milik ukdw - SInTA UKDW

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Apa yang ada dalam benak kita ketika memperbincangkan perihal gereja? Dahulu ada
satu lagu sekolah minggu berjudul “Gereja” yang sering saya nyanyikan –ketika masih menjadi
murid sekolah minggu–. Bunyi syair lagu gereja itu seperti ini:
aku gereja, kau pun gereja, kita sama-sama gereja.
dan pengikut Kristus di seluruh dunia, kita sama-sama gereja.
Gereja bukanlah gedungnya, dan bukan pula menaranya.
W
bukalah pintunya, lihat di dalamnya. Gereja adalah orangnya.
Tampak sekilas tersurat maksud arti gereja dalam lagu ini. Gereja adalah orang atau orang-orang
KD
pengikut Kristus. Tetapi apakah makna gereja sebagaimana yang dimaksud oleh lagu tersebut
sudah benar dan jelas bagi kita? Menurut Christiaan de Jonge:
IK
U
Tak sedikit orang Kristen yang masih memahami gereja sebagai tempat (gedung ibadah
dengan segala perlengkapannya). Ada pula yang memahami gereja sebagai tak lebih dari
sekedar lembaga atau organisasi sosial (sehingga lebih mengutamakan aspek
kelembagaannya). Sementara itu, ada pula yang lebih mengutamakan aspek kerohanian
atau batiniahnya, yakni gereja sebagai persekutuan atau paguyuban orang yang beriman
kepada Kristus, tanpa terlalu mempedulikan kelembagaan dan tata tertib organisasinya.1
Aspek lain dari gereja, khususnya dalam perspektif teologi sistematis, dapat dilihat dan
M
IL
dimengerti dalam beberapa segi:
Segi pertama dapat disebut segi obyektif. Gereja dilihat sebagai tempat di mana manusia
bertemu dengan keselamatan yang diberikan Allah kepadanya dalam Yesus Kristus.
Gereja adalah suatu lembaga atau institusi yang mengantar keselamatan ini kepada
manusia. Orang-orang percaya menjadi anggota gereja untuk mendengar mengenai
keselamatan Allah dan menerima bagian di dalamnya. Orang percaya datang ke gereja
untuk mendengarkan Firman yang disampaikan dalam khotbah atau ajaran dan untuk
menerima sakramen-sakramen yang dilayankan.
Segi kedua dapat disebut segi subyektif. Selain sebagai lembaga yang mengantar
keselamatan, gereja adalah juga persekutuan orang-orang percaya yang ingin beribadah
kepada Allah. Gereja tidak hanya tempat dimana manusia mendengar dan menerima,
tetapi juga tempat dimana manusia menjawab dan memberi. Demikian gereja adalah juga
ungkapan iman orang-orang percaya, suatu persekutuan yang dibentuk manusia untuk
bersama-sama bertumbuh dalam iman dan untuk menyebarkan Injil Yesus Kristus
dimana-mana, supaya bangsa Allah di dunia ini semakin besar.
Segi ketiga dapat disebut segi apostoler atau segi ekstravert. Gereja tidak hanya
merupakan jembatan antara Allah dan orang percaya, tetapi juga jembatan antara Allah
1
Christiaan de Jonge, Apa dan Bagaimana Gereja, cetakan ke-4, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1997, hal.v-vi
1 dan dunia. Gereja adalah persekutuan orang percaya yang diutus untuk mengantar
keselamatan Allah kepada seluruh dunia. Demikianlah gereja merupakan buah sulung
panen ilahi, ciptaan baru.2
Jika pada kenyataan ada begitu banyak pemahaman dan ragam aspek yang muncul atas satu
definisi kata ‘gereja’, tentu muncul pertanyaan berikut: apa gereja itu sesungguhnya?
