1 HAK KONSUMEN Penulis : David M.L Tobing, SH., M. Kn

advertisement
HAK KONSUMEN
Penulis : David M.L Tobing, SH., M. Kn.
Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)
A.
PERLUNYA UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Setelah tiga belas tahun berlakunya Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) masih
dirasakan lemahnya implementasi dari UUPK terutama dalam hal menjamin hak-hak konsumen dan
permasalahan penyelesaian sengketa konsumen. Semakin majunya perkembangan ekonomi suatu
Negara yang juga berimbas dari perkembangan industri dan perekonomian dunia maka semakin
diperlukan perangkat-perangkat hukum yang mengatur terjaminnya hak-hak konsumen guna
menciptakan iklim usaha yang seimbang antara konsumen dan pelaku usaha.
Kedudukan pelaku usaha dan konsumen memang sejak semula tidak seimbang mengingat pelaku
usaha memiliki kemampuan pengetahuan tentang seluk beluk produksi barang dan pemberian jasa
yang melebihi tingkat pengetahuan konsumen dan juga kemampuan akan permodalan dan posisi
tawar yang lebih tinggi dari konsumen. Ketidak seimbangan terjadi dalam hubungan kontraktual
antara konsumen dan pelaku usaha yang ditandai dengan adanya perjanjian-perjanjian sepihak yang
sangat memberatkan konsumen sehingga menciptakan situasi dimana konsumen harus menerima
begitu saja perjanjian yang telah disiapkan oleh pelaku usaha atau jika tidak menerima maka tidak
akan mendapatkan barang dan atau jasa yang dibutuhkan (take it or leave it).
Peran Negara Indonesia didalam melindungi segenap warganya dan dalam upaya menciptakan
kesejahteraan umum dan masyarakat yang adil dan makmur diwujudkan dengan pembuatan UUPK.
Dalam tahap ini Negara melakukan intervensi atas hubungan kontraktual antara konsmen dan pelaku
usaha yang tidak lain bertujuan untuk menciptakan hubungan yang seimbang antara konsumen dan
pelaku usaha. Selain itu UUPK juga bertujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen
dengan menumbuh kembangkan kesadaran, pengetahuan dan kepedulian konsumen untuk melindungi
dirinya atau yang lebih dikenal dengan istilah konsumen cerdas. Dengan adanya UUPK diharapkan
pelaku usaha tidak memandang lagi konsumen dengan sebelah mata melainkan semakin jujur dalam
memproduksi dan memasarkan barang dan atau jasa sehingga terwujud pelaku usaha yang
bertanggungjawab.
Pengaturan perlindungan konsumen dalam suatu undang-undang tidak lain bertujuan untuk
menciptakan kepastian hukum dalam hubungan konsumen dan pelaku usaha dan juga kepastian
hukum atas sengketa konsumen yang timbul dari pelaksanaan hak dan kewajiban konsumen dan
pelaku usaha. UUPK merupakan Undang-Undang payung (umbrella act) terhadap undang-undang
1
atau peraturan lain yang lebih focus dibidang kegiatan usaha maupun produksi yang berhubungan
langsung dengan konsumen. Harus diakui hingga lebih dari 10 tahun berlakunya UUPK belum
banyak peraturan-peraturan yang secara khusus mengatur lebih lanjut tentang perlindungan konsumen
bidang usaha tertentu namun saat ini sudah ada beberapa produk peraturan yang mengatur
perlindungan konsumen jasa keuangan yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 1 tahun 2013
Tentang Perlindungan Konsumen (POJK). Peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen
menciptakan era baru dalam perlindungan konsumen karena secara spesifik mengatur perlindungan
konsumen jasa keuangan yaitu konsumen perbankan, asuransi, pasar modal dan juga pelaku jasa
keuangan non bank antara lain perusahan pembiayaan.
B.
DEFINISI TERKAIT PERLINDUNGAN KONSUMEN
Ada beberapa definisi yang akan memberikan gambaran jelas tentang Perlindungan Konsumen, antara
lain:
1.
Definisi dalam UUPK
Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen.1
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak
untuk diperdagangkan.2
Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.3
Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun
tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan,
dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen.4
Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi
masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.5
1
2
3
4
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 199 tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 199 tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 tahun 199 tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 tahun 199 tentang Perlindungan Konsumen
2
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non-Pemerintah
yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan
konsumen.6
2.
Definisi dalam POJK
Konsumen adalah pihak-pihak yang menmpatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan
yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar
Modal, pemegang polis pada perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan
peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.7
Pelaku Usaha Jasa Keuangan adalah Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat, Perusahaan
Efek, Penasehat Investasi, Bank Kustodian, Dana Pensiun, Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Reasuransi, Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Gadai, da Perusahaan Penjaminan, baik yang
melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional maupun secara syariah.8
Perlindungan konsumen adalah perlindungan terhadap Konsumen dengan cakupan perilaku
Pelaku Usaha Jasa Keuangan.9
C.
HAK-HAK KONSUMEN
Hak mulai menjadi tema sentral perbincangan seiring dengan timbulnya Negara Negara nasional yang
mempersoalkan hubungan antar Negara dan warga Negara dan yang mengenai masalah masalah hakhak yang dimiliki individu bilamana ada, atau harus dimiliki oleh individu terhadap Negara terutama
terhadap pemerintah yang memerintah warga negaranya secara tirani.10
Undang-Undang Konsumen sendiri telah mengatur hak hak konsumen dimana hak konsumen pertama
kali dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat John F Kennedy yang dituangkan dalam Special
Message to the Congress on Protecting the Consumer Interest tertanggal 15 Maret 1962, , yaitu:11
1.
5
6
7
8
9
10
11
Hak untuk keselamatan (The right to safety).
Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 tahun 199 tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang Nomor 8 tahun 199 tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 1 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 1 tahun 2013 Tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 1 tahun 2013 Tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 199 tentang Perlindungan Konsumen
Marzuki Peter Mahmud, Pengantar ilmu hukum, (Jakarta, kencana prenada media, 2008, hal 168
Special Message to the Congress on Protecting the Consumer Interest tertanggal 15 Maret 1962, Presiden
Jhon F. Kennedy. Dapat dilihat juga di http://www.presidency.ucsb.edu/ws/?pid=9108
3
Harus dilindungi terhadap pemasaran barang yang berbahaya bagi kesehatan atau kehidupan (to
be protected against the marketing of goods which are hazardous to health or life).
2.
Hak untuk diberitahu (The right to be informed).
Harus dilindungi terhadap penipuan, menipu, atau terlalu menyesatkan informasi, iklan,
pelabelan, atau praktik lain, dan untuk mengingat fakta-fakta yang dibutuhkan untuk membuat
pilihan informasi (to be protected against fraudulent, deceitful, or grossly misleading
information, advertising, labeling, or other practices, and to be given the facts he needs to
make an informed choice).
3.
Hak untuk memilih (The right to choose).
Diyakinkan, sedapat mungkin, akses ke berbagai produk dan layanan dengan harga yang
kompetitif, dan dalam industri-industri di mana persaingan yang tidak bekerja dan Peraturan
Pemerintah digantikan, sebuah jaminan kualitas yang memuaskan dan layanan pada harga yang
wajar (to be assured, wherever possible, access to a variety of products and services at
competitive prices; and in those industries in which competition is not workable and
Government regulation is substituted, an assurance of satisfactory quality and service at fair
prices).
4.
Hak untuk didengar (The right to be heard).
Untuk diyakinkan bahwa kepentingan konsumen akan menerima pertimbangan penuh dan
simpatik dalam perumusan kebijakan pemerintah, dan perlakuan yang adil dan cepat di
pengadilan administrasi (to be assured that consumer interests will receive full and sympathetic
consideration in the formulation of Government policy, and fair and expeditious treatment in its
administrative tribunals).
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa hak-hak konsumen adalah:12
Hak konsumen adalah:
a.
hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsurnsi barang dan/atau
jasa;
b.
hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
12
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 tahun 199 tentang Perlindungan Konsumen
4
c.
hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau
jasa;
d.
hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / atau jasa yang digunakan;
e.
hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
f.
hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.
hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h.
hak untuk mendapatkan komnpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i.
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban Konsumen yang diatur dalam dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, adalah:13
Kewajiban konsumen adalah:
a.
membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b.
beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c.
membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d.
mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Bahwa selain hak dan kewajiban konsumen tersebut, Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga
mengatur apa yang menjadi hak dan kewajiban pelaku usaha, yakni:
Hak pelaku usaha adalah:14
a.
hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai
tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b.
hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
c.
hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen;
13
14
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 tahun 199 tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 tahun 199 tentang Perlindungan Konsumen
5
d.
hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen
tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e.
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
Kewajiban pelaku usaha adalah:15
a.
beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b.
memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c.
memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d.
menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e.
memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau
jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan;
f.
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g.
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Lebih lanjut, Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha dapat kita kelompokkan dalam
beberapa tahap, yaitu:
1.
Tahap pembentukan usaha dan perancangan produk/jasa:
Contohnya:
-
Pelaku usaha wajib memiliki perijinan umum terkait badan usahanya dan perijinan
khusus terkait praktek usahanya.
-
Pelaku usaha wajib mendaftarkan/melaporkan produk yang akan ditawarkan.
-
Pelaku usaha wajib memenuhi persyaratan yang berlaku terutama yang menyangkut
perlindungan konsumen.
2.
15
Tahap permintaan dan penawaran:
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 tahun 199 tentang Perlindungan Konsumen
6
Contohnya:
-
Pelaku usaha harus menawarkan produk/jasa dengan baik dan benar, dan memberikan
informasi yang akurat, jujur, jelas dan tidak menyesatkan, dapat dimengerti, terbaru
(update), dan mudah diakses. (sesuai dengan Pasal 7 huruf b UUPK).
-
Bahasa yang digunakan harus bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dapat
menggunakan bahasa asing namun harus disandingkan dengan bahasa Indonesia. (sesuai
dengan Pasal 31 UU Bendera, Bahasa, dan Lambang negara serta Lagu Kebangsaan).
-
Pelaku usaha wajib memberitahukan konsumen apakah permintaan konsumen akan
layanan jasa tersebut diterima atau ditolak. Harus ada jangka waktu pemberitahuannya.
3.
Tahap terjadinya perikatan/pembelian barang:
Contohnya:
-
Pelaku usaha harus mencantumkan informasi tentang petunjuk penggunaan barang/buku
manual dalam bahasa Indonesia, adanya garansi purna jual, adanya label dan masa
berlaku produk (kadaluwarsa).
-
Konsumen wajib memberikan data yang benar, membaca petunjuk selengkapnya,
beritikad baik, melakukan pembayaran sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
-
Pelaku usaha harus menjaga kerahasiaan dan keamanan data/informasi konsumen.
-
Bahasa yang digunakan dalam perjanjian harus bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Dapat menggunakan bahasa asing namun harus disandingkan dengan bahasa Indonesia.
-
Kedudukan pelaku usaha dan konsumen dalam perjanjian yang dibuat dan ditandatangani
harus seimbang.
Cth: Dalam perjanjian derifatif, ada klausula yang menyatakan:
“Bahwa bank dapat membatalkan atau tidak melanjutkan transaksi secara sepihak
tetapi disisi lain nasabah tidak dibenarkan membatalkan kontrak.”
-
Perjanjian tidak mengandung klausula baku yang bertentangan dengan peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku. (sesuai dengan Pasal 18 UUPK)
Cth: dalam Aplication Form, ada ketentuan sebagai berikut:
7
“Nasabah dengan ini memberikan kuasa kepada Bank untuk mendebit rekening
nasabah tanpa pemberitahuan lebih dahulu, termasuk untuk mencairkan deposito
nasabah meskipun deposito tersebut belum jatuh tempo untuk melunasi seluruh
tagihan kartu kredit nasabah (termasuk tagihan pokok, bunga, biaya dan denda)”
atau
“Bank berhak mengubah syarat dan ketentuan yang berlaku tanpa pemberitahuan
sebelumnya.”
atau
“Pihak kreditur/dealer dapat menarik objek perjanjian tanpa pemberitahuan terlebih
dahulu kepada debitur/konsumen, dan segala biaya yang timbul akibat penarikan ini
akan dibebankan kepada debitur/konsumen”.
