2.2 Raynaud Syndrome 9

advertisement
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT LAKESLA
RAYNAUD SYNDROME
Referat “RAYNAUD SYNDROME” ini telah di periksa dan disetujui
sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi
kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan Angkatan Laut
LAKESLA RSAL DR RAMELAN – Fakultas Kedokteran Hang Tuah
Surabaya.
Mengetahui,
Dosen Pembimbing
Letkol Laut (K) dr. Djati Widodo EP., M.Kes
1
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami ucapkan ke hadirat Tuhan YME, sehingga
atas berkat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan referat
‘Raynaud Syndrome’ sebagai salah satu tugas dalam menjalani
masa keapniteraan klinik di bagian LAKESLA RSAL Dr. Ramelan
Surabaya.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam terselesaikannya laporan ini, khususnya
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Letkol Laut (K) dr. Djati
Widodo EP., M.Kes selaku pembimbing.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa tugas ini masih banyak
kekurangannya. Untuk itu kami sangat menghargai saran dan kritik
yang bersifat membangun agar dapat memperbaiki tugas referat ini
maupun tugas-tugas selanjutnya. Kami berharap semoga tugas ini
dapat bermanfaat bagi semua yang memebacanya.
Surabaya.Juli 2015
Penyusun
2
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN --------------------------------------------------------- 1
KATA PENGANTAR --------------------------------------------------------------- 2
DAFTAR ISI --------------------------------------------------------------------------- 3
BAB I LATAR BELAKANG ------------------------------------------------------ 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA --------------------------------------------------- 7
CEREBRAL PALSY
2.1 Fisiologi sirkulasi digit ------------------------------------------------------ 7
2.2 Raynaud Syndrome ---------------------------------------------------------- 9
2.2.1 Definisi -------------------------------------------------------------------- 9
2.2.2 Klasifikasi ---------------------------------------------------------------- 9
2.2.3 Etiologi ------------------------------------------------------------------- 10
2.2.4 Patofisiologi ------------------------------------------------------------ 12
2.2.5 Diagnosa Klinis-------------------------------------------------------- 13
2.2.6 Manajemen -------------------------------------------------------------- 15
2.3. Terapi Oksigen Hiperbarik ----------------------------------------------- 17
2.3.1 Pengertian--------------------------------------------------------------- 17
2.3.2 Manfaat Terapi --------------------------------------------------------- 18
2.3.3 Indikasi Terapi --------------------------------------------------------- 19
2.3.4 Kontraindikasi Terapi ----------------------------------------------- 20
2.3.5 Komplikasi Terapi ---------------------------------------------------- 22
3
2.4 Hubungan Terapi Oksigen Hiperbarik dengan Raynaud’s
Syndrome ---------------------------------------------------------------------------- 24
BAB III KESIMPULAN ------------------------------------------------------------ 27
DAFTAR PUSTAKA --------------------------------------------------------------- 28
4
BAB I
PENDAHULUAN
Sindroma
Raynaud
merupakan
suatu
sindroma
akibat
insufisiensi arteri jari-jari tangan maupun kaki, tanpa melihat
penyebabnya maupun muncul sebagai akibat iskemik episodik atau
kontinyu, nekrosis jari atau gangren. Sindroma Raynaud dapat terjadi
dengan sendirinya, atau dapat berupa gejala sekunder dari suatu
penyakit
lain,
misalnya
skleroderma
atau
lupus.
Sedangkan
fenomena Raynaud adalah suatu fenomena dari episode asfiksia
digiti episodik yang disebabkan karena insufisiensi arteri akibat
vasospasme atau obstruksi organik (Birnstingl, 1971). Fenomena ini
ditandai
dengan
serangan
episodik,
yang
disebut
serangan
vasospastik, yang menyebabkan konstriksi pembuluh darah pada jari
kaki dan tangan. Fenomena ini pertama kali dijelaskan oleh Maurice
Raynaud pada tahun 1862. Secara sederhana, deskripsi umum
fenomena Raynaud berupa perubahan warna trifase pada digiti,
dengan warna putih (pucat) yang menjadi biru (sianosis) diikuti
hiperemi reaktif (merah). Meskipun demikian, telah diketahui bahwa
tidak setiap pasien mengalami perubahan warna dengan seluruh
trifase dan sebagian besar pasien datang dengan keluhan
perubahan warna unifase yang melibatkan perubahan warna terisolir
digiti
menjadi
kebiruan,
yang
dikenal
sebagai
akrosianosis.
Akrosianosis adalah fenomena umum pada bayi yang baru lahir dan
anak berusia muda. Akrosianosis umumnya bilateral, simetris, dan
melibatkan tangan serta kaki (Sharathkumar, 2011).
Studi
yang
mempelajari
Raynaud’s
phenomenon
menunjukkan prevalensi terjadinya sindroma Raynaud’s primer
bervariasi pada tiap populasinya, berkisar antara 4,9-20,1% pada
wanita dan 3,8-13,5% pada laki-laki. Tidak ada predileksi ras pada
sindroma Raynaud’s primer.