Secara historis melalui penelusuran etimologis-sintaksis, kita bisa mengetahui bahwa
kata gereja dalam bahasa Indonesia, mengadopsi kata “igreja dalam bahasa Portugis”.3
Penelusuran lebih lanjut menunjukkan, kata igreja itu sendiri mengadopsi pemahaman yang
selaras dengan kata ekklesia dalam bahasa Yunani. Ekklesia terdiri atas dua unsur suku kata; ek
yang berarti “keluar”4, dan kaleo yang artinya “memanggil”5. Secara harafiah ekklesia tentu
dapat diartikan sebagai ‘yang dipanggil keluar’. Berarti gereja dapat dimengerti sebagai ‘yang
W
dipanggil keluar’
Thomas van den End meletakkan arti kata ekklesia dalam definisi pengertian “mereka
KD
yang dipanggil”.6 Thomas van den End menjelaskan: “yang pertama dipanggil oleh Kristus ialah
para murid, Petrus dan yang lain. Sesudah kenaikan Tuhan Yesus ke Surga dan pencurahan Roh
Kudus pada hari Pentakosta, para murid itu menjadi ‘rasul’, artinya: ‘mereka yang diutus’.
U
Rasul-rasul diutus ke dalam dunia untuk mengabarkan berita kesukaan, sehingga lahirlah gereja
Kristen.7 Selain kata ekklesia –masih menurut Thomas van den End–, “dalam bahasa Yunani ada
satu kata lain yang berarti ‘gereja’, yaitu kuriakon ‘(rumah) Tuhan’. Inggris church dan Belanda
IK
kerk berasal dari kata Yunani itu”.8
Dalam pandangan Chris Hartono, dasar argumentasi yang menampilkan perbedaan
M
IL
penggunaan istilah ekklesia dan kuriakon sebagaimana disampaikan Thomas van den End. Pada
dasarnya merupakan hal yang terhubung atas ‘tiga peristiwa dalam satu rumah’. Untuk
menghubungkan pengertian istilah ekklesia dan kuriakon, maka pengertian itu sebaiknya
ditempatkan pada tiga peristiwa besar dan penting yang ada dalam kesaksian Injil. Ketiga
peristiwa tersebut adalah:
Pertama, perjamuan malam (Markus 14:12-26) ; kedua, penampakan Yesus setelah
kebangkitanNya kepada para murid-Nya (Yohanes 20:14-29) ; dan ketiga, turunnya Roh
Kudus (Kisah Para Rasul 2). Berkenaan dengan ketiga peristiwa dimaksud, yang menjadi
pertanyaan adalah: apakah ketiga peristiwa itu berlangsung di sebuah rumah yang sama?
Menurut para ahli, ketiganya berlangsung di sebuah rumah yang sama (lihat John Foster,
2
Christiaan de Jonge, Apa dan Bagaimana Gereja,…Ibid. hal.5
H. Berkhof & I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, cetakan ke-24, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2009, hal.376
4
Alexander Souter, A Pocket Lexicon to the Greek New Testament, London, Oxford University Press, 1916. hal.74
5
Alexander Souter, A Pocket Lexicon to the Greek New Testament,…Ibid, hal.123
6
Thomas van den End, Harta Dalam Bejana: Sejarah Gereja Ringkas, cetakan ke-17, Jakarta, BPK Gunung Mulia,
2004, hal.1
7
Thomas van den End, Harta Dalam Bejana:…Ibid, hal.1-2
8
Thomas van den End, Harta Dalam Bejana:…Ibid, hal.1
3
2 Church History I AD 29-500: The First Advance, London SPCK, 1972, p.19). Yaitu di
rumah ibu Markus (bdk Markus 14:51). Bila benar demikian, maka rumah itu berarti
adalah rumah tinggal keluarga. Rumah ini digunakan oleh Gereja Perdana untuk
melakukan persekutuannya (ibadahnya). Itu berarti bahwa rumah ini merupakan tempat
berlangsungnya persekutuan (ibadah) yang pertama kali dari Gereja Perdana. Dengan
demikian, maka inilah Jemaat Rumah yang pertama kali dalam Sejarah Gereja.9
Pengutusan para rasul dan terbentuknya jemaat mula-mula, dalam tradisi kepercayaan Kristen
kemudian diletakkan secara khusus sebagai momentum awal lahirnya gereja.
Dalam perkembangan lebih lanjut, gereja yang semula dimengerti sebagai persekutuan
yang utuh, satu, dan diutus, dalam pemaknaan perutusannya memperluas dirinya. Perkembangan
dan penyebaran gereja yang memaknai perutusan ini dikemudian hari membentuk berbagai
satuan-satuan organis dan historis tersendiri yang mandiri.
