi tingkat direkomendasikan kalsium juga dapat membantu menurunkan risiko. 2.6.6 Merokok Merokok tembakau menyebabkan kanker kolorektal. Asosiasi tampaknya kuat untuk dubur dari kanker usus besar dan untuk subtipe molekul tertentu kanker kolorektal. 2.6.7 Alkohol Kanker kolorektal telah dikaitkan dengan penggunaan alkohol moderat dan berat. Orang-orang yang memiliki rata-rata seumur hidup 2 sampai 4 minuman beralkohol per hari memiliki risiko 23% lebih tinggi dari kanker kolorektal dibandingkan mereka yang mengkonsumsi kurang dari 1 gelas per hari. 2.6.8 Riwayat Obat Jangka panjang, penggunaan rutin aspirin dan obat non steroid anti-inflamasi (OAINS) menurunkan risiko kanker kolorektal. The American Cancer Society saat ini tidak merekomendasikan penggunaan obat ini untuk pencegahan kanker pada Universitas Sumatera Utara 22 populasi umum karena potensi efek samping perdarahan gastrointestinal dari aspirin dan NSAID tradisional atau serangan jantung dari selektif COX-2 inhibitor (sejenis NSAID yang umum digunakan untuk mengobati arthritis). Namun, orang-orang yang sudah mengambil NSAID untuk kondisi medis lain mungkin memiliki risiko lebih rendah terkena kanker kolorektal sebagai sisi manfaat. Wanita yang menggunakan hormon menopause memiliki tingkat yang lebih rendah dari kanker kolorektal dibandingkan mereka yang tidak. Penurunan risiko ini terutama jelas pada wanita dengan penggunaan hormon jangka panjang, meskipun pengembalian risiko dengan yang pengguna tiada dalam waktu tiga tahun dari penghentian. Namun, penggunaan hormon menopause meningkatkan risiko kanker payudara dan kanker lainnya, serta penyakit kardiovaskular, sehingga tidak dianjurkan untuk pencegahan kanker kolorektal. Penggunaan kontrasepsi oral juga dapat dikaitkan dengan sedikit menurun risiko. Bifosfonat oral yang digunakan untuk mengobati dan mencegah osteoporosis, juga dapat mengurangi risiko. American Cancer Society tidak merekomendasikan obat atau suplemen untuk mencegah kanker kolorektal karena ketidakpastian tentang efektivitas, dosis yang tepat, dan toksisitas potensial. 2.6.9 Usia Usia merupakan faktor paling relevan yang mempengaruhi risiko kanker kolorektal pada sebagian besar populasi. Risiko dari kanker kolorektal meningkat bersamaan dengan usia, terutama pada pria dan wanita berusia 50 tahun atau lebih dan hanya 3% dari kanker kolorektal muncul pada orang dengan usia dibawah 40 tahun. Kebanyakan kasus kanker kolorektal didiagnosis pada usia sekitar 50 tahun dan umumnya sudah memasuki stadium lanjut sehingga prognosis juga buruk. Keluhan yang paling sering dirasakan pasien kanker kolorektal diantaranya: perubahan pola buang air besar, perdarahan per anus (hematokezia dan konstipasi). Kanker kolorektal umumnya berkembang lambat, Universitas Sumatera Utara 23 keluhan dan tanda-tanda fisik timbul sebagai bagian dari komplikasi seperti obstruksi, perdarahan invasi lokal, kaheksia. Obstruksi kolon biasanya terjadi di kolon transversum, kolon desendens dan kolon sigmoid karena ukuran lumennya lebih kecil daripada bagian kolon yang lebih proksimal. 