ISSN: 1410-0029 Agrin Vol. 14, No. 1, April 2010 PELARUTAN HAYATI BATUAN FOSFAT SEBAGAI PUPUK FOSFOR PADA BUDIDAYA KEDELAI DI ULTISOL Rock Phosphate Biosolubilizing as P-Fertilizer to Soybean Cultivated at Ultisols Oleh: Tamad dan Joko Maryanto Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Alamat korespondensi: Tamad ([email protected]) ABSTRAK Ultisol merupakan tanah yang cukup potensial dari segi luas untuk dikembangkan pemanfaatannya bagi sektor pertanian di Indonesia. Namun kendala utama Ultisol ialah ketersediaan fosfor yang rendah, akibat pH tanah yang masam dan kejenuhan aluminium yang tinggi. Batuan fosfat (BF) merupakan salah satu sumber fosfor yang cukup potensial, namun kelarutan fosfornya rendah. Salah satu usaha untuk meningkatkan ketersediaan fosfor, melarutkan fosfor sukar larut dan yang terikat oleh aluminium, ialah dengan pemanfaatan mikroba pelarut fosfat (MPF). Rancangan percobaan yang digunakan ialah Rancangan Petak Terbagi. Sebagai petak utama dosis BF, yaitu: tanpa pemupukan BF, pemupukan setara 100 kg/ ha P2O5, 200 kg/ ha P2O5, 300 kg/ ha P2O5 dan 400 kg/ ha P2O5. Sebagai anak petak MPF, yaitu: tanpa MPF, Pseudomonas sp., dan Aspergillus sp. Hasil penelitian menunjukkan MPF dan BF meningkatkan pertumbuhan, hasil dan serapan P kedelai. Pengaruh MPF meningkatkan hasil dan serapan P sebesar 50 persen, sedangkan pengaruh BF meningkatkan hasil dan 200 persen serapan P sebesar 300 persen dibanding kontrol. Pseudomonas sp.dan Aspergillus sp. yang digunakan sebagai MPF, walaupun mempunyai morfologi yang berbeda, namun kemampuannya dalam melarutkan fosfor relatif sama. Pengaruh BF meningkatkan hasil dan serapan P, takaran BF optimal adalah 300 kg P2O5 ha-1 . Kata kunci: mikroba pelarut fosfat, batuan fosfat, Ultisol, kedelai ABSTRACT Ultisolls, ocuppy a large area in Indonesia, was a quite potential soil for agricultural development. The major constrains of its soil was the low availability of phosphorus (P) since the soil pH was acid and the high of Al. Rock phosphate (RP) was one of the source of P that was quite potential, however, its solubility from the RP was quite low. One of the efforts to increase the availability of the P, to sulubilize the insoluble P and the absorbed P by Al was the use phosphate solubilizing microorganisms (PSM). The experiment was arranged in split plot design. The main factor was the dosage of rock phosphate, consists of: 0; 100; 200; 300 and 400 kg/ ha P2O5. The sub plot was PSM, consists of: without PSM, Pseudomonas sp., and Aspergillus sp. The result showed that the treatment of PSM and RP increase the growth, yield, and P-uptake of soybean increase 50 percent of yield and P-uptake, and RP increase 300 percent of yield and 200 percent P-uptake compared with the control. Pseudomonas sp. and Aspergillus sp. used as PSM, although had a different morphology, however, the ability in solubilizing P was not different. The yield and P-uptake of soybean increase affected by RP, optimally RP dosage is 300 kgs P2O5 ha-1. Key words: phosphate solubilizing microorganisms, rock phosphate, Ultisolls, soybean tinggi (pH < 5), bahan organik rendah, PENDAHULUAN Di Indonesia sebaran Ultisol cukup kandungan N, P, K, Ca rendah, KTK luas, yaitu 48 juta hektar (25% dari luas rendah, KB rendah (< 35%), kandungan Al lahan) (Santoso, 1991). Ultisol memiliki dan Mn tinggi (racun tanaman), dan daya beberapa permasalahan, baik sifat fisik fiksasi P yang tinggi (P tersedia rendah) maupun kimia tanah. Permasalahan kimia (Miller and Donahue, 1990). Sifat Ultisol Ultisol adalah kemasaman tanah yang 72 ISSN: 1410-0029 Agrin Vol. 14, No. 1, April 2010 Tanggeran, Banyumas yang digunakan 270.000 ton, Dusun Blabursari Desa dalam penelitian disajikan pada Tabel 1. Pancasan dengan potensi 20.000 ton, dan Sebagai negara agraris, Indonesia Dusun Sidoarjo Desa Darmakradenan sangat membutuhkan penyediaan fosfat dengan potensi 136.000 ton (Dintam cukup banyak. Kabupaten Banyumas, 1999). Indonesia mengimpor fosfat, dalam kurun waktu 1981-1994, Berdasarkan Standar (Departemen Industri lebih dari 13 juta ton, bernilai lebih dari Indonesia Perindustrian) 700 juta dolar AS (Sudradjat, 1997). kualitas pupuk fosfat Diperkirakan kebutuhan fosfat Indonesia persyaratan yaitu: 1) kandungan fosfat tahun 2000 mencapai 3 juta ton. larut HCl minimal 20%; 2) kehalusan harus memenuhi Di Indonesia, jumlah cadangan fosfat minimal 80% lolos saringan 100 mesh; 3) yang telah diselidiki adalah 2,5 juta ton kandungan Al2O3 dan Fe2O3 maksimal 3%; endapan guano (kadar P2O5 = 17-43%) dan dan 4) kandungan Cl maksimal 2% diperkirakan sekitar 9,6 juta ton fosfat (Maryanto et al., 2000). marin dengan kadar P2O5 20-40% Kelarutan fosfor dari BF dapat (Sudradjat, 1997). Di Pulau Jawa sendiri ditingkatkan dengan penggunaan mikroba ditemukan beberapa deposit seperti di pelarut fosfat (MPF). Palimanan penelitian Karangbolong, Cirebon, Pati, Ajibarang, Tuban, Hadijati Menurut hasil (1993), 10-50% dan mikroba tanah dapat melarutkan fosfat. Bojonegoro (Moersidi et al., 1983). Batuan Mikroba tanah yang memiliki kemampuan fosfat dalam melarutkan fosfat tanah dapat (BF) di Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas tersebar di Dusun termasuk golongan bakteri (seperti Cidora Desa Sawangan dengan potensi Pseudomonas, Bacillus, dan Escherichia), Tabel 1. Sifat Ultisol Tangeran Banyumas Sifat Tanah Nilai pH (H2O 1:2,5) C-organik (%) P-tersedia (ppm P2O5) P-jerapan (%) K-dd(cmol (+)/kg) Ca-dd (cmol (+)/kg) Mg-dd (cmol (+)/kg) Al-dd (cmol (+)/kg) KTK (cmol (+)/kg) KTK-efektif (cmol (+)/kg) Kejenuhan Al (%) Kadar Air Kapasitas Lapang (%) Sumber: Ismangil (2004); Tu = tidak terukur 4,72 0,87 Tu 70,00 0,11 0,88 0,65 1,51 11,80 4,50 34,00 66,00 Kriteria (PPT, 1983) Masam Sangat rendah Sangat rendah Tinggi Rendah Sangat rendah Rendah Rendah Rendah Tinggi - 73 ISSN: 1410-0029 Agrin Vol. 14, No. 1, April 2010 golongan cendawan (seperti Aspergillus, sempit. Penicillium, dan Culvularia), dan golongan mendorong kita untuk mau tidak mau Actinomicetes (seperti Streptomyces) (Rao, mengarah