W
Satuan-satuan gereja sebagai organ mandiri, pada kenyatannya menambahkan identitas
lokal sebagai sebuah kebutuhan praktis atas kontekstualisasi dirinya –tetapi dengan tetap
KD
mempertahankan paham pengajaran dalam garis tradisi dan tata kelola organisasinya–. Lihat saja
misalnya, kita mengenal ada istilah gereja Barat dengan aliran tradisi yang merujuk dan berpusat
pada gereja Katolik di Roma sebagai sumber asal tradisinya. Ada pula gereja Ortodoks yang
U
merujuk pada aliran tradisional gereja di Timur sebagai asal tradisi dan induk organisasinya.
Selain gereja Katolik Roma dan Ortodoks Timur, ada lagi gereja yang membentuk identitas diri
IK
berdasarkan garis tradisi reformasi. Perkembangan gereja aliran reformasi di Indonesia dapat
ditemukan dalam wujud identitas lokal semacam Huria Kristen Batak Protestan –tradisi
M
IL
Lutheran–, Gereja Kristen Indonesia atau Gereja Kristen Jawa –Tradisi Calvinis–, atau Gereja
Kristen Mennonite Indonesia –tradisi Mennonite–.
Pada tahun 1981, salah satu identitas gereja yang berada dalam lingkup Sinode Gereja
Kristen Indonesia, –jemaat GKI Kebayoran Baru yang dewasa pada tahun 1962–, menyatakan
diri sebagai gereja misioner –kata misioner adalah pengembangan dari istilah misi yang akan
dijelaskan dalam bab berikut–. Bagi GKI Kebayoran Baru pengertian gereja misioner berarti;
“jemaat yang tahu apa misinya, jemaat yang mau serta mampu melaksanakan misinya”.10
Menurut Stephen B. Bevans dan Roger P. Schroeder:
ada enam konstanta –enam tema doktrinal yang mesti dipegang teguh dengan setia oleh
Gereja pada setiap perlintasannya di tapal-tapal batas dan dalam setiap konteks. Interaksi
dan artikulasi di antara enam konstanta ini –kristologi, eklesiologi, eskatologi,
9
Chris Hartono, Uraian Singkat Tentang Kehidupan Jemaat Rumah. Pokok bahasan ini sebenarnya disampaikan
dalam bentuk Paper Pelajaran Mata Kuliah Sejarah Kekristenan Umum, 2004, hal.1
10
K. G. Hamakonda, Menjadi Jemaat Misioner: Mengurus Untuk Mengutus, Materi Seminar Misi dan Pekabaran
Injil GKI Kebayoran Baru, Oktober 2009. hal.IV
3 keselamatan, antropologi dan kebudayaan– akan menentukan cara bagaimana praktik
misioner Gereja dihayati dalam pelbagai kurun sejarahnya.11
Pernyataan GKI Kebayoran Baru sebagai gereja missioner, tentu menarik untuk ditelusuri
lebih jauh. Khususnya perihal bagaimana GKI Kebayoran Baru menginterpretasikan enam
konstanta misi dalam konteks keberadaannya, karena menurut Widi Artanto: “istilah dan
pengertian Gereja misioner sudah sering dipakai oleh Gereja-gereja di Indonesia untuk
menunjukkan identitas dan idealisme bahwa Gereja-gereja Indonesia adalah dan seharusnya
menjadi Gereja misioner”.12 Namun dalam kenyataan sesungguhnya, –lebih lanjut pandangan
Widi Artanto–:
KD
W
Istilah ‘gereja misioner’ adalah istilah yang sering dipakai dengan pemahaman yang
masih belum jelas dan diberi pemuatan makna yang bermacam-macam. Istilah tersebut
tidak hanya menjadi masalah bagi gereja-gereja di Indonesia di dalam memberi makna
terhadap istilah itu dan implementasinya tetapi juga menjadi masalah bagi masyarakat
dan golongan agama lain.13
Apa yang dikemukakan Widi Artanto ini pada kenyataan sebenarnya, memang cukup
beralasan. Bila kita menilik ke belakang, kita tentu bisa menemukan kebenaran dari apa yang
U
disampaikan Widi Artanto. Tidak sedikit kasus-kasus pemahaman misi yang sempit, dikemas
dengan ‘slogan seolah-olah teologis’, tetapi diimplementasikan secara sepihak. Sebagai contoh;
“data yang bersumber dari FKKI (Forum Komunikasi Kristen Indonesia) memberikan gambaran
IK
yang menarik. Sepanjang periode 1945-1997, (paling sedikit) dilaporkan ada 374 gedung gereja
yang ditutup, dibakar, atau dihancurkan”.14 Implementasi karya misi gereja yang sepihak –
M
IL
apakah itu melalui propaganda kebijakan organisasi gereja, maupun inisiatif perorangan Kristen–
pada kenyataannya dipertanyakan dan diuji dengan issu ‘kristenisasi’. Gereja dituduh melakukan
upaya mengkristenkan orang beragama lain melalui implementasi misinya. Apakah identitas
gereja misioner dalam pemahaman misi GKI Kebayoran Baru seperti ini? Hal ini tentu menarik
untuk dicari tahu lebih dalam lagi.