4.
Tahap pemanfaatan produk:
-
Pelaku usaha harus memberitahu akan adanya informasi terbaru mengenai perubahan
layanan, manfaat, biaya, resiko, syarat dan ketentuan.
-
Pelaku usaha harus menjaga kerahasiaan dan keamanan data/informasi konsumen.
(sesuai dengan UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, UU No. 23 tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan, UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE, UU No. 14 tahun 2008
tentang KIP)
-
Pelaku usaha menyediakan layanan khusus kepada konsumen yang membutuhkan
kebutuhan khusus.
-
Pelaku usaha wajib menyediakan layanan pengaduan konsumen. (sesuai dengan Pasal 4
huruf d UU PK).
-
Layanan purna jual yang terintegrasi dan memudahkan pelayanan bagi konsumen.
Adanya pengaturan mengenai hak-hak dan kewajiban konsumen itu semata-mata ditujukan agar ada
kepastian hukum dan adanya jaminan bagi konsumen bahwa konsumen akan mendapatkan barang
dan/atau jasa sesuai dengan yang diinginkan.
D.
POTRET PELANGGARAN HAK-HAK KONSUMEN
8
Baik buruknya implementasi UUPK dalam hubungan konsumen dan pelaku usaha tercermin dari
banyaknya pelanggaran hak–hak konsumen sehingga semakin banyak pelanggaran hak-hak konsumen
maka semakin nyata pelaku usaha tidak melaksanakan UUPK dengan sepenuh hati. Meningkatnya
kasus pelanggaran hak-hak konsumen selain disebabkan oleh pelaku usaha sendiri juga disebabkan
dari ketidaktahuan dan sikap apatis dari konsumen itu sendiri apabila hak-haknya dilanggar sehingga
sangat jarang adanya pelanggaran hak konsumen yang diajukan ke peradilan.
Kasus kasus pelanggaran hak konsumen terjadi di berbagai bidang antara lain bidang perbankan,
bidang perparkiran, bidang angkutan jasa penerbangan, bidang perumahan, Hal ini terjadi di berbagai
bidang, baik itu untuk konsumen jasa perumahan, konsumen jasa kelistrikan, konsumen jasa
perbankan, konsumen produk obat-obatan, konsumen jasa kesehatan, dan berbagai bidang lainnnya.
Konsumen Perumahan
Dalam bidang jasa perumahan, pelanggaran hak konsumen berawal dari adanya janji-janji manis dari
pelaku usaha terhadap harga dan kualitas serta sarana dan prasarana rumah yang ditawarkan yang
pada umumnya berbeda dengan kenyataannya. Dalam brosur penawarannya pelaku usaha
menjanjikan akan dibuatkan fasilitas kolam renang atau taman namun kenyataaannya areal yang
digambarkan akan dibangun taman sebaliknya dibangun perumahan. Pelanggaran yang paling jelas
ditandai dengan diberlakukannya klausula-klausula baku yang dilarang oleh UUPK dalam Perjanjian
Pengikatan Jual Beli. Contohnya, tidak berimbangnya posisi antara konsumen dengan developer
dalam hal keterlambatan pembayaran oleh konsumen dan keterlambatan developer dalam
menyelesaikan pembangunan. Konsumen biasanya langsung dikenakan denda keterlambatan atas
setiap hari konsumen terlambat untuk membayarkan angsuran atau cicilan pembayaran rumah
tersebut, sedangkan developer diberi kelonggaran antara enam bulan hingga satu tahun atas
keterlambatan untuk menyelesaikan pembangunan tanpa ada denda atau ganti rugi. Dalam PPJB jual
beli rumah susun atau apartemen terdapat klausul bahwa apabila setelah unit apartemen telah selesai
dan terdapat kekurangan luas sebesar 10 persen dari luas yang dijadikan dasar jual beli maka
konsumen menyatakan tidak keberatan sebaliknya apabila terdapat kelebihan luas dari unit yang
dipesan konsumen diwajibkan membayar kelebihan luas tersebut. Beberapa putusan Mahkamah
Agung telah memenangkan konsumen dalam kasus pasal jebakan dalam PPJB antara lain kasus
Modern Land dan kasus Palm Residence Jambangan Surabaya. Kasus Palm Residence Jambangan
Surabaya dengan Martinus Teddy Arus Bahterawan ini adalah mengenai pasal jebakan yang ada
dalam PPJB. MA menyatakan surat pemesanan sepanjang mengenai pencantuman klausula baku
mengenai tidak dapatnya konsumen menuntut dan meminta uang kembali yang telah dibayar dan
penetapan denda batal demi hukum. MA beralasan dalam pasal 13 ayat 1 huruf c UU 8/1999 tentang
9
Perlindungan Konsumen melarang dibuat atau dicantumkan klausul baku. Terutama tentang larangan
pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan jasa padahal
klausul yang demikian sudah dicantumkan dalam perjanjian pengikatan jual beli dan pemesanan
rumah.