ke pemanfaatan tanah marginal, 1999). antara lain Ultisol. Illmer and Schinner (1995) Keterbatasan tanah produktif Permasalahan dalam penelitian ini melaporkan bahwa Pseudomonas sp. dan adalah: P. aurantiogriseum lebih efektif dalam inokulan melarutkan BF Ca-P (apatite dan brushite), kelarutan fosfor dari BF, dan 2) berapa sedangkan A. niger dan P. simplicissimum dosis optimum dari BF pada setiap jenis lebih efektif dalam melarutkan BF Al-P inokulan MPF pada kedelai di tanah (variscite). Diketahui bahwa A. niger dan Ultisol. P. simplicissimum menghasilkan asam 1) Bagaimana MPF dalam kemampuan meningkatkan Manfaat hasil penelitian ini adalah: sitrat, oksalat, dan glukonat lebih banyak, 1) Mengurangi ketergantungan terhadap diantara ketiganya asam sitrat paling pupuk P buatan dengan memanfaatkan responsif dalam melarutkan Al-P. Dalam sumber P lokal yang relatif murah, yaitu 11 hari asam sitrat mampu melarutkan BF, dan 2) mendapatkan teknologi dalam 37% Al-P, asam oksalat 10%, dan asam memanfaatkan BF sebagai sumber P bagi glukonat 4%. Sedangkan pelarutan Ca-P tanaman, dengan memanfaatkan MPF. oleh MPF dominan disebabkan karena penurunan pH akibat protonisasi asam- METODE PENELITIAN asam organik, asimilasi amonium, dan Penelitian ini dilaksanakan di respirasi asam karbonat selain akibat Laboratorium Tanah dan Rumah Kaca pelarutan oleh asam-asam organik yang Faperta Unsoed dengan sumber dana dihasilkan oleh MPF (Turan et al., 2006). Dosen Muda, DP2M, Ditjen Dikti tahun Kedelai merupakan salah satu tanaman pangan penting di Indonesia. 2006. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan November 2006. Sampai saat ini produksi kedelai belum Rancangan percobaan yang mampu mengimbangi kebutuhan nasional, digunakan ialah Rancangan Petak Terbagi. sehingga Indonesia merupakan negara Sebagai petak utama dosis BF, terdiri lima pengimpor taraf kedelai (Deptan, 2003). yaitu: tanpa pemupukan BF, Rendahnya produksi kedelai di Indonesia, pemupukan setara 100 kg/ ha P2O5, 200 antara lain disebabkan karena menurunnya kg/ ha P2O5, 300 kg/ ha P2O5 dan 400 kg/ produktifitas tanah dan luasan tanah ha P2O5. Sebagai anak petak MPF, terdiri produktif tiga taraf yaitu: tanpa MPF, Pseudomonas 74 yang ditanami kedelai relatif ISSN: 1410-0029 Agrin Vol. 14, No. 1, April 2010 sp., dan Aspergillus sp. Tiap perlakuan Benih kedelai yang digunakan ialah diulang tiga kali, sehingga terdapat 5 x 3 x varietas 3 = 45 pot percobaan. Soybean Research Development Centre Tanah yang digunakan adalah Ultisol Slamet yang (SRDC) UNSOED. diperoleh dari Tiap pot ditanami asal Tanggeran Banyumas, diambil pada dengan tiga benih kedelai. Ketiga tanaman kedalaman 0-30 cm, dan diayak dengan tersebut dibiarkan sampai akhir percobaan. saringan berdiameter 2 mm. Tanah yang Tolok ukur yang diamati terdiri dari: digunakan tiap pot setara dengan 6 kg (1) komponen tanaman, meliputi tinggi bobot kering mutlak. Tanah tersebut tanaman, jumlah daun, bobot brangkas, dicampur dengan dolomit (CaMg(CO3)2) komponen hasil, dan