Selain issu kristenisasi, dari pihak dalam lingkungan gereja dan kekristenan sendiri,
tindakan ‘ngotot’ yang cenderung sembrono atas dasar motif pemekaran organisasi gereja tidak
jarang kita jumpai. Mendirikan lebih dahulu bangunan ibadah dan melakukan terlebih dahulu
aktifitas ibadah, padahal perijinan yang sah secara hukum belum dimiliki –dengan argumentasi
11
Stephen B. Bevans & Roger P. Schroeder, Terus Berubah Tetap Setia: Dasar, Pola, Konteks Misi, Maumere,
Ledalero 2006, hal.xlv
12
Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner; Dalam Konteks Indonesia, cetakan pertama, 2008, Yogyakarta, Taman
Pustaka Kristen, hal.v
13
Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner;…Ibid, hal.2
14
Eka Darmaputera, “Kehadiran Misioner Gereja di Indonesia Masa Kini; Apa yang Dipertaruhkan dan Ke mana
Arahnya?”, Penuntun, Jurnal Teologi dan Gereja, Vol 4, No.13, Jakarta, 1997/1998, hal. 16.
4 biarlah pengurusan administrasi ijin secara hukum sambil jalan, karena prosesnya lama mungkin
tidak mengapa kalau kita dirikan jemaat dahulu dan kita aktifkan jemaat, sembari mengurus
perijinan yang diperlukan. Bukankah lingkungan di sekitar sini orang-orang yang bisa mengerti–,
hal ini dilakukan oleh gereja atau setidaknya orang Kristen tanpa perhitungan yang matang.
Kecerobohan seperti ini pada kenyataan di lapangan akhirnya cenderung mendapat respon
negatif dari lingkungan sekitar. Mendirikan tempat ibadah atau melakukan kegiatan peribadatan
tanpa melalui mekanisme proses yang tepat, dipandang masyarakat sekitar sebagai sebuah
tindakan yang mengusik ketentraman dan kenyamanan lingkungan –dimana tempat ibadah
didirikan dan kegiatan ibadah dilakukan–.
Hal lain lagi, masih terkait dengan pandangan negatif atas misi gereja dikenal dengan
W
istilah ‘beban mental’ sejarah misi. Dalam lingkup hidup bermasyarakat di Indonesia masih ada
resistensi atas gereja dan orang Kristen berdasarkan ‘warisan kekeliruan’ memahami pokok
KD
permasalahan keberadaan gereja dan orang Kristen di Indonesia. Dalam pandangan umat
beragama lain di Indonesia –khususnya di mata
Komaruddin Hidayat:
umat Islam–, sebagaimana disampaikan
M
IL
IK
U
secara historis psikologis, umat Kristen Indonesia memiliki beban mental yang
merupakan ‘dosa warisan’ dari penjajah, yang kebetulan kehadirannya telah turut
memperkenalkan Kristen ke Indonesia sehingga kaitan antara sejarah imperialisme dan
kristenisasi masih terasa sulit dipisahkan dan dihapuskan dari persepsi umat Islam
Indonesia. Asosiasi antara penjajah, misionaris, dan westernisasi masih terasa kuat; hal
ini sekali-kali muncul lagi ke permukaan ketika ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan
politik menguat. Hubungan antara Barat dan Dunia Islam yang kurang harmonis, bisa
mendatangkan imbas negatif terhadap hubungan antara Islam dan Kristen di Indonesia.