Konsumen Listrik
Dalam bidang jasa kelistrikan, konsumen seringkali dirugikan akibat pemadaman listrik secara
sepihak yang dilakukan oleh pelaku usaha penyediaan tenaga listrik, dalam hal ini dilakukan oleh
Perusahaan Listrik Negara. Pemadaman Listrik jelas jelas melanggar hak konsumen karena
berdasarkan Undang-Undang nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan pasal 29 dinyatakan16
konsumen berhak untuk mendapat tenaga listrik secara terus menerus dengan mutu dan keandalan
yang baik. Selain itu sekitar tahun 2007, PLN menerapkan sistem PPOB (payment point online
banking) dalam melakukan pembayaran listrik dimana konsumen harus mengeluarkan biaya
tambahan berupa biaya administrasi apabila membayar tagihan listrik melalui loket pembayaran,
Bank maupun ATM. Biaya administrasi ini sebelumnya tidak ada alias gratis dan sebenarnya seluruh
biaya ini ditanggung oleh PLN karena dalam perjanjian PLN dan Bank sudah sangat jelas diatur
bahwa seluruh biaya yang timbul akibat pembayaran tagihan listrik yang dilakukan pelanggan melalui
sarana Bank menjadi tanggung jawab PLN. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) pada
tahun 2010 telah menyurati Menteri ESDM dan Menteri BUMN serta PLN agar tidak menerapkan
biaya administrasi tambahan dalam sistem PPOB dan mengembalikan uang konsumen yang ditarik
selama diberlakukannya sistem PPOB, mamun sayangnya saran dan rekomendasi BPKN ini tidak
dilaksanakan oleh PLN.
Konsumen Perbankan
Dalam bidang jasa perbankan, konsumen dipaksa untuk menandatangani perjanjian baku yang dibuat
secara sepihak oleh Bank. Selain itu konsumen tidak berdaya apabila Bank menerapkan biaya-biaya
tertentu yang jumlahnya lebih besar dari kelaziman apabila konsumen ingin mengajukan kredit
(contohnya, biaya administrasi, biaya pengurusan pembebanan Hak Tanggungan, dan lain
sebagainya). Nasabah bank yang menggunakan mesin ATM saat ini juga banyak dirugikan mengingat
Bank lalai memberikan pengamanan yang maksimal atas mesin ATM sehingga dapat disalahgunakan
oleh orang jahat (contohnya, banyaknya ATM yang tertelan karena adanya alat tertentu yang dipasang
di mesin ATM maupun adanya call center palsu yang nomornya ditempelkan pada mesin ATM).
16
Pasal 29 ayat (1) huruf b Undang-Undang no. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan
10
Beberapa kasus konsumen perbankan telah dimenangkan oleh konsumen antara lain kasus Agus
Soetopo melawan Standard Chartered Bank dimana Bank menerapkannya biaya administrasi bulanan
secara sepihak (sebelumnya gratis) tanpa sepengetahuan dan persetujuan nasabah. Bank berdalih
bahwa nasabah telah menandatangani formulir pembukaan rekening yang menyatakan bahwa nasabah
menyetujui apabila terdapat perubahan maupun penambahan aturan dikemudian hari sementara
klausul seperti itu termasuk klausula baku yang dilarang oleh UUPK yaitu larangan bagi pelaku usaha
untuk membuat perjanjian yang menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baru, tambahan, lanjutan dan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha
dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan menyatakan bahwa Bank telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menerapkan
biaya administrasi bulanan secara sepihak tanpa persetujuan konsumen dan menghukum bank untuk
mengembalikan uang konsumen yang telah diambil secara sepihak. Dalam kasus ini Bank pada
akhirnya mengembalikan uang konsumen. Perjanjian yang tidak seimbang juga menjadi permasalah
utama bagi konsumen perbankan. Dalam kasus PT. Permata Hijau Sawit dengan Citibank, Mahkamah
Agung menyatakan suatu perjanjian batal demi hukum karena mengandung ketidak seimbangan.
Dalam kasus tersebut terdapat klausula yang menyatakan bahwa bank bisa sewaktu waktu
menghentikan perjanjian sementara nasabah tidak dapat menghentikan perjanjian. Pada akhirnya
perjanjian dinyatakan batal demi hukum dan bank serta nasabah masing mengembalikan uang dari
transaksi yang pernah dilakukan.
Konsumen Perparkiran
Dalam bidang perparkiran, para pengelola parkir selalu mencantumkan klausula baku dalam tiket
parkir yang menyatakan “segala kehilangan/kerusakan bukan merupakan tanggung jawab pengelola
parkir”. Pencantuman klausula baku oleh pelaku usaha tersebut diatur oleh peraturan daerah yang
membebaskan tanggung jawab pelaku usaha apabila terjadi kerusakan atau kehilangan kendaraan
dalam area parkir yang dikelola oleh pelaku usaha. Hal ini bertentangan dengan undang-undang
perlindungan konsumen yang menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang mencantukan klausula baku
pengalihan tanggung jawab. Kasus Anie Gultom melawan Secure Parkir merupakan bukti perlawanan
konsumen jasa perparkiran dimana pada tahun 2000 konsumen mengajukan gugatan terhadap
pengelola parkir karena tidak mau beratanggung jawab atas hilangnya mobil milik konsumen.
Perjuangan konsumen untuk mendapatkan haknya hingga ke tingkat peninjauan kembali di
Mahkamah Agung memakan waktu sekitar 10 tahun ini membuahkan hasil dimana Mahkamah Agung
menghukum pengelola parkir untuk mengganti mobil yang hilang. Hingga saat ini telah ada 6 putusan
Mahkamah Agung tentang kehilangan kendaraan yaitu 3 putusan tentang ganti rugi kehilangan motor,
2 putusan ganti rugi kehilangan mobil dan 1 putusan ganti rugi kehilangan barang dalam kendaraan.
11
Bahkan salah satu kasus kehilangan kendaraan dalam area parkir ini telah dijadikan sebagai landmark
decision pada tahun 2012, yaitu kasus Sumito Y. Viansyah melawan PT Securindo Packtama
Indonesia (Secure Parking). Pemerintah Daerah DKI Jakarta pun saat ini telah merevisi Perda
Perparkirannya yaitu dengan mencantumkan pasal yang menyatakan bahwa pengelola parkir
bertanggung jawab atas kerusakan dan atau hilangnya kendaran di area parkir dan melarang pengelola
parkir mencantumkan klausula-klausula yang bertentangan dengan peraturan yang berlaku pada karcis
parkir. Permasalahan parkir lainnya yang sering timbul adanya pengenaan tarif parkir yang tidak
sesuai dengan aturan dimana pelaku usaha parkir menggenakan tarif melebihi dari yang
diperbolehkan Peraturan Gubernur atau walikota/ bupati. Kasus kenaikan tarif parkir sepihak ini
sudah pernah diajukan ke pengadilan yaitu pada tahun 2003 dan 2010 dan dimenangkan oleh
konsumen dimana dalam kasus tahun 2003 Majelis Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI telah
memutuskan pengelola parkir telah melakukan tindakan melawan hukum dan dihukum untuk
membayar ganti rugi senilai selisih tarif parkir yang telah dibayarkan oleh konsumen.