2.6.10 Jenis Kelamin Secara keseluruhan, angka kejadian kanker kolorektal dan kematian sekitar 30% sampai 40% lebih tinggi pada pria dibandingkan pada wanita. Alasan untuk ini tidak sepenuhnya dipahami, tetapi mungkin mencerminkan interaksi kompleks antara perbedaan jenis kelamin terkait paparan hormon dan faktor risiko. Perbedaan jenis kelamin dalam pola risiko juga dapat membantu menjelaskan mengapa sebagian besar tumor pada wanita yang terletak di kolon proksimal, 45% dibandingkan 36% pada pria. 2.6.11 Suku / Ras Tingkat kanker kolorektal yang tertinggi pada pria hitam dan perempuan dan terendah di Asia / Kepulauan Pasifik (API) laki-laki dan perempuan . Selama 2006-2010, tingkat insiden kanker kolorektal pada orang kulit hitam sekitar 25% lebih tinggi daripada di kulit putih dan sekitar 50% lebih tinggi dibandingkan dengan API. Sebuah kesenjangan yang lebih besar ada untuk angka kematian kanker kolorektal, yang tingkat di kulit hitam sekitar 50% lebih tinggi daripada di kulit putih dan dua kali lipat dalam API. Hal ini penting untuk mengenali bahwa meskipun statistik kanker umumnya dilaporkan untuk kategori ras dan etnis yang luas, beban kanker kolorektal juga sangat bervariasi dalam kelompok-kelompok ras / etnis. Misalnya, Indian Amerika / Alaska Pribumi (AI / ANS) tinggal di Alaska memiliki lebih dari dua kali lipat tingkat kejadian yang tinggal di New Mexico, 85,7 (per 100.000) dibandingkan 31,2, masing-masing. Universitas Sumatera Utara 24 2.7 PAFISIOLOGI KANKER KOLOREKTAL Dari Medscape menjelaskan, genetik, kanker kolorektal merupakan penyakit kompleks, dan perubahan genetik sering dikaitkan dengan perkembangan dari lesi premalignant (adenoma) untuk adenokarsinoma invasif. Urutan peristiwa molekuler dan genetik yang mengarah ke transformasi dari polip adenomatosa keganasan terbuka telah ditandai. Secara awal adalah mutasi dari APC (gen adenomatosa poliposis), yang pertama kali ditemukan pada individu dengan adenomatosa poliposis familial (TPI). Protein yang dikode oleh APC penting dalam aktivasi onkogen cmyc dan cyclin D1, yang mendorong perkembangan ke fenotipe ganas. Meskipun FAP adalah sindrom herediter terhitung hanya sekitar 1% dari kasus kanker usus besar, mutasi APC sangat sering pada kanker kolorektal sporadis. Selain mutasi, peristiwa epigenetik seperti metilasi DNA yang abnormal juga dapat menyebabkan pembungkaman gen supresor tumor atau aktivasi onkogen. Peristiwa ini membahayakan keseimbangan genetik dan akhirnya menyebabkan transformasi maligna. Gen penting lainnya di karsinogenesis kolon meliputi onkogen KRAS, kromosom 18 hilangnya heterozigositas (LOH) yang mengarah ke inaktivasi SMAD4 (DPC4), dan DCC (dihapus dalam kanker usus besar) gen supresi tumor. Kromosom lengan 17P penghapusan dan mutasi mempengaruhi p53 tumor resistensi berunding gen supresor kematian sel terprogram (apoptosis) dan dianggap peristiwa akhir karsinogenesis kolon. Sebuah subset dari kanker kolorektal ditandai dengan DNA kekurangan ketidakcocokan perbaikan. Fenotip ini telah dikaitkan mutasi gen seperti MSH2, MLH1, dan PMS2. Mutasi ini mengakibatkan disebut frekuensi tinggi ketidakstabilan mikrosatelit (HMSI), yang dapat dideteksi dengan uji imunositokimia. HMSI merupakan ciri dari nonpolyposis herediter sindrom kanker usus besar (HNPCC, sindrom Lynch), yang menyumbang sekitar 6% dari Universitas Sumatera Utara 25 semua kanker usus besar. HMSI juga ditemukan di sekitar 20% dari kanker usus besar sporadis. 2.8 JENIS-JENIS KANKER DI KOLON DAN REKTUM Beberapa jenis kanker dapat mulai di usus besar atau rektum. Adenokarsinoma: Lebih dari 95% dari kanker kolorektal adalah jenis kanker yang dikenal sebagai adenokarsinoma. Kanker ini dimulai pada sel-sel yang membentuk kelenjar yang membuat lendir untuk melumasi bagian dalam usus besar dan rektum. Ketika dokter berbicara tentang kanker kolorektal, ini hampir selalu apa yang mereka maksudkan. Lainnya, jenis kurang umum dari tumor juga dapat mulai di usus besar dan rektum. Ini termasuk: Tumor karsinoid: Tumor ini mulai dari sel penghasil hormon khusus dalam usus. Tumor stroma