Optimalisasi Produksi Embrio Domba Secara In vitro

advertisement
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini terdiri dari tiga bagian, yaitu: 1) Tingkat pematangan
inti oosit dalam medium TCM -199 dan CR1aa, 2) Tingkat fertilisasi oosit dalam
medium BO dan CR1aa, 3) Tingkat perkembangan embrio in vitro.
Tingkat Pematangan Inti Oosit
Pematangan oosit bertujuan untuk menghasilkan oosit sekunder haploid
yang memiliki komponen sel yang diperlukan dalam proses fertilisasi dan
perkembangan embrio. Tahapan pematangan inti yang diamati pada penelitian ini
dikelompokkan menjadi tiga ta hap yakni GVBD (Germinal Vesicle Break Down ),
M-I (Metafase I) dan M-II (Metafase II) (Gambar 3.1).
M-II
GVBD
M-I
A
B
C
Gambar 3.1. Status inti oosit setelah pematangan in vitro. Tanda panah
menunjukkan status inti pada tahap: A. GVBD (Germinal Vesicle
Break Down ), B. M-I (Metafase I), C. M-II (Metafase II). Bar = 50
µm.
Hasil pematangan inti oosit domba in vitro dalam medium TCM-199 dan
CR1aa terlihat pada Tabel 3.1. Oosit yang dimatangkan dalam medium TCM-199
mencapai tingkat pematangan yang lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan
medium CR1aa. Oosit yang mencapai tahap metafase II setelah dimatangkan
selama 24 jam dalam TCM -199 mencapai 73.27%, sedangkan dalam medium
CR1aa hanya 52.88%. Hal ini diduga karena perbedaan komponen penyusun
kedua jenis medium yang berpengaruh terhadap tekanan osmotik medium serta
metabolisme sel secara keseluruhan.
Tabel 3.1 Tingkat pematangan inti oosit domba dalam medium TCM-199
dan CR1aa
Medium
Jumlah
Status inti (%)
oosit
GVBD
M-I
M-II
TI
TCM-199
101
9 (8.91) b
17 (16.83) a
74 (73.27) a
1 (0.99) a
CR1aa
104
22 (21.15) a
25 (24.04) a
55 (52.88) b
2 (1.92) a
Ket. GVBD: Germinal Vesicle Break Down; M -I: Metafase I; M -II: Metafase II. Huruf berbeda
dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05).
Hasil yang diperoleh berbeda dengan laporan Rusiyantono dan Boediono
(2003) yang juga menggunakan medium CR1aa sebagai medium maturasi bagi
oosit kambing.
Setelah dimatangkan selama 26 jam in vitro dalam medium
CR1aa, oosit kambing yang mencapai tahap M-II adala h sebanyak 88% dan tidak
berbeda nyata dengan oosit yang dimatangkan dalam medium TCM-199 (82.3%).
Jaswandi et al. (2001) yang menggunakan TCM -199 sebagai medium pematangan
oosit domba selama 24 jam memperoleh persentase M-II sebesar 71%. Abdoon
(2001) melaporkan bahwa oosit onta yang dimatangkan selama 36 jam dalam
medium CR1aa dapat mencapai tahap M-II sebanyak 85.4%. Perbedaan hasil
yang diperoleh ini diduga karena perbedaan jenis hewan yang digunakan dan
perbedaan lamanya proses pematangan oosit in vitro yang dilakukan.
Jumlah oosit yang tertahan pada fase GVBD dalam medium CR1aa lebih
tinggi dan berbeda nyata dengan TCM-199 (P<0.05). Komposisi bahan penyusun
TCM-199 sebagai medium komersial lebih kompleks karena terdiri dari sumber
energi, garam anorganik, buffer, asam amino dan vitamin yang akan mendukung
pematangan inti oosit secara in vitro. Sehingga kemungkinan proses metabolisme
sel menjadi lebih optimal dan oosit dapat mencapai tahapan metafase II sebagai
oosit matang. Tidak diketahui secara pasti apakah keseluruhan komponen yang
terdapat dalam TCM -199 tersebut dibutuhkan atau bahkan memberikan efek
inhibitor pada konsentrasi tertentu (Yang et al. 1995).