5
Di
Amerika
Serikat
prevalensi
terjadinya
Raynaud’s
phenomenon lebih tinggi pada wanita (11%) dibandingkan pada lakilaki (8%). Insidensi tahunan terjadi pada 2,2% wanita dan 1,5% pada
laki-laki.
Sedangkan
insidensi
sindroma
Raynaud’s
sekunder
tergantung pada kelainan yang mendasari.
Kesehatan hiperbarik adalah ilmu yang mempelajari tentang
masalah-masalah kesehatan yang timbul akibat pemberian tekanan
lebih dari 1 atmosfer (Atm) terhadap tubuh dan aplikasinya untuk
pengobatan, dimana pemberian oksigen tekanan tinggi untuk
pengobatan yang dilaksanakan dalam
ruang udara bertekanan
tinggi (RUBT) (Riyadi, 2013).
6
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Fisiologi sirkulasi digiti
Kecepatan aliran darah dipengaruhi oleh gradien tekanan yang
melewati vascular bed dan tahanan terhadap aliran yang melaluinya.
Gradien
tekanan
yang
dihasilkan
bergantung
pada
panjang
pembuluh darah dan viskositas darah. Adanya variasi dari kelima
parameter tersebut menyebabkan perubahan laju aliran darah
(Birnstingl, 1971).
Aliran
darah
jari
lebih
berkaitan
dengan
regulasi
suhu
dibandingkan kebutuhan metabolik lokal, dan sangat bertanggung
jawab terhadap suhu lokal dan laju aliran darah (Burton, 1939 dalam
Birnstingl, 1971). Mekanisme aliran darah lokal yang bervariasi
terdapat pada anastomosis arteri-vena, terutama pada sejumlah
bagian jari tangan dan jari kaki, yaitu nail beds dan pulpa phalangeal
distal, dimana pada kedua bagian ini laju aliran darah paling
dipengaruhi (Birnstingl, 1971).
Aliran darah digiti dikontrol oleh sistem saraf pusat yang bekerja
melalui :
1. Sabut saraf simpatis vasokonstriktor
2. Respon lokal dalam otot polos dinding pembuluh darah
Pada penyakit Raynaud yang sebenarnya, atau vasospasme
fungsional, terjadi konstriksi arteriol dan venule. Tetapi kadangkadang, venule dan kapiler dapat berdilatasi, melalui paralisis
anoksia lokal yang menimbulkan warna kebiruan. Ketika spasme
berhenti, tahap refleks vasodilatasi muncul disebabkan karena
akumulasi substansi dilatator dalam jaringan (Birnstingl, 1971).
Pada obstruksi organik, blokade biasanya terjadi pada arteriol
atau arteri digiti. Hilangnya tekanan transmural dalam arteri terhadap
blokade menimbulkan kontraksi pasif dinding pembuluh darah,
sehingga menurunkan aliran darah. Terlebih lagi, reduksi dalam
7
pembuluh darah ini menghasilkan berkurangnya aliran sebanyak
empat kali lipat, menurut hukum Poiseuille. Faktor pasif lainnya yaitu
viskositas darah, yang meningkat pada laju aliran darah yang
rendah. Hasil akhir dari berbagai pengaruh ini yaitu aliran darah
menjadi bergantung pada suatu keadaan ketidaksetimbangan yang
tidak stabil, dimana tekanan pembuluh darah intra-arterial distal
menurun ke ‘titik kritis tekanan’ terhadap obstruksi yang terjadi,
menyebabkan
aliran darah berhenti mendadak (Roddie dan
Shepherd, 1957 dalam Birnstingl, 1971). Hal ini khususnya terjadi
ketika tonus vasomotor tinggi, sebagai contoh selama paparan
terhadap suhu dingin atau ketika pembuluh darah terkompresi oleh
genggaman tangan, dan menjelaskan hilang-timbulnya (intermitensi)
episode iskemik, yang disebut fenomena Raynaud akibat blokade
organik permanen. Namun karena perubahan struktural melibatkan
arteri dari jari-jari yang berbeda, iskemik jarang terjadi secara
simetris (Birnstingl, 1971).
Efek denervasi simpatis
Aliran darah di tangan awalnya meningkat disebabkan hilangnya
aktivitas vasokonstriktor pusat. Puncak aliran terjadi sekitar dua hari
setellah simpatektomi, dengan peningkatan aliran darah sebanyak
lima hingga 12 kali. Hal ini diikuti dengan reduksi aliran darah secara
bertahap hingga beberapa minggu, aliran darah yang tersisa berada
di tingkat preoperatif (Barcroft, 1952 dalam Birnstingl, 1971).
Menurunnya
aliran
terjadi
bila
seksio
preganglionik
ataupun
postganglionik telah dilakukan dan disebabkan karena penyembuhan
tonus intrinsik otot dinding pembuluh darah. Ketika simpatektomi
selesai, refleks pemanasan maupun pendinginan tubuh tidak
menimbulkan efek terhadap laju aliran darah di tangan. Meskipun
begitu, setelah satu atau dua tahun, respon vasokonstriktor kembali
untuk mendinginkan tangan, yang muncul kembali sebagai sifat
arteriol digiti itu sendiri (Birnstingl, 1971).