gastrointestinal (GISTs): Tumor ini mulai dari sel-sel khusus pada dinding usus besar disebut sel interstitial dari Cajal. Beberapa jinak (non-kanker); lain ganas (kanker). Tumor ini dapat ditemukan di mana saja di saluran pencernaan, tetapi mereka tidak biasa di usus besar. Limfoma: Ini adalah kanker dari sel-sel sistem kekebalan tubuh yang biasanya mulai di kelenjar getah bening, tetapi mereka juga dapat mulai di usus besar, rektum, atau organ lainnya. Sarkoma: Tumor ini dapat dimulai dalam pembuluh darah serta otot dan jaringan ikat di dinding usus besar dan rektum. Sarkoma dari usus besar atau rektum jarang. 2.9 KLASIFIKASI 2.9.1 Staging Universitas Sumatera Utara 26 Staging tumor tidak dapat diketahui sampai setelah operasi, yaitu dengan analisis spesimen yang diambil ketika operasi oleh ahli patologi Karakteristik yang diperhitungkan dalam sistem staging adalah: 1. Derajat penetrasi tumor melalui dinding rektum. 2. Ada atau tidaknya keterlibatan kelenjar getah bening. 3. Ada atau tidaknya metastasis jauh. 2.9.2 Klasifikasi Karsinoma Rekti menurut DUKES DukesA : Tumor tidak menembus propia muskularis DukesB : Tumor menembus propia muskularis, mengenai jaringan ekstra tetapi belum ada metastase ke kelenjar getah bening regional DukesC : Didapati deposit sekunder pada kelenjar getah bening regional. ini dibagi lagi menjadi: Duke C1 : hanya kelenjar getah bening pararektal lokal terlibat Duke C2 : kelenjar getah bening yang menyertai suplai pembuluh darah terlibat Dukes D : Akhir-akhir ini, stadium D dipopulerkan oleh Turnbull. Pada stadium ini didapati metastasis jauh, biasanya ke hepar 2.9.3 TMN Staging System Sistem pementasan yang paling umum digunakan untuk kanker kolorektal adalah bahwa American Joint Committee on Cancer (AJCC), kadang-kadang juga dikenal sebagai sistem TNM. Sistem TNM menggambarkan 3 buah kunci informasi: Universitas Sumatera Utara 27 T menggambarkan seberapa jauh utama (primer) tumor telah tumbuh ke dalam dinding usus dan apakah telah tumbuh menjadi daerah terdekat. N menggambarkan luasnya menyebar ke terdekat (regional) kelenjar getah bening. Kelenjar getah bening adalah koleksi berbentuk kacang kecil sel sistem kekebalan yang penting dalam memerangi infeksi. M menunjukkan apakah kanker telah menyebar (metastasis) ke organ tubuh lainnya. (Kanker kolorektal dapat menyebar hampir di mana saja di tubuh, tetapi situs yang paling umum dari penyebaran adalah hati dan paru-paru.) Angka atau huruf muncul setelah T, N, dan M untuk memberikan rincian lebih lanjut tentang masing-masing faktor. Angka 0 sampai 4 mengindikasikan peningkatan keparahan. Huruf X berarti "tidak dapat dinilai karena informasi ini tidak tersedia." Kategori T untuk kanker kolorektal T kategori kanker kolorektal menggambarkan luasnya penyebaran melalui lapisan yang membentuk dinding usus besar dan rektum. Lapisan ini, dari dalam ke luar itu, antara lain: Lapisan dalam (mukosa) Sebuah lapisan otot tipis (mukosa muskularis) Jaringan fibrosa di bawah lapisan otot ini (submukosa) Sebuah lapisan otot tebal (muskularis propria) yang kontrak untuk memaksa isi usus bersama Tipis, lapisan terluar dari jaringan ikat (subserosa dan serosa) yang mencakup sebagian besar dari usus besar, tetapi tidak rektum Tx: Tidak ada keterangan dari batas tumor ini dimungkinkan karena informasi yang tidak lengkap. Tis: Kanker adalah dalam tahap awal (in situ). Ini hanya melibatkan mukosa. Ini belum tumbuh melampaui mukosa muskularis (lapisan otot dalam tipis). Universitas Sumatera Utara 28 T1: Kanker telah tumbuh melalui mukosa muskularis dan meluas ke