Sodium piruvat sebagai sumber energi utama selama proses maturasi oosit
diketahui berguna untuk meningkatkan kemampuan pematangan oosit sapi (Geshi
et al. 2000) yang dikultur tanpa sel kumulus.
Medium kultur dan tahapan
pematangan inti dapat mempengaruhi jumlah kebutuhan piruvat dan jumlah laktat
yang diproduksi, sehingga komposisi dari mediu m maturasi akan sangat
mempengaruhi tingkat pematangan inti oosit. Penggunaan piruvat dan produksi
laktat pada tiap oosit berbeda tergantung pada tahapan pematangan inti, dimana
penggunaan piruvat dan produksi laktat akan lebih tinggi pada saat GVBD
daripada tahap pengeluaran polar body (Roberts et al. 2002).
Medium CR1aa merupakan semi -defined media yang terdiri dari NaCl dan
KCl sebagai garam anorganik, sodium piruvat, asam laktat dan glutamin sebagai
sumber energi dan NaHCO3 sebagai buffer serta asam amino esensial dan
nonesensial yang diperlukan bagi metabolisme embrio pre dan pasca implantasi.
Glutamin dapat dimetabolisme oleh sel oosit yang dimatangkan dengan ataupun
tanpa sel kumulus (Rieger 1996). Glutamin merupakan substrat sumber energi
sebagai pengganti glukosa yang berguna bagi perkembangan embrio sapi tahap
awal (Moore dan Bandioli 1993) dan berguna untuk mengatasi hambatan
perkembangan tahap dua sel pada embrio hamster (Barnett dan Bavister 1996).
Pada pematangan oosit sapi in vitro , metabolisme piruvat, glutamin dan glycin
meningkat secara nyata setelah 12-18 jam kultur. Disamping itu metabolisme
glutamin semakin meningkat bersama dengan adanya suplementasi LH ke dalam
medium (Rieger 1996).
Kombinasi piruvat dan laktat dapat meningkatkan
perkembangan embrio sapi in vitro (Rosenkrans et al. 1993). Walaupun tingkat
kematangan inti dalam medium CR1aa dapat mencapai angka 52.88%, namun
tidak cukup mampu mengimbangi kemampuan TCM-199 dalam mematangkan
inti oosit domba.
Penambahan hormon FSH dan LH ke dalam medium maturasi dapat
meningkatkan ekspansi sel-sel kumulus dan mengatasi hambatan meiosis pada
oosit babi (Niwa 1993). LH diketahui dapat meningkatkan pematangan meiosis,
daya fertilitas dan pembelahan embrio pada kultur tanpa suplementasi
makromolekul. Penggunaan estradiol dosis tinggi dalam medium maturasi dapat
menurunkan tingkat pembelahan dan kemampuan perkembangan embrio menuju
tahap selanjutnya. Secara keseluruhan penambahan hormon FSH, LH dan
estradiol dalam medium kultur dapat meningkatkan daya fertilitas dan
pembelahan embrio yang berasal dari pematangan oosit sapi in vitro (Keefer et al.
1993).
Tingkat pematangan oosit secara in vitro juga dipengaruhi oleh kualitas
oosit yang digunakan.
Bilodeau-Goeseels dan Panich (2002) menyatakan
persentase tingkat pembelahan sel yang berasal dari oosit yang memiliki lebih dari
lima lapis sel kumulus mencapai angka yang lebih tinggi dan berbeda nyata
daripada tingkat pembelahan sel yang berasal dari oosit dengan lapisan sel
kumulus kurang dari lima lapis, walaupun sitoplasmanya homogen. Keberadaan
sel kumulus dapat mendukung pematangan oosit melalui zat metabolit yang
dihasilkan dan disekresikan melalui mekanisme gap junction ke sel oosit.