serapan fosfor oleh setara 0,5 kali Al-dd, disiram sampai tanaman; (2) komponen penunjang, berupa kapasitas lapang dan diinkubasi selama pH tanah setelah inkubasi selama satu empat minggu. Pupuk yang digunakan bulan. ialah urea setara 50 kg/ ha, dan KCl setara 100 kg/ ha. Kedua pupuk tersebut diberikan pada saat tanam. Batuan berasal dari fosfat Terhadap dilakukan data analisis hasil percobaan ragam (ANOVA), dilanjutkan dengan uji tengah (ANOM) yang Ajibarang digunakan Banyumas. DMRT pada taraf nyata 0,05 dan/atau 0,01. Sebelum digunakan BF tersebut dihaluskan dan disaring dengan saringan 80 mesh, BF HASIL DAN PEMBAHASAN tersebut sudah diketahui kandungan P2O5 (20%). BF diberikan pada saat tanam. Setelah dilakukan pengapuran dolomit dengan takaran 0,5 kali Al-dd dan Isolat MPF yang digunakan ialah diinkubasikan selama satu bulan pH tanah Aspergillus sp., dan Pseudomonas sp.. Ultisol Tangeran naik menjadi 6,40 sampai Kedua isolat tersebut dimasukan ke dalam 6,50. gelas erlnmeyer 250 ml yang telah diisi hidrolisis dolomit menghaslikan gugus medium Pikovskaya (Subba Rao, 1999) OH- cair steril 200 ml. kemasaman tanah tersebut P (Havlin et al., Kultur tersebut diinkubasikan secara aerob pada suhu Hal ini disebabkan pada proses dan mengikat H+ penyebab 2005). kamar selama 4 hari. Kepadatan populasi Batuan Fosfat (BF) berpengaruh MPF 107 sel/ml medium (ditentukan nyata dengan metode pengenceran). pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai Inokulasi MPF diberikan pada saat tanam dengan kecuali cara menuang 20 ml suspensi pada pot. Mikroba terhadap tinggi semua tanaman, Pelarut Fosfat komponen sedangkan (MPF) 75 ISSN: 1410-0029 Agrin Vol. 14, No. 1, April 2010 berpengaruh nyata terhadap jumlah daun, sumber karbon dan sumber energi bagi jumlah polong isi, bobot biji dan serapan MPF untuk meningkatkan populasi dan P. Tidak terdapat interaksi antara MPF untuk beraktivitas (Rao, 1999; Pradhan dan BF terhadap variabel yang diamati. and Sukla, 2006). MPF yang digunakan MPF yang digunakan tidak mampu (Pseudomonas sp.dan Aspergillus sp.) meningkatan kelarutan fosfor dari BF. Hal mempunyai kemampuan melarutkan fosfor ini disebabkan kandungan bahan organik dari pada peningkatan jumlah BF yang digunakan tanah Ultisol Tangeran yang BF yang digunakan dalam percobaan sangat rendah tidak (Tabel 1). Rendahnya kandungan bahan Perlakuan organik meningkatkan menyebabkan pertumbuhan diikuti terbatas, oleh MPF sehingga kelarutan dan BF semua fosfor. cenderung komponen populasi dan aktivitas MPF dalam tanah pertumbuhan dan hasil tanaman (Tabel 2 tidak dan Tabel 3). optimum, karena keterbatasan Tabel 2. Pengaruh MPF terhadap komponen kedelai Taraf Perlakuan MPF Kontrol Pseudomonas sp. Aspergillus sp. Komponen Kedelai yang Diamati TT (cm) 72,85 a 80,33 a 80,83 a JD (buah/tan) 23,4 a 27,7 b 27,7 b BSB (g/tan) 4,54 a 6,06 a 4,96 a BKB (g/tan) 0,97 a 1,35 a 1,16 a JPI (buah/tan) 9,5 a 13,1 b 12,2 b BBK (g/tan) 1,12 a 1,75 b 1,69 b SP (ppm) 10,67 a 16,36 b 16,71 b