8
2.2 Raynaud’s Syndrome
2.2.1 Definisi
Raynaud’s phenomenon dicirikan oleh adanya iskemia digital
episodik,
yang
secara
klinis
dimanifestasikan
oleh
adanya
perkembangan berurutan dari digitalis yang memucat, cyanosis, dan
rubor pada jari-jari tangan dan kaki setelah adanya paparan dingin
dan
diikuti
oleh
rewarming.
Stres
emosional
juga
dapat
menyebabkan Raynaud’s phenomenon. Perubahan warna yang
terjadi biasanya berbatas tegas dan hanya terbatas pada jari-jari
tangan dan kaki. Biasanya satu atau lebih digiti akan tampak putih
ketika pasien terpapar lingkungan dingin atau menyentuh objek
dingin. Blanching (pucat), atau pallor, menunjukkan fase iskemik dari
fenomena dan merupakan hasil dari vasospasme arteri digitalis.
Selama fase iskemik, kapiler dan venule berdilatasi, dan sianosis
yang berasal dari deoxygenated blood tampak pada pembuluhpembuluh darah ini. Sensasi dingin atau mati rasa atau paresthesia
dari digiti sering terjadi pada fase pallor dan sianosis (Creager,
2008).
Dengan adanya rewarming, vasospasme digitalis berakhir,
dan darah yang mengalir ke arteriol dan kapiler yang berdilatasi akan
meningkat. “Reactive hyperemia” ini menyebabkan warna merah
cerah pada digiti. Selain rubor dan hangat, pasien juga mengalami
sensasi nyeri, throbbing selama fase hiperemik. Meskipun respons
warna trifasik khas pada Raynaud’s phenomenon, beberapa pasien
mungkin hanya mengeluhkan pallor dan sianosis; yang lain mungkin
hanya mengalami sianosis saja (Creager, 2008).
2.2.2 Klasifikasi
9
Raynaud’s phenomenon secara luas dibagi menjadi dua
kategori: yang pertama adalah jenis idiopatik, disebut Raynaud’s
disease, dan yang kedua adalah jenis sekunder (Raynaud’s
syndrome), yang berhubungan dengan penyakit lain atau penyebab
vasospasme yang telah diketahui (Creager, 2008).
Gambar 2.1. Klasifikasi Raynaud’s phenomenon (Creager, 2008)
2.2.3 Etiologi
Lebih dari 50% pasien dengan Raynaud’s phenomenon
memiliki Raynaud’s disease. Raynaud’s disease lebih sering terjadi
pada wanita dibandingkan pada pria, dan biasanya berusia antara 20
sampai 40 tahun. Jari-jari tangan lebih sering terkena dibandingkan
jari-jari kaki (Creager, 2008).
Pada
Raynaud’s
phenomenon
sekunder,
Raynaud’s
phenomenon terjadi pada 80-90% pasien dengan sistemik sklerosis
(skleroderma).
Hal
ini
dapat
menjadi
satu-satunya
gejala
skleroderma selama bertahun-tahun. Pada kelainan ini, abnormalitas
pada pembuluh darah digitalis memegang peranan penting. Ischemic
fingertip ulcer dapat berkembang dan mengarah ke gangren dan
10
autoamputasi.
Sekitar
20%
pasien
dengan
systemic
lupus
erythematosus (SLE) memiliki Raynaud’s phenomenon. Kadangkadang,
iskemia
digitalis
persisten
dapat
berkembang
dan
menyebabkan ulkus atau gangrene. Pada kebanyakan kasus yang
berat, pembuluh-pembuluh darah kecil tersumbat oleh endarteritis
proliferatif. Raynaud’s phenomenon terjadi sekitar 30% pada pasien
dengan dermatomyositis atau polymyositis (Creager, 2008).
Aterosklerosis
pada
ekstremitas
merupakan
penyebab
Raynaud’s phenomenon yang sering pada pria >50 tahun.
Thromboangiitis obliterans seharusnya dipertimbangkan sebagai
penyebab Raynaud’s phenomenon pada pria muda, terutama
perokok. Kadang-kadang, Raynaud’s phenomenon juga dapat
mengikuti oklusi akut arteri sedang dan besar oleh adanya trombus
atau embolus. Pada pasien dengan thoracic outlet compression
syndrome, Raynaud’s phenomenon dapat timbul sebagai akibat
penurunan tekanan intravaskular, stimulasi serat simpatetik pleksus
brakialis, atau kombinasi keduanya. Raynaud’s phenomenon juga
berhubungan dengan berbagai dyscrasia darah dan hipertensi
pulmonary primer (Creager, 2008).