Ekspansi kumulus dapat didukung oleh penambahan sel granulosa dari folikel,
walaupun menurut penelitian Setiadi (2002) tidak terdapat perbedaan nyata pada
tingkat pematangan inti antara oosit yang dimatangkan dengan co-culture sel
granulosa folikel dengan yang tidak. Pada penelitian ini sel-sel kumulus dalam
medium TCM -199 dan CR1aa sama-sama mengalami ekspansi setelah 24 jam
proses maturasi oosit (Gambar 3.2).
O
O
A
SK
SE
B
Gambar 3.2 Perkembangan oosit domba in vitro. A. oosit sebelum mengalami
pematangan yang ditandai dengan adanya sel-sel kumulus yang
kompak, B. oosit setelah proses maturasi in vitro ditandai dengan
terjadinya ekspansi sel-sel kumulus. O: oosit, SK: sel kumulus, SE:
sel kumulus ekspansi. Bar = 100 µm.
Oosit yang tidak matang dapat disebabkan karena degenerasi dan juga
karena berasal dari folikel berdiameter kurang dari 2 mm.
Hal tersebut
dimungkinkan karena metoda koleksi oosit yang digunakan dengan cara
pencacahan mengakibatkan semua folikel dengan berbagai ukuran menjadi ikut
tersayat. Sebagian besar oosit yang berasal dari folikel berdiameter kurang dari 2
mm akan terhenti pada tahap M-I (de Smedt et al. 1992).
Tingkat Fertilisasi Oosit
Oosit hasil pematangan dalam medium TCM-199, selanjutnya difertilisasi
secara in vitro dalam dua jenis medium yaitu BO (Brackett dan Oliphant 1975)
atau CR1aa yang disuplementasi dengan caffeine dan heparin.
Pengamatan
terhadap perkembangan inti oosit dan spermatozoa setelah fertilisasi dilakukan
dengan membedakan menjadi tiga tahap yaitu dekondensasi kepala spermatozoa
(DK), satu pronukleus (1PN), dua pronukleus (2PN) dan lebih dari 2 pronukleus
(>2PN) (Gambar 3.3). Tingkat fertilisasi ditandai dengan terbentuknya dua atau
lebih pronukleus dalam oosit. Sel-sel kumulus yang mengalami ekspansi pada
saat pematangan terlepas akibat adanya enzim hyaluronidase yang dilepaskan oleh
spermatozoa pada saat fertilisasi (Gambar 3.4).
A
B
C
D
Gambar 3.3. Status inti oosit setelah fertilisasi in vitro. Tanda panah menunjukkan
status inti pada tahap: A. Dekondensasi Kepala (DK) spermatozoa,
B. 1 Pronukleus (PN), C. 2 PN, D. 4 PN. Bar = 50 µm.
SK
PB
Gambar 3.4 Oosit setelah 18 jam IVF. Terlihat sel kumulus (SK) tidak lagi
kompak dan tampak adanya 2 polar body (PB) yang keluar akibat
adanya aktivasi spermatozoa ke dalam oosit. Bar = 50 µm.
Oosit yang mencapai tingkat fertilisasi tertinggi diperoleh dari medium
CR1aa dan berbeda nyata dengan medium BO (P<0.05) (Tabel 3.2). Oosit yang
dapat membentuk 2 PN dalam medium CR1aa mencapai 65.74% sedangkan
dalam medium BO adalah sebesar 50.98%. Perbedaan ini diduga karena adanya
perbedaan komposisi bahan penyusun yang terkandung sehingga berpengaruh
pada osmolaritas dari kedua jenis medium tersebut. Rata-rata osmolaritas medium
yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebesar 320 mOsM untuk medium BO
dan 282 mOsM untuk medium CR1aa.
Osmolaritas medium CR1aa yang
digunakan masih berada dalam kisaran normal (275-295 mOsM) untuk
mendukung perkembangan embrio (Gardner dan Lane 2000) dan lebih rendah
daripada medium BO. Hal tersebut diduga menjadi penyebab perbedaan tingkat
fertilisasi dalam kedua jenis medium. Osmolaritas medium ternyata memegang
peranan penting dalam menjaga keseimbangan ion intra dan ekstraseluler dan
berpengaruh pada metabolisme sel secara umum.