Keterangan: Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT. TT = tinggi tanaman, JD = jumlah daun, BSB = bobot segar brangkas, BKB = bobot kering brangkas, JPI = jumlah polong isi, BBK = bobot biji kering, dan SP = serapan fosfor. Tabel 3. Pengaruh BF terhadap Rerata Komponen Kedelai Taraf Perlakuan BF Komponen Kedelai yang Diamati TT JD BSB BKB JPI BBK (cm) (buah/tan) (g/tan) (g/tan) Kontrol 73,48 a 20,7 a 2,42 a 0,53 a 5,7 a 0,62 a 9,67 a 100 kg P2O5/ha 76,98 a 23,9 a 5,09 b 1,09 b 10,1 b 1,36 b 11,97 a 200 kg P2O5/ha 78,68 a 30,0 b 6,01 b 1,29 b 12,6 bc 1,75 bc 12,14 a 300 kg P2O5/ha 77,10 a 27,4 b 5,43 b 1,38 b 14,7 c 1,90 c 17,76 b 400 kg P2O5/ha 83,79 a 29,4 b 6,98 b 1,52 b 15,0 c 1,97 c 21,36 b (buah/tan) (g/tan) SP (ppm) Keterangan: Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT. TT = tinggi tanaman, JD = jumlah daun, BSB = bobot segar brangkas, BKB = bobot kering brangkas, JPI = jumlah polong isi, BBK = bobot biji kering, dan SP = serapan fosfor. 76 ISSN: 1410-0029 Agrin Vol. 14, No. 1, April 2010 Jenis MPF tidak berbeda polong isi dan bobot biji yang lebih banyak pengaruhnya terhadap komponen tanaman pengaruh (Tabel 2). kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan MPF dibanding Komponen hasil, dalam hal ini antara Pseudomonas sp. dan Aspergillus polong isi dan bobot biji merupakan sp. dalam indikator ketersediaan dan serapan fosfor melarutkan fosfor yang sama. Secara yang terkait erat, karena fosfor merupakan morfologi kedua mikroba ini berbeda, komponen penting dalam pembentukan biji tetapi secara fisiologi kemampuan dalam (Miller and Donahue, 1990; Gull et al., melarukan fosfor relatif sama. Kedua 2006). MPF tinggi Peningkatan sumber fosfor yang tanaman, bobot brangkas tanaman, jumlah diberikan dalam tanah tidak meningkatkan daun, jumlah polong, bobot biji dan pertumbuhan dan hasil tanaman. Hal ini serapan P. disebabkan ketersediaan unsur hara selain mempunyai cenderung kemampuan meningkatkan MPF meningkatkan kelarutan fosfor dalam tanah, bagi tanaman sebagai tanggap akhir tanaman meningkatkan lebih ditentukan oleh status unsur hara jumlah daun, bobot brangkas, jumlah yang terbatas tersebut (Havlin et al., 2005). tanaman. sehingga Pemberian BF tersedia fosfor rendah (Tabel 1), sehingga produksi polong isi, bobot biji, dan serapan P (Tabel 3). BF meningkatkan hasil dan serapan P sampai taraf 300 kg P2O5/ha. BF mampu meningkatkan KESIMPULAN Pengapuran MPF dan pertumbuhan dengan dolomit Ultisol 0,5 Tangeran kali Al-dd, dan hasil kedelai, hal ini disebabkan MPF meningkatkan pH dari 4,72 menjadi 6,40- mampu meningkatkan ketersediaan fosfor 6,50. melalui proses pelarutan fosfor (Rao, meningkatkan pertumbuhan, hasil, dan 1999). BF meningkatkan ketersediaan P serapan P kedelai. MPF meningkatkan karena BF sendiri mengandung senyawa hasil dan serapan P sampai 50 persen, fosfat (Sudradjat 1997; Maryanto et al., sedangkan BF meningkatkan hasil sampai 2000). Serapan fosfor yang meningkat 300 persen, dan serapan P 200 persen mendukung pertumbuhan tanaman yang dibanding