11
Gambar 2.2. Etiologi Raynaud’s phenomenon (Sharathkumar, 2011)
2.2.4 Patofisiologi
Pada individu dengan Raynaud phenomenon,salah satu atau
lebih dari bagian tubuh mengalami vasospasme yang sering dengan
disertai perubahan warna pada kulit. Pasien sering mendeskripsikan
dalam tiga tahap yang dimulai dari vasokonstriksi, diikuti cyanosis,
dan kemerahan (rapid blood reflow).
Pada Raynaud phenomenon primer dihubungkan dengan
perubahan fungsional. Sebaliknya, pada Raynaud phenomenon
sekunder terjadi kelainan struktural pada mikrovaskular.Patogenesis
dibagi tiga mekanisme vaskular, neural dan kelainan intravaskular
1. Kelainan Vaskular
Defisiensi mediator vasodilator termasuk nitrit oxide,telah
berpengaruh pada patogenesis Raynaud phenomenon,selain
itu endothelin-1, yang merupakan suatu vasokonstriktor yang
12
poten ditemukan dalam endotelium, didapatkan pada sirkulasi
dengan kadar yang tinggi pada pasien dengan Raynaud
phenomenon sekunder. Pelepasan endothelin-1 memicu
rangsang vasoaktiv termasuk angiotensin,vasopresin, TGFbeta.
Angiotensin
profibrotik.
mempunyai
Pada
pasien
efek
vasokonstriktiv
dengan
sklerotik
dan
sistemik,
abnormalitas struktural dihubungkan dengan proliferasi fibrotik
vaskular yang mengakibatkan penurunan aliran darah menuju
digiti. (Heather Hansen,2014)
2. Kelainan Neural
Gangguan vasodilatasi dapat terjadi pada Raynaud
phenomenon. Neuropeptide,kalsitonin gen-related peptide,
merupakan vasodilator poten yang disekresikan oleh saraf
yang mempersarafi pembuluh darah. Jumlah kalsitonin gen
related yang berkurang ditemukan dalam biopsi pasien
dengan Raynaud primer maupun sklerosis sistemik. Pada
pasien dengan Raynaud phenomenon sekunder ditemukan
peningkatan
kadar
neuropeptide
Y.
Neuropeptide
Y
merupakan vasokonstriktor poten.
2.2.5 Diagnosa Klinis

Gejala.
Raynaud’s
phenomenon
muncul
ketika
terjadi
pendinginan pada tangan atau kadang oleh emosi. Terjadi
mati rasa dan tingling pada jari-jari, yang menjadi putih lilin
atau sedikit sianosis. Saat episode ini hilang, yang sering
dipercepat dengan menggosok atau menggoyangkan jari, jarijari ini menjadi lebih sianosis dan pada tahap ini terasa nyeri.
Raynaud’s disease terjadi 10 kali lebih umum pada wanita dan
simetris, serta tidak mengenai ibu jari (Birnstingl, 1971).
13

Lesi Trophic. Adanya ulserasi terminal atau patch dari dry
pulp necrosis pada jari mengindikasikan iskemia lokal berat
dan merupakan bukti adanya kehilangan struktural dari
feeding artery (Birnstingl, 1971).

Riwayat. Pada Raynaud’s disease, pasien biasanya wanita
muda yang mengeluhkan dingin pada jari-jari, yang bertambah
berat antara 18 dan 25. Onset lanjut menunjukkan adanya
penyakit kolagen (Birnstingl, 1971).

Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan pada wajah pasien dapat
membantu dalam eksklusi scleroderma sistemik, dengan
mulut kecil dan rapat, serta kulit wajah dan leher yang tidak
elastis dan sedikit edematous. Warna kulit perlu dinilai, dan
tangan dielevasikan ke atas kepala pasien untuk melihat
apakah terjadi perubahan warna postural: pada tangan yang
iskemik karena obstruksi arteri subklavikula, akan tampak
pucat (Birnstingl, 1971).

Radiologi. Foto polos X-ray pada tangan dapat membantu
menyingkirkan diagnosa rheumatoid arthritis. Pada Raynaud’s
disease, arteri digitalis paten dan akan tampak normal pada
arteriography. Pada kelainan kolagen, arteriography tidak
begitu berguna untuk diagnosis awal, meskipun pasien
dengan
skleroderma
sistemik
mudah
menunjukkan
vasospasme, pembuluh-pembuluh darah akan berkontraksi
menjadi benang halus selama pemeriksaan (Birnstingl, 1971).

Tes Laboratorium. Hemoglobin, WBC (White Blood Cell) dan
platelet
count,
pemeriksaan
hapusan
darah
dan
ESR
(Erythrocyte Sedimentation Rate) harus terus dipantau.
Peningkatan sedang dari ESR umum terjadi pada kelainan
kolagen, sementara sedimentasi yang sangat cepat dapat
mengindikasikan adanya haemagglutination (Birnstingl, 1971).