Situasi demikian tentu saja berbeda dengan hubungan Islam-Kristen di Timur Tengah,
karena mereka memiliki memori historis yang dalam bahwa kedua agama ini sama-sama
berasal dari tradisi Semitik. Sedangkan Kristen yang datang ke Indonesia adalah Kristen
yang telah terbaratkan, sementara istilah ‘Barat’ bagi sebagian orang Islam memiliki
konotasi yang perlu dicurigai.15
Selaras dengan apa yang disampaikan Komaruddin Hidayat, Mgr. Edmund Woga
mengakui adanya ‘beban mental’ implementasi misi tersebut. Menurut Woga politisasi
kepentingan atas misi adalah pemaknaan misi secara sempit yang menyebabkan timbulnya
metode misi yang buruk. Hal ini pernah dilakukan oleh gereja dan orang-orang Kristen di masa
lalu:
akibat politisasi atas misi. Metode-metode karya misi gereja yang buruk dipakai pada
zaman kolonial. Secara historis istilah misi berkaitan erat dengan sejarah ekspansi
kolonial dari negara-negara barat. Dalam kurun waktu yang lama (1461-1950) karya misi
diboncengkan pada kekuasaan politis-profan. Karya misioner gereja dimengerti sebagai
15
Komaruddin Hidayat, “Islam Indonesia Memahami Kristen Indonesia; Menerawangi Potensi Konflik dan
Dialog”, Penuntun, Jurnal Teologi dan Gereja, Vol 4, No.13, Jakarta, 1997/199, hal.4
5 perjuangan untuk ekspansi, pendudukan daerah, penaklukan para penganut agama-agama
lain untuk disatukan ke dalam satu-satunya agama yang benar ialah agama Kristen”.16
Fakta sejarah ini memberi kesan mendalam pada orang-orang bukan Kristen bahwa
agama Kristen adalah agama kaum kolonialis yang cenderung menghancurkan agama dan
kebudayaan bangsa non-Kristen untuk digantikan dengan agama dan kebudayaan
Kristen.17
B. RUMUSAN PERMASALAHAN
Dari uraian latar belakang permasalahan di atas, kita bisa lihat. Dalam kenyataan
perjalanan sejarah, keberadaan suatu gereja tidak pernah bisa lepas dari konteks zamannya.
Dasar pemaknaan atas identitas sejatinya sebagai ‘yang dipanggil dan diutus’ –yang senantiasa
diupayakan terwujud oleh gereja–, pada kenyataannya senantiasa diuji oleh tantangan situasi dan
W
kondisi sekitarnya. Pandangan dari pihak yang ada, baik di dalam maupun di luar diri gereja,
pada kenyataan praktis juga turut berkontribusi membentuk artikulasi, interaksi, dan
KD
implementasi misi gereja tersebut. Lalu bagaimana suatu gereja memaknai diri sebagai “yang
diutus” atas lingkup keberadaannya? Bagaimana gereja merespon tantangan atas hakekat dan
eksistensinya dengan tetap memegang teguh enam tema doktrinal misi? Inilah rumusan
U
permasalahan yang merupakan pokok pembahasan dalam skripsi ini. Lebih khusus dalam
konteks GKI Kebayoran Baru, dua rumusan permasalahan tersebut dapat dibentuk dalam
1.
IK
pertanyaan-pertanyaan:
Bagaimana GKI Kebayoran Baru merumuskan enam tema doktrinal sebagai dasar
pemahaman misinya?
Apakah enam tema doktrinal yang terdapat dalam materi seminar misi dan pekabaran Injil
M
IL
2.
akan menampakan suatu gambaran bahwa GKI Kebayoran Baru adalah gereja misioner?
3.
Bagaimana enam tema doktrinal tersebut diimplementasikan dalam konteks keberadaan
GKI Kebayoran Baru?