Tabel 3.2 Tingkat fertilisasi oosit domba dalam medium BO dan CR1aa
Medium
Jumlah
Status inti (%)
oosit
BO
102
DK
13
(12.75)
CR1aa
108
1 PN
2 PN
15
a
(14.71)
> 2 PN
TF
2
54
52
a
(50.98)
b
(1.96)
a
(52.94) b
7
13
71
2
73
(6.48) a
(12.04) a
(65.74) a
(1.85) a
(67.59) a
Ket. DK: Dekondensasi; PN: Pronukleus; TF: Tingkat Fertilisasi. Huruf berbeda dalam kolom
yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05).
Tingkat fertilisasi oosit kambing dalam medium CR1aa adalah sebesar
54.5% (Rusiyantono dan Boediono 2003).
Sedangkan tingkat fertilisasi oosit
domba dalam medium CR1aa yang dilaporkan oleh Djuwita et al. (2005) adalah
sebesar 84%.
Perbedaan hasil yang diperoleh diduga akibat perbedaan jenis
hewan dan spermatozoa yang digunakan. Dalam penelitian ini spermatozoa yang
digunakan adalah spermatozoa domba garut, sementara sel telur berasal dari
bukan domba garut sehingga terbentuk embrio yang hibrid.
Perubahan pH intraseluler juga terjadi selama kapasitasi berlangsung.
Medium kapasitasi yang mengandung natrium bicarbonat, disamping untuk
menjaga kestabilan pH juga berguna untuk menstimulasi aktivitas adenylate
cyclase.
Inkubasi spermatozoa dalam medium yang mengandung zinc dapat
menyebabkan hambatan terhadap proses kapasitasi karena zinc me mpengaruhi
ketidakstabilan membran plasma spermatozoa (Baldi et al. 1996).
Kegagalan fertilisasi dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: 1)
proses pematangan inti maupun sitoplasma yang kurang sempurna, 2) kegagalan
spermatozoa
melakukan
kapasitasi
dan
reaksi
akrosom
sehingga
akan
menyebabkan spermatozoa tidak mampu membuahi oosit, 3) kegagalan
spermatozoa mengalami kondensasi dalam sitoplasma oosit sehingga terjadi
kegagalan pembentukan pronukleus jantan (Crozet et al. 1995).
Perkembangan Embrio
Tingkat perkembangan embrio setelah mengalami pematangan dan
fertilisasi in vitro terlihat pada Tabel 3.3. Kemampuan embrio berkembang dalam
medium kultur ditunjukkan dengan kemampuan embrio membelah dan
berkembang hingga tahap morula.
Tabel 3.3 Tahapan perkembangan embrio in vitro dalam medium TCM -199
dan CR1aa
Tingkat
Perkembangan embrio (%) mencapai tahap
Medium
pembelahan
sel (%)
4 sel
8 sel
Morula
TCM-199
43/109 (39.45)
16/43 (37.21)
12/43 (27.91)
4/43 (9.30)
CR1aa
54/106 (50.94)
28/54 (51.85)
17/54 (31.48)
10/54 (18.52)
Oosit yang telah dimatangkan dalam medium TCM -199 dan difertilisasi
dalam medium CR1aa selanjutnya dikultur dalam medium TCM-199 atau CR1aa.
Kemampuan embrio membelah dalam kedua medium tersebut tidak menunjukkan
adanya perbedaan yang nyata (P>0.05). Namun terdapat kecenderungan tingkat
pembelahan (embrio 2-8 sel) dan perkembangan embrio yang mencapai morula
(Gambar 3.5) lebih tinggi dalam medium CR1aa daripada dalam medium TCM199. Hal ini diduga karena adanya kandungan glukosa sebanyak 1 gr/l dalam
TCM-199 yang dapat menghambat pertumbuhan embrio tahap awal. Glukosa
lebih dibutuhkan selama perkembangan blastosis sedangkan piruvat digunakan
oleh embrio selama tahap preimplantasi sebelum mencapai blastosis.