14
2.2.6 Manajemen
1. Terapi suportif
Perubahan gaya hidup efektif dapat membantu pada
pasien dengan penyakit ringan. Menghentikan kebiasaan
merokok,
menghentikan
penggunaan
obat-obatan
yang
berhubungan dengan RP (Raynaud’s phenomenon), maupun
merubah pekerjaan juga dapat membantu. Pil kontraseptif
seharusnya dihentikan bila diketahui ada hubungan dengan
perkembangan RP (Belch, 1996).
Ketakutan terhadap penyakit juga dapat memperburuk
gejala dan penghiburan kadang diperlukan. Saran untuk
mempertahankan kehangatan dan proteksi dari dingin sangat
penting, antara lain dapat dengan menggunakan sarung
tangan dan kaos kaki penghangat (electrically heated gloves
and socks) (Belch, 1996).
Perawatan luka yang baik pada ulcer digitalis juga
harus dilakukan. Jika ada ulkus yang lembab, harus dilakukan
swab dan dikirim untuk pemeriksaan kultur (Belch, 1996).
2. Simpatektomi
Simpatektomi operatif pada ekstremitas atas memiliki
relapse rate yang tinggi dan respons yang buruk pada RS
(Raynaud’s Syndrome). Karena itu, terapi ini tidak lagi
direkomendasikan untuk RP (Raynaud’s phenomenon) pada
ekstremitas atas. Di sisi lain, simpatektomi masih memainkan
peran penting pada terapi RP yang mengenai ekstremitas
bawah di mana hasilnya dapat menguntungkan (Belch, 1996).
3. Terapi Obat
Penggunaan
vasodilator
pada
RP
(Raynaud’s
phenomenon) masih kontroversial karena banyak studi yang
menunjukkan tidak terkontrol. Tetapi, masih ada beberapa
15
senyawa yang dapat memberikan keuntungan, antara lain
inositol, nicotinate, naftidrofuryl, dan oxpentifylline, yang
efeknya baru akan tampak setelah 2 sampai 3 bulan terapi.
Pada
pasien
yang
lebih
berat,
pengobatan
ini
tidak
memberikan keuntungan (Belch, 1996).
Banyak studi yang telah dilakukan untuk mempelajari
penggunaan calcium channel antagonist pada RP dan
nifedipine sekarang telah menjadi gold standard terapi
Raynaud’s. Meskipun demikian, penggunaannya dibatasi oleh
efek samping vasodilator yang susceptible pada pasien RP.
Hal ini meliputi kemerahan pada wajah, palpitasi, sakit kepala
dan,
pada
jangka
panjang,
ankle
swelling.
Jika
pengobatannya perlu dihentikan karena efek samping ini,
calcium antagonist lain seperti diltiazem dan amilodipine dapat
dicoba (Belch, 1996).
Salah satu pendekatan yang paling efektif pada RS
(Raynaud’s Syndrome) yang berhubungan dengan sklerosis
sistemik adalah pengembangan terapi prostaglandin, yaitu
dengan PGE1 dan PGI2. Iloprost adalah analog PGI2 yang
memberikan keuntungan pada terapi RP, di mana iloprost
lebih stabil dibandingkan PGE1 dan PGI2 (Belch, 1996).
16
Gambar
2.3.
Flow
chart
management
Raynaud’s
phenomenon (Belch, 1996)
2.3 Terapi Oksigen Hiperbarik
2.3.1 Pengertian
Kesehatan hiperbarik adalah ilmu yang mempelajari tentang
masalah-masalah kesehatan yang timbul akibat pemberian tekanan
lebih dari 1 atmosfer (Atm) terhadap tubuh dan aplikasinya untuk
pengobatan, dimana Pemberian oksigen tekanan tinggi untuk
pengobatan yang dilaksanakan dalam ruang udara bertekanan tinggi
(RUBT) (Riyadi, 2013).
Terdapat 3 hukum yang berperan dalam terapi oksigen
hiperbarik, yaitu :
1. Hukum Boyle
Pada suhu tetap, tekanan berbanding terbalik dengan volume.
2. Hukum Henry
17
Jumlah gas terlarut dalam cairan atau jaringan sebanding dengan
tekanan parsial gas tersebut dalam cairan atau jaringan.
3. Hukum Dalton
Tekanan total suatu campuran gas adalah sama dengan jumlah
tekanan parsial dari masing – masing bagian gas.
Tergantung dari fisiologi dan patofisiologi tiap individu, efek
oksigen bertekanan tinggi dapat bervariasi, yaitu : supresi produksi
α-toxin
pada
gas
gangrene,
peningkatan
aktivitas
leukosit,
penurunan perlekatan sel putih pada dinding kapiler, vasokonstriksi
pada pembuluh darah normal, perbaikan pertumbuhan fibroblas dan
produksi kolagen, stimulasi produksi enzim peroksida dismutase,
penyimpanan ATP pada membran sel dengan reduksi pada edema
sekunder, supresi respon imun tertentu, peningkatan aktivitas
osteoklas,
peningkatan
proliferasi
kapiler,
dan
sebagainya
(Baromedical, 2014).