Konsumen Penerbangan
Permasalahan keterlambatan keberangkatan atau delay merupakan peristiwa yang terjadi sehari hari
dalam dunia penerbangan. Keterlambatan yang diakibatkan oleh faktor cuaca atau force majeure
masih bisa ditolerir namun keterlambatan yang diakibatkan kelalaian maskapai adalah pelanggaran
hak-hak konsumen jasa penerbangan. Setelah adanya putusan perkara antara David Tobing melawan
Lion Air pada tahun 2008, yang menghukum maskapai untuk mengganti rugi kepada konsumen
akibat delay, konsumen jasa penerbangan mulai diperhatikan yaitu dengan terbitnya Keputusan
Menteri Perhubungan No. 25 Tahun 2008 yang mengatur tentang tanggung jawab maskapai apabila
terjadi keterlambatan yaitu dengan memberikan makanan dan minuman ringan, pengalihan ke
maskapai lain dan akomodasi berupa penginapan selama belum diberangkatkan. Aturan tentang
tanggung jawab pelaku usaha penerbangan kemudian diatur secara khusus melalui Peraturan Menteri
Perhubungan No. PM 77/2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Udara yang antara lain
mengharuskan pihak maskapai mengganti atau bertanggung jawab kepada penumpang atas segala
kehilangan atau kerusakan bagasi, pemberian ganti rugi berupa uang akibat delay lebih dari 4 jam,
pembatalan penerbangan maupun kecelakaan dalam penerbangan yang mengakibatkan kematian atau
luka-luka. Pada tahun 2012 Mahkamah Agung dalam perkara Hasjarjo Budi Wibowo melawan Air
Asia bahkan pernah memutuskan maskapai penerbangan Air Asia dihukum membayar ganti rugi atas
pembatalan penerbangan yaitu dengan ganti rugi materil senilai tiket maskapai lain yang harus dibeli
konsumen dan juga ganti rugi immaterial sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) karena
konsumen terlambat sampai ditempat tujuan untuk menjadi narasumber di suatu seminar. Dalam
kasus bagasi hilang antara Herlina Sunarti melawan Lion Air, Mahakamah Agung mengabulkan
12
gugatan konsumen dan mewajibkan maskapai mengganti rugi atas bagasi yang hilang yang dinilai
seharga 25 juta rupiah. Ganti rugi tersebut jauh lebih besar dari aturan penggantian bagasi hilang pada
waktu itu. Kasus terbaru adalah Mahkamah Agung kembali menghukum maskapai penerbangan Lion
Air terkait kasus hilangnya bagasi penumpang atas nama Robert Mangatas Silitonga. Lion Air
diperintahkan membayar kerugian materil Rp 19,1 juta dan immateril Rp 19,1 juta.
Konsumen Lainnya
Dalam bidang kesehatan, konsumen harus dilindungi dalam bidang asuransi kesehatan ataupun
malpraktek. Demikian juga dalam bidang lainnya yang melibatkan konsumen, pelaku usaha tidak
dapat melakukan tindakan yang merugikan konsumen.
E.
UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
Untuk menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha, UU Perlindungan Konsumen
menyebutkan sebagai berikut:17
1.
Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada
di lingkungan peradilan umum.
2.
Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan
berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
3.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak
menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
4.
Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan
melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh
salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
Pada umumnya, metode penyelesaian sengketa konsumen dibagi dalam dua, yaitu:
1.
17
Penyelesaian diluar lembaga/peradilan umum.
Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 tahun 199 tentang Perlindungan Konsumen
13
Penyelesaian ini adalah penyelesaian yang dilakukan antara pelaku usaha dengan konsumen
dengan cara melakukan mediasi baik secara langsung ataupun dengan melibatkan mediator atau
fasilitator.
a.Penyelesaian antara konsumen dengan pelaku usaha.
Penyelesaian ini ada yang berdasarkan inisiatif pelaku usaha untuk meminta masukan
atau pengaduan dari konsumen, yaitu melalui melakukan kunjungan ke konsumen,
menyediakan formulir kritik dan saran, SMS pengaduan, pengaduan berbasis web, call
centre, dan berbagai cara lainnya. Setelah ada masukan dari konsumen, pelaku usaha
memberikan penyelesaian atas permasalahan yang timbul. Ada juga berdasarkan inisiatif
konsumen melalui suara pembaca pada media cetak atau media elektronik, atau
pengaduan langsung dari konsumen ke pelaku usaha. Setelah adanya pengaduan dari
konsumen, pelaku usaha memberikan penyelesaian atas permasalahan yang timbul.
Pelaku Usaha yang mempunyai bidang usaha sejenis biasanya membentuk suatu asosiasi
atau perkumpulan dan ada yang sudah mempunyai kode etik atau SOP pelayanan
pengaduan konsumen. Konsumen juga dapat mengadukan pelaku usaha melalui Asosiasi
maupun perkumpulan apabila terjadi pelanggaran hak-hak konsumen, misalnya Asosiasi
Pusat Perbelanjaan Indonesia membuka hotline pengaduan melalui saluran telepon.
b.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)
BPKN mempunyai fungsi untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah
dalam
upaya
mengembangkan
perlindungan
konsumen
di
Indonesia.
Dalam
melaksanakan fungsinya tersebut BPKN antara lain mempunyai tugas menerima
pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat dan pelaku usaha. Sejak tanggal 27 Mei 2013 BPKN
membuka call center pengaduan konsumen dengan nomor 153 dimana segala permasalah
konsumen dapat diterima pengaduannya melalui nomor tersebut untuk selanjutnya
diverifikasi dan diupayakan penyelesaiannya melalui BPKN maupun pihak-pihak terkait.
c.Direktorat Pemberdayaan Konsumen.