Penelitian Rusiyantono dan Boediono (2003) pada embrio kambing yang
dikultur dalam medium TCM-199 dan CR1aa juga menunjukkan kecenderungan
yang sama dimana tidak terdapat perbedaan nyata antara kedua medium dalam
mendukung
pembelahan
dan
perkembangan
embrio,
memperlihatkan kecenderungan hasil yang lebih baik.
namun
CR1aa
Abdoon et al. (2001)
melaporkan bahwa tingkat pembelahan embrio kerbau dalam medium TCM-199
dan CR1aa adalah 32% dan 56%.
Rosenkrans dan First (1994) menyatakan
bahwa tingkat pembelahan embrio sapi dalam medium CR1aa adalah sebesar
74%. Sedangkan Djuwita et al. (2005) menyatakan tingkat pembelahan embrio
domba in vitro dalam medium CR1aa sebesar 70%.
Perbedaan hasil yang
diperoleh karena perbedaan jenis hewan yang digunakan. Boediono da n Suzuki
(1996) melaporkan bahwa kemampuan perkembangan embrio yang dikultur
secara in vitro mencapai blastosis berbeda untuk setiap jenis hewan, dimana
dalam penelitian tersebut terlihat bahwa jumlah blastosis yang terbentuk dari sapi
jenis Japanese Black lebih tinggi daripada sapi jenis Holstein.
50 µ m
A
D
50 µ m
B
20 µ m
E
50 µ m
C
50 µm
Gambar 3.5. Perkembangan embrio domba in vitro. Embrio berkembang
mencapai tahap: A. 2 sel, B. 4 sel, C. 8 sel, D. 16 sel dan E.
morula.
Perkembangan embrio sapi dan domba tahap awal sering terhenti pada
tahap 8-16 sel.
Hambatan perkembangan embrio in vitro merupakan suatu
fenomena yang umum terjadi pada embrio dari berbagai species (Peters 1992;
Barnett dan Bavister 1993). Kejadian tersebut berhubungan dengan konsentrasi
glukosa dalam medium. Salah satu upaya untuk mengatasinya adalah dengan coculture menggunakan sel kumulus, sel oviduct dan sebagainya . Faktor biologis
yang terdapat pada cairan sel epithelial oviduct diduga juga dapat mengatasi
persoalan tersebut. Sistim semi defined sequential media dapat bekerja efektif
seperti halnya menggunakan co-culture maupun media yang disuplementasi
dengan serum (Gandhi et al. 2000). Medium CR1aa tidak mengandung glukosa
dan mengalami penambahan asam amino esensial dan nonesensial.
Selama
perkembangan dari tahap 8 sel menuju blastosis, asam amino nonesensial dan
glutamin berfungsi untuk menstimulasi pembentukan blastosis dan hatching serta
asam amino esensial berguna untuk meningkatkan jumlah sel pada blastosis dan
membantu proses diferensiasi sel membentuk Inner Cell Mass (ICM) (Steeves dan
Gardner 1999). Oleh karena itu, maka diduga hal tersebut menjadi salah satu
penyebab mengapa CR1aa dapat mendukung perkembangan embrio domba in
vitro lebih baik daripada TCM-199.
Metabolisme piruvat meningkat setelah terbentuknya morula.
Hal ini
menunjukkan bahwa metabolisme oksidatif memainkan peranan penting dalam
pembentukan blastosis, terutama sebagai sumber energi. Sedangkan metabolisme
glukosa tidak memegang peranan penting baik melalu i siklus Krebs maupun
proses metabolisme lain pada tiap tahap pembelahan embrio.
Peningkatan
aktivitas glikolisis mengakibatkan keterlambatan sel mencapai tahap blastosis,
menurunkan jumlah sel yang terbentuk dan menurunkan daya hidup embrio
(Krisher et al. 1999).