submukosa. T2: Kanker telah tumbuh melalui submukosa dan meluas ke propria muskularis (lapisan otot luar tebal). T3: Kanker telah tumbuh melalui propria muskularis dan ke dalam lapisan terluar dari usus besar atau rektum tapi tidak melalui mereka. Ini belum mencapai apapun organ atau jaringan di dekatnya. T4a: Kanker telah tumbuh melalui serosa (juga dikenal sebagai peritoneum visceral), lapisan terluar dari usus. T4b: Kanker telah tumbuh melalui dinding usus besar atau rektum dan melekat atau menyerang ke jaringan atau organ di dekatnya. N kategori untuk kanker kolorektal Kategori N menunjukkan jika kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening di dekatnya dan, jika demikian, berapa banyak kelenjar getah bening yang terlibat. Untuk mendapatkan ide yang akurat tentang keterlibatan kelenjar getah bening, kebanyakan dokter menyarankan bahwa setidaknya 12 kelenjar getah bening dihapus selama operasi dan melihat di bawah mikroskop. Nx: Tidak ada keterangan dari keterlibatan kelenjar getah bening ini dimungkinkan karena tidak lengkap informasi. N0: Tidak ada kanker di kelenjar getah bening di dekatnya. N1: Sel-sel kanker ditemukan di atau dekat 1 sampai 3 kelenjar getah bening terdekat N1A: Sel-sel kanker ditemukan di kelenjar getah bening di dekatnya 1. ·N1B: Sel-sel kanker ditemukan dalam 2 sampai 3 kelenjar getah bening di dekatnya. Universitas Sumatera Utara 29 N1C: deposit Kecil sel kanker ditemukan di daerah lemak di dekat kelenjar getah bening, tapi tidak dikelenjar getah bening sendiri. N2: Sel-sel kanker ditemukan dalam 4 atau lebih kelenjar getah bening terdekat N2A: Sel-sel kanker ditemukan dalam 4 sampai 6 kelenjar getah bening di dekatnya. N2B: Sel-sel kanker ditemukan dalam 7 atau lebih kelenjar getah bening di dekatnya. M kategori untuk kanker kolorektal Kategori M menunjukkan apakah atau tidak kanker telah menyebar (metastasis) ke organ jauh, seperti hati, paru-paru, atau kelenjar getah bening jauh. M0: Tidak ada penyebaran jauh terlihat. M1a: Kanker telah menyebar ke organ jauh atau 1 set kelenjar getah bening jauh. M1b: Kanker telah menyebar ke lebih dari 1 organ jauh atau mengatur kelenjar getah bening yang jauh, atau telah menyebar ke bagian yang jauh dari peritoneum (selaput rongga perut) Staging grouping Setelah kategori T, N, dan M seseorang telah ditentukan, biasanya setelah operasi, informasi ini dikombinasikan dalam proses yang disebut tahap pengelompokkan. Panggung dinyatakan dalam angka Romawi dari tahap I (paling canggih) untuk tahap IV (paling canggih). Beberapa tahap yang dibagi dengan huruf. Tahap 0 Tis, N0, M0: Kanker masih dalam tahap awal. Ini belum tumbuh melampaui lapisan dalam (mukosa) dari usus besar atau rektum. Universitas Sumatera Utara 30 Tahap ini juga dikenal sebagai karsinoma in situ atau karsinoma intramukosal. Tahap I T1-T2, N0, M0: Kanker telah tumbuh melalui mukosa muskularis ke submukosa (T1) atau juga mungkin telah tumbuh menjadi propria muskularis (T2). Ini belum menyebar ke kelenjar getah bening terdekat atau tempat yang jauh. Tahap IIA T3, N0, M0: Kanker telah tumbuh ke dalam lapisan terluar dari usus besar atau rektum tapi tidak pergi melalui mereka (T3). Ini belum mencapai organ terdekat. Ini belum menyebar ke kelenjar getah bening terdekat atau tempat yang jauh. Tahap IIB T4a, N0, M0: Kanker telah tumbuh melalui dinding usus besar atau rektum tapi belum tumbuh menjadi jaringan lain di dekatnya atau organ (T4a). Ini belum menyebar ke kelenjar getah bening terdekat atau tempat yang jauh. Tahap IIC T4b, N0, M0: Kanker telah tumbuh melalui dinding usus besar