Direktorat Pemberdayaan Konsumen merupakan salah satu unit kerja yang berada di
bawah Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian
Perdagangan. Adapun fungsi dan peran Direktorat Pemberdayaan Konsumen sangat
14
terkait dengan penanganan isu-isu konsumen yang melekat dengan pembangunan sektor
perdagangan.
Pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sesuai UU
Perlindungan Konsumen yang berada pada Menteri Perdagangan secara hierarki
(struktural dan fungsinya) dilimpahkan kepada Direktorat Jenderal Standardisasi dan
Perlindungan Konsumen yang diteruskan kepada Direktorat Pemberdayaan Konsumen.
Fungsi dari Direktorat Pemberdayaan Konsumen ini adalah:
-
Menjelaskan dalam konteks pembinaan dan edukasi mengenai hak dan kewajiban
konsumen dan pelaku usaha berdasarkan hukum konsumen yang berlaku;
-
Penyampaian informasi tentang pemanfaatan yang aman atas suatu produk;
-
Memfokuskan pada kelompok konsumen tertentu yang mempunyai kendala dalam
mengakses informasi, atau mereka berpotensi terperangkap dalam kesepakatan
transaksi yang merugikan dirinya.
d.
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)
YLKI merupakan salah satu pionir LPKSM yang sejak berdirinya dan terus menerus
mengadvokasi konsumen. YLKI merupakan sebuah organisasi masyarakat yang bersifat
nirlaba dan independen. Dasar utama dan sumber YLKI dalam bertindak adalah keluhan
konsumen. Berdasarkan keluhan yang disampaikan oleh Konsumen, YLKI akan
menindaklanjutinya kepada Pelaku Usaha dengan menempuh jalan mediasi terlebih
dahulu.
e. Otoritas Jasa Keuangan.
OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang
mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan
penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
Dalam strutur OJK terdapat Komisioner bidang edukasi dan perlindungan konsumen
dan OJK sendiri telah menerbitkan Peraturan OJK NO. 1 tahun 2013 tentang
Perlindungan Konsumen. Peraturan OJK tersebut mengangkat hak hak pelaku jasa
keungan dan didalamnya juga mengatur mekanisme pengaduan sengketa konsumen
dan alternative penyelesaiannya.
2.
Penyelesaian melalui lembaga/peradilan umum.
15
Penyelesaian ini adalah penyelesaian yang dilakukan antara pelaku usaha dengan konsumen
dengan cara menempuh peradilan umum atau khusus.
a.Badan Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.18
b.
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
BPSK dibentuk berdasarkan Pasal 49 UU PK, dimana ketentuan mengenai Pelaksanaan
Tugas dan Wewenang BPSK (Pasal 53 dan 54 UU PK) diatur lebih lanjut berdasarkan
Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
RI
nomor
350/MPP/Kep/12/2001.
Tugas BPSK antara lain:19
-
melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara
melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
-
memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
-
melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
-
melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam
Undang-undang ini;
-
menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang
terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
-
melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
-
memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;
-
memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini;
18
19
Pasal 1 ayat (1) Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa
Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 tahun 199 tentang Perlindungan Konsumen
16
-
meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli,
atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak
bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
-
mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna
penyelidikan dan / atau pemeriksaan;
-
memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
-
memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen;
-
menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan
Undang-undang ini.
c.Peradilan Umum.
Langkah ini adalah penyelesaian permasalahan konsumen dengan pelaku usaha melalui
pengadilan negeri yang berwenang, yaitu dengan cara konsumen mangajukan gugatan
kepada pelaku usaha.
-
Gugatan contentiosa
Gugatan contentiosa ini adalah gugatan perdata dalam praktik. Dalam perundangundangan, istilah yang dipergunakan adalah gugatan perdata atau gugatan saja.
Gugatan contentiosa adalah gugatan perdata yang mengandung sengketa diantara
para pihak yang berperkara yang pemeriksaan penyelesaiannya diberikan dan
diajukan kepada pengadilan.20
-
Class Action atau Gugatan Perwakilan Kelompok
Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam
mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk
diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang
jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil
kelompok dan anggota kelompok dimaksud.21
20
21
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan
Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm.47.
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Acara Gugatan Perwakilan
Kelompok
17
-
Gugatan Legal Standing oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat (LPKSM)
Lembaga Swadaya Masyarakat dapat mengajukan gugatan untuk kepentingan
masyarakat dalam perkara perlindungan konsumen.22
Tugas LPKSM antara lain:23
1.
menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan
kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa;
2.
memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
3.
bekerja
sama
dengan
instansi
terkait
dalam
upaya
mewujudkan
perlindungan konsumen;
4.
membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima
keluhan atau pengaduan konsumen;
5.
melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap
pelaksanaan perlindungan konsumen.
-
Gugatan Legal Standing oleh pemerintah dan/atau instansi terkait.
Pemerintah dapat mengajukan gugatan kepada pelaku usaha demi kepentingan
konsumen. Dasar hukumnya ada dua, yaitu:
1.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Pasal 46 ayat (1) huruf d
Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar
dan/atau korban yang tidak sedikit.
2.
Undang-undang nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 30 ayat (1) huruf b
22
23
Pasal 46 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 8 tahun 199 tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 44 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 tahun 199 tentang Perlindungan Konsumen
18
Untuk perlindungan Konsumen dan masyarakat, OJK berwenang
melakukan pembelaan hukum, yang meliputi:
mengajukan gugatan:
1.
untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang
dirugikan dari pihak yang menyebabkan kerugian, baik yang berada
di bawah penguasaan pihak yang menyebabkan kerugian dimaksud
maupun di bawah penguasaan pihak lain dengan itikad tidak baik;
dan/atau;
2.
untuk memperoleh ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan
kerugian pada Konsumen dan/atau Lembaga Jasa Keuangan sebagai
akibat dari pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di
sektor jasa keuangan.
d.