Pada sapi, glukosa dalam konsentrasi tinggi (>3 mmol/l)
pada tahap awal pembelahan bersifat menghambat (inhibisi), namun kebutuhan
glukosa baru mengalami peningkatan hingga 5 mmol/l untuk menstimulasi
pembentukan blastosis setelah hari keempat kultur (Gandhi et al. 2000).
Insulin dapat meningkatkan penggunaan glukosa sebagai sumber energi.
Karena reseptor insulin baru muncul pada tahap 8 sel embrio rodensia maka
penggunaan glukosa sebagai sumber enegi utama juga baru akan efektif setelah 8
sel. Sebelumnya embrio akan menggunakan piruvat dan laktat sebagai sumber
energi utama (Schultz et al. 1992).
Pada embrio sapi, diketahui bahwa laktat lebih berperan sebagai sumber
energi, sedangkan piruvat diketahui tidak dibutuhkan selama perkembangan
(Rosenkrans et al. 1993). Penambahan asam amino ke dalam medium bersamaan
dengan laktat dan piruvat terbukti dapat meningkatkan perkembangan hingga 8 sel
dibandingkan bila hanya laktat atau piruvat saja dalam medium (Barnett dan
Bavister 1996).
Penggunaan bicarbonat dalam medium dengan konsentrasi CO2 yang
konstan dalam lingkungan kultur akan memberikan pengaruh terhadap pH
medium. Namun bicarbonat hanya mampu menjaga kestabilan pH dalam interval
pH yang cukup jauh (6.8-7.8) sehingga tidak mampu menjaga embrio dari
kerusakan akibat perubahan pH (Barnett dan Bavister 1996).
Medium TCM-199 sebagai medium kultur juga terbukti dapat mendukung
perkembangan embrio. Jaswandi (2002) melaporkan tingkat pembelahan embrio
domba
dalam
TCM-199
sebesar
57.54%.
Penggunaa n TCM -199 yang
disuplementasi dengan serum sebagai medium IVM terbukti dapat meningkatkan
jumlah blastosis yang mengalami hatching daripada dalam medium SOF, namun
jumlah sel yang terbentuk dari kedua jenis medium ini tidak berbeda nyata
(Gandhi et al. 2000; Van Langendonckt et al. 1997). Hal tersebut menunjukkan
bahwa komponen yang terkandung dalam TCM-199 memberikan efek positif
terhadap peningkatan jumlah blastosis yang mengalami hatching.
Fetal Calf Serum (FCS) dapat mengatasi masalah rendahnya jumlah
pronukleus jantan yang terbentuk (Wang et al.1997). Kultur oosit dengan FCS
pada 24 jam pertama dan dilanjutkan dengan penambahan BSA untuk 24 jam
kedua terbukti dapat menurunkan tingkat kejadian polyspermia in vitro (Niwa
1993). Penambahan Superovulated Cow Serum (SCS) ke dalam medium IVM
dan IVC dapat meningkatkan jumlah blastosis pada hari kesembilan kultur lebih
tinggi daripada jumlah blastosis dari medium yang sama yang mengalami
penambahan FCS. Penggunaan SCS dari hari ke -0 dan ke-7 akan meningkatkan
persentase pembelahan dan perkembangan blastosis jika konsentrasi glukosa,
asam lemak dan kolesterol dalam medium maturasi dan kultur rendah (Boediono
et al. 1994). Disamping itu serum yang berasal dari sapi estrus (Estrus Cow
Serum / ECS) terbukti juga dapat meningkatkan pembelahan dan perkembangan
embrio mencapai tahap morula maupun blastosis (Setiadi et al. 1995).
Penambahan insulin ke dalam medium kultur embrio dapat mendukung
perkembangan embrio. Reseptor insulin muncul pada tahap 8 sel pada embr io
mencit. Insulin dan BSA memberikan efek positif untuk pertambahan jumlah sel
embrio, namun juga dapat memberikan efek additive
ketika keduanya
dikombinasikan dalam satu medium. Insulin merupakan promotor pertumbuhan
Download