2.3.2 Manfaat terapi
-
Meningkatkan
konsentrasi
oksigen
pada
seluruh
jaringan tubuh, bahkan pada aliran darah yang
berkurang
-
Merangsang pertumbuhan pembuluh darah baru untuk
meningkatkan
aliran
darah
pada
sirkulasi
yang
berkurang
-
Mampu membunuh bakteri, terutama bakteri anaerob
seperti Closteridium perfingens (penyebab penyakit gas
gangren)
-
Mampu menghentikan aktivitas bakteri (bakteriostatik)
antara lain bakteri E. coli dan Pseudomonassp. yang
umumnya ditemukan pada luka-luka mengganas.
-
Mampu menghambat produksi racun alfa toksin.
18
-
Meningkatkan viabilitas sel atau kemampuan sel untuk
bertahan hidup.
-
Menurunkan waktu paruh karboksihemoglobin dari 5
jam menjadi 20 menit pada penyakit keracunan gas CO
-
Dapat
mempercepat
proses
penyembuhan
pada
pengobatan medis konvensional
-
Meningkatkan produksi antioksidan tubuh tertentu
-
Memperbaiki fungsi ereksi pada pria penderita diabetes
(laporan para ahli hiperbarik di Amerika Serikat pada
tahun 1960)
-
Meningkatkan sensitivitas sel terhadap radiasi
-
Menahan proses penuaan dengan cara pembentukan
kolagen yang menjaga elastisitas kulit
-
Badan menjadi lebih segar, badan tidak mudah lelah,
gairah hidup meningkat, tidur lebih enak dan pulas
Dengan berbagai mekanisme tersebut, terapi hiperbarik dapat
digunakan sebagai terapi kondisi akut hingga penyakit degeneratif
kronis seperti arteriosklerosis, stroke, penyakit pembuluh darah
perifer, ulkus diabetik, cerebral palsy, trauma otak, multiple sclerosis,
dsb (Riyadi, 2013).
2.3.3 Indikasi terapi
Kelainan atau penyakut yang merupakan indikasi terapi oksigen
hiperbarik diklasifikasikan menurut kategorisasi yang dibuat oleh The
Committee of Hyperbaric Oxygenation of the Undersea and
Hyperbaric Medical Society ialah sebagai berikut (Riyadi, 2013) :
● Emboli
● Keracunan gas CO dan asap rokok
● Clostridial myonecrosis (gas gangrene)
● Trauma
● Dekompresi
● Anemia karena kehilangan darah
19
● Necrotizing soft tissue infections (or subcutaneous tissue,
muscle or fascia)
● Osteomyelitis
● Compromised skin grafts and flaps
● Luka bakar
1.1.4. Kontraindikasi terapi
a. Absolut
: Pneumothorax yang belum dirawat
b. Relatif
:
• ISPA
Menyulitkan
ekualisasi.
penderita
Dapat
ditolong
untuk
dengan
melaksanakan
penggunaan
dekongestan atau melakukan miringotomi bilateral
• Sinusitis kronis
Sama dengan ISPA dapat diberikan dekongestan
atau dilakukan miringotomi bilateral.
• Penyakit kejang
Menyebabkan penderita lebih mudah terserang
konvulsi oksigen. Bilamana perlu penderita dapat
diberikan anti-konvulsan sebelumnya.
• Emfisema dengan retensi CO2
Ada kemungkinan bahwa penambahan oksigen
lebih dari normal akan menyebabkan penderita secara
spontan
berhenti
bernafas
akibat
rangsangan
hipoksik. Pada penderita dengan penyakit paru yang
disertai retensi CO2, terapi oksigen hiperbarik dapat
dikerjakan bila penderita diintubasi atau memakai
ventilator.
• Panas tinggi yang tidak terkontrol
Merupakan
predisposisi
terjadinya
konvulsi
oksigen. Kemungkinan ini dapat diperkecil dengan
20
pemberian
obat
antipiretik
juga
dapat
dengan
pemberian anti konvulsan.
• Riwayat penumothorax spontan
Penderita yang mengalami pneumothorax spontan
dalam RUBT tunggal akan menimbulkan masalah
tetapi di dalam RUBT kamar ganda dapat dilakukan
pertolongan-pertolongan yang memadai. Sebab itu
bagi
penderita
yang
mempunyai
riwayat
pneumothorax spontan harus dilakukan persiapanpersiapan untuk mengatasi hal tersebut.
• Riwayat operasi dada
Menyebabkan terjadinya luka dengan air trapping
yang timbul saat dekompresi. Setiap operasi dada
harus diteliti kasus demi kasus untuk menentukan
langkah-langkah yang harus diambil. Tetapi jelas
dekompresi harus dilakukan secara lambat.
• Riwayat operasi telinga
Operasi pada telinga dengan penempatan kawat
atau topangan plastik di dalam telinga setelah
stapedoktomi,
mungkin
suatu
kontraindikasi
pemakaian oksigen hiperbarik sebab perubahan
tekanan dapat mengganggu implan terseut konsultasi
dengan spesialis THT perlu dilakukan.