atau rektum dan melekat atau telah tumbuh menjadi jaringan lain di dekatnya atau organ (T4b). Ini belum menyebar ke kelenjar getah bening terdekat atau tempat yang jauh. Tahap IIIA Salah satu berikut ini berlaku. T1-T2, N1, M0: Kanker telah tumbuh melalui mukosa ke dalam submukosa (T1) dan juga mungkin telah tumbuh menjadi propria muskularis (T2). Hal ini telah menyebar ke 1 sampai 3 kelenjar getah Universitas Sumatera Utara 31 bening terdekat (N1A / N1B) atau ke daerah lemak di dekat kelenjar getah bening tetapi tidak node sendiri (N1c). Ini belum menyebar ke tempat yang jauh. T1, N2a, M0: Kanker telah tumbuh melalui mukosa ke dalam submukosa (T1). Hal ini telah menyebar ke 4 sampai 6 kelenjar getah bening terdekat (N2a). Ini belum menyebar ke tempat yang jauh. Tahap IIIB Salah satu berikut ini berlaku. T3-T4a, N1, M0: Kanker telah tumbuh ke dalam lapisan terluar dari usus besar atau rektum (T3) atau melalui peritoneum visceral (T4a) tetapi belum mencapai organ terdekat. Hal ini telah menyebar ke 1 sampai 3 kelenjar getah bening terdekat (N1A / N1B) atau ke daerah lemak di dekat kelenjar getah bening tetapi tidak node sendiri (N1c). Ini belum menyebar ke tempat yang jauh. T2-T3, N2a, M0: Kanker telah tumbuh menjadi propria muskularis (T2) atau ke lapisan terluar dari usus besar atau rektum (T3). Hal ini telah menyebar ke 4 sampai 6 kelenjar getah bening terdekat (N2a). Ini belum menyebar ke tempat yang jauh. T1-T2, N2B, M0: Kanker telah tumbuh melalui mukosa ke dalam submukosa (T1) atau juga mungkin telah tumbuh menjadi propria muskularis (T2). Hal ini telah menyebar ke 7 atau lebih kelenjar getah bening terdekat (N2B). Ini belum menyebar ke tempat yang jauh. Tahap IIIC Salah satu berikut ini berlaku. T4a, N2a, M0: Kanker telah tumbuh melalui dinding usus besar atau rektum (termasuk peritoneum visceral) tetapi belum mencapai organ terdekat (T4a). Hal ini telah menyebar ke 4 sampai 6 kelenjar getah bening terdekat (N2a). Ini belum menyebar ke tempat yang jauh. Universitas Sumatera Utara 32 T3-T4a, N2B, M0: Kanker telah tumbuh ke dalam lapisan terluar dari usus besar atau rektum (T3) atau melalui peritoneum visceral (T4a) tetapi belum mencapai organ terdekat. Hal ini telah menyebar ke 7 atau lebih kelenjar getah bening terdekat (N2B). Ini belum menyebar ke tempat yang jauh. T4b, N1-N2, M0: Kanker telah tumbuh melalui dinding usus besar atau rektum dan melekat atau telah tumbuh menjadi jaringan lain di dekatnya atau organ (T4b). Hal ini telah menyebar ke setidaknya satu kelenjar getah bening terdekat atau ke daerah lemak di dekat kelenjar getah bening (N1 atau N2). Ini belum menyebar ke tempat yang jauh. Tahap IVA Setiap T, Apa saja N, M1a: Kanker mungkin atau mungkin tidak telah tumbuh melalui dinding usus besar atau rektum, dan itu mungkin atau mungkin tidak telah menyebar ke kelenjar getah bening di dekatnya. Hal ini telah menyebar ke organ jauh 1 (seperti hati atau paru-paru) atau mengatur kelenjar getah bening (M1a). Tahap IVB Setiap T, Apa saja N, M1b: Kanker mungkin atau mungkin tidak telah tumbuh melalui dinding usus besar atau rektum, dan itu mungkin atau mungkin tidak telah menyebar ke kelenjar getah bening di dekatnya. Hal ini telah menyebar ke lebih dari 1 organ jauh (seperti hati atau paru-paru) atau mengatur kelenjar getah bening, atau telah menyebar ke bagian yang jauh dari peritoneum (selaput rongga perut) (M1b). Universitas Sumatera Utara 33 Gambar 2.9.3 Sistem TMN Staging untuk Klasifikasi Dukes ( Bethesda, 2005) 2.10 TANDA DAN GEJALA Kanker kolorektal dapat berdarah. Meskipun kadang-kadang darah bisa