C. ALASAN PEMILIHAN JUDUL
Terkait rumusan permasalahan di atas, maka judul yang penulis pandang relevan untuk
diletakkan sebagai topik pembahasan dari keseluruhan naskah skripsi ini adalah;
“MENJADI GEREJA MISIONER DALAM PEMAHAMAN GKI KEBAYORAN BARU”
(Refleksi Teologis atas Enam Konstanta Misi di GKI Kebayoran Baru)
16
17
Edmund Woga, CSsR., Dasar-Dasar Misiologi, Yogyakarta, Kanisius 2002, hal.19
Edmund Woga, CSsR., Dasar-Dasar Misiologi,…Ibid, hal.19 6 D. PENJELASAN ATAS JUDUL
Dua puluh delapan tahun sudah berlalu. Sejak GKI Kebayoran Baru menjadi jemaat
dewasa pada 25 Februari 1962, dan sejak GKI Kebayoran Baru menyatakan diri sebagai gereja
atau jemaat misioner pada tahun 1981. Menjelang peringatan usia 50 tahun panggilan
perutusannya pada 25 Februari 2012, gereja ini memandang perlu dan penting untuk melakukan
sebuah evaluasi dan introspeksi diri atas pemahaman misinya. Meninjau kembali pemahaman
misi melalui pelaksanaan seminar tentang misi dan pekabaran Injil, merupakan sebuah
kebutuhan mendasar yang dipandang penting oleh GKI Kebayoran Baru. Karena rangkuman dari
diskusi dalam seminar misi dan pekabaran Injil dimaksud, oleh GKI Kebayoran Baru akan
dibentuk menjadi sebuah buku perjalanan kehidupan jemaat. Buku yang rencananya nanti akan
W
diterbitkan dan diedarkan kepada jemaat. Akan dijadikan semacam catatan momentum penting
bagi GKI Kebayoran Baru dalam memaknai dirinya sebagai gereja misioner.
mengambil
tema
“Menjadi
KD
Seminar yang telah dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan September 2009 yang
Jemaat
Misioner:
Mengurus
untuk
Mengutus”,
sekilas
menggambarkan identitas dan panggilan misi gereja GKI Kebayoran Baru. Tetapi sebagaimana
U
dikatakan Stephen B. Bevans dan Roger P. Schroeder; interaksi dan artikulasi di antara enam
konstanta misi; kristologi, eklesiologi, eskatologi, keselamatan, antropologi dan kebudayaan,
akan turut menentukan cara bagaimana praktik misioner gereja dihayati dalam pelbagai kurun
IK
sejarahnya. Hal ini perlu diperhatikan oleh GKI Kebayoran Baru.
Untuk itu pemilihan judul sebagaimana yang penulis sampaikan tersebut di atas, di satu
M
IL
sisi adalah sebuah upaya penulis menggali pemahaman misi dan menemukan enam konstanta
misi dalam konteks pergumulan GKI Kebayoran Baru. Pada sisi yang lain melalui refleksi
teologis atas enam kontanta misi yang penulis sampaikan, diharapkan refleksi tersebut dapat
menjadi sebuah sumbangan pemikiran bagi GKI Kebayoran Baru.
E. TUJUAN PENULISAN
Skripsi ini bertujuan pokok menggali dan menemukan enam konstanta misi GKI
Kebayoran Baru yang merupakan pondasi dasar bagi sebuah gereja dalam memahami dan
menjalankan artikulasi dan interaksi perutusannya sebagai perwujudan Missio Dei. Setelah
menemukan pernyataan atas artikulasi enam konstanta misi GKI Kebayoran Baru tersebut,
selanjutnya penulis akan memberikan tanggapan dan mengkritisi dengan refleksi teologis enam
konstanta misi GKI Kebayoran Baru dimaksud. Hasil refleksi teologis penulis selanjutnya akan
penulis jadikan dasar sumbangan pemikiran misiologis bagi gereja GKI Kebayoran Baru.