• Kerusakan paru asimptomatis yang nampak secara
radiologis
Memerlukan
proses dekompresi yang sangat
lambat. Menurut pengalaman, waktu dekompresi
antara 5-10 menit tidak menimbulkan masalah
• Infeksi virus
Pada percobaan binatang ditemukan bahwa infeksi
virus akan lebih hebat bila binatang tersebut diberi
oksigen hiperbarik. Dengan alasan ini dianjurkan agar
21
penderita yang terkena salesma (common cold)
menunda pengobatan dengan oksigen hiperbarik
sampai
gejala
akut
menghilang
apabila
tidak
memerlukan pengobaran sehera dengan oksigen
hiperbarik
• Spherosis kongenital
Pada keadaan ini butir-butir eritrosit sangat fragil
dan pemberian oksigen hiperbarik dapat diikuti
dengan
hemolisis
yang
berat.
Bila
memang
pengobatan hiperbarik mutlak diperlukan, keadaan ini
tidak
boleh
jadi
dipersiapkan
penghalang
langkah-langkah
sehingga
yang
perlu
harus
untuk
mengatasi komplikasi yang mungkin timbul.
• Riwayat neuritis optik
Pada beberapa penderita dengan riwayat neuritis
optik terjadinya kebutaan dihubungkan dengan terapi
oksigen hiperbarik. Namun kasus yang terjadi sangat
sedikit. Tetapi jika ada penderita dengan riwayat
neuritis
optik
penglihatan
diperkirakan
yang
mengalami
berhubungan
gangguan
dengan
retina,
bagaimanapun kecilnya pemberian oksigen hiperbarik
harus segera dihentikan dan perlu konsultasi dengan
ahli mata.
2.3.5 Komplikasi terapi
Ketika digunakan dalam protokol standar tekanan yang tidak
melebihi 3 ATA ( 300 kPa ) dan durasi pengobatan kurang dari 120
menit , terapi oksigen hiperbarik aman. Efek samping yang paling
umum adalah:
• Barotrauma telinga
Sebagai
akibat
dari
ketidakmampuan
untuk
menyamakan tekanan di kedua sisi membran timpani
22
akibat tuba eustachius tertutup. Barotrauma telinga tengah
dan sinus dapat dicegah dengan teknik ekuilisasi, dan
otitis media dapat dicegah dengan pseudoephidrine.
Barotrauma telinga dalam
sangat jarang, tapi jika
membran timpani ruptur dapat menyebabkan gangguan
pendengaran permanen, tinnitus dan vertigo.
•
Barotrauma paru
Pneumotoraks dan emboli udara lebih berbahaya
pada terapi ini. komplikasi akibat robek di pembuluh darah
paru karena perubahan tekanan tapi jarang terjadi.
•
Barotrauma dental
Menyebabkan nyeri pada gigi yang berlubang
akibat penekanan saraf.
•
Toksisitas oksigen
Toksisitas oksigen dapat dicegah dengan bernafas
selama lima menit udara biasa di ruang udara bertekanan
tinggi
untuk
setiap
30
menit
oksigen
.
Hal
ini
memungkinkan antioksidan untuk menetralisir radikal
oksigen bebas yang terbentuk selama terapi.
•
Gangguan neurologis
Meningkatkan potensi terjadinya kejang akibat
tingginya kadar O2.
•
Fibroplasia retrolental
Tekanan parsial oksigen yang tinggi nerhubungan
dengan penutupan patent ductus arteriosus sehingga
pada bati prematur secara teori dapat terjadi fibroplasia
retrolental.
•
Katarak
Komplikasi ini jarang terjadi. Menyebabkan
pandangan berkabut.
•
Transient-miopia reversibel
23
Meskipun jarang namun dapat terjadi setelah terapi HBO
berkepanjangan yang menyebabkan perubahan bentuk/deformitas
dari lensa (Riyadi, 2013).
2.4
Hubungan
Terapi
Oksigen
Hiperbarik
dengan
Raynaud’s
Syndrome
Raynaud’s syndrome adalah gangguan sirkulasi darah di jari
tangan dan kaki (kadang juga pada telinga dan hidung meskipun
kurang umum). Hal ini menyebabkan kolaps pada arteri kecil akibat
terpapar oleh suhu yang dingin, stress emosional, atau agen-agen
vasokonstriktif seperti obat atau merokok (www.baromedical.ca,
2014).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Copeman dan
Ashfield, dengan pemberian HBOT Raynaud’s syndrome dirasa
membaik dan hasilnya, yakni peningkatan kehangatan dan sirkulasi
jaringan bertahan lebih lama (Copemand 1967, Ashfield 1969).
Manfaat HBOT terhadap Raynaud’s syndrome antara lain adalah
meningkatkan sirkulasi lokal, oksigenasi dan metabolism sel,
meningkatkan kontrol saraf pembuluh darah (mekanisme tidak
diketahui) sehingga serangan menjadi kurang sering, meningkatkan
toleransi suhu dingin dan serangan Raynaud, mengurangi mati rasa
dan kesemutan, mengurangi kemungkinan thrombosis dengan
mengurangi kekentalan darah, mengurangi efek iskemia (aliran
darah
rendah)
dengan
meningkatkan
transportasi
oksigen,
mengurangi kejadian ulkus atau gangrene (www.baromedical.ca,
2014).