kontrol. Pseudomonas sp.dan lebih baik, tercermin dari tinggi, jumlah Aspergillus sp. yang digunakan, mampu daun dan bobot brangkas. Pertumbuhan melarutkan fosfor dari BF tidak berbeda. tanaman yang baik merupakan pondasi Peningkatan takaran BF yang digunakan, untuk menghasilkan produksi yang lebih 100-400 kg P2O5/ha, tidak meningkatkan baik, dalam hal ini tercermin dari jumlah komponen pertumbuhan, sedangkan hasil Perlakuan MPF dan BF 77 ISSN: 1410-0029 Agrin Vol. 14, No. 1, April 2010 dan serapan P meningkat. Takaran BF optimal adalah 300 kg P2O5/ha. DAFTAR PUSTAKA Deptan. 2003. perkembangan luas panen, produksi, ekspor impor kedelai Tahun 1990-2003. Departemen Pertanian RI Jakarta. Dintam. Kabupaten Banyumas. 1999. Informasi peluang investasi pertambangan bahan galian golongan C Di Kabupaten Banyumas. Dinas Pertambangan Kabupaten Daerah Tingkat II Banyumas. Purwokerto. Gull, M, F.Y. Hafeez, M. Saleem, and K.A. Malik. 2006. Phospharus uptake and growth promotion of chickpea by co-inoculation of mineral phosphate solubilising bacteria and a mixed Rhizobial culture. Australian Journal of Experimental Agriculture, 44(6): 623-628. relatif fosfat alam Ajibarang dan Gresik sebagai pupuk alternatif pada tanah kandiudult berkejenuhan aluminium tinggi. Majalah Ilmiah Unsoed, 2(26): 1-12. Miller, R. W, and R. L. Donahue. 1990. An introduction to soils and plant growth. 6th ed. Prentice Hall International Inc. Englewood Cliffs. New Jersey. Moersidi, S, I.P.G.W. Adhi, dan M. Sudjadi. 1983. Penggunaan pupuk fosfat alam secara langsung di Indonesia. Balai Penelitian Perkebunan. Bogor. Pradhan, N, and L.B. Sukla. 2006. Solubilization of inorganic phosphate by fungi isolated from agriculture soil. African J. of Biotechnology, 5(10): 850-854. Rao, S.N.S. 1999. Soil microbiology (Fourth edition of soil microorganisms and plant growth). Science Publisher, Inc. New Hampshire, USA. Hadijati, T. 1993. Efektivitas bakteri pelarut fosfat dalam melarutkan fosfat secara in vitro. Majalah Ilmiah UNSOED, 3(19): 10-16. Santoso, Dj. 1991. Agriculture land of Indonesia. Indonesian Agriculture Research and Development J., 13(3): 33-35. Havlin, J.L, J.D. Beaton, S.L. Tisdale, and W.L. Nelson. 2005. Soil fertility and fertilizers, an introduction to nutrient management. 7th ed. Pearson Education, Inc., New Jersey, 515p. Sudradjat, A. 1997. Fosfat. pp. 13-166. Dalam: S. Suhala, dan M. Arifin (Eds). Bahan Galian Industri. Puslitbang Teknologi Mineral. Bandung. Illmer, P, and F. Schinner. 1995. Solubilization of inorganic calcium phosphate solubilization mechanisms. Soil Biol. Biochem., 27(3): 257-263. Ismangil. 2004. Potensi batu beku dan kalsit sebagai amelioran pada tanah lempung aktifitas rendah. Draff Disertasi. Tidak dipublikasikan. Maryanto, J, Ismangil, dan H. A. M. Suswojo. 2000. Efisiensi agronomi 78 Turan, M., N. Ataoglu, and F. Sahin. 2006. Evaluation of the capacity of phosphate solubilizing bacteria and fungi on different form of phosphorus in liquid culture. J. of Sustainable Agriculture, 28(3): 99108.