7 Penulis sadar betul dengan segenap keterbatasan diri, karena itu berdasarkan pandangan,
atau pendapat para teolog ekumenis, penulis akan berupaya se-objektif mungkin mengkritisi
rumusan enam konstanta misi GKI Kebayoran Baru. Harapannya agar kekritisan pemikiran yang
penulis sampaikan dapat menjadi sumbangan penulis bagi GKI Kebayoran Baru dalam
memperkaya dasar pemaknaan dirinya sebagai gereja misioner berdasarkan enam konstanta misi.
F. BATAS PERMASALAHAN
Permasalahan yang akan penulis gali dan uraikan dalam pembahasan skripsi ini terbatas
pada pencarian dan penemuan rumusan enam konstanta misi GKI Kebayoran Baru melalui
materi seminar misi dan pekabaran Injil. Sebagaimana GKI Kebayoran Baru memaknai dirinya
W
sebagai gereja yang misioner, bagaimana selanjutnya enam konstanta misi yang dipahaminya
tersebut diletakkan dalam artikulasi dan interaksi yang secara jelas menunjukkan bahwa gereja
KD
ini adalah gereja misioner.
G. METODE PENULISAN
U
Metode yang penulis gunakan dalam menyusun skripsi ini adalah deskripsi–analisis.
Deskripsi-deskripsi yang ditemukan dalam materi seminar misi dan pekabaran Injil GKI
Kebayoran Baru, baik yang adalah sumber primer –merupakan pendapat asli narasumber
IK
seminar, dalam hal ini Pdt. Hamakonda–. Ataupun sumber-sumber sekunder –pendapat pihak
lain yang dikutip Pdt. Hamakonda–. Sepanjang itu relevan, akan penulis jadikan sebagai data
M
IL
untuk menemukan dan mendeskripsikan enam konstanta misi GKI Kebayoran Baru. Selanjutnya
atas penemuan enam konstanta misi tersebut, penulis akan memberikan tanggapan singkat dan
refleksi teologis.
H. SISTEMATIKA PENULISAN
Karya tulis ilmiah ini dibentuk dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I
Pendahuluan
Dalam bab I penulis menyampaikan beberapa pokok pikiran singkat yang melatarbelakangi
seluruh naskah skripsi. Uraian singkat tersebut dikemas dalam sistematika: Latar Belakang
Permasalahan, Rumusan Permasalahan, Alasan Pemilihan Judul, Penjelasan Atas Judul,
Tujuan Penulisan, Batas Permasalahan, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
8 Bab II Dasar Pemahaman Misi Gereja
Pada bab II penulis akan mengutip dan menempatkan pandangan teolog-teolog misi, David J.
Bosch, Edmund Woga, serta Stephen B. Bevans & Roger P. Schroeder. Pandangan para
teolog ini ditujukan sebagai dasar teori yang berguna untuk membentuk pengertian atas misi
gereja, serta hal-hal yang terkait dengan pengertian misi tersebut. Selain pandangan para
teolog misi tersebut di atas, penulis juga berusaha menyampaikan dasar pemahaman misi,
berikut enam konstanta misi GKI berdasarkan mukadimah dan penjelasan atas mukadimah
Tata Gereja GKI. Pada dasarnya landasan teori dalam bab II akan penulis jadikan sebagai
semacam dasar acuan untuk menilai pemahaman misi dan materi seminar yang akan
Bab III Menjadi Jemaat Misioner.
W
disampaikan pada bab III.
KD
Pada bab III penulis akan memaparkan sejarah singkat GKI Kebayoran Baru dan ringkasan
pokok materi seminar, yang merupakan bahan inti dari penelitian skripsi, guna menemukan
Bab IV Refleksi Teologis
U
enam konstanta misi GKI Kebayoran Baru.
Pada bab IV penulis akan mengemukakan enam konstanta misi yang ditemukan dari
IK
keseluruhan materi seminar misi dan pekabaran Injil GKI Kebayoran Baru. Kemudian atas
M
IL
enam konstanta misi tersebut penulis akan menyampaikan tanggapan serta refleksi teologis.
Bab V Kesimpulan dan Penutup
Pada V sebagai bab terakhir, penulis akan menyampaikan kesimpulan atas seluruh rangkaian
uraian dan pembahasan yang telah disampaikan pada bab-bab terdahulu.
9 
Download