Laporan Polisi
Jika terjadi tindak pidana konsumen maka Polisi dapat bertindak walaupun tanpa adanya
pengaduan dari konsumen itu sendiri. Hal ini didasarkan pada jenis delik tindak pidana
konsumen adalah delik umum. Di Kepolisian Negara RI perkara-perkara konsumen
biasanya ditangani di tingkat Kepolisian Daerah Direktorat Kriminal Khusus, Unit
Industri dan Perdagangan dan di tingkat Mabes Polri Direktorat Tindak Pidana tertentu.
UNDANG UNDANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
BPKN
pasal 31 - pasal 43 UU PK
BPKN
pasal 31 - pasal 43 UU PK
19
Bagan Lembaga/Instansi Perlindungan Konsumen
20
BPKN
pasal 31 - pasal 43 UU PK
Direktorat Pemberdayaan
Konsumen
LEMBAGA PERWAKILAN
KONSUMEN
LPKSM
Pasal 44 UU PK
YLKI
Lembaga Mediasi
Perbankan
Badan Mediasi Asuransi
Indonesia
Otoritas jasa Keuangan
Bagan Lembaga Perwakilan Konsumen
21
PELAKU USAHA DENGAN
KONSUMEN
- Penyelesaian efisien
karena langsung antara
pelaku usaha dengan
konsumen
- Penyaluran penyelesaian
sengketa ke pihak-pihak
terkait
BPKN
DILUAR
PERADILAN UMUM
DIREKTORAT
PEMBERDAYAAN
KONSUMEN
LPKSM/YLKI
OTORITAS JASA
KEUANGAN
- lebih cepat
- murah
- prosesnya sederhana
- LPKSM/YLKI bersifat
menengahi
- Penyelesaian masalah
berdasarkan kesepakatan
para pihak
PENYELESAIAN
SENGKETA KONSUMEN
- Kerahasiaan para pihak
dan kasusnya
- Cepat
- Ditangani oleh ahli
- Dapat memilih hukum
ARBITRASE
- Penyelesaian sengketa di
luar proses litigasi
- khusus konsumen jasa
keuangan
- Proses cepat
- Penyelesaian sengketa
tergantung pada
kesukarelaan para pihak
BPSK
MELALUI
PERADILAN UMUM
PENGADILAN
LAPORAN POLISI
Bagan Penyelesaian Sengketa Konsumen
- Sanksi tegas
- Ada efek jera
-
Putusan mengikat
Ada preseden
Independensi
Dapat dieksekusi
22
F.
DASAR HUKUM PENGADUAN KONSUMEN
Dasar hukum pengaduan konsumen atas sengketa konsumen dengan pelaku usaha adalah
wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha. Kedua dasar
hukum ini lazim digunakan di gugatan perdata melalui Pengadilan Negeri. Apabila hubungan
konsumen dan pelaku usaha diikat dengan kontrak atau perjanjian maka dasar hukum yang dipakai
adalah wanprestasi dan apabila hubungan tersebut tidak terikat oleh perjanjian namun diatur oleh
ketentuan-ketentuan perundangan yang berlaku maka dasar hukum pengaduan dengan perbuatan
melawan hukum. Di dalam praktek pengadilan walaupun hubungan konsumen dan pelaku usaha
ditandai dengan perjanjian namun tidak selalu dasar hukum pengaduannya menggunakan
wanprestasi. Hal ini disebabkan oleh adanya pasal-pasal dari perjanjian yang bertentangan dengan
hukum maupun yang dibuat dengan cara melawan hukum, sehingga dasar hukum yang dipakai
adalah perbuatan melawan hukum. Contohnya dalam gugatan kehilangan mobil maupun delay
pesawat, pelaku usaha tidak digugat dengan wanprestasi karena tidak menjaga mobil dengan baik
atau tidak menerbangkan penumpang dengan tepat waktu. Hal ini disebabkan karena dalam tiket
parkir tertera klausula yang mencantumkan pengalihan tanggung jawab pengelola parkir apabila
mobil hilang dan dalam tiket pesawat juga tertera klausula yang menyatakan bahwa maskapai tidak
bertanggung jawab apabila terjadi keterlambatan pengangkutan barang dan penumpang. Klausula–
klausula tersebut dilarang oleh UU Perlindungan Konsumen.
Wanprestasi
23
Prestasi adalah sesuatu yang dapat dituntut. Jadi dalam suatu perjanjian suatu pihak (biasanya
kreditur/ berpiutang) menuntut prestasi pada pihak lainnya (biasanya debitur/ berutang). Menurut
Pasal 1234 KUHPerdata prestasi terbagi dalam 3 macam:
a.
Prestasi untuk menyerahkan sesuatu (prestasi ini terdapat dalam Pasal 1237 KUHPerdata);
b.
Prestasi untuk melakukan sesuatu atau berbuat sesuatu (prestasi jenis ini terdapat dalam
Pasal 1239 KUHPerdata); dan
c.
Prestasi untuk tidak melakukan atau tidak berbuat sesuatu (prestasi jenis ini terdapat dalam
Pasal 1239 KUHPerdata).
Apabila seseorang telah ditetapkan prestasi sesuai dengan perjanjian itu, maka kewajiban pihak
tersebut untuk melaksanakan atau mentaatinya.
Apabila seorang yang telah ditetapkan prestasi sesuai dengan perjanjian tersebut tidak
melaksanakan atau tidak memenuhi prestasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka orang
tersebut disebut melakukan wanprestasi.
Subekti mengkategorikan wanprestasi ke dalam perbuatan-perbuatan sebagai berikut:24
a.
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b.
Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c.
Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
d.