dilihat atau menyebabkan tinja menjadi lebih gelap, sering tinja tampak normal. Kehilangan darah dapat membangun dari waktu ke waktu, meskipun, dan menyebabkan jumlah sel darah merah yang rendah (anemia). Kadang-kadang tanda pertama dari kanker kolorektal adalah tes darah menunjukkan jumlah sel darah merah yang rendah. Sebagian besar masalah ini lebih sering disebabkan oleh kondisi selain kanker Universitas Sumatera Utara 34 kolorektal, seperti infeksi, wasir, sindrom iritasi usus, atau penyakit inflamasi usus. Kanker kolorektal dapat menyebabkan satu atau lebih gejala di bawah ini : Perubahan kebiasaan buang air besar, seperti diare, sembelit, atau penyempitan tinja, yang berlangsung selama lebih dari beberapa hari Sebuah perasaan bahwa anda harus memiliki buang air besar yang tidak lega dengan demikian Rektal perdarahan Darah dalam tinja yang mungkin membuatnya terlihat gelap Kram atau perut (belly) nyeri Kelemahan dan kelelahan Penurunan berat badan yang tidak diinginkan 2.11 PENEGAKAN DIAGNOSA 2.11.1 Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik Menanyakan tanda-tanda atau gejala yang mungkin. Menanyakan riwayat medis lengkap untuk memeriksa gejala dan faktor risiko, termasuk sejarah keluarga penderita. Untuk pemeriksaan fisik, dokter akan memeriksa bagian abdomen untuk mendeteksi ada massa atau pembesaran organ. Melakukan pemeriksaan colok dubur : 2.11.1.1 Pemeriksaan Rektum Pada pemeriksaan ini dapat dipalpasi dinding lateral, posterior, dan anterior, serta spina iskiadika, sakrum dan koksigeus dapat diraba dengan mudah. Metastasis intraperitoneal dapat teraba pada bagian anterior rektum dimana sesuai dengan posisi anatomis kantong douglas sebagai akibat infiltrasi sel neoplastik. Terabanya massa abdominal menunjukkan suatu penyakit yang sudah lanjut. Pada rectal examination (pemeriksaan colok dubur ) yang harus dinilai adalah: Universitas Sumatera Utara 35 a. Keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian terendah terhadap cincin anorektal, serviks uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung os koksigeus. b. Mobilitas tumor: hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek terapi pembedahan lesi yang sangat dini biasanya masih dapat digerakkan pada lapisan otot dinding rektum. Pada lesi yang sudah mengalami ulserasi lebih dalam umumnya terjadi perlekatan dan fiksasi karena penetrasi atau perlekatan ke struktur ekstrarektal seperti kelenjar prostat, buli-buli, dinding posterior vagina atau dinding anterior uterus. 2.11.2 Pemeriksaan Laboratorium Penelitian laboratorium dilakukan dengan tujuan menilai fungsi organ pasien (hati, ginjal) untuk mengantisipasi prosedur diagnostik dan terapi dan juga untuk memperkirakan beban tumor. Studi mungkin termasuk yang berikut: Jumlah sel darah lengkap Tes fungsi hati Tes fungsi ginjal Tumor marker : Carcinoembrionic Antigen (CEA) CA 19-9 2.11.2.1 CEA CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang masuk ke dalam peredaran darah, dan digunakan sebagai marker serologi untuk memonitor status kanker kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi dini dan metastasis ke hepar. CEA tidak spesifik untuk screening kanker kolorektal. Nilai CEA serum baru dapat dikatakan Universitas Sumatera Utara 36 bermakna pada monitoring berkelanjutan dan berguna sebagai pertanda prognosis setelah pembedahan dan sebagai pembanding dengan nilai sebelum dilakukan operasi. Tingginya kadar CEA pre-operatif merupakan suatu indikator prognostik yang buruk. Tingginya kadar CEA dalam serum menunjukkan bahwa kanker lebih ekstensif dan kemungkinan terjadi kekambuhan post-operatif. Setelah dilakukan reseksi kanker secara lengkap, kadar CEA serum akan turun menjadi normal, kegagalan serum CEA menjadi normal post-operatif menunjukkan reseksi yang dilakukan tidak lengkap dan masih tersisa. Nilai normal: < 5,0 ng/ml . 