Pada tekanan yang lebih besar dari normal, tubuh mampu
memasukkan oksigen lebih ke dalam sel darah, plasma darah, cairan
serebrospinal dan cairan tubuh lainnya. Peningkatan absorbsi
24
oksigen secara signifikan membantu kemampuan tubuh untuk
penyembuhannya sendiri (www.hyperbaricmedicalcenter.com. 2012).
Komponen paling penting HBOT adalah meningkatkan jumlah
oksigen terlarut dalam plasma dan jaringan. Menempatkan pasien di
ruang hiperbarik tidak memiliki efek fisiologis lain yang dikenal.
Namun, ada beberapa reaksi tubuh terhadap peningkatan oksigen,
dan efek dari oksigen tekanan tinggi mirip dengan efek obat tertentu
(misalnya, dapat memblok peroksidasi lipid atau menyebabkan
neovaskularisasi) (Kindwall, 1992).
Ketika ada restriksi (oklusi) dalam aliran darah karena operasi,
penyakit, atau cedera, sel-sel darah merah memblokir pembuluh
darah dan tidak dapat mentransfer oksigen ke sel-sel di sisi lain dari
oklusi. Hal ini menyebabkan pembengkakan dan kekurangan
oksige
n,
menye
babkan
hipoksi
a
dan
jaringa
n akan
mulai
rusak.
G
a
mbar 2.4. Aliran darah yang terhambat oleh restriksi
(www.hyperbaricmedicalcenter.com, 2012).
25
Menghirup oksigen 100% di bawah tekanan menyebabkan
oksigen untuk berdifusi ke dalam plasma darah. Plasma kaya
oksigen
ini
mampu
perjalanan
melewati
daerah
restriksi,
menyebarkan oksigen hingga 4 kali lebih jauh ke dalam jaringan.
Lingkungan bertekanan membantu mengurangi pembengkakan dan
ketidaknyamanan, sambil memberikan tubuh dengan setidaknya 10
kali pasokan normal oksigen untuk membantu memperbaiki jaringan
yang rusak akibat oklusi asli atau kondisi hipoksia berikutnya
(www.hyperbaricmedicalcenter, 2012).
Gambar 2.5. Oksigenasi hiperbarik di dalam aliran darah
HBOT juga memediasi peningkatan nitrit okside (NO) (Boykin,
Baylis 2007). NO menyebabkan efek vasodilatasi langsung maupun
tidak langsung dengan cara menghambat agen vasokonstriktor
seperti angiotensin II (www.cvphysiology.com, 2008). Sehingga
diameter pembuluh darah akan lebih besar.
26
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Terapi oksigen hiperbarik dapat dimanfaatkan sebagai salah
satu pilihan terapi dari Raynaud’s syndrome. Manfaatnya antara lain
adalah meningkatkan sirkulasi lokal, oksigenasi dan metabolisme
sel, meningkatkan kontrol saraf dan pembuluh darah sehingga
mengurangi serangan, meningkatkan toleransi suhu dingin dan
serangan
Raynaud,
mengurangi
mati
rasa
dan
kesemutan,
mengurangi kemungkinan trombosis dengan mengurangi kekentalan
darah, mengurangi efek iskemia (aliran darah rendah) dengan
meningkatkan transportasi oksigen, serta mengurangi kejadian ulkus
maupun gangren.
3.2 Saran
Bagi penderita Raynaud’s syndrome, sebaiknya:
1. Selalu melindungi kedua tangan dan kaki pada cuaca dingin.
Syal, topi, pakaian berlapis dapat dipakai untuk menjaga
kehangatan wajah dan suhu tubuh.
2. Menghentikan kebiasaan merokok.
3. Makan dan minum dapat membantu menjaga kehangatan
tubuh. Cobalah untuk mengkonsumsi makanan-makanan
ringan untuk mempertahankan energi. Makanan dan minuman
hangat juga sangat penting, terutama pada cuaca dingin.
4. Latihan ringan akan dapat membantu sirkulasi tetapi jangan
sampai jari-jari tangan dan kaki kedinginan. Pada cuaca
dingin, lakukan latihan indoor.
27
Daftar Pustaka
Baromedical.ca/medical/dermatology/raynauds-disease/Birnstingl
Postgraduate Medical Journal (May 1971) 47,293-310
Creager MA. Peripheral arteries,In : ACP medicine.Section
I.Cardiovascular Medicine.Hamilton:BC Dekker,2008
Ferris’s Clinical Advisor 2014
Heather Hansen,MD,http://emedicine.medscape.com/article/331197overview#a3
Riyadi, Buku ajar Ilmu Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik,2013
Sharathkumar and Castillo-Caro Pediatric Rheumatology 2011, 9:16
28
Download