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Bahwa berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dengan adanya perbuatan
wanprestasi yang dilakukan oleh pelaku usaha, telah melahirkan hak bagi konsumen untuk
menuntut segala kerugian, bunga dan biaya yang diakibatkan oleh perbuatan wanprestasi
24
R. Subekti, Hukum Perjanjian, cet. 19, (Jakarta : PT. Intermasa, 2002), hal. 45
24
tersebut, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang
menyatakan sebagai berikut:
“Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah
mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya,
tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat
diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.
Dalam hubungan konsumen dan pelaku usaha yang berdasarkan kontrak atau perjanjian biasanya
konsumen diposisikan pada pihak yang lemah yang ditandai dengan perjanjian yang sepihak dan
berat sebelah. Perjanjian yang demikian dapat berakibat adanya dasar pembenar maupun unsur
pemaaf apabila pelaku usaha melakukan wanprestasi. Pelaku usaha akan membuat klausulaklausula baku yang pada intinya membatasi dan atau membebaskan pelaku usaha dari kelalaiannya
dalam melaksanakan kewajiban dan juga membatasi konsumen untuk menuntut hak-haknya.
Perbuatan Melawan Hukum
Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) diatur dalam pasal 1365 sampai dengan pasal
1380 KUHPerdata. Tiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain,
mewajibkan pembuat yang bersalah untuk mengganti kerugian (pasal 1365 KUHPerdata).
Dinamakan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum pada
umumnya. Hukum bukan saja berupa ketentuan-ketentuan undang-undang, tetapi juga aturanaturan hukum tidak tertulis, yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat. Hukum berupa
ketentuan undang-undang dalam sengketa konsumen tidak terbatas pada yang diatur dalam UU
Perlindungan Konsumen melainkan juga Undang-Undang lain yang mengatur kepentingan
konsumen dan yang paling umum adalah ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata misalnya ketentuan tentang penitipan barang. Sementara aturan-aturan tidak tertulis
adalah segala ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban pelaku usaha dan konsumen dimana
ketentuan tersebut dilanggar dengan aktif maupun pasif. Perbuatan melawan hukum bukan saja
menimbulkan kerugian materi melainkan kerugian imateri yang dapat dinilai dengan uang oleh
keputusan Hakim. Dalam undang-Undang Perlindungan Konsumen ganti rugi bukan hanya
pengembalian uang atau barang sejenis melainkan juga perawatan kesehatan dan atau pemberian
santunan. Kerugian yang ditimbulkan itu harus disebabkan karena perbuatan yang melawan hukum
itu; antara lain kerugian-kerugian dan perbuatan itu harus ada hubungannya yang langsung;
25
kerugian itu disebabkan karena kesalahan pembuat. Kesalahan adalah apabila pada pelaku ada
kesengajaan atau kealpaan (kelalaian).
Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana ketentuan pasal 1365 KUH Perdata yang berisi:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, menggantikan kerugian
tersebut.”
Bahwa sebagaimana berlaku dalam Yurisprudensi sejak Putusan Hoge Raad 1919 Arrest 31 Januari
1919, mengenai Perbuatan Melawan Hukum yang telah diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata dan
masih berlaku hingga saat ini, maka Perbuatan Melawan Hukum merupakan perbuatan tidak saja
melanggar undang-undang negara, tetapi juga termasuk pada bertentangan dengan kewajiban
hukum si pelaku, melanggar hak subyektif orang lain, melanggar kaidah tata susila dan perbuatan
tersebut bertentangan kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki oleh
seseorang dalam pergaulan seseama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain;
Dalam beberapa putusan perkara konsumen, ganti rugi tidak hanya atas kerugian materiil, tetapi
juga atas kerugian immaterial (kasus Hasjarjo Budi Wibowo melawan Air Asia) dan juga hukuman
bagi pelaku usaha untuk melakukan tindakan tertantu (kasus Ludmilla Arif melawan Nissan
March)
KEKURANGAN DAN KELEBIHAN BERBAGAI SALURAN PENGADUAN KONSUMEN
Idealnya, penyelesaian sengketa konsumen dan pelaku usaha sebaiknya diselesaikan secara mediasi
antara konsumen dengan pelaku usaha agar tercapai solusi yang menguntungkan bagi kedua belah
pihak.
Selain penyelesaian yang cepat dan tidak mengeluarkan biaya yang banyak, solusi ini dapat
menjaga agar nama baik pelaku usaha tidak terganggu akibat pemberitaan yang akan beredar
dikarenakan permasalahan tersebut diselesaikan langsung antara konsumen dengan pelaku usaha
sehingga tidak terekspos secara luas.
Penyelesaian sengketa konsumen dengan pelaku usaha yang dilakukan diluar lembaga/peradilan
umum yang diselesaikan melalui Direktorat Pemberdayaan Konsumen atau Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat seperti YLKI hanya berlaku untuk kasus tertentu yang melibatkan
26
konsumen dan pelaku usaha tertentu sehingga bentuk penyelesaian sengketa serta ganti rugi yang
dibayarkan tidak transparan. Bentuk penyelesaian sengketanya pun berupa perdamaian melalui
proses mediasi sehingga tidak mengikat konsumen lain dan kasus lain.
Penyelesaian sengketa konsumen dengan pelaku usaha yang dilakukan melalui Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen atau peradilan umum adalah penyelesaian yang paling efektif dikarenakan ada
sanksi terhadap pelaku usaha jika tidak melaksanakan putusan lembaga peradilan tersebut. Sisi
negatif penyelesaian sengketa konsumen dengan pelaku usaha melalui jalur ini adalah proses yang
rumit, biaya yang banyak dan waktu yang sangat lama. Putusan Hakim tersebut hanya bersifat
personal dan kasusistik, artinya tidak berlaku untuk pelaku usaha lain pada kasus sejenisnya.25
Penulis :
David M.L Tobing, SH., M. Kn.
Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)
Catatan:
Tulisan ini termuat dalam Buku Panduan Bantuan Hukum Indonesia,
Diterbitkan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan AUS AID, Tahun 2014.
25
Pasal 21 Algemeine Bepalingen van Wertgiving Voor Indonesie (AB) larangan bagi Hakim untuk mengeluarkan
putusan yang mengikat setiap orang (umum).
27
Download