2.11.2.2 CA 19-9 Kegunaan pemeriksaan CA 19-9 adalah sebagai penanda tumor (tumor marker). Selain itu digunakan untuk diagnosis kanker pankreas, membantu membedakan kanker pankreas dan saluran empedu, serta kondisi non kanker seperti pankreatitis, memonitor respon terhadap terapi, memonitor prognosis kanker pankreas, pemeriksaan pendukung seperti: CEA, bilirubin, fungsi hati. 2.11.3 Pemeriksaan Penunjang 2.11.3.1 Fleksibel Sigmoidoskopi Sebuah ramping, fleksibel, berongga, berlampu tabung dimasukkan melalui rektum ke dalam usus besar oleh pemeriksa terlatih. Sigmoidoscope adalah sekitar 2 kaki panjang (60 cm) dan memberikan pemeriksaan visual dari rektum dan bawah sepertiga dari usus besar (kolon sigmoid). Sederhana pembersihan usus, biasanya dengan enema, perlu untuk mempersiapkan usus besar, dan prosedur ini biasanya dilakukan tanpa sedasi. Jika ada polip atau tumor ini, pasien dirujuk untuk kolonoskopi sehingga seluruh usus dapat diperiksa. Universitas Sumatera Utara 37 2.11.3.2 Pemeriksaan Barium Enema dengan Kontras Udara Penggunaan prosedur ini, yang juga Disebut Double-Contrast Barium Enema (DCBE), telah menjadi sangat jarang karena meningkatnya ketersediaan kolonoskopi. Barium sulfat diperkenalkan ke dalam usus dibersihkan melalui rektum untuk sebagian mengisi dan membuka usus besar. Air kemudian diperkenalkan untuk memperluas usus dan meningkatkan kualitas sinar-X yang diambil. Metode ini kurang sensitif dibandingkan kolonoskopi untuk memvisualisasikan polip kecil atau kanker. Jika polip atau kelainan lainnya terlihat, pasien harus dirujuk untuk kolonoskopi sehingga usus besar dapat diperiksa lebih lanjut. 2.11.3.3 Kolonoskopi Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa kolon dan rektum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160 cm. Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk dapat menunjukkan polip dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94% . Teknologi kromoendoskopi dapat membantu membedakan jenis polip dan adenokarsinoma awal sehingga tindakan polipektomi dapat dilakukan pada saat pemeriksaan kolonoskopi dilakukan tanpa perlu konfirmasi pemeriksaan histopatologi. Kanker kolorektal stadium lanjut nampak sebagai massa eksofitik besar tumbuh ke intralumen, atau sebagai striktur kolon karena pertumbuhan sirkumferential intralumen. Keganasan dicirikan sebagai striktur kolon yang ulseratif, berindurasi, asimetris, dan mempunyai tepi yang iregular. Penampakan secara kolonoskopi hanya merupakan gambaran sugestif, bukan suatu hal defenitif. Sehingga pemeriksaan patologi anatomi dari biopsi kolon dan pemeriksaan analisis sitologi dari sikatan mukosa kolon diperlukan. Universitas Sumatera Utara 38 2.11.3.4 Biopsi Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting. Jika terdapat sebuah obstruksi sehingga tidak memungkinkan dilakukannya biopsi maka sikat sitologi akan sangat berguna. Pada penelitian mengenai gambaran histologi kanker kolorektal dari tahun 1998-2001 di Amerika Serikat yang melibatkan 522.630 kasus kanker kolorektal. Didapatkan gambaran histopatologi dari kanker kolorektal sebesar 96% berupa adenokarsinoma, 2% karsinoma lainnya (termasuk karsinoid tumor), 0,4% epidermoid karsinoma, dan 0,08% berupa sarkoma. 2.11.3.5 Pencitraan / Imaging Pencitraan yang memadai dari dada dan perut harus diperoleh untuk tujuan pementasan, idealnya sebelum operasi. Perut / panggul Computed Tomography (CT), kontras USG perut / hati, dan perut / panggul Magnetic Resonance Imaging (MRI) scan sesuai untuk pencitraan perut dan hati, untuk tujuan pementasan. Pencitraan juga mungkin termasuk rontgen dada atau CT dada scan, dan studi barium perut untuk lebih menggambarkan lesi primer sebelum operasi. Positron Emission Tomography (PET) Scanning yang muncul sebagai modalitas sangat berguna untuk pementasan dan penilaian dari kanker kolorektal. Tambahan terbaru, perpaduan PET CT scan, memungkinkan untuk deteksi deposit metastasis dan memiliki resolusi jaringan berdasarkan tambah dari CT. Dari catatan, beberapa histologis, terutama varian sel cincin meterai mucinous kanker kolorektal, mungkin tidak baik divisualisasikan pada scan PET. Universitas Sumatera Utara 39 2.11.4 Screening / Penapisan Kanker Kolorektal Penapisan (screening) merupakan suatu deteksi dini dengan melakukan investigasi pada individu asimptomatik yang bertujuan untuk mendeteksi adanya penyakit pada stadium dini dapat dilakukan tindakan kuratif. Sehingga akan berakibat menurunnya mortalitas. Dengan deteksi dini/ penapisan juga akan didapatkan lesi prekursor kanker, jika diterapi akan menurunkan insidensi kanker kolorektal. Pemeriksaan penapisan untuk masyarakat luas meliputi : FOBT ( Fecal Occult Blood Test) setahun sekali Sigmoidoskopi fleksibel setiap 5 tahun Enema barium kontras ganda setiap 5 tahun Kolonoskopi setiap 10 tahun Pemeriksaan penapisan ini sangat di anjurkan kepada masyarakat yang mempunyai gejala-gejala, faktor risiko, dan berusia di atas 50 tahun. 2.12 PENATALAKSANAAN Satu-satunya kemungkinan terapi kuratif adalah tindakan bedah. Tujuannya adalah untuk memperlancarkan saluran cerna . Bila sudah ada metastasis jauh, kanker primer akan direseksi juga dengan maksud mencegah obstruksi, perdarahan, anemia, inkontenesia, fistel dan nyeri. Reseksi bedah berpotensi memberikan satu-satunya pilihan kuratif untuk pasien dengan penyakit metastasis terbatas dalam hati dan / atau paru-paru (penyakit stadium IV). Pilihan bedah meliputi: Hemikolektomi Kanan: Untuk lesi di sekum dan kolon kanan Diperpanjang hemikolektomi kanan: Untuk lesi di proksimal atau usus besar melintang tengah Universitas Sumatera Utara 40 Hemikolektomi Kiri: Untuk lesi di fleksura lienalis dan usus besar kiri Sigmoid kolektomi: Untuk lesi kolon sigmoid Jumlah kolektomi perut dengan anastomosis ileorektal: Untuk pasien yang dipilih dengan nonpoliposis herediter kanker usus, dilemahkan poliposis adenomatosa familial, kanker metachronous di segmen usus yang terpisah, atau penghalang usus ganas akut dengan status tidak diketahui dari usus proksimal Pilihan terapi lain bagi pasien yang tidak kandidat bedah meliputi: Cryotherapy Radiofrequency ablation Infus arteri 40epatic agent chemotheraphy Rejimen yang digunakan untuk kemoterapi sistemik mungkin termasuk yang berikut: 5Fluorouracil (5FU) Capecitabine Tegafur Oxaliplatin Irinotecan Kombinasi dari beberapa agen (misalnya, capecitabine atau 5FU dengan oxaliplatin, 5FU dengan leucovorin dan oxaliplatin) Rejimen digunakan untuk adjuvant (pasca operasi) kemoterapi umum meliputi 5FU dengan leucovorin atau capecitabine, baik sendiri atau dalam kombinasi dengan oxaliplatin. Agen biologis yang digunakan untuk mengobati kanker usus besar adalah sebagai berikut : Bevacizumab (Avastin) Cetuximab (Erbitux) Panitumumab (Vectibix) Universitas Sumatera Utara 41 Ramucirumab (Cyramza) Regorafenib (Stivarga) Zivaflibercept (Zaltrap